PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62/PMK.06/2020 TENTANG PENYELESAIAN ASET BEKAS MILIK ASING /TIONGHOA Menimbang Mengingat
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa ketentuan mengenai penyelesaian aset bekas milik asing/Tionghoa telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.06/2015 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa;
bahwa untuk penyelesaian aset bekas milik asing/Tionghoa yang optimal, akuntabel, mewujudkan kepastian hukum, dan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, perlu mengatur kembali ketentuan mengenru penyelesaian aset bekas milik asing/Tionghoa;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b , perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa;
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); Menetapkan 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Repubik Indonesia Nomor 5533); 4 . Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217 /PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87 /PMK.01/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217 /PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 641);
MEMUTUSKAN:
PERA TU RAN MENTE RI KEUANGAN TENTANG PENYELESAIAN ASET BEKAS MILIK ASING/TIONGHOA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa yang selanjutnya disingkat ABMA/T adalah aset yang dikuasai Negara berdasar kan:
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/ 032/ 1958 jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/ 1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960; b . Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962;
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 JO. Kepu tusan Presiden / Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/ 1964; dan
Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G- 5/5/66.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.
Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I pada Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.
Direktur adalah pejabat eselon II pada Direktorat J enderal yang melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan ABMA/T .
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat J enderal di Kernen terian Keuangan yang memiliki kewenangan, tu gas dan fungsi di bi dang kekayaan negara.
Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan di bawah Direktorat Jenderal di Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Tim Penyelesaian adalah Tim Penyelesaian ABMA/T Tingkat Pusat.
Tim Asistensi Daerah adalah Tim Asistensi Penyelesaian ABMA/T Tingkat Wilayah. 12 . Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang hlemahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi waJar pada tanggal Penilaian 13. Pihak Ketiga adalah pihak yang menempati / menghuni / menggunakan ABMA/ T yaitu: a . Pegawai Negeri Sipil / Tentara Nasional Indonesia / Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Pensiunan / Purnawirawan / Janda/Duda Pegawai N egeri Si pil / Ten tar a Nasional Indonesia / Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
Swasta, baik badan hukum atau perorangan.
Pasal 2
Ruang lingkup ABMA/T meliputi tanah dan/atau bangunan bekas milik:
perkumpulan - perkumpulan Tionghoa yang dinyatakan terlarang dan dibubarkan dengan peraturan Penguasa Perang Pusat; b . perkumpulan/ aliran kepercayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia yang dinyatakan terlarang dan dibubarkan;
perkumpulan - perkumpulan yang menjadi sasaran aksi massa/kesatuan - kesatuan aksi tahun 1965 / 1966 sebagai akibat keterlibatan Republik Rakyat Tjina (RRT) dalam pemberontakan G. 30 . S/PKI yang ditertibkan dan dikuasai oleh Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah; dan
organisasi yang didirikan oleh dan/atau untuk orang Tionghoa perantauan (Hoa Kiauw) yang bukan Warga Negara Asing yang telah mempunyai hubungan diplomatik dengan Negara Republik Indonesia dan/atau memperoleh pengakuan dari Negara Republik Indonesia, beserta cabang-cabang dan bagian-bagiannya.
BAB II
WEWENANG
Pasal 3
Menteri selaku Bendahara Umum Negara berwenang melakukan penyelesaian ABMA/ T.
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
menentukan arah kebijakan dan petunjuk penyelesaian ABMA/T;
membentuk Tim Penyelesaian dan Tim Asistensi Daerah;
menetapkan penyelesaian ABMA/T;
melakukan penatausahaan dan pemutakhiran data ABMA/T;
melakukan upaya hukum melalui lembaga peradilan dan di luar lembaga peradilan; dan
melaksanakan wewenang lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal.
BAB III
TIM PENYELESAIAN DAN TIM ASISTENSI DAERAH
Pasal 4
Dalam rangka penyelesaian ABMA/T Direktur Jenderal atas nama Menteri membentuk:
Tim Penyelesaian; dan
Tim Asistensi Daerah .
Pasal 5
Tim Penyelesaian se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, beranggotakan unsur dari instansi tingkat pusat, an tar a lain:
Kementerian Keuangan;
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
Kementerian Pertahanan;
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
Badan Intelijen Negara;
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;
Kejaksaan Agung; dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tim Penyelesaian se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Direktur.
Pasal 6
Tim Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a mempunyai tugas:
memberikan pertimbangan atas penyelesaian ABMA/T termasuk penanganan masalah hukum kepada Direktur Jenderal;
melaksanakan sosialisasi dan koordinasi penyelesaian ABMA/T dengan instansi terkait;
melaksanakan inventarisasi dan penelitian ABMA/T;
membahas usulan penyelesaian dari Tim Asistensi Daerah dan menyampaikan saran, pendapat, dan/atau rekomendasi penyelesaian ABMA/T kepada Direktur Jenderal; dan
melaksanakan tugas lain yang terkait d.engan ABMA/T .
Tim Penyelesaian melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Menteri melalui Direktur Jenderal setiap tahun .
Pasal 7
Tim Asistensi Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf b, beranggotakan unsur dari instansi tingkat daerah, an tara lain: a . Kantor Wilayah;
Pemerintah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota;
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; d . Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan/atau Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
Komando Daerah Militer;
Badan Intelijen Negara di Daerah;
Kejaksaan Tinggi;
Kepolisian Daerah; dan
Kantor Pelayanan.
Tim Asistensi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Kepala Kantor Wilayah yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Tim Asistensi Daerah yang bersangkutan.
Pasal 8
Tim Asistensi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b mempunyai tugas: a . melaksanakan sosialisasi dan koordinasi dengan instansi terkait di wilayahnya dalam rangka mempercepat penyelesaian masalah ABMA/T sesuai dengan arahan Direktur Jenderal; b . melaksanakan inventarisasi dan penelitian ABMA/T, dan melaporkan hasil inventarisasi dan penelitian kepada Tim Penyelesaian;
menyampaikan usulan penyelesaian masalah ABMA/T sesuai kondisi terkini di wilayahnya dan menyampaikan saran dan rekomendasi penyelesaian kepada Tim Penyelesaian;
melakukan pengawasan aspek kesesuaian peruntukan terhadap ABMA/T yang telah dilakukan penyelesaian dengan cara dilepaskan penguasaannya dari Negara kepada Pihak Ketiga dengan cara pembayaran kompensasi; dan
melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Direktur J enderal.
Tim Asistensi Daerah menyampaikan laporan perkembangan penyelesaian ABMA/T kepada Direktur Jenderal melalui Tim Penyelesaian setiap tahun.
Pasal 9
Segala pembiayaan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan Tim Penyelesaian dan Tim Asistensi Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB IV
PENYELESAIAN ABMA/T
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
Penyelesaian ABMA/T dilakukan dengan cara:
dimantapkan status hukumnya menjadi Barang Milik Negara/Daerah/Desa;
dilepaskan penguasaannya dari Negara kepada Pihak Ketiga dengan cara pembayaran kompensasi kepada Pemerin tah;
dikembalikan kepada Pihak Ketiga yang sah; atau
dinyatakan selesai karena keadaan tertentu.
Penyelesaian ABMA/T sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sebagian atau seluruhnya berdasarkan usulan Tim Asistensi Daerah. Pasa l 11 (1) Usulan penyelesaian ABMA/T dari Tim Asistensi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dibahas oleh Tim Penyelesaian.
Hasil pembahasan Tim Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa saran, pendapat dan/atau rekomendasi penyelesaian ABMA/T disampaikan kepada Direktur Jenderal.
Berdasarkan saran, pendapat dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan penyelesaian ABMA/T yang memuat data ABMA/T terkini berdasarkan hasil penelitian oleh Tim Asistensi Daerah. Pasa l 12 ABMA/T yang akan dilakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini .
Pasal 13
Penyelesaian ABMA/T sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diutamakan dilakukan dengan cara dimantapkan status hukumnya menjadi Barang Milik Negara/Daerah/Desa.
Bagian Kedua
Pemantapan Status Hukum Menjadi Barang Milik Negara/ Daerah / Desa
Pasal 14
Pemantapan status hukum ABMA/T sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dilakukan terhadap ABMA/T yang belum bersertifikat atau telah bersertifikat atas nama Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota/Desa.
Pasal 15
Usulan pemantapan status hukum ABMA/T sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan Tim Asistensi Daerah kepada Tim Penyelesaian, sesuai permohonan dari:
Kementerian/Lembaga; atau
Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan rencana peruntukan.
Pasal 16
Usulan pemantapan status hukum ABMA/T sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dilakukan tanpa melalui proses permohonan Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota, untuk:
kepentingan Negara/Daerah/Desa; atau
ABMA/T yang telah bersertipikat atas nama Kementerian/ Lembaga a tau Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota/Desa dan telah digunakan sesuai dengan tugas dan fungsi.
Pasal 17
Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan pemantapan status hukum ABMA/ T menjadi Barang Milik Negara/Daerah / Desa dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
Dalam hal ABMA/ T belum bersertipikat atas nama Kementerian / Lembaga atau Pemerintah Daerah / Desa, keputusan mengena1 pemantapan status hukum ABMA/ T menjadi Barang Milik Negara/Daerah / Desa se bagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 harus segera ditindaklanjuti dengan pensertipikatan.
Pembebanan biaya pensertipikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pelepasan Penguasaan dari Negara kepada Pihak Ketiga dengan Cara Pembayaran Kompensasi
Pasal 19
Penyelesaian ABMA/ T dilakukan dengan cara dilepaskan penguasaannya se bagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat huruf b dilakukan terhadap ABMA/T yang telah ditempati / dihuni/ digunakan oleh Pihak Ketiga.
Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan pelepasan penguasaan ABMA/T, dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
menempati / menghuni / menggunakan ABMA/T tersebut secara terus menerus paling singkat selama 5 (lima) tahun; dan b . dalam hal Pihak Ketiga:
badan hukum, maka status badan hukum tersebut harus tidak memiliki kaitan kepemilikan dengan badan hukum atau orgamsas1 asmg, dan bukan merupakan reinkarnasi / penerus / onderbouw dari organisasi/ perkumpulan/yayasan terlarang/ eksklusif rasial; a tau 2. perseorangan, maka status perseorangan tersebut tidak pernah menjadi anggota dari organisasi / perkum pulan / yayasan ter larang/ eksklusif rasial.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Tim Asistensi Daerah.
Pasal 20
ABMA/T yang akan dilepaskan penguasaannya dari Negara kepada Pihak Ketiga dengan cara pembayaran kompensasi kepada Pemerintah dilakukan penilaian untuk mendapatkan Nilai Wajar.
Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar penetapan besaran kompensasi.
Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal di atas tanah ABMA/T telah berdiri bangunan baru dengan struktur baru yang terpisah dari bangunan ABMA/T, penilaian dilakukan atas tanah dan bangunan lama;
dalam hal di atas tanah ABMA/T telah berdiri bangunan baru yang berdiri dalam struktur yang sama dan meru pakan bagian renovas1 dari bangunan ABMA/T, penilaian dilakukan atas tanah dan seluruh bangunan; atau
dalam hal bangunan ABMA/T telah dibongkar, penilaian dilakukan atas tanah ABMA/T.
Dalam hal bangunan ABMA/T telah dibongkar tanpa persetujuan Menteri, Pihak Ketiga membayar tambahan kompensasi sebesar 10% (sepuluh persen) dari Nilai Wajar tanah ABMA/T sebagai pengganti bangunan ABMA/T yang telah dibongkar.
Pasal 21
Pelepasan penguasaan ABMA/T dari Negara kepada Pihak Ketiga dengan cara pembayaran kompensasi · kepada Pemerintah ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari Nilai Wajar ABMA/T.
Besaran pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan keringanan dengan ketentuan sebagai berikut: a . sebesar 50% (lima puluh persen) dari Nilai Wajar, dalam hal ABMA/T digunakan untuk:
tempat kegiatan pendidikan formal yang berizin tetapi belum terakreditasi;
kegiatan organisasi sosial dan/atau organisasi keagamaan; atau
rumah tinggal Pegawai Negeri Sipil/Tentara Nasional Indonesia / Kepolisian Negara Republik Indonesia a tau Pensiunan / Purnawirawan /Janda/ Duda Pegawai N egeri Sipil/Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang didasarkan pada suatu keputusan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari Nilai Wajar, dalam hal ABMA/T digunakan untuk kegiatan pendidikan formal berupa sekolah dan/atau perguruan tinggi dengan status akredi tasi C;
sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari Nilai Wajar, dalam hal ABMA/T digunakan untuk kegiatan pendidikan formal berupa sekolah dan/atau perguruan tinggi dengan status akreditasi B;
sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Wajar, dalam hal ABMA/T digunakan untuk:
kegiatan pendidikan formal berupa sekolah dan/atau perguruan tinggi dengan status akreditasi A; atau
sekolah luar biasa;
sebesar 100% (seratus persen) dari Nilai Wajar dalam hal ABMA/T digunakan untuk tempat ibadah agama yang diakui Pemerintah.
Pasal 22
Penentuan besaran kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dituangkan dalam persetujuan penetapan besaran kompensasi yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri .
Persetujuan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat: a . data ABMA/T;
data Pihak Ketiga penerima pelepasan penguasaan ABMA/T;
besaran kompensasi; dan
cara pembayaran dan jangka waktu pelunasan.
Pasal 23
Pembayaran kompensasi dilakukan dengan cara sekaligus atau berkala sesuai dengan persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1).
Pasal 24
Pembayaran kompensasi dengan cara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya persetujuan pen eta pan besaran kompensasi.
Pihak Ketiga yang tidak melakukan pelunasan pembayaran kompensasi secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan peringatan tertulis oleh Direktur paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 1 ( satu) bulan.
Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku pula sebagai pemberian kesempatan kepada Pihak Ketiga untuk melakukan pelunasan pembayaran sebelum peringatan ketiga .
Pihak Ketiga yang tidak memenuhi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka persetujuan kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dinyatakan batal.
Pasal 25
Pembayaran kompensasi dengan cara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dilakukan dengan besaran pembayaran yang tetap dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya persetujuan pen eta pan be saran kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat .
Besaran pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan sebesar 5% (lima persen) per tahun dari besaran kompensasi.
Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), Direktur dan Pihak Ketiga menandatangani perjanjian pembayaran kompensasi dengan cara berkala.
Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang - kurangnya memuat: a . para pihak yang terikat dalam perjanjian; b . data ABMA/ T;
besaran kompensasi; d . jangka waktu pembayaran kompensasi; dan
hak dan kewajiban para pihak.
Pasal 26
Pihak Ketiga yang tidak melakukan pembayaran kompensasi secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat pada bulan berjalan dan/atau bulan berikutnya, diberikan peringatan tertulis oleh Direktur pada awal bulan berikutnya.
Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 2 (dua) tahun baik secara berturut-turut maupun kumulatif.
Pihak Ketiga yang tidak memenuhi peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka persetujuan kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dinyatakan batal.
Pasal 27
Dalam hal Pihak Ketiga meninggal dunia merupakan:
Pegawai Negeri Sipil/Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Pensiunan/Purnawirawan/ Janda/Duda Pegawai Negeri Sipil/Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
Swasta perorangan, penyelesaian ABMA/T dengan cara pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), dapat dilanjutkan oleh Ahli Waris sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
Pembayaran kompensasi kepada Pemerintah merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus disetor langsung oleh Pihak Ketiga ke Kas Negara .
Pasal 29
Pihak Ketiga tidak dapat meminta pengembalian pembayaran kompensasi yang telah dilakukan kepada Pemerintah, dan Pemerintah tidak dapat mengembalikan pembayaran kompensasi yang telah dilakukan oleh Pihak Ketiga.
Pasal 30
Untuk kepentingan negara, ABMA/T yang persetujuan kompensasinya telah dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dan Pasal 26 ayat (3), dapat dimantapkan status hukumnya menjadi Barang Milik Negara/Daerah/Desa.
Proses pemantapan status dimaksud pada ayat (1) ABMA/T sebagaimana menjadi Barang Milik Negara/Daerah/Desa dan pensertipikatan berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19.
Pasal 31
Dalam hal Pihak Ketiga telah selesai melaksanakan kewajiban pembayaran kompensasi, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan pelepasan penguasaan dari negara kepada Pihak Ketiga dengan cara pembayaran kompensasi dengan Keputusan Menteri.
Pasal 32
Pihak Ketiga yang telah memperoleh ABMA/ T dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dilarang melakukan pengalihan atau pemindahtanganan atau perubahan peruntukan ABMA / T tanpa persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Pihak Ketiga yang telah mengembalikan be saran keringanan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat .
Pengembalian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan besarnya persentase keringanan yang telah diterima, dikalikan Nilai Wajar terkini atas tanah dan/atau nilai terdahulu atas bangunan.
Bagian Keempat
Pengembalian kepada Pihak Ketiga Yang Sah
Pasal 33
ABMA/T dikembalikan kepada pihak yang sah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht) .
Pasal 34
Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan pengembalian ABMA/T kepada pihak yang sah dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
ABMA/T Dinyatakan Selesai Karena Keadaan Tertentu
Pasal 35
ABMA/T dapat dinyatakan selesai karena keadaan tertentu, meliputi:
tidak ditemukan;
hilang atau musnah akibat bencana alam _(force majeur); _ dan/ a tau c. sebelum berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008, telah:
dipertukarkan dengan aset milik Pihak Ketiga oleh Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah;
dilakukan pemindahtanganan a tau dikem balikan kepada Pihak Ketiga oleh Kementerian/ Lembaga atau Pemerintah Daerah;
dikembalikan kepada pemilik perorangan yang sah dengan persetujuan Menteri; atau
dilepaskan penguasaannya kepada Pihak Ketiga dengan cara pembayaran kompensasi dengan persetujuan Menteri.
ABMA/T dinyatakan selesai karena keadaan tertentu se bagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terle bih dahulu mendapatkan reviu oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah .
Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan surat keterangan bahwa ABMA/T dinyatakan selesai karena keadaan tertentu.
Surat keterangan Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menjadi dasar dilakukannya pemutakhiran data ABMA/T. BABV ABMA/T YANG DIKUASAI OLEH PIHAK KETIGA
Pasal 36
Terhadap ABMA/T yang telah bersertipikat atas nama Pihak Ketiga, Direktur J enderal melakukan upaya penyelesaian ABMA/T melalui musyawarah dengan Pihak Ketiga.
Dalam hal upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, Direktur Jenderal meminta kepada instasi yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pertanahan untuk melakukan pemblokiran sertipikat atas ABMA/T sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setelah dilakukan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaian ABMA/T dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, melalui upaya hukum :
di luar lembaga peradilan; dan/atau
melalui lembaga peradilan.
BAB VI
PENATAUSAHAAN DAN PEMUTAKHIRAN DATA ABMA/T
Pasal 37
Direktur melakukan penatausahaan ABMA/T yang meliputi kegiatan:
pembukuan;
inventarisasi; dan
pelaporan.
Pembukuan sebagaimana dimaksud pada .ayat (1) huruf a merupakan kegiatan pencatatan ABMA/T yang dilakukan setiap ada pemutakhiran data.
Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan penelitian lapangan terhadap ABMA/Tyang dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun .
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan penyampaian laporan perkembangan penyelesaian ABMA/T yang dibuat setiap semester sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat.
Pasal 38
Pemutakhiran data dilakukan oleh Direktur dalam hal terdapat:
perubahan status terkini ABMA/T; dan/atau
penyelesaian ABMA/T.
Perubahan status terkini ABMA/T sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berdasarkan usulan dari Tim Asistensi Daerah dan/atau hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b.
Status terkini ABMA/T sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi tetapi tidak terbatas pada adanya perubahan atas:
nama;
lokasi;
tahun dikuasai;
kondisi fisik, antara lain perubahan luas tanah dan/atau bangunan; dan/atau
posisi hukum.
BAB VII
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN EVALUASI
Pasal 39
Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi atas penyelesaian ABMA/T .
Ketentuan pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi atas penyelesaian ABMA/T diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Penyelesaian ABMA/T yang telah selesai dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap sah.
Penetapan besaran kompensasi yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.06/2015 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa, dinyatakan tetap berlaku .
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.06/2015 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.06/2015 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa, harus disesuaikan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
Pasal 41
Pihak Ketiga yang telah mendapat persetujuan pembayaran kpmpensasi sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.06/2015 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa dan tidak memenuhi jangka waktu pembayaran yang ditetapkan, dapat mengajukan permohonan baru paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan .
Permohonan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pembayaran kompensasi yang telah dilakukan sebelumnya oleh Pihak Ketiga berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat I t__ di per hi tungkan sebagai bagian dari pelunasan kompensasi berdasarkan persetujuan baru yang ditetapkan .
Dalam hal Pihak Ketiga tidak mengajukan permohonan baru dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal dan/atau pembayaran kompensasi yang telah dilakukan sebelumnya tidak dapat dikembalikan .
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.06/2015 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing / Tionghoa, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis penyelesaian ABMA/T diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 44
Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Mei 2020 MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Juni 2020 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 553