bahwa agar pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapat berjalan
lebih efektif dan efisien, maka dipandang perlu menetapkan
ketentuan-ketentuan mengenai Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2000
tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; Undang-Undang Perbendaharaan Indonesia (Indische
Comptabiliteitswet, Staatsblad 1925 Nomor 448) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan <a class="link-peraturan" href="/dok/uu-9-tahun-1968" target="a_blank">Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968</a> (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
yang telah ditetapkan dengan undang-undang dirinci lebih lanjut ke dalam bagian
anggaran dengan Keputusan Presiden. (2) Bagian anggaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dirinci sebagai berikut : anggaran pendapatan dirinci ke dalam unit
organisasi dan jenis pendapatan; anggaran belanja dirinci ke dalam unit
organisasi, kegiatan/ proyek dan jenis belanja.
Pasal 4
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
mengatur penyediaan uang dan penyaluran dana untuk membiayai anggaran belanja
negara sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 5
Menteri/pimpinan lembaga yang menguasai
bagian anggaran mempunyai kewenangan otorisasi dan bertanggungjawab atas
penggunaan anggaran di lingkungan departemen/lembaga yang dipimpinnya. (2) Dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, departemen/lembaga membuat dokumen anggaran berupa surat
keputusan otorisasi (SKO) atau dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan
sebagai SKO. (3) Dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO antara lain untuk : pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
rutin dimuat dalam daftar isian kegiatan (DIK); pelaksanaan belanja pembangunan dimuat
dalam daftar isian proyek (DIP). (4) Menteri/pimpinan lembaga pada setiap awal
tahun anggaran menetapkan pejabat yang diberi wewenang sebagai : penandatangan SKO; atasan langsung bendaharawan; bendaharawan.
Pejabat yang diberi wewenang sebagaimana
tersebut dalam ayat (4) dilarang merangkap jabatan dimaksud.
Pasal 6
Menteri Keuangan mempunyai kewenangan
otorisasi atas penguasaan bagian anggaran diluar bagian anggaran departemen/
lembaga. (2) Tata cara pengelolaan bagian anggaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Pasal 7
Pendapatan negara pada departemen/lembaga
wajib disetor sepenuhnya dan pada waktunya ke rekening Kas Negara. (2) Pendapatan negara dibukukan menurut
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (3) Pendapatan negara dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan disetor sepenuhnya dan pada
waktunya ke rekening Kas Negara.
Pasal 8
Departemen/lembaga wajib : mengadakan intensifikasi pemungutan
pendapatan negara yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya; mengintensifkan penagihan dan pemungutan
piutang negara; melakukan penuntutan dan pemungutan ganti
rugi atas kerugian negara; mengintensifkan pemungutan sewa penggunaan
barang-barang milik negara; melakukan penuntutan dan pemungutan denda
yang telah diperjanjikan; mengenakan sanksi atas kelalaian pembayaran
piutang negara tersebut di atas. (2) Pemerintah daerah membantu pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 9
Barang tidak bergerak milik negara yang
sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi secara optimal dan efisien untuk menunjang
tugas pokok dan fungsi departemen/lembaga, dapat dimanfaatkan dengan cara
dipinjamkan, disewakan, bangun guna serah dan kerjasama pemanfaatan atau dapat
dihapus dengan tindak lanjut dijual, dipertukarkan, dihibahkan, dijadikan
penyertaan modal negara dan dimusnahkan dengan ketentuan sebagai berikut : untuk barang tidak bergerak milik Negara
yang bernilai diatas Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), berdasarkan
persetujuan tertulis dari Presiden atas usul Menteri Keuangan; untuk barang tidak bergerak milik Negara
yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah),
berdasarkan keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis Menteri Keuangan. (2) Barang bergerak milik negara yang
berlebih atau tidak dapat dipergunakan lagi hanya dapat dihapus dengan cara
dimusnah-kan/dipindahtangankan dengan keputusan menteri/pimpinan lembaga yang
bersangkutan, kecuali kendaraan bermotor dan atau barang yang bernilai ekonomis
tinggi terlebih dahulu dengan persetujuan tertulis Menteri Keuangan. (3) Dalam hal barang-barang yang karena
peraturan perundang-undangan yang berlaku dikuasai oleh negara atau menjadi
milik negara tidak dapat dimanfaatkan dan tidak laku dijual, dapat dimusnahkan
dengan persetujuan tertulis Menteri Keuangan. (4) Semua biaya yang timbul sebagai akibat
dari pemusnahan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditanggung oleh
negara. (5) Menteri Keuangan dapat menunjuk
departemen/lembaga untuk memanfaatkan barang-barang yang dikuasai oleh negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (6) Apabila departemen/lembaga akan menjual/memindahtangankan
barang-barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis Menteri Keuangan. (7) Tata cara sebagaimana dimaksud dalam ayat
, (2), (3), (5), dan (6) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. (8) Penjualan barang milik negara dilakukan
melalui Kantor Lelang Negara, kecuali untuk barang milik negara yang telah
diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri. (9) Hasil penjualan, selisih tukar menukar,
penyewaan, bangun guna serah dan kerjasama pemanfaatan barang milik negara
merupakan pendapatan negara yang harus disetor seluruhnya ke Rekening Kas
Negara. (10) Pinjam meminjam barang milik negara
hanya dapat dilaksanakan antar instansi pemerintah, sepanjang tidak mengganggu
kelancaran pelaksanaan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan.
Pasal 10
Jumlah dana yang dimuat dalam anggaran
belanja negara merupakan batas tertinggi untuk tiap-tiap pengeluaran. (2) Pimpinan dan atau pejabat departemen/lembaga/pemerintah
daerah tidak diperkenankan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
atas beban anggaran belanja negara, jika dana untuk membiayai tindakan tersebut
tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam anggaran belanja negara. (3) Pimpinan dan atau pejabat departemen/lembaga/pemerintah
daerah tidak diperkenankan melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja
negara untuk tujuan lain dari yang ditetapkan dalam anggaran belanja negara. (4) Dalam penyediaan anggaran belanja negara
diutamakan untuk penyediaan belanja operasional dan pemeliharaan atas barang
milik negara.
Pasal 11
Belanja atas beban anggaran belanja
negara didasarkan pada SKO atau dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan
sebagai SKO. (2) SKO atau dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO yang dananya bersumber dari dalam negeri dan atau luar
negeri berlaku selama 1 (satu) tahun anggaran. (3) SKO atau dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO merupakan dasar pencairan dana oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN).
Pasal 12
Pelaksanaan anggaran belanja negara
didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut : hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai
dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan; efektif, terarah dan terkendali sesuai
dengan rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap departemen/lembaga/
pemerintah daerah; mengutamakan penggunaan produksi dalam
negeri. (2) Belanja atas beban anggaran belanja
negara dilakukan berdasarkan atas hak dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh
pembayaran. (3) Tata cara pengeluaran dan pembayaran
dalam pelaksanaan anggaran belanja negara diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Pasal 13
Atas beban anggaran belanja negara tidak
diperkenankan melakukan pengeluaran untuk keperluan : perayaan atau peringatan hari besar, hari
raya dan hari ulang tahun departemen/ lembaga/pemerintah daerah; pemberian ucapan selamat, hadiah/tanda mata,
karangan bunga, dan sebagainya untuk berbagai peristiwa; pesta untuk berbagai peristiwa dan pekan
olah raga pada departemen/lembaga/ pemerintah daerah; pengeluaran lain-lain untuk kegiatan/keperluan
yang sejenis serupa dengan yang tersebut di atas. (2) Penyelenggaraan rapat, rapat dinas,
seminar, pertemuan, lokakarya, peresmian kantor/proyek dan sejenisnya, dibatasi
pada hal-hal yang sangat penting dan dilakukan sesederhana mungkin.
Pasal 14
Dalam melaksanakan belanja negara
dilakukan standardisasi komponen kegiatan termasuk harga satuannya. (2) Standardisasi harga satuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk menyusun pembiayaan kegiatan-kegiatan
yang diusulkan dalam dokumen anggaran. (3) Dalam penyusunan standardisasi harga
satuan, sedapat mungkin menggunakan data dasar yang bersumber dari penerbitan
resmi Badan Pusat Statistik, departemen/lembaga, dan pemerintah daerah. (4) Penetapan standardisasi perlu dilakukan
secara berkala oleh : Menteri Keuangan dengan memperhatikan
pertimbangan menteri/pimpinan lembaga terkait untuk standardisasi harga satuan
umum, satuan biaya langsung personil dan non personil untuk kegiatan jasa
konsultasi; Menteri/pimpinan lembaga untuk
standardisasi harga satuan pokok kegiatan departemen/lembaga yang bersangkutan; Gubernur/bupati/walikota dengan
memperhatikan pertim-bangan dari instansi terkait untuk standardisasi harga
satuan pokok kegiatan daerah provinsi/kabupaten/kota yang ber-sangkutan; Bupati/walikota untuk standardisasi harga
satuan bangunan gedung negara untuk keperluan dinas seperti kantor, rumah
dinas, gudang, gedung rumah sakit, gedung sekolah, pagar dan bangunan fisik
lainnya.
Pasal 15
Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam
rangka pelaksanaan APBN diatur dengan Keputusan Presiden tersendiri.
Pasal 16
Perjanjian/kontrak pelaksanaan pekerjaan
untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran atas beban anggaran dilakukan
setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (2) Perjanjian/kontrak yang dibiayai sebagian
atau seluruhnya dengan pinjaman/hibah luar negeri untuk masa lebih dari 1 (satu)
tahun anggaran tidak memerlukan persetujuan Menteri Keuangan. (3) Perjanjian/kontrak yang dibiayai sebagian
maupun seluruhnya dengan pinjaman/hibah luar negeri untuk masa pelaksanaan
pekerjaan melebihi 1 (satu) tahun anggaran, maka di dalam perjanjian/kontrak
tersebut harus mencantumkan tahun anggaran pembebanan dana. (4) Perjanjian/kontrak dalam bentuk valuta
asing tidak dapat diubah dalam bentuk rupiah dan sebaliknya kontrak dalam bentuk
rupiah tidak dapat diubah dalam bentuk valuta asing. (5) Perjanjian/kontrak dalam bentuk valuta
asing tidak dapat membebani dana rupiah murni. (6) Perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang
dan jasa di dalam negeri tidak dapat dilakukan dalam bentuk valuta asing. (7) Perjanjian/kontrak dengan dana kredit
ekspor yang sudah ditandatangani tidak dapat dilaksanakan apabila naskah
perjanjian pinjaman luar negeri (NPPLN) belum ditandatangani. (8) Pengecualian terhadap ketentuan ayat (4),
dan (6) harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal Anggaran.
BAB II
PEDOMAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN
Pasal 17
Departemen/lembaga menetapkan kebijakan
untuk mengintensif-kan pelaksanaan pungutan yang telah ditetapkan dalam
undang-undang dan peraturan pemerintah. (2) Departemen/lembaga tidak diperkenankan
mengadakan pungutan dan atau tambahan pungutan yang tidak tercantum dalam
undang-undang dan atau peraturan pemerintah.
Pasal 18
Dalam rangka meningkatkan pendapatan
negara, departemen/ lembaga, pemerintah daerah, kantor/ satuan kerja, proyek/bagian
proyek dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
menyampaikan bahan-bahan keterangan untuk keperluan perpajakan kepada Menteri
Keuangan untuk perhatian Direktur Jenderal Pajak. (2) Setiap instansi pemerintah, pemerintah
daerah, Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, bendaharawan dan
badan-badan lain yang melakukan pembayaran atas beban APBN/APBD/ anggaran BUMN/BUMD,
ditetapkan sebagai wajib pungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19
Menteri/pimpinan departemen/lembaga
berkewajiban mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak meliputi sumber daya
alam, bagian pemerintah atas laba BUMN dan penerimaan negara bukan pajak lainnya. (2) Atas pemanfaatan barang milik negara oleh
pihak ketiga wajib dipungut sewa. (3) Menteri/pimpinan lembaga berkewajiban
mengintensifkan penerimaan sewa barang milik negara yang dipergunakan oleh pihak
ketiga. (4) Penghuni rumah negara dikenakan
pembayaran sewa. (5) Besaran tarif dan prosedur pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3), dan (4) ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 20
Orang atau badan yang melakukan
pemungutan atau penerimaan uang negara wajib menyetor seluruh penerimaan dalam
waktu 1 (satu) hari kerja setelah penerimaannya ke rekening Kas Negara pada bank
pemerintah, atau lembaga lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (2) Bendaharawan penerima/penyetor berkala
wajib menyetor/ melimpahkan seluruh penerimaan negara yang telah dipungutnya ke
rekening Kas Negara sekurang-kurangnya sekali seminggu. (3) Setiap bendaharawan, instansi pemerintah,
pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan badan-badan lain, sebagai wajib pungut pajak,
wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang dipungutnya dalam jangka waktu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 21
Kelalaian atau kelambatan penyetoran
penerimaan negara ke rekening Kas Negara diperhitungkan dengan dana yang
tersedia dalam dokumen anggaran pada departemen/lembaga/pemerintah daerah yang
bersangkutan. (2) Bendaharawan penerima/penyetor berkala
dilarang menyimpan uang dalam penguasaannya: lebih dari batas waktu yang telah
ditetapkan dalam Pasal 20; atas nama pribadi pada suatu bank atau
lembaga keuangan lainnya.
BAB III
PEDOMAN PELAKSANAAN PENGELUARAN RUTIN
Pasal 22
Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab
atas pelaksanaan pengeluaran rutin di lingkungan departemen/ lembaga yang
dipimpinnya.
Pasal 23
Untuk pelaksanaan pengeluaran rutin,
departemen/lembaga membuat DIK atau dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan
sebagai SKO sesuai dengan contoh dan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. (2) DIK atau dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO setelah dibahas Departemen Keuangan dengan departemen/
lembaga, ditandatangani oleh : Sekretaris Jenderal atau pejabat lain yang
ditunjuk atas nama menteri/pimpinan lembaga untuk DIK yang dibuat di Pusat; Kepala Kantor Wilayah Departemen/lembaga
atau pejabat yang ditunjuk atas nama menteri/pimpinan lembaga untuk DIK yang
dibuat di daerah. (3) DIK atau dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO berlaku sebagai dasar pelaksanaan pengeluaran rutin
setelah mendapat pengesahan dari : Direktur Jenderal Anggaran atas nama
Menteri Keuangan untuk DIK yang dibuat di Pusat; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran atas nama Menteri Keuangan untuk DIK yang dibuat di daerah. (4) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan
DIK atau dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang telah
disahkan kepada : Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan; Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP); Kepala Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN); Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA)
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran; dan Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN). (5) Menteri/pimpinan lembaga menyampaikan DIK
yang telah disahkan kepada : Direktorat Jenderal/unit eselon I dan
kantor/satuan kerja; dan Inspektorat Jenderal departemen/unit
pengawasan pada lembaga. (6) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran menyampaikan DIK yang telah disahkan kepada : Menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan; Direktur Jenderal Anggaran; Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA),
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala kantor wilayah/perwakilan departemen/lembaga
yang bersangkutan; Kepala Perwakilan Badan Perbendaharaan dan
Kas Negara (BPKP); Ketua Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN); dan Kepala Kantor Akuntansi Regional (Kepala
KAR);
Pasal 24
Berdasarkan DIK yang telah disahkan
disusun Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) oleh : Pejabat eselon I atau pejabat yang ditunjuk
pada Departemen/ Lembaga/instansi/ kantor/satuan kerja untuk DIK yang dibuat
di Pusat; Kepala Kantor Wilayah Departemen/lembaga
atau pejabat yang ditunjuk untuk DIK yang dibuat di daerah. (2) Departemen/lembaga menyampaikan juklak
DIK yang dibuat di pusat kepada kepala kantor/satuan kerja yang bersangkutan. (3) Kepala Kantor Wilayah Departemen/lembaga
atau pejabat lain yang ditunjuk menyampaikan juklak DIK yang dibuat di daerah
kepada kepala kantor/satuan kerja yang bersangkutan.
Pasal 25
Menteri/pimpinan lembaga atau pejabat
lain yang ditunjuk menetapkan bendaharawan rutin untuk DIK atau dokumen anggaran
lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang dibuat di pusat. (2) Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga,
atas nama menteri/ pimpinan lembaga menetapkan bendaharawan rutin untuk DIK atau
dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang dibuat di daerah. (3) Kepala kantor/satuan kerja bertanggung
jawab, baik dari segi fisik maupun keuangan atas pelaksanaan kegiatan kantor/satuan
kerja yang dipimpinnya sebagaimana tersebut dalam DIK yang bersangkutan.
Pasal 26
Perubahan/pergeseran biaya dalam satu
program dalam satu dan atau antar DIK instansi pusat departemen/lembaga
diputuskan oleh Direktur Jenderal Anggaran berdasarkan usulan Sekretaris
Jenderal atau pejabat eselon I yang ditunjuk. (2) Perubahan/pergeseran biaya dalam satu
program dalam satu dan atau antar-DIK instansi vertikal departemen/lembaga
diputuskan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran berdasarkan
usulan : Kepala kantor/satuan kerja bersangkutan
apabila meliputi satu kantor/satuan kerja; Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga/direktorat
jenderal yang bersangkutan apabila meliputi lebih dari satu kantor/satuan
kerja. (3) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan
keputusan perubahan/pergeseran DIK kepada : Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP); Kepala Badan Akuntansi Keuangan (BAKUN); Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA),
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga/direktorat
jenderal yang bersangkutan; Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN); dan Kepala kantor/satuan kerja yang
bersangkutan. (4) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran menyampaikan keputusan perubahan/ pergeseran DIK kepada : Direktur Jenderal Anggaran; Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA),
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP); Ketua Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK): Kepala kantor wilayah departemen/lembaga/direktorat
jenderal yang bersangkutan; Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN); Kepala Kantor akuntansi Regional (Kantor
KAR); dan Kepala kantor/satuan kerja yang
bersangkutan.
Pasal 27
Perubahan/pergeseran biaya antar program
dalam satu subsektor dan atau dalam satu atau antar DIK kantor/satuan kerja
tingkat pusat departemen/lembaga diputuskan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
usulan departemen/lembaga yang bersangkutan. (2) Keputusan terhadap usul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 2 (dua) minggu setelah diterima
usul tersebut beserta bahan-bahannya secara lengkap. (3) Perubahan/pergeseran biaya tidak dapat
dilakukan dari : Biaya untuk gaji dan tunjangan beras ke
biaya lainnya dalam Belanja Pegawai; Belanja pegawai ke belanja non pegawai; Dana yang disediakan untuk pengeluaran
rutin Perwakilan Republik Indonesia termasuk perwakilan departemen/lembaga di
luar negeri untuk keperluan pembiayaan kegiatan kantor/ satuan kerja di dalam
negeri. (4) Peninjauan kembali ketentuan dalam ayat
dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 28
Departemen/lembaga pada tiap awal tahun
anggaran, menyusun daftar susunan kekuatan pegawai (formasi) bagi tiap
unit organisasi sampai pada tiap kantor/satuan kerja dan menyampaikan formasi
tersebut kepada menteri yang membidangi pendayagunaan aparatur negara paling
lambat 1 (satu) bulan setelah berlakunya tahun anggaran. (2) Formasi tersebut disahkan oleh menteri
yang membidangi pendayagunaan aparatur negara paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan dan dalam hal menyangkut formasi
pegawai di luar negeri, setelah mendengar pula pertimbangan Menteri Luar Negeri. (3) Formasi yang telah disahkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh menteri yang membidangi pendayagunaan
aparatur negara kepada menteri/pimpinan lembaga dan Menteri Keuangan sebagai
bahan perencanaan pengeluaran rutin paling lambat 4 (empat) bulan setelah
berlakunya tahun anggaran. (4) Pengadaan pegawai hanya diperkenankan
dalam batas formasi yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat
dengan memberikan prioritas kepada : pegawai pelimpahan dari departemen/lembaga
yang kelebihan pegawai; siswa/mahasiswa ikatan dinas, setelah lulus
dari pendidikannya; pegawai tidak tetap (PTT) yang telah
menyelesaikan masa baktinya dengan baik. (5) Pengadaan pegawai dalam batas formasi
yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (6) Kenaikan pangkat pegawai dalam batas
formasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan dengan ketentuan
kenaikan pangkat sampai dengan golongan IV/a dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan lebih dahulu dari Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN). (7) Paling lambat 1 (satu) bulan setelah
berlakunya tahun anggaran menteri/pimpinan lembaga telah menetapkan/menetapkan
kembali pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani surat keputusan
kepegawaian. (8) Salinan surat keputusan penetapan/penetapan
kembali sebagai-mana dimaksud pada ayat (7) beserta contoh (spesimen)
tanda tangan pejabat yang diberi wewenang segera dikirimkan kepada Badan
Kepegawaian Negara (BKN) dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, dan dalam hal
tidak ada perubahan, penetapan kembali pejabat tersebut dapat dilakukan dengan
surat pemberitahuan oleh Menteri/pimpinan Lembaga yang bersangkutan. (9) Pegawai Negeri Sipil Pusat yang
diperbantukan pada daerah, perusahaan atau badan yang anggarannya tidak dibiayai
atau sebagian dibiayai dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, menjadi
beban pemerintah daerah/perusahaan/badan bersangkutan. (10) Perbantuan pegawai negeri sipil untuk
tugas-tugas di luar pemerintahan dengan membebani anggaran belanja negara tidak
diperkenankan, kecuali dengan izin menteri yang membidangi pendayagunaan
aparatur negara dan Menteri Keuangan yang sekaligus menetapkan batas lamanya
perbantuan tersebut. (11) Selama perbantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) dan ayat (10), formasi bagi pegawai tersebut tidak boleh diisi,
dan setelah perbantuan berakhir, pegawai yang bersangkutan ditempatkan kembali
pada departemen/lembaga asalnya. (12) Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN)
hanya diperkenankan melakukan pembayaran upah pegawai harian/tenaga honorer,
apabila untuk keperluan tersebut telah tersedia dananya dalam DIK/SKO
bersangkutan. (13) Pembayaran penghasilan pejabat negara,
Pegawai Negeri Sipil dan anggota Tentara Nasional lndonesia dan Kepolisian
Republik Indonesia serta pensiunan dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah. (14) Penghasilan pegawai yang ditempatkan di
luar negeri diatur dengan Keputusan Presiden. (15) Penghasilan sebagaimana pada ayat (12),
, dan (14) di atas tidak diperkenankan pemotongan untuk keperluan apapun
kecuali atas persetujuan pejabat/pegawai/penerima pensiun yang bersangkutan.
Pasal 29
Kenaikan gaji berkala dilakukan dengan
penerbitan surat pemberitahuan oleh kepala kantor/satuan kerja setempat atas
nama pejabat yang berwenang. (2) Keputusan kenaikan gaji berkala tidak
dapat berlaku surut lebih dari 2 (dua) tahun. (3) Penundaan kenaikan gaji berkala
ditetapkan dengan surat keputusan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (7).
Pasal 30
Pegawai Negeri Sipil/Anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia/penerima pensiun beserta
keluarganya diberikan tunjangan beras dalam bentuk uang. (2) Tunjangan beras untuk keluarga tidak
diberikan rangkap. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Menteri Keuangan atas usul menteri/pimpinan lembaga
pemerintah non departemen yang bersangkutan. (4) Menteri Keuangan menetapkan harga beras
sebagai dasar pemberian tunjangan pangan dalam bentuk uang dan mengatur lebih
lanjut pelaksanaannya.
Pasal 31
Tunjangan anak dan tunjangan beras untuk
anak dibatasi untuk 2 (dua) orang anak. (2) Dalam hal pegawai/pensiunan pada tanggal
1 Maret 1994 telah memperoleh tunjangan anak dan tunjangan beras untuk lebih
dari 2 (dua) orang anak, kepadanya tetap diberikan tunjangan untuk jumlah
menurut keadaan pada tanggal tersebut. (3) Apabila setelah tanggal tersebut jumlah
anak yang memperoleh tunjangan anak berkurang karena menjadi dewasa, kawin atau
meninggal, pengurangan tersebut tidak dapat diganti, kecuali jumlah anak menjadi
kurang dari 2 (dua).
Pasal 32
Pelaksanaan belanja barang dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33
Pejabat yang berwenang wajib membatasi
pelaksanaan perjalanan dinas untuk hal-hal yang mempunyai prioritas tinggi dan
penting dengan mengurangi frekuensi, jumlah orang dan lamanya perjalanan. (2) Perjalanan dinas luar negeri terlebih
dahulu memerlukan izin Presiden atau pejabat yang ditunjuk. (3) Permohonan izin perjalanan dinas ke luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan paling lambat 1 (satu) minggu
sebelum keberangkatan yang direncanakan, dan harus dilengkapi dengan: penjelasan mengenai urgensi/alasan
perjalanan dan rincian programnya dengan menyertakan undangan, konfirmasi, dan
dokumen yang berkaitan; izin tertulis dari instansi bersangkutan
apabila seorang pejabat diajukan instansi lain; pernyataan atas biaya anggaran instansi
mana perjalanan dinas tersebut akan dibebankan. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), yaitu: perjalanan dinas pegawai yang ditempatkan
di luar negeri dan dipanggil kembali dari luar negeri; perjalanan dinas pegawai antar tempat di
luar negeri. (5) Izin perjalanan dinas sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b adalah wewenang Menteri Luar Negeri serta Kepala
Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan, dan diberikan apabila
pembiayaan untuk keperluan tersebut telah tersedia dalam DIK bersangkutan. (6) Perjalanan dinas dilaksanakan dengan
mengutamakan perusahaan penerbangan nasional atau perusahaan pengangkutan
nasional lainnya. (7) Pegawai negeri yang karena jabatannya
harus melakukan perjalanan dinas tetap dalam daerah jabatannya, diberikan
tunjangan perjalanan tetap. (8) Biaya perjalanan dinas dibayarkan dalam 1
(satu) jumlah (lumsum) kepada pejabat/pegawai yang diperintahkan untuk
melakukan perjalanan dinas. (9) Menteri Keuangan mengatur lebih lanjut
pedoman dan ketentuan pelaksanaan perjalanan dinas.
Pasal 34
Pegawai yang dipindahkan dapat diberikan
uang pesangon kecuali di tempat yang baru mendapat perumahan. (2) Pegawai yang dipindahkan/ditempatkan pada
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebelum mendapatkan perumahan
diizinkan tinggal di hotel, tidak termasuk makan, untuk waktu paling lama 2 (dua)
bulan. (3) Menteri Keuangan mengatur lebih lanjut
pedoman dan ketentuan pelaksanaan mengenai pemberian uang pesangon pindah.
Pasal 35
Pembukaan dan atau peningkatan Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
Presiden. (2) Pembukaan perwakilan departemen/lembaga
di luar negeri hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan menteri yang
berwenang dalam bidang pendayagunaan aparatur negara, Menteri Luar Negeri dan
Menteri Keuangan.
Pasal 36
Setiap perubahan/penyempurnaan organisasi
dan atau pem-bentukan kantor/satuan kerja dalam lingkungan departemen/ lembaga
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis menteri yang berwenang di
bidang pendayagunaan aparatur negara. (2) Biaya sehubungan dengan pelaksanaan
perubahan/ penyem-purnaan organisasi departemen/lembaga dan atau pembentukan
kantor/satuan kerja dalam lingkungan departemen/lembaga yang mengakibatkan
pergeseran anggaran/revisi dari departemen/ lembaga tersebut, harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
BAB IV
PEDOMAN PELAKSANAAN PENGELUARAN
PEMBANGUNAN
Pasal 37
Menteri/pimpinan lembaga bertanggung
jawab atas pelaksanaan pengeluaran pembangunan di lingkungan departemen/lembaga
yang dipimpinnya. (2) Untuk melaksanakan program pembangunan
yang bersifat lintas sektor/departemen/lembaga ditunjuk koordinator diantara
departemen/lembaga yang bersangkutan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Pasal 38
Untuk pelaksanaan pengeluaran pembangunan,
departemen/ lembaga/instansi vertikal/pemerintah daerah membuat DIP atau dokumen
anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO sesuai dengan contoh dan petunjuk
teknis yang ditetapkan Menteri Keuangan. (2) DlP atau dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO setelah dibahas Departemen Keuangan dengan departemen/
lembaga/ instansi vertikal/dinas propinsi, ditandatangani oleh : Sekretaris Jenderal atau pejabat lain yang
ditunjuk atas nama menteri/pimpinan lembaga untuk yang dibuat di pusat; Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga/gubernur
atau pejabat lain yang ditunjuk atas nama menteri/pimpinan lembaga untuk yang
dibuat di daerah. (3) DIP atau dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO berlaku sebagai dasar pelaksanaan pengeluaran
pembangunan setelah mendapat pengesahan dari : Direktur Jenderal Anggaran atas nama
Menteri Keuangan untuk DIP yang dibuat di pusat; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran atas nama Menteri Keuangan untuk DIP yang dibuat di daerah. (4) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan
DIP atau dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO dan dibuat di
pusat dan telah disahkan kepada : Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan; Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas); Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP); Kepala Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN); Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA),
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran; Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN); dan Pemimpin proyek yang bersangkutan.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran menyampaikan DIP atau dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan
sebagai SKO yang dibuat di daerah kepada : Menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan; Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas); Direktur Jenderal Anggaran; Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA),
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP); Ketua Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN); Kepala Kantor Akuntansi Regional (Kantor
KAR);dan Pemimpin proyek yang bersangkutan;
Departemen/lembaga menyampaikan DIP atau
dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang dibuat di pusat dan
di daerah yang telah disahkan kepada : Direktorat Jenderal/unit eselon I proyek
yang bersangkutan; Inspektorat Jenderal departemen/unit
pengawasan pada lembaga; Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 39
Berdasarkan DIP atau dokumen anggaran
lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang telah disahkan disusun petunjuk
operasional (PO) oleh : Pejabat eselon I atau pejabat lain
dibawahnya yang ditunjuk pada departemen/ lembaga yang membawahkan proyek yang
bersangkutan untuk DIP yang dibuat di pusat; Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga/gubernur
atau pejabat yang ditunjuk membawahkan proyek untuk DIP yang dibuat di daerah. (2) Departemen/lembaga menyampaikan PO
proyek-proyek yang dibuat di pusat kepada : Direktur Jenderal Anggaran; dan Pemimpin proyek yang bersangkutan.
Kepala kantor wilayah departemen/lembaga/gubernur
atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan PO proyek-proyek yang dibuat di daerah
kepada : Menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran; dan Pemimpin proyek yang bersangkutan.
Pasal 40
Menteri/pimpinan lembaga atau pejabat
lain yang ditunjuk menetapkan pemimpin dan bendaharawan proyek untuk DIP atau
dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang dibuat di pusat. (2) Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga/gubernur
atau pejabat yang ditunjuk atas nama menteri/pimpinan lembaga, menetapkan
pemimpin proyek dan bendaharawan proyek untuk DIP atau dokumen anggaran lainnya
yang diberlakukan sebagai SKO yang dibuat di daerah. (3) Bila dipandang perlu pemimpin proyek dan
bendaharawan proyek dapat dibantu oleh pemimpin bagian proyek dan bendaharawan
bagian proyek sepanjang lokasi proyek tersebar di beberapa kabupaten/kota. (4) Pejabat eselon I dan eselon II serta
Kepala Kantor/Dinas/ Desa/ Satuan kerja tidak diperkenankan ditunjuk sebagai
pemimpin proyek/bagian proyek dan atau bendaharawan. (5) Pemimpin dan bendaharawan proyek
berkedudukan di lokasi proyek atau di ibukota kabupaten/kota terdekat.
Pasal 41
Pemimpin proyek/bagian proyek bertanggung
jawab baik dari segi keuangan maupun dari segi fisik atas pelaksanaan proyek/bagian
proyek sebagaimana ditetapkan dalam DIP atau dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO.
Pasal 42
Kepada petugas proyek diberikan
honorarium. (2) Petugas proyek yang mengelola beberapa
proyek hanya berhak mendapat honorarium dari 1 (satu) proyek. (3) Besarnya honorarium petugas proyek
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (4) Biaya perjalanan dinas dan uang lembur
untuk kepentingan proyek diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43
Perubahan/pergeseran biaya dalam DIP atau
dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO diputuskan oleh: Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal
Anggaran berdasarkan usulan dari menteri/ pimpinan lembaga atau pejabat yang
ditunjuk, untuk yang dibuat di pusat. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran berdasar-kan usulan dari Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga/
gubernur atau pejabat yang ditunjuk, untuk yang dibuat di daerah. (2) Pergeseran biaya tidak dapat dilakukan : dari belanja modal ke belanja penunjang; dari belanja modal fisik ke belanja modal
non fisik. (3) Pengecualian ketentuan dalam ayat (2)
harus seijin Menteri Keuangan. (4) Keputusan perubahan DIP atau dokumen
anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang dibuat di pusat disampaikan
kepada : Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan; Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas); Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP); Kepala Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN); Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA),
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran; Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN); dan Pemimpin proyek yang bersangkutan.
Keputusan perubahan DIP atau dokumen
anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang dibuat di daerah disampaikan
kepada : Menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan; Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas); Direktur Jenderal Anggaran; Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA),
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP); Ketua Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN); Kepala Kantor Akuntansi Regional (Kantor
KAR); dan Pemimpin proyek yang bersangkutan.
Departemen/lembaga menyampaikan perubahan
DIP atau dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang disamakan
yang dibuat di pusat dan daerah yang telah disahkan kepada : Direktur Jenderal/unit eselon I proyek yang
bersangkutan; Inspektorat jenderal departemen/unit
pengawasan pada lembaga; Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 44
Berdasarkan revisi DIP atau dokumen
anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO yang telah disahkan disusun PO
oleh : pejabat eselon I/pejabat lain dibawahnya
yang ditunjuk pada departemen/lembaga yang membawahkan proyek bersangkutan
untuk DIP yang dibuat di pusat; Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga/gubernur
atau pejabat yang ditunjuk untuk proyek yang direvisi di daerah. (2) Departemen/lembaga menyampaikan revisi PO
proyek-proyek yang direvisi di pusat kepada : Direktur Jenderal Anggaran; dan Pemimpin proyek yang bersangkutan.
Kepala Kantor Wilayah departemen/lembaga/gubernur
atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan revisi PO proyek-proyek yang direvisi di
daerah kepada : Menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran; dan Pemimpin proyek yang bersangkutan.
Pasal 45
Dalam pengalokasian dana pembangunan agar
diutamakan penyediaan dana pendamping bagi proyek yang sebagian dananya
bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri. (2) Dana pinjaman/hibah luar negeri dan dana
pendamping termasuk uang muka harus dicantumkan dalam DIP atau dokumen anggaran
lainnya yang diberlakukan sebagai SKO. (3) Proyek yang dibiayai dengan dana kredit
ekspor dapat dilaksanakan setelah tersedia uang muka bagi proyek dimaksud. (4) Naskah perjanjian luar negeri untuk
kredit ekspor baru dapat ditandatangani apabila uang muka yang dibutuhkan telah
tersedia.
Pasal 46
Sisa pekerjaan berdasarkan surat
perjanjian/kontrak yang belum dibayar sampai dengan akhir tahun anggaran,
ditampung dalam DIP tahun anggaran berikutnya atas beban bagian anggaran
departemen/ lembaga bersangkutan. (2) Dalam hal sumber pembiayaan berasal dari
bantuan luar negeri, sisa pekerjaan berdasarkan SPK dan atau surat perjanjian/kontrak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari sisa dana bantuan luar negeri
yang bersangkutan.
Pasal 47
Dalam hal target/sasaran proyek telah
tercapai, sisa alokasi dana proyek yang bersumber dari pinjaman/ hibah luar
negeri tidak dapat dipergunakan lagi.
Pasal 48
Pemimpin proyek menyerahkan proyek yang
telah selesai dan seluruh kekayaan proyek kepada menteri/pimpinan lembaga atau
pejabat yang ditunjuk dengan berita acara penyerahan, yang tembusannya
disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Anggaran setempat. (2) Dalam pelaksanaan dekonsentrasi pemimpin
proyek menyerahkan proyek atau hasil pekerjaan tersebut dan seluruh kekayaan
proyek kepada menteri/pimpinan lembaga melalui gubernur dengan berita acara
penyerahan, yang tembusannya disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Anggaran. (3) Dalam pelaksanaan tugas pembantuan
pemimpin proyek menyerahkan proyek atau hasil pekerjaan tersebut dan seluruh
kekayaan proyek kepada menteri/pimpinan lembaga melalui gubernur/bupati/
walikota/kepala desa dengan berita acara penyerahan, yang tembusannya
disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran. (4) Menteri/pimpinan lembaga menentukan
status proyek yang telah selesai berikut kekayaannya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), (2), dan (3) dalam lingkungannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (5) Dalam hal hasil proyek tersebut pada ayat
akan diserahkan pemanfaatannya kepada pihak lain terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (6) Pembiayaan pengelolaan hasil proyek
diatur sebagai berikut : Departemen/lembaga wajib mengatur
penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan melalui anggaran pendapatan dan
belanja negara untuk hasil proyek yang menjadi tanggung jawabnya; Pemerintah daerah/desa wajib mengatur
penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan melalui anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk hasil proyek yang menjadi tanggung jawabnya; BUMN/BUMD/badan/instansi lainnya wajib
mengatur penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan melalui anggaran
belanja BUMN/BUMD/badan/instansi lainnya masing-masing untuk hasil proyek yang
menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 49
Gubernur/Bupati/Walikota mengumumkan
kepada masyarakat proyek-proyek pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah
masing-masing melalui media cetak setempat dan atau melalui media elektronik. (2) Gubernur/Bupati/Walikota dibantu oleh
masing-masing pemimpin proyek memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
proyek-proyek pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada dunia usaha
melalui asosiasi perusahaan di daerahnya masing-masing.
BAB V
PEDOMAN PELAKSANAAN
DANA PERIMBANGAN
Pasal 50
Dana perimbangan bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. (2) Dana perimbangan terdiri dari : Dana bagi hasil; Dana alokasi umum; dan Dana alokasi khusus.
Pasal 51
Pembagian dana perimbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) untuk masing-masing daerah ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Tata cara penyaluran dana perimbangan
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (3) Pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas
penggunaan dana perimbangan dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam
Negeri.
Pasal 52
Untuk keperluan penyaluran dana
perimbangan Menteri Keuangan menerbitkan SKO atau dokumen anggaran lainnya yang
diberlakukan sebagai SKO. (2) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan
SKO atau dokumen anggaran lainnya yang diberlakukan sebagai SKO kepada: Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Gubernur/Bupati/Walikota; Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah (PKPD ); Kepala Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN); Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP); Direktur Informasi dan Evaluasi Anggaran (DIEA),
Direktorat Jenderal Anggaran; Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran; dan Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
(KPKN).
Pasal 53
Dana perimbangan dapat diperhitungkan
langsung untuk disetor ke Rekening Kas Negara dalam hal pemerintah daerah tidak
memenuhi kewajiban pembayaran kepada pemerintah pusat. (2) Tata cara perhitungan, pemotongan dan
penyetoran sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri
Keuangan.
BAB VI
PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBIAYAAN DEFISIT
Pasal 54
Pembiayaan defisit diperoleh dari
pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar negeri bersih. (2) Pembiayaan dalam negeri adalah semua
pembiayaan yang berasal dari perbankan dan non perbankan dalam negeri yang
meliputi hasil privatisasi, penjualan obligasi dalam negeri, penjualan aset
pemerintah dalam rangka program restrukturisasi dan sumber lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pembiayaan luar negeri bersih adalah
semua pembiayaan yang berasal dari penarikan utang/pinjaman luar negeri
dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri tahun yang
bersangkutan.
Pasal 55
Pengelolaan pinjaman luar negeri
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pemerintah Pusat dapat menerus-pinjamkan
pinjaman luar negeri kepada pemerintah daerah atau BUMN. (3) Tata cara penerusan pinjaman luar negeri
kepada pemerintah daerah atau BUMN diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. (4) Tata cara penyaluran dan penatausahaan
pinjaman dan hibah luar negeri diatur oleh Menteri Keuangan.
BAB VII
PEDOMAN PELAKSANAAN ANGGARAN DALAM LINGKUNGAN
DEPARTEMEN PERTAHANAN DAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 56
Penyaluran pengeluaran rutin dan
pembangunan di lingkungan Departemen Pertahanan dan Kepolisian RI melalui
rekening kas negara pada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). (2) Tatacara penerimaan dan pengeluaran baik
rutin maupun pembangunan Departemen Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia
diatur bersama oleh Menteri Keuangan dengan Menteri Pertahanan atau Kepala
Kepolisian RI.
BAB VIII
PENATAUSAHAAN, PELAPORAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN
Pasal 57
Kepala kantor/satuan kerja/pimpinan
proyek/bagian proyek wajib menyelenggarakan pembukuan atas uang yang dikelolanya
dan penatausahaan barang yang dikuasainya, serta membuat laporan
pertanggungjawaban mengenai pengelolaan uang dan barang yang dikuasainya kepada
kepala instansi vertikal atasannya. (2) Disamping pembukuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/bagian proyek dan
bendaharawan untuk kegiatan yang bersifat fisik wajib menyelenggarakan
pencatatan secara tertib sehingga setiap saat dapat diketahui : keadaan/perkembangan fisik kegiatan/proyek; perbandingan antara rencana dan
pelaksanaannya; penggunaan dana bagi pengadaan barang/jasa; akumulasi pengeluaran untuk setiap bangunan
dalam pengerjaan. (3) Kepala Kantor Wilayah/instansi vertikal
di daerah wajib membuat laporan keuangan sebagai rekapitulasi pelaksanaan
anggaran dari kantor/satuan kerja/proyek/bagian proyek dalam wilayah kerjanya,
kepada pejabat eselon I yang bersangkutan.
Pasal 58
Pejabat eselon I sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 ayat (3) pada departemen/lembaga wajib: Menyelenggarakan pembukuan atas uang yang
dikelolanya dan menyelenggarakan penatausahaan barang serta membuat laporan
pertanggungjawaban mengenai pengelolaan uang dan barang yang dikuasainya; Membuat laporan keuangan gabungan yang
meliputi kantor unit eselon I yang bersangkutan dan kantor-kantor vertikal di
lingkungannya kepada menteri/pimpinan lembaga atasannya c.q. Sekretaris
Jenderal/pejabat yang setingkat.
Pasal 59
Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan laporan
realisasi triwulanan penggunaan dana perimbangan kepada Menteri Keuangan dan
Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Sekretaris Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah (DPOD) dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran
setempat.
Pasal 60
Menteri/pimpinan lembaga wajib
menyelenggarakan pertanggungjawaban penggunaan dana pada bagian anggaran yang
dikuasainya berupa laporan realisasi anggaran dan neraca departemen/lembaga
bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan. (2) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala
satuan kerja yang menggunakan dana bagian anggaran yang dikuasai Menteri
Keuangan wajib menyampaikan pertanggung-jawaban penggunaan dana kepada Menteri
Keuangan c.q. Kepala BAKUN.
Pasal 61
Tata cara pelaksanaan pembukuan, pelaporan
dan pertanggung-jawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, 58, 59, dan 60
diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 62
Dalam rangka intensifikasi penagihan dan
pemungutan piutang negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
departemen/lembaga wajib melakukan penatausahaan piutang negara yang menjadi
tanggung jawabnya. (2) Tata cara pelaksanaan penatausahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 63
Menteri Keuangan menyelenggarakan
penatausahaan utang-piutang negara yang timbul dalam rangka investasi dan
penyertaan modal negara pada BUMN dan badan-badan lainnya.
Pasal 64
Bank Indonesia atau bank pemerintah yang
ditunjuk sebagai Bank Tunggal dan Bank Operasional wajib menyampaikan kepada
Menteri Keuangan untuk perhatian Direktur Jenderal Anggaran dan Kepala BAKUN : Rekening koran Bendahara Umum Negara (BUN)
disertai nota debet dan kredit yang bersangkutan setiap hari; Rekening koran Direktur Jenderal Anggaran
setiap minggu disertai nota debet dan kredit yang bersangkutan setiap hari; Rekening koran untuk semua Rekening Khusus
disertai nota debet dan nota kredit setiap minggu; Tembusan rekening koran lainnya milik
pemerintah setiap minggu.
Pasal 65
Menteri Keuangan menyiapkan perhitungan
anggaran negara berdasarkan laporan keuangan departemen/ lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60.
Pasal 66
Pemimpin proyek di departemen/lembaga
menyampaikan laporan bulanan pelaksanaan proyek kepada menteri/pimpinan lembaga
dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran
selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah akhir bulan yang bersangkutan. (2) Pemimpin proyek pelaksanaan dekonsentrasi
menyampaikan laporan bulanan kepada gubernur dengan tembusan kepada Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran selambat-lambatnya 1 (satu) minggu
setelah akhir bulan yang bersangkutan. (3) Pemimpin proyek pelaksanaan tugas
pembantuan menyampaikan laporan bulanan pelaksanaan proyek kepada gubernur/bupati/
walikota selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah akhir bulan yang
bersangkutan. (4) Gubernur/bupati/walikota sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) menyampaikan rangkuman laporan konsolidasi
triwulanan mengenai proyek dekonsentrasi dan tugas pembantuan di wilayahnya
kepada menteri/pimpinan lembaga dengan tembusan kepada Kepala Bappenas dan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran selambat-lambatnya 2 (dua)
minggu setelah akhir bulan yang bersangkutan. (5) Menteri/pimpinan lembaga membuat
rangkuman laporan konsolidasi triwulanan mengenai seluruh proyek sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (4) kepada Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas
selambat-lambatnya 3 (tiga) minggu setelah berakhirnya triwulan yang
bersangkutan. (6) Perkembangan pelaksanaan anggaran dan
program pembangunan dilaporkan secara semesteran kepada Presiden dan Wakil
Presiden oleh Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas. (7) Ketentuan mengenai sistem pemantauan dan
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) diatur oleh
Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas.
Pasal 67
Setiap pegawai negeri karena kelalaian atau
kesengajaan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan- ketentuan dalam Keputusan
Presiden ini dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BAB IX
PENGAWASAN PELAKSANAAN ANGGARAN
Pasal 68
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran
rutin dilakukan sebagai berikut : Atasan kepala kantor/satuan kerja
menyelenggarakan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran yang dilakukan oleh
kepala kantor satuan kerja dalam lingkungannya; Atasan langsung bendaharawan melakukan
pemeriksaan kas bendaharawan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali; Kepala biro keuangan departemen/lembaga
mengadakan verifikasi terhadap Surat Perintah Membayar (SPM) mengenai kantor/satuan
kerja dalam lingkungan departemen/lembaga bersangkutan.
Pasal 69
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran
pembangunan dilakukan sebagai berikut : Atasan langsung pemimpin proyek/bagian
proyek menyelenggarakan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran yang
dilakukan oleh pemimpin proyek/bagian proyek yang bersangkutan; Pemimpin proyek/bagian proyek mengadakan
pemeriksaan kas bendaharawan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali; Kepala biro keuangan departemen/lembaga
melakukan verifikasi Surat Perintah Membayar (SPM) mengenai proyek dalam
lingkungan departemen/lembaga bersangkutan.
Pasal 70
Inspektur jenderal departemen/pimpinan
unit pengawasan pada lembaga melakukan pengawasan atas pelaksanaan anggaran
negara yang dilakukan oleh kantor/satuan kerja/proyek/bagian proyek dalam
lingkungan departemen/lembaga bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Hasil pemeriksaan inspektur jenderal
departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga tersebut disampaikan kepada
menteri/pimpinan lembaga yang membawahkan proyek yang bersangkutan dengan
tembusan disampaikan kepada Kepala BPKP.
Pasal 71
BPKP melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 72
Inspektur jenderal departemen/pimpinan unit
pengawasan lembaga, Kepala BPKP, unit pengawasan daerah/desa wajib
menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara.
Pasal 73
Pemerintah dapat menunjuk lembaga swadaya
masyarakat/badan non pemerintah untuk melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan proyek/kegiatan tertentu.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi
pelaksanaan Keputusan Presiden ini, ditetapkan oleh Menteri Keuangan c.q.
Direktur Jenderal Anggaran.
Pasal 75
Selama petunjuk pelaksanaan
ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden ini belum ditetapkan, petunjuk
pelaksanaan yang ada sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Presiden ini,
tetap berlaku.
Pasal 76
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka
Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 77
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juni 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juni 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002
NOMOR 73 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Lambock V. Nahattands Penjelasan
...............