MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2023 TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SA WIT Menimbang Mengingat
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil Perk e bunan Sawit;
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6884);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01 /2 021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Pe ratur an Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01 /2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Keme nt e rian Keuan g an (Berita Negara Republik Indon es ia Tahun 2022 Nomor 954);
Per atu ran Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran Pelaks an aa n Anggaran, serta Akuntansi dan Pel a poran Keu a ngan (B er ita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4 72 ); 1 jdih.kemenkeu.go.id
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SA WIT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 7. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat dengan TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 8. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu. yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 9. Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut DBH Sawit adalah DBH yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dari bea keluar 1 jdih.kemenkeu.go.id dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya. 10. Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut RKP DBH Sawit adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diselaraskan dengan program kerja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berjalan. 11. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 12. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN. 14. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 15. Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggungjawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN. 16. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 17. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 18. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 19. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara TKD untuk DBH Sawit yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan DBH Sawit tahunan yang disusun oleh KPA BUN Pengelolaan DBH Sawit. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH Sawit adalah selisih kurang antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 24. Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 25. Sisa DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang telah disalurkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan realisasi penggunaan DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama satu periode tahun anggaran dan/atau beberapa tahun anggaran. 26. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 27. Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN. 28. Indikasi Kebutuhan Dana BUN untuk DBH Sawit adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan DBH Sawit. 29. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 30. Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan Daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan 1 jdih.kemenkeu.go.id dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. Pasal 2 Pengelolaan DBH Sa wit yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
penganggaran;
pengalokasian;
penggunaan;
penyaluran; dan
pemantauan dan evaluasi. Pasal 3 (1) DBH Sawit merupakan bagian dari TKD. (2) DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara atas:
bea keluar yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif bea keluar; dan
pungutan ekspor yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif pungutan ekspor. (3) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 4% {empat persen) dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit. (5) Dalam hal ditetapkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat menggunakan sumber penerimaan lain yang dilaksanakan dengan mekanisme APBN. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN DBH SAWIT Pasal 4 (1) Dalam rangka pengelolaan DBH Sawit, Menteri selaku PA BUN Pengelolaan TKD menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;
Direktur Dana Transfer Umum sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit. l jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum. (4) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum dan Kepala KPPN selaku KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum:
tidak terisi dan menimbulkan lowonganjabatan; atau
masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 5 (lima) hari kerja. (6) Penunjukan:
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berakhir dalam ha! Direktur Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/ a tau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN. (7) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang sama dengan KPA BUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum kepada Menteri. (9) Penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 5 (1) KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana BUN TKD untuk DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung; jdih.kemenkeu.go.id b. menyusun RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;
menyusun DIPA BUN TKD untuk DBH Sawit;
menyusun dan/atau menyampaikan rekomendasi penyaluran, penghentian penyaluran, dan/atau penyaluran kembali TKD untuk DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan/atau
menyampaikan rencana penyaluran DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (2) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui aplikasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
menyusun proyeksi penyaluran DBH Sawit sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui aplikasi Cash Planning Information _Network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
melakukan penatausahaan dokumen yang berkaitan dengan penyaluran DBH Sawit;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
melakukan verifikasi terhadap rekomendasi penyaluran dan pengenaan pemotongan penyaluran, penundaan penyaluran, penghentian penyaluran, dan penyaluran kembali DBH Sawit;
melaksanakan penyaluran dan/atau penyaluran kembali DBH Sawit berdasarkan rekomendasi 1 jdih.kemenkeu.go.id penyaluran yang diterbitkan oleh KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan anggaran negara dalam rangka pertanggungjawaban penyaluran DBH Sawit; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran DBH Sawit melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu bendahara umum negara sesuai dengan ketentuan pera.turan perundang-undangan. (4) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pasal 6 PPA BUN Pengelolaan TKD, KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum, koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dan KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak bertanggung jawab secara formil dan materiil atas pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DBH Sawit oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN DBH SAWIT Pasal 7 (1) KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD. (2) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit. (3) Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (4) Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan memperhatikan minimal:
penerimaan bea keluar dan pungutan ekspor yang dibagihasilkan pada tahun anggaran sebelumnya; dan/atau
Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit tahun-tahun sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. l jdih.kemenkeu.go.id BAB IV PENGALOKASIAN DBH SAWIT Bagian Kesatu Penyediaan Data Penerimaan Sawit yang Dibagihasilkan Pasal 8 (1) Berdasarkan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan permohonan penyampaian data berupa:
realisasi penerimaan bea keluar, kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
realisasi penerimaan pungutan ekspor, kepada Direktorat Jenderal Anggaran;
luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, kepada Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian;
daftar daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan, kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dan
batas wilayah menurut kabupaten/kota, kepada Kementerian Dalam Negeri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar 1 (satu) tahun sebelumnya. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor 1 (satu) tahun sebelumnya. (4) Dalam hal realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) belum tersedia, dapat digunakan perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran. (5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian menyampaikan data berupa data luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing pihak. (6) Dalam hal data tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum tersedia, digunakan data tahun terakhir yang tersedia. (7) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan daftar Daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan. jdih.kemenkeu.go.id (8) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, Kementerian Dalam Negeri menyampaikan data batas wilayah menurut kabupaten/kota. (9) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8) disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya. (10) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (9) belum diterima sampai dengan minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya, dapat digunakan data yang disampaikan pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Bagian Kedua Perhitungan Alokasi DBH Sawit Menurut Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota Pasal 9 Data penerimaan bea keluar dan penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) atau data perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) digunakan untuk menghitung pagu DBH Sawit yang dibagihasilkan kepada Daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 10 (1) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 digunakan untuk menghitung besaran rincian alokasi DBH Sawit yang dibagikan kepada provinsi/kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut:
50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan luas lahan perkebunan sawit; dan
50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan produktivitas lahan sawit. (2) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator luas lahan perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara proporsional terhadap luas lahan perkebunan sawit secara nasional. (3) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas lahan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai nilai produktivitas dengan ketentuan sebagai berikut:
kategori sangat rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas kurang dari 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 10% (sepuluh persen);
kategori rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 15% (lima belas persen); jdih.kemenkeu.go.id c. kategori sedang, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 20% (dua puluh persen);
kategori tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 4.000 kg/ha (empat ribu) mendapatkan nilai produktivitas 25% (dua puluh lima persen); dan
kategori sangat tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas lebih dari atau sama dengan 4.000 kg/ha (empat ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 30% (tiga puluh persen). (4) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara proporsional terhadap total nilai produktivitas secara nasional. (5) Dalam hal data produktivitas lahan sawit tidak tersedia untuk suatu kabupaten/kota penghasil, penghitungan DBH Sawit untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan berdasarkan rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan. (6) Dalam hal data rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tersedia, kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimasukkan dalam nilai produktivitas dengan kategori sangat rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. Pasal 11 (1) Alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dibagikan kepada:
provinsi yang bersangkutan sebesar 20% (dua puluh persen);
kabupaten/kota penghasil sebesar 60% (enam puluh persen); dan
kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 20% (dua puluh persen). (2) Pembagian besaran persentase alokasi DBH Sawit kepada kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan berdasarkan tingkat eksternalitas negatifyang dialami masing-masing Daerah. (3) Perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kementerian negara/lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (4) Dalam hal perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, besaran persentase alokasi DBH Sawit dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil. l jdih.kemenkeu.go.id (5) Data batas wilayah untuk menentukan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari Kementerian Dalam Negeri. (6) Dalam bal suatu kabupaten/kota merupakan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf c, alokasi untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
alokasi DBH sawit yang disalurkan merupakan alokasi terbesar antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan ayat (1) buruf c; dan
alokasi DBH sawit terkecil antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan ayat (1) buruf c tidak disalurkan dan menjadi akumulasi sisa alokasi DBH Sawit. (7) Akumulasi sisa alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) buruf b seprovinsi dialokasikan secara merata kepada kabupaten/kota pengbasil dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil dalam provinsi yang sama. Pasal 12 (1) Alokasi DBH Sawit dibitung sebagai berikut:
berdasarkan persentase bagi basil dan penetapan Daerab pengbasil; dan
berdasarkan kinerja Pemerintab Daerah. (2) Alokasi DBH Sawit berdasarkan persentase bagi basil dan penetapan Daerah pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a ditetapkan sebesar 90% (sembilan pulub persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (3) Alokasi DBH Sawit berdasarkan kinerja Pemerintah Daerab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b yang selanjutnya disebut alokasi kinerja ditetapkan sebesar 10% (sepulub persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (4) Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada provinsi dan kabupaten/kota yang mencapai tingkat kinerja tertentu. Pasal 13 (1) Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dibitung berdasarkan indikator:
penurunan tingkat kemiskinan; dan/atau
ketersediaan rencana aksi daerab kelapa sawit berkelanjutan. (2) Perbitungan alokasi kinerja berdasarkan indikator penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. bagi provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan dengan bo bot se besar 50% (lima puluh persen) dan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dengan bobot se besar 50% (lima puluh per sen); dan
bagi kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan. (3) Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan persentase penurunan tingkat kemiskinan 1 (satu) tahun sebelumnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan 2 (dua) tahun sebelumnya. (4) Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diurutkan mulai dari nilai terendah hingga nilai tertinggi dan dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori dengan ketentuan sebagai berikut:
kategori sangat rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan 20% (dua puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 40% (empat puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori sedang terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 40% (empat puluh persen) sampai dengan 60% (enam puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 60% (enam puluh persen) sampai dengan 80% (delapan puluh persen) terbawah secara nasional; dan
kategori sangat tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 80% (delapan puluh persen) sampai dengan 100% (seratus persen) secara nasional. (5) Berdasarkan kategori penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung d k t t b . b "kut engan e en uan se aga1 en Kategori Persentase terhadap alokasi kinerja pada Penurunan pasal 12 ayat (3} Tingkat Provinsi Kabupaten/ Kota Kabupaten/Kota Kemiskinan penghasil berbatasan Sangat rendah 10% 10% 20% Rendah 20% 20% 40% Sedang 30% 30% 60% Tinggi 40% 40% 80% Sangat Tinggi 50% 50% 100% l jdih.kemenkeu.go.id (6) Alokasi kinerja berdasarkan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); dan
provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tidak tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 0% (nol persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3). (7) Selisih lebih atas penghitungan alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) dapat digunakan untuk:
perubahan alokasi DBH;
penyelesaian Kurang Bayar DBH; dan/atau
penetapan alokasi minimum. (8) Alokasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c merupakan batas terendah alokasi DBH Sawit untuk provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 14 (1) Hasil penghitungan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan/atau alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8) disampaikan dalam pembahasan Nota Keuangan dan/atau Rancangan Undang-Undang mengenai APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui menjadi pagu DBH Sawit. (2) Berdasarkan pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Berdasarkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan informasi alokasi DBH Sawit melalui portal (website) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (4) Alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. Bagian Ketiga Perhitungan dan Penetapan Perubahan Alokasi DBH Sawit Pasal 15 (1) Perubahan alokasi DBH Sawit dapat dilakukan dalam hal terdapat:
perubahan APBN; dan/atau
perubahan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dalam tahun berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam ha! dilakukan perubahan alokasi DBH Sawit, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan perubahan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut provinsi dan kabupaten/kota secara proporsional berdasarkan data alokasi DBH Sawit dalam APBN tahun anggaran berjalan. (3) Perubahan alokasi menurut provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. BABV PENGGUNAAN DBH SAWIT Bagian Kesatu Kegiatan yang Didanai DBH Sawit Pasal 16 (1) DBH Sawit digunakan untuk membiayai kegiatan:
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan; dan/atau
kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Pemenuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinergikan dengan jenis pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlokasi di luar area perkebunan, terdiri atas:
penanganan jalan, meliputi:
rekonstruksi/peningkatan struktur;
pemeliharaan berkala; dan/atau
pemeliharaan rutin; dan/atau
penanganan jembatan, meliputi:
rehabilitasi/pemeliharaan berkala jembatan;
penggantian jembatan; dan/atau
pembangunan jembatan. (4) Penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
merupakan jalan kewenangan Pemerintah Daerah yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Penetapan Status Jalan Daerah;
diprioritaskan untuk jalan yang menjadi jalur logistik. pengangkutan sawit; dan/atau
diprioritaskan untuk jalan yang telah dilakukan survei kondisi jalan minimal 1 (satu) tahun sebelum pengusulan. (5) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
pendataan perkebunan sawit rakyat;
penyusunan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan;
pembinaan dan pendampingan untuk sertifikasi indonesian sustainable palm oil;
rehabilitasi hutan dan lahan; dan jdih.kemenkeu.go.id e. perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit yang belum terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:
pengadaan jasa konsultan pengawas kegiatan kontraktual; dan / a tau b. perjalanan dinas ke dan/atau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. (7) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:
pemberian honorarium fasilitator kegiatan DBH Sawit yang dilakukan secara swakelola;
penyewaan sarana dan prasarana pendukung;
pembahasan rencana kegiatan di Pemerintah Daerah; dan/atau
perjalanan dinas ke dan/ a tau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. (8) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana pada ayat (3) dan pemenuhan ketentuan penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (9) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf c berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (10) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (11) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (12) Pelaksanaan kegiatan perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah minimal dengan mempertimbangkan kriteria penerima bantuan, besaran bantuan, jangka waktu pemberian bantuan, dan kondisi pemberian bantuan. l jdih.kemenkeu.go.id Pasal 17 (1) Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) minimal 80% (delapan puluh persen) dari aloka.si DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/ kota. (2) Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari alokasi DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Kegiatan penunjang dalam DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari alokasi DBH Sawit untuk masing-masing kegiatan. (4) Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah dapat mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk:
kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); dan/atau
kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah. Pasal 18 (1) Besaran biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 mengacu pada standar biaya di Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Presiden mengenai standar harga satuan regional. (2) Dalam pelaksanaan kegiatan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Kepala Daerah membentuk sekretariat atau menunjuk koordinator pengelola kegiatan DBH Sawit dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kegiatan DBH Sawit di wilayahnya. Bagian Kedua RKP DBH Perkebunan Sawit Pasal 19 (1) Berdasarkan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Daerah provinsi dan kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit menganggarkan DBH Sawit dalam APBD. (2) Dalam rangka penganggaran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyusun RKP DBH Sawit yang berisi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (3) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
perkiraan pagu alokasi DBH Sawit;
rincian dan lokasi kegiatan; 1 jdih.kemenkeu.go.id c. target keluaran kegiatan;
rincian pendanaan kegiatan; dan
penganggaran kembali sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah dalam ha! Daerah masih memiliki sisa DBH Sawit. (4) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas bersama dengan kementerian negara/lembaga Pemerintah terkait paling lambat bulan November pada tahun anggaran sebelumnya. (6) Pemerintah provinsi mengoordinasikan pembahasan penyusunan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan kabupaten/kota di wilayahnya dan kementerian negara/lembaga terkait. (7) Hasil pembahasan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam berita acara hasil pembahasan yang ditandatangani oleh perwakilan dari:
Pemerintah dan provinsi untuk RKP DBH Sawit provinsi; atau
Pemerintah, kabupaten/kota, dan provinsi untuk RKP DBH Sawit kabupaten/kota. (8) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Daerah menetapkan RKP DBH Sawit dalam APBD. (9) Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan materiil atas kegiatan DBH Sawit yang tercantum dalam RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB VI PENYALURAN,PENUNDAANPENYALURAN,PENYALURAN KEMBALI, DAN PENGHENTIAN PENYALURAN Pasal 20 (1) Penyaluran DBH Sawit dilakukan dengan pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum Daerah. (2) Jumlah DBH Sawit yang disalurkan ke rekening kas umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. (3) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Mei tahun anggaran berjalan; dan
tahap II sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) (3) Pasal 21 Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Gubernur menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:
laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya;
laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan;
laporan konsolidasi realisasi penggunaan anggaran sebelumnya untuk provinsi kabupaten/kota di wilayahnya; dan tahun dan d. laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan untuk provms1 dan kabupaten/kota di wilayahnya. Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Bupati/Wali kota menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:
laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya; dan
laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan. Laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada:
Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;
Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan
Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. Pasal 22 (1) Penyaluran DBH Sawit tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa:
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c bagi provinsi;
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a bagi kabupaten/kota; dan
RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) bagi provinsi dan kabupaten/kota, paling lambat tanggal 30 April tahun anggaran berjalan. (2) Penyaluran DBH Sawit tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa: l jdih.kemenkeu.go.id a. laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d bagi provinsi; dan
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b bagi kabupaten/kota, paling lambat tanggal 30 September tahun anggaran berjalan. (3) Dalam hal tanggal 30 April dan 30 September bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari kerja berikutnya. (4) Surat penyampaian syarat salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 23 (1) Dalam hal syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (2) Dalam ha! RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (3) Dalam hal syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit. (4) Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit. Pasal 24 (1) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam ha!: 1 jdih.kemenkeu.go.id a. Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1}; dan/atau
Daerah telah menyampaikan perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling cepat bulan Juni tahun anggaran berjalan. (3) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam hal:
Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3}; dan/atau
Daerah telah menyampaikan perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (4) . Penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling cepat bulan November tahun anggaran berjalan. Pasal 25 (1) Dalam hal:
laporan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a; dan/atau
perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1). (2) Dalam hal:
laporan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a; dan/atau
perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) hurufb, belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3). (3) Dalam hal tanggal 15 November bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari kerja berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan hurufb tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (5) Penghentian penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri. BAB VII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Bagian Kesatu Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi Pasa126 (1) Gubernur melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. (2) Gubernur menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada:
Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;
Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan
Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk ADK (softcopy) dan dokumen hardcopy (pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/ PDF)). (4) Penyampaian dalam bentuk ADK dan pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/PDF) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui aplikasi pada SIKD. (5) Dalam hal aplikasi pada SIKD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, penyampaian hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan melalui surat elektronik (emaiij resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau media lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. l jdih.kemenkeu.go.id (6) Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit berdasarkan:
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) untuk provinsi;
laporan konsolidasi realisasi penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d dan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) untuk kabupaten dan kota; dan/atau
pengamatan langsung di lapangan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (7) Pemantauan dan evaluasi penggunaan DBH Sawit oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. meliputi:
kepatuhan penyampaian laporan;
besaran penganggaran untuk masing-masing kegiatan;
kesesuaian capaian keluaran antara RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dengan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2); dan
besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah. (8) Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan/atau instansi/unit terkait. (9) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat mengenakan sanksi penundaan dan/atau penghentian penyaluran DBH atas alokasi dan/atau penggunaan DBH Sa wit yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sisa DBH Sawit Pasal 27 (1) Untuk menghitung besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah setelah tahun anggaran berakhir, Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi. (2) Gubernur dapat mengoordinasikan pelaksanaan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pelaksanaan rekonsiliasi Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilaksanakan paling lambat bulan April tahun anggaran berikutnya. 1 jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam ha! rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak dilaksanakan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung Sisa DBH Sawit berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (6). (5) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kepada Kepala Daerah paling cepat bulan Mei tahun anggaran berikutnya. (6) Berdasarkan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Daerah menganggarkan kembali Sisa DBH Sawit pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya untuk mendanai kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. BAB VIII PERHITUNGAN DAN PENETAPAN ALOKASI KURANG BAYAR/LEBIH BAYAR DBH SAWIT Pasal 28 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit berdasarkan:
data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a; dan
data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b. (2) Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (3) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (4) Penghitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Anggaran. (5) Dalam ha! alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari DBH Sawit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Kurang Bayar DBH Sawit. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari DBH Sa wit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Lebih Bayar DBH Sawit. (7) Penetapan alokasi Kurang Bayar dan/atau Lebih Bayar DBH Sawit mempertimbangkan:
alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8); dan/atau
penghentian salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (8) Alokasi Kurang Bayar DBH dan Lebih Bayar DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 29 (1) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menyetorkan penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor tahun anggaran sebelumnya yang menjadi realisasi DBH Sawit. (2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dari rekening Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ke rekening kas umum negara melalui bank persepsi/pos persepsi. (3) Dalam rangka penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan persentase pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sesuai dengan mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (5) Besaran penyetoran oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dihitung berdasarkan perkalian antara persentase pagu DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan realisasi penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor yang menjadi realisasi DBH Sawit sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Tata cara penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik. 1 jdih.kemenkeu.go.id BAB IX PENYALURAN DBH SA WIT TAHUN 2023 Pasal 30 Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
Kepala Daerah provinsi dan kabupaten/kota menyusun RKP DBH Sawit tahun anggaran 2023 sebagai dasar penggunaan dan penyaluran DBH Sawit. b. Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilakukan secara sekaligus bagi Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang telah menyampaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. c. Penyampaian RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan paling lambat tanggal 30 November 2023. d. Dalam ha! tanggal 30 November 2023 bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan pada hari kerja berikutnya. e. Dalam ha! Daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak menyampaikan RKP DBH Sawit sampai dengan tanggal 30 November 2023 sebagaimana dimaksud pada huruf c atau hari kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada hurufd:
penyaluran DBH Sawit dilakukan secara sekaligus paling lambat 27 Desember 2023; dan
seluruh DBH Sawit yang disalurkan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2024 dan RKP DBH Sawit tahun anggaran 2024. BABX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 31 Penyaluran DBH Sawit Tahun Anggaran 2023 bersumber dari rupiah murni. Pasal 32 (1) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit mulai melakukan penyetoran penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lam bat 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. l jdih.kemenkeu.go.id Pasal 33 Ketentuan mengenai:
rincian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
format RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
format laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 21 ayat (2);
format laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d; dan
rincian DBH Sawit tahun anggaran 2023 menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. l jdih.kemenkeu.go.id
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 September 2023 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 September 2023 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. jdih.kemenkeu.go.id A. RINCIAN KEGIATAN PENGGUNAAN DBH SAWIT LAMPIRAN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 202 3 TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SAWIT A.1. RINCIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN DAN PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR JALAN NO. KEGIATAN RINCIAN KEGIATAN OUTPUT SATUAN OUTPUT PENERIMA MANFAAT (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Penanganan 1. Kegiatan Utama jalan Panjang jalan yang a. Masyarakat a. rekonstruksi / peningkatan dilakukan Km b. Pemerintah struktur; rekonstruksi / peningkatan Daerah struktur Panjangjalan yang Km a. Masyarakat b. pemeliharaan berkala; dilakukan pemeliharaan b. Pemerin tah berkala Daerah Panjangjalan yang Km a. Masyarakat c. pemeliharaan rutin; dilakukan pemeliharaan b. Pemerintah rutin Daerah 2. Kegiatan penunjang:
jasa konsultan pengawas Jumlah kegiatan konsultan Paket Pemerintah Daerah kegiatan kontraktual; dan/atau pengawas kegiatan b. perjalanan dinas ke Jumlah perjalanan dinas ke dan/atau dari lokasi kegiatan dan/atau dari lokasi Frekuensi Pemerintah Daerah dalam rangka perencanaan, kegiatan pengendalian, dan pengawasan. 2. 1. Kegiatan Utama l jdih.kemenkeu.go.id NO. KEGIATAN RINCIAN KEGIATAN OUTPUT SATUAN OUTPUT PENERIMA MANFAAT (ll (2) (3) (4) (5) (6) Penanganan pemeliharaan berkala Panjang jembatan yang a. Masyarakat jembatan dilakukan pemeliharaan Meter b. Pemerintah jembatan; berkala Daerah b. penggantian jembatan; Panjang jembatan yang a. Masyarakat Meter b. Pemerin tah dan/atau dilakukan penggan tian Daerah Panjangjembatan yang a. Masyarakat c. pembangunan jembatan. Meter b. Pemerintah dibangun Daerah 2. Ke.e: iatan Penun.ian.e:
jasa konsultan pengawas Jumlah kegiatan konsultan Paket Pemerintah Daerah kegiatan kontraktual; dan/atau pengawas kegiatan b. perj alanan din as ke Jumlah perjalanan dinas ke dan/atau dari lokasi kegiatan clan/ atau dari lokasi Frekuensi Pemerintah Daerah dalam rangka perencanaan, kegiatan pengendalian 1 dan pengawasan. 7 jdih.kemenkeu.go.id A.2. RINCIAN KEGIATAN LAINNYA PENGGUNAAN DBH SAWIT NO. KEGIATAN RINCIAN KEGIATAN OUTPUT SATUAN PENERIMA OUTPUT MANFAAT (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Pendataan 1. Keciatan utama Perkebunan · Sawit Sosialisasi kegiatan di tingkat pekebun Pertemuan Frekuensi Masyarakat Rakyat b. Peningkatan kapasitas tim pendataan Bimbingan Orang Pemerintah teknis Daerah a. Masyarakat c. Pendataan pekebun Sensus Orang a. Pemerintah Daerah a. Masyarakat d. Ve~ifikasi dan validasi data pekebun Pertemuan Frekuensi b. Pemerintah Daerah a. Masyarakat e. Pemeriksaan lapangan dan pemetaan Survey Persil b. Pemerintah Daerah Pen er bi tan a. Masyarakat f. Penerbitan STDB surat Dokumen b. Pemerintah Daerah 2. Kegiatan penunjang a. Perj alanan din as dalam rangka sosialisasi. Perjalanan Frekuensi Pemerintah bimbingan teknis, pendataan, dan verifikasi Daerah b. Fasilitasi honor narasumber dalam rangka Honor Laporan Narasumber bimbingan teknis. C. Fasilitasi honor narasumber dalam rangka Honor laporan Narasumber verifikasi dan validasi data d. Penyediaan sarana prasarana pendukung Sewa alat Unit Pemerintah untuk pemetaan dan pengolah data Daerah l jdih.kemenkeu.go.id NO. KEGIATAN RINCIAN KEGIATAN OUTPUT SATUAN PENERIMA OUTPUT MANFAAT (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1) GPS Hand Held Sewa alat Unit Pemerintah Daerah 2) Laptop dilengkapi aplikasi pemetaan Sewa alat Unit Pemerintah (arcgis) Daerah 3) Kendaraan untuk survey lapangan Sewa alat Unit Pemerintah Daerah 4) ATK Belanja bahan Paket Pemerintah Daerah SJ ^Printer Sewa alat Unit Pemerintah Daerah 6) Ruangan pertemuan Sewa alat Unit Pemerintah Daerah Penyusunan Rencana Aksi Daerah Kelapa 2. Sawit Berkelanjutan 1. Kegiatan utama Pembentukan tim penyusun Pertemuan Frekuensi Pemerintah a. Daerah b. Identifikasi dan pendataan program dan Pertemuan Frekuensi Pemerintah kegiatan Daerah Perumusan rencana aksi Pertemuan Frekuensi Pemerintah C. Daerah d. Konsultasi/uji publik Pertemuan Frekuensi Pemerintah Daerah Penetapan rencana aksi Pertemuan Frekuensi Pemerintah e. Daerah 2. Kegiatan penuniang a. Perj alanan din as dalam rangka Perjalanan Frekuensi Pemerintah pembentukan tim, identifikasi dan dinas Daerah l jdih.kemenkeu.go.id NO. KEGIATAN RINCIAN KEGIATAN OUTPUT SATUAN PENERIMA OUTPUT MANFAAT { 1) {2) (3) (4) (5) (6) pendataan program, perumusan rencana aksi, konsultasi public, dan penetapan rencana aksi b. Fasilitasi honor narasumber dalam rangka Honor Laporan Narasumber konsultasi/uii publik c. Penyediaan sarana pengolah data program Sewa alat Unit Pemerintah kegiatan Daerah 1) Laptop Sewa alat Unit Pemerintah Daerah 2) Printer Sewa alat Unit Pemerintah Daerah 3. Pembinaan dan 1. Kegiatan utama Pendampingan a. Pendataan pekebun untuk proses sertifikasi Survey Data a. Pekebun untuk sertifikasi ISPO pekebun b. Perusahaan Indonesian C. Pemerintah Sustainable Palm Oil Daerah (ISPO} pekebun b. Sosialisasi sertifikasi ISPO Sosialisasi Orang Pekebun c. Pelatihan sertifikasi ISPO Pelatihan Orang Pekebun d. Pendampingan pekebun untuk sertifi.kasi Bimbingan Frekuensi Pekebun ISPO teknis 1) Pembentukan tim kendali internal Pertemuan Frekuensi a. Pekebun b. Pemerintah Daerah 2) Penyusunan prosedur / mekanisme terkait Pertemuan Frekuensi a. Pekebun pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO b. Pemerintah Daerah 3) Sosialisasi prosedur / mekanisme kepada Pertemuan Frekuensi a. Pekebun an!2: !2: ota kelembagaan jdih.kemenkeu.go.id NO. KEGIATAN RINCIAN KEGIATAN OUTPUT SATUAN PENERIMA OUTPUT MANFAAT (1) (2) (3) (4) (5) (6) b. Pemerintah Daerah 4) Pengelolaan catatan terkait aktivitas Pertemuan Frekuensi a. Pekebun pekebun dalam rangka pemenuhan b. Pemerintah prinsip dan kriteria ISPO termasuk Daerah pengelolaan catatan kelompok tani/koperasi 5) Penyusunan dokumen pemenuhan prinsip Pertemuan Frekuensi a. Pekebun dan kriteria ISPO pekebun b. Pemerintah Daerah 6} Pelatihan teknik audit kepada tim kendali Pelatihan Orang a. Pekebun internal b. Pemerintah Daerah 7} Penjadwalan kegiatan audit internal dan Pertemuan Frekuensi a. Pekebun pelaksanaan audit internal b. Pemerintah Daerah 8) Perbaikan temuan atau ketidaksesuaian Pertemuan Frekuensi a. Pekebun pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO b. Pemerintah Daerah 9) Penjadwalan audit eksternal Pertemuan Frekuensi a. Pekebun b. Pemerintah Daerah 2. Kegiatan penunjang a. Fasilitasi honor narasumber dalam rangka Honor Laporan Narasumber pelatihan sertifikasi ISPO b. Perj alanan dinas dalam rangka Perjalanan Frekuensi Pelaksana pendampingan pekebun dinas l jdih.kemenkeu.go.id NO. KEGIATAN RINCIAN KEGIATAN OUTPUT SATUAN PENERIMA OUTPUT MANFAAT (1) (2) (3) (4) (5) (6) c. Penyediaan sarana pendukung pengolah Sewa alat Unit Pemerintah data sertifikasi ISPO Daerah 1) Kendaraan operasional lapangan Sewa alat Unit Pelaksana 2) Laptop Sewa alat Unit Pelaksana 3) Printer Sewa alat Unit Pelaksana 4) Infocus Sewa alat Unit Pelaksana 5) ATK Sewa alat Unit Pelaksana 6) Ruang pertemuan Sewa alat Unit Pelaksana jdih.kemenkeu.go.id B. FORMAT RKP DBH SAWIT PROVINSI/KABUPATEN/KOTA RANCANGAN KEGIATAN DAN PENGANGGARAN DBH SAWIT PROVINSI/KABUPATEN/KOTA ..... TAHUN ANGGARAN ..... Perkiraan Pagu Alokasi DBH Sawit : Rp ... . Perkiraan Pagu Sisa DBH Sa wit : Rp ... . Total : Rp .. . Nomenklatur Ruas Kode/ No. Kegiatan / Rincian Kegiatan (Sesuai SK Kepala Klasifikasi N omenklatu1 Daerah tentang Status dalam Penganggaran Jalan) APBD Volume (1) (2) (3) (4) (5) A. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan 1. Kegiatan Utama a ...... b ...... Rencana Keterangan Output Pagu Satuan Kegiatan {Rp) (6) (7) (8) jdih.kemenkeu.go.id Nomenklatur Ruas No. Kegiatan / Rincian Kegiatan (Sesuai SK Kepala Daerah tentang Status Jalan) (1) (2) (3) C . ..... 2. Kegiatan Penunjang a ...... b ...... C . ..... Total Kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Total Koordinator DBH Sawit Provinsi / Kabupaten / Kota ..... . (' . ' . ' .... ' ' ' .......... ' .... ' ... ' . ' . ' .... ' . ' . ') NIP. Kode/ Rencana Output Klasifikasi N omenklatm: Pagu dalam Penganggaran APBD Volume Satuan Kegiatan (4) (5) (6) ( ............................................. ) {Rp) (7) Keterangan (8) jdih.kemenkeu.go.id C. FORMAT LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DBH SAWIT LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DBH SAWIT SEMESTER:
.. . . TAHUN ANGGARAN .... .. PROVINSI/KABUPATEN/KOTA ..... . Pagu Alokasi DBH Sawit Pagu Sisa DBH Sawit Total Rp ... . Rp ... . Rp ... . No Bidang. Program. dan Kegiatan (1) (2) Rincian Kegiatan dalam Ketentuan Teknis (3) A. Pembannnan dan pemeliharaan infrastruktur jalan 1. ... Total Pembannnan dan pemeliharaan infrastruktur jalan B. Ke1riatan lainnya yan~ ditetapkan oleh Pemerintah 1. .... Total Ke~iatan lainnya van~ ditetapkan oleh Pemerintah Total Kode / Klasifikasi Nornenklatur dalam Penganggaran APBD (4) Volume {5) Rencana Output Pagu Satuan Kegiatan (Ro) (6) (7) . ( ............................................. ) ( ............................................. ) NIP. Realisasi Dana Output (Rp) (8) {9) jdih.kemenkeu.go.id D. FORMAT LAPORAN KONSOLIDASI REALISASI PENGGUNAAN DBH SAWIT LAPORAN KONSOLIDASI REALISASI PENGGUNAAN DBH SAWIT SEMESTER:
.... TAHUN ANGGARAN ..... . No Bidang dan Program (1) (2) I. PROVINS! ...... A. Pembangunan clan pemeliharaan infrastruktur jalan 1. ... B. Kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah 1. ... TOTAL PRO VIN SI ..... II. KABUPATEN/KOTA ...... A. Pembangunan clan pemeliharaan infrastruktur j alan 1. ... B. Kegiatan lainnya yang clitetapkan oleh Pemerintah 1 ....... TOTAL KABUPATEN / KOTA TOTAL SEPROVINSI ..... Koordinator DBH Sawit Provinsi ..... . ( ............................................. ) NIP. PROVINS! ..... . Rencana Output Volume Satuan (3) (4) Realisasi Pagu Kegiatan Output (Rp) (5) (6) { ........................................... ) Dana (Rp) (7) jdih.kemenkeu.go.id E. RINCIAN ALOKASI DBH SAWIT TAHUN ANGGARAN 2023 (dalam ribu rupiah) NO NAMADAERAH JUMLAH 1 2 3 1 Provinsi Aceh 33.249.623 2 Kab. Aceh Barat 8.223.336 3 Kab. Aceh Besar 3.387.598 4 Kab. Aceh Selatan 5.994.050 5 Kab. Aceh Singkil 10.233.010 6 Kab. Aceh Tengah 4.046.570 7 Kab. Aceh Temze"ara 5.410.863 8 Kab. Aceh Timur 9.797.700 9 Kab. Aceh Utara 8.093.341 10 Kab. Bireuen 5.806.748 11 Kab. Pidie 3.649.530 12 Kab. Simeulue 3.500.874 13 Kata Banda Aceh 1.632.078 14 Kota Langsa 6.044.201 15 Kota Lhokseumawe 5.195.684 16 Kab. Gayo Lues 5.128.762 17 Kab. Aceh Barat Dava 6.055.050 18 Kab. Aceh Jaya 6.576.265 19 Kab. Nagan Raya 11.708.996 20 Kab. Aceh Tamiang 9.049.699 21 Kab. Bener Meriah 4.305.225 22 Kab. Pidie Java 5.308.700 23 Kota Subulussalam 7.025.546 24 Provinsi Sumatera Utara 74.861.392 25 Kab.Asahan 18.273.604 26 Kab. Dairi 8.513.744 27 Kab. Deli Serdang 9.498.198 28 Kab. Karo 7.931.896 29 Kab. Labuhanbatu 10.579.839 30 Kab. Langkat 14.208.953 31 Kab. Mandailing Natal 9.543.279 32 Kab. Nias 4.753.287 33 Kab. Simalungun 17.244.179 34 Kab. Tapanuli Selatan 11.780.293 35 Kab. Tapanuli Tengah 8.770.996 36 Kab. Tapanuli Utara 7.853.833 37 Kab.Toba 7.641.338 38 Kota Biniai 7.913.265 39 Kota Medan 2.346.320 40 Kota Pematang Siantar 2.783.103 41 Kota Sibolga 2.409.835 l jdih.kemenkeu.go.id (dalam ribu rupiah) NO NAMADAERAH JUMLAH 42 Kota Taniung Balai 3.149.528 43 Kata Tebing Timz!Ii 2.772.208 44 Kata Padang Sidempuan 7.825.982 45 Kab. Pakpak Bharat 4.220.513 46 Kab. Nias Selatan 11.925.812 47 Kab. Humbang Hasundutan 5.880.980 48 Kab. Serdang Bedagai 10.548.725 49 Kab. Samasir 2.939.447 50 Kab. Batu Bara 10.120.480 51 Kab. Padang Lawas 14.804.342 52 Kab. Padang Lawas Utara 10.841.558 53 Kab. Labuhanbatu Selatan 15.642.224 54 Kab. Labuhanbatu Utara 16.846.713 55 Kab. Nias Utara 11.173.596 56 Kab. Nias Barat 4.753.287 57 Kata Gunungsitoli 3.133.333 58 Provinsi Sumatera Barat 32.052.337 59 Kab. Limaouluh Kota 6.859.359 60 Kab. Agam 9.122.414 61 Kab. Padang Pariaman 5.647.192 62 Kab. Pasaman 6.855.758 63 Kab. Pesisir Selatan 10.471.556 64 Kab. Siiuniung 6.546.848 65 Kab. Solak 5.756.739 66 Kab. Tanah Datar 5.447.007 67 Kota Bukit Tine: e: i 2.120.919 68 Kata Padang Paniang 1.879.689 69 Kata Padang 5.686.816 70 Kata Payakumbuh 1.905.720 71 Kota Sawahlunto 5.396.848 72 Kata Salok 7.309.141 73 Kota Pariaman 4.480.180 74 Kab. Pasaman Barat 19.266.609 75 Kab. Dharmasraya 10.982.777 76 Kab. Solak Selatan 10.607.491 77 Provinsi Riau 83.132.939 78 Kab. Bengkalis 22.160.404 79 Kab. Indragiri Hilir 43.397.030 80 Kab. lndragiri Hulu 27.305.271 81 Kab. Kampar 34.756.301 82 Kab. Kuantan Singingi 16.998.738 83 Kab. Pelalawan 33.873.165 84 Kab. Rokan Hilir 39.293.736 85 Kab. Rokan Hulu 33.687.684 l jdih.kemenkeu.go.id (dalam ribu rupiah) NO NAMADAERAH JUMLAH 86 Kab. Siak 27.419.188 87 KotaDumai 16.782.649 88 Kota Pekanbaru 13.227.487 89 Provinsi Jambi 38.330.999 90 Kab. Batang Hari 15.962.275 91 Kab. Bungo 14.915.821 92 Kab. Kerinci 7.202.454 93 Kab. Merangin 13.345.576 94 Kab. Muaro Jambi 16.212.965 95 Kab. Sarolangun 12.180.899 96 Kab. Tanjung Jabung Barat 21.447.388 97 Kab. Tanjung Jabung Timur 22.533.323 98 Kab. Tebo 14.149.473 99 KotaJambi 5.056.196 100 Kota Sungai Penuh 3.807.250 101 Provinsi Sumatera Selatan 51.217.391 102 Kab. Labat 11.547.895 103 Kab. Musi Banyuasin 26.702.357 104 Kab. Musi Rawas 14.817.085 105 Kab. Muara Enim 12.998.754 106 Kab. Ogan Komering Ilir 22.994.335 107 Kab. Ogan Komering Ulu 10.584.558 108 Kota Palembang 6.645.286 109 Kota Prabumulih 8.652.644 110 Kota Pagar Alam 4.717.056 111 Kota Lubuk Linggau 6.729.745 112 Kab. Banyuasin 18.954.567 113 Kab. Ogan Ilir 7.326.376 114 Kab. Ogan Komering Ulu Timur 10.052.086 115 Kab. Ogan Komering Ulu Selatan 5.481.369 116 Kab.EmpatLawang 9.222.203 117 Kab. Penukal Ahab Lematang Ilir 10.497.658 118 Kab. Musi Rawas Utara 11.494.473 119 Provinsi Bengkulu 21.732.563 120 Kab. Bengkulu Selatan 6.778.689 121 Kab. Bengkulu Utara 12.718.454 122 Kab. Rejang Lebong 5.788.850 123 Kota Bengkulu 6.127.688 124 Kab. Kaur 7.839.801 125 Kab. Seluma 9.668.511 126 Kab. Mukomuko 16.881.376 127 Kab. Lebong 4.267.522 128 Kab. Kepahiang 5.797.798 129 Kab. Bengkulu Tengah 9.015.867 l jdih.kemenkeu.go.id (dalam ribu rupiah) NO NAMADAERAH JUMLAH 130 Provinsi Lampung 19.666.494 131 Kab. Lampung Barat 4.165.272 132 Kab. Lampung Selatan 4.742.934 133 Kab. Lampung Tengah 6.798.151 134 Kab. Lampung Utara 4.006.445 135 Kab. Lampung Timur 5.585.116 136 Kab. Tanmzamus 4.121.493 137 Kab. Tulang Bawang 6.852.519 138 Kab. Way Kanan 7.144.467 139 Kota Bandar Lampung 5.158.578 140 Kota Metro 1.838.485 141 Kab. Pesawaran 4.171.404 142 Kab. Pringsewu 4.193.936 143 Kab. Mesuii 8.699.570 144 Kab. Tulang Bawang Barat 4.487.328 145 Kab. Pesisir Barat 5.744.755 146 Provinsi J awa Barat 8.311.301 147 Kah.Bandung 1.170.576 148 Kab. Bekasi 1.000.000 149 Kab. Bogor 3.468.393 150 Kab. Ciamis 1.000.000 151 Kab. Cianjur 3.241.051 152 Kab. Garut 3.444.897 153 Kab. Indramayu 1.000.000 154 Kab. Karawang 1.000.000 155 Kab. Maialengka 1.000.000 156 Kab. Purwakarta 1.000.000 157 Kab.Subang 4.184.872 158 Kab. Sukabumi 3.626.804 159 Kab. Sumedang 1.000.414 160 Kab. Tasikmalaya 3.206.330 161 Kota Bandung 1.000.000 162 Kota Bekasi 1.000.000 163 Kota Bogor 1.000.000 164 Kota Depok 1.000.000 165 Kota Sukabumi 1.000.000 166 Kota Tasikmalaya 1.000.000 167 Kota Cimahi 1.000.000 168 Kab. Bandung Barat 3.294.893 169 Kab. Pangandaran 3.205.560 170 Kab. Cilacap 1.000.000 171 Provinsi Kalimantan Barat 65.666.046 172 Kab.Bengkayang 17.955.377 173 Kab.Landak 15.796.470 l jdih.kemenkeu.go.id (dalam ribu rupiah) NO NAMADAERAH JUMLAH 174 Kab. Kapuas Hulu 15.223.400 175 Kab. Ketapang 48.309.790 176 Kab. Mempawah 8.862.529 177 Kab. Sambas 13.343.979 178 Kab. Sanggau 27.384.284 179 Kab. Sintang 20.492.470 180 Kota Pontianak 10.795.070 181 Kota Singkawang 7.150.819 182 Kab. Sekadau 19.882.889 183 Kab. Melawi 13.538.174 184 Kab. Kavong Utara 10.615.339 185 Kab. Kubu Rava 15.969.479 186 Provinsi Kalimantan Tengah 60.021.925 187 Kab. Barito Selatan 6.112.814 188 Kab. Barito Utara 10.352.389 189 Kab. Kapuas 17.774.473 190 Kab. Kotawaringin Barat 28.254.904 191 Kab. Kotawaringin Timur 46.485.301 192 Kota Palangkaraya 8.250.851 193 Kab. Katingan 14.701.342 194 Kab. Seruyan 25.064.163 195 Kab. Sukamara 13.633.160 196 Kab. Lamandau 18.352.928 197 Kab. Gunung Mas 9.915.360 198 Kab. Pulang Pisau 14.255.842 199 Kab. Murung Raya 7.466.940 200 Kab. Barito Timur 8.822.531 201 Provinsi Kaliman tan Sela tan 24.955.924 202 Kab. Baniar 7.022.490 203 Kab. Barito Kuala 8.589.332 204 Kab. Hulu Sungai Selatan 5.578.625 205 Kab. Hulu Sungai Tengah 3.277.190 206 Kab. Hulu Sungai Utara 4.965.793 207 Kab. Kotabaru 16.599.816 208 Kab. Tabalong 6.970.532 209 Kab. Tanah Laut 7.279.415 210 Kab. Tapin 8.677.200 211 Kota Baniarbaru 4.702.857 212 Kota Banjarmasin 5.615.096 213 Kab. Balangan 5.678.956 214 Kab. Tanah Bumbu 14.968.120 215 Provinsi Kalimantan Timur 43.400.672 216 Kab. Berau 20.547.999 217 Kab. Kutai Kartanegara 19.731.608 l jdih.kemenkeu.go.id (dalam ribu rupiah) NO NAMADAERAH JUMLAH 218 Kab. Kutai Barat 17.817.877 219 Kab. Kutai Timur 37.453.049 220 Kab. Paser 20.333.984 221 Kota Balikpapan 6.951.956 222 Kota Bontang 7.070.837 223 Kota Samarinda 11.864.019 224 Kab. Penajam Paser Utara 11.687.418 225 Kab. Mahakam Ulu 8.734.895 226 Provinsi Sulawesi Tengah 15.722.718 227 Kah. Bane: e: ai 9.207.972 228 Kab. Buol 7.112.470 229 Kab. Toli-Toli 5.378.195 230 Kah. Done: e: ala 5.207.685 231 Kah. Morowali 8.936.166 232 Kah. Poso 5.227.093 233 Kota Palu 1.973.132 234 Kab. Parigi Moutong 4.225.732 235 Kah. Toio Una Una 3.333.893 236 Kab. Sigi 5.167.668 237 Kah. Morowali Utara 8.519.492 238 Provinsi Sulawesi Selatan 9.225.347 239 Kah. Barru 1.000.000 240 Kab. Bone 1.012.931 241 Kab. Enrekang 2.503.058 242 Kab. Luwu 2.503.375 243 Kab. Luwu Utara 7.897.627 244 Kota Palopo 2.545.823 245 Kab. Luwu Timur 6.599.083 246 Kab. Pinrang 2.537.807 247 Kab. Sidenreng Rappang 2.505.626 248 Kab. Soppeng 3.443.341 249 Kab. Tana Toraja 1.181.209 250 Kab. Wa,io 2.670.714 251 Kota Pare-pare 1.000.000 252 Kab. Toraia Utara 1.612.884 253 Provinsi Sulawesi Tenggara 10.476.445 254 Kab. Buton 1.004.795 255 Kab.Konawe 4.423.763 256 Kab. Kolaka 4.004.879 257 Kah. Muna 3.566.771 258 Kota Kendari 5.471.852 259 Kah. Konawe Selatan 3.121.365 260 Kab. Bombana 4.626.418 261 Kab. Kolaka Utara 1.859.259 jdih.kemenkeu.go.id (dalam ribu rupiah) NO NAMADAERAH JUMLAH 262 Kab. Konawe Utara 6.586.339 263 Kab. Euton Utara 1.004.795 264 Kab. Kolaka Timur 3.675.820 265 Kab. Muna Barat 2.621.313 266 Kab. Euton Tengah 1.339.927 267 Provinsi Maluku 1.547.258 268 Kab. Maluku Tengah 2.948.740 269 KotaAmbon 1.000.000 270 Kab. Seram Bagian Barat 1.000.000 271 Kab. Seram Bagian Timur 2.386.766 272 Provinsi Papua 2.677.705 273 Kab. Jayapura 6.158.404 274 Kota Jayapura 1.410.973 275 Kab. Sarmi 1.000.000 276 Kab. Keerom 5.739.515 277 Kab. Waropen 1.000.000 278 Provinsi Maluku Utara 1.000.000 279 Kab. Halmahera Tengah 1.000.000 280 Kab. Halmahera Selatan 2.503.807 281 Kota Tidore Kepulauan 1.000.000 282 Provinsi Banten 2.051.795 283 Kab. Lebak 4.036.587 284 Kab. Pandeglang 2.928.066 285 Kab. Serang 1.097.089 286 Kab. Tangerang 1.000.000 287 Kota Tangerang Selatan 1.000.000 288 Provinsi Bangka Belitung 15.759.756 289 Kab. Bangka 10.958.465 290 Kab. Belitung 7.657.672 291 Kota Pangkal Pinang 6.373.373 292 Kab. Bangka Selatan 9.012.456 293 Kab. Bangka Tengah 8.101.944 294 Kab. Bangka Barat 10.298.410 295 Kah. Belitung Timur 8.697.794 296 Provinsi Gorontalo 1.987.893 297 Kab. Boalemo 3.927.743 298 Kab. Gorontalo 1.000.000 299 Kab. Pohuwato 2.927.231 300 Kab. Gorontalo Utara 1.519.094 301 Provinsi Kepulauan Riau 2.055.414 302 Kab. Karimun 4.474.842 303 Kota Taniung Pinang 1.398.170 304 Kab. Bintan 2.920.159 305 Provinsi Papua Barat 3.211.428 l jdih.kemenkeu.go.id (dalam ribu rupiah) NO NAMADAERAH JUMLAH 306 Kab. Fak Fak 1.000.000 307 Kab. Manokwari 4.800.122 308 Kab. Teluk Bintuni 3.113.717 309 Kab. Teluk Wondama 1.000.000 310 Kab. Kaimana 1.000.000 311 Kab. Manokwari Selatan 1.000.000 312 Kab. Pegunungan Arfak 1.000.000 313 Provinsi Sulawesi Barat 8.653.679 314 Kab. Maiene 1.794.766 315 Kab. Mamuju 5.166.022 316 Kab. Polewali Mandar 4.199.566 317 Kab. Mamasa 1.904.116 318 Kab. Pasangkayu 11.634.633 319 Kab. Mamuiu Tengah 8.512.539 320 Provinsi Kalimantan Utara 10.410.950 321 Kab. Bulungan 8.764.501 322 Kab. Malinau 11.087.932 323 Kab.Nunukan 14.696.972 324 Kota Tarakan 5.022.898 325 Kab. Tana Tidung 6.368.685 326 Provinsi Papua Selatan 3.892.995 327 Kab. Merauke 9.499.063 328 Kab. Boven Digoel 5.529.159 329 Kab. Mappi 2.332.337 330 Kab. Asmat 1.000.000 331 Provinsi Papua Tengah 1.998.509 332 Kab. Mimika 3.893.245 333 Kab. Nabire 2.960.004 334 Kab. Paniai · 1.000.000 335 Kab. Dogiyai 1.000.000 336 Kab.Puncak 1.000.000 337 Kab. Intan Java 1.000.000 338 Kab. Deivai 1.000.000 339 Provinsi Papua Pegunungan 1.763.986 340 Kab. Yahukimo 1.154.257 341 Kab. Pegunungan Bintang 1.722.387 342 Kab. Yalimo 1.000.000 343 Kab.Nduga 1.000.000 344 Provinsi Papua Barat Daya 2.084.647 345 Kab. Sarong 3.559.503 346 Kab. Sarong Selatan 5.739.744 347 Kab. Raia Ampat 1.000.000 348 Kab. Tambrauw 1.215.429 349 Kab. Mavbrat 1.300.979 l jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI