Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Perjanjian adalah perjanjian kerjasama/karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kontraktor untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batubara.
Kontraktor Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan batubara, baik dalam rangka penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.
Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disingkat IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian adalah izin usaha yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya pelaksanaan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
BMN yang berasal dari Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut BMN PKP2B adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh dan/atau dibeli Kontraktor dalam rangka kegiatan usaha pertambangan batubara dan/atau barang dan peralatan yang tidak terjual, tidak dipindahkan atau tidak dialihkan oleh Kontraktor setelah pengakhiran perjanjian yang telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi milik Pemerintah, termasuk barang Kontraktor yang pada pengakhiran perjanjian akan dipergunakan untuk kepentingan umum.
Kementerian Keuangan adalah kementerian yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Menteri Keuangan adalah Pengelola Barang atas BMN PKP2B.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.
Direktur adalah Pejabat Eselon II pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan BMN PKP2B.
Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.
Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Kementerian Teknis adalah kementerian yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi kegiatan usaha mineral dan batubara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Menteri Teknis adalah menteri yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi kegiatan usaha mineral dan batubara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara yang selanjutnya disebut Dirjen Minerba adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mempunyai kewenangan, tugas dan fungsi menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan usaha mineral dan batubara.
Pengelola Barang atas BMN PKP2B yang selanjutnya disebut Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN PKP2B.
Pengguna Barang atas BMN PKP2B yang selanjutnya disebut Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN PKP2B.
Kuasa Pengguna Barang atas BMN PKP2B yang selanjutnya disebut Kuasa Pengguna Barang adalah Kepala Satuan Kerja atau pejabat yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pengelolaan BMN PKP2B sesuai dengan kewenangannya.
Unit Akuntansi Pengelola Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPLB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN PKP2B pada tingkat Pengelola Barang.
Unit Akuntansi Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN PKP2B pada tingkat Pengguna Barang.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN PKP2B pada tingkat Kuasa Pengguna Barang.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus pada Pengelola Barang yang selanjutnya disingkat UAKPB PL BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN PKP2B yang berada pada Pengelola Barang.
Pihak Lain adalah pihak selain Pengelola Barang, Pengguna Barang, Kuasa Pengguna Barang, Kontraktor dan pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dalam pelaksanaan kegiatan usaha Mineral dan Batubara.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN PKP2B yang belum atau tidak digunakan secara optimal dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Sewa adalah Pemanfaatan BMN PKP2B oleh Pihak Lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.
Sewa Operasi adalah kegiatan dimanfaatkannya BMN PKP2B oleh pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan membayar tarif tertentu dalam bentuk uang kepada negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pinjam Pakai adalah penyerahan penggunaan BMN PKP2B antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau antar Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah dalam jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada Pengelola Barang.
Pemindahan Status Penggunaan adalah pengalihan status BMN PKP2B menjadi BMN.
Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B.
Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B kepada Pihak Lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang.
Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B yang dilakukan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, atau antara Pemerintah Pusat dengan Pihak Lain, dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang, paling sedikit dengan nilai seimbang.
Hibah adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau dari Pemerintah Pusat kepada Pihak Lain, tanpa memperoleh penggantian.
Penyertaan Modal Pemerintah Pusat adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara pada Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan usaha lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan saham negara.
Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN PKP2B.
Penghapusan adalah tindakan menghapus catatan BMN PKP2B dari daftar BMN PKP2B/daftar rincian aset Kontraktor PKP2B dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang, Pengguna Barang, Kuasa Pengguna Barang, dan/atau Kontraktor dari tanggung jawab administratif dan fisik atas BMN PKP2B yang berada pada penguasaannya.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, Inventarisasi, dan pelaporan BMN PKP2B sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Inventarisasi adalah kegiatan untuk pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan BMN PKP2B.
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian berupa BMN PKP2B pada saat tertentu.
Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penilai Publik adalah Penilai selain Penilai Pemerintah yang mempunyai izin praktik Penilaian dan menjadi anggota asosiasi Penilai yang diakui oleh Pemerintah.
Limbah Sisa Operasi adalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan usaha pertambangan batubara.
Sertipikasi adalah proses yang dilakukan pejabat yang berwenang di bidang pertanahan untuk menerbitkan surat tanda bukti hak atas tanah guna memberikan kepastian hukum dalam rangka menjaga dan mengamankan BMN PKP2B.
Kepentingan Umum adalah kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan, termasuk diantaranya kegiatan Pemerintah Pusat/Daerah/Desa dalam lingkup hubungan persahabatan antara negara/daerah/desa dengan negara lain atau masyarakat/lembaga internasional.
Proyek Strategis Nasional adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Badan Usaha yang memiliki sifat strategis untuk pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka upaya penciptaan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dukungan Pemerintah untuk Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Serta Pembiayaan Kreatif Dalam Rangka Percepatan Penyediaan Infrastruktur di Ibu Ko ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Ibu Kota Negara adalah Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ibu Kota Negara bernama Nusantara yang selanjutnya disebut sebagai Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara adalah kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu dalam melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu yang merupakan uraian lebih lanjut dari Rencana Induk lbu Kota Nusantara.
Pembiayaan Kreatif ( creative financing ) adalah berbagai skema pembiayaan yang bersumber dari dana swasta maupun dana dari para pemangku kepentingan non pemerintah yang dapat dikombinasikan dengan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Barang Milik Negara.
Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama yang selanjutnya disebut PJPK adalah menteri, kepala lembaga, direksi badan usaha milik negara, dan/atau Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai penyedia atau penyelenggara infrastruktur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam rangka pembiayaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut KPBU IKN adalah kerja sama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dalam rangka pendanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara dengan mengacu pada spesifikasi layanan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh PJPK, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.
Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan/atau perangkat lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Layanan Infrastruktur yang selanjutnya disebut Layanan adalah layanan publik yang disediakan oleh badan usaha pelaksana KPBU IKN kepada masyarakat selaku pengguna selama berlangsungnya masa pengoperasian Infrastruktur oleh badan usaha pelaksana KPBU IKN berdasarkan Perjanjian KPBU IKN.
Penyediaan Infrastruktur Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disingkat Penyediaan Infrastruktur IKN adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan Infrastruktur IKN dan/atau kegiatan pengelolaan Infrastruktur IKN dan/atau pemeliharaan Infrastruktur IKN dalam rangka meningkatkan kemanfaatan Layanan Idi Ibu Kota Nusantara.
Perjanjian Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur IKN yang selanjutnya disebut Perjanjian KPBU IKN adalah perjanjian antara PJPK dengan Badan Usaha Pelaksana dalam rangka Penyediaan Infrastruktur IKN.
Dukungan Pemerintah adalah kontribusi fiskal dan/atau bentuk lainnya yang diberikan oleh Menteri Keuangan, menteri, kepala lembaga, kepala daerah, direksi badan usaha milik negara, direksi badan usaha milik daerah, dan/atau Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka meningkatkan kelayakan finansial dan efektivitas Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN dan Pembiayaan Kreatif ( creative financing ).
Fasilitas Pendukung Penerapan Skema Pendanaan adalah Dukungan Pemerintah yang disediakan oleh Menteri Keuangan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka penyusunan dokumen penyiapan Penyediaan Infrastruktur IKN pada kawasan di Ibu Kota Nusantara.
Fasilitas Pengembangan Proyek adalah Dukungan Pemerintah yang disediakan oleh Menteri Keuangan kepada PJPK dalam rangka penyiapan proyek, pelaksanaan transaksi, dan/atau pelaksanaan perjanjian untuk Penyediaan Infrastruktur IKN.
Dukungan Kelayakan adalah Dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial yang diberikan terhadap proyek KPBU IKN oleh Menteri Keuangan.
Pemanfaatan BMN adalah Dukungan Pemerintah berupa Barang Milik Negara yang diberikan untuk Penyediaan Infrastruktur IKN melalui KPBU IKN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Dokumen Identifikasi adalah kajian awal yang dilakukan oleh PJPK untuk memberikan gambaran mengenai perlunya penyediaan suatu Infrastruktur IKN kebutuhan tertentu serta manfaatnya, apabila dikerjasamakan dengan badan usaha pelaksana melalui KPBU IKN.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Hasil Keluaran adalah seluruh kajian, dokumen, dan/atau bentuk lainnya yang disiapkan dan dipergunakan untuk mendukung proses penyiapan dan pelaksanaan transaksi, konstruksi, serta operasi proyek melalui skema KPBU IKN atau Pembiayaan Kreatif ( creative financing ).
Panitia KPBU IKN adalah tim atau unit yang dibentuk atau ditunjuk oleh menteri, kepala lembaga, direksi badan usaha milik negara, atau Kepala Otorita Ibu Kota Negara untuk membantu dalam pelaksanaan proses perencanaan, persiapan, transaksi, dan pelaksanaan perjanjian kerja sama, serta perumusan kebijakan dan/atau koordinasi yang diperlukan.
Badan Usaha Pelaksana KPBU IKN yang selanjutnya disebut dengan Badan Usaha Pelaksana adalah perseroan terbatas yang didirikan oleh badan usaha hasil pengadaan.
Pengadaan Badan Usaha Pelaksana adalah rangkaian kegiatan dalam rangka mendapatkan mitra kerja sama bagi PJPK dalam melaksanakan proyek KPBU IKN melalui tender atau penunjukan langsung.
Prastudi Kelayakan adalah kajian yang dilakukan untuk menilai kelayakan KPBU IKN.
Studi Kelayakan ( Feasibility Study ) adalah kajian yang dilakukan oleh badan usaha calon pemrakarsa untuk KPBU IKN atas mekanisme prakarsa Badan Usaha untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh surat penetapan sebagai pemrakarsa dari PJPK.
Tahap Pra Penyiapan adalah kegiatan pendampingan penelaahan permohonan atas dokumen Penyediaan Infrastruktur IKN dan/atau penyusunan kelengkapan dokumen terkait Penyediaan Infrastruktur IKN sebelum dilanjutkan dalam tahap penyiapan.
Tahap Penyiapan adalah kegiatan penyusunan dokumen Prastudi Kelayakan, dokumen Dukungan Pemerintah, dokumen penetapan tata cara pengembalian investasi, dokumen ketersediaan tanah, dan dokumen pendukung lainnya untuk pelaksanaan transaksi.
Tahap Transaksi adalah tahap setelah diselesaikannya Tahap Penyiapan, untuk melaksanakan Pengadaan Badan Usaha Pelaksana, penandatanganan perjanjian, dan pemenuhan pembiayaan oleh Badan Usaha Pelaksana.
Tahap Pelaksanaan Perjanjian adalah tahap setelah diselesaikannya Tahap Transaksi yang mencakup antara lain masa konstruksi dan masa penyediaan Layanan.
Surat Persetujuan Fasilitas adalah surat yang ditandatangani oleh Menteri yang berisi persetujuan penggunaan atas penyediaan pemberian fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi.
Kesepakatan Induk untuk Penyediaan dan Pelaksanaan Fasilitas Pendukung Penerapan Skema Pendanaan atau Fasilitas Pengembangan Proyek yang selanjutnya disebut Kesepakatan Induk adalah kesepakatan antara Menteri Keuangan dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko selaku pemberi fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, menteri, atau kepala lembaga selaku PJPK sebagai penerima fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi, yang berisi prinsip dan ketentuan dasar mengenai penyediaan dan pelaksanaan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi yang harus ditaati oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, menteri, atau kepala lembaga selaku PJPK sebagai konsekuensi dari disetujuinya permohonan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi.
Perjanjian Kerja Sama Pelaksanaan Fasilitas adalah perjanjian antara Menteri Keuangan dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan wakil yang sah dari lembaga internasional sehubungan dengan kerja sama pelaksanaan Fasilitas Pengembangan Proyek.
Perjanjian untuk penugasan yang selanjutnya disebut Perjanjian Penugasan adalah perjanjian antara Menteri Keuangan dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan direktur utama dari badan usaha milik negara yang ditugaskan untuk melaksanakan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi yang mengatur secara rinci mengenai hak dan kewajiban dari badan usaha milik negara tersebut sehubungan dengan pelaksanaan penugasan.
Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas adalah perjanjian pelaksanaan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi yang mengatur paling sedikit tentang hak dan kewajiban antara pelaksana fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, menteri, atau kepala lembaga selaku PJPK sehubungan dengan pelaksanaan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi.
Penasihat Transaksi adalah pihak yang terdiri atas tenaga ahli, konsultan, dan penasehat, di bidang teknis, keuangan, hukum dan/atau regulasi, lingkungan dan/atau sektor jasa lainnya, baik berupa perorangan atau badan usaha atau lembaga yang bertugas untuk membantu pelaksanaan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi.
Keputusan Penugasan adalah Keputusan Menteri Keuangan yang berisi penugasan kepada badan usaha milik negara tertentu untuk melaksanakan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi.
Penjajakan Minat Pasar adalah proses interaksi antara PJPK dengan potensial investor dan/atau lenders untuk mengetahui minat, pendapat, dan/atau masukan mereka atas rancangan proyek KPBU IKN yang akan dikerjasamakan.
Konsultasi Publik adalah proses interaksi antara PJPK dengan masyarakat termasuk pemangku kepentingan untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan efektivitas KPBU IKN dan/atau Pembiayaan Kreatif ( creative financing ).
Penetapan Penggunaan Dukungan Pemerintah untuk Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Penetapan Dukungan Pemerintah IKN adalah rapat yang dilaksanakan untuk melakukan penelaahan format dan substansi Hasil Keluaran yang dapat berupa pertimbangan risiko bagi penyusunan struktur proyek, struktur pembiayaan, dan/atau struktur penjaminan, penetapan Hasil Keluaran, penetapan kebijakan penggunaan Dukungan Pemerintah berdasarkan Hasil Keluaran, dan/atau penyusunan rekomendasi atas penggunaan Dukungan Pemerintah.
Penjaminan Infrastruktur adalah pemberian jaminan atas kewajiban finansial PJPK yang ditimbulkan oleh risiko infrastruktur dan tertuang dalam Perjanjian KPBU IKN untuk dilaksanakan berdasarkan perjanjian penjaminan pemerintah.
Penjaminan Pemerintah adalah Penjaminan Infrastruktur yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan bersama- sama dengan badan usaha penjaminan infrastruktur.
Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat BUPI adalah badan usaha yang didirikan oleh pemerintah pusat dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan Penjaminan Pemerintah serta telah diberikan modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perjanjian Penjaminan Pemerintah adalah kesepakatan tertulis yang memuat hak dan kewajiban Menteri Keuangan dengan BUPI yang bersama-sama bertindak selaku penjamin atas Risiko Infrastruktur berdasarkan jenis risiko yang sama atas pembagian nilai jaminan atau berdasarkan jenis risiko yang berbeda, dengan penerima jaminan, dalam rangka Penjaminan Pemerintah.
Risiko Infrastruktur adalah peristiwa yang mungkin terjadi pada proyek kerja sama selama berlakunya Perjanjian KPBU IKN yang dapat memengaruhi secara negatif investasi Badan Usaha Pelaksana dan/atau badan usaha yang meliputi ekuitas dan pinjaman dari pihak ketiga.
Penerima Jaminan adalah Badan Usaha Pelaksana yang menjadi pihak dalam Perjanjian KPBU IKN.
Regres adalah hak penjamin untuk menagih PJPK atas apa yang telah dibayarkan kepada Penerima Jaminan dalam rangka memenuhi kewajiban finansial PJPK dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang yang dibayarkan tersebut ( time value of money ).
Pembayaran Ketersediaan Layanan ( Availability Payment) yang selanjutnya disebut Availability Payment adalah pembayaran secara berkala oleh PJPK kepada Badan Usaha Pelaksana atas tersedianya Layanan yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian KPBU IKN.
Dana Availability Payment adalah dana yang disediakan oleh PJPK sesuai dengan prinsip untuk tidak membagi risiko penerimaan proyek dengan Badan Usaha Pelaksana dalam rangka pelaksanaan Availability Payment sesuai Perjanjian KPBU IKN.
Komitmen Pelaksanaan Pembayaran Availability Payment adalah surat yang berisi pernyataan mengenai komitmen PJPK untuk memastikan tersedianya Dana Availability Payment selama berlakunya kewajiban pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian KPBU IKN.
Penyedia Pembiayaan Infrastruktur adalah badan yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara di lingkungan Kementerian Keuangan dan lembaga yang bergerak di bidang pengelolaan investasi.
Menteri adalah Menteri Keuangan.
Permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 1 ayat (1) huruf h dan Pasal 1 ayat (2) huruf h Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 62 dari 93 halaman. Putusan Nomor 36 P/HUM/2020 tahunnya dengan materi muatan yang telah disepakati paling sedikit memuat: 1) Ruang lingkup dan Prosedur pelayanan kesehatan; 2) Hak dan Kewajiban BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan; 3) Tarif Pelayanan Kesehatan; 4) Tata Cara Pengajuan dan Pembayaran Pelayanan Kesehatan; 5) Monitoring dan Evaluasi; 6) Sanksi; 7) Mekanisme Pemberian Informasi dan penanganan Pengaduan; 8) Lain-lain; Selain daripada hal-hal tersebut di atas, untuk menjamin mutu pelayanan dan tidak adanya Fraud yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan, maka disepakati adanya Audit yang dilakukan oleh baik oleh Internal BPJS Kesehatan maupun Eksternal; 15. Bahwa strategi di bidang pelayanan kesehatan sebagai tindak lanjut penyesuaian iuran jaminan kesehatan sehingga menjadi manfaat bagi Peserta telah dibagi menjadi 3 besar strategi yakni peningkatan mutu layanan dan ketersediaan fasilitas kesehatan, penjaminan manfaat dan sistem pembayaran yang efektif, serta peningkatan efektivitas pengelolaan klaim, utilisasi, dan pengendalian penyalahgunaannya. Ketiga strategi tersebut dijabarkan dalam beberapa kegiatan antara lain: a. Peningkatan mutu layanan dan ketersediaan fasilitas kesehatan. 1) FKTP a) Implementasi kre/rekredensialing elektronik; b) Intensifikasi kepatuhan faskes terhadap regulasi dan PKS; c) Implementasi registrasi pelayanan (antrian) online di FKTP; dan d) Implementasi sistem interpersonal dokter pasien relationship di FKTP. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 57 dari 93 halaman. Putusan Nomor 36 P/HUM/2020 h. Skor Kesisteman BPJS Kesehatan diukur melalui pengujian kualitas sistem berdasarkan Baldrige Excellence Framework 2019 – 2020 (Business) yang dilakukan oleh Indonesian Quality Award Foundation . Berdasarkan hasil asesmen, diperoleh capaian Good Performance dengan skor 518; 7. Bahwa seiring dengan bertambahnya jumlah peserta, sebagai upaya meningkatkan pelayanan kepada peserta, maka terus dilakukan perluasan kerja sama dengan fasilitas kesehatan. Untuk FKTP yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 23.430 telah dilakukan Walk Through Audit (WTA) dan pertemuan koordinasi pelayanan primer sebagai bentuk upaya peningkatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Peserta serta menjaga hubungan kemitraan; 8. Bahwa sedangkan untuk FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 2.459 RS/Kilinik Utama telah dilaksanakan program untuk peningkatan pelayanan kesehatan Peserta di Rumah Sakit yakni peningkatan pemahaman, pertemuan dengan pemangku kebijakan dan asosiasi, pelaksanaan audit yang dilakukan baik oleh internal maupun eksternal baik di tingkat daerah dan tingkat pusat; 9. Bahwa peningkatan-peningkatan kerjasama tersebut membuahkan hasil bagi pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang ditunjukkan berdasarkan data kunjungan Peserta antara lain: a. Rawat Jalan Tingkat Pertama Jumlah kunjungan tercatat per 31 Desember 2019 mencapai 337.694.382 kunjungan, dengan rate kunjungan sebesar 140,47 per mil. Rata-rata kunjungan RJTP per bulan selama periode tahun 2019 sebanyak 28.141.199 kunjungan; b. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RS) Jumlah kunjungan tercatat per 31 Desember 2019 mencapai 84.749.444 kunnjungan atau meningkat sebesar 10.38% bila dibandingkan pada tahun 2018, dengan rate sebesar 33,03 per Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57
Permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 1 ayat (1) huruf h dan Pasal 1 ayat (2) huruf h Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 62 dari 93 halaman. Putusan Nomor 36 P/HUM/2020 tahunnya dengan materi muatan yang telah disepakati paling sedikit memuat: 1) Ruang lingkup dan Prosedur pelayanan kesehatan; 2) Hak dan Kewajiban BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan; 3) Tarif Pelayanan Kesehatan; 4) Tata Cara Pengajuan dan Pembayaran Pelayanan Kesehatan; 5) Monitoring dan Evaluasi; 6) Sanksi; 7) Mekanisme Pemberian Informasi dan penanganan Pengaduan; 8) Lain-lain; Selain daripada hal-hal tersebut di atas, untuk menjamin mutu pelayanan dan tidak adanya Fraud yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan, maka disepakati adanya Audit yang dilakukan oleh baik oleh Internal BPJS Kesehatan maupun Eksternal; 15. Bahwa strategi di bidang pelayanan kesehatan sebagai tindak lanjut penyesuaian iuran jaminan kesehatan sehingga menjadi manfaat bagi Peserta telah dibagi menjadi 3 besar strategi yakni peningkatan mutu layanan dan ketersediaan fasilitas kesehatan, penjaminan manfaat dan sistem pembayaran yang efektif, serta peningkatan efektivitas pengelolaan klaim, utilisasi, dan pengendalian penyalahgunaannya. Ketiga strategi tersebut dijabarkan dalam beberapa kegiatan antara lain: a. Peningkatan mutu layanan dan ketersediaan fasilitas kesehatan. 1) FKTP a) Implementasi kre/rekredensialing elektronik; b) Intensifikasi kepatuhan faskes terhadap regulasi dan PKS; c) Implementasi registrasi pelayanan (antrian) online di FKTP; dan d) Implementasi sistem interpersonal dokter pasien relationship di FKTP. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 57 dari 93 halaman. Putusan Nomor 36 P/HUM/2020 h. Skor Kesisteman BPJS Kesehatan diukur melalui pengujian kualitas sistem berdasarkan Baldrige Excellence Framework 2019 – 2020 (Business) yang dilakukan oleh Indonesian Quality Award Foundation . Berdasarkan hasil asesmen, diperoleh capaian Good Performance dengan skor 518; 7. Bahwa seiring dengan bertambahnya jumlah peserta, sebagai upaya meningkatkan pelayanan kepada peserta, maka terus dilakukan perluasan kerja sama dengan fasilitas kesehatan. Untuk FKTP yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 23.430 telah dilakukan Walk Through Audit (WTA) dan pertemuan koordinasi pelayanan primer sebagai bentuk upaya peningkatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Peserta serta menjaga hubungan kemitraan; 8. Bahwa sedangkan untuk FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 2.459 RS/Kilinik Utama telah dilaksanakan program untuk peningkatan pelayanan kesehatan Peserta di Rumah Sakit yakni peningkatan pemahaman, pertemuan dengan pemangku kebijakan dan asosiasi, pelaksanaan audit yang dilakukan baik oleh internal maupun eksternal baik di tingkat daerah dan tingkat pusat; 9. Bahwa peningkatan-peningkatan kerjasama tersebut membuahkan hasil bagi pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang ditunjukkan berdasarkan data kunjungan Peserta antara lain: a. Rawat Jalan Tingkat Pertama Jumlah kunjungan tercatat per 31 Desember 2019 mencapai 337.694.382 kunjungan, dengan rate kunjungan sebesar 140,47 per mil. Rata-rata kunjungan RJTP per bulan selama periode tahun 2019 sebanyak 28.141.199 kunjungan; b. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RS) Jumlah kunjungan tercatat per 31 Desember 2019 mencapai 84.749.444 kunnjungan atau meningkat sebesar 10.38% bila dibandingkan pada tahun 2018, dengan rate sebesar 33,03 per Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara
Cipta Kerja
Relevan terhadap
Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Rencana struktur rLrang wilayah provinsi merupakan arahan perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah provinsi dan jaringan prasarana wilayah provinsi yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah provinsi selain untuk melayani kegiatan skala provinsi yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem ^jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai. Dalam rencana tata ruang wilayah provinsi digambarkan sistem perkotaan dalam wilayah provinsi dan peletakan ^jaringan prasarana wilayah yang menurut peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan struktur ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Rencana struktur ruang wilayah provinsi memuat rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf c Pola rurang wilayah provinsi merupakan gambaran pemanfaatan rlrang wilayah provinsi, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan provinsi apabila dikelola oleh Pemerintah Daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan pola ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kawasan Kawasan lindung provinsi adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah kabupatenfkota, kawasan lindung yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di wilayah kabupaten/kota lain, dan kawasan-kawasan lindung lain yang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis provinsi merupakan kawasan budi daya yang dipandang sangat penting bagi upaya pencapaian pembangunan provinsi dan/atau menurut peraturan perundang- undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi dapat berupa kawasan permukiman, kawasan kehutanan, kawasan pertanian, kawasan pertambangan, kawasan perindustrian, dan kawasan pariwisata. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten memuat rencana pola rurang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf d Huruf e Cukup ^jelas. Indikasi program utama adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan, dalam rangka mewrrjudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam pen5rusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam men)rusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Ayat (21 Ayat (2) Ayat (3) Ayat (4) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi instansi Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam men5rusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah yang bersangkutan. Selain itu, rencana tersebut menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Rencana tata rLrang wilayah provinsi dan pembangunan jangka panjang provinsi serta pembangunan jangka menengah provinsi merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. rencana rencana Rencana tata ruang disusun untuk ^jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan ^jangka panjang daerah. Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang bar-u hak yang telah dimiliki orang yang ^jangka waktunya melebihi ^jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui. Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang. Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah provinsi berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan kebijakan dan strategi nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan/atau terjadi dinamika internal provinsi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar; atau Ayat (5) Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 24 Dihapus. Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila dinamika internal provinsi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar diakibatkan terjadinya perubahan lingkungan strategis yang antara lain dikarenakan adanya bencana alam, perubahan batas teritorial, perubahan batas wilayah dan/atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi dan/atau dinamika internal provinsi yang tidak mengubah kebijakan dan strategi pemanfaatan rLrang wilayah nasional. Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang. Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas Huruf c Cukup ^jelas Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi. FRESIDEH REPUBL|K INDONESIA Angka 15
Ayat (1) Huruf a T\rjuan penataan ruang wilayah nasional mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional merupakan landasan bagi pembangunan nasional yang memanfaatkan ruang. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional dirumuskan dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan data dan informasi, serta pembiayaan pembangunan. Kebijakan . Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional, antara lain, dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan gIobal, serta mewujudkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Huruf b Sistem perkotaan nasional dibentuk dari kawasan perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat kegiatan skala wilayah, dan pusat kegiatan skala lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan dilengkapi dengan jaringan prasarana wilayah yang tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan. Jaringan prasarana utama merupakan sistem primer yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selain untuk melayani kegiatan berskala nasional yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air. Yang termasuk dalam sistem jaringan primer yang direncanakan adalah jaringan transportasi untuk menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi lalu lintas damai sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Huruf c Pola rllang wilayah nasional merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah nasional, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Kawasan Kawasan lindung nasional, antara lain, adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah provinsi, kawasan lindung yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di wilayah provinsi lain, kawasan lindung yang dimaksudkan untuk melindungi warisan kebudayaan nasional, kawasan hulu daerah aliran sungai suatu bendungan atau waduk, dan kawasan lindung lain yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah. Kawasan lindung nasional adalah kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi dampak dari bencana alam. Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis nasional, antara lain, adalah kawasan yang dikembangkan untuk mendukung fungsi pertahanan dan keamanan nasional, kawasan industri strategis, kawasan pertambangan sumber daya alam strategis, kawasan perkotaan metropolitan, dan kawasan budi daya lain yang menurut peraturan perundang-undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah. Huruf d Yang termasuk kawasan strategis nasional adalah kawasan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kawasan khusus. Huruf e . Huruf e Indikasi program utama merupakan petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam pen5rusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam men5rusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama lima tahunan disusun untuk ^jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Ayat (3) Ayat (a) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam men)rusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan ^jangka panjang. Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, dalam pen5rusunan rencana tata ruang yang baru, hak yang telah dimiliki orang yang ^jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui. Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang. Hasil Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
perlu dilakukan revisi karena ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan/atau keadaan yang bersifat mendasar; atau
tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang bersifat mendasar. Ayat (5) Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) dalam periode 5 (lima) tahun hanya apabila memenuhi syarat terjadinya perubahan lingkungan strategis. Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang. Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 22 Cukup ^jelas Angka 13
Tata Cara Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin di Lingkungan Kementerian Keuangan ...
Relevan terhadap
Koordinasi (1) Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa membuat Laporan Hasil Kegiatan berdasarkan:
bukti Pelanggaran Disiplin;
Berita Acara Ketidakhadiran, Berita Acara Penundaan, dan/atau Berita Acara Pemeriksaan;
informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); dan/atau
rekomendasi akhir Penjatuhan Hukuman Disiplin yang disampaikan oleh pimpinan Unit Organisasi Terperiksa dalam hal terdapat perbedaan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. (2) Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin;
tujuan dan ruang lingkup Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin;
hasil Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin;
hasil MPJHD;
faktor yang memberatkan dan/atau faktor yang meringankan; dan
kesimpulan yang mencantumkan:
Pelanggaran Disiplin yang dilakukan, ketentuan yang dilanggar, rekomendasi jenis Hukuman Disiplin yang dijatuhkan, dan PYBM, dalam hal Terperiksa terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin; atau
pernyataan tidak bersalah, dalam hal Terperiksa tidak terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin. (3) Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan paling lama:
5 (lima) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; atau
7 (tujuh) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, terhitung sejak tanggal Berita Acara Ketidakhadiran dan/atau Berita Acara Pemeriksaan. (4) Dalam hal terdapat perbedaan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Laporan Hasil Kegiatan diselesaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pimpinan Unit Organisasi Terperiksa menyampaikan rekomendasi akhir Penjatuhan Hukuman Disiplin. (5) Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 16 (1) Dalam hal Laporan Hasil Kegiatan menyatakan bahwa Terperiksa terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin dan kewenangan untuk menjatuhkan Hukuman Disipliri merupakan: jdih.kemenkeu.go.id a. kewenangan Atasan Langsung Terperiksa, maka berdasarkan Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Atasan Langsung menjatuhkan Hukuman Disiplin; atau
kewenangan Pejabat yang Lebih Tinggi, maka Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 disampaikan oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa kepada Pejabat yang Lebih Tinggi secara berjenjang paling lama:
3 (tiga) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; atau
5 (lima) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, terhitung sejak tanggal Laporan Hasil Kegiatan. (2) Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa menyampaikan Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melampirkan minimal:
Berita Acara Ketidakhadiran, Berita Acara Penundaan, dan/atau Berita Acara Pemeriksaan;
bukti Pelanggaran Disiplin;
kertas kerja MPJHD;
informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); dan
Laporan Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal Pejabat yang Lebih Tinggi:
merupakan PYBM sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka berdasarkan Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat yang Lebih Tinggi menjatuhkan Hukuman Disiplin; atau
bukan merupakan PYBM sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka Pejabat yang Lebih Tinggi menyampaikan Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada PYBM paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penyampaian Laporan Hasil Kegiatan dari atasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Pasal 17 (1) Dalam hal Laporan Hasil Kegiatan menyatakan bahwa Terperiksa tidak terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin dan dinyatakan tidak bersalah, Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa menyampaikan laporan kepada pimpinan Unit Organisasi Terperiksa dan unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing unit organisasi, dengan tembusan kepada Inspektur Jenderal, secara hierarki melalui Pejabat yang Lebih Tinggi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal Laporan Hasil Kegiatan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan minimal :
Berita Acara Pemeriksaan; jdih.kemenkeu.go.id b. bukti yang menjadi dasar bahwa Terperiksa tidak melakukan Pelanggaran Disiplin; dan
Laporan Hasil Kegiatan. Pasal 18 (1) Atasan langsung yang tidak melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Terperiksa, dan/atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan kepada PYBM sesuaijangka waktu yang ditentukan, dijatuhi Hukuman Disiplin yang lebih berat dari Terperiksa. (2) Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses pemeriksaan. Pasal 19 Terhadap Pegawai yang mendapatkan penugasan di luar Unit Organisasi asal Pegawai yang bersangkutan, ketentuan pemeriksaan dan rekomendasi tingkat dan jenis Hukuman Disiplin berlaku sebagai berikut:
bagi Pegawai yang ditugaskan pada unit organisasi non- Eselon di lingkungan Kementerian Keuangan, pemeriksaan dan rekomendasi tingkat dan jenis Hukuman Disiplin mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan, Peraturan Menteri ini, dan/atau ketentuan mengenai Disiplin PNS di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan mempertimbangkan kesesuaian bobot jabatan dalam rentang peringkat jabatan pada Jabatan Pimpinan Tinggi dan/atau Jabatan Administrasi; dan
bagi Pegawai yang ditugaskan pada instansi di luar Kementerian Keuangan, pemeriksaan dan rekomendasi tingkat dan jenis Hukuman Disiplin mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan, Peraturan Menteri ini, dan/atau ketentuan mengenai Hukuman Disiplin PNS di lingkungan Kementerian Keuangan. Pasal 20 (1) Terhadap calon PNS Kementerian Keuangan yang diduga melakukan Pelanggaran Disiplin; dilakukan pemeriksaan dan penjatuhan hukuman disiplin kepada yang bersangkutan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. (2) Terhadap calon PNS Kementerian Keuangan yang terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin tingkat sedang atau berat setelah dilakukan pemeriksaan, diberhentikan sebagai calon PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Manajemen PNS. Pasal 21 (1) Proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dihentikan dalam ha! Terperiksa:
meninggal dunia;
dalam proses pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani; atau
diberhentikan sementara karena menjadi tersangka dengan penahanan. (2) Proses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuktikan dengan hasil pemeriksaan tim jdih.kemenkeu.go.id penguji kesebatan sesuai clengan ketentuan peraturan perunclang-unclangan. (3) Dalam bal Terperiksa sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) buruf b clinyatakan cakap jasmani clan/atau robani berclasarkan basil pemeriksaan tim penguji kesebatan, proses pemeriksaan diusulkan kembali oleb Atasan Langsung. (4) Dalam bal Terperiksa sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) buruf c cliaktifkan kembali sebagai PNS, proses pemeriksaan cliusulkan kembali oleb Atasan Langsung. Pasal 22 (1) Dalam bal berclasarkan basil pemeriksaan terclapat inclikasi penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara, maka Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa wajib berkoorclinasi clengan Inspektorat Jencleral. (2) Dalam bal inclikasi sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) terbukti, maka Inspektorat Jencleral merekomenclasikan Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melaporkan kepacla aparat penegak bukum. BAB III TINDAKAN MANAJERIAL DALAM PROSES PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN Pasal 23 (1) Dalam bal terclapat inclikasi tinclak piclana pelanggaran peraturan perunclang-unclangan yang clilakukan oleb Terperiksa, inclikasi tinclak piclana climaksucl ticlak mengbalangi pelaksanaan pemanggilan, pemeriksaan clan penjatuban Hukuman Disiplin terbaclap Terperiksa. (2) Dalam bal terperiksa sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) clitetapkan sebagai tersangka namun ticlak clilakukan penahanan, penetapan tersangka climaksucl ticlak mengbalangi pemanggilan, pemeriksaan, clan penjatuban bukuman clisiplin terbaclap terperiksa. (3) Dalam bal Terperiksa sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) clitahan karena menjacli tersangka, maka:
kepacla yang bersangkutan clilakukan pemberbentian sementara sebagai PNS sesuai clengan ketentuan peraturan perunclang-unclangan mengenai Manajemen Pegawai Negeri Sipil; clan b. proses Pemeriksaan Hukuman Disiplin Pegawai yang bersangkutan clibentikan sesuai ketentuan sebagaimana climaksucl clalam Pasal 21 ayat (1). (4) Dalam hal Terperiksa cliaktifkan kembali sesuai clengan ketentuan peraturan perunclang-unclangan, Atasan Langsung mengusulkan kembali proses Pemeriksaan Hukuman Disiplin Pegawai yang bersangkutan sebagaimana climaksucl clalam Pasal 21 ayat (4). Pasal 24 (1) Dalam hal terhaclap pelanggaran clisiplin yang telah menclapat rekomenclasi bukuman clisiplin tingkat berat sebagaimana climaksucl clalam Pasal 3 ayat (3) memenuhi konclisi: jdih.kemenkeu.go.id a. menjadi pemberitaan di media massa nasional atau media elektronik; dan/atau
Terperiksa menjadi tersangka tindak pidana yang tidak dilakukan penahanan; dan/atau
berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, dan/atau penerimaan hadiah yang berhubungan dengan pekerjaan/jabatan, dan/atau menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain, pimpinan Unit Organisasi Terperiksa wajib memproses pembebasan sementara dari tugas jabatan kepada Terperiksa paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya Informasi Pelanggaran Disiplin dengan Rekomendasi Hukuman Disiplin tingkat berat. (2) Dalam hal Terperiksa atas Pelanggaran Disiplin dengan kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
Pejabat Pengawas, Pejabat Administrator, Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, dan Pejabat Fungsional, maka pimpinan Unit Organisasi Terperiksa memproses pemberhentian dari jabatan setelah diterbitkannya rekomendasi karena tidak memenuhi persyaratan untuk diangkat dalam jabatan berkenaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai Manajemen PNS; dan
pelaksana, maka pimpinan Unit Organisasi Terperiksa memproses pemindahan Pegawai yang bersangkutan ke dalam unit yang tidak memiliki keterkaitan dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan. (3) Terperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai jabatan Pelaksana Umum pada unit yang menangani sumber daya manusia tingkat unit organisasi dengan pembatasan akses terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi, kecuali tugas dan fungsi dibidang persuratan dan presensi sampai dengan ditetapkannya Hukuman Disiplin atau Laporan Hasil Kegiatan yang menyatakan tidak bersalah. (4) Tindakan terhadap Terperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh masing-masing Unit Organisasi Terperiksa sesuai dengan tugas dan fungsinya serta berkoordinasi dengan Sekretariat Jenderal c.q. Biro Sumber Daya Manusia dan lnspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi. BAB IV PELAKSANAAN PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN Bagian Kesatu Metode Penentuan Jenis Hukuman Disiplin Pasal 25 (1) Dalam pemberian rekomendasi, penentuan, dan/atau Penjatuhan Hukuman Disiplin di lingkungan Kementerian Keuangan, Inspektorat Bidang Investigasi, Unit Kepatuhan Internal, Atasan Langsung, dan/atau Tim Pemeriksa menggunakan MPJHD. (2) Tahapan penggunaan MPJHD, yaitu: jdih.kemenkeu.go.id a. menentukan ketentuan yang dilanggar oleh Terperiksa;
menentukan salah satu kategori kelompok pasal Pelanggaran Disiplin sebagai berikut:
kelompok I yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan secara pasti tingkat dan jenis Hukuman Disiplinnya yaitu pelanggaran atas kewajiban untuk masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;
kelompok II yaitu jenis pelanggaran yang harus mempertimbangkan Dampak Negatif dalam penentuan jenis Hukuman Disiplin, yang terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah; b) kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; c) kewajiban untuk melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang; d) kewajiban untuk menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; e) kewajiban untuk melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran kesadaran, dan tanggungjawab; f) kewajiban untuk menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; g) kewajiban untuk menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; h) kewajiban untuk bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; i) kewajiban untuk mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan; j) kewajiban untuk melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara; k) kewajiban untuk menggunakan dan memelihara barang milik negara dengan sebaik-baiknya;
kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan kompetensi; m) larangan memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau jdih.kemenkeu.go.id tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga rnilik negara secara tidak sah; n) larangan melakukan pungutan di luar ketentuan; o) larangan melakukan kegiatan yang merugikan negara; p) larangan bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan; dan/atau q) larangan menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
kelompok III yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan tingkat Hukuman Disiplinnya namun belum diatur penentuan jenisnya, yang terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji PNS; b) kewajiban untuk menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji jabatan; c) kewajiban untuk menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d) larangan menyalahgunakan wewenang; e) larangan menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan; f) larangan menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain; g) larangan bekerja pada lembaga atau organisasi internasional tanpa izin atau tanpa ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; h) larangan bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing kecuali ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; i) larangan menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan;dan/atau j) larangan meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan;
kelompok IV yaitu jenis pelanggaran atas larangan melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
kelompok V yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan tingkat Hukuman Disiplinnya berdasarkan ketaatan pelaporan harta kekayaan bagi pihak tertentu atau perbuatan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan politik, terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang jdih.kemenkeu.go.id sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;dan/atau b) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau
kelompok VI yaitu jenis pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS;
menentukan jenis Hukuman Disiplin dengan mempertimbangkan faktor yang memberatkan dan/atau faktor yang meringankan;
mengonversi faktor yang memberatkan dan/atau faktor yang meringankan menjadi nilai;
faktor yang memberatkan dan/atau meringankan harus didukung bukti;
menghitung nilai akhir dengan ketentuan:
dalam hal nilai akhir melewati rentang nilai bawah tingkat Hukuman Disiplin setelah mempertimbangkan faktor yang meringankan, maka Hukuman Disiplin yang diberikan merupakan jenis paling rendah pada tingkat tersebut; dan
dalam hal nilai akhir melewati rentang nilai atas tingkat Hukuman Disiplin setelah mempertimbangkan faktor yang meringankan, Hukuman Disiplin yang diberikan merupakan jenis paling tinggi pada tingkat tersebut. g. mengonversi nilai akhir dengan memperhatikan rentang nilai tempat nilai akhir tersebut berada;
menentukan 1 (satu) jenis Hukuman Disiplin yang terberat dalam hal Terperiksa melakukan beberapa pelanggaran setelah dilakukan perhitungan terhadap masing-masing pelanggaran; dan
menetapkan jenis Hukuman Disiplin. (3) Dalam hal terdapat ketentuan peraturan perundang- undangan yang telah secara spesifik mengatur tingkat Hukuman Disiplin atas suatu Pelanggaran Disiplin namun belum diatur jenis Hukuman Disiplin yang perlu dijatuhkan, maka MPJHD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya digunakan untuk menentukan jenis Hukuman Disiplin atas Pelanggaran Disiplin yang berkenaan. (4) MPJHD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 26 (1) Pelanggaran kewajiban untuk masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) hurufb angka 1, berupa: jdih.kemenkeu.go.id a. tidak masuk bekerja; atau
terlambat masuk bekerja, pulang sebelum waktunya, tidak mengganti keterlambatan, tidak mengisi daftar hadir berdasarkan bukti daftar hadir dan tanpa alasan yang sah, dan/atau tidak melaksanakan tugas berdasarkan pertimbangan Atasan Langsung karena tidak adanya bukti hasil kerja. (2) Pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung secara kumulatif dan dilakukan konversi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) (3) (4) Pasal 27 Penentuan jenis Hukuman Disiplin mempertimbangkan Dampak Negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 2, yaitu berupa turunnya harkat, martabat, citra, kepercayaan, nama baik dan/atau mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas pada:
unit kerja;
instansi; atau
pemerintah dan/atau negara. Pelanggaran Disiplin yang memiliki Dampak Negatif terhadap unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan pelanggaran yang memenuhi salah satu atau lebih unsur sebagai berikut:
menimbulkan budaya kerja yang negatif apabila dilakukan oleh perseorangan dan di lingkungan unit kerja yang bersangkutan;
pelayanan pada unit kerja terganggu, namun tidak berdampak terhadap keuangan negara;
tidak tercapainya kinerja/target unit kerja, apabila kinerja/target hanya terkait unit kerja;
menurunnya kepuasan pengguna layanan unit kerja; dan/atau
menimbulkan keluhan dari pengguna layanan unit kerja secara berulang. Pelanggaran Disiplin yang memiliki Dampak Negatif terhadap instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan pelanggaran yang memenuhi salah satu atau lebih unsur sebagai berikut:
pencemaran nama baik/ citra instansi yang terungkap melalui pengaduan selain saluran pengaduan yang dikelola Kementerian Keuangan;
menjadi perhatian minimal pimpinan Unit Organisasi Terperiksa;
membahayakan keamanan atau keselamatan Pegawai Kementerian Keuangan dan/atau pihak eksternal Kementerian Keuangan; dan/atau
tidak tercapainya kinerja/target target menyangkut instansi mempengaruhi pencapaian Kementerian Keuangan. instansi, apabila namun tidak kinerja/target Pelanggaran Disiplin yang memiliki Dampak Negatif terhadap pemerintah dan/atau negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan pelanggaran jdih.kemenkeu.go.id yang memenuhi salah satu atau lebih unsur sebagai berikut:
pencemaran nama baik/ citra Kementerian Keuangan yang terungkap melalui media massa nasional;
menjadi perhatian Menteri Keuangan, Menteri Koordinator, Wakil Presiden, dan/atau Presiden;
membahayakan keamanan negara;
tidak tercapainya kinerja/target Kementerian Keuangan atau mempengaruhi pencapaian target secara nasional;
menimbulkan potensi kerugian negara dan/atau potensi hilangnya pendapatan/penerimaan negara;
merusak lingkungan/ kesehatan/ keamanan masyarakat; dan/atau
memberikan keuntungan bagi pihak ketiga. Pasal 28 (1) Dalam hal Pelanggaran Disiplin yang dilakukan termasuk dalam kategori kelompok ketentuan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 3 dan dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) Terperiksa secara bersama-sama, penentuan jenis Hukuman Disiplin mempertimbangkan peran dari masing-masing Terperiksa. (2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi sebagai:
inisiator, yaitu Terperiksa yang menganjurkan, merencanakan, dan/atau memberi instruksi Pelanggaran Disiplin;
pelaku aktif, yaitu Terperiksa yang melaksanakan dan/atau membantu Pelanggaran Disiplin; atau
pelaku pasif, yaitu Terperiksa yang hanya menerima manfaat dari Pelanggaran Disiplin atas sepengetahuan atau patut menduga penerimaan tersebut berkenaan dengan Pelanggaran Disiplin. (3) Terperiksa dengan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pada MPJHD direkomendasikan Hukuman Disiplin jenis paling berat pada tingkat Hukuman Disiplin yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai Disiplin PNS. (4) Terperiksa dengan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pada MPJHD direkomendasikan Hukuman Disiplin dengan jenis Hukuman Disiplin lebih rendah dari jenis Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Terperiksa dengan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pada MPJHD direkomendasikan Hukuman Disiplin dengan jenis Hukuman Disiplin lebih rendah dari jenis Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Bagian Kedua Tata Cara Penjatuhan Hukuman Disiplin Pasal 29 (1) Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diterbitkan PYBM paling lama 15 (lima jdih.kemenkeu.go.id belas) hari kerja sejak menerima Laporan Hasil Kegiatan dan/atau Laporan Hasil Pemeriksaan. (2) Ketentuanjangka waktu penerbitan keputusan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal Menteri selaku Pejabat Pembina Kepegawaian bertindak sebagai PYBM. (3) Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Dalam hal diperlukan, sebelum menerbitkan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PYBM dapat meminta penjelasan dari Atasan Langsung, Tim Pemeriksa, Inspektorat Jenderal, unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing Unit Organisasi Terperiksa, dan/atau keterangan dari pihak lain. (5) Dalam hal Menteri selaku Pejabat Pembina Kepegawaian bertindak sebagai PYBM, permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikoordinasikan oleh Sekretariat Jenderal c.q. Biro Sumber Daya Manusia. (6) Dalam hal terdapat bukti dan/atau informasi baru, baik yang berasal dari permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) maupun yang berasal dari sumber lainnya, maka PYBM dapat menetapkan Penjatuhan Hukuman Disiplin selain yang sudah direkomendasikan sepanjang bukti dan/atau informasi baru tersebut menurut PYBM secara material menyebabkan perubahan tingkat dan/ataujenis Hukuman Disiplin. (7) Penetapan Penjatuhan Hukuman Disiplin selain yang sudah direkomendasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
PYBM dapat menetapkan Penjatuhan Hukuman Disiplin yang berbeda dari rekomendasi sepanjang masih dalam kewenangannya; dan/atau
dalam hal Penetapan Penjatuhan Hukuman Disiplin menjadi berada di luar kewenangan pejabat yang bersangkutan, maka berkas pemeriksaan dilakukan penelitian lebih lanjut oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa. (8) Penyesuaian rekomendasi dan/atau pengembalian berkas pemeriksaan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus didokumentasikan dalam bentuk naskah dinas. Pasal 30 (1) Dalam hal PYBM tidak menjatuhkan Hukuman Disiplin kepada Pegawai yang melakukan Pelanggaran Disiplin, maka PYBM dijatuhi Hukuman Disiplin oleh atasannya. (2) Hukuman Disiplin yang dijatuhkan kepada PYBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jenis Hukuman Disiplin yang lebih berat dari yang seharusnya diberikan kepada Terperiksa. (3) Penjatuhan Hukuman Disiplin kepada PYBM yang tidak menjatuhkan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud jdih.kemenkeu.go.id pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang dan dilakukan setelah melalui proses pemeriksaan. (4) Selain menjatuhkan Hukuman Disiplin kepada PYBM, atasan dari PYBM juga menjatuhkan Hukuman Disiplin terhadap Pegawai yang melakukan Pelanggaran Disiplin. BABV TINGKAT DAN JENIS HUKUMAN DISIPLIN Pasal 31 (1) Tingkat Hukuman Disiplin terdiri atas:
Hukuman Disiplin ringan;
Hukuman Disiplin sedang; dan
Hukuman Disiplin berat. (2) Jenis Hukuman Disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
teguran lisan;
teguran tertulis; dan
pernyataan tidak puas secara tertulis. (3) Jenis Hukuman Disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enam) bulan;
pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 9 (sembilan) bulan; dan
pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 12 (dua belas) bulan. (4) Jenis Hukuman Disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan;
pembebasan dari jabatannya menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan; dan
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS. Pasal 32 (1) Penjatuhan Hukuman Disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) huruf a untuk Pejabat Pengawas, Pejabat Fungsional, dan Pelaksana memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau ketentuan di lingkungan Kementerian Keuangan mengenai Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Peringkat Jabatan Pelaksana. (2) Pejabat Pimpinan Tinggi, Pejabat Administrator, Pejabat Fungsional selain jenjang terendah pada kategorinya yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui penurunan jabatan setingkat lebih rendah dengan diberikan jabatan dan peringkat sesuaijabatan baru hasil penurunanjabatan. (3) Pejabat Pengawas yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui:
pemberhentian dari Jabatan Pengawas; dan jdih.kemenkeu.go.id b. penetapan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat paling tinggi berdasarkan pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir. (4) Pejabat Fungsionaljenjang terendah pada kategorinya yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui:
pemberhentian dari Jabatan Fungsional, dan b. penetapan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat paling tinggi berdasarkan pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir serta tidak lebih tinggi dari peringkat jabatan terakhir sebagai Pejabat Fungsional sebelumnya. (5) Pelaksana yang dijatuhi hukuman disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan penerapannya sebagai berikut:
untuk Pelaksana Umum diturunkan jabatan dan peringkat 1 (satu) tingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan;
untuk Pelaksana Tugas Belajar ditetapkan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dan diturunkan peringkat jabatannya 1 (satu) tingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan; dan
untuk Pelaksana Khusus dan Pelaksana Tertentu ditetapkan sebagai Pelaksana Umum serta ditetapkan jabatan dan peringkat sesuai pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir dan paling tinggi 1 (satu) tingkat lebih rendah dari peringkat jabatan terakhir sebagai Pelaksana Khusus/Pelaksana Tertentu. Pasal 33 (1) Penjatuhan Hukuman Disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) huruf b untuk Pejabat Pengawas, Pejabat Fungsional, dan Pelaksana memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau ketentuan di lingkungan Kementerian Keuangan mengenai Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Peringkat Jabatan Pelaksana. (2) Pejabat Pimpinan Tinggi, Pejabat Administrator, Pejabat Fungsional selain jenjang terendah pada kategori keahlian dan selain kategori keterampilan yang dijatuhi hukuman disiplin berat berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui penetapan sebagai Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat sesuai pangkat/ golongan dan pendidikan terakhir. (3) Pejabat Pengawas yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui:
pemberhentian dari Jabatan Pengawas; dan
penetapan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat 1 (satu) tingkat lebih rendah darijabatan dan peringkat paling jdih.kemenkeu.go.id tinggi berdasarkan pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir. (4) Pejabat Fungsional kategori keterampilan dan jenjang terendah pada kategori keahlian yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa pembebasan darijabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui:
pemberhentian dari Jabatan Fungsional;
penetapan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat 2 (dua) tingkat dibawah jabatan dan peringkat berdasarkan pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir. (5) Pelaksana yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya sebagai berikut:
untuk Pelaksana Umum dilakukan melalui penurunan jabatan dan peringkat ke jabatan dan peringkat terendah bagi Jabatan Pelaksana Umum di lingkungan Kementerian Keuangan selama 12 (dua belas) bulan;
untuk Pelaksana Khusus, Pelaksana Tugas Belajar dan Pelaksana Tertentu ditetapkan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan jabatan dan peringkat terendah bagi Jabatan Pelaksana Umum di lingkungan Kementerian Keuangan selama 12 (dua belas) bulan; dan
Hukuman Disiplin bagi Jabatan Pelaksana Umum dengan peringkat jabatan terendah bagi Jabatan Pelaksana Umum di lingkungan Kementerian Keuangan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 34 (1) Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 berlaku sebagai berikut:
Penjatuhan Hukuman Disiplin mempertimbangkan formasi jabatan yang lowong pada unit asal atau unit lain yang mempunyai formasi jabatan sesuai dengan penetapan Penjatuhan Hukuman Disiplin; dan
Penjatuhan Hukuman Disiplin wajib ditindaklanjuti dengan menetapkan keputusan pengangkatan atau penetapan jabatan dan peringkat dalam jabatan yang baru. (2) Pegawai yang telah selesai menjalani Hukuman Disiplin berupa pembebasan dari jabatannya menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, yang kemudian diangkat dalam jabatan wajib dilantik dan diambil sumpah/janjinya. (3) Penetapan jabatan dan peringkat Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin serta penetapannya sebagai Pelaksana Umum dilakukan sesuai dengan:
penjelasan pedoman pelaksanaan penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Larnpiran III huruf A; dan jdih.kemenkeu.go.id b. contoh format keputusan penetapan jabatan dan peringkat Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf 0, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 35 Terhadap Pegawai yang telah selesai menjalani Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33, berlaku ketentuan sebagai berikut:
terhadap Pegawai yang bersangkutan tidak serta merta kembali kepadajabatan yang semula didudukinya;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan selain jabatan Pelaksana, dapat dilakukan pengangkatan dalam jabatan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Manajemen Karier dan/atau Manajemen Talenta;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan Pelaksana Umum atau Pelaksana Tugas Belajar, setelah menjalani Hukuman Disiplin berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, penetapan jabatan dan peringkat bagi Pegawai yang bersangkutan mengikuti ketentuan mengenai mekanisme penetapanjabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan Pelaksana Umum atau Pelaksana Tugas Belajar, setelah menjalani Hukuman Disiplin berupa Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b untuk kelompok II, kelompok III, kelompok V, dan kelompok VI selain pelanggaran terkait dengan izin/surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama, penetapan jabatan dan peringkat bagi Pegawai yang bersangkutan mengikuti ketentuan mengenai mekanisme penetapan jabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan Pelaksana Umum atau Pelaksana Tugas Belajar, setelah menjalani Hukuman Disiplin berupa Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b untuk kelompok I dan kelompok VI dalam bentuk pelanggaran terkait dengan izin/ surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama, Pegawai yang bersangkutan ditetapkan kembali dalam jabatan Pelaksana dengan jabatan 2 (dua) tingkat di bawah peringkat jabatan sebelum dijatuhi Hukuman Disiplin;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki Jabatan Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu, setelah menjalani Hukuman Disiplin berupa penurunan Jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan atau jdih.kemenkeu.go.id pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, Pegawai yang bersangkutan dapat ditetapkan kembali dalam Jabatan:
Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu, dengan jabatan 1 (satu) tingkat lebih rendah berdasarkan peringkat jabatan Pelaksana Khusus/Pelaksana Tertentu sebelum dijatuhi Hukuman Disiplin;
untuk Jabatan Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu pada jenjang terendah, ditetapkan kembali dalam Jabatan Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu pada jabatan dan peringkat yang sama;
Pelaksana Umum, dengan penetapan jabatan dan peringkat mengikuti ketentuan mengenai mekanisme penetapan jabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan dalam hal Hukuman Disiplin berupa Pembebasan dari Jabatan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b untuk kelompok II, kelompok III, kelompok V dan kelompok VI selain pelanggaran terkait dengan izin/ surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama; atau
Pelaksana Umum, dengan penetapan jabatan dan peringkat 2 (dua) tingkat di bawah peringkat jabatan paling tinggi sesuai dengan pangkat, golongan ruang dan pendidikan terakhir dalam hal Hukuman Disiplin berupa Pembebasan dari Jabatan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b untuk kelompok I dan kelompok VI dalam bentuk pelanggaran terkait dengan izin/surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama;
Akumulasi masa kerja yang berlaku dalam penetapan jabatan dan peringkat bagijabatan Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu setelah yang bersangkutan selesai menjalani hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada huruf f mengacu pada masa kerja terendah dalam jabatan baru;
Ketentuan setelah menjalani hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada huruf f dan huruf g dilakukan sesuai dengan:
penjelasan pedoman pelaksanaan penerapan Penetapan Jabatan dan Peringkat Bagi Pelaksana Umum, Pelaksana Khusus, dan Pelaksana Tertentu yang selesai menjalankan Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf B; dan
contoh format keputusan penetapan jabatan dan peringkat Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf P, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id BAB VI PEMOTONGAN TUNJANGAN SEBAGAI DAMPAK HUKUMAN DISIPLIN Pasal 36 (1) Hukuman Disiplin bagi Pegawai berdampak pada pemotongan Tunjangan. (2) Pemotongan Tunjangan diberlakukan pada Pelanggaran Disiplin kategori kelompok II, kelompok III, kelompok IV, kelompok V, dan kelompok VI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2). (3) Pelanggaran Disiplin terhadap kelompok I tidak berdampak pada pemotongan Tunjangan kecuali dilakukan secara berulang dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak penjatuhan hukuman disiplin ditetapkan. (4) Pemotongan Tunjangan terhadap Pelanggaran Disiplin pada kelompok VI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk pelanggaran terkait dengan izin/ surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama. Pasal 37 (1) Implementasi pemotongan Tunjangan terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin terdiri atas:
terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin ringan, dilakukan pemotongan Tunjangan dengan ketentuan sebagai berikut:
sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 2 (dua) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa teguran lisan;
sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 3 (tiga) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa teguran tertulis; dan
sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enam) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pernyataan tidak puas secara tertulis;
terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin sedang, dilakukan pemotongan Tunjangan dengan ketentuan sebagai berikut:
sebesar 50% (lima puluh persen) selama 6 (enam) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
sebesar 50% (lima puluh persen) selama 9 (sembilan) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan
sebesar 50% (lima puluh persen) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun; dan
terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat, dilakukan pemotongan Tunjangan dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id 1. sebesar 85% (delapan puluh lima persen) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan;
sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksanan selama 12 (dua belas) bulan; dan
sebesar 100% (seratus persen) jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil. (2) Penerapan pemotongan Tunjangan terhadap Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah mengenai Gaji dan Tunjangan. (3) Implementasi pemotongan Tunjangan terhadap Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan untuk bulan berikutnya setelah keputusan Hukuman Disiplin berlaku. BAB VII PENYAMPAIAN KEPUTUSAN DAN BERLAKUNYA HUKUMAN DISIPLIN Pasal 38 (1) Penyampaian keputusan Hukuman Disiplin dilakukan oleh PYBM atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memanggil secara tertulis Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin untuk hadir menerima keputusan Hukuman Disiplin. (3) Surat panggilan tertulis untuk menerima keputusan Hukuman Disiplin disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Keputusan Hukuman Disiplin disampaikan secara tertutup oleh PYBM atau Pejabat Lain yang Ditunjuk kepada Pegawai yang bersangkutan dan tembusannya disampaikan kepada pejabat lain yang terkait. (5) Penyampaian secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penyampaian keputusan Hukuman Disiplin yang hanya diketahui oleh Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin dan pejabat yang menyampaikan, serta pejabat lain yang terkait. (6) Dalam hal keputusan Hukuman Disiplin ditandatangani secara elektronik, keputusan Hukuman Disiplin tetap disampaikan secara langsung dan didokumentasikan dalam bentuk Berita Acara Serah Terima disusun sesuai dengan format yang tercantum dalam Lampiran I huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id (7) Penyampaian keputusan Hukuman Disiplin dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak keputusan Hukuman Disiplin ditetapkan. (8) Dalam hal Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin tidak hadir pada saat penyampaian keputusan Hukuman Disiplin:
keputusan Hukuman Disiplin dikirim kepada yang bersangkutan sesuai dengan alamat domisili terakhir sesuai yang tercantum dalam data kepegawaian Kementerian Keuangan; dan
dalam hal keputusan hukuman disiplin ditanda-tangani secara elektronik, hasil cetak keputusan Hukuman Disiplin dikirim kepada yang bersangkutan sesuai dengan alamat domisili terakhir sesuai data kepegawaian Kementerian Keuangan, dengan informasi bahwa dokumen asli keputusan telah dikirim ke alamat surat elektronik yang tercantum dalam data kepegawaian Kementerian Keuangan. (9) Pengiriman keputusan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penyampaian keputusan Hukuman Disiplin dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (10) Hukuman Disiplin yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden disampaikan kepada Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin oleh pimpinan instansi atau Pejabat Lain yang Ditunjuk. Pasal 39 (1) Keputusan Hukuman Disiplin berlaku pada hari kerja ke- 15 (lima belas) sejak keputusan diterima Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin. (2) Dalam hal Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin tidak hadir pada saat penyampaian keputusan Hukuman Disiplin, keputusan Hukuman Disiplin berlaku pada hari kerja ke-15 (lima belas) terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan Hukuman Disiplin yang dikirim ke alamat terakhir atau alamat surat elektronik sesuai data kepegawaian Kementerian Keuangan atas Pegawai yang bersangkutan. (3) Keputusan Hukuman Disiplin yang diajukan upaya administratif baik yang berupa keberatan maupun banding administratif, berlaku sesuai dengan keputusan upaya administratifnya. (4) Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Upaya Administratif. Pasal 40 (1) Pegawai yang sedang mengajukan upaya administratif berupa banding administratif kepada Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara dapat mengajukan permohonan izin untuk masuk kerja dan menjalankan tugas kembali kepada Menteri Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Pemberian atau penolakan izin sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang menangani sumber daya manusia pada tingkat Unit Organisasi untuk dan atas nama Menteri Keuangan dengan penerapan sebagai berikut:
memberikan izin masuk bekerja dan melaksanakan tugas kepada Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS karena melakukan Pelanggaran Disiplin kelompok I dan kelompok VI; atau
menolak izin masuk bekerja dan melaksanakan tugas kepada Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil karena melakukan pelanggaran selain pelanggaran sebagairnana dimaksud pada huruf a. (3) Pemberian izin sebagairnana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan unit kerja masing-masing dan apabila mengganggu suasana kerja, permohonan izin masuk kerja dan menjalankan tugas bagi Pegawai dapat ditolak. (4) Pemberian izin sebagairnana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pejabat Pimpinan Tinggi Madya untuk dan atas nama Menteri Keuangan dalam hal:
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhalangan tetap dan/atau sementara; atau
Pegawai yang mengajukan permohonan izin merupakan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama. Pasal 41 Ketentuan mengenai tindakan manajerial dalam proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, pelaksanaan Penjatuhan Hukuman Disiplin, tingkat dan jenis Hukuman Disiplin, pemotongan tunjangan sebagai dampak Hukuman Disiplin, penyampaian keputusan penjatuhan Hukuman Disiplin, dan berlakunya Hukuman Disiplin bagi pejabat administrasi dan pejabat pimpinan tinggi di lingkungan Kementerian Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 40 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tindakan manajerial dalam proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, pelaksanaan Penjatuhan Hukuman Disiplin, tingkat dan jenis Hukuman Disiplin, pemotongan tunjangan sebagai dampak Hukuman Disiplin, penyampaian keputusan penjatuhan Hukuman Disiplin, dan berlakunya Hukuman Disiplin bagi pimpinan unit non-Eselon di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki bobot jabatan dalam rentang peringkat jabatan pada Jabatan Pimpinan Tinggi dan/atau Jabatan Administrasi. BAB VIII PENDOKUMENTASlAN KEPUTUSAN HUKUMAN DISIPLIN Pasal 42 (1) Unit yang menangani sumber daya manusia pada tingkat Unit Organisasi harus mendokumentasikan setiap keputusan Hukuman Disiplin Pegawai di lingkungannya. (2) Dokumen keputusan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai salah satu jdih.kemenkeu.go.id bahan penilaian dalam pengelolaan/manajemen sumber daya manusia terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin. (3) Pendokumentasian keputusan Hukuman Disiplin termasuk dokumen pemanggilan, dokumen pemeriksaan, dan dokumen lain yang terkait dengan Pelanggaran Disiplin, diunggah ke sistem informasi sumber daya manusia Kementerian Keuangan atau aplikasi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 (1) Dokumen surat panggilan, berita acara pemeriksaan, dan dokumen bahan lain yang berhubungan dengan Hukuman Disiplin bersifat rahasia. (2) Keputusan Hukuman Disiplin dapat diinformasikan oleh Sekretariat Jenderal c.q. Biro Sumber Daya Manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik. (3) Inspektorat Jenderal dan/atau Unit yang menangani sumber daya manusia di tingkat pusat dapat mempublikasikan informasi Hukuman Disiplin untuk tujuan penguatan integritas dan/atau upaya peningkatan disiplin di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik. BAB IX PEMANTAUAN DAN EVALUASI Bagian Kesatu Pemantauan dan Evaluasi Pasal 44 (1) Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi dan/atau unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing Unit Organisasi tingkat pusat melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap:
tindak lanjut atas informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3);
pernyataan tidak bersalah pada kesimpulan dalam Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2); dan
tindak lanjut atas Laporan Hasil Kegiatan dan Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). (2) Hasil pemantauan dan evaluasi menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan sumber daya manusia, pencegahan Pelanggaran Disiplin, dan/atau usulan kegiatan penegakan Hukuman Disiplin di lingkungan Kementerian Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Komunikasi Hasil Pemantauan dan Evaluasi Pasal 45 (1) Inspektur Jenderal melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) kepada Menteri Keuangan paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. (2) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi dapat melakukan kegiatan pengawasan terhadap:
Atasan Langsung yang tidak melakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin yang dilakukan oleh bawahannya;
PYBM yang tidak menjatuhkan Hukuman Disiplin terhadap Pegawai yang terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin;
Atasan Langsung, Tim Pemeriksa, dan/atau pejabat/pegawai lainnya dalam hal terdapat tindak lanjut atas Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) yang tidak sesuai dengan ketentuan;
PYBM, dan/atau pejabat/pegawai lainnya dalam hal terdapat tindak lanjut atas Laporan Hasil Kegiatan dan Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) yang tidak sesuai dengan ketentuan; dan/atau
unit lain yang tidak melaksanakan proses penanganan Pelanggaran Disiplin sesuai dengan ketentuan. (3) Dalam hal Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi menindaklanjuti informasi pelanggaran yang berhubungan dengan proses penanganan Pelanggaran Disiplin, dilakukan tanpa menunggu hasil pemantauan dan evaluasi. Pasal 46 Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi dan unit yang menangani sumber daya manusia di tingkat pusat melakukan pembahasan atas hasil Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. BABX HAK KEPEGAWAIAN Pasal 47 (1) Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS:
diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberhentian dan pensiun PNS; dan
tidak diberikan kenaikan pangkat pengabdian. jdih.kemenkeu.go.id (2) Pegawai yang sedang menjalani Hukuman Disiplin tingkat sedang atau tingkat berat tidak dapat dipertimbangkan kenaikan gaji berkala dan kenaikan pangkat. (3) Penundaan kenaikan pangkat bagi Pegawai yang sedang menjalani Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir apabila:
telah selesai menjalani Hukuman Disiplin; atau
berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang dinyatakan upaya administratifnya diterima dan Hukuman Disiplinnya dibatalkan atau diubah menjadi Hukuman Disiplin tingkat ringan. BABXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 48 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
terhadap Pegawai yang sedang menjalani Hukuman Disiplin, Hukuman Disiplin yang telah dijatuhkan bagi Pegawai yang bersangkutan dinyatakan tetap berlaku;
terhadap Pegawai yang sedang menjalani Hukuman Disiplin dan diberikan pemotongan Tunjangan sebagai dampak dari penjatuhan Hukuman Disiplin, pemotongan Tunjangan berkenaan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan selesainya Hukuman Disiplin;
terhadap Pelanggaran Disiplin yang sedang dilakukan Proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan yang telah selesai dilakukan Proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin tetapi belum dilakukan penjatuhan Hukuman Disiplin, maka proses selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
terhadap Informasi Pelanggaran Disiplin yang telah diterima tetapi belum dilakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, maka proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan proses selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 49 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.09/2011 tentang Penggunaan Metode Penentuan Jenis Hukuman Disiplin dalam Rangka Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 465); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 /PMK.09/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1122), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 50 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusan ...
Relevan terhadap
Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 9O Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (1) Pemenuhan kriteria dalam hal pemenuhan persyaratan pengangkatan Bendahara Pengeluaran ditetapkan oleh Bendahara Umum Negara selaku ^pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara. Ayat (21 Cukup ^jelas. Hurufd Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pendapatan Ibu Kota Nusantara lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" termasuk penerimaan negara bukan pajak. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 91 Sistem penerimaan negara diberlakukan oleh Menteri untuk menatausahakan seluruh transalsi penerimaan negara. Pasal 92 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "hibah yang direncanakan, adalah hibah yang dilalsanakan melalui mekanisme perencanaan. Huruf b Yang dimaksud dengan "hibah langsung" adalah hibah yang dilaksanakan tidak melalui mekanisme perencanaan, Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 93 Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat (1) Cukup ^jelas. (21 Cukup ^jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. (s) Dalam pelaksanaan pencairan dana penerimaan negara bukan pajak yang telah dihitung melalui Formula Maksimum Pencairan (MP) dimungkinkan terjadi sisa/sa1do dana penerimaan negara bukan pajak yang belum sempat dicairkan karena tahun anggaran bersangkutan telah berakhir dan sudah memasuki tahun anggaran berikutnya. Sisa/ saldo tersebut tetap dapat dicairkan namun menunggu daJtar isian pelaksanaEm anggaran tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 94 Cukup ^jelas. Pasal 95 Cukup ^jelas. Pasal 96 Pengendalian internal atas pelaksanaan dan pertanggunglawaban anggaran dilakukan oleh organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. Pasal Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 10O Cukup ^jelas. Pasal 1O1 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. 97 Termasuk dalam pelaksanaan anggaran adalah pelaksanaan anggaran belanja yang antara lain meliputi:
Pelaksanaan Komitmen;
Penyelesaian Tagihan kepada Negara;
Penatausahaan Komitmen;
Penyelesaian atas Keterlanjuran Pembayaran; dan
Pembayaran Pengembalian Penerimaan. Yang dimaksud dengan ^uperaturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan dan pertanggungiawaban APBN" termasuk ^peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan yang antara lain mengatur mengenai tuntutan ganti kerugian negara dalam hal terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian kewajiban baik secara langsung maupun tidak langsung yang menimbulkan kerugian ^terhadap keuangan negara. Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata ^cara tuntutan ganti kerugian negara terhadap ^pegawai ^negeri ^bukan bendahara atau pejabat lain, diberlakukan secara mutatis ^mutandis terhadap subjek bukan ^pegawai negeri bukan bendahara ^atau pejabat lain yang melakukan pelanggaran hukum atau kelalaian ^kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ^ini. Pasal 1O3 Cukup ^jelas. Pasal lO4 Ayat (l) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Penetapan Menteri/ Pimpinan Lembaga yang dapat menjadi Pengguna Barang untuk BMN yang berada pada Ibu Kota Nusantara dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dilakukan secara selektif. Termasuk Lembaga dalam ketentuan ini adalah lembaga tinggi negara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 1O6 Cukup ^jelas. Pasal 1O7 Cukup ^jelas. Pasal lO8 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup ^jelas. 29 Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 I Cukup jelas. Pasal 112 Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup ^jelas. Pasal 114 Cukup ^jelas. Pasal 115 Cukup ^jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup ^jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 12O Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk "BMN yang bersifat khusus" adalah barang-barang yang diatur secara khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup ^jelas. Pasal 121 Ayat (i) Cukup jelas. Ayat (21 Huruf a Yang dimalsud dengan ^onilai limit" adalah harga minimal barang yang akan dilelang. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal L22 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup ^jelas. Pasal 124 Cukup ^jelas. Pasal 125 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "rumah negara" adalah BMN yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau hunian dan saiana pembinaan serta menunjang pelalsanaan tugas pejabat negara dan/atau aparatur sipil negara. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Hurufa Dalam hal Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan masih membutuhkan rumah negara, BMN berupa rumah negara tidak dialihkan status penggunaa.nnya kepada Kementerian/ Lembaga lain. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal 126 Cukup ^jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup ^jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Ayat (1) Pengalihan BMD kepada ^pemerintah pusat dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada Otorita lbu Kota Nusantara dan/atau Kementerian/lembaga selaku pengguna Anggaran / ^pengguna Barang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 131 Cukup ^jelas. Pasal 132 Cukup ^jelas. Pasal 133 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Tunjangan atau kompensasi merupakan tunjangan atau kompensasi yang terkait dengan penggantian pemberian fasilitas rumah negara. Nomenklatur pejabat negara/pegawai negeri sipil/prajurit TNl/Anggota Polri mengikuti nomenklatur sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Induk dan ^perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Pemindahan pejabat negara/pegawai negeri sipil/prajurit TNl/Anggota Polri dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Induk dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. 33 Pasal 134 Cukup ^jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Cukup ^jelas. Pasal 137 Cukup ^jelas. Pasal 138 Cukup ^jelas. Pasal 139 Bentuk Pemanfaatan BMN yang mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN berupa Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur, atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan di bidang pengelolaan BMN. Pasal l4O Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Cukup ^jelas. Pasal 146 Cukup ^jelas. Pasal 147 Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hurufa Yang dimaksud dengan "peruntukan tertentu" adalah peruntukan untuk mendukung kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15O Cukup ^jelas. 35 Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Cukup ^jelas. Pasal 153 Cukup ^jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup ^jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup ^jelas. Pasal 159 Cukup ^jelas. Pasal 160 Cukup ^jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Cukup ^jelas. Pasal 163 Cukup ^jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Cukup ^jelas. Pasal 166 Cukup ^jelas. Pasal 167 Ayat ^(1) Cukup ^jelas. Ayat ^(2) Hurufa CukuP ^jelas. Huruf b CukuP ^jelas. Huruf c Pasal 168 Cukup ^jelas. Pasal 169 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pihak mana pun dilarang untuk ^melakukan pemblokiran dan/atau plnyitaan ^terhadap ^ADP ^dan/atau ^hak pengelolaan tanah atas ADP, baik ^secara ^parsial ^maupun keseluruhan. itEl rIIf: IIII STDEN INDONES Pasal 171 Cukup ^jelas. Pasal 172 Cukup ^jelas. Pasal 173 Cukup ^jelas. Pasal 174 Cukup ^jelas. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Cukup ^jelas. Pasal 177 Cukup ^jelas. Pasal 178 Cukup ^jelas. Pasal 179 Cukup ^jelas. Pasal 180 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat Ayat Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup ^jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Ayat (1) Cukup ^jelas. 38 (3) Yang dimaksud dengan ^okegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga" adalah kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelum tahun 2023 telah dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga dengan bekerja sama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian tahun ^jamak. Kegiatan tersebut dapat tetap dilanjutkan oleh Kementerian/ kmbaga yang bersangkutan setelah tahun 2023 dengan pertimbangan antara lain agar terjadi kesinambungan pelaksanaan kegiatan dimaksud untuk mendukung pencapaian target yang ditetapkan.
Huruf a Ketentuan yang diatur antara lain mengenai pencatatan komitmen/perjanjian/kontrak, penyelesaian tagihan, revisi anggaran, pengalihan aset (BMN/konstruksi yang timbul dari pe{anjian) dan kewajibannya, serta pelaporan keuangan. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat Ayat (21 Cukup ^jelas.
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 185 Cukup ^jelas. Pasal 186 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengelolaan anggaran" adalah perencanaan, pelaksanaan, penghapusan, dan pertanggungjawaban sesuai kebijakan akuntansi, pengadaan barang dan ^jasa, dan/atau pengelolaan aset terkait. Yang termasuk lembaga/badan antara lain Bank Indonesia. Ayat 12) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 187 Yang dimaksud dengan "badan usaha" antara lain Badan Usaha Milik Negara. Yang dimaksud dengan "badan layanan'antara lain Badan Layanan Umum- Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, perbendaharaan, dan/atau badan usaha milik negara. 40 Pasal 188 Yang dimaksud dengan "fasilitas/ insentif fiskal" termasuk:
fasilitas perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra antara lain:
pemberian fasilitas/insentif liskal tersebut yang dapat berupa pengurangan pajak penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau
pembebasan bea masuk dan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap impor barang tertentu untuk kepentingan umum oleh pemerintah;
insentif atau fasilitas Pajak Khusus IKN yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kJrususnya dalam rangka Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal l9O Cukup ^jelas.
Pajak Sarang Burung Walet sebageimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf m mengacu pada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
Objek, yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet;
Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau sarang burung walet;
Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet; dan
Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 107o (sepuluh persen). Pasal 57 (l) Dalam rangka pengena.an Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 56, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyampaikan Rancangan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk dilakukan reviu. (2) Rancangan Peraturan Otorita lbu Kota Nusantara yang telah direviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, disampaikan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. (3) Setelah mendapatkan persetqjuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Otorita lbu Kota Nusantara menetapkan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pengenaan Pajak Khusus IKN. (41 Jenis Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 56 dapat tidak dipungut, dalam hal:
potensinya kurang memadai; dan/atau
Otorita Ibu Kota Nusantara menetapkan kebijakan untuk tidak memungut. Paragraf 2 Pungutan Khusus IKN Pasal 58 (1) Jenis Pungutan Khusus IKN yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai retribusi daerah. (21 Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan berdasarkan pelayanan yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara, yang terdiri atas:
pelayanan umum;
penyediaan / pelayanan barang dan/atau jasa; dan/atau
pemberian perizinan tertentu. (3) Objek Pungutan Khusus IKN adalah penyediaan dan/atau pelayanan barang dan/atau jasa serta pemberian perizinan tertentu yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Wajib ^pungutan Khusus IKN. Pasal 59 (1) Bentuk pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a berupa:
pelayanankesehatan;
pelayanankebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan/atau
pengendalian lalu lintas. l2l ^Bentuk ^pelayanan ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dikenakan ^pungutan Khusus IKN dalam hal:
potensi penerimaannya kecil; dan/atau
dalam rangka pelaksanaan kebliakan nasional atau kebljakan Otorita Ibu Kota Nusantara untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma- cuma. (3) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf b berupa:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan/ pesanggrahanl uilla;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Otorita Ibu Kota Nusantara; dan/atau
pemanfaatan aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Otorita Ibu Kota Nusantara dan/atau optimalisasi aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. l4l ^Bentuk ^pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf c berupa:
Pungutan Khusus IKN atas persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetqjuan bangunan gedung oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (6) Pungutan Khusus IKN atas penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana pengguneran tenaga ke{a asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. (71 Pungutan Khusus IKN atas pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan ralryat yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (8) Penambahan bentuk layanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
persetqjuan bangunan gedung;
penggun€ran tenaga kerja asing; dan/atau
pengelolaanpertambanganrakyat. Paragraf 3 Tarif Pungutan Khusus IKN Pasal 60 (1) Tarif Pungutan Khusus IKN merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Pungutan Khusus IKN yang terutang. {21 ^Tarif ^Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut bentuk layanan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif ^pungutan Khusus IKN. Paragraf 4 Tata Cara Pemungutan Pajak Khusus IKN dan pungutan Khusus IKN Pasal 61 (1) Ketentuan lain yang terkait dengan pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, pengaturannya mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. (21 Termasuk ketentuan terkait pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
dasar pengenaan pajak;
pengecualian objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;
saat terutangnya pajak;
tempat terutangnya pajak;
tahun pajak dan masa pajak;
prinsip dan sasaran penetapan tarif pungutan khusus; dan C. ^tata ^cara ^penghitungan tarif pungutan khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tat: - cara p€mungutan Pajak Khusus IKN dan/atau pungutan Khusus IKN diatur dengan peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, Paragraf 5 Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan Pasal 62 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (21 Keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak Khusus IKN, Wajib Pungutan Khusus IKN, dan/atau Objek Pajak Khusus IKN serta bentuk pelayanan Pungutan Khusus IKN. Bagran Kedelapan Skema Pendanaan l,ainnya Pasal 63 Partisipasi badan usaha milik negara dalam mendanai persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara tidak terbatas pada investasi yang dalam swasta. dilakukan termasuk tetapi badan usaha milik negara dapat bekerja sama dengan Pasal 64 Skema swasta murni merupakan investasi murni dari swasta yang dapat diberikan insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 (1) Skema pendanaan dalam bentuk belanja dan/atau pembiayaan sebagaimana dimalsud dalam pasal 4 dapat berupa:
penerimaan hibah; dan/atau
pengadaan pinjaman. l2l ^Skema ^pendanaan ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (l) termasuk dukungan pendanaan/pembiayaan internasional yang merupakan skema untuk mewadahi pemberian dana antara lain dari bilateral/lembaga multilateral yang hendak berpartisipasi dalam pengembangan Ibu Kota Nusantara yang hijau dan cerdas yang dapat melalui hibah dan/atau pemberian dana talangan. (3) Tata cara penerimaan hibah dan pengadaan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III RENCANA KERJA DAN ANGGARAN OTORITA IBU KOTA NUSANTARA Bagian Kesatu Perencanaan dan Penganggaran Rencana Kerja dan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara Pasal 66 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/Pengguna Barang men5rusun rencana kerja dan a.nggaran Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 67 (1) Dalam rangka pen3rusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan pemerintah mengenai pen5rusunan rencana ke{a dan anggarErn Kementerian/Lembaga sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Pemerintah ini. (21 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun rencana kerja dan anggaran yang terdiri atas rencana pendapatan dan belanja. (3) Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara meliputi penerimaan negara bukan pajak d an/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (41 Rencana pendapatan dalam rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara merupakan perkiraan pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara yang disusun secara realistis dan optimal. (5) Rencana pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayal l2l merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditelaah oleh Menteri. Pasal 68 Otorita Ibu Kota Nusantara pengelolaan rencana belanja berdasarkan:
indikator kinerja utama;
fluktuasi pendapatan; dan
penerapan prinsip belanja berkualitas. Pasal 69 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/ Pengguna Barang menJrusun rencana kerja dan anggar€rn Ibu Kota Nusantara dengan memperhatikan paling sedikit:
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional;
rencana kerja pemerintah;
pagu anggaran; dan
standar biaya. l2l ^Penyusunan ^rencana ^kerja dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara harus menggunakan pendekatan:
kerangka pengeluaran jangka menengah;
penganggaran terpadu; dan
penganggaran berbasis kinerja. (3) Penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:
indikator kinerja;
standar biaya; dan
evaluasi kinerja. Pasal 70 (1) Struktur rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara memuat:
rincian anggaran; dan
informasi kinerja. (21 Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit disusun menurut:
program;
kegiatan;
keluaran; dan
sumber pendanaan. (3) Informasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat paling sedikit:
hasil;
keluaran; dan
indikator kinerja. Pasal 71 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Menteri untuk dilakukan penelaahan. l2l ^Penelaahan ^rencana ^kerja ^dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilalsanakan oleh:
menteri yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional untuk menelaah kesesuaian pencapaian sasaran rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dengan rencana kerja Kementerian/Lembaga dan Rencana Kerja Pemerintah; dan
Menteri untuk menelaah kesesuaian rencana kerja dan anggaran Kementerian/lembaga dengan kualitas belanja Kementerian/Lembaga. (3) Rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun bersama dengan rencana kerja dan anggaran Kementerian/t embaga untuk digunakan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dan dokumen pendukungnya. (4) Berdasarkan hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan alokasi anggaran hasil kesepakatan kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya.
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan penyesuaian rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggar.Ln hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia. (6) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaErn pembangunan nasional melakukan penelaahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggaran dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. (71 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku pengguna Anggaran wajib menyusun dan bertanggung jawab terhadap rencana kerja dan anggaran atas bagian Ernggaran yang dikuasainya. (8) Dalam rangka penJrusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menugaskan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. PasaT 72 Dalam rangka melaksanakan sinkronisasi penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara:
berkoordinasi dengan Kementerian/kmbaga dan daerah mitra Ibu Kota Nusantara; dan
dapat melibatkan perwakilan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Pasal 73 (l) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana ke{a dan anggararn Otorita Ibu Kota Nusantara tahun sebelumnya dan tahun anggaran berjalan. (21 Hasil evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disampaikan kepada Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Bagian Kedua Dokumen Pelalsanaan Anggaran Pasal 74 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun dokumen pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l ayat (6) dan peraturan presiden mengenai rincian APBN. (21 Dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara 5slagaimana dimaksud pada ayat (l) diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggara.n yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana serta pendapatan yang diperkirakan. (3) Menteri mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara paling lambat tanggal 31 Desember meqielang awal tahun anggaran. Bagian Ketiga Mekanisme Perubahan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara l4l ^Dokumen ^pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 75 (1) Dalam hal diperlukan perubahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, perubahan diajukan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan. (2) Perubahan rencana kerja dan anggara.n sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
sebagai akibat dari:
perubahan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara yang memerlukan penyesuaian kebutuhan pelaksanaan;
penggunaan selisih lebih penerimaan negara bukan pajak pada Otorita Ibu Kota Nusantara;
fluktuasi pendapatan; dan/atau
hasil pengendalian dan pemantauan. b. sebagai akibat selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Pengajuan perubahan anggaran rencana ke{a dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perubahan renca.na kerja dan €rnggaran. BAB tV PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN Bagian Kesatu Umum
Manajemen Karier di Lingkungan Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki Jabatan pemerintahan.
PNS Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut PNS Kemenkeu adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu dan diangkat sebagai PNS secara tetap oleh Menteri Keuangan untuk menduduki Jabatan pemerintahan di lingkungan Kementerian Keuangan.
PNS dari Kementerian/Lembaga selain Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut PNS non-Kemenkeu adalah PNS yang menduduki Jabatan pemerintahan pada kementerian/lembaga di luar Kementerian Keuangan yang ditugaskan di lingkungan Kementerian Keuangan.
Calon PNS Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut CPNS Kemenkeu adalah warga negara Indonesia yang dinyatakan lulus seleksi pengadaan PNS secara terbuka di Kementerian Keuangan dan diangkat serta ditetapkan sebagai calon pegawai negeri sipil Kementerian Keuangan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat persetujuan teknis dan penetapan nomor induk pegawai dari Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pejabat Pembina Kepegawaian di Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut PPK adalah Menteri Keuangan yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS Kemenkeu dan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pejabat yang Berwenang di Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut PyB adalah pejabat yang diberi kewenangan untuk melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS Kemenkeu di lingkungan Kementerian Keuangan sesua1 dengan ketentuan yang berlaku.
Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan fungsi, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu satuan organisasi.
Jabatan Pimpinan Tinggi yang selanjutnya disingkat JPT adalah sekelompok Jabatan tinggi pada instansi pemerintah.
Pejabat Pimpinan Tinggi Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut dengan Pejabat Pimpinan Tinggi adalah PNS Kemenkeu yang menduduki JPT di Kementerian Keuangan.
Jabatan Administrasi yang selanjutnya disingkat JA adalah sekelompok Jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.
Jabatan Fungsional yang selanjutnya disingkat JF adalah sekelompokjabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu.
Unit Organisasi Non Eselon Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut Unit non Eselon adalah unit organisasi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan, dibentuk melalui peraturan perundang-undangan dengan struktur organisasi tertentu yang tidak memiliki eselonisasi, baik yang menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum maupun yang tidak menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum.
Komisi Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat KASN adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan aparatur sipil negara yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.
Zona Kerja adalah zona geografis atau teritorial pada unit vertikal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang pembagian wilayahnya disesuaikan dengan karakteristik masing-masing unit JPT Madya.
Manajemen Talenta adalah serangkaian sistem pengelolaan sumber daya manusia untuk mencan, mengelola, mengembangkan, mempertahankan, dan mengevaluasi PNS Kemenkeu terbaik yang dipersiapkan sebagai calon pemimpin masa depan sesuai kebutuhan organ1sas1.
Talent adalah PNS Kemenkeu yang memenuhi syarat tertentu dan telah lulus tahapan seleksi yang ditentukan untuk masuk dalam kelompok rencana suksesi (Talent pooij. 17. Kompetensi Teknis adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan yang spesifik berkaitan dengan bidang teknis Jabatan.
Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap / perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan untuk mem1mpm, dan/atau mengelola unit organisasi.
Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap / perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi, dan prinsip, yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang Jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi, dan Jabatan.
Kinerja PNS adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS pada organisasi/unit kerja sesuai dengan sasaran kinerja PNS dan perilaku kerja.
Peta Jabatan adalah susunan nama dan tingkat JA, JF, dan JPT yang tergambar dalam struktur unit organisasi dari tingkat yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi.
Rumpun Jabatan adalah pengelompokan Jabatan yang memiliki kemiripan bidang atau jenis pekerjaan dan kebutuhan kompetensi yang sama.
Jabatan Target Karier adalah Jabatan yang setara atau setingkat lebih tinggi yang menjadi tujuan pengembangan karier PNS pada tahap selanjutnya.
Hukuman Disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena melanggar peraturan disiplin PNS.
Tim Penilai Kinerja PNS yang selanjutnya disebut Tim Penilai Kinerja adalah tim yang dibentuk untuk memberikan pertimbangan kepada PPK atau pejabat lain atas usulan pengangkatan dalam Jabatan, mutasi/ pemindahan, evaluasi kompetensi, serta pemberian penghargaan bagi PNS.
Sistem Merit adalah kebijakan dan manajemen aparatur sipil negara yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Panitia Seleksi adalah panitia yang dibentuk oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kewenangan dan bertugas untuk melaksanakan seleksi pengisian Jabatan di Kementerian Keuangan.
Manajemen Karier di Lingkungan Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut Manajemen Karier adalah serangkaian pengelolaan sumber daya manus1a yang objektif, terencana, dan akuntabel untuk melaksanakan pengembangan karier, pengembangan kompetensi, pola karier, mutasi, dan promosi dengan menerapkan prinsip Sistem Merit.
Unit JPT Madya Pembina adalah unit JPT Madya di lingkungan Kementerian Keuangan yang menaungi Unit non Eselon.
Sistem Informasi Sumber Daya Manusia, yang selanjutnya disebut Sistem Informasi SDM adalah sistem yang menjalankan fungsi tata kelola PNS yang terdiri dari sumber daya manusia, organisasi, prosedur / aturan dan infrastruktur berbasis teknologi informasi secara terpadu untuk menjalankan proses bisnis, serta menyimpan data untuk menghasilkan infomasi yang berguna bagi proses pengambilan keputusan di bidang kepegawaian serta untuk tujuan lain sesuai ketentuan yang berlaku.
Profil PNS Kemenkeu adalah informasi data PNS Kemenkeu secara keseluruhan yang berasal dari hasil proses bisnis internal dan/atau sumber eksternal yang dapat dipertanggungjawabkan dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan data PNS Kemenkeu.