Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah. ...
Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan Sebelum Tahun Anggaran 2011. ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang Milik Negara yang berasal dari Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan sebelum Tahun Anggaran 2011, yang selanjutnya disingkat BMN DK/TP, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh dari Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan sebelum Tahun Anggaran 2011.
Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Kuasa Pengguna Barang adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dekonsentrasi/tugas pemerintahan di bidang tertentu di daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam menggunakan dan menatausahakan BMN dalam menjalankan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan.
Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah.
Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dan/atau Pengelola Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi dan pelaporan BMN sesuai ketentuan yang berlaku.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Perencanaan Kebutuhan BMN adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akandatang.
Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat RKBMN, adalah dokumen perencanaan BMN untuk periode 1 (satu) tahun.
Hasil Penelaahan RKBMN adalah dokumen penelaahan RKBMN antara Pengguna Barang dan Pengelola Barang.
Usulan Perubahan Hasil Penelaahan RKBMN adalah dokumen penelaahan RKBMN yang diusulkan untuk dilakukan perubahan.
Perubahan Hasil Penelaahan RKBMN adalah dokumen penelaahan Usulan Perubahan Hasil Penelaahan RKBMN antara Pengguna Barang dan Pengelola Barang.
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Renstra-K/L, adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.
Standar Barang adalah spesifikasi barang yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan pengadaan BMN dalam perencanaan kebutuhan Kementerian/Lembaga.
Standar Kebutuhan adalah satuan jumlah barang yang dibutuhkan sebagai acuan perhitungan pengadaan dan penggunaan BMN dalam perencanaan kebutuhan Kementerian/Lembaga.
Kementerian Negara, yang selanjutnya disebut Kementerian, adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non kementerian lembaga dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian.
Relevan terhadap
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyusun kebijakan dan strategi investasi secara tertulis.
Ketaatan terhadap kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
profil kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
kesesuaian antara durasi kekayaan dan durasi kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
tujuan investasi;
sasaran tingkat hasil investasi yang diharapkan, termasuk tolok ukur hasil investasi ( yield’s benchmark ) yang digunakan;
dasar penilaian dan batasan kualitatif untuk setiap jenis aset investasi;
batas maksimum alokasi investasi untuk setiap jenis aset investasi;
batas maksimum proporsi kekayaan perusahaan yang dapat ditempatkan pada satu pihak;
batas maksimum jumlah aset yang tidak ditempatkan ( idle assets ) dalam bentuk investasi;
objek investasi yang dilarang untuk penempatan investasi;
tingkat likuiditas minimum portofolio investasi perusahaan untuk mendukung ketersediaan dana guna pembayaran manfaat asuransi;
sistem pengawasan dan pelaporan pelaksanaan pengelolaan investasi;
ketentuan mengenai penggunaan manajer investasi, penasihat investasi, tenaga ahli, dan penyedia jasa lain yang digunakan dalam pengelolaan investasi;
ketentuan penggunaan instrumen derivatif dan produk keuangan terstruktur lainnya untuk tujuan lindung nilai;
pembatasan wewenang transaksi investasi untuk setiap level manajemen dan pertanggungjawabannya; dan
tindakan yang akan diterapkan kepada Direksi atas pelanggaran kebijakan investasi.
Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
ditetapkan oleh Direksi;
disosialisasikan kepada pegawai yang terlibat dalam pengelolaan investasi; dan
disampaikan kepada Kepala Biro paling lama 1 (satu) bulan setelah ditetapkan oleh Direksi.
Direksi wajib menyiapkan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) sebagai penjabaran tahunan dari RJP.
RKAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
rencana kerja yang terdiri atas misi, sasaran usaha, strategi usaha, kebijakan, dan program kerja atau kegiatan Perusahaan Perasuransian;
rencana anggaran yang terdiri atas pengalokasian anggaran program kerja atau kegiatan Perusahaan Perasuransian;
proyeksi keuangan Perusahaan Perasuransian dan anak perusahaannya; dan
hal lain yang memerlukan keputusan RUPS.
Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib membentuk:
komite audit; dan
komite kebijakan risiko.
Salah seorang anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah anggota Dewan Komisaris yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite.
Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan.
Komite kebijakan risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau pelaksanaan manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi.
Selain komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat mempertimbangkan untuk membentuk komite lain guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan Komisaris yang terdiri atas:
komite nominasi dan remunerasi; dan/atau
komite kebijakan tata kelola perusahaan.
Komite nominasi dan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
menyusun kriteria seleksi dan prosedur nominasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, dan para eksekutif lainnya di dalam Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan;
membuat sistem penilaian dan memberikan rekomendasi mengenai kebutuhan jumlah anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan; dan
membantu menyusun sistem penggajian, pemberian tunjangan, dan fasilitas lainnya serta memantau pelaksanaannya.
Komite kebijakan tata kelola perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji dan memantau penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi penerapannya.
Undang-Undang yang mengatur tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama (mutual) hingga saat ini belum dikeluarkan, keadaan ini menimbulkan ke ...
Relevan terhadap
www.mahkamahkonstitusi.go.id Pengawasan oleh regulator difokuskan kepada aspek-aspek tersebut dengan maksud perusahaan asuransi dapat mengharmonisasikan pengelolaan asuransi demi mencapai tujuan memberikan perlindungan kepada tertanggung. Dalam aspek tata kelola ( corporate governance ), misalnya, regulator perlu memastikan bahwa perusahaan asuransi dikelola oleh manajemen yang cakap ( fit & proper ) sehingga aset perusahaan (yang notabene adalah dana masyarakat tertanggung) dikelola sesuai prinsip kehati-hatian ( prudent ) sehingga tidak membahayakan kesehatan keuangan perusahaan. Dalam aspek penyelenggaran usaha, regulator perlu memastikan adanya praktek usaha yang sehat. Dalam melakukan pengawasan Perusahaaan Asuransi, Regulator dari waktu ke waktu menetapkan suatu kebijakan atau keputusan dengan tetap mengutamakan perkembangan usaha perasuransian dan tidak mengorbankan kepentingan industri secara makro. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menetapkan kebijakan atau keputusan yang bersifat tindakan pencegahan (preventive action) agar tidak terjadi kesalahan dalam pengelolaan perusahaan asuransi. Upaya lain yang dilakukan oleh Regulator adalah mengurangi dampak permasalahan perusahaan asuransi tertentu terhadap industri asuransi. Dari penjelasan tersebut di atas, sangatlah jelas tergambar bahwa UU Usaha Perasuransian dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat pemegang polis maupun kepada para pelaku usaha di bidang perasuransian. Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, lahirnya UU Usaha Perasuransian merupakan jawaban atas kebutuhan berkembangnya usaha perasuransian di Indonesia. Undang-Undang ini telah memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat pemegang polis maupun kepada para pelaku usaha di bidang perasuransian. Usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan bagi tertanggung dan sekaligus sebagai usaha yang menghimpun dana masyarakat. Oleh karenanya usaha asuransi membutuhkan pembinaan dan pengawasan dalam rangka memberikan rasa aman bagi masyarakat. Lahirnya Undang-Undang ini memperkokoh landasan bagi dunia usaha
www.mahkamahkonstitusi.go.id Apabila dinilai perlu oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengaturan sementara tata kelola UBA dan hal-hal lain yang diperlukan, misalnya untuk pelaksanaan proses demutualisasi, dapat dituangkan dalam suatu Peraturan Pemerintah sebagaimana diisyaratkan oleh penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU UP. Atau, sesuai dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, pengaturan tersebut dapat dituangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pertanyaan Yang Mulia Hamdan Zoelva dan Yang Mulia Ahmad Fadlil Sumadi yaitu: 1. Bagaimana mekanisme demutualisasi yang sudah disiapkan pemerintah untuk AJB Bumiputera? 2. Bagaimana jalan pikiran (arah kebijakan) Pemerintah terkait dengan rencana demutualisasi AJB Bumiputera dalam RUU Usaha Perasuransian yang baru? 3. Andaikan AJB Bumiputera melakukan demutualisasi, bagaimana dengan penanganan masa transisinya? Apakah Pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah untuk proses demutualisasi AJB Bumiputera agar pemegang polis dapat merasa tenang dan mendapat perlindungan dari negara? Dapat Pemerintah tanggapi sebagai berikut: Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, pengaturan dan pengawasan usaha perasuransian, termasuk penanganan permasalahan perusahaan asuransi, menjadi tanggung jawab OJK. Oleh karena itu, di dalam RUU Usaha Perasuransian yang disampaikan kepada DPR, Pemerintah mengusulkan untuk memberikan amanat kepada OJK untuk mengawal transformasi UBA menjadi perusahaan asuransi berbentuk Perseroan Terbatas. Pemerintah mengusulkan untuk memberi kewenangan kepada OJK untuk menetapkan jangka waktu yang layak untuk proses transformasi tersebut. Untuk memberi gambaran umum mengenai proses transformasi UBA menjadi perusahaan asuransi berbentuk Perseroan Terbatas, disampaikan uraian sebagai berikut.
Pengujian UU Nomor 17/2003
Relevan terhadap 26 lainnya
negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subjek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses , Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan , Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Mengenai ruang lingkup keuangan negara, perlu dipahami historic and philosophical background . Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon masih memandang lingkup keuangan negara menurut para ahli keuangan negara klasik yang memandang peran negara hanya sebagai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan serta secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima; Meskipun Pemerintah berpendapat bahwa permohonan Pemohon seharusnya tidak dapat diterima karena Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum, namun Pemerintah akan tetap memberikan keterangan mengenai pokok materi pengujian Undang-Undang yang dimohonkan; Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut; Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara atau daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara; Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban; Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; Mengenai ruang lingkup keuangan negara perlu dipahami historic dan philosophical background . Para Pemohon masih memandang lingkup keuangan negara menurut para ahli keuangan negara klasik yang memandang peran negara hanya sebagai otoritas yang peranan atau tindakannya dituangkan dalam APBN, an sich. Pandangan klasik tersebut tetap dianut oleh para penyusun Undang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
“Hal-hal lain mengenai Keuangan Negara diatur dengan undang- undang” 2. Bahwa pada prinsipnya, sebagai negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, maka sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini telah tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan . Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. 3. Bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (1), maka ditetapkanlah APBN setiap tahunnya dalam bentuk Undang- Undang yang merupakan rencana keuangan pemerintahan negara tahunan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara. Pengelolaan keuangan Negara tersebut mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Disamping itu Pasal 23 C UUD Tahun 1945 juga mengamanatkan untuk mengatur hal- hal lain mengenai keuangan negara dengan Undang-Undang. 4. Bahwa untuk menjamin terjadinya pengelolaan keuangan negara yang baik maka pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Untuk itu, maka berdasarkan amanat Pasal 23C UUD Tahun 1945 dalam pelaksanaannya perlu dirumuskan keuangan negara serta ruang lingkupnya, tertuang dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU Keuangan Negara 5. Bahwa berdasarkan rumusan bunyi Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU a quo maka pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara dapat dilihat dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pelaksanaan Piloting Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
Relevan terhadap
Aplikasi SPAN menghasilkan laporan keuangan berupa:
Laporan Realisasi Anggaran;
Neraca;
Laporan Arus Kas;
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL);
Laporan Operasional; dan
Laporan Perubahan Ekuitas.
Penyusunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada kebijakan akuntansi yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Dalam hal diperlukan, untuk kepentingan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat menyusun LKPP yang dihasilkan dari aplikasi existing .
Ketentuan mengenai penyampaian laporan keuangan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
bahwa sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;
bahwa dalam rangka mewujudkan proses penganggaran dan pelaksanaan anggaran yang tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, perlu dibangun Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara;
bahwa agar penerapan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara dapat berjalan efektif, implementasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara dilakukan secara bertahap sesuai kesiapan sarana dan infrastuktur yang dibutuhkan, dengan terlebih dahulu melakukan Piloting pada satuan kerja tertentu;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan Piloting Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara;
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PELAKSANAAN PILOTING SISTEM PERBENDAHARAAN DAN ANGGARAN NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Sistem Perbendaharaaan dan Anggaran Negara, yang selanjutnya disingkat SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan APBN yang meliputi modul penganggaran, modul komitmen, modul pembayaran, modul penerimaan, modul kas, dan modul akuntansi dan pelaporan.
Piloting SPAN adalah serangkaian kegiatan untuk menerapkan/mengoperasikan SPAN dengan menggunakan sumber daya manusia, bisnis proses, infrastruktur dan tehnologi SPAN pada unit-unit yang ditunjuk/terbatas untuk memastikan SPAN dapat diterapkan/dioperasikan secara menyeluruh.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara (BUN) untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Rencana Dana Pengeluaran BUN yang selanjutnya disingkat RDP-BUN adalah rencara kerja dan anggaran Bagian Anggaran BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer kepada daerah yang pengelolaannya dikuasakan oleh Presiden kepada Menteri Keuangan.
Modul Penganggaran adalah bagian dari SPAN yang melaksanakan fungsi-fungsi penganggaran yang meliputi perencanaan anggaran, penyusunan anggaran, pembahasan anggaran dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, penetapan alokasi anggaran, penyusunan Rancangan APBN-Perubahan, revisi anggaran, dan monitoring dan evaluasi kinerja anggaran.
Modul Komitmen adalah bagian dari SPAN yang melaksanakan fungsi- fungsi pengelolaan data supplier dan data kontrak yang meliputi pendaftaran, perekaman, validasi, perubahan, penggunaan, dan pembatalan data supplier /kontrak, termasuk penerbitan dan penyampaian Nomor Register Supplier /Nomor Register Kontrak/informasi penolakan pendaftaran data supplier atau data kontrak.
Modul Pembayaran adalah bagian dari SPAN yang melaksanakan fungsi-fungsi pelaksanaan pembayaran atas beban APBN dan/atau pengesahan pendapatan dan belanja yang meliputi penerbitan SP2D, penerbitan warkat dan bilyet giro, penerbitan surat pengesahan pendapatan dan belanja, penerbitan aplikasi penarikan dana, dan penerbitan Surat Kuasa Pembebanan Letter of Credit (SKP-LC).
Modul Penerimaan adalah bagian dari SPAN yang melaksanakan fungsi-fungsi penatausahaan transaksi penerimaan negara yang diterima melalui Rekening Milik BUN di Bank Indonesia, melalui Bank/Pos Persepsi, serta melalui potongan Surat Perintah Membayar atau pengesahan pendapatan dan belanja oleh KPPN.
Modul Kas adalah bagian dari SPAN yang melaksanakan fungsi-fungsi pengaturan rekening milik BUN, perencanaan kas, pemindahbukuan dana, rekonsiliasi bank, dan pelaporan manajerial.
Modul Akuntansi Dan Pelaporan adalah bagian dari SPAN yang melaksanakan fungsi-fungsi penyusunan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang meliputi pemutakhiran data Bagan Akun Standar, konversi data transaksi keuangan, koreksi data transaksi keuangan, penyesuaian sisa pagu, jurnal penyesuaian, rekonsiliasi data, dan laporan keuangan.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanaan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PP-SPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PP-SPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Retur SP2D adalah penolakan/pengembalian atas pemindahbukuan dan/atau transfer pencairan APBN dari Bank/Kantor Pos Penerima kepada Bank/Kantor Pos Pengirim.
Surat Permintaan Pembayaran Retur yang selanjutnya disebut SPP Retur adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN di Daerah yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara berdasarkan surat ralat dari Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga 25. Surat Perintah Membayar Retur yang selanjutnya disebut SPM Retur adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN di Daerah berdasarkan SPP Retur untuk mencairkan dana yang bersumber dari penerimaan Retur SP2D.
Surat Perintah Pencairan Dana Retur yang selanjutnya disebut SP2D Retur adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN di Daerah berdasarkan SPM Retur untuk pengeluaran non anggaran.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang selanjutnya disebut PHLN, adalah pinjaman dan/atau hibah luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
Konversi adalah proses pengubahan format data transaksi keuangan pada ADK menjadi data yang dapat diterima oleh SPAN melalui aplikasi konversi.
Sisa Kredit Anggaran adalah nilai pagu anggaran dikurangi nilai pencadangan kontrak yang telah didaftarkan dan realisasi anggaran. 31. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 32. Supplier adalah pihak yang berhak menerima pembayaran atas beban APBN. 33. Data Supplier adalah informasi terkait dengan pihak yang berhak menerima pembayaran atas beban APBN yang memuat paling kurang informasi pokok, informasi lokasi, dan informasi rekening. 34. Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola. 35. Data kontrak adalah informasi terkait dengan perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola. 36. Kontrak tahun tunggal adalah kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya mengikat dana anggaran selama masa 1 (satu) tahun anggaran. 37. Kontrak tahun jamak adalah kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran atas beban anggaran.
Komitmen tahunan kontrak tahun jamak adalah komitmen tahun tunggal sebagai bagian dari kontrak tahun jamak. 39. Bank Indonesia yang selanjutnya disebut BI adalah bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang mengenai Bank Indonesia. 40. Bank Operasional I Pusat yang selanjutnya disebut BO I Pusat adalah bank operasional mitra Kuasa BUN Pusat yang merupakan bank pusat dari BO I dan tempat dibuka Rekening Pengeluaran Kuasa BUN Pusat SPAN, Rekening Pengeluaran Kuasa BUN Pusat Non SPAN, Rekening Pengeluaran Kuasa BUN Pusat Gaji, Rekening Retur Bank Operasional I Pusat SPAN, dan Rekening Retur Bank Operasional I Pusat Gaji. 41. Bank Operasional II yang selanjutnya disebut BO II adalah bank operasional mitra Kuasa BUN di Daerah yang menyalurkan dana APBN untuk pengeluaran gaji bulanan. 42. Bank Operasional III yang selanjutnya disebut BO III adalah bank operasional mitra Kuasa BUN di Daerah yang menyalurkan dan/atau memindahbukukan Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan per Kabupaten/Kota berdasarkan SP2D dan Surat Perintah Transfer (SPT).
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja BLU yang selanjutnya disebut SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PP-SPM pada Satker BLU untuk dan atas nama KPA, kepada Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Satker BLU yang sumber dananya berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang digunakan langsung.
Surat Pengesahan Pendapatan dan Belanja BLU yang selanjutnya disebut SP2B BLU adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Satker BLU berdasarkan SP3B BLU.
Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disebut SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan hibah langsung dan/atau belanja yang bersumber dari hibah langsung.
Surat Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SPHL adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk mengesahkan Pendapatan Hibah Langsung dan/atau belanja yang bersumber dari hibah langsung.
Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo Pendapatan Hibah Langsung kepada Pemberi Hibah.
Surat Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP3HL adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk mengesahkan pengembalian hibah langsung kepada Pemberi Hibah.
Persetujuan Memo Pencatatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga yang selanjutnya disebut Persetujuan MPHL-BJS adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN Daerah sebagai persetujuan untuk mencatat Pendapatan Hibah Langsung bentuk barang/jasa/surat berharga dan belanja barang untuk pencatatan persediaan dari hibah, belanja modal untuk pencatatan aset tetap/aset lainnya dari hibah, dan pengeluaran pembiayaan untuk pencatatan surat berharga dari hibah.
Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung/Rekening Khusus/Pembiayaan Pendahuluan, yang selanjutnya disingkat SPP APD-PL/Reksus/PP, adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN dalam mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PHLN.
Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung, yang selanjutnya disingkat APD-PL adalah aplikasi penarikan dana yang diterbitkan oleh KPPN kepada Pemberi PHLN untuk membayar langsung kepada rekanan/pihak yang dituju.
Aplikasi Penarikan Dana Rekening Khusus yang selanjutnya disebut APD-Reksus adalah aplikasi penarikan dana yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q Direktorat Pengelolaan Kas Negara kepada Pemberi PHLN untuk menarik Initial Deposit atau penggantian dana yang telah membebani Reksus atau Dana Talangan.
Aplikasi Penarikan Dana Pembiayaan Pendahuluan yang selanjutnya disingkat APD-PP adalah aplikasi penarikan dana yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan/ KPPN untuk mengganti pengeluaran atas kegiatan yang pembiayaannya terlebih dahulu membebani Rekening BUN/Rekening KUN atau rekening yang ditunjuk.
Letter of Credit yang selanjutnya disingkat L/C adalah janji tertulis dari bank penerbit L/C ( issuing bank ) yang bertindak atas permintaan pemohon ( applicant ) atau atas namanya sendiri untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga atau eksportir atau kuasa eksportir (pihak yang ditunjuk oleh beneficiary/supplier ) sepanjang memenuhi persyaratan L/C.
Surat Pemintaan Penerbitan Surat Kuasa Pembebanan L/C yang selanjutnya disingkat SPP SKP-L/C adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi KPPN yang ditunjuk untuk menerbitkan Surat Kuasa Pembebanan atas penarikan PHLN melalui mekanisme L/C.
Surat Kuasa Pembebanan L/C yang selanjutnya disingkat SKP-L/C adalah surat kuasa yang diterbitkan oleh KPPN yang ditunjuk atas nama Menteri Keuangan kepada Bank Indonesia atau Bank untuk melaksanakan penarikan PHLN melalui L/C.
Surat Perintah Pembukuan/Pengesahan yang selanjutnya disingkat SP3 adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN, yang fungsinya dipersamakan sebagai SPM/SP2D, kepada BI dan Satker untuk dibukukan/disahkan sebagai penerimaan dan pengeluaran dalam APBN atas realisasi penarikan PHLN melalui tata cara PL, dan/atau L/C.
Surat Perintah Pembukuan Penarikan PHLN yang selanjutnya disingkat SP4HLN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang yang memuat informasi mengenai pencairan PHLN dan informasi penganggaran.
Notice of Disbursement atau dokumen yang dipersamakan yang selanjutnya disingkat NoD adalah dokumen yang menunjukkan bahwa Pemberi PHLN telah melakukan pencairan PHLN yang antara lain memuat informasi PHLN, nama proyek, jumlah uang yang telah ditarik ( disbursed ), cara penarikan, dan tanggal transaksi penarikan yang digunakan sebagai dokumen sumber pencatatan penerimaan pembiayaan dan/atau pendapatan hibah.
Executing Agency adalah Kementerian Negara/Lembaga yang menjadi penanggung jawab secara keseluruhan atas pelaksanaan kegiatan.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.
Surat Perintah Transfer yang selanjutnya disingkat SPT adalah Surat Perintah yang diterbitkan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN untuk pemindahbukuan dana antar Rekening Milik BUN.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disebut Rekening KUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada Bank Sentral.
Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disebut NTPN adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara.
Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan ber- interface dengan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
Unit Akuntansi Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat UAPA adalah unit akuntansi instansi pada tingkat Kementerian Negara/Lembaga (Pengguna Anggaran) yang melakukan kegiatan penggabungan laporan, baik laporan keuangan maupun barang seluruh UAPPA-E1 yang berada di bawahnya.
Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Eselon 1 yang selanjutnya disebut UAPPA-E1 adalah unit akuntansi instansi yang melakukan kegiatan penggabungan laporan, baik keuangan maupun barang seluruh UAPPA-W yang berada di wilayah kerjanya serta UAKPA yang langsung berada di bawahnya.
Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah yang selanjutnya disebut UAPPA-W adalah unit akuntansi instansi yang melakukan kegiatan penggabungan laporan, baik keuangan maupun barang seluruh UAKPA yang berada dalam wilayah kerjanya.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut UAKPA adalah unit akuntansi instansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat Satker.
Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirim, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektro-magnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Keadaan kahar ( force majeure ) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem elektronik SPAN seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem elektronik SPAN tidak berfungsi.
Business Continuity Plan adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.
Nama Rekening adalah nama yang terdaftar dalam rekening koran bank untuk suatu nomor rekening tertentu.
Bagan Akun Standar yang selanjutnya disebut BAS adalah daftar klasifikasi yang disusun secara sistematis sebagai pedoman dalam perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan anggaran serta pelaporan keuangan pemerintah.
Akun adalah suatu daftar perkiraan buku besar yang ditetapkan dan disusun secara sistematis untuk memudahkan perencanaan, pelaksanaan anggaran, serta pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan pemerintah pusat.
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UN ...
Relevan terhadap 32 lainnya
www.mahkamahkonstitusi.go.id dituntut korupsi, karena negara merugi Rp 311 miliar, terkait pembelian surat utang jangka menengah ( medium term notes /MTN) pada empat perusahaan yaitu PT. Dahana (Rp 97,8 miliar), PT Sapta Pranajaya (Rp 100 miliar), PT Surya Indo Pradana (Rp 80 miliar), dan PT Volgren (33,2 miliar).7 Pada kedua kasus ini hakim berpendapat Dirut terbukti merugikan keuangan negara sehingga memenuhi unsur tindak pidana korupsi. - Kriminalisasi kebijakan yang diambil oleh pimpinan BUMN didasarkan oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa kekayaan negara meliputi penyertaan kekayaan Negara di BUMN. Dengan demikian apabila kebijakan yang diambil menyebabkan kerugian maka negara juga dirugikan, dan hal ini dapat digunakan sebagai landasan untuk menerapkan UU tentang Tindak Pidana Korupsi, karena mengandung delik merugikan negara. - Namun demikian sesungguhnya telah terbit Fatwa Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 16 Agustus 2006, yang secara prinsip menyatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN. Oleh sebab itu, kriminalisasi kebijakan oleh pimpinan BUMN dipandang kurang tepat apabila dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi, karena tidak ada unsur kekayaan negara di dalamnya. - Selain argumen mengenai kekayaan negara yang telah dipisahkan, di dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur mengenai business judgement rules bagi Direksi, yaitu pada Pasal 97 ayat (5). - Dari Pasal ini terlihat jelas bahwa kebijakan atau keputusan yang dapat dikriminalisasi hanya terbatas pada kebijakan atau keputusan yang tidak didasari oleh itikad baik dan prinsip kehati-hatian. Apabila prinsip kehati- hatian sudah dilakukan dan dilandasi oleh itikad baik namun masih terjadi kerugian, maka prinsip business judgement rules harus diterapkan dan pengambil kebijakan semestinya terlepas dari jerat kriminalisasi. - Mengutip pendapat Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada prinsipnya kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan oleh pejabat publik tidak dapat dipidana. Dalam hukum administrasi negara tidak dikenal sanksi pidana. Sanksi yang dikenal dalam hukum administrasi negara, antara lain, teguran Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Secara berkesinambungan Pemerintah terus berupaya untuk mewujudkan amanat konstitusional ini dalam pengelolaan perekonomian negara dengan membentuk perusahaan negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dasar pemikiran diterbitkannya UU Keuangan Negara adalah dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subjek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses , keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan , keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id “Hal-hal lain mengenai Keuangan Negara diatur dengan undang- undang” 2. Bahwa pada prinsipnya, sebagai negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, maka sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini telah tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan . Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. 3. Bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (1), maka ditetapkanlah APBN setiap tahunnya dalam bentuk Undang- Undang yang merupakan rencana keuangan pemerintahan negara tahunan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara. Pengelolaan keuangan Negara tersebut mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Disamping itu Pasal 23 C UUD Tahun 1945 juga mengamanatkan untuk mengatur hal- hal lain mengenai keuangan negara dengan Undang-Undang. 4. Bahwa untuk menjamin terjadinya pengelolaan keuangan negara yang baik maka pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Untuk itu, maka berdasarkan amanat Pasal 23C UUD Tahun 1945 dalam pelaksanaannya perlu dirumuskan keuangan negara serta ruang lingkupnya, tertuang dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU Keuangan Negara 5. Bahwa berdasarkan rumusan bunyi Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU a quo maka pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara dapat dilihat dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194 ...
Relevan terhadap
terdiri dari aspek expenditure assignment dan revenue assignment dengan tujuan utama adalah untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Pembagian wewenang perpajakan secara substantif mengandung makna dan tujuan sebagai bentuk fiscal power sharing untuk membangun kemandirian daerah dalam hal fiskal, karena sisi paling penting dalam revenue assignment adalah kewenangan perpajakan. Taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan) tersebut dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih maksimal bagi daerah dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan kepada pusat. Oleh karenanya, desentralisasi fiskal dibarengi dengan adanya pergeseran taxing power (kekuasaan perpajakan) dari pemerintah pusat ke daerah, karena kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya terkait dengan masalah kewenangan penggunaan anggaran (belanja daerah) semata, melainkan juga mencakup revenue assignment (kewenangan penerimaan), terutama taxing power (kewenangan perpajakan). Selain itu, bahwa salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintahan adalah diperlukannya kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri. Pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah harus dilihat tidak hanya pada ketersediaan dana yang akan ditransfer pusat kepada daerah, tetapi yang jauh lebih penting adalah dengan adanya distribusi kewenangan perpajakan secara memadai. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan dan pelayanan yang memadai kepada masyarakat. Penyerahan kewenangan tersebut juga merupakan bagian dari usaha mempersingkat pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat proses demokratisasi. Dengan demikian, salah satu bentuk dari pelaksanaan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal yang sangat penting adalah dengan diakuinya keberadaan dan eksistensi Pajak Daerah, karena Pajak Daerah merupakan Pendapatan Asli Daerah yang seharusnya menjadi sumber pendanaan utama bagi pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah dan wujud pelaksanaan dari kebijakan desentralisasi fiskal.
pembagian sumber penerimaan dan pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan tertentu antara berbagai tingkat pemerintahan (Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota). Dengan desentralisasi, maka diharapkan dapat menghadirkan suatu sistem pemerintahan yang lebih mencerminkan nilai-nilai demokrasi, mengingat bahwa level pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat adalah pemerintahan kabupaten dan kota, sehingga eksistensi pemerintahan di daerah sangat diperlukan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, argumentasi yang menjadi landasan pelaksanaan desentralisasi adalah bahwa daerah lebih memahami dan mengerti akan kebutuhan yang diperlukan dalam menyediakan tingkat pelayanan publik yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, serta daerah lah yang paling menguasai segala potensi yang ada di wilayahnya, sehingga diharapkan daerah akan dapat mengoptimalkan kegiatan pemungutan pajak di daerahnya masing-masing. Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan upaya untuk mendorong kemandirian keuangan daerah, sehingga diharapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan secara otonom. Kebijakan desentralisasi fiskal juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan daerah untuk mendanai kebutuhan pengeluarannya sendiri. Fungsi pemerintahan daerah akan dapat terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber- sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal berimplikasi pada adanya kewenangan yang berkaitan dengan sumber-sumber penerimaan daerah, karena penerimaan daerah tersebut mendukung sukses atau gagalnya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tersedianya sumber daya fiskal yang menjadi sumber pendanaan daerah sangat diperlukan guna pembangunan sumber daya manusia, meningkatkan akses kesehatan, pendidikan, memberantas kemiskinan, mewujudkan keadilan sosial ekonomi yang lebih besar, dan pemeliharaan lingkungan. Adapun kebijakan perpajakan dalam konteks desentralisasi fiskal yang menjadi penanda penting bagi demokrasi adalah dengan adanya taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan) yang di dalamnya
Daerah (APBD) mayoritas daerah di Indonesia masih sangat kecil (7% - 8%), maka PAD tersebut masih perlu ditingkatkan, karena sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa di dalam sistem pemerintahan otonomi daerah dan kerangka kebijakan desentralisasi fiskal daerah diharapkan mampu mengupayakan kemandirian keuangan daerahnya, agar daerah dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya sendiri dan otonomi daerah akan dapat terlaksana secara lebih nyata dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, apabila permohonan pengujian ini dikabulkan, yang artinya pajak daerah (Pajak Hiburan) atas pusat kebugaran ( fitness center ) dihapuskan, maka setidaknya akan membawa dampak/konsekuensi berkurangnya sumber penerimaan pemerintah daerah, terhambatnya proses desentralisasi fiskal, tidak terlaksananya prinsip keadilan dalam pembagian beban pajak, terhambatnya proses pemerataan kesejahteraan masyarakat di daerah, serta meningkatnya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pusat, yang sama artinya dengan mengurangi tingkat kemandirian daerah. V. KETERANGAN AHLI DAN SAKSI PEMERINTAH DAN TANGGAPAN PEMERINTAH ATAS KETERANGAN AHLI PARA PEMOHON A. KETERANGAN SAKSI DAN AHLI PEMERINTAH Terhadap keterangan para Saksi dan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah pada proses persidangan, dapat Pemerintah simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. KETERANGAN SAKSI-SAKSI PEMERINTAH Sehubungan dengan keterangan saksi-saksi Pemerintah yaitu Iwan Setiawandi dan Suhartojo, dapat Pemerintah sampaikan bahwa keterangan-keterangan saksi-saksi tersebut pada pokoknya menyampaikan bahwa pungutan Pajak Hiburan atas pusat kebugaran ( fitness center ) di masing-masing daerah (Prov. DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Surabaya) berjalan dengan baik, selain itu para Saksi juga menyampaikan bahwa pungutan Pajak Hiburan atas pusat kebugaran ( fitness center ) merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam Pendapatan Asli Daerah di masing-masing daerah. Terkait dengan kesaksian Iwan Setiawandi, selaku Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta yang pada pokoknya
Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu. ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang realistis sehubungan dengan terjadinya gejolak pada pasar keuangan dan nilai tukar rupiah, dan untuk meningkatkan daya saing industri nasional baik yang berorientasi domestik maupun ekspor, serta untuk mendukung program Pemerintah dalam upaya penciptaan dan penyerapan lapangan kerja, perlu diberikan kebijakan Pajak Penghasilan untuk meringankan dan menjaga likuiditas bagi Wajib Pajak industri tertentu;
bahwa sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (6) huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak;
bahwa sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu;