PUU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap 5 lainnya
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan upaya untuk mendorong kemandirian keuangan daerah, sehingga diharapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan secara otonom. Kebijakan desentralisasi fiskal juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya sendiri. Fungsi pemerintahan daerah akan dapat terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber- sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal berimplikasi pada adanya kewenangan yang berkaitan dengan sumber-sumber penerimaan daerah, karena penerimaan daerah tersebut mendukung berhasil atau tidaknya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Adapun kebijakan perpajakan dalam konteks desentralisasi fiskal yang menjadi penanda penting bagi demokrasi adalah dengan adanya taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan) yang di dalamnya terdiri dari aspek expenditure assignment dan revenue assignment dengan tujuan utama adalah untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Pembagian wewenang perpajakan secara substantif mengandung makna dan tujuan sebagai bentuk fiscal power sharing untuk membangun kemandirian daerah dalam hal fiskal, karena sisi paling penting dalam revenue assignment adalah kewenangan perpajakan. Taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan) tersebut dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih maksimal bagi daerah dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan kepada pusat. Oleh karenanya, desentralisasi fiskal dibarengi dengan adanya pergeseran taxing power (kekuasaan perpajakan) dari pemerintah pusat ke daerah, karena kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya terkait dengan masalah kewenangan penggunaan anggaran (belanja daerah) semata, melainkan juga mencakup revenue assignment (kewenangan penerimaan), terutama taxing power (kewenangan perpajakan). Selain itu, bahwa salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintahan adalah diperlukannya kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri. Pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah harus dilihat tidak hanya pada
APBI, IMA, dan PAABI yang disampaikan kepada pimpinan Kadin pada tanggal 27 Agustus 2008 mengenai persoalan penarikan pajak terhadap alat-alat berat, maka Kadin segera bertindak dengan mengirimkan surat mengenai sikap Kadin kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri perihal peninjauan ulang, pengkalsifikasian alat-alat berat sebagai kendaraan bermotor. Yaitu, tertanggal 29 Agustus 2008, yang ditandatangani oleh Ketua Umum Kadin pada saat itu, yaitu Bapak Muhammad Sulaiman Hidayat. Isi surat tersebut pada pokoknya, meminta kepada menteri keuangan dan menteri dalam negeri agar tidak memasukkan alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai klasifikasi kendaraan bermotor, dengan alasan sebagai berikut. Alat-alat berat bagi industri pertambangan, jasa pertambangan, infrastruktur, maupun industri lainnya sejatinya adalah merupakan alat produksi. Dan pada umumnya, alat-alat berat hanya beroperasi di dalam pertambangan atau area industri, yang mana kebanyakan ini dibangun sendiri oleh investor tanpa pernah sekalipun menggunakan jalan umum yang dibangun oleh negara. Terkait dengan rencana pemerintah untuk mengkonversi bahan bakar minyak ke batubara, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), dan program mix energy dalam peningkatan industri kelistrikan yang saat ini dibutuhkan negara, maka niscaya kebijakan semacam di atas dapat menghambat kontribusi sektor pertambangan, khususnya usaha jasa pertambangan sebagai operator pelaksanaan kegiatan pertambangan, infrastruktur, dan industri lainnya. Dengan penerapan pajak kendaraan bermotor yang harus dikenakan pada alat-alat berat dan alat besar. Sebagai informasi pemberlakuan regulasi ini akan berdampak terhadap sekitar 1.400 perusahaan, padahal alat-alat berat ini juga dimiliki oleh industri lain, seperti infrastruktur, perkebunan, kehutanan, konstruksi, dan lain-lain. Dan serta akan meningkatkan cost production yang pada akhirnya akan mengurangi minat investor untuk berinvestasi, dan bila terpaksa pun pada akhirnya akan terbebani pada end user , serta pada akhirnya memberikan dampak besar pada perekonomian nasional. Isi surat yang merupakan sikap Kadin tersebut sejalan dengan sikap Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral,
ketersediaan dana yang akan ditransfer pusat kepada daerah, tetetapi yang jauh lebih penting adalah dengan adanya distribusi kewenangan perpajakan secara memadai. Pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan dan pelayanan yang memadai kepada masyarakat. Penyerahan kewenangan tersebut juga merupakan bagian dari usaha mempersingkat pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat proses demokratisasi. Dengan demikian, salah satu bentuk dari pelaksanaan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal yang sangat penting adalah dengan diakuinya keberadaan dan eksistensi Pajak Daerah, karena Pajak Daerah merupakan pendapatan asli daerah yang seharusnya menjadi sumber pendanaan utama bagi pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah dan wujud pelaksanaan dari kebijakan desentralisasi fiskal. D. ASAS-ASAS PEMUNGUTAN DAN PEMBAGIAN BEBAN PAJAK YANG ADIL Pembentuk Undang-Undang di dalam menetapkan PKB dan BBN-KB alat- alat berat dan alat-alat besar dalam UU PDRD telah mempertimbangkan asas pemungutan pajak yang telah ada dan diterima secara universal, yaitu asas-asas sebagai berikut: 1. Asas Equality Menurut asas ini, pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak dilakukan secara seimbang dengan kemampuannya masing-masing, dalam artian bahwa pajak harus memberikan perlakuan yang sama terhadap orang-orang yang berada dalam kondisi yang sama. Atau dengan kata lain, bahwa dalam keadaan yang sama, para wajib pajak dikenakan pajak yang sama pula. 2. Asas Certainty Dalam asas ini, pajak yang dikenakan terhadap masyarakat harus terdapat/memberikan kepastian. Adapun kepastian hukum yang paling dipentingkan adalah mengenai subjek, objek, besarnya pajak, waktu pembayaran, serta hak dan kewajiban wajib pajak.
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
(1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. (2) Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dari ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 dapat ditegaskan bahwa penetapan tarif retribusi jasa umum harus didasarkan pada biaya penyediaan jasa dalam hal biaya operasional, pemeliharaan, bunga dan biaya modal. Dan biaya tersebut hanya untuk menutupi sebagian biaya saja. Lebih jauh daripada itu, penetapan tarif juga harus didasarkan pada kemampuan masyarakat (jika tarif retribusi dikenakan kepada masyarakat), aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas layanan retribusi. Penerimaan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan retribusi. Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah sudah bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi seharusnya didasarkan pada biaya jasa pengawasan dalam rangka pengawasan dan pengendalian menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan.dan kepentingan umum (Pasal 124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 karena terbentur oleh penafsiran yang diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari niiai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." Di dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut secara terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga dengan alasan untuk memudahkan penghitungan dalam menetapkan tarif digunakanlah batasan paling tinggi 2% dari NJOP; oleh karena itu Penjelasan Pasal 124 tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161. Seharusnya besarnya retribusi pengendalian menara telekomunikasi tetap berdasarkan pada biaya atas jasa pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan seharusnya dapat dihitung berdasarkan pada rumus dan kriteria tertentu. (misalnya, menghitung besarnya retribusi pada IMB walaupun agak sulit tetapi dapat dilakukan, tetapi mengapa untuk retribusi Pengendalian menara tidak dilakukan). Disamping itu, Penjelasan Pasal 124 tersebut di atas bertentangan dengan syarat dan prisip retribusi yakni bersifat bukan pajak. Karena dengan menggunakan formula 2% dari NJOP tersebut menyebabkan retibusi Pengendalian menara bersifat seperti pajak, berapapun biaya pelayanan yang diberikan tetap harus membayar 2% dari NJOP (artinya besarnya retribusi tidak terkait dengan pelayanan yang diberikan). Oleh karena itu seharusnya ketentuan yang ada dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut menjelaskan tentang bagaimana pemerintah daerah melakukan pengawasan dan pengendalian atas menara telekomunikasi sehingga dapat di taksir besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi ( high-cost economy ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 15 September 2014 dan telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Oktober 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Pemohon adalah penyedia jasa di bidang telekomunikasi yang menganggap Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengandung ketidakjelasan norma dan justru mengaburkan bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang terkandung dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD.
Bahwa menurut Pemohon, dampak dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD membuat ketentuan penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam Pasal 151, 152, dan Pasal 161 UU PDRD, karena dalam praktiknya pemerintah daerah melalui peraturan daerah mengenai penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi langsung menetapkan tarif sebesar 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menara telekomunikasi.
Bahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan keberlakuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penyedia menara untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akibatnya retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu Pemohon harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasi dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 3. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Menurut Pemerintah, Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD adalah tidak berdasar sama sekali , karena pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review saat ini adalah merupakan keberatan Pemohon terhadap pengenaan tarif retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, sehingga hal ini bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma;
Bahwa terhadap keberatan Pemohon tersebut, UU PDRD memberikan kesempatan bagi Pemohon agar dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 UU PDRD;
Bahwa terhadap keberatan Pemohon atas penerapan tarif retribusi menara telekomunikasi yang menurut Pemohon secara serta merta ditetapkan oleh beberapa peraturan daerah sebesar 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan norma ini sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 F UUD 1945 yang digunakan sebagai batu uji constitutional review saat ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Selain itu, apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah, dalil-dalil kerugian yang disampaikan Pemohon lebih bersifat spekulatif, prematur, dan tidak relevan. Sementara Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa jika kerugian yang didalilkan bersifat potensial, maka kerugian tersebut harus dipastikan akan terjadi berdasarkan penalaran yang wajar. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing ) dan adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PEMOHON Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis mengenai materi pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU PDRD, sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para warganya sebagai sarana untuk ikut serta dalam pembiayaan penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. UUD 1945 telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kehidupan bernegara. Hal ini ditegaskan dengan diaturnya perpajakan dalam konstitusi, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 yaitu Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Dalam penyusunan undang-undang bidang perpajakan sebagaimana amanat Pasal 23A UUD 1945, pembuat Undang-Undang juga mempertimbangkan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memerlukan sumber dana yang cukup besar untuk menyelenggarakan pemerintahannya dan pelayanan kepada masyarakat. Sumber dana dimaksud memegang peranan penting guna mendukung kelangsungan pemerintahan dan masyarakat itu sendiri. Sumber dana tersebut dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama dalam berbagai bentuk diantaranya adalah pajak dan retribusi. Penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan dapat membantu Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mendukung pembiayaan berbagai urusan dan kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah, di antaranya berkaitan dengan kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagaimana diketahui bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah dalam mendorong peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan membangun hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang lebih ideal, kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penguatan local taxing power , peningkatan efektifitas pengawasan, dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagai salah satu bagian dari upaya perbaikan terus menerus, UU PDRD paling tidak memperbaiki 3 (tiga) hal pokok, yaitu penyempurnaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan ( local taxing empowerment ) dan retribusi daerah, serta peningkatan efektivitas pengawasan. Ketiga hal tersebut berjalan secara bersamaan, sehingga upaya peningkatan PAD dilakukan dengan konsisten terhadap prinsip-prinsip perpajakan dan retribusi yang baik dan tepat. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis pungutan yang dikenakan pemerintah daerah kepada masyarakat di samping pajak. Retribusi bersama- sama dengan pajak digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Retribusi daerah dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan retribusi yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Penggolongan retribusi tersebut dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam pelaksanaannya, sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah. Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Salah satu jenis Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengandung ketidakjelasan norma dan justru mengaburkan bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang terkandung dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD, Pemerintah berpendapat: Bahwa dalam hal penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang termasuk dalam kelompok retribusi jasa umum, penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi harus sejalan dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang diatur dalam Pasal 152 UU PDRD, yang didasarkan pada kebijakan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Untuk mencapai sasaran dimaksud, penerapan tarif retribusi jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 umum dimaksudkan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan. Tarif retribusi juga ditetapkan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah diberi diskresi penetapan tarif yang dituangkan dalam peraturan daerah mengenai pungutan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, namun harus tetap sesuai dengan tata cara penghitungan retribusi yang diatur dalam ketentuan Pasal 151 UU PDRD. Dengan demikian apabila Penjelasan Pasal 124 UU PDRD diubah sebagaimana petitum permohonan Pemohon, dikhawatirkan Pemerintah dianggap telah memberi ruang yang berlebih bagi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif retribusi, sehingga Pemerintah memandang perlu mengatur batas maksimum tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang ditetapkan pemerintah daerah dalam peraturan daerah.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon, yang menganggap dampak dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD membuat ketentuan penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD, karena dalam praktiknya pemerintah daerah melalui peraturan daerah mengenai penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi langsung menetapkan tarif sebesar 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menara telekomunikasi, Pemerintah berpendapat: Dalam rangka untuk melindungi masyarakat dari beban yang berlebihan perlu diatur batasan maksimum tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi. Apabila batasan maksimum 2% (dua persen) yang diatur dalam Penjelasan Pasal 124 UU PDRD dihapus sebagaimana permohonan Pemohon, maka tidak akan ada lagi batasan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif. Hal tersebut dapat berdampak munculnya kesewenang-wenangan pemerintah daerah dalam menentukan tarif yang justru dapat merugikan masyarakat. __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 Pada prinsipnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada Wajib Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian. Namun pada praktiknya, penghitungan biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pengawasan dan pengendalian dimaksud sulit ditentukan. Untuk itu, demi kepastian hukum dan guna mempermudah penghitungan, UU PDRD mengatur bahwa besaran tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah adalah paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa permasalahan penetapan tarif paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi bukan terletak pada Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, namun terkait dengan implementasi norma oleh pemerintah daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah masing-masing. Oleh karena itu, terhadap anggapan Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tersebut adalah tidak berdasar sama sekali , karena pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review saat ini adalah merupakan keberatan Pemohon terhadap pengenaan tarif retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, sehingga hal ini bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma. Bahwa terhadap keberatan Pemohon tersebut, UU PDRD memberikan kesempatan bagi Pemohon agar dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 UU PDRD.
Terhadap dalil Pemohon yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan keberlakuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penyedia menara untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akibatnya retribusi menara telekomunikasi secara tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, Pemerintah berpendapat: Bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji dalam permohonan a quo oleh Pemohon pada hakekatnya memberikan suatu hak konstitusional bagi setiap orang yang berupa hak pengakuan di hadapan hukum, hak jaminan di hadapan hukum, hak perlindungan hukum, hak kepastian hukum, serta hak perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemerintah berpendapat, bahwa dengan adanya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengenai Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi justru memberikan kejelasan tentang adanya kepastian hukum terhadap seluruh rakyat Indonesia, karena dengan penetapan tarif maksimum 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi mempermudah penghitungan bagi masyarakat dan memberikan batasan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan tarif dalam batas maksimum. Pemerintah juga berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945, karena Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa dengan penerapan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tersebut hak konstitusional Pemohon dan masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dirugikan. Justru dengan penerapan tarif maksimum 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi tersebut, hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak dirugikan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Sejalan dengan hal tersebut, maka petitum permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum, karena Penjelasan Pasal 124 UU PDRD justru memperjelas tentang adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, Pemerintah menyatakan tidak ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan; dan
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain itu, Presiden mengajukan seorang Ahli bernama Drs. Budi Sitepu M.A., yang didengarkan keterangannya di persidangan Mahkamah pada tanggal 2 Oktober 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. PRINSIP UMUM RETRIBUSI DAERAH 1. Pengertian Pengertian mengenai retribusi daerah diatur dalam Pasal 1 angka 64 UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut: “ Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa ataupemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. ” Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang harus dipahami dalam suatu retribusi daerah, yaitu:
Retribusi daerah dipungut berdasarkan Undang-Undang (sesuai Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 23A UUD 1945) yang pelaksanaannya di daerah diatur dengan peraturan daerah.
Pembayar retribusi daerah mendapat imbalan langsung berupa pelayanan yang menyebabkan fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh orang atau pribadi atau badan.
Penerimaan retribusi daerah digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
Prinsip dan Kriteria Retribusi Daerah a. Suatu retribusi daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum seperti keadilan ( equity ), kepastian ( certainty ), kemudahan ( convenience ), dan efisiensi ( efficiency ).
Penetapan suatu jenis retribusi daerah (yang masuk dalam kelompok retribusi jasa umum) perlu memperhatikan beberapa kriteria, antara lain: • bersifat bukan pajak. • jasa tersebut merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. • Jasa memberi manfaat khusus bagi pembayar retribusi daerah, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum. • jasa hanya diberikan kepada pembayar retribusi. • tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya. • dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu pendapatan daerah yang potensial. • pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Tarif Retribusi Daerah Retribusi daerah dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Prinsip dan sasaran penetapan tarif untuk masing-masing kelompok retribusi tersebut berbeda satu dengan lainnya, yaitu:
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Apabila suatu daerah memiliki kemampuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 fiskal yang memadai, penyediaan jasa untuk jenis Iayanan tertentu dapat tidak dikenakan retribusi.
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk meperoleh keuntungan yang Iayak. Dalam hal ini, jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah pada dasarnya dapat juga disediakan oleh pihak swasta, sehingga penetapan tarif jasa yang disediakan pemerintah daerah akan bersaing dengan harga jasa yang sama yang disediakan oleh pihak swasta.
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seiuruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Untuk jenis Iayanan ini, penetapan tarif ditujukan untuk menutup biaya-biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan jasa yang bersangkutan ( cost-recovery ) termasuk biaya pengawasannya. Penetapan besarnya tarif untuk masing-masing jenis retribusi daerah sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintahan daerah dengan mengacu pada prinsip dan sasaran penetapan tarif di atas dan diatur dalam peraturan daerah. Dalam hal ini, pemerintahan daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan tarif retribusi daerah sesuai kebijakan daerah, seperti untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dengan demikian, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi dapat berbeda menurut jenis pelayanan jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa. B. RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DAN PENETAPAN TARIFNYA 1. Pendahuluan Gagasan penetapan retribusi pengendalian menara telekomunikasi muncul ketika berbagai pihak menyampaikan pandangan dan usulannya kepada DPR terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 Dinamika yang berkembang saat pembahasan RUU tersebut di DPR adalah adanya keluhan dari industri telekomunikasi atas terjadinya berbagai pungutan di daerah terhadap keberadaan menara telekomunikasiyang dipandang tidak memiliki dasar hukum jelas. Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000, sejumlah Perda bermasalah masih ditemui di daerah karena prinsip yang dianut dalam Undang-Undang tersebut bersifat “ open-list ”, artinya daerah dapat menetapkan Perda tentang retribusi daerah tanpa menunggu persetujuan dari Pemerintah. Dalam rangka menertibkan berbagai pungutan daerah, Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengubah prinsip pemungutan retribusi daerah dari yang bersifat 'open-list' menjadi 'closed-list . Dengan prinsip 'closed-list' , daerah hanya boleh memungut retribusi daerah sesuai jenis retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang. Langkah ini dipandang dapat mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai pungutan daerah yang menjadi kewajibannya.
Kondisi yang dihadapi Seiring dengan pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia, pembangunan menara telekomunikasi oleh perusahaan berkembang pesat guna mendukung kelancaran komunikasi. Pendirian menara telekomunikasi tersebut tidak dapat dikendalikan oleh daerah karena kewenangan perijinan serta pemungutan pajak dan bukan pajak dilakukan oleh pusat. Dari segi estetika, tumbuhnya menara telekomunikasi yang tidak sesuai ketentuan tata ruang telah menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah mana menara tersebut didirikan. Berbagai pendapatan dan reaksi muncul atas kondisi tersebut, antara lain:
Sebagian masyarakat di daerah memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi hanya menimbulkan kerusakan lingkungan dan tidak memberikan manfaat, sehingga acapkali terjadi gangguan keamanan terhadap keberadaan menara.
Sebagian Pemerintah daerah juga memandang bahwa tumbuhnya industri telekomunikasi tidak memberikan kontribusi bagi pembangunan di daerah. Keberadaan menara justru dianggap merusak lingkungan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 sementara daerah tidak mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan telekomunikasi (yang acapkali dipublikasikan mendapatkan keuntungan cukup besar). Hampir semua pungutan yang terkait dengan operasi telekomunikasi dilakukan oleh pusat, baik dalam bentuk pajak penghasilan, pajak pertambahan niiai, maupun penerimaan negara bukan pajak. Pemerintah daerah menuntut agar sebagian dari pungutan tersebut diberikan kepada daerah, baik dalam bentuk bagi hasil ataupun dengan menambah jenis pungutan daerah yang baru.
Pelaku bisnis telekomunikasi memandang bahwa mereka telah memenuhi semua kewajiban finansial atas operasional telekomunikasi kepada pemerintah. Pelaku bisnis menuntut agar pemerintah turut serta dalam mengamankan aset-aset yang mereka gunakan di daerah dalam operasional telekomunikasi (seperti menara telekomunikasi) agar mereka tidak mengalami kerugian, yang pada akhimya akan mengurangi pembayaran pajak dan bukan pajak. Mereka juga memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi turut memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah karena komunikasi antar masyarakat di daerah dan antar daerah menjadi lebih lancar.
Para akademisi melihat bahwa pertumbuhan industri telekomunikasi memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan daerah. Namun, kepada daerah perlu dialokasikan sejumlah dana yang diperoleh dari industri telekomunikasi untuk digunakan membiayai pelayanan terhadap keberadaan menara telekomunikasi di daerah seperti: pengaturan ruang untuk pendirian menara telekomunikasi, pengendalian dan pengamanan menara telekomunikasi dari potensi gangguan kamtibmas, serta menata pembangunan menara telekomunikasi yang sesuai dengan kondisi daerah.
Para anggota DPR juga memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi perlu dikendalikan oleh pemerintah daerah agar keberadaannya tidak merusak lingkungan. Guna menjamin kelancaran komunikasi, keberadaan menara telekomunikasi perlu diatur dan diamankan dari gangguan kamtibmas. Berbagai opsi dapat dipertimbangkan untuk membantu daerah membiayai fungsi pelayanan tersebut seperti bagi hasil pungutan pusat, menambah jenis pajak daerah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 baru (pajak telepon), retribusi daerah baru, atau piggy-bank dari jenis pajak pusat.
Pemerintah pada dasarnya sependapat dan mendukung upaya pengamanan menara telekomunikasi dalam rangka meningkatkan kualitas komunikasi masyarakat, termasuk perlunya pengendalian pembangunan menara telekomunikasi untuk mencegah kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, berbagai opsi yang ada dikaji dengan melibatkan berbagai pihak, seperti akademisi (antara Iain yang tergabung dalam Tim Asistensi Menteri Keuangan bidang Desentralisasi Fiskal- TADF), Asosiasi Telekomunikasi Seiuruh Indonesia (ATSI), pemerintah daerah, dan instansi pusat terkait.
Solusi Yang Diambil Dari diskusi yang dilakukan atas kajian terhadap berbagai opsi yang ada, Panitia Kerja RUU PDRD menyepakati hal-hal sebagai berikut:
Kepada daerah perlu diberikan tambahan jenis pungutan daerah yang hasilnya digunakan untuk membiayai pelayanan pengendalian menara telekomunikasi. Tambahan jenis retribusi daerah yang baru merupakan pilihan yang lebih baik dibanding dengan timbulnya kerawanan terhadap keberadaan menara telekomunikasi atau timbulnya berbagai jenis pungutan daerah yang tidak didasarkan pada peraturan perundang- undangan.
Pemungutan retribusi daerah harus disertai pelayanan kepada pembayar retribusi daerah, antara lain dengan mengoptimalkan pengawasan dan pengendalian atas menara telekomunikasi yang ada di daerah.
Untuk kepastian hukum, Perda pungutan daerah harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang, baik menyangkut objek, subyek, maupun tarifnya. Hal ini diselaraskan dengan karakteristik UU PDRD yang sedang dirumuskan, yang bersifat closed-list .
Perumusan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Berdasarkan kesepakatan tersebut, dirumuskan suatu retribusi daerah tambahan dengan penjelasan sebagai berikut:
Jenis pungutan baru tersebut diberi nama "Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi" dan digolongkan kedalam kelompok "retribusi jasa umum" (Pasal 110 dan Pasal 124 UU 28/2009) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 b. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi daerah lainnya, penetapan tarif reribusi daerah diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan daerah yang diatur dalam Perda. Namun, untuk memberikan kepastian hukum serta untuk mencegah terjadinya pungutan retribusi yang berlebihan, maka dalam Undang-Undang ditetapkan secara spesifik tarif maksimum retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang dapat dipungut oleh daerah, yaitu 2% dari NJOP PBB-P2 menara telekomunikasi (Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009).
Penetapan tarif maksimum ditujukan untuk menghindarkan pengenaan retribusi daerah yang memberatkan masyarakat, mengingat cara penghitungan biaya penyediaan jasa, pengendalian, dan pengawasan yang menjadi dasar penetapan tariff retribusi sulit diketahui kewajarannya.
Batas maksimum tarif retribusi sebesar 2% dari NJOP didasarkan atas estimasi besaran pungutan yang selama ini dibayar oleh industri telekomunikasi kepada daerah (pungutan berdasarkan Perda atau Sumbangan Pihak Ketiga atau bentuk pungutan lainnya). Nilai ini dengan mudah dapat diketahuimelalui data pungutan PBB-P2 atas menara telekomunikasi yang dilakukan oleh daerah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi salah prinsip-prinsip retribusi daerah, berupa kepastian, kemudahan, dan efisiensi. Kesimpulan dan Pendapat: Berdasarkan prinsip-prinsip retribusi daerah, mekanisme perumusan jenis dan tarif retribusi, serta keselarasan dengan karakteristik Undang-Undang pajak daerah dan retribusi daerah, kami menyimpulkan bahwa pengaturan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasiyang ditetapkan dalam Penjelasan Pasal 124 UU Nomor 28 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan ketentuan umum di bidang retribusi daerah. Kami berpendapat bahwa rumusan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 124 UU tersebut sudah baik dan tidak perlu diubah. Adapun pertimbangan atas pendapat ini adalah:
Sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi daerah. Rumusan dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 memberikan kepastian, kemudahan, dan efisiensi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 a) Dengan adanya tarif maksimum, terdapat kepastian mengenai jumlah retribusi menara telekomunikasi yang harus dibayar oleh masyarakat. Pemerintahan daerah tidak dapat dengan sewenang-wenang menetapkan tarif retribusi dengan menggunakan formula yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Data mengenai NJOP mudah diperoleh, yakni menggunakan pembayaran PBB-P2 menara telekomunikasi sebagai referensi. b) Formula penghitungan tarif yang sederhana (2% dari NJOP) akan meningkatkan efisiensi pemungutan retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Dalam hal ini, daerah dapat secara langsung menerapkan tarif maksimum dengan mencantumkannya dalam Perda mengenai retribusi daerah.
Meningkatkan partisipasi masyarakat. Dengan referensi yang mudah diperoleh dan cara penghitungan yang sederhana maka masyarakat dapat menghitung sendiri tarif retribusi yang harus dibayar.
Memberikan hak masyarakat. Melalui kemudahan penghitungan, masyarakat memiliki peluang untuk mengajukan keberatan apabila retribusi yang dipungut melampaui tarif maksimum. Pasal 162 UU Nomor 28 Tahun 2009 memberikan kesempatan bagi wajib retribusi untuk mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwaiklan Rakyat menyampaikan keterangan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 November 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Pengujian Materiil Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 Penjelasan Pasal 124 secara keseluruhan berbunyi: “Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tariff retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengenda/ian menara telekomunikasi tersebut" Pemohon beranggapan ketentuan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa ketidakjelasan norma yang terkandung pada Penjelasan Pasal 124 telah mengakibatkan beban ekonomi tinggi sehingga pelaksanaan Pasal 124 menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan hak-hak atas komunikasi sebagai hak dasar sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD NRI 1945 dan bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur Pasal 28D UUD NRI 1945;
Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 memberikan kejelasan norma sehingga penetapan tarif retribusi pengendalian menara benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur pada Pasal 152 dan Pasal 161 (ketentuan pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka yang awalnya Penjelasan Pasal 124 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 berbunyi: “Mengingat tingkat pengunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi yang besamya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.” Harus diubah sebagai berikut: “ Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi ” 3. Bahwa dengan diubahnya Penjelasan Pasal 124 dengan perubahan sebagaimana yang Pemohon sampaikan semata-mata agar Pasal 124 memiliki tafsir resmi yang bersifat konstitusional, tidak lagi melanggar hak- hak dasar rakyat di bidang komunikasi sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD NRI 1945 dan juga tidak melanggar hak-hak Pemohon dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD NRI 1945; C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil Pemhon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa, “ Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara. ” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional". Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan :
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian UU a quo , maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pihak Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo , DPR berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- 111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
Pengujian atas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap permohonan pengujian Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa tujuan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 124 adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah sebagimana tergambar dalam konsiderans menimbang Undang-Undang a quo bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Tiap-tiap daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur dalam undang- undang;
Bahwa untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor- impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru.
Bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mendukung reformasi desentralisasi. Dengan ciri-ciri bahwa memberdayakan Pemerintah Daerah melalui penelitian otonomi daerah dengan akuntabilitas yang tinggi. Dalam UndangUndang ini, dianut openlis menjadi closelis. Artinya, selain diberikan diskresi, daerah juga dibatasi di dalam memungut daerah yang hanya boleh dipungut berdasarkan yang tercantum di undang-undang tersebut. Undang-Undang a quo memberikan ruang untuk menggali sumbersumber pendapatan daerah yang memenuhi kriteria-kriteria yang ditentukan.
Bahwa retribusi pengendalian menara telekomunikasi merupakan salah satu objek retribusi jasa umum. Berdasarkan Pasal 108 Undang-Undang a quo , objek retribusi jasa terbagi menjadi tiga bagian, yakni retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan perizinan tertentu. Selanjutnya menurut Pasal 109 Undang-Undang a quo , objek Retribusi Jasa Umum merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Sadan. Meskipun demikian, Undang Undang a quo membuka kemungkinan bahwa 14 (empat belas) jenis Retribusi Jasa Umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
Bahwa menurut Pasal 124 Undang-Undang a quo , objek retribusi pengendalian menara telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum.
Bahwa penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo yang selengkapnya berbunyi: “ Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut ”, dimaksudkan guna menjelaskan bahwa pada kenyataannya terdapat kesulitan untuk menentukan tingkat penggunaan jasa yang bersifat pengawasan dan pengendalian sehingga untuk melindungi subjek dan/atau wajib retribusi jasa umum dit tapkan angka maksimal dalam pengenaan tarif retribusi, agar pihak Pemerintah Daerah sebagai penyedia layanan tidak semena-mena menetapkan tarif retribusi jasa umum tersebut.
Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo , nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi pada dasarnya merupakan jalan keluar agar kesulitan sebagaimana dimaksud pada huruf f dapat diatasi. Penetapan angka maksimal 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi tetap harus dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut, sehingga Pemerintah Daerah seharusnya tetap memperhatikan penghitungan riil biaya frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi dan tidak langsung mengenakan tarif maksimal atau 2% (dua persen) tanpa dasar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 penghitungan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, DPR berpendapat bahwa penjelasan Pasal 124 dimaksUdkan guna memberikan kemudahan penghitungan dengan tidak mengabaikan ketentuan bahwa penghitungan retribusi terhadap pengendalian menara telekomunikasi harus dikaitkan dengan biaya pengawasan dan pengendalian, namun dalam penetapannya tidak boleh melebihi 2% dari nilai jual objek pajak agar melindungi para subjek dan/atau wajib retribusi dari pengenaan tarif yang semena-mena. Demikian keterangan DPR RI kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili Perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan yang disampaikan oleh Pemohon yang diterima Kepaniteraan tanggal 9 Oktober 2014 dan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Oktober 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049, selanjutnya disebut UU 28/2009) terhadap Pasal 28D dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo . Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon __ adalah untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah badan hukum privat berbentuk perseroan terbatas yang berdasarkan akta pendiriannya (vide bukti P-2) bergerak di bidang telekomunikasi dan informasi. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 potensial akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menghambat penyedia menara telekomunikasi untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi (Pasal 28F UUD 1945). Akibatnya, retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin Pasal 28F UUD 1945; [3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil Pemohon yang merasa dirugikan akibat ketidakpastian hukum dalam penentuan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang ditimbulkan oleh Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009, menurut Mahkamah, prima facie Pemohon mempunyai hak konstitusional karena dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga terdapat kemungkinan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon __ dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana dimaksud oleh Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 yang selengkapnya menyatakan, "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." yang menurut Pemohon penjelasan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan:
1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan _penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan; _ 2) Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dari ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 dapat ditegaskan bahwa penetapan tarif retribusi jasa umum harus didasarkan pada biaya penyediaan jasa dalam hal biaya operasional, pemeliharaan, bunga dan biaya modal, dan biaya tersebut hanya untuk menutupi sebagian biaya saja. Lebih jauh daripada itu, penetapan tarif juga harus didasarkan pada kemampuan masyarakat (jika tarif retribusi dikenakan kepada masyarakat), aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas Iayanan retribusi. Dus penerimaan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan retribusi.
Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah sudah bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi nantinya harus murni didasarkan pada biaya jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 8 pengawasan dalam rangka pengendalian menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum (Pasal 124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah 9. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 karena terbentur oleh penafsiran yang diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." Di dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut secara terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga dengan alasan untuk memudahkan penghitungan dalam menetapkan tarif digunakanlah batasan paling tinggi 2% dari NJOP;
Bahwa dalam penentuan jenis dan tarif retribusi daerah secara teoritis harus mempertimbangkan kriteria-kriteria retribusi daerah yang baik yang berlaku secara umum. Retribusi daerah yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Richard M. Bird (Richard M. Bird, " Subnational Revenues: Realities and Prospect ", Paper yang disampaikan pada _Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management: _ World Bank , 2000) memiliki kriteria, yaitu:
Mudah dikelola secara administrasi oleh pemerintah daerah ( easy to administer locally );
Dipungut utamanya dari penduduk lokal ( imposed mainly on local Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 9 resident );
Tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi ( high cost economics );
Tidak menimbulkan masalah harmonisasi atau kompetisi antar pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat 11. Bahwa dampak dari Penjelasan Pasal 124 tersebut akhimya membuat ketentuan penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian. Dalam praktiknya, pemerintah daerah langsung menetapkan tarif sebesar 2% dari NJOP. Hal ini tentu bertentangan dengan hakekat dari retribusi jasa umum itu sendiri. Akibatnya ketentuan penetapan tarif yang diatur di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 tidak digunakan, bahkan diabaikan oleh pemerintah daerah. Seharusnya, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Sampai saat ini, setidaknya sudah terdapat 158 (seratus limapuluh delapan) Pemerintah Kabupaten/Kota yang Perda tentang Penetapan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi-nya langsung mematok tarif 2 (dua) persen dari NJOP (vide bukti P-1);
Bahwa Penjelasan Pasal 124 pada dasarnya telah benar sepanjang frase kalimat " ...besarnya retribusi dikaitkan dengan jasa pengawasan dan pengendalian serta frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi... ". Namun pemerintah daerah tidak mengkaitkannya dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian, melainkan langsung mematok tarif 2% dari NJOP karena terdapat frase kalimat " Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan.. ". Dengan alasan sulit dan untuk memudahkan penghitungan itulah kemudian pemerintah daerah menafsirkannya seolah-olah memang tidak mungkin menggunakan pendekatan frekuensi pengawasan dan pengendalian, jadi langsung saja dipatok 2% dari NJOP.
Bahwa penetapan tarif menara telekomunikasi yang didasarkan pada 2% dari NJOP berakibat beban ekonomi tinggi ( high cost economics ) yang akan berdampak negatif bagi investasi daerah. Sebab dengan menggunakan ketentuan 2% dari NJOP biaya yang harus dikeluarkan untuk 1 (satu) menara telekomunikasi mencapai di atas angka Rp Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 10 10.000.000,-, (sepuluh juta rupiah) di antaranya Ciamis, Bangli, Dairi Surabaya, Bantul dan Karangasem (vide bukti P.2), bahkan terdapat beberapa daerah yang tarifnya di atas Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) diantaranya Demak, Makassar, DKI Jakarta dan Batam (vide bukti P.3); Padahal jika menggunakan ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 yang didasarkan pada biaya pengawasan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi untuk 1 (satu) menara tidak lebih dari + Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) saja. Perhitungan penetapan tarif dimaksud dapat Pemohon simulasikan sebagai ilustrasi sebagai berikut: Perhitungan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Berbasis Biaya Pengawasan yang dilakukan Pemerintah Daerah Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan /orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun Dari ilustrasi tersebut dapat diketahui bahwasanya biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi, item atau komponennya tetap dapat diperhitungkan, item tersebut yaitu biaya honorarium petugas pengawas (bisa didasarkan pada Upah Minimum Regional), transportasi dan uang makan (didasarkan pada angka kewajaran} serta alat tulis kantor (juga didasarkan pada kebutuhan yang wajar). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 11 14. Bahwa akibat timbulnya Penjelasan Pasal 124 UU Nomor 28 Tahun 2009, maka menimbulkan biaya ekonomi tinggi atas penjelasan tersebut, yang disimulasikan sebagai berikut: Jika diasumsikan bahwa NJOP Menara adalah Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), maka nilai Retribusi Pengendalian Menara yang harus dibayarkan adalah 2% x NJOP = Rp.20.000.000, /menara/tahun. Jika menggunakan perhitungan biaya Iayanan yang sebesar Rp.2.072.728.- (dua juta tujuh puluah dua ribu tujuh ratus dua puluh delapan rupiah)/ menara/tahun, maka potensi kerugian per menara adalah Rp. 17.927.272,- (tujuh belas juta sembilan ratus dua puluh tujuh dua ratus tujuh puluh dua rupiah)/menara/tahun.
Bahwa dengan adanya biaya ekonomi tinggi dalam retribusi pengendalian menara telekomunikasi faktanya telah mempersulit penyedia sarana prasarana telekomunikasi (penyedia menara dan operator seluler) termasuk Pemohon untuk mewujudkan biaya telekomunikasi yang murah dan terjangkau, padahal komunikasi merupakan salah satu hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Dan itulah kenapa retribusi pengendalian menara dimasukkan ke dalam kategori retribusi jasa umum (bukan jasa usaha) karena tujuan utamanya memang untuk pemenuhan kepentingan umum di bidang komunikasi. Bahwa bagaimanapun Pemohon merupakan badan hukum yang oleh negara diakui sebagai salah satu penyelenggara pemenuhan kepentingan umum (pemenuhan hak dasar rakyat di bidang komunikasi), dan apa yang dilakukan oleh Pemohon secara langsung ikut membantu kewajiban negara dalam pemenuhan hak dasar warga negara dimaksud. Oleh karena biaya ekonomi tinggi akibat penafsiran yang diberikan Penjelasan Pasal 124 telah berakibat Pasal 124 menjadi bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 16. Bahwa penerapan 2% (dua persen) dari NJOP dalam penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi juga tidak memberikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 perlindungan dan keadilan hukum bagi Pemohon karena seharusnya tetap didasarkan pada kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian, sehingga penafsiran yang diberikan Penjelasan Pasal 124 inkonsisten dengan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 UU Nomor 28 Tahun 2009 dan berakibat Pasal 124 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 17. Bahwa jika didasarkan pada ketentuan yang tertuang di dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada di batang tubuh;
Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
Tidak mengulangi uraian kata istilah frasa atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan atau 5) Tidak memuat rumusan pendelegasian.
Bahwa Penjelasan Pasal 124 justru membuat ketidakjelasan norma yang terkandung di Pasal 124, di satu sisi seolah-olah penetapan tarif retribusi tetap mengacu pada biaya pengawasan dan pengendalian, namun di sisi lain biaya pengawasan dan pengendalian dinyatakan sulit dilakukan sehingga digunakan batasan tarif tertinggi 2 (dua) persen dari NJOP. Padahal biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi terbukti tidaklah sulit karena Pemohon terbukti dapat mengurai dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 mensimulasikannya dalam rumusan yang jelas, tegas dan benar-benar mengacu kepada biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang telah Pemohon tuangkan pada poin 11. Oleh karena itu Penjelasan Pasal 124 pada dasarnya tidak dapat digunakan lagi sebagai tafsiran resmi norma yang terkandung di Pasal 124 karena bunyi dari penjelasan Pasal 124 justru mengaburkan dan membuat ketidakjelasan norma bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang diatur di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161;
Bahwa ketidakjelasan norma yang terkandung pada Penjelasan Pasal 124 telah mengakibatkan beban ekonomi tinggi sehingga pelaksanaan Pasal 124 menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagai hak dasar sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD 1945 dan bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD 1945;
Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 memberikan kejelasan norma sehingga penetapan tarif retribusi pengendalian menara benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur pada Pasal 152 dan Pasal 161 (ketentuan pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka yang awalnya Penjelasan Pasal 124 berbunyi: “ Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari niiai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut. ” Harus diubah sebagai berikut: " Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi ." Dan berdasarkan Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Penjelasan dapat disertai contoh, untuk memberikan kepastian hukum dalam penetapan tarif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 maka simulasi yang telah Pemohon contohkan dimohonkan kepada Mahkamah untuk dijadikan sebagai bagian dari Penjelasan Pasal 124, sehingga bunyi Penjelasan Pasal 124 berbunyi sebagai berikut: Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi. Kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian dapat dijabarkan dalam formula penghitungan sebagai berikut: Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan/ orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun 21. Bahwa dengan diubahnya Penjelasan Pasal 124 dengan perubahan sebagaimana yang Pemohon sampaikan pada poin 17 semata-mata agar Pasal 124 memiliki tafsir resmi yang bersifat konstitusional, tidak lagi melanggar hak-hak dasar rakyat di bidang komunikasi sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD 1945 dan juga melanggar hak-hak Pemohon dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD 1945; IV. PETITUM Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak berkekuatan hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah konstitusional diubah dengan frase kalimat: Penetapan tarif Retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi. Kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian dapat dijabarkan dalam contoh formula penghitungan sebagai berikut: Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan/ orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-6.8 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Salinan Akta Notaris Nomor 01, tanggal 29 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 Agustus 2013, Akta Perseroan terbatas PT. Kame Komunikasi Indonesia;
Bukti P-2 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-55326.AH.01.01.Tahun 2013, tanggal 31 Oktober 2013.
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
Bukti P-5.1 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.2 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.3 : Fotokopi Peraturan Walikota Samarinda Nomor 23 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.4 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.5 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.6 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Surabata tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.7 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendali Menara Telekomunikasi di Kabupaten Bangli; Bukti P-5.8 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendali Menara Telekomunikasi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 Bukti P-5.9 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 18 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.10 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.11 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.12 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.13 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.14 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Tmur Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penataan, Pembangunan, Pengoperasian, dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur; Bukti P-5.15 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Nomor ... Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum. Bukti P-5.16 : Fotokopi Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 02 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.17 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.18 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.19 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 14 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.20 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.21 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.22 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor 4 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.23 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.24 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah pada Bidang Perhubungan Komunikasi dan Informatika Bukti P-5.25 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 09 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.26 : Fotokopi Peraturan Daerah kota Batam Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.27 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.28 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.29 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian dan Pengawasan Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.30 : Fotokopi Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.31 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.32 : Fotokopi Peraturan Daerah Kapaten Karangasem Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.33 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.34 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Singkawang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Menara Bersama Telekomunikasi, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.35 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.36 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 07 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kabupaten Purbalingga; Bukti P-5.37 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.38 : Fotokopi Qanun Kabupaten Aceh Singkil Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengawasan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.39 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.40 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 11 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.41 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.42 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.43 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.44 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.45 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.46 : Fotokopi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.47 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Mukomuko Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi;
Bukti P-6.1 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Kabupaten Bantul Nomor 555/789 tanggal 6 November 2013, kepada provider telekomunikasi, perihal Keringanan RPM 2013; Bukti P-6.2 : Fotokopi Surat Ketetapan retribusi Daerah Pengendalian Menara Telekomunikasi Kota Batam; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 Bukti P-6.3 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Komunikasi Informatika Pemerintah Kabupaten Demak, Nomor 555/4553/2013 tanggal 12 September 2013, perihal Surat Pemberitahuan Keringanan Retribusi Daerah Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.4 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Ciamis Nomor 555/1010/Dishub.06, tanggal 10 Juli 2013 perihal Penetapan retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.5 : Fotokopi Surat Pengantar Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Karangasem Nomor 045.2/338/DKI, tanggal 28 Juni 2013; Bukti P-6.6 : Fotokopi Surat Ketetapan Retribusi Daerah Pengendalian Menara Telekomunikasi Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Surabaya, tanggal 30 Oktober 2013; Bukti P-6.7 : Fotokopi Surat Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Makassar Nomor 555/933/Diskom/ III/2013, tanggal 7 Maret 2013, perihal Tagihan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.8 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Dairi Nomor 1616/ BU/DPKD/2012, tanggal 18 September 2012, perihal Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Tahun 2012; Selain itu, Pemohon juga mengajukan seorang ahli bernama Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.SI., M.A., yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 2 Oktober 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: PENGANTAR Bahwa Pajak dan Retribusi Daerah merupakan kebijakan desentralisasi fiskal Pemerintah (Pusat) yang ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah ( Taxing power ) dan kapasitas fiskal daerah ( Fiscal Capacity ) untuk menjalankan setiap urusan yang dilimpahkan kepada daerah. Oleh karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 itu Pemerintah Daerah diberikan kewenangan memungut pajak dan pungutan memaksa lainnya (retribusi dan Iain-Iain PAD yang sah) sebagai bagian dari pendapatan asli daerah. Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-Undang, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-Undang yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Pada dasarnya UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan Undang-Undang ini, yaitu:
Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang ( Closed-List ).
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang- Undang.
Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. TINJAUAN TEORI DAN REGULASI Perbedaan Pajak dan Retribusi Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak merupakan pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai bentuk kontribusi warga terhadap negara, tentu memiliki sanksi tersendiri ketika seseorang tidak membayarkannya atau terlambat untuk membayarnya. Sementara itu, Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Jadi retribusi merupakan pungutan yang tidak wajib, tentu akan berbeda dengan pajak. Hal tersebut nampak pada tidak adanya sanksi atas tindakan tidak membayar retribusi, hanya saja bagi pihak yang tidak membayar tidak akan mendapatkan jasa sebagaimana yang membayarnya. Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Ciri-ciri retribusi daerah:
Retribusi dipungut oleh pemerintah daerah 2. Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis bagi yang menikmati pelayanan 3. Adanya kontraprestasi yang secara langsung dapat ditunjuk 4. Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang mengunakan/mengenyam jasa-jasa yang disiapkan negara. Kriteria Efektivitas Retribusi Daerah: Untuk menilai tingkat keefektivitasan dari pemungutan retribusi daerah ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi yaitu:
Kecukupan dan elastisitas, elastisitas retribusi harus responsif kepada pertumbuhan penduduk dan pendapatan, selain itu juga tergantung pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 ketersediaan modal untuk memenuhi pertumbuhan penduduk.
Keadilan, dalam pemungutan retribusi daerah harus berdasarkan asas keadilan, yaitu disesuaikan dengan kemampuan dan manfaat yang diterima.
Kemampuan administrasi, dalam hal ini retribusi mudah ditaksir dan dipungut. Mudah ditaksir karena pertanggungjawaban didasarkan atas tingkat konsumsi yang dapat diukur. Mudah dipungut sebab penduduk hanya mendapatkan apa yang mereka bayar, jika tidak dibayar maka pelayanan dihentikan. Jenis-jenis Retribusi Daerah Retribusi daerah menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah retribusi daerah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: A. Retribusi Jasa Umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, retribusi jasa umum ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini:
Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa usaha atau perizinan tertentu.
Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi.
Jasa tersebut memberikan manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.
Jasa tersebut iayak untuk dikenakan retribusi.
Retribusi tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya.
Retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif dan efisien serta merupakan satu sumber pendapatan daerah yang potensial.
Pemungutan retribusi memungkinkanpenyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan atau kualitas pelayanan yang lebih baik. Adapun jenis retribusi jasa umum adalah sebagai berikut [Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang 28 Tahun 2009]:
Retribusi pelayanan kesehatan 2. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan 3. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 sipil 4. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat 5. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum 6. Retribusi pelayanan pasar 7. Retribusi pengujian kendaraan bermotor 8. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran 9. Retribusi penggantian biaya cetak peta 10. Retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus 11. Retribusi pengolahan limbah cair 12. Retribusi pelayanan tera/tera uiang 13. Retribusi pelayanan pendidikan 14. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi Terkait dengan Retribusi pengendalian menara telekomunikasi, dimana Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum. B. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oieh sektor swasta. Kriteria retribusi jasa usaha adalah:
Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perizinan tertentu.
Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogianya disediakan oleh sektor swasta, tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/ dikuasai oleh pemerintah daerah. Jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah sebagai berikut (Pasal 127 Undang- Undang 28 Tahun 2009):
Retribusi pemakaian kekayaan daerah 2. Retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan 3. Retribusi tempat pelelangan 4. Retribusi terminal 5. Retribusi tempat khusus parkir 6. Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 7. Retribusi rumah potong hewan 8. Retribusi pelayanan kepelabuhanan 9. Retribusi tempat rekreasi dan oiahraga 10. Retribusi penyeberangan di air 11. Retribusi penjualan produksi usaha daerah C. Retribusi Perizinan Tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang. penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Kriteria retribusi perizinan tertentu antara lain:
Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi.
Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum.
Biaya yang menjadi beban pemerintah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga Iayak dibiayai dari perizinan tertentu. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu adalah sebagai berikut (Pasal 141 Undang-Undang 28 Tahun 2009):
Retribusi izin mendirikan bangunan 2. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol 3. Retribusi izin gangguan 4. Retribusi izin trayek 5. Retribusi izin usaha perikanan Tata Cara Perhitungan Retribusi Daerah Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa. Dengan demikian, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan tarif retribusi dan tingkat penggunaan jasa.
Tingkat Penggunaan Jasa, Tingkat Penggunaan Jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar alokasi beban biaya yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan, misalnya beberapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa jam parkir kendaraan, dan sebagainya. Akan tetapi, ada pula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus tertentu yang didasarkan atas luas tanah, luas lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.
Tarif Retribusi Daerah, Tarif Retribusi Daerah adalah niiai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang. Tarif dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan perbedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan sasaran dan tarif tertentu, misalnya perbedaan Retribusi Tempat Rekreasi antara anak dan dewasa. Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah berkaitan dengan objek retribusi yang bersangkutan.
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Daerah, Tarif retribusi daerah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang berbeda antar golongan retribusi daerah. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah ditentukan sebagai berikut:
Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan.
Tarif retribusi jasa usaha ditetapkan berdasarkan pada tujuan utama untuk memperoleh keuntungan yang Iayak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang bersangkutan diselenggarakan oleh swasta.
Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seiuruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan dilapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Prinsip dasar untuk mengenakan retribusi biasanya didasarkan pada total cost dari pelayanan pelayanan yang disediakan. Akan tetapi akibat adanya perbedaan-perbedaan tingkat pembiayaan mengakibatkan tarif retribusi tetap dibawah tingkat biaya ( full cost ) ada 4 alasan utama mengapa hal ini terjadi:
Apabila suatu pelayanan pada dasarnya merupakan suatu public good yang disediakan karena keuntungan kolektifnya, tetapi retribusi dikenakan untuk mendisiplinkan konsumsi. Misalnya retribusi air minum.
Apabila suatu pelayanan merupakan bagian dari swasta dan sebagian lagi merupakan good public . Misalnya tarif kereta api atau bis disubsidi guna mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum dibandingkan angkutan swasta, guna mengurangi kemacetan.
Pelayanan seluruhnya merupakan private good yang dapat disubsidi jika hal ini merupakan permintaan terbanyak dan penguasa enggan menghadapi masyarakat dengan full cost . Misalnya fasilitas rekreasidari koiam renang.
Private good yang dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan group- group berpenghasiian rendah. Misalnya perumahan untuk tunawisma. Prinsip Dasar dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Besarnya retribusi daerah yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari perkalian antara tarif dan tingkat penggunaan jasa dengan rumus sebagai berikut: RETRIBUSI TERUTANG= TINGKAT PENGGUNAAN JASA x TARIF RETRIBUSI Tarif Retribusi (TR) adalah niiai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang. Tarif Retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. Pasal 151 ayat (1) UU 28/2009 menyatakan "Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi". Cara mengukur tingkat penggunaan jasa Dalam implementasinya, mengukur tingkat penggunaan jasa ini banyak menimbulkan masalah, misalnya adanya perbedaan antara daerah satu dengan daerah lain tentang cara mengukur tingkat penggunaan jasa pada Perda tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 retribusi daerah, dimana jenis objek retribusi sama. Banyaknya perda tentang retribusi yang hasil dari pengukuran tingkat penggunaan jasa tidak dapat dikaitkan (tidak ada korelasi) dalam penghitungan besaran retribusi daerah yang terutang. Banyaknya perda tentang retribusi yang hasil dari pengukuran tingkat penggunaan jasa tidak dikuantitatifkan (ada nilai angkanya). Tingkat penggunaan jasa adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang ditanggung pemerintah daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah. Rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mencerminkan beban yang dipikul oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut (relevan). Sebelum mengukur TPJ, langkah pertama adalah menentukan dasar TPJ. Dalam menentukan dasar TPJ, kita cari dulu kaitan atau korelasi antara TPJ dengan objek retribusi. contoh "Retribusi Pertunjukan", hal-hal apa saja yang ada korelasi dengan Pertunjukan selain hari? Bisa jam, nama, umur, jenis kelamin dan sebagainya. Untuk memudahkan memahami bagaimana menentukan dasar TPJ selain hari (pada contoh Tiket), lihat ilustrasi di bawah ini: Hari Tarif Senin – Jumat Rp. 20.000,- Sabtu dan Minggu Rp. 30.000,- Dalam contoh tiket Pertunjukan di atas, Tingkat Penggunaan Jasa (TPJ) didasarkan pada hari yaitu hari Senin-Jumat dan Sabtu-Minggu. Tetapi dapat juga didasarkan pada umur yaitu anak dan dewasa. Dalam mengukur TPJ ada 2 metode, yaitu dalam bilangan/angka yang biasa disebut dengan indeks/koefisien dan prosentase. Untuk memudahkan dalam mengukur TPJ lihat ilustrasi di bawah ini dengan dasar TPJ hari, untuk mempersamakan persepsi kita pakai kata indeks atau persen dalam mengukur TPJ: Hari Indeks Persen Senin-Jumat 0.75 75% Sabtu dan Minggu 1 100% Tabel di atas merupakan contoh dalam mengukur TPJ, sedang niiai indeks dan prosentase hanyalah sebuah contoh tanpa didasari pendalaman lebih lanjut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 Paling tidak contoh diatas sudah dapat menggambarkan bagaimana cara mengukur TPJ, bahwa TPJ ada nilainya. PEMBAHASAN DAN ANALISIS TERKAIT RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI Permasalahan yang muncul dalam penjelasan Pasal 124 adalah sebagai berikut: Pada dasarnya hakekat retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Jadi retribusi merupakan pungutan yang dapat dipaksakan hanya kepada orang pribadi atau badan yang mendapatkan pelayanan saja. Sehingga jelas di sini harus ada hubungan timbal balik dan keterkaitan yang jelas antara besarnya pembayaran retribusi dengan pelayanan yang diberikan pemerintah. Misalnya, Retribusi sampah, maka pihak pembayar retribusi sampah akan mendapatkan pelayanan berupa pengambilan sampah. Tentunya besarnya tarif retribusi sampah akan terkait langsung dengan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah atas penyelenggaraan pelayanan pengambilan sampah. Bahwa Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28.Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara lengkap menyatakan, " Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum ." Oleh karena itu ketentuan Pasal 124 tersebut memiliki makna bahwa ditetapkannya menara telekomunikasi sebagai objek retribusi karena adanya pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum sehingga diperlukan pelayanan pemerintah yang bersifat pengawasan ( monitoring ), pengendalian dari pemerintah daerah agar sesuai dengan kepentingan umum. Dalam hal tata cara perhitungan dan penetapan tarif retribusi, UU Nomor 28 Tahun 2009 telah mengaturnya secara khusus di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Dana penanggulangan bencana adalah dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan/atau pascabencana.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dana kontinjensi bencana adalah dana yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana tertentu.
Dana siap pakai adalah dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan pada saat tanggap darurat bencana sampai dengan batas waktu tanggap darurat berakhir.
Dana bantuan sosial berpola hibah adalah dana yang disediakan Pemerintah kepada pemerintah daerah sebagai bantuan penanganan pascabencana.
Bantuan darurat bencana adalah bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat tanggap darurat.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang selanjutnya disingkat dengan BNPB adalah lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya disingkat BPBD adalah badan pemerintah daerah yang melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Instansi/lembaga terkait adalah instansi/lembaga yang terkait dengan penanggulangan bencana.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Relevan terhadap
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “neraca sumber daya alam” adalah gambaran mengenai cadangan sumber daya alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai moneter. Huruf b Yang dimaksud dengan “produk domestik bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Yang dimaksud dengan “produk domestik regional bruto” adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu. Huruf c Yang dimaksud dengan “mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah” adalah cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Huruf d Yang dimaksud dengan “internalisasi biaya lingkungan hidup” adalah memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana jaminan pemulihan lingkungan hidup” adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya. Huruf b Yang dimaksud dengan “dana penanggulangan” adalah dana yang digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan. Huruf c Yang dimaksud dengan “dana amanah/bantuan” adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan hidup. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan hidup” adalah pengadaaan yang memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel ramah lingkungan hidup. Huruf b Yang dimaksud dengan “pajak lingkungan hidup” adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak sarang burung walet. Yang dimaksud dengan “retribusi lingkungan hidup” adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti retribusi pengolahan air limbah. Yang dimaksud dengan “subsidi lingkungan hidup” adalah kemudahan atau pengurangan beban yang diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup. Huruf c Yang dimaksud dengan “sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup” adalah sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Yang dimaksud dengan “pasar modal ramah lingkungan hidup” adalah pasar modal yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi perusahaan yang masuk pasar modal atau perusahaan terbuka, seperti penerapan persyaratan audit lingkungan hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di pasar modal. Huruf d Yang dimaksud dengan “perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi” adalah jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan hidup antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Huruf e Yang dimaksud dengan “pembayaran jasa lingkungan hidup” adalah pembayaran/imbal yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Huruf f Yang dimaksud dengan “asuransi lingkungan hidup” adalah asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Huruf g Yang dimaksud dengan “sistem label ramah lingkungan hidup” adalah pemberian tanda atau label kepada produk-produk yang ramah lingkungan hidup. Huruf h Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas
Mekanisme Penetapan Jabatan dan Peringkat Bagi Pelaksana di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Uji Materiil atas Pasal 160 ayat (2) huruf c UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda, Pasal 11 ayat (2) huruf c UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keua ...
Relevan terhadap 12 lainnya
UUD 1945 perlu diatur antara lain mengenai perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah. Perimbangan keuangan tersebut dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Dari sisi keuangan negara, kebijakan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari APBN ke daerah. Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan telah menyebabkan berkurangnya porsi dana yang dikelola Pemerintah Pusat, sebaliknya porsi dana yang menjadi tanggung jawab daerah melalui APBD menjadi semakin banyak. Hal itu dilakukan karena terjadinya perubahan hubungan kewenangan setelah perubahan UUD dengan pemberian urusan yang lebih banyak kepada daerah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dana perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah; UU 33/2004 dan UU Pemda telah mengatur secara jelas, adil dan selaras mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga tercipta hubungan keuangan yang adil dan selaras, serta tidak terdapat ketimpangan alokasi penerimaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang kaya sumber daya alamnya dan daerah yang kurang atau tidak memiliki kekayaan sumber daya alam. UU 33/2004 sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah mengatur tentang kebijakan pemerataan vertikal dan hubungan keuangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain dengan diterapkannya kebijakan pemerataan horizontal . • Kebijakan pemerataan vertikal dilatarbelakangi suatu kondisi selama Orde Baru, yang dalam aturan dan praktiknya Pemerintah Pusat begitu dominan dalam menguasai sumber-sumber penerimaan negara yang berujung pada timbulnya ketimpangan fiskal secara vertikal antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Aceh dan Irian Jaya (sekarang Papua), terpaksa harus menjadi daerah miskin
Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: a. Penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; b. Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan iuran tetap ( landrent ) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi ( royalty ) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; c. Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional yang dihasilkan dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan; d. Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan; 2. Dana Alokasi Umum Dalam rangka mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pemerintah pusat dan daerah selain dengan kebijakan bagi hasil sebagaimana telah diuraikan di atas juga ditempuh kebijakan pemberian DAU. Kebijakan dana perimbangan tersebut, khususnya pemberian DAU akan memberikan kepastian bagi daerah-daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dana alokasi umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal ( fiscal gap ) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah ( fiscal need ) dan potensi daerah ( fiscal capacity ). Dalam UU Perimbangan ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal
kebijakan otonomi daerah yang sifatnya menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan disertai oleh kesadaran akan keanekaragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika . Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut: 1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah. 2. Kesetaraan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah dalam kewenangan dan keuangan. 3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah. 4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah. Sejalan dengan pencapaian sasaran-sasaran tersebut, serta adanya perkembangan dalam peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menyebabkan terjadinya perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem keuangan negara. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 perlu diperbaharui serta diselaraskan dengan UU Pemda (Bukti Pemt-2) . Hal tersebut merupakan salah satu pertimbangan dibentuknya UU Perimbangan (Bukti Pemt -3) . Pembentukan UU Perimbangan (Bukti Pemt-3) dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada daerah yang diatur dalam UU Pemda (Bukti Pemt-2) . Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function , yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol. ...
Relevan terhadap
bahwa penetapan tarif cukai etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan konsentrat yang mengandung etil alkohol diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89/PMK.04/2006 tentang Penetapan Tarif Cukai Etil Alkohol Atau Etanol dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.04/2006 tentang Penetapan Tarif Cukai Minuman Dan Konsentrat Yang Mengandung Etil Alkohol;
bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, perlu dilakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan dan cukai;
bahwa sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan di bidang perpajakan dan cukai sebagaimana dimaksud pada huruf b, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penetapan tarif cukai atas etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan konsentrat yang mengandung etil alkohol sebagaimana diatur dalam ketentuan sebagaimana tersebut pada huruf a;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol;
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Izin Usaha adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai bukti legalitas yang menyatakan sah bahwa Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah telah memenuhi persyaratan dan diperbolehkan untuk menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu.
Jangka Waktu adalah kondisi tingkatan lamanya pengembangan usaha yang diberikan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan Usaha Besar.
Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi, agar Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia.
Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disingkat KPPU adalah komisi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian adalah menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang secara teknis bertanggung jawab dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya.
Pejabat adalah pejabat yang berwenang untuk memberikan Izin Usaha sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Alokasi dan Pedoman Umum Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2010.
Relevan terhadap
Daerah penerima DAK wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan DAK di dalam APBD.
Penggunaan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan Petunjuk Teknis Penggunaan DAK yang ditetapkan oleh Menteri Teknis terkait.
Petunjuk Teknis ditetapkan paling lambat 2 (dua) minggu sesudah Peraturan Menteri Keuangan ini diundangkan.
Dalam hal Tahun Anggaran 2010 sudah dimulai dan Petunjuk Teknis belum ditetapkan, pemerintah daerah dapat menggunakan petunjuk teknis DAK tahun sebelumnya sepanjang pilihan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan arahan kebijakan dan kegiatan DAK Tahun Anggaran 2010 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Besaran Alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan penghitungan indeks Kriteria Umum, Kriteria Khusus, dan Kriteria Teknis.
Kriteria Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikurangi belanja pegawai.
Kriteria Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. (4) Kriteria Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperhatikan:
Seluruh daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan daerah tertinggal/terpencil diprioritaskan mendapat alokasi DAK; dan
Karakteristik Daerah yang meliputi daerah pesisir dan/atau kepulauan kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah yang masuk dalam kategori ketahanan pangan, dan daerah pariwisata. (5) Kriteria Teknis kegiatan DAK perbidang dirumuskan oleh menteri-menteri atau kepala badan sebagai berikut:
Bidang Pendidikan dirumuskan oleh Menteri Pendidikan Nasional;
Bidang Kesehatan dirumuskan oleh Menteri Kesehatan;
Bidang Jalan, Irigasi, Air Minum, dan Sanitasi dirumuskan oleh Menteri Pekerjaan Umum;
Bidang Prasarana Pemerintahan dirumuskan oleh Menteri Dalam Negeri;
Bidang Kelautan dan Perikanan dirumuskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan;
Bidang Pertanian dirumuskan oleh Menteri Pertanian;
Bidang Lingkungan Hidup dirumuskan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup;
Bidang Keluarga Berencana dirumuskan oleh Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional;
Bidang Kehutanan dirumuskan oleh Menteri Kehutanan;
Bidang Sarana dan Prasarana Perdesaan dirumuskan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal; dan
Bidang Perdagangan dirumuskan oleh Menteri Perdagangan. (6) Bagi 14 (empat belas) daerah otonom baru tahun 2008 dan tahun 2009, perhitungan alokasi DAK dilakukan sebagai berikut:
kriteria umum dan kriteria khusus mengikuti daerah induknya; dan
kriteria teknis berdasarkan ketersediaan data teknis. Bagian Kedua Penetapan Alokasi Pasal 4 Alokasi DAK Tahun Anggaran 2010 untuk masing-masing daerah provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. Bagian Ketiga Arah Kegiatan Pasal 5 (1) DAK Bidang Pendidikan dialokasikan untuk menunjang pelaksanaan Program Wajib Belajar (Wajar) Pendidikan Dasar 9 Tahun yang bermutu dan merata untuk Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai berikut:
Untuk Sekolah Dasar (SD) dengan lingkup kegiatan:
pembangunan ruang perpustakaan/pusat sumber belajar SD/SDLB;
perabot pendukung perpustakaan; dan
pengadaan sarana peningkatan mutu pendidikan SD/SDLB, meliputi alat peraga, kit multimedia, buku pengayaan, buku referensi, ICT pendidikan, dan alat elektronik pendidikan. b. Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan lingkup kegiatan:
pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) untuk menampung siswa-siswa SMP yang belum tertampung dan rasionalisasi jumlah siswa per kelas;
pembangunan ruang perpustakaan atau pusat sumber belajar untuk SMP beserta perabotnya;
pemenuhan kebutuhan buku referensi, pengayaan dan panduan sesuai standar BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan); dan
pemenuhan kebutuhan alat-alat peraga dan pembelajaran bagi sekolah yang belum mempunyai alat tersebut yaitu alat laboratorium Bahasa, alat laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Alat Matematika. (2) DAK Bidang Kesehatan dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas kegiatan bidang kesehatan pelayanan dasar dan rujukan terutama dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu dan anak, perbaikan gizi masyarakat pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan. (3) Lingkup kegiatan Bidang Kesehatan Pelayanan Dasar dan Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
Kegiatan Bidang Kesehatan Pelayanan Dasar terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes);
pembangunan puskesmas, puskesmas perawatan; dan
melengkapi puskesmas perawatan mampu PONED minimal 4 (empat) puskesmas perawatan perkabupaten/kota melalui pengadaan alat medis;
pengadaan roda 2 (dua) untuk petugas Puskesmas dan Bidan di desa;
pengadaan pusling perairan dan roda 4 (empat);
pengadaan sarana pendukung penyimpanan vaksin/obat di instansi farmasi; dan
pengadaan obat generik dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan obat generik pada pelayanan kesehatan. b. Kegiatan Bidang Kesehatan Pelayanan Rujukan terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III rumah sakit yang terdiri dari pembangunan bangsal rawat inap kelas III dan pemenuhan set tempat tidur kelas III dan kelengkapannya;
pemenuhan peralatan UTD RS;
pemenuhan peralatan IGD RS;
pembangunan sarana prasarana dan pemenuhan peralatan PONEK RS; dan
pemenuhan Peralatan Kultur untuk M.Tbc di BLK Propinsi. (4) DAK Bidang Jalan dialokasikan untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat pelayanan prasarana jalan provinsi, kabupaten, dan kota dalam rangka memperlancar distribusi penumpang, barang jasa, serta hasil produksi yang diprioritaskan untuk mendukung sektor pertanian, industri, dan pariwisata sehingga dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi regional, serta menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana jalan. __ (5) Lingkup kegiatan DAK Bidang Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri dari kegiatan pemeliharaan berkala, peningkatan dan pembangunan jalan propinsi, jalan kabupaten/kota yang telah menjadi urusan daerah. __ (6) DAK Bidang Irigasi dialokasikan untuk mempertahankan tingkat layanan, mengoptimalkan fungsi, dan membangun prasarana sistem irigasi, termasuk jaringan reklamasi rawa dan jaringan irigasi desa yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dan provinsi khususnya daerah lumbung pangan nasional dalam rangka mendukung program katahanan pangan. (7) Lingkup kegiatan DAK Bidang Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri dari __ kegiatan peningkatan, rehabilitasi, dan pembangunan jaringan irigasi.
DAK Bidang Air Minum dialokasikan untuk meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan air minum untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. (9) Lingkup kegiatan DAK Bidang Air Minum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdiri dari kegiatan penyempurnaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) eksisting, pembangunan SPAM baru, dan perluasan jaringan dan peningkatan sambungan rumah untuk masyarakat miskin. (10) DAK Bidang Sanitasi dialokasikan untuk meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan air minum untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. (11) Lingkup kegiatan DAK Bidang Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
penyempurnaan sistem dan pelayanan eksisting (air limbah, persampahan dan drainase);
pengembangan pelayanan sistem dan pelayanan baru (air limbah, persampahan dan drainase);
perluasan jaringan dan peningkatan sambungan pelayanan air limbah untuk masyarakat miskin dan/atau kumuh melalui pengembangan sistem air limbah komunal; dan
dukungan pada kegiatan 3 R ( reduce, reuse, recycle ). (12) DAK Bidang Pertanian dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana pertanian ditingkat usaha tani dan desa dalam rangka peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri guna mendukung ketahanan pangan nasional. (13) Lingkup kegiatan DAK Bidang Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (12) terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
penyediaan fisik prasarana penyuluhan yang hanya digunakan untuk pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di tingkat kecamatan;
penyediaan fisik sarana dan prasarana pengelolaan lahan yang meliputi pembangunan/rehabilitasi jalan usahatani (JUT), jalan produksi, optimasi lahan, peningkatan kesuburan tanah, sarana/alat pengolah kompos, konservasi lahan, serta reklamasi lahan rawa pasang surut dan rawa lebak;
penyediaan fisik sarana dan prasarana pengelolaan air yang meliputi:
pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usahatani (JITUT), jaringan irigasi desa (JIDES), tata air mikro (TAM), irigasi air permukaan, irigasi tanah dangkal, irigasi tanah dalam, pompanisasi, dam parit, dan embung; dan
perluasan areal cetak sawah, pembukaan lahan kering/perluasan areal untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. d. penyediaan lumbung pangan dalam rangka mendukung kelembagaan distribusi pangan masyarakat yang merupakan bagian dari upaya peningkatan ketahanan pangan nasional. (14) DAK Bidang Kelautan dan Perikanan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, peningkatan mutu, pemasaran, dan pengawasan serta penyediaan sarana dan prasarana pemberdayaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, pembudidaya, pengolah, pemasar hasil perikanan, dan masyarakat peseisir lainnya yang didukung dengan penyuluhan. (15) Lingkup kegiatan DAK Bidang Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
penyediaan dan rehabilitasi sarpras produksi perikanan tangkap;
penyediaan dan rehabilitasi sarpras produksi perikanan budidaya;
penyediaan dan rehabilitasi sarpras pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;
penyediaan dan rehabilitasi sarpras pemberdayaan ekonomi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan konservasi dan pengembangan perikanan;
penyediaan sarana dan prasarana pengawasan; dan
penyediaan dan pengadaan sarpras penyuluhan perikanan.
DAK Bidang Prasarana Pemerintahan dialokasikan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran dan daerah yang terkena dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009 dan daerah lainnya yang prasarana pemerintahannya sudah tidak layak. Prioritas diberikan kepada daerah pemekaran tahun 2008 dan tahun 2009. (17) Lingkup kegiatan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (16) terdiri dari kegiatan pembangunan/perluasan/rehabilitasi gedung kantor kepala daerah, DPRD, dinas, badan, dan gedung SKPD lainnya, dengan tetap memperhatikan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis dalam penentuan daerah penerima. (18) DAK Bidang Lingkungan Hidup dialokasikan untuk mendorong pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal bidang Lingkungan Hidup serta mendorong penguatan kapasitas kelembagaan di daerah, dengan prioritas meningkatkan sarana dan prasarana lingkungan hidup yang difokuskan pada kegiatan pencegahan pencemaran air, pencegahan pencemaran udara, dan informasi status kerusakan tanah. (19) Lingkup kegiatan DAK Bidang Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (18) terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
pembangunan gedung laboratorium, pengadaan sarana dan prasarana pemantauan kualitas air, pengadaan laboratorium lingkungan bergerak;
pembangunan unit pengolahan sampah (3R), pembangunan teknologi biogas, pembangunan IPAL komunal;
penanaman pohon di sekitar sumber air di luar kawasan hutan, pembangunan sumur resapan/biopori, pembangunan taman hijau, pengadaan papan informasi, dan pengadaan alat pencacah gulma;
pengembangan sistem informasi lingkungan untuk memantau kualitas air;
pengadaan alat pemantauan kualitas udara, alat pembuat asap cair, dan alat pembuat briket arang; dan
pengadaan alat pemantau kualitas tanah.
DAK Bidang Keluarga Berencana (KB) dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan keluarga berencana yang terdiri dari:
daya jangkau dan kualitas penyuluhan, penggerakan, dan pembinaan program KB tenaga lini lapangan;
sarana dan prasarana fisik pelayanan KB;
sarana dan prasarana fisik pelayanan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) Program KB; dan
sarana dan prasarana fisik pembinaan tumbuh kembang anak. (21) Lingkup kegiatan DAK Bidang Keluarga Berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (20) terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
pengadaan sepeda motor bagi PKB/PLKB dan PPLKB;
pengadaan Mobil unit penerangan (Mupen) KB bagi kab/kota;
pengadaan Mobil Pelayanan KB Keliling bagi kab/kota;
pengadaan sarana pelayanan di klinik KB, yaitu Obgyn Bed dan Inplant Kit;
pengadaan Bina Keluarga Balita (BKB) KIT bagi desa/kelurahan;
pengadaan Public adress dan KIE Kit; dan
pembangunan gudang alokon. (22) DAK Bidang Kehutanan dialokasikan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama di daerah hulu dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukungnya melalui kebijakan rehabilitasi hutan lindung dan lahan kritis, kawasan mangrove serta meningkatkan pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) dan Hutan Kota yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah. (23) Lingkup kegiatan DAK Bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (22) terdiri dari kegiatan sebagai berikut:
rehabilitasi hutan lindung dan lahan kritis di luar kawasan hutan, kawasan mangrove, Tahura, dan Hutan Kota;
pengelolaan Tahura dan Hutan Kota termasuk pengamanan hutan;
pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi tahun sebelumnya;
pembangunan dan pemeliharaan bangunan sipil teknis (bangunan konservasi Tanah dan Air/KTA) yang meliputi dam penahanan, dam pengendali, gully plug , sumur resapan, embung dan bangunan konservasi tanah dan air lainnya;
peningkatan penyediaan sarana penyuluhan teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL); dan
Rehabilitasi Lahan Kritis di dalam kawasan Hutan Lindung, Taman Hutan Raya, Hutan Mangrove dan Hutan Pantai. (24) DAK Bidang Sarana dan Prasarana Perdesaan dialokasikan untuk meningkatkan aksesibilitas dan ketersediaan prasarana dan sarana dasar, memperlancar arus angkutan penumpang, bahan pokok, dan produk pertanian lainnya dari daerah pusat-pusat produksi di perdesaan ke daerah pemasaran, serta mendorong peningkatan kualitas produktivitas, dan diversifikasi ekonomi terutama di perdesaaan melalui kegiatan pembangunan infrastruktur yang diutamakan di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil. (25) Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (24) terdiri dari kegiatan pengadaan moda transportasi perintis darat, laut dan air/rawa. (26) DAK Bidang Perdagangan dialokasikan untuk meningkatkan ketersediaan sarana perdagangan yang memadai sebagai upaya untuk memperlancar arus barang antar wilayah serta meningkatkan ketersediaan dan kestabilan harga bahan pokok, terutama di daerah perdesaan, tertinggal, terpencil, perbatasan, pulau-pulau kecil terluar, dan paska bencana dan daerah pemekaran. (27) Lingkup kegiatan DAK Bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (26) terdiri dari kegiatan pembangunan dan pengembangan pasar tradisional dan pasar penunjang.