Tata Cara Pemberian Fasilitas Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Dan/ atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersif ...
Uji materiil Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 ...
Relevan terhadap 46 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id pertanian CPO dan PKO. Padahal sebenarnya dalam SK Menkeu Nomor 291/KMK/05/97 tertanggal 26 Juni 1997. terhadap beberapa pabrikan justru tidak dipungut PPN. “Artinya dalam hal ini pihak pabrikan menggunakan kesempatan adanya PPN 10 persen untuk menekan harga beli di petani dan pemilik kebun, meskipun sebenarnya dia tidak membayar PPN,” katanya; Sumber: http: //finance.detik.com/.../132341/ .../tolak-gapki- kadin-tuntut-penghapusan-ppn, 20 maret 2006; • Sumber : Bisnis Indonesia Tanggal: 21 Maret 2006; Kadin: Gapki tak berpihak ke petani soal PPN; JAKARTA: Kadin Indonesia menilai pernyataan Gapki tidak memihak petani karena meminta pemerintah membatalkan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas tandan buah sawit (TBS), crude palm oil (CPO), palm kernel (PK), dan palm kernel oil (PKO); "Dengan adanya PPN, pembeli punya peluang menekan harga. Jadi, tidak ada logikanya sama sekali bahwa pengenaan PPN atas CPO, PK, dan PKO menguntungkan petani/pekebun sawit," kata Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Kelapa Sawit Kadin Indonesia Syakdin Darminta, di Jakarta, Senin; Menurut dia, pengenaan PPN untuk produk primer pertanian dan perkebunan pasti menekan dan mengurangi penerimaan petani dan pekebun; Sumber: http: //www.infopajak.com/berita/210306bi1.htm , 21 Maret 2006; d. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penghapusan frasa petani atau kelompok petani pada saat perubahan PP 12 Tahun 2001 dengan PP 7 Tahun 2007 adalah didasarkan atas usulan KADIN, sehingga seluruh penyerahan hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan oleh pengusaha dibebaskan dari pengenaan PPN (bukan hanya oleh petani atau kelompok petani). Dengan demikian berdasarkan surat usulan KADIN sebagaimana tersebut di atas diketahui bahwa KADIN menghendaki agar barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan dibebaskan dari pengenaan PPN. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 73
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id berdasarkan UU PPN menganut indirect method dengan mekanisme pengkreditan yaitu PPN Keluaran (PK) dikurangi dengan PPN Masukan (PM) menjadi tidak berjalan; II.2.4. Bahwa PM yang berfungsi sebagai kredit (mengurangi) PK, dengan keluarnya PP Nomor 31 Tahun 2007 menjadi tidak dapat dijadikan sebagai kredit. Akibat nya PPN yang di tanggung menjadi lebih besar, dibandingkan apabila sistem prengkreditan berjalan sesuai dengan apa yang telah di atur dalam UU PPN; II.2.5. Bahwa kerugian yang paling cepat dirasakan oleh WP adalah pengaruh cash-flow , karena WP harus menyetorkan PPN pada saat pembayaran atau pada akhir bulan terjadinya penyerahan. Seringkali dalam dunia usaha, transaksi adalah dengan hutang, sehingga WP harus “menalangi” terlebih dahulu atas PPN yang harus disetorkan; II.2.6. Bahwa PM yang tidak bisa dikreditkan hanya memberikan pilihan untuk memasukkan PM dalam komponen biaya usaha. Dengan komponen biaya yang bertambah menyebabkan turunnya daya saing WP terlebih untuk kegiatan ekspor dan apabila sudah terjadi Perdagangan Bebas; II.2.7. Pada jenjang penjualan atas BKP dan/atau JKP yang terdapat unsur PM di dalam komponen biaya, menjadikan PK atas BKP dan/atau JKP tersebut mengandung PPN atas PPN. Hal yang demikian dinamakan sebagai cascading effect. Cascading effect merupakan suatu hal yang tidak dapat dibenarkan baik secara teori perpajakan maupun UU PPN itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa UU PPN Indonesia menganut indirect method dimana terdapat sistem pengkreditan; II.2.8. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, secara jelas dapat dinyatakan bahwa terdapat hak Pemohon yang dirugikan, atau dengan rumusan lain dapat dinyatakan Pemohon memiliki alasan yang sah untuk menganggap haknya dirugikan dengan berlakunya Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; II.3. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon secara jelas dan nyata-nyata memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia; III. PRINSIP-PRINSIP DASAR YANG DIANUT OLEH UU PPN DAN PRINSIP-PRINSIP YANG SEHARUSNYA DIANUT OLEH PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PERATURAN PELAKSANA UU PPN; Sebelum masuk ke materi permohonan keberatan, perkenankanlah pemohon untuk menguraikan terlebih dahulu prinsip-prinsip dasar pengenaan PPN di Indonesia sesuai dengan ketentuan, semangat dan maksud tujuan yang digariskan oleh UU PPN; III.1 Prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh UU PPN: III.1.1. PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean (Penjelasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Bagian I. Umum); III.1.2. PPN dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN (Penjelasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Bagian I. Umum); III.1.3. Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai bertujuan sebagai berikut. 1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan; 2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai; 3. Mengurangi Biaya Kepatuhan; 4. Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak; 5. Tidak Mengganggu Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai; 6. Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi; (Penjelasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Bagian I. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Uji materiil Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 terhadap Undang-Undan ...
Relevan terhadap 31 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 10 dari 59 halaman Putusan Nomor 64 P/HUM/2013 berkenaan dengan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang termasuk dalam kategori tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan. Kerugian PPN yang diderita oleh PKP adalah 10% (sepuluh persen) dari nilai Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut; II.2.10. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, secara jelas dapat dinyatakan bahwa terdapat hak Pemohon yang dirugikan, atau dengan rumusan lain dapat dinyatakan Pemohon memiliki alasan yang sah untuk menganggap haknya dirugikan dengan berlakunya Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 19 ayat (2) PP Nomor 1 Tahun 2012; II.3 Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon secara jelas dan nyata-nyata memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia; III. PRINSIP-PRINSIP DASAR YANG DIANUT OLEH UU PPN DAN PRINSIP- PRINSIP YANG SEHARUSNYA DIANUT OLEH PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PERATURAN PELAKSANA UU PPN: Sebelum masuk ke materi permohonan keberatan, perkenankanlah pemohon untuk menguraikan terlebih dahulu prinsip-prinsip dasar pengenaan PPN di Indonesia sesuai dengan ketentuan, semangat dan maksud tujuan yang digariskan oleh UU PPN; III.1 Prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh UU PPN: III.1.1 PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean (Penjelasan UU Nomor 42 Tahun 2009 Bagian I. Umum); III.1.2 PPN dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN (Penjelasan UU Nomor 42 Tahun 2009 Bagian I. Umum); III.1.3 Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai bertujuan sebagai berikut. 1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan; 2 . Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai; 3. Mengurangi Biaya Kepatuhan; 4. Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 59 halaman Putusan Nomor 64 P/HUM/2013 SATU ENTITAS PKP PABRIKAN PAKAIAN JADI TERINTEGRASI Unit kerja yang memproduksi benang Unit kerja yang memproduksi kain Unit kerja yang memproduksi pakaian jadi PPN timbul atas - penyerahan (pembelian) barang - pemanfaatan jasa - impor barang - pembayaran barang jasa (perbuatan hukum) PPN timbul atas - penyerahan benang ke unit kerja yang memproduksi kain ( asas fiktif pemakaian sendiri untuk tujuan produktif) PPN timbul atas - penyerahan kain ke unit kerja yang memproduksi pakaian jadi ( asas fiktif pemakaian sendiri untuk tujuan produktif) PPN timbul atas - penjualan - ekspor - konsumsi akhir (perbuatan hukum) Bahwa dari ilustrasi di atas apabila satu entitas PKP terdiri atas 3 unit kerja, maka berdasarkan Pasal 5 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012 PPN asas fiktif timbul sebanyak dua kali, yaitu pada saat barang dipindahkan untuk di proses lebih lanjut di unit kerja lainnya di dalam entitas yang sama. Dengan menggunakan contoh kasus yang sama, apabila setiap unit kerja ternyata dapat dibagi lagi menjadi sub-sub unit kerja, maka berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2012 PPN asas fiktif akan timbul berulang-ulang atas setiap barang yang dipindahkan untuk di proses lebih lanjut di sub-unit kerja lainnya. SATU ENTITAS PKP PABRIKAN PAKAIAN JADI TERINTEGRASI Unit kerja yang memproduksi benang produksi benang tanpa warna mewarnai benang produksi kain warna polos mencetak (printing) motif pada kain produksi kain menjadi baju tanpa merek bagian labeling dan pengemasan PPN timbul atas - penyerahan (pembelian) barang - pemanfaatan jasa - impor barang -pembayaran barang/jasa (perbuatan hukum) Pada setiap tanda panah, yaitu barang yang digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya, timbul PPN berdasarkan asas fiktif sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012 PPN timbul atas - penjualan - ekspor - konsumsi akhir (perbuatan hukum) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 55 dari 59 halaman Putusan Nomor 64 P/HUM/2013 penyerahan BKP yang berakibat PK akan lebih besar dari PM sehingga keuntungan dalam menghimpun penerimaan Negara yang berasal dari pajak; Bahwa perwujudan atas validitas norma hukum yang terkandung dalam PPN merupakan pajak atas konsumsi sebagaimana diketengahkan dalam UU PPN 1984 berikut ini; - Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN 1984 menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan perusahaan atau pekerjaan pengusaha yang menghasilkan BKP; - Pasal 4 ayat (2) huruf a UU PPN 1984 menyebutkan dengan Peraturan Pemerintah, PPN dapat diberlakukan terhadap semua penyerahan BKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pedagang Besar dan Pedagang Eceran dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya; - Kedua ketentuan tersebut mengandung makna hukum bahwa objek PPN tidak hanya penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan BKP (pabrikan), tetapi juga terhadap penyerahan BKP yang dilakukan oleh Pedagang Besar atau Pedagang- pedagang Eceran; Bahwa persepsi kalangan masyarakat dalam dunia usaha dipungut berulangkali dan merupakan pajak ganda (double heaving tax) adalah sangat keliru. Kendati PPN dipungut berulangkali dalam mata rantai jalur produksi perusahaan, karena hutang PPN hanya pengenaan terhadap pertambahan nilai yang timbul pada setiap penyerahan barang atau penyerahan jasa berbagai mata rantai jalur perusahaan berikutnya, maka beban pajak tidaklah lebih berat. Karena pertambahan nilai timbul dengan dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan PPN ; Bahwa beberapa norma hukum yang terkandung dalam UU PPN 1984 di antaranya: - Menciptakan iklim perekonomian yang menunjang penanaman modal, mendorong ekspor, mendorong terciptanya lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, menunjang pengembangan usaha nasional terutama usaha kecil dan tradisional serta menunjang kebijakan lain; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55
Penataan Pemanfaatan Barang Milik Negara di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.02/2009 tentang Rekening Minyak dan Gas Bumi. ...
Relevan terhadap
Pengeluaran dari Rekening Minyak dan Gas Bumi meliputi:
Penyelesaian kewajiban Pemerintah terkait kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, berupa:
Pembayaran perpajakan minyak dan gas bumi, terdiri dari:
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
Reimbursement Pajak Pertambahan Nilai (PPN); clan 3) Pajak Daerah.
Pembayaran di luar perpajakan, terdiri dari:
Domestic Market Obligation (DMO) Fee;
Underlifting KKKS;
Dihapus.
Imbalan penjualan minyak dan gas bumi; dan
Kewajiban lainnya.
Dihapus.
Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA minyak dan gas bumi ke Rekening Kas Umum Negara. Dihapus. t MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 4 -
Penunjukan Badan Usaha Milik Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan ...
Tata Cara Pembayaran Kembali (Reimbursement) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Perolehan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang selanjutnya disebut SKK Migas, adalah satuan yang dibentuk sesuai Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk Kontrak Kerja Sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara Republik Indonesia dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
Bagian Negara adalah bagian produksi yang diterima oleh Pemerintah dari hasil kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh SKK Migas dan/atau Kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi ( own use ).
Pajak Pertambahan Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disebut PPN atau PPN dan PPnBM, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Pembayaran Kembali (Reimbursement) PPN atau PPN dan PPnBM adalah pengembalian PPN atau PPN dan PPnBM atas perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak kepada Kontraktor atas PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor ke kas negara sesuai dengan kontrak kerja sama yang ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rekening Depkeu k/Hasil Minyak Perjanjian Karya Production Sharing Nomor 600.000411980 pada Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut Rekening Minyak dan Gas Bumi, adalah Rekening dalam valuta USD untuk menampung seluruh penerimaan, dan membayar pengeluaran terkait usaha hulu minyak dan gas bumi.
Over Lifting Kontraktor adalah kelebihan pengambilan minyak dan gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor tanda bukti pembayaran/penyetoran ke kas negara yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan oleh sistem settlement.
Nomor Transaksi Bank yang selanjutnya disingkat NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh bank sebagai bank persepsi.
Nomor Transaksi Pos yang selanjutnya disingkat NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh kantor pos sebagai pos persepsi.
Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh bank/pos persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/NTP sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2018 ...
Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dalam Rangka Pendalaman Sekt ...