Pribadi
Relevan terhadap
1 Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN HIGHER FOR LONGER THE FED TERHADAP ARUS MODAL DI INDONESIA Penulis: Cahyaning Tyas Anggorowati Pengolah Data Hukum Perjanjian Senior, Biro Hukum (Pegawai Tugas Belajar Program Magister di Universitas Indonesia) A. PENDAHULUAN Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap kebijakan negara lain di dunia. Salah satunya adalah kebijakan terkait suku bunga the Fed . Kebijakan the Fed dalam menaikkan the federal funds rate tentunya akan mendapatkan perhatian dari berbagai bank sentral di negara lain di dunia. Bank sentral di berbagai dunia akan bereaksi dengan menyesuaikan kebijakan moneter di masing-masing negaranya. Fenomena Higher for Longer the Fed saat ini menjadi topik diskusi bagi banyak ekonom di dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena Higher for Longer the Fed terjadi ketika the Fed menaikkan the federal funds rate , hal tersebut kemudian berdampak pada kenaikan suku bunga secara keseluruhan, sehingga individu maupun industri akan menghadapi biaya pinjaman yang mahal dalam menjalankan operasional bisnis. Namun demikian suku bunga yang tinggi juga akan mendorong peningkatan dalam tabungan suatu negara. Suku bunga yang tinggi akan dipandang baik ketika mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun sebaliknya, akan dipandang buruk pada saat terjadi inflasi. Fenomena Higher for Longer juga dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik yang terus berlangsung sehingga menyebabkan berlanjutnya kenaikan harga pangan dan energi (inflasi global). Kenaikan suku bunga yang berlangsung lama tentunya akan berdampak pada banyak pelaku usaha, baik bisnis, pemerintah, maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Salah satu dampak dari kenaikan suku bunga pinjaman adalah terjadinya risiko downside atas investasi di Indonesia. Indonesia saat ini sedang menghadapi kebutuhan modal yang tinggi untuk membiayai berbagai macam proyek infrastruktur yang telah direncanakan oleh pemerintah dalam cakupan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pembiayaan PSN tersebut dapat berasal dari APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, maupun pendanaan pihak ketiga (swasta). Hal ini tentunya membutuhkan analisis mendalam atas kebijakan suku bunga yang akan berdampak pada minat investor dalam menanamkan modal ke Indonesia.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama MEDIAKEUANGAN 12 Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraaan pada sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR- DPD di Gedung Parlemen. Foto Dok. DPR RI MEDIAKEUANGAN 12 Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 menjadi berbeda dari biasa. Negeri masih dilanda pandemi. Sekuat tenaga upaya dikerahkan agar pandemi segera teratasi. Namun, ketidakpastian masih tinggi, bahkan di beberapa daerah pertumbuhan kasus baru terus terjadi. Pemerintah harus memantapkan langkah antisipasi untuk memitigasi dampak sosial ekonomi di tahun depan. PERCEPAT PEMULIHAN, PERKUAT REFORMASI Teks Reni Saptati D.I P ada 14 Agustus 2020 lalu, pemerintah telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN tahun anggaran 2021 dan Nota Keuangan. Kebijakan fiskal RAPBN 2021 mengambil tema Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Ubaidi S. Hamidi mengemukakan setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi pemilihan tema. “Pertama, pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia telah berdampak sangat luar biasa bagi kesehatan masyarakat dan perlambatan perekonomian dalam tahun 2020,” tutur pria kelahiran Klaten tersebut. Sumber daya fiskal perlu diarahkan untuk mendukung keberlanjutan dan akselerasi berbagai upaya strategis pemulihan kondisi kesehatan dan perekonomian nasional yang telah mulai dilakukan sejak 2020, dan akan dilanjutkan pada 2021. “Kedua, langkah menuju Visi Indonesia 2045 sebagai negara maju tetap perlu diperjuangkan bersama,” tegas Ubaidi. Guncangan perekonomian nasional tahun ini tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk tetap mewujudkan cita-cita luhur yaitu masyarakat yang semakin sejahtera, serta bagaimana berupaya untuk keluar dari middle income trap . Ia menjelaskan, pemulihan ekonomi akan bermakna jika dilengkapi dengan reformasi struktural yang konsisten. Sebaliknya, reformasi akan berjalan efektif jika didukung proses pemulihan ekonomi yang solid. “Strategi recovery ekonomi dan reformasi merupakan satu paket, two in one , yang komplementer dan saling menguatkan, agar dari sisi kesehatan-sosial-ekonomi dapat segera pulih menuju normal,” ujar Ubaidi yang sebelum bertugas di BKF, selama belasan tahun bertugas di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Program pemulihan ekonomi nasional berlanjut Reformasi yang akan dilaksanakan pada 2021 meliputi banyak sektor. Untuk mendukung pemulihan melalui penguatan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, alat kesehatan, serta mendorong health security preparedness , reformasi sektor kesehatan akan digalakkan. Di sisi lain, pemerintah juga melakukan reformasi perlindungan sosial untuk mendukung pemulihan sekaligus mempersiapkan program yang adaptif terhadap resesi ekonomi dan bencana. Ubaidi menjelaskan, fokus reformasi juga akan diarahkan ke sektor pendidikan, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), perpajakan, penganggaran, dan optimalisasi teknologi informasi melalui digitalisasi layanan publik. “Dalam rangka menjawab tantangan stuktural terkait perlunya penguatan daya saing, peningkatan kapasitas produksi dan pemanfaatan bonus demografi untuk mendukung produktivitas dan transformasi ekonomi, maka diperlukan reformasi untuk penguatan fondasi agar mampu keluar dari middle income trap ,” Ubaidi menerangkan. Tahun depan, jelasnya, pemerintah juga tetap akan melanjutkan penanganan bidang kesehatan terutama pandemi COVID-19 serta mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. “Pemerintah akan memberikan stimulus ekonomi yang berkeadilan, tepat sasaran,
Biro KLI Kementerian keuangan
Relevan terhadap
A da hal menarik dari rilis terbaru Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tentang data kejadian bencana selama kurun 2019 kemarin. Meski terus dirundung petaka, namun intensitas bencana 2019 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017 tercatat kejadian bencana mengalami puncaknya sebanyak 2.869 kejadian, disusul 2018 sebanyak 2.573 kejadian. Tahun 2019 sendiri bencana yang terjadi sebanyak 1.315 kejadian, lebih sedikit dibandingkan tahun 2015 sebanyak 1.694 kejadian. Meski mengalami penurunan dari sisi intensitas kejadian, hal yang tak boleh dilupakan adalah skala bencana yang harus dapat dimitigasi luasannya. Yang juga wajib diwaspadai adalah dominasi jenis bencana hidrometeorologi, mengingat posisi Indonesia yang masuk di wilayah tropis antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Jenis bencana tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan kondisi iklim, cuaca, serta musim di berbagai wilayah di nusantara. dan alam berada di jalur yang tidak tepat. Laporan terbaru oleh BioScience , jurnal ilmiah peer review menguatkan statemen ini. Di level implementasi, banyak hal yang mengindikasikan dunia darurat iklim. Berulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla), betul-betul menimbulkan keprihatinan yang luar biasa. Banjir bandang Jabodetabek di awal tahun 2020 menjadi indikasi lainnya. Secara ekonomi, beberapa pengamat memperkirakan dampak kerugian mencapai Rp135 miliar per hari di samping dampak kerugian nonekonomi lainnya. Terlepas dari besarnya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan, peristiwa ini juga memberikan tekanan yang besar bagi upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Indonesia, sejatinya menjadi salah satu pemain utama dalam isu mengatasi dampak perubahan iklim ini. Tak heran jika banyak pihak menuntut agar penanganan karhutla dipimpin langsung oleh Presiden, demi mencegah berbagai tarikan kepentingan antarsektor yang terkadang justru menjadi penghambat solusi penanganan. Berubah atau Punah Besarnya dampak destruksi yang ditimbulkan, mendesak munculnya sebuah upaya kolektif bersama seluruh pemangku kepentingan global untuk mengambil langkah-langkah revolusioner. Jargon yang diusung adalah gerakan dekarbonisasi laju pertumbuhan ekonomi. Perlu disadari bahwa pendekatan konvensional dengan menempatkan target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan bangsa, menimbulkan sifat kompetisi yang mengarah pada aspek kanibalisme antarnegara. Semua negara berlomba-lomba saling mengalahkan laju ekonomi negara lainnya tanpa mempertimbangkan praktek-praktek yang dijalankan justru menembus daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dari seluruh penjelasan ini, terlihat betapa sentralnya peran negara dalam mewujudkan tujuan mengatasi dampak perubahan iklim. Negara dengan segala pranata dan kelengkapannya mampu dan memiliki kapasitas menjadi garda terdepan kelangsungan ekologi demi keberlanjutan antargenerasi. Namun demikian, segala upaya menjadi sia-sia jika pemangku kepentingan lainnya tidak mendukung apa yang dijalankan pemerintah. Ingat bahwa dunia sedang darurat iklim dan dampaknya tidak dapat diatasi hanya dengan berdiskusi atau berwacana, melainkan butuh solusi nyata. Opini Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi Ancaman ini perlu ditanggapi secara serius oleh pemerintah mengingat potensi kerusakan yang bersifat masif di berbagai sektor ditambah lagi hal ini sudah menjadi keprihatinan bersama di dunia. Economist Intelligence Unit (EIU) saja misalnya, baru merilis Indeks Ketahanan Perubahan Iklim ( Climate Change Resilience Index ) global. Hasil estimasi menunjukkan bahwa perubahan iklim di seluruh dunia secara langsung dapat menelan biaya ekonomi hingga US$ 7,9 triliun per 2050 akibat konektivitas ragam bencana yang dihasilkan baik kekeringan, banjir, gagal panen, serta jenis lainnya. Dimensi kebencanaan inilah yang dikhawatirkan akan membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan infrastruktur di seluruh dunia. Indeks juga menyebutkan bahwa berdasarkan tren yang ada saat ini, potensi pemanasan global dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) di setiap negara hingga kisaran 3 persen pada periode 2050. Meski demikian, dampak akan semakin besar di negara berkembang dimana Benua Afrika akan mengalami penurunan terbesar mencapai 4,7 persen PDB. Angola diperkirakan menjadi yang paling rentan sekitar 6,1 persen PDB nya akan tergerus, disusul Nigeria sebesar 5,9 persenPDB, Mesir mencapai 5,5 persen PDB, Bangladesh sekitar 5,4 persen PDB serta Venezuela mencapai 5,1 persen PDB. Karenanya dibutuhkan aksi nyata saat ini dan juga nanti sebagai bentuk upaya mengurangi potensi dampak yang dihasilkan. Kegiatan nyata pun tidak akan cukup jika dikerjakan dengan pola Bussiness As Usual (BAU) semata. Sebelumnya, lebih dari 11 ribu ilmuwan di 156 negara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga sepakat menyebutkan bahwa dunia sedang darurat iklim. Mereka juga mengamati berbagai potensi dampak buruk yang ditimbulkan apabila manusia tidak mengubah pola perilakunya. Jika dirunut, hal tersebut bukan yang pertama kalinya karena sebelumnya tahun 2017, sekitar 16 ribu ilmuwan dari 184 negara turut serta dalam sebuah publikasi yang meyakini bahwa manusia Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Joko Tri Haryanto Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fokus tata kelola yang baik, maka dapat membangun: (i) keyakinan para pelaku pasar untuk bertransasksi secara aktif; (ii) mendorong terbentuknya tingkat harga pasar yang wajar; dan (iii) memungkinkan para pelaku pasar mengukur dan mengelola risiko-risiko pasar atas dasar informasi-informasi yang tersedia ( full disclosures ). Sebaliknya pasar keuangan yang bergejolak dan rentan atas shock eksternal seperti COVID-19 akan berpotensi menimbulkan berbagai dampak spillover ; antara lain: (i) dapat mempengaruhi stabilitas lembaga-Iembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan yang memiliki struktur pengelolaan dana yang mismatch ; (ii) dapat menyulitkan otoritas dalam memformulasikan kebijakan makroekonomi; (iii) volatilitas harga pasar akan mempengaruhi instrumen moneter yang digunakan dalam rangka transmisi kebijakan moneter ke sektor riil, misalnya suku bunga pasar; dan (iv) dapat menimbulkan beban jika otoritas dituntut untuk mengambil tindakan pemulihan stabilitas, misalnya, dalam hal terjadi ketidakstabilan pasar valuta asing yang mengakibatkan tekanan pada nilai tukar mata uang lokal, maka kebijakan yang diambil umumnya adalah meningkatkan suku bunga. Ketiga adalah optimalisasi lembaga pengawasan, terutama dibutuhkan dalam menerapkan kebijakan yang: (i) konsisten, terintegrasi, forward looking , dan cost effective ; (ii) dapat mempertahankan tingkat kompetisi yang sehat; dan (iii) dapat mendukung inovasi pasar keuangan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sektor keuangan dapat mengakibatkan terganggunya aktivitas mobilisasi dana yang sangat diperlukan oleh sektor riil. Dengan terhambatnya aliran dana tersebut, sektor riil akan membatasi bahkan menghentikan aktivitas perekonomian. Di samping itu, kestabilan sektor keuangan, khususnya pasar keuangan, sangat diperlukan dalam menunjang proses transmisi kebijakan moneter. Beranjak dari pentingnya stabilitas keuangan bagi eksistensi lembaga keuangan secara individu maupun pertumbuhan sektor keuangan, moneter dan fiskal secara keseluruhan, maka diperlukan suatu kebijakan publik yang konsisten, terintegrasi dan tidak saling menimbulkan distorsi. Untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan tersebut, dibutuhkan adanya kolaborasi yang erat antara pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap stabilitas sektor keuangan, moneter, dan fiskal. Kolaborasi tersebut diperlukan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Fiskal Internasional peralatan dan pasokan medis dengan mendorong fasilitas perdagangan. Pilar kedua berfokus pada menyediakan bantuan bagi kelompok rentan dan menjaga kondisi ekonomi agar mampu pulih dengan kuat setelah pandemi teratasi. Anggota G20 telah mengambil langkah drastis dengan memberikan bantuan bagi dunia bisnis, rumah tangga dan bantuan atas pendapatan bagi individu serta perusahaan. IMF mencatat bantuan fiskal yang telah dipersiapkan anggota G20 mencapai 11 triliun dolar AS dengan fokus untuk melindungi nyawa dan meredam dampak ekonomi akibat kebijakan untuk meredam penyebaran virus COVID-19. Penyediaan bantuan bagi kelompok rentan dan pemulihan ekonomi ini memiliki tantangan utama dari sisi pendanaan. Ruang fiskal negara yang berbeda-beda besarnya menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan negara dalam menyediakan bantuan tersebut. Hal ini lebih menantang khususnya bagi negara berkembang dan berpendapatan rendah yang memiliki kapasitas meminjam lebih rendah dibanding negara maju. Pemberian bantuan yang tepat menjadi kunci untuk bisa mencapai hasil yang efektif sesuai tujuan. Berbagai bentuk bantuan seperti rekapitalisasi dan penjaminan kredit, pemotongan pajak bagi bisnis, bantuan tunai kepada perusahaan agar dapat mempertahankan pegawainya, memberikan cuti sakit yang lebih panjang adalah bantuan yang disediakan untuk sektor bisnis, terkhususnya UMKM. Bagi individu, pemerintah memberikan bantuan agar memiliki kapasitas finansial untuk bertahan hidup dengan memberikan unemployment benefit , akses terhadap bahan makanan bagi kelompok miskin dan bantuan langsung tunai. Pemerintah dibantu bank sentral dalam pemberian bantuan bagi perekonomian. Bank sentral siap melakukan semua yang diperlukan selama masih dalam mandatnya demi menyediakan bantuan juga. Kebijakan yang telah diambil oleh bank sentral sejauh ini mampu meminimalisir risiko ketidakstabilan sektor keuangan dan penyediaan likuiditas yang cukup untuk perekonomian dapat bertahan menghadapi krisis. Terkait program pemulihan ekonomi, pemimpin G20 juga menghimpun dan mengkoordinasikan aksi kebijakan di bidang perdagangan internasional yang terganggu. Arah kebijakan perdagangan G20 berbalik dari yang semula banyak menghambat perdagangan ^2 , menjadi memfasilitasi perdagangan ^3 . Pilar ketiga adalah komitmen untuk memiliki pemulihan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif. Anggota G20 berada pada tahap yang berbeda-beda dalam krisis ini dan ada yang sudah mulai memikirkan exit strategies . Hal ini membuat komitmen untuk memenuhi pilar ketiga berfokus pada: (i) pertukaran informasi yang mencakup kebijakan pengendalian penyebaran COVID-19 yang diambil, tingkat persebaran COVID-19, dan upaya pembukaan kembali ekonomi; (ii) kesepakatan untuk memperkuat ketahanan pada global supply chain dan investasi internasional serta dukungan pada sistem perdagangan multilateral; (iii) memberikan bantuan bagi pekerja melalui pelatihan, reskilling dan kebijakan pasar tenaga kerja yang aktif; (iv) melakukan reformasi struktural dengan tujuan untuk peningkatan produktivitas pada jangka menengah; (v) memastikan tercapainya pembiayaan publik yang berkelanjutan dan memperbaiki balance sheets pemerintah demi mengantisipasi tantangan di masa mendatang; (vi) mendorong investasi infrastruktur yang berkualitas dan meningkatkan mobilisasi pendanaan swasta; serta (vii) mendukung kebijakan pertumbuhan yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan inklusif. 2 Menurut UNCTAD dan WTO pada periode sebelum pandemi 3 Sebesar 70% dari kebijakan perdagangan yang terkait dengan COVID-19 kini merupakan kebijakan yang justru memfasilitasi perdagangan.
25 20 15 10 5 0 Jan-10 Aug-10 Feb-14 Sep-14 Apr-15 Nov-15 Jun-16 Jan-17 Aug-17 Mar-18 Mar-19 Mar-11 Mar-12 Oct-11 Oct-18 Dec-12 Dec-19 Jul-13 Jul-20 Pertumbuhan Penyaluran Kredit ( yoy ) Pandemi COVID-19 Pertumbuhan DPR ( yoy ) 16 18 14 12 10 8 6 4 2 0 Jan-14 Mar-14 Mar-16 Sep-16 Jan-17 Mar-17 Sep-17 Jan-18 Mar-18 Sep-18 Mar-19 Sep-14 Mar-15 Jan-15 Jan-19 Sep-15 Sep-19 Jan-16 Jan-20 Mar-20 Sep-20 Pandemi COVID-19 Rasio NPL Pandemi COVID-19 4 4 3 3 2 2 1 1 0 Jan-10 Jan-17 Aug-10 Aug-17 Mar-11 Oct-11 Mar-12 Mar-15 Mar-18 Mar-18 Dec-19 Jul-19 Oct-18 Dec-12 Jul-13 Jun-16 Feb-14 Sep-14 Apr-15 57 Edisi #6/ 2020 Warta Fiskal Fokus Grafik 4: Peran Intermediasi Perbankan Menurun Sedangkan Risiko Meningkat Sumber: CEJC Sumber: CEJC Sumber: CEJC Jejak pandemi juga dapat dilihat pada lembaga jasa keuangan, seperti perbankan. Pada contoh kasus di Indonesia, selama periode pandemi tahun 2020 ini kondisi perbankan nasional mengalami tekanan yang cukup hebat. Hal tersebut dapat dilihat dari fungsi intermediasi perbankan yang tidak berfungsi optimal. Berdasarkan data dari Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan, penyaluran kredit perbankan per Oktober 2020 mengalami kontraksi sebesar 0,47 persen secara year-on- year ( yoy ) (Grafik 4). Di sisi lain, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami pertumbuhan sebesar 11,97 persen yoy (Grafik 4). Data ini menunjukkan bahwa para investor lebih nyaman menyimpan cash di tengah pandemi. Selain menghadapi tekanan di sisi intermediasi, risiko kredit perbankan juga tercatat meningkat karena melambatnya aktivitas ekonomi. Akibat adanya pandemi, sejumlah debitur perbankan menghadapi berbagai kesulitan bisnis yang berujung pada terhambatnya pembayaran cicilan kredit. Dampaknya, angka kredit macet meningkat dan menyentuh level 3,22 persen pada bulan Juli 2020 (Grafik 4), atau merupakan angka Non Performing Loan (NPL) tertinggi sejak Oktober 2016. Terakhir, pandemi ternyata juga meninggalkan jejak di sisi kebijakan. Dalam rangka mengatasi dampak yang
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Pandemi global Covid-19 yang juga melanda Indonesia tidak saja menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga membawa implikasi bagi perekonomian nasional. Langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat dan upaya penyebaran pandemi, sekaligus penyelematan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan telah dilakukan Pemerintah. Seberapa besar dampak pandemi COVID -19 terhadap ekonomi dan apa yang telah dilakukan pemerintah? KESEHATAN MASYARAKAT SEBAGAI P i l a r E k o n o m i N a s i o n a l India 1,9% tiongkok 1,2% 1,2% indonesia 0,5% 2,5% korea selatan -1,2% 0,8% singapura -3,5% 10,9% Malaysia 10% australia 10,9% amerika serikat -6,1% 10,5% brazil -5,3% kanada 6,0% inggris -6,5% jerman -7% spanyol -8% 0,7% arab saudi 2,7% italia 1,4% perancis 2% Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Akibat COVID -19 (Beberapa Negara) Dukungan Fiskal Negara-Negara di Dunia untuk Penanganan Covid-19 (Beberapa Negara) keterangan Kebijakan Stimulus RI dalam menangani dampak pandemi Covid-19 Stimulus 1: Belanja untuk memperkuat perekonomian domestik melalui program: Percepatan pencairan belanja modal Percepatan pencairan belanja Bantuan Sosial Transfer ke daerah dan dana desa Perluasan kartu sembako Insentif sektor pariwisata Stimulus 2: Menjaga Daya Beli Masyarakat dan Kemudahan ekspor impor PPh pasal 21 pekerja sektor industri pengolahan yang penghasilan maks Rp200 juta ditanggung pemerintah 100% PPh pasal 22 impor 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30% kepada 19 sektor tertentu Restitusi PPN dipercepat bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Non fiskal: berbagai fasilitas keluar masuk barang supaya lebih mudah Stimulus lanjutan: Sektor Kesehatan: intervensi untuk penanganan COVID-19 dan subsidi iuran BPJS Tambahan Jaring Pengaman Sosial: penambahan penyaluran PKH, Bansos, Kartu Pra Kerja, subsisid tarif listrik, program jaring pengaman sosial lainnya Dukungan industri berupa perluasan insentif pajak untuk PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, bea masuk DTP, stimulus KUR Dukungan untuk dunia usaha berupa pembiayaan untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional termasuk untuk Ultra Mikro 4 pokok kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam rangka pencegahan/penanganan pencegahan/penanganan Covid-19: Penyesuaian Alokasi TKDD Refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan COVID-19 Relaksasi penyaluran TKDD Refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan COVID-19 Infografik MEDIAKEUANGAN 16 17 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @zemyherda: Menurut saya untuk saat ini pemerintah baiknya fokus pada sektor dunia usaha karena stimulus yang diberikan belum cukup untuk mengembalikan iklim usaha sehat. @atri.widi: Dunia usaha karena jika ekonomi Indonesia kuat, Indonesia akan maju dan bisa pulih dari pandemi ini @sasmitanarax: Bidang kesehatan, karena saat ini tantangan utamanya adalah bagaimana wabah ini bisa ditekan penyebarannya hingga seluruh aktivitas bisa berjalan kembali Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Menurut Anda, sektor mana yang harusnya menjadi prioritas utama pemerintah dalam usaha menangani pandemi ini? a. Bidang Kesehatan b. Jaminan Keamanan Sosial c. Dunia Usaha 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Rahayu Puspasari Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu Perjuangan Meredam Pandemi D EJAVU! Seabad yang silam, tepatnya tahun 1918 sampai dengan 1921, dunia pernah diserang wabah influenza bernama flu Spanyol dikarenakan serangan terbesarnya terjadi di Madrid. Pada saat itu, tak ada negara yang luput dari serangannya termasuk Indonesia. Penularannya yang sangat cepat dan luas berakibat pada jumlah korban amat tinggi. Korban berjatuhan begitu masif sementara jumlah tenaga medis dan jumlah sarana kesehatan tak sebanding. Banyaknya pasien gawat membuat sekolah dan bangunan lainnya disulap menjadi rumah sakit darurat. Belum lagi sistem perawatan kesehatan yang berbeda antara si miskin dan si kaya. Pekerja harian pun mulai kehilangan penghasilan. Pengangguran meledak. Sukarelawan merebak. Ekonomi terpuruk. Tunggu dulu, ini gambaran tahun 1920 atau Maret 2020? Kenapa begitu sama? Begitulah siklus pandemi. Krisis kesehatan berubah menjadi krisis kemanusiaan karena korban berjatuhan. Manusia harus mengurangi interaksi untuk mencegah penyebaran. Akibatnya roda ekonomi berhenti. Pandemi flu COVID-19 yang sedang mengguncang dunia ini juga telah mengacaukan keadaan global termasuk situasi ekonominya. Laporan IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan mengalami minus hingga 3persen di 2020 akibat COVID-19 sementara lembaga lain menggunakan asumsi yang berbeda. Beragam proyeksi ini muncul karena tak ada yang dapat memperkirakan dengan pasti kapan krisis ini akan berakhir. Langkah mencegah terjadinya krisis ekonomi pun dilakukan secara cepat dan masif. Presiden Joko Widodo telah menegaskan agar pemerintah melakukan realokasi anggaran ke 3 fokus utama: bidang kesehatan, perlindungan sosial atau jaring pengamanan sosial, dan insentif ekonomi bagi dunia usaha. Berbagai payung hukum terbit seperti Perppu dan aturan turunannya untuk menjalankan program ini. Pemerintah bersama KSSK mengumumkan kondisi stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun potensi risiko dari makin meluasnya dampak penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan perlu terus diantisipasi. Berbagai bantuan sosial dan stimulus fiskal disiapkan menghadapi tekanan dan khususnya membantu masyarakat miskin dan rentang miskin, serta menyelamatkan UMKM. Dejavu pandemi seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Namun kebijakan dan langkah-langkah penyelamatan ekonomi dan keuangan adalah keniscayaan. Sampai di manakah perjuangan? Dapatkan jawaban mengenai upaya dan ikhitiar pemerintah yang tak kenal lelah di edisi ini. Selamat membaca!
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu ‘WHATEVER IT TAKES’ P ola permintaan ( demand ) dan penawaran ( supply ) di seluruh dunia berubah akibat COVID-19 yang secara alamiah membentuk kebiasaan baru dalam perekonomian. Menyikapi kondisi ini pemerintah telah menyusun beragam program yang menyasar pemulihan ekonomi, baik di sisi demand maupun supply . Pemerintah pun telah merevisi APBN 2020 untuk mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam revisi baru, pemerintah memperluas defisit anggaran menjadi 6,34 persen dari PDB. Simak petikan wawancara Media Keuangan dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, mengenai upaya pemulihan ekonomi nasional. Apa tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)? Program PEN ini ditujukan untuk membantu meningkatkan daya beli masyarakat serta memulihkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Kita mulai dari rumah tangga masyarakat yang paling rentan, lalu ke sektor usaha, lagi-lagi kita lihat yang paling rentan yaitu UMi dan UMKM. Lalu dengan logika yang sama kita menciptakan kredit modal kerja untuk korporasi. Kita juga akan berikan special tretament untuk sektor pariwisata, perdagangan, dan pabrik-pabrik padat Salah satu yang juga sedang didorong dan cukup efektif adalah bentuk penjaminan kredit modal kerja dan dipasangkan dengan penempatan dana murah di perbankan. Nah, ini sudah jalan tiga minggu, pemerintah menempatkan Rp30 triliun di Bank Himbara lalu didorong dengan penjaminan itu kemudian sekarang sudah tercipta lebih dari Rp20 triliun kredit modal kerja baru. Untuk insentif perpajakan masih belum optimal karena wajib pajak yang berhak untuk memanfaatkan insentif tidak mengajukan permohonan dan perlunya sosialisasi yang lebih masif dengan melibatkan stakeholders terkait. Merespon hal ini, kita melakukan simplifikasi prosedur agar lebih mudah dijalankan oleh calon beneficiary. Upaya apa yang dilakukan untuk perbaikan program PEN? Setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dalam rangka program PEN, termasuk monitoring dan evaluasi yang kita lakukan setiap minggu akan mengikuti kondisi perekonomian saat ini. Semua program kita evaluasi, mana yang jalan dan mana yang kurang. Yang kurang efektif siap-siap untuk dicarikan cara yang lebih cepat atau diganti programnya dan sebagainya supaya bisa diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sampai kapan program PEN dilangsungkan? Pemerintah akan meneruskan kebijakan yang bersifat preventif dan adaptif dengan perkembangan kasus dan dampak dari COVID -19. Meski tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai terlihat namun pemulihan pasti terjadi perlahan-lahan. Karena selama belum ditemukan obat atau vaksin yang efektif tentunya kita masih dihadapkan dengan risiko inheren. Nah, risiko ini yang terus kita asess . Yang pasti, tujuan pemerintah adalah terus membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Bagaimana mitigasi risiko dalam upaya pemulihan ekonomi? Saat ini kita dalam suasana krisis dan kita ingin mendorong perekonomian agar pulih sesegera mungkin. Risiko ekonomi yang lebih besar adalah resesi. Untuk itu jangan sampai kita gagal menstimulasi ekonomi, padahal kita memang sudah ada budget nya. Itu yang menjadi tantangan dan menjadi cambuk bagi kita pemerintah setiap hari, supaya kita bisa lebih efektif. Pemerintah melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mendorong pemulihan aktivitas ekonomi. Kita tidak mau resesi, kita tidak mau jumlah pengangguran dan orang miskin bertambah. Pemerintah siap memberikan support supaya momentum pemulihan ini semakin besar meskipun risikonya juga masih ada. Yang terpenting tata kelolanya baik dan risiko dihitung dengan baik. Semuanya di well measured, kita tahu risikonya, kita bandingkan dengan risiko yang lebih besar, kita pilih kebijakan yang me minimize dampak yang paling berat bagi perekonomian dan masyarakat kita secara keseluruhan. Penambahan anggaran PEN menjadi Rp695,2 triliun diikuti dengan pelebaran defisit 6,34 persen saat ini. Bagaimana posisi fiskal dalam kondisi tersebut? Kita punya ruang untuk bergerak secara fiskal karena selama ini kita melakukan kebijakan makro yang hati-hati dan prudent. Karena kita sudah melakukan disiplin fiskal yang cukup ketat selama bertahun-tahun, sehingga rasio utang kita rendah maka itu membuat kita punya ruang untuk melakukan pelebaran defisit sampai tiga tahun. Negara lain tidak banyak yang punya privilege itu, bahkan tahun ini banyak yang defisitnya double digit. Saat ini defisit kita 6,34 persen, tahun depan kita akan turun ke sekitar 4,7 persen, tahun depannya lagi akan turun ke tiga koma sekian. Tahun 2023 kita tetap commited untuk balik ke disiplin fiskal sebelumnya di bawah 3 persen. Apa prinsip utama dalam mengambil kebijakan fiskal di tengah ketidakpastian waktu berakhirnya krisis pandemi ini? “Whatever it takes ”(apapun yang diperlukan), itu sudah pasti menjadi prinsip utama, tapi dalam konteks kita mau melindungi masyarakat sebanyak-banyaknya. Kita berupaya agar pengangguran dan kemiskinan tidak bertambah banyak. Bagaimana memberikan kebijakan yang benar- benar bisa berdampak kepada masyarakat, itu fokus kita. Prinsip lainnya tepat sasaran, akseleratif, gotong royong, seperti kebijakan burden sharing yang pemerintah lakukan dengan BI. Dan yang harus selalu diingat adalah untuk menghindari moral hazard . Pemerintah juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) untuk memastikan proses pembuatan kebijakan, serta pengawalan dalam implementasi program PEN ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Bagaimana pendapat Bapak terhadap pembentukan Komite Penanganan COVID-19 dan PEN? Saya pikir itu sangat bagus untuk koordinasi. PEN ini kan melibatkan banyak K/L misalnya untuk Kesehatan, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) nya Kementerian Kesehatan, subsidi bunga untuk KUR dan non-KUR ada di Kementerian Koperasi, penjaminan KPA-nya Kementerian BUMN, dsb. Di samping itu, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi ini harus dilihat sebagai satu big picture . Harus ada pertimbangan yang serius dan seimbang antara risiko kesehatan dengan risiko resesi ekonomi. Semua ini kan perlu diorkestrasi dengan baik. Tugas koordinator untuk bisa membuat ini lebih terintegrasi. Apa harapan Bapak terhadap masyarakat maupun pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan PEN? Saya pikir ini memang tanggung jawab dari kita semua karena ekonomi ini sebenarnya hanya satu aspek dari kehidupan bangsa ini. Kehidupan di balik angka-angka itu lebih penting. Kalau aktivitas ekonominya jalan tapi kita tidak disiplin mengikuti protokol kesehatan ya risikonya terlalu besar. Intinya ini benar-benar memang harus kombinasi dari disiplin masyarakat dan kebijakan yang benar dan efektif. Keduanya harus jalan bersama dengan seimbang. karya yang kita asess terdampak sangat dalam dan cukup lama. Jadi semua ini bertahap kita asess secara well measure . Pelan-pelan kita mulai dorong aktivitas perekonomian. Dengan adanya program PEN diharapkan kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat krisis pandemi dan pembatasan aktivitas tidak terlalu dalam. Bagaimana efektivitas program PEN sejauh ini? Sejauh ini di sisi rumah tangga yakni perlindungan sosial relatif paling efektif. Namun di sisi lain memang masih cukup menantang. Untuk kesehatan, penyerapannya masih rendah karena kendala pada pelaksanaan di lapangan seperti keterlambatan klaim biaya perawatan dan insentif tenaga kesehatan karena kendala administrasi dan verifikasi yang rigid . Tapi bulan Juli ini sudah dipercepat dengan adanya revisi KepMenkes. Selanjutnya, dukungan untuk UMKM sudah mulai berjalan, khususnya subsidi bunga untuk KUR. Ini memang cukup menantang karena melibatkan puluhan bank dan lembaga keuangan yang kapasitas teknologi pengolahan datanya tidak sama. Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Foto Dok. BKF
Laporan Utama MEDIAKEUANGAN 12 Program PEN memberikan stimulus secara komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Foto Resha Aditya P MEDIAKEUANGAN 12 J ika pemerintah tak lekas bertindak, kesulitan yang dihadapi masyarakat semakin berat. Dampak pandemi COVID-19 terhadap ekonomi nasional sudah terasa sangat besar. Laju ekonomi kuartal I 2020 tercatat 2,97 persen atau terkontraksi 2,41 persen dibanding kuartal IV 2019. Kontraksi mendalam juga dihadapi negara-negara lain di dunia. IMF memprediksi kontraksi ekonomi global hingga -4,9 persen. Bank Dunia mematok angka lebih rendah di kisaran -5,2 persen. “Saat ini yang terkena itu masyarakat juga, tidak hanya sektor keuangan,” ungkap Plt. Kepala Kebijakan Pusat Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Adi Budiarso. “ Hit -nya double , di supply dan demand . Darimana demand ? Karena kita harus lockdown , bahkan ada beberapa yang tidak boleh kerja. Artinya mereka akan menurunkan konsumsi. Lalu pada saat yang sama, produksi juga berhenti. Artinya apa? Pressure terhadap supply juga luar biasa besar,” tambahnya. Tak hanya menekan angka pertumbuhan, pandemi berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Penduduk miskin bisa bertambah antara 3,02 hinga 5,71 juta orang. Angka pengangguran dapat naik jumlah hingga jutaan. Langkah extraordinary dalam Program PEN menjadi upaya mengatasi kondisi tak menyenangkan ini. “Supaya tidak terpuruk terlalu dalam dan memakan banyak korban, standar kesehatan harus tinggi, tetapi dari sisi ekonomi, kita memitigasi risikonya juga harus kuat,” tegas pria yang meraih gelar Doctor dari Universitas of Canberra tersebut. Pendekatan demand dan supply Pendekatan dalam program PEN memberikan stimulus secara komprehensif baik dari sisi demand maupun supply . Dari sisi demand , stimulus bertujuan untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Bentuknya berupa program perlindungan sosial baik yang bersifat perluasan dari program existing maupun program- program baru. Program existing meliputi Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, dan Kartu Pra Kerja. Sementara itu, program-program baru terdiri atas Bantuan Sembako Jabodetabek, Bansos Tunai Non Jabodetak, BLT Dana Desa, dan diskon listrik. “Pertama adalah menyelamatkan kehidupan. Kalau tidak ada penerimaan, mereka tidak bisa makan. Makanya pemerintah jor-joran ke situ,” terang Adi. Dari sisi supply , pemberian insentif perpajakan dan dukungan untuk dunia usaha ditujukan untuk mempertahankan aktivitas usaha sekaligus meningkatkan produksi nasional. “Yang menarik, insentif perpajakan ini juga kita dorong untuk kebijakan yang lebih green . Misalnya, investasi baru yang menggunakan energi terbarukan kita kasih support dengan tax holiday ,” ujar Adi yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF. Rentang stimulus yang diberikan mempertimbangkan waktu pandemi COVID-19, dari survival mode hingga recovery mode . Dengan akses bantuan yang luas dan terbuka, diharapkan penanganan efektif dapat dipercepat sehingga ekonomi nasional dapat terhindar dari krisis lebih dalam. Krisis ekonomi pernah melanda negeri ini. Tahun 1998 dan 2008, krisis menerjang sektor keuangan. Nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam. Kala itu, UMKM berperan besar menjadi penyangga perekonomian. Roda ekonomi nasional pun terus berputar. Kali ini, kondisinya jauh berbeda. Aktivitas masyarakat turun, sektor riil terpukul. Untuk mengatasi, pemerintah mengambil langkah cepat dan extraordinary. Terbungkus dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). SIAPKAN SKENARIO PULIHKAN EKONOMI Teks Reni Saptati D.I
Opini Perdagangan Internasional dan Kebijakan Fiskal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Subagio Effendii, pegawai Tugas Belajar di University of Technology Sydney, MEDIAKEUANGAN 40 W abah pandemi COVID-19, selain menciptakan krisis kesehatan global, telah menimbulkan disrupsi yang masif pada tatanan perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), upaya lockdown dan working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas produksi (labor shortage). Upaya ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup pelabuhan air dan udara yang menghambat distribusi barang antarnegara. Laporan International Air Transport Association menunjukan penurunan kuantitas transportasi kargo internasional sampai dengan bulan Maret 2020 sebesar 23 persen secara year-on-year dengan estimasi kerugian mencapai US$1,6 miliar. Lebih lanjut, kebijakan negara untuk menerapkan pembatasan ekspor __ (export restrictions) demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan. World Trade Organization (WTO) mencatat 80 negara, termasuk di dalamnya negara- negara yang menjadi ‘lumbung’ pangan dunia, seperti Rusia, Vietnam, dan Argentina, serta otoritas kepabeanan telah menerapkan export restrictions atas perlengkapan medis, bahan pangan, dan kertas toilet. Dari sisi permintaan ( demand ) , perubahan preferensi konsumsi akibat COVID-19 menyebabkan mismatch antara permintaan dan penawaran. Untuk makanan, misalnya, studi terbaru dari Food and Agriculture Organization menemukan peningkatan minat konsumen terhadap produk makanan yang memiliki cangkang atau kulit serta dikemas dengan rapat. Bahkan, konsumen di beberapa negara tidak segan untuk menolak produk makanan yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, upaya lockdown mengharuskan pemerintah untuk menutup pasar tradisional sehingga membatasi akses konsumen terhadap bahan pangan yang mengakibatkan peningkatan food waste. Permasalahan ganda pada supply dan demand menyebabkan penurunan kuantitas perdagangan internasional secara signifikan. WTO mengestimasi penurunan perdagangan tahun ini mencapai 13 persen hingga 32 persen (setara US$8 triliun) terutama di sektor jasa komersial dan barang dengan supply chain yang kompleks. Di samping itu, secara fundamental, disrupsi ini juga membuat premis comparative advantage (David Ricardo, 1817) yang menjadi fondasi ekonomi pasar dan perdagangan internasional menjadi diragukan validitasnya. Premis klasik yang berargumen bahwa social welfare akan optimal jika negara melakukan spesialisasi dengan memproduksi barang yang memiliki opportunity cost terendah sesuai ketersediaan faktor produksi serta membeli kebutuhan lainnya di pasar internasional, nampaknya hanya absah bila mekanisme perdagangan internasional tidak terdisrupsi. Sebaliknya, dalam kondisi terjadi supply and demand shocks , semua negara akan berusaha memproduksi seluruh kebutuhannya di dalam negeri dan sedapat mungkin membatasi ekspor produknya ke luar negeri. Beberapa negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin bahkan telah mengadopsi konsep Food Sovereignty and Solidarity yang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk menentukan pilihan produksi dan konsumsi pangan yang terbaik termasuk penerapan sistem agrikultur yang sesuai dengan sumber daya dan kearifan lokal. Dalam konsep ini, bahan pangan ditempatkan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan, bukan komoditas komersial sehingga terbebas dari semua ketentuan ekonomi pasar dan perdagangan internasional. Indonesia telah mengadopsi konsepsi kedaulatan pangan dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan namun belum diterapkan secara holistik. Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya untuk menjaga daya beli masyarakat di masa resesi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan. Badan Pusat Statistik mencatat total impor minyak bumi, beras, gandum, daging, dan kedelai pada tahun 2019 masing- masing mencapai 40.926; 444; 10.692; 262; dan 2.670 ribu ton. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi. Oleh karenanya, pemerintah perlu segera melakukan langkah strategis untuk memitigasi dampak disrupsi perdagangan sekaligus mencegah krisis kesehatan berkembang menjadi krisis pangan. Dari perspektif kebijakan fiskal, pemerintah telah berupaya mendorong peningkatan pasokan pangan domestik dengan memasukkan industri pertanian, pengolahan bahan pangan, perdagangan, dan jasa penunjang pertanian dalam daftar penerima insentif pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan DISRUPSI Nomor 44/PMK.03/2020. Kelompok petani skala kecil juga mendapatkan fasilitas penundaan angsuran pokok dan subsidi bunga atas pinjaman usaha selama enam bulan. Upaya selanjutnya, otoritas fiskal dapat merelaksasi pungutan bea masuk serta pajak impor lainnya atas produk esensial dan menggunakan instrumen kebijakan fiskal, setelah berkoordinasi dengan otoritas perdagangan, sebagai bargaining chips untuk mengafirmasi komitmen para mitra dagang di kawasan, terutama negara-negara produsen bahan pangan seperti Australia, Thailand, Vietnam, dan Myanmar, untuk tetap memberikan akses pasar dan tidak melakukan export restrictions di masa pandemi. Ilustrasi A. Wirananda
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Restorasi Pukau Maninjau Gedung Danadyaksa Cikini Jl. Cikini Raya no. 91 A-D Menteng Telp/Faks. (021) 3846474 E-mail. lpdp@depkeu.go.id Twitter/Instagram. @LPDP_RI Facebook. LPDP Kementerian Keuangan RI Youtube. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan LPDP RI 43 MEDIAKEUANGAN 42 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 Teks CS. Purwowidhu Foto Dok. Pribadi Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, M.S MEDIAKEUANGAN 42 M enyusuri Kelok 44 dari arah Bukittinggi, eloknya Danau Maninjau memanjakan mata. Perbukitan hijau berlarik di satu sisi dan hamparan sawah dengan pohon kelapa menari-nari di sisi lainnya, memeluk erat danau vulkanik itu. Berlokasi di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, danau yang terbentang seluas 95 km ^2 itu merupakan danau terbesar ke-11 di Indonesia. Danau ini tidak hanya menyuguhkan kesejukan embun pagi berselimutkan kabut bak istana di atas awan tetapi juga kesyahduan atmosfer senja tatkala mentari beringsut tenggelam di balik apitan bukit di sisi danau. Laiklah bila presiden pertama RI, Soekarno menggambarkan pesona Maninjau dalam sebait pantun “ Jika makan pinang, makanlah sirih hijau. Jangan ke Ranah Minang, kalau tak mampir ke Maninjau .” Sayang beribu sayang, tahun berselang pencemaran Danau Maninjau kian kritis. Kematian ikan secara masal kerap terjadi. Ihwal tersebut mengusik Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, M.S., Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Bung Hatta, Padang, untuk turun tangan bersama tim riset yang dibentuknya dalam upaya mengembalikan kilau Maninjau yang pendanaan risetnya didukung oleh LPDP. Perlu restorasi Danau Maninjau memiliki beragam fungsi, tidak hanya sebagai penyedia bahan baku dan sumber air, destinasi wisata dan sumber pembangkit listrik, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan ekologis, keanekaragaman hayati dan spesies langka. Masyarakat sekitar pun tak luput menjadikannya sebagai sumber pendapatan melalui pemanfaatan danau sebagai tempat budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA). Hafrijal mengungkapkan Danau Maninjau yang sering disebut sebagai ‘ginjal bumi’ merupakan ekosistem yang sangat unik karena peran pentingnya dalam pengentasan polusi air akibat aktivitas manusia. “Danau Maninjau berperan penting dalam konservasi air, pengendalian banjir dan kekeringan, degradasi akibat polusi, dan menjaga dari perubahan iklim,” paparnya. Namun, Hafrijal menyayangkan fungsi tersebut kini mulai pudar satu persatu sehingga dirinya dan tim bersama pemerintah Kabupaten Agam pun bertekad merestorasi Danau Maninjau. Melalui pendanaan Rispro Implementatif LPDP tahun 2015, Hafrijal dan tim merancang model pengelolaan kawasan Danau Maninjau untuk ketahanan ekonomi masyarakat berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat diterapkan oleh segenap pemangku kepentingan di kawasan Danau Maninjau. Save Danau Maninjau Hasil riset yang dilakukan Hafrijal dan tim membuktikan 93 persen beban pencemaran air Danau Maninjau bersumber dari aktivitas budidaya ikan KJA, sementara 7 persen berasal dari limbah penduduk, pertanian dan deterjen. Sebagai solusi, Hafrijal dan tim bersama pemkab Agam menyusun program Save Danau Maninjau. Lima di antara sepuluh program prioritas tersebut yakni (1) pengendalian pertambahan KJA untuk budidaya ikan, termasuk implementasi budidaya ikan KJA ramah lingkungan; (2) membersihkan permukaan air danau dari sampah dan bangkai keramba; (3) mengelola kualitas air danau atau menurunkan status baku mutu air; (4) fasilitasi mata pencarian petani ikan KJA ke lahan darat di lingkar Danau Maninjau; dan (5) penguatan regulasi untuk kelestarian Danau Maninjau. Seluruh program tersebut diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelestarian Danau Maninjau dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Agam Nomor 30 Tahun 2017 tentang Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung Ramah Lingkungan. “Peraturan tersebut merupakan salah satu luaran dari hasil riset kami,” pungkasnya. Memberdayakan kearifan lokal Sebagai putra Minang, Hafrijal menjunjung berbagai kearifan lokal yang dilegasikan oleh leluhur ranah Minang. Ia paham betul mengenai pentingnya menghargai budaya lokal bahwa kebijakan sebaik apapun tak dapat diimplementasikan dengan lancar jika ada gap yang dibangun dengan masyarakat setempat. Bukan hanya para Wali Nagari (Kepala Desa) yang digandeng untuk mengimplementasikan hasil riset, melainkan juga petani KJA baik berkelompok maupun personal turut diikutsertakan. “Tidak ada hambatan berarti, kami memakai pepatah orang minang, ‘ berjenjang naik, bertangga turun’ dan ‘ mendahulukan selangkah tokoh masyarakat,” imbuh pria paruh baya yang telah menghasilkan sejumlah karya dan prestasi di bidang perikanan dan kelautan itu. Masyarakat, terutama petani pembudidaya ikan, ungkap Hafrijal, menyambut baik percontohan teknologi budidaya ikan ramah lingkungan. “Mereka meminjamkan keramba jaring apung, boat , menyediakan lahan sawah untuk budidaya ikan dengan sistem Mina Padi ,” tambahnya. Hafrijal berpendapat, sifat masyarakat di lingkar Danau Maninjau adalah melihat dan menunggu, jika metode yang diimplementasikan berhasil maka mereka akan mengikutinya. Seiring berjalannya waktu, implementasi hasil riset yang dilakukan Hafrijal dan tim mulai menunjukkan capaian. Jumlah KJA pada tahun 2015 sebanyak 20.608 petak, papar Hafrijal, secara bertahap sudah mulai berkurang 17.596 petak pada tahun 2019 dan yang diisi dengan ikan sekitar 60 persen (10.557 petak). Ikan nila budidaya yang mati tidak lagi dibuang ke danau, melainkan diberikan kepada ikan lele dumbo dan patin yang dipelihara berdampingan dengan ikan nila. Sementara itu pakan ikan yang terbuang ke badan air sudah mulai berkurang dengan adanya alat yang dapat mengurangi pakan ikan terbuang. “Metode ini adalah salah satu teknologi yang diimplementasikan dari hasil riset kami,” jelasnya. Harapan masih ada Telah dimahfumi bersama bahwa aktivitas KJA memberikan dampak negatif terhadap air danau. Meski pemkab Agam melalui Perda Kab. Agam 5/2014 telah berupaya meminimalisir dampak dengan menetapkan jumlah KJA yang diperbolehkan sesuai daya dukung perairan danau sebanyak 1500 unit setara dengan 6000 petak (lubang), akan tetapi kenyataan bahwa sekarang sumber pendapatan masyarakat secara umum di lingkar Danau Maninjau berasal dari aktivitas KJA tak dapat dipungkiri. Oleh sebab itu, Hafrijal berpendapat hendaknya pemerintah berhati-hati dalam mengambil langkah kebijakan terkait KJA. Perlu dipertimbangkan mata pencarian alternatif di lahan darat bagi masyarakat selain menjadi petani budidaya ikan KJA. “Sumber mata pencarian alternatif inilah yang sedang kami coba usahakan di lahan darat, misalnya beternak ikan lele di kolam terpal dan lainnya di bidang pertanian dan peternakan,” tambahnya lagi. “Kiranya pemerintah menyiapkan regulasi berbasis hasil riset, termasuk hasil riset kami dan memperhatikan kearifan lokal,” harapnya. Regulasi yang harus dituntaskan adalah Perda tata ruang kawasan Danau Maninjau yang dapat secara bersama-sama dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan. “Kalau masyarakat diajak dan dilibatkan, saya pikir tidak ada sesuatu yang menjadi halangan untuk perbaikan tata kelola Danau Maninjau di masa yang akan datang,” pungkasnya. Hafrijal juga tak lupa menyemangati periset lainnya yang didanai LPDP untuk melakukan riset yang berdaya saing sehingga dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.