Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
29 MEDIAKEUANGAN 28 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 Gesit Beraksi di Tengah Pandemi Teks A. Wirananda BIRO HUKUM, SEKRETARIAT JENDERAL Foto Dok. Biro Hukum Rina Widiyani dalam beberapa kegiatan D irektur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 11 Maret 2020 menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global. “Kami meminta negara-negara untuk melakukan tindakan yang mendesak dan agresif,” katanya dalam siaran pers di Jenewa. Dampak pandemi ini meluas ke berbagai penjuru dan menghantam sektor perekonomian, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu meramu sejumlah jamu untuk melawan wabah ini sekaligus memulihkan segala hal yang terimbas. Berbagai kebijakan dikeluarkan semata-mata demi kelancaran penanganan wabah. Kementerian Keuangan, sebagai pengambil kebijakan di salah satu sektor yang terguncang paling hebat, mau tak mau dituntut untuk gesit bertindak. Kegentingan memaksa Sebagai respon atas suasana suram di tengah pandemi, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Perppu ini diterbitkan sebagai ikhtiar Pemerintah dalam upaya penanganan dampak akibat pandemi COVID-19 yang meluas ke berbagai sektor. Rina Widiyani Wahyuningdyah, Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan mengatakan bahwa pandemi COVID-19 di Indonesia telah berdampak pada beberapa hal antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. “Untuk itu, Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak,” ujarnya. Rina menjelaskan bahwa Penerbitan Perppu didasarkan pada kewenangan Presiden sesuai titah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Pasal 22 ayat 1 berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Pemegang gelar master dari University of Illinois ini mengatakan Perppu ini memantapkan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang diperlukan. “Dengan adanya landasan hukum setingkat undang-undang tersebut, Pemerintah mempunyai dasar yang kuat untuk dapat menerapkan kebijakan- Foto Dok. Biro KLI Gedung Djuanda Kementerian Keuangan
Laporan Utama Transformasi Institusi Hadapi Disrupsi Teks CS. Purwowidhu MEDIAKEUANGAN 20 Foto Dok. Biro KLI Hadiyando, Sekretaris Jenderal D ihadapkan pada era disrupsi, institusi publik tak boleh lagi berlamban diri. Tranformasi institusi harus segera diwujudkan agar pelayanan publik dapat terus disempurnakan. Merespons fenomena ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melanjutkan penguatan pondasi paradigma dan budaya kerja baru “N ew Thinking of Working” bagi ekosistem operasi organisasi agar Kemenkeu bisa lebih agile dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Simak wawancara Media Keuangan dengan Sekretaris Jenderal Kemenkeu, Hadiyanto, mengenai upaya implementasi budaya kerja baru ini. Apa prinsip utama New Thinking of Working (NTOW)? Inti NTOW yaitu perubahan mindset dan budaya dalam cara kita berpikir dan bekerja sebagai sebuah institusi publik. Penting untuk ada keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan manusianya sehingga dapat saling melengkapi. Seluruh komponen perlu kita persiapkan dengan baik seperti teknologi, struktur organisasi, kebijakan SDM, dan proses bisnis. Di tataran leadership , kita juga harus me- nurture kemampuan manajemen Kemenkeu untuk mengkalibrasi, menginternalisasi, dan mengimplementasikan perubahan budaya secara efisien dan on scale agar hasilnya efektif. Budaya NTOW pada dasarnya dapat diterjemahkan sebagai pelaksanaan dari kelima nilai Kemenkeu dalam konteks Transformasi Digital Kemenkeu. Implementasi Enterprise Architecture menjadi satu keniscayaan agar NTOW berhasil dengan baik. Apa saja bentuk implementasi NTOW di Kemenkeu? Ada dua aktivitas utama yaitu penerapan Activity Based Workplace (ABW), serta eksplorasi kebijakan Flexible Working Space (FWS) dan Flexible Working Hour (FWH) termasuk remote working dan Work From Home (WFH) untuk mendorong produktivitas kerja dan __ work life balance di era digital __ ini. Kita juga melakukan office automation serta pengembangan organisasi dan SDM yang adaptif dengan perkembangan zaman. Kalau semua ini berjalan secara paralel, penerapan NTOW akan sukses. Sejauh mana perkembangan implementasi NTOW di Kemenkeu? Di 2019 kita telah melaksanakan piloting ABW di seluruh unit Eselon I. Di 2020 ini, fokus kita mengevaluasi dampak perubahan terhadap budaya kerja dan produktivitas unit piloting , kemudian menyempurnakan lebih lanjut kebijakan ABW untuk penerapan yang lebih luas. Terkait FWS dan FWH , Kemenkeu telah beberapa kali melaksanakan diskusi dan mengkaji kebijakan terkait, baik secara internal maupun bekerja sama dengan berbagai institusi di dalam dan di luar negeri. Apakah unit-unit vertikal Kemenkeu di daerah juga sudah menerapkan NTOW? Beberapa telah mengeksplorasi penerapan NTOW melalui benchmarking dan diskusi dengan unit-unit piloting di kantor pusat. Mereka mulai secara bertahap dari pengembangan infrastruktur IT hingga implementasi konsep ABW seperti di gedung KPKNL Ternate, Maluku Utara. Bagaimana peran Sekretariat Jenderal dalam memperkuat NTOW? NTOW merupakan Inisiatif Strategis Kemenkeu yang masuk ke dalam tema sentral di mana Sekretariat Jenderal menjadi penanggung jawab utamanya. Dalam pelaksanaannya, NTOW membutuhkan perubahan budaya dan cara kerja setiap personil Kemenkeu. NTOW didukung oleh Enterprise Architecture agar proses bisnis dan teknologi informasi dapat terus disempurnakan. Setjen sebagai prime mover kerap mengkoordinasikan penerapan NTOW di seluruh unit Eselon 1 Kemenkeu dengan melibatkan pimpinan Unit Eselon 1 dan para change agent . Dari sisi penganggaran juga, Setjen bersama dengan APIP memberikan bimbingan kepada Unit Eselon 1 untuk menyesuaikan program kerja unitnya dengan inisiatif NTOW dan inisiatif lainnya di Kemenkeu. Tantangan apa yang dihadapi dalam penerapan NTOW? Tantangan utama terkait dimensi waktu. Implementasi NTOW ini punya timeframe yang panjang, hasilnya belum tentu akan terlihat dalam jangka pendek. Di samping itu, perlu waktu untuk mendapatkan komitmen yang kuat dari seluruh pihak. Bagaimana dengan generation gap, mengingat hampir 70 persen pegawai Kemenkeu merupakan generasi milenial? Tugas kita adalah memastikan bahwa semua nilai positif dari setiap generasi dapat disintesiskan ke dalam budaya NTOW yang ingin kita dorong. Karenanya, penerapan NTOW perlu menyeimbangkan kebutuhan yang berbeda dari setiap generasi dan menjembatani generation gap tersebut. Mayoritas pegawai Kemenkeu menjalani WFH selama masa darurat pandemi COVID-19. Apakah remote working memungkinkan juga dilanjutkan di luar masa pandemi? Peluang itu ada. Sepanjang WFH di masa pandemi ini kita belum menemukan dampak negatif dari remote working terhadap kinerja. Fokus kita menyempurnakan berbagai komponen pendukung untuk memastikan bahwa penerapan remote working justru meningkatkan produktivitas. Kemenkeu berperan menjadi katalisator agar budaya digital pegawai dapat didorong ke arah yang produktif bagi kinerja institusi. Kita perlu ingat, bahwa situasi luar biasa yang terjadi saat ini dapat saja terulang lagi di masa depan, sehingga kita memang harus mempersiapkannya dengan lebih baik. Apa yang perlu diperhatikan agar remote working menghasilkan kinerja optimal? Fokus institusi adalah memastikan bahwa setiap pegawai memiliki fasilitas yang memungkinkan mereka untuk bekerja secara remote. Namun faktor yang lebih penting adalah mindset individu dan budaya organisasi. Dalam remote working kita meng- acknowledge bahwa setiap individu pegawai punya pola dan karakteristik yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaannya. Pola setiap pegawai ini perlu dikombinasikan dengan pola, karakteristik serta kebutuhan unit dan tim sehingga tercapai keseimbangan yang optimal bagi unit dan tim secara keseluruhan. Kunci suksesnya adalah adanya arrangement internal unit yang baik misalnya kesepakatan untuk melakukan koordinasi harian secara reguler di waktu yang disepakati bersama untuk meng- update progress pekerjaan, menyepakati dan mengevaluasi target, dsb. Contoh lain, adanya ukuran kinerja yang jelas berdasarkan delivery dan pencapaian target yang telah ditetapkan. Ketiadaan ukuran kinerja yang jelas, berpotensi berdampak pada moral hazard dan tidak efektifnya NTOW. Apa harapan Bapak untuk pembangunan NTOW dan transformasi digital di Kemenkeu? Saya berharap terlaksananya NTOW dan transformasi digital akan memacu pegawai kita bekerja lebih produktif dan inovatif lagi, untuk menjadikan Kemenkeu sebagai institusi publik yang juga menjadi center of excellence baik secara nasional maupun internasional. Saya juga berharap implementasi NTOW secara penuh memungkinkan kita untuk mengkapitalisasi transformasi digital secara optimal, seperti untuk meningkatkan efisiensi operational cost dan alokasi space ruang kerja bagi pegawai, serta mengendalikan pertumbuhan jumlah pegawai.
Restorasi Pukau Maninjau Gedung Danadyaksa Cikini Jl. Cikini Raya no. 91 A-D Menteng Telp/Faks. (021) 3846474 E-mail. lpdp@depkeu.go.id Twitter/Instagram. @LPDP_RI Facebook. LPDP Kementerian Keuangan RI Youtube. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan LPDP RI 43 MEDIAKEUANGAN 42 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 Teks CS. Purwowidhu Foto Dok. Pribadi Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, M.S MEDIAKEUANGAN 42 M enyusuri Kelok 44 dari arah Bukittinggi, eloknya Danau Maninjau memanjakan mata. Perbukitan hijau berlarik di satu sisi dan hamparan sawah dengan pohon kelapa menari-nari di sisi lainnya, memeluk erat danau vulkanik itu. Berlokasi di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, danau yang terbentang seluas 95 km ^2 itu merupakan danau terbesar ke-11 di Indonesia. Danau ini tidak hanya menyuguhkan kesejukan embun pagi berselimutkan kabut bak istana di atas awan tetapi juga kesyahduan atmosfer senja tatkala mentari beringsut tenggelam di balik apitan bukit di sisi danau. Laiklah bila presiden pertama RI, Soekarno menggambarkan pesona Maninjau dalam sebait pantun “ Jika makan pinang, makanlah sirih hijau. Jangan ke Ranah Minang, kalau tak mampir ke Maninjau .” Sayang beribu sayang, tahun berselang pencemaran Danau Maninjau kian kritis. Kematian ikan secara masal kerap terjadi. Ihwal tersebut mengusik Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, M.S., Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Bung Hatta, Padang, untuk turun tangan bersama tim riset yang dibentuknya dalam upaya mengembalikan kilau Maninjau yang pendanaan risetnya didukung oleh LPDP. Perlu restorasi Danau Maninjau memiliki beragam fungsi, tidak hanya sebagai penyedia bahan baku dan sumber air, destinasi wisata dan sumber pembangkit listrik, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan ekologis, keanekaragaman hayati dan spesies langka. Masyarakat sekitar pun tak luput menjadikannya sebagai sumber pendapatan melalui pemanfaatan danau sebagai tempat budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA). Hafrijal mengungkapkan Danau Maninjau yang sering disebut sebagai ‘ginjal bumi’ merupakan ekosistem yang sangat unik karena peran pentingnya dalam pengentasan polusi air akibat aktivitas manusia. “Danau Maninjau berperan penting dalam konservasi air, pengendalian banjir dan kekeringan, degradasi akibat polusi, dan menjaga dari perubahan iklim,” paparnya. Namun, Hafrijal menyayangkan fungsi tersebut kini mulai pudar satu persatu sehingga dirinya dan tim bersama pemerintah Kabupaten Agam pun bertekad merestorasi Danau Maninjau. Melalui pendanaan Rispro Implementatif LPDP tahun 2015, Hafrijal dan tim merancang model pengelolaan kawasan Danau Maninjau untuk ketahanan ekonomi masyarakat berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat diterapkan oleh segenap pemangku kepentingan di kawasan Danau Maninjau. Save Danau Maninjau Hasil riset yang dilakukan Hafrijal dan tim membuktikan 93 persen beban pencemaran air Danau Maninjau bersumber dari aktivitas budidaya ikan KJA, sementara 7 persen berasal dari limbah penduduk, pertanian dan deterjen. Sebagai solusi, Hafrijal dan tim bersama pemkab Agam menyusun program Save Danau Maninjau. Lima di antara sepuluh program prioritas tersebut yakni (1) pengendalian pertambahan KJA untuk budidaya ikan, termasuk implementasi budidaya ikan KJA ramah lingkungan; (2) membersihkan permukaan air danau dari sampah dan bangkai keramba; (3) mengelola kualitas air danau atau menurunkan status baku mutu air; (4) fasilitasi mata pencarian petani ikan KJA ke lahan darat di lingkar Danau Maninjau; dan (5) penguatan regulasi untuk kelestarian Danau Maninjau. Seluruh program tersebut diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelestarian Danau Maninjau dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Agam Nomor 30 Tahun 2017 tentang Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung Ramah Lingkungan. “Peraturan tersebut merupakan salah satu luaran dari hasil riset kami,” pungkasnya. Memberdayakan kearifan lokal Sebagai putra Minang, Hafrijal menjunjung berbagai kearifan lokal yang dilegasikan oleh leluhur ranah Minang. Ia paham betul mengenai pentingnya menghargai budaya lokal bahwa kebijakan sebaik apapun tak dapat diimplementasikan dengan lancar jika ada gap yang dibangun dengan masyarakat setempat. Bukan hanya para Wali Nagari (Kepala Desa) yang digandeng untuk mengimplementasikan hasil riset, melainkan juga petani KJA baik berkelompok maupun personal turut diikutsertakan. “Tidak ada hambatan berarti, kami memakai pepatah orang minang, ‘ berjenjang naik, bertangga turun’ dan ‘ mendahulukan selangkah tokoh masyarakat,” imbuh pria paruh baya yang telah menghasilkan sejumlah karya dan prestasi di bidang perikanan dan kelautan itu. Masyarakat, terutama petani pembudidaya ikan, ungkap Hafrijal, menyambut baik percontohan teknologi budidaya ikan ramah lingkungan. “Mereka meminjamkan keramba jaring apung, boat , menyediakan lahan sawah untuk budidaya ikan dengan sistem Mina Padi ,” tambahnya. Hafrijal berpendapat, sifat masyarakat di lingkar Danau Maninjau adalah melihat dan menunggu, jika metode yang diimplementasikan berhasil maka mereka akan mengikutinya. Seiring berjalannya waktu, implementasi hasil riset yang dilakukan Hafrijal dan tim mulai menunjukkan capaian. Jumlah KJA pada tahun 2015 sebanyak 20.608 petak, papar Hafrijal, secara bertahap sudah mulai berkurang 17.596 petak pada tahun 2019 dan yang diisi dengan ikan sekitar 60 persen (10.557 petak). Ikan nila budidaya yang mati tidak lagi dibuang ke danau, melainkan diberikan kepada ikan lele dumbo dan patin yang dipelihara berdampingan dengan ikan nila. Sementara itu pakan ikan yang terbuang ke badan air sudah mulai berkurang dengan adanya alat yang dapat mengurangi pakan ikan terbuang. “Metode ini adalah salah satu teknologi yang diimplementasikan dari hasil riset kami,” jelasnya. Harapan masih ada Telah dimahfumi bersama bahwa aktivitas KJA memberikan dampak negatif terhadap air danau. Meski pemkab Agam melalui Perda Kab. Agam 5/2014 telah berupaya meminimalisir dampak dengan menetapkan jumlah KJA yang diperbolehkan sesuai daya dukung perairan danau sebanyak 1500 unit setara dengan 6000 petak (lubang), akan tetapi kenyataan bahwa sekarang sumber pendapatan masyarakat secara umum di lingkar Danau Maninjau berasal dari aktivitas KJA tak dapat dipungkiri. Oleh sebab itu, Hafrijal berpendapat hendaknya pemerintah berhati-hati dalam mengambil langkah kebijakan terkait KJA. Perlu dipertimbangkan mata pencarian alternatif di lahan darat bagi masyarakat selain menjadi petani budidaya ikan KJA. “Sumber mata pencarian alternatif inilah yang sedang kami coba usahakan di lahan darat, misalnya beternak ikan lele di kolam terpal dan lainnya di bidang pertanian dan peternakan,” tambahnya lagi. “Kiranya pemerintah menyiapkan regulasi berbasis hasil riset, termasuk hasil riset kami dan memperhatikan kearifan lokal,” harapnya. Regulasi yang harus dituntaskan adalah Perda tata ruang kawasan Danau Maninjau yang dapat secara bersama-sama dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan. “Kalau masyarakat diajak dan dilibatkan, saya pikir tidak ada sesuatu yang menjadi halangan untuk perbaikan tata kelola Danau Maninjau di masa yang akan datang,” pungkasnya. Hafrijal juga tak lupa menyemangati periset lainnya yang didanai LPDP untuk melakukan riset yang berdaya saing sehingga dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama Menyemai Tekad Berkompetisi Mengapa peningkatan investasi dan peningkatan ekspor menempati dua prioritas teratas untuk pengalokasian DID 2020? DID ini kan salah satu instrumen yang digunakan pemerintah untuk mendorong kinerja Pemerintah Daerah (Pemda) berdasarkan suatu kriteria tertentu yang sejalan dengan prioritas nasional. Pada saat kita lihat kondisi di 2019, ada beberapa hal yang memang harus didorong lebih cepat, antara lain investasi, ekspor, dan pengelolaan sampah. Investasi dan ekspor adalah 2 tools yang sangat substansial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, jadi dimasukkan sebagai top list dalam pembuatan DID. Di 2020 memang investasi dan ekspor ini betul-betul diharapkan bisa menjadi pengungkit perekonomian nasional. Ekonomi nasional itu agregat dari ekonomi daerah. Tentunya harapan kita dengan pemberian insentif ini, daerah-daerah akan berlomba-lomba untuk memperbaiki kinerjanya di bidang- bidang tertentu. Seperti apa kriteria dan batasannya? Sebenarnya sama seperti DID secara umum. Pertama yang kita lihat adalah kriteria utama, mencakup: (1) opini BPK atas laporan keuangan Pemda Wajar Tanpa Pengecualian (WTP); (2) penetapan Perda APBD tepat waktu; (3) pelaksanaan e-government; dan/atau (4) ketersediaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Kalau kriteria utama itu sudah terpenuhi, baru kita lihat poin-poin yang bisa mendapat insentif atau disebut kriteria kinerja. Kategori kinerja meliputi pelayanan publik, mulai dari pendidikan dan lain-lain, sampai kinerja investasi, ekspor, dan pengelolaan sampah. Bagaimana penilaian kinerja investasi dan ekspor daerah? Kinerja dilihat melalui data-data yang diambil dari institusi yang berwenang. Untuk penilaian kinerja investasi, kita pakai indikator nilai investasi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Sedangkan kinerja ekspor diukur melalui nilai ekspor terhadap barang komoditas ekspor yang keluar dari daerah pabean lewat pelabuhan dan/ atau bandara. Lalu kita hitung selisih nilai kinerja selama 2 tahun. Setelah semua data daerah terkumpul, kita akan lihat dia ada di di posisi berapa. Tiap kriteria punya nilai sendiri. Ini yang membedakan dari tahun-tahun sebelumnya, misal kategori ekspor, kalau memang dia hebat di ekspor, dalam arti lolos di atas threshold setelah disandingkan dengan daerah-daerah lainnya, dia akan mendapat insentif. Kita harus benar-benar melihat mana yang memberikan dampak yang signifikan untuk daerahnya dan itu kita lihat secara nasional. Berapa daerah penerima DID kategori kinerja investasi dan ekspor di 2020? Alokasi DID 2020 kategori peningkatan investasi diberikan kepada 5 provinsi, 19 kota, dan 80 kabupaten, dengan total alokasi sebesar Rp1,3 triliun. Lima provinsi itu adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banten. Sementara untuk peningkatan ekspor diberikan kepada empat provinsi, 61 kota, dan 19 kabupaten, dengan total alokasi sebesar Rp1,1 triliun. Empat provinsi itu adalah Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, dan Banten. Alokasi tertinggi di tiap kategori tersebut sebesar Rp14,68 miliar dan rata- rata alokasi sebesar Rp13,34 miliar. Bagaimana dengan kekhawatiran akan ada gap antara daerah yang menerima insentif dan yang tidak? Elemen dari TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa) ini kan ada yang sifatnya block grant dan ada yang specific grant. Untuk block grant, kita contohnya ada Dana Alokasi Umum (DAU) yang memang tidak melihat maju atau mundurnya suatu daerah tetapi betul-betul melihat kebutuhan daerah tersebut. Nah, itu bisa diatasi dari situ. Jadi, kalau menurut saya yang umum itu tetap ada, tapi yang khusus (DID) karena ini kan hadiah nih, jadi ya harus lebih selektif. Pelan-pelan kita juga akan coba refocusing ke beberapa kriteria yang betul-betul punya daya ungkit tinggi untuk pembangunan supaya daerah yang dapat itu bisa berbangga. Kendala apa yang dihadapi dalam penyaluran DID? Masalahnya kalau ada yang tidak comply. Dulu, sebelum tahun 2018 itu, pokoknya jumlahnya berapa langsung transfer salur. Mulai 2018, mekanisme penyaluran berubah menjadi berbasis kinerja. Daerah penerima harus menyampaikan Perda APBD dan rencana penggunaan DID tahun berjalan, juga laporan realisasi penyerapan DID tahun anggaran sebelumnya. Jadi, walaupun pemda sudah bagus, tetapi kalau tidak bisa memenuhi syarat penyaluran, ya tentunya dia juga akan punya masalah, bisa nggak disalurkan juga dananya. Apa yang diharapkan dari pemda dengan adanya DID ini? Jadi, harapan kami daerah akan berkompetisi untuk hal yang positif dan level kompetisinya akan meningkat terus. Dengan begitu, daya saing daerah paling tidak akan meningkat sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Ease of doing business dan segala macam indeks yang ada kaitannya dengan investasi juga pasti akan lebih baik. Ini sebenarnya merupakan grass root dari pencapaian nasional. Teks CS. Purwowidhu Foto Resha Aditya P. Astera Primanto Bhakti, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan MediaKeuangan 20 D i tengah kondisi perekonomian global yang diproyeksikan semakin melemah, pemerintah bergegas mengambil langkah antisipasi agar defisit neraca dagang tak semakin melebar. Pemberian stimulan menjadi salah satu opsi agar daerah termotivasi membenahi iklim investasi. Peningkatan investasi dan ekspor dijadikan filtrasi baru dalam kebijakan pemberian insentif daerah di 2020. Simak wawancara Media Keuangan dengan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Astera Primanto Bhakti, seputar peran Dana Insentif Daerah (DID) sebagai pendorong pertumbuhan investasi dan ekspor . VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama Peduli Pada yang Papa Teks CS. Purwodidhu MEDIAKEUANGAN 20 S eluruh masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama atas akses pembiayaan usaha, tak terkecuali 40% masyarakat yang berada pada lapisan bawah. Program Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) hadir bagi seluruh masyarakat prasejahtera dari Sabang hingga Merauke yang terkendala dalam mengakses pembiayaan. Bukan semata untuk mengentaskan kemiskinan, UMi juga diandalkan sebagai katalisator program-program pemerintah lainnya untuk memberdayakan masyarakat prasejahtera agar bisa naik kelas. Simak wawancara Media Keuangan dengan Direktur Jenderal Perbendaharaan, Andin Hadiyanto, seputar kiprah UMi dalam hampir tiga tahun perjalanannya sejak diluncurkan pada pertengahan 2017 silam. Bagaimana progress penyaluran pembiayaan UMi? Pertumbuhan debitur signifikan dari sejak dimulai di 2017. Sampai dengan 29 Februari 2020, kita telah menyalurkan pembiayaan ke 1.775.814 debitur di seluruh Indonesia. Dananya juga dinaikkan dari 1,5 T pada tahun 2017 hingga menjadi 8T sampai dengan akhir tahun 2020. Ini merupakan skema dana bergulir yang mengedepankan prinsip kemandirian. Apa saja kunci sukses program pembiayaan UMi? Ada aspek keberpihakan, pemberdayaan, dan penguatan, intinya di situ. Keberpihakan itu karena bunga UMi dari PIP sekitar 2-4%. Bahkan ini sedang proses untuk diturunkan lagi. Jadi 60% biayanya itu ada di SDM tenaga pendamping, yang jasanya tidak terukur dengan uang karena mereka memberi value added yang tinggi untuk peserta UMi. Selanjutnya, aspek penguatan lembaga keuangan yang ada, dalam konteks pendalaman sektor keuangan. Berkaitan dengan financial inclusion, kita memikirkan bagaimana masyarakat ultra mikro mulai dari pedagang asongan, tukang sayur, industri rumahan yang tidak tersentuh perbankan ini bisa mengakses dana melalui lembaga yang sudah ada, seperti Pegadaian, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), dan PT Bahana Artha Ventura (BAV). Yang ketiga, pemberdayaan masyarakat. Dari pengalaman saya bertemu para debitur di daerah, seperti di Bali dan Makassar, mereka ada pendampingan setiap minggu yang membina mereka melakukan kegiatan usaha dan pengadministrasiannya. Dengan begitu kita mengajari masyarakat untuk produktif. Seberapa besar tingkat NPL (Non- Performing Loan) UMi? Sampai saat ini NPL di end user berada pada tingkat terkendali di bawah 5%. Dibandingkan dengan bank, NPL UMi relatif lebih rendah. Luar biasanya karena ini tanpa agunan. Pembiayaan lebih baik dilakukan secara berkelompok karena ada nilai gotong royong dan tanggung renteng yang dibangun. Kalau ada satu anggota yang tidak bisa bayar, ditanggung oleh kelompoknya sehingga mengamankan dana yang ada supaya NPL nya rendah. Mengapa debitur UMi 90% perempuan? Mungkin karena karakter wirausahanya ya, tingkat kepatuhannya juga tinggi. Rata-rata ini juga ibu- ibu yang bantu suaminya, karena suaminya sudah punya kerjaan utama. Pinjamannya juga relatif kecil, untuk pemula paling cuma antara 2-5 juta untuk dibayar per minggu selama 10 bulan dan betul-betul untuk modal itu. Ibu-ibu itu tekun banget, senang banget diberikan pendampingan secara rutin dan berkelompok. Ini membuat ibu-ibu semakin produktif. Bagaimana upaya menjaga kesinambungan UMi? Dari segi pendanaan, semampu mungkin dananya nanti kita tambah. Bisa melalui APBN, kerja sama dengan pemda, dan lembaga-lembaga lainnya. Ke depan, kita akan membuat MoU dengan beberapa pemda, seperti dengan Pemda Bone Bolango. Pemda ini ingin bantu masyarakat ultra mikro di daerahnya, mereka punya dana tapi tidak punya skema. Jadi kita bantu salurkan dengan skema UMi. Selain pemda, kita juga akan menyasar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah mapan untuk menjadi penyalur UMi. Kita juga akan menerbitkan Efek Beragun Aset (EBA). Yang menjadi jaminan adalah piutang kita kepada debitur, karena piutangnya lancar, kita keluarkan surat berharga. Ini bisa dibeli oleh lembaga internasional di pasar modal. Jadi mengurangi ketergantungan terhadap APBN untuk penambahan modal. Kesinambungan lain adalah dari segi kerja sama, terutama dalam penyaluran, untuk pengembangan dan optimalisasi debitur. Kita akan tambah lembaga penyalur karena tidak di semua tempat ada Pegadaian, PNM, dan BAV. Kita mau dorong PNM untuk daerah-daerah yang lebih remote. Kita ada kerja sama dengan Kementerian Koperasi untuk membina koperasi hingga layak menjadi lembaga penyalur, dengan Kementerian Pertanian yang membina Lembaga Kredit Mikro Agribisnis (LKMA) yang terdiri dari gabungan kelompok tani. Kita mau lihat kelayakan 700 LKMA untuk menjadi lembaga penyalur UMi. Kerja sama dengan Kementerian Sosial dalam sharing data antara Program Keluarga Harapan (PKH) dengan UMi sehingga penerima PKH juga mampu dijangkau UMi. Jadi ini seperti berjenjang untuk menaikkan kelas masyarakat prasejahtera? Ya, berjenjang, ini memang pekerjaan besar. Jadi peserta PKH yang punya usaha kita jadikan target peserta UMi. Nanti, dari peserta UMi itu kalau sudah lulus, kita jadikan target Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang mikro. Kalau sudah lulus lagi, kita targetkan ke KUR yang lebih besar. Bagaimana memastikan UMi bisa tepat sasaran? Bahwa yang sudah dapat UMi tidak boleh dapat KUR, yang dapat KUR tidak boleh dapat UMi pada saat yang bersamaan, nah, ini sekarang sudah mulai bagus, datanya sudah tidak mungkin double karena ada dalam satu database yang sama, Sistem Informasi Kredit Program (SIKP). Ini juga modal besar untuk keberlanjutan, punya IT sistem yang bagus. Kita juga sudah buat sistem manajemen agar Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan KPPN semua menjadi bagian dalam monitoring dan evaluasi pembiayaan UMi untuk memastikan penyalurannya sesuai ketentuan dan diberikan ke orang yang tepat. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk memperluas jangkauan UMi sampai ke pelosok Indonesia? Saran saya melalui BUMDes, saya lihat prospektifnya bagus karena selama ini mereka didukung BUMN juga. Jadi desa itu sekarang kalau infrastrukturnya sudah bagus, mereka geser penggunaan dananya untuk pemberdayaan masyarakat. Sebagaian untuk BUMDes, sebagian lagi untuk pelestarian budaya misalnya. Kita juga akan minta Kanwil untuk piloting desa binaan, kalau sudah bagus bisa direplika di desa-desa lain. Koperasi di daerah juga semoga makin berkembang ya. Harapan Bapak untuk program UMi? Harapannya, satu, dari sisi debiturnya yang sudah dapat UMi kalau bisa dia naik kelas jadi dapat KUR. Dua, memperluas jangkauan UMi semaksimal mungkin dan ekstensifikasi pendanaan seoptimal mungkin dengan mekanisme dan skema yang ada. Tentu pada akhirnya ini dapat membantu kita mengentaskan kemiskinan. Lapisan bawah ini jangan sampai terabaikan karena pada saat krisis justru orang- orang ini yang paling survive dan menyelamatkan negeri ini.