Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
Uji Materiil atas Pasal 160 ayat (2) huruf c UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda, Pasal 11 ayat (2) huruf c UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keua ...
Relevan terhadap
pemerintah dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran pusat dan daerah. Kebijakan penganggaran pada pemerintahan Pusat dan Daerah merupakan reformasi yang relatif baru dilakukan untuk kasus Indonesia. Perubahan terbaru pada proses administrasi penganggaran di tingkat Pusat dan Daerah adalah menyatukan proses penganggaran antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang bertujuan untuk memperkuat (1) akuntabilitas dari pengeluaran ( input ), (2) keterkaitan dengan kinerja pemerintah ( output ), dan (3) keterkaitan dengan pencapaian peningkatan aspek kesejahteraan di masyarakat ( outcome ), (4) keterkaitan dengan pencapaian yang lebih luas dari tujuan pembangunan ( impact ). 2. Desentralisasi fiskal adalah salah satu bagian dari proses desentralisasi yang terjadi di Indonesia. Di samping desentralisasi fiskal masih terdapat desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi ekonomi. Desentralisasi politik telah berlangsung dengan peralihan sebagian kekuasaan politik kepada Pemerintah Daerah (Pemda) dimana Kepala Daerah dan anggota DPRD telah dipilih secara langsung. Desentralisasi administrasi juga telah terwujud melalui pengalihan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada Pemda sehingga praktis sebagian besar pelayanan masyarakat dilakukan oleh Pemda. Desentralisasi fiskal sendiri juga sudah berlangsung sejak tahun 2001 dengan pengalihan dana ke Daerah dalam jumlah besar. Proses keempat jenis desentralisasi tersebut masih akan terus berlanjut, seiring tuntutan yang lebih tinggi dari masyarakat terhadap bukti bahwa terjadinya desentralisasi memang akan membawa perbaikan kesejahteraannya. Karenanya, desentralisasi ekonomi adalah tahapan dari proses desentralisasi di Indonesia dimana Daerah dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya, sehingga memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 3. Meskipun desain desentralisasi fiskal di Indonesia bertumpu pada desentralisasi di sisi pengeluaran yang didanai melalui transfer ke daerah, local taxing power tetap harus dikembangkan secara gradual dalam rangka penguatan sumber pendapatan daerah, namun tetap menjaga harmonisasi sistem perpajakan antara pusat dan daerah. Pendapatan Asli Daerah lebih dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi akuntabilitas fiskal daerah dan
Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2016.
Uji Materi Pasal 27 Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseas ...
Relevan terhadap
USAHA-USAHA - Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, maka Perkumpulan ini menjadikan segala usaha dan kegiatan yang diperbolehkan Undang- Undang dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku antara lain:
Melakukan Pendampingan Masyarakat terkait dengan penegakan hukum publik secara profesional;
Memberikan Layanan Masyarakat di bidang hukum secara profesional;
Memberikan pengetahuan hukum pada masyarakat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam lingkup formal maupun informal untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bentuk presentasi, seminar, diskusi, penyuluhan, simulasi dan dalam bentuk lain terkait aturan-aturan yang berlaku yang merupakan realitas baku dan nyata dalam hukum.
Mengajukan upaya hukum Pra Peradilan, Judicial Review , Gugatan Perdata, Gugatan Tata Usaha Negara dan upaya hukum lainnya terkait dengan hal-hal yang menjadi sengketa dalam masyarakat melalui jalur Pengadilan terkait dengan perkara-perkara yang bertajuk pada kepentingan Publik dalam hal penegakan hukum dan hal lain terkait dengan kebijakan Pemerintah secara mandiri dalam kedudukannya sebagai Pihak Ketiga yang berkepentingan berkaitan dengan maksud dan tujuan Lembaga.
Usaha-usaha lain yang tidak mengikat dan tidak bertentangan dengan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. - Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pekumpulan ini dapat melakukan 17 kerjasama dengan Perkumpulan dan badan usaha lainnya, baik didalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. - Perkumpulan ini harus menyusun Rencana Kerja Jangka Panjang (business plan) dan Rencana Kerja Jangka Pendek (tahunan) serta disahkan oleh Rapat Anggota;
Bahwa PARA PEMOHON selama ini aktif dalam upaya Penegakan Hukum, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana bukti telah mengajukan permohonan praperadilan perkara TPPU Korupsi Jiwasraya yang tercatat dalam register putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 15/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel (masuk dalam daftar bukti); - https: //news.detik.com/berita/d-4967361/maki-ajukan-praperadilan- minta-kejagung-usut-tppu-jiwasraya 17. Bahwa PARA PEMOHON selama ini aktif dalam upaya Penegakan Hukum, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan tergabung dalam Organisasi Masyarakat yang telah dan akan dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan di mana Pasal 27 Perppu a quo menjadikan penguasa kebal hukum, tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN;
Bahwa PARA PEMOHON sebagai badan hukum juga menyandang hak dan kewajiban dalam sistem hukum NKRI, sama halnya dengan orang, demikian juga halnya dalam perkara permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945, mungkin saja badan hukum baik yang bersifat privat maupun publik mengalami kerugian yang mempengaruhi hak konstitusionalnya karena berlakunya atau diundangkannya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang a quo ; 18 19. Bahwa hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 yang diajukan oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang radio dan televisi maupun organisasi wartawan dalam mengajukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di antaranya Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang mengklaim diri sebagai badan hukum serta dalam hal ini Mahkamah Konstitusi mengakuinya dan mempunyai legal standing sebagai Badan Hukum. Juga hal ini termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kasus keabsahan Wakil Menteri yang diajukan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) ( PUTUSAN NOMOR 79/PUU- IX/2011). Berdasarkan hal tersebut di atas maka terbukti bahwa PARA PEMOHON dibentuk dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (Public interest advocacy) dibidang pencegahan dan pemberantasan korupsi, penegakan hukum atas dasar persamaan dihadapan hukum, dan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat sehingga PARA PEMOHON sudah tepat untuk menguji Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) yang belum sepenuhnya menjamin tegaknya hukum dan keadilan sebagaimana amanat UUD 1945. Dengan demikian PARA PEMOHON sebagai Badan Hukum mempunyai legal standing dalam mengajukan permohonan a quo ke Mahkamah Konstitusi, hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. III. KERUGIAN PARA PEMOHON 1. Bahwa pokok permasalahan dalam Permohonan ini adalah PARA PEMOHON telah dirugikan oleh berlakunya dalam hal ini bunyi Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 19 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485):
Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa dengan berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) di mana Pasal 27 Perppu a quo menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut seperti KKSK akan menjadi kebal hukum, tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara sehingga ketentuan a quo akan menjadikan penguasa/pejabat menjadi manusia 20 setengah dewa, otoriter, tidak demokratis dan dijamin tidak khilaf atau salah padahal apapun manusia tidak ada yang sempurna, tidak lepas khilaf dan salah dan untuk memastikan tidak ada penyimpangan dan korupsi maka semua tindakan harus dapat diuji melalui persidangan yang terbuka dan fair sehingga kekebalan ini akan mencederai rasa keadilan terhadap seluruh rakyat termasuk PARA PEMOHON;
Bahwa hak-hak Para Pemohon yang dijamin UUD 1945 menjadi hilang dengan berlakunya Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan akan pulih apabila uji materi a quo dikabulkan adalah: - Hak Para Pemohon atas hidup dalam suatu bentuk negara yang berdasar hukum menjadi hilang dikarenakan Perppu Corona menjadikan negara berdasar kekuasaan yang mengarah otoriter dan totaliter. Jika ini dibiarkan maka yakinlah negara akan dibawa dalam kekuasaan tunggal dan langgeng serta nantinya akan memaksakan jabatan presiden menjadi seumur hidup demi melanggengkan kekuasaan dan tidak mau dikoreksi oleh pejabat penggantinya (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945); - Hak Persamaan Hukum menjadi hilang dengan berlakunya Perppu karena pejabat menjadi kebal dan tidak bisa dituntut secara hukum meskipun telah salah dan merugikan rakyatnya (Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945); - Hak kontrol Para Pemohon melalui DPR menjadi hilang karena penguasa menjadi superpower dan tidak bisa dikontrol, padahal sekelas Presiden dapat dijatuhkan apabila melanggar UU dan UUD 1945 (Pasal 7A UUD 1945); - Hak menikmati keuangan secara adil dan sejahtera menjadi hilang karena keuangan negara tidak dapat diaudit oleh BPK serta orang yang merugikan keuangan negara menjadi tidak bisa dituntut akibat hilangnya fungsi BPK (Pasal 23E UUD 1945); - Hak untuk memperoleh keadilan berdasar proses hukum yang adil, independen dan terbuka serta berdasar ketentuan yang berlaku menjadi hilang dengan berlakunya Perppu dikarenakan Pejabat menjadi tidak bisa dituntut secara pidana, perdata dan PTUN meskipun pejabat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan merugikan rakyatnya (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945); 21 IV. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI:
NORMA MATERIIL Berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485), berbunyi:
Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
NORMA UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 YANG MENJADI PENGUJI, YAITU:
Pasal 1 ayat (3) berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”; Prinsip dan azas negara hukum adalah semua berdasar hukum, hukum untuk mencapai keadilan, sehingga semua proses hukum adalah terciptanya keadilan di masyarakat. Dengan demikian Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) 22 Nomor 1 Tahun 2020 yang mengandung kekebalan tidak bisa dituntut dengan dalih itikad baik dan bukan kerugian negara bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Hal ini selaras dengan penjelasan kekuasaan Presiden tidak tak terbatas, artinya jika melakukan pelanggaran hukum, korupsi, penyuapan maka dapat diminta pertanggungjawaban dalam bentuk diberhentikan ( impeach ). Presiden saja tidak kebal, namun Pejabat Keuangan malah kebal yaitu pemberlakuan Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020 jelas-jelas memberikan kekebalan terhadap pejabat keuangan termasuk tidak dapat dituntut dan tidak dapat diberhentikan karena keputusannya bukan obyek Tata Usaha Negara. Dalam keadaan normal, seorang pejabat dapat dituntut pemecatan jika melakukan pelanggaran dengan pola negatif positif yaitu seseorang atau badan hukum dapat meminta pejabat atasan memecat pejabat bawahan yang melakukan kesalahan, jika pejabat atasan membuat keputusan menolak pemecatan maka keputusan penolakan pemecatan tersebut dapat digugat melalui mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 23E yang berbunyi: “(1) __ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” (2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 23 (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.” BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI.
Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mengandung arti bahwa sebagai konsekuensi dari pilihan Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, maka kekuasaan lembaga kehakiman adalah tempat ditegakkannya hukum dan keadilan terhadap rakyat dan penguasa secara sama dan sederajad. Dengan demikian kita harus yakin dan patuh sistem peradilan yang meliputi keseluruhan proses integrated justice system yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai penjatuhan dan pelaksanaan hukuman untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan dalam bermasyarakat dan bernegara sehingga rakyat dan penguasa tidak boleh kebal hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban jika melakukan penyimpangan; e. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: __ “(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 24 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 mengandung makna bahwa semua warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum, pasal tersebut juga mengandung makna bahwa adanya kepedulian dan persamaan kedudukan tentang hak asasi manusia dalam bidang hukum dan politik. f. Pasal 28D ayat (1) berbunyi: __ “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; Pasal 28D ayat (1) jelas menyatakan perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga kekebalan yang termuat dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, akan mencederai perlindungan, pemberian jaminan dan pengakuan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kekebalan hukum tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi kesejahteraan umat manusia karena akan cenderung korup dan anti kritik. V. ALASAN-ALASAN PARA PEMOHON DENGAN BERLAKUNYA PASAL 27 PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 BERTENTANGAN DENGAN UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945: A. Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPUU) Nomor 1 Tahun 2020 (secara umum):
Bahwa Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) adalah pasal yang superbody yang memberikan kekebalan absolut bagi Penguasa. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukan merupakan kerugian negara padahal sumber keuangan berasal dari negara dan memberikan 25 imunitas kepada aparat pemerintahan untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan sehingga pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum sehingga semestinya semua penyelenggaraan pemerintahan dapat diuji atau dikontrol oleh hukum baik secara pidana, perdata dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Bahwa untuk memahami maksud dan tujuan sebuah produk perundang-undangan termasuk Perppu maka dapat dibaca dari konsideran, pengaturan umum dan penjelasan ( Memorie van Toelichting ), namun hal ini sulit ditemukan pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dikarenakan tidak adanya Bab/Pasal awal yang memuat ketentuan umum dan kenyataannya langsung mengatur ruang lingkup. Demikian juga untuk memahami frasa “iktikad baik” menjadi sangat sulit dikarenakan tidak adanya Penjelasan Pasal 27 Perppu a quo . Ibarat kata langsung melamar seorang wanita tanpa ta’aruf atau pacaran terlebih dahulu namun juga tidak ada perjanjian pernikahan dan talaq takliq . Kami menyadari legal drafting Perppu a quo sangat buruk sehingga menyulitkan para Pemohon untuk menyusun uji materi a quo secara runut, teoritis dan logis;
Bahwa Perppu a quo adalah bukan untuk penyelamatan bangsa, namun untuk penyelamatan bank (stabilitas sistem keuangan) akibat adanya corona . Penguasa berpegang pada teori jika perusahaan jasa keuangan (bank, asuransi dan lain-lain) hancur maka perekonomian rakyat akan hancur dan Pemerintah tidak peduli atas keselamatan dan kesehatan jasmani dan rohani dari seluruh rakyat Indonesia. Fokus pemerintah adalah semata-mata penyelamatan sistem keuangan dengan pembahasan awal adalah defisit anggaran, utang negara dan penyelamatan pajak serta menambah kewenangan lembaga keuangan (KSSK, OJK, BI dan LPS) termasuk satu-satunya pasal yang mengatur pidana hanya tindak pidana menghalangi tugas OJK. Semua fokus kemudian diwujudkan dalam belanja tambahan dengan total sebesar Rp 405,1 triliun, yang terdiri dari:
Rp 75 triliun untuk intervensi penanggulangan Covid-19 berupa tambahan belanja kesehatan, pemberian insentif tenaga kesehatan, 26 dan pemberian alat kesehatan termasuk Alat Pelindung Diri (APD) bagi seluruh 132 rumah sakit rujukan.
Rp 110 Triliun untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Program tersebut antara lain kenaikan anggaran Keluarga Harapan (PKH), perluasan Program kartu sembako, peningkatan Kartu Pra Kerja sebanyak 2 kali lipat untuk masyarakat yang terkena PHK, pembebasan tagihan listrik selama 3 (tiga) bulan untuk 24 juta pelanggan 450VA, dan pemberian diskon 50 persen selama 3 bulan untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi. Juga diberikan Dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok bagi daerah yang mengalami pembatasan sosial luas atau karantina.
Rp 70,1 triliun dukungan insentif dan relaksasi perpajakan bagi sektor dunia usaha yang terdampak dan termasuk penundaan pembayaran cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra Mikro dan Penundaan pembayaran pinjaman terutama untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan pelaku ekonomi kecil lainnya. Pemerintah juga melakukan penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 22 persen.
Dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp150 triliun dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (https: //money.kompas.com/read/2020/04/13/060600326/perppu- nomor-1-tahun-2020-tak-membuat-penyelenggara-negara-kebal- hukum?page=all.) 4. Bahwa kita sebagai manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk kelak di akherat dan tidak akan pernah bisa membela diri semua perbuatan adalah atas dasar niat baik yang karenanya semua menuntut pahala. Klaim sepihak niat baik, tidak dapat dituntut dan tidak merugikan keuangan negara jelas bertentangan dengan Sila Pertama dari Pancasila;
Bahwa alasan imunitas oleh pejabat keuangan yang diatur Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah pejabat yang bersangkutan takut dikriminalisasi, hal ini jelas contoh buruk bagi rakyat karena tidak percaya dengan proses hukum yang berlaku di Negara Republik 27 Indonesia. Alasan-alasan takut kriminalisasi dikumukakan oleh Yustinus Prastowo (Staff Khusus Menkeu) yang menekankan, poin tersebut akan menjadi landasan yang bagus agar pejabat berani membuat keputusan terbaik, terutama di tengah tekanan pandemi Covid-19 saat ini. "Agar mereka tidak takut kriminalisasi atau hal-hal lain yang akan berpotensi merugikan dirinya di masa mendatang," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (28/4).sebagaimana link berita berikut: - https: //republika.co.id/berita/q9hl0l370/stafsus-pasal-27-perppu- covid-bukan-tentang-imunitas-hukum - https: //www.news.lentera.co.id/perppu-covid-bukan-imunitas- hukum/ 6. Bahwa program Kartu Prakerja adalah contoh kasus dari carut marutnya pengelolaan keuangan negara disaat pandemi corona yang menjadi dasar terbitnya Perppu 1 Tahun 2020 (Corona), proyek kartu prakerja hanya menguntungkan pengusaha dan saat ini telah ditelaah oleh KPK atas dasar laporan dari Pemohon I ( MAKI): - https: //www.cnnindonesia.com/nasional/20200505134331-12- 500241/kpk-telaah-laporan-maki-soal-dugaan-korupsi-kartu- prakerja - https: //nasional.kompas.com/read/2020/05/05/16140831/kpk- dalami-laporan-maki-soal-dugaan-korupsi-kartu-prakerja - https: //news.detik.com/berita/d-5002969/diminta-maki-kawal- program-kartu-pra-kerja-ini-respons-kpk - https: //www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200422140133-92- 496105/indef-untung-8-platform-kerja-sama-kartu-prakerja-rp37-t - https: //katadata.co.id/telaah/2020/04/30/sengkarut-kartu-prakerja- sebelum-lahir-hingga-lari-di-tengah-pandemi 7. Bahwa tidak ditemukan satu negarapun yang menggunakan pola membuat UU baru bersifat darurat khusus untuk sektor keuangan. Malaysia tetap menggunakan Undang-Undang lama tahun 1988 (Akta 343 Pencegahan dan Pengawalan Penyakit Berjangkit) dan Filipina hanya sekedar mengancam akan menggunakan Darurat Militer berdasar UU yang sudah ada. 28 - https: //internasional.kontan.co.id/news/banyak-yang-langgar- lockdown-duterte-ancam-terapkan-darurat-militer - https: //fajar.co.id/2020/03/27/lockdown-hingga-14-april-wni-di- malaysia-terancam-kelaparan/ 8. Bahwa imunitas tidak layak diberikan kepada BI, OJK, LPS dan pejabat Kemenkeu karena selama ini kinerja buruk dan banyak skandal (BLBI, Century, Korupsi TPPI Honggo Wendratno dan Korupsi Jiwasraya akibat teledornya pengawasan OJK terhadap Jiwasraya);
Bahwa jika mengacu kedudukan Presiden Republik Indonesia adalah tetap manusia biasa yan mungkin saja tidak luput salah dan khilaf sehingga terdapat sarana pemakzulan ( impeach ) apabila diduga telah melanggar ketentuan UU atau UUD sehingga sekelas Presiden tidak kebal termasuk tetap dapat dituntut hukum apabila melanggar hukum baik dalam keadaan normal maupun bencana, hal ini jelas berbeda dengan kekebalan para pejabat keuangan yang tidak dapat dituntut hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020;
Bahwa pada jaman pemerintahan Presiden SBY tahun 2008 pernah menerbitkan Perppu yang sejenis namun ditolak oleh DPR (Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan) sehingga semestinya tidak pernah ada lagi Perppu yang memberikan kekebalan penyelenggara pemerintahan terkait keuangan negara.
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan azas universal sebagaimana ketentuan Pasal 14 (1) ICCPR yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan: All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge againts him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established _ 12. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengertian independent of judiciary menurut Basic Principles on the Independence of the Judiciary ( Adopted by the Seventh United Nations Congress on the 29 Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985) di antaranya meliputi sebagai berikut: 1) The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and _observe the independence of the judiciary; _ 2) The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason. 13. Kekebalan tidak bisa dituntut dengan alasan itikad baik yang tidak melalui proses persidangan yang terbuka dan fair jelas bertentangan dengan Prinsip Equality Before the Law . Bahwa UUD 1945 telah mengadopsi prinsip-prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"; Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum "; Bahwa baik Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah sejalan dengan prinsip equality before the law yang sudah diakui secara universal, sebagaimana dipikirkan oleh para filusof mulai abad pencerahan hingga abad 18 dan juga telah dipraktikkan di negara-negara lain; Bahwa pengertian equality before the law menurut The Free Dictionary by Farlex adalah the right to equal protection of the laws ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengertian equality before the law menurut The Free Dictionary by Farlex adalah “the right to equal protection of the laws” ; 30 15. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan prinsip equality before the law menurut Russel Madden yaitu “ that each citizen should receive equal treatment by the legal system of this country enjoys a long tradition of respect The notion that no one is to be dealt with in either a preferential or prejudiced manner by the police, courts, or other governmental agencies is enshrined in both the Declaration of Independence and the Constitution” ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan filosofi Thomas Jefferson yang berpendapat bahwa " that all men are created equal" in terms of their basic societal rights ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan The Fourteenth Amendment of the U.S. Constitution adalah states that all people will have "the equal protection of the laws" ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan tujuan dari perjuangan equality before the law yaitu untuk menjamin masyarakat yang lemah agar mendapatkan kedudukan dan perlakuan yang sama dengan masyarakat yang kuat, di depan hukum.
Bahwa setiap orang berhak atas persamaan di depan hukum dan tidak kekebalan bagi siapapun termasuk penguasa sehingga mengandung arti bahwa hukum tidak boleh diskriminasi dan aparat penegak hukum tidak boleh bertindak diskriminatif di dalam penegakan hukum. (Putusan Komite HAM PBB di dalam perkara hukum Zwan de-Vries v. the Netherlands, Broeks v. The Netherlands ). Hal ini diperkuat oleh Pasal 7 Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 ICCPR sebagaimana diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang mengakui hak setiap orang atas persamaan di depan hukum;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan Pasal 7 Deklarasi HAM PBB "Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini" 31 21. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengaturan non diskriminasi diatur dalam General Comment Nomor 18 ICCPR, yang berbunyi: Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights. Thus, article 2, paragraph 1, of the International Covenant on Civil and Political Rights obligates each State party to respect and ensure to all persons within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the Covenant without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Article 26 not only entities all persons to equality before the law as well as equal protection of the law but also prohibits any discrimination under the law and guarantees to all persons equal and effective protection against discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status” .
Bahwa Komite HAM PBB menegaskan di dalam persamaan di depan hukum berlaku prinsip bahwa di dalam kondisi yang setara maka harus diperlakukan setara, dan sebaliknya di dalam kondisi yang tidak setara maka harus diperlakukan tidak setara ( in an equal condition must be treated equally, in an unqual conditon must be acted unequally ). Jika hal tersebut dilanggar, maka akan terjadi diskriminasi. Hal mana dilarang menurut Pasal 7 Deklarasi HAM PBB, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 ICCPR; Bahwa di dalam perkara hukum, Zwaan de-Vries v. The Netherlands dan Broeks V. The Netherlands , di mana Pasal 13 ayat 1 bagian ke 1 Undang- Undang Jaminan Untuk Pengangguran di Belanda ( Unemployment Benefit Act ) mensyaratkan bahwa seorang perempuan untuk memperoleh jaminan yang sama denga laki-laki”; Secara sosial harus membuktikan bahwa dia adalah seorang pencari nafkah di keluarganya ( the breadwinner ). Namun demikian, aturan ini tidak diterapkan terhadap laki-laki. PARA PEMOHON, yang merupakan perempuan, mengganggap diskriminatif terhadap perempuan. Komite HAM PBB memutuskan bahwa Pasal 13 ayat 1 bagian ke 1 Undang- Undang Jaminan Untuk Pengangguran di Belanda bertentangan 32 dengan prinsip persamaan di depan hukum. Lebih jauh, Komite HAM PBB menjelasakan bahwa di dalam perkara ini Undang-Undang Jaminan Untuk Pengangguran telah menempatkan perempuan di dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki tersebut adalah tidak layak ( unreasonable ) menurut Pasal 26 Kovenan Intemasional Hak Sipil dan Politik (UU 12/2005); Bahwa di dalam sebuah negara hukum (t he rule of law ), negara harus mengakui perlindungan HAM setiap individu, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di depan hukum. Persamaan di depan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak statis, artinya kalau ada persamaan hukum maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan ( equal treatment ) (Frans Hendra Winarta, Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional 1:
;
Bahwa klaim bukan merupakan kerugian negara dan itikad baik yang tidak bisa dituntut hukum (pidana, perdata dan PTUN) tidak hanya menimbulkan kekebalan hukum tapi bisa saja menimbulkan kekebalan politik sehingga wakil rakyat (DPR) juga tidak akan bisa melakukan kontrol, check and balance terhadap penguasa keuangan berdasar Perppu No. 1 Tahun 2020 sehingga Perppu a quo perlu dibatalkan demi menjaga eksistensi NKRI harga mati; B. Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020:
Bahwa umur Perppu Corona belum seumur jagung namun sudah lahir kontroversi program KARTU PRAKERJA sehingga dalam setiap program pemerintah selalu ada peluang salah dan penyimpangan tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban sehingga dalil biaya yang dikeluarkan bukan merupakan kerugian negara adalah sesuatu yang keliru dan bertentangan dengan prinsip bahwa semua uang yang berasal atau milik rakyat harus dipertanggungjawabkan penggunaannya setiap rupiahnya. Bisa jadi biaya yang dikeluarkan adalah salah perencanaan sehingga tidak efisien dan tidak tepat sasaran, salah pelaksanaan sehingga terjadi mark up (pemahalan) atau 33 salah pertanggungjawaban karena sengaja dicuri atau adanya suap sehingga merugikan negara dan keuangan negara;
Bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara jika dilakukan secara melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang dalam kategori korupsi/rasuah/menggelapkan/mencuri uang negara maka sudah pasti merugikan keuangan negara. Frasa “bukan merupakan kerugian negara” derajatnya sama dengan ayat-ayat kitab suci yang tidak bisa diganggu gugat. Frasa “bukan merupakan kerugian negara” jelas-jelas kedudukannya diatas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karean tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang selalu membutuhkan kontrol, check and balance ;
Bahwa kita semua tidak ingin terulang skandal BLBI dan Century. Dalil BLBI dan Century selalu disandarkan dengan istilah kebijakan yang tidak bisa dituntut meskipun telah merugikan keuangan negara. Kami yang selalu mengawal BLBI dan Century dalam bentuk pernah menang praperadilan kasus BLBI dan Century tidak ingin terulang skandal BLBI dan Century yang merugikan keuangan negara ratusan trilyun.
Bahwa dalam perkara korupsi Bank Century, Mahkamah Agung dalam pertimbangan putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman 826 dengan jelas menolak alasan Kasasi yang diajukan Budi Mulya dalil “kebijakan tidak dapat dituntut”. Mahkamah Agung telah memberikan alasan berupa “perbuatan terdakwa yang menyetujui penetapan Bank Century sebagai bank Gagal Berdampak Sistemik yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara merupakan tindak pidana Korupsi”. Dengan demikian kebijakan yang diambil Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam melakukan penyelamatan Bank Century telah dinyatakan penyalahgunaan wewenang , itikad tidak baik dan merugikan negara (vide Putusan Nomor 21/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST);
Pasal 27 ayat (1) PERPPU 1/2020 menyatakan bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk 34 kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI, BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. Oleh karena itu, Pasal 27 Ayat (1) Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23E dan Pasal 20A UUD NRI.
Bahwa Pasal 27 Ayat (1) ini juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya Pasal 3 ayat (3) bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi, dan Pasal 4 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Bahwa Pasal 7A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila, antara lain, terlibat korupsi. Artinya pengelolaan keuangan negara harus bersih dan bebas korupsi, sehingga semua biaya harus dapat dipertanggung jawabkan, dan diperiksa oleh BPK; 35 32. Bahwa Pasal 27 ayat (1) bertentangan dengan UU No 31/1999, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR 1998, dan Pasal 23E UUD 1945. C. Pasal 27 Ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 33. Bahwa dalil kebijakan dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku harus diuji melalui proses hukum yang fair dan terbuka, tidak boleh ada istilah itikad baik berdasar penilaian subyektif oleh pelaku penyelenggara pemerintahan sendiri. Bisa saja ternyata klaim itikad baik ternyata kemudian terbukti itikad buruk sehingga tetap harus bisa dituntut hukum dalam sebuah proses Penyidikan dan Penuntutan dalam sebuah persidangan yang terbuka untuk membuktikan itikad baik atau itikad buruk dalam setiap kebijakan atau tindakan penguasa dalam mengelola keuangan negara baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan bencana seperti bencana virus Covid-19 saat ini;
Bahwa itikad Baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Selanjutnya akan disebut KUHP), Untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain: “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Mengenai “itikad baik” dikenal dalam tindak pidana yang tersebar di luar KUHP dan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Selanjutnya akan disebut KUHPer). Mengenai itikad baik dalam KUHPer Pasal 1338 ayat 3dinyatakan bahwa: "… Suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik", selain tentang itikad baik dalam Pasal 531 KUHPer dinyatakan sebagai berikut: “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”. Dalam perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa [1]: "Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. 36 Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan". Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagi suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli, termasuk dalam Black's Law Dictionary . Itikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”. Dalam Black’s Law Dictionary Itikad baik didefenisikan sebagai: “ In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense .”[3]. Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut [4]: "Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum". Mengenai pembagian asas itikad baik, diuraikan oleh Muliadi Nur sebagai berikut: Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subjektif dan itikad baik yang objektif. Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang objektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Itikad baik secara subjektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti objektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakn oleh Muhamad Faiz bahwa [6]: " Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik". 37 Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwan Khairandy bahwa [7]: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak". Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama- sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri; kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada ‘kesengajaan sebagai bentuk kesalahan’ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut. - (http: //lbh-madani.blogspot.com/2013/02/itikad-baik-menurut- hukum.html) 35. Bahwa itikad baik atau sebaliknya itikad buruk hanya bisa dinilai oleh orang luar dan dalam sistem negara hukum kita hanya bisa dinilai oleh majelis hakim mulai tingkat pertama, banding, kasasi dan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali), sehingga dengan demikian itikad baik tidak boleh berdasarkan penilaian subyektif oleh diri sendiri apalagi oleh penguasa yang selalu dimungkinkan terjadi penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum. Rakyat tidak mungkin melakukan penyalahgunaan wewenang; 38 36. Bahwa dalam sistem hukum dikenal istilah Mens Rea (sikap batin pelaku) yang biasanya dikaitkan dengan niat jahat. Jika ada niat jahat maka ada sebaliknya niat baik. Kita semua pasti sulit menakar kedalaman niat baik dan juga sebaliknya niat jahat ini, sehingga niat jahat ini menjadi bagian yang diperdebatkan, terkait apakah merupakan unsur dari tindak pidana atau urusan “wakil” Tuhan untuk membuktikannya di pengadilan. Niat jahat menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan tindakan seseorang. Dalam mewujudkan suatu tindakan, ada kalanya tindakan tersebut dilakukan dengan niat jahat adakalanya juga dengan tanpa niat jahat. Namun siapa yang tahu niat seseorang hanyalah pelaku dan Tuhan (dalam sistem hukum adalah Hakim sebagai wakil Tuhan) sehingga dalam sistem negara hukum niat baik atau sebaliknya niat jahat tidak mungkin diputuskan oleh diri pelaku, pasti harus melalui proses hukum yaitu majelis hakim;
Bahwa dalam Literatur hukum pidana Indonesia tidak banyak mengulas mengenai niat jahat, namun yang lebih banyak dibahas adalah ajaran kesalahan. Meski demikian, niat jahat ini dapat diidentikkan dengan ajaran kesalahan. Kesalahan sendiri diartikan sebagai sikap batin seseorang yang diwujudkan dalam bentuk kelakuan, dan kelakuan tersebut mendapat celaan. Dalam konteks ini sikap batin tersebut selalu diwujudkan dalam bentuk kelakuan, karena sangat sulit menakar sikap batin yang jahat tersebut. Kesalahan sebagai sikap batin yang buruk, diartikan sebagai kemampuan untuk menduga akibat yang terlarang. Seseorang sudah dapat menduga bahwa akibat terlarang dari perbuatan tersebut akan muncul, tetapi dia tidak mencegah perbuatan tersebut. Kesalahan juga diartikan sebagai maksud atau keinginan untuk melakukan kejahatan. Maksud atau keinginan dapat diwujudkan dalam perbuatan, artinya maksud atau keinginan melakukan kejahatan ini tidak akan pernah kelihatan jika kejahatan tersebut tidak pernah diwujukan. Ada juga ahli yang mengatakan kesalahan ini sebagai sikap kurang hati-hati atau sembrono sehingga merugikan orang lain. (AHMAD SOFIAN - https: //business-law.binus.ac.id/2016/04/18/niat- jahat/) 39 38. Bahwa pejabat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jelas-jelas berbanding terbalik dengan track record pejabat keuangan yang tidak bersih dan berselimutkan skandal, misal BLBI, Century dan yang terbaru kasus Jiwasraya akibat teledornya pengawasan dari OJK.
Bahwa kasus BLBI 1998 dan Bank Century 2008 dapat menjadi pelajaran bahwa di dalam krisis justru pengawasan pengelolaan keuangan negara harus diperketat karena kondisi krisis dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok;
Bahwa Pasal 27 ayat (2) terkait erat dengan pasal 27 ayat (1). Kalau Pasal 27 ayat (1) gugur dan BPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak pengelola anggaran negara, dan BPK dapat menilai atau menetapkan kerugian negara apabila ada, maka Pasal 27 ayat (2) secara otomatis akan gugur juga atau setidaknya batal secara bersyarat dengan pemaknaan yang rigid dan tidak multitafsir.
Bahwa Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Bahwa Pasal ini juga bertentangan dengan UU 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang memuat materi bahwa setiap orang, termasuk pegawai negeri dan korporasi, yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup 40 atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan;
Bahwa Perbuatan Melawan Hukum ( onrechtmatige daad ) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang- Undang”, yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain 3. Bertentangan dengan kesusilaan 4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Bahwa kekebalan pejabat secara perdata tidak hanya sekedar melanggar perundan-undangan yang berlaku, namun termasuk juga melanggar kepatutan, kesusilaan, dan agama sehingga tidak bisa dituntutnya pejabat keuangan secara perdata haruslah dimaknai termasuk tidak melanggar Norma kepatutan, kesusilaan, dan agama;
Bahwa Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 2 tahun 2019 yang memberikan arahan kepada Pengadilan ditingkat bawahnya untuk cermat merumuskan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, namun hal ini tidak membatasi Pengadilan untuk memeriksa gugatan perdata dengan dalil perbuatan melawan hukum oleh penguasa yang merugikan secara materiel atau materiel secara mandiri atau berdasar putusan PTUN; 41 46. Bahwa imunitas pejabat sebagaimana dirumuskan pasal 27 Ayat 2 Perppu jelas bertentangan dengan prinsip Hakim mengadili berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan prinsip Hakim memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini juga dirumuskan dalam: Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 47. Bahwa moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat, iktikad ataupun sifat -sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Iktikad baik tidak bisa membuat seseorang mendapat keistimewaan hukum dan kebal hukum baik secara perdata maupun pidana. Iktikad baik hanya bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan tingkat hukuman.
Bahwa hak imunitas pejabat atau profesi terdapat dalam beberapa peraturan yaitu UU Kejaksaan, UU Advokat, UU MD3 DPR/MPR, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPSK), UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, namun imunitas yang diatur terdapat filter berupa ijin atasan atau ijin pihak lain, adanya kode etik, atau terdapat pemaknaan menyangkut itikad baik berdasar UU yang berlaku. Hal ini jelas berbeda dengan Pasal 27 ayat (2) Perppu dikarenakan menyebut kebal terhadap gugatan perdata dan pidana, tidak adanya filter dan dewan etik sehingga haruslah dibatasi dengan penafsiran yang jelas dan rigid mencegah penyalahgunaan dan multi tafsir ;
Bahwa Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah memberikan makna iktikad baik dalam penjelasannya 42 “Dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik jika Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme” sehingga hal ini dapat dijadikan acuan dalam uji materi batal secara bersyarat Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo ;
Bahwa pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun itikad baik dimaknai dalam Penjelasan Pasal 22 UU No. 11 tahun 2016 yaitu “apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme”. Penjelasan ini setidaknya dapat dipakai dalam pemaknaan Pasal 27 ayat (2) Perpuu No. 1 Tahun 2020 sehingga tidak akan ambigu dan multi tafsir;
Bahwa Presiden/Pemerintah dapat berdalih Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo telah menyisipkan frasa “jika” untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum, namun frasa “jika” __ akan multi tafsir dan pasti pejabat/pelaku akan berlindung frasa __ “itikad baik” untuk menjadi tameng dan dalil lepas dari tuntutan hukum dikarenakan penilaian subjektif dari pelaku/pejabat tentang itikad baik. Apapun dalih itikad baik yang berpotensi itikad buruk dalam mengambil kebijakan tetap harus diuji oleh lembaga peradilan dan tidak boleh menjadi monopoli pejabat untuk menafsirkannya. Dengan demikian demi keadilan, persamaan hukum, demokrasi dan kesejahteraan, Pasal 27 Perppu a quo harus dibatalkan secara bersyarat untuk dimaknai secara tegas dalam rangka menghindarkan ambigu dan multi tafsir; 43 52. Bahwa Pasal 27 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 frasa “iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“ untuk menghindari ambigu dan multi tafsir serta bertentangan dengan UUD 1945 haruslah dimaknai “ apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme” , dan terdapat pemaknaan terhadap tidak dapat digugat perdata selain tidak melanggar Undang- Undang haruslah termasuk tidak melanggar kepatutan, susila dan agama sehingga ditambah pemaknaan secara satu nafas dengan iktikad baik yaitu “ tidak melanggar norma kepatutan, norma susila dan norma agama” serta frasa “itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” tidak boleh dimaknai sepihak penguasa sehingga menghalangi ranah pembuktian dalam proses penegakan hukum;
Bahwa itikad baik penguasa dengan maksud tidak menguntungkan diri sendiri namun dalam prakteknya menguntungkan orang lain dan merugikan negara terdapat contoh sesorang selama ini dianggap tidak melakukan korupsi untuk dirinya namun senyatanya tetap korupsi yaitu: - Pada saat jadi Pengusaha telah memakai uang pinjaman dari Bank milik UKM , semestinya UKM menjadi binaan Pengusaha tersebut tapi senyatanya uang hak UKM dipakai kepentingan pribadi si Pengusaha; - Pada saat menjabat kepala daerah telah memberikan tanah dan bangunan milik negara kepada tim suksesnya tanpa melalui prosedur dan kemudian menguntungkan tim suksesnya; - Pada saat menjabat kepala daerah telah membentuk ULP untuk menampung bantuan luar negeri proyek urbant development dengan menunjuk tim suksesnya untuk mengelola, namun kenyataannya uang bantuan dipakai untuk kepentingan pribadi pengelola tanpa bisa dicegah oleh kepala daerah; - Pada saat menjabat kepala daerah lebih tinggi telah salah melakukan perencanaan dalam pengadaan angkutan masal namun 44 keliru hendak memberikan kendaraan kepada swasta dan telah menimbulkan kerugian negara atas pembayaran uang muka 20%; - Pada maju kontestasi jabatan yang lebih tinggi, orang yang dianggap tidak pernah korupsi tersebut ternyata menerima uang sumbangan kampanye yang berasal dari hasil korupsi penyumbangnya; D. Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 54. Bahwa demi persamaan hukum dan pemerintahan (Pasal 27 dan 28 UUD 1045) maka semua keputusan penguasa (pejabat pemerintah) harus dapat diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan cabang kekuasaan kehakiman turunan Pasal 24 UUD 1945, sehingga ketentuan Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dibatalkan;
Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dasar diterbitkannya keputusan diskresi adalah adanya “keadaan mendesak”, dan pengujian terhadap keputusan diskresi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan tidak dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) kemudian, produk hukum dari badan/pejabat pemerintahan yang dapat dijadikan objek segketa dan diuji pada pengadilan Tata Usaha Negara berupa keputusan ( beschikking );
Sebagai negara yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, melekatnya fungsi memajukan kesejahteraan umum dalam welfare state (negara kesejahteraan) menimbulkan beberapa konsekuensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yaitu pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg 45 atau public service agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif (Patuan Sinaga, 2001) yang kemudian dalam hukum administrasi negara diberikan kewenangan bebas berupa diskresi;
Bahwa dengan adanya tambahan kewenangan untuk menguji perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan badan atau pejabat pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial, maka semakin lengkap fungsi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai fungsi kontrol yuridis terhadap pemerintah sehingga tidak semestinya dihapuskan atau dikecualikan oleh Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Lintong Oloan Siahaan (2006) mengatakan bahwa Pemerintah sebagai pelayan ( public service ) mempunyai kekuasaan ( power ) untuk melaksanakan tugas pelayanannya tadi, yang apabila disalahgunakan akan menjadi fatal akibatnya dari segi hukum. Untuk itu perlu adanya kontrol, yang dengan demikian kemungkinan akan adanya penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan dan lain-lain dapat dihindari atau diperkecil kemungkinan. Di dalam literatur yang lain beliau menyebutkan bahwa kontrol yuridis merupakan bagian dari kontrol lain-lainnya terhadap pemerintah seperti kontrol politis, kontrol melalui tromol-tromol pos, kontrol intern administrasi, kontrol ekstern organisasi/lembaga baik yang struktural maupun non struktural (Lintong Oloan Siahaan, 2005). Selanjutnya sebagai dasar untuk melakukan pengujian terhadap keputusan diskresi, Pengadilan Tata Usaha Negara yang akan diamanatkan oleh pasal 1 angka 10 Undang- undang Peradilan Tata Usaha Negara, pasal 1 angka 18 dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintah dan atau Badan Hukum lainnya yang menggunakan 46 diskresi dapat diuji melalui gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya mengenai dasar pengujian Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa suatu perkara termasuk di dalamnya adalah terhadap keputusan yang berupa keputusan diskresi adalah pertama-tama dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata;
Bahwa imunitas pejabat tidak dapat digugat melalui PTUN sebagaimana dirumuskan pasal 27 ayat (3) Perppu jelas bertentangan dengan prinsip Hakim mengadili berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan prinsip Hakim memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini juga dirumuskan dalam: Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 59. Bahwa dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan Permohonan tersebut, PARA PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 47 Berdasarkan uraian-uraian PEMOHON diatas kiranya Yang Mulia Ketua/Wakil Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Rl berkenan untuk menetapkan dan memutuskan: PETITUM 1. Menerima permohonan PARA PEMOHON seluruhnya;
Menyatakan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “ iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan “tidak dimaknai “apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme, serta tidak melanggar norma kepatutan , norma susila dan norma agama” 4. Menyatakan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, 48 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; _ATAU; _ Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, _mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); _ __ [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-29 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Akta pendirian Notaris Ikke Lucky A, SH Nomor: 175 tanggal 30 April 2007;
Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Ormas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI):
424.324.7- 532.000 tgl 25-11-2011;
Bukti P-3 : Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri No: 01-00-00/0115/D.III.4/XI/2012 tgl 9 November 2012;
Bukti P-4 : Fotokopi Akta Pendirian Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, No. 19, tanggal 22 Februari 2014, yang dibuat oleh Eret Hartanto, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-1158.AH.01.04.TAHUN 2014, tertanggal 04 Maret 2014;
Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pendirian Lembaga Kerukunan Masayarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) Nomor 31, tanggal 30 Desember 2019, dibuat oleh Eret Hartanto, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pendirian LP3HI Nomor 01, Tanggal 6 September 2014 dibuat oleh Hafid, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Nomor: 01-00- 00/001/I/2020, tanggal 6 Januari 2020; 49 9. Bukti P-9 : Fotokopi Akta Pendirian PEKA No. 02, Tanggal 25 Oktober 2016 yang dibuat oleh Hafid, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-0077592.AH.01.07.TAHUN 2016, tertanggal 04 November 2016;
Bukti P-11 : Fotokopi KTP Boyamin;
Bukti P-12 : Fotokopi KTP Komaryono;
Bukti P-13 : Fotokopi KTP Arif Sahudi;
Bukti P-14 : Fotokopi KTP Marselinus Edwin Hardian, S.H.;
Bukti P-15 : Fotokopi KTP Roberto Bellarmino Raynaldy Hardian;
Bukti P-16 : Fotokopi KTP Sapto Dumadi Ragil Raharjo, S.H.;
Bukti P-17 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan;
Bukti P-18 : Fotokopi Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman 826;
Bukti P-19 : Fotokopi KTP Abdul Rochim;
Bukti P-20 : Fotokopi KTP Prijatno;
Bukti P-21 : Fotokopi KTP Emilia Sulistiawati;
Bukti P-22 : Fotokopi SIM A Kurniawan Adi Nugroho, S.H.;
Bukti P-23 : Fotokopi KTP Utomo Kurniawan;
Bukti P-24 : Fotokopi KTP Dwi Nurdiansyah Santoso;
Bukti P-25 : Fotokopi KTP Imron Supomo, S.H.;
Bukti P-26 : Fotokopi Salinan Putusan Praperadilan Nomor 15/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
Bukti P-27 : Fotokopi Salinan Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; 50 28. Bukti P-28 : Fotokopi Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2008/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
Bukti P-29 : Fotokopi Putusan Nomor 2042/Pid.B/2001/PN.Jkt.Pst. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atas nama Terpidana Paul Soetopo Tjokronegoro, S.E., M.E., M.PE. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 20 Mei 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna pada tanggal 12 Mei 2020 telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selanjutnya Presiden pada tanggal 16 Mei 2020 telah mengesahkan Perpu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020. perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. [2.4] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara 51 Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disebut Perpu 1/2020) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah perlu mengutip kembali Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, sebagaimana telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014. Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang dalam pertimbangannya, antara lain, pada Paragraf [3.13] menyatakan, “...Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR 52 untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang”. [3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan dalam permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 yang pada saat pengajuan permohonan dan pada sidang pertama Mahkamah dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Perpu 1/2020 belum disetujui atau tidak disetujui oleh DPR maka Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu 1/2020. Kedudukan Hukum para Pemohon [3.4] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), oleh karena Mahkamah telah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang menguji konstitusionalitas Perpu maka ketentuan tentang kedudukan hukum para Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang juga berlaku dalam pengujian konstitusionalitas Perpu; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara; 53 Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang, in casu Perpu, terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada Paragraf [3.5] dan Paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon I, Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Ikke Lucky A, S.H. Nomor 175 tanggal 30 April 2007 dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukoharjo Nomor 8/2007/PN.SKH. tanggal 3 Mei 2007 yang berdasarkan Pasal 4 54 Akta Pendirian memiliki maksud dan tujuan membantu Pemerintah dan Negara dalam bidang pemberdayaan masyarakat untuk menegakkan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia serta mencegah dan memberantas segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme [bukti P-1]. Pemohon I juga memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP [bukti P-2] dan terdaftar sebagai Organisasi Masyarakat di Kementerian Dalam Negeri [bukti P-3]. Pemohon I dalam permohonan ini diwakili oleh Boyamin Bin Saiman selaku Koordinator dan Pendiri, Komaryono, S.H. selaku Deputi, dan Abdul Rochim selaku Bendahara, kesemuanya adalah badan pengurus perkumpulan yang berdasarkan Pasal 12 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.2] Bahwa Pemohon II, Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, adalah yayasan berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 yang dibuat dihadapan Notaris Eret Hartanto, S.H., Nomor 19, tanggal 22 Februari 2014 yang berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Akta Pendirian mempunyai maksud, tujuan, dan kegiatan di bidang sosial dan kemanusian [bukti P-4]. Akta pendirian tersebut kemudian disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-1158.AH.01.04.TAHUN 2014, tertanggal 04 Maret 2014 [bukti P-5]. Pemohon II dalam permohonan ini diwakili oleh Boyamin Bin Saiman selaku Ketua, Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Sekretaris, dan Prijatno selaku Bendahara, kesemuanya adalah pengurus yang berdasarkan Pasal 16 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.3] Bahwa Pemohon III, Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Lembaga Kemasyarakatan Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Eret Hartanto, S.H., Nomor 31, tanggal 30 Desember 2019, yang berdasarkan Pasal 4 Akta Lembaga mempunyai maksud dan tujuan membantu pemerintah dan Negara Republik Indonesia dalam bidang pemberdayaan masyarakat untuk bersama- sama secara rukun untuk menegakkan keadilan hukum dan pelayanan pemerintahan dengan prinsip mengabdi pemenuhan hak asasi manusia guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat [bukti P-6]. Pemohon III dalam 55 permohonan ini diwakili oleh Marselinus Edwin Hardian, S.H. selaku Ketua, Roberto Bellarmino Raynaldy Hardian selaku Sekretaris, dan Emilia Sulistiawati selaku Bendahara, kesemuanya adalah termasuk pengurus yang berdasarkan Pasal 7 Akta Lembaga adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Lembaga Kemasyarakatan Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.4] Bahwa Pemohon IV, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), adalah organisasi kemasyarakatan berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Hafid, S.H., M.H., Nomor 01, tanggal 06 September 2014, yang berdasarkan Pasal 3 Akta Lembaga memiliki maksud dan tujuan salah satunya mengawasi/memantau/mengontrol pelaksanaan Penegakan Hukum yang dilakukan oleh Pejabat yang berwenang [bukti P-7]. Pemohon IV juga telah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan di Kementerian Dalam Negeri [bukti P-8]. Pemohon IV dalam permohonan ini diwakili oleh Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Ketua, Kurniawan Adi Nugroho, S.H. selaku Wakil Ketua, Utomo Kurniawan selaku Sekretaris, dan Dwi Nurdiansyah Santoso selaku Bendahara, kesemuanya adalah badan pengurus yang berdasarkan Pasal 10 Akta Lembaga adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.5] Bahwa Pemohon V, Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan yang dibuat dihadapan Hafid, S.H., M.H., Nomor 02 tanggal 25 Oktober 2016 yang berdasarkan Pasal 8 Akta Pendirian memiliki maksud dan tujuan sebagai wadah bagi mereka yang peduli terhadap nilai-nilai negara hukum dan martabat serta hak-hak asasi manusia pada umumnya dan meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat pada khususnya, baik kepada pejabat maupun warga negara biasa, agar supaya mereka sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai subjek hukum [bukti P-9]. Akta pendirian tersebut kemudian disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU- 56 0077592.AH.01.07.TAHUN 2016, tertanggal 04 November 2016 [bukti P-10]. Pemohon V dalam permohonan ini diwakili oleh Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Ketua, Sapto Dumadi Ragil Raharjo, S.H. selaku Sekretaris, dan Imron Supomo, S.H. selaku Bendahara, kesemuanya adalah pengurus yang berdasarkan Pasal 26 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.6] Bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.7.1] sampai dengan paragraf [3.7.5] di atas telah ternyata keseluruhan Pemohon adalah badan hukum (untuk selanjutnya disebut para Pemohon); [3.7.7] Bahwa dalam menjelaskan anggapannya perihal kerugian hak konstitusionalnya yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan atau norma Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian, yaitu hak-hak sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 23E, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 UUD 1945 yang disebabkan oleh norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020, para Pemohon menerangkan sebagai berikut:
menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut KKSK [sic!] akan menjadi kebal hukum, tidak dapat dituntut secara hukum baik perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan kerugian negara, sehingga kekebalan tersebut menciderai rasa keadilan seluruh rakyat termasuk para Pemohon;
menurut para Pemohon, hak-hak konstitusionalnya yang dirugikan akibat berlakunya Pasal 27 Perpu 1/2020 tidak akan terjadi dengan dikabulkannya permohonan yakni hak para Pemohon atas hidup dalam suatu bentuk negara yang berdasar hukum, hak persamaan hukum, hak kontrol para Pemohon melalui DPR, hak menikmati keuangan secara adil dan sejahtera, dan hak memperoleh keadilan berdasar proses hukum yang adil, independen dan terbuka; Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya di atas, Mahkamah berpendapat bahwa, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian, bahwa para 57 Pemohon telah secara spesifik menjelaskan hak konstitusionalnya yang oleh para Pemohon dianggap dirugikan karena berlakunya Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020, di mana telah terlihat pula kausalitas anggapan para Pemohon perihal potensi kerugian hak konstitusional dimaksud dengan norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian sehingga jika permohonan dikabulkan, kerugian demikian tidak akan terjadi. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020. [3.8] Menimbang bahwa meskipun para Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , namun sebelum mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan fakta hukum baru terkait permohonan pengujian Pasal 27 Perpu 1/2020 a quo . Fakta hukum baru demikian berupa adanya perubahan status hukum Perpu 1/2020; [3.9] Menimbang bahwa dalam persidangan pemeriksaan pada tanggal 20 Mei 2020 Mahkamah mengagendakan untuk meminta keterangan kepada Presiden dan DPR perihal persetujuan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang. Dalam sidang pemeriksaan tersebut kuasa hukum Presiden menerangkan Perpu 1/2020 telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang. Bahwa, menurut kuasa hukum Presiden, Perpu 1/2020 yang mendapat persetujuan DPR untuk menjadi undang-undang dan kemudian telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 16 Mei 2020. Selanjutnya, diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 18 Mei 2020 menjadi Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangan tersebut, kuasa hukum Presiden telah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian 58 Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D- 1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020, perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang- undangan Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut di atas Mahkamah meyakini bahwa Perpu 1/2020 telah menjadi UU 2/2020; [3.10] Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU 2/2020 maka Perpu 1/2020 sudah tidak lagi ada secara hukum. Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon yang diajukan untuk pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 telah kehilangan objek; [3.11] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , namun disebabkan permohonan para Pemohon telah kehilangan objek, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain yang terkait dengan permohonan tidak pula dipertimbangkan.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon kehilangan objek; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang 59 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili , Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima belas, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.57 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dibantu oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, 60 ttd. Aswanto ttd. Wahiduddin Adams ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Syukri Asy’ari
Tata Cara Pengelolaan Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara
Relevan terhadap
PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PEMBIAYAAN PROYEK MELALUI PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas be ban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 4. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang selanjutnya disebut Menteri Perencanaan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. 5. Kementerian Keuangan adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 6. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang selanjutnya disebut Kementerian Perencanaan adalah kementerian yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan. 7. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 8. Proyek adalah kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang merupakan bagian dari program yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga yang pembiayaannya bersumber dari penerbitan SBSN dalam APBN. 9. Kementerian Negara yang selanjutnya Kementerian adalah perangkat Pemerintah membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. disebut yang jdih.kemenkeu.go.id 10. Lembaga adalah organisasi non Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. 11. Pemrakarsa Proyek adalah Kementerian/Lembaga dan/atau penerima penerusan SBSN yang menyampaikan usulan Proyek. 12. Indikasi Proyek adalah usulan Proyek yang disampaikan oleh Pemrakarsa Proyek se bagai bagian dari rancangan awal rencana kerja Pemerintah Kementerian/Lembaga. 13. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disingkat DJPPR adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi pengelolaan pembiayaan dan risiko. 14. Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi penganggaran. 15. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pimpinan unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi pengelolaan pembiayaan dan risiko. 16. Batas Maksimal Penerbitan adalah nilai maksimal nominal penerbitan SBSN yang digunakan untuk pembiayaan Proyek. 1 7. Daftar Prioritas Proyek adalah daftar Proyek yang berdasarkan penilaian Kementerian Perencanaan dinyatakan siap dan layak untuk diusulkan pembiayaannya melalui SBSN pada tahun anggaran tertentu kepada Menteri. 18. Rencana Penarikan Dana adalah dokumen yang memuat proyeksi penarikan dana Proyek selama masa pelaksanaan Proyek yang disusun oleh Pemrakarsa Proyek. 19. Rupiah Murni Pendamping SBSN yang selanjutnya disingkat RMP SBSN adalah dana rupiah murni yang disediakan Pemerintah untuk mendampingi alokasi pembiayaan Proyek yang bersumber dari hasil penerbitan SBSN. 20. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 21. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dan digunakan se bagai acuan oleh pengguna anggaran/ kuasa pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. 22. Pemantau Proyek SBSN yang selanjutnya disebut Pemantau Proyek adalah seluruh pihak baik individu I\ jdih.kemenkeu.go.id maupun institusi yang melakukan pemantauan dan/atau kegiatan kunjungan atas pelaksanaan Proyek di lokasi pelaksanaan Proyek. 23. Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha yang selanjutnya disingkat KPBU adalah kerjasama antara Pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. 24. Rekening Khusus SBSN adalah rekening yang dibuka oleh Menteri pada Bank· Indonesia atau bank umum syariah untuk menampung dan menyalurkan dana hasil penerbitan SBSN. BAB II PERSIAPAN PEMBIAYAAN PROYEK MELALUI PENERBITAN SBSN Pasal 2 (1) Pemerintah dapat menerbitkan SBSN untuk membiayai Proyek. (2) Kewenangan penerbitan SBSN untuk membiayai Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. (3) Penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk Proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam APBN. Pasal 3 (1) Sebelum dimulainya penerbitan SBSN untuk pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Keuangan c.q. DJPPR menyiapkan langkah- langkah koordinasi terkait aspek kebijakan dalam rangka penyiapan rencana pembiayaan Proyek untuk tahun anggaran yang direncanakan, yang meliputi:
aspek prioritas pembiayaan Proyek untuk tahun anggaran berkenaan sesuai rencana pembangunan jangka menengah nasional dan/atau dokumen perencanaan pembangunan lainnya;
aspek belanja dan penganggaran untuk pembiayaan Proyek pada tahun anggaran berkenaan, termasuk indikasi atau prakiraan ketersediaan anggaran untuk tahun anggaran yang direncanakan; dan
aspek pengelolaan pembiayaan Proyek, termasuk evaluasi pembiayaan Proyek tahun anggaran sebelumnya dan rencana kerja pembiayaan Proyek untuk tahun anggaran yang direncanakan. (2) Koordinasi terkait aspek kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat pada jdih.kemenkeu.go.id triwulan IV sebelum tahun pengalokasian Proyek dalam APBN. (3) Koordinasi terkait aspek kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan oleh Kementerian Keuangan c.q. DJPPR bersama dengan:
Kementerian Perencanaan terkait aspek prioritas pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
DJA terkait aspek belanja dan penganggaran bagi pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Hasil koordinasi terkait aspek kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman dalam operasional penyiapan rencana pembiayaan Proyek, yang meliputi:
bahan masukan dan pertimbangan dalam rapat koordinasi penyusunan bahan pagu rancangan APBN untuk penyiapan rencana pembiayaan Proyek tahun anggaran yang direncanakan; dan
bahan masukan dan pertimbangan dalam penyusunan rencana kerja program pengelolaan pembiayaan Proyek untuk tahun anggaran yang direncanakan. Pasal 4 (1) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyampaikan Indikasi Proyek kepada Menteri dan Menteri Perencanaan paling lambat pada minggu kedua bulan Januari dalam tahun pengalokasian Proyek dalam APBN. (2) Indikasi Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
Proyek yang bersumber dari daftar rencana Proyek jangka menengah yang telah disusun oleh Kementerian/ Lembaga; dan
komitmen Proyek tahun jamak Kementerian/ Lembaga bersangkutan yang belum terselesaikan. (3) Indikasi Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk proyek yang telah dan/ a tau akan diusulkan untuk dibiayai melalui sumber dana selain SBSN. (4) Dalam hal Proyek penerusan SBSN, Indikasi Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disampaikan oleh pemimpin PPA BUN yang bertanggung jawab atas kegiatan pengelolaan penerusan SBSN. Pasal 5 (1) Sebelum dimulainya penyusunan bahan pagu rancangan APBN, Kementerian Keuangan c.q. DJPPR menyelenggarakan rapat koordinasi dalam rangka:
menyampaikan pokok-pokok kebijakan dalam pembiayaan Proyek untuk tahun anggaran yang direncanakan sesuai hasil koordinasi terkait aspek ke bij akan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
mendapatkan konfirmasi atas Indikasi Proyek yang disampaikan oleh Kementerian/Lembaga se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan jdih.kemenkeu.go.id c. menyampaikan tindak lanjut untuk peny1apan rencana pengganggaran Proyek dalam rancangan APBN. (2) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh DJPPR bersama DJA, Kementerian Perencanaan, dan Kementerian/Lembaga calon Pemrakarsa Proyek. BAB III BATAS MAKSIMAL PENERBITAN Pasal 6 (1) DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani strategi dan portofolio pembiayaan menyusun Batas Maksimal Penerbitan. (2) Batas Maksimal Penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan:
kebutuhan riil pembiayaan Proyek berdasarkan Indikasi Proyek se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
kemampuan membayar kembali;
batas maksimal kumulatif utang; dan
risiko utang. (3) Direktur Jenderal mengajukan Batas Maksimal Penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendapatkan penetapan Menteri, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Menteri menerima Indikasi Proyek dari Kementerian/Lembaga. (4) Batas Maksimal Penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Menteri kepada Menteri Perencanaan.
(2) (3) BAB IV PENGANGGARAN PEMBIAYAAN PROYEK MELALUI PENERBITAN SBSN Bagian Kesatu Penyusunan Pagu Indikatif Rancangan APBN Pasal 7 Pada triwulan I tahun pengalokasian Proyek dalam APBN, Kementerian Keuangan c.q. DJPPR menyelenggarakan rapat koordinasi/trilateral meeting I untuk menyusun bahan pagu indikatif Rancangan APBN yang bersumber dari SBSN. Rapat koordinasi/ trilateral meeting I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh DJPPR bersama DJA, Kementerian Perencanaan, dan Kementerian/ Lembaga calon Pemrakarsa Proyek. Kernen terian / Lem baga cal on Pemrakarsa Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
Kementerian/Lembaga yang telah menyampaikan Indikasi Proyek se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan/atau jdih.kemenkeu.go.id b. Kementerian/Lembaga yang telah menyampaikan usulan secara tertulis untuk pembiayaan Proyek kepada Menteri dan/atau Menteri Perencanaan. Pasal 8 (1) Bahan pagu indikatif rancangan APBN se bagaimana dimaksud dalam Pasal 7 disusun dengan mempertimbangkan:
Batas Maksimal Penerbitan;
kesesuaian dan kesiapan pelaksanaan Proyek; dan
kinerja penyelenggaraan Proyek dari Kementerian/ Lembaga bersangkutan periode sebelumnya. (2) Kesesuaian dan kesiapan pelaksanaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikonfirmasi berdasarkan Indikasi Proyek yang disampaikan oleh Kementerian/Lembaga, untuk paling sedikit aspek:
kesesuaian Proyek dengan prioritas nasional, fokus kebijakan fiskal, urgensi, dan aspek strategis dari pembangunan Proyek;
kesiapan pelaksanaan Proyek, yang mencakup paling sedikit:
kesiapan lahan Proyek, dengan kriteria tidak memiliki permasalahan hukum termasuk permasalahan status kepemilikan;
organisasi kerja untuk pelaksanaan Proyek, termasuk kesiapan untuk tender/ pengadaan barang dan jasa;
rencana jadwal waktu pelaksanaan Proyek, khususnya: a) waktu pelaksanaan tender/ pengadaan untuk fisik Proyek/konstruksi; b) waktu dimulainya pelaksanaan fisik Proyek/konstruksi; dan c) waktu penyelesaian fisik Proyek/ konstruksi. 4) aspek administrasi dan perizinan termasuk rekomendasi teknis dari Lembaga yang berwenang dalam hal diperlukan; dan
output dan outcome yang akan dihasilkan dari pelaksanaan Proyek, dan dampaknya terhadap pencapaian target pembangunan dan/atau perekonomian nasional. (3) Kesesuaian Proyek dengan prioritas nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mempertimbangkan prioritas pembiayaan Proyek sesuai hasil koordinasi terkait aspek kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (4) Tender/pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2) harus sudah mulai dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pelaksanaan anggaran untuk Proyek ditetapkan. jdih.kemenkeu.go.id (5) Dokumen penzman dan/atau rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 4) harus sudah tersedia pada saat dokumen pelaksanaan anggaran untuk Proyek ditetapkan. Pasal 9 (1) Kinerja penyelenggaraan Proyek dari Kementerian/ Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, meliputi:
tingkat realisasi penyerapan dana Proyek;
tingkat penyelesaian fisik Proyek;
aspek penatausahaan, pengawasan, dan pemantauan atas pelaksanaan Proyek;
aspek pengelolaan hasil pembiayaan Proyek; dan
pemenuhan kewajiban pengembalian untuk Proyek penerusan SBSN. (2) Dalam hal kinerja penyelenggaraan Proyek dari Kementerian/ Lembaga se bagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki catatan yang baik, Kementerian/Lembaga dimaksud dapat diusulkan untuk memperoleh penambahan alokasi anggaran Proyek. (3) Dalam hal kinerja penyelenggaraan Proyek dari Kementerian/ Lembaga se bagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki catatan kinerja yang tidak baik, Kementerian/Lembaga dimaksud dapat diusulkan untuk memperoleh pengurangan alokasi anggaran Proyek dan/atau bentuk sanksi yang lain termasuk penundaan pemberian alokasi anggaran Proyek. (4) Penundaan pemberian alokasi anggaran Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada satuan kerja Kementerian/Lembaga yang memiliki catatan kinerja tidak baik dengan disertai adanya Proyek dengan status bermasalah dan/atau mangkrak termasuk mengalami permasalahan hukum yang belum terselesaikan pada saat dilaksanakarinya penyusunan bahan pagu rancangan APBN untuk tahun berkenaan. Pasal 10 (1) Direktur Jenderal menyampaikan hasil rapat koordinasi untuk menyusun bahan pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) kepada:
Direktur J enderal Anggaran se bagai bahan penyusunan pagu indikatif rancangan APBN; dan
Deputi bidang pendanaan pembangunan pada Kementerian Perencanaan dan Deputi bidang lain yang terkait pada Kementerian Perencanaan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan Daftar Prioritas Proyek. (2) Bahan penyusunan pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai pagu indikatif rancangan APBN dengan mempertimbangkan kondisi keuangan negara dan/atau aspek kebijakan fiskal yang terkait penyusunan rancangan APBN. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 11 (1) Dalam hal kondisi keuangan negara dan/atau aspek fiskal tidak memungkinkan untuk dipenuhinya seluruh usulan bahan pagu indikatif se bagaimana dimaksud dalam Pasal 10, bahan pagu indikatif rancangan APBN dapat dilakukan penyesuaian. (2) Penyesuaian usulan bahan pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu dilakukan pembahasan dalam rapat koordinasi perencanaan anggaran yang diselenggarakan oleh DJA dan dihadiri paling sedikit oleh Direktur Jenderal, Direktur Jenderal Anggaran, Deputi bidang pendanaan pembangunan pada Kementerian Perencanaan, dan Deputi bidang lain yang terkait pada Kementerian Perencanaan. (3) Penyesuaian usulan bahan pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
berdasarkan hasil rapat koordinasi perencanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DJA menyampaikan kepada DJPPR permintaan tertulis mengenai perlunya penyesuaian usulan bahan pagu indikatif rancangan APBN. b. berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, DJPPR menyelenggarakan rapat koordinasi yang dihadiri Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan, dan Kementerian/Lembaga calon Pemrakarsa Proyek dalam rangka penyesuaian bahan pagu indikatif rancangan APBN. c. Direktur Jenderal menyampaikan hasil penyesuaian bahan pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada:
Direktur Jenderal Anggaran untuk ditetapkan sebagai pagu indikatif rancangan APBN; dan
Deputi bidang pendanaan pembangunan pada Kementerian Perencanaan dan Deputi bidang lain yang terkait pada Kementerian Perencanaan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan Daftar Prioritas Proyek. Pasal 12 (1) Proyek yang telah masuk dalam usulan bahan pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat dilakukan penyesuaian dan/ a tau perubahan oleh Kementerian/Lembaga calon Pemrakarsa Proyek sampai dengan sebelum ditetapkannya alokasi pagu anggaran rancangan APBN, dengan ketentuan:
usulan penyesuaian dan/ a tau perubahan usulan Proyek disampaikan melalui surat pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Menteri dan Menteri Perencanaan; jdih.kemenkeu.go.id b. usulan penyesuaian dan/atau perubahan usulan Proyek dilakukan pembahasan dalam rapat koordinasi untuk menyusun bahan pagu anggaran rancangan APBN yang bersumber dari SBSN;
usulan penyesuaian dan/ a tau perubahan usulan Proyek tidak menyebabkan penambahan jumlah nilai pagu indikatif rancangan APBN untuk Kementerian/ Lembaga bersangkutan; dan
usulan penyesuaian dan/ a tau perubahan usulan Proyek dimungkinkan adanya pergeseran pagu rancangan APBN antar unit eselon I tanpa menambah jumlah nilai pagu indikatif untuk Kementerian/ Lembaga bersangkutan. (2) Penyesuaian dan/atau perubahan usulan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa perubahan atas:
lokasi pelaksanaan Proyek;
ruang lingkup Proyek;
pengurangan atau penambahan Proyek; dan/atau
pengurangan atau penambahan paket pekerjaan Proyek. Bagian Kedua Penyusunan Pagu Anggaran Rancangan APBN Pasal 13 (1) Pada triwulan II tahun pengalokasian Proyek dalam APBN, Kementerian Keuangan c.q. DJPPR menyelenggarakan rapat koordinasi/ trilateral meeting II untuk menyusun bahan pagu anggaran rancangan APBN yang bersumber dari SBSN. (2) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh DJPPR bersama DJA, Kementerian Perencanaan, dan Kementerian/Lembaga calon Pemrakarsa Proyek yang telah masuk dalam pagu indikatif rancangan APBN se bagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). (3) Penyusunan bahan pagu anggaran rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan di antaranya:
Batas Maksimal Penerbitan;
pagu indikatif rancangan APBN untuk pembiayaan Proyek;
kesiapan pelaksanaan Proyek; dan
indikasi pembiayaan Proyek yang disampaikan oleh Kementerian Perencanaan. (4) Kesiapan pelaksanaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dikonfirmasi kepada Kementerian/ Lembaga berdasarkan rincian Proyek yang sudah ada dalam pagu indikatif rancangan APBN, untuk paling sedikit aspek:
dokumen administrasi un tuk kesiapan lahan Proyek; jdih.kemenkeu.go.id b. rekomendasi teknis, perizinan, dan dokumen administrasi lain yang terkait untuk pelaksanaan pembangunan Proyek;
organisasi kerja pelaksanaan Proyek, termasuk kesiapan untuk tender/ pengadaan barang dan jasa;
rencana jadwal waktu pelaksanaan Proyek, khususnya:
waktu pelaksanaan tender/ pengadaan un tuk fisik Proyek/konstruksi;
waktu dimulainya pelaksanaan fisik Proyek/ konstruksi; dan
waktu penyelesaian fisik Proyek/ konstruksi;
Rencana Penarikan Dana yang memuat target waktu dan jumlah penarikan dana untuk setiap bulan; dan
penjelasan dalam hal terdapat penyesuaian dan/atau perubahan usulan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (5) Dalam rangka mendukung kesiapan pelaksanaan Proyek, Kementerian/Lembaga calon Pemrakarsa Proyek menyusun matriks kesiapan pelaksanaan Proyek yang memuat informasi mengenai aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai dengan huruf e sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6) Matriks kesiapan pelaksanaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan oleh Kementerian/ Lembaga sebagai bagian dari kelengkapan rapat koordinasi penyusunan bahan pagu anggaran rancangan APBN. (7) Rencana Penarikan Dana se bagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e disusun sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 14 (1) Direktur Jenderal menyampaikan hasil rapat koordinasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada:
Direktur Jenderal Anggaran sebagai bahan penyusunan pagu anggaran rancangan APBN; dan
Deputi bidang pendanaan pembangunan pada Kementerian Perencanaan dan Deputi bidang lain yang terkait pada Kementerian Perencanaan, sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan Daftar Prioritas Proyek. (2) Dalam hal indikasi pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf d belum disampaikan oleh Kementerian Perencanaan, penyusunan bahan pagu anggaran rancangan APBN mengacu pada pagu indikatif rancangan APBN dan/atau bahan pagu anggaran rancangan APBN hasil rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bahan penyusunan pagu anggaran rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai pagu anggaran rancangan APBN dengan jdih.kemenkeu.go.id mempertimbangkan kondisi keuangan negara dan/atau aspek kebijakan fiskal yang terkait penyusunan rancangan APBN. Pasal 15 (1) Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek dapat mengusulkan alokasi dana RMP SBSN untuk mendukung pelaksanaan Proyek. (2) Dana RMP SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
alokasi belanja barang yang merupakan satu kesatuan dengan Proyek; dan/atau
alokasi belanja modal, termasuk belanja modal aset tidak berwujud yang merupakan satu kesatuan dengan pencapaian output Proyek. (3) Dana RMP SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatasi maksimal sebesar 5% (lima persen) dari total alokasi SBSN pada Proyek yang bersangkutan. (4) Dana RMP SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari hasil penerbitan SBSN dan dikelola dalam Rekening Khusus SBSN. (5) Dana RMP SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diusulkan pengalokasiannya dalam APBN setelah mendapatkan rekomendasi dari unit teknis yang memiliki kewenangan. (6) Rekomendasi dari unit teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat disusun dalam bentuk reviu anggaran yang diberikan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah Kementerian/ Lembaga Pemrakarsa Proyek. (7) Tata cara pengusulan, pengalokasian, pembayaran, dan pengelolaan Proyek yang dibiayai melalui RMP SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti tata cara pengusulan, pengalokasian, pembayaran, dan pengelolaan Proyek yang dibiayai melalui SBSN. Bagian Ketiga Pengalokasian Anggaran Proyek Pasal 16 (1) Menteri mengalokasikan anggaran Proyek dalam rancangan APBN atau rancangan APBN perubahan berdasarkan Daftar Prioritas Proyek SBSN yang disampaikan oleh Menteri Perencanaan. (2) Dalam hal Daftar Prioritas Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan oleh Menteri Perencanaan kepada Menteri, pengalokasian anggaran Proyek dalam rancangan APBN mengacu pada pagu anggaran rancangan APBN se bagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3). (3) Pengalokasian anggaran Proyek dalam rancangan APBN atau rancangan APBN perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Proyek yang pendanaannya bersumber dari penerusan SBSN dilakukan setelah diterbitkannya persetujuan penerusan SBSN oleh Menteri. jdih.kemenkeu.go.id (4) Setelah Undang-Undang APBN ditetapkan, Kementerian/ Lembaga menyusun rencana kerja dan anggaran untuk Proyek yang dibiayai melalui sumber dana SBSN sebagai bagian dari rencana kerja dan anggaran Kementerian/ Lembaga. (5) Rencana kerja dan anggaran untuk Proyek yang dibiayai melalui sumber dana SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di antaranya memuat:
nama dan lokasi satuan kerja Kementerian/Lembaga pelaksana Proyek;
nama dan lokasi Proyek;
nilai alokasi Proyek;
ruang lingkup Proyek; dan
rincian paket pekerjaan/kegiatan Proyek, sesuai bahan penyusunan pagu anggaran rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3). (6) Alokasi anggaran Proyek yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Pasal 17 (1) DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani pengelolaan SBSN memberikan nomor kode pembiayaan/ register pembiayaan Proyek berdasarkan pagu anggaran yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3). (2) Direktur Jenderal menyampaikan nomor kode pembiayaan/register sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk proses penerbitan dokumen pelaksanaan anggaran. Pasal 18 (1) Tata cara pengalokasian pagu anggaran Proyek dalam DIPA Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penganggaran. (2) Pengalokasian pagu anggaran Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk pembiayaan tahun jamak (multi years) atau tahun tunggal (single year). Pasal 19 (1) Alokasi anggaran Proyek yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dapat dilakukan perubahan pada tahun berjalan melalui revisi dan/atau rekomposisi anggaran Proyek. (2) Revisi dan/ a tau rekomposisi anggaran Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam rangka:
lanjutan/luncuran pelaksanaan Proyek tahun anggaran sebelumnya; jdih.kemenkeu.go.id b. pemanfaatan sisa dana kontraktual dan/atau sisa dana Proyek tahun anggaran berkenaan yang sudah tidak digunakan; dan/atau
rekomposisi pendanaan antartahun anggaran untuk percepatan atas pelaksanaan Proyek tahun jamak. (3) Revisi dan/atau rekomposisi anggaran Proyek se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentlian peraturan perundang-undangan di bidang penganggaran. BABV PELAKSANAAN DAN PENGELOLAAN KINERJA PROYEK Pasal 20 (1) Kernen terian / Lem bag a Pemrakarsa Proyek melaksanakan Proyek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pelaksanaan APBN. (2) Proyek dengan pembiayaan tahun jamak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dapat terdiri dari paket pekerjaan yang pelaksanaannya bersifat tahunan dan/ a tau bersifat tahun jamak. (3) Proyek dengan pembiayaan tahun tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) hanya terdiri dari paket pekerjaan yang pelaksanaannya bersifat tahunan. Pasal 21 (1) Penggunaan jenis kontrak untuk pelaksanaan paket pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penganggaran. (2) Jenis kontrak untuk pelaksanaan paket pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa jenis kontrak tahunan atau jenis kontrak tahun jamak. (3) Paket pekerjaan tahunan dalam Proyek dengan pembiayaan tahun jamak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) diberikan nomor kode pembiayaan/ register Proyek tahun jamak. (4) Dalam hal paket pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak terselesaikan sampai dengan akhir masa kontrak dalam tahun anggaran berkenaan, penyelesaian sisa pekerjaannya dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya sepanjang bukan merupakan pembiayaan tahun jamak periode tahun terakhir. (5) Penyelesaian sisa pekerjaan untuk paket pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui mekanisme pemberian kesempatan untuk penyelesaian pekerjaan Proyek paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan. (6) Tata cara penyelesaian pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pembayaran kegiatan yang dibiayai melalui penerbitan SBSN. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 22 Alokasi dana non kontraktual pada Proyek dengan jenis kontrak tahun jamak se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) yang tidak dan/atau belum direalisasikan pada tahun anggaran berkenaan dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya sesuai dengan periode kontrak tahunjamak Proyek. Pasal 23 (1) Dalam rangka mendukung pencapaian target kinerja pelaksanaan Proyek, Kernen terian/ Lembaga Pemrakarsa Proyek dapat melakukan langkah pengelolaan kinerja melalui:
pemanfaatan sisa dana kontraktual dan/atau sisa dana Proyek yang sudah tidak digunakan; dan/atau
percepatan pelaksanaan Proyek tahun jamak. (2) Pemanfaatan sisa dana kontraktual dan/atau sisa dana Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, di antaranya dilakukan untuk:
pekerjaan tarn bah ( contract change _order); _ b. optimalisasi sisa anggaran;
percepatan pembiayaan;
percepatan pelaksanaan Proyek kontrak tahun jamak;
penyesuaian harga atau eskalasi Proyek kontrak tahun jamak;
penyesuaian harga atau eskalasi khusus yang disebabkan perubahan kebijakan perpajakan atau kenaikan harga bahan bakar minyak; dan/atau
perbaikan cacat mutu dan/atau penanganan situasi darurat (force majeure). (3) Percepatan pelaksanaan Proyek tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan melalui pergeseran anggaran dalam rangka rekomposisi pendanaan antartahun anggaran. (4) Pergeseran anggaran untuk percepatan pelaksanaan Proyek tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui:
peminjaman pagu; dan/atau
pemanfaatan sisa kontraktual. (5) Peminjaman pagu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
merupakan percepatan pelaksanaan Proyek kontrak tahun jamak tahun anggaran berikutnya ke tahun anggaran berkenaan; dan
alokasi anggaran untuk pelaksanaan Proyek bersumber dari penundaan pelaksanaan Proyek kontrak tahun jamak lain dari tahun anggaran berkenaan ke tahun anggaran berikutnya. (6) Pelaksanaan pemanfaatan sisa dana kontraktual dan/atau sisa dana Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan percepatan pelaksanaan Proyek tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan terlebih dahulu melakukan revisi dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penganggaran. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 24 (1) DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani pengelolaan SBSN melakukan pengelolaan kinerja pelaksanaan Proyek, yang paling sediki t beru pa:
pengelolaan atas perkembangan kinerja pelaksanaan Proyek, termasuk pengelolaan kinerja sebelum efektif berlakunya dokumen pelaksanaan anggaran/ pra DIPA;
pengelolaan atas pelaksanaan pembayaran/ pencairan dana Proyek, termasuk kesesuaian Rencana Penarikan Dana Proyek;
pengelolaan administrasi penganggaran Proyek, termasuk langkah revisi dan rekomposisi anggaran Proyek dalam rangka pemanfaatan sisa kontrak dan/atau dana tidak terserap·untuk optimalisasi dan percepatan Proyek, pelaksanaan lanjutan/luncuran Proyek, serta penundaan dan penghentian pembayaran;
pengelolaan risiko pelaksanaan anggaran Proyek termasuk mitigasi risiko kinerja penyerapan anggaran dan aspek fiskal dalam rangka penerusan SBSN;dan e. koordinasi pengelolaan dana Rekening Khusus SBSN dan/atau pembiayaan pendahuluan Proyek. (2) Dalam rangka pengelolaan kinerja pelaksanaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani pengelolaan SBSN melakukan kegiatan di antaranya:
melakukan pembekalan teknis kepada Kementerian/ Lembaga sebelum dimulainya pelaksanaan Proyek;
melakukan reviu kinerja atas pelaksanaan Proyek bersama Kementerian/Lembaga, yang dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) semester;
melakukan dialog kinerja bersama Kementerian/ Lembaga dengan kinerja pelaksanaan Proyek rendah, yang dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
melakukan peng1s1an Rekening Khusus SBSN berdasarkan Rencana Penarikan Dana Proyek dari Kementerian/Lembaga, yang dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali setiap bulan;
memfasilitasi kepada Kementerian/Lembaga dalam rangka optimalisasi dan percepatan Proyek termasuk pemanfaatan sisa kontrak dan/ a tau dana tidak terserap;
memfasili tasi kepada Kernen terian / Lem baga dalam rangka pelaksanaan langkah akhir tahun anggaran;
memfasilitasi kepada Kementerian/Lembaga dalam rangka pelaksanaan penyelesaian lanjutan/luncuran Proyek; dan
melakukan pengembalian s1sa dana Rekening Khusus SBSN. jdih.kemenkeu.go.id BAB VI PEMBIAYAAN PENGADAAN LAHAN MELALUI PENERBITAN SBSN Pasal 25 (1) Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek dapat mengusulkan alokasi pembiayaan pengadaan lahan yang akan digunakan sebagai lokasi pembangunan Proyek melalui penerbitan SBSN. (2) Alokasi pembiayaan pengadaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan pada Proyek yang bersifat tahun jamak. (3) Pembiayaan pengadaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi satu kesatuan pembiayaan Proyek. (4) Pembiayaan pengadaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk alokasi anggaran untuk ganti rugi pengadaan tanah bagi Proyek yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dan/atau melalui Lembaga lain yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Lahan yang dapat diusulkan untuk mendapatkan alokasi pembiayaan pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi kriteria kesiapan lahan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b. (6) Alokasi anggaran untuk ganti rugi pengadaan tanah bagi Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk Proyek pada tahun berjalan dapat dilakukan melalui pemanfaatan sisa dana kontraktual dan/atau sisa dana Proyek yang sudah tidak digunakan dengan terlebih dahulu melakukan revisi dokumen pelaksanaan anggaran. (7) Tata cara dan pelaksanaan pengadaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII DUKUNGAN PENGEMBANGAN PEMBIAYAAN KREATIF Pasal 26 (1) Proyek dapat diintegrasikan dan menjadi bagian dari pelaksanaan anggaran untuk proyek yang dibiayai selain melalui penerbitan SBSN (blended financing), termasuk dengan proyek KPBU, proyek dengan pendanaan dari daerah, badan usaha milik negara, dan/atau sumber dana lainnya. (2) Integrasi Proyek dengan proyek KPBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
partisipasi Pemerintah melalui belanja Kementerian/ Lembaga untuk pembangunan Proyek yang akan menjadi bagian dari paket proyek KPBU; atau
dukungan kelayakan dalam bentuk alokasi belanja Kementerian/ Lembaga untuk pelaksanaan pembangunan atau konstruksi sebagai bagian dari dukungan teknis proyek KPBU. jdih.kemenkeu.go.id (3) Integrasi Proyek dengan proyek yang dibiayai selain melalui penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) .dilaksanakan dengan ketentuan:
seluruh proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengelolaan Proyek dilakukan dengan mengikuti seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang SBSN; dan
output pembiayaan melalui sumber dana SBSN dicatat sebagai aset SBSN dan tidak dapat dipindahtangankan sampai dengan jatuh tempo SBSN. Pasal 27 (1) Menteri dapat melakukan penerusan SBSN kepada pemerintah daerah atau badan usaha milik negara. (2) Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui mekanisme:
pinjaman daerah;
pemberian pinjaman kepada badan usaha milik negara; dan
investasi pemerintah. (3) Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 28 (1) Proyek dapat dilaksanakan untuk proyek yang hasil pembiayaannya akan diserahkan kepada pihak lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Pembiayaan Proyek yang hasil pembiayaannya akan diserahkan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya untuk:
penyerahan kepada daerah guna dukungan pelaksanaan tugas pembantuan dan/atau dekonsentrasi;
pelaksanaan program hibah jalan/jembatan daerah; dan
penggantian atas aset yang berupa bangunan dan/ a tau konstruksi milik daerah yang terdampak dari proses pembangunan Proyek. (3) Tata cara atau mekanisme penyerahan objek hasil pembiayaan Proyek kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kewajiban atas fungsional dan keberlanjutan pengelolaan aset hasil pembiayaan tersebut setelah penyerahan objek hasil pembiayaan Proyek dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id BAB VIII PENATAUSAHMN,PEMANTAUAN,EVALUASIDAN PELAPORAN ATAS PEMBIAYMN PROYEK MELALUI PENERBITAN SBSN Bagian Kesatu Penatausahaan, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan oleh Pemrakarsa Proyek Pasal 29 Pemrakarsa Proyek melakukan penatausahaan Proyek, yang paling sedikit berupa:
pengelolaan administrasi terhadap:
perencanaan dan pengusulan Proyek;
pelaksanaan Proyek;
pengawasan dan pemantauan atas pelaksanaan Proyek;
pengelolaan objek hasil pembiayaan Proyek; dan
kewajiban pengembalian untuk Proyek penerusan SBSN. b. pengelolaan risiko termasuk langkah percepatan penyelesaian pelaksanaan Proyek. Pasal 30 (1) Pemrakarsa Proyek melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja Proyek yang dibiayai melalui SBSN. (2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahapan:
pelaksanaan, yang meliputi pemantauan dan evaluasi terhadap:
perkembangan realisasi penyerapan dana;
pencapaian fisik Proyek;
permasalahan yang dihadapi;
tindak lanjut yang diperlukan; dan
penyelesaian pekerjaan Proyek. Pasal 31 Pemrakarsa Proyek menyusun laporan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dalam bentuk:
laporan pelaksanaan Proyek; dan
laporan penyelesaian pekerjaan Proyek. Pasal 32 (1) Laporan pelaksanaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a memuat rekapitulasi realisasi penyerapan dana dan data pendukung berupa:
perkembangan pencapaian fisik Proyek yang mencakup perbandingan antara rencana penyelesaian pekerjaan Proyek dan realisasi pelaksanaannya; dan
permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Proyek serta tindak lanjut yang diperlukan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Laporan pelaksanaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara:
(2) a. satuan kerja pelaksana Proyek meng1s1 form pelaporan yang terdapat pada sistem aplikasi pengelolaan kinerja Proyek SBSN secara bulanan;
unit eselon I Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek mengkonsolidasikan hasil pengisian form pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk keseluruhan satuan kerja dan menyampaikannya secara tertulis kepada Menteri u.p Direktur Jenderal;
penyampaian form pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan setiap triwulan, paling lambat tanggal 10 (sepuluh) pada bulan berikutnya;
dalam hal tanggal 10 (sepuluh) sebagaimana dimaksud pada huruf c merupakan hari libur atau hari yang diliburkan, penyampaian form pelaporan dilakukan pada hari kerja berikutnya; dan
penyampaian form pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan dan format laporan tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 33 Untuk Proyek bersifat tahunan yang belum terselesaikan sampai dengan berakhirnya kontrak pada tahun anggaran berjalan, dapat diberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan Proyek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pembayaran kegiatan yang dibiayai melalui penerbitan SBSN. Laporan pelaksanaan Proyek se bagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a atas Proyek bersifat tahunan yang belum terselesaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara:
satuan kerja pelaksana pelaporan yang terdapat pengelolaan kinerja Proyek dan Proyek meng1s1 form pada sistem aplikasi SBSN secara bulanan;
unit eselon I Kementeriari/Lembaga Pemrakarsa Proyek mengkonsolidasikan hasil pengisian form pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk keseluruhan satuan kerja dan menyampaikannya secara tertulis kepada Menteri melalui Direktur Jenderal paling lama 15 (lima belas) hari kalender setelah berakhirnya penyelesaian pekerj aan Proyek. Pasal 34 (1) Laporan penyelesaian pekerjaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b memuat paling sedikit:
salinan berita acara serah terima pekerjaan; dan
salinan pengajuan usulan penetapan status penggunaan Proyek yang mengacu pada ketentuan jdih.kemenkeu.go.id peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. (2) Laporan penyelesaian pekerjaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri u.p. Direktur Jenderal paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah tahun anggaran pelaksanaan keseluruhan Proyek berakhir. Bagian Kedua Penatausahaan, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan oleh Kernen terian Keuangan Pasal 35 (1) Menteri melakukan penatausahaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan mengenai realisasi penyerapan serta aspek keuangan lain atas pelaksanaan Proyek. (2) Kegiatan penatausahaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit terdiri atas:
pengelolaan pelaksanaan pembayaran dana Proyek, termasuk kesesuaian Rencana Penarikan Dana Proyek;
pengelolaan administrasi penganggaran Proyek, termasuk langkah revisi dan rekomposisi anggaran Proyek;
pengelolaan risiko pelaksanaan anggaran Proyek termasuk langkah optimalisasi, percepatan, pelaksanaan luncuran/lanjutan, serta penundaan atau penghentian pembayaran Proyek, serta mitigasi risiko kinerja penyerapan anggaran dan aspek fiskal dalam rangka penerusan SBSN; dan
pengelolaan Rekening Khusus SBSN dan/atau pembiayaan pendahuluan Proyek. Pasal 36 (1) DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani pengelolaan SBSN melakukan kegiatan penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. (2) Kegiatan penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan kinerja atas pelaksanaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Pasal 37 (1) DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Proyek melakukan pemantauan terhadap realisasi penyerapan dana Proyek dengan mendasarkan pada:
laporan hasil pemantauan dan evaluasi oleh Pemrakarsa Proyek se bagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31; dan
Rencana Penarikan Dana Proyek. jdih.kemenkeu.go.id (2) Pemantauan terhadap realisasi penyerapan dana Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
membandingkan antara Rencana Penarikan Dana Proyek dan realisasi penyerapan dana Proyek; dan
membandingkan antara total nilai alokasi anggaran Proyek dan realisasi nilai kontraktual Proyek, untuk tingkat Kementerian/Lembaga dan/atau penerima penerusan SBSN maupun secara rinci untuk tingkat satuan kerja Kementerian/Lembaga. (3) Dalam hal diperlukan, pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan unit-unit terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan. Pasal 38 (1) DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Proyek melakukan evaluasi terhadap realisasi penyerapan dana Proyek se bagaimana dimaksud dalam Pasal 37. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
"baik" untuk Proyek dengan persentase kesenjangan antara rencana dan realisasi kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) yang berarti realisasi penyerapan dana Proyek telah sesuai atau lebih cepat dari jadwal yang direncanakan;
"kurang" untuk Proyek dengan persentase kesenjangan antara rencana dan realisasi mencapai 25% (dua puluh lima perseratus) sampai dengan 75% (tujuh puluh lima perseratus) yang berarti realisasi penyerapan dana Proyek lebih lambat dari jadwal yang direncanakan; atau
"rendah" untuk Proyek dengan persentase kesenjangan antara rencana dan realisasi sebesar lebih dari 75% (tujuh puluh lima perseratus) yang berarti realisasi penyerapan dana Proyek sangat lam bat dari jadwal yang direncanakan. (3) Evaluasi terhadap realisasi penyerapan dana Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap triwulan atau dalam hal diperlukan. (4) Metode penghitungan terhadap kesenjangan penyerapan dana Proyek mengacu pada penghitungan tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan dokumen sumber paling sedikit berupa laporan pelaksanaan pekerjaan Proyek yang disampaikan oleh satuan kerja pelaksana Proyek melalui sistem aplikasi pengelolaan kinerja Proyek. Pasal 39 (1) Hasil evaluasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) berupa laporan hasil evaluasi atas pelaksanaan Proyek. jdih.kemenkeu.go.id (2) Laporan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada unit eselon II pada DJPPR yang menangani pengelolaan SBSN sebagai bahan untuk penyusunan rekomendasi kepada Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan terhadap Kementerian/Lembaga dengan kriteria penilaian "kurang" dan "rendah". BAB IX REKOMENDASI TINDAK LANJUT HASIL PEMANTAUAN PROYEK Pasal 40 (1) DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani pengelolaan SBSN menyusun rekomendasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2). (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat usulan kepada Pemrakarsa Proyek untuk mengambil langkah percepatan pelaksanaan penyelesaian Proyek. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pemrakarsa Proyek oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri. Pasal 41 Rekomendasi sebagai tindak lanjut hasil pemantauan Proyek se bagaimana dimaksud dalam Pasal 40, disusun dengan paling sediki t mem pertim bangkan:
evaluasi atas realisasi penyerapan dana pelaksanaan anggaran Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1); dan
perkembangan pengelolaan kinerja pelaksanaan Proyek di antaranya berupa:
perkembangan pelaksanaan tender/ pengadaan dan rencana pemanfaatan sisa kontrak;
pengelolaan administrasi penganggaran Proyek, termasuk langkah revisi dan rekomposisi dalam rangka optimalisasi dan percepatan Proyek, pelaksanaan lanjutan/luncuran serta pelaksanaan penyelesaian pekerjaan Proyek;
perkembangan pengelolaan dana Rekening Khusus SBSN dan/atau pembiayaan pendahuluan Proyek, serta pemenuhan administrasi kewajiban pembayaran Proyek;
pemenuhan administrasi persetujuan dan rekomposisi pembiayaan tahunan Proyek yang bersifat kontrak tahun jamak; dan
pengelolaan risiko pelaksanaan anggaran Proyek termasuk mitigasi risiko kinerja penyerapan anggaran Proyek. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 42 (1) Dalam hal Proyek memiliki kriteria "rendah" untuk realisasi penyerapan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf c dan/atau berpotensi tidak selesai, dapat dilakukan pemantauan Proyek secara langsung di lapangan ( on site visit). (2) Dalam rangka pemantauan Proyek secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemantau Proyek harus menyusun kertas kerja pemantauan Proyek yang memuat paling sedikit:
identifikasi permasalahan;
saran dan rekomendasi pemecahan masalah; dan
rencana tindak lanjut oleh Kementerian/Lembaga. (3) Kertas kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen atau kuasa pengguna anggaran satuan kerja pelaksana Proyek dan pejabat atau pegawai yang ditugaskan melakukan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 43 (1) Pemantauan Proyek secara langsung di lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan dengan ketentuan:
Pemantau Proyek dilarang memberikan arahan yang dapat menyebabkan perubahan output, desain konstruksi, dan/atau desain pekerjaan Proyek;
Kementerian/Lembaga dan/atau penyedia jasa dalam rangka pelaksanaan Proyek dilarang memberikan uang, barang, jasa, dan/atau bentuk lainnya kepada Pemantau Proyek sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
Pemantau Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilarang meminta dan/atau menerima segala pem berian dari Kementerian/Lembaga dan/atau penyedia jasa terkait dengan pelaksanaan pemantauan Proyek baik yang berupa uang, barang, jasa, dan/atau bentuk lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengena1 pemberantasan tindak pidana korupsi. (2) Dalam rangka pemantauan Proyek secara langsung di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian/ Lembaga pelaksana Proyek harus menyusun dan menatausahakan buku catatan (log book) yang memuat data kunjungan Pemantau Proyek berupa:
tanggal pemantauan Proyek;
nama dan instansi Pemantau Proyek;
keperluan dilakukannya pemantauan Proyek; dan
hasil tindak lanjut yang disarankan. jdih.kemenkeu.go.id (3) Pemantau Proyek harus mengisi buku catatan (log book) yang telah disediakan oleh Kementerian/Lembaga pelaksana Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BABX PENYELESAIAN DAN/ATAU PEMBATALAN PEMBIAYAAN Pasal 44 (1) Menteri dan Menteri Perencanaan dapat menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan Kernen terian/ Lembaga Pemrakarsa Proyek mengenai penyelesaian dan/ a tau pembatalan pembiayaan Proyek dalam hal:
penyerapan anggaran rendah; dan/atau
penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Rekomendasi mengenai langkah penyelesaian dan/atau pembatalan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan bersama oleh Menteri dan Menteri Perencanaan. (3) Penetapan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk surat bersama Menteri dan Menteri Perencanaan setelah melalui proses pembahasan bersama antara Pemrakarsa Proyek, Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan. (4) Pemrakarsa Proyek bertanggungjawab secara mutlak atas Proyek yang direkomendasikan untuk dilakukan penyelesaian dan/atau pembatalan pembiayaan. Pasal 45 (1) Direktur Jenderal menyampaikan penetapan penyelesaian dan/atau pembatalan pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Direktur Jenderal Anggaran. (2) Direktur Jenderal Perbendaharaan menindaklanjuti penetapan penyelesaian dan/atau pembatalan pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan menyampaikan surat permintaan penghentian pembayaran kepada kantor pelayanan perbendaharaan negara untuk menghentikan penerbitan surat perintah pencairan dana Proyek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XI PENGELOLAAN OBJEK HASIL PEMBIAY AAN PROYEK Pasal 46 Pengelolaan objek hasil pembiayaan Proyek dilaksanakan oleh Pemrakarsa Proyek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 47 Pemrakarsa Proyek se bagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilarang untuk memindahtangankan atau menghapuskan objek hasil pembiayaan Proyek sampai dengan waktu jatuh tempo SBSN. Pasal 48 (1) Ketentuan mengenai larangan pemindahtanganan objek hasil pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 7 dikecualikan dalam hal pemindahtanganan dilakukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk un tuk pelaksanaan penerusan SBSN atau penyerahan objek hasil pembiayaan Proyek yang akan diserahkan kepada pihak lain. (2) Ketentuan mengenai larangan penghapusan objek hasil pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikecualikan dalam hal kondisi objek hasil pembiayaan Proyek sudah rusak atau musnah. (3) Tata cara pemindahtanganan atau penghapusan objek hasil pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 49 (1) Dalam hal dilakukan pemindahtanganan atau penghapusan atas objek hasil pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pemerintah melakukan penggantian dasar penerbitan SBSN dengan menggunakan dasar penerbitan SBSN lain yang memenuhi persyaratan dan mempunyai nilai paling sedikit sama dengan objek hasil pembiayaan Proyek yang dipindahtangankan atau dihapuskan. (2) Tata cara penggantian dasar penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 Pemrakarsa Proyek wajib membuat penanda aset SBSN dengan mencantumkan informasi sumber dana SBSN dan tahun pendanaan Proyek pada papan nama Proyek pada saat pelaksanaan pembangunan Proyek dan prasasti peresmian Proyek. Pasal 51 (1) Objek hasil pembiayaan Proyek, wajib dilakukan pendaftaran dan/atau pencatatan sebagai BMN. (2) Pendaftaran dan/atau pencatatan sebagai BMN atas objek hasil pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pengelolaan BMN. (3) BMN yang merupakan objek hasil pembiayaan Proyek dapat diberikan penanda khusus di dalam sistem informasi pengelolaan BMN. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 52 (1) Kementerian/Lembaga menyampaikan laporan pengelolaan objek hasil pembiayaan Proyek kepada Menteri u.p. Direktur Jenderal dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Kekayaan Negara. (2) Laporan pengelolaan objek hasil pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
laporan pendaftaran dan/atau pencatatan Proyek sebagai BMN; dan
laporan manfaat hasil pelaksanaan pembangunan Proyek. (3) Laporan pendaftaran dan/atau pencatatan Proyek sebagai BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pada saat pendaftaran dan/atau pencatatan Proyek se bagai BMN se bagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), dan paling sedikit mencantumkan:
kode satuan kerja;
kode barang;
nomor urutan pendaftaran; dan
nilai perolehan. (4) Laporan manfaat hasil pelaksanaan pembangunan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan paling lambat pada tahun ke-2 setelah tahun selesainya pelaksanaan Proyek, dan paling sedikit mencantumkan:
kode satuan kerja;
nama Proyek;
tahun pembiayaan; dan
manfaat dari hasil pembangunan Proyek. (5) Manfaat dari hasil pembangunan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d meliputi manfaat yang diterima oleh perekonomian dan/atau masyarakat/ lingkungan, di antaranya:
manfaat yang bersifat umum, antara lain:
penenmaan negara;
penyerapan tenaga kerja; dan
peningkatan mutu/kualitas/kapasitas. b. manfaat yang bersifat khusus untuk masing-masing sektor proyek, antara lain:
kemantapan jalan dan jembatan atau jaringan irigasi, air baku, pengamanan pantai-rawa, dan pengendalian banjir;
penghematan waktu tempuh dan peningkatan keselamatan transportasi; dan
peningkatan produktivitas perindustrian, pertanian, perikanan, dan riset-teknologi. (6) Laporan manfaat hasil pelaksanaan pembangunan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan dengan cara:
satuan kerja pelaksana Proyek atau unit kerja pada eselon I Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek mengisi form pelaporan yang terdapat pada sistem aplikasi pengelolaan kinerja Proyek SBSN; dan jdih.kemenkeu.go.id b. unit eselon I Kementerian/Lembaga Pemrakarsa Proyek mengkonsolidasikan hasil pengisian form pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk keseluruhan satuan kerja dan menyampaikannya secara tertulis kepada Menteri u.p. Direktur Jenderal. Pasal 53 (1) DJPPR c.q. unit eselon II pada DJPPR yang menangani pengelolaan SBSN melakukan pengukuran terhadap pencapaian target output dan outcome dari hasil pelaksanaan Proyek. (2) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah selesainya proses pembangunan Proyek dan berdasarkan dampak sosial ekonomi yang dihasilkan dari hasil pem bangunan Proyek. (3) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membandingkan realisasi output dan outcome dari hasil pelaksanaan Proyek berdasarkan laporan manfaat hasil pelaksanaan pembangunan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, dengan target output dan outcome yang akan dihasilkan dari pembangunan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c. (4) Hasil pengukuran terhadap pencapaian target output dan outcome dari hasil pelaksanaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai bagian dari evaluasi program pembiayaan Proyek dan bahan masukan untuk proses perencanaan pembiayaan Proyek. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 54 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
perencanaan, pengusulan, dan pengalokasian anggaran Proyek yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.08/2019 tentang Tata Cara Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan selesainya pelaksanaan Proyek; dan
pengelolaan terhadap Proyek dan/atau objek hasil pembiayaan Proyek yang telah dialokasikan dalam APBN, dilakukan dengan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.08/2019 tentang Tata Cara Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1145); dan jdih.kemenkeu.go.id b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pembiayaan Proyek/Kegiatan melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1055) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.08/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.08/2016 tentangTata Cara Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pembiayaan Proyek/ Kegiatan melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 50), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 56 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Uji meteriil Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU APBN Tahun 2013 terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat ...
Relevan terhadap
www.mahkamahkonstitusi.go.id 56 Pasal 154 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Pasal 154 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib. e. Bahwa secara filosofis, pada dasarnya negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, tanggung jawab ini mengingat wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. f. Bahwa semburan dan luapan lumpur di Sidoarjo, sebagai suatu bencana telah berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat di sekitarnya yang juga telah menimbulkan dampak sosial kemasyarakatan sehingga upaya penanggulangan Bencana Lumpur Sidoarjo tersebut membutuhkan tindakan yang cepat dan terukur dengan tujuan agar masyarakat sekitar yang terkena musibah bencana dapat segera ditolong dan dibebaskan dari segala dampak bencana yang ditimbulkannya yang merupakan prioritas bagi Pemerintah dengan tanpa mengenyampingkan pembebanan tanggung jawab utama dalam hal ini kepada PT. Lapindo Berantas untuk menyelesaikan dampak sosial dari bencana yang timbul. Peran Pemerintah dalam hal ini dinilai telah sejalan dengan bunyi Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 yang telah mengamanatkan bahwa "perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah", termasuk hak asasi manusia tersebut adalah hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana bunyi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. g. Bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana oleh Pemerintah dalam "kasus _PERHATIAN: _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id 69 (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. [3.17] Menimbang bahwa UU APBN, termasuk UU APBNP merupakan instrumen hukum perundang-undangan yang secara langsung terkait dengan pengelolaan keuangan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran atau kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Adapun materi muatan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a UU APBNP 2013 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon dilatarbelakangi oleh terjadinya semburan lumpur Sidoarjo yang diakibatkan oleh pengeboran PT. Lapindo Brantas Inc., sejak tanggal 29 Mei 2006 yang mengakibatkan kerugian sosial dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat baik yang berada di dalam PAT maupun di luar PAT; Semburan lumpur tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian secara ekonomi maupun sosial yang dialami oleh masyarakat yang berada di dalam PAT dan di luar PAT. Kerugian tersebut oleh negara melalui mekanisme tertentu ditetapkan menjadi tanggung jawab PT.Lapindo Brantas, Inc., perusahaan yang bertanggung jawab memberikan ganti kerugian terhadap masyarakat yang terkena dampak semburan lumpur Sidoarjo. Semburan lumpur tersebut semakin lama semakin meluas dan menimbulkan pula kerugian yang semakin meluas. PT. Lapindo Brantas, Inc., tidak memberikan ganti kerugian kepada masyarakat yang mengalami kerugian di wilayah meluasnya semburan. Hal tersebut menyebabkan terjadi dikotomi ketentuan _PERHATIAN: _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id 47 4. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih atau yang seringkali disingkat (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan. Sehingga, secara spesifik ada dua kondisi yang mendorong perlunya perubahan terhadap APBN Tahun 2013. 1. Sejak ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2013 telah terjadi berbagai perkembangan dan perubahan berbagai indikator ekonomi makro secara signifikan, sehingga menyebabkan asumsi yang dipakai pada APBN tidak sesuai lagi dengan kondisi riil saat ini dan perkiraan ke depan. 2. Adanya perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2013 sebagai dampak perkembangan kondisi ekonomi, dan sosial, serta upaya percepetan pencapaian target-target pembangunan. Hal ini yang menyebabkan adanya perubahan belanja negara yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pula pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang- Undang APBN Tahun 2013. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang APBNP Tahun 2013 yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon merupakan ketentuan yang menetapkan alokasi dana pada penanggulangan Lumpur Sidoarjo atau yang seringkali disingkat BPLS. Untuk penanggulangan Lumpur Sidoarjo serta untuk pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar Peta Area Terdampak pada tiga desa, yaitu Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan dan sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi; Bahwa Pemerintah ingin mengutip kembali pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 53/PUU-X/2012, tanggal 13 Desember 2012 yang menyebutkan bahwa alokasi anggaran pada BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) adalah bentuk tanggung jawab negara dalam rangka melaksanakan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana ditentukan di dalam pembukaan alinea keempat. Kemudian Mahkamah juga berpendapat bahwa alokasi _PERHATIAN: _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
PUU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap
kebijakan desentralisasi fiskal daerah diharapkan mampu mengupayakan kemandirian keuangan daerahnya, agar daerah dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya sendiri dan otonomi daerah akan dapat terlaksana secara lebih nyata dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, apabila permohonan pengujian ini dikabulkan, yang artinya PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan alat-alat besar dihapuskan, maka setidaknya akan membawa dampak/konsekuensi berkurangnya sumber penerimaan pemerintah daerah, terhambatnya proses desentralisasi fiskal, tidak terlaksananya prinsip keadilan dalam pembagian beban pajak, terhambatnya proses pemerataan kesejahteraan masyarakat di daerah, serta meningkatnya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pusat, yang sama artinya dengan mengurangi tingkat kemandirian daerah. VI. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan Pemerintah terhadap Permohonan uji materiil a quo sebagai berikut: A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penetapan PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan alat-alat besar yang dapat dipungut daerah dalam UU PDRD adalah suatu kebijakan yang bebas/terbuka ( opened legal policy ) bagi pembentuk Undang-Undang berdasarkan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU PDRD tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, dimana Mahkamah Konstitusi dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang.
Uji materi Pasal 2 ayat (6) dan pasal 32 ayat (2) UU Ketentuan Umum Perpajakan
Relevan terhadap
“Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar.” 88 g. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir. Dalam kasus Pemohon, sebagaimana telah Pemohon ungkapkan dalam permohonannya, Wajib Pajak telah membayar utang pajak dalam proses kepailitan sejumlah Rp. 2.549.161.883,- (dua milyar lima ratus empat puluh sembilan juta seratus puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), namun jumlah tersebut belum dapat melunasi utang pajak yang ada, sehingga Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini KPP Wajib Pajak Besar Satu menagihkan sisa utang pajak yang belum terlunasi oleh harta Wajib Pajak tersebut kepada Wakil Wajib Pajak yaitu Pengurus perusahaan yang menjabat dan bertanggung jawab atas utang pajak pada saat utang pajak tersebut terjadi, termasuk di dalamnya Pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Hal ini pun dilakukan KPP Wajib Pajak Besar Satu setelah kepailitan PT UCI berakhir, dimana semua kreditornya di ranah hukum privat pun, sesuai Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU, memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor.
Terkait jumlah utang pajak yang menurut Pemohon berbeda jumlahnya antara pada saat proses kepailitan dan setelah proses kepailitan, hal tersebut bukanlah hal yang terjadi tanpa dasar hukum atau pun perbuatan sewenang-wenang. Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak dan kemudian menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP yang mengatur sebagai berikut: “Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain 89 pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; ” i. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak setelah Wajib Pajak pailit atau pun setelah kepailitan Wajib Pajak berakhir bukanlah sesuatu hal yang dilarang oleh Undang-Undang bahkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 759K/Pdt.Sus-Pailit/2016 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 mengabulkan keberatan Direktorat Jenderal Pajak terkait tagihannya dalam kepailitan dan menetapkan utang pajak yang harus diakui oleh Kurator adalah sejumlah apa yang ditagihkan dalam Surat Ketetapan Pajak yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak walaupun ketetapan pajak tersebut diterbitkan setelah jatuhnya putusan pailit atas Wajib Pajak. Kembali pada delapan jalan kegagalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Lon L. Fuller, sesungguhnya filosofi tersebut sudah ada dan terealisasi juga dalam pembentukan peraturan perundang- undangan di Indonesia dalam bentuk asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019, sebagai berikut:
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
kejelasan tujuan;
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
dapat dilaksanakan;
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
kejelasan rumusan; dan
keterbukaan Terdapat 4 asas yang relevan untuk kita tinjau bersama terkait perkara uji materi ini, keempat asas tersebut adalah:
Asas kejelasan tujuan Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus 90 mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Sebagaimana Pemerintah telah uraikan sebelumnya bahwa Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memiliki tujuan yang jelas yaitu ingin memberikan pengaturan yang pasti akan syarat- syarat/kondisi dapat dihapuskannya NPWP dan pengaturan yang pasti pula tentang siapa-siapa yang menjadi wakil Wajib Pajak, jenis tanggung jawabnya dan cara menunjuk wakil tersebut.
Asas dapat dilaksanakan Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Adanya pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan dampak efektivitas dan kejelasan dalam penghapusan NPWP dan penagihan pajak terutama dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan wakilnya, serta efektifitas ini pun didukung dengan diberikannya disinsentif untuk menunda/tidak membayarkan pajaknya dengan benar kepada Pengurus karena harus bertanggung jawab nantinya secara pribadi dan/atau secara renteng.
Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Adanya pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sangat dibutuhkan dan bermanfaat untuk menjaga kepastian hukum dan keadilan dalam pembayaran pajak. Pasal 2 ayat (6) memberikan kepastian hukum dalam hal kondisi- kondisi penghapusan NPWP, Pasal 32 ayat (2) UU KUP selain menjamin kepastian hukum terkait Wakil Wajib Pajak dan tanggung jawabnya, juga menjaga keadilan, berupa semua orang baik 91 perorangan maupun badan usaha wajib melunasi/membayar kewajiban perpajakannya. Tanpa Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka Wajib Pajak Orang Pribadi akan bertanggung jawab hingga harta pribadi, sedangkan Pengurus Wajib Pajak badan dapat terlepas dari sanksi karena berlindung dibalik pemisahan harta badan hukum dan pengurusnya, padahal kita pahami bersama bahwa badan hukum adalah subjek hukum yang dalam prakteknya setiap kegiatannya digerakan oleh pengurus di dalamnya. Dapat kita bayangkan moral hazard yang akan terjadi tanpa adanya Pasal 32 ayat (2) UU KUP maka Pengurus perusahaan memiliki insentif yang nyata untuk menunda atau bahkan tidak membayar pajak, jika sanksi administrasi telah terakumulasi sedemikian besar hingga lebih besar dari harta yang dimiliki perusahaan, maka Pengurus dapat dengan sengaja mempailitkan perusahaan dan menyerahkan mekanisme pelunasan utangnya melalui mekanisme kepailitan dimana sesungguhnya sudah dapat dipastikan hak atas kas negara dalam hal ini pajak tidak akan terbayar lunas, dan setelah itu Pengurus dapat memulai lagi membentuk atau menjadi pengurus di perusahaan baru/perusahaan lainnya lagi kecuali jika ia dinyatakan pailit, bersalah menimbulkan kepailitan, dan/atau melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan negara, maka Pengurus tersebut baru bisa menjadi pengurus sebuah perusahaan lainnya setelah 5 tahun dirinya pailit, dinyatakan bersalah menimbulkan kepailitan, dan/atau melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan negara, yang mana proses pembuktian dan peradilannya bisa memakan waktu bertahun-tahun dan di masa proses peradilan yang bertahun-tahun tersebut sudah berapa lama utang pajak menjadi sekedar angka tagihan yang tidak terlunasi dan sudah berapa banyak perusahaan bisa dijadikan batu loncatan para pengurus untuk melakukan modus yang serupa. Dengan demikian, Pasal 2 ayat (6) dan pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah sangat memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan bagi sistem perpajakan di Indonesia secara keseluruhan. 92 d. Asas kejelasan rumusan Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sudah jelas dan tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya karena sangat jelas bagaimana normanya dirumuskan dan konsekuensi hukum yang ditimbulkannya.
materi penyusunan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
pengayoman;
kemanusiaan;
kebangsaan;
kekeluargaan;
kenusantaraan;
bhinneka tunggal ika;
keadilan;
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Tiga asas dalam Pasal 6 undang-undang di atas yang terkait erat dengan uji materi a quo adalah:
asas keadilan Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP mencerminkan keadilan yang proporsional bahwa semua Wajib Pajak yang akan melakukan penghapusan NPWP harus memenuhi syarat yang sama, dan semua Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan 93 wajib membayar dan melunasi seluruh utang pajaknya, utang yang mana jika tidak dilunasi diancam dengan tanggung jawab pribadi akan pelunasannya kecuali dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak mengenai hal yang sebaliknya. Hal ini tentunya merupakan keadilan yang proporsional bagi Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan. Bahwa dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP juga diatur terkait hak wakil Wajib Pajak untuk dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak jika ia benar-benar tidak dapat dibebani tanggung jawab pribadi secara tanggung renteng. Hal ini juga merupakan perwujudan asas keadilan dan dalam rangka melindungi hak-hak wakil Wajib Pajak yang memang secara faktual terbukti tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk melunasi utang pajak. Hal ini juga merupakan pembatasan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak agar tidak semena-mena dalam menggunakan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan kepastian pengaturan dan memberikan tanggung jawab atas hak dan kewajiban pembayaran pajak yang sama bagi semua pihak yang menjadi Wakil Wajib Pajak tanpa membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial sehingga telah memenuhi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
asas ketertiban dan kepastian hukum Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. 94 Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan kepastian pengaturan atas syarat penghapusan NPWP dan memberikan kepastian sejauh apa tanggung jawab atas hak dan kewajiban pembayaran pajak bagi semua pihak yang menjadi Wakil Wajib Pajak. Hal ini juga di dasarkan pada alasan yang logis, tujuan yang jelas dan kemanfaatan bagi masyarakat luas sehingga kepastian hukum yang diberikan pun sekaligus menjamin keadilan dan persamaan kedudukan di mata hukum. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP telah memberikan hak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” E. Penerapan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP Dalam Praktiknya 1. Pasal 2 ayat (6) UU KUP tentang Penghapusan NPWP Bahwa untuk melaksanakan amanah Pasal 2 ayat (5) Undang- Undang KUP, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, yang salah satu materinya mengatur mengenai tata cara penghapusan NPWP (PMK-147). Dalam Pasal 30 PMK-147 diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Penghapusan NPWP tersebut dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau 95 c. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP cabang. Selain syarat subjektif dan objektif, untuk penghapusan NPWP juga memperhatikan ketentuan bahwa terhadap Wajib Pajak tidak dalam kondisi:
mempunyai utang pajak;
tidak sedang dilakukan tindakan penegakan upaya hukum pajak, baik administrasi maupun pidana perpajakan;
tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama ( mutual agreement procedure );
tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer ( advance pricing agreement );
seluruh NPWP cabang telah dihapus; dan
tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan Hal ini ditujukan untuk ketertiban administrasi dan kemudahan dalam pelaksanaan hak maupun kewajiban perpajakan sehingga tetap menjamin kepastian hukum, baik bagi DJP maupun bagi Wajib Pajak. Penghapusan NPWP tidak serta merta menghapuskan kewajiban perpajakan maupun hak perpajakan dari Wajib Pajak.
Pasal 32 ayat (2) UU KUP tentang Tanggung Jawab Wakil Wajib Pajak Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 3 UU PPSP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, 96 maka serangkaian tindakan Penagihan mulai dari teguran sampai dengan menjual barang yang disita, dilakukan terhadap Penanggung Pajak meliputi:
badan itu sendiri; dan
Wakil (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata- nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). Wakil sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (1) UU KUP bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. Hal ini berlaku termasuk kepada Wajib Pajak yang mengalami kepailitan dan wakilnya. Namun demikian, dalam prakteknya pada saat Wajib Pajak dinyatakan pailit, Direktorat Jenderal Pajak mengikuti lebih dahulu proses pemberesan dalam kepailitan dan dalam hal kepailitan berakhir sedangkan utang pajak belum terlunasi, maka selaras dengan Pasal 204 UU kepailitan dan PKPU, Direktorat Jenderal Pajak kembali menagihkan kewajiban pajak kepada Wakil Wajib Pajak misalnya Pengurus perusahaan. Bahwa berdasarkan data administrasi Direktorat Jenderal Pajak jumlah piutang pajak per 31 Desember 2019 mencapai 72,38 Triliun Rupiah. Dari jumlah tersebut piutang pajak dari Wajib Pajak yang pailit adalah sejumlah 10,5 Triliun Rupiah atau 14,3% dan berkategori macet. Jumlah piutang ini mencerminkan tingkat kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan self assessment -nya, sehingga menunjukan pula betapa peran pengawasan Pemerintah masih sangat dibutuhkan baik dalam bentuk pemeriksaan pajak, penagihan pajak maupun dalam bidang pengaturan-pengaturan yang memberikan disinsentif bagi Wajib Pajak, termasuk wakilnya, yang tidak patuh dalam menjalankan self assessment -nya. Dengan peran Pemerintah dalam pengawasan, pemeriksaan dan kebijakan pengaturan, pemerintah mengharapkan agar jumlah piutang pajak dari waktu ke waktu turun atau dicairkan melalui kegiatan penagihan pajak. 97 Dalam pelaksanaan kegiatan penagihan pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak (selanjutnya disebut KPP) di seluruh Indonesia, mengacu pada ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku atas utang pajak Wajib Pajak Badan, KPP melakukan tindakan penagihan kepada Wajib Pajak Badan itu sendiri maupun kepada Wakil (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan/atau orang nyata-nyata mempunyai kewenangan dalam menentukan keputusan dan/atau kebijaksanaan menjalankan perusahaan). Bahwa dalam menentukan Penanggung Pajak dalam hal ini wakil dari Wajib Pajak Badan, KPP melakukan profiling Penanggung Pajak dengan mengacu pada dokumen eksternal seperti akta pendirian dan/atau perubahan kepengurusan dan dokumen internal seperti pelaporan Surat Pemberitahuan (selanjutnya disebut SPT), dan upaya hukum Wajib Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa DJP tidak serta merta menentukan Penanggung Pajak yang bertanggung jawab terhadap pembayaran utang Pajak, tetapi melalui kegiatan profiling dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan kepastian hukum agar tidak berlaku semena-mena terhadap masyarakat yang tidak seharusnya dilakukan kegiatan penagihan. Bahwa setiap penanggung pajak dimintai pertanggungjawaban atas seluruh utang pajak badan, kecuali dalam kedudukannya tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban untuk melunasi utang pajak. Pada kenyataannya, banyak ditemukan perusahaan dikendalikan oleh orang- orang yang namanya tidak tercantum dalam akta perusahaan atau dokumen internal DJP, sehingga tidak memungkinkan untuk meminta pertanggungjawaban pelunasan utang pajak kepada pengurus (Direktur, Komisaris dan Pemegang Saham) yang namanya tercantum dalam akta perusahaan. Dalam upaya membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar- benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab, hal-hal yang dilakukan DJP antara lain:
Melakukan pemanggilan pembahasan utang pajak dan menindaklanjuti dengan Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK); 98 b. Meneliti pelaporan SPT dan upaya hukum yang pernah dilakukan oleh Wajib Pajak; dan/atau
Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak (delinquency audit). Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal wajib pajak pailit tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut UU PPSP merupakan objek sita masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator. Bahwa klausul ini tidak dalam konteks membatasi kegiatan penagihan dalam hal Wajib Pajak pailit adalah ke kurator saja, tetapi pengurus dalam hal ini wakil Wajib Pajak notabene adalah Penanggung Pajak tetap mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak dalam hal atas boedel pailit tersebut tidak cukup untuk melunasi utang pajak, karena pada prinsipnya dalam UU PPSP utang pajak harus dilunasi oleh Penanggung Pajak. Kegiatan penagihan DJP terhadap Wajib Pajak pailit, selain dilakukan terhadap Kurator melalui pemberitahuan Surat Paksa, tindakan penagihan juga dilakukan terhadap wakil Wajib Pajak badan dalam hal ini direksi, komisaris dan/atau pemegang saham karena pada umumnya pembagian harta pailit yang diterima untuk pembayaran utang pajak tidak cukup untuk melunasi utang pajak. Hal ini dilakukan demi optimalisasi pencapaian target penerimaan negara melalui kegiatan penagihan Pajak. Pertanggungjawaban atas utang pajak oleh Penanggung Pajak dilakukan sampai dengan harta pribadi milik Penanggung Pajak. Sesuai dengan ketentuan dalam UU PPSP, Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain. Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak 99 untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Penjelasan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 135 tahun 2000 mengatur bahwa ketentuan tentang penyitaan terhadap barang-barang milik Penanggung Pajak Badan, pada dasarnya dilakukan terhadap barang milik perusahaan. Namun apabila nilai barang tersebut tidak mencukupi atau barang milik perusahaan tidak dapat ditemukan atau karena kesulitan dalam melaksanakan penyitaan terhadap barang milik perusahaan, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau ketua untuk yayasan kecuali mereka dapat membuktikan bahwa tidak ikut bertanggung jawab sehubungan dengan terjadinya utang pajak tersebut. Bahwa contoh pelaksanaan penagihan di lapangan misalnya dalam perkara antara Penanggung Pajak PT Andaman Delmar (dalam pailit) yang menggugat KPP Pratama Pati karena KPP Pratama Pati telah melakukan kegiatan penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak PT Andaman Delmar, melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT- 002927.99/2019/PP/M.XIB Tahun 2019 perkara, Pengadilan Pajak memutuskan bahwa tindakan penagihan yang telah dilakukan KPP Pratama Pati terhadap Penanggung Pajak PT Andaman Delmar (dalam pailit) telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pertimbangan hakim diketahui bahwa menurut Majelis Hakim kurator adalah wakil wajib pajak yang dinyatakan pailit, namun berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, kurator adalah pihak yang dalam kedudukannya tidak dapat dibebani tanggung jawab pembayaran pajak secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, meskipun pengajuan tuntutan mengenai hak atau kewajiban mengenai harta pailit diajukan melalui kurator. F. Analisa Dampak 1. Dalam hal permohonan Pemohon uji materi ini diterima oleh Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, maka sebelum berhitung tentang jumlah potensi kerugian dalam rupiah, maka perlu juga Pemerintah sampaikan bahwa hal ini akan menjadi titik munculnya berbagai ketidakpastian hukum terkait tanggung jawab 100 Wakil Wajib Pajak, tidak hanya di ranah penagihan pajak wajib pajak yang sedang dalam proses pemberesan pailit, namun juga di semua lini pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wakil Wajib Pajak seperti pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan pajak baik kepada Wajib Pajak yang ditengah-tengah proses penegakan hukum pajak ini kemudian pailit maupun Wajib Pajak yang kemudian kepailitannya berakhir.
Selain ketidakpastian hukum terkait tanggung jawab Wakil Wajib Pajak di berbagai lini pengumpulan pajak, Negara berpotensi untuk kehilangan penerimaan pajak yang berasal dari ketidaktertagihan utang pajak Wajib Pajak yang dinyatakan Pailit. Berdasarkan data yang dimiliki DJP, selama 20 tahun terakhir setidaknya terdapat kurang lebih 480 Wajib Pajak yang pailit yang sampai dengan saat ini masih memiliki utang pajak sebesar 10,58 Triliun Rupiah. Utang pajak ini termasuk kategori piutang pajak macet dikarenakan DJP dari proses kepailitan, tidak memperoleh pelunasan utang pajak wajib pajak pailit. Dari utang pajak perusahaan yang mengalami kepailitan pada tahun 1999 hingga Juli 2020 sebesar 10,7 Triliun Rupiah yang dapat terbayarkan dari pemberesan di dalam kepailitan adalah hanya sebesar 148,2 Miliar Rupiah saja, sehingga menyisakan beban utang pajak 10,5 Triliun Rupiah yang saat ini yang tercatat Piutang macet dan menjadi beban dalam Laporan keuangan Pemerintah Pusat yang menimbulkan potensial loss penerimaan negara dari kegiatan penagihan pajak.
Selain itu, kedepannya apabila permohonan Pemohon uji materi ini diterima oleh Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, maka mekanisme kepailitan akan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang lain sebagai upaya/modus untuk menghindar dari kewajiban pembayaran utang pajak, karena dengan dinyatakan Pailit Penanggung Pajak sudah tidak lagi memiliki tanggung jawab terhadap pelunasan utang pajak. DJP akan semakin sulit untuk menagih piutang pajak yang berdasarkan Laporan Perkembangan Piutang Pajak tahun 2019 nilainya mencapai 72,38 Triliun Rupiah. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah berkesimpulan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP 101 yang dimohonkan untuk diuji materi oleh Pemohon merupakan instrumen yang dipilih oleh pembuat undang-undang ( open legal policy ) guna melakukan pengawasan agar terdapat asas keseimbangan, checks and balances sebagai kunci keberhasilan dari sistem self assessment. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Keterangan Tambahan Presiden: I. Dasar Penagihan Pajak Kepada Wajib Pajak Pailit Dan Kepada Wakil Wajib Pajak Pailit Wakil Wajib Pajak yang pailit tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi dan/atau secara renteng adalah sesuai dengan Keterangan Presiden yang telah dibacakan di dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Agustus 2020 yaitu:
Landasan Teori yang meliputi: fiduciary duty Direksi, teori keagenan ( agency theory ), teori sinyal ( signaling theory ), dan teori good corporate governance. Pada intinya __ kesemua teori ini memberikan gambaran bagaimana Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang melakukan piercing the corporate veil secara 102 langsung guna kepentingan perpajakan adalah kebijakan yang memberikan disinsentif kepada Pengurus/Direksi sebagai pihak yang mengelola dan bertanggungjawab atas jalannya sebuah perusahaan. Disinsentif berupa sanksi yang membebankan tanggungjawab pemenuhan kewajiban perpajakan dari sebuah perusahaan menjadi kewajiban pribadi Direksi/Pengurusnya dilakukan agar mendorong Direksi memastikan pemenuhan/pelunasan kewajiban perpajakan perusahaan yang dikelolanya. Hal ini diperlukan karena pelunasan kewajiban pajak adalah kewajiban yang bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.
Ketentuan paragraf 9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yang menyatakan, “Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan” tidak dapat digunakan untuk melepaskan seorang Direksi/Pengurus dari tanggung jawab memenuhi kewajiban perpajakan karena:
Paragraf 9 Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU berlaku untuk perorangan atau badan yang pailit, bukan untuk Direksi/Pengurus dari badan yang pailit secara pribadi.
Andaikata yang dimaksud adalah status hukum seseorang menjadi tidak cakap kemudian hal tersebut menghilangkan tanggung jawab perusahaan atas pelunasan utang pajak maka hal tersebut tidaklah tepat. Paragraf 10 Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa "kepailitan tidak membebaskan seseorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya." c. Dengan demikian, berdasarkan teori-teori sebagaimana telah diuraikan dalam keterangan presiden dan selaras dengan Paragraf 10 Penjelasan Umum serta Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Oleh karenanya selaras dengan hal 103 tersebut Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menagih utang pajak yang belum terlunasi dari proses kepailitan.
Secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka secara serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang- undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya e. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) maupun dalam UU Kepailitan dan PKPU yang berlaku di lingkup privat tentu akan mengedepankan adanya pemisahan harta antara harta perusahaan dengan harta pengurus kecuali Pengurus secara nyata melakukan kesalahan yang kemudian diputuskan oleh Pengadilan. Hal ini juga yang didengungkan Pemohon dengan menggunakan teori business judgement rule. Hal ini tidak tepat, karena teori ini lebih dikaitkan pada keputusan bisnis perusahaan karena sifatnya yang memiliki risiko gagal atau berhasil, sehingga sepanjang syarat-syarat business judgement rule telah terpenuhi maka kerugian perusahaan tidak dapat dibebankan kepada pengurus. Namun, logika yang sama tidak dapat digunakan dalam membahas kewajiban yang dibebankan konstitusi kepada setiap subjek di suatu negara yaitu Pajak.
Pembebasan pengurus dari kerugian/kepailitan perusahaan dengan dasar teori business judgement rule tidak dapat menjadi alasan melepaskan dari tanggung jawab pemenuhan kewajiban perpajakan, karena penghitungan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara self asseesment telah mempertimbangkan adanya kerugian atau laba perusahaan. Sehingga 104 dalam hal perusahaan dinyatakan pailit bukan karena kelalaian pengurus, tidak serta merta menjadikan kesimpulan/pernyataan bahwa Pengurus tidak bertanggunjawab atas tunggakan pajak yang timbul akibat “kelalaian perusahaan memenuhi kewajiban perpajakannya” sebagai Wajib Pajak. Karena kepailitan dapat terjadi secara tiba-tiba di luar kemampuan pengurus mencegahnya, sedangkan kewajiban perpajakan adalah tugas/kewajiban yang jelas kapan harus dipastikan dipenuhinya oleh pengurus sebagai pelaksanaan fiduciary duty nya.
Pelaksanaan fiduciary duty pengurus harus mencakup pada duty /tanggung jawab memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan kewajiban perpajakannya secara taat sesuai dengan periode/jatuh tempo pembayaran pajak. Kewajiban ini adalah dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak untuk membayar pajak yang merupakan kewajiban kepada Negara, yang tidak dapat diabaikan melainkan harus dipatuhi karena pajak sebagai sumber penerimaan Negara untuk membiayai penyelenggaraan Negara yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, permintaan pertanggungjawaban renteng secara pribadi Pengurus sebagai Wakil Wajib Pajak Perusahaan atas hutang pajak pada periode kepengurusan nya merupakan bagian dari tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duty , bukan business judgement rule .
Dengan demikian, jelas bahwa norma pengaturan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sudah tepat dan penggunaan teori business judgement rule, yang sangat __ mengedepankan hubungan privat, tidak dapat diterapkan untuk “menghilangkan” tanggung __ jawab pengurus memastikan perusahaan memenuhi kewajiban perpajakannya secara taat. Dalam hal pun perusahaan keberatan dengan penetapan tunggakan pajak __ oleh __ Direktorat Jenderal Pajak, peraturan perundang-undangan perpajakan telah menyediakan forum untuk penyelesaian permasalahan tersebut pada ranah judisial. Membatalkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP dan memaknainya sebagaimana maksud Pemohon dalam uji materi a quo akan membuka celah peningkatan ketidakpatuhan/penghindaran pembayaran pajak oleh perusahaan yang tidak dapat dipungkiri memang menjadi benih yang sangat sering muncul dalam pertimbangan keuntungan perusahaan sebagai tujuan pengurus mengelola perusahaan. 105 i. Dapat kita bayangkan moral hazard yang akan terjadi tanpa adanya Pasal 32 ayat (2) UU KUP maka Pengurus perusahaan memiliki insentif yang nyata untuk menunda atau bahkan tidak membayar pajak, jika sanksi administrasi telah terakumulasi sedemikian besar hingga lebih besar dari harta yang dimiliki perusahaan, maka Pengurus dapat memanfaatkan kepailitan perusahaan dan menyerahkan mekanisme pelunasan utangnya melalui mekanisme kepailitan dimana sesungguhnya sudah dapat dipastikan hak atas kas negara dalam hal ini pajak tidak akan terbayar lunas. Keberhasilan pola ini akan berulang kembali apabila Pengurus memulai lagi membentuk atau menjadi pengurus di perusahaan baru/perusahaan lainnya dan dengan label putusan kepailitan bukan karena kesalahan pengurus melepaskan diri dari kelalaian/kesengajaan tidak memastikan kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan kewajiban pembayaran pajaknya. Bahkan dapat mendorong melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan Negara, karena proses pembuktian dan peradilannya yang memakan waktu bertahun-tahun tersebut menyebabkan utang pajak hanya sekedar menjadi angka tagihan yang tidak terlunasi disisi lain Pengurus dapat dengan mudah setelah 5 tahun dinyatakan pailit kembali menjadi pengurus pada perusahaan lain dan mengulangi modus yang serupa.
Ada pun terkait tanggung jawab kurator dalam kepailitan Wajib Pajak, Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut:
Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat 106 (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir.
Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa Wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal Wajib Pajak pailit, tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut undang-undang perpajakan adalah merupakan objek sita, masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator.
Adapun ketetapan-ketetapan pajak yang terbit selama proses pailit atau proses pemberesan harta pailit Wajib Pajak tersebut, tidak masuk ke dalam boedel pailit karena diterbitkan setelah lewat batas akhir pengajuan tagihan, akan tetapi atas utang pajak yang belum terlunasi tersebut, sepanjang belum daluwarsa penagihan, sesuai Pasal 22 UU KUP, maka Direktorat Jenderal Pajak tetap mempunyai kewenangan, sebagaimana diatur dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan, untuk melakukan penagihan atas utang pajak baik kepada Penanggung Pajak lainnya misalnya Pengurus.
Dengan demikian, penagihan pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dilakukan dengan berdasarkan Undang-Undang di bidang perpajakan yaitu UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan yang memang merupakan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur terkait penagihan pajak. Adapun eksistensi dari UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU adalah sebagai Undang-Undang yang mengatur di ranah privat bukan di ranah publik, sehingga seharusnya tidak ada permasalahan hukum terkait Undang-Undang mana yang lebih khusus (lex specialist) diantara UU KUP dengan UU PT serta UU Kepailitan dan PKPU, karena UU KUP mengatur di ranah publik (hak dan kewajiban perpajakan) sedangkan UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU mengatur hubungan keperdataan di ranah privat diantara para subjek hukumnya. 107 n. Perlu kita perhatikan bahwa tingkat pembayaran utang pajak melalui proses kepailitan jika dirata-ratakan secara statistik tidak melebihi dari 1,38% selama kurun waktu tahun 20 tahun yaitu semenjak tahun 1999 hingga tahun 2020 (bulan Agustus). Hal ini sebagaimana tercermin dalam tabel di bawah ini: Berdasarkan data pada tabel di atas maka sangat logis dan berdasar jika Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk menagihkan pelunasan utang pajak kepada Wakil Wajib Pajak secara pribadi dan/atau secara renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Secara sistematis di dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan pun mengatur jaminan bagi terlunasinya utang pajak. Berdasarkan Pasal 18 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU KUP atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak 108 sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) UU KUP dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 28 UU KUP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, maka tindakan penagihan dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang meliputi:
Badan/perseroan itu sendiri dan 2. Wakil wajib pajak badan oleh pengurus (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata-nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). II. Penagihan Pajak PT United Coal Indonesia a. Kegiatan penagihan pajak kepada PT United Coal Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang memang secara khusus mengatur kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi Wajib Pajak baik ketika Wajib Pajak dalam keadaan normal maupun dalam keadaan pailit. Serangkaian kegiatan penagihan pajak yang diatur dalam peraturan tersebut berlaku bagi semua Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dengan kondisi apa pun. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak atas proses penagihan pajak yang dilakukan, juga telah diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan yaitu seperti keberatan ke Kantor Wilayah DJP, banding ke Pengadilan Pajak maupun mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. 109 b. PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 32/Pdt.Sus.Pailit/2014 /PN.Niaga.JKT.PST tanggal 24 November 2015.
Total Tagihan utang pajak yang diajukan kepada Kurator adalah Rp.
334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) terdiri dari 35 SKPKB/STP sejumlah Rp. 44.205.348.442,00 (empat puluh empat miliar dua ratus lima juta tiga ratus empat puluh delapan ribu empat ratus empat puluh dua rupiah) yang dikurangi dengan pembayaran yang telah dilakukan Wajib Pajak sejumlah Rp. 870.805.977,00. (delapan ratus tujuh puluh juta delapan ratus lima ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) Tagihan utang pajak disampaikan kepada Kurator dengan surat nomor S- 6382/ WPJ.19/KP.01/2015 tanggal 17 Desember 2015. Adapun ke 35 SKPKB/STP tersebut adalah sebagai berikut: No Nomor SKPKB/STP Tanggal SKPKB/ST P Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 2 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 218.095.841 STP PPN dan Terlambat Lapor 3 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 148.070.494 STP PPN dan Terlambat Lapor 4 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 133.731.749 STP PPN dan Terlambat Lapor 5 00010/107/13/091/14 29-Jan-14 67.282.203 STP PPN dan Terlambat Lapor 6 00011/107/13/091/14 29-Jan-14 64.805.678 STP PPN dan Terlambat Lapor 7 00017/106/12/091/13 01-Feb-13 291.941.719 STP PPh pasal 25 Angsuran 8 00020/107/12/091/14 29-Jan-14 204.683.426 STP PPN dan Terlambat Lapor 9 00021/106/13/091/13 03-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 10 00022/106/12/091/13 05-Feb-13 297.555.983 STP PPh pasal 25 Angsuran 11 00030/106/12/091/13 05-Feb-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 12 00041/106/13/091/13 30-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 13 00073/106/12/091/12 08-Okt-12 436.363.654 STP PPh pasal 25 Angsuran 14 00139/106/12/091/12 03-Des-12 444.855.263 STP PPh pasal 25 Angsuran 15 00049/107/14/091/15 28-May-15 1.500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 16 00002/107/15/091/15 28-May-15 1.000.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 110 17 00013/101/15/091/15 28-May-15 300.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 18 00093/101/14/091/15 28-May-15 1.200.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 19 00064/101/13/091/15 28-May-15 100.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 20 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 21 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 1.000.000 STP PPh pasal 25 Angsuran 22 00183/207/10/091/15 28-Mei-15 1.013.029.486 SKPKB PPN DN 23 00184/207/10/091/15 25-May-15 65.293.500 SKPKB PPN DN 24 00182/207/10/091/15 25-May-15 318.214.632 SKPKB PPN DN 25 00185/207/10/091/15 25-May-15 154.414.672 SKPKB PPN DN 26 00186/207/10/091/15 25-May-15 101.773.778 SKPKB PPN DN 27 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 270.903 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 28 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 206.814 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 29 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 121.563.538 STP Bunga Penagihan PPN 30 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 7.835.220 STP Bunga Penagihan PPN 31 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 38.185.756 STP Bunga Penagihan PPN 32 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 18.529.761 STP Bunga Penagihan PPN 33 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 12.221.853 STP Bunga Penagihan PPN 34 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 33.745.131.050 SKPKB PPh 35 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 5.150.381.649 SKPKB PPN DN Jumlah Rp.44.205.348.442, 00 d. Total tagihan utang pajak yang diakui oleh Kurator dalam rapat pencocokan piutang dan verifikasi pajak adalah sejumlah yang dajukan oleh KPP, yaitu sebesar Rp.43.334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) .
Total hasil penjualan harta pailit yang berhasil diperoleh oleh Kurator sebesar Rp.45.436.242.290,00 (empat puluh lima miliar empat ratus tiga puluh enam juta dua ratus empat puluh dua ribu dua ratus sembilan puluh rupiah). Harta Pailit bersih setelah dikurangi biaya kepailitan dan fee kurator adalah sebesar Rp.30.987.247.383,00 (tiga puluh miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah). Dari harta pailit tersebut jumlah pembagian yang diperoleh KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua 111 miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), yang kemudian bertambah menjadi Rp.2.677.919.334,00 (dua miliar enam ratus tujuh puluh tujuh juta sembilan ratus sembilan belas ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah), setelah mendapat tambahan atas bunga bank sebesar Rp.128.757.451,00 (seratus dua puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu empat ratus lima puluh satu rupiah). Atas hasil pembagian harta pailit tersebut telah disetor ke kas negara tanggal 23 November 2018.
Pembagian kepada KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah) adalah 5,88% dari nilai seluruh tagihan pajak yang diakui oleh Kurator. Sedangkan Kreditor Separatis PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas milyar rupiah) atau sebesar 4,99% dari nilai seluruh tagihan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang diakui.
Selain menagih utang pajak dalam proses kepailitan melalui Kurator, pada tahun-tahun selama kepailitan berlangsung, KPP Wajib Pajak Besar Satu, berdasarkan Pasal 29 UU KUP, melakukan pemeriksaan pajak atas PT United Coal Indonesia atas kewajiban-kewajiban perpajakannya yang telah timbul dan terutang namun belum dilaporkan dan/atau belum dibayar sebelum PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, sesuai Pasal 13 ayat (1) UU KUP, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan rincian sebagai berikut:
Terbit Tahun 2016 SKPKB PPh Badan tahun pajak 2011 Nomor 00026/206/11/091/16 sejumlah Rp.106.535.880.440,00 (seratus enam miliar lima ratus tiga puluh lima juta selapan ratus delapan puluh ribu empat ratus empat puluh rupiah).
Terbit Tahun 2017 sebesar Rp.46.431.017.912,00 (empat puluh enam miliar empat ratus tiga puluh satu juta tujuh belas ribu Sembilan ratus dua belas rupiah) terdiri atas: SKPKB PPN tahun pajak 2012 sebesar Rp.10.427.130.781,00 (sepuluh miliar empat ratus dua puluh tujuh juta serratus tiga puluh 112 ribu tujuh ratus delapan puluh satu rupiah) terdiri 9 ketetapan sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00019/107/12/091/17 23-May-17 206,633,351 STP PPN Hasil Pemeriksaan (Pasal 14 ayat 4 UU KUP) 2 00073/207/12/091/17 23-May-17 1,962,892,565 SKPKB PPN Hasil Pemeriksaan 3 00074/207/12/091/17 23-May-17 1,574,459,693 SKPKB PPN 4 00075/207/12/091/17 23-May-17 962,086,542 SKPKB PPN 5 00076/207/12/091/17 23-May-17 880,698,291 SKPKB PPN 6 00077/207/12/091/17 23-May-17 1,327,527,437 SKPKB PPN 7 00078/207/12/091/17 23-May-17 1,189,167,347 SKPKB PPN 8 00079/207/12/091/17 23-May-17 2,301,980,518 SKPKB PPN 9 00080/207/12/091/17 23-May-17 21,685,037 SKPKB PPN SKPKB dan STP PPN, PPh tahun pajak 2013 sebesar Rp.30.072.927.803,00 (tiga puluh miliar tujuh puluh dua juta Sembilan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus tiga rupiah), yang terdiri dari 16 SKPKB dan 7 STP sebagai berikut: No . SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 305,336,630 STP PPN 2 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 318,060,956 STP PPN 3 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 285,464,974 STP PPN 4 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 317,116,241 STP PPN 5 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 230,517,085 STP PPN 6 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 1,177,485,636 STP PPN 7 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 796,717,447 SKPKB PPh 8 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 246,492,039 SKPKB PPh 9 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 308,460,799 SKPKB PPh 10 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 505,270,948 SKPKB PPh 11 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 53,832,260 STP PPN 12 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 398,358,724 STP PPN 13 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 1,094,683,598 STP PPN 14 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 1,322,364,683 STP PPN 15 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,660,572 STP PPN 16 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 960,313,223 STP PPN 17 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,328,722 STP PPN 18 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 2,259,491,065 STP PPN 19 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 2,353,651,073 STP PPN 20 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 2,112,440,811 STP PPN 21 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 2,346,660,183 STP PPN 22 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 1,705,826,428 STP PPN 23 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 8,713,393,706 STP PPN 113 SKPKB dan STP PPN dan PPh tahun Pajak 2014 sebesar Rp.5.908.774.309,00 (lima miliar Sembilan ratus delapan juta tujuh ratus tujuh puluh empat ribu tiga ratus sembilan rupiah), yang terdiri dari 6 SKPKB dan 4 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 223,827,822 STP PPN 2 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 160,368,482 STP PPN 3 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 114,459,301 STP PPN 4 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 8,990,527 STP PPN 5 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 459,515,248 SKPKB PPh 6 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 1,185,031,550 SKPKB PPh 7 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 1,656,325,884 SKPKB PPN 8 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 1,186,726,765 SKPKB PPN 9 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 846,998,830 SKPKB PPN 10 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 66,529,900 SKPKB PPN STP Pengawasan atas kewajiban perpajakan berupa pelaporan dan/atau pembayaran pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 sebesar Rp.22.185.019,00 (dua puluh dua juta seratus delapan puluh lima ribu Sembilan belas rupiah) terdiri dari 77 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/ST P (Rp.) Keterangan 1 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 203,186 STP Terlambat Setor 2 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 12,596 STP PPh 23 Terlambat Setor 3 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 114 14 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 15 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 16 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 17 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 18 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 19 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 20 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 21 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 22 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 23 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 24 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 25 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 26 00045/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 27 00020/107/12/091/17 29-May-17 3,513,807 STP PPN DN Terlambat Setor 28 00021/107/12/091/17 31-May-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 29 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 170,287 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 30 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 85,143 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 31 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 32 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 33 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 34 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 35 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 36 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 37 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 38 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 39 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 40 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 41 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 42 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 115 43 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 44 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 45 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 46 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 47 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 48 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 49 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 50 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 51 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 52 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 53 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 54 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 55 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 56 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 57 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 58 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 59 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 60 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 61 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 62 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 63 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 64 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 65 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 66 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 67 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 68 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 69 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 70 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 71 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 116 72 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 73 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 74 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 75 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 76 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 77 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 3) Terbit Tahun 2018 sebesar Rp.2.200.000,00 (dua juta dua ratus ribu rupiah), yang merupakan STP Pengawasan sebanyak 13 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 2 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 3 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor h. Atas sisa utang pajak yang tidak terbayarkan melalui proses kepailitan dan utang pajak yang ditemukan kemudian berdasarkan pemeriksaan pajak sebagaimana telah disajikan secara detail di atas, maka KPP Wajib Pajak Besar Satu melaksanakan kegiatan penagihan aktif kepada Penanggung Pajak/Wakil Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dengan total pajak terutang sejumlah Rp. 193.625.721.483,00 117 (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah).
Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 28 UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Adapun rangkaian tindakan penagihan pajak yang dilakukan berupa: tindakan persuasif dengan mengundang rapat Penanggung Pajak melalui Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 tanggal 11 Mei 2018 dan Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/KP.01/2019 tanggal 27 Mei 2019, Surat Teguran dan Surat Paksa, yang ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) dengan detil sebagai berikut:
Surat Teguran No. Nomor Surat Teguran Tanggal 1 ST-00023/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 2 ST-00024/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 3 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 4 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 5 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 6 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 7 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-May-17 8 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 9 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 10 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 11 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 07-Sep-17 12 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 13 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 14 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 15 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 16 ST-00236/WPJ .19/KP . 01 04/2017 13-Nov-17 17 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 18 ST-00238/WPJ. 1 9/KP.01 04/2017 13-Nov-17 19 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 20 ST-00240/WPJ.19/KP .0 104/20 17 13-Nov-17 21 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 22 ST-00242/WPJ. 1 9/KP.0104/2017 13-Nov-17 23 ST-001 35/WPJ .1 9/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 24 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 25 ST-00137/WPJ. 1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 26 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 118 27 ST-00139/WPJ .1 9/KP. 0104/2018 23-Mar-18 28 ST-001 40/WPJ .19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 29 ST-00141/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 30 ST-00142/WPJ .1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 31 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 32 ST-00144/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 2) Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Sita No. Surat Paksa Tanggal Surat Perintah Melaksanakan Sita (SPMP) 1 SP-00472/WPJ.19/KP.0104/2015 14-Dec-15 SIT-00004 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 2 SP-00473/WPJ. 19/KP.0104/2015 14-Dec-15 3 SP-00126/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 4 SP-00127/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 5 SP-00128/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 6 SP-00072/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 7 SP-00073/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 8 SP-00074/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 9 SP-00075/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 10 SP-00076/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 11 SP-00077/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 12 SP-00078/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 13 SP-00079/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 14 SP-00080/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 15 SP-00081/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 16 SP-00082/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 17 SP-00083/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 18 SP-00084/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 19 SP-00085/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 20 SP-00086/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 21 SP-00129/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 SIT-00005 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 22 SP-00130/WPJ. 19/KP.0104/2017 24-Jul-17 23 SP-00150/WPJ.19/KP.0104/2017 17-Oct-17 24 SP-00055/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 25 SP-00056/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 26 SP-00057/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 27 SP-00058/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 28 SP-00059/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 29 SP-00060/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 30 SP-00061/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 31 SP-00062/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 32 SP-00063/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 33 SP-00064/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 34 SP-00065/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 35 SP-00066/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 36 SP-00067/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 37 SP-00068/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 119 38 SP-00069/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 39 SP-00070/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 40 SP-00071/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 41 SP-00087/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 SIT-00006 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 42 SP-00088/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 43 SP-00249/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 44 SP-00250/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 45 SP-00251/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 46 SP-00252/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 47 SP-00253/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 48 SP-00254/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 49 SP-00255/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 50 SP-00256/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 51 SP-00257/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 52 SP-00258/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 53 SP-00259/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 54 SP-00260/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 55 SP-00261/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 56 SP-00262/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 57 SP-00263/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 58 SP-00264/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 59 SP-00265/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 60 SP-00266/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 61 SP-00267/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 SIT-00007 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 62 SP-00268/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 63 SP-00269/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 64 SP-00270/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 65 SP-00271/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 66 SP-00272/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 67 SP-00273/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 68 SP-00274/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 69 SP-00275/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 70 SP-00276/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 71 SP-00277/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 72 SP-00278/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 73 SP-00279/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 74 SP-00280/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 75 SP-00281/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 76 SP-00282/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 77 SP-00283/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 78 SP-00284/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 79 SP-00285/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 80 SP-00286/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 k. Berdasarkan SPMP tersebut dilakukan pemblokiran rekening Pemohon di Bank BCA melalui surat nomor S-2341/WPJ.19/ KP.01/2019 tanggal 29 Oktober 2019, Pencegahan kepada Penanggung Pajak melalui Keputusan 120 Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Taufik Surya Darma dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 614/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Herumanto Zaini.
Tindakan penagihan kepada Wakil Wajib Pajak, dalam hal ini Pemohon sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, sesuai Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah hal yang logis dan diperlukan. Hal ini terlihat dari total tagihan pajak yang terdiri dari SKPKB dan STP di atas, membuktikan bahwa Pemohon, sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, selama mengurus perusahaan tidak menjalankan tugasnya untuk memastikan terlunasinya kewajiban perpajakan PT United Coal Indonesia. Kewajiban perpajakan ini meliputi kegiatan menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Dari rangkaian STP saja terlihat bahwa PT United Coal Indonesia, selama dibawah pengurusan Pemohon, bukan hanya tidak membayar kewajiban perpajakannya dengan benar, bahkan laporan perpajakannya yang rutin pun banyak tidak dilakukan atau terlambat. III. Pengecualian dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP Pada prakteknya, banyak ditemukan modus dari perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar utang pajak melalui mekanisme pembuatan akta perubahan perseroan dengan mencantumkan nama pihak-pihak yang sebenarnya tidak pernah menjalankan kepengurusan/mengendalikan perseroan sebagai pengurus perseroan tersebut. Mengacu pada Pasal 32 ayat (2) UU KUP bahwa dalam hal pengurus tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa yang bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung jawab dalam pelunasan utang pajak perseroan, maka Direktorat Jenderal Pajak berwenang tidak melakukan tindakan penagihan atas utang pajak perseroan tersebut kepada yang bersangkutan. Pembuktian tersebut utamanya dilakukan pengurus yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal Pajak, disamping Direktorat Jenderal Pajak juga dapat menghimpun dan menganalisis data dan/atau informasi dari pihak internal maupun eksternal berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Dalam praktiknya pembuktian yang dilakukan pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak antara lain: 121 a. Menyampaikan data dan informasi berupa surat keterangan atau sejenisnya dari pengurus dan pemegang saham yang lain bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan dan tidak pernah menjalankan kepengurusan perseroan;
Menyampaikan bukti bahwa yang bersangkutan tidak pernah menerima penghasilan dari perseroan tersebut;dan/atau c. Menyampaikan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan. Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka memverifikasi dan menganalisis informasi, data dan/atau dokumen yang diperoleh dari pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan:
Penelitian Administrasi 1. Menghimpun informasi, data dan/atau dokumen dari pihak internal maupun eksternal. Dari internal Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengecekkan dari sistem informasi yang ada meliputi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), upaya hukum, intelijen perpajakan, dan data lainnya; Data pihak eksternal diperoleh dari data perseroan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, laporan hasil permintaan keterangan atau informasi dari pihak ketiga (pengurus lainnya, pegawai perseroan, lawan transaksi dan sebagainya) 2. Melakukan analisis terkait informasi, data dan/atau dokumen baik yang diperoleh dari internal Direktorat Jenderal Pajak, pengurus perseroan, maupun pihak ketiga lainnya tersebut;
Menuangkan hasil analisis tersebut dalam Laporan Uraian Penelitian dengan hasil apakah yang bersangkutan sebagai Penanggung Pajak yang bertanggungjawab secara pribadi dan/atau renteng terhadap pelunasan utang pajak perseroan atau sebaliknya b. Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak ( delinquency audit ) sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). 122 1. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas pemeriksa pajak untuk memperoleh data dan/atau informasi terkait Penanggung Pajak yang sebenarnya, harta dan upaya hukum;
Dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain;
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak akan melakukan hal-hal sebagai berikut: a) mencari alamat tempat/gudang penyimpanan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; b) meminjam bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; c) membuat daftar harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang sesuai dengan kondisi terkini; d) mencari informasi perihal wakil dari Penanggung Pajak, antara lain keluarga, direksi, komisaris dan pemegang saham mayoritas, beserta alamat sesuai dengan bukti identitas terakhir; dan e) melakukan konfirmasi dan permintaan keterangan serta bukti tentang identitas harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP antara lain kepada: Notaris/PPAT, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank, Kepolisian, dan Konsultan Pajak 4. Hasilnya akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan yang menjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai pengurus yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng dalam pelunasan utang pajak perseroan atau tidak. Proses sebagaimana diuraikan di atas, termasuk ke dalam rangkaian proses penagihan pajak yang diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan di Direktorat Jenderal Pajak diantaranya: a) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. 123 b) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). d) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. e) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2012 tentang Kebijakan Penagihan Pajak. f) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencegahan Dalam Rangka Penagihan Pajak. g) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 tanggal 12 Januari 2018 hal Penegasan dan Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan dan Penyanderaan. h) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor S-234/PJ.04/2018 tanggal 23 April 2018 hal Optimalisasi Tindakan Penagihari sebagai Tindak Lanjut Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 perihal Penegasan atas Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan, dan Penyanderaan. Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan penagihan pajak, dan tahapan- tahapan untuk dapat menentukan apakah seseorang dapat dikecualikan atau tidak sebagai Wakil Wajib Pajak yang harus bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng sebagaimana telah diuraikan di atas, maka terlihat bahwa untuk menentukan kriteria tersebut Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya harus melaksanakan segala rangkaian proses secara cermat dan berdasarkan dokumen sumber yang valid dan terpercaya. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak merasa keberatan, peraturan perundang-undangan perpajakan telah membuka jalur melakukan upaya hukum yang jelas yaitu melalui proses gugatan ke Pengadilan Pajak, keberatan ke Kantor Wilayah DJP, dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan 124 pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ) [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah telah mengajukan dokumen (sebagai lampiran) yang diberi tanda PEM-1 sampai dengan PEM-211, di mana Lampiran PEM-1 sampai PEM-36 merupakan rincian tagihan pajak kepada Kurator PT UCI sejumlah Rp.43.334.542.465,- karena Wajib Pajak melakukan pembayaran utang pajak sejumlah Rp.870.805.977,-; Lampiran PEM-37 sampai dengan PEM-169 merupakan tagihan pajak hasil pemeriksaan pajak yang terbit setelah Wajib Pajak PT UCI pailit; serta Lampiran PEM-170 sampai dengan PEM-211 merupakan dokumen yang menunjukkan alur proses penagihan kepada Penanggung Pajak PT UCI. Berikut ini daftar Lampiran dimaksud.
PEM-1 S-6382/WPJ.19/ KP.01/2015 17-Des-15 2. PEM-2 SKP/STP No. 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 3. PEM-3 SKP/STP No. 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 4. PEM-4 SKP/STP No. 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 5. PEM-5 SKP/STP No. 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 6. PEM-6 SKP/STP No. 000010/107/13/091/14 29-Jan-14 7. PEM-7 SKP/STP No. 000011/107/13/091/14 29-Jan-14 8. PEM-8 SKP/STP No. 000017/106/12/091/13 01-Feb-13 9. PEM-9 SKP/STP No. 000020/107/12/091/14 29-Jan-14 125 10. PEM-10 SKP/STP No. 000021/106/13/091/13 03-Apr-13 11. PEM-11 SKP/STP No. 000022/106/12/091/13 05-Feb-13 12. PEM-12 SKP/STP No. 000030/106/12/091/13 05-Feb-13 13. PEM-13 SKP/STP No. 000041/106/13/091/13 30-Apr-13 14. PEM-14 SKP/STP No. 000073/106/12/091/12 08-Okt-12 15. PEM-15 SKP/STP No. 00139/106/12/091/12 03-Des-12 16. PEM-16 SKP/STP No. 000049/107/14/091/15 28-Mei-15 17. PEM-17 SKP/STP No. 00002/107/15/091/15 28-Mei-15 18. PEM-18 SKP/STP No. 00013/101/15/091/15 28-Mei-15 19. PEM-19 SKP/STP No. 00093/101/14/091/15 28-Mei-15 20. PEM-20 SKP/STP No. 00064/101/13/091/15 28-Mei-15 21. PEM-21 SKP/STP No. 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 22. PEM-22 SKP/STP No. 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 23. PEM-23 SKP/STP No. 00182/207/10/091/15 25-Mei-15 24. PEM-24 SKP/STP No. 00183/207/10/091/15 25-Mei-15 25. PEM-25 SKP/STP No. 00184/207/10/091/15 25-Mei-15 26. PEM-26 SKP/STP No. 00185/207/10/091/15 25-Mei-15 27. PEM-27 SKP/STP No. 00186/207/10/091/15 25-Mei-15 28. PEM-28 SKP/STP No. 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 29. PEM-29 SKP/STP No. 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 30. PEM-30 SKP/STP No. 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 31. PEM-31 SKP/STP No. 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 32. PEM-32 SKP/STP No. 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 33. PEM-33 SKP/STP No. 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 34. PEM-34 SKP/STP No. 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 35. PEM-35 SKP/STP No. 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 36. PEM-36 SKP/STP No. 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 37. PEM-37 SKP/STP No. 00026/206/11/091/16 29-Nov-16 38. PEM-38 SKP/STP No. 00019/107/12/091/17 23-Mei-17 39. PEM-39 SKP/STP No. 00073/207/12/091/17 23-Mei-17 40. PEM-40 SKP/STP No. 00074/207/12/091/17 23-Mei-17 41. PEM-41 SKP/STP No. 00075/207/12/091/17 23-Mei-17 42. PEM-42 SKP/STP No. 00076/207/12/091/17 23-Mei-17 126 43. PEM-43 SKP/STP No. 00077/207/12/091/17 23-Mei-17 44. PEM-44 SKP/STP No. 00078/207/12/091/17 23-Mei-17 45. PEM-45 SKP/STP No. 00079/207/12/091/17 23-Mei-17 46. PEM-46 SKP/STP No. 00080/207/12/091/17 23-Mei-17 47. PEM-47 SKP/STP No. 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 48. PEM-48 SKP/STP No. 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 49. PEM-49 SKP/STP No. 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 50. PEM-50 SKP/STP No. 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 51. PEM-51 SKP/STP No. 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 52. PEM-52 SKP/STP No. 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 53. PEM-53 SKP/STP No. 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 54. PEM-54 SKP/STP No. 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 55. PEM-55 SKP/STP No. 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 56. PEM-56 SKP/STP No. 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 57. PEM-57 SKP/STP No. 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 58. PEM-58 SKP/STP No. 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 59. PEM-59 SKP/STP No. 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 60. PEM-60 SKP/STP No. 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 61. PEM-61 SKP/STP No. 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 62. PEM-62 SKP/STP No. 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 63. PEM-63 SKP/STP No. 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 64. PEM-64 SKP/STP No. 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 65. PEM-65 SKP/STP No. 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 66. PEM-66 SKP/STP No. 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 67. PEM-67 SKP/STP No. 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 68. PEM-68 SKP/STP No. 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 69. PEM-69 SKP/STP No. 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 70. PEM-70 SKP/STP No. 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 71. PEM-71 SKP/STP No. 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 72. PEM-72 SKP/STP No. 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 73. PEM-73 SKP/STP No. 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 74. PEM-74 SKP/STP No. 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 75. PEM-75 SKP/STP No. 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 127 76. PEM-76 SKP/STP No. 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 77. PEM-77 SKP/STP No. 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 78. PEM-78 SKP/STP No. 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 79. PEM-79 SKP/STP No. 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 80. PEM-80 SKP/STP No. 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 81. PEM-81 SKP/STP No. 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 82. PEM-82 SKP/STP No. 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 83. PEM-83 SKP/STP No. 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 84. PEM-84 SKP/STP No. 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 85. PEM-85 SKP/STP No. 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 86. PEM-86 SKP/STP No. 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 87. PEM-87 SKP/STP No. 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 88. PEM-88 SKP/STP No. 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 89. PEM-89 SKP/STP No. 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 90. PEM-90 SKP/STP No. 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 91. PEM-91 SKP/STP No. 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 92. PEM-92 SKP/STP No. 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 93. PEM-93 SKP/STP No. 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 94. PEM-94 SKP/STP No. 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 95. PEM-95 SKP/STP No. 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 96. PEM-96 SKP/STP No. 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 97. PEM-97 SKP/STP No. 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 98. PEM-98 SKP/STP No. 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 99. PEM-99 SKP/STP No. 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 100. PEM-100 SKP/STP No. 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 101. PEM-101 SKP/STP No. 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 102. PEM-102 SKP/STP No. 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 103. PEM-103 SKP/STP No. 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 104. PEM-104 SKP/STP No. 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 105. PEM-105 SKP/STP No. 00045/107/16/091/17 17-Mar -17 106. PEM-106 SKP/STP No. 00020/107/12/091/17 29-Mei-17 107. PEM-107 SKP/STP No. 00021/107/12/091/17 31-Mei-17 108. PEM-108 SKP/STP No. 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 128 109. PEM-109 SKP/STP No. 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 110. PEM-110 SKP/STP No. 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 111. PEM-111 SKP/STP No. 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 112. PEM-112 SKP/STP No. 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 113. PEM-113 SKP/STP No. 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 114. PEM-114 SKP/STP No. 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 115. PEM-115 SKP/STP No. 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 116. PEM-116 SKP/STP No. 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 117. PEM-117 SKP/STP No. 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 118. PEM-118 SKP/STP No. 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 119. PEM-119 SKP/STP No. 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 120. PEM-120 SKP/STP No. 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 121. PEM-121 SKP/STP No. 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 122. PEM-122 SKP/STP No. 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 123. PEM-123 SKP/STP No. 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 124. PEM-124 SKP/STP No. 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 125. PEM-125 SKP/STP No. 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 126. PEM-126 SKP/STP No. 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 127. PEM-127 SKP/STP No. 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 128. PEM-128 SKP/STP No. 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 129. PEM-129 SKP/STP No. 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 130. PEM-130 SKP/STP No. 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 131. PEM-131 SKP/STP No. 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 132. PEM-132 SKP/STP No. 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 133. PEM-133 SKP/STP No. 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 134. PEM-134 SKP/STP No. 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 135. PEM-135 SKP/STP No. 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 136. PEM-136 SKP/STP No. 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 137. PEM-137 SKP/STP No. 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 138. PEM-138 SKP/STP No. 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 139. PEM-139 SKP/STP No. 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 140. PEM-140 SKP/STP No. 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 141. PEM-141 SKP/STP No. 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 129 142. PEM-142 SKP/STP No. 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 143. PEM-143 SKP/STP No. 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 144. PEM-144 SKP/STP No. 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 145. PEM-145 SKP/STP No. 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 146. PEM-146 SKP/STP No. 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 147. PEM-147 SKP/STP No. 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 148. PEM-148 SKP/STP No. 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 149. PEM-149 SKP/STP No. 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 150. PEM-150 SKP/STP No. 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 151. PEM-151 SKP/STP No. 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 152. PEM-152 SKP/STP No. 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 153. PEM-153 SKP/STP No. 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 154. PEM-154 SKP/STP No. 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 155. PEM-155 SKP/STP No. 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 156. PEM-156 SKP/STP No. 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 157. PEM-157 SKP/STP No. 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 158. PEM-158 SKP/STP No. 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 159. PEM-159 SKP/STP No. 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 160. PEM-160 SKP/STP No. 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 161. PEM-161 SKP/STP No. 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 162. PEM-162 SKP/STP No. 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 163. PEM-163 SKP/STP No. 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 164. PEM-164 SKP/STP No. 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 165. PEM-165 SKP/STP No. 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 166. PEM-166 SKP/STP No. 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 167. PEM-167 SKP/STP No. 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 168. PEM-168 SKP/STP No. 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 169. PEM-169 SKP/STP No. 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 170. PEM-170 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 11-Mei-18 130 171. PEM-171 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/ KP.01/2019 172. PEM-172 ST-00023/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 173. PEM-173 ST-00024/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 174. PEM-174 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 175. PEM-175 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 176. PEM-176 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 177. PEM-177 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 178. PEM-178 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-Mei-17 179. PEM-179 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 180. PEM-180 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 181. PEM-181 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 182. PEM-182 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 7-Sep-17 183. PEM-183 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 184. PEM-184 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 185. PEM-185 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 186. PEM-186 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 187. PEM-187 ST-00236/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 188. PEM-188 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 189. PEM-189 ST-00238/WPJ.19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 190. PEM-190 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 191. PEM-191 ST-00240/WPJ.19/KP.0104/20 17 13-Nov-17 192. PEM-192 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 193. PEM-193 ST-00242/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 194. PEM-194 ST-00135/WPJ.19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 195. PEM-195 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 196. PEM-196 ST-00137/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 197. PEM-197 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 198. PEM-198 ST-00139/WPJ.19/KP. 0104/2018 23-Mar-18 199. PEM-199 ST-00140/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 200. PEM-200 ST-00141/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 201. PEM-201 ST-00142/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 131 202. PEM-202 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 203. PEM-203 ST-00144/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 204. PEM-204 Daftar Surat Paksa yang telah diberitahukan kepada Penaggung Pajak PT United Coal Indonesia 29-Okt-19 205. PEM-205 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00004/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 206. PEM-206 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00005/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 207. PEM-207 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00006/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 208. PEM-208 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00007/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 209. PEM-209 S-2341/WPJ.19/KP.01/2019 (Blokir Rekening) 29-Okt-19 210. PEM-210 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 untuk Taufik Surya Darma (Pencegahan) 15-Nov-19 211. PEM-211 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-614/KM.3/2019 untuk Herumanto Zaini (Pencegahan) 15-Nov-19 Selain itu Presiden/Pemerintah mengajukan empat orang Ahli. Dua orang Ahli menyampaikan keterangan keterangan lisan di hadapan sidang 14 Oktober 2020, yang dilengkapi keterangan tertulis yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H. Adapun dua Ahli lain, yaitu Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., menyampaikan keternagan secara tertulis. Keterngan masing-masing ahli pada pokoknya sebagai berikut. 132 1. Abdul Anshari Ritonga Tentang Pasal 32 ayat (2) UU KUP Sesuai Pasal 32 ayat (2) dan penjelasannya UU KUP, untuk Wajib Pajak Badan, yang bertangggung jawab menjalankan hak dan kewajiban perpajakan atas pembayaran pajak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak Badan adalah Pengurus dari Badan tesebut. Tanggung Jawab Pengurus dimaksud adalah tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng. Subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban hukum. Menurut Kamus Hukum, subject vaan een recht ; Subjek orang yang berhak; manusia pribadi atau badan hukum yang berhak bertindak atau melakukan perbuatan hukum Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 UU KUP antara lain berbunyi: Subjek hukum pajak terdiri dari orang pribadi dan/atau badan yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan sistem self assesment dalam perpajakan yang berlaku di Indonesia, subjek hukum pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berkewajiban mendaftarkan diri, menghitung dan membayar pajak terhutang, serta melaporkan kewajiban perpajakannya ke Kantor Pajak, Direktorat Jenderal Pajak. Namun, Badan sebagai subjek hukum pajak, secara fisik tidak dapat bertindak, berbuat dan bergerak untuk melakukan kewajiban perpajakannya dimaksud. Pengertian badan sebagai pribadi hukum ( recht person) menurut Teori Badan Hukum pendapat Wolfgang Fiedmann dalam bukunya Legal Theory , dapat dibedakan pengertiannya berdasarkan: i) Teori Fiksi, ii) Teori Konsesi, iii) Teori Organ/Realis dan iv) Teori Kenyataan Juridis. Menurut Teori Fiksi, keberadaan Badan sebagai pribadi hukum ( rechts person ) hanyalah anggapan atau fiksi saja, karena tidak dapat bertindak atau berbuat untuk melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya. Oleh karena itu, yang bertindak dan bertanggung jawab memenuhi kewajiban Badan adalah pengurus yang dikuasakan untuk mengurus perusahaan. Pengertian Badan sebagai Wajib Pajak dalam UU Perpajakan adalah menggunakan Teori Fiksi tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a, dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sebagaimana diuraikan di atas. 133 Pasal 1 angka (2) dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP memgatur: wajib pajak adalah yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yang terdiri dari orang pribadi dan badan. Orang pribadi yang berkewajiban hukum adalah yang cakap hukum. Orang yang tidak cakap hukum seperti orang yang tidak waras, anak-anak yang belum dewasa atau yang dibawah pengampuan, maka tidak dapat berkewajiban hukum. Wajib Pajak adalah Badan atau Badan Hukum yang secara fisik tidak dapat bergerak, bertindak dan berbuat, berati tidak akan dapat melakukan kewajibannya sendiri. Oleh karena Badan yang secara fisik tidak cakap hukum, maka kewajiban perpajakan dari Badan yang yang seharusnya melaksanakan, menjadi tangggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng dari Pengurus. Kewajiban pajak hanya ada apabila ada objeknya (misalnya: ada tambahan kemampuan ekonomi, antara lain berupa penghasilan atau laba, atau ada kewajiban memungut, memotong pajak dan membayarnya ke kas negara) yang ada pajaknya terhutang, tetapi tidak dibayar sebagaimana mestinya oleh Pengurus yang bertanggung jawab. Apabila pada waktunya kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku, maka akan dapat berdampak ada pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Karena kesalahan pengurus yang tidak membayar pajak terhutang dari WP Badan yang diurusnya sebagaimana mestinya, maka kewajiaban membayar hutang pajak tersebut adalah menjadi tanggung jawab pengurus, karena kesalahannya tidak melaksanakan pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan (secara fisik) tidak dapat dipersalahkan, karena badan itu hanya anggapan (fiksi) saja ada sebagai subjek yang dapat memenuhi kewajiban perpajakannya. Tetapi kenyataannya secara fisik tidak dapat bertindak atau berbuat, tidak bisa menghitung dan tidak dapat bergerak untuk melakukan kewajiabannya sebagai wajib pajak. Maka semua kewajiban Badan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengurus. Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUH Perdata mengatur bahwa “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak 134 berbuat sesuatu” . Dengan demikian perikatan berupa badan dan/atau badan hukum adalah subjek hukum perdata yang berhak dan berkewajiban hukum. Objek pajak adalah peristiwa-peristiwa hukum, perbuatan, kejadian dan keadaan terkait hukum yang bersifat perdata yang terukur dan bernilai. Oleh karenanya subjek hukum perdata juga dapat menjadi subjek pajak, dan prinsip- perinsip perdata berupa mediasi dan kompromi juga berlaku dalam hukum pajak, seperti penundaan, pangangsuran, pengurangan pembayaran pajak sesuai ketentuan peraturaan perundang-undangan perpajakan. Pasal inilah yang menjadi dasar penentuan subjek pajak terdiri dari orang pribadi dan badan (sebagai subjek hukum perdata) berupa perikatan dan/atau badan. Subjek pajak yang memenuhi persyaratan objektip menjadi Wajib Pajak yang terdiri dari Wajib Pajak Orang pribadi dan wajib pajak badan. Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur hal yang sama, yaitu “ Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertangggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai denggan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan”. Sekalipun kemudian badan yang diurusnya menjadi pailit atau dibubarkan, tidak akan menghapus kewajibannya melunasi pajak yang terhutang yang sudah ada sebelum pembubaran atau pemailitan tersebut. Dengan alasan antara lain, a) Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang. b) Timbulnya pajak terhutang adalah karena pengurus tidak meaksanakan kewajiban perpajakannya, memenuhi pembayaran sebagaimana mestinya. c) Seandainya oleh pengurus memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya, maka tidak akan ada pajak terhutang yang harus dibayar pada saat perusahaan bubar atau dipailitkan. d) Adanya kewajiban pengurus harus membayar pajak terhutang setelah perusahaan bubar atau pailit, adalah karena kesalahan pengurus sendiri membuat hutang pajak, yang terjadi sebelum perusahaan tersebut bubar atau dipailitkan. Maksud frasa kata/anak kalimat dalam Pasal 32 ayat (2): “ kecu ali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut ” adalah terkait ketentuan Pasal 32 135 ayat (4) dan penjelasannya, yang mengatur pengertian pengurus Badan termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akta pendirian maupun akta perubahan, termasuk Komisaris Perusahaan/Badan dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Misalnya apabila kejadian, pengawas/pemeriksa memutuskan telah terjadi penyimpangan melawan hukum dalam satu kebijakan Pengurus/Direksi dalam melaksanakan perusahaan, kalau sewaktu rapat mengambil keputusan kebijakan yang dinyatakan ada penyimpangan tersebut ada seorang Komisaris perusahaan sebagai penasehat, menyatakan tidak sependapat atau berpendapat lain dan tidak setuju atas kebijakan yang diambil Direksi, maka Komisaris tersebut dapat lepas dari sanksi atas kesalahan dimaksud. Demikian pula dalam kepemimpinan pengurus secara kolektif kolegial, apabila ada salah seorang pengurus yang tidak setuju atau dissenting opinion sewaktu pengambilan keputusan, namun karena sudah jadi keputusan rapat dia juga harus turut menandatanganinya Apabila pelaksanaan keputusan yang diambil dinyatakan salah atau melawan hukum, maka yang bersangkutan lepas dari tangggug jawab akibat kesalahan tersebut. Tentang Pasal 2 ayat (6): Pemberian NPWP sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP adalah sebagai sarana administrasi perpajakan, yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP tersebut diberikan hanya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pentingnya identitas NPWP di samping nama wajib pajak, adalah untuk menjamin kepastian bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, bahwa benar pemenuhan perpajakan dilakukan oleh yang bersanggkutan dan untuk yang bersangkutan, agar terhindar dari kemungkinan ada nama yang sama. Juga bagi Wajib Pajak yang mempunyai cabang banyak di alamat yang berbeda, dapat dilakukan memenuhi kewajiban perpajakannya dimana saja 136 untuk diperhitungkan sebagai pemenuhan kewajiban pajak bagi pemilik NPWP yang sama. Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), baik karena permohonan Wajib Pajak dan atau karena kewenangan Direktur Jenderal Pajak, adalah berdasarkan ada atau terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari seseorang yang akan diberikan atau dicabut NPWP- nya. NPWP tidak ada kaitan dengan jumlah pajak terhutang yang tidak atau belum dibayar, tetapi diberikan semata-mata untuk identitas dalam memenuhi kewajiban perpajakan bagi yang terpenuhi persyaratan subjetif dan objektif yang akan diberikan atau dicabut NPWP-nya. Apabila ditemukan seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif, tetapi yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP, maka dinas (Direktorat Jenderal Pajak) akan memberikan NPWP secara jabatan, tanpa melalui permohonan Wajib Pajak. Atas objek pajak yang ditemukan, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Jabatan atas pajak yang terhutang ditambah dengan dendanya sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melakukan pencabutan NPWP harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kewajiban perpajakannya. Apabila hasil pemeriksaan memutuskan dapat/untuk dicabut NPWP, kemudian belakangan ditemui masih ada objek pajak yang tidak dilaporkan pada saat pemeriksaan, yang masih ada pajak terhutang/yang harus dibayar, maka NPWP akan diterbitkan kembali untuk menagih pajak terhutang. NPWP perusahaan yang dinyatakan pailit, sesuai ketentuan baru dapat dihapuskan apabila sudah tidak ada lagi kewajibann perpajakannya. Kalau masih ada pajak terutang yang belum dibayar, maka NPWP tidak boleh dihapus, karena NPWP tersebut masih diperlukan sebagai sarana untuk membayar pajak. Pemohon menerangkan sejak Perusahaan PT UCI dinyatakan pailit: (i) Pemohon secara hukum tidak lagi dapat bertindak untuk dan atas nama PT UCI dan tidak lagi bertanggung jawab sebagai peribadi atas perusahaan; (ii) semua hak dan kewajiban Direksi (Pemohon) telah beralih kepada Kurator yang ditunjuk; 137 (iii) Pemohon demi hukum tidak dapat lagi dibebani pertanggung jawaban secara pribadi. Ahli menerangkan Pasal 1 angka 5 UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) mengatur, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini”. Pasal 1 angka 11 berbunyi, “Setiap orang adalah orang peseorangan atau korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum”. Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU mengatur bahwa tugas dan wewenang Kurator adalah melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Tugas Kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan pemberesan aset debitor yang dinyatakan pailit, untuk digunakan pembayaran hutang debitor atas piutang kreditor. Oleh karena itu, selain tugas Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tersebut tidak ada tugas Direksi (Pengurus) yang dialihkan kepada Kurator, dan semua tugas wewenang kecuali terkait pemberesan harta pailit tetap sepenuhnya masih menjadi tangggung jawab Direksi (Pengurus). Tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan yang salah, yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang terjadi sebelum dipailitkan, tetap menjadi tanggung jawab pengurus yang bersangkutan. Apabila hasil pemberesan Kurator terhadap aset Debitor belum cukup melunasi piutang atau tagihan dari para Kreditor, maka menurut UU 37/2004 tentang Kepailitan, kreditor dan debitor berhak: i) Pasal 204: setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka Kreditor memeroleh kembali hak eksekusi terhadap harta dari Debitor mengenai pitutang mereka yang belum dibayar. ii) Pasal 215, “Setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 166, Pasal 202 dan Pasal 207, maka Debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan reahabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit”. 138 iii) Pasal 216, “Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli warisnya tidak akan dikabulkan, kecuali apabila pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua Kredior yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan”. __ Terkait tanggung jawab pengurus atas kewajiban perusahaan (Badan) yang menjadi tanggung jawab pengurus sebagai tanggug jawab pribadi dan tanggung jawab renteng (dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP), ketentuan dalam UU 37/2004 tentang KPKPU mengatur bahwa: i) Pasal 23, “Debitor pailit sebagaimana dimaksud Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi isteri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta”. ii) Pasal 24, “Debitor demi hukum kehilanggan haknya untuk mengguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Kaitan hak dan kewajiban suatu Badan dengan pemberesan aset dari Badan yang pailit oleh Kurator, hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang Badan sebagai Debitor, sesuai yang ditentukan oleh Kurator dan Hakim Pengawas. Dengan dinyatakannya suatu Badan pailit, tidak berarti hutang Badan tersebut akan terselesaikan seluruhnya setelah selesai Pemberesan budel aset pailit. Apabila masih ada piutang yang belum dilunasi masih terbuka hak Kreditor utk menagihnya lagi (lihat ketentuan Pasal 204 UU KPKPU). Terkait hak Kreditor yang terbuka kembali untuk menagih piutangnya yang belum dilunasi sebagaimana dimaksud Pasal 204 UU KPKPU, maka: i) Untuk Kreditor karena perjanjian (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah menyampaikan semua tagihannya pada saat pencocokan piutang (Pasal 115 UU KPKPU), dan Kurator juga setelah berunding dengan Kreditor telah memasukkan semua piutang tersebut dalam Daftar Piutang (Pasal 116 dan Pasal 117 UU KPKPU); demikian pula Debitor telah menyerahkan daftar semua aset/harta kekayaannya termasuk harta isterinya kepada Kurator (Pasal 21 dan Pasal 23 UU KPKPU), maka apabila ternyata sudah tidak ada lagi aset Debitor, dan Badan/Perusahaan sudah dinyatakan pailit dan/atau bubar sehingga sudah tidak ada kegiatan lagi dan/atau sudah berhenti, secara fisik tidak ada lagi kegiatan, maka penagihan untuk melunasi 139 kekurangan pembayaran piutang yang belum dibayar, sudah tidak dapat lagi dilakukan. Karena pengurus yang sudah tidak aktif lagi tidak dapat diminta atau dipaksa untuk melunasinya. Dengan pengertian lain, pembayaran piutang dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator yang menjadi pebayaran atas piutang Kreditor yang meminta untuk dilakukan pailit tersebut. ii) Terhadap utang pajak yang timbul karena Undang-undang (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah terdaftar di Kurator, yang belum semua dilunasi dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator, maka atas pajak terutang yang belum dibayar berlaku ketentuan Pasal 204 UU KPKPU dimaksud. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, penagihannya dilakukan kepada Direksi yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak terhutang yang belum dibayar tersebut. Dan tangggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng bagi pengurus, yang dapat ditagih secara paksa, apabila tidak dibayar sesuai ketentuan yang berlaku. Atas pajak terhutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar, dapat ditagih dengan penagihan paksa berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP), dengan cara: (i) dengan surat Paksa; apabila hutang masih belum dilunasi, dilakukan penyitaan. Kemudian apabila masih belum dibayar, dilanjutkan dengan pelelangan aset dari penanggung pajak terhutang (Pasal 12 dan Pasal 25 UU PPSP); (ii) Apabila diketahui ada upaya untuk menghindari atau tidak bersedia membayar utang pajak, maka dapat disita uangnya di Bank dengan melakukan pemblokiran atas rekening penaggung pajak di Bank (Pasal 17 UU PPSP); (iii) kalau diketahui ada iktikad tidak baik misalnya, mau menghindar keluar negeri, dapat diusulkan untuk dilakukan pencegahan/ pencekalan kepada yang bersangkutan (Pasal 29 UU PPSP); (iv) kalau utang pajaknya besar dan ada iktikad tidak baik untuk menghindar membayar pajak, misalnya berupaya memindahkan aset, maka dapat dilakukan paksa badan ( gijzeling ) selama 6 bulan dan dapat diperpanjang lagi 6 bulan berikutnya apabila masih tetap belum dibayar, sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 140 Terkait pendapat Pemohon bahwa NPWP Perusahaan yang dinyatakan pailit karena insolven hapus demi hukum, Ahli menjelaskan seperti yang dijelaskan dalam tanggapan Pasal 2 ayat (6) di muka, NPWP diberikan apabila terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif, khususnya ada objek pajak yang harus terhutang pajak. NPWP diberikan sebagai sarana administrasi membayar pajak dengan menggunakan identitas NPWP disamping nama wajib pajak. Demikian pula halnya penghapusan NPWP, baru dapat dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif. Sepanjang masih ada objek pajak terhutang dan/atau pajak terhutang yang belum dibayar maka NPWP belum boleh dihapuskan. Terkait pendapat Pemohon yang mengkaitkan dengan ketentuan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Penerapan Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) UU PT (Surat Pemohon/ butir 3.18, butir 3.20 pada “III. Pokok- Pokok dan Alasan-alasan Permohonan” antara lain isinya: setiap angggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila terbukti melakukan kesalahan. Pertanggung-jawaban pribadi tersebut dikecualikan sepanjang anggota Direksi tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, mengurus perseroan sesuai ketentuan hukum, dengan iktikad baik dan hati-hati, tidak memiliki benturan kepentingan, dan telah mengambil Tindakan untuk mencegah timbulnya atau tidak berlanjutnya kerugian. Ketentuan yang sama juga yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP: (“apabila dapat membuktikan dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab tersebut”), salah satu yang diajukan uji materil oleh Pemohon Sekalipun melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah membebaskan Direksi dan Komisaris dari pertanggungjawaban yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) dimaksud, hal itu adalah terkait tanggung jawab pengegolaan perusahaan berdasarkan perinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ). Demikian pula Putusan Pengadilan Niaga terkait kepailitan PT UCI, yang tidak menetapkan karena ada kesalahan Direksi (butir 3.25 Surat Pemohon) adalah dalam pengurusan Perusahaan terkait penyebab kepailitan perusahaan. Tetapi terkait hutang pajak 141 yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilakukan pembayaran, masih tetap terhutang dan menjadi tanggung jawab pengurus. Hutang Pajak hanya dapat hapus atau akan berkurang apabila: (i) dibayar lunas ke kas negara atau di tempat lain/bank yang ditunjuk, (ii) diperhitungkan (dikompensasikan) dengan kelebihan pembayaran pajak yang lain, (iii) melalui pemindahbukuan (PBK) dengan persetujuan Dirjen Pajak, (iv) dibayar dari pemberesan aset Debitur oleh Kurator bagi perusahaan/Badan yang pailit, (v) dengan keputusan instansi berwenang (Direktur Jenderal Pajak) melalui keputusan permohonan keberatan, atau permohonan pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana diatur Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP, (vi) putusan pegadilan atau putusan peninjauan Kembali di MA, dan (vii) kadaluarsa penagihan. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Hutang pajak adalah kewajiban perusahaan yang terhutang karena memiliki objek pajak kena pajak. Kalau perusaan rugi, atau tidak ada objek pajak yang timbul atau yang dikuasainya untuk dikenakan pajak, maka tidak akan timbul hutang pajak. Oleh karena itu, hutang pajak Badan timbul karena pengurus Badan lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Kelalaian atau pelanggaran sengaja dari pengurus yang dapat menimbulkan kerugian negara, dapat dikenakan sanksi denda atau pidana kurungan atau penjara sebagai mana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Pembebasan Direksi (pengurus) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU PT, adalah terkait pengelolaan perusahaan berdasarkan pengelolaan perusahaan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) atas tidak tercapainya Rencana Kerja Perusahaan, yang berdampak rugi atau menurunnya aset atau equity perusahaan. Sepanjang telah dikelola dengan iktikad baik, sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, tidak menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku, dan tidak ada conflict of interest , maka Pengurus/Direksi dibebaskan dari kegagalan yang telah terjadi. Namun apabila ada kewajiban membayar pajak terhutang yang belum atau kurang dibayar, tetap akan menjadi tanggung jawab pengurus/direksi secara peribadi dan tanggung jawab renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, 142 sebab timbulnya utang pajak karena kesalahan Pengurus/Direksi yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip-prisip Pengelolaan Perusahaan yang baik, yang menjadi aset, liablity atau equity perusahaan yang tercantum dalam neraca kekayaan perusahaan adalah setelah laba kena pajak. Artinya pajak terhutang sudah diperhitungkan telah dibayar, sehingga dikeluarkan dari neraca laba-rugi perusahaan. Oleh karenanya, kalau hutang pajak belum dibayarkan kepada kas negara berarti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus yang bertanggung jawab melaksanakannya. Tentang Pemblokiran Rekening Bank dan Pencekalan Pemohon oleh Kantor Imigrasi atas Permintaan Direktur Jenderal Pajak Pemohon mempermasalahkan: i) dilakukannya pencekalan terhadap pemohon oleh Kantor Imigrasi atas permintaan Direktur Jenderal pajak; dan ii) dilakukannya pemblokiran rekening Bank Pemohon di BCA atas permintaan Direktur Jenderal Pajak (butir 2.13; alasan kerugian Kelima dan Keenam dalam surat Pemohon). Sesuai ketentuan Penagihan Pajak berdasarkan UU 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP), terhadap penunggak pajak dapat dilakukan penagihan jika sudah diperingatkan tetapi tidak melunasi utang pajaknya, melalui tindakan melakukan upaya memaksa wajib pajak untuk melakukan pembayaran atas utang pajaknya dengan cara: i) Dilakukan penagihan dengan Surat Paksa sesuai ketentuan Pasal 8 UU PPSP, melalui penyitaan aset penunggak pajak. Apabila tetap tidak dibayar, kemudian menjualnya melalui lelang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dipakai pembayar pajaknya yang terhutang. ii) Memblokir rekening Bank Penunggak Pajak, dan selanjutnya meminta pemilik untuk mencairkannnya sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU PPSP, hasil pencairannya untuk melunasi utang pajaknya. iii) Apabila ada iktikad tidak baik dari penunggak pajak, dihawatirkan akan menghindar ke Luar Negeri, maka diusulkan untuk dilakukan pencegahan atau pencekalan sesuai ketentuan Pasal 29 UU PPSP, atau v) Dengan adanya iktikad tidak baik dan/atau atas rekening di Bank yang diblokir tidak bersedia mencairkannya, maka dapat dilakukan paksa badan atau penyanderaan ( gijzeling ) sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 143 Apabila dalam upaya Wajib Pajak menghindari atau menggelapkan pajak terhutang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kerugian negara yang tergolong tindak pidana, maka dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan antara lain Pasal 39 UU KUP berupa sanksi penjara paling singkat 6 bulan atau paling lama 6 tahun, dengan denda pasing sedikit 2 kali atau paling banyak 4 kali pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Dengan dilakukan pemblokiran rekening Bank dan pencekalan kepada Pemohon dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak, menurut Pemohon telah menimbulkan kerugian konstitusional, ketidakadilan, dan tidak adanya perlindungan hukum, yang mendasari pengajuan materil atas kedua Pasal UU KUP tersebut. Dalam mendukung pendapat Pemohon mengatakan telah terjadi kerugian konstitusional, ketidakadilan dan tidak adanya perlindungan hukum akibat penerapan kedua Pasal UU KUP di atas, Pemohon mengacu “persyaratan moral hukum ( inner morality of law )” dari pendapat Lon Fuller (N.E. Simmonds, 1986:
; (Surat Pemohon: butir 3.4 dan 3.5 pada III. Pokok-pokok dan Alasan- Alasan Permohonan). Ada 8 syarat untuk terpenuhinya kaidah persyaratan moral hukum internal ( inner morality of law ) menurut Lon Fuller, yaitu: i) harus ada aturan ( rules ), ii) harus berlaku ke depan (prospektif), bukan ke belakang (retrospektif), iii) aturan tersebut harus diumumkan, iv) aturan tersebut harus sesuai akal sehat ( intelligible ), v) aturan tidak boleh saling kontradiktif, vi) aturan tersebut harus mungkin diikuti, vii) aturan tidak boleh diubah secara konstan, dan viii) harus ada kesesuaian ( congruence ) antara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh penegak hukum. (Surat Pemohon: butir 3.5) Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP ditinjau dari “ inner morality of law” Lon Fuller; dalam materi dan penerapannya dapat dijelaskan antara lain: i) adalah berdasarkan UU KUP dan telah ada dibuat aturan pelaksanaannya; ii) sudah banyak ditemukan Wajib Pajak yang melaksanakan tax planning dalam rangka menghindari pajak, dengan membubarkan atau mempailitkan 144 perusahaan, dan ini masih mungkin terjadi di masa yang akan datang. Maka perlu ditunjuk pengurus yang bertanggung jawab atas utang pajak secara pribadi, yang timbul karena kesalahannya; iii) UU KUP dan peraturan pelaksanaannya telah diumumkan di Lembaran Negara; iv) karena badan sebagai rechts persoon tidak dapat bergerak atau bertindak dan berbuat sendiri, maka harus ada orang pribadi yang membantu melaksanakan kewajibannya yaitu pengurus, dan hal ini sesuai dengan Teori Fiksi dari keberadaan Badan sebagai subjek hukum; v) ketentuan Pasal 32 ayat (2) sinkron dengan Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU 40/2004 tentang PT. Pemohon tidak ada mengemukakan apakah ada yang tidak sinkron baik secara horizontal maupun vertikal dengan pasal-pasal tersebut dengan ketentuan yang lain; vi) penerapan kedua Pasal yang diuji sudah berjalan dan banyak dilaksanakan selama ini; vii) sejak diundangkan UU KUP bunyi Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) tersebut tidak pernah berubah; viii) atas penerapan kedua pasal yang dilakukan uji materil tersebut, sudah ada beberapa wajib pajak menempuh hal yang sama. Pada dasarnya adalah karena merasa berat untuk memikul beban hutang pajak, padahal penyebab timbulnya hutang pajak tersebut adalah karena kesalahannya, seperti halnya yang terjadi dan dihadapi oleh Pemohon ini. Atas ke-8 persyaratan Lon Fuller tersebut, Pemohon tidak ada menyebutkan secara tegas butir yang mana dari ke-8 persyaratan tersebut yang telah membuat/menimbulkan kerugian konstitusionalnya, yang tidak memberikan keadilan dan perlindungan hukum. Dengan demikian menurut Ahli, penerapan Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang menunjuk Pemohon sebagai Pengurus/Direktur PT UCI yang berkewajiban melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan termasuk membayar pajak terhutang dari perusahaan PT UCI, adalah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang berlaku umum untuk semua pengurus perusahaan/badan. Apabila dalam mengurus/mengendalikan perusahaan Pemohon memenuhi kewajiban membayar semua pajak perusahaan yang terhutang, maka tidak akan ada utang pajak perusahaan yang akan menjadi tanggungan Pemohon secara pribadi. Pemberian NPWP adalah karena ada memiliki objek pajak yang terhutang pajak, dan pencabutan atau penghapusan NPWP dilakukan kalau tidak ada lagi 145 objek pajak yang akan terhutang pajak. Hal ini ketentuan yang berlaku umum tanpa membedakan para penanggung pajak. Dengan penjelasan seperti diuraikan di atas, maka atas penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP tidak ada yang menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Undang-undang itu berlaku bagi semua Wajib Pajak dengan kasus yang sama, oleh karenanya tidak ada menimbulkan ketidakadilan bagi pribadi Pemohon dan tidak juga kerugian secara konstitusionsl bagi pribadi yang bersangkutan. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Berdasarkan ketentuan undang-undang, sama halnya dengan wajib pajak yang sudah meninggal, NPWP wajib pajak yang pailit tidak otomatis hilang. ▪ Pasal 2 angka 6 dan Pasal 1 ayat (2) mengatur syarat pemberian nomor pokok adalah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Seandainya seseorang belum berstatus wajib pajak, tapi diketahui objeknya memenuhi persyaratan untuk dikenai pajak, dan yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak, maka petugas pajak akan memberikan NPWP secara jabatan. ▪ Dasar pemberian nomor pokok adalah terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif. NPWP dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif, tidak ada subyek pajaknya lagi dan juga tidak ada utang pajaknya. ▪ Terhadap kasus pailit sama perlakuannya dengan manusia yang sudah meninggal ketika ada warisan yang belum terbagi. Warisan yang belum terbagi adalah subjek pengganti. Hal ini hampir sama dengan apabila badan sudah pailit maka nomor pokok yang bernama tetap hidup sebagai pengganti pihak yang harus membayar pajaknya. ▪ Pasal 1 ayat (2) sampai ayat (5) UU Kepailitan mengatur bahwa piutang terjadi karena perjanjian atau pailit karena hukum. ▪ Pajak timbul karena hukum. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara. ▪ Dalam hal wajib pajak adalah badan, maka kewajiban membayar pajak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus. 146 ▪ Perusahaan dalam perkara in casu mengatakan sudah membayar pajak, dan hal ini disahkan oleh pengurus dalam RUPS, atau pemilik saham dalam RUPS, sudah berdasarkan laba setelah kena pajak. Karena laba dihitung setelah kena pajak, maka pajaknya sudah dikeluarkan. Lalu ke mana pajaknya itu? Atau mungkin ada laporan palsu. ▪ Seharusnya laba sudah kena pajak karena hal itu menjadi landasan membaca deviden. ▪ Laporan palsu mengenai pembayaran pajak diancam Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan, dan ditindaklanjuti Pasal 39 UU Pajak. Di RUPS sudah diputuskan laba kena pajak, tetapi ternyata tidak ada pajaknya. ▪ Atau mungkin pajaknya sudah diperhitungkan dan sudah dikeluarkan, tapi masih ada pada perusahaan. Jika terjadi demikian maka yang salah adalah Pengurus karena pengurus yang mengelolanya. ▪ Kemungkinan lain adalah dana sudah diambil tapi tidak diserahkan kepada kas negara. ▪ Utang perusahaan terdiri dari dua jenis, yaitu utang karena perjanjian dan utang pajak. ▪ Utang perusahaan diklarifikasi dalam prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ( good governance ) yang setiap tahun disahkan dalam RUPS bahwa pengurus (direksi dan komisaris) dibebaskan dari pertanggungjawaban. Tetapi tetap pada klausul, yaitu dikecualikan apabila di kemudian hari diketahui ada kesalahan yang membuat terjadinya penyimpangan. ▪ Utang (karena perjanjian) demikian memang tanggung jawab perusahaan yang sudah pailit. Tidak mungkin lagi ada tambahan beban kalau sudah pailit. ▪ Tetapi menyangkut utang pajak tidak demikian. Pajak yang terutang selama 5 tahun tetap boleh ditagih. Oleh karena itu sesudah perusahaan pailit, pajak 5 tahun ke belakang tetap dapat dihitung dan pajaknya tetap akan ditimpakan kepada perusahaan dan siapa penanggung jawab perusahaan (direksi). ▪ Pasal 30 ayat (1) mengatakan utang pajak dapat ditetapkan dalam tempo 5 tahun. Artinya, apabila perusahaan sudah dipailitkan kemudian dihitung pajaknya yang ada saat dia dinyatakan pailit, misalnya baru Rp.40.000.000,- yang dilaporkan terlebih dahulu kepada kurator. Selanjutnya utang pajak yang ada lima tahun sebelumnya tetap dapat ditetapkan dan dapat pula ada tambahan pajak tersebut diberikan kepada kurator lagi untuk dimasukkan 147 sebagai piutang. Namun jika sudah lewat pendaftaran dan tidak masuk daftar piutang kurator, utang pajak tetap harus ditagihkan kepada pihak yang bertanggung jawab. ▪ Tagihan seharusnya ditujukan kepada perusahaan, tapi Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pengurus. ▪ Apabila hasil pemberesan tidak cukup untuk melunasi semua piutang yang masuk pada kurator, maka timbul lagi penagihan kepada yang bersangkutan. ▪ Jika dianggap bahwa perusahaan pailit tidak perlu melunasi utang pajak, maka para pembayar pajak akan berlomba-lomba membuat pelaksanaan demikian dan mendirikan perusahaan baru.
Teddy Anggoro Ahli menyimpulkan Pemohon meminta agar pengecualian yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP melingkupi pengurus dalam hal ini direksi PT yang PT tersebut telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun terhadap Pasal 2 ayat (6) UU KUP, Pemohon menghendaki agar penghapusan NPWP oleh Direktur Jenderal juga termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terkait dengan kesimpulan tersebut, saya setelah membaca dan memahami dengan cermat masing-masing pasal dan petitum Pemohon, maka saya menyampaikan pendapat saya yang terbagi menjadi 8 (delapan) argumentasi sebagai berikut: Konsep Tanggung Jawab Direksi Jika merujuk pada sejarah sejak pertama kali diperkenalkan konsep badan hukum yang disebut Juristic Person maka terdapat dua prinsip yang dipegang teguh dan menjadi dasarnya, yaitu:
Limited Liability , yang artinya pribadi kodrati yang memisahkan kekayaannya untuk menjadi kekayaan pribadi hukum hanya bertanggung jawab sebatas kekayaan yang ia sertakan menjadi kekayaan pribadi hukum tersebut. Prinsip ini berbicara khusus untuk pemegang saham;
Separate Legal Personality , yang artinya pribadi kodrati yang menggerakan atau mempersonifikasi pribadi hukum merupakan subyek hukum yang terpisah dengan dengan pribadi hukum yang digerakan. Dalam teori korporasi, hal ini disebut Agency Relation atau Hubungan Kuasa. Oleh karena 148 itu, sering didengar klausul dalam dokumen hukum, bahwa “direksi bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas.” Diperkenalkannya 2 (dua) prinsip tersebut untuk suatu badan usaha dianggap sebagai satu-satunya kontribusi terbesar hukum bagi dunia bisnis dan pedagangan. B. C. Hunt (1936) menyebutnya, “ that brillian intellectual achievement of the Roman lawyers, the juristic person, a subject of rights and liabilities as is a natural person .” Di antara puja-puji akan konsep korporasi yang berhasil menggerakan ekonomi dunia, terselip celah atau lobang ( loophole ) untuk digunakan oleh manusia/pribadi kodrati untuk melakukan perbuatan tercela, curang, merugikan pihak lain, dan menguntungkan dirinya sendiri atau orang yang ia kehendaki untuk untung. Dua contoh masyhur saya sampaikan yang mewakili setiap sistem hukum mayoritas di dunia. Pertama, kasus Enron, sebuah perusahaan energi yang pernah didaulat menjadi The Most Innovative Large Company in America oleh lembaga riset kekayaan ternama Forbes. Direksi dan sharesholder telah melakukan fraud dengan melakukan high risk accounting practice dengan memanfaatkan celah dari sisi akuntansi, mempercantik laporan keuangan dan memanfaatkan special purpose entities untuk memindahkan uang perusahaan. Direksi dan shareholder pada tahun 2001, artinya 19 tahun yang lalu, telah merugikan pemegang sahamnya sebesar $40 Billion, kalau sekarang mencapai 600 Triliun rupiah atau seperempat APBN Indonesia. Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan perusahaan dagang milik para pedagang belanda yang diberikan hak istimewa ( octrooi ) oleh kerajaan Belanda, sampai memiliki tentara dan mata uang sendiri serta berdiplomasi dengan negara. Catatan kompas, 12 Juli 2020, menyebutkan pada masa jayanya (periode 1600-1750, adapun masa waktu VOC adalah 200 tahun) VOC bernilai 78 Juta Gulden, kalau sekarang setara 7,9 Triliun US Dollar. Sebagai perbandingan, nilai kongsi dagang Belanda ini setara dengan gabungan PDB Jepang dan Jerman di era modern saat ini. Komparasi lain, menurut Business Insider, yakni VOC setara dengan nilai dari 20 perusahaan dengan kapitalisasi terbesar dunia yang meliputi Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo. Namun mereka bankrupt karena direksi dan pemegang sahamnya yang korup. 149 Kedua contoh di atas menyadarkan para Scholar dan pemikir korporasi untuk menciptakan pengecualian atas dua prinsip mendasar konsep korporasi. Untuk Prinsip Limited Liability , diperkenalkan pengecualian yang disebut own and control doctrine , di Indonesia dikenal dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 15 Tahun 2019 disebut dengan "Pemilik Manfaat dari Korporasi" atau di negeri anglo-saxon dikenal dalam konsep Beneficiary Ownership . Dimana pemilik belum tentu pengontrol, sedangkan yang bertanggung jawab ( liable ) adalah pengontrol. Adapun prinsip separate legal personality , dikecualikan dengan Piercing the Corporate Veil doctrine . Dimana tanggung jawab direksi dapat dimintakan karena kesalahannya yang didasari itikad tidak baik yang telah menyebabkan kerugian perusahaan dan pihak ketiga. Hal ini dalam undang-undang perseroan terbatas diatur dalam pasal 97 dan 104. Sehubungan dengan apa yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa tanggung jawab direksi atas perusahaan yang dia urus adalah suatu hukum yang berlaku di dunia saat ini. Yang mana hal tersebut merupakan hasil perkembangan keilmuan dan praktek korporasi. Business Judgement Rule Merupakan Imunitas Bagi Good Faith and Intra Vires Director Ketika pertanggungjawaban pengurus dituntut oleh pemegang saham atau pihak ketiga yang dirugikan. Maka pihak pengurus dapat dipastikan akan menggunakan doktrin Business Judgement Rule sebagai argumentasi untuk melindungi dirinya dari pertanggungjawaban tersebut. Pada kesempatan ini penting untuk ditegaskan bahwa Business Judgement Rule merupakan imunitas bersyarat bagi seorang direksi, bukan merupakan bentuk bentuk perlindungan total dalam pengertian tidak dapat tersentuh ( untouchable ) dari pertanggung jawaban. Hal ini diartikan oleh Roger LeRoy Miller dan Gaylord A. Jentz (2009) sebagai: “A rule that immunizes corporate management from liability for action that result in corporate losses or damages if the action is undertaken in good faith and are within both the power of the corporation and the authority of management to make.” Artinya pengurus ketika dimintai pertanggungjawaban dia harus membuktikan kepada pengadilan bahwa ia melakukan pengurusan dengan good faith , power of corporation , dan kewenangan yang dimiliki oleh direksi 150 ( intra vires ). Yang ingin saya tekankan adalah, Pertama, direksi harus diperiksa dan membuktikan atas pertanggungjawaban yang dimintakan kepadanya. Kedua, Direksi harus membuktikan bahwa ia tidak memiliki itikad buruk. Ketiga, Direksi harus membuktikan ia intra vires (mengambil keputusan dalam kewenangannya), yang mana kewenangan ini tidak saja berdasarkan peraturan internal perusahaan tetapi peraturan eksternal seperti Peraturan Perundang- undangan. Sehubungan dengan petitum pemohon yang meminta dikecualikan pertanggungjawaban pengurus dalam hal kepailitan tidak lah dibenarkan secara hukum, dan argumentasi yang membawa-bawa doktrin business judgement rule adalah tidak tepat. Karena doktrin tersebut justru menghendaki pengurus untuk diperiksa dan membuktikan itikad baik dan ketaatannya terhadap peraturan yang mengikat dirinya, dalam hal ini peraturan perpajakan. Sehingga tegas, Business Judgement Rule merupakan imunitas atau dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan kebal. Kondisi kebal ini harus dibuktikan dengan serangan atau ujian, sebagaimana terjadi pada tubuh manusia ketika terkena infeksi virus ataupun bakteri patogen hingga kemudian tubuh merespon dengan membangun sistem kekebalan. Dalam konteks hukum perusahaan, serangan atau ujian yang dimaksud adalah persidangan atau pemeriksaan. Makna imunitas dalam Business Judgement Rule ini tentu berbeda dengan tidak dapat disentuh atau untouchable sebagaimana dimaksud dalam permohonan pemohon. Memang yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan kondisi dimana Perseroan Terbatas pailit. Maka jawabannya adalah sama, tidak ada perbedaan dengan kondisi normal. Karena pailit hanya lah cara pembayaran utang debitur secara kolektif. Penjelasan lebih lengkap mengenai kepailitan akan saya paparkan lebih lanjut di bagian bawah. Pertanggungjawaban Direksi meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 151 Direksi sebagai personifikasi Perseroan Terbatas. Dimana Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum. Maka setiap kewajiban yang ditetapkan oleh perundang-undangan harus ditaati dan dilaksanakan oleh Perseroan Terbatas tersebut. Bagaimana caranya? Tentu dengan perbuatan direksi untuk dan atas nama Perseroan Terbatas. Sehubungan dengan permohonan uji materi ini. Maka dapat dipastikan bahwa setiap perseroan terbatas di Indonesia selaku Wajib Pajak (yang memenuhi syarat subjektif dan objektif) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri, tidak perlu menunggu ketetapan pajak dari fiskus. Mengapa ini ditekankan? Karena ketika perseroan terbatas tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif (misalnya tidak memiliki pemasukan atau dalam keadaan merugi), maka pada periode itu undang-undang memberikan kelonggaran untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, misalnya SPT PPh Tahunan menjadi nihil (tidak perlu bayar) dan kerugian dapat dikompensasikan pada periode SPT Tahunan berikutnya. Namun sebaliknya jika perusahaan tersebut memiliki penghasilan dan mendapatkan keuntungan maka timbul kewajiban untuk menghitung, melapor, membayar pajak, dan jika tidak dipenuhi akan menimbulkan sanksi administratif yang dapat terakumulasi seiring waktu. Kewajiban pengurus Perseroan Terbatas tersebut meliputi juga jenis PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, upah, honorarium, tunjangan, pesangon, uang pensiun, dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tetap dikenakan pajaknya walaupun Wajib Pajak mengalami rugi usaha. Dalam jenis pajak ini, negara memberikan amanat kepada Perseroan Terbatas yang diwakili oleh pengurus untuk melaksanakan pemotongan/pemungutan, pelaporan dan pembayaran pajaknya pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itulah, jika jenis pajak yang dipotong/dipungut tadi oleh pengurus sengaja tidak disetorkan kepada kas negara, maka negara memberikan ancaman dengan dijerat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP. Berdasarkan gambaran umum kewajiban perpajakan tersebut, sangat jelas bahwa kewajiban untuk melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas baik yang meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara 152 bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semuanya adalah tanggung jawab dari Direksi. Jika melihat pada rumusan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka kewajiban yang sifatnya absolut adalah untuk memastikan kepada direksi baik sendiri- sendiri atau kolegial melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan sejak pembukuan, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara patuh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak dilaksanakan hal ini akan menjadi utang pajak, timbul sanksi administratif dan konsekuensi lainnya. Demikian juga terhadap kewajiban PPh Tahunan Badan. Berdasarkan pasal 32 ayat (2) UU KUP tersebut, maka secara otomatis Direksi sebagai pengurus wajib melakukan pembukuan, menghitung keuntungan yang didapat selama 1 tahun buku, membayarkan dan melaporkan pajaknya. Jika pengurus kemudian dikecualikan sesuai dengan permohonan pemohon dalam uji materi ini. Maka akan terjadi nanti keadaan dimana direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kewajiban pembayaran PPh Tahunan Badan ketika Perseroan Terbatas yang ia atau mereka urus dipailitkan. Karena hukum kepailitan mengatur setelah keadaan pailit pengurusan dan pemberesan boedel pailit beralih kepada Kurator. Tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab Direksi untuk pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas yang diwakilinya tersebut. Jika harta pailit cukup untuk membayar semua hutang, maka tidak akan ada masalah. Tetapi ketika harta pailit tidak cukup, maka sangat logis negara memiliki mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajiban perpajakan berupa utang pajak yang masih belum dilunasi tersebut kepada Direksi atau pengurus yang bersangkutan. Pertanggungjawaban direksi sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 Hal yang menjadi krusial dalam permohonan uji materi ini adalah, sejauh apa direksi bertanggung jawab dalam hal Perseroan Terbatas yang dia atau mereka urus jatuh dalam keadaan pailit. Yang pertama harus ditinjau adalah bagaimana UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengartikan kepailitan itu. UU mengatur Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan 153 debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Lebih lanjut Pasal 69 ayat (1), mengatur Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Sehingga tegas, bahwa yang menjadi lingkup penugasan kurator adalah harta pailit ( boedel pailit). Boedel pailit ini melingkupi aktiva (harta) dan pasiva (utang), tetapi tidak masuk kesalahan dari debitur pailit atau pengurus debitur pailit jika Perseroan Terbatas. Hal ini dapat dilihat pada pasal 26 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: "(1) Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator;
Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit." Ketentuan ini jelas menegaskan bahwa, utang yang disebabkan kesalahan debitor pailit dan/atau pengurus debitor pailit adalah terpisah tanggung jawabnya dengan boedel pailit yang ada. Lebih tegas lagi, Pasal 3 ayat (1) juncto Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa direksi dapat digugat untuk dimintai pertanggung jawabannya jika kepailitan terjadi sebagai akibat dari kelalaian atau kesalahannya. Hal ini dapat dilakukan kurator jika boedel pailit tidak cukup melunasi hutang-hutangnya. Sehingga perlu dipertegas, adalah salah jika banyak ahli yang berpendapat untuk melihat adanya tanggung jawab direksi maka harus merujuk pada putusan pernyataan pailit yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini menunjukan ahli-ahli tersebut tidak ahli di bidang korporasi dan kepailitan, atau sekurang-kurangnya mereka khilaf dalam membaca UU Kepailitan. Yang dengan tegas mengatur bahwa permintaan tanggung jawab direksi adalah upaya hukum yang terpisah dari putusan pernyataan pailit yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa "karena putusan penyataan pailit tidak menyebut tanggung jawab direksi, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atau tanggung jawabnya telah beralih sepenuhnya kepada kurator". Simpulan tersebut adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hukum kepailitan. 154 Tanggung Jawab Direksi Tidak Berpindah Kepada Kurator, Selain Pengurusan dan Pemberesan Boedel Pailit Pertanyaan berikutnya, mengenai akibat putusan pernyataan pailit terhadap tanggung jawab direksi adalah sesuatu yang harus disampaikan dalam keterangan saya ini agar terang permasalahan ini. Sebelumnya sudah disebutkan bahwa jika merujuk pada tugas Kurator yang diatur dalam Pasal 69 UU Kepailitan dan PKPU dibatasi pada pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dimana kewenangan melakukan tugas tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU muncul sejak putusan pernyataan pailit, meskipun putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali. Kemudian untuk melihat apakah apakah tanggung jawab direksi termasuk hal-hal yang berpindah atau beralih ke Kurator dengan adanya putusan pernyataan pailit. Kita bisa temukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur Akibat Kepailitan, pasal ini menyebutkan Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Jadi tegas sekali, bahwa yang beralih kepada kurator adalah hanya kekayaan. Adapun tanggung jawab atas kesalahan direksi selama pengurusannya, tetap menjadi tanggung jawab direksi tersebut. Harus dibayangkan bahwa undang-undang mengatur tugas kurator sebagai pengumpul harta pailit, penjual harta pailit, dan pembayar utang debitor secara kolektif. Itupun hanya terbatas pada harta pailit yang tersedia. Bukan sebagai pengganti Direksi atau penerima tanggung jawab atas perbuatan direksi sebelum pailit. Tanggung Jawab Direksi Pasca Kepailitan Berakhir tetapi belum dilikuidasi Menjadi pertanyaan berikutnya bagaimana pertanggungjawaban organ perseroan jika kepailitan Perseroan Terbatas telah berakhir, tetapi belum dilikuidasi. Yang pertama harus dijelaskan, bahwa berakhirnya kepailitan menurut Pasal 202 UU Kepailitan dan PKPU adalah setelah dibayarkan jumlah penuh utang kreditur, atau daftar pembagian penutup menjadi mengikat. Sehingga jelas UU Kepailitan dan PKPU, mengatur jika berakhirnya kepailitan hanya 155 disebabkan oleh 2 hal. Pertama utang para kreditur dibayar penuh. Kedua, daftar pembagian penutup menjadi mengikat karena kreditor tidak mendapatkan pembayaran penuh piutangnya. Berakhirnya kepailitan, dimana para kreditor tidak dibayar penuh, menurut Pasal 204 (bagian Keadaan Hukum Debitor Setelah Berakhirnya Pemberesan) menimbulkan konsekuensi kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitor mengenai piutang yang belum dibayar. Hal ini sejalan dengan prinsip umum kebendaan dalam hukum perdata, dimana Pasa 1131 KUHPerdata mengatur bahwa Semua kekayaan debitor, bergerak atau tidak bergerak, yang ada saat ini maupun yang akan datang menjadi jaminan pelunasan hutangnya. Sehingga pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa berakhirnya kepailitan perseroan terbatas, sekalipun telah dilikuidasi. Tidak menyebabkan hapusnya sisa piutang kreditur yang belum terbayar lunas dalam proses kepailitan. Ini lah keadilan dalam konteks keperdataan, bahwa utang tidak akan pernah hapus tanpa 3 (tiga) hal, yaitu Pembayaran oleh debitur, Pembebasan oleh Kreditur, dan Daluarsa. Mengenai ketentuan pasal 142 UU PT yang mengatur pembubaran PT salah satunya karena keadaan insolvensi, hal tersebut tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Kepailitan dan PKPU. Karena dalam UU Kepailitan Pasal 178 mengatur keadaan insolvensi adalah suatu keadaan dimana rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Jadi keadaan insolvensi, itu jauh dari istilah bubarnya perseroan. Oleh karena itu, seluruh kepailitan yang berakhir di Indonesia, tidak pernah berakhir dengan likuidasi. Karena kepailitan dan likuidasi di Indonesia adalah 2 perbuatan hukum yang berbeda. Dari penjelasan ini, jika boedel pailit tidak mencukupi untuk membayar penuh seluruh utang. Maka setelah kepailitan berakhir, sisa utang yang belum dibayarkan kepada kreditur tersebut. Dapat ditagihkan kreditur kepada pengurus PT jika belum dilikuidasi, atau jika setelah dilikuidasi, maka kreditur dapat menuntut kepada person dalam organ perseroan, jika ada dasar dan alasan untuk menuntut itu, dalam hal ini tidak dibayarkannya utang kreditor pada 156 masa sebelum jatuh putusan pernyataan pailit adalah karena kesalahan pengurus perusahaan. Hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 104 ayat (2) dan (3) UU PT yang menyebutkan, bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Bahkan Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga jelas, tidak ada satupun alasan bagi direksi untuk lepas pertanggungjawaban ketika terjadi kepailitan yang mana boedel palit tidak cukup membayar seluruh utang. Kewenangan piercing the corporate veil terhadap Direksi Pada pembahasan awal, telah dijelaskan bahwa tidak ada perlindungan mutlak prinsip separated legal personality kepada pengurus perusahaan yang tidak beritikad baik yang telah menimbulkan kerugian PT. Pertanyaan berikutnya, siapakah yang berwenang untuk menyingkap tabir tanggung jawab terbatas direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UUPT tegas disebutkan Pengadilan. Tetapi ketentuan UUPT ini mengatur gugatan privat dalam hal ini oleh pemegang saham atau pihak ketiga. Adapun piercing the corporate veil pengurus, terkait dengan tuntutan negara atau publik, maka iya tunduk pada ketentuan UU yang mengaturnya. Jika pajak, diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan, jika PNBP diatur dalam ketentuan PNBP dan seterusnya. Sehingga keberadaan pasal 32 UU KUP yang mewajibkan pengurus bertanggung jawab, kecuali pengurus tersebut dapat membuktikan kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab adalah sejalan dengan doktrin piercing the corporate veil. Pasal 32 Tidak Hanya Berbicara Perseroan Terbatas, Tetapi Seluruh Bentuk Usaha 157 Jika melihat permohonan pemohon, dalam kapasitasnya sebagai Direktur suatu PT, yang menghendaki tafsir terhadap pasal 32 yang tidak hanya berbicara tentang PT. maka permohonan tafsir tersebut tidaklah tepat. UU KUP dalam pasal 1 angka 3 mendefiniskan badan bukan semata PT, tetapi sangat luas. Meliputi CV, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, ormas, kontrak investasi kolektif (KIK), dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang sebagian besar tidak memiliki tanggung jawab terbatas ( limited liability ). Sehingga jika uji materil ini dikabulkan, saya membayangkan bagaimana sulitnya nanti negara menagihkan utang pajak badan. Karena akan ada pengurus firma, CV, Kongsi, ormas, KIK dan BUT yang berdalih mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas utang pajak ketika badan yang mereka urus tersebut pailit, dengan dasar Pasal 32 mengecualikan pertanggungjawaban wakil yang badan usahanya pailit. Padahal tanggung jawab mereka tersebut terhadap badan-badan usaha tersebut adalah tanggung jawab pribadi. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Pengurus dikatakan beriktikad baik dalam konteks business judgment rule jika memenuhi empat kriteria dalam Pasal 97 ayat (5) UU 40/2007 (UU PT), yaitu: ▪ Kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. ▪ Pengurusan dilakukan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Pengurus tidak punya kepentingan terhadap dirinya sendiri; tidak ada benturan kepentingan; tidak ada kepentingan terhadap dirinya sendiri ( have no conflict of interest ). ▪ Berdasarkan kewenangannya ( intra vires ). Kewenangan dalam hal ini adalah ketaatan direksi terhadap peraturan yang dibuat oleh perusahaan terhadap direksi. ▪ Tanggung jawab pengurus yang melanggar, menurut UU PT, akan diminta sampai dengan kerugiannya. ▪ Dalam Putusan Pengadilan mengenai pailit tidak akan ada pernyataan mengenai direksi bersalah atau tidak bersalah. ▪ Pernyataan pailit adalah upaya kreditur untuk mendapatkan pelunasan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan Pasal 21 ayat (2). Dengan demikian putusan pailit hanya akan bicara tentang hal itu saja. 158 ▪ Amerika dan Singapura mempunyai sistem perkreditan atau utang piutang yang sudah ▪ sangat prudent dan hati-hati. Di kedua negara itu dikenal debt forgiveness atau penghapusan utang. Penghapusan utang di Indonesia menjadi otoritas kreditor, sementara debt forgiveness di negara-negara maju diberikan oleh hukum atau undang-undang. ▪ Sehingga sangat mungkin ketika terjadi kepailitan dan pemberesan, ternyata masih ada utang namun direksinya sudah mengurus dengan benar, maka negara harus berperan. ▪ Bagaimana cara memperoleh pelunasan jika direksi bekerja sudah benar? Dalam konteks ini banyak yang tetap memaksakan untuk memeriksa tanggung jawab direksi melalui pengadilan. Banyak kasus kepailitan kemudian menggantung dalam konteks ini. ▪ Pailit digunakan untuk menghindari pajak karena UU Kepailitan menyaratkan bahwa kepailitan tidak harus dalam keadaan tidak mampu bayar, tetapi cukup dengan dua kreditor, yaitu satu kreditor telah jatuh tempo dan dapat ditagih. ▪ Jadi kepailitan ini seperti pisau yang dapat digunakan untuk membereskan utang-utang, namun bisa juga untuk menghindari tanggung jawab. ▪ Bahkan ada tren di mana kepailitan digunakan untuk membeli aset dari lawan bisnisnya dengan harga murah. Karena ketika dengan dua syarat pemailitan yang sangat mudah tadi, lawan atau pesaingnya dipailitkan lantas barang masuk dalam proses penjualan yang harus lelang, kemudian tinggal diatur lelangnya supaya tidak segera laku sehingga dapat dijual dengan harga likuidasi atau harga paling rendah. ▪ Aturan bahwa kurator tidak otomatis menjadi likuidator dipahami dari peraturan Mahkamah Agung tahun 2020. Banyak proses kepailitan yang sudah berakhir, tapi tidak berakhir dengan likuidasi, sehingga memunculkan banyak PT “hantu”. Oleh karena itu Mahkamah Agung menetapkan bahwa kurator nanti akan bertindak sebagai likuidator.
Dian Puji N Simatupang Sehubungan dengan pengujian Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007, ahli menyampaikan keterangan dari aspek hukum administrasi negara dan keuangan publik mengenai dua hal, yaitu: 159 1. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam pengelolaan perpajakan;
Pengaturan khusus dalam perpajakan Kewenangan merupakan kekuasaan publik yang diatur dengan undang- undang, apalagi berkaitan dengan pajak sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 memang harus diatur dengan undang-undang. Pengaturan perpajakan dalam undang-undang merupakan bentuk mandatory regulation , artinya mengenai perpajakan dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tidak lain dan tidak bukan harus diatur dengan undang-undang, dan tidak dengan pengaturan lain di bawah undang-undang. Penggunaan frasa “diatur” undang-undang dalam Pasal 23A UUD NRI 1945 jelas menunjukkan undang-undang perpajakan akan mengatur mengenai kewenangan, syarat prosedur, dan subtansi dalam pelaksanaan kegiatan perpajakan secara menyeluruh. Dalam hal kemudian undang-undang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai wewenang, syarat prosedur, dan substansi pelaksanaan ke dalam peraturan di bawahnya hakikatnya merupakan kebijakan politik hukum yang terbuka ( open legal policy ), yang tidak membuat norma baru atau keadaan baru dalam peraturan di bawahnya. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam hal wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai ( reasonable assurance ), setiap tindakan administrasi pemerintahan dalam perpajakan telah dilaksanakan secara khusus untuk memberikan kepastian pada penerimaan negara melalui proses perpajakan. Ikut sertanya Direktur Jenderal Pajak yang berwenang dalam menghapus NPWP bagi wajib __ pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 35 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, di mana piutang negara khususnya dari perpajakan mempunyai hak mendahului (hak preferens) dibandingkan hak yang dimiliki lainnya. Dengan demikian, adanya kewenangan dalam Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 dimaksudkan memberikan:
keyakinan memadai ( reasonable assurance ) dalam pengambilan tindakan hukum perpajakan yang membawa pengaruh pada penerimaan negara;
bagian dari hak mendahului negara (hak preferen) untuk memastikan piutang pajak tetap dapat dibayarkan sesuai dengan ketentuan; 160 3. memastikan kemungkinan penghapusan dilakukan berdasarkan alas hukum dan alas fakta, dengan prosedur tersendiri dalam ranah hukum publik, yang membedakan dengan prinsip dan konsep dalam ranah hukum privat, khususnya mengenai kepailitan dan pemberesan utang. Diaturnya wewenang Dirjen Pajak dalam memberikan persetujuan atas penghapusan NPWP khusus karena wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha memperhatikan prinsip dalam pengenaan perpajakan, salah satunya, adalah keadilan, yaitu dalam hal pengenaan pajak bagi wajib pajak semuanya tanpa kecuali, tetapi dalam keadaan tertentu diberikan tindakan hukum tertentu yang ditetapkan setelah terdapat alas hukum dan alas fakta yang memadai. Adanya wewenang Dirjen Pajak dalam menghapus NPWP sebagai suatu tindakan administrasi pemerintahan dalam kegiatan yang bersifat perdata, khususnya penghentian atau penggabungan usaha dalam teori hukum dinamakan sebagai konsep contrarius actus , yaitu dalam hal ketentuan publik mengatur berbeda beberapa tindakan keperdataan, maka ketentuan publik yang harus ditaati. Kecuali, ketentuan perdatanya, misalnya kepailitan menyatakan tidak berlaku ketentuan publik ini secara tegas-tegas. Dengan diaturnya kewenangan Dirjen Pajak untuk menghapus secara hukum terdapat pengaturan antar-tata hukum di mana kewenangan publik mengatur beberapa prinsip pelaksanaan dalam kegiatan keperdataan. Konsep ini dimungkinkan dengan beberapa alasan:
guna melaksanakan wewenang dan kewajiban pemerintahan atau bestuursdwang , di mana Direktur Jenderal Pajak untuk memperhatikan semua kepentingan secara prosesual, yang kemudian diatur dalam undang- undang sebagai suatu kebijakan politik hukum terbuka ( open legal policy ), yang dimaksudkan guna memberikan keadilan semua tetap ditagihkan pajak, kecuali dengan syarat prosedur publik tertentu dalam kegiatan termasuk hubungan keperdataan;
penggunaan wewenang publik dalam hubungan keperdataan dimaksudkan memberikan keyakinan memadai semua tindakan administrasi pemerintahan perpajakan tetap dapat dilaksanakan tanpa kecuali, tetapi untuk keadaan tertentu dimungkinkan dengan campur tangan kewenangan publik melalui Direktur Jenderal Pajak. 161 Kegiatan penghentian dan penggabungan usaha memang termasuk kegiatan hukum keperdataan, sehingga berlaku prinsip dan ketentuan hukum perdata dalam hal ini hukum perusahaan atau hukum perusahaan. Akan tetapi, kewajiban dalam perpajakan sebagai suatu bentuk bestuursdwang merupakan wewenang publik, sehingga untuk menjembatani antara tindakan hukum keperdataan dan hukum publik perpajakan dilakukan dengan memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang mempunyai wewenang publik. Tim pemberesan atau kurator tidak dapat bertindak dalam ranah hukum publik kecuali undang-undang perpajakan memberikan wewenang delegasian kepadanya untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam penghapusan NPWP justru tepat secara hukum untuk menghindari adanya kelalaian dalam hak mendahului perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 1/2004 dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya. Dari segi prosedur dan syarat, kewenangan tersebut kemudian dilakukan dengan penetapan standar operasional prosedur dan menggunakan alas hukum dan alas fakta yang prosesual atau berlaku umum untuk siapapun. Mengenai putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjatuhkan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan, secara hukum putusan tersebut tidak mengikat ketentuan dan prinsip administrasi pemerintahan yang berlaku umum. Kedudukan badan peradilan dan badan pemerintahan dalam posisi yang seimbang dan tidak saling menegasikan, tetapi mengawasi dan menyeimbangkan ( check and balance ). Dengan demikian, putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap apabila ada yang berkaitan dengan prosedur dalam tindakan administrasi pemerintahan tidak dapat secara serta merta mengesampingkan prosedur dan syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang sebagai bentuk bestuursdwang karena menjalankan kewenangan dalam undang-undang. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 yang menjadikan piutang pajak menjadi tanggung jawab secara pribadi atau renteng atas pembayaran pajak tentu didasarkan pada tanggung jawab mutlak dalam pembayaran pajak yang bersifat preferens tersebut. Dalam hal pembayaran ini akan kemungkinan 162 ditanggung secara pribadi atau renteng tentu akan diatur berdasarkan pada alas hukum dan alas fakta yang memadai dan prosesual. Alas fakta yang memadai dan prosesual merupakan bukti konkret dan faktual yang menunjukkan adanya kausalitas antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi masing-masing dalam kegiatan usaha tersebut. Misalnya, keputusan korporasi yang ditetapkan dan diputus direksi yang menimbulkan penerimaan bagi korporasi, yang kemudian dinikmati korporasi dan pengurusnya merupakan suatu bentuk kausalitas yang memadai dan faktual konkret. Namun, penerapan Pasal 32 UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 juga disertai dengan pengecualian dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan bukti yang menyakinkan para pengurus tidak berada dalam tanggung jawab atas pajak terutang tersebut. Hal demikian merupakan bentuk diskresionary decision atau keputusan diskresional yang terikat di mana Direktur Jenderal Pajak dapat membebaskan pengurus dalam hal piutang pajak berdasarkan bukti yang menyakinkan memadai bahwa kedudukannya sebagai pengurus tidak mempunyai kausalitas yang terkait dengan piutang pajaknya. Kewenangan tersebut lazimnya akan diikuti dengan penetapan standar operasional prosedur pengambilan keputusan secara patut dan akuntanbel. Dengan demikian, prosesnya jika keberatan dan banding dapat diajukan ke pengadilan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut hukum keuangan publik dan perpajakan, beralihnya tanggung jawab pembayaran pajak perusahaan kepada pribadi pengurus merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif guna menghindari adanya penghindaran pembayaran pajak. Dalam hal ini, pengurus dianggap mengetahui secara langsung dan faktual siapa saja dan di mana saja potensi yang harus dimintakan pembayaran pajak terutang. Dengan demikian, pengurus akan mengupayakan hubungan hukumnya dengan para pihak tersebut untuk membayarkan piutang pajak perusahaan. Konsep pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif dilakukan agar ketidakjelasan dalam pembayaran pajak tidak boleh terjadi karena ketiadaan data dan informasi pelacakan pihak yang bertanggung jawab. Dengan demikian, menarik pengurus sebagai pihak yang bertanggung jawab secara pribadi atau rentang 163 dimaksudkan untuk melakukan pengecekan jejak pihak yang harus membayar piutang pajak. Dengan demikian, hal tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian terhadap pembayaran piutang pajak sebagai suatu bentuk pajak terutang yang harus dibayarkan secara preferens kepada negara. Di sisi lain, memberikan keyakinan yang memadai semua piutang pajak dapat diselesaikan dan dituntaskan secara transparan dan akuntabel. Berkaitan dengan bestuursdwang dalam pembayaran pajak yang tidak memerlukan pengadilan, hal tersebut sepanjang diatur dalam undang-undang merupakan kekuasaan publik untuk dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam hal wajib pajak keberatan dan banding dapat mengajukan ke pengadilan pajak, sebagai suatu bentuk mekanisme check and balance dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengaturan khusus negara dalam kegiatan perpajakan yang berkaitan dengan kegiatan keperdataan diatur sebagai bagian dari penerapan asas contrarius actus , dalam hal suatu kegiatan keperdataan diatur tunduk pada ketentuan hukum publik, undang-undang harus merumuskan dan mengaturnya dalam suatu undang-undang. Kecuali, undang-undang kegiatan perdata mengatur tegas misalnya, “ketentuan perpajakan mengenai kegiatan perusahaan diatur dan tunduk pada undang-undang ini.” Jika tidak ada pengaturan seperti demikian, tidak dapat mekanisme keperdataan mengesampingkan norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, secara teori hukum umum, konsep contrarius actus menghormati sistem hukum publik dan hukum privat, tidak saling menegasikan atau tidak saling menafsirkan atau mencampuradukkan tindakan. Jika hukum publik akan dikesampingkan dalam hukum perdata, ketentuan hukum perdata menegaskan tidak berlakunya hukum publik tersebut dalam ranah hukum perdata ini dengan suatu undang-undang. Demikian juga, hukum publik menegaskan tidak berlakunya hukum perdata dalam ranah hukum publik dengan mengaturnya dalam suatu norma tersendiri. Secara diagramatis dapat digambarkan sebagai berikut. Hukum Publik Hukum Privat Mengesampingkan hukum perdata dengan menormakan dalam undang- undang Mengesampingkan hukum publik dengan mengatur tegas tidak berlakunya 164 ketentuan hukum publik dalam ranah tindakan hukum privat Berdasarkan gambaran tersebut, sekiranya tidak dapat dicampuradukkan prinsip dan norma hukum keperdataan dengan prinsip dan norma hukum perpajakan, mengingat keduanya berada dalam ranah hukumnya masing- masing.
Hendry Julian Noor Harus diakui tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja ( naar de letter van de wet ) tetapi harus mencari arti, makna dan tujuannya [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.50]. Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ^ mengatakan bahwa “ the rational study of the law is still to a large extent the study of history. History must be part of the study, because without it we cannot know the precise scope of rules. It is a part of the rational study, because it is the first step toward an enlightened scepticism, that is, towards a deliberate reconsideration of the worth of those rules ” [Lihat Oliver Wendell Holmes, 2009 ( First published in 1897), The Path of the Law, Bedford Massachusetts: The Floating Press-Applewoods Books, hlm.24; Romli Atmasasmita, 2018, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis , Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.15). Pernyataan a quo menunjukkan betapa pentingnya dalam mempelajari hukum adalah juga harus mempelajari sejarah dan pengalaman yang telah dialami oleh bangsa tersebut, tentunya dengan melihat nilai kemaslahatan dari pengalaman dan/atau sejarah tersebut. ^ Berkaitan hal tersebut, salah satu bentuk interpretasi adalah interpretasi historis, yaitu penafsiran makna undang- undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang- undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.58-59; Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna , Bandung: Refika Aditama, hlm.59). Menurut Pontier, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau [Lihat Eddy 165 O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Erlangga, hlm.77]. Selain itu, interpretasi yang juga penting untuk memahami maksud dan tujuan satu ketentuan hukum, adalah juga interpretasi teleologis. ^ Interpretasi teleologis merupakan penafsiran hakim dengan menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. [Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.61]. Dengan menggunakan interpretasi historis dan teleologis, sejak awal dapat dipahami bahwa pajak digunakan sebagai salah satu instrumen Pemerintah yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan negara. Definisi otentik pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU KUP: “ … kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” . Salah satu fungsi pajak adalah sebagai budgeter, di mana pajak merupakan alat atau sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kepada kas negara yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran negara, termasuk untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat [Lihat S.F. Marbun, 2012, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta: FH UII Press, hlm.317; Bdk M. Farouq S, 2018, Hukum Pajak di Indonesia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan di Bidang Perpajakan, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.119; S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm.135]. Dari sudut pandang hukum administrasi negara, fungsi tersebut relevan dengan konsep good governance dalam aktivitas pelaksanaan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum oleh pemerintah, yang juga terkait pula dengan tiga tugas dasar pemerintah [Lihat Philipus M. Hadjon “ Hukum Administrasi sebagai Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Good Governance” dalam Philipus M. Hadjon, dkk., 2012, Hukum Administrasi dan Good Governance , Jakarta: Penerbit Universitas Trisaksi, hlm.9], yaitu: Pertama, menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat. Kedua, mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, swasta, dan masyarakat. Ketiga, memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya 166 dengan kehendak rakyat. Dengan “tugas berat” demikian, hukum pajak dapat dikatakan bagian dari rezim hukum publik. Menurut Korten, dalam sektor ekonomi, tanggung jawab utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk memajukan perdagangan (kehidupan ekonomi) dan menegakkan hukum yang berkaitan dengan hak atas kekayaan dan kontrak (perjanjian) [Lihat David C. Korten, 1997, When Corporations Rule the World (Bila Korporasi Menguasai Dunia) , Jakarta: Professional Books, hlm.115]. Hal tersebut sebagaimana pendapat Posner, bahwa pasar ekonomi diasumsikan sangat rapuh dan cenderung beroperasi sangat tidak efisien (tidak jelas) jika dibiarkan sendiri dan tanpa ada campur tangan pemerintah [Lihat Richard A. Posner “Theories of Economic Regulation” dalam The Bell Journal of Economics and Management Science , Vol. 5, No. 2, Autumn, 1974, hlm.336). Pembahasan dalam perkara a quo , dapat dikatakan seolah kembali kepada perdebatan klasik yang bahkan mungkin sampai sekarang terus berulang, yaitu ranah hukum manakah yang harus lebih didahulukan untuk kemudian dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dalam hal ini apakah rezim hukum publik yang diatur dalam UU KUP, ataukah rezim hukum privat yang dalam hal ini “diwakili” oleh UU PKPU dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Harus diakui persinggungan antara hukum publik dan hukum privat ini, serta perdebatan di antaranya masih kerap terjadi. Penjelasan ini terlebih dahulu akan dimulai dengan sedikit menguraikan definisi kedua hukum tersebut, meskipun harus diakui bahwa suatu sengketa pendapat yang tidak pernah terurai secara tuntas salah satunya adalah mengenai pemberian batasan atau definisi terhadap suatu pengertian. Selama ilmu pengetahuan terus berkembang, maka sesuai sifat alamiahnya, perdebatan mengenai definisi juga seolah tak akan pernah habis. Pendapat dari Jacobs Israel de Haan dalam bukunya Rechtskundige Significa tersebut , menggambarkan bahwa sangatlah ketat dan sulit untuk merumuskan suatu definisi. Dikatakan oleh Jacobs Israel de Haan: “... het zelfde woordt beeft nooit dezelfden betekenis voor twee menschen, omdat nooit twee menschen met denzelfden aanleg woorden geboren en het zelfde leven hebben beleefd. Dit is zeker juist; het is juist omdat twee menschen nooit indentiekzijn, omdat het twee 167 menschen zijn”, diterjemahkan sebagai berikut: “... perkataan yang sama tidak pernah mempunyai pengertian yang sama untuk dua orang, karena tidak pernah dua orang dilahirkan dengan bakat yang sama dan pengalaman yang sama. Hal ini pasti benar; dan kebenaran ini disebabkan karena dua orang tidak mungkin identik, mengingat adanya dua orang” [Lihat Jacobs Israel de Haan, 1919, Rechtskundige Significa, Amsterdam: N.V. Johannes Muller, hlm.21; dan Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, _Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: _ Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia, hlm.9]. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen, hukum privat adalah suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum antar subjek-subjek hukum yang sederajat atau memiliki kedudukan yang sama secara hukum. Hubungan hukum privat yang tipikal adalah transaksi hukum, terutama kontrak, sebagai suatu norma individual yang diciptakan melalui kontrak, agar pihak- pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berperilaku secara timbal balik sesuai dengan yang diperjanjikan [Lihat Hans Kelsen, 2015, Pengantar Teori Hukum , Bandung: Nusa Media, hlm.140-141). Sedangkan hukum publik didefinisikan sebagai suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum yang mana salah satu subjek hukum yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi secara hukum dari pada subjek yang lain, dan yang menjadi tipikal dari ranah hukum ini adalah hubungan antara negara dengan warga negara. Dengan beberapa tipikal berupa adanya petunjuk administratif yang dikeluarkan oleh negara dan norma individual yang dikeluarkan oleh lembaga administratif yang mana hal-hal tersebut dibuat agar penerima petunjuk dan norma tersebut bertindak sesuai dengan petunjuk dan norma administratif tersebut [Lihat Ibid. ]. Sejak lama terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum tentang pembagian hukum publik dan hukum privat. Terdapat beberapa kriteria untuk membedakan dua jenis hukum ini, yaitu pertama , mengenai kepentingan, hukum publik mengatur kepentingan umum/publik dan hukum privat mengatur kepentingan khusus/perdata. Kedua , mengenai cara mempertahankannya, hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat oleh perorangan. Ketiga , mengenai asas hukum, hukum publik memuat asas-asas istimewa dan hukum privat memuat asas-asas biasa. Keempat , mengenai hubungan hukum, hukum publik mengatur hubungan secara vertikal 168 (pemerintah dengan warga negara) dan hukum privat mengatur hubungan secara horizontal (antar warga negara). Kelima , mengenai sifat hukum, hukum publik adalah hukum a priori memaksa dan hukum privat tidak a priori memaksa [Lihat E. Utrecht, L.J. van Apeldoorn, N.E. Algra dan H.C.J.G. Jansen, serta Sudikno Mertukusumo dalam Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara , Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm.70]. In casu a quo, pasal-pasal a quo yang tengah diuji dalam sidang yang mulia ini adalah pasal-pasal yang masih memenuhi prinsip-prinsip untuk mewujudkan kepastian hukum, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama Terkait persinggungan antara hukum privat dan hukum pidana sebagai hukum publik ini, pada dasarnya apabila dengan melihat salah satu doktrin, di mana logikanya hukum publik didahulukan dari pada hukum privat sepanjang dimaknai bahwa hukum publik tersebut adalah konstitusi [Lihat Paul Scholten, 1934, Metode Umum Hukum Perdata : diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono, S.H. Mr. C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda , Bagian Umum. Preprint, edition 1, Digital Paul Scholten Project, Amsterdam, Februari 2015, diperoleh dari http: //www.paulscholten.eu/research/ article/indonesian/]. Dengan menggunakan logika penemuan hukum argumentum a contrario serta dengan menginterpretasikan pendapat Bachsan Mustafa yang mengutip Paul Scholten, bahwa apabila hukum publik tidak mengadakan peraturan- peraturan lain, maka di manapun itu hukum perdata diberlakukan sebagai hukum umum, yang apabila di- a contrario -kan, adalah apabila hukum publik mengadakan pengaturan terhadap suatu hal, maka hukum perdata menjadi tidak diberlakukan. Argumentum a contrario adalah penafsiran dengan menggunakan pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi [Lihat Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm.70; bdk Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.67 dan 69; ^ Bachsan Mustafa, 1985, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Penerbit Alumni, hlm.61]. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Loer, dalam disertasinya yang berjudul Publikrecht tegenover privaatrecht, dirinya menyatakan bahwa negara 169 itu tidak tunduk pada hukum privat, karena pemikiran yang demikian tidaklah logis. Pemikiran tersebut berangkat dari asumsi bahwa negara tidaklah sama dengan rakyat biasa [Lihat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1988, Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata, Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm.57]. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum ( everything must be done according to law ) yang pada dasarnya negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah [Lihat H.W.R. Wade, 1971, Administrative Law , Oxford: Clarendon Press, hlm.6; bdk Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.21]. ^ Hukum ditempatkan sebagai aturan dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu diantaranya “ ... opgelegd om de samenleving vreedzam, rechtvaardig, en doelmatig te ordenen ”, yang artinya bahwa sasaran dari negara hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang berpijak pada keadilan, kedamaian, dan kebermaknaan [Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.22]. Kembali kepada pendapat Paul Scholten tersebut, terkait dengan pajak, Konstitusi Republik Indonesia atau UUD 1945 tepatnya Pasal 23A mengatur: “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” . Ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional perpajakan yang harus diatur dengan undang-undang, yang mana merupakan produk hukum yang dibuat bersama antara pemerintah sebagai perwakilan eksekutif (yang mengurus negara) dengan DPR sebagai pemegang kuasa legislatif yang merupakan perwakilan rakyat. Dengan “kesepakatan bersama” tersebut, maka pada dasarnya telah memberikan legitimasi dan bahkan legalitas bagi pemerintah untuk kemudian “memungut” pajak yang telah disepakati oleh rakyat melalui wakilnya tersebut. Bahkan di Inggris dikenal prinsip ini berbunyi, “ no taxation without respresentation”. Adapun di Amerika, menggunakan prinsip: “ taxation without representation is robbery” [Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.132 dan 64; bdk dengan istilah de heerschappij van de wet atau kekuasaan undang-undang yang diterangkan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara , Yogyakarta: UII Press, hlm. 81-82]. __ Kenapa penting untuk diatur dalam undang-undang? Karena telah terjadi perubahan konsep pembayaran pajak, yang sebelumnya dilakukan secara 170 sukarela dan bahkan penuh dengan kebanggaan, namun sekarang bahkan butuh upaya paksa untuk agar dapat membayar pajak, oleh karenanya dengan sifat memaksa demikian, maka perlu diatur dalam undang-undang. Fakta lainnya pula adalah bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya pemerintah bangsa yang modern akan membutuhkan biaya yang sangat besar, di mana pemungutan pajak merupakan salah satu jalannya (Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-132]. “ Pembenaran ” pemungutan pajak tersebut setidaknya didukung oleh beberapa teori sebagai berikut: Pertama, teori daya pikul (teori untuk dasar memungut pajak yang adil), bahwa setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya masing-masing. Menurut de Langen, makna teori ini adalah bahwa seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan Cohen Stuart menganalogikan bahwa daya pikul seseorang sama dengan daya pikul jembatan yang melewati jembatan tersebut, tanpa amblasnya jembatan tersebut. Kedua teori tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa seluruh penghasilan seseorang identik dengan kekuatan pikul jembatan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk hidup primer disamakan dengan bobot jembatan tersebut [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: PT Refika Aditama, hlm.28-29]. Kedua, teori daya beli, yang mengibaratkan pajak layaknya pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui saluran lain, misalnya perbaikan fasilitas umum dan pelayanan publik. Sehingga, dalam hal ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat [Lihat Ibid., hlm.29]. Ketiga , teori kewajiban pajak mutlak, yang berdasar pada orgaantheorie dari Otto von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan satu kesatuan, yang di dalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga tersebut, individu tidak mungkin hidup, sehingga dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban, termasuk membayar pajak [Lihat Ibid., hlm.30]. Keempat, teori pembenaran pajak menurut Pancasila, yang mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Pajak di sini dianggap sebagai bentuk 171 gotong royong (tolong-menolong) yang memang merupakan suatu nilai yang hidup dalam masyakarat Indonesia, termasuk nilai kekeluargaan yang membuat setiap orang mempunyai kewajiban untuk saling membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup keluarga (negara dan masyarakat). Tegasnya, berdasarkan teori ini, kepentingan umum tersebut dianggap sebagai hak asasi yang dapat mengalahkan kepentingan individu, dengan tetap memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, dan harus memungut pajak berdasarkan undang-undang [Lihat Ibid. ]. Dengan berdasarkan teori-teori tersebut dapat dipertegas bahwa ketentuan perpajakan tersebut, khususnya yang diatur dalam UU KUP tersebut telah bersifat konstitusional dan bahkan dapat dibenarkan secara teoretik. Kedua Hutang pajak bersifat memaksa dan mempunyai kedudukan yang bersifat istimewa atau preferen [Lihat M. Farouq S., Op.Cit., hlm.210]. Dalam tataran doktrin, hutang pajak merupakan hutang yang bersifat khusus, berada pada rezim hukum publik, yang tentunya sifatnya berbeda dengan ketentuan dalam bidang hukum perdata, namun dapat menggunakan asas-asas dan prinsip-prinsip hutang-piutang dalam hukum perdata, kecuali jika ditentukan sebaliknya. Oleh karenanya, prinsip yang termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua barang, baik bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki oleh debitur, baik di masa sekarang ataupun masa mendatang menjadi jaminan semua hutang-hutangnya, dan demi hukum, jika debitur berhenti membayar hutangnya, barang-barang miliknya tersebut, melalui proses di muka pengadilan, dapat disita oleh kreditur, dijual di muka umum, dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutangnya (Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung: PT Eresco, hlm.106-107; bdk Elyta Ras Ginting, 2019, Hukum Kepailitan: Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.393-397. Lihat pula M. Farouq S., Op.Cit., hlm.212]. Selanjutnya, dalam hal (ternyata) debitur tersebut memiliki hutang kepada beberapa kreditur, namun karena sifat dan kedudukan khusus dari hutang pajak, maka sebagaimana pula diatur oleh Pasal 21 UU KUP, negara melalui Direktur Jenderal Pajak memiliki hak mendahului untuk melakukan sita 172 atas barang-barang wajib pajak yang menjadi jaminan untuk utang-utangnya tersebut. Hak mendahului negara adalah terhadap hutang pajak, baik mengenai pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya pengalihan [Lihat Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Op.Cit., hlm.107]. Dapat dipahami bahwa pengaturan demikian ini ditujukan untuk mendahulukan dan/atau memberikan kedudukan utama piutang negara di atas piutang perdata, dengan mengingat bahwa pajak tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum dalam hal ini kepentingan kehidupan negara dan bangsa Indonesia agar dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karenanya, sangat wajar jika kemudian kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan pribadi/individu [Lihat Ibid., hlm.108]. Dengan doktrin dan ketentuan yang demikian, apabila hendak menggunakan analogi dalam penyelesaian kasus pajak dengan rezim hukum lain, yakni hukum pidana juga menarik untuk dicermati. Dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi tersendiri. Bersama-sama dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius speciale , hukum pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia [Lihat Bambang Poernomo, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana , Jakarta: Bina Aksara, hlm.19; Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri, 2013, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaruan, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.195]. Bahkan dari segi sanksi, pajak yang diselundupi atau tidak dibayarkan, meskipun atas perbuatan tersebut telah dijatuhi sanksi pidana, namun tidak menghapuskan hutang pajaknya. Suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak (misalnya tidak taat membayar pajak) dapat merupakan tindak pidana sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum di bidang administrasi, misalnya tidak memasukkan surat pemberitahuan atau memasukkan surat pemberitahuan yang diwajibkan oleh undang-undang pajak yang data-datanya tidak benar atau palsu. Dalam hal demikian, sanksi pidana dijatuhkan hanya merupakan hukuman bagi perbuatannya, dan bahkan dijatuhkan sanksi pidana tersebut memperkuat alasan untuk melakukan penelitian mendalam perihal pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Wajib 173 Pajak yang tidak taat membayar pajak tersebut dan jika diperlukan juga denda administrasinya. Sanksi pidana merupakan kewenangan pengadilan pidana, sedangkan untuk “penagihan” pembayaran hutang pajak dan sanksi administrasi tersebut tetap merupakan wewenang administrasi pajak, yaitu Direktur Jenderal Pajak yang kemudian menjatuhkan sanksi melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Tegasnya, sifat kumulasi antara sanksi pidana dan sanksi administrasi sangatlah dimungkinkan. Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, PT Eresco, Bandung, hlm. 34-37). Tegasnya, di samping memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, hukum yang mengatur pajak juga didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial [Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm.191]. Dengan doktrin demikian, dapat dipahami bahwa jika sudah dikenakan sanksi badan dan/atau bahkan sanksi denda pun, yang mana sanksi pidana secara sifatnya adalah mengekang hak asasi manusia, namun juga sama sekali tidak “membebaskan” atau setidaknya “meringankan” wajib pajak terkait dengan kewajiban hutang pajaknya, yang bahkan masih mungkin juga dikenakan sanksi administrasi terhadapnya. Sehingga, alasan pailit dapat dikatakan masih terlalu ringan dibandingkan dengan “sanksi berlapis atau sanksi kumulasi” yang sangat mungkin diterapkan dalam hal tindak pidana pajak. Ketiga Terkait dalil Pemohon bahwa apa yang dia lakukan atas nama business judgement rule seharusnya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi terhadapnya, kiranya perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara perseroan dengan direksi, ada suatu hubungan kepercayaan atau fiduciary relationship [Lihat Prasetio, Penerapan “Business... (Ringkasan Disertasi), Op.Cit. , hlm.2] , yang kemudian melahirkan kewajiban bagi direksi yang lazim disebut dengan istilah fiduciary duty. Fiduciary duty is perhaps the most important concept in the Anglo- American law cooperation. The word "fiduciary" comes from the Latin fides, meaning faith or confidence, and was originally used in the common law to describe the nature of the duties imposed on a trustee. Perhaps because many of the earliest corporation cases involve chari table corporations, courts began 174 to analogize the duties of a director in managing corporate property to the duties of trustee in managing trust property [Lihat Lewis D. Solomon, (et. al), 1994, Policy Materials and Problems , St Paul: West Publishing Co., hlm.672; Jeffrey D. Bauman, 2010, Corporations Law and Policy: Materials and Problems, St Paul: West Publisher, hlm.634]. Terkait fiduciary duty, Bryan A. Garner menyatakan sebagai berikut: Fiduciary duty is a duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary to the beneficiary or a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests ofthe other person (such as the duty that one partner owes to another. Apabila diterjemahkan secara bebas dapat dipahami sebagai bahwa fiduciary duty adalah tugas yang harus dipenuhi dengan itikad baik, dapat dipercaya, kesetiaan, dan keterbukaan yang harus diberikan oleh pelaksananya kepada penerima manfaat atau kewajiban untuk bertindak dengan kejujuran dan kesetiaan yang tinggi dan dilakukan demi kepentingan pemberi fiduciary duty tersebut [Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law dictionary , Texas: West Group, hlm.581]. Erman Rajagukguk mendefinisikan fiduciary duty direksi sebagai kewajiban direksi dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan kepentingan perusahaan (duty of loyalty) . __ Teori yang juga berkembang di sistem hukum common law ini pada prinsipnya menghendaki pelaksana fiduciary duty untuk tidak terlibat dalam conflict interest, yaitu menempatkan kepentingannya di atas kepentingan korporasi. Pelanggaran terhadap prinsip ini, maka meniadakan doktrin BJR. Artinya direksi yang tidak menjalankan duty of loyalty, tak akan dapat berlindung dibalik doktrin BJR apabila kebijakan yang dibuatnya tersebut membawa kerugian bagi korporasi dan terhadap dirinya dituntut pertanggungjawaban hukum [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, 2011, The Law of Corporations in a Nutshell , Minnesota: West Publisher, hlm.171]. Duty of loyalty terbagi 2, yaitu duty to act bona fide in (bahwa direksi melakukan tugas pengurusan dan perwakilan semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan) dan duty to exercise power for proper purposes (bahwa kebebasan direksi terbatas pada tujuan dan kepentingan perseroan) dan tindakan tersebut dilakukan dengan kehati-hatian (duty of care) [Lihat 175 Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana, hlm.186-187 dan hlm.198; Hotasi Nababan, 2012, Jangan Pidanakan Perdata: Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati , Jakarta: Q Communication, hlm.92]. __ Keduanya merupakan dasar dari fiduciary duty [Jeffrey D. Bauman, Op.Cit., hlm.129; bdk Julian Velasco “How Many Fiduciary Duties Are There in Corporate Law?” dalam Southern California Law Review, Vol.83, 2010, hlm.1232-1233] . Tindakan yang dijalankan dengan penuh kehati-hatian, antara lain tindakan tersebut diambil dengan itikad baik untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah dan berlanjutnya kerugian tersebut [Lihat Hotasi Nababan, Loc.Cit. ]. Sebagaimana dijelaskan oleh Jeffrey D. Bauman, bahwa duty of care menuntut direktur atau direksi dalam bertindak adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan dengan tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan dan mengawasi urusan perusahaan. Sedangkan duty of loyalty menuntut direktur atau direksi untuk menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingannya sendiri [ Jeffrey D. Bauman, Loc.Cit. ]. Adapun Hamilton dan Freer menyebutkan bahwa fiduciary duty tersebut mengandung 3 hal utama, yaitu good faith, care, dan loyalty [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.150] . Berlandas pada fiduciary duty , Direksi dituntut untuk bertindak dengan penuh kepedulian semata untuk kepentingan perseroan ( duty of care ), selalu mendasarkan diri pada itikad baik ( duty of good faith ), penuh kehati-hatian ( duty of prudently ), dan dengan penuh tanggung jawab ( full sense od responsibility ) yang tentunya berlandaskan pada kejujuran, dan hal ini sebenarnya merupakan satu kesatuan dari Tata Kelola Perusahaan Yang Baik atau yang dikenal dengan Good Corporate Governance [Lihat Henry R. Cheeseman, 2001, Business Law: Ethical, International & E-Commerce Environment, New Jersey: Prentice Hall Inc., hlm.759-766; Prasetio , Op.Cit. , hlm.2-3]. __ 176 Kewajiban yang demikian, tiada lain karena dalam dunia usaha (termasuk dalam korporasi), manajer atau direktur dari korporasi tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan bisnis. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada jabatan direktur akan selalu melekat fiduciary duty. [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.151]. Mereka (manajer dan direktur) diberikan kewenangan (melalui fiduciary duty tersebut) untuk melakukan hal tersebut (melakukan bisnis), dan harus dipahami bahwa tugas (melalui fiduciary duty tersebut) adalah dilakukan demi kepentingan korporasi [Lihat Ibid .]. Adapun dalam konteks business judgement rule diatur dalam Pasal 97 UU PT: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1); _ (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab ^ (Penjelasan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” _adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun); _ (3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud _pada ayat (2); _ (4) Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung _renteng bagi setiap anggota direksi; _ (5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian _sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
_ _Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
Telah_ melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk _kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
Tidak_ mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung _atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
Telah_ mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut (Penjelasan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan 177 Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi) _; _ Dengan ketentuan demikian, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (2) UU PT, kepengurusan perusahaan yang berada di tangan direksi, haruslah dilakukan dengan berdasarkan itikad baik, bertanggung jawab, dan tujuannya dilakukan kepengurusan perseroan. Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi itikad baik, maka ia dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi [Lihat Henrikus Renjaan, 2017, Pentingnya Impelementasi Prinsip Kemandirian Direksi Terhadap Proses Penghapusan Piutang Bank BUMN di Indonesia, Disertasi, Yogyakarta: FH UGM, hlm.78-79; Ridwan Khairandy, 2014, Hukum Perseroan Terbatas, Yogyakarta: UII Press, hlm.304]. Pada Pasal 97 ayat (5) terdapat kata “ Anggota direksi tidak dapat _dipertanggungjawabkan atas kerugian... apabila dapat membuktikan:
..”,_ dengan ketentuaan yang demikian terlihat bahwa konteks pembuktian business judgement rule di Indonesia berbeda secara diameteral dengan di Amerika, di mana pihak yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa pengambilan keputusan bisnis dalam hal pengurusan perseroan telah dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, dan semata untuk kepentingan serta maksud dan tujuan perseroan ada pada pihak direksi, bukan pada orang yang “menggugatnya”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa beban pembuktian telah dilaksanakannya business judgement rule tersebut ada pada pihak direksi [Lihat Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit., hlm.121-122]. Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap dalil tersebut, dapat diajukan argumentasi penolakan sebagai berikut: Pertama, timbulnya hutang pajak menurut ajaran materiil, hutang pajak timbul karena undang-undang, bukan karena ketetapan fiskus. Sehingga, apabila kemudian sebelum keluarnya ketetapan wajib pajak tersebut meninggal dunia, maka hutang pajak akan beralih kepada ahli warisnya, karena bunyi UU KUP memang mengatur bahwa pajak pendapatan sudah timbul pada permulaan tahun pajak, sehingga (tanpa perlu menunggu adanya ketetapan fiskus) kewajiban pembayaran 178 pajak tersebut telah ada demi hukum [Lihat S.F. Marbun, Op.Cit. , hlm.327; bdk S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-138]. Kedua, sebagaimana keterangan Termohon bahwa secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang-undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya. Tegasnya, seandainya ketika hutang pajak tersebut timbul Pemohon telah melakukan pengelolaan dengan baik, maka tidak seharusnya hutang pajak tersebut bertumpuk dan sampai harus menjadi tanggung jawab pribadi Pemohon seperti sekarang ini. Kata “kelola” secara gramatikal bermakna mengendalikan atau menyelenggarakan, adapun dalam konteks perusahaan, bermakna menjalankan dan/atau mengurus. Sehingga, kata “pengelolaan” bermakna sebagai proses dan/atau perbuatan dan/atau cara mengelola [Lihat Pusat Bahasa Depdiknas, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, hlm.719]. Istilah tersebut diambil dari istilah dari hukum perusahaan berupa beheer van daden (mengurus perseroan), yang dirumuskan secara positif dalam Pasal 92 ayat (1) UU PT: “ Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan ”. Adapun maknanya adalah setiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata [Lihat Prasetio, 2013, Penerapan “ Business Judgement Rule” Dalam Restrukturisasi Transaksi Komersial PT (Persero), Berdasarkan 179 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Ringkasan Disertasi) , Yogyakarta: PDIH FH UGM, hlm.100]. Sebagai penutup, kiranya penting untuk melihat pendapat Rochmat Soemitro, bahwa dalam mengatur perihal perpajakan dalam undang-undang tersebut telah dicantumkan perihal siapa (subjek) yang dikenakan kewajiban pajak, apa (objek) yang dikenakan pajak, dan berapa besarnya (tarif) yang harus dibayarkan, maka menurutnya hal demikian sudah dapat memberikan kepastian hukum dalam menjamin “hak pungut” pajak oleh negara melalui Direktur Jenderal Pajak [Lihat Rochmat Soemitro, 1988, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung: Eresco, hlm.1-2]. Jikapun dirasa terjadi ketidakadilan (menurut Wajib Pajak), maka menurutnya saluran hukum untuk mencari keadilan, yaitu baik melalui lembaga surat keberatan maupun melalui surat banding ke Majelis Pertimbangan Pajak [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: Refika Aditama, hlm.42]. Ahli berkesimpulan bahwa Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU 16/2009 (UU KUP) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik 180 Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999, selanjutnya disebut UU KUP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: 181 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa hal yang dimohonkan Pemohon adalah agar: a) Pasal 32 ayat (2) UU UU KUP yang menyatakan, “Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”, dimaknai termasuk pengurus yang 182 badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; b) Pasal 2 ayat (6) UU KUP yang menyatakan, “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”, dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa Pemohon menyatakan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hak konstitusional tersebut dirugikan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP karena Pemohon sebagai Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan (badan hukum), yang perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit, tetap dikenai tagihan utang pajak oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak; serta di sisi lain NPWP atas nama Pemohon tidak dihapus oleh Dirjen Pajak meskipun perusahaan yang dikelola Pemohon telah dinyatakan pailit;
Bahwa Pemohon menyatakan diri sebagai Warga Negara Indonesia (vide Lampiran berupa KTP atas nama Pemohon) yang menjadi Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan PT United Coal Indonesia (PT. UCI) hingga ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, yang status hukum pailit demikian berdasar pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta (vide Bukti P-3); 183 5. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP mengakibatkan secara faktual Pemohon tetap dikenai tagihan oleh Dirjen Pajak agar melunasi utang pajak PT UCI karena Pemohon adalah Direktur dan Penanggung Pajak PT UCI, padahal PT UCI sendiri telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, di mana proses kurasi sudah selesai dilaksanakan oleh kurator;
Bahwa Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia dilindungi haknya secara hukum oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon sendiri dalam permohonannya;
Bahwa anggapan kerugian yang dialami Pemohon, yaitu penagihan utang pajak PT UCI oleh Dirjen Pajak kepada Pemohon, dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi ketika Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”; demikian pula kerugian bahwa tagihan pajak tersebut, yang dimungkinkan ditujukan Dirjen Pajak kepada Pemohon karena NPWP Pemohon masih aktif padahal PT UCI (sebagai badan hukum yang menggunakan NPWP Pemohon sebagai identitas Wajib Pajak) telah pailit, akan tidak lagi terjadi jika Pasal 2 ayat (6) UU 28/2007 dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Dirjen Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon, Mahkamah menilai Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang dijelaskan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, oleh karenanya, Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo ; [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 184 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tetap membebankan pelunasan utang pajak kepada penanggung pajak perusahaan ( in casu Pemohon) meskipun perusahaan dimaksud telah dinyatakan pailit dan sedang dibereskan kurator;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tidak menghapus NPWP atas nama perusahaan (di mana penanggung pajak perusahaan, in casu adalah Pemohon) padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit dan sedang dilakukan pemberesan oleh kurator. Tidak adanya penghapusan NPWP tersebut mengakibatkan Pemohon ditagih pelunasan utang pajak dan jumlah/nominal utang pajak tersebut terus bertambah;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan, pertama, Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, serta mengajukan dua orang Ahli bernama Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni, S.H., dan Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H., yang keduanya telah didengar keahliannya dalam sidang bertanggal 22 September 2020 serta telah diterima pula keterangan tertulis dari kedua Ahli tersebut. Pemohon juga mengajukan tiga orang Saksi 185 bernama Andrey U Sitanggang , Vychung Chongson , dan Rio Ferry Sihombing , yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 22 September 2020; [3.9] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan secara tertulis bertanggal 18 Agustus 2020, serta menyampaikan keterangan secara lisan (diwakili oleh Anggota DPR bernama Mukhamad Misbakhun ) dalam persidangan tanggal 18 Agustus 2020; [3.10] Menimbang bahwa Presiden juga telah memberikan keterangan terkait permohonan Pemohon berupa dua keterangan tertulis, yaitu Keterangan Presiden tanpa tanggal dan Keterangan Tambahan Presiden tanpa tanggal, September 2020, disertai Lampiran. Presiden telah pula mengajukan 4 (empat) ahli yang keempatnya mengajukan keterangan tertulis, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A., Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H., dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. Dua di antara Ahli tersebut, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., telah pula didengar penjelasannya dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020; [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah apakah seorang Penanggung Pajak suatu perusahaan (perusahaan sebagai Wajib Pajak Badan) dapat tetap dikenai tagihan pelunasan utang pajak manakala perusahaan bersangkutan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah harus pula mempertimbangkan apakah bagi Wajib Pajak Badan yang telah dinyatakan pailit, NPWP perusahaan bersangkutan tetap ada sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, ataukah undang-undang harus memerintahkan Dirjen Pajak untuk menghapus NPWP demikian sebagaimana dimohonkan Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah perlu memberikan pendapat mengenai kejelasan permohonan Pemohon. Secara umum Mahkamah dapat memahami isi permohonan Pemohon, apalagi telah dijelaskan oleh Pemohon serta dijawab oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, serta telah pula diterangkan oleh para ahli. 186 Namun, jika dibaca terpisah dari posita, rumusan Petitum Nomor 2 dalam permohonan Pemohon memberikan dua pemahaman berbeda, yaitu:
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dimaksudkan Pemohon sebagai perluasan makna kata “Wakil” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP; atau
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” merupakan perluasan makna frasa “mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut” sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Namun, dengan menghubungkan makna antara Pasal 32 ayat (2) dengan Pasal 32 ayat (1) UU KUP, Mahkamah memahami bahwa makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” yang dirumuskan Pemohon dalam Petitum Nomor 2 dimaksudkan sebagai perluasan kategori pihak yang tidak dibebani tanggung jawab atas pajak terutang. Dengan kalimat lain, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang; [3.13] Menimbang bahwa NPWP pada dasarnya adalah nomor registrasi atau nomor identitas yang dikeluarkan oleh negara, in casu Dirjen Pajak bagi Wajib Pajak. Menurut Mahkamah, sebagai sebuah identitas, NPWP bukan merupakan hal yang menyebabkan munculnya tagihan pajak. Tagihan pajak atau utang pajak muncul karena aktivitas keuangan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak baik perorangan atau pun badan hukum, sementara NPWP merupakan identitas yang digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menagihkan utang pajak tersebut kepada Wajib Pajak. Artinya, sebenarnya, terhadap tagihan pajak dapat dibebankan, baik pada orang yang memiliki NPWP atau orang yang tidak memiliki NPWP, yang disebabkan adanya perhitungan aktivitas keuangan yang memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada Wajib Pajak. NPWP juga bukan merupakan sebuah aktivitas maupun dokumen hukum yang memunculkan status Wajib Pajak. Status 187 Wajib Pajak lahir ketika entitas tertentu, baik perorangan atau pun badan hukum, melakukan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan finansial yang menghasilkan nilai lebih/keuntungan. [3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, seandainya permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, maka NPWP perusahaan (di mana Pemohon bertindak sebagai penanggung pajak) memang akan hapus, namun menurut Mahkamah hapusnya NPWP demikian tidak lantas menghilangkan status perusahaan dan/atau Pemohon sebagai Wajib Pajak. Hal demikian karena status Wajib Pajak timbul bukan karena adanya NPWP melainkan karena terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983); Pasal 2 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.” Adapun Pasal 4 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:
gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
laba bruto usaha;
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
bunga; 188 g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang, dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
royalti;
sewa dari harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala”; [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan hal demikian, menurut Mahkamah dalam konteks permasalahan konkret yang dihadapi Pemohon, isu konstitusionalitas penghapusan NPWP tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU 7/1983 yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak. Kewajiban bagi Wajib Pajak agar mempunyai NPWP diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif agar mendaftarkan diri kepada Dirjen Pajak yang kemudian kepadanya diberikan NPWP. Sebagaimana diuraikan Mahkamah sebelumnya, kewajiban perpajakan tidak lahir karena terbitnya NPWP, melainkan sejak adanya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan adanya suatu pertambahan nilai. Demikian pula apabila Wajib Pajak memperoleh laba maka serta merta akan timbul utang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan timbul utang pajak. Konsep teoritis demikian juga ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (4a) UU KUP yang menyatakan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau … dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif … ”. Dengan demikian, menurut Mahkamah jika Pemohon berkehendak agar dengan hapusnya NPWP perusahaan di mana Pemohon menjadi penanggung pajak lantas berakibat hapusnya pula kewajiban perpajakan perusahaan bersangkutan, maka hal demikian tidak akan tercapai seandainya pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menambahkan makna pada Pasal 2 ayat (6) UU KUP agar penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak meliputi juga bagi Wajib Pajak badan yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa NPWP, sesuai nama panjangnya yaitu “Nomor Pokok...” sebenarnya lebih tepat dilihat sekadar sebagai sebuah nomor identitas atau angka penanda bagi Wajib Pajak, dan bukan sebuah sumber materiil yang memunculkan suatu kewajiban perpajakan. Menghilangkan 189 atau menghapuskan kewajiban perpajakan, seandainya diperlukan, tidak dapat dilakukan hanya dengan penghapusan nomor pokok wajib pajak atau nomor identitas lain yang berfungsi sama dengan itu; [3.16] Menimbang bahwa selain berkaitan langsung dengan NPWP, permohonan Pemohon menurut Mahkamah sebenarnya hendak mempersoalkan konstitusionalitas penagihan pajak perusahaan kepada Pemohon sebagai penanggung pajak, padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit. Untuk menjawab isu konstitusionalitas demikian Mahkamah perlu menguraikan perihal utang perusahaan, jenis pajak, pihak yang membayar pajak perusahaan dan penanggung pajak badan, serta hubungan antara perusahaan dengan pengurus/direksi badan hukum; [3.17] Menimbang bahwa utang perusahaan pada dasarnya merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan perusahaan. Setidaknya, utang dapat dipahami sebagai dua hal, yaitu a) sebagai kewajiban membayar/melunasi yang timbul dari hubungan kontraktual keperdataan di mana satu pihak meminjam dan pihak lainnya meminjamkan, yang hubungan kontraktual ini memunculkan keberadaan debitur dan kreditur; b) kewajiban membayar/melunasi yang timbul sebagai konsekuensi hubungan perpajakan, dalam ranah hukum publik atau hukum administrasi, antara warga negara (termasuk badan hukum) dengan negara, di mana memunculkan status hukum Wajib Pajak dan Pemungut Pajak (Negara diwakili petugas pajak/fiskus); Bahwa secara universal utang dalam konteks yang pertama, yaitu utang sebagai hubungan kontraktual antara dua pihak atau lebih, adalah kewajiban penerima pinjaman (disebut pihak yang berutang atau debitur) kepada pemberi pinjaman (disebut pihak yang berpiutang atau kreditur) untuk mengembalikan atau membayar kembali sejumlah uang/pembiayaan. Sementara utang dalam konteks kedua, yaitu utang pajak adalah kewajiban perseorangan termasuk badan hukum untuk membayar sejumlah uang kepada negara bukan karena negara pernah meminjamkan sejumlah uang/pembiayaan kepada yang bersangkutan sebelumnya, melainkan sebagai pungutan yang diwajibkan oleh negara kepada Wajib Pajak, antara lain, untuk pembiayaan pembangunan negara. [3.18] Menimbang bahwa Pajak merupakan hak konstitusional Negara atas rakyatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, 190 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian hak negara untuk memungut pajak adalah hak mutlak yang tidak dapat ditolak. Namun hal demikian tidak lantas negara, melalui fiskus (petugas/instansi pengumpul pajak), dapat bertindak sewenang- wenang dalam menentukan besaran dan tata cara pemungutan pajak. Pasal 23A UUD 1945 di atas menegaskan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa” hanya boleh diterapkan selama ditujukan “untuk keperluan negara”. Pasal a quo juga mengatur bahwa pajak dan pungutan ini harus “diatur dengan undang-undang”. Pengaturan pajak dengan undang-undang tidak lain bertujuan agar setiap pembebanan pajak mendapat persetujuan dari lembaga yang merupakan representasi rakyat (asas no taxation without representation ). [3.19] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pajak yang dipungut kepada badan hukum, Mahkamah perlu mempertimbangkan juga mengenai apa atau siapa yang dimaksud sebagai badan hukum. Dengan kata lain, Mahkamah melalui Putusan ini perlu memperjelas kembali mengenai badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana sebuah badan hukum (yang bukan orang atau manusia) dapat menjalankan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas hukum maupun yang bukan hukum. Mahkamah memandang bahwa badan hukum merupakan kepanjangan atau perluasan dari kepentingan manusia, baik kepentingan perorangan (individu) maupun kepentingan bersama (kolektif). Bentuk badan hukum mula-mula (tradisional) adalah usaha dagang, koperasi, dan yayasan. Usaha dagang merupakan badan hukum yang dikuasai dan diijalankan oleh perorangan, sementara koperasi dan yayasan merupakan badan usaha yang dikuasai atau dijalankan secara kolektif. Badan hukum yang dikuasai bersama dapat dikatakan pada mulanya merupakan penyatuan individu atau kerjasama individu yang bersifat kontraktual. Kerja sama, yang mulanya hanya melibatkan gabungan individu, selanjutnya oleh hukum diwadahi sebagai sebuah organisasi kerja sama baik kerja sama dalam hal penggabungan modal, penggabungan tenaga, ataupun yang lainnya. Selanjutnya badan hukum berkembang semakin kompleks menjadi perseroan terbatas, bahkan berkembang bentuk perusahaan multinasional dengan karakteristik berbeda; 191 [3.20] Menimbang bahwa badan hukum dengan demikian merupakan sebuah status bagi perhimpunan atau organisasi yang beranggotakan perorangan/individu. Namun, badan hukum bukan-lah individu itu sendiri. Hal istimewa dari status sebuah badan hukum ini adalah bahwa organisasi yang berstatus badan hukum dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang relatif sama dengan hak dan kewajiban manusia/orang; Akan tetapi dalam praktiknya hak dan kewajiban badan hukum tentu tidak dapat dilaksanakan/ditunaikan sendiri oleh badan hukum bersangkutan. Hal demikian tidak lain karena badan hukum “hanya” sebuah status dan bukan manusia/orang, sementara kemampuan untuk berpikir, bersikap, maupun bertindak secara fisik hanya dimiliki oleh manusia/orang. Berdasarkan kondisi alamiah demikian, maka badan hukum sebagai sebuah status/organisasi membutuhkan keberadaan manusia/orang untuk mengurus atau menjalankan status/organisasi tersebut. Di titik ini lah kemudian, menurut Mahkamah, muncul keberadaan manusia/orang yang menjadi representasi atau perwakilan dari suatu badan hukum. Selanjutnya hukum (peraturan perundang-undangan) memilah atau mengklasifikasi badan hukum menjadi beberapa bentuk/jenis yang masing-masing jenis mempunyai sebutan atau istilah tertentu bagi pihak yang mewakili badan hukum tersebut. Sebutan demikian antara antara lain direksi, pengurus, pemilik, bendahara, sekutu, dan sebagainya. [3.21] Menimbang bahwa karena badan hukum merupakan sebuah status yang dikonstruksikan dari perorangan/individu, maka prinsip pemajakannya pun mengikuti prinsip pemajakan perorangan. Dalam perpajakan, selain istilah subjek pajak -yang merujuk pada perorangan dan badan- dikenal pula istilah objek pajak. Objek pajak merujuk pada harta yang dikenai pajak, yaitu harta yang berada di bawah penguasaan subjek pajak. Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pajak pada dasarnya adalah sebuah pungutan resmi oleh negara yang pungutan demikian mengikuti subjek pajak dan objek pajak; Badan hukum pun wajib mematuhi ketentuan mengenai jenis dan besaran pajak yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pajak, antara lain baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak badan. Semua undang-undang yang mengatur jenis dan besaran tarif demikian berlaku mengikat bagi badan hukum sebagai wajib pajak selama undang- 192 undang bersangkutan belum diubah, dibatalkan, atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; Dengan konstruksi bahwa (pungutan) pajak timbul seketika/bersamaan dengan terciptanya nilai lebih (laba atau keuntungan) dari suatu transaksi ekonomi, maka sebenarnya secara logika tidak mungkin ada tagihan pajak yang tidak dapat dibayar. Dengan catatan tidak dapat dibayar di sini diartikan sebagai tidak ada sumber dana untuk melunasinya. Pada praktiknya laba memang tidak selalu seiring dengan ketersediaan cashflow , namun selama masih terdapat laba/keuntungan maka pajak pasti dapat ditunaikan mengingat logika pungutan pajak adalah mengambil sebagian dari keuntungan/penghasilan yang sudah ada/terjadi. Hal ini berbeda dengan logika pungutan yang dikenakan terhadap suatu kegiatan yang baru akan dilakukan, misalnya biaya perijinan; Apalagi sudah sangat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), yaitu pada Penjelasan Pasal 70 ayat (1) dijelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi pajak”. Ketentuan lain dalam UU 40/2007, antara lain Pasal 71, menegaskan bahwa laba perusahaan yang dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham adalah laba bersih (bahkan laba bersih setelah disisihkan sebagian sebagai dana cadangan). Kedua ketentuan tersebut merupakan mekanisme kerja yang wajib dilaksanakan bagi sebuah badan hukum, in casu Perseroan Terbatas. Artinya, jika suatu PT telah melaksanakan ketentuan pendirian dan/atau ketentuan operasional PT sebagaimana dirumuskan oleh UU 40/2007, maka menurut penalaran yang wajar seharusnya tidak terjadi kegagalan dalam melunasi/membayar pajak. Berdasarkan hal demikian, Mahkamah berpendapat terjadinya keterlambatan pembayaran pajak oleh wajib pajak adalah ketika pajak ditunda pembayarannya oleh wajib pajak, namun kemudian bagian dari laba atau keuntungan yang seharusnya dibayarkan kepada negara sebagai pajak tersebut terpakai untuk kepentingan lain. Pada akhirnya wajib pajak mengalami kesulitan bahkan tidak mampu melunasi utang pajak atau tagihan pajak; [3.22] Menimbang bahwa di sisi lain Mahkamah perlu menegaskan bahwa pajak tidak boleh dihitung/dikenakan untuk kegiatan perusahaan yang telah dinyatakan pailit dan sedang dalam pemberesan kurator karena perusahaan dalam posisi 193 demikian tentunya tidak sedang beroperasi untuk memperoleh laba/keuntungan, kecuali secara nyata dapat diketahui bahwa masih ada kegiatan perusahaan yang dilakukan atas persetujuan hakim pengawas dan kegiatan demikian mendatangkan kewajiban perpajakan. Mahkamah berpendapat pajak tetap dapat dikenakan atas keuntungan/laba yang telah timbul akibat operasional perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit, dan juga dapat dikenakan atas keuntungan yang baru diterima ketika perusahaan telah berstatus pailit. Adalah sangat mungkin sebagian laba atau bahkan keseluruhan laba secara teknis baru diterima perusahaan beberapa saat setelah transaksi terjadi, di mana laba diterima pada saat perusahaan sudah dinyatakan pailit. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap persoalan yang dialami Pemohon yang sesungguhnya, yaitu adanya keberatan atas tagihan pajak badan (perseroan) yang sudah dinyatakan pailit namun penagihannya ditujukan kepada Pemohon sebagai perorangan (mantan pengurus perusahaan sebelum pailit), menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma UU, sehingga bukan menjadi wewenang Mahkamah untuk menilainya. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (6) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.23] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap Pasal 32 ayat (2) UU KUP, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12] di atas, Pemohon pada pokoknya memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang. Terhadap permohonan demikian, pertimbangan Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas. Dengan konstruksi bahwa seharusnya pajak telah dapat dibayarkan setelah laba/keuntungan diterima, bahkan sebelum laba dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham, maka menurut Mahkamah tidak ada alasan hukum apapun yang dapat melepaskan tanggung jawab perusahaan akan pajak dimaksud. 194 Bahwa berangkat dari kondisi demikian, maka tidak terbayarkan atau tidak terlunasinya pajak merupakan kelalaian atau kesengajaan dari pengurus, sehingga menjadi tanggung jawab pengurus perusahaan. Tentu saja, secara teknis, ada beberapa faktor eksternal atau peristiwa force majeur yang dapat menggagalkan upaya pembayaran pajak, atau bisa juga terjadi human error berupa kesalahan hitung atas beban pajak yang seharusnya dibayarkan. Namun hal demikian menurut Mahkamah tidak lantas mengakibatkan norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa adanya peristiwa di luar kemampuan manusia pada umumnya, yang mungkin menggagalkan upaya pemenuhan kewajiban perpajakan, merupakan kewenangan Dirjen Pajak dan badan peradilan pajak untuk menilainya. Bahkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo sudah diberikan pengecualian bahwa wakil wajib pajak tidak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng untuk melunasi utang pajak selama “dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”; [3.24] Menimbang bahwa untuk menjawab konstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang membebankan tanggung jawab pelunasan pajak kepada pengurus, menurut Mahkamah norma a quo harus dibaca secara utuh dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP yang mengatur: “Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
badan oleh pengurus;
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya”. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo mengatur suatu badan hukum sebagai wajib pajak diwakili oleh: a) pengurus; b) kurator dalam hal badan dinyatakan pailit; c) orang/badan yang ditugaskan melakukan pemberesan dalam hal badan dibubarkan; atau d) likuidator dalam hal badan dilikuidasi. Dengan tetap merujuk pada konstruksi timbulnya pajak dan/atau utang pajak sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah kelalaian atau kesengajaan yang 195 mengakibatkan tidak terbayarkannya pajak secara nalar hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pengurus yang aktif mengurusi badan hukum ketika belum dinyatakan pailit, dibubarkan, atau dilikuidasi. Hal demikian karena pengurus- lah yang memutuskan apakah akan langsung membayar pajak ketika perusahaan memperoleh laba/keuntungan (atau pemasukan lain) atau menunda pembayarannya hingga berujung pada kegagalan membayar pajak. Dengan kata lain, tanggung jawab penyelesaian kewajiban pajak badan ada pada pengurus badan tersebut. Apabila berpijak pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo, maka penunjukan subjek hukum sebagai wakil adalah sangat tergantung pada subjek hukum utama yang akan diwakilinya. Dalam kasus a quo , terhadap badan yang telah dinyatakan pailit maka tanggung jawab pengurus berpindah kepada wakil badan yang dalam hal ini adalah kurator. Berdasarkan hal demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat pemberesan utang-utang badan yang telah dinyatakan pailit terhadap pihak lain haruslah dilakukan oleh kurator bersama- sama dengan penyelesaian/pemberesan kewajiban-kewajiban lainnya. Adapun tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pengurus badan sangat tergantung pada sejauh mana kerugian timbul akibat adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dari pengurus pada saat masih aktif menjalankan kepengurusan badan yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan mekanisme penyelesaian kerugian yang bermula dari kelalaian atau kesengajaan pengurus, hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi; [3.25] Menimbang bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurut Mahkamah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berlaku kepada semua orang, dalam hal ini direksi suatu badan hukum mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan begitu pula masyarakat serta semua pihak yang mempunyai hubungan (kerja) dengan badan hukum tertentu mempunyai hak konstitusional yang sama pula yaitu memeroleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 196 Bahwa ditetapkannya pengurus sebagai wakil dari suatu wajib pajak berbentuk badan tentunya bertujuan untuk menjamin kepastian bahwa tindakan suatu badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, setara dengan dijaminnya hak suatu badan hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi kepentingan badan hukum dimaksud (yang notabene kepentingan demikian berujung pada kepentingan pengurus dan pemegang saham). Pengurus menjadi pihak utama yang dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/tindakan suatu badan hukum karena memang dalam keseharian pengurus lah yang menjalankan atau mengoperasikan badan hukum. [3.26] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai pembebanan tanggung jawab suatu badan hukum (yang tidak dapat bertindak apa-apa tanpa bantuan manusia) kepada seorang atau sekelompok pengurus bukanlah hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula dalam hal kewajiban perpajakan perusahaan, dengan pertimbangan hukum yang sama Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang membebankan penyelesaian kewajiban perpajakan suatu badan ( in casu utang pajak perusahaan pailit) kepada pengurus badan yang diwakili oleh kurator adalah bersesuaian dengan UUD 1945. Bahwa persesuaian norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP dengan norma UUD 1945 terutama dalam hal memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada semua pihak yang berinteraksi dengan badan hukum, di mana Pemohon menjadi pengurus badan hukum, sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, salah satu wujud hak pihak lain yang berinteraksi dengan badan hukum adalah hak Negara untuk menerima pembayaran pajak dari suatu badan hukum tertentu melalui pihak atau orang yang bertindak sebagai pengurus badan hukum tersebut; Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. 197 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis , tanggal dua belas, bulan November , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis , tanggal empat belas, bulan Januari , tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 10.50 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan 198 Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Suhartoyo ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo
Pengujian UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
www.mahkamahkonstitusi.go.id 1945 (Preambule) yang merupakan dasar pendirian negara yang tidak dapat diubah. Karena jika diubah, maka negara Indonesia berubah. Mengingat Undang-Undang perpajakan harus mencakup berbagai subjek dan objek pajak yang mempunyai banyak jenis kegiatan dan ciri khas yang harus diperhatikan, yang sangat rentan dengan perubahan baik karena kemajuan tingkat kehidupan sosial ekonomi maupun karena mengikuti kemajuan teknologi, maka penyusunan peraturan perundangan di bidang perpajakan untuk hal- hal tertentu lebih efektif apabila dilimpahkan pengaturannya pada peraturan perundangan yang lebih rendah. Satu dan lain pertimbangan agar jangan terkendala karena proses penyelesaian Undang-Undang yang cukup lama jangan sampai dapat menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Sepanjang diamanatkan dalam Undang-Undang yang lebih tinggi (Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011) dan konsisten melaksanakan prinsip prinsip sistem hukum berjenjang, maka kebijakan tersebut lebih tepat dan tidak menyimpang dari tata urutan perundangan yang berlaku. Resume-8: Pelimpahan wewenang kepada Meteri Keuangan untuk mengatur penentuan jenis jasa lain dengan mengacu Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 dan Pasal 6 UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 dapat dibenarkan dan tidak menyalahi tata urutan peraturan perundangan yang berlaku. Rangkuman: 1. Timbulnya sengketa pajak dalam pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan yang oleh Pemohon dianggap penyebabnya adalah karena ketentuan Pasal 23 ayat (2) yang memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan menerbitkan PMK Nomor 244/PMK.03/2008 adalah keliru. Penyebabnya adalah karena penafsiran dan Penerapan yang salah terhadap ketentuan Pasal 15 dan Pasal 23 UU Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh Pemohon sebagaimana dikemukakan pada Resume-3, Resume-4, dan Resume-5. 2. Timbulnya SKPKB hasil pemeriksaan terhadap Pemohon yang berdampak dikenakan denda sebagai tambahan atas pajak yang terhutang, adalah konsekwensi kekeliruan yang dilakukan oleh Pemohon. Sanksi diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id Namun jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat yang berbeda, maka Pemerintah menyerahkan kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menila apakah Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007); III. Keterangan Presiden Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan Pengujian Terhadap dalil Pemohon terkait materi pokok permohonan, Pemerintah menerangkan Undang-Undang PPh secara filosofis sebagaimana yang diuraikan di bawah ini: 1. Bahwa Undang-Undang PPh dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional; 2. Bahwa dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang dipandang perlu adanya Undang-Undang PPh yang dapat meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Materi Undang-Undang PPh dimaksud berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment . Oleh karena itu, arah dan tujuan Undang-Undang PPh antara lain adalah untuk lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak dan lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; 3. Bahwa Undang-Undang PPh mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subjek Pajak (siapa yang dikenakan), Objek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarif Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pedoman Pelaksanaan Analisis Jabatan di Lingkungan Kementerian Keuangan