Pengujian UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah ...
Relevan terhadap
Untuk menjadi Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Asosiasi Konsultan Pajak harus memenuhi persyaratan dan menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak . (2) Persyaratan untuk menjadi Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
berbentuk badan hukum sesuai dengan peraturan perundang- undangan;
memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ;
mempunyai susunan pengurus yang telah disahkan oleh rapat anggota;
memiliki program pengembangan profesional berkelanjutan ;
memiliki kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak;
memiliki Dewan Kehormatan yang berfungsi untuk mengawasi, memeriksa dan menyelesaikan dugaan pelanggaran kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak oleh anggota asosiasi. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dan harus dilampiri dengan:
akta notaris yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
susunan pengurus pusat dan cabang yang telah disahkan oleh rapat anggota;
daftar anggota dan fotokopi Kartu Izin Praktik anggota yang masih berlaku;
program pengembangan profesional berkelanjutan; dan
kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak.
Atas permohonan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar. (5) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar dalam hal Asosiasi Konsultan Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Pasal 20 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 (1) Asosiasi Konsultan Pajak yang telah mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) berwenang:
menyelenggarakan kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan dan menerbitkan daftar realisasi kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan bagi anggotanya;
membentuk dewan kehormatan yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap Konsultan Pajak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik Konsultan Pajak dan/atau standar profesi Konsultan Pajak;
menyampaikan usulan pengenaan sanksi dalam hal Konsultan Pajak yang diperiksa dinyatakan bersalah melanggar kode etik Konsultan Pajak dan/atau standar profesi Konsultan Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
menerbitkan surat keputusan mengenai keanggotaan Asosiasi Konsultan Pajak dan kartu tanda anggota Asosiasi Konsultan Pajak.
Asosiasi Konsultan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat laporan keuangan setiap tahun .
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya. Pasal 21 (1) Asosiasi Konsultan Pajak yang akan diberikan wewenang untuk menunjuk anggotanya untuk menjadi anggota komite pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d serta untuk mengusulkan struktur organisasi dan anggota komite pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), diusulkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Menteri Keuangan.
Dalam rangka pengusulan Asosiasi Konsultan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan tata kelola organisasi yang baik dan jumlah keanggotaan dari Asosiasi Konsultan Pajak.
Atas usulan Direktur Jenderal Pajak, Menteri Keuangan menetapkan 1 (satu) Asosiasi Konsultan Pajak yang diberikan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Tata kelola organisasi yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, Asosiasi Konsultan Pajak adalah:
Sebagai wadah Konsultan Pajak yang telah mendapatkan izin praktek sesuai dengan ketentuan;
Berbadan hukum yang resmi dengan AD dan ART;
Memiliki Kode Etik dan Standar Profesi;
Bertanggungjawab atas pengawasan pelaksanaan tugas dengan penerapan Kode etik dan Standar Profesi Konsultan Pajak, dan pengusulan sanksi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 pelanggaran kepada Direktorat Jenderal Pajak (bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Pajak);
Mengadministrasikan keanggotaan para anggota asosiasi;
Menerbitkan Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik. Keberadaan asosiasi/organisasi Konsultan Pajak pada prinsipnya adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan Negara antara lain:
Masyarakat dapat memperoleh informasi tentang konsultan pajak yang berkualitas memenuhi standar sesuai dengan keperluan masyarakat;
Negara akan memperoleh calon konsultan pajak yang memenuhi kriteria kemampuan perpajakan tertentu karena ada kewajiban asosiasi untuk menyelenggarakan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak;
Negara dan Masyarakat dapat memanfaatkan Konsultan Pajak yang bertanggung jawab dan tertib melaksanakan hak dan kewajibannya;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang profesional dan mempunyai tingkat kompetensi yang selalu mengikuti perkembangan masalah perpajakan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang bertanggung jawab atas tugasnya, merahasiakan data/informasi yang harus dirahasiakan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang dalam pelaksanaan tugasnya bebas dari konflik kepentingan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang berperilaku sopan, santun, objektif, jujur dan dapat dipercaya; dan
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang bekerja tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Dengan demikian, keberadaan Asosiasi Konsultan Pajak adalah agar di masyarakat tersedia Konsultan Pajak yang memenuhi standar yang diperlukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah; IV. KONSULTAN PAJAK DALAM PRAKTEK Untuk menyediakan “pihak” yang dapat membantu Wajib Pajak dan bermanfaat bagi Negara, maka dalam prakteknya dapat dicerminkan dalam:
Ruang Lingkup Pekerjaan Konsultan Pajak;
Hak dan Kewajiban Seorang Konsultan Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 3. Tanggung Jawab Hukum seorang Konsultan Pajak;
Syarat menjadi Konsultan Pajak. Berdasarkan definisi “Konsultan Pajak” yang berbunyi: “Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”, ruang lingkup pekerjaan Konsultan Pajak meliputi pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pendaftaran Wajib Pajak;
bimbingan dan/atau pengisian SPT;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam pemeriksaan pajak;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam proses keberatan;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam proses Banding; dan
pemanfaatan hak dan pelaksanaan kewajiban perpajakan lainnya, seperti permohonan fasilitas perpajakan, permohonan Surat Keterangan Bebas, Permohonan Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dan lain sebagainya; Sedangkan Hak dan Kewajiban seorang Konsultan Pajak antara lain:
Konsultan Pajak berhak untuk memberikan jasa konsultasi di bidang perpajakan sesuai dengan batasan tingkat keahliannya.
Konsultan Pajak wajib memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Konsultan Pajak wajib mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;
Konsultan Pajak wajib mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;
Konsultan Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan
Konsultan Pajak wajib memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama dan alamat rumah dan kantor. Tanggung Jawab Hukum seorang Konsultan Pajak dipisahkan menjadi 2 (dua), yakni sebagai Konsultan Pajak dan sebagai Kuasa Wajib Pajak. Sebagai Konsultan Pajak, wajib bertanggung jawab: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 a. memenuhi ketentuan syarat formal untuk menjadi Konsultan Pajak;
mematuhi kewajiban administratif sebagai Konsultan Pajak, seperti menyampaikan SPT tepat waktu, menyampaikan Laporan Tahunan, memperpanjang ijin praktek Konsultan Pajak dan lain sebagainya.
mematuhi ketentuan yang diatur oleh Asosiasi.
menguasai ketentuan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan tingkatan sertifikatnya; dan
Mematuhi segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai “Kuasa” Wajib Pajak:
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa hanya mempunyai hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya:
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan; atau
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya. V. KESIMPULAN 1. Pasal 32 ayat (3) UU KUP adalah pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 adalah merupakan pelaksanaan amanat Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 4. Norma sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) adalah merupakan pelaksanaan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya dalam Undang–Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 adalah merupakan ketentuan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena diperintah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni UU KUP;
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pada saat ini pihak yang dapat menjadi “kuasa” Wajib Pajak hanya meliputi:
Konsultan Pajak, dan b. Karyawan Wajib Pajak, yang memenuhi kriteria tertentu.
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak. Yurisdiksi pemajakan Indonesia tersurat dalam Pasal 23A UUD 1945 dan atas kuasa Pasal tersebut dibentuklah UU Perpajakan. Secara teoretis, sepanjang terdapat tax connecting factor antara subjek dan/atau objek pajak sebagaimana diatur dengan UU, kewenangan negara memajaki subjek dan objek di wilayahnya tidak terbatas, kecuali konstitusi atau hukum internasional menentukan lain (Knechtle, 1979; De Leon, 1993; dan Rohatgi, 2005). Paska booming minyak pada dekade 1980an, Indonesia mengalihkan sumber penerimaan negara dari migas yang tidak elastis dan prospektif, ke pajak yang lebih elastis, dinamis dan fleksibel terhadap kondisi ekonomi. Mengantisipasi kesulitan administrasi mengelola dan mengawasi jutaan subjek dan objek pajak seiring dengan kemajuan ekonomi negara, agar administrasi pajak lebih efektif dan efisien, pada 1984 Indonesia mengganti sistem pajak konvensional official assessment berdasar compulsory compliance ( government centered activities ) menjadi sistem pajak modern self assessment berdasar voluntary compliance ( taxpayer centered activities ). Untuk mengatasi ketidak cukupan jumlah pegawai pada saat itu, maka administrasi perpajakan harus bertransformasi dari manual konvesional menjadi computerized IT based tax administration online basis dengan daring sistem; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 Barry Larking (2005) menyebut self assessment sebagai sistem pajak yang mewajibkan WP menghitung sendiri utang pajak berdasar UU dan melaporkan dasar pengenaan pajak, melampirkan hitungan pajak terutang dan melunasinya. Secara teori sistem assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem pemungutan pajak modern paling efektif dan efisien, karena kebanyakan kegiatan pemajakan menjadi inisiasi WP. Mereka disebut patuh pajak jika melapor objek dan menghitung pajak terutang dengan benar, lengkap dan melunasi pajak tepat waktu (Alink & Kommer). Kepatuhan WP termasuk: (i) mendaftarkan diri guna peroleh NPWP/PKP, (ii) menyampaikan SPT yang diisi dengan benar dan lengkap, dan (iii) melunasi pajak tepat waktu. Fiscal Blueprints Komisi Eropa 2007 (Alink&Kommer) menyebut voluntary compliance sebagai bagian dari strategi model kepatuhan WP, dan unsur efisiensi administrasi pajak. Plumley AH (Alink & Kommer) menyebut beberapa manfaat voluntary compliance, seperti: (a) pajak dibayar tepat waktu; (b) penerimaan dari enforcement dibayar segera; (c) penerimaan terlindungi dan lebih bayar dikembalikan lewat proses efisien; dan (d) pembayaran sesuai kewajiban sebenarnya. Sistem self assessment meminta WP menghitung sendiri pajak terutang berdasar UU, membayar dan melaporkannya. Jika menemukan bukti utang pajak tidk benar dalam SPT, DJP dapat me re-assessment, dengan asumsi bawah kebanyakan WP berniat baik memenuhi kewajiban. Jika tidak terdapat bukti ketidak benaran SPT dan sampai waktu tertentu tidak ada penerbitan ketetapan pajak maka utang pajak yang dilaporkan dalam SPT dianggap benar dan demi hukum telah final. Prinsip fairness - public trust in tax administration (Thuronyi, 1996) menuntut agar proses __ re-assessment transparan sehingga temuan dalam pemeriksaan dikomunikasikan pada WP. Sementara itu, agar sistem self assessment efektif, DJP harus: (i) membuat WP memahami aturan dan mampu menghitung pajak dengan benar, sadar dan insyaf, berkemauan dan jujur serta transparan melaksanakan kewajiban, (ii) membuat sistem dan suasana WP mudah, murah mematuhi ketentuan, namun tidak ada pilihan lain kecuali patuh, (iii) mengawasi dan meningkatkan kepatuhan dengan basis IT, seperti otomasi administrasi pajak dan e-data matching dengan data pihak ketiga, (iv) memelihara dan menegakkan kesadaran, dan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan, (v) mengelola data Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 base secara valid, komprehensif dan terintegratif serta mampu mengakses data pihak ketiga secara meluas guna deteksi dini ketidakpatuhan; Secara administratif, sistem self assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem perpajakan modern, paling efektif dan efisien karena mempercayakan hampir semua inisiasi kegiatan pemajakan pada WP. Rochmat Soemitro (1998), Rizal Palil (2010) dan Benno Torgler (2005, dari Alink & Kommer) menyebut beberapa asumsi dasar self assessment bagi WP: (i) berpengetahuan pajak, (ii) sadar pajak, (iii) beriktikad baik dan jujur, (iv) berhasrat bayar pajak, (v) berdisiplin pajak, (vi) moral atau etika pajak, dan (vii) berkemauan membayar pajak. Inisiasi awal kegiatan perpajakan seperti perolehan NPWP dan penghitungan dan pembayaran pajak sepenuhnya berasal dari WP dengan asumsi: (i) WP pelaku transaksi dan penerima objek pajak dan basis pemajakan lainnya, (ii) menguasai data, informasi dan keterangan lengkap objek pajak, (iii) mengerti, memahami dan mampu melaksanakan ketentuan pajak, (iv) mampu menghitung pajak dengan benar dan lengkap, (v) menyadari pentingnya membayar pajak, dan (vi) dengan jujur bersedia memenuhi kewajiban pajak. Karena begitu sentralnya inisiatif WP itu, rasanya tidak mudah walaupun UU Pajak telah mewajibkan pembukuan pada WP Badan dan pengusaha orang pribadi tertentu, dan menyediakan norma penghitungan penghasilan neto bagi WP lainnya agar mereka dapat memenuhi kewajiban self assessment, tanpa hadirnya profesional pajak sebagai penunjang berfungsi efektif dan efisiennya sistem perpajakan (Thuronyi & Fanistanendael, 1996). Profesional merujuk pada seseorang yang mempunyai profesi tertentu (Fidel, 2014, Konsultan Pajak). Profesi merupakan pekerjaan profesional berlandaskan ilmu pengetahuan berdasar proses belajar mengajar, pelatihan dan penguasaan pengetahuan khusus serta pengalaman. Suatu profesi biasanya mempunyai asosiasi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi bidang profesi tersebut. Misalnya, Konsultan, Lawyer, Dokter, Akuntan, Notaris, dan Pengacara; The Encylopedia of Americana menyebut profesi sebagai suatu jabatan ( occupation ) atau pekerjaan ( vocation ) yang benar-benar dipersiapkan sungguh- sungguh melalui pendidikan spesialisasi intelektual. Beberapa ciri prinsip profesi (Fidel, 2014) termasuk: (i) suatu bidang terpelajar dari ilmu pengetahuan yang meliputi perangkat sikap yang diterapkan ketika memberikan jasa layanan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 berbayar, (ii) standar keberhasilan yang diukur dengan pelaksanaan layanan masyarakat berdasar kecakapan teknis tinggi yang didukung oleh pendidikan formal khusus, dan (iii) landasan kerja ideal, dan pengawasan pekerjaan praktisi melalui lembaga asosiasi dan kode etik. Dalam jasa penunjang sistem perpajakan, terdapat konsultan pajak. Konsultan pajak merupakan sebutan profesi bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan konsultan pajak sebagaimana diatur dalam PMK misalnya 111/PMK.03/2014. Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU KUP menyebut konsultan pajak sebagai setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jasa perpajakan yang diberikan Konsultan Pajak, menurut Fidel (2014) berupa konsultasi perpajakan, pengurusan, perwakilan, pendampingan, membela dalam penyidikan dan pengadilan pajak, jasa hukum perpajakan dan jasa perbantuan lainnya dalam ruang lingkup perpajakan; Sistem self assessment berdasar voluntary compliance , kurang berfungsi efektif efisien tanpa partisipasi aktif profesional pajak. Karena dalam dunia bisnis yang kompetitif saat ini, kebanyakan pengusaha dan investor tidak punya cukup waktu berurusan dengan perpajakan, sedangkan para karyawan kebanyakan kurang familiar dengan bahasa ketentuan perpajakan yang dinamis rentan perubahan, konsultan pajak amat diperlukan untuk menambah pengetahuan, meningkatkan kesadaran dan kejujuran, hasrat dan kemauan membayar pajak, sehingga WP mampu melaksanakan kewajiban pepajakan yang kompleks tepat waktu. Dengan memberi konsultasi, konsultan pajak telah menyelesaikan kepentingan publik yang strategis untuk kepentingan pemerintah dan publik. Karena itu, pemerintah harus melindungi dan menumbuh suburkan peranan konsultan sebagai mitra kerja kantor pajak. Dalam rangka menumbuh kembangkan profesi jasa penunjang sistem perpajakan ini, Pasal 9 PMK 111/PMK.03/2014 membuka 3 jalur sertifikasi konsultan pajak, yaitu: (i) jalur pendidikan melalui program Strata 1 Prodi Perpajakan dan dan program D-IV Perpajakan, (ii) jalur USKP, dan (iii) jalur penyetaraan sertifikasi pensiunan. Dengan demikian, siapa saja yang berminat menjadi profesioal pemberi jasa penunjang sistem perpajakan berkesempatan meraihnya. Karena mendapat imbalan dari WP, maka berbeda dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 petugas pajak yang hanya loyal kepada negara, profesional penyedia jasa penunjang sistem pajak lebih membela kepentingan WP agar hanya membayar pajak sejumlah semestinya. Karena itu, fungsi utama regulasi jasa penunjang sistem perpajakan termasuk menyeimbangkan loyalitas profesional penyedia jasa pada sistem pajak yang adil dan membela kepentingan WP. Regulasi juga harus melindungi kepentingan konsumen jasa perpajakan dari profesional yang tidak kompeten dan beritikad kurang baik. Selain itu, regulasi juga harus tidak cenderung melindungi kepentingan ekonomis profesional secara tidak proporsional atau sebaliknya justru mempersulit dan menghambat berfungsi efektif dan efisiennya profesi tersebut; Sistem self assessment berdasar voluntary compliance mempercayakan inisiatif kegiatan perpajakan bermula dari WP dan sampai sekarang merupakan hal yang tidak mudah bagi WP negara berkembang. Sistem ini mulai berlaku tahun 1984 mengganti sistem official assessment berdasar compulsary compliance dengan inisiatif kegiatan pemajakan berawal dari kantor pajak. Begitu penting peran praktisya pihak yang memahami masalah perpajakan membantu WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya sehingga sistem pajak berjalan baik dan berfungsi efektif dan efisien. Karena tidak mudah memahami bahasa UU Pajak terutama menyangkut transaksi global, maka sejak UU 6/1983 pembuat UU memberikan kelonggaran dan kesempatan kepada WP guna minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Kelonggaran tersebut tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP, yang menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penjelasan Pasal 32 ayat (3) menyebut bahwa kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus WP untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan WP. Bantuan yang dapat diminta pada kuasa yang memahami masalah perpajakan tersebut meliputi pelaksanan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak WP yang ditentukan dalam peraturan perpajakan; Secara umum, terdapat 3 pendekatan pengaturan profesional pajak (Victor Thuronyi, 1996): (i) full regulation (seperti Austria, China, Jerman, dan Jepang). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 Pemberlakuan monopoli praktik jasa pajak (sama sperti lawyer memonopoli jasa hukum) atau dibagi dengan lawyer dan akuntan, (ii) partial regulation (seperti Amerika dan Australia) tidak memberikan monopoli pelaku jasa perpajakan, tetapi membatasinya dengan sistem listing dan anggota perkumpulan profesi dengan kerangka pengaturan maju, dan (iii) no regulation (kebanyakan negara) tanpa pengaturan khusus memberikan kesempatan pemberi jasa perpajakan yang tidak bebas dengan profesi yang diatur seperti lawyer dan akuntan. Dari tiga pendekatan pengaturan inipun, detilnya berbeda antar negara. Model regulasi penuh (Jerman), UU Konsultan Pajak secara komprehensif mengatur pemberian jasa perpajakan. Pasal 2 menyatakan bahwa jasa perpajakan secara komersial hanya boleh dilakukan mereka yang dibolehkan UU, yaitu mereka yang kompeten melakukannya seperti Konsultan Pajak terdaftar, lawyer, akuntan dan pihak lain dalam keadaan amat terbatas dapat memberikan jasa perpajakan. Model regulasi parsial (Amerika). Ada pengaturan pemberian jasa perpajakan, namun tidak komprehensif, bahkan orang tanpa diklat profesi boleh beri jasa perpajakan seperti menyusun SPT, asal tidak terkait hukum. Setiap pemberi jasa pengisi SPT harus mengungkap identitasnya dan menandatangani serta menanggung sanksi salah ngisi. Layanan jasa berurusan ke kantor pajak terbatas oleh pengacara, kantor akuntan publik, atau konsultan pajak terdaftar. Urusan ke pengadilan pajak dapat diwakili pengacara atau profesi lain yang terdaftar di pengadilan. Australia hanya mengijinkan lawyer dan konsultan pajak untuk menyiapkan SPT berimbalan. Jika akuntan ingin memberi jasa penyiapan SPT harus menjadi konsultan pajak. Model tanpa regulasi , di berbagai negara, seperti Belgia, Italia, Portugal dan Inggris, pemberian jasa konsultasi pajak dan pengisian SPT tidak dibatasi hanya boleh dilakukan profesi tertentu. Wakil ke kantor pajak juga tidak dibatasi pada suatu profesi karena tidak ada persyaratan formal dan prosedural seperti di pengadilan; Tidak seperti negara penganut regulasi penuh atau parsial profesi penunjang sistem perpajakan, UU KUP mengikuti jalannya sendiri. Yaitu regulasi minimalis hanya menyebut bahwa WP dapat (berhak) menunjuk seorang kuasa tanpa pengaturan lebih lanjut. Dalam pengaturan lebih lanjut, Penjelasan menyebut batasan seperti kuasa itu adalah pihak yang memahami masalah perpajakan. Sementara itu, pengertian kuasa sebagai orang yang menerima kuasa khusus Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 dari WP untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari WP sesuai dengan ketentuan perpajakan baru muncul dalam Penjelasan UU 28/2007. Karena pihak yang memahami masalah perpajakan sebagai profesi penunjang sistem perpajakan hanya berfungsi membantu WP melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya, dalam Pasal 32 tidak disebut konsekwensi hukum dari pemanfaatan kuasa itu. Thuronyi dan Fanistendael (1996) lebih lanjut menyatakan bahwa negara berkembang penganut regulasi minimalis profesi penunjang sistem pajak, umumnya berada pada kondisi: (i) profesi penunjang perpajakan, seperti konsultan pajak jumlahnya masih sedikit, (ii) perpajakan belum menjadi program studi di berbagai fakultas di perguruan tinggi, seperti hukum, ekonomi bisnis, administrasi, dan fakultas lainnya, (iii) fakta pendidikan profesi dan vokasi perpajakan belum meluas, dan (iv) belum majunya administrasi perpajakan, seperti daring sistem, langkanya konsultan pajak, penerapan pembatasan administrasi WP melalui PTKP dan omset minimum PKP menjadikan belum waktunya mengatur profesi penunjang sistem perpajakan secara detil dalam UU yang kurang fleksibel. Akibatnya, negara penganut regulasi minimal, seperti China, Polandia, Slovakia, dan Indonesia memilih pengaturan persyaratan, dan tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban kuasa WP dalam aturan lebih rendah dari UU yang akan ditentukan berdasar perkembangan situasi dan kondisi perpajakan ; Berdasar pertimbangan tersebut maka dimunculkan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) dalam UU 28/2007. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan PMK. Sesuai dengan teori minimal regulasi tersebut, maka pengaturan dalam UU KUP cukup disebut bahwa WP berhak menunjuk kuasa, yaitu pihak lain yang menguasai masalah perpajakan. Selanjutnya regulasi rincinya akan diatur dalam peraturan di bawah UU (PMK) sesuai perkembangan situasi dan kondisi sistem perpajakan dan perkembangan profesi penunjang sistem perpajakan. Adapun berbagai jenis profesi yang dapat memberikan jasa profesional perpajakan di beberapa negara (Thuronyi dan Fanistendael, 1996) nampak sbb: No Negara Jenis profesional – kuasa WP Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 1 Australia Akuntan, Lawyer, Agen Pajak 2 Belgia Akuntan, Lawyer, Notaris, Agen Pajak 3 Canada Akuntan, Lawyer 4 Perancis Akuntan, Tax Lawyer, Notaris 5 Jerman Konsultan Pajak, Lawyer, Akuntan, Auditor 6 Nederland Akuntan, Tax Lawyer, Lawyer, Notaris, Auditor 7 Italia Tax advisor/Konsultan pajak, Lawyer, Notaris 8 Spanyol Akuntan, Lawyer, Sarjana Bisnis 9 Inggris Akuntan, Konsultan Pajak, Praktisi Pajak, Lawyer 10 Amerika Serikat Akuntan, Lawyer, Agen, Pengacara, dan lainnya 11 Jepang Akuntan Pajak 12 Indonesia Konsultan Pajak, sebelum 1984 ada Kantor Administrasi Pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mendelegasikan ketentuan tentang persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa diatur dengan atau berdasar Peraturan Menteri Keuangan, karena hal itu tidak diatur dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Pemohon menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan ayat (1), yaitu hak persamaan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, karena sebagai profesional advokat Pemohon tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari WP. Sebetulnya ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya memuat norma pendelegasian pengaturan lebih lanjut secara teknis mengenai persyaratan seorang penerima kuasa khusus serta pelaksanaan hak dan kewajibanWP oleh kuasa khusus dimaksud. Karena dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP pendelegasian tersebut belum diatur maka dimunculkan Pasal 32 ayat (3a) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 yang mengatur pendelegasian dimaksud. Sesuai dengan kondisi sistem perpajakan, sistem pendidikan perpajakan, dan kondisi Konsultan Pajak yang dihadapi saat ini, dari beberapa alternatif regulasi profesi jasa penunjang perpajkan ( full regulated , partial regulated , no regulation , dan minimal regulation ), UU KUP memilih yang terakhir sehingga dilakukan pendelegasian regulasi kepada Menteri Keuangan agar lebih fleksibel sesuai situasi dan kondisi; Pemahaman ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP harus dihubungkan dengan batang tubuh dan Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Sementara batang tubuh Pasal 32 ayat (3) menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, Penjelasan antara lain menyebut bahwa kuasa adalah pihak yang memahami masalah perpajakan sehingga , untuk dan atas namanya, dapat membantu pelaksanaan hak dan kewajiban formal dan material WP . Jika kuasa sebagai pihak yang memahami masalah perpajakan yang mampu membantu WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat disamakan dengan profesional penunjang berfungsinya sistem perpajkan berdasar self assessment yang efektif dan efisien maka rambu-rambu dari pengaturan regulasinya adalah seperti yang dibahas di muka. Yaitu, antara lain regulasi jasa penunjang sistem perpajakan harus harus melindungi kepentingan konsumen jasa perpajakan dari profesional yang tidak kompeten dan beritikad kurang baik . Selain itu, regulasi juga harus tidak cenderung melindungi kepentingan ekonomis profesional secara tidak proporsional atau sebaliknya justru mempersulit dan menghambat berfungsi efektif dan efisiennya profesi tersebut; Karena Pasal 32 ayat (3a) UU KUP berisi norma pendelegasian pengaturan lebih lanjut pendekatan regulasi minimalis profesional pemberi jasa penunjang sistem perpajakan itu sudah sesuai dengan kelaziman praktik ketentuan perpajakan di beberapa negara dengan paham sejenis, keberadaan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP merupakan pendelegasian pengaturan yang adanya merupakan keharusan. Karena itu, tidak dapat secara otomatis dianggap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (2) dan ayat (1) UUD 1945; Sebagai profesi, adalah merupakan kelaziman yang berterima umum, bahwa untuk dianggap kompeten memberikan jasa profesional di bidang perpajakan siapa saja yang berminat untuk menempuh proses sertifikasi Brevet Perpajakan, misalnya melalui jalur USKP sehingga setelah lulus yang bersangkutan dianggap kompeten untuk memberikan jasa perpajakan dan setelah mendapat ijin dapat dengan resmi dan syah menjadi kuasa Wajib Pajak. [2.4] Menimbang bahwa Pemohon dan Presiden menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada tanggal 21 November 2017 dan 22 November 2017 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999), selanjutnya disebut UU KUP, terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, yang rumusannya masing-masing berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 (3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan _Menteri Keuangan; _ (4)... 2. Bahwa Pemohon, Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H., C.L.A, adalah perseorangan warga negara Indonesia dan pembayar pajak (vide bukti P-4) yang berprofesi sebagai advokat, pengacara, kurator, legal auditor , dan mediator;
Pemohon sebagai advokat dan pengacara juga memiliki sertifikasi tambahan seperti kurator, legal auditor , dan surat izin menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak (vide bukti P-8) serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal pajak berdasarkan bukti sertifikat brevet A-B (vide bukti P-14);
Bahwa Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP telah merugikan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakibatkan adanya kewenangan mutlak Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa;
Bahwa Pemohon ditunjuk oleh Klien Pemohon untuk mendampingi, memberi nasihat, dan/atau mewakili Wajib Pajak, dan tetap terikat pada kewenangan Menteri Keuangan. Hal ini mengakibatkan Pemohon sebagai Kuasa Hukum tidak dapat menjalankan pekerjaan dan telah kehilangan hak untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban kuasa, karena adanya kewenangan Menteri Keuangan;
Bahwa kewenangan Menteri Keuangan tersebut telah diterapkan dalam praktik bantuan hukum kepada Wajib Pajak dan Pemohon telah diijinkan untuk memberikan bantuan hukum di pengadilan pajak (vide bukti P-8), namun telah ditolak oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul Yogyakarta untuk mendampingi Klien dengan alasan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014, tanggal 18 Desember 2014 (selanjutnya disebut PMK 229/2014). Peraturan Menteri Keuangan ini terbit dengan merujuk pada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP;
Bahwa Pasal 2 PMK 229/2014 menyatakan: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 (1) Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak orang pribadi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;
Dalam hal pelaksanaan kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan melalui sistem administrasi yang terintegrasi dalam sistem di Direktorat Jenderal Pajak atau tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dianggap telah melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan sendiri;
Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
konsultan pajak; dan
karyawan Wajib Pajak.
Bahwa penolakan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul terhadap Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukan seorang konsultan pajak menandakan petugas kantor Pelayanan Pajak Bantul tidak memahami hak-hak konstitusional Pemohon dan profesi Pemohon sebagai advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Penolakan tersebut didasarkan PMK 229/2014, namun dalam prakteknya banyak orang yang bukan konsultan pajak juga mengurus masalah pajak di KPP Bantul, bahkan Petugas KPP Bantul selalu menawarkan penyelesaian damai ke pihak-pihak yang mengurus pajak dengan mengiming- imingi agar jumlah pajak yang disetor ke Kas Negara dapat dikurangi agar selisih pembayaran diberikan kepada Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul;
Bahwa penolakan Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukanlah konsultan pajak dilakukan secara diskriminatif karena di lain kesempatan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul dapat menerima pihak lain yang bukan konsultan pajak untuk mengurus masalah-masalah pajak. Penolakan tersebut tidak dalam rangka menjalankan tugas profesinya tetapi semata-mata demi kepentingan dan keuntungan pribadi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 Berdasarkan uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana diuraikan di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya perihal inkonstitusionalitas Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, Pemohon secara aktual telah ditolak oleh Petugas KPP Bantul ketika sedang menjalankan profesinya sebagai Kuasa seseorang dalam perkara perpajakan, di mana penolakan tersebut secara aktual pula didasari oleh keberlakuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP. Dengan demikian anggapan Pemohon perihal kerugian hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah benar di mana secara kausalitas hal itu terjadi karena keberadaan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP sehingga apabila permohonan a quo dikabulkan maka kerugian tersebut tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa apabila diringkas, uraian dalil Pemohon perihal inkonstitusionalnya Pasal 32 ayat (3a) UU KUP pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak yang bersifat memaksa, tidak dapat dipungkiri atau dihindari akan timbul permasalahan atau sengketa di bidang perpajakan. Adanya kekuasaan dan kepentingan bagi instansi yang mengeluarkan keputusan di bidang perpajakan tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, atau berpotensi menghilangkan unsur kedaulatan rakyat, sementara di sisi lain, Wajib Pajak tidak memiliki pengetahuan tentang hukum perpajakan. Sehingga potensi terjadinya rasa ketidakadilan bagi Wajib Pajak akibat tindakan pemerintah di dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan harus diselesaikan melalui suatu lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak manapun yang khusus menangani sengketa/perkara pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 2. Bahwa dalam kenyataan sehari-hari permohonan Wajib Pajak dan petugas pelaksana dari pemerintah tidak sepenuhnya mengetahui seluruh peraturan perpajakan yang mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian di pihak Wajib Pajak. Untuk mewujudkan perlindungan kedaulatan rakyat, negara perlu melindungi dan menjamin agar pelaksanaan hak dan kewajiban Pemohon/Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik yaitu dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk kuasa, didampingi atau diwakili Kuasa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Hak untuk menunjuk Kuasa bagi Wajib Pajak dapat dilihat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang merupakan wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum dan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak;
Bahwa peran dan fungsi Kuasa dalam mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan memiliki peran penting untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Kuasa juga memberikan jasa konsultasi perpajakan (konsultan pajak), sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan masyarakat Wajib Pajak dalam memahami dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, peranan dan fungsi Kuasa tersebut juga membantu Pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan pajak;
Bahwa Kuasa juga diharapkan untuk mencari dan menegakkan hak-hak Wajib Pajak, karena Kuasa yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang perpajakan diharapkan dapat mewakili dan melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa untuk mencari dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga kuasa juga memiliki peran dan fungsi untuk mendampingi atau memberikan nasihat kepada Wajib Pajak atas hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga hak Wajib Pajak tidak dikurangi atau ditiadakan oleh Pemerintah atau Pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang perpajakan dan pelaksanaan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 5. Bahwa dengan adanya peranan penting dari kuasa hukum tersebut, menurut Pemohon jelaslah bahwa kuasa pajak haruslah mandiri, bebas atau independen dalam melaksanakan kuasa demi melindungi hak dan kepentingan pemberi kuasa, terhadap pihak manapun termasuk pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana tugas penerima atau pemungutan pajak;
Bahwa ketentuan yang diuji Pemohon tersebut memberikan kewenangan mutlak/absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak;
Pemberian kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon berarti, Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Menteri Keuangan telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk membatasi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada Kuasa dengan cara memberi Menteri Keuangan kewenangan untuk membuat dan menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa dalam menerima dan menjalankan kedaulatan Pemohon. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut, telah mengakibatkan tidak terlaksananya kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban Pemohon melalui Kuasa;
Bahwa dalam sistem peradilan Indonesia, diakui keberadaan kuasa hukum yang memiliki profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran dalam pelaksanaan peradilan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. Pemohon dalam perkara a quo membandingkan kuasa hukum Wajib Pajak dengan profesi kuasa hukum yang diakui dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu advokat yang diatur dalam UU Advokat;
Bahwa fungsi dan peran profesi advokat dengan kuasa Wajib Pajak/ Konsultan pajak dalam pelaksanaan peradilan adalah sama yaitu bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dan memberikan nasihat hukum tentang perkara yang dihadapi. Konsultan Pajak hanya khusus untuk beracara di Pengadilan Pajak, sementara Advokat dapat melaksanakan kuasanya untuk setiap lembaga peradilan apapun termasuk sengketa atau permasalahan hukum yang belum dibawa ke badan-badan peradilan. Posisi atau kedudukan, peran, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 dan fungsi Kuasa Wajib Pajak dan Advokat di hadapan persidangan pengadilan adalah sama yaitu memberikan pendampingan, bantuan hukum atau nasehat hukum mewakili Pemberi Kuasa atas perkara yang dihadapi Wajib Pajak, serta menjalankan kuasa yang diberikan oleh Pemberi Kuasa;
Bahwa atas kesamaan fungsi dan peran profesi Advokat dengan Konsultan Pajak selaku Kuasa Hukum dalam pelaksanaan profesinya baik di dalam maupun di luar peradilan, maka kedudukan Kuasa atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan Advokat dalam sistem hukum Indonesia. Dengan memperhatikan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Advokat dalam peradilan, berbeda dengan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Advokat, sehingga tidak terdapat suatu unsur atau norma yang memberikan kewenangan kepada pihak manapun atau instansi pemerintahan seperti Menteri Hukum dan HAM, instansi penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian untuk menentukan persyaratan menjadi Kuasa Hukum/Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi Konsultan Pajak/Kuasa Hukum Wajib Pajak, karena undang-undang yang dimohonkan untuk diuji materiil ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Padahal Kuasa Hukum/Konsultan Pajak dan Menteri Keuangan adalah para pihak yang berperkara atau bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Pengadilan Pajak. [3.8] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-16b tanpa P-9, serta 1 (satu) orang ahli yang telah didengar keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 November 2017. [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 Kepaniteraan pada tanggal 16 Oktober 2017, serta 3 (tiga) orang ahli yang telah didengar keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 November 2017. [3.10] Menimbang bahwa setelah membaca dengan cermat permohonan Pemohon dan keterangan Pemohon dalam persidangan, serta memeriksa bukti- bukti yang diajukan, terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak secara spesifik memberikan argumentasi tentang pertentangan norma yang termuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan secara panjang lebar mengenai hak Wajib Pajak untuk menunjuk kuasa serta kaitannya dengan profesi Pemohon sebagai advokat yang oleh UU Advokat diberi kewenangan untuk memberi bantuan hukum, termasuk menjadi kuasa dalam sengketa perpajakan. Pemohon hanya secara sumir mendalilkan bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dengan PMK 229/2014 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak memberikan argumentasi yang secara spesifik berkenaan dengan dalil ini (Perbaikan permohonan hal. 12). Dengan memperhatikan secara saksama uraian Pemohon tampak jelas bahwa yang menjadi pokok keberatan Pemohon sesungguhnya adalah keberadaan dan keberlakuan PMK 229/2014 yang merupakan delegasi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang telah menyebabkan Pemohon ditolak menjadi kuasa wajib pajak oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul padahal Pemohon telah memiliki sertifikat Brevet A-B. Atas dasar itu, Pemohon kemudian tiba pada penalaran bahwa Menteri Keuangan memiliki kewenangan absolut sehingga seolah-olah berada di atas kedaulatan rakyat. Lagi pula, Pemohon sendiri menyatakan dalam permohonannya bahwa ada pihak lain yang bukan konsultan pajak namun dapat mengurus masalah-masalah pajak (vide perbaikan permohonan Halaman 21), sehingga memberi kesan bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon adalah persoalan penerapan undang-undang. [3.10.2] Bahwa, namun demikian, jika dibaca rasionalitas dan konteks keseluruhan dalil Pemohon, Mahkamah memahami bahwa substansi yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sesungguhnya dipersoalkan oleh Pemohon adalah masalah pendelegasian kewenangan oleh undang-undang, in casu Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Peraturan Menteri, sehingga persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah pendelegasian kewenangan demikian bertentangan dengan UUD 1945, khususnya sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011). Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, diperlukan pemerintahan yang berdaulat dan memiliki kewenangan secara hukum. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan adalah diturunkan dari kewenangan tersebut. Sumber kewenangan dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar;
Bahwa, sebagaimana disinggung pada angka 1 di atas, salah satu sumber kewenangan adalah diperoleh dari pendelegasian kewenangan perundang- undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), yaitu pendelegasian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian demikian dibutuhkan karena walaupun dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diharapkan dapat dirumuskan ketentuan-ketentuan yang dapat langsung menyelesaikan permasalahan, namun demikian acapkali diperlukan adanya pelimpahan (pendelegasian) peraturan perundang-undangan. Hal itu disebabkan peraturan yang lebih tinggi biasanya hanya mengatur ketentuan yang sangat umum (garis besar) sehingga pengaturan yang lebih konkret didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah secara berjenjang sesuai hierarkinya. Pendelegasian suatu peraturan perundang-undangan pada dasarnya dilakukan secara berjenjang sesuai dengan hierarki yang berlaku, misalnya dari Undang-Undang ke Peraturan Pemerintah atau dari Peraturan Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 ke Peraturan Presiden. Pendelegasian Undang-Undang ke Peraturan Menteri seharusnya tidak terjadi dalam sistem pemerintahan Presidensial oleh karena pendelegasian tersebut meloncati dua peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang secara konstitusional seharusnya didelegasikan ke Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya” . Namun, masalah pendelegasian tersebut diatur secara agak berbeda dalam UU 12/2011 yang berlaku saat ini, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011. Pedoman angka 211 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan, “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari undang- undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. Dengan demikian, terlepas dari persoalan apakah secara doktriner dalam sistem pemerintahan Presidensial dapat dibenarkan adanya pendelegasian kewenangan mengatur langsung dari Undang-Undang kepada Peraturan Menteri, menurut hukum positif yang berlaku pada saat ini ( in casu UU 12/2011) pendelegasian kewenangan demikian dimungkinkan sepanjang hal itu berkenaan dengan pengaturan yang bersifat teknis-administratif. Dengan kata lain, secara a contrario , pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang langsung kepada Peraturan Menteri tidak dibenarkan jika materi muatannya berkenaan dengan hal-hal yang menurut hierarki peraturan perundang-undangan bukan merupakan materi muatan Peraturan Menteri;
Bahwa substansi yang diatur dalam UU 12/2011 terkait dengan pendelegasian kewenangan merupakan bagian dari sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang harus selalu menjadi acuan. Kepatuhan terhadap sistem peraturan perundang-undang dimaksud merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa setiap norma yang dibentuk memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara yang dikenai aturan dimaksud. Dalam konteks ini, untuk menilai keabsahan pendelegasian wewenang dari undang-undang kepada peraturan perundang-undangan lainnya, maka sistem pendelegasian kewenangan yang terdapat dalam UU 12/2011 tidak dapat dikesampingkan, dalam arti tidak dipertimbangkan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 sepanjang norma yang relevan yang termuat di dalamnya tidak dimohonkan pengujian;
Bahwa pada saat yang sama, pembatasan delegasi kewenangan dari undang- undang kepada menteri juga berhubungan dengan materi muatan undang- undang ditentukan secara eksplisit dalam UU 12/2011. Dalam kaitan ini, terhadap hal-hal yang terkait dengan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 yang merupakan pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara harus diatur dalam undang-undang. Karena itu, hanya hal-hal yang bersifat teknis- administratif dari pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan, pencabutan, atau perluasan hak itu saja yang dapat didelegasikan pengaturannya kepada menteri atau pejabat setingkat menteri. Dalam arti demikian, hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam undang-undang tidak dapat didelegasikan melalui sebuah Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana atau peraturan teknis.
Bahwa dalam kaitannya dengan delegasi kewenangan dari UU KUP kepada menteri dalam permohonan a quo , keberadaan norma tersebut berhubungan dengan sejarah dan semangat perumusan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 6/1983). Melalui ketentuan tersebut, pembentuk undang-undang sesungguhnya membuka ruang bagi setiap orang atau badan hukum Wajib Pajak untuk dikuasakan oleh seorang kuasa dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Pada saat pertama kali dirumuskan dan dimuat dalam UU 6/1983, dalam Pasal 32 ayat (3) dinyatakan bahwa Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penjelasan ketentuan tersebut diterangkan bahwa norma dimaksud adalah untuk memberikan kelonggaran dari kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Sesuai dengan ketentuan itu, hadirnya seorang kuasa dalam rangka membantu wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban diperkenankan. Pada saat yang sama, Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang a quo secara implisit juga mengakui hak seseorang untuk menunjuk seorang kuasa guna membantunya menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Hanya saja, orang yang bertindak sebagai kuasa tersebut disyaratkan haruslah orang yang memahami masalah perpajakan. Pada saat UU 6/1983 diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 9/1994), norma Pasal 32 ayat (3) UU 9/1994 juga ikut diubah, namun substansi yang dimuat di dalamnya tetap sama dengan substansi yang terdapat dalam UU 6/1983, di mana hak dan kesempatan Wajib Pajak untuk didampingi kuasanya tetap diakui. Penambahan ayat dalam Pasal 32 terjadi saat berlakunya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyisipkan satu ayat diantara ayat (3) dan ayat (4), yakni ayat (3a) yang menyatakan, “ Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan ”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3a) hanya menyatakan cukup jelas. Rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan.
Bahwa ketika UU 6/1983 diubah untuk ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan. Norma tersebut berbunyi, “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan ”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP diterangkan kembali mengenai bentuk bantuan yang dapat diberikan dan siapa yang dimaksud dengan kuasa. Di mana, orang yang dapat menjadi kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan adalah setiap orang yang memahami masalah perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 Undang-Undang a quo hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak, yaitu orang yang memahami masalah perpajakan. Dalam hal ini, Undang-Undang tidak mengatur lebih jauh kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa. Undang-undang juga tidak mengatur apa standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak. Undang-undang juga tidak mengatur bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa. Lebih jauh, Undang-undang juga tidak mengatur status kuasa Wajib Pajak sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pengaturan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa tersebut, dalam UU KUP diadopsi satu norma baru berupa delegasi pengaturan terkait persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa kepada Peraturan Menteri. Hal itu dimuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan rumusan berbunyi, “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” yang menjadi objek permohonan dalam perkara a quo . Masalahnya, apakah pendelegasian tersebut telah memenuhi syarat bentuk hukum dan substansi kewenangan yang didelegasikan dapat dikatakan bersesuaian dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada maksud dengan kata “ persyaratan ” dan frasa “ pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa ”.
Bahwa dalam keterangannya, pemerintah mengemukakan, salah satu alasan sosiologis pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak adalah karena faktor sulitnya melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasehat atau konsultan perpajakan. Hal itu terjadi karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan. Atas dasar itu, diperlukan seorang penasehat perpajakan/orang yang memahami masalah perpajakan menjadi Kuasa Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, keberadaan konsultan pajak sebagai kuasa menjadi penting bagi kepentingan publik pembayar pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 Lebih jauh, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menjelaskan pengaturan mengenai persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan ketentuan bersifat teknis sehingga didelegasikan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan. Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan: apakah dapat diterima bahwa persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan hal yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya dapat didelegasikan kepada sebuah peraturan pelaksana, in casu Peraturan Menteri.
Bahwa dari keterangan Pemerintah dan DPR dimaksud dapat dipahami pada satu sisi pengakuan terhadap hak Wajib Pajak untuk didampingi oleh seorang kuasa merupakan perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak ( tax payer ), sedangkan di sisi lain, persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa diposisikan sebagai hal yang bersifat teknis administratif. Apabila ditelaah lebih jauh, sesungguhnya telah terdapat contradictio in terminis dari penjelasan tersebut, terutama dengan memosisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai sesuatu yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Dalam hal ini, apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak, semestinya materi pengaturannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada Menteri. Sebab, Menteri merupakan pihak yang melaksanakan Undang- Undang Perpajakan yang dalam praktik sangat mungkin “berhadapan” dengan Wajib Pajak dan/atau Kuasa Wajib Pajak. Bagaimana mungkin kepentingan hukum Wajib Pajak akan dapat terlindungi bilamana Kuasa Wajib Pajak diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak secara bebas dan mandiri.
Bahwa selanjutnya, dibentuknya UU KUP memang merupakan perintah UUD 1945, di mana dalam Pasal 23A UUD 1945 dinyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dalam konteks itu, UU KUP mengatur hal-hal yang bersifat memaksa bagi warga negara yang memenuhi syarat, dalam hal ini pajak. Pajak merupakan kewajiban yang mesti dibayarkan oleh warga negara, di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 mana apabila tidak dipenuhi, maka sanksi hukum dapat dikenakan kepada yang bersangkutan. Sekalipun pajak merupakan sesuatu yang bersifat memaksa, di mana negara melalui Kementerian Keuangan dapat memaksa agar warga negara yang memenuhi kewajibannya, namun sifat memaksa pajak tidak serta-merta menghilangkan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum, kejelasan proses pemungutan pajak, dan hak untuk dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami perpajakan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Hak untuk didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan merupakan salah satu sarana bagi Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhindar dari potensi penyalahgunaan wewenang. Hak tersebut akan betul-betul dapat dilindungi apabila orang atau pihak yang menjadi kuasa untuk mewakili atau mendampingi Wajib Pajak adalah orang yang bebas dan mandiri dalam menjalankan profesinya sebagai Kuasa Wajib Pajak, bukan orang yang berada di bawah tekanan atau dalam posisi tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kuasa.
Bahwa oleh karena kewajiban membayar pajak tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk dapat dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan, maka pengaturan mengenai Kuasa Wajib Pajak haruslah dapat menjamin bahwa yang bertindak sebagai kuasa adalah orang yang memahami perpajakan dan dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak. Demi untuk menjamin agar hak dan kewajiban Wajib Pajak terlaksana secara baik dan dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasa yang menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak, maka hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak tidak dapat diposisikan hanya sekedar hal yang bersifat teknis administratif. Persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Terlaksana atau tidaknya hak dan kewajiban sesuai aturan serta adanya kepastian hukum yang adil bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya akan sangat bergantung pada bagaimana pengaturan terkait dengan hak Wajib Pajak untuk dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasanya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 Oleh karena itu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat teknis administratif, melainkan lebih bersifat substantif karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sehingga seharusnya materi tersebut diatur dalam undang- undang. Dalam hal ini, Undang-Undang harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai Kuasa Wajib Pajak, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, undang-undang juga harus mengatur dan menjamin bahwa Kuasa Wajib Pajak harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara bebas dan mandiri. Pengaturan tersebut akan menjadi instrumen hukum untuk melindungi dan menjamin bahwa hak dan kewajiban Wajib Pajak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhindar dari kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dan ketidakpastian hukum. [3.11] Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang bertumpu pada UU 12/2011, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.10] di atas, adalah dikarenakan undang-undang itulah yang memuat pengaturan lebih lanjut tentang pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan dan tidak menjadi objek permohonan a quo . Sehingga, sesuai dengan prinsip presumption of constitutionality yang berlaku dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang dan prinsip bahwa hakim atau pengadilan adalah zittende magistratur, maka UU 12/2011 khususnya Lampiran II Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 harus dianggap konstitusional sampai terbukti bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan atas dasar adanya permohonan untuk itu. Prinsip zittende magistratur menghalangi Mahkamah untuk secara aktif menguji konstitusionalitas suatu undang-undang jika undang-undang yang bersangkutan tidak dimohonkan pengujian. Namun demikian, prinsip zittende magistratur tidak menghalangi Mahkamah untuk mengesampingkan keberlakuan suatu Undang-Undang apabila ternyata norma undang-undang yang bersangkutan telah ternyata menghalangi kewenangan Mahkamah dalam menjalankan fungsi constitutional review- nya. Pengesampingan demikian dibenarkan berdasarkan doktrin hukum tata negara dan tidak bertentangan dengan ajaran pemisahan kekuasaan, sebab Mahkamah tidak menguji konstitusionalitas norma undang- undang yang tidak dimohonkan pengujiannya, melainkan Mahkamah hanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 memutuskan untuk tidak menerapkannya. Artinya, norma Undang-Undang tersebut, baik teks maupun isi atau materi muatannya, tetap ada dan berlaku selama belum ada permohonan yang menguji konstitusionalitasnya dan belum ada Putusan Mahkamah berkenaan dengan hal itu. Hal ini pernah dipraktikkan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004. [3.12] Menimbang bahwa kendatipun Pemohon tidak memohonkan pengujian UU 12/2011 (terutama dalam hal ini Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011) dan kendatipun titik berat Permohonan Pemohon adalah terletak pada substansi pendelegasian dari undang-undang kepada Peraturan Menteri, in casu PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa, sesuai dengan sistem Pemerintahan Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah secara doktriner tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan tingkatan atau hierarkinya. Dengan demikian, dalam konteks Permohonan a quo , sesuai dengan pertimbangan pada sub-paragraf [3.10.2] di atas, tanpa perlu mengesampingkan keberlakuan Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011 dan tanpa harus menilai kasus konkret yang dialami Pemohon khususnya berkenaan dengan pemberlakuan PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa memang terdapat kebutuhan untuk mengatur lebih tegas pendelegasian wewenang teknis-administratif “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Menteri Keuangan. Sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis-administratif maka, di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak wajib pajak dalam memberi kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak- haknya sebagai wajib pajak dan menurut undang-undang absah untuk menerima kuasa demikian serta, di lain pihak, tidak menghambat atau mengurangi kewenangan negara untuk memungut pajak yang diturunkan dari UUD 1945. Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih ( over capacity of Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 power ) kepada Menteri Keuangan melainkan hanya untuk mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan undang-undang. Oleh karena itu, ada atau tidak ada kasus konkret sebagaimana dialami Pemohon, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas materi muatan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, yaitu sepanjang frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis- administratif, yaitu sepanjang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Menyatakan frasa “ pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa ” dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara.
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua belas, bulan April, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh enam, bulan April, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 tahun dua ribu delapan belas , selesai diucapkan pukul 15.21 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Arief Hidayat ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.05/2013 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat. ...
Pemohon keberatan dengan berlakunya pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2013 tentang Perasuransian dengan alasan pasal tersebut bertentangan dengan pasal ...
Relevan terhadap
“Peserta RUA memiliki masa tugas selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali”. Bahwa hal tersebut menunjukkan ketidak selarasan dalam membuat sebuah Peraturan, yang mana menurut para Pemohon Peraturan Pemerintah tersebut sudah sewajarnya tidak diterbitkan, karena hal tersebut tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama diatur dengan undang-undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk itu apabila permohonan para Pemohon dikabulkan yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka segala kerugian para Pemohon seperti dalam uraian di atas dapat dihindarkan atau tidak lagi terjadi.
Persyaratan umum untuk dapat dipilih menjadi Peserta RUA sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 berbeda dengan persyaratan yang telah ada dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 untuk dapat menjadi anggota BPA. para Pemohon keberatan dengan adanya Pasal 31 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan: “Untuk dapat dipilih menjadi Peserta RUA, Anggota harus _memenuhi persyaratan umum sebagai berikut: _ _a. warga negara Indonesia; _ _b. sehat jasmani dan rohani; _ _c. memiliki pengalaman organisasi; _ 11 d. tidak menjadi anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil _kepala daerah; _ e. tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses _peradilan; dan _ f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan”. Bahwa Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama dalam Pasal 31 ayat (3) huruf d tersebut sangatlah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan “ Anggota adalah pemegang polis pada usaha bersama ”, hal ini sangat tidak adil bagi orang yang menjadi anggota tetapi tidak dapat menjadi peserta RUA yang mana RUA merupakan Rapat Umum Anggota. para Pemohon melihat hal tersebut adalah bentuk diskriminasi hak-hak anggota pemegang polis. Yang menjadi pertanyaan mendasar para Pemohon adalah, Apakah anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah tidak boleh menjadi pemegang polis di dalam Asuransi Usaha Bersama? 5) Bahwa Pasal 31 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tersebut juga bertentangan dengan larangan rangkap jabatan oleh anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 236 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“Undang-Undang MD3”): _(1). Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai: _ _a. pejabat negara lainnya; _ _b. hakim pada badan peradilan; atau _ c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. (2). Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR. 12 (3). Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahwa berdasarkan hal tersebut secara eksplisit tidak ada peraturan yang melarang anggota DPR/DPRD untuk menjadi Anggota Pemegang Polis karena bahwasanya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah juga manusia biasa yang membutuhkan asuransi jiwa seperti Asuransi Jiwa Berbentuk Badan Usaha Bersama (AJB Bumiputera 1912) tetapi dengan adanya pasal 31 ayat (3) butir d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan larangan kepada Calon Kepala/Wakil kepala daerah atau Kepala/Wakil kepala daerah untuk melakukan pemegangan polis tersebut, sehingga sangat membatasi hak pemegang polis dan menciptakan ketidak adilan, terhadap hak-hak pemegang polis sebagai anggota Badan Perwakilan Anggota yang dalam Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 disebut dengan Rapat Umum Anggota.
Bahwa dengan adanya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian dan adanya Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, Pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terlalu intervensi terhadap kewenangan BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, hal tersebut tertuang di Pasal-Pasal, sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 menyebutkan Perubahan Anggaran Dasar yang telah di Tetapkan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK paling lama 7 hari kerja setelah ditetapkan RUA untuk mendapatkan persetujuan , Pasal 5 ayat (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pasal 5 ayat (4) Perubahan Anggaran Dasar telah mendapatkan persetujuan OJK wajib dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak mendapatkan persetujuan OJK . 13 b. Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan; OJK dapat memerintah usaha bersama untuk melakukan perubahan anggaran dasar sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang – undangan di bidang perasuransian, Pasal 7 ayat (3) Usaha bersama wajib menjalankan perintah dari OJK untuk melakukan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan:
Direksi menyampaikan agenda RUA kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
OJK memberikan jawaban atas permohonan persetujuan agenda RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
Pasal 23 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa:
Dalam hal Dewan Komisaris tidak menyelenggarakan RUA luar biasa yang merupakan usulan Peserta RUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) huruf a dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21) Peserta RUA mengajukan permohonan izin penyelenggaraan RUA dan menyampaikan agenda RUA kepada OJK untuk memperoleh persetujuan.
OJK dapat memberikan izin atas penyelenggaraan RUA luar biasa dan persetujuan agenda RUA yang diajukan oleh Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Dalam hal OJK memberikan izin atas penyelenggaraan RUA luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), surat persetujuan OJK tersebut paling sedikit memuat ketentuan mengenai:
tanggal, waktu, dan tempat dilaksanakannya RUA; dan
agenda RUA.
Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 menyebutkan: 14 (6) Dalam hal RUA kedua tidak memenuhi kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (21) OJK menetapkan batasan kuorum untuk RUA ketiga berdasarkan permohonan Usaha Bersama.
Pemanggilan Peserta RUA untuk RUA ketiga harus disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penetapan kuorum oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Dalam pemanggilan Peserta RUA untuk RUA ketiga harus disebutkan bahwa RUA kedua telah dilaksanakan dan tidak mencapai kuorum dan RUA ketiga akan dilaksanakan.
Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan:
Direksi menyampaikan 1 (satu) orang calon Peserta RUA urutan pertama dari setiap wilayah pemilihan kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
Dalam hal calon Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mendapatkan persetujuan OJK, Direksi menyampaikan kembali kepada OJK 1 (satu) orang calon Peserta RUA urutan berikutnya dari wilayah pemilihan yang sama untuk mendapatkan persetujuan.
Persetujuan oleh OJK diberikan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon Peserta RUA.
Dalam hal seluruh calon Peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan telah disetujui oleh OJK, Direksi menyelenggarakan RUA untuk mengesahkan Peserta RUA.
Direksi mengumumkan Peserta RUA yang telah disahkan dalam RUA melalui media elektronik dan cetak nasional yang beredar di setiap wilayah pemilihan.
Tata cara mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan serta pemberian persetujuan OJK terhadap calon Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan. 15 7) Bahwa hal-hal sebagaimana tersebut pada point di atas menunjukkan sebagian kecil intervensi OJK atas kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya Usaha Bersama di Indonesia dan tentunya masih banyak lagi pasal-pasal lain yang menunjukkan secara gamblang bentuk Intervensi OJK di dalam Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Bahwa banyaknya pasal-pasal yang menunjukkan intervensi dari OJK yang menurut hemat para Pemohon hal tersebut menghilangkan marwah AJB Bumiputera 1912 sebagai Asuransi yang bersifat Usaha Bersama (Mutual), berdiri sebelum Repubik Indonesia ini merdeka dan sangat memberatkan eksistensi dan keberadaan AJB Bumiputera 1912 yang bersifat Usaha Bersama (Mutual) dimana berdasarkan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 kekuasaan tertinggi diwakili oleh Badan Perwakilan Anggota, seharusnya dalam menetapkan dan mengambil setiap kebijakan membutuhkan proses yang cepat dan tepat dengan birokrasi yang sederhana, seperti contohnya di dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, jelas nampak adanya birokrasi yang membutuhkan waktu dan proses yang lama dan hal ini tentu sangat memberatkan para Pemohon dan AJB Bumiputera 1912 dikarenakan pada suatu perusahaan dalam memutuskan suatu kebijakan yang penting dan krusial untuk kelancaran kinerja Perusahaan dalam hal ini adalah AJB Bumiputera 1912. Bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, maka para Pemohon tidak dapat memutuskan suatu kebijakan yang dianggap penting dan krusial secara cepat dikarenakan harus ada persetujuan melalui OJK, padahal pada kenyataannya pembahasan-pembahasan penting setiap saat dapat terjadi.
Bahwa segala kerugian yang dialami oleh para Pemohon mulai dari tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang asuransi berbentuk usaha bersama maupun adanya PP 87 Tahun 2019 yang mengatur berbeda dengan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 tidak akan terjadi apabila 16 pengaturan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 mengikuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama diatur dengan undang-undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Untuk itu apabila permohonan para Pemohon dikabulkan yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka segala kerugian para Pemohon seperti dalam uraian di atas dapat dihindarkan atau tidak lagi terjadi;
Bahwa untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, jika Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, agar tidak merugikan operasionalisasi asuransi berbentuk usaha bersama (AJB Bumiputera 1912), maka ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah , dapat diberikan putusan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang frasa “ diatur dalam Peraturan Pemerintah” tidak dimaknai sebagai “diatur dengan undang- undang”;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Bahwa kedudukan para Pemohon selaku Pemegang Polis dan sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dalam konstitusionalitasnya ibarat “dua sisi mata uang” yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan lainnya karena Anggota BPA AJB Bumiputera 1912 adalah harus Pemegang Polis dan Pemegang Polis mempunyai hak suara memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA inilah ciri khas atau karakteristik dari Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. 17 C. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Undang-Undang 40/2014 yang diuji adalah ketentuan pada Pasal 6 ayat (3) yang memuat ketentuan sebagai berikut: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2. Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang- Undang 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang selengkapnya mengatur sebagai berikut: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 3. Bahwa AJB Bumiputera 1912 adalah perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia yang berdiri tanggal 12 Pebruari 1912, dalam perjalanannya telah mengalami beberapa kali perubahan Anggaran Dasar dan telah pernah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, berturut-turut: - Tertanggal 12-121967 Nomor : 99, tambahan Lembaran Negara Nomor: 16/1967; - Tertanggal 05-03-1999 Nomor : 19, tambahan Lembaran Negara Nomor: 1/1999; Berdasarkan hasil Sidang Luar Badan Perwakilan Anggota (BPA) memutuskan serta mengesahkan Perubahan Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama 1912 dan kemudian berdasarkan Keputusan Sidang Luar Biasa tersebut yang dibuat dihadapan Notaris Agus Madjid, SH pada tanggal 10 Mei 2011 Notaris di Jakarta, dengan Akta No. 15 menetapkan berlakunya Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912;
Bahwa Berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar No. 15 Bab IV Pasal 8 ayat (1) secara tegas-tegas menyebutkan bahwa; Badan Perwakilan Anggota (BPA) merupakan Lembaga tertinggi di AJB. Bumiputera 1912. Anggaran Dasar Pasal 8 ayat (2): “ Badan Perwakilan Anggota (BPA) mengangkat dan memberhentikan Dewan Komisaris dan Direksi ”;
Bahwa AJB. Bumiputera 1912 bersifat Usaha bersama (Mutual Insurence ) yang dikelola dengan prinsip-prinsip dasar berlakunya konsep dan praktik Good Corporate Governance dari ketentuan Anggaran Dasar tersebut diatas, kedudukan dan posisi Badan Perwakilan Anggota (BPA) dalam Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 sangat dominan dan kuat serta mempunyai hak 18 otoritas untuk mengendalikan jalannya perusahaan tersebut. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah satu-satunya Perusahaan Asuransi Jiwa yang berbentuk “mutual” di Indonesia dan oleh karenanya Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 tidak memiliki akses modal sebagaimana halnya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Perseroan Terbatas; Bahwa hal tersebut sejalan dan sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim dalam Perkara PUU No.32/PUU-XI/2013 pada point (3.10.3) – point (3.10.4) halaman 90 - 91, adapun pertimbangan Majelis Hakim Pemeriksa dalam Perkara PUU No.32/PUU-XI/2013 pada point (3.10.3,) dan point (3.10.4) sebagai berikut:
Point (3.10.3) Menimbang bahwa dalam sejarah perasuransian di Indonesia, salah satu jasa perasuransian adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 merupakan usaha Asuransi Jiwa Nasional yang lahir di masa pergerakan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan derajat ekonomi bangsa. Selain itu, kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat disatu pihak terdapat berbagai risiko yang sacara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, dilain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistem yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperang dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip asas kebersamaan atau usaha bersama (mutual).
Point (3.10.4) Menimbang bahwa usaha bersama (mutual) sangat berbeda dengan perusahaan perseroan dimana Perusahaan perseroan merupakan persekutuan modal yang melakukan kegiatan usaha berdasar 19 pada akumulasi modal dengan tujuan mencari keuntungan sedangkan usaha bersama (mutual) merupakan persekutuan orang yaitu kebersamaan para anggotanya dengan tujuan menyejahterakan seluruh anggotanya. Menurut Mahkamah, badan usaha bersama (mutual) telah sesuai dengan bentuk usaha yang dimanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip usaha bersama (mutual), karena bentuk usaha bersama (mutual) mempunyai peran dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran bersama para anggotanya atau masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan apabila dibandingkan dengan perusahaan perseroan yang lebih mengutamakan akumulasi modal dari pemegang saham dan keuntungannyapun merupakan keuntungan individu pemegang saham. Bahwa dari pertimbangan Majelis Pemeriksa dalam PUU Nomor 32/PUU- XI/2013 sebagaimana tersebut di atas, dapatlah ditarik suatu asumsi kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa Mahkamah Konsitusi mengakui keberadaan asuransi jiwa bersama yang bersifat usaha bersama (mutual) sebagai warisan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi kapitalis para penjajah. Hal tersebut dilihat dari kehendak para pendiri selaku pejuang dalam mendirikan usaha asuransi yang bersifat usaha bersama (mutual) yang sekarang bernama “Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912”.
Mahkamah Konstitusi tetap konsen mempertahankan keberadaan asuransi berbentuk usaha bersama (mutual) dalam hal ini adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 untuk diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan bersifat “Lex Spesialis” sama halnya dengan usaha koperasi yang diatur dengan undang-undang tersendiri.
Bahwa Mahkamah Konstitusi tidak menghendaki bentuk usaha bersama (AJB. Bumiputera 1912) sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 hilang tergerus dengan modernisasi perekonomian yang bersifat kapitalis di negara Republik Indonesia serta perekonomian yang berbentuk usaha bersama (AJB. Bumiputera 1912) dapat bersaing 20 dengan perusahaan-perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas dalam sistem perekonomian bangsa Indonesia ke depan.
Bahwa Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dalam merubah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian utamanya mengenai bentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama telah melakukan langkah mundur yang fundamental. Dimana dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2/1992 yang awalnya mengatur: Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-undang . Kemudian diubah oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014 menjadi: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah . Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 telah memerintahkan bahwa Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 amarnya berbunyi: _1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; _ 1.1. Frasa ”…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. 1.2. Frasa “…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah Putusan Mahkamah ini _diucapkan” ; _ __ 21 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik _Indonesia sebagaimana mestinya; _ 3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya”. Bahwa perbuatan membentuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, bertentangan sama sekali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas yang dengan jelas-jelas mewajibkan dan memerintahkan agar Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang tersendiri guna mengatur tentang Asuransi Usaha Bersama atau Mutual Insurance , namun Undang- Undang yang mengatur Usaha Bersama ini sampai dengan sekarang (permohonan pengujian Undang-Undang diajukan) belum terealisasi dan justru Pemerintah mengeluarkan Peraturan yang mengatur tentang Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama cq . AJB. Bumiputera 1912 diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014; Bahwa menurut para Pemohon, perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR RI bukanlah melaksanakan perintah Putusan PUU No. 32/PUU-XI/2013, dimana dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur tentang Perasuransian secara umum dan tidak secara spesifik mengatur tentang Usaha Asuransi yang berbentuk Mutual (usaha bersama), hal ini terlihat dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, tidak ada sama sekali memuat dan menjabarkan tentang Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama (mutual), ketentuan mengenai Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) hanya diatur dalam Bab III (Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Perusahaan Perasuransian) Pasal 6 dan Bab VI (Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama) Pasal 35 Undang- Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 22 Pasal 6 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bentuk Badan Hukum Penyelenggara Usaha Perasuransian adalah;
perseroan terbatas;
koperasi: atau c. usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan.
Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c dinyatakan Sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 35 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya.
Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau anggota usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan.
Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau keanggotaan pada usaha bersama sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berakhir apabila ;
anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan berturut-turut ; atau
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, keanggotaan harus berakhir.
Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi Anggota Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sertapemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian diantara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam peraturan otoritas jasa keuangan. Bahwa menurut para Permohon, Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur Asuransi secara umum yang bersifat Lex generalis , sedangkan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara PUU No. 32/PUU0XI/2013 perlu dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang Asuransi berbentuk usaha besama (mutual) yang bersifat 23 Lex Spesialis, sama halnya dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Bahwa para Pemohon telah berusaha untuk mendapatkan Naskah Akademik dalam pembentukan Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, akan tetapi mengingat keterbatasan waktu dan kondisi darurat pandemi Covid-19 di Tanah Air dan adanya sistem Work From Home yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah termasuk Lembaga DPR RI, terdapat kesulitan bagi para Pemohon untuk bekerja secara maksimal guna mendapatkan Naskah Akademik terhadap Undang-Undang tersebut. para Pemohon telah mengirimkan Surat kepada Pajabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI dengan Surat Nomor 29/ZAA-SKL/2020 pada tanggal 29 Mei 2020, yang sampai perbaikan disampaikan tidak ada jawaban sama sekali terhadap Surat para Pemohon tersebut.
Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah jelas menyebutkan “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar.” Kemudian Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang MK juga menyebutkan: “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Yang dimaksud dengan putusan bersifat final telah diterangkan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Kemudian Pasal 47 UU MK mengatur: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum ;
Bahwa Sifat final putusan MK ini menunjukkan setidaknya 3 hal mendasar, yaitu: ^ Pertama, putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum. Kedua, putusan MK merupakan tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh, seperti halnya banding ataupun kasasi pada peradilan umum. Putusan yang tidak dapat dilakukan upaya 24 hukum lebih lanjut berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat. Tidak adanya upaya hukum lebih lanjut ini sengaja dibuat dengan maksud agar Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat sesuai dengan prinsip peradilan cepat dan sederhana. Hal ini mengingat perkara yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi merupakan perkara yang berkaitan dengan ketatanegaraan, sehingga membutuhkan kepastian hukum dan terikat dengan limitasi waktu agar tidak mengganggu keberlangsungan agenda ketatanegaraan. (Fajar Laksono, dkk., “Implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU- X/2012 tentang SBI atau RSBI”, Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 4, Desember 2013, h,65) Ketiga, karena telah memperoleh kekuatan hukum, maka putusan Mahkamah Konstitusi memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Pada konteks yang ketiga inilah putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara yaitu Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ataupun pihak terkait yang diizinkan masuk ke dalam proses perkara, namun juga mengikat bagi semua pihak dan semua orang, lembaga-lembaga negara, serta badan-badan hukum yang berada dalam yurisdiksi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat erga omnes, yang ditujukan kepada semua orang. (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , Cetakan Pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, h. 208-209);
Perbedaan yang sangat mendasar antara putusan yang dikeluarkan oleh MK dengan institusi peradilan lainnya yaitu mengenai upaya hukum lanjutan atas putusannya. Jika putusan yang dikeluarkan oleh institusi peradilan lainnya (Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya) dapat dilakukan upaya hukum lanjutan, baik berupa banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, putusan MK tidak mengadopsi mekanisme tersebut. Dikatakan di dalam konstitusi bahwa MK merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. ^ Dipertegas kembali di dalam Pasal 10 UU MK bahwa makna sifat final putusan MK juga mencakup di dalamnya kekuatan 25 mengikat. Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Putusan MK dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah wujud dan bentuk judicial control dalam mekanisme cheks and balances di antara cabang kekuasaan negara khususnya checks and balances dari kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif atau pembuatan undang- undang. Mekanisme pengawasan yang dilakukan didasarkan pada penyelarasan terhadap konstitusi sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi yang menjadi sumber legitimasi aturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, baik atas perintah UUD 1945 maupun sebagai penjabaran dan pelaksanaannya. Supremasi Konstitusi yang ditegakkan oleh MK melalui kewenangan uji materil terhadap undang-undang yang dihasilkan legislatif adalah untuk menjamin bahwa undang-undang yang dihasilkan tersebut sesuai dengan UUD. Secara tegas UUD 1945 memberi kewenangan tersebut kepada MK dalam kerangka pembagian kekuasaan ( separation of powers ) dan karenanya jikalau MK sewaktu-waktu menyatakan satu undang-undang yang dihasilkan pembuat undang-undang dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat atau batal hal itu dilakukan bukan sebagai indikasi superioritas MK terhadap cabang kekuasaan legislatif melainkan hanya melaksanakan kewajiban suci dan khidmat yang dilimpahkan oleh Konstitusi padanya (Maruarar Siahaan, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: h, 357 – 378);
Bahwa tidak dipatuhinya putusan pengadilan termasuk putuan MK tentu saja akan membawa dampak pada kewibawaan lembaga yang memutusnya, serta penegakan hukum dan konstitusi pada umumnya. Secara logis, jika MK merupakan pengawal konstitusi sebagaimana selalu dinyatakan, maka tidak terlaksananya putusan MK sebagaimana mestinya sedikit banyak dapat menimbulkan terjadinya proses deligitimasi terhadap UUD 1945, yang pada hakikatnya dapat menggoyahkan stabilitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya menjadi sesuatu hal yang penting untuk memastikan putusan MK dapat terlaksana. (Maruarar Siahaan, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: h, 357 – 378);
Bahwa keberadaan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, 26 dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” sangat terkait dengan konsekuensi dianutnya prinsip negara hukum Indonesia. Sebagaimana dinyatakan oleh Hamdan Zoelva dari F-PBB sebagai salah satu anggota PAH I BP MPR-RI yaitu: “Negara Hukum sebagai Dasar Negara mengandung arti bahwa pelaksanaan kekuasaan Pemerintahan Negara didasarkan pada hukum dan konstitusi…” Jadi Negara dalam pelaksanaan kekuasaan Pemerintahan Negara harus selalu didasarkan pada hukum dan untuk menghindari jangan sampai hukum ini diterjemahkan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa. Dengan demikian jelaslah bahwa jaminan hak atas kepastian hukum yang adil dilatarbelakangi oleh keinginan agar jangan sampai hukum ini diterjemahkan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Buku VIII, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi dan Agama. Sekretariat Jenderal MKRI, 2010, h. 267);
Bahwa Pandangan doktrinal ahli hukum tentang pemaknaan kepastian hukum adalah kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas (legaliteit) yang dimaknai oleh Sudargo Gautama dari dua sisi, yakni : pertama , dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan kedua , dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara. (Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1973. h. 9). Pandangan lainnya dari Indroharto konsep kepastian hukum merupakan konsep yang mengharuskan, bahwa hukum objektif yang berlaku untuk setiap orang tersebut, harus jelas dan taati. Di sini, Indroharto menekankan kepastian hukum juga menyangkut kepastian norma hukum. (Indroharto, Rangkuman Asas-Asas Umum Tata Usaha Negara , Jakarta, 1984. h. 212-213).
Bahwa Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan, MK sekaligus menyatakan suatu Undang- 27 Undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum ( legally null and void ). Dalam praktik diketemukan terdapat model-model lain dalam putusan- putusan MK yang masing-masing memiliki karakteristik. Model putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) dan model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) pada dasarnya kedua model putusan tersebut merupakan model putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran ( interpretative decision ) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang ataupun Undang-Undang secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang: Studi Putusan Tahun 2003-2012, h. 1); D. PETITUM Berdasarkan uraian dalil-dalil para Pemohon di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada Yang Mulai Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan ini untuk memutus hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur dengan Undang-Undang”;
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono 28 [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi identitas para Pemohon;
Bukti P-4 : Fotokopi Akta Notaris Maria Gunarti S.H., M.Kn., Nomor 19 tentang Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, bertanggal 23 April 2015, dan Akta Notaris Maria Gunarti S.H., M.Kn., Nomor 05 tentang Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, bertanggal 02 Agustus 2016;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama;
Bukti P-6 : Fotokopi Petikan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 15;
Bukti P-7 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- XI/2013;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100159571 atas nama Ny. Hj. Nurhasanah, S.H., M.H.;
Bukti P-9 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100281532, Nomor polis 215100281515, dan Nomor Polis 215100281527 atas nama Prof. DR. H. Ibnu Hajar Damanik, M.Si.;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 212100480756 atas nama DR. Maryono S.Kar., M.Hum.;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 96237496, dan Nomor Polis 211102405277 atas nama Prof. Gede Sri Darma, D.B.A.;
Bukti P-12 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 211103864964 atas nama Khairul Huda; 29 13. Bukti P-13 : Fotokopi Surat Nomor 29/ZAA-SKL/2020 perihal Permohonan Data-Data Pendukung tentang Pembentukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-14 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100406711 atas nama Prof. DR. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng.;
Bukti P-15 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 214104139695, atas nama Ny. Septina Primawati. Selain itu, untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon juga mengajukan tiga orang ahli atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum., dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, tanggal 24 September 2020, dan tanggal 20 Oktober 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H. − Bahwa Pokok masalah dalam perkara ini adalah adanya norma hukum di Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang substansinya bertentangan dengan Putusan MK yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014. Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 mengatur: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah . Sementara itu amar Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 dalam pengujian Pasal 7 ayat (3) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang putusan ini dibuat lebih dahulu daripada dibentuknya UU 40/2014 menyebutkan Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai __ “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah Putusan Mahkamah ini diucapkan. − Bahwa telah dinyatakan oleh MK di bagian pertimbangan [3.10.2] Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 2/1992, usaha perasuransian dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perusahaan perseroan (PERSERO), koperasi, atau usaha bersama ( mutual ). Kesemuanya itu agar memperoleh perlindungan dan kepastian 30 hukum dalam menjalankan usahanya maka setiap bentuk usaha perasuransian memerlukan pengaturan dalam bentuk Undang-Undang. Kemudian di bagian pertimbangan selanjutnya dalam Putusan MK [3.10.5] disebutkan bahwa Undang-Undang yang mengatur mengenai bentuk usaha bersama ( mutual ) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 yang hingga sekarang belum dibentuk dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi penyelenggara asuransi yang berdasarkan usaha bersama ( mutual ) seperti AJB Bumiputera. Pada sisi lain, penyelenggara asuransi yang berdasarkan perusahaan perseroan dan koperasi telah memperoleh kepastian hukum dengan adanya undang- undang yang mengatur khusus untuk itu. Oleh karena itu, menurut MK, untuk menghindari berlarut-larutnya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan tersebut, MK harus memastikan batas waktu yang cukup dan adil bagi pembentukan undang-undang dimaksud yaitu dua tahun enam bulan setelah putusan MK ini diucapkan. − Bahwa apa yang diperintahkan oleh MK dalam putusan Nomor 32/PUU- XI/2013 baik di bagian amar putusan maupun pertimbangan hukum ternyata dalam praktiknya tidak ditindaklanjuti oleh Pembentuk UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden ( vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945). Sampai saat ini setelah 6 tahun sejak putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 ternyata UU yang mengatur tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) tidak juga dibentuk. Bahkan tidak hanya tidak membentuk UU yang mengatur tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) sebagaimana diperintahkan putusan MK, pembentuk UU saat membentuk UU 40/2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2/1992 justru menurunkan derajat pengaturan mengenai perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama yaitu dari awalnya diatur dengan UU diubah menjadi diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. − Bahwa atas permasalahan dalam perkara ini dapat diberikan tinjauan dari beberapa aspek yaitu Pertama , bagaimana sifat putusan MK; Kedua , bagaimana kewajiban pembentuk UU untuk melaksanakan/menindaklanjuti putusan MK; dan Ketiga ; apa upaya 31 hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara/para pihak apabila ditemukan UU yang dibentuk bertentangan dengan Putusan MK; dan Keempat ; apa akibat hukum jika suatu UU dibentuk tanpa berdasarkan pada putusan MK. SIFAT PUTUSAN MK − Bahwa terhadap aspek pertama yaitu bagaimana sifat putusan MK maka dapat diberikan keterangan terlebih dahulu tentang kelahiran MK melalui perubahan Ketiga UUD 1945 yaitu Pasal 24C Pada tahun 2001 adalah sejalan dengan dipertegasnya dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak boleh ada UU dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan UUD. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa UUD sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang undangan di Indonesia. (Buku “Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal dan ayat”. Sekretariat Jenderal MPR, 2007, hlm. 116). Dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa Pembentukan MK ini, merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Hal ini, juga sebagai penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi serta sebagai sarana penyelesaian beberapa permasalahan yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan (hlm. 592 -593) − Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum . Sementara Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar . 32 Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dipahami berdasarkan niat, semangat, atau situasi kebatinan para perumus perubahan UUD 1945 sehingga pada akhirnya menyepakati rumusan mengenai sifat putusan MK yang bersifat final. Dalam rapat Rapat Pleno PAH I ke-51 BP MPR tanggal 29 Juli 2000, Hamdan Zoelva dari F-PBB antara lain menyatakan: Dalam usulan Perubahan UUD ini, kita semua telah sepakat adanya Mahkamah Konstitusi. Kita telah sepakat pula bahwa Mahkamah ini nantinya memiliki wewenang untuk menguji secara materi atas undang- undang, serta memberikan putusan atas pertentangan antar undang- undang. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya apapun untuk membatalkannya. Hasil kerja PAH I BP MPR terkait rancangan perubahan Bab IX UUD 1945 dilaporkan pada Rapat ke-5 BP MPR, 23 Oktober 2001. Terkait dengan MK, Jacob Tobing menyampaikan rumusan-rumusan yang dihasilkan PAH I BP MPR, antara lain: Pasal 24A ayat (2) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara dari tingkat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang (dan peraturan perundang-undangan di bawahnya) terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan perselisihan, kewenangan atau kompetensi antar lembaga (negara), memutuskan pembubaran partai politik (atas tuntutan yang sah) yang memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pada Rapat Paripurna ke-6 MPR, 8 November 2001. Jacob Tobing menyampaikan Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945. Terkait dengan MK, rumusannya telah dikumpulkan ke dalam Pasal 24C yang terdiri atas 6 (enam) ayat. Terkait dengan putusan MK, disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1), yaitu: __ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil tentang hasil pemilihan umum. 33 Rancangan tersebut kemudian dibawa ke Rapat Paripurna ke-7 MPR guna mendapatkan pandangan akhir dari fraksi-fraksi sebelum disahkan menjadi bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945. Secara umum, meskipun memberikan masukan, tetapi pada dasarnya pandangan akhir yang disampaikan fraksi-fraksi secara tegas menyepakati rumusan rancangan yang dilaporkan tersebut. __ Jika Pasal tersebut dicermati dapat dijelaskan bahwa MK merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Atau dapat dikatakan, badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat, untuk mengadili perkara pengujian UU, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya, MK tidak mengenal adanya mekanisme banding atau kasasi. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595) __ Dengan demikian pengertian tingkat pertama dan terakhir di sini adalah di bawah maupun di atas MK tidak ada badan pengadilan lain, sehingga putusan MK langsung sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde vonnis ). Untuk itu tidak ada upaya hukum lainnya, baik berupa banding atau kasasi yang dapat ditempuh dan menjadikan putusannya bersifat final. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 718) Lain halnya dengan kewajiban MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR, terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal ini, UUD tidak menyatakan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. MK hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus 34 dilalui dalam proses pemberhentian ( impeachment ) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional MK adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595) − Bahwa apa yang dimaksud putusan MK bersifat final kemudian diperjelas dan dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut sebagai UU MK). Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK menerangkan Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Apabila dikaitkan dengan Pasal 47 UU MK yang menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat untuk dilaksanakan serta membawa akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan sejak putusan selesai diucapkan dalam sidang pleno. − Bahwa Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apapun. Dalam bahasa Inggris, pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu, yaitu final and binding . Dengan demikian, jika bersifat final harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Kata final itu implisit telah mengikat dan tidak bisa dianulir sehingga tidak perlu ditambahi dengan kata-kata mengikat (Sri Soemantri, “Catatan-catatan Terhadap RUU Mahkamah Konstitusi”, disampaikan pada Seminar di Universitas Islam Indonesia, 11 Mei 2002, hlm. 8, yang dikutip kembali oleh Abdul 35 Rasyid Thalib dalam Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.
. Menurut Indroharto, kata final, artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar-benar sudah merupakan akibat hukum yang definitif (Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm. 116). − Bahwa mengenai kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final telah diberikan tafsir konstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009 dan putusan Nomor 36/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK. Dalam putusan ini MK menegaskan pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam permohonan a quo materinya adalah pemuatan kembali atau pengulangan materi kewenangan MK yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945. apabila MK menguji materi pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo , maka secara tidak langsung MK akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945, yang berarti MK akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945 dimana MK berpendapat bahwa hal demikian bukan menjadi kewenangan MK. Selain itu keberadaan Pasal 24C UUD 1945 yang menyebutkan kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final merupakan pilihan dari pembuat UUD 1945 dan MK tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut. − Bahwa dengan demikian jawaban atas pertanyaan bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi setelah melihat risalah perubahan UUD 1945, UU MK, dan Putusan MK dapat disimpulkan putusan MK bersifat final yang sifat final ini menunjukkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; Kedua; karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara ( interparties ). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK karena putusan MK 36 tidak hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan perkara di MK, melainkan mengikat juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua warga negara ( erga omnes ). Ketiga; karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dan memperoleh kekuatan mengikat ( resjudicata pro veritate habetur ). KEWAJIBAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG UNTUK MELAKSANAKAN/ MENINDAKLANJUTI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI − Bahwa Pasal 56 ayat (3) UU MK menyebutkan: Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . Kemudian Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan: Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang- undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat . Konstruksi Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK ini pada dasarnya merupakan putusan yang berkategori self-implementing . Putusan yang bersifat self-implementing , diartikan bahwa putusan akan langsung efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan berupa langkah-langkah implementasi perubahan undang-undang yang diuji. Dalam hal ini, dengan diumumkannya putusan MK dalam sidang terbuka untuk umum dan diumumkan dalam Berita Negara sebagai norma hukum baru, dapat segera dilaksanakan; − Bahwa dalam model putusan MK yang berkategori self-implementing MK menyatakan secara sekaligus bahwa suatu UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan pernyataan bahwa yang telah dinyatakan bertentangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dalam putusan self-implementing MK tidak 37 membuat norma baru karena hanya sebagai negative legislator melalui suatu pernyataan atau deklaratif. Sifat putusan deklaratif tidak membutuhkan satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan. Namun demikian, sebagai syarat untuk diketahui secara umum, putusan demikian diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hlm. 250-251); − Bahwa dengan dimuat dalam Berita Negara maka seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi norma hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Oleh karena itu, jika terdapat suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar UU yang sudah dinyatakan oleh MK baik seluruhnya maupun sebagian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula ( ad initio ) (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hlm 251- 252); − Bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan yang menarik dalam pengujian UU, khususnya dalam hal putusan yang dijatuhkan MK. Jika semula jenis putusan MK hanya seperti yang diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 ayat UU MK yaitu berupa amar yang mengabulkan permohonan, menyatakan permohonan tidak dapat diterima, dan menolak permohonan untuk sebagian atau seluruhnya dengan menyatakan suatu undang-undang, pasal, ayat atau frasa bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat ( legally null and void ), maka dalam perkembangannya, MK pun menciptakan varian putusan yakni konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ), inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ), putusan yang menunda pemberlakuan putusan ( limited constitutional ), dan putusan yang merumuskan norma baru; − Bahwa putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) artinya adalah permohonan dikabulkan secara bersyarat sesuai yang ditentukan MK. Putusan konstitusional bersyarat bertujuan untuk 38 mempertahankan konstitusionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang ditentukan MK. Putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK. − Bahwa model putusan yang pemberlakuannya ditunda ( limited constitutional ) artinya adalah MK menoleransi berlakunya aturan yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi hingga batas waktu tertentu. Model putusan limeted constitustional bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu karena disadarkan atas pertimbangan kemanfaatan. Model putusan yang pemberlakuannya ditunda mengandung perintah kepada pembentuk UU untuk memperbaharui landangan konstitusional yang dibatasi oleh waktu. Adapun model putusan yang merumuskan norma baru adalah MK mengubah atau membuat baru bagian tertentu dari isi suatu UU yang diuji, sehingga norma dari UU itu juga berubah dari yang sebelumnya. Model putusan yang merumuskan norma baru didasarkan suatu keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk segera dilaksanakan. Dengan demikian ada problem implementasi jika putusan MK hanya menyatakan suatu norma bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan timbul kekosongan norma sementara norma tersebut sedang, akan, bahkan telah diimplementasikan namun menimbulkan persoalan konstitusional terutama dalam penerapannya. − Bahwa secara umum putusan-putusan MK yang bersifat self-implementing dapat diketemukan dari sejumlah putusan MK yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (null and void) ataupun amarnya terdapat perumusan norma. Contoh putusan yang dapat langsung dilaksanakan adalah Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 39 yang membatalkan pasal-pasal tentang Penghinaan Presiden dalam KUHP, yaitu Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137. Sejak putusan ini diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan pasal-pasal itu. Kepolisian tidak dapat menjadikan pasal-pasal itu sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula penuntutan oleh kejaksaan. Putusan MK berlaku serta merta, meskipun belum ada perubahan terhadap KUHP. Sementara putusan self-implementing dalam model putusan yang merumuskan norma baru contohnya yaitu Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Dalam bagian mengadili putusan tersebut, MK menyatakan bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat dari penghapusan tersebut, maka pasal- pasal tersebut menjadi Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 mengatur sebagai berikut “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPR”. Dengan Dengan putusan MK maka pasal tersebut menjadi: ”Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.” − Bahwa meskipun Putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan, namun tidak semua putusan MK yang mengabulkan permohonan Pemohon dapat langsung dilaksanakan ( implementing ), karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan UU baru atau UU perubahan. Inilah yang putusan yang disebut dengan non-self implementing . Dikatakan demikian karena putusan tersebut mempengaruhi norma-norma lain dan memerlukan revisi atau pembentukan UU baru atau peraturan yang lebih operasional dalam pelaksanannya. − Bahwa putusan non-self implementing/non-self executing dapat diketemukan pada model putusan selain yang membatalkan dan menyatakan tidak berlaku ( null and void ), yaitu pada model putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ), model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ), model putusan 40 yang pemberlakuannya ditunda ( limited constitutional ), dan model putusan yang merumuskan norma baru. Contohnya adalah putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, MK memutuskan bahwa ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini juga memberikan pedoman berupa syarat dan cara yang harus dipenuhi bagi warga Negara yang tidak terdaftar dalam DPT apabila akan menggunakan hak pilihnya. Sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut, KPU pada tanggal 6 Juli 2009 mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pemungutan Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009. Dalam Peraturan tersebut diatur mengenai teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan berlandaskan pada putusan MK a quo . − Bahwa terkait dengan putusan yang bersifat non-self implementing dapat difahami bahwa model putusan tersebut masih memerlukan tahapan berikutnya, yaitu tindak lanjut oleh addressat putusan. Hal ini karena implementasi kebijakan publik yang baru tersebut membutuhkan dasar hukum yang baru sebagai dasar pelaksanaan kebijakan publik yang ditetapkan dalam putusan MK. Perubahan hukum yang terjadi dengan putusan atas UU yang diuji MK yang mengharuskan proses pembentukan UU yang baru sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam putusan MK. Kesadaran akan adanya putusan MK yang bersifat non-self implementing telah diakomodir dengan adanya norma dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. − Bahwa amar Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 yang menyatakan: Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” 41 dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” merupakan model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) yang membutuhkan tindak lanjut oleh Pembentuk UU. Sejak adanya Putusan MK ini maka Pasal 7 ayat (3) adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addressat putusan MK. − Bahwa Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan. Meskipun putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan namun Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan pemohon ini tidak dapat langsung dilaksanakan ( self implementing/self executing ), karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan UU baru. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang _berisi:
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi_ , dan sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU 12/2011 yang menyebutkan Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden , maka seharusnya DPR dan Presiden menindaklanjuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 dengan cara membentuk UU tentang Usaha perasuransian yang Berbentuk Usaha Bersama dalam jangka waktu sebagaimana telah ditentutkan oleh Putusan MK. UPAYA HUKUM APABILA DITEMUKAN UU YANG DIBENTUK BERTENTANGAN DENGAN PUTUSAN MK − Bahwa terhadap putusan MK yang yang menyatakan suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ( legally null and void ) maka pemuatan putusan MK dalam Berita Negara 42 sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK dirasa cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut sehingga jika dilanggar dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan batal demi hukum sejak semula ( ad initio ); − Bahwa terhadap putusan MK yang berkategori konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru maka tidak cukup dengan memuat dalam berita Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara, melainkan terhadap putusan ini Addressat putusan MK dituntut untuk membentuk UU melalui proses legislasi dan peraturan perundang-undangan di bawah UU melalui proses regulasi yang sesuai dengan perintah MK melalui putusannya. − Bahwa putusan MK umumnya tidak dilengkapi dengan instrumen yang dapat memaksakan pelaksanaannya, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara-cara lain, implementasi putusan MK menekankan pada self-respect dan kesadaran hukum pihak-pihak yang terkait dengan putusan, apakah itu pembentuk UU atau lembaga-lembaga negara lain selaku adressat putusan. Selain itu, implementasi putusan MK sangat bergantung pada cabang kekuasaan lain atau organ-organ kekuasaan lainnya, apakah putusan-putusannya diterima dan apakah mereka siap untuk mematuhinya (Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , Edisi Revisi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2019, hlm. 48) − Bahwa terlepas dari tidak adanya instrumen pemaksa pada MK untuk memaksakan implementasi putusannya yang belum dilaksanakan, maka MK tentu saja berkepentingan untuk melihat putusannya dilaksanakan. Satu putusan yang tidak terlaksana sebagaimana layaknya dalam jangka waktu yang pantas, tentu saja akan membawa dampak pada kewibawaan lembaga yang memutusnya, serta penegakan hukum dan konstitusi pada umumnya. Secara logis, jika MK merupakan pengawal konstitusi 43 sebagaimana selalu dinyatakan, maka tidak terlaksananya putusan MK sebagaimana mestinya sedikit banyak dapat menimbulkan terjadinya proses deligitimasi terhadap UUD 1945, yang pada hakekatnya dapat menggoyahkan stabilitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. (Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi”, Jurnal Hukum, Volume 16, Nomor 3, Juli 2009, hlm. 363); − Bahwa dalam praktiknya masih ditemukan putusan MK yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya ( non-executiable ) oleh pihak yang seharusnya menindaklanjuti putusan tersebut ( addressat ) contohnya adalah Putusan Nomor 92/PUU-X/2012. Melalui putusan tersebut, MK menyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana telah ditentukan oleh UUD 1945 atau setidaknya telah mengurangi fungsi, tugas dan kewenangannya yang dikehendaki konstitusi harus dinyatakan inkonstitusional. Melalui putusan itu juga, MK menegaskan bahwa DPD mempunyai hak konstitusional sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 22D ayat (1) dan (2), yang di antaranya adalah mengajukan rancangan undang-undang, ikut membahas rancangan undang-undang, penyusunan prolegnas dan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang. Faktanya, secara substansial putusan MK tersebut dimuat kembali dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; − Bahwa Addresat putusan MK yang tidak senang atau tidak setuju mempunyai 4 (empat) pilihan menghadapi putusan MK tersebut. Pertama, ia dapat patuh terhadap putusan tersebut dan menerimanya secara sukarela serta melaksanakannya. Atau kedua, dia dapat mengabaikan putusan MK dan berharap bahwa apapun wewenang yang dimiliki MK dan lembaga lain untuk melaksanakan, putusan itu menjadi tidak efektif. 44 Ketiga, dia dapat mencoba membatalkan putusan melalui amandemen UUD atau jika ada prosedur yang tersedia secara resmi menolak putusan. Opsi terakhir dan yang paling ekstrim atau yang keempat adalah dengan menyerang MK sebagai lembaga dengan berupaya mengurangi wewenangnya atau kekuasaan efektifnya (Tom, Judicial Review in New Democracies, Constitutional Court in Asian Cases , Cambridge University Press 2003, hlm. 78-79); − Bahwa Penegakan hukum konstitusi yang tercermin dalam kewenangan MK sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan ( separation of powers ) dan checks and balances hanya efektif jikalau putusan MK diterima dan dilaksanakan oleh penyelenggara cabang kekuasaan negara lainnya, terutama Pembentuk UU. Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka memastikan Putusan MK dilakukan sebagaimana juga diterapkan di MK beberapa negara seperti Austria dan Afrika Selatan adalah dalam kasus tertentu yang memenuhi persyaratan dilakukan penundaan keberlakuan putusan mengingat pembentuk UU membutuhkan waktu untuk menyusun atau merevisi UU agar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Maka, Adanya penundaan keberlakuan putusan adalah solusi terbaik untuk menanggapi keadaan tersebut. Beberapa putusan MK Indonesia pada prinsipnya telah mengakomodir adanya penundaan pelaksanaan putusan tersebut. Salah satunya dapat dilihat pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 berkaitan dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Substansi pasal tersebut adalah pengadilan khusus tindak pidana korupsi, yang diberikan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun oleh Mahkamah Konstitusi; − Bahwa Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 yang menyatakan: Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” pada dasarnya telah mengkomodir penundaan 45 keberlakuan putusan dalam rangka memberikan waktu kepada pembentuk undang-undang yaitu dua tahun enam bulan untuk menyusun undang- undang sebagaimana perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Namun faktanya pembentuk UU justru tidak melaksanakan putusan tersebut dan memilih membuat pengaturan yang berbeda dengan apa yang telah diatur oleh MK; − Bahwa terhadap tindakan pembentuk UU yang mengatur secara berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh MK pada dasarnya merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945 yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1). Hal ini mengingat pemohon setelah permohonannya dikabulkan oleh MK seharusnya kerugian konstitusional yang didalilkan saat mengajukan permohonan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Namun dengan tidak dilaksanakannya putusan MK hal ini berarti kerugian konstitusionalnya akan tetap terjadi. Selain itu putusan MK telah mempunyai akibat hukum yang jelas dan tegas, serta tidak ada upaya hukum lanjutan sejak putusan tersebut selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. sehingga tidak ada pilihan lain bagi Addresat putusan MK selain melaksanakan putusan MK. dengan demikian tidak dilaksanakannya putusan MK oleh addresat putusan MK telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum; − Bahwa dengan tetap terjadinya kerugian konstitusional oleh pemohon dalam perkara yang putusan MK nya tidak ditindaklanjuti oleh Pembentuk UU serta adanya ketidakpastian hukum yang terjadi akibat diabaikannya putusan pengadilan (baca MK) maka sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 51 UU MK dan Yurisprudensi tetap MK yang tertuang dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Perkara Nomor 11/PUU- V/2007 maka pemohon dalam perkara yang putusan MK nya tidak ditindaklanjuti oleh pembentuk UU bisa mengajukan permohonan pengujian UU ke MK. Selain pemohon maka dengan mengingat sifat putusan MK yang berlaku mengikat tidak hanya bagi pihak yang sedang berperkara di MK melainkan juga mengikat semua pihak (erga omnes) maka dimungkinkan juga pihak selain pemohon dalam perkara 46 sebelumnya untuk mengajukan permohonan sepanjang mempunyai kedudukan hukum. AKIBAT HUKUM JIKA SUATU UU DIBENTUK TANPA BERDASARKAN PADA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI − Bahwa sesuai pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 maka MK menyatakan: Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum ( erga omnes ) yang langsung dilaksanakan ( self executing ). Putusan MK sama seperti UU yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada. Putusan MK merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai konsekuensi faham negara hukum demokratis yang konstitusional. − Bahwa sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Kekuatan mengikat putusan MK berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara yaitu pemohon, Pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak-pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat UU (Ni’matul Huda, Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2018, hlm. 193); − Bahwa Dalam kaitannya dengan praktik hasil uji materi UU terhadap UUD 1945 khususnya tatkala MK memberi tafsir terhadap isi ketentuan pasal atau ayat dari undang-undang yang dimohonkan pengujiannya baik yang bersifat conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional juga perumusan norma baru, jika ditelisik lebih jauh, sesungguhnya adalah perintah agar addresat putusan yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU mematuhi dan melaksanakan persyaratan konstitusional yang dimandatkan oleh MK. 47 − Bahwa UU 12/2011 telah menyediakan sarana/mekanisme bagi DPR dan Presiden untuk dapat menindaklanjuti Putusan MK yaitu melalui Pasal 10 ayat (1) UU P3 yang menyatakan sebagai berikut: “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas putusan MK. Selanjutnya di Pasal 10 ayat (2) dinyatakan, tindak lanjut putusan MK tersebut dilakukan oleh DPR atau Presiden. Keberadaan Pasal ini semakin menegaskan bahwa Putusan MK wajib dijadikan rujukan dalam pembentukan UU oleh DPR dan Presiden, hal ini dimaksudkan agar UU yang dibentuk sesuai dengan jiwa putusan MK sehingga materinya tidak bertentangan dengan UUD 1945 Lebih-lebih terhadap putusan yang dinyatakan bersyarat oleh MK, sebab pada tahap inilah peran pembentuk UU dituntut untuk menjaga konsistensi penafsiran putusan MK yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk UU; − Bahwa sebagai negara yang menganut demokrasi konstitusional, maka mengandung konsekuensi logis bahwa konstitusi ditempatkan sebagai hukum dasar Negara Indonesia, artinya pada satu sisi UUD 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh seluruh masyarakat dan penyelenggara negara, serta pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang muncul. Sebagai lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi untuk menegakkan nilai-nilai konstitusi Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, sepatutnya setiap putusan MK harus ditaati dan dilaksanakan oleh para pihak yang terkait dengan putusan tersebut termasuk ketaatan seluruh elemen bangsa pada putusan tersebut. Sebab membangun kesetiaan dan ketaatan terhadap konstitusi salah satunya adalah ketaatan terhadap putusan MK juga. − Bahwa Putusan MK yang bersifat non self implementing tidak selalu mudah untuk diimplementasikan. Putusan MK yang telah membentuk hukum atau instrumen hukum baru dengan menyatakan satu UU, pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak didukung dengan suatu instrumen yang dapat memaksakan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara lain-lain yang berada dibawah kendali MK; 48 − Bahwa ketundukan dan ketaatan terhadap putusan MK merupakan bentuk nyata dari kesetiaan terhadap konstitusi itu sendiri, dengan kata lain ketidaktaatan terhadap putusan MK adalah bentuk ketidaksetiaan dan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri atau yang disebut sebagai constitution disobedience. Postulat tersebut tentu didasarkan pada pemikiran bahwa MK yang secara fungsional melaksanakan tugas menegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, tentu putusan yang dikeluarkan oleh MK merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung. ^ oleh sebab itu pembangkangan terhadap putusan MK adalah pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri (constitution disobedience). − Bahwa tindakan pembangkangan terhadap putusan MK sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi berakibat sebagai berikut; Pertama , tidak dilaksanakannya putusan MK yang mencerminkan adanya pembangkangan terhadap putusan MK dapat mengacaukan kepastian hukum yang telah dikeluarkan oleh MK. Kedua , pembangkangan terhadap putusan MK tersebut berakibat terjadinya constitutionalism justice delay atau penundaan keadilan yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia , sebab keadilan terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh putusan MK tidak dilaksanakan karena adanya pembangkangan terhadap putusan MK. Ketiga, __ terjadinya rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan UU yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah konstitusi. Kondisi ini tentu menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. − Bahwa fenomena pembangkangan terhadap putusan MK sebagai salah satu bentuk constitution disobedience tidak bisa dibiarkan berkepanjangan dengan bentuk-bentuk pembangkangan yang mulai sering terjadi akhir- akhir ini, sebab akan merusak sistem demokrasi konstitusi yang telah dibangun sejak reformasi Indonesia yang ditandai dengan reformasi konstitusi pada tahun 1999-2002. Pembangkangan terhadap putusan MK akan berakibat fatal, dari potensi terjadinya reduksi fungsi lembaga MK hingga terjadinya constitutional justice delay. Ketaatan terhadap putusan 49 MK tidak bisa hanya bertumpu pada kesadaran hukum masyarakat dan lembaga negara, namun perlu ditunjang juga oleh instrumen “pemaksa” untuk menciptakan situasi taat tersebut. Oleh sebab itu diperlukan berbagai alternatif untuk menjaga stabilitas ketaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional merupakan pengawal konstitusi. Alternatif yang dapat dipergunakan adalah dengan dilakukan koreksi kembali ( judicial review ) terhadap UU yang substansinya berisikan pengaturan yang bertentangan dengan putusan MK − Bahwa dalam praktiknya MK sudah pernah membatalkan ketentuan dalam UU yang isinya mengatur materi muatan yang bertentangan dengan Putusan MK sebelumnya. MK melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dalam perkara pengujian UU 4/2014 tentang Penetapan Perppu 1/2013 tentang Perubahan kedua UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU menyatakan bahwa pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh MK melalui upaya Judicial Review demi menjaga tegaknya konstitusi. Dalam amar putusan perkara ini menyatakan UU 4/2014 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. − Bahwa pembatalan ketentuan UU yang substansinya mengatur materi muatan yang bertentangan dengan Putusan MK sebelumnya juga pernah dilakukan oleh MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 yang membatalkan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam pertimbangan putusan ini, MK menyatakan bahwa pembentuk UU dalam membentuk UU 17/2014 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD utamanya menyangkut jaminan atas kewenangan konstitusional DPD dalam proses legislasi ternyata tidak memasukkan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah 50 membatalkan beberapa ketentuan dalam UU 27/2009 karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK 79/PUU-XII/2014 merupakan bentuk ketegasan MK atas tindakan pembentuk UU yang sengaja menyimpangi atau mengabaikan Putusan MK Nomor 92/PUU- X/2012 dalam penyusunan UU 17/2014, padahal selayaknya pembentuk UU memperhatikan, mempertimbangkan dan melaksanakan Putusan MK sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip negara hukum. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Bahwa menurut ahli, bagian pertimbangan hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan oleh karena itu sifatnya mengikat sama seperti amar putusan. Namun, tidak semua bagian dari pertimbangan Mahkamah tersebut memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan amar putusan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan ratio decidendi maka bagian pertimbangan hukum merupakan alasan yang menentukan untuk diambilkan suartu putusan dalam amar, sementara jika obiter dicta merupakan serangkaian pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung dengan amar putusan namun hal tersebut berada dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi. − Terkait dengan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam undang- undang atau peraturan pemerintah, menurut ahli, peraturan pemerintah merupakan peraturan perundang-undangan yang sifatnya delegasi dari undang- undang sehingga peletakan hak konstitusional warga negara dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki implikasi yang berbeda terutama terkait dengan aspek jaminan kepastian hukum. Peraturan pemerintah idealnya secara substansi tidak dapat mengatur hal-hal yang tidak didelegasikan dan undang-undang itu sendiri sifat pengaturannya terbuka dan tidak terbatas seperti peraturan pemerintah. − Terkait dengan apakah hakim Mahkamah Konstitusi dapat memiliki pendapat berbeda dari putusan sebelumnya ?, menurut ahli, dari beberapa putusan Mahkamah sendiri hal tersebut dimungkinkan terjadi dengan syarat terdapat alasan baru karena hakim Mahkamah Konstitusi merupakan hakim yang memiliki 51 kemandirian dan tidak terikat dengan lembaga atau apapun terlebih terhadap kemandirian hakim tersebut dijamin dalam UUD 1945. − Terkait dengan frasa “...diatur dengan” dan frasa “...diatur dalam“, menurut ahli, terhadap kedua frasa tersebut Mahkamah sudah pernah membuat tafsir dari kedua frasa tersebut. Tafsiran Mahkamah terhadap frasa “diatur dengan” adalah harus diatur dengan undang-undang sendiri, sedangkan frasa “diatur dalam“ adalah dapat diatur dalam satu undang-undang. Namun, menurut ahli, cara memaknai kedua frasa tersebut dapat dilihat dari makna ketika dirumuskannya norma dimana salah satu frasa itu ada. − Terkait dengan politik hukum Undang-Undang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan Asuransi Usaha Bersama mengapa diatur melalui peraturan pemerintah dan bukan melalui undang-undang sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, menurut ahli, hal tersebut jelas ada dalam risalah persidangan yang diserahkan oleh DPR namun dalam praktiknya pengingkaran tersebut sudah jamak dilakukan. Hal tersebut menurut ahli dapat dilihat melalui intensif electoral dimana DPR ingin kelihatan berperan oleh konstituennya atau terkait dengan anggaran dari pembentukan undang-undang yang jauh lebih besar daripada pembentukan peraturan pemerintah. Pembentukan peraturan pemerintah walaupun memiliki substansi pengaturan yang sama dengan undang-undangnya namun hal tersebut berbeda, jika asuransi usaha bersama diatur melalui undang-undang tentu rakyat dapat menentukan arah politik hukumnya secara tidak langsung melalui DPR, ruang partisipasi masyarakat tersebut tidak sama ketika diatur melalui peraturan pemerintah. − Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam hal ini bertujuan untuk memastikan agar pembentuk undang-undang dalam membuat peraturan perundang-undangan tetap terikat dengan batasan-batasan atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lain sejenis atau yang setingkat. B. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum − Bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 berbeda dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2020. Hal tersebut dikarenakan Pasal 7 UU 2/1992 tidak mengatur secara spesifik terkait dengan asuransi usaha bersama sebagai badan hukum. Pasal tersebut hanya mendukung 52 asuransi usaha bersama sebagai salah satu dari tiga jenis usaha asuransi sedangkan terkait dengan badan hukum dari asuransi usaha bersama masih harus diatur lebih lanjut melalui undang-undang. Berbeda dengan Pasal 6 UU 40/2020 yang mengakui asuransi usaha bersama sebagai badan hukum, namun pada Pasal 6 ayat (3) UU 40/2020 pengaturan asuransi usaha bersama lebih lanjut melalui peraturan pemerintah dan hal tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2013; − Bahwa menurut ahli, yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap asuransi usaha bersama adalah keliru, hal tersebut karena yang menjadi kehendak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- VIII/2013 adalah membentuk Undang-Undang Asuransi Usaha Bersama dan tidak dapat ditafsirkan lain. Dengan tidak dilaksanakannya putusan a quo , maka unsur kegotong-royongan yang terdapat di dalam Asuransi Usaha Bersama menjadi hilang perlahan. C. Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK Kesatu Sejarah Singkat AJB 1912. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah satu-satunya di Indonesia sebagai Perusahaan Asuransi Jiwa yang berbentuk Asuransi usaha bersama atau dalam Bahasa Inggeris disebut “Mutual Insurace” yang lahir di masa pergerakan nasional yang pada awalnya bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi para guru-guru pada saat itu, dan kemudian berkembang menjadi satu perusahaan asuransi yang telah banyak memberikan manfaat dan kesejahteraan masyarakat pemengang polis atau nasabah AJB 1912. Selain memberikan proteksi, perlindungan jaminan asuransi dan kesejahteraan masyarakat pemegang polis dan nasabah, AJB 1912 telah berkembang sedemikan rupa menjadi tempat persemaian dan pelatihan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam industri perasuransian nasional, karena:
. AJB 1912 menyelenggarakan pelatihan tentang asuransi dan teknis asuransi khususnya asuransi jiwa bagi SMD atau karyawannya, yang kemudian SMD tersebut menjadi maju, dan sebagian dari mereka tetap bekerja di AJB 1912; dan sebagian lagi pindah ke perusahaan asuransi 53 yang kemudian didirikan oleh pemodal atau investor di bidang asuransi, dan menjadi pimpinan di perusahaan-perusahaan asuransi jiwa.
. Keberadaan dan kesuksesan AJB telah mendorong pemodal mendirikan perusahaan Asuransi di Indonesia; dan
. AJB 1912 telah menjadi tonggak sejarah dalam dunia asuransi dan menjadi asset nasional, serta kebanggaan bagi perasuransian nasional dan juga bagi masyarakat pemegang polis dan nasabah sampai di masa kejayaannya.
. Usia perusahaan 108 tahun adalah perjalanan dan usia perusahaan yang sangat panjang, hal itu menjadi bukti bahwa perusahaan ini dicintai dan diminati oleh masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan jaminan asuransi dengan beraneka produk atau lini usaha. Memang saat ini dan beberapa tahun yang lalu AJB 1912 mengalami permasalahan dalam permodalan. Kedua Sifat, Prinsip Asuransi, dan Keuntungan bagi Pemegang Polis dari Perusahaan yang berbentuk Asuransi Jiwa Bersama atau (Mutual Insurance) Sifat dan Prinsip Asuransi Jiwa Bersama adalah gotong royong dan tolong menolong. Karena sesungguhnya semua pemegang polis otomatis menjadi ikut sebagai pemilik perusahaan. Berbeda dengan sifat dan prinsip asuransi komersial berbentuk Perseroan Terbatas atau PT, dimana pemilik nya adalah hanya pemodal atau pemegang saham yaitu mereka yang menyetorkan modal ke perusahaan asuransi. Tujuannya adalah untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin bagi pemegang saham atau pemilik modal. Ketiga Asuransi usaha bersama atau Mutual Insurance di beberapa Negara, Peraturan Perundangan yang menjadi landasan hukum dan ketentuan operasional nya dituangkan atau dibuat dalam Undang-undang. Seperti di beberapa Negara di bawah ini: Selandia Baru Mutual Insurance Act 1955 . 54 Canada Mutual Insurance Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960-Chapter 262 . Inggris (United Kingdom) Friendly Societies Act 1992 Scotlandia Friendly Societies Act 1992 yang memuat ketentuan asuransi usaha bersama dapat menjadi Incorporated Organization . Selandia Baru (New Zealand) Mutual Insurance Act 1955 . Farmers’ Mutual Group Act 2007 No. 1 Private Act . Sebuah Undang- undang yang khusus untuk FMG Insurace . Di Negara-negara tersebut di atas asuransi usaha bersama (mutual insurance) telah berkembang maju sudah sejak lama dan menjadi kebanggaan pemegang polis atau pesertanya. Selain di Negara-negara tersebut di atas, Asuransi usaha bersama (Mutual Insurance) berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar-besar seperti di Jepang, di Perancis, Negara-negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, dqan Swedia), di Amerika juga banyak Asuransi usaha bersama. Keempat Apakah perintah atau amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian untuk membuat Undang-Undang tentang asuransi usaha bersama dilakukan atau tidak dilakukan hingga UU No. 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan diundangkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian. Mengapa perintah atau amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 untuk membuat sebuah undang-undang yang mengatur tentang asuransi usaha bersama tidak dilaksanakan hingga UU No. 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan diundangkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian? 55 Menurut ahli hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang: Yang Pertama: Pemerintah dan/atau DPR memandang hal itu bukanlah suatu prioritas pada waktu itu, sehingga baik Pemerintah dan DPR tidak mengajukan suatu rancangan undang-undang (RUU) yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk dibahas dan disetujui untuk diundangkan. Yang Kedua: Pengelola atau Pengurus AJB 1912 juga kurang memberikan perhatian yang besar terhadap hal itu. Karena, jika Pemerintah dan DPR tidak membuat dan mengajukan suatu RUU tentang asuransi usaha bersama, maka Pengelola atau Pengurus AJB 1912 sesungguhnya dapat juga membuat sebuah Draft atau Rancangan Undang-Undang Akademik, dengan meminta bantuan dari ahli-ahli hukum atau dosen-dosen dari Fakultas Hukum. Kemudian diajukan ke Pemerintah dan atau DPR untuk dijadikan sebagai RUU tentang Asuransi usaha bersama, dan selanjutnya dibahas dan dijadikan sebagai UU. Sepanjang pengetahuan saya hal itu tidak dilakukan oleh Pengurus AJB 1912. 22 tahun lamanya dari sejak diundangkan UU No. 2/1992 hingga diundangkan UU No. 40/2014, adalah waktu yang lama. Dalam menjawab tantangan dan kompetisi atau persaingan dalam industri asuransi yang ketat sejak pasar industri asuransi lebih dibuka ke investor asing beberapa tahun yang silam, telah mengakibatkan kekuatan permodalan menjadi satu syarat mutlak untuk dapat maju dan berkembang bagi perusahaan asuransi, selain pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governace) . Jika perusahaan asuransi tidak mempunyai permodalan yang kuat atau tidak mempunyai akses terhadap permodalan melalui investasi dari investor yang kuat dan/atau melalui pasar modal, maka akan sulit perusahaan tersebut untuk dapat bersaing dan semakin maju, sehingga akan dapat memberikan jaminan asuransi dan pelayanan yan semakin baik. Kekurangan permodalan bahkan dapat menurunkan pelayanan 56 perusahaan asuransi dan berdampak buruk terhadap keberlangsungan perusahaan asuransi. Untuk dapat meningkatkan permodalan suatu perusahaan asuransi, terdapat paling tidak ada 2 (dua) cara untuk meningkatkan permodalan yaitu:
. para pemegang saham atau investor menyetorkan uang untuk memperbesar modal perusahaan;
. dilakukan melalui pasar modal dengan cara menerbitkan saham atau saham yang ada diperdagangkan di pasar modal. Untuk meningkatkan permodalan perusahaan melalui satu atau kedua- duanya cara tersebut, diperlukan beberapa persyaratan dan kondisi, antara lain peraturan perundangan yang memberikan kepastian terhadap keamanan dan jaminan investasi yang dilakukan oleh investor yang juga disebut kepastian hukum investasi, terutama bagi investor asing hal ini sangat penting. Dan dalam kenyataannya investor yang kuat untuk industri asuransi adalah investor-investor dari negara-negara asing (foreign investors). Yang Ketiga: Pemerintah dan DPR dapat berpandangan bahwa mereka telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Karena UU No. 40/2014 jika dilihat dari pasal-pasal dan ketentuan yang diatur di dalam nya, juga memuat sejumlah Pasal yang memuat ketentuan tentang asuransi usaha bersama, hal itu bisa dilihat dari Bab- bab dan Pasal-Pasal dari UU No. 40/2014 di bawah ini, yaitu: Bab I Ketentuan Umum: Pasal 1. Bab IV Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama: Pasal 35. Bab V Penyelenggaraan Usaha:
Bab X Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan: Pasal 43, 44, 46 s.d. 49. Bab XIII Pengaturan dan Pengawasan: Pasal 60 s.d. 63 Bab XIV Ketentuan Pidana: Pasal 74. Pemerintah dan/atau DPR dapat saja berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 yang 57 mengamanatkan ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lebih lanjut dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, maka perintah atau amanat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 belum lah dilaksanakan. Akan tetapi jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang- undang tentang perasuransian dimana juga terdapat ketentuan mengenai asuransi usaha bersama, maka UU No. 40/2014 adalah juga sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992, dengan demikian Pemerintah dan DPR telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tidak memberikan penjelasan mengenai undang-undang yang dimaksud, apakah sebuah undang- undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang tentang perasuransian. Kelima Solusi Untuk mengatasi Permasalahan Permodalan untuk memperkuat, memajukan AJB 1912 dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 Diperlukan landasan hukum atau payung hukum yang kuat beberupa sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang AJB 1912, sebagaimana dilakukan oleh beberapa Negara mengundangkan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk memajukan perusahaan asuransi jiwa bersama dan asuransi umum bersama (mutual life insurace and mutual general atau casualtly insurance) yang ada di negara tersebut . Hingga saat ini, undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau secara khusus untuk AJB 1912 belum ada, tetapi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berada di bawah Undang- Undang, sehingga kurang kuat landasan hukumnya dan mudah dilakukan perubahan di mata investor, sehingga kurang memberikan kepastian 58 hukum untuk investasi jangka panjang, sementara sifat investasi di perusahaan asuransi dan terlebih untuk asuransi jiwa sangatlah jangka panjang. Sementara landasan hukum dan perundangan yang khusus mengatur perusahaan asuransi yang berbentuk Perseoran Terbatas (PT) sudah diatur dalam undang-undang sejak tahun 1992 dengan diundangkannya UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang kemudian telah diperbaharui dan diganti dengan UU 40/2014 tentang Perasuransian. UU No. 40/2014 dibuat karena adanya urgensi harmonisasi peraturan perundangan karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah dibentuk dan mulai menjalankan peran dan fungsinya sejak tahun 2012/2013. Seandainya OJK belum dibentuk, ahli tidak yakin bahwa Pemerintah dan DPR akan menjadikan hal itu sebagai prioritas. Karena menurut ahli, adalah suatu yang nyata bahwa perhatian dari Pemerintah dan DPR terhadap sektor asuransi sebelum dibentuk OJK, masih kurang dibandingkan dengan sektor jasa keuangan yang lain seperti sektor perbankan dan pasar modal. Karena itupula lah, pada saat OJK hendak dibentuk, ahli memberikan dukungan yang pertama dari semua sektor jasa keuangan, karena kebetulan pada waktu itu ahli sebagai ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesiad (AAUI), dengan harapan OJK akan memberikan perhatian besar terhadap sektor asuransi. Sementara sektor perbankan dan jasa keuangan yang lain tidak langsung memberikan dukungan terhadap pembentukan OJK pada waktu itu. Dan menurut ahli, OJK saat ini telah memberikan dukungan yang lebih besar untuk sektor asuransi. Kekosongan sebuah undang-undang tentang asuransi usaha bersama juga turut menimbulan hambatan dalam pengembangan AJB 1912, meskipun masih ada faktor lain. Akibatnya AJB 1912 kurang mempuyai daya tarik yang baik dan akses yang baik untuk pemodal atau investor asing. Padahal banyak investor yang berminat untuk berinvestasi di sektor perasuransian khususnya di asuransi jiwa seperti yang sudah terjadi selama ini. 59 Selanjutnya Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final yang memerintahkan agar dibentuk Undang-Undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan MK diucapkan, ahli melihat Putusan MK ini sebagai dukungan MK akan pentingnya suatu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. UU No.40/2014 telah mengubah norma mengenai pengaturan usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual), yang di Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2 Tahun 1992 diamanatkan atau diperintahkan supaya diatur lebih lanjut dengan ‘Undang-Undang’ dan oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 diubah menjadi diatur lebih lanjut dengan ‘Peraturan Pemerintah’. Ketentuan Pasal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Ini berarti tingkatan hierarki perundangan yang mengatur secara khusus asuransi usaha bersama berada di bawah undang-undang, sehingga menimbulkan ketidak setaraan dan ivestor dapat melihatnya sebagai kurang memberikan kepastian hukum untuk jangka panjang jika dibandingkan dengan investasi pada perusahaan asuransi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Dari uraian dan analisis yang ahli kemukakan di atas, ahli menyimpulkan:
. Diperlukan suatu Undang-Undang yang khusus mengatur asuransi usaha bersama;
. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 yang selengkapnya berbunyi: Pasal 6 ayat (3) “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah” . 60 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) __ ini tidak diartikan sebagai larangan bagi Pemerintah dan DPR untuk membuat satu undang-undang yang khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. Oleh karena itu, ahli berpendapat adalah perlu, penting Pemerintah dan DPR membuat satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, sebagaimana telah lama dilakukan oleh beberapa negara asing, untuk mendorong kemajuan asuransi usaha bersama di Indonesia. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 hanya terdapat dalam beberapa pasal saja. Pengaturan perasuransian dalam UU 40/2014 jika dilihat lebih lanjut menitikberatkan pada asuransi dalam bentuk perseroan terbatas saja, namun demikian dikarenakan terdapat keteuan yang mengatakan sepanjang relevan dengan bentuk badan usaha bersama maka ketentuan tersebut berlaku. Menurut Ahli, pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tidak dapat dikatakan cukup, namun materi-materi yang terdapat didalamnya dapat dijadikan bahan untuk membentuk undang-undang tersendiri terkait dengan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama tersebut. − Terkait dengan permodalan yang terbatas yang menyebabkan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama ini lebih sulit maju dibandingkan dengan bentuk badan usaha perseoran , ahli tidak memiliki pendapat terkait itu. Namun, jika melihat pada sisi investor, tentu tidak menutup kemungkinan adanya investor yang tertarik untuk berinvestasi pada asuransi usaha bersama namun menurut investor tentunya jika diatur dalam peraturan pemerintah menjadi kurang kuat keberadaannya sehingga perlu dibuat undang-undang tersendiri. − Asuransi dalam bentuk usaha bersama di negara lain, sepengetahuan Ahli, tetap memakai bentuk mutual insurance dan pengaturannya diatur dalam undang-undang dimana dinyatakan sebagai incorporated company (Skotlandia). Jika bentuk usaha bersama ini akan dicarikan bentuk hukum lain sehingga memiliki akses permodalan yang mudah, menurut ahli berdasarkan kajian yang pernah dilakukan maka dapat berbentuk perkumpulan. 61 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, yang keterangan tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan 5 (lima) batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena apa pun bentuk dari pengaturan asuransi usaha bersama, para Pemohon dapat melaksanakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai Anggota BPA Asuransi Bersama Bumiputera 1912.
Bahwa para Pemohon mendalilkan bekerja sebagai Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Guru, Dosen, Wiraswasta, Pensiunan dan secara keseluruhan para Pemohon mendalilkan sebagai Pemegang Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Anggota BPA. DPR RI berpandangan para Pemohon bukanlah subjek yang dituju dalam ketentuan Pasal a quo karena ketentuan a quo ditujukan oleh pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Hukum Usaha Bersama dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa dalam positanya, para Pemohon banyak memberikan argumentasi tentang kedudukan para Pemohon sebagai Anggota BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengemban tugas dan 62 amanahnya sebagaimana diamanatkan dalam Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Terhadap pernyataan para Pemohon tersebut perlu untuk diperjelas apakah para Pemohon bertindak untuk mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 atau hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912? Jika para Pemohon sebagai BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, maka para Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu sebagai pihak yang mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Sedangkan jika para Pemohon mengajukan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia pemegang polis, maka para Pemohon tidak bisa mengajukan pengujian Pasal a quo karena Pasal a quo mengatur tentang pendelegasian dari pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur mengenai badan hukum usaha bersama dalam peraturan pemerintah. Oleh karenanya para Pemohon bukanlah pihak yang menjadi subjek ( addressat norm ) dari ketentuan Pasal a quo , sehingga para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan Permohonan a quo karena tidak memiliki kepentingan hukum langsung terhadap Pasal a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang a. para Pemohon merasa dirugikan karena dengan berlakunya frasa “ diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal a quo UU Perasuransian telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara keberlakuan Pasal a quo dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon karena kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut adalah asumsi yang tidak ada pertautannya dengan ketentuan Pasal a quo sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut tidak beralasan hukum. 63 b. para Pemohon merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional atas adanya PP 87/2019 karena keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon beranggapan bahwa materi yang ada di dalam PP 87/2019 tersebut merugikan para Pemohon maka hukum telah menyediakan suatu mekanisme untuk mengujikan Peraturan Pemerintah tersebut ke Mahkamah Agung. Dengan demikian kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak benar dan hanya asumsi para Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa para Pemohon tidak dapat menguraikan kerugian yang dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan ketentuan Pasal yang dimohonkan pengujian. para Pemohon dalam permohonannya lebih menguraikan substansi dalam PP 87/2019 dan tidak fokus terhadap ketentuan Pasal a quo sehingga tidak jelas pertautan antara kerugian para Pemohon dengan pasal a quo . Oleh karenanya tidak terdapat kerugian hak dan/atau konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang- undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam angka 1, 2, dan 3, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon melainkan hanya asumsi para Pemohon saja. Selain itu para Pemohon tidak dapat menguraikan pertautan antara kerugian yang didalilkan dengan ketentuan Pasal a quo sehingga sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan Pasal a quo . 64 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun terhadap para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. 65 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN DPR RI TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa dalam industri perasuransian, baik secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Pengaturan dalam UU Perasuransian juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik ( best practices ) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
Bahwa berdasarkan Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian yang digunakan sebagai dasar pembentukan undang-undang a quo, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai badan hukum usaha bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Ketiadaan undang-undang yang mengatur usaha bersama mengakibatkan ketidakjelasan tata kelola badan usaha ini dan dapat menimbulkan keraguan akan perlindungan hak-hak para pemangku kepentingan. Usaha bersama juga menghadapi tantangan dan hambatan yang sama seperti koperasi dalam hal penyediaan modal yang 66 cukup untuk penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi, mengingat ketiadaan atau ketidakjelasan mekanisme penambahan modal dengan atau tanpa penambahan anggota baru di dalam usaha bersama tersebut. Perkembangan yang terjadi di negara lain berkenaan dengan penyelenggaraan usaha asuransi menggunakan badan usaha bersama juga mendapat perhatian. Walaupun sejumlah usaha bersama di bidang perasuransian tercatat sebagai perusahaan besar di negara-negara seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas sehingga dapat menggumpulkan modal lebih besar. Sampai dengan saat ini satu-satunya perusahaan perasuransian yang berbentuk usaha bersama di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, sedangkan perusahaan perasuransian yang lain berbentuk Perseroan Terbatas. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dalam RUU Usaha Perasuransian diusulkan agar perusahaan perasuransian berbentuk Perseroan Terbatas. ( Vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian hlm. 49-50) 3. Bahwa UU Perasuransian telah mengakomodir bentuk usaha bersama ( mutual ) dalam Pasal 6 ayat (1) UU a quo , bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah: a) Perseroan terbatas; b) Koperasi; atau c) Usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini di undangkan. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan pembentuk undang-undang masih mengakui adanya usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama dan ketentuan tersebut telah memberi kepastian hukum, dan usaha bersama yang dimaksud adalah AJB Bumiputera 1912 yang menjadi satu-satunya usaha perasuransian berbadan usaha bersama sampai dengan saat ini yang dinyatakan sebagai badan hukum (Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian hlm 50). Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut pembentuk undang-undang menentukan politik hukum pengaturan mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai teknis badan usaha 67 bersama didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah ( vide Risalah Pembahasan hlm 57-58).
Bahwa para Pemohon mendalilkan: “...hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar oleh pembentuk undang-undang tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar dibentuk undang- undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual).” Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, menyatakan: Frasa “ ... diatur lebih lanjut dengan undang-undang ” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “...diatur lebih lanjut dengan undang-undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” .
Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan adanya kepastian hukum mengenai pengaturan lebih lanjut tentang usaha bersama ( mutual ), yaitu paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Pembentuk undang-undang segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merumuskan ketentuan Pasal 91 UU a quo yang menyatakan: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka UU a quo telah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terutama para Pemohon mengenai dasar hukum asuransi usaha perasuransian yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ), dan pembentuk undang-undang telah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki adanya kepastian hukum yang mengatur mengenai badan usaha bersama ( mutual ) perasuransian.
Bahwa DPR RI berpandangan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut tidak memerintahkan 68 kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang tentang asuransi badan usaha bersama ( mutual ) secara khusus dalam undang-undang tersendiri.
Bahwa pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentunya harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) sebagai pedoman utama dalam membentuk peraturan perundang- undangan.
Bahwa terkait dengan norma pengaturan pendelegasian kewenangan telah diatur berdasarkan Lampiran UU 12/2011 mulai dari angka 198 sampai dengan angka 216. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dari teknis segi bahasa, pendelegasian kewenangan dengan menggunakan frasa “diatur dengan” dan “diatur dalam” tidak dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, tetapi lebih kepada “jumlah materi muatan” yang akan didelegasikan kepada peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Berdasarkan Lampiran angka 205 UU 12/2011 disebutkan bahwa , jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan gunakan kalimat...”Ketentuan mengenai…diatur dalam…”.
Bahwa sebelum diundangkannya UU 40/2014, Pembentuk undang- undang telah mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Namun dalam menindaklanjuti Putusan MK tersebut kedalam undang-undang selain berdasarkan Putusan MK tentunya pembentuk undang-undang memiliki pertimbangan politik hukum tersendiri dengan memperhatikan dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah dirundingkan oleh DPR dan Tim Pemerintah dalam Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014 dan dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian dan Rapat 69 Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Bahwa dalam rapat-rapat tersebut pada intinya DPR RI setuju dengan usulan Tim Pemerintah yang memandang bahwa kedepannya lebih didorong agar perusahaan asuransi berbadan hukum perseroan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap perusahaan dan konsumen asuransi, namun khusus untuk perusahaan asuransi mutual yang telah ada (Bumiputra 1912) tetap diakui keberadaannya. Sedangkan untuk mengakomodir putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013, Pembentuk undang-undang sepakat untuk mengatur perusahaan asuransi mutual dalam UU a quo yang ketentuan teknisnya didelegasikan kedalam peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan jika diatur secara detail dalam UU a quo , akan menimbulkan kemungkinan untuk dijadikan preseden lahirnya perusahaan-perusahaan asuransi mutual lainnya yang memiliki banyak kelemahan dalam tatakelolanya yang juga sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara lain di dunia. Selengkapnya tertulis pada bagian risalah.
Oleh karena itu dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 mengenai pengaturan asuransi usaha bersama ( mutual ) harus ditindaklanjuti dengan undang-undang tersendiri dan tidak diperhatikan oleh Pembentuk Undang-Undang adalah tidak beralasan hukum.
Bahwa dalam positanya para Pemohon banyak menguraikan materi muatan dalam PP 87/2019 yang dianggap menghilangkan eksistensi dan kewenangan Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Terhadap uraian para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan dalam PP 87/2019 maka para Pemohon seharusnya tidak mengujikannya ke Mahkamah Konstitusi melainkan ke Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang. Oleh karena itu terlihat jelas bahwa permohonan a quo adalah permohonan yang memiliki kesalahan objek ( error in objecto ). 70 C. RISALAH PEMBAHASAN PASAL A QUO UU PERASURANSIAN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU Perasuransian yang relevan dengan substansi dalam Permohonan a quo sebagai berikut: • Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, dan LPS dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian (Jumat, 29 Agustus 2014) - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA):
.. Mengenai mutual, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaannya, eksistensinya apalagi mengatur mengenai tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir 71 logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturan-aturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua, yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga, yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, 72 pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT (H. ANDI RAHMAT, SE): Saya skors ya pak sekitar 2 menit untuk memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia keluar dari ruangan ini __ (RAPAT DISKORS) Terima Kasih Pak. (SKORS DICABUT) Selanjutnya Bapak-bapak yang kami muliakan dan saya hormati, ini kita akan lanjutkan sedikit penjelasan dari Bapak Komisioner OJK ini berkaitan dengan bentuk dan badan hukum dari asuransi Pak. Jadi dalam RUU ini ada 2 bentuk saja yang ditawarkan oleh Pemerintah: yang pertama itu koperasi dan kedua adalah perseroan terbatas oh yang perseroan terbatas koperasi dari, kalau saya tidak salah itu koperasi itu usulannya F-PG kalau tidak salah ya, pokoknya paling banyak F-PG yang paling banyak usulannya sampai lupa mengusulkan. Bapak-bapak sekalian, Jadi ada 2 yang saya putuskan dan ini ada tambahan berkaitan dengan mutuall fund ya, lebih spesifik lagi mutuall fund yang di Indonesia ini cuma ada satu Pak yaitu asuransi AJB dan ini yang kita minta penjelasan kepada OJK karena sampai sekarang ini dan sekarang sudah sampai dalam pengawasan OJK Pak. Kita mau lihat bagaimana OJK mengatasi isu yang berkaitan dengan asuransi Bumiputera ini AJB/Asuransi Jasa Bumiputera. Silahkan Pak firdaus ya. Saya kira langsung saja Pemerintah ya langsung kepada Komisionernya saja. Silahkan Pak Firdaus. - OJK (FIRDAUS) : Bismillahirahmanirahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang saya hormati Pimpinan Panja RUU Asuransi, Yang saya hormati Bapak-bapak Anggota Panja RUU Asuransi dari Komisi XI, Pertama-tama saya mohon maaf agak terlambat, banyak acara Pak dari habis Magrib itu, ada 2 dulu baru saya jalan agak macet lagi. Bapak-bapak sekalian, Kalau kita baca dari RUU Undang-Undang Asuransi yang lama yang tahun ’92 itu, itu kan memang disitu ada 3 Badan Hukum bentuk asuransi yaitu PT, kemudian Koperasi dan mutuall meskipun waktu tahun ’92 kita bikin memang ada perusahaan asuransi yang berbadan hukum koperasi 1 73 waktu itu tapi kemudian kita cabut izin usahanya oleh Pemerintah itu di tahun 2010 kira-kira dicabut koperasi 1. Kemudian 1 lagi memang berbentuk mutuall. Didalam undang-undang kalau kita baca Undang-Undang Asuransi yang tahun ’92 itu memang disana untuk mutuall kita memberikan amanat bahwa Pemerintah akan membuatkan undang-undang khusus mutuall sehingga belum ada waktu itu pelaksanaannya kita atur dengan peraturan pemerintah. Namun sampai saat ini memang belum dibuatkan undang- undang untuk mutuall. Kemarin ketika ada yang bawa ke Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi mengamanatkan agar Pemerintah membuatkan dalam waktu 2,5 tahun sejak keputusan Mahkamah Konstitusi yang keluar 3 bulan yang lalu kira-kira begitu. Nah,sekarang saya ingin katakan bagaimana perkembangannya. Jadi dari 95 asuransi umum, 45 asuransi jiwa dan 41 asuransi itu tidak ada satu pun yang berbentuk koperasi karena memang telah kita cabut. Kalau kita lihat sejarah di perbankan sama Pak di lembaga keuangan lain. Di perbankan juga saat ini juga hanya ada 1 BPR berbentuk koperasi yang lainnya di bank umum maupun BPR yang jumlah lebih dari 1.900 baik yang konvensional maupun yang syariah hanya 1 yang berbentuk koperasi, yang lainnya tidak ada. Yang mutual kita punya juga cuma 1 yaitu ..... Asuransi Bumiputera. Saya ingat ada 2 bank umum : Bukopin pernah bentuk koperasi tapi di tahun ’90 berapa kita ubah, kita rekap itu berubah menjadi PT karena memang ketidakmampuan dari waktu itu pemilik Bukopin adalah juga koperasi-koperasi yang tidak mampu untuk menitip modal sehingga masuk lah pemodal entah itu dari Pemerintah, entah itu dari swasta sehingga berubah menjadi PT Bukopin meskipun kita tetap mempertahankannya namanya Bukopin. Nah, saya bisa mengerti ketika Pemerintah mengajukan itu dalam RUU ini awalnya adalah dalam bentuk PT saja. Kalau lihat kita lihat pernah kita buat juga yang kita yang Pemerintah dan DPR lahirkan yaitu Undang- Undang mengenai Bank Syariah, itu juga hanya berbentuknya PT saja karena kalau kita lihat begini Pak. Koperasi juga sekarang ini kan misalnya itu badan hukum PT, Koperasi, maupun mutuall itu kan tetap saja. Ketika didirikan baru katakanlah dia tetap harus memiliki persyaratan memenuhi persyaratan modal minimum. Kalau koperasi misalnya ketika mau didirikan berarti dia juga harus punya modal misalnya kalau sekarang berlaku ketentuan minimal 100 milyar maka dia harus artinya kalau memang ada koperasi yang mau didirikan asuransi dalam ....koperasi itu harus ada iuran anggota, iuran pokok, dan iuran sukarela dari anggota itu totalnya 100 milyar. Meskipun mungkin bisa tapi rasanya kalau koperasi itu dibentuk barangkali oleh pihak-pihak yang besar mungkin bisa tapi kalau dari masyarakat biasa membentuk koperasi mengumpulkan 100 milyar untuk menjadi modal setor katakanlah begitu untuk sebuah perusahaan asuransi agaknya berat begitu. Mutuall kita lihat Pak. Mutuall itu sejarahnya adalah kalau kita lihat di dunia ini mutuall itu tinggal histori Pak, tinggal sejarah. Kita lihat mutuall-mutuall yang ada di Eropa, ada di Jepang, ada di Canada, ada di Amerika itu memang lahir 200 tahun yang lalu, 150 tahun yang lalu tidak ada yang lahir lagi. Terakhir lagi sebetulnya itu mutuall itu adalah di Fililpina tahun sekitar ‘87 Pak. Itu pun karena begini, ada sebuah perusahaan asuransi BUMN 74 sebetulnya punya anak perusahaan sebetulnya target juga PT limited company. Tapi tiba-tiba dalam rangka agak politis anak perusahaan itu kemudian sahamnya diberikan kepada pemegang polis sehingga diubah dari PT menjadi mutuall karena ciri-ciri dari mutuall itu pemegang polis adalah pemegang saham. Ini terakhir di Filipina tahun ’85-’87. Setelah itu tidak ada lagi di dunia, selain itu usianya memang ratusan tahun. Dia memang kalau survive, survive benar ya seperti di Jepang. Ada yang tidak survive tapi dia di-merger dengan mutuall lainnya karena kalau tidak di-merger dengan mutuall lainnya agak sulit. Nah, kenapa mutuall-mutuall baru tidak lahir lagi di dunia ini? memang kalau kita lihat sekarang di negara lain juga kan modal untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi kan besar sekali Pak. Mungkin juga puluhan triliun, di kita saja yang 100 milyar. Kami bayangkan Pak kalau misalnya ada sebuah mutuall baru mau didirikan agak bayangan kami itu agak imposible. Bagaimana kalau kita lihat menilik sejarah ini misalnya : Bumiputera. Lahir dari 3 orang guru, dia tarifnya cuma kumpul bertiga seperti arisan bilang kalau diantara kita ada yang meninggal ini dari ini ya dari kumpulan kita yang tiap bulan kita bayar sisihkan dari gaji terus berkembang-berkembang. Nah, kalau kita lihat tahun 1912 belum ada pengaturan Pak mengenai persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi. Kalau sekarang bagaimana mutuall bisa terbentuk misalnya ketika harus memiliki persyaratan modal 100 milyar yang barangkali yang saya dengar kan dari baik itu dari wacananya kan ingin kedepan ini modal minimum untuk sebuah perusahaan nasional yang baru pun harus dinaikkan karena rasanya 100 milyar sudah tidak cukup sekalian mau menciptakan entry barier hambatan masuk supaya yang masuk di industri asuransi ini tidak lagi perusahaan-perusahaan..... karena kalau kita ingin besarkan usia asuransi kita Pak memang modalnya mahal industri asuransi ini karena memang IT-nya mahal, pengembangan SDM- nya mahal, infrastruktur yang dibangun lain juga mahal. Apalagi kalau kita mau bersaing di dalam kawasan ASEAN ketika berlaku masyarakat ekonomi ASEAN agak sulit kalau ada lahir baru perusahaan-perusahaan asuransi yang modalnya .......tidak besar. Jadi hampir impossible Pak misalnya ada mutuall baru lahir ketika ada pemegang polis yang sepakat untuk kumpulkan uang kira-kira 100 milyar atau lebih untuk mendirikan perusahaan asuransi baru. Sebetulnya ada jalan keluar Pak. Seandainya ini memang tidak ada lagi mutual, mungkin kan dikatakan lah aturan transisinya peralihannya kan bisa dinyatakan bahwa mutuall yang ada tidak dianggap tetap diakui seperti undang-undang yang sekarang berlaku kan dinyatakan bahwa mutuall yang ada tetap dianggap telah memiliki izin dan dianggap sebagai badan hukum ya. Meskipun barangkali perlu dipikirkan saya tidak tahu nanti keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan 2,5 tahun harus dibikinkan undang-undang Mutuall. Memang begini Pak, ketika sebuah asuransi mutuall itu tidak sehat pilihannya tinggal 2, dia tidak bisa suntik modal karena memang perusahaan asuransi mutuall itu kan memang perusahaan yang kita bilang less equity jadi tidak ada ekuitasnya perusahaan asuransi. Kalau PT kan selalu ada Pak, ada aset kemudian ada kewajiban, ada ekuitas. Kalau perusahaan mutuall itu tidak ada ekuitas karena pemegang saham adalah meskipun perusahaan mutual-nya untung seperti negara Jepang mungkin saja ada tapi ekuitasnya dari laba 75 Pak, laba ditahan bukan dari modal. Ketika sebuah mutuall tidak sehat pilihannya ada 3 : apakah dia kalau disuntik sudah tidak bisa, apakah dia itu didapat mutualisasi, diubah badan hukumnya menjadi PT sehingga bisa mengundang pihak investor bisa masuk itu .....mutualisasi, atau kalau tidak dimutualisasi barangkali dia bisa di-merger dengan perusahaan mutuall lainnya sedangkan sekarang kita kan cuma satu-satunya Bumiputera atau dilakukan begini tinggal bilang, pemerintah tinggal bilang kepada pemegang polis yang merangkap juga sebagai pemegang saham karena perusahaan ini rugi, perusahaan ini bermasalah. - KETUA RAPAT : Di AJB itu berapa yang .....berapa sekarang Pak? - OJK (FIRDAUS) : 5 juta Pak. Jadi gini Pak ketika mutuall tidak sehat sebetulnya regulator bisa bilang begini kepada pemegang polis yang sekaligus artinya dia menjadi pemegang saham, dia bilang: “anda nambah artinya membayar premi tambahan untuk menutupi kerugiannya”. Ini kan kalau sebagai pemegang saham kan ada bagi keuntungan, ada bagi rugi kira-kira begitu Pak”. Nah, kalau dia untung dia dapat deviden sebagai pemegang saham. Nah, kalau dia rugi dia harus bagi rugi, bagi rugi kan bisa artinya dia harus nambah preminya untuk menutupi kerugian atau nilai tunai dari polis dia dikurangi, pilihannya itu. Nah, terhadap perusahaan mutuall yang ada tadi ini untuk di ruangan kita saja Pak, memang harus diakui sekarang penyakit yang lama sekali yang sulit sekali mutuall di kita ini kan strukturnya itu ada yang kalau sekarang di Bumipetera ini Pak, ini ada direksi, ada komisaris, ada BPA. BPA itu kan Badan Perwakilan Anggota, dia badan yang mewakili pemegang polis, dipilih itu berdasarkan regional jadi ada katakanlah regional Sumatera, regional Jawa, regional Kalimantan, dan Indonesia bagian timur gitu. Nah, dahulu memang ini tidak tersentuh oleh Pemerintah sehingga mekanisme atau tata kelola pemilihan BPA ini menurut kami ini tidak bagus sehingga siapa yang terpilih menjadi anggota kita itu yang kebanyakan mungkin hampir semuanya tidak ngerti asuransi meksipun dia mungkin barangkali pemegang polis. Siapa BPA itu sekarang? Gubernur, walikota, bupati, rektor, kayak-kayak gitu lah yang jadi Pak yang dianggap barangkali oleh direksi itu mewakili tokoh daerah yang diharapkan dapat menambah bisnis di daerah. Tapi dia sebagai pengambil kebijakan tertinggi karena sidang BPA itu sama dengan RUPS Pak. Semua keputusan-keputusan penting termasuk pertanggungjawaban itu, pergantian direksi dan komisaris itu diputus di Rapat BPA yang kalau di PT adalah RUPS. Nah, mekanisme ini sekarang kami sedang benahi Pak, kami ingin terhadap Bumiputera ini pemilihan BPA misalnya itu harus melalui tata kelola yang benar, yang independen, tidak hanya menunjuk orang yang hanya sekedar tokoh yang tidak mengerti padahal fungsinya sangat penting sebagai itu. Itu didalam struktur organisasi mutuall seperti itu. Nah, kedepan ini memang kami benahi termasuk kami sudah keluarkan aturan OJK ini bahwa BPA yang akan dipilih itu nanti harus lulus fit and proper oleh OJK sehingga kami bisa membantu menyeleksi Pak. __ 76 - KETUA RAPAT : POJK-nya sudah ada Pak? - OJK (FIRDAUS) : Sudah ada Pak POJK-nya sehingga pantas kah dia duduk sebagai BPA karena pengambil keputusan itu menjadi penting. Nah, jadi yang kami sekarang ini apa yang kami lakukan terhadap terus terang memang Bumiputera ini kurang sehat Pak tetapi kami OJK dari dulu dan Pemerintah bertekad tetap harus Bumiputera ini harus eksis karena pemegang polis jumlahnya 5 juta ini Pak karena kejatuhan ini bisa menjatuhkan industri asuransi kira-kira begitu Pak. Kita sering bercanda tetangga dekat kayak Bu, kalau herritage ini kayak Borobudur, dia harus kita pertahankan itu. Jadi ini menjadi sebuah sesuatu yang harus kita pertahankan kira-kira begitu. Tapi kan dia bukan hanya sekedar mempertahankan tapi bagaimana menyebabkan dia harus eksis, harus mampu berbisnis, mampu bersaing kedepan. Nah, kami memang ada rencana beberapa strategi Pak bagaimana menyelamatkan Bumiputera ini karena terus terang kalau kita melakukan the mutualisasi pada Bumiputera agak sulit karena kita belum memiliki Undang-Undang Mutuall. Biasanya proses atau program atau SOP the mutualisasi itu harus kita tempatkan di undang-undang Mutuall. Jadi kalau undang-undang Mutuall itu belum ada, agak sulit kita melakukan the mutualisasi. ...... lain, seperti negara-negara lain .......Pak, ini sekedar gambaran. Misalnya kita akan cari katakan investor strategis dalam negeri Pak, syukur-syukur ini bisa katakanlah misalnya coba cari investor strategisnya katakanlah perusahaan yang mungkin BUMN atau anak perusahaan BUMN. Jadi ini katakan lah BUMN atau anak perusahaan BUMN dia punya asuransi kemudian kita ingin memindahkan ini portofolio bisnis Bumiputera ini kepada anak ini. Ini kita tidak melakukan mutualisasi, ini kita biarkan tetap atau apa induk saja Pak tapi bisnisnya kita kosongkan, portofolionya kita pindahkan kesini sehingga kekurangannya ini kita carikan disini investor yang bisa masuk dana karena dia sudah pindahkan bisnisnya ke anak perusahaan, disini dikosongkan. Hanya dengan begitu Pak, baru kita bisa ini perusahaan asuransi yang dibentuk oleh dalam negeri ini bisa disuntik. Kalau dananya cukup besar barangkali berarti kita coba carikan investor lain bergabung disini entah dari lokal kalau misalnya ada perusahaan asuransi yang mau ikut disini tapi tidak mayority, kita kasih minoritas karena sekedar untuk menutupi lobang yang ada ini katakan lah ketidakseimbangan antara aset dengan liabililties. Nah, kondisinya seperti itu Pak. Tapi percaya lah bahwa kita saat ini sampai saat ini kita tidak ada niatan untuk menghabiskan atau menutup itu tapi justru kita ingin selamat. Tapi lagi dicari kan ini investor strategis yang mau nanti menutup lobang ini dengan cara itu karena kalau langsung masuk Bumiputera tidak bisa Pak, dia sebagai mutuall tidak bisa disuntik. Yang ideal yang sekarang ini lebih mudah kalau tidak dilakukan mutualisasi seperti yang saya ulangi lagi adalah mengalihkan ....... portofolio bisnisnya. OJK diberi wewenang Pak diundang, dia berwenang untuk katakanlah. Kan kita punya wewenang yang namanya bisa menempatkan pengelola statuter, mengganti manajemen. Kalau ada 77 sebuah lembaga keuangan yang sebetulnya masih punya prospek baik tapi kemudian pengelolanya tidak bagus kita minta diganti pemegang sahamnya ga mau ganti karena mungkin ribut bisa saja ini terjadi Pak karena terjadi di sebuah... itu maka OJK seperti yang dikasih wewenang di undang-undang itu bisa mengganti manajemen dengan pengelolaan statuter. OJK juga diberi wewenang seperti yang Bapak-bapak berikan kepada OJK memberikan perintah tertulis, perintah tertulis untuk apa? Memerintahkan perusahaan untuk merger, memaksa perusahaan untuk merger, meminta perusahaan untuk katakanlah kita minta memindahkan portofolio bisnisnya ke perusahaan asuransi sejenis. Kalau bank mungkin ke bank sejenis, dalam upaya apa? Ini semata-mata untuk menyelamatkan pemegang polis. Kalau di bank barangkali untuk menyelamatkan deposan, kita bisa pindahkan portofolio bisnisnya ke lembaga sejenis, jadi itu Pak. Kalau misalnya sekarang ini ada suara-suara misalnya apakah itu kita tetap mengasih izin di undang-undang baru ini PT, kemudian tetap ada koperasi, tetap ada mungkin semangat ’45 nya kemudian ada mutuall katakan seperti yang sekarang ada. Sebetulnya kalau kita bicara realita Pak kedepan pun saya yakin yang akan lahir walaupun ada baru itu hanya PT tapi kalau hanya sekedar menempatkan ya ga ganggu juga bagi kami OJK, toh tidak akan perkirakan kami tidak akan lahir lagi karena yang bentuknya koperasi maupun PT. Sebagai gambaran Pak, kami atau .... mutuall. Kami didatangi oleh katakanlah beberapa koperasi besar. Dia bilang, kami akan bikin asuransi. Saya bilang bentuk hukumnya apa? Malah dia bilang kami akan bentuknya PT Pak anak perusahaan koperasi izinnya karena dia tidak mau bikin perusahaan asuransi bentuknya koperasi, dia bilang nantinya sulit Pak ketika harus nambah modal meminta lagi kepada anggota sulit. Jadi kami akan bikin tapi bentuknya PT sebagai anak perusahaan koperasi, itu sebagai gambaran. Kira-kira begitu Pak kondisinya apa yang sedang kami kerjakan tentang Bumiputera ini. Terus terang kami sekarang melakukan pendekatan kepada investor strategis untuk bisa nantinya menyuntik dalam arti ketika kita gunakan misalnya mekanisme mau memindahkan portofolio bisnis ini ke sebuah perusahaan asuransi yang sudah ada kemudian bisa menyuntik. Yang penting kemudian adalah bagaimana 5 juta pemegang polis Bumiputera ini bisa terselamatkan. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Tadi sudah ada penjelasan ya dari Pak Firdaus tentang situasi yang dihadapi oleh satu-satunya industri asuransi yang berbadan hukum mutuall fund di Republik ini. Dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi ya Pak ya kalau tidak salah juga saya selalu dikasih oleh Pak Isa ini sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi-nya Pak karena kalau saya tadi kan semangatnya PT saja sesuai dengan RUU tapi Pak Isa selalu bilang ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi itu memang organ-organ ini tidak bertentangan juga dengan undang-undang gitu. Malah oleh Mahkamah Konstitusi diminta kita untuk mengatur yang namanya mutuall fund ini, kan begitu Pak ya. 78 Nah, sekarang Bapak-bapak sekalian kebetulan asuransi namanya mutuall fund ini namanya Bumiputera. Mungkin Pak Firdaus karena takut dilaporkan buka rahasia, tidak sampaikan kepada kita terus menerus apa yang terjadi didalam Bumiputera ini tetapi kita sama-sama paham lah, tidak perlu disampaikan dalam forum ini bahwa memang ada problem serius di insurance ini sebabnya malam ini kita undang beliau secara khusus disini supaya waktu kita ambil keputusan Pak karena ini terekam semuanya karena sudah mendengarkan apa yang disampaikan. Jadi kalau resiko-resiko berikutnya didalam itu tentu akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan undang-undang lah, saya kira begitu ya. Begitu Pak Basuki ya. Bapak -bapak sekalian yang saya hormati, Ini saya mau bertanya kepada Bapak-bapak sekalian, apakah kita akan segera mengambil keputusan atau mendiskusikan materi ini atau kita akan simpan sampai mata kita lebih terang besok pagi? Saya lihat Pak, ini Bapak Edwin saja kondisi kesehatannya masih bagus-bagusnya, ini mengatakan kita ambil keputusan saja. Bagaimana Pak? Memang itu kan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu usaha bersama tapi tafsir yang diapakan di Undang-Undang Dasar secara bersama juga koperasi. Jadi kalau kita tutup itu, kalau di perbankan kita tidak tutup memang artinya tidak boleh ada lagi usaha perbankan, koperasi, dan usaha bersama. Itu artinya kita mematikan Undang-Undang Dasar. Bahwa realitasnya yang tadi disampaikan Pak Firdaus itu tidak jadi masalah, kita yang penting memang tidak melawan Undang-Undang Dasar. __ Jadi saya kira semangat Undang-Undang Dasar itu tidak boleh kita matikan di, kebetulan ini asuransi dibandingkan perbankan memang relatif agak kecil. Siapa tahu nanti muncul tokoh-tokoh mudah yang punya rasa kekeluargaan lebih bagus dari kita sekarang ini. Jadi jangan dimatikan itu yang anunya tetap saja kita apakan, apakah kita nanti diatur oleh undang- undang tersendiri atau apa kita berikan kewenangan kembali kepada OJK untuk mengaturnya seperti didalam Undang-Undang OJK. Kalau usaha bersama itu kan sudah jelas perintah Mahkamah Konstitusi tapi kalau koperasi itu tidak ada perintah atau apa, apakah kita memasukkan dia menjadi menu saja sepanjang Undang-Undang Dasar kita tidak berubah menurut saya menu ini tidak boleh kita matikan. Jadi artinya kalau kita matikan berarti mungkin barangkali 50 tahun yang akan datang kita ubah Undang-Undang Dasar itu kalau seluruh perundang-undanganya kemudian tidak boleh koperasi, tidak boleh mutuall fund. Jadi terjemahan Undang-Undang Dasar menjadi mati didalam undang-undang. - KETUA RAPAT : Ya, pak biasanya Pasal 1 sampai Pasal 4 itu Pak seingat saya. Bapak- bapak sekalian, Ini clear Pak ya. Jadi kita ambil berdasarkan urutan saja Pak. Saya kira bisa kita ambil keputusan ini ya. Bisa ya pak ya? Pemerintah? Oke, silakan kalau mau ada yang ditanggapi. 79 - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih. Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota yang kami hormati, Sedikit saja mengklarifikasi karena memang pasal ini, DIM ini, ini langsung kita masukkan ke buku III Pak pada waktu itu. Jadi kami belum memberikan gambaran mengenai itu tapi dengan penjelasan dari Pak Firdaus tadi tentu kami akan tentu akan ringkaskan penjelasan. __ Pada saat kami menyusun rancangan undang-undang ini, kami memperhitungkan seperti yang tadi disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa didalam praktek nanti tidak mudah bagi koperasi dan usaha bersama atau mutuall ini untuk bisa mendapatkan modal yang cukup untuk berusaha di bidang asuransi. Apalagi kalau kemudian dia menghadapi masalah kekurangan modal dan sebagainya yang tidak mempunyai mekanisme untuk menambah modal dia. Kemudian didalam perkembangannya, kami terus terang memang tergoda untuk melihat cara pandang yang lain dengan Undang-Undang Koperasi yang baru yang pada akhirnya dicabut secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat Undang- Undang Koperasi yang baru itu ada, ada mekanisme-mekanisme dimana koperasi dimungkinkan untuk menambah modal dengan menerbitkan sertifikat modal koperasi atau apa namanya begitu. Jadi memang cenderung menyerupai mekanisme-mekanisme yang bisa diterapkan di koperasi cenderung menyerupai PT pada saat Undang-Undang Koperasi yang terbaru waktu itu masih ada. Karena itu kami waktu itu membuka kembali diskusi dan pada saat itu kami pun mempertimbangkan untuk menyetujui usulan dari beberapa fraksi didalam DIM yang menginginkan koperasi tetap ada disitu. Tentu kami pemikiran ini menjadi sulit bagi kami setelah Undang-Undang Koperasi ini yang terbaru itu dibatalkan secara keseluruhan dan kita kembali kepada Undang-Undang Koperasi yang lama yang tahun ’92. Mengenai mutuall, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaan, eksistensinya apalagi mengatur tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan 80 mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturanaturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua , yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap 81 perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga , yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... Apa yang di 3 tadi, Pak Isa coba diulangi? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Pertama Pak, kami usulkan pertama dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota. Kedua, untuk menjadi anggota orang harus melihat......, yang ketiga ...... akumulasi keuntungan atau akumulasi kerugian .... ( suara tidak terdengar ) - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian, Sudah nyala belum Pak? - F-PG (DR. H. HARRY AZHAR AZIS, M.A.): Kalau perlu kita berikan kewenangan kepada OJK untuk penjelasan atau ketentuan lebih lanjut kita berikan kewenangan kepada OJK untuk membuat dalam bentuk POJK itu. Saya kira dengan demikian tapi bentuknya dia sebagai menu tetap hidup tapi OJK jangan kecendrungannya untuk mematikan. Jadi justru dalam peraturan OJK itu bagaimana merangsang artinya ada insentif-insentif orang lebih tertarik menjadi anggota usaha bersama atau anggota koperasi. Itu yang harus diapakan. Bahwa dia tidak hidup ya itu realitas yang ada memang tapi jangan kita berikan kewenangan nanti kecendrungan OJK justru mematikan gitu atau meniadakan. Itu yang harus kita kasih pesan yang kuat gitu. Jadi apakah nanti insentif-insentif itu nanti akan apa itu silakan OJK memikirkannya, jangan kita lah yang memikirkannya. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih Pak. 82 Kami memang sependapat kalau memang dibuka menunya tentu tidak boleh kemudian secara diskriminatif atau pun secara tendesius gitu kemudian tetap dimatikan tentu kita harus fair gitu. Tapi juga kami nanti tentu mengharapkan OJK juga tidak membuatnya menjadi begitu mudah sehingga malah mengganggu kesehatan perusahaan itu sendiri jadi tetap harus seimbang antara kemudahan dan juga kemampuan perusahaan itu nantinya untuk menjaga kesehatan untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban dan sebagainya didalam pelaksanaannya. Kalau begitu kita masukkan juga. Jadi ada semacam konversi pengertian kesehatan di PT itu konversinya di kesehatan koperasi, konversinya di kesehatan di usaha bersama itu kita minta OJK merumuskannya. Konversi mengenai good governance tadi misalnya pernyataan Pak Firdaus, BPA itu menjadi RUPS, nah itu bagaimana konversinya. Itu harus dibuat menjadi governance betul. Nah, kalau di perbankan itu ada satu tambahan yaitu kontribusinya bagi perekonomian nasional mana yang lebih besar. Nah, itu yang nanti orang pada akhirnya itu berebut dan itu kan tujuan dari Undang-Undang Dasar kita dulu yang seperti itu yang sampai sekarang masih hidup jiwanya, tubuhnya saja tidak ada, jiwanya masih ada. Jadi kalau kita sepakat saya kira tinggal dirumuskan bagaimana, nanti baru dalam tim perumus kita apakan. STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Bapak Pimpinan yang kami hormati, Bapak-bapak Anggota Panja, Ada satu sedikit hal lagi. Ini yang mungkin satu hal lagi yang kami mohon pertimbangan juga yaitu segala hal yang terkait dengan ini masih terbuka untuk diskusi, segala hal yang terkait dengan prudensial dari perusahaan asuransi yang berbentuk koperasi atau usaha bersama ini sudah jelas itu adalah wilayah OJK. Jadi mengenai ketentuan kesehatannya, mengenai berapa kira-kira iuran pokok atau iuran wajib yang harus dibayarkan sebelum menjadi anggota dan sebagainya karena itu terkait dengan kekuatan perusahaan, kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dan sebagainya. __ Hal yang spesifik yang ingin kami sampaikan adalah terkait dengan status badn hukumnya dan juga mengenai hal-hal isu yang meyangkut tata kelolanya. Dalam pandangan sementara kami, melihat kesetaraan- kesetaraan juga bagaimana PT, koperasi, itu mengenai ke- badanhukuman-nya itu adalah tetap itu tetap adalah Pemerintah yang memberikan status dan sebagainya itu. Tapi bahwa izin usaha dan sebagainya ada di otoritas. Jadi kami ingin mengusulkan bahwa aspek badan hukum dan tata kelola ini tetap ada pada Pemerintah ya, tetap pada Pemerintah dalam hal ini nanti lebih spesifik sebetulnya nanti adalah Kementerian Hukum dan HAM yang mengenai hal ini. Tapi hal-hal lain yang menyangkut isu kesehatan keuangan kemudian persyaratan untuk menjadi anggota yang sebetulnya yang tentunya berpengaruh kepada kesehatan perusahaan tentu adalah wilayah OJK untuk mengaturnya lebih lanjut. __ Demikian mungkin sedikit tambahan usulan mengenai hal tersebut Pak. 83 - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kira hal ini sudah padat sekali penjelasannya Pak ya. Sampai- sampai saya ini sudah penjelasan tambahan kayaknya sudah lewat saja, sudah tidak nampung lagi kepala saya, sudah terlalu banyak betul penjelasannya. Jadi sudah tidak muat kepala ini. __ Bapak-bapak sekalian, Mungkin kita bisa ambil keputusan Pak kelihatannya ini. Jadi kita masuk ke bentuk badan hukum ya, bentuk badan hukum itu yang pertama Perseroan Terbatas ya Pak ya, penguasa gimana Pak? penguasa sendiri tidak, penguasan itu sendiri, bagaimana penguasa setuju? Setuju Pak ya? __ (RAPAT : SETUJU) Penguasa sendiri saja duduk, belum mau bagi-bagi sama kita kekuasaan ya. Yang kedua, usaha koperasi, setuju Pak ya? Nah, ini lain ini ada pendapat? Silakan Pak. __ Terima kasih. Didalam Undang-Undang Dasar memang dimungkinkan adanya usaha bersama tapi apakah artinya luas, artinya semua kegiatan usaha memberikan peluang terbukanya usaha bersama atau kah kita bisa batasi bahwa tidak semua jenis usaha harus dilakukan secara bersama kan tidak berarti semua harus dibuka seluas-luasnya untuk bersama kan? Bia tidak diartikan demikian? kalau bisa diartikan demikian maka apakah asuransi merupakan salah satu jenis usaha yang tidak dilakukan bersama? Ini hanya sebagai .....saja. - KETUA RAPAT : Pak, saya perlu ini barangkali ini ada buku menarik ini. Doktor Muhammad Hatta, penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar ’45, ini buku sudah tua sekali Pak sampai warnanya saja sudah berubah, tadi saya dikasih dari belakang. Saya kira perlu ini Pak, kuliah ekonomi juga mestinya kasih buku begini kalau.....konstitusi ini. Saya ......oleh Doktor pendiri negara kita ini, Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita tidak bersumber kepada falsafat pragmatisme demikian itu melainkan bersumber kepada falsafat negara Pancasila kita. Dengan jelas ayat (1) dimulai dengan ketegasan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ada 2 keywords, ada 2 kata kunci disini yaitu kata usaha bersama dan kata asas kekeluargaan dirangkaikan menjadi satu kalimat maka kata kunci itu tidak mungkin memberikan tafsiran lain daripada bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah usaha dan aktivitas koperasi. Jelas ini Muhammad Hatta yang tulis tapi bukan Hatta kita ini kalau Hatta kita ini belum nulis buku dia, sebab kedua istilah itu berasal dari dunia pergerakan koperasi baik didalam maupun didalam negeri. Jadi menarik buku ini, saya sudah copy buku ini nanti dibagi-bagi semua ini termasuk Pak Firdaus, jangan terlalu liberal Pak Firdaus. Kalau Pak Isa ini sudah jelas alirannya agak sosialis Pak Isa. ini. Ya, oke itu Pak ya kalau begitu Pak ya koperasi, setuju Pak? 84 (RAPAT : SETUJU) Yang ketiga adalah usaha bersama, bahasanya ini jadi mutuall Pak. Bagaimana Pak? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. - KETUA RAPAT : Jadi usaha bersama yang ada sekarang ini, begitu Pak ya. Yang eksisting ini saja ya AJB nanti dimasukkan dalam penjelasannya ya Pak usaha bersama yang dimaksud. Dengan catatan kalau muncul lagi itu diarahkan ke bentuk usaha koperasi. Nah, itu tadi pengertiannya Pak Edwin itu tadi. Jadi kita batasi didalam undang-undang ini tapi yang sudah ada kita tidak matikan ya. - KETUA RAPAT : Begitu Pak ya? oke. __ (RAPAT : SETUJU) Jadi usaha bersama dengan catatan penjelasan bahwa yang dimaksudkan itu dengan eksiting sekarang ini dan mendorong agar supaya di masa mendatang kalau ada yang menghendaki jenis usaha yang sama agar mengambil badan hukum yang berbentuk koperasi. Kira-kira begitu lah Pak ya, nanti kita formulasikan bahasanya. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Ini ada saya mau urutannya ini keputusannya terurut ya Pak ya. Jadi kembali kepada tadi perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama Pak ya yang ada saat ini, begitu ya keputusannya ya. __ (RAPAT : SETUJU) Dan kemudian ada beberapa keputusan tambahan karena itu berkaitan dengan materinya Pak ya, materi yang pertama berkaitan dengan pengaturan tambahan mengenai koperasi usaha bersama. Ini akan kita diskusikan besok pagi Pak ya karena kalau didiskusikan ini malam, ini juga sudah tidak jelas kemana ini. Setuju Pak Isa ya? Jadi peraturan lebih lanjut mengenai koperasi usaha bersama ini akan kita diskusikan besok. Saya harap teman-teman OJK ini, Bapak-bapak OJK ini bisa masih hadir besok tapi Pak Firdaus ini rupanya besok wisuda, anak apa cucu Pak? oh anak makanya saya kaget juga ini, ini jangan salah pilih kita ini, kakek- kakek kita pilih ya tidak Pak ya? selamat Pak wisuda anaknya, selamat, besok ada wisuda. Saya kira Pak Dumoli sama Pak Alim harus tetap bertahan disini. Gitu Pak ya? jadi peraturan lebih lanjutnya lagi akan kita lanjutkan. Mengenai PP Pak ini tambahan saja Pak sekedar pertimbangan 85 juga sebelum besok kita masuk, saya dibisiki dari staf ahli saya juga mungkin dari MenkumHAM juga bisa kasih pertimbangan. Perintah petita- nya Mahkamah Konstitusi itu mengatakan membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama Pak kalau tidak salah. Jadi kalau saya dikasih masukan, apakah tidak mendegradasi keputusan kalau kita bikinnya itu memerintahkan lagi kepada PP gitu jadi harus dicari celahnya menurut saya gitu ya yang mungkin kita atur ini adalah celahnya gitu tentang usaha bersama ini. Tapi tentu yang kita bicarakan disini usaha bersama dibidang asuransi ya kan, asuransi usaha bersama di bidang non asuransi ada ga Pak? ga ada. Mutuall fund sebenarnya dikenal dalam bidang keuangan tetapi bukan asuransi Pak, itu pengumpulan dana apa yang disebut dengan mutuall fund itu di Amerika itu banyak juga perusahaannya tapi bukan asuransi. Kalau tidak salah saya di Amerika itu bentuknya bukan asuransi istilahnya disebut sebagai mutuall fund, mutuall fund juga ya untuk investasi, fund saja gitu loh. Jadi gitu ya dipertimbangkan saja. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Terima kasih Pimpinan. Saya sekedar ini saja untuk kita diskusikan besok mengenai hal tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menambahkan saja frasa setelah kalimat yang ada di UndangUndang Nomor 2 tahun ’92. Saat ini undang- undang ini tanpa tambahan dari Mahkamah Konstitusi bunyinya : ”ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jadi yang diperintahkan diatur dengan undang-undang ini adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama bukan mengenai usaha bersamanya sendiri. Itu satu. Kemudian Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menambahkan anak kalimat setelah itu paling lama 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi, kira-kira 3 bulan yang lalu Pak. Jadi kalau kita membaca ini secara lengkap, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang paling lama 2 tahun bulan setelah atau sejak, nanti kita cek, putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan atau diucapkan. Dengan demikian kami sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, kami melihat ada peluang kita menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mengatur mengenai usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama dengan undang-undang yang akan kita buat ini. Tapi boleh besok pagi kita eksplor lebih lanjut pandangan hukumnya. Itu pandangan kami, kajian-kajian yang kami lakukan secara internal di Kementerian Keuangan. __ Adapun mengenai bentuk hukum dari usaha bersama sendiri, ini bukan secara spesifik menjadi aspek yang diatur diperintahkan oleh Pasal 7 ayat (3) undang-undang yang ada sekarang. Jadi seandainya toh kita atur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama didalam undang-undang yang akan kita buat ini, menurut hemat kami itu dapat kita lakukan. Jadi sekaligus kita penuhi juga keputusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian khusus mengenai aspek ke-badanhukuman-nya ya undang- undang ini bisa mendelegasikan kepada siapa saja dan hal ini usulan kami 86 adalah kepada Peraturan Pemerintah. Tapi kami tetap terbuka kalau besok ada diskusi-diskusi lebih lanjut dari aspek legal mengenai hal ini. Terima kasih Pak Pimpinan. __ - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kita itu sekedar tambahan saja. Kita sudah ada keputusan, badan hukumnya ada 3 : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama ....catatannya tadi itu ada diatas Pak. Selanjutnya besok kita akan membicarakan lebih detail lagi mengenai aspek-aspek tambahan dalam Undang-Undang Koperasi itu Pak ya materinya. __ Saya kira kita skors rapat kita ini sampai besok pagi jam 09.00 ya, betul Pak? ya, 09.35 lah kira-kira begitu ya. Jadi kita skors sampai jam 09.30 besok pagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan IV Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, Kita dapat tugas tadi malam untuk melanjutkan materi yang berkaitan dengan usaha bersama ini. Jadi ini masih ada ......soal usaha bersama ini, interpretasinya ini soal undang-undang atau apakah kita undang- undangkan atau cukup Peraturan Pemerintah. Saya kira silakan Pemerintah. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang saya hormati, __ Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Berkenaan dengan pandangan mengenai peraturan lebih detail mengenai bentuk badan hukum atau mengenai badan hukum....... kami sebagaimana kami kemukakan tadi malam juga berpandangan bahwa pertama keputusan Mahkamah Konstitusi sebetulnya adalah tidak mengubah secara signifikan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) tahun.........kecuali menambahkan jangka waktu atau harus diselesaikannya undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama. Jadi sekali lagi kami sampaikan bahwa kalau kemudian kita membaca Pasal 7 ayat (3) yang sudah dilengkapi dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi maka kita akan mendapatkan kalimat ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama. Jadi yang perlu diatur adalah usaha perasuransian oleh badan usaha yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, paling lama 2 tahun 6 bulan setelah atau sejak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi. Dari kalimat tersebut, pemahaman kami adalah yang perlu diatur dengan undang-undang itu adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama, tidak secara spesifik mengenai badan hukum usaha bersamanya itu sendiri tapi mengenai usaha perasuransian oleh badan 87 hukum yang berbentuk usaha bersama karena itu sepanjang kita sudah memuat beberapa aturan pokok mengenai kegiatan usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama maka undang-undang ini juga bisa dipakai sebagai bukti bahwa DPR dan Pemerintah sudah memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena disini juga digunakan, diatur dengan undang-undang. Artinya tidak harus spesifik undang-undang khusus mengenai hal tersebut, bisa dilakukan di undang-undang mana pun. Ada pun yang kami pandang sebagai aturan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama itu bisa aturannya spesifik, bisa juga aturan yang diberlakukan sama untuk usaha bersama maupun untuk badan-badan usaha lain PT, koperasi dan sebagainya. Dengan kata lain, didalam undang-undang ini bisa jadi ada peraturan-peraturan yang spesifik mengenai pengaturan usaha perasuransian oleh usaha bersama, kami kemarin juga sudah sampaikan beberapa pemikiran yang mungkin bisa ditambahkan disitu yang merupakan kekhasan dari usaha perasuransian oleh usaha bersamam dan koperasi. Semalam kami usulkan ada 3 hal yaitu bahwa dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota, kemudian untuk menjadi anggota orang diminta untuk membayar iuran pokok atau iuran apa pun nanti namanya, kemudian yang ketiga akumulasi keuntungan, akumulasi kerugian itu pada dasarnya harus didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota. Itu adalah aturan-aturan mengenai usaha perasuransian yang sifatnya khas, yang sifatnya spesifik bagi usaha bersama. Yang kebetulan nanti kita terapkan untuk koperasi. Sementara aturan yang lain mengenai tingkat solvabilitas, mengenai kewajiban untuk mendapatkan izin usaha, kewajiban untuk memiliki tata kelola membuat aturan tertentu yang ditetapkan oleh OJK. Seluruhnya mungkin kita bisa persamakan antara PT dan koperasi dan usaha bersama atau ya nanti tergantung kita serahkan diskresi kepada OJK didalam peraturan-peraturan pelaksanaannya, peraturan OJKnya apakah memang perlu dibedakan antara PT, usaha bersama dan koperasi. Oleh karena itu, Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota Panja yang kami hormati, dalam pandangan kami kalau kita sudah membuat pengaturan pertama menyatakan bahwa badan usaha bersama ini adalah badan hukum dan dapat tetap melanjutkan kegiatan usaha perasuransiannya. Kemudian kita menambahkan 3 atau mungkin beberapa yang nanti spesifik mengenai usaha perasuransian. Kemudian kita mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata kelola, mengenai tata cara perubahan bentuk badan hukum dan sebagainya kepada PP dan mengenai aturan-aturan prudensial lain kepada POJK. Menurut kami itu sudah menunjukkan DPR dan Pemerintah sudah membuat undang- undang, ketentuan didalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian oleh badan hukum berbentuk usaha bersama. Demikian mungkin pandangan-pandangan dan argumen yang kami sampaikan sehingga dalam pandangan kami oh ada satu lagi Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang kami hormati. Kalau untuk misalnya saya sangat mengerti argumen kita harus membuat sebetulnya ketentuan mengenai satu badan hukum, paling tepat idealnya adalah undang- undang. Saya bisa memahami logika itu. Tapi karena kita juga semalam sudah bersepakat, kita tidak membuka usaha bersama yang lain hanya 88 yang eksisting ini dan di kemudian hari kalau ada yang ingin menerapkan pola yang serupa kita dorong untuk menggunakan koperasi. Akan terlalu mahal kita Pak untuk kita mengupayakan undang-undang yang hanya mengatur satu badan hukum private di Indonesia ini. Itu argumen lain yang ingin kami sampaikan sehingga kami melihat bahwa ini bisa kita akomodasi di undang-undang ini, pernyataan badan hukumnya ada di undang-undang yaitu undang-undang ini memang ini satu kekhususan. Kemudian pengaturan-pengaturan lain kita serahkan kepada Peraturan Pemerintah menyangkut tata kelola dan POJK untuk yang menyangkut prudensial di bidang usaha perasuransian. Demikian Pak. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Intinya kita sudah mengadopsi keberadaan usaha bersama ini. Soal undang-undangnya nanti juga saya perhatikan perseroan terbatas kan sudah ada undang-undang, koperasi juga sudah ada undang-undang. Nah, usaha bersama ini belum ada, akan dibentuk 2,5 tahun. Ini kan putusannya kapan? 2014? Masih lama Pak, masih ada 2 tahun lagi. Jadi kita ga perlu tambahkan didalam undang-undang ini frasa untuk memerintahkan membentuk lagi undang-undang begitu loh, itu hanya menimbulkan konflik dengan keputusan yang lebih tinggi daripada kita. Jadi cukup kita mengatur bahwa badan usaha didalam asuransi itu ada 3 bentuk hukumnya : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama sudah begitu Pak. Usaha bersama itu ya memang sudah ada memang untuk memberikan alasan hukum saja kepada asuransi, saya juga sudah baca salinan putusan Mahkamah Konstitusi itu walaupun sekilas memang ya sudah begitu Pak. Dan kedua, Pak Isa sebetulnya sih undang-undang ini yang mengatur satu jenis usaha itu banyak Pak, misalnya : BPJS itu kan Jamsostek saja itu yang berubah kan misalnya diubah menjadi BPJS, macam-macam. Jadi ada banyak kan, undang-undang 32, 34 itu tentang pengendara juga cuma satu juga kan. Jadi biarlah itu menjadi materi yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menjadi PR Pemerintah dan DPR ya untuk membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama, apakah nanti itu diputuskan hanya untuk mutuall fund Bumiputera atau apakah nanti Pemerintah baru dia pikir-pikir karena perlu juga mutuall fund yang lain lagi, silakan saja itu kita kasih kesempatan bagi mereka untuk memikirkan. Yang pasti kita dalam undang-undang ini cukup bahwa yang ada sekarang ini sudah kita kasih alas hukum dan oleh karena itu mereka tidak perlu merasa terdiskriminasi lagi. Dan tadi malam sudah dijelaskan Pak Firdaus jan road map penyelesaiannya itu, kalau tidak selesai-selesai ya OJK-nya yang kita ikut ini ya Pak Sugi ya kalau tidak selesai-selesai juga biar.... namanya asuransi jasa Bumiputera. Kalau tidak bisa juga OJK baru kita kirim Pak Isa untuk beresin itu, apakah likuidasi atau ya kan gitu kira-kira. Jadi Pak ya oke ya. Nah, sekarang yang ketiga saya ingin tambahkan Pak ini untuk usaha bersama ini menurut saya ada satu pasal yang mesti kita masukkan tambahan sedikit khusus untuk usaha bersama ini. Kalau koperasi ini banyak di dalam catatan saya ini ada beberapa materi yang akan kita putuskan untuk koperasi dan usaha bersama harus ada pengaturan yang 89 jelas mengenai: satu, polis hanya dapat dijual kepada anggota ya Pak ya? _begitu Pak ya? jadi materi yang mau kita atur itu:
Polis hanya dapat_ dijual kepada anggota. Cuma dalam catatan hukum teman-teman tadi malam itu tidak masalah ya? itu polis hanya dapat dijual kepada anggota, tadi malam sudah dijelaskan Pak Isa. Ada tanggapan Pak? Ga apa-apa ya? kita ketok palu ini kalau tidak ada tanggapan? Pak Isa, mau diubah pendapatnya? Bapak tidak ragu-ragu? Ya, sudah yakin ya sudah kita ketok palu. Jadi materinya itu polis hanya dapat dijual kepada anggota yang kita atur dalam bentuk pasal sendiri ya nantinya, ketentuan sendiri. (RAPAT : SETUJU) PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak Permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; dan
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2020 dan didengarkan dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, serta keterangan tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 90 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sebelum memberikan penjelasan mengenai pokok permasalahannya, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap aspek formal yakni legal standing para Pemohon. Untuk itu perkenankan kami memberikan pendapat sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon keberatan terhadap keberlakuan pasal a quo karena pengaturan lebih lanjut mengenai badan hukum Perusahaan Asuransi berbentuk Usaha Bersama ke dalam Peraturan Pemerintah, dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final dan mengikat.
Bahwa oleh karena yang dijadikan batu uji para Pemohon adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013, maka perkenankan terlebih dahulu kami menyampaikan hal-hal terkait dengan putusan dimaksud:
Bahwa permohonan uji materi tersebut diajukan oleh para Pemegang Polis (Pemilik Badan Usaha) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan alasan ketentuan pasal tersebut mengamanatkan pengaturan tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama diatur dengan undang-undang, sedangkan sampai dengan permohonan uji materi tersebut diajukan, masih belum diterbitkan undang-undang tersebut.
Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 yang diajukan permohonan uji materinya tersebut, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan.
Bahwa dapat kami sampaikan, pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, sedang dilakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, yang selanjutnya kami kutip sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat 91 putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( vide Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian halaman 63 alinea 3).
Bahwa apabila dikaitkan dengan tenggang waktu yang diamanatkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.32/PUU-XI/2013, maka Pembuat Undang-Undang sebelum tenggang waktu 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2014, telah menetapkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40 Tahun 2014) yang didalamnya juga mengatur tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama. Sehingga Pemerintah telah menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas dengan menerbitkan UU 40 Tahun 2014 dalam jangka waktu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka maksud dari permohonan para Pemohon, telah terpenuhi yakni dengan telah diakuinya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan, sebagai badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian. Selain itu, permohonan para Pemohon juga telah terpenuhi dengan diaturnya usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014.
Bahwa dengan terpenuhinya permohonan para Pemohon tersebut, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011, yang mensyaratkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang , maka para Pemohon a quo tidak 92 memenuhi syarat-syarat tersebut, karena pada kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XI/2013 telah ditaati oleh pembuat UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami kemukakan di atas.
Bahwa selain tidak memenuhi legal standing , permohonan a quo juga telah kehilangan obyek dengan telah diaturnya jenis usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, Pembentuk Undang-Undang tengah melakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, sebagaimana disebutkan dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian. Bahwa selain itu, lahirnya UU 40 Tahun 2014, dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana peraturan perundang-undangan sektor jasa keuangan yang ada pada saat itu, khususnya di bidang perasuransian telah tertinggal dibanding dengan kemajuan dan perkembangan di industri maupun standar di praktek internasional. Akibatnya, banyak celah hukum yang apabila tidak segera ditangani dan diantisipasi, berpotensi menimbulkan keadaan yang merugikan masyarakat dan kontra produktif bagi pertumbuhan dan perkembangan industri perasuransian serta sektor jasa keuangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Oleh karena itu, Pembuat Undang-Undang, pada saat itu pembentukan UU 40 Tahun 2014, telah melakukan identifikasi masalah, dalam rangka menyusun kerangka pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian, yakni:
Perlunya Penyesuaian Pengaturan Dan Pengawasan Industri Perasuransian Di Indonesia Yang Selaras Dengan Standar Praktik Terbaik ( Best Practices ) Yang Berlaku Secara Internasional. Standar praktik terbaik internasional di bidang perasuransian adalah Insurance Core Principles, Standards, Guidance and Assesment Methodology 93 (selanjutnya disebut ICPs) yang diterbitkan oleh International Association of Insurance Supervisors (selanjutnya disebut IAIS), selaku organisasi internasional yang menaungi para regulator atau supervisor di bidang perasuransian. ICPS tersebut ditetapkan pada tahun 2000 dan terakhir kali diperbaharui pada Oktober 2011. ICPs telah menjadi panduan bagi regulator atau pengawas perasuransian di seluruh dunia dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap industri perasuransian. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia harus berkomitmen agar pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri perasuransian selaras dengan standar praktik terbaik ( best-practice standard ), sebagaimana ditetapkan dalam ICPs. Dalam upaya meningkatkan daya saing industri perasuransian di Indonesia, baik di kawasan regional maupun internasional, penerapan standar praktik terbaik baik pada sisi pengaturan maupun pengawasannya, merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, peraturan terkait perasuransian harus memuat pengaturan mengenai prinsip-prinsip dasar asuransi sesuai dengan ICPs yang telah ditetapkan oleh IAIS. Sistim Pengawasan Usaha Perasuransian di Indonesia Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, bahwa usaha perasuransian sangat memerlukan pengawasan dan tidak terkecuali usaha perasuransian di Indonesia. Agar sesuai dengan standar internasional, maka sistem pengawasan asuransi di Indonesia, yang sebelumnya dilakukan oleh Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan, juga dilakukan penyempurnaan dengan membentuk lembaga baru yang independen yakni Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dengan telah disahkannya UU OJK, maka sistem pengaturan dan pengawasan menjadi terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, dalam hal ini termasuk usaha perasuransian di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, sehingga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 94 Usaha perasuransian senantiasa mengalami dinamika, tentunya hal ini juga membawa konsekuensi perlu diimbangi dengan dinamika pengaturan dan pengawasannya, agar pelaksanaannya tidak merugikan masyarakat pengguna jasa asuransi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh bentuk usaha perasuransian, baik perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama, agar tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi seluruh masyarakat sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Perlindungan Hukum Kepada Masyarakat Pengguna Jasa Perasuransian Perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa asuransi juga merupakan salah satu hal yang diperhatikan oleh pembuat undang-undang. Ketersediaan perlindungan dimaksud ditujukan kepada masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran. Kedudukan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam perjanjian yang disepakati relatif lemah, karena pengikatannya yang bersifat sukarela dari tertanggung kepada penanggung untuk menyerahkan sejumlah uang berupa premi asuransi dengan harapan Penanggung akan melakukan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa tidak pasti di kemudian hari. Dalam beberapa kasus, ternyata masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta berpotensi kehilangan haknya atas manfaat ekonomis secara material dan signifikan ketika perusahaan asuransi bubar, likuidasi atau pailit. Terjadinya pembubaran, likuidasi atau pailitnya perusahaan asuransi umumnya disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan pelaksanaan prinsip- prinsip tata Kelola perusahaan yang baik (good corporate governance ) sehingga menyebabkan perusahaan mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat ( insolvent ). Pada tingkat tertentu, kondisi tersebut dapat mengakibatkan 95 ketidakpercayaan masyarakat ( public distrust) dalam memanfaatkan perusahaan perasuransian untuk tujuan memproteksi risiko-risikonya. Kekhawatiran serupa, khususnya di sektor perbankan, dapat dikurangi dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang berfungsi untuk melindungi dan menjamin dana para nasabah perbankan. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat ( public confidence ) dan memberikan arena berkompetisi ( level playing field ) yang setara di antara lembaga-lembaga keuangan di Indonesia, dipandang perlu agar industri perasuransian dilengkapi dengan sistem dan mekanisme perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran, baik semasa perusahaan perasuransian masih beroperasi normal maupun saat dibubarkan, dilikuidasi atau dipailitkan.
Kepastian Hukum Bagi Penyelenggara Usaha Perasuransian UU 40 Tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2 Tahun 1992, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk lebih memperkuat industri perasuransian di Indonesia, baik penguatan pada sisi industrinya itu sendiri maupun penguatan pada sisi pengawasannya. Penguatan pada sisi industri diharapkan akan menghasilkan industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif sehingga tahan dari goncangan ekonomi, mampu bersaing dengan industri perasuransian lain, baik secara regional maupun internasional, serta menjadi industri yang senantiasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Sebagai bagian dari strategi dalam rangka penguatan industri perasuransian, UU 40 Tahun 2014 juga diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha asuransi. Selain itu, kepastian hukum diperlukan juga dalam upaya memberikan perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa kekuatan industri perasuransian di Indonesia, pada akhirnya, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat pengguna jasa usaha perasuransian. Peningkatan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap industri perasuransian salah satunya dapat dilakukan melalui keberadaan program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penyelesaian 96 sengketa antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan perusahaan dengan bantuan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengusulkan adanya program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penguatan keberadaan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Berdasarkan ketiga hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian tersebut di atas, Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa untuk meciptakan iklim perasuransian yang sehat, yang dapat melindungi seluruh masyarakat, haruslah memenuhi ketiga hal pokok tersebut di atas, oleh karena itu, seluruh usaha perasuransian harus memiliki peraturan tentang standar tata kelola yang baik, yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang- undangan. B. Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama Merupakan Bagian Dari Industri Asuransi. Pembuat UU 2 Tahun 1992 juga telah memikirkan bentuk badan hukum usaha perasuransian, termasuk jenis usaha asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, selain usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Sehingga, dalam UU 2 Tahun 1992 terdapat tiga bentuk usaha asuransi yang diakui, yaitu perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama. Bahwa ketiga bentuk badan usaha tersebut di atas memiliki karakteristik yang berbeda, yakni:
Karakteristik usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas antara lain:
Kelangsungan perusahaan lebih terjamin karena tidak tergantung pada milik tertentu.
Kepemilikan dapat berubah dengan cara memindah atau menjual sahamnya kepada pihak lain.
Perusahaan dapat diperbesar dengan cara dilakukan penambahan modal dengan mengeluarkan saham baru. Kepentingan para pemangku kepentingan dapat terlindungi dengan baik karena kejelasan tata kelolanya.
Telah terdapat undang-undang sendiri yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik usaha asuransi berbentuk koperasi antara lain:
Penerapan asas kekeluargaan kebersamaan dan keadilan. 97 b. Telah memiliki undang-undang sendiri yakni UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan besar jasa masing-masing anggota, dan lain-lain.
Usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama: Saat itu, Indonesia belum memiliki pengaturan mengenai badan hukum Usaha Bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai dengan Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915. Usaha Bersama, meskipun telah diakui di dalam UU 2 Tahun 1992, namun dari sisi tata kelola masih menghadapi tantangan mengingat pada saat itu, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang status badan hukum termasuk tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Pembuat undang-undang, saat pembentukan UU 40 Tahun 2014, berpendapat dari ketiga bentuk badan hukum tersebut di atas, perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling ideal dalam menjalankan usaha perasuransian, dengan pertimbangan bahwa mekanisme tata kelolanya telah diatur, sebagaimana telah kami sebut di atas. Demikian juga halnya usaha perasuransian berbentuk koperasi. Namun demikian, Pembuat Undang-Undang Perasuransian tetap berkomitmen untuk melindungi dan mengakui seluruh bentuk usaha asuransi yang telah ada dengan tetap memerikan ruang bagi asuransi Usaha Bersama. Oleh karena itu, dalam UU 40 Tahun 2014, Pembentuk Undang-Undang sepakat untuk memberikan pengakuan hukum kepada usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai salah satu bentuk badan hukum perusahaan perasuransian di Indonesia. ( vide pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Hal tersebut seharusnya telah memberikan kepastian hukum bagi AJB Bumiputera dalam menyelanggarakan usaha asuransi dengan bentuk Usaha Bersama di Indonesia. 98 C. Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Usaha Bersama yang telah ada sebagai salah satu bentuk usaha perasuranasian mendapatkan pengesahan sebagai salah satu badan hukum usaha perasuransian di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Pembuat UU telah menetapkan pilihan kebijakan ( open legal policy ) bahwa berlakunya UU 40 Tahun 2014untuk menjamin kepentingan masyarakat sebagai pemegang polis, maka usaha bersama yang dapat menjalankan usaha perasuransian hanya usaha bersama yang telah ada. Dengan klasul “usaha bersama yang telah ada” maka open legal policy Pembuat Undang- Undang tidak lagi memberi peluang lahirnya usaha bersama yang baru yang akan menjalankan usaha perasuransian. Dengan demikian AJB Bumi Putera adalah satu-satunya usaha bersama yang menjalankan usaha perasuransian. Dari sisi tata kelola, usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama masih menghadapi tantangan mengingat sebelum UU 40 Tahun 2014 diterbitkan, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Tata kelola suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam kasus tertentu, kesalahan tata Kelola atau kecurangan ( fraud ) dalam pengurusan perusahaan asuransi, akan lebih memperbesar peluang timbulnya ketidakmampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam polis asuransi yang telah diterbitkan. Secara umum, penyelesaian permasalahan kesehatan keuangan perusahaan asuransi berbentuk perseroan terbatas adalah dengan kewajiban untuk menambah modal sehingga rasio kesehatan keuangan memenuhi persyaratan otoritas. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Disisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus 99 memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan perusahaan asuransi Usaha Bersama. Menyikapi kebutuhan pengaturan akan tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama, selain pengakuan atas eksistensi satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, di dalam UU 40 Tahun 2014 juga memuat mandat pengaturan ketentuan mengenai tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuhnya, diantaranya sebagai berikut: Pasal 35 ayat (1) UU 40 Tahun 2014: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya . Pasal 35 ayat (2) UU 40 Tahun 2014: Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan . Pasal 35 ayat (3) UU 40 Tahun 2014: Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berakhir apabila: _ a. anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan _berturut-turut; _ atau c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, keanggotaan harus berakhir . Pasal 35 ayat (4) UU 40 Tahun 2014: Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan . 100 Pasal 35 ayat (5) UU 40 Tahun 2014: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . D. Penguatan Tata Kelola Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Bahwa UU 40 Tahun 2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap Perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka Pembuat Undang-Undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. E. Penerbitan PP 87/2019 Merupakan Bentuk Perlindungan Hukum Bagi para Pemegang Polis Yang Merupakan Anggota Usaha Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, asuransi sebagai industri yang menggalang dana dari masyarakat, memerlukan sistem pengawasan terintegrasi, baik eksternal, yang selama ini dilakukan oleh OJK, maupun sistem kontrol dari mekanisme pengambilan keputusan organ perusahaan asuransi itu sendiri. Sistem kontrol pada perusahaan asuransi berbentuk PT dapat dilihat dari adanya pembatasan kekuasaan organ/pengurus perusahaan, antara lain dalam hal pengambilan keputusan oleh direksi pada level tertentu, harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Selain itu, direksi yang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian bagi perusahaan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian tersebut. Pada koperasi, adanya sistem kontrol internal dapat dilihat dari adanya mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota koperasi melalui Rapat Anggota dengan mengutamakan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai, maka dilakukan dengan suara terbanyak. Pengambilan keputusan dengan 101 musyawarah mufakat dianggap sebagai cara yang paling baik, karena keputusan yang dihasilkan diharapkan membawa keuntungan bagi seluruh pemegang polis. Dari kedua bentuk usaha PT maupun koperasi, telah terbentuk adanya mekanisme sistem kontrol pengambilan keputusan bagi organ perusahaan, sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan bukan hanya membawa dampak positif bagi kelangsungan perusahaan tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi seluruh anggota polis. Sebelum UU 40 Tahun 2014 dan PP Usaha Bersama diterbitkan, belum terdapat sistem kontrol pada bentuk Usaha Bersama sebagaimana telah diatur dalam usaha perasuransian berbentuk PT maupun Koperasi. Padahal keberadaan sistem kontrol dalam suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai salah satu indikator bahwa suatu perusahaan telah dikelola berdasarkan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance ). Untuk mengatasi hal tersebut, dalam PP Usaha Bersama, diatur pembatasan terhadap organ Usaha Bersama. Aturan mengenai pembatasan ini diharapkan tidak hanya dipandang dari sisi Pemohon sebagai anggota pengurus Usaha Bersama, melainkan harus dipandang sebagai upaya Pemerintah agar mekanisme pengambilan keputusan pada usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama benar-benar dilakukan bukan hanya untuk kepentingan konstituen semata, melainkan untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota pemegang polis. Bahwa apabila kemudian para Pemohon mempermasalahkan PP 87/2019 dan dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut pendapat kami hal tersebut tidak tepat karena PP 87/2019 tersebut tidak mengurangi pemberian kepastian hukum bagi Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan dalam menyelenggarakan usahanya, tetapi justru memberikan kejelasan mengenai teknis penyelenggaraan usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pemegang polis. Bahwa Penerbitan PP 87/2019 yang merupakan delegasi dari pasal 6 ayat (3) UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, serta merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pemegang polis yang merupakan anggota Usaha Bersama. 102 F. Pemohon Telah Keliru Dalam Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 Bahwa para Pemohon telah keliru memaknai putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 seolah-olah Mahkamah Konstitusi mengamanatkan semua hal yang terkait dengan asuransi Usaha Bersama diatur dalam undang-undang tersendiri. Bahwa amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 antara lain berbunyi, “Frasa ".... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang" dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ".... ’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang' dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan _setelah putusan Mahkamah ini diucapkan"; _ Bahwa amar putusan tersebut, mengamanatkan pembentuk undang-undang untuk merealisasikan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 yaitu untuk mengatur usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) ke dalam undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan setelah putusan Mahkamah diucapkan. G. Pemerintah Telah Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 sejatinya telah ditindaklanjuti dengan wujud konkrit dari Pembuat Undang-Undang, yaitu dengan merumuskan dan mengatur ketentuan terkait usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuh UU 40 Tahun 2014, diantaranya:
Penegasan mengenai status Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2);
Perizinan usaha Usaha Bersama, dalam ketentuan Pasal 8;
Penyelenggaraan usaha perasuransian (termasuk Usaha Bersama) sesuai dengan tata kelola yang baik, dalam Pasal 11;
Pengaturan kewajiban organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, dalam Pasal 12; 103 5. Pengaturan mengenai prinsip dasar penyelenggaraan Usaha Bersama, dalam Pasal 35;
Larangan bagi organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika izin usaha perusahaan perasuransian dicabut dalam Pasal 43;
Kewenangan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika tim likuidasi telah terbentuk, dalam Pasal 46;
Kewenangan OJK untuk menonaktifkan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) dan menetapkan pengelola statuter; serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 60;
Pemeriksaan perusahaan asuransi baik secara berkala atau sewakutu-waktu, dalam Pasal 61;
Kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi, dewan komisaris, dalam Pasal 72;
Ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar ketentuan dalam UU 40 Tahun 2014, dalam Pasal 74; dan
Ketentuan peralihan bagi Usaha Bersama, dalam Pasal 86. Bahwa dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon telah keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 dan dengan telah diakomodirnya pengaturan tentang kebutuhan hukum usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami uraikan tersebut di atas, maka amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 dimaksud untuk mengatur ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dengan Undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, telah terpenuhi. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat kami sampaikan kesimpulan bahwa kami berpendapat para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi 104 Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Selanjutnya, berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas menurut kami tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian inkonstitusional, apalagi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (3) UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian beserta penjelasannya, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki dan tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. POKOK-POKOK TAMBAHAN KETERANGAN PRESIDEN Bahwa pada persidangan hari Rabu tanggal 19 Agustus 2020, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah untuk memberi tambahan Keterangan Presiden atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Terkait pertanyaan mengenai pertimbangan dan pilihan politik hukum dari Pembuat Undang-Undang yang tidak mengatur Usaha Bersama dalam suatu undang-undang tersendiri, dapat kami jelaskan sebagai berikut:
Pada saat perumusan Rancangan Undang-undang No. 40 Tahun 2014, undang-undang Usaha Perasuransian yang lama yakni Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian telah berusia dua puluh tahun lebih, sehingga harus segera disesuaikan dengan tantangan, situasi terkini dan kondisi perkembangan sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah.
Penyesuaian tersebut membuat adanya perbedaan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang dirumuskan Pembuat Undang-Undang dalam penyusunan norma Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 dengan pasal 6 UU 105 40 Tahun 2014 mengenai pengaturan badan hukum Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian.
Norma yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 2 Tahun 1992 UU 2 Tahun 1992 membuka pintu selebar-lebarnya bagi lahirnya Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, sebagaimana tercermin dalam rumusannya yang tidak memberi batasan apapun pada usaha bersama sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, sejajar dengan norma bagi koperasi dan perusahaan perseroan.
Namun demikian, saat uji materi 32/2013 diajukan, dan saat yang sama dilakukan penyusunan perubahan UU 2/1992, ternyata AJB Bumiputera yang telah ada sejak tahun 1912, merupakan satu-satunya perusahaan perasuransian berbentuk Usaha Bersama yang menjalankan usaha perasuransian di Indonesia. Dengan adanya kondisi ini, ditambah terbitnya putusan MK No.32/2013, mendorong Pembuat Undang-Undang yang saat itu sedang melakukan pembahasan RUU perubahan UU 2/1992 untuk melakukan kajian. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bentuk badan hukum usaha perasuransian, yakni:
Perusahaan asuransi merupakan perusahaan padat modal, sehingga perlu dipikirkan apabila perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan dan memerlukan suntikan modal.
ii. Sistim pertanggungjawaban pengurus yang terpisah dari pemegang polis sebagai konsumen.
Setelah dilakukan kajian, agar tujuan tersebut di atas tercapai, maka bentuk badan hukum yang paling ideal / yang paling tepat bagi perusahaan perasuransian ke depan diarahkan berbentuk Perseroan Terbatas, dengan pertimbangan :
Dari sisi permodalan sesuai dengan karakteristiknya, usaha asuransi merupakan bentuk usaha yang memerlukan modal besar untuk operasional usahannya. Kebutuhan modal yang besar tersebut dimaksudkan agar perusahaan asuransi dapat terus melakukan ekspansi usaha dan memastikan bahwa kewajiban perusahaan kepada pemegang polis dapat dipenuhi. 106 Pemenuhan kebutuhan modal tersebut hanya dapat dipenuhi apabila badan hukum tersebut memiliki mekanisme penambahan modal dari investor atau pemegang saham, dimana mekanisme tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh bentuk badan hukum usaha bersama. Dalam hal perusahaan asuransi sedang menghadapi permasalahan kesehatan keuangan maka investor atau pemegang saham dapat melakukan penambahan modal sesuai dengan rencana penyehatan keuangan perusahaan. Dengan adanya mekanisme tersebut maka keberlangsungan usaha dapat tetap terjaga. Selain itu, peluang pengembangan usaha perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dapat terwujud dengan struktur permodalan yang kuat. Praktek di negara-negara maju seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka yang sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas, sehingga dapat mengumpulkan modal lebih besar.
ii. Dari sisi perlindungan terhadap pemegang polis Pada bentuk Perseroan Terbatas atas Koperasi, pertanggung jawaban perusahaan ada pada pengurus perusahaan dan pemegang saham, sedangkan pemegang polis bukan merupakan pemilik atau pemagang saham perusahaan sehingga tidak ikut menanggung kerugian. Sehingga apabila terjadi kesalahan tata kelola oleh pengurus yang merugikan konsumen, maka hanya pengurus dan pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban. Berbeda dengan bentuk Usaha Bersama, pemegang polis merupakan anggota usaha bersama yang berhak atas keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha Usaha Bersama. Dengan demikian posisi pemegang polis, selain merupakan anggota juga merupakan pemilik usaha bersama sehingga dalam hal usaha bersama mengalami permasalahan kesehatan keuangan maka sebagai pemilik, pemegang polis juga ikut bertanggung jawab dalam upaya penyehatannya, padahal yang mengendalikan perusahaan 107 usaha bersama hanya beberapa pemegang polis yang dipilih menjadi Badan Perwakilan Anggota (BPA). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pembuat undang-undang menganggap karakteristik Usaha Bersama tidak tepat dengan kebutuhan pengembangan usaha perasuransian, sehingga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah, maka Pembuat Undang-Undang menetapkan open legal policy dengan membatasi penyelenggaraan usaha perasuransian oleh badan hukum usaha bersama hanya untuk perusahaan berbentuk badan hukum usaha bersama yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan, yang tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014. Mempertimbangkan hanya terdapat satu perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan usaha asuransi maka Pembuat Undang-Undang tidak melihat adanya kebutuhan untuk mengatur perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian, Pembuat Undang-undang berkomitmen untuk tetap mengakui dan melindungi keberadaan usaha Perasuransian dalam bentuk Usaha Bersama yang telah ada, dengan mengatur Usaha Bersama dalam beberapa pasal dalam undang-undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) termasuk memperkuat tata kelolanya.
Mengingat tata kelola tersebut juga menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, maka pembuat Undang-Undang memandang hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama (PP 87/2019).
Terkait pertanyaan Majelis Hakim mengenai pembatasan-pembatasan yang diatur dalam PP 87/2019, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, sebelum pembentukan UU Nomor 40 Tahun 2014, perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama belum memiliki pengaturan mengenai tata kelola penyelenggaran usaha oleh Usaha Bersama. Oleh karena itu, sesuai dengan penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2014, dalam PP 87/2019 diatur mengenai tata kelola, 108 persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama, termasuk pembatasan-pembatasan wewenang Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA) dengan tujuan agar Peserta RUA dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara independen dan terbebas dari konflik kepentingan.
Terkait dengan pengawasan dari OJK, yang dianggap sebagai intervensi terhadap kewenangan Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA). Dapat kami sampaikan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK tersebut sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan dan pembenahan atas penyelenggaran usaha asuransi oleh satu- satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat tercipat tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi kepentingan masyarakat khususnya pemegang polis sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya pengaturan pengawasan oleh OJK dalam PP-87/2019 tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai AJB Bumiputera menjadi satu-satunya usaha bersama yang tersisa, dapat kami berikan penjelasan bahwa hal tersebut telah tertulis pada halaman 62 aline 3 Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perasuransian Tahun 2014, yakni “… Satu-satunya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Sejak tahun 2013, yakni pada saat kewenangan pengawasan perusahaan asuransi beralih dari Kementerian Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan hingga periode Juni 2020, AJB Bumiputera merupakan perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama. Sebagai satu-satunya Perusahaan Asuransi berbadan hukum usaha bersama, posisi AJB Bumiputera di industri asuransi jiwa berdasarkan aset perusahaan selama kurun waktu tahun 2013 hingga Juni 2020, dapat terlihat sebagaimana tabel di bawah ini. 109 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019* Juni 2020* Jumlah Pelaku Asuransi (Termasuk Syariah) ● Bentuk Badan Hukum Perseroan 134 135 140 140 146 145 144 146 - Asuransi Jiwa 48 49 54 54 60 59 59 60 - Asuransi Umum 82 81 80 80 79 79 78 79 - Reasuransi 4 5 6 6 7 7 7 7 ● Bentuk Badan Hukum Usaha Bersama 1 1 1 1 1 1 1 1 - AJB Bumiputera 1912 1 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial (Termasuk Syariah) ● Total Aset Industri Asuransi Komersial(dala m Triliun Rp)**) 388,8 482,5 504,5 582,5 688,8 716,4 769,0 720,9 ● Total Aset Industri Asuransi Jiwa Komersial (dalam Triliun Rp) *) 281,4 355,7 365,7 438,7 534,3 543,0 578,4 522,8 ● Total Aset AJB Bumiputera 1912 (dalam Triliun Rp) ) 10,9 14,2 15,0 13,4 11,9 10,5 10,2 10,1 ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Komersial 2,8% 2,9% 3,0% 2,3% 1,7% 1,5% 1,3% 1,3% ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Jiwa Komersial __ 3,9% 4,0% 4,1% 3,1% 2,2% 1,9% 1,8% 1,8% ● Peringkat Aset AJB Bumiputera Diantara Industri Asuransi Jiwa) 9 10 9 10 13 12 16 16 110 Keterangan: *) berdasarkan laporan keuangan anaudited **) Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial, total aset industri asuransi jiwa komersial, dan aset AJB Bumiputera 1912 tidak termasuk aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. ***) penentuan posisi peringkat aset AJB Bumiputera 1912 tidak memasukan aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. Selain dari sisi aset, jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912, dapat kami sampaikan bahwa terdapat kecenderungan penurunan jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912 berdasarkan data dari periode tahun 2017 hingga Juni 2020, sebagaimana tercatat sebagai berikut: No Portofolio Peserta Desember 2017 Desember 2018 Desember 2019 Juni 2020 1 Asuransi Perorangan 2.927.050 2.521.233 2.204.934 2.008.470 2 Asuransi Kumpulan 2.014.736 1.470.877 983.775 847.246 3 Jumlah (1+2) 4.941.786 3.992.110 3.188.709 2.855.716 4. Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai kapan naskah akademik diterbitkan, apakah setelah putusan MK atau sebelum putusan MK. Terhadap hal tersebut dapat kami sampaikan bahwa pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diucapkan, Pemerintah sedang melakukan perumusan perubahan UU Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Perasuransian sebagaimana tertuang dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik, sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta 111 ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam naskah akademis terdapat respon Pembuat Undang-Undang atas Putusan MK No. 32/2013. Pembuat Undang-Undang menghormati Putusan MK No. 32/2013 dengan mengakui dan mengatur secara umum bentuk badan hukum usaha bersama (yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2014 diundangkan) dalam suatu undang-undang, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 itu sendiri. Sedangkan, peraturan lebih lanjutnya diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Dengan demikian, konsep pilihan hukum yang dituangkan dalam naskah akademis sudah barang tentu memperhatikan putusan MK No. 32/2013. Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan keterangan saksi atas nama Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi , yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Isa Rachmatarwata − Saksi merupakan salah satu penyusun UU 40/2014 dan pada saat itu saksi merupakan Kepala Biro Perasuransian di Bapepam-LK; − Latar belakang dibentuknya UU 40/2014 adalah pemerintah merasa perlu untuk melakukan perbaikan dalam hal pengaturan maupun pengawasan dalam penyelenggaraan usaha perasuransian. Penyelenggaraan usaha perasuransian pada waktu itu harus dibenahi agar kualitas penyelenggaraannya meningkat, pertama, dalam hal permodalan UU 40/2014 dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pemodal maupun konsumen, dengan adanya UU a quo diharapkan dapat mendatangkan modal yang berasal dari investor lebih banyak terhadap usaha perasuransian di Indonesia karena Indonesia tidak boleh menutup kemungkinan masuknya investor kedalam industri usaha asuransi apapun bentuknya, pemerintah dalam hal ini memberikan berbagai pengukutan tingkat kesehatan perusahaan asuransi dalam hal permodalan juga dimana hal ini perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas industri perasuransian di Indonesia. Kedua adalah risk management , dimana pemerintah menginginkan seluruh perusahaan asuransi yang sudah ada, apapun 112 bentuknya, dapat meningkat kualitas risk management- nya karena investor terutama investor asing tentunya mempertimbangkan hal tersebut ketika akan menanamkan modalnya pada perusahaan asuransi. Ketiga , pemerintah juga perlu menyediakan exit strategy untuk perusahaan-perusahaan asuransi yang tidak mampu memenuhi persyaratan baik dalam hal permodalan, manajemen resiko dan lain-lain supaya dapat meninggalkan industri asuransi dengan baik dan tetap menjaga kepentingan para pemegang polis. Keempat, pengawasan dalam industri perasuransian pun dibenahi, apakah tetap berada pada Kementerian Keuangan atau beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Keempat hal tersebut merupakan beberapa hal yang dibenahi terkait dengan industri perasuransian yang diatur dalam UU 40/2014. − Terkait dengan Asuransi Usaha Bersama, merupakan salah satu bentuk badan usaha asuransi yang paling terbatas akses terhadap permodalan, hal ini tentunya berbeda dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas dan juga koperasi terlebih lagi pengaturan terhadap badan usaha asuransi berbentuk usaha bersama sebelum UU 40/2014 belum diatur baik dalam UU 2/1992 maupun peraturan perundang-undangan dibawahnya. Padahal bentuk badan usaha asuransi usaha bersama ini juga membutuhkan modal dalam rangka memperkuat usahanya. Dalam perkembangannya, salah satu perusahaan yang menjalankan usaha asuransi usaha bersama yaitu AJB Bumiputera mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan kesehatan perusahaan asuransi dan karena itu kemudia pemerintah membentuk UU 40/2014 yang memberikan pengaturan terhadap asuransi usaha bersama. − Saksi menjelaskan terkait dengan usulan pengaturan dari pemerintah mengenai bentuk badan usaha bersama, dimana pada konsep UU yang dibuat oleh pemerintah dan kemudian disampaikan kepada DPR, bentuk badan hukum yang disampaikan memang hanya 2 bentuk yaitu perseroan terbatas dan koperasi, namun di dalam peraturan peralihan, pemerintah tetap mengakui keberadaan AJB Bumiputera yang merupakan satu-satunya bentuk badan usaha bersama yang telah ada. Setelah beberapa kali diskusi yang dilakukan di DPR bersama dengan sejumlah perwakilan industri, pemerintah mendapatkan masukan bahwa asuransi dalam bentuk usaha 113 bersama harus dimuat dalam ketentuan pokok dan kemudian pemerintah kemudian menyetujui dan bersama dengan DPR bersepakat untuk menambahkan usaha bersama sebagai salah satu badan usaha asuransi. Namun, dikarenakan pengaturan dalam UU a quo cukup banyak dan tidak mungkin mengatur secara detil terkait tata kelola badan usaha asuransi usaha bersama ini dalam UU a quo maka kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) UU a quo dimuat pengaturan terkait tata kelola lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sedangkan pengawasan terhadap asuransi usaha bersama, pada saat itu pembentuk undang-undang meyakini OJK dapat mengaturnya di dalam peraturan perundang-undangan yang bisa diterbitkan oleh OJK. − Menurut saksi, pada saat disusunnya UU 40/2014, tidak ada lagi usaha asuransi dalam bentuk usaha koperasi. Pernah ada, namun asuransi berbentuk koperasi tersebut tidak mampu memenuhi beberapa kewajibannya dan tidak mampu mendapatkan modal tambahan untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. B. Wicipto Setiadi − Saksi menjabat sebagai kepala BPHN dan sebelumnya menjabat sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada saat UU 40/2014 disusun. − Rancangan UU 40/2014 merupakan inisiatif pemerintah dan merupakan salah satu RUU yang dimasukan dalam prolegnas pada waktu itu. − Pada saat pembahasan terkait dengan asuransi usaha bersama memang terjadi diskusi terkait pengaturannya dan pemerintah harus menaati putusan Mahkamah yang ada, diskusi pun akhirnya tertuju pada apakah diatur dengan undang-undang tersendiri atau tidak. Namun, atas kajian dari Kementerian Keuangan serta stakeholder yang mengatur bisnis perasuransian pada saat itu, keberadaan asuransi usaha bersama hanya terdapat satu dan sesuai dengan diskusi yang berkembang pada saat itu menjadi tidak efektif jika diatur dalam undang-undang tersendiri. Atas dasar pertimbangan tersebut maka asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tetap diakui keberadaannya dan disepakati pula untuk ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah. Dan hasil dari rancangan UU 40/2014 pada waktu itu pula disepakati pada saat rancangan undang-undang a quo dibahas di DPR. 114 − Pertimbangan untuk tidak mengatur asuransi usaha bersama dalam undang- undang tersendiri sebenarnya terkait dengan perkembangan dari bisnis asuransi usaha bersama tersebut, karena dari hasil kajian bersama nampaknya pemerintah tidak akan membuka lagi asuransi dalam bentuk badan usaha bersama. Jika keadaannya demikian maka pengaturan terkait asuransi dalam bentuk badan usaha bersama telah diatur dalam UU 40/2014 dan pengaturan tata kelola sajalah yang diatur dalam peraturan pemerintah, hal demikian dianggap lebih efektif serta efisien dibanding dengan membentuk undang-undang tersendiri, karena jika memang harus dalam undang-undang maka pada waktu itu belum tentu dapat dimasukan dalam prolegnas sehingga membutuhkan waktu lagi untuk membentuk undang- undang terkait asuransi usaha bersama tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan 115 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009). Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 116 b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. 117 2. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VIII (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912. Kedudukan para Pemohon baik sebagai pemegang polis asuransi maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari bentuk usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang berbentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dimana pemegang polis sekaligus sebagai pemilik dari AJB Bumiputera 1912 dan sama-sama memiliki hak suara untuk memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA.
Dalam kualifikasinya tersebut para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhalangi dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Seperti diterangkan para Pemohon, ketentuan dalam norma a quo telah menyebabkan para Pemohon baik sebagai pemegang polis maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak memiliki kepastian hukum dan juga perlakuan tidak adil atas penyelenggaraan usaha perasuransian dalam bentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ).
Bahwa untuk membuktikan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis asuransi juwa bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, para Pemohon mengajukan alat bukti berupa identitas diri yaitu fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) [vide bukti P-3], fotokopi Surat Pemegang Polis [vide bukti P-8 sampai dengan bukti P-12 dan bukti P-14 serta bukti P-15] dan Akta Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 05 tanggal 02 Agustus 2016 [vide bukti P-4]. Bahwa berdasarkan uraian dari para Pemohon tersebut di atas, baik dalam kualifikasi para Pemohon sebagai pemegang polis maupun anggota Badan Perwakilan anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, menurut Mahkamah secara faktual para Pemohon telah dapat menjelaskan hak-hak konstitusional yang 118 dimilikinya dan hak dimaksud dapat dianggap dirugikan dan anggapan kerugian dimaksud menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi apabila para Pemohon tetap menjalankan usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang didasarkan pada norma yang dimohonkan pengujian. Di samping uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kerugian hak-hak konstitusional yang dimilikinya yang dianggap dirugikan dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu para Pemohon beranggapan bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan terjadi. Dengan demikian terlepas terbukti atau tidaknya dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan pokok permohonan, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang 119 Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang- undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Undang- Undang”. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 dan keterangan ahli, atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum, dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, 24 September 2020, dan 20 Oktober 2020, selain itu para Pemohon pun menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); 120 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020 beserta keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 September 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Agustus 2020 dan didengar dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, dan telah mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi yang masing- masing didengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, serta telah menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Presiden sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan para Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang- undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut: [3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 , Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain. Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. 122 Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong ( Mohammad Hatta , Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, __ halaman 265 ). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan __ bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang ... jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121). Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian 123 demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945. [3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3] , khususnya baris terakhir menyatakan: … Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama ( mutual ). Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013). Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( mutual ) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“ . Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dengan memerintahkan pembentuk 124 undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan. Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act , Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960- Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang; [3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya 125 saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara. Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir) . Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan. Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu: 126 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir ), sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan ( constitutionalism justice delay ) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. 127 Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945. Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan semata- mata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya. [3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan: Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk Undang- Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( Mutual Insurance ). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang. Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:
Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutua l) lagi di Indonesia.
Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.
Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi 129 berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan ”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( Mutual ) harus diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi. Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘ res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya. 130 Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3] , terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong ( legacy ) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama ( mutual) , sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah. [3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini 131 diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang- undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ). [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ __ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum 132 mengikat; __ __ 1.2 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), diubah sehingga menjadi diatur dengan Undang-Undang, sehingga selengkapnya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), menjadi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. __ 1.3 Memerintahkan DPR dan Presiden untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. __ 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. -------------------------------------------------------------------------------- 6. PENDAPAT BERBEDA ( DISSENTING OPINION ) Terhadap putusan Mahkamah ini, terdapat dua orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion ) sebagai berikut: [6.1] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Para Pemohon memohonkan agar pasal a quo dimaknai menjadi “diatur dengan Undang-Undang” sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, bertanggal 3 April 2014, yang amarnya menyatakan “ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Berkenaan dengan permohonan para Pemohon tersebut, Kami memberikan pendapat berbeda. 133 [6.2] Menimbang bahwa setelah dicermati secara saksama, para Pemohon menerangkan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 serta sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) dari berbagai daerah perwakilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 para Pemohon sebagai perseorangan dan pemegang polis diberikan kedudukan hukum karena pemilik badan usaha adalah para Pemegang Polis sebagaimana diatur dan disebutkan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 pada bagian Mukadimah, maupun dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 45. Namun demikian, pemberian kedudukan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tidaklah serta merta dapat diberikan untuk perkara a quo dikarenakan pada saat Perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 diajukan belum ada kejelasan status badan hukum usaha bersama. Namun, setelah diundangkannya UU 40/2014 usaha bersama yang telah ada dikukuhkan statusnya sebagai badan hukum usaha bersama dan organ badan hukum usaha bersama diatur dalam peraturan pelaksana UU 40/2014 yaitu PP 87/2019. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 mengatur adanya organ direksi, di mana direksi sebagai organ usaha bersama berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan usaha bersama untuk kepentingan usaha bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan usaha bersama, serta mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan PP a quo dan anggaran dasar usaha bersama. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 dikuatkan kembali dalam Pasal 54 ayat (1) PP a quo yang menyatakan bahwa “Direksi baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berwenang mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kewenangan Direksi untuk mewakili usaha bersama tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar, atau keputusan Rapat Umum Anggota (RUA). Bahwa selanjutnya, terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai Badan Perwakilan Anggota (BPA) untuk berbagai daerah pemilihan. Namun, pada saat UU 40/2014 dan PP 87/2019 berlaku sudah tidak ada lagi istilah BPA karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) PP 87/2019 menyatakan bahwa BPA usaha bersama yang telah ada pada saat PP 87/2019 diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam PP a quo . Adapun anggota 134 BPA __ yang telah ada pada saat PP a quo diundangkan, tanggal 26 Desember 2019, dinyatakan sebagai Peserta RUA [vide Pasal 120 ayat (4) PP 87/2019]. [6.3] Menimbang bahwa dengan mencermati secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya telah ternyata tidak tampak adanya hubungan kausal ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang diderita para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Karena, pada pokoknya yang dipersoalkan para Pemohon adalah beberapa ketentuan dalam PP 87/2019 yang dianggap para Pemohon telah menghilangkan eksistensi BPA karena mengubahnya menjadi RUA, dan mengurangi kewenangan BPA dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Termasuk di dalamnya para Pemohon juga mempersoalkan masa jabatan anggota BPA yang beralih menjadi anggota RUA sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 120 PP a quo yang menentukan selama satu tahun. Menurut para Pemohon, ketentuan demikian merugikan karena semula masa jabatan anggota BPA adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk maksimal dua periode berturut-turut. [6.3.1] Bahwa Jika mencermati secara saksama PP 87/2019, masa jabatan anggota RUA tersebut pada prinsipnya sama dengan anggota BPA yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali. Ketentuan satu tahun yang dipersoalkan para Pemohon sebagai anggapan kerugian konstitusional tersebut hanyalah Ketentuan Peralihan dari anggota BPA menjadi anggota RUA yang sifatnya sementara waktu ( temporary ) sampai terbentuknya anggota RUA (vide Pasal 120 ayat (4) dan ayat (5) PP 87/2019). Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan anggapan kerugian yang dialaminya dikaitkan dengan tidak dibolehkannya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah menjadi peserta RUA sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) PP 87/2019 yang dikaitkan dengan adanya pembatasan terhadap hak seseorang, in casu anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah untuk menjadi pemegang polis. [6.3.2] Bahwa uraian alasan para Pemohon yang mengait-kaitkan hak untuk menjadi anggota (pemegang polis) dan syarat untuk menjadi anggota RUA dalam batas penalaran yang wajar sungguh sulit untuk dipahami korelasinya dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Karena, pada prinsipnya 135 siapapun dapat menjadi pemegang polis AJB Bumiputera atau anggota sepanjang memenuhi syarat keanggotaan yaitu perseorangan berkewarganegaraan Indonesia atau pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia (vide Pasal 8 PP 87/2019). Sementara itu, pembatasan yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada prinsipnya pembatasan atau syarat menjadi anggota RUA. Salah satu pembatasan tersebut adalah tidak membolehkan anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah. Pembatasan demikian adalah wajar dan tidak bertentangan dengan konstitusi di mana secara filosofis bertujuan untuk menjamin agar keputusan yang diambil oleh RUA dalam melaksanakan kewenangannya, yang tidak dimiliki oleh direksi atau dewan komisaris, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik apapun atau independen. [6.3.3] Bahwa Lebih lanjut, para Pemohon juga menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan adanya kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dianggap para Pemohon telah mengintervensi kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagaimana menurut para Pemohon intervensi tersebut termaktub antara lain dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 19, Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8), Pasal 35 UU 40/2014 sehingga menurut para pemohon intervensi demikian dapat memperlambat proses pengambilan keputusan RUA (vide. permohonan para Pemohon hlm. 14 sampai dengan hlm. 17). Istilah RUA yang dimaksud dulunya adalah BPA. Berkenaan dengan uraian para Pemohon tersebut, penting ditegaskan bahwa pada saat BPA dibentuk tidak ada keterlibatan OJK dalam penyelenggaraan asuransi karena OJK sendiri baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011). Artinya, pada saat BPA dibentuk memang belum ada OJK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 UU 21/2011). Sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan OJK berwenang mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi apapun dalam rangka memberikan perlindungan bagi para anggotanya, termasuk di dalamnya mengatur dan mengawasi badan hukum usaha bersama AJB Bumiputera 1912. 136 [6.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian kedudukan hukum di atas, telah jelas para Pemohon tidak dapat menguraikan apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, sehingga tidak ada hubungan kausal ( causal verband ) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo . Dengan demikian seharusnya Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. [6.5] Menimbang bahwa uraian/pendapat hukum mengenai PP 87/2019 di atas bukan ditujukan untuk menilai keabsahan (legalitas) PP 87/2019 terhadap Undang- Undang atau bahkan terhadap UUD 1945, melainkan semata-mata karena para Pemohon dalam menjelaskan kerugian konstitusionalnya selalu merujuk pada PP 87/2019 a quo. [6.6] Menimbang bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, tidak terdapat pula persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 dikarenakan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014 menentukan bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama. Badan hukum usaha bersama dimaksud adalah usaha bersama yang telah ada pada saat UU 40/2014 diundangkan yang dikukuhkan oleh UU a quo sebagai badan hukum usaha bersama. Sampai saat UU a quo diundangkan hanya ada satu badan hukum usaha bersama yaitu AJB Bumiputera 1912. UU a quo telah ternyata tidak hanya mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur secara garis besar mengenai tata kelola penyelenggara perasuransian oleh badan hukum usaha bersama. Pengaturan tersebut meliputi perizinan usaha bersama (Pasal 8 UU 40/2014); penerapan tata kelola perusahaan asuransi yang baik, termasuk usaha bersama (Pasal 11 UU 40/2014); pengaturan kewajiban organ perusahaan perasuransian, termasuk usaha bersama untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 12 UU 40/2014); pengaturan prinsip dasar penyelenggaraan usaha bersama (Pasal 35 UU 40/2014); larangan bagi organ perusahaan asuransi, termasuk usaha bersama jika izin usaha perusahaan dicabut (Pasal 43 UU 40/2014); kewenangan organ perusahaan, termasuk usaha bersama, jika tim likuidasi telah dibentuk (Pasal 46 UU 40/2014); kewenangan OJK menonaktifkan 137 organ perusahaan, termasuk usaha bersama, dan menetapkan pengelola statuter, serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 UU 40/2014); pemeriksanaan perusahaan perasuransian secara berkala atau sewaktu-waktu (Pasal 61 UU 40/2014); kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi dan dewan komisaris (Pasal 72 UU 40/2014); ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar UU 40/2014, dan ketentuan peralihan untuk penyesuaian usaha bersama dalam kurun waktu paling lama tiga tahun (Pasal 86 UU 40/2014). [6.6.1] Bahwa lebih lanjut, UU 40/2014 menjelaskan bahwa apabila di kemudian hari setelah UU 40/2014 diundangkan ada pihak-pihak yang akan menyelenggarakan usaha asuransi umum, usaha asuransi jiwa, usaha asuransi umum syariah, atau usaha asuransi jiwa syariah dengan bentuk usaha bersama, UU a quo menjelaskan agar bentuk badan hukumnya didorong berbentuk koperasi dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (vide Penjelasan Pasal 6 UU 40/2014). Artinya, dengan UU 40/2014 pembentuk undang-undang telah mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya badan hukum usaha bersama. Namun, ke depannya usaha bersama apabila ada lagi oleh UU a quo didorong dalam bentuk koperasi. Koperasi pada hakikatnya adalah wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi. Bentuk badan usaha bersama ( mutual ) ini sejiwa dengan badan usaha koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang dalam usahanya bertumpu kepada kemampuan anggotanya serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan para anggotanya, bukan seperti perusahaan yang lebih berpihak dan menguntungkan para pemilik modal. Dengan demikian, bentuk koperasi untuk usaha bersama seandainya ke depan akan dibentuk adalah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [6.6.2] Bahwa berdasarkan pengaturan tersebut di atas maka pembentuk undang- undang, in casu Pembentuk UU 40/2014 pada prinsipnya telah melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 walaupun tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. Selain itu, UU 40/2014 tidak hanya mengukuhkan status badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur tata kelolanya, di mana untuk pengaturan lebih lanjutnya ditetapkan dalam PP 87/2019. 138 Dengan penjelasan dan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tidak bertentangan dengan Konstitusi karena status hukum bagi usaha bersama yang ada yaitu AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum telah ditegaskan dalam UU 40/2014 [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c dan ayat (2)]. Selain telah memberikan kepastian hukum bahwa perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama adalah badan hukum dan ditegaskan pula bahwa AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya usaha bersama yang menyelenggarakan usaha perasuransian; telah diaturnya prinsip-prinsip umum tata kelola suatu perusahaan asuransi yang berlaku bagi usaha bersama dalam UU 40/2014 dan kekhususan bidang AJB Bumiputera 1912 di bidang asuransi; serta adanya fakta hukum bahwa hanya ada satu objek hukum atas pengaturan tata kelola usaha bersama, maka kebijakan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang mendelegasikan pengaturan tata kelola usaha bersama ke dalam Peraturan Pemerintah telah didasarkan pada landasan hukum dan pemikiran yang jelas dan berdaya guna serta berhasil guna sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan] sehingga memberikan kepastian hukum. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 sebagaimana didalilkan para Pemohon. [6.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Kami berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, oleh karenanya seharusnya permohonan para Pemohon tidak diterima. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , seharusnya Mahkamah menyatakan pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal sepuluh, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum 139 pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 13.26 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Wahiduddin Adams ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Dian Chusnul Chatimah
Uji materiil atas pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahu ...
Relevan terhadap
Uji Materi Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Relevan terhadap
(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. (3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. Pasal 3 __ (1) Perusahaan asuransi syariah hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi berdasarkan Prinsip Syriah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi syariah. 3.9 Bahwa tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship . 18 3.10 Bahwa muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 menyatakan: (Bukti P–3) “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.11 Bahwa adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU No.2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) yang menyatakan: (Bukti P–4) “ Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” 3.12 Bahwa penegasan yang sama tentang pengakuan perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan asuransi sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (“Perpres No. 16/2018”) , pada Pasal 30 menyatakan: (Bukti P–5) “ Jaminan dari Bank Umum, Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Asuransi, lembaga keuangan khusus yang menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan dan asuransi untuk mendorong Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dapat digunakan untuk semua jenis jaminan”. Norma Pasal 5 ayat (1) UU a quo __ Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang Kepastian Hukum Yang Adil __ 3.13 Bahwa salah satu pilar penting dari terbentuknya negara Indonesia selain bersandar pada prinsip kedaulatan rakyat, juga penegasan pada prinsip negara hukum, hal ini sebagaimana termaktub di dalam ketentuan Pasal 1 19 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” 3.14 Bahwa salah satu unsur dari negara hukum adalah adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum yang adil, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum ( Idee des Rechts ), yang kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness— kemanfaatan ( zweckmassigkeit ), __ justice— keadilan ( gerechtigkeit ), dan legal certainty— kepastian hukum ( rechtssicherheit ).
15 Bahwa prinsip ‘kepastian hukum yang adil’ yang dalam tradisi klasik the rule of law disebut sebagai prinsip kepastian hukum (legal certainty) , menurut pendapat dari Friedrich von Hayek dalam Bukunya The Constitution of Liberty, Chapter 14 “The Safeguards of Individual Liberty”, adalah salah satu atribut utama dari the rule of law , selain dua atribut lainnya, yakni atribut berlaku umum ( generality ), dan atribut kesetaraan ( equality ).
16 Bahwa menurut pendapat Hayek kepastian hukum berarti hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang.
17 Bahwa sejalan dengan teori mengenai cita hukum tersebut, UUD 1945 juga telah menegaskan adanya jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara dalam ruang negara hukum Indonesia, sebagaimana dituliskan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”.
18 Bahwa merujuk pada pendapat Prof. Dr. Nurhasan Ismail, sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 pada Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (halaman 74), dikatakan bahwa kepastian hukum didefinisikan adanya kejelasan norma yang menjadi acuan berperilaku 20 bagi setiap orang. Kejelasan norma tentu harus ada indikator dan ukurannya. Tiga indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu memberikan kepastian hukum meliput:
Norma mengandung konsistensi, baik secara internal di dalam undang- undang maupun konsistensi horizontal dengan undang-undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah dengan UUD 1945;
Konsep penormaannya atau rumusan normanya tidak mengandung multi makna, tidak mengandung multitafsir;
Ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan perilaku yang sudah diatur di dalam undang-undang atau di dalam peratura perundang-undangan.
19 Bahwa selain dalam putusan Mahkamah Konstitusi di atas, salah satu asas dalam membentuk peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan , yang melalui penjelasan Pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan ini diartikan sebagai:
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai _tujuan yang jelas yang hendak dicapai; _ 2) setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah , serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya . 3.20 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 menyebutkan: “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3.21 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo. 21 3.22 Bahwa persoalan mulai menyeruak ketika UU No. 1/2016 disahkan, khususnya dengan adanya pada Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.23 Bahwa munculnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 ini telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 a quo tentang perluasan lini usaha asuransi __ menjadi tidak jelas. Dalam pengertian, kepastian usaha suretyship yang dilakukan perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
24 Bahwa dengan kata lain, lahirnya Pasal 61 ayat (1) ayat (2) UU No. 1/2016 menyebabkan perusahaan asuransi yang sebelumnya dapat menyelenggarakan suretyship atas dasar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) __ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 harus menyesuaikan dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan, yaitu pada tanggal 19 Januari 2019, padahal hal itu tidak mungkin dilakukan.
25 Bahwa dalam hal ini, perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin atau perusahaan penjaminan terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship . Sebab, hanya perusahaan yang berizin saja yang akan diakui keabsahannya secara hukum untuk dapat memasarkan lini usaha tersebut. Namun hal itu tidak dapat terjadi, karena perusahaan asuransi nyatanya tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga atau perusahaan penjaminan.
26 Bahwa izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha tersebut __ sebagaimana Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 yang menyatakan: 22 “ Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” 3.27 Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014 a quo Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Peraturan OJK 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (“POJK No.69/2016”) .
28 Bahwa akan tetapi Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang mewajibkan semua kegiatan penjaminan untuk tunduk pada UU No. 1/2016, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, maka dengan demikian POJK yang kedudukannya berada dibawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU a quo .
29 Bahwa situasi tersebut diatas menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon karena membuat OJK sendiri tidak pasti apakah akan mengeluarkan dan/atau memperpanjang izin lini usaha suretyship kepada perusahaan asuransi setelah penyesuaian tiga tahun berakhir pada tanggal 19 Januari 2019.
30 Bahwa inilah persoalan yang merisaukan sebagian besar perusahaan asuransi yang diwakili Pemohon. Situasi ini tentu sangat merugikan perusahaan-perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship, karena kegiatan usaha di bidang ini menjadi tidak jelas, terhambat, dengan waktu yang tidak bisa diprediksikan kapan persoalan izin tersebut akan diterbitkan oleh OJK.
31 Bahwa kegiatan usaha suretyship semakin tidak memiliki kepastian hukum yang adil, karena perusahaan asuransi terancam pidana dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 100 Milyar sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 57 UU No. 1/2016, jika tetap melaksanakan lini usaha suretyship tersebut. 23 Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No. 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU No. 2/2017 dan Perpres No. 16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi. PASAL 5 AYAT (1) UU 40/2014 INKONSTITUSIONAL SEPANJANG TIDAK DIMAKNAI MENCANTUMKAN SURETYSHIP SEBAGAI PERLUASAN __ JENIS USAHA ASURANSI SESUAI DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT 3.32 Bahwa perusahaan asuransi yang menyelenggarakan suretyship yang memperoleh izin POJK jumlahnya dua kali dua kali lipat lebih banyak dari jumlah perusahaan penjamin baik sebagaimana terlampir dalam data Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: (Bukti P–8) DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI PER 14 AGUSTUS 2018 No. Nama Perusahaan No. Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 26 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 2 PT Asuransi Adira Dinamika 27 PT Asuransi Ramayana, Tbk 3 PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 28 PT Asuransi Sinar 4 PT Asuransi Asoka Mas 29 PT Asuransi Tri Pakarta 5 PT Asuransi Astra Buana 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 6 PT Asuransi Bangun Askrida 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 7 PT Asuransi Bhakti 32 PT Asuransi Umum Mega 24 Bayangkara 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 33 PT Asuransi Umum Videi 9 PT Asuransi Bina Dana Artha, Tbk 34 PT Asuransi Wahana Tata 10 PT Bosowa Asuransi 35 PT Malacca Trust Wuwungan 11 PT Asuransi Bintang, Tbk 36 PT Asuransi Staco Mandiri 12 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 37 PT Tugu Pratama Indonesia 13 PT Asuransi Buana Independent 38 PT Victoria Insurance 14 PT Asuransi Central Asia 39 PT Pan Pacific Insurance 15 PT Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk 40 PT Chubb General Insurance Indonesia 16 PT Asuransi Himalaya Pelindung 41 PT Berdikari Insurance 17 PT Asuransi Intra Asia 42 PT Lippo General Insurance, Tbk 18 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 43 PT Asuransi Kresna Mitra 19 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 44 PT Mitra Pelindung Mustika 20 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 45 PT Asuransi Asei Indonesia 21 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 46 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 22 PT Asuransi Mega Pratama 47 PT Mandiri AXA General Insurance 23 PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk 24 PT Asuransi Parolamas 25 25 PT Asuransi Purna Artanugraha Sumber: Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan Nomor: S-595/NB.2/2018, tanggal 4 Oktober 2018. DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 23 PT Asuransi Purna Artanugraha 2 PT Asuransi Adira Dinamika 24 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 3 PT Asuransi Artarindo 25 PT Asuransi Ramayana, Tbk 4 PT Asuransi Asoka Mas 26 PT Asuransi Asei Indonesia 5 PT Asuransi Astra Buana 27 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 6 PT Asuransi Bangun Askrida 28 PT Asuransi Sinar Mas 7 PT Asuransi Bhakti Bayangkara 29 PT Asuransi Tri Pakarta 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 9 PT Bosowa Asuransi 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 10 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 32 PT Asuransi Umum Videi 11 PT Asuransi Burma Independent 33 PT Asuransi Wahana Tata 12 PT Asuransi Central Asia 34 PT Asuransi Staco Mandiri 13 PT Harta Aman Pratama, Tbk 35 PT Tugu Pratama Indonesia 26 14 PT Asuransi Himalaya Pelindung 36 PT Victoria Insurance 15 PT Asuransi Intra Asia 37 PT Pan Pacific Insurance 16 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 38 PT Mandiri AXA General Insurance 17 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 39 PT Chubb General Insurance Indonesia 18 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 40 PT Berdikari Insurance 19 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 41 PT Asuransi Kresna Mitra 20 PT Asuransi Mega Pratama 42 PT Mitra Pelindung Mustika 21 PT Asuransi Multi Attila Guna, Tbk 22 PT Asuransi Parolamas DAFTAR PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 27 D A F T A P PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 28 3.33 Bahwa selain perusahaan asuransi, terdapat konsorsium perusahaan asuransi untuk menfasilitasi nilai proyek yang besar yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu atau dua perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship yang terdiri dari 3 (tiga) konsorsium penjaminan, yang seluruh anggotanya adalah perusahaan-perusahaan asuransi seperti yang ada pada tabel berikut: DAFTAR PERUSAHAAN KONSORSIUM PENJAMINAN YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Konsorsium Penjaminan Proyek 1 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Sinar Mas (Ketua); • PT Asuransi Purna Arthanugrahra (Anggota); • PT Asuransi Central Asia (Anggota); • PT Asuransi Asei Indonesia (Anggota), • PT Asuransi Cakrawala Proteksi (Anggota); • PT Asuransi Binagriya Upakara (Anggota); • PT Asuransi Bangun Askrida (Anggota); • PT Panin Insurance (Anggota); dan 2 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Jasaraharja Putera (Ketua); • PT Asuransi Kredit Indonesia – Persero (Anggota); • PT Asuransi Wahana Tata (Anggota); • PT Asuransi Astra Buana (Anggota); • PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur (Anggota); • PT Asuransi Bintang, Tbk (Anggota); dan • PT Asuransi Umum Videi (Anggota) 3 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Jasa Tania (Ketua); 29 • PT Tugu Pratama Indonesia (Anggota); • PT Bosowa Asuransi (Anggota); • PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (Anggota); • PT Asuransi Kresna Mitra, Tbk. (Anggota); • PT Asuransi Bakti Bhayangkara (Anggota); • PT Asuransi Asoka Mas (Anggota); • PT Asuransi Mega Pratama (Anggota); dan • PT Asuransi Tugu Kresna Pratama (Anggota).
34 Bahwa dari data tersebut tampak bahwa sebagian besar pelaku lini usaha suretyship adalah perusahaan-perusahaan asuransi termasuk dengan dibentuknya konsorsium penjaminan yang anggota-anggotanya juga terdiri dari sejumlah perusahaan asuransi, yang tujuan pembentukannya untuk menjamin proyek-proyek bernilai besar, antara lain proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ini berarti, keberadaan perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship merupakan pilihan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas dan kebutuhan proyek pemerintah.
35 Bahwa perusahaan asuransi selaku pelaku usaha memiliki peran yang penting dalam mendukung proses pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan UU No. 40/2014 yang menyatakan: “…peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha” “...peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan”. 3.36 Bahwa produk usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan asuransi sangat vital bagi pembangunan nasional, karena banyak dimanfaatkan untuk menjamin pembangunan infrastruktur di berbagai sektor mulai dari transportasi, sumber daya air, perumahan dan pemukiman, energi hingga informasi dan teknologi. 30 3.37 Bahwa seperti halnya 13 (tiga belas) paket konstruksi yang dicanangkan pemerintah di tahun 2020, salah satu contohnya adalah paket konstruksi pembangunan Bendungan Jragung Jawa Tengah, dengan nilai proyek mencapai Rp 2.72 Triliun. Pembangunan proyek demikian tentu membutuhkan aspek kepastian dan jaminan pelaksanaan yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi melalui suretyship karena sulit dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan dengan kapasitasnya yang ada dan sulit pula dilakukan melalui bank garansi karena adanya kesulitan bagi pelaksana proyek untuk menyediakan uang tunai pada bank yang mengeluarkan bank garansi.
38 Bahwa adanya Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 potensial pasti membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah.
39 Bahwa untuk mengisi “Kekosongan Hukum” akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011, yang menguji Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
perintah kepada pembuat Undang-Undang; dan
rumusan norma sebagai pengganti norma dari Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 31 Dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas norma Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Adanya Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut berakibat terhalangnya Mahkamah untuk (i) menguji konstitusionalitas norma; (ii) mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, proses pembentukan Undang-Undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut; (iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
40 Bahwa Mahkamah Konstitusi juga pernah mengeluarkan putusan yang mengubah norma hukum atau membuat norma hukum baru, antara lain sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu 32 pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
41 Bahwa berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu tersebut, maka ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 adalah inkonstitusional, sepanjang tidak disebutkan secara jelas perluasan usaha yang menjadi ruang lingkup usaha asuransi adalah termasuk suretyship ;
42 Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan dipatuhi oleh pembentuk Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 yang menyatakan: “Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: akibat putusan Mahkamah Konstitusi”. Berdasarkan uraian tersebut beralasan menurut hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat memaknai Pasal 5 ayat (1) UU a quo untuk menyatakan “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 33 IV. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus uji materil sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 yang telah disahkan dalam persidangan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 34 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 2 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Dasar, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 3 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Rumah Tangga, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor S- 595/NB.2/2018 tertanggal 4 Oktober 2018 perihal Daftar Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Penjaminan dan Konsorsium Yang Dapat Memasarkan Produk Suretyship per 14 Agustus 2018;
Bukti P-9 : Fotokopi Sertifikat Keanggotaan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/General Insurance Association of Indonesia;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Izin Penerbitan Surety Bond Kepada Perusahaan Asuransi;
Bukti P-11 : Fotokopi Akta Nomor 58 tentang Anggaran Dasar Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (“AAUI”) yang dibuat dihadapan Notaris Haji Rizul Sudarmadi, S.H. tanggal 18 April 2002;
Bukti P-12 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C-39.HT.01.03.TH.2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Pengesahan Akta Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia disingkat AAUI dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia;
Bukti P-13 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08.Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia; 35 Selain itu, Pemohon dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020, dan pada persidangan tanggal 10 September 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 September 2020, serta pada persidangan tanggal 25 Agustus 2020 mengajukan dua orang saksi yakni Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan , yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Pemohon 1. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. Dalam perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat lima permasalahan hukum yang disampaikan oleh Pemohon dan akan ahli coba jawab secara akademik, sebagai berikut:
Apakah undang-undang diperkenankan untuk mendelegasikan kewenangan mengatur kepada institusi pemerintah non-kementerian? Dalam hal ini, Ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan ahli menyampaikan dengan lengkap bunyi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai berikut:
Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .
Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa 36 Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana .
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menentukan bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diatur di dalam Peraturan OJK. Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua hal yang menjadi catatan ahli. Pertama , secara teori, ketentuan pendelegasian di dalam undang- undang ditujukan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan teknis yang dibutuhkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang hadir karena perintah undang-undang untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis, ditujukan untuk mewujudkan apa yang menjadi politik hukum peraturan induknya. Artinya, peraturan pelaksana tidak dapat memuat atau mengandung politik hukum baru. Perwujudan teori ini tercermin di dalam Lampiran II, angka 211 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan sebagai berikut: “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif .” Berkaitan dengan hal ini, jika dilihat kembali ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Perasuransian, pendelegasian kepada peraturan OJK tidak ditujukan untuk mengatur hal yang bersifat teknis, melainkan untuk menetapkan bidang-bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian , sepanjang “sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Artinya, OJK memiliki kewenangan 37 untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menentukan jenis layanan asuransi baru untuk merespon kebutuhan tersebut. Hal ini juga berarti, peraturan OJK tentang perluasan bidang usaha asuransi dapat saja memuat politik hukum baru atas dasar kebutuhan masyarakat. Dengan konstruksi hukum demikian, maka potensi adanya perbedaan politik hukum antara undang-undang perasuransian dengan peraturan OJK sangat dimungkinkan terjadi. Sebenarnya, upaya untuk menjaga politik hukum undang-undang agar tidak bergeser atau berubah akibat kehadiran peraturan pelaksana telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 10 ayat (1) huruf e telah secara tegas ( expresis verbis ) menyatakan bahwa merespon kebutuhan hukum masyarakat merupakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang memang hanya ditujukan untuk mewujudkan politik hukum yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Selain itu, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memperluas ruang lingkup usaha perasuransian jika terdapat kebutuhan dari masyarakat, menurut ahli merupakan konstruksi hukum yang hadir akibat ketidakcermatan pembentuk undang-undang dalam memahami fungsi-fungsi kelembagaan negara. Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan bahwa fungsi OJK adalah “menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Tidak ditemukan satupun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut bahwa OJK memiliki fungsi untuk mengagregasi ataupun menyalurkan aspirasi kepentingan masyarakat. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sudah umum dipahami bahwa fungsi agregasi kepentingan dan fungsi penyaluran aspirasi masyarakat merupakan fungsi yang melekat pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, maka respon terhadap kebutuhan hukum masyarakat harus dilakukan oleh DPR dengan membentuk undang- undang. 38 Kedua , pada dasarnya peraturan OJK yang mengatur perluasan bidang usaha asuransi, merupakan ketentuan “ pengecualian ” dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian yang telah mengatur ruang lingkup usaha asuransi secara limitatif dengan konstruksi norma yang bersifat tertutup. Konstruksi “pengecualian” terlihat dengan adanya pra-syarat berupa “kebutuhan masyarakat” yang harus terpenuhi sebelum OJK dapat menambahkan atau memperluas ruang lingkup usaha asuransi. Dalam praktik, delegasi semacam ini semakin sering terjadi. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi makin seringnya terjadi pendelegasian, yaitu:
DPR mempunyai keterbatasan waktu untuk membahas serta merumuskan secara rinci hal-hal yang perlu diatur dengan undang- undang.
Faktor penguasaan teknis materi yang dibahas. DPR tidak selalu memiliki anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat melakukan analisis secara mendalam setiap aspek yang akan diatur dalam suatu undang-undang.
Faktor kecepatan atau urgensi. Rangkaian pembahasan dalam pembentukan undang-undang dapat menghambat pada saat ada kebutuhan mendesak untuk membuat undang-undang bidang tertentu.
Faktor fleksibilitas. Mengubah udang-undang tidak semudah mengubah peraturan yang lebih rendah. Menghadapi perubahan yang serba cepat dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mudah diubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Meski delegasi diperbolehkan, namun tidak berarti setiap hal dapat didelegasikan atau delegasi dilakukan tanpa batas-batas tertentu. Terdapat beberapa pembatasan dalam mendelegasikan pengaturan, antara lain, tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum. Konstruksi pendelegasian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) menimbulkan problematika mendasar dari sisi ilmu perundang-undangan, yakni berkaitan dengan asas kepastian hukum. Jika kembali merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian, tidak ditemukan kriteria mengenai apa yang dimaksud dengan “kebutuhan masyarakat”. Artinya, 39 penilaian terhadap pemenuhan prasyarat yang ditentukan oleh undang- undang berupa “kebutuhan masyarakat”, semata-mata ditentukan oleh penilaian subjektif OJK. Jika ditafsirkan secara a contrario , maka OJK berwenang pula menilai bahwa suatu layanan perasuransian selain yang telah ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, bukan lagi merupakan layanan yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya dapat dihapus atau dihentikan. Pada tafsir yang demikian, maka keberadaan atau keberlangsungan sebuah layanan perasuransian selain yang ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sangat bergantung pada kewenangan diskresif tunggal dari OJK. Bahkan, Undang-Undang juga tidak memberikan kejelasan mengenai sejauh apa perluasan ruang lingkup usaha asuransi dapat dilakukan. Ketentuan pendelegasian semacam ini dapat dikategorikan sebagai pendelegasian yang bersifat open ended atau bentuk delegasi blangko yang secara normatif dilarang untuk dilakukan berdasarkan Lampiran II angka 210, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karakter delegasi blangko semacam ini tentu tidak memenuhi asas keketatan ( lex stricta ) yang menjadi salah satu elemen dari asas kepastian hukum.
Bagaimana UUD 1945 mengatur tata cara melaksanakan atau menjalankan undang-undang? Untuk menjawab hal ini, maka perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya ”. Pada ketentuan tersebut terdapat frasa “…menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”, yang berarti bahwa Peraturan Pemerintah berfungsi untuk mengatur lebih lanjut (rincian) dari ketentuan yang telah terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain, setiap ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah harus berkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan di dalam sebuah undang-undang. Salah satu cara melihat keterkaitan tersebut adalah dengan melihat apakah terdapat perintah yang tercantum secara tegas ( expresis verbis ) di dalam sebuah undang-undang bahwa suatau ketentuan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 40 Meskipun demikian, bukan berarti ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut, menjadikan Presiden tidak berwenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah. Sepanjang terdapat kebutuhan untuk mengatur hal- hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang, Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah atau menggunakan instrumen hukum lainnya yang berasal dari fungsi pengaturan Presiden sebagai kepala pemerintahan, yakni instrumen Peraturan Presiden. Peraturan Presiden pada dasarnya berasal dari kewenangan yang melekat pada Presiden karena jabatannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan di dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) dinyatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Ketentuan dan penjelasan tersebut menunjukan bahwa Presiden adalah penanggungjawab dan pimpinan penyelenggara pemerintahan sehari-hari atau pemimpin administrasi ( bestuur ), dan salah satu fungsi administrasi negara adalah membuat keputusan (baik yang bersifat penetapan ( beschikking ) maupun yang bersifat mengatur ( regeling ). Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang). Akibatnya, meskipun Peraturan Presiden secara hierarkhis merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Peraturan Pemerintah, namun, bukan berarti bahwa Peraturan Presiden hanya dapat diterbitkan untuk menjalankan Peraturan Pemerintah saja. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.” Dengan demikian, ruang lingkup materi muatan yang dapat diatur oleh Peraturan Presiden lebih luas dari ruang lingkup pengaturan yang dapat diatur oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan, Peraturan Presiden dapat pula diterbitkan untuk melaksanakan atau menjalankan UUD 1945 maupun Tap MPR. 41 Sebagaimana yang telah ahli sampaikan sebelumnya, bahwa meskipun ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut di dalam undang- undang mengakibatkan Presiden dapat memilih menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden untuk menjalankan undang-undang, namun terdapat kondisi dimana Presiden sebaiknya menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kondisi dimaksud yakni jika materi muatan yang hendak diatur merupakan materi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban rakyat banyak (misalnya pada perkara a quo dalam bentuk memperluas ruang lingkup usaha asuransi), atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan hak asasi atau salah satu hak yang dijamin di dalam UUD 1945. Mengutip pendapat Prof. Bagir Manan, praktik di Negeri Belanda, keputusan-keputusan Mahkota ( koninkelijke besluit ) yang mengikat secara umum selalu diatur melalui AMvB ( Algemene Maatsregel van Bestuur/ semacam Peraturan Pemerintah dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia). Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa pendelegasian sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian sedapat mungkin dihindari, terutama jika materi yang hendak didelegasikan merupakan materi yang berkaitan dengan hak-hak warga negara, termasuk dalam hal ini boleh atau tidaknya badan usaha penyelenggara jasa asuransi melakukan atau tidak melakukan kegiatan bisnis tertentu. Demi menjaga keteraturan dan ketertiban hukum, pengaturan materi muatan semacam itu seharusnya diletakkan pada bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk memberikan pokok-pokok pengaturan yang penting terlebih dahulu seperti kejelasan makna “kebutuhan masyarakat”, tata cara mengidentifikasinya, kriteria perluasan yang diperkenankan untuk dilakukan, hingga metode evaluasinya. Materi muatan tersebut penting untuk dikemas dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebelum didelegasikan kepada pengaturan teknisnya dalam peraturan OJK. Berbeda dengan peraturan OJK yang dalam pembentukannya tidak melibatkan institusi lain secara formal sehingga dapat dikategorikan sebagai diskresi tunggal, pembentukan Peraturan Pemerintah melibatkan institusi pemerintah lintas sektor dalam 42 bentuk Panitia Antar Kementerian dalam mekanisme pembentukannya secara formal. Selain itu, ahli berpendapat sudah saatnya Mahkamah memberikan pendapat yang tegas berkenaan dengan pendelegasian dari undang- undang kepada peraturan menteri atau peraturan lembaga/badan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, materi peraturan delegasi acapkali mengatur hal-hal yang berdampak pada masyarakat luas, termasuk dunia usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Bila hal semacam ini dibiarkan, dikhawatirkan terjadi ketidakpastian yang akan menimbulkan kerugian di masa-masa mendatang. Dengan demikian, Mahkamah menjadi lembaga yang sangat fundamental menegakkan UU No. 12 Tahun 2011 karena dalam pandangan ahli, UU No. 12 Tahun 2011 merupakan undang- undang organik yang pembentukannya diperintahkan secara langsung oleh UUD 1945.
Apakah Relasi Antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, merupakan relasi yang menghadirkan kepastian hukum? Untuk menjawab hal tersebut, izinkan ahli menyampaikan beberapa ketentuan yang dapat mengidentifikasi hubungan diantara kedua undang- undang tersebut sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi sebagai berikut: “ Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak , yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti;
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” 43 Berdasarkan kedua ketentuan yang mendefinisikan asuransi dan penjaminan tersebut, ahli berpendapat bahwa pada dasarnya kedua undang-undang mengatur hal yang serupa, yakni pada pokoknya memberikan layanan perlindungan kepada klien atas potensi kerugian akibat ketidakpastian di masa depan. Jikapun terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut bersifat sumir dan gradual. Misalnya, pada definisi asuransi, dinyatakan secara eksplisit bahwa asuransi adalah “perjanjian antara dua pihak”, yakni perusahaan asuransi dan pemegang polis. Frasa ini memperlihatkan karakter hubungan dyadic di dalam hubungan perasuransian. Namun, ditemukan pula frasa “tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”, yang memperlihatkan pula relasi triadic . Sementara undang-undang penjaminan tidak menyatakan secara tegas karakter keterikatan para pihak di dalam hubungan penjaminan. Namun di dalam ketentuan mengenai definisi penjaminan, terlihat bentuk relasi triadic pula antara penjamin, terjamin, dan penerima jaminan. Di dalam ilmu perundang-undangan, dipahami bahwasanya untuk objek yang sama, tidak dibenarkan diatur dengan peraturan yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi politik hukum di kedua undang-undang ini, agar dapat melihat apakah terdapat perbedaan tujuan hukum dari dibentuknya dua undang-undang yang mengatur objek yang serupa tersebut. Untuk dapat mengidentifikasi politik hukum, salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan original intent pembentuk undang- undang. Salah satu caranya dengan melihat pada Bagian Konsideran. Pada Bagian Konsideran huruf b Undang-Undang Perasuransian, dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah: “dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global…”. Di sisi lain, Konsideran huruf b Undang-Undang Penjaminan menyatakan bahwa tujuan pembentukannya adalah: “untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan”. 44 Dari kedua Konsideran tersebut, terlihat bahwa politik hukum Undang-Undang Penjaminan ditujukan untuk memudahkan akses permodalan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, yang secara faktual sering kali kesulitan mendapatkan kredit atau pembiayaan akibat terbatasnya aset yang dapat dijaminkan. Di sisi lain, Undang-Undang Perasuransian ditujukan untuk meningkatkan daya saing perasuransian nasional sehingga dapat bertahan pada persaingan global. Berdasarkan kedua politik hukum tersebut, maka norma-norma yang dibangung di dalam undang-undang, harus ditujukan untuk memastikan politik hukumnya tercapai dengan baik. Sayangnya, jika diperhatikan pada norma-norma yang mengatur mengenai ruang lingkup usaha pada masing- masing undang-undang, dijumpai konstruksi pengaturan yang berbeda. Perbedaan ini pada sisi Undang-Undang Perasuransian berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum. Misalnya, di dalam Pasal 2 dan Pasal, 3 Undang-Undang Perasuransian, ruang lingkup usaha diatur dengan norma tertutup yang sangat limitatif dengan menggunakan frasa “hanya dapat” . Limitasi ini tentu berpotensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri asuransi untuk dapat beradaptasi dan merespon dinamika persaingan global. Dengan demikian, frasa “hanya dapat” merupakan ketentuan yang bersifat rigid/kaku yang tidak sejalan dengan politik hukum undang-undang yang dinyatakan pada bagian konsideran, yakni untuk merespon dinamika persaingan global yang membutuhkan keluwesan. Namun, berbeda dengan Undang-Undang Perasuransian yang dirancang dengan konstruksi pasal tertutup, Pasal 4 Undang-Undang Penjaminan mengatur ruang lingkup usaha penjaminan dengan konstruksi pasal terbuka . Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf k yang menyatakan bahwa perusahaan penjaminan dapat melakukan “kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan”. Dengan konstruksi pasal demikian, maka secara normatif dapat ditafsirkan bahwa perkembangan indsutri penjaminan diserahkan pada pelakunya, sementara OJK ditempatkan sebagai lembaga pengawas yang memberikan persetujuan sebagai manifestasi dari fungsi kontrol pemerintah. 45 Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Undang-undang Perasuransian juga sebenarnya membuka peluang adanya perluasan ruang lingkup usaha perasuransian sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014. Namun, ketentuan Pasal 5 tersebut secara normatif memperlihatkan bahwa inisiasi perluasan ruang lingkup usaha diserahkan pada “ judgment” tunggal OJK untuk menilai kebutuhan masyarakat, dan bukan berasal dari inisiasi dari pelaku usaha. Dengan demikian, secara normatif, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian memiliki potensi menghadirkan ketidakpastian jika dihubungkan dengan politik hukum pembentukan Undang-Undang dimaksud. Selain itu, berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond yang menjadi pokok permohonan perkara a quo , ahli melihat bahwa undang-undang memang menghendaki jenis usaha ini dapat dilakukan oleh berbagai entitas bisnis. Sebagaimana yang Pemohon uraikan di dalam permohonannya, lini usaha suretyship merupakan hasil perluasan ruang lingkup usaha asuransi yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016. Pengaturan mengenai objek yang sama juga ditemukan di dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Penjaminan dengan terminologi “surety bond ”. Dalam Permohonan dinyatakan bahwa Pasal 57 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga mengatur objek yang sama dengan terminologi yang lebih umum yakni “jaminan” yang dapat dilakukan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan. Dari seluruh ketentuan tersebut, hanya pada rezim Undang-Undang Perasuransian yang memberikan pengaturan “ suretyship/surety bond ” dengan bentuk hukum yang bersifat diskresional, yakni menggunakan Peraturan OJK dengan syarat adanya kebutuhan masyarakat. Sementara pada rezim yang lain, pengaturan mengenai “ suretyship/surety bond ” diatur di dalam bentuk hukum yang lebih ajeg, yakni norma undang-undang dan tanpa ada prasyarat apapun. Dengan demikian, secara hukum layak untuk dipertanyakan, mengapa objek yang sama, diatur dengan bentuk peraturan yang berbeda? 46 4. Apakah Kehadiran Pasal 61 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang mengatur mengenai kewajiban penyesuaian dan ketentuan pidana bagi penyelenggara penjaminan tanpa izin, merupakan ketentuan yang menghadirkan kepastian hukum bagi penyelenggara perasuransian? Pada masyarakat awam, kehadiran hukum tertulis selalu dianggap sebagai bentuk hadirnya kepastian hukum. Padahal, di dalam ilmu perundang-undangan, tetap terdapat prasyarat yang harus terpenuhi agar hukum tertulis dapat menghadirkan kepastian hukum sebagai berikut:
terdapat kejelasan norma/rumusan norma; 2 . norma harus harmonis dan sinkron dengan norma yang lain, baik yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan maupun undang- undang yang lain yang mengatur materi sejenis; dan
tersedianya infrastruktur penegakan hukum. Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Dari aspek kejelasan rumusan, ketentuan tersebut menurut ahli tidak bersifat multi interpretatif. Karenanya, asas kejelasan rumusan telah terpenuhi. Kehadiran ketentuan ini mencerminkan bahwa undang-undang memang mengakui bahwa kegiatan penjaminan dapat saja dilakukan berdasarkan undang-undang yang lain, dan dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda-beda. Namun, pada sisi harmonisasi, ketentuan Pasal 61 ini berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum dalam hal penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi. Hal ini dikarenakan adanya pengecualian kewajiban untuk menyesuaikan dengan undang- undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (2), melalui frasa hanya diberikan kepada kegiatan-kegiatan “yang dijalankan 47 berdasarkan undang-undang”. Di sisi lain, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi merupakan kegiatan yang tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan pada Peraturan OJK. Dengan demikian, kegiatan suretyship oleh perusahaan asuransi tidak lagi dapat dilakukan kecuali pada sektor jasa konstruksi karena kegiatan tersebut diatur di dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dengan kata lain, konstruksi Pasal 61 secara tidak langsung mempersempit ruang lingkup layanan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi. Akibatnya, ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 57 Undang- Undang Penjaminan, berpotensi dikenakan kepada perusahaan asuransi yang menyelenggarakan kegiatan suretyship di luar sektor jasa konstruksi. Ketidakpastian ini terjadi karena, di satu pihak, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi didasarkan oleh Peraturan OJK yang secara hukum adalah peraturan yang valid sebagai wujud kewenangan atribusi yang dimiliki OJK berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, di lain pihak, perusahaan asuransi yang melaksanakan lini usaha suretyship berdasarkan peraturan yang valid, berpotensi terkena ketentuan pidana karena dasar hukum kegiatannya tidak didasarkan pada undang-undang. Ketidakpastian hukum ini menurut ahli bukanlah akibat dari kesalahan perumusan Pasal 61 Undang-Undang Penjaminan. Penggunaan frasa “… yang dijalankan berdasarkan undang-undang” pada Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Penjaminan sebagai pengecualian atas kewajiban penyesuaian terhadap undang-undang penjaminan, disusun dengan asumsi atau penalaran yang wajar bahwa hal-hal yang bersifat pokok dan penting akan diatur secara ajeg di dalam norma undang-undang dan tidak didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang lain. Menurut ahli, pendelegasian ketentuan yang bersifat pokok dan penting kepada peraturan yang secara hukum hanya dapat mengatur teknis administratif merupakan sebuah anomali. Dengan demikian, masalah utama ketidakpastian hukum ini menurut ahli terletak pada ketidaktaatan asas pada saat pembentukan Undang-Undang Perasuransian, khususnya pada saat merumuskan Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur ruang lingkup usaha 48 dengan norma tertutup, dan Pasal 5 yang memberikan pengecualian untuk memperluasnya melalui Peraturan OJK dalam bentuk pemberian delegasi blangko.
Agar tercipta kepastian hukum yang adil bagi usaha penerbitan suretyship yang telah berjalan sejak 1978, apakah terdapat cukup alasan konstitusional untuk secara eksplisit mencantum frasa “termasuk lini usaha suretyship ” dari makna “dapat diperluas” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 2014? Kehadiran Mahkamah Konstitusi seringkali dimaknai sebagai “ the negative legislature ”, yakni institusi yang menjadi penyeimbang dari kekuasaan politik untuk membatalkan produk hukum yang dibentuknya. Namun, seringkali “ the negative legislature ” dimaknai secara sempit bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat membentuk norma hukum baru, melainkan hanya membatalkan norma hukum dan mengembalikan pembentukannya pada cabang kekuasaan politik. Pandangan ini menurut ahli tidak sepenuhnya tepat, apalagi dengan kompleksitas permasalahan ketatanegaraan yang semakin rumit yang sering kali dihadapi Mahkamah Konstitusi. Aharon Barak di dalam bukunya “Judge in Democracy ” mencoba memberikan jawaban mengenai bagaimana pengadilan seharusnya memposisikan dirinya dalam menghadapi perkara-perkara yang kompleks tersebut. Menurutnya, pengadilan secara inheren dibekali kewenangan untuk melakukan “ judicial discretion ”. “Diskresi” dalam pendapat Aharon Barak tersebut dapat dilakukan dalam bentuk menghadirkan perluasan makna dari norma hukum, perubahan makna dari norma konstitusi, penambahan norma baru, hingga putusan yang bersifat “ ultra vires ”. Mengutip pendapat Chief Justice Lord Hewart: “ It is fundamental importance that justice should not only be done, but should manifestly and undoubtedly be seen to be done ”. Artinya, pengadilan harus memastikan keadilan benar-benar dapat dinikmati setiap warga negara dan tidak semata-mata hanya berbunyi di atas kertas. Pandangan ini sejatinya merupakan pandangan yang menolak gagasan tradisional tentang fungsi kekuasaan kehakiman yang sebatas hanya diposisikan sebagai institusi 49 yang menafsirkan hukum dan seringkali dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah. Pandangan mengenai judicial discretion ini memang seringkali dikritik dengan alasan dapat mengakibatkan pengadilan berubah menjadi institusi yang “hiperaktif” dan eksesif, serta mencederai prinsip dasar bernegara, yakni demokrasi dan prinsip pemisahan kekuasaan. Namun, Ran Hirschl, seorang pakar political science dalam sebuah artikel yang berjudul: “Constitutional Courts vs Religious Fundamentalism: Three Middle Eastern Tales ”, mengatakan bahwa kritik-kritik terhadap judicial discretion dan dampak buruknya, umumnya didasarkan pada pemahaman yang keliru. Dalam bantahannya, Hirschl mengatakan bahwa pembentukan pengadilan (terutama pengadilan konstitusional) tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kenyataan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terbentuk dari tatanan sistem politik tertentu. Akibatnya, pengadilan tidak mungkin beroperasi pada dimensi yang vakum akan politik dan ideologi. Bagi Hirschl, pengadilan harus menjadi bagian integral untuk dapat memanifestasikan gagasan dan value politik serta ideologi yang melatar belakangi pembentukannya. Berdasarkan pendapat Ran Hirschl tersebut, ahli berpendapat bahwa jika Mahkamah Konstitusi pada awalnya memang dibentuk sebagai “ the guardian of the constitution, and the protector of human rights ”, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban pula untuk memastikan bahwa fungsi-fungsinya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk menghadirkan remedy bagi mereka yang hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, memberikan tafsir konstitusional bersyarat sebagaimana permohonan pemohon, menurut ahli dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang pengadilan memutus berdasarkan hukum. Makna memutus berdasarkan hukum diartikan oleh Mark Elliot sebagai sebuah putusan yang dihasilkan dengan cara-cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip umum, baik hukum maupun politik, yang mendasari terbentuknya konstitusi. Mengutip pendapat Sir Edward Coke beberapa abad yang lalu: “ Reason is the life of the law ”, artinya legitimasi putusan pengadilan hanya dapat dilihat atau dinilai melalui alasan atau 50 pertimbangan-pertimbangan yang mendasari mengapa sebuah putusan dijatuhkan. Sejarah dunia telah mencatat berbagai putusan yang bersifat membentuk norma baru, ataupun mengubah makna konstitusi selalu mendapatkan penerimaan dengan baik dari masyarakat, sepanjang memiliki legal reasoning yang memadai, sebagaimana terjadi pada putusan landmark Supreme Court Amerika Serikat di perkara Brown v Board of Education tahun 1954 maupun Roe v Wade tahun 1973. Dalam perkara Brown v Board of Education , diskresi pengadilan mengambil bentuk berupa pembatalan precedent atau putusan sebelumnya yang menjadi dasar segregasi rasial di Amerika melalui doktrin separate but equal yang diputuskan dalam perkara Plessy v Ferguson . Fakta sejarah kemudian menunjukan bahwa putusan ini telah memicu perubahan paradigmatik pada dimensi kebijakan publik Amerika terkait hak-hak masyarakat kulit hitam. Pasca putusan ini, kebijakan publik Amerika cenderung mengarah pada desegregasi dan pemberian kebijakan affirmative action bagi masyarakat kulit hitam. Putusan pengadilan dalam perkara Brown v Board of Education dapat dibaca sebagai sebuah upaya melindungi kebebasan dan persamaan bagi masyarakat kulit hitam yang sejatinya telah dijamin di dalam konstitusi. Begitu pula yang terjadi pada perkara Roe v Wade Tahun 1973. Pengadilan membentuk norma baru yang menjamin kebebasan bagi wanita atas fungsi reproduksinya. Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa praktik aborsi dapat dibenarkan pada trimester pertama masa kehamilan dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk pemenuhan jaminan atas hak diri pribadi ( privacy rights ) sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi. Di Indonesia, praktik serupa beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan demi menegakan keadilan substantif. Misalnya, dalam perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden, yang menetapkan bahwa masyarakat yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetap dapat memilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan menunjukan KTP, KK, ataupun Paspor. 51 Dalam perkara lainnya, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tetap dapat memiliki hubungan hukum dengan ayahnya sepanjang dapat dibuktikan secara hukum. Berdasarkan presedent pada perkara terdahulu, dan berdasarkan fungsi-fungsi Mahkamah Konstitusi yang telah diuraikan sebelumnya, ahli berpendapat bahwa pemberian tafsir konstitusional bersyarat dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang ditujukan untuk memastikan terciptanya remedy bagi pihak-pihak yang hak konstitusionalnya terlanggar.
Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. Permasalahan: Apakah Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak cukup kuat dan oleh karenaya mengandung permasalahan hukum, ketidakpastian hukum, dan potensi kerugian dan dapat merambat ke ancaman pidana bagi para Pemohon (yaitu perusahaan-perusahaan asuransi umum) dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha surety bond dan suretyship , sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian perlu diadakan perubahan. Pertama : Sejarah Singkat Suretyship di Indonesia; Kedua : Definisi Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum; Ketiga : Keunggulan Perusahaan Asuransi dalam memikul risiko dalam produk suretyship ; Keempat : Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan Kelima : Potensi Masalah hukum yang dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship . Pertama: Sejarah Singkat Surety Bond atau Suretyship . Sejak dari awal Tahun 1978 Surety Bond atau Suretyship diadakan di Indonesia, yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan dan menerbitkan Surety Bond atau Suretyship adalah Perusahaan Asuransi Umum (dahulu disebut Asuransi Kerugian). 52 Lini usaha atau Produk Surety Bond atau Suretyship sejak diperbolehkan oleh Pemerintah untuk dijalankan di Indonesia pada tahun 1978, yang diberikan hak dan kewenagan untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha Surety Bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian yaitu PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kemabali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan Surety Bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Kemudian pada tahun 1992 perusahaan-perusaan asuransi kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan (sekarang namanya Kementerian Keuangan), supaya pelaksanaan lini usaha Surety Bond tidak dimonopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Maka pada tahun 1992 dengan diundangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha Surety Bond, sementara PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya untuk melaksanakan Asuransi Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Asuransi Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964. Artinya selama 42 tahun sejak diperkenalkan dan diperbolehkan Surety Bond di Indonesia, lini usaha atau produk Surety Bond adalah lini usaha atau produk asuransi kerugian atau sekarang juga disebut asuransi umum, dengan izin ekslusif pada awalnya kepada asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero, dan kemudian sejak tahun 1992 lini usaha Surety Bond diberikan kepada perusahaan-perusahaan asuransi kerugian (dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memakai istilah asuransi umum). Dengan demikian sejak diperkenalkan dan diperbolehkan lini usaha Surety Bond di Indonesia pada tahun 1978, lini 53 usaha Surety Bond tersebut adalah sebagai lini usaha asuransi umum, dan hingga saat ini sudah 42 tahun lini usaha Surety Bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi kerugian atau asuransi umum. Kedua: Ruang Lingkup Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum Bersifat Terbuka Ruang lingkup usaha asuransi sesungguhnya secara universal sifatnya terbuka untuk semua jenis produk atau lini usaha yang tergolong dan masuk sebagai jenis asuransi umum, karena itu sesungguhnya tidak perlu ada penyebutan nama-nama setiap produk atau lini usaha asuransi umum, karena macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi umum sangat banyak dan selalu berkembang atau bertambah sesuai perkembangan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang juga menimbulkan berbagai ragam jenis dan macan risiko. Pengaturan demikian adalah bersifat universal, dan hal itu sesungguhnya juga sudah diadopsi dan dengan perumusan yang baik dalam Pasal 3 huruf a.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 3 huruf a.1 “a.1 Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti”. Jadi tidak perlu disebutkan satu demi satu jenis produk atau lini usaha seperti asuransi kebakaran rumah, asuransi kendaraan bermotor, asuransi mobil, asuransi pengangkutan, asuransi pencurian, asuransi pesawat terbang, asuransi pengangkutan udara, asuransi penumpang pesawat udara, asuransi kapal laut, asuransi pengangkutan cargo, asuransi pengangkutan penumpang kapal laut, asuransi pengangkutan barang melalui darat dan danau, asuransi pengangkutan barang melalui kereta api, asuransi penumpang kereta api, asuransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, asuransi siber (cyber insurance) , asuransi tanggung jawab hukum siber, dan lain-lain. 54 Tetapi jika ada benturan atau potensi benturan antara dua perusahaan asuransi dengan izin usaha yang berbeda, misalnya antara perusahaan asuransi umum dengan perusahaan asuransi jiwa yang juga dapat secara sah menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha yang sama, maka hal itu adalah perlu diatur dalam undang-undang. Pengaturan demikian terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sebagai berikut: Pasal 2 ayat 1 _(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan: _ a. Usaha asuransi umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri _; dan _ b. Usaha reasuransi......... (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas , lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. __ Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) dan (2) mengatur hal yang sama untuk asuransi umum syariah dan asuransi jiwa syariah. Pada awalnya lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri adalah produk atau lini usaha dari perusahaan asuransi umum, kemudian dalam perkembangannya perusahaan asuransi jiwa juga melakukan dan menjual lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri, karena objek asuransinya adalah manusia dan sesuai perkembangan lini-lini usaha asuransi secara universal, maka pemerintah Indonesia juga mengadopsi hal yang sama. Oleh karena itu, adalah penting dan perlu diatur secara tegas dalam undang-undang perasuransian bahwa jika ada dua jenis usaha dari perusahaan asuransi yang sama-sama diberikan hak untuk menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri, dengan demikian tidak akan ada muncul permasalahan di lapangan mengenai apakah perusahaan asuransi jiwa dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. Pengaturan demikian menciptakan kepastian hukum, ketertipan dan rasa aman bagi pelaku usaha dalam menjalankan usaha nya masing-masing. 55 Selanjutnya ahli ingin memberikan pendapat dan analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuansian yang memuat ketentuan tentang ruang lingkup usaha asuransi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian berbunyi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _; _ (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana _; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (1) tersebut memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha asuransi umum, asuransi jiwa, baik yang konvensional maupun syariah dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat. Pasal 5 ayat (3) memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini, maka perkembangan produk dan lini usaha asuransi umum yang dapat dilakukan perusahaan asuransi menjadi dibatasi karena hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi untuk asuransi umum, asuransi jiwa baik yang konvensional maupun yang syariah yang merupakan bagian dari lingkup usaha menjadi tertutup dan kaku, tidak dapat lagi mengikuti perkembangan kemajuan produk atau lini usaha di industri jasa asuransi yang sangat dinamis dan cepat, karena untuk menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan akan memakan waktu yang tidak sedikit, dan tidaklah semudah menerbitkan izin usaha produk atau lini usaha. 56 Selama ini setiap kali perusahaan asuransi hendak dan mau melakukan atau memasarkan suatu macan atau jenis produk atau lini usaha, maka perusahaan asuansi wajib dan cukup mengajukan pengajuan dan permohonan izin produk atau lini usaha terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan izin produk atau lini usaha dan mendaftarkan produk atau lini usaha tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Setelah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan barulah perusahaan asuransi dapat secara sah melakukan dan memasarkan atau menjual produk atau lini usaha tersebut, ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Bunyi selengkapnya dari Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tersebut adalah sebagai berikut: “Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau unit syariah pada perusahaan asuransi yang akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib terlebih dahulu mendapakan persetujuan dari OJK”. Maka jika memperhatikan dengan cermat bunyi ketentuan Pasal 5 khususnya ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Pasal Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, maka pengaturan ketentuan yang ideal dan baik adalah yang diatur dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, yang mana untuk melakukan dan memasarkan suatu produk atau lini usaha cukup dengan mengajukan permohonan izin produk kepada OJK dan tidak perlu OJK menerbitkan suatu Peraturan OJK yang khusus untuk setiap produk atau lini usaha. Tetapi jika dianalisis dari hirarkhi peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka perluasan lingkup usaha dan lini 57 usaha asuransi untuk produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship seharusnya diatur dalam Undang-Undang Perasuransian supaya tidak menimbulkan ketidak pastian hukum, karena pemberian lingkup usaha untuk menerbitkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship kepada perusahaan penjaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Oleh karena itu ahli perpendapat bawa permohonan uji materi yang diajukan oleh Para Pemohon sangatlah mempunyai dasar dan alasan yang kuat, karena dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, menjadi ada dua jenis perusahaan dengan izin usaha yang berbeda dapat melakukan dan menerbitkan lini usaha penjaminan atau Surety Bond yang merupakan bagaian dari Suretyship. Sehingga persaingan yang tidak sehat di lapangan dan potensi permasalahan dapat dihindari, karena ada kepastian hukum, ketertiban, dan rasa aman bagi pelaku usaha yaitu perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan yang sama-sama diberikan kewenangan, hak, untuk dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond yang merupakan bagian dari Suretyship. Ketiga: Keunggulan Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari Produk atau Lini Usaha Surety Bond/Suretyship Ada paling tidak 4 (empat) keunggulan dari Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship dibandingkan dengan Perusahaan Penjaminan dan lini usaha bank garansi untuk bank, yaitu:
Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang;
Sistem Pool Asuransi;
Pangalaman Yang Telah Teruji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari projek Yang Besar, dan;
Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga; 58 1. Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang Reasuransi atau pertanggungan ulang sudah ratusan tahun dikenal dan diterapkan dalam perasuransian secara universal yang dimulai di Negara Inggris sebagai pusat bisnis asuransi dan reasuransi dunia. Melalui mekanisme reasuransi yang menjadi sistem penyebaran risiko secara nasional, regional dan global, sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat secara sah dan mampu memberikan jaminan asuransi dan penjaminan surety bond/suretyship dengan baik meskipun nilai asset atau nilai jaminan surety bond/suretyship sangat jauh melebihi nilai asset atau modal setor perusahaan asuransi umum yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perusahaan asuransi umum oleh peraturan perundangan diwajibkan memiliki program dan sistem sistem reasuransi atau pertanggungan ulang otomatis sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 yang mengatur sebagai berikut: “Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi atau perjanjian syariah otomatis”. Dengan adanya program reasuransi dari perusahaan asuransi umum, maka sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat memikul dan memberikan jaminan asuransi atas berbagai risiko dengan nilai yang diasuransikan jauh melebihi permodalan atau asset dari suatu perusahaan asuransi, karena sesuai ketentuan permodalan perusahaan asuransi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah mengatur: “Perusahaan Asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000.- (seratus lima puluh miliar rupiah)”. 59 Meskipun modal setor atau nilai asset dari sebuah perusahaan asuransi umum hanya mislanya Rp150.000.000.000.- (seratus limapuluh miliar rupiah, tetapi perusahaan asuransi tersebut akan dapat memberikan jaminan pertanggungan atau penjaminan dengan nilai Rp500.000.000.000.- (lima ratus miliar rupiah) atau bahkan Rp1.000.000.000.000.- (satu triliun rupiah) untuk satu objek risiko. Karena sebagian besar nilai resiko polis asuransi atau Surety Bond/Suretyship akan direasuransikan ke perusahaan reasuransi dalam negeri, regional, dan jika perlu ke perusahaan reasuransi di pasar reasuransi global seperti ke pasar reasuransi London, Swiss, German, dan lain-lain. Sementara di perusahaan penjaminan secara global dan internasional tidak dikenal sistem reasuransi.
Sistem Pool Asuransi Di perusahaan asuransi umum juga terdapat sistem pool asuransi dimana sejumlah perusahaan asuransi bekerja sama untuk memikul dan menjamin suatu risiko dengan nilai yang besar atau karena risiko tersebut mempunyai karakteristik yang mengakibatkan risikonya sangat tinggi. Sistem pool asuransi juga diterapkan untuk lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk menjamin proyek-proyek dengan nilai yang besar sekali. Di Indonesia beberapa perusahaan asuransi umum telah membentuk suatu sistem pool asuransi untuk menjamin lini usaha custom bond yang merupakan turunan dari Suretyship. 3. Pengalaman Yang Telah Diuji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari Projek Yang Besar Perusahaan-perusahaan asuransi umum telah mempunyai pengalaman selama 42 tahun dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perusahaan asuransi umum adalah yang menjadi pioneer dan pertama melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perjalanan dan pengalaman mereka selama 42 tahun telah membuktikan bahwa perusahaan asuransi umum dapat dan mampu dengan baik melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli adalah layak dan pantas jika perusahaan 60 asuransi umum tetap diberikan hak dan kewenangan dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 untuk menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Dari data yang ahli dapatkan dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), selama 6 tahun terakhir dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2019, perusahaan asuransi umum telah memberikan jaminan lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk berbagai projek dengan nilai total jaminan Rp 2.688 triliun dari total nilai projek Rp 38.400 triliun dengan demikian rata-rata nilai jaminan setiap tahun adalah sebesar Rp 448 triliun dari total nilai projek sebesar Rp6.400 triliun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini: Data Lini Usaha Surety Bond/Suretyship dari Tahun 2014 s.d. 2019 Sumber: Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) 4. Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis Yang Lebih Sederhana dan Tidak Memerlukan Collateral atau Jaminan Berupa Sejumlah Uang atau Asset atau sebuah benda berharga Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga, sebagaimana diterapkan oleh perbankan. Dengan sistem seperti itu, maka pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempunyai keterbatasan dalam permodalan usaha, mereka juga terbantu dalam menjalankan usahanya dengan adanya lini usaha surety Bond/Suretyship dari perusahaan asuransi umum. 61 Keempat: Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Selama 38 tahun sejak tahun 1978 hingga tahun 2016 sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, tidak ada permasalahan hukum yang timbul bagi perusahaan asuransi umum dalam menjalankan lini usaha Surety Bond/ Suretyship . Permasalahan timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian tidak secara tegas mengatur dalam Pasal 2 ayat (1) a. dan Pasal 3 ayat (1) a. untuk asuransi umum syariah bahwa lini usaha Surety Bond/Suretyship adalah lini usaha yang dapat dijalankan oleh perusahaan asuransi umum. Oleh karena itu ahli berpendapat adalah perlu ditegaskan dalam Pasal- pasal tersebut di atas bahwa perusahaan asuransi umum dapat menjalankan lini usaha Surety Bond/Suretyship sebagaimana diajukan pemohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat ini. Hal ini perlu ditegaskan dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa usaha assuransi umum dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan, lini usaha asuransi kecelakaan diri, dan lini usaha Surety Bond/Suretyship, dengan demikian akan tercipta kepastian hukum bagi perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Karena Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan dalam Pasal 4 ayat (2) memuat ketentuan bahwa perusahaan penjaminan juga dapat melakukan lini usaha Surety Bond, custom bonds yang merupakan bagian dari Suretyship. Kelima: Potensi Masalah hukum dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan memuat ketentuan sebagai berikut: 62 c. Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Ketentuan Pasal 61 tersebut di atas menurut ahli telah menciptakan ketidakpastian hukum untuk perusahaan asuransi umum dalam melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship, karena ada kewajiban untuk perusahaan asuransi umum yang sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan untuk menyesuaikan dengan undang-undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (1). Dan penyesuaian tersebut haruslah dilakukan melalui undang-undang, tentu bagi perusahaan asuransi adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Sementara saat ini, perusahaan asuransi umum melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship tidak didasarkan pada undang-undang, akan tetapi didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.5/2016 yang diatur dalam Pasal 4. Dan jika ditinjau dari hirarki peraturan perundangan sebagaimana telah dijelaskan ahli sebelumnya, posisi dan kedudukan hukum dari perusahaan asuransi umum tentu termasuk direksi dan pejabatnya adalah lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan penjaminan. Akibatnya, Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang memuat ketentuan ancaman hukuman pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000.- (seratur miliar rupiah), berpotensi dan dapat dikenakan kepada direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melaksanakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli perlu diadakan perubahan sebagai penegasan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, khususnya dalam pasal 2 ayat (1) untuk menegaskan bahawa perusahaan asuraqnsi umum dapat melakukan/menyelenggarakan lini usaha Surety Bond/Suretyship, sebagaimana dimohon oleh Pemohon dalam pengajuan 63 mereka kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, supaya ada kepastian hukum, rasa kenyamanan, ketertiban, dan keadilan bagi perusahaan asuransi umum yang telah selama 42 tahun melakukan/menyelenggarakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat dan Mulia ini, dibentuk sebagai pengawal konstitusi dan untuk melindungi hak asasi manusia dari warganegara Republik Indonesia, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tugas dan kewajibannya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat pelaku usaha asuransi umum dalam bentuk menghadirkan kepastian hukum dan ketenteraman bagi pelaku usaha asuransi umum dalam melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship, yang hak konstitusionalnya mereka rasakan telah terlanggar dan menimbulkan ketidak pastian serta berpotensi menimbulkan ancaman pidana akibat berlakunya sebuah undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan. Saksi Pemohon 1. Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H. - Terdapat tujuh permasalahan hukum yang akan Saksi sampaikan, pertama, persoalan yang berkaitan dengan suretyship atau surety bond yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pada 1837 di Amerika sudah lahir surety bond ini dan kemudian di Belanda didirikan sebuah perusahaan yang bernama NV Nationale Borg Maskapai pada tahun 1893. Demikian juga, secara mendunia pada tahun 1928 di Swiss didirikan yang namanya International Credit Insurance and Surety Association; __ - Untuk di Indonesia, suretyship atau surety bond ini mulai dikenal pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk mengeluarkan produk yang berupa surety bond yang waktu itu namanya adalah surety atau bonding. Dalam perkembangannya, menteri keuangan mengubah istilah surety bond ini menjadi suretyship pada tahun 2008 dan menetapkan 20 perusahaan asuransi yang boleh mengeluarkan produk suretyship ini; __ 64 - Kemudian di dunia perasuransian lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan menyusul Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan). Dengan keluarnya kedua undang-undang ini, mulai timbul permasalahan di dalam penerbitan surety bond dan suretyship karena Undang-Undang Perasuransian tidak hanya mendelegasikan pengaturan suretyship ini kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), sedangkan UU Penjaminan menyebut secara rinci apa yang disebut dengan surety bond itu; __ - Bahwa sampai hari ini produk suretyship yang ijin usahanya dikeluarkan oleh OJK masih tetap berlaku, namun kekhawatiran Saksi adalah apabila pihak obligee atau pihak pemberi pekerjaan, pihak pemerintah menanyakan legalitas dari suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship dalam dokumen lelangnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005, maka apa yang diharapkan oleh dunia kontraktor menjadi hilang karena suretyship hanya diatur dalam POJK; __ - Saksi mohon agar bisa ketentuan suretyship ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah terjadi pada saat ini, maka perlu ada penguatan dari produk hukum dari yang hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan menjadi bagian atau isi daripada Undang-Undang Perasuransian dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi; __ - Perusahaan-perusahaan kontraktor atau prinsipal selalu menggunakan suretyship karena tidak membutuhkan adanya agunan, tidak membutuhkan collateral, dan cukup membayar premi serta sifatnya tetap unconditional. Untuk itu sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk tiga konsorsium dari perusahaan asuransi ini, yaitu konsorsium penjaminan proyek, konsorsium jasa surety bond , dan konsorsium penjaminan Indonesia; __ - Di dalam ketiga konsorsium ini bernaung perusahaan-perusahaan asuransi yang bisa memberikan di satu pihak jaminan yang bersifat unconditional, namun di lain pihak perusahaan-perusahaan kontraktor ini tidak 65 memerlukan collateral, tidak memerlukan agunan untuk terbitnya jaminan- jaminan ini. Hal ini yang perlu dikuatkan demi kelangsungan perusahaan asuransi atau juga konsorsium asuransi untuk tetap bisa menerbitkan surety bond agar tidak tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Penjaminan karena sangat berbeda produk antara penjaminan di satu pihak dengan asuransi di lain pihak; __ - Bahwa untuk pembangunan-pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang, suretyship yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi dan juga konsorsium asuransi sangat memberikan kemudahan kepada perusahaan kontraktor dan juga jaminan kepada pemerintah, karena suretyship yang dikeluarkan oleh konsorsium asuransi itu bersifat unconditional , tanpa syarat. Apabila ada klaim 14 hari langsung uang cair, dan itulah syarat dalam penggunaan uang pemerintah supaya tidak ada uang yang harus dikejar-kejarlah. Jadi, uangnya tetap hadir dan dapat dipakai untuk kegiatan lain apabila ada permasalahan di dalam perjanjian induk __ 2. Ir. Manahara R. Siahaan - Saksi adalah Ketua Umum Gapeknas sejak tahun 2000 sampa saat ini; - Bahwa pada tahun 1998 lahirlah undang-undang yang menyatakan tidak ada monopoli lagi, saksi adalah salah seorang yang menangkap peluang ini dan mendklarasikan Asosiasi Gapeknas, sehingga di Indonesia tidak lagi ada monopoli asosiasi dan saat ini asosiasi sudah banyak; - Bahwa saksi sebagai kontraktor tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi, yang di dalam praktiknya kontraktor membutuhkan empat jenis jaminan; - Bahwa dari pengalaman saksi sebagai Ketua Gapeknas, penggunaan produk suretyship lebih memudahkan para kontraktor dibandingkan dengan bank garansi; __ - Bahwa perusahaan di Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih 130.000, terdiri dari 90% adalah perusahaan kecil, menengah, dan sisanya 10% adalah perusahaan besar; __ - Bahwa saksi membutuhkan bank garansi dalam pelaksanaan tender, mulai dari tender sampai dengan penyerahan; __ 66 - Bahwa jika menggunakan fasilitas bank harus diawali dengan kerja sama dengan bank terlebih dahulu, terdapat perjanjian kredit yang harus dibuat dan biasanya biayanya cukup besar; __ - Bahwa bagi perusahaan kecil, ketika bank garansi melakukan perjanjian maka harus memberikan jaminan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh perusahaan kecil, karena umumnya perusahaan kecil tidak memiliki aset untuk diserahkan pada bank; __ - Saksi telah lama mengenal produk asuransi untuk kebutuhan jaminan proyek yaitu melalui surety bond, jadi ketika ada pengajuan penawaran biasanya saksi meminta dari perusahaan asuransi dan bukan dari bank; __ - Saksi butuh kehadiran asuransi sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi khususnya Pasal 57; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 Agustus 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU PERASURANSIAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” 67 Bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara pasti lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24 angka 3.8) dan adanya persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan) yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10). Bahwa Pemohon memohon dalam petitumnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) II. KETERANGAN DPR RI A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 sebagai berikut: 68 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon adalah badan hukum perkumpulan yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum organisasi ( organizational legal standing ) sebagai Pemohon pengujian undang-undang, karena para anggotanya adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian. Pemohon mendalilkan keberlakuan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil Pemohon mengenai organizational legal standing tersebut, DPR RI berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik, melainkan hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi. Bahwa Pemohon merupakan perkumpulan asosiasi yang beranggotakan perusahan asuransi umum di Indonesia, sehingga Pemohon hanya mewakili kepentingan anggotanya saja dan bukan kepentingan umum atau kepentingan publik. Doktrin organizational legal standing telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH). Bahwa ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa: “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 92 UU PPLH menyebutkan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan tidak ada 69 satupun ketentuan dalam UU Perasuransian yang memberikan hak kepada perkumpulan wadah perusahaan asuransi untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan publik dalam perasuransian. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo mengatur mengenai ruang lingkup usaha asuransi yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi ( vide Pasal 2 UU a quo ), sehingga addressat dari Pasal a quo adalah perusahaan asuransi. Sedangkan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonannya adalah badan hukum privat yang didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota Pemohon dalam rangka memajukan industri umum dana reasuransi di Indonesia, sehingga telah jelas bahwa Pemohon tidak menyelenggarakan usaha perasuransian dan bukan merupakan addressat dari ketentuan Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon sebagai perkumpulan tidak memiliki hak konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki keterkaitan dengan ketentuan Pasal a quo . Hal tersebut selaras dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “ Bahwa subjek hukum yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU 40/2007 adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, tidak menunjuk pada wadah atau himpunan dari perseroan ..... Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dirugikan secara langsung oleh berlakunya Pasal a quo. ” 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship secara potensial tidak dapat dilakukan, padahal produk tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan memajukan industri asuransi umum dan reasuransi. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menegaskan bahwa sedari awal UU Perasuransian tidak memberikan pengaturan maupun 70 kewenangan apapun kepada asosiasi untuk melaksanakan ketentuan UU a quo , sehingga jika terjadi kerugian yang diakibatkan dari keberlakuan Pasal a quo , maka kerugian tersebut hanya akan berdampak kepada perusahaan asuransi, dan tidak berdampak apa pun kepada perkumpulan asosiasi perusahan asuransi. Bahwa sebagai sebuah perkumpulan, Pemohon tidak dapat mengeluarkan produk- produk suretyship yang didalilkan terancam oleh keberlakuan Pasal a quo . Dalam perbaikan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa “ Asosiasi mewakili anggota dalam berbagai forum baik lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya ”. Dari pernyataan tersebut, tidak jelas apakah Pemohon sebagai asosiasi dapat mewakili anggotanya di pengadilan ( in casu Mahkamah Konstitusi). Oleh karenanya Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon sebagai asosiasi memang diberikan wewenang secara jelas oleh para anggotanya untuk mengajukan Permohonan a quo . Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU Perasuransian menyatakan bahwa “ Asosiasi Usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK ”, sedangkan Pemohon dalam Perbaikan Permohonannya tidak menguraikan mengenai adanya persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu asosiasi usaha perasuransian. Oleh karena itu Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon telah mendapat persetujuan tertulis dari OJK tersebut. Oleh karena ketentuan Pasal a quo tidak berdampak apapun terhadap Pemohon sebagai asosiasi, Pemohon tidak menunjukkan adanya kewenangan untuk mewakili anggota di persidangan, dan Pemohon juga tidak menunjukkan adanya persetujuan tertulis dari OJK sebagai asosiasi usaha perasuransian dalam uraian Perbaikan Permohonan a quo , maka tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan ketentuan Pasal a quo . 71 3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi DPR RI menerangkan bahwa Pemohon sebagai sebuah asosiasi tidak dapat melaksanakan lini usaha suretyship karena yang dapat melaksanakan adalah perusahaan asuransi dan bukan asosiasi, oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon adalah kerugian yang disampaikan tanpa ada dasar yang jelas karena perusahaan asuransi tetap dapat menjalankan usaha dan mendapat kepastian hukum serta diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Oleh karenanya, hak dan/atau kewenangan konstitusional perusahaan asuransi tidak terganggu dengan keberlakuan Pasal a quo . Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak terdapat kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, kerugian yang dimaksud tidak bersifat spesifik, aktual, maupun potensial terhadap Pemohon. Bahwa tidak ada pertautan antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon sebagai asosiasi dengan ketentuan Pasal a quo yang mengatur dan berlaku terhadap perusahaan perasuransian. Begitupun halnya dengan adanya UU Penjaminan tidak berpengaruh apapun terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ Oleh karena itu, jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan Pasal a quo . __ 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa ada/tidaknya Permohonan a quo ataupun jika Permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, hak dan/atau kewenangan 72 konstitusional Pemohon tidak akan terganggu karena tidak adanya kerugian konstitusional. Oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional dengan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian tidak relevan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum “(no action without legal connection). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Keterangan DPR RI terhadap Pokok Permohonan 1. Bahwa layanan jasa perasuransian semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam 73 kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan juga mengakibatkan semakin menipisnya batasan dan perbedaan jenis layanan yang diberikan oleh industri jasa keuangan. Oleh karena itu UU a quo dibuat untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional.
Bahwa definisi usaha perasuransian berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
Bahwa definisi usaha asuransi umum berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Perasuransian adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
Bahwa perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya;
relevan dengan bisnis utama; dan
perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016), perusahaan asuransi umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada: 74 a. kegiatan usaha Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI);
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa ( fee-based );
kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship ; dan/atau
kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah.
Bahwa salah satu ruang lingkup usaha yang diperluas oleh POJK 69/2016 adalah asuransi kredit dan suretyship . Bahwa definisi-definisi yang terkait sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dapat disampaikan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 POJK 69/2016 bahwa Asuransi Kredit adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit;
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 23 POJK 69/2016 definisi suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee ;
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan, kegiatan penjaminan didefinisikan sebagai kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. Dengan merujuk pada definisi-definisi tersebut, maka kegiatan asuransi kredit dan suretyship memenuhi unsur-unsur dari kegiatan penjaminan , yaitu terdapat tiga pihak dan ada perjanjian pokok antara terjamin/ principal dan penerima jaminan/ obligee . Oleh sebab itu lini usaha asuransi kredit dan suretyship lebih mencerminkan usaha penjaminan dibandingkan dengan usaha perasuransian.
Bahwa selama ini dalam praktik terdapat beberapa bentuk suretyship , di antaranya yaitu jaminan penawaran ( bid/tender bond ), jaminan uang muka ( advance payment bond ), jaminan pemeliharaan ( maintenance bond ), jaminan pelaksanaan ( performance bond ), jaminan pembayaran ( payment bond ), dan penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Sedangkan jika melihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d 75 UU Penjaminan, salah satu ruang lingkup usaha penjaminan adalah penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Dengan demikian pada dasarnya menurut UU Penjaminan, lini usaha suretyship termasuk dalam ruang lingkup usaha penjaminan. Oleh karena itu sudah sepatutnya pelaksanaan suretyship harus tunduk kepada UU Penjaminan.
Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian membatasi lini usaha asuransi dengan adanya frasa “hanya dapat”, sementara status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dengan peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon tidak cermat dalam memahami ketentuan pasal- pasal UU a quo karena ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian telah mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan usaha perasuransian. Sedangkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian pada intinya mengatur tentang ruang lingkup usaha perasuransian.
Jika Pemohon menganggap suretyship bisa saja masuk ke dalam makna definisi Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), maka seharusnya Pemohon tidak perlu mengajukan penambahan frasa termasuk lini usaha suretyship dalam Pasal 5 ayat (1) UU a quo . Hal tersebut dikarenakan baik Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 UU a quo , keseluruhannya mengatur mengenai usaha perasuransian, maka secara legal drafting mengacu kepada definisi Usaha Perasuransian yang diatur di dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo yang dianggap Pemohon juga termasuk makna suretyship .
Bahwa frasa “hanya dapat” dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU a quo dirumuskan oleh pembentuk undang-undang disebabkan karena UU a quo menganut asas spesialisasi usaha, 76 sehingga tiap perusahaan asuransi hanya fokus menjalankan usaha perasuransian sesuai dengan jenis perusahaannya, apakah itu perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, ataupun perusahaan pialang asuransi. Namun perusahaan asuransi dapat mengembangkan lini usaha selain yang disebutkan dalam UU a quo selama masih termasuk dalam jenis usaha yang sama dan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hal ini disampaikan beberapa kali oleh Pemerintah sebagai pengusul RUU Perasuransian dalam rapat-rapat pembahasan berikut ini:
Rapat Panja Senin 10 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 60 pdf, hal. 23 file rapat) “... sebetulnya saat ini perusahaan asuransi jiwa maupun perusahaan asuransi umum keduanya boleh menjalankan usaha bisnis asuransi kecelakaan ini maupun asuransi kesehatan. Padahal disisi yang lain, kami ingin mengusulkan azas spesialisasi usaha .” 2) Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 129 pdf, hal. 30 file rapat) “Esensi dari komentar atau pun masukan-masukan dari fraksi-fraksi disini adalah penghilangan kata hanya Pak. Nah, ini sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa kalau kita mendefinisikan satu kegiatan usaha tentunya harus spesifik, harus limitatif jangan kemudian kita buka menjadi satu usaha yang bisa dikembangkan secara bebas kemana saja. Karena itu penggunaan kata “hanya” itu adalah untuk tujuan tersebut supaya jelas usahanya itu apa limitatif betul, fokusnya itu dimana . Karena itu penggunaan kata “hanya” ini kami pandang tetap diperlukan.” 3) Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 198 pdf, hal. 3 file rapat) “Namun demikian terhadap pendapat dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar untuk menghilangkan kata ‘hanya’ ini Pemerintah berpandangan untuk tetap mempertahankan tambahannya itu mengingat di dalam Undang-undang ini kita memang menganut azas spesialisasi usaha . Jadi kalau perusahaan asuransi 77 umum ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi umum. Kemudian perusahaan asuransi jiwa ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi jiwa. d. Selain itu ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (1) huruf a UU a quo menggunakan kata “termasuk”, artinya ketentuan a quo tidak membatasi lini usaha yang hanya ditentukan dalam Pasal a quo , melainkan mungkin saja terdapat lini usaha asuransi yang lain selama termasuk dalam definisi Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Umum Syariah. Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo yang memungkinkan perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perusahaan asuransi umum tidak memerlukan adanya suatu rumusan norma baru dalam UU a quo untuk menjalankan kegiatan suretyship sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya ( vide Perbaikan Permohonan hal. 31). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah diperjelas dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo , yaitu perluasan lingkup usaha dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana dan ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian diatur dalam peraturan OJK;
Bahwa kebutuhan masyarakat akan terus berkembang dan hukum akan selalu mengikuti perkembangan tersebut. Undang-undang tidak mungkin selalu dapat mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan, sehingga perlu pengaturan yang lebih detail dan teknis. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendelegasian 78 pengaturan lebih lanjut ke peraturan di bawahnya yang mengatur hal yang lebih teknis. Inilah yang disebut dengan konsep delegated legislation. c. Maria Farida Indrati S. berpandangan bahwa delegasi adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak (Maria Farida Indrati, S, “Hal-hal Khusus Dalam Perundang- undangan”).
Bahwa suatu undang-undang perlu didelegasikan karena tidak hanya memerlukan pengaturan yang lebih detail, tetapi juga memerlukan pemahaman yang mendalam agar sesuai dengan karakter dari bidang yang akan diatur. Oleh karena itu, pendelegasian wewenang dalam UU a quo yang mengatur mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian agar diatur lebih lanjut dalam peraturan OJK ( vide Pasal 5 ayat (3) UU a quo ) telah tepat karena OJK merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi usaha jasa keuangan yang salah satunya adalah usaha perasuransian.
Oleh karena itu, perumusan frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah tepat __ untuk mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat dan memajukan usaha perasuransian di Indonesia.
Pemohon mendalilkan bahwa peraturan OJK yang kedudukannya berada di bawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon ( vide Perbaikan Permohonan hal. 34). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Bahwa antara UU Perasuransian dengan UU Penjaminan, meskipun memiliki materi muatan yang bersinggungan namun sesungguhnya saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama lain. Akan tetapi justru keharmonisasian pengaturan antara undang-undang tersebut 79 akan menjadi lebih teratur dengan adanya pengaturan yang ada di dalam POJK 69/2016.
DPR RI berpandangan bahwa kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut hukum karena perusahaan asuransi termasuk juga lini usaha sebagaimana dimaksud Pemohon sudah diatur secara tersendiri dalam UU Perasuransian. Dengan demikian ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tidak mengikat pada Pemohon sekalipun Pemohon mempunyai lini usaha suretyship .
Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10), DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa tidak ada ketentuan yang melarang perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship . Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan yang mengatur bahwa: “Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini.” maka perusahaan asuransi yang telah menjalankan lini usaha suretyship sebelum tahun 2016 (dalam hal ini anggota Pemohon yang telah menjalankannya selama puluhan tahun) tetap dapat melakukan kegiatan penjaminan, namun wajib melakukan penyesuaian dengan UU Penjaminan. Selain itu, pembentuk undang- undang juga telah memberikan jangka waktu penyesuaian tersebut paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU Penjaminan, yaitu tanggal 19 Januari 2019. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tersebut merupakan landasan bagi perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha suretyship agar mengikuti ketentuan yang ada dalam UU Penjaminan, meskipun usaha suretyship didefinisikan sebagai lini usaha asuransi umum oleh POJK 69/2016. Oleh karena itu kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut 80 hukum karena perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan kegiatan suretyship .
Pemohon tidak perlu khawatir terkait dengan perizinan perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship akan tetap berlaku seperti perusahaan asuransi biasa, yang wajib menyesuaikan hanya praktik kegiatan penjaminan.
Bahwa pada saat pembahasan RUU Penjaminan, pembentuk undang-undang telah membicarakan praktik usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum, berdasarkan Laporan Singkat Rapat Panja RUU Penjaminan pada hari Senin tanggal 7 Desember 2015. Dalam rapat tersebut Pemerintah mengusulkan agar terdapat pengaturan peralihan terkait dengan adanya usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum dan asuransi syariah tetap dapat berjalan tanpa ada izin usaha penjaminan. Namun terhadap usulan tersebut, Anggota Panja memberikan tanggapan bahwa perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha penjaminan harus memiliki izin usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam RUU tentang Penjaminan, untuk penyesuaiannya akan diberikan tenggang waktu selama 3 (tiga) tahun sejak RUU tentang Penjaminan disahkan. Kemudian kesimpulan rapat pada akhirnya menetapkan bahwa terkait dengan praktik perusahaan asuransi yang masih melakukan usaha penjaminan, diberikan tenggat waktu selama 3 (tiga) tahun untuk melakukan penyesuaian berdasarkan RUU tentang Penjaminan dan diatur dalam aturan peralihan. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa Pembentuk UU Penjaminan tidak melarang perusahaan asuransi umum untuk menjalankan usaha penjaminan namun tetap harus melakukan penyesuaian dengan ketentuan UU Penjaminan.
Terhadap petitum Pemohon yang menginginkan penambahan frasa “...termasuk lini usaha suretyship...” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa jika petitum Pemohon tersebut dikabulkan, maka akan dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum yang baru karena di dalam UU a quo belum terdapat definisi suretyship maupun ketentuan yang 81 mendeskripsikan mengenai bidang usaha apa saja yang masuk ke dalam kategori suretyship . Jika pengaturan mengenai suretyship secara tiba-tiba diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo tanpa diatur definisinya terlebih dahulu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa petitum Pemohon bukan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator , DPR RI mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator . Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang- undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” ( Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com). Dengan demikian pada dasarnya MK tidak dapat mengabulkan petitum konstitusional bersyarat yang diajukan oleh Pemohon.
Bahwa jika Permohonan a quo mengenai lini usaha suretyship sebagai pengembangan lini usaha asuransi yang diatur dalam UU a quo ini dikabulkan, hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan buruk di masyarakat dimana jika merasa ada kebutuhan akan pengaturan lini usaha yang baru, maka masyarakat akan kembali mengajukan permohonan pengujian UU a quo ke Mahkamah Konstitusi, namun tidak memberikan masukan legislative review kepada pembentuk undang-undang. Oleh karenanya jika Pemohon ingin adanya ketentuan yang mengatur mengenai lini usaha suretyship dalam UU Perasuransian, maka Pemohon dapat mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR RI, sebagai masukan atau partisipasi dari masyarakat dalam pembentukan undang- undang. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU Perasuransian Bahwa selain pandangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal dalam UU a quo sebagai berikut: 82 1. Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 15.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 83 pdf, hal. 11 file rapat) “Begini Pak, mengenai asuransi kerugian ini tidak diatur detail dalam undang-undang. Kita hanya mengatur tentang sifat umumnya saja dan mengenai pengembangan pengerjaannya itu nanti akan kita diskresi kan ke OJK kan begitu ya Pak ya nanti kalau kita melihat dalam pasal. Coba diingatkan saja nanti pihak Pemerintah supaya begitu kita masuk kedalam pasal yang memberi ruang diskresi itu kita bisa pastikan bahwa kalau ada pengembangan baru itu bisa dilakukan tetap dengan menjaga konsistensi kita terhadap visi undang-undang itu Pak ya.” 2. Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 200 pdf, hal. 5 file rapat) “Sebetulnya sih di dalam peraturan-peraturan Pemerintah Pak ya tingkat PP maupun di PMK itu ada banyak materi yang sudah lazim dilakukan dan diatur oleh Pemerintah tetapi perlu untuk kita angkat sedikit ke atas ke perundang-undangan.” ... “ini kan sayang Pak kalau kita tidak, toh di dalam undang-undang ini tidak harus detail tapi saya kira dikasih ruang lah kepada asuransi ini untuk masuk saja ke dalam sektor ini . Bisa saja begitu Pak tentu dengan memberikan kewenangan pengaturan teknisnya itu kepada OJK .” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 206 pdf, hal. 11 file rapat) “Pak, memang kalau usaha asuransinya, lini usahanya terutama itu berkembang Pak , lini usahanya Pak jadi lini usaha itu contohnya adalah marine insurance, cargo insurance, fire insurance itu berkembang dan dikemudian hari bisa macam-macam. Tetapi pengelompokan mereka menurut karakter usaha rasanya kita sudah cukup definitif gitu Pak ya dipraktek selama ini, asuransi jiwa, asuransi umum, re asuransi. Jadi kalau kita berbicara mengenai perusahaannya Pak ini maka kita sudah cukup limitatif tidak akan ada ide untuk berkembang lagi karena setiap varian dari itu bisa masukan ke salah satu itu Pak.” 3. Rapat Panja Jumat 3 Juni 2014 Pukul 14.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 323 pdf, hal. 60 file rapat) “... ada diskusi tambahan, misalnya di Pasal 2 ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK karena perkembangan waktu itu untuk melakukan adjustment terhadap produk-produk itu...” • F-PG (Dr. H. Harry Azhar Azis, MA) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “... pertanyaannya seberapa besar dibolehkan produk asuransi bertransformasi menjadi bagian dari produk non asuransi.” 83 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “Sebetulnya ada rumahnya ini kalau kita mau diskusi di Pasal 2 pak, padahal di Pasal 2 itu ada ketentuan ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK untuk melakukan penyesuaian terhadap industri , jadi saya kira nanti kita diskusikan di sini tetapi kalau materi ini bisa disepakati oleh teman-teman , kalau yang ini kan tidak ada masalah kan ya, yang kita mau batasi ini adalah materi tentang seberapa besar mereka ini bisa berkembang lebih daripada industri aslinya itu kan begitu, nah itu ada rumahnya di Pasal 2 ayat (5) .” (RAPAT SETUJU) 4. Rapat Panja Sabtu 30 Agustus 2014 Pukul 10.05 • F-PDIP (I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M.) (hal. 562 pdf, hal. 9 file rapat) “Ini sehubungan dengan adanya perkembangan yang kita lihat di lapangan semakin kedepan kita melihat pertimbangan jauh kedepan. Ini bagaimana kita memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi umum, tidak terbatas dalam rangka menanggung resiko ...” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kami mengusulkan kita buka pintu diskresi kepada OJK untuk meng-access apakah masyarakat memang membutuhkan hal tersebut, apakah perusahaan asuransinya sudah mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut . Kalau ini disepakati kita mungkin bisa masukkan didalam rancangan undang-undang kami ada di Pasal 5 Pak bahwa ruang lingkup usaha perasuransian dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kita tidak tutup pintu dalam undang-undang ini, silakan. Tapi mengenai timing waktunya persyaratannya itu, itu akan diatur oleh sesuai dengan pengamatan OJK .” (RAPAT: SETUJU) 84 III. PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bon o). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 3 Maret 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 3 Maret 2020 dan 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada pokoknya Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan- ketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, yang berbunyi: “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 85 Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa alasan timbulnya kerugian konstitusional dimaksud adalah:
Pemohon menyatakan yang menjadi permasalahan dalam permohonan a quo adalah mengenai ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam UU Perasuransian yang tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship . Menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Frasa “ dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara tegas tentang suretyship sehingga bersifat multitafsir dan dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa kemunculan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan) telah menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sehingga kepastian usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah menyebabkan perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship , yang mana menurut Pemohon bahwa perusahaan asuransi tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga penjaminan.
Izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Bahwa adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah mewajibkan kegiatan penjaminan untuk mematuhi UU Penjaminan, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, sedangkan kedudukan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 86 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK Nomor 69/POJK.05/2016) yang merupakan tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU Persuransian menurut Pemohon adalah di bawah undang-undang sehingga dianggap kedudukannya tidak sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan.
Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta penegasan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma hukum baru dengan memberikan tafsiran Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yaitu menegaskan perluasan lini usaha asuransi berdasarkan kebutuhan masyarakat adalah termasuk suretyship .
Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta agar Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. II. TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. 87 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji.
Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: • Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; • Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; • Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; • Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; • Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai tentang kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU Perasuransian a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. 88 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LANDASAN FILOSOFIS 1. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis penyusunan Undang-Undang Perasuransian;
Sesuai amanat founding father yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan bernegara ini diwujudkan dalam landasan idiil sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pencapaian tujuan negara tersebut dilakukan dengan pembangunan berkelanjutan yang melibatkan seluruh masyarakat. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan diperlukan kondisi yang mendukung aktivitas produktif masyarakat yang salah satunya diwujudkan dengan adanya pihak yang berperan dalam menanggulangi risiko keuangan yang dihadapi masyarakat. Risiko keuangan tersebut timbul dalam berbagai aspek kehidupan dan membutuhkan pihak yang dapat menanggulanginya. Asuransi merupakan pihak pengambil alih risiko yang mempu memberikan perlindungan kepada masyarakat atas kemungkinan kerugian yang terjadi pada harta benda atau kepentingan finansial yang dimilikinya.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, UU Perasuransian mengatur bahwa objek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia dan penutupan objek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan 89 upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri.
Dengan adanya perlindungan asuransi diharapkan akan tercipta ketenangan bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan mendorong inovasi usaha yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama. Perusahaan Perasuransian sebagai suatu institusi keuangan yang melakukan pengumpulan dana masyarakat juga memungkinkan adanya akumulasi dana yang dapat digunakan dalam rangka pembiayaan kegiatan pembangunan nasional. B. SEJARAH DAN KEDUDUKAN PERUSAHAAN ASURANSI DALAM MENJALANKAN LINI USAHA SURETYSHIP 1. Pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi telah dilaksanakan sejak tahun 1978 melalui PT Jasa Raharja (Persero). Saat itu, PT Jasa Raharja (Persero) merupakan satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang dapat menerbitkan surety bond melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”.
Pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang menegaskan LKNB yang dapat menerbitkan jaminan surety bond adalah PT Jasa Raharja (Persero). Tujuannya adalah tidak terlepas dari peran Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha ekonomi lemah dengan memberikan kemudahan pengurusan penjaminan melalui produk surety bond sebagai alternatif dari Bank Garansi.
Pada tahun 1992, seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, peran PT Jasa Raharja (Persero) dikembalikan sebagai fungsi dan tugas pokoknya sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan tidak dapat melaksanakan perluasan usaha seperti Surety Bond . 90 4. Di dalam perkembangannya, kedudukan dan ruang lingkup perusahaan asuransi di dalam menjalankan kegiatan lini usaha asuransi kemudian dipertegas dalam UU Perasuransian.
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Selanjutnya, kewenangan perusahaan asuransi di dalam menjalankan lini usaha penjaminan suretyship diberikan peluang dalam Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU Perasuransian.
Bahkan dalam melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, pada Pasal 1 angka 23 POJK Nomor 69/POJK.05/2016 secara tegas diatus bahwa “ Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan _obligee”; _ 8. Praktik pemberian Suretyship pada umumnya merupakan bentuk penjaminan untuk mendukung pelaksanaan proyek pengadaan barang/jasa seperti misalnya pada proyek infrastruktur atau jasa konstruksi untuk pembuatan jalan raya, jalan tol, rumah sakit, dan lain- lain. Dalam pelaksanaan proyek jasa konstruksi dengan jaminan suretyship ini melibatkan pihak-pihak yaitu pemilik proyek/tender (obligee), pelaksana proyek/tender (principal) dan perusahaan asuransi sebagai penjamin. Peranan perusahaan asuransi dalam suretyship ini terhadap pemilik proyek adalah akan membayar sebesar maksimum nilai jaminan jika pelaksana proyek terbukti wanprestasi. Sedangkan 91 hubungannya dengan pemilik proyek, perusahaan asuransi merupakan pihak yang memberikan jaminan dengan menerbitkan surety bond. 9. Suretyship merupakan produk penjaminan atas proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan pendanaan yang cukup besar sehingga selama ini terhadap proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan dana yang besar telah banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi guna memastikan terlaksananya proyek pengadaan barang/jasa dimaksud.
Oleh karena itu, dibutuhkan peranan suatu perusahaan dengan kondisi keuangan yang memiliki pendanaan yang cukup besar seperti lembaga asuransi yang mempunyai kemampuan untuk memberikan penjaminan atas proses pengerjaan proyek barang dan jasa yang membutuhkan dana besar.
Beberapa bentuk surety bond yaitu Jaminan Penawaran ( Bid/Tender Bond ), Jaminan Uang Muka ( Advance Payment Bond ), Jaminan Pemeliharaan ( Maintenance Bond ), Jaminan Pelaksanaan ( Performance Bond ), Jaminan Pembayaran ( Payment Bond ), yang berfungsi sebagai jaminan bagi kegiatan suatu proyek sehingga proyek tetap berlangsung sesuai perjanjian yang disepakati.
Pengaturan suretyship di dalam UU Perasuransian dan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 menunjukkan bahwa OJK sebagai Lembaga Pengawas atau regulator dapat memberikan peluang untuk dilakukannya perluasan ruang lingkup usaha bagi usaha Asuransi Umum sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian perlu menjadi catatan bahwa perluasan ruang lingkup tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: a) memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya; b) relevan dengan bisnis utama, dan; c) perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa selanjutnya perluasan ruang lingkup tersebut diterapkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dengan tegas mengatur bahwa “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha 92 Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 15. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dapat membatasi hak para perusahaan asuransi untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, menunjukkan ketidakpahaman Pemohon dalam memaknai ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 16. Bahwa pengaturan tentang perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum justru telah diatur lebih lanjut pada Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam _Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”; _ 17. Bahwa selanjutnya lebih tegas lagi disebutkan dalam Pasal 4 huruf a POJK Nomor 69/POJK.05/2016 disebutkan: “Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. Kegiatan usaha PAYDI; _ _2. Kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ _3. Kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship; dan/atau _ 4. Kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah”. 18. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditegaskan dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tidak membatasi bahkan justru memberikan perluasan penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi umum sebagaimana telah dilakukan oleh perusahaan asuransi umum sebelum berlakunya UU Perasuransian yaitu sejak tahun 1978.
Dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan perluasan usaha perusahaan asuransi umum sebagai salah satu penyelenggara penjaminan pengadaan barang dan jasa baik oleh swasta maupun pemerintah melalui suretyship dikarenakan masih dibutuhkannya kapasitas perusahaan asuransi umum untuk menyelenggarakan 93 penjaminan pengadaan barang dan jasa bersama dengan lembaga penjamin lainnya, sehingga dapat dipastikan penyelenggaraan pengadaaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional dapat berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. C. PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP OLEH PERUSAHAAN ASURANSI UMUM 1. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa perkembangan kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship oleh perusahaan asuransi umum cukup signifikan. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia, dan usaha suretyship sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja (Persero).
Per 30 November 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship telah dilakukan oleh 40 perusahaan asuransi umum. Dari sisi pendapatan premi yang diterima sebesar Rp13,88 triliun atau 20,66% dari total pendapatan premi dalam skala nasional. Hal ini menunjukkan porsi Suretyship dalam skala nasional tidak terlalu besar.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi umum yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tentang perluasan lini usaha asuransi menjadi tidak jelas.
Dalam Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan diatur bahwa pihak di luar Lembaga penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan agar menyesuaikan dengan Undang-Undang Penjaminan. Namun demkian, di dalam Pasal 61 ayat (2) telah jelas disebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri .
Ketentuan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan tersebut dari sudut pandang Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru merupakan landasan hukum berlakunya penyelenggaraan usaha suretyship, yang merupakan penyelenggaraan penjaminan oleh lembaga asuransi umum. Mandat undang-undang perasuransian untuk mengatur perluasan usaha asuransi umum antara lain melalui Suretyship telah secara tegas diatur 94 dalam peraturan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 sehingga telah sejalan dengan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan data yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan Pemerintah cukup tinggi. Pada tahun 2018, total nilai penjaminan atas produk suretyship oleh perusahaan asuransi umum adalah sebesar Rp 142,9 triliun dan nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan hingga bulan Januari tahun 2020 adalah sebesar Rp 35,6 triliun, sehingga total keduanya adalah sebesar Rp 178,61 triliun atau kurang lebih sekitar 43,48% dari total belanja infrastruktur pada tahun 2018 yang sebesar Rp 410,7 triliun.
Kontribusi perusahaan asuransi khususnya terhadap produk suretyship yang sebesar Rp.142,9 triliun pada tahun 2018 menunjukkan fakta yang tidak dapat diabaikan bahwa adanya kebutuhan masyarakat dalam hal ini khususnya pelaku ekonomi atas pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi. Dalam proyek Pemerintah, berdasarkan Keputusan Menteri PUPR juga diambil kebijakan untuk memberikan Suretyship bagi perusahaan asuransi. Hal ini antara lain dilandasi pada pertimbangan perlunya kapasitas dana yang cukup besar oleh perusahaan yang menjalankan _suretyship; _ 8. Dalam memperhatikan kebutuhan penjaminan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan proyek pembangunan nasional, maka OJK sebagai Lembaga pengawas dan regulator telah memebrikan izin kepada 3 (tiga) konsorsium penjamian yang beranggotakan 24 (dua puluh empat) perusahaan asuransi dan 1 (satu) perusahaan penjaminan yaitu Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum tersebut, pemberian Suretyship oleh perusahaan asuransi umum masih diperlukan untuk menjamin proyek pembangunan nasional bersama dengan perusahaan penjaminan. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional 95 review ) Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tertulis Tambahan bertanggal 13 Juli 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. Pertanyaan dari Yang Mulia Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. A. Apa yang terjadi pada saat pembahasan RUU Perasuransian sehingga pada Pasal 5 ayat (1) terdapat frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat frasa yang membatasi yaitu “hanya dapat”? B. Pada Keterangan Presiden disebutkan bahwa Pasal 61 UU Penjaminan justru memperkuat perusahaan asuransi dalam melaksanakan suretyship dikarenakan perusahaan asuransi memiliki undang-undang tersendiri dan telah dipertegas dengan adanya POJK. Jelaskan maksud dari dari Pasal 61 UU Lembaga Penjaminan kaitannya memberikan penguatan terhadap keberadaan suretyship dalam UU Perasuransian? Jawaban A. Frasa makna “hanya dapat” dari perspektif dengan dapat diperluas 1. Penggunaan frasa “ hanya dapat ” ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian. Frasa tersebut dimaksudkan untuk memberikan limitasi bahwa ruang lingkup usaha perasuransian terbagi dalam usaha asuransi 96 umum, asuransi jiwa dan reasuransi (sebagaimana diatur dalam Pasal 2) serta usaha asuransi umum syariah, asuransi jiwa syariah dan reasuransi syariah (sebagaimana diatur dalam Pasal 3). Frasa “hanya dapat” pada Pasal 2 dan 3 UU Perasuransian berisi norma agar usaha asuransi umum tidak melakukan usaha asuransi jiwa ataupun reasuransi, kecuali yang secara tegas dinyatakan yaitu untuk asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri serta reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. Pencantuman tersebut karena lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri merupakan irisan lini usaha asuransi umum dan asuransi jiwa, sehingga diperlukan anak kalimat tambahan untuk mempertegas bahwa lini usaha asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dapat dilakukan baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perasuransian menjelaskan bahwa “Berdasarkan mekanisme pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri lebih tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun, mengingat Objek Asuransi yang dipertangungkan dalam kedua lini usaha asuransi kecelakaan diri juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa” .
Adapun perumusan Frasa “ dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, dimaksudkan menjadi norma yang mengakui bahwa peluang lini usaha asuransi umum akan berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga UU Asuransi perlu memberikan mandat perluasan lini usaha tersebut dengan batasan sesuai kebutuhan masyarakat dan adanya penambahan manfaatnya bagi masyarakat serta tidak mengganggu core bussiness nya perusahaan asuransi. Pelaksanaan perluasan ini diberikan kewenangan kepada OJK untuk mengatur lebih lanjut. Pengaturan demikian sejalan dengan drafting perumusan UU 97 yang bersifat norma-norma umum tidak mengatur hal-hal teknis yang dapat diuji secara teoritis maupun best practices. 4. Pengaturan norma tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa selain core business perusahaan asuransi, juga ternyata terdapat peluang lain bagi perusahaan asuransi yang bukan merupakan core langsung asuransi sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga, perluasan ruang lingkup usaha asuransi lain sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan open legal policy Pemerintah yang didasarkan pada fakta, pertimbangan sosial dan ekonomis serta best practices di beberapa negara lain . B. Kehadiran UU Penjaminan terhadap Pelaksanaan Suretyship oleh Asuransi Umum Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan), terbitnya UU Penjaminan dilatarbelakangi keinginan Pemerintah untuk meningkatkan UMKM terhadap akses pembiayaan/kredit. Mengacu Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, Usaha Penjaminan meliputi:
penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan, b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Adapun penjaminan berupa suretyship diatur dalam Pasal 4 ayat (2) sebagai salah satu bentuk dari usaha lain yang dapat dilakukan perusahaan penjaminan di samping lingkup usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Sejalan dengan prinsip lingkup penjaminan dalam Pasal 4 tersebut, menjadi jelas pilihan open legal policy Pemerintah bersama DPR selaku pembentuk UU menetapkan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan yang mengecualikan kewajiban yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan bagi orang atau lembaga yang menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan untuk dapat melakukan penyesuaian. Dalam Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan diberikan peluang bagi lembaga yang telah menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan tidak wajib tunduk 98 pada Pasal 61 UU Penjaminan sepanjang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri. Dapat Pemerintah sampaikan norma Pasal 61 ayat (2) berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri”. Dari sisi legal drafting frasa “dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri” memiliki makna yang berbeda dengan frasa “ dinyatakan dengan undang-undang tersendiri ”. Makna kata “dijalankan” pada frasa tersebut mengandung arti bahwa kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan amanat dari suatu undang-undang. Dalam hal ini, pelaksanaan suretyship sebagai kegiatan penjaminan oleh perusahaan asuransi umum, merupakan pelaksanaan mandat Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian kepada OJK untuk mengatur perluasan usaha Perusahaan Asuransi Umum dan telah dijalankan dengan terbitnya POJK Nomor 69/POJK.05/2016. Oleh karena itu, Pemerintah memandang berlakunya UU Penjaminan tidak mengakibatkan ketidakpastian atas berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dilaksanakan secara tegas dalam POJK sebagai landasan untuk pelaksanaan suretyship oleh Perusahaan Asuransi. Bahkan dengan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan secara tegas diberikan pengecualian pelaksanaan suretyship oleh lembaga bukan penjaminan yang telah melaksanakan penjaminan sebelum berlakunya UU Penjaminan. II. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Mengapa pengaturan mengenai suretyship tidak dipertegas dalam UU Perasuransian? Apa yang menjadi pertimbangan pembuat UU tidak menegaskan hal tersebut dalam bentuk norma? B. Pada tahun 1971 telah ada praktik suretyship di PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan asuransi milik Pemerintah. • Apa yang menjadi dasar Pemerintah dalam memberikan kewenangan kepada PT Jasa Raharja untuk melaksanakan Suretyship? • Apa saja persoalan yang muncul tahun 2014 sehingga pada akhirnya PT Jasa Raharja tidak lagi dapat melaksanakan Suretyship? 99 C. Apakah ada database perusahaan-perusahaan asuransi yang merupakan non-asosiasi (Pemohon)? Jawaban A. Sebagaimana telah dijelaskan, Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian dimaksudkan untuk mampu mengikuti perkembangan industri perasuransian sehingga tidak melimitasi bentuk-bentuk usaha yang dapat dilakukan perusahaan asuransi umum. Hal ini tentu akan sangat mendorong perkembangan industri sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Pembentuk UU menyadari bahwa OJK selaku regulator akan mampu untuk membuat pengaturan yang lebih teknis untuk memastikan bahwa prinsip umum dalam UU Asuransi dan tambahan manfaat yang tercipta bagi masyakarat maupun pemerintah selaku penerima manfaat usaha perasuransian akan tetap menjadi pedoman dalam pengaturan perluasan lini usaha asuransi umum. Saat ini OJK juga telah mengatur bahwa terdapat 14 lini usaha yang dapat diselenggarakan oleh perusahaan asuransi umum yaitu: No. Lini Usaha 2018 Q3. 2019 Premi (Juta IDR) % Premi (Juta IDR) % 1 Harta Benda (Property) 18,873,914 27% 15,082,200 26% 2 Kendaraan Bermotor 18,488,468 26% 13,917,660 24% 3 Pengangkutan (Marine Cargo) 3,472,992 5% 2,636,740 5% 4 Rangka Kapal (Marine Hull) 1,572,860 2% 1,275,380 2% 5 Rangka Pesawat (Aviation Hull) 1,338,139 2% 1,110,900 2% 6 Satelit 16,138 0% 19,460 0% 7 Energi Onshore (Oil and Gas) 140,319 0% 110,440 0% 8 Energi Offshore (Oil and Gas) 1,370,170 2% 1,050,620 2% 9 Rekayasa (Engineering) 2,533,719 4% 1,852,960 3% 10 Tanggung Gugat (Liability) 1,868,051 3% 1,767,120 3% 11 Kecelakaan Diri & Kesehatan 5,627,705 8% 4,987,560 9% 12 Kredit (Credit) 7,796,238 11% 9,448,130 16% 13 Suretyship 1,454,839 2% 1,127,180 2% 14 Aneka 5,347,438 8% 3,518,460 6% 100 Bahwa terhadap 14 lini usaha tersebut juga tidak diatur dengan tegas di dalam UU Perasuransian. Selain itu, UU Perasuransian juga tidak menyebutkan lini usaha lain yang juga dilakukan oleh perusahaan asuransi umum yaitu lini usaha asuransi aneka, satelit dan kredit. UU Perasuransian hanya menyebutkan lini usaha kecelakaan diri dan kesehatan karena lini usaha itu merupakan irisan antara asuransi umum dan asuransi jiwa sehingga untuk memberi kepastian hukum bahwa lini usaha tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi umum maupum asuransi jiwa, perlu ditegaskan dalam UU Asuransi. Adanya perkembangan jumlah lini usaha tersebut menunjukkan bahwa perluasan lini usaha ataupun penggabungan atau pengelompokkan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan OJK yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian untuk mengatur perluasan dimaksud adalah agar kiranya perubahan lini usaha tersebut dapat dilakukan secara fleksibel oleh OJK tanpa harus melalui mekanisme perubahan UU Perasuransian. B. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia. Sedangkan, usaha suretyship telah dilaksanakan oleh perusahaan asuransi sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja Persero dengan berdasarkan pada PP No.34 tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja” (PP 34/1978). Berdasarkan PP 34/1978 tersebut, PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan umum asuransi kerugian diberikan mandat tambahan/tugas baru oleh Pemerintah untuk menerbitkan surat jaminan dalam bentuk Surety Bond . Penunjukan tersebut juga telah menjadikan PT Jasa Raharja sebagai pionir penyelenggara surety bond di Indonesia, di saat perusahaan asuransi lain pada umumnya masih bersifat fronting office dari perusahaan surety di luar negeri sehingga menyebabkan terjadi aliran devisa ke luar negeri untuk kepentingan tersebut. Bahwa mengingat PT Jasa Raharja merupakan perusahaan asuransi kerugian sehingga tugas pokoknya adalah melaksanakan amanat dari UU 101 yaitu memberikan perlindungan terkait dana pertanggungjawaban wajib kecelakaan penumpang dan lalu lintas sebagaimana diatur pada UU Nomor 33 dan UU Nomor 34 Tahun 1964. Selanjutnya, sebagai upaya pengemban rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat khususnya bagi masyarakat yang belum memperoleh perlindungan dalam lingkup UU No.33 dan UU No.34 tahun 1964. Pada tahun 1994, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagai penjabaran UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur antara lain ketentuan yang melarang Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial untuk menjalankan asuransi lain selain program asuransi sosial. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 1994 hingga saat ini maka PT Jasa Raharja melepaskan usaha asuransi non wajib dan surety bond untuk lebih fokus dalam menjalankan program asuransi sosial yaitu menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam UU. No.33 tahun 1964 dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana diatur dalam UU. No.34 tahun 1964. C. Berdasarkan data OJK tahun 2019, terdapat 74 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan usaha asuransi umum. Berdasarkan Pasal 68 ayat (1) UU Perasuransian, setiap perusahaan asuransi tersebut (74 perusahaan) wajib menjadi angota asosiasi usaha perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya (AAUI). Namun demikian AAUI juga merupakan asosiasi bagi perusahaan reasuransi, yang berdasarkan data OJK tahun 2019 terdapat 6 perusahaan reasuransi. Dari 74 perusahaan asuransi umum tersebut, berdasarkan laporan statistik OJK tahun 2018 terdapat 47 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin usaha untuk menyelenggarakan suretyship, namun demikian 1 perusahaan asuransi umum yaitu PT Asuransi Himalaya Pelindung telah dicabut izin usaha melalui Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Nomor 41/KDK.05/2019 tanggal 30 April 2019 sehingga tersisa 46 perusahaan. 102 Berikut data perusahaan asuransi yang menyelenggarakan Suretyship dan yang tidak menyelenggarakan Suretyship. Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan suretyship (46) 1. PT Asuransi ASEI Indonesia 25. PT CHUBB General Insurance Indonesia 2. PT Asuransi Artarindo 26. PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 3. PT Arthagraha General Insurance 27. PT Asuransi Jasa Raharja Putera 4. PT Asuransi Astra Buana 28. PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 5. PT Asuransi Axa Indonesia 29. PT Asuransi Kresna Mitra Tbk.
PT Asuransi Bangun Askrida 30. PT Asuransi Sinar Mas 7. PT Berdikari Insurance 31. PT Tugu Pratama Indonesia 8. PT Asuransi Bhakti Bhayangkara 32. PT Asuransi Videi 9. PT Asuransi Binagriya Upakara 33. PT Pan Pacific Insurance 10. PT Asuransi Bintang Tbk. 34. PT Asuransi Parolamas 11. PT Bosowa Asuransi 35. PT Asuransi Purna Artanugraha 12. PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur 36. PT Asuransi Rama Satria Wibawa 13. PT Asuransi Buana Independent 37. PT Asuransi Ramayana Tbk.
PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 38. PT Asuransi Staco Mandiri 15. PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 39. PT Asuransi Tri Pakarta 16. PT Asuransi Central Asia 40. PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 17. PT Asuransi Intra Asia 41. PT Victoria Insurance Tbk.
PT Asuransi Jasa Tania Tbk. 42. PT Asuransi Wahana Tata 19. PT Asuransi Mega Pratama 43. PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 20. PT Asuransi Umum Mega 44. PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk.
PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika 45. PT Lippo General Insurance Tbk.
PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk.
PT Asuransi Etiqa Internasional Indonesia (dulunya PT Asuransi Asoka Mas) 23. PT Malacca Trust Wuwungan Insurance 24. PT Asuransi Adira Dinamika Perusahaan Asuransi Umum yang tidak menyelenggarakan suretyship (28) 47. PT AIG Insurance Indonesia 61. PT Meritz Korindo Insurance 48. PT Avrist General Insurance 62. PT Great Eastern General Insurance Indonesia 103 49. PT Asuransi Umum BCA 63. PT Kookmin Best Insurance Indonesia 50. PT Bess Central Insurance 64. PT. Asuransi Total Bersama 51. PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk. 65. PT Asuransi Raksa Pratikara 52. PT China Taiping Insurance Indonesia 66. PT Asuransi Recapital 53. PT Citra International Underwriters 67. PT Asuransi Reliance Indonesia 54. PT Asuransi Dayin Mitra Tbk. 68. PT Asuransi Samsung Tugu 55. PT Asuransi Eka Lloyd Jaya 69. PT Sarana Lindung Upaya 56. PT Asuransi FPG Indonesia 70. PT Asuransi Simas Net 57. PT KSK Insurance Indonesia 71. PT Sompo Insurance Indonesia 58. PT MNC Asuransi Indonesia 72. PT Asuransi Sumit Oto 59. PT Asuransi MSIG Indonesia 73. PT Asuransi Tokio Marine Indonesia 60. PT Mandiri AXA General Insurance 74. PT Zurich Insurance Indonesia Adapun terhadap perusahaan Asuransi yang menjadi anggota Asosiasi Asuransi Umum namun tidak menjadi pemohon uji materi kiranya dapat disampaikan oleh Pemohon. Dapat Pemerintah sampaikan pula beberapa contoh pelaksanaan Suretyship di negara-negara lain ( Benchmarking ) yaitu:
Canada: suretyship diselenggarakan oleh surety companies dan perusahaan asuransi;
USA: suretyship juga diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Japan: sebagian besar kontrak suretyship diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Malaysia: biasanya suretyship diselenggarakan oleh perusahan asuransi;
Korea Selatan: perusahaan asuransi umum dapat menyelenggarakan suretyship. Demikian Keterangan Tambahan yang dapat disampaikan oleh Pemerintah terkait dengan Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai 104 berikut sebagaimana yang telah dimintakan dalam Keterangan Presiden yang telah disampaikan sebelumnya. [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 22 Juni 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 Juni 2020, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Sejarah Pengaturan Kegiatan Usaha Suretyship di Indonesia 1. Bahwa Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak dan memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hak untuk melakukan kegiatan perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan serta konsepsi negara kesejahteraan (welfare states) sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . __ 2. Secara historis Indonesia telah mengenal dan mengatur lini usaha suretyship sebagai salah satu produk inovasi perusahaan asuransi guna menjawab tantangan pengambilalihan potensi risiko kerugian yang dapat dialami oleh salah satu pihak dalam perjanjian antara principal dan obligee . Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, Pemerintah semakin menyadari arti penting keberadaan suatu Lembaga Non Perbankan yang dapat menjadi lembaga alternatif untuk memberi jaminan dalam mendukung proyek-proyek pembangunan yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengingat penjaminan yang menggunakan bank garansi memiliki persyaratan cukup berat bagi para penyedia barang dan/atau jasa berupa aset jaminan (full collateral) 100% dari nilai jaminan. __ 105 3. Khusus penerbitan suretyship oleh perusahaan asuransi, sudah dilakukan sejak tahun 1978 yang diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan sebagai berikut: __ a. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”;
Keppres Nomor 14A tahun 1980 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
KMK Nomor 271/KMK.011/1980 tentang Penunjukan Bank dan Lembaga Keuangan yang dapat Menerbitkan Jaminan. dalam ketentuan tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk menerbitkan suretyship .
Setelah tahun 1978, dimana sebelumnya penerbitan suretyship hanya bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi Jasa Raharja, dalam rangka memperluas usaha penerbitan suretyship Pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 761/KMK.013/1992 Tahun 1992 tentang Penunjukan Bank-Bank Dan Perusahan-Perusahaan Asuransi Yang Dapat Menerbitkan Jaminan; dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 951/KMK.01/1993 Tentang Penggunaan Surety Bond/Customs Bond Sebagai Jaminan Pembayaran Pungutan Negara Atas Impor Barang Yang Mendapat Fasilitas Impor; yang pada pokoknya telah memberikan kesempatan kepada beberapa perusahaan asuransi swasta untuk dapat menerbitkan suretyship .
Selanjutnya, Pemerintah melalui beberapa peraturan perundang-undangan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2017, yaitu:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tanggal 3 September 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship ; 106 c. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi; dan
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah; telah pula mengatur mengenai penerbitan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi.
Berkaitan dengan lini usaha suretyship yang diterbitkan oleh perusahaan penjaminan, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU Penjaminan), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.020/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011, PT Jamkrindo (Persero) dapat melakukan kegiatan usaha lain yaitu antara lain surety bond . B. Pengertian Suretyship dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Sebagaimana dipahami bersama, secara umum pengertian suretyship adalah suatu bentuk penjaminan dimana surety company (perusahaan asuransi/perusahaan penjaminan) menjamin principal (kontraktor/ supplier ) akan melaksanakan kewajiban atau suatu prestasi kepada obligee (penerima manfaat/ beneficiary ) sesuai kontrak atau perjanjian antara principa l dan obligee .
Pengertian suretyship juga dapat ditemukan pada ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya: __ a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship (selanjutnya disebut PMK Suretyship ) yang mengatur: __ Pasal 1 angka 3: __ “Suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee.” b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi 107 Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016) yang mengatur: Pasal 1 angka 23: “Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee.” c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU Jasa Konstruksi) yang mengatur: __ Pasal 57 ayat (4): “Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Penjelasan Pasal 57 ayat (4): __ “Yang dimaksud dengan "perjanjian terikat" (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan. Penjamin akan menjamin pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan. Asuransi penjaminan ini biasanya dikeluarkan oleh perusahaan asuransi kerugian.” 3. Lini usaha suretyship yang dipraktikan di beberapa negara seperti Tiongkok, Singapura, Inggris, dan Filipina, tidak merupakan monopoli dari salah satu bidang usaha tertentu saja seperti asuransi atau penjaminan. Di Negara tersebut, suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian suretyship maupun pengaturannya baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain, pada prinsipnya produk suretyship tidaklah dapat digolongkan atau dibatasi kepada konsep-konsep kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh bidang- bidang usaha tertentu saja seperti perusahaan asuransi atau perusahaan penjaminan, sehingga suretyship dapat dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan maupun asuransi. __ C. Lini Usaha Suretyship oleh Perusahaan Asuransi berdasarkan Pasal 5 UU Perasuransian 1. Setelah membaca pokok permohonan pengujian a quo , dalam halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, Pemohon 108 pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship .
Pemahaman terhadap Pasal 61 UU Penjaminan haruslah tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11 s.d. angka 13, dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas penuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” Pasal 1 angka 11 __ “Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan.” Pasal 1 angka 12 “Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin.” Pasal 1 angka 13 “Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.” Pasal 4 ayat (1) _Usaha Penjaminan meliputi: _ a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan _Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan; _ b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada _anggotanya; dan _ c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Pasal 4 ayat (2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) _Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: _ _a. penjaminan atas surat utang; _ _b. penjaminan pembelian barang secara angsuran; _ _c. penjaminan transaksi dagang; _ d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); __ _e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); _ _f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; _ _g. penjaminan letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan (customs bond); __ _i. penjaminan cukai; _ j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan _usaha Penjaminan; dan _ 109 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. 3. Apabila melihat definisi Penjaminan, Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Penjaminan serta ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, pada dasarnya UU Penjaminan telah mengatur secara khusus ruang lingkup dari kegiatan usaha Lembaga Penjamin yaitu yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial sehubungan dengan perjanjian kredit Terjamin kepada Penerima Jaminan.
Oleh karena itu, ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, keseluruhannya hanya melingkupi adanya kegiatan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial dari adanya kredit, pembiayaan oleh lembaga keuangan maupun koperasi, serta program kredit kemitraan dan bina lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara.
Namun demikian, dalam UU Penjaminan, Pemerintah dan DPR telah menyepakati adanya lini usaha lain yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan yang tidak diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan (bersifat accesoir ). Kegiatan usaha lain yang bersifat accesoir tersebut adalah kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan yang mencakup kegiatan:
penjaminan atas surat utang;
penjaminan pembelian barang secara angsuran;
penjaminan transaksi dagang;
penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa _(surety bond); _ e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
penjaminan _letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan _(customs bond); _ i. penjaminan cukai;
pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan 110 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Penambahan lini kegiatan usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut di atas, dapat dipahami karena jenis-jenis lini usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut adalah jenis usaha penjaminan yang bukan merupakan pemenuhan kewajiban finansial dari adanya perjanjian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan. __ 7. Selanjutnya, Pasal 61 UU Penjaminan telah mengatur: Pasal 61 (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Penjelasan Pasal 61 (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. (2) Cukup jelas. 8. Sementara itu, Pasal 1 angka 6 UU Penjaminan telah mengatur: “Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan.” 9. Berkaitan dengan Pasal 61 UU Penjaminan sebagaimana dalam kutipan di atas, menurut pendapat kami perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar Lembaga Penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, hal ini mengingat lini usaha 111 suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan jika perusahaan asuransi hendak melakukan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, menurut pendapat kami kekhawatiran Pemohon dalam pengujian UU a quo yang menganggap kegiatan lini usaha suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi menjadi tidak tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan penjaminan yang merupakan usaha penjaminan selain yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Selain itu, pengaturan mengenai suretyship dalam UU Penjaminan menjadi sejalan dengan pengaturan mengenai surety bond yang diatur dalam pengertian mengenai dalam UU Jasa Konstruksi yang pada pokoknya menyatakan bahwa jaminan dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk antara lain perjanjian terikat [ vide Pasal 57 ayat (4)]. Adapun yang dimaksud dengan “perjanjian terikat” (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan [ vide Penjelasan Pasal 57 ayat (4)].
Berdaarkan semua uraian di atas, maka semakin jelas kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana dimaksud dalam UU Penjaminan dapat dilakukan oleh baik perusahaan penjaminan, perusahaan perasuransian maupun lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. __ 15. Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah 112 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 16. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship. 17. Namun demikian, lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam POJK 69/2016 hanya diberikan kepada perusahaan asuransi umum dan tidak diberikan kepada perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan _masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. kegiatan usaha PAYDI; _ _2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 4. _kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah; _ ” 18. Dengan demikian, lini usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dan diatur lebih lanjut dalam POJK 69/2016 telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 61 UU Penjaminan, sehingga perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian mengenai frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian yang terus berkembang di masyarakat. Dalam Penjelasan Umum UU Perasuransian telah menyebutkan bahwa pengaturan mengenai asuransi dilatarbelakangi oleh perkembangan yang pesat dalam industri 113 perasuransian yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat.
Dengan diaturnya perluasan lini usaha perusahaan asuransi sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru untuk mempermudah pengaturan mengenai penambahan lini usaha asuransi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap asuransi. Hal ini akan memudahkan OJK selaku otoritas yang diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut lini- lini usaha tambahan yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagaimana didelegasikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Berkaitan dengan petitum Pemohon dalam permohonan a quo , menurut hemat kami, penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, justru tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha. Penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” menjadi seolah membatasi kemungkinan adanya perluasan ruang lingkup kegiatan perusahaan asuransi selain lini usaha suretyship . Karena maksud dari Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah perluasan ruang lingkup usaha asuransi haruslah didasarkan pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang tidak hanya berkaitan dengan lini usaha suretyship .
Selain hal tersebut di atas, apabila permohonan Pemohon untuk menyisipkan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dikabulkan, maka hal tersebut justru menjadi tidak sejalan dengan pengaturan dalam POJK 69/2016 yang hanya memberikan kesempatan bagi asuransi umum untuk melakukan lini usaha suretyship yang tidak diberikan kepada asuransi jiwa, asuransi umum syariah, dan asuransi jiwa syariah. D. Data Perkembangan Produk Suretyship oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Penjaminan 1. Berdasarkan data yang dimiliki oleh OJK, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan pemerintah cukup tinggi. Berdasarkan data APBN 2020, alokasi anggaran untuk belanja pemerintah pusat pada sektor infrastruktur tahun 2020 mencapai Rp423,3 triliun. Apabila diasumsikan bahwa besarnya nilai premi 114 (biaya jasa/ service charge ) adalah 1% maka nilai jaminan yang dapat ditanggung ( coverage ) oleh perusahaan asuransi umum pada tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp158,75 triliun. Nilai jaminan tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang diperkirakan sebesar Rp144,44 triliun. Sementara itu, nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan per Desember 2019 sebesar Rp71,71 triliun dengan nilai proyek sebesar Rp1.387,43 triliun. __ 2. Dapat kami informasikan, sampai dengan Desember 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship . __ 3. Pada perusahaan penjaminan, potensi kapasitas penjaminan dapat dilihat dari ekuitas Perusahaan per Desember 2019 sebesar Rp13,65 triliun, sehingga kemampuan penjaminan maksimum perusahaan penjaminan adalah sebesar Rp273 triliun. Perusahaan penjaminan baru dapat melayani penjaminan kredit produktif dan suretyship sebesar Rp133,98 triliun dengan gearing ratio 9,74 kali. Dengan demikian, berdasarkan gearing ratio per Desember 2019 kapasitas penjaminan oleh perusahaan penjaminan tersedia sebesar Rp140,13 triliun. Adapun imbal jasa penjaminan yang didapatkan dari suretyship per Desember 2019 sebesar Rp511,51 miliar. __ 4. Dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 - 2024 memuat program prioritas nasional yang salah satunya yaitu Memperkuat Infrastruktur Untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Dan Pelayanan Dasar dengan perkiraan alokasi sebesar Rp2.176,89 triliun. Dengan alokasi dana yang besar perlu kiranya dukungan penjaminan/ suretyship untuk memastikan proyek pembangunan infrastruktur terlaksana dengan baik. __ PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN __ Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, kami mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap Pasal 115 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima keterangan OJK sebagai Pihak Terkait secara keseluruhan.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Keterangan Tertulis Tambahan Berkaitan dengan beberapa pertanyaan dari Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada persidangan tanggal 22 Juni 2020, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Landasan yang Menjadi Acuan Otoritas Jasa Keuanga dalam Memberikan Izin bagi Perusahaan Perasuransian dalam Melakukan Lini Usaha Suretyship Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, untuk selanjutnya disebut UU Perasuransian, atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, untuk selanjutnya disebut UU Penjaminan, sebagai landasan yang menjadi acuan Perusahaan Perasuransian dalam melakukan lini usaha Suretyship , dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Secara umum, dalam menjalankan kegiatan usahanya, suatu Perusahaan Perasuransian mengacu pada ketentuan yang berlaku yaitu UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha 116 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah, untuk selanjutnya disebut POJK No. 69/2016. __ 2. Dalam UU Perasuransian, perluasan ruang lingkup usaha perasuransian telah diatur secara jelas dalam Pasal 5 yang berbunyi: __ 1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. __ Penjelasan: Cukup Jelas 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tersebut, dalam frasa ” dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” pada dasarnya mengandung makna dibuka kesempatan bagi Perusahaan Perasuransian untuk melakukan perluasan usaha selain menyelenggarakan kegiatan usaha yang ditentukan secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. __ 4. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Perasuransian terdapat pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat, diatur lebih lanjut dalam POJK No. 69/2016. __ 5. Dapat kami sampaikan, pada bagian ”Mengingat” POJK No. 69/2016 telah disebutkan secara jelas dasar hukum pembentukan POJK No. 69/2016 yaitu: __ 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 117 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia _Nomor 5253); _ 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); _ 6. Penegasan bahwa POJK No. 69/2016 diterbitkan berdasarkan UU Perasuransian juga terlihat di bagian Penjelasan Umum POJK No. 69/2016 dimana beberapa kali disebutkan bahwa UU Perasuransian sebagai dasar hukum diterbitkannya POJK No. 69/2016. ”Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengamanatkan penyempurnaan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan industri asuransi yang telah berkembang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha, bertambahnya pemanfaatan jasa perasuransian oleh masyarakat, serta layanan jasa perasuransian yang semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.” ”Pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah adalah salah satu pengaturan yang merupakan penuangan dari amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.” 7. Selanjutnya, terkait dengan lini usaha Suretyship yang merupakan ruang lingkup usaha yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016. __ 8. Oleh sebab itu, yang menjadi landasan utama suatu Perusahaan Perasuransian menjalankan lini usaha Suretyship yaitu Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, sedangkan Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam UU Perasuransian. Pengaturan lebih lanjut tersebut sesuai dengan pendelegasian kewenangan oleh UU Perasuransian yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenali perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah diatur dalam POJK (vide Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian). __ 9. Perlu kami sampaikan juga, pendelegasian kewenangan pengaturan lebih lanjut dalam POJK sebagaimana dimaksud pada angka 8 sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (vide 118 Bab II Huruf A angka 198). Dengan kata lain, pengaturan Suretyship dalam POJK dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai cakupan dan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 10. Dapat kami sampaikan pula bahwa mengenai pengaturan Pasal 4 UU Penjaminan pada dasarnya menguatkan pengaturan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 11. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha utama yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan, sedangkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha tambahan yang dapat dilakukan Perusahaan Penjaminan. __ 12. Adapun pengaturan mengenai kegiatan usaha tambahan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, telah sejalan dengan pengaturan mengenai perluasan kegiatan usaha sesuai kebutuhan masyarakat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 13. Sedangkan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, mengingat lini usaha Suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Dengan demikian landasan hukum mengenai pengaturan lini usaha Suretyship yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian pada dasarnya mengacu pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan POJK No 69/2016 dan sejalan dengan pengaturan pada Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ __ 119 B. Lini Usaha Suretyship Telah Diakomodir dalam Ketentuan UU Penjaminan dan UU Perasuransian Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai alasan OJK menggunakan UU Penjaminan sebagai referensi dalam memberikan keterangan sebagai pihak terkait, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Sebagaimana telah OJK sampaikan dalam keterangan sebelumnya, Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha Suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak Pemohon __ sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945. __ 2. Pemohon selaku badan hukum yang mewakili anggotanya berupa perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian khususnya yang telah menjalankan bidang usaha Suretyship, yang mana praktik Suretyship tersebut telah berlangsung lama selama puluhan tahun dan telah dirasakan manfaatnya bagi pembangunan nasional. __ 3. Di Indonesia, dasar hukum Perusahaan Perasuransian melaksanakan lini usaha Suretyship telah diakomodir sejak tahun 1978 oleh beberapa peraturan terkait, yang kemudian saat ini diakomodir dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. Namun, menurut Pemohon secara faktual pengaturan mengenai lini usaha Suretyship ini belum diatur secara tegas dalam UU Perasuransian tersebut sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang dilindungi dan dijamin UUD 1945. __ 4. Namun, terkait lini usaha Suretyship , dalam permohonannya juga disebutkan bahwa Perusahaan Penjaminan dapat menjalankan Surety Bond sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ Dengan lahirnya UU Penjaminan tersebut dipandang menimbulkan persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma, khususnya dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan akan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha Suretyship oleh 120 Perusahaan Perasuransian, sebagaimana dinyatakan Pemohon pada halaman 10 angka 3.10 Surat Permohonan. __ 5. Dapat kami sampaikan, bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan beserta Penjelasannya menyatakan: __ (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang- Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. _Penjelasan: _ Ayat (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) __ Cukup Jelas 6. Dengan adanya pengaturan tersebut maka timbul kekhawatiran bahwa dengan munculnya Pasal 61 UU Penjaminan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha Suretyship yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang mengatur mengenai perluasan lini usaha asuransi. Hal ini dipertegas oleh Pemohon dalam permohonan pengujian a quo , halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, yang pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship .
Selain itu, keberadaan Pasal 61 UU Penjaminan tersebut terkesan menyebabkan Perusahaan Perasuransian yang mendasarkan kegiatan lini usaha pada POJK No. 69/2016, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Perasuransian, harus tunduk pada peraturan UU Penjaminan tersebut.
Oleh karena itu dalam permohonannya, Pemohon bependapat dalam halaman 35 angka 3.31 secara tegas menyatakan adanya pengaturan dalam UU Penjaminan yang melarang pelaksanaan kegiatan lini usaha 121 Suretyship dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, sebagaimana diuraikan oleh Pemohon sebagai berikut: “ Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahan asuransi, namun terbitlah UU No. 2/2017 dan Perpres No.16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi.” 9. Dengan demikian, sudah sepatutnya OJK dalam memberikan Keterangan sebagai Pihak Terkait juga untuk memperhatikan keberadaan hukum UU Penjaminan yang beririsan dengan UU Perasuransian, khususnya pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan usaha perasuransian yang mencakup lini usaha Suretyship . C. Pembatasan Perusahaan Perasuransian yang Melakukan Lini Usaha Suretyship Berdasarkan POJK 69/2016 1. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 122 3. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK No. 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship. 4. Namun demikian, lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam POJK No. 69/2016 hanya diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum dan tidak diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Asuransi Jiwa, maupun Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK No. 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan _perluasan ruang lingkup usaha pada: _ _5. kegiatan usaha PAYDI; _ _6. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 7. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 8. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari _pemerintah; _ ” 5. Yang menjadi dasar pertimbangan OJK dalam memberikan pengaturan hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi Perusahaan Asuransi Umum di bawah payung hukum UU Perasuransian dalam menyelenggarakan kegiatan Suretyship , yang telah dilaksanakan selama ini dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship (PMK 124/2008).
Dalam PMK 124/2008 tersebut, telah diatur mengenai persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk asuransi pada lini usaha asuransi kredit atau Suretyship yaitu paling sedikit sebesar Rp 250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh miliar rupiah) ( vide Pasal 3 PMK 124/2008).
Selain itu, berdasarkan Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah dan Pasal 34 Peraturan 123 Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi telah mengatur mengenai Ekuitas minimum yang diwajibkan bagi Perusahaan Perasuransian yaitu:
Bagi Perusahaan Asuransi Syariah sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
Bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
Bagi Perusahaan Asuransi yang memiliki unit Syariah sebesar Rp100.000.000.000,00 (serratus miliar rupiah) ditambah dengan kewajiban ekuitas minimum bagi unit Syariah sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sehingga menjadi Rp125.000.000.000,00 (seratus dua puluh lima miliar rupiah).
Oleh sebab itu, mengingat persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah lebih kecil dari persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang akan menjalankan kegiatan usaha Suretyship dalam PMK 124/2008 serta nilai penjaminan dalam bisnis Suretyship yang umumnya cukup besar, maka kegiatan usaha Suretyship tidak dibuka untuk Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan lain dalam mengatur hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah karena kegiatan usaha Suretyship berpotensi menggerus kemampuan finansial Perusahaan Asuransi Syariah maupun Unit Syariah yang saat ini masih dalam tahap pengembangan ( infant industry) .
Dengan demikian, oleh karena Perusahaan Asuransi Syariah masih dalam tahap pengembangan dengan kemampuan permodalan dipandang masih belum dapat memenuhi ketentuan dalam PMK 124/2008 yang secara khusus mengatur mengenai Suretyship , maka OJK selaku regulator tidak membuka lini usaha Suretyship untuk dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Syariah, dan hanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum. 124 D. Data Perbandingan atau Komparasi Model Pengaturan Negara Lain dengan Indonesia Sebagaimana Telah Dijelaskan Dalam Keterangan sebagai Pihak Terkait Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai data perbandingan __ atau komparasi model pengaturan negara lain, dapat kami sajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel Praktik Suretyship di Beberapa Negara Lain No. Negara Pengaturan Keterangan 1. Tiongkok Article 6: “Suretyship as used in this Law means an agreement pursuant __ to which a surety and a creditor __ agree that the surety shall perform the obligation or bear the liability according to the agreement, when the debtor fails to perform his obligation.” Article 7: A legal person, other organization or a citizen capable of assuming debts may act as a surety . Article 8: “No State organ may act as a surety, except in the case of securing loans, for onlending, from a foreign government or an international economic organization as is approved by the State Council.” _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30, promulgated by Order No. 50 of the President of the People’s Republic of China on June 30, 1995, and effective as of October 1, 1995, “Guaranty Law”) Article 95: • Pengaturan mengenai Suretyship di Tiongkok berdasarkan Guarantee Law of the People’s Republic of China (1995) tercantum dalam Article 6 Chapter II (Suretyship) yang menyatakan bahwa Suretyship merupakan suatu perjanjian antara penjamin dengan kreditor, dimana penjamin sepakat untuk menanggung atau melakukan kewajiban berdasarkan perjanjian, jika debitur gagal melakukan kewajibannya. • Guarantee Law pada prinsipnya tidak membatasi pihak yang dapat menjadi penjamin kecuali oleh Guarantee Law ditentukan lain/terdapat pengecualian. • Pengaturan Suretyship dalam regulasi di Tiongkok lebih bersifat umum. Lini usaha Suretyship di Tiongkok pada dasarnya meliputi beberapa area seperti banking dan juga asuransi, dengan catatan bahwa sepanjang pihak (person), organisasi lainnya dan warga negara yang secara legal dan mampu menanggung hutang, dapat bertindak sebagai Penjamin (Surety). • Selain itu, dalam Insurance Law of the People’s Republic 125 The scope of business of an insurance company shall be as follows :
Personal insurance, including life insurance, health insurance, accidential injury insurance, etc.;
Property insurance, including property loss or damage insurance, liability insurance, credit insurance and surety bonds, etc.; and (3) Other insurance-related businesses approved by the insurance regulatory body under the State Council. _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30 1995, amended three times on 28 October 2002, on 28 February 2009 and on 24 April 2015, Insurance Law) of China (2015) Article 95 diatur bahwa surety bond merupakan jenis usaha yang dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam jenis usaha asuransi properti. Bahkan Insurance Law (2015 ) juga memberikan keleluasaan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menerbitkan produk usaha lainnya selain Surety Bond , dalam hal ini merupakan bentuk Suretyship lainnya). • Terdapat putusan Supreme Court di Tiongkok terhadap suatu kasus terkait accessory principle apply to surety bonds , bahwasanya Suretyship itu sendiri secara nature merupakan bagian dari perasuransian. Sehingga jika dikaitkan lebih lanjut dengan UU Perasuransian dan UU Penjaminan di Indonesia, walaupun dalam UU Perasuransian tidak disebutkan secara clear pengaturan terkait Suretyship, namun secara praktik, sejarah dan by nature (sebagaimana penjelasan di atas) Suretyship di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian.
Filipina Title 4 SURETYSHIP Sec. 175. A contract of suretyship is an agreement whereby a party called the surety guarantees the performance by another party called the principal or obligor of an obligation or undertaking in favor of a third party called the obligee. It includes official recognizances, stipulations, bonds or undertakings issued by any company by virtue of and under the • Filipina sebagai negara yang menganut sistem Common Law, mengatur mengenai Suretyship baik dalam Insurance Act/Undang-Undang Asuransi (Republic Act No.2427 of 1914), General Banking Act/Undang-Undang Bank Umum (Republic Act No.8791 of 2000), serta Surety Act/Undang-Undang Surety (Republic Act No.2203 of 1913). • Insurance Act No. 2427/1914 126 provisions of Act No. 536, as amended by Act No. 2206. Sec. 176. The liability of the surety or sureties shall be joint and several with the obligor and shall be limited to the amount of the bond. It is determined strictly by the terms of the contract of suretyship in relation to the principal contract between the obligor and the obligee. (As amended by Presidential Decree No. 1455). Ref: Republic Act No. 2427 An Act Revising The Insurance Laws And Regulating Insurance Business In The Philippine Islands, “Insurance Act 1912”) Sect. 29. Powers of a Commercial Bank. — A commercial bank shall have, in addition to the general powers incident to corporations, all such powers as may be necessary to carry on the business of commercial banking, such as accepting drafts and issuing letters of credit ; discounting and negotiating promissory notes, drafts, bills of exchange, and other evidences of debt; accepting or creating demand deposits; receiving other types of deposits and deposit substitutes; buying and selling foreign exchange and gold or silver bullion; acquiring marketable bonds and other debt securities ; and extending credit, subject to such rules as the Monetary Board may promulgate. These rules may include the determination of bonds and other debt securities eligible for investment, the maturities and aggregate amount of such investment. membagi bisnis asuransi di Filipina dalam empat jenis usaha, yaitu: asuransi umum (Chapter 1), asuransi kelautan (Chapter 2), asuransi kebakaran (Chapter 3), serta asuransi jiwa dan kesehatan (Chapter 4). Dalam Insurance Act 1914 tersebut juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Suretyship adalah perjanjan dimana penjamin (Surety) menjamin kinerja oleh pihak Prinsipal (obligor) dari kewajiban kepada Obligee. • Penerbitan Suretyship juga dapat dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam The General Banking Act of 2000 , yang bertujuan untuk menanggung kewajiban kontrak nasabah kepada bank. • Sementara, secara spesifik Filipina juga mengatur mengenai kegiatan Surety , yaitu dalam Undang-Undang No. 2203/1913 yang merupakan amandemen atas Undang-Undang No.536. Undang-undang ini mengatur Surety namun sebatas pada empat jenis jaminan, yaitu suatu Pengakuan (recognizance), Ketentuan (stipulation), Surat Utang (bond), dan Pelaksanaan Pekerjaan yang Ditentukan (undertaking specified), Undang-Undang tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjamin kinerja suatu kondisi saat dieksekusi, atau dijamin semata-mata oleh perusahaan yang didirikan dengan berdasarkan hukum AS atau negara bagiannya, atau perusahaan apapun yang tunduk pada peraturan perundang-undangan Kepulauan Filipina, kecuali 127 Ref: Republic Act No. 8791 An Act Providing For The Regulation Of The Organization And Operations Of Banks, Quasi-Banks, Trust Entities And For Other Purposes “The General Banking Act of 2000”) perusahaan tersebut diizinkan Pemerintah Kepulauan Filipina untuk menjadi penjamin atas keempat hal tersebut. Pada prinsipnya, suatu penjaminan tidak harus dilaksanakan tersendiri oleh suatu Perusahaan Penjaminan maupun Perusahaan Penjaminan khusus.
Singapura Classification of insurance business and construction of references to matters connected with insurance 2.-(1) For the purposes of this Act, insurance business shall be divided into 2 classes — (a) life business, which means all insurance business concerned with life policies, long-term accident and health policies, or both; and [23/2003 wef 01/01/2004] (b) general business, that is to say, all insurance business which is not life business, and shall include the effecting and carrying out by any person, not being a person licensed, approved, designated or otherwise regulated under the Monetary Authority of Singapore Act (Cap. 186), Banking Act (Cap. 19), Finance Companies Act (Cap. 108) or Securities and Futures Act (Cap. 289); of contracts for fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee, being contracts effected by way of business (and not merely incidental to some other business carried on by the person effecting them) in return for the • Suretyship dalam pengaturan hukum di Singapura diatur dalam Ch. 23 The Law of Guarantees . Seperti halnya Tiongkok dan Inggris, Singapura juga tidak membatasi bidang usaha Suretyship , dengan kata lain banking dan asuransi masuk dalam area praktik surertyship tersebut. • Hanya saja dalam pengaturan tersebut Singapura lebih mengedepankan prinsip utama dalam Suretyship law , yaitu perjanjian penjaminan yang dibuat diantara penjamin (Surety) dan debitor utama harus berdasarkan kesepakatan dan persetujuan dari pihak Surety, sehingga apabila perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari pihak Surety, maka dapat dipastikan pihak Surety harus dibebaskan dari kewajibannya kecuali dalam kontrak penjaminan menyatakan sebaliknya. • Lebih lanjut berdasarkan pengaturan hukum Singapura dalam Insurance Act, Suretyship merupakan lini usaha yang bisa dijalankan oleh Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam ruang lingkup usaha asuransi umum. Sama halnya dengan Inggris, pengaturan 128 payment of one or more premiums. Ref: Insurance Act (Chapter 142) (Original Enactment: Act 46 of 1966) Revised Edition 2002 (31st December 2002)) 27.-(1) Every bank in Singapore shall prepare a statement in respect of each quarter of a year, in such form as may be specified by the Authority, showing as at the end of that quarter all the credit facilities from, all the exposures of the bank to, and all the transactions of the bank with — (a) any person in a director group of the bank; (b)...etc. “credit facilities” means — (a) the granting by a bank of advances, loans and other facilities whereby a customer of the bank has access to funds or financial guarantees ; or (b) the incurring by a bank of other liabilities on behalf of a customer; Ref: Banking Act (Chapter 19) (Original Enactment: Act 41 of 1970), Revised Edition 2008 (31st March 2008) mengenai bentuk Suretyship juga diatur antara lain berupa fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds, atau __ customs bonds. • Singapura juga tidak membatasi penerbitan Suretyship hanya kepada bidang usaha tertentu. Banking Act memperbolehkan Bank untuk memberikan penjaminan. Dalam proyek pembangunan infrastruktur misalnya, Bank di Singapura juga dapat menerbitkan Suretyship. John Phillips, Michelle Chen, “The Law of Guarantees: Balancing the Interests of the Parties, s. (2014). 2013 Jones Day Professorship of Commercial Law Lecture. https: //ink.library.smu.edu.sg/jday _lect/2 4. Inggris Suretyship 15 -(1) Contracts of insurance against the risks of loss to the persons insured arising from their having to perform contracts of guarantee entered into by them.
Fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee , where these are— • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000, Suretyship diartikan sebagai salah satu bentuk kontrak asuransi terhadap risiko kerugian bagi orang yang diasuransikan yang timbul dari kewajian dalam kontrak jaminan antara Obligee dengan Principal. __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 disebutkan apa saja yang __ termasuk dalam Suretyship antara lain __ fidelity bonds, 129 (a) effected or carried out by a person not carrying on a banking business; (b) not effected merely incidentally to some other business carried on by the person effecting them; and (c) effected in return for the payment of one or more premiums. Instruments creating or acknowledging indebtedness 77.-(1) Subject to paragraph (2), such of the following as do not fall within article 78— (a) debentures; (b) debenture stock; (c) loan stock; (d) Bonds; (e) certificates of deposit; (f) any other instrument creating or acknowledging indebtedness.
If and to the extent that they would otherwise fall within paragraph (1), there are excluded from that paragraph— (a) an instrument acknowledging or creating indebtedness for, or for money borrowed to defray, the consideration payable under a contract for the supply of goods or services; (b) a cheque or other bill of exchange, a banker’s draft or a letter of credit (but not a bill of exchange accepted by a banker); (c) a banknote, a statement showing a balance on a current, performance bonds, bail bonds or customs bonds. Sehingga pengaturan terkait Suretyship tidak hanya berlaku untuk bidang usaha asuransi saja melainkan juga banking area. __ • Central Unit on Procurement (CPU), HM Treasury, pada tahun 1994, juga pernah menerbitkan pedoman No. 48 tentang Bonds and Guarantees , yang di dalamnya memuat mengenai pelaksanaan Suretyship oleh bank atau Surety Company lainnya. Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara- perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun bank. __ • Selain itu pengaturan suretyship di Inggris merupakan bagian dari asuransi umum, sebagaimana tercantum dalam Regulated Activities Order terkait kontrak asuransi umum (khususnya terkait risiko kerugian). __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 juga diatur mengenai ruang lingkup usaha Bank yang antara lain adalah membuat kontrak asuransi yang dapat merujuk pada Suretyship sebagaimana usaha perasuransian dan termasuk juga menerbitkan letter of credit. • Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara-perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun Bank. __ James Devenney, Lorna Fox & Mel Kenny, “Standing surety in England and Wales: the sphinx 130 deposit or savings account, a lease or other disposition of property, or a heritable security; and (d) a contract of insurance. Ref: the Financial Services and Markets Act 2000 (Regulated Activities) Order 2001 (SI 2001/544). of procedural protection”, Lloyds Maritime and Commercial Law Quarterly. http: //hdl.handle.net/10036/3451 Bahwa dengan demikian, berdasarkan data perbandingan dan model komparasi pengaturan mengenai lini usaha Suretyship yang dipraktikkan di beberapa negara seperti Tiongkok, Filipina, Singapura, dan Inggris, dapat dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 10 September 2020 telah menghadirkan satu orang ahli yaitu Irvan Rahardjo, S.E., M.M., yang telah menyampaikan keterangan pada persidangan tanggal 10 September 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima pada tanggal 10 September 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Sejarah lahirnya asuransi dan sejarah asuransi di Indonesia pada umumnya Sejarah asuransi merupakan sejarah panjang ikhtiar umat manusia untuk mengurangi resiko yang lahir dari ketidakpastian dengan membagi atau mengalihkan resiko yang mengancam, pada satu pihak ke pihak lain. Disisi lain, asuransi juga sejarah ikhtiar manusia dalam mengambil keuntungan melalui pengumpulan dana dari masyarakat dengan memberikan janji untuk memberikan manfaat kepada pihak yang hendak menghindarkan diri dari ancaman risiko yang timbul dari ketidakpastian. Dari berbagai sumber diketahui bahwa sejarah awal asuransi sebelum memasuki abad pertengahan dapat dibagi dalam beberapa periode, yaitu masa Babylonia, Yunani dan Romawi. Sejarah asuransi yang tertua dapat ditelusuri sampai sekitar 4000 tahun silam dalam bentuk upaya para pemilik kapal atau para pedagang bangsa Babylonia yang hidup dintara sungai Euphrat dan Tigris - yang sekarang termasuk dalam wilayah Irak-untuk melindungi usaha mereka terhadap ketidakpastian. Pada masa itu mereka dapat meminjam uang dari 131 pedagang lain yang bertindak sebagai kreditor dengan menggunakan kapalnya atau barang dagangan sebagai jaminan. Pemilik kapal atau pedagang akan melunasi hutangnya setelah kapal selamat sampai di tujuan beserta sejumlah biaya tambahan kepada kreditor yang bertindak sebagai penanggung risiko. Peminjam dibebaskan dari hutang apabila kapal atau barang dagangan tidak selamat sampai tujuan. Tambahan biaya tersebut dapat dianggap sebagai premi. Sumber lain menyebutkan bahwa perjanjian dilakukan atas risiko perdagangan dengan angkutan darat ( caravan). Perjanjian yang menggunakan kapal sebagai jaminan pinjaman dan kreditor kehilangan uangnya bila kapal hilang dalam pelayaran tersebut dinamakan bottomry. Bentuk perjanjian tersebut memperoleh kekuatan hukum dibawah Kode Hammurabi (sekitar 2100 sebelum Masehi). Bangsa Phoenicia dan Yunani memberlakukan sistem yang sama bagi perdagangan laut mereka. Berdasarkan sejarah yang lain diketahui pula bahwa untuk mengurangi risiko kehilangan barang selama dalam pelayaran di sungai Hoang Ho di Cina, pada sekian abad sebelum Masehi, para pedagang yang melayari sungai tersebut membagi muatan barang dagangan mereka masing masing kedalam beberapa jung. Apabila dalam setiap pelayaran terdapat jung yang memuat barang mereka mengalami musibah, tingkat kerugian setiap pedagang hanya akan sebatas jumlah barang dagangan yang terdapat didalam jung yang mengalami musibah saja. Pada masa pemerintahan Alexander The Great di Yunani sebagai upaya untuk mengumpulkan dana, pemerintah memberikan jaminan untuk menangkap setiap budak yang melarikan diri atau memberikan penggantian atas harga beli budak yang hilang dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Perjanjian pemberian manfaat tersebut pada dasarnya sama dengan perjanjian asuransi umum dan imbalan uang yang dibayar oleh peserta dapat disebut sebagai premi asuransi. Pada masa tersebut terdapat pula suatu bentuk penjaminan oleh pemerintah yang meminjam uang kepada umum dengan imbalan pemberian bunga setiap bulan sampai pemilik uang wafat dan menyediakan biaya pemakaman bagi pemilik uang. Bentuk penjaminan ini merupakan bentuk asuransi jiwa yang pertama walaupun sebagaimana halnya dengan penjaminan terhadap 132 kehilangan budak, perjanjian ini timbul dari inisiatif pemerintah untuk mengumpulkan dana. Sebagaimana halnya hukum perbankan, hukum asuransi modern berasal dari praktik pedagang pedagang di Genoa, Italia pada awal abad keempat belas yang mengasuransikan kapal kapal dan muatan mereka terhadap risiko perjalanan laut. Perjanjian asuransi atas kapal Santa Clara pada tahun 1347 di Genoa merupakan perjanjian asuransi autentik yang tertua dalam pengertian adanya pengalihan risiko kerugian yang mungkin timbul karena peristiwa yang tidak pasti dengan imbalan sejumlah premi. Pada masa tersebut, lahirlah pribadi pribadi yang bertindak sebagai pihak yang bersedia menanggung sebagian risiko yang dihadapi oleh sesama pedagang dengan imbalan sejumlah bayaran. Praktik ini kemudian diadopsi sebagai dasar model asuransi yang berlaku sampai sekarang di Lloyd’s of London. Selama berabad abad Lloyd’s of London sepenuhnya terdiri dari berbagai sindikat ( syndicate ) yang merupakan pribadi pribadi yang bertindak sebagai underwriter yang melakukan transaksi asuransi, dimulai dari warung kopi Edward Lloyds di masa lalu sampai ke bangunan Lloyds of London saat ini. Pemilik masing masing sindikat memberikan jaminan hak milik pribadi dalam setiap penutupan asuransi. Praktik tersebut akhir akhir ini telah mengalami pergeseran dengan semakin banyaknya sindikat pada Lloyd’s of London yang berbentuk badan hukum dengan tanggung jawab sebatas modal usaha mereka. Penutupan asuransi atau reasuransi oleh Lloyd’s of London hanya dilakukan melalui pialang asuransi yang terdaftar di Lloyd’s of London. Dari perkembangan diatas, nampak bahwa bermula dari perjanjian yang timbul dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, landasan hukum perjanjian berkembang menjadi perjanjian yang dikembangkan sesama pedagang atas jaminan yang diberikan untuk kepentingan komersial. Kegiatan yang semula dilakukan sebagai pekerjaan sambilan akhirnya menjadi perjanjian yang dikeluarkan pribadi pribadi dan perusahaan perusahaan yang sepenuhnya bertindak sebagai penanggung. Kegiatan asuransi di bumi Nusantara dikenal pertama kali mengikuti kegiatan bangsa Belanda dalam usaha perkebunan dan perdagangan di negeri 133 jajahannya. Pada awalnya kegiatan asuransi terbatas untuk melindungi kepentingan Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya yang melakukan perdagangan dan usaha perkebunan di Indonesia, terutama untuk asuransi pengangkutan dan kebakaran. Asuransi jiwa nasional pertama adalah Bumiputera 1912 yang didirikan pada tahun 1912 di Magelang atas prakarsa seorang guru yang bernama M.Ng Dwidjosewoyo sebagai perusahaan asuransi yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ) pendirian Bumiputera 1912 didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap nasib para guru kaoem boemipoetra . Pencapaian penting lainnya dalam tonggak sejarah asuransi Indonesia sejak kemerdekaan antara lain adalah terlaksananya Kongres Asuransi Nasional Seluruh Indonesia (KANSI) pertama pada 25 – 30 November 1956 di Bogor. Tujuan dari kongres tersebut antara lain untuk menyatukan pendapat dan bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi. Kongres tersebut antara lain melahirkan kesepakatan pendirian Dewan Asuransi Indonesia (DAI) pada 1 Februari 1957.
Pengaturan Asuransi Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa sesuatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa yang seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Unsur yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian, kata “orang” dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, tidak semata mata diartikan “orang per orang” sebagaimana dalam pasal 1792 KUH Perdata tetapi juga “pihak” yakni orang dengan orang, badan dengan orang dan badan dengan badan. Perjanjian asuransi disebutkan sebagai sebuah perjanjian dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak menyanggupi untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang lain atas subyek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu. 134 3. Sahnya Perjanjian Asuransi Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkannya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan dengan elemen elemen perjanjian asuransi pada umumnya yaitu: offer and acceptance, consideration, legal object, competent parties dan legal form. 4. Pengalihan Resiko Dasar hukum perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata menggolongkan perjanjian asuransi kedalam perjanjian untung untungan semata atau bertujuan spekulatif. Sedangkan perjanjian asuransi mempunyai tujuan yang lebih pasti yaitu pengalihan risiko. Namun dengan dimasukkannya asuransi kedalam KUH Dagang menjadikan asuransi sebagai perbuatan ekonomi yang sah oleh hukum dan pengakuan sah tersebut telah diatur dalam berbagai undang undang diluar KUH Dagang antara lain Undang Undang Nomor 2 Tahun 1912 tentang Usaha Perasuransian yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Lahirnya Perjanjian Asuransi Menurut pasal 1233 KUH Perdata, suatu perikatan dapat dilahirkan karena persetujuan maupun karena undang undang. Asuransi komersial adalah suatu perjanjian yang lahir karena persetujuan dan dapat lahir karena undang undang. Sedangkan asuransi sosial dan jaminan sosial lahir karena undang undang.
Pengertian Asuransi menurut KUH Dagang Robert Bradgate mengatakan dalam konteks industri asuransi di Inggris dan berbagai peraturan yang berlaku disana dan preseden yang ada, karena begitu luasnya risiko yang dapat ditanggung oleh asuransi, penggunaan definisi “asuransi” dapat dipertanyakan walaupun untuk tujuan tujuan tertentu sebuah definisi mungkin bermanfaat. Pertama , mereka yang menjalankan usaha perasuransian harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan tertentu. Kedua, beberapa ketentuan hukum tertentu tidak berlaku terhadap perjanjian asuransi. Ketiga, meskipun perjanjian 135 asuransi adalah sebuah perjanjian yang akan tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang umum atas suatu perjanjian, sejumlah ketentuan khusus berlaku atas perjanjian asuransi (dalam sistem common law ) 7. Pasal 247 & 268 KUH Dagang Meskipun pasal 247 KUH Dagang membatasi asuransi hanya merupakan asuransi terhadap bahaya kebakaran, asuransi pertanian, asuransi jiwa, asuransi pengangkutan laut, darat dan sungai namun pasal 268 KUH Dagang menyebutkan suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yng dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang undang. 8. Perkembangan Suretyship dan Surety Bond di Indonesia Bidang usaha yang memberikan jaminan dalam bentuk surety bond bukan merupakan bidang usaha yang baru. Luther E. Mackall dalam bukunya “Security Underwriting Manual” menyebutkan bahwa sudah sejak berabad- abad yang lalu ketika mulainya zaman peradaban, seseorang menyediakan diri bagi kawan kawannya sebagai penjamin kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan kewajibannya dengan atau tanpa suatu imbalan (Sianipar, 2000). Setelah zaman berganti maka timbulah badan-badan hukum yang didirikan untuk menampung resiko tersebut. Tercatat Amerika Serikat pada tahun 1837, William L. Watkins mengeluarkan pamflet yang mengusulkan pembentukan The New York Guarantee Company. Di Negeri Belanda tepatnya di Amsterdam berdiri N.V. Nationale Borg Maatsccappij pada tahun 1893. Kemudian Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1894 secara resmi mengakui pemberian jaminan oleh perusahaanperusahaan Surety Bonds Corporation yang sudah berdiri di Amerika Serikat (Sianipar, 2000). Seperti diketahui khususnya dalam asuransi kerugian terdapat jenis-jenis asuransi, seperti asuransi kebakaran, asuransi kendaraan, asuransi pengangkutan, asuransi kecelakaan, asuransi rekayasa, asuransi properti, asuransi tanggung jawab hukum serta asuransi jaminan (surety) Bila dikaitkan dengan surety bond maka pengertian surety bond erat terkait dengan asuransi tanggung jawab hukum dan asuransi jaminan. 136 Di Indonesia sebelum tahun 1978 lembaga jaminan yang mirip surety bond selama ini adalah bank garansi. Barulah pada tanggal 6 Desember 1978 pemerintah memberi peluang melalui Peraturan pemerintah RI, No.34 tahun 1978 untuk Asuransi Kerugian Jasa Raharja melakukan perluasan usahanya dari asuransi wajib di bidang pertanggungan wajib kecelakaan penumpang umum dan kecelakaan lalulintas jalan. Adapun perluasan usaha yang dimaksud adalah pemberian jaminan dalam bentuk surety bond. Ketentuan diatas kini tidak berlaku setelah dikeluarkannya Kepres No. 18 tahun 2000 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. Kepres ini kemudian dilengkapi dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Bappenas No. S-42/A/2000 dan No. S-2262/D.2/05/2000 tertanggal 3 Mei 2000, Isi Keputusan Bersama Menteri tersebut menegaskan bahwa perusahaan asuransi harus dari perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bonds) dan harus direasuransikan kepada perusahaan asuransi/reasuransi yang bonafid (Sianipar, 2000). Walaupun langkah untuk memperkenalkan dan mendukung penggunaan produk Surety Bond tersebut telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Keppres No. 18 Tahun 2000, tentu saja kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau penanggungan tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak asuransi itu sendiri sebagai penjamin atau yang lebih dikenal dengan Surety. Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah yang penawaran pengerjaannya kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender berdasarkan Keppres No.18 tahun 2000 yang pada umumnya selalu mensyaratkan adanya jaminan (tender bond) dari kontraktor yang memenangkan tender tersebut terhadap kepastian kemampuan dan kualitas dari pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Begitu pula bila pihak pemberi kerja disepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang muka kepada kontraktor untuk memulai pekerjaannya, umumnya pemberi kerja akan memproteksi dirinya dengan meminta jaminan (advance bond) terhadap resiko kerugian bila kontraktor yang telah menerima uang muka tersebut ternyata tidak melaksanakan pengerjaan proyek tersebut seperti yang disepakati. 137 Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi secara ketat dan pada awalnya Kepres No. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT. Persero Asuransi Jasa Raharja, yang dalam perkembangannya kemudian ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI (KMK RI) No. 761/KMK.013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi, yang kemudian berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. S 2272/DK/ 2001 tanggal 16 Mei 2001 yang ditujukan ke Pertamina menyatakan adanya 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety bond. Surety Bond merupakan suatu produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan potensi resiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak, umumnya pemilik proyek ( bouheer) atas kepercayaan yang diberikan kepada pihak lain ( kontraktor) dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan ( obligee/Kreditur) sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin ( principal/ debitu r) tersebut. Perbedaan Suretyship dan Asuransi No. Surety Bond Asuransi 1. Perjanjian Tanggung Renteng/Suretyship (Pasal 1313 KUH Perdata) dan Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 dst KUH Dagang) Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 KUH Dagang dst) 2. Para pihak terdiri dari Principal, Obligee dan Surety company Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 3. Menjamin resiko baik yang berasal dari luar dan dari dalam principal (itikad/moral buruk) Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 4. Premi dianggap sebagai biaya pelayanan (provisi/ service charge ) Premi dihimpun dari para tertanggung untuk membayar ganti rugi yang mungkin terjadi 5. Perjanjian suretyship bersifat unconditional, artinya Surety wajib membayar claim sebesar yang diperjanjikan. Misalkan Perjanjian Asuransi bersifat Conditional, artinya Asuransi hanya membayar claim yang 138 diperjanjikan bila principal gagal melaksanakan kontrak konstruksi maka claim surety harus dibayar Rp1 miliar. Ternyata Obligee gagal padahal dia sudah mengerjakan dengan biaya Rp500 juta. Maka pencairan kepada obligee tetap Rp1 miliar. benar-benar diderita Tertanggung, misalnya pertanggungan kebakaran Rp1 Miliar tapi terjadi kebakaran sebagian, maka asuransi hanya membayar claim Rp500 juta 6. Claim dibayar setelah principal dinyatakan gagal. Claim dibayar setelah diketahui penyebab yang dijamin dalam polis 9. Norma-norma UU 1/2016 tentang Penjaminan, UU 21/2011 tentang OJK dan UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian Beberapa norma hukum yang berlaku pada ketiga undang undang dimana eko sistem lini usaha suretyship berada dapat dikemukakan sebagai berikut: Aspek Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Asas Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas kepentingan nasional; kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; profesionalisme; efisiensi berkeadilan; edukasi dan perlindungan konsumen (Pasal 2) Lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali secara tegas diatur dalam UU ini (Pasal 2 ayat (1)) Tata kelola usaha yang baik (Pasal 11 ayat (1)) perusahaan perasuransian wajib menerapkan standard perilaku usaha (Pasal 26) Tujuan Bertujuan menunjang kebijakan Agar seluruh kegiatan sektor jasa keuangan Untuk menciptakan industri perasuransian yang 139 pemerintah, mendorong kemandirian usaha; meningkatkan akses bagi dunia usaha; mendorong pertumbuhan pembiayaan; meningkatkan kemampuan produksi nasional; mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional (Pasal 3) terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat (Pasal 4) lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional (Penjelasan) Pengawasan Lembaga penjaminan wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik; wajib menjaga kondisi kesehatan keuangan (Pasal 26) Berwenang menetapkan kebijakan operasional, melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan memberikan perintah tertulis; menetapkan penggunaan pengelola statuter; menetapkan sanksi administratif; memberikan dan mencabut izin usaha/ izin orang Wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Pasal 11 ayat (1)); anggota direksi, dewan komisaris atau yang setara wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 11) 140 perorangan/ efektifnya pernyataan pendaftaran (Pasal 9) Reasuransi Lembaga penjaminan wajib melakukan mitigasi risiko dan mereasuransikan (Pasal 42 ayat (1)) n.a Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional (Pasal 57 ayat (2)) Klaim Lembaga penjaminan wajib memiliki cadangan klaim dan cadangan umum (Pasal 44) n.a Perusahaan asuransi wajib menjadi peserta program penjaminan polis (Pasal 53 ayat (1)) Retensi Sendiri Lembaga penjaminan wajib memiliki retensi sendiri (Pasal 49) n.a Wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi dalam negeri (Pasal 36) Penyelesaian Sengketa Dilakukan secara musyawarah mufakat; melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 54 ayat (1) dan (2)); kesepakatan Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen mediasi (Pasal 29c) 141 bersifat final dan mengikat Ketentuan Penutup Semua ketentuan mengenai penjaminan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 63) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian; UU No. 7/1992 tentang Perbankan; UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun; UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal; UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia; UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah dan peraturan UU lain di sektor keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangdan belum diganti berdasarkan UU ini (Pasal 70) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 90a); semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 2/1992 dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 90c) 10. Kesimpulan Keteterangan Ahli Berdasarkan uraian tersebut diatas Ahli berkesimpulan sebagai berikut:
Asuransi lahir dan tumbuh sebagai hasil dari perikatan antara kedua pihak atau lebih subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum dan sebagai hasil dari undang undang yang mengatur berbagai kehidupan ekonomi masyarakat.
Bahwa sejarah asuransi di dunia maupun di dalam negeri bertujuan untuk membagi dan mengalihkan risiko demi menjaga stabilitas keuangan anggota masyarakat pada khususnya dan kesejahteraan bangsa dan negara pada umumnya. 142 c. Bahwa sejak berdirinya industri asuransi nasional bertekad untuk bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi d. Bahwa lini usaha suretyship telah menjadi praktik bisnis perasuransian yang ditekuni sejumlah pelaku jasa keuangan asuransi dibawah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan pengawasan secara terintegrasi seluruh sektor jasa keuangan termasuk penjaminan. [2.7] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 dan 18 September 2020 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945. 143 [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: 144 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang rumusannya adalah, (1) Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
...
Bahwa Pemohon adalah Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yaitu badan hukum perkumpulan yang para anggotanya adalah perusahaan- perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian (Badan Hukum Privat) yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat AAUI, Wakil Ketua, Bendahara Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan berdasarkan Akta Nomor 02 Pernyataan Keputusan Kongres Asosiasi Asuransi Umum Indonesia tentang Perubahan Anggaran Dasar, tanggal 4 Desember 2018 [vide bukti P-6] yang selanjutnya menyatakan bahwa pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama AAUI berdasarkan Pasal 14 dan berwenang menghadap ke pengadilan atas nama Organisasi AAUI berdasarkan Pasal 18 angka 2 adalah Dewan Pengurus Pusat yang 145 sekurang-kurangnya terdiri dari satu orang Ketua, satu orang Wakil Ketua, satu orang Bendahara, dan satu orang Direktur Eksekutif, dan Akta tersebut selanjutnya disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08 Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dalam Bahasa Inggris Disebut General Insurance Association of Indonesia, tertanggal 18 Desember 2018, yang pada pokoknya menyebutkan nama-nama susunan pengurus dan pengawas AAUI [vide bukti P-13];
Bahwa Pemohon sebagai badan hukum privat perkumpulan yang berazaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Negara Republik Indonesia serta sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Anggaran Dasar, didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota AAUI sebagai asosiasi nirlaba yang dibentuk dalam rangka memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global [vide bukti P-6];
Bahwa berdasarkan sertifikat keanggotaan [vide Bukti P-9], saat ini terdapat 45 perusahaan asuransi yang menjadi anggota Pemohon yang telah menjalankan bidang usaha suretyship berdasarkan izin dari pihak OJK [vide Bukti P-10];
Bahwa Pemohon menjelaskan suretyship yang __ telah dijalankan sebagai terobosan produk asuransi, dan prakteknya telah berlangsung lama tidak secara tegas dinormakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan menimbulkan kerugian atau potensial menimbulkan kerugian tidak hanya kepada para anggota dari Pemohon namun juga perusahaan asuransi lainnya yang menjalankan lini usaha suretyship, bahkan telah mengancam lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun, yang manfaatnya dirasakan bagi pembangunan nasional;
Bahwa Pemohon juga menerangkan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 juga telah menyebabkan kerugian bagi anggota Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship seperti jaminan penawaran (bid bond) , jaminan pelaksanaan (performance bond) , jaminan uang muka (advance payment bond) , jaminan pemeliharaan (maintenance bond) , jaminan pembayaran serta jaminan kepabeanan (custom bond), __ secara potensial tidak lagi dapat dilakukan, padahal produk tersebut 146 sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan proyek pembangunan dengan skala yang besar baik di bidang konstruksi maupun non konstruksi;
Bahwa oleh karenanya menurut Pemohon, kehadiran Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan cara langsung maupun tidak langsung potensial pasti merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus- menerus oleh Pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya untuk memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global. Oleh karenanya, norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang diajukan dalam Permohonan ini secara faktual atau setidak- tidaknya potensial telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi UUD 1945; Berdasarkan penjelasan Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya berkenaan dengan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon menyatakan diri sebagai asosiasi yang berbentuk badan hukum yang potensial dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang a quo, dan Pemohon telah pula menjelaskan kedudukannya di dalam asosiasi tersebut dengan melampirkan ketentuan yang menyatakan pihak yang dapat mewakili asosiasi tersebut untuk bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu menurut Mahkamah berkaitan dengan kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo Pemohon telah dapat membuktikan bahwa Pemohon adalah subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan a quo dan Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial yang dialami dengan berlakunya norma dari pasal yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon perihal pertentangan norma UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. 147 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, menurut Pemohon, pemberian penjaminan di Indonesia saat ini dilayani oleh industri yang berbeda-beda, antara lain, industri perbankan terdapat bank umum yang dapat menerbitkan produk bank garansi. Selain itu, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia atau Exim Bank yang juga menerbitkan bank garansi. Berikutnya, perusahaan penjaminan yang menerbitkan surety bond dan industri perasuransian dengan perusahaan asuransi umum yang menerbitkan produk _suretyship; _ 2. Bahwa, menurut Pemohon, dalam konteks peraturan perundang-undangan Indonesia, eksistensi lembaga perbankan dalam menjalankan usaha bank garansi diakomodir secara tegas melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 10/1992). Demikian pula dengan perusahaan penjaminan dalam menjalankan lini usaha surety bond telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU 1/2016);
Bahwa, menurut Pemohon, konsep suretyship merupakan salah satu bentuk konsep pertanggungan yang diatur dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kegiatan pertanggungan itu sendiri diantaranya meliputi pertanggungan biasa, bank garansi, serta suretyship . Pada dasarnya, jika dibandingkan antara suretyship dengan bank garansi, misalnya, maka keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pertanggungan pelaksanaan proyek, meski masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, secara historis sebenarnya perusahaan-perusahaan asuransi telah menjalankan lini usaha suretyship sejak tahun 1978 bahkan pengaturannya telah dituangkan dalam berbagai macam bentuk perundang-undangan;
Bahwa, menurut Pemohon, dalam perkembangannya, ketika ketentuan yang mengatur asuransi secara khusus (lex specialis) diterbitkan melalui Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992) 148 hingga UU 40/2014, suretyship masih juga belum diatur secara eksplisit dalam UU a quo , walaupun dalam Pasal 1 angka 4 UU 40/2014 memang disebutkan jasa pertanggungan atau pengelolaan resiko yang bisa saja termasuk makna suretyship, namun tetap saja ruang lingkup lini usaha yang diakui sebagai lini usaha perusahaan asuransi adalah seperti yang ditegaskan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014;
Bahwa, menurut Pemohon, tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha _suretyship; _ 6. Bahwa, menurut Pemohon, muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Selain itu adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU 2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) UU 2/2017;
Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo, padahal sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU 2/2017 dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi _; _ 149 8. Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 berpotensi membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah;
Bahwa, menurut Pemohon, untuk mengisi kekosongan hukum akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon selanjutnya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 dan dua orang ahli bernama Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing- masing telah didengar keterangannya dalam persidangan dan telah dibaca keterangan tertulisnya, serta dua orang saksi bernama Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan yang masing-masing telah didengar keterangannya dalam persidangan. Di samping itu Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). 150 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Agustus 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.10] Menimbang bahwa Presiden pada tanggal 3 Maret 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 Juni 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Pihak Terkait juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa untuk kepentingan Mahkamah, dalam persidangan tanggal 10 September 2020, Mahkamah telah menghadirkan satu orang ahli bernama Irvan Rahardjo, S.E., M.M. yang keterangan tertulisnya telah diterima Mahkamah pada tanggal 10 September 2020 dan keterangannya telah didengar dalam persidangan sebagaimana tersebut di atas (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, baik bukti tertulis dan keterangan para ahli serta saksi yang diajukan Pemohon, serta kesimpulan Pemohon, keterangan DPR, keterangan dan kesimpulan Presiden, keterangan dan kesimpulan Pihak Terkait, dan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut: 151 [3.13.1] Bahwa persoalan utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang mengatur ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dengan tidak mencantumkan secara tegas kegiatan suretyship, padahal lini usaha suretyship sejak awal telah diterbitkan oleh perusahaan asuransi, namun saat ini tidak diakomodir di dalam UU 40/2014, selain itu, menurut Pemohon Pasal 61 UU 1/2016 telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha _suretyship; _ [3.13.2] Bahwa berkaitan dengan dalil pokok permohonan Pemohon tersebut di atas, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini. Bahwa perkembangan asuransi di Indonesia menunjukkan angka kemajuan yang cukup baik selama beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang tumbuh, di mana semakin hari semakin banyak nasabah yang menggunakan jasa layanan asuransi dengan berbagai varian di dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang ada hingga Desember 2019 , usaha asuransi dengan lini usaha kredit dan suretyship saja __ yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima pendapatan premi sebesar Rp1,59 triliun atau 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship (vide kesimpulan OJK dalam perkara a quo pada hlm. 28). Bahwa berdasarkan contoh data tersebut tentu saja hal ini menunjukkan variabel yang dapat menjadi ukuran besarnya peluang adanya sebuah keuntungan tersendiri bagi perusahaan yang menyediakan layanan asuransi. Peluang yang dimiliki oleh perusahaan asuransi akan semakin luas, baik pasar yang bisa diolah dan dijadikan sebagai sasaran penjualan produk yang mereka miliki maupun jenis produk asuransi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan kata lain, kebutuhan akan jenis asuransi akan selalu beriringan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamikanya cukup cepat, terutama di dalam mengantisipasi hal- hal yang berkenaan dengan kualitas hidup masyarakat. Bahwa oleh karena itu selain tuntutan untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada para nasabahnya, perusahaan asuransi juga harus melakukan inovasi di 152 dalam mengembangkan varian lini usaha dengan berbagai jenis usaha untuk bisa memperluas dan memajukan bisnis yang mereka jalankan dalam industri perasuransian. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan berbagai produk baru dan lebih inovatif bagi nasabahnya. Bahkan saat ini, produk asuransi tidak hanya terbatas pada jenis asuransi jiwa dan asuransi kesehatan saja, karena pada dasarnya kedua produk inilah yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan asuransi juga mengeluarkan berbagai macam produk yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan nasabah dan ada banyak jenis produk asuransi yang bisa dipilih oleh nasabah pengguna asuransi, antara lain: asuransi kesehatan, asuransi dana pendidikan, asuransi dana pensiun, asuransi kendaraan bermotor, asuransi properti, hingga asuransi dengan lini usaha surety bond serta beragam jenis asuransi lainnya. Dengan banyaknya produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, maka akan banyak pilihan dan juga pertimbangan yang bisa diambil oleh nasabah yang akan menggunakan asuransi tersebut. Hal ini juga menciptakan perusahaan dengan kualitas persaingan yang baik di antara perusahaan penyedia layanan asuransi, sehingga industri asuransi akan memberikan layanan terbaik di dalam menawarkan produknya. Lebih lanjut berkaitan dengan asuransi suretyship atau surety bond secara universal dapat dijelaskan produk suretyship atau surety bond sejak diakui keberadaannya di Indonesia yaitu pada tahun 1978, kewenangan/hak untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha surety bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian pada awalnya diberikan kepada PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada Tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kembali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan surety bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Namun dalam perkembangannya, persisnya pada tahun 1992 perusahaan-perusahaan asuransi yang membidangi kegiatan usaha menjamin kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah, in casu Kementerian Keuangan, agar pelaksanaan asuransi yang 153 mempunyai lini usaha surety bond tidak dilakukan monopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Bahwa selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992), kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha asuransi di bidang surety bond . Konsekuensinya PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan asuransi khusus yang menangani dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan juga asuransi dana kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964. Bahwa berdasarkan perjalanan historis sebagaimana diuraikan di atas, terhadap asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah berjalan di Indonesia hingga saat ini sudah kurang lebih 42 tahun sejak diperkenalkan meskipun secara faktual terhadap asuransi kerugian atau umum baru diberikan izin oleh Kementerian Keuangan untuk menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond setelah berlakunya UU 2/1992. Dengan demikian asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah mendapat pengakuan dan juga kesempatan untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi kerugian (umum) hingga saat ini. [3.13.3] Bahwa berkaitan dengan asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond, menurut Mahkamah penting juga untuk menyamakan persepsi antara pengertian suretyship atau surety bond di mana berdasarkan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, bahwa suretyship adalah istilah yang digunakan untuk salah satu jenis lini usaha yang bersifat generik, sedangkan surety bond adalah jenis produknya. Sementara itu pengertian suretyship adalah “lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee ” __ [vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Pasal 1 angka 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK 69/POJK.05/2016)]; Selanjutnya berkenaan dengan ruang lingkup penjaminan adalah jenis bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin 154 atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 1 UU 1/2016). Dengan demikian di dalam Lembaga Penjamin terdapat tiga pihak, yaitu Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 11, angka 12, dan angka 13 UU 1/2016). Oleh karena itu di dalam lembaga penjamin yang dalam hal ini juga termasuk asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond terdapat hubungan hukum antara tiga pihak, yaitu penjamin (surety), penerima jaminan ( obligee /kreditur) dan pihak yang dijamin ( principal /debitur). Oleh karenanya secara sederhana dapat diilustrasikan, bahwa apabila dalam sebuah perjanjian antara penerima jaminan (kreditur) dengan pihak yang dijamin (debitur) terjadi wanprestasi maka penjamin ( surety ) akan mendudukkan diri bersama-sama dengan pihak yang dijamin (debitur) untuk kemudian memenuhi prestasi yang diperjanjikan (vide Pasal 1316 KUH Perdata). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dengan telah diperolehnya ciri-ciri dari ruang lingkup lembaga penjamin tersebut, maka dapat diketahui perbedaan yang esensial antara pengertian penjaminan dengan asuransi. Sebab, asuransi pada hakikatnya hanya terdiri dari dua pihak, yaitu Tertanggung dan Perusahaan Asuransi. Namun demikian bukan berarti perusahaan asuransi tidak dapat menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond, karena secara empirik di Indonesia sebenarnya perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha __ suretyship atau surety bond telah banyak dan hal tersebut sesungguhnya perusahaan asuransi menjalankan fungsi lini usaha yang sedikit berbeda dengan core business yang dimilikinya, meskipun pada dasarnya suretyship atau surety bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi umum . [3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Bahwa terhadap permasalahan pokok yang dimohonkan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sesungguhnya praktik suretyship atau surety bond yang menjadi bagian dari lini usaha perusahaan asuransi di Indonesia telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Tahun 1978 meskipun pada waktu itu masih menjadi monopoli PT Jasa Raharja Persero dan baru secara resmi menjadi lini usaha perusahaan asuransi umum sejak Tahun 1992. Oleh karena itu bagi perusahaan 155 asuransi umum persoalan lini usaha suretyship atau surety bond tersebut pada hakikatnya tidak pernah ada hambatan di dalam menjalankan praktiknya. Sementara itu berkenaan dengan undang-undang yang mengatur lini usaha suretyship atau surety bond sebagaimana __ diatur dalam UU 1/2016 bukan dalam UU 40/2014. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengertian dan ruang lingkup lini usaha suretyship atau surety bond yang meskipun merupakan jenis dari produk perusahaan asuransi, namun unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah penjaminan. Oleh karena itu permasalahan penempatan pengaturan demikian sebenarnya tidak serta-merta menjadikan adanya persoalan konstitusionalitas norma dari pasal yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond. Sebab, apabila diatur dalam UU 40/2014 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah bukan berkenaan dengan jenis dari asuransi akan tetapi berkaitan dengan penjaminan, sedangkan apabila diatur dalam UU 1/2016 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah merupakan bagian dari produk asuransi. Terlebih bagi perusahaan asuransi yang akan menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond tidak mendapatkan hambatan dengan adanya pengaturan tersebut, meskipun dalam permohonannya Pemohon beralasan hal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Namun demikian sulit bagi Mahkamah untuk berkesimpulan bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 5 UU 40/2014. Dengan kata lain, apabila dilihat dari pihak yang melakukan lini usaha suretyship atau surety bond yaitu perusahaan asuransi maka tidaklah salah apabila ketentuan mengenai suretyship atau surety bond dimasukkan ke dalam UU 1/2016, karena konsep suretyship atau surety bond sendiri secara umum sama dengan konsep penjaminan, karenanya tidaklah mungkin pengaturannya dimasukkan ke dalam UU 40/2014. Bahwa lebih lanjut dijelaskan, ketentuan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 mengenai frasa “ sesuai kebutuhan masyarakat ” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat, yang apabila dimaknai “termasuk lini usaha suretyship ” sebagaimana yang Pemohon mohonkan di dalam petitum permohonan, justru akan memberikan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship. Terlebih __ tanpa adanya perluasan makna terhadap frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” __ 156 sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, sesungguhnya yang diinginkan Pemohon telah terakomodir di dalam UU 1/2016. Oleh karena pengaturan suretyship sudah diatur dalam UU 1/2016 maka sesungguhnya tidak perlu lagi diatur dalam UU 40/2014, sehingga dengan demikian sebenarnya tidak ada persoalan mengenai pengaturan suretyship. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terhadap norma Pasal 61 UU 1/2016, meskipun tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, namun oleh karena didalilkan dalam posita permohonannya dan secara substansi adalah hal yang mendasar yaitu Pemohon menganggap norma pasal a quo telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship. Oleh karena itu Mahkamah perlu untuk menanggapi dalil Pemohon tersebut. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati sebenarnya __ hanyalah merupakan kekhawatiran Pemohon karena perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU 1/2016. Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship (in casu surety bond) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 dapat dilakukan perusahaan asuransi yang bersinergi dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang telah mengatur perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Hal demikian mengingat lini usaha suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 tidaklah memerlukan persyaratan sebagai lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU 1/2016. Sementara itu Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 adalah ketentuan yang mengatur perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha penjaminan agar menyesuaikan dengan UU 1/2016 berkenaan dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (1) UU 1/2016. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon tidaklah tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan yang mempunyai core business penjaminan yang merupakan lini usaha yang dapat juga dijalankan oleh perusahaan asuransi. 157 Kemudian sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship, sehingga telah sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 61 UU 1/2016. Dengan demikian perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana kekhawatiran Pemohon; __ [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 158 Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.51 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh 159 ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.02/2018 tentang Klasifikasi Anggaran
Perubahan atas Pearturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Angg ...
Pengujian UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah [Pasal 14 huruf e dan huruf f] ...
Relevan terhadap
hanya sebagaimana pendahulu 15,5% untuk Migas dapat dilihat itu adalah suatu hal yang tidak proporsional; • Bahwa 15,5% dari PNBP untuk penerimaan daerah, sementara pusat 84,5% itu sudah sangat besar, belum lagi pusat mendapatkan government tax sebesar 48%. Government tax itu 48%, sementara dana PNBP 84,5 dan daerah hanya 15,5% dan government tax itu di pusat semua sebesar 48%; • Bahwa Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 khususnya Pasal 14 ayat huruf e ini merupakan suatu hal yang tidak proporsional bagaimana daerah ini akan membangun akibat kekurangan investasi, sementara kegiatan usaha hulu Migas sendiri ada di daerah dan ini juga fakta di lapangan masyarakat di Provinsi Jambi melihat kegiatan usaha hulu Migas ini mempunyai konsekuensi preseden buruk terhadap kegiatan investasi, terhadap kontraktor kontrak kerja sama hulu Migas di daerah; • Bahwa sasaran tembaknya adalah kontraktor perusahaan minyak, padahal urusan minyak ini adalah kontraktor pemerintah mereka tidak menguasai sumber daya produksi tetapi masyarakat awam. Adanya kegiatan usaha hulu Migas di daerah tidak memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, angka kemiskinan tinggi, angka pengangguran tinggi; • Bahwa di lihat 10 tahun terakhir ini investasi cadangan Migas nasional 0% karena melihat regulasi “sangat-sangat sentralistik“ untuk itu Pemda, mewakili masyarakat Provinsi Jambi mendukung masyarakat Kalimantan Timur melakukan judicial review dalam rangka untuk perubahan dari pada Pasal 14 huruf e secara proporsional; 9. Adi Purwanto • Bahwa Blora merupakan daerah di Kabupaten Jawa Tengah yang paling timur dengan luas 182.580.787 hektar dengen penduduk 828.174 jiwa, daerah Blora ini sebagian besar adalah hutan yang menghasilkan kepada negara dan juga Blora memiliki potensi Migas. Namun, hasilnya juga banyak untuk keperluan negara; • Bahwa sejarah Migas di Blora itu sejak 1893 cukup lama, sehingga dieksploitasinya sudah cukup lama. Pemegang WKP di Blora, dalam hal Migas ini adalah Pertamina, DPMCL beserta Pertamina, dan juga ada Blok Randu Gunting, yaitu antara Vietnam, Petronas, dan Pertamina;
kalah dari DKI Jakarta dan Yogyakarta. Sudah 14,55% rumah tangga menggunakan komputer/ _notebook; _ • Bahwa dalam kerangka MP3EI yang dirancang oleh pemerintah pusat. Alokasi, investasi untuk infrastruktur sudah dirancang sedemikian baik. Dan Kalimantan Timur memperoleh rencana alokasi sekitar Rp50 triliun. Jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lain di Kalimantan. Lima kali lebih besar dibandingkan yang akan diperoleh Kalimantan Barat dan hampir 10 kali lebih besar dibandingkan yang akan diperoleh Kalimantan Selatan; • Bahwa Kalimanta Timur mengalami pengisapan, Ahli menemukan data pengeluaran per kapita, dimana Provinsi Kalimantan Timur memperoleh pengeluaran per kapita tertinggi nomor 3 di Indonesia, hampir 2 kali lipat dari pengeluaran per kapita Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, definisi pengisapan daerah yang digunakan Pemohon memang masih bisa di perdebatkan. Karena Pemohon hanya memperbandingkan konsumsi per kapita dibagi dengan pendapatan per kapita, lalu itulah yang dikatakan sebagai pengisapan daerah; • Bahwa pendapatan daerah itu merupakan penjumlahan dari konsumsi rumah tangga, investasi Pemerintah, investasi pengeluaran Pemerintah, ekspor dikurangi dengan impor, kalau hanya memperbandingkan besaran konsumsi rumah tangga per kapita dengan pendapatan daerah per kapita, maka pastilah angkanya akan berada di bawah satu. Dan itu akan dialami oleh 33 provinsi di Indonesia; • Bahwa semua provinsi di Indonesia mengalami pengisapan oleh pemerintah pusat. Kalau dikeluarkan saja APBN yang masuk ke semua daerah, maka pastilah menemukan angka pendapatan daerah lebih kecil daripada pengeluarannya. Dan apakah bisa kita katakan pemerintah pusat telah mengisap semua daerah? Besaran konsumsi di Kalimantan Timur, ternyata yang paling rendah di Kalimantan. Artinya, konsumsi yang terendah itu adalah ciri dari daerah yang maju; • Bahwa definisi atau formula yang masih bisa diperdebatkan ini, kalau terus- menerus digaungkan di tengah-tengah masyarakat akan semakin menciptakan saja kebencian di antara masyarakat kepada pemerintah pusat, itu adalah sesuatu yang tidak baik dalam hubungan kebangsaan dan kekeluargaan dalam konteks negara kesatuan;
antar daerah, sehingga kita tidak kehilangan konteks nasional dan lebih berkualitas menjalankan konstitusi. 7. Keterangan Prof. DR. Eddy Suratman Dari potret ekonomi regional sebagaimana diuraikan di atas, tampak bahwa kondisi ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur adalah yang terbaik di Kalimantan. Hampir 70% dari kontribusi Kalimantan terhadap ekonomi nasional berasal dari Provinsi Kalimantan Timur, struktur ekonominya berbeda dengan tiga provinsi lain yang tidak lagi tergantung pada sektor pertanian, menduduki peringkat ke-3 nasional dalam realisasi investasi PMDN dan peringkat 5 nasional dalam hal PMA, memiliki kapasitas fiskal per kapita tertinggi di Indonesia, pendapatan per kapita penduduknya lebih dari 4 kali pendapatan perkapita penduduk di provinsi lain di Kalimantan, memiliki peringkat IPM tertinggi di Kalimantan (peringkat 5 nasional), pendapatan dalam APBDnya hampir 3 kali lipat dari pendapatan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dan akan memperoleh alokasi infrastruktur terbesar dalam kerangka MP3EI yang mencapai sekitar 5 kali lipat lebih besar dari Kalimantan Barat dan hampir 10 kali lipat dari Kalimantan Selatan. Dalam teori ekonomi regional kita mengetahui bahwa PDRB suatu daerah tidak semuanya diserap oleh daerah itu sendiri, karena sebagian akan mengalir ke luar daerah. Dengan perkataan lain, di setiap daerah akan terjadi kebocoran regional ( regional leakages ). Kebocoran tersebut terjadi karena terdapat faktor produksi yang dioperasikan di daerah itu yang berasal dari luar daerah. Sebagai efeknya, balas jasa yang diperoleh oleh faktor produksi tersebut juga mengalir kembali ke luar daerah. Misalnya faktor modal usaha yang digunakan di daerah A yang berasal dari daerah B, maka balas jasa modal ( returns to capital ) yang diterima juga mengalir kembali ke daerah B. Dalam kasus ini, kebocoran regional dapat juga berarti adanya pengiriman returns to capital kepada perusahaan- perusahaan induk yang berdomisili di luar daerah A. Suatu daerah tentu saja juga mempunyai pendapatan yang berasal dari luar
Pengujian materil Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang RI No. 15 Tah ...
Relevan terhadap
ayat (2). 52 Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, standar pemeriksaan merupakan patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Standar pemeriksaan terdiri dari standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan pemeriksaan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK telah menyusun standar pemeriksaan pertama kali pada tahun 1995 yang disebut Standar Audit Pemerintahan (SAP). Seiring dengan perubahan UUD Negara RI 1945 dan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan, pada Tahun 2007 BPK menyusun standar pemeriksaan dengan nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Setelah hampir 10 (sepuluh tahun) digunakan sebagai standar pemeriksaan, SPKN 2007 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan standar audit internasional, nasional, maupun tuntutan kebutuhan yang berkembang. Oleh karena itu, SPKN 2007 telah dilakukan penyempurnaan. Perkembangan standar pemeriksaan internasional kini mengarah kepada perubahan dari berbasis pengaturan detail ( rule-based standards ) ke pengaturan berbasis prinsip (principle-based standards ). Perkembangan pada tingkat organisasi badan pemeriksa sedunia, INTOSAI telah menerbitkan International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) untuk menjadi referensi pengembangan standar bagi anggota INTOSAI. Khusus untuk pemeriksaan keuangan, INTOSAI mengadopsi keseluruhan International Standards on Auditing (ISA) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants (IFAC). Seiring dengan perkembangan standar internasional tersebut, Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang diberlakukan dalam SPKN 2007, juga mengalami perubahan dengan mengadopsi ISA. Pada awal 2017, saat BPK genap berusia 70 tahun, BPK berhasil menyelesaikan penyempurnaan SPKN 2007 yang selanjutnya ditetapkan menjadi Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sejak diundangkannya Peraturan BPK ini, SPKN mengikat BPK maupun pihak lain yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan SPKN ini, diharapkan hasil pemeriksaan keuangan negara dapat lebih berkualitas. Jika dibandingkan, SPKN 2007 memiliki delapan lampiran, sedangkan hanya terdapat empat lampiran yang tercantum di dalam SPKN 2017. Rincian detail lampiran SPKN 2007 terdiri dari: 53 1) Lampiran I : Pendahuluan Standar Pemeriksaan 2) Lampiran II : Pernyataan Standar Pemeriksaan 01 (Standar Umum) 3) Lampiran III : Pernyataan Standar Pemeriksaan 02 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan) 4) Lampiran IV : Pernyataan Standar Pemeriksaan 03 (Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan) 5) Lampiran V : Pernyataan Standar Pemeriksaan 04 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja) 6) Lampiran VI : Pernyataan Standar Pemeriksaan 05 (Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja) 7) Lampiran VII : Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) 8) Lampiran VIII : Pernyataan Standar Pemeriksaan 07 (Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) Sedangkan lampiran SPKN 2017 mencakup:
Lampiran I : Kerangka Konseptual Pemeriksaan 2) Lampiran II : PSP 100 – Standar Umum 3) Lampiran III : PSP 200 – Standar Pelaksanaan Pemeriksaan 4) Lampiran IV : PSP 300 - Standar Pelaporan Pemeriksaan. SPKN 2017 tidak melakukan pemisahan antara standar pelaksanaan dan standar pelaporan untuk pemeriksaan keuangan, kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Hal ini karena sesungguhnya ketiga varian pemeriksaan tersebut saling terkait satu dengan yang lain dan tak dapat dipisahkan sebagai suatu sistem pemeriksaan keuangan negara. SPKN berisi persyaratan pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan, dan persyaratan laporan pemeriksaan. Keberadaan isi SPKN tersebut menjadi ukuran mutu pemeriksaan keuangan negara. SPKN dilaksanakan dengan sebuah mekanisme kerja yang terdiri dari pengumpulan bukti, data, pengujian bukti secara objektif. Hal ini dilakukan guna mewujudkan prinsip akuntabilitas publik dalam rangka mendapatkan sebuah hasil yakni meningkatkan kredibilitas dan validitas informasi yang dilaporkan. Hasil ini akan membawa manfaat berupa:
peningkatan mutu pengelolaan;
pemenuhan tanggung jawab keuangan negara; dan 54 3. pengambilan keputusan, yakni dalam melakukan audit laporan keuangan, auditor harus tunduk pada standar pemeriksaan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, dapat digarisbawahi bahwa guna melakukan audit atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, standar yang telah ditentukan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang ditetapkan dengan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Guna melakukan pemeriksaan atas penggunaan keuangan negara, SPKN 2017 memberlakukan tiga standar, yaitu standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan. Dalam salah satu dalilnya, para Pemohon juga mempertanyakan K/L yang telah memperoleh status WTP namun tetap dikenakan PDTT (contoh: KPK). Para Pemohon mendalilkan hal ini menyebabkan PDTT potensial dijadikan alat abuse of power oleh BPK, yang dapat menghambat proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sehingga merugikan warganegara. Apakah hal ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang spesifik? Menurut pendapat ahli hal itu lebih merupakan asumsi, bukan fakta dan tidak ditemukan dalam tujuan maupun celah dalam desain pengaturan norma hukum mengenai penggunaan kewenangan PDTT. Sebaliknya, selama ini PDTT justru dinilai banyak membantu penegak hukum untuk membuktikan terjadi/tidak-nya tindak pidana korupsi (Pengalaman penulis sebagai ahli di berbagai penanganan kasus korupsi oleh para penegak hukum sebagaimana juga terlampir dalam biodata ahli juga menunjukkan hal tersebut). Terkait dengan status WTP yang masih dimungkinkan dilakukannya PDTT, hal itu harus dikaitkan dengan karakteristik dari pemeriksaan keuangan negara, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Predikat WTP yang diberikan BPK atas laporan keuangan suatu institusi hanya sebagai tanda, bahwa proses yang disusunnya telah sesuai standar akuntansi yang berlaku. Maka, predikat WTP memang tidak digunakan sebagai jaminan bahwa sebuah lembaga pemerintah bersih dari korupsi atau terjadi pemborosan dalam menyusun anggaran. Predikat yang diberikan BPK memang tak bisa menjadi ukuran suatu lembaga bebas korupsi. Tetapi, predikat itu hanya mencerminkan 4 (empat) hal, yakni pertama , laporan keuangan lembaga yang diperiksa telah sesuai standar akuntansi; kedua , sudah terdapat cukup bukti dalam laporan keuangan; ketiga , telah terdapat sistem pengendalian internal, dan keempat , pengelolaan keuangan negara telah sesuai dengan undang-undang. 55 Selain itu, dalam beberapa kasus tidak semua kasus korupsi akan berpengaruh terhadap laporan keuangan. Misalnya, dalam kasus suap (gratifikasi). Dana suap seringkali berasal dari “kantong/rekening pribadi” pihak penyuap, sehingga bisa jadi tidak/belum terdeteksi oleh BPK. Hal ini juga tidak selalu berpengaruh terhadap laporan keuangan yang disajikan dan diperiksa oleh BPK. Lain halnya, jika dana yang dipergunakan untuk menyuap bersumber dari kas negara/daerah, karena akan berpengaruh terhadap hasil laporan keuangan yang dibuat, sehingga akan membuat BPK lebih mudah dalam mendeteksinya melalui PDTT. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil laporan audit BPK yang menyatakan opini WTP dapat menggambarkan bahwa tidak adanya tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya tepat, karena WTP didapatkan dari hasil pemeriksaan keuangan yang tujuannya adalah untuk mengetahui dan menguji kewajaran suatu laporan keuangan yang dibatasi oleh materi yang diperiksa, standar yang digunakan dan waktu pemeriksaan. Hal itu bukan dimaksudkan untuk menguji apakah ada/tidaknya tindak pidana korupsi. Guna mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana korupsi memerlukan jenis pemeriksaan yang berbeda selain pemeriksaan laporan keuangan, yaitu pemeriksaan investigasi atau pemeriksaan forensik yang termasuk dalam kategori Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagian kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal- hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan 56 keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah dan organisasi profesi di bidang pemeriksaan. Standar Pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 13 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Upaya untuk mencegah terjadinya abuse of power adalah adanya standar operasional prosedur yang dalam Hukum Administrasi Negara termasuk dalam kategori Hukum Acara Non Sengketa (niet contentieus processrecht ) yang diatur dalam bentuk Standar pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 hal itu dikategorikan sebagai Standar Operasional Prosedur ( vide Pasal 49). Hal itu menyebabkan tidak memadainya dasar untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang spesifik, jika asumsi yang digunakan bahwa PDTT potensial digunakan sebagai alat untuk melakukan abuse of power tanpa adanya dukungan data dan riset yang secara representatif mampu menunjukkan bahwa PDTT memang secara faktual cenderung digunakan sebagai alat untuk melakukan abuse of power oleh auditor BPK. Justru sebaliknya, PDTT merupakan instrumen yang efektif untuk membantu penegak hukum dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi yang menimbulkan merugikan keuangan negara yang kini menjadi persyaratan mutlak untuk melakukan penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 Dalam melaksanakan PDTT, sebelum mengambil simpulan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, pemeriksa harus mendasarkan pada bukti-bukti yang cukup, kompeten dan relevan. Hal ini dimaksudkan agar pemeriksa tidak mengambil simpulan secara sewenang-wenang. Kriteria bukti pemeriksaan dalam PDTT tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Cukup Bukti, yaitu harus cukup untuk mendukung simpulan pemeriksaan. Dalam menentukan kecukupan suatu bukti, Pemeriksa harus yakin bahwa bukti yang cukup tersebut dapat memberikan 57 keyakinan seseorang bahwa simpulan telah valid. Apabila dimungkinkan, metode statistik bisa digunakan untuk menentukan kecukupan bukti pemeriksaan;
Kompeten Bukti dianggap kompeten apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan konsisten dengan fakta. Dalam menilai kompetensi suatu bukti, Pemeriksa harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti keakuratan, keyakinan, ketepatan waktu, dan keaslian bukti tersebut; dan
Relevan. Bukti dikatakan relevan apabila bukti tersebut memiliki hubungan yang logis dan memiliki arti penting bagi simpulan pemeriksaan yang bersangkutan (Lampiran Keputusan BPK- RI Nomor: 2/K/I-XIII.2/I/2009 Tanggal : 27 Februari 2009); Sebagai komparasi, praktik PDTT juga dilaksanakan di beberapa negara lain melalui kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga audit di beberapa negara. Misalnya, kewenangan dari Government Accountability Office (GAO) di AS yang juga diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan investigatif sebagai lembaga pemerintah cabang legislatif yang menyediakan jasa audit, evaluasi dan investigasi untuk Kongres Amerika Serikat. GAO diberikan kewenangan untuk melaksanakan audit atas permintaan congressional committees , subcommittees, atau anggota Congress . Salah satu tugas GAO adalah melakukan investigasi atas tuduhan illegal and improper activities , sama dengan kewenangan BPK untuk melakukan audit investigatif. PDTT juga ditemukan di Singapura, yaitu Special Audits , yang dilakukan oleh Auditor General’s Office (AGO). AGO melaksanakan pemeriksaan terhadap laporan keuangan pemerintah, yang dilaksanakan setiap tahun ( annually ). Selain pemeriksaan terhadap laporan keuangan, AGO juga diberikan kewenangan untuk melakukan audit khusus ( selective audits ) untuk memeriksa kepatuhan public agencies terhadap peraturan perundangundangan dan special audits atas permintaan dari Parlemen. Perlu dijelaskan sekilas proses pemeriksaan yang secara normatif dilaksanakan oleh BPK baik berupa pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. PDTT dapat bersifat pemeriksaan ( examination ), reviu ( review ), dan prosedur yang disepakati ( agreed-upon procedures ) untuk menerbitkan komunikasi tertulis yang menyatakan suatu simpulan tentang keandalan asersi 58 yang menjadi tanggung jawab pihak lain. Sasaran pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dapat mencakup antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan. Selanjutnya, guna membahas permintaan, saran, dan pendapat tersebut, BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi. Masih dalam kaitannya dengan perencanaan tugas pemeriksaan tersebut, BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Guna keperluan tersebut, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK. Sehubungan dengan pelaksanaan tugas pemeriksaannya, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Kewenangan BPK dalam melaksanakan tugas pemeriksaan tersebut meliputi:
meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara;
meminta keterangan kepada seseorang;
memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. Pemeriksa yang bertugas atas nama BPK harus menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Jika diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Laporan hasil 59 pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat- lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/ gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan tersebut diatur bersama oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum. Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Jawaban atau penjelasan tersebut disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima. BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut. Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban itu dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepegawaian. BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut tersebut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya. DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan. DPR/DPRD dapat 60 meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut. PDTT sesungguhnya didasarkan atas filosofi dalam pengelolaan keuangan negara. Landasan filosofi dari PDTT adalah untuk mewujudkan kepastian hukum dan kepatuhan dalam penggunaan keuangan negara agar dapat mencegah maupun memulihkan terjadinya kerugian negara. PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan pemeriksaan yang ditetapkan (Lampiran 1 Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 Kerangka Konseptual angka 18). PDTT diperlukan BPK untuk memastikan terwujudnya tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 23E ayat (1) UUD Negara RI 1945 yang wujud pemeriksaannya bisa berupa pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif (Lampiran 1 Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 Kerangka Konseptual butir 18). Hal yang lebih penting lagi, eksistensi PDTT tersebut sangat urgen untuk mematuhi dan mengefektifkan implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang pada intinya dalam salah satu butir pertimbangannya menyatakan bahwa konsep kerugian negara harus diletakkan dalam konstruksi kerugian yang bersifat aktual (actual loss) bukan lagi kerugian potensial (potential loss ) yang didasarkan atas hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk (vide Bab Pertimbangan Hukum butir 3.10.6). Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kewenangan PDTT BPK harus diletakkan dalam desain yang sinergis-komprehensif terhadap urgensi untuk mewujudkan akurasi, validitas, dan kredibilitas pemeriksaan keuangan negara sebagai konsekuensi dari pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23E UUD Negara RI 1945 dalam memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi warga negara di Indonesia sebagai negara hukum. Dalam hukum terdapat adagium , in eo, quod plus sit, semper inest et minus (di dalam apa yang “lebih” selalu terkandung apa yang “kurang”). PDTT sebagai suatu varian pemeriksaan yang lebih mendalam selalu diperlukan, jika apa yang dilakukan melalui pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ternyata dinilai masih kurang untuk mencapai tujuan pemeriksaan. Peraturan perundang-undangan ( wet/regeling ) maupun peraturan kebijakan ( beleidsregel ) yang berkaitan dengan PDTT, sesungguhnya telah memberikan konsiderasi dan eksplanasi yang memadai mengenai legitimasi, urgensi, dan signifikansi PDTT 61 sebagai salah satu varian dari rangkaian pemeriksaan keuangan dan kinerja yang tak terpisahkan serta saling melengkapi. Odia restringi et favores convenit ampliari (patutlah mempersempit semua yang merugikan dan memperluas semua yang menguntungkan). Tak ada alasan untuk mempersempit ruang lingkup pemeriksaan keuangan negara dengan menghilangkan PDTT, jika PDTT ternyata lebih besar keuntungannya bagi pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara di negara kita.
Dr. Binsar Hamonangan Simanjuntak Ak, MBA. Pemohon dalam permohonan pengujian ini pada pokoknya menyatakan alasan kerugian konstitusional pemeriksaan dengan tujuan tertentu disebabkan:
kewenangan BPK melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional dalam UUD NRI 1945;
frasa “tujuan tertentu” tidak memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum, sehingga mengakibatkan potensi abuse of power oleh BPK;
sering kali institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) namun tetap dilakukan PDTT. Menjawab argumen permohonan tersebut, izinkan saya mengawalinya dengan menjelaskan adanya teori keagenan ( agency theory ) dalam ilmu manajemen. Teori ini menjelaskan adanya kesenjangan ekspektasi ( expectation gap ) antara manajemen dan pemilik. Untuk mengurangi kesenjangan ekspektasi ini, kedua belah pihak sepakat untuk mempergunakan jasa pemeriksa untuk memberikan nilai tambah atas kredibilitas laporan manajemen dengan diaudit oleh suatu pemeriksa independen. Teori tersebut apabila dikaitkan dengan sistem dalam tata negara Republik Indonesia, khususnya dalam pemeriksaan keuangan negara, Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur:
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 62 Pasal 23E UUD NRI 1945 ditindaklanjuti dengan UU Nomor 15 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan lingkup pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Untuk melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara, Pasal 4 UU Nomor 15 tahun 2004 menyatakan tiga jenis pemeriksaan keuangan negara yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Diatur pula pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas; dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU ini menyebutkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Selanjutnya UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2006 menyebut hal yang sama terkait jenis pemeriksaan BPK yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Perlu dijelaskan pada dasarnya pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen dan dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi, dalam hal ini jika menyangkut keuangan negara, standar akuntansi yang digunakan adalah Standar Akuntansi Pemerintah. Hasil yang diberikan pemeriksaan keuangan adalah Opini atau pendapat Pemeriksa, dari Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian, Tidak Wajar, dan Tidak Memberikan Pendapat. Untuk memberikan opini ini, Pemeriksa memastikan terpenuhinya empat kriteria dalam pemberian opini pada pemeriksaan keuangan, yaitu:
kesesuaian terhadap Standar Akuntansi Pemerintah, 2. pengungkapan yang cukup, 3. kepatuhan terhadap peraturan, dan;
keandalan Sistem Pengendalian Intern. 63 Dalam melaksanakan tugas wewenangnya tersebut, pemeriksa harus memastikan penugasan sudah didasarkan pada standar pemeriksaan, yang dalam kaitan dengan keuangan Negara, standar pemeriksaan yang digunakan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara seperti diamanatkan dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sementara itu, pemeriksaan kinerja merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk memberikan keyakinan tujuan telah dicapai secara efektif, efisien, dan ekonomis (3E). Ada beberapa nama atau istilah lain dari Pemeriksaan Kinerja, misalnya Pemeriksaan Operasional, Pemeriksaan Manajemen ( management audit ), atau pemeriksaan/audit value for money . Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan kesimpulan yang berupa temuan perbandingan antara kondisi atau fakta dibandingkan dengan kriteria, dan rekomendasi untuk memperbaiki temuan tersebut. Dengan demikian, bila rekomendasi ini dipenuhi, tujuan/program/kegiatan pemerintah akan tercapai secara efektif, efisien, dan ekonomis. Pemeriksaan kinerja juga harus dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen dan pemeriksaan harus didasarkan pada standar, yaitu Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Selain kedua jenis pemeriksaan tersebut, dalam sektor publik atau pemerintahan terdapat beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka untuk memberikan keyakinan atas asersi atau pernyataan/representasi dari pihak manajemen. Jenis pemeriksaan yang lain tersebut adalah pemeriksaan investigatif, pemeriksaan ketaatan ( compliance ), pemeriksaan teknologi informasi, pemeriksaan pajak, dan berbagai pemeriksaan khusus untuk memenuhi permintaan pemangku kepentingan ( stakeholder ). Misalnya, pemeriksaan khusus atas pendapatan negara, pemeriksaan khusus atas subsidi, pemeriksaan khusus atas kewajaran tarif jalan tol atau tarif listrik, pemeriksaan khusus atas kewajaran atas pekerjaan tambah kurang dari kontraktor, pemeriksaan khusus atas kewajaran denda bunga, pemeriksaan khusus atas divestasi atau investasi pemerintah, pemeriksaan khusus untuk perhitungan kerugian negara dan berbagai jenis pemeriksaan khusus lainnya. Terkait dengan penugasan yang harus dilakukan BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara, dalam hal ini memeriksa pengelolaan keuangan negara dan pertanggungjawaban keuangan negara, sesuai dengan amanat UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 11 menyatakan, 64 _BPK dapat memberikan: _ a. pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau _badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya; _ b. pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan _oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau _ c. keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Selanjutnya, penjelasan Pasal 11 (a) UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK menyebutkan Pendapat yang diberikan BPK termasuk perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman, privatisasi, likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pasal 11 UU Nomor 15 Tahun 2006 ini cukup kuat untuk menjelaskan bahwa pemeriksa kemungkinan akan menghadapi berbagai penugasan yang pelaksanaannya tidak semata mata hanya menggunakan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan dan/atau pemeriksaan kinerja. Dengan kata lain, merujuk ke Pasal 11 UU Nomor 15 Tahun 20116, pemberian pendapat ke berbagai stakeholders BPK tidak dapat hanya dilaksanakan dengan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja, namun harus digunakan satu jenis pemeriksaan lagi yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Untuk itu, pengaturan adanya jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu seperti yang diamanatkan dalam Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2004 dan Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2006 adalah sudah tepat. Selanjutnya, sama seperti pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, maka pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen serta dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan, dalam hal ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Berdasarkan uraian di atas, pemeriksaan dengan tujuan tertentu menurut hemat saya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari tugas dan wewenang BPK guna memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila BPK dibatasi hanya melakukan dua jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, kuat dugaan saya sebagian hak konstitusional rakyat dalam rangka menjamin keuangan negara untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD NRI 1945 akan tercerabut. Hal ini disebabkan pemeriksaan keuangan dan 65 pemeriksaan kinerja masing-masing sudah mempunyai tujuan tersendiri, padahal masih banyak kebutuhan informasi yang benar, kredibel, dan objektif yang dibutuhkan oleh konstituen tapi tidak bisa terlayani oleh pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja. Sebaliknya, optimalisasi pemeriksaan melalui pemeriksaan dengan tujuan tertentu justru akan memberikan informasi yang andal dan teruji setelah dilakukan pemeriksaan tersebut. Sebagai suatu contoh, salah satu bentuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif guna memperkuat bukti pendukung guna memberikan keyakinan yang memadai adanya dugaan perbuatan tindak pidana korupsi dan/atau kelalaian. Bentuk lain dari PDTT misalnya adalah PDTT dalam rangka untuk menentukan berapa harga perolehan yang objektif atas satu aset negara yang akan di divestasi. Bentuk PDTT lain misalnya adalah penentuan tarif jalan tol, atau penentuan harga pokok bahan baku untuk memproduksi secara masal barang yang menjadi kebutuhan publik. Masih banyak lagi contoh PDTT lainnya yang tentunya publik atau konstituen akan kesulitan memperoleh manfaat dari informasi yang andal dan kredibel serta meyakinkan seandainya jenis pemeriksaan PDTT dihapus dari konstitusi. Berkaitan dengan kemungkinan akan adanya potensi abuse of power karena tidak ada kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan kepastian hukum pada pemeriksaan dengan tujuan tertentu, menurut pendapat saya adalah tidak tepat apabila telah dibaca keseluruhan norma UU Nomor 15 Tahun 2004 secara utuh, khususnya Pasal 5 UU Nomor 15 Tahun 2004 yang mengatur semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan, kode etik, dan sistem kendali mutu. Secara tujuan, pemeriksaan yang dilakukan BPK, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu mempunyai kejelasan tujuan, yaitu memberikan keyakinan yang memadai atas berbagai asersi yang diberikan oleh manajemen (dalam hal ini pemerintah) yang dilaksanakan secara independen, serta disampaikan kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara rumusan dan potensi penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ), pelaksanaan pemeriksaan dilakukan berdasarkan standar pemeriksaan. Hal demikian menunjukkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu bukanlah 66 pemeriksaan yang dilakukan tanpa rumusan jelas dan tanpa adanya alasan. Standar Pemeriksaan yang disusun BPK juga tidak dilakukan sendiri, tetapi juga berkonsultasi dengan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2004. Dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara , Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dapat bersifat: eksaminasi ( examination ), reviu ( review ), atau prosedur yang disepakati ( agreed-upon procedures ). Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi, antara lain, pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan, BPK harus memastikan melalui komunikasi tertulis yang memadai mengenai sifat pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan. Diaturnya Standar Pemeriksaan Keuangan Negara merupakan pedoman yang wajib dan harus diikuti dalam melakukan pemeriksaan, khususnya pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Artinya, standar tersebut merupakan rambu- rambu yang jelas dan tegas harus diikuti agar potensi abuse of power tersebut diminimalisasi sekecil mungkin. Rambu-rambu tersebut juga diikuti dengan kepatuhan terhadap kode etik pemeriksa sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018, dan kemudian juga hasil pemeriksaan BPK harus didasari sistem kendali mutu hasil pemeriksaan seperti diatur dalam Keputusan BPK No 15 Tahun 2015. Berbagai upaya harus dilakukan untuk memastikan semua pemeriksa melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan, kode etik, dan sistem kendali mutu. Hal ini untuk mencegah adanya abuse of power tadi. Hal ini mulai dari pembekalan kompetisi bagi para pemeriksa, reviu berjenjang, sampai kepada pemeriksaan intern yang dilakukan oleh Inspektorat Utama BPK. Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksa harus dilakukan oleh orang yang kompeten, independen, dan dilaksanakan secara cermat profesi ( due professional care ). Selain itu, dalam Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, ada keharusan untuk melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa atas simpulan dari pemeriksa atas hasil 67 pemeriksaan tersebut. Dalam PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan SPKN dinyatakan Pemeriksa harus memperoleh tanggapan tertulis atas hasil pemeriksaan dari pihak yang bertanggung jawab. Namun demikian, terkait dengan kerahasiaan informasi, dalam PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, Pemeriksa tidak meminta tanggapan. Menurut saya adanya kesempatan untuk memberikan dan melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa merupakan suatu ruang yang memberikan keseimbangan hak bagi pemeriksa dan entitas yang diperiksa, sehingga pemeriksa tidak dapat dengan semena-mena membuat suatu kesimpulan PDTT. Selain internal BPK, secara eksternal BPK sudah lazim ada check and balance , antara lain, pengawasan dari DPR atas kinerja BPK maupun juga masukan dari masyarakat atas hasil pemeriksaan BPK. Khusus masukan dari masyarakat, UU Nomor 15 Tahun 2016 mengamanatkan dibentuknya Majelis Kehormatan Kode Etik untuk memproses masukan dari masyarakat, di mana susunan Majelis Kehormatan Kode Etik ini terdiri dari unsur dari luar BPK dan unsur dari dalam BPK. Terakhir, untuk instrumen pencegahan abuse of power adalah keharusan laporan keuangan BPK diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang independen, dan bisnis proses BPK dilakukan peer review oleh sesama supreme audit dari negara lain. Berkaitan dengan dalil permohonan mengenai institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tetapi juga dilakukan PDTT. Terhadap hal tersebut perlu ditegaskan kembali tujuan pemeriksaan keuangan adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan pemerintah telah disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Dengan demikian, pemeriksaan keuangan tidak ditujukan untuk memberikan keyakinan atas dugaan tindak pidana atau kelalaian atau permintaan spesifik pemangku kepentingan untuk meminta BPK melakukan PDTT. Sedangkan PDTT bertujuan memberi informasi khusus berdasarkan kriteria dan biasanya dilakukan dengan langkah atau prosedur pemeriksaan yang detil dan spesifik atas informasi yang didalami, PDTT dapat dilakukan atas inisiatif BPK dan dapat juga atas permintaan dari eksternal BPK, Dengan demikian, dari segi tujuan dan prosedurnya sudah berbeda satu sama lainnya. 68 Satu hal lagi perbedaan antara kedua jenis pemeriksaan tersebut adalah bukti yang diperoleh dan dianalisis. Dalam pemeriksaan keuangan, bukti dilakukan secara uji petik ( sampling ) dan bukan dari keseluruhan total populasi. Dengan demikian, dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksa akan memastikan tidak ada deviasi yang signifikan atau material yang dapat memengaruhi pertimbangan pemeriksa dalam memberikan opini terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan. Sedangkan dalam PDTT, terutama dalam PDTT investigatif, pengumpulan bukti dilakukan secara mendalam dan intensif untuk memastikan terjadinya kerugian negara. Hal yang sama juga berlaku buat PDTT non investigatif dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat. Patut juga diingat dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksa harus mewaspadai apabila terjadi dugaan fraud , namun sekali lagi pemeriksaan tidak dirancang secara khusus untuk mengungkapkan terjadinya fraud . Oleh sebab itu, pemeriksaan yang khusus untuk menyimpulkan ada tidaknya fraud atau kelalaian dilakukan dengan pemeriksaan investigatif sebagai salah satu bentuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Terkait kemungkinan adanya dugaan kecurangan ditemui pemeriksa dalam keuangan maupun dalam pemeriksaan kinerja, tidak serta-merta pemeriksa akan melaksanakan pemeriksaan investigatif. Penanggungjawab tim pemeriksaan menurut praktik yang lazim akan memberi catatan agar dugaan terjadinya fraud ini didalami, dan penelitian awal dalam rangka pendalaman dilakukan oleh tim pemeriksa lain yang berbeda dengan tim yang sedang melaksanakan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja. Sedangkan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja tetap dilanjutkan sampai penugasan selesai. Temuan pemeriksaan yang mengandung indikasi awal kecurangan disajikan dalam LHP tanpa menjelaskan secara mendetail dugaan kecurangan tersebut. Namun Pemeriksa lebih menitikberatkan penjelasannya kepada dampak temuan tersebut terhadap hal pokok/informasi hal pokok sesuai tujuan pemeriksaan (PSP Nomor 300 par 14 Standar Pelaporan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara) Ditegaskan dalam PSP 100 par 24 Standar Umum dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara bahwa PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan selain PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Temuan atau 69 informasi tersebut harus diuji kelayakannya sebelum bisa diterima sebagai predikasi . Menurut praktik yang lazim, keputusan untuk melakukan pemeriksaan investigatif dilakukan setelah melalui proses yang cermat ( due process ). Tim yang yang ditunjuk akan melakukan penelitian awal tentang SIABIDIBA (5 W dan I H) dari kasus yang diteliti (baik yang berasal dari temuan awal pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja, maupun permintaan eksternal). Selanjutnya, setiap tahap harus dilalui berdasarkan pedoman pemeriksaan investigatif, termasuk expose internal dan eksternal (dengan aparat penegak hukum terkait), dan setiap tahapan harus dilandasi SPKN, kode etik, dan sistem kendali mutu. Dengan demikian, dapat digaris bawahi sekali lagi perbedaan antara pemeriksaan keuangan dan PDTT, yaitu pemeriksaan keuangan bertujuan memastikan laporan keuangan yang disajikan dapat dipercaya dan andal sesuai standar akuntansi pemerintah. Sedangkan PDTT investigatif adalah pemeriksaan yang mendalam dengan mengumpulkan seluruh bukti yang terkait untuk memberi keyakinan kuat terjadinya fraud dan sekaligus menyajikan dugaan besarnya kerugian negara. Hasil investigasi ini selanjutnya akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum. Sedangkan PDTT non investigatif seperti PDTT atas kelaikan suatu proyek, denda keterlambatan, penetapan dan penyaluran subsidi, bantuan sosial, divestasi atau investasi, dan lain-lain merupakan pemeriksaan yang mendalam baik atas inisiatif BPK namun lebih banyak atas permintaan dari stakeholders . Sehingga tidak heran apabila ada satu entitas yang sudah mendapat opini WTP dalam pemeriksaan keuangan namun dilakukan juga PDTT. Berdasarkan uraian di atas, izinkan saya memberikan empat simpulan dalam keterangan ahli ini, yaitu:
pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilakukan BPK merupakan bagian dari kewenangan konstitusional BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945 guna memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
frasa “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan yang mengandung kepastian hukum dengan diaturnya pelaksanaan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara yang disusun BPK dengan berkonsultasi dengan pemerintah, 70 sehingga BPK dan/atau pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus dan wajib menggunakan standar tersebut sebagai pedoman dan rambu dalam melaksanakan pemeriksaan, sehingga tujuan dan rumusan pemeriksaan yang dilaksanakan nyata dan pasti berdasarkan standar pemeriksaan tersebut;
agar pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat minimalisasi potensi abuse of power, wewenang pemeriksaan harus berpedoman pada standar pemeriksaan, pelaksanaannya pun terdapat sistem kendali mutu, dan juga adanya kode etik pemeriksa dalam hal kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dilakukan pemeriksa;
mengenai institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) namun tetap dilakukan PDTT, hal demikian disebabkan perbedaan atas tujuan, prosedur, dan substansi hasil pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan yang melahirkan opini antara lain WTP berbeda dalam tujuan, prosedur, dan substansinya dengan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Saksi: Sumiyati - Bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan juga Rancangan Undang-Undang BPK, yaitu adanya permintaan dari institusi di luar BPK seperti yang didiskusikan dan disepakati oleh pemerintah secara bersama-sama dengan DPR dan BPK RI; - Bahwa dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan negara, BPK RI tidak hanya melaksanakan pemeriksaan dan pemeriksaan kinerja. Namun sebagai lembaga pemeriksa keuangan tertinggi di Indonesia atau dikenal dengan nama Supreme Audit Institutions , BPK dapat melaksanakan pemeriksaan karena ditemukannya suatu permasalahan dalam pemeriksaan keuangan dan/atau pemeriksaan kinerja yang perlu didalami lebih lanjut, ataupun adanya permintaan dari eksternal di luar BPK. Adapun permasalahan yang perlu pemeriksaan lebih lanjut atau permintaan pemeriksaan dari institusi lain, dapat berupa indikasi adanya kerugian negara, kecurangan, atau fraud , dan juga hal- hal lain yang terkait dengan keuangan negara. Dengan memperhatikan berbagai jenis pemeriksaan yang terkait dengan keuangan negara, maka 71 disepakati bersama oleh DPR, Pemerintah, dan BPK RI, tidak digunakan suatu istilah atau jenis pemeriksaan tertentu, namun digunakan nama generik, yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dalam huruf kecil, agar BPK sebagai lembaga pemeriksa tertinggi dapat menjalankan mandat yang diterimanya. - Selain hal tersebut, dalam praktik pemeriksaan rumusan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dipilih mengingat dalam international best practice , jenis-jenis pemeriksaan selalu berkembang mengikuti dinamika organisasi atau lingkungan di mana lembaga pemeriksa itu berada. Oleh karena itu, dipilih suatu rumusan yang tidak kaku. Namun demikian, untuk menjaga tata kelola pemeriksaan dengan tujuan tertentu, tetap harus berpedoman pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK setelah dikonsultasikan kepada Pemerintah. - Untuk mencegah terjadinya abuse of power , Pemerintah dan DPR sepakat untuk menetapkan norma hukum yang mengatur bahwa pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan. Standar pemeriksaan yang sekarang diberi nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara atau disingkat SPKN, ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah. - Kemudian, di Undang-Undang BPK juga menetapkan bahwa BPK harus mempunyai majelis kehormatan kode etik. - Sehubungan dengan adanya intitusi pemerintah yang sudah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau WTP, namun tetap dilakukan PDTT, saksi dapat terangkan sebagai berikut. - Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan, bukan kebenaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan mendapatkan opini WTP jika pemeriksa yakin bahwa tidak terdapat hal yang material yang dapat memengaruhi kewajaran penyajian laporan keuangan. - Bahwa opini WTP ini sesuai dengan yang disepakati, dimasukkan di dalam undang-undang bahwa itu merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan, yang kriterianya dituangkan juga di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. Ini juga didiskusikan dan dihasilkan kriteria secara bersama-sama pada saat dilakukan pembahasan RUU tersebut. 72 - Bahwa saat itu didiskusikan dan dipertanyakan kenapa ada pemeriksaan kinerja? pemeriksaan kinerja dilakukan karena keuangan negara setiap tahunnya dituangkan dalam Undang-Undang APBN, maka pemeriksaan atas pelaksanaan APBN juga didasarkan pada kinerja. Oleh karena itu, dirumuskan pemeriksaan kinerja. - Bahwa kemudian masih ada hal-hal lain yang terkait dengan keuangan negara, namun bukan pemeriksaan keuangan dan bukan pemeriksaan kinerja. Akhirnya, dicarikan varian pemeriksaan yang bisa menampung kebutuhan pemeriksaan tersebut karena bisa muncul dari pemeriksaan BPK sendiri, dan bisa juga berasal dari permintaan apakah lembaga negara lainnya seperti pemerintah atau BPK, atau juga bisa berasal dari pemerintah daerah atau ada informasi yang masuk ke BPK. Mengingat bahwa pemeriksaan atau penugasan permintaan ini bisa berbagai macam, maka akhirnya disepakati bersama, dicarikan rumpunnya. Itulah yang dimasukkan di dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu. - Kemudian inilah kenapa akhirnya muncul bahwa untuk pemeriksaan tujuan tertentu di sini bisa untuk hal-hal yang terkait dengan keuangan. Di situ ada pemeriksaan investigasi atau ada penugasan yang lainnya. Hal tersebutlah yang disepakati. Namun, tetap di dalam menjalankan pemeriksaan mengacu pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK, namun tetap harus berkonsultasi dengan pemerintah pada saat perumusan standar pemeriksaan tersebut. - Bahwa pada saat itu juga didiskusikan dan dibahas mengenai apabila pada saat BPK menjalankan tugas sebagai pemeriksa keuangan negara ternyata menemukan hal-hal yang ternyata di situ bukan kasus di bidang keuangan negara, misalkan ada kasus pidana kemudian bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh BPK. Dari situ akhirnya disepakati bahwa dalam hal diketemukan adanya kasus di luar keuangan negara seperti pidana, maka BPK harus segera melaporkan kasus ini kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, DPR menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga telah menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis 73 tambahan beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Ketentuan UU BPK dan __ UU PPTKN yang Dimohonkan Pengujian Materil Terhadap UUD NRI Tahun 1945 Dalam permohonan a quo , para Pemohon __ mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN sepanjang frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU BPK “Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, __ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” __ Para Pemohon dalam petitumnya memohon agar Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN terhadap frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” diputus bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan alasan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan: Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pasal 23E ayat (1) “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” __ __ __ __ __ __ 74 II. Keterangan DPR RI A. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Para Pemohon Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Selain itu Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang juga dijadikan batu uji oleh Para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai tugas Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional karena para Pemohon tidak memberikan argumentasi dan tidak membuktikan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut sebagaimana yang dijamin dalam pasal-pasal a quo UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji dalam pengujian UU a quo .
Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Pasal-pasal a quo mengatur mengenai tugas BPK yang merupakan penjabaran dari ketentuan 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan mengenai tugas BPK. Dalam hal ini para Pemohon yang berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena tidak terdapat korelasi antara ketentuan pasal-pasal a quo dengan para Pemohon yang bukan Anggota BPK atau pihak yang terdampak dengan berlakunya pasal- pasal a quo. Oleh karena itu tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . 75 c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) merupakan salah satu penguatan terhadap BPK dalam upaya meningkatkan efektifitas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kerugian yang didalilkan para Pemohon terkait dengan anggapan bahwa pengaturan PDTT tidak sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh para Pemohon sesungguhnya bukanlah kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, melainkan asumsi para Pemohon tanpa ada dasar argumentasi yang jelas. Selain itu dalil yang disampaikan para Pemohon yang menyatakan pelaksanaan PDTT berpotensi disalahgunakan oleh oknum BPK ( vide perbaikan permohonan hal 24), adalah asumsi para Pemohon yang tidak ada pertautannya dengan profesi para Pemohon sebagai Dosen ataupun mahasiswa. Oleh karena itu tidak ada kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam poin a, b, c, tersebut di atas, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Seharusnya para Pemohon perlu untuk mempelajari dan memahami mengenai sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan di Indonesia untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai Dosen Hukum Tata Negara dan mahasiswa dengan baik, khususnya mengenai tugas BPK berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo . 76 e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon. Dengan demikian, PDTT yang mensyaratkan bahwa objek pemeriksaannya adalah lembaga negara bukan orang perorangan, tanpa menihilkan peran mahasiswa dan dosen atau PDTT yang mendasarkan pada objek yang berkaitan dengan keuangan atau objek atau pihak yang berkaitan dengan keuangan negara. Oleh karenanya tidak ada kerugian konstitusional karena para Pemohon tidak secara spesifik menguraikan kerugian konstitusionalnya maupun juga hubungan sebab-akibat antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon dengan ketentuan pasal- pasal a quo . Sebagai dosen, tugas dosen adalah mentransformasikan, membimbing, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Begitupun halnya dengan Pemohon sebagai mahasiswa yang berkewajiban menuntut ilmu, seharusnya tidak mengajukan permohonan ini ke Mahkamah Konstitusi, melainkan dilakukan kajian lebih lanjut sebagai objek riset, skripsi, tesis bahkan disertasi. DPR RI berpandangan seharusnya mekanisme pengujian materiil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diajukan oleh pihak yang benar-benar memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai pihak yang memiliki genuinitas. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi 77 Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU- V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pengujian Materiil Pasal-Pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN Terhadap UUD NRI Tahun 1945 Terhadap pengujian materiil yang diajukan oleh Para Pemohon, DPR RI memberikan keterangan terkait dengan frasa “..dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” atau PDTT dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN sebagai berikut:
Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Para pembentuk UUD NRI Tahun 1945 menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu lembaga pemeriksa keuangan negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Dengan adanya ketentuan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945, telah memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 23G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai BPK dalam suatu undang-undang, maka dibentuklah UU BPK.
Tugas BPK sebagaimana ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah dijabarkan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU BPK yang menyatakan “ BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha 78 Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara ”.
Bahwa pembentukan UU PPTKN dan UU BPK memiliki materi muatan yang saling terkait. RUU tentang PPTKN lahir karena memiliki materi muatan yang saling terkait dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK Lama) ( vide Risalah Rapat Kerja RUU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rapat ke-2, rapat kerja ke-1 dengan Menteri Keuangan pada hari Senin tanggal 9 Februari 2004 hal. 9).
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN, tugas BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara mencakup:
Pemeriksaan keuangan;
Pemeriksaan kinerja; dan
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Sesuai dengan risalah RUU tentang PPTKN, BPK bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara meliputi pemeriksaan atas laporan keuangan dan pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja meliputi aspek ekonomis, efisiensi, dan efektifitas, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang meliputi pemeriksaan di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ( vide Risalah Rapat Kerja RUU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rapat ke-5, rapat kerja ke-4 dengan Menteri Keuangan pada hari Selasa tanggal 17 Februari 2004, hal 24).
Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UU PPTKN menyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan kinerja. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian 79 intern pemerintah yang dalam pelaksanaannya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU BPK, dilakukan berdasarkan UU PPTKN.
Berdasarkan __ Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang tertuang dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemerikaan investigatif. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Terhadap dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa tugas PDTT tidak sesuai dengan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 karena secara gramatikal kewenangan BPK adalah pemeriksaan keuangan dan pemeriksaaan kinerja saja ( vide perbaikan permohonan hal 26), DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud dengan Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Adanya kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga atau pejabat negara adalah untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Dalam pelaksanaan tugas berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) UU BPK, BPK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 9 hingga Pasal 11 UU BPK. Bahwa berdasarkan Pasal 12 UU BPK, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang tersebut diatur dengan Peraturan BPK. Oleh karena itu, pemahaman para Pemohon yang menganggap ketentuan dalam 80 Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai “kewenangan” BPK adalah opini yang keliru karena PDTT adalah cakupan, ruang lingkup, dan menjadi bagian daripada tugas BPK.
Frasa tujuan tertentu bersifat teknis yang tidak dapat dijelaskan secara rinci, karena tujuan tertentu adalah tujuan-tujuan yang spesifik yang bersifat khusus dan bersifat mendasar. PDTT tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI Tahun 1946 karena semakin memperkuat peran tujuan audit dalam rangka mengamankan keuangan negara dengan melakukan pendalaman terhadap aspek tertentu di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.
Makna konstitusionalitas pada dasarnya tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah undang-undang dasar. Untuk menafsirkan, menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang- undang terdapat empat indikator penilai, yaitu:
Naskah undang-undang dasar yang resmi dan tertulis;
Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah undang-undang dasar, seperti risalah-risalah;
Nilai-nilai konstitusi yang dalam praktik ketatanegaraan telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; dan 4) Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, penafsiran merupakan proses di mana pengadilan mencari kepastian pengertian mengenai peraturan tertentu dari suatu undang-undang. Penafsiran merupakan upaya melalui pengadilan untuk mencari kepastian mengenai apa sesungguhnya yang menjadi kehendak pembentuk undang-undang ( vide Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang , dalam Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Pusat 81 Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tahun 2016, hal. 12). __ e. Bahwa tiga bentuk penafsiran konstitusi adalah penafsiran historis ( original intent ), penafsiran doktrinal (tekstual dan gramatikal), dan penafsiran responsif. Penafsiran yang seharusnya dihindari adalah cara pendekatan tekstual dari bunyi undang-undang yang secara kaku ( rigid ) tidak dapat mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. ( vide Robert C. Post dan Achmad Sodiki, dalam Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tahun 2016, halaman 10 dan 11).
Bahwa berdasarkan Risalah RUU PPTKN, salah satu contoh pemeriksaan jenis tertentu adalah dalam hal terjadi pencemaran lingkungan, pemeriksa keuangan harus mencari dan mengidentifikasi penyebab dan akibat yang ditimbulkan dari pencemaran serta biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara. Oleh karena itu, hanya terdapat 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yaitu finance audit , performance audit , dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Bahwa selain itu BPK juga dapat melakukan PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya (pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja) atau menindaklanjuti permintaan dari Aparat Penegak Hukum dalam rangka proses peradilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4), Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 13 UU PPTKN ( vide Rapat Kerja RUU PPTKN Rapat ke-5, Rapat Kerja ke-4 dengan Pemerintah, tanggal 17 Februari 2004).
Oleh karena itu dalil Para Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa tugas PDTT tidak sesuai dengan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 adalah opini yang tidak berdasar.
Tugas yang diberikan kepada BPK berdasarkan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam UU BPK yang merupakan amanat dari Pasal 23G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang 82 menyatakan bahwa “ Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang ”. Ketentuan tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka ( open legal policy ) kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan dalam UU BPK, termasuk mengenai cakupan tugas yang diberikan kepada BPK.
DPR RI memberikan keterangan bahwa MK tidak pernah membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “..Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo , Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang- undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.
Bahwa open legal policy pembentuk undang-undang yang memberikan tugas kepada BPK yang mencakup salah satunya adalah PDTT ke dalam UU a quo , terbukti telah memberikan manfaat bagi bangsa dan negara karena dapat mengidentifikasi dan mendeteksi kerugian keuangan negara yang terjadi. DPR RI menegaskan bahwa pelaksanaan PDTT tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena PDTT tidak diterapkan secara diskriminatif. Pelaksanaan PDTT dilakukan terhadap objek pemeriksaan yang telah diduga terjadi penyalahgunaan keuangan negara, atau ada, atau timbulnya data baru, sehingga dibutuhkan untuk segera diperiksa berdasarkan 83 kewenangan auditor atau terkait dengan permintaan resmi dari DPR RI. Berikut adalah beberapa contoh konkret PDTT yang telah dilakukan oleh BPK:
Berdasarkan Surat DPR RI Nomor KD 01/8104/DPR-RI/X/2010 tanggal 26 Oktober 2010 dan Surat DPR RI Nomor PW 01/4220/DPR-RI/V/2011 tanggal 25 Mei 2011, BPK telah melakukan PDTT atas sektor hulu listrik serta program percepatan pembangkit berbahan bakar batu bara pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PT. PLN). Dalam laporannya, BPK menemukan penyimpangan yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan negara yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Khusus di sektor energi primer, penyimpangan tersebut mengakibatkan PT. PLN mengalami kerugian Rp 17.900.681,34 juta (tujuh belas triliun sembilan ratus miliar enam ratus delapan puluh satu koma tiga puluh empat juta rupiah) pada tahun 2009, dan Rp 19.698.224,77 juta (sembilan belas triliun enam ratus sembilan puluh delapan miliar dua ratus dua puluh empat koma tujuh puluh tujuh juta rupiah) pada tahun 2010 ( vide Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Sektor Hulu Listrik pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero), Auditorat Keuangan Negara VII Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tanggal 16 September 2011);
Panitia Khusus (Pansus) DPR RI atas kasus PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) (PT. Pelindo II) meminta BPK untuk melakukan audit investigasi/PDTT terhadap sejumlah kejanggalan yang ditemukan oleh Pansus DPR RI. Nilai indikasi kerugian negara berasal dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima oleh PT. Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian PT. Jakarta International Container Terminal (JICT), antara PT. Pelindo II dan PT. Hutchinson Port Holding (HPH) berindikasi merugikan negara sebesar Rp 4,08 triliun (empat koma delapan triliun rupiah) ( vide Warta BPK Edisi 07-Vol. VII-Juli 2017, hal 6-15); 84 c. Berdasarkan permintaan DPR RI melalui Surat DPR Nomor PW/5487/DPRRI/IX/2009 tanggal 1 September 2009 perihal Audit Investigatif/Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Terhadap Bank Century, BPK melakukan audit investigatif/PDTT terhadap PT. Bank Century, Tbk. (Bank Century) ( vide BPK Serahkan Hasil Pemeriksaan Bank Century Ke DPR, 23 November 2009, http: //www.bpk.go.id/news/bpk-serahkan-hasil-pemeriksaan-bank- century-ke-dpr). Hasil pemeriksaan telah diserahkan kepada DPR RI pada tanggal 23 November 2009 yang mengungkap sembilan temuan yang dilakukan pendalaman melalui PDTT lanjutan, tetapi hingga saat ini perkara tersebut masih ditangani oleh KPK dan kami tidak mengetahui perkembangan selanjutnya.
Berdasarkan Surat Ketua DPR RI Nomor: PW.01/3177/DPR RI/IV/2011, tanggal 6 April 2011 yang meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dilakukan audit investigatif/PDTT terhadap kasus Bank Century. Hasil pemeriksaan menemukan bahwa terdapat penyaluran penyertaan modal sementara (PMS) kepada Bank Century oleh komite koordinasi (KK) yang kelembagaanya belum dibentuk berdasarkan undang-undang, sehingga penyaluran PMS tersebut tidak memiliki dasar hukum. Total PMS sejumlah Rp. 6.762,36 miliar (enam triliun tujuh ratus enam puluh dua koma tiga puluh enam miliar rupiah) ( vide BPK RI Menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi Lanjutan atas Kasus PT Bank Century, Tbk., Siaran Pers Badan Pemeriksa Keuangan ( online ), 23 Desember 2011, https: //www.bpk.go.id/assets/files/storage/2013/12/file_storage_138 6755982.pdf).
Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian, tetapi tetap dikenakan PDTT, DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut: 85 a. Pendapat para Pemohon tersebut menunjukkan kekurangpahaman atau ketidaktahuan para Pemohon terhadap pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Opini BPK merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang disesuaikan dengan standar akutansi pemerintahan (SAP), kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan dan efektifitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK, yakni:
opini wajar tanpa pengecualian ( unqualified opinion );
opini wajar dengan pengecualian ( qualified opinion );
opini tidak wajar ( adversed opinion ); dan pernyataan menolak memberikan opini ( disclaimer of opinion ). Makna opini WTP diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa laporan keuangan instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
WTP sebagai opini dari BPK bukanlah menjadi jaminan pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan Negara pada lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar selanjutnya dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut.
Sesuai amanat Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan 86 yang berbeda-beda. PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif yang memuat kesimpulan.
PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim di dunia internasional yang biasa dikenal dengan nama Compliance Audit dan Investigative Audit . Pemeriksaan Kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang mungkin tidak dapat diungkap saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemerik saan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berdampak pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Dengan adanya PDTT, BPK berhasil mengungkap banyak kasus penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas-dinas, maupun di lingkungan BUMN. Apabila menghilangkan kewenangan PDTT maka menjadi celah hukum untuk melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang oleh pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel. 87 13. DPR RI sebagai lembaga yang mewakili atau merepresentasikan rakyat Indonesia berkepentingan untuk meminta BPK melakukan PDTT berupa pemeriksaan investigatif untuk menyelamatkan keuangan negara sebagai akibat dari perilaku koruptif agar dapat dikembalikan ke kas negara. Hasil PDTT kemudian diproses lebih lanjut melalui upaya hukum untuk dilakukan pemulihan atau pengembalian kerugian negara kepada negara dan para pihak terkait untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepentingan DPR RI sebagai repesentasi kepentingan rakyat tersebut merupakan salah satu pelaksanaan dari fungsi pengawasan DPR RI sebagaimana dijamin dan sejalan dengan Konstitusi dalam rangka memastikan bahwa keuangan negara telah dikelola secara transparan, akuntabel, bertanggung jawab, dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia ( vide Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 21 ayat (3) UU PPTKN, Pasal 162 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 jo Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Tertib). Dengan demikian, DPR RI dapat mengetahui sejauh mana penyimpangan yang terjadi dan besar kerugian negara melalui PDTT yang berbentuk pemeriksaan investigatif. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU BPK dan UU PPTKN sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keterangan DPR RI ini. III. Petitum DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik 88 Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Keterangan Tambahan Dewan Perwakilan Rakyat I. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Terhadap kedudukan hukum Para Pemohon, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut: Terhadap para Pemohon yang berprofesi sebagai dosen dan mahasiswa di Fakultas Hukum dan aktivis organisasi Mahutama, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak menjelaskan pertautan antara profesi para Pemohon dengan frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT) dalam UU a quo yang merupakan cakupan tugas BPK. Dalam hal ini para Pemohon tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena tidak terdapat pertautan antara ketentuan pasal-pasal a quo dengan para Pemohon yang bukan Anggota BPK dan juga bukan sebagai pihak yang terdampak atas tugas PDTT yang dilakukan oleh BPK . Bahwa para Pemohon sebagai pendidik profesional dan ilmuwan memiliki tugas untuk mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran seharusnya menggali lebih jauh mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab 89 keuangan negara dengan lebih komprehensif dan tidak secara parsial. Sebagai sivitas akademika, jika para Pemohon kurang memahami mengenai pemeriksaan dan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara, dalam hal ini mengenai PDTT, maka seharusnya terlebih dahulu para Pemohon meminta keterangan dan berdiskusi dengan lembaga negara yang memiliki tugas untuk melaksanakan PDTT, yaitu BPK. Jika para Pemohon telah memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai pelaksanaan PDTT, maka justru dapat menunjang profesi para Pemohon sebagai sivitas akademika yang berilmu. Bahwa hak para Pemohon untuk memperoleh pendidikan dan mempunyai kebebasan berpikir, serta untuk menyatakan pikiran dan sikap, tidak terhambat dengan adanya tugas BPK untuk melakukan PDTT. Bahwa kalaupun para Pemohon mengalami kesulitan untuk memahami dasar konstitusionalitas tugas PDTT dimaksud, maka hal tersebut tidak memiliki hubungan sebab akibat antara keberlakuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pemeriksaan Keuangan Negara dengan kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 74/PUU-XVI/2018 yang menyatakan: “ … jika pun benar Para Pemohon memiliki hak konstitusional, quod non, kerugian dimaksud tidak memiliki hubungan sebab akibat secara potensial apalagi secara faktual dan aktual oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 karena selaku pengajar atau dosen, Pemohon III dan Pemohon IV tetap dapat mengajar di bidangnya masing-masing dan tetap dapat memberikan kontribusi dalam proses perubahan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi kerugian yang didalilkan oleh Pemohon III dan Pemohon IV tidak bersifat spesifik (khusus ). “ Bahwa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon juga tidak memiliki relevansi dengan ketentuan pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN apabila dihubungkan dengan profesi para Pemohon. Ketentuan pasal-pasal a quo merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga justru memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan mengenai tugas BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. 90 Bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka nyata-nyata terlihat bahwa para Pemohon tidak memilki kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi yang diakibatkan dari keberlakuan pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN. Selain itu ketentuan pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN juga tidak memiliki hubungan sebab akibat akibat ( causal verband ) dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. __ II. Pengujian Materiil UU BPK dan UU PPTKN Terhadap pengujian materiil UU BPK dan UU PPTKN, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut: A. Bahwa secara filosofis pembentukan mengenai UU BPK dan UU PPTKN diuraikan sebagai berikut:
Bahwa untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, maka diperlukan pengelolaan keuangan negara yang diselenggarakan secara profesional, independen, terbuka, dan bertanggung jawab. Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam Bab VIII dan Bab VIIIA UUD NRI Tahun 1945 telah diatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan Negara. Sebagai suatu konstitusi yang bersifat filosofis prinsip-prinsip dasar, UUD NRI Tahun 1945 hanya menetapkan secara eksplisit aturan-aturan pokok mengenai pengelolaan keuangan negara yang meliputi salah satunya pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara. Selanjutnya, UUD NRI Tahun 1945 mendelegasikan pengaturan penyelenggaraan aturan pokok tersebut ke dalam undang-undang. 91 2. Begitu pentingnya akuntabilitas dalam penyelengaraan pemerintahan, sehingga perlu membentuk undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan pokok keuangan negara, perbendaharaan negara, dan pelaksanaan pemeriksaan oleh unsur pengawasan eksternal instansi pemerintah agar jelas cakupan keuangan negara yang diawasi dan tanggung jawab masing-masing pengelola yang terlibat dalam pengelolaan keuangan negara. Bahwa dalam upaya untuk mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan ( sustainable ) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, diperlukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Dengan telah dibentuknya UU BPK dan UU PPTKN, maka BPK memiliki landasan operasional yang memadai dalam melaksanakan tugasnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan. B. Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah diperiksa oleh BPK dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi tetap berpotensi untuk dilakukan pemeriksaaan kembali oleh BPK dengan dilakukannya PDTT, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
Pendapat para Pemohon tersebut menunjukkan kekurangpahaman atau ketidaktahuan para Pemohon terhadap pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Opini BPK merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang disesuaikan dengan standar akutansi pemerintahan (SAP), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektifitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK terhadap instansi yang menjadi objek pemeriksaan, yakni:
opini wajar tanpa 92 pengecualian (unqualified opinion) ;
opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion) ;
opini tidak wajar (adversed opinion) ; dan pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) . Makna opini WTP yang diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa laporan keuangan instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
WTP sebagai opini dari BPK bukanlah jaminan pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada lembaga yang diperiksa, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar, selanjutnya oleh BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya pemeriksaan lanjutan terhadap instansi tersebut, jika ditemukan adanya indikasi-indikasi pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan kerugian negara dan/atau unsur pidana.
Sesuai amanat Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan PDTT yang memiliki tujuan dan hasil yang berbeda-beda. PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif yang memuat kesimpulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU PPTKN, hasil PDTT memuat kesimpulan bukan opini, temuan maupun rekomendasi. 93 5. PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim secara internasional yang dikenal dengan nama Compliance Audit (pemeriksaan kepatuhan) dan Investigative Audit (pemeriksaan investigatif). Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk memperoleh keyakinan yang memadai terhadap laporan keuangan yang bebas dari kesalahan penyajian. Sesuai dengan SPKN, BPK melakukan pengujian kepatuhan pemerintah pusat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatuhan yang berpengaruh langsung serta memeriksa kesesuaian material terhadap penyajian laporan keuangan. Namun pemeriksaan yang dilakukan BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tidak dirancang khusus untuk menyatakan pendapat atas kepatuhan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam atas kepatuhan manajemen dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang tidak dapat dicakup saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana, yang dilakukan atas inisiatif BPK berdasarkan hasil pemeriksaan sebelumnya atau atas permintaan dari instansi berwenang dan/atau lembaga perwakilan. Apabila dari hasil PDTT BPK menyimpulkan adanya unsur pidana, maka BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran 94 APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Bahwa meskipun BPK telah memberikan opini WTP, namun PDTT atas inisiatif BPK tetap dapat dilaksanakan. Hal tersebut dapat disimulasikan sebagai berikut: • Sebelum memberikan opini, BPK melakukan asersi untuk menguji pernyataan manajemen. Misalnya manajemen menyatakan memiliki piutang sebesar Rp 100 juta (seratus juta rupiah) kepada Pihak X, kemudian BPK melakukan pengujian kesesuaian dengan dokumen- dokumen dan ditemukan bahwa nilai piutang tersebut benar adanya sebesar Rp 100 juta. Oleh karena itu, BPK memberikan opini WTP karena penyajian laporan keuangan telah sesuai dengan bukti-bukti. • Namun mengenai kebijakan pemberian piutang tersebut kepada Pihak X apakah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, maka BPK dapat melakukan PDTT berupa pemeriksaan kepatuhan.
Dengan adanya PDTT, BPK berhasil mengungkap banyak kasus penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas-dinas, maupun di lingkungan BUMN. Apabila cakupan tugas PDTT yang dimiliki BPK tidak ada, maka menjadi celah hukum untuk melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang diamanatkan oleh pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel. Dengan demikian, terhadap para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah diperiksa oleh BPK dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi tetap berpotensi untuk dilakukan pemeriksaaan kembali oleh BPK dengan dilakukannya PDTT, berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan angka 8, hal tersebut dilakukan dalam rangka pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dapat dilakukan mengingat pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT memiliki ruang lingkup yang berbeda dan mekanisme yang tidak sama. 95 C. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power oleh BPK, DPR RI memberikan keterangan tambahan bahwa:
Sesuai dengan kewenangan BPK yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU BPK, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Kewenangan ini merupakan wujud independensi BPK sebagai lembaga eksternal audit pemerintah.
Bahwa seluruh pemeriksaan oleh BPK, termasuk PDTT, telah diatur secara ketat pelaksanaannya dengan standar pemeriksaan melalui SPKN yang mengacu pada The Generally Accepted Government Auditing Standards (GAGAS). SPKN yang berlaku pada saat ini ditetapkan oleh Ketua BPK melalui Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Selain itu terdapat Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu, kekhawatiran Para Pemohon mengenai adanya potensi abuse of power dalam pelaksanaan pemeriksaan adalah hal yang tidak berdasar.
Pemeriksaan oleh BPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan atas kinerja pemerintahan secara umum, yang dalam hal ini memang menjadi kewenangan DPR RI sebagai wujud keterwakilan politik rakyat dalam kekuasaan negara. Namun demikian, justru karena fungsi pengawasan oleh DPR RI bersifat politis, struktur dan pembagian kekuasaan dalam UUD NRI Tahun 1945 menempatkan BPK, sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara lebih teknis. Karena sifatnya yang teknis, semua jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik atas permintaan oleh DPR RI/DPRD atau atas inisiatif BPK sendiri, haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional sesuai 96 dengan keilmuan, standar, maupun peraturan-perundangan sebagai dasar hukumnya.
Bahwa permintaan dari DPR RI/DPRD adalah salah satu sumber informasi awal untuk melakukan PDTT, namun tidak menjadi satu- satunya sumber. Hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik (ramai di media massa), hasil pemeriksaan sebelumnya, renstra pemerintah, serta amanat undang-undang, juga menjadi pertimbangan BPK ketika memutuskan untuk memeriksa suatu objek. Semua sumber tersebut tentunya tidak serta-merta diputuskan untuk diperiksa tanpa terlebih dulu dilaksanakan suatu kajian awal, terutama apabila yang dimintakan adalah PDTT investigatif.
Kewenangan BPK melakukan PDTT sudah sejalan dengan praktik- praktik yang ada di BPK negara lain. Contoh BPK di negara-negara lain yang melakukan compliance audit (PDTT) sebagai jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja antara lain: SAI European Union , SAI Bulgary , SAI Croatia , SAI Cyprus , SAI Denmark , SAI Estonia , SAI Hungary , SAI Italy , SAI Spain , dan SAI Poland .
Bahwa standar pemeriksaan yang dijadikan rujukan BPK dalam PBPK 1/2017 telah mengadopsi International Standards on Auditing (ISA). Selain itu, BPK sebagai bagian dari organisasi badan pemeriksaan keuangan sedunia yang bernama International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), dalam melaksanakan pemeriksaan juga mengacu pada perkembangan standar pemeriksaan, termasuk International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) yang ditetapkan oleh INTOSAI. Dengan adanya acuan standar pemeriksaan yang sama oleh seluruh anggota INTOSAI, memungkinkan untuk dilakukan telaah atas sistem pengendalian mutu BPK oleh Supreme Audit Institution (SAI) negara lain yang menjadi anggota INTOSAI guna menjamin bahwa mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh BPK telah sesuai dengan standar. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU BPK. 97 7. Penyusunan standar pemeriksaan internasional saat ini berubah dari berbasis pengaturan __ detail ( rule based standards ) menjadi berbasis prinsip ( principle based standards) yang dimaksudkan salah satunya agar SPKN lebih fleksibel dalam mengakomodir perubahan- perubahan aturan maupun best practices profesi pemeriksa di dunia, sehingga SPKN yang diberlakukan akan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama __ dan tidak perlu terlalu sering berubah. Dengan demikian, terhadap para Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power oleh BPK, sebagaimana uraian angka 1 sampai dengan angka 7, maka hal tersebut akan sulit dilakukan oleh pemeriksa BPK dengan adanya peraturan-peraturan yang harus diikuti bagi BPK dalam melaksanakan pemeriksanaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sehingga dalil potensi adanya abuse of power tersebut tidaklah beralasan. D. Mengenai frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang didalilkan oleh Para Pemohon tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
Pembahasan mengenai perubahan BPK itu sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999, namun tidak selesai. Pembahasan rancangan materi perubahan kedua dimulai dalam rapat Badan Pekerja MPR-RI pada akhir tahun 1999, yang diteruskan pembahasannya dalam Panitia Ad Hoc (PAH) I BP-MPR. Banyak hal telah disepakati, namun sampai dengan hasil pembahasan dibawa ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, ternyata mengenai BPK ini belum dapat diputuskan. Pembahasan mengenai ketentuan BPK baru dapat diselesaikan dalam Sidang MPR RI Tahun 2001, yang menyepakati pengaturan tentang ketentuan BPK sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945, dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F dan Pasal 23G. Argumentasi para Pemohon mengenai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimuat dalam permohonannya, hanya mengacu pada 98 pembahasan Perubahan Pertama UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, tanpa memperhatikan pembahasan- pembahasan untuk Perubahan UUD NRI Tahun 1945 selanjutnya.
Pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD NRI Tahun 1945, yang sebagian dirujuk oleh Para Pemohon, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU- XVII/2019 yang menyatakan bahwa: “ Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi. ” 3. Berdasarkan Risalah Pembahasan Sidang-Sidang MPR diketahui bahwa penguatan dan pemberdayaan BPK sesuai tuntutan dan harapan masyarakat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:
penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri atau terlepas dari pengaruh lembaga tinggi negara lainnya dalam melakukan tugasnya;
penegasan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara (eksternal);
Perluasan ruang lingkup obyek yang diperiksa, yaitu tidak hanya meliputi keuangan negara yang dikelola Pemerintah dalam APBN, namun meliputi pula keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan dari APBN; dan
Perluasan tugas BPK, dalam konteks proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa, dari yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara ditambah menjadi ‘memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara’. Sehingga BPK tidak sekedar melakukan pemeriksaan atas penyajian laporan keuangan saja, akan tetapi memeriksa seluruh aspek dan proses pengelolaan keuangan negara, termasuk memeriksa keselarasan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan 99 yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Upaya penguatan dan pemberdayaaan BPK tersebut, menghasilkan rumusan perubahan ketentuan tentang BPK dalam UUD NRI Tahun 1945, termasuk yang termuat dalam Pasal 23E ayat (1) yang menentukan “ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri .” 4. Penegasan pelaksanaan pemeriksaan BPK secara bebas dan mandiri tersebut sejalan dengan Section 5 “ The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts ” yang berbunyi sebagai berikut: Section 5. Independence of Supreme Audit Institutions 1. Supreme Audit Institutions can accomplish their tasks objectively and effectively only if they are independent of the audited entity and are protected against outside influence. 2. Although state institutions cannot be absolutely independent because they are part of the state as a whole, Supreme Audit Institutions shall have the functional and organisational independence required to accomplish their tasks. 3. The establishment of Supreme Audit Institutions and the necessary degree of their independence shall be laid down in the Constitution; details may be set out in legislation. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam ketentuan a quo tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, merupakan pernyataan yang tidak beralasan dan telah mengabaikan semangat yang justru merupakan original intent dari Pasal 23E ayat UUD NRI Tahun 1945, yang menghendaki BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa seluruh sistem keuangan negara secara bebas dan mandiri, dengan tetap memperhatikan kaidah keilmuan di bidang pemeriksaan keuangan atau audit . E. Bahwa terhadap pertanyaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Suhartoyo yang pada intinya menanyakan kepada DPR RI dan BPK mengenai nomenklatur PDTT yang abstrak, tidak konkret, dan mengapa nomenklatur tersebut tidak diubah menjadi pemeriksaan 100 investigatif, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
PDTT meliputi pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksan invetigatif. Meskipun baik pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif menghasilkan kesimpulan, namun keduanya memiliki tujuan yang berbeda.
Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam PDTT dengan bentuk pemeriksaan kepatuhan, apabila pemeriksa mengidentifikasi adanya pertentangan antara beberapa sumber kriteria yang digunakan, pemeriksa harus menganalisis konsekuensi dari adanya pertentangan tersebut. Materialitas juga dipertimbangkan dalam penentuan topik dan kriteria pemeriksaan.
Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif ini hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang, atau akan terjadi (PBPK 1/2017 PSP 100 angka 5 huruf v). Sumber predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan kepatuhan, dan informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Dengan merujuk pada cakupan dalam PDTT tersebut, maka jelas bahwa PDTT tidak hanya berupa pemeriksaan investigatif namun juga terdapat pemeriksaan kepatuhan. Pemeriksaan kepatuhan tidak dapat disamaartikan dengan pemeriksaan investigatif karena memiliki tujuan, metode, dan ruang lingkup yang berbeda. Oleh karena itu, DPR RI memberikan keterangan bahwa nomenklatur PDTT dalam pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN tidak dapat diganti dengan nomenklatur pemeriksaan investigatif. 101 F. Bahwa Terhadap Permintaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih atas Risalah Pembahasan RUU BPK dan RUU PPTKN, DPR RI Memberikan Lampiran Risalah Pembahasan RUU BPK dan RUU PPTKN Secara Lengkap Sebagai Lampiran yang tidak Terpisahkan dari keterangan tambahan Ini. III. Petitum DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga telah menyerahkan 102 keterangan tertulis beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. Legal Standing Dalam permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional yang bersifat potensial pasti atas eksistensi frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan norma a quo dengan alasan antara lain sebagai berikut:
Pasca diundangkannya UU 15/2004, terdapat penambahan kewenangan BPK yakni kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (selanjutnya disebut PDTT) yang tidak termasuk dalam Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Kewenangan tersebut dimasukkan dalam UU 15/2006 sehingga inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Penambahan kewenangan PDTT menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon I dan Pemohon II dalam menjalankan tugasnya sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas, maksud, dan tujuan PDTT pada saat dilakukan PDTT terhadap suatu lembaga negara padahal lembaga negara itu sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan kerugian konstitusionalitas bagi Pemohon III selaku mahasiswa yang mendapatkan penjelasan terkait kedudukan PDTT.
Berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang balk dan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a dan huruf f serta Pasal 6 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disingkat UU 12/2011), frasa 'pemeriksaan dengan tujuan tertentu' tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan; Terhadap alasan-alasan permohonan di atas, BPK berpendapat, sebagai berikut:
Sebagai dosen dan mahasiswa, Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik kerugian konstitusional sebagai akibat berlakunya norma a quo, karena tidak ada penjelasan mengenai hubungan sebab akibat (causal verband) antara norma a quo dengan kerugian konstitusional Pemohon dalam memberikan penjelasan dan memahami PDTT. 103 Dalam hal, yaitu seorang pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sebagai sivitas akademika, pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai suatu permasalahan, dalam hal ini mengenai PDTT, seyogyanya dijadikan bahan untuk melakukan suatu penelitian. Untuk mendukung hal tersebut, BPK terbuka untuk memberikan penjelasan mengenai PDTT termasuk mengenai standar yang digunakan.
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan PDTT dalam UU 15/2006 tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum sesuai dengan teknik pembuatan peraturan perundang-undangan dalam UU 12/2011, bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma PDTT, namun merupakan hal yang terkait dengan teknik legal drafting sehingga bukan merupakan ranah Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya. Dengan demikian, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian atas Pasal-Pasal a quo. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima Permohonan a quo. Namun demikian, BPK tetap menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim untuk menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing). Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat untuk menerima Permohonan a quo, perkenankan BPK menyampaikan penjelasan atas materi perkara sebagaimana dalam bagian di bawah ini. B. Keterangan BPK atas Pokok Permohonan Pemohon Terhadap frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan a quo yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, BPK berpendapat bahwa ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK, dengan penjelasan yang akan disampaikan dalam 4 (empat) bagian pokok, yakni pertama penjelasan tentang PDTT dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, kedua penjelasan tentang pengaturan mengenai PDTT dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara 104 (SPKN), ketiga penjelasan tentang original intent perumusan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dan keempat __ penjelasan tentang Konstitusionalitas Norma PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006.
PDTT dalam Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Terkait dengan pelaksanaan PDTT, Pemohon mempermasalahkan hal-hal berikut:
Pemohon mempertanyakan dasar konstitusional kewenangan PDTT yang dimiliki BPK karena seringkali terhadap instansi Pemerintah yang sudah berkali-kali mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) masih juga dilakukan PDTT.
Pemohon menyatakan bahwa secara normatif BPK dapat melaksanakan PDTT apabila ada permintaan dari DPR/DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004 yang menyatakan, "DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan." c. Pemohon berpendapat bahwa permintaan DPR/DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan pilihan PDTT, sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan (abuse of power) karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 dibandingkan dengan jenis pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 15/2004. Selain itu, ketidakjelasan instrumen wewenang yang diberikan kepada BPK dalam melaksanakan PDTT akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh "oknum" BPK dalam melaksanakan tugasnya. Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Hubungan Opini atas Laporan Keuangan dengan PDTT 1) Sesuai ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, BPK diamanatkan untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara 105 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan yang berbeda- beda, yaitu: a) Pemeriksaan Keuangan, merupakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan (LK) yang dilakukan dalam rangka menilai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam LK Pemerintah. Laporan pemeriksaan ini memuat opini atas LK. b) Pemeriksaan Kinerja, ditujukan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. Laporan pemeriksaan ini memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. c) PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di Iuar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Laporan pemeriksaan ini memuat kesimpulan.
Opini dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LK Pemerintah merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan Pemeriksa, yakni:
opini wajar tanpa pengecualian _(unqualified opinion); _ (2) opini wajar dengan pengecualian _(qualified opinion); _ (3) opini tidak wajar _(adversed opinion); _ dan (4) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Makna opini WTP diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa LK instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim di dunia internasional yang biasa dikenal dengan nama Compliance Audit dan Investigative Audit. Pemeriksaan Kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya 106 dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang mungkin tidak dapat di- cover saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemeriksaan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan atau dari hasil Pemeriksaan Kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil Pemohon yang mempermasalahkan perolehan opini WTP oleh suatu instansi dengan dilaksanakannya PDTT atas instansi tersebut, adalah hal yang tidak relevan.
PDTT Berdasarkan Permintaan 1) Selain pelaksanaan PDTT yang diinisiasi oleh BPK, PDTT juga dapat dilakukan berdasarkan adanya permintaan dari lembaga perwakilan maupun aparat penegak hukum, serta amanat dari undang-undang. Sebagai contoh: a) PDTT atas Pengadaan Alat Kesehatan pada Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan Pada Pemerintah Provinsi Banten, dilakukan atas permintaan dari KPK; b) PDTT terkait pembangunan P3SON Hambalang, dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR; c) PDTTterkait PT Pelindo, dilakukan berdasarkan permintaan DPR; 107 d) PDTT terkait PT Bank Century, dilakukan berdasarkan permintaan DPR dan KPK; dan e) PDTT atas Laporan Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Partai Politik, dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Sesuai dengan kewenangan BPK yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU 15/2006, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Kewenangan ini merupakan wujud independensi BPK sebagai lembaga eksternal audit pemerintah. Permintaan dari DPR menjadi salah satu sumber informasi awal untuk melakukan PDTT, namun tidak menjadi satu-satunya sumber. Hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik (ramai di media massa), hasil pemeriksaan sebelumnya, renstra pemerintah, serta amanat undang-undang, juga menjadi pertimbangan BPK ketika memutuskan untuk memeriksa suatu objek. Semua sumber tersebut tentunya tidak serta merta diputuskan untuk diperiksa tanpa terlebih dulu dilaksanakan suatu kajian awal, terutama apabila yang dimintakan adalah PDTT investigatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa PDTT hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan lembaga perwakilan, tidak berdasar.
Potensi Abuse of Power dalam Pelaksanaan PDTT oleh BPK Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa PDTT sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan (abuse of power), dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pemeriksaan oleh BPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan atas kinerja pemerintahan secara umum, yang dalam hal ini memang menjadi domain DPR sebagai wujud keterwakilan politik rakyat dalam kekuasaan negara. Namun demikian, justru karena fungsi pengawasan oleh DPR bersifat politis, struktur dan pembagian kekuasaan dalam UUD 1945 menempatkan BPK, sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab 108 keuangan negara secara lebih teknis. Karena sifatnya yang teknis, semua jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik atas permintaan oleh DPR/DPRD atau atas inisiatif BPK sendiri, haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional sesuai dengan keilmuan, standar, maupun peraturan-perundangan sebagai batu ujinya.
Kewenangan BPK melakukan PDTT sudah sejalan dengan praktik-praktik yang ada di BPK negara lain. Contoh BPK di negara-negara lain yang melakukan compliance audit (PDTT) sebagai jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja antara lain: SAI European Union, SAI Bulgary, SAI Croatia, SAI Cyprus, SAI Denmark, SAI Estonia, SAI Hungary, SAI Italy, SAI Spain, dan SAI Poland. 3) Perihal kekhawatiran Pemohon mengenai adanya potensi abuse of power dalam pelaksanaan pemeriksaan, sebenarnya sudah cukup diantisipasi dengan adanya Peraturan BPK tentang SPKN, dan peraturan perundang- undangan lain yang mengatur konsekuensi atas penyalahgunaan kewenangan, antara lain Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. __ Dengan demikian, potensi abuse of power yang menjadi kekhawatiran Pemohon sebenarnya bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas, melainkan permasalahan yang dapat timbul dalam penerapan norma, sehingga tidak tepat apabila hal tersebut menjadi materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
PDTT dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Pemohon mendalilkan bahwa keberadaan kewenangan PDTT dalam ketentuan norma a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat PBPK 1/2007) yang secara rigid mengatur teknis pelaksanaan PDTT, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 (selanjutnya disingkat PBPK 1/2017) yang merupakan Peraturan pengganti dari PBPK 1/2007, dalam lampirannya tidak lagi memasukkan tentang standar PDTT. Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugas dan mewujudkan kemandiriannya, BPK 109 diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan merupakan patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. (vide Pasal 1 angka 13 UU 15/2006).
Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat SPKN) yang ditetapkan melalui PBPK 1/2017, yang merupakan penyempurnaan standar pemeriksaan sebelumnya, yaitu PBPK 1/2007. Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memperhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah.
Penyusunan PBPK 1/2007 dilakukan dengan menggunakan referensi utama The Generally Accepted Government Auditing Standards (GAGAS) Tahun 2003 yang telah direvisi sebanyak dua kali, terakhir pada tahun 2011. PBPK 1/2007 digunakan secara bersama-sama dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), khususnya mengenai Pernyataan Standar Audit (PSA) tentang audit keuangan dan perikatan atestasi, kecuali diatur lain dalam PBPK 1/2007.
Standar pemeriksaan yang dijadikan rujukan PBPK 1/2007 mengalami perubahan, dalam hal ini SPAP diubah dengan mengadopsi International Standards on Auditing (ISA). Selain itu, BPK sebagai bagian dari organisasi badan pemeriksaan keuangan sedunia yang bernama International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), dalam melaksanakan pemeriksaan juga harus mengacu pada perkembangan standar pemeriksaan, termasuk International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) yang ditetapkan INTOSAI. Dengan adanya acuan standar pemeriksaan yang sama oleh seluruh anggota INTOSAI, memungkinkan untuk dilakukan telaah atas sistem pengendalian mutu BPK oleh Supreme Audit Institution (SAI) negara lain yang menjadi anggota INTOSAI guna menjamin bahwa mutu pemeriksaan pengelolaan dan 110 tanggung jawab keuangan negara oleh BPK telah sesuai dengan standar. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU 15/2006.
Perkembangan standar pemeriksaan internasional saat ini berubah dari berbasis pengaturan detail (rule based standards) menjadi berbasis prinsip (principle based standards). Hal ini diadaptasi oleh BPK dalam pendekatan pengaturan pada PBPK 1/2017 sehingga berdampak pada sistematika pengaturannya. Penyusunan standar yang bersifat principle based salah satunya dimaksudkan agar SPKN lebih fleksibel dalam mengakomodir perubahan-perubahan aturan maupun best practices di dunia profesi pemeriksa, sehingga SPKN akan lebih bersifat long lasting dan tidak perlu terlalu sering berubah.
Perbedaan sistematika dan pendekatan pada PBPK 1/2017 bukan berarti menghilangkan PDTT dari jenis pemeriksaan BPK, namun hanya menyederhanakan penyajian lampiran. PBPK 1/2007 terdiri dari 8 (delapan) lampiran yang mencakup: (vide PBPK 1/2007) 1) Pendahuluan Standar Pemeriksaan;
PSP 01 Standar Umum;
PSP 02 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan;
PSP 03 Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan;
PSP 04 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja;
PSP 05 Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja;
PSP 06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu; dan
PSP 07 Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu. Sedangkan PBPK 1/2017 terdiri atas 4 (empat) lampiran, yaitu: (vide PBPK 1/2017) 1) Kerangka Konseptual Kerangka konseptual menjadi acuan bagi pengembangan standar itu sendiri. Dalam hal terdapat permasalahan yang belum diatur dalam standar pemeriksaan, maka pemeriksa mengacu pada kerangka konseptual.
PSP Nomor 100 tentang Standar Umum Standar umum merupakan dasar penerapan standar pelaksanaan dan standar pelaporan secara efektif. Standar umum berlaku untuk semua jenis pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, kinerja, maupun PDTT. 111 3) PSP Nomor 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Standar Pelaksanaan Pemeriksaan disusun untuk memberikan panduan bagi pemeriksa agar: (a) dapat merencanakan pemeriksaan yang berkualitas dan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; dan (b) merancang dan melaksanakan prosedur pemeriksaan untuk memperoleh bukti yang cukup dan tepat. PDTT diatur dalam PSP Nomor 200, sebagai contoh, dalam Paragraf 8 huruf e yang menyatakan bahwa tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa telah sesuai (patuh) dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan. Standar Pelaporan Pemeriksaan disusun untuk memberikan panduan bagi pemeriksa agar dapat: (a) merumuskan suatu kesimpulan hasil pemeriksaan berdasarkan evaluasi atas bukti pemeriksaan yang diperoleh; dan (b) mengomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pihak-pihak yang terkait. PSP 300 pada paragraf A13 menyatakan: pada PDTT kepatuhan, unsur temuan yang harus ada adalah kondisi, kriteria, dan akibat. Dari semua penjelasan PSP tersebut, jelas bahwa PDTT tetap diatur dalam SPKN sesuai porsinya, sehingga dapat disimpulkan bahwa PBPK 1/2017 tidak menghilangkan PDTT. SPKN yang diatur dalam PBPK 1/2017 menganut principle based standard sehingga struktur penyajiannya berdasarkan Iangkah- Iangkah pemeriksaan, bukan lagi berdasarkan jenis pemeriksaan. Walaupun PDTT tidak dapat terbaca secara Iangsung pada judul/subjudul/heading, secara substansi PDTT tetap ada dalam PBPK 1/2017 dan bahkan dipertegas mengenai bentuknya. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, pernyataan Pemohon bahwa keberadaan kewenangan PDTT dalam ketentuan norma a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena berubahnya Peraturan BPK tentang SPKN, yang menurut Pemohon tidak lagi memuat mengenai PDTT, tidak berdasar dan tidak dapat diterima. 112 3. Original Intent Perumusan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 Bahwa terhadap frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang didalilkan oleh Pemohon tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Penafsiran konstitusi melalui pendekatan original intent harus melihat tujuan para penyusun konstitusi itu sendiri dari berbagai sumber, termasuk pandangan framers of constitution (penyusun konstitusi). Gagasan untuk mengubah ketentuan tentang BPK melalui perubahan UUD 1945 didorong oleh kehendak untuk memperkuat dan memberdayakan Lembaga-lembaga Tinggi Negara, termasuk BPK.
Pembahasan mengenai perubahan BPK itu sendiri sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999, namun tidak selesai. Pembahasan rancangan materi perubahan kedua dimulai dalam rapat Badan Pekerja MPR- RI pada akhir tahun 1999, yang diteruskan pembahasannya dalam Panitia Ad Hoc (PAH) I BP-MPR. Banyak hal telah disepakati, namun sampai dengan hasil pembahasan dibawa ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, ternyata mengenai BPK ini belum dapat diputuskan. Pembahasan mengenai ketentuan BPK baru dapat diselesaikan dalam Sidang MPR RI Tahun 2001, yang menyepakati pengaturan tentang ketentuan BPK sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945, dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F dan Pasal 23G. Argumentasi Pemohon mengenai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 sebagaimana dimuat dalam permohonannya, hanya mengacu pada pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, tanpa memperhatikan pembahasan-pembahasan untuk Perubahan UUD 1945 selanjutnya.
Pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD 1945, yang sebagian dirujuk oleh Pemohon, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa: "Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik 113 maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi." d. Berdasarkan Risalah Pembahasan Sidang-Sidang MPR diketahui bahwa penguatan dan pemberdayaan BPK sesuai tuntutan dan harapan masyarakat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:
penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri atau terlepas dari pengaruh lembaga tinggi negara lainnya dalam melakukan tugasnya;
penegasan BPK sebagai satu- satunya lembaga pemeriksa keuangan negara (eksternal);
Perluasan ruang lingkup objek yang diperiksa, yaitu tidak hanya meliputi keuangan negara yang dikelola Pemerintah dalam APBN, namun meliputi pula keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan dari APBN; dan
Perluasan tugas BPK, dalam konteks proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa, dari yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara ditambah menjadi 'memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara'. Sehingga BPK tidak sekedar melakukan pemeriksaan atas penyajian laporan keuangan saja, akan tetapi memeriksa seluruh aspek dan proses pengelolaan keuangan negara, termasuk yang ditujukan untuk memeriksa kesepadanan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Upaya penguatan dan pemberdayaaan BPK tersebut, menghasikan rumusan perubahan ketentuan tentang BPK dalam UUD, termasuk yang termuat dalam Pasal 23E ayat (1) yang menentukan "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.". Penegasan pelaksanaan pemeriksaan BPK secara bebas dan mandiri tersebut sejalan dengan Section 5 "The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts" yang berbunyi sebagai berikut: Section 5. Independence of Supreme Audit Institutions 1. Supreme Audit Institutions can accomplish their tasks objectively and effectively only if they are independent of the audited entity and are 114 protected against outside influence. 2. Although state institutions cannot be absolutely independent because they are part of the state as a whole, Supreme Audit Institutions shall have the functional and organisational independence required to accomplish their tasks. 3. The establishment of Supreme Audit Institutions and the necessary _degree of their independence shall be laid down in the Constitution; _ details may be set out in legislation. e. Bahwa menurut Andi Matalatta dan Jakob Tobing, perumus perubahan UUD 1945, dalam diskusi terbatas dengan BPK pads tanggal 19 November 2019, penguatan dan pemberdayaan BPK dilakukan dalam kerangka checks and balances. Selanjutnya Andi Mattalatta menyatakan, check and balances tersebut antara lain terwujud dalam rumusan Pasal 23E ayat (3) UUD 1945 yang menentukan hasil pemeriksaan BPK ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Hal ini berarti bahwa stakeholder BPK bukan hanya lembaga perwakilan yang berdasarkan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 secara rutin menerima hasil pemeriksaan keuangan, namun juga badan/lembaga negara, yang berdasarkan undang-undang diamanatkan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, termasuk aparat penegak hukum, apabila hasil pemeriksaan BPK mengungkap adanya hal-hal yang perlu dilakukan proses penegakan hukum lebih lanjut. Hasil pemeriksaan BPK yang mengungkap hal tersebut disimpulkan melalui PDTT. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan a quo tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, merupakan pernyataan yang tidak beralasan dan telah mengabaikan semangat yang justru merupakan original intent dari Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yang menghendaki BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa seluruh sistem keuangan negara secara bebas dan mandiri, dengan tetap memperhatikan kaidah keilmuan di bidang auditing.
Konstitusionalitas Norma PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 Terhadap konstitusionalitas norma PDTT dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Penafsiran gramatikal yang disebut juga metode penafsiran objektif merupakan cara penafsiran untuk mengetahui makna ketentuan undang- 115 undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya. Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri". Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa basis kewenangan konstitusional BPK adalah pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara , yang apabila dimaknai secara tekstual gramatikal maka makna dari frasa "pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara", yang menjadi wewenang konstitusional BPK adalah kewenangan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, menurut kami tidak tepat, tidak memiliki landasan hukum yang jelas, dan merupakan persoalan penafsiran subjektif dari Pemohon, BUKAN persoalan konstitusionalitas ketentuan undang-undang. Jika Pemohon konsisten dengan penafsiran gramatikal, seharusnya frasa "... memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara ..." diartikan sebagai "memeriksa pengelolaan keuangan negara" dan "memeriksa tanggung jawab keuangan negara", BUKAN ditafsirkan sebagai pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Dengan demikian patut dipertanyakan metode penafsiran tekstual gramatikal yang dimaksud Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa "... dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" inkonstitusional karena telah memperluas kewenangan konstitusional yang telah diberikan secara eksplisit dan limitatif oleh UUD 1945, dengan merujuk pada rumusan mengenai wewenang Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) dalam UUD 1945, BPK berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak tepat dengan penjelasan sebagai berikut:
Pemaknaan Pemohon mengenai PDTT sebagai perluasan kewenangan konstitusional BPK dengan memperbandingkan antara rumusan ketentuan mengenai wewenang BPK dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dengan ketentuan mengenai wewenang MA, MK, dan KY dalam Pasal 24A, 24B, dan 24C UUD 1945 adalah tidak tepat. Wewenang suatu lembaga negara tidak seluruhnya harus diatur dalam konstitusi, namun dapat pula diamanatkan untuk diatur dalam undang- undang, sebagaimana pemikiran/pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie 116 mengenai fungsi lembaga/organ, yang menerangkan bahwa dalam UUD 1945 terdapat organ atau lembaga yang nama serta wewenangnya disebut secara eksplisit dan ada pula organ atau lembaga yang wewenangnya sama sekali tidak atau belum disebut secara implisit maupun eksplisit, namun akan diatur dengan peraturan yang Iebih rendah." 2) Pemaknaan Pemohon bahwa PDTT merupakan bentuk wewenang yang inkonstitusional karena tidak dinyatakan secara eksplisit juga merupakan sebuah kekeliruan karena PDTT, sebagaimana halnya pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang juga tidak disebut secara eksplisit dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, merupakan jenis pemeriksaan, yang pengaturannya memang sudah sepatutnya dilakukan dalam undang-undang dan bukan dalam Undang-Undang Dasar.
Terhadap dalil Pemohon yang mempertanyakan konstitusionalitas PDTT karena penjelasan tentang PDTT tidak diatur dalam UU 15/2006, yang merupakan UU Organik, namun diatur dalam Penjelasan UU 15/2004 (yang merupakan tindak lanjut dari UU 17/2003 dan UU 1/2004), BPK berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak berdasar dengan penjelasan sebagai berikut:
Undang-undang organik adalah undang-undang yang secara eksplisit diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar sebagaimana dikemukakan oleh Ahli sebagai berikut: a) Prof. Soehino (ahli hukum tata negara): "Undang-undang organik adalah undang-undang yang dibentuk untuk melaksanakan secara langsung perintah dari ketentuan undang- undang dasar. " b) Prof. Maria Farida Indrati Soeprapto: "Undang-undang organik adalah undang-undang yang substansinya merupakan penjabaran langsung dari delegasi pengaturan yang disebut secara eksplisit dalam UUD 1945." Sementara dalam Black's Law Dictionary disebutkan bahwa Organic Law adalah: "the fundamental law, or constitution, of a state or nation, written or unwritten; that law or system of laws or principles which defines and establishes the organization of its government." 117 Dengan demikian, undang-undang organik dapat diartikan sebagai Pertama, undang-undang yang dibentuk untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Dasar yang disebutkan secara tegas; Kedua, undang- undang yang mengatur segala ketentuan yang berhubungan dengan keorganisasian negara.
Pengaturan mengenai kelembagaan serta wewenang suatu lembaga dalam undang-undang yang berbeda, tidak melulu dalam undang-undang organik, merupakan hal yang lazim dalam pembentukan peraturan perundangundangan di Indonesia, sebagai contoh: a) Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, sementara mengenai kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. b) Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sementara pengaturan kewenangannya diatur antara lain dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. c) Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Pengaturan mengenai kewenangan DPR diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UU 15/2004 yang menentukan DPR dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan (vide Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004) dan DPR dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut pemeriksaan (vide Pasal 21 ayat (4) UU 15/2004).
Ketentuan mengenai kelembagaan BPK diatur dalam UU 15/2006, sedangkan mengenai pelaksanaan pemeriksaan BPK diatur dalam UU 15/2004. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 15/2006, yang menentukan bahwa pemeriksaan BPK, termasuk di dalamnya PDTT, 118 dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Ketentuan mengenai pemeriksaan BPK ditegaskan pula dalam undang- undang selain UU 15/2004 dan UU 15/2006, sebagai contoh: a) Pasal 34A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang menyatakan bahwa: "Partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir." b) Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menentukan: "Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan." c) Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menentukan: "Untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan Pencetakan, Pengeluaran, dan Pemusnahan Rupiah, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit secara periodik." Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, pernyataan Pemohon bahwa frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 inkonstitusional adalah pernyataan yang tidak memiliki dasar pembenar. C. Manfaat PDTT dan Implikasi Dihapuskannya Kewenangan BPK untuk Melakukan PDTT 1. Untuk negara demokrasi seperti Indonesia yang saat ini masih menghadapi perjuangan berat untuk memberantas korupsi, tidak dapat kita pungkiri bahwa PDTT menjadi alat yang sangat penting untuk turut membantu pemerintah dalam memerangi korupsi. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan menjadi syarat utama untuk dapat mencapai kinerja pemerintahan yang baik. 119 Segitiga maturitas organisasi yang disusun oleh Government Accountability Office (GAO) membagi peran SAI ke dalam tiga level yaitu: a) oversight, yang ditujukan untuk (1) mendorong upaya pemberantasan korupsi;
meningkatkan transparansi;
menjamin terlaksananya akuntabilitas; dan
meningkatkan ekonomi, efisiensi, etika, nilai keadilan, dan keefektifan; b) insight, yang ditujukan untuk mendalami kebijakan dan masalah publik; dan c) foresight, yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan pengambilan keputusan untuk memilih alternatif masa depan. 2. Fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada angka 38 (skala 0- 100, dengan 100 menunjukkan nilai terbaik), menempatkan Indonesia pada peringkat 4 di tingkat Asean (urutan 1-3 adalah Singapura (85), Brunei (63), Malaysia (47)) dan menempatkan Indonesia pada urutan 89 dari 180 negara di dunia, menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan PDTT. Fungsi oversight masih sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Namun demikian BPK jugs tetap menjalankan fungsi insight dan foresight-nya melalui pemeriksaan kinerja.
Manfaat lain dari pelaksanaan PDTT adalah terkait dengan subsidi pemerintah dan kepatuhan BUMN sebagai pengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Hasil pemeriksaan BPK atas penghitungan dan pembayaran subsidi pemerintah kepada BUMN selama tahun 2016 sampai dengan 2019 adalah sebesar Rp16,25 Triliun. Apabila BPK tidak melakukan pemeriksaan kepatuhan, maka besarnya subsidi yang dibayar selama 4 tahun terakhir akan melebihi dari jumlah tersebut. Selain itu, dari hasil PDTT kepatuhan yang dilakukan oleh BPK selama tahun 2016 sampai dengan Semester 12019, ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan kerugian negara, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp64,13 triliun. Terhadap sebagian dari temuan tersebut telah ada upaya pengembalian ke kas negara oleh pihak yang bertanggung jawab.
Dihapuskannya norma a quo akan berdampak pada implementasi ketentuan dalam undang-undang lain yang disusun oleh negara, untuk menjamin agar 120 tata kelola keuangan negara dapat dijalankan dengan balk oleh para penyelenggara negara. Beberapa ketentuan yang terpengaruh sebagai konsekuensi jika frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, antara lain: Penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004 "Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah." Pasal 13 UU 15/2004 "Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana." Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004 "DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan." Penjelasan: "Pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu." Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil pen yidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Penjelasan: Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 _"Portal Politik berkewajiban untuk: _ i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan; " 121 Berdasarkan seluruh uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PDTT diperlukan sebagai audit tools untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dihapuskannya norma a quo justru akan menimbulkan celah dalam mewujudkan pengelolaan tersebut, antara lain tidak adanya alat untuk mendeteksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian negara. D. Petitum Berdasarkan keterangan tersebut di atas, menurut BPK tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004, inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. BPK memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan BPK secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU 15/2006 dan UU 15/2004.
Menyatakan permohonan Pemohon seluruhnya ditolak atau setidak- tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tambahan Pihak Terkait: Dalam beberapa sidang pemeriksaan, Yang Mulia Majelis Hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan sebagai berikut: __ Pertama , pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Wahiduddin Adams: Dalam Keterangan BPK disampaikan bahwa PDTT diperlukan sebagai audit tools untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dihapuskannya norma a quo akan menimbulkan celah, antara lain, tidak adanya alat untuk mendeteksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan tindak pidana 122 korupsi dan pengembalian keuangan negara. Jika norma a quo dihilangkan, bagaimana implikasinya terhadap hasil audit laporan keuangan atau general audit sebagai bukti hukum? Untuk pertanyaan tersebut dapat kami jelaskan bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara harus diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan oleh BPK terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disingkat UU 17/2003). Dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat PBPK 1/2017) antara lain dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan negara meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Pemerintah wajib melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang- undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal inilah yang disebut sebagai tanggung jawab keuangan negara. Terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, yaitu Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Hal mendasar yang membedakan ketiga jenis pemeriksaan tersebut adalah tujuannya. Pemeriksaan Keuangan bertujuan memberikan pernyataan opini tentang kewajaran informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan (LK) Pemerintah. Pemeriksaan Kinerja bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. PDTT dilakukan dengan tujuan khusus, di luar kedua jenis pemeriksaan yang lain. Perbedaan tujuan antara Pemeriksaan Keuangan dan PDTT berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Salah satu contoh yang dapat menunjukkan perbedaan kedua jenis pemeriksaan tersebut adalah, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sementara PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LK Pemerintah memuat opini, yaitu pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. 123 Sedangkan Laporan Hasil PDTT memuat kesimpulan, yaitu simpulan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan (Pemeriksaan Kepatuhan) dan mengenai ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau adanya unsur pidana dalam pengelolaan keuangan negara (Pemeriksaan Investigatif). Mengacu pada SPKN, dalam Pemeriksaan Keuangan harus diidentifikasi risiko kecurangan dan dinilai risiko adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang disebabkan oleh kecurangan ( fraud ) dan/atau ketidakpatuhan ( abuse ). Meskipun demikian, selalu ada kemungkinan bahwa fraud dan abuse tidak terdeteksi dalam Pemeriksaan Keuangan akibat kompleksitas permasalahan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan PDTT untuk memastikan bahwa kecurangan dan ketidakpatuhan tersebut tidak luput dari pemeriksaan. Dalam praktiknya LHP BPK sering digunakan sebagai alat bukti hukum dalam penanganan perkara-perkara, baik pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Kewenangan untuk menentukan dapat tidaknya suatu LHP BPK digunakan sebagai alat bukti hukum sepenuhnya merupakan kewenangan dari penyidik dan majelis hakim. LHP atas LK Pemerintah dan Laporan Hasil PDTT bukan merupakan dua hal yang harus dipertentangkan. LHP atas LK Pemerintah merupakan produk dari Pemeriksaan yang tidak didesain untuk mendalami substansi tertentu, tetapi untuk menilai kewajaran penyajian LK. Sehingga dalam hal LHP atas LK akan dijadikan sebagai alat bukti hukum dalam suatu masalah/kasus tertentu, pada umumnya masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut untuk mengungkap fakta yang diperlukan dalam pembuktian hukum. Sementara itu LHP PDTT merupakan produk dari Pemeriksaan yang sudah didesain dari awal untuk mendalami masalah tertentu. Sehingga ketika dari PDTT ditemukan adanya kecurangan ( fraud ) atau ketidakpatuhan yang berimplikasi terhadap keuangan negara, LHP PDTT dapat langsung ditindaklanjuti dan dipergunakan sebagai alat bukti. Dengan demikian, jika norma a quo dihilangkan, maka apabila dari hasil Pemeriksaan atas LK ditemukan adanya hal-hal yang perlu pendalaman, maka BPK tidak memiliki audit tools untuk melakukan hal tersebut. Selanjutnya, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim I Dewa Gede Palguna. Pertanyaan pertama: WTP adalah opini setelah pemeriksaan keuangan. Pengertian “pemeriksaan” adalah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU 15/2004, yaitu proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai 124 pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Opini dikeluarkan sudah berdasarkan standar pemeriksaan. Kalau sudah begitu mengapa masih diperlukan PDTT? Apakah ada kekurangcermatan analisis saat menghasilkan WTP? Atas pertanyaan tersebut, dapat kami berikan penjelasan sebagai berikut: Sesuai dengan tujuannya, pemeriksaan keuangan dimaksudkan untuk memberikan opini atas kewajaran penyajian LK dengan menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi dalam LK. Dalam pemeriksaan atas laporan keuangan ini, BPK menguji apakah asersi atau pernyataan manajemen yang termuat dalam LK entitas telah sesuai dengan standar (SAP). Secara metodologi, asersi yang diuji meliputi beberapa hal:
Asersi tentang keberadaan atau keterjadian ( existence or occurance ), yang berhubungan dengan apakah aktiva atau uang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu.
Asersi tentang kelengkapan ( completeness ), yang berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam LK telah dicantumkan di dalamnya.
Asersi tentang hak dan kewajiban ( rights and obligations ), yang berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu.
Asersi tentang penilaian atau alokasi ( valuation and allocation ), yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan biaya sudah dicantumkan dalam LK pada jumlah yang semestinya.
Asersi tentang penyajian dan pengungkapan ( presentation and disclosure ), yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu LK diklasifikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan semestinya. Sebagai ilustrasi, untuk memastikan bahwa pengadaan aset oleh suatu entitas, berupa sebuah gedung telah dicatat secara wajar dalam LK, maka akan dilakukan pemeriksaan atas beberapa hal, yaitu:
apakah secara fisik gedung tersebut ada/nyata ( existance ), (2) apakah pengadaan didukung oleh dokumen yang sah seperti kontrak, kuitansi, berita acara fisik, sertipikat ( completeness, right and obligation ) dan dokumen yang terkait nilai perolehannya ( valuation ), serta (3) apakah pengadaan diungkap secara jelas dan memadai dalam LK, baik terkait lokasi, status, luas, jumlah lantai, dan peruntukan ( disclosure ). Jika hal-hal tersebut telah disajikan dalam LK oleh entitas sesuai dengan pedoman atau standar akuntansi keuangan yang berlaku serta tidak ada 125 kesalahan saji yang sifatnya material, maka atas LK tersebut BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Namun apakah entitas tersebut dapat dinyatakan telah patuh terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa? Apakah proses pengadaan gedung tersebut telah dilaksanakan secara fair dan tidak ada unsur persekongkolan? Atau apakah proses penganggaran gedung tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada? LK tidak memberikan informasi- informasi yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di sinilah diperlukan kehadiran PDTT, yaitu untuk mendalami persoalan substansi masalah yang terjadi beserta sebab dan akibat dengan analisis yang lebih dalam. Dari PDTT dihasilkan laporan yang memuat kesimpulan berupa penilaian mengenai kepatuhan pengadaan aset tersebut terhadap peraturan perundang-undangan, melalui PDTT dalam bentuk compliance audit , atau mengenai ada tidaknya indikasi kerugian negara dan atau penyimpangan yang berindikasi pidana, melalui pemeriksaan investigatif. Penjelasan dan ilustrasi mengenai Pemeriksaan Keuangan dan PDTT tersebut sekaligus dapat meluruskan adanya persepsi yang kurang tepat mengenai issue ketidakcermatan dalam melakukan pemeriksaan keuangan dengan dilakukannya PDTT, khususnya PDTT yang dilakukan berdasarkan rencana pemeriksaan BPK. Dalam hal ini, diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, karena tidak dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan standar pemeriksaan LK, dengan waktu yang telah dibatasi pelaksanaannya dengan UU 15/2004. Batas waktu pelaksanaan pemeriksaan keuangan diatur dalam Pasal 17 UU 15/2004, yaitu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya laporan keuangan unaudited dari Pemerintah. Dengan demikian, pendalaman atas substansi yang terjadi pada LK seharusnya tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan atas LK. Pemeriksaan LK pada saat ini menggunakan pendekatan Risk-Based Audit , yaitu Audit Berbasis Risiko dengan menggunakan sampling, yaitu pemeriksaan yang memberikan fokus perhatian pada area-area berisiko tinggi karena berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh pemeriksa. Penilaian risiko tersebut dilakukan pada tingkat entitas, siklus, kemudian diturunkan pada tingkat akun sehingga pemeriksaan dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien. Pertanyaan kedua: __ Independensi BPK sudah menjadi universal principal. Dalam Lima Declaration ditentukan “The establishment of supreme audit institution and necessary degree of their independence, shall be laid down in the constitution. Detail may 126 be set out in legislation.” Persoalan yang dipersoalkan oleh Pemohon sekarang, ‘whether the detail is against the constitutional or not?’ Dalam hal ini, untuk PDTT atas inisiatif BPK, apakah ada syarat subyektif dan syarat obyektif? Untuk pertanyaan tersebut, ijinkan kami memberikan penjelasan sebagai berikut: Pengaturan mengenai PDTT dalam UU 15/2004, UU 15/2006, dan yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PBPK 1/2017 merupakan penjabaran dari cita- cita diadakannya BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara. PDTT bukan merupakan satu jenis pemeriksaan yang hanya dikenal di Indonesia. Pengaturan mengenai PDTT dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip universal dan praktik internasional yang dipedomani oleh SAI negara lain. BPK mengadopsi standar di lingkungan profesi audit secara internasional yang dikeluarkan oleh INTOSAI yaitu ISSAI 12: The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions (SAIs) – making a difference to the lives of citizens , yang menetapkan 12 prinsip. Dalam prinsip 2 ISSAI 12 ditentukan bahwa SAI atau BPK: PRINCIPLE 2: Carrying out audits to ensure that government and public sector entities are held accountable for their stewardship over, and use of, public resources 1. SAIs should, in accordance with their mandates and applicable _professional standards, conduct any or all of the following: _ _a. Audits of financial and, where relevant, non-financial information; _ _b. Performance audits; _ c. Audits of compliance with the applicable authority. 2. SAIs may also, in accordance with their mandates, perform other types of work, for example judicial review or investigation into the use of public resources or matters where the public interest is at stake. 3. SAIs should respond appropriately, in accordance with their mandates, to the risks of financial impropriety, fraud and corruption. 4. SAIs should submit audit reports, in accordance with their mandates, to the legislature or any other responsible public body, as appropriate. Hal ini berarti fungsi BPK dalam praktiknya di dunia internasional luas dan tidak terbatas hanya pada pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja saja, tetapi termasuk juga pemeriksaan kepatuhan sebagaimana dimuat dalam Prinsip 2 butir 1 c. Selain itu, BPK pun bisa mendapatkan penugasan-penugasan lain seperti di Prinsip 2 butir 2 dan butir 3 dinyatakan bahwa BPK bisa melakukan judicial review (penetapan kerugian negara) or investigation , respond appropriately to the risk of financial impropriety (ketidakpatutan), fraud (kecurangan), and corruption (korupsi). International best practice tersebut terwujud dalam UU 15/2004, UU 15/2006, dan PBPK 1/2017 yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
Adopsi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan kepatuhan, dan pemeriksaan investigatif. 127 UU 15/2004: Pasal 4 ayat (1): Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pasal 13: Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Penjelasan Umum bagian B 3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, dalam Kerangka Konseptual Pemeriksaan, paragraf 18. 18. Jenis pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan PDTT. Tujuan suatu pemeriksaan menentukan jenis pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan. Tujuan pemeriksaan kinerja adalah memberikan kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas pengelolaan keuangan negara, serta memberikan rekomendasi untuk memperbaiki aspek tersebut. PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. 2. Adopsi penetapan jumlah kerugian negara UU 15/2006, Pasal 10 ayat (1): BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pelaksanaan semua pemeriksaan dan penugasan-penugasan di atas akan dilakukan oleh BPK sesuai dengan tujuannya, yaitu: 128 1. Guna memberikan opini atas LK Pemerintah Pusat/Daerah sesuai UU 17/2003, BPK melakukan pemeriksaan keuangan;
Apabila BPK melihat ada permasalahan ekonomis, efisiensi, dan efektivitas dalam penyelenggaraan negara, maka BPK akan melakukan pemeriksaan kinerja. Contohnya: BPK telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas efektivitas penanganan perkara pengujian undang-undang di MK dan Pemeriksaan Kinerja atas Pengelolaan Fungsi Penindakan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2009 s.d. 2011 di KPK.
Apabila BPK melihat ada permasalahan misalnya terkait pelaksanaan kontrak antara Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia, maka BPK melaksanakan pemeriksaan kepatuhan terhadap kontrak tersebut.
Apabila DPR melihat ada permasalahan seperti masalah di Bank Century, maka DPR meminta BPK melakukan pemeriksaan investigatif kasus Bank Century.
Apabila Aparat Penegak Hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan meminta BPK untuk melakukan investigatif dan perhitungan kerugian negara, maka BPK melaksanakan pemeriksaan investigatif dan perhitungan negara, misalnya untuk kasus Hambalang dan PT Asuransi Jiwasraya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam tataran UU maupun Peraturan BPK yang mengatur mengenai standar pemeriksaan, sangat jelas tidak ada persoalan ketidaksesuaian atau pertentangan antara norma PDTT yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan norma yang diatur dalam Konstitusi. Dalam konteks pelaksanaan PDTT yang dilakukan berdasarkan rencana pemeriksaan BPK sendiri, dapat kami sampaikan bahwa dilakukannya PDTT tidak dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan analisa yang memadai. Dalam tataran peraturan yang berlaku internal di lingkungan BPK, yaitu dalam panduan pemeriksaan telah diatur bahwa Program Pemeriksaan memuat antara lain alasan pemeriksaan sebagai dasar BPK untuk melakukan pemeriksaan (Paragraf 27 Bab II Perencanaan Pemeriksaan, Pedoman Manajemen Pemeriksaan (KBPK 5/2015)). Alasan pemeriksaan antara lain adalah hal-hal yang menjadi perhatian publik, prioritas utama Pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Selain itu, dalam Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan diatur bahwa sebelum melaksanakan PDTT, Pemeriksa harus menjunjung tinggi etika dan objektivitas. Pemeriksa harus berhati-hati untuk tetap bersikap objektif sehingga temuan dan kesimpulan tidak memihak, objektif dalam memilih tujuan pemeriksaan, mengidentifikasi kriteria, dan memastikan bahwa komunikasi dengan pemangku 129 kepentingan tidak mempengaruhi objektivitas BPK. Pemeriksa juga harus mempertimbangkan risiko adanya ketidakpatuhan material sebagai berikut:
kompleksitas ketentuan peraturan perundang-undangan;
kerawanan terjadinya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan;
jangka waktu entitas/hal pokok yang diperiksa telah menjadi subjek yang harus patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; Yang dimaksud dengan jangka waktu entitas yang diperiksa telah menjadi subjek yang harus patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan adalah berapa lama entitas sudah terikat dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya, ada peraturan baru tentang kewajiban mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sesuai amandemen UUD. Tapi, Pemerintah pada awalnya sempat hanya menganggarkan sebesar 6%, risiko ketidakpatuhan entitas menjadi tinggi untuk aturan-aturan yang baru ditetapkan. Yang dimaksud dengan hal pokok adalah hal yang diperiksa, misalnya: belanja pendidikan, belanja pegawai, infrastruktur, dan PNBP.
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pada tahun- tahun sebelumnya;
dampak potensial ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan bagi hal pokok yang diperiksa;
tingkat pertimbangan yang digunakan entitas dalam mematuhi peraturan; dan
hasil penilaian risiko pemeriksaan sebelumnya. Pertanyaan ketiga: __ Bagaimana mencegah penyalahgunaan PDTT oleh auditor? (Pencegahan yang sifatnya built-in dalam SOP/Standar Pemeriksaan) Terhadap pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: Dalam Standar Pemeriksaan BPK diatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan. Pengendalian mutu dilakukan dengan tujuan memastikan bahwa pemeriksaan telah dilakukan dengan mematuhi standar profesi, peraturan yang berlaku, dan LHP yang diterbitkan telah sesuai dengan kondisinya. Pengendalian mutu akan menjamin bahwa seluruh tahapan pemeriksaan dilaksanakan tepat waktu, komprehensif, terdokumentasi memadai, dilaksanakan, dan di -review oleh Pemeriksa yang kompeten secara berjenjang (BAB I Huruf H angka 27 Pedoman Manajemen Pemeriksaan Tahun 2015). Sistem Pengendalian Mutu (SPM) BPK mencakup supervisi, reviu berjenjang, monitoring, dan konsultasi selama proses pemeriksaan. Dengan demikian, pengendalian mutu pemeriksaan BPK telah terintegrasi dalam setiap tahap pemeriksaan melalui penerapan SPM. 130 Untuk menjamin mutu pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, sesuai Pasal 33 UU 15/2006, BPK ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia yang kompeten. Peer review terhadap BPK RI telah dilakukan beberapa kali, yaitu pada tahun 2004 oleh SAI New Zealand ( Office of the Auditor-General of New Zealand ), tahun 2009 oleh SAI Belanda ( Algemene Rekenkamer ), tahun 2014 oleh SAI Polandia ( Supreme Audit of Poland ), dan tahun 2019 oleh gabungan SAI yang terdiri dari SAI Polandia, SAI Norwegia ( Office of the Auditor General of Norway ), dan SAI Estonia ( The National Audit Office of Estonia ). Secara umum hal-hal yang diperiksa dalam peer review terhadap BPK RI meliputi aspek kelembagaan dan aspek pemeriksaan. PDTT secara khusus dibahas dalam peer review yang dilaksanakan pada tahun 2009, 2014, dan 2019. Dalam BPK Peer Review Report Tahun 2009 antara lain dinyatakan sebagai berikut: “We found that the Special Purpose Audit Manual complies with international standards and applicable laws and regulations...” “However, we found that the manual does not adequately clarify what type of audit should be used when. Owing to the amount of information the manual contains it is also difficult to obtain a clear understanding of the procedural differences between the three types of special purpose audit. We recommend that the manual be restructured to provide planning, fieldwork and reporting information by type of special purpose audit in separate chapters .” Kemudian dalam Peer Review Tahun 2014 rekomendasi terkait PDTT adalah: “Special purpose audits can be a convenient form to integrate various types of audits. It should not be reduced to compliance or fact sheets: systemic and performance conclusions and recommendations should be applied everywhere, where needed and useful.” Menindaklanjuti rekomendasi dari hasil kedua peer review tersebut, BPK melakukan penyempurnaan atas Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dengan menetapkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 yang dipergunakan pula sebagai standar PDTT. Selain itu, BPK juga menyusun pedoman internal bagi para Pemeriksa BPK dalam melakukan PDTT, yang terdiri atas:
Keputusan BPK Nomor 9/K/I-XIII.2/12/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif dan Penghitungan Kerugian Negara, tanggal 29 Desember 2015; serta b. Keputusan BPK Nomor 3/K/I-XIII.2/5/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kepatuhan, tanggal 11 Mei 2018. 131 Hasil peer review yang __ terakhir pada tahun 2019 memberikan review yang sangat baik kepada BPK, sebagai berikut: - “As for the BPK’s compliance audit, it can be generally assesses as of high quality”. (Peer Review Report, Executive Summary) - When analysing the sampled compliance audits, the Reviewer found that materiality was mostly assessed by using the value concept – by scoring different observations and, at the end, giving an average score. ( Peer Review Report, Domain B: Internal Governance and Ethics ) __ - On the basis of the sample of compliance audits analysed by the Reviewer it can be stated that the audit teams are composed of persons with different backgrounds, both in auditing and in specific areas, such as road construction and engineering. If audit teams lack certain expertise, experienced experts are hired.” ( Peer Review Report, Domain C: Audit Quality and Reporting ) __ Selain itu, untuk mengatur perilaku pemeriksa, BPK telah mempunyai Kode Etik yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Upaya lain untuk menghindari abuse of power adalah dengan menerapkan rotasi pemeriksa secara reguler yang mempertimbangkan kompetensi dan beban tugas yang diemban . Sebagai bentuk checks and balances , LHP PDTT disampaikan kepada Lembaga Perwakilan, pemerintah, dan/atau aparat penegak hukum. Hal ini menandakan bahwa PDTT yang dilakukan BPK akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan. __ Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Enny Nurbaningsih Pertanyaan pertama: _Dalam Penjelasan UU 15/2004: _ “Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.” Bagaimana penjelasan mengenai “tujuan tertentu” dan “tujuan khusus” dalam perdebatan penyusunan ketentuan tersebut? Dalam risalah pembahasan yang dibahas adalah pasal dalam batang tubuh dan penjelasan pasalnya, yaitu dalam Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004 yang menyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan, pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. 132 Kata “khusus” termuat dalam Penjelasan Umum UU 15/2004 yang tidak secara khusus dibahas dalam pembahasan RUU tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Dengan demikian, kata “khusus” dalam Penjelasan Umum UU 15/2004 harus dimaknai sesuai dengan Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004. Pertanyaan kedua: __ Apakah ketiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK satu sama lain berurutan/berkelindan? Untuk pertanyaan tersebut, dapat sampaikan bahwa: Tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak harus dilakukan secara berurutan. Pada saat yang bersamaan BPK dapat melakukan lebih dari satu jenis pemeriksaan, misalnya Pemeriksaan LK dan Pemeriksaan Kinerja atau Pemeriksaan Kinerja dan PDTT. Namun, bisa juga dilakukan sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, terutama untuk PDTT. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya dilakukan apabila terdapat permasalahan yang ditemukan dalam pemeriksaan sebelumnya (keuangan atau kinerja), namun tidak dapat diperdalam dengan mempergunakan metode pemeriksaan keuangan atau kinerja tersebut. Selain sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, PDTT juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR atau APH, serta berdasarkan rencana pemeriksaan BPK, contohnya PDTT atas entitas berbentuk BUMN yang menurut Undang-Undang, LK-nya diperiksa oleh Akuntan Publik. Penyusunan rencana pemeriksaan dilakukan oleh BPK dengan mempertimbangkan isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Pertanyaan ketiga: WTP bukan merupakan indikator penentu. Bagaimana dalam praktik suatu lembaga sudah mendapat opini WTP tapi masih dilakukan PDTT terhadap lembaga tersebut? Apakah PDTT bisa dilakukan tanpa Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja? 133 Sebagaimana penjelasan sebelumnya, WTP atau lebih jelasnya Wajar Tanpa Pengecualian, adalah salah satu jenis opini yang dapat diberikan oleh Pemeriksa atas suatu LK untuk menyatakan bahwa kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan tersebut telah sesuai dengan kriteria. Adapun kriteria yang dimaksud untuk pemberian opini ini sesuai penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU 15/2004 adalah: kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan ( adequate disclosures ), kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa baik WTP maupun ketiga jenis opini lain yang diberikan oleh Pemeriksa terhadap suatu LK merupakan indikator penentu atas kualitas suatu LK dalam hal kewajaran penyajian informasi keuangannya sesuai dengan standar. Mengulang penjelasan kami sebelumnya, berdasarkan UU 15/2004 dan UU 15/2006, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, yaitu Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan PDTT. Perbedaan mendasar dari ketiga jenis pemeriksaan tersebut adalah pada tujuannya. Tujuan Pemeriksaan Keuangan adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas, dengan cara menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi dalam LK. Pemeriksaan Kinerja adalah untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif, sedangkan PDTT dilakukan dengan tujuan khusus, di luar kedua jenis pemeriksaan yang lain. Perbedaan tujuan antara Pemeriksaan Keuangan dan PDTT berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Salah satu contohnya adalah pemeriksaan yang dilakukan atas suatu instansi. Untuk menilai kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN, dilakukan Pemeriksaan atas LK. Sementara untuk memeriksa secara lebih fokus pada suatu aspek tertentu dalam APBN, dilakukan PDTT. Yang dimaksud dengan aspek tertentu misalnya PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset. Merujuk pada penjelasan kami sebelumnya, diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut. Sebagai tambahan contoh, pada saat pemeriksaan LK ditemukan ada ketekoran kas. Atas hal tersebut bendahara telah membuat Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) yang dicatat sebagai piutang lain- lain dalam LK dan diungkapkan dalam catatan akuntansi. Secara kewajaran LK, hal ini tidak akan mempengaruhi opini, sehingga instansi tersebut dapat memperoleh opini WTP atas kewajaran penyajian LK-nya. Namun demikian, untuk mengetahui penyebab terjadinya ketekoran kas tersebut harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui PDTT. Harapannya, dengan metode, ruang 134 lingkup, dan fokus pemeriksaan yang berbeda, yaitu soal ketekoran kas, maka akan dapat diperoleh kesimpulan yang lebih jelas mengenai permasalahan tersebut. Contoh di atas memberikan gambaran PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan atas suatu LK karena adanya masalah ketekoran kas yang tidak dapat diperdalam dengan menggunakan metode pemeriksaan keuangan. Namun demikian, sesungguhnya tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak harus dilakukan secara berurutan. Selain melakukan PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan, BPK dapat melakukan lebih dari satu jenis pemeriksaan pada saat yang bersamaan. Contohnya, Pemeriksaan LK dan Pemeriksaan Kinerja atau Pemeriksaan Kinerja dan PDTT. Selain sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, PDTT juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR atau APH, serta berdasarkan rencana pemeriksaan BPK. Penyusunan rencana pemeriksaan dilakukan oleh BPK dengan mempertimbangkan isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Pertanyaan keempat: PDTT bisa dilakukan atas inisiatif BPK dan atas permintaan. Dalam praktik seberapa besar jumlah PDTT yang berdasarkan inisiatif BPK dan yang berdasarkan permintaan dari luar? Inisiatif BPK untuk melakukan PDTT dituangkan dalam Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP). PDTT yang dilakukan berdasarkan RKP BPK merupakan wujud kemandirian BPK sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 UU 15/2006. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 dan Penjelasan Umum UU 15/2004, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 6: “Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.” Penjelasan Umum Huruf C.: __ “BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.” 135 Berdasarkan data dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, rekapitulasi LHP PDTT BPK yang dilakukan berdasarkan RKP tahunan BPK adalah sebagai berikut: Tahun Jumlah LHP PDTT Total Nilai Penyetoran Selama Proses Pemeriksaan (Rp Juta) Permasalahan Nilai (Rp Juta) RKP 2017 237 3.562 31.704.063,34 80.924,90 2018 286 3.601 10.149.932,92 406.128,47 Semester I 2019 37 734 4.811.962,12 314.927,79 Total 560 7.897 46.665.958,38 801.981,16 Mengacu pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sejak tahun 2017 hingga semester I 2019 telah dilakukan 560 PDTT. Dalam pemeriksaan tersebut telah diungkap 7.897 permasalahan senilai total Rp46.665.958,38 juta. Permasalahan yang diungkap terdiri atas permasalahan SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, serta temuan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan. Selama proses pemeriksaan, telah dilakukan penyetoran senilai total Rp801.981,16 juta. Selain PDTT yang dilakukan berdasarkan RKP tersebut, BPK juga melakukan PDTT dalam bentuk Pemeriksaan Investigatif (PI) dan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) berdasarkan permintaan lembaga perwakilan dan aparat penegak hukum. Pelaksanaan PI dan PKN dalam periode tahun 2017-2019 adalah sebagai berikut: Pemeriksaan Investigatif Tahun 2017 s.d. 2019 Tahun Jumlah LHP Nilai Temuan - Nilai Indikasi Kerugian (Rp) Tindak Lanjut 2017 Perminta an DPR 1 4.081.122.000.000,00 Sudah dimanfaatkan dalam proses penyidikan Perminta an APH (Kepolisi an) 2 68.700.452.556,18 1 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp21.622.309.000) sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 1 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp47.078.143.556) dalam proses penyidikan Total 3 4.149.822.452.556,18 2018 Perminta an DPR 3 3.631.373.059.942,79 1 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp1.032.751.449.287) sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 2 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp2.598.621.610.655) dalam proses penyidikan Permintaan APH 549.543.386.637,88 3 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp50.400.643.908) 136 sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 6 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp499.142.742.729) dalam proses penyidikan - KPK 1 36.694.669.638,00 - Kepolisi an 7 447.184.716.999,88 - Kejaksa an 1 65.664.000.000,00 Total 12 4.180.916.446.580,67 2019 Rencana BPK 2 40.874.981.615,79 Telah dimanfaatkan di tahap penyelidikan Permintaan APH 332.348.240.712,52 Telah dimanfaatkan di tahap penyelidikan - KPK 1 27.385.018.874,00 - Kepolisi an 4 304.963.221.838,52 Total 7 373.223.222.328,10 TOTAL PI 22 8.703.962.121.464,95 Penghitungan Kerugian Negara Tahun 2017 s.d. 2019 Tahun Jumlah LHP Nilai Temuan – Nilai Kerugian (Rp) Tindak Lanjut 2017 - KPK 3 4.611.355.944.853,54 71 LHP (dengan nilai kerugian Rp6.556.425.377.602,65) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 10 LHP (dengan nilai kerugian Rp94.052.491.336,97) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepoli sian 48 1.314.535.900.601,39 - Kejaks aan 30 724.586.023.484,69 Total 81 6.650.477.868.939,62 2018 - KPK 2 56.913.570.320,38 61 LHP (dengan nilai kerugian Rp3.225.093.290.692,67) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 24 LHP (dengan nilai kerugian Rp307.608.435.651,55) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepolisi an 53 949.712.119.133,24 - Kejaksa an 30 2.526.076.036.890,60 Total 85 3.532.701.726.344,22 2019 - KPK 4 221.402.459.924,98 8 LHP (dengan nilai kerugian Rp780.752.165.635,12) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 57 LHP (dengan nilai kerugian Rp965.904.120.416,25) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepolisi an 41 612.078.830.056,73 - Kejaksa an 20 913.174.996.069,66 Total 65 1.746.656.286.051,37 TOTAL PKN 231 11.929.835.881.335,20 137 Dalam kurun tahun 2017-2019, nilai indikasi kerugian yang berhasil diungkap dalam Pemeriksaan Investigatif adalah sebesar Rp8.703.962.121.464,95. Sementara dari PKN, dapat diungkap nilai kerugian negara sebesar Rp11.929.835.881.335,20. Hasil dari PI dan PKN berupa LHP telah ditindaklanjuti dengan proses penegakan hukum oleh APH, baik berupa penyelidikan maupun penyidikan. Selain pengembalian kerugian negara, dari PDTT dapat dilakukan penghematan uang negara melalui mekanisme koreksi subsidi dan koreksi cost recovery dengan data dalam tabel berikut ini: Tahun Koreksi Subsidi Berdasarkan Tahun IHPS (Rp juta) Koreksi Cost Recovery (Rp juta) Total (Rp juta) 2017 2.083.448,63 13.408.146,93 15.491.595,56 2018 2.875.039,51 2.041.700,31 4.916.739,82 Semester I 2019 8.778.654,38 118.016,54 8.896.670,92 Total 13.737.142,52 15.567.863,78 29.305.006,30 Dari data tersebut diketahui bahwa dalam kurun waktu tahun 2017 sampai dengan Semester I 2019, jumlah uang negara yang telah dihemat melalui mekanisme koreksi subsidi adalah sebesar Rp13.737.142,52 juta. Sementara mekanisme koreksi cost recovery telah menghemat uang negara sebesar Rp15.567.863,78 juta. Dengan demikian, total uang negara yang telah dihemat adalah sebesar Rp29.305.006,30 juta. Pertanyaan kelima: Apakah yang dilakukan atas inisiatif BPK adalah untuk PDTT yang belum dilakukan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja? Karena apa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan bahwa sumber pelaksanaan PDTT dapat berasal dari adanya permintaan dari lembaga perwakilan atau APH dan dapat berasal dari rencana pemeriksaan BPK (inisiatif). Rencana pemeriksan tersebut merupakan bentuk kemandirian BPK dalam menentukan objek pemeriksaan. Penyusunan rencana pemeriksaan oleh BPK dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain informasi dari LHP sebelumnya (pemeriksaan lanjutan), isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. 138 Selanjutnya, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Suhartoyo Pertanyaan pertama: Ini persoalan nomenklatur. Sesungguhnya mengenai PDTT investigatif sudah clear. Hanya persoalannya, apakah tepat bila “rumah”-nya adalah PDTT? Terhadap pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan bahwa menurut pendapat kami, tidak ada persoalan nomenklatur dalam perkara uji materi ini. Sebagaimana praktik di dunia internasional yang telah kami sampaikan, selain Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja juga terdapat Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif. Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif inilah yang dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 disebut sebagai PDTT. Sehingga terminologi PDTT sudah sangat clear diatur dalam kedua UU tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, dalam SPKN juga disebutkan bahwa PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Tujuan pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok ( subject matter ) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (yang digunakan sebagai kriteria). Tujuan pemeriksaan investigatif adalah mengungkap ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana pada pengelolaan keuangan negara. Pertanyaan kedua: Selebihnya selain investigatif, apa yang menjadi substansi PDTT? Kalau tidak clear kenapa tidak diubah menjadi “pemeriksaan investigatif”? Kalau nomenklatur PDTT diubah menjadi jenis pemeriksaan investigatif, apakah kewenangan-kewenangan pemeriksaan yang lain selain investigatif ter-cover atau tidak? Hal ini penting supaya ketentuan tersebut dapat dirapikan MK tanpa mengurangi kewenangan, supaya tidak bias dan supaya tidak ada tarik-menarik antara WTP dan PDTT. Izinkan kami menyampaikan kembali mengenai substansi atau bentuk PDTT yang berupa pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Meskipun baik pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif menghasilkan kesimpulan, namun keduanya mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aspek pemeriksaan kepatuhan dapat berupa regularity (ketaatan pada kriteria formal, seperti peraturan perundangan dan perjanjian yang relevan) dan/atau propriety (ketaatan pada prinsip umum pelaksanaan tata kelola 139 keuangan yang baik dan perilaku pejabat publik). Lembaga sektor publik dituntut untuk transparan dan akuntabel serta melaksanakan tata kelola dengan baik dalam mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat. Masyarakat tidak dapat serta merta mempercayai mutlak pejabat sektor publik dalam memenuhi tanggung jawabnya. Di sinilah pemeriksaan kepatuhan memerankan pola dalam meyakini prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif ini hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang atau akan terjadi (PBPK 1/2017 PSP 100 angka 5 huruf v). Sumber predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan kepatuhan, dan informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Sehingga jika PDTT dirapikan hanya menjadi pemeriksaan investigatif, maka substansi PDTT kepatuhan untuk meyakini kesesuaian kegiatan manajemen terhadap peraturan perundang-undangan seperti pengadaan barang dan jasa, pemberian subsidi, dan manajemen aset tidak dapat dilakukan. Pertanyaan ketiga: __ Tadi dijelaskan bahwa ada perbedaan metode dan ruang lingkup. Ini maksudnya seperti apa? Dalam Pelaksanaan Tugasnya BPK dapat melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas LK yang bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran informasi yang disajikan dalam LK berdasarkan standar yang digunakan dalam penyusunan LK. Dalam pemeriksaan keuangan, objek pemeriksaan adalah LK. Kriteria yang digunakan sebagai dasar pemberian opini adalah standar yang digunakan dalam penyusunan LK. Contohnya untuk LK pemerintah pusat, standar yang digunakan adalah Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berbasis akrual sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sedangkan dalam pemeriksaan atas LK Bank Indonesia kriteria yang digunakan adalah standar akuntansi yang berlaku bagi Bank Indonesia yang disebut Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia. Hasil dari pemeriksaan LK adalah opini BPK atas kewajaran penyajian LK yang disusun oleh masing-masing entitas sesuai standar yang berlaku. 140 PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Laporan pemeriksaan ini memuat kesimpulan. PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, manajemen aset, atau kepastian terhadap kontrak/perjanjian. Diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan atau dari hasil Pemeriksaan Kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. _Kemudian, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Arief Hidayat, sebagai berikut: _ Dalam Permohonan dinyatakan bahwa terdapat ketidakpastian dan berpotensi disalahgunakan. Secara normatif sudah clear bahwa instrumen itu diperlukan. PDTT yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan atas permintaan bisa dimengerti. Tetapi yang atas inisiatif BPK bisa menjadi “pedang bermata dua”. Makna terdalam dari pertanyaan Pemohon itulah yang belum terjawab memang ada di tataran implementasi bisa disalahgunakan. Jadi secara potensial bisa disalahgunakan oleh BPK atau oknum BPK. Bagaimana kontrol terhadap penggunaan yang inisiatif? Mahkamah bisa merapikan tanpa merugikan hak konstitusional warga dan lembaga yang diperiksa. Misalnya saja harus diartikan bahwa yang dinamakan PDTT hanya atas permintaan undang-undang atau lembaga lain. Sehingga yang atas inisiatif BPK itu kita hapuskan. Jelaskan apakah selama ini sudah aman-aman saja atau masih mengandung potensi disalahgunakan? Majelis Hakim telah memiliki pemahaman yang sama mengenai “PDTT yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan PDTT atas permintaan lembaga perwakilan atau APH”. Izinkan kami selanjutnya menjelaskan PDTT yang dalam Keterangan BPK sebelumnya disebut dengan ‘inisiatif’. PDTT tersebut kami maksudkan untuk menjelaskan mengenai pelaksanaan PDTT yang bersumber dari Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP) BPK. RKP merupakan bentuk kemandirian BPK dalam menentukan objek pemeriksaan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Penyusunan rencana pemeriksaan oleh BPK dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain informasi dari LHP sebelumnya (pemeriksaan lanjutan), isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Hal ini sejalan dengan yang telah kami jelaskan 141 pada bagian sebelumnya dalam keterangan tambahan yang menyatakan perlunya Pemeriksa mempertimbangkan risiko adanya ketidakpatuhan. Terkait dengan adanya potensi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan PDTT, dalam Standar Pemeriksaan BPK diatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan. Sistem pengendalian mutu BPK mencakup supervisi, reviu berjenjang, monitoring, dan konsultasi selama proses pemeriksaan. Sistem pengendalian itu yang mengendalikan Tim Pemeriksa yang melaksanakan PDTT. Selain itu, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah secara internal oleh BPK dan secara berkala ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia ( International Organization of Supreme Audit Institutions /INTOSAI). Penelaahan dapat dilakukan oleh BPK negara lain sesuai ketentuan Pasal 33 UU 15/2006, tentunya karena pelaksanaan pemeriksaan sampai dengan laporan hasil PDTT juga telah mengacu pada standar dan best practices yang berlaku secara internasional dan mendapat predikat sangat baik (sebagaimana telah dijelaskan dalam jawaban atas pertanyaan Majelis Hakim sebelumnya). Selain itu, terkait dengan potensi penyalahgunaan wewenang, BPK telah menegakkan Kode Etik yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik BPK dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Upaya lain untuk menghindari abuse of power adalah dengan menerapkan rotasi Pemeriksa secara reguler yang mempertimbangkan kompetensi dan beban tugas yang diemban. Sehingga, secara keseluruhan berdasarkan uraian tersebut, pelaksanaan PDTT dapat berjalan dengan aman dan tidak menjadi “pedang bermata dua”, baik yang atas amanat undang-undang, permintaan lembaga perwakilan dan APH serta atas perencanaan pemeriksaan oleh BPK. Selama ini pelaksanaan PDTT sudah sesuai dengan prosedur/standar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berkontribusi positif dalam perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kami justru mengkhawatirkan apabila ada perubahan (dalam arti ‘dirapikan’) rumusan atau makna PDTT dalam norma a quo, maka akan dapat menjadikan pemeriksaan di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang berlaku secara universal. Selain itu pembatasan PDTT hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan lembaga perwakilan dan APH, maka BPK dapat dijadikan sebagai “alat” kepentingan pihak-pihak tertentu yang berpotensi menciderai mekanisme checks and balances serta menciderai independensi BPK. 142 Selain itu, Pihak Terkait menghadirkan satu orang ahli bernama Andi Mattalatta, SH., M.Hum. yang didengar keterangannya di depan persidangan pada tanggal 18 Februari 2020, serta menyerahkan keterangan tertulisnya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Ahli: Andi Mattalatta, SH., M.Hum. Pemohon dalam perkara ini mempersoalkan atau mempertanyakan konstitusionalitas kewenangan BPK melakukan PDTT sebagaimana dimaksud karena tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat 1 UUD 1945. Sesuai dengan posisi saya sebagai anggota Badan Pekerja MPR RI yang membahas perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, maka keterangan yang akan saya sampaikan di sidang yang mulia ini akan terbatas pada pemahaman saya yang bersumber pada perkembangan pemikiran dan suasana pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Dari perkembangan pemikiran dan suasana pembahasan itu mudah- mudahan kita dapat menarik kesimpulan atau pemahaman bahwa semangat perubahan Undang-Undang Dasar telah ditindaklanjuti secara tepat dalam menerbitkan ketentuan lanjutannya berupa ketentuan perundang-undangan yang dilakukan oleh pembuat undang undang. Pemahaman akan perkembangan pemikiran dan semangat perubahan Undang-Undang Dasar itu dengan sendirinya juga bisa berguna untuk dijadikan tolok ukur untuk menilai apakah ketentuan lanjutan yang ada dalam Undang-Undang sesuai dengan semangat Undang- Undang Dasar sehingga dianggap konstitusional atau tidak. Seperti diketahui bersama bahwa semangat utama perubahan Undang- Undang Dasar yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 dimaksudkan agar tercipta pengelolaan negara di semua aspek kehidupan yang menjamin arah terwujudnya cita cita nasional yang termuat dalam alenia 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksaakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Masing-masing aspek kehidupan itu dirumuskan prinsip prinsip pencapaiannya dalam pasal-pasal. Ada aspek kehidupan yang hanya 143 mencantumkan prinsip pencapaiannya tanpa menyebut secara eksplisit institusi penanggung jawabnya, karena penyelenggaraannya melibatkan berbagai institusi kenegaraan. Ada pula aspek kehidupan selain menyebut prinsip pengelolaannya juga menyebut institusi penanggung jawabnya karena dianggap strategis sehingga perlu kepastian konstitusionalnya. Aspek kehidupan yang hanya menyebut prinsip pengelolaannya misalnya aspek pengelolaan keuangan negara harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 ayat (1)). Aspek perekonomian, prinsipnya disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan (Pasal 33 ayat (1)) yang penyelenggaraannya berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat (4)). Aspek pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (2) dan (3)) dan beberapa contoh lainnya yang tidak kami sebutkan rinci di sini. Pada bagian lain ada pula aspek kehidupan yang selain disebut prinsip pengelolaannya juga disebut institusi penanggung jawabnya karena dianggap strategis dalam kehidupan berbangsa dan benegara sekaligus menegaskan tidak adanya institusi lain selain yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar. Rumusan seperti ini antara lain, untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan keuangan negara secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 23, maka diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1)). Aspek Peradilan dilaksanakan oleh pemangku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi dengan prinsip kerja yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24). Aspek pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik 144 Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung (Pasal 30 ayat (2)). Prinsip-prinsip pengelolaan berbagai aspek kehidupan yang diungkapkan di atas haruslah menjiwai rumusan norma-norma lanjutan dalam ketentuan perundang-undangan di bawah Undang Undang Dasar serta menjamin kemudahan perwujudannya dalam implementasi. Bukan justru sebaliknya mempersulit implementasinya. Setelah mengungkapkan beberapa prinsip muatan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar, kini perkenankan saya fokus pada materi perkara yang sedang dipermasalahkan dalam perkara ini yaitu apakah kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu memiliki pijakan konstitusi sehingga konstitusional atau tidak. Dalam Undang-Undang Dasar hasil perubahan, tidak ada lagi Lembaga Negara yang memegang dan melaksanakan kewenangannya tanpa pembatasan atau kontrol termasuk Lembaga Majelis Permusyawaratan yang sebelumnya memiliki kekuasaan tak terbatas sesuai penjelasan Undang-Undang Dasar sebelum perubahan. Sekarang Majelis Permusyawaratan Rakyat, kewenangannya hanya yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Pembatasan kewenangan dan prinsip pengawasan dalam bentuk checks and balances ini merupakan salah satu wujud semangat pengelolaan negara modern yang dianut oleh Undang- Undang Dasar kita. Lembaga Komisi Yudisial misalnya diciptakan untuk menjadi salah satu alat kontrol dunia peradilan dengan kewenangan mengusulkan hakim agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Lembaga Pemerintahan Daerah diperkuat untuk mencegah lahirnya sentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk. Lembaga Dewan Perwakilan Daerah dibentuk untuk menjadi mitra kerja Dewan Perwakilan Rakyat untuk fungsi legislasi dan pengawasan bidang-bidang pemerintahan tertentu. Demikian juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang tadinya penempatannya dalam Undang-Undang Dasar hanya merupakan salah satu ayat dari pasal keuangan sehingga menggambarkan bahwa fungsi pengawasan dan pemeriksaan dalam pengelolaan keuangan negara bukanlah hal yang penting. Searah dengan semangat pengelolaan keuangan negara yang pelaksanaanya harus terbuka dan bertanggungjawab yang diamanatkan oleh perubahan Undang- 145 Undang Dasar maka institusi pengawas dan pemeriksanyapun, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan, harus pula ditingkatkan posisi dan perannya. Peningkatan posisi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan itu oleh Undang- Undang Dasar dimaksudkan agar ada jaminan bahwa pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pembahasan perubahan Undang- Undang Dasar yang dimulai sejak tahun 1999 telah membahas seluruh materi, termasuk di dalamnya pembahasan tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Namun demikian, karena keterbatasan waktu yang dikaitkan dengan sekuen materi maka rumusan baru tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan yang berkaitan dengannya baru dapat disepakati pada tahun sidang 2001 setelah melalui pembahasan selama tiga tahun masa sidang. Lamanya pembahasan tentang Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan betapa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang membahas perubahan Undang-Undang Dasar memberi perhatian yang sangat serius tentang fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara agar betul-betul untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat. Semangat untuk meningkatkan fungsi dan peran pemeriksaan pengelolaan keuangan negara mungkin juga dipengaruhi oleh banyaknya kebocoran dan beratnya beban keuangan negara yang harus ditanggung akibat pengelolaan keuangan negara yang tidak prudent saat itu. Peningkatan posisi, fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam pengelolaan keuangan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 diwujudkan dalam:
Penempatannya dalam sebuah bab tersendiri. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar penempatan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan bagian dari hal keuangan negara dengan menempatkannya sebagai salah satu ayat dalam bab dan pasal tentang keuangan. Penempatan yang demikian ini seolah-olah urusan pemeriksaan keuangan negara bukan hal yang teramat penting. Berangkat dari pemikiran dan semangat keterbukaan pengelolaan keuangan negara dan semangat untuk melahirkan tata kelola pemerintahan yang bersih maka saat itu fungsi pemeriksaan dan pengawasan menjadi penting sehingga institusi yang bertanggungjawab di bidang ini harus juga ditingkatkan bobot kehadirannya. 146 Dengan pertimbangan itu maka Badan Pemeriksa Keuangan oleh Undang- Undang Dasar ditempatkan dalam bab tersendiri terpisah dari bab tentang Keuangan. Dengan Bab tersendiri itu maka kehadiran Badan Pemeriksa Keuangan dan fungsinya menyinari dan menyemangati seluruh aspek kehidupan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugasnya disadari akan banyak kepentingan yang mengitarinya, maka sejak awal perubahan Undang-Undang Dasar sudah membentenginya dengan kebebasan dari intervensi cabang kekuasaan lain. Bahkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar mengamanatkan dukungan sumber daya untuk BPK agar mandiri dalam rnelaksanakan tugasnya. Suatu norma yang tidak ada sebelum perubahan Undang-Undang Dasar.
Penegasan bahwa BPK merupakan satu-satunya lembaga negara pemeriksa keuangan negara. Hal ini mengandung makna bahwa lembaga tunggal di luar cabang kekuasaan eksekutif ini konsekwensinya juga memangku kewenangan tunggal dalam merumuskan sistem dan mekanisme pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam hal ini tentu termasuk pemeriksaan yang bersifat rutin dan umum terhadap laporan keuangan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya serta pemeriksaan yang bersifat khusus sesuai kaidah-kaidah pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.
Hasil pemeriksaan ditujukan tidak terbatas pada lembaga perwakilan. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar, hasil pemeriksaan BPK itu diberikan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya bergantung Dewan Perwakilan Rakyat apakah akan menjadikannya bahan pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan politik di DPR atau tidak. Tidak mengherankan bila saat itu ada yang menyandingkan posisi BPK sebagai alat bantu DPR dan posisi DPA sebagai alat bantu semata dari Presiden. Dengan semangat membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan negara maka perubahan Undang-Undang Dasar tidak hanya mengarahkan hasil pemeriksaan itu diberikan ke lembaga perwakilan 147 tetapi juga ke badan lain sesuai Undang-Undang disertai kewajiban untuk menindaklanjutinya (pasal 23E ayat (3)). Dari pesan Undang-Undang Dasar ini tersirat pengertian bahwa ada pemeriksaan rutin yang sifatnya mandatory yang disampaikan ke lembaga perwakilan dan ada juga pemeriksaan ad hoc yang sifatnya tidak mandatory . Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab presiden sebagai kepala pemerintahan dalam bentuk laporan keuangan dalam waktu tertentu untuk menilai apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi. Pada masa sekarang kita mengenal kesesuaian dengan kaidah akuntansi sebagai kewajaran laporan keuangan. Sedang pemeriksaan ad hoc atau tidak rutin merupakan pemeriksaan untuk menilai penggunaan dan atau pengelolaan keuangan negara apakah dilaksanakan secara efisien dan efektif, sesuai dengan aturan perundang-undangan, dan tidak ada penyimpangan. Pemeriksaan rutin sifatnya mandatory atau wajib sudah ditentukan oleh undang-undang, sedang pemeriksaan ad hoc atau tidak rutin merupakan pemeriksaan atas kegiatan atau program yang berasal dari insiatif Badan Pemeriksa Keuangan sesuai kewenangannya atau bisa merupakan permintaan lembaga perwakilan, penegak hukum, serta lembaga lain dan atau masukan masyarakat. Pada perkembangannya, pemeriksaan demikian dinyatakan oleh pembuat undang-undang sebagai pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dengan frasa "hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti" maka BPK diberi pula kewenangan untuk memantau tindak lanjut pemeriksaan itu yang dilakukan oleh lembaga perwakilan maupun badan lainnya.
Pengembangan tugas BPK menyangkut proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa. Semula sebelum perubahan Undang-Undang Dasar, cakupan pemeriksaan hanya menyangkut tanggung jawab keuangan negara, berkembang setelah perubahan Undang-Undang Dasar menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan yang dibuat pemerintah. Dengan demikian setelah perubahan Undang-Undang Dasar, Badan Pemeriksa Keuangan tidak sekedar memeriksa laporan keuangan yang 148 disajikan, tetapi juga memeriksa seluruh aspek pengelolaan keuangan negara, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporannya. Jika di masa lalu, pemeriksaan hanya bersifat post audit atau memeriksa laporan keuangan, maka pada waktu pembahasan perubahan Undang-undang Dasar, Badan Pekerja MPR menyepakati bahwa Badan Pemeriksa Keuangan juga memeriksa sejak proses anggaran dibuat atau dikenal dengan preaudit. Maksudnya agar Badan Pemeriksa Keuangan tidak hanya memeriksa setelah kerugian terjadi, namun bisa mencegah kerugian terjadi. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar, pemeriksaan BPK tidak hanya menilai kesesuaiannya dengan kaidah akuntansi, namun termasuk memeriksa kesepadanan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggungjawab.
Peningkatan kedudukan, fungsi, dan tugas BPK dalam kerangka menciptakan check and balances antar lembaga negara. Lembaga-lembaga sebagaimana ditetapkan dalam perubahan UUD 1945 diatur kewenangannya dalam rangka checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) sepanjang diperlukan. Oleh karena itu semua lembaga negara dimaksud memiliki kedudukan yang sejajar dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. BPK disebut sebagai pemegang kekuasaan auditif, merupakan lembaga negara yang bebas dan mandiri, serta memiliki fungsi yang telah diperluas pula. Fungsi BPK meliputi “memeriksa” pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dari semua lembaga yang menggunakan uang APBN maupun APBD, BUMN/BUMD, dan lain-lain badan, dalam pengertian keuangan negara. Kebebasan dan kemandirian BPK tidak lepas dari keterkaitannya dengan fungsi DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Demikian halnya dengan fungsi Presiden di bidang legislasi dan eksekutif. Misalnya dalam pembuatan UU Tentang BPK, UU Tentang Keuangan Negara, UU Tentang Perbendaharaan Negara, UU Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara termasuk penyusunan RUU-APBN oleh Presiden kemudian dibahas dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama menjadi UU. Di dalam UU APBN tersebut termasuk berapa anggaran belanja yang dibutuhkan BPK. Bagaimana penggunaan 149 anggaran BPK di tahun sebelumnya dan keperluan pembiayaan kegiatan BPK di tahun anggaran yang bersangkutan. Semua itu berpengaruh pula pada kelancaran kerja BPK dalam mengimplementasi ketentuan dalam UUD 1945. Dengan demikian tidak ada lembaga negara yang bebas sebebasnya atau mandiri tanpa keterkaitan dengan fungsi lembaga lainnya. Demikian halnya hubungan BPK dengan DPD. Walaupun DPD tidak sepenuhnya melaksanakan fungsi seperti halnya DPR, namun DPD juga ikut mengawasi BPK. Melalui mekanisme check and balances tersebut, pembahasan perubahan UUD 1945 sudah memperhitungkan pencegahan suatu lembaga negara melakukan abuse of power dengan memanfaatkan kewenangan yang diberikan. Jika ada abuse of power pasti ada lembaga negara yang lain yang akan mecegah atau mengoreksinya. Demikianlah, sebagai negara hukum yang demokratis, semua lembaga negara melaksanakan fungsi dan tugasnya atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan dimaksud harus mengatur terselenggaranya mekanisme checks and balances antarlembaga negara serta menjamin kemajuan hak asasi manusia dan peradilan yang bebas. Terkait kekuasaan auditif yang dilaksanakan oleh BPK, peraturan perundang- undangan kemudian mengatur ketentuan pemeriksaan harus dilaksanakan berdasar standar pemeriksaan dan pedoman pemeriksaan lainnya yang mengacu pada standar pemeriksaan yang berlaku umum, harus berdasarkan kode etik, ada pengawasan internal di BPK sendiri, pekerjaan BPK harus di- review oleh pihak lain yaitu BPK negara lain, dan ada pengawasan dari DPR dan DPD. Semua aturan ini untuk mencegah tindakan semena-mena atau terjadinya abuse of power oleh BPK dalam melaksanakan kewenangannya. Apalagi dalam situasi keterbukaan informasi publik sekarang ini sangat sulit bagi lembaga publik untuk lepas dari kontrol atau pemantauan masyarakat. Saya sebagai anggota Badan Pekerja yang turut membahas perubahan UUD 1945 menilai hal-hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan telah sejalan dengan maksud dan substansi yang diatur dalam perubahan UUD.
Undang-Undang Dasar sudah barang tentu hanya memuat kaidah-kaidah dasar tentang sesuatu hal. Tidaklah mungkin urusan-urusan tekhnis seperti jenis pemeriksaan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Selain karena sifatnya 150 teknis tentu juga Undang-Undang Dasar memberi ruang pengembangan sistem pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara itu sesuai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan praktik sehari-hari. Untuk mengakomodir itu dirumuskanlah norma yang memungkinkan pengembangan yang sesuai dengan arahan Undang-Undang Dasar. Rumusan itu dimuat dalam Pasal 23G ayat 2 yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang.” Sebagai akhir penjelasan ini saya ingin menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Sesuai dengan prinsip-prinsip perubahan Undang-Undang Dasar dan pintu pengembangan yang disiapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 23G ayat 2, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang di dalam kedua Undang-Undang itu mengatur tentang kewenangan BPK untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu.
Kehadiran kewenangan BPK untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu adalah konstitusional karena merupakan bagian dari semangat penguatan fungsi BPK yang diemban dalam perubahan Undang-Undang Dasar yang pengaturannya diperintahkan oleh pasal 23G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. PDTT bersama dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang diatur dalam kedua UU tersebut kesemuanya dalam rangka untuk melaksanakan tugas dan fungsi BPK guna memastikan pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikianlah keterangan dari seorang pelaku perubahan Undang-Undang Dasar yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sejak tahun 1999 sampai dengan tahun sidang 2002. [2.6] Menimbang bahwa Presiden dan Pihak Terkait BPK menyerahkan kesimpulan yang masing-masing diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Februari 2020 yang pada pokoknya Presiden dan Pihak Terkait BPK tetap pada pendiriannya; 151 [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654, selanjutnya disebut UU 15/2006) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400, selanjutnya disebut UU 15/2004) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang 152 terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 153 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut:
Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006: Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004: Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Bahwa para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia masing-masing menerangkan sebagai berikut:
Pemohon I, Ibnu Sina Chandranegara , adalah pembayar pajak yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yang mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (vide bukti P-4 sampai dengan Bukti P-6) yang juga aktif dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) yang menjabat sebagai Divisi Riset, Jurnal dan Publikasi Ilmiah (vide Bukti P-12).
Pemohon II, Auliya Khasanofa, adalah pembayar pajak yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang yang mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (vide bukti P-7 sampai dengan bukti P-9) yang juga aktif dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (vide bukti P-12).
Pemohon III, Kexia Goutama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (vide bukti P-10 sampai dengan bukti P-11).
Bahwa para Pemohon yang menganggap hak konstitusionalnya dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berpotensi dirugikan oleh berlakunya norma Undang-Undang yang 154 dimohonkan pengujian dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon I dan Pemohon II wewenang konstitusional Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 adalah untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal tersebut haruslah dimaknai secara terbatas hanya mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja sebagaimana kewenangan utama BPK yang diberikan oleh undang-undang. Artinya tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan di luar dari wewenang yang diberikan oleh UUD 1945. Namun dalam perjalanannya pasca diundangkannya UU 15/2004, terdapat penambahan kewenangan yang diberikan kepada BPK yakni kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (selanjutnya disebut PDTT) di mana kewenangan PDTT tersebut adalah kewenangan yang tidak termasuk dalam Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja (vide Pasal 4 ayat (4) dan Penjelasan Umum huruf B angka 3 UU 15/2004). Kemudian kewenangan tersebut dimasukan ke dalam UU 15/2006 yang secara konstitusional kewenangan tersebut inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
Bahwa frasa “tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum yang seharusnya dipenuhi suatu materi muatan peraturan perundang- undangan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya potensi abuse of power yang dapat disalahgunakan oleh institusi BPK dalam melaksanakan kewenangannya terhadap seluruh lembaga negara dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga potensi tersebut dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal tersebut terjadi, maka setiap tidak berjalannya fungsi pemerintahan maka yang paling dirugikan adalah warga negara. Inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon I dan Pemohon II karena mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya sebagai akademisi saat harus menjelaskan terkait konstitusionalitas PDTT serta maksud dan tujuan PDTT kepada publik maupun kepada Mahasiswa 155 di tempat mereka mengajar pada saat ada peristiwa PDTT kepada suatu instansi/lembaga padahal instansi/lembaga tersebut sudah mendapatkan Status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) saat sebelumnya dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja.
Bahwa menurut Pemohon I dan Pemohon II jika dalam penyelenggaraan negara terjadi penyimpangan pelaksanaan tugas dan kewenangan dari lembaga-lembaga negara, maka warga negara adalah pihak yang paling dirugikan. Karena ketidakberfungsian lembaga negara dengan baik menyebabkan sia-sianya amanat/penyerahan kedaulatan yang diberikan rakyat kepada organ-organ negara;
Bahwa menurut Pemohon III dengan adanya PDTT dalam sistem pemeriksaan yang berada di BPK sangat merugikan Pemohon III, karena Pemohon III mengalami kesulitan dalam memahami kedudukan PDTT akibat masuknya PDTT dalam ketentuan norma a quo namun setelah dipelajari lebih lanjut tidak ada penjelasan yang dapat memberikan pemahaman yang komprehensif berkenaan dengan PDTT. [3.6] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara cermat uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, khususnya berkenaan dengan kerugian hak konstitusional yang didalilkan, ternyata bahwa dalil kerugian hak konstitusional dimaksud berkait erat dengan pokok permohonan. Oleh karena itu perihal kedudukan hukum para Pemohon baru dapat diketahui apabila Mahkamah terlebih dahulu memeriksa pokok permohonan. Dengan demikian, Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon tersebut bersama-sama dengan pokok permohonan. [3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan kedudukan hukum para Pemohon akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pokok permohonan, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006, para Pemohon mengemukakan 156 argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon membuka argumentasi dalam dalil permohonannya dengan terlebih dahulu menguraikan secara ringkas mengenai kewenangan BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan Lembaga atau badan lainnya yang mengelola keuangan negara beserta dasar hukum kewenangannya;
Bahwa selanjutnya para Pemohon menguraikan mengenai kewenangan BPK dalam hal melakukan PDTT sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang menurut para Pemohon memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh “oknum” BPK dalam melaksanakan tugasnya.
Bahwa menurut para Pemohon kewenangan PDTT yang dimiliki oleh BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 merupakan kewenangan pemeriksaan di luar __ pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja __ sebagaimana dinyatakan dalam huruf B angka 3 pada bagian Penjelasan UU 15/2004 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 karena merupakan bentuk penambahan kewenangan yang telah diatur secara limitatif dalam ketentuan norma Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, ketentuan mengenai PDTT juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana menjadi prinsip utama dalam negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) karena tidak memiliki kejelasan makna PDTT maupun ketentuan yang menjadi batasan dapat dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Bahwa berdasarkan dalil para Pemohon tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar frasa “dan Pemeriksaan dengan tujuan tertentu” __ dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 157 [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-12 sebagaimana termuat lengkap pada bagian Duduk Perkara. [3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo DPR telah mengajukan keterangan DPR yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan beserta lampirannya yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal tanggal 27 Januari 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo Presiden telah mengajukan keterangan Presiden yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 11 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang masing-masing diterima di Kepaniteraan pada tanggal 15 November 2019 dan tanggal 23 Januari 2020, serta mengajukan dua orang ahli yang bernama Dr. W. Riawan Tjandra, SH., M.Hum., dan Dr. Binsar Hamonangan Simanjuntak, Ak., MBA., serta saksi yang bernama Sumiyati (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo Pihak Terkait Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengajukan keterangan yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan beserta lampirannya yang masing-masing diterima di Kepaniteraan pada tanggal 26 November 2019, tanggal 14 Februari 2020 dan tanggal 18 Februari 2020, serta mengajukan ahli yang bernama Andi Mattalatta, SH., M.Hum. (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama argumentasi yang dikemukakan dalam permohonan para Pemohon serta memeriksa bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah apakah benar PDTT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memberikan kepastian hukum yang adil, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, terutama apabila 158 dilekatkan dalam konteks memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. [3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh persoalan dimaksud, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa sebagai hukum dasar, UUD 1945 telah mengatur sedemikian rupa tujuan yang hendak dicapai dengan membentuk negara Indonesia. Dalam hal ini, Alinea IV Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Guna mencapai tujuan dimaksud, keuangan negara merupakan salah satu faktor penting yang diatur dalam UUD 1945. Berkenaan dengan hal itu, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Karena itu, salah satu perwujudan dari tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk pengelolaan keuangan negara, adalah pelaksanaan pembangunan yang tepat sasaran dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggung jawab guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diperlukan pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka dan bertanggung jawab agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Berangkat dari hal tersebut, kehadiran lembaga pemeriksa keuangan negara menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana halnya hukum dasar negara- negara yang menempatkan makna penting pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan akuntabel, UUD 1945 pun telah mengatur keberadaan badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, serta terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. 159 [3.14.2] Bahwa aturan pokok yang mengatur mengenai perlunya dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta untuk mewujudkan pengelolaan negara yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Ihwal pengelolaan dimaksud, diktum menimbang huruf a UU 15/2004 menyatakan bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara, keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Lebih lanjut, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud, perlu dilakukan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bebas dan mandiri. Tidak hanya dalam UU 15/2004, semangat yang sama dipertegas kembali dalam diktum menimbang huruf a dan huruf b UU 15/2006 yang menyatakan:
bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. [3.14.3] Bahwa dari aturan tersebut sudah jelas tujuan utama dari dibentuknya BPK adalah untuk meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka untuk mendorong pengelolaan keuangan negara guna mencapai tujuan negara dengan melakukan pemeriksaan yang berkualitas melalui proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional sesuai standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Artinya, BPK merupakan garda terdepan dalam mengawasi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dengan mengawal jalannya 160 keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide Pasal 6 UU 15/2006). [3.14.4] Bahwa sebagaimana diatur dalam UU 15/2004, luas lingkup pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, sedangkan pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektifitas. Adapun PDTT adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja (vide Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006); [3.14.5] Bahwa apabila diletakkan dalam konteks pemeriksaan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, PDTT berupa pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang belum diketahui dan tidak tercakup saat pemeriksaan keuangan. Adapun pemeriksaan investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara. Dengan demikian, kewenangan PDTT dimaksudkan memberi ruang kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan secara lebih menyeluruh dan mendalam terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, yang mungkin belum ditemukan adanya kesalahan dan penyimpangan keuangan negara melalui pemeriksaan keuangan, yang dikenal dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) maupun melalui Pemeriksaan Kinerja. Melalui PDTT, BPK antara lain dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara dan/atau bahkan unsur pidana. 161 [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, merujuk Penjelasan UU 15/2004, “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT), adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini dapat dilakukan untuk memperjelas pembuktian ada atau tidaknya penyalahgunaan keuangan negara atau tindak pidana korupsi guna menelisik kemungkinan adanya kerugian keuangan negara ( state loss ), maka dalam batas penalaran yang wajar, PDTT menjadi lebih fleksibel. Karena, tidak ada kriteria yang jelas dan transparan yang dapat diketahui oleh institusi/lembaga yang diperiksa, dibandingkan dengan “pemeriksaan keuangan” dan “pemeriksaan kinerja” . Oleh karenanya, menjadi dapat dipahami jika terdapat pandangan bahwa fleksibilitas tersebut membuka ruang kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power ) oleh BPK dalam melaksanakan tugasnya. Kemungkinan tersebut pun dikemukakan para Pemohon dalam permohonan a quo . Terlebih lagi, ditambahkan para Pemohon, terdapat fakta sejumlah instansi yang telah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) masih memungkinkan dilakukan PDTT. Kemungkinan tersebut dapat terjadi karena opini WTP dimaksud hanyalah mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan sesuai dengan pengungkapan yang diatur dalam SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal. Artinya, WTP bukanlah menjadi predikat pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada institusi/lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar. Oleh karena itu pemberian opini WTP atas laporan keuangan kepada suatu institusi/lembaga tidak menutup kemungkinan dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga tersebut apabila dari hasil pemeriksaan keuangan atau dari hasil pemeriksaan kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. 162 [3.16] Menimbang bahwa kemungkinan sebagaimana dikemukakan di atas pun telah disadari oleh pembentuk undang-undang, sehingga untuk melakukan PDTT, BPK diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan melalui Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (PBPK 1/2017). Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memerhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah. Namun demikian, karena PDTT merupakan pemeriksaan khusus yang diperlukan jika ditemukan adanya indikasi terjadinya kerugian negara dengan tujuan pemeriksaan untuk menemukan fakta dan bukti adanya indikasi terjadinya kerugian negara, maka standar pemeriksaan sebagaimana dikemukakan di atas dirasakan masih belum cukup. Dalam hal ini, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) atau kesalahan dalam menggunakan wewenang ( misuse of power ) dalam pengelolaan keuangan negara, Mahkamah perlu menekankan bahwa kemungkinan untuk bisa dilakukannya PDTT terhadap suatu institusi/lembaga harus didasarkan pada keputusan BPK sebagai suatu lembaga dan tidak diputuskan oleh orang per orang baik oleh auditor maupun oleh seorang anggota BPK tetapi melalui mekanisme yang harus diputuskan oleh BPK sebagai suatu lembaga yang bersifat kolektif kolegial. Terlebih lagi, putusan secara institusional tersebut harus diambil untuk PDTT bagi institusi/lembaga yang telah diberikan status opini WTP oleh BPK. Dengan keputusan demikian, pada satu sisi, BPK menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan status opini WTP dan, di sisi lain, status opini tertinggi tersebut tidak mudah tergerus oleh hasil pemeriksaan PDTT yang dilakukan sebagai kelanjutan dari pemeriksaan sebelumnya. Sehingga dengan demikian, sebagai salah satu bentuk pemeriksaan yang dimiliki BPK dapat dilaksanakan untuk memeriksa pengelolaan tanggung jawab tentang keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. 163 [3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan keberadaan PDTT sebagai salah satu bentuk pemeriksaan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara dan sebelum sampai pada kesimpulan, dikarenakan kerugian hak konstitusional para Pemohon belum ditentukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] dan Paragraf [3.7] di atas, maka berdasarkan pertimbangan Mahkamah terhadap substansi atau norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14] sampai dengan Paragraf [3.16] di atas, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen pada perguruan tinggi (Pemohon I dan Pemohon II) dan bergabung dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA), serta yang berstatus sebagai mahasiswa (Pemohon III) apakah menderita kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK. Terhadap kedudukan hukum para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.17.1] Bahwa sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, yang menjadi lingkup pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam rangka mengawal jalannya keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide UU 15/2004 dan UU 15/2006). Apabila dilihat dari ruang lingkup pemeriksaan BPK tersebut sudah jelas adalah institusi/lembaga yang mengelola keuangan negara yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Sedangkan, bila dilihat dari profesi/status para Pemohon yaitu dosen pada 164 perguruan tinggi dan mahasiswa yang tidak berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara yang merupakan ruang lingkup pemeriksaan BPK sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon yang berprofesi/berstatus sebagai dosen pada perguruan tinggi dan mahasiswa dengan berlakunya Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 yang dimohonkan pengujian. Sementara itu berkaitan dengan Pemohon I dan Pemohon II yang menerangkan dirinya sebagai pembayar pajak, menurut Mahkamah, hal tersebut justru PDTT memberikan perlindungan kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagai pembayar pajak dan hal ini semakin menguatkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon I dan Pemohon II dengan berlakunya norma a quo. [3.17.2] Bahwa dari uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, yang nyata- nyata maupun potensial dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah institusi/lembaga yang melaksanakan pengelolaan keuangan negara sebagai ruang lingkup pemeriksaan BPK. Dengan demikian, dalam kualifikasi para Pemohon sebagai dosen perguruan tinggi dan Mahasiswa, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional sehingga para Pemohon dalam kualifikasi ini, tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan a quo . [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , telah ternyata bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya masih diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagai upaya untuk menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar. Oleh karena itu permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 165 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Andai pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum quod non , permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin , tanggal dua belas , bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin , tanggal dua puluh enam , bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.21 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, 166 Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Saiful Anwar