Tata Cara Penetapan Nilai Kekayaan Awal Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang selanjutnya disingkat PTNBH adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom.
Satuan Kerja Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disebut Satker PTN adalah perguruan tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan negara pada umumnya atau pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai peraturan perundang- undangan.
PTNBH yang berasal dari Satker PTN adalah PTNBH yang pendiriannya berasal dari Satker PTN dan ditetapkan menjadi PTNBH berdasarkan peraturan perundang- undangan.
PTNBH yang sejak awal pendiriannya ditetapkan sebagai PTNBH adalah perguruan tinggi yang sejak awal pendiriannya ditetapkan menjadi PTNBH berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Nilai Kekayaan Awal yang selanjutnya disingkat NKA adalah saldo aset neto PTNBH yang bersumber dari selisih antara saldo aset dengan saldo liabilitas pada awal periode akuntansi PTNBH berdasarkan standar akuntansi keuangan atau saldo aset yang berasal dari nilai hibah BMN berdasarkan peraturan pemerintah mengenai statuta PTNBH.
Tahun Akhir adalah tahun periode pelaporan terakhir selaku Satker PTN.
Tahun Awal adalah tahun periode pelaporan pertama perguruan tinggi menerapkan pola pengelolaan keuangan PTNBH.
Laporan Keuangan Standar Akuntansi Pemerintahan Satker PTN yang selanjutnya disingkat LK SAP adalah laporan keuangan yang disusun dan diterbitkan oleh Satker PTN sebagai bentuk pertanggungjawaban Satker PTN atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas laporan keuangan, yang diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
Neraca Satker PTN yang selanjutnya disebut Neraca adalah bagian dari LK SAP yang menyajikan informasi posisi keuangan Satker PTN yaitu aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
Laporan Posisi Keuangan PTNBH yang selanjutnya disingkat LPK adalah laporan yang menggambarkan posisi aset, liabilitas, dan aset neto PTNBH pada tanggal tertentu, yang diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
Laporan Barang Kuasa Pengguna Ekstrakomptabel yang selanjutnya disebut LBKP Ekstrakomptabel adalah laporan penatausahaan BMN yang disusun oleh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang yang menyajikan posisi BMN di awal dan akhir periode tertentu secara semesteran dan tahunan serta mutasi saldo selama periode tersebut atas kelompok barang yang memiliki nilai perolehan di bawah batasan nilai minimum kapitalisasi aset sesuai kebijakan penatausahaan BMN.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara.
Menteri Teknis adalah menteri yang secara struktural membawahi Rektor Satker PTN dan/atau mempunyai tugas dan fungsi selaku pembina pimpinan PTNBH.
Kementerian Teknis adalah kementerian yang secara struktural membawahi Satker PTN dan/atau mempunyai tugas dan fungsi selaku pembina PTNBH.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang merupakan pimpinan unit organisasi eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang sebagian lingkup tugas dan fungsinya meliputi perumusan dan pelaksanaan kebijakan bidang kekayaan negara dipisahkan.
Biaya Operasional Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG OPERASIONAL PEMUNGUTAN PAJAK BUMI BANGUNAN. BIAYA DAN jdih.kemenkeu.go.id Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan selain Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. 3. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah otonom penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah otonom, serta kepada daerah otonom lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/ a tau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 4. Biaya Operasional Pemungutan yang selanjutnya disingkat BOP adalah biaya yang meliputi kegiatan pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. 5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 (1) Penerimaan PBB terdiri atas penerimaan negara yang berasal dari objek pajak PBB:
sektor perkebunan;
sektor perhutanan;
sektor pertambangan minyak dan gas bumi;
sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
sektor pertambangan mineral atau batubara; dan
sektor lainnya. (2) Rincian objek pajak PBB atas masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi objek pajak PBB. Pasal 3 Penerimaan PBB se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dialokasikan kepada Daerah dalam bentuk DBH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah memperhitungkan BOP. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 4 (1) BOP sehagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan sehagai herikut:
BOP PBB sektor perkehunan sehesar 5,4% (lima koma empat persen) dari penerimaan PBB sektor perkehunan;
BOP PBB sektor perhutanan sehesar 5,85% (lima koma delapan lima persen) dari penerimaan PBB sektor perhutanan;
BOP PBB sektor pertamhangan minyak dan gas humi sehesar 6,3% (enam koma tiga persen) dari penerimaan PBB sektor pertamhangan minyak dan gas humi;
BOP PBB sektor pertamhangan untuk pengusahaan panas humi sehesar 6,3% (enam koma tiga persen) dari penerimaan PBB sektor pertamhangan untuk pengusahaan panas humi;
BOP PBB sektor pertamhangan mineral atau hatu hara sehesar 6,3% (enam koma tiga persen) dari penerimaan PBB sektor pertamhangan mineral atau hatu hara; dan
BOP PBB sektor lainnya sehesar 6,3% (enam koma tiga persen) dari penerimaan PBB sektor lainnya. (2) Penganggaran BOP sehagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lehih lanjut mengenai penggunaan BOP sehagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 5 Perhitungan BOP · terhadap pemungutan PBB yang merupakan hagian dari DBH PBB, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN peruhahan. Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai herlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak yang Berlaku pada Badan Informasi Geospasial ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK KEBUTUHAN MENDESAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL. Pasal 1 (1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak kebutuhan mendesak yang berlaku pada Badan Informasi Geospasial meliputi penerimaan dari:
jasa pelatihan geospasial;
jasa penggunaan sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan geospasial;
jasa penggunaan infrastruktur teknologi informasi geospasial;
j asa penggunaan alat pengumpulan data geospasial;
jasa penyelenggaraan informasi geospasial; dan
layanan produk informasi geospasial.
Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 2 (1) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari jasa pelatihan geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan jasa penyelenggaraan informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi. (2) Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari jasa penggunaan alat pengumpulan data geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf d tidak termasuk biaya asuransi peralatan, akomodasi dan transportasi. (3) Biaya asuransi peralatan, akomodasi dan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan kepada wajib bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 (1) Jenis layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf f selain yang ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, dapat berupa:
layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar;
layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah;
layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah; dan
data geospasial dasar yang digunakan untuk pembuatan peta dasar. (2) Formula untuk menghitung tarif layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar ( ( Y1 + Y2 + • • • + Yn))n = BM01GD X 1 + n b. layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah ( ( Y1 + Y2 + • • • Yn))n = BMOPTMK x LT x 1 + n c. layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah ( ( Y1 + Y2 + • .. _Y: _ ))n BMOPsAG X (LT+ LB) x 1 + n n d. data geospasial dasar yang digunakan untuk pembuatan peta dasar berupa data Receiver Independent Exchange Format (RINEX) Indonesia Continuously Operating Reference Station (Ina- CORS) dan data Real Time Kinematic (RTK) Online Correction ( ( Y1 + Y2 + • • • + Yn))n = BMOcoRs x 1 + n (3) Perhitungan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
BM0 1 Gv merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan layanan penggunaan aplikasi berbasis informasi geospasial dasar. b. BMOPTMK merupakan biaya modal dan operasional yang dibu tuhkan dalam penyelenggaraan layanan informasi geospasial tematik pada pemerintahan untuk melengkapi layanan pengurusan perizinan di kementerian/lembaga/ pemerintah daerah. c. BMOPsAG merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan layanan informasi geospasial untuk pemutakhiran dan perhitungan pajak bumi dan bangunan pemerintah daerah. d. BMOcoRs merupakan biaya modal dan operasional yang dibutuhkan dalam pembuatan peta dasar berupa data Receiver Independent Exchange Format (RINEX) Indonesia Continuously Operating Reference Station (Ina-CORS) dan data Real Time Kinematic (RTK) Online Correction. e. Y 1 ^+ ^Y 2 ^+ · · · + Yn meru pakan nilai inflasi sebagaimana tercantum dalam undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara pada tahun pertama, kedua dan seterusnya. f. n merupakan selisih tahun penetapan tarif baru dengan tahun penetapan tarif terakhir. g. LT merupakan luas tanah berdasarkan data sertifikat tanah atau bukti kepemilikan tanah lainnya; dan
LB merupakan luas bangunan berdasarkan data informasi geospasial tematik. (4) Besaran BM0 1 Gv, BMOPTMK, BMOpsAG dan BMOcoRs sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Badan Informasi Geospasial. Pasal 4 (1) Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa jasa penyelenggaraan informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e dan layanan produk informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf f selain:
deskripsi jaring kontrol geodesi;
data hasil pengukuran pasang surut; dan
pengolahan data geospasial dapat dilaksanakan oleh Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembalian atas investasi Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terdapat kelebihan pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pengembalian atas investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kelebihan pendapatan yang berasal dari penyelenggaraan layanan menjadi imbal jasa untuk Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak dan bagian pemerintah yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (4) Penunjukan dan penugasan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk besaran pengembalian atas investasi sebagaiman~ dimaksud pada ayat (2), serta besaran imbal jasa untuk Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak dan bagian pemerintah yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam bentuk perjanjian kerja sama antara Badan lnformasi Geospasial dengan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Pasal 5 (1) Dengan pertimbangan tertentu, tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dapat dikenakan tarif sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, persyaratan dan tata cara pengenaan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Informasi Geospasial wajib disetor ke Kas Negara. Pasal 7 Evaluasi atas tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dilaksanakan berdasarkan:
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau
hasil reviu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terhadap kebutuhan biaya dan tren layanan selama masa penugasan Mitra Instansi Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pasal 8 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas K ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Dana Kompensasi adalah dana kompensasi harga jual eceran bahan bakar minyak dan dana kompensasi tarif tenaga listrik.
Dana Kompensasi Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang selanjutnya disebut Dana Kompensasi BBM adalah Dana Kompensasi yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha atas kekurangan penerimaan Badan Usaha akibat selisih antara harga jual eceran jenis bahan bakar minyak tertentu dan/atau jenis bahan bakar minyak khusus penugasan berdasarkan perhitungan formula dan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak tertentu dan/atau jenis bahan bakar minyak khusus penugasan tidak berdasarkan perhitungan formula yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dana Kompensasi Tarif Tenaga Listrik yang selanjutnya disebut Dana Kompensasi Listrik adalah Dana Kompensasi yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha atas kekurangan penerimaan Badan Usaha akibat selisih neto antara tarif tenaga listrik nonsubsidi berdasarkan perhitungan formula penyesuaian tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan penetapan tarif tenaga listrik nonsubsidi oleh Pemerintah.
Badan Usaha adalah badan usaha yang mendapatkan penugasan dari Pemerintah untuk melakukan penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu dan/atau jenis bahan bakar minyak khusus penugasan serta tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) yang selanjutnya disebut BA 999.08 adalah subbagian anggaran bendahara umum negara yang menampung belanja Pemerintah Pusat untuk keperluan belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja lain-lain, yang pagu anggarannya tidak dialokasikan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari bendahara umum negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa bendahara umum negara.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA BUN dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/bendahara pengeluaran.
Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/bendahara pengeluaran.
Asersi Manajemen adalah pernyataan tanggung jawab manajemen atas nilai yang disajikan sebagai bagian dari Laporan Keuangan Tahunan.
Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Benda Muatan Kapal Tenggelam
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA YANG BERASAL DARI BENDA MUATAN KAPAL TENGGELAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Benda Muatan Kapal Tenggelam yang selanjutnya disingkat BMKT adalah benda muatan kapal tenggelam yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau ekonomi yang berada di dasar laut. 3. BMN yang Berasal Dari BMKT yang selanjutnya disebut BMN BMKT adalah semua BMKT yang merupakan bagian Pemerintah Pusat yang ditetapkan sebagai BMN berdasarkan ketentuan peraturan perundangan- undangan yang mengatur mengenai pengelolaan BMKT. 4. Objek yang Diduga Cagar Budaya yang selanjutnya disingkat ODCB adalah benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga memenuhi kriteria sebagai cagar budaya. 5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 7. Pengelola Barang BMN BMKT adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN BMKT. 8. Pengguna Barang BMN BMKT adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN BMKT. 9. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 10. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang selanjutnya disebut Kemendikbudristek adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 11. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang selanjutnya disebut Mendikbudristek adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 12. Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 13. Menteri Kelautan dan Perikanan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 14. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 16. Direktur adalah pejabat eselon II padEt kantor pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan BMN BMKT. 1 7. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal. 18. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN. 19. Hibah adalah pengalihan kepemilikan BMN dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah/Desa atau dari Pemerintah Pusat kepada Pihak Lain, tanpa memperoleh penggantian. 20. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada Pihak Lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 21. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ a tau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman Lelang. 22. Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang belum atau tidak digunakan secara optimal dengan tidak mengubah status kepemilikan. 23. Sewa adalah Pemanfaatan dalam jangka waktu tertentu dengan membayar imbalan dalam bentuk uang kepada negara. 24. Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan oleh Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa membayar imbalan. 25. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. 26. Penggunaan Sementara adalah Penggunaan oleh Kementerian/Lembaga selain Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kemendikbudristek yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. 27. Penetapan Status Penggunaan adalah keputusan pengelola barang atas BMN kepada Pengguna Barang untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga. 28. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengelola barang dan pengguna barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pencatatan dan pelaporan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 30. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. 31. Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 32. Penilai Publik adalah Penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penilai publik. 33. Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian. 34. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. 35. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/ a tau kegiatan pada bidang tertentu. 36. Pihak Lain adalah pihak selain Pemerintah Pusat/Daerah/Desa, Pelaku Usaha, dan pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan pada bidang pengelolaan BMKT. Pasal 2 Peraturan Menteri ini mengatur pengelolaan BMN BMKT yang meliputi:
BMN BMKT berupa ODCB; dan
BMN BMKT berupa bukan ODCB, yang merupakan bagian Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai Pengelolaan BMKT. Pasal 3 (1) Kewenangan Mendikbudristek dan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan BMKT yang merupakan bagian pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMKT. (2) Berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Mendikbudristek menetapkan BMKT berupa ODCB yang merupakan bagian Pemerintah Pusat sebagai BMNBMKT. b. Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan BMKT berupa bukan ODCB yang merupakan bagian Pemerintah Pusat sebagai BMN BMKT. BAB II KEWENANGAN Pasal 4 Menteri selaku pengelola barang melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 5 (1) Mendikbudristek selaku Pengguna Barang BMN BMKT memiliki kewenangan dan tanggung jawab:
melakukan Penatausahaan atas BMN BMKT berupa ODCB;
melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum terhadap BMN BMKT berupa ODCB yang berada dalam penguasaannya;
mengajukan permohonan persetujuan Hibah dan Penghapusan atas BMN BMKT berupa ODCB kepada Menteri;
mengajukan usulan Pemanfaatan, Penggunaan Sementara, dan Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT berupa ODCB kepada Menteri; dan
menandatangani perjanjian Sewa, perjanjian Pinjam Pakai, dan Penggunaan Sementara BMN BMKT berupa ODCB. (2) Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat struktural sesuai dengan mekanisme pendelegasian kewenangan di lingkungan Kemendikbudristek. Pasal 6 (1) Menteri Kelau tan dan Perikanan selaku Pengguna Barang BMN BMKT memiliki kewenangan dan tanggung jawab:
melakukan Penatausahaan BMN BMKT berupa bukan ODCB;
melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum terhadap BMN BMKT berupa bukan ODCB yang berada dalam penguasaannya;
mengajukan permohonan persetujuan Pemindahtanganan dan Penghapusan atas BMN BMKT berupa bukan ODCB;
mengajukan usulan Pemanfaatan, Penggunaan Sementara, dan Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT berupa bukan ODCB kepada Menteri; dan
menandatangani perjanjian Sewa, perjanjian Pinjam Pakai, dan Penggunaan Sementara BMN BMKT. (2) Dalam hal BMN BMKT dilakukan penjualan melalui Lelang, Menteri Kelautan dan Perikanan selaku penjual Lelang:
mengajukan permohonan Penilaian atas BMN BMKT berupa bukan ODCB;
menetapkan Nilai Limit Penjualan secara Lelang atas BMN BMKT berupa bukan ODCB; dan
mengajukan permohonan Penjualan secara lelang atas BMN BMKT berupa bukan ODCB. (3) Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat struktural sesuai dengan mekanisme pendelegasian kewenangan di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan. BAB III PEMINDAHTANGANAN,PEMANFAATAN,PENGGUNAAN,DAN PENATAUSAHAAN BARANG MILIK NEGARA YANG BERASAL DARI BENDA MUATAN KAPAL TENGGELAM Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Pengelolaan BMN BMKT meliputi:
Pemindahtanganan;
Pemanfaatan;
Penggunaan Sementara;
Penetapan Status Penggunaan;
Penghapusan; dan
Penatausahaan. (2) Pengelolaan BMN BMKT sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Menteri ini, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang BMN. Bagian Kedua Pemindahtanganan Pasal 8 (1) BMN BMKT dilakukan Pemindahtanganan melalui:
Penjualan; atau
Hibah. (2) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya meliputi BMN BMKT berupa bukan ODCB. (3) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. Paragraf 1 Penjualan Pasal 9 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan secara Lelang melalui Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada atas permohonan Menteri Kelautan dan Perikanan. (2) Terhadap BMN BMKT yang menjadi objek Penjualan harus dilakukan Penilaian. (3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pemerintah atau Penilai Publik untuk mendapatkan Nilai Wajar.
Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menetapkan Nilai Limit. (5) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah mempertimbangkan bea Lelang pembeli sebagai pengurang dari Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. Pasal 10 (1) Dalam hal Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pemerintah, Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan Penilaian kepada Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada. (2) Permohonan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan dokumen berupa daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penilaian. Pasal 11 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan persetujuan Penjualan melalui Lelang kepada Menteri;
permohonan persetujuan Penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf a, melampirkan dokumen berupa:
daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penjualan; dan
laporan Penilaian;
Menteri melakukan penelitian administratif atas permohonan persetujuan Penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf b;
berdasarkan penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada huruf c:
dalam hal permohonan disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
dalam hal permohonan tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan; dan
surat persetujuan atau penolakan Menteri diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan diterima secara lengkap. (2) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. (3) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 berlaku selama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal persetujuan diterbitkan. Pasal 12 (1) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d angka 1, Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan Penjualan melalui Lelang kepada Kantor Pelayanan dengan melampirkan dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (2) Hasil bersih Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Negara. (3) Hasil bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil Penjualan setelah dikurangi dengan bea lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. Pasal 13 (1) Dalam hal BMN BMKT laku terjual dalam Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan melaksanakan serah terima BMN BMKT kepada pembeli Lelang, yang dituangkan dalam suatu berita acara serah terima. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan melaporkan pelaksanaan Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dengan melampirkan Salinan Risalah Lelang, bukti setor ke Kas Negara, dan beri ta acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak .berita acara serah terima ditandatangani. Pasal 14 (1) Dalam hal BMN BMKT tidak laku terjual dalam Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelau tan dan Perikanan dapat mengajukan permohonan Lelang ulang kepada Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada. (2) Proses Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penjualan melalui Lelang ulang se bagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 2 Hibah Pasal 15 (1) Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat non komersial, dan/atau penyelenggaraan pemerintahan daerah/ desa. (2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Hibah atas BMN BMKT berupa ODCB diberikan kepada Pemerintah Daerah.
Hibah atas BMN BMKT berupa bukan ODCB diberikan kepada:
lembaga sosial, lembaga budaya, lembaga keagamaan, lembaga kemanusiaan, atau lembaga pendidikan yang bersifat non komersial; atau
Pemerintah Daerah/Desa. (5) Untuk dapat diberikan Hibah, Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus menyertakan bukti dokumen berupa akta pendirian, anggaran dasar/rumah tangga, atau pernyataan tertulis dari instansi teknis yang kompeten· bahwa lembaga yang bersangkutan merupakan lembaga termaksud dalam permohonan Hibah. (6) BMN BMKT yang telah dihibahkan digunakan sesuai peruntukan Hibah dan tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh dan/atau dipindahtangankan kepada Pihak Lain. Pasal 16 (1) Permohonan Hibah BMN BMKT diajukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek kepada Menteri. (2) Permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hibah BMN. (3) Permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan dokumen berupa:
berita acara pemeriksaan administrasi dan/atau fisik; dan
dokumen pembuktian suatu lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5). (4) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek mengusulkan Hibah dengan nilai yang didasarkan pada nilai perolehan BMN BMKT. (5) Menteri melakukan penelitian administratif atas permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
permohonan Hibah disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Hibah tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan. (7) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 17 (1) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hi bah BMN.
Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek melaksanakan Hibah paling lama 1 (satu) bulan sejak persetujuan diterbitkan. (4) Pelaksanaan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam naskah Hibah dan suatu berita acara serah terima. (5) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek menyampaikan laporan pelaksanaan Hibah kepada Menteri dengan melampirkan salinan naskah Hibah dan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak berita acara serah terima ditandatangani. Bagian Ketiga Pemanfaatan Pasal 18 (1) BMN BMKT dapat dilakukan Pemanfaatan. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah status objek Pemanfaatan sebagai BMN BMKT. (3) BMN BMKT yang menjadi objek Pemanfaatan dilarang untuk:
dipindahtangankan; dan / a tau b. digadaikan atau dijadikan objekjaminan, oleh Pihak Lain yang melakukan Pemanfaatan. Pasal 19 (1) BMN BMKT dilakukan Pemanfaatan dalam bentuk:
Sewa; atau
Pin jam Pakai. (2) Pemanfaatan BMN BMKT dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Jangka waktu Pemanfaatan BMN BMKT paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Pihak Lain yang melakukan Pemanfaatan BMN BMKT wajib menyerahkan kembali BMN BMKT pada saat berakhirnya Pemanfaatan dalam kondisi baik. Paragraf 1 Sewa Pasal 20 (1) Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pihak Lain. (2) Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Sewa secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (3) Permohonan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN.
Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian administratif terhadap permohonan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (5) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal:
Permohonan ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Sewa kepada Menteri; atau
permohonan tidak ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek menolak permohonan Sewa. (6) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas pemohon Sewa, rincian objek Sewa, peruntukan Sewa, jangka waktu Sewa, dan usulan besaran Sewa; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (7) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Sewa dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek. (8) Berdasarkan penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal:
Usulan ditindaklanjuti, Menteri menindaklanjuti dengan mengajukan permohonan Penilaian dalam rangka Sewa; atau
usulan tidak ditindaklanjuti, Menteri menolak usulan Sewa. (9) Permohonan Penilaian dalam rangka Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, melampirkan dokumen berupa:
daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penilaian; dan
surat permohonan Sewa dari Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (10) Pelaksanaan Penilaian dalam rangka Sewa berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (11) Surat persetujuan atau penolakan Menteri diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelau tan dan Perikanan a tau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 21 (1) Sewa oleh Pihak Lain se bagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN, di tam bah dengan:
keterangan mengenai cara pembayaran Sewa;
kewajiban penyewa untuk membayar besaran uang Sewa dan melakukan pengamanan dan pemeliharaan objek Sewa; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Sewa. (3) Besaran uang Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (4) Penentuan tarif pokok Sewa dan faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan BMN. (5) Pembayaran uang Sewa dilakukan dengan penyetoran ke Kas Negara. (6) Pembayaran uang Sewa dibayarkan secara sekaligus sebelum penandatanganan perjanjian Sewa. (7) Dalam hal Pihak Lain tidak melakukan pembayaran sampai dengan batas waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku. (8) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan bukti setor ke Kas Negara untuk pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, atau b. Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Pihak Lain selaku penyewa menandatangani perjanjian Sewa. (9) Perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN. Pasal 22 Pihak Lain yang menyewa BMN BMKT wajib:
membayar uang Sewa, yang ditetapkan oleh Menteri;
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Sewa; dan
mengembalikan objek Sewa dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Sewa. Pasal 23 (1) Jangka waktu Sewa atas BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Sewa diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Sewa.
Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 2 Pinjam Pakai Pasal 24 (1) Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Pinjam Pakai secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (3) Permohonan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
identitas Pemerintah Daerah selaku pemohon;
deskripsi BMN BMKT yang menjadi objek permohonan Pinjam Pakai;
peruntukan Pinjam Pakai; dan
jangka waktu Pinjam Pakai. (4) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Berdasarkan pada berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Pinjam Pakai kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Pinjam Pakai kepada Pemerintah Daerah. (7) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas Pemerintah Daerah, rincian objek Pinjam Pakai, peruntukan Pinjam Pakai, dan jangka waktu Pinjam Pakai; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (8) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Pinjam Pakai dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek.
Berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam hal:
permohonan Pinjam Pakai disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Pinjam Pakai tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan Pemerintah Daerah selaku pemohon. (10) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 25 (1) Pinjam Pakai oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat:
identitas BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai;
identitas Pemerintah Daerah yang menjadi peminjam pakai;
jangka waktu Pinjam Pakai;
kewajiban pemmJam pakai untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai selama jangka waktu Pinjam Pakai;
larangan kepada peminjam pakai untuk:
mengalihkan Pinjam Pakai; dan
menggunakan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai selain dari yang telah ditentukan dalam persetujuan Menteri;
pernyataan bahwa Pinjam Pakai tidak mengubah status kepemilikan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Pinjam Pakai. (3) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan; atau
Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Pemerintah Daerah selaku peminjam pakai membuat dan menandatangani Perjanjian Pinjam Pakai paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri diterbitkan. Pasal 26 Pemerintah Daerah selaku peminjam pakai:
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai; dan
mengembalikan objek Pinjam Pakai dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Pinjam Pakai. Pasal 27 (1) Jangka waktu Pinjam Pakai atas BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Pinjam Pakai diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Pinjam Pakai. (3) Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Penggunaan Sementara Pasal 28 (1) BMN BMKT dapat dilakukan Penggunaan Sementara. (2) Penggunaan Sementara dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga selain Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kemendikbudristek setelah mendapat persetujuan Menteri. (3) Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah status objek Penggunaan Sementara sebagai BMN BMKT. (4) Pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara dibebankan pada anggaran pihak yang melakukan Penggunaan Sementara. (5) Penggunaan Sementara dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. (6) Pihak yang melakukan Penggunaan Sementara wajib menyerahkan kembali BMN BMKT pada saat berakhirnya Penggunaan Sementara dalam kondisi baik. Pasal 29 (1) Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) mengajukan permohonan Penggunaan Sementara secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (2) Permohonan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan sementara BMN.
Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Berdasarkan pada berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Penggunaan Sementara kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Penggunaan Sementara kepada Kementerian/Lembaga selaku pemohon. (6) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas Kernen terian / Lembaga, rincian o bjek Penggunaan Sementara, peruntukan Penggunaan Sementara, dan jangka waktu Penggunaan Sementara; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (7) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Penggunaan Sementara dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek. (8) Berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal:
permohonan Penggunaan Sementara disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Penggunaan Sementara tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan Kementerian/ Lembaga selaku pemohon. (9) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 30 (1) Penggunaan Sementara oleh Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengguanaan sementara BMN, ditambah dengan:
larangan kepada pengguna sementara untuk:
mengalihkan Penggunaan Sementara; dan
menggunakan BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara selain dari yang telah ditentukan dalam persetujuan Menteri;
pernyataan bahwa Penggunaan Sementara tidak mengubah status kepemilikan BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Penggunaan Sementara. (3) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, atau b. Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Kementerian/Lembaga selaku pengguna sementara membuat dan menandatangani perjanjian Penggunaan Sementara paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri diterbitkan. Pasal 31 Kementerian/ Lembaga selaku pengguna sementara:
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKTyang menjadi objek Penggunaan Sementara; dan
mengembalikan objek Penggunaan Sementara dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Penggunaan Sementara. Pasal 32 (1) Jangka waktu Penggunaan Sementara BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 2 (dua) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Penggunaan Sementara diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Penggunaan Sementara. (3) Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kelima Penetapan Status Penggunaan Pasal 33 (1) Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT dilakukan oleh Menteri. (2) BMN BMKT yang menjadi objek Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi BMKT berupa ODCB dan BMKT berupa bukan ODCB.
Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap BMN BMKT yang digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 34 (1) Permohonan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diajukan secara tertulis oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon kepada Menteri melalui Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, disertai dengan dasar pertimbangan dan rencana peruntukan. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan Penetapan Status Penggunaan kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Penetapan Status Penggunaan dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon dengan tembusan Menteri. (5) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a. (6) Dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
permohonan disetujui, Menteri menerbitkan surat keputusan Penetapan Status Penggunaan; atau
permohonan ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon. (7) Surat keputusan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. (8) Surat keputusan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. Pasal 35 (1) Berdasarkan surat keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf a dilakukan serah terima BMN BMKT dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, kepada Menteri/Pimpinan Lembaga paling lama 1 (satu) bulan sejak surat keputusan Menteri ditetapkan, yang dituangkan dalam suatu berita acara serah terima. (2) Berdasarkan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Keenam Penghapusan Pasal 36 (1) Menteri Kelautan dan Perikanan dan Mendikbudristek dapat mengajukan permohonan Penghapusan BMN BMKT. (2) Tata cara Penghapusan BMN BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Ketujuh Penatausahaan Pasal 37 (1) Penatausahaan BMN BMKT meliputi pencatatan dan pelaporan. (2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
manual; dan/atau
elektronik melalui sistem aplikasi pendukung. Pasal 38 (1) Menteri Kelautan dan Perikanan serta Mendikbudristek melakukan pencatatan BMN BMKT dalam daftar BMN BMKT. (2) Pencatatan BMN BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara semesteran dan tahunan kepada Menteri. (3) Informasi perubahan daftar BMN BMKT, dicantumkan dalam laporan semesteran dan tahunan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan dalam pelaksanaan pengelolaan termasuk untuk pengawasan dan pengendalian BMN BMKT. BABV PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 39 (1) Direktur melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan atas BMN BMKT.
Direktur melaporkan hasil pengawasan dan pengendalian kepada Direktur J enderal. (3) Pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan atas BMN BMKT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 440), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 41 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Liquefied Petroleum ...
Relevan terhadap
bahwa untuk meringankan beban masyarakat, telah dialokasikan dana subsidi jenis bahan bakar minyak tertentu dan liquefied petroleum gas tabung 3 kilogram dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 98 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang mengatur pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Subsidi (BA 999.07) untuk subsidi energi;
bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, telah diatur jenis dan penghitungan subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu;
bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram, telah diatur jenis dan penghitungan subsidi liquefied petroleum gas tabung 3 kilogram yang didistribusikan kepada rumah tangga dan usaha mikro;
bahwa untuk efisiensi dan efektivitas anggaran subsidi subsidi jenis bahan bakar minyak tertentu dan liquefied petroleum gas tabung 3 kilogram, perlu pengaturan mengenai tata cara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran, dan pertanggungjawaban dana subsidi subsidi jenis bahan bakar minyak tertentu dan liquefied petroleum gas tabung 3 kilogram;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram;
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau wali kota bagi daerah kota.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur yang selanjutnya disingkat PT SMI adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana terakhir kali diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan ekonomi nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Pinjaman PEN Daerah adalah dukungan pembiayaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah berupa pinjaman untuk digunakan dalam rangka melakukan percepatan pemulihan ekonomi di Daerah sebagai bagian dari Program PEN.
Pinjaman Daerah Berbasis Program yang selanjutnya disebut Pinjaman Program adalah Pinjaman Daerah yang penarikannya mensyaratkan dipenuhinya Paket Kebijakan yang disepakati antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pinjaman Daerah Berbasis Kegiatan yang selanjutnya disebut Pinjaman Kegiatan adalah Pinjaman Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana tertentu yang menjadi kewenangan Daerah.
Paket Kebijakan adalah dokumen yang berisi program dan/atau kebijakan Pemerintah Daerah dalam rangka mendapatkan Pinjaman Program yang berkaitan dengan percepatan penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) pada aspek kesehatan, sosial, dan/atau percepatan pemulihan perekonomian di Daerah.
Perjanjian Pengelolaan Pinjaman adalah perjanjian atau nota kesepahaman antara Kementerian Keuangan dan PT SMI yang memuat kesepakatan mengenai pengelolaan Pinjaman PEN Daerah yang dananya bersumber dari Pemerintah dan PT SMI.
Perjanjian Pemberian Pinjaman adalah perjanjian antara PT SMI dengan Pemerintah Daerah yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman PEN Daerah.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan pengguna anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Pembuat Komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/PPSPM atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Subsidi Bunga Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung Program PEN yang selanjutnya disebut Subsidi Bunga adalah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah terhadap bunga pinjaman yang diberikan oleh PT SMI kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung Program PEN.
Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pengelolaan atas Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Subsidi Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5).
Dalam melaksanakan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut:
menetapkan kebijakan Pinjaman PEN Daerah;
menetapkan jangka waktu dan masa tenggang Pinjaman PEN Daerah untuk masing-masing Daerah;
menelaah besaran pencairan dana Pinjaman PEN Daerah untuk dilakukan pengelolaan oleh PT SMI; dan d. mengusulkan kepada Menteri Keuangan mengenai perubahan besaran Subsidi Bunga terkait dengan Pinjaman Daerah yang diberikan oleh PT SMI kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung Program PEN, yang dananya bersumber selain dari Pemerintah.
Kebijakan Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 10 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
PT SMI mengajukan surat permohonan pencairan dana pengelolaan Pinjaman PEN Daerah kepada KPA BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah untuk Pinjaman PEN Daerah dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dokumen pendukung yang terdiri atas:
salinan Perjanjian Pengelolaan Pinjaman;
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak PT SMI;
berita acara pencairan dana; dan
dokumen lainnya yang dipersyaratkan dalam Perjanjian Pengelolaan Pinjaman.
KPA BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah untuk Pinjaman PEN Daerah melakukan penelaahan terhadap dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah untuk Pinjaman PEN Daerah memerintahkan Pejabat Pembuat Komitmen menerbitkan SPP dan menyampaikan kepada PPSPM.
Berdasarkan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPSPM menerbitkan SPM dan menyampaikan SPM kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Dalam hal SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berdasarkan pengujian Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara telah memenuhi syarat, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara menerbitkan SP2D.
Tata cara pengujian SPP dan SPM, serta penerbitan SP2D berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan APBN atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Pencairan dana pengelolaan Pinjaman PEN Daerah dilakukan melalui mekanisme pemindahbukuan dari RKUN ke rekening PT SMI.
Pencairan dana pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan sekaligus atau bertahap sesuai dengan kesepakatan dalam Perjanjian Pengelolaan Pinjaman.
Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga Pasal 14A berbunyi sebagai berikut:
Penyelenggaraan Rumah Susun
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggaraan Rumah Susun adalah kegiatan perencanaan, pembangurlan, penguasaan dan pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan, pengendalian, kelembagaan, penclanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung ^jawab. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara Iungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satrtan yang masing- rnasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, temtama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, da 'tanah bersama. Rumah Susun U um adalah Rumah Susurn yalig diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rurnah Susun Khusus adalah Rurrlah Susun yang diselenggarakan untuk mernenuhi kebutuhan khusus. Rumah Susun Negara adalah Rumah Susun yang climiiiki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atarr hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri. Rumah Susrrn I(omersial adalah Rumah-Susun yang diselenggaral: a^r untuk mendapatkan keuntungan. Sl( No 0928 t4 A 7. Satuan 7. Satuan Rumah Susun ^yang selanjutnya ^disebut Sarusun adalah unit Rumah ^Susun yang ^tujuan utamanya digunakan secara terpisah ^dengan ^fungsi utama sebagai tempat hunian dan ^mempunyai sarana penghubung ke ^jalan umum. 8. Tanah Bersama adalah sebidang ^tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan ^yang digunakan ^atas ^dasar ^hak bersama secara tidak terpisah ^yang ^di ^atasnya ^berdiri Rumah Susun dan ditetapkan batasnya ^dalam persyaratan persetujuan bangunan ^gedung. 9. Bagian Bersama adalah ^bagian ^Rumah Susun ^yang dimiliki secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi ^dengan ^satuan- satuan Rumah Susun. 10. Benda Bersama adalah benda ^yang ^bukan ^merupakan bagian Rumah Susun melainkan ^bagian yang ^dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama. 11. Sertifikat Hak Milik Sarusun ^yang selanjutnya ^disebut SHM Sarusun adalah tanda ^bukti ^kepemilikan ^atas Sarusun di atas tanah hak milik, ^hak ^guna bangunan atau hak pakai di atas tanah ^negara, ^serta ^hak ^guna bangunan atau hak ^pakai di ^atas tanah ^hak pengelolaan. 12. Sertifikat Kepemilikan Bangunan ^Gedung ^Sarusun yang selanjutnya disebut SKBG Sarusun ^adalah tanda bukti kepemilikan atas Sarusun di ^atas barang ^milik negara/daerah berupa tanah atau ^tanah wakaf ^dengan cara sewa. 13. Nilai Perbandingan Proporsional ^yang ^selanjutnya disingkat NPP adalah angka ^yang ^menunjukkan perbandingan antara Sarusun terhadap ^hak ^atas Bagian Bersama, Benda Bersama, ^dan ^Tanah ^Bersama yang dihitung berdasarkan nilai Sarusun ^yang bersangkutan terhadap ^jumlah nilai ^Rumah ^Susun secara keseluruhan ^pada waktu ^pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga ^jualnya A. Dana . . ^.
Ditna Konversi adalah dana yang ber,rpa dana kelola atau dana hibah yang diperoleh dari pelakrr pembangunan sebagai alternatif kervajiban pembangunan rumah sederhana bersubsidi dalam pembanguo&r1 p€rumahan dengan hunian berimbang yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan konversi. 15. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya Cisingkat IVIBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli schingga p.'rlu mendapat dukungan pemerintah untuk mernperoleh Sarusun umum. 16. Pelaku Pembangunan Rumah Susun yang selanjutnya disebut Pelaku Pembangunan adalah setiap orang dan/atau pemerlntah yr.ng melakukan pembangLlnan bidang perumahan da,, ka'uvasan permukirnan. 17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atatr badan hukum. 18. Berdan Hrrkum adalah badan hukurn yang didirikan oteli ^tr',r.rga negara Indonesie ^.yang ,kegiatannya di bidang penyelenggaraan perurlahan dan kawasan permukiman. 19. Pemiiik adalah Setiap Orang yang memiliki Sarusun. 20. Penghuni aCalah orang yang menempati Sarusrrn, baik sebagai Pemilil< maLrprir, bukan Pemilik. 21. Pengelola adalah str adan Hukum yang bertugas untuk mengelola Rurqah Susun. 22. Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun yang selanjutnya'disingkat PPPSRS adalah Badan'Hukum yang beran3gotakan para Pemilik atau Penghuni. 2g. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankarr usaha dan/atau kegiatannva.
Percetujuarn 24. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah persetujuan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah luasan, fungsi dan klasifikasi bangunan gedung serta perubahan lainnya yang membutuhkan perencanaan teknis. 25. Pertelaan adalah pernyataan dalam bentuk gambar dan uraian yang dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan Rumah Susun yang disahkan oleh pemerintah daerah yang menunjukkan batas yang jelas dari setiap Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama beserta uraian NPP. 26. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 27. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 28. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap 1 lainnya
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar Disahkan di Ja}arta pada tanggal 5 Jan: uari 2022 ttd JOKO WTDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR l TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung ^jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. 2 Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2\ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 3 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. 4 Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
TKD TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. 5 Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiska1 sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber- sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Se1ain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. 6 Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.
Pengelolaan Belanja Daerah Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optima,l mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output danf alau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penJrusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang- Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja. 7 Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasdn. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan frskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defrsit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur. 8 Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan- pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan, contoh:
kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasa] 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Ayat (t) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Ma"ss Rapid. Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu alrtara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
Toko 2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup je1as. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggu.naannya. Hurufj Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud penggunaan Air pengambilan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. "pemanfaatan" adalah ^kegiatan di sumbernya tanpa dilakukan dengan Tanah Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup je1as. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 3O%o (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat 12) Cukup je1as. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 23 Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit. Ayat (9) Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup je1as. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu. 24 Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 111 Cukup je1as. Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan ^uprovinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasa1 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksterna-litas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup je1as. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan'kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 120 Bagian dari 9O%o (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;
kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;
kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan' kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas. Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geogralis dan perekonomian Daerah. Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK. Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot provinsil x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Provi = CF Provi ICF ^Prov dimana, CF Provinsil ICF ^Provinsi = Celah Fiskal untuk provinsil. = iumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi. Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota1 = Bobot kabupaten/kota1 x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. Ayat (2) CF Kab / Kotai Bobot Kab/Kota,= ^_Vp XatlXon dimana, CF kabupaten/kota.1 Celah Fiskal untuk kabupaten/kota1. jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. CF'kabupaten dan kota Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH. Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. 33 Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangu.nan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^ulokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah. Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 153 . Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Ayat (2) Cukup jelas. 40 Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (s) Cukup je1as. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cgclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
proyeksi penurunan pendapatan negara fDaerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan lagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan arggaran, dan pelaporan. Pasal L77 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian outputatas program-program prioritas nasional dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 180 Cukup ^jelas. Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas. 43 Pasal 186 Cukup ^je1as. Pasa1 187 Cukup ^jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal 190 Cukup ^jelas. Pasal 191 Cukup ^jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan an: tara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang. 1 3 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimalsud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan ralqrat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin petaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurLrs urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah unluk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. 11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah. 13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. 19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota. 20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolban kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digu.nakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, melipgti pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. 26. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu. 27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisq.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digu.nakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. 33. Pajak Bumi dan Bangu.nan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, darr / ^atau ^dimanfaatkan ^oleh orang ^pribadi ^atau ^Badan. 34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 36. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 7 37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan. 39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangu.nan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. 43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. 44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran. 46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 5 1. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta., dan collocalia linchi. 61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 64. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengu.rangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah. 72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. 73. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus. 74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urllsan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yoryakarta. 75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut. 77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran. 78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran berikutnya. 79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 80. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah. 83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok. Pasal 2 Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;
pengelolaan b. pengelolaan TKD;
pengelolaan Belanja Daerah;
pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan
pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional. Pasal 3 Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.