Pedoman Pelaksanaan Analisis Jabatan di Lingkungan Kementerian Keuangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016.
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah.
Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas Pendapatan Pajak Dalam Negeri dan Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional.
Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pendapatan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.
Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah semua penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam (SDA), pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya, serta pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada Kementerian Negara/Lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial.
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil ( outcome ) tertentu pada Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak sesuai kemampuan keuangan negara.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dana Perimbangan adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas Dana Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus.
Dana Transfer Umum adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah untuk digunakan sesuai dengan kewenangan daerah guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Transfer Khusus adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus, baik fisik maupun nonfisik yang merupakan urusan daerah.
Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria tertentu dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas pencapaian kinerja tertentu.
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan dalam APBN untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana yang dialokasikan dalam APBN untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dana Desa adalah dana yang dialokasikan dalam APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun- tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan Dalam Negeri adalah semua penerimaan pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri, yang terdiri atas penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, saldo anggaran lebih, hasil pengelolaan aset, penerbitan surat berharga negara neto, pinjaman dalam negeri neto, dikurangi dengan pengeluaran pembiayaan, yang meliputi alokasi untuk penyertaan modal negara, dana bergulir, kewajiban yang timbul akibat penjaminan Pemerintah, dan pembiayaan untuk dana pengembangan pendidikan nasional.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan.
Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA) tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.
Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya yang selanjutnya disingkat BPYBDS adalah bantuan Pemerintah berupa Barang Milik Negara yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh BUMN berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga atau pada BUMN.
Dana Investasi Pemerintah adalah dana untuk penyertaan modal negara, dan/atau dana bantuan perkuatan permodalan usaha yang sifat penyalurannya bergulir, yang dilakukan untuk menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah dana APBN yang dialokasikan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya dan dikelola secara korporasi, termasuk penyertaan modal kepada organisasi/lembaga keuangan internasional dan PMN lainnya.
Dana Bergulir adalah dana yang dikelola oleh BLU tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya.
Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya.
Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang secara potensial menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada BUMN dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam hal BUMN dan/atau BUMD dimaksud tidak dapat membayar kewajibannya kepada kreditur sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian jual beli dalam rangka melaksanakan proyek kerja sama Pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur.
Pembiayaan Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek dikurangi dengan penerusan pinjaman dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
Pinjaman Program adalah pinjaman luar negeri yang diterima dalam bentuk tunai di mana pencairannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati kedua belah pihak yaitu Pemerintah dan Pemberi Pinjaman, seperti matrik kebijakan atau dilaksanakannya kegiatan tertentu.
Pinjaman Proyek adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu Kementerian Negara/Lembaga, termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan dan/atau diterushibahkan kepada pemerintah daerah dan/atau BUMN.
Penerusan Pinjaman adalah pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah Pusat yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau BUMN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui Kementerian Negara/Lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara.
Tahun Anggaran 2016 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2016.
Pengujian Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ...
Relevan terhadap
dilaksanakan, sehingga Pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. - Berdasarkan dari pengertian pajak, sebagaimana diuraikan oleh banyak ahli. Intinya, harus dipenuhi beberapa unsur, yang ini sifatnya adalah compulsory payment . Pertama , pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya. Kedua , pungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana atau sumber daya dari sektor swasta atau wajib pajak, pembayar pajak ke sektor negara atau pemungut pajak, atau administrator pajak. Pungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan Pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun bangunan. Kemudian, tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan atau kontra prestasi individual oleh Pemerintah terhadap pembayar pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak. Berfungsi budgete r untuk mengisi kas negara atau anggaran negara yang diperoleh untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan. Pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial. - Sehubungan dengan tipologi pajak yang telah diuraikan di atas maka kewajiban pembayaran kepabeanan berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan oleh subjek hukum privat, baik itu orang ( natuurlijke persoon ) maupun badan hukum perdata ( rechtspersoon ) memiliki karakter sebagai pajak. - Pemungutan bea masuk adalah pemungutan pajak negara terhadap barang-barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean, atau impor, atau kegiatan pemasukan barang-barang yang melintasi batas wilayah negara atau pabean. Mengutip tesis Edi Sutarto dari Undip, ketentuan atau peraturan yang mengatur tentang pemungutan tersebut merupakan ketentuan perpajakan. Kewajiban kepabeanan yang memiliki karakter sebagai suatu pajak, tentunya memerlukan pengaturan dalam suatu norma hukum khusus yang bersifat komprehensif dalam Undang-Undang Kepabeanan. Namun sekaligus, norma hukum di bidang kepabeanan yang diatur di dalamnya harus bersifat koheren dan memiliki sinkronisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lain, khususnya di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 [Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28] ...
Relevan terhadap
_Pada saat peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini mulai berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21, Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2oo9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik 15 Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 49991); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang nomor 6 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 23 tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor _7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621; _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oo4 nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 7 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang- undang Nomor 3 tahun 2008 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 tahun 2oo4 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 _Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631; _ 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4438; _ 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara _Republik Indonesia Nomor 5679; _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan 16 Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), Dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini. 19. Bahwa berdasarkan pasal-pasal dalam Perppu a quo dan dihubungkan dengan hak konstitusional para Pemohon perseorangan adalah WNI pembayar pajak ( tax payer ) jelas terdapat hubungan sebab akibat terkait dengan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang salah satu sumbernya adalah pajak, sehingga ketika akan diubah seharusnya melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, serta memperhatikan hak-hak perseorangan WNI para Pembayar pajak khususnya dalam hal ini para Pemohon. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dengan kerugian Konstitusional untuk mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf 'a' angka 1, angka 2, dan angka 3, dan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terhadap __ Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 23A, Pasal 23E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 2 7 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. __ Alasan Permohonan Pengujian A. Pendahuluan Memasuki 3 bulan penanganan Covid-19 di Indonesia, beragam respon lintas kalangan telah memberikan pengaruh penting dalam tindakan hukum pemerintah. Disaat yang bersamaan, beragam instrumen hukum telah 17 digunakan dalam merespon keadaan bahaya darurat kesehatan ini. Dalam bidang Hukum Tata Negara, tidak hanya dipahami bahwa konstitusi hanya akan mengatur berjalannya negara dalam keadaan normal, namun juga akan mengatur bagaimana negara dalam keadaan darurat. Hal yang menarik adalah instrumen hukum dalam keadaan darurat tidak hanya hukum darurat itu sendiri (baca: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) melainkan juga berbagai macam Undang-Undang lain yang dimaksudkan untuk merespon keadaan darurat. Khusus keadaan darurat kesehatan. Instrumen hukum yang tersedia jelas adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kekarantinaan Kesehatan sendiri adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Karantina Kesehatan sendiri dimaksudkan untuk merespon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kedaruratan Kesehatan masyarakat sendiri adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden telah menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat melalui Kepres Nomor 11 Tahun 2020. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu Pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Para Pemohon setidak-tidaknya mempersoalkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terhadap tiga hal, yaitu pertama , Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu No 1 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Pasal-Pasal tersebut secara umum menurut para pemohon menegasikan makna kedaulatan rakyat dalam hakikat public revenue 18 and expenditure APBN. Kedua, Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menurut para Pemohon telah menciptakan kekuasaan yang melampaui batas dengan cara menjaminkan imunitas bagi para pejabat keuangan dan ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan hak konstitusional pemohon atas kepastian hukum yang adil. Ketiga , Pasal 28 Perppu No 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa pada Pasal 28 Perppu No 1 Tahun 2020, terdapat 12 undang-undang yang beberapa ketentuan yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam Perpu Nomor. 1 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, tetapi sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. Artinya, dengan Perpu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang- undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 yang telah menentukan syarat objektif untuk melahirkan perppu. Guna memperluas khazanah, maka diuraikan komparasi kebijakan hukum dalam penanggulangan Covid-19 di berbagai negara yang menurut berapa media internasional dianggap berhasil dan tanggap dalam menanggulangi Covid-19. Dalam konteks ini perbandingan yang dimaksud adalah apakah negara tersebut menggunakan (menerapkan) keadaan dan/atau hukum darurat atau justru mengoptimalisasikan instrumen hukum yang telah ada. Taiwan Sejak tanggal 31 Desember 2019, Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan (CDC) telah melaporkan Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) di bawah 19 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejak saat itu, Taiwan sudah memprakarsai langkah-langkah pencegahan epidemi COVID-19. Hingga tanggal 19 April 2020, banyak mendorong penggunaan hukum darurat, semacam perppu di Indonesia, sesuai dengan Pasal 2 (3) dari Artikel Tambahan dari Konstitusi Republik Tiongkok Taiwan yang berbunyi: " The president may, by resolution of the Executive Yuan Council, issue emergency decrees and take all necessary measures to avert imminent danger affecting the security of the State or of the people or to cope with any serious financial or economic crisis, the restrictions in Article 43 of the Constitution notwithstanding. However, such decrees shall, within ten days of issuance, be presented to the Legislative Yuan for ratification. Shoulsd the Legislative Yuan withhold ratification, the said emergency decrees shall forthwith cease to be valid.” Namun, hingga saat ini Taiwan masih belum memberlakukan dan menerbitkan keadaan dan hukum darurat. Hal ini ditenggarai oleh tiga alasan, Pertama, Taiwan telah belajar dari pengalaman buruk penanganan SARS tahun 2002, pada masa itu Taiwan menerbitkan UU Darurat Sars yang diberlakukan dari tanggal 15 Maret 2003 hingga 31 Desember 2004. Sejak saat itu kemudian Taiwan memiliki undang-undang pengendalian penyakit menular ( Communicable Disease Control Act ). Undang-Undang ini telah beberapa kali diamandemen dan terakhir tahun 2019, segala macam tindakan kedaruratan kesehatan serta prosedurnya diatur lengkap. Kedua , di tepatnya 13: 56 pada 25 Februari 2020, Parlemen Taiwan telah mengeluarkan Undang-Undang untuk Tindakan Pencegahan, Pertolongan dan Revitalisasi untuk Corona Virus Dieses -19 (selanjutnya disebut UU-Covid 19). Interval antara berlakunya dan diundangkan hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Undang-undang ini berlaku mulai 15 Januari 2020 hingga 30 Juni 2021. Setelah tanggal kedaluwarsanya, jangka waktu Undang-Undang ini dapat diperpanjang dengan persetujuan Parlemen. Meskipun tidak ada batasan waktu untuk perpanjangan, UU tersebut tidak mungkin diperpanjang dari pengalaman dalam mengimplementasikan UU SARS. Dalam hal prosedur legislatif dan efektivitas peraturan, Undang-Undang Khusus COVID-19 memiliki efek yang setara dengan penerbitan keputusan darurat. Ketiga, terdapat penafsiran Mahkamah Konstitusi Taiwan dalam Putusan No JY 2002 No. 543, yang menyatakan: “penerapan hukum darurat harus bersifat sontak segera dan detil sehingga tanpa butuh dukungan peraturan tambahan yang bersifat petunjuk teknis.” Selain itu, Mahkamah Konstitusi 20 Taiwan menegaskan bahwa diperlukan adanya ratifikasi parlemen sebelum hukum darurat tersebut dinyatakan berlaku. Jerman Hingga medio April 2020, 120,000 kasus Covid-19 melanda Jerman. Sedari awal Pandemi Covid-19 menerpa perdebatan muncul tentang apakah keadaan darurat dapat diumumkan untuk digunakan. Sesungguhnya Konstitusi federal Jerman ( Grundgesetz ) telah mengatur dan menyediakan pengaturan mengenai kekuasaan dalam keadaan darurat di beberapa pasal seperti Pasal 12a III-VI, 53a, 57a, 87a, 91, dan Pasal 115a. Meskipun tersedia instrumen tersebut, namun sejarah kelam penggunaan kekuasaan darurat menurut konstitusi di Jerman tidak dapat dihindari. Khususnya apa yang pernah terjadi merujuk kepada insiden penggunaan kekuasaan darurat menurut Pasal 48 Konstitusi Weimar pada kasus Kebakaran Reichstag (gedung parlemen) pada tahun 1933. Pada masa itu, Hitler meyakinkan Presiden Von Hindenburg untuk menggunakan Pasal 48 Konstitusi Weimar, yang memberikan kekuasaan diktator presiden kepada Hitler membuat undang-undang untuk semua negara teritorial Jerman. Hitler dan kabinet dengan cepat membuat Keputusan yang lebih permanen dan luas untuk Perlindungan Rakyat dan Negara (dikenal sebagai Keputusan Kebakaran Reichstag ), yang menangguhkan hak untuk berkumpul, kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan perlindungan konstitusional lainnya. Apabila merujuk kepada kekuasaan darurat di Jerman menurut Pasal 91 Konstitusi Jerman, maka hanya keadaan darurat internal hanya dapat dideklarasikan apabila “order to avert an imminent danger to the existence or free democratic basic order of the Federation or of a Land”. Kondisi Covid-19 jelas tidak termasuk keadaan mengancam demokrasi, sehingga hingga saat ini tidak ada hukum darurat semacam perppu di Indonesia yang diterbitkan. Namun, meskipun persyaratan untuk deklarasi keadaan darurat internal tidak terpenuhi sebagaimana Pasal 91 Konstitusi Federal Jerman, saat ini Bundeswehr (militer Federal) dikerahkan di 14 dari 16 Länder . Sebagai bagian dari misi sipil, Bundeswehr membantu para dokter, staf perawat, dan peralatan medis yang dibutuhkan. Misi ini didasarkan pada Pasal 35 ayat 1 Konstitusi Federal Jerman yang mengatur tata administrasi dan segala bantuannya dalam keadaaan bencana yang mewajibkan semua federal dan otoritas pertahanan 21 untuk memberikan bantuan administrasi, hukum dan pertanahan. Oleh karena itu, semua otoritas Federasi serta Länder dapat meminta Bundeswehr untuk dukungan teknis-logistik, yang Länder dibutuhkan. Menurut beberapa ahli, saat ini Bundeswehr sedang menjalankan misi terbesarnya sejak didirikan pada tahun 1955. Namun, Artikel 35 ayat (1) Konstitusi Jerman tidak mencakup misi bersenjata, sehingga, bahkan pada masa Covid-19, kompetensi Bundeswehr terbatas. Jerman tidak melahirkan hukum darurat, namun parlemen tetap bekerja seperti biasa dan melahirkan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk melindungi dampak ekonomi Covid-19 seperti penambahkan Pasal 240 dalam Pembukaan KUHPER ( Einführungsgesetz zum Bürgerlichen Gesetzbuche ) Jerman. Pasal ini memuat ketentuan untuk melindungi penyewa yang tidak bisa lagi membayar sewa karena krisis. Secara bersamaan, Bundestag (Parlemen Federal) mengadopsi paket bantuan terbesar dalam sejarah Jerman. Selain itu untuk membangun perlindungan bagi karyawan, wiraswasta dan bisnis dengan menerbitkan bantuan pinjaman baru dengan total sekitar 156 miliar Euro . Korea Selatan Korea Selatan dihitung sebagai salah satu negara yang "sangat terpukul" oleh penyebaran Covid-19 yang muncul dari Wuhan, Cina. Menurut data terbaru Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC), medio akhir Maret 2020, Korea Selatan telah melaporkan lebih dari 8.900 kasus dan 111 kematian. Namun sejak tanggal 3 Maret 2020, Presiden Korea merasa tidak perlu menetapkan keadaan darurat atau kekuasaan darurat. Tindakan yang justru diambil adalah menunjuk Tim Penanggulangan Bencana dan Keselamatan ( Central Disaster and Safety Countermeasure Headquarters ), dan dukungan dari fasilitas militer cukup untuk mengamankan tempat tidur untuk pasien yang dikonfirmasi Covid-19. Apabila merujuk kepada Konstitusi Korea Selatan, maka dapat dipahami bahwa ada dua jenis keadaan darurat menurut Pasal 76 Konstitusi Korea Selatan dan produk hukumnya yaitu "perintah keuangan darurat" (Pasal 76 (1) Konstitusi Korea Selatan) dan "perintah darurat" (Pasal 76 (2) Korea Selatan) selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Art. 76 (1) Konstitusi Korea Selatan: “In time of internal turmoil, external menace, natural calamity or a grave financial or economic crisis […] the President may take in respect to them the minimum necessary financial and economic actions or issue orders having the effect of 22 Act, […] only when […] there is no time to await the convocation of the National Assembly.” : Art. 76 (2) hanya akan diadopsi dalam situasi berikut: “In case of major hostilities affecting national security […] the President may issue orders […] only when […] it is impossible to convene the National Assembly.” Saat ini beberapa regulasi yang berlaku di Korea terkait penangan Covid- 19 antara lain:
UU Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular, 2. UU Pengelolaan Bencana dan Keselamatan, 3. UU Kekarantinaan, 4. UU Kesehatan Masyarakat Daerah, dan 5. UU Pencegahan Acquired Immunodeficiency Syndrome (UU AIDS) UU Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular ( Infectious Disease Control and Prevention Act (IDCPA), No. 14286, diubah pada 2 Desember 2016 dalam bahasa Inggris, dan versi terbaru di Korea, yang telah diamandemen pada 4 Maret 2020) adalah undang-undang paling relevan yang berlaku mengenai wabah COVID-19 yang meledak di Korea Selatan. IDCPA memberikan pemerintah sarana yang sangat spesifik untuk mendistribusikan sumber daya dan memobilisasi dan merangsang berbagai pelaku di seluruh masyarakat dalam upaya untuk memerangi penyebaran penyakit menular. UU lahir dari keterpukulan Korea Selatan akibat mewabahnya penyakit Middle East Respiratory Syndrome (MERS) Tahun 2015 lalu. Pada pokoknya UU ini bahkan mengatur konsekuesni ekonomi yang timbul akibat mewabahnya suatu penyakit. Kanada Hingga saat ini, kanada belum menyatakan keadaan darurat federal dalam hal merujuk kepada UU Darurat Tahun 1985. Setidaknya ada 4 alasan: Pertama, kesehatan adalah yurisdiksi provinsi dalam sistem federal Kanada, dan provinsi telah menggunakan wewenang hukum mereka untuk memaksakan keadaan darurat tingkat provinsi yang hanya bervariasi dalam detail kecil. Kedua, UU federal mengenai Karantina Kesehatan tahun 2005 sudah memberikan kekuasaan darurat yang luas kepada pemerintah. Pada tanggal 25 Maret 2020 Menteri Kesehatan Kanada mengumumkan Perintah Darurat di 23 bawah UU yang mengharuskan setiap orang yang memasuki Kanada melalui udara, laut atau darat diwajibkan mengisolasi diri selama 14 hari untuk memastikan apakah mereka memiliki gejala Covid-19. Hukuman pelanggaran ketentuan tersebut adalah denda hingga $ 750.000 dan/atau penjara hingga enam bulan. Hukuman meningkat bagi siapa saja yang dengan sengaja atau sembrono menyebabkan risiko kematian yang akan segera terjadi atau cedera tubuh yang serius terhadap orang lain yang bertentangan dengan Undang- undang atau peraturan yang dibuat di bawahnya. Ketiga, ada faktor budaya yang berperan. Kanada memiliki sistem kesehatan masyarakat yang berfungsi dengan baik. Tingkat kepercayaan pada para ahli kesehatan masyarakat, sehingga bahkan para perdana menteri provinsi yang telah menggoda dalam beberapa tahun terakhir dengan politik populis gaya Trump namun kehendak tersebut akhirnya diurungkan, Kanada banyak belajar dari pengalaman mereka dalam menghadapi SARS di tahun 2002. Keempat, struktur yuridis __ UU Darurat, dipahami dalam konteks politik dan hukumnya, yang harus membuat pemerintah federal ragu untuk menerapkannya. Pembukaan Undang-Undang ini mencerminkan fakta bahwa undang-undang itu diberlakukan tiga tahun setelah Charter of Rights and Freedoms menjadi bagian dari tatanan konstitusional Kanada: AND WHEREAS the Governor in Council, in taking such special temporary measures, would be subject to the Canadian Charter of Rights and Freedoms … and must have regard to the International Covenant on Civil and Political Rights , particularly with respect to those fundamental rights that are not to be limited or abridged even in a national emergency Undang-Undang ini tidak hanya tunduk pada komitmen penghormatan terhadap hak domestik dan internasional Kanada, tetapi Bagian 3 menetapkan bahwa 'darurat nasional' dapat dinyatakan hanya jika ada 'situasi darurat dan kritis yang bersifat sementara yang: (a) sangat membahayakan kehidupan, kesehatan atau keselamatan warga Kanada dan memiliki proporsi atau sifat seperti melebihi kapasitas atau wewenang provinsi untuk menghadapinya, atau 24 (b) secara serius mengancam kemampuan Pemerintah federal kanada untuk menjaga kedaulatan, keamanan dan integritas wilayah dan itu tidak dapat secara efektif ditangani berdasarkan hukum Kanada lainnya. Jika keadaan darurat diumumkan, maka menjadi 'Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat' yang berakhir pada akhir sembilan puluh hari kecuali jika diteruskan sesuai dengan Undang-Undang. Bagian 8 (3) (a) menyatakan bahwa wewenang berdasarkan Undang-Undang ini akan dilaksanakan atau dilakukan:
dengan cara yang tidak mengganggu kemampuan provinsi mana pun untuk mengambil tindakan, berdasarkan Undang-undang parlemen di Provinsi, dan b. dengan pandangan untuk mencapai tindakan secara bersama-sama dengan masing-masing provinsi. Bagian 10 mengatur bahwa Parlemen dapat mencabut deklarasi darurat kesejahteraan publik. Bagian 58 mensyaratkan bahwa penjelasan tentang alasan deklarasi, termasuk konsultasi dengan provinsi (diamanatkan oleh Bagian 14), harus diletakkan di depan kedua Gedung Parlemen dalam waktu tujuh hari duduk dari deklarasi, sementara Bagian 59 mengizinkan sejumlah kecil anggota dari salah satu DPR mengajukan mosi agar deklarasi dicabut. Bagian 62 mensyaratkan bahwa komite bersama dibentuk untuk meninjau 'kinerja tugas dan fungsi sesuai dengan deklarasi darurat'. Singkatnya, UU Keadaan Darurat di Kanada tidak dipilih sebagai instrumen hukum dikarenakan prinsipnya tidak memberikan “kekebalan hukum” dan secara politis dikarenakan pengaturannya yang sangat ketat, lalu keharusan tidak melanggar piagam hak asasi manusia. Selain itu, bagaimana bagi pemerintah Kanada bagaimana konstruksi hukum darurat ketika Parlemen dan pengadilan tidak mampu beroperasi sebagaimana mestinya Bahkan upaya pemerintah federal untuk mengusulkan adanya undang-undang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk membelanjakan, meminjam, dan pajak tanpa persetujuan Parlemen sampai Desember 2021, urung dilakukan dikarenakan resistensi parlemen yang tinggi di Kanada. Selandia Baru Lain halnya dengan yang terjadi di Selandia Baru, dalam menanggulangi Covid 19. Keadaan darurat nasional telah dinyatakan pada jam 12: 21 PM pada 25 tanggal 25 Maret 2020. Sebelum berbicara mengenai hukum darurat di Selandia baru, maka penting untuk diketahui bahwa di Selandia Baru memiliki panduan (non regulasi) mengenai sistem deteksi darurat Covid-19 berjenjang. Sistem ini memiliki 4 Jenjang (level) yaitu jenjang persiapan (level 1), jenjang meminimalisir (level 2), jenjang pelarangan (level 3) dan jenjang penguncian (level 4). Setiap jenjang ini memiliki dampak dan jangkauan peran pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Sejak Jam 11: 59 PM, 27 April 2020, Pemerintah Selandia Baru telah menetapkan jenjang pelarangan (level 3). Kembali kepada keadaan darurat sebagaimana diuraikan diatas, Ketentuan Keadaan darurat nasional diatur dalam UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat tahun 2002 ( Civil Defence Emergency Management Act 2002). Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat mengatur bahwa Perdana Menteri menunjuk Direktur Pertahanan Sipil Darurat yang bertugas untuk mengoordinasikan respons nasional, serta memungkinkannya untuk mengerahkan berbagai arahan darurat dan kekuatan permintaan (yang belum digunakan). Menurut UU Manajemen Pertahan Sipil Darurat Tahun 2002, Keadaan darurat ini perlu diperbarui setiap 7 hari tetapi telah diperbarui sekali dan diharapkan akan berulang kali untuk periode yang signifikan. Sejauh ini keadaan darurat telah terus diperpanjang selama pertama pada 9: 27am tanggal 31 Maret 2020, kedua kalinya pada 9: 25am tanggal 2 April 2020, ketiga kalinya pada 12: 21pm tanggal 8 April 2020, keempat kalinya pada 12: 21pm tanggal 15 April 2020, kelima kalinya, pada 12: 21pm tanggal 22 April 2020, keenam kalinya pada 12: 21pm tanggal 29 April 2020 hingga akan diperpanjang untuk ketujuh kalinya pada 12: 21 pm pada hari Rabu 6 Mei 2020 kecuali dinyatakan sebaliknya. Di saat penerapan UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat tahun 2002, penanggulangan Covid-19 juga dilakukan penerapan UU Kesiapan Penanggulangan Epidemi Tahun 2006 ( Epidemic Preparedness Act 2006). Penggunaan instrumen hukum ini memiliki sejumlah konsekuensi: (a) petugas medis kesehatan diberdayakan untuk menggunakan berbagai kekuasaan darurat khusus; (b) menteri dapat mengaktifkan (dan telah mengaktifkan) sejumlah ketentuan darurat spesifik yang tersebar di seluruh undang-undang jaminan sosial, imigrasi, hukuman dan pembebasan bersyarat; dan (c) menteri dapat mengeluarkan pemberitahuan untuk 'memodifikasi' persyaratan atau 26 pembatasan kekuasaan yang telah diatur dalam undang-undang. Kekuasaan ini merupakan Konvensi kekuasaan Henry VIII, namun sejauh ini hanya diminta sekali. Hal ini disebabkan tradisi waspada terhadap penggunaannya. Berdasarkan Pasal 70 huruf m UU Kesehatan Tahun 1956 sesungguhnya telah mengatur mengenai kewenangan Menteri Kesehatan untuk langsung me- “ lockdown ”. Kewenangan ini termasuk didalamnya mengkarantina tempat- tempat strategis dan vital seperti pertokoan, tempat ibadah, sekolah, namun dikecualikan pengadilan. Bahkan terkait dengan Pasal 70 UU Kesehatan, Polisi diberikan kewenangan khusus berdasarkan Pasal 71A UU Kesehatan dan Pasal 91 UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat untuk membantu, meminta dan mengarahkan dalam penanggulangan darurat kesehatan. Dalam merespon persoalan, ekonomi, Selandia Baru mengeluarkan beberapa kebijakan seperti pertama, stimulus dunia usaha dan kesejahteraan masyarakat senilai $12 Milyar; kedua, Rancangan UU APBN-P yang membolehkan penambahan anggaran penganan Covid-19 senilai $52 Milyar; dan (c) amandemen beberapa perundang-undangan dibidang kesejahteraan seperti sewa-menyewa, keuangan pusat dan daerah, pendidikan and Informasi Publik, untuk mengatasi beberapa masalah mendesak yang disebabkan oleh gangguan Covid-19. Berdasarkan uraian diatas, maka disimpulkan bahwa pada umumnya tidak terdapat negara yang dinyatakan berhasil menggunakan instrumen hukum daruratnya. WHO melalui artikel resminya yang berjudul “ How to budget for COVID-19 response? a rapid scan of budgetary mechanisms in highly affected countries ” penulis, Hélène Barroy, Ding Wang, Claudia Pescetto, and Joseph Kutzin. Mengemukakan bahwa every country must develop specific processes for allocating budget funds to the response . Selanjutnya rekomendasi yang diusulkan antara lain adalah: 1. Using existing budgetary flexibility and exceptional spending procedures to fund first measures 2. Accelerating revision of finance laws to secure a budget for the response through expenditure earmarkin 3. Releasing public funds to frontline service providers timely and facilitating expenditure tracking 27 Berdasarkan rekomendasi yang diusulkan tersebut, diakhir kesimpulannya artikel tersebut menyebutkan Ensuring an appropriate balance between flexibility and accountability is relevant now more than ever under these exceptional circumstances. Governments and legislature need to ensure sufficient budgetary funds, by reprogramming existing spending and earmarking additional funds. Apabila merujuk kepada instrumen hukum yang ada, maka semuanya telah memadai. Apabila menghendaki fleksibilitas untuk merespon dampak Covid-19, maka Pasal 27 ayat (3), dan ayat (4) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; Opsi yang diambil melalui Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan hak konstitusional para pemohon melalui DPR untuk membahas setiap rupiah dalam APBN sebagai representasi kedaulatan rakyat. apalagi kemudian, instrumen hukum yang ada saat ini yaitu adalah UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana masih berlaku dan dapat dioptimalkan. Disaat yang bersamaan kehadiran Pasal 27 dan 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah menunjukan bahwa adanya hak imunitas dan pengenyampingan hukum yang berlaku, ini berdampak kepada dilanggarnya hak konstitusionalitas para Pemohon khususnya Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, selanjutnya dijelaskan secara detil alasan-alasan hukum sebagaimana diurai diatas sebagai berikut: 28 B. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 1. Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pendemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, dimaksudkan untuk menanggulangi dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menurut pandangan Pemerintah telah menciptakan keadaan ‘kegentingan yang memaksa’ terhadap 2 (dua) segi kehidupan sekaligus, yakni dalam hal keselamatan Jiwa Warga Negara dan Perekonomian Nasional. Akan tetapi secara materi muatan, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara spesifik hanya memuat tentang berbagai kebijakan dalam rangka penyelamatan perekonomian Negara, yang secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni Kebijakan Keuangan Negara disatu sisi dan Stabilitas Sistem Keuangan disisi yang lain;
Bahwa salah satu Kebijakan Keuangan Negara yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020, adalah memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% (tiga persen) Produk Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3: (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang: _ a. Menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. Melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama samapai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. Sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan , 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 29 3. Bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 di atas, adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menentukan: Pasal 23 (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk _sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ (2) Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan _Perwakilan Daerah; _ (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. 4. Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah Kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authorize public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;
Bahwa sejak Negara Indonesia didirikan oleh para Pendiri Bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘Kedaulatan berada di 30 tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’ . Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ , maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’ ;
Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan Undang- Undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Brotu (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Brotu (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;
Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );
Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan 31 prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;
Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;
Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T-account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan 32 kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:
Pendapatan;
Belanja;
Keseimbangan Primer;
Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;
Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;
Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri; __ 33 14. Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alasan: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;
Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945;
Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;
Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi 34 berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedapan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;
Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;
Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaualatn rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’; 35 22. Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:
Pasal 2 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’; 36 c. Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Aanggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu No. 1 Tahun 2020.
Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;
Bahwa di samping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan Undang-Undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran Negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik , yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’ . Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodic merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;
Bahwa unsur Periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan Undang-Undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut- turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka 37 pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodik’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) Tahun Anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena 3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis Peraturan Perundang- Undangn yang bernama Undang-Undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang- Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;
Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka (1), angka (2), dan angka (3) Perppu No. 1 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan Perppu yang memang sama sekali tidak dikenal 38 dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran;
Bahwa berdasarkan ketentuan diatas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan Undang-Undang APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebih dahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai 39 esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) Undang-Undang APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam Undang-Undang APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam Keselamatan Jiwa atau Keutuhan Negara, seperti Darurat Kesehatan akibat virus Covid- 19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam Undang-Undang APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah Virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh Undang-Undang Keuangan Negara;
Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyususn Anggaran Negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi 40 pelaksanaan Perpu untuk kebal dari segala perbuatan melanggar hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara perdata, pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu: Pertama , Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; Ketiga , Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Perpu Nomor 1 tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. hadirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah Covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perppu ini. Sebab DPR masih bersidang, belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan Ibukota Negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-Undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945, juga tidak memiliki urgensi kegentingan yang memaksa sebagai 41 prasyarat penerbitkan sebuah Perppu sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. C. Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut: Pasal 27 (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang- undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu aspek makna negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang- wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang- cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan 42 ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era Common Law yaitu raja tidak dapat salah ( King can do no wrong ). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 ayat 1 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda 43 paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat-pejabat tertentu.
Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat Maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang menyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga-rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ” Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” ; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “ hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan 44 Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Perpu Nomor 4 Tahun 2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perpu Nomor 4 Tahun 2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya Dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi undang- undang. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan 45 Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F- Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi undang-undang. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.
Bahwa sebagaimana terurai diatas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. D. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemerintah, dalam hal ini Presiden memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 untuk menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa; 46 2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU- VII/2009, dalam pertimbangan Mahkamah pada halaman 19, telah memberikan kriteria diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Mahkamah telah berpendapat tiga syarat diperlukan adanya suatu Perpu adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, apabila:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Bahwa Pembentukan Perpu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dibolehkan ketika negara sedang menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa. Namun demikian, hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak memiliki arah yang jelas, yaitu apakah hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut terkait dengan ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut adalah penanganan pandemi Covid-19; Muatan materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 terdiri dari 6 bab, tetapi tidak ada satu bab pun terkait dengan penanganan Pandemi Covid-19: Bab I. Ruang Lingkup Bab II. Kebijakan Keuangan Negara yang terdiri dari (1) Penganggaran dan Pembiayaan (2) Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah (3) Kebijakan di bidang Perpajakan (4) Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (5) Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara (6) Pelaporan _Bab III. Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan, terdiri dari: _ (1) Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan 47 (2) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Bank Indonesia (3) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (4) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (5) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Pemerintah Bab IV. Ketentuan Sanksi Bab V. Ketentuan Penutup. 4. Bahwa Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 justru memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 Undang-Undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut. Ke- 12 Undang-Undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. Artinya, dengan Perpu ini, ketentuan pasal- pasal yang tersebut dalam ke-12 Undang-Undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir.
Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:
ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;
Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oo4 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;
Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438; 49 g. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;
Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan
Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja 50 Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410).
Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk Undang-Undang APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 Undang-Undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 Undang-Undang, yaitu Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, juga tidak memiliki urgensi kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat penerbitkan sebuah Perppu sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Bahwa Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “ Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; Undang-Undang yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) Undang-Undang tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009. 51 8. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Namun, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini ditetapkan hanya dengan mengingat ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 berada dalam rezim hukum dalam keadaan biasa, bukan rezim hukum keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Bahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga sama sekali tidak dikaitkan dengan atau dalam rangka pelaksanaan Pasal 12 UUD 1945 itu. Artinya, meskipun materi yang diaturkan berkenaan dengan pengggulangan bencana dan mengenai keadaan darurat kesehatan, tetapi tetap saja keduanya ditetapkan tidak dalam konteks kondisi negara dalam keadaan darurat bahaya sebagaimana sudah ditentukan dalam Pasal 12 UUD 1945. Oleh karena itu lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) Undang-Undang tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.
Apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam Mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya di antaranya sebagai berikut:
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang di haramkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu 52 sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang beresiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al- Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya . Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar- benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekadar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya diatasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang 53 diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.
Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 34) Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 54 Bahwa apabila merujuk lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 Undang-Undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat dikarenakan Pasal 28 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020.
Bahwa berdasarkan uraian diatas jelas telah Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah membuat Presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Bahwa berdasarkan uraian diatas, Para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Petitum Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk Seluruhnya; 55 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-26 sebagai berikut:
Bukti P-1 : KTP M. Sirajuddin Syamsuddin;
Bukti P-2 : KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;
Bukti P-3 : KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;
Bukti P-4 : KTP dan NPWP Marwan Batubara;
Bukti P-5 : KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;
Bukti P-6 : KTP dan NPWP Taufan Maulamin;
Bukti P-7 : KTP dan NPWP Dr. Syamsulbalda, SE., MM., MBA;
Bukti P-8 : KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;
Bukti P-9 : KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;
Bukti P-10 : KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, S.E., M.Si.;
Bukti P-11 : KTP Darmayanto;
Bukti P-12 : KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji, M.Sc.;
Bukti P-13 : KTP Indra Wardhana;
Bukti P-14 : KTP dan NPWP Abdullah Hehamahua; 56 15. Bukti P-15 : KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;
Bukti P-16 : KTP Agus Muhammad Mahsum;
Bukti P-17 : KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H.;
Bukti P-18 : KTP Bambang Soetedjo;
Bukti P-19 : KTP Dr. Ma’mun Murod;
Bukti P-20 : KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;
Bukti P-21 : KTP dan NPWP Masri Sitanggang, Dr., Ir., MP.;
Bukti P-22 : KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;
Bukti P-23 : KTP dan NPWP Muslim Arbi;
Bukti P-24 : KTP dan NPWP Roosalina Berlian;
Bukti P-25 : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8) 26. Bukti P-26 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Presiden diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan 20 Mei 2020 yang pada pokoknya mengemukakan bahwa:
Dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Sidang III Tahun Sidang 2019-2020, pada Selasa, 12 Mei 2020, DPR memberikan persetujuan terhadap RUU tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang;
Presiden, pada 16 Mei 2020, menetapkan (menandatangani) RUU tersebut dan selanjutnya diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 18 Mei 2020 sebagai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam 57 Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516). Untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020 perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. [2.4] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 58 Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disebut Perpu 1/2020) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah perlu mengutip kembali Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, sebagaimana telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014. Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang dalam pertimbangannya, antara lain, pada paragraf [3.13] menyatakan, “...Perpu _melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: _ (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang- Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang- Undang”. [3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan dalam permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 yang pada saat pengajuan permohonan dan pada sidang pertama Mahkamah dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Perpu 1/2020 belum disetujui atau tidak disetujui oleh DPR maka Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu 1/2020. Kedudukan Hukum para Pemohon [3.4] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), oleh karena Mahkamah telah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang menguji konstitusionalitas Perpu maka ketentuan tentang kedudukan hukum para Pemohon dalam pengujian 59 konstitusionalitas undang-undang juga berlaku dalam pengujian konstitusionalitas Perpu; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang, in casu Perpu, terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 60 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 27; dan Pasal 28 yang menyatakan: Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.
Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194 ...
Relevan terhadap
Daerah (APBD) mayoritas daerah di Indonesia masih sangat kecil (7% - 8%), maka PAD tersebut masih perlu ditingkatkan, karena sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa di dalam sistem pemerintahan otonomi daerah dan kerangka kebijakan desentralisasi fiskal daerah diharapkan mampu mengupayakan kemandirian keuangan daerahnya, agar daerah dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya sendiri dan otonomi daerah akan dapat terlaksana secara lebih nyata dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, apabila permohonan pengujian ini dikabulkan, yang artinya pajak daerah (Pajak Hiburan) atas pusat kebugaran ( fitness center ) dihapuskan, maka setidaknya akan membawa dampak/konsekuensi berkurangnya sumber penerimaan pemerintah daerah, terhambatnya proses desentralisasi fiskal, tidak terlaksananya prinsip keadilan dalam pembagian beban pajak, terhambatnya proses pemerataan kesejahteraan masyarakat di daerah, serta meningkatnya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pusat, yang sama artinya dengan mengurangi tingkat kemandirian daerah. V. KETERANGAN AHLI DAN SAKSI PEMERINTAH DAN TANGGAPAN PEMERINTAH ATAS KETERANGAN AHLI PARA PEMOHON A. KETERANGAN SAKSI DAN AHLI PEMERINTAH Terhadap keterangan para Saksi dan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah pada proses persidangan, dapat Pemerintah simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. KETERANGAN SAKSI-SAKSI PEMERINTAH Sehubungan dengan keterangan saksi-saksi Pemerintah yaitu Iwan Setiawandi dan Suhartojo, dapat Pemerintah sampaikan bahwa keterangan-keterangan saksi-saksi tersebut pada pokoknya menyampaikan bahwa pungutan Pajak Hiburan atas pusat kebugaran ( fitness center ) di masing-masing daerah (Prov. DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Surabaya) berjalan dengan baik, selain itu para Saksi juga menyampaikan bahwa pungutan Pajak Hiburan atas pusat kebugaran ( fitness center ) merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam Pendapatan Asli Daerah di masing-masing daerah. Terkait dengan kesaksian Iwan Setiawandi, selaku Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta yang pada pokoknya
Selain itu, aspek keadilan vertikal juga dikaitkan dengan kemampuan subjek/wajib pajak untuk membayar pajak. Artinya, dari sudut pandang keadilan vertikal, wajib pajak yang lebih mampu diperlakukan berbeda (dikenai pajak yang lebih tinggi) dari wajib/subjek pajak yang kurang mampu. Karena wajib/subjek pajak dari pusat kebugaran pada umumnya dapat dikategorikan kelompok yang mampu sehingga sesungguhkan pengenaan pajak tidak dipersoalkan dari sudut pandang keadilan vertikal. Artinya pengenaan pajak terhadap pusat kebugaran menurut prinsip keadilan vertikal tidak ada masalah, karena diyakini tidak akan ada penduduk miskin yang akan memanfaatkan jasa pusat kebugaran tersebut; Keadilan horizontal diartikan sebagai " equal treatment of equal " (perlakuan yang sama terhadap subjek/objek yang sama). UU PDRD, memberikan ruang tarif yang sama untuk objek/subjek pajak yang sama. Untuk Pajak Hiburan khususnya pusat kebugaran, tarif maksimum yang boleh ditetapkan daerah adalah 35%. Di sini ada potensi terjadinya perbedaan tarif antar daerah sebagai konsekuensi dari pemberian kekuasaan perpajakan ke daerah. Kebijakan daerah melalui Peraturan Daerah, bahkan dapat menetapkan tarif 0% untuk pusat kebugaran jika otoritas daerah menganggap pentingnya mendorong tumbuhnya pusat-pusat kebugaran; Seterusnya pengenaan pajak terhadap pusat kebugaran juga tidak melanggar kriteria economic efficiency (efisiensi ekonomi) atau sering juga disebut economic neutrality (netral secara ekonomi). Sebuah pajak dikatakan tidak efisien secara ekonomi jika menimbulkan dampak terhadap ekonomi, antara lain, misalnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan mengakibatkan keengganan untuk berinvestasi. Kemudian yang dimaksud netral secara ekonomi adalah pajak tersebut tidak mengganggu efisiensi alokasi sumber daya ekonomi; Pengusaha sering mengeluh terhadap pengenaan pajak yang mengakibatkan tambahan biaya produksi, yang tentunya akan mengurangi potensi profit. Pemerintah juga seringkali merasa kesulitan untuk menambah pendapatan negara/daerah karena rendahnya potensi pendapatan berbagai jenis pajak, sehingga cenderung mengenakan pajak yang tinggi bagi yang mudah dipajaki. Disinilah diperlukan analisis netralitas secara ekonomi;
tidak dapat diterima dan tidak dapat dipertimbangkan, karena Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 itu sendiri jelas-jelas tidak memberikan hak dan/atau kewenangan konstitusional kepada para Pemohon. B. Ketentuan Pasal 42 Ayat (2) Huruf I UU 28/2009 Ditinjau Dari Pasal 23A dan Pasal 33 UUD 1945 Sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, ” Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang ”, maka berdasarkan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 dimaksud, pembentuk Undang-Undang telah diberikan pilihan kebijakan yang bebas/terbuka ( opened legal policy ) untuk mengatur perpajakan, dalam hal ini termasuk untuk mengatur Pajak Daerah dalam suatu Undang-Undang. Oleh karenanya, terhadap penetapan pusat kebugaran ( fitness center ) sebagai objek pajak daerah (Pajak Hiburan) oleh pembentuk undang-undang, hal tersebut harus dipandang sebagai pilihan kebijakan yang bebas/terbuka ( opened legal policy ) bagi pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 23A UUD 1945 dimaksud. Bahwa pilihan kebijakan ( opened legal policy ) pembentuk Undang- Undang yang menetapkan pusat kebugaran ( fitness center ) sebagai objek pajak daerah (Pajak Hiburan) tersebut pun juga tidak bertentangan dan atau pun menegasikan prinsip-prinsip dasar konstitusi, sehingga sudah sepatutnya permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf i UU 28/2009 a quo dinyatakan tidak dapat diterima. Sedangkan apabila ditinjau dari Pasal 33 UUD 1945, maka penetapan pajak daerah (Pajak Hiburan) atas pusat kebugaran ( fitness center ) dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf i UU 28/2009 yang didasarkan atas kemampuan untuk membayar ( ability to pay ) dari pemikul pajaknya tersebut merupakan perwujudan dari prinsip kebersamaan dan asas kekeluargaan perekonomian Indonesia sebagaimana dinyatakan Pasal 33 UUD 1945. Karena pada prinsipnya beban pengeluaran pemerintah harus dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Hal yang demikian merupakan konsep keadilan sosial yang secara luas telah dianut oleh hampir semua pemerintahan. Berdasarkan konsep tersebut, maka
Pengujian materiil atas ketentuan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012
Relevan terhadap
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menegaskan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Bahkan Dalam UU APBNP a quo telah diantisipasi akibat gejolak harga terhadap masyarakat berpenghasilan rendah dengan memberikan alokasi untuk bantuan langsung sementara masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 15A yang berbunyi: “Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan ( safeguarding ).” 6. Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis sebagaimana diuraikan di atas, terkait dengan pengujian materi ketentuan Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang a quo dipandang perlu melihat latar belakang perumusan Pasal 7 ayat (6a) Undang-Undang a quo dalam risalah rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang a quo sebagai berikut: 1) Rapat Kerja Badan Angaran DPR Dengan Pemerintah Dalam Rangka Pembahasan RUU APBNP, Kamis, 22Maret2012 • BADAN KEBIJAKAN FISKAL “….realisasi ICP dan Lifting ini kita bisa lihat perkembangannya diamana antara bulan Desember 2011 sampai Februari 2012 itu terjadi deviasi sekitar 29.2% bahkan kalau kita melihat 2 bulan Pertama tahun ini deviasi harga ICP yang asumsi yang kita pasang di APBN 2012 sudah mencapai 32.3% demikian juga
harga minyak dan gas bumi kepada mekanisme persaingan usaha, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang a quo , di samping akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah/pulau yang, menurut para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan kecemburuan sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di setiap negara di mana Pemerintah ikut mengatur harga BBM sesuai dengan kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara, karena komoditas B8M tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap dalil para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal datam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang a quo mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah, seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; e. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU APBNP menganut paham liberal yang berpotensi menyengsarakan rakyat dan menghalangi rakyat untuk medapatkan hak atas kesejahteraan dirinya yang seharusnya merupakan tanggung jawab dan dipenuhi oleh negara. Bahwa pasal a quo telah bertentangan dengan pandangan atau aliran pikiran, nilai, jiwa, dan semangat UUD 1945 sebagaimana Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28H ayat (3), Pasal 31 ayat (5), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
Permohonan Pengujian UU No. 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 [Pasal 7 ayat (4), Penjelasan pasal 7 aya ...
Relevan terhadap
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/ 2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007; 2. Pengujian UU APBN TA 2012 Terhadap permohonan pengujian Pasal 7 ayat (4), penjelasan Pasal 7 ayat 4 butir 1 dan penjelasan Pasal 7 ayat (4) butir 2 huruf c UU APBN TA 2012, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: 1. UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2012, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2012. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selain itu UU APBN TA 2012 juga mempertimbangkan kondisi ekonorni, sosial, dan politik yang berkembang dam pada tahun 2011 yang lalu baik dalam negeri maupun internasional; 2. RKP Tahun 2012 disusun berdasarkan tema "Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas, inklusif, dan Berkeadilan bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat" dan diterjemahkan ke dalam 11 (sebelas) prioritas pembangunan nasional antara lain adalah pembangunan di bidang energi. Pencapaian prioritas sasaran pembangunan nasional dan prioritas nasional lainnya tersebut akan diterjemahkan melalui program-program kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan Pemerintah di Tahun 2012; 3. Penyusunan, pembahasan dan persetujuan/penetapan terhadap APBN Tahun Anggaran 2012 dilakukan oleh DPR bersama Pemerintah dalam bentuk UU tentang APBN. Dalam penyusunan, pembahasan dan persetujuan/penetapan terhadap APBN Tahun Anggaran 2012 antara lain memuat kebijakan tentang pengalokasian anggaran subsidi BBM jenis tertentu, dan volume konsumsi BBM jenis tertentu dan konsumsi LPG 3 kg; 4. Frasa "...Pengendalian anggaran subsidi BBM jenis tertentu...dst” sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4), DPR dapat menjelaskan bahwa berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012, alokasi anggaran subsidi BBM untuk beberapa jenis BBM tertentu terdiri dari: a. Minyak tanah b. Premium dan biopremium. c. minyak solar dan biosolar. d. LPG 3 kg,
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpa ...
Uji materiil terhadap PP 11 tahun 2014 ttg pungutan oleh OJK dan peraturan OJK no.3/POJK.02/2014 ttg tata cara pelaksanaan pungutan oleh OJK ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id (1) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan ditetapkan oleh Pemerintah; d. Pasal 4 berbunyi: Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara. e. Pasal 5, berbunyi: Seluruh Penerimaan Bukan Pajak dikelola dalam system Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Sehingga dengan demikian seluruh penerimaan Negara harus dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bukan dengan pungutan-pungutan dengan pengelolaan dan penggunaannya dilakukan sendiri yang tanpa kontrol dari yang berwenang sebagaimana dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan tersebut (dengan berlindung dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang salah. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran Tahun 2014, (Bukti P-6) pada: a Pasal 1 ayat (2) berbunyi: (2) Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambahan kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Hibah. b Pasal 1 ayat (6) berbunyi: (6) Penerimaan Bukan Pajak, yang selanjutnya disingkat PNBP, adalah semua penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan sumber daya alam, pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya serta Badan Usaha Layanan Umum (BLU); c Pasal 1 ayat (11) berbunyi: (11) Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8