Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menyatakan: "Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan: a. rencana pembangunan jangka panjang". 3) Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang menyatakan: "Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memperhatikan: a. rencana pembangunan jangka panjang nasional". 4) Berdasarkan pada komentar Pemohon angka 1), angka 2) dan angka 3) yang terkait penetapan wilayah Ibu Kota Negara baru berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tidak sesuai dengan "asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan" berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 5 Huruf c. d. Peraturan perundang-undangan yang terkait pemindahan IKN. Dijelaskan pada halaman 146 sampai dengan 154. Komentar Pemohon: Evaluasi dan analisis peraturan perundang- undangan Naskah Akademik pada kelompok keempat ini berskala mikro dan teknis isu pertanahan dan infrastruktur. e. Peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Dijelaskan pada halaman 154 sampai dengan 155. Komentar Pemohon: Evaluasi dan analisis peraturan perundang- undangan Naskah Akademik pada kelompok kelima ini terkait dengan pemilu dan otonomi daerah. Berdasarkan uraian di atas Pemohon menyimpulkan: 1) Jangkauan kajian Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang a quo terbatas pada isu teknis terkait dengan pemindahan Ibu Kota Negara baru. Tidak menjangkau isu makro dan fundamental bangsa seperti perlunya penguatan pondasi pembangunan pencerdasan bangsa yang mempunyai dampak besar pada segenap aktivitas nasional termasuk pemindahan Ibu Kota Negara.
Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa, Penggunaan, dan Penyaluran Dana Desa Tahun Anggaran 2025
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGALOKASIAN DANA DESA SETIAP DESA, PENGGUNAAN, DAN PENYALURAN DANA DESA TAHUN ANGGARAN 2025. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 3. Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 5. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa. 7. Dana Desa adalah bagian dari transfer ke daerah yang diperuntukkan bagi Desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. 8. Alokasi Dasar adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada setiap Desa. 9. Alokasi Afirmasi adalah adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal dan dapat mempertimbangkan jumlah penduduk miskin tinggi di Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal. 10. Alokasi Kinerja adalah alokasi yang dibagi kepada Desa dengan kinerja terbaik. 11. Alokasi Formula adalah alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. 12. Indeks Kesulitan Geografis Desa yang selanjutnya disebut IKG Desa adalah angka yang mencerminkan tingkat kesulitan geografis suatu Desa berdasarkan variabel ketersediaan pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, transportasi, dan komunikasi. 13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disebut APBDes adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Desa. 14. Bantuan Langsung Tunai Desa yang selanjutnya disebut BLT Desa adalah pemberian uang tunai kepada keluarga penerima manfaat di Desa yang bersumber dari Dana Desa. 15. Aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Aplikasi OM-SPAN TKD adalah aplikasi yang digunakan untuk penyaluran belanja transfer dan menyediakan informasi untuk monitoring transaksi dan kebutuhan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diakses melalui jaringan berbasis web. Pasal 2 Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:
pengalokasian Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2025;
penggunaan Dana Desa tahun anggaran 2025; dan
penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2025. BAB II PENGALOKASIAN DANA DESA SETIAP DESA Pasal 3 (1) Dana Desa tahun anggaran 2025 ditetapkan sebesar Rp71.000.000.000.000,00 (tujuh puluh satu triliun rupiah), yang terdiri atas:
sebesar Rp69.000.000.000.000,00 (enam puluh sembilan triliun rupiah) pengalokasiannya dihitung pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan berdasarkan formula; dan
sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) pengalokasiannya dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagai insentif Desa dan/atau melaksanakan kebijakan Pemerintah. (2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dialokasikan kepada setiap Desa dengan ketentuan sebagai berikut:
Alokasi Dasar sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp44.849.889.580.000,00 (empat puluh empat triliun delapan ratus empat puluh sembilan miliar delapan ratus delapan puluh sembilan juta lima ratus delapan puluh ribu rupiah);
Alokasi Afirmasi sebesar 1% (satu persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp689.991.928.000,00 (enam ratus delapan puluh sembilan miliar sembilan ratus sembilan puluh satu juta sembilan ratus dua puluh delapan ribu rupiah);
Alokasi Kinerja sebesar 4% (empat persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp2.759.904.462.000,00 (dua triliun tujuh ratus lima puluh sembilan miliar sembilan ratus empat juta empat ratus enam puluh dua ribu rupiah); dan
Alokasi Formula sebesar 30% (tiga puluh persen) dari anggaran Dana Desa dan ditambahkan dengan selisih lebih hasil penghitungan Alokasi Dasar, Alokasi Afirmasi, dan Alokasi Kinerja yang tidak terbagi habis untuk setiap Desa atau sebesar Rp20.700.214.030.000,00 (dua puluh triliun tujuh ratus miliar dua ratus empat belas juta tiga puluh ribu rupiah).
Insentif Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dialokasikan berdasarkan kriteria tertentu. Pasal 4 (1) Alokasi Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dibagikan secara proporsional kepada setiap Desa berdasarkan klaster Desa. (2) Klaster Desa dalam Alokasi Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi menjadi 7 (tujuh) klaster berdasarkan jumlah penduduk. Pasal 5 (1) Alokasi Afirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dibagikan kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak. (2) Alokasi Afirmasi untuk setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan formula penghitungan Alokasi Afirmasi untuk setiap Desa. (3) Besaran Alokasi Afirmasi untuk Desa tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak dihitung sebesar 1 (satu) kali Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Besaran Alokasi Afirmasi untuk Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak dihitung sebesar 1,1 (satu koma satu) kali Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) terdiri atas:
Alokasi Afirmasi untuk Desa tertinggal sebesar Rp113.830.000,00 (seratus tiga belas juta delapan ratus tiga puluh ribu rupiah); dan
Alokasi Afirmasi untuk Desa sangat tertinggal sebesar Rp125.213.000,00 (seratus dua puluh lima juta dua ratus tiga belas ribu rupiah). (6) Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Desa yang berada pada kelompok Desa di desil 3 (tiga) sampai dengan desil 10 (sepuluh) dari jumlah penduduk miskin ekstrem berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Pasal 6 (1) Alokasi Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dibagikan kepada Desa dengan kinerja terbaik. (2) Penetapan jumlah Desa penerima Alokasi Kinerja pada setiap kabupaten/kota dilakukan berdasarkan proporsi jumlah Desa pada kabupaten/kota. (3) Penetapan Desa dengan kinerja terbaik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinilai berdasarkan:
kriteria utama; dan
kriteria kinerja. Pasal 7 Kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a merupakan kriteria untuk Desa yang:
telah menerima penyaluran Dana Desa tahap I yang ditentukan penggunaannya pada tahun anggaran 2024;
memiliki rasio sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran 2023 terhadap pagu Dana Desa tahun anggaran 2023 tidak melebihi 30% (tiga puluh persen); dan
tidak terdapat penyalahgunaan keuangan Desa tahun anggaran 2024 sampai dengan batas waktu penghitungan rincian Dana Desa tahun anggaran 2025. Pasal 8 (1) Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b terdiri atas:
indikator wajib; dan/atau
indikator tambahan. (2) Indikator wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori dengan bobot, yaitu:
pengelolaan keuangan Desa tahun anggaran 2024 dengan bobot 20% (dua puluh persen), terdiri atas:
perubahan rasio pendapatan asli Desa terhadap total pendapatan APBDes dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan
status operasional badan usaha milik Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen);
pengelolaan Dana Desa tahun anggaran 2024 dengan bobot 20% (dua puluh persen), terdiri atas:
persentase anggaran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya terhadap total Dana Desa dengan bobot 60% (enam puluh persen); dan
persentase pelaksanaan kegiatan Dana Desa secara swakelola dengan bobot 40% (empat puluh persen);
capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran 2023 dengan bobot 25% (dua puluh lima persen), terdiri atas:
persentase realisasi penyerapan Dana Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan
persentase capaian keluaran Dana Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan
capaian hasil pembangunan Desa tahun anggaran 2024 dengan bobot 35% (tiga puluh lima persen), terdiri atas:
status Desa indeks Desa membangun terakhir dengan bobot 65% (enam puluh lima persen); dan
perbaikan jumlah penduduk miskin ekstrem Desa dengan bobot 35% (tiga puluh lima persen). (3) Indikator tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan menjadi:
indikator tambahan minimal; dan
indikator tambahan opsional. (4) Indikator tambahan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri atas:
pengiriman data APBDes tahun anggaran 2024;
keberadaan peraturan Desa mengenai rencana pembangunan jangka menengah Desa terakhir; dan
keberadaan peraturan Desa mengenai rencana kerja Pemerintah Desa dan perubahannya tahun anggaran 2024. (5) Indikator tambahan opsional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, terdiri atas:
pengiriman data laporan realisasi APBDes bulan Desember tahun anggaran 2023;
pengiriman laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa bulan Desember tahun anggaran 2023;
keberadaan dokumen rencana anggaran kas Desa pada tahun anggaran 2024;
ketersediaan infografis atau media informasi lainnya mengenai APBDes tahun anggaran 2024;
ketersediaan data dan/atau dokumen barang milik Desa;
implementasi cash management system pada sistem pengelolaan keuangan Desa;
implementasi sistem keuangan Desa secara online pada pengelolaan keuangan Desa;
ketersediaan kartu skor Desa konvergensi layanan stunting tahun anggaran 2023 melalui aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal;
persentase anak tidak sekolah untuk tingkat dasar/setara tahun anggaran 2023;
Desa memiliki program pengelolaan sampah yang aktif;
persentase perangkat Desa perempuan terhadap total perangkat Desa;
keterwakilan perempuan di badan permusyawaratan Desa;
omset badan usaha milik Desa tahun anggaran 2023; dan/atau
Pemerintah Desa memiliki website atau media sosial yang dimutakhirkan minimal 3 (tiga) bulan terakhir. Pasal 9 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penilaian kinerja Desa berdasarkan kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan kriteria kinerja berupa indikator wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Kabupaten/kota dapat melakukan penilaian kinerja Desa berdasarkan kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dan kriteria kinerja berupa indikator tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) pada aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (3) Kabupaten/kota wajib melakukan penilaian indikator tambahan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dalam hal kabupaten/kota melakukan penilaian kinerja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bobot hasil penilaian kinerja Desa oleh kabupaten/kota dalam penilaian indikator tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari total penilaian kinerja Desa, dengan ketentuan sebagai berikut:
kabupaten/kota yang tidak memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 3 (tiga) indikator, tidak diberikan bobot penilaian;
kabupaten/kota yang hanya memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 3 (tiga) indikator, diberikan bobot penilaian sebesar 10% (sepuluh persen); dan
kabupaten/kota yang memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 3 (tiga) indikator dan indikator tambahan opsional sebanyak 1 (satu) sampai dengan 14 (empat belas) indikator, diberikan bobot penilaian sebesar 10% (sepuluh persen) ditambah 20% (dua puluh persen) yang dibagi secara proporsional menyesuaikan dengan jumlah indikator tambahan opsional yang memenuhi. (5) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penggabungan atas hasil penilaian kinerja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (6) Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri mengenai pengelolaan Dana Desa kabupaten/kota tidak melakukan penilaian kinerja Desa atau tidak menyampaikan hasil penilaian kinerja Desa pada aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, penilaian kinerja Desa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Besaran Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa ditetapkan sebesar 1,25 (satu koma dua lima) kali dari besaran Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang tidak melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa. (8) Alokasi Kinerja setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (7), terdiri atas:
Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa sebesar Rp258.510.000,00 (dua ratus lima puluh delapan juta lima ratus sepuluh ribu rupiah); dan
Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang tidak melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa sebesar Rp206.808.000,00 (dua ratus enam juta delapan ratus delapan ribu rupiah). Pasal 10 (1) Alokasi Formula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dibagikan kepada setiap Desa berdasarkan indikator sebagai berikut:
jumlah penduduk dengan bobot 31% (tiga puluh satu persen);
angka kemiskinan Desa dengan bobot 20% (dua puluh persen);
luas wilayah Desa dengan bobot 10% (sepuluh persen); dan
tingkat kesulitan geografis dengan bobot 39% (tiga puluh sembilan persen). (2) Besaran Alokasi Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Alokasi Formula. (3) Dalam hal hasil penghitungan Alokasi Formula setiap Desa tidak terbagi habis, sisa penghitungan Alokasi Formula diberikan kepada Desa yang mendapat Dana Desa terkecil. Pasal 11 (1) Hasil penghitungan alokasi Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10, menjadi dasar penetapan rincian Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2025. (2) Rincian Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pemerintah Desa untuk menganggarkan Dana Desa dalam APBDes, penjabaran APBDes, perubahan APBDes, dan/atau perubahan penjabaran APBDes tahun anggaran 2025 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 Sumber data dalam pengalokasian Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10, sebagai berikut:
data jumlah Desa, data nama, kode Desa, dan data jumlah penduduk menggunakan data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;
data status Desa menggunakan data indeks Desa membangun bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal;
data angka kemiskinan Desa menggunakan data jumlah penduduk miskin Desa berdasarkan data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem yang ditetapkan oleh kementerian koordinator yang menangani urusan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan;
data tingkat kesulitan geografis Desa menggunakan data IKG Desa bersumber dari badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang kegiatan statistik;
data luas wilayah Desa menggunakan data yang bersumber dari badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial;
data APBDes menggunakan data yang bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara; dan
data kinerja penyerapan dan capaian keluaran __ Dana Desa menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 13 (1) Data jumlah Desa, data nama, dan kode Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yakni sebanyak 75.265 (tujuh puluh lima ribu dua ratus enam puluh lima) Desa di 434 (empat ratus tiga puluh empat) kabupaten/kota. (2) Dana Desa dialokasikan kepada 75.259 (tujuh puluh lima ribu dua ratus lima puluh sembilan) Desa di 434 (empat ratus tiga puluh empat) kabupaten/kota. (3) Berdasarkan jumlah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terdapat selisih sebanyak 6 (enam) Desa yang merupakan Desa:
terindikasi tidak memenuhi kriteria Desa berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK; atau
tidak bersedia menerima Dana Desa. (4) Kriteria Desa berdasarkan laporan hasil BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
eksistensi wilayah Desa sudah tidak ada;
Desa tidak berpenghuni;
tidak terdapat kegiatan pemerintahan Desa; dan/atau
tidak terdapat penyaluran Dana Desa minimal 3 (tiga) tahun berturut-turut. Pasal 14 (1) Kriteria tertentu untuk insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) berupa:
kriteria utama; dan
kriteria kinerja. (2) Kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
Desa bebas dari korupsi pada semester I tahun anggaran 2025;
Desa telah menerima penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran 2025; dan
Desa menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2025. (3) Pemenuhan anggaran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c minimal sebesar 40% (empat puluh persen) dari anggaran Dana Desa. (4) Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
kinerja Pemerintah Desa, meliputi:
kinerja keuangan dan pembangunan Desa; dan
tata kelola keuangan dan akuntabilitas keuangan Desa; dan/atau
penghargaan Desa dari kementerian/lembaga. (5) Kriteria kinerja keuangan dan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 terdiri atas dan memiliki bobot sebagai berikut:
peningkatan nilai indeks Desa membangun atau indeks Desa lainnya dari tahun 2024 ke tahun 2025 dengan bobot 15% (lima belas persen);
kinerja penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran 2025 dengan bobot 20% (dua puluh persen); dan
kinerja realisasi konsolidasi belanja APBDes semester II terhadap anggaran tahun anggaran 2024 dengan bobot 15% (lima belas persen). (6) Kriteria tata kelola keuangan dan akuntabilitas keuangan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 terdiri atas dan memiliki bobot sebagai berikut:
ketersediaan laporan konsolidasi realisasi APBDes semester II tahun anggaran 2024 dengan bobot 10% (sepuluh persen);
ketersediaan APBDes tahun anggaran 2025 dengan bobot 25% (dua puluh lima persen);
kelengkapan penyampaian laporan realisasi APBDes tahun anggaran 2025 untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei dengan bobot 5% (lima persen);
kelengkapan penyampaian laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa tahun anggaran 2024 untuk bulan Juni sampai dengan bulan Desember dengan bobot 5% (lima persen); dan
kelengkapan penyampaian laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa tahun anggaran 2025 untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei dengan bobot 5% (lima persen). Pasal 15 (1) Sumber data dalam pengalokasian insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) sampai dengan ayat (6), sebagai berikut:
data nama dan kode Desa menggunakan data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;
surat permohonan penghentian penyaluran Dana Desa atas penetapan kepala Desa dan/atau Bendahara Desa sebagai tersangka penyalahgunaan keuangan Desa kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pada semester I tahun anggaran 2025 dari bupati/wali kota;
data Desa sudah salur Dana Desa tahap I tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data Desa yang menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data nilai indeks Desa membangun atau indeks Desa lainnya tahun 2024 dan tahun 2025 menggunakan data yang bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal atau kementerian/lembaga terkait;
data kinerja penyaluran Dana Desa tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data laporan konsolidasi realisasi APBDes semester II tahun anggaran 2024 menggunakan data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;
data perubahan APBDes tahun anggaran 2024 dan APBDes tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data kelengkapan penyampaian laporan realisasi APBDes untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data kelengkapan penyampaian laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa untuk bulan Juni sampai dengan bulan Desember tahun anggaran 2024 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data kelengkapan penyampaian laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data kinerja realisasi belanja terhadap anggaran APBDes semester II tahun anggaran 2024 pada laporan konsolidasi realisasi APBDes menggunakan data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri; dan
data penghargaan dari kementerian/lembaga bersumber dari kementerian/lembaga terkait. (2) Dalam hal periode tahun data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, digunakan data periode tahun sebelumnya. Pasal 16 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) berdasarkan kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan kriteria kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4). (2) Insentif Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada Desa yang memiliki kinerja terbaik. (3) Penetapan jumlah Desa per kabupaten/kota penerima insentif Desa ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah Desa per kabupaten/kota. (4) Peringkat Desa per kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah hasil perkalian antara nilai indikator dengan bobot masing-masing indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) dan ayat (6). (5) Desa penerima insentif Desa untuk kategori kinerja Pemerintah Desa merupakan Desa yang mendapatkan peringkat tertinggi sesuai dengan jumlah penerima alokasi untuk setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Insentif Desa untuk kategori kinerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibagikan kepada setiap Desa berdasarkan kelengkapan data APBDes tahun anggaran 2025 yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau laporan konsolidasi realisasi APBDes semester II tahun anggaran 2024 yang disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri. (7) Besaran alokasi insentif Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditentukan berdasarkan kelengkapan data APBDes dan/atau laporan konsolidasi realisasi APBDes dengan perhitungan bobot sebagai berikut:
Desa yang tidak mengirimkan APBDes dan laporan konsolidasi mendapatkan bobot 1,00 (satu koma nol nol);
Desa yang hanya mengirimkan laporan konsolidasi mendapatkan bobot 1,10 (satu koma satu nol);
Desa yang hanya mengirimkan data APBDes mendapatkan bobot 1,15 (satu koma satu lima); dan
Desa yang mengirimkan data APBDes dan laporan konsolidasi mendapatkan bobot 1,20 (satu koma dua nol). (8) Besaran alokasi insentif Desa setiap Desa untuk kategori penghargaan kementerian/lembaga ditetapkan dengan besaran alokasi tertentu. (9) Dalam hal penghitungan insentif Desa berdasarkan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) terdapat sisa hasil penghitungan, sisa hasil penghitungan tersebut dibagikan kepada seluruh Desa penerima insentif Desa pada kabupaten/kota yang mendapatkan alokasi insentif Desa terkecil. BAB III PENGGUNAAN Pasal 17 (1) Dana Desa diutamakan penggunaannya untuk mendukung:
penanganan kemiskinan ekstrem dengan penggunaan Dana Desa paling tinggi 15% (lima belas persen) dari anggaran Dana Desa untuk BLT Desa dengan target keluarga penerima manfaat dapat menggunakan data Pemerintah sebagai acuan;
penguatan Desa yang adaptif terhadap perubahan iklim;
peningkatan promosi dan penyediaan layanan dasar kesehatan skala Desa termasuk stunting ;
dukungan program ketahanan pangan;
pengembangan potensi dan keunggulan Desa;
pemanfaatan teknologi dan informasi untuk percepatan implementasi Desa digital;
pembangunan berbasis padat karya tunai dan penggunaan bahan baku lokal; dan/atau
program sektor prioritas lainnya di Desa. (2) Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g merupakan fokus penggunaan Dana Desa sesuai dengan prioritas nasional dan bersifat ditentukan penggunaannya. (3) Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h bersifat tidak ditentukan penggunaannya. (4) Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk mendanai program sektor prioritas lainnya di Desa sesuai dengan potensi dan karakteristik Desa. (5) Dana Desa dapat digunakan untuk dana operasional Pemerintah Desa paling banyak 3% (tiga persen) dari pagu Dana Desa setiap Desa. (6) Dalam hal Pemerintah Desa menerima insentif Desa yang dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Pemerintah Desa menganggarkan dan melaksanakan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 18 (1) Calon keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a diprioritaskan untuk keluarga miskin yang berdomisili di Desa bersangkutan berdasarkan data yang ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Data yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan keluarga desil 1 (satu) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (3) Dalam hal Desa tidak memiliki data keluarga miskin yang terdaftar dalam keluarga desil 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala Desa dapat menetapkan calon keluarga penerima manfaat BLT Desa dari keluarga yang terdaftar dalam keluarga desil 2 (dua) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (4) Dalam hal Desa tidak memiliki data keluarga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), kepala Desa dapat menetapkan calon keluarga penerima manfaat BLT Desa berdasarkan kriteria sebagai berikut:
kehilangan mata pencaharian;
mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis dan/atau difabel;
tidak menerima bantuan sosial program keluarga harapan;
rumah tangga dengan anggota tunggal lanjut usia; dan/atau
perempuan kepala keluarga dari keluarga miskin. (5) Keluarga penerima manfaat bantuan sosial program keluarga harapan yang terdaftar dalam keluarga desil 1 (satu) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dapat diusulkan untuk ditetapkan menjadi keluarga penerima manfaat BLT Desa. (6) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak memiliki data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/wali kota dapat menyampaikan surat permintaan data tersebut kepada kementerian koordinator yang menangani urusan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan. Pasal 19 (1) Bupati/wali kota menyampaikan data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) dan data kemiskinan lainnya kepada kepala Desa. (2) Dalam hal terdapat keluarga miskin yang tidak terdaftar dalam desil 1 (satu) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem, kepala Desa dapat menetapkan tambahan keluarga penerima manfaat BLT Desa di luar desil 1 (satu) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (3) Dalam hal data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) tidak tersedia, kepala Desa dapat menggunakan data kemiskinan ekstrem lainnya yang bersumber dari kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah. (4) Dalam hal data keluarga miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) dianggap sudah mampu, kepala Desa dapat mengeluarkan keluarga miskin tersebut dari calon keluarga penerima manfaat BLT Desa. (5) Daftar keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (5) dan Pasal 19 ayat (1) sampai dengan ayat (4) ditetapkan dengan keputusan kepala Desa berdasarkan hasil musyawarah Desa.
Keputusan kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) minimal memuat:
nama dan alamat keluarga penerima manfaat;
rincian keluarga penerima manfaat berdasarkan jenis kelompok pekerjaan;
jumlah keluarga penerima manfaat; dan
sumber data yang dijadikan acuan keluarga penerima manfaat. Pasal 20 (1) Besaran BLT Desa ditetapkan sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per bulan untuk bulan pertama sampai dengan bulan kedua belas per keluarga penerima manfaat. (2) Pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat dilaksanakan setiap bulan mulai bulan Januari atau dapat dibayarkan paling banyak untuk 3 (tiga) bulan secara sekaligus. (3) Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat yang telah menerima pembayaran BLT Desa untuk setiap bulan kepada bupati/wali kota. (4) Bupati/wali kota melakukan perekaman realisasi pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada Aplikasi OM- SPAN TKD. (5) Dalam hal kebutuhan pembayaran BLT Desa lebih besar dari kebutuhan BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, pembayaran atas selisih kekurangan BLT Desa menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya. (6) Pembayaran atas selisih kekurangan BLT Desa menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak melebihi batas maksimal sebesar 15% (lima belas persen) dari anggaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a. (7) Dalam hal terdapat penurunan dan/atau penambahan jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penurunan dan/atau penambahan tersebut ditetapkan dalam keputusan kepala Desa berdasarkan hasil musyawarah Desa. Pasal 21 (1) Kepala Desa melakukan pembayaran BLT Desa sesuai dengan perubahan daftar jumlah keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (7). (2) Dana Desa yang ditentukan penggunaannya untuk BLT Desa yang tidak dibayarkan kepada keluarga penerima manfaat akibat perubahan daftar jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (7), dapat digunakan untuk mendanai kegiatan prioritas Desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h.
Kepala Desa menyampaikan laporan penggunaan atas pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada bupati/wali kota. (4) Dalam hal perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) berbeda dengan perekaman awal jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa, bupati/wali kota memberikan penjelasan perbedaan dimaksud pada Aplikasi OM-SPAN TKD. (5) Bupati/wali kota mengunggah dokumen perubahan keputusan kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (7) pada Aplikasi OM-SPAN TKD. Pasal 22 (1) Dalam hal terjadi penurunan pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBDes untuk program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), selisih lebih Dana Desa tersebut dapat digunakan untuk mendanai kegiatan prioritas Desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). (2) Dalam hal terjadi kenaikan pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBDes untuk program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), selisih kekurangan tersebut dapat menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). (3) Kepala Desa menyampaikan perubahan APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada bupati/wali kota. (4) Bupati/wali kota mengunggah perubahan APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada Aplikasi OM-SPAN TKD. BAB IV PENYALURAN Pasal 23 (1) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri atas penyaluran:
Dana Desa yang ditentukan penggunaannya; dan
Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya. (2) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 (1) Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dilakukan dalam 2 (dua) tahap, dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I, sebesar 60% (enam puluh persen) dari pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling lambat bulan Juni; dan
tahap II, sebesar 40% (empat puluh persen) dari pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling cepat bulan April.
Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara penyaluran dana desa, insentif, otonomi khusus, dan keistimewaan menerima persyaratan penyaluran dari bupati/wali kota secara lengkap dan benar. (3) Persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I berupa:
APBDes;
surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa; dan
keputusan kepala Desa mengenai penetapan keluarga penerima manfaat BLT Desa, dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa; dan
tahap II berupa:
laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya; dan
laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahap I menunjukkan realisasi penyerapan paling rendah sebesar 60% (enam puluh persen) dan rata-rata capaian keluaran menunjukkan paling rendah sebesar 40% (empat puluh persen). Pasal 25 (1) APBDes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a angka 1 terdiri atas:
peraturan Desa mengenai APBDes yang disampaikan dalam bentuk pindai format dokumen portabel; dan
arsip data komputer yang dihasilkan dari aplikasi pengelolaan keuangan desa berbasis elektronik. (2) APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (3) Dalam hal Desa belum menggunakan aplikasi pengelolaan keuangan desa berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, APBDes direkam secara manual melalui aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (4) Dalam hal Desa tidak menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Desa tetap menyampaikan APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b diolah dan dihasilkan melalui Aplikasi OM-SPAN TKD. (6) Selain persyaratan penyaluran tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a, bupati/wali kota melakukan:
perekaman pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) termasuk perekaman jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa;
perekaman realisasi Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2024; dan
penandaan pengajuan penyaluran atas Desa layak salur yang disertai dengan daftar rincian Desa, melalui Aplikasi OM-SPAN TKD. (7) Perekaman realisasi Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b meliputi:
perekaman realisasi Dana Desa untuk ketahanan pangan dan hewani tahun anggaran 2024 dalam hal Desa menganggarkan program ketahanan pangan dan hewani tahun anggaran 2024;
perekaman realisasi Dana Desa untuk stunting tahun anggaran 2024 dalam hal Desa menganggarkan program pencegahan dan penurunan stunting tahun anggaran 2024; dan
perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat bulan kesatu sampai dengan bulan kedua belas dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2024. (8) Desa dapat melakukan perekaman keluarga penerima manfaat kurang dari 12 (dua belas) bulan sesuai dengan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c disebabkan:
hanya menerima penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran 2024, Desa wajib menyampaikan laporan realisasi jumlah keluarga penerima manfaat minimal 3 (tiga) bulan kepada bupati/wali kota; dan/atau
terdapat pengurangan keluarga penerima manfaat, Desa menyampaikan laporan realisasi jumlah keluarga penerima manfaat bulan kesatu sampai dengan bulan yang telah disalurkan kepada bupati/wali kota. (9) Selain persyaratan penyaluran tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b, bupati/wali kota melakukan:
perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa tahun anggaran 2025 minimal 3 (tiga) bulan dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2025; dan
penandaan pengajuan penyaluran atas Desa layak salur yang disertai dengan daftar rincian Desa, melalui Aplikasi OM-SPAN TKD. Pasal 26 (1) Penerimaan dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dan perekaman dan penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6) dan ayat (9) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I paling lambat tanggal 15 Juni 2025; dan
batas waktu untuk tahap II mengikuti ketentuan mengenai langkah-langkah akhir tahun.
Bupati/wali kota bertanggungjawab untuk menerbitkan surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a angka 2 untuk seluruh Desa, dan wajib menyampaikan surat kuasa dimaksud pada saat penyampaian dokumen persyaratan penyaluran tahap I pertama kali disertai dengan daftar RKD. (3) Dalam hal tanggal 15 Juni 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, dokumen persyaratan penyaluran diterima paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pasal 27 (1) Penyampaian persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) disampaikan oleh bupati/wali kota kepada kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara penyaluran dana desa, insentif, otonomi khusus, dan keistimewaan dengan surat pengantar yang ditandatangani paling rendah oleh pimpinan organisasi perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan Daerah atau pimpinan organisasi perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan masyarakat Desa. (2) Kewenangan penandatanganan surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/wali kota. (3) Persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a angka 2 dan angka 3, dan huruf b, serta surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk dokumen digital ( softcopy ). (4) Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a dapat disalurkan bersamaan dengan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahap I sepanjang telah memenuhi dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a dan perekaman dan penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6). (5) Penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan Dana Desa. Pasal 28 (1) Untuk penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), kepala Desa menyampaikan persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a angka 1 dan angka 3, dan huruf b kepada bupati/wali kota secara lengkap dan benar. (2) Kepala Desa bertanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 29 Ketentuan mengenai:
klaster Desa dalam Alokasi Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
formula penghitungan Alokasi Afirmasi untuk setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
proporsi jumlah Desa penerima Alokasi Kinerja pada setiap Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
formula penghitungan Alokasi Formula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
rincian Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2025 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
format laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b; dan
format surat pengantar penyampaian dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan klaster, proporsi, formula, dan ketentuan teknis penghitungan Dana Desa sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) mulai berlaku pada tanggal Peraturan Menteri ini diundangkan. Pasal 31 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Ditandatangani secara elektronik
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.07/2022 tentang Pengelolaan Penerimaan Dalam Rangka Otonomi Khusus ...
Relevan terhadap 2 lainnya
Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, clan kementerian/lembaga nonkementerian terkait melakukan penilaian atas rencana anggaran clan Program penggunaan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan clan rencana anggaran clan Program penggunaan yang bersumber dari DTI yang dialokasikan untuk provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf c clan huruf d.
Dihapus.
Dihapus.
Dihapus.
Kementerian/lembaga yang melakukan penilaian atas rencana anggaran clan Program penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: jdih.kemenkeu.go.id a. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi;
Kementerian Kesehatan;
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
Kementerian Perdagangan;
Kementerian Perindustrian;
Kementerian Ketenagakerjaan;
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif;
Kementerian Pertanian; J. Kementerian Kelautan dan Perikanan;
Kementerian Perhubungan;
Kementerian Komunikasi dan Informatika;
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/ lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan tugas masing masing kementerian/lembaga sebagai berikut:
Kementerian Keuangan bertugas melakukan penilaian atas:
duplikasi rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari DTI dengan rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum;
sinergi rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari DTI dengan rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum; jdih.kemenkeu.go.id 3. penyusunan rencana anggaran dan Program penggunaan telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan
kesesuaian penggunaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dengan ketentuan dalam perundang-undangan.
Kementerian Dalam Negeri bertugas melakukan penilaian atas:
dihapus;
dihapus;
dihapus;
3a. kesesuaian rencana anggaran dan Program penggunaan dengan rancangan RKPD;
kesesuaian rencana anggaran dan Program penggunaan dengan kewenangan provinsi/kabupaten/kota sesuai ketentuan perundang-undangan;dan 5. penyusunan rencana anggaran dan Program penggunaan telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional bertugas melakukan penilaian atas:
kesesuaian rencana anggaran dan Program penggunaan dengan RAPPP, RPJM nasional, dan Rencana Kerja Pemerintah dengan memperhatikan hasil Musrenbang Otsus;
dihapus;
dihapus;
penyusunan rencana anggaran dan Program penggunaan telah mempertimbangkan Hasil pemantauan dan evaluasi penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus terkait RIPPP Provinsi Papua.
Kementerian/lembaga terkait bertugas melakukan penilaian atas:
kewajaran unit cost dan volume;
duplikasi rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaanya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari DTI dengan Program yang bersumber dari dana lainnya meliputi DAK fisik, DAK non fisik, hibah ke Daerah, dan/atau belanja kemen terian / lembaga;
dihapus;
dihapus;
dihapus;
kesesuaian rencana anggaran dan Program penggunaan dengan kewenangan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan jdih.kemenkeu.go.id 7. penyusunan rencana anggaran dan Program telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Penilaian atas sinergi rencana anggaran dan Program penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a angka 2 dilaksanakan dengan memperhatikan:
kesesuaian antara rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan rencana anggaran dan Program penggunaan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
sinergi Program dan Kegiatan dalam kebijakan prioritas program strategis bersama antara provinsi dan kabupaten/kota.
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian / lembaga nonkementerian terkai t menyusun indikator dan kriteria penilaian sesuai tugas masing-masing kementerian/ lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Rencana anggaran dan Program penggunaan a tau penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau ayat (18) dan/atau Pasal 10 ayat (3) atau Pasal 13 ayat (3) dapat dilakukan penyesuaian oleh Kepala Daerah dengan ketentuan sebagai berikut:
terdapat perubahan rencana anggaran dan Program penggunaan dalam proses pembahasan kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara antara Pemerintah Daerah dengan DPRP / DPRK se bagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3); dan/atau
nilai rencana anggaran dan Program penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau ayat (18) dan/atau Pasal 10 ayat (3) atau Pasal 13 ayat (3) tidak sesuai dengan pagu penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dalam APBN yang telah disetujui antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. jdih.kemenkeu.go.id (2) Penyesuaian atas perubahan rencana anggaran dan Program penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dan sesuai dengan pagu penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dalam APBN yang telah disetujui antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
Penyesuaian rencana anggaran dan Program penggunaan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal pagu penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dalam APBN yang telah disetujui antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah dari nilai rencana anggaran dan Program penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau Pasal 7 ayat (18) dan/atau Pasal 10 ayat (3) atau Pasal 13 ayat (3), penyesuaian dilakukan dengan cara mengurangi rincian rencana anggaran dan Program penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau Pasal 7 ayat (18) dan/atau Pasal 10 ayat (3) atau Pasal 13 ayat (3); atau
dalam hal pagu penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dalam APBN yang telah disetujui antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi dari nilai rencana anggaran dan Program penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau Pasal 7 ayat (18) dan/atau Pasal 10 ayat (3) atau Pasal 13 ayat (3), penyesuaian dilakukan dengan menambahkan volume dan/atau rincian rencana anggaran dan Program penggunaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus.
Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan keten tuan mengenai penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 .dan Pasal 13 berlaku secara mutatis mutandis terhadap proses penyesuaian rencana anggaran dan Program penggunaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pemerintah Daerah di Provinsi Papua wajib menyusun laporan tahunan atas pelaksanaan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus untuk disampaikan kepada Badan Pengarah Papua, DPRP/DPRK, MRP, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, kementerian/lembaga nonkementerian, dan Pemerintah Daerah provinsi.
Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat uraian:
rencana anggaran dan Program;
sumber daya manusia;
realisasi anggaran dan capaian Keluaran;
realisasi dan capaian Keluaran SiLPAyang berasal dari penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;
kendala pelaksanaan dan tindak lanjut penyelesaian;
foto dan lokus Kegiatan fisik strategis dan prioritas; dan
usulan perbaikan tata kelola.
Rincian uraian laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
uraian rencana anggaran dan Program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat:
nominal rupiah serta Keluaran per satuan unit yang bersumber dari masing-masingjenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; jdih.kemenkeu.go.id 2. rincian per jenis belanja seperti belanja pegawai, belanja jasa, dan belanja modal yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan
rincian per klasifikasi belanja seperti belanja pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, infrastruktur, operasional pemerintahan, ban tuan sosial/keagamaan, bantuan untuk kelembagaan, dan bantuan untuk masyarakat adat yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;
uraian sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b untuk Provinsi Papua memuat informasi sumber daya manusia pengelola penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus paling sedikit mengenai sumber daya manusia berdasarkan OAP dan non-OAP, gender, asal perangkat Daerah, dan tingkat pendidikan;
realisasi anggaran dan capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c memuat:
nominal rupiah serta Keluaran per satuan unit yang bersumber dari masing-masingjenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;
rincian per jenis belanja seperti belanja pegawai, belanja jasa, dan belanja modal yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan
rincian rencana anggaran dan Program per klasifikasi belanja seperti belanja pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, infrastruktur, operasional pemerintahan, ban tuan sosial/ keagamaan, bantuan untuk kelembagaan, dan bantuan untuk masyarakat adat yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;
realisasi anggaran dan capaian Keluaran SiLPA yang berasal dari penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan realisasi dan capaian keluaran SiLPA sampa1 dengan tahun anggaran sebelumnya;
kendala pelaksanaan dan tindak lanjut penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e merupakan kendala dari masing-masing pelaksanaan jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dan tindak lanjut penyelesaian; jdih.kemenkeu.go.id f. foto pelaksanaan Kegiatan fisik maupun non fisik yang bersifat strategis dan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f merupakan foto pelaksanaan Kegiatan fisik maupun non fisik yang bersifat strategis dan prioritas dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;
lokus Kegiatan fisik strategis dan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f merupakan titik koordinat pelaksanaan kegiatan fisik dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan
usulan perbaikan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g merupakan usulan perbaikan tata kelola dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Realisasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d merupakan nilai realisasi yang telah direviu oleh APIP Daerah atau lembaga Pemerintah yang berwenang melaksanakan pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d merupakan nilai capaian Keluaran yang telah direviu oleh APIP Daerah atau lembaga Pemerintah yang berwenang melaksanakan pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dikonfirmasi oleh Kementerian Keuangan c.q. kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah Provinsi Papua selaku instansi vertikal.
Capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan capaian Keluaran pelaksanaan Program dan Kegiatan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah/ Sekretaris Daerah.
Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lama minggu kedua bulan Maret setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan melalui sistem informasi terintegrasi.
Dalam hal muatan uraian laporan tahunan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), laporan tahunan belum dapat memenuhi syarat salur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a.
Penyampaian laporan tahunan atas pelaksanaan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus kepada Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah Provinsi Papua selaku instansi vertikal. jdih.kemenkeu.go.id
Berlakunya ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU BPJS berpotensi menyebabkan kerugian atas hak konstitusional Pemohon karena Pemohon sebagai korban PHK tidak ...
Relevan terhadap
yang benar-benar secara nyata tidak memiliki kemampuan ekonomi dalam hal membayar iuran BPJS untuk mendaftarkan dirinya dan keluarganya sebagai peserta BPJS kriteria PBI kepada BPJS”. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18; [3.9] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, dengan berlandaskan pada Pasal 54 UU MK, oleh karena permohonan a quo telah jelas, maka Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi untuk meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK; [3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah mengenai pendaftaran calon peserta BPJS penerima bantuan iuran yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah, sehingga berakibat terhalangnya warga negara yang tidak mampu secara ekonomi untuk memperoleh layanan BPJS; [3.11] Menimbang bahwa Pasal 18, di mana ayat (1)-nya dimohonkan pengujian oleh Pemohon, terdiri dari dua ayat yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut: “(1) Pemerintah mendaftarkan penerima Bantuan Iuran dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS. (2) Penerima Bantuan Iuran wajib memberikan data mengenai diri sendiri dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada Pemerintah untuk disampaikan kepada BPJS.” Ketentuan lain dalam UU a quo yang mempunyai kaitan langsung dengan ketentuan kepesertaan penerima Bantuan Iuran pada Pasal 18 ayat (1) adalah sebagai berikut: 1. Pasal 1 angka 7 yang menyatakan, “Bantuan Iuran adalah Iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Sosial”; 2. Pasal 19 ayat (4) yang menyatakan, “Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan Iuran kepada BPJS”; serta 3. Pasal 19 ayat (5) huruf a yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur dalam Peraturan Presiden; dan
apabila memiliki kemampuan membayar juga bisa membayar secara mandiri atau apabila tidak mampu membayar bisa meminta bantuan agar dimasukan sebagai peserta BPJS PBI, akan tetapi untuk menjadi peserta PBI seorang tidak dapat langsung mendaftarkan diri sebagai peserta PBI kepada BPJS, akan tetapi pendaftaran harus dilakukan oleh Pemerintah, berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU BPJS, maka karena kewenangan ada pada pemerintah,tidak semua orang miskin atau orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar iuran kepesertaan BPJS dapat menjadi peserta BPJS dengan kriteria PBI (Penerima Bantuan Iuran). 15. Bahwa berdasarkan Pasal 28H ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan” seorang yang terkena PHK, menunjukan bahwa orang tersebut sedang mengalami suatu persoalan ekonomi yang bisa dikatakan serius, karena telah kehilangan pendapatan rutinnya, dengan demikian terhadap posisi orang seperti itu, hendaknya sesuai amanat konstitusi negara memberikan kemudahan dan perlakuan khusus bagi korban PHK, perlakuan khusus tersebut adalah dengan memberikan kemudahan bagi korban PHK yang tadinya terdaftar sebagai peserta BPJS PPU dapat mendaftarkan diri menjadi peserta BPJS PBI, apabila setelah PHK yang bersangkutan memang benar-benar sudah tidak mampu untuk tetap membayar iuran kepesertaan BPJS, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena Pasal 18 ayat (1) UU BPJS hanya memberikan hak pada pemerintah untuk mendaftarkan peserta PBI kepada BPJS, yang dalam prakteknya pemerintah melalui Perpres Nomor 83 Tahun 2018 memberikan kriteria kriteria tertentu bagi korban PHK yang bisa menjadi peserta BPJS PBI, dengan demikian maksud konstitusi untuk memberikan kemudahan dan perlakuan khusus bagi warga negara yang sedang kesulitan seperti korban PHK tidak terlaksana. 16. Bahwa berdasarkan Pasal 28H ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh”. Program BPJS sebagai program jaminan sosial adalah merupakan hak dari setiap warga negara tanpa terkecuali, baik mereka yang mampu secara ekonomi, ataupun tidak, maka apabila Pasal 14 UU BPJS menyatakan kepesertaan di BPJS bagi seluruh warga Indonesia, hanya
Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2021
Relevan terhadap
Revisi Anggaran berupa perubahan anggaran BA BUN yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a butir 3 meliputi:
Perubahan Alokasi Anggaran Pembayaran Program Pengelolaan Subsidi;
Kewajiban yang timbul dari penggunaan dana Saldo Anggaran Lebih, Penarikan Pinjaman Tunai, dan/atau penerbitan SBN sebagai akibat tambahan pembiayaan;
Perubahan alokasi anggaran pembayaran bunga utang;
Perubahan alokasi anggaran pembayaran cicilan/ pelunasan pokok utang;
Perubahan alokasi anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah;
Perubahan angggaran belanja yang bersumber dari hi bah, termasuk hi bah yang diterushibahkan;
Perubahan anggaran belanja dalam rangka penanggulangan bencana; h . Perubahan Anggaran Belanja yang Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri;
Perubahan Pagu Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa; J. Perubahan pembayaran investasi pada organisasi/lembaga keuangan in ternasional / badan usaha internasional sebagai akibat dari perubahan kurs; dan/atau
Pergeseran anggaran dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999. 08) ke bagian anggaran Kementerian/ Lembaga.
Revisi Anggaran berupa pergeseran anggaran antarsubbagian dalam BA BUN yang menjadi kewenangan Direktorat J enderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf t meliputi:
Pembayaran Program Pengelolaan Subsidi;
Kurang salur /bayar subsidi, Transfer ke Daerah dan Dana Desa;
Pergeseran anggaran dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) untuk pemberian bantuan dan/atau hi bah kepada Pemerintah Daerah dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); d . Memenuhi kekurangan alokasi anggaran untuk belanja hibah ke luar negeri sebagai akibat adanya selisih kurs;
· Penyelesaian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap _(Inkracht); _ f. Pergeseran anggaran pembayaran kewajiban utang sebagai dampak dari perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang;
Pemenuhan kewajiban negara sebagai akibat dari keikutsertaan sebagai anggota organ1sas1 internasional;
Penggunaan anggaran dalam BA BUN yang belum dialokasikan dalam DIPA BUN;
Pengesahan atas pendapatan / belan j a/ pembiayaan anggaran untuk subbagian anggaran BA BUN yang telah dilakukan pada Tahun Anggaran 2020; J. Pengesahan atas pemberian hibah kepada Pemerintah Asing/Lembaga Asing yang bersumber dari dana hasil kelolaan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional; dan/atau k. Pergeseran anggaran lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Kementerian Keuangan mengena1 tata cara penggunaan dan pergeseran anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara · Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08).
Revisi Anggaran berupa perubahan / pergeseran anggaran BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan peruntukkan dan mempertahankan persentase anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan.
Batas akhir penenmaan usulan Revisi Anggaran ditetapkan sebagai berikut:
tanggal 29 Oktober 2021, untuk Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran; dan
tanggal 30 November 2021, untuk Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan untuk pelaksanaan:
pergeseran anggaran untuk belanja pegawai, termasuk gaji untuk pegawai non-ASN;
pergeseran anggaran dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) ke bagian anggaran Kernen terian/ Lembaga;
Kegiatan yang dananya bersumber dari PNBP, termasuk penggunaan dana penerimaan klaim asuransi dalam rangka asuransi BMN, pinjaman luar negeri, hibah luar negeri, hibah dalam negeri, pinjaman dalam negeri, serta SBSN;
Revisi Anggaran terkait pinjaman/hibah baru, penyesuaian kurs penarikan pinjaman/hibah, Rupiah Murni Pendamping Pinjaman Luar Negeri, dan Revisi Anggaran dalam rangka pemberian hibah kepada Pemerintah Asing/Lembaga Asing baik yang bersumber dari Rupiah Murni maupun dana hasil kelolaan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional;
Kegiatan Kementerian/Lembaga yang merupakan tindak lanjut dari hasil sidang kabinet yang ditetapkan setelah terbitnya Undang-Undang mengenai perubahan atas Undang-Undang mengenai APBN Tahun Anggaran 2021;
Kegiatan-Kegiatan yang membutuhkan data/ dokumen yang harus mendapat persetujuan dari unit eksternal Kementerian/Lembaga seperti persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, hasil audit internal Pemerintah oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan/atau revisi pengesahan untuk membuka blokir; dan/atau
rev1s1 informasi kinerja berupa perubahan referensi RKA-K/L DIPA dan/atau untuk keperluan monitoring dan evaluasi anggaran, batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal tanggal 1 7 Desember 2021. (JS (3) Dalain hal Revisi Anggaran dilakukan:
untuk pelaksanaan Kegiatan yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan;
mensyaratkan adanya peraturan perundangan- undangan di atas Peraturan Menteri ini untuk pencairan anggaran;
rev1s1 DIPA BUN dan/atau DIPA Kementerian/Lembaga yang bersumber dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08);
pergeseran anggaran untuk penanggulangan bencana; dan/atau
rev1s1 dalam rangka pengesahan termasuk pengesahan penambahan belanja modal atas pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh Lembaga Manajemen Aset Negara, batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran dan penyelesaiannya oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 28 Desember 2021.
Pada saat penenmaan usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) seluruh dokumen telah diterima dengan lengkap.
Ketentuan mengenai tata cara pengaJuan Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 24 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengajuan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan untuk pengesahan anggaran belanja yang dibiayai dari penggunaan kelebihan realisasi atas Target PNBP yang dapat digunakan kembali sesuai ketentuan, yang telah direncanakan dalam APBN Tahun Anggaran 2021 atau APBN Perubahan Tahun Anggaran 2021 untuk Satker penghasil PNBP yang bersangkutan sepanjang dalam satu Program yang sama, batas akhir penenmaan usulan Revisi Anggaran dan penyelesaiannya oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling lambat tanggal 17 Desember 2021.
Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan untuk pengesahan anggaran belanja yang dibiayai dari hibah langsung, pengesahan atas pengeluaran Kegiatan/RO yang dananya bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri melalui mekanisme pembayaran langsung dan letter of credit, dan/atau pemutakhiran referensi RKA- K/L berkaitan dengan revisi Petunjuk Operasional Kegiatan oleh KPA, batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran dan penyelesaiannya oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling lambat tanggal 28 Desember 2021 .
Ketentuan mengenai tata cara pengaJuan Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengajuan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7).
Dalam hal . batas akhir penyampaian usulan Revisi Anggaran merupakan hari libur atau bagian dari kebijakan cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka batas akhir penyampaian usul Revisi Anggaran dimajukan menjadi hari kerja terakhir sebelum hari libur atau cuti bersama dilakukan.
Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Fisik
Relevan terhadap
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAK Fisik oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 7 ayat (2) huruf a dapat dilakukan secara berkala dalam setiap tahun anggaran yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
·' a. memastikan kesesuaian antara realisasi dana dan ' capaian keluaran ( outpu~ kegiatan setiap bidang DAK Fisik;
b. memperbaiki pelaksanaan kegiatan setiap bidang c. DAK Fisik guna mencapai target/ sasaran keluaran (output) yang ditetapkan; dan memastikan pencapamn. dampak dan manfaat pelaksanaan kegiatan. I {. ,.
~·
l'. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAK Fisik di Daerah oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 7 ayat (2) huruf b dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh Kementerian Negara/ Lembaga, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan· Kementerian Dalam Negeri.
.f www.jdih.kemenkeu.go.id .. DISTRIBUSI II (2) Pelaksanaan pemantauan dan e: valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat ·'{ 1) dilaksanakan dengan ketentuan:
Kementerian Negara/Lembaga melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan kegiatan dan capaian keluaran (outpu~ serta hasil (outcome) s~tiap bidang DAK Fisik;
Kementerian Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap realisasi penyerapan dana per jenis/bidang/ subbidang DAK Fisik;
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pencapa1an keluaran (outpu~, serta dampak dan manfaat pelaksanaan kegiatan per jenisjbidang/ subbidang DAK Fisik yang rn,enjadi prioritas nasional; dan
Kementerian Dalam Negeri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan kegiatan DAK Fisik dalam rangka pelaksanaan APBD. BABX KETENTUAN LAIN-LAIN
Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
pemerintah bertanggung jawab melalui penyediaan dana awal dan dana iuran melalui APBN tiap tahunnya serta mendorong BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana-dana program jaminan sosial secara optimal sehingga kebutuhan pembayaran manfaat dapat memenuhi manfaat yang harus diberikan pada waktunya. b. Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan adanya Program JKP akan merekomposisi iuran jaminan sosial yang dibayarkan oleh pemberi kerja sehingga berpotensi mengurangi kompensasi atas jaminan sosial lainnya (jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian), dapat pemerintah sampaikan tanggapan sebagai berikut: 1) Dalil Pemohon mengenai kekhawatiran berkurangnya manfaat juga menunjukkan bahwa keberatan Pemohon adalah terkait implementasi pemberian JKP bukan keberatan atas program JKP itu sendiri, sehingga juga bukan merupakan ranah konsitusionalitas dari UU Cipta Kerja. 2) Namun demikian, untuk memberikan informasi para Hakim terkait dampak dari rekomposisi iuran jaminan sosial, dapat Pemerintah tegaskan bahwa tidak ada pengurangan atas manfaat jaminan sosial yang akan diterima pekerja dibandingkan yang sudah berlaku selama ini. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 3) Sumber pendanaan Program JKP berasal dari: a) dana awal pemerintah (sebesar Rp. 6T yang pemenuhannya secara bertahap); b) rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau c) dana operasional BPJS Ketenagakerjaan. 4) Dapat kami jelaskan bahwa sebagaimana diatur dalam PP 37/2021 sebagai penjabaran ketentuan teknis pendanaan JKP dalam UU Cipta Kerja, besaran iuran JKP adalah
eksplisit diamanatkan dalam Pasal 82 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengatur tambahan pasal baru yaitu Pasal 46D ayat (4) UU SJSN. Peraturan Pemerintah tersebut telah diterbitkan yaitu PP 37/2021. Dengan demikian, pengujian norma yang diajukan Pemohon bukan terhadap norma UU Cipta Kerja melainkan norma PP yang seharusnya diajukan ke Mahkamah Agung, bukan ke Mahkamah Konstitusi. 3) Namun demikian, untuk memahami pertimbangan Pemerintah menambahkan JKP dalam jaminan sosial dapat kami jelaskan bahwa tujuan utama Program JKP ini harus dimaknai secara komprehensif, yakni menjaga daya beli peserta JKP yang di PHK dan yang utama adalah mengupayakan peserta yang di PHK segera mendapatkan pekerjaan melalui infromasi pasar kerja dan pelatihan. Oleh karenanya, manfaat yang diterima tidak semata-mata manfaat dalam bentuk uang tunai tetapi juga dalam bentuk pelatihan kerja dan informasi pasar kerja. 4) Selanjutnya, dalam menetapkan besaran manfaat tunai Program JKP Pemerintah sebagai suatu program jaminan, Pemerintah harus mempertimbangkan kelangsungan program tidak hanya untuk jangka pendek tetapi juga untuk jangka panjang untuk seluruh program jaminan sosial. 5) Untuk itu, sebagai upaya untuk menyesuaikan manfaat dengan perkembangan kondisi ekonomi nasional dan perhitungan kecukupan kewajiban aktuaria, dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Pasal 19 ayat (3) PP 37 Tahun 2021 telah diatur bahwa besaran iuran dan batas atas upah dilakukan evaluasi berkala setiap dua tahun. Dengan demikian semakin jelas bahwa norma pemaknaan yang dimohonkan pemohonan bukan norma muatan UU, tetapi peraturan di bawah UU. 6) Dengan demikian, kebijakan Pemerintah dengan penambahan Program JKP jelas memperlihatkan bahwa
Pembiayaan Ultra Mikro
Relevan terhadap
Kerj a sama program se bagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b, merupakan komitmen BLU PIP dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk mengembangkan program Pembiayaan Ultra Mikro, termasuk sinergi program antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Bentuk kerja sama program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
leveraging lebih lanjut potensi piutang Pembiayaan Ultra Mikro melalui pasar sekuritas;
pembangunan big data UMKM Indonesia;
peningkatan keandalan data UMKM;
perluasan penyaluran Pembiayaan Ultra Mikro;
peningkatan kapasitas pelaku Usaha Ultra Mikro;
penguatan ekosistem Pembiayaan Ultra Mikro; dan/atau g. tujuan pengembangan UMKM lainnya.
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam dokumen kesepakatan yang mengikat para pihak, yang paling sedikit memuat:
program yang disinergikan;
hak dan kewajiban para pihak;
sumber pembiayaan;
pembebanan biaya yang dibutuhkan; dan
monitoring dan evaluasi.
Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.
Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari kegiatan atau program, dan hasil dari program dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.
Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kinerja Anggaran BUN adalah capaian Kinerja atas penggunaan dana BA BUN yang tertuang dalam dokumen anggaran.
Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat EKA BUN adalah proses untuk melakukan pengukuran, penilaian, dan analisis atas Kinerja Anggaran BA BUN tahun anggaran berjalan dan tahun anggaran sebelumnya untuk menyusun rekomendasi dalam rangka peningkatan Kinerja Anggaran BA BUN.
Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara Reguler yang selanjutnya disebut EKA BUN Reguler adalah EKA BUN yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dan/atau Pemimpin PPA BUN/KPA BUN secara berkala.
Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara Non-Reguler yang selanjutnya disebut EKA BUN Non-Reguler adalah EKA BUN yang dilakukan oleh Menteri Keuangan sesuai kebutuhan dan kebijakan untuk tujuan tertentu.
Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara atas Aspek Implementasi yang selanjutnya disebut EKA BUN atas Aspek Implementasi adalah EKA BUN yang dilakukan untuk menghasilkan informasi Kinerja mengenai penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kegiatan atau program dan pencapaian keluarannya.
Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara atas Aspek Manfaat yang selanjutnya disebut EKA BUN atas Aspek Manfaat adalah EKA BUN yang dilakukan untuk menghasilkan informasi Kinerja mengenai perubahan yang terjadi dalam pemangku kepentingan sebagai penerima manfaat atas penggunaan anggaran BUN.
Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara atas Aspek Konteks yang selanjutnya disebut EKA BUN atas Aspek Konteks adalah EKA BUN yang dilakukan untuk menghasilkan informasi mengenai kualitas informasi Kinerja yang tertuang dalam dokumen RKA BUN termasuk relevansinya dengan dinamika perkembangan keadaan termasuk perubahan kebijakan Pemerintah.
Sasaran Program adalah hasil yang akan dicapai dari suatu program dalam rangka pencapaian Sasaran Strategis BUN yang mencerminkan fungsi keluaran (output).
Indikator Kinerja Program adalah alat ukur yang mengindikasikan keberhasilan pencapaian hasil (outcome) dari suatu program.
Output Program adalah keluaran yang dihasilkan oleh BA BUN untuk mendukung terwujudnya hasil (outcome).
Rincian Output yang selanjutnya disingkat RO adalah keluaran (output) riil yang sangat spesifik yang dihasilkan oleh KPA BUN yang berfokus pada karakteristik masing-masing BA BUN serta berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi unit kerja tersebut dalam mendukung pencapaian sasaran kegiatan yang telah ditetapkan.
Klasifikasi Rincian Output yang selanjutnya disingkat KRO adalah kumpulan atas keluaran (output) BA BUN (RO) yang disusun dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan muatan keluaran (output) yang sejenis/serumpun berdasarkan sektor/bidang/jenis tertentu secara sistematis.
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
12/2011]. Berkenaan dengan hal tersebut, UU 12/2011 menghendaki penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional [vide Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011]. Prolegnas dimaksud memuat program pembentukan undang-undang dengan judul rancangan undang-undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya [vide Pasal 19 ayat (1) UU 12/2011]. Dengan merujuk pada Lampiran I Perpres 18/2020 menyatakan pada pokoknya untuk pembentukan Ibu Kota Negara perlu dasar hukum. Sebagai tindak lanjutnya, Pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk memasukkan RUU tentang Ibu Kota Negara dalam Prolegnas yang kemudian diundangkan menjadi UU 3/2022 sebagai landasan pelaksanaan perpindahan Ibu Kota Negara. Terkait dengan pencantuman RUU IKN ke dalam Prolegnas, DPR menerangkan bahwa RUU IKN telah masuk Prolegnas jangka menengah 2020-2024 berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024 yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2019 [vide __ Lampiran 1. Keterangan DPR] sebagaimana tercantum pada nomor 131. Selanjutnya, setiap tahun selalu masuk dalam Prolegnas prioritas tahunan yaitu pada tahun 2020 dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas sebagaimana tercantum pada Nomor 46 [vide __ Lampiran 2 Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020 ditetapkan tanggal 22 Januari 2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang- Undang Prioritas Tahun 2020 = PK-1.Pemerintah]; pada tahun 2021 diajukan kembali sebagai Prolegnas Prioritas sebagaimana tercantum dalam nomor 28 [vide Lampiran 3 Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 ditetapkan tanggal 23 Maret 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Tahun 2020-2024 = PK-25.Pemerintah]. Ketika ada pembahasan evaluasi Prolegnas Prioritas tahun 2021, RUU IKN tetap diprioritaskan sebagaimana tercantum dalam nomor 29 [vide __ Lampiran 4 Surat Keputusan DPR RI Nomor 9/DPR RI/I/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 yang ditetapkan tanggal 30 September 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024]; dan pada saat pembahasan prioritas tahunan 2022, RUU IKN dimasukkan kembali dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022 sebagaimana
tercantum dalam Nomor 33 [vide Lampiran 5 berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 ditetapkan tanggal 7 Desember 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun tahunan ini pun dilakukan sesuai dengan ketentuan UU 12/2011 yakni diajukan sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) [vide Pasal 20 ayat (5) UU 12/2011]. Hal ini dimaksudkan agar pembentukan suatu undang-undang mendapatkan kejelasan dari sisi penganggarannya, tidak hanya berkaitan dengan anggaran pembentukan undang-undangnya, namun juga diperhitungkan dampak undang-undang tersebut bagi keuangan negara, oleh karenanya harus dibahas dan ditetapkan usulan RUU dalam Prolegnas sebelum RUU APBN ditetapkan. Terlebih lagi, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menerangkan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Jawa diharapkan dapat mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah di luar Jawa terutama Kawasan Timur Indonesia. Selain itu, hadirnya UU 3/2022 merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, juga untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan serta menjadi acuan bagi pembangunan dan penataan wilayah lainnya di Indonesia dan hal tersebut juga merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan tujuan bernegara, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu cita-cita dalam visi Indonesia 2045 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, tanggal 21 April 2022]. [3.22.3] Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas telah ternyata perencanaan pembentukan IKN merupakan bagian dari program sistem perencanaan pembangunan nasional yang telah tercantum dalam Lampiran Perpres 18/2020 dan telah pula dituangkan dalam Prolegnas jangka menengah 2020- 2024 dan telah diprioritaskan setiap tahunnya sejak tahun 2020 sehingga semakin menegaskan bahwa pembentukan IKN telah benar-benar memiliki kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011. Terlepas dari adanya dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa rencana pembentukan IKN ini seolah-olah “disusupkan” dalam RPJMN tahun 2020-2025, menurut Mahkamah alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon tidak cukup membuktikan