Penyelenggaraan Rumah Susun
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggaraan Rumah Susun adalah kegiatan perencanaan, pembangurlan, penguasaan dan pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan, pengendalian, kelembagaan, penclanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung ^jawab. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara Iungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satrtan yang masing- rnasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, temtama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, da 'tanah bersama. Rumah Susun U um adalah Rumah Susurn yalig diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rurnah Susun Khusus adalah Rurrlah Susun yang diselenggarakan untuk mernenuhi kebutuhan khusus. Rumah Susun Negara adalah Rumah Susun yang climiiiki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atarr hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri. Rumah Susrrn I(omersial adalah Rumah-Susun yang diselenggaral: a^r untuk mendapatkan keuntungan. Sl( No 0928 t4 A 7. Satuan 7. Satuan Rumah Susun ^yang selanjutnya ^disebut Sarusun adalah unit Rumah ^Susun yang ^tujuan utamanya digunakan secara terpisah ^dengan ^fungsi utama sebagai tempat hunian dan ^mempunyai sarana penghubung ke ^jalan umum. 8. Tanah Bersama adalah sebidang ^tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan ^yang digunakan ^atas ^dasar ^hak bersama secara tidak terpisah ^yang ^di ^atasnya ^berdiri Rumah Susun dan ditetapkan batasnya ^dalam persyaratan persetujuan bangunan ^gedung. 9. Bagian Bersama adalah ^bagian ^Rumah Susun ^yang dimiliki secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi ^dengan ^satuan- satuan Rumah Susun. 10. Benda Bersama adalah benda ^yang ^bukan ^merupakan bagian Rumah Susun melainkan ^bagian yang ^dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama. 11. Sertifikat Hak Milik Sarusun ^yang selanjutnya ^disebut SHM Sarusun adalah tanda ^bukti ^kepemilikan ^atas Sarusun di atas tanah hak milik, ^hak ^guna bangunan atau hak pakai di atas tanah ^negara, ^serta ^hak ^guna bangunan atau hak ^pakai di ^atas tanah ^hak pengelolaan. 12. Sertifikat Kepemilikan Bangunan ^Gedung ^Sarusun yang selanjutnya disebut SKBG Sarusun ^adalah tanda bukti kepemilikan atas Sarusun di ^atas barang ^milik negara/daerah berupa tanah atau ^tanah wakaf ^dengan cara sewa. 13. Nilai Perbandingan Proporsional ^yang ^selanjutnya disingkat NPP adalah angka ^yang ^menunjukkan perbandingan antara Sarusun terhadap ^hak ^atas Bagian Bersama, Benda Bersama, ^dan ^Tanah ^Bersama yang dihitung berdasarkan nilai Sarusun ^yang bersangkutan terhadap ^jumlah nilai ^Rumah ^Susun secara keseluruhan ^pada waktu ^pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga ^jualnya A. Dana . . ^.
Ditna Konversi adalah dana yang ber,rpa dana kelola atau dana hibah yang diperoleh dari pelakrr pembangunan sebagai alternatif kervajiban pembangunan rumah sederhana bersubsidi dalam pembanguo&r1 p€rumahan dengan hunian berimbang yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan konversi. 15. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya Cisingkat IVIBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli schingga p.'rlu mendapat dukungan pemerintah untuk mernperoleh Sarusun umum. 16. Pelaku Pembangunan Rumah Susun yang selanjutnya disebut Pelaku Pembangunan adalah setiap orang dan/atau pemerlntah yr.ng melakukan pembangLlnan bidang perumahan da,, ka'uvasan permukirnan. 17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atatr badan hukum. 18. Berdan Hrrkum adalah badan hukurn yang didirikan oteli ^tr',r.rga negara Indonesie ^.yang ,kegiatannya di bidang penyelenggaraan perurlahan dan kawasan permukiman. 19. Pemiiik adalah Setiap Orang yang memiliki Sarusun. 20. Penghuni aCalah orang yang menempati Sarusrrn, baik sebagai Pemilil< maLrprir, bukan Pemilik. 21. Pengelola adalah str adan Hukum yang bertugas untuk mengelola Rurqah Susun. 22. Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun yang selanjutnya'disingkat PPPSRS adalah Badan'Hukum yang beran3gotakan para Pemilik atau Penghuni. 2g. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankarr usaha dan/atau kegiatannva.
Percetujuarn 24. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah persetujuan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah luasan, fungsi dan klasifikasi bangunan gedung serta perubahan lainnya yang membutuhkan perencanaan teknis. 25. Pertelaan adalah pernyataan dalam bentuk gambar dan uraian yang dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan Rumah Susun yang disahkan oleh pemerintah daerah yang menunjukkan batas yang jelas dari setiap Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama beserta uraian NPP. 26. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 27. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 28. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap 1 lainnya
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar Disahkan di Ja}arta pada tanggal 5 Jan: uari 2022 ttd JOKO WTDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR l TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung ^jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. 2 Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2\ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 3 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. 4 Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
TKD TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. 5 Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiska1 sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber- sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Se1ain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. 6 Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.
Pengelolaan Belanja Daerah Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optima,l mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output danf alau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penJrusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang- Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja. 7 Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasdn. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan frskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defrsit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur. 8 Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan- pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan, contoh:
kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasa] 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Ayat (t) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Ma"ss Rapid. Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu alrtara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
Toko 2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup je1as. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggu.naannya. Hurufj Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud penggunaan Air pengambilan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. "pemanfaatan" adalah ^kegiatan di sumbernya tanpa dilakukan dengan Tanah Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup je1as. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 3O%o (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat 12) Cukup je1as. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 23 Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit. Ayat (9) Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup je1as. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu. 24 Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 111 Cukup je1as. Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan ^uprovinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasa1 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksterna-litas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup je1as. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan'kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 120 Bagian dari 9O%o (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;
kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;
kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan' kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas. Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geogralis dan perekonomian Daerah. Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK. Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot provinsil x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Provi = CF Provi ICF ^Prov dimana, CF Provinsil ICF ^Provinsi = Celah Fiskal untuk provinsil. = iumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi. Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota1 = Bobot kabupaten/kota1 x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. Ayat (2) CF Kab / Kotai Bobot Kab/Kota,= ^_Vp XatlXon dimana, CF kabupaten/kota.1 Celah Fiskal untuk kabupaten/kota1. jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. CF'kabupaten dan kota Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH. Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. 33 Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangu.nan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^ulokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah. Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 153 . Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Ayat (2) Cukup jelas. 40 Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (s) Cukup je1as. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cgclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
proyeksi penurunan pendapatan negara fDaerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan lagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan arggaran, dan pelaporan. Pasal L77 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian outputatas program-program prioritas nasional dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 180 Cukup ^jelas. Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas. 43 Pasal 186 Cukup ^je1as. Pasa1 187 Cukup ^jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal 190 Cukup ^jelas. Pasal 191 Cukup ^jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan an: tara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang. 1 3 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimalsud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan ralqrat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin petaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurLrs urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah unluk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. 11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah. 13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. 19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota. 20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolban kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digu.nakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, melipgti pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. 26. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu. 27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisq.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digu.nakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. 33. Pajak Bumi dan Bangu.nan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, darr / ^atau ^dimanfaatkan ^oleh orang ^pribadi ^atau ^Badan. 34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 36. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 7 37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan. 39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangu.nan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. 43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. 44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran. 46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 5 1. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta., dan collocalia linchi. 61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 64. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengu.rangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah. 72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. 73. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus. 74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urllsan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yoryakarta. 75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut. 77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran. 78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran berikutnya. 79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 80. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah. 83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok. Pasal 2 Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;
pengelolaan b. pengelolaan TKD;
pengelolaan Belanja Daerah;
pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan
pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional. Pasal 3 Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.
Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa, Penggunaan, dan Penyaluran Dana Desa Tahun Anggaran 2025
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGALOKASIAN DANA DESA SETIAP DESA, PENGGUNAAN, DAN PENYALURAN DANA DESA TAHUN ANGGARAN 2025. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 3. Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 5. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa. 7. Dana Desa adalah bagian dari transfer ke daerah yang diperuntukkan bagi Desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. 8. Alokasi Dasar adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada setiap Desa. 9. Alokasi Afirmasi adalah adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal dan dapat mempertimbangkan jumlah penduduk miskin tinggi di Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal. 10. Alokasi Kinerja adalah alokasi yang dibagi kepada Desa dengan kinerja terbaik. 11. Alokasi Formula adalah alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. 12. Indeks Kesulitan Geografis Desa yang selanjutnya disebut IKG Desa adalah angka yang mencerminkan tingkat kesulitan geografis suatu Desa berdasarkan variabel ketersediaan pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, transportasi, dan komunikasi. 13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disebut APBDes adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Desa. 14. Bantuan Langsung Tunai Desa yang selanjutnya disebut BLT Desa adalah pemberian uang tunai kepada keluarga penerima manfaat di Desa yang bersumber dari Dana Desa. 15. Aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Aplikasi OM-SPAN TKD adalah aplikasi yang digunakan untuk penyaluran belanja transfer dan menyediakan informasi untuk monitoring transaksi dan kebutuhan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diakses melalui jaringan berbasis web. Pasal 2 Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:
pengalokasian Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2025;
penggunaan Dana Desa tahun anggaran 2025; dan
penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2025. BAB II PENGALOKASIAN DANA DESA SETIAP DESA Pasal 3 (1) Dana Desa tahun anggaran 2025 ditetapkan sebesar Rp71.000.000.000.000,00 (tujuh puluh satu triliun rupiah), yang terdiri atas:
sebesar Rp69.000.000.000.000,00 (enam puluh sembilan triliun rupiah) pengalokasiannya dihitung pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan berdasarkan formula; dan
sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) pengalokasiannya dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagai insentif Desa dan/atau melaksanakan kebijakan Pemerintah. (2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dialokasikan kepada setiap Desa dengan ketentuan sebagai berikut:
Alokasi Dasar sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp44.849.889.580.000,00 (empat puluh empat triliun delapan ratus empat puluh sembilan miliar delapan ratus delapan puluh sembilan juta lima ratus delapan puluh ribu rupiah);
Alokasi Afirmasi sebesar 1% (satu persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp689.991.928.000,00 (enam ratus delapan puluh sembilan miliar sembilan ratus sembilan puluh satu juta sembilan ratus dua puluh delapan ribu rupiah);
Alokasi Kinerja sebesar 4% (empat persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp2.759.904.462.000,00 (dua triliun tujuh ratus lima puluh sembilan miliar sembilan ratus empat juta empat ratus enam puluh dua ribu rupiah); dan
Alokasi Formula sebesar 30% (tiga puluh persen) dari anggaran Dana Desa dan ditambahkan dengan selisih lebih hasil penghitungan Alokasi Dasar, Alokasi Afirmasi, dan Alokasi Kinerja yang tidak terbagi habis untuk setiap Desa atau sebesar Rp20.700.214.030.000,00 (dua puluh triliun tujuh ratus miliar dua ratus empat belas juta tiga puluh ribu rupiah).
Insentif Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dialokasikan berdasarkan kriteria tertentu. Pasal 4 (1) Alokasi Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dibagikan secara proporsional kepada setiap Desa berdasarkan klaster Desa. (2) Klaster Desa dalam Alokasi Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi menjadi 7 (tujuh) klaster berdasarkan jumlah penduduk. Pasal 5 (1) Alokasi Afirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dibagikan kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak. (2) Alokasi Afirmasi untuk setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan formula penghitungan Alokasi Afirmasi untuk setiap Desa. (3) Besaran Alokasi Afirmasi untuk Desa tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak dihitung sebesar 1 (satu) kali Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Besaran Alokasi Afirmasi untuk Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak dihitung sebesar 1,1 (satu koma satu) kali Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) terdiri atas:
Alokasi Afirmasi untuk Desa tertinggal sebesar Rp113.830.000,00 (seratus tiga belas juta delapan ratus tiga puluh ribu rupiah); dan
Alokasi Afirmasi untuk Desa sangat tertinggal sebesar Rp125.213.000,00 (seratus dua puluh lima juta dua ratus tiga belas ribu rupiah). (6) Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Desa yang berada pada kelompok Desa di desil 3 (tiga) sampai dengan desil 10 (sepuluh) dari jumlah penduduk miskin ekstrem berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Pasal 6 (1) Alokasi Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dibagikan kepada Desa dengan kinerja terbaik. (2) Penetapan jumlah Desa penerima Alokasi Kinerja pada setiap kabupaten/kota dilakukan berdasarkan proporsi jumlah Desa pada kabupaten/kota. (3) Penetapan Desa dengan kinerja terbaik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinilai berdasarkan:
kriteria utama; dan
kriteria kinerja. Pasal 7 Kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a merupakan kriteria untuk Desa yang:
telah menerima penyaluran Dana Desa tahap I yang ditentukan penggunaannya pada tahun anggaran 2024;
memiliki rasio sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran 2023 terhadap pagu Dana Desa tahun anggaran 2023 tidak melebihi 30% (tiga puluh persen); dan
tidak terdapat penyalahgunaan keuangan Desa tahun anggaran 2024 sampai dengan batas waktu penghitungan rincian Dana Desa tahun anggaran 2025. Pasal 8 (1) Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b terdiri atas:
indikator wajib; dan/atau
indikator tambahan. (2) Indikator wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori dengan bobot, yaitu:
pengelolaan keuangan Desa tahun anggaran 2024 dengan bobot 20% (dua puluh persen), terdiri atas:
perubahan rasio pendapatan asli Desa terhadap total pendapatan APBDes dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan
status operasional badan usaha milik Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen);
pengelolaan Dana Desa tahun anggaran 2024 dengan bobot 20% (dua puluh persen), terdiri atas:
persentase anggaran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya terhadap total Dana Desa dengan bobot 60% (enam puluh persen); dan
persentase pelaksanaan kegiatan Dana Desa secara swakelola dengan bobot 40% (empat puluh persen);
capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran 2023 dengan bobot 25% (dua puluh lima persen), terdiri atas:
persentase realisasi penyerapan Dana Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan
persentase capaian keluaran Dana Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan
capaian hasil pembangunan Desa tahun anggaran 2024 dengan bobot 35% (tiga puluh lima persen), terdiri atas:
status Desa indeks Desa membangun terakhir dengan bobot 65% (enam puluh lima persen); dan
perbaikan jumlah penduduk miskin ekstrem Desa dengan bobot 35% (tiga puluh lima persen). (3) Indikator tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan menjadi:
indikator tambahan minimal; dan
indikator tambahan opsional. (4) Indikator tambahan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri atas:
pengiriman data APBDes tahun anggaran 2024;
keberadaan peraturan Desa mengenai rencana pembangunan jangka menengah Desa terakhir; dan
keberadaan peraturan Desa mengenai rencana kerja Pemerintah Desa dan perubahannya tahun anggaran 2024. (5) Indikator tambahan opsional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, terdiri atas:
pengiriman data laporan realisasi APBDes bulan Desember tahun anggaran 2023;
pengiriman laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa bulan Desember tahun anggaran 2023;
keberadaan dokumen rencana anggaran kas Desa pada tahun anggaran 2024;
ketersediaan infografis atau media informasi lainnya mengenai APBDes tahun anggaran 2024;
ketersediaan data dan/atau dokumen barang milik Desa;
implementasi cash management system pada sistem pengelolaan keuangan Desa;
implementasi sistem keuangan Desa secara online pada pengelolaan keuangan Desa;
ketersediaan kartu skor Desa konvergensi layanan stunting tahun anggaran 2023 melalui aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal;
persentase anak tidak sekolah untuk tingkat dasar/setara tahun anggaran 2023;
Desa memiliki program pengelolaan sampah yang aktif;
persentase perangkat Desa perempuan terhadap total perangkat Desa;
keterwakilan perempuan di badan permusyawaratan Desa;
omset badan usaha milik Desa tahun anggaran 2023; dan/atau
Pemerintah Desa memiliki website atau media sosial yang dimutakhirkan minimal 3 (tiga) bulan terakhir. Pasal 9 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penilaian kinerja Desa berdasarkan kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan kriteria kinerja berupa indikator wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Kabupaten/kota dapat melakukan penilaian kinerja Desa berdasarkan kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dan kriteria kinerja berupa indikator tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) pada aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (3) Kabupaten/kota wajib melakukan penilaian indikator tambahan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dalam hal kabupaten/kota melakukan penilaian kinerja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bobot hasil penilaian kinerja Desa oleh kabupaten/kota dalam penilaian indikator tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari total penilaian kinerja Desa, dengan ketentuan sebagai berikut:
kabupaten/kota yang tidak memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 3 (tiga) indikator, tidak diberikan bobot penilaian;
kabupaten/kota yang hanya memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 3 (tiga) indikator, diberikan bobot penilaian sebesar 10% (sepuluh persen); dan
kabupaten/kota yang memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 3 (tiga) indikator dan indikator tambahan opsional sebanyak 1 (satu) sampai dengan 14 (empat belas) indikator, diberikan bobot penilaian sebesar 10% (sepuluh persen) ditambah 20% (dua puluh persen) yang dibagi secara proporsional menyesuaikan dengan jumlah indikator tambahan opsional yang memenuhi. (5) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penggabungan atas hasil penilaian kinerja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (6) Dalam hal sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri mengenai pengelolaan Dana Desa kabupaten/kota tidak melakukan penilaian kinerja Desa atau tidak menyampaikan hasil penilaian kinerja Desa pada aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, penilaian kinerja Desa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Besaran Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa ditetapkan sebesar 1,25 (satu koma dua lima) kali dari besaran Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang tidak melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa. (8) Alokasi Kinerja setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (7), terdiri atas:
Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa sebesar Rp258.510.000,00 (dua ratus lima puluh delapan juta lima ratus sepuluh ribu rupiah); dan
Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang tidak melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa sebesar Rp206.808.000,00 (dua ratus enam juta delapan ratus delapan ribu rupiah). Pasal 10 (1) Alokasi Formula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dibagikan kepada setiap Desa berdasarkan indikator sebagai berikut:
jumlah penduduk dengan bobot 31% (tiga puluh satu persen);
angka kemiskinan Desa dengan bobot 20% (dua puluh persen);
luas wilayah Desa dengan bobot 10% (sepuluh persen); dan
tingkat kesulitan geografis dengan bobot 39% (tiga puluh sembilan persen). (2) Besaran Alokasi Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Alokasi Formula. (3) Dalam hal hasil penghitungan Alokasi Formula setiap Desa tidak terbagi habis, sisa penghitungan Alokasi Formula diberikan kepada Desa yang mendapat Dana Desa terkecil. Pasal 11 (1) Hasil penghitungan alokasi Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10, menjadi dasar penetapan rincian Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2025. (2) Rincian Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pemerintah Desa untuk menganggarkan Dana Desa dalam APBDes, penjabaran APBDes, perubahan APBDes, dan/atau perubahan penjabaran APBDes tahun anggaran 2025 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 Sumber data dalam pengalokasian Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10, sebagai berikut:
data jumlah Desa, data nama, kode Desa, dan data jumlah penduduk menggunakan data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;
data status Desa menggunakan data indeks Desa membangun bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal;
data angka kemiskinan Desa menggunakan data jumlah penduduk miskin Desa berdasarkan data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem yang ditetapkan oleh kementerian koordinator yang menangani urusan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan;
data tingkat kesulitan geografis Desa menggunakan data IKG Desa bersumber dari badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang kegiatan statistik;
data luas wilayah Desa menggunakan data yang bersumber dari badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial;
data APBDes menggunakan data yang bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara; dan
data kinerja penyerapan dan capaian keluaran __ Dana Desa menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 13 (1) Data jumlah Desa, data nama, dan kode Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yakni sebanyak 75.265 (tujuh puluh lima ribu dua ratus enam puluh lima) Desa di 434 (empat ratus tiga puluh empat) kabupaten/kota. (2) Dana Desa dialokasikan kepada 75.259 (tujuh puluh lima ribu dua ratus lima puluh sembilan) Desa di 434 (empat ratus tiga puluh empat) kabupaten/kota. (3) Berdasarkan jumlah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terdapat selisih sebanyak 6 (enam) Desa yang merupakan Desa:
terindikasi tidak memenuhi kriteria Desa berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK; atau
tidak bersedia menerima Dana Desa. (4) Kriteria Desa berdasarkan laporan hasil BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
eksistensi wilayah Desa sudah tidak ada;
Desa tidak berpenghuni;
tidak terdapat kegiatan pemerintahan Desa; dan/atau
tidak terdapat penyaluran Dana Desa minimal 3 (tiga) tahun berturut-turut. Pasal 14 (1) Kriteria tertentu untuk insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) berupa:
kriteria utama; dan
kriteria kinerja. (2) Kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
Desa bebas dari korupsi pada semester I tahun anggaran 2025;
Desa telah menerima penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran 2025; dan
Desa menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2025. (3) Pemenuhan anggaran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c minimal sebesar 40% (empat puluh persen) dari anggaran Dana Desa. (4) Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
kinerja Pemerintah Desa, meliputi:
kinerja keuangan dan pembangunan Desa; dan
tata kelola keuangan dan akuntabilitas keuangan Desa; dan/atau
penghargaan Desa dari kementerian/lembaga. (5) Kriteria kinerja keuangan dan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 terdiri atas dan memiliki bobot sebagai berikut:
peningkatan nilai indeks Desa membangun atau indeks Desa lainnya dari tahun 2024 ke tahun 2025 dengan bobot 15% (lima belas persen);
kinerja penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran 2025 dengan bobot 20% (dua puluh persen); dan
kinerja realisasi konsolidasi belanja APBDes semester II terhadap anggaran tahun anggaran 2024 dengan bobot 15% (lima belas persen). (6) Kriteria tata kelola keuangan dan akuntabilitas keuangan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 terdiri atas dan memiliki bobot sebagai berikut:
ketersediaan laporan konsolidasi realisasi APBDes semester II tahun anggaran 2024 dengan bobot 10% (sepuluh persen);
ketersediaan APBDes tahun anggaran 2025 dengan bobot 25% (dua puluh lima persen);
kelengkapan penyampaian laporan realisasi APBDes tahun anggaran 2025 untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei dengan bobot 5% (lima persen);
kelengkapan penyampaian laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa tahun anggaran 2024 untuk bulan Juni sampai dengan bulan Desember dengan bobot 5% (lima persen); dan
kelengkapan penyampaian laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa tahun anggaran 2025 untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei dengan bobot 5% (lima persen). Pasal 15 (1) Sumber data dalam pengalokasian insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) sampai dengan ayat (6), sebagai berikut:
data nama dan kode Desa menggunakan data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;
surat permohonan penghentian penyaluran Dana Desa atas penetapan kepala Desa dan/atau Bendahara Desa sebagai tersangka penyalahgunaan keuangan Desa kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pada semester I tahun anggaran 2025 dari bupati/wali kota;
data Desa sudah salur Dana Desa tahap I tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data Desa yang menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data nilai indeks Desa membangun atau indeks Desa lainnya tahun 2024 dan tahun 2025 menggunakan data yang bersumber dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal atau kementerian/lembaga terkait;
data kinerja penyaluran Dana Desa tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data laporan konsolidasi realisasi APBDes semester II tahun anggaran 2024 menggunakan data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;
data perubahan APBDes tahun anggaran 2024 dan APBDes tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data kelengkapan penyampaian laporan realisasi APBDes untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data kelengkapan penyampaian laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa untuk bulan Juni sampai dengan bulan Desember tahun anggaran 2024 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data kelengkapan penyampaian laporan daftar transaksi harian belanja Desa dan rekapitulasi transaksi harian belanja Desa untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei tahun anggaran 2025 menggunakan data yang bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
data kinerja realisasi belanja terhadap anggaran APBDes semester II tahun anggaran 2024 pada laporan konsolidasi realisasi APBDes menggunakan data yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri; dan
data penghargaan dari kementerian/lembaga bersumber dari kementerian/lembaga terkait. (2) Dalam hal periode tahun data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, digunakan data periode tahun sebelumnya. Pasal 16 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan insentif Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) berdasarkan kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan kriteria kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4). (2) Insentif Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada Desa yang memiliki kinerja terbaik. (3) Penetapan jumlah Desa per kabupaten/kota penerima insentif Desa ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah Desa per kabupaten/kota. (4) Peringkat Desa per kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah hasil perkalian antara nilai indikator dengan bobot masing-masing indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) dan ayat (6). (5) Desa penerima insentif Desa untuk kategori kinerja Pemerintah Desa merupakan Desa yang mendapatkan peringkat tertinggi sesuai dengan jumlah penerima alokasi untuk setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Insentif Desa untuk kategori kinerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibagikan kepada setiap Desa berdasarkan kelengkapan data APBDes tahun anggaran 2025 yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau laporan konsolidasi realisasi APBDes semester II tahun anggaran 2024 yang disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri. (7) Besaran alokasi insentif Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditentukan berdasarkan kelengkapan data APBDes dan/atau laporan konsolidasi realisasi APBDes dengan perhitungan bobot sebagai berikut:
Desa yang tidak mengirimkan APBDes dan laporan konsolidasi mendapatkan bobot 1,00 (satu koma nol nol);
Desa yang hanya mengirimkan laporan konsolidasi mendapatkan bobot 1,10 (satu koma satu nol);
Desa yang hanya mengirimkan data APBDes mendapatkan bobot 1,15 (satu koma satu lima); dan
Desa yang mengirimkan data APBDes dan laporan konsolidasi mendapatkan bobot 1,20 (satu koma dua nol). (8) Besaran alokasi insentif Desa setiap Desa untuk kategori penghargaan kementerian/lembaga ditetapkan dengan besaran alokasi tertentu. (9) Dalam hal penghitungan insentif Desa berdasarkan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) terdapat sisa hasil penghitungan, sisa hasil penghitungan tersebut dibagikan kepada seluruh Desa penerima insentif Desa pada kabupaten/kota yang mendapatkan alokasi insentif Desa terkecil. BAB III PENGGUNAAN Pasal 17 (1) Dana Desa diutamakan penggunaannya untuk mendukung:
penanganan kemiskinan ekstrem dengan penggunaan Dana Desa paling tinggi 15% (lima belas persen) dari anggaran Dana Desa untuk BLT Desa dengan target keluarga penerima manfaat dapat menggunakan data Pemerintah sebagai acuan;
penguatan Desa yang adaptif terhadap perubahan iklim;
peningkatan promosi dan penyediaan layanan dasar kesehatan skala Desa termasuk stunting ;
dukungan program ketahanan pangan;
pengembangan potensi dan keunggulan Desa;
pemanfaatan teknologi dan informasi untuk percepatan implementasi Desa digital;
pembangunan berbasis padat karya tunai dan penggunaan bahan baku lokal; dan/atau
program sektor prioritas lainnya di Desa. (2) Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g merupakan fokus penggunaan Dana Desa sesuai dengan prioritas nasional dan bersifat ditentukan penggunaannya. (3) Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h bersifat tidak ditentukan penggunaannya. (4) Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk mendanai program sektor prioritas lainnya di Desa sesuai dengan potensi dan karakteristik Desa. (5) Dana Desa dapat digunakan untuk dana operasional Pemerintah Desa paling banyak 3% (tiga persen) dari pagu Dana Desa setiap Desa. (6) Dalam hal Pemerintah Desa menerima insentif Desa yang dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Pemerintah Desa menganggarkan dan melaksanakan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 18 (1) Calon keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a diprioritaskan untuk keluarga miskin yang berdomisili di Desa bersangkutan berdasarkan data yang ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Data yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan keluarga desil 1 (satu) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (3) Dalam hal Desa tidak memiliki data keluarga miskin yang terdaftar dalam keluarga desil 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala Desa dapat menetapkan calon keluarga penerima manfaat BLT Desa dari keluarga yang terdaftar dalam keluarga desil 2 (dua) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (4) Dalam hal Desa tidak memiliki data keluarga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), kepala Desa dapat menetapkan calon keluarga penerima manfaat BLT Desa berdasarkan kriteria sebagai berikut:
kehilangan mata pencaharian;
mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis dan/atau difabel;
tidak menerima bantuan sosial program keluarga harapan;
rumah tangga dengan anggota tunggal lanjut usia; dan/atau
perempuan kepala keluarga dari keluarga miskin. (5) Keluarga penerima manfaat bantuan sosial program keluarga harapan yang terdaftar dalam keluarga desil 1 (satu) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dapat diusulkan untuk ditetapkan menjadi keluarga penerima manfaat BLT Desa. (6) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak memiliki data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/wali kota dapat menyampaikan surat permintaan data tersebut kepada kementerian koordinator yang menangani urusan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan. Pasal 19 (1) Bupati/wali kota menyampaikan data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) dan data kemiskinan lainnya kepada kepala Desa. (2) Dalam hal terdapat keluarga miskin yang tidak terdaftar dalam desil 1 (satu) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem, kepala Desa dapat menetapkan tambahan keluarga penerima manfaat BLT Desa di luar desil 1 (satu) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (3) Dalam hal data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) tidak tersedia, kepala Desa dapat menggunakan data kemiskinan ekstrem lainnya yang bersumber dari kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah. (4) Dalam hal data keluarga miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) dianggap sudah mampu, kepala Desa dapat mengeluarkan keluarga miskin tersebut dari calon keluarga penerima manfaat BLT Desa. (5) Daftar keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (5) dan Pasal 19 ayat (1) sampai dengan ayat (4) ditetapkan dengan keputusan kepala Desa berdasarkan hasil musyawarah Desa.
Keputusan kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) minimal memuat:
nama dan alamat keluarga penerima manfaat;
rincian keluarga penerima manfaat berdasarkan jenis kelompok pekerjaan;
jumlah keluarga penerima manfaat; dan
sumber data yang dijadikan acuan keluarga penerima manfaat. Pasal 20 (1) Besaran BLT Desa ditetapkan sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per bulan untuk bulan pertama sampai dengan bulan kedua belas per keluarga penerima manfaat. (2) Pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat dilaksanakan setiap bulan mulai bulan Januari atau dapat dibayarkan paling banyak untuk 3 (tiga) bulan secara sekaligus. (3) Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat yang telah menerima pembayaran BLT Desa untuk setiap bulan kepada bupati/wali kota. (4) Bupati/wali kota melakukan perekaman realisasi pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada Aplikasi OM- SPAN TKD. (5) Dalam hal kebutuhan pembayaran BLT Desa lebih besar dari kebutuhan BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, pembayaran atas selisih kekurangan BLT Desa menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya. (6) Pembayaran atas selisih kekurangan BLT Desa menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak melebihi batas maksimal sebesar 15% (lima belas persen) dari anggaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a. (7) Dalam hal terdapat penurunan dan/atau penambahan jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penurunan dan/atau penambahan tersebut ditetapkan dalam keputusan kepala Desa berdasarkan hasil musyawarah Desa. Pasal 21 (1) Kepala Desa melakukan pembayaran BLT Desa sesuai dengan perubahan daftar jumlah keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (7). (2) Dana Desa yang ditentukan penggunaannya untuk BLT Desa yang tidak dibayarkan kepada keluarga penerima manfaat akibat perubahan daftar jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (7), dapat digunakan untuk mendanai kegiatan prioritas Desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h.
Kepala Desa menyampaikan laporan penggunaan atas pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada bupati/wali kota. (4) Dalam hal perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) berbeda dengan perekaman awal jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa, bupati/wali kota memberikan penjelasan perbedaan dimaksud pada Aplikasi OM-SPAN TKD. (5) Bupati/wali kota mengunggah dokumen perubahan keputusan kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (7) pada Aplikasi OM-SPAN TKD. Pasal 22 (1) Dalam hal terjadi penurunan pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBDes untuk program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), selisih lebih Dana Desa tersebut dapat digunakan untuk mendanai kegiatan prioritas Desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). (2) Dalam hal terjadi kenaikan pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBDes untuk program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), selisih kekurangan tersebut dapat menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). (3) Kepala Desa menyampaikan perubahan APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada bupati/wali kota. (4) Bupati/wali kota mengunggah perubahan APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada Aplikasi OM-SPAN TKD. BAB IV PENYALURAN Pasal 23 (1) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri atas penyaluran:
Dana Desa yang ditentukan penggunaannya; dan
Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya. (2) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 (1) Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dilakukan dalam 2 (dua) tahap, dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I, sebesar 60% (enam puluh persen) dari pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling lambat bulan Juni; dan
tahap II, sebesar 40% (empat puluh persen) dari pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling cepat bulan April.
Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara penyaluran dana desa, insentif, otonomi khusus, dan keistimewaan menerima persyaratan penyaluran dari bupati/wali kota secara lengkap dan benar. (3) Persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I berupa:
APBDes;
surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa; dan
keputusan kepala Desa mengenai penetapan keluarga penerima manfaat BLT Desa, dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa; dan
tahap II berupa:
laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya; dan
laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahap I menunjukkan realisasi penyerapan paling rendah sebesar 60% (enam puluh persen) dan rata-rata capaian keluaran menunjukkan paling rendah sebesar 40% (empat puluh persen). Pasal 25 (1) APBDes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a angka 1 terdiri atas:
peraturan Desa mengenai APBDes yang disampaikan dalam bentuk pindai format dokumen portabel; dan
arsip data komputer yang dihasilkan dari aplikasi pengelolaan keuangan desa berbasis elektronik. (2) APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (3) Dalam hal Desa belum menggunakan aplikasi pengelolaan keuangan desa berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, APBDes direkam secara manual melalui aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (4) Dalam hal Desa tidak menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Desa tetap menyampaikan APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b diolah dan dihasilkan melalui Aplikasi OM-SPAN TKD. (6) Selain persyaratan penyaluran tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a, bupati/wali kota melakukan:
perekaman pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) termasuk perekaman jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa;
perekaman realisasi Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2024; dan
penandaan pengajuan penyaluran atas Desa layak salur yang disertai dengan daftar rincian Desa, melalui Aplikasi OM-SPAN TKD. (7) Perekaman realisasi Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b meliputi:
perekaman realisasi Dana Desa untuk ketahanan pangan dan hewani tahun anggaran 2024 dalam hal Desa menganggarkan program ketahanan pangan dan hewani tahun anggaran 2024;
perekaman realisasi Dana Desa untuk stunting tahun anggaran 2024 dalam hal Desa menganggarkan program pencegahan dan penurunan stunting tahun anggaran 2024; dan
perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat bulan kesatu sampai dengan bulan kedua belas dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2024. (8) Desa dapat melakukan perekaman keluarga penerima manfaat kurang dari 12 (dua belas) bulan sesuai dengan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c disebabkan:
hanya menerima penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran 2024, Desa wajib menyampaikan laporan realisasi jumlah keluarga penerima manfaat minimal 3 (tiga) bulan kepada bupati/wali kota; dan/atau
terdapat pengurangan keluarga penerima manfaat, Desa menyampaikan laporan realisasi jumlah keluarga penerima manfaat bulan kesatu sampai dengan bulan yang telah disalurkan kepada bupati/wali kota. (9) Selain persyaratan penyaluran tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b, bupati/wali kota melakukan:
perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa tahun anggaran 2025 minimal 3 (tiga) bulan dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2025; dan
penandaan pengajuan penyaluran atas Desa layak salur yang disertai dengan daftar rincian Desa, melalui Aplikasi OM-SPAN TKD. Pasal 26 (1) Penerimaan dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dan perekaman dan penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6) dan ayat (9) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I paling lambat tanggal 15 Juni 2025; dan
batas waktu untuk tahap II mengikuti ketentuan mengenai langkah-langkah akhir tahun.
Bupati/wali kota bertanggungjawab untuk menerbitkan surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a angka 2 untuk seluruh Desa, dan wajib menyampaikan surat kuasa dimaksud pada saat penyampaian dokumen persyaratan penyaluran tahap I pertama kali disertai dengan daftar RKD. (3) Dalam hal tanggal 15 Juni 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, dokumen persyaratan penyaluran diterima paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pasal 27 (1) Penyampaian persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) disampaikan oleh bupati/wali kota kepada kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara penyaluran dana desa, insentif, otonomi khusus, dan keistimewaan dengan surat pengantar yang ditandatangani paling rendah oleh pimpinan organisasi perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan Daerah atau pimpinan organisasi perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan masyarakat Desa. (2) Kewenangan penandatanganan surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/wali kota. (3) Persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a angka 2 dan angka 3, dan huruf b, serta surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk dokumen digital ( softcopy ). (4) Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a dapat disalurkan bersamaan dengan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahap I sepanjang telah memenuhi dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a dan perekaman dan penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6). (5) Penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan Dana Desa. Pasal 28 (1) Untuk penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), kepala Desa menyampaikan persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a angka 1 dan angka 3, dan huruf b kepada bupati/wali kota secara lengkap dan benar. (2) Kepala Desa bertanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 29 Ketentuan mengenai:
klaster Desa dalam Alokasi Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
formula penghitungan Alokasi Afirmasi untuk setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
proporsi jumlah Desa penerima Alokasi Kinerja pada setiap Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
formula penghitungan Alokasi Formula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
rincian Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2025 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
format laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b; dan
format surat pengantar penyampaian dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan klaster, proporsi, formula, dan ketentuan teknis penghitungan Dana Desa sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) mulai berlaku pada tanggal Peraturan Menteri ini diundangkan. Pasal 31 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Ditandatangani secara elektronik
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.03/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Bersama atas Pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil den ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
2a. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Kontraktor, Operator, Kontrak Bagi Hasil, dan Lifting adalah Kontraktor, Operator, Kontrak Bagi Hasil, dan Lifting sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
Bagi Hasil adalah penerimaan negara bukan pajak untuk Kontrak Kerja Sama di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi.
Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut PPh Migas adalah Pajak Penghasilan yang merupakan bagian penerimaan negara yang terutang oleh Kontraktor, yang terdiri atas:
pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka Kontrak Bagi Hasil; dan/atau
pajak penghasilan atas penghasilan kena pajak untuk Kontrak Bagi Hasil setelah dikurangi pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka Kontrak Bagi Hasil, dengan perhitungan sesuai ketentuan Kontrak Kerja Sama kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi.
5a. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SKK Migas adalah satuan yang dibentuk sesuai Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
5b. Badan Pengelola Migas Aceh yang selanjutnya disingkat BPMA adalah suatu badan Pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil laut).
Surat Pemberitahuan Tahunan yang selanjutnya disingkat SPT adalah Surat Pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SPT Tahunan PPh adalah Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama untuk melaporkan kewajiban Pajak Penghasilan termasuk PPh Migas.
Financial Quarterly Report yang selanjutnya disingkat FQR adalah laporan anggaran dan realisasi untuk suatu tahun buku yang mencakup antara lain Lifting , biaya operasi dan perhitungan Bagi Hasil serta perhitungan PPh Migas Kontraktor, yang wajib disampaikan oleh Operator pada suatu wilayah kerja kepada SKK Migas atau BPMA secara kuartalan untuk setiap wilayah kerja.
Final FQR Kuartal IV adalah FQR kuartal IV yang diakui dan digunakan SKK Migas atau BPMA untuk penyelesaian perhitungan Bagi Hasil serta untuk menghitung PPh Migas Kontraktor sesuai dengan ketentuan Kontrak Kerja Sama.
9a. FQR Tahun Buku Terakhir adalah FQR untuk tahun buku terjadinya pengakhiran Kontrak Kerja Sama.
9b. Final FQR Tahun Buku Terakhir adalah FQR Tahun Buku Terakhir yang diakui dan digunakan SKK Migas atau BPMA untuk penyelesaian perhitungan Bagi Hasil serta untuk menghitung PPh Migas Kontraktor sesuai dengan ketentuan Kontrak Kerja Sama di tahun buku terjadinya pengakhiran Kontrak Kerja Sama.
9c. __ FQR Settlement Right and Obligation adalah Final FQR Tahun Buku Terakhir yang disusun dan dilakukan penyesuaian untuk mencakup informasi sebagian perubahan hak dan kewajiban Kontraktor pada tanggal tertentu setelah tahun buku pengakhiran Kontrak Kerja Sama dari suatu penyelesaian pengakhiran wilayah kerja, yang diakui serta digunakan SKK Migas atau BPMA.
9d. FQR Final Settlement Right and Obligation adalah Final FQR Tahun Buku Terakhir yang disusun dan dilakukan penyesuaian untuk mencakup informasi seluruh perubahan hak dan kewajiban Kontraktor pada tanggal tertentu setelah tahun buku pengakhiran Kontrak Kerja Sama dari suatu penyelesaian pengakhiran wilayah kerja, yang diakui serta digunakan SKK Migas atau BPMA.
9e. Auditor Independen adalah auditor yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka pengembalian biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sehubungan dengan Kontrak Bagi Hasil yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Inspektorat Aceh.
Satuan Tugas Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Satgas Pemeriksaan Bersama adalah satuan tugas yang melaksanakan Pemeriksaan Bersama dan pemutakhiran temuan, yang keanggotaannya berasal dari instansi dan lembaga pemerintah yang terkait, atau unsur instansi, lembaga pemerintah yang terkait, dan Auditor Independen.
10a. Satuan Tugas Pemeriksaan Bersama untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi yang berkontrak dengan SKK Migas yang selanjutnya disebut Satgas Pemeriksaan Bersama I adalah Satgas Pemeriksaan Bersama yang keanggotaannya berasal dari Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan SKK Migas.
10b. Satuan Tugas Pemeriksaan Bersama untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi yang berkontrak dengan BPMA yang selanjutnya disebut Satgas Pemeriksaan Bersama II adalah Satgas Pemeriksaan Bersama yang keanggotaannya berasal dari Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, BPMA, dan Inspektorat Aceh.
Pemeriksaan Bersama adalah kegiatan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Bagi Hasil dan PPh Migas yang dilaksanakan terhadap Kontraktor yang bertindak sebagai Operator berdasarkan pelaksanaan Kontrak Kerja Sama berbentuk Kontrak Bagi Hasil dengan pengembalian biaya operasi di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi untuk suatu wilayah kerja.
Pemeriksaan Bersama Tahun Berjalan adalah Pemeriksaan Bersama yang dilakukan dalam rangka penerbitan Final FQR Kuartal __ IV __ atau Final FQR Tahun Buku Terakhir dalam hal terjadi pengakhiran Kontrak Kerja Sama, sebagai dasar penyampaian SPT Tahunan PPh.
Pemeriksaan Bersama Setelah Tahun Berjalan adalah Pemeriksaan Bersama yang dilakukan atas suatu tahun buku atau beberapa tahun buku yang telah diterbitkan Final FQR Kuartal __ IV __ atau Final FQR Tahun Buku Terakhir dalam hal terjadi pengakhiran Kontrak Kerja Sama.
Pemeriksa adalah pegawai negeri sipil dan/atau pegawai di instansi, lembaga pemerintah, dan/atau Auditor Independen sebagai anggota Satgas Pemeriksaan Bersama yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan Bersama.
Surat Tugas Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Surat Tugas adalah surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan Bersama untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Bagi Hasil dan PPh Migas.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan untuk periode tahun tersebut.
Data yang dikelola secara elektronik yang selanjutnya disebut Data Elektronik adalah data yang bentuknya elektronik, yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan disimpan dalam disket, compact disk, tape backup, hard disk, atau media penyimpanan elektronik lainnya.
Kertas Kerja Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disingkat KKPB adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa mengenai prosedur Pemeriksaan Bersama yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bersama.
Notisi Temuan Hasil Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Notisi adalah surat yang berisi tentang temuan Pemeriksaan Bersama yang dapat meliputi pos yang menjadi temuan, nilai temuan, kriteria Pemeriksaan Bersama, serta perhitungan sementara Bagi Hasil dan PPh Migas terutang.
Pembahasan Hasil Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Pembahasan adalah pembahasan antara Kontraktor dan Pemeriksa atas Notisi yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi temuan yang mempengaruhi perhitungan Bagi Hasil dan PPh Migas terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui oleh Kontraktor.
Laporan Hasil Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disingkat LHPB adalah laporan secara ringkas dan jelas yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan Bersama yang disusun oleh Pemeriksa.
Temuan Pemeriksaan yang Masih Perlu Pembahasan Lebih Lanjut yang selanjutnya disebut Pending Items adalah temuan Pemeriksaan Bersama yang tidak disetujui Kontraktor dalam Pembahasan sehingga belum dapat ditentukan status tindak lanjutnya.
Pemutakhiran Tindak Lanjut Temuan Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Pemutakhiran Temuan adalah proses pembahasan untuk menindaklanjuti Pending Items antara Satgas Pemeriksaan Bersama dengan Kontraktor yang dilakukan setelah LHPB diterbitkan.
Pimpinan Kontraktor adalah pegawai yang diangkat atau ditunjuk untuk menjalankan kegiatan usaha untuk pelaksanaan Kontrak Kerja Sama dan secara nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut.
Kuasa Kontraktor adalah orang yang menerima kuasa berdasarkan surat kuasa dari Pimpinan Kontraktor untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban untuk Pemeriksaan Bersama.
Ketentuan ayat (5) dan ayat (9) Pasal 2 diubah, di antara ayat (5) dan ayat (6) Pasal 2 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (5a) dan ayat (5b), dan Pasal 2 ayat (8) dan ayat (10) dihapus sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau wali kota bagi daerah kota.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur yang selanjutnya disingkat PT SMI adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan ekonomi nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Pinjaman PEN Daerah adalah dukungan pembiayaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah berupa pinjaman untuk digunakan dalam rangka melakukan percepatan pemulihan ekonomi di Daerah sebagai bagian dari Program PEN.
Pinjaman Daerah berbasis Program yang selanjutnya disebut Pinjaman Program adalah Pinjaman Daerah yang penarikannya mensyaratkan dipenuhinya Paket Kebijakan.
Pinjaman Daerah berbasis Kegiatan yang selanjutnya disebut Pinjaman Kegiatan adalah Pinjaman Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana tertentu yang menjadi kewenangan Daerah.
Paket Kebijakan adalah dokumen yang berisi program dan/atau kebijakan Pemerintah Daerah dalam rangka mendapatkan Pinjaman Program yang berkaitan dengan percepatan penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) pada aspek kesehatan, sosial, dan/atau percepatan pemulihan perekonomian di Daerah.
Perjanjian Pengelolaan Pinjaman adalah perjanjian atau nota kesepahaman antara Kementerian Keuangan dan PT SMI yang memuat kesepakatan mengenai pengelolaan Pinjaman PEN Daerah yang dananya bersumber dari Pemerintah dan Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung program PEN yang dananya bersumber dari PT SMI.
Perjanjian Pemberian Pinjaman adalah perjanjian antara PT SMI dengan Pemerintah Daerah yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman PEN Daerah.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan pengguna anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Pembuat Komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/PPSPM atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Subsidi Bunga Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung Program PEN yang selanjutnya disebut Subsidi Bunga adalah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah terhadap bunga pinjaman yang diberikan oleh PT SMI kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung Program PEN.
Di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 2 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) dan ketentuan ayat (5) diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal permohonan Pinjaman PEN Daerah berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) disetujui, pemberian Pinjaman PEN Daerah dituangkan dalam Perjanjian Pemberian Pinjaman.
Dalam hal permohonan Pinjaman PEN Daerah berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) tidak disetujui, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat penolakan kepada Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada Kementerian Dalam Negeri dan PT SMI.
Perjanjian Pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur Utama PT SMI bersama Kepala Daerah.
Perjanjian Pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
jumlah pokok Pinjaman PEN Daerah;
hak dan kewajiban para pihak;
jangka waktu Pinjaman PEN Daerah;
masa tenggang Pinjaman PEN Daerah;
syarat efektif Pinjaman PEN Daerah;
tingkat suku bunga Pinjaman PEN Daerah;
tahapan pencairan Pinjaman PEN Daerah;
dokumen persyaratan pencairan dana;
jadwal pengembalian Pinjaman PEN Daerah;
kesediaan untuk diperhitungkan terhadap penyaluran Dana Transfer Umum guna pengembalian kewajiban Pinjaman PEN Daerah;
biaya pengelolaan Pinjaman PEN Daerah;
biaya provisi;
ketentuan penggunaan dana Pinjaman PEN Daerah;
perubahan perjanjian; dan
penyelesaian sengketa.
Biaya pengelolaan Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf k dibayarkan setiap tahun oleh Pemerintah Daerah kepada PT SMI.
Biaya provisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf l dibayarkan satu kali oleh Pemerintah Daerah kepada PT SMI.
Perubahan Perjanjian Pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf n dapat dilakukan dalam hal:
tidak dipenuhinya target dalam Paket Kebijakan atau Kerangka Acuan Kegiatan; dan/atau
kondisi tertentu lainnya yang disepakati bersama antara Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dengan surat kuasa dan PT SMI.
Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 14A diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Untuk mendukung pembiayaan Daerah dalam rangka Program PEN, kepada Pemerintah Daerah dapat diberikan Pinjaman PEN Daerah.
Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
Pinjaman PEN Daerah diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah melalui PT SMI;
dapat berupa Pinjaman Program dan/atau Pinjaman Kegiatan;
kegiatan yang didanai dari Pinjaman PEN Daerah berupa Pinjaman Program dan/atau Pinjaman Kegiatan dapat dilaksanakan secara Tahun Jamak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
jangka waktu pinjaman paling lama 8 (delapan) tahun;
biaya pengelolaan pinjaman per tahun sebesar 0,185% (nol koma satu delapan lima persen) dari jumlah Pinjaman PEN Daerah; dan
biaya provisi sebesar 1% (satu persen) dari jumlah Pinjaman PEN Daerah.
Tingkat suku bunga Pinjaman PEN Daerah diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk dana pinjaman yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2020 dan Perjanjian Pemberian Pinjaman ditandatangani pada tahun 2020, tingkat suku bunga diberikan sebesar 0% (nol persen); dan
untuk dana pinjaman yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2021 dan tahun-tahun berikutnya dan Perjanjian Pemberian Pinjaman ditandatangani pada tahun 2021 dan tahun- tahun berikutnya, tingkat suku bunga ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Selain sebagai pelaksana pemberian Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, PT SMI dapat memberikan Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung Program PEN, yang dananya bersumber selain dari Pemerintah.
(4a) Tingkat suku bunga atas Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung Program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pada tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya, mengikuti tingkat suku bunga Pinjaman PEN Daerah yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
Pemberian Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung Program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan Subsidi Bunga.
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan Anggaran dan Aset pada Masa Transisi di Lingkungan Kementerian dan Lembaga ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kementerian/Lembaga Pengampu adalah Kementerian/Lembaga yang ditetapkan sebagai pengguna anggaran dan pengguna barang berdasarkan daftar isian pelaksanaan anggaran Tahun Anggaran 2024 yang digunakan untuk melaksanakan sebagian atau seluruh tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang mengalami perubahan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang di setujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran negara menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga dan bendahara umum negara dalam menjalankan fungsi belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah, dan pembiayaan.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Struktur Organisasi dan Tata Kerja yang selanjutnya disingkat SOTK adalah sistem untuk menetapkan tugas, tanggung jawab, dan hubungan kerja di dalam suatu Kementerian/Lembaga.
Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat LK adalah bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang disusun oleh pemerintah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan.
Laporan Barang Milik Negara yang selanjutnya disebut Laporan BMN adalah laporan yang menyajikan posisi BMN pada awal dan akhir suatu periode serta mutasi BMN yang terjadi selama periode tersebut.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari masing-masing Kementerian/Lembaga, yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga.
Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga atau Rencana Kerja Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renja K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja Kementerian/Lembaga.
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, termasuk piutang dan BMN .
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara.
Prioritas Nasional adalah program/kegiatan/proyek untuk pencapaian sasaran rencana pembangunan jangka menengah nasional dan kebijakan Presiden lainnya.
Tahun Anggaran yang selanjutnya disingkat TA adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.06/2020 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa yang selanjutnya disingkat ABMA/T, adalah aset yang dikuasai Negara berdasarkan:
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/ 032/1958 jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960;
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962;
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/1964; dan
Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T- 0403/G-5/5/66.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.
Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I pada Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.
Direktur adalah pejabat eselon II pada Direktorat Jenderal yang melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan ABMA/T.
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal di Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.
Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan di bawah Direktorat Jenderal di Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi di bidang kekayaan negara.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Tim Penyelesaian adalah Tim Penyelesaian ABMA/T Tingkat Pusat.
Tim Asistensi Daerah adalah Tim Asistensi Penyelesaian ABMA/T Tingkat Wilayah.
Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian.
Pihak Ketiga adalah pihak yang menempati/menghuni/menggunakan ABMA/T dan/atau telah memiliki sertipikat kepemilikan.
Pihak Lain adalah pihak yang memperoleh hak untuk menggantikan kedudukan Pihak Ketiga dalam rangka penyelesaian ABMA/T.
Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional Untuk Pemerintah Daerah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau wali kota bagi daerah kota.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur yang selanjutnya disingkat PT SMI adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan ekonomi nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID -19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Pinjaman PEN Daerah adalah dukungan pembiayaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah berupa pinjaman untuk digunakan dalam rangka melakukan percepatan pemulihan ekonomi di Daerah sebagai bagian dari Program PEN.
Pinjaman Daerah Berbasis Program yang selanjutnya disebut Pinjaman Program adalah Pinjaman Daerah yang penarikannya mensyaratkan dipenuhinya Paket Kebijakan yang disepakati antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pinjaman Daerah Berbasis Kegiatan yang selanjutnya disebut Pinjaman Kegiatan adalah Pinjaman Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana tertentu yang menjadi kewenangan Daerah.
Paket Kebijakan adalah dokumen yang berisi program dan kebijakan Pemerintah Daerah dalam rangka mendapatkan Pinjaman Program.
Perjanjian Pengelolaan Pinjaman adalah perjanjian atau nota kesepahaman antara Kementerian Keuangan dan PT SMI yang memuat kesepakatan mengenai pengelolaan Pinjaman PEN Daerah yang dananya bersumber dari Pemerintah dan PT SMI.
Perjanjian Pemberian Pinjaman adalah perjanjian antara PT SMI dengan Pemerintah Daerah yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman PEN Daerah.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan pengguna anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Pembuat Komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/PPSPM atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Subsidi Bunga Pinjaman Daerah dalam rangka mendukung Program PEN yang selanjutnya disebut Subsidi Bunga adalah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah terhadap bunga pinjaman yang diberikan oleh PT SMI kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung Program PEN.
Dalam hal permohonan Pinjaman PEN Daerah berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) disetujui, pemberian Pinjaman PEN Daerah dituangkan dalam Perjanjian Pemberian Pinjaman.
Dalam hal permohonan Pinjaman PEN Daerah berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) tidak disetujui, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat penolakan kepada Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada Kementerian Dalam Negeri dan PT SMI.
Perjanjian Pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur Utama PT SMI bersama Kepala Daerah.
Perjanjian Pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
jumlah pokok Pinjaman PEN Daerah;
hak dan kewajiban para pihak;
jangka waktu Pinjaman PEN Daerah;
masa tenggang Pinjaman PEN Daerah;
syarat efektif Pinjaman PEN Daerah;
tingkat suku bunga Pinjaman PEN Daerah;
tahapan pencairan Pinjaman PEN Daerah;
jadwal pengembalian Pinjaman PEN Daerah;
kesediaan untuk diperhitungkan terhadap penyaluran Dana Transfer Umum guna pengembalian kewajiban Pinjaman PEN Daerah;
biaya pengelolaan Pinjaman PEN Daerah;
biaya provisi;
ketentuan penggunaan dana Pinjaman PEN Daerah;
perubahan perjanjian; dan
penyelesaian sengketa.
Biaya pengelolaan Pinjaman PEN Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf j dibayarkan setiap tahun oleh Pemerintah Daerah kepada PT SMI.
Biaya provisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf k dibayarkan satu kali oleh Pemerintah Daerah kepada PT SMI.
Perubahan Perjanjian Pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf m dapat dilakukan dalam hal:
tidak dipenuhinya target dalam Paket Kebijakan atau Kerangka Acuan Kegiatan; dan/atau
kondisi tertentu lainnya yang disepakati bersama antara Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dengan surat kuasa dan PT SMI.
Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga/Subsidi Margin Kredit Usaha Alat dan Mesin Pertanian
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Alat dan Mesin Pertanian yang selanjutnya disebut Alsintan adalah peralatan yang dioperasikan dengan motor penggerak ataupun tanpa motor penggerak untuk kegiatan budi daya Pertanian.
Taksi Alsintan adalah kegiatan model tata kelola usaha jasa Alsintan dengan sistem jasa sewa atau kepemilikan Alsintan, dengan dukungan pemanfaatan teknologi informasi untuk penguatan usaha/bisnis kelembagaan pengelola Alsintan.
Kredit Usaha Alat dan Mesin Pertanian yang selanjutnya disebut Kredit Alsintan adalah kredit/pembiayaan investasi yang dikhususkan untuk pembelian Alat dan Mesin Pertanian yang diusahakan sebagai Taksi Alsintan yang diberikan oleh penyalur Kredit Alsintan kepada penerima Kredit Alsintan yang memperoleh subsidi bunga dari pemerintah.
Subsidi Bunga adalah bagian bunga yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang seharusnya diterima oleh penyalur Kredit Alsintan dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada penerima Kredit Alsintan.
Subsidi Margin adalah bagian margin yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara margin yang seharusnya diterima oleh penyalur Kredit Alsintan dengan margin yang dibebankan kepada penerima Kredit Alsintan dalam skema pembiayaan syariah.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Anggaran Subsidi Kredit Usaha Alat Mesin Pertanian yang selanjutnya disingkat KPA Alsintan adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran untuk pembayaran subsidi atas Kredit Alsintan.
Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut Komite Kebijakan adalah komite yang dibentuk oleh Presiden dengan Keputusan Presiden yang diberi kewenangan dalam memberikan arahan terhadap kebijakan program Kredit Alsintan.
Penerima Kredit Alsintan adalah pihak yang memenuhi kriteria untuk menerima Kredit Alsintan sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Kredit Alsintan.
Penyalur Kredit Alsintan adalah lembaga keuangan atau koperasi yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan Kredit Alsintan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman pelaksanaan Kredit Alsintan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN Belanja Subsidi.
Baki Debet adalah sisa pokok pinjaman/sisa pokok pembiayaan yang wajib dibayar kembali oleh Penerima Kredit Alsintan kepada Penyalur Kredit Alsintan.
Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.
Tahun Penyaluran adalah periode penyaluran Kredit Alsintan mulai bulan Januari sampai dengan Desember berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Komite Kebijakan.
Rencana Target Penyaluran yang selanjutnya disingkat RTP adalah rencana yang disusun oleh Penyalur Kredit Alsintan untuk menyalurkan Kredit Alsintan selama Tahun Penyaluran.
Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat IKD adalah indikasi dana untuk pemenuhan kewajiban pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada bagian anggaran BUN.
Penjamin Kredit Alsintan adalah perusahaan penjaminan dan perusahaan lain yang ditunjuk untuk memberikan penjaminan Kredit Alsintan.
Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial debitur Kredit Alsintan oleh Penjamin Kredit Alsintan baik berdasarkan prinsip konvensional maupun syariah.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disingkat BPKP merupakan aparat pengawasan intern pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.