Pengujian pasal 8 ayat 3 dan pasal 13 UU 14 tahun 2002 tentang peradilan pajak terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap
Menurut saksi, hal ini karena beban hakim yang tidak seimbang ( overload ), untuk itu perlu tambahan hakim. Tetapi tentunya, hakim-hakim yang berpengalaman. Saksi tidak dapat membayangkan, Majelis Hakim yang bersidang di persidangan hingga larut malam bergantian menunggu para pihak datang di persidangan satu per satu memproses perkara, tanpa jeda, tanpa istirahat seperti ban berjalan. Memang saksi menyadari bahwa rekrutmen Hakim Pengadilan Pajak telah dilakukan, tetapi hasilnya tetap tidak seimbang dengan pensiun yang konon telah berusia 65 tahun. Itu pun, hakim harus berada cukup lama dan untuk menangani suatu perkara. Hal ini disebabkan karena putusan Majelis Hakim Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat ( final and binding ). Selain kemampuan dan pengalaman yang cukup dari Hakim Pengadilan Pajak sangat dibutuhkan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak, berdasarkan pengalaman saya selama mewakili klien dalam berperkara di Pengadilan Pajak, termohon banding atau tergugat, dan dalam proses persidangan pajak hingga menghasilkan putusan yang baik, akurat, sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, menurut saksi, untuk menjadi Hakim Pengadilan Pajak tidaklah mudah. Mereka harus menguasai ketentuan bidang perpajakan, baik itu adalah pajak daerah, pajak pusat apakah itu PPH, PPN, dan juga pajak bea dan cukai. Ini memerlukan satu keahlian khusus yang tidak mudah. Pada pokoknya yang sangat mendesak bagi pengadilan pajak diperlukan banyak hakim yang berkualitas. Untuk itu, perlu diberikan perpanjangan usia hakim sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Saksi melihat hakim yang cukup usia lebih kelihatan lebih bijaksana di dalam penguasaan terhadap Undang- Undang Pajak, baik bea cukai maupun pajak daerah. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 April 2016 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 April 2016 yang kemudian dilengkapi pada tanggal 11 Mei 2016 pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus ...
Relevan terhadap
Belanja/ beban pengeluaran untuk keperluar: hubungan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a paling sedikit terdiri atas:
pengeluaran kerja sama internasional yang mencakup pembayaran iuran keikutsertaan Pemerin tah Repu blik Indonesia dalam organ1sas1 in ternasional dan tidak menimbulkan hak suara di luar ketentuan Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 1999 ten tang Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Republik Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional, yang dibiayai dari Bagian Anggaran BUN seperti trust fund dan kontribusi;
pengeluaran perjanjian internasional yang mencakup transaksi ya: : J.g timbul sebagai akibat dari perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak lain di dunia internasional dan dibiayai dari Bagian Anggaran BUN; dan
pendapatan dan belanja/beban selisih kurs dan biaya transfer atas pengeluaran untuk keperluan hubungan internasional.
Belanja/ beban Fasilitas Penyiapan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b berupa bantuan teknis penyiapan dan transaksi proyek kerj a sama pemerin tah dan swasta bagi penanggung jawab program kegiatan untuk menghasilkan bankable business case project dan dapat mencapai financial close.
Belanja/beban Dukungan Kelayakan sebagaimana dimaksud dala: : : n Pasal 2 huruf c berupa kontribusi fiskal dalam bentuk tunai atas sebagian biaya pembangu: : J.an proyek yang dilaksanakan melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha untuk penyediaan layanan infrastruktur yang terjangkau bagi masyarakat.
PNBP yang dikelola oleh DJA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 h uruf d paling sediki t terdiri atas:
pendapatan minyak bun: i dan gas bumi;
pendapatan panas bumi; dan
setoran lainnya, paling sedikit terdir:
. dari setoran dari surplus Bank Indonesia dan surplus lembaga.
Aset yang berada dalam pengelolaan DJKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e paling sediki t terdiri a tas:
Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa;
BMN yang berasal dari pertambangan paling sedikit terdiri atas: 1 . BMN yang Berasal dari KKKS; dan
BMN yang Berasal dari Kontraktor PKP2B;
Aset Eks Pertamina;
BMN Idle yang sudah diserahkan ke DJKN;
aset yang timbul dari pemberian BLBI paling sedikit terdiri atas: 1 . piutang pada Bank Dalam Likuidasi (BDL) ;
aset eks BPPN;
Aset Eks Kelolaan PT PPA; dan 4 . Aset yang Diserahkelolakan kepada PT PPA;
aset lainnya dalam pengelolaan DJKN paling sedikit terdiri atas: 1 . barang gratifikasi;
BMN yang diperoleh dari pelaksanaan perJ an J ian kerj a sama an tara Pemerintah Republik Indonesia dengan badan internasional dan/atau negara asmg;
BMN yang diperoleh dari pembubaran badan yang dibentuk kementeriar negara/lembaga, seperti unit pelaksans teknis yang dibentuk oleh kementerian negara/lembaga; 4 . BMN yang diperoleh dari pembubaran badan-badan ad hoc; atau
BMN yang diperoleh dari pembubaran yayasan sebagai tindak lanjut temuan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;
piutang untuk dana antisipasi penanggulangan lumpur Sidoarjo; dan
piutang kepada Yayasan Supersemar.
Belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f paling sedikit terdiri atas:
belanja/beban pensiun;
belanja/beban jaminan layanan kesehatan;
belanja/beban Jaminan Kesehatan Menteri dan Pejabat Tertentu (Jamkesmen) ;
belanja/ beban Jaminan Kesehatan Utama (Jamkestama);
belanja/beban Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) ;
belanja/beban Jaminan Kematian (JKM) ;
belanja/beban program Tunjangan Hari Tua (THT) ;
belanja/ beban selisih harga beras Bulog; dan i. pelaporan akumulasi iuran pensiun.
Pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara sebagaimana dimaksud dalam Pas al 2 h uruf g paling sediki t terdiri a tas:
pendapatan berupa selisih lebih dalam pengelolaan kele bihan / kekurangan kas;
pendapatan selisih kurs terealisasi dalam pengelolaan rekening milik BUN;
pendapatan lainnya dalam pengelolaan kas negara;
belanja/beban berupa selisih kurang dalam pengelolaan kele bihan / kekurangan kas;
belanja/beban selisih kurs terealisasi dalam pengelolaan rekening milik BUN; dan
belanja/beban transaksi pengelolaan kas negara.
Utang PFK pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h merupakan selisih le bih / kurang antara penenmaan setoran/potongan PFK pegawai dan pembayaran pengembalian penerimaan PFK pegawai.
Utang PFK Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i merupakan selisih le bih / kurang an tar a penerimaan setoran PFK Pajak Rokok dan pembayaran pengembalian penerimaan PFK Pajak Rokok. ( 1 0) Pendapatan dan beban untuk pengelolaan penenmaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf j paling sedikit terdiri atas:
hasil koreksi atas terjadinya Suspen Penerimaan; dan
pendapatan dan be ban selisih kurs belum terealisasi dalam pengelolaan rekening penenmaan negara dalam valas pada unit eselon III di DJ Pb yang ·menangani pengelolaan penerimaan negara. ( 1 1) Belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf k paling sedikit terdiri atas:
belanja/beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Real Time Gross Settlement (RTGS) Bank Indonesia (PPN BI RTGS / SWIFT) ;
pembayaran bunga nega if;
pembayaran imbalan Jasa pelayanan bank/ pos persepsi;
pembayaran PPN atas transaksi RTGS bank operasional; dan
fee bank kustodian. ( 1 2) Pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valas pada kuasa BUN daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf 1 merupakan pendapatan dan beban selisih kurs (J. www.jdih.kemenkeu.go.id belum terealisasi dalam pengelolaan rekening valas milik kuasa BUN daerah. 4 . Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Tata Cara Pemberian Pinjaman Pemerintah dengan Persyaratan Lunak Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Melalui Pusat Investasi Pemerintah. ...
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap
pemungutan PKB dan BBNKB alat alat berat ini pun telah berdasarkan atas asas-asas perpajakan yang berlaku secara universal yaitu asas equality , asas certainty , asas convenient dan asas efisiensi. Oleh karena itu dengan dimasukannya alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai salah satu objek pajak daerah telah tepat dan sesuai dengan asas-asas umum perpajakan. Sehubungan dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pungutan atas PKB dan BBNKB atas alat berat dan besar telah menimbulkan pajak berganda ( double taxation ) dapat disimpulkan bahwa walaupun subjek dan masa pajaknya sama, namun karena dasar ketentuan pemungutan dan jenis pajaknya berbeda, secara yuridis, pembayaran PPh badan, PPN, PKB dan BBN-KB oleh wajib pajak, tidak dapat dikatakan telah terjadi pungutan pajak berganda ( double taxation ). 9) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan sebagaimana kutipan para Pemohon berikut ini: … Bahwa dengan menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor dan menjadi objek PKB dan BBNKB, beberapa daerah provinsi telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang terkait dengan pengaturan penarikan PKB dan BBNKB sebagaimana terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Papua, dan lain lain. __ Dengan diberlakukannya beberapa Perda yang terkait dengan penarikan PKB dan BBNKB tersebut beberapa Pemprov telah melakukan penarikan PKB dan BBNKB terhadap alat berat, sebagai contoh pada tanggal 3 November 2016 terdapat surat dari dinas pendapatan daerah/SAMSAT Mappi Provinsi Papua Nomor 973/95/XI-SM/2016 perihal PKB yang pada pokoknya menagih PKB dan BBNKB kepada Pemohon dengan merujuk pada UU PDRD, Perda Nomor 4 tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta surat Menteri Dalam Negeri Nomor 975/2956/ KEUDA tanggal 9 Agustus 2016 tentang penegasan penjelasan pelaksanaan pemungutan PKB dan BBNKB alat berat/besar. Surat tersebut dikeluarkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2015 tertanggal 31 Maret 2016 yang telah membatalkan pengelompokan alat berat sebagai bagian dari kendaraan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
alat berat lainnya, karena dapat menimbulkan ketidakjelasan alat berat seperti apa yang termasuk kendaraan bermotor dan yang bukan kendaraan bermotor atau bisa juga terhadap alat berat yang sama bisa diperlakukan berbeda dimana yang satu diperlakukan sebagai bukan kendaraan bermotor dan yang satu lagi alat berat diperlakukan sebagai kendaraan bermotor ... __ (vide perbaikan permohonan hlm. 20 angka 32) __ Berdasarkan pernyataan para Pemohon di atas yang menyatakan bahwa kedudukan alat berat yang telah dikeluarkan dari ketagori kendaraan bermotor sesuai dengan putusan MK dalam perkara Nomor 3/PUU- XIII/2005 secara mutatis mutandis seharusnya pengkategorian alat berat sebagai kendaraan bermotor dalam Pasal 1 angka 13 UU PDRD beserta turunannya yaitu Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945. DPR RI berpandangan bahwa putusan MK tidak serta merta atau berlaku mutatis mutandis terhadap keberlakuan undang-undang lain. Dengan perbedaan istilah dalam UU PDRD dengan UU LLAJ disampaikan bahwa karena kedua undang-undang tersebut berbeda, latar belakang, tujuan dan maksud serta kriteria pembentukannya berbeda (misalnya Undang-Undang Pajak dengan tujuan perolehan penerimaan yang memadai dan penyederhanaan administrasi dan kepatuhan, serta menutup celah pengelakan pajak) adalah wajar saja kalau suatu istilah yang sudah didefinisikan dalam suatu Undang-Undang didefinisikan lain dalam UU PDRD, guna memberikan kepastian hukum dan keadilan tentang besaran pajak yang harus dibayar, maka rumusan tentang dasar pengenaan pajak dan tarif pajak merupakan sesuatu keharusan adanya (conditio sine qua non) dalam Undang-Undang perpajakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adanya, terkait dengan pajak berganda disampaikan bahwa walaupun subjek dan masa pajaknya sama, namun karena dasar ketentuan pemungutan dan jenis pajaknya berbeda, secara yuridis, pembayaran PPh badan, PPN, PKB dan BBNKB oleh wajib pajak, tidak dapat dikatakan telah terjadi pungutan pajak berganda. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. ...
Pengujian UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
www.mahkamahkonstitusi.go.id pada adanya tambahan kemampuan ekonomis, sehingga dapat tercapai keadilan bagi para wajib pajak, dimana wajib pajak yang mendapatkan penghasilan tinggi akan menanggung beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak yang mendapatkan penghasilan rendah; 5. Bahwa pengaturan perpajakan dalam Undang-Undang PPh tersebut menganut prinsip-prinsip keadilan dalam sistem perpajakan yang berlaku secara universal yaitu: a. Prinsip keadilan horisontal: Keadilan horizontal dalam perspektif pajak mengandung makna, untuk Wajib Pajak dengan kondisi kemampuan atau penghasilan yang sama harus dikenakan jumlah pajak yang sama. Dalam perpajakan Indonesia, konsep ini mendasari pengenaan pajak dengan tarif tunggal, misalnya PPN dengan tarif tunggal sebesar 10%. b. Prinsip keadilan vertikal: Keadilan vertikal diartikan semakin tinggi kemampuan ekonomis wajib pajak, semakin tinggi pula beban pajak yang dikenakan. Konsep ini yang mendasari pengenaan pajak penghasilan secara progresif, seperti dianut rezim PPh di Indonesia dengan tarif yang progresif (sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang PPh), selain itu pengenaan tarif yang berbeda dalam mekanisme pemotongan dan pemungutan PPh, sesuai dengan jenis penghasilannya. 6. Bahwa sekali lagi Pemerintah tegaskan, pemajakan atas penghasilan tidak didasarkan pada bidang usahanya, tetapi pada jenis penghasilannya. Oleh karena itu, dimungkinkan atas penghasilan yang berasal dari satu bidang usaha yang sama dapat dilakukan pemotongan/pemungutan dengan tarif yang berbeda, tergantung jenis penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajaknya. Oleh karena itu Pemerintah berpendapat dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang PPh memperlakukan Pemohon secara diskriminatif adalah tidak benar; 7. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang PPh yang memberikan delegasi kepada Menteri Keuangan untuk mengatur jenis jasa lain selain daripada yang telah ditetapkan di dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh yakni jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultan, sama Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id cara pemungutannya diatur dalam peraturan/ketentuan tersendiri dalam rangka mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami, serta mematuhinya; 4. Bahwa secara spesifik, Undang-Undang PPh mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subjek Pajak (siapa yang dikenakan), Objek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarif Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil, dengan mengikuti dinamika dunia usaha; 5. Bahwa objek dari PPh adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 6. Bahwa pengertian penghasilan dalam Undang-Undang PPh ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari bidang usaha tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis, sehingga dapat tercapai keadilan bagi para Wajib Pajak; 7. Bahwa pengaturan perpajakan juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dalam sistem perpajakan yang dianut secara universal yaitu: a. Prinsip keadilan horisontal: Keadilan horisontal dalam perspektif pajak mengandung makna, untuk Wajib Pajak dengan kondisi kemampuan atau penghasilan yang sama harus dikenakan jumlah pajak yang sama. Dalam perpajakan Indonesia, konsep ini mendasari pengenaan pajak dengan tarif tunggal, misalnya PPN dengan tarif tunggal sebesar 10%; b. Prinsip keadilan vertikal: Keadilan vertikal diartikan semakin tinggi kemampuan ekonomis wajib pajak, semakin tinggi pula beban pajak yang dikenakan. Konsep ini yang mendasari pengenaan pajak penghasilan secara progresif, seperti dianut rezim PPh di Indonesia dengan tarif yang progresif (sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang PPh), selain itu pengenaan tarif yang berbeda dalam mekanisme pemotongan dan pemungutan PPh, sesuai dengan jenis penghasilannya; Hal tersebut bertujuan agar dapat tercapai keadilan bagi para Wajib Pajak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Standar Reviu atas Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.02/2016 tentang Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Kegiatan Us ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Di ...
Relevan terhadap
Barang asal luar Daerah Pabean dapat dikeluarkan untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu . dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daeral · Pabean setelah mendapat izin dari Kepala Kantor ^: Pabean.
Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada : ayat (1) , dapat dilakukan terhadap barang yang ; berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa mesin atau peralatan untuk:
kepentingan produksi atau penger jaan proyek infrastruktur;
diperbaiki, direkondisi, dikalibrasi; dan / a tau diuji, c. keperluan peragaan atau demonstrasi. dan/atau (2a) Kepala Kantor Pabean dapat memberikan izin · pengeluaran barang untuk tujuan tertentu dala1n . jangka waktu tertentu dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean atas barang selain : sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:
barang untuk keperluan pertunjukan umum, olah raga, dan/ a tau perlombaan;
barang untuk keperluan penanggulangan bencana alam, kebakaran, kerusakan lingkungan, gangguan keamanan atau ketertiban, untuk · tujuan kemanusiaan, atau sosial;
barang keperluan pemerintah pusat atau pemerintah daerah; dan/atau
barang untuk keperluan kegiatan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara . Republik Indonesia.
Terhadap pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pengusaha wajib:
membayar bea masuk sebesar 2o/o (dua persen) untuk setiap bulan atau bagian dari bulan, dikalikan jumlah bulan jangka waktu pengeluaran, dikalikan jumlah bea masuk yang seharusnya dibayar; dan
menyerahkan jaminan sebesar selisih antara bea masuk yang seharusnya dibayar dengan yang telah dibayar ditambah dengan PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22.
Terhadap pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (2a) , pengusaha wajib menyerahkan jaminan sebesar bea masuk yang seharusnya dibayar, ditambah dengan PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22, kepada Kepala Kantor Pabean sebelum mendapat nomor PPFTZ-0 1 .
(4a) Kepala Kantor Pabean menetapkan bentuk jaminan yang harus diserahkan atas barang yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) berdasarkan manajemen risiko.
(4b) Bentuk jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengena1 Jaminan dalam rangka kepabeanan.
Terhadap pengeluaran dimaksud pada ayat menyampaikan PPFTZ-0 1 . barang sebagaimana (1), pengusaha wajib (6) Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 2 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal PPFTZ-0 1 .
Dihapus.
Dihapus.
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 37 A, Pasal 37B, Pasal 37C, dan· Pasal 37D yang berbunyi sebagai berikut:
Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang .Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telt diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 20°i6 tentang Perubahan atas Undang-Und8: ng Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. j www.jdih.kemenkeu.go.id I 3. Undang ^"'" Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 ! . tentang Cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Repubiik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dad memperoleh fasilitas tertentu. I 5. De֔an Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat nasional untuk menyelenggarakan KEK.
Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat provms1 untuk membantu Dewan Nasional dalam penyelenggaraan KEK.
Administrator KEK adalah bagian dari Dewan Kawasan yang dibentuk untuk setiap KEK guna membantu Dewan Kawasan dalam penyelenggaraan KEK.
Badan Usaha adalah perusahaan berbadan hukum yang berupa Badan Usaha M֕lik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, dan usaha patungan untuk menyelenggarakan kegiatan usaha KEK.
Pel֖ku Usaha adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum, atau usaha orang perseorangan yang melakukan kegiatan usalia di KEK.
Pembangunan adalah pendirian perusahaan atau pabrik baru untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.
Pengembangan adalah pengembangan perusahaan atau pabrik yang telah ada meliputi penambahan, modernisasi, rehabilitasi, dan/ a tau restrukturisasi dari alat-alat produksi termasuk mesin untuk tujuan peningkatan jumlah, jenis, dan/atau kualitas hasil produksi barang dan/atau jasa.
Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, ata6 kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang diJinakan untuk menimbun barang dengan tujuan . ֗ ֘ tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. j www.jdih.kemenkeu.go.id 13. Kegiatan Utama adalah bidang usaha beserta rantai produksinya yang menjadi fokus kegiatan KEK dan ditetapkan oleh Dewan Nasional.
Kegiatan Lainnya adalah bi dang usaha di luar Kegiatan Utama di KEK.
Barang Modal adalah barang yang digunal֙an oleh Badan U saha dan Pelaku U saha. berupa:
peralatan dan perkakas untuk Pembangunan, perluasan, atau konstruksi;
mesm;
beralatan pabrik; dan I d. ֚etakan _(moulding); _ termasuk bahan untuk Pembangunan, perluasan, atau konstruksi, serta suku cadang yang dimasukkan tidak bersamaan dengan Barang Modal yang bersangkutan.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara dia֛asnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang tentang Kepabeanan.
Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penkhasilan (PPh) Pasal 22. 18 . . Te1*pat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan Tempat Penimbunan Berikat.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Und.ang-Undang Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat )enderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas terte,ntu.