Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum.
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Relevan terhadap
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas __ profesinya dengan iktikad baik untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 338 NO. UNDANG-UNDANG PASAL kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Bahwa untuk memahami ketentuan-ketentuan UU Pengampunan Pajak dipandang perlu untuk merujuk latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam Undang-Undang a quo sebagai berikut:
Terkait dengan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ke-4 tanggal 1 Juni 2016: Sekjen Kementerian Keuangan dari Pemerintah, menyampaikan bahwa: __ “perlindungan hukum dalam rangka pelaksanaan Undang- Undang Pengampunan Pajak. Ini dimaksudkan apabila ada situasi pegawai Menteri Keuangan Kementerian Keuangan tidak dapat di sini diatur, Pegawai Kementerian Keuangan tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyidikan atau dituntut baik secara perdata maupun Ida apabila melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mungkin ilustrasi singkat kira-kira kalau ada staf sedang membawa berkas misalnya, kemudian karena sesuatu hal kecopet atau ada kecelakaan berkas itu tercecer satu saja, nah ini tidak dapat dijadikan alasan untuk dilaporkan, digugat, ataupun dilakukan penyidikan karena yang bersangkutan telah melaksanakan itikad baik sebaik-baiknya membawa berkas dan sebagaimana. Secara singkat Pak Dirjen Pajak menyampaikan dalam situasi benar-benar Force major yang di luar kontrol dari pelaksanaan tugas pegawai Kementerian Keuangan dimaksud.” (2) Terkait dengan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak dalam Rapat Panitia Kerja RUU tanggal 21 Juni 2016 H Ecky Awal Mucharam, SE., Ak dari Fraksi PKS, menyampaikan bahwa: __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 339 “pasal ini normal dan perlu memang, kalau misalnya saya berpendapat bahwa dengan pasal yang tadi itu tidak redanden kenapa pasal yang tadi itu terkait dengan data, kelalaian dalam hal data. Dalam hal ini jelas dia kan masker undang-undang ini dan di dalam Undang-Undang ini tidak boleh mengeluarkan data, artinya ketika mengeluarkan data dia tidak dilindungi dengan pasal ini karna tidak sesuai dengan undang-undang” H. Mukhamad Misbakhun, SE dari Fraksi PG. Menyampaikan bahwa: __ “mendiskusikan pasal inikan kita mendiskuskan sebuah upaya membangun Mutual Trust antara wajib pajak dengan diskus, kalau mereka kemudian melakukan kesalahan itu dihukum. Orang yang beritikad baik juga harus diberikan kenyamanan atau diberikan garansi, selama inikan sering kita temukan ada upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada fiskus banyak misalnya kemudian hanya karena meminjam data dalam prosedur pemeriksaan mereka digugat bahwa mereka melakukan pencurian data oleh wajib pajak, padahal mereka dalam rangka melaksanakan tugas yang didasarkan kepada ketentuan peraturan perundangan yang memberikan kewenangan kepada mereka. Kemudian di dalam Undang- Undang Tax Amensty yang sedang kita susun ini akan memberikan sebuah garansi bahwa mereka akan bekerja dengan sungguh-sungguh dengan itikad baik itu mereka juga harus dijamin dengan Undang-Undang. Cara kita menjaga dan melindungi mereka dengan pasal di Undang-Undang dan itu yang secara jelas harus terstatement di dalam Undang- Undang ini. Terima kasih.” Dra Elviana, M.Si dari Fraksi PPP. menyampaikan bahwa: __ “pimpinan dari awal kita sudah membuat pasal-pasal yang membuat Wajib Pajak itu nyaman dan sekarang Pemerintah meminta perlindungan, bagi saya sekali lagi goal di Undang- Undang ini adalah uang cepat masuk ke Indonesia untuk menutup defisit kita yang kata pak menteri 165 Triliun totalnya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 340 Oleh sebab itu saya pikir tidak perlu ada lagi perdebatan kita, kita ketok pasal ini kemudian kita lanjut pimpinan.” Prof. Dr. Hendrawan Supraktikno dari Fraksi PDIP. menyampaikan bahwa: __ “pengampunan adalah sebuah upaya legal yang luar biasa. Itu sebabnya proteksi tetap diberikan kepada pihak-pihak yang terkait.” Sekjen Kementerian Keuangan dari Pemerintah, menyampaikan bahwa __ “pasal ini sangat diperlukan buat kami menjalankan Undang- Undang ini dengan penuh keyakinan bahwa kita juga memperoleh perlindungan hukum yang memadai, apabila kita menjalankan Undang-Undang ini dengan itikad baik dengan cara semua prosedur dijalankan dan lain sebagaimana” 9. Bahwa berdasarkan pandangan tersebut, Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 22 dan Pasal 23 UU Pengampuan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Dengan demikian atas dasar uraian tersebut, DPR- RI berpandangan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 UU Nomor 11 Tahun 2016 tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD Tahun 1945, juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan Para Pemohon a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR RI dikabulkan untuk seluruhnya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 341 4. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa para Pemohon dan Presiden masing-masing telah menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 16 November 2016 dan 17 November 2016, yang pada pokoknya masing- masing menyatakan tetap dengan pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 342 selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (selanjutnya disebut UU 11/2016) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 343 [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.3] dan [3.4] di atas, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu Yayasan Satu Keadilan, mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat, yang dalam hal ini diwakili oleh Sugeng Teguh Santoso, S.H. dan Syamsul Alam Agus, S.H. masing- masing dalam kedudukannya selaku Ketua dan Sekretaris Eksekutif Yayasan Satu Keadilan (vide bukti P-4 dan bukti P-5) yang berdasarkan Pasal 16 ayat (5) Akta Pendiriannya (vide bukti-P1) berhak mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal dan segala keadaan dengan pembatasan tertentu dan dalam hal ini, setelah diteliti oleh Mahkamah, telah ternyata tidak termasuk dalam pembatasan sebagaimana dimaksud, sehingga Mahkamah berhak bertindak untuk dan atas nama Yayasan Satu Keadilan sebagai Pemohon dalam permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 344 2. Bahwa setelah meneliti maksud dan tujuan Yayasan Satu Keadilan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Akta Pendiriannya, Mahkamah berpendapat bahwa secara implisit mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah termasuk ke dalam maksud dan tujuan Yayasan Satu Keadilan;
Bahwa, agak berbeda dengan pengujian Undang-Undang lainnya, permohonan a quo substansinya berkenaan dengan masalah pajak, sehingga menurut Mahkamah setiap warga negara pembayar pajak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU 11/2016 dapat diterima kedudukan hukum ( legal standing )-nya dalam pengujian UU 11/2016 terhadap UUD 1945.
Bahwa, dalam kaitannya dengan Pemohon, sekalipun sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial Pemohon tidak diwajibkan membayar pajak, namun mengingat maksud dan tujuan pendiriannya Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon memiliki kepentingan langsung terhadap berlakunya norma Undang- Undang yang menjadi objek permohonan a quo , terlebih lagi ternyata Pemohon juga terdaftar sebagai Wajib Pajak (vide bukti P-10 dan bukti P-11) [3.6] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan pada paragraf [3.5] di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7] Menimbang, oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan a quo adalah permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 20 dan Penjelasannya, serta Pasal 22 UU 11/2016 terhadap UUD 1945. Adapun rumusan ketentuan dalam UU 11/2016 yang dimohonkan pengujian tersebut selengkapnya berbunyai sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 345 Pasal 1 angka 1: Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini” Pasal 1 angka 7: Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak . Pasal 3 ayat (1):
Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Pasal 4:
Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah yang berada Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 _(tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: _ a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan _Republik Indonesia adalah sebesar: _ a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 346 c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017. (3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada _Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: _ a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam _Surat Pernyataan; atau _ b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan. Untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Pasal 5:
Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan. (2) Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. (3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai Utang. Pasal 20: Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. Penjelasan Pasal 20: Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain . Pasal 22: Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan lain pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 347 perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun argumentasi Pemohon dalam mendalilkan bahwa ketentuan UU 11/2016 yang dimohonkan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pada pokoknya menurut Mahkamah dapat dikelompokkan sebagai berikut (argumentasi Pemohon selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara):
Argumentasi Umum: Dalam argumentasi umum ini Pemohon pada intinya memberikan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan pengampunan pajak yang telah dilakukan sebelumnya yang kemudian diperbandingkan dengan pemberlakuan UU 11/2016 sehingga Pemohon tiba pada kesimpulan bahwa Undang-Undang a quo tidak berjalan secara relevan dengan tujuan penegakan hukum di Indonesia dan telah menghalangi segala upaya penegakan hukum yang telah diperjuangkan berbagai lembaga negara selama ini di mana penghalangan tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagai amanat penderitaan rakyat.
Argumentasi Khusus: Dalam argumentasi khusus ini Pemohon membangun dalil yang langsung berkenaan dengan norma dalam UU 11/2016 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pemohon mendalilkan bahwa pengertian frasa “Pengampunan Pajak” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU 11/2016 serta mekanisme pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 dan Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan pelaksanaan perpajakan bersifat memaksa bukan mengampuni sebagaimana dalam UU 11/2016, dengan alasan yang pada intinya: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 348 1) Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) serta diimplikasikan pada Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 serta Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ” karena terdapat kekeliruan interpretasi leksikal terhadap frasa “memaksa” yang diterapkan ke dalam frasa “pengampunan pajak” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka (2) [ sic! ] UU 11/2016;
Frasa “Memaksa” dalam Pasal 23A UUD 1945, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa, sedangkan pengertian “Pengampunan” pada UU 11/2016 adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan;
Paksaan dalam penerapan pajak terhadap warga negara dalam Pasal 23A UUD 1945 adalah untuk keperluan negara; norma memaksa ini dihilangkan oleh Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] UU 11/2016 karena adanya frasa “Pengampunan”;
Secara substansi, frasa pengampunan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] secara harfiah dimaknai adanya tindakan khusus pemerintah dalam sistem perpajakan di mana pelaporan Wajib Pajak yang memiliki daftar Objek Pajak baru diberikan kekhususan dengan dihapuskannya sanksi yang meliputi sanksi administrasi dan sanksi pidana;
Telah terjadi pergeseran makna dan tujuan Pasal 23A UUD 1945 oleh substansi dan pemaknaan pengampunan pajak dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] UU 11/2016;
Implikasi pergeseran makna sebagaimana dimaksud pada angka 5) di atas adalah bergesernya filosofi sistem perpajakan yang semula bersifat “memaksa” menjadi sistem yang kompromis melalui “pengampunan”;
Perbedaan frasa dimaksud, baik secara leksikal maupun gramatikal, membuat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Pemohon mendalilkan pengertian frasa “Uang Tebusan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 yang direalisasikan dalam Pasal 4 juncto Pasal 5 UU Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 349 11/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada intinya:
Ketentuan Pasal 1 angka 7 UU 11/2016 secara implementatif dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 11/2016;
Uang Tebusan yang dimaksud dalam UU 11/2016 adalah bentuk perlakuan khusus pemerintah kepada penggelap dan penghindar pajak;
Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada angka 2) telah menimbulkan kerugian pada wajib pajak yang taat;
Pengundangan UU 11/2016 telah menegasi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sesungguhnya telah mengatur mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap warga negara pengemplang/penghindar pajak, sehingga UU 11/2016 justru kontraproduktif dengan mekanisme penegakan perpajakan;
Nilai-nilai dalam demokrasi mengatur kedudukan dan kapasitas warga negara setara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijelaskan dalam dictum menimbang International Covenant on Civil and Political Rights dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan;
Dalam penerapan Pasal 1 angka 7 UU 11/2016 pemerintah melakukan diskriminasi dengan memposisikan wajib pajak yang taat dan yang tidak taat secara berbeda dan cenderung memberi perlakuan khusus kepada wajib pajak yang tidak taat;
Pemohon mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam Pasal 20 UU 11/2016 serta frasa “tindak pidana lain” dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena memberikan kekebalan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tindak pidana perpajakan serta tindak pidana lain kepada Peserta Pengampunan Pajak sehingga mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan penegakan hukum, dengan alasan yang pada intinya:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka dalam menyelenggarakan peradilan; Konstitusi menempatkannya sebagai kekuasaan yang tidak dapat dibatasi atau dikurangkan oleh kekuasaan eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 350 2) Ketentuan dalam Pasal 20 UU 11/2016 berarti memberi kekebalan hukum kepada data dan informasi dalam Surat Pernyataan dan lampirannya terhadap perolehan dan atau sumber yang dinyatakan dan dilaporkan;
Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 memperluas imunitas hukum yang diatur dalam Pasal 20 UU 11/2016 sehingga meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain;
Kekebalan hukum sebagaimana dimaksud pada angka 3) telah membatasi jangkauan kekuasaan kehakiman sehingga menyalahi dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945;
Dalam konsep negara hukum, dalam konteks kekuasaan kehakiman, tidak ada satu aturan yang berlaku dengan membeda-bedakan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan;
Pemberlakuan Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
Karena adanya pertentangan makna dan norma antara Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 maka Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya bersifat inkonstitusional sehingga sudah seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam kalimat [ sic! ] “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana” dalam Pasal 22 UU 11/2016 tidak memiliki landasan norma dalam Konstitusi dan telah bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada intinya:
Karena kekuasaan, menurut Lord Acton, cenderung korup maka ia harus dibatasi dengan cara memisah-misahkannya ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances ;
Pemisahan kekuasaan yang bersifat checks and balances sebagaimana dimaksud pada angka 1) sehubungan dengan pemerintahan yang bersih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 351 merupakan serangkaian konsep yang bermuara pada partisipasi masyarakat, di dalamnya termasuk social control ;
Bahwa Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain, sebagaimana disebut dalam Pasal 22 UU 11/2016, memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan dengan warga negara lainnya tanpa kecuali;
Indonesia menjamin perihal persamaan kedudukan di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, oleh karena itu negara menjamin seluruh warga negara tanpa kecuali dari perlakuan diskriminatif;
Pasal 22 UU 11/2016 bersifat diskriminatif karena memberi makna imunitas kepada Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak;
Elaborasi terhadap Pasal 22 UU 11/2016 yang memberi imunitas dan Pasal 21 ayat (2) UU 11/2016 yang menutup arus informasi telah membuat Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan dan/atau pihak lain yang terkait pelaksanaan pengampunan pajak memiliki kewenangan absolut tanpa pengawasan;
Imunitas dan penutupan akses informasi melalui kewenangan Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan telah memperlakukan masyarakat secara tidak demokratis dan menghilangkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial, sedangkan imunitas yang dimiliki Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan tidak memiliki dasar kaidah dalam konstitusi dan bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum yang sama adilnya di mata hukum dan pemerintahan. [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-14, serta mengajukan 3 orang ahli Reza Zaki S.H., MA., Drs. Basuki Widodo, dan DR. Eva Achjani Zulfa.,S.H.,M.H., yang didengarkan keterangannya di bawah sumpah pada tanggal 28 September 2016 dan 11 Oktober 2016, dan seorang ahli bernama Dr. Endang Kiswara, S.E., M.SI., Akt. yang keterangan tertulisnya diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 31 Oktober 2016; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 352 [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan DPR, Keterangan Presiden, ahli yang diajukan oleh Presiden, yaitu Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Ph.D., Yustinus Prastowo, SE, M.Hum, M.A, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. Refli Harun, S.H., M.H., Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., Prof. Wihana Kirana Jaya, Ph.D., Dr. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dengan saksama permohonan Pemohon, Kesimpulan Pemohon, Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, Keterangan Presiden, Kesimpulan Presiden, memeriksa bukti-bukti surat, dan ahli, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Terhadap dalil dalam argumentasi umum Pemohon, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 1 di atas, yang di dalamnya sebagian berisikan uraian yang menggambarkan evaluasi atau penilaian Pemohon terhadap kebijakan pengampunan pajak yang pernah dilakukan sebelumnya yang kemudian dihubungkan dengan pemberlakuan UU 11/2016 dan secara implisit hendak menunjukkan bahwa kebijakan demikian sesungguhnya tidak tepat atau gagal, Mahkamah berpendapat bahwa hasil penilaian atau evaluasi demikian, andaikata pun benar, tidaklah menjadikan kebijakan itu serta-merta bertentangan dengan tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagai amanat penderitaan rakyat, sebagaimana didalilkan Pemohon, sehingga tidak cukup alasan pula untuk menyatakan UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, terhadap hal-hal spesifik yang menyangkut materi muatan dari norma UU 11/2016, yang secara substansial juga dijadikan bagian dari argumentasi umum Pemohon dimaksud, akan dipertimbangkan tersendiri oleh Mahkamah dalam pertimbangan terhadap argumentasi khusus Pemohon berikut setelah pertimbangan terhadap argumentasi umum Pemohon a quo . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 353 Dengan demikian, dalil Pemohon yang secara umum mendalilkan bahwa UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam argumentasi umum Pemohon di atas, adalah tidak beralasan menurut hukum.
Terhadap dalil Pemohon bahwa pengertian frasa “Pengampunan Pajak” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU 11/2016 serta mekanisme pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 dan Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan pelaksanaan perpajakan bersifat memaksa bukan mengampuni sebagaimana dalam UU 11/2016, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf a di atas, Mahkamah berpendapat bahwa secara substansial norma UU 11/2016 yang dipersoalkan konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo tidak berbeda dari substansi yang dimohonkan oleh Pemohon dalam permohonan sebelumnya, in casu Permohonan Nomor 57/PUU-XIV/2016, meskipun kedua permohonan ini bertolak dari persoalan frasa yang berbeda, di mana terhadap hal itu Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas frasa “penghapusan pajak” dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 4 serta Pasal 5 UU 11/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 [vide lebih jauh Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, paragraf [3.16] angka 1 huruf a sampai dengan huruf c]. Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 juga berlaku terhadap dalil Pemohon a quo. 3. Terhadap dalil Pemohon bahwa pengertian frasa “Uang Tebusan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 yang direalisasikan dalam Pasal 4 juncto Pasal 5 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf b di atas, substansi permohonan ini pun telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 57/PUU-XIV/2016 dan telah dinyatakan bahwa dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas frasa “Uang Tebusan” dalam Pasal 1 angka 7 yang dihubungkan dengan Pasal 4 dan Pasal 5 UU 11/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum [vide lebih jauh Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, paragraf [3.16] angka 3 huruf a Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 354 sampai dengan huruf c], sehingga pertimbangan Mahkamah dalam putusan dimaksud berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo .
Terhadap dalil Pemohon yang mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam Pasal 20 UU 11/2016 serta frasa “tindak pidana lain” dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena memberikan kekebalan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tindak pidana di bidang perpajakan serta tindak pidana lain kepada Peserta Pengampunan Pajak sehingga mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan penegakan hukum, dengan alasan sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.8] angka 2 huruf c di atas, substansi dalil ini juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 meskipun tidak secara khusus menyoroti frasa “tidak dapat” yang termuat dalam rumusan norma Pasal 20 UU 11/2016. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan: Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 20 yang selengkapnya berbunyi, “Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang- Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak“ haruslah dipahami dan dibatasi konteksnya sesuai hakikat Pengampunan Pajak. Dalam konteks demikian, adalah wajar apabila mereka yang telah dengan sukarela dan jujur menyampaikan atau mengungkapkan informasi berkenaan dengan hartanya, sebagaimana dituangkan ke dalam Surat Pernyataan (dan lampirannya), dilindungi dari kemungkinan bahwa Surat Pernyataan (dan lampirannya) itu akan digunakan untuk melawan dirinya. Tanpa jaminan perlindungan demikian, tidaklah mungkin seseorang akan mau mengikuti program Pengampunan Pajak ini. Dalam putusan dimaksud Mahkamah telah pula menyatakan pendiriannya bahwa keberadaan Pasal 20 UU 11/2016 tersebut tidak menghalangi penegak hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap mereka yang mengikuti Pengampunan Pajak sepanjang bukti-bukti untuk melakukan tindakan itu bukan berasal dari Surat Pernyataan (dan lampirannya) yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU 11/2016 melainkan berasal dari sumber lain [vide lebih jauh pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016, paragraf [3.16] angka 4 huruf b]. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 355 Namun, terkait dengan persoalan apakah data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 itu mencakup pula “tindak pidana lain”, Mahkamah telah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 20 UU 11/2016 tersebut tidak mencakup tindak pidana lain, sehingga oleh karena itu Pasal 20 UU 11/2016 dimaksud dinyatakan konstitusional bersyarat. Maksudnya, Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional sepanjang diartikan tidak mencakup tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 dikatakan antara lain: Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan sukarelanya Wajib Pajak peserta Pengampunan Pajak mengungkapkan Hartanya sebagaimana dituangkan dalam Surat Pernyataan, apakah hal itu berarti membebaskan yang bersangkutan dari proses hukum dari tindak pidana lainnya? Bahwa berdasarkan tanggapan Pemerintah yang disampaikan dalam persidangan tanggal 19 Oktober 2016 antara lain menyatakan bahwa dengan dilaporkannya Harta Wajib Pajak dalam Surat Pernyataan bukan berarti Harta tersebut menjadi kebal terhadap proses hukum atas tindak pidana lain. Kebijakan Pengampunan Pajak ditujukan hanya untuk pengampunan terkait perpajakan namun tidak terkait dengan pengampunan pidana lainnya atau tidak menghapuskan pidana lainnya. Keterangan Presiden di atas sejalan dengan pengertian Pengampunan Pajak yang termuat dalam rumusan Pasal 1 angka 1 UU 11/2016 sehingga telah nyata bahwa ketentuan a quo hanya bermaksud semata- mata tidak akan mengenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan kepada peserta Pengampunan Pajak. Dengan kata lain, secara a contrario, Undang-Undang a quo tidaklah membebaskan peserta Pengampunan Pajak dari sanksi hukum lain di luar sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Dengan demikian telah terang bagi Mahkamah bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional sepanjang diartikan bahwa ketentuan a quo tidak mencakup tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan . Sehubungan dengan pertimbangan di atas, untuk lebih memperjelas maksud Mahkamah dengan pernyataan bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional bersyarat, yang berarti ketentuan a quo adalah konstitusional sepanjang diartikan tidak mencakup “tindak pidana lain” di luar tindak pidana di bidang perpajakan, Mahkamah memandang penting untuk menegaskan bahwa apabila dalam praktik di kemudian hari ternyata syarat itu dilanggar, yang artinya Pasal 20 UU 11/2016 tersebut ternyata diartikan mencakup pula tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dinyatakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 356 dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016, maka terbuka kemungkinan Pasal 20 UU 11/2016 dimohonkan pengujian kembali ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu pernah terjadi dalam pengujian terhadap Undang-Undang tentang Sumber Daya Air [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU- II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, bertanggal 19 Juli 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, bertanggal 18 Februari 2015]. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka pertimbangan Mahkamah yang menyatakan bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional bersyarat sebagaimana diuraikan di atas berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo .
Terhadap dalil Pemohon yang mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam kalimat [ sic! ] “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana” dalam Pasal 22 UU 11/2016 tidak memiliki landasan norma dalam Konstitusi dan telah bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf d di atas, substansi dalil Pemohon ini pun telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016, meskipun tidak secara khusus mempersoalkan frasa “tidak dapat”. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan: … mengenai dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 22 UU 11/2016, Mahkamah berpendapat, ketentuan a quo harus dipahami dalam kaitannya dengan Pasal 20 dan Pasal 21 khususnya ayat (2) dan ayat (3) UU 11/2016. Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 357 Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak, sehingga dengan sendirinya, secara implisit, terkandung kewajiban bagi pihak-pihak yang mengadministrasikan Surat Pernyataan dan lampirannya itu untuk menjaga kerahasiaannya atau tidak membocorkannya. Oleh sebab itulah maka hal itu ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (2) yang intinya melarang pihak-pihak pengadministrasi data dan informasi peserta Pengampunan Pajak membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi itu kepada pihak lain. Sementara dalam ayat (3) dari Pasal 22 tersebut ditegaskan bahwa data dan informasi demikian tidak dapat diminta oleh pihak lain manapun kecuali atas persetujuan Wajib Pajak peserta Pengampunan Pajak itu sendiri. Dengan demikian, logika uraian di atas apabila dikonstruksikan secara ringkas adalah sebagai berikut: oleh karena data dan informasi peserta Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan sepanjang bersumber dari data Pengampunan Pajak maka terdapat kewajiban pada pihak yang mengadministrasikan data dan informasi dimaksud untuk tidak membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukannya kepada pihak lain di mana karena melakukan kewajiban itu maka yang bersangkutan tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana sepanjang hal itu didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam ketentuan Pasal 22 UU 11/2016 . Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016 tersebut berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo . [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, oleh karena seluruh substansi dalil Pemohon dalam permohonan a quo telah pula dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 sehingga mutatis mutandis berlaku pula terhadap permohonan a quo , maka permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 358 [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dapat diterima. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh tiga, bulan November, tahun dua ribu enam belas , dan pada hari Selasa, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , selesai diucapkan pukul 15.23 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 359 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Aswanto ttd. Manahan M.P Sitompul ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. Suhartoyo ttd. Patrialis Akbar PANITERA PENGGANTI, ttd. Yunita Rhamadani Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2016.
Uji materiil terhadap PP 74 tahun 2011 tentang tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan
Relevan terhadap
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagai- mana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan bertentangan dengan asas keadilan, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan a quo tidak sah dan batal demi hukum, memerintahkan Termohon untuk mencabutnya dan menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku yaitu karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum , asas keadilan dan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan sebagaimana tertuang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 14 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e tidak sah dan batal demi hukum;
Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e ;
Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara untuk dicantumkan dalam Lembaran Berita Negara;
Menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini; DAN/ATAU : Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ); Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
Fotokopi Akta Notaris Haji Syarif Siangan Tanudjaja, SH., Notaris Jakarta (BuktiP-1);
Fotokopi KTP atas nama Hartono Sohor (BuktiP-2) ;
Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 201 tentang Tata Cara pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (BuktiP-3);
Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, tanggal 17 Juli 2007 (BuktiP-4);
Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (BuktiP-5);
Fotokopi Bukti Penerimaan Surat Nomor 19-01-2007 (BuktiP-6);
Fotokopi Tanda Terima Pemeriksaan Pajak (BuktiP-7) ;
Fotokopi Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (BuktiP-8);
Fotokopi Surat Tagihan Pajak No.00103/107/09/044/12(BuktiP-9);
Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.260/WPJ.21/2013 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi AtasSurat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Karena Permohonan Wajib Pajak (BuktiP-10); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 11. Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-839/WPJ.21/2013 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi AtasSurat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Karena Permohonan Wajib Pajak (BuktiP-11);
Fotokopi Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54639/PP/M.XIIIA/99/2014 (BuktiP-12);
Fotokopi Surat Peninjauan Kembali (Pertama) No.01/PK/XII/2014(BuktiP- 13);
Fotokopi Surat Peninjauan Kembali (Novum) No.02/PK/III/2015(BuktiP-14); Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil a quo telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 22 September 2015 berdasarkanSurat Tanda Bukti Penerimaan Jawaban Termohon Atas Permohonan Hak Uji Materiil yang diterima oleh Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 50/BJT/IX/2015/41 P/HUM/2015 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawabantertulis pada tanggal 22 September 2015 yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONANPEMOHON 1. Bahwa menurut Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011 telah membatasi ruang lingkup Pemohon untuk mengajukan pengurangan atau penghapusansanksi administratif atas surat tagihan pajak pertambahan nilai barang dan jasa;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada dasarnya telah mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dapat mengurangkan atau menghapuskansanksi administrasi, akan tetapi pengaturan tersebut telah dikesampingkan oleh ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011, sehingga hak wajib pajak untuk dapat mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tidak diperoleh;
Bahwa menurut Pemohon, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangansebagaimana tertuang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan;
Bahwa menurut Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011 telah mengakibatkanPemohon harus membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak; II.PENJELASAN TERMOHON TERHADAPKEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING )PEMOHON. Berkenaan dengan kedudukan hukum ( legal standing/persona standiinjudicio ) dan kepentingan hukum Pemohon dalam perkara a quo , Termohon menyampaikan penjelasan, sebagai berikut : Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentangMahkamah Agung, yang berbunyi: "Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturanperundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
Perorangan wargaNegara Indonesia;
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
Badan hukum publikatau badan hukum privat; Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentangHak Uji Materiil, berbunyi: "Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkatlebih rendah dari undang-undang"; Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut, dan benar-benar diakibatkankarena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut; Menurut Termohon, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan padaalasan sebagai berikut:
KETIDAK ADANYA KERUGIAN PEMOHON SEBAGAI Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 AKIBATBERLAKUNYA PP NO. 74 TAHUN 2011. Bahwa menurut Termohon, pada dasarnya dibentuknya PP No. 74 Tahun2011:
Bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak serta kewajiban perpajakan yang sebelumnya diatur dalam PeraturanPemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan;
Bahwa ditetapkannya PP No. 74 Tahun 2011 padadasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi: "hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah". Bahwa pengaturan tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dalam PP No. 74 Tahun 2011, telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku in casu berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang PenetapanPeraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Bahwa menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung maupun tidak langsung yang diderita oleh Pemohon yang diakibatkan adanya PP No. 74 Tahun 2011 tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya hubungan sebab akibat ( causal verband) yaitu antara kerugian yang diderita oleh Pemohon dengan berlakunya PP No. 74 Tahun 2011 dimaksud. Pemohon dalam permohonannya sarna sekali tidak menguraikan secara jelas dan komprehensif mengenai kerugian yang diderita oleh karena Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 18 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 berlakunya norma yang diuji in casu PP No. 74 Tahun 2011. Pemohon hanya berasumsi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan judicial review perkara aquo hanya didasarkan bahwa karena upaya Pemohon untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas surat tagihan pajak pajak pertambahan nilai barang dan jasa ditolak oleh Dirjen Pajak melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.839/WJP.21/2013 tanggal 27 November 2013. Yang kemudian oleh Pemohon Keputusan Dirjen Pajak tersebut digugat kepengadilan Pajak, yang kemudian oleh Pengadilan pajak gugatan Pemohon tidak dapat dikebulkan. Sehingga menurut Termohon, problematika hukum yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah disebabkan keberlakuan PP No. 74 Tahun 2011 melainkan karena adanya penolakan terhadap pengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pemohon oleh Dirjen Pajak melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.839/WJP.21/2013 tanggal 27 November 2013, maka kerugian yang diderita oleh Pemohon baik langsung maupun tidak langsung bukanlah akibat oleh berlakunya PP No.74 Tahun 2011, dan tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kepentingan hukum Pemohon dengan berlakunya PP No. 74 Tahun 2011;
PERMOHONAN NEBISIN IDEM . Bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah untuk menguji ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara PelaksanaanHak ·dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; Bahwa pengujian terhadap ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan pernah dilakukan pengujian dalam perkara Nomor 43P/HUM/2012 oleh PT. Best World Indonesia dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 6 April2013 dengan amar putusan menolak Permohonan Pemohon; Bahwa dalam alasan-alasan dalam pokok Permohonan yang diajukan oleh PT. Best World Indonesia pada dasarnya sama Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 19 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dengan yang diajukan oleh Pemohon yang menganggap bahwa ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan telahbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; Dengan demikian menurut Termohon, oleh karena pokok permohonan yang diajukan oleh Pemohon sama dengan pokok permohonan dalam perkara Nomor 43P/HUM/2012, oleh sebab itu Termohon berpendapat permohonan Pemohon _Nebis In Idem; _ __ III.LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAANHAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN. Sebagai gambaran bagi Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili permohonan a quo , kami sampaikan latar belakang pembentukan PP No 74 Tahun 2011 yang diajukan permohonan uji materiil olehPemohon, sebagai berikut:
Undang-Undang di bidang perpajakan memberikan amanat pengaturan kepada peraturan perundang-undangandi bawahnya;
Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 (untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang KUP) merupakan undang-undang yang berisi ketentuan formal yang mengatur mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi Wajib Pajak maupun petugas pajak. Ketentuan formal ini diberlakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang pajak material, seperti Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; Undang-Undang KUP memberikan amanat kepada Pemerintah selaku lembaga eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 20 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang KUP baik melalui Peraturan Pemerintah ataupun PeraturanMenteri Keuangan. Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah di dalam Undang-Undang KUP terdapat dalam 3 (tiga) Pasal yang dapat diuraikan sebagai berikut: a) Pasal 35A yangberbunyi : Ayat (1) "Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DirektoratJenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)"; __ Ayat (2) "Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan pemerintah dengan memperhatikanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)"; b) Pasal 37 yangberbunyi: "Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupabunga, denda, dan kenaikan, diatur denganPeraturan Pemerintah"; c) Pasal 48 yangberbunyi: "Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah"; Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang KUP tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ditopang oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Terkait amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP yang menjadi dasar pembentukan PP 74/2011 yang diajukan uji materiil oleh Pemohon, dapat kami sampaikan bahwa meskipun pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah untuk mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang KUP, namun kewenangan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan asas legalitas serta mengedepankan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang menjadi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 21 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dasar dalam pembentukan peraturan pemerintah. Selain itu, pengaturan yang dilakukan juga sejalan dengan kebutuhan untuk menyesuaikan proses dan prosedur administrasi perpajakan dengan perubahan yang sangat dinamis dalam masyarakat Wajib Pajak;
Amanat pengaturan kepada peraturan pemerintah dalam undang- undangpajak material; Amanat pengaturan kepada peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dapat ditemukan juga dalam ketentuan undang-undang pajak material seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut Undang- Undang PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentangPerubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang PPN). Bahkan amanat pengaturan yang serupa dengan Pasal 48 Undang- Undang KUP juga ditemukan dalam undang-undang material tersebut, yaitu: a) Pasal 35 Undang-UndangPPh. "Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah"; b) Pasal 19 Undang-UndangPPN. "Hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah"; Pengaturan kepada peraturan pemerintah dalam undang-undang material tersebut, khususnya amanat pengaturan terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang melalui Peraturan Pemerintah, menunjukkan bahwa dalam undang-undang di bidang perpajakan pengaturan tersebut memang diperlukan. Pengamanatan pengaturan kepada peraturan pemerintah mengenai hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ditujukan untuk memberikan kemudahan kepada Pemerintah dalam menyesuaikan ketentuan dalam Undang-Undang,sebagai akibat terjadinya perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan hukum itu sendiri tanpa harus mengubah Undang-Undang, namun tetap berpegang pada asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, termasuk asas-asas hukum atau prinsip- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 22 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 prinsip hukum yang berlaku umum. Hal ini didasarkan pada pertimbangan waktu yang lebih singkat dalam pembentukan Peraturan Pemerintah dibandingkan dengan waktu yang diperlukan dalam pembentukan Undang-Undang. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP seperti halnya peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan Undang- Undang PPh dan Undang-Undang PPN, berfungsi sebagai pelengkap yang merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang KUPitu sendiri;
Fungsi PP 74/2011 sebagai pelengkap Undang-Undang Meskipun sarna-sarna memberikan amanat untuk pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, namun amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah yang terdapat dalam Pasal 37 dan Pasal 48 Undang-Undang KUP memiliki karakteristik tersendiri. Hal tersebut dapatdijelaskan sebagai berikut:
Fungsi pengaturan dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang KUP Pasal 37 Undang-Undang KUP jelas mengatur bahwa Pemerintah diberi kewenangan untuk mengubah besaran sanksi administrasi dan besaran imbalan bunga melalui Peraturan Pemerintah tanpa harus mengubah Undang-Undang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perubahan besaran sanksi atau besaran imbalan bunga diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 37, namun hal inimempunyai makna bahwa pengaturan besaran sanksi administrasi dan besaran imbalan bunga tersebut secara substansial mempunyai kedudukan yang sama dengan pengaturan dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah amanat Pasal 37 Undang-Undang KUP tersebut harus dipandang sebagai pengganti (substitusi) dari pasal- pasal dalam Undang-Undang KUP yang mengatur mengenai besarnya sanksi administrasi dan besarnya imbalan bunga;
Fungsi Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 48 Undang-UndangKUP. Hal demikian berlaku juga untuk Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP. Sebagaimana bunyi dari ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP tersebut di atas, ketentuan Pasal 48 tersebut dimaksudkan untuk memberikan exit Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 23 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 strategy (jalan keluar) kepada Pemerintah untuk segera menyesuaikan ketentuan yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang sebagai akibat adanya perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan hukum itu sendiri. Seperti diketahui bahwa perkembangan hukum di bidang perpajakan termasukperkembangan administrasi perpajakan berlangsung sangat dinamis seiring dengan perkembangan teknologi, perkembangan sosial-budaya, dampak globalisasi (praktek perpajakan negara lain) yang memerlukan penyesuaian ketentuan secara cepat; Itulah sebabnya, terhadap ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP, sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sampai dengan perubahan terakhir dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tidak pernah dilakukan peru bahan, mengingat materi yang telah diatur dalam Undang-Undang KUP masih sangat mungkin berkembang sehingga penyesuaian terhadap materi tersebut tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang. Ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP juga dimaksudkan untuk menjaga kelenturan pengaturan yang dilakukan oleh Undang-Undang dalam rangka mengantisipasi demikiancepatnyaperubahan-perubahan yang terjadi di bidang perpajakan; Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 UU KUP berfungsi sebagai pelengkap UU KUP yang harus dipandang sebagai satu kesatuan dengan undang-undang induknya, yaitu Undang-Undang KUP itu sendiri. Hal ini sejalan dengan bunyi penjelasan Pasal 48 Undang-Undang KUPyang menyatakan: "Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaanUndang-Undang ini dan tata carayang diperlukan"; Dari penjelasan ini terlihat bahwa berbeda dengan anggapan Pemohon bahwa seharusnya PP 74/2011 hanya berisi tata cara dan bukannya materi, Pasal 48 Undang-Undang KUP justru Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 24 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 memberikan ruang untuk mengatur kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-Undang KUP kepada Peraturan Pemerintah, termasukdiantaranya materi tentang hat-hat yang masih belum jelas dan belum cukup diatur;
Latar Belakang PembentukanPP 74/2011:
Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP Dalam rangka memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat untuk memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, Pemerintah memandang perludiberikan suatu kepastian hukum dalam melaksanakan ketentuan umum dan tata cara perpajakan dengan mengatur ketentuan umum tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah; Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir denganUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, merupakan Peraturan Pemerintah yang pertama kali dibentuk untuk melaksanakan amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007, celah-celah yang timbul dalam sistem administrasi perpajakan karena belum cukup pengaturan dalam Undang-Undang KUP, misalnya pada permasalahan tata cara pemeriksaan, tata cara penetapan pajak yang tidak atau kurang dibayar, tata cara pemberian imbalan bunga, serta tata cara upaya hukum dapat terjawab karena pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007mengisikekosongan yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang KUP. Peraturan Pemerintah tersebut disusun dengan tetap mendasarkan pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan;
Pembentukan PP 74/2011 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun2007; Seiring dengan perkembangan hukum dan masyarakat khususnya di bidang perpajakan, serta untuk menyelaraskan dengan Undang- Undang PPh dan Undang-Undang PPN dipandang perlu untuk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 25 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 melakukan penggantian Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007. Penggantian Peraturan Pemerintah Nomor80 Tahun 2007 dilakukan dengan menerbitkan PP 74/2011; PP 74/2011 juga dibuat agar lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, fiskus, maupun hakim Pengadilan Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Permasalahan dalam ketentuan formal di bidang perpajakan yang selama ini menimbulkankeragu-raguan disempurnakan melalui PP 74/2011; Penyempurnaan materi dalam PP 74/2011 adalah antaralain:
Penyempurnaan ketentuan yang terkait tata cara pendaftaran dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sertapengukuhan dan pencabutan Pengusaha Kena Pajak;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan, dan pengungkapanketidak- benaran;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara penetapan berdasarkanketerangan lain;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan jalur-jalur upaya hukum yang dapat ditempuholeh Wajib Pajak;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara pemberian imbalanbunga;
Penyempurnaan ketentuan mengenai tata cara pembukuan dan pemeriksaan terhadap WajibPajak;
Penyempurnaan ketentuan mengenai tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan dan penghentian penyidikan;dan h. Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan aspek perpajakan internasional ( Mutual Agreement Procedure, Exchange of Information ,dan Advance Pricing Agreement );
Pembentukan PP 74/2011 sebagai suatukeniscayaan. Berdasarkan uraian latar belakang pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, terlihat bahwa pembentukan PP 74/2011 sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP, didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang merupakan hal yang tidak dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 ditawar-tawar lagi. Termasuk dalam kepastian hukum tersebut adalah pengaturan terhadap pasal-pasal yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran termasuk pengaturan Pasaf 37 PP 74/2011 yang menjelaskan Pasal 23 ayat (2) huruf c yang diajukanpermohonan uji materiil oleh Pemohon. Dengan pengaturan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang KUP yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran tersebut dalam PP 74/2011, permasalahan ketidakpastian hukum dalam mencari keadilan dapat teratasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan PP 74/2011 yangmenggantikan Peraturan Pemerintah Nomor80 Tahun 2007 merupakan suatu keniscayaan dalam menyikapi perubahan ekonomi, sosial, sosial dan budaya hukum khususnya yang terkat dengan bidang perpajakan, di samping untuk memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak; IV.JAWABAN TERMOHONTERHADAP POKOK PERMOHONANPEMOHON;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf ePP No. 74 Tahun 2011 telah membatasi ruang lingkup pemohon untuk mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif atas surattagihan pajak pertambahan nilai barangdan jasa; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasan sebagaiberikut :
Kewenangan penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dan jalur upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak Sebelum menanggapi dalil-dalil yang diajukan Pemohon terhadap Pasal 37 PP 74/2011, perlu kiranya disampaikan filosofi yang dibangun oleh Undang-Undang KUP khususnya yang terkait dengan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak dan upaya hukum yang dapatdilakukan oleh Wajib Pajak terkait dengan penetapan tersebut;
Kewenangan DJP untuk menerbitkan Surat ketetapan Pajak berdasarkan Undang-UndangKUP. Dalam sistem perpajakan yang dianut di Indonesia, Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya ( self assessment ). Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP yangberbunyi: "Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak"; __ Dengan pemberian kepercayaan tersebut, pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dianggap benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 12 ayat (2) Undang- Undang KUP sebagai berikut: "Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undanganperpajakan"; Sistem self assessment menuntut kejujuran Wajib Pajak dalam membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak akandiambil tindakan penegakan hukum. Namun, apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan tidak benar, Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan menetapkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengankewenangan yang diberikan olehPasal 12 ayat (3) Undang-Undang KUP; Penetapan jumlah pajak yang terutang oleh Direktur Jenderal Pajak dilakukan berdasarkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak, Adapun kewenangan penerbitan surat ketetapan pajak yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, dapat diuraikan sebagaiberikut: a) Pasal 13 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagaiberikut:
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurangdibayar;
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegursecara tertuiis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; __ c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikanselisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); __ d. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnyapajak yang terutang;atau __ e. Apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a). b) Pasal 15 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitanSurat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c) Pasal 17 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlahkredit pajak atau jumlah pajak yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dibayar lebih besar daripada jumlah pajakyang terutang; __ d) Pasal 17A Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaranpajak; Pemberian kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajakuntuk menerbitkan ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 17A Undang-Undang KUP pada dasarnya adalah untuk memastikan bahwa Wajib Pajak melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan tepat dan benar sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan perundangan-undangan dibidang per- pajakan. Namun demikian, dalam menerbitkan surat ketetapan pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak tidak dapat sewenang- wenangmelainkan tetap harus sesuai dengan prosedur atau tata cara dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya; Demikian juga, penetapan jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak tersebut, juga harus sesuai dengan ketentuan material (Undang-Undang PPh dan Undang- UndangPPN); Oleh karena itu, dalam hal surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum terkait dengan tidak dipenuhinya prosedur tersebut. Demikian halnya, dalam hal jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak tidak disetujui oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak juga dapat mengajukan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutang tersebut. Upaya hukum terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapan pajak dan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutangdalam surat ketetapan pajak tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 merupakan 2 (dua) jalur upaya hukum yang berbeda, sehingga tidak dapat dicampuradukkan dalam implementasinya;
Skema upaya hukum dalam Undang-Undang KUP atas Surat KetetapanPajak; Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa terdapat 2 (dua) jalur upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak, terkait dengan surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini disebabkan terdapat 2 (dua) kemungkinansengketa yang terjadi akibat diterbitkannya produk hukum berupa surat ketetapan pajak, yaitu: a) Adanya kemungkinan sengketa yang terkait dengan jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapanpajak; b) Adanya kemungkinan sengketa terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapanpajak; Untuk memperjelas 2 (dua) jenis sengketa dan upaya hukum terkait dengan sengketa tersebut, dapat diuraikan hal-hal sebagaiberikut: a)Sengketa dan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Penerbitan surat ketetapan pajak oleh Direktur Jenderaf Pajak dilakukan berdasarkan hasil verifikasi atau hasil pemeriksaan. Sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji pemenuhan kewajibanperpajakan Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dimaksudkan dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak; Sebagaimana telah diuraikan di atas, Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya. Namun demikian, kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut tentunya perlu diuji dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang ada, khususnya undang-undang pajak material seperti Undang- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Undang PPh atau Undang-Undang PPN.Apabila pemenuhan kewajiban perpajakan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, maka tidak akan ada koreksi pajak yang terutang yang menjadi sengketa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak jarang petugas pajak melakukan koreksi yang diakibatkan baik karena perbedaan pemahaman akan undang-undang perpajakan maupun karena ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga menyebabkan terjadinya sengketa; Atas koreksi tersebut Wajib Pajak bisa menyetujui atau tidak menyetujui. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang terutang, Wajib Pajak harus membayar jumlah pajak yang terutang; Dalam hal tidak menyetujui tidak diwajibkan untuk membayar, dan dapat mengajukanupaya hukum; Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum sebagaiberikut:
Pembetulan Berdasarkan Pasal 16 UUKUP. Pembetulan dilaksanakan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila dalam surat ketetapan pajak terdapat kesalahan atau kekeliruanperlu dibetulkan sebagaimana mestinya; Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan per- aturan perundang-undangan baik yang ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak maupun yang ditemukan oleh Wajib Pajak, kesalahan tersebut harus dibetulkan baik secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak; Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah mengatur 18 (delapan belas) produk hukum yang dapat dibenarkan,meliputi: a) Surat ketetapan pajak yang meliputi Surat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 32 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan PajakLebih Bayar; b) Surat TagihanPajak; c) Surat KeputusanPembetulan; d) Surat KeputusanKeberatan; e) Surat Keputusan Pengurangan SanksiAdministrasi; f) Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; g) Sura! Keputusan Pengurangan KetetapanPajak; h) Surat Keputusan Pembatalan KetetapanPajak; i) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak; j) Surat Keputusan PemberianImbalan Bunga; k) Surat Pemberitahuan PajakTerhutang; I) Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi danBangunan; m)Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi danBangunan; n) Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
Surat Keputusan Pengurangan Denda Pajak Bumi danBangunan; Luasnya cakupan produk hukum yang dapat dibetulkan tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak juga diberikan kesempatan yang luas untuk mengajukan upaya hukum terkait kesalahan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, sebelum mengajukan upaya hukum yang lain, sepanjang terkait dengan kesalahan yang termasuk dalam ruang lingkup Pembetulan, Wajib Pajak seharusnya menempuh upaya hukumPembetulan; Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP, pembetulan dilakukan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan sebagaiakibat dari:
Kesalahan tulis, antara lain kesalahan berupa Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 33 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuhtempo;
Kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan. Termasuk dalam pengertian kesalahan hitung adalah kesalahan akibat diterbitkannya suratketetapan pajak, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Masa Pajak atau Tahun Pajak lain yang mempengaruhi Masa Pajak atau Tahun Pajaklain; atau 3) Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalampengkreditan pajak; Dalam ketentuan Pasal 16 Undang-Undang KUP, diatur bahwa upaya pembetulan dapat dilakukan berulang kali sepanjangmasih terdapat kesalahan dalam surat ketetapan pajak dimaksud. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa apabila terjadi suatu kekeliruan atau kesalahan, maka dengan sendirinya harus dilakukan pembetulan ( ipso jure ). Misalnya terhadap surat ketetapan pajak yang yang diajukan permohonan pembetulan dan telah diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, maka terhadap surat ketetapan pajak tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum pembetulan, keberatan, pengurangan ketetapan pajak, atau pembatalan ketetapan, dan dapat pula diajukan pengurangan maupun Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 penghapusan sanksi administrasi. Bahkan apabila terhadap surat ketetapan pajak tersebut tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, tetap dapat dilakukan pembatalan surat ketetapan pajak. Prinsip ipso jure tersebut berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap produk hukum lainnya yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Keberatan, Banding, dan Peninjauan kembali sebagai upaya penyelesaian sengketa perpajakan melalui proseslitigasi; Dalam hal terdapat perbedaan pendapat yang menjadi sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang KUP. Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi.Dalam proses keberatan, pihak yang mengadili adalahsekaligus pihak yang ber- sengketa, yaitu Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak berposisi sebagai lembaga pengadil semu atau yang juga dikenal sebagai quasi peradilan ( quasi judicial ) yang menjalankan fungsi yudikatif dan eksekutif; Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak diharuskan untuk membayar pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak paling sedikit sebesar yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau verifikasi. Jumlah pembayaran pajak yang terutang sebelum pengajuan keberatan akan menentukan jumlah sanksi yang akan dikenakankepada Wajib Pajak apabila berdasarkan hasil Keputusan Keberatan atau Putusan Banding Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 jumlah pajak yang terutang lebih besar daripada jumlah yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan. Akan tetapi perlu diingat bahwa apabila Wajib Pajak yakin dengan jumlah pajak yang terutang yang disetujuinya, maka seharusnya tidak perlu terdapat kekhawatiranakan pengenaan sanksi tersebut karena hal tersebut akan terbukti dalam proses keberatan atau dalam proses banding. Hal ini memperlihatkan bahwa bahkan sebelum pengajuan upaya penyelesaian sengketa, Wajib Pajak masih diberikan keleluasaan pembayaran oleh Direktur Jenderal Pajak; Direktur Jenderal Pajak harus mengambil keputusan atas permohonan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.Apabila berdasarkan keputusan keberatan terdapat jumlah kekurangan pajak yang belum dibayar sebelum pengajuankeberatan dilakukan, maka Wajib Pajak dikenai sanksi 50% dari pajak yang kurang dibayar tersebut; Dalam proses penyelesaian sengketa melalui proses keberatan, dapat terjadi bahwa hasil keputusan keberatan tidak memuaskan Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak tidak puas terhadap hasil Keputusan Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan Banding hanya kepada PengadilanPajak; Proses banding di Pengadilan Pajak merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi murni dimana pihak yang mengadili adalah hakim Pengadilan Pajak, yang merupakan pihak di luar pihak yang bersengketa. Hasil Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menolak, mengabulkan sebagian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 atau seluruhnya, menambah Pajak yang harus dibayar, atau menyatakan tidak dapat diterima atas permohonanbanding; Mengingat bahwa Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap Putusan Banding dari Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan upaya hukum baik berupa tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau Kasasi. Apabila berdasarkan Putusan Banding terdapat jumlah kekurangan pajak yang belum dibayarsebelum pengajuan keberatan dilakukan, maka Wajib Pajak dikenai sanksi 100% dari pajak yang kurang dibayar tersebut; Namun demikian, salah satu pihak yang bersengketa, baik WajibPajak atau Direktur Jenderal Pajak berdasarkan alasan-alasan tertentu berikut dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Alasan-alasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang PengadilanPajak adalah:
Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yangkemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkanputusan yang berbeda;
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) hurufb dan c;
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 sebabnya;atau e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku; Pengajuan Peninjauan Kembali atas Putusan Banding dari Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung tidak menghalangi eksekusi Putusan Banding. Hal ini didasarkan kembali pada prinsip bahwa Putusan Banding adalah Putusan yang bersifat final danmengikat; Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak tidak memiliki kekuatan hukum, karena Undang-Undang KUP telah mengatur bahwa Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajakmerupakan dasar penagihan pajak apabila berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak terdapat kekurangan pembayaran pajak, atau merupakan dasar pengembalian pajak yang terutang apabila berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak terdapat kelebihan pembayaran pajak; Jalur upaya hukum melalui proses litigasi yang telah disediakan bagi Wajib Pajak yang tidak menyetujui jumlah pajak yang terutang menunjukkan bahwa Wajib Pajak diberikan akses penuh untuk mencari keadilan terkait jumlah pajak yang terutang. Oleh karena itu menjadi tidak beralasan apabila ada pihak yang berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menghalangi upaya Wajib Pajak untuk mencari keadilan. Hal yang sesungguhnya terjadi adalah pembagian klaster upaya hukum yaitu jalur terkait prosedural penerbitan surat ketetapan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 pajak dan jalur terkait jumlah pajak yang terutang. Pembagian ini bertujuan untuk kepastian hukum agar Wajib Pajak mengajukan upaya hukum sesuai dengan jenis sengketa;
Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagai upaya penyelesaian sengketa perpajakan nonlitigasi; Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui jumlah pajak yang terutang yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, selain dapat menggunakan jalur upaya penyelesaian sengketa melalui proseslitigasi, Wajib Pajak juga diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya penyelesaian sengketa non litigasi berupa permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. Surat keputusan dimaksud berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak; Berkenaan dengan hal tersebut di atas dapat kami sampaikan bahwa pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang disengketakan merupakan bentuk ordonansi keadilan yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak yang berakhir pada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal Wajib Pajak mendapat keputusan pertama atas pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan Wajib Pajak merasabelum memperoleh keadilan, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang kedua. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Keputusan yang diambil oleh Direktur Jenderal Pajak merupakan keputusan final atas jumlah pajak terutang yang disengketakan; Pengajuan salah satu upaya penyelesaian sengketa, berupa keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar akan menegasikan kesempatan pengajuan upaya penyelesaiansengketa yang lain; Oleh karena itu Wajib Pajak hanya dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidakbenar apabila Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Demikian pula Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan apabila tidak pengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; Penegasian kesempatan pengajuan upaya penyelesaian sengketa antara satu dengan yang lain ini dikarenakan pokok yang menjadi sengketa adalah sarna tetapi jalur yang disediakan berbeda. Melalui jalur litigasi, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mencari keadilan sampai kepada Mahkamah Agung, sedangkan apabila Wajib Pajak memilih jalur non- litigasi, upaya pencarian keadilan berhenti sampai Direktur Jenderal Pajak. Oleh karena itu sangat penting bagi Wajib Pajak untuk menentukan jenis upaya hukum mana yang akan ditempuh agar Wajib Pajak tidak dengan sesukanya dalam menempuh upaya hukum yang malahan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam sistem administrasi perpajakan; Akan tetapi perlu disadari pula bahwa pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar merupakan jalur upaya hukum terhadap jumlah pajak yang terutang, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 sehingga apabila masih terdapat sengketa terkait prosedur penerbitan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak masih diberikan kesempatan mengajukan upaya hukum terhadap surat ketetapan pajak yang tidak sesuai prosedurtersebut; Masing-masing pilihan pengajuan upaya penyelesaian sengketa memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, jalur yang disediakan kepada Wajib Pajak relatif lebih panjang, akan tetapi hasil keputusannya dapat menambah jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, bahkan disertai sanksi baik 50% dalam keberatan ataupun 100% dalam banding. Sedangkan apabila mengajukan upaya penyelesaian non-litigasi berupa pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, maka waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat dan hasilnya tidak mungkin menambah jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak serta terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi, tetapi kekurangannya adalah terhadap keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tidak dapat diajukan upaya hukum lanjutan selain pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang kedua, sehingga jalur upaya hukum non-litigasi menjadi relatif singkat; Dari uraian tersebut, menjadi jelas bahwa Pemerintah menyediakan jalur upaya hukum yang dapat dipilih oleh Wajib Pajak. Pilihan yang diberikan oleh Pemerintah tersebut, memiliki konsekuensinya masing-masing. Konsekuensi yang paling nyata adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk membayar pajak yang terutang beserta sanksi administrasinya. Namun demikian, hal tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 kembali berpulang kepada kejujuran Wajib Pajakdalam menghitung, melapor, dan menyetorkan pajak yang terutang; Apabila Wajib Pajak telah yakin menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam SPT secara benar maka seharusnya Wajib Pajak tidak perlu gentar dalam mengajukan upaya hukum terkait surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi, karena Pemerintah melalui paraturannya di Direktorat Jenderal Pajak tidak akan mencari-cari cara untuk merugikan Wajib Pajak melainkan akan bekerja secara profesional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Cara-cara yang ditempuh oleh Wajib Pajak untuk memperpanjang upaya hukum yang dapat dilaksanakan yang berarti juga menunda kewajiban pembayaran pajak menunjukkan bahwa sebenarnya Wajib Pajak tidak yakin dengan kebenaran penqhrtunqan, pembayaran, serta pelaporan ajaknya atau malahan mencari segala upaya agar kewajiban membayar pajak tertunda atau bahkan tidak harus dipenuhi. Pemerintah sangat yakin bahwa Majelis Hakim Agung Yang Mulia selain menjunjung tinggi prinsip keadilan, juga menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum dalam memutus perkara a quo sehingga akan dapat melihat bahwa esensi pengaturan Pasal 37 yang diajukan uji materiil kepada Mahkamah Agung adalah untuk menciptakan kepastian hukum, agar Wajib Pajak tidak menghindari kewajiban perpajakannya dengan menempuh sega/a upaya hukum yang bahkan tidak sesuai dengan jalur yang telah disediakan Pemerintah. Demikian pula kiranya Majelis Hakim Agung dapat memper- timbangkan fakta bahwa peranan pajak dalam penerimaan negara yang sangat signifikan, sehingga upaya penundaan pembayaran pajak atau bahkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak termasuk uji materiil Pasal 37 huruf b, d, e, f, g, dan h Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 yang diajukan oleh Pemohon berpotensi mengganggu penerimaan negara; b) Upaya hukum atas Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya tidak sesuai denganprosedur. Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum sebagaiberikut:
Gugatan kepada PengadilanPajak. Undang-Undang KUP dan PP 74/2011 memberikan hak kepadaWP untuk menggugat surat ketetapan pajak yang terbit tidak sesuai prosedur, hal tersebut diaturantara lain: Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-UndangKUP: "Penerbitan surat ketetapan pajak atau 5urat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan hanya dapat diajukankepada badan peradilan pajak"; Pasal 38 ayat (1) PP74/2011: "Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalamPasal 23 ayat (2) huruf d Undang- Undang"; Pengajuan gugatan atas surat ketetapan pajak tersebut tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk tetap mengajukan upaya hukum atas jumlah pajak yang terutang. Perlu kiranya menjadi perhatian Majelis Hakim Yang Mulia, bahwa sepanjang menyangkut materi maka Putusan Gugatan tidak dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini dikarenakan Putusan Gugatan tidak termasuk produk hukum yang menjadi dasar pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana telahdiatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat 2 (dua) Undang-Undang KUP, sehingga apabila Pengadilan Pajak melalui Putusan Gugatan kemudian menetapkan terjadi kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak dapat dikembalikan oleh Direktur Jenderal Pajak; Demikian pula, apabila Putusan Gugatan menetapkan terjadi kekurangan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak juga tidak dapat menagih kekurangan pembayaran pajak karena Putusan Gugatan tidak termasuk produk hukum yang menjadi dasar penagihan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang KUP.
Pengajuan pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberi- tahuan hasil pemeriksaan atau verifikasi atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaanatau verifikasipajak kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimanaSelain dapat mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak yang terbit tidak sesuai dengan prosedur, apabila terkait dengan tidak disampaikannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau verifikasi atau tidak dilakukannya pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau verifikasi, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembatalan ketetapandiatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP. Melalui permohonan ini, Wajib Pajak dapat langsung mendapatkan haknya atas prosedur yang belum dilaksanakan dalam penerbitan surat ketetapan pajak tanpa harus melalui proses litigasi yang relatif lebih memakan waktu dan biaya; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 P ermohonan ini dapat diajukan 1 (satu) kali dan harus diberikan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonanditerima secara lengkap; Untuk memudahkan Majelis Hakim Yang Mulia dalam mendalami skema upaya hukum yang dapat ditempuh olehWajib Pajak, berikut ini digambarkan skema visual sebagai berikut: SURAT KETETAPAN PAJAK MATERI PROSEDUR PASAL 36 PASAL 36 AYAT (1) PASAL 16 PASAL 25 huruf b PASAL 23 HURUF d (PEMBETULAN) (KEBERATAN) (PENGURANGAN DAN (GUGATAN) (PEMBATALAN SKP TIDAK PEMBATALAN SKP) SESUAI PROSEDUR) Dapat Diajukan BANDING PROSES BERHENTI PENINJAUAN KEMBALI PROSES BERHENTI Berkali-kali DI DIP DI DIP PENINJAUAN KEMBALI Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak diberikan kesempatan yang luas untuk mencari keadilan, dan harus dipilih sesuai dengan jenis sengketa dan dengan mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing pilihan upaya hukum yang diambil. Oleh karena itu, dalam pengajuan upaya hukum, Wajib Pajak harus meyakini terlebih dahulu kebenaran penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajaknya sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak menjadisarana untuk coba-coba dalam menunda atau menghindari kewajiban perpajakannya;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannyayang menyatakan : Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada dasarnya telah mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi, akan tetapi pengaturan tersebut telah dikesampingkan oleh ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011, sehingga hak wajib pajak untuk dapat mengajukan penguranganatau penghapusan sanksi administrasi tidak diperoleh Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut : Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 48 Undang-Undang KUP tidak hanya mengamanatkan pengaturan mengenai tata cara, tetapi juga kelengkapan yang materinya telah diatur dalam Undang-Undang KUP. Dengan menyitir bahwa Pasal 48 hanya mengamanatkan tata cara sehingga pengaturan hal-hal di luar tata cara bertentangan dengan Undang-Undang, menunjukkan bahwa Pemohon tidak memiliki pemahaman penuh terhadap ketentuan Pasal 48 atau bahkan mungkin sedang berusaha untuk menyesatkan pemahaman Majelis Hakim Agung Yang Mulia. Namun demikian, Pemerintah sangat yakin Majelis Hakim Agung Yang Mulia juga memahami bahwa Pasal 48 Undang- Undang KUP yang menjadi dasar pembentukan PP 74/2011 memberikan kewenangan untuk mengatur tidak hanya tata cara melainkan juga memberikan kewenangan untuk mengatur materi yang belum cukup lengkap diatur dalam Undang-Undang KUP. Setelah memahami bahwa Peraturan Pemerintah pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP diberikan kewenangan untuk mengatur materi yang belum cukup lengkap diatur dalam Undang-Undang KUP, selanjutnya Pemerintah akan menguraikan mengapa Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP perlu diatur dengan Pasal 37 PP 74/2011. Hal-hal yang dapat diajukan gugatan telah diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, yang berbunyi: "Gugatan Wajib Pajak atau PenanggungPajak terhadap:
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; __ b. keputusan pencegahan dalam rangkapenagihan pajak; __ c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undanganperpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak"; Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d Undang-Undang KUP mengatur secara jelas mengenai hal-hal apa saja yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Namun Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP belum cukup memberikan kejelasan tentang produk hukum yang dapat diajukan gugatan sehubungan dengan keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan. Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian dan kejelasan hukum baik bagi Wajib Pajak dan petugas pajak, maka perlu diatur lebih lanjut bagaimana perlakuan secara hukum terhadap Pasal 23 ayat (2) huruf c tersebut; Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, hal-hal yang dapat diajukan gugatan terkait dengan Pasal 23 ayat (2) huruf a,huruf b, dan huruf d adalah terkait dengan prosedur. Oleh karena itu keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat diajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c,juga harus dipandang yang terkait dengan prosedur. Oleh karena itu, untuk menjalankan amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP yang mengatur bahwa terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Maka terhadap Pasal 23 ayat (2)huruf c Undang- Undang KUP diatur dengan ketentuanPasal 37 PP 74/2011, yang berbunyi: "Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan yang diajukan gugatan kepada Badan Peradilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang, meliputi keputusan yang diterbitkan olehDirektur Jenderal Pajakselain:
surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tatacara penerbitan;
Surat KeputusanPembetulan; __ Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 47 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 c. Surat Keputusan Keberatan yang telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; __ d. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
Surat Keputusan PenghapusanSanksi Administrasi; __ f. Surat Keputusan PenguranganKetetapan Pajak;
Surat Keputusan Pembatalan KetetapanPajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian PendahuluanKelebihan Pajak; Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagaiberikut:
Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; Sebagaimana telah dipaparkan di atas, gugatan hanya terkait prosedur saja. Oleh karena itu, surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, tidak dapat diajukan gugatan. Sebaliknya, Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat(2) huruf d. Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, banding, sampai dengan Peninjauan Kembali atau mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yangtidak benar;
Surat KeputusanPembetulan; Surat keputusan pembetulan diterbitkan berdasarkan permohonan maupun karena jabatan apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP. Kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan pembetulan tersebut merupakan kekekeliruan yang tidak bersifat sengketa. Oleh karena itu, Surat Keputusan Pembetulan tidak dapat diajukan gugatan oleh Wajib Pajak. Selanjutnya, permohonan pembetulan juga tidak dibatasi oleh Undang-Undang sehingga Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan setiap kali terdapat/menemukan kesalahan. Bahkan diatur bahwa terhadap surat ketetapan pajak yang dilakukan pembetulan dan wajib pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 mempersengketakan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Keputusan pembetulan tersebut, Wajib Pajak masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum pembetulan, keberatan, pengurangan ketetapan pajak, atau pembatalan ketetapan, dan dapat pula diajukan pengurangan maupun penghapusan sanksi administrasi. Bahkan apabila terhadap surat ketetapan pajak tersebut tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaandan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, tetap dapat dilakukan pembatalan Surat Ketetapan Pajak. Hal ini berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap produk hukum lainnya yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Surat Keputusan Keberatan yang telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa upaya hukum gugatan hanya dapat diajukan terkait prosedur. Oleh karena itu, Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan tidak dapat diajukan gugatan. Sebaliknya, Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai prosedur sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-UndangKUP; Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam Surat Keputusan Keberatan yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan bandingsampai dengan Peninjauan Kembali;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi danSuratKeputusanPenghapusanSanksiAdministrasi; Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karenakesalahannya; Dari bunyi Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP di atas, secara tersirat dapat dimaknai bahwa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dilakukan atas sanksi yang sudah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 benar namun Wajib Pajak meminta "derma" atau "belas kasihan" kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikurangkan atau dihapuskan karena keadaan tertentu. Dengan kata lain, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut merupakan wewenang mutlak Direktur Jenderal Pajak sehingga tidak relevan apabila diajukan gugatan. Selain itu, Undang-Undang KUP memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengajukan sebanyak 2 (dua)kali; Apabila sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Tagihan Pajak tidak benar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c. Apabila sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak tidak benar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b;
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak dan Surat Keputusan PembatalanKetetapan Pajak; Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, banding, sampai dengan Peninjauan Kembali atau mengajukan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yangtidak benar; Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. Pengertian tidak benar di sini adalah terkait dengan jumlah pajak yang terutang. Permohonan pengurangan atau penghapusan surat ketetapan yang tidak benar diputuskan oleh Direktur Jenderal Pajak dan tidak dapat diajukan upaya hukum kepada lembaga lain di luar Direktorat Jenderal Pajak. Akan tetapi perlu diperhatikan juga bahwa terhadap Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak dan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak masih dapat diajukanupaya hukum pembatalan. Keberatan dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak merupakan dua jalur terpisah (alternatif). Artinya, apabila Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak sudah mengajukan keberatan maka tidak boleh mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak. Sebaliknya, apabila Wajib Pajak sudah mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak maka tidak boleh mengajukan keberatan. Keduanya memiliki kedudukan yang sama dalam kaitannya memutuskan pajak yang terutang dalam surat ketetapanpajak; Pengurangan atau pembatalan pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP disebut ordonansi keadilan (Sisi keadilan Pasal 36 (1) hurufb)karena:
Tidak terdapat keputusan yang menambah pajak yangterutang;
Buku, catatan, atau dokumen yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tetapi diberikan dala proses penyelesaian pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar juga dapat dipertimbangkanoleh Direktur Jenderal Pajak; Oleh karena pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar mengadili pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, maka tidak relevan apabila Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diajukan gugatan. Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang telah diputuskan dalam Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan lagi permohonankepada Direktur Jenderal Pajak;
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Berdasarkan Pasal 17C Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PajakPertambahan Nilai; Output dari penelitian tersebut adalah menerima atau menolak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Apabila Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan Wajib Pajak maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 pengembalian kelebihan pembayaran pajak diproses berdasarkan Pasal 17C Undang-Undang dan diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Dalam proses penelitian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, tidak terdapat koreksi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak murni berdasarkan jumlah yang dimohonkan oleh Wajib Pajak, sehingga tidak mengandung sengketadidalamnya; Berdasarkan hal tersebut tidak relevan jika Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak diajukan gugatan kepada PengadilanPajak; Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Berdasarkan amanat dalam Pasal 48 Undang-Undang KUP, bahwa hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang akan diatur oleh Peraturan Pemerintah, maka PP 74/2011 yang menjalankan amanat tersebut sudah sangat jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun Pemohon berpandangan bahwa PP 74/2011 tidak dapat mengatur selain materi, tetapi dari penjelasan Pasal 48 terlihat bahwa Pasal 48 juga memberi kewenangan untuk mengatur kelengkapan yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang KUP. Pemberian kewenangan pengaturan materi tersebut melegitimasi pengaturan materi dalam PP 74/2011 yang melengkapi Undang-Undang KUP;
Pasal 37 huruf d dan huruf e PP 74/2011 merupakan pengaturan lebih lanjut mengenai materi yang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sehingga Wajib Pajak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum mengenai jalur-jalur upaya hukum yang dapat ditempuh. Dengan kata lain tidak terdapat pertentangan antara materi dalam Pasal 37 huruf d dan huruf e PP 74/2011 dengan materi dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sebagaimana disebutkan dalampendapat Pemohon;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasansebagai berikut : Bahwa menurut Termohon, terhadap argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan bertentangan dengan Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah tidak berdasar dan mengada- ada, karena pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Sehingga PP No 74 Tahun 2011 pada dasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun1983;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011 telah mengakibatkan Pemohon harus membayar apa yang bukanmenjadi kewajibannya sebagai wajib pajak; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasansebagai berikut : Bahwa terhadap argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011 telah mengakibatkan Pemohon harus membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak, menurut Termohon adalah tidak berdasar dan mengada-ada, karena pada dasarnya tidak ada pembayaran yang harus di bayarkan oleh Pemohon Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 53 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 di luar kewajiban Pemohon sebagaiwajib pajak; Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak masih dapatdibetulkan; Pasal 16 Undang-Undang KUP telah mengatur bahwa Surat Keputusan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak merupakan salah satu produk hukum yang dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatan. Pengaturan ini dilandaskanpada prinsip bahwaPembetulan dilakukan terhadap kesalahan yang bersifat manusiawi yang tidak mengandung sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga apabila masih terdapat kesalahan, Surat Keputusan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak tersebut masih dapat dibetulkan; Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) Pasal 17C dan Pasal 170 Tidak Mengakibatkan Wajib Pajak Kehilangan Hak Untuk Mengajukan UpayaHukum : a) Latar belakang pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagai fasilitas percepatanrestitusi; Pada prinsipnya pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus dilakukan berdasarkan pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 178 UU KUP; Pasal 17 ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebihbesar daripada jumlah pajak yang terutang"; Pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) dilakukan berdasarkan atas hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan yang tidak menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pemeriksaan dalam rangka pengembalian ini dilakukan dalam jangka waktu 6-8 bulan dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaam kantoratau dalam jangka waktu 8-10 bulan dalam hal dilakukan dengan pemeriksaanlapangan; Pasal 178ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 54 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secaralengkap" Pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 178 ayat (1) dilakukan berdasarkan atas hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan yang menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal Wajib Pajak memohon pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud Pasal 17B UU KUP maka Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima lengkap; Namun demikian, jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) atau jangka waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud Pasal 17B ayat (1) dipandang tidak cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat Wajib Pajak yang menginginkan proses restitusi dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat Wajib Pajak tersebut, Pemerintah memberikan fasilitas pengembalian pendahuluan dilakukan untuk Wajib Pajak tertentu yang memiliki tingkat kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak yang baik. Pengembalian pendahuluan berdasarkan Pasal 17C dan Pasal 17D dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan restitusiberdasarkan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17B ayat (1), yaitu 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan dan 1 (satu) bulan untuk PajakPertambahan Nilai. Oleh karena itu pengembalian pendahuluan kelebihan pajak harus dipandang sebagai fasilitas percepatan restitusi yang diberikan oleh Pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada masyarakat; b) Ilustrasi permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana diatur Pasal 17C dan Pasal 17D Undang- UndangKUP; Untuk memperjelas proses pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, kami sampaikan ilustrasisebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 55 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur Pasal 17C atau Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Persyaratan Tertentu sebagaimana diatur dengan Pasal 17D mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) dengan membubuhkan tanda pada Surat Pemberitahuan (SPT). Berdasarkan permohonan tersebut, Kantor Pelayanan Pajak melakukan penelitian untuk menguji kebenaran terjadinyakelebihan pembayaran pajak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) tersebut. Apabila berdasarkan penelitian terbukti terjadi kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), terhadap permohonan Wajib Pajak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak (SKPPKP). Namun apabila berdasarkan penelitian terbukti kelebihan pembayaran pajak kurang atau lebih dari jumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), permohonan Wajib Pajak tidak diberikan, tetapi Wajib Pajak masih dapat membetulkanSPT tersebut. c) Terbitnya SKPPKP menunjukkan bahwa seluruh permohonan restitusi WajibPajak dikabulkan; Sebagaimana telah dicontohkan dalam ilustrasi di atas, SKPPKP terbit hanya apabila berdasarkan hasil penelitian terbukti terdapat kelebihan pembayaran pajak sebesar yang diajukan oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu apabila SKPPKP terbit, seharusnya tidak terjadi sengketa karena SKPPKP terbit sesuai dengan permohonanWajib Pajak; d) SKPPKP masih dapat dibetulkan dengan kuasa Pasal 16 UU KUP Pasal 16 UU KUP telah mengatur bahwa Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak merupakan salah satu produk hukum yang dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatan. Pengaturan ini dilandaskan pada prinsip bahwa Pembetulan dilakukan terhadap kesalahan yang bersifat manusiawi yang tidak mengandung sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga apabila masih terdapat kesalahan,Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 56 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 masih dapat dtbetulkan. Hal ini menunjukkan bahwameskipun SKPPKP hanya dapat terbit sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, Pemerintah masih menyediakan upaya yang dapat dilakukan apabila masih terdapat kesalahan baik kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kesalahan penerapan peraturan perundang- undangan; e) Penerbitan SKPPKP tidak mungkin dan tidak perlu disengketakan Berdasarkan uraian di atas, didapatkan gambaran bahwa SKPPKPditerbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan jumlah yang diajukan oleh Wajib Pajak dan terhadap SKPPKP tersebut masih dapat diajukan Pembetulan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak mungkin terjadi sengketa atas penerbitan SKPPKP. Sengketa hanya mungkin terjadi apabila SKPPKP tidak terbit. Seandainyapun SKPPKP tidak terbit, Wajib Pajak masih dapat membetulkan SPT yang menjadi dasar permohonannya tersebut. Dengan demikian apabila SKPPKP diterbitkan seharusnya tidak terjadi sengketa dan tidak perlu disengketakan;
Kekhawatiran Pemohon bahwa produk upaya hukum yang diajukan uji materiil tidak dapat lagi atau kehilangan hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak adalah tidakberalasan; Sebagaimana telah dijelaskan secara gamblang di atas, bahwa setiap upaya hukum memiliki karakteristik tersendiri berdasar- kan jenis sengketanya dan memiliki konsekuensimasing- masing; Misalnya, jika terhadap Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan dan kemudian diterbitkan produk hukum Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagai hasil pemeriksaan tersebut, apabila Wajib Pajak kemudian tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, UU KUP memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum( point d'interet point d'action ). Berdasarkan UU KUP, kesempatan yang seluas- luasnya bagi Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum dapat berupa permohonan pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP, pengajuan keberatan sebagaimana Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 57 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 diatur dalam Pasal 25 UU KUP, dan upaya hukum Pasal 36 UU KUP yang berupa: permohonan pengurangan ketetapan pajak, permohonan pembatalan ketetapan, permohonan pengurangan maupun permohonan. penghapusan sanksi administrasi, bahkan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dimaksud tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, dapat dilakukan pembatalan Surat Ketetapan PajakKurang Bayar; Upaya hukum yang dipilih Wajib Pajak sangat tergantung pada ketidakpuasan Wajib Pajak dalam hal apa dan bagaimana pertimbangan Wajib Pajak atas konsekuensi dari upaya hukum Wajib Pajak. Misalnya jika upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah keberatan, maka konsekuensi Wajib Pajak antara adalah harus melunasi jumlah pajak yang disetujui pada waktu akhir sebelum mengajukan keberatan, jumlah pajak yang tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir belum menjadi utang pajak sehingga tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, dan jika berdasarkan SK Keberatan terdapat pajak yang masih harus dibayar maka atas jumlah tersebut harus dilunasi Wajib Pajak dengan ditambah sanksi administrasi 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dibayar; Hal ini berbeda, jika langkah upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak. Jika upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, maka konsekuensi Wajib Pajak antara lain adalah harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, baik jumlah itu disetujui atau tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir sebelum Wajib Pajak mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jumlah pajak yang disetujui maupun tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir telah menjadi utang pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan dan bila tidak dilunasi dilakukan penagihan pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 58 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dengan surat paksa. Hanya saja terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dlbayar, tetapi dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan; Konsekuensi yang hampir sama, jika upaya hukum yang ditempuh adalah mengajukan upaya hukum pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP. Konsekuensi Wajib Pajak antara lain adalah harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, baik jumlah itu disetujui atau tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir sebelum Wajib Pajak mengajukan pembetulan Pasal 16 UU KUP, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jumlah pajakyang disetujui maupun tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir telah menjadi utang pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan dan bila tidak dilunasi dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa. Hanya saja terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dibayar, tetapi dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan; Berdasarkan contoh uraian di atas, maka Wajib Pajak harus memilih jalur yang akan ditempuh dan menyadari konsekuensi- nya, dan bukannya mencoba semua upaya hukum walaupun tidak sesuai dengan jenis sengketanya hanya untuk menunda atau bahkan menghindari kewajibanperpajakannya; Gugatan sebagai jalur upaya hukum yang telah disediakan untuk jenis sengketa yang terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapan pajak, tidak dapat digunakan sebagai upaya hukum untuk jenis sengketa materi terkait jumlah pajak yang terutang. Apabila hal tersebut tetap dilakukan dan dikabulkan oleh Pengadilan Pajak, yang selanjutnya berdampak pada Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 59 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 kelebihan pembayaran pajak, maka putusan tersebut justru akan merugikan Wajib Pajak karena Wajib Pajaktidak dapat mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dimohonkannya. Hal ini dikarenakan, berdasarkan Pasal 11 UU KUP, Putusan Gugatan bukan merupakan salah satu produk hukum yang menjadi dasar pengembalian kelebihan pem- bayaran pajak; PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan; Menimbang, bahwa objek permohonan Hak Uji Materiil merupakan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis berada di bawah Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian terhadap objek permohonan _a quo; _ Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa Pemohon adalah badan hukum publik yang mempunyai perhatian yang intens terhadap dunia usaha di bidang otomotif. Pemohon kerap memberikan dukungan, usulan dan saran terhadap para pemangku kepentingan ( stakeholder) di bidang usaha dan bisnis untuk kemajuan dunia otomotif di Indonesia khususnya wilayah Jabodetabek. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon itu sejatinya merupakan upaya untuk berpartisipasi dalam pembangunan yakni menciptakan lapangan kerja Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 bagi masyarakat, guna mencapai salah satu tujuan Negara yaitu memajukan kesejahteraan umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; Menimbang, bahwa Pemohon adalah pembayar pajak dalam setiap transaksi yang dilakukannya, Pemohon merasa sangat dirugikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e yang berakibat mengharuskan Pemohon untuk membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak atau dengan kata lain Pemohon sebagai wajib pajak dikenakan pajak yang bukan merupakan kewajiban warga Negara kepada Negara secara adil dan tidak manusiawi karena tidak dapat menggunakan haknya sebagai wajib pajak; Menimbang, bahwa dengan demikian sebagai badan hukum Publik mempunyai kepentingan dan legal standing dalam pengajuan Hak Uji Materiil a quo , sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 31 A ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan tentang substansi objek permohonan Hak Uji Materiil _a quo; _ Menimbang, bahwa substansi objek permohonan uji materiil ini sudah pernah diajukan (nebis in idem) dalam perkara Nomor 73 P/HUM/2013 dengan amar putusan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon. Oleh karena peraturan yang digugat mengatur materi yang sama dengan peraturan yang telah diputusan dalam Putusan Nomor 73 P/HUM/2013, maka gugatan a quo harus dinyatakan nebis in idem dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima, maka Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara, dan oleh karenanya terhadap substansi permohonan a quo tidak perlu dipertimbangkan lagi; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 61 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 MENGADILI, Menyatakan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: HARTONO SOHOR tersebut tidak dapat diterima; Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 20 Oktober 2015 , oleh Dr. H. Imam Soebechi, SH., MH., Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha , yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, SH., MH. dan Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN., Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu jugaoleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Rafmiwan Murianeti, SH., MH., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak; Anggota Majelis: Ketua Majelis, ttd. ttd. Is Sudaryono, SH., MH. Dr. H. Imam Soebechi, SH. MH. ttd. Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN. Panitera-Pengganti : ttd. Rafmiwan Murianeti, SH. MH. Biaya-biaya :
M e t e r a i……. Rp 6.000,00 2. R e d a k s i…... Rp 5.000,00 3.Administrasi…... Rp 989.000,00 Jumlah : Rp1.000.000,00 Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG RI.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara ( ASHADI, SH ) NIP. : 220 000 754 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61
Pengujian UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
“Setiap jenis kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan biaya penggantian pembuatan kartu dana/sertifikat sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah).” __ 9. Bahwa, besaran santunan kecelakaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 adalah;
Korban Kecelakaan alat Angkutan lalu lintas jalan atau ahli warisnya berhak atas Santunan.
Besar Santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di tentukan se bagai berikut:
Ahli waris dari Korban yang meninggal dunia berhak atas Santunan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh ju ta rupiah).
Korban yang mengalami cacat tetap berhak atas Santunan yang besarnya dihitung berdasarkan angka persentase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Namar 18 Tahun 1965 dari besar Santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Korban yang memerlukan perawatan dan pengabatan berhak atas Santunan berupa:
penggantian biaya perawatan dan pengabatan dokter paling banyak Rp20. 000.000,00 (dua puluh juta rupiah);
biaya ambulans atau kendaraan yang membawa Korban ke fasilitas kesehatan paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan/atau 3. biaya pertalangan pertama pada Kecelakaan paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Bahwa, PEMOHON sangat dirugikan dengan berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 kecelakaan. Pihak Jasa Raharja memahami makna Penjelasan Pasal a quo yang dijamin mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah kecelakaan akibat adanya tabrakan kendaraan bermotor lebih dari satu kendaraan sebagaimana ditegaskan dalam kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Bahwa, kecelakaan satu kendaraan atau biasa disebut dengan kecelakaan tunggal tidak termasuk yang dijamin oleh UU a quo .
Bahwa, pemahaman Jasa Raharja tentang frasa a quo dipertegas dengan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang ketentuan-ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-lintas Jalan yang menyatakan; Setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu-lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu-lintas jalan tersebut sebagai demikian, diberi hak atas suatu pembayaran dari Dana Kecelakaan Lalu-lintas Jalan, kecuali dalam hal-hal yang tercantum dalam Pasal 13. juga dipertegas dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang menyatakan; Korban adalah setiap orang yang berada di luar alat Angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan Kecelakaan, yang menjadi korban akibat Kecelakaan dari penggunaan alat Angkutan lalu lintas jalan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang KetentuanKetentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang ketentuan- ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang menjadikan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sebagai rujukan tentu tidak dapat dibenarkan, hal ini tidak sesuai dengan mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam lampiran angka 177 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 menyatakan; Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 juncto PP Nomor 18 Tahun 1965 juncto Permenkeu Nomor 16 Tahun 2017 semuanya menjelaskan jika yang dimaksud korban kecelakaan yang berhak mendapat santunan asuransi Jasa Raharja adalah mereka yang beradia di luar alat angkutan lalu lintas jalan.
Bahwa, pemahaman makna kecelakaan yang dijamin oleh Jasa Raharja adalah kecelakaan di luar luar angkutan tidak hanya dialamai oleh suami PEMOHON (Jasa Raharja cabang Surabaya) tapi juga Jasa Raharja di kota-kota lain sebagaima berita-berita internet di bawah ini.
Jasa Raharja Sukamara RICKY S. GINTING yang menyatakan jika kecelakaan tunggal tidak mendapatkan santunan Jasa Raharja (Borneonews 17 April 2017), juga HASJUDIN kepala cabang Jasa Raharja Kalimantan Barat (equator.co.id 30 Desember 2016), Kepala PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Sulawesi Tengah, Suratno menegaskan khusus korban kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tunggal sesuai dengan UU Nomor 33/34 Tahun 1964 tidak berhak mendapatkan santunan. Kepala PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Sulawesi Tengah, Suratno menegaskan khusus korban kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tunggal sesuai dengan UU Nomor 33/34 Tahun 1964 tidak berhak mendapatkan santunan. (antarasulteng.com 14 Mei 2016). Hal ini juga dikatakan oleh kepala kantor Jasa Raharja tingkat I wilayah Wangon DEN RAMADHAN F. yang mengatakan jika kecelakaan tungal tidak mendapatkan santunan dari Jasa Raharja (Cilacapmedia.com 10 November 2015), Dari empat ruang lingkup jaminan asuransi Jasa Raharja, kecelakaan tunggal tidak berhak mengklaim. Itu disampaikan Kepala Cabang Jasa Raharja Lampung TRIYUGARA (saibumi.com 17 Pebruari 2015), sementara itu pihak kepolisian pemahamannya juga sama, hal ini dikatakan oleh AKBP Adewira Negara Siregar menuturkan, kelalain pengendara dapat melanggar Pasal 106 ayat (1) juncto 283 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mengenai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 santunan Jasa Raharja dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Jasa Raharja dan PP Nomor 17 Tahun 1965, bahwa kecelakaan tunggal tidak terjamin dalam santunan Jasa Raharja. Tetapi penyidik memberikan penjelasan apabila tidak terjamin Jasa Raharja maka Dwi dapat menggunakan BPJS Kesehatan sebagai gantinya (apakabar.co.id 8 Agustus 2017).
Bahwa, setelah membaca berita-berita di atas dari berbagai sumber media yang ada, bisa jadi setelah berlakukanya UU a quo sudah ratusan bahkan mungkin ribuan korban kecelakaan tunggal dari Sabang sampai Merauke tidak mendapatkan santuan asuransi Jasa Raharja.
Bahwa, norma Penjelasan Pasal 4 UU Nomor 34 Tahun 1964 khususnya kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang- Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan menjadikan makna sempit yang diartikan oleh pihak Jasa Raharja, bahwa kecelakaan yang dijamin mendapat santunanan kecelakaan adalah kecelakaan yang melibatkan 2 kendaraan, bukan satu kendaraan. Sebab jika kecelakaan satu kendaraan korbannya ada di dalam alat angkutan itu sendiri bukan di luar alat angkutan.
Bahwa, seharusnya kecelakaan apapun korbannya dijamin oleh asuransi Jasa Raharja, sebab Jasa Raharja adalah asuransi bersifat sosial. Artinya asuransi yang tidak mengejar keuntungan semata, Jasa Raharja harusnya menjadi pelindung bagi masyarakat yang menjadi korban kecelakaan baik yang menabrak, ditabrak, maupun kecelakaan tunggal.
Bahwa, argumentasi yang mengatakan jika kecelakaan tunggal tidak mendapatkan santunan asuransi JASA RAHARJA sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa luar UU Nomor 34 Tahun 1964 adalah tidak berdasar. Pertanyaannya jika memang suami PEMOHON tidak mendapatkan santunan asuransi, buat apa suami PEMOHON membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan setiap tahunnya saat mebayar pajak STNK sepeda motor Mio J tahun 2012 dengan nomor polisi L 6202 QJ. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 20. Bahwa, makna dari SWDKLLJ, meskipun namanya sumbangan, tapi ingat sumbangan ini bersifat wajib, seperti layaknya suami PEMOHON membayar pajak STNK. Digunakan atau tidak kendaraan suami PEMOHON, tetap setiap tahunnya suami PEMOHON harus membayar pajak STNK. Begitupun dengan SWDKLLJ, setiap tahunnya PENGGUGAT wajib membayar SWDKLLJ meskipun suami PEMOHON tidak mengalami kecelakaan. Tapi anehnya ketika suami PEMOHON kecelakaan justru asuransi Jasa Raharja tidak mau memberikan santunan yang menjadi hak suami PEMOHON dengan alasan kecelakaan tunggal tidak mendapat santunan.
Bahwa, argumentasi kecelakaan tunggal tidak mendapat santunan patut dipertanyakan. Yang namanya kecelakaan adalah sebuah kejadian yang tidak disengaja oleh pengendara baik pengendara motor maupun mobil, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.” 22. Bahwa, makna di dalam Pasal 1 angka 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 sudah sangat jelas, kecelakaan adalah persitiwa di jalan dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain. Maknanya adalah bahwa kecelakaan tunggal juga dimaknai sebuah kecelakaan. Karena kecelakaan tunggal juga dimaknai sebuah kecelakaan, korbannya harus mendapatkan santunan. Dan menjadi sebuah keanehan jika Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tidak memberikan santunan kepada korban kecelakaan tunggal.
Bahwa kalimat yang dijamin asuransinya mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan bertentangan hak konstitusional suami PEMOHON sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa, suami PEMOHON sebagai warga negara yang membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (sepeda motor), setiap tahunnya dibayar oleh suami PEMOHON. Seharusnya dijamin dan mendapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 perlindungan asuransi saat terjadi kecelakaan. Apakah kecelakaan a quo tunggal maupun tabrakan lebih dari satu kendaraan.
Bahwa, makna jaminan perlindungan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah sebuah jaminan yang melekat warga negara oleh negara terhadap mereka yang mengendarai atau menumpang sebuah kendaraan bermotor, kereta api, kapal laut maupun pesawat terbang.
Bahwa, setiap warga negara mempunyai hak konstitusional yang dijamin oleh UUD. Karena suami PEMOHON adalah pemilik kendaraan bermotor dan membayar SWDKLLJ setiap tahunnya, maka tidak boleh ada frasa UU yang menghalangi atau merugikan hak suami PEMOHON untuk mendapat perlindungan asuransi Jasa Raharja milik dari pemerintah.
Bahwa, dengan berlakunya kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan dari penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 hak konstitusional suami PEMOHON menjadi hilang. Bukankah ini merugikan hak suami PEMOHON dengan berlakunya ketentuan a quo karena hak asuransinya tidak dijamin.
Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tidak singkron dengan kalimat Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1963 dimana dalam Pasal 4 tidak ada frasa luar. Justru kalimat di dalam Pasal 4 ayat (1) maknanya jelas dan mudah dipahami “(1) Setiap orang yang menjadi korban mati atau cacad tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan tersebut dalam pasal 1, dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya sebesar jumlah yang ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 28. Bahwa, makna Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sangat mudah dipahami, siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas baik mati maupun cacat tetap dijamin mendapatkan satunan asuransi Jasa Raharja. Tidak ada kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan, yang akhirnya menyebabkan pemaknaan berbeda, seakan-akan kecelakaan yang ada didalam alat angkutan tidak dijamin asuransinya oleh Jasa Raharja.
Bahwa, dalam lampiran angka 1 angka 176 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakaan: Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, kalimat, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 jelas membuat norma baru, bahkan bisa disebut sebagai norma terselubung yang maknanya sudah berbeda dengan Pasal 4 ayat (1). Sebab di dalam Pasal 4 ayat (1) memberikan pengertian siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas akan mendapatkan santunan kecelakaan. Sementara di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menjadi dipersempit yang mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas mereka yang berada di luar alat angkutan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan mekanisme teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud di dalam lampiran angka 178 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan: Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan.
Bahwa Pemohon menganggap mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dengan berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Bahwa, suami Pemohon setiap tahunnya membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) tetapi saat mengalami kecelakaan tunggal diperlakukan tidak sama oleh UU a quo . Padahal ketentuan pembayaran SWDKLLJ tidak membeda-bedakan bentuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 kecelakaan yang mendapat santunan. Artinya semua kecelakaan akan mendapatkan santunan, tapi oleh Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 hak Pemohon dihalangi. Hal ini tentu ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 138) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dinyatakan inkonstitusional. PETITUM Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, PEMOHON memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan PEMOHON seluruhnya.
Menyatakan: Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 138) bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Oleh karena itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya ( ex aequo et bono ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;
Bukti P-3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;
Bukti P-4 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuagan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan;
Bukti P-5 : Fotokopi KTP atas nama Rokhim, kelahiran Bangkalan 24 November 1968 NIK 3578052411680004 beralamat di Kedondong Pasar Kecil 1/79 Surabaya;
Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Keluarga Nomor 3578050201081022 yang dikeluarkan dinas kependudukan dan catatan sipil kota Surabaya KK dari Rokhim dan Maria Theresia Asteriasanti;
Bukti P-7 : Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor 236/08/XI/92 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kamal Bangkalan Madura.
Bukti P-8 : Fotokopi Keterangan Ahli Waris yang dikeluarkan oleh Jasa Raharja tertanggal 31 Juli 2017.
Bukti P-9 : Fotokopi Laporan Polisi 15.19/758/VII/2017/LL. Yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resort kota besar Surabaya tertanggal 24 Juli 2017.
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Keterangan Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Nomor SKET/758.a/VII/2017 yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya tertanggal 31 Juli 2017.
Bukti P-11 : Printout dari situs antarasulteng.com tertanggal 14 Mei Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 2017;
Bukti P-12 : Printout dari situs borneonews.com tertanggal 12 Oktober 2017; __ 13. Bukti P-13 : Printout dari situs serambimaluku.com; __ 14. Bukti P-14 : Fotokopi Surat Keterangan Pemeriksaan Kematian tertanggal 24 Juli 2017 dari rumah sakit Bhayangkara Polda Jatim;
Bukti P-15 : Printout Berita Online dari Website cilacapmedia.com dengan judul “Korban Kecelakaan Tunggal tak dapat Santunan” tertanggal 10 November 2015;
Bukti P-16 : Printout Berita Online dari Website equator.co.id dengan judul “Kecelakaan Tunggal tidak Dapat Santunan” tertanggal 30 Desember 2016; __ 17. Bukti P-17 : Printout Berita Online dari Website saibumi.com dengan judul “Kecelakaan Tunggal tidak Berhak Klaim Asuransi Jasa Raharja”, tertanggal 17 Februari 2015; __ 18. Bukti P-18 : Printout Berita Online dari Website apakabar.co.id dengan judul “Laka Tunggal Tak Bisa Dapat Santunan Jasa Raharja”, tertanggal 8 Agustus 2017; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 5 Desember 2017 dan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan pada tanggal 18 Desember 2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia, istri dari almarhum Rokhim seorang penyiar radio yang meninggal karena kecelakaan tunggal saat mengendarai sepeda motor di Jalan A. Yani Surabaya. Setelah jenazah dimakamkan, dengan membawa dokumen surat kecelakaan dari kepolisian dan rumah sakit Pemohon mendatangi kantor Jasa Raharja cabang Surabaya untuk mengajukan klaim santunan asuransi atas meninggalnya suami Pemohon. Tetapi oleh Jasa Raharja dijawab tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 ada klaim asuransi untuk kecelakaan tunggal, karena selama ini tidak diberikan santunan terhadap kecelakaan tunggal disebabkan aturan Undang-Undangnya memang seperti itu, yaitu didasarkan pada ketentuan a quo .
Bahwa setiap pemilik kendaraan bermotor wajib membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang disingkat SWDKLLJ. Bahwa pembayaran SWDKLLJ dibayar oleh suami Pemohon pada saat perpanjangan STNK adalah Rp. 35.000,- 3. Bahwa Pemohon merasa dirugikan dengan kalimat a quo dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, menurut Jasa Raharja makna Penjelasan pasal a quo yang dijamin mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah kecelakaan akibat adanya tabrakan kendaraan bermotor lebih dari satu kendaraan. Pemahaman ini dipertegas lagi dengan Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksana Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, dan juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 Pasal 1 angka 6. Yang kesemuanya menjelaskan jika yang dimaksud korban kecelakaan yang berhak mendapatkan santunan asuransi Jasa Raharja adalah mereka yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan .
Bahwa penjelasan pasal a quo, khususnya kalimat a quo menjadikan makna yang sempit yang diartikan Jasa Raharja. Menurut Pemohon seharusnya kecelakaan apapun korbannya dijamin oleh Asuransi Jasa Raharja. Bahwa makna SWDKLLJ meskipun sumbangan tapi sumbangan ini bersifat wajib seperti layaknya yang dibayarkan suami Pemohon membayar pajak STNK yaitu dibayar setiap tahunnya.
Bahwa kalimat a quo Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah membuat norma baru bahkan norma terselubung yang maknanya sudah berbeda dengan Pasal 4 ayat (1) sebab siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas akan mendapatkan santunan kecelakaan.
Sehingga kalimat a quo Penjelasan Pasal 4 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 adalah tidak berdasar, karena menurut Pemerintah, pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review ini adalah merupakan keberatan Pemohon karena tidak mendapatkan santunan kecelakaan dari Jasa Raharja atas meninggalnya suami Pemohon, Pemerintah berpendapat permasalahan Pemohon tersebut lebih merupakan constitutional complaint daripada constitutional review dan bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma.
Sehingga tidak ada hubungan sebab akibat/kausalitas ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji karena ketentuan UU yang diuji oleh Pemohon memang tidak untuk mengatur mengenai kecelakaan tunggal. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ). Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 yang menyatakan: “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan undang-undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Nomor 33 Tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam undang-undang tersebut.” sepanjang kalimat “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang- undang ini ialah mereka yang berada di jalan luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” tersebut oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka sebagai langkah menuju suatu sistem jaminan sosial ( sosial security ) diadakanlah dana kecelakaan lalu lintas jalan berdasarkan UU 34/1964. Kemudian dalam pengelolaan dana kecelakaan lalu lintas jalan tersebut dilakukan oleh PT. Jasa Raharja (Persero). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 b. Bahwa PT Jasa Raharja (Persero) memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat melalui 2 (dua) program asuransi sosial, yaitu Asuransi Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Umum yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang serta Asuransi Tanggung Jawab Menurut Hukum Terhadap Pihak Ketiga, yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Sehubungan dengan dalil Pemohon dalam permohonannya yang mendalilkan bahwa Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena Pemohon tidak mendapatkan asuransi kecelakaaan atas meninggalnya suami Pemohon dari Jasa Raharja karena alasan didasarkan pada ketentuan a quo, sehingga menurut Pemohon ketentuan a quo telah mempersempit makna dan juga memberikan norma baru serta diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang yang menjadi korban mati atau cacad tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan tersebut dalam Pasal 1, dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya sebesar jumlah yang ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan ini mengatur bahwa dana/jaminan kecelakaan yang diberikan kepada korban/ahli waris baik mati ataupun cacat adalah terhadap korban yang kecelakaannya disebabkan oleh angkutan lalu lintas jalan. Sehingga berdasarkan ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa kecelakaan yang dimaksud dalam UU 34/1964 ini adalah kecelakaan yang disebabkan alat angkutan lalu lintas jalan dan bukan terhadap kecelakaan tunggal . __ 2. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 adalah untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa yang mendapatkan dana kecelakaan lalu lintas jalan dalam UU 34/1964 adalah mereka/korban yang berada di luar alat angkut lalu lintas jalan yang menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 kecelakaan, namun terhadap korban yang telah mendapatkan jaminan berdasarkan UU 33/1964, maka dana hanya diberikan sekali. Penjelasan ini juga dimaksudkan adalah penegasan agar tidak terjadi double pemberian jaminan kecelakaan yang dijamin UU 34/1964 dengan jaminan kecelakaan berdasarkan UU 33/1964.
Bahwa latar belakang dibentuknya peraturan UU 34/1964 adalah guna melindungi pihak ketiga akibat pengemudi kendaraan bermotor yang menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga tersebut. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum angka 1 UU 34/1964 yang menyatakan: “ setara dengan teknik modern, dalam penghidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkatkan disebabkan kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya..... Kita lebih melihat kepada rakyat banyak yang mungkin menjadi korban risiko-risiko teknik modern, dari pada kepada para pemilik/pengusaha alat-alat modern, yang bersangkutan. Dan jika jaminan itu dirasakan oleh rakyat, maka akan timbullah pula kegairahan social kontrol”. 4. Bahwa Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 memiliki pengertian bahwa dana yang diberikan adalah terhadap kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan, atau dengan kata lain alat angkutan lalu lintas jalan sebagai faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Bahwa suatu norma yang telah ditetapkan terkadang diperlukan penjelasan lebih lanjut agar pembentuk undang-undang dapat menyampaikan apa yang dimaksud dari norma tersebut sebagai keterangan resmi dari norma yang ditetapkan tersebut. Sebagaimana yang ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur bahwa Penjelasan adalah tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.( vide angka 176 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011). Dengan demikian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 masih sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bahwa sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 34/1964 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana kecelakaan Lalu-Lintas Jalan (selanjutnya disebut PP 18/1965), dimana dalam Pasal 10 PP 18/1965 mengatur mengenai pemberian hak atas suatu pembayaran dari kecelakaan lalu lintas jalan adalah bagi setiap orang yang berada di luar alat angkut lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut.
Adapun pembayaran dana jaminan yang dimaksudkan berupa pembayaran ganti kerugian pertangungan dalam hal-hal sebagai berikut:
dalam hal korban meninggal dunia karena akibat langsung dari kecelakaan dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan.
dalam hal korban mendapat cacad tetap karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan. Yang diartikan dengan cacad tetap adalah bila sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat dipergunakan sama sekali dan tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-lamanya.
dalam hal ada biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang diperlukan untuk korban karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu yang dikeluarkan dari hari pertama setelah terjadinya kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari.
biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter, meliputi semua biaya- biaya: pertolongan pertama pada kecelakaan, honorarium dokter, alat-alat pembalut dan obat atas resep dokter perawatan dalam rumah sakit, photo Rontgen, pembedahan dan lain-lain yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 diperlukan menurut pendapat dokter untuk penyembuhan korban, kecuali jumlah pembayaran untuk membeli anggota-anggota badan buatan, seperti kaki/tangan buatan, gigi/mata palsu, dan lain-lain sebagainya.
dalam hal korban mati tidak mempunyai ahli-waris, kepada yang menyelenggarakan penguburannya diberikan penggantian biaya- biaya penguburan.
Bahwa berdasarkan Pasal 13 PP 18/1965 hak atas pembayaran Dana dan Pertangungan, dinyatakan tidak ada serta tidak dijamin dalam hal-hal sebagai berikut:
jika korban/ahli-warisnya telah mendapat jaminan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang;
bunuh diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada pihak korban atau ahli-warisnya;
kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang:
dalam keadaan mabok atau tak sadar;
melakukan perbuatan kejahatan;
ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena korban mempunyai cacad badan atau keadaan badaniah/rokhaniah luar biasa lain;
kecelakaan yang terjadi tidak langsung disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor atau kereta api yang bersangkutan dalam fungsinya sebagai alat angkutan lalu lintas jalan, yaitu misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:
alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan sedang dipergunakan untuk turut serta dalam sesuatu perlombaan kecakapan atau kecepatan;
kecelakaan terjadi pada waktu di dekat alat angkutan lalulintas jalan yang bersangkutan ternyata ada akibat-akibat gempa bumi atau letusan gunung berapi, angin puyuh atau sesuatu gejala geologi atau meteorologi lain;
kecelakaan, akibat dari sebab yang langsung atau tidak langsung mempunyai hubungan dengan perang, bencana perang atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 sesuatu keadaan perang lainnya, penyerbuan musuh - sekalipun Indonesia tidak termasuk dalam negara-negara yang turut berperang - pendudukan, perang saudara, pemberontakan, huru- hara, pemogokan dan penolakan kaum buruh (uitsluiting van werklieden) , perbuatan sabot, perbuatan terror, kerusuhan atau kekacauan yang bersifat politik atau bersifat lain;
kecelakaan, akibat dari senjata-senjata perang;
kecelakaan, akibat dari sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan sesuatu perintah, tindakan atau peraturan dari pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau asing yang diambil berhubung dengan sesuatu keadaan tersebut di atas; kecelakaan akibat dari melalaikan sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan tersebut;
kecelakaan yang diakibatkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan yang dipakai, atau di-konfiskasi, atau direkwisisi, atau disita untuk tujuan-tujuan tindakan Angkatan Bersenjata seperti tersebut di atas;
kecelakaan yang terjadi sebagai akibat reaksi inti atom.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa pembentuk undang- undang telah menetapkan bahwa kecelakaan tunggal tidak termasuk dalam resiko kecelakaan sebagaimana ditanggung oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Bahwa hal tersebut didasarkan pada pertimbangan logis bahwa kecelakaan tunggal pada prinsipnya kecelakaan yang tidak dipengaruhi oleh faktor ekternal, namun lebih dikarenakan karena faktor internal korban kecelakaan itu sendiri, antara lain yaitu: mengantuk, mabuk, kelalaian pengendara kendaraan dan lain sebagainya. 10. Bahwa ketentuan a quo tidak diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) karena UU a quo memang tidak diperuntukan untuk mengatur kecelakaan tunggal . Hal ini merupakan kebijakan dari pembentuk UU ( open legal policy ) dan merupakan suatu syarat dan kondisi yang dilindungi dalam suatu asuransi bahwa ada keadaan yang ditanggung dan keadaan apa yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 tidak ditanggung.
Bahwa pada dasarnya ketentuan a quo memberikan perlindungan bagi masyarakat luas dan diharapkan dapat memberikan kesadaran (awareness) bagi pengendara kendaraan bermotor lebih tinggi terhadap faktor-faktor internal yang sebenarnya dapat diantisipasi dan dapat dihindari oleh pengendara pada kecelakaan tunggal tersebut.
Bahwa sebagaimana diketahui bahwa negara juga telah menjamin perlindungan bagi warga negaranya berkaitan dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana di atur dalam peraturan perundang-undangan diluar UU 34/1964, antara lain sebagaimana diatur dalam UU 33/1965 yang memberikan dana pertangungan wajib kecelakaan penumpang.
Bahwa pada dasarnya negara telah memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap kecelakaan lalu lintas jalan. Jaminan dan perlindungan tersebut diwujudkan dengan penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (untuk selanjutnya disebut sebagai UU 22/2009). Dalam Pasal 24 (1) UU 22/2009 terhadap kecelakaan yang diakibatnya oleh faktor eksternal di luar pengendara, yaitu kondisi jalan, maka Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Lebih lanjut dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengakibatkan luka berat, pelaku dalam hal ini Penyelenggara Jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah), dan dalam mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah), sebagaimana ketentuan Pasal 273 UU 22/2009.
Bahwa selain ketentuan yang diatur dalam UU 22/2009, jaminan dan perlindungan terhadap kecelakaan tunggal (dalam hal ini sebagaimana yang dialami oleh suami Pemohon), telah diatur pula dalam Undang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan sosial Nasional, sebagai berikut: Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004: “(1) Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia . (2) Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan ”. Adapun yang dimaksud dengan Kecelakaan Kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yaitu: “Kecelakaan kerja adalah kecelakaaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.” Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah Pemohon telah keliru dalam mengajukan uji materi ketentuan dalam penjelasan ini karena UU a quo adalah untuk mengatur jaminan kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan dan bukan terhadap kecelakaan tunggal sehingga ketentuan a quo tidak diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian ( constitusional review ) ketentuan a quo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 2) Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, tidak bertentangan dengan terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Jawaban Pemerintah Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Menindaklanjuti persidangan di Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) sepanjang kalimat “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang- undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” pada tanggal 5 Desember 2017, berikut Pemerintah sampaikan jawaban secara tertulis atas pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: Bahwa sebelum Pemerintah menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan Majelis Hakim pada sidang pembacaan Keterangan Presiden tanggal 5 Desember 2017, perkenankanlah Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan filosofi dan latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) sebagai berikut:
Bahwa adanya keinginan untuk memiliki perangkat hukum nasional yang dapat memberikan jaminan sosial (social security) bagi rakyat Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1964 dengan diundangkan UU Nomor 33/1964 tentang Dana Kecelakaan Penumpang dan UU Nomor 34/1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Sebagai langkah awal menuju kesatuan sistem jaminan sosial ( social security ) tersebut, Pemerintah mewajibkan asuransi kepada pengusaha atau pemilik kendaraan yang dapat membahayakan pihak lain, guna kemanfaatan para korban. Adapun jenis-jenis asuransi transportasi, sebagaimana tertuang dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 riwayat pembentukan Undang-Undang Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 antara lain:
asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi para pengusaha/pemilik kendaraan bermotor (UU No. 34/1964);
asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kapal, kendaraan bermotor umum (UU No. 33/1964). Bahwa dalam konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum dari kedua Undang-undang tersebut menegaskan bahwa kedua dana pertangungan wajib tersebut merupakan langkah awal menuju terbentuknya suatu sistem jaminan sosial yang menyeluruh bagi rakyat Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Umum UU 34/1964 dijelaskan bahwa sejalan dengan kemajuan teknik modern dimana semakin banyak alat angkutan lalu lintas jalan, maka dalam kehidupan bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan oleh kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya. Kemudian setiap warga negara haruslah mendapat perlindungan oleh Negara terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko kecelakaan tersebut. Bahwa karena akibat mengadakan jaminan sosial tersebut ditanggung oleh Pemerintah, maka perlu dilakukan suatu usaha secara gotong royong. Manifestasi kegotong-royongan ini dilakukan melalui suatu pembentukan iuran wajib, dalam UU a quo yaitu Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), sehingga pembentukan Dana ini melalui usaha kegotong- royongan merupakan langkah pertama menuju sistem jaminan sosial.
Bahwa Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU 34/1964 sebagai sistem jaminan nasional merupakan suatu upaya rintisan Pemerintah dalam memberikan perlidungan kepada masyarakat luas yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan di luar kesalahannya akibat penggunaan kendaraan bermotor, dimana Dana dikumpulkan dari Sumbangan Wajib dari para Pemilik atau Pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan.
Bahwa sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Keuangan) pada tanggal 21 November 1964 mengenai pembentukan UU Nomor 34 Tahun 1964 menjelaskan bahwa: “ RUU Wajib Asuransi yang diajukan oleh Pemerintah itu memuat dua materi, _yaitu: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 1. Asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi pengusaha atau pemilik kendaraan bermotor. 2. Asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kendaraan bermotor umum ”. Dasar dari RUU itu ialah pemikiran untuk memberikan asuransi atau social security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum, kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum. Maksudnya adalah supaya pemakai atau pengguna-pengguna di jalan umum dijamin kebutuhan- kebutuhannya, bila terjadi sesuatu kecelakaan yang diakibatkan karena meningkatnya teknik modern yang dipergunakan oleh negara yaitu adanya kendaraan-kendaraan bermotor, sehingga apabila ada seseorang yang menjadi korban kecelakaan, tidak ditinggalkan begitu saja. Seperti yang kita ketahui bersama, justru rakyat yang tidak mampu lah yang sering menjadi korban kecelakaan-kecelakaan lalu lintas jalan. Untuk itu, maka RUU ini diberikan suatu jaminan asuransi bukan hanya korban-korban dari kecelakaan itu akan mendapat perhatian dari Pemerintah, tetapi atas biaya dari pada pemilik kendaraan tersebut. Dengan demikian akan timbul sosial kontrol bagi pengemudi mobil yang sering membahayakan lalu lintas jalan umum dan akan menimbulkan tanggung jawab kepada pemilik kendaraan tersebut.
Bahwa berdasarkan data statistik dari Direktorat Lalu Lintas dari Departemen Angkatan Kepolisian pada waktu itu menunjukkan bahwa dalam tahun 1955 sampai dengan 1963 di Indonesia telah terjadi 136.490 kecelakaan lalu lintas, yang memakan korban 13.135 orang mati, 87. 675 orang menderita luka-luka dan ratusan juta rupiah kerugian materiil serta kecelakaan lainnya seperti kecelakaan kapal api Trowek (1961 dan 1963), membuat pemerintah menganggap perlu untuk membentuk dana-dana yang akan menampung akibat keuangan disebabkan kecelakaan dijalan.
Bahwa Dana Pertangungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU 34/1964 merupakan pengejawantahan dari tanggung jawab negara berdasarkan UUD 1945 khususnya Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, Pasal 28H ayat (3), Pasal 33 dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa filosofi pembentukan UU 34/1964 adalah sebagai berikut:
memberikan perlindungan dasar kepada pihak ketiga, bukan kepada pemilik kendaraan.
memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya pemilik kendaraan agar lebih berhati-hati dalam berkendara (mitigasi moral hazard ). Setelah Pemerintah menguraikan latar belakang terbentuknya UU Nomor 34/1964, kini saatnya Pemerintah memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan Majelis Hakim sebagai berikut: I. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Ada sesuatu yang tidak berkorelasi antara ketika seseorang membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), namun dirinya sendiri tidak terlindungi ketika terjadi kecelakaan itu. Kenapa pihak yang justru membayar SWDKLLJ tidak terlindungi, melainkan hanya pihak eksternal saja yang diberi perlindungan? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa UU 34/1964 merupakan langkah pertama menuju suatu sistem jaminan sosial (social security) yang memberikan jaminan perlindungan kepada korban kecelakaan lalu lintas jalan. Kelahiran UU ini didasarkan pada tingginya jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi dalam tahun 1955 s.d 1963. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum UU Nomor 34 Tahun 1964 bahwa jumlah korban kecelakaan lalu lintas jalan dalam periode tersebut sebanyak 13.135 orang meninggal dunia, 87.675 orang menderita luka-luka dan ratusan juta rupiah kerugian materil.
Bahwa UU 34/1964 pada hakekatnya memberikan jaminan perlindungan kepada pihak ketiga dengan dasar sebagai berikut :
Bahwa filososi pembentukan UU 34/1964 sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Keuangan) tanggal 21 November 1964 mengenai pembentukan UU 34/1964 menjelaskan bahwa: “ RUU Wajib Asuransi yang diajukan oleh Pemerintah itu memuat dua _materi, yaitu antara lain: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 (a) Asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi pengusaha/pemilik kendaraan bermotor. (b) Asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kendaraan bermotor umum ”.
Bahwa dasar dari pembentukan RUU tersebut adalah adanya pemikiran untuk memberikan asuransi atau social security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum, kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum. Maksudnya adalah supaya pemakai atau pengguna-pengguna di jalan umum dijamin kebutuhan-kebutuhannya, apabila terjadi sesuatu kecelakaan yang diakibatkan karena meningkatnya teknik modern yang dipergunakan oleh negara yaitu adanya kendaraan - kendaraan bermotor. Sehingga apabila ada seseorang yang menjadi korban kecelakaan, tidak ditinggalkan begitu saja, karena seperti diketahui bersama bahwa rakyat yang tidak mampulah yang sering menjadi korban kecelakaan-kecelakaan jalan. Berdasarkan hal tersebut, maka RUU ini memberikan suatu jaminan asuransi, bukan hanya korban-korban dari kecelakaan itu akan mendapat perhatian dari Pemerintah, tetapi atas biaya dari pada pemilik kendaraan tersebut. Dengan demikian akan timbul sosial kontrol bagi pengemudi mobil yang sering membahayakan lalu lintas jalan umum dan akan menimbulkan tanggung jawab kepada pemilik kendaraan itu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sehingga filosofi pembentukan UU 34/1964 adalah sebagai berikut:
memberikan perlindungan dasar kepada pihak ketiga, bukan kepada pemilik kendaraan;
memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya pemilik kendaraan agar lebih berhati-hati dalam berkendara (mitigasi moral hazard ).
Bahwa selain hal tersebut di atas pembentukan RUU tersebut merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut: Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan- perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Menurut Munir Fuady , dalam bukunya “ Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer ” menjelaskan bahwa “ Perbuatan Melawan hukum adalah suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu kecelakaan ”. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro memberikan pandangan mengenai defenisi perbuatan melawan hukum yang telah mendapat kekuatan hukum yang tetap dalam Putusan MA Nomor .222 K/Sip/1958 tertanggal 21 November 1958 yaitu, “ Bagi orang Indonesia asli tetap berlaku hukum adat yang juga mengenal hak hukum, seperti tertulis pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu secara bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah wajib memberi ganti rugi” . Berdasarkan defenisi perbuatan melawan hukum di atas, dapat disimpulkan Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai berikut:
Adanya suatu perbuatan;
Perbuatan tersebut melawan hukum;
Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
Adanya kerugian bagi korban; dan
Adanya hubungan kausal antara perbuatan-perbuatan dengan kerugian.
Sehingga apabila dikaitkan dengan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, UU 34/1964 telah mengakomodir prinsip perlindungan yaitu memberikan ganti kerugian kepada pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dimana kerugian tersebut disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengendara kendaraan bermotor. Oleh karena adanya perbuatan pengendara kendaraan bermotor yang termasuk unsur-unsur perbuatan melawan hukum, maka pengendara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 kendaraan tersebut diwajibkan memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini pemerintah memberikan perlindungan berupa Dana Santunan kepada pihak ketiga yang dirugikan tersebut yang berasal dari dana-dana yang dikumpulkan dari pemilik atau pengusaha kendaraan bermotor tersebut.
Bahwa lebihlanjut dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 dijelaskan bahwa: “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada dijalan diluar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan Undang-Undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Nomor 33 Tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut ”. 9. Sejalan dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 34 Tahun 1964 melalui Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 1965, berbunyi sebagai berikut: “ Setiap orang yang berada diluar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut sebagai demikian diberi hak atas suatu pembayaraan dari Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, kecuali hal-hal yang tercantum dalam Pasal 13 .” 10. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah telah memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban diluar kendaraan yang menjadi penyebab timbulnya kecelakaan. Dengan demikian, setiap orang yang menjadi korban kecelakaan tersebut merupakan pihak ketiga yang mendapat jaminan sesuai UU Nomor 34 Tahun 1964. Berdasarkan penafsiran secara “ argumentum a contrario” , bagi mereka yang berada di dalam kendaraan yang menjadi penyebab timbulnya kecelakaan tidak mendapat jaminan.
Berkaitan dengan konsep dasar sumbangan Wajib dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 dapat dijelaskan bahwa Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 Lalu Lintas Jalan atau disingkat dengan “SWDKLLJ” menurut Pasal 1 huruf d UU 34 Tahun 1964, merupakan “ sumbangan tahunan yang wajib dibayar menurut/berdasarkan Undang-Undang ini dan/atau peraturan-peraturan pelaksanaannya ”. Sumbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berasal dari kata menyumbang, yaitu “memberikan sesuatu kepada orang yang sedang ........ dan sebagainya sebagai sokongan”, Turut membantu (menyokong) dengan tenaga, pikiran, dan sebagainya”. Merujuk pada pengertian dalam KBBI tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Sumbangan adalah suatu bentuk pemberian baik itu berupa uang, tenaga, pikiran dan sebagainya yang ditujukan kepada pihak lain .
Sejalan dengan makna sumbangan tersebut di atas, SWDKLLJ yang dihimpun atau dikumpulkan dari pemilik atau pengusaha kendaraan bermotor dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability (TPL) atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Kompartimen Keuangan) tanggal 10 Desember 1964 mengenai pembentukan UU nomor 34 Tahun 1964 menjelaskan bahwa:
Anggota Wasis berpendapat sebagai berikut: “RUU yang diajukan dengan nama Asuransi Wajib ini apakah nanti namanya akan diganti dengan Sumbangan Wajib ataukah Pungutan. Soal itu tidak principal, tetapi yang principal ialah apakah tujuan yang dihendaki Pemerintah itu bias tercapai dengan adanya dana-dana tadi ”.
Anggota Munir Abisudjak berpendapat sebagai berikut: “ Sesungguhnya pemerintah menginginkan sumbangan daripada kecelakaan-kecelakaan yang terjadi. Tetapi karena untuk memberikan Social Security Pemerintah tidak mempunyai persediaan uang, maka diminta sumbangan secara gotong royong ”. Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sumbangan wajib yang ditetapkan Pemerintah melaui UU 34/1964 merupakan suatu instrumen untuk memberikan social security kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 masyarakat, dimana setiap korban kecelakaan lalu lintas jalan yang mengalami kerugian akan mendapat perlindungan dari Pemerintah melalui dana berupa sumbangan-sumbangan yang dikumpulkan secara gotong royong.
Bahwa berdasarkan best practice third party liability (TPL) dibeberapa negara dapat dijelaskan sebagai berikut: Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas (SWDKLLJ) merupakan asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga. Dalam ilmu asuransi, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga (TJH Pihak III) adalah pertanggungan yang diberikan kepada orang yang berada diluar objek pertanggungan dalam hubungan hukum antara penanggung dan tertanggung. Sejarah asuransi kendaraan bermotor dimulai dari hadirnya kendaraan bermotor di London, Inggris. Perkembangan kendaraan bermotor yang makin massive berdampak pada meningkatnya angka kecelakaan yang melibatkan pengguna kendaraan bermotor dengan anggota masyarakat yang menjadi korban dan kerap tidak mendapatkan santunan dari pemilik kendaraan bermotor. Untuk memberikan rasa aman dan keadilan kepada masyarakat, dibentuklah Road Traffic Act pada tahun 1930, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1974. Konsep asuransi wajib kendaraan bermotor dan perlindungan asuransi terhadap pihak ketiga diadopsi oleh negara-negara lainnya di dunia termasuk Amerika, tentunya dengan keberagaman masing-masing, baik dari aspek hukum maupun sosial. Bahwa dengan meningkatnya kesadaran berasuransi, masyarakat menyadari besarnya risiko yang dihadapi para pemilik dan pengendara kendaraan, sehingga setiap pemilik kendaraan bermotor wajib menutup pertanggungan kendaraan bermotornya.
Berdasarkan uraian di atas, Asuransi Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga tersebut adalah konsep asuransi yang berlaku secara universal di dunia dan menjadi bagian dari compulsory motor insurance di berbagai negara sebagai contoh: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 a. Civil law countries (Vietnam) Tujuan dan Filosofi dari penerapan Asuransi Wajib pada Kendaraan Bermotor (compulsory motor vehicle insurance) di Vietnam memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu untuk memberikan bantuan kemanusiaan (humanitarian assistance). Sama halnya dengan asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga pada UU 34/1964, Vietnam memberlakukan konsep third party liability secara mandatory dalam asuransi wajib dengan perluasan berupa property damage (secara terbatas). Jenis cidera atau kerugian yang dijamin yaitu :
kematian ( death ) 2) cidera badan ( bodily injuries ); dan
kerusakan atau kerugian properti secara terbatas ( property damage ). Terlepas dari tujuannya untuk memberikan bantuan kemanusiaan ( humanitarian assistance ) kepada korban kecelakaan di wilayah Vietnam, dalam penerapannya ada beberapa peristiwa yang dikecualikan sehingga tidak diberikan perlindungan, hal ini sebagai bentuk pembelajaran sosial kepada masyarakat untuk lebih mengutamakan keselamatan dalam berkendara, berikut peristiwa yang dikecualikan, yaitu:
kerusakan dan kerugian yang disengaja yang disebabkan oleh pemilik, pengemudi atau pihak yang dirugikan;
pengemudi sengaja melepaskan diri dari pemenuhan tanggung jawab perdata pemilik kendaraan bermotor dan/atau pengemudi yang menyebabkan kecelakaan tersebut;
pengemudi tidak memiliki SIM yang berlaku atau SIM tidak sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dibutuhkan, jika terbukti maka selain tidak diberikan pertanggungan akan turut dilakukan pencabutan izin mengemudi, baik untuk sementara atau selamanya.
kasus perang, terorisme, gempa bumi. Kerusakan pada properti khusus yang terdiri dari emas, perak, batu mulia, uang, kertas berharga seperti uang, barang antik, lukisan berharga dan langka, mayat manusia dan jenazah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 b. Common Law Countries (Malaysia dan Singapore) Sama halnya dengan negara-negara lainnya, Asuransi Wajib pada Kendaraan Bermotor juga berlaku di Malaysia, seperti negara commonwealth lainnya, penerapannya bersifat free choice atau ada beberapa perusahaan asuransi umum yang saling berkompetisi untuk mengelola dan menjalankan produk asuransi wajib tersebut, dengan kata lain tidak ada penunjukkan secara khusus kepada instansi tertentu layaknya PT. Jasa Raharja (Persero) di Indonesia. Oleh karena besifat free choice atau kompetitif, maka nilai besaran premi dan manfaat yang diperoleh tergantung kesepakatan antara penanggung dan tertanggung. Skema Asuransi Wajib mencakup proteksi third party liability dan public passenger liability Insurance yang diatur dalam Road Transport Act 1987, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan yang jumlahnya terus meningkat tiap tahunnya. Seluruh kendaraan pribadi maupun komersial yang digunakan untuk berkendara di jalan raya harus memiliki sekurang- kurangnya polis asuransi compulsory third party liability motor insurance yang dibayarkan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan. Kewajiban pembayaran premi atau mengasuransikan kendaraan bermotor dibebankan kepada Pemilik kendaraan bermotor sebagai proteksi seandainya terjadi kecelakaan yang menyebabkan kematian atau cidera terhadap pihak ketiga. Sebagai negara commonwealth , Compulsory Motor Vehilce Insurance di Singapore juga berlaku secara free choice dan open market , sehingga pelaku usaha bebas menentukan premi dan besaran manfaat yang diperoleh tertanggung. Proteksi yang bersifat mandatory adalah third party liability dengan manffat berupa:
Kematian ( death ); dan
Cidera badan ( bodily injuries ), yang dapat diperluas covernya. Untuk pengajuan klaim dapat melalui perusahaan asuransi atau melalui Special Risk Pool (SRP), sebuah pool yang khusus untuk penyelesaian klaim ( claim settlement ) asuransi wajib. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suatu negara yang menganut sistem hukum baik Civil Law maupun Common Law dalam hal social control terhadap warga negaranya juga diwajibkan untuk turut serta memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pihak ketiga yang bukan merupakan penyebab, yaitu berupa asuransi wajib dengan konsep third party liability . Dengan kata lain, proteksi third party liability pada UU 34/1964 telah sejalan dengan best practice dan kaedah umum yang berlaku di dunia perasuransian. Konsep ini juga berlaku di Indonesia, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 huruf a UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bahwa asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga merupakan salah satu dasar bagi penerimaan premi pada perusahaan asuransi. Asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga merupakan konsep asuransi mengalihkan risiko yang timbul karena adanya kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sehubungan dengan aktivitas personal tertanggung. SWDKLLJ dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability . Pemikiran awal dari pembentukan perlindungan dasar yang diatur dalam UU 34/1964 dan peraturan pelaksanaannya sebagaimana tertuang dalam Memory van Toelechting (MvT) dan naskah akademik perumusan UU 34/1964 adalah untuk kepentingan umum dan setaraf dengan kemajuan teknik modern, dalam kehidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan kecelakaan-kecelakaan diluar kesalahannya. Pada dasarnya, setiap warga negara harus mendapat perlindungan terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko demikian. Oleh karena itu, segala akibat untuk memberikan jaminan sosial diberikan oleh pemerintah dan dilakukan secara gotong royong, dimana dana-dana yang dikumpulkan dari masyarakat akan diberikan dan disalurkan kembali kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 masyarakat dalam bentuk dana santunan bagi mereka yang mengalami risiko kecelakaan. Keadaan ekonomi dan keuangan yang menjadi pemicu adanya sistem jaminan sosial, dimana sistem jaminan sosial dilakukan secara gotong royong. Manifestasi dari gotong royong ini diimplementasikan dengan adanya dana-dana yang dikumpulkan dari masyarakat dimana pada prinsipnya dana-dana yang dikumpulkan tersebut dikenakan kepada masyarakat/pengusaha yang mempunyai kendaraan bermotor atau golongan yang mampu. Apabila terjadi risiko kecelakaan, dana yang diperoleh dari masyakarat yang mempunyai kendaraan bermotor tersebut akan digunakan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengalami kecelakaan dalam bentuk dana santunan. Prinsip gotong royong sebagaimana dimaksud dalam penjelasan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kirang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat, peserta yang berisiko rendah membantu peserta yang berisiko tinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan soasial bagi seluruh masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pemerintah dalam memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat telah mencerminkan suatu jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. B. Apakah SWDKLLJ ini termasuk asuransi atau bukan, jika masuk ke dalam asurasi membayar premi mengapa ketika dia sendiri mengalami kecelakaan justru tidak tercover meskipun itu tunggal? 1. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa SWDKLLJ merupakan dana yang dibayarkan Wajib Pajak yang memiliki fungsi sebagai dana untuk Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ini yang diwajibkan oleh undang-undang bukan berdasarkan perjanjian sehingga hak dan kewajiban masing-masing pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 Dalam hal ini kewajiban pembayaran SWDKLLJ merupakan asuransi tanggung gugat pihak ketiga dimana Jasa Raharja hanya membayarkan santunan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan kepada setiap pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan diluar kendaraan penyebab terjadinya kecelakaan tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, SWDKLLJ yang dihimpun atau dikumpulkan dari masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor dan kemudian dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability (TPL) atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Jika dikaji dalam prinsip asuransi, SWDKLLJ pada prinsipnya merupakan pembayaran premi dalam bentuk sumbangan wajib sebagai bentuk pengalihan risiko dari Pemilik kendaraan kepada Pemerintah sebagai penanggung dalam hal ini adalah PT. Jasa Raharja (Persero). SWDKLLJ memilki pengertian yang berbeda jika dibandingkan dengan premi yang dikutip pada asuransi umum, hal ini didasarkan pada :
SWDKLLJ merupakan jenis asuransi wajib dan hanya diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara sesuai ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Sifat yang paling menonjol dari asuransi wajib adalah kepesertaannya yang bersifat wajib bagi mereka yang memenuhi syarat sebagai peserta berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana dalam UU 34/1964, pembayaran SWDKLLJ bersifat wajib dan dikenakan sanksi bagi mereka yang tidak/telat membayarnya. SWDKLLJ ini menimbulkan hak atas manfaat jika risiko-risiko yang ditanggung terjadi. Sifat ini menjadikan asuransi wajib sebagai program publik yaitu program yang memberikan hak dan kewajiban secara pasti berdasarkan undang-undang.
Dana yang dibayarkan Pemilik Kendaraan yang memiliki fungsi sebagai dana untuk Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ini yang wajibkan oleh undang-undang bukan berdasarkan perjanjian (asuransi konvensional), sehingga hak dan kewajiban masing-masing Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam hal ini kewajiban pembayaran SWDKLLJ merupakan asuransi tanggung gugat pihak ketiga dimana Jasa Raharja hanya membayarkan santunan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan kepada setiap pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan di luar kendaraan penyebab terjadinya kecelakaan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, SWDKLLJ merupakan premi yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui UU.34/1964 dan berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Adapun manfaat berupa dana santunan yang merupakan wujud dari sumbangan wajib diberikan kepada pihak ketiga yang berada diluar kendaraan bermotor penyebab timbulnya kecelakaan. Pertanggungan yang diberikan kepada pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas didasarkan atas premi dalam bentuk sumbangan wajib yang dikumpulkan dari masyarakat pengguna kendaraan bermotor berdasarkan asas gotong royong. II. Pertanyaan Yang Mulia Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA A. Dalam Keterangan Presiden ada argumen dasar yang digunakan oleh Pemerintah bahwa Undang-undang a quo memberikan perlindungan kepada masyarakat luas, namun mengapa perlindungan tersebut tidak diberikan kepada korban yang mengalami kecelakaan tunggal? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Sumbangan yang dibayar oleh Pemilik kendaraan bermotor merupakan kewajiban yang diatur oleh UU 34/1964 untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat luas sebagai pihak ketiga yang menjadi korban akibat penggunaan kendaraan bermotor.
Manfaat yang diperoleh Pemilik Kendaraan bermotor dengan membayar sumbangan wajib, maka Pemilik Kendaraan bermotor akan terlindungi dari tuntutan sebagian tanggung jawabnya dari Pihak Ketiga sebagai korban.
Dalam hal Pemilik kendaraan mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor lain maka Pemilik kendaraan bermotor akan berada pada posisi pihak ketiga dan berhak mendapatkan santunan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 Dengan demikian perlindungan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor UU 34/1964 adalah perlindungan bagi anggota masyarakat lain yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan yang bukan karena kesalahannya menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Adapun yang dijamin oleh Pemerintah hanyalah terbatas pada kerugian-kerugian yang bersifat badaniah atau bodily injured baik menyangkut luka-luka/perawatan, cacat tetap, meninggal dunia maupun penggatian biaya penguburan. Dengan kata lain UU 34/1964 disebut sebagai Third Party Liability Insurance atau Asuransi Tanggung Gugat terhadap Pihak Ketiga. B. Pemerintah menjelaskan sebenarnya ada jaminan bagi korban kecelakaan tunggal manakala kecelakaan terjadi dalam hubungan kerja berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004, bagaimana jika kecelakaan tidak terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas atau bekerja? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa UU 34/1964 berbeda dengan UU 40/2004, dimana UU Nomor 34 Tahun 1964 memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengatur mengenai 5 (lima) program jaminan sosial: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKm), jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.
Dalam hal seorang pekerja mengalami kecelakaan tunggal dan tidak terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas atau bekerja, dalam SJSN, pekerja tersebut mendapatkan perlindungan melalui program Jaminan Kesehatan dan/atau Jaminan Kematian (selama pekerja tersebut merupakan peserta program Jaminan Kesehatan dan/atau Jaminan Kematian).
Untuk kasus ini karena yang bersangkutan statusnya sebagai pekerja maka yang bersangkutan berhak mendapatkan manfaat dari program jaminan kecelakaan kerja atau jaminan kematian sesuai dengan ketentuan yang berlaku. C. Apakah ada data berapa banyak jumlah kecelakaan tunggal yang terjadi selama ini? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Berikut disampaikan bahwa data kecelakaan tunggal dalam rentang waktu 2015 sampai dengan bulan November 2017 di Indonesia sebagai berikut: Tahun Korban Kecelakaan Korban Kecelakaan Tunggal Persentase 2015 144.186 9.777 6,7% 2016 161.183 12.333 7,6% 2017 143.065 12.208 8,5% III. Pertanyaan Yang Mulia Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Bahwa mengenai Alat Lalu Lintas Angkutan Jalan dalam Pasal 4 UU a quo merujuk kepada Pasal 1 UU a quo . Pasal 1 UU a quo menyatakan ’’alat angkutan lalu lintas jalan yalah kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api ”. Saat ini sudah ada UU Lalu Lintas Jalan yang baru, apakah “Alat angkut lalu lintas jalan” dalam UU 34/1964 juga bisa merujuk pada UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang baru ini? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf c, UU 34/1964 menyatakan bahwa alat angkutan lalu lintas jalan adalah kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api. Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya;
UU Nomor 7 Tahun 1951 tentang Perubahan dan Tambahan Undang- Undang Lalu Lintas Jalan (wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 86) ;
Staatsblad 1933 No. 86. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 f. Staatsblad 1940 No.72 2. Dikarenakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mencabut undang-undang Lalu Lintas terdahulu, maka definisi alat angkutan lalu lintas jalan sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api dinyatakan tidak berlaku. Definisi yang dikenal dalam UU 22/2009 adalah definisi Kendaraan bermotor sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 8 yang mendefinisikan kendaraan bermotor adalah Setiap kendaraan yang digerakan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel. Selain itu, Presiden menghadirkan dua orang ahli yang didengar keterangannya di depan persidangan Mahkamah pada tanggal 8 Januari 2018 yang juga menyampaikan keterangan tertulisnya, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H. LL.M, Ph.D Maksud dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan atau populer disebut sebagai politik hukum dapat dilihat dari konsiderans menimbang, penjelasan umum, naskah akademik dan memorie van toelichting . Dalam konteks Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) yang tersedia adalah konsiderans menimbang, penjelasan umum dan dokumen dengan judul Riwayat Pembentukan Undang-Undang Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 sebagai dokumen memorie van toelichting (selanjutnya disingkat “Riwayat Pembentukan UU”). Berdasarkan tiga hal tersebut, dapat diketahui tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (UU 33/1964) dan UU 34/1964 adalah dalam rangka keberpihakan negara terhadap korban kecelakaan. Dalam UU 33/1964 yang dimaksud korban kecelakaan adalah penumpang dari kendaraan bermotor umum.Sementara yang dimaksud korban kecelakaan dalam UU 34/1964 adalah publik bukan penumpang . Di dalam konsiderans Menimbang dari UU 34/1964 huruf (a) disebutkan bahwa, “berhubung dengan perkembangan masyarakat dewasa ini, sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 langkah pertama menuju ke suatu jaminan sosial ( social security ) sebagaima ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960, beserta lampiran-lampirannya, dianggap perlu untuk mengadakan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 1 disebutkan bahwa, “Setara dengan kemajuan teknik modern, dalam penghidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya .” Kata-kata “kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya” jelas merujuk pada siapapun masyarakat yang sedang berada di jalan raya yang tidak mempunyai kendali terhadap alat angkutan.Sama sekali bukan pada pemilik atau pengusaha dari alat angkutan. Lebih lanjut diungkapkan pada kalimat berikut bahwa “Pada dasarnya,setiap warga negara harus mendapat perlindungan terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko demikian.” Mengapa demikian? Ini mendapat penjelasan lebih lanjut dengan dikatakan, “Ini merupakan suatu pemikiran sosial.Oleh karena keadaan ekonomi dan keuangan dewasa ini belum mengizinkan, bahwa segala akibat mengadakan jaminan sosial tersebut ditampung oleh Pemerintah, maka perlu usaha ini dilakukan secara gotong-royong.” Lalu bagaimana wujud dari kegotong-royongan ini? Ini dibahas dalam penjelasan berikut yang mengatakan, “Manifestasi dari kegotong-royongan ini adalah dengan pembentukan dana-dana yang cara pemupukannya dilakukan dengan mengadakan iuran-iuran wajib, di sana akan dianut principe bahwa yang dikenakan iuran wajib tersebut adalah hanya golongan atau mereka yang berada atau mampu saja, sedang hasil pemupukannya akan dilimpahkan juga kepada perlindungan jaminan rakyat banyak, yaitu para korban kecelakaan lalu lintas jalan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan kereta api. Oleh karena itu jaminan sosial rakyatnya yang dalam pada itu menjalani pokok tujuan.” Jadi disini berbeda dengan prinsip asuransi dimana Tertanggung harus membayar premi kepada Penanggung.Dalam Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan jelas korban kecelakaan lalu lintas jalan tidak membayar apapun premi.Pihak yang membayar hanyalah golongan atau mereka yang berada atau mampu saja. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Lebih lanjut dijelaskan “Kita lebih melihat kepada rakyat banyak yang mungkin menjadi korban risiko-risiko teknik modern, dari pada kepada para pemilik/pengusaha alat-alat modern, yang bersangkutan .Dan jika jaminan itu dirasakan oleh rakyat, maka akan timbullah pula kegairahan social kontrol.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 2 disebutkan bahwa, “Sebagai langkah pertama menuju ke suatu sistim jaminan sosial ( social security ) yang mengandung perlindungan yang dimaksud dapatlah diadakan iuran-iuran wajib bagi para pemilik/pengusaha kendaraan bermotor dengan menganut principe tersebut di dalam ad 1 di atas.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 3 disebutkan bahwa, “Pembentukan dana-dana tersebut akan dipakai guna perlindungan publik bukan penumpang terhadap kecelakaan yang terjadi dengan alat-alat angkutan termaksud di atas. Bagi penumpang, perlindungan demikian ditampung oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964.” Bila mempelajari secara cermat Riwayat Pembentukan UU maka awal dari pembentukan UU 33/1964 dan UU 34/1964 diawali dari inisiatif pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Asuransi Wajib Kendaraan Bermotor dan Kecelakaan Penumpang. Dalam perdebatannya di DPR-GR, pemerintah menyamapaikan bahwa, “dasar dari pada RUU itu ialah pemikiran untuk memberikan Social Security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum oleh kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum.” Oleh karena hal tersebut istilah judul dari RUU ini dianggap tidak tepat bila yang hendak dilindungi adalah rakyat kebanyakan yang menjadi penumpang dari alat angkutan dan publik yang bukan penumpang.Ini disampaikan oleh anggota Dewan bernama A. Baraba. Baraba menyampaikan, “setelah mendengar jawaban Pemerintah menyimpulkan bahwa rupanya penggunaan kata “asuransi” untuk rancangan undang-undang ini tidak begitu tepat. Karena maksud sesungguhnya rancangan undang-undang ini yang akan menolong korban-korban kecelakaan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 Dari situ kemudian Dewan meminta agar pemerintah meninjau ulang judul dari RUU tersebut mengingat ini tidak terkait dengan usaha asuransi. Pada akhirnya pemerintah mengusulkan dua RUU sebagai pengganti dari RUU Asuransi Wajib Tanggung Jawab Kendaraan Bermotor dan Kecelakaan Penumpang yaitu RUU tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan RUU tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Pihak ketiga korban kecelakaan saat mereka di jalan-jalan umum perlu dilindungi karena mereka bisa menjadi korban tanpa keinginan mereka.Mereka tidak boleh ditelantarkan.Kebanyakan dari mereka yang berada di jalan tidak mempunyai asuransi jiwa atau kesehatan.Padahal mereka mungkin menjadi tulang punggung keluarga.Oleh karenanya Negara harus hadir bagi mereka yang menjadi korban, saat mereka menjadi korban yang mengakibatkan hilangnya nyawa maupun cidera. Kewajiban negara ini sejak tahun 1964 hingga sekarang masih belum di mungkinkan untuk diemban oleh negara.Untuk menutupi kelemahan ini maka Negara mewajibkan pemilik atau pengusaha kendaraan dikenakan iuran. Disinilah letak gotong royong yang dimaksud dalam UU 34/1964. Dana yang berasal dari iuran tersebut kemudian dikelola layaknya yang dikenal dalam mekanisme asuransi sehingga dana semakin berkembang. Bila terjadi risiko kecelakaan terhadap pihak ketiga yang bukan penumpang maka dana tersebut dapat segera dicairkan. Dalam konteks seperti ini tidak ada diskriminasi yang dilakukan oleh Negara terhadap korban kecelakaan jika yang dimaksud dengan korban kecelakaan adalah penumpang dari alat angkutan atau publik yang bukan penumpang. Justru Negara membuat kebijakan yang afirmatif terhadap korban kecelakaan yang merupakan publik bukan penumpang . Negara tidak membeda- bedakan latar belakang dari publik bukan penumpang yang menjadi korban, apakah dari golongan kaya atau miskin, apakah memiliki asuransi atas jiwanya ataupun tidak. Tidak heran bila Dana yang dikelola disebut sebagai asuransi sosial. Asuransi sosial tentu tidak sama dengan asuransi wajib. Asuransi sosial lebih menekankan pada aspek gotong royong. Mereka yang tidak membayar premi tetap mendapat perlindungan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 Sementara asuransi wajib masuk dalam asuransi komersial.Perlu dipahami dalam asuransi komersial pihak yang memiliki risiko (Tertanggung) berkeinginan untuk mengalihkan risiko tersebut ke perusahaan asuransi (Penanggung). Sebagai kompensasi perusahaan asuransiakan mendapatkan uang premi. Besarnya premi akan bergantung pada berbagai faktor. Bila premi tidak dibayar maka tidak ada perlindungan terhadap risiko.Ini jelas tidak dianut dalam Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana dimaksud dalam UU 34/1964. Untuk dipahami asuransi komersial tertentu menjadi wajib ketika Negara mewajibkan pihak yang memiliki risiko untuk menutup asuransi.Semisal saat mobil berada di jalan di sejumlah negara maka mobil tersebut harus ada asuransinya.Bila tidak maka mobil tersebut dilarang untuk berada di jalan.Di Indonesia untuk mobil yang berada di jalan hingga saat ini tidak diwajibkan oleh Negara untuk memiliki asuransi.Sehingga tidak ada asuransi wajib bagi kendaraan di jalan. Mengingat secara jelas bahwa yang hendak ditanggung dari Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan adalah korban yang merupakan publik yang bukan penumpang maka kata “diluar” sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 wajib ada dan tidak mungkin dibatalkan/dihapuskan. Bila kata “diluar” dibatalkan/dihapuskan maka ruh dalam UU 34/1964 sebagaimana yang termaktub dalam konsiderans menimbang, Penjelasan Umum dan memorie van toelichting akan tidak sesuai. Terlebih lagi Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 jelas menyebut, “Setiap orang yang menjadi korban... akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan ,...” Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Alat angkutan lalu lintas jalan” ialah “kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam pasal 1 Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya dan Kereta Api.” 2. Dr. H. Firdaus Djaelani, MA. UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu lintas jalan, pada dasarnya merupakan UU yang mewajibkan setiap pemilik/ pengusaha kendaraan bermotor di Indonesia untuk memiliki asuransi tanggung jawab hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga. Hal ini tercermin dari riwayat pembentukan UU Nomor 34 Tahun 1964 ketika diajukan oleh Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 dan dibahas secara intensif oleh DPR Gotong Royong pada bulan Desember 1964. Ketika masih dalam bentuk RUU, nama RUU tersebut adalah RUU mengenai Asuransi Wajib Kendaraan Bermotor untuk Tanggung Jawab Menurut Hukum Terhadap Pihak Ketiga. Di pasar asuransi kendaraan bermotor, asuransi TJH ini biasa juga disebut asuransi tanggung gugat. Kenapa demikian, karena korban kecelakaan lalu lintas dapat saja menuntut/ menggugat secara perdata atas kerugian yang dialaminya kepada pihak yang menyebabkan kecelakan. Dalam Pasal 1365 KUH Perdata diatur bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dalam perjalanan pembahasannya dan ketika diundangkan menjadi UU Nomor 34 Tahun 1964 pada tanggal 31 Desember 1964, nama RUU tersebut berubah menjadi UU tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Namun demikian secara substansi antara RUU dan UU tidak berubah yakni mewajibkan setiap pengusaha atau pemilik kendaraan bermotor di Indonesia untuk memiliki asuransi tanggung jawab hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga. Mekanisme yang digunakan yakni mewajibkan setiap pemilik/ pengusaha kendaraan bermotor setiap tahunnya membayar sejumlah uang tertentu (SWDKLLJ), kemudian Dana yang terhimpun dari sumbangan wajib tersebut dikelola dan dipergunakan untuk membayar korban kecelakaan lalu lintas jalan. Pihak Ketiga yang dimaksud adalah pihak diluar Pihak Pertama (Penanggung atau Perusahaan Asuransi) dan Pihak Kedua (Tertanggung). Dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 berikut peraturan pelaksanaannya, yang dimaksud pihak pertama tentunya perusahaan/badan usaha milik negara yang menghimpun dan mengelola dana yang berasal dari sumbangan wajib yang dipungut dari pemilik/pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan (dalam hal ini PT Persero Asuransi Kerugian Jasa Raharja), sedangkan pihak kedua adalah pemiliki/ pengusaha kendaraan bermotor di Indonesia. Lantas siapa pihak ketiga, pihak ketiga adalah mereka yang menjadi korban Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 kecelakaan lalu lintas yang berada diluar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Korban sebagaimana didifinisikan dalam PMK Nomor 16 Tahun 2017 adalah setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan. Dengan demikian maka mereka yang memperoleh kecelakaan tapi bukan sebagai korban tidak berhak memperoleh santunan dari Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan. Seperti misalnya pengemudi dan penumpang kendaraan yang menyebabkan kecelakaan dan kecelakaan tunggal, meskipun dalam pelaksanaannya Direksi pengelola dana dapat saja memberi sejumlah dana empati ( ex gratia ) yang jumlahnya tidak sebesar santunan korban. Konsep Asuransi TJH kepada pihak ketiga sebagaimana dianut dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 adalah konsep asuransi yang berlaku secara universal di belahan dunia lainnya dalam bentuk asuransi wajib kendaraan bermotor dengan variasi yang bermacam macam. Ada negara yang mewajibkan asuransi TJH kepada pihak ketiga bukan hanya untuk kecelakaan diri saja tapi juga terhadap kerusakan kendaraan dan property lainnya. Dinegara negara Asean konsepnya mirip dengan UU 34/1964 yakni hanya TJH kecelakaan diri, namun Malaysia dgn santunan unlimited biaya rumah sakitnya. Di negara negara bagian Australia santunan juga diberikan kepada pengemudi kendaraan bukan korban tapi dengan jumlah yang terbatas. Di negara negara maju lainnya seperti Amerika dan Eropah umumnya asuransi TJH mengcover kecelakaan diri dan kerusakaan kendaraan/ properti korban. Pengemudi atau penumpang bukan angkutan umum dapat melindungi dirinya atau keluarganya dari kerugian keuangan akibat kecelakaan bukan korban atau kecelakaan tunggal, dengan membeli asuransi komersial seperti asuransi jiwa, asuransi kecelakaan diri, asuransi kendaraan bermotor semua risiko ( all risk ). Kesimpulan kami bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, adalah UU yang memang dibuat untuk mewajibkan setiap pemilik kendaraan/pengusaha kendaraan bermotor di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Indonesia utk memiliki asuransi tanggung hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas, dengan membayar sumbangan wajib setiap tahunnya. Mereka yang mengalami kecelakaan bukan korban dan kecelakaan tunggal tidak berhak memperoleh santunan dari dana kecelakaan lalu lintas jalan. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait yaitu PT Jasa Raharja menyampaikan keterangan tertulis bertanggal 15 Januari 2018, yang juga disampaikan secara lisan dalam sidang hari Senin, 15 Januari 2018, pada pokoknya sebagai berikut: I. UMUM A. Dasar Penugasan Jasa Raharja 1. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Penunjukan Perusahaan Negara Asuransi Kerugian Jasa Raharja, PT Jasa Raharja (Persero) yang selanjutnya disebut “Jasa Raharja” ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program perlindungan dasar kepada masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan beserta Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Bahwa penunjukan pengelolaan kedua undang-undang tersebut ditegaskan lagi melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK.011/1981 tanggal 2 Juni 1981 tentang Penunjukan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja Untuk Menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 1964 dan UU Nomor 34 Tahun 1964 beserta peraturan pelaksanaannya.
Bahwa ketentuan mengenai besaran santunan dan besaran Iuran wajib dan Sumbangan wajib diatur pertama kali dalam Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan Nomor B.A.P.N 1-3-39 tanggal 26 April 1965 tentang Hal-Hal Mengenai Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 Penumpang dan Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan Nomor B.A.P.N 1-3-40 tanggal 26 April 1965 tentang Hal-Hal Mengenai Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.010/2017 tentang Besar santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/ Danau, Feri/Penyebrangan, Laut dan Udara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. B. Penghimpunan dan Pengelolaan Dana UU Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 1. Dana yang dikelola Jasa Raharja dihimpun dari:
Iuran Wajib Iuran Wajib merupakan iuran yang wajib dibayarkan oleh setiap penumpang alat angkutan umum baik di darat, laut maupun udara kepada Jasa Raharja yang merupakan bagian dari komponen ongkos angkut dan dibayarkan melalui pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan. Khusus penumpang kereta api untuk jarak kurang dari 50 km dan penumpang angkutan dalam kota dibebaskan dari pembayaran Iuran Wajib namun tetap berhak mendapatkan santunan yang sama jika mengalami kecelakaan.
Sumbangan Wajib Sumbangan Wajib merupakan sumbangan yang wajib dibayarkan oleh pemilik atau pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan setiap tahunnya kepada Jasa Raharja melalui mekanisme Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) yang merupakan serangkaian kegiatan dengan Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor, pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor. Khusus pengusaha/pemilik sepeda motor dengan 50cc atau kurang, kendaraan ambulance, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan jenazah dan kereta api dibebaskan dari pembayaran Sumbangan Wajib namun setiap korban yang ditimbulkannya tetap berhak mendapatkan santunan yang sama. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 2. Pengelolaan Dana a. Iuran Wajib dan Sumbangan Wajib yang telah dihimpun oleh Jasa Raharja menjadi dana pertanggungan yang dikelola secara prudent dan digunakan untuk pembayaran ganti kerugian pertangggungan wajib kecelakaan penumpang dan kecelakaan lalu lintas jalan.
Dengan pengelolaan yang prudent tersebut, Jasa Raharja dapat memperoleh Laba dan sebagian dari Laba tersebut disetorkan kepada Negara dalam bentuk Deviden ke dalam APBN yang selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pembangunan nasional.
Sebagian laba yang diperoleh Jasa Raharja juga dialokasikan untuk membiayai kegiatan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. C. Prosedur Pelayanan Santunan 1. Korban yang berhak mendapatkan santunan adalah:
Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 1964 Setiap penumpang alat angkutan penumpang umum baik di darat, laut maupun udara yang mengalami kecelakaan saat naik hingga tiba di tempat tujuan dengan menggunakan alat angkutan yang bersangkutan.
Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 1964 Setiap korban yang berada diluar alat angkutan lalu lintas jalan yang menjadi penyebab kecelakaan.
Mekanisme Pembayaran Santunan a. Bukti dasar pengajuan santunan adalah laporan polisi atau laporan dari instansi berwenang lainnya tentang kecelakaan yang telah terjadi.
Korban kecelakaan yang termasuk dalam ruang lingkup jaminan UU Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 tersebut dapat mengajukan santunan ke Jasa Raharja paling lambat 6 (enam) bulan setelah terjadinya kecelakaan.
Jangka waktu pertanggungan terhadap korban kecelakaan adalah 365 hari sejak terjadinya kecelakaan.
Dalam hal korban mengalami luka-luka dan terjamin sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Jasa Raharja menerbitkan Surat Jaminan kepada pihak rumah sakit yang merawat korban termasuk biaya P3K dan ambulan.
Bagi korban yang mengalami cacat tetap diberikan santunan berdasarkan surat keterangan dokter tentang jenis cacat tetap yang diderita korban. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 f. Khusus korban yang meninggal dunia, santunan dibayarkan kepada ahli waris yang sah.
Sedangkan bagi korban yang tidak memiliki ahli waris, maka kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan diberikan penggantian biaya penguburan.
Besaran Santunan Besaran nilai santunan berdasarkan kedua Peraturan Menteri Keuangan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Santunan Meninggal Dunia sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Santunan Cacat Tetap sesuai dengan persentase cacat tetap yang dialami korban maksimum Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Penggantian Biaya Perawatan dan Pengobatan Untuk korban kecelakaan di darat dan di laut diberikan maksimum Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan maksimum Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk korban kecelakaan di udara.
Penggantian Biaya Penguburan Dalam hal korban yang tidak memiliki ahli waris, maka kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan korban diberikan penggantian biaya penguburan sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).
Manfaat Tambahan Manfaat Tambahan yang diberikan kepada korban kecelakaan adalah sebagai berikut:
Biaya ambulans dan kendaraan yang membawa penumpang ke fasilitas kesehatan maksimum Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah); dan/atau
Biaya Pertolongan pertama pada kecelakaan maksimum Rp.
000.000,- (satu juta rupiah). Dasar pemikiran manfaat tambahan tersebut adalah dengan mempertimbangkan fakta dari hasil penelitian bahwa lebih dari 50% kematian akibat kecelakaan terjadi pada menit-menit pertama korban berada di TKP dan lebih dari 20% kematian terjadi saat perjalanan korban ke Rumah Sakit atau pada hari terjadinya kecelakaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 D. Peningkatan Pelayanan dan Inovasi Sebagai BUMN yang berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik, Jasa Raharja senantiasa melakukan inovasi dan sinergi dengan mitra kerja terkait antara lain:
Mengembangkan komitmen pelayanan dengan akronim PRIME yaitu Proaktif, Ramah, Ikhlas, Mudah dan Empati. Tujuannya adalah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat khususnya korban kecelakaan.
Bekerjasama secara online dengan pihak Kepolisian untuk memperoleh Laporan Polisi yang berbasis program IRSMS ( Integrated Road Safety Management System ) yang terintegrasi dengan sistem Jasa Raharja sehingga setiap data kecelakaan yang teregister di kepolisian dengan mudah diakses untuk segera ditindaklanjuti dengan pelayanan.
Bekerjasama dengan 1.068 rumah sakit di seluruh Indonesia untuk memudahkan pembayaran santunan kepada pihak rumah sakit melalui mekanisme overbooking sehingga pihak korban tidak perlu mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai pengobatannya.
Bekerjasama secara online dengan Ditjen Pendudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri untuk mengetahui data maupun identitas korban kecelakaan termasuk ahli waris korban.
Bekerjasama dengan pihak perbankan untuk pembukaan dan pembayaran santunan dengan mekanisme Cash Management System (CMS).
Menyediakan aplikasi santunan online yang dapat diakses oleh masyarakat dengan menggunakan gadget .
Untuk meningkatkan kompetensi pegawai khususnya di bidang pelayanan, setiap pegawai Jasa Raharja yang bertugas di bidang pelayanan harus memiliki Sertifikasi Pelayanan yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Pelayanan (LSP) Jasa Raharja. Lembaga Sertifikasi ini merupakan satu- satunya lembaga yang dibentuk dan dimiliki oleh perusahaan asuransi yang ada di Indonesia dengan mengembangkan skema pelayanan. Inovasi dan komitmen tersebut, berdampak pada capaian kinerja unggul dalam penyelesaian santunan korban meninggal dunia yang ditargetkan selama 6 hari sejak kejadian kecelakaan, dapat direalisasikan rata-rata selama 1 hari 21 jam pada tahun 2017. Sedangkan penyelesaian pengajuan santunan sejak berkas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 lengkap yang ditargetkan selama 1 jam 30 menit, dapat direalisasikan rata-rata 32 menit pada tahun 2017. E. Layanan Daerah Pelosok dan di Lintas Batas 1. Pelayanan yang diberikan Jasa Raharja terbentang dari Sabang sampai ke Merauke hingga menjangkau daerah-daerah pelosok dengan standar pelayanan yang sama.
Jasa Raharja memastikan pelayanan santunan dilakukan sampai ke daerah lintas batas negara seperti di daerah perbatasan Kalimantan Barat (Entikong, Aruk, Nanga Badau) dan Perbatasan NTT (Motain Belu, Motamasin Malaka, Wini, Oepoli) serta di daerah perbatasan Papua (Skouw dan Waris). F. Kepatuhan 1. Penerapan Good Corporate Governance (GCG) a. Pelayanan yang diberikan Jasa Raharja kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan senantiasa berpedoman kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) sebagaimana telah digariskan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Konsistensi penerapan GCG dibuktikan dengan skor yang mencapai 95,28. Skor yang terbilang tinggi di diantara BUMN-BUMN lain.
Pengawasan a. Kegiatan operasional Jasa Raharja baik sistem maupun prosedur pada awalnya diawasi oleh Departemen Keuangan dalam hal ini Bapepam-LK yang kemudian dilanjutkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Jasa Raharja secara periodik diaudit oleh Satuan Pengawasan Intern dan oleh lembaga eksternal seperti Kantor Akuntan Publik (KAP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). G. Kegiatan Peningkatan Keselamatan Berlalu Lintas Untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas dan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, Jasa Raharja turut berpatisipasi antara lain:
Mudik Gratis bersama BUMN setiap tahunnya.
Program Safety Riding dan Jasa Raharja Goes To Campus bekerjasama dengan mitra terkait. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 3. Memberikan bantuan sarana dan prasarana untuk pendukung operasional di jalan raya berupa Traffic Cone , Barikade, Rambu-Rambu Lalu Lintas dan sarana lainnya.
Pendidikan dan pelatihan bagi pengemudi angkutan umum yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya.
Sosialisasi kepada masyarakat umum melalui media cetak, elektronik, media sosial dan interaksi langsung dengan masyarakat. Serta upaya-upaya lainnya dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan wujud partisipasi Jasa Raharja dalam upaya keselamatan berlalu lintas. II. KETERANGAN ATAS PASAL YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Berdasarkan uraian di atas dan keterangan Pemerintah serta keterangan ahli yang telah disampaikan dalam persidangan sebelumnya, izinkanlah kami menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
Kami sependapat dengan keterangan Pemerintah dan Keterangan Ahli bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tetap relevan dalam memberikan jaminan dan dibutuhkan oleh masyarakat yang mengalami kecelakaan lalu lintas jalan yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor dan tetap sejalan dengan UUD 1945.
Kasus Kecelakaan yang terjadi di Jawa Timur Terkait dengan kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Jawa Timur, perkenankan kami atas nama Jasa Raharja menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya almarhum Rokhim (suami dari Ibu Maria Theresia Asterianti), semoga almarhum dimuliakan disisi Allah SWT. Amin. Adapun kronologis kasus kecelakaan yang dialami almarhum dan dijadikan dasar oleh pemohon untuk mengajukan permohonan uji materi penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 terhadap UUD 1945 dapat kami jelaskan sebagai berikut :
Kecelakaan yang menimpa korban a.n. Rokhim terjadi pada tanggal 24 Juli 2017 di Jl. A. Yani Surabaya merupakan kecelakaan tunggal.
Jasa Raharja Perwakilan Surabaya telah melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang berlaku yaitu melakukan Penolakan terhadap pengajuan santunan kecelakaan tunggal tersebut kepada ahli waris korban. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 c. Penolakan yang dilakukan oleh Jasa Raharja sebelumnya telah didahului dengan penjelasan bahwa kasus kecelakaan tersebut diluar jaminan UU Nomor 34 Tahun 1964. Ahli waris menyatakan bisa menerima dan memahami hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam surat permohonan yang bersangkutan yang ditujukan kepada Jasa Raharja Cabang Jawa Timur. Permohonan tersebut dikabulkan dan dibayarkan santunan secara ex-gratia pada tanggal 25 September 2017.
Ex-Gratia menurut Black Law Dictionary berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris disebut “ by favor ” atau “bantuan”. Ex gratia payment adalah “ A payment not legally required ” especially an insurance payment not required to be made under an insurance policy ” (Pembayaran yang tidak diwajibkan secara hukum khususnya dalam pembayaran ganti rugi yang tidak harus dilakukan berdasarkan perjanjian pertanggungan). Dengan dasar pemahaman tersebut, pembayaran secara ex-gratia merupakan bantuan yang diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus pertanggungan. III. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan argumentasi yang telah kami sampaikan di atas, kami memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Jasa Raharja selaku yang diberi amanah oleh pemerintah untuk melayani masyarakat korban kecelakaan lalu lintas dan korban kecelakaan angkutan umum telah bekerja sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Kami sependapat dengan keterangan pemerintah dan keterangan ahli pada persidangan sebelumnya bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tetap relevan dengan keadaan saat ini dan UU a quo memang diperuntukkan untuk memberikan jaminan kepada Pihak ketiga atau korban yang berada di luar alat angkutan lalu lintas jalan yang menyebabkan kecelakaan dan bukan untuk korban kecelakaan tunggal.
Penyelesaian kasus kecelakaan tunggal yang diajukan oleh Sdri. Maria Theresia sebagaimana yang telah diuraikan tersebut di atas telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2721, selanjutnya disebut UU34/1964) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a. [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan olehUUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggapdirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon sesuai dengan uraian Pemohon dalam permohonanannya beserta bukti-bukti yang relevan; [3.6] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK): 3578055309700002, sebagaimana terdapat dalam Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon. Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian konstitusional dengan adanya ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, dengan alasan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa Pemohon merupakan istri dari Rokhim, warga negara Indonesia dengan NIK 3578052411680004. Suami Pemohon tersebut mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 2017 saat mengendarai sepeda motor. Bahwa kemudian Pemohon mengajukan klaim santunan asuransi atas meninggalnya suami Pemohon tersebut kepada PT. Jasa Raharja, namun demikian klaim tersebut tidak dipenuhi oleh PT. Jasa Raharja dengan alasan selama ini PT. Jasa Raharja tidak memberikan santunan terhadap korban kecelakaan tunggal. PT. Jasa raharja menyatakan bahwa dasar hukum terhadap hal tersebut diatur dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menyatakan: “ (1) Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 berdasarkan Undang-Undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang No. 33 tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut. ” [3.6.2] Bahwa berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sepanjang kalimat “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”. sangat merugikan hak konstitusional Pemohon, sebab dengan berlakunya ketentuan a quo , hak Pemohon mendapatkan santunan kecelakaan akan terhalangi. [3.6.3] Bahwa, Pasal 4 UU 34/1964 menyatakan, “dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya.” Bahwa, karena suami korban yang mengalami kecelakaan meninggal dunia maka otomatis santunan diberikan kepada Pemohon sebagai ahli waris dari suami. Sehingga Pemohon mempunyai legal standing di dalam pengajuan Permohonan a quo . [3.7] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian permohonan dan dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan berkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, menurut Mahkamah Pemohon telah membuktikan sebagai warga negara Indonesia yang merupakan ahli waris dari seorang warga negara yang telah meninggal dunia dikarenakan mengalami kecelakaan lalu lintas, dan bahwa Pemohon telah mengajukan klaim asuransi kepada PT. Jasa Raharja yang kemudian tidak dapat dipenuhi. Bahwa norma Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menjadi objek pengujian a quo dijadikan dasar bagi PT. Jasa Raharja untuk menolak klaim asuransi yang diajukan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terlepas dari konstitusionalitas norma a quo yang harus dibuktikan terlebih dahulu pada pokok perkara, terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian atau potensi kerugian yang dialami Pemohon dengan norma yang diajukan untuk diuji dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) selaku Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo ; [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo , maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; POKOK PERMOHONAN [3.9] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, yang menyatakan: “ (1) Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan Undang-undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang No. 33 tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut. ” sepanjang frasa, “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan ” Menurut Pemohon, norma a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut.
Frasa dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 tersebut telah dimaknai secara sempit di mana kecelakaan yang dijamin mendapat santunan kecelakaan hanya yang melibatkan dua kendaraan, bukan satu kendaraan atau kecelakaan tunggal. Sebab, kecelakaan satu kendaraan korbannya ada di dalam alat angkutan itu sendiri, bukan di luar alat angkutan. Sementara, korban kecelakaan tunggal meski tetap membayar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), dalam hal ini suami Pemohon sebagai korban kecelakaan tunggal membayar SWDKLLJ setiap tahunnya, tetapi dinyatakan tidak berhak menerima dana santunan kecelakaan lalu lintas oleh PT. Jasa Raharja.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah membuat norma baru, bahkan menjadi norma terselubung. Sebab, Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang a quo mengatur bahwa siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas baik mati maupun cacat tetap dijamin mendapatkan santunan asuransi Jasa Raharja. Sementara dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menjadi dipersempit bahwa yang mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah mereka yang berada di luar alat angkutan. Dengan demikian, menurut Pemohon, penjelasan norma pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 juga telah menyebabkan Pemohon mendapatkan perlakuan diskriminatif. Sebab, seorang warga negara pembayar SWDKLLJ yang merupakan sumbangan yang tidak dibedakan/dikecualikan untuk kecelakaan tunggal, seharusnya diperlakukan sama dengan semua warga negara yang mengalami kecelakaan lalu lintas tidak tunggal. Dengan demikian, didalilkan Pemohon norma a quo bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. [3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama permohonan Pemohon, bukti-bukti Pemohon, keterangan Presiden, keterangan ahli Presiden, serta keterangan Pihak Terkait PT. Jasa Raharja Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut. [3.11] Menimbang bahwa masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yaitu sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” . Penjelasan dimaksud dianggap telah menyebabkan terjadinya ketidak-pastian hukum terhadap Pemohon untuk mendapatkan dana santunan kecelakaan tunggal suaminya. Pada saat yang sama, menurut Pemohon, keberadaan frasa di dalam penjelasan itu pun telah menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap warga negara. Dengan alasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 itu, Pemohon menilai bahwa hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 terlanggar dan/atau potensial terlanggar. Karena itu, untuk mengakhiri atau menghindari kerugian konstitusional atau potensi kerugian yang dialaminya, Pemohon meminta agar frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. [3.12] Menimbang bahwa sehubungan dengan permohonan a quo , terdapat dua persoalan konstitusional yang harus dijawab lebih jauh, yaitu:
Apakah penjelasan norma di dalam pasal a quo sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum, terutama karena Pemohon selalu membayar SWDKLLJ dan karena terjadinya penyempitan norma Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 2. Apakah penjelasan norma di dalam pasal a quo sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” telah menyebabkan terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap warga negara yang mengalami kecelakaan lalu lintas, sehingga melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945? Terhadap masalah konstitusional penjelasan norma pasal a quo sebagaimana termanifestasi dalam kedua pertanyaan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa mengenai kepastian hukum penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, persoalan hukum yang dikemukakan Pemohon sesungguhnya bukan hanya sekadar apakah norma tersebut mencakup korban kecelakaan tunggal atau tidak, melainkan berhubungan dengan paradigma pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu lintas jalan. Paradigma sistem jaminan sosial terkait pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu lintas jalan yang didesain dalam UU 34/1964 adalah perlindungan publik Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 bukan penumpang terhadap kecelakaan yang terjadi dengan alat-alat angkutan dimaksud. Dalam sistem tersebut para pemilik/pengusaha kendaraan bermotor dibebani kewajiban berupa iuran wajib yang ditujukan untuk melindungi rakyat banyak yang menjadi korban kecelakaan lalu-lintas jalan yang disebabkan oleh kendaraaan bermotor atau kereta api. Dalam pengertian demikian, dana pertanggungan diberikan sebagai akibat kecelakaan yang terjadi karena faktor eksternal. [3.12.2] Bahwa paradigma tersebut dapat dipahami berdasar penjelasan umum UU 34/1964, di mana di dalamnya diterangkan bahwa subjek yang menjadi perhatian ketika Undang-Undang a quo dibentuk adalah rakyat banyak yang menjadi korban risiko-risiko teknik modern dibanding para pemilik atau pengusaha alat-alat modern yang bersangkutan. Lebih jauh, apabila dilacak Memory van Toelichting (MvT) Undang-Undang a quo, perlindungan dasar yang diatur di dalamnya adalah dimaksud untuk kepentingan umum dan setaraf dengan kemajuan teknik modern. Di mana, dalam kehidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang semakin meningkat disebabkan kecelakaan di luar kesalahannya (faktor eksternal). Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa tujuan diatur dan dipungutnya dana kecelakaan lalu-lintas adalah untuk melindungi korban kecelakaan yang bukan penumpang atau mereka yang berada di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan itu. Paradigma yang demikian diatur secara konsisten dalam Undang-Undang a quo , khususnya dalam hal kewajiban pembayaran iuran atau sumbangan kecelakaan lalu-lintas (SWDKLLJ) yang difungsikan sebagai dana untuk asuransi sosial kecelakaan lalu lintas jalan. Dalam hal ini, SWDKLLJ merupakan pembayaran premi berupa sumbangan wajib sebagai bentuk pengalihan resiko dari pemilik kendaraan kepada Pemerintah yang dalam hal ini penanggung jawabnya adalah PT. Jasa Raharja. Dalam hal ini, SWDKLLJ dimaksud memiliki pengertian berbeda jikalau dibandingkan dengan premi yang dikutip pada asuransi umum karena itu dana tersebut disebut sebagai iuran wajib dan bukan disebut sebagai asuransi. Oleh karena berbeda, maka iuran wajib berupa SWDKLLJ tidak dapat disamakan dengan premi dalam konteks asuransi umum di mana setiap orang yang membayar premi berhak atas klaim asurasi yang diperjanjikan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 [3.12.3] Bahwa konsistensi paradigma UU 34/1964 juga diturunkan lebih jauh terhadap pengaturan yang terkait dengan pihak yang berhak menerima pembayaran ganti rugi. Pihak yang berhak menerima atau korban adalah setiap orang yang menjadi korban mati atau cacat permanen akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan [Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964]. Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo ditegaskan bahwa setiap orang tersebut adalah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Dengan kata lain, Undang-Undang a quo memang didesain untuk memberikan santunan kepada mereka yang menjadi korban kecelakaan yang bukan penumpang, maupun pengendara kendaraan atau alat angkutan. [3.12.4] Bahwa yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 terkait dengan pihak yang berhak menerima pembayaran dana dan pertanggungan merupakan turunan dari paradigma pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu- lintas jalan yang dibangun dalam UU 34/1964. Dengan demikian, tidak terdapat penyempitan makna dari apa yang dikehendaki oleh norma yang termaktub di dalam batang tubuh Undang-Undang dimaksud, dalam hal ini pengaturan dalam Pasal 4 UU 34/1964. Dikarenakan maksud tersebut, pembatasan yang terkait subjek penerima pembayaran dana dan pertanggungan sebagaimana termaktub di dalam penjelasan norma tersebut telah sesuai dan sebangun dengan semangat pembentuk atau paradigma jaminan sosial kecelakaan lalu-lintas dalam Undang- Undang a quo . Lebih jauh, paradigma dimaksud linear dengan dikecualikannya kecelakaan tunggal dari jenis kecelakaan yang tidak dijamin oleh UU 34/1964. Kecelakaan tunggal diposisikan sebagai kecelakaan yang tidak dipengaruhi faktor eksternal. Selain itu, kecelakaan tunggal disebabkan karena faktor internal korban kecelakaan itu sendiri, seperti mengantuk, mabuk, dan kelalaian saat mengendara kendaraaan. Apabila kecelakaan tunggal dimasukkan dalam pertanggungan kecelakaan sebagaimana diatur dalam UU 34/1964, justru hal tersebut akan menyebabkan paradigma jaminan sosial dalam Undang-Undang a quo bergeser ke sesuatu yang tidak dikehendaki saat pembentukannya. Jaminan sosial tidak lagi dimaksud bagi korban kecelakaan yang berada di luar alat angkutan, melainkan bagi setiap korban kecelakaan. Padahal, Undang-Undang a quo tidak dimaksud untuk itu. Lagi pula, sebagaimana disitir sebelumnya konsep pertanggungan dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 UU 34/1964 berbeda dengan konsep asuransi kecelakaan pada umumnya. Selain itu, dengan membayar iuran wajib SWDKLLJ, Pemohon mendalilkan bahwa suaminya berhak untuk memperoleh pembayaran dana kecelakaan. Hanya saja, karena tidak dibayarkan oleh Jasa Raharja, maka hal demikian menurut Pemohon telah menyebabkan hak Pemohon untuk memperoleh kepastian hukum telah dilanggar. Menurut Mahkamah, sebagaimana telah dijelaskan di atas, paradigma jaminan sosial yang diatur dalam UU 34/1964 sejak awal memang hanya dimaksudkan dan dibatasi untuk kecelakaan terhadap mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan dan tidak tercakup kecelakaan tunggal. Oleh karena pembatasan yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 linear dengan semangat yang terkandung dalam Undang-Undang a quo , maka tidak terdapat ketidakpastian hukum terkait keberadaan Penjelasan norma Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan keberlakuannya telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.13] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon ihwal penjelasan Pasal 4 ayat (1) telah mempersempit maksud Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 dimaksud, padahal dengan merujuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bagian penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang a quo hanya menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan frasa “setiap orang” dan menjelaskan frasa “disebabkan oleh alat angkutan” dalam Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, bukan menambah norma baru. Sebab memang seperti itulah maksud dibuatnya Undang-Undang a quo . Dalam hal ini, frasa “setiap orang” dimaksudkan sebagai bukan tiap-tiap orang, melainkan hanya mereka yang berada di jalan. Frasa “oleh alat angkutan” dijelaskan dengan frasa “di luar alat angkutan”, yang berarti sebagai faktor eksternal yang menyebabkan seseorang mati atau cacat tetap. Artinya hanya orang yang mengalami kecelakaan di jalan yang disebabkan oleh alat angkutan sebagai faktor eksternal saja yang diatur Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 sebagai subjek yang akan menerima dana kerugian akibat kecelakaan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sama sekali tidak mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) melainkan hanya memperjelas atau membuat terang saja, yang justru menjamin bahwa Undang-Undang a quo sejalan dengan maksud pembentukannya. [3.13.2] Bahwa kesan penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) sebagaimana didalilkan Pemohon timbul jika tidak memperhatikan hubungan sistematis semua norma Undang-Undang a quo , mulai dari konsideran, batang tubuh dan penjelasannya. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) hanya sekadar memperjelas maksud yang dikehendaki Pasal 4 ayat (1), sehingga ia tidak dapat dianggap atau dinilai telah membuat peraturan lebih lanjut atau mencantumkan rumusan yang berisi norma baru. Demikian pula apabila dihubungkan dengan paradigma jaminan sosial dalam UU 34/1964, dalil bahwa penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo telah mempersempit maksud norma Pasal 4 ayat (1) juga tidak beralasan. Sebab, penjelasan Pasal 4 ayat (1) justru bertujuan untuk mempertegas konsistensi Pasal 4 ayat (1) dengan filosofi atau paradigma dan tujuan dibentuknya UU 34/1964. Dengan penjelasan itu, makin terang bahwa pertanggungan yang diatur dalam UU 34/1964 adalah untuk orang yang menjadi korban kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan dan orang itu berada di luar alat angkutan dimaksud. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menganggap bahwa Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 bersifat diskriminatif dengan alasan bahwa pembayaran SWDKLLJ tidak membeda-bedakan bentuk kecelakaan untuk mendapat santunan, sementara menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 korban kecelakaan tunggal tidak mendapatkan pertanggungan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa sebelum lebih jauh memberikan pendapat terkait dalil a quo , perlu dipertegas, dalam sejumlah putusan terdahulu Mahkamah telah memberikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 pembatasan terhadap apa yang dimaksud dengan diskriminasi. Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007, bertanggal 11 Desember 2007, yang menyatakan bahwa diskriminasi sebagai sesuatu yang dilarang dalam rangka perlindungan hak asasi manusia adalah “ setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya ”. [vide Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Article 2 Paragraph (1) International Covenant on Civil and Political Rights]. Berdasarkan pengaturan tersebut, diskriminasi adalah berbeda dan harus dibedakan dengan tindakan atau kebijakan pembatasan hak asasi manusia yang diatur dengan undang-undang di mana pembatasan hak asasi dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang diatur dengan undang-undang dapat dibenarkan sepanjang untuk maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. [3.14.2] Bahwa dalil Pemohon, yaituihwal siapa subjek yang dapat menerima dana pertanggungan dari sistem pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu-lintas jalan dalam Undang-Undang a quo telah menyebabkan terjadinya diskriminasi, menurut Mahkamah tidaklah tepat. Sebab, pertama , sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasannya, UU 34/1964 memang membatasi hak sejumlah orang untuk dapat menjadi subjek penerima pembayaran dana pertanggunggan kecelakaan. Di mana, hanya orang atau mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan saja yang berhak mendapatkan jaminan. Hanya saja, pembatasan dimaksud sama sekali bukan pembatasan untuk tujuan memberikan perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pembatasan hanya dilakukan atas dasar jenis korban kecelakaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Pembatasan yang demikian sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif. Lebih-lebih, kebijakan atau aturan tersebut berlaku secara umum bagi semua warga negara yang mengalami kecelakaan lalu-lintas. Kedua, bahwa sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana disinggung sebelumnya, pembatasan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan dengan undang-undang sepanjang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. Dalam hubungannya dengan pokok permohonan a quo , paradigma pembentukan UU 34/1964 adalah berangkat dari paradigma perlindungan bagi masyarakat lain yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas, di mana kecelakaan terjadi bukan karena kesalahannya, tidak bertentangan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan juga ketertiban umum. Masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas memang selayaknya mendapatkan jaminan dari negara dan dibayarkan dari iuran wajib yang dibebankan kepada setiap pemilik atau pengusaha angkutan umum. Oleh karena itu, penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sama sekali tidak dapat dinilai telah mengandung diskriminasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. [3.14.3] Bahwa lebih jauh, sehubungan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, di mana suami Pemohon yang mengalami kecelakaan tunggal akibat mengantuk sehingga motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan sehingga jatuh dan berujung dengan meninggal dunia, termasuk jenis kecelakaan tunggal yang memang tidak dapat ditanggung sesuai dengan UU 34/1964. Meski demikian, sebagaimana diterangkan Pihak Terkait, kepada keluarga yang bersangkutan telah diberikan santunan secara ex-gratia sebagai kebijakan perusahaan sesuai dengan Keputusan Direksi Nomor KEP/205.2/2013, tanggal 31 Oktober 2013. Secara sepintas, kebijakan tersebut terkesan telah bertentangan dengan pembatasan subjek yang berhak menerima jaminan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, namun kebijakan tersebut masih dalam kerangka perlindungan terhadap masyarakat dalam kecelakaan lalu-lintas. Lebih jauh, sepanjang santunan secara ex-gratia tidak diposisikan dan tidak dimaksudkan sebagai bagian dari jaminan kecelakaan sesuai Undang-Undang a quo , maka diskresi itu sama sekali tidak keluar dari apa yang diatur Undang-Undang dimaksud. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 [3.14.4] Bahwa, sebaliknya, pemberian santunan secara ex-gratia justru semakin mempertegas bahwa regulasi terkait jaminan sosial kecelakaan yang diatur dalam UU 34/1964 sama sekali tidak mengandung diskriminasi. Santunan ex-gratia merupakan wujud kepedulian negara terhadap korban kecelakaan tunggal yang memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya korban merupakan kepala keluarga. Dalam hal ini, negara tidak serta-merta diam saja dalam kasus kecelakaan tunggal, melainkan telah mengambil bagian melalui jalur yang bukan merupakan bagian dari jaminan sosial yang diatur UU 34/1964. Perihal belum adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang ( rechtsvacuum ) tentang santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini. Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan “menyalahkan” undang-undang a quo. [3.14.5] Bahwa terkait asuransi yang dapat diterima suami Pemohon sebagai korban kecelakaan tunggal, sebagaimana diterangkan Pemerintah, hal itu dapat ia peroleh dari asuransi kecelakaan kerja sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam konteks ini, kesempatan pemohon untuk memperoleh asuransi terkait kecelakaan yang dialami sama sekali tidak tertutup, melainkan terdapat sarana lain yang lebih sesuai. Sehubungan dengan itu, dalil Pemohon berkenaan dengan keberadaan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” tidak beralasan menurut hukum. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukumuntuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Saldi Isra, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Maret, tahun dua ribu delapan belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh enam, bulan April, tahun dua ribu delapan belas, selesai diucapkan pukul 15.50 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ery Satria Pamungkas sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Saldi Isra ttd. Arief Hidayat ttd. Wahiduddin Adams ttd. Suhartoyo ttd. Manahan MP Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Ery Satria Pamungkas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.06/2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara. ...
Pengujian UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara terhadap UUD Negara RI 1945
Uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/PMK.04/2016 ttg pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibu ...
Relevan terhadap
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 23 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d wajib menyelenggarakan pembukuan;
Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil yang wajib memiliki izin, dan pengusaha tempat penjualan eceran yang wajib memiliki izin;
Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat;
...” ( vide Bukti P-6) 12. Bahwa hal itu dikarenakan, materi mengenai kewajiban, secara sistematika di atau dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai yang merupakan bagian dari Sub BAB VI mengenai kewajiban pencatatan dan pembukuan bagi subjek yang diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu hanya pengusaha atau pihak yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Cukai;
Bahwa kriteria sebagai Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Cukai telah diatur secara tegas dan jelas dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Cukai yang menyatakan bahwa yang dimaksud Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang dipergunakan untuk menghasilkan Barang Kena Cukai dan/atau untuk mengemas Barang Kena Cukai dalam kemasan untuk penjualan eceran dan terkait kriteria Subjek dari Pabrik tersebut harus merujuk kepada batasan mengenai Objek Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa dengan demikian secara gramatikal dan sistematika perundang-undangan penerapan Pasal 16 Undang-Undang Cukai tersebut hanya dikenakan terhadap subjek atau objek yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 24 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Cukai, yaitu pabrik yang menghasilkan Barang Kena Cukai dalam diantaranya untuk produk tembakau iris harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai;
Bahwa terkait dengan kewajiban pelaporan dan pembukuan sebagaimana diatur dalam ayat 2 dan ayat 3 Pasal 16 Undang- Undang Cukai, harus dan hanya bisa dikaitkan dengan subjek yang dikategorikan Pabrik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 yang memproduksi Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu barang yang telah selesai dibuat sesuai dengan batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Cukai;
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, penafsiran dan penerapan termasuk pembuatan peraturan pelaksana atas ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai menurut Pemohon seharusnya adalah sebagai berikut:
Bahwa secara konstruksi, subjek dan objek yang dikenakan oleh Pasal 16 Undang-Undang Cukai ini harus tetap mengacu pada kriteria-kriteria Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu hanya atas objek barang tembakau yaitu produk Hasil Tembakau untuk dipakai yang selesai dibuat dan akan dijual kepada konsumen akhir atau konsumen Perokok ( vide Bukti P-6);
Bahwa karena Pasal 16 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Cukai ini berkaitan dengan “fasilitas” atau pengecualian atas kewajiban dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, maka secara prinsip seharusnya kriteria objek dari subjek yang diatur dalam aturan pelaksana tersebut tetap harus tunduk kepada norma sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cukai, yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai, dimana Pengusaha yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai dalam kondisi tertentu mendapat “keringanan” untuk tidak melakukan pelaporan dan pembukuan ( vide Bukti P-6); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 25 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 17. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai khususnya yang berkenaan dengan kewajiban pembukuan dan pelaporan tersebut hanya diterapkan dan berlaku apabila objek yang diproduksi oleh suatu perusahaan masuk dalam kriteria Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa dengan adanya Peraturan Pelaksana yang memperoleh “delegasi” dari ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai ini, seharusnya mengatur pada tataran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Cukai saja, yaitu hanya sebatas pada penetapan syarat dan kondisi yang dapat diterima terkait dengan “pengecualian” tersebut, tanpa mengubah atau menambahkan norma baru yang telah secara tegas dan jelas diatur dalam Undang-Undang Cukai dalam hal ini adalah Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa dengan demikian, dari uraian Pemohon tersebut telah terbukti bahwa Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 Tahun 2016 telah bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi yaitu dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat 1, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai Undang-Undang Cukai;
Bahwa tiba-tiba dengan PMK Nomor 94 Tahun 2016, Menteri Keuangan telah memperluas batasan objek cukai atau kriteria yang menjadi “Barang Kena Cukai” yang sudah diatur dengan Undang-Undang Cukai, sehingga Pemohon menilai dan karenanya harus berpendapat bahwa telah terjadi “Penambahan” atas suatu barang menjadi Barang Kena Cukai “secara tidak sah” yang diberikan melalui Peraturan Perundang-undangan yang derajat atau tingkatannya di bawah Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang Cukai). Maka di samping telah bertentangan dengan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai, terkait dengan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 Tahun 2016, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 sepanjang yang menyangkut batasan atau kriteria “selesai dibuat ” adalah:
Tidak sesuai dengan “asas kelembagaan” (Pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang tepat) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (b) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( vide bukti P-7). Karena seharusnya penetapan batasan “selesai dibuat” yang mempunyai akibat hukum adanya penentuan objek barang kena cukai yang baru diatur oleh Undang-Undang Cukai, sehingga DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bisa ikut menyetujui adanya penambahan Objek Cukai;
Tidak sesuai dengan “asas kesesuaian” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, karena dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarkinya, karena itu seharusnya penentuan batasan “selesai dibuat” untuk barang berupa TIS diatur dalam undang-undang bukan dengan Peraturan Menteri Keuangan;
Tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf (f) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena rumusannya sama atau tumpang tindih dengan batasan “selesai dibuat” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Penjelasan dari Undang-Undang Cukai. Akibatnya batasan “baru” yang dinyatakan dalam PMK Nomor 94 Tahun 2016 bisa membebani serta mempunyai implikasi hukum yang luas termasuk menyebabkan adanya “pemajakan” (dalam hal ini berupa cukai) secara berganda dan yang lebih membebankan akan menyebabkan subjek-subjek baru yang akan dibebankan kewajiban secara finansial atau setidak- tidaknya sehubungan dengan kewajiban administratif yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 berkaitan dengan barang cukai, seperti laporan dan kepemilikan NPPBKC yang sebenarnya tidak diatur dalam Undang-Undang Cukai seperti petani-petani yang melakukan perajangan tembakau. Keadaan ini tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum di kemudian hari dan karenanya harus dihentikan;
Bahwa Pemohon juga berpendapat sesuai dengan jiwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 a quo dan sesuai dengan prinsip lex superiori derograt lex inferiori seharusnya PMK Nomor 94 Tahun 2016 yang merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Cukai khususnya Pasal 16 ayat (2) juncto Pasal 16 ayat (7) tidak boleh menciptakan norma baru yang memperluas ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Cukai;
Bahwa menurut Ajaran Teori Norma Hukum Berjenjang yang antara lain diintrodusir oleh Hans Kelsen yang dikenal dengan nama “ Stufenbau des Recht ” antara lain dapat dikatakan bahwa Norma Hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan dan keabsahan hukum dari Norma Hukum yang lebih tinggi. Itu sebabnya Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang;
Bahwa Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan sebagai berikut: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang- undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”; Dengan kata lain, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut memang dijiwai oleh asas Lex Superiori derograt lex inferiori . Bahwa dengan melihat kepada aturan tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 PMK Nomor 94 Tahun 2016 kedudukannya lebih rendah dari UU Cukai ( vide bukti P-7);
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan PMK Nomor 94 Tahun 2016 mengenai batasan “selesai dibuat” tersebut juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi landasan dari kebijakan pokok tentang arah dan tujuan perubahan Undang-Undang KUP menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana tersebut dalam angka (4) dari Penjelasan Umum Undang-Undang KUP yang pada akhirnya bisa merugikan keadilan bagi Wajib Pajak (Bukti P-13);
Bahwa mengenai munculnya batasan baru terkait dengan makna selesai dibuat untuk barang berupa tembakau iris menjadi “selesai dirajang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 tahun 2016 sebenarnya bukan didasarkan pada kewenangan atributif. Tidak ada amanat dari Undang-Undang Cukai agar Menteri Keuangan membuat peraturan pelaksanaan yang memberi batasan baru terkait dengan kapan suatu barang dapat dikenakan atau dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai atau kapan batasan mengenai barang tembakau “selesai dibuat” tersebut. Dengan demikian menurut Pemohon pembentukan aturan pelaksanaan yang tidak diamanatkan oleh undang-undangnya seperti halnya penambahan batasan makna “selesai dibuat” untuk barang berupa tembakau iris a quo seharusnya didasarkan pada doelmatigheid yang jelas yang sangat diperlukan dan harus juga didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik. Undang-Undang Cukai khususnya Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal 4 ayat (1) sudah mengatur secara rinci mengenai batasan “selesai dibuat” dan tidak perlu adanya pengaturan batasan lain yang justru menimbulkan multi tafsir yang dapat menyebabkan abuse of power dari Dirjen Bea Cukai dan bisa menyebabkan komplikasi administrasi cukai yang pada akhirnya merugikan rakyat khususnya Wajib Pajak, sehingga kurang sesuai dengan asas keadilan dan kepastian hukum;
Bahwa Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 yang isinya menyatakan: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 “Pasal 3:
....
. Barang Kena Cukai yang yang selesai dibuat wajib diberitahukan sebagaimana diatur dalam ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
..
..
untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya....,”;
Bahwa terkait dengan ketentuan tersebut secara umum, dalil atau argumen hukum yang sama ( mutatis mutandis ) masalah yang terkait dengan Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 berlaku untuk ketentuan dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 ini;
Bahwa, kami akan menambahkan dalil secara khusus, adanya pertentangan antara Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Cukai khususnya dikarenakan adanya pelebaran makna dari Subjek yang seharusnya memiliki kewajiban administrasi fiskal finasial terkait dengan cukai bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan produk tembakau;
Bahwa secara umum, kegiatan usaha tembakau terdiri dari: (i). Budidaya Tembakau; (ii). Tata Niaga Tembakau; (iii). Pemrosesan Daun tembakau; dan (iv) Pabrik Hasil tembakau yang melibatkan subjek perorangan atau badan usaha baik petani maupun pengusaha;
Bahwa dalam hal ini secara faktual atas produk tembakau tersebut lazim suatu subjek termasuk petani melakukan kegiatan yang tidak hanya satu yaitu terdiri dari budidaya, pemrosesan dan tata niaga;
Bahwa salah satu yang lazim dilakukan oleh petani dan badan usaha adalah melakukan pemrosesan berupa perajangan oleh karena itu dengan adanya perluasan kualifikasi Barang Kena Cukai yang Telah Selesai Dibuat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 dan Pasal 3 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 maka akan merugikan Pemohon dan para petani yang harus menanggung beban administrasi dan finansial lebih dari yang seharusnya. Hal ini akan semakin menyulitkan para petani di tengah semakin derasnya arus masuk tembakau impor yang membuat harga tembakau semakin jatuh;
Bahwa terkait dengan hal tersebut Undang-Undang Cukai telah secara jelas mengatur pihak mana saja yang dapat dikategorikan sebagai subjek yang dianggap sebagai pihak yang memproduksi Barang Kena Cukai dan diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai sebagai berikut: Kriteria Pabrik Yang Wajib Memiliki NPPBKC Sesuai Pasal 14 ayat (1) UU Cukai No. Pengaturan Dalam UU Cukai Terkait Dengan Kewajiban NPPBKC Syarat Menurut UU Cukai Hasil dari Petani dan Badan Usaha Yang menjual Untuk Bahan Baku Kesimpulan 1 Kriteria Pabrik Berdasarkan Pasal 1 angka (2) UU Cukai Pabrik yang menghasilkan Barang Kena Cukai Hanya akan menjadi BKC apabila memenuhi kriteria produk berdasarkan Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 3 ayat (1) UU Cukai Sepanjang produknya tidak memenuhi kriteria dalam Pasal 4 ayat(1) jo Pasal 3 ayat (1) UU Cukai bukan merupakan Pabrik 2 Kriteria Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Cukai dan penjelasannya yang termasuk BKC Produksi BKC adalah tembakau iris yaitu tembakau yang dirajang untuk dipakai Tembakau yang dihasilkan bukan untuk dipakai Hasil pemrosesan tembakau dari Petani dan badan usaha yang tujuannya penjualan untuk digunakan sebagai bahan baku bukan merupakan BKC sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Cukai dan penjelasannya. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 3 Terkait dengan saat pengenaan cukai sesuai Pasal 3 ayat (1) dan penjelasannya Dikenakan pada saat barang selesai dibuat dengan tujuan untuk dipakai Hasil tembakau yang ditujukan untuk bahan baku pasti tidak untuk dipakai tapi sebagai bahan baku rokok untuk pabrik yang lain Saat Terutang untuk cukai tidak akan pernah terjadi Kesimpulannya Petani dan Badan Usaha Yang menjual hasil pemprosesan tembakau untuk keperluan bahan baku Pemohon Hak Uji Materiil tidak memenuhi kriteria sebagai Pabrik yang harus memiliki izin (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai) berdasarkan Pasal 14 ayat 1 UU Cukai - Bahwa jelas sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai juncto Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) hanya untuk orang atau badan usaha yang menjual hasil tembakau untuk dipakai selesai dibuat sehinga hasil tembakau yang belum siap dipakai, termasuk yang dirajang, yang dijual untuk bahan baku tidak memenuhi kriteria produk tembakau sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai karena bukan merupakan produk Hasil Tembakau untuk dipakai yang selesai dibuat dan tidak dijual kepada konsumen akhir atau konsumen Perokok; - Bahwa dengan demikian secara Subjektif, secara tegas pihak yang menjual hasil tembakau untuk bahan baku tidak memenuhi kriteria sebagai Pabrik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 4 angka 1 juncto Pasal 3 Angka 1 Undang-Undang Cukai; - Namun demikian, dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 diatur bahwa, untuk subjek hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya, diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; - Bahwa dengan demikian, ketentuan tersebut jelas bertentangan dangan maksud dari dibuatnya peraturan pelaksana terkait dengan ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai karena: (i). Secara eksplisit dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai dinyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya diperuntukan bagi subjek yang memenuhi kriteria dalam Pasal 14 ayat (1); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 32 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (ii). Bahwa terkait dengan subjek tersebut kriteria menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Cukai; (iii) Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai tidak semua pihak yang melakukan usaha tembakau masuk dalam kriteria Pabrik yang mempunyai kewajiban memiliki izin sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (iv). Bahwa secara tegas dan jelas Undang-Undang Cukai mengatur bahwa orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha menjual hasil tembakau untuk bahan baku, tidak termasuk kategori Pabrik yang diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (v). Bahwa namun demikian, dalam PMK Nomor 94 Tahun 2016 khususnya dalam Pasal 3 ayat 2 huruf (d) diatur secara meluas dan bertentangan dengan Undang-Undang Cukai terkait dengan adanya kewajiban pemberitahuan bagi subjek atau pihak yang menurut Undang-Undang Cukai tidak termasuk dalam kriteria dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (v). Bahwa secara konstruksi disamping menimbulkan norma baru yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, secara konstruksi pembuatan Pasal tersebut menjadi tidak logis, karena seharusnya justru PMK tersebut mengatur kewajiban administrasi dengan batasan yang jelas berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, namun pada kenyataannya dengan adanya ketentuan dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 ini berpotensi untuk menyebabkan pihak yang seharusnya tidak wajib memiliki izin berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai menjadi wajib memiliki izin; - Bahwa dengan demikian, dari uraian Pemohon tersebut telah terbukti bahwa Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; - Bahwa dengan terbuktinya adanya pertentangan Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016, maka permohonan ini mendesak untuk diputuskan karena selain Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 33 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 akan menimbulkan kerugian yang besar pada Pemohon dan para petani tembakau di seluruh Indonesia juga akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
Kesimpulan Bahwa sehubungan dengan uraian tersebut di atas, menurut Pemohon dapat disimpulkan secara sah dan menyakinkan ketentuan mengenai batasan “selesai dibuat” untuk barang berupa tembakau iris sebagaimana tersebut pada Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat telah terbukti:
Bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Pembentukan peraturan/ketentuan mengenai “selesai dibuat” dan ketentuan mengenai “tembakau iris yang digunakan sebagai bahan baku” a quo tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Bahwa oleh karenanya, mohon kepada Majelis Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara Hak Uji Materil a quo untuk memutuskan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat dan dengan menggunakan alasan, dalil atau pertimbangan hukum yang sama ( mutatis mutandis ) juga menyatakan karenanya tidak sah dan tidak berlaku sepanjang mengenai batasan “barang selesai dibuat” yang diatur dalam pasal-pasal terkait PMK Nomor 94 Tahun 2016, yaitu: Pasal 3 angka 2 huruf (d); Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/ PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/ PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan prosedur pembentukannya tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku yaitu: - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (“Undang- Undang Cukai”) khususnya Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; dan Tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam: - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Menyatakan Peraturan Perundang-undangan tersebut di bawah ini: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan tidak berlaku umum;
Memerintahkan Peraturan Peraturan Perundang-undangan tersebut dibawah ini: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; Untuk dicabut;
Menyatakan penafsiran Tembakau Iris yang merupakan Barang Kena Cukai dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai untuk dinikmati oleh konsumen akhir, tanpa mengindahkan bahan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya sehingga tembakau iris yang belum siap dipakai bukan merupakan Barang Kena Cukai; atau Apabila Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) ; Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat (Bukti P-1);
Fotokopi Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (Bukti P-2);
Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 (Bukti P-3);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Bukti P-4);
Fotokopi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (Bukti P-5);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Bukti P-6);
Fotokopi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Bukti P-7);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Bukti P-8);
Fotokopi Laporan Hasil Audit Nomor LHA-45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2016 (Bukti P-9);
Fotokopi Surat Tagihan Nomor: S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 tentang Penetapan atas Sanksi Administrasi Berupa Denda (Bukti P-10);
Fotokopi Pemohon mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada tanggal 10 Maret 2016 Nomor 097/SDHN/III/2016 (Bukti P- 11);
Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP- 03/BC.06/2016 tanggal 11 Mei 2016 tentang Penetapan atas Keberatan PT Sadhana (Pemohon) Terhadap Penetapan yang Dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai Dalam Surat Tagihan Nomor S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 (Bukti P-12); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 13. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Bukti P-13);
Fotokopi Akta Pendirian PT Sadhana (Bukti P-14); Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 10 Juli 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 46/PER- PSG/VII/46 P/HUM/2017, tanggal 10 Juli 2017; Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawaban tertulis pada tanggal 31 Juli 2017, yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: POKOK PERMOHONAN Bahwa alasan Keberatan Uji Materiil yang diajukan oleh Pemohon, pada intinya menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat (untuk selanjutnya disebut “PMK 94/2016”), dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang Cukai”), dan tidak sesuai dengan tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Bahwa selain itu, di dalam permohonannya Pemohon juga mengemukakan alasan-alasan permohonan sebagai berikut:
Bahwa posisi hukum Pemohon, sebagaimana halnya dengan petani-petani tembakau yang melakukan kegiatan perajangan khususnya yang menjual hasil tembakaunya kepada Pemohon, tidak termasuk ke dalam kriteria sebagai pelaku usaha atau subjek yang memproduksi Barang Kena Cukai;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/2016 telah memperluas kriteria subjek yang diwajibkan untuk memberitahukan barang kena cukai berupa Tembakau Iris, yang tidak diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 14, Pasal 16 Undang- Undang Cukai;
Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/2016 tersebut, Pemohon dianggap sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 subjek yang memproduksi Barang Kena Cukai, yang mengakibatkan Pemohon mempunyai kewajiban administrasi danmenanggung beban fiskal; LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN PMK 94/2016 Bahwa sebelum menyampaikan tanggapan atas hal-hal diluar pokok permohonan dan menanggapi dalil-dalil lainnya, Termohon menganggap perlu untuk menyampaikan hal-hal terkait latar belakang pembentukan PMK 94/2016 dan pengaturan mengenai pemberitahuan barang kena cukai, khususnya terkait tembakau iris, yang diatur dalam PMK 94/2016, diantaranya sebagai berikut:
Bahwa dapat Termohon sampaikan, cukai merupakan salah satu pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Undang-Undang Cukai);
Bahwa tujuan kebijakan pengenaan cukai selalu mengacu pada filosofi pengenaan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Cukai, yaitu: “Pasal 2 (1) Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik:
konsumsinya perlu dikendalikan;
peredarannya perlu diawasi;
pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau
pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini;
Barang-barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai barang kena cukai”;
Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai, salah satu Barang Kena Cukai yang memiliki sifat atau karakteristik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Cukai yaitu Hasil Tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya;
Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai, definisi dari Tembakau Iris adalah adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah jelas dan tegas mengatur bahwa Tembakau Iris adalah Barang Kena Cukai yang memiliki unsur sebagai berikut:
Hasil Tembakau;
Dibuat dari Daun Tembakau yang dirajang;
Untuk dipakai;
Tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa dapat Termohon tegaskan, unsur Tembakau Iris dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai sama persis dengan unsur Tembakau Iris dalam Pasal 1 angka 7 PMK 94/2016 sebagaimana tertera pada tabel berikut: Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Cukai Pasal 1 angka 7 PMK 94/2016 Yang dimaksud dengan tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa sejalan dengan pengaturan kriteria barang-barang yang dapat dikenai cukai, Undang-Undang Cukai juga mengatur peristiwa yang menyebabkan barang tersebut terutang pajak cukai, yakni mengatur secara khusus peristiwa saat pengenaan cukai mulai diberlakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa dapat Termohon jelaskan, apabila ketentuan peristiwa yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai tersebut telah terpenuhi, maka atas barang tersebut telah terutang cukai dan terhadapnya telah melekat hak-hak negara;
Bahwa atas melekatnya hak-hak negara pada sebuah barang kena cukai maka berdasarkan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib untuk melakukan pengawasan terhadap barang kena cukai tersebut dan Pengusaha Pabrik juga wajib memberitahukan secara berkala kepada kepala kantor (Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 10. Bahwa penegasan saat pengenaan cukai terhadap suatu barang yang ditetapkan sebagai Barang Kena Cukai menjadi sangat penting, karena sejak saat itulah secara yuridis telah timbul utang cukai sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap barang tersebut sebab terhadapnya telah melekat hak-hak negara dan merupakan titik awal proses pengawasan cukai, pelunasan cukai, fasilitas cukai, penagihan cukai, pengembalian hingga jangka waktu yaitu kadaluwarsanya pungutan cukai;
Bahwa terkait dengan pengaturan Cukai terhadap Tembakau Iris, ketentuan Pasal 3 Ayat 2 huruf d PMK 94/2016 mengatur lebih lanjut tentang kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai barang kena cukai selesai dibuat, dimana ketentuan tersebut sesuai dan sejalan dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai sebagai berikut: Norma UU Cukai PMK 94/2016 Pengaturan Mengenai Berlakunya Pengenaan Cukai atas Barang Kena Cukai Pasal 3 ayat (1) yakni mengatur : Pengenaan Cukai untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia dikenakan pada saat selesai dibuat. Penjelasannya: Untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia, saat pengenaan cukai adalah pada saat selesai dibuat sehingga saat itulah terhadap barang tersebut dilakukan pengawasan. Yang dimaksud dengan "barang selesai dibuat" adalah saat proses pembuatan barang itu selesai dengan tujuan untuk dipakai. Pasal 2 ayat (1) yakni mengatur: Pengenaan Cukai mulai berlaku untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia pada saat selesai dibuat Pasal 2 ayat (2) yakni mengatur: Barang Kena Cukai selesai dibuat yaitu saat proses pembuatan barang dimaksud selesai dengan tujuan untuk dipakai.. Dapat disimpulkan bahwa pengaturan pengenaan Cukai atas Barang Kena Cukai Yang Selesai Dibuat pada PMK 94/2016 telah sejalan dengan pengaturan pada UU Cukai; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai BKC yang selesai dibuat secara berkala Pasal 16 ayat (3) yakni mengatur: “Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat” Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Cukai: “Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Pasal 1 angka 7 mengatur sebagai berikut: “Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Pasal 3 ayat (1) yakni mengatur: “Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat” Pasal 2 ayat (3) yakni mengatur: “saat proses pembuatan barang kena cukai selesai dengan tujuan untuk dipakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk barang kena cukai berupa:
hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengelolaan daun tembakau telah selesai dirajang, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya”; Pasal 3 ayat (2) yakni mengatur: “Barang kena cukai yang selesai dibuat yang wajib diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 berikut:
Untuk hasil tembakau berupa tembakau iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas”; Dapat disimpulkan bahwa pengaturan atas kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai Barang Kena Cukai serta unsur-unsur Tembakau Iris di PMK 94/2016 telah sejalan dengan pengaturan pada UU Cukai; Bahwa berdasarkan perbandingan di atas, terhadap daun tembakau yang dirajang, dengan tujuan untuk dipakai, baik dipakai untuk langsung dikonsumsi oleh pengguna akhir (misalnya untuk susur, shag tobacco ) maupun dipakai sebagai bahan baku/penolong untuk pembuatan hasil tembakau lainnya (misalnya sigaret) sudah dikategorikan sebagai Tembakau Iris tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa tanggung jawab atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia berada pada Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan, dan untuk atas Barang Kena Cukai yang diimpor berada pada Importir atau pihak-pihak lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 13. Bahwa sebagai penanggung jawab Barang Kena Cukai, pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai ataupun penyalur diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, terkecuali terhadap pengusaha pabrik skala kecil dan penyalur skala kecil, pengusaha tempat penjualan eceran tidak diwajibkan untuk melakukan pembukuan tetapi wajib untuk memiliki izin dan wajib untuk melakukan pencatatan. Kewajiban untuk melakukan pencatatan ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan dalam memenuhi ketentuan Undang-Undang Cukai ini dengan tetap menjamin pengamanan hak-hak negara;
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan tersebut, Pasal 14 Undang- Undang Cukai juga mewajibkan kepada setiap pihak yang menjalankan kegiatan menghasilkan produk Barang Kena Cukai untuk memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dari Menteri Keuangan;
Bahwa selanjutnya, ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai mewajibkan kepada setiap pihak yang menjalankan kegiatan menghasilkan produk Barang Kena Cukai untuk menyelenggarakan pembukuan. Dalam hal ini, khusus untuk Pengusaha Pabrik wajib pula untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang Barang Kena Cukai yang selesai dibuat sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Cukai;
Bahwa ketentuan yang mengatur tentang kewajiban untuk melaksanakan pencatatan dan kewajiban pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat dalam Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Cukai tidak terlepas dari norma titik awal timbulnya kewajiban tersebut bagi entitas penghasil produk Barang Kena Cukai;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, kewajiban administrasi berupa perizinan, pencatatan, pembukuan, dan pemberitahuan atas Barang Kena Cukai tidak serta merta menimbulkan kewajiban untuk membayar pungutan Cukai bagi pihak yang memiliki kewajiban administrasi tersebut;
Bahwa terdapat fasilitas cukai berupa pengecualian atas pungutan cukai terhadap Barang Kena Cukai yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
Uji materiil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan ...
Relevan terhadap
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
Bahwa dalam konteks untuk menghapus NPWP atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam UU KUP diatur sebagai berikut: Pasal 2 ayat (7) : Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak Badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Pasal 2 ayat (9) : Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Bahwa menurut Pemohon Hak Uji Materiil, jenis kewenangan Dirjen Pajak yang disebut “Pemeriksaan” tersebut adalah sudah tepat dan memang harus diatur dengan Undang-Undang, dalam hal ini UU KUP sebagai Hukum Acara Perpajakan (Hukum Formal) mengingat perhitungan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU KUP (self- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 13 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 assessment) adalah dianggap benar dan telah sesuai dengan Undang-Undang sepanjang belum dibuktikan sebaliknya oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itulah UU KUP memberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 UU KUP sehingga dapat melakukan pengawasan, koreksi dan penegakan hukum apabila terbukti perhitungan pajak yang dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) oleh Wajib Pajak ternyata tidak benar. Dari hasil pemeriksaan tersebut kemudian dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, penghapusan NPWP dan pencabutan atas pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Bahwa tiba-tiba saja dengan PP No. 74 Tahun 2011, Dirjen Pajak diberikan kewenangan baru yang disebut dengan “Verifikasi” yang pada dasarnya diberi kekuatan hukum yang dapat dikatakan “sama” dengan “Pemeriksaan” yang sudah diatur dengan UU KUP, sehingga Pemohon menilai dan karenanya harus berpendapat bahwa telah terjadi “Penambahan Kewenangan secara tidak sah” pada Dirjen Pajak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang derajat atau tingkatannya dibawah Undang-Undang (dalam hal ini UU KUP). Bahwa menurut Pemohon :
1 Penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 serta kaitannya yaitu Pasal 13 ayat (1); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15, Pasal 18 ayat (1) huruf a Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 30 ayat (2) huruf c, Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 48 ayat (3), ayat (4); ayat (7); ayat (8); ayat (9) dan ayat (10), sepanjang yang menyangkut “Verifikasi” adalah:
tidak sesuai dengan “asas kelembagaan”(Pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang tepat) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 14 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Vide bukti: P10). Karena seharusnya kewenangan Verifikasi yang sangat penting dan mempunyai akibat hukum yang luas tersebut diatur/dimuat di UU KUP sehingga DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bisa ikut menyetujui adanya penambahan kewenangan Dirjen Pajak a quo .
tidak sesuai dengan “asas Kesesuaian”, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarkinya, karena itu seharusnya kewenangan “Verifikasi” diatur dalam Undang- Undang bukan dengan Peraturan Pemerintah c. tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan karena rumusannya sama atau tumpang tindih dengan kewenangan untuk melakukan “pemeriksaan”. Sedang produk hukumnya yang dihasilkan dari “Verifikasi” juga sama dengan “Pemeriksaan” dan bisa membebani serta mempunyai implikasi hukum yang luas termasuk bisa ditagih dengan Surat Paksa, padahal kewenangan “Verifikasi” tidak dikenal dalam UU KUP.
2 Bahwa Pemohon juga berpendapat sesuai dengan jiwa UU No. 12 Tahun 2011 a quo dan sesuai dengan prinsip lex superiori derogat lex inferiori seharusnya PP No. 74 Tahun 2011 yang merupakan aturan pelaksanaan dari UU KUP tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 boleh menciptakan kewenangan baru yang memperluas ketentuan yang ada dalam UU KUP.
3 Bahwa menurut Ajaran Teori Norma Hukum Berjenjang yang antara lain diintrodusir oleh Hans Kelsen yang dikenal dengan nama “Stufenbau des Recht”, antara lain dapat dikatakan bahwa Norma Hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan dan keabsahaan hukum dari Norma Hukum yang lebih tinggi. Itu sebabnya Peraturan Perundang- Undangan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang 12.4 Bahwa Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menyatakan sebagai berikut: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi” 12.5 Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan mengatur sebagai berikut: “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” Dengan kata lain, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut memang dijiwai oleh asas lex superiori derogat lex inferiori . Bahwa dengan demikian jika PP No. 74 Tahun 2011 kedudukannya lebih rendah dari UU KUP.
6 Bahwa menurut Pemohon, ketentuan PP No. 74 Tahun 2011 mengenai Verifikasi tersebut juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi landasan dari kebijakan pokok tentang arah dan tujuan perubahan UU KUP menjadi UU No. 28 tahun 2007 sebagaimana tersebut dalam angka 4 dari Penjelasan Umum UU KUP yang pada akhirnya bisa merugikan keadilan bagi Wajib Pajak.
7 Bahwa mengenai munculnya/diintrodusirnya kewenangan baru yang disebut “Verifikasi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 dan 5 PP No. 74 Tahun 2011 sebenarnya bukan didasarkan pada kewenangan atributif. Tidak ada amanat dari UU KUP agar Pemerintah membuat peraturan pelaksanaan yang memberi kewenangan baru pada Dirjen Pak berupa “Verifikasi” a quo . Dengan demikian sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Pemerintahan) ketentuan a quo dibuat berdasarkan prinsip “Freis Emersen” atau kebebasan bertindak dari Pemerintah karena menghadapi kerancuan aturan atau karena aturan-aturannya tidak lengkap. Namun demikian menurut Pemohon pembentukan aturan pelaksanaan yang tidak diamanatkan oleh Undang- Undangnya seperti halnya kewenangan “Verifikasi” a quo seharusnya didasarkan pada dolmatigheid yang jelas yang sangat diperlukan dan harus juga didasarkan pada asas umum pemerintahan yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 baik. UU KUP sudah mengatur secara rinci tentang kewenangan “Pemeriksaan” tidak ada lagi perlunya mengatur kewenangan lain (verifikasi) yang pada dasarnya sama persis dengan “Pemeriksaan” yang justru menimbulkan multi tafsir yang dapat menyebabkan abuse of power dari Dirjen Pajak dan bisa menyebabkan komplikasi adminstrasi perpajakan yang pada akhirnya merugikan Wajib Pajak, sehingga kurang sesuai dengan asas keadilan dan kepastian hukum IV.1.2 Kesimpulan Bahwa sehubungan dengan uraian tersebut diatas, menurut Pemohon dapat disimpulkan secara sah dan meyakinkan ketentuan mengenai “Verifikasi” sebagaimana tersebut pada Pasal 1 angka 4 dan Pasal 5 PP No. 74 Tahun 2011 telah terbukti ;
Bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 UU KUP yang mengatur mengenai pemeriksaan.
Pembentukan peraturan/ketentuan mengenai “Verifikasi” a quo tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahwa oleh karenanya, mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara Hak Uji Materiil a quo untuk memutuskan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 1 angka 4 dan 5 PP NO. 74 Tahun 2011 dari PP No. 74 Tahun 2011 dan dengan menggunakan alasan, dalil atau pertimbangan hukum yang sama (mutatis mutandis) juga menyatakan karenanya tidak sah dan tidak berlaku sepanjang mengenai “Verifikasi” yang diatur dalam pasal-pasal terkait PP No 74 tahun 2011, yaitu: Pasal 13 ayat (1) 1) Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang dapat membatalkan Surat Ketetapan Pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 18 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi, dan/atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi.
Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan atau Verifikasi dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi; dan/atau
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan:
hasil Verifikasi terhadap keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang;
hasil Pemeriksaan dan seterusnya.....
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 64 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Pasal 37 bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu __ Undang–Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang–Undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak _; _ Menimbang, bahwa dalam permohonannya Pemohon telah mendalilkan hal-hal sebagai berikut: - Bahwa kewenangan Dirjen Pajak dalam konteks untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, menerbitkan/menghapus NPWP, dan atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 (UU KUP) adalah Kewenangan untuk melakukan “Pemeriksaan” yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 ayat (1) jo Pasal 1 angka 25 dan 27 UU KUP __ - Bahwa sehubungan dengan ketentuan pada Pasal 12 tersebut diatas, Dirjen Pajak diberi kewenangan untuk menetapkan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP; __ - Bahwa untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan untuk menguji kepatuhan pemeriksaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) UU KUP tersebut diatas, Dirjen Pajak diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU KUP; __ - Bahwa Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Keterangan Kurang Bayar Pajak Tambahan (SKPKBT) yang diterbitkan sebagai hasil dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU KUP adalah merupakan dasar penagihan pajak yang selanjutnya dapat ditagih dengan Surat Paksa; - Bahwa menurut Pemohon Hak Uji Materiil, jenis kewenangan Dirjen Pajak yang disebut “Pemeriksaan” tersebut adalah sudah tepat dan memang harus diatur dengan Undang-Undang, dalam hal ini UU KUP sebagai Hukum Acara Perpajakan (Hukum Formal) mengingat perhitungan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU KUP (self-assessment) adalah dianggap benar dan telah sesuai dengan Undang-Undang sepanjang belum dibuktikan sebaliknya oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itulah UU KUP memberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 UU KUP sehingga dapat melakukan pengawasan, koreksi dan penegakan hukum apabila terbukti perhitungan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 65 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 pajak yang dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) oleh Wajib Pajak ternyata tidak benar. Dari hasil pemeriksaan tersebut kemudian dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, penghapusan NPWP dan pencabutan atas pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. - Bahwa tiba-tiba saja dengan PP No. 74 Tahun 2011, Dirjen Pajak diberikan kewenangan baru yang disebut dengan “Verifikasi” yang pada dasarnya diberi kekuatan hukum yang dapat dikatakan “sama” dengan “Pemeriksaan” yang sudah diatur dengan UU KUP, sehingga Pemohon menilai dan karenanya harus berpendapat bahwa telah terjadi “Penambahan Kewenangan secara tidak sah” pada Dirjen Pajak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang derajat atau tingkatannya dibawah Undang-Undang (dalam hal ini UU KUP). - Bahwa menurut Pemohon, ketentuan PP No. 74 Tahun 2011 mengenai Verifikasi tersebut juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi landasan dari kebijakan pokok tentang arah dan tujuan perubahan UU KUP menjadi UU No. 28 tahun 2007 sebagaimana tersebut dalam angka 4 dari Penjelasan Umum UU KUP yang pada akhirnya bisa merugikan keadilan bagi Wajib Pajak. - Bahwa mengenai munculnya/diintrodusirnya kewenangan baru yang disebut “Verifikasi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 dan 5 PP No. 74 Tahun 2011 sebenarnya bukan didasarkan pada kewenangan atributif. Tidak ada amanat dari UU KUP agar Pemerintah membuat peraturan pelaksanaan yang memberi kewenangan baru pada Dirjen Pak berupa “Verifikasi” a quo . Dengan demikian sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Pemerintahan) ketentuan a quo dibuat berdasarkan prinsip “Freis Emersen” atau kebebasan bertindak dari Pemerintah karena menghadapi kerancuan aturan atau karena aturan- aturannya tidak lengkap. Namun demikian menurut Pemohon pembentukan aturan pelaksanaan yang tidak diamanatkan oleh Undang-Undangnya seperti halnya kewenangan “Verifikasi” a quo seharusnya didasarkan pada dolmatigheid yang jelas yang sangat diperlukan dan harus juga didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik. UU KUP sudah mengatur secara rinci tentang kewenangan “Pemeriksaan” tidak ada lagi perlunya mengatur kewenangan lain (verifikasi) yang pada dasarnya sama persis dengan “Pemeriksaan” yang justru menimbulkan multi tafsir yang dapat menyebabkan abuse of power dari Dirjen Pajak dan bisa menyebabkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 66 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 komplikasi adminstrasi perpajakan yang pada akhirnya merugikan Wajib Pajak, sehingga kurang sesuai dengan asas keadilan dan kepastian hukum; - Bahwa Pemohon berpendapat bahwa upaya hukum “ pengajuan keberatan “ adalah merupakan salah satu hak yang sifatnya sangat mendasar sebagai implementasi dari asas kepastian hukum dan asas keadilan yang menjadi salah satu pilar UU KUP mengingat atau sebagai konsekuensi dari sifat memaksa dari pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP; - Bahwa sebagai implementasi dari asas kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan, maka penyelesaian Surat Keberatan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dibatasi oleh waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP; - Bahwa ketentuan pada Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah menyebabkan timbulnya keragu-raguan dan menimbulkan multi tafsir dalam pelaksanaannya; - Bahwa Pasal 27A UU KUP, yang dirujuk oleh Pasal 43 ayat (1) dan (2) PP No. 74 Tahun 2011 sebagai dasar hukum pemberian bunga, pada dasarnya formulanya/ungkapannya adalah persis sama dengan Pasal 27A ayat (1) dimaksud; - Bahwa menurut pendapat Pemohon, ketentuan pada Pasal 27 ayat (1) UU KUP a quo adalah merupakan ungkapan dari asas keseimbangan antara hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum No. 4 huruf d UU KUP. - Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 juga mencederai asas keseimbangan hak dan kewajiban perpajakan yang juga menjiwai UU KUP, sehingga dalam penerapannya akan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik karena dalam hal Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda atau bunga misalnya, Wajib Pajak tidak mendapatkan hak penundaan pembayaran yang sama seperti Direktur Jenderal Pajak. - Bahwa ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut melanggar asas “ lex superiori derogat lex inferiori ; - Bahwa dilihat dari ajaran “Norma Hukum Berjenjang” , Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 juga nyata-nyata melanggar prinsip keselarasan apabila dilihat dari sudut Ketatanegaraan karena bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengingat dinyatakan secara jelas bahwa “Pengajuan Permohonan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 67 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Peninjauan Kembali tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak”. Hal ini logis dan tepat karena putusan Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 langsung mempunyai kekuatan hukum tetap karena merupakan putusan tingkat pertama dan sekaligus terakhir. - Bahwa dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada dasarnya ada pada ranah eksekutif jelas melanggar/bertentangan dengan peraturan perundangan di bidang kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) yaitu UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, padahal sebagai pemerintah yang baik, Dirjen Pajak seharusnya patuh pada UU termasuk UU dalam ranah yudikatif. - Bahwa pembentukan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 ditinjau dari substansinya kurang sesuai dengan asas kelembagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena substansinya seharusnya dimuat dalam UU KUP, dan juga tidak sesuai dengan asas keadilan (karena menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak), asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara Dirjen Pajak dan Wajib Pajak, dan asas ketertiban dan kepastian hukum (karena menimbulkan ketidak tertiban dan ketidakpastian). - Bahwa dalam pasal-pasal yang mengatur hak dasar dari Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 maupun Pasal 36 sama sekali tidak ditemukan adanya pengecualian atau larangan bagi Wajib Pajak untuk menggunakan Pasal 25 maupun Pasal 36 UU KUP. Oleh karenanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 jelas bertentangan dengan Pasal 25 dan 36 UU KUP - Bahwa secara filosofi, hakikat dari Pasal 29 ayat (3) PP 74 Tahun 2011 nyata-nyata tidak selaras dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi salah satu landasan filosofi dari UU KUP. - Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga telah nyata-nyata mengurangi hak Wajib Pajak yang dijamin dengan UU KUP. - Bahwa sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara, rumusan Pasal 23 ayat (2) a quo adalah sudah tepat dan lengkap apabila dibaca sekaligus dengan Pasal 25 ayat (1) UU KUP, karena dengan demikian semua tindakan Direktur Jenderal Pajak yang menerbitkan Keputusan/Ketetapan Pajak pada dasarnya dapat digugat dan diajukan keberatan sehingga dengan demikian ketentuan Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 benar-benar tidak sesuai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 68 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 dengan Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan tidak sesuai dengan hakekat Hukum Pajak sebagai Hukum Tata Usaha Negara. - Bahwa ketentuan Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 jelas tidak sejalan dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan dengan demikian juga tidak sejalan dengan fungsi Pengadilan Pajak sebagai pelaksana dari Kekuasaan Kehakiman yang merdeka sebagaimana diatur dengan Pasal 24 UU 1945 untuk memberikan kepastian hukum yang adil dalam menyelesaikan sengketa perpajakan. - Bahwa sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara pada dasarnya semua Keputusan/Ketetapan Pejabat Tata Usaha Negara yang tertulis, konkrit, individual dan final seharusnya bisa diajukan gugatan. Sekiranya ada ketentuan mengenai keputusan/ketetapan yang bukan merupakan objek gugatan seharusnya pengecualian seperti itu diatur dalam Undang-Undang. - Bahwa oleh karena itu PP No. 74 Tahun 2011 yang kedudukannya dibawah Undang-Undang seharusnya tidak boleh bertentangan dan juga tidak boleh mengurangi/menambah ketentuan yang diatur dalam UU KUP. - Bahwa Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 sebenarnya tidak diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) UU KUP sehingga dapat dikatakan sebagai “ unpartialistic ” atau tidak atas perintah UU dan sekiranya kepentingan tersebut dianggap bertumpu pada aspek “ doelmategheid ” (atau tujuan/kemanfaatannya) sebagai bentuk dari pelaksanaan prinsip “ Freis emerssen “ dalam hukum adminstrasi (prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada Pemerintah), tetapi tindakan pemerintah tersebut tetap tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan harus memperhatikan Asas- Asas Umum Pemerintahan Yang Baik serta asas kepatutan yang menurut Pemohon ternyata semuanya itu dilanggar oleh Pemerintah. Menimbang, bahwa dari alasan keberatan Pemohon, dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Pemohon dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa Terdapat pertentangan secara parsialistik terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di antaranya :
Bahwa ketentuan Pasal 48 UU KUP yang dijadikan dasar dan alasan hukum perkara a quo oleh Pemerintah untuk membuat aturan yang sifatnya materiil yang seharusnya merupakan kewenangan hukum pembuat (DPR bersama Pemerintah) Undang-undang sesuai dengan bunyinya "Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 69 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara yang diperlukan". Oleh karenanya tidaklah tepat apabila PP 74 Tahun 2011 memposisikan dirinya sebagai pelengkap dari Undang- Undang KUP, dan merupakan tindakan Pemerintah tersebut untuk meligitimasi hal-hal yang bersifat materiil yang seharusnya menjadi muatan Undang-undang, meskipun dengan dalil "melengkapi" Undang- undang.
Bahwa Pasal 1 angka 4 dan 5 perkara a quo tentang Verifikasi, Termohon HUM telah keliru dalam menggunakan Pasal 48 UU KUP. Di mana ketentuan tersebut telah mengatur pelaksanaan tentang "Keterangan Lain" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP sedemikian rupa sehingga memperluas yurisdiksi substansi apa yang dimaksudkan pengertian "Verifikasi" dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP, dengan demikian tidak sesuai dengan makna UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Apabila pengujian atas "Verifikasi" dikabulkan, maka "Keterangan lain" seharusnya diatur lebih lanjut mengenai "Pemeriksaan Pajak" sehingga menjadi lebih pasti dan lebih sederhana dan tidak merugikan upaya hukum bagi Wajib Pajak.
Bahwa Pasal 29 ayat (3)a a quo yang disusun berdasarkan Pasal 48 UU KUP, nyata-nyata bertentangan dan membatasi hak Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan yang selama ini justru telah dijamin oleh UU KUP, karena nyata-nyata juga tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut melanggas Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik karena tindakan yang tidak boleh diuji sampai ke Pengadilan Pajak juga tidak sesuai dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945), karenanya dengan dicabutnya Pasal 29 ayat (3) PP Nomor 74 Tahun 2011 maka hak Wajib Pajak untuk memperjuangkan keadilan menjadi terjamin tanpa harus merugikan Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang dapat ditegakkan.
Bahwa Pasal 37 a quo diterapkan dengan mendalilkan pada Pasal 48 UU KUP diterapkan secara tidak benar karena nyata-nyata Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 70 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 membatasi/mengurangi ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 23 UU KUP, oleh karenanya hal ini adalah bertentangan dengan hukum yang memberikan hak Wajib Pajak dalam memperoleh perlindungan hukum melalui mekanisme Gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah diatur juga dalam Pasal 40 UU Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dengan demikian, bahwa secara prosedur, kewenangan dan substansi ketentuan Pasal 37 perkara a quo bertentangan dengan jiwa dan falsafah makna " Keputusan" perpajakan yang dapat diajukan keberatannya sebagaimana diatur Pasal 23A huruf c UU KUP dan peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya.
Bahwa dalam hal yang serupa pada ketentuan Pasal 41 perkara a quo dengan mendalilkan pada Pasal 48 UU KUP agar dapat membuat aturan tata cara pelaksanaan Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 26A UU KUP, ternyata diterapkan secara tidak benar karena pengaturan yang dilakukan dengan menambah keluasan kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang menyebabkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak Wajib Pajak yang telah dijamin dalam Undang-Undang KUP. Dengan demikian, dengan dicabutnya Pasal 41 a quo justru menjamin kepastian hukum dan tidak merugikan hak Wajib Pajak.
Bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c bertentang dengan norma hukum yang terkandung dalam Pasal 27A ayat (a) dan ayat (3) Undang- Undang KUP dan Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) jo Pasal 86 dan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak karena Wajib Pajak kehilangan kesempatan memperoleh imbalan bunga sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan tersebut, karena putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap .
Bahwa terlepas dari kewenangan hukum dan otoritas kebijakan fiskal yang prudent dimiliki oleh Pemerintah dalam bentuk atribusi sebagaimana yang diamanatkan baik dalam ketentuan Pasal 37 maupun Pasal 48 UU KUP maka kewenangan tersebut berfungsi mengatur ( regulurend ) yaitu berupa prosedur dan kewenangan berikut substansi terhadap pelaksanaan yang berkaitan dengan implementasi atas pasal-pasal dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang terbangun dalam hukum acara untuk menempatkan sistem self assessment sebagai politik hukum pemungutan pajak, sehingga penyimpangan hukum acara merupakan beleeidsregels dapat dibenarkan manakala kaidah kebijaksanaan yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 70 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 71 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 berkonotasi "dalil" atau "hukum" memiliki dasar pijak yang nyata di dalam "teks" Undang-undang yang ditetapkan dalam tugas pemerintahan, oleh karenanya seyogyanya perkara a quo tidak boleh bertentangan dan wajib mematuhi norma-norma yang terkandung pada idealistik hukum apa yang menjadikan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara equelbrium , dengan demikian perkara a quo tidak boleh bertentangan dengan Undang- undang yang lebih tinggi dalam artian bahwa pada asasnya negara mempunyai hak mutlak untuk meningkatkan pemungutan pajak karena kewajiban warga negara ( Staatsburgerplicht ), tetapi kewajiban itu bukan semata-mata tanpa hak, melainkan kewajiban itu timbul justru karena adanya "hak warga negara" ( Staatsburgerrech) nya maka perwujudan penyelesaian pemenuhan dan penunaian hak dan kewajibannya harus mencerminkan keadilan yang bersendikan pada hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik .
Bahwa dalil-dalil perrnohonan Pemohon HUM sangat beralasan karena secara normative hukum perkara a quo tidak terdapat dan memiliki relevansi idealistik hukum antara ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (1) huruf a; pasal 19; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 48 ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10); Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak khususnya dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang pada umumnya.
Bahwa secara Karakteristik Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan seharusnya merupakan penjabaran hukum terhadap Undang- undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Undang- undang Pengadilan Pajak merupakan implementasi terhadap ketentuan hukum acara perpajakan yang saling mengisi dan melengkapi atas norma hukum dari system self assessment sebagai politik hukum pemungutan pajak dan sekaligus merupakan binding by law, di samping withholding tax system (sistem pemotongan dan pemungutan pajak). Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 71 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 72 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, permohonan Pemohon HUM sangat beralasan dan patut untuk dikabulkan, karena selebihnya apabila masih terdapat perselisihan yang mungkin akan timbul dikemudian hari dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum yang ada sebagaimana diatur dalam KUP dan upaya hukum pada badan peradilan di bidang pajak. Bahwa Selanjutnya, memerintahkan kepada Pemerintah untuk menyusun kembali Peraturan Pemerintah dalam perkara a quo yang berorientasi pada parsialistik, normative dan karakterstik serta idealistik hukum yang menjamin kepastian dan keadilan hukum secara timbal balik terhadap pemenuhan hak dan penenuaian kewajiban hukum yang bersumber pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu: Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37 __ bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang–Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang–Undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak __ (vide Bukti P.9., P.11) sehingga harus dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon harus dikabulkan dan peraturan yang menjadi obyek dalam perkara uji materiil a quo harus dinyatakan tidak sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat _; _ __ Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon, maka Termohon dihukum untuk membayar biaya perkara; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 A ayat (8) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011, Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 72 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 73 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; MENGADILI, Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA (KADIN INDONESIA), tersebut; Menyatakan Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c;
bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan materiil di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000;
4 Bahwa landasan dasar teori atau grand theory tentang asas keadilan dan kepastian hukum dalam pengenaan pajak, dapat kiranya dirujuk pada :
Pasal 23A UU D 1945 yang mengatur sebagai berikut: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang- Undang” b. Pasal 1 angka 1 UU KUP yang mengatur sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Penjelasan Umum UU KUP sebagaimana tersebut pada nomor 1 dan nomor 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Tax Payer’s basic rights yang pada umumnya merupakan best practice dan dirujuk sebagai international accepted concept/theory mengajarkan bahwa Wajib Pajak mempunyai hak- hak dasar sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan c. Surat Ketetapan Pajak Nihil d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar ; atau e. Pemotongan atas pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan 4.6 Bahwa sebagai implementasi dari asas kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan, maka penyelesaian Surat Keberatan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dibatasi oleh waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP yang kutipannya telah disampaikan tersebut diatas.
7 Bahwa ketentuan tersebut, pada Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah menyebabkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 timbulnya keragu-raguan dan menimbulkan multi tafsir dalam pelaksanaannya mengingat:
Apakah apabila setelah putusan gugatan dikabulkan dan diproses ulang dan kemudian diputus oleh Dirjen Pajak, upaya hukum bandingnya ke Pengadilan Pajak dipastikan tidak menghadapi prinsip nebis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Putusan Pengadilan dapat berupa:
Menolak;
Mengabulkan sebagian atau seluruhnya c. Menambah pajak yang harus dibayar d. Tidak dapat diterima e. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau f. membatalkan (2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding atau kasasi Sehingga apabila setelah diproses kembali dan terhadap Keputusan Keberatan a quo diajukan lagi banding ke Pengadilan Pajak maka kemungkinan bisa saja akan dinyatakan tidak dapat diterima ( Niet on vankelijk ) oleh Pengadilan Pajak berdasarkan Pasal 80 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Selanjutnya ketentuan a quo juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika Pengadilan Pajak yang merupakan judex factie dan judex juris pada waktu mengadili perkara gugatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 PP No. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 74 Tahun 2011 sekaligus memeriksa materi yang disengketakan oleh Wajib Pajak karena tidak ada ketentuan atau pasal di UU no. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang melarang untuk itu.
Ketentuan tersebut akan sangat rawan terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang abuse of power oleh Pejabat yang memutus Surat Keberatan, yang bisa dengan mudah menyatakan bahwa keberatan tidak memenuhi syarat formal karena tidak ada akibatnya bila nantinya digugat di Pengadilan Pajak dan tinggal tunggu saja putusan Pengadilan Pajak kemudian proses dilanjutkan kembali sesuai dengan batas waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak putusan gugatan dimaksud, apabila gugatan dimenangkan Wajib Pajak tanpa harus khawatir dengan batas waktu 12 bulan a quo (semacam pembantaran penyelesaian Surat Keberatan), padahal batas waktu tersebut sudah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP demi kepastian hukum.
8 Bahwa ketentuan seperti ini nyata-nyata tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik karena kesalahan atau kekhilafan Direktur Jenderal Pajak dalam memutus surat Keberatan dikesampingkan oleh PP No. 74 tahun 2011 dan bahkan secara hukum kesalahan a quo dialihkan menjadi beban Wajib Pajak yang meskipun memenangkan gugatan tetapi proses pemeriksaan keberatan tetap dilanjutkan kembali seperti Surat Keberatan baru sehingga Wajib Pajak yang dihadapkan pada proses berlarut-larut dalam mencari keadilan dan memakan waktu serta biaya yang tambah besar. Sungguh tidak adil.
Ditinjau dari legal drafting (pembentukan peraturan perundang-undangan) sebagaimana diatur dalam UU Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentukan Pasal 41 dimaksud, menurut Pemohon adalah:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” Dengan kata lain, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut sesuai serta dijiwai oleh asas lex superiori derogat lex inferiori IV.2.2 Kesimpulan Bahwa berdasarkan alasan dan pertimbangan hukum diatas menurut Pemohon nyata- nyata sudah dapat disimpulkan dan terbukti sebagai berikut:
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 26 ayat (1) dan ayat (5) jo Pasal 25 UU KUP 2. Pembentukan Peraturan Pasal 41 ayat (2) dan (3) tersebut tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pelaksanaan dan ketentuan tersebut sangat rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas-asas umum Pemerintahan yang baik. Bahwa sehubungan itu, dengan hormat mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang mengadili perkara permohonan Hak Uji Materiil a quo agar berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011. IV. 3. Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 IV.3.1 Uraian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 1. Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011, mengatur ketentuan sebagai berikut: Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal...... dst b. Dalam hal......dst c. Dalam hal atas Putusan Banding diajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga diberikan apabila Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.
Bahwa Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) mengatur sebagai berikut:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan (2) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Bahwa Pasal 27A UU KUP, yang dirujuk oleh Pasal 43 ayat (1) dan (2) PP No. 74 Tahun 2011 sebagai dasar hukum pemberian bunga, pada dasarnya formulanya/ungkapannya adalah persis sama dengan Pasal 27A ayat (1) dimaksud, yakni sebagai berikut:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut: Menurut pendapat Pemohon , ketentuan pada Pasal 27 ayat (1) UU KUP a quo adalah merupakan ungkapan dari asas keseimbangan antara hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum No. 4 huruf d UU KUP.
Bahwa memang benar menurut ayat (3) dari Pasal 27A a quo : “Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan agar pemanfaatan hak untuk meminta bunga tersebut berjalan tertib dan sesuai prosedur.
Bahwa ternyata yang muncul bukan peraturan pelaksanaan seperti yang diamanatkan pada ayat (3) Pasal 27A tersebut diatas (yang berisi tata cara perhitungan pengembalian), tetapi justru “Pengaturan lain” dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada Pasal 43 ayat (6) a quo jelas mengatur bahwa Dirjen Pajak akan menunda pembayaran bunga dimaksud sampai dengan diterimanya putusan tentang Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung, yang menurut Pemohon, hal itu jelas merupakan perluasan kewenangan Dirjen yang mestinya tidak perlu dan tidak boleh diatur karena tidak diamanatkan dalam Pasal 27A UU KUP yang sekaligus berarti mengurangi hak Wajib Pajak yang sebenarnya telah dijamin dalam Pasal 27A UU KUP, sehingga ketentuan tersebut melanggar asas keadilan yang merupakan salah satu landasan norma dalam UU KUP.
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut juga mencederai asas keseimbangan hak dan kewajiban perpajakan yang juga menjiwai UU KUP, sehingga dalam penerapannya akan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik karena dalam hal Wajib Pajak dikenai sanksi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 administratif berupa denda atau bunga misalnya, Wajib Pajak tidak mendapatkan hak penundaan pembayaran yang sama seperti Direktur Jenderal Pajak.
Bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 a quo juga bertentangan dengan atau setidak-tidaknya tidak selaras dengan 7.1. Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Vide Bukti: P11) yang mengatur sebagai berikut:
Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak 7.2. Pasal 86 UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur bahwa: “Putusan Pengadilan langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangannya mengatur lain” 7.3. Pasal 88 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan 8. Bahwa ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut melanggar asas “ lex superiori derogat lex inferiori ”, mengingat Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 a quo yang mengatur sebagai berikut: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU NO. 12 Tahun 2011 a quo menyatakan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 9. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 43 ayat (6) huruf c tersebut juga menyimpang dari syarat-syarat/landasan peraturan perundang- undangan yang baik (good legislation) yaitu salah satunya landasan yuridis ( juridische gronslag )yang mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan diharuskan mempunyai dasar hukum atau legalitas terutama dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan kata lain sesuai ajaran “ Stufenbau Theory ” (teori Norma Hukum Berjenjang) norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan, keabsahan atau validitas dari norma yang derajatnya lebih tinggi (ada keselarasan vertical).
Bahwa dilihat dari ajaran “Norma Hukum Berjenjang” tersebut, Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 juga nyata-nyata melanggar prinsip keselarasan apabila dilihat dari sudut Ketatanegaraan karena bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengingat dinyatakan secara jelas bahwa “Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak”. Hal ini logis dan tepat karena putusan Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 langsung mempunyai kekuatan hukum tetap karena merupakan putusan tingkat pertama dan sekaligus terakhir. Dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada dasarnya ada pada ranah eksekutif jelas melanggar/bertentangan dengan peraturan perundangan di bidang kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) yaitu UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, padahal sebagai pemerintah yang baik, Dirjen Pajak seharusnya patuh pada UU termasuk UU dalam ranah yudikatif.
Bahwa sehubungan dengan itu, UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada Pasal 87 telah mengatur sebagai berikut: “Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa peraturan perpajakan yang berlaku a quo adalah Pasal 27A UU KUP yang sudah dikutip tersebut di atas.
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sesuai dengan Pasal 77 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak seharusnya dilaksanakan secara utuh oleh Direktorat Jenderal Pajak dan tidak boleh ditunda sesuai dengan Pasal 89 ayat (2) UU Pengadilan Pajak a quo . Dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah bertentangan dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak a quo .
Bahwa pembentukan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 ditinjau dari substansinya kurang sesuai dengan asas kelembagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan karena substansinya seharusnya dimuat dalam UU KUP, dan juga tidak sesuai dengan asas keadilan (karena menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak), asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara Dirjen Pajak dan Wajib Pajak, dan asas ketertiban dan kepastian hukum (karena menimbulkan ketidak tertiban dan ketidakpastian).
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur sebagai berikut:
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang 15. Bahwa sehubungan dengan itu, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Vide Bukti : P12) mengatur sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 “Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang” 16. Bahwa disamping itu, Pasal 9A Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Vide Bukti: P13) mengatur sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang” Dalam penjelasan Pasal 9A a quo ditegaskan: “Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak” 17. Bahwa dengan demikian Pengadilan Pajak yang diatur dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 adalah Pengadilan sebagai pelaksana dari Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah Agung yang sah, sehingga karena itu Pengadilan Pajak melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yang merupakan pengadilan khusus dan berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Bahwa karena itu Pengadilan Pajak tidak boleh diintervensi baik dalam menjatuhkan putusan maupun dalam kaitan dengan regulasinya sehingga ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (6) huruf c nyata-nyata telah mengintervensi Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagaimana telah dikutip di atas.
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 menurut Pemohon tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pelaksanaan dari prinsip “Freis emersen” yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada Pemerintah mengingat:
Bahwa prinsip tersebut seharusnya digunakan ketika dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tersebut dihadapkan pada tidak adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur secara rinci b. Bahwa, ketentuan mengenai pemberian bunga a quo sudah diatur secara rinci sehingga yang seharusnya diterbitkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 adalah peraturan yang bersifat administratif yang diamanatkan oleh Pasal 27A ayat (3) yang mengatur sebagai berikut: “Tata Cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” c. Bahwa yang diterbitkan ternyata dalam bentuk Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri Keuangan dan secara substansial bertentangan dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum dari UU KUP dan juga bertentangan dengan UU Pengadilan Pajak IV.3.2. Kesimpulan Bahwa berdasarkan uraian, alasan dan pertimbangan hukum tersebut diatas secara sah dan meyakinkan telah terbukti dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 secara substantif bertentangan dan tidak sejalan dengan Pasal 27A ayat (a) dan ayat (3) UU KUP dan juga bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) UU jo Pasal 86 dan Pasal 88 ayat (2) No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Pembentukan ketentuan hukum Pasal 43 ayat (6) huruf c a quo nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku yang diatur dalam Pasal 5, dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Bahwa sehubungan dengan itu, mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan Hak Uji Materiil ini agar berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 43 ayat (6) huruf c a quo dari PP No. 74 Tahun 2011. IV . 4. Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 IV. 4.1 Uraian 1. Bahwa Pasal 29 PP No. 74 Tahun 2011 menyatakan sebagai berikut:
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan:
keberatan;
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; dan
pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar.
Bahwa Pasal 13A UU KUP mengatur sebagai berikut: Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Penjelasan Pasal 13A adalah sebagai berikut: “Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi” Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara tidak dikenai sanksi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011, substansinya bertentangan dengan:
1 Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
Surat Ketetapan Pajak Nihil ;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 3.2 Pasal 36 ayat (1) UU KUP yang mengatur sebagai berikut: Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau Surat Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; atau 2. pembahasan hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 4. Bahwa Pajak adalah pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP yang menyatakan sebagai berikut: “ Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat” 5. Bahwa oleh karena sifat pajak yang dapat dipaksakan secara yuridis tersebut, agar pengenaan pajak tidak semena-mena maka asas-asas terpenting dari pajak sebagaimana diatur dalam konsiderans UU KUP adalah asas keadilan dan asas kepastian hukum.
Bahwa sehubungan dengan kedua asas tersebut, UU KUP memberikan hak yang sifatnya sangat mendasar kepada Wajib Pajak yaitu antara lain:
Hak mengajukan keberatan apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan pajak dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana telah disampaikan melalui kutipan Pasal 25 ayat (1) tersebut di atas.
Hak untuk mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) dengan penjelasan sebagai berikut: Penjelasan Pasal 36 ayat (1): Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak. Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir atas hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Bahwa dalam pasal-pasal yang mengatur hak dasar dari Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 maupun Pasal 36 sama sekali tidak ditemukan adanya pengecualian atau larangan bagi Wajib Pajak untuk menggunakan Pasal 25 maupun Pasal 36 UU KUP. Oleh karenanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 jelas bertentangan dengan Pasal 25 dan 36 UU KUP 8. Bahwa secara filosofi, hakikat dari Pasal 29 ayat (3) PP 74 Tahun 2011 nyata-nyata tidak selaras dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi salah satu landasan filosofi dari UU KUP.
Bahwa lebih dari itu, sebenarnya hak untuk mencari keadilan dijamin dalam Pasal 28D UUD ’45 yang mengatur sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan demikian pembatasan/larangan untuk mengajukan keberatan pajak dan mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sungguh tidak selaras dengan hak asasi yang diatur dalam UUD ’45 dimaksud dan sulit untuk mengelak dari kesan adanya arogansi kekuasaan yang tentunya tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga telah nyata- nyata mengurangi hak Wajib Pajak yang dijamin dengan UU KUP. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 11. Bahwa ditinjau dari sudut pembentukan peraturan perundang- undangan (legal drafting) Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga tidak sesuai dengan:
Ajaran teori Norma Hukum Berjenjang ( Stufenbau theorie des recht ) di Indonesia sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur sebagai berikut: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Penjelasan dari Pasal 7 ayat (2) tersebut adalah sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” b. Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur sebagai berikut:
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Provinsi dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Bahwa oleh karena itu PP No. 74 Tahun 2011 yang kedudukannya dibawah Undang-Undang seharusnya tidak boleh bertentangan dan juga tidak boleh mengurangi/menambah ketentuan yang diatur dalam UU KUP.
Bahwa dilihat dari asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Peraturan Perundang-undangan, maka Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga tidak mengindahkan:
Bahwa apabila ditinjau dari materi muatan atau substansinya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 tidak mencerminkan:
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU KUP; dan atau b. Melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga tidak memenuhi syarat sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa sehubungan dengan itu, mohon karenanya agar Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili permohonan Hak Uji Materiil a quo berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 29 dari PP No. 74 Tahun 2011. IV . 5. Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 IV.5.1 Uraian 1. Bahwa Hukum Pajak pada dasarnya tergolong pada Hukum Publik yang termasuk dalam rumpun Hukum Administrasi Pemerintahan atau Hukum Tata Usaha Negara. Bahwa oleh karena itu Pengadilan Pajak yang diatur dengan UU No. 14 Tahun 2002 adalah merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9A, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang” Dalam penjelasan Pasal 9A a quo ditegaskan: “Yang dimaksud dengan ‘pengkhususan’ adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak” 2. Bahwa Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara adalah Pejabat Tata Usaha Negara yang dalam rangka pengenaan pajak pada dasarnya mengeluarkan/menerbitkan Ketetapan/Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang terdiri dari:
Ketetapan Pajak yang berisi perhitungan besarnya pajak yang terutang sesuai dengan hasil pemeriksaan Pajak seperti Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar b. Keputusan-keputusan lainnya yang berisi tindakan-tindakan Direktur Jenderal Pajak selain menetapkan Pajak, seperti penerbitan Surat Paksa, Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pencegahan ke luar negeri, Pemberian/Penolakan atas permohonan fasilitas- fasilitas yang diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 3. Bahwa terhadap tindakan-tindakan Direktur Jenderal Pajak baik berupa Ketetapan Pajak maupun keputusan lainnya dalam praktek bisa saja menimbulkan perselisihan atau persengketaan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itu UU KUP memberikan upaya-upaya hukum yang pada dasarnya sebagai berikut:
Terhadap Ketetapan Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP b. Terhadap keputusan lainnya yang tidak berisi penetapan pajak, kepada Wajib Pajak diberikan upaya hukum berupa Gugatan sebagai mana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP 4. Bahwa Hak Wajib Pajak untuk mengajukan Keberatan Pajak dan Hak untuk menggugat itu adalah, hak yang sangat penting dan mendasar ( Tax Payer’s Basic Rights ) bagi Wajib Pajak sebagai implementasi dari asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi pilar dari UU KUP sebagaimana tercantum dalam konsideransnya mengingat pungutan pajak adalah bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 jo Pasal 1 angka 1 UU KUP, sebagai berikut:
Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur sebagai berikut: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang” b. Pasal 1 angka 1 UU KUP yang mengatur sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” 5. Bahwa apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan pajak yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai hasil pemeriksaan pajak makan UU KUP menyediakan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan c. Surat Ketetapan Pajak Nihil d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Pemotongan atas pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 6. Bahwa sehubungan dengan Permohonan Keberatan Wajib Pajak, Pasal 26 ayat (1) UU KUP mengatur sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan” Bahwa penjelasan dari Pasal 26 ayat (1) adalah sebagai berikut: “Terhadap Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan” 7. Bahwa sehubungan dengan hak Wajib Pajak lainnya untuk menggugat, telah dijamin dan dirumuskan secara luas dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Dihapus (2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
Penerbitan surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak seusai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak 8. Bahwa penjelasan dari Pasal 23 ayat (2) UU KUP a quo secara keseluruhan mulai dari huruf a sampai dengan huruf d menyatakan “cukup jelas” dan tidak ada ketentuan dalam UU KUP yang memberi atribusi untuk mengatur lebih lanjut khususnya terhadap Pasal 23 ayat (2) a quo .
Bahwa namun demikian ternyata Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pelaksanaan dari Pasal 23A huruf c UU KUP a quo dengan Pasal 37 dalam PP No. 74 Tahun 2011, yang bunyinya sebagai berikut: “Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang- Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:
Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
Surat Keputusan Pembetulan;
Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak” 10. Bahwa dilihat dari substansinya, Pasal 37 a quo sangat jelas mengurangi hak Wajib Pajak untuk menggugat yang sudah dijamin dan dirumuskan secara luas dan tegas dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU KUP.
Bahwa sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara, rumusan Pasal 23 ayat (2) a quo adalah sudah tepat dan lengkap apabila dibaca sekaligus dengan Pasal 25 ayat (1) UU KUP, karena dengan demikian semua tindakan Direktur Jenderal Pajak yang menerbitkan Keputusan/Ketetapan Pajak pada dasarnya dapat digugat dan diajukan keberatan sehingga dengan demikian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 ketentuan Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 benar-benar tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan tidak sesuai dengan hakekat Hukum Pajak sebagai Hukum Tata Usaha Negara.
Bahwa dilihat dari substansinya, Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 a quo juga kurang sejalan dan bahkan mengurangi Kompetensi absolut dari Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomo 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bahwa Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 tahun 2002 tersebut menunjuk pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 (UU KUP) yang bunyinya sebagai berikut:
Uji Materiil atas Pasal 4 ayat (1) UU No.12 tahun 1985 tentang PBB
Relevan terhadap
kebijakan instrumental yang telah diambil oleh pembuat undang-undang”. “...Kebijakan instrumental tersebut juga berkaitan dengan efektivitas suatu undang- undang, dalam pengertian sejauh mana cara yang dipilih oleh pembuat undang- undang itu berhasil guna untuk mencapai tujuan yang diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar. Penilaian terhadap efektivitas suatu undang-undang bukan merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi. Bukan berarti efektivitas suatu undang-undang tidak dapat dinilai. Efektivitas sebuah undang-undang setiap waktu dapat dinilai kembali oleh pembuat undang-undang, melalui legislative review...”. Dengan demikian, seyogyanya permohonan a quo dapat disampaikan sebagai masukan kepada pembuat Undang-Undang, sehingga mekanisme legislative review dipandang lebih tepat dibandingkan dengan menggunakan mekanisme constitutional review di Mahkamah Konstitusi. Merujuk pada permohonannya, para Pemohon mendalilkan bahwa hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum termasuk dalam hal pengenaan beban pajak yang ditanggung rakyat, adalah hak konstitusional bagi setiap orang dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, para Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional para Pemohon telah dirugikan dengan adanya pasal yang dimohonkan untuk diuji. Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan berulang kali bahwa pengenaan PBB dan Pungutan Perikanan bertentangan dengan hak konstitusional para Pemohon, serta mendalilkan bahwa berlakunya dua ketentuan terhadap objek yang sama berupa hasil perikanan tangkap telah menimbulkan beban pajak/pungutan berganda yang menunjukkan tidak adanya kepastian hukum yang adil. Dalil-dalil yang dinyatakan oleh para Pemohon tersebut, dirangkum sebagai berikut: 1. Dalil para Pemohon pada halaman 5 butir 2 permohonan, yang menyatakan ”Bahwa, para Pemohon adalah Badan Hukum Privat yang berbentuk Perseroan Terbatas yang didirikan secara sah berdasarkan hukum Indonesia dan melakukan kegiatan usaha di bidang perikanan sesuai dengan legalitas usaha yang sah, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya: 2.1. Pasal 4 ayat (1) UU 12/1994, yang berbunyi: