Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat yang selanjutnya disingkat TPPB adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dalam jangka waktu tertentu, dengan atau tanpa barang dari dalam Daerah Pabean untuk dipamerkan.
Penyelenggara TPPB adalah badan hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia yang menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan TPPB.
Penyelenggara TPPB sekaligus Pengusaha TPPB yang selanjutnya disebut Pengusaha TPPB adalah badan hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan TPPB.
Pameran adalah kegiatan bersifat internasional yang dilakukan untuk mempertunjukkan, memperagakan, dan/atau memperkenalkan barang dan/atau jasa.
TPPB Tetap adalah TPPB yang diselenggarakan pada suatu lokasi yang ditujukan khusus untuk kegiatan Pameran dalam jangka waktu tertentu.
TPPB Sementara adalah TPPB yang diselenggarakan pada suatu lokasi terbatas pada jangka waktu tertentu.
Pengelola Venue adalah badan hukum yang memiliki atau menguasai tempat atau lokasi diselenggarakannya kegiatan Pameran.
Peserta Pameran adalah orang perseorangan atau badan hukum yang secara langsung melakukan kegiatan Pameran pada suatu penyelenggaraan Pameran yang diadakan di TPPB.
Penyusun dan/atau Penyelenggara Acara Pameran yang selanjutnya disebut Organizer adalah badan hukum yang memiliki izin untuk menyelenggarakan serangkaian kegiatan Pameran, termasuk mengundang Peserta Pameran, mempromosikan Pameran, dan/atau menyelesaikan administrasi Pameran, untuk menjamin terlaksananya kegiatan Pameran.
Tempat Penimbunan adalah bagian dari TPPB berupa ruang dan/atau lapangan yang dimiliki atau dikuasai oleh Pengusaha TPPB yang digunakan untuk menimbun barang yang berasal dari luar Daerah Pabean.
Tempat Pameran adalah bagian dari TPPB, baik berbentuk fisik ataupun virtual, yang dimiliki atau dikuasai oleh Pengusaha TPPB yang digunakan untuk memamerkan barang asal luar Daerah Pabean, dengan atau tanpa barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean, sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta perubahannya.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta perubahannya.
Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah PPN, PPnBM, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta perubahannya.
Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan barang kena pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga barang kena pajak tersebut.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan negara.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah atau KPU adalah Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang- Undang Cukai.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan Kepabeanan.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum
Relevan terhadap
BAB IV KEBIJAKAN AKUNTANSI BEBAN DAN BELANJA BLU A. Definisi dan Jenis Beban BLU Beban BLU adalah penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa atau biaya yang timbul akibat transaksi tersebut dalam periode pelaporan yang menurunkan ekuitas BLU, yang dapat berupa pengeluaran atau konsumsi aset atau timbulnya kewajiban. Selain itu, terdapat beban yang timbul sehubungan dengan adanya penyetoran BLU atas pendapatan PNBP ke Kas Negara. Transaksi yang menjadi ruang lingkup beban BLU meliputi:
BAB XIV KEBIJAKAN AKUNTANSI KEWAJIBAN BLU A. Definisi dan Jenis Kewajiban BLU Kewajiban BLU merupakan utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi BLU. Kewajiban BLU antara lain dapat berupa:
Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
Relevan terhadap 8 lainnya
bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan pemberian insentif pajak untuk mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019;
bahwa untuk melakukan penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019, perlu dilakukan perpanjangan waktu insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan kemudahan pemanfaatan insentif yang lebih luas;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 dinilai masih terdapat kekurangan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan dimaksud;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019;
Pemberi Kerja atau Wajib Pajak yang telah menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah, mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019; dan/atau
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019, harus menyampaikan kembali permohonan dan/atau pemberitahuan berdasarkan Peraturan Menteri ini untuk dapat memanfaatkan insentif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), dan/atau Pasal 12 ayat (1).
Pemberi Kerja yang telah menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c dan belum menyampaikan laporan realisasi dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang belum menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020.
Pemotong Pajak yang belum menyampaikan laporan realisasi PPh final jasa konstruksi ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020.
Pemberi Kerja, Wajib Pajak, atau Pemotong Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah atau insentif PPh final ditanggung Pemerintah untuk Masa Pajak yang belum dilaporkan pada Tahun Pajak 2020.
Pemberi Kerja atau Wajib Pajak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) sejak Masa Pajak Januari 2021 dengan menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sampai dengan tanggal 15 Februari 2021.
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ...
Relevan terhadap
Pasal II 1. Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum peraturan Pemerintah ini diundangkan berlaku ketentuan sebagai berikut:
untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sebelum berlakunya Peraturan pemerintah ini, pengenaan Pajak Penghasilan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nornor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak terhitung sejak Peraturan pemerintah ini berlaku, pengenaan Pajak penghasilan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. 2. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berraku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaa,n dari Peraturan pemerintah Nomor 5l rahun 2008 tentang Pajak penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indcnesia 1^'ahun 2008 Nomor 109, Tarnbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nornor 4881) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan penrerintah Nomor 40 Tahun 2oo9 tentang Perubahan atas Peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oag Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nonror 5014), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan pemerintah ini. 3. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku diundangkan. pada tanggal Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2022 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2OO8 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI Umum Pada sebagian besar negara berkembang, upaya meningkatkan kapasitas dan kapabilitas konstruksi merupakan hal yang sangat perlu dilakukan, termasuk upaya meningkatkan efisiensi biaya, waktu, dan kualitas pekerjaan konstruksi. Sektor konstruksi ^juga memiliki peran yang penting dalam menciptakan lapangan kerja, mendorong investasi, serta mendukung mobilitas barang dan ^jasa. Dalam rangka meningkatkan iklim usaha konstruksi yang lebih kondusif, maka diperlukan dukungan kebijakan administrasi perpajakan yang berpihak pada sektor konstruksi. Corona Virus Disease 2Ol9 (COVID-19) yang telah ditetapkan sebagai pandemik oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization), telah berdampak pada kemerosotan aktivitas sosial, ekonomi, dan kehidupan masyarakat di Indonesia, termasuk sektor konstruksi sebagai pelaku usaha ekonomi. Oleh karena itu, perlu adanya intervensi Pemerintah melalui penyesuaian ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana teiah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, berupa penyesuaian tarif Pajak Penghasilan final atas Jasa Konstruksi. Dengan penyesuaian tarif Pajak Penghasilan final atas Jasa Konstruksi, Pemerintah berharap kebijakan ini dapat membantu sektor konstruksi dalam menghadapi dampak pandemik COVID-19 sehingga keberlangsungan proses bisnis dari hulu ke hilir tetap terjaga. Kebijakan penerapan tarif Pajak Penghasilan final atas Jasa Konstruksi pada prinsipnya ditujukan dalam rangka kemudahan dan kesederhanaan para pelaku usaha sektor konstruksi untuk melakukan kewajiban perpajakannya. Namun, dengan mempertimbangkan asas keadilan dan kesetaraan maka kebijakan penerapan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final perlu dilakukan evaluasi dalam kurun waktu tertentu. Hasil evaluasi tersebut dapat berupa pemberlakuan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang pajak penghasilan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1
Tata Cara Pembayaran, Pelunasan, dan Pengadministrasian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ata ...
Relevan terhadap
bahwa untuk mendorong ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi dan daya saing di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, diperlukan pengaturan mengenai perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan, kemudahan berusaha, serta tertib administrasi sehubungan dengan kegiatan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, perlu mengatur kembali mengenai perlakuan dan tata cara pembayaran, pelunasan, serta pengadministrasian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari dan/atau ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (4), Pasal 54 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 55 ayat (13) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran, Pelunasan, dan Pengadministrasian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari dan/atau ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan perubahannya.
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain KPBPB, tempat penimbunan berikat, dan kawasan ekonomi khusus.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Pelabuhan adalah pelabuhan laut dan bandar udara.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan adalah badan yang dibentuk untuk melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan KPBPB.
Pengusaha di KPBPB adalah pengusaha yang telah mendapatkan perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
Endorsement adalah pernyataan mengetahui dari pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak atas pemasukan Barang Kena Pajak dari TLDDP ke KPBPB, berdasarkan penelitian formal atas dokumen yang terkait dengan pemasukan Barang Kena Pajak tersebut.
Pemberitahuan Perolehan atau Pengeluaran Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang selanjutnya disebut PPBJ adalah pemberitahuan perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau pengeluaran/pemasukan Barang Kena Pajak yang bukan penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha di KPBPB.
Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022
Relevan terhadap 3 lainnya
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah. Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas Pendapatan Pajak Dalam Negeri dan Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional. Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan ^jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar. 1 2 3 4 5 6. Penerimaan 6. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. 7. Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, ^jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 8. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. 9. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial. 10. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negaraflembaga dan Bendahara Umum Negara. 11. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil (outcomel tertentu pada Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak, atau disalurkan langsung kepada penerima manfaat, sesuai kemampuan keuangan negara. 13. Transfer ke Daerah adalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yograkarta. 14. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas dana transfer umum dan dana transfer khusus. 15. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 16. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 17. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. 18. Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria tertentu dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas perbaikan dan/atau pencapaian kinerja tertentu di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.
Dana 19. Dana Otonomi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2OOl tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2O2l tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2l Tahun 2OOl tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 20. Dana Tambahan Infrastruktur Dalam Rangka Otopomi Khusus bagi provinsi-provinsi di wilayah Papua yang selanjutnya disingkat DTI adalah dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Ralryat dilakukan berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran yang ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur perhubungan, energi listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sanitasi lingkungan. 2I. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta adalah dana yang bersumber dari APBN untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2Ol2 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yograkarta. 22. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa atau sebutan lain yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. 23. Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan. 25. Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan. 26. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 27. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. 28. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 29. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 30. Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya yang selanjutnya disingkat BPYBDS adalah bantuan Pemerintah berupa BMN yang berasal dari ApBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga atau pada Badan Usaha Milik Negara. 31. Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat pMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta Lembaga/Badan Lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.
Investasi 32. Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, dan/atau sosial, dan/atau manfaat lainnya bagi sebesar- besarnya kemakmuran ralgrat. 33. Dana Bergulir adalah dana yang diketola oreh Badan Layanan Umum tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. 34. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oreh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya. 35. Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dan bank sistemik penerima pinjaman likuiditas khusus dalam hal kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dan bank sistemik penerima pinjaman likuiditas khusus dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan/atau badan usaha sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian kerja sama. 36. Pinjaman Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri. 37 - Pinjaman Tunai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan uptuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. 38. Pinjaman Kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga, pinjaman yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara, dan pinjaman yang diterushibahkan kepada pemerintah daerah.
Pemberian 39. Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, danf atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. 40. Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pendidikan melalui kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah. 4L. Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara. 42. Tahun Anggaran 2022 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2022.
Saldo kas pada Badan Layanan Umum dapat menjadi tambahan investasi pada Bagian Anggaran BUN Investasi Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 33 (1) Pemerintah mengalokasikan pembiayaan investasi kepada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara dengan tujuan pembentukan dana jangka panjang dan/atau dana cadangan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan proyek strategis nasional dan pengelolaan aset Pemerintah lainnya. (2) Tanah untuk kepentingan proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan status penggunaannya pada kementerian negara/lembaga dengan menggunakan mekanisme pengesahan belanja modal. (3) Dalam hal anggaran pengesahan Belanja modal yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembagi sebagaimana diatur pada ayat (21 belum tersedia mala dapat dilakukan penyesuaian Belanja Negara.
Pelaksanaan (41 Pelaksanaan pengesahan Belanja modal sebagaimana diatur pada ayat (21 dan ayat (3) dilakukan bersamaan dengan mekanisme penerimaan pembiayaan pada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara dan dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun berkenaan. Pasal 34 (1) Pemerintah mengalokasikan pembiayaan investasi jangka panjang nonpermanen untuk memulihkan kemampuan ekonomi Badan Usaha Milik Negara dengan membentuk dana cadangan sebagai Investasi Pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional. (21 Dana cadangan investasi Pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dengan menggunakan mekanisme pengesahan pembiayaan. (3) Dalam hal anggaran untuk pengesahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 belum tersedia, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian anggaran pembiayaan. (4) Pelaksanaan pengesahan pengeluaran pembiayaan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Pasal 35 (1) BMN yang dari awal pengadaannya direncanakan rlntuk disertakan menjadi tambahan modal Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara, ditetapkan menjadi PMN pada Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara tersebut. (21 Ketentuan mengenai tata cara penetapan PMN untuk BMN yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan menjadi tambahan modal Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN.
BMN dengan perolehan sampai dengan 31 Desember 2018 yang telah: a b. tercatat pada laporan posisi Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara sebagai BPYBDS atau akun yang sejenis, ditetapkan untuk dijadikan PMN pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara tersebut, dengan menggunakan nilai realisasi anggaran yang telah direviu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (4) Pemerintah melakukan penambahan PMN yang berasal dari dana tunai dan piutang Negara pada Badan Usaha Milik Negara/Lembaga/Badan Hukum Lainnya tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (5) Dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas/Badan Hukum Lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara, Pemerintah melakukan penambahan PMN kepada:
PT Bio Farma (Persero);
PT Hutama Karya (Persero);
Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia;
Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta;
PT Varuna Tirta Prakasya (Persero);
PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) ; dan
PT Sejahtera Eka Graha, yang berasal dari BMN melalui mekanisme pemindahtanganan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. dipergunakan dan/atau dioperasikan oleh Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas didalamnya terdapat saham milik negara; dan Badan yang (6) Penambah (6) Penambahan PMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 36 (1) Pemerintah dalam mengurus kekayaan negara yang dipisahkan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara atau badan lainnya, akan meningkatkan dan mengoptimalkan manfaat ekonomi, sosial, memperkuat rantai produksi dalam negeri, meningkatkan daya saing, serta memperkuat penguasaan pasar dalam negeri. (2) Pemerintah dalam menangani kekayaan negara yang dipisahkan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, atau badan lainnya, agar menjaga aset yang bersumber dari cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta aset bumi, air, dan kekayaan di dalamnya, tetap dikuasai oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan. (3) Untuk mengoptimalkan pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan, penyelesaian piutang pada Badan Usaha Milik Negara dilakukan:
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perseroan terbatas, badan usaha milik negara, dan perbankan;
memperhatikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; dan
Pemerintah melakukan pengawasan penyelesaian piutang pada Badan Usaha Milik Negara tersebut. Pasal 37 (1) Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengelola anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah untuk:
penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional' b. dukungan penjaminan pada ^program ^Pemulihan Ekonomi Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan; dan/atau
penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah kepada Badan Usaha Milik Negara. (21 Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf ^a terdiri atas:
pemberian ^jaminan Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara;
pemberian ^jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka percepatan penyediaan air minum;
pelaksanaan penjaminan infrastruktur dalam ^proyek kerja sama Pemerintah dengan badan usaha;
pemberian dan pelaksanaan ^jaminan Pemerintah atas pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional kepada Badan Usaha Milik Negara;
pemberian ^jaminan Pemerintah untuk ^percepatan proyek pembangunan ^jalan tol;
pemberian ^jaminan Pemerintah untuk ^percepatan penyelenggaraan kereta api ringanllight rail transit terintegrasi di wilayah perkotaan;
pemberian jaminan Pemerintah Pusat untuk percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional; dan/atau
pemberian ^jaminan Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastrukturketenagalistrikan. ! (3) Dukungan penjaminan pada program Pemulihan Ekonomi Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
penjaminan pemerintah yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional;
penjaminan pemerintah melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk dalam rangka pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional; dan/atau
penjaminan pemerintah atas pinjaman likuiditas khusus dari Bank Indonesia kepada bank sistemik untuk penanganan permasalahan lembaga ^jasa keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan. (4) Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diakumulasikan ke dalam rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah dan Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diakumulasikan ke dalam rekening Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah yang dibuka di Bank Indonesia. (5) Dana yang telah diakumulasikan dalam rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya. (6) Dana dalam rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (41 digunakan untuk pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah antarprogram pemberian penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (21dan ayat (3). (71 Dalam hal terjadi tagihan pembayaran kewajiban penjaminan dan/atau penggantian biaya yang timbul dari pelaksanaan kewajiban penjaminan untuk dukungan penjaminan program Pemulihan Ekonomi Nasional yang bersumber dari Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pemerintah melakukan pembayaran melalui Bagian Anggaran 999.99 (Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Transaksi Khusus).
Pembayaran melalui Bagian Anggaran 999.99 (Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Transaksi Khusus) sebagaimana dimaksud pada ayat (7)', merupakan pengeluaran belanja transaksi khusus yang belum dialokasikan dan/atau melebihi alokasi yang telah ditetapkan dalam APBN dan/atau APBN Perubahan pada tahun anggaran berjalan. (9) Dana dalam rekening Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (41 digunakan untuk pembayaran atas penugasan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan anggaran Kewajiban Penjaminan dan penggunaan Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah atau Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (71, ayat (8), dan ayat (9) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 38 (1) Pembayaran bunga utang dan pengeluaran cicilan pokok utang dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan, yang selanjutnya dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2022 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2022. (21 Pemerintah dapat melakukan transaksi Lindung Nilai dalam rangka mengendalikan risiko fluktuasi beban pembayaran kewajiban utang, danf atau melindungi posisi nilai utang, dari risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya volatilitas faktor- faktor pasar keuangan. (3) Pemenuhan kewajiban yang timbul dari transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dibebankan pada anggaran pembayaran bunga utang dan/atau pengeluaran cicilan pokok utang. (41 Kewajiban (4) Kewajiban yang timbul sebagaimana dimaksud ^pada ayat (3) bukan merupakan kerugian keuangan ^negara. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 39 (1) Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menyelesaikan piutang instansi Pemerintah ^yang diurus/dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, khususnya piutang terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dan piutang berupa Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana, serta ^piutang instansi Pemerintah dengan ^jumlah sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), meliputi dan tidak terbatas pada restrukturisasi dan ^pemberian keringanan utang pokok sampai dengan lOOo/o (seratus persen). (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian piutang instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat
Relevan terhadap
bahwa ketentuan mengenai kawasan berikat telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat;
bahwa untuk lebih meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan menjaga iklim investasi serta sebagai bentuk implementasi penciptaan lapangan kerja dan pemulihan ekonomi nasional, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat;
Barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean ke Kawasan Berikat:
diberikan penangguhan Bea Masuk;
diberikan pembebasan Cukai; dan/atau
tidak dipungut PDRI.
Barang yang berasal dari luar daerah pabean yang dimasukkan dari Tempat Penimbunan Berikat, Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus, atau kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah ke Kawasan Berikat:
diberikan penangguhan Bea Masuk;
diberikan pembebasan Cukai;
tidak dipungut PDRI; dan/atau
tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi:
barang yang dipergunakan sebagai Bahan Baku, Bahan Penolong, pengemas dan alat bantu pengemas, barang contoh, Barang Modal, bahan bakar, peralatan perkantoran, dan/atau untuk keperluan penelitian dan pengembangan perusahaan pada Kawasan Berikat;
barang jadi maupun setengah jadi untuk digabungkan dengan Hasil Produksi;
barang yang dimasukkan kembali dari kegiatan pengeluaran sementara;
Hasil Produksi yang dimasukkan kembali; dan/atau e. Hasil Produksi Kawasan Berikat lain.
(3a) Barang yang mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) termasuk Bahan Baku, Bahan Penolong, dan/atau pengemas dan alat bantu pengemas milik subjek pajak luar negeri yang ditujukan untuk diekspor dengan cara diolah atau digabung terlebih dahulu di Kawasan Berikat, sepanjang barang tetap berada dalam Kawasan Berikat sampai dengan dilakukannya ekspor.
(3b) Terhadap barang tetap berada dalam Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) merupakan barang tidak dikeluarkan dari Kawasan Berikat kecuali untuk proses pengiriman antar Kawasan Berikat dan/atau pengeluaran sementara.
Dalam hal pemasukan barang ke Kawasan Berikat bukan merupakan penyerahan barang kena pajak, atas pemasukan tersebut tidak terutang PPN atau PPN dan PPnBM dan tidak dibuatkan faktur pajak.
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
bukan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat; dan
berkaitan dengan kegiatan produksi.
Diantara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 21 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (3a) dan ayat (3b), ketentuan huruf a ayat (5) dan ayat (6) diubah, dan ditambahkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
Barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean yang dimasukkan ke Kawasan Berikat dari:
tempat lain dalam daerah pabean;
Tempat Penimbunan Berikat lainnya;
Kawasan Bebas;
kawasan ekonomi khusus; dan/atau
kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah, diberikan pembebasan Cukai dan/atau tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.
Dalam hal pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
berasal dari bukan pengusaha kena pajak; dan/atau b. bukan termasuk penyerahan barang kena pajak, terhadap barang dimaksud tidak terutang PPN atau PPN dan PPnBM, dan tidak diterbitkan faktur pajak . (3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
barang yang dipergunakan sebagai Bahan Baku, Bahan Penolong, pengemas dan alat bantu pengemas, barang contoh, Barang Modal, bahan bakar, peralatan perkantoran, dan/atau untuk keperluan penelitian dan pengembangan perusahaan pada Kawasan Berikat;
barang jadi maupun setengah jadi untuk digabungkan dengan Hasil Produksi;
barang yang dimasukkan kembali dari kegiatan pengeluaran sementara;
Hasil Produksi yang dimasukkan kembali; dan/atau e. Hasil Produksi Kawasan Berikat lain.
(3a) Barang yang mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Bahan Baku, Bahan Penolong, dan/atau pengemas dan alat bantu pengemas milik subjek pajak luar negeri yang ditujukan untuk diekspor dengan cara diolah atau digabung terlebih dahulu di Kawasan Berikat, sepanjang barang tetap berada dalam Kawasan Berikat sampai dengan dilakukannya ekspor.
(3b) Terhadap barang tetap berada dalam Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) merupakan barang tidak dikeluarkan dari Kawasan Berikat kecuali untuk proses pengiriman antar Kawasan Berikat dan/atau pengeluaran sementara.
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
bukan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat; dan
berkaitan dengan kegiatan produksi.
Terhadap pemasukan barang ke Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha kena pajak yang menyerahkan barang kena pajak:
wajib membuat faktur pajak, yang dibuktikan dengan dokumen persetujuan pemasukan barang ke Kawasan Berikat yang dimiliki oleh Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB sebelum menerbitkan faktur pajak;
tidak dapat menggunakan faktur pajak gabungan; dan
menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang terkait dengan pemasukan barang ke Kawasan Berikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a harus diberikan keterangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Tempat Penimbunan Berikat.
Ketentuan mengenai perlakuan PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipenuhi oleh setiap Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB.
PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB dengan menggunakan faktur pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) tidak dipenuhi oleh Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB, atas pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM yang seharusnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan.
Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) Pasal 24 diubah, diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 24 disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), dan ayat (1d), diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), dan diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (4a), ayat (4b), ayat (4c), dan ayat (4d), sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di lbu Kota Nusantara ...
Relevan terhadap
Ayat (1) Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "mendirikan danf atau memindahkan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya ke Ibu Kota Nusantara" adalah pendirian kantor pusat dan/atau kantor regional yang bersifat baru, sementara kegiatan anak perusahaan atau afiliasi yang berlokasi di luar Ibu Kota Nusantara tetap membayar kewajiban Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Yang dimaksud dengan "memiliki substansi ekonomi" adalah:
kegiatan usaha Wajib Pajak dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan kegiatan usahanya;
wajib c. Wajib Pajak memiliki pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan;
Wajib Pajak memiliki kegiatan usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan/atau keuntungan atas pengalihan harta; dan
Wajib Pajak menjalankan aktivitas strategis bagi perusahaan dan/atau grup usaha, seperti melaksanakan keputusan strategis perusahaan, mengkonsolidasikan pelaksanaan investasi baru, perluasan, merger, akuisisi, pembubaran afiliasi, konsolidasi manajemen keuangan dan/atau sumber daya manusia. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "mendirikan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya ke Ibu Kota Nusantara" adalah pendirian kantor pusat dan/atau kantor regional yang bersifat baru, sementara kegiatan anak perusahaan atau afiliasi yang berlokasi di luar Ibu Kota Nusantara tetap membayar kewajiban Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. Yang dimaksud dengan "memiliki substansi ekonomi" adalah:
kegiatan usaha Wajib Pajak dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan kegiatan usahanya;
Wajib Pajak memiliki pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan;
Wajib Pajak memiliki kegiatan usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan/atau keuntungan atas pengalihan harta; dan
Wajib Pajak menjalankan aktivitas strategis bagi perusahaan dan/atau grup usaha, seperti melaksanakan keputusan strategis perusahaan, mengkonsolidasikan pelaksanaan investasi baru, perluasan, merger, akuisisi, pembubaran aliliasi, konsolidasi manajemen keuangan dan/atau sumber daya manusia. Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Huruf b Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. 36 Cukup ^jelas. 37 Cukup ^jelas. 38 Cukup ^jelas. 39 Cukup ^jelas. 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas.
Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
Relevan terhadap 5 lainnya
bahwa untuk melakukan penanganan dampak pandemic Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) saat ini, perlu dilakukan perluasan sektor yang akan diberikan insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan kemudahan pemanfaatan insentif yang lebih luas;
bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan pemberian insentif untuk mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID 19);
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) dinilai sudah tidak tepat, sehingga perlu dicabut, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; d. __ bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19); __
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Pemberi Kerja atau Wajib Pajak yang telah disetujui untuk memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah, PPh final ditanggung Pemerintah, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan/atau pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona dan/atau Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 tetap dapat memanfaatkan insentif pajak tersebut sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah