JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 633 hasil yang relevan dengan "pengawasan anggaran "
Dalam 0.012 detik
Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
PMK 91 TAHUN 2023

Pengelolaan Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit

  • Ditetapkan: 08 Sep 2023
  • Diundangkan: 11 Sep 2023

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SA WIT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 7. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat dengan TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 8. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu. yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 9. Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut DBH Sawit adalah DBH yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dari bea keluar 1 jdih.kemenkeu.go.id dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya. 10. Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut RKP DBH Sawit adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diselaraskan dengan program kerja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berjalan. 11. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 12. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN. 14. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 15. Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggungjawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN. 16. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 17. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 18. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 19. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara TKD untuk DBH Sawit yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan DBH Sawit tahunan yang disusun oleh KPA BUN Pengelolaan DBH Sawit. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH Sawit adalah selisih kurang antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 24. Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 25. Sisa DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang telah disalurkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan realisasi penggunaan DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama satu periode tahun anggaran dan/atau beberapa tahun anggaran. 26. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 27. Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN. 28. Indikasi Kebutuhan Dana BUN untuk DBH Sawit adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan DBH Sawit. 29. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 30. Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan Daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan 1 jdih.kemenkeu.go.id dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. Pasal 2 Pengelolaan DBH Sa wit yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:

a.

penganggaran;

b.

pengalokasian;

c.

penggunaan;

d.

penyaluran; dan

e.

pemantauan dan evaluasi. Pasal 3 (1) DBH Sawit merupakan bagian dari TKD. (2) DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara atas:

a.

bea keluar yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif bea keluar; dan

b.

pungutan ekspor yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif pungutan ekspor. (3) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 4% {empat persen) dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit. (5) Dalam hal ditetapkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat menggunakan sumber penerimaan lain yang dilaksanakan dengan mekanisme APBN. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN DBH SAWIT Pasal 4 (1) Dalam rangka pengelolaan DBH Sawit, Menteri selaku PA BUN Pengelolaan TKD menetapkan:

a.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;

b.

Direktur Dana Transfer Umum sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;

c.

Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan

d.

Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit. l jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum. (4) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum dan Kepala KPPN selaku KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum:

a.

tidak terisi dan menimbulkan lowonganjabatan; atau

b.

masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 5 (lima) hari kerja. (6) Penunjukan:

a.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau

b.

pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berakhir dalam ha! Direktur Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/ a tau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN. (7) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang sama dengan KPA BUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum kepada Menteri. (9) Penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 5 (1) KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

a.

mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana BUN TKD untuk DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung; jdih.kemenkeu.go.id b. menyusun RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;

c.

menyampaikan RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;

d.

menandatangani RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;

e.

menyusun DIPA BUN TKD untuk DBH Sawit;

f.

menyusun dan/atau menyampaikan rekomendasi penyaluran, penghentian penyaluran, dan/atau penyaluran kembali TKD untuk DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan/atau

g.

menyampaikan rencana penyaluran DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (2) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

a.

menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui aplikasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan;

b.

menyusun proyeksi penyaluran DBH Sawit sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui aplikasi Cash Planning Information _Network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

a.

menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;

b.

melakukan penatausahaan dokumen yang berkaitan dengan penyaluran DBH Sawit;

c.

menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d.

melakukan verifikasi terhadap rekomendasi penyaluran dan pengenaan pemotongan penyaluran, penundaan penyaluran, penghentian penyaluran, dan penyaluran kembali DBH Sawit;

e.

melaksanakan penyaluran dan/atau penyaluran kembali DBH Sawit berdasarkan rekomendasi 1 jdih.kemenkeu.go.id penyaluran yang diterbitkan oleh KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;

f.

menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan anggaran negara dalam rangka pertanggungjawaban penyaluran DBH Sawit; dan

g.

melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran DBH Sawit melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu bendahara umum negara sesuai dengan ketentuan pera.turan perundang-undangan. (4) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pasal 6 PPA BUN Pengelolaan TKD, KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum, koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dan KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak bertanggung jawab secara formil dan materiil atas pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DBH Sawit oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN DBH SAWIT Pasal 7 (1) KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD. (2) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit. (3) Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (4) Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan memperhatikan minimal:

a.

penerimaan bea keluar dan pungutan ekspor yang dibagihasilkan pada tahun anggaran sebelumnya; dan/atau

b.

Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit tahun-tahun sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. l jdih.kemenkeu.go.id BAB IV PENGALOKASIAN DBH SAWIT Bagian Kesatu Penyediaan Data Penerimaan Sawit yang Dibagihasilkan Pasal 8 (1) Berdasarkan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan permohonan penyampaian data berupa:

a.

realisasi penerimaan bea keluar, kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

b.

realisasi penerimaan pungutan ekspor, kepada Direktorat Jenderal Anggaran;

c.

luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, kepada Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian;

d.

daftar daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan, kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dan

e.

batas wilayah menurut kabupaten/kota, kepada Kementerian Dalam Negeri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar 1 (satu) tahun sebelumnya. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor 1 (satu) tahun sebelumnya. (4) Dalam hal realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) belum tersedia, dapat digunakan perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran. (5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian menyampaikan data berupa data luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing pihak. (6) Dalam hal data tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum tersedia, digunakan data tahun terakhir yang tersedia. (7) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan daftar Daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan. jdih.kemenkeu.go.id (8) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, Kementerian Dalam Negeri menyampaikan data batas wilayah menurut kabupaten/kota. (9) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8) disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya. (10) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (9) belum diterima sampai dengan minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya, dapat digunakan data yang disampaikan pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Bagian Kedua Perhitungan Alokasi DBH Sawit Menurut Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota Pasal 9 Data penerimaan bea keluar dan penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) atau data perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) digunakan untuk menghitung pagu DBH Sawit yang dibagihasilkan kepada Daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 10 (1) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 digunakan untuk menghitung besaran rincian alokasi DBH Sawit yang dibagikan kepada provinsi/kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan luas lahan perkebunan sawit; dan

b.

50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan produktivitas lahan sawit. (2) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator luas lahan perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara proporsional terhadap luas lahan perkebunan sawit secara nasional. (3) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas lahan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai nilai produktivitas dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

kategori sangat rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas kurang dari 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 10% (sepuluh persen);

b.

kategori rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 15% (lima belas persen); jdih.kemenkeu.go.id c. kategori sedang, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 20% (dua puluh persen);

d.

kategori tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 4.000 kg/ha (empat ribu) mendapatkan nilai produktivitas 25% (dua puluh lima persen); dan

e.

kategori sangat tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas lebih dari atau sama dengan 4.000 kg/ha (empat ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 30% (tiga puluh persen). (4) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara proporsional terhadap total nilai produktivitas secara nasional. (5) Dalam hal data produktivitas lahan sawit tidak tersedia untuk suatu kabupaten/kota penghasil, penghitungan DBH Sawit untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan berdasarkan rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan. (6) Dalam hal data rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tersedia, kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimasukkan dalam nilai produktivitas dengan kategori sangat rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. Pasal 11 (1) Alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dibagikan kepada:

a.

provinsi yang bersangkutan sebesar 20% (dua puluh persen);

b.

kabupaten/kota penghasil sebesar 60% (enam puluh persen); dan

c.

kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 20% (dua puluh persen). (2) Pembagian besaran persentase alokasi DBH Sawit kepada kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan berdasarkan tingkat eksternalitas negatifyang dialami masing-masing Daerah. (3) Perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kementerian negara/lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (4) Dalam hal perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, besaran persentase alokasi DBH Sawit dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil. l jdih.kemenkeu.go.id (5) Data batas wilayah untuk menentukan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari Kementerian Dalam Negeri. (6) Dalam bal suatu kabupaten/kota merupakan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf c, alokasi untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

alokasi DBH sawit yang disalurkan merupakan alokasi terbesar antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan ayat (1) buruf c; dan

b.

alokasi DBH sawit terkecil antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan ayat (1) buruf c tidak disalurkan dan menjadi akumulasi sisa alokasi DBH Sawit. (7) Akumulasi sisa alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) buruf b seprovinsi dialokasikan secara merata kepada kabupaten/kota pengbasil dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil dalam provinsi yang sama. Pasal 12 (1) Alokasi DBH Sawit dibitung sebagai berikut:

a.

berdasarkan persentase bagi basil dan penetapan Daerab pengbasil; dan

b.

berdasarkan kinerja Pemerintab Daerah. (2) Alokasi DBH Sawit berdasarkan persentase bagi basil dan penetapan Daerah pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a ditetapkan sebesar 90% (sembilan pulub persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (3) Alokasi DBH Sawit berdasarkan kinerja Pemerintah Daerab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b yang selanjutnya disebut alokasi kinerja ditetapkan sebesar 10% (sepulub persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (4) Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada provinsi dan kabupaten/kota yang mencapai tingkat kinerja tertentu. Pasal 13 (1) Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dibitung berdasarkan indikator:

a.

penurunan tingkat kemiskinan; dan/atau

b.

ketersediaan rencana aksi daerab kelapa sawit berkelanjutan. (2) Perbitungan alokasi kinerja berdasarkan indikator penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. bagi provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan dengan bo bot se besar 50% (lima puluh persen) dan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dengan bobot se besar 50% (lima puluh per sen); dan

b.

bagi kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan. (3) Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan persentase penurunan tingkat kemiskinan 1 (satu) tahun sebelumnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan 2 (dua) tahun sebelumnya. (4) Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diurutkan mulai dari nilai terendah hingga nilai tertinggi dan dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

kategori sangat rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan 20% (dua puluh persen) terbawah secara nasional;

b.

kategori rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 40% (empat puluh persen) terbawah secara nasional;

c.

kategori sedang terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 40% (empat puluh persen) sampai dengan 60% (enam puluh persen) terbawah secara nasional;

d.

kategori tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 60% (enam puluh persen) sampai dengan 80% (delapan puluh persen) terbawah secara nasional; dan

e.

kategori sangat tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 80% (delapan puluh persen) sampai dengan 100% (seratus persen) secara nasional. (5) Berdasarkan kategori penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung d k t t b . b "kut engan e en uan se aga1 en Kategori Persentase terhadap alokasi kinerja pada Penurunan pasal 12 ayat (3} Tingkat Provinsi Kabupaten/ Kota Kabupaten/Kota Kemiskinan penghasil berbatasan Sangat rendah 10% 10% 20% Rendah 20% 20% 40% Sedang 30% 30% 60% Tinggi 40% 40% 80% Sangat Tinggi 50% 50% 100% l jdih.kemenkeu.go.id (6) Alokasi kinerja berdasarkan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); dan

b.

provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tidak tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 0% (nol persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3). (7) Selisih lebih atas penghitungan alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) dapat digunakan untuk:

a.

perubahan alokasi DBH;

b.

penyelesaian Kurang Bayar DBH; dan/atau

c.

penetapan alokasi minimum. (8) Alokasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c merupakan batas terendah alokasi DBH Sawit untuk provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 14 (1) Hasil penghitungan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan/atau alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8) disampaikan dalam pembahasan Nota Keuangan dan/atau Rancangan Undang-Undang mengenai APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui menjadi pagu DBH Sawit. (2) Berdasarkan pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Berdasarkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan informasi alokasi DBH Sawit melalui portal (website) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (4) Alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. Bagian Ketiga Perhitungan dan Penetapan Perubahan Alokasi DBH Sawit Pasal 15 (1) Perubahan alokasi DBH Sawit dapat dilakukan dalam hal terdapat:

a.

perubahan APBN; dan/atau

b.

perubahan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dalam tahun berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam ha! dilakukan perubahan alokasi DBH Sawit, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan perubahan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut provinsi dan kabupaten/kota secara proporsional berdasarkan data alokasi DBH Sawit dalam APBN tahun anggaran berjalan. (3) Perubahan alokasi menurut provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. BABV PENGGUNAAN DBH SAWIT Bagian Kesatu Kegiatan yang Didanai DBH Sawit Pasal 16 (1) DBH Sawit digunakan untuk membiayai kegiatan:

a.

pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan; dan/atau

b.

kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Pemenuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinergikan dengan jenis pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlokasi di luar area perkebunan, terdiri atas:

a.

penanganan jalan, meliputi:

1)

rekonstruksi/peningkatan struktur;

2)

pemeliharaan berkala; dan/atau

3)

pemeliharaan rutin; dan/atau

b.

penanganan jembatan, meliputi:

1)

rehabilitasi/pemeliharaan berkala jembatan;

2)

penggantian jembatan; dan/atau

3)

pembangunan jembatan. (4) Penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

merupakan jalan kewenangan Pemerintah Daerah yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Penetapan Status Jalan Daerah;

b.

diprioritaskan untuk jalan yang menjadi jalur logistik. pengangkutan sawit; dan/atau

c.

diprioritaskan untuk jalan yang telah dilakukan survei kondisi jalan minimal 1 (satu) tahun sebelum pengusulan. (5) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

a.

pendataan perkebunan sawit rakyat;

b.

penyusunan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan;

c.

pembinaan dan pendampingan untuk sertifikasi indonesian sustainable palm oil;

d.

rehabilitasi hutan dan lahan; dan jdih.kemenkeu.go.id e. perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit yang belum terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:

a.

pengadaan jasa konsultan pengawas kegiatan kontraktual; dan / a tau b. perjalanan dinas ke dan/atau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. (7) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:

a.

pemberian honorarium fasilitator kegiatan DBH Sawit yang dilakukan secara swakelola;

b.

penyewaan sarana dan prasarana pendukung;

c.

pembahasan rencana kegiatan di Pemerintah Daerah; dan/atau

d.

perjalanan dinas ke dan/ a tau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. (8) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana pada ayat (3) dan pemenuhan ketentuan penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (9) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf c berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (10) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (11) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (12) Pelaksanaan kegiatan perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah minimal dengan mempertimbangkan kriteria penerima bantuan, besaran bantuan, jangka waktu pemberian bantuan, dan kondisi pemberian bantuan. l jdih.kemenkeu.go.id Pasal 17 (1) Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) minimal 80% (delapan puluh persen) dari aloka.si DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/ kota. (2) Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari alokasi DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Kegiatan penunjang dalam DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari alokasi DBH Sawit untuk masing-masing kegiatan. (4) Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah dapat mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk:

a.

kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); dan/atau

b.

kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah. Pasal 18 (1) Besaran biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 mengacu pada standar biaya di Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Presiden mengenai standar harga satuan regional. (2) Dalam pelaksanaan kegiatan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Kepala Daerah membentuk sekretariat atau menunjuk koordinator pengelola kegiatan DBH Sawit dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kegiatan DBH Sawit di wilayahnya. Bagian Kedua RKP DBH Perkebunan Sawit Pasal 19 (1) Berdasarkan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Daerah provinsi dan kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit menganggarkan DBH Sawit dalam APBD. (2) Dalam rangka penganggaran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyusun RKP DBH Sawit yang berisi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (3) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:

a.

perkiraan pagu alokasi DBH Sawit;

b.

rincian dan lokasi kegiatan; 1 jdih.kemenkeu.go.id c. target keluaran kegiatan;

d.

rincian pendanaan kegiatan; dan

e.

penganggaran kembali sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah dalam ha! Daerah masih memiliki sisa DBH Sawit. (4) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas bersama dengan kementerian negara/lembaga Pemerintah terkait paling lambat bulan November pada tahun anggaran sebelumnya. (6) Pemerintah provinsi mengoordinasikan pembahasan penyusunan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan kabupaten/kota di wilayahnya dan kementerian negara/lembaga terkait. (7) Hasil pembahasan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam berita acara hasil pembahasan yang ditandatangani oleh perwakilan dari:

a.

Pemerintah dan provinsi untuk RKP DBH Sawit provinsi; atau

b.

Pemerintah, kabupaten/kota, dan provinsi untuk RKP DBH Sawit kabupaten/kota. (8) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Daerah menetapkan RKP DBH Sawit dalam APBD. (9) Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan materiil atas kegiatan DBH Sawit yang tercantum dalam RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB VI PENYALURAN,PENUNDAANPENYALURAN,PENYALURAN KEMBALI, DAN PENGHENTIAN PENYALURAN Pasal 20 (1) Penyaluran DBH Sawit dilakukan dengan pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum Daerah. (2) Jumlah DBH Sawit yang disalurkan ke rekening kas umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. (3) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

tahap I sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Mei tahun anggaran berjalan; dan

b.

tahap II sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) (3) Pasal 21 Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Gubernur menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:

a.

laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya;

b.

laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan;

c.

laporan konsolidasi realisasi penggunaan anggaran sebelumnya untuk provinsi kabupaten/kota di wilayahnya; dan tahun dan d. laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan untuk provms1 dan kabupaten/kota di wilayahnya. Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Bupati/Wali kota menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:

a.

laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya; dan

b.

laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan. Laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada:

a.

Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;

b.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;

c.

Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;

d.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan

e.

Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. Pasal 22 (1) Penyaluran DBH Sawit tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa:

a.

laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c bagi provinsi;

b.

laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a bagi kabupaten/kota; dan

c.

RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) bagi provinsi dan kabupaten/kota, paling lambat tanggal 30 April tahun anggaran berjalan. (2) Penyaluran DBH Sawit tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa: l jdih.kemenkeu.go.id a. laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d bagi provinsi; dan

b.

laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b bagi kabupaten/kota, paling lambat tanggal 30 September tahun anggaran berjalan. (3) Dalam hal tanggal 30 April dan 30 September bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari kerja berikutnya. (4) Surat penyampaian syarat salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 23 (1) Dalam hal syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (2) Dalam ha! RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (3) Dalam hal syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit. (4) Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit. Pasal 24 (1) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam ha!: 1 jdih.kemenkeu.go.id a. Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1}; dan/atau

b.

Daerah telah menyampaikan perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling cepat bulan Juni tahun anggaran berjalan. (3) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam hal:

a.

Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3}; dan/atau

b.

Daerah telah menyampaikan perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (4) . Penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling cepat bulan November tahun anggaran berjalan. Pasal 25 (1) Dalam hal:

a.

laporan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a; dan/atau

b.

perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1). (2) Dalam hal:

a.

laporan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a; dan/atau

b.

perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) hurufb, belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3). (3) Dalam hal tanggal 15 November bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari kerja berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan hurufb tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (5) Penghentian penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri. BAB VII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Bagian Kesatu Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi Pasa126 (1) Gubernur melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. (2) Gubernur menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada:

a.

Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;

b.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;

c.

Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;

d.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan

e.

Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk ADK (softcopy) dan dokumen hardcopy (pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/ PDF)). (4) Penyampaian dalam bentuk ADK dan pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/PDF) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui aplikasi pada SIKD. (5) Dalam hal aplikasi pada SIKD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, penyampaian hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan melalui surat elektronik (emaiij resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau media lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. l jdih.kemenkeu.go.id (6) Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit berdasarkan:

a.

laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) untuk provinsi;

b.

laporan konsolidasi realisasi penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d dan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) untuk kabupaten dan kota; dan/atau

c.

pengamatan langsung di lapangan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (7) Pemantauan dan evaluasi penggunaan DBH Sawit oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. meliputi:

a.

kepatuhan penyampaian laporan;

b.

besaran penganggaran untuk masing-masing kegiatan;

c.

kesesuaian capaian keluaran antara RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dengan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2); dan

d.

besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah. (8) Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan/atau instansi/unit terkait. (9) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat mengenakan sanksi penundaan dan/atau penghentian penyaluran DBH atas alokasi dan/atau penggunaan DBH Sa wit yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sisa DBH Sawit Pasal 27 (1) Untuk menghitung besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah setelah tahun anggaran berakhir, Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi. (2) Gubernur dapat mengoordinasikan pelaksanaan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pelaksanaan rekonsiliasi Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilaksanakan paling lambat bulan April tahun anggaran berikutnya. 1 jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam ha! rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak dilaksanakan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung Sisa DBH Sawit berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (6). (5) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kepada Kepala Daerah paling cepat bulan Mei tahun anggaran berikutnya. (6) Berdasarkan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Daerah menganggarkan kembali Sisa DBH Sawit pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya untuk mendanai kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. BAB VIII PERHITUNGAN DAN PENETAPAN ALOKASI KURANG BAYAR/LEBIH BAYAR DBH SAWIT Pasal 28 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit berdasarkan:

a.

data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a; dan

b.

data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b. (2) Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (3) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (4) Penghitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Anggaran. (5) Dalam ha! alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari DBH Sawit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Kurang Bayar DBH Sawit. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari DBH Sa wit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Lebih Bayar DBH Sawit. (7) Penetapan alokasi Kurang Bayar dan/atau Lebih Bayar DBH Sawit mempertimbangkan:

a.

alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8); dan/atau

b.

penghentian salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (8) Alokasi Kurang Bayar DBH dan Lebih Bayar DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 29 (1) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menyetorkan penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor tahun anggaran sebelumnya yang menjadi realisasi DBH Sawit. (2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dari rekening Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ke rekening kas umum negara melalui bank persepsi/pos persepsi. (3) Dalam rangka penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan persentase pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sesuai dengan mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (5) Besaran penyetoran oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dihitung berdasarkan perkalian antara persentase pagu DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan realisasi penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor yang menjadi realisasi DBH Sawit sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Tata cara penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik. 1 jdih.kemenkeu.go.id BAB IX PENYALURAN DBH SA WIT TAHUN 2023 Pasal 30 Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

Kepala Daerah provinsi dan kabupaten/kota menyusun RKP DBH Sawit tahun anggaran 2023 sebagai dasar penggunaan dan penyaluran DBH Sawit. b. Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilakukan secara sekaligus bagi Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang telah menyampaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. c. Penyampaian RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan paling lambat tanggal 30 November 2023. d. Dalam ha! tanggal 30 November 2023 bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan pada hari kerja berikutnya. e. Dalam ha! Daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak menyampaikan RKP DBH Sawit sampai dengan tanggal 30 November 2023 sebagaimana dimaksud pada huruf c atau hari kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada hurufd:

1.

penyaluran DBH Sawit dilakukan secara sekaligus paling lambat 27 Desember 2023; dan

2.

seluruh DBH Sawit yang disalurkan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2024 dan RKP DBH Sawit tahun anggaran 2024. BABX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 31 Penyaluran DBH Sawit Tahun Anggaran 2023 bersumber dari rupiah murni. Pasal 32 (1) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit mulai melakukan penyetoran penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lam bat 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. l jdih.kemenkeu.go.id Pasal 33 Ketentuan mengenai:

a.

rincian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;

b.

format RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;

c.

format laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 21 ayat (2);

d.

format laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d; dan

e.

rincian DBH Sawit tahun anggaran 2023 menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. l jdih.kemenkeu.go.id

Thumbnail
BIDANG PERBENDAHARAAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
201/PMK.05/2021

Sistem Akuntansi Hibah

  • Ditetapkan: 29 Des 2021
  • Diundangkan: 29 Des 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.

Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3.

Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.

4.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.

5.

Pendapatan Hibah adalah penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah lain, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan yang tidak perlu dibayar kembali.

6.

Belanja Hibah adalah belanja Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah asing, lembaga asing, negara lain, organisasi internasional, Pemerintah Daerah, perusahaan negara/daerah, kelompok masyarakat, atau organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. __ 7. Beban Hibah adalah beban Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah asing, lembaga asing, negara lain, organisasi internasional, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, kelompok masyarakat, atau organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

8.

Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan-LRA, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode. __ 9. Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintah dalam satu periode pelaporan. __ 10. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Hibah yang selanjutnya disebut UAKPA-BUN adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat satuan kerja di bawah Bagian Anggaran BUN untuk transaksi Pendapatan Hibah-LRA dan Pendapatan Hibah-LO dan/atau Belanja Hibah dan Beban Hibah. __ 11. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Pengelolaan Hibah yang selanjutnya disebut UAPBUN adalah unit akuntansi pada unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas akuntansi dan pelaporan keuangan sekaligus melakukan penggabungan laporan keuangan UAKPA-BUN.

12.

Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Instansi yang selanjutnya disebut SAI adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Negara/ Lembaga.

13.

Sistem Aplikasi Terintegrasi adalah sistem aplikasi yang mengintegrasikan seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan dan pelaksanaan pendapatan dan belanja negara dimulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan pada BUN dan Kementerian Negara/Lembaga. __ 14. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian Negara/Lembaga. __ 15. Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan Pemerintah Pusat yaitu aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.

16.

Laporan Perubahan Ekuitas yang selanjutnya disingkat LPE adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. __ 17. Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam laporan realisasi anggaran, neraca, laporan operasional, dan laporan perubahan ekuitas, dalam rangka pengungkapan yang memadai.

18.

Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut UABUN adalah unit akuntansi pada Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat unit akuntansi dan pelaporan pembantu BUN dan sekaligus melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh unit akuntansi dan pelaporan keuangan pembantu BUN. __ 19. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara dalam wilayah kerja yang ditetapkan. __ 20. Reviu adalah penelaahan atas penyelenggaraan akuntansi dan penyajian laporan keuangan oleh aparat pengawasan intern pemerintah untuk memberikan keyakinan terbatas bahwa akuntansi telah diselenggarakan berdasarkan sistem akuntansi Pemerintah Pusat dan laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. __

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
PMK 143 TAHUN 2023

Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok

  • Ditetapkan: 15 Des 2023
  • Diundangkan: 22 Des 2023

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMOTONGAN, DAN PENYETORAN PAJAK ROKOK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. 2. Rokok adalah hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. 3. Cukai Rokok adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Rokok. 4. Surat Pemberitahuan Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SPPR adalah surat yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk melaporkan penghitungan dan/atau dasar pembayaran Pajak Rokok. 5. Permohonan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut CK-1 adalah dokumen cukai yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk mengajukan permohonan pemesanan pita cukai hasil tembakau. 6. Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik Rokok/produsen dan importir Rokok yang memiliki ijin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. 7. Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang cukai. 8. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan I jdih.kemenkeu.go.id negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sen tral. 9. Rekening Kas Umum Daerah Provinsi yang selanjutnya disingkat RKUD Provinsi adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan. 10. Kantor Bea dan Cukai adalah kantor pelayanan utama bea dan cukai atau kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 11. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan undang- undang mengenai cukai. 12. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 14. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 15. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 16. Kuasa PenggunaAnggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 17. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/kuasa PA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. 18. Pejabat Pendanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/kuasa PA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 19. Surat Ketetapan Penyetoran Pajak Rokokyang selanjutnya disingkat SKP-PR adalah dokumen sebagai dasar jdih.kemenkeu.go.id penyetoran Pajak Rokok yang memuat rincian jumlah Pajak Rokok per provinsi dalam periode tertentu. 20. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 21. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran. 22. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 23. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. 24. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tug as ke bendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan. 25. Collecting Agent adalah agen penerimaan yang meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valuta asing (Valas), lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya Valas yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran penerimaan negara. 26. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/ nomor transaksi pos / nomor transaksi lembaga persepsi lainnya se bagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran. 27. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 28. Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN atas penerimaan Pajak Rokok yang telah dibukukan KPPN. 29. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SKP-KP2R adalah surat keputusan sebagai dasar untuk menerbitkan SPM pengembalian penerimaan. 30. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran Jaminan Kesehatan atau iuran Jaminan Kesehatannya dibayar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau pihak lain atas nama peserta. 31. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum jdih.kemenkeu.go.id yang dibentuk untuk menyelenggarakan program J aminan Kesehatan. 32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB II TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK ROKOK Bagian Kesatu Pemungutan Pasal 2 (1) Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap Rokok. (2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Rokok elektrik. (3) Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari Cukai Rokok. (4) Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan pemungutan Cukai Rokok. (6) Pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok. (7) Petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam huruf A dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kedua Pembayaran Pajak Rokok Pasal 3 (1) Wajib Pajak Rokok menghitung sendiri Pajak Rokok yang dituangkan dalam SPPR. (2) Wajib Pajak Rokok menyampaikan SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan dokumen CK-1. (3) SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui sistem aplikasi di bidang cukai. (4) Dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengalami gangguan, SPPR disampaikan secara tertulis melalui Kantor Bea dan Cukai. (5) SPPR yang disampaikan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf B yang tercantum dalam Lampiran jdih.kemenkeu.go.id yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau ayat (4). (2) Penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

kelengkapan dan kebenaran pengisian SPPR;

b.

kesesuaian antara dokumen SPPR dengan dokumen CK-1; dan

c.

kebenaran penghitungan Pajak Rokok. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan telah lengkap, sesuai, dan benar, Pejabat Bea dan Cukai memberikan nomor pendaftaran pada Wajib Pajak Rokok. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan tidak lengkap, tidak sesuai, dan tidak benar, Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan nota penolakan. (5) Wajib Pajak Rokok yang menerima nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menyampaikan kembali SPPR. (6) Nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format huruf C yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Wajib Pajak Rokok yang telah memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) melakukan pembayaran Pajak Rokok bersamaan dengan pembayaran Cukai Rokok ke RKUN. (2) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kode Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) dengan akun penerimaan non anggaran. (3) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Collecting Agent dengan menggunakan kode billing. (4) Kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui portal biller. (5) Terhadap pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan BPN. (6) Wajib Pajak Rokok menyampaikan BPN sebagaimana pada ayat (5) kepada Pejabat Bea dan Cukai. (7) Dalam hal Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayarkan, pelayanan atas pemesanan pita cukai tidak dilaksanakan. (8) Tata cara pembayaran Pajak Rokok oleh Wajib Pajak Rokok melalui Collecting Agent dilaksanakan sesuai jdih.kemenkeu.go.id dengan Peraturan Menteri Keuangan mengena1 sistem penerimaan negara secara elektronik. Pasal 6 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian atas pembayaran Pajak Rokok. (2) Penelitian atas pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

kelengkapan dan kebenaran BPN;

b.

kesesuaian data antara SPPR dengan BPN; dan

c.

kebenaran penghitungan dan kesesuaian jumlah Pajak Rokok yang tertuang pada SPPR dengan jumlah uang yang disetorkan. (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat ketidaklengkapan, ketidaksesuaian, dan/atau ketidakbenaran yang menyebabkan terjadinya kekura.ngan pembayaran Pajak Rokok, Pejabat Bea dan Cukai:

a.

menunda pelayanan Pita Cukai Rokok sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok secara tunai; atau

b.

tidak melayani CK-1 berikutnya sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok yang mendapatkan penundaan pembayaran cukai. (4) Dalam hal Pajak Rokok belum dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan penyediaan pita cukai untuk kebutuhan bulan berikutnya tidak dilayani. (5) Dalam hal hasil penelitian atas SPPR dengan BPN telah sesuai, Pejabat Bea dan Cukai melanjutkan proses pelayanan CK-1. Bagian Ketiga Rekapitulasi Penerimaan Pajak Rokok Pasal 7 (1) Direktorat teknis yang memiliki tugas dan fungsi menangani penerimaan Pajak Rokok pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya. (2) Rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok. (3) Direktorat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja bulan berikutnya. (4) Daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk ADK. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Penagihan Kekurangan Pembayaran Pajak Rokok Pasal 8 (1) Dalam hal ditemukan adanya kekurangan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang menyebabkan kurangnya pembayaran Pajak Rokok atau tidak dilunasinya pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea clan Cukai menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok kepada Wajib Pajak Rokok. (2) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai surat ketetapan pajak daerah kurang bayar yang merupakan dasar penagihan Pajak Rokok. (3) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya kekurangan Pajak Rokok. (4) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:

a.

secara langsung;

b.

melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, a tau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau

c.

media elektronik atau melalui sistem aplikasi di bidang cukai. (5) Penyampaian surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak melalui sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sudah tersedia. (6) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf D yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 9 (1) Wajib Pajak Rokok wajib melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terhitung sejak Wajib Pajak Rokok menerima surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok. (2) Dalam hal Wajib Pajak Rokok tidak melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Bea clan Cukai menyampaikan surat penyerahan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Pajak Daerah clan Retribusi Daerah dengan melampirkan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok. (3) Tanggal diterimanya surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:

a.

tanggal pada saat surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok diterima secara langsung, dalam hal surat pemberitahuan kekurangan jdih.kemenkeu.go.id pembayaran Pajak Rokok disampaikan secara langsung;

b.

tanggal stempel pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir, dalam hal pengiriman dilakukan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau

c.

tanggal yang tertera pada media elektronik, dalam hal pengiriman dilakukan dengan media elektronik. (4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok berdasarkan surat penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur tempat Wajib Pajak Rokok berada. (5) Gubernur menindaklanjuti surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melakukan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan pajak daerah. (6) Berdasarkan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak Rokok melakukan pelunasan atas kekurangan Pajak Rokok melalui RKUN. BAB III PENYETORAN PAJAK ROKOK Bagian Kesatu Pejabat Perbendaharaan Pasal 10 (1) Dalam rangka penyetoran Pajak Rokok, Menteri Keuangan selaku BUN yang merupakan PA penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok menetapkan:

a.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok;

b.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok; dan

c.

Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagai KPA BUN penyetoran Pajak Rokok. (2) Dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Si stem Informasi dan Pelaksanaan Tran sf er se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri Keuangan menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok. (3) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan jdih.kemenkeu.go.id dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok:

a.

tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; dan/atau

b.

masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 45 (empat puluh lima) hari kerja. (4) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pejabat pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok definitif. (5) Penunjukan:

a.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau

b.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berakhir dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/ a tau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN. (6) Pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dapat mengusulkan penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan. (7) Penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 11 (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok. (2) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

a.

menerbitkan SKP-PR;

b.

menerbitkan SKP-KP2R;

c.

menyampaikan rekomendasi penyetoran Pajak Rokok kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok; jdih.kemenkeu.go.id d. menyampaikan pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur dan kepala BPJS Kesehatan; dan

e.

menyampaikan pemberitahuan penyetoran atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pasal 12 (1) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan penyetoran Pajak Rokok. (2) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

a.

menetapkan staf pengelola keuangan, PPK, dan PPSPM;

b.

melaksanakan pemotongan penyetoran, penundaan penyetoran, penghentian penyetoran, dan penyetoran kembali pajak rokok;

c.

mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan

d.

menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran pajak rokok kepada Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99). (3) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kuasa pengguna anggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 13 (1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka mengajukan permintaan pembayaran untuk penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan. (2) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a tidak terikat tahun anggaran. (3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPK dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 14 (1) Penetapan PPS PM se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka melakukan pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran atas penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan. (2) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat tahun anggaran. (3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPSPM dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara. Bagian Kedua Penyetoran Pajak Rokok Pasal 15 (1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran berikutnya untuk masing-masing provinsi. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun paling lambat pada bulan November tahun anggaran sebelumnya. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rasio jumlah penduduk provinsi terhadap jumlah penduduk nasional dan target penerimaan Cukai Rokok pada Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Rasio jumlah penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan data jumlah penduduk yang digunakan untuk penghitungan dana alokasi umum untuk tahun anggaran berikutnya. (5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur menetapkan alokasi bagi hasil Pajak Rokok untuk masing-masing kabupaten/kota sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. (6) Alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan paling lambat bulan November tahun anggaran sebelumnya. Pasal 16 (1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok, Direktorat J endcral Perbendaharaan menyampaikan data realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap triwulanan pada minggu pertama triwulan berikutnya. (3) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk triwulan keempat dilakukan pada minggu pertama bulan Desember berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sampai dengan tanggal 30 November tahun berkenaan. (4) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir tahun anggaran dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya. Pasal 17 (1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan penetapan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-PR. (2) SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:

(1)

(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) a. Lembar ke-1 untuk KPPN Jakarta II;

b.

Lembar ke-2 untuk PPK; dan

c.

Lembar ke-3 untuk pertinggal. Pasal 18 KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-PR kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok. Berdasarkan SKP-PR sebagaimana dimaksud ayat (1), PPK menerbitkan SPP untuk penyetoran Pajak Rokok. PPK menyampaikan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dilampiri SKP-PR kepada PPSPM. PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP yang dilampiri SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM menerbitkan SPM. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan tidak sesua1 dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki atau dilengkapi. PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan dilampiri SKP-PR kepada KPPN Jakarta II. Tata cara penerbitan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan tata cara penyampaian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan jdih.kemenkeu.go.id ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara. Pasal 19 (1) KPPN Jakarta II menerbitkan SP2D berdasarkan SPM dan SKP-PR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Berdasarkan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan menyampaikan surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak SP2D penyetoran Pajak Rokok diterbitkan. (3) Penyampaian surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui media elektronik atau melalui sistem aplikasi pelaporan Pajak Rokok. Pasal 20 (1) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke masing-masing RKUD Provinsi dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok dan proporsi untuk masing-...masmg prov1ns1. (2) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi dilaksanakan setiap triwulanan pada bulan pertama triwulan berikutnya. (3) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan bulan Oktober dan November dilaksanakan pada bulan Desember. (4) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan sampai dengan bulan Desember tahun berkenaan yang masih terdapat di RKUN dilaksanakan bersamaan dengan penyetoran triwulan I tahun anggaran berikutnya. (5) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah:

a.

gubernur menyalurkan seluruh bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota atas realisasi Pajak Rokok yang diterima oleh provinsi pada triwulan sebelumnya; dan

b.

gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Pasal 21 Dalam hal terdapat selisih antara penerimaan dengan penyetoran Pajak Rokok ke RKUD Provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Pusat, selisih tersebut diperhitungkan pada penyetoran Pajak Rokok tahun berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id BAB IV PENYALURAN BAGI HASIL PAJAK ROKOK Pasal 22 (1) Gubernur menetapkan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota setelah Pajak Rokok diterima di RKUD Provinsi. (2) Penetapan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Keputusan Gubernur. (3) Berdasarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyalurkan bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Pajak Rokok di RKUD Provinsi. (4) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. (5) Dalam hal realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih besar atau lebih kecil dari yang telah dianggarkan di anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi, penyaluran bagi hasil Pajak Rokok tetap dilaksanakan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. (6) Dalam hal penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah atau anggaran pendapatan clan belanja daerah perubahan, penyaluran tetap clilakukan sesuai clengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. Pasal 23 (1) Ketentuan mengenai bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota clan variabel yang digunakan dalam penghitungan bagi hasil Pajak Rokok climaksucl cliatur dalam peraturan daerah provinsi. (2) Ketentuan mengenai formula penghitungan bagi hasil Pajak Rokok dan tata cara penyaluran bagi hasil Pajak Rokok cliatur dalam peraturan gubernur. (3) Peraturan gubernur sebagaimana climaksucl pacla ayat (2), clapat mengatur pendelegasian wewenang penetapan alokasi bagi hasil Pajak Rokok yang clibagihasilkan kepada kabupaten/kota kepacla kepala perangkat daerah yang menangani pendapatan dan/atau keuangan daerah. BABV PEMOTONGAN PAJAK ROKOK SEBAGAI KONTRIBUSI DUKUNGAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN Pasal 24 (1) Pemerintah claerah provinsi atau kabupaten/kota wajib mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Kewajiban mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan dukungan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan yang dilaksanakan melalui kontribusi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok bagian hak masing-masing pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota. (3) Kontribusi Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebcsar 75% (tujuh puluh lima persen) dari 50% (lima puluh persen) atau ekuivalen sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari realisasi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok masing- masing provinsi atau kabupaten/kota. (4) Dalam hal pemerintah daerah provms1 atau kabupaten/kota tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dikenai sanksi pemotongan Pajak Rokok sejumlah selisih 37 ,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari rencana penerimaan dan/ a tau realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 25 (1) Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota merencanakan dan menganggarkan kontribusi untuk mendukung program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahun. (2) Besaran anggaran kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhitungkan Jaminan Kesehatan Daerah yang diintegrasikan ke dalam program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Pasal 26 (1) Untuk mengetahui kecukupan perencanaan dan penganggaran kontribusi program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi data dengan BPJS Kesehatan. (2) Hasil kesepakatan atas rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang memuat data:

a.

rencana penerimaan Pajak Rokok; dan

b.

rencana anggaran Jaminan Kesehatan daerah yang diintegrasikan ke BPJS Kesehatan, (3) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan format dalam huruf E yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat selisih kurang anggaran Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kesehatan, selisih kurang tersebut dituangkan dalam berita acara kesepakatan. jdih.kemenkeu.go.id (5) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh kepala daerah dan pejabat BPJS Kesehatan. (6) Dalam menandatangani berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. (7) Berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan kepada gubernur. (8) Pemcrintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi pelaksanaan program J aminan Kesehatan dengan BPJS Kesehatan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi dengan format dalam huruf F yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Men teri ini. (9) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdapat selisih kurang realisasi Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kcsehatan, selisih kurang tersebut diperhitungkan dalam berita acara kesepakatan tahun berikutnya. (10) Dalam hal hasil rekonsiliasi menunjukkan jumlah realisasi jaminan kesehatan daerah termasuk di dalamnya pemotongan Pajak Rokok melebihi realisasi kontribusi penerimaan Pajak Rokok, BPJS Kesehatan dan pemerintah daerah dapat melakukan kesepakatan untuk:

a.

menambah jumlah kepesertaan dalam program jaminan kesehatan dimaksud; dan

b.

memperhitungkan sebagai jaminan kesehatan tahun berikutnya tanpa mengurangi jumlah kontribusi minimal 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen). Pasal 27 (1) Gubernur membuat kompilasi berita acara kesepakatan atas berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kcpala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kcsehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. (2) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh gubernur dan pejabat BPJS Kesehatan. (3) Dalam menandatangani kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. (4) Gubernur menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah paling lambat pada tanggal 31 Maret setiap tahun. (5) Kompilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik dan/atau dokumen fisik. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan dilakukan pada hari kerja berikutnya. (7) Dalam hal pemerintah daerah prov1ns1 dan kabupaten/kota mengalami keadaan:

a.

bencana alam;

b.

bencana nonalam; dan/atau

c.

bencana sosial, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menetapkan perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan. (8) Perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. (9) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf G yang tercantum dalam Lampiran yang mcrupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 28 (1) Sanksi pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi berita acara kesepakatan sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) atau lebih, tidak dilakukan pcmotongan Pajak Rokok; atau

b.

dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi bcrita acara kesepakatan kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen), pemotongan Pajak Rokok dilakukan sebesar selisih kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen); atau

c.

dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan, dikenakan pemotongan Pajak Rokok sebesar 37 ,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen). (2) Hasil pcmotongan penerimaan Pajak Rokok yang telah disetorkan ke rekening BPJS Kesehatan diperhitungkan untuk pemenuhan kewajiban Jaminan Kesehatan untuk pemerintah daerah yang bersangkutan. jdih.kemenkeu.go.id BAB VI PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK ROKOK Pasal 29 (l) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Wajib Pajak Rokok dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan:

a.

kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena kesalahan penghi tungan;

b.

pengembalian Cukai Rokok; atau

c.

Pajak Rokok yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek Pajak Rokok yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang. (3) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena terdapat pengembalian Cukai Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufb, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok dapat diajukan sepanjang tanda bukti perusakan pita cukai dan/atau tanda bukti pengembalian pita cukai tidak melebihi batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya. (4) Kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembalikan dalam hal Pajak Rokok telah dibayar yang dibuktikan dengan BPN. (5) Atas kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea dan Cukai menerbitkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (6) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok dapat digunakan sebagai dasar pengembalian Pajak Rokok dengan ketentuan tidak melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya. (7) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf H yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a dan huruf c dilakukan secara tunai. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya, pcngembalian Pajak Rokok diperhitungkan atas pembayaran Pajak Rokok berikutnya; atau jdih.kemenkeu.go.id b. dalam hal pengembalian Cukai Rokok dilakukan secara tunai, pengembalian Pajak Rokok dilakukan secara tunai. (3) Dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Wajib Pajak Rokok melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok pada saat mengajukan SPPR berikutnya. (4) Berdasarkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok, Kantor Bea dan Cukai memperhitungkan pengembalian Pajak Rokok dengan pembayaran Pajak Rokok berikutnya. (5) Dalam hal pengembalian cukai dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Wajib Pajak Rokok mengajukan permohonan pengembalian Pajak Rokok secara tertulis kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai dengan melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan dalamjangka waktu paling lama 11 (sebelas) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (7) Atas pcrmohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Bea dan Cukai melakukan penelitian kelengkapan berkas permohonan dan memeriksa jangka waktu berlakunya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah sesuai, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat permintaan kepada Kepala KPPN untuk menerbitkan SKTB dilampiri BPN. (9) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdapat ketidaksesuaian, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat penolakan kepada Wajib Pajak Rokok. Pasal 31 (1) Berdasarkan surat permintaan yang disampaikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (8), Kepala KPPN menerbitkan SKTB. (2) SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format dalam huruf I yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Berdasarkan SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat rekomcndasi pengcmbalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kcpada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:

a.

dokumen pcrmohonan dari Wajib Pajak Rokok;

b.

tanda bukti kelebihan pembayaran Pajak Rokok; dan

c.

SKTB. jdih.kemenkeu.go.id (4) Berdasarkan surat rekomendasi pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-KP2R dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan sebagai berikut:

a.

Lcmbar ke-1 untuk KPPN Jakarta II; dan

b.

Lcmbar ke-2 sebagai pertinggal. (5) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok. (6) Berdasarkan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPK menerbitkan SPP atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok. (7) SPP scbagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada PPSPM dilampiri SKP-KP2R. (8) Berdasarkan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP pengembalian kelcbihan pembayaran Pajak Rokok. (9) Dalam hal pemcriksaan dan pengujian SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memenuhi ketentuan, PPSPM mencrbitkan SPM dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:

a.

Lcmbar ke-l dan ke-2 untuk KPPN Jakarta II; dan

b.

Lcmbar ke-3 scbagai pertinggal. (10) SPM sc bagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan dengan menggunakan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pcngclolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) kode akun kontrapos akun Penerimaan Non Anggaran. (11) PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada KPPN Jakarta II dilampiri dengan lembar ke-1 SKP-KP2R. (12) Berdasarkan SPM scbagaimana dimaksud pada ayat (9) dan SKP-KP2R scbagaimana dimaksud pada ayat (4), KPPN .Jakarta II menerbitkan SP2D sesuai dengan ketcntuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PELAPORAN, PEMANTAUAN, DAN REKONSILIASI Pasal 32 (1) Gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dari provinsi ke kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan secara elektronik dan/atau dokumen fisik. (2) Laporan realisasi sc bagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan penyaluran bagi hasil. (3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dcngan contoh format dalam huruf J yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pcraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 33 (1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Kcuangan. (2) Penyampaian laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok scbagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya. Pasal 34 (1) Direktorat ,Jendcral Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan atas:

a.

pcnetapan alokasi Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok;

b.

pcnetapan alokasi penggunaan Pajak Rokok untuk mcndanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum; dan

c.

pcnyaluran bagi hasil Pajak Rokok oleh gubernur. (2) Gubernur melakukan pemantauan atas penggunaan Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok, untuk pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya.

Thumbnail
APLIKASI KEUANGAN TINGKAT INSTANSI | BIDANG PERBENDAHARAAN
171/PMK.05/2021

Pelaksanaan Sistem Sakti

  • Ditetapkan: 25 Nov 2021
  • Diundangkan: 29 Nov 2021
  • Konsolidasi

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Sistem SAKTI yang selanjutnya disebut SAKTI adalah sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara pada instansi pemerintah, yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.

2.

Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran yang meliputi penyusunan anggaran, manajemen dokumen anggaran, manajemen supplier , manajemen komitmen pengadaan barang dan jasa, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan negara, manajemen kas, akuntansi, dan pelaporan.

3.

Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.

4.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

5.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.

6.

Pembantu Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran (BA) BUN.

7.

Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.

8.

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.

9.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi BUN.

10.

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut BA Kementerian Negara/Lembaga.

11.

Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.

12.

Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.

13.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

14.

Modul Administrasi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk mengelola data referensi dan data user SAKTI.

15.

Modul Penganggaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sampai dengan penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran termasuk didalamnya proses perencanaan penyerapan anggaran dan penerimaan/pendapatan dalam periode satu tahun anggaran.

16.

Modul Komitmen adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan aktivitas terkait pencatatan data supplier , kontrak, dan Berita Acara Serah Terima (BAST) dalam rangka pelaksanaan APBN untuk mendukung pengelolaan data pagu, perencanaan kas dan referensi dalam pelaksanaan pembayaran.

17.

Modul Bendahara adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui bendahara.

18.

Modul Pembayaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengajuan pembayaran atas beban APBN, pengesahan pendapatan dan belanja, dan pencatatan surat perintah pencairan dana.

19.

Modul Persediaan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian, dan pelaporan barang persediaan.

20.

Modul Aset Tetap adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian dan pelaporan barang milik negara berupa aset tetap dan aset tak berwujud.

21.

Modul Piutang adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk melakukan penatausahaan dan pengakuntansian piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

22.

Modul Akuntansi dan Pelaporan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengintegrasian data jurnal dari semua modul SAKTI dalam rangka penyusunan laporan keuangan.

23.

Sistem Mitra adalah sistem yang dimiliki oleh Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya dengan lingkup penggunaan sistem secara nasional yang akan diinterkoneksikan dengan SAKTI.

24.

Pihak Mitra adalah Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya sebagai pemilik Sistem Mitra.

25.

Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.

26.

Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.

27.

Instansi adalah sebutan kolektif bagi entitas yang meliputi satuan kerja, kantor wilayah atau yang setingkat, unit eselon I dan Kementerian Negara/Lembaga.

28.

Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

29.

Chief of Information Officer yang selanjutnya disingkat CIO adalah suatu jabatan strategis yang memadukan sistem informasi dan teknologi informasi dengan aspek manajemen agar memberikan dukungan maksimal terhadap pencapaian tujuan.

30.

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.

31.

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

32.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

33.

Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala Satker atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

34.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

35.

Pejabat Penandatangan SPM yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian surat permintaan pembayaran yang diterima dari PPK sebagai dasar untuk menerbitkan/menandatangani SPM.

36.

Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

37.

Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

38.

Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk sebagai pembantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.

39.

Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.

40.

Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

41.

Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

42.

Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PPSPM untuk dan atas nama KPA kepada Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Badan Layanan Umum (BLU) yang sumber dananya berasal dari PNBP yang digunakan langsung.

43.

Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pendapatan hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN dan/atau belanja yang bersumber dari hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN.

44.

Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo pendapatan hibah langsung kepada pemberi hibah.

45.

Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada KPPN untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi utang pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak.

46.

Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga yang selanjutnya disingkat SPM P-BMDAB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga sebagai dasar penerbitan surat perintah pencairan dana.

47.

Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk dan/atau Cukai yang selanjutnya disingkat SPM P-BMC adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai.

48.

Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk membayar imbalan bunga kepada wajib pajak.

49.

Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung/Pembiayaan Pendahuluan selanjutnya disingkat SPP APD-PL/PP adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN dalam mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PHLN.

50.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

51.

Dana Titipan adalah dana yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran selain Uang Persediaan (UP) dalam rangka pelaksanaan APBN.

52.

Dana Pihak Ketiga adalah dana yang masuk ke pengelolaan rekening yang dikelola oleh bendahara yang belum dapat ditentukan menjadi milik negara atau tidak.

53.

Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh bendahara pada penyetor.

54.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari pajak.

55.

Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

56.

Rencana Penarikan Dana yang selanjutnya disingkat RPD adalah rencana penarikan kebutuhan dana yang ditetapkan oleh KPA untuk pelaksanaan kegiatan Satker dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.

57.

Rencana Penarikan Dana Harian yang selanjutnya disebut RPD Harian adalah rencana penarikan kebutuhan dana harian yang memuat tanggal penarikan dana, jenis belanja, dan jumlah nominal penarikan.

58.

Rencana Penerimaan Dana adalah rencana penyetoran penerimaan dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.

59.

Pengguna ( User ) SAKTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah para pihak pada instansi yang berdasarkan kewenangannya diberikan hak untuk mengoperasikan SAKTI dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

60.

Administrator adalah pegawai yang diberi kewenangan oleh PA/KPA/Pejabat yang ditetapkan untuk melaksanakan fungsi teknis administrasi SAKTI.

61.

Hak Akses adalah hak yang diberikan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik.

62.

Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi diantaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya.

63.

Nomor Register Supplier yang selanjutnya disingkat NRS adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh SPAN dalam rangka pendaftaran data supplier yang diajukan oleh Satker yang akan dijadikan sebagai identitas bagi supplier SPAN.

64.

Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas Laporan Keuangan.

65.

Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.

66.

E-Rekon dan LK adalah sistem berbasis web yang digunakan dalam pelaksanaan Rekonsiliasi, penyusunan Laporan Keuangan, serta penyatuan data Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.

67.

Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

68.

Unit Akuntansi KPB yang selanjutnya disingkat UAKPB adalah unit akuntansi BMN pada tingkat Satker/KPB yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.

69.

Unit Akuntansi Pembantu Kuasa Pengguna Barang, yang selanjutnya disingkat UAPKPB, adalah unit yang dapat dibentuk oleh UAKPB untuk membantu UAKPB melakukan penatausahaan BMN.

70.

Keadaan Kahar ( Force Majeure ) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem SAKTI seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru- hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem SAKTI tidak berfungsi.

71.

Business Continuity Plan yang selanjutnya disingkat BCP adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.

72.

Help, Answer, Improve DJPb yang selanjutnya disebut HAI-DJPb adalah layanan resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam melayani penerimaan dan penyampaian informasi serta permasalahan terkait tugas pokok dan fungsi DJPb.

73.

Dokumen Pendukung adalah semua dokumen yang secara peraturan perundang-undangan menjadi pendukung dan wajib ada sebagai bagian pengajuan sebuah surat, dokumen, formulir, dan segala dokumen resmi lainnya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.

74.

Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disebut dengan TIK adalah segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan pemindahan informasi antar media.

Thumbnail
STANDAR BIAYA KELUARAN | TAHUN ANGGARAN 2017
106/PMK.02/2016

Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2017.

  • Ditetapkan: 30 Jun 2016
  • Diundangkan: 30 Jun 2016

Relevan terhadap

Pasal 7Tutup
(1)

Kementerian negara/lembaga bertanggungjawab atas penggunaan Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2017 dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2017 dan memprioritaskan pengalokasian anggarannya.

(2)

Pengawasan atas penggunaan Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2017 dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
22/PMK.02/2021

Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga ...

  • Ditetapkan: 15 Mar 2021
  • Diundangkan: 15 Mar 2021

Relevan terhadap

Pasal 45Tutup

Menteri Keuangan dapat meminta aparat pemeriksa dan/atau pengawas keuangan untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengawasan terhadap tindak lanjut hasil Evaluasi Kinerja Anggaran.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG BEA CUKAI
168/PMK.04/2022

Jaminan dalam rangka Kegiatan Kepabeanan dan Cukai

  • Ditetapkan: 18 Nov 2022
  • Diundangkan: 22 Nov 2022

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pungutan Negara adalah pungutan negara dalam rangka impor, pungutan negara dalam rangka ekspor, pungutan negara di bidang cukai, dan/atau pungutan negara lainnya yang terkait dengan kegiatan dalam rangka impor, ekspor, dan/atau di bidang cukai yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

2.

Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.

3.

Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat untuk menerima setoran penerimaan negara.

4.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

5.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

6.

Kantor Bea dan Cukai adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean dan/atau cukai sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai yang mengelola jaminan.

7.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai.

8.

Bendahara Penerimaan adalah pegawai yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

9.

Jaminan dalam rangka kegiatan kepabeanan dan cukai yang selanjutnya disebut Jaminan adalah garansi pembayaran Pungutan Negara dalam rangka kegiatan kepabeanan, kegiatan cukai, dan/atau pemenuhan kewajiban yang dipersyaratkan dalam peraturan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.

10.

Terjamin adalah pihak yang bertanggungjawab atas Pungutan Negara dan/atau pihak yang dipersyaratkan untuk memenuhi kewajiban menyerahkan Jaminan sesuai dengan peraturan di bidang kepabeanan dan/atau cukai kepada Kantor Bea dan Cukai.

11.

Penjamin adalah pihak yang menerbitkan garansi untuk melakukan pembayaran kepada Kantor Bea dan Cukai apabila Terjamin cedera janji (wanprestasi).

12.

Klaim Jaminan adalah tuntutan yang dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai kepada Penjamin atau Terjamin untuk mencairkan Jaminan akibat Terjamin tidak memenuhi kewajibannya.

13.

Acara Kenegaraan adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh panitia negara secara terpusat, dihadiri oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta Pejabat Negara dan undangan lain.

14.

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

15.

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia adalah lembaga yang memberikan fasilitas kepada badan usaha termasuk perorangan dalam rangka mendorong ekspor nasional.

Thumbnail
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA | KEGIATAN
6/PMK.05/2019

Tata Cara Pelaksanaan Pembayaran Kegiatan yang Dibiayai Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara ...

  • Ditetapkan: 29 Jan 2019
  • Diundangkan: 29 Jan 2019

Relevan terhadap

Pasal 27Tutup
(1)

Penyelesaian s1sa pekerjaan yang dapat dilanjutkan ke Tahun Anggaran Berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 harus memenuhi ketentuan:

a.

berdasarkan penelitian PPK, penyedia barang/ jasa akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan setelah diberikan kesempatan sampai dengan  (sembilan puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan; dan

b.

penyedia barang/jasa sanggup untuk menyelesaikan s1sa pekerjaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan yang dinyatakan dengan surat pernyataan kesanggupan yang ditandatangani di atas kertas bermaterai;

(2)

Surat pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat:

a.

pernyataan kesanggupan dari penyedia barang/ jasa untuk menyelesaikan sisa pekerjaan;

b.

waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan s1sa pekerjaan, dengan ketentuan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan;

c.

pernyataan bahwa penyedia barang/jasa bersedia dikenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan; dan

d.

pernyataan bahwa penyedia menuntut denda/bunga barang/ jasa tidak apabila terdapat keterlambatan pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan pada Tahun Anggaran Berikutnya yang diakibatkan oleh keterlambatan penyelesaian revisi anggaran.

(3)

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi, KPA memutuskan untuk melanjutkan penyelesaian sisa pekerjaan ke Tahun Anggaran berikutnya.

(4)

Untuk mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA dapat melakukan konsultasi dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Thumbnail
COVID-19 Covid-19 | COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | BIDANG ANGGARAN | PROGRAM PEN
39/PMK.02/2020

Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2020

  • Ditetapkan: 20 Apr 2020
  • Diundangkan: 20 Apr 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

2.

Revisi Anggaran adalah perubahan rincian anggaran yang telah ditetapkan berdasarkan APBN Tahun Anggaran 2020 dan disahkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2020.

3.

Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

4.

Lembaga adalah organisasi non Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. __ 5. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian/Lembaga.

6.

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.

7.

Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.

8.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

9.

Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di Kementerian/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.

10.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/KPA atau PPA/KPA BUN.

11.

DIPA Petikan adalah DIPA per satuan kerja yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan satuan kerja.

12.

Pagu Anggaran adalah alokasi anggaran yang ditetapkan dalam DIPA untuk mendanai belanja pemerintah pusat dan/atau pembiayaan anggaran dalam APBN Tahun Anggaran 2020.

13.

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut bagian anggaran Kementerian/Lembaga.

14.

Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan untuk pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh KPA BUN.

15.

Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian/Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa program/kegiatan dan membebani dana APBN.

16.

Penelaahan Revisi Anggaran adalah forum antara Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga untuk memastikan kesesuaian usulan perubahan anggaran dengan pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana kerja pemerintah, rencana kerja Kementerian/Lembaga, dan RKA-K/L DIPA beserta alokasi anggarannya.

17.

Kesesuaian adalah keterkaitan atau relevansi antara objek dengan instrumen yang digunakan.

18.

Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA- K/L per unit eselon I dan program dalam suatu Kementerian/Lembaga yang ditetapkan berdasarkan hasil penelaahan.

19.

Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan RDP BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.

20.

Rumusan Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan termasuk sasaran kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan program, hasil ( outcome ), kegiatan, keluaran ( output ), indikator kinerja utama, dan indikator kinerja kegiatan.

21.

Program adalah penjabaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi Kementerian/Lembaga yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit eselon I atau unit Kementerian/Lembaga yang berisi kegiatan untuk mencapai hasil ( outcome ) dengan indikator kinerja yang terukur.

22.

Prioritas Pembangunan adalah serangkaian kebijakan yang dilaksanakan melalui prioritas nasional, program prioritas, kegiatan prioritas, dan proyek prioritas.

23.

Prioritas Nasional adalah program/kegiatan/proyek untuk pencapaian Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan kebijakan Presiden lainnya.

24.

Program Prioritas adalah Program yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai Prioritas Nasional.

25.

Kegiatan adalah penjabaran dari Program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi Satker atau penugasan tertentu Kementerian/Lembaga yang berisi komponen kegiatan untuk mencapai keluaran ( output ) dengan indikator kinerja yang terukur.

26.

Kegiatan Prioritas adalah Kegiatan yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai Program Prioritas.

27.

Kebijakan Prioritas Pemerintah Yang Telah Ditetapkan adalah Program/Kegiatan/keluaran ( output ) yang ditetapkan oleh Pemerintah setelah rencana kerja pemerintah ditetapkan dan/atau ditetapkan pada Tahun Anggaran 2020.

28.

Proyek Prioritas adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis dan jangka waktu tertentu untuk mendukung pencapaian Prioritas Pembangunan.

29.

Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-K/L dan pengesahan DIPA, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi anggaran . 30. Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.

31.

Lanjutan Pinjaman/Hibah Luar Negeri atau Pinjaman/Hibah Dalam Negeri adalah penggunaan kembali sisa alokasi anggaran yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri atau pinjaman/hibah dalam negeri yang tidak terserap/tidak digunakan pada Tahun Anggaran 2019, termasuk lanjutan untuk pelaksanaan Kegiatan pemberian hibah dan Pemberian Pinjaman sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen pinjaman/hibah luar negeri atau pinjaman/hibah dalam negeri. __ 32. Percepatan Penarikan Pinjaman/Hibah Luar Negeri atau Pinjaman/Hibah Dalam Negeri adalah tambahan alokasi anggaran yang berasal dari sisa komitmen pinjaman/ hibah luar negeri atau pinjaman/hibah dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan Kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada Tahun Anggaran 2020, termasuk percepatan untuk pelaksanaan Kegiatan pemberian hibah dan Pemberian Pinjaman.

33.

Pengeluaran yang tidak diperkenankan ( Ineligible Expenditure ) adalah pengeluaran-pengeluaran yang tidak diperkenankan dibiayai dari dana pinjaman/hibah luar negeri karena tidak sesuai dengan naskah perjanjian pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

34.

Subsidi Energi adalah subsidi dalam bentuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis BBM Tertentu (JBT) dan bahan bakar gas cair ( Liquefied Petroleum Gas /LPG) tabung 3 (tiga) kilogram untuk konsumsi rumah tangga dan usaha mikro, dan subsidi listrik.

35.

Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

36.

Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

37.

Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembaga/badan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.

38.

Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/ Pejabat Eselon I Kementerian/Lembaga adalah pejabat eselon I selaku penanggung jawab Program yang memiliki alokasi anggaran ( portofolio ) pada bagian anggaran Kementerian/Lembaga.

39.

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.

40.

Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

41.

Sistem Aplikasi adalah sistem informasi atau aplikasi yang dibangun oleh Kementerian Keuangan untuk mendukung proses penyusunan dan penelaahan anggaran, pengesahan DIPA, dan perubahan DIPA.

42.

Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran keluaran ( output ) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak pengadaan barang/jasa untuk menghasilkan keluaran ( output ) sesuai dengan volume keluaran ( output ) yang ditetapkan dalam DIPA.

43.

Sisa Anggaran Swakelola adalah selisih lebih antara alokasi anggaran keluaran ( output ) yang tercantum dalam DIPA dengan realisasi anggaran untuk mencapai volume keluaran ( output ) yang sudah selesai dilaksanakan.

44.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.

Pasal 6Tutup
(1)

Revisi Anggaran yang dilaksanakan pada Direktorat Jenderal Anggaran yang memerlukan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi:

a.

Revisi Anggaran dalam hal Pagu Anggaran berubah;

b.

Revisi Anggaran dalam hal Pagu Anggaran tetap; dan/atau c. Revisi administrasi yang memerlukan penelaahan.

(2)

Revisi Anggaran dalam hal Pagu Anggaran berubah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

a.

pergeseran pagu anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar-Program dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan;

b.

perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP kecuali belanja yang bersumber dari PNBP pada Satker Badan Layanan Umum;

c.

perubahan anggaran belanja yang bersumber dari pinjaman termasuk pinjaman luar negeri baru untuk penanggulangan bencana alam dan lanjutan Rupiah Murni Pendamping;

d.

perubahan anggaran belanja yang bersumber dari hibah, termasuk hibah yang diterushibahkan;

e.

perubahan anggaran belanja dalam rangka penanggulangan bencana alam;

f.

perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP atas klaim asuransi Barang Milik Negara pada Kementerian/Lembaga tertentu;

g.

perubahan anggaran belanja yang bersumber dari SBSN untuk pembiayaan kegiatan/proyek Kementerian/Lembaga termasuk penggunaan sisa dana penerbitan SBSN yang tidak terserap pada tahun 2019;

h.

perubahan pembayaran Program pengelolaan subsidi berdasarkan perubahan asumsi dasar ekonomi makro, perubahan parameter, pembayaran kekurangan subsidi tahun-tahun sebelumnya, dan/atau akibat perubahan kebijakan keuangan negara dan/atau stabilitas sistem keuangan;

i.

perubahan anggaran belanja Kementerian/ Lembaga sebagai akibat dari penyesuaian kurs;

j.

perubahan/tambahan kewajiban yang timbul dari penggunaan dana saldo anggaran lebih, penarikan pinjaman tunai, dan/atau penerbitan surat berharga negara sebagai akibat tambahan pembiayaan;

k.

perubahan alokasi anggaran pembayaran bunga utang;

l.

perubahan alokasi anggaran pembayaran cicilan/pelunasan pokok utang;

m.

perubahan Pagu Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa;

n.

perubahan anggaran keluaran ( output ) Prioritas Nasional;

o.

pergeseran anggaran Bagian Anggaran 999.08 (BA BUN Pengelola Belanja Lainnya) ke bagian anggaran Kementerian/Lembaga;

p.

pergeseran anggaran antar-Program dalam 1 (satu) bagian anggaran dan/atau antarbagian anggaran dalam rangka penyelesaian restrukturisasi Kementerian/Lembaga sebagai akibat perubahan kabinet;

q.

pergeseran anggaran antar-Program dan/atau antarbagian anggaran untuk pembentukan dan/atau pengubahan Kementerian Negara/Lembaga berkaitan dengan kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan;

r.

perubahan alokasi anggaran kewajiban penjaminan pemerintah;

s.

perubahan anggaran yang mengakibatkan terjadinya penurunan volume keluaran ( output ) teknis non prioritas nasional, termasuk penurunan volume komponen gedung/bangunan dan kendaraan bermotor pada keluaran ( output ) layanan sarana dan prasarana internal; dan/atau

t.

perubahan anggaran belanja yang bersumber dari pinjaman termasuk pinjaman dan/atau hibah luar negeri baru untuk penanggulangan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

(3)

Perubahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa perubahan rincian anggaran yang disebabkan oleh penambahan atau pengurangan anggaran belanja Kementerian/Lembaga dan/atau BA BUN termasuk pergeseran rincian anggarannya.

(4)

Revisi Anggaran dalam hal Pagu Anggaran tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

a.

pergeseran anggaran dalam 1 (satu) Program dan/atau antar-Program dalam 1 (satu) bagian anggaran untuk penanggulangan bencana alam;

b.

pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam Bagian Anggaran 999 (BA BUN) atau antarkeperluan dalam Bagian Anggaran 999.08 termasuk pergeseran anggaran dari Bagian Anggaran 999.08 (Bendahara Umum Negara Pengelola Belanja Lainnya) untuk pemberian bantuan dan/atau hibah kepada pemerintah daerah dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau kebijakan stimulus fiskal dalam rangka mengurangi dampak ekonomi;

c.

pergeseran anggaran belanja yang dibiayai dari PNBP antar-Satker dalam 1 (satu) Program yang sama atau antar-Program dalam satu bagian anggaran;

d.

pergeseran anggaran antar-Program dalam 1 (satu) bagian anggaran untuk memenuhi kebutuhan Belanja Operasional;

e.

pergeseran anggaran dalam 1 (satu) Program yang sama atau antar-Program dalam 1 (satu) bagian anggaran untuk memenuhi kebutuhan Pengeluaran yang tidak diperkenankan ( Ineligible Expenditure ) atas kegiatan yang dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri;

f.

pergeseran anggaran dalam 1 (satu) Program yang sama dan/atau antar-Program dalam 1 (satu) bagian anggaran dalam rangka penyelesaian restrukturisasi Kementerian/Lembaga;

g.

pergeseran pagu anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar-Program dalam 1 (satu) bagian anggaran untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan;

h.

pergeseran anggaran antarkeluaran ( output ) dalam rangka memenuhi kebutuhan selisih kurs;

i.

pergeseran anggaran pembayaran kewajiban utang sebagai dampak dari perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang dalam rangka menjaga ketahanan ekonomi dan fiskal;

j.

pergeseran anggaran dalam 1 (satu) atau antarprovinsi/kabupaten/kota dan/atau antarkewenangan untuk kegiatan dalam rangka tugas pembantuan, urusan bersama, dan/atau dekonsentrasi;

k.

pergeseran anggaran dalam 1 (satu) Program dalam rangka memenuhi tunggakan tahun-tahun sebelumnya;

l.

pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian sisa kewajiban pembayaran Kegiatan/proyek yang dibiayai melalui SBSN yang melewati tahun anggaran sesuai hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;

m.

pergeseran anggaran untuk pembukaan kantor baru atau alokasi untuk Satker baru;

n.

pergeseran anggaran untuk penyelesaian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht );

o.

pergeseran anggaran Kegiatan kontrak tahun jamak untuk rekomposisi pendanaan antartahun;

p.

pergeseran anggaran untuk pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual dan/atau Sisa Anggaran Swakelola selain untuk menambah volume keluaran ( output ) yang bersangkutan atau keluaran ( output ) lain;

q.

pergeseran anggaran antarkeluaran ( output ) Prioritas Nasional;

r.

Revisi Anggaran dalam rangka penyelesaian pekerjaan yang tidak terselesaikan sampai dengan akhir tahun anggaran;

s.

penggunaan anggaran dalam BA BUN yang belum dialokasikan dalam DIPA BUN;

t.

pemenuhan kewajiban negara sebagai akibat dari keikutsertaan sebagai anggota organisasi internasional;

u.

penggunaan dana keluaran ( output ) cadangan;

v.

pergeseran anggaran antarjenis belanja kecuali dalam rangka pemenuhan belanja operasional, penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dan pergeseran anggaran belanja yang bersumber dari PNBP pada Satker Badan Layanan Umum;

w.

pergeseran anggaran yang mengakibatkan perubahan sumber dana; dan/atau

x.

pergeseran anggaran antarkeluaran ( output ) yang berdampak pada penurunan volume keluaran ( output ) teknis non prioritas nasional, termasuk penurunan volume komponen dari keluaran ( output ) sarana dan prasarana internal.

(5)

Revisi administrasi yang memerlukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:

a.

perubahan rumusan informasi kinerja dalam database RKA-K/L DIPA dengan menggunakan Sistem Aplikasi; dan/atau

b.

pembukaan/pencantuman blokir DIPA.

(6)

Revisi pengesahan untuk substansi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas:

a.

pergeseran anggaran antar-Program dalam 1 (satu) bagian anggaran untuk penyelesaian pagu minus belanja pegawai;

b.

perubahan kode dan/atau nomenklatur bagian anggaran/Satker;

c.

perubahan pejabat penandatangan DIPA; dan/atau

d.

revisi otomatis untuk melakukan sinkronisasi data yang tercantum dalam konsep DIPA dengan data RKA-K/L alokasi anggaran hasil penelaahan.

(7)

Penyelesaian usulan Revisi Anggaran bagian anggaran Kementerian/Lembaga dilakukan dengan menggunakan Sistem Aplikasi.

(8)

Dalam hal Direktorat Jenderal Anggaran sedang memproses revisi DIPA APBN Perubahan Tahun Anggaran 2020, Kementerian/Lembaga tidak diperkenankan menyampaikan usulan revisi reguler kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan hingga usulan revisi DIPA APBN Perubahan Tahun Anggaran 2020 selesai dilakukan.

Thumbnail
Tidak Berlaku
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA | PENGELOLAAN DANA
16/PMK.07/2023

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ...

  • Ditetapkan: 28 Feb 2023
  • Diundangkan: 01 Mar 2023

Relevan terhadap

Pasal 20Tutup
(1)

Kementerian Keuangan dan kementerian/lembaga terkait melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja pengelolaan Dana Keistimewaan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2)

Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

capaian realisasi anggaran;

b.

capaian kinerja output;

c.

kendala pelaksanaan Dana Keistimewaan pada akhir tahun anggaran berjalan; dan/atau

d.

analisis keberhasilan atau kegagalan atas pencapaian kemanfaatan output dari pelaksanaan kegiatan.

(3)

Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan:

a.

triwulanan;

b.

semesteran; dan/atau

c.

tahunan.

(4)

Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh kementerian/lembaga baik secara sendiri- sendiri atau bersama-sama.

(5)

Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri.

(6)

Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan pada akhir tahun anggaran berjalan.

(7)

Kementerian Keuangan dan kementerian/lembaga menyusun dan menyampaikan laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Kementerian Dalam Negeri untuk dikompilasi dan disampaikan kepada Pemerintah Daerah DIY, Kementerian Keuangan, dan kementerian/lembaga terkait paling lambat minggu pertama bulan Januari tahun anggaran berikutnya.

(8)

Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) digunakan sebagai:

a.

pertimbangan bagi Pemerintah Daerah DIY dalam menyusun rencana program dan kegiatan Dana Keistimewaan tahun anggaran berikutnya; dan

b.

pertimbangan dalam penyusunan indikasi kebutuhan dana tahun anggaran berikutnya.

(9)

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pada Kementerian Keuangan dilakukan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

(10)

Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan sebagai bahan masukan dalam melaksanakan pengawasan.

20.

Di antara Bab IV dan Bab V disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IVA, serta di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

  • 1
  • ...
  • 13
  • 14
  • 15
  • ...
  • 64