Pengujian Formil dan Pengujian Materiil Lampiran UU 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Perpu 1/2020 Menjadi Undang-Undang [Ps 1, Ps 2 ayat (1) huruf ...
Relevan terhadap
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. 2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan 276 “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.” e. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." f. Pasal 6 Lampiran Undang-undang Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;
Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. Terhadap norma yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian dalam beberapa putusannya, antara lain sebagai berikut:
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, sebagai berikut: “… bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan; ” 277 b. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016, sebagai berikut: “Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan kenyataan bahwa norma tersebut kerap digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kemudian juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara politik hukum norma tersebut dapat diterima untuk dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya norma tersebut pun, pihak-pihak terkait memang seharusnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu keberadaan norma tersebut tidak menghilangkan prinsip equality before the law . F. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Terkait dengan materi keterangan yang akan disampaikan Ahli, pada dasarnya merupakan materi yang seyogianya telah dikuasai oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kemudian, sebelum masuk kepada pokok-pokok keterangan yang akan disampaikan dalam kapasitas ahli di bidang hukum tata negara, perlu dikemukakan bahwa Covid-19 yang dinyatakan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, tentu merupakan kondisi yang tidak mudah bagi semua pihak, tidak hanya bagi Indonesia, namun juga bagi negara-negara di belahan dunia lainnya. Sebagai penyelenggara negara yang diberikan amanat oleh konstitusi untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam menghadapi masa Pandemi Covid-19, negara wajib mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambil tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, terkait langkah-langkah yang diambil oleh negara sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 akan mencerminkan 278 tanggung jawab negara dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Tentu tindakan pemerintah tersebut harus ditelaah dari beberapa aspek: Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa (extraordinary). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960. Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang- undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid- 19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting 279 dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Tentu, Mahkamah Konstitusi dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “Keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); dan
keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. 280 Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak- tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu.” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang-undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan- kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi. Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan. Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas. Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga 281 tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi. Kebijakan Keuangan Negara Dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni:
Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “PSME” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi: 282 a. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali: 283 1. Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces.
Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu- rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “UU Ketenagakerjaan”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut: 284 a. mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;
mengurangi shift;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan 285 b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang 286 spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- undang dengan rumusan “…diatur dalam undang-undang…” dan “…diatur dengan undang-undang.” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “diatur dalam undang-undang ( geregeld in de wet ), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang ( geregeld bij de wet ).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang ( in de wet ), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.” Sementara itu, frasa “dengan undang- undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri.” Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy, perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/ Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.” 287 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang.” 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang-undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir (fallacy) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang- undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang yang menentukannya.” 288 Pengujian Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang- Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang- undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo.” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya (open public policy). Mahkamah Konstitusi memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran.” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan. Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/ kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur 289 kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang. Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making atau law making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk 290 mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid- 19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat 291 terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang- Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang MENOLAK permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan 292 UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo. Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang. Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan 293 dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi.” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan. 294 (3) Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor, maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara. 295 Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 Oktober 2020 dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 163 I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1: Matriks Pengujian UU 2/2020 Adapun batu uji yang digunakan oleh para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: Gambar 2: Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan para Pemohon 164 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LATAR BELAKANG PENERBITAN UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. 165 Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat (total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home, work from home, dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate 166 terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity 167 untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perpu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perpu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perpu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perpu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. 168 Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perpu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perpu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perpu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perpu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perpu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. 169 B. BANTAHAN DALIL-DALIL PARA PEMOHON Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020.
Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja 170 untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif (forward looking) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan 171 pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perpu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 172 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah; 173 4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB). 174 2) Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp 695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 175 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: Gambar 3: Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai 176 Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan (sustainability) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid- 19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR 177 PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback.
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home, maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka 178 pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan (fairness) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud, perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang 179 seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence), (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan, dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat 180 dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business (B2B), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment.
Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T 181 Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineerin g, design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment / imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment / import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah ( loopholes ) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses 182 legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perpu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: 183 a) akan menutup celah pengaturan (loopholes) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha (level of playing field) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan (fairness) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. 184 Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya 185 merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang (opened legal policy) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru (precedented), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri 186 Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. 187 Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: "Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation 188 between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: 189 “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) 190 UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. 191 Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods. SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate. Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5: Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia 192 Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat”. Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan 193 peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort, memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 194 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp 71,2 T dan Rp 72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. 195 Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang 196 membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu 197 diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. 198 Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga 199 diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 200 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 201 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas (vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan 202 solvabilitas (vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal (vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat 203 dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif 204 pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding, dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds 205 usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.
Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent. Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. 206 Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 s.d. Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal, sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” 207 Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary. Selain dapat memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, 208 program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri (trade finance). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) juncto Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau tindakan pengawasan OJK (vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang 209 P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk 210 penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang. 211 d. Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances, dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 (check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian 212 negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh:
Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer, masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. 213 Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary. Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat 214 yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru (precedented) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK);
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat 215 diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa diantara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara 216 a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud.” Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. 217 Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. 218 Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana 219 (actus reus) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/mens rea).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions, FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” 220 Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee, perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith.” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. 221 Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk (mens rea) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan (vide pasal 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus. Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang 222 optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, apabila Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Untuk memperkuat keterangannya, Presiden mengajukan 3 orang Ahli yang keterangannya didengarkan dalam persidangan tanggal 29 April 2021, yaitu Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., dan Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum serta 3 orang Ahli yang keterangannya diajukan secara tertulis kepada Mahkamah dan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Juni 2021, yaitu Chandra M. Hamzah, S.H., Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., dan Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M, yang keterangan- keterangannya adalah sebagai berikut: 223 A. Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Pendahuluan Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang – tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hukum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing- masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy ). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan 224 kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency ). paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang-wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemi yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan 225 Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemi tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negative terhadap demokrasi dan rule of law . Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara a quo , maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu 226 pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000 (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggeris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan social, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industri perhotelan, industri pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, 227 yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “ Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures ”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konstitusi – sebagaimana disebut diatas – sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan – kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, 228 maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg ) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 No. 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer. Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang-undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan 229 yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy ) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relative stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan – meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy ) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, outputnya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat. Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi 230 menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media sosial. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid 19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemi, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya, karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hukum yang innovative untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hukum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation __ Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations ”. 231 Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hukum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hukum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan (keberlakuannya) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
sifatnya yang sementara ( temporary character );
pengakuan akan sifat khusus ( exceptional ) dari keadaan darurat;
pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus, yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, 232 sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemi tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negatif terhadap demokrasi dan rule of law . Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut 233 B. State of Siege Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege . Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu: 234 1. Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan. E. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law , yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa. Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 Ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan 235 khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan ( meta-rule ) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta-rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States...” Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hukum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara 236 Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review. Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai akibatnya Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Mongomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrument mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting 237 dalam state of exigencies (keadaan genting) ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan Mahlamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu :
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; 238 2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemi yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi- Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaksin tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat 239 untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar !945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat, maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman dibawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 240 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa “ pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis ) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal ( state of normalcy ) Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis , yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal ? Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional dictatorship , memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point , Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun 1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu Nomor 23 tahun 1959 yang didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sispil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang”. Dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi 241 fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dan harus memuat pengawasan dari Lembaga judicial . Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan: “bila negara dalam emergency law , maka perlu diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan:
Providing for legislative and judicial oversight for the executive , 2. Limiting exceptional measures to those strictly necessary , 3. Ensuring that such powers endures only for the duration of outbreak . Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight . Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta ”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa defisit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. Hukum Tata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga berubah emergency law ( staatsnoodrecht ) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland , dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “ limited state of emergency ”, dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara bisa menemukan istilah, HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights ) sampai Pasal 360 ( provision as financial emergency ) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress . 242 Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 juncto Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam Judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo . Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi undang-undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perpu ini.” Pemberlakukan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi :
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklassifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut : a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak; 243 2) Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat- surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum deficit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan 244 5) Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum deficit. Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp. 405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan 245 4) Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemi Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perpu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. 246 k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahan ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin 247 implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak iterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, 248 merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat 2 adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Machfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “ juristerij ”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 memberikan kekebalan hukum tidak tepat, karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Machfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya Ahli menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada 249 persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu No. 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”, yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hukum formil maupun hukum materiil. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak. Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan 250 pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang-undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hukum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang- undang, terutama karena kewenangan legislative merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang- Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu, yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hukum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan), maka Perpu jenis kewenangan 251 darurat ( emergency power ) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hukum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir. Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis, yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules. Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini :
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan social ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis disegala bidang yang 252 mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah. C. Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M. Ec Tiga hal yang akan disampaikan oleh ahli, antara lain mengenai isu bagaimana dampak Covid-10 bagi perekonomian dunia, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dan mengapa fiskal stimulus atau pelebaran defisit dibutuhkan dalam rangka mengatasi situasi saat ini. Bahwa pandemi Covid-19 yang telah terjadi saat ini menyebabkan pemerintah dari berbagai negara mengambil tindakan yang sifatnya diluar kebiasaan, hal tersebut bertujuan agar infected cases yang sebelumnya meningkat dapat diturunkan dengan cara membuat masyarakat menghindari aktifitas yang dapat menimbulkan kerumunan dan menjaga jarak. Berbagai negara menjalankan 253 kebijakan berupa lockdown sedangkan Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan lockdown yang diterapkan terutama dibanyak negara bertujuan agar masyarakat tinggal di rumah, sehingga menimbulkan dampak bagi aktifitas- aktifitas perekonomian negara tersebut terhenti sementara yang kemudian secara menyebabkan guncangan ekonomi secara global karena seluruh aktifitas perekonomian terhenti secara total kecuali kegiatan yang dapat dilakukan secara virtual. Semnetara itu, menurut Ahli dampak tersebut tidak begitu besar dialami oleh Indonesia yang mengambil kebijakan berbeda, ekonomi Indonesia relatif atau lumayan mampu bertahan menghadapi situasi pandemi saat ini dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia 2,1% ditahun 2020 walaupun tidak sebaik Vietnam dimana pertumbuhan ekonominya 2,9% di tahun 2020 atau pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 2,3 ditahun 2020 atau pertumbuhan ekonomi Korea Selatan -1% ditahun 2020. Kondisi tersebut relatif lebih baik dibanding dengan yang terjadi di Rusia, Amerika Serikat, Jerman dan Malaysia yang mengalami perlambatan dalam pemulihan ekonominya, kecuali Tiongkok dan Vietnam dimana pemulihan ekonominya relatif lebih cepat. Kondisi perekonomian Indonesia yang terjadi saat ini disebabkan salah satunya oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diambil oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu kebijakan Pemerintah yang memberikan stimulus fiscal juga mempengaruhi kondisi perekonomian pada saat pandemi covid-19. Pandemi Covid-19 memberikan dampak terhadap sektor ekonomi formal maupun sektor ekomoni informal, bahkan justru sektor informal yang mengalami dampak paling buruk dimana pendapatan sektor informal turun 30% dan pendapatan wirausaha turun 15%, sedangkan pekerja teta patau pekerja dengan gaji tetap hampir tidak terdampak kecuali bagi pekerja yang kehilangan mata pekerjaannya. Sektor informal merupakan kelompok rentan yang terdiri dari masyarakat berpendapatan menengah bawah, perempuan dan anak-anak. Selanjutnya, grafik berikutnya dapat memperlihatkan bahwa tingkat pengangguran selama pandemi Covid-19 berlangsung naik dari 5,28% menjadi 7,07%, kemudian tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19% dan masyarakat pada golongan ini terbantu dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai dan perlindungan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, Namun perlu 254 diketahui bahwa angka tersebut secara riil mungkin jauh lebih besar. Kemudian, melalui grafik yang menggambarkan tabungan masyarakat di Indonesia terlihat bahwa kelompok yang pendapatannya di atas Rp. 5.000.000 justru mengalami peningkatan, hal ini disebabkan masyarakat pada kelompok tersebut hanya membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok saja, sehingga melalui grafik tersebut dapat terlihat bahwa terjadi ketimpangan pendapatan selama pandemi covid-19. Indonesia mencapai titik pertumbukan terendah pada triwulan II tahun 2020 yaitu -5,3% dengan kontraksi antara -3,39% sampai dengan -2,19%. Namun pada triwulan III mengalami pembalikan dimana terjadi peningkatan pada komponen konsumsi pemerintah Selain konsumsi pemerintah, konsumsi masyarakat baik kelompok pendapatan atas, menengan maupun bahwa sudah kembali di atas normal, sehingga dengan demikian stimulus fiskal yang diberikan oleh pemerintah memitigasi dampak dari pandemi. Aktivitas konsumsi masyarakat tersebut tentunya berdampak bagi sektor keuangan baik mikro maupun makro, dalam hal ini mempengaruhi performa pembayaran kredit dari pelaku usaha kepada perbankan jika pertumbukan konsumsi masyarakat negatif maka menimbulkan situasi gagal bayar bagi pelaku usaha. Terhadap hal tersebut OJK melakukan kebijakan relaksasi kredit tetapi kebijakan ini diberlakukan hanya sampai dengan tahun 2020. Pemerintah mengatasi kondisi pada sektor keuangan tersebut dengan mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 dengan memfokuskan pada 3 hal, yaitu alokasi belanja kesehatan, alokasi belanja untuk bantuan sosial dan alokasi belanja untuk dukungan UMKN. Kebijakan fiskal tersebut dilakukan selama tahun 2020, untuk tahun 2021 tentu masih dapat dilakukan jika defisit mencapai 3% pada akhir tahun 2020. Kemampuan Indonesia untuk memulihkan Indonesia dimana berbagai usaha sebagaimana telah disampaikan sebelumnya sudah dilakukan bergantung pada kemampuan mengatasi pandemi covid-19 itu sendiri. Hal tersebut dilakukan dikarenakan faktor terbesar yang menggerakan perekonomian adalah belanja masyarakat dimana jika pandemi covid-19 masih ada maka sudah tentu masyarakat khususnya kelompok menengah dan menengah atas tidak akan berbelanja, oleh karena itu pemerintah tidak dapat menghentikan mobilitas masyarakat, satu-satunya cara adalah penerapan protokol kesehatan dengan ketat sebagaimana yang 255 dilakukan di China, Vietnam dan Singapura yang melakukan kegiatan perekonomian dengan protokol kesehatan secara ketat juga vaksinasi masyarakat secara masif. Sehingga dapat dikatakan ketersediaan vaksin pun mempengaruhi pemulihan perekonomian yang sedang dilakukan. Persoalan yang kemudian hadir saat ini adalah resiko dari gelombang ketiga dimana seluruh negara tidak mau mengekspor vaksi yang mereka produksi dengan alasan untuk pemenuhan vaksin dalam negerinya, keterpenuhan vaksin bagi Indonesia ini tentu mempengaruhi usaha pemulihan ekonomi ketika menghadapi gelombang ketiga pandemi. Kebijakan stimulus fiskal menjadi sangat penting bagi Pemerintah untuk menjaga ketersedian vaksin pada saat menghadapi gelombang ketiga, dan besarannya harus dilakukan secara masif dimana menurut ahli 6,1% cukup untuk menyelamatkan nyawa dan ekonomi Indonesia. Menurut ahli, setidaknya ada dua pilihan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, pertama adalah Pemerintah harus mendorong produksi investasi, hal tersebut dilakukan dengan logika jika produksi berjalan maka investasi akan naik lalu perusahaan tentu akan mempekerjakan orang lebih yang kemudian memberikan pendapatan bagi masyarakat terdampak dan selanjutnya mendorong konsumsi masyarakat. Kedua adalah program kesehatan, menurut ahli pemberian vaksin secara gratis dan menurunkan tarif PCR merupakan langkah yang harus dilakukan Pemerintah untuk mengatasi pandemi. Demikan keterangan ahli pada persidangan pada hari ini. D. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum Keterangan Ahli yang Ahli sampaikan terdiri dari 3 (tiga) bagian sesuai dengan permintaan Keterangan Ahli yang disampaikan kepada Ahli melalui Surat Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI Nomor S-212/SJ.4/2020 tertanggal 03 Desember 2020 perihal Permohonan Sebagai Ahli Pemerintah Dalam Rangka Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:
. Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perpu;
. Wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19; dan
. Penjelasan perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pertama , Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perpu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk 256 dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra- ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sehubungan dengan Perpu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. parameter obyektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut 257 pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU- VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “martial law” atau “emergency legislation”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “ martial law ”, “ emergency law ”, atau “ emergency legislation ”. Perpu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal.
. Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena 258 peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perppu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum (algemene wet bestuursrehct), kewenangan diskresi juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Pasal 22 ayat (2) UU No 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari 259 para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian materiil yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, 260 huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020) Kedua , wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU- VII/2009. kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan (the principle of carefullness), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan (the principle of motivation), kebijaksanaan (sapientia), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) (the duty to giving reasons) 261 melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocussing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. 262 Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur);
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) 263 bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid- 19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 264 masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid-19 diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah-langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat-obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. 265 Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid- 19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama, menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat, dalam mengatasi 266 dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor-aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid-19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. 267 Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp 765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp 34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang 268 setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah- langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. E. Chandra M. Hamzah, S.H. PEMAKNAAN KERUGIAN NEGARA Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU Krisis Sistem Keuangan”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik 269 bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan: “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), sebagai berikut: paragraf kedua: “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat 270 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi). Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara. Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 271 Pasal 10 UU BPK: “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:
pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.” Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“Perpres BPKP”), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut:
... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” 272 Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:
perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan 273 b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHPidana”), sebagai berikut: “Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana 274 “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 2/Yur/Pid/2018 dan 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai “diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” adalah:
apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.
apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea). Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang-undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law, khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum 275 “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang- undangan dan/atau Kode Etik Advokat.” c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“UU MD3”) Pasal 57:
Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
Pengujian UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi terhadap UUD Negara RI Tahun ...
Relevan terhadap
Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar penggunaan frekuensi besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi;
Pengguna orbit satelit wajib membayar hak penggunaan orbit satelit. (3). Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah; Permasalahan 1. Apakah UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 16 ayat (2) dan (3); Pasal 26 ayat (2); serta Pasal 34 ayat (3) harus diselaraskan dengan asas keadilan ? 2. Apakah UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 16 ayat (2) dan (3); Pasal 26 ayat (2); serta Pasal 34 ayat (3) harus diselaraskan dengan kehendak Pasal 23A UUD 1945 ? Analisis 1. Karena pajak dan pungutan-pungutan lain untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Dan tujuan Undang-Undang adalah untuk menciptakan keadilan, maka Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi yang diberiakukan ini tentu tujuannya juga untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat. Dalam hal yang diatur dalam Pasal 16 ayat (2) "Kontribusi pelayanan universal sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain” . Apabila setelah wajib bayar melaksanakan kewajibannya membayar kontribusi pelayanan universal kemudian jumlah yang dibayarkan tidak diperhitungkan untuk mengurangkan penghasilan bruto wajib bayar sebagai Subjek Pajak Badan, maka akan terjadi pembayaran ganda yang dilakukan wajib bayar, yaitu bayar Pajak Penghasilan dan bayar kontribusi pelayanan universal. Maka ketentuan hukum yang menimbulkan kewajiban pembayaran ganda oleh masyarakat adalah jauh dari rasa keadilan;
Karena kehendak Pasal 23A UUD 1945, menghendaki pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan Undang- Undang, sehingga dalam bidang telekomunikasi penentuan besaran prosentase tarip pungutan negara kepada masyarakat harus ditetapkan dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 www.mahkamahkonstitusi.go.id Undang-Undang Telekomunikasi (seperti halnya dalam bidang pajak), tidak sepenuhnya pengaturan prosentase tarif pungutan diserahkan melalui produk hukum yang dinamakan Peraturan Pemerintah;
Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, M. Si Undang-Undang PNBP ada pada tahun 1997 atau Undang-Undang PNBK itu sendiri ada amandemen ketiga Undang-Undang Dasar pada tahun 2001. Kelemahan UU PNBP adalah tidak membuat demarkasi yang jelas antara PNBP yang esensinya merupakan royalti dan fee/charges sehingga dalam implementasi UU PNBP, terdapat beberapa jenis PNBP yang esensinya merupakan quasi pajak/ pseudo tax . Diskresi yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menetapkan objek dan tarif, bahkan pajak saja harus dipungut berdasarkan Undang-Undang ( no tax without representation, tax without representation is robbery ); Hukum pajak material dan hukum pajak formal tidak dipisahkan. Tidak ada mekanisme untuk bagi wajib bayar untuk mencari/mendapatkan. Keadilan secara optimal, karena dispute settelement tidak diatur dengan adil karena hanya ada mekanisme keberatan. Padahal keberatan hanya merupakan peradilan semu. Namun Pasal 119 ayat (5) menyatakan “Penetapan atas keberatan sebagaimana _dimaksud pada ayat (4) merupakan penetapan yang bersifat final”; _ Beberapa jenis PNBP (seperti BHP jastel) justru lebih berat dibandingkan pajak penghasilan, karena menggunakan gross base sebagai dasar pengenaan pajak Ada beberapa jenis pemungutan seperti BHP Jastel itu sebetulnya merupakan kuasi pajak karena ciri-cirinya sama dengan pajak. Artinya pembayar pakak tidak mendapatkan kontrapretasi yang langsung dirasakan sebab pajak itu digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan; Apabila diperhatikan, penggunaan PNBP yang kembali ke Kominfo, seharusnya untuk cost recovery atau untuk penyelenggaraan telekomunikasi yang lebih baik, apalagi jika dikaitkan dengan MDGS terdapat target yang ingin dicapai dan jika bicara mengenai daya saing, itu tidak menjadi sesuatu yang mendukung karena yang kembali ke Kominfo hanya sekitar 26%-nan. Sedangkan yang berkaitan dengan frekuensi malah lebih kecil lagi sekitar 12%-nan, artinya ini sama dengan pajak; Pemungutan pajak pajak harus diatur dengan Undang-Undang, penetapan tarif, penetapan objeknya, namun untuk PNBP diskresi yang diberikan terlalu besar. Padahal pajak sangat menekankan no tax without representation . Ini Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 www.mahkamahkonstitusi.go.id menunjukkan posisinya jauh lebih tinggi, yang bukan hanya sekedar harus ada atau diatur dalam Undang-Undang, tetapi juga harus ada keterwakilan dari masyarakat di dalam penyusunan Undang-Undang tersebut; Otoritas pemungut pajak yang resmi, ada Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bahkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun sekarang sudah mulai ada pergeseran fungsinya yang lebih kepada arus lalu lintas barang. Sementara ini ada satu lembaga yang juga melakukan pemungutan negara, tetapi tidak dilengkapi dengan instrumen sebagaimana seharusnya pungutan negara secara komprehensif, misalnya dispute settlement . Bicara mengenai sengketa pajak, hanya berhenti pada keberatan saja dan putusan keberatan itu bersifat final. Padahal yang namanya keberatan, itu sebetulnya peradilan semu. Bagaimana mungkin dua orang yang saling bersengketa, yang salah satu pihak mempunyai otaritas penuh untuk memutuskan. Itu tidak bisa diajukan ke pengadilan pajak atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung; Ini yang menjadi persoalan, belum lagi kalau pajak diberikan instrument yang lengkap, mulai dari Undang-Undang Penagihan Pajak, Undang-Undang Pengadilan Pajak dengan surat paksa dan sebagainya. Menurut ahli, salah besar kalau PNBP tidak membebani konsumen karena PNBP adalah bagian dari cost . Jadi ketika ada pungutan negara sebetulnya itu menambah cost, sehingga ini akan berpengaruh terhadap price yang ditanggung oleh konsumen. Berbicara PPh (Pajak Penghasilan) base-nya adalah net income . Jadi, kalau rugi dia tidak bayar pajak, tetapi dalam PNBP, basisnya adalah gross ; Paradoks penerimaan dan jumlah lembaga pemungut Dari sisi nominal, pajak merupakan sumber dominan dan pungutan negara yang paling cenderung terus meningkat setiap tahunnya, sementara pungutan PNBP cenderung mengalami fluktuasi yang stokastik, namun dari sisi prosentase cenderung menurun. Ironisnya, paska Perubahan Ketiga UUD 1945, bertambahkan lembaga/kementerian yang memungut PNBP serta bertambahnya objek pemungutan PNBP tidak menambah pendapatan negara secara berarti, bahkan cenderung menurun secara prosentase; Rekontruksi kebijakan pungutan negara Supply side tax policy tidak identik dengan " tax cut" atau tax incentives. Supply side tax policy seharusnya dimaknai sebagai "setiap bentuk kebijakan pungutan negara yang bertujuan untuk mengurangi beban pungutan negara". Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 www.mahkamahkonstitusi.go.id Rekonstruksi "SSTP" lebih mengakomodir untuk menjaga keselarasan antara asas-asas pemungutan pajak ( revenue productivity - ease of administration - equality/ neutralit y); __ Rekontruksi konsepsi cost of taxation Beban Perpajakan pada hakekatnya merupakan semua semua beban (cost) dan biaya ( expense ), baik yang bersifat berwujud ( tangible ) maupun nirwujud ( intangible ), yang harus ditanggung oleh seluruh komponen Negara (baik Wajib Pajak, Rakyat, dan Pemerintah) sebagai implikasi suatu kebijakan pajak; Rekontruksi konsepsi beban perpajakan Beban Perpajakan yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak, meliputi Beban Kepatuhan dalam berbagai pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan berbagai hak perpajakan ( compliance costs ). Beban Perpajakan yang harus ditanggung oleh Pemerintah untuk melakukan administrasi dan tata kelola pemungutan pajak ( administrative costs ). Beban Perpajakan yang harus ditanggung oleh seluruh komponen Negara baik Pemerintah maupun rakyat, sebagai konsekuensi dari kebijakan perpajakan yang dipilih ( policy costs ); Kesimpulan Postur pungutan negara, khususnya PNBP saat ini memperberat cost of taxation , maupun cost of state levies yang harus ditanggung oleh pembayar pajak, rakyat dan negara. Hal ini berpotensi mengganggu daya saing nasional. Dalam perspektif supply side tax policy , PNBP quasi pajak dan quasi retribusi menambah cost of taxation yang harus ditanggung oleh pengusaha, sehingga dapat mengganggu produktivitas dan melemahkan daya saing nasional. PNBP bukan saja menambah biaya yang tangible yang harus dikeluarkan dalam bentuk rupiah, tetapi juga yang bersifat intangible seperti psycological costs dan time costs ; Regulatory Charges di Indonesia ditinjau dari konsepsi keuangan negara dan supply side policy Pada hakekatnya PNBP atas BHP frekuensi tidak ada bedanya dengan pajak. Sehingga tidak tepat apabila dipergunakan istilah PNBP untuk pungutan- pungutan tersebut. Selain itu, karena PNBP memiliki karakteristik yang sama dengan pajak, maka pada hakeikatnya telah terjadi pajak berganda atas penyelenggaraan jasa telekomunikasi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 www.mahkamahkonstitusi.go.id PNBP seharusnya dipungut dengan menggunakan konsepsi charges Pemungutan dilakukan karena adanya services yang diberikan oleh government, misalnya dalam bentuk pengawasan, pemeliharaan pengaturan dan sebagainya. Sehingga dalam hal ini, dengan melakukan pungutan atas BHP frekuensi, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada operator terkait dengan penggunaan spektrum frekuensi; Sebaiknya penentuan besarnya BHP frekuensi di Indonesia diperhitungkan berdasarkan cost recovery Pemerintah untuk mengelola spektrum. Penggunaan charges tersebut dilakukan dengan menggunakan konsepsi earmarking . Dengan demikian, seharusnya instansi yang memungut PNBP diberi kewenang yang besar untuk mengatur/menggunakan PNBP sesuai dengan visi, misi dan fungsi instansi yang bersangkutan. Bukan hanya memiliki kewenangan untuk mengelola sebagian kecil dari penerimaan BHP frekuensi seperti yang terjadi saat ini. PNBP berkaitan dengan telekomunikasi memang ada yang kaitannya yang termasuk ke dalam PNBP yang sifatnya sumber daya alam, seperti misalnya bandwitch. Kalau bicara Jastel seharusnya berkaitan dengan konsep cart atau di Indonesia semacam retribusi. Cartis , pertama bentuknya harus penetapannya cost recovery , kedua, untuk penggunaannya harus in marking . Apakah PNBP dipungut untuk kemakmuran rakyat, tetapi untuk telekomunikasi berkaitan dengan masalah- masalah telekomunikasi namun bagaimana dengan masalah teledensitas, akses internet di Indonesia. Jadi wajar jika di daerah terpencil sulit sekali mendapatkan akses. Seharusnya dengan banyaknya PNBP yang dipungut dapat membantu untuk mendorong target M digis yang spesifik dengan WSIS. Apabila berbicara mengenai konsep supply side tax policy maka ada yang disebut dengan cost of taxation . Khusus di Indonesia dapat dikembangkan, bukan lagi masalah cost of taxation tetapi mengenai cost of taxation karena ada beberapa pungutan yang pada hakikatnya adalah kuasi pajak. Jadi yang ingin dicapai adalah target M digis, bukan karena presiden sudah terlanjur teken kontrak tetapi bagaimana akses internet dapat mensejahterakan rakyat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa satu persen pertumbuhan industri telekomunikasi itu three cordon effect -nya luar biasa terhadap perekonomian; Setelah amandemen UUD 1945 tahun 2001, namun justru Undang-Undang PNBP sama sekali belum ada pengganti (perubahan). Padahal lembaga yang memungut PNBP dan jenis PNBP bertambah banyak. Bicara penerimaan negara, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 www.mahkamahkonstitusi.go.id itu masalah stokastik. Menjadi suatu keprihatinan tidak jelas kontribusi PNPB terhadap negara. Jika terjadi demikian maka siapa yang mengawasi PNBP. Berbeda pajak banyak yang mengawasi, misalnya komwas pajak, itjen dan sebagainya. Jadi pajak atau pungutan negara adalah sebagai bentuk hubungan antara negara dan rakyat. Seberapa besar legitimasi negara kepada rakyat dapat terlihat dari pembayaran atau pungutan oleh Negara; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam sidang tanggal 10 April 2014 memberikan keterangan lisan dan keterangan tertulis tanggal 10 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah 02 Juli 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP mengatur adanya wewenang luas dan tanpa batas yang dimiliki oleh Pemerintah untuk menambah jenis PNPB, di luar jenis PNBP yang sudah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa Pasal 3 ayat (2) UU PNBP yang mengatur tarif PNBP, di mana besaran tarif PNBP diatur dalam Peraturan Pemerintah, memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif sesukanya/sewenang-wenang.
Bahwa konstitusionalitas pengaturan pemisahan jenis dan besaran tarif PNBP yang diatur dengan regulasi yang berbeda, dimana jenis PNBP diatur dalam Undang-Undang (jenis PNBP dapat ditambah melalui Peraturan Pemerintah), sedangkan besaran tarif atas jenis PNBP diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa Pasal 16 ayat (1) Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi mengatur kewajiban PNBP berupa Kewajiban Kontribusi Pelayanan Universal Telekomunikasi ( Universal Services Obligation ), Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi, dan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, selanjutnya Pasal 16 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi mengatur besaran tarif jenis PNBP dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah, menurut para Pemohon menjadi tidak terjamin haknya akibat pengaturan dengan Peraturan Pemerintah dimaksud.
Menurut para Pemohon bahwa konstitusi jelas mengatur agar pungutan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 www.mahkamahkonstitusi.go.id Negara memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi warga negara, maka pungutan yang sifatnya memaksa haruslah diatur dalam Undang-Undang baik jenis dan tarifnya. Sehingga menurut para Pemohon pasal dalam UU a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusiona!" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu Para Pemohon hams menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasi dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 www.mahkamahkonstitusi.go.id dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Penyelenggara Jasa Internet berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi dikualifikasikan sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi, yang dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasinya menggunakan dan/atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Mengingat bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan bagian dan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, maka Pemohon I sebagai asosiasi yang membawahi penyelenggara jasa telekomunikasi khususnya penyelenggara jasa internet maupun Pemohon II yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia tidak pernah dibebankan kewajiban pembayaran Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Telekomunikasi beserta peraturan pelaksanaannya.
Mengingat bahwa ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Telekomunikasi beserta peraturan pelaksanaannya tidak pernah dibebankan kepada Para Pemohon maka menjadi sangat jelas tidak adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang dimohonkan diuji. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi. Selain itu apakah terdapat kerugian konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh karena itu, Presiden berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dan adalah tepat jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian Presiden menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-IIl/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PRESIDEN TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON Sebelum Presiden menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, Presiden akan menyampaikan landasan filosofis pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam UU PNBP, dan landasan filosofis pengenaan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal, Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam UU Telekomunikasi, yakni sebagai berikut:
Penerimaan Negara Bukan Pajak Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, dibentuk pemerintahan negara yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 www.mahkamahkonstitusi.go.id menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Bahwa untuk melaksanakan tugas dan fungsi Pemerintah dalam pelayanan, pengaturan, dan periindungan masyarakat, pengelolaan kekayaan negara, serta pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, dapat mewujudkan suatu bentuk penerimaan negara yang disebut sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. Bahwa pemberlakuan UU PNBP merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk keperluan negara, pengenaan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus didasarkan pada suatu Undang-Undang. UU PNBP sebagai salah satu perwujudan ketentuan Pasal 23A UUD 1945, di dalamnya mengatur mengenai tata cara yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang berupa penentuan siapa yang menjadi Wajib Bayar, tata cara pembayaran, dan prosedur penagihan pembayaran. Oleh karena UU PNBP berisi pengaturan mengenai tata cara untuk mencapai tujuan negara dalam rangka menghimpun Penerimaan Negara Bukan Pajak, dapat dikatakan bahwa UU PNBP merupakan kebijakan instrumental ( instrumental policy ) yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang sebagai penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945. Bahwa dalam UU PNBP mengamanatkan tentang pembentukan peraturan pelaksanaan atau ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang perlu diatur kemudian, yang dalam hal ini peraturan pelaksanaan dimaksud berbentuk Peraturan Pemerintah. Bahwa hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU PNBP serta berpedoman pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 www.mahkamahkonstitusi.go.id Undangan. Penerimaan Negara Bukan Pajak pada prinsipnya memiliki dua fungsi yaitu fungsi budgetary dan fungsi regulatory . Selaku fungsi budgetary , Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan salah satu pilar pendapatan negara yang memiliki kontribusi cukup besar dalam menunjang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, melalui optimalisasi penerimaan negara. Selaku fungsi regulatory , Penerimaan Negara Bukan Pajak memegang peranan penting dan strategis dalam mendukung kebijakan Pemerintah dalam pengendalian dan pengelolaan kekayaan negara termasuk pemanfaatan sumber daya alam. Pengendalian dan pengelolaan tersebut sangat penting artinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, kemandirian bangsa, dan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat banyak bentuk penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan meliputi penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Masuk, Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Selain itu, penerimaan negara yang berasal dari minyak dan gas bumi, yang di dalamnya terkandung unsur pajak dan royalti, diperlakukan sebagai penerimaan perpajakan, mengingat unsur pajak lebih dominan. Dengan demikian pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dirumuskan dalam UU PNBP mencakup segala penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan tersebut. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan pembentukan UU PNBP adalah:
menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak dan ketertiban administrasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Kas Negara;
lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia;
menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran negara, serta peningkatan pengawasan.
Penerimaan Negara Bukan Pajak di Sektor Telekomunikasi Bahwa untuk melaksanakan ketentuan amanat Pasal 23A UUD 1945 dan UU PNBP, maka UU Telekomunikasi mengatur jenis PNBP di sektor telekomunikasi antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi, antara lain:
Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal ( Universal Service Obligation ) Kewajiban Pelayanan Universal ( Universal Service Obligation ) merupakan kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi. Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil dan atau daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Pasal 16 ayat (2) UU Telekomunikasi mengatur kontribusi pelayanan universal berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Telekomunikasi Pasal 26 PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi mengatur kontribusi pelayanan universal berupa: penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi, atau kontribusi lainnya. Dalam pelaksanaan kontribusi kewajiban pelayanan universal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 www.mahkamahkonstitusi.go.id penyelenggara telekomunikasi memilih bentuk kontribusi lainnya. Selanjutnya berdasarkan hasil pertemuan Pemerintah dengan penyelenggara telekomunikasi, disepakati bahwa kontribusi lainnya adalah biaya yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan kotor ( gross revenue ) penyelenggara telekomunikasi, sebagai berikut:
Biaya Hak Penyelenggaraan Universal (BHP USO) sebesar 0,75% dari pendapatan kotor, sebagaimana tercantum dalam Risalah Rapat Penetapan Besaran Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal (USO) Bidang Telekomunikasi, tanggal 9 September 2003;
Biaya Hak Penyelenggaraan Universal (BHP USO) sebesar 1,25% dari pendapatan kotor, sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Sosialisasi Perubahan Besaran Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal (USO) dan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi, tanggal 3 Mei 2007;
Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi merupakan kewajiban yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi serta merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak yang disetor ke Kas Negara.
ii. Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (3) yaitu bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, maka hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara. Sebagai bentuk penguasaan oleh negara tersebut, dalam Pasal 33 ayat (1) serta Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi diatur ketentuan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 www.mahkamahkonstitusi.go.id mendapatkan izin Pemerintah, dimana atas penggunaannya wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dimaksud merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi radio sesuai izin yang diterima. Disamping itu, biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas yang bernilai ekonomis tinggi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin; Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi yang menyatakan: Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP (2) Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-Undang, jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (3) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 3 ayat (2) UU PNBP "Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang bersangkutan." Pasal 16 UU Telekomunikasi (1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. (2) Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain. (3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 www.mahkamahkonstitusi.go.id pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 26 ayat (2) UU Telekomunikasi "Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi "Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah." Ketentuan di atas oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 (2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut _Undang-Undang Dasar; _ (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 23A UUD 1945 "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, periindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum" Sehubungan dengan anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Terhadap dalil para Pemohon yang menganggap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:
UU PNBP sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang ", telah mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak ke dalam beberapa kelompok jenis PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 www.mahkamahkonstitusi.go.id b. Bahwa untuk mengantisipasi adanya potensi dari Penerimaan Negara yang bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka Pemerintah selain menetapkan jenis kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PNBP, juga mengatur bahwa jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak lainnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah [vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP].
Bahwa dapat dijelaskan sifat dari Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan (vide Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta penjelasannya).
Bahwa Peraturan Pemerintah ditetapkan juga harus memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.
Bahwa jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah juga harus dikemukakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rl untuk dibahas dan disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [vide Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP]. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pemerintah berkesimpulan penetapan Peraturan Pemerintah terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diatur dalam ketentuan pasal a quo baik materi maupun sifatnya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan substansi yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah juga sudah sesuai dengan aspek keadilan dan pengenaan beban kepada masyarakat mengingat jenisnya akan dikemukakan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 www.mahkamahkonstitusi.go.id kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rl, sehingga pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, terhadap dalil para Pemohon yang menganggap Pemerintah sewenang-wenang dan tanpa batas dengan menambah jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan Peraturan Pemerintah, hal tersebut terbukti tidak benar dan tidak berdasar, karena justru dengan memberikan ketentuan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Terhadap dalil para Pemohon yang menganggap pengaturan tentang tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) UU PNBP, memberikan wewenang Pemerintah untuk menentukan tarif sesukanya dan sewenang-wenang, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa kewenangan untuk menetapkan tarif dalam bentuk Peraturan Pemerintah sudah sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Sebagaimana diketahui "materi Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya" yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan (vide Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta penjelasannya).
Selain itu, pada saat UU PNBP dibentuk pada tahun 1997, potensi jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum dapat teridentifikasi sangat banyak (saat ini terdapat lebih dari 3000 jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan mengingat penetapan tarif perlu mengikuti perubahan ekonomi yang sangat dinamis, sehingga perlu penyesuaian dan tidak mungkin semuanya diatur dalam Undang-Undang, oleh karena itu diatur lebih lanjut dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 www.mahkamahkonstitusi.go.id Peraturan Pemerintah [vide penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP]. Pengaturan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU PNBP justru telah membuktikan adanya keterwakilan masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Rl dalam pengaturan dimaksud; Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan Pemerintah sewenang-wenang dalam menetapkan tarif ke dalam Peraturan Pemerintah tidak benar dan tidak berdasar.
Terhadap anggapan para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 16, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi yang mengatur tentang Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi ( Universal Services Obligation ), Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi, dan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio di mana pengaturan besaran tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak mengenai hai tersebut berdasarkan pasal a quo diatur dalam Peraturan Pemerintah, menurut para Pemohon menjadi tidak terjamin haknya dengan pengaturan peraturan pemerintah tersebut. Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa UU Telekomunikasi sebagai payung hukum penyelenggaraan telekomunikasi nasional antara lain mengatur kewajiban penyelenggara telekomunikasi, yang terdiri atas penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi, untuk memberikan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal, membayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi yang diambil dari persentase pendapatan penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi, dan membayar Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi.
Bahwa pembebanan kewajiban dimaksud merupakan kompensasi atas hak penyelenggara telekomunikasi dalam menyelenggarakan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 www.mahkamahkonstitusi.go.id jaringan dan/atau jasa telekomunikasi berdasarkan instrumen perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Telekomunikasi dengan penjelasan sebagai berikut:
Pasal 16 UU Telekomunikasi mewajibkan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk memberikan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi bagi terpenuhinya kebutuhan telekomunikasi masyarakat, khususnya di daerah terpencil dan belum berkembang.
Pasal 26 UU Telekomunikasi mewajibkan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang disetor ke Kas Negara.
Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi mewajibkan penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio yang juga merupakan sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas yang bernilai ekonomis tinggi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Bahwa penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 ayat (1) UU Telekomunikasi, dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi. Artinya pengaturan kewajiban penyelenggara telekomunikasi, dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak dimaksud, merupakan alat ( tools ) bagi Pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi;
Bahwa pengaturan kontribusi kewajiban pelayanan universal, biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, dan biaya penggunaan frekuensi radio dalam UU Telekomunikasi telah membuktikan adanya keterwakilan (representasi) masyarakat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 www.mahkamahkonstitusi.go.id melalui Dewan Perwakilan Rakyat Rl terhadap pengaturan Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor telekomunikasi, sehingga pengaturan dimaksud telah konstitusional dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa pengaturan besaran tarif kontribusi kewajiban pelayanan universal, biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dalam Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PNBP, sehingga pembebanan Penerimaan Negara Bukan Pajak kepada penyelenggara telekomunikasi, tetap dalam koridor UU PNBP yang konstitusional dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa Pemerintah tidak pernah bersikap semena-mena dalam menetapkan besaran tarif atas kontribusi kewajiban pelayanan universal, biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana didalilkan Para Pemohon dalam permohonannya karena penetapan dimaksud telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU PNBP. Penetapan besaran tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor telekomunikasi yang pernah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2005 sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Departemen Komunikasi dan Informatika sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010, jumlah total besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dipungut dari kontribusi kewajiban pelayanan universal dan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah tetap sebesar 1,75% dari persentase pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi, dengan penjelasan sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2005 menetapkan besaran tarif atas kontribusi kewajiban pelayanan universal sebesar 0,75% dan besaran tarif atas biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebesar 1% dari pendapatan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 www.mahkamahkonstitusi.go.id kotor penyelenggara telekomunikasi;
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 menetapkan besaran tarif atas kontribusi kewajiban pelayanan universal sebesar 1,25% dan besaran tarif atas biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebesar 0,5% dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi.
Bahwa perubahan komposisi persentase besaran tarif kontribusi kewajiban pelayanan universal dan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 dilakukan dengan memperhatikan pertumbuhan industri telekomunikasi nasional dan kebutuhan masyarakat khususnya di daerah-daerah perbatasan dan terpencil terhadap akses telekomunikasi, sehingga penentuan besaran tarif dimaksud telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU PNBP;
Terkait dengan penetapan tarif biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dibedakan untuk setiap jenis penggunaan spektrum frekuensi radio yaitu:
Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Izin Stasiun Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Komunikasi dan Informatika, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010, yaitu dengan menggunakan formula sebagai berikut: BHP ISR = (lb x HDLP x b) + (Ip X HDDP X p) 2 2) Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Izin Pita Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Komunikasi dan Informatika, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010, ditetapkan melalui: a) Mekanisme seleksi dengan memperhatikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 www.mahkamahkonstitusi.go.id kewajaran dan kemampuan daya beli masyarakat; atau b) Mekanisme penghitungan dengan menggunakan formula, sebagai berikut: BHP IPSFR = N x K x I x C x B i. Bahwa dalam menetapkan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio menggunakan formula sebagaimana dimaksud pada huruf h angka 1) dan angka 2) di atas, Pemerintah tidak dimungkinkan sewenang-wenang menetapkan tarif mengingat kewajiban untuk memperhatikan komponen:
Jenis frekuensi radio;
Lebar pita dan/atau kanal frekuensi radio;
Luas cakupan layanan;
Lokasi pemancar frekuensi radio; dan
Minat pasar. (vide Pasal 29 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit);
Selain itu, proses penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi telah melalui tahap konsultasi publik untuk mendapatkan tanggapan dan masukan dari masyarakat dan penyelenggara telekomunikasi termasuk stakeholder lainnya, sehingga menurut hukum telah memenuhi persyaratan formal penyusunan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Untuk itu dalil-dalil para Pemohon yang menyatakan Pemerintah bertindak semena-mena sangat tidak relevan dan tidak memiliki landasan hukum yang sah. IV. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan pemerintah tersebut di atas, maka disimpulkan sebagai berikut:
Para Pemohon tidak pernah dibebankan kewajiban pembayaran Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) UU Telekomunikasi, sehingga sangat jelas tidak adanya Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 www.mahkamahkonstitusi.go.id hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU PNBP dan UU Telekomunikasi;
UU PNBP merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Sebagai salah satu perwujudan Pasal 23A UUD 1945, UU PNBP mengatur tata cara yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang berupa penentuan siapa yang menjadi Wajib Bayar, tata cara pembayaran, dan prosedur penagihan pembayaran.
Pemberlakuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP serta Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi membuktikan bahwa negara telah memberikan pengakuan, jaminan, dan periindungan kepada para Pemohon dalam kedudukannya sebagai penyelenggara jasa internet akan kewajiban-kewajiban pembayaran PNBP yang harus dipenuhinya dalam menyelenggarakan layanan jasa internet.
Bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU PNBP, mengamanatkan dengan tegas bahwa "Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat" 5. Bahwa pengaturan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor Telekomunikasi dalam Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi telah memenuhi amanat Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23°, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa pengaturan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor Telekomunikasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Komunikasi dan Informatika, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010 telah memenuhi amanat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP.
Dengan demikian anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi telah menyebabkan tidak adanya keadilan dan kepastian adalah tidak benar Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 www.mahkamahkonstitusi.go.id dan tidak berdasar karena apabila pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak diatur dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan maka akan timbul ketidakpastian hukum.
Bahwa apabila permohonan pengujian Undang-Undang ini dikabulkan, menurut Pemerintah, negara tidak hanya berpotensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar kurang lebih Rp. 13.590.235.630.364,- (tiga belas triliun lima ratus sembilan puluh miliar dua ratus tiga puluh lima juta enam ratus tiga puluh ribu tiga ratus enam puluh empat rupiah), yang merupakan total Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2013, melainkan berpotensi kehilangan seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak, karena pada hakikatnya seluruh tarif atas jenis PNBP yang berlaku diatur dengan Peraturan Pemerintah. V. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan dalam 22 Juli 2014 mengajukan dua orang ahli, yakni Jonathan Parapak dan M. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 www.mahkamahkonstitusi.go.id Fachruddin yang memberikan keterangan lisan dalam persidangan tersebut dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan tanggal 22 Juli 2014, yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Jonathan Parapak Pendahuluan Seperti telah ditegaskan dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, peran telekomunikasi sangat penting untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan sangat strategis dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya pemerataan pembangunan dan hasil- hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa; Penyelenggaraan telekomunikasi sangat ditentukan oleh perkembangan yang sangat pesat dari teknologi telekomunikasi dan informasi, dan sudah memungkinkan perubahan dan perkembangan kehidupan manusia di segala bidang. Kekeliruan pembinaan telekomunikasi dan pengaturan teknologinya dan frekuensi dapat menjadi malapetaka kehidupan masyarakat, dan perekonomian negara. Kegiatan pertelekomunikasian sendiri telah merupakan salah satu komponen penting dan besar dari perekonomian nasional; Oleh karena pentingnya dan strategisnya telekomunikasi, maka pada mulanya di seluruh dunia telekomunikasi dikuasai dan diselenggarakan oleh negara dan langsung dibina oleh pemerintah; Dengan perkembangan teknologi dan kemasyarakatan serta kemajuan ekonomi, penyelenggaraan yang semula dimonopoli pemerintah berangsur mulai melibatkan peran swasta/masyarakat, namun peranan pembinaan oleh pemerintah/regulator akan semakin penting; Perkembangan Penyelenggaraan Telekomunikasi Perkembangan telekomunikasi sangat ditentukan oleh kemajuan teknologi Telekomunikasi yang pada umumnya dianggap mulai dengan penemuan Alexander Bell pada 1874, dengan teknologi telegraph yang sangat sederhana, berkembang pesat seperti yang kita saksikan sekarang seperti internet, satelit, telepon selular, dan lain-lain; Selama perkembangan penyelenggaraan yang semula semuanya bersifat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 www.mahkamahkonstitusi.go.id monopoli baik diselenggarakan langsung oleh pemerintah maupun oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diperhadapkan kepada berbagai tantangan antara lain kemajuan pesat teknologi, pemerataan layanan dan akses layanan, penataan/pengaturan pemakaian sumber alam yang terbatas serta partisipasi masyarakat. UU Nomor 36 Tahun 1999 adalah UU yang secara tegas telah memperluas partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi; Dengan maraknya partisipasi masyarakat, maka berbagai aspek penting hams di atur untuk menjamin mutu dan akses layanan termasuk di daerah terpencil, pemanfaatan teknologi tepat guna, pemanfaatan sumber daya alam terbatas seperti frekuensi, orbit satelit, dll. Oleh karena kompleksnya pengaturan dari berbagai aspek seperti interkoneksi, persyaratan teknis, teknologi, maka sangat wajar adanya kontribusi para penyelenggara untuk optimalisasi dan peningkatan mutu layanan telekomunikasi bagi masyarakat; KPU/USO. BHP Frequency. Orbit Satellite. BHP Telekomunikasi Di seluruh dunia, penyelenggaraan telekomunikasi sudah diserahkan kepada badan usaha, baik perusahaan BUMN maupun swasta. Dalam pelaksanaan umumnya penyelenggaraan memusatkan penyediaan jasa dan akses di kota besar, yang menguntungkan, dan enggan bahkan tidak mau menyediakan layanan di daerah terpencil atau pedesaan. Oleh karena itulah muncul konsep USO ( Universal Service Obligation ) keharusan membangun atau berkontribusi untuk pembangunan telekomunikasi di daerah pedesaan/terpencil. UU Nomor 36 Tahun 1999, menegaskan di Indonesia, setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. Konsep USO ini sesungguhnya sudah mulai pada 1907 di Amerika oleh President AT&T, Theodore Voil dengan semboyan " One system, One policy, and Universal service ". Di Indonesia diatur dengan kontribusi dalam bentuk penyediaan prasarana telekomunikasi atau kontribusi dana yang diatur melalui Peraturan Pemerintah. Kewajiban kontribusi pelayanan umum ini diberlakukan di banyak negara dengan format yang berbeda - beda. Di Indonesia kontribusi ini dimanfaatkan untuk layanan telekomunikasi pedesaan dan pendidikan; Salah satu sumber daya yang sangat penting dalam penyelenggaraan telekomunikasi adalah "frekuensi radio". Karena sumber daya alam yang sangat terbatas ini, telah menjadi bagian yang sangat penting dan strategis dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 www.mahkamahkonstitusi.go.id penyelenggaraan telekomunikasi, lebih khusus lagi dengan pesatnya perkembangan telekomunikasi selular/bergerak. Pemakaian satu bagian pita frekuensi berarti tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh orang lain. Namun demikian teknologi dapat memungkinkan satu frekuensi dipakai lebih dari satu kali dengan pengaturan polarisasi, kekuatan pemancar dari teknologi antena yang dipakai. Oleh karena itu peranan regulator (Pemerintah) sangat penting untuk menjaga ketertiban pemakaian. frekuensi tertentu. Oleh karena pemancaran frekuensi terjadi di ruang udara/angkasa yang bebas dan terbuka, maka pemanfaatan/alokasi frekuensi diatur secara intemasional. Nilai ekonomi frekuensi tertentu telah meningkat sangat tinggi, oleh karena itu sangat wajar untuk nilai/harga dimanfaatkan untuk sebesar-besamya kesejahteraan rakyat. Sebagai ilustrasi adalah pemanfaatan tanah, termasuk harga NJOP, dan PBB, di daerah JI. Thamrin yang sangat berbeda dengan di daerah pedalaman Karawang. Oleh karena itulah ketentuan Pasal 32 sangat penting yang selanjutnya di atur dengan peraturan pemerintah. Pengaturan dan optimalisasi pemanfaatan frekuensi yang terbatas ini sangat kompleks dan memerlukan keahlian serta peralatan canggih. Oleh karena itu mustahil untuk menetapkan PNPB frekuensi pada tingkat Undang- Undang, bahkan demi kecepatan penyesuaian mengikuti perkembangan teknologi, sebaiknya ditetapkan pada tingkat keputusan Menteri; Serupa dengan frekuensi, penguasaan orbit satelitpun merupakan sumber daya terbatas. Oleh karena lintasan orbit satelit umumnya mencakup beberapa negara, maka pengaturannyapun bersifat intemasional melalui ITU. Yang berhak ikut dalam pengaturan international adalah negara. Oleh karena itu, siapapun yang akan memanfaatkan orbit satelit harus melalui pengaturan/persetujuan negara. Hal mana dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999, telah diatur dalam Pasal 33. Deregulasi atau pengikutsertaan masyarakat telah mulai dirintis melalui Undang- Undang Nomor 36 Tahun 1999. Secara historis penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia dimulai dari jawatan pemerintah PTT, kemudian P.N. Telekomunikasi, Perumtel, dan akhimya P.T. Telkom yang sudah " gopublic ". Partisipasi swasta dimulai 1967 dengan hadimya Indosat, sebagai PMA Nomor 2 di Indonesia yang kemudian menjadi BUMN di akhir tahun 1980 dan menjadi perusahaan publik pada 1994. Kini kondisi pertelekomunikasian kita di Indonesia memprihatinkan oleh karena penyelenggaraan telekomunikasi yang sangat strategis itu, sudah lebih banyak dimiliki/ dikendalikan oleh perusahaan asing, seperti Indosat, XI, dan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 www.mahkamahkonstitusi.go.id beberapa perusahaan lain. Transisi dari era monopoli ke partisipasi masyarakat di berbagai negara melalui berbagai pola. Ada yang melalui lelang dengan harga tinggi dengan kontribusi tahunan, ada yang hanya melalui mekanisme perizinan dan kontribusi tahunan dalam bentuk biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi. Di Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999, Pasal 26, ditegaskan bahwa: setiap penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan; Di beberapa negara seperti Amerika, Australia, ada semacam FCC, yang mengembangkan, mengawasi regulasi telekomunikasi. Di Indonesia telah dibentuk BRTI yang menjadi regulator telekomunikasi di Indonesia. Di beberapa negara, anggaran Badan Regulasi didanai oleh penyelenggaraan melalui ketentuan perundangan yang berlaku. Untuk maksud pendanaan berbagai aspek yang sangat kompleks itulah, partisipasi penyelenggaraan telekomunikasi melalui cara yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dalam bentuk biaya hak penyelenggaraan. Ketentuan-ketentuan yang mengatur kontribusi USO, BHP frekuensi dan BHP, telah diatur dengan rapi baik melalui Undang-Undang maupun PP, sehingga baik secara filosofis, historis, teknis dan pengaturan, semuanya terarah pada penyelenggaraan telekomunikasi untuk sebesar-besamya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; Oleh karena perkembangan teknologi yang begitu cepat, secara historis pengaturan/regulasi selalu terlambat, maka pendekatan yang bijaksana adalah "peranan pemerintah" yang diatur melalui Undang-Undang, untuk menetapkan komponen dn besm PNPB telekomunikasi dapat dapat diturunkan ke tingkat Menteri teknis, seperti yang terjadi disektor lain, sehingga manfaat kemajuan teknologi dapat secepatnya dinikmati oleh rakyat;
M. Fachruddien Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, telah mengatur sedemikian rupa perihal ikhwal pembentukan peraturan perundang-undangan, bentuk, asas, jenis, hierarki, materi muatan, perencanaa, penyusunan, pembahasan, pengesahan peraturan perundang-undangan; disertai pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah Provinsi dan peraturan daerah Kabupaten/Kota. Serta lampiran yang terdiri atas teknik penyusunan naskah akademik dan teknik penyusunan teknik peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 www.mahkamahkonstitusi.go.id perundang-undangan; Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dijelaskan dalam pasal 5 yang meliputi:
Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan f. Kejelsan rumusan g. Keterbukaan Pasal 6 materi muatan peraturan perundang-undangan, harus mencerminkan asas:
Pengayoman;
Kemanusiaan;
Kebangsaan;
Kekeluargaan;
Kenusantaraan;
Bhinneka tunggal ika;
Keadilan;
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Uji materiil terhadap PP 74 tahun 2011 tentang tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan
Relevan terhadap
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagai- mana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan bertentangan dengan asas keadilan, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan a quo tidak sah dan batal demi hukum, memerintahkan Termohon untuk mencabutnya dan menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku yaitu karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum , asas keadilan dan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan sebagaimana tertuang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 14 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e tidak sah dan batal demi hukum;
Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e ;
Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara untuk dicantumkan dalam Lembaran Berita Negara;
Menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini; DAN/ATAU : Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ); Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
Fotokopi Akta Notaris Haji Syarif Siangan Tanudjaja, SH., Notaris Jakarta (BuktiP-1);
Fotokopi KTP atas nama Hartono Sohor (BuktiP-2) ;
Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 201 tentang Tata Cara pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (BuktiP-3);
Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, tanggal 17 Juli 2007 (BuktiP-4);
Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (BuktiP-5);
Fotokopi Bukti Penerimaan Surat Nomor 19-01-2007 (BuktiP-6);
Fotokopi Tanda Terima Pemeriksaan Pajak (BuktiP-7) ;
Fotokopi Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (BuktiP-8);
Fotokopi Surat Tagihan Pajak No.00103/107/09/044/12(BuktiP-9);
Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.260/WPJ.21/2013 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi AtasSurat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Karena Permohonan Wajib Pajak (BuktiP-10); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 11. Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-839/WPJ.21/2013 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi AtasSurat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Karena Permohonan Wajib Pajak (BuktiP-11);
Fotokopi Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54639/PP/M.XIIIA/99/2014 (BuktiP-12);
Fotokopi Surat Peninjauan Kembali (Pertama) No.01/PK/XII/2014(BuktiP- 13);
Fotokopi Surat Peninjauan Kembali (Novum) No.02/PK/III/2015(BuktiP-14); Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil a quo telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 22 September 2015 berdasarkanSurat Tanda Bukti Penerimaan Jawaban Termohon Atas Permohonan Hak Uji Materiil yang diterima oleh Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 50/BJT/IX/2015/41 P/HUM/2015 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawabantertulis pada tanggal 22 September 2015 yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONANPEMOHON 1. Bahwa menurut Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011 telah membatasi ruang lingkup Pemohon untuk mengajukan pengurangan atau penghapusansanksi administratif atas surat tagihan pajak pertambahan nilai barang dan jasa;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada dasarnya telah mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dapat mengurangkan atau menghapuskansanksi administrasi, akan tetapi pengaturan tersebut telah dikesampingkan oleh ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011, sehingga hak wajib pajak untuk dapat mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tidak diperoleh;
Bahwa menurut Pemohon, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangansebagaimana tertuang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan;
Bahwa menurut Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011 telah mengakibatkanPemohon harus membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak; II.PENJELASAN TERMOHON TERHADAPKEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING )PEMOHON. Berkenaan dengan kedudukan hukum ( legal standing/persona standiinjudicio ) dan kepentingan hukum Pemohon dalam perkara a quo , Termohon menyampaikan penjelasan, sebagai berikut : Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentangMahkamah Agung, yang berbunyi: "Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturanperundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
Perorangan wargaNegara Indonesia;
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
Badan hukum publikatau badan hukum privat; Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentangHak Uji Materiil, berbunyi: "Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkatlebih rendah dari undang-undang"; Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut, dan benar-benar diakibatkankarena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut; Menurut Termohon, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan padaalasan sebagai berikut:
KETIDAK ADANYA KERUGIAN PEMOHON SEBAGAI Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 AKIBATBERLAKUNYA PP NO. 74 TAHUN 2011. Bahwa menurut Termohon, pada dasarnya dibentuknya PP No. 74 Tahun2011:
Bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak serta kewajiban perpajakan yang sebelumnya diatur dalam PeraturanPemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan;
Bahwa ditetapkannya PP No. 74 Tahun 2011 padadasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi: "hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah". Bahwa pengaturan tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dalam PP No. 74 Tahun 2011, telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku in casu berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang PenetapanPeraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Bahwa menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung maupun tidak langsung yang diderita oleh Pemohon yang diakibatkan adanya PP No. 74 Tahun 2011 tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya hubungan sebab akibat ( causal verband) yaitu antara kerugian yang diderita oleh Pemohon dengan berlakunya PP No. 74 Tahun 2011 dimaksud. Pemohon dalam permohonannya sarna sekali tidak menguraikan secara jelas dan komprehensif mengenai kerugian yang diderita oleh karena Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 18 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 berlakunya norma yang diuji in casu PP No. 74 Tahun 2011. Pemohon hanya berasumsi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan judicial review perkara aquo hanya didasarkan bahwa karena upaya Pemohon untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas surat tagihan pajak pajak pertambahan nilai barang dan jasa ditolak oleh Dirjen Pajak melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.839/WJP.21/2013 tanggal 27 November 2013. Yang kemudian oleh Pemohon Keputusan Dirjen Pajak tersebut digugat kepengadilan Pajak, yang kemudian oleh Pengadilan pajak gugatan Pemohon tidak dapat dikebulkan. Sehingga menurut Termohon, problematika hukum yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah disebabkan keberlakuan PP No. 74 Tahun 2011 melainkan karena adanya penolakan terhadap pengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pemohon oleh Dirjen Pajak melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.839/WJP.21/2013 tanggal 27 November 2013, maka kerugian yang diderita oleh Pemohon baik langsung maupun tidak langsung bukanlah akibat oleh berlakunya PP No.74 Tahun 2011, dan tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kepentingan hukum Pemohon dengan berlakunya PP No. 74 Tahun 2011;
PERMOHONAN NEBISIN IDEM . Bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah untuk menguji ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara PelaksanaanHak ·dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; Bahwa pengujian terhadap ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan pernah dilakukan pengujian dalam perkara Nomor 43P/HUM/2012 oleh PT. Best World Indonesia dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 6 April2013 dengan amar putusan menolak Permohonan Pemohon; Bahwa dalam alasan-alasan dalam pokok Permohonan yang diajukan oleh PT. Best World Indonesia pada dasarnya sama Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 19 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dengan yang diajukan oleh Pemohon yang menganggap bahwa ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan telahbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; Dengan demikian menurut Termohon, oleh karena pokok permohonan yang diajukan oleh Pemohon sama dengan pokok permohonan dalam perkara Nomor 43P/HUM/2012, oleh sebab itu Termohon berpendapat permohonan Pemohon _Nebis In Idem; _ __ III.LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAANHAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN. Sebagai gambaran bagi Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili permohonan a quo , kami sampaikan latar belakang pembentukan PP No 74 Tahun 2011 yang diajukan permohonan uji materiil olehPemohon, sebagai berikut:
Undang-Undang di bidang perpajakan memberikan amanat pengaturan kepada peraturan perundang-undangandi bawahnya;
Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 (untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang KUP) merupakan undang-undang yang berisi ketentuan formal yang mengatur mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi Wajib Pajak maupun petugas pajak. Ketentuan formal ini diberlakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang pajak material, seperti Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; Undang-Undang KUP memberikan amanat kepada Pemerintah selaku lembaga eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 20 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang KUP baik melalui Peraturan Pemerintah ataupun PeraturanMenteri Keuangan. Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah di dalam Undang-Undang KUP terdapat dalam 3 (tiga) Pasal yang dapat diuraikan sebagai berikut: a) Pasal 35A yangberbunyi : Ayat (1) "Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DirektoratJenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)"; __ Ayat (2) "Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan pemerintah dengan memperhatikanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)"; b) Pasal 37 yangberbunyi: "Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupabunga, denda, dan kenaikan, diatur denganPeraturan Pemerintah"; c) Pasal 48 yangberbunyi: "Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah"; Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang KUP tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ditopang oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Terkait amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP yang menjadi dasar pembentukan PP 74/2011 yang diajukan uji materiil oleh Pemohon, dapat kami sampaikan bahwa meskipun pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah untuk mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang KUP, namun kewenangan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan asas legalitas serta mengedepankan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang menjadi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 21 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dasar dalam pembentukan peraturan pemerintah. Selain itu, pengaturan yang dilakukan juga sejalan dengan kebutuhan untuk menyesuaikan proses dan prosedur administrasi perpajakan dengan perubahan yang sangat dinamis dalam masyarakat Wajib Pajak;
Amanat pengaturan kepada peraturan pemerintah dalam undang- undangpajak material; Amanat pengaturan kepada peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dapat ditemukan juga dalam ketentuan undang-undang pajak material seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut Undang- Undang PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentangPerubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang PPN). Bahkan amanat pengaturan yang serupa dengan Pasal 48 Undang- Undang KUP juga ditemukan dalam undang-undang material tersebut, yaitu: a) Pasal 35 Undang-UndangPPh. "Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah"; b) Pasal 19 Undang-UndangPPN. "Hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah"; Pengaturan kepada peraturan pemerintah dalam undang-undang material tersebut, khususnya amanat pengaturan terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang melalui Peraturan Pemerintah, menunjukkan bahwa dalam undang-undang di bidang perpajakan pengaturan tersebut memang diperlukan. Pengamanatan pengaturan kepada peraturan pemerintah mengenai hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ditujukan untuk memberikan kemudahan kepada Pemerintah dalam menyesuaikan ketentuan dalam Undang-Undang,sebagai akibat terjadinya perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan hukum itu sendiri tanpa harus mengubah Undang-Undang, namun tetap berpegang pada asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, termasuk asas-asas hukum atau prinsip- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 22 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 prinsip hukum yang berlaku umum. Hal ini didasarkan pada pertimbangan waktu yang lebih singkat dalam pembentukan Peraturan Pemerintah dibandingkan dengan waktu yang diperlukan dalam pembentukan Undang-Undang. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP seperti halnya peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan Undang- Undang PPh dan Undang-Undang PPN, berfungsi sebagai pelengkap yang merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang KUPitu sendiri;
Fungsi PP 74/2011 sebagai pelengkap Undang-Undang Meskipun sarna-sarna memberikan amanat untuk pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, namun amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah yang terdapat dalam Pasal 37 dan Pasal 48 Undang-Undang KUP memiliki karakteristik tersendiri. Hal tersebut dapatdijelaskan sebagai berikut:
Fungsi pengaturan dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang KUP Pasal 37 Undang-Undang KUP jelas mengatur bahwa Pemerintah diberi kewenangan untuk mengubah besaran sanksi administrasi dan besaran imbalan bunga melalui Peraturan Pemerintah tanpa harus mengubah Undang-Undang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perubahan besaran sanksi atau besaran imbalan bunga diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 37, namun hal inimempunyai makna bahwa pengaturan besaran sanksi administrasi dan besaran imbalan bunga tersebut secara substansial mempunyai kedudukan yang sama dengan pengaturan dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah amanat Pasal 37 Undang-Undang KUP tersebut harus dipandang sebagai pengganti (substitusi) dari pasal- pasal dalam Undang-Undang KUP yang mengatur mengenai besarnya sanksi administrasi dan besarnya imbalan bunga;
Fungsi Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 48 Undang-UndangKUP. Hal demikian berlaku juga untuk Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP. Sebagaimana bunyi dari ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP tersebut di atas, ketentuan Pasal 48 tersebut dimaksudkan untuk memberikan exit Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 23 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 strategy (jalan keluar) kepada Pemerintah untuk segera menyesuaikan ketentuan yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang sebagai akibat adanya perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan hukum itu sendiri. Seperti diketahui bahwa perkembangan hukum di bidang perpajakan termasukperkembangan administrasi perpajakan berlangsung sangat dinamis seiring dengan perkembangan teknologi, perkembangan sosial-budaya, dampak globalisasi (praktek perpajakan negara lain) yang memerlukan penyesuaian ketentuan secara cepat; Itulah sebabnya, terhadap ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP, sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sampai dengan perubahan terakhir dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tidak pernah dilakukan peru bahan, mengingat materi yang telah diatur dalam Undang-Undang KUP masih sangat mungkin berkembang sehingga penyesuaian terhadap materi tersebut tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang. Ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP juga dimaksudkan untuk menjaga kelenturan pengaturan yang dilakukan oleh Undang-Undang dalam rangka mengantisipasi demikiancepatnyaperubahan-perubahan yang terjadi di bidang perpajakan; Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 UU KUP berfungsi sebagai pelengkap UU KUP yang harus dipandang sebagai satu kesatuan dengan undang-undang induknya, yaitu Undang-Undang KUP itu sendiri. Hal ini sejalan dengan bunyi penjelasan Pasal 48 Undang-Undang KUPyang menyatakan: "Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaanUndang-Undang ini dan tata carayang diperlukan"; Dari penjelasan ini terlihat bahwa berbeda dengan anggapan Pemohon bahwa seharusnya PP 74/2011 hanya berisi tata cara dan bukannya materi, Pasal 48 Undang-Undang KUP justru Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 24 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 memberikan ruang untuk mengatur kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-Undang KUP kepada Peraturan Pemerintah, termasukdiantaranya materi tentang hat-hat yang masih belum jelas dan belum cukup diatur;
Latar Belakang PembentukanPP 74/2011:
Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP Dalam rangka memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat untuk memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, Pemerintah memandang perludiberikan suatu kepastian hukum dalam melaksanakan ketentuan umum dan tata cara perpajakan dengan mengatur ketentuan umum tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah; Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir denganUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, merupakan Peraturan Pemerintah yang pertama kali dibentuk untuk melaksanakan amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007, celah-celah yang timbul dalam sistem administrasi perpajakan karena belum cukup pengaturan dalam Undang-Undang KUP, misalnya pada permasalahan tata cara pemeriksaan, tata cara penetapan pajak yang tidak atau kurang dibayar, tata cara pemberian imbalan bunga, serta tata cara upaya hukum dapat terjawab karena pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007mengisikekosongan yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang KUP. Peraturan Pemerintah tersebut disusun dengan tetap mendasarkan pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan;
Pembentukan PP 74/2011 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun2007; Seiring dengan perkembangan hukum dan masyarakat khususnya di bidang perpajakan, serta untuk menyelaraskan dengan Undang- Undang PPh dan Undang-Undang PPN dipandang perlu untuk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 25 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 melakukan penggantian Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007. Penggantian Peraturan Pemerintah Nomor80 Tahun 2007 dilakukan dengan menerbitkan PP 74/2011; PP 74/2011 juga dibuat agar lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, fiskus, maupun hakim Pengadilan Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Permasalahan dalam ketentuan formal di bidang perpajakan yang selama ini menimbulkankeragu-raguan disempurnakan melalui PP 74/2011; Penyempurnaan materi dalam PP 74/2011 adalah antaralain:
Penyempurnaan ketentuan yang terkait tata cara pendaftaran dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sertapengukuhan dan pencabutan Pengusaha Kena Pajak;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan, dan pengungkapanketidak- benaran;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara penetapan berdasarkanketerangan lain;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan jalur-jalur upaya hukum yang dapat ditempuholeh Wajib Pajak;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara pemberian imbalanbunga;
Penyempurnaan ketentuan mengenai tata cara pembukuan dan pemeriksaan terhadap WajibPajak;
Penyempurnaan ketentuan mengenai tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan dan penghentian penyidikan;dan h. Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan aspek perpajakan internasional ( Mutual Agreement Procedure, Exchange of Information ,dan Advance Pricing Agreement );
Pembentukan PP 74/2011 sebagai suatukeniscayaan. Berdasarkan uraian latar belakang pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, terlihat bahwa pembentukan PP 74/2011 sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP, didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang merupakan hal yang tidak dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 ditawar-tawar lagi. Termasuk dalam kepastian hukum tersebut adalah pengaturan terhadap pasal-pasal yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran termasuk pengaturan Pasaf 37 PP 74/2011 yang menjelaskan Pasal 23 ayat (2) huruf c yang diajukanpermohonan uji materiil oleh Pemohon. Dengan pengaturan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang KUP yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran tersebut dalam PP 74/2011, permasalahan ketidakpastian hukum dalam mencari keadilan dapat teratasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan PP 74/2011 yangmenggantikan Peraturan Pemerintah Nomor80 Tahun 2007 merupakan suatu keniscayaan dalam menyikapi perubahan ekonomi, sosial, sosial dan budaya hukum khususnya yang terkat dengan bidang perpajakan, di samping untuk memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak; IV.JAWABAN TERMOHONTERHADAP POKOK PERMOHONANPEMOHON;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf ePP No. 74 Tahun 2011 telah membatasi ruang lingkup pemohon untuk mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif atas surattagihan pajak pertambahan nilai barangdan jasa; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasan sebagaiberikut :
Kewenangan penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dan jalur upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak Sebelum menanggapi dalil-dalil yang diajukan Pemohon terhadap Pasal 37 PP 74/2011, perlu kiranya disampaikan filosofi yang dibangun oleh Undang-Undang KUP khususnya yang terkait dengan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak dan upaya hukum yang dapatdilakukan oleh Wajib Pajak terkait dengan penetapan tersebut;
Kewenangan DJP untuk menerbitkan Surat ketetapan Pajak berdasarkan Undang-UndangKUP. Dalam sistem perpajakan yang dianut di Indonesia, Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya ( self assessment ). Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP yangberbunyi: "Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak"; __ Dengan pemberian kepercayaan tersebut, pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dianggap benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 12 ayat (2) Undang- Undang KUP sebagai berikut: "Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undanganperpajakan"; Sistem self assessment menuntut kejujuran Wajib Pajak dalam membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak akandiambil tindakan penegakan hukum. Namun, apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan tidak benar, Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan menetapkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengankewenangan yang diberikan olehPasal 12 ayat (3) Undang-Undang KUP; Penetapan jumlah pajak yang terutang oleh Direktur Jenderal Pajak dilakukan berdasarkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak, Adapun kewenangan penerbitan surat ketetapan pajak yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, dapat diuraikan sebagaiberikut: a) Pasal 13 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagaiberikut:
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurangdibayar;
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegursecara tertuiis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; __ c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikanselisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); __ d. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnyapajak yang terutang;atau __ e. Apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a). b) Pasal 15 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitanSurat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c) Pasal 17 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlahkredit pajak atau jumlah pajak yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dibayar lebih besar daripada jumlah pajakyang terutang; __ d) Pasal 17A Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaranpajak; Pemberian kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajakuntuk menerbitkan ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 17A Undang-Undang KUP pada dasarnya adalah untuk memastikan bahwa Wajib Pajak melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan tepat dan benar sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan perundangan-undangan dibidang per- pajakan. Namun demikian, dalam menerbitkan surat ketetapan pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak tidak dapat sewenang- wenangmelainkan tetap harus sesuai dengan prosedur atau tata cara dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya; Demikian juga, penetapan jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak tersebut, juga harus sesuai dengan ketentuan material (Undang-Undang PPh dan Undang- UndangPPN); Oleh karena itu, dalam hal surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum terkait dengan tidak dipenuhinya prosedur tersebut. Demikian halnya, dalam hal jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak tidak disetujui oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak juga dapat mengajukan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutang tersebut. Upaya hukum terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapan pajak dan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutangdalam surat ketetapan pajak tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 merupakan 2 (dua) jalur upaya hukum yang berbeda, sehingga tidak dapat dicampuradukkan dalam implementasinya;
Skema upaya hukum dalam Undang-Undang KUP atas Surat KetetapanPajak; Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa terdapat 2 (dua) jalur upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak, terkait dengan surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini disebabkan terdapat 2 (dua) kemungkinansengketa yang terjadi akibat diterbitkannya produk hukum berupa surat ketetapan pajak, yaitu: a) Adanya kemungkinan sengketa yang terkait dengan jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapanpajak; b) Adanya kemungkinan sengketa terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapanpajak; Untuk memperjelas 2 (dua) jenis sengketa dan upaya hukum terkait dengan sengketa tersebut, dapat diuraikan hal-hal sebagaiberikut: a)Sengketa dan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Penerbitan surat ketetapan pajak oleh Direktur Jenderaf Pajak dilakukan berdasarkan hasil verifikasi atau hasil pemeriksaan. Sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji pemenuhan kewajibanperpajakan Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dimaksudkan dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak; Sebagaimana telah diuraikan di atas, Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya. Namun demikian, kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut tentunya perlu diuji dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang ada, khususnya undang-undang pajak material seperti Undang- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Undang PPh atau Undang-Undang PPN.Apabila pemenuhan kewajiban perpajakan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, maka tidak akan ada koreksi pajak yang terutang yang menjadi sengketa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak jarang petugas pajak melakukan koreksi yang diakibatkan baik karena perbedaan pemahaman akan undang-undang perpajakan maupun karena ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga menyebabkan terjadinya sengketa; Atas koreksi tersebut Wajib Pajak bisa menyetujui atau tidak menyetujui. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang terutang, Wajib Pajak harus membayar jumlah pajak yang terutang; Dalam hal tidak menyetujui tidak diwajibkan untuk membayar, dan dapat mengajukanupaya hukum; Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum sebagaiberikut:
Pembetulan Berdasarkan Pasal 16 UUKUP. Pembetulan dilaksanakan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila dalam surat ketetapan pajak terdapat kesalahan atau kekeliruanperlu dibetulkan sebagaimana mestinya; Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan per- aturan perundang-undangan baik yang ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak maupun yang ditemukan oleh Wajib Pajak, kesalahan tersebut harus dibetulkan baik secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak; Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah mengatur 18 (delapan belas) produk hukum yang dapat dibenarkan,meliputi: a) Surat ketetapan pajak yang meliputi Surat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 32 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan PajakLebih Bayar; b) Surat TagihanPajak; c) Surat KeputusanPembetulan; d) Surat KeputusanKeberatan; e) Surat Keputusan Pengurangan SanksiAdministrasi; f) Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; g) Sura! Keputusan Pengurangan KetetapanPajak; h) Surat Keputusan Pembatalan KetetapanPajak; i) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak; j) Surat Keputusan PemberianImbalan Bunga; k) Surat Pemberitahuan PajakTerhutang; I) Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi danBangunan; m)Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi danBangunan; n) Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
Surat Keputusan Pengurangan Denda Pajak Bumi danBangunan; Luasnya cakupan produk hukum yang dapat dibetulkan tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak juga diberikan kesempatan yang luas untuk mengajukan upaya hukum terkait kesalahan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, sebelum mengajukan upaya hukum yang lain, sepanjang terkait dengan kesalahan yang termasuk dalam ruang lingkup Pembetulan, Wajib Pajak seharusnya menempuh upaya hukumPembetulan; Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP, pembetulan dilakukan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan sebagaiakibat dari:
Kesalahan tulis, antara lain kesalahan berupa Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 33 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuhtempo;
Kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan. Termasuk dalam pengertian kesalahan hitung adalah kesalahan akibat diterbitkannya suratketetapan pajak, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Masa Pajak atau Tahun Pajak lain yang mempengaruhi Masa Pajak atau Tahun Pajaklain; atau 3) Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalampengkreditan pajak; Dalam ketentuan Pasal 16 Undang-Undang KUP, diatur bahwa upaya pembetulan dapat dilakukan berulang kali sepanjangmasih terdapat kesalahan dalam surat ketetapan pajak dimaksud. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa apabila terjadi suatu kekeliruan atau kesalahan, maka dengan sendirinya harus dilakukan pembetulan ( ipso jure ). Misalnya terhadap surat ketetapan pajak yang yang diajukan permohonan pembetulan dan telah diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, maka terhadap surat ketetapan pajak tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum pembetulan, keberatan, pengurangan ketetapan pajak, atau pembatalan ketetapan, dan dapat pula diajukan pengurangan maupun Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 penghapusan sanksi administrasi. Bahkan apabila terhadap surat ketetapan pajak tersebut tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, tetap dapat dilakukan pembatalan surat ketetapan pajak. Prinsip ipso jure tersebut berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap produk hukum lainnya yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Keberatan, Banding, dan Peninjauan kembali sebagai upaya penyelesaian sengketa perpajakan melalui proseslitigasi; Dalam hal terdapat perbedaan pendapat yang menjadi sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang KUP. Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi.Dalam proses keberatan, pihak yang mengadili adalahsekaligus pihak yang ber- sengketa, yaitu Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak berposisi sebagai lembaga pengadil semu atau yang juga dikenal sebagai quasi peradilan ( quasi judicial ) yang menjalankan fungsi yudikatif dan eksekutif; Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak diharuskan untuk membayar pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak paling sedikit sebesar yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau verifikasi. Jumlah pembayaran pajak yang terutang sebelum pengajuan keberatan akan menentukan jumlah sanksi yang akan dikenakankepada Wajib Pajak apabila berdasarkan hasil Keputusan Keberatan atau Putusan Banding Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 jumlah pajak yang terutang lebih besar daripada jumlah yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan. Akan tetapi perlu diingat bahwa apabila Wajib Pajak yakin dengan jumlah pajak yang terutang yang disetujuinya, maka seharusnya tidak perlu terdapat kekhawatiranakan pengenaan sanksi tersebut karena hal tersebut akan terbukti dalam proses keberatan atau dalam proses banding. Hal ini memperlihatkan bahwa bahkan sebelum pengajuan upaya penyelesaian sengketa, Wajib Pajak masih diberikan keleluasaan pembayaran oleh Direktur Jenderal Pajak; Direktur Jenderal Pajak harus mengambil keputusan atas permohonan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.Apabila berdasarkan keputusan keberatan terdapat jumlah kekurangan pajak yang belum dibayar sebelum pengajuankeberatan dilakukan, maka Wajib Pajak dikenai sanksi 50% dari pajak yang kurang dibayar tersebut; Dalam proses penyelesaian sengketa melalui proses keberatan, dapat terjadi bahwa hasil keputusan keberatan tidak memuaskan Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak tidak puas terhadap hasil Keputusan Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan Banding hanya kepada PengadilanPajak; Proses banding di Pengadilan Pajak merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi murni dimana pihak yang mengadili adalah hakim Pengadilan Pajak, yang merupakan pihak di luar pihak yang bersengketa. Hasil Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menolak, mengabulkan sebagian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 atau seluruhnya, menambah Pajak yang harus dibayar, atau menyatakan tidak dapat diterima atas permohonanbanding; Mengingat bahwa Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap Putusan Banding dari Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan upaya hukum baik berupa tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau Kasasi. Apabila berdasarkan Putusan Banding terdapat jumlah kekurangan pajak yang belum dibayarsebelum pengajuan keberatan dilakukan, maka Wajib Pajak dikenai sanksi 100% dari pajak yang kurang dibayar tersebut; Namun demikian, salah satu pihak yang bersengketa, baik WajibPajak atau Direktur Jenderal Pajak berdasarkan alasan-alasan tertentu berikut dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Alasan-alasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang PengadilanPajak adalah:
Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yangkemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkanputusan yang berbeda;
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) hurufb dan c;
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 sebabnya;atau e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku; Pengajuan Peninjauan Kembali atas Putusan Banding dari Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung tidak menghalangi eksekusi Putusan Banding. Hal ini didasarkan kembali pada prinsip bahwa Putusan Banding adalah Putusan yang bersifat final danmengikat; Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak tidak memiliki kekuatan hukum, karena Undang-Undang KUP telah mengatur bahwa Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajakmerupakan dasar penagihan pajak apabila berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak terdapat kekurangan pembayaran pajak, atau merupakan dasar pengembalian pajak yang terutang apabila berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak terdapat kelebihan pembayaran pajak; Jalur upaya hukum melalui proses litigasi yang telah disediakan bagi Wajib Pajak yang tidak menyetujui jumlah pajak yang terutang menunjukkan bahwa Wajib Pajak diberikan akses penuh untuk mencari keadilan terkait jumlah pajak yang terutang. Oleh karena itu menjadi tidak beralasan apabila ada pihak yang berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menghalangi upaya Wajib Pajak untuk mencari keadilan. Hal yang sesungguhnya terjadi adalah pembagian klaster upaya hukum yaitu jalur terkait prosedural penerbitan surat ketetapan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 pajak dan jalur terkait jumlah pajak yang terutang. Pembagian ini bertujuan untuk kepastian hukum agar Wajib Pajak mengajukan upaya hukum sesuai dengan jenis sengketa;
Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagai upaya penyelesaian sengketa perpajakan nonlitigasi; Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui jumlah pajak yang terutang yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, selain dapat menggunakan jalur upaya penyelesaian sengketa melalui proseslitigasi, Wajib Pajak juga diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya penyelesaian sengketa non litigasi berupa permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. Surat keputusan dimaksud berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak; Berkenaan dengan hal tersebut di atas dapat kami sampaikan bahwa pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang disengketakan merupakan bentuk ordonansi keadilan yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak yang berakhir pada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal Wajib Pajak mendapat keputusan pertama atas pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan Wajib Pajak merasabelum memperoleh keadilan, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang kedua. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Keputusan yang diambil oleh Direktur Jenderal Pajak merupakan keputusan final atas jumlah pajak terutang yang disengketakan; Pengajuan salah satu upaya penyelesaian sengketa, berupa keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar akan menegasikan kesempatan pengajuan upaya penyelesaiansengketa yang lain; Oleh karena itu Wajib Pajak hanya dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidakbenar apabila Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Demikian pula Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan apabila tidak pengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; Penegasian kesempatan pengajuan upaya penyelesaian sengketa antara satu dengan yang lain ini dikarenakan pokok yang menjadi sengketa adalah sarna tetapi jalur yang disediakan berbeda. Melalui jalur litigasi, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mencari keadilan sampai kepada Mahkamah Agung, sedangkan apabila Wajib Pajak memilih jalur non- litigasi, upaya pencarian keadilan berhenti sampai Direktur Jenderal Pajak. Oleh karena itu sangat penting bagi Wajib Pajak untuk menentukan jenis upaya hukum mana yang akan ditempuh agar Wajib Pajak tidak dengan sesukanya dalam menempuh upaya hukum yang malahan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam sistem administrasi perpajakan; Akan tetapi perlu disadari pula bahwa pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar merupakan jalur upaya hukum terhadap jumlah pajak yang terutang, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 sehingga apabila masih terdapat sengketa terkait prosedur penerbitan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak masih diberikan kesempatan mengajukan upaya hukum terhadap surat ketetapan pajak yang tidak sesuai prosedurtersebut; Masing-masing pilihan pengajuan upaya penyelesaian sengketa memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, jalur yang disediakan kepada Wajib Pajak relatif lebih panjang, akan tetapi hasil keputusannya dapat menambah jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, bahkan disertai sanksi baik 50% dalam keberatan ataupun 100% dalam banding. Sedangkan apabila mengajukan upaya penyelesaian non-litigasi berupa pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, maka waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat dan hasilnya tidak mungkin menambah jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak serta terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi, tetapi kekurangannya adalah terhadap keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tidak dapat diajukan upaya hukum lanjutan selain pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang kedua, sehingga jalur upaya hukum non-litigasi menjadi relatif singkat; Dari uraian tersebut, menjadi jelas bahwa Pemerintah menyediakan jalur upaya hukum yang dapat dipilih oleh Wajib Pajak. Pilihan yang diberikan oleh Pemerintah tersebut, memiliki konsekuensinya masing-masing. Konsekuensi yang paling nyata adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk membayar pajak yang terutang beserta sanksi administrasinya. Namun demikian, hal tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 kembali berpulang kepada kejujuran Wajib Pajakdalam menghitung, melapor, dan menyetorkan pajak yang terutang; Apabila Wajib Pajak telah yakin menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam SPT secara benar maka seharusnya Wajib Pajak tidak perlu gentar dalam mengajukan upaya hukum terkait surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi, karena Pemerintah melalui paraturannya di Direktorat Jenderal Pajak tidak akan mencari-cari cara untuk merugikan Wajib Pajak melainkan akan bekerja secara profesional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Cara-cara yang ditempuh oleh Wajib Pajak untuk memperpanjang upaya hukum yang dapat dilaksanakan yang berarti juga menunda kewajiban pembayaran pajak menunjukkan bahwa sebenarnya Wajib Pajak tidak yakin dengan kebenaran penqhrtunqan, pembayaran, serta pelaporan ajaknya atau malahan mencari segala upaya agar kewajiban membayar pajak tertunda atau bahkan tidak harus dipenuhi. Pemerintah sangat yakin bahwa Majelis Hakim Agung Yang Mulia selain menjunjung tinggi prinsip keadilan, juga menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum dalam memutus perkara a quo sehingga akan dapat melihat bahwa esensi pengaturan Pasal 37 yang diajukan uji materiil kepada Mahkamah Agung adalah untuk menciptakan kepastian hukum, agar Wajib Pajak tidak menghindari kewajiban perpajakannya dengan menempuh sega/a upaya hukum yang bahkan tidak sesuai dengan jalur yang telah disediakan Pemerintah. Demikian pula kiranya Majelis Hakim Agung dapat memper- timbangkan fakta bahwa peranan pajak dalam penerimaan negara yang sangat signifikan, sehingga upaya penundaan pembayaran pajak atau bahkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak termasuk uji materiil Pasal 37 huruf b, d, e, f, g, dan h Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 yang diajukan oleh Pemohon berpotensi mengganggu penerimaan negara; b) Upaya hukum atas Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya tidak sesuai denganprosedur. Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum sebagaiberikut:
Gugatan kepada PengadilanPajak. Undang-Undang KUP dan PP 74/2011 memberikan hak kepadaWP untuk menggugat surat ketetapan pajak yang terbit tidak sesuai prosedur, hal tersebut diaturantara lain: Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-UndangKUP: "Penerbitan surat ketetapan pajak atau 5urat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan hanya dapat diajukankepada badan peradilan pajak"; Pasal 38 ayat (1) PP74/2011: "Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalamPasal 23 ayat (2) huruf d Undang- Undang"; Pengajuan gugatan atas surat ketetapan pajak tersebut tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk tetap mengajukan upaya hukum atas jumlah pajak yang terutang. Perlu kiranya menjadi perhatian Majelis Hakim Yang Mulia, bahwa sepanjang menyangkut materi maka Putusan Gugatan tidak dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini dikarenakan Putusan Gugatan tidak termasuk produk hukum yang menjadi dasar pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana telahdiatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat 2 (dua) Undang-Undang KUP, sehingga apabila Pengadilan Pajak melalui Putusan Gugatan kemudian menetapkan terjadi kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak dapat dikembalikan oleh Direktur Jenderal Pajak; Demikian pula, apabila Putusan Gugatan menetapkan terjadi kekurangan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak juga tidak dapat menagih kekurangan pembayaran pajak karena Putusan Gugatan tidak termasuk produk hukum yang menjadi dasar penagihan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang KUP.
Pengajuan pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberi- tahuan hasil pemeriksaan atau verifikasi atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaanatau verifikasipajak kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimanaSelain dapat mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak yang terbit tidak sesuai dengan prosedur, apabila terkait dengan tidak disampaikannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau verifikasi atau tidak dilakukannya pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau verifikasi, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembatalan ketetapandiatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP. Melalui permohonan ini, Wajib Pajak dapat langsung mendapatkan haknya atas prosedur yang belum dilaksanakan dalam penerbitan surat ketetapan pajak tanpa harus melalui proses litigasi yang relatif lebih memakan waktu dan biaya; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 P ermohonan ini dapat diajukan 1 (satu) kali dan harus diberikan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonanditerima secara lengkap; Untuk memudahkan Majelis Hakim Yang Mulia dalam mendalami skema upaya hukum yang dapat ditempuh olehWajib Pajak, berikut ini digambarkan skema visual sebagai berikut: SURAT KETETAPAN PAJAK MATERI PROSEDUR PASAL 36 PASAL 36 AYAT (1) PASAL 16 PASAL 25 huruf b PASAL 23 HURUF d (PEMBETULAN) (KEBERATAN) (PENGURANGAN DAN (GUGATAN) (PEMBATALAN SKP TIDAK PEMBATALAN SKP) SESUAI PROSEDUR) Dapat Diajukan BANDING PROSES BERHENTI PENINJAUAN KEMBALI PROSES BERHENTI Berkali-kali DI DIP DI DIP PENINJAUAN KEMBALI Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak diberikan kesempatan yang luas untuk mencari keadilan, dan harus dipilih sesuai dengan jenis sengketa dan dengan mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing pilihan upaya hukum yang diambil. Oleh karena itu, dalam pengajuan upaya hukum, Wajib Pajak harus meyakini terlebih dahulu kebenaran penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajaknya sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak menjadisarana untuk coba-coba dalam menunda atau menghindari kewajiban perpajakannya;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannyayang menyatakan : Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada dasarnya telah mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi, akan tetapi pengaturan tersebut telah dikesampingkan oleh ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011, sehingga hak wajib pajak untuk dapat mengajukan penguranganatau penghapusan sanksi administrasi tidak diperoleh Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut : Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 48 Undang-Undang KUP tidak hanya mengamanatkan pengaturan mengenai tata cara, tetapi juga kelengkapan yang materinya telah diatur dalam Undang-Undang KUP. Dengan menyitir bahwa Pasal 48 hanya mengamanatkan tata cara sehingga pengaturan hal-hal di luar tata cara bertentangan dengan Undang-Undang, menunjukkan bahwa Pemohon tidak memiliki pemahaman penuh terhadap ketentuan Pasal 48 atau bahkan mungkin sedang berusaha untuk menyesatkan pemahaman Majelis Hakim Agung Yang Mulia. Namun demikian, Pemerintah sangat yakin Majelis Hakim Agung Yang Mulia juga memahami bahwa Pasal 48 Undang- Undang KUP yang menjadi dasar pembentukan PP 74/2011 memberikan kewenangan untuk mengatur tidak hanya tata cara melainkan juga memberikan kewenangan untuk mengatur materi yang belum cukup lengkap diatur dalam Undang-Undang KUP. Setelah memahami bahwa Peraturan Pemerintah pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP diberikan kewenangan untuk mengatur materi yang belum cukup lengkap diatur dalam Undang-Undang KUP, selanjutnya Pemerintah akan menguraikan mengapa Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP perlu diatur dengan Pasal 37 PP 74/2011. Hal-hal yang dapat diajukan gugatan telah diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, yang berbunyi: "Gugatan Wajib Pajak atau PenanggungPajak terhadap:
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; __ b. keputusan pencegahan dalam rangkapenagihan pajak; __ c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undanganperpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak"; Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d Undang-Undang KUP mengatur secara jelas mengenai hal-hal apa saja yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Namun Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP belum cukup memberikan kejelasan tentang produk hukum yang dapat diajukan gugatan sehubungan dengan keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan. Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian dan kejelasan hukum baik bagi Wajib Pajak dan petugas pajak, maka perlu diatur lebih lanjut bagaimana perlakuan secara hukum terhadap Pasal 23 ayat (2) huruf c tersebut; Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, hal-hal yang dapat diajukan gugatan terkait dengan Pasal 23 ayat (2) huruf a,huruf b, dan huruf d adalah terkait dengan prosedur. Oleh karena itu keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat diajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c,juga harus dipandang yang terkait dengan prosedur. Oleh karena itu, untuk menjalankan amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP yang mengatur bahwa terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Maka terhadap Pasal 23 ayat (2)huruf c Undang- Undang KUP diatur dengan ketentuanPasal 37 PP 74/2011, yang berbunyi: "Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan yang diajukan gugatan kepada Badan Peradilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang, meliputi keputusan yang diterbitkan olehDirektur Jenderal Pajakselain:
surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tatacara penerbitan;
Surat KeputusanPembetulan; __ Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 47 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 c. Surat Keputusan Keberatan yang telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; __ d. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
Surat Keputusan PenghapusanSanksi Administrasi; __ f. Surat Keputusan PenguranganKetetapan Pajak;
Surat Keputusan Pembatalan KetetapanPajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian PendahuluanKelebihan Pajak; Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagaiberikut:
Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; Sebagaimana telah dipaparkan di atas, gugatan hanya terkait prosedur saja. Oleh karena itu, surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, tidak dapat diajukan gugatan. Sebaliknya, Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat(2) huruf d. Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, banding, sampai dengan Peninjauan Kembali atau mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yangtidak benar;
Surat KeputusanPembetulan; Surat keputusan pembetulan diterbitkan berdasarkan permohonan maupun karena jabatan apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP. Kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan pembetulan tersebut merupakan kekekeliruan yang tidak bersifat sengketa. Oleh karena itu, Surat Keputusan Pembetulan tidak dapat diajukan gugatan oleh Wajib Pajak. Selanjutnya, permohonan pembetulan juga tidak dibatasi oleh Undang-Undang sehingga Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan setiap kali terdapat/menemukan kesalahan. Bahkan diatur bahwa terhadap surat ketetapan pajak yang dilakukan pembetulan dan wajib pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 mempersengketakan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Keputusan pembetulan tersebut, Wajib Pajak masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum pembetulan, keberatan, pengurangan ketetapan pajak, atau pembatalan ketetapan, dan dapat pula diajukan pengurangan maupun penghapusan sanksi administrasi. Bahkan apabila terhadap surat ketetapan pajak tersebut tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaandan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, tetap dapat dilakukan pembatalan Surat Ketetapan Pajak. Hal ini berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap produk hukum lainnya yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Surat Keputusan Keberatan yang telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa upaya hukum gugatan hanya dapat diajukan terkait prosedur. Oleh karena itu, Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan tidak dapat diajukan gugatan. Sebaliknya, Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai prosedur sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-UndangKUP; Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam Surat Keputusan Keberatan yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan bandingsampai dengan Peninjauan Kembali;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi danSuratKeputusanPenghapusanSanksiAdministrasi; Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karenakesalahannya; Dari bunyi Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP di atas, secara tersirat dapat dimaknai bahwa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dilakukan atas sanksi yang sudah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 benar namun Wajib Pajak meminta "derma" atau "belas kasihan" kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikurangkan atau dihapuskan karena keadaan tertentu. Dengan kata lain, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut merupakan wewenang mutlak Direktur Jenderal Pajak sehingga tidak relevan apabila diajukan gugatan. Selain itu, Undang-Undang KUP memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengajukan sebanyak 2 (dua)kali; Apabila sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Tagihan Pajak tidak benar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c. Apabila sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak tidak benar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b;
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak dan Surat Keputusan PembatalanKetetapan Pajak; Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, banding, sampai dengan Peninjauan Kembali atau mengajukan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yangtidak benar; Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. Pengertian tidak benar di sini adalah terkait dengan jumlah pajak yang terutang. Permohonan pengurangan atau penghapusan surat ketetapan yang tidak benar diputuskan oleh Direktur Jenderal Pajak dan tidak dapat diajukan upaya hukum kepada lembaga lain di luar Direktorat Jenderal Pajak. Akan tetapi perlu diperhatikan juga bahwa terhadap Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak dan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak masih dapat diajukanupaya hukum pembatalan. Keberatan dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak merupakan dua jalur terpisah (alternatif). Artinya, apabila Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak sudah mengajukan keberatan maka tidak boleh mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak. Sebaliknya, apabila Wajib Pajak sudah mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak maka tidak boleh mengajukan keberatan. Keduanya memiliki kedudukan yang sama dalam kaitannya memutuskan pajak yang terutang dalam surat ketetapanpajak; Pengurangan atau pembatalan pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP disebut ordonansi keadilan (Sisi keadilan Pasal 36 (1) hurufb)karena:
Tidak terdapat keputusan yang menambah pajak yangterutang;
Buku, catatan, atau dokumen yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tetapi diberikan dala proses penyelesaian pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar juga dapat dipertimbangkanoleh Direktur Jenderal Pajak; Oleh karena pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar mengadili pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, maka tidak relevan apabila Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diajukan gugatan. Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang telah diputuskan dalam Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan lagi permohonankepada Direktur Jenderal Pajak;
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Berdasarkan Pasal 17C Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PajakPertambahan Nilai; Output dari penelitian tersebut adalah menerima atau menolak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Apabila Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan Wajib Pajak maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 pengembalian kelebihan pembayaran pajak diproses berdasarkan Pasal 17C Undang-Undang dan diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Dalam proses penelitian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, tidak terdapat koreksi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak murni berdasarkan jumlah yang dimohonkan oleh Wajib Pajak, sehingga tidak mengandung sengketadidalamnya; Berdasarkan hal tersebut tidak relevan jika Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak diajukan gugatan kepada PengadilanPajak; Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Berdasarkan amanat dalam Pasal 48 Undang-Undang KUP, bahwa hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang akan diatur oleh Peraturan Pemerintah, maka PP 74/2011 yang menjalankan amanat tersebut sudah sangat jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun Pemohon berpandangan bahwa PP 74/2011 tidak dapat mengatur selain materi, tetapi dari penjelasan Pasal 48 terlihat bahwa Pasal 48 juga memberi kewenangan untuk mengatur kelengkapan yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang KUP. Pemberian kewenangan pengaturan materi tersebut melegitimasi pengaturan materi dalam PP 74/2011 yang melengkapi Undang-Undang KUP;
Pasal 37 huruf d dan huruf e PP 74/2011 merupakan pengaturan lebih lanjut mengenai materi yang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sehingga Wajib Pajak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum mengenai jalur-jalur upaya hukum yang dapat ditempuh. Dengan kata lain tidak terdapat pertentangan antara materi dalam Pasal 37 huruf d dan huruf e PP 74/2011 dengan materi dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sebagaimana disebutkan dalampendapat Pemohon;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasansebagai berikut : Bahwa menurut Termohon, terhadap argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan bertentangan dengan Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah tidak berdasar dan mengada- ada, karena pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Sehingga PP No 74 Tahun 2011 pada dasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun1983;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011 telah mengakibatkan Pemohon harus membayar apa yang bukanmenjadi kewajibannya sebagai wajib pajak; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasansebagai berikut : Bahwa terhadap argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011 telah mengakibatkan Pemohon harus membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak, menurut Termohon adalah tidak berdasar dan mengada-ada, karena pada dasarnya tidak ada pembayaran yang harus di bayarkan oleh Pemohon Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 53 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 di luar kewajiban Pemohon sebagaiwajib pajak; Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak masih dapatdibetulkan; Pasal 16 Undang-Undang KUP telah mengatur bahwa Surat Keputusan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak merupakan salah satu produk hukum yang dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatan. Pengaturan ini dilandaskanpada prinsip bahwaPembetulan dilakukan terhadap kesalahan yang bersifat manusiawi yang tidak mengandung sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga apabila masih terdapat kesalahan, Surat Keputusan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak tersebut masih dapat dibetulkan; Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) Pasal 17C dan Pasal 170 Tidak Mengakibatkan Wajib Pajak Kehilangan Hak Untuk Mengajukan UpayaHukum : a) Latar belakang pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagai fasilitas percepatanrestitusi; Pada prinsipnya pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus dilakukan berdasarkan pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 178 UU KUP; Pasal 17 ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebihbesar daripada jumlah pajak yang terutang"; Pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) dilakukan berdasarkan atas hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan yang tidak menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pemeriksaan dalam rangka pengembalian ini dilakukan dalam jangka waktu 6-8 bulan dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaam kantoratau dalam jangka waktu 8-10 bulan dalam hal dilakukan dengan pemeriksaanlapangan; Pasal 178ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 54 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secaralengkap" Pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 178 ayat (1) dilakukan berdasarkan atas hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan yang menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal Wajib Pajak memohon pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud Pasal 17B UU KUP maka Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima lengkap; Namun demikian, jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) atau jangka waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud Pasal 17B ayat (1) dipandang tidak cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat Wajib Pajak yang menginginkan proses restitusi dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat Wajib Pajak tersebut, Pemerintah memberikan fasilitas pengembalian pendahuluan dilakukan untuk Wajib Pajak tertentu yang memiliki tingkat kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak yang baik. Pengembalian pendahuluan berdasarkan Pasal 17C dan Pasal 17D dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan restitusiberdasarkan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17B ayat (1), yaitu 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan dan 1 (satu) bulan untuk PajakPertambahan Nilai. Oleh karena itu pengembalian pendahuluan kelebihan pajak harus dipandang sebagai fasilitas percepatan restitusi yang diberikan oleh Pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada masyarakat; b) Ilustrasi permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana diatur Pasal 17C dan Pasal 17D Undang- UndangKUP; Untuk memperjelas proses pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, kami sampaikan ilustrasisebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 55 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur Pasal 17C atau Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Persyaratan Tertentu sebagaimana diatur dengan Pasal 17D mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) dengan membubuhkan tanda pada Surat Pemberitahuan (SPT). Berdasarkan permohonan tersebut, Kantor Pelayanan Pajak melakukan penelitian untuk menguji kebenaran terjadinyakelebihan pembayaran pajak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) tersebut. Apabila berdasarkan penelitian terbukti terjadi kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), terhadap permohonan Wajib Pajak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak (SKPPKP). Namun apabila berdasarkan penelitian terbukti kelebihan pembayaran pajak kurang atau lebih dari jumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), permohonan Wajib Pajak tidak diberikan, tetapi Wajib Pajak masih dapat membetulkanSPT tersebut. c) Terbitnya SKPPKP menunjukkan bahwa seluruh permohonan restitusi WajibPajak dikabulkan; Sebagaimana telah dicontohkan dalam ilustrasi di atas, SKPPKP terbit hanya apabila berdasarkan hasil penelitian terbukti terdapat kelebihan pembayaran pajak sebesar yang diajukan oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu apabila SKPPKP terbit, seharusnya tidak terjadi sengketa karena SKPPKP terbit sesuai dengan permohonanWajib Pajak; d) SKPPKP masih dapat dibetulkan dengan kuasa Pasal 16 UU KUP Pasal 16 UU KUP telah mengatur bahwa Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak merupakan salah satu produk hukum yang dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatan. Pengaturan ini dilandaskan pada prinsip bahwa Pembetulan dilakukan terhadap kesalahan yang bersifat manusiawi yang tidak mengandung sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga apabila masih terdapat kesalahan,Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 56 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 masih dapat dtbetulkan. Hal ini menunjukkan bahwameskipun SKPPKP hanya dapat terbit sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, Pemerintah masih menyediakan upaya yang dapat dilakukan apabila masih terdapat kesalahan baik kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kesalahan penerapan peraturan perundang- undangan; e) Penerbitan SKPPKP tidak mungkin dan tidak perlu disengketakan Berdasarkan uraian di atas, didapatkan gambaran bahwa SKPPKPditerbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan jumlah yang diajukan oleh Wajib Pajak dan terhadap SKPPKP tersebut masih dapat diajukan Pembetulan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak mungkin terjadi sengketa atas penerbitan SKPPKP. Sengketa hanya mungkin terjadi apabila SKPPKP tidak terbit. Seandainyapun SKPPKP tidak terbit, Wajib Pajak masih dapat membetulkan SPT yang menjadi dasar permohonannya tersebut. Dengan demikian apabila SKPPKP diterbitkan seharusnya tidak terjadi sengketa dan tidak perlu disengketakan;
Kekhawatiran Pemohon bahwa produk upaya hukum yang diajukan uji materiil tidak dapat lagi atau kehilangan hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak adalah tidakberalasan; Sebagaimana telah dijelaskan secara gamblang di atas, bahwa setiap upaya hukum memiliki karakteristik tersendiri berdasar- kan jenis sengketanya dan memiliki konsekuensimasing- masing; Misalnya, jika terhadap Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan dan kemudian diterbitkan produk hukum Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagai hasil pemeriksaan tersebut, apabila Wajib Pajak kemudian tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, UU KUP memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum( point d'interet point d'action ). Berdasarkan UU KUP, kesempatan yang seluas- luasnya bagi Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum dapat berupa permohonan pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP, pengajuan keberatan sebagaimana Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 57 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 diatur dalam Pasal 25 UU KUP, dan upaya hukum Pasal 36 UU KUP yang berupa: permohonan pengurangan ketetapan pajak, permohonan pembatalan ketetapan, permohonan pengurangan maupun permohonan. penghapusan sanksi administrasi, bahkan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dimaksud tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, dapat dilakukan pembatalan Surat Ketetapan PajakKurang Bayar; Upaya hukum yang dipilih Wajib Pajak sangat tergantung pada ketidakpuasan Wajib Pajak dalam hal apa dan bagaimana pertimbangan Wajib Pajak atas konsekuensi dari upaya hukum Wajib Pajak. Misalnya jika upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah keberatan, maka konsekuensi Wajib Pajak antara adalah harus melunasi jumlah pajak yang disetujui pada waktu akhir sebelum mengajukan keberatan, jumlah pajak yang tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir belum menjadi utang pajak sehingga tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, dan jika berdasarkan SK Keberatan terdapat pajak yang masih harus dibayar maka atas jumlah tersebut harus dilunasi Wajib Pajak dengan ditambah sanksi administrasi 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dibayar; Hal ini berbeda, jika langkah upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak. Jika upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, maka konsekuensi Wajib Pajak antara lain adalah harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, baik jumlah itu disetujui atau tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir sebelum Wajib Pajak mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jumlah pajak yang disetujui maupun tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir telah menjadi utang pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan dan bila tidak dilunasi dilakukan penagihan pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 58 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dengan surat paksa. Hanya saja terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dlbayar, tetapi dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan; Konsekuensi yang hampir sama, jika upaya hukum yang ditempuh adalah mengajukan upaya hukum pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP. Konsekuensi Wajib Pajak antara lain adalah harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, baik jumlah itu disetujui atau tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir sebelum Wajib Pajak mengajukan pembetulan Pasal 16 UU KUP, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jumlah pajakyang disetujui maupun tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir telah menjadi utang pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan dan bila tidak dilunasi dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa. Hanya saja terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dibayar, tetapi dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan; Berdasarkan contoh uraian di atas, maka Wajib Pajak harus memilih jalur yang akan ditempuh dan menyadari konsekuensi- nya, dan bukannya mencoba semua upaya hukum walaupun tidak sesuai dengan jenis sengketanya hanya untuk menunda atau bahkan menghindari kewajibanperpajakannya; Gugatan sebagai jalur upaya hukum yang telah disediakan untuk jenis sengketa yang terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapan pajak, tidak dapat digunakan sebagai upaya hukum untuk jenis sengketa materi terkait jumlah pajak yang terutang. Apabila hal tersebut tetap dilakukan dan dikabulkan oleh Pengadilan Pajak, yang selanjutnya berdampak pada Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 59 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 kelebihan pembayaran pajak, maka putusan tersebut justru akan merugikan Wajib Pajak karena Wajib Pajaktidak dapat mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dimohonkannya. Hal ini dikarenakan, berdasarkan Pasal 11 UU KUP, Putusan Gugatan bukan merupakan salah satu produk hukum yang menjadi dasar pengembalian kelebihan pem- bayaran pajak; PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan; Menimbang, bahwa objek permohonan Hak Uji Materiil merupakan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis berada di bawah Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian terhadap objek permohonan _a quo; _ Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa Pemohon adalah badan hukum publik yang mempunyai perhatian yang intens terhadap dunia usaha di bidang otomotif. Pemohon kerap memberikan dukungan, usulan dan saran terhadap para pemangku kepentingan ( stakeholder) di bidang usaha dan bisnis untuk kemajuan dunia otomotif di Indonesia khususnya wilayah Jabodetabek. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon itu sejatinya merupakan upaya untuk berpartisipasi dalam pembangunan yakni menciptakan lapangan kerja Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 bagi masyarakat, guna mencapai salah satu tujuan Negara yaitu memajukan kesejahteraan umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; Menimbang, bahwa Pemohon adalah pembayar pajak dalam setiap transaksi yang dilakukannya, Pemohon merasa sangat dirugikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e yang berakibat mengharuskan Pemohon untuk membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak atau dengan kata lain Pemohon sebagai wajib pajak dikenakan pajak yang bukan merupakan kewajiban warga Negara kepada Negara secara adil dan tidak manusiawi karena tidak dapat menggunakan haknya sebagai wajib pajak; Menimbang, bahwa dengan demikian sebagai badan hukum Publik mempunyai kepentingan dan legal standing dalam pengajuan Hak Uji Materiil a quo , sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 31 A ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan tentang substansi objek permohonan Hak Uji Materiil _a quo; _ Menimbang, bahwa substansi objek permohonan uji materiil ini sudah pernah diajukan (nebis in idem) dalam perkara Nomor 73 P/HUM/2013 dengan amar putusan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon. Oleh karena peraturan yang digugat mengatur materi yang sama dengan peraturan yang telah diputusan dalam Putusan Nomor 73 P/HUM/2013, maka gugatan a quo harus dinyatakan nebis in idem dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima, maka Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara, dan oleh karenanya terhadap substansi permohonan a quo tidak perlu dipertimbangkan lagi; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 61 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 MENGADILI, Menyatakan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: HARTONO SOHOR tersebut tidak dapat diterima; Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 20 Oktober 2015 , oleh Dr. H. Imam Soebechi, SH., MH., Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha , yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, SH., MH. dan Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN., Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu jugaoleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Rafmiwan Murianeti, SH., MH., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak; Anggota Majelis: Ketua Majelis, ttd. ttd. Is Sudaryono, SH., MH. Dr. H. Imam Soebechi, SH. MH. ttd. Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN. Panitera-Pengganti : ttd. Rafmiwan Murianeti, SH. MH. Biaya-biaya :
M e t e r a i……. Rp 6.000,00 2. R e d a k s i…... Rp 5.000,00 3.Administrasi…... Rp 989.000,00 Jumlah : Rp1.000.000,00 Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG RI.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara ( ASHADI, SH ) NIP. : 220 000 754 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016.
Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan, yaitu:
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang selanjutnya disingkat dengan KPU BC; atau
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai yang selanjutnya disingkat dengan KPPBC.
Pejabat adalah pegawai Direktorat Jenderal yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Unit Pengawasan adalah unit kerja pada Direktorat Jenderal yang melakukan kegiatan intelijen, penindakan, penyidikan, dan kegiatan lain dalam rangka pengawasan.
Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan Impor.
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang selanjutnya disingkat dengan PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas nama Importir.
Data Elektronik adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap Pemberitahuan Pabean, misalnya Invoice, Packing List, Bill of Lading/Airway Bill, dokumen pemenuhan persyaratan Impor, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
Pemberitahuan Impor Barang yang selanjutnya disingkat dengan PIB adalah Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang yang diimpor untuk dipakai.
Media Penyimpan Data Elektronik adalah media yang dapat menyimpan data elektronik seperti disket, compact disk, flash disk, dan yang sejenisnya.
Tempat Penimbunan Sementara yang selanjutnya disingkat dengan TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
Tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat yang disamakan dengan itu yang berada di luar kawasan pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk yang selanjutnya disingkat NDPBM adalah nilai tukar mata uang yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan bea masuk.
Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk.
Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat dengan PDRI adalah pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal atas impor barang yang terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan.
Nomor Pendaftaran adalah nomor yang diberikan oleh Kantor Pabean sebagai tanda bahwa PIB telah memenuhi syarat formal.
Mitra Utama Kepabeanan adalah Importir yang penetapannya dilakukan oleh Direktur Teknis Kepabeanan atas nama Direktur Jenderal untuk mendapatkan kemudahan pelayanan kepabeanan.
Operator Ekonomi adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pergerakan barang secara internasional dalam fungsi rantai pasokan global.
Operator Ekonomi Bersertifikat ( Authorized Economic Operator ) yang selanjutnya disebut AEO adalah Operator Ekonomi yang mendapat pengakuan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu.
Jalur Hijau adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan tidak dilakukan penelitian dokumen oleh Pejabat dan tidak dilakukan pemeriksaan fisik sebelum Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Jalur Kuning adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Jalur Merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Nota Pemberitahuan Barang Larangan/Pembatasan yang selanjutnya disingkat dengan NPBL adalah nota yang dibuat oleh Pejabat kepada Importir agar memenuhi ketentuan larangan dan/atau pembatasan impor.
Nota Hasil Intelijen yang selanjutnya disingkat dengan NHI adalah produk dari kegiatan intelijen yang menunjukkan indikasi mengenai adanya pelanggaran di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
Pemindai Peti Kemas ( container scanner ) adalah alat yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan fisik barang dalam peti kemas atau kemasan dengan menggunakan teknologi sinar X ( X-Ray ) atau sinar gamma ( Gamma Ray ).
Koordinator Pelayanan Pengguna Jasa yang selanjutnya disebut dengan client coordinator adalah Pejabat yang ditunjuk untuk menjadi penghubung antara Direktorat Jenderal dengan Orang.
Pelunasan Cukai adalah pemenuhan persyaratan dalam rangka pemenuhan hak-hak negara yang melekat pada barang kena cukai sehingga Barang Kena Cukai tersebut dapat disetujui untuk dikeluarkan dari pabrik, tempat penyimpanan, atau diimpor untuk dipakai yang dilaksanakan dengan cara pembayaran, pelekatan pita cukai, atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya.
Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat BKC adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang- Undang Cukai meliputi Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Hasil Tembakau.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194 ...
Relevan terhadap
secara proporsional dari berbagai aspek yang terkait. Oleh karena itu, dalam hal seandainya pun ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf i UU 28/2009 tetap dianggap memberikan perlakuan yang tidak sama antara pusat kebugaran ( fitness center ) dengan penyedia sarana dan prasarana olahraga lainnya, maka penyedia sarana dan prasarana olahraga lainnya tersebut itu lah yang seharusnya juga dikenakan pajak, dan bukan dengan jalan menghapuskan pajak atas pusat kebugaran ( fitness center ). Apalagi ditinjau berdasarkan tujuan dan asas hukum itu sendiri adalah untuk memberikan kemanfaatan, maka sangat tidak sepatutnya apabila hanya dikarenakan penyedia sarana dan prasarana olahraga lainnya tidak dikenakan pajak daerah (Pajak Hiburan) kemudian pusat kebugaran ( fitness center ) serta merta juga akan dinyatakan tidak dapat dikenakan pajak daerah (Pajak Hiburan). Hal ini karena berdasarkan pertimbangan- pertimbangan sebagaimana telah disampaikan terdahulu, bahwa ditinjau dari dasar-dasar pengenaan pajaknya, secara substantif pusat kebugaran ( fitness center ) sangat layak dan pantas untuk dikenakan pajak, serta pajak daerah (Pajak Hiburan) atas pusat kebugaran ( fitness center ) tersebut dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang pada akhirnya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Demikian pula halnya bahwa ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf i UU 28/2009 sama sekali juga tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena sama sekali tidak terdapat suatu perlakuan yang diskriminatif atas penetapan pusat kebugaran ( fitness center ) sebagai Pajak Hiburan (pajak daerah) sebagaimana diatur ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf g UU 28/2009 tersebut. Bahwa yang dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang L ...
Relevan terhadap
Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:
Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai berupa:
barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
barang pindahan;
barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kepabeanan;
barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadangnya, serta alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian yang akan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;
peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia;
barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama; dan/atau
barang untuk kegiatan usaha panas bumi.
Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata- nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf i dan huruf j berkenaan dengan:
pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah);
pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
pembayaran untuk: a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; b) pemakaian air dan listrik;
pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari: a) kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; b) kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau c) trading arms kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama.
pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi;
pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i yang jumlahnya paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dalam satu masa pajak;
pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf j yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e.
Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor.
Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf k kepada Bank Indonesia.
Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna Anggaran, pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran, atau bendahara pengeluaran).
Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum BULOG).
Pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum BULOG) atau Badan Usaha Milik Negara lain yang mendapatkan penugasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut:
dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen); atau b. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dan ayat (2) diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.
Pedoman Pelaksanaan Analisis Jabatan di Lingkungan Kementerian Keuangan
Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Otonomi Khusus