Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusan ...
Relevan terhadap
Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 9O Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (1) Pemenuhan kriteria dalam hal pemenuhan persyaratan pengangkatan Bendahara Pengeluaran ditetapkan oleh Bendahara Umum Negara selaku ^pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara. Ayat (21 Cukup ^jelas. Hurufd Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pendapatan Ibu Kota Nusantara lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" termasuk penerimaan negara bukan pajak. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 91 Sistem penerimaan negara diberlakukan oleh Menteri untuk menatausahakan seluruh transalsi penerimaan negara. Pasal 92 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "hibah yang direncanakan, adalah hibah yang dilalsanakan melalui mekanisme perencanaan. Huruf b Yang dimaksud dengan "hibah langsung" adalah hibah yang dilaksanakan tidak melalui mekanisme perencanaan, Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 93 Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat (1) Cukup ^jelas. (21 Cukup ^jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. (s) Dalam pelaksanaan pencairan dana penerimaan negara bukan pajak yang telah dihitung melalui Formula Maksimum Pencairan (MP) dimungkinkan terjadi sisa/sa1do dana penerimaan negara bukan pajak yang belum sempat dicairkan karena tahun anggaran bersangkutan telah berakhir dan sudah memasuki tahun anggaran berikutnya. Sisa/ saldo tersebut tetap dapat dicairkan namun menunggu daJtar isian pelaksanaEm anggaran tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 94 Cukup ^jelas. Pasal 95 Cukup ^jelas. Pasal 96 Pengendalian internal atas pelaksanaan dan pertanggunglawaban anggaran dilakukan oleh organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. Pasal Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 10O Cukup ^jelas. Pasal 1O1 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. 97 Termasuk dalam pelaksanaan anggaran adalah pelaksanaan anggaran belanja yang antara lain meliputi:
Pelaksanaan Komitmen;
Penyelesaian Tagihan kepada Negara;
Penatausahaan Komitmen;
Penyelesaian atas Keterlanjuran Pembayaran; dan
Pembayaran Pengembalian Penerimaan. Yang dimaksud dengan ^uperaturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan dan pertanggungiawaban APBN" termasuk ^peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan yang antara lain mengatur mengenai tuntutan ganti kerugian negara dalam hal terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian kewajiban baik secara langsung maupun tidak langsung yang menimbulkan kerugian ^terhadap keuangan negara. Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata ^cara tuntutan ganti kerugian negara terhadap ^pegawai ^negeri ^bukan bendahara atau pejabat lain, diberlakukan secara mutatis ^mutandis terhadap subjek bukan ^pegawai negeri bukan bendahara ^atau pejabat lain yang melakukan pelanggaran hukum atau kelalaian ^kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ^ini. Pasal 1O3 Cukup ^jelas. Pasal lO4 Ayat (l) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Penetapan Menteri/ Pimpinan Lembaga yang dapat menjadi Pengguna Barang untuk BMN yang berada pada Ibu Kota Nusantara dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dilakukan secara selektif. Termasuk Lembaga dalam ketentuan ini adalah lembaga tinggi negara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 1O6 Cukup ^jelas. Pasal 1O7 Cukup ^jelas. Pasal lO8 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup ^jelas. 29 Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 I Cukup jelas. Pasal 112 Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup ^jelas. Pasal 114 Cukup ^jelas. Pasal 115 Cukup ^jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup ^jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 12O Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk "BMN yang bersifat khusus" adalah barang-barang yang diatur secara khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup ^jelas. Pasal 121 Ayat (i) Cukup jelas. Ayat (21 Huruf a Yang dimalsud dengan ^onilai limit" adalah harga minimal barang yang akan dilelang. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal L22 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup ^jelas. Pasal 124 Cukup ^jelas. Pasal 125 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "rumah negara" adalah BMN yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau hunian dan saiana pembinaan serta menunjang pelalsanaan tugas pejabat negara dan/atau aparatur sipil negara. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Hurufa Dalam hal Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan masih membutuhkan rumah negara, BMN berupa rumah negara tidak dialihkan status penggunaa.nnya kepada Kementerian/ Lembaga lain. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal 126 Cukup ^jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup ^jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Ayat (1) Pengalihan BMD kepada ^pemerintah pusat dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada Otorita lbu Kota Nusantara dan/atau Kementerian/lembaga selaku pengguna Anggaran / ^pengguna Barang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 131 Cukup ^jelas. Pasal 132 Cukup ^jelas. Pasal 133 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Tunjangan atau kompensasi merupakan tunjangan atau kompensasi yang terkait dengan penggantian pemberian fasilitas rumah negara. Nomenklatur pejabat negara/pegawai negeri sipil/prajurit TNl/Anggota Polri mengikuti nomenklatur sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Induk dan ^perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Pemindahan pejabat negara/pegawai negeri sipil/prajurit TNl/Anggota Polri dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Induk dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. 33 Pasal 134 Cukup ^jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Cukup ^jelas. Pasal 137 Cukup ^jelas. Pasal 138 Cukup ^jelas. Pasal 139 Bentuk Pemanfaatan BMN yang mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN berupa Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur, atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan di bidang pengelolaan BMN. Pasal l4O Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Cukup ^jelas. Pasal 146 Cukup ^jelas. Pasal 147 Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hurufa Yang dimaksud dengan "peruntukan tertentu" adalah peruntukan untuk mendukung kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15O Cukup ^jelas. 35 Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Cukup ^jelas. Pasal 153 Cukup ^jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup ^jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup ^jelas. Pasal 159 Cukup ^jelas. Pasal 160 Cukup ^jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Cukup ^jelas. Pasal 163 Cukup ^jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Cukup ^jelas. Pasal 166 Cukup ^jelas. Pasal 167 Ayat ^(1) Cukup ^jelas. Ayat ^(2) Hurufa CukuP ^jelas. Huruf b CukuP ^jelas. Huruf c Pasal 168 Cukup ^jelas. Pasal 169 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pihak mana pun dilarang untuk ^melakukan pemblokiran dan/atau plnyitaan ^terhadap ^ADP ^dan/atau ^hak pengelolaan tanah atas ADP, baik ^secara ^parsial ^maupun keseluruhan. itEl rIIf: IIII STDEN INDONES Pasal 171 Cukup ^jelas. Pasal 172 Cukup ^jelas. Pasal 173 Cukup ^jelas. Pasal 174 Cukup ^jelas. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Cukup ^jelas. Pasal 177 Cukup ^jelas. Pasal 178 Cukup ^jelas. Pasal 179 Cukup ^jelas. Pasal 180 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat Ayat Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup ^jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Ayat (1) Cukup ^jelas. 38 (3) Yang dimaksud dengan ^okegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga" adalah kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelum tahun 2023 telah dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga dengan bekerja sama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian tahun ^jamak. Kegiatan tersebut dapat tetap dilanjutkan oleh Kementerian/ kmbaga yang bersangkutan setelah tahun 2023 dengan pertimbangan antara lain agar terjadi kesinambungan pelaksanaan kegiatan dimaksud untuk mendukung pencapaian target yang ditetapkan.
Huruf a Ketentuan yang diatur antara lain mengenai pencatatan komitmen/perjanjian/kontrak, penyelesaian tagihan, revisi anggaran, pengalihan aset (BMN/konstruksi yang timbul dari pe{anjian) dan kewajibannya, serta pelaporan keuangan. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat Ayat (21 Cukup ^jelas.
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 185 Cukup ^jelas. Pasal 186 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengelolaan anggaran" adalah perencanaan, pelaksanaan, penghapusan, dan pertanggungjawaban sesuai kebijakan akuntansi, pengadaan barang dan ^jasa, dan/atau pengelolaan aset terkait. Yang termasuk lembaga/badan antara lain Bank Indonesia. Ayat 12) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 187 Yang dimaksud dengan "badan usaha" antara lain Badan Usaha Milik Negara. Yang dimaksud dengan "badan layanan'antara lain Badan Layanan Umum- Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, perbendaharaan, dan/atau badan usaha milik negara. 40 Pasal 188 Yang dimaksud dengan "fasilitas/ insentif fiskal" termasuk:
fasilitas perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra antara lain:
pemberian fasilitas/insentif liskal tersebut yang dapat berupa pengurangan pajak penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau
pembebasan bea masuk dan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap impor barang tertentu untuk kepentingan umum oleh pemerintah;
insentif atau fasilitas Pajak Khusus IKN yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kJrususnya dalam rangka Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal l9O Cukup ^jelas.
Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona
Relevan terhadap
bahwa wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas sektor tertentu;
bahwa untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan produktivitas sektor tertentu sehubungan dengan wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu memberikan insentif pajak dalam rangka mendukung penanggulangan dampak virus corona dimaksud;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu mengatur pemberian insentif pajak bagi Wajib Pajak terdampak wabah virus corona;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona;
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
Pegawai adalah adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja.
Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
Wajib Pajak Berstatus Pusat, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Pusat, adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan kode 3 (tiga) digit terakhirnya adalah 000.
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, yang selanjutnya disebut KITE, meliputi Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan fasilitas KITE sesuai perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat PKP, adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07 /2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus ...
Relevan terhadap
Penyaluran DBH PBB terdiri atas:
penyaluran DBH PBB bagi rata untuk kabupaten dan kota;
penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota untuk PBB Sektor Perkebunan, Perhutanan, serta Pertambangan lainnya dan sektor lainnya; dan c. penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota untuk PBB sektor Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Pengusahaan Panas Bumi.
Penyaluran DBH PBB bagi rata untuk kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, dengan ketentuan:
tahap I sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi paling lambat bulan April;
tahap II sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi paling lambat bulan Agustus; dan
tahap III sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada tahap I dan tahap II paling lambat bulan November.
Penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota untuk PBB sektor Perkebunan, Perhutanan, serta Pertambangan lainnya dan sektor lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilaksanakan secara mingguan, dengan ketentuan:
paling cepat bulan Agustus setelah surat pemberitahuan pajak terutang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan
untuk bulan Desember dilaksanakan 1 (satu) kali penyaluran sebesar sisa pagu alokasi.
Penyaluran DBH PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota, dan Biaya Pemungutan PBB bagian provinsi, kabupaten, dan kota untuk PBB sektor Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan secara triwulanan, dengan ketentuan:
triwulan I sebesar 20% (dua puluh persen) dari pagu alokasi pada bulan Maret;
triwulan II sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu alokasi pada bulan Juni;
triwulan III paling banyak sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari pagu alokasi paling lambat bulan September; dan
triwulan IV sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III paling lambat bulan Desember.
Penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN dilaksanakan secara triwulanan, dengan ketentuan:
triwulan I sebesar 20% (dua puluh persen) dari pagu alokasi pada bulan Maret;
triwulan II sebesar 20% (dua puluh persen) dari pagu alokasi pada bulan Juni;
triwulan III sebesar 20% (dua puluh persen) dari pagu alokasi paling lambat bulan September; dan
triwulan IV sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III paling lambat bulan Desember.
Penyaluran DBH PBB dan DBH PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilaksanakan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menerima laporan kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung optimalisasi penerimaan negara dari Pemerintah Daerah.
Laporan kinerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa berita acara rekonsiliasi antara Pemerintah Daerah, KPPN, dan Kantor Pelayanan Pajak setempat atas penyetoran pajak pusat ke RKUN yang telah mendapatkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara.
Penyetoran pajak pusat ke RKUN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berdasarkan transaksi pengeluaran yang dibayarkan dengan mekanisme uang persediaan dan/atau pembayaran langsung atas beban APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berita acara rekonsiliasi atas penyetoran pajak- pajak Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling sedikit memuat:
periode pemungutan dan penyetoran pajak;
jenis dan jumlah pajak yang dipungut;
jenis dan jumlah pajak yang disetorkan; dan
tanda tangan para pihak yang melakukan rekonsiliasi.
Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan dengan ketentuan:
paling lambat minggu keempat bulan Februari untuk realisasi penyetoran pajak pusat semester II tahun anggaran sebelumnya; dan
paling lambat minggu keempat bulan Agustus untuk realisasi penyetoran pajak Pusat semester I tahun anggaran berjalan.
Penerimaan berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan dengan ketentuan:
berita acara rekonsiliasi semester II tahun anggaran sebelumnya paling lambat hari kerja terakhir bulan Februari; dan
berita acara rekonsiliasi semester I tahun anggaran berjalan paling lambat hari kerja terakhir bulan Agustus.
Penyaluran DBH PBB dan DBH PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan setelah Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menerima berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan ketentuan:
penyaluran DBH PBB dan DBH PPh triwulan I dan triwulan II berdasarkan berita acara rekonsiliasi semester II tahun anggaran sebelumnya; dan
penyaluran DBH PBB dan DBH PPh triwulan III berdasarkan berita acara rekonsiliasi semester I tahun anggaran berjalan.
Penyaluran DBH CHT dilaksanakan secara triwulanan, dengan ketentuan:
triwulan I sebesar 20% (dua puluh persen) dari pagu alokasi pada bulan Maret;
triwulan II sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi pada bulan Juni;
triwulan III sebesar 30% (tiga puluh persen) dari pagu alokasi paling lambat bulan September; dan
triwulan IV sebesar selisih antara pagu alokasi dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III paling lambat bulan November.
Penyaluran DBH CHT triwulan I dan/atau triwulan II sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf a dan huruf b dilakukan setelah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima:
laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT semester II tahun anggaran sebelumnya; dan b. surat pernyataan telah menganggarkan kembali sisa lebih penggunaan anggaran DBH CHT tahun anggaran sebelumnya, dari gubernur.
Penyaluran DBH CHT triwulan III dan/atau triwulan IV sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf c dan huruf d dilakukan setelah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT semester I tahun anggaran berjalan dari gubernur.
Penyaluran DBH PBB, DBH PPh, dan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), dan ayat (13) dilaksanakan berdasarkan rencana penarikan dana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu. ...
Relevan terhadap
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1692), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberla ...
Relevan terhadap
Insentif PPN diberikan kepada:
Pihak Tertentu atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat atas perolehan bahan baku vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19; dan
Wajib Pajak yang memperoleh vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19 dari Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat, yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19.
Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
Badan/Instansi Pemerintah;
Rumah Sakit; atau
Pihak Lain.
Barang Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
obat-obatan;
vaksin dan peralatan pendukung vaksinasi;
peralatan laboratorium;
peralatan pendeteksi;
peralatan pelindung diri;
peralatan untuk perawatan pasien; dan/atau
peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan oleh Pihak Tertentu untuk keperluan penanganan pandemi COVID-19.
Peralatan pendukung vaksinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi paling sedikit syringe , kapas alkohol, alat pelindung diri ( face shield , hazmat , sarung tangan, dan masker bedah), cold chain , cadangan sumber daya listrik (genset), tempat sampah limbah bahan berbahaya dan beracun ( safety box ), dan cairan antiseptik berbahan dasar alkohol.
Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
jasa konstruksi;
jasa konsultasi, teknik, dan manajemen;
jasa persewaan; dan/atau
jasa pendukung lainnya.
Jasa pendukung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d merupakan jasa yang dinyatakan oleh Pihak Tertentu untuk keperluan penanganan pandemi COVID-19 termasuk pelaksanaan vaksinasi.
PPN yang terutang atas:
impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditanggung pemerintah;
pemanfaatan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditanggung pemerintah;
penyerahan bahan baku untuk produksi vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19 oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat, ditanggung pemerintah; dan
penyerahan vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19 __ oleh Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat, ditanggung pemerintah.
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, termasuk juga penyerahan berupa pemberian cuma- cuma.
Dalam hal Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan impor Barang Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, impor Barang Kena Pajak tersebut tidak dikenai PPN sepanjang Pihak Tertentu dimaksud memiliki SKJLN sebelum melakukan impor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Insentif PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dan huruf c bagi Pihak Lain diberikan jika:
perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, selanjutnya akan diserahkan kepada Badan/Instansi Pemerintah dan/atau Rumah Sakit untuk keperluan penanganan pandemi COVID-19 tanpa mendapat imbalan atau kompensasi; dan
perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tersebut tidak dipergunakan untuk pemakaian sendiri.
Insentif PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf d, diberikan setelah Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat memperoleh surat rekomendasi dari Kementerian Kesehatan, yang paling sedikit memuat keterangan:
identitas Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat;
identitas Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan;
nama dan jumlah barang; dan
pernyataan bahwa perolehan bahan baku yang akan diperoleh merupakan bahan baku untuk produksi vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Pihak Tertentu adalah pihak yang menerima insentif perpajakan.
Badan/Instansi Pemerintah adalah badan/instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang melakukan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Rumah Sakit adalah rumah sakit yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan, Kepala Daerah/Dinas Kesehatan Tingkat I, atau Kepala Daerah/Dinas Kesehatan Tingkat II sebagai rumah sakit rujukan untuk penanganan pandemi COVID-19.
Pihak Lain adalah pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk membantu penanganan pandemi COVID-19.
Pihak Ketiga adalah pihak yang bertransaksi dengan Badan/Instansi Pemerintah, Rumah Sakit atau Pihak Lain untuk penanganan pandemi COVID-19.
Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat adalah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak yang memproduksi vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19.
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 2 ayat (4), ayat (7) dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2021 ten ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 Negara Bukan Pajak dimaksud, telah dilakukan kajian secara mendalam dengan metode observasi, wawancara berbasis kuisioner, wawancara mendalam serta studi pustaka oleh Tim Peneliti Departemen Perikanan Tangkap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro ( vide Bukti P-9); 2. Bahwa berdasarkan kajian yang dilakukan Tim Peneliti dari Universitas Diponegoro mengenai Kajian Persepsi Nelayan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 menyatakan Kesimpulan dan Rekomendasi sebagai berikut: Kesimpulan: 1) Telah terjadi penolakan oleh nelayan secara signifikan (98% responden) atas PP Nomor 85 Tahun 2021 dan Kepmen Nomor 86 Tahun 2021 mengenai PNBP Perikanan karena dinilai memberatkan; 2) Usaha perikanan tangkap di Indonesia merupakan sektor yang perlu didukung oleh pemerintah dengan fakta bahwa usaha perikanan tangkap di Indonesia didominasi oleh usaha perikanan artisanal yang dapat dikategorikan sebagai usaha mikro dan kecil. Kelompok lapangan pekerjaan perikanan juga tergolong penyumbang tingkat kemiskinan utama di Indonesia. Profesi nelayan merupakan pilihan yang bersifat “terpaksa” dan jumlah nelayan juga mengalami pertumbuhan negatif; 3) Kontribusi perikanan dalam pembangunan diantaranya berupa sumber pertumbuhan ekonomi, penguatan ketahanan pangan, penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan, walaupun kontribusi dari aspek PNBP dinilai masih rendah karena karakteristik industri perikanan yang memang kalah kompetitif dibanding jenis industri lainnya; 4) Nelayan sudah memiliki beban berbagai pungutan, baik pungutan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pungutan lokal sehingga peningkatan tarif PNBP perikanan dapat meningkatkan beban nelayan, menurunkan tingkat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 “Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT).” 7. Bahwa berdasarkan fakta dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas, terang dan jelas bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4) huruf b PP Nomor 85 Tahun 2021 dan Lampiran PP Nomor 85 Tahun 2021 yang mengatur Penarikan Pasca Produksi bagi: “Kapal Penangkap Ikan Berukuran s.d. 60 GT dikenakan tarif 5 % x Nilai Produksi Ikan pada saat didaratkan” , bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, yang dimaksud Nelayan Kecil; __ 8. Bahwa sesuai dan mendasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016, terang dan jelas bahwa Nelayan Kecil tidak dikenakan pungutan perikanan. Namun demikian, dengan diterbitkannya PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak pada sektor perikanan, terutama ketentuan Pasal 2 ayat (4) huruf b dan Lampiran PP Nomor 85 Tahun 2021, Nelayan Kecil dengan menggunakan ukuran GT berapapun menjadi dikenakan pungutan perikanan sebesar 5 %; __ 9. Bahwa sesuai dan berdasarkan pada Tabel 1 jumlah Nelayan Kecil dengan Kapal Penangkap Ikan berukuran sampai dengan 10 (sepuluh) GT, adalah 115.814 dan 35.988 Kapal. Jumlah dimaksud sangat-sangat besar dan merupakan dominasi/mayoritas dari Nelayan Nasional; __ Tabel I. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Perjanjian Internasional di Bidang Perpajakan, yang selanjutnya disebut Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional, yang antara lain mengatur pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan, meliputi:
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan ( Tax Information Exchange Agreement );
konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan ( Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters );
Persetujuan Multilateral Antar-Pejabat yang Berwenang untuk Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis ( Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information );
Persetujuan Bilateral Antar-Pejabat yang Berwenang untuk Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis ( Bilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information );
Persetujuan Antar-Pemerintah untuk Mengimplementasikan Undang-Undang Kepatuhan Perpajakan Rekening Keuangan Asing ( Intergovernmental Agreement for Foreign Account Tax Compliance Act ); atau
perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
Pertukaran Informasi Keuangan yang selanjutnya disebut Pertukaran Informasi adalah kegiatan untuk menyampaikan, menerima, dan/atau memperoleh informasi keuangan yang berkaitan dengan perpajakan berdasarkan Perjanjian Internasional, yang bertujuan untuk:
mencegah penghindaran pajak;
mencegah pengelakan pajak;
mencegah penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh pihak-pihak yang tidak berhak; dan/atau
mendapatkan informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Standar Pelaporan Umum ( Common Reporting Standard ), yang selanjutnya disebut CRS adalah standar pelaporan untuk Pertukaran Informasi secara otomatis yang tercantum dalam batang tubuh bagian II.B dan penjelasan (c ommentaries ) bagian III.B Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters , beserta perubahannya.
Pertukaran Informasi Secara Otomatis adalah Pertukaran Informasi yang dilakukan pada waktu tertentu, secara periodik, sistematis, dan berkesinambungan atas informasi keuangan yang disusun berdasarkan CRS.
Yurisdiksi Asing adalah negara atau yurisdiksi selain Indonesia.
Yurisdiksi yang Berpartisipasi dalam Pertukaran Informasi Secara Otomatis yang selanjutnya disebut Yurisdiksi Partisipan adalah Yurisdiksi Asing yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Internasional yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi keuangan secara otomatis.
Yurisdiksi Tujuan Pelaporan adalah Yurisdiksi Partisipan yang merupakan tujuan bagi Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kewajiban penyampaian informasi keuangan secara otomatis.
Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang selanjutnya disebut LJK Lainnya adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Entitas Lain adalah badan hukum seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum seperti persekutuan atau trust , yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar Pertukaran Informasi berdasarkan Perjanjian Internasional.
Lembaga Kustodian adalah entitas yang mengelola aset keuangan atas nama pihak lain sebagai kegiatan utama dari usahanya.
Lembaga Simpanan adalah entitas yang menerima simpanan dalam kegiatan perbankan secara umum atau usaha sejenis.
Perusahaan Asuransi Tertentu adalah perusahaan asuransi yang menerbitkan kontrak asuransi nilai tunai atau kontrak anuitas atau diwajibkan untuk melakukan pembayaran berkenaan dengan kontrak asuransi nilai tunai atau kontrak anuitas dimaksud.
Entitas Investasi adalah:
entitas yang kegiatan utamanya menjalankan satu atau lebih kegiatan atau operasi, untuk atau atas nama nasabah, yaitu:
perdagangan instrumen pasar uang, valuta asing, mata uang, suku bunga, instrumen indeks, efek yang dapat dipindahtangankan, atau perdagangan komoditas berjangka;
pengelolaan portofolio secara individu dan kolektif; atau
investasi, administrasi, atau pengelolaan aset keuangan atau uang atas nama pihak lain; dan/atau b. entitas yang sebagian besar penghasilan brutonya berasal dari kegiatan investasi, reinvestasi, atau perdagangan aset keuangan, dan entitas tersebut dikelola oleh entitas lain yang merupakan Lembaga Simpanan, Lembaga Kustodian, Perusahaan Asuransi Tertentu, atau entitas investasi sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Rekening Keuangan adalah rekening yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain.
Rekening Keuangan Lama adalah Rekening Keuangan yang dikelola sampai dengan tanggal 30 Juni 2017 oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
Rekening Keuangan Baru adalah Rekening Keuangan yang dikelola sejak tanggal 1 Juli 2017 oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
Rekening Keuangan Bernilai Rendah adalah Rekening Keuangan Lama milik orang pribadi dengan agregat saldo atau nilai pada tanggal 30 Juni 2017 sebesar paling banyak USD1.000.000,00 (satu juta Dolar Amerika Serikat).
Rekening Keuangan Bernilai Tinggi adalah Rekening Keuangan Lama milik orang pribadi dengan agregat saldo atau nilai pada tanggal 30 Juni 2017, pada tanggal 31 Desember 2017, atau pada tanggal 31 Desember tahun kalender selanjutnya, sebesar lebih dari USD1.000.000,00 (satu juta Dolar Amerika Serikat).
Pemegang Rekening Keuangan adalah orang pribadi dan/atau entitas yang terdaftar atau teridentifikasi sebagai pemilik suatu Rekening Keuangan.
Negara Domisili adalah negara atau yurisdiksi tempat Pemegang Rekening Keuangan menjadi subjek pajak dalam negeri.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disingkat Kanwil DJP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak.
Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kanwil DJP.
Kantor Pengolahan Data Eksternal yang selanjutnya disingkat KPDE adalah unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pajak di bidang pengolahan data dan dokumen yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak, dan secara teknis fungsional dibina oleh Direktur Teknologi Informasi Perpajakan.
Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
Relevan terhadap
bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan dalam rangka mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dimaksud;
bahwa memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian saat ini, khususnya dengan makin meluasnya dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ini ke sektor-sektor lainnya, termasuk pelaku usaha kecil dan menengah, perlu memberikan perluasan insentif pajak bagi setiap wajib pajak baik untuk pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk wajib pajak Terdampak Wabah Virus Corona sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 19 (COVID- 19) sehingga perlu dilakukan perluasan untuk menjangkau sektor yang akan diberikan insentif;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019;
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja.
Pemberi Kerja adalah orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan, atau unit, termasuk Instansi Pemerintah, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran lain dengan nama atau dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh Pegawai.
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut KITE adalah Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan fasilitas KITE sesuai perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.
Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.
Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.
Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Surat Pemberitahuan Tahunan, yang selanjutnya disebut SPT Tahunan, adalah surat pemberitahuan yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Pemotong atau Pemungut Pajak adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
Surat Keterangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, yang selanjutnya disebut Surat Keterangan, adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disingkat PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Pembebasan Bea Masuk atas Impor Persenjataan, Amunisi, Perlengkapan Militer Dan Kepolisian, Termasuk Suku Cadang, Serta Barang dan Bahan yang Dipergu ...
Relevan terhadap
Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) mengajukan permohonan pembebasan bea masuk kepada Direktur Jenderal, dengan paling sedikit melampirkan:
perjanjian pengadaan barang dan/atau jasa yang menyebutkan secara tegas bahwa harga dalam perjanjian pengadaan barang dan/atau jasa tidak meliputi pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor;
fotokopi izin usaha dengan memperlihatkan asli dokumen kepada Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk;
fotokopi keputusan mengenai penetapan sebagai industri tertentu yang memproduksi barang untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang digunakan sebagai identitas dalam pemenuhan hak dan kewajiban di bidang kepabeanan;
fotokopi Angka Pengenal Importir (API-P/APIT); dan
Rencana Impor Barang (RIB).
Rencana Impor Barang (RIB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, disetujui dan ditandasahkan oleh:
Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan;
Asisten Logistik Panglima Tentara Nasional Indonesia;
Deputi Logistik Kepala Kepolisian Republik Indonesia; atau
pejabat paling rendah setingkat eselon II yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.
Atas permohonan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.
Atas permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal menyampaikan surat penolakan disertai dengan alasan penolakan.