Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.02/2016 tentang Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Kegiatan Usaha Hu ...
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus.
Relevan terhadap
Belanja/Beban Pengeluaran Keperluan Hubungan Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a antara lain:
Pengeluaran kerja sama internasional yang mencakup pembayaran iuran keikutsertaan pemerintah Indonesia dalam organisasi internasional dan tidak menimbulkan hak suara di luar ketentuan Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 1999 tentang Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Republik Indonesia Pada Organisasi-Organisasi Internasional, yang dibiayai dari Bagian Anggaran BUN seperti trust fund dan kontribusi;
Pengeluaran perjanjian internasional yang mencakup transaksi yang timbul sebagai akibat dari perjanjian- perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pihak lain di dunia internasional dan dibiayai dari Bagian Anggaran BUN; dan
Pendapatan dan belanja/beban selisih kurs dan biaya transfer atas Pengeluaran untuk keperluan hubungan internasional.
Belanja/Beban Dukungan Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b berupa kontribusi fiskal dalam bentuk tunai atas sebagian biaya pembangunan proyek yang dilaksanakan melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam rangka penyediaan layanan infrastruktur yang terjangkau bagi masyarakat.
Belanja/Beban Fasilitas Penyiapan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c berupa bantuan teknis penyiapan dan transaksi proyek kerja sama pemerintah dan swasta bagi penanggung jawab program kegiatan untuk menghasilkan bankable business case project dan dapat mencapai financial close .
PNBP yang dikelola oleh DJA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d antara lain:
Pendapatan minyak bumi dan gas bumi;
Pendapatan panas bumi; dan
Setoran Lainnya, antara lain setoran dari otorita asahan.
Aset yang berada dalam pengelolaan DJKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e antara lain:
Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa;
BMN yang berasal dari Pertambangan antara lain:
BMN Yang Berasal Dari KKKS; dan
BMN Yang Berasal Dari Kontraktor PKP2B.
Aset Eks Pertamina;
BMN Idle yang sudah diserahkan ke DJKN;
Aset yang timbul dari pemberian BLBI antara lain:
Piutang pada Bank Dalam Likuidasi (BDL);
Aset Eks BPPN;
Aset Eks Kelolaan PT PPA; dan
Aset yang Diserahkelolakan kepada PT. PPA.
Aset Lainnya dalam Pengelolaan DJKN antara lain:
Barang gratifikasi;
BMN yang diperoleh dari pelaksanaan perjanjian kerja sama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan badan internasional dan/atau negara asing;
BMN yang diperoleh dari pembubaran badan yang dibentuk Kementerian/Lembaga, seperti unit pelaksana teknis yang dibentuk oleh Kementerian/Lembaga;
BMN yang diperoleh dari pembubaran badan- badan ad hoc ; atau
BMN yang diperoleh dari pembubaran yayasan sebagai tindak lanjut temuan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
Piutang Dalam Rangka Dana Antisipasi Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Transaksi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f antara lain:
Belanja/Beban Pensiun;
Belanja/Beban Jaminan Layanan Kesehatan;
Belanja/Beban Jamkesmen;
Belanja/Beban Jamkestama;
Belanja/Beban JKK;
Belanja/Beban JKM;
Belanja/Beban Program THT;
Belanja/Beban PPN RTGS BI;
Belanja/Beban Selisih Harga Beras Bulog; dan
Pelaporan Iuran Dana Pensiun.
Pendapatan dan belanja/beban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g antara lain:
Pendapatan berupa Selisih Lebih Dalam Pengelolaan Kelebihan/Kekurangan Kas;
Pendapatan Selisih Kurs Terealisasi dalam Pengelolaan Rekening Milik BUN;
Pendapatan lainnya dalam Pengelolaan Kas Negara;
Belanja/beban berupa Selisih Kurang dalam Pengelolaan Kelebihan/Kekurangan kas;
Belanja/Beban Selisih Kurs Terealisasi dalam Pengelolaan Rekening Milik BUN; dan
Belanja/Beban Transaksi Pengelolaan Kas Negara.
Utang PFK Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h merupakan selisih lebih/kurang antara penerimaan setoran/potongan PFK Pegawai dan pembayaran pengembalian penerimaan PFK Pegawai; dan (9) Utang PFK Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i merupakan selisih lebih/kurang antara penerimaan setoran PFK Pajak Rokok dan pembayaran pengembalian penerimaan PFK Pajak Rokok.
Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Otonomi Khusus
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Toko Bebas Bea.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006.
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat- tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Toko Bebas Bea adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal impor dan/atau barang asal Daerah Pabean untuk dijual kepada orang tertentu.
Penyelenggara Toko Bebas Bea sekaligus Pengusaha Toko Bebas Bea yang selanjutnya disebut dengan Pengusaha TBB adalah badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan menimbun barang asal impor dan/atau barang asal Daerah Pabean untuk dijual kepada orang tertentu.
Ruang Penimbunan adalah bagian dari Toko Bebas Bea berupa ruang yang dimiliki/dikuasai oleh Pengusaha TBB untuk:
menimbun atau menyimpan barang asal impor dan/atau barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
tempat dilakukannya pemeriksaan fisik oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ruang Penjualan adalah bagian dari Toko Bebas Bea berupa ruang yang dimiliki/dikuasai oleh Pengusaha TBB untuk:
menjual; dan/atau
menyerahkan, barang asal impor dan/atau barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai Undang-Undang Kepabeanan.
Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.
Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194 ...
Relevan terhadap 5 lainnya
www.mahkamahkonstitusi.go.id pertumbuhan perokok melalui beban pungutan yang ada saat ini berjalan sesuai harapan; Saat ini, rokok dikenakan 2 jenis pajak yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai. Menurut keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-103/PJ./2002, PPN untuk rokok sebesar 8,4% dari Harga Jual Ecerarr, tarif ini lebih rendah dari PPN barang lainnya sebesar 10%. Sementara tarif cukai rokok dikenakan secara berbeda- beda menurut jenis rokok, skala produksi perusahaan dan rentang harga jualnya. Tarif rokok terendah saat ini terdapat pada rokok kretek tangan yang produksinya kurang dari 300 juta batang per tahun, sebesar Rp. 80 per batang atau sekitar 32% terhadap harga jual ecerannya sebesar Rp. 250 per batang. Sedangkan tarif cukai tertinggi terdapat pada rokok rokok putih mesin yang produksinya di atas 2 milyar batang sebesar Rp. 380 per batang atau sekitar 56% jika memakai harga jual eceran terendah Rp. 680 per batang; Secara definisi cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan darnpak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Sehingga tujuan pengenaan cukai adalah untuk mengendalikan konsumsi, dan mengawasi peredaran barang keno cukai. Di sisi lain, secara definisi pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Disini terlihat bahwa tujuan pengenaan pajak daerah bersifat wajib dan digunakan untuk keperluan pemerintah daerah bagi kemakmuran rakyat. Pajak daerah tidak berfokus pada pengendalian konsumsi dan pengawasan peredaran barang. Sehingga bisa disimpulkan bahwa cukai dan pajak daerah, termasuk pajak rokok, berbeda sifat dan tujuannya. Sebagai tambahan pengenaan berbagai macam pajak selain PPN dan cukai pada komoditas rokok juga terjadi di beberapa negara ASEAN. Misalnya di Kamboja rokok dikenai pajak listrik sebesar 3%, di Laos rokok dikenai royalty fee sebesar 15%, bahkan di Thailand rokok dikenai pajak administrasi provinsi (1,56 baht/bungkus), thai public broadcasting service fund (1,5% dari cukai), Thai Health Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id Gambar 2. Angka Prevalensi Merokok (dalam % untuk setiap gender) 16. Berikutnya adalah bahwa masuknya pajak rokok dalam UU PDRD muncul karena usulan dari pemerintah daerah pada pemerintah PUSAT, terutama oleh daerah-daerah yang banyak memiliki konsumsen hasil tembakau ini. Wacana ini murcul ketika Dana Bagi Hasil Cukai yang diatur menurut UU Cukai (UU 39/2007) hanya m9mberi manfaat bagi daerah penghasil cukai saja. Padahal kenyataannya banyak yang merokok di daerah-daerah di luar daerah penghasil. Demi pemenuhan aspek 'keadilan dalam konteks Desentralisasi Fiskal, maka pajak rokok ini diintrodusir dalam UU 28 Tahun 2009. Perlu diketahui bahwa di berbagai negara, pajak rokok sebagai focal tax adalah hal yang biasa, seperti di Thailand mengenakan local tax atas rokok, selain PPN dan Cukai. Di Amerika masing-masing negara bagian mengenakan cukai yang berbeda¬beda. Dengan mempertimbangkan Indonesia sebagai negara kesatuan maka pajak rokok tersebut dibuat seragam, agar masing-masing daerah memiliki tarif yang sama dalam rangka menghindari tax evasion antar provinsi; 17. Terakhir adalah beberapa studi yang pernah dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa jika ada kenaikan cukai (10%), ternyata meskipun terjadi penurunan konsumsi akan tetapi relatif kecil dibandingkan kenaikan penerimaan cukai yang diperoleh dus, kenaikan penerimaan produsen rokok. 53,4 62,2 63,1 65,6 65,9 1,7 1,3 4,5 5,2 4,2 27 31,5 34,4 34,2 34,7 0 10 20 30 40 50 60 70 1995 2001 2004 2007 2010 Laki Perempuan Total Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id • Untuk Produksi dan Peredaran rokok selain diatur dengan beberapa Peraturan Menteri Keuangan, terakhir juga diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan (Nomor 28 Tahun 2013 ). Faktor Yang Dipertimbangkan Dalam Menentukan Harga Jual Eceran (HJE) Rokok • Harga Jual Rokok ditentukan beberapa faktor sebagai berikut: 1. Beban Cukai rokok 2. Beban PPN dan PPh lainnya. 3. Beban bahan baku 4. Beban Karyawan 5. Beban Operasional & Non Op Persh 6. Margin keuntungan yg diharapkan 7. Keuntungan bagi para pedagang perantara. Jika ada beban baru (misalnya PDRD Rokok) maka akan menambah beban baru. Unsur dan Kalkulasi Perhitungan Rugi Laba • Unsur/beban yang masuk perhitungan Harga Pokok Produksi Rokok meliputi: 1. Cukai rokok (x rp /bt ). 2. PPN Rokok (8,4 % dari HJE). 3. Bahan Baku: • Tembakau. • Cengkeh. • Saos (perisa) • Packing, kertas, filterrod dan lain-lain 4. Tenaga kerja langsung dan overhead Pabrik. • Beban Operasional (beban penjualan, karyawan, kantor dan lain-lain) • Beban non Operasional (bungan pinjaman dan lain-lain). Contoh Perhitungan Laba Rugi dan Kalkulasi Harga Jual Rokok dan Kalkulasi Harga Jual Rokok Dengan studi kasus pada Perusahaan Rokok Golongan 2 (Produksi di bawah Dua Milyar bt /tahun ). Produk Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Produk Sigaret Kretek Tangan (SKT) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id