Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Penjelasan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajak ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 109 dari 129 halaman. Putusan Nomor 58 P/HUM/2020 sama, yaitu berkaitan dengan investasi, pembangunan ekonomi, orientasi ekspor, dan adanya insentif perpajakan di dalamnya; c. Bahwa kehadiran investasi luar negeri melalui penanaman modal asing (PMA) sangat diharapkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Bentuk penanaman modal asing dapat dibagi 3 jenis yaitu: pinjaman luar negeri ( debt ) yaitu berupa pinjaman luar negeri dilakukan oleh pemerintah, penanaman modal asing langsung berupa investasi yang dilakukan oleh perusahaan asing ke suatu negara tertentu ( foreign direct investment /FDI) dan portofolio berupa investasi yang dilakukan melalui pasar modal (Pangestu, 1995). Berbagai riset membuktikan bahwa penanaman modal asing langsung ( foreign direct investment /FDI) memberikan kontribusi positif dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Manfaat yang dapat diharapkan oleh suatu negara dari masuknya berupa FDI berupa: (a) peningkatan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal ( employment ), (b) alih teknologi, (c) pelatihan manajerial, dan (d) akses ke pasar internasional melalui ekspor; d. Bahwa dari sisi investor, penentuan lokasi FDI untuk menenamkan modalnya dapat dibagi atas 2 tahapan yaitu : tahap 1 memilih negara yang memiliki pasar yang besar, akses ke bahan baku, ketersediaan tenaga kerja, dan sumberdaya lainnya. Tahap berikutnya adalah investor akan mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi dari negara tersebut berupa besaran tarif pajak, kebijakan pemerintah, dan berbagai insentif yang akan di dapatkan. Banyak negara yang memberikan insentif fiskal untuk menarik FDI ke negaranya. Salah satu insentif fiskal yang banyak digunakan negara berkembang untuk menarik FDI adalah Export Processing Zones (EPZs). Peningkatan EPZs saat ini sangat cepat. Pada tahun 1975 hanya terdapat 79 EPZs pada 25 negara, saat ini jumlah EPZs lebih dari 4.800 EPZs di seluruh dunia (UNCTAD, 2019); e. Bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia juga menggunakan EPZs sebagai bagian reformasi ekonominya. Berdasarkan definisi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 109
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 74 dari 129 halaman. Putusan Nomor 58 P/HUM/2020 memeriksa dan mengadili perkara permohonan a quo secara bijaksana menyatakan permohonan uji materiil tidak dapat diterima ( Niet Ontvankelijk Verklaard ); 15. Namun demikian, Termohon menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung untuk mempertimbangkan dan menilainya tentang kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang PP Nomor 10/2012 _a quo; _ 16. Bahwa dapat Termohon sampaikan salah satu Kuasa Hukum Pemohon sebagaimana tercantum pada halaman 1 (satu) Permohonan Nomor 121/LSM-HS-JS-KHB/L/VIII/2020 tertanggal 28 Agustus 2020, yakni Sdr. Amir Syamsudin merupakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang mengundangkan objek sengketa a quo yakni Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Selain melakukan pengundangan, Kementerian Hukum dan HAM yang dipimpin oleh Sdr. Amir Syamsudin juga melakukan harmonisasi, pemantapan dan pembulatan konsepsi atas lahirnya peraturan tersebut sehingga dapat diyakini bahwa Sdr. Amir Syamsudin sangat memahami kebijakan Pemerintah tersebut. Menjadi kuasa Hukum yang mengadvise pengujian kebijakan tersebut jelas mencederai amanat yang diterima sebagai abdi Negara; III. Penjelasan Undang-Undang Bukan Objek Uji Materiil. 1. Bahwa dapat Termohon sampaikan bahwa pengujian materiil a quo diajukan terhadap penjelasan Pasal 14 PP 10/2012; 2. Bahwa berdasarkan Pasal 31A ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Juncto Pasal 1 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2011, permohonan uji materiil yang menjadi objek dari uji materiil adalah materi muatan dari suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 74
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Per ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) yang selanjutnya disebut BA 999.08 adalah subbagian anggaran Bendahara Umum Negara yang menampung belanja pemerintah pusat untuk keperluan belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja lain-lain yang pagu anggarannya tidak dialokasikan dalam bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/KPA atau PPA/KPA BUN.
Pagu Anggaran adalah alokasi anggaran yang ditetapkan dalam DIPA untuk mendanai belanja pemerintah pusat dan/atau pembiayaan anggaran dalam APBN.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian/Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa program/kegiatan dan membebani dana APBN.
Program adalah penjabaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi Kementerian/Lembaga yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit eselon I atau unit Kementerian/Lembaga yang berisi kegiatan untuk mencapai hasil ( outcome ) dengan indikator kinerja yang terukur.
Prioritas Nasional adalah Program/kegiatan/proyek untuk pencapaian Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan kebijakan Presiden lainnya.
Kegiatan adalah penjabaran dari Program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi Satker atau penugasan tertentu Kementerian/Lembaga yang berisi komponen kegiatan untuk mencapai keluaran ( output ) dengan indikator kinerja yang terukur.
Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dan pengesahan DIPA, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi anggaran.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun- tahun anggaran berikutnya.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/ atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembaga/badan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas.
Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPS.
Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur individu/perseorangan, badan usaha dan/atau kelompok usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.
Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disebut Sisa Anggaran Lebih atau disingkat SAL, adalah akumulasi neto dari sisa lebih pembiayaan anggaran dan sisa kurang pembiayaan anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.
Akumulasi Dana Abadi Pendidikan adalah akumulasi dana abadi dari tahun tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam APBN tahun berjalan.
Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk um um dengan penawaran harga secara tertulis dan/ a tau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. 2. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijual secara Lelang. 3. Objek Lelang adalah Barang yang dilelang. 4. Pengumuman Lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya Lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat Lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan. 5. Lelang Wajib adalah Lelang untuk melaksanakan penjualan Barang yang berdasarkan putusan/penetapan pengadilan, dokumen yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan/penetapan pengadilan, atau ketentuan peraturan perundang-undangan diharuskan dijual dengan cara Lelang. 6. Lelang Eksekusi adalah Lelang untuk melaksanakan penjualan Barang berdasarkan putusan/penetapan pengadilan, dokumen yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan/penetapan pengadilan, atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang- undangan. 7. Lelang Noneksekusi Wajib yang selanjutnya disebut Lelang Noneksekusi adalah Lelang untuk melaksanakan penjualan Barang yang oleh peraturan perundang- undangan diharuskan melalui Lelang. 8. Lelang Noneksekusi Sukarela yang selanjutnya disebut Lelang Sukarela adalah Lelang untuk melaksanakan penjualan Barang milik swasta, perorangan atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela. 9. Lelang Sukarela Terjadwal Khusus yang selanjutnya disebut Lelang Terjadwal Khusus adalah Lelang Sukarela atas barang bergerak yang tidak memerlukan balik nama dan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh Penyelenggara Lelang secara tertentu, rutin, dan terencana. 10. Hak Menikmati adalah hak yang memberi wewenang untuk menikmati atau memanfaatkan barang milik pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan membayar sejumlah uang dengan tidak mengubah status kepemilikan. jdih.kemenkeu.go.id 11. Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang adalah suatu kondisi di mana dokumen persyaratan Lelang telah dipenuhi oleh Penjual sesuai jenis Lelangnya dan tidak ada perbedaan data, menunjukkan hubungan hukum antara Penjual dengan barang yang akan dilelang, sehingga meyakinkan Pejabat Lelang bahwa subjek Lelang berhak melelang Objek Lelang dan Objek Lelang dapat dilelang. 12. Penjelasan Lelang adalah kegiatan yang dilakukan oleh Penjual untuk memberikan penjelasan mengenai Objek Lelang dan hal-hal yang terkait Objek Lelang sebelum pelaksanaan Lelang. 13. Lelang Dengan Kehadiran Peserta adalah Lelang yang dihadiri secara fisik oleh Peserta Lelang di tempat pelaksanaan Lelang atau secara virtual melalui media elektronik yang memungkinkan Peserta Lelang dapat saling melihat dan mendengar secara langsung dalam pelaksanaan Lelang. 14. Lelang Tanpa Kehadiran Peserta adalah Lelang yang tidak dihadiri secara fisik oleh Peserta Lelang di tempat pelaksanaan Lelang atau dilakukan melalui surat tromol pos, surat elektronik, Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction. 15. Lelang Tidak Ada Penawaran adalah Lelang yang tidak ada penunjukan Pembeli karena tidak ada penyetoran/penyerahan Uang Jaminan Penawaran Lelang, tidak ada penawaran, atau tidak ada penawaran yang memenuhi persyaratan. 16. Lelang Ditahan adalah Lelang yang tidak ada penunjukan Pembeli karena penawaran tertinggi belum sesuai dengan harga yang dikehendaki oleh Penjual. 17. Lelang Ulang adalah Lelang yang dilaksanakan untuk mengulang Lelang Tidak Ada Penawaran, Lelang Ditahan atau Lelang yang pembelinya Wanprestasi. 18. Aplikasi Lelang Berbasis Internet yang selanjutnya disebut Aplikasi Lelang adalah program komputer berbasis internet yang digunakan untuk menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi Lelang Tan pa Kehadiran Peserta yang dikembangkan/ disediakan oleh Kementerian Keuangan/DJKN atau Balai Lelang. 19. Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Melalui Aplikasi Lelang Berbasis Internet yang selanjutnya disebut Lelang Melalui Aplikasi Lelang adalah penjualan Barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis tanpa kehadiran Peserta Lelang untuk mencapai harga tertinggi yang dilakukan melalui Aplikasi Lelang. 20. Unit Pengelola Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disebut Unit Pengelola TIK adalah unit yang ditetapkan untuk mengelola teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan Lelang termasuk Unit Pengelola TIK Kementerian Keuangan dan DJKN. 21. Gangguan Teknis adalah gangguan yang terjadi pada Aplikasi Lelang dan/atau infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sehingga Lelang tidak dapat dilaksanakan. jdih.kemenkeu.go.id 22. Pasar Elektronik yang selanjutnya disebut e-Marketplace adalah sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi yang ditujukan untuk melakukan kegiatan jual-beli Barang secara elektronik. 23. Pasar Lelang Secara Elektronik (e-Marketplace Auction) adalah pasar elektronik untuk memfasilitasi kegiatan jual-beli Barang melalui Lelang. 24. Penyedia Pasar Secara Elektronik yang selanjutnya disebut Penyedia e-Marketplace adalah pihak baik orang pribadi, badan, maupun bentuk usaha tetap yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan atau memiliki kegiatan usaha di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyediakan e- Marketplace. 25. Uang Jaminan Penawaran Lelang adalah sejumlah uang yang disetor kepada Penyelenggara Lelang oleh calon Peserta Lelang sebelum pelaksanaan Lelang sebagai syarat menjadi Peserta Lelang. 26. Garansi Bank Jaminan Penawaran Lelang adalah jaminan pembayaran yang diberikan bank kepada penyelenggara Lelang selaku pihak penerima jaminan, apabila Peserta Lelang selaku pihak yang dijamin tidak memenuhi kewajibannya membayar Harga Lelang dan Bea Lelang. 27. Nilai Limit adalah nilai minimal Barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh Penjual. 28. Harga Lelang adalah harga penawaran tertinggi yang diajukan oleh Peserta Lelang yang telah disahkan sebagai pemenang Lelang oleh Pejabat Lelang. 29. Pokok Lelang adalah Harga Lelang yang belum termasuk Bea Lelang Pembeli dalam Lelang yang diselenggarakan dengan penawaran harga secara eksklusif, atau Harga Lelang dikurangi Bea Lelang Pembeli dalam Lelang yang diselenggarakan dengan penawaran harga secara inklusif. 30. Hasil Bersih Lelang adalah Pokok Lelang dikurangi Bea Lelang Penjual dan/ a tau pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PPh Final) dalam Lelang dengan penawaran Harga Lelang eksklusif, atau Pokok Lelang dikurangi Bea Lelang Pembeli dalam Lelang dengan penawaran harga inklusif. 31. Kewajiban Pembayaran Lelang adalah harga yang harus dibayar oleh Pembeli dalam pelaksanaan Lelang yang meliputi Pokok Lelang dan Bea Lelang Pembeli. 32. Wanprestasi adalah suatu keadaan saat Pembeli tidak melunasi Kewajiban Pembayaran Lelang dalam jangka waktu yang telah ditentukan. 33. Bea Lelang adalah bea yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dikenakan kepada Penjual dan/atau Pembeli atas setiap pelaksanaan Lelang, yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. 34. Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta autentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. jdih.kemenkeu.go.id 35. Minuta Risalah Lelang adalah asli Risalah Lelang berikut larnpirannya, yang merupakan dokumen atau arsip Negara. 36. Salinan Risalah Lelang adalah salinan kata demi kata dari seluruh Risalah Lelang. 37. Kutipan Risalah Lelang adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian Risalah Lelang. 38. Grosse Risalah Lelang adalah salinan dari Risalah Lelang yang berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". 39. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 40. Kantor Wilayah DJKN yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal DJKN yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal. 41. Penyelenggara Lelang adalah instansi pemerintah atau institusi swasta yang menyelenggarakan Lelang. 42. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disingkat KPKNL adalah instansi vertikal DJKN yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah. 43. Balai Lelang adalah Badan Hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang Lelang. 44. Kantor Pejabat Lelang Kelas II adalah kantor swasta tempat kedudukan Pejabat Lelang Kelas II. 45. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 46. Direktur Jenderal adalah Pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 47. Direktur adalah pejabat Eselon II di lingkungan DJKN yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang lelang. 48. Superintenden Lelang yang selanjutnya disebut Superintenden adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pejabat Lelang. 49. Pejabat Lelang adalah pejabat umum yang diberi wewenang khusus untuk melaksanakan Lelang. 50. Pejabat Lelang Kelas I adalah Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Keuangan yang diangkat sebagai Pejabat Lelang. 51. Pejabat Lelang Kelas II adalah orang perseorangan yang berasal dari swasta/umum yang diangkat sebagai Pejabat Lelang. jdih.kemenkeu.go.id 52. Pemandu Lelang adalah orang perseorangan yang membantu Pejabat Lelang dalam menawarkan dan menjelaskan Barang dalam suatu pelaksanaan Lelang. 53. Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 54. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 55. Penjual Lelang yang selanjutnya disebut Penjual adalah Orang, instansi, atau lembaga yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau perjanjian berwenang menjual Barang secara Lelang. 56. Pemilik Barang adalah Orang, instansi, atau lembaga yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, yang memiliki hak kepemilikan atas suatu Barang yang dilelang. 57. Peserta Lelang adalah Orang, instansi, atau lembaga yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti Lelang. 58. Pembeli Lelang yang selanjutnya disebut Pembeli adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran tertinggi dan disahkan sebagai pemenang Lelang oleh Pejabat Lelang. BAB II KATEGORI, JENIS, DAN OBJEK LELANG Bagian Kesatu Kategori dan Jenis Lelang Pasal 2 (1) Lelang terdiri atas kategori:
Lelang Wajib; dan
Lelang Sukarela. (2) Lelang Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas jenis:
Lelang Eksekusi; dan
Lelang Noneksekusi. Pasal 3 Lelang Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a terdiri atas:
Lelang Eksekusi benda sitaan Panitia Urusan Piutang Negara;
Lelang Eksekusi benda sitaan pajak;
Lelang Eksekusi benda sitaan pengadilan;
Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Rak Tanggungan;
Lelang Eksekusi objek fidusia sesuai Pasal 29 Undang- Undang Jaminan Fidusia;
Lelang Eksekusi barang gadai;
Lelang Eksekusi harta pailit;
Lelang Eksekusi barang yang dinyatakan tidak dikuasai atau barang yang dikuasai negara eks kepabeanan dan cukai;
Lelang Eksekusi barang temuan;
Lelang Eksekusi barang rampasan; jdih.kemenkeu.go.id k. Lelang Eksekusi barang rampasan yang berasal dari benda sitaan untuk pemenuhan pidana uang pengganti atau pidana denda;
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana;
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 271 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer;
Lelang Eksekusi barang bukti sitaan yang berasal dari penanganan tindak pidana kehutanan sesuai Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;
Lelang Eksekusi benda sitaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai Pasal 4 7 A Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2019; dan
Lelang Eksekusi lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 Lelang Noneksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b terdiri atas:
Lelang Noneksekusi barang milik negara/daerah;
Lelang Noneksekusi barang milik desa;
Lelang Noneksekusi barang milik badan usaha milik negara/ daerah berbentuk perusahaan umum;
Lelang Noneksekusi barang milik lembaga yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan;
Lelang Noneksekusi barang milik negara yang berasal dari aset eks kepabeanan dan cukai;
Lelang Noneksekusi barang gratifikasi;
Lelang Noneksekusi bongkaran barang milik negara/ daerah karena perbaikan, pemeliharaan, atau pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;
Lelang Noneksekusi barang milik negara berupa barang habis pakai eks pemilihan umum;
Lelang Noneksekusi aset eks bank dalam likuidasi;
Lelang Noneksekusi asset settlement obligor penyelesaian kewajiban pemegang saham akta pengakuan utang;
Lelang Noneksekusi aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional/kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset;
Lelang Noneksekusi barang kelolaan balai harta peninggalan yang berasal dari harta peninggalan tidak terurus dan harta kekayaan orang yang dinyatakan tidak hadir;
Lelang Noneksekusi benda muatan kapal tenggelam;
Lelang Noneksekusi barang milik negara/daerah berupa eks barang hadiah/undian yang tidak diambil atau tidak tertebak; jdih.kemenkeu.go.id o. Lelang Noneksekusi barang milik negara/daerah berupa barang habis pakai sisa/limbah proyek yang dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara/ daerah;
Lelang Noneksekusi · barang dalam penguasaan kejaksaan/oditurat militer yang berasal dari barang bukti yang dikembalikan tetapi tidak diambil oleh pemilik/yang berhak karena pemilik/yang berhak tidak ditemukan atau menolak menerima;
Lelang Noneksekusi barang dalam penguasaan Otoritas Jasa Keuangan yang berasal dari pengembalian keuntungan tidak sah sesuai Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2020;
Lelang Noneksekusi aset negara yang berasal dari penanganan harta kekayaan dalam tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain yang tersangkanya tidak diketahui atau menghilang sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013;
Lelang Noneksekusi barang milik eks pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan sesuai Pasal 107 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021; dan
Lelang Noneksekusi lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Lelang Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) hurufb terdiri atas:
Lelang Sukarela barang milik badan usaha milik negara/ daerah berbentuk perusahaan perseroan;
Lelang Sukarela barang milik perusahaan dalam likuidasi kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan;
Lelang Sukarela barang milik badan layanan umum/badan hukum pendidikan yang tidak termasuk barang milik negara/ daerah;
Lelang Sukarela barang milik perwakilan negara asing;
Lelang Sukarela barang milik perorangan atau badan hukum/usaha swasta;
Lelang Sukarela hak tagih (piutang);
Lelang Sukarela kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama; dan
Lelang Sukarela lainnya sesuai ketentuan · peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Objek Lelang Pasal 6 (1) Objek Lelang meliputi setiap Barang yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, dimanfaatkan atau dinikmati serta mempunyai nilai ekonomis. \· jdih.kemenkeu.go.id (2) Barang tidak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Hak Menikmati Barang, hak tagih (piutang), hak atas kekayaan intelektual, hak siar/rilis, surat berharga, dan barang tidak berwujud lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Hak Menikmati Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Hak Menikmati atau memanfaatkan Barang, dan hak-hak sejenis lainnya yang sifatnya sementara. BAB III PEJABAT LELANG Pasal 7 (1) Pejabat Lelang terdiri atas:
Pejabat Lelang Kelas I; dan
Pejabat Lelang Kelas II (2) Pejabat Lelang Kelas I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berwenang melaksanakan semua kategori dan jenis Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (3) Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berwenang melaksanakan Lelang Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b. Pasal 8 Ketentuan mengenai Pejabat Lelang Kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV PENYELENGGARA LELANG Pasal 9 (1) Penyelenggara Lelang terdiri atas:
KPKNL;
Balai Lelang; dan
Kantor Pejabat Lelang Kelas II. (2) KPKNL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berwenang menyelenggarakan semua kategori dan jenis Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atas permohonan Penjual. (3) Balai Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berwenang menyelenggarakan Lelang Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b atas permohonan Penjual. (4) Kantor Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berwenang menyelenggarakan Lelang Sukarela sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini atas permohonan Penjual atau Balai Lelang selaku kuasa dari Penjual. Pasal 10 (1) Balai Lelang yang menyelenggarakan Lelang Sukarela bertindak sebagai kuasa Penjual sekaligus Penyelenggara Lelang. (2) Balai Lelang yang bertindak sebagai kuasa Penjual sekaligus Penyelenggara Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus meminta jadwal pelaksanaan Lelang jdih.kemenkeu.go.id kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II sebelum menetapkan jadwal pelaksanaan Lelang, kecuali untuk Lelang Terjadwal Khusus. Pasal 11 Ketentuan mengena1 Balai Lelang diatur dengan Peraturan Menteri. BABV PENJUAL, PESERTA LELANG, DAN PEMANDU LELANG Bagian Kesatu Penjual Pasal 12 (1) Penjual bertanggungjawab terhadap:
keabsahan kepemilikan clan/ atau kewenangan menjual Barang;
keabsahan dokumen persyaratan Lelang;
keabsahan syarat Lelang tambahan;
keabsahan Pengumuman Lelang;
kebenaran formal clan materiel Nilai Limit;
kebenaran formal clan materiel atas pernyataan tentang tidak adanya perubahan data fisik clan data yuridis serta catatan lain atas bidang tanah atau satuan rumah susun atau objek yang akan dilelang;
kebenaran formal clan materiel surat dari Penjual kepada pihak terkait;
kesesuaian barang dengan dokumen Objek Lelang;
pelaksanaan pengurusan clan biaya surat keterangan tanah a tau surat keterangan pendaftaran tanah/ surat keterangan pendaftaran rumah susun/ surat keterangan atas objek yang akan dilelang atau surat keterangan lurah/kepala desa/pengelola rumah susun/ perhimpunan pemilik rumah susun; J. penyerahan Objek Lelang barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
penyerahan asli dokumen kepemilikan Objek Lelang kepada Pembeli, kecuali Objek Lelang berupa Hak Menikmati Barang atau dalam Lelang yang tidak disertai dokumen kepemilikan; I. gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana serta pelaksanaan putusannya akibat tidak dipenuhinya peraturan perundang-undangan oleh Penjual; clan m. tuntutan ganti rugi clan pelaksanaan putusannya termasuk uang paksa/ dwangsom, dalam ha! tidak memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf h. (2) Dalam hal Objek Lelang berupa barang bergerak, Penjual harus menguasai fisik Objek Lelang, kecuali Objek Lelang berupa saham tanpa warkat. (3) Penjual harus memiliki nomor pokok wajib pajak, kecuali apabila berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dibenarkan tidak memiliki/ menggunakan nomor pokok wajib pajak. jdih.kemenkeu.go.id (4) Penjual dapat meminta bantuan Balai Lelang untuk memberikan jasa pralelang dan/atau jasa pascalelang. Pasal 13 (1) Dalam mengajukan permohonan Lelang, Penjual dapat mengusulkan cara penawaran Lelang. (2) Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II berwenang menetapkan cara penawaran Lelang dengan mempertimbangkan usulan Penjual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau efektivitas cara penawaran. Pasal 14 (1) Penjual dapat mengajukan syarat Lelang bagi Peserta Lelang yang meliputi:
jangka waktu bagi Peserta Lelang untuk melihat dan meneliti secara fisik Barang yang akan dilelang;
jangka waktu pengambilan Barang oleh Pembeli;
jadwal kegiatan Penjelasan Lelang; dan/atau
syarat dan ketentuan khusus yang lazim diterapkan dalam pelaksanaan penjualan barang tidak berwujud. (2) Syarat Lelang selain syarat Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan sepanjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Penjual dan/atau peraturan perundang-undangan. (3) Penjual bertanggung jawab penuh atas pengajuan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Syarat Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta ketentuan yang berlaku pada Penjual dan/atau peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dan/ a tau dilampirkan dalam surat permohonan Lelang. Pasal 15 (1) Penjual harus mengadakan Penjelasan Lelang terhadap pelaksanaan Lelang dengan Objek Lelang berupa:
barang tidak berwujud;
surat berharga; atau
barang bergerak dengan Nilai Limit keseluruhan paling sedikit RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Penjelasan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara kehadiran fisik atau secara virtual menggunakan media elektronik yang memungkinkan Penjual dan calon Peserta Lelang dapat saling mendengar dan melihat secara langsung dalam pelaksanaannya. (3) Informasi terkait Objek Lelang yang disampaikan Penjual dalam Penjelasan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), minimal terdiri atas:
uraian Objek Lelang;
informasi tambahan yang terkait Objek Lelang; dan
penjelasan lebih lanjut terkait informasi yang dicantumkan dalam Pengumuman Lelang. jdih.kemenkeu.go.id (4) Pelaksanaan Penjelasan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara dan diserahkan kepada Pejabat Lelang sebelum pelaksanaan Lelang. (5) Peserta Lelang yang hadir dalam Penjelasan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetujui dan menerima Penjelasan Lelang. (6) Peserta Lelang yang tidak menghadiri dalam Penjelasan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap menyetujui dan menerima Penjelasan Lelang. (7) Dalam hal Lelang dilaksanakan melalui Aplikasi Lelang, Penjual harus:
(2) (3) (4) a. mencantumkan informasi mengenai waktu pelaksanaan Penjelasan Lelang pada Aplikasi Lelang; dan
mengunggah berita acara pelaksanaan Penjelasan Lelang pada Aplikasi Lelang sebelum pelaksanaan Lelang. Pasal 16 Penjual menyerahkan atau memperlihatkan asli dokumen kepemilikan kepada Pejabat Lelang paling lambat sebelum pelaksanaan Lelang. Dalam hal Penjual menyerahkan kepemilikan sebagaimana dimaksud Pejabat Lelang memperlihatkannya Lelang sebelum Lelang dimulai. asli dokumen pada ayat (1), kepada Peserta Dalam hal pada Lelang Dengan Kehadiran Peserta dan Penjual hanya memperlihatkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penjual memperlihatkan kepada Peserta Lelang sebelum Lelang dimulai dan membacakan surat pernyataan bermeterai yang telah dibuat sebelumnya. Surat pernyataan bermeterai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat pernyataan bahwa asli dokumen kepemilikan berada dalam penguasaan Penjual dan akan diserahkan kepada Pembeli sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 17 Asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dapat tidak diperlihatkan atau diserahkan Penjual kepada Pejabat Lelang dalam Lelang Wajib yang menurut peraturan perundang-undangan tetap dapat dilaksanakan walaupun asli dokumen kepemilikannya tidak dikuasai oleh Penjual. Pasal 18 (1) Untuk keperluan pendaftaran peralihan hak dari Lelang Wajib yang Penjualnya tidak menyerahkan atau memperlihatkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Kepala KPKNL dapat membuat surat keterangan yang ditujukan kepada instansi yang memiliki tugas dan fungsi pendaftaran hak atau instansi terkait. jdih.kemenkeu.go.id (2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisikan keterangan bahwa Penjual tidak menguasai asli dokumen kepemilikan beserta alasannya. Pasal 19 (1) Dalam pelaksanaan Lelang, Penjual wajib hadir di tempat pelaksanaan Lelang. (2) Dalam hal Lelang dilaksanakan dengan penawaran melalui Aplikasi Lelang, kehadiran Penjual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara virtual melalui sarana media elektronik yang memungkinkan Pejabat Lelang dan Penjual dapat saling mendengar dan melihat secara langsung dalam pelaksanaan Lelang. (3) Dalam pelaksanaan Lelang yang memerlukan kehadiran saksi di tempat pelaksanaan Lelang, ketentuan kehadiran secara virtual melalui sarana media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi saksi dari Penjual. Pasal 20 (1) Dalam hal kehadiran Penjual dan/atau saksi dari Penjual dilakukan secara virtual melalui sarana media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Penjual terlebih dahulu harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan Lelang. (2) Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II menyetujui atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan:
keamanan/ efisiensi perjalanan dari tempat kedudukan Penjual dan/atau saksi ke tempat pelaksanaan Lelang;
tingkat urgensi kehadiran fisik Penjual di tempat pelaksanaan Lelang dikaitkan dengan karakteristik jenis Lelang atau Objek Lelang;
ketepatan waktu penyampaian permohonan; dan/atau
pertimbangan lainnya sesuai ketentuan. (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II menyiapkan sarana media elektronik yang digunakan untuk kehadiran Penjual dan/atau saksi dari Penjual. (4) Sarana media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan oleh Pejabat Lelang kepada Penjual sebelum pelaksanaan Lelang. (5) Penjual dan/atau saksi dari Penjual hadir sesuai tanggal dan waktu pelaksanaan Lelang dengan bergabung melalui sarana media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Dalam hal Pejabat Lelang, Penjual, dan/atau saksi telah bergabung melalui sarana media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penjual: jdih.kemenkeu.go.id a. memperlihatkan:
identitas yang sah, untuk Penjual yang merupakan perseorangan; atau
identitas yang sah dan salinan/fotokopi surat keputusan penunjukan Penjual/ surat tugas Penjual/ surat kuasa Penjual, untuk Penjual yang bukan perseorangan;
memperlihatkan asli dokumen kepemilikan kepada Pejabat Lelang, untuk Lelang yang disertai dokumen kepemilikan;
membacakan surat pernyataan bermeterai bahwa Penjual bertanggung jawab atas keaslian dokumen kepemilikan dan bersedia menyerahkan asli dokumen kepemilikan kepada Pembeli sesuai ketentuan apabila barang terjual; dan
memperkenalkan saksi dan memperlihatkan identitasnya yang sah, dalam hal Lelang diperlukan kehadiran saksi dari Penjual. (7) Pejabat Lelang membuat tangkapan layar yang menampilkan kehadiran Pejabat Lelang, Penjual, dan/atau saksi melalui sarana media elektronik untuk dicetak dan dilampirkan pada Minuta Risalah Lelang sebagai bukti kehadiran. Bagian Kedua Peserta Lelang Pasal 21 (1) Dalam setiap pelaksanaan Lelang, Peserta Lelang harus menunjukkan bukti identitas diri yang masih berlaku. (2) Bukti identitas diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
warga negara Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut:
Orang, berupa: a) kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, atau paspor, untuk orang perseorangan; atau b) nomor induk berusaha, untuk Korporasi; atau
instansi/lembaga, kerja/lembaga. berupa kode satuan b. warga negara asmg, dengan ketentuan sebagai berikut:
Orang, berupa: a) paspor; atau b) dokumen identitas resm1 yang diterbitkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau
Korporasi, berupa dokumen identitas berusaha resmi yang diterbitkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Pasal 22 (1) Penawaran Lelang tetap dilaksanakan walaupun hanya diikuti oleh 1 (satu) Peserta Lelang. jdih.kemenkeu.go.id (2) Orang perseorangan, Korporasi, instansi, atau lembaga yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan dapat menjadi Peserta Lelang, kecuali:
Pejabat Lelang;
orang perseorangan yang ditunjuk sebagai Penjual:
penilai atau penaksir;
juru sita;
tereksekusi;
debitor; dan
terpidana, yang terkait langsung dengan pelaksanaan Lelang. (3) Orang perseorangan yang menjadi Peserta Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa individu atau persekutuan. (4) Peserta Lelang yang bertindak untuk dan atas nama Orang lain harus menyampaikan surat kuasa bermeterai cukup kepada Pejabat Lelang dengan dilampiri fotokopi kartu tanda penduduk/surat izin mengemudi/paspor pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menunjukkan aslinya. (5) Dikecualikan dari ketentuan penyampaian surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk Peserta Lelang yang bertindak:
dalam jabatannya sebagai pengurus atau direksi badan usaha atau badan hukum, harus menyampaikan akta pendirian atau perubahannya yang menunjukkan jabatannya sebagai pengurus atau direksi;
mewakili instansi atau lembaga yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, harus menyampaikan surat tugas. (6) Peserta Lelang yang bertindak sebagai penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat menerima 1 (satu} kuasa untuk 1 (satu} Objek Lelang yang sama. (7) Keharusan penyampaian surat kuasa bermeterai cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku juga untuk pengambilan Kuti pan Risalah Lelang dan/ a tau kuitansi oleh kuasa Pembeli. Pasal 23 Peserta Lelang yang ditetapkan sebagai Pembeli dilarang mengambil atau menguasai barang yang dibelinya sebelum memenuhi Kewajiban Pembayaran Lelang dan kewajiban lainnya yang sah sesuai peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Pemandu Lelang Pasal 24 (1) Dalam pelaksanaan Lelang, Pejabat Lelang dapat dibantu oleh Pemandu Lelang. (2) Pemandu Lelang berasal dari pegawai DJKN atau dari luar pegawai DJKN. (3) Penugasan Pemandu Lelang dalam pelaksanaan Lelang harus berdasarkan: jdih.kemenkeu.go.id a. surat tugas dari pejabat yang berwenang, untuk Pemandu Lelang yang berasal dari pegawai DJKN; atau
surat tugas dari Balai Lelang, untuk Pemandu Lelang yang berasal dari luar pegawai DJKN. (4) Penjual atau Balai Lelang harus memberitahukan Pemandu Lelang yang akan membantu Pejabat Lelang kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum pelaksanaan Lelang. BAB VI TATA CARA PENYELENGGARAAN LELANG Bagian Kesatu Umum Pasal 25 Kepala KPKNL, Pemimpin Balai Lelang, atau Pejabat Lelang Kelas II tidak boleh menolak permohonan Lelang yang diajukan kepadanya sepanjang dokumen persyaratan Lelang telah lengkap dan memenuhi Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang. Pasal 26 Setiap pelaksanaan Lelang harus dilakukan oleh dan/atau di hadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh Undang- Undang atau Peraturan Pemerintah. Pasal 27 (1) Penyelenggaraan Lelang dilakukan oleh KPKNL, Balai Lelang, atau Kantor Pejabat Lelang Kelas II sesuai kewenangannya. (2) Penyelenggaraan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Penjual. (3) Penyelenggaraan Lelang Terjadwal Khusus dilakukan oleh KPKNL atau Balai Lelang. Pasal 28 (1) Penjual dapat meminta pelaksanaan Lelang terhadap:
1 (satu) atau lebih jenis Lelang, Penjual, atau debitor/tereksekusi; atau
gabungan beberapa Objek Lelang, untuk dapat dilakukan dalam 1 (satu) pelaksanaan lelang. (2) Pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Objek Lelang berada dalam 1 (satu) wilayah jabatan Pejabat Lelang. (3) Pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan untuk Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi yang terdiri atas:
1 (satu) jenis Lelang Eksekusi yang terdapat 2 (dua) atau lebih Penjual atau debitor/tereksekusi;
2 (dua) atau lebihjenis Lelang Eksekusi; atau
2 (dua) atau lebih perkara pidana yang saling berkaitan. jdih.kemenkeu.go.id (4) Pelaksanaan Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat dilakukan terhadap:
1 (satu) Penjual dengan 2 (dua) atau lebih debitor/tereksekusi dalam Lelang Eksekusi dengan Objek Lelang yang berada dalam 1 (satu) kompleks perumahan; atau
2 (dua) atau lebih Penjual dengan 1 (satu) atau lebih debitor dalam Lelang Eksekusi dengan Objek Lelang berupa bidang tanah yang berada dalam 1 (satu) hamparan. (5) Pelaksanaan Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan terhadap:
1 (satu) debitor/tereksekusi dengan 1 (satu) Penjual dengan Objek Lelang dalam 1 (satu) lokasi yang sama;
2 (dua) atau lebih debitor/tereksekusi dengan 2 (dua) atau lebih Penjual dengan Objek Lelang berupa bidang tanah yang berada dalam 1 (satu) hamparan; dan/atau
1 (satu) tereksekusi dengan 2 (dua) atau lebih perkara pidana. (6) Pelaksanaan Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat dilakukan terhadap 1 (satu) jenis Lelang dengan 1 (satu) Penjual. (7) Penggabungan beberapa Objek Lelang dalam 1 (satu) pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan untuk kategori Lelang Wajib dan Lelang Sukarela. (8) Objek Lelang yang dapat digabungkan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdiri atas beberapa bidang tanah dan/ a tau bangunan atau unit rumah susun untuk ditawarkan dalam 1 (satu) paket. (9) Dalam hal Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi, ketentuan pada ayat (7) dan ayat (8) dapat diberlakukan sepanJang:
untuk 1 (satu) debitor/tereksekusi/kasus yang sama; atau
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6). Pasal 29 (1) Tempat pelaksanaan Lelang harus dalam wilayah jabatan Pejabat Lelang tempat Barang berada. (2) Dalam hal Lelang Dengan Kehadiran Peserta secara virtual melalui media elektronik atau Lelang Tanpa Kehadiran Peserta melalui Aplikasi Lelang atau e- Marketplace Auction, tempat pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat Lelang diselenggarakan. (3) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk: jdih.kemenkeu.go.id a. Lelang kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama setelah mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Wilayah sesuai dengan wilayah kerjanya; atau
Lelang Terjadwal Khusus dengan penawaran tertulis tanpa kehadiran peserta melalui e-Marketplace Auction untuk Objek Lelang berupa barang bergerak yang tidak memerlukan balik nama. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan dan dilampirkan pada surat permohonan Lelang. Pasal 30 (1) Dalam melaksanakan Lelang, Pejabat Lelang harus hadir di tempat pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1). (2) Kehadiran Pejabat Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara fisik, kecuali untuk Lelang Noneksekusi dan Lelang Sukarela yang dilaksanakan dengan kehadiran Peserta secara virtual melalui media elektronik atau tanpa kehadiran Peserta melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction, kehadiran dapat dilakukan secara virtual melalui media elektronik. (3) Kehadiran Pejabat Lelang secara virtual melalui media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan baik di wilayah jabatan maupun di luar wilayah jabatannya. Pasal 31 Lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dapat dibatalkan, baik proses maupun dokumen bukti pelaksanaannya. Bagian Kedua Permohonan Lelang Pasal 32 (1) Permohonan Lelang diajukan secara tertulis oleh Penjual kepada Penyelenggara Lelang sesuai jenis Lelangnya disertai dokumen persyaratan Lelang. (2) Dokumen persyaratan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
dokumen persyaratan umum; dan
dokumen persyaratan khusus yang meliputi:
dokumen khusus permohonan Lelang; dan
dokumen khusus pelaksanaan Lelang. (3) Dalam hal Penjual merupakan unit internal pada KPKNL, permohonan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pejabat yang berwenang sesuai organisasi dan tata kerja DJKN kepada Kepala KPKNL yang bersangkutan. (4) Dalam hal Objek Lelang tidak berada dalam wilayah jabatan Pejabat Lelang namun masih dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, permohonan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada: jdih.kemenkeu.go.id a. KPKNL yang terdekat dengan tempat Objek Lelang berada;
Kantor Pejabat Lelang Kelas II dengan wilayah jabatan terdekat dengan tempat Objek Lelang berada; atau C. Balai Lelang. (5) Pengajuan permohonan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan menggunakan Aplikasi Lelang. (6) Dalam hal pengajuan permohonan Lelang melalui Aplikasi Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan, pengajuan permohonan Lelang dilakukan secara manual. (7) Pada Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, dan Lelang Eksekusi benda sitaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai Pasal 47A Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2019, dengan Objek Lelang berupa barang yang mudah rusak/busuk dan/atau ikan hasil tindak pidana perikanan, surat permohonan Lelang berikut dokumen persyaratan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b angka 1) dapat disampaikan terlebih dahulu oleh Penjual kepada Kepala KPKNL melalui faksimile atau surat elektronik. (8) Dalam hal Lelang dengan 2 (dua) atau lebih Penjual yang dilakukan dalam 1 (satu) pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b, permohonan Lelang diajukan kepada Penyelenggara Lelang dalam 1 (satu) surat permohonan yang ditandatangani bersama. (9) Tata cara pengajuan permohonan Lelang dan dokumen persyaratan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf A dan huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 33 (1) Terhadap pengajuan permohonan Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pejabat Lelang melakukan penelitian terhadap:
kelengkapan dan/atau kesesuaian dokumen persyaratan Lelang; dan
Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang. (2) Dalam hal permohonan Lelang diajukan melalui Aplikasi Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (5), penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara digital pada Aplikasi Lelang. (3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk permohonan Lelang yang diajukan melalui Aplikasi Lelang:
Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan denganjumlah debitor: jdih.kemenkeu.go.id a) paling banyak 5 (lima) dalam satu permohonan Lelang, paling lama 7 (tujuh) hari kerja; b) di atas 5 (lima) sampai dengan paling banyak 10 (sepuluh), paling lama 8 (delapan) hari kerja; c) di atas 10 (sepuluh), paling lama 9 (sembilan) hari kerja;
Lelang Eksekusi harta pailit paling lama 9 (sembilan) hari kerja;
Lelang Eksekusi benda sitaan pengadilan paling lama 8 (delapan) hari kerja;
Lelang Eksekusi selain Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, Lelang harta pailit, dan Lelang benda sitaan pengadilan paling lama 8 (delapan) hari kerja; dan
Lelang Noneksekusi dan Lelang Sukarela paling lama 7 (tujuh) hari kerja, sejak dokumen permohonan Lelang diajukan melalui Aplikasi Lelang. b. untuk permohonan Lelang yang diajukan tidak melalui Aplikasi Lelang:
Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dengan jumlah de bi tor: a) paling banyak 5 (lima) dalam satu permohonan Lelang, paling lama 2 (dua) hari kerja; b) di atas 5 (lima) sampai dengan paling banyak 10 (sepuluh), paling lama 3 (tiga) hari kerja; c) di atas 10 (sepuluh), paling lama 4 (empat) hari kerja;
Lelang Eksekusi harta pailit paling lama 4 (empat) hari kerja;
Lelang Eksekusi benda sitaan Pengadilan paling lama 3 (tiga) hari kerja;
Lelang Eksekusi selain Lelang Eksekusi objek Hak Tanggungan sesuai Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan, Lelang harta pailit, dan Lelang benda sitaan pengadilan paling lama 3 (tiga) hari kerja; dan
Lelang Noneksekusi dan Lelang Sukarela paling lama 2 (dua) hari kerja, sejak dokumen permohonan Lelang telah diterima lengkap. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menunjukkan dokumen permohonan Lelang belum lengkap, belum sesuai, dan/atau belum memenuhi Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang, Penyelenggara Lelang meminta Penjual untuk melengkapi atau memenuhi kekurangan dokumen. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 34 (1) Dalam hal sebelum pelaksanaan Lelang terhaclap objek hak tanggungan terclapat gugatan clari pihak lain selain clebitor/pemilik jaminan clan/atau suami atau istri clebitor/pemilik jaminan yang terkait kepemilikan objek yang akan clilelang, Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Unclang-Unclang Hak Tanggungan, ticlak clapat clilaksanakan. (2) Pihak lain selain clebitor/pemilik jaminan clan/atau suami atau istri clebitor/pemilik jaminan yang terkait kepemilikan sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) tercliri atas:
ahli waris yang sah, yang clalil gugatannya mengenai proses pembebanan hak tanggungan clilakukan setelah pewaris selaku pemilik jaminan meninggal clunia clisertai bukti-bukti yang sah;
pihak lain yang memiliki clokumen kepemilikan selain clokumen kepemilikan yang cliikat hak tanggungan; atau
pihak yang melakukan perjanjian/perikatan jual beli notariil sebelum pemberian hak tanggungan. (3) Terhaclap objek hak tanggungan sebagaimana climaksucl pacla ayat (1), pelaksanaan Lelangnya clilakukan berclasarkan titel eksekutorial clari sertipikat hak tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi. (4) Permohonan atas pelaksanaan Lelang sebagaimana climaksucl pacla ayat (3) clilakukan oleh:
pengaclilan negeri; atau
pengaclilan agama, clalam hal hak tanggungan clibuat berclasarkan perjanjian utang piutang yang menggunakan prinsip syariah. Pasal 35 (1) Setiap permohonan Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Unclang-Unclang Hak Tanggungan, Lelang Eksekusi bencla sitaan pengaclilan, clan Lelang Eksekusi harta pailit clikenakan bea permohonan Lelang sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai jenis clan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pacla Kementerian Keuangan. (2) Bea permohonan Lelang sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) clibayar oleh Penjual ke kas negara menggunakan kocle billing yang cliperoleh clari Aplikasi Lelang. (3) Bea permohonan Lelang yang telah clibayarkan sebagaimana climaksucl pacla ayat (2) ticlak clapat climinta kembali oleh Penjual clengan alasan apapun. (4) Bukti pembayaran bea permohonan Lelang sebagaimana climaksucl pacla ayat (2) harus clilampirkan clalam clokumen permohonan Lelang. (5) Dalam hal permohonan Lelang untuk Lelang sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) cliajukan menggunakan Aplikasi Lelang, bukti pembayaran bea permohonan Lelang harus cliunggah bersamaan clengan clokumen persyaratan Lelang. jdih.kemenkeu.go.id (6) Pembayaran bea permohonan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak sepenuhnya menjamin permohonan Lelang akan mendapatkan penetapan jadwal pelaksanaan Lelang sepanjang tidak memenuhi Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang. (7) Dalam hal kode billing dari Aplikasi Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diperoleh, pembayaran bea permohonan Lelang dilakukan Penjual melalui rekening KPKNL. (8) Bendahara penerimaan KPKNL menyetorkan bea permohonan Lelang yang telah diterima dari Penjual sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ke kas negara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima. (9) Pembayaran bea permohonan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (7) ditatausahakan oleh bendahara penerimaan KPKNL. Pasal 36 Setiap permohonan Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi dari kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang terkait dengan putusan pemyataan Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pelaksanaan Lelangnya dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bagian Ketiga Penetapan Waktu Pelaksanaan Lelang Pasal 37 (1) Waktu pelaksanaan Lelang ditetapkan oleh:
Kepala KPKNL; atau
Pejabat Lelang Kelas II. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), waktu pelaksanaan Lelang untuk Lelang Terjadwal Khusus ditetapkan oleh:
Kepala KPKNL; atau
Pemimpin Balai Lelang. (3) Penetapan waktu pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal hasil penelitian terhadap dokumen persyaratan Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) telah lengkap dan sesuai serta terpenuhi Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang. (4) Penetapan waktu pelaksanaan Lelang untuk Lelang Terjadwal Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil analisis terhadap aspek- aspek yang minimal mengenai:
potensi pasar;
potensi objek; dan
momentum khusus meliputi tanggal khusus dan hari pasaran. (5) Waktu pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada hari dan jam kerja KPKNL. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dikecualikan dari ketentuan waktu pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk:
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, dan Lelang Eksekusi benda sitaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai Pasal 47A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, dengan Objek Lelang berupa barang yang mudah rusak/busuk dan/atau ikan hasil tindak pidana perikanan, KPKNL penyelenggara Lelang harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah setempat paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan Lelang;
Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi dengan Objek Lelang berupa barang yang mudah busuk, KPKNL penyelenggara Lelang harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah setempat paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan Lelang;
Lelang Sukarela, Penyelenggara Lelang harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah setempat paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan Lelang; atau
Lelang Terjadwal Khusus, KPKNL atau Balai Lelang penyelenggara Lelang harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah setempat 1 (satu) kali sebelum pelaksanaan Lelang yang pertama. Pasal 38 (1) Terhadap permohonan Lelang yang telah ditetapkan waktu pelaksanaan Lelangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Penjual harus menyampaikan fisik surat permohonan berikut dokumen persyaratan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dan huruf b angka 1 kepada Penyelenggara Lelang. (2) Penyampaian fisik surat permohonan berikut dokumen persyaratan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal permohonan Lelang diajukan melalui Aplikasi Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (5), fisik surat permohonan berikut dokumen persyaratan Lelang diterima oleh Penyelenggara Lelang paling lambat:
5 (lima) hari kerja sebelum pelaksanaan Lelang, untuk Lelang dengan 2 (dua) kali Pengumuman; atau
2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan Lelang, untuk Lelang dengan 1 (satu) kali Pengumuman;
dalam hal permohonan Lelang diajukan melalui faksimile atau surat elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7), fisik surat permohonan berikut dokumen persyaratan Lelang jdih.kemenkeu.go.id diterima Pejabat Lelang paling lambat sebelum pelaksanaan Lelang; dan/atau
fisik surat permohonan berikut dokumen persyaratan lelang yang disampaikan harus sesuai dengan dokumen yang disampaikan terlebih dahulu melalui Aplikasi Lelang, atau faksimile / surat elektronik. Bagian Keempat Surat Keterangan Tanah atau Surat Keterangan Pendaftaran Tanah, Surat Keterangan Pendaftaran Satuan Rumah Susun, dan Surat Keterangan Lainnya Pasal 39 (1) Setiap pelaksanaan Lelang atas Objek Lelang berupa bidang tanah, satuan rumah susun, atau barang tidak bergerak selain tanah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan wajib didaftarkan, harus dilengkapi dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang. (2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah dari kantor pertanahan setempat, untuk Barang berupa bidang tanah atau satuan rumah susun dengan bukti kepemilikan sertifikat hak milik satuan rumah susun;
surat keterangan pendaftaran rumah susun dari instansi teknis pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan gedung, untuk Barang berupa satuan rumah susun dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun; atau
surat keterangan atas objek yang akan dilelang dari instansi yang berwenang, untuk barang tidak bergerak selain tanah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan wajib didaftarkan. (3) Permintaan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk keperluan Lelang diajukan oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II. (4) Dalam hal bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a belum terdaftar di kantor pertanahan setempat, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II mensyaratkan kepada Penjual untuk meminta surat keterangan dari lurah/kepala desa yang menerangkan status kepemilikan tanah, luas, lokasi, dan batas- batasnya. (5) Berdasarkan surat keterangan dari lurah/kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II meminta surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah ke kantor pertanahan setempat bahwa tanah belum terdaftar berdasarkan hasil pemeriksaan tanah. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal satuan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a belum terdaftar di kantor pertanahan setempat, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II:
mengajukan permintaan surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah atas tanah induknya ke kantor pertanahan setempat; dan
mensyaratkan kepada Penjual untuk meminta surat keterangan kepada pengelola rumah susun/ perhimpunan pemilik rumah susun yang menerangkan status kepemilikan unit satuan rumah susun. (7) Dalam hal satuan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum terdaftar di instansi teknis pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan gedung, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II mensyaratkan kepada Penjual untuk meminta keterangan atau informasi tertulis terkait kepemilikan dari pengelola satuan rumah susun/perhimpunan pemilik rumah susun. Pasal 40 ( 1} Proses pelaksanaan pengurusan dan biaya surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah/ surat keterangan pendaftaran rumah susun/ surat keterangan atas objek yang akan dilelang atau surat keterangan lurah/kepala desa/pengelola rumah susun/ perhimpunan pemilik rumah susun menjadi tanggung jawab Penjual. (2) Dalam melaksanakan pengurusan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kedudukan Penjual merupakan kuasa atau yang mewakili Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II. Pasal 41 (1) Surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah/ surat keterangan pendaftaran satuan rumah susun/surat keterangan atas objek yang akan dilelang dapat digunakan lebih dari 1 (satu} kali sebagai dokumen syarat permohonan Lelang untuk waktu paling lama 6 (enam} bulan sejak diterbitkan, sepanjang:
surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah/surat keterangan pendaftaran satuan rumah susun/ surat keterangan yang diterbitkan instansi penerbit tidak menyebutkan masa berlakunya;
tidak ada perubahan data fisik, data yuridis, dan/atau catatan lain dari bidang tanah atau satuan rumah susun atau objek yang akan dilelang; dan
asli dokumen kepemilikannya dikuasai oleh Penjual. (2) Pernyataan kondisi mengenai tidak adanya perubahan data fisik, data yuridis, dan/atau catatan lain dari bidang tanah atau satuan rumah susun atau objek yang akan dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dicantumkan oleh Penjual dalam surat permohonan Lelang. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 42 (1) Dalarn hal terdapat perubahan data fisik, data yuridis, dan/atau catatan lain dari bidang tanah atau satuan rumah susun atau objek yang akan dilelang kembali, Penjual harus meminta secara tertulis kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II untuk dibuatkan permintaan surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah/surat keterangan pendaftaran satuan rumah susun/surat keterangan atas objek yang akan dilelang kepada kantor pertanahan setempat/instansi yang berwenang. (2) Dalarn hal terdapat perubahan data fisik, data yuridis, dan/ a tau catatan lain dari bidang tanah atau satuan rumah susun atau objek yang akan dilelang kembali narnun Penjual tidak meminta secara tertulis kepada Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II untuk dibuatkan permintaan surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah/surat keterangan pendaftaran satuan rumah susun/ surat keterangan atas objek yang akan dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penjual bertanggung jawab mutlak atas segala gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana serta pelaksanaan putusannya. Pasal 43 Dalarn hal dokumen kepemilikan tidak dikuasai oleh Penjual, setiap akan dilaksanakan Lelang, Penjual harus menggunakan surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah/ surat keterangan pendaftaran satuan rumah susun/ surat keterangan baru, berdasarkan permintaan kepada kantor pertanahan setempat/instansi yang berwenang. Bagian Kelima Pembatalan Rencana Pelaksanaan Lelang Pasal 44 Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan oleh Pejabat Lelang berdasarkan:
permintaan Penjual;
penetapan atau putusan pengadilan yang arnarnya memerintahkan penundaan/ pembatalan pelaksanaan Lelang; dan/atau
hal lain yang diatur dalarn Peraturan Menteri ini. Pasal 45 (1) Pembatalan Lelang yang akan dilaksanakan berdasarkan permintaan Penjual sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 44 huruf a dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Penjual. (2) Permintaan pembatalan Lelang yang akan dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disarnpaikan secara tertulis oleh Penjual dengan disertai alasan. jdih.kemenkeu.go.id (3) (4) (5) (6) (1) (2) Dalam hal Lelang melalui Aplikasi Lelang, mengunggah permintaan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada Lelang. Penjual Lelang Aplikasi Permintaan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diterima oleh Pejabat Lelang paling lambat sebelum Lelang dimulai. Penjual dan/atau Pejabat Lelang harus mengumumkan pembatalan Lelang yang akan dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta Lelang pada saat pelaksanaan Lelang. Termasuk dalam pembatalan Lelang yang akan dilaksanakan atas permintaan Penjual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
Penjual tidak memenuhi ketentuan penyampaian fisik surat permohonan berikut dokumen persyaratan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat 2;
Penjual tidak melakukan Pengumuman Lelang; atau
Penjual tidak hadir dalam pelaksanaan Lelang. Pasal 46 Pembatalan Lelang yang akan dilaksanakan berdasarkan penetapan atau putusan dari pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b disampaikan secara tertulis dan harus telah diterima oleh Pejabat Lelang paling lambat sebelum Lelang dimulai. Penjual dan/atau Pejabat Lelang harus mengumumkan pembatalan Lelang yang akan dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta Lelang pada saat pelaksanaan Lelang. Pasal 47 Hal lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c yang menjadi dasar Pejabat Lelang melakukan pembatalan atas Lelang yang akan dilaksanakan meliputi:
tidak terdapat surat keterangan tanah atau surat keterangan pendaftaran tanah untuk Lelang atas bidang tanah atau satuan rumah susun, surat keterangan pendaftaran rumah susun untuk Lelang atas satuan rumah susun dengan bukti kepemilikan sertifikat kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun, atau surat keterangan untuk Lelang barang tidak bergerak selain tanah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan wajib didaftarkan;
pada Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi, barang yang akan dilelang dalam status sita pidana atau blokir pidana dari instansi penyidik atau penuntut umum;
terdapat gugatan atas rencana pelaksanaan Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait dengan kepemilikan Objek Lelang; jdih.kemenkeu.go.id d. pada Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi dan Lelang Sukarela, barang yang akan dilelang dalam status sita jaminan, sita eksekusi, sita pidana, atau blokir pidana;
tidak memenuhi Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang;
Penjual tidak dapat menyerahkan atau memperlihatkan asli dokumen kepemilikan Barang kepada Pejabat Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
Pengumuman Lelang yang dilaksanakan Penjual tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
Penjual tidak memenuhi ketentuan penyampaian fisik surat permohonan berikut dokumen persyaratan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat 2;
Pengiriman dan/atau penerimaan surat pemberitahuan rencana pelaksanaan Lelang kepada termohon eksekusi dan pemilik agunan dilakukan kurang dari 5 (lima) hari sebelum tanggal pelaksanaan lelang pada:
Lelang Eksekusi benda sitaan Panitia Urusan Piutang Negara;
Lelang Eksekusi benda sitaan pajak;
Lelang Eksekusi benda sitaan pengadilan;
Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan;
Lelang Eksekusi objek fidusia sesuai Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia; dan
Lelang Eksekusi barang gadai;
Nilai Limit yang dicantumkan dalam Pengumuman Lelang tidak sesuai dengan surat penetapan Nilai Limit yang dibuat oleh Penjual;
besaran Uang Jaminan Penawaran Lelang dalam Pengumuman Lelang tidak sesuai ketentuan atau dokumen permohonan Lelang;
Penjual tidak menguasai secara fisik Objek Lelang berupa barang bergerak yang berwujud;
terjadi Gangguan Teknis yang tidak bisa ditanggulangi pada pelaksanaan Lelang Tanpa Kehadiran Peserta; dan/atau
keadaan memaksa (force majeure) atau kahar. Bagian Keenam Pembatalan Pelaksanaan Lelang yang Telah Dimulai Pasal 48 Pelaksanaan Lelang yang telah dimulai hanya dapat dibatalkan oleh Pejabat Lelang dalam hal:
terjadi Gangguan Teknis yang tidak dapat ditanggulangi hingga berakhirnya jam kerj a pada pelaksanaan Lelang Tanpa Kehadiran Peserta;
keadaan memaksa (force majeure) atau kahar; dan/atau
Uang Jaminan Penawaran Lelang milik Pemenang Lelang dikarenakan sebab tertentu terkait sistem perbankan terdebet kembali dari rekening Penyelenggara Lelang dan tidak dilakukan pemindahbukuan kembali ke rekening Penyelenggara Lelang pada hari Lelang oleh Pemenang jdih.kemenkeu.go.id Lelang meskipun telah diberitahukan oleh Penyelenggara Lelang. Pasal 49 Dalam hal terjadi pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 48 pada Lelang Tanpa Kehadiran Peserta dengan penawaran melalui surat elektronik, tromol pos, Aplikasi Lelang, atau e-Marketplace Auction, Penyelenggara Lelang atau Pejabat Lelang harus mengumumkan pembatalan Lelang tersebut kepada Peserta Lelang melalui Aplikasi Lelang, surat elektronik, telepon, situs web, layanan/aplikasi perpesanan, dan/atau papan pengumuman Penyelenggara Lelang. Pasal 50 Peserta Lelang tidak dapat menuntut ganti rugi akibat terjadinya pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 48. Bagian Ketujuh Jaminan Penawaran Lelang Pasal 51 (1) Dalam setiap pelaksanaan Lelang, Peserta Lelang harus menyetorkan atau menyerahkan jaminan penawaran Lelang. (2) Bentuk jaminan penawaran Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh Penjual yang dapat berupa:
Uang Jaminan Penawaran Lelang; atau
Garansi Bank Jaminan Penawaran Lelang yang diterbitkan oleh bank berupa:
bank garansi;
standby letter of _credit; _ atau 3. surat kredit berdokumen dalam negeri. (3) Uang Jaminan Penawaran Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disetorkan kepada Penyelenggara Lelang. (4) Garansi Bank Jaminan Penawaran Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat digunakan untuk Lelang dengan nilai jaminan penawaran Lelang paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Lelang Sukarela atas barang bergerak sepanjang ditentukan oleh Penjual . Pasal 52 Besaran jaminan penawaran Lelang ditentukan oleh Penjual dengan rentang:
paling rendah 10% (sepuluh persen) dari Nilai Limit sampai dengan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Nilai Limit, untuk Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi;
paling rendah 10% (sepuluh persen) dari Nilai Limit sampai dengan paling tinggi 100% (seratus persen) dari Nilai Limit, untuk Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi; dan jdih.kemenkeu.go.id c. paling rendah 0% (nol persen) dari Nilai Limit sampai dengan paling tinggi 100% (seratus persen) dari Nilai Limit, untuk Lelang Sukarela dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (5). Pasal 53 (1) Dalam hal penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dilakukan melalui rekening milik Penyelenggara Lelang, Uang Jaminan Penawaran Lelang harus sudah efektif diterima di rekening milik Penyelenggara Lelang paling lambat 1 (satu) hari kalender sebelum pelaksanaan Lelang. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pelaksanaan:
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, Lelang Eksekusi benda sitaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai Pasal 47A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dengan Objek Lelang berupa barang yang mudah rusak/busuk dan/atau ikan hasil tindak pidana perikanan; dan
Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi dengan Objek Lelang berupa barang yang mudah busuk/ kedaluwarsa, Uang Jaminan Penawaran Lelang harus sudah efektif diterima di rekening KPKNL paling lambat 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan Lelang. (3) Uang Jaminan Penawaran Lelang yang telah disetorkan:
dinyatakan tidak sah dalam hal:
jumlah yang disetorkan tidak sesuai dengan besaran yang tertuang dalam Pengumuman Lelang; dan/atau
karena sebab-sebab tertentu terkait sistem perbankan mengakibatkan setoran Uang Jaminan Penawaran Lelang efektif diterima di rekening KPKNL/Balai Lelang/ atas nama jabatan Pejabat Lelang Kelas II melewati ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). b. akan diperhitungkan dengan Kewajiban Pembayaran Lelang apabila Peserta Lelang disahkan sebagai Pembeli; atau
dikembalikan seluruhnya kepada Peserta Lelang yang tidak disahkan sebagai Pembeli paling lambat 3 (tiga) hari kerja:
sejak permintaan pengembalian dari Peserta Lelang diterima; atau
setelah pelaksanaan Lelang, untuk Lelang melalui Aplikasi Lelang yang dilaksanakan oleh KPKNL. jdih.kemenkeu.go.id (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dalam Lelang yang menggunakan sistem penetapan Pembeli secara bergulir, Pengembalian Uang Jaminan Penawaran Lelang kepada Peserta Lelang yang mengajukan penawaran peringkat kedua dan/atau Peserta Lelang yang mengajukan penawaran peringkat ketiga dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dikembalikan seluruhnya setelah Pembeli melunasi Kewajiban Pembayaran Lelang sesuai ketentuan;
dikembalikan seluruhnya setelah Pembeli dinyatakan Wanprestasi, dalam hal tidak terdapat pengesahan Pembeli yang baru, sesuai ketentuan;
dikembalikan seluruhnya kepada Peserta Lelang yang mengajukan penawaran peringkat ketiga setelah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran peringkat kedua disahkan sebagai Pembeli yang baru; atau
dikembalikan seluruhnya kepada Peserta Lelang yang mengajukan penawaran peringkat kedua setelah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran peringkat ketiga disahkan sebagai Pembeli yang baru. (5) Dalam hal Pembeli Wanprestasi, Uang Jaminan Penawaran Lelang:
disetorkan seluruhnya ke kas negara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pembatalan penunjukan Pembeli oleh Pejabat Lelang, pada jenis-jenis Lelang dalam kategori Lelang Wajib;
disetorkan ke kas negara sebesar 50% (lima puluh persen) paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pembatalan penunjukan Pembeli oleh Pejabat Lelang, dan menjadi milik Pemilik Barang sebesar 50% (lima puluh persen), pada jenis-jenis Lelang dalam kategori Lelang Sukarela yang diselenggarakan oleh KPKNL;
disetorkan ke kas negara sebesar 50% (lima puluh persen) paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pembatalan penunjukan Pembeli oleh Pejabat Lelang, dan menjadi milik Pemilik Barang dan/ a tau Balai Lelang sesuai kesepakatan antara Pemilik Barang dan Balai Lelang sebesar 50% (lima puluh persen), pada jenis-jenis Lelang dalam kategori Lelang Sukarela yang diselenggarakan oleh Balai Lelang dan dilakukan oleh dan/atau di hadapan Pejabat Lelang Kelas I;
menjadi milik Pemilik Barang dan/atau Balai Lelang sesuai kesepakatan antara Pemilik Barang dan Balai Lelang, pada jenis-jenis Lelang dalam kategori Lelang Sukarela yang diselenggarakan oleh Balai Lelang dan dilakukan oleh dan/atau di hadapan Pejabat Lelang Kelas II; atau
menjadi milik Pemilik Barang dan/atau Kantor Pejabat Lelang Kelas II sesuai kesepakatan antara Pernilik Barang dan Kantor Pejabat Lelang Kelas II, pada jenis-jenis Lelang dalam kategori Lelang jdih.kemenkeu.go.id Sukarela yang diselenggarakan oleh Kantor Pejabat Lelang Kelas II. (6) Dalam hal terdapat biaya transaksi atas pengembalian Uang Jaminan Penawaran lelang kepada Peserta Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan ayat (4), biaya transaksi menjadi tanggungan Peserta Lelang dan dipotong langsung dari pengembalian Uang Jaminan Penawaran Lelang. Pasal 54 Tata cara penyetoran dan pengembalian jaminan penawaran Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 53 tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kedelapan Nilai Limit Pasal 55 (1) Setiap pelaksanaan Lelang disyaratkan harus terdapat Nilai Limit. (2) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penetapannya menjadi kewenangan dan tanggung jawab Penjual. (3) Ketentuan keharusan terdapat Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan pada Lelang Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e atas barang bergerak. (4) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam Pengumuman Lelang. (5) Ketentuan pencantuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan pada Lelang Sukarela atas barang bergerak. (6) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan oleh Penjual kepada:
Penyelenggara Lelang sebagai dokumen persyaratan Lelang; atau
Pejabat Lelang sebelum Lelang dimulai, dalam hal Nilai Limit tidak dicantumkan dalam Pengumuman Lelang. (7) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), mekanisme penyampaian Nilai Limit pada Lelang Terjadwal Khusus ditentukan tersendiri oleh Penyelenggara Lelang. (8) Dalam pelaksanaan Lelang atas Objek Lelang yang:
terdiri atas beberapa bidang tanah atau tanah dan bangunan atau unit rumah susun yang ditawarkan dalam 1 ( satu) paket; dan
berlokasi tidak satu hamparan, Nilai Limit keseluruhan Objek Lelang harus disertai Nilai Limit masing-masing Objek Lelang. (9) Dalam pelaksanaan Lelang dengan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) sampai dengan ayat (6) dan Objek Lelang ditawarkan dalam 1 (satu) paket, Nilai Limit keseluruhan Objek Lelang harus disertai Nilai Limit masing-masing Objek Lelang. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 56 (1) Nilai limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ditetapkan oleh Penjual berdasarkan:
laporan hasil penilaian oleh penilai;
laporan hasil penaksiran oleh penaksir; atau
harga perkiraan sendiri. (2) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penilai pemerintah pada DJKN atau penilai publik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penaksir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pihak internal Penjual atau pihak yang ditunjuk Penjual untuk melakukan penaksiran berdasarkan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. (4) Harga perkiraan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku untuk (1) satu kali pelaksanaan Lelang Sukarela. Pasal 57 Nilai Limit ditetapkan oleh Penjual harus berdasarkan laporan hasil penilaian oleh penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a, untuk:
Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, Lelang Eksekusi objek fidusia sesuai Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia, Lelang Eksekusi barang gadai, dan Lelang Eksekusi harta pailit, dengan Nilai Limit paling sedikit Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan untuk pemegang hak tanggungan perorangan;
Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, Lelang Eksekusi objek fidusia sesuai Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia, atau Lelang Eksekusi barang gadai yang Lembaga jasa keuangan selaku kreditor akan ikut menjadi Peserta Lelang; atau
Lelang Wajib dengan Objek Lelang berupa saham. Pasal 58 Dalam pelaksanaan Lelang Ulang, Nilai Limit dapat diubah oleh Penjual sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
menunjukkan laporan hasil penilaian yang masih berlaku, dalam hal Nilai Limit pada Lelang sebelumnya didasarkan pada penilaian oleh penilai;
menunjukkan laporan hasil penaksiran yang masih berlaku, dalam hal Nilai Limit pada Lelang sebelumnya didasarkan pada penaksiran oleh penaksir;
menunjukkan laporan hasil penilaian atau penaksiran terbaru, dalam hal laporan hasil penilaian atau penaksiran yang menjadi dasar penentuan Nilai Limit pada pelaksanaan Lelang sebelumnya tidak berlaku lagi atau terdapat perubahan kondisi yang signifikan menurut Penjual; atau
menunjukkan harga perkiraan sendiri terbaru, dalam hal Nilai Limit pada Lelang sebelumnya didasarkan pada harga perkiraan sendiri oleh Penjual. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 59 Dalam pelaksanaan Lelang Eksekusi objek hak tanggungan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, Lelang Eksekusi objek fidusia sesuai Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia, Lelang Eksekusi barang gadai, dan Lelang Eksekusi harta pailit, Nilai Limit ditetapkan dengan rentang paling tinggi sama dengan nilai pasar dan paling rendah sama dengan nilai likuidasi. Pasal 60 (1) Masa berlaku laporan hasil penilaian atau laporan hasil penaksiran yang digunakan sebagai dasar penetapan Nilai Limit paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penilaian atau penaksiran sampai dengan tanggal pelaksanaan Lelang. (2) Dikecualikan dari ketentuan masa berlaku laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
dalam hal terdapat perubahan kondisi yang signifikan menurut Penjual, masa berlaku laporan hasil penilaian atau penaksiran dapat kurang dari 12 (dua belas) bulan; atau
masa berlaku laporan hasil penilaian untuk Lelang Wajib yang Nilai Limitnya didasarkan pada hasil penilaian penilai pemerintah mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penilaian. (3) Laporan hasil penilaian atau penaksiran atau dokumen ringkasan hasil penilaian atau penaksiran harus dilampirkan oleh Penjual dalam pengajuan permohonan Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi. (4) Laporan hasil penilaian atau penaksiran atau dokumen ringkasan hasil penilaian atau penaksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) minimal memuat:
nomor laporan hasil penilaian atau penaksiran;
objek penilaian atau penaksiran;
besaran nilai atau taksiran; dan
tanggal penilaian atau penaksiran. (5) Dalam hal permohonan Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Lelang Kelas I melakukan pemeriksaan terhadap masa berlaku laporan hasil penilaian atau penaksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Pejabat Lelang Kelas I tidak berwenang melakukan tinjauan terhadap besaran nilai yang tercantum dalam laporan hasil penilaian atau penaksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kesembilan Pengumuman Lelang Pasal 61 (1) Setiap Lelang yang akan dilaksanakan, wajib didahului dengan Pengumuman Lelang. (2) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penjual, kecuali untuk Lelang Terjadwal Khusus pengumuman dilakukan oleh Penyelenggara Lelang. jdih.kemenkeu.go.id (3) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan pada hari kerja KPKNL. (4) Ketentuan penerbitan Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk:
Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi atas benda sitaan berupa Barang yang mudah busuk/rusak dan/atau ikan hasil tindak pidana perikanan;
Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi atas Barang yang mudah busuk/kedaluwarsa; dan
Lelang Sukarela. (5) Dalam rangka penyebarluasan publikasi pelaksanaan Lelang, Penyelenggara Lelang dapat memberikan fasilitas pada Aplikasi Lelang/portal/situs web yang dikelolanya untuk menayangkan Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditambahkan informasi lebih lengkap mengenai Objek Lelang, syarat dan ketentuan, serta informasi lainnya. Pasal 62 (1) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) minimal memuat informasi:
identitas Penjual;
hari, tanggal, waktu dan tempat Lelang dilaksanakan;
jenis dan jumlah Objek Lelang;
lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada atau tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan;
spesifikasi Objek Lelang, khusus untuk barang bergerak;
waktu dan tempat Penjelasan Lelang, dalam hal Penjual melakukan Penjelasan Lelang;
jaminan penawaran Lelang yang meliputi besaran, jangka waktu, cara dan tempat penyetoran;
Nilai Limit, kecuali Lelang Sukarela untuk barang bergerak;
cara penawaran Lelang;
cara penetapan Pembeli secara bergulir, dalam pelaksanaan Lelang yang menggunakan sistem penetapan Pembeli secara bergulir;
jangka waktu Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli;
alamat domain KPKNL atau Balai Lelang yang melaksanakan Lelang Melalui Aplikasi Lelang, atau alamat surat elektronik KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II atau Balai Lelang yang melaksanakan Lelang dengan penawaran Lelang melalui surat elektronik; dan
syarat Lelang yang diajukan oleh Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (2) Dalam hal Pengumuman Lelang dilakukan melalui surat kabar harian, Pengumuman Lelang minimal memuat informasi:
identitas Penjual; jdih.kemenkeu.go.id b. barang yang akan dilelang;
tempat dan waktu pelaksanaan Lelang;
besaran jaminan penawaran Lelang dan Nilai Limit, untuk Lelang yang mensyaratkan jaminan penawaran Lelang dan menggunakan Nilai Limit; dan
informasi mengenai adanya pengumuman yang lebih rinci yang dapat ditayangkan melalui situs web Penyelenggara Lelang. (3) Pengumuman lebih rinci yang ditayangkan pada situs web sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e minimal memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 63 (1) Pengumuman Lelang atas Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi terhadap barang tidak bergerak atau barang tidak bergerak yang dijual bersamaan dengan barang bergerak, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
pengumuman dilakukan 2 (dua) kali;
jangka waktu pengumuman pertama ke pengumuman kedua berselang 15 (lima belas) hari kalender;
pengumuman pertama dapat dilakukan melalui:
selebaran;
penayangan data terkait Lelang pada situs web Penyelenggara Lelang secara berturut-turut sampai dengan hari pelaksanaan Lelang; atau
surat kabar harian;
pengumuman kedua harus dilakukan melalui surat kabar harian paling singkat 14 (empat belas) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang; dan
pengumuman kedua diatur sedemikian rupa sehingga tidakjatuh pada hari libur atau hari besar. (2) Pengumuman Lelang atas Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi terhadap barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali paling singkat 6 (enam) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang. (3) Pelaksanaan Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
selebaran, penayangan data terkait Lelang pada situs web penyelenggara Lelang secara berturut- turut sampai dengan hari pelaksanaan Lelang, atau surat kabar harian, untuk Nilai Limit keseluruhan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) permohonan Lelang; atau
surat kabar harian, untuk Nilai Limit keseluruhan lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) permohonan Lelang. (4) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, Lelang Eksekusi benda sitaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai Pasal 47A Undang- jdih.kemenkeu.go.id Undang Nomor 19 Tahun 2019 dengan Objek Lelang berupa:
barang yang mudah rusak/busuk, dapat dilakukan kurang dari 6 (enam) hari kalender dan paling singkat 2 (dua) hari kerja; dan
ikan dan sejenisnya hasil tindak pidana perikanan, dapat dilakukan kurang dari 6 (enam) hari kalender dan paling singkat 2 (dua) hari kalender. (5) Pengumuman Lelang untuk 2 (dua) atau lebih Lelang Eksekusi dengan Objek Lelang berupa barang tidak bergerak atau barang tidak bergerak yang dijual bersamaan dengan barang bergerak, dilakukan dalam 1 (satu) Pengumuman Lelang mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 64 (1) Pengumuman Lelang untuk Lelang Eksekusi benda sitaan pajak berupa barang bergerak dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang. (2) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
selebaran, penayangan data terkait Lelang pada situs web penyelenggara Lelang secara berturut- turut sampai dengan hari pelaksanaan Lelang, atau surat kabar harian, untuk Lelang dengan Nilai Limit keseluruhan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) permohonan Lelang; atau
surat kabar harian, untuk Lelang dengan Nilai Limit keseluruhan lebih dari Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) permohonan Lelang. Pasal 65 (1) Pengumuman Lelang untuk Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi atas barang tidak bergerak atau barang tidak bergerak yang dijual bersamaan dengan barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian paling singkat 7 (tujuh) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang. (2) Pengumuman Lelang untuk Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi atas barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali paling singkat 5 (lima) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang. (3) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
selebaran, penayangan data terkait Lelang pada situs web penyelenggara Lelang secara berturut- turut sampai dengan hari pelaksanaan Lelang, atau surat kabar harian, untuk Lelang dengan Nilai Limit keseluruhan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) permohonan Lelang; atau
surat kabar harian, untuk Lelang dengan Nilai Limit keseluruhan lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) permohonan Lelang. jdih.kemenkeu.go.id (4) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengumuman untuk Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi atas barang bergerak yang mudah busuk/kedaluwarsa dapat dilakukan dengan jangka waktu kurang dari 5 (lima) hari kalender dan paling singkat 2 (dua) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang. (5) Pengumuman Lelang untuk Lelang Sukarela atas barang tidak bergerak atau barang tidak bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang bergerak dilakukan melalui:
selebaran atau surat kabar harian paling singkat 7 (tujuh) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang; atau
penayangan data terkait Lelang pada situs web Penyelenggara Lelang paling singkat 7 (tujuh) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang secara terus menerus sampai dengan hari pelaksanaan Lelang. (6) Pengumuman Lelang untuk Lelang Sukarela atas barang bergerak dilakukan melalui:
selebaran atau surat kabar harian paling singkat 5 (lima) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang; atau
penayangan data terkait Lelang pada situs web Penyelenggara Lelang paling singkat 5 (lima) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang secara terus menerus sampai dengan hari pelaksanaan Lelang. (7) Pengumuman Lelang untuk Lelang Sukarela barang bergerak yang telah terjadwal setiap bulan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dilakukan melalui:
selebaran atau surat kabar harian paling singkat 5 (lima) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang yang pertama; atau
penayangan data terkait Lelang pada situs web Penyelenggara Lelang paling singkat 5 (lima) hari sebelum hari pelaksanaan Lelang yang pertama secara terus menerus sampai dengan hari pelaksanaan Lelang yang terakhir. (8) Pada Lelang Terjadwal Khusus, penentuan jadwal penyelenggaraan Lelang yang telah diumumkan melalui selebaran, surat kabar harian, atau situs web Penyelenggara Lelang berlaku sebagai Pengumuman Lelang. Pasal 66 Pengumuman Lelang untuk Objek Lelang berupa barang tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dilakukan mengikuti ketentuan Pengumuman Lelang untuk barang bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 65. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 67 (1) Pengumuman Lelang Ulang untuk Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi atas barang tidak bergerak atau barang tidak bergerak yang dijual bersamaan dengan barang bergerak dilakukan:
1 (satu) kali melalui surat kabar harian paling singkat 7 (tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan Lelang, dalam hal jangka waktu pelaksanaan Lelang ulang tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kalender sejak pelaksanaan Lelang terakhir; atau
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), dalam hal jangka waktu pelaksanaan Lelang ulang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari kalender sejak pelaksanaan Lelang terakhir. (2) Pengumuman Lelang Ulang untuk Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi atas barang bergerak, Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi, dan Lelang Sukarela dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 64 sampai dengan Pasal 66. (3) Pengumuman Lelang Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menunjuk Pengumuman Lelang terakhir. Pasal 68 (1) Surat kabar harian yang digunakan sebagai media Pengumuman Lelang dapat berupa:
surat kabar harian cetak; atau
surat kabar harian elektronik. (2) Surat kabar harian cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
terbit dan/ a tau beredar di kota atau kabupaten tempat Barang berada; dan
mempunyai tiras/oplah paling rendah 2.000 (dua ribu) eksemplar. (3) Dalam hal tidak terdapat ·surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengumuman Lelang diumumkan dalam surat kabar harian yang terbit:
di kota/kabupaten terdekat, dengan tiras/oplah paling rendah 2.000 (dua ribu) eksemplar;
di ibu kota provinsi, dengan tiras/ oplah paling rendah 5.000 (lima ribu) eksemplar; atau
di ibu kota negara, dengan tiras/oplah paling rendah 10.000 (sepuluh ribu) eksemplar, dan beredar di wilayah jabatan Pejabat Lelang tempat Barang akan dilelang. (4) Dalam hal di suatu daerah tidak terdapat surat kabar harian yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengurnuman Lelang dilakukan pada surat kabar harian yang mempunyai tiras/oplah paling tinggi. (5) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) harus dimuat pada halaman utama atau reguler dengan huruf yang jelas dan mudah terbaca. jdih.kemenkeu.go.id (6) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilarang dimuat pada halaman suplemen/ tambahan/khusus. (7) Surat kabar harian elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan surat kabar harian yang dibuat dalam format elektronik (e-newspaper) yang terdaftar dan terverifikasi oleh lembaga yang membidangi jurnalistik. (8) Dalam hal diperlukan guna meningkatkan jumlah peminat Lelang, Penjual dapat menambah Pengumuman Lelang pada media lainnya dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing sesuai kebutuhan. (9) Dalam hal terdapat perbedaan informasi antara Pengumuman Lelang yang telah dilakukan sesuai ketentuan Pasal 61 sampai dengan Pasal 66 dengan tambahan Pengumuman Lelang pada media lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8), informasi yang digunakan adalah informasi yang terdapat pada Pengumuman Lelang yang telah dilakukan sesuai ketentuan Pasal 61 sampai dengan Pasal 66. Pasal 69 (1) Dalam hal diketahui terdapat kekeliruan pada Pengumuman Lelang yang telah diterbitkan, Penjual harus segera membuat ralat melalui surat kabar harian atau media lainnya. (2) Ralat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan terhadap hal sebagai berikut:
mengubah besarnya jaminan penawaran Lelang;
memajukan batas waktu penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang atau penyerahan Garansi Bank Jaminan Penawaran Lelang;
mengubah besarnya Nilai Limit;
memajukan jam dan tanggal pelaksanaan Lelang; dan/atau
memindahkan lokasi dari tempat pelaksanaan Lelang semula. (3) Ralat Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan:
melalui media yang sama dengan pengumuman sebelumnya, dengan menyebutkan Pengumuman Lelang yang diralat; dan
paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan Lelang. (4) Dikecualikan dari ketentuan ralat Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Pengumuman Lelang pada:
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, dan Lelang Eksekusi benda sitaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai Pasal 47A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, dengan Objek Lelang berupa barang yang mudah rusak/busuk dan/atau ikan hasil tindak pidana perikanan; dan jdih.kemenkeu.go.id b. Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi atas barang bergerak yang mudah busuk/ kedaluwarsa, ralat Pengumuman Lelang dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kalender sebelum hari pelaksanaan Lelang. (5) Dalam hal Lelang dengan 2 (dua) kali pengumuman pada pengumuman pertama terdapat kekeliruan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengumuman kedua sekaligus berfungsi sebagai ralat. Pasal 70 (1) Penjual menyampaikan:
bukti Pengumuman Lelang; dan
bukti ralat Pengumuman Lelang, dalam hal terhadap Pengumuman Lelang dilakukan ralat, kepada Penyelenggara Lelang. (2) Dalam hal Pengumuman Lelang dan ralat Pengumuman Lelang dilakukan melalui surat kabar harian elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7), bukti Pengumuman Lelang dan bukti ralat Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk file digital e-newspaper utuh yang diperoleh dari pihak surat kabar dan bukan merupakan hasil tangkapan layar. (3) Penyampaian bukti Pengumuman Lelang dan bukti ralat Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan Lelang. (4) Dikecualikan dari ketentuan penyampaian bukti Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Lelang Wajib berupa:
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, dan Lelang Eksekusi benda sitaan penyidik KPK sesuai Pasal 4 7 A Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2019, dengan Objek Lelang berupa barang yang mudah rusak/busuk dan/atau ikan hasil tindak pidana perikanan; dan
Lelang Wajib berupa Lelang Noneksekusi atas barang bergerak yang mudah busuk/ kedaluwarsa, disampaikan kepada Penyelenggara Lelang paling lambat sebelum pelaksanaan Lelang. (5) Dalam hal Lelang melalui Aplikasi Lelang, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Penjual harus mengunggah bukti Pengumuman Lelang dan bukti ralat pengumuman paling lambat 2 (dua) hari kalender setelah tanggal Pengumuman Lelang atau ralat Pengumuman Lelang terbit. Pasal 71 (1) Pejabat Lelang Kelas I atau Pejabat Lelang Kelas II melakukan reviu terhadap bukti Pengumuman Lelang dan bukti ralat pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) sampai dengan ayat (3) paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan Lelang. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam hal Lelang yang diumumkan merupakan Lelang Wajib dengan Objek Lelang berupa barang yang mudah rusak, busuk, kedaluwarsa, dan/atau ikan hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4), reviu dilakukan paling lambat sebelum pelaksanaan Lelang. Bagian Kesepuluh Penawaran Lelang Pasal 72 (1) Penawaran Lelang dilakukan dengan cara:
lisan, semakin meningkat atau semakin menurun;
tertulis; atau
tertulis dilanjutkan dengan lisan, dalam hal penawaran tertinggi belum mencapai Nilai Limit. (2) Penawaran Lelang secara lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk Lelang Dengan Kehadiran Peserta. (3) Penawaran Lelang secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb dilakukan untuk:
Lelang Dengan Kehadiran Peserta secara fisik di tempat pelaksanaan Lelang; atau
Lelang Tan pa Kehadiran Peserta. (4) Penawaran Lelang secara tertulis dalam Lelang Tanpa Kehadiran Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan melalui:
surat tromol pos;
surat elektronik;
Aplikasi Lelang dengan penawaran terbuka (open bidding) atau penawaran tertutup _(closed bidding); _ atau d. e-Marketplace Auction. (5) Setiap Lelang Wajib yang dilaksanakan melalui Aplikasi Lelang harus menggunakan cara penawaran terbuka (open bidding) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hurufc. (6) Penawaran Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bersamaan dalam 1 (satu) pelaksanaan Lelang. (7) Dalam hal penawaran Lelang secara lisan dilakukan bersamaan dengan penawaran Lelang secara tertulis tanpa kehadiran Peserta Lelang melalui Aplikasi Lelang dengan penawaran terbuka (open bidding), penawaran Lelang berlangsung secara bersamaan sampai tercapai harga tertinggi. (8) Dalam penawaran Lelang yang dilakukan secara bersamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), nilai penawaran tertinggi yang terkini harus diinformasikan kepada Peserta Lelang yang hadir maupun yang tidak hadir. (9) Penawaran Lelang secara tertulis sebagaimana diatur pada ayat (3) huruf a dan huruf b dapat dilaksanakan secara bersamaan dalam 1 (satu) pelaksanaan Lelang. jdih.kemenkeu.go.id (10) Pelaksanaan penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan dengan memulai terlebih dahulu penawaran Lelang secara tertulis dengan kehadiran peserta Lelang kemudian memulai penawaran Lelang secara tertulis tanpa kehadiran peserta Lelang. (11) Penawaran Lelang yang dilakukan secara bersamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dilakukan sepanjang Aplikasi Lelang telah memadai. Pasal 73 (1) Penawaran Lelang secara tertulis tanpa kehadiran peserta melalui surat tromol pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) huruf a dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali untuk setiap Barang, dengan nilai penawaran yang tertinggi diterima dianggap sah dan mengikat. (2) Penawaran Lelang secara tertulis tanpa kehadiran peserta melalui surat elektronik, Aplikasi Lelang, atau e-Marketplace Auction sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali untuk setiap Barang, dengan nilai penawaran yang terakhir diterima dianggap sah dan mengikat. (3) Dalam pelaksanaan penawaran Lelang secara tertulis tanpa kehadiran peserta melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction, KPKNL dan Balai Lelang harus menyediakan fitur yang memungkinkan dilakukannya konfirmasi ulang atas kebenaran harga penawaran yang diajukan oleh Peserta Lelang. (4) Penawaran Lelang melalui surat tromol pos, surat elektronik, atau Aplikasi Lelang dengan penawaran tertutup (closed bidding), dibuka pada saat pelaksanaan Lelang oleh Pejabat Lelang bersama dengan Penjual dan 2 (dua) orang saksi dari Penyelenggara Lelang dan/atau dari Penjual. Pasal 74 (1) Untuk Lelang Terjadwal Khusus, penawaran Lelang dilakukan dengan cara:
penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), untuk Lelang Dengan Kehadiran Peserta dalam bentuk bazar; atau
tertulis melalui e-Markerplace Auction sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) huruf d, untuk Lelang Tanpa Kehadiran Peserta. (2) Cara penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan secara bersamaan dengan Lelang Tanpa Kehadiran Peserta. Pasal 75 (1) Dalam hal pada Lelang Terjadwal Khusus yang dilaksanakan dengan cara penawaran melalui e- Marketplace Auction penawaran tertinggi tidak mencapai Nilai Limit atau tidak disetujui Penjual dalam hal tidak menggunakan Nilai Limit, Penjual dapat mengubah jdih.kemenkeu.go.id besaran Nilai Limit dan meminta perubahan penawaran Lelang. (2) Permintaan perubahan penawaran Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
penawaran beli sekarang _(get it now); _ atau b. memperpanjang jangka waktu penawaran (extended auction). (3) Dalam hal penawaran Lelang diubah dengan penawaran beli sekarang (get it now) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Barang langsung ditawarkan dalam e- Marketplace Auction sampai dengan selesainya pelaksanaan Lelang. (4) Dalam hal penawaran Lelang diubah dengan memperpanjang jangka waktu penawaran (extended auction) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Barang tetap ditayangkan dalam e-Marketplace Auction dan ditawarkan pada pelaksanaan Lelang Terjadwal Khusus berikutnya. (5) Perpanjangan jangka waktu penawaran (extended auction) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilaksanakan paling banyak 3 (tiga) kali. (6) Dalam hal Barang tidak terjual pada perpanjangan jangka waktu penawaran (extended auction) yang telah dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali, Penjual dapat mengajukan kembali permohonan Lelang pada pelaksanaan Lelang Terjadwal Khusus berikutnya. (7) KPKNL atau Balai Lelang yang menyelenggarakan Lelang Terjadwal Khusus harus menyediakan fasilitas pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam e-Marketplace Auction. Pasal 76 (1) Penawaran Lelang dilakukan dengan harga:
inklusif; atau
eksklusif. (2) Lelang dengan harga inklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan harga penawaran telah termasuk Bea Lelang Pembeli. (3) Lelang dengan harga eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan harga penawaran belum termasuk Bea Lelang Pembeli. Pasal 77 (1) Penawaran dalam pelaksanaan Lelang yang Nilai Limitnya diumumkan, diajukan oleh Peserta Lelang paling sedikit sama dengan Nilai Limit. (2) Penawaran yang telah disampaikan oleh Peserta Lelang kepada Pejabat Lelang tidak dapat diubah atau dibatalkan oleh Peserta Lelang. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penawaran yang telah disampaikan oleh Peserta Lelang kepada Pejabat Lelang pada Lelang dengan penawaran tertulis tanpa kehadiran peserta Lelang melalui Aplikasi Lelang dapat diubah atau dibatalkan oleh Peserta Lelang sepanjang belum dilakukan penayangan Kepala Risalah Lelang. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 78 Dalam Lelang Wajib berupa Lelang Eksekusi untuk pembayaran utang atas 1 (satu) debitor terhadap beberapa Objek Lelang, apabila Objek Lelang yang ditawarkan sebelumnya telah memenuhi kewajiban pembayaran utang, Penjual meminta kepada Pejabat Lelang untuk tidak melanjutkan penjualan Objek Lelang berikutnya. Pasal 79 (1) Dalam melaksanakan penawaran Lelang melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) huruf c dan huruf d, KPKNL dan Balai Lelang harus menyediakan:
Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction yang mandiri, independen, aman, andal dan bertanggung jawab;
data transaksi Lelang yang paling sedikit memuat identitas Penjual, identitas Pembeli, barang yang dilelang, waktu transaksi Lelang, harga Pokok Lelang, Bea Lelang; dan
akses data transaksi Lelang bagi Pejabat Lelang untuk membuat Risalah Lelang. (2) Aplikasi Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
aplikasi atau situs web resmi yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan/DJKN untuk penyelenggaraan Lelang oleh KPKNL; atau
aplikasi atau situs web resmi yang terdaftar pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika, untuk penyelenggaraan Lelang oleh Balai Lelang. (3) Dalam menyediakan Aplikasi Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Balai Lelang harus:
mengutamakan penggunaan nama domain tingkat tinggi Indonesia (dot id) bagi Aplikasi Lelang yang berbentuk situs internet;
mengutamakan penggunaan alamat protokol internet (JP address) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
melakukan pemeliharaan sistem (maintenance) secara berkala; dan
melakukan pencadangan (back up) data secara berkala. (4) Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction yang disediakan oleh Balai Lelang selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b, juga harus memenuhi ketentuan:
memiliki sertifikat kelaikan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dalam hal aplikasi menyelenggarakan pembayaran melalui sistem elektronik, aplikasi harus mendapatkan izin dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang sistem pembayaran dan/ a tau perbankan; jdih.kemenkeu.go.id c. memiliki fitur paling sedikit berupa fasilitas untuk:
membaca persyaratan dan ketentuan sebelum mengajukan penawaran;
melihat data dan/atau informasi mengenai Objek Lelang yang ditawarkan;
menampilkan foto atau video Objek Lelang dengan resolusi tinggi pada batasan minimal tertentu;
melakukan koreksi atas penawaran yang diajukan;
membatalkan pengajuan penawaran;
memberikan konfirmasi atau rekonfirmasi atas penawaran yang diajukan;
memilih meneruskan atau berhenti dalam mengajukan penawaran;
mengecek status berhasil atau gagalnya pengajuan penawaran;
memperoleh bukti transaksi elektronik atas pelaksanaan Lelang; dan
melakukan penghapusan data pribadi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. d. dalam menyelenggarakan Lelang Terjadwal Khusus, harus memiliki fitur untuk melakukan:
perubahan besaran nilai limit dan penawaran lelang oleh Penjual dengan cara penawaran beli sekarang (get it now) atau memperpanjang jangka waktu penawaran (extended auction) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75; dan
pemilihan penggunaan sistem penetapan Pembeli secara bergulir. e. memenuhi aspek keterluasan (scability), keleluasaan (flexibility), dan keamanan _(security); _ f. dapat ditautkan dalam bentuk link, gambar atau video pada aplikasi atau situs lain sebagai bentuk pemasaran. (5) Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction yang disediakan oleh Balai Lelang selain memiliki fitur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dan huruf d, dapat memiliki fitur yang merupakan karakteristik pada e-Marketplace meliputi:
informasi jumlah viewer atau pengguna yang melihat/mengeklik setiap lot Objek Lelang;
keranjang pembelian (shopping cart) atau wishlist barang yang akan dibeli yang dapat disimpan sementara pada aplikasi sehingga memudahkan pencarian sepanjang belum dilelang;
panel admin untuk melacak pesanan, pembayaran, dan pengiriman serta melihat pembayaran yang ditinggalkan atau dalam rangka membuat draft pesanan;
pemberian ulasan atau pernyataan pada bagian Objek Lelang atau Penjual, secara tertutup atau terbuka, sebagai umpan balik kepada Penjual atau Pembeli lain; dan jdih.kemenkeu.go.id e. fitur saran dan kritik bagi pengguna aplikasi sebagai Pembeli untuk memberikan komentar dan/atau rating terhadap aplikasi. (6) Dalam menyediakan e-Marketplace Auction sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Balai Lelang dapat bekerja sama dengan Penyedia e-Marketplace. (7) Penyedia e-Marketplace sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi syarat:
memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha secara elektronik atau terdaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik;
menggunakan alamat domain situs web dan aplikasi yang memiliki sertifikat kelaikan sistem elektronik sesuai ketentuan perundang-undangan;
melakukan penyimpanan data dan informasi yang terkait dengan transaksi keuangan secara berkala; dan
terdaftar sebagai anggota asos1as1 e-commerce Indonesia. (8) Dalam hal Balai Lelang bekerja sama dengan Penyedia e- Marketplace Auction sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Balai Lelang harus melaporkan e-Marketplace yang dikembangkan kepada Direktur Jenderal u.p. Direktur. Pasal 80 (1) Balai Lelang yang menyelenggarakan Lelang dengan penawaran melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction wajib memberitahukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal u.p. Direktur dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat paling lambat:
1 (satu} bulan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, untuk Balai Lelang yang telah menyediakan Aplikasi Lelang atau _e-Marketplace Auction; _ dan b. 2 (dua} bulan sebelum digunakan, untuk Balai Lelang yang akan menyediakan Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction. (2) Direktur Jenderal u.p. Direktur berwenang melakukan verifikasi terkait kesesuaian pelaksanaan Lelang dengan penawaran melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction yang diselenggarakan oleh Balai Lelang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (3) Dalam hal hasil dari verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan belum sesuai, Direktur Jenderal u.p. Direktur menyampaikan hasil verifikasi dan memberikan petunjuk perbaikan kepada Balai Lelang. (4) Berdasarkan hasil verifikasi dan petunjuk perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Balai Lelang melakukan perbaikan atas pelaksanaan Lelang dengan penawaran melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu} tahun sejak hasil verifikasi dan petunjuk perbaikan diterima. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 81 (1) KPKNL atau Balai Lelang yang menyelenggarakan Lelang dengan penawaran melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction wajib menerapkan:
tata kelola yang baik dan akuntabel; dan
manajemen risiko terhadap potensi kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan. (2) KPKNL atau Balai Lelang yang menyelenggarakan Lelang dengan penawaran melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction dilarang:
mengganggu, mengacaukan, dan/atau merusak Aplikasi Lelang; dan
mengambil informasi secara tidak sah, memanipulasi data, dan/atau berbuat curang dalam penyelenggaraan Lelang melalui Aplikasi Lelang yang dapat mempengaruhi proses Lelang. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. (4) Kantor Pejabat Lelang Kelas II dapat menyelenggarakan Lelang dengan penawaran melalui Aplikasi Lelang apabila telah memiliki sarana dan prasarana yang memadai. (5) Balai Lelang yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan/atau melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi administratif. (6) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa surat peringatan, surat peringatan terakhir, pembekuan izin operasional, dan/ a tau pencabutan izin operasional. (7) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Balai Lelang. Pasal 82 (1) Dalam hal terdapat Gangguan Teknis dalam pelaksanaan Lelang dengan penawaran melalui Aplikasi Lelang atau e-Marketplace Auction, Pejabat Lelang berwenang mengambil tindakan:
membatalkan Lelang, jika Gangguan Teknis tidak dapat ditanggulangi hingga jam kerja berakhir pada hari pelaksanaan Lelang; atau
melaksanakan Lelang setelah Gangguan Teknis dapat ditanggulangi sebelum jam kerja berakhir pada hari pelaksanaan Lelang. (2) Dalam hal pelaksanaan Lelang dengan penawaran Lelang yang dilakukan secara bersamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (6) sampai dengan ayat (10) terjadi Gangguan Teknis yang menyebabkan Lelang Tanpa Kehadiran Peserta tidak dapat dilakukan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
Lelang Dengan Kehadiran Peserta tetap sah dan mengikat; dan jdih.kemenkeu.go.id b. Penyelenggara Lelang/Pejabat Lelang menyatukan data penawaran Lelang rekapitulasi seluruh penawaran per Objek sebagai lampiran Minuta Risalah Lelang.
Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap profesi Arsitek. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. menetapkan kebijakan pengembangan profesi Arsitek dan praktik Arsitek; b. melakukan pemberdayaan Arsitek; dan c. melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Arsitek dalam pelaksanaan peraturan dan standar penataan bangunan dan lingkungan. (3) Pemerintah Pusat dalam melakukan fungsi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan praktik Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh Dewan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 5 27 14 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073) diubah sebagai berikut: 14. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Setiap Orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik laut dari Pemerintah Pusat. (3) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Pasal 47A (1) Pemerintah Pusat menetapkan prototipe bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan. (2) Prototipe bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk bangunan gedung sederhana yang umum digunakan masyarakat. (3) Prototipe bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 25 angka 10 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108) diubah sebagai berikut: 10. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap profesi Arsitek. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. menetapkan kebijakan pengembangan profesi Arsitek dan praktik Arsitek; b. melakukan pemberdayaan Arsitek; dan c. melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Arsitek dalam pelaksanaan peraturan dan standar penataan bangunan dan lingkungan. (3) Pemerintah Pusat dalam melakukan fungsi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan praktik Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh Dewan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 27 angka 14 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073) diubah sebagai berikut: 14. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pengelolaan Keuangan Daerah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan Keuangan Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dengan undang-undang.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Perda.
Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah.
Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas Daerah.
Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran berkenaan.
Dana Transfer Umum adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah untuk digunakan sesuai dengan kewenangan Daerah guna mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Transfer Khusus adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus, baik fisik maupun nonfisik yang merupakan urusan Daerah.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang dialokasikan kepada Daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Belanja Daerah adalah semua kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran berkenaan.
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran berkenaan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Utang Daerah yang selanjutnya disebut Utang adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Daerah dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.
Pemberian Pinjaman Daerah adalah bentuk investasi Pemerintah Daerah pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lainnya, badan layanan umum daerah milik Pemerintah Daerah lainnya, badan usaha milik negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, dan masyarakat dengan hak memperoleh bunga dan pengembalian pokok pinjaman.
Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk mendanai kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana Daerah yang tidak dapat dibebankan dalam 1 (satu) tahun anggaran.
Beban adalah penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa dalam periode pelaporan yang menurunkan ekuitas atau nilai kekayaan bersih yang dapat berupa pengeluaran atau konsumsi aset atau timbulnya kewajiban.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
Kebijakan Umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan Pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS adalah program prioritas dan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada perangkat Daerah untuk setiap program dan kegiatan sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah.
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat RKA SKPD adalah dokumen yang memuat rencana pendapatan dan belanja SKPD atau dokumen yang memuat rencana pendapatan, belanja, dan Pembiayaan SKPD yang melaksanakan fungsi bendahara umum daerah yang digunakan sebagai dasar penyusunan rancangan APBD.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang berisi 1 (satu) atau lebih Kegiatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah atau masyarakat yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan Daerah.
Kegiatan adalah bagian dari Program yang dilaksanakan oleh 1 (satu) atau beberapa satuan kerja perangkat daerah sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu Program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil atau sumber daya manusia, barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut, sebagai masukan untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk barang/jasa.
Kegiatan Tahun Jamak adalah kegiatan yang dianggarkan dan dilaksanakan untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang pekerjaannya dilakukan melalui kontrak tahun jamak.
Keluaran adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh Kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan Program dan kebijakan.
Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya Keluaran dari Kegiatan dalam 1 (satu) Program.
Sasaran adalah Hasil yang diharapkan dari suatu Program atau Keluaran yang diharapkan dari suatu Kegiatan.
Kinerja adalah Keluaran/Hasil dari Program/Kegiatan yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.
Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh kepala daerah untuk menampung seluruh Penerimaan Daerah dan membayar seluruh Pengeluaran Daerah.
Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh kepala daerah untuk menampung seluruh Penerimaan Daerah dan membayar seluruh Pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat DPA SKPD adalah dokumen yang memuat pendapatan dan belanja SKPD atau dokumen yang memuat pendapatan, belanja, dan Pembiayaan SKPD yang melaksanakan fungsi bendahara umum daerah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran.
Surat Penyediaan Dana yang selanjutnya disingkat SPD adalah dokumen yang menyatakan tersedianya dana sebagai dasar penerbitan surat permintaan pembayaran atas pelaksanaan APBD.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang digunakan untuk mengajukan permintaan pembayaran.
Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk membiayai Kegiatan operasional pada satuan kerja perangkat daerah/unit satuan kerja perangkat daerah dan/atau untuk membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat LS adalah Pembayaran Langsung kepada bendahara pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat tugas, dan/atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah membayar langsung.
Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut TU adalah tambahan uang muka yang diberikan kepada bendahara pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu untuk membiayai pengeluaran atas pelaksanaan APBD yang tidak cukup didanai dari UP dengan batas waktu dalam 1 (satu) bulan.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang digunakan untuk penerbitan surat perintah pencairan dana atas Beban pengeluaran DPA SKPD.
Surat Perintah Membayar UP yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang digunakan untuk penerbitan surat perintah pencairan dana atas Beban pengeluaran DPA SKPD yang dipergunakan sebagai UP untuk mendanai Kegiatan.
Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GU adalah dokumen yang digunakan untuk penerbitan surat perintah pencairan dana atas Beban pengeluaran DPA SKPD yang dananya dipergunakan untuk mengganti UP yang telah dibelanjakan.
Surat Perintah Membayar TU yang selanjutnya disingkat SPM-TU adalah dokumen yang digunakan untuk penerbitan surat perintah pencairan dana atas Beban pengeluaran DPA SKPD, karena kebutuhan dananya tidak dapat menggunakan LS dan UP.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disebut SPM-LS adalah dokumen yang digunakan untuk penerbitan surat perintah pencairan dana atas Beban pengeluaran DPA SKPD kepada pihak ketiga.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan dana atas Beban APBD.
Barang Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BMD adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas Beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan atau akibat lainnya yang sah.
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur atau peraturan bupati/wali kota.
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahaan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah.
Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.
Pelayanan Dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara.
Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan Pengelolaan Keuangan Daerah pada umumnya.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi, bupati bagi Daerah kabupaten, atau wali kota bagi Daerah kota.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah unsur perangkat daerah pada Pemerintah Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan daerah.
Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SKPKD adalah unsur penunjang Urusan Pemerintahan pada Pemerintah Daerah yang melaksanakan Pengelolaan Keuangan Daerah.
Unit SKPD adalah bagian SKPD yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa Program.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran untuk melaksanakan tugas dan fungsi SKPD yang dipimpinnya.
Kuasa PA yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan PA dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD.
Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat TAPD adalah tim yang bertugas menyiapkan dan melaksanakan kebijakan Kepala Daerah dalam rangka penyusunan APBD.
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala SKPKD yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah.
Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BUD adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas sebagai BUD.
Kuasa BUD adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan tugas BUD.
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK adalah pejabat pada Unit SKPD yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa Kegiatan dari suatu Program sesuai dengan bidang tugasnya.
Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat PPK SKPD adalah pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD.
Bendahara Penerimaan adalah pejabat yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang Pendapatan Daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.
Bendahara Pengeluaran adalah pejabat yang ditunjuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.
Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
Anggaran Kas adalah perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan APBD dalam setiap periode.
Standar Akuntansi Pemerintahan yang selanjutnya disingkat SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.
Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah adalah prinsip, dasar, konvensi, aturan dan praktik spesifik yang dipilih oleh Pemerintah Daerah sebagai pedoman dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan pengguna laporan keuangan dalam rangka meningkatkan keterbandingan laporan keuangan terhadap anggaran, antar periode maupun antar entitas.
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat SAPD adalah rangkaian sistematik dari prosedur, penyelenggara, peralatan dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi sejak analisis transaksi sampai dengan pelaporan keuangan di lingkungan organisasi Pemerintahan Daerah.
Bagan Akun Standar yang selanjutnya disingkat BAS adalah daftar kodefikasi dan klasifikasi terkait transaksi keuangan yang disusun secara sistematis sebagai pedoman dalam pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan Pemerintah Daerah.
Hari adalah hari kerja.
Pelaksanaan Sistem Sakti
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Sistem SAKTI yang selanjutnya disebut SAKTI adalah sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara pada instansi pemerintah, yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran yang meliputi penyusunan anggaran, manajemen dokumen anggaran, manajemen supplier , manajemen komitmen pengadaan barang dan jasa, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan negara, manajemen kas, akuntansi, dan pelaporan.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Pembantu Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran (BA) BUN.
Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi BUN.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut BA Kementerian Negara/Lembaga.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.
Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Modul Administrasi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk mengelola data referensi dan data user SAKTI.
Modul Penganggaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sampai dengan penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran termasuk didalamnya proses perencanaan penyerapan anggaran dan penerimaan/pendapatan dalam periode satu tahun anggaran.
Modul Komitmen adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan aktivitas terkait pencatatan data supplier , kontrak, dan Berita Acara Serah Terima (BAST) dalam rangka pelaksanaan APBN untuk mendukung pengelolaan data pagu, perencanaan kas dan referensi dalam pelaksanaan pembayaran.
Modul Bendahara adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui bendahara.
Modul Pembayaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengajuan pembayaran atas beban APBN, pengesahan pendapatan dan belanja, dan pencatatan surat perintah pencairan dana.
Modul Persediaan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian, dan pelaporan barang persediaan.
Modul Aset Tetap adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian dan pelaporan barang milik negara berupa aset tetap dan aset tak berwujud.
Modul Piutang adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk melakukan penatausahaan dan pengakuntansian piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Modul Akuntansi dan Pelaporan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengintegrasian data jurnal dari semua modul SAKTI dalam rangka penyusunan laporan keuangan.
Sistem Mitra adalah sistem yang dimiliki oleh Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya dengan lingkup penggunaan sistem secara nasional yang akan diinterkoneksikan dengan SAKTI.
Pihak Mitra adalah Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya sebagai pemilik Sistem Mitra.
Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.
Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
Instansi adalah sebutan kolektif bagi entitas yang meliputi satuan kerja, kantor wilayah atau yang setingkat, unit eselon I dan Kementerian Negara/Lembaga.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Chief of Information Officer yang selanjutnya disingkat CIO adalah suatu jabatan strategis yang memadukan sistem informasi dan teknologi informasi dengan aspek manajemen agar memberikan dukungan maksimal terhadap pencapaian tujuan.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala Satker atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penandatangan SPM yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian surat permintaan pembayaran yang diterima dari PPK sebagai dasar untuk menerbitkan/menandatangani SPM.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk sebagai pembantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PPSPM untuk dan atas nama KPA kepada Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Badan Layanan Umum (BLU) yang sumber dananya berasal dari PNBP yang digunakan langsung.
Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pendapatan hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN dan/atau belanja yang bersumber dari hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN.
Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo pendapatan hibah langsung kepada pemberi hibah.
Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada KPPN untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi utang pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak.
Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga yang selanjutnya disingkat SPM P-BMDAB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga sebagai dasar penerbitan surat perintah pencairan dana.
Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk dan/atau Cukai yang selanjutnya disingkat SPM P-BMC adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai.
Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk membayar imbalan bunga kepada wajib pajak.
Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung/Pembiayaan Pendahuluan selanjutnya disingkat SPP APD-PL/PP adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN dalam mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PHLN.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Dana Titipan adalah dana yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran selain Uang Persediaan (UP) dalam rangka pelaksanaan APBN.
Dana Pihak Ketiga adalah dana yang masuk ke pengelolaan rekening yang dikelola oleh bendahara yang belum dapat ditentukan menjadi milik negara atau tidak.
Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh bendahara pada penyetor.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari pajak.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
Rencana Penarikan Dana yang selanjutnya disingkat RPD adalah rencana penarikan kebutuhan dana yang ditetapkan oleh KPA untuk pelaksanaan kegiatan Satker dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.
Rencana Penarikan Dana Harian yang selanjutnya disebut RPD Harian adalah rencana penarikan kebutuhan dana harian yang memuat tanggal penarikan dana, jenis belanja, dan jumlah nominal penarikan.
Rencana Penerimaan Dana adalah rencana penyetoran penerimaan dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.
Pengguna ( User ) SAKTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah para pihak pada instansi yang berdasarkan kewenangannya diberikan hak untuk mengoperasikan SAKTI dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Administrator adalah pegawai yang diberi kewenangan oleh PA/KPA/Pejabat yang ditetapkan untuk melaksanakan fungsi teknis administrasi SAKTI.
Hak Akses adalah hak yang diberikan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi diantaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya.
Nomor Register Supplier yang selanjutnya disingkat NRS adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh SPAN dalam rangka pendaftaran data supplier yang diajukan oleh Satker yang akan dijadikan sebagai identitas bagi supplier SPAN.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas Laporan Keuangan.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.
E-Rekon dan LK adalah sistem berbasis web yang digunakan dalam pelaksanaan Rekonsiliasi, penyusunan Laporan Keuangan, serta penyatuan data Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Unit Akuntansi KPB yang selanjutnya disingkat UAKPB adalah unit akuntansi BMN pada tingkat Satker/KPB yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.
Unit Akuntansi Pembantu Kuasa Pengguna Barang, yang selanjutnya disingkat UAPKPB, adalah unit yang dapat dibentuk oleh UAKPB untuk membantu UAKPB melakukan penatausahaan BMN.
Keadaan Kahar ( Force Majeure ) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem SAKTI seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru- hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem SAKTI tidak berfungsi.
Business Continuity Plan yang selanjutnya disingkat BCP adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.
Help, Answer, Improve DJPb yang selanjutnya disebut HAI-DJPb adalah layanan resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam melayani penerimaan dan penyampaian informasi serta permasalahan terkait tugas pokok dan fungsi DJPb.
Dokumen Pendukung adalah semua dokumen yang secara peraturan perundang-undangan menjadi pendukung dan wajib ada sebagai bagian pengajuan sebuah surat, dokumen, formulir, dan segala dokumen resmi lainnya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.
Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disebut dengan TIK adalah segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan pemindahan informasi antar media.
Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberla ...
Relevan terhadap
bahwa sehubungan dengan dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), masih tetap diperlukan kebijakan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat, serta melindungi sektor usaha;
bahwa untuk merespon dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), masih diperlukan fasilitas pajak untuk mendukung ketersediaan barang dan jasa guna penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), serta fasilitas Pajak Penghasilan yang mendorong industri Alat Kesehatan dan/atau Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan fasilitas Pajak Penghasilan sehubungan dengan dukungan masyarakat dalam bentuk sumbangan, ketersediaan tenaga Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan, dan ketersediaan harta, dalam rangka penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 masih belum menampung kebutuhan fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b sehingga perlu dilakukan penggantian terhadap Peraturan Menteri Keuangan dimaksud, serta untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (8), Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Pasal 3 ayat (18), Pasal 7 ayat (3), Pasal 8 ayat (7), dan Pasal 9 ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
Sistem Pelaporan Keuangan Pemerintah Konsolidasian
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap 3 lainnya
historis dari kelembagaan tersebut, tingkat kepercayaan antar berbagai tingkatan pemerintahan, prioritas bagi otonomi daerah, tingkat duplikasi administratif yang dapat ditolerir dan kebutuhan perimbangan keuangan antardaerah. Semua negara pada umumnya menggabungkan berbagai metode alokasi, menggabungkan pemungutan pajak daerah yang mandiri, pemungutan pajak daerah yang dibantu oleh pusat dan dan biaya yang dipungut dari pajak yang bersifat nasional dengan bagi hasil pajak dan/atau bagi hasil non pajak. Keadilan di Bidang Perpajakan Keberadaan pajak terutama berlangsung sejak lahirnya pemerintahan civil, dan dapat dikatakan bahwa pajak merupakan harga yang harus dibayar oleh kehidupan masyarakat civil yang demokratis, bebas dan terorganisir. Pajak tidak hanya mengandung arti berpindahnya dana masyarakat ke pemerintah untuk menyediakan barang publik dan melaksanakan pelayanan publik yang diinginkan masyarakat, namun pajak juga dimaksudkan sebagai refleksi nilai sosial-budaya dan merealisasikan prioritas permintaan masyarakat dalam pelayanan publik dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat ( social and economic welfare ). Sistem perpajakan harus dimaknai sebagai bagian dari model sosial ekonomi, yang merepresentasikan masyarakat sosial, politik, dan kebutuhan ekonomi masyarakat pada periode tertentu, yang berarti bahwa perubahan cita-cita bernegara suatu masyarakat bangsa akan memberikan implikasi terhadap perubahan sistem perpajakan. Karakteristik sistem perpajakan yang harus mengikuti sistem pemerintahan dan tujuan bernegara tersebut, menjelaskan bahwa kenapa pada dasarnya sistem perpajakan antarnegara berbeda, dan kenapa sistem perpajakan selalu berubah dari waktu ke waktu. Salah satu aspek dari suatu sistem perpajakan adalah keadilan di bidang perpajakan. Tidak ada sistem perpajakan yang sempurna di berbagai negara termasuk Negara-negara OECD ( Organization of Economic Cooperation and Development ), tetapi idealnya sistem perpajakan yang modern seharusnya memenuhi prinsip-prinsip sistem perpajakan yang baik terutama sistem perpajakan seharusnya meminimalkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek sosial ekonomi, politik, dan keadilan. Konsep kesetaraan dan keadilan di bidang perpajakan merupakan urat nadi sistem perpajakan yang baik. Pemimpin politik memberi penghargaan kepada cita- cita di hampir setiap bidang pembuatan undang-undang dan peraturan perpajakan.
Warga negara, apalagi, amat peka terhadap argumen tentang keadilan di hampir setiap debat kebijakan perpajakan. Namun semua kontroversi yang bersifat populis tersebut, keadilan pajak kurang dipahami dan sering kali penerapannya tidak sejalan dengan sistem perpajakan yang baik. Konsep keadilan di bidang perpajakan ini sekurang-kurangnya terdiri dari tiga dimensi yang berbeda yaitu: keadilan horizontal, vertikal, dan keadilan individu. Penerapan di antara komponen-komponen ini mempersulit upaya untuk mencari kebijakan pajak yang baik, mendorong debat politik yang lebih banyak menyita retorika keadilan di bidang perpajakan tanpa menyentuh substansinya. Argumen yang paling gencar tentang keadilan di bidang perpajakan adalah pada hubungan yang tidak simetris antara keadilan vertikal yang paling sering diwujudkan pada penerapan pajak progresif dan struktur pengeluaran dan tuntutan keadilan individu, di mana individu bebas melakukan transaksi yang mereka pilih sendiri. Sementara dukungan untuk beberapa aplikasi keadilan vertikal tampak jelas, dalam penentuan tingkat progesivitas yang tepat, dalam hal ini aspek progresif dalam perpajakan telah terbukti sulit untuk diterapkan. Kajian Pajak Daerah di Indonesia Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha, dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu. Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut secara umum dipungut hampir di semua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 masing-masing dapat dilihat pada Tabel 1. Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kencenderungan untuk menjadi rezim pungutan atas dunia usaha untuk memenuhi hasrat otonomi fiskal (kebangaan atas PAD yang tinggi). Kebijakan pajak daerah yang sangat kuat dipengaruhi cara berpikir dan rezim fiskal saat ini jelas tak sejalan dengan seangat desentralisasi/otonomi yang membawa paradigman baru dalam pemajakan di daerah. Retorika Pemerintah Pusat yang sering menekankan arti penting desentralisasi pengeluaran ( expenditure assignment ) justru bertentangan dengan praktik kebijakan yang mendorong daerah tidak saja melakukan optimalisasi pendapatan (PAD) lewat perbaikan tax administration tetapi juga menyentuh desentralisasi sisi penerimaan. Hal ini dinilai positif jika bukan untuk tujuan meraih kemandirian atau otonomi fiskal (( tax assigment ) dan berorientasi kepada fungsi budgeter namun dengan merevisi arsitektur fiskal kita melalui “pen-daerah-an” atau setidaknya bagi hasil atas sejumlah penerimaan dalam Dana Perimbangan ( revenue assigment ) sembari tetap kreatif menjaga keseimbangan antara optimalisasi pendapatan (daerah) dengan netralitas fiskal (nasional) dan daya saing perekonomian atau insentif fiskal bagi investasi (pelaku usaha). Selain alasan terkait masalah keadilan dan kerugian konstitusional sebagaimana disampaikan pemohon perkara bernomor 80-XV/2017, alasan fundamental lain terkait paradigma baru pajak daerah harus menjadi semangat yang memayungi bacaan kita atas keberadaan PPJ dalam kerangka UU No. 28 Tahun 2009 saat ini. Masalah praktik di lapangan (sebagaimana terbaca dalam lampiran dari makalah ini yang diambil dari hasil studi lapangan kami di KPPOD, 2017) kiranya juga menjadi tambahan referensi bagi keperluan informasi faktual dalam persidangan ini. 2. Inayati A. Pendahuluan Filosofi pemungutan suatu jenis pajak menjadi suatu hal yang krusial karena akan menjadi pedoman dalam mendisain hukum/ketentuan material dan hukum/ketentuan formal. Salah satu prinsip yang sangat dijunjung tinggi dalam perpajakan adalah kepastian hukum karena pajak secara substansi merupakan bentuk pengalihan secara paksa sumber daya ekonomi masyarakat oleh negara.
Penyelenggaraan Kehutanan
Relevan terhadap
Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi:
menyusun rencana pengelolaan Hutan yang dituangkan dalam dokumen rencana pengelolaan Hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan Hutan jangka pendek;
melaksanakan koordinasi perencanaan pengelolaan Hutan dengan pemegang Perizinan Berusaha, pemegang persetujuan penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan serta pengelola Perhutanan Sosial;
melaksanakan fasilitasi implementasi kebijakan di bidang lingkungan hidup dan Kehutanan yang meliputi: f . inventarisasi Hutan, Pengukuhan Kawasan Hutan, Penatagunaan Kawasan Hutan dan pen5rusunan rencana Kehutanan;
rehabilitasi Hutan dan reklamasi;
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; dan
perlindungan dan pengamanan Hutan, pengendalian kebakaran Hutan dan lahan, mitigasi ketahanan bencana dan perubahan iklim. d. melaksanakan fasilitasi, bimbingan teknis, pendampingan, dan pembinaan kelompok tani Hutan dalam mendukung kegiatan Perhutanan Sosial;
melaksanakan fasilitasi Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan;
melaksanakan fasilitasi pertumbuhan investasi, pengembangan industri, dan pasar untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional;
melaksanakan fasilitasi kegiatan dalam rangka ketahanan pangan (food estatel dan energi;
melaksanakan fasilitasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia;
melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan;
melaksanakan Pengawasan dan pengendalian atas kegiatan pengelolaan Hutan; dan
melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di wilayah kerjanya. Pasal 124 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan dan pengembangan KPH. (21 Anggaran pembangunan dan pengembangan KPH bersumber dari:
anggaran pendapatan dan belanja negara;
anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 125 (1) Pemerintah Pusat dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan Hutan kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan. (21 Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan meliputi pengelolaan Hutan pada sebagian Hutan Negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten. (3) Direksi badan usaha milik negara bidang Kehutanan yang mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membentuk organisasi kesatuan pemangkuan Hutan dan menunjuk kepala kesatuan pemangkuan Hutan. (41 Penyelenggaraan pengelolaan Hutan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk kewenangan publik. (5) Kewenangan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
Penunjukan Kawasan Hutan dan Penetapan Kawasan Hutan;
Pengukuhan Kawasan Hutan;
Penggunaan Kawasan Hutan;
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan;
pemberian Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan kepada pihak ketiga atas pengelolaan Hutan yang ada di wilayah kerjanya; dan
kegiatan yang berkaitan dengan penyidik pegawai negeri sipil Kehutanan. (6) Dalam hal kegiatan Penggunaan Kawasan Hutan atau Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan, badan usaha milik negara bidang Kehutanan memberikan pertimbangan teknis kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7t (8) (e) (10) Terhadap Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi yang tidak dilimpahkan penyelenggaraan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus untuk kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, rehabilitasi Hutan atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan yang menjadi kewenangan' Pemerintah Fusat. Penyelenggaraan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (71, mengacu pada PIAPS. Penyelenggaraan pengelolaan Hutan Lindung di Pulau Jawa dilakukan dengan memperhatikan kaidah konservasi dalam rangka memperkuat fungsi lindung. Penyelenggaraan pengelolaan Hutan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
Peme gan g P erizinan Berusaha Pemanfaatan H asil Hutan untuk kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang tumbuh alami, dilarang:
menebang pohon yang dilindungi;
menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 5% (lima persen) dari total target volume yang ditentukan dalam rencana kerja tahunan;
menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 3o/o (tiga persen) dari volume per ^jenis kayu yang ditetapkan dalam rencana kerja tahunan;
menebang pohon sebelum rencana kerja tahunan disahkan;
menebang pohon untuk pembuatan koridor sebelum ada persetujuan atau tidak sesuai dengan persetujuan pembuatan koridor;
menebang pohon di bawah batas diameter yang diizinkan;
menebang pohon di luar blok tebangan yang dirzinkan;
menebang pohon untuk pembuatan jalan bagi lintasan angkutan kayu di luar blok rencana kerja tahunan, kecuali dengan persetujuan dari pejabat yang berwenang; Sl( No 087415 A i. meninggalkan meninggalkan areal kerja; dan/atau memindahtangankan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha. Paragraf 4 Perpanjangan, Perubahan Luas, dan Hapusnya Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Pasal 159 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. (2) Permohonan perpanjangan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan harus diajukan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum berakhirny a Perizinan Berusaha. (3) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang tidak mengajukan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, pemberi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan menerbitkan keputusan hapusny a P erizinan Berusaha. Pasal 160 (1) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas Pemanfaatan Hutan secara lestari, dilakukan perubahan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan antara lain dilaksanakan dengan mengurangi luasan areal kerja Penzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. l2l ^Pengurangan ^luasan areal ^kerja ^Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dalam hal terjadi paling sedikit:
tumpang tindih Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
perubahan status dan/atau fungsi Kawasan Hutan yang diakibatkan adanya perubahan tata ruang; atau 1 J .Sl( No 099.599 A c. kebijakan Pemerintah, meliputi proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, ketahanan pangan (food estate) dan kegiatan lainnya yang strategis serta Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan pada areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Pengurangan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, melalui:
permohonan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
permohonan oleh gubernur; atau
penetapan oleh pemberi Perizinan Berusaha. Pasal 161 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus, apabila:
jangka waktu Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan telah berakhir;
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dicabut oleh pemberi Perizinan Berusaha sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha atau berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; atau
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diserahkan kembali oleh pemegang Perizinan Berusaha dengan pernyataan tertulis kepada pemberi Perizinan Berusaha sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir. (2) Sebelum Pefizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu diaudit oleh pemberi Perizinan Berusaha. (3) Hapusnya Pertzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak membebaskan kewajiban pemegang Perizinan Berusaha untuk melunasi seluruh kewajiban finansial serta memenuhi seluruh kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/ kota. Sl( Nlo 0c)9598 A (41 (s) (6) Pada saat hapusnya Perizinan ^Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1), seluruh ^barang ^tidak ^bergerak menjadi milik negara kecuali ^aset ^berupa ^hasil ^budidaya tanaman. Aset berupa hasil budidaya ^tanaman ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(4l1, ^harus ^dimanfaatkan ^oleh pemegan g Perizinan Berusaha ^Pemanfaatan ^Hutan ^paling iam" 1 (satu) tahun sejak ^hapusnya Petuinan ^Berusaha, dan dalam hal tidak dimanfaatkan ^menjadi ^milik ^negara. Dengan hapusnya Perizinan ^Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) ^Pemerintah ^Pusat, ^Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah ^Daerah ^kabupaten/kota tidak bertanggung ^jawab atas ^kewajiban ^pemegang Perizinan Berusaha terhadap ^pihak ^ketiga' Paragraf 5 Pengolahan dan Pemasaran ^Hasil Hutan Pasal 162 (1) Pengolahan Hasil Hutan bertujuan ^untuk:
meningkatkan investasi;
meningkatkan nilai ^tambah hasil ^Hutan;
memanfaatkan hasil ^Hutan ^secara efisien;
menciptakan laPangan ^kerja;
mewujudkan Pengolahan ^Hasil Hutan ^yang ^efisien, produktif dan berdaya saing tinggi;
menjamin terselenggaranya ^rantai ^pasok ^hasil Hutan legal; dan
menjamin tersedianya bahan ^baku ^legal ^untuk pengolahan lanjutan. (2) Pengolahan Hasil Hutan terdiri ^atas:
Pengolahan Hasil Hutan ^kaYu; ^dan b. Pengolahan Hasil Hutan ^bukan ^kayu.
Pengolahan (3) Pengolahan Hasil Hutan kayu dan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dapat dilakukan secara terintegrasi dalam 1 (satu) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. (4) Pengolahan Hasil Hutan dapat dibangun dan terintegrasi di dalam areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan dan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. (5) Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan ketentuan:
telah memenuhi kelayakan teknis; dan
terletak pada lokasi yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang. (6) Dalam rangka penguatan daya saing Pengolahan Hasil Hutan skala usaha kecil atau skala usaha menengah, Pemerintah dapat memberikan bantuan sarana Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 163 (1) Setiap usaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib memiliki Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. (2) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan kepada:
Perseorangan;
Koperasi;
badan usaha milik desa;
badan usaha milik swasta;
badan usaha milik daerah; atau
badan usaha milik negara. (3) Perizinan Berusaha pengolahan kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dengan kapasitas produksi kurang dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun dan/atau Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dengan skala usaha kecil, hanya diberikan kepada: Perseorangan; Koperasi; atau badan usaha milik desa. (41 Kapasitas produksi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku legal dan/atau lestari. (5) Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala besar dan perubahannya diterbitkan oleh Menteri, untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.0OO m3 (enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih;
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha besar; dan
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih yang terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu skala usaha menengah atau skala usaha besar. (6) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan Skala Menengah dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OO0 m3 (dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun;
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha menengah; dan a b c c pengolahan c. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OOO m3 (dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun yang terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu skala usaha kecil atau skala usaha menengah. (71 Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala kecil dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur, untuk kegiatan usaha:
pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi kurang dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun; dan
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha kecil. (8) Dalam hal Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan danf ata: u perubahannya berstatus penanaman modal asing, diterbitkan oleh Menteri. (9) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahtangankan atau dilakukan pemindahan hak atas saham dan dilaporkan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan untuk dilakukan penyesuaian. (10) Setiap perubahan data pokok dalam Pefizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan termasuk perluasan usaha Pengolahan Hasil Hutan, dilakukan penyesuaian melalui mekanisme addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 164 (1) Pengolahan Hasil Hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf a, meliputi seluruh kegiatan pengolahan:
kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dan ragam produk turunannya, kecuali mebel dan kerajinan; SK l,lo 037409 A b. kayu b. kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi produk serpih kayu (tuood chips)dan ragam produk turunannya, kecuali pulp dan kertas;
kayu bulat menjadi produk panel kayu dan ragam produk turunannya; dan/atau
kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi ragam produk bioenergg. (2) Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf b meliputi kegiatan usaha:
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk olahan setengah ^jadi; dan/atau
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk jadi. (3) Menteri berwenang mengatur, membina, dan mengembangkan seluruh kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 165 (1) Pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas merupakan tanggung jawab dan wewenang menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. (2) Dalam pelaksanaan pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian harus memperhatikan daya dukung hasil Hutan atas usulan dan masukan dari Menteri. Pasal 166 (1) Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan kayu dapat berasal dari:
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;
Hutan Hak;
perkebunan;
impor; dan
sumber sah lainnya. (21 Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dapat berasal dari:
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Lindung;
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;
Hutan Hak;
Perkebunan; dan
sumber sah lainnya. (3) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya dapat mengembangkan Hutan Hak atau melaksanakan kerja sama dengan pemegang Hutan Hak. (4\ Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan selain menggunakan bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)', dapat menggunakan bahan baku setengah jadi dan/atau bahan baku penolong lainnya yang berasal dari sumber yang sah. Pasal 167 (1) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163, dilakukan melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 168 (1) Masa berlaku Penzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan dinyatakan berakhir apabila:
dikembalikan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sesuai kewenangannya;
dibatalkan oleh pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan apabila dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan diterbitkan tidak merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau tidak melakukan kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; atau
dicabut oleh pemberiPerizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagai akibat dari pengenaan Sanksi Administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Menteri dan gubernur sesuai kewenangannya melakukan pembinaan dan Pengawasan Perizinan Berrrsaha Pengolahan Hasil Hutan dan kegiatan Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 169 (1) Setiap pemegang Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan berhak memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya dan mendapatkan pelayanan dari Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah. 12) ^Hak ^sebagaimana ^dimaksud pada ayat ^(1) ^juga ^berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 170 (1) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib:
merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan;
menjalankan usahanya sesuai dengan legalitas Perrzinan Berusaha yang dimiliki;
men)rusun c. men5rusun dan menyampaikan rencana kegiatan operasional setiap tahun melalui sistem rencana pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;
menyampaikan laporan realisasi kinerja secara periodik setiap bulan melalui sistem rencana pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;
melaksanakan PUHH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
memiliki jaminan legalitas bahan baku dan produk;
mengajukan addendum Perizinan Berusaha apabila merencanakan penambahan jenis pengolahan dan/atau penambahan kapasitas produksi melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang diizinkan;
memiliki dan/atau mempekerjakan tenaga teknis pengukuran dan pengujian hasil Hutan bersertifikat;
melaksanakan pengukuran dan pengujian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
membayar PNBP atas jasa fasilitas pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
melaporkan pemindahtanganan Perizinan Berusaha atau pemindahan hak atas saham kepada pemberi Perizinan Berusaha;
melakukan penyesuaian perubahan data pokok dalam Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan apabila melakukan penambahan jenis Pengolahan Hasil Hutan, penambahan ragam produk olahan, atau melakukan perubahan data pokok Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan melalui addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan;
melakukan kegiatan produksi, memiliki sarana dan prasarana kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; dan
mematuhi dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diberlakukan untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 171 (1) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1), pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, dilarang:
memperluas usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum P erizinan Berusaha ;
memindahkan lokasi usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum Perizinan Berusaha;
melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;
menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil Hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sa}l (ilegal); atau
melakukan kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. (21 Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan usaha Pemanfaatan Hutan atau Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 172 (1) Semua hasil Hutan yang diproduksi, diedarkan, diolah, dan dipasarkan, harus berasal dari sumber bahan baku yang legal dan/atau lestari. (21 Untuk memastikan hasil Hutan berasal dari sumber yang legal dan/atau lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan kegiatan penjaminan legalitas hasil Hutan. (3) Penjaminan legalitas hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
penilaian kinerja pengelolaan Hutan Lestari;
verifikasi legalitas hasil Hutan; dan
deklarasi hasil Hutan secara mandiri. (41 Pengendalian penjaminan legalitas produk hasil Hutan diselenggarakan melalui sistem informasi pada Kementerian. Pasal 173 (1) Produk hasil Hutan dapat dipasarkan untuk tujuan dalam negeri dan tujuan luar negeri. (21 Produk ekspor atau produk impor hasil Hutan, harus dilengkapi dengan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan. (3) Dalam hal pelaku ekspor berasal dari Pelaku Usaha mikro, kecil, atau menengah, maka persyaratan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat. (4) Pemerintah Pusat dapat melakukan kerja sama internasional untuk memperkuat sistem penjaminan legalitas produk hasil Hutan. Pasal 174 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya, berwenang mengatur, membina, dan mengembangkan pemasaran hasil Hutan. (21 Kewenangan pengaturan ekspor dan/atau impor hasil Hutan diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan atas usulan Menteri. (3) Usulan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan hasil kajian kebutuhan ekspor dan/atau impor hasil Hutan. Paragraf 6 Penatausahaan Hasil Hutan Pasal 175 (1) Dalam rangka melindungi hak negara atas hasil Hutan, menjamin legalitas dan tertib peredaran hasil Hutan serta kelestarian Hutan, dilakukan pengendalian dan pemasaran hasil Hutan melalui PUHH. (21 Setiap Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, Pengolahan Hasil Hutan dan perizinan lainnya yang terkait dengan peredaran hasil Hutan wajib melaksanakan PUHH dengan sellassessment melalui Sistem Informasi PUHH. (3) PUHH sebagaimana dimaksud pada ayat (21, dapat terintegrasi dengan sistem informasi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan latau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (4) PUHH yang berasal dari kegiatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, dilakukan pengukuran dan pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan atau pendamping dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, dilakukan pengukuran dan pengujian meliputi volume/berat, penghitungan jumlah dan penetapan ^jenis oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan sebagai dasar pengenaan PNBP atas Pemanfaatan Hutan. (6) Terhadap fisik hasil Hutan berupa kayu bulat yang telah dilakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan penandaan berupa pemasangan ID quick response code. Pasal 176 Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak, dilakukan penetapan jenis, pengukuran volumef berat, dan penghitungan jumlah serta dilengkapi dengan surat keterangan asal usul hasil Hutan Hak. Pasal 177 (1) Setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen. (21 Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) merupakan surat keterangan sahnya hasil Hutan ^yang berlaku dan dipergunakan untuk mengangkut hasil Hutan di dalam wilayah Republik Indonesia. Pasal 178 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 harus sesuai dengan fisik hasil Hutan yang diangkut. (21 Kesesuaian fisik hasil Hutan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) mempertimbangkan hasil pengukuran ^dan pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan. (3) Pengukuran dan pengujian sebagaimana dimaksud ^pada ayat (21 dilakukan sesuai dengan Standar ^Nasional Indonesia. Paragraf 7 Penerimaan Negara Bukan Pajak Pemanfaatan Hutan Pasal 179 (1) PNBP atas Pemanfaatan Hutan berupa:
IPBPH;
PSDH;
DR;
dana hasil usaha penjualan tegakan ^yang berasal dari Hutan tanaman hasil rehabilitasi;
penerimaan dari denda pelanggaran; dan
penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan.
Instansi Pengelola PNBP menghitung sendiri menatausahakan PNBP. dan PNBP yang wajib Wajib Bayar terutang Pasal 180 Seluruh penatausahaan PNBP dilakukan secara self assessment melalui Sistem Informasi PNBP bidang Kehutanan. Pasal 181 (1) IPBPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (ll huruf a dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan berdasarkan pada ^jangka waktu, luas areal, dan tarif yang diberikan dalam Perizinan Berusaha. (2) Penentuan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan kondisi tutupan lahan. (3) IPBPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut sekali sebelum Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diberikan. Pasal 182 (1) PSDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf b dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil Hutan dan/atau hasil usaha yang dipungut dari Hutan Negara. (21 Pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu tumbuh alami dan pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu budidaya tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan kayu. (3) Pemungutan PSDH atas hasil Hutan bukan kayu yang berasal dari hasil Hutan bukan kayu tumbuh alami atau hasil Hutan bukan kayu budidaya tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan bukan kayu. (4) Pemungutan PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak berlaku bagi:
hasil Hutan yang berasal dari Hutan Adat yang dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;
hasil b. hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan dan tidak diperdagangkan; atau
hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan Hak. Pasal 183 (1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf c dikenakan atas Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu tumbuh alami berdasarkan laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan kayu alam atau hasil rehabilitasi. (21 Pengenaan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi:
hasil Hutan kayu yang berasa-l dari budidaya tanaman;
hasil Hutan kayu yang berasal dari Hutan Adat yang dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;
hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan dan tidak diperdagangkan; atau
hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan Hak. (3) DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan. (4) Tata cara pelaksanaan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 184 Perencanaan DR terdiri atas:
rencana penerimaan; dan
rencana penggunaan. Pasal 185 (1) Penyusunan rencana penerimaan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 huruf a, organisasi perangkat daerah provinsi penghasil melakukan inventarisasi dan kompilasi rencana produksi hasil Hutan kayu yang dikenakan DR dan disampaikan kepada Menteri. (2) Berdasarkan laporan organisasi perangkat daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri melakukan verifikasi. (3) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Menteri men5rusun rencana penerimaan negara yang bersumber dari DR untuk disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pasal 186 Rencana penggunaan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 huruf b, dituangkan dalam bentuk perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 187 (1) Perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan terdiri atas:
rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS; dan
rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan. (2) Rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dan ditetapkan oleh Menteri dalam ^jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Pasal 188 (1) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (1) huruf b terdiri atas:
rencana tahunan rehabilitasi Hutan; dan
rencana b. rencana tahunan rehabilitasi lahan. (2) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun oleh:
Menteri, pada Kawasan Hutan yang tidak dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;
gubernur dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya pada taman Hutan raya; atau
pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Kawasan Hutan yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Rencana tahunan rehabilitasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun oleh gubernur. Pasal 189 Pen5rusunan rencana rehabilitasi Hutan dan lahan, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 190 (1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dikenakan sebesar tarif yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah mengenai ^jenis dan tarif atas ^jenis PNBPyang berlaku pada kementerian teknis. (2) Pengenaan DR terhadap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dilakukan berdasarkan laporan hasil produksi. (3) Pengenaan DR terhadap pemenang lelang hasil Hutan kayu alam didasarkan pada berita acara hasil lelang. Pasal 191 (1) DR wajib disetor ke kas negara.
wajib (2) Wajib Bayar DR menyetorkan DR melalui sistem informasi PNBP yang telah terintegrasi dengan sistem penerimaan negara.
PNBP berupa:
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: Menetapkan 9. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 10. Hutan Produksi adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan. 11. Hutan Produksi Tetap adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap. 12. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi adalah Kawasan Hutan Produksi yang secara ruang dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar kegiatan Kehutanan dan dapat dijadikan Hutan Produksi Tetap. 13. Hutan Tetap adalah Hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai Kawasan Hutan yang terdiri dari Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi Tetap. L4. Kawasan Hutan Suaka Alam adalah Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekeragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang ^juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. 15. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi ^pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 16. Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan, dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan Hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan Kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran ralryat yang berkeadilan dan berkelanjutan. 17. Sistem Informasi Kehutanan adalah kegiatan pengelolaan data yang meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian serta tata caranya.
Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian ^kegiatan Penunjukan Kawasan Hutan, Penataan ^Batas ^Kawasan Hutan, pemetaan Kawasan Hutan, dan ^Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan untuk ^memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas, dan ^luas Kawasan Hutan. 19. Penunjukan Kawasan Hutan adalah ^penetapan ^awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan. 20. Penataan Batas Kawasan Hutan adalah kegiatan ^yang meliputi proyeksi batas, ^pemancangan ^patok ^batas, pengumuman, inventarisasi, dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran, dan pemetaan, serta pembuatan berita acara tata batas. 21. Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu ^penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas ^dan ^luas suatu Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan ^Tetap. 22. Trayek Batas adalah uraian arah Penataan Batas ^Kawasan Hutan yang memuat ^jarak dan azimut dari titik ^ke ^titik ukur dan di lapangan ditandai dengan rintis ^batas ^dan patok batas atau tanda-tanda lainnya. 23. Penatagunaan Kawasan Hutan adalah ^rangkaian kegiatan dalam rangka menetapkan fungsi dan ^Penggunaan Kawasan Hutan. 24. Unit Pengelolaan Hutan adalah Kesatuan ^Pengelolaan Hutan terkecil sesuai fungsi ^pokok dan ^peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien, efektif, dan lestari. 25. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut ^DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan ^satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya ^yang dibatasi oleh pemisah topografi berupa ^punggung bukit atau gunung yang berfungsi menampung air ^yang ^berasal dari curah hujan, menyimpan, dan mengalirkannya ^ke danau atau laut secara alami. 26. Taman Buru adalah Kawasan Hutan ^yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. 27. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan adalah perubahan Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan.
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan ^adalah ^perubahan sebagian atau seluruh fungsi Hutan dalam ^satu ^atau beberapa kelompok Hutan menjadi ^fungsi ^Kawasan ^Hutan yang lain. 29. Pelepasan Kawasan Hutan adalah perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi ^yang ^dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi ^Tetap ^menjadi bukan Kawasan Hutan. 30. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan adalah persetujuan tentang Perubahan Peruntukan ^Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi ^dan/atau ^Hutan Produksi Tetap menjadi bukan ^Kawasan ^Hutan ^yang diterbitkan oleh Menteri. 31. Penggunaan Kawasan Hutan ^adalah ^penggunaan ^atas sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan ^tanpa mengubah fungsi dan peruntukan ^Kawasan ^Hutan. 32. Persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan adalah persetujuan penggunaan atas sebagian Kawasan ^Hutan untuk kepentingan pembangunan di ^luar ^kegiatan Kehutanan tanpa mengubah fungsi ^dan ^peruntukan Kawasan Hutan tersebut. 33. Penelitian Terpadu adalah ^penelitian ^yang ^dilakukan ^oleh lembaga pemerintah yang mempunyai ^kompetensi ^dan memiliki otoritas ilmiah (scientific ^authoitg) ^yang dilakukan bersama-sama dengan ^pihak lain ^yang ^terkait. 34. Kesatuan Pengelolaan Hutan ^yang ^selanjutnya disingkat KPH adalah wilayah ^pengelolaan ^Hutan ^sesuai ^fungsi pokok dan peruntukannya, yang dikelola secara ^efisien, efektif, dan lestari. 35. Kepala KPH adalah ^pimpinan ^pemegang ^kewenangan ^dan penanggung ^jawab pengelolaan Hutan dalam ^wilayah ^yang dikelolanya. 36. Tata Hutan adalah kegiatan ^menata ^ruang Hutan ^dalam rangka pengelolaan dan Pemanfaatan ^Kawasan Hutan yang intensif, efisien, dan efektif untuk ^memperoleh manfaat yang lebih optimal dan berkelanjutan. 37. Penataan Kawasan Hutan dalam ^rangka ^Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan ^dalam rangka menyelesaikan permasalahan Masyarakat di ^dalam Kawasan Hutan.
Penataan Kawasan Hutan dalam ^rangka ^Pemanfaatan Kawasan Hutan adalah kegiatan Tata ^Hutan ^yang ^antara lain meliputi pembagian Kawasan Hutan menjadi ^unit- unit manajemen Hutan terkecil (blok dan ^petak) berdasarkan satuan ekosistem, kesamaan ^umur ^tanaman, tipe, fungsi, dan rencana Pemanfaatan ^Hutan. 39. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan, memanfaatkan ^j ^asa ^lingkungan, memanfaatkan hasil Hutan kayu dan ^bukan ^ka1ru, memungut hasit Hutan kayu dan bukan ^kayu, ^serta mengolah dan memasarkan hasil Hutan secara ^optimal dan adil untuk kesejahteraan Masyarakat ^dengan ^tetap menjaga kelestariannya. 40. Pemanfaatan Kawasan adalah kegiatan ^untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga ^diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ^ekonomi ^secara optimal dengan tidak mengurangi ^fungsi utamanya. 4t. Pemanfaatan Jasa Lingkungan adalah ^kegiatan ^untuk memanfaatkan dan mengusahakan ^potensi ^jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan ^dan mengurangi fungsi utamanya. 42. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah ^kegiatan ^untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil Hutan ^berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan ^tidak mengurangi fungsi pokoknya. 43. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah ^kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan ^hasil ^Hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak ^lingkungan ^dan tidak mengurangi fungsi ^pokoknya. 44. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau ^Bukan ^Kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil Hutan ^baik berupa kayu dan/atau bukan kayu. 45. Peta Arahan Pemanfaatan Hutan adalah ^peta indikatif Pemanfaatan Hutan yang ditetapkan oleh ^Menteri untuk menjadi acuan pemberian Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan Lindung dan Pemanfaatan ^Hutan Produksi. 46. Perizinan Berusaha adalah legalitas ^yang ^diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan ^menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Perizinan 47. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan adalah ^Petizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau ^kegiatan Pemanfaatan Hutan. 48. Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan ^adalah Perizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan. 49. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disingkat Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi ^yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko. 50. Sistem Silvikultur adalah sistem budidaya Hutan ^atau sistem teknik bercocok tanaman Hutan mulai dari ^memilih benih atau bibit, penyemaian, ^penanaman, pemeliharaan tanaman, perlindungan hama, dan penyakit serta pemanenan. 51. Multiusaha Kehutanan adalah ^penerapan ^beberapa kegiatan usaha Kehutanan berupa usaha Pemanfaatan Kawasan, usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ^dan Bukan Kayu, dan/atau usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan untuk mengoptimalkan Kawasan Hutan ^pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi. 52. Penerimaan Negara Bukan Pajak ^yang ^selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan ^yang dibayar oleh ^orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau ^pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, ^yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah, dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
Penatausahaan , 53. Penatausahaan Hasil Hutan yang selanjutnya disebut PUHH adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan atas perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran, pengujian, penandaan, pengangkutan/ peredaran, pengolahan, dan pemasaran hasil Hutan. 54. Iuran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan ^yang selanjutnya disingkat IPBPH adalah pungutan ^yang dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. 55. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai ^pengganti nilai intrinsik dari hasil Hutan dan/atau hasil usaha ^yang dipungut dari Hutan Negara. 56. Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari Hutan Negara. 57. Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam Kehutanan. 58. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri atau luar negeri yang mempunyai kewajiban membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 59. Perseorangan adalah Warga Negara Indonesia ^yang cakap bertindak menurut hukum. 60. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan adalah dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil Hutan pada setiap segmen kegiatan dalam PUHH. 61. Pengolahan Hasil Hutan adalah kegiatan mengolah hasil Hutan menjadi barang setengah ^jadi dan/atau barang ^jadi. 62. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 63. Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. PFIES IDEN REPUBLIK INDONESIA -9 - 64. Perhutanan Sosial adalah sistem ^pengelolaan ^Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan ^Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum ^Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan ^dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, ^Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan ^Adat, dan kemitraan Kehutanan. 65. Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial ^yang ^selanjutnya disingkat PIAPS adalah peta yang memuat areal ^Kawasan Hutan yang dicadangkan untuk Perhutanan Sosial. 66. Hutan Kemasyarakatan adalah Kawasan Hutan ^yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan Masyarakat. 67. Hutan Tanaman Rakyat ^yang selanjutnya disingkat ^HTR adalah Hutan tanaman pada Hutan Produksi ^yang dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya Hutan. 68. Hutan Desa adalah Kawasan Hutan ^yang belum ^dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. 69. Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA adalah Masyarakat tradisional ^yang masih terkait ^dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil Hutan ^di wilayah Hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. 70. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan/atau perairan beserta sumber daya alam ^yang ^ada ^di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan, dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup Masyarakat yang diperoleh melalui ^pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau Hutan Adat.
Wilayah 7I. Wilayah Indikatif Hutan Adat adalah wilayah ^Hutan ^Adat yang berada pada Kawasan Hutan Negara ^yang belum memperoleh produk hukum dalam bentuk ^Peraturan Daerah namun wilayahnya telah ditetapkan ^oleh bupati/walikota. 72. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur ^yang berlaku ^dalam tata kehidupan Masyarakat setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan ^sumber daya alam secara lestari. 73. Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah ^dan membatasi kerusakan Hutan di dalam dan di ^luar Kawasan Hutan dan hasil Hutan, ^yang disebabkan ^oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan ^menjaga hak-hak negara, Masyarakat, dan ^perorangan atas ^Hutan, Kawasan Hutan, hasil Hutan, investasi, serta ^perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan Hutan. 74. Pengawasan Kehutanan yang selanjutnya ^disebut Pengawasan adalah serangkaian kegiatan ^yang dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan/atau ^pengawas Kehutanan untuk mengetahui, memastikan, ^dan menetapkan tingkat ketaatan pemegang ^Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah ^yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha atau ^persetujuan ^pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di ^bidang Kehutanan. 75. Sanksi Administratif adalah ^perangkat sarana ^hukum administrasi yang bersifat pembebanan ^kewajiban/ perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada ^pemegangPerizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah atas ^dasar ketidaktaatan terhadap peraturan ^perundang-undangan di bidang Kehutanan danf atau ketentuan dalam ^Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah yang terkait dengan Kehutanan. 76. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu ^dalam lingkungan instansi Kehutanan pusat dan daerah ^yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha Perlindungan ^Hutan ^yang oleh kuasa undang-undang diberikan ^wewenang kepolisian khusus di bidang Kehutanan.
Masyarakat adalah Perseorangan, kelompok orang, termasuk MHA atau badan hukum. 78. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 79. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelen ggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 80. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan Kehutanan. 81. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.