Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Islam Negeri Salatiga pada Kementerian Agama
Relevan terhadap
bahwa terhadap layanan barang atau jasa yang diberikan oleh Badan Layanan Umum Universitas Islam Negeri Salatiga pada Kementerian Agama kepada masyarakat, diusulkan tarif layanan atas barang atau jasa yang diberikan;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan usulan tarif layanan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa Menteri Agama melalui Surat Nomor B- 482/MA/KU.02.1/12/2022 hal Usulan Tarif Layanan BLU Universitas Islam Negeri Salatiga, telah menyampaikan usulan tarif layanan Badan Layanan Umum Universitas Islam Negeri Salatiga pada Kementerian Agama;
bahwa usulan tarif layanan Badan Layanan Umum Universitas Islam Negeri Salatiga pada Kementerian Agama sebagaimana dimaksud dalam huruf c, telah dibahas dan dikaji oleh tim penilai;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Islam Negeri Salatiga pada Kementerian Agama;
Pengelolaan Barang Milik Negara dan Aset Dalam Penguasaan di Ibu Kota Nusantara
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Ibu Kota Negara adalah Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ibu Kota Negara bernama Nusantara yang selanjutnya disebut Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BMD adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Aset Dalam Penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disingkat ADP adalah tanah di wilayah Ibu Kota Nusantara yang tidak terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pengelolaan kekayaan negara.
Direktorat Jenderal adalah unit organisasi eselon I pada Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pengelolaan kekayaan negara.
Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut sebagai Otorita Ibu Kota Nusantara adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Perencanaan Kebutuhan BMN adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang.
Rencana Kebutuhan BMN yang selanjutnya disingkat RKBMN adalah dokumen perencanaan BMN untuk periode 1 (satu) tahun.
Penggunaan BMN adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan.
Pemanfaatan BMN adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat KSPI adalah Pemanfaatan BMN melalui kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur dalam rangka pendanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penanggung Jawab Pemanfaatan BMN yang selanjutnya disingkat PJPB adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Pemanfaatan BMN dalam rangka penyediaan infrastruktur dalam bentuk KSPI.
Pengelola ADP adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan pengelolaan ADP.
Pengguna ADP adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab melaksanakan pengelolaan ADP.
Kuasa Pengguna ADP adalah kepala satuan kerja atau pejabat di lingkungan Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditunjuk oleh Pengguna ADP untuk melaksanakan sebagian kewenangan Pengguna ADP dengan sebaik- baiknya.
Pemegang ADP adalah pihak yang diberikan kewenangan untuk mengelola ADP sesuai alokasi lahan yang ditetapkan.
Mitra ADP adalah pihak yang melakukan kerja sama dengan Pengguna ADP untuk mengelola ADP berdasarkan kesepakatan yang dilakukan.
Pengelolaan ADP adalah rangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, pengalokasian, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penghapusan, penatausahaan, serta pengawasan dan pengendalian ADP.
Penghapusan ADP adalah tindakan menghapus ADP dari daftar ADP dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengguna ADP dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Penatausahaan ADP adalah rangkaian kegiatan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan ADP.
Pembukuan ADP adalah kegiatan pendaftaran dan pencatatan ADP ke dalam Daftar Barang ADP.
Inventarisasi ADP adalah kegiatan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan ADP.
Pelaporan ADP adalah kegiatan penyusunan dan penyampaian data dan informasi ADP secara semesteran dan tahunan.
Pengawasan ADP adalah kegiatan pemantauan yang dilakukan untuk memperoleh informasi secara terus menerus terhadap pelaksanaan kewajiban yang telah disepakati.
Petunjuk Teknis Penyaluran Dana Desa pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Relevan terhadap
Kepala Desa menyampaikan permohonan perubahan data supplier kepada pimpinan organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan masyarakat desa, apabila terdapat perubahan data Supplier Desa. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b.
Permohonan perubahan data Supplier Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan dokumen:
surat permohonan perubahan nama dan/atau nomor RKD yang ditandatangani oleh pimpinan Pemerintah Desa;
informasi data RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4); dan
asli rekening koran atau fotocopy buku tabungan RKD.
Pimpinan perangkat daerah organisasi yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan masyarakat desa melakukan penelitian permohonan perubahan data Supplier Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam hal permohonan data Supplier Desa dapat disetujui, pimpinan organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan masyarakat desa menyampaikan permohonan perubahan data Supplier Desa ke pimpinan organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan daerah.
Pemerintah Desa membuka RKD pada bank umum yang terdaftar dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan/atau Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) perundang-undangan.
RKD pada bank umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuka atas nama entitas Pemerintah Desa.
Bupati/wali kota menyampaikan daftar RKD ke KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.
Daftar RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari lampiran peraturan bupati/wali kota yang mengatur mengenai alokasi Dana Desa per Desa.
KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melakukan pencocokan antara daftar RKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan data rekening Desa pada aplikasi OMSPAN. sesuai dengan ketentuan (6) Apabila terdapat perbedaan basil pencocokan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa berkoordinasi dengan pimpinan organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan daerah.
Dalam hal basil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bahwa daftar RKD yang disampaikan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan daftar RKD yang benar, organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan daerah mengajukan permohonan perubahan Data Supplier ke KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.
Pimpinan organisasi perangkat daerah menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan daerah melakukan penelitian terhadap permohonan perubahan data Supplier Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).
Dalam hal usulan perubahan data Supplier Desa telah lengkap dan benar, Pimpinan organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan daerah menyampaikan surat permohonan perubahan data Supplier Desa ke KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.
Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan:
surat permohonan perubahan data Supplier Desa dari pimpinan organisasi perangkat daerah yang menyelenggarakan masyarakat desa; surat permohonan perubahan data Supplier Desa yang ditandatangani oleh pimpinan Pemerintah Desa; asli rekening koran atau fotocopy buku tabungan RKD; dan informasi data RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4). yang pemberdayaan urusan b.
/ (4) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menyampaikan surat permintaan perubahan data Supplier Desa kepada KPPN dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Perubahan data Supplier Desa berpedoman pada peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan yang mengatur mengenai data supplier dalam sistem perbendaharaan dan anggaran negara.
Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa melakukan pemutakhiran data supplier pada aplikasi SAKTI.
Setelah melakukan pemutakhiran data supplier pada aplikasi SAKTI sebagaimana dimaksud pada ayat (6), KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa meminta penonaktifan data Supplier Desa yang lama dengan cara mengirimkan permintaan ke HAI DJPb.
KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa menyampaikan surat pemberitahuan kepada bupati/wali kota bahwa Data Supplier Desa telah dilakukan perubahan.
Berdasarkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), bupati/wali kota melakukan update data RKD pada aplikasi OMSPAN.
Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga Pinjaman dalam rangka Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Menteri adalah Menteri Keuangan.
Kepala Badan adalah Kepala Badan Pangan Nasional.
Perusahaan Umum (Perum) BULOG yang selanjutnya disebut sebagai Perum BULOG adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham, yang menyelenggarakan usaha logistik pangan serta usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan.
Badan Usaha Milik Negara di Bidang Pangan yang selanjutnya disebut BUMN Pangan adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak atau berusaha di bidang pangan baik produksi, distribusi, pemasaran, atau lainnya.
Cadangan Pangan Pemerintah yang selanjutnya disingkat CPP adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah.
Penyelenggara CPP adalah Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan CPP.
Pinjaman Penyelenggaraan CPP yang selanjutnya disebut Pinjaman adalah Pinjaman yang diterima oleh Penyelenggara CPP untuk membiayai pengadaan CPP.
Penyalur adalah lembaga keuangan bank yang menyalurkan Pinjaman kepada Penyelenggara CPP.
Subsidi Bunga adalah bagian bunga yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang diterima oleh Penyalur dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada Penyelenggara CPP.
Baki Debet adalah sisa pokok pinjaman yang wajib dibayar kembali oleh Penyelenggara CPP kepada Penyalur.
Kuasa Pengguna Anggaran Penyaluran Subsidi Bunga Pinjaman yang selanjutnya disebut KPA Penyaluran adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari pengguna anggaran untuk menyalurkan anggaran belanja Subsidi Bunga atas pelaksanaan Pinjaman kepada Penyalur.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran bendahara umum negara untuk melakukan pengujian atas surat permintaan pembayaran dan menerbitkan surat perintah membayar.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang memperoleh kewenangan sebagai kuasa bendahara umum negara.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Pangan Pokok Tertentu adalah Pangan Pokok yang diproduksi dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang apabila ketersediaan dan harganya terganggu dapat memengaruhi stabilitas ekonomi dan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Bali pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ...
Relevan terhadap
bahwa terhadap layanan barang atau jasa yang diberikan oleh Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Bali pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kepada masyarakat, diusulkan tarif layanan atas barang atau jasa yang diberikan;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan usulan tarif layanan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui surat nomor 59196/MPK.A/KU.01.03/2022 hal Permohonan Usulan Penetapan Tarif Layanan Politeknik Negeri Bali, telah menyampaikan usulan tarif Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Bali pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi;
bahwa usulan tarif layanan Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Bali pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagaimana dimaksud dalam huruf c, telah dibahas dan dikaji oleh tim penilai;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Bali pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi;
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Jakarta pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ...
Relevan terhadap
bahwa terhadap layanan barang atau jasa yang diberikan oleh Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Jakarta pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kepada masyarakat, diusulkan tarif layanan atas barang atau jasa yang diberikan;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, menteri/pimpinan lembaga menyampaikan usulan tarif layanan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui surat nomor 75169/MPK.A/KU.01.03/2022 hal Permohonan Usulan Penetapan Tarif Layanan Politeknik Negeri Jakarta, telah menyampaikan usulan tarif layanan Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Jakarta pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi;
bahwa usulan tarif layanan Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Jakarta pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagaimana dimaksud dalam huruf c, telah dibahas dan dikaji oleh tim penilai;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Politeknik Negeri Jakarta pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi;
Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah otonom untuk dikelola oleh daerah otonom dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh pemerintah.
Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disebut DAK Nonfisik adalah DAK yang dialokasikan untuk membantu operasionalisasi layanan publik Daerah yang penggunaannya telah ditentukan oleh pemerintah.
Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan yang selanjutnya disebut Dana BOSP adalah DAK Nonfisik untuk mendukung biaya operasional nonpersonalia bagi satuan pendidikan.
Dana Bantuan Operasional Sekolah yang selanjutnya disebut Dana BOS adalah Dana BOSP untuk operasional satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler yang selanjutnya disebut Dana BOS Reguler adalah dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional rutin satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah.
Dana Bantuan Operasional Sekolah Kinerja yang selanjutnya disebut Dana BOS Kinerja adalah dana yang digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang dinilai berkinerja baik.
Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini yang selanjutnya disebut Dana BOP PAUD adalah Dana BOSP untuk operasional satuan pendidikan dalam menyelenggarakan layanan pendidikan anak usia dini.
Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini Reguler yang selanjutnya disebut Dana BOP PAUD Reguler adalah dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional rutin satuan pendidikan dalam menyelenggarakan layanan pendidikan anak usia dini.
Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini Kinerja yang selanjutnya disebut Dana BOP PAUD Kinerja adalah dana yang digunakan untuk peningkatan mutu satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan anak usia dini yang dinilai berkinerja baik.
Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan yang selanjutnya disebut Dana BOP Kesetaraan adalah Dana BOSP untuk operasional satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan kesetaraan.
Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Reguler yang selanjutnya disebut Dana BOP Kesetaraan Reguler adalah dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional rutin satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan kesetaraan program Paket A, Paket B, dan Paket C.
Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Kinerja yang selanjutnya disebut Dana BOP Kesetaraan Kinerja adalah dana yang digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan kesetaraan program Paket A, Paket B, dan Paket C yang dinilai berkinerja baik.
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.
Dana Tunjangan Guru Aparatur Sipil Negara Daerah yang selanjutnya disebut Dana Tunjangan Guru ASN Daerah adalah tunjangan atau tambahan penghasilan yang diberikan kepada guru ASN Daerah.
Dana Tunjangan Profesi Guru Aparatur Sipil Negara Daerah yang selanjutnya disebut Dana TPG ASN Daerah adalah tunjangan profesi yang diberikan kepada guru pegawai negeri sipil Daerah dan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dana Tambahan Penghasilan Guru Aparatur Sipil Negara Daerah yang selanjutnya disebut Dana Tamsil Guru ASN Daerah adalah tambahan penghasilan yang diberikan kepada guru pegawai negeri sipil Daerah dan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang belum memiliki sertifikat pendidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dana Tunjangan Khusus Guru Aparatur Sipil Negara Daerah yang selanjutnya disebut Dana TKG ASN Daerah adalah tunjangan yang diberikan kepada guru pegawai negeri sipil Daerah dan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagai kompensasi atas kesulitan hidup dalam melaksanakan tugas di Daerah khusus yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Dana Bantuan Operasional Kesehatan yang selanjutnya disebut Dana BOK adalah dana yang digunakan untuk belanja operasional program prioritas nasional bagi dinas kesehatan dan Puskesmas sebagai pelaksana program kesehatan.
Dana Bantuan Operasional Kesehatan Dinas Kesehatan yang selanjutnya disebut Dana BOK Dinas adalah dana bantuan yang digunakan untuk belanja operasional program prioritas kesehatan.
Dana Bantuan Operasional Kesehatan Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Dana BOK Puskesmas adalah dana bantuan yang digunakan untuk belanja operasional program prioritas upaya kesehatan masyarakat.
Dana Alokasi Khusus Nonfisik Jenis Lainnya yang selanjutnya disebut DAK Nonfisik Jenis Lainnya adalah jenis dana DAK Nonfisik selain Dana BOSP, Dana Tunjangan Guru ASN Daerah, dan Dana BOK yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PA BUN adalah Menteri Keuangan selaku pejabat yang diberikan tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran bendahara umum negara.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja pada masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari bendahara umum negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa bendahara umum negara.
Indikasi Kebutuhan Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disebut IKD DAK Nonfisik adalah indikasi kebutuhan dana DAK Nonfisik yang perlu dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau walikota bagi Daerah kota.
Satuan Pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (negeri) atau yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau walikota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Rekening Satuan Pendidikan adalah rekening atas nama satuan pendidikan yang digunakan oleh satuan pendidikan untuk menerima Dana BOSP yang dibuka pada bank umum yang terdaftar dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan/atau Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rekening Puskesmas adalah rekening atas nama Puskesmas yang digunakan oleh Puskesmas untuk menerima Dana BOK Puskesmas yang dibuka pada bank umum yang terdaftar dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan/atau Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan surat perintah membayar.
Supplier Satuan Pendidikan adalah informasi terkait satuan pendidikan yang berhak menerima pembayaran Dana BOSP yang memuat paling kurang informasi pokok, informasi lokasi, dan informasi rekening.
Supplier Puskesmas adalah informasi terkait dengan Puskesmas yang berhak menerima pembayaran Dana BOK Puskesmas yang memuat paling kurang informasi pokok, informasi lokasi, dan informasi rekening.
Pengelolaan Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SA WIT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 7. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat dengan TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 8. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu. yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 9. Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut DBH Sawit adalah DBH yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dari bea keluar 1 jdih.kemenkeu.go.id dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya. 10. Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut RKP DBH Sawit adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diselaraskan dengan program kerja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berjalan. 11. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 12. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN. 14. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 15. Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggungjawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN. 16. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 17. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 18. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 19. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara TKD untuk DBH Sawit yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan DBH Sawit tahunan yang disusun oleh KPA BUN Pengelolaan DBH Sawit. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH Sawit adalah selisih kurang antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 24. Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 25. Sisa DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang telah disalurkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan realisasi penggunaan DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama satu periode tahun anggaran dan/atau beberapa tahun anggaran. 26. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 27. Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN. 28. Indikasi Kebutuhan Dana BUN untuk DBH Sawit adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan DBH Sawit. 29. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 30. Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan Daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan 1 jdih.kemenkeu.go.id dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. Pasal 2 Pengelolaan DBH Sa wit yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
penganggaran;
pengalokasian;
penggunaan;
penyaluran; dan
pemantauan dan evaluasi. Pasal 3 (1) DBH Sawit merupakan bagian dari TKD. (2) DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara atas:
bea keluar yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif bea keluar; dan
pungutan ekspor yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif pungutan ekspor. (3) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 4% {empat persen) dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit. (5) Dalam hal ditetapkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat menggunakan sumber penerimaan lain yang dilaksanakan dengan mekanisme APBN. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN DBH SAWIT Pasal 4 (1) Dalam rangka pengelolaan DBH Sawit, Menteri selaku PA BUN Pengelolaan TKD menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;
Direktur Dana Transfer Umum sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit. l jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum. (4) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum dan Kepala KPPN selaku KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum:
tidak terisi dan menimbulkan lowonganjabatan; atau
masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 5 (lima) hari kerja. (6) Penunjukan:
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berakhir dalam ha! Direktur Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/ a tau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN. (7) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang sama dengan KPA BUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum kepada Menteri. (9) Penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 5 (1) KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana BUN TKD untuk DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung; jdih.kemenkeu.go.id b. menyusun RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;
menyusun DIPA BUN TKD untuk DBH Sawit;
menyusun dan/atau menyampaikan rekomendasi penyaluran, penghentian penyaluran, dan/atau penyaluran kembali TKD untuk DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan/atau
menyampaikan rencana penyaluran DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (2) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui aplikasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
menyusun proyeksi penyaluran DBH Sawit sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui aplikasi Cash Planning Information _Network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
melakukan penatausahaan dokumen yang berkaitan dengan penyaluran DBH Sawit;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
melakukan verifikasi terhadap rekomendasi penyaluran dan pengenaan pemotongan penyaluran, penundaan penyaluran, penghentian penyaluran, dan penyaluran kembali DBH Sawit;
melaksanakan penyaluran dan/atau penyaluran kembali DBH Sawit berdasarkan rekomendasi 1 jdih.kemenkeu.go.id penyaluran yang diterbitkan oleh KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan anggaran negara dalam rangka pertanggungjawaban penyaluran DBH Sawit; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran DBH Sawit melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu bendahara umum negara sesuai dengan ketentuan pera.turan perundang-undangan. (4) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pasal 6 PPA BUN Pengelolaan TKD, KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum, koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dan KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak bertanggung jawab secara formil dan materiil atas pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DBH Sawit oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN DBH SAWIT Pasal 7 (1) KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD. (2) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit. (3) Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (4) Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan memperhatikan minimal:
penerimaan bea keluar dan pungutan ekspor yang dibagihasilkan pada tahun anggaran sebelumnya; dan/atau
Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit tahun-tahun sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. l jdih.kemenkeu.go.id BAB IV PENGALOKASIAN DBH SAWIT Bagian Kesatu Penyediaan Data Penerimaan Sawit yang Dibagihasilkan Pasal 8 (1) Berdasarkan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan permohonan penyampaian data berupa:
realisasi penerimaan bea keluar, kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
realisasi penerimaan pungutan ekspor, kepada Direktorat Jenderal Anggaran;
luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, kepada Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian;
daftar daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan, kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dan
batas wilayah menurut kabupaten/kota, kepada Kementerian Dalam Negeri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar 1 (satu) tahun sebelumnya. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor 1 (satu) tahun sebelumnya. (4) Dalam hal realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) belum tersedia, dapat digunakan perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran. (5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian menyampaikan data berupa data luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing pihak. (6) Dalam hal data tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum tersedia, digunakan data tahun terakhir yang tersedia. (7) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan daftar Daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan. jdih.kemenkeu.go.id (8) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, Kementerian Dalam Negeri menyampaikan data batas wilayah menurut kabupaten/kota. (9) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8) disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya. (10) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (9) belum diterima sampai dengan minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya, dapat digunakan data yang disampaikan pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Bagian Kedua Perhitungan Alokasi DBH Sawit Menurut Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota Pasal 9 Data penerimaan bea keluar dan penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) atau data perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) digunakan untuk menghitung pagu DBH Sawit yang dibagihasilkan kepada Daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 10 (1) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 digunakan untuk menghitung besaran rincian alokasi DBH Sawit yang dibagikan kepada provinsi/kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut:
50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan luas lahan perkebunan sawit; dan
50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan produktivitas lahan sawit. (2) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator luas lahan perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara proporsional terhadap luas lahan perkebunan sawit secara nasional. (3) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas lahan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai nilai produktivitas dengan ketentuan sebagai berikut:
kategori sangat rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas kurang dari 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 10% (sepuluh persen);
kategori rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 15% (lima belas persen); jdih.kemenkeu.go.id c. kategori sedang, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 20% (dua puluh persen);
kategori tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 4.000 kg/ha (empat ribu) mendapatkan nilai produktivitas 25% (dua puluh lima persen); dan
kategori sangat tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas lebih dari atau sama dengan 4.000 kg/ha (empat ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 30% (tiga puluh persen). (4) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara proporsional terhadap total nilai produktivitas secara nasional. (5) Dalam hal data produktivitas lahan sawit tidak tersedia untuk suatu kabupaten/kota penghasil, penghitungan DBH Sawit untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan berdasarkan rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan. (6) Dalam hal data rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tersedia, kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimasukkan dalam nilai produktivitas dengan kategori sangat rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. Pasal 11 (1) Alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dibagikan kepada:
provinsi yang bersangkutan sebesar 20% (dua puluh persen);
kabupaten/kota penghasil sebesar 60% (enam puluh persen); dan
kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 20% (dua puluh persen). (2) Pembagian besaran persentase alokasi DBH Sawit kepada kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan berdasarkan tingkat eksternalitas negatifyang dialami masing-masing Daerah. (3) Perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kementerian negara/lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (4) Dalam hal perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, besaran persentase alokasi DBH Sawit dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil. l jdih.kemenkeu.go.id (5) Data batas wilayah untuk menentukan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari Kementerian Dalam Negeri. (6) Dalam bal suatu kabupaten/kota merupakan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf c, alokasi untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
alokasi DBH sawit yang disalurkan merupakan alokasi terbesar antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan ayat (1) buruf c; dan
alokasi DBH sawit terkecil antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan ayat (1) buruf c tidak disalurkan dan menjadi akumulasi sisa alokasi DBH Sawit. (7) Akumulasi sisa alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) buruf b seprovinsi dialokasikan secara merata kepada kabupaten/kota pengbasil dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil dalam provinsi yang sama. Pasal 12 (1) Alokasi DBH Sawit dibitung sebagai berikut:
berdasarkan persentase bagi basil dan penetapan Daerab pengbasil; dan
berdasarkan kinerja Pemerintab Daerah. (2) Alokasi DBH Sawit berdasarkan persentase bagi basil dan penetapan Daerah pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a ditetapkan sebesar 90% (sembilan pulub persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (3) Alokasi DBH Sawit berdasarkan kinerja Pemerintah Daerab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b yang selanjutnya disebut alokasi kinerja ditetapkan sebesar 10% (sepulub persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (4) Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada provinsi dan kabupaten/kota yang mencapai tingkat kinerja tertentu. Pasal 13 (1) Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dibitung berdasarkan indikator:
penurunan tingkat kemiskinan; dan/atau
ketersediaan rencana aksi daerab kelapa sawit berkelanjutan. (2) Perbitungan alokasi kinerja berdasarkan indikator penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. bagi provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan dengan bo bot se besar 50% (lima puluh persen) dan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dengan bobot se besar 50% (lima puluh per sen); dan
bagi kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan. (3) Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan persentase penurunan tingkat kemiskinan 1 (satu) tahun sebelumnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan 2 (dua) tahun sebelumnya. (4) Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diurutkan mulai dari nilai terendah hingga nilai tertinggi dan dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori dengan ketentuan sebagai berikut:
kategori sangat rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan 20% (dua puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 40% (empat puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori sedang terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 40% (empat puluh persen) sampai dengan 60% (enam puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 60% (enam puluh persen) sampai dengan 80% (delapan puluh persen) terbawah secara nasional; dan
kategori sangat tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 80% (delapan puluh persen) sampai dengan 100% (seratus persen) secara nasional. (5) Berdasarkan kategori penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung d k t t b . b "kut engan e en uan se aga1 en Kategori Persentase terhadap alokasi kinerja pada Penurunan pasal 12 ayat (3} Tingkat Provinsi Kabupaten/ Kota Kabupaten/Kota Kemiskinan penghasil berbatasan Sangat rendah 10% 10% 20% Rendah 20% 20% 40% Sedang 30% 30% 60% Tinggi 40% 40% 80% Sangat Tinggi 50% 50% 100% l jdih.kemenkeu.go.id (6) Alokasi kinerja berdasarkan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); dan
provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tidak tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 0% (nol persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3). (7) Selisih lebih atas penghitungan alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) dapat digunakan untuk:
perubahan alokasi DBH;
penyelesaian Kurang Bayar DBH; dan/atau
penetapan alokasi minimum. (8) Alokasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c merupakan batas terendah alokasi DBH Sawit untuk provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 14 (1) Hasil penghitungan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan/atau alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8) disampaikan dalam pembahasan Nota Keuangan dan/atau Rancangan Undang-Undang mengenai APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui menjadi pagu DBH Sawit. (2) Berdasarkan pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Berdasarkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan informasi alokasi DBH Sawit melalui portal (website) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (4) Alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. Bagian Ketiga Perhitungan dan Penetapan Perubahan Alokasi DBH Sawit Pasal 15 (1) Perubahan alokasi DBH Sawit dapat dilakukan dalam hal terdapat:
perubahan APBN; dan/atau
perubahan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dalam tahun berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam ha! dilakukan perubahan alokasi DBH Sawit, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan perubahan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut provinsi dan kabupaten/kota secara proporsional berdasarkan data alokasi DBH Sawit dalam APBN tahun anggaran berjalan. (3) Perubahan alokasi menurut provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. BABV PENGGUNAAN DBH SAWIT Bagian Kesatu Kegiatan yang Didanai DBH Sawit Pasal 16 (1) DBH Sawit digunakan untuk membiayai kegiatan:
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan; dan/atau
kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Pemenuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinergikan dengan jenis pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlokasi di luar area perkebunan, terdiri atas:
penanganan jalan, meliputi:
rekonstruksi/peningkatan struktur;
pemeliharaan berkala; dan/atau
pemeliharaan rutin; dan/atau
penanganan jembatan, meliputi:
rehabilitasi/pemeliharaan berkala jembatan;
penggantian jembatan; dan/atau
pembangunan jembatan. (4) Penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
merupakan jalan kewenangan Pemerintah Daerah yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Penetapan Status Jalan Daerah;
diprioritaskan untuk jalan yang menjadi jalur logistik. pengangkutan sawit; dan/atau
diprioritaskan untuk jalan yang telah dilakukan survei kondisi jalan minimal 1 (satu) tahun sebelum pengusulan. (5) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
pendataan perkebunan sawit rakyat;
penyusunan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan;
pembinaan dan pendampingan untuk sertifikasi indonesian sustainable palm oil;
rehabilitasi hutan dan lahan; dan jdih.kemenkeu.go.id e. perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit yang belum terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:
pengadaan jasa konsultan pengawas kegiatan kontraktual; dan / a tau b. perjalanan dinas ke dan/atau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. (7) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:
pemberian honorarium fasilitator kegiatan DBH Sawit yang dilakukan secara swakelola;
penyewaan sarana dan prasarana pendukung;
pembahasan rencana kegiatan di Pemerintah Daerah; dan/atau
perjalanan dinas ke dan/ a tau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. (8) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana pada ayat (3) dan pemenuhan ketentuan penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (9) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf c berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (10) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (11) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (12) Pelaksanaan kegiatan perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah minimal dengan mempertimbangkan kriteria penerima bantuan, besaran bantuan, jangka waktu pemberian bantuan, dan kondisi pemberian bantuan. l jdih.kemenkeu.go.id Pasal 17 (1) Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) minimal 80% (delapan puluh persen) dari aloka.si DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/ kota. (2) Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari alokasi DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Kegiatan penunjang dalam DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari alokasi DBH Sawit untuk masing-masing kegiatan. (4) Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah dapat mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk:
kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); dan/atau
kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah. Pasal 18 (1) Besaran biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 mengacu pada standar biaya di Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Presiden mengenai standar harga satuan regional. (2) Dalam pelaksanaan kegiatan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Kepala Daerah membentuk sekretariat atau menunjuk koordinator pengelola kegiatan DBH Sawit dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kegiatan DBH Sawit di wilayahnya. Bagian Kedua RKP DBH Perkebunan Sawit Pasal 19 (1) Berdasarkan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Daerah provinsi dan kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit menganggarkan DBH Sawit dalam APBD. (2) Dalam rangka penganggaran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyusun RKP DBH Sawit yang berisi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (3) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
perkiraan pagu alokasi DBH Sawit;
rincian dan lokasi kegiatan; 1 jdih.kemenkeu.go.id c. target keluaran kegiatan;
rincian pendanaan kegiatan; dan
penganggaran kembali sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah dalam ha! Daerah masih memiliki sisa DBH Sawit. (4) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas bersama dengan kementerian negara/lembaga Pemerintah terkait paling lambat bulan November pada tahun anggaran sebelumnya. (6) Pemerintah provinsi mengoordinasikan pembahasan penyusunan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan kabupaten/kota di wilayahnya dan kementerian negara/lembaga terkait. (7) Hasil pembahasan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam berita acara hasil pembahasan yang ditandatangani oleh perwakilan dari:
Pemerintah dan provinsi untuk RKP DBH Sawit provinsi; atau
Pemerintah, kabupaten/kota, dan provinsi untuk RKP DBH Sawit kabupaten/kota. (8) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Daerah menetapkan RKP DBH Sawit dalam APBD. (9) Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan materiil atas kegiatan DBH Sawit yang tercantum dalam RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB VI PENYALURAN,PENUNDAANPENYALURAN,PENYALURAN KEMBALI, DAN PENGHENTIAN PENYALURAN Pasal 20 (1) Penyaluran DBH Sawit dilakukan dengan pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum Daerah. (2) Jumlah DBH Sawit yang disalurkan ke rekening kas umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. (3) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Mei tahun anggaran berjalan; dan
tahap II sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) (3) Pasal 21 Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Gubernur menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:
laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya;
laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan;
laporan konsolidasi realisasi penggunaan anggaran sebelumnya untuk provinsi kabupaten/kota di wilayahnya; dan tahun dan d. laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan untuk provms1 dan kabupaten/kota di wilayahnya. Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Bupati/Wali kota menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:
laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya; dan
laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan. Laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada:
Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;
Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan
Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. Pasal 22 (1) Penyaluran DBH Sawit tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa:
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c bagi provinsi;
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a bagi kabupaten/kota; dan
RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) bagi provinsi dan kabupaten/kota, paling lambat tanggal 30 April tahun anggaran berjalan. (2) Penyaluran DBH Sawit tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa: l jdih.kemenkeu.go.id a. laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d bagi provinsi; dan
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b bagi kabupaten/kota, paling lambat tanggal 30 September tahun anggaran berjalan. (3) Dalam hal tanggal 30 April dan 30 September bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari kerja berikutnya. (4) Surat penyampaian syarat salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 23 (1) Dalam hal syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (2) Dalam ha! RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (3) Dalam hal syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit. (4) Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit. Pasal 24 (1) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam ha!: 1 jdih.kemenkeu.go.id a. Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1}; dan/atau
Daerah telah menyampaikan perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling cepat bulan Juni tahun anggaran berjalan. (3) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam hal:
Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3}; dan/atau
Daerah telah menyampaikan perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (4) . Penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling cepat bulan November tahun anggaran berjalan. Pasal 25 (1) Dalam hal:
laporan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a; dan/atau
perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1). (2) Dalam hal:
laporan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a; dan/atau
perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) hurufb, belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3). (3) Dalam hal tanggal 15 November bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari kerja berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan hurufb tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (5) Penghentian penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri. BAB VII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Bagian Kesatu Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi Pasa126 (1) Gubernur melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. (2) Gubernur menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada:
Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;
Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan
Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk ADK (softcopy) dan dokumen hardcopy (pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/ PDF)). (4) Penyampaian dalam bentuk ADK dan pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/PDF) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui aplikasi pada SIKD. (5) Dalam hal aplikasi pada SIKD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, penyampaian hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan melalui surat elektronik (emaiij resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau media lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. l jdih.kemenkeu.go.id (6) Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit berdasarkan:
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) untuk provinsi;
laporan konsolidasi realisasi penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d dan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) untuk kabupaten dan kota; dan/atau
pengamatan langsung di lapangan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (7) Pemantauan dan evaluasi penggunaan DBH Sawit oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. meliputi:
kepatuhan penyampaian laporan;
besaran penganggaran untuk masing-masing kegiatan;
kesesuaian capaian keluaran antara RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dengan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2); dan
besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah. (8) Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan/atau instansi/unit terkait. (9) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat mengenakan sanksi penundaan dan/atau penghentian penyaluran DBH atas alokasi dan/atau penggunaan DBH Sa wit yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sisa DBH Sawit Pasal 27 (1) Untuk menghitung besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah setelah tahun anggaran berakhir, Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi. (2) Gubernur dapat mengoordinasikan pelaksanaan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pelaksanaan rekonsiliasi Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilaksanakan paling lambat bulan April tahun anggaran berikutnya. 1 jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam ha! rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak dilaksanakan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung Sisa DBH Sawit berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (6). (5) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kepada Kepala Daerah paling cepat bulan Mei tahun anggaran berikutnya. (6) Berdasarkan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Daerah menganggarkan kembali Sisa DBH Sawit pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya untuk mendanai kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. BAB VIII PERHITUNGAN DAN PENETAPAN ALOKASI KURANG BAYAR/LEBIH BAYAR DBH SAWIT Pasal 28 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit berdasarkan:
data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a; dan
data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b. (2) Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (3) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (4) Penghitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Anggaran. (5) Dalam ha! alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari DBH Sawit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Kurang Bayar DBH Sawit. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari DBH Sa wit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Lebih Bayar DBH Sawit. (7) Penetapan alokasi Kurang Bayar dan/atau Lebih Bayar DBH Sawit mempertimbangkan:
alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8); dan/atau
penghentian salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (8) Alokasi Kurang Bayar DBH dan Lebih Bayar DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 29 (1) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menyetorkan penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor tahun anggaran sebelumnya yang menjadi realisasi DBH Sawit. (2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dari rekening Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ke rekening kas umum negara melalui bank persepsi/pos persepsi. (3) Dalam rangka penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan persentase pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sesuai dengan mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (5) Besaran penyetoran oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dihitung berdasarkan perkalian antara persentase pagu DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan realisasi penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor yang menjadi realisasi DBH Sawit sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Tata cara penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik. 1 jdih.kemenkeu.go.id BAB IX PENYALURAN DBH SA WIT TAHUN 2023 Pasal 30 Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
Kepala Daerah provinsi dan kabupaten/kota menyusun RKP DBH Sawit tahun anggaran 2023 sebagai dasar penggunaan dan penyaluran DBH Sawit. b. Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilakukan secara sekaligus bagi Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang telah menyampaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. c. Penyampaian RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan paling lambat tanggal 30 November 2023. d. Dalam ha! tanggal 30 November 2023 bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan pada hari kerja berikutnya. e. Dalam ha! Daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak menyampaikan RKP DBH Sawit sampai dengan tanggal 30 November 2023 sebagaimana dimaksud pada huruf c atau hari kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada hurufd:
penyaluran DBH Sawit dilakukan secara sekaligus paling lambat 27 Desember 2023; dan
seluruh DBH Sawit yang disalurkan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2024 dan RKP DBH Sawit tahun anggaran 2024. BABX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 31 Penyaluran DBH Sawit Tahun Anggaran 2023 bersumber dari rupiah murni. Pasal 32 (1) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit mulai melakukan penyetoran penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lam bat 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. l jdih.kemenkeu.go.id Pasal 33 Ketentuan mengenai:
rincian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
format RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
format laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 21 ayat (2);
format laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d; dan
rincian DBH Sawit tahun anggaran 2023 menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. l jdih.kemenkeu.go.id
Pengelolaan Barang Milik Negara Hulu Minyak dan Gas Bumi
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi kewenangan untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Pemerintah.
Kontraktor Alih Kelola adalah Kontraktor yang ditetapkan oleh Menteri Teknis untuk mengelola wilayah kerja eks Kontraktor yang Kontrak Kerja Samanya berakhir.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang Milik Negara Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut BMN Hulu Migas adalah semua barang yang berasal dari pelaksanaan Kontrak Kerja Sama antara Kontraktor dengan Pemerintah, termasuk yang berasal dari Kontrak Karya/ Contract of Work (CoW) dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Kementerian Keuangan adalah kementerian yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Menteri Keuangan adalah Pengelola Barang atas BMN Hulu Migas.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.
Direktur adalah Pejabat Eselon II pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan BMN Hulu Migas.
Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.
Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Kementerian Teknis adalah kementerian yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Menteri Teknis adalah menteri yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SKK Migas adalah satuan kerja yang melaksanakan penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di bawah pembinaan, koordinasi, dan pengawasan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Badan Pengelola Migas Aceh yang selanjutnya disingkat BPMA adalah suatu badan Pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 sampai dengan 12 mil laut).
Pengelola Barang atas BMN Hulu Migas yang selanjutnya disebut Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN Hulu Migas.
Pengguna Barang atas BMN Hulu Migas yang selanjutnya disebut Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan Penggunaan BMN Hulu Migas.
Kuasa Pengguna Barang atas BMN Hulu Migas yang selanjutnya disebut Kuasa Pengguna Barang adalah Kepala Satuan Kerja atau pejabat yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pengelolaan BMN Hulu Migas sesuai dengan kewenangannya.
Unit Akuntansi Pengelola Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disebut UAPLB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN Hulu Migas pada tingkat Pengelola Barang.
Unit Akuntansi Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN Hulu Migas pada tingkat Pengguna Barang.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN Hulu Migas pada tingkat Kuasa Pengguna Barang.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus pada Pengelola Barang yang selanjutnya disebut UAKPB PL BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan atas BMN Hulu Migas yang berada pada Pengelola Barang.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus pada Pengguna Barang yang selanjutnya disebut UAKPB PB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan atas BMN Hulu Migas yang berada pada Pengguna Barang.
Pihak Lain adalah pihak selain Pengelola Barang, Pengguna Barang, Kuasa Pengguna Barang, Kontraktor, Kontraktor Alih Kelola, dan pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Perencanaan Kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN Hulu Migas untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang.
Penggunaan BMN Hulu Migas yang selanjutnya disebut Penggunaan adalah pemakaian BMN Hulu Migas dalam menjalankan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Pemakaian Bersama antara Kontraktor dengan Kontraktor lain yang selanjutnya disebut Pemakaian Bersama adalah Penggunaan secara bersama-sama oleh Kontraktor dan Kontraktor lain dengan kendali operasional tetap pada Kontraktor.
Transfer adalah Penggunaan dengan memindahkan penguasaan BMN Hulu Migas, baik secara administratif maupun fisik, dari Kontraktor kepada Kontraktor lain.
Pendayagunaan adalah Penggunaan oleh Kuasa Pengguna Barang, Pengguna Barang, dan/atau Pengelola Barang yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk menunjang kegiatan pengelolaan BMN Hulu Migas.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN Hulu Migas yang belum atau tidak digunakan secara optimal dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Pinjam Pakai Antar Kontraktor adalah Penggunaan oleh Kontraktor lain dalam jangka waktu tertentu.
Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan oleh Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu.
Sewa adalah Pemanfaatan dalam jangka waktu tertentu dengan membayar imbalan dalam bentuk uang kepada negara.
Pemindahan Status Penggunaan adalah pengalihan status BMN Hulu Migas menjadi BMN.
Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN Hulu Migas.
Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN Hulu Migas kepada Pihak Lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang.
Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN Hulu Migas yang dilakukan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, atau antara Pemerintah Pusat dengan Pihak Lain, dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang, paling sedikit dengan nilai seimbang.
Hibah adalah pengalihan kepemilikan BMN Hulu Migas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau dari Pemerintah Pusat kepada Pihak Lain, tanpa memperoleh penggantian.
Pemindahan Kepemilikan ( transfer of title ) yang selanjutnya disebut Pemindahan Kepemilikan adalah pengalihan kepemilikan BMN Hulu Migas tertentu, baik secara administratif maupun fisik, kepada Pihak Lain di luar negeri atau Pihak Lain di dalam negeri dengan penggantian dalam bentuk uang tanpa menggunakan mekanisme lelang.
Beli Balik ( buy back ) yang selanjutnya disebut Beli Balik adalah pengalihan kepemilikan BMN Hulu Migas tertentu, baik secara administratif maupun fisik, kepada pemasok/vendor/pabrikan atau Pihak Lain dengan penggantian dalam bentuk uang tanpa menggunakan mekanisme lelang. __ 42. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN Hulu Migas.
Penghapusan adalah tindakan menghapus catatan BMN Hulu Migas dari Daftar BMN Hulu Migas dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang, Pengguna Barang, Kuasa Pengguna Barang, dan/atau Kontraktor dari tanggung jawab administratif dan fisik atas BMN Hulu Migas yang berada pada penguasaannya.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN Hulu Migas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Inventarisasi adalah kegiatan untuk pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan BMN Hulu Migas.
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian berupa BMN Hulu Migas pada saat tertentu.
Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penilai Publik adalah Penilai selain Penilai Pemerintah yang mempunyai izin praktik Penilaian dan menjadi anggota asosiasi Penilai yang diakui oleh Pemerintah.
Limbah Sisa Produksi adalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan proses produksi untuk memperoleh minyak dan gas bumi yang berasal dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Limbah Sisa Operasi adalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan operasi hulu minyak dan gas bumi, termasuk eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, perawatan, penutupan, dan peninggalan sumur, serta pemulihan bekas penambangan ( site restoration ) minyak dan gas bumi.
Sertipikasi adalah proses yang dilakukan pejabat yang berwenang di bidang pertanahan untuk menerbitkan surat tanda bukti hak atas tanah guna memberikan kepastian hukum dalam rangka menjaga dan mengamankan BMN Hulu Migas.
Pengembalian Biaya Operasi adalah biaya operasi yang dapat dikembalikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Kontraktor pada saat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi menghasilkan produksi komersial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Kepentingan Umum adalah kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan, termasuk diantaranya kegiatan Pemerintah Pusat/Daerah/Desa dalam lingkup hubungan persahabatan antara negara/daerah/desa dengan negara lain atau masyarakat/lembaga internasional.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan ...
Relevan terhadap
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1391, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
pengelolaan urusan perencanaan dan keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pelaksanaan koordinasi pengelolaan kinerja dan risiko Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pengelolaan urusan organisasi, ketatalaksanaan, dan transformasi kelembagaan, serta kepatuhan internal Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
koordinasi dan pemantauan penyelesaian tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan dari aparat pengawas fungsional di lingkungan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pengelolaan sumber daya manusia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan pembinaan jabatan fungsional di bidang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah;
pengelolaan urusan tata usaha, dokumentasi, kearsipan, rumah tangga, protokoler, koordinasi penyiapan bahan rapat pimpinan, pendampingan dan asistensi pelaksanaan pengadaan barang dan/atau jasa, dan pengelolaan barang milik negara di lingkungan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pengelolaan infrastruktur teknologi informasi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pelaksanaan komunikasi, layanan informasi, dan kepustakaan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pelaksanaan analisis dan harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah;
pemantauan penyelesaian tindak lanjut arah kebijakan Menteri, Wakil Menteri, dan/atau Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan; dan
pengelolaan kerja sama antar lembaga dan kerja sama internasional, serta fasilitasi advokasi di lingkungan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut dalam Pasal 1406, Bagian Umum, Komunikasi, dan Layanan Informasi menyelenggarakan fungsi:
pelaksanaan urusan tata usaha, protokoler, dan koordinasi penyiapan bahan pimpinan;
pelaksanaan urusan rumah tangga dan kearsipan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pengelolaan barang milik negara Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pendampingan dan asistensi pengadaan barang dan/atau jasa Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pengelolaan infrastruktur teknologi informasi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
penyusunan dan pelaksanaan strategi komunikasi di bidang hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
penyelenggaraan layanan informasi publik serta pemantauan dan evaluasi opini publik di lingkungan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan; dan
pelaksanaan urusan dokumentasi dan kepustakaan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Ketentuan Pasal 1408 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1402, Bagian Sumber Daya Manusia menyelenggarakan fungsi:
penyusunan perencanaan dan pengembangan karir sumber daya manusia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pengembangan kapasitas sumber daya manusia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pelaksanaan manajemen informasi dan layanan sumber daya manusia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
pemantauan dan evaluasi pengelolaan sumber daya manusia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan; dan
pembinaan jabatan fungsional di bidang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
Ketentuan Pasal 1404 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: