Pajak Penghasilan
Relevan terhadap
Ayat (1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri tarif Pajak Penghasilan diterapkan terhadap seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak, dengan sistem yang sangat sederhana. Contoh : Jumlah penghasilan kena pajakRp. 80.000.000,- Pajak penghasilan yang terhutang : 15% X Rp. 10.000.000,- =Rp. 1.500.000,- 25% X Rp. 40.000.000,- =Rp. 10.000.000,- 35% X Rp. 30.000.000,- =Rp. 10.500.000,- Jumlah penghasilan kena pajak Rp.80.000.000,- Pajak = Rp. 22.000.000,- Ayat (2) . Batas lapisan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut. Ayat (3) Misalnya Penghasilan kena pajak sebesar Rp.
050.650,- (satu juta lima puluh ribu enam ratus lima puluh rupiah), maka untuk penerapan tarif, penghasilan kena pajak dibulatkan menjadi Rp.1.050.000,- (satu juta lima puluh ribu rupiah). Ayat (4)... Ayat (4) Misalnya seorang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) maka penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut: Penghasilan selama 3 (tiga) bulanRp. 1.000.000,- Penghasilan setahun sebesar : 360 X Rp. 1.000.000,- Rp. 4,000.000,- 3 x 30 Penghasilan tidak kena pajak Rp. 960.000,- Penghasilan kena pajak Rp. 3.040.000,- Pajak Penghasilan yang terhutang (setahun) 15% X Rp. 3.040.000,- Rp. 456.000,- Jadi Pajak Penghasilan yang terhutang selama bagian dari tahun Pajak, yaitu selama 3 (tiga) bulan adalah 3 X 30 XRp. 456.000, 360 = Rp. 114.000,- Ayat (5) Cukup jelas.
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap
Besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat.
Besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat.
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dalam rangka melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau sektor keuangan.
Perubahan besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atau Dokumen dan besaran tarif tetap yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penjelasan Pasal 4 Cukup jelas. 377 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat. Ayat (2) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat. Ayat (3) Sebagai contoh pengenaan tarif tetap yang berbeda, misalnya atas Dokumen surat berharga dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dari tarif yang berlaku berdasarkan kebutuhan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan dalam rangka inklusi keuangan atau pendalaman pasar keuangan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah komisi yang membidangi keuangan dan perbankan.
Pribadi
Relevan terhadap
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 tahun, FFR berkisar dari 0%-20%. Pada tahun 1980, FFR ditetapkan sebesar 20% sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi yang menyentuh angka dua digit. Hal sebaliknya terjadi pada tahun 2008, the Fed menurunkan FFR menjadi 0% untuk menghidupkan kembali perekonomian selama resesi hebat di Amerika. Hal yang sama juga terulang kembali pada tahun 2020, FFR mengalami penurunan agar dapat memitigasi kegagalan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia. Dengan turunnya FFR maka diharapkan akan dapat meningkatkan kredit dan memudahkan pinjaman agar dapat mendorong perekonomian melalui konsumsi dan belanja. Setelah meniadakan kewajiban cadangan bank pada Maret 2020, maka era suku bunga yang tinggi dari FFR telah menjelma menjadi instrumen kunci dalam mengendalikan inflasi (Koch & Islam, 2024). Konsekuensi dari era suku bunga tinggi telah berdampak pada kegagalan 41 perusahaan Amerika yang terjadi pada awal 2023 sebagai akibat tidak mampunya mengatasi tinggi suku bunga (CNBC, 2023). Tingginya suku bunga FFR sebagai alat untuk mengendalikan inflasi merupakan salah satu faktor penyebab bank run yang menyebabkan kebangkrutan Silicon Valley Bank pada maret 2023 dan diikuti oleh kebangkrutan dua bank lainnya, hal ini memperlihatkan bahwa kenaikan FFR telah berdampak pada sistem perbankan (Vo & Le, 2023). Peningkatan FFR rate setelah pandemi Covid-19 akan dapat menghasilkan keuntungan jika bank dapat meminjam pada biaya yang rendah dan melakukan investasi pada aset dengan return yang tinggi. Hal lain yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah mengganti pinjaman jangka pendek dengan pinjaman jangka panjang untuk mengatasi permasalahan ketidaksesuaian jatuh tempo. Perekonomian Amerika saat ini menghadapi risiko signifikan sejak era suku bunga tinggi sehingga menimbulkan kerugian yang berasal dari penurunan nilai pasar saham, portofolio pinjaman, dan perubahan portofolio aset, serta penarikan dana oleh depositor (Gelman et, al,. 2023).
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 B. STUDI LITERATUR 1. Federal Funds Rate (FFR) Federal Funds Rate (FFR) adalah suku bunga antarbank sebagai biaya pinjam- meminjam cadangan bank ( bank reserves ) yang ditempatkan oleh perbankan umum pada bank sentral Amerika dalam durasi semalam ( overnight ). Proses pinjam-meminjam ini dilakukan tanpa agunan ( non-collateralized ). Biasanya, lembaga keuangan dengan saldo berlebih (surplus) meminjamkan saldo rekening mereka kepada lembaga yang kekurangan ( deficit ). Disamping untuk memaksimalkan employment dan mengendalikan inflasi, the Fed menggunakan FFR sebagai instrumen untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi. Makin rendah FFR, maka makin longgar likuiditas, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat diakselerasi dengan suku bunga rendah ini. Sektor perbankan Amerika menggunakan FFR sebagai acuan bagi semua suku bunga jangka pendek. Selain itu, London Interbank Offer Rate (LIBOR) menjadikan FFR sebagai anchor bagi suku bunga antarbank satu bulanan, tiga bulanan, enam bulanan, satu tahunan pinjaman, dan suku bunga prime rate (suku bunga kepada pelanggan prioritas). FFR juga mempengaruhi tingkat bunga deposito, kredit, kartu kredit, dan suku bunga hipotik. Makin tinggi FFR, maka makin tinggi pula semua jenis bunga perbankan di Amerika, demikian pula sebaliknya (Adams, Michael & Katzeff, Paul., 2024). The Federal Reserve saat ini menjalankan dua mandat, yaitu mengelola kestabilan harga dalam perekonomian melalui pengendalian inflasi serta mendorong tingkat ketenagakerjaan yang tinggi. Selain itu, the Fed juga diharapkan mampu mengelola suku bunga jangka menengah dan panjang serta menjaga sistem keuangan yang stabil. Ketika The Fed menaikkan suku bunganya, maka hal ini bertujuan agar terdapat kenaikan biaya pinjaman jangka pendek dalam perekonomian. Hal ini tentunaya akan mengurangi supply kredit serta mengakibatkan pinjaman menjadi lebih mahal bagi semua orang. Hal ini akan mampu meredam inflasi dengan pengurangan jumlah uang beredar. Perubahan FFR juga akan berdampak pada pasar modal, ketika the Fed menurunkan FFR maka pasar modal akan mengalami kenaikan akibat biaya pinjaman yang murah sehingga perusahaan mampu melakukan ekspansi dan menghasilkan laba. Hal sebaliknya akan terjadi bila FFR mengalami kenaikan sehingga mengakibatkan biaya pinjaman menjadi mahal sehingga menurunkan minat investasi dan pinjaman. The Fed - Federal Open Market Committee (The FOMC) menyelenggarakan 8 kali pertemuan setiap tahun untuk melihat kondisi ekonomi dan melakukan voting terkait kemungkinan mempertahankan FFR atau melakukan perubahan FFR. Selama hampir 50
1 Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN HIGHER FOR LONGER THE FED TERHADAP ARUS MODAL DI INDONESIA Penulis: Cahyaning Tyas Anggorowati Pengolah Data Hukum Perjanjian Senior, Biro Hukum (Pegawai Tugas Belajar Program Magister di Universitas Indonesia) A. PENDAHULUAN Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap kebijakan negara lain di dunia. Salah satunya adalah kebijakan terkait suku bunga the Fed . Kebijakan the Fed dalam menaikkan the federal funds rate tentunya akan mendapatkan perhatian dari berbagai bank sentral di negara lain di dunia. Bank sentral di berbagai dunia akan bereaksi dengan menyesuaikan kebijakan moneter di masing-masing negaranya. Fenomena Higher for Longer the Fed saat ini menjadi topik diskusi bagi banyak ekonom di dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena Higher for Longer the Fed terjadi ketika the Fed menaikkan the federal funds rate , hal tersebut kemudian berdampak pada kenaikan suku bunga secara keseluruhan, sehingga individu maupun industri akan menghadapi biaya pinjaman yang mahal dalam menjalankan operasional bisnis. Namun demikian suku bunga yang tinggi juga akan mendorong peningkatan dalam tabungan suatu negara. Suku bunga yang tinggi akan dipandang baik ketika mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun sebaliknya, akan dipandang buruk pada saat terjadi inflasi. Fenomena Higher for Longer juga dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik yang terus berlangsung sehingga menyebabkan berlanjutnya kenaikan harga pangan dan energi (inflasi global). Kenaikan suku bunga yang berlangsung lama tentunya akan berdampak pada banyak pelaku usaha, baik bisnis, pemerintah, maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Salah satu dampak dari kenaikan suku bunga pinjaman adalah terjadinya risiko downside atas investasi di Indonesia. Indonesia saat ini sedang menghadapi kebutuhan modal yang tinggi untuk membiayai berbagai macam proyek infrastruktur yang telah direncanakan oleh pemerintah dalam cakupan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pembiayaan PSN tersebut dapat berasal dari APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, maupun pendanaan pihak ketiga (swasta). Hal ini tentunya membutuhkan analisis mendalam atas kebijakan suku bunga yang akan berdampak pada minat investor dalam menanamkan modal ke Indonesia.
Rapika Erawati S.H. ...
Relevan terhadap
kebijakan pengaturan dalam PMK SBM tahun anggaran sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119PMK.02/2020 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2021), termasuk masih mempertimbangan pelaksanaan teknis kegiatan di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang antara lain kegiatan-kegiatan yang sebelumnya offline (rapat konsiyering, rapat dalam kantor, dan rapat-rapat lainnya, diklat-diklat) dapat difasilitasi dengan kegiatan yang dilakukan secara online yang mengakibatkan efisiensi dari Kementerian Negara/Lembaga terkait sehingga biaya untuk konsumsi rapat/diklat maupun transportasi rapat/diklat bias berkurang dari Kementerian Negara/Lembaga terkait. Penyesuaian besaran SBM TA 2022 dapat saja dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi untuk masing-masing item di masing-masing provinsi di Indonesia. Selain itu, penyesuaian SBM TA 2022 dapat juga berasal dari usulan atau hasil koordinasi dengan Kementerian Negara/Lembaga terkait yang akan menggunakan SBM TA 2022. Menurut penulis, beberapa hal penyempurnaan yang dilakukan dalam PMK SBM TA 2022 dari PMK SBM TA 2021 antara lain penyempurnaan norma, yaitu penyesuaian norma honorarium narasumber, penyesuaian norma honorarium Penanggung jawab pengelolaan keuangan, honorarium pengadaan barang/jasa. Honorarium pengelola sistem akuntansi instansi (SAI) dan penyempurnaan besaran yakni penyesuaian uang harian luar negeri di Afrika, penyesuaian indeks bahan makanan Mahasiswa/Siswa Sipil dan mahasiswa Militer/Semi Militer di lingkungan sekolah kedinasan, satuan biaya operasional khusus kepala perwakilan RI di luar negeri, hasil survei BPS. Penyempurnaan norma maupun redaksional tersebut lebih mempertegas pengaturan/penjelasan item-item SBM sehingga diharapkan SBM TA 2022 lebih mudah dipahami dan diimplementasikan oleh Kementerian Negara/Lembaga selaku pengguna SBM TA 2022. Pada prinsipnya PMK SBM 2022 bertujuan untuk menjaga efisiensi anggaran negara, serta membuat standar yang sama untuk seluruh kementerian negara/Lembaga. Dengan adanya PMK SBM TA 2022, penulis berharap bahwa proses perencanaan anggaran di kementerian negara/lembaga dapat menjadi lebih efektif dan efisien dimana sudah ada standar biaya dalam menentukan suatu pelaksanaan kegiatan kementerian negara/Lembaga yang memuat mengenai satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks, namun tetap dengan memperhatikan kualitas pelaksanaan kegiatan dan tugas pada masing- masing kementerian negara/lembaga. PMK SBM TA 2022 dapat diunduh https: //jdih.kemenkeu.go.id/download/a73998d2-c308- 4451-a907-35438a028e80/60~PMK.02~2021Per.pdf
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
keterbatasan sarana, dana, dan langkanya tenaga ahli dalam bidang itu, maka tuntutan seperti itu terpaksa untuk sementara waktu diabaikan,” ungkap Mohamad Iskandar dalam “Oeang Republik dalam Kancah Revolusi”, termuat di Jurnal Sejarah Volume 6 No 1, Agustus 2004. Sjafruddin terus meyakinkan Hatta bahwa Indonesia perlu mengeluarkan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat. “Pada akhirnya beliau dapat diyakinkan,” lanjut Sjafruddin. Pemerintah berkeputusan bulat mencetak uang sendiri. Uang Pemerintah Menteri Keuangan A.A. Maramis menindaklanjuti keputusan itu. Dia bergerak cepat. Sebab, tentara Sekutu telah datang ke Indonesia pada akhir September 1945. Segala kemungkinan bisa terjadi. Tentara Sekutu bisa saja mengambil-alih keadaan. Maka dia menginstruksikan tim Sarikat Buruh Percetakan G. Kolff Jakarta bergerak ke beberapa tempat di Jakarta, Malang, Solo, dan Yogyakarta untuk mencari percetakan. Di Jakarta ada percetakan G. Kolff yang berpengalaman dalam urusan mencetak uang sejak zaman Hindia Belanda. Ada pula percetakan De Unie. Sementara Di Malang berdiri perusahaan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF). Tapi semua percetakan itu kesulitan memperoleh alat-alat untuk mencetak uang seperti kertas, tinta, pelat seng, mesin aduk, dan bahan kimia. Tim bentukan Maramis juga menghadapi tantangan yang tak kalah sulit. Pertempuran antara pejuang Republik dan Sekutu meletus di beberapa daerah. Jalan-jalan ditutup dan dikuasai tentara Sekutu. Untuk menerobos blokade itu, sejumlah buruh percetakan menyelundupkan alat-alat pencetak uang. “Berkat bantuan sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum dikuasai oleh tentara Sekutu, bahan dan alat itu diperoleh,” catat Oey Beng To. Maramis kemudian membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945. Ketuanya T.R.B. Sabarudin, saat itu menjabat pula sebagai direktur Bank Rakyat Indonesia. Anggotanya terdiri atas pegawai Departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia, dan Serikat Buruh Percetakan G. Kolff. Kerja Panitia cukup baik. Mereka mencetak ratusan rim lembaran 100 rupiah dari pukul 07.00-22.00. Litografinya dibuat di Percetakan De Unie. Abdulsalam dan Soerono tercatat sebagai pelukis pertama ORI. Tapi uang itu belum sempat diberi nomor seri. Situasi keamanan di Jakarta memburuk. Pemerintahan pun harus pindah ke Yogyakarta pada 14 Januari 1946. Pekerjaan mencetak uang berhenti sementara. Kerja pencetakan uang diambil- alih oleh percetakan NIMEF di Malang dan percetakan swasta lain di Solo, Yogyakarta, dan Ponorogo. Tempat- tempat ini relatif aman karena berada di bawah kekuasaan Republik. Selama masa pencetakan ORI, pemerintah Indonesia berupaya menjaga laju inflasi dengan mulai menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang dari wilayah RI. “Untuk memperkuat tujuan itu, pemerintah RI menerbitkan Undang-Undang No 10 Tahun 1946,” catat Iskandar. Salah satu isinya tentang larangan membawa uang senilai 1.000 gulden dari satu karesidenan ke karesidenan lain tanpa izin. Sebaliknya, tentara NICA ingin menjegal segala macam upaya penerbitan ORI. Mereka mengawasi distribusi alat dan bahan untuk mencetak uang. Mereka bahkan menyerang Republik dengan mengeluarkan uang NICA pada 6 Maret 1946. Kursnya tiga persen dari uang Jepang. Orang menyebutnya “uang yang memilih pembayaran 20 sen uang kita daripada pembayaran dengan uang NICA,” tulis Rosihan dalam Kisah-Kisah Menjelang Clash ke-I . ORI jatuh Kurs ORI terhadap uang NICA fluktuatif. Saat awal beredar, 1 ORI berbanding 2 uang NICA. Sangat kuat. Tapi lama-lama merosot hingga 1: 5. Bahkan saat agresi militer ke-2 pada 19- 20 Desember 1948, nilai ORI tenggelam. Butuh 500 ORI untuk menebus 1 florin uang NICA. Kemerosotan ORI berkaitan dengan kian sempitnya wilayah Republik, tekanan tentara NICA terhadap pemakai ORI, dan inflasi. Perjanjian Renville memaksa pemerintah RI menarik mundur pasukannya di berbagai wilayah, kecuali Sumatra, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Sebab, daerah di luar ketiga itu berada di bawah kekuasaan Belanda. Ini berdampak pada ORI. NICA melarang peredaran ORI di daerah kekuasaaan Belanda. NICA seringkali mengintimidasi warga di perbatasan yang menyimpan ORI. Karena perlakuan ini, warga ketakutan. Mereka memilih menyimpan uang NICA. Tapi di sisi lain, pejuang pro- Republik juga kadang mengintimidasi warga yang menyimpan uang NICA. Akibatnya warga terjebak di antara dua pilihan. Selain itu, NICA memalsukan ORI untuk membuat nilai ORI jatuh akibat inflasi. Uang palsu ini beredar di beberapa wilayah Republik. Arsip Djawatan Kepolisian Negara tertanggal 25 Maret 1948 misalnya menyebut penemuan uang palsu di Banyumas dari para pedagang tembakau. Kepolisian meyakini para pedagang tak mengetahui mereka bertransaksi dengan uang palsu. “Orang-orang pedagang tembakau mungkin tidak mempunyai sengaja jahat dan onbewust (tak sadar) menerima uang-uang palsu itu,” tulis arsip No. Pol. 60/Pam/A.R. Kepolisian melaporkan kasus ini kepada Kementerian Keuangan. Jawaban dari Menteri Keuangan, “Jang Mulia Menteri Keuangan menyatakan bahwa pembikinan uang palsu dilakukan mungkin oleh pihaknya Belanda,” catat arsip tersebut. Cetak lebih banyak Selama periode ini, pemerintah Indonesia tak hanya menghadapi berbagai persoalan keuangan, tapi bagaimana membiayai pembangunan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pemerintah tak punya cukup dana. Maka pemerintah mengambil keputusan deficit-financing atau membiayainya dengan mencetak ORI lebih banyak lagi. Risikonya inflasi akan meninggi. Keputusan itu terpaksa diambil. Sebab pemerintah tak mungkin menarik pajak dan mengandalkan bantuan atau pinjaman luar negeri. Dana pendukung kemerdekaan juga makin menipis. “Maka pengeluaran ORI sebagai cara untuk memecahkan masalah pembiayaan tersebut adalah paling baik,” terang Oey Beng To. Beng To menyebut kebijakan ini mirip dengan kebijakan koloni-koloni Inggris di Amerika Serikat ketika awal kemerdekaannya pada tahun 1776. Mereka mencetak uang sendiri ( continental money/greenbacks) untuk melawan Inggris. Tapi Beng To melihat kemerosotan ORI tak separah continental money . Seturut penandatangan Konferensi Meja Bundar dan perubahan bentuk negara Indonesia menjadi federal, ORI berhenti beredar pada Maret 1950. Ia diganti uang baru. Tapi peredarannya selama 3 tahun 5 bulan menjadi titik mula kesadaran tentang fungsi uang sebagai alat perjuangan kedaulatan dan pembiayaan negara.* merah” karena warna dominannya. Tindakan itu membuat marah pemerintah Indonesia. Selain menimbulkan inflasi, peredaran uang NICA melanggar kedaulatan. “Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyebutnya sebagai pelanggaran hak kedaulatan RI dan mengingkari perjanjian untuk tidak mengeluarkan mata uang baru selama situasi belum stabil,” tulis tim Departemen Keuangan Republik Indonesia (Depkeu RI) dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah . Daerah pemberlakuan uang NICA antara lain Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Namun uang NICA tak laku. Petani dan pedagang enggan memakainya. Mereka hanya mau menerima uang Jepang sesuai seruan pemerintah Indonesia. Akibatnya peredaran uang NICA terdesak. “Keterbatasan dan ketidakwibawaan uang NICA itu berakibat merosotnya kurs. Dari tiga persen menjadi empat bahkan lima persen,” ungkap tim Depkeu RI. Ketika uang NICA merosot, pemerintah Indonesia mulai mengedarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) secara resmi pada 30 Oktober 1946. Beredarnya ORI ditopang oleh UU No. 7 Tahun 1946 dan UU No. 10 Tahun 1946. Isinya antara lain menjelaskan nilai ORI, bentuk fisik, dan menegaskan bahwa ORI dikeluarkan oleh pemerintah sebagai alat bayar yang sah. “Dengan demikian ORI merupakan uang pemerintah, bukan uang bank,” ungkap Oey Beng To. Malam sebelum ORI beredar, Hatta berpidato. “Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita. Uang Republik keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai negeri yang sekian lama menderita karena inflasi uang Jepang.” Rakyat menyambut baik peredaran ORI. Mereka menyebutnya “uang putih”. Rosihan Anwar, jurnalis senior, mencatat pengalamannya pada awal peredaran ORI di Jakarta. “Seorang tukang becak Foto Historia 17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
P erjuangan sudah menuju titik akhir. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, tahun 1949 menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Tapi masih ada yang mengganjal. Sejumlah kesepakatan KMB tidak menguntungkan Indonesia. Menurut The Kian Wie dalam pengantar buku yang disuntingnya, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an , ada empat masalah kontroversial yang kemudian mengganggu hubungan Indonesia- Belanda. Dua masalah politik berkaitan baru pemerintahan RIS, yang terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara boneka BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg ’Majelis Permusyawaratan Federal’) bentukan Belanda selama masa perang. Terbentuknya RIS mempengaruhi sistem keuangan, termasuk penggunaan mata uang. ”Mata uang RIS diberlakukan oleh De Javasche Bank pada Januari 1950 bersamaan dengan pengesahan RIS dalam KMB. Mata uang ini menggantikan ORI,” kata peneliti sejarah ekonomi Servulus Erlan de Robert kepada tim kami. Sesuai kesepakatan KMB, De Javasche Bank (DJB) berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Melalui DJB inilah mata uang RIS diterbitkan dan diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah. Penyeragaman mata uang Pada 1 Januari 1950 terbit uang RIS atau juga disebut ”uang federal” atau ”uang DJB” dalam pecahan Rp5 dan Rp10 dengan tanggal emisi ”Djakarta, 1 Djanuari 1950” yang ditandatangani Menteri Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara. Uang RIS ini menampilkan gambar Sukarno, presiden RIS, sehingga juga dikenal dengan sebutan ”emisi Bung Karno”. Kendati diterbitkan 1 Januari, uang RIS baru beredar dan digunakan pada bulan-bulan sesudahnya. Hal ini bukan tanpa alasan. ”Pemerintah masih dalam proses untuk menciptakan sistem keuangan yang tunggal dengan mempersatukan beraneka ragam uang yang beredar di masyarakat,” tulis Sri Margana dkk. dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945-1953 . Pada tanggal yang sama, Sjafruddin Riwayat Uang RIS Terbit di tengah kekacauan sirkulasi uang yang beredar di tengah masyarakat. Sukses menyeragamkan mata uang tapi beredar singkat. dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan status Irian Barat (Papua). Dua masalah ekonomi menyangkut pengambilalihan utang pemerintah Belanda di Indonesia dan terus beroperasinya bisnis Belanda di Indonesia. “Mencapai kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi menghadapkan Pemerintah Indonesia pada masalah yang serius. Lantaran tidak dapat mengawasi segmen-segmen penting ekonomi Indonesia, gerak para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia sangat terbatas,” tulis The Kian Wie. Setelah KMB, dimulailah babak mengumumkan bahwa uang kertas RIS menjadi alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah RIS. Oeang Republik Indonesia (ORI) dinyatakan ditarik dari peredaran dan hilang sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah terhitung 1 Mei 1950. Selama tenggat waktu itu, ORI masih berlaku sebagai alat pembayaran hanya di daerah di mana uang tersebut diproduksi. Penyeragaman mata uang itu dilakukan untuk menghapus peredaran berbagai jenis mata uang dengan nilai tukar berbeda-beda, bahkan banyak pula yang palsu. Selain ORI dan ORIDA, beredar pula ”uang NICA”. Selain itu, Sjarifuddin mencetuskan kebijakan moneter yang terkenal dengan istilah ”Gunting Sjarifuddin”. Uang kertas lama DJB dan mata uang Hindia Belanda pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Kebijakan ini bertujuan menekan inflasi dan mendorong ekspor dari pelaku usaha dalam negeri. ”Kita potong uang Belanda menjadi dua bagian, sebelah diubah menjadi uang Republik dan sebelah lagi dikonversikan menjadi obligasi keuangan. Jadi tidak, kita dapat dituduh merampok separuh uang rakyat,” tutur Sjafruddin dalam Pelaku Berkisah . Penukaran uang Tindak lanjut dari penyeragaman mata uang dilakukan pada 27 Maret 1950. Pemerintah RIS memutuskan menukarkan ORI maupun ORI daerah dengan uang RIS. Menurut Sri Margana dkk, kurs penukarannya ” f” . 1 RIS setara Rp. 125 ORI, sedangkan untuk ORIDA disesuaikan dengan kondisi tiap mata uang. Namun, penukaran uang dari Teks Hendaru Tri Hanggoro Laporan Utama Seseorang menyiapkan uang untuk ditukar Foto Historia 37 MEDIAKEUANGAN 36 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
atas inisiatif pemerintah setempat, pemerintah pusat secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19/1947, 26 Oktober 1947. Isinya membolehkan pemerintah daerah tingkat provinsi, karesidenan, dan kabupaten untuk menerbitkan Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA). “ORIDA adalah uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku secara terbatas di daerah tersebut,” tulis Darsono dkk . Bukan hanya uang Peraturan Pemerintah No. 19/1947 memperjelas kedudukan uang daerah buatan pemerintah setempat. Karena itu, setelah peraturan itu keluar, pemerintah daerah di Jawa dan Sumatra tanpa ragu menerbitkan alat-alat pembayaran sendiri. Bentuknya tak hanya uang. Ada juga bentuk bon, surat tanda penerimaan uang, kupon gerilya, kupon getah, surat mandat, dan tanda pembayaran. Sebut saja mata uang lokal seperti Uang Republik Sumatera Utara (URISU), Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Tapanoeli (ORITA), Uang Republik Daerah Djambi (URIDJA), Uang Republik Indonesia Daerah Aceh (URIDA), Uang Mandat yang dikeluarkan oleh Dewan Pertahanan daerah Sumatra Selatan, hingga “Oeang Kertas Darurat untuk Daerah Banten” (OERIDAB). “ORIDAB merupakan ORIDA pertama yang diterbitkan di Pulau Jawa dengan emisi Serang yang terbit pada Desember 1947,” tulis Sri Margana dkk. Di Yogyakarta, terbit Surat Tanda Penerimaan Uang untuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hal yang sama diterbitkan di Surakarta dan ditandatangani Kepala Pemerintah Militer Daerah Surakarta. Selain uang yang dikeluarkan oleh otoritas, beragam kelompok masyarakat menerbitkan alat pembayarannya masing-masing. Seperti dilakukan komunitas pedagang Tionghoa di Kecamatan Limapuluh, Kabupaten Asahan, yang menerbitkan alat pembayaran sendiri atas izin dari pemerintah setempat. Terkait dengan masa berlaku ORIDA, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 76/1948 pada 13 Desember 1948 yang menyebut masa berlaku ORIDA akan diatur langsung oleh Menteri Keuangan. Mohamad Iskandar mencatat, ada 21 jenis mata uang dan 27 jenis ORIDA hingga akhir 1949. Dalam situasi perang, jumlah uang beredar di wilayah Republik Indonesia sulit dihitung dengan tepat. J. Soedradjad Djiwandono dkk dalam Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945- 1959 memperkirakan peningkatan yang cukup signifikan. Peredaran ORI dan ORIDA pada 1946 sebesar Rp323 juta diperkirakan meningkat menjadi Rp6 milyar pada akhir 1949. Selain sulitnya peredaran ORI, penerbitan ORIDA memang dilakukan untuk membiayai kegiatan pemerintahan lokal. Namun menurut Sri Margana dkk, seperti yang terjadi pada ORI, kebanyakan dari ORIDA ini mengalami inflasi yang cukup serius dan penurunan nilainya cukup signifikan. Kendati demikian, penerbitan berbagai jenis mata uang dan bentuk ORIDA telah membantu Republik tetap bertahan menghadapi serbuan uang NICA di daerah. Selain itu, penerimaan masyarakat terhadap ORIDA membuktikan posisi kuat Republik di berbagai daerah pendudukan Belanda. Kesepakatan Indonesia dan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949 mengakhiri ORI dan ORIDA. Uang-uang itu harus ditarik setelah Indonesia dan Belanda sepakat mengeluarkan uang baru melalui De Javasche Bank, bank sentral Hindia Belanda.* Daerah menerbitkan uang lokal dengan beragam bentuk dan ciri. Tujuannya sama: menegakkan kedaulatan. Berbeda-Beda Tetap Satu Juang S ejak resmi diterbitkan dan diedarkan pada 30 Oktober 1946, Oeang RepubIik Indonesia (ORI) mengalami tak sedikit hambatan. Netherlands Indies Civil Administration (NICA) berupaya mempersempit peredaran ORI atau “uang putih”. Mereka menutup jalan perbatasan dan merazia setiap pembawa “uang putih” di banyak wilayah Jawa dan Sumatra. Peredaran “uang putih” pun mampat. Pemenuhan gaji pegawai dan anggaran perjuangan terganggu. Tapi rakyat Republik tak hilang akal. “Mereka bekerja keras menerbitkan Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) sebagai alat tukar sementara,” kata Suwito Harsono, kolektor ORIDA, pakar numismatik, dan penulis buku ORIDA: Oeang Republik Indonesia Daerah 1947-1949 . Michell Suharli, kolektor ORIDA lainnya dan co-author buku ORIDA , menambahkan bahwa ORIDA berkedudukan sebagai salah satu alat perjuangan rakyat. “Para pejuang negeri berjuang dengan senjata dan ORIDA menyertai perjuangan itu sebagai alat tukar rakyat yang menolak menggunakan uang terbitan penjajah,” kata Michell. ORIDA terbit dan beredar sepanjang 1947-1950 di wilayah Sumatra dan Jawa. Legalitasnya terjamin oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/1947, 26 Oktober 1947. PP tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah. Pemerintah pusat juga menjamin seluruh penerbitan tersebut dan mata uang daerah yang diterbitkan dapat ditukarkan dengan ORI. Namun sebelum peraturan itu keluar, ORIDA di Pematang Siantar, Sumatra Utara, lebih dulu beredar pada April 1947. Yang Pertama Tengku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatra, mengusulkan kepada Menteri Keuangan agar mengizinkannya mengeluarkan uang bikinan sendiri secara terbatas. “Merespons permintaan ini, Sjafruddin memberikan usul agar Sumatra mencetak promesse ‘surat janji’. Namun, Hasan memiliki pandangan lain. Menurutnya uang kertas akan jauh lebih efektif daripada promesse ,” catat Suwito dan Michel dalam ORIDA . Setelah berdiskusi panjang lebar, Sjafruddin memuluskan permintaan Hasan. Dengan berlandaskan Maklumat Gubernur Sumatra Tengku Mohammad Hasan No. 92/K.O, 8 April 1947, ORIDA pertama di Indonesia itu pun dicetak dan diedarkan. ORIDA di Sumatra dikenal dengan Oeang Republik Indonesia Sumatra (ORIPS). Nilainya setara dengan 1 ORI di Jawa. Ada empat pecahan ORIPS di Pematang Siantar: Rp1, Rp5, Rp10, dan Rp100. “Masing-masing nilai uang memiliki warna yang berbeda, ada yang berwarna biru dan hijau,” ungkap Darsono dkk. dalam Berjuang dengan Uang . ORIPS memiliki tanda pengaman dan nomor seri untuk menjamin Teks Hendaru Tri Hanggoro Laporan Utama ORIDA adalah uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku secara terbatas di daerah tersebut Foto Historia 31 MEDIAKEUANGAN 30 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fokus COVID-19, penguatan dan stabilitas sektor keuangan sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang. Dalam undang-undang tersebut, penguatan dan stabilitas sektor keuangan dilakukan sejalan dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Untuk menegaskan penguatan sektor keuangan sebagaimana dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020, maka stabilitas keuangan harus dilakukan dengan melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ). Untuk itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai dalam memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan. Secara teoritis, stabilitas keuangan bukanlah suatu target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi program PEN. Jika lembaga- lembaga keuangan dan pasar keuangan yang berperan sebagai mediator keuangan berada dalam kondisi tidak stabil ataupun menghadapi ketidakpastian, maka dapat dipastikan aktivitas perekonomian akan sulit berlangsung karena rendahnya aktivitas produksi, konsumsi maupun investasi. Disamping itu, dalam kondisi tingkat inflasi yang tinggi, akan sulit bagi perekonomian suatu negara untuk tetap kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, penguatan sektor keuangan dilakukan dengan perluasan kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang mencakup: (i) penguatan kewenangan BI dan LPS untuk mencegah risiko yang membahayakan sistem keuangan; dan (ii) kebijakan penguatan kewenangan Pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada LPS dalam menangani permasalahan perbankan dan stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, dibutuhkan penguatan koordinasi antara pemerintah, BI, dan OJK sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Di luar kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, penguatan dan stabilitas daya tahan sektor keuangan dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan solusi mendasar untuk menciptakan daya tahan sektor keuangan yang bersifat berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga solusi mendasar, yang menurut Narain et al. (2012) adalah sebagai berikut: Pertama adalah kesehatan lembaga keuangan, yaitu lembaga-Iembaga keuangan yang eksis dalam sistem keuangan berada dalam kondisi sehat dan stabil. Indikator kesehatan lembaga keuangan yakni dapat memenuhi seluruh kewajibannya tanpa dukungan / bantuan pihak luar (eksternal). Pentingnya kesehatan lembaga keuangan dalam menciptakan sistem keuangan yang sehat khususnya dalam menghadapi ancaman shock eksternal seperti COVID-19 antara lain: (i) karakteristik lembaga keuangan yang rentan terhadap penarikan dana dalam jumlah besar; (ii) penyebaran kerugian diantara lembaga keuangan sangat cepat sehingga berpotensi menimbulkan problem yang sistemik; (iii) proses penyelesaian lembaga keuangan bermasalah membutuhkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit; (iv) potensi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan ( financial distress ); dan (v) ketidakstabilan lembaga keuangan akan berdampak pada kondisi makroekonomi, khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi kebijakan moneter. Kedua adalah pasar keuangan yang berkeadilan, yaitu sistem keuangan yang dituntut agar senantiasa stabil, yaitu sehat, transparan, dan dikelola dengan baik ( well managed ). Pendalaman kerentanan ekonomi akibat COVID-19 dalam banyak kasus disebabkan belum baiknya tata kelola pelaku keuangan domestik. Dengan