Uji materiil terhadap PP 33 tahun 2014 ttg jenis dan tarif atas PNBP yg berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehut ...
Relevan terhadap
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 172 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 173 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang- Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Penjelasan: Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa menurut Dr. Ridwan, SH. M.Hum. dalam bukunya Diskresi dan Tanggung jawab Pemerintah hal. 155 berpendapat secara umum diskresi dan peraturan kebijakan dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat yang berupa legalitas ( legality ) dan rasionalitas ( rationality ) yang meliputi pertimbangan yang relevan ( relevan consideration ), kejujuran dan keterbukaan, tujuan yang layak ( proper purpose ), dan konsistensi ( consistency ). Dengan demikian atas dasar diskresi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada Pemerintah, maka Pemerintah cq. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peraturan mengenai pola reklamasi dan rehabilitasi yang telah diatur dalam PP tersebut melalui Permen LHK RI No. 50 Tahun 2016, Permen LHK RI 89/2016 untuk mengatur lebih rinci terkait reklamasi dan rehabilitasi DAS kawasan hutan yang digunakan kegiatan pertambangan. Sebagaimana telah Termohon jelaskan diatas bahwa kegiatan pertambangan pada areal IPPKH telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang tidak hanya dirasakan disekitar lokasi tambang saja tetapi juga dirasakan ditempat lain (areal terdampak). Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 173 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 174 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Akibat penambangan pada areal IPPKH terhadap kawasan hutan menimbulkan:
Kerusakan struktur hutan yang menyebabkan hilangnya kemampuan hutan untuk mempertahankan fungsi dan stabilitas hutan.
Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, karena terjadi peluang kepunahan beberapa jenis terutama jenis yang langka.
Kerusakan bentang lahan dan rusaknya fungsi hidroorologis akibat banyaknya lubang-lubang galian bekas tambang yang ditinggalkan menjadi kolam-kolam.
Hilangnya top soil yang menyebabkan hilangnya kesuburan tanah bahkan sampai kebatuan induk. Pengembalian kesuburan tanah diperlukan puluhan bahkan tahunan.
Meningkatnya suhu udara disekitar-sekitar.
Terjadinya pencemaran air.
Terjadinya kerusakan ekosistem. Bahwa setiap pemegang IPPKH wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi. Reklamasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi areal yang dilakukan eksploitasi agar pulih kembali (padahal sebenarnya tidak mungkin pulih kembali seperti kondisi semula karena kerusakan yang ditimbulkan). Atas dasar pemikiran bahwa reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat mengembalikan hutan pada kemampuan dan atau kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi. Hal ini dilakukan agar kerusakan lingkungan secara makro tidak semakin bertambah. Sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM ( vide bukti T-3). V. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan fakta hukum yang telah disampaikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Terkait dengan kewajiban pemegang IPPKH membayar PNBP penggunaan kawasan hutan, reklamasi, dan melakukan penanaman dalam rangka rehabiltasi DAS tersebut, dapat Termohon sampaikan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 174 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 175 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Mengingat penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tersebut, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang, maka perluada kompensasi kepada Negara berupa lahan untuk dijadikan kawasan hutan (lahan kompensasi). Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tersebut, sebelum berlakunya:
PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan;
PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP 105 Tahun 2015; baik yang berada dalam kawasan yang hutan yang luasnya di atas 30 % atau dibawah 30%, pemegang IPPKH pertambangan dikenakan kewajiban menyediakan lahan kompensasi yang dijadikan kawasan hutan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, sebagaimana telah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 64/Menhut-II/2006.
Dengan pertimbangan lahan kompensasi sulit diperoleh, maka berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, khususnya untuk di wilayah provinsi yang kawasan hutan yang luasnya di atas 30%, kewajiban pemegang IPPKH pertambangan menyediakan lahan kompensasi diganti dengan PNBP, sedangkan untuk di wilayah provinsi yang kawasan hutan yang luasnya di bawah 30%, tetap dikenakan kewajiban menyediakan lahan kompensasi.
Dengan pertimbangan pemegang IPPKH pertambangan di wilayah provinsi luas kawasan hutannya di atas 30% yang hanya berkewajiban membayar PNBP, belum memberikan penghargaan nilai manfaat hutan yang hilang atas kegiatan pertambangan maka pemegang IPPKH selain membayar PNBP ditambah dengan kewajiban melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 175 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 176 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 yang dilakukan di luar areal kerja IPPKH, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e PP No. 24/2010, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP No. 105/2015, Permen LHK No. 50/2016 dan Permen LHK No. 89/ 2016.
Bahwa PP No. 33/2014:
Tidak mengandung semangat diskriminasi yangmembedakan penerapan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan;
Tidak merugikan dan mengabaikan hak-hak warga negara;
Tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam menentukan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan;
tidak mengabaikan kepastian hukum.
Bahwa apabila ketentuan aquo dibatalkan oleh Mahkamah Agung dapat menimbulkan:
Ketidakpastian hukum terhadap penerapan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan b. Hilangnya nilai intrinsik sumber daya hutan yang hilang akibat dari penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) beserta Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c PP 105/2015, Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, dan huruf r angka 4 dan angka 5, serta Pasal 47 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf b dan huruf c Permen LHK 50/2016, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), beserta Lampiran Angka I sampai dengan Angka VIII Permen LHK 89/2016 tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 176 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 177 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 bertentangan dengan UUD 1945, UU PNBP,UU Kehutanan, dan UU 12/2011. VI. PETITUM Berdasarkan seluruh uraian dan penjelasan di atas, Termohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan keberatan Uji Materiil a quo, dapat memberikan putusan dengan amar sebagai berikut:
Menerima Jawaban Termohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) ;
Menyatakan Menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya, atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), beserta Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan, Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, dan huruf r angka 4 dan angka 5, serta Pasal 47 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), beserta Lampiran Angka I sampai dengan Angka VIII Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 177 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 178 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak,Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Atau dalam hal Yang Mulia Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, yaitu sebagai berikut: NO KODE BUKTI NAMA BUKTI KETERANGAN 1. T-1 Putusan Mahkam a h Agung RI No . 16P /HUM/2015, tanggal 8 Desember 2015 Para Pemohon pernah mengajukan uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 dan dinyatakan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO).
T-2 Data Pemegang IPPKH yang berkewajiban melakukan penanaman rehabilitasi DAS bulan Mei tahun 2017 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dari 573 IPPKH untuk kegiatan pertambangan, 52 IPPKH telah melakukan penanaman dan dari 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan, 10 IPPKH telah melakukan penanaman.
T-3 Pendapat Ahli Prof. Dr . Ir.Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM Kegiatan reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat memulihkan kembali hutan pada kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi . Selain itu rehabilitasi DAS diluar areal izin dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali pada areal izin serta untuk mengganti kerusakan lingkungan pada area sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH tersebut .
T-4a PT. Indexim Coalindo Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 178 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 179 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 No.SK.837/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014.
T-4b PT. Batubara Duaribu Abadi Pemegang IPKKH berdasarkan SK Menhut No.SK.681/Menhut- II/2009. Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal.
T-4c PT. Karimun Granite Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK.172/Menhut- II/2013 tanggal 21 Maret 2013 Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal. PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil adalah:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan, Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1, Angka 2 dan Angka 3;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 179 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 180 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daeran Aliran Sungai Berikut Lampiran Angka Romawi I Sampai Dengan Lampiran Angka Romawi VIII; Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Para Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal permohonan hak uji materiil, yaitu apakah Objek Permohonan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Undang- Undang dan apakah Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan hak uji materiil; Kewenangan Mahkamah Agung Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 20 ayat 2 huruf b UU 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan dalam permohonan a-quo adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf d dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri adalah termasuk jenis peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, oleh karenanya Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a-quo ; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 180 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 181 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 31A ayat (2) huruf c Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa permohonan pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang- Undang hanya dapat dilakukan oleh badan hukum publik atau badan hukum privat yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang; Menimbang, bahwa Para Pemohon, yaitu Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI ICMA) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia ( API-IMA ) adalah asosiasi atau perkumpulan perusahaan pertambangan yang berbentuk badan hukum privat yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM sebagai badan hukum, yang merasa dirugikan akibat terbitnya objek permohonan; Menimbang, bahwa merujuk pada beberapa putusan Mahkamah Agung tentang pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ( Putusan No. 54 P/HUM/2013, Putusan No.62 P/HUM/2013, dan Putusan Nomor 11 P/HUM/2014) untuk dapat memenuhi syarat adanya unsur kerugian hak Para Pemohon, dipertimbangkan sebagai berikut:
Adanya hak Pemohon yang diberikan oleh suatu peraturan perundang- undangan: Bahwa Para Pemohon adalah asosiasi atau perkumpulan perusahaan pertambangan yang secara resmi telah mengajukan permohonan, untuk mempunyai kepentingan, atau mengelola kepentingan dalam hak pertambangan di wilayah Indonesia dan yang kepentingannya dalam hak- hak demikian telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia atau telah mendapat ijin dari Pemerintah Republik Indonesia (vide Pasal 10 huruf c dan Pasal 14 Anggaran Dasar APBI-ICMA No.01 tanggal 22 Maret 2007 dan Pasal 9 ayat 1 huruf a, Pasal 20 Perubahan Akta Pendirian Perkumpulan API-IMA Nomor 17 tanggal 17 Juni 2011);
Hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian: Bahwa dalam permohonan a-quo hak yang dianggap dirugikan oleh Para Pemohon adalah hak perusahaan pertambangan selaku pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang oleh objek permohonan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 181 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 182 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 diberikan beban tambahan berupa PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH;
Kerugian harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi: Bahwa kerugian yang dialami Para Pemohon dalam hal ini pelaku industri pertambangan pemegang IPPKH adalah bertambahnya beban ekonomi akibat adanya berbagai macam pungutan yang harus dibayarkan oleh perusahaan dan bertambahnya kewajiban pemegang IPPKH dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH;
Adanya hubungan sebab akibat ( casual Verband ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian: Bahwa berlakunya peraturan perundang-undangan yang menjadi objek permohonan menyebabkan perusahaan pertambangan pemegang IPPKH yang merupakan anggota asosiasi harus menanggung tambahan beban keuangan untuk membayar PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan tambahan beban berupa penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian seperti yang dimaksud tidak akan terjadi: Bahwa dengan dikabulkannya permohonan a-quo , maka perusahaan pertambangan pemegang IPPKH tidak perlu mengeluarkan tambahan biaya untuk membayar PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH; Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut dihubungkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait unsur adanya kerugian hak Para Pemohon, Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa Para Pemohon sebagai badan hukum privat dalam kapasitasnya mewakili kepentingan para perusahaan pertambangan dapat membuktikan unsur kerugian haknya yang bersifat spesifik dan aktual serta terdapat hubungan sebab akibat secara langsung antara kerugian yang dimaksud dengan berlakunya objek permohonan, karenanya cukup alasan hukum untuk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 182 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 183 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 menyatakan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan a-quo ; Menimbang, bahwa karena permohonan terhadap objek hak uji materiil diajukan oleh Para Pemohon yang mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) maka permohonan a quo secara formal dapat diterima; Pokok Permohonan Menimbang, bahwa dari alasan keberatan Para Pemohon yang kemudian dibantah oleh Para Termohon dalam jawabannya, dihubungkan dengan bukti- bukti yang diajukan oleh Para Pemohon dan Para Termohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Para Pemohon tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut: - Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak disebutkan bahwa tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang atau peraturan pemerintah. - Bahwa dengan demikian Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 diterbitkan berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 ( delegatie van recht geven ) dalam rangka mengoptimalkan penerimaan PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan untuk menunjang pembangunan, karenanya dalil para Pemohon yang mendalilkan penetapan PNPB harus dengan undang-undang tidak dapat dibenarkan; - Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa Penggunaan kawasan hutan bekas areal pertambangan wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan oleh pemerintah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di luar areal Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan pada areal sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH. Dengan demikian Pemerintah berdasarkan ketentuan tersebut diberi kewenangan atributif untuk mengatur lebih lanjut bagaimana pola pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan di sekitar areal IPPKH yang dituangkan melalui peraturan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 183 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 184 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 pemerintah. Dengan demikian ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.89/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 yang mengatur tentang rehabilitasi hutan di luar IPPKH dan rehabilitasi DAS di luar IPPKH tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; - Bahwa merujuk pada uraian pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerbitan objek permohonan tidak melanggar hierarki peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut terbukti bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu: UUD 1 9 45 , Undang - Unda n g No mor 20 T a h un 1997 T entang Penerimaan N e g a ra B uka n Paja k , Undang - Undang No mor 41 Tahun 19 99 T en t ang Ke hu tan an da n Unda n g- U ndang N om or 1 2 Tahun 20 1 1 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- un dangan , karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon harus ditolak, dan selanjutnya sebagai pihak yang kalah Para Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; MENGADILI, Menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon:
ASOSIASI PERTAMBANGAN BATUBARA INDONESIA 2. ASOSIASI PERTAMBANGAN INDONESIA ; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 184 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 185 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis , tanggal 20 Juli 2017, oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, S.H., M.H. dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Joko A. Sugianto, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak. Anggota Majelis: Ketua Majelis, ttd/. Is Sudaryono, S.H. M.H. ttd/. Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. ttd/. Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS Panitera Pengganti, ttd/. Joko A. Sugianto, S.H Biaya – biaya :
M e t e r a i…………….. Rp. 6.000,00 2. R e d a k s i……………. Rp. 5.000,00 3. Administrasi HUM…..... Rp. 989.000,00 Jumlah...…… Rp. 1.000.000,00 Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG R.I.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara (H. ASHADI, S.H.) NIP. 19540924 198403 1 001 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 185
Ayat 1 : Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
keadilan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 134 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 135 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Penjelasan Pasal 6 Huruf g : Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 maka pada pokoknya dijelaskan bahwa dalam melakukan penyelenggaraan rehabilitasi hutan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif. Berpedoman pada ketentuan aquo maka penyelenggaraan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH oleh Termohon I dan Termohon II melalui perumusan dan pembuatan kebijakan dan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sepatutnya dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif dan juga harus mematuhi norma dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d dan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pembentukan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 tidak melalui pendekatan partisipatif dan juga bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas keadilan dan asas kejelasan rumusan. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut:
. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan mencantumkan secara tegas mengenai rehabilitasi hutan didalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan) dan sebaliknya tidak pernah mengatur secara tegas mengenai adanya norma Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 135 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 136 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kewajiban penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3). Oleh karena itu, maka materi dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sebagai norma pelaksana dari Undang-Undang tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan Undang-Undang ( in casu UU Nomor 41 Tahun 1999 sebagai UU Sektoral yang mengatur secara khusus atau lex specialis tentang Kehutanan) sebagai norma yang lebih tinggi hierarkinya;
. Berdasarkan batasan wilayah maka kegiatan rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut sepatutnya direlasikan dan dipahami dengan ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 sehingga rehabilitasi yang dilakukan oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH hanya untuk penggunaan kawasan hutan yang menimbulkan kerusakan hutan secara limitatif, yaitu terbatas hanya untuk kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (dalam area IPPKH) yang timbul kerusakan sebagai akibat dari digunakan untuk kepentingan pertambangan. Sebaliknya dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 –menciptakan rumusan norma baru – berupa dimasukkannya norma kewajiban rehabilitasi DAS diluar area IPPKH – yang tidak pernah diatur dan bertentangan serta berbeda dengan esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3);
. Perumusan dan pemberlakuan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 136 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 137 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 pertambangan melalui Pemohon I dan Pemohon II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH. konsekuensi dari adanya pengenaan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tersebut – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah menimbulkan tambahan beban finansial ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Adanya tambahan beban tersebut – berupa kewajiban penanaman dalam rangka rehabiltasi DAS dan adanya multi pungutan yang salah satunya bersifat imajiner dan liar yang bernama PNBP – tentunya menimbulkan biaya operasional tambahan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang berakibat menimbulkan kerugian yang sangat signifikan sehingga berpotensi dapat mengganggu keberlanjutan/kelanjutan kegiatan usaha bagi pelaku usaha pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka Pembentukan Dan Penyusunan Peraturan Pemerintah Tentang Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi DAS (vide Bukti P-10G, Bukti P-10H, Bukti P-10I, Bukti P-10J, Bukti P-10K, Bukti P-10L dan Bukti P-10M).
. Dimunculkannya rumusan norma baru tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – merupakan rumusan yang tidak jelas karena secara hierarki dan jenis serta materi muatan, rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tidak pernah diatur dan juga tidak pernah dicantumkan secara tegas (eksplisit) dalam rumusan norma dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3,) sehingga menimbulkan intepretasi yang berbeda dan bertentang dengan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 137 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 138 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3 uu Nomor 41 Tahun 1999; Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas maka pencantuman dan pemberlakuan norma kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Pemerintah merupakan bentuk penyelundupan norma yang mengingkari dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3), ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 dan ketentuan Pasal 5 huruf c,huruf d dan huruf f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; Oleh karena itu, ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 Dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 sangat beralasan secara hukum untuk dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum; V. PETITUM PERMOHONAN. Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang dikemukakan di atas oleh Para Pemohon, maka Para Pemohon memohon kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia casu quo Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo , agar berkenan kiranya untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon I dan Pemohon II (Para Pemohon) untuk seluruhnya;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 138 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 139 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang- Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Huruf b dan Huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Bertentangan Dengan Peraturan Perundang- Undangan Yang Lebih Tinggi Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Huruf b Angka 1, Pasal 19 Ayat (1) Huruf c dan Huruf d, Pasal 22 Huruf d, Huruf e, Huruf q Angka 4 dan Angka 7, Huruf r Angka 4 dan Angka 5, dan Pasal 47 Ayat (1) Huruf a dan Ayat (2) Huruf b dan Huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang- Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 139 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 140 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Huruf a dan Huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 140 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 141 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 huruf a dan ayat (2) huruf b dann huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Memerintahkan kepada Termohon I ( in casu Presiden Republik Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3; Dan Ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Termasuk Ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Memerintahkan kepada Termohon II ( in casu Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republk Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 141 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 142 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/ Kum.1/11/2016;
Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara;
Menghukum Termohon I dan Termohon II untuk membayar biaya perkara. ATAU, Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya ( Ex Aequo Et Bono ). Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, yaitu sebagai berikut: No. Kode KETERANGAN 1. P-1A Akta Pernyataan Keputusan Rapat Musyawarah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association) Nomor 7 tertanggal 6 Mei 2015; P-1B Kartu Tanda Penduduk Nomor 3171061705790002 atas nama Pandu Patria Sjahrir P-1C Akta Pernyatan Keputusan Rapat Badan Pengurus Perkumpulan Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association) Nomor 39 tertanggal 22 Desember 2016 P-1D Kartu Tanda Penduduk Nomor 3276020109650010 atas nama Maringan M.I.H. Hutabarat.
P-2A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Pener i maan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1 , Angka 2, Angka 3 yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 16 Me i 2014 - vide Ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) termasuk Lampiran Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 Peraturan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 142 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 143 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 20 1 4 P-2B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 201 0 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 - vide Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b P-2C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomo r 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 - vide Ketentuan Pasal 6 ayat 2 huruf b, Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c 3. P-3A Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan berikut lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P . 50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Te n tan g Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2016 - vide Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huru f b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c P-3B Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Beriku t Lampiran Angka Romawi I Sampai Dengan Lampiran Angka Romawi VIII yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 22 November 2016 vide Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) , Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) , Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) 4. P-4A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 - vide Pasal 23A P-4B Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) P-4C Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman - vide Pasal 20 Ayat (2) Huruf b dan ketentuan Pasa i 20 Ayat (3) P-4D Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31A Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) P-4E Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil - vide Pasal 1 ayat (1) 5. P-5A Akta Anggaran Dasar APBI-ICMA Asosiasi Pertambanga n Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association ) N omor 01 tanggal 22 Maret 2007 yang dibuat oleh dan dihadapan Notar i s Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 143 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 144 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ratih Gondo Kusumo, S.H. P-5B Akta Pernyataan Keputusan Musyawarah Anggota A sos i as i Pertambangan Batubara Indonesia ( APBI-ICMA) I ndonesian C oa l Mining Association Nomor 20 tanggal 22 Juni 2009 6. P-6A Akta Perubahan Akta Pendir i an Perkumpu l an A sosia si Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining A ssoc i ation ) N o m o r 1 7 t anggal 17 Juni 2011 yang dibuat o l eh dan dihadapa n Nota ri s Ratih Gondokusumo Siswono, S . H. P-6B Akta Anggaran Rumah Tangga Asosiasi Pertambangan In do n esia ( Indonesian Mining Association) Nomor 1 8 tangga l 1 7 Juni 2011 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Ratih Gondokusumo Siswono, S.H .;
P-7 Undang-Undang Nomor 1 2 T ahun 20 11 t en t ang Pemben t uka n Peratu r an Perundang - undangan - vide Pasa l 3 , Pasa l 5 H u ruf c da n Huruf d , dan Penje l asan Pasal 5 Hur u f c da n Huruf d, Ketentua n Pasa l 6 Aya t (1) Hur u f g dan Penjelasan P asa l 6 A y a t (1) H uruf g , d a n P asa l 1 2.
P-8 Peraturan Menteri L i ngkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia P.27/Menlhk/Setjen/Keu-1/2/2016 Tahun 2016 tentang Pedoman Tata Cara Pengurusan Piutang Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ("PERMEN LHK RI Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Keu- 1/212016 "). 9. P-9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 88/PMK . 06/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK . 06/2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK . 06/2016 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1 28/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara.
P-10A P-10B P-10C Surat Nomor 187/APBI-ICMA/V/2007, tertanggal 23 Mei 2007 perihal PNBP Kehutanan Surat Nomor 549/APBI-ICMA/XII/2012, tertanggal 18 Desember 2012, perihal RPP Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Penggunaan Kawasan Hutan; Surat Nomor 040/API/IMA/IV/2014 dan Nomor 138/APBI- I CMA/IV/2014, tertanggal 22 April 2014, perihal Tanggapan API-IMA dan APBI-ICMA Terhadap Rencana Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 144 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 145 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10D P-10E P-10F P-10G P-10H P-10I P-10J P-10K P-10L Surat Nomor 330/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 26 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 331/APBI-ICMA/VIII/2014, tertanggal 27 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 019/APBI-ICMA/III/2015 dan Nomor 056/API- IMA/III/2015 tertanggal 31 Maret 2015 Tentang Permohonan Peninjauan Kembali PP Nomor 24 Tahun 2010 dan PP Nomor 33 Tahun 2014; Surat Nomor 349/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 28 Agustus 2014 Perihal Permohonan Pembatalan Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Jenis Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Sektor Kehutanan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/V/2015, tertanggal 25 Mei 2015 , Perihal Permohonan Peninjauan Kembali Peraturan Menteri Kehutanan No.P.16/Menhut-II tanggal 20 Maret 2014 dan No.P.87/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014; Surat Nomor 035/APBI-ICMA/VI/2015, tertanggal 26 Juni 2015 , Perihal Masukan Terhadap Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan hutan; Surat Nomor 001/APBI-ICMA/I/2016, tertanggal 11 J anuar i 2016, Perihal Permohonan Pembahasan Kembali Revisi Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/IX/2016, tertanggal 7 September 2016 , Perihal Tanggapan Terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. No.P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang 'I Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan ("Permenlhk P.50/2016”) Surat Nomor 146/API/IMA/XII/2016, Nomor 037/APBI-ICMA/XII/2014 , Tertanggal 19 Desember 2016, Perihal Permohonan Dukungan Penye!esaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 145 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 146 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10M Surat Nomor 006/API-IMA/II/2017 dan Nomor 017/APBI- ICMA/II/2017, tertanggal 27 Februari 2017, Perihal Permohonan Dukungan Penyelesaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi DAS Bagi Pemegang IPPKH .
P-11A P-11B P-11C P-11D Artikel Online - Royalti Naik, Perusahaan Batu Bara Terancam Bangkrut Dipublikasikan tanggal 1 Juli 2015 Sumber : https: //ekbis.sindonews.com/read/1019004/34/royalti-naik- perusahaan-batu-bara-terancam-bangkrut- 1435744806 Artikel Online - Terdampak Krisis Global, Perusahaan Tambang Tutup Dipublikasikan tanggal11 Febuari 2016 Sumber : http: //www.borneonews.co.id/berita/28470-terdampak- krisis- global-perusahaan-tambang-tutup Artikel Online - Batubara Terjun Royalti Turun Dipublikasi tanggal 09 Agustus 2015 Sumber : http: //www.gresnews.com/berita/ekonomi/9098-batubara- terjun-royalti-turun/3/ Artikel Online - Tambang Batu Bara, Awal Kloter Gulung Tikar Dipublikasikan tanggal 29 Febuar i 2016 Sumber : http: //majalahpeluang.com/tambangbatu-bara-awal- Kloter-gulung-tikar/ 12. P-12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak - vide Pasal 2 Ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) , Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Penjelasan Pasal 3 Aya t (1) dan Aya t (2). 13 P-13 Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan - vide Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 42 Ayat (2) dan Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2). Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 25 April 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 31/PER- PSG/IV/31 P/HUM/2017 , Tanggal 25 April 2017 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Para Termohon telah mengajukan jawaban tanggal 21 Juni 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 146 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 147 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 I. POKOK-POKOK PERMOHONAN PEMOHON A. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH Bahwa pada intinya Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam PP a quo yang menyangkut:
Ketentuan yang berkaitan dengan Pembayaran PNBP dalam PP a quo (PP 33/2014, PP 24/2010, dan PP 105/2015):
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjampakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011.
Pasal a quo juga bertentangan dengan UU 41/1999 yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU 41/1999 tidak pernah mengatur pengenaan PNBP kepada pelaku usaha di bidang pertambangan selaku pemegang IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjampakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomi terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 147 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 148 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2. Ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, bertentangan dengan bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Kehutanan dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011, karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). B. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN MENTERI Bahwa Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam Permen a quo yaitu sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK 50/2016 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, UU PNBP, UU Kehutanan, dan UU 12/2011;
Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permenlhk 89/2016yang dianggap bertentangan dengan UU Kehutanan dan UU 12/2011. Menurut Para Pemohon pada intinya menganggap kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)di luar areal IPPKH bagi pemegang IPPKH dalam ketentuan Permen a quo harus berpedoman pada UU Kehutanan, sehingga ketentuan a quo bertentangan dengan UU Kehutanan dan juga UU 12/2011. Sehingga Para Pemohon mohon agar PP a quo dan Permen a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku untuk umum. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 148 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 149 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berkenaan dengan legal standing ( persona standi in judicio ) dan kepentingan hukum Para Pemohon dalam perkara aquo , Termohon menyampaikan penjelasan sebagai berikut: PARA PEMOHON TIDAK MEMPUNYAI KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) UNTUK MENGUJI KETENTUAN PASAL 1 AYAT (2), AYAT (3) DAN (5) DAN LAMPIRAN PP 33 TAHUN 2014, PASAL 21 AYAT (1) HURUF aPP 24TAHUN 2010, PASAL 6 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1 DAN PASAL 15 AYAT (1) HURUF B PP 105/2015 DAN PASAL 5 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1, PASAL 19 AYAT (1) HURUF d, PASAL 22 HURUF e DAN r ANGKA 4, PASAL 47 AYAT (1) HURUF a DAN AYAT (2) HURUF c PERMEN LHK 50/2016; PASAL 15 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), PASAL 28 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), DAN AYAT (4), PASAL 30 AYAT (1) DAN AYAT (2), PASAL 38, PASAL 39 AYAT (1) DAN AYAT (2) PERMENLHK 89/2016 Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang...” Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, berbunyi: “Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang”. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut,dan benar- benar diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut. Menurut Termohon, Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 149 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 150 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1. Bahwa dalam permohonannya Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik/jelas kedudukan hukumnya apakah sebagai “kelompok masyarakat atau perorangan” sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.
Apabila menyimak pernyataan Para Pemohon ( vide halaman 1 Permohonan Para Pemohon), yang menyatakan bahwa Para Pemohon adalah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association (APBI-ICMA) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesian Mining Association (API-IMA) yang didirikan berdasarkan akta notaris dan dalam Permohonan ini diwakili oleh Ketuanya, maka menurut Termohon, pernyataan tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai status kedudukan hukum Para Pemohon, apakah kedudukan Para Pemohon sebagai sebuah asosiasi atau organisasi, apakah asosiasi atau organisasi tesebut telah terdaftar sebagai suatu badan hukum atau tidak, apakah badan hukum tersebut berbentuk perkumpulan atau berbentuk yayasan, dan apakah badan hukum tersebut telah disahkan menurut hukum oleh pihak Kementerian Hukum dan HAM RI. Hal-hal tersebutlah yang tidak terurai/dijelaskan oleh Para Pemohon dalam permohonannya, sehingga menimbulkan ketidakjelasan permohonan.
Menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung yang diderita oleh Para Pemohon yang diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya kerugian tersebut. Hal ini didasarkan pada pernyataan Para Pemohon dalam permohonannya ( vide angka 10 halaman 7 permohonan Para Pemohon), yang menyatakan “berlakunya ketentuan - ketentuan a quo dan Permen a quo telah merugikan hak anggota-anggota Para Pemohon khususnya terkait dengan beban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)”. Menurut Termohon kerugian yang dialami tersebut bukan merupakan kerugian yang diderita Para Pemohon melainkan anggapan kerugian dari anggota-anggota Para Pemohon. Mekanisme yang dimiliki oleh Para Pemohon untuk menyelesaikan suatu persoalan/permasalahan-permasalahan, termasuk masalah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 150 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 151 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)yang dihadapi anggota-anggota Para Pemohon, adalah dengan cara “memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan serta komunikasi dan konsultasi dengan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah industri pertambangan batubara ” bukan dengan cara mengajukan judicial review. Hal ini merujuk pada pernyataan Para Pemohon mengenai maksud dan tujuan didirikannya Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesia Mining Association yang dibentuk tanggal 26 Januari 1988 ( vide angka 9 halaman 7 permohonan Para Pemohon) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association yang dibentuk tanggal 22 Maret 2007 ( vide angka 8 halaman 6 permohonan Para Pemohon) yaitu: membantu Pemerintah di dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menggalakkan perkembangan industri pertambangan dan untuk memanfaatkan keterangan-keterangan yang tidak bersifat rahasia dan tidak merupakan hak milik guna memajukan eksplorasi penambangan, pemurnian hasil-hasil tambang serta aspek-aspek yang bertalian dengan metalurgi di Indonesia, memberikan saran-saran untuk industri pertambangan di Indonesia dan meningkatkan kesadaran dan pengertian atas masalah-masalah penting (kritis) yang menyangkut industri pertambangan seutuhnya, memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan, menyebarkan secara luas keterangan mengenai kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah kepada-anggota dan menyebar-luaskan citra positif mengenai usaha pertambangan kepada khalayak umum. Didalam anggaran dasar Para Pemohon tidak tercantum pasal yang menyatakan bahwa Para Pemohon mewakili kepentingan anggotanya didalam maupun diluar pengadilan, sehingga jika terdapat kerugian oleh para anggota Pemohon terkait berlakunya suatu ketentuan maka yang seharusnya mengajukan gugatan hukum/permohonan uji materi ke pengadilan adalah anggota-anggota Para Pemohon yang kepentingannya dirugikan, mengingat tidak semua perusahaan pertambangan menjadi anggota Para Pemohon. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 151 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 152 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Bahwa Para Pemohon pernah mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) huruf a dan Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, dan telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan putusan No. 16P/HUM/2015 pada tanggal 8 Desember 2015 dengan amar putusan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO)( vide Bukti T-1). Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan permohonan HUM atas perkara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas, adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Agung menyatakan Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dan karenanya permohonan Para Pemohon wajib dinyatakan tidak dapat diterima ( NIET ONVANKELIJK VERKLAARD) . III. LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH A QUO DAN PERATURAN MENTERI A QUO Sebelum Termohon memberikan tanggapan atas permohonan Para Pemohon, Termohon akan menyampaikan landasan filosofi sebagai berikut:
Latar Belakang Terbitnya Norma Kewajiban Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan Sebagaimana Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Pasal 6 Ayat (2) Huruf b Angka 1 dan Pasal 15 Ayat (1) Huruf B, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 sertaPasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Peraturan Menteri LHK Nomor 50/2016; Bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 152 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 153 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Maha Esa. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat. Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dengan luasan yang cukup dan dijaga agar daya dukungnya tetap lestari. Pembangunan kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang tidak terpisahkan sehingga harus selaras dengan dinamika pembangunan nasional. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 153 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 154 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 hutan tersebut dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Salah satu kegiatan penggunaan kawasan hutan diluar kegiatan kehutanan adalah kegiatan pertambangan melalui pinjam pakai kawasan hutan. Pada prinsipnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Bahwa para pelaku usaha telah diberikan kesempatan untuk mengambil keuntungan atas sumber daya alam (hutan) yang seharusnya menjadi kekuasaan dari negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat,sehingga negara harus memperoleh kompensasi atas hilangnya sumber daya alam tersebut untuk dikembalikan kepada masyarakat. Salah satu bentuk kompensasi tersebut adalah membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak kepada Negara. Untuk mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kementerian Kehutanan telah memiliki tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Namun untuk pengendalian penggunaan kawasan hutan guna menunjang pembangunan di luar kegiatan kehutanan serta untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 154 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 155 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, perlu mengenakan tarif terhadap seluruh area penggunaan kawasan hutan dan mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Pemerintah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 menjadi penting ( conditio sine qua non ) karena dikeluarkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Latar Belakang Terbitnya Kewajiban Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagaimana diatur dalam Permen LHK 89/2016 a. Hutan adalah kekayaan negara yang rentan (daya dukung dan daya tampung terbatas), yang dapat dimanfaatkan tidak melebihi kemampuannya, sehingga harus dikembalikan kondisinya pada kondisi semula. Aktivitas penambangan mengeksploitasi secara besar sumber daya hutan yang ada, sehingga mustahil untuk mengembalikan sumber daya hutan sama persis seperti kondisi semula. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 155 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 156 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 b. Jika sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tidak dapat dikembalikan seperti kondisi semula, maka Pemerintah wajib mengatur lebih lanjut secara optimal untuk mengurangi dampak- dampak yang ditimbulkannya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mewajibkan pemegang IPPKH untuk melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi DAS.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (yang selanjutnya disingkat RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan.
Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Pasal 5 ayat 2 huruf b angka 1 PermenLHK No. 50/2015,disebutkan bahwa setiap penggunaan kawasan hutan/pemegang IPPKH wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi. Reklamasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi areal yang dilakukan eksploitasi agar pulih kembali (tidak mungkin pulih kembali seperti kondisi semula). Mengingat kegiatan reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat memulihkan kembali hutan pada kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi. Selain itu rehabilitasi DAS diluar areal izin dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali pada areal izin serta untuk mengganti kerusakan lingkungan pada area sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH tersebut. Sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 156 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 157 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 contoh pada area IPPKH tambang emas limbah pengolahannya akan mencemari tidak hanya pada lokasi izin akan tetapi sampai di luar areal izinnya. Akibat penambangan terhadap hutan telah menimbulkan dampak sebagai berikut:
Kerusakan struktur hutan yang menyebabkan hilangnya kemampuan hutan untuk mempertahankan fungsi dan stabilitas hutan.
Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, karena terjadi peluang kepunahan beberapa jenis terutama jenis yang langka.
Kerusakan bentang lahan dan rusaknya fungsi hidroorologis akibat banyaknya lubang-lubang galian bekas tambang yang ditinggalkan menjadi kolam-kolam.
Hilangnya top soil yang menyebabkan hilangnya kesuburan tanah bahkan sampai kebatuan induk. Pengembalian kesuburan tanah diperlukan puluhan bahkan tahunan.
Meningkatnya suhu udara disekitar-sekitar.
Terjadinya pencemaran air.
Terjadinya kerusakan ekosistem. Sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM ( vide bukti T-3) Penanaman rehabilitasi DAS merupakan salah satu kewajiban pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) baik pemegang IPPKH tambang maupun non tambang. IPPKH untuk kegiatan pertambangan mengubah bentang alam, mengubah hutan alam menjadi hutan tanaman sehingga mengakibatkan keanekaragaman hayati di Indonesia berkurang, sedangkan IPPKH untuk kegiatan non pertambangan tidak mengubah bentang alam. Kegiatan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk pertambangan pada umumnya menimbulkan kerusakan kawasan hutan lebih besar dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk non pertambangan. Berdasarkan data bulan Mei tahun 2017 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 717 IPPKH yang berkewajiban melakukan penanaman rehabilitasi DAS terdiri atas 573 IPPKH Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 157 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 158 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 untuk kegiatan pertambangan dan 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan. Dari 573 IPPKH untuk kegiatan pertambangan, 52 IPPKH telah melakukan penanaman dan dari 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan, 10 IPPKH telah melakukan penanaman.Alangkah tidak adilnya jika pemegang IPPPKH untuk pertambangan yang telah melakukan kerusakan lebih besar justru tidak mau melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS ( vide bukti T-.2). Bahwa penerbitan ketentuan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo sudah memperhatikan aspek sosiologis dan yuridis sebagaimana dimaksud UU No. 12/2011, yaitu:
Aspek Sosiologis Bahwa penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS merupakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung perlindungan sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (vide penjelasan umum PP Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan). Dalam konteks pengelolaan DAS, apabila terjadi kerusakan pada suatu tempat akan berpengaruh pada tempat yang lain dalam suatu daerah aliran sungai. Dengan demikian, kegiatan IPPKH pertambangan dalam satu DAS pada suatu tempat akan berpengaruh di tempat yang lain. Apabila terjadi kerusakan di areal pertambangan, areal di luar areal pertambangan juga akan ikut rusak, sehingga perlu dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi.
Aspek Yuridis Bahwa kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo merupakan pelaksanaan atas peraturan diatasnya yaitu UU No. 41/1999 yaitu: Pasal 45 Ayat (1), (2), dan (4): Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 158 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 159 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian ketentuan dalam objek permohonan a quo yang mewajibkan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS bagi Pemegang IPPKH yang dilakukan diluar areal IPPKH secara hukum tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. IV. JAWABAN TERMOHON TERHADAP POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 (halaman 16). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 159 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 160 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Bahwa UU PNBP sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, telah mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak ke dalam beberapa kelompok jenis PNBP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP. Untuk mengantisipasi adanya potensi dari Penerimaan Negara yang bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka selain jenis kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PNBP, juga diatur mengenai jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak lainnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa UU PNBP dibentuk pada tahun 1997, sedangkan potensi jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum dapat teridentifikasi sangatlah banyak, dan mengingat penetapan tarif perlu mengikuti perubahan ekonomi yang sangat dinamis, sehingga perlu penyesuaian dan tidak mungkin semua diatur dalam Undang-Undang, oleh karena itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa adapun jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah juga harus dikemukakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk dibahas dan disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP).
Dalam Hukum Tata Negara, dikenal adanya teori “ Delegatie van Recht Geven” yaitu delegasi yang diberikan oleh perundang- undangan. Bahwa delegasi tersebut dimungkinkan dalam Undang-Undang disebabkan undang-undang tidak mungkin mengatur segala hal secara terperinci termasuk jenis dan tarif penerimaan bukan pajak. Dengan demikian, diperlukan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang masih Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 160 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 161 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 bersifat umum dalam Undang-Undang ke dalam peraturan lain yang bersifat turunannya.
Selanjutnya Pemerintah memiliki tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, sedangkan undang-undang tidak mungkin mengatur secara terperinci hal tersebut, sehingga Pemerintah diberikan kebebasan bertindak ( freies ermessen ), dengan ketentuan kebebasan bertindak tersebut harus sesuai dengan undang-undang dan AUPB. Oleh karena itu undang-undang memberikan delegasi kepada pemerintah, untuk membentuk peraturan pelaksananya.
Berkaitan dengan Diskresi secara umum juga bisa dilakukan tidak hanya karena diskresi semata-mata tetapi diberi dasar oleh undang-undang ( delagatie van recht geven ). Artinya undang- undang sendiri yang memberikan pendelegasian tersebut, dalam hal ini UU PNBP telah memberikan pendelegasian untuk menetapkan jenis dan tarif PNBP melalui peraturan pemerintah, yakni melalui PP 33/2014.
Bahwa mencermati ketentuan sebagaimana disebutkan diatas, PNBP sebagaimana dimaksud dalam PP 33/2014 merupakan jenis PNBP dari pemanfaatan sumber daya alam ( vide Pasal 2 ayat (1) huruf b). Bahwa Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP telah mengatur pendelegasian secara tegas, bahwa jenis dan tarif atas jenis PNBP dalam kelompok penerimaan negara bukan pajak atas pemanfaatan sumber daya alam ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian PP 33/2014 tidak melanggar hierarki peraturan perundang- undangan.
Bahwa kewenangan untuk menetapkan tarif dalam bentuk Peraturan Pemerintah telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Sebagaimana diketahui bahwa “materi muatan Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya” yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 161 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 162 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Undang-Undang yang bersangkutan ( vide Pasal 12 UU 12/2011).
Bahwa hal tersebut sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segerasupaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi.” j. Bahwa pengaturan jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan pengaturan yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan UU PNBP yang materi muatannya bersifat umum, dan hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf c UU 12/2011 yang mengatur asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Sehingga apabila pengaturan jenis dan tarif PNBPdiatur dalam Undang-Undang maka menjadi tidak sesuai dengan materi muatan Undang-Undang yang bersifat umum.
Bahwa sesuai dengan konsideran menimbang huruf b PP No. 33 Tahun 2014 menyatakan bahwa “ ... untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (2) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak....”. Berdasarkan hal tersebut jenis dan tarif Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 162 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 163 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP sebagaimana diatur dalam PP No.33 Tahun 2014 adalah untuk melaksanakan pengaturan yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP. Sebagai pengaturan lebih lanjut dari apa yang didelegasikan UU, pengaturan jenis dan tarif PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dalam PP a quo telah sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa pengaturan jenis dan tarif PNBP berupa penggunaan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah a quo , telah sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung RI No. 62 P/HUM/2013 (halaman 56 alinea terakhir s/d halaman 59), yang pada intinya menyatakan pada prinsipnya setiap pungutan yang bersifat memaksa oleh negara termasuk PNBP ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah vide Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap pengaturan jenis dan tarif PNBP yang merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang seharusnya diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan Peraturan Pemerintah dianggap bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 adalah tidak benar dan tidak beralasan.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa Pasal a quo juga bertentangan dengan UU Kehutanan yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU Kehutanan tidak pernah mengatur pengenaan PNBP oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (Ijin Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 163 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 164 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam pakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomis terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan (halaman 28). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah undang-undang yang mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan teknis kehutanan, serta memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan UU yang mengatur khusus mengenai penentuan jenis dan tarif PNBP ( lex spesialis ) adalah UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sehingga untuk pengaturan jenis dan tarif PNBP dibidang kehutanan tunduk pada UU No. 20/1997. Dengan demikian, UU 41/1999 bukanlah ketentuan mengatur mengenai PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan seperti yang di dalilkan Para Pemohon.
Bahwa kelompok PNBP yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan/dalam ketentuan PP 33/2014 a quo, termasuk dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PNBP yaitu kelompok penerimaan negara bukan pajak meliputi penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU PNBP diatur bahwa Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 164 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 165 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 d. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP diatur bahwa Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud padaayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yangmenetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penerbitan PP No. 33 Tahun 2014, PP Nomor 24 Tahun 2010, dan PP Nomor 105 Tahun 2015 serta PermenLHK No. 50/2016 khususnya yang mengatur mengenai kewajiban pembayaran PNBP kepada Negara adalah sudah tepat dan benar.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai kawasan hutan telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatifdari adanya pengenaan PNBP tersebut . Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (halaman 31). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan konsultasi publik dan pembahasan yang dilakukan beberapa kali dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 165 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 166 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI) sampai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 membuktikan bahwa Pemohon turut terlibat atau ikut serta dalam pembahasan penyempurnaan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan dan menyepakati kenaikan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3. Berdasarkan hal tersebut diatas, justru menunjukkan bahwa Para Pemohon tidak konsisten dalam menanggapi permasalahan yang ada sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional dari Para Pemohon.
Bahwa filosofi Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan adalah pengganti lahan kompensasi . Lahan kompensasi untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) komersil pada wilayah yang mempunyai hutan < 30% adalah ratio 1 : 2 berdasarkan luas total area IPPKH sehingga Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dikenakan terhadap seluruh areal IPPKH.
Negara telah memberikan hak kepada pemegang IPPKH terhadap seluruh area Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan-nya, sehingga negara harus mendapat kompensasi atas “ opportunity lose ” seluruh area IPPKH yang diberikan tersebut.
Apabila area pengembangan/area penyangga tidak digunakan maka keuntungan yang diperoleh adalah tidak diperlukan reklamasi dan hanya dikenakan 1 x tarif (biaya lebih rendah daripada 4 x tarif), sedang jika area tersebut digunakan, maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 166 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 167 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib direklamasi dan juga dikenakan tarif PNBP 4 x tarif (biaya tinggi).
Pada kenyataan banyak pelaku usaha tidak mengusahakan atau mengerjakan seluruh areal yang diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sebagai contoh berdasarkan data yang ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdapat beberapa perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal yaitu:
PT. Indexim Coalindo Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 837/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 dengan luas areal kerja 5.732,72 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini belum terdapat kegiatan (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2016) ( vide bukti T- 4a).
PT. Batubara Duaribu Abadi Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK.681/Menhut-II/2009 tanggal 16 Oktober 2009 dengan luas areal kerja 1.4832,98 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 224,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2013) ( vide bukti T- 4b).
PT. Karimun Granite Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 172/Menhut-II/2013 tanggal 21 Maret 2013 dengan luas areal kerja 1.834,47 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 157,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2015) ( vide bukti T- 4c.).
Apabila yang dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan hanya area terganggu saja, maka Negara mengalami kerugian antara lain :
Negara tidak mendapatkan kompensasi atas area pengembangan/area penyangga; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 167 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 168 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2) Negara tidak dapat memberikan area pengembangan/area penyangga kepada pihak lain yang ingin menggunakan area tersebut.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai tidak mencerminkan dan bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan (halaman 43). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan RI pada kriteria L3 seharusnya mempunyai faktor pengali tertinggi dalam rumus Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan, karena L3 mempunyai dampak kerusakan lingkungan terparah dari semua kriteria area penggunaan kawasan hutan.
Menurut Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan) PP No. 2 Tahun 2008 sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini akibat adanya peningkatan nilai-nilai yang terkandung dalam kawasan hutan, adanya nilai inflasi dan kenaikan dampak kerusakan lingkungan, nilai intrinsik sumber daya hutan yang hilang akibat dari penggunaan kawasan hutan sebesar ± Rp. 85 Juta/Ha/Tahun.
Berdasarkan konsultasi publik yang diselenggarakan pada tanggal 2 Oktober 2012 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 168 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 169 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI). Adapun hasil konsultasi publik tersebut salah satunya adalah pada prinsipnya seluruh peserta rapatsepakat untuk menaikkan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3.
Pembahasan tanggal Pada tanggal 30 Oktober 2012 yang dipimpin oleh Sekretaris Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Kerja Regulasi KP3EI menghasilkan kesimpulan antara lain seluruh peserta rapat sependapat dengan rencana kenaikan tarif 30% karena tarif PNBP yang berlaku saat ini masih tergolong rendah sehingga sudah saatnya perlu disesuaikan dengan nilai inflasi yang ada.
Selain itu penyesuaian terhadap rumus pengali PNBP PKH yang semula kriteria L3 hanya dikenakan 2 kali tarif berubah menjadi 7 kali tarifdilakukan juga karena mempertimbangkan bahwa kriteria L3 merupakan area yang terkena dampak paling parah dan secara teknis tidak dapat direklamasi bahkan bisa dikatakan merupakan wilayah lost land. f. Perubahan formula tersebut juga telah memperhatikan 3 aspek yaitu:
Aspek kepastian Pengusaha : ketentuan kenaikan tarif yang jelas memberi kepastian para pengusaha untuk memperhitungkan kelayakan usahanya. Dengan pembayaran PNBP tersebut, pengusaha dapat secara pasti menjalankan usahanya. Pemerintah : ketentuan kenaikan tarif dengan kriteria yang jelas memberi kepastian penghitungan rencana dan target PNBP Masyarakat : kenaikan tarif ini memberi kepastian pada masyarakat bahwa setiap penggunaan kawasan hutan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 169 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 170 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 disertai dengan kompensasi PNBP dengan nilai yang layak akan digunakan untuk program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui mekanisme APBN.
Aspek keadilan Pengusaha : aspek keadilan dapat dilihat dari kenaikan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan kelompok pengusahaan dan kriteria penggunaan kawasan hutan. Ketentuan besaran tarif berdasarkan pendekatan Cost Plus yaitu pengusaha membayar lebih besar karena manfaat ekonomi yang diperoleh pengusaha juga lebih besar atau dalam rangka pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk melindungi kelestarian lingkungan/alam/sumber daya hutan. Pemerintah : kenaikan tarif dan perluasan objek PNBP adalah sebagai ganti kompensasi dari oppurtuni lost yang telah diberikan kepada pengusaha. Kenaikan hanya ± 30% dan kenaikan koofisien L3 menjadi 7x karena adanya punishment terhadap dampak kerusakan parah yang ditimbulkan dan negara harus mendapat kompensasi untuk itu untuk memperbaiki dan memelihara L3. Masyarakat : kenaikan tarif dan kenaikan koofisien memberikan rasa keadilan kepada masyarakat karena masyarakat mendapat kompensasi atas program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui pemanfaatan PNBP.
Aspek manfaat Kenaikan tarif ini bermanfaat untuk kepastian berusaha, keadilan bagi Pemerintah dan masyarakat.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan : Ketentuan yang berkaitan dengan Kewajiban Penanaman dalam Rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 170 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 171 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Permen LHK 50/2016 dan Permenlhk 89/2016bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU 41/1999 dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” Penjelasan: Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan b. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya hal. 131 berpendapat bahwa materi muatan PP adalah keseluruhan materi muatan Undang-undang yang dilimpahkan kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan PP adalah sama dengan materi muatan Undang-undang sebatas pada yang dilimpahkan kepadanya.
Ketentuan Pasal 45 UU No. 41 Tahun 1999 mengatur:
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 171 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 172 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah . Bahwa jika dilihat dari materi muatan dalam ketentuan Pasal 21 PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015 dimaksud, ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 jo. Pasal 38 UU 41/1999. Suatu Undang-Undang memuat peraturan yang bersifat umum, abstrak dan tidak mengatur semua hal secara terperinci. Oleh karena PP sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 38 UU 41/1999 menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai pola reklamasi dan atau rehabilitasi yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian apabila ditinjau dari hierarki perundang- undangan, maka dikeluarkan PP 24/2010 jo. PP 105/2015 tidak bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan.
Bahwa selanjutnya PP juga tidak dapat mengatur semua hal terutama peristiwa konkret yang terjadi sehingga PP juga memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa konkret tersebut serta untuk memenuhi kepentingan atau untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Berdasarkan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur:
Pengelolaan Indonesia National Single Window dan Penyelenggaraan Sistem Indonesia National Single Window ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam Rangka Penyediaan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang climaksucl clengan:
Barang Milik Negara, yang selanjutnya clisingkat BMN, aclalah semua barang yang clibeli atau cliperoleh atas beban Anggaran Penclapatan clan Belanja Negara (APBN) atau terasal clari perolehan lainnya yang sah.
Pengelola Barang aclalah pejabat yang berwenang clan bertanggung jawab menetapkan kebijakan clan pecloman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang aclalah pejabat pemegang kewenangan Penggunaan BMN.
Kuasa Pengguna Barang aclalah kepala satuan kerja perangkat claerah atau pejab2.t yang clitunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang beracla clalam penguasaanr:
ya clengan se baik baiknya.
Kementerian Negara, yang selanjutnya clisebut Kementerian, aclalah perangkat pemerintah yang membiclangi urusan tertentu clalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan un tuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Sewa adalah Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.
Kerja Sama Pemanfaatan, yang selanjutnya disingkat KSP, adalah pendayagunaan BMN oleh pihak lain dalam j angka · waktu terten tu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya.
Kerj a Sama Penyediaan Infrastruktur, yang selanjutnya disingkat KSPI, adalah kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan U saha adalah Badan U saha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, atau koperasi.
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek Penilaian berupa BMN pada saat tertentu.
Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.
Direktur J enderal adalah Direktur J enderal di lingkungan Kernen terian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Penanggung Jawab Pemanfaatan BMN adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemanfaatan BMN dalam rangka penyediaan infrastruktur dalam bentuk Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.
Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama, yang selanjutnya disingkat PJPK, adalah Menteri/ Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah, atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sebagai penyedia atau penyelenggara infrastruktur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Proyek Kerja Sama adalah penyediaan infrastruktur yang dilakukan melalui perjanjian kerja sama antara Menteri/Pimpinan Lembaga dengan Badan Usaha atau pemberian Izin Pengus3.haan dari Menteri/ Pimpinan Lembaga kepada Badan U saha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ayat (1) huruf c Pasal 14 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat setelah ayat (5), yakni ayat (6) dan ayat (7), sehingga Pasal 14 berl: ; unyi sebagai berikut:
Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Standar Reviu atas Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara.
Pengujian materil Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang RI No. 15 Tah ...
Relevan terhadap
ayat (2). 52 Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, standar pemeriksaan merupakan patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Standar pemeriksaan terdiri dari standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan pemeriksaan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK telah menyusun standar pemeriksaan pertama kali pada tahun 1995 yang disebut Standar Audit Pemerintahan (SAP). Seiring dengan perubahan UUD Negara RI 1945 dan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan, pada Tahun 2007 BPK menyusun standar pemeriksaan dengan nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Setelah hampir 10 (sepuluh tahun) digunakan sebagai standar pemeriksaan, SPKN 2007 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan standar audit internasional, nasional, maupun tuntutan kebutuhan yang berkembang. Oleh karena itu, SPKN 2007 telah dilakukan penyempurnaan. Perkembangan standar pemeriksaan internasional kini mengarah kepada perubahan dari berbasis pengaturan detail ( rule-based standards ) ke pengaturan berbasis prinsip (principle-based standards ). Perkembangan pada tingkat organisasi badan pemeriksa sedunia, INTOSAI telah menerbitkan International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) untuk menjadi referensi pengembangan standar bagi anggota INTOSAI. Khusus untuk pemeriksaan keuangan, INTOSAI mengadopsi keseluruhan International Standards on Auditing (ISA) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants (IFAC). Seiring dengan perkembangan standar internasional tersebut, Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang diberlakukan dalam SPKN 2007, juga mengalami perubahan dengan mengadopsi ISA. Pada awal 2017, saat BPK genap berusia 70 tahun, BPK berhasil menyelesaikan penyempurnaan SPKN 2007 yang selanjutnya ditetapkan menjadi Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sejak diundangkannya Peraturan BPK ini, SPKN mengikat BPK maupun pihak lain yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan SPKN ini, diharapkan hasil pemeriksaan keuangan negara dapat lebih berkualitas. Jika dibandingkan, SPKN 2007 memiliki delapan lampiran, sedangkan hanya terdapat empat lampiran yang tercantum di dalam SPKN 2017. Rincian detail lampiran SPKN 2007 terdiri dari: 53 1) Lampiran I : Pendahuluan Standar Pemeriksaan 2) Lampiran II : Pernyataan Standar Pemeriksaan 01 (Standar Umum) 3) Lampiran III : Pernyataan Standar Pemeriksaan 02 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan) 4) Lampiran IV : Pernyataan Standar Pemeriksaan 03 (Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan) 5) Lampiran V : Pernyataan Standar Pemeriksaan 04 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja) 6) Lampiran VI : Pernyataan Standar Pemeriksaan 05 (Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja) 7) Lampiran VII : Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) 8) Lampiran VIII : Pernyataan Standar Pemeriksaan 07 (Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) Sedangkan lampiran SPKN 2017 mencakup:
Lampiran I : Kerangka Konseptual Pemeriksaan 2) Lampiran II : PSP 100 – Standar Umum 3) Lampiran III : PSP 200 – Standar Pelaksanaan Pemeriksaan 4) Lampiran IV : PSP 300 - Standar Pelaporan Pemeriksaan. SPKN 2017 tidak melakukan pemisahan antara standar pelaksanaan dan standar pelaporan untuk pemeriksaan keuangan, kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Hal ini karena sesungguhnya ketiga varian pemeriksaan tersebut saling terkait satu dengan yang lain dan tak dapat dipisahkan sebagai suatu sistem pemeriksaan keuangan negara. SPKN berisi persyaratan pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan, dan persyaratan laporan pemeriksaan. Keberadaan isi SPKN tersebut menjadi ukuran mutu pemeriksaan keuangan negara. SPKN dilaksanakan dengan sebuah mekanisme kerja yang terdiri dari pengumpulan bukti, data, pengujian bukti secara objektif. Hal ini dilakukan guna mewujudkan prinsip akuntabilitas publik dalam rangka mendapatkan sebuah hasil yakni meningkatkan kredibilitas dan validitas informasi yang dilaporkan. Hasil ini akan membawa manfaat berupa:
peningkatan mutu pengelolaan;
pemenuhan tanggung jawab keuangan negara; dan 54 3. pengambilan keputusan, yakni dalam melakukan audit laporan keuangan, auditor harus tunduk pada standar pemeriksaan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, dapat digarisbawahi bahwa guna melakukan audit atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, standar yang telah ditentukan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang ditetapkan dengan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Guna melakukan pemeriksaan atas penggunaan keuangan negara, SPKN 2017 memberlakukan tiga standar, yaitu standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan. Dalam salah satu dalilnya, para Pemohon juga mempertanyakan K/L yang telah memperoleh status WTP namun tetap dikenakan PDTT (contoh: KPK). Para Pemohon mendalilkan hal ini menyebabkan PDTT potensial dijadikan alat abuse of power oleh BPK, yang dapat menghambat proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sehingga merugikan warganegara. Apakah hal ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang spesifik? Menurut pendapat ahli hal itu lebih merupakan asumsi, bukan fakta dan tidak ditemukan dalam tujuan maupun celah dalam desain pengaturan norma hukum mengenai penggunaan kewenangan PDTT. Sebaliknya, selama ini PDTT justru dinilai banyak membantu penegak hukum untuk membuktikan terjadi/tidak-nya tindak pidana korupsi (Pengalaman penulis sebagai ahli di berbagai penanganan kasus korupsi oleh para penegak hukum sebagaimana juga terlampir dalam biodata ahli juga menunjukkan hal tersebut). Terkait dengan status WTP yang masih dimungkinkan dilakukannya PDTT, hal itu harus dikaitkan dengan karakteristik dari pemeriksaan keuangan negara, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Predikat WTP yang diberikan BPK atas laporan keuangan suatu institusi hanya sebagai tanda, bahwa proses yang disusunnya telah sesuai standar akuntansi yang berlaku. Maka, predikat WTP memang tidak digunakan sebagai jaminan bahwa sebuah lembaga pemerintah bersih dari korupsi atau terjadi pemborosan dalam menyusun anggaran. Predikat yang diberikan BPK memang tak bisa menjadi ukuran suatu lembaga bebas korupsi. Tetapi, predikat itu hanya mencerminkan 4 (empat) hal, yakni pertama , laporan keuangan lembaga yang diperiksa telah sesuai standar akuntansi; kedua , sudah terdapat cukup bukti dalam laporan keuangan; ketiga , telah terdapat sistem pengendalian internal, dan keempat , pengelolaan keuangan negara telah sesuai dengan undang-undang. 55 Selain itu, dalam beberapa kasus tidak semua kasus korupsi akan berpengaruh terhadap laporan keuangan. Misalnya, dalam kasus suap (gratifikasi). Dana suap seringkali berasal dari “kantong/rekening pribadi” pihak penyuap, sehingga bisa jadi tidak/belum terdeteksi oleh BPK. Hal ini juga tidak selalu berpengaruh terhadap laporan keuangan yang disajikan dan diperiksa oleh BPK. Lain halnya, jika dana yang dipergunakan untuk menyuap bersumber dari kas negara/daerah, karena akan berpengaruh terhadap hasil laporan keuangan yang dibuat, sehingga akan membuat BPK lebih mudah dalam mendeteksinya melalui PDTT. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil laporan audit BPK yang menyatakan opini WTP dapat menggambarkan bahwa tidak adanya tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya tepat, karena WTP didapatkan dari hasil pemeriksaan keuangan yang tujuannya adalah untuk mengetahui dan menguji kewajaran suatu laporan keuangan yang dibatasi oleh materi yang diperiksa, standar yang digunakan dan waktu pemeriksaan. Hal itu bukan dimaksudkan untuk menguji apakah ada/tidaknya tindak pidana korupsi. Guna mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana korupsi memerlukan jenis pemeriksaan yang berbeda selain pemeriksaan laporan keuangan, yaitu pemeriksaan investigasi atau pemeriksaan forensik yang termasuk dalam kategori Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagian kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal- hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan 56 keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah dan organisasi profesi di bidang pemeriksaan. Standar Pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 13 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Upaya untuk mencegah terjadinya abuse of power adalah adanya standar operasional prosedur yang dalam Hukum Administrasi Negara termasuk dalam kategori Hukum Acara Non Sengketa (niet contentieus processrecht ) yang diatur dalam bentuk Standar pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 hal itu dikategorikan sebagai Standar Operasional Prosedur ( vide Pasal 49). Hal itu menyebabkan tidak memadainya dasar untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang spesifik, jika asumsi yang digunakan bahwa PDTT potensial digunakan sebagai alat untuk melakukan abuse of power tanpa adanya dukungan data dan riset yang secara representatif mampu menunjukkan bahwa PDTT memang secara faktual cenderung digunakan sebagai alat untuk melakukan abuse of power oleh auditor BPK. Justru sebaliknya, PDTT merupakan instrumen yang efektif untuk membantu penegak hukum dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi yang menimbulkan merugikan keuangan negara yang kini menjadi persyaratan mutlak untuk melakukan penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 Dalam melaksanakan PDTT, sebelum mengambil simpulan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, pemeriksa harus mendasarkan pada bukti-bukti yang cukup, kompeten dan relevan. Hal ini dimaksudkan agar pemeriksa tidak mengambil simpulan secara sewenang-wenang. Kriteria bukti pemeriksaan dalam PDTT tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Cukup Bukti, yaitu harus cukup untuk mendukung simpulan pemeriksaan. Dalam menentukan kecukupan suatu bukti, Pemeriksa harus yakin bahwa bukti yang cukup tersebut dapat memberikan 57 keyakinan seseorang bahwa simpulan telah valid. Apabila dimungkinkan, metode statistik bisa digunakan untuk menentukan kecukupan bukti pemeriksaan;
Kompeten Bukti dianggap kompeten apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan konsisten dengan fakta. Dalam menilai kompetensi suatu bukti, Pemeriksa harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti keakuratan, keyakinan, ketepatan waktu, dan keaslian bukti tersebut; dan
Relevan. Bukti dikatakan relevan apabila bukti tersebut memiliki hubungan yang logis dan memiliki arti penting bagi simpulan pemeriksaan yang bersangkutan (Lampiran Keputusan BPK- RI Nomor: 2/K/I-XIII.2/I/2009 Tanggal : 27 Februari 2009); Sebagai komparasi, praktik PDTT juga dilaksanakan di beberapa negara lain melalui kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga audit di beberapa negara. Misalnya, kewenangan dari Government Accountability Office (GAO) di AS yang juga diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan investigatif sebagai lembaga pemerintah cabang legislatif yang menyediakan jasa audit, evaluasi dan investigasi untuk Kongres Amerika Serikat. GAO diberikan kewenangan untuk melaksanakan audit atas permintaan congressional committees , subcommittees, atau anggota Congress . Salah satu tugas GAO adalah melakukan investigasi atas tuduhan illegal and improper activities , sama dengan kewenangan BPK untuk melakukan audit investigatif. PDTT juga ditemukan di Singapura, yaitu Special Audits , yang dilakukan oleh Auditor General’s Office (AGO). AGO melaksanakan pemeriksaan terhadap laporan keuangan pemerintah, yang dilaksanakan setiap tahun ( annually ). Selain pemeriksaan terhadap laporan keuangan, AGO juga diberikan kewenangan untuk melakukan audit khusus ( selective audits ) untuk memeriksa kepatuhan public agencies terhadap peraturan perundangundangan dan special audits atas permintaan dari Parlemen. Perlu dijelaskan sekilas proses pemeriksaan yang secara normatif dilaksanakan oleh BPK baik berupa pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. PDTT dapat bersifat pemeriksaan ( examination ), reviu ( review ), dan prosedur yang disepakati ( agreed-upon procedures ) untuk menerbitkan komunikasi tertulis yang menyatakan suatu simpulan tentang keandalan asersi 58 yang menjadi tanggung jawab pihak lain. Sasaran pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dapat mencakup antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan. Selanjutnya, guna membahas permintaan, saran, dan pendapat tersebut, BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi. Masih dalam kaitannya dengan perencanaan tugas pemeriksaan tersebut, BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Guna keperluan tersebut, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK. Sehubungan dengan pelaksanaan tugas pemeriksaannya, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Kewenangan BPK dalam melaksanakan tugas pemeriksaan tersebut meliputi:
meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara;
meminta keterangan kepada seseorang;
memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. Pemeriksa yang bertugas atas nama BPK harus menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Jika diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Laporan hasil 59 pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat- lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/ gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan tersebut diatur bersama oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum. Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Jawaban atau penjelasan tersebut disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima. BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut. Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban itu dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepegawaian. BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut tersebut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya. DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan. DPR/DPRD dapat 60 meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut. PDTT sesungguhnya didasarkan atas filosofi dalam pengelolaan keuangan negara. Landasan filosofi dari PDTT adalah untuk mewujudkan kepastian hukum dan kepatuhan dalam penggunaan keuangan negara agar dapat mencegah maupun memulihkan terjadinya kerugian negara. PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan pemeriksaan yang ditetapkan (Lampiran 1 Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 Kerangka Konseptual angka 18). PDTT diperlukan BPK untuk memastikan terwujudnya tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 23E ayat (1) UUD Negara RI 1945 yang wujud pemeriksaannya bisa berupa pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif (Lampiran 1 Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 Kerangka Konseptual butir 18). Hal yang lebih penting lagi, eksistensi PDTT tersebut sangat urgen untuk mematuhi dan mengefektifkan implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang pada intinya dalam salah satu butir pertimbangannya menyatakan bahwa konsep kerugian negara harus diletakkan dalam konstruksi kerugian yang bersifat aktual (actual loss) bukan lagi kerugian potensial (potential loss ) yang didasarkan atas hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk (vide Bab Pertimbangan Hukum butir 3.10.6). Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kewenangan PDTT BPK harus diletakkan dalam desain yang sinergis-komprehensif terhadap urgensi untuk mewujudkan akurasi, validitas, dan kredibilitas pemeriksaan keuangan negara sebagai konsekuensi dari pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23E UUD Negara RI 1945 dalam memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi warga negara di Indonesia sebagai negara hukum. Dalam hukum terdapat adagium , in eo, quod plus sit, semper inest et minus (di dalam apa yang “lebih” selalu terkandung apa yang “kurang”). PDTT sebagai suatu varian pemeriksaan yang lebih mendalam selalu diperlukan, jika apa yang dilakukan melalui pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ternyata dinilai masih kurang untuk mencapai tujuan pemeriksaan. Peraturan perundang-undangan ( wet/regeling ) maupun peraturan kebijakan ( beleidsregel ) yang berkaitan dengan PDTT, sesungguhnya telah memberikan konsiderasi dan eksplanasi yang memadai mengenai legitimasi, urgensi, dan signifikansi PDTT 61 sebagai salah satu varian dari rangkaian pemeriksaan keuangan dan kinerja yang tak terpisahkan serta saling melengkapi. Odia restringi et favores convenit ampliari (patutlah mempersempit semua yang merugikan dan memperluas semua yang menguntungkan). Tak ada alasan untuk mempersempit ruang lingkup pemeriksaan keuangan negara dengan menghilangkan PDTT, jika PDTT ternyata lebih besar keuntungannya bagi pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara di negara kita.
Dr. Binsar Hamonangan Simanjuntak Ak, MBA. Pemohon dalam permohonan pengujian ini pada pokoknya menyatakan alasan kerugian konstitusional pemeriksaan dengan tujuan tertentu disebabkan:
kewenangan BPK melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional dalam UUD NRI 1945;
frasa “tujuan tertentu” tidak memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum, sehingga mengakibatkan potensi abuse of power oleh BPK;
sering kali institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) namun tetap dilakukan PDTT. Menjawab argumen permohonan tersebut, izinkan saya mengawalinya dengan menjelaskan adanya teori keagenan ( agency theory ) dalam ilmu manajemen. Teori ini menjelaskan adanya kesenjangan ekspektasi ( expectation gap ) antara manajemen dan pemilik. Untuk mengurangi kesenjangan ekspektasi ini, kedua belah pihak sepakat untuk mempergunakan jasa pemeriksa untuk memberikan nilai tambah atas kredibilitas laporan manajemen dengan diaudit oleh suatu pemeriksa independen. Teori tersebut apabila dikaitkan dengan sistem dalam tata negara Republik Indonesia, khususnya dalam pemeriksaan keuangan negara, Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur:
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 62 Pasal 23E UUD NRI 1945 ditindaklanjuti dengan UU Nomor 15 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan lingkup pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Untuk melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara, Pasal 4 UU Nomor 15 tahun 2004 menyatakan tiga jenis pemeriksaan keuangan negara yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Diatur pula pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas; dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU ini menyebutkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Selanjutnya UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2006 menyebut hal yang sama terkait jenis pemeriksaan BPK yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Perlu dijelaskan pada dasarnya pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen dan dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi, dalam hal ini jika menyangkut keuangan negara, standar akuntansi yang digunakan adalah Standar Akuntansi Pemerintah. Hasil yang diberikan pemeriksaan keuangan adalah Opini atau pendapat Pemeriksa, dari Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian, Tidak Wajar, dan Tidak Memberikan Pendapat. Untuk memberikan opini ini, Pemeriksa memastikan terpenuhinya empat kriteria dalam pemberian opini pada pemeriksaan keuangan, yaitu:
kesesuaian terhadap Standar Akuntansi Pemerintah, 2. pengungkapan yang cukup, 3. kepatuhan terhadap peraturan, dan;
keandalan Sistem Pengendalian Intern. 63 Dalam melaksanakan tugas wewenangnya tersebut, pemeriksa harus memastikan penugasan sudah didasarkan pada standar pemeriksaan, yang dalam kaitan dengan keuangan Negara, standar pemeriksaan yang digunakan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara seperti diamanatkan dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sementara itu, pemeriksaan kinerja merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk memberikan keyakinan tujuan telah dicapai secara efektif, efisien, dan ekonomis (3E). Ada beberapa nama atau istilah lain dari Pemeriksaan Kinerja, misalnya Pemeriksaan Operasional, Pemeriksaan Manajemen ( management audit ), atau pemeriksaan/audit value for money . Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan kesimpulan yang berupa temuan perbandingan antara kondisi atau fakta dibandingkan dengan kriteria, dan rekomendasi untuk memperbaiki temuan tersebut. Dengan demikian, bila rekomendasi ini dipenuhi, tujuan/program/kegiatan pemerintah akan tercapai secara efektif, efisien, dan ekonomis. Pemeriksaan kinerja juga harus dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen dan pemeriksaan harus didasarkan pada standar, yaitu Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Selain kedua jenis pemeriksaan tersebut, dalam sektor publik atau pemerintahan terdapat beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka untuk memberikan keyakinan atas asersi atau pernyataan/representasi dari pihak manajemen. Jenis pemeriksaan yang lain tersebut adalah pemeriksaan investigatif, pemeriksaan ketaatan ( compliance ), pemeriksaan teknologi informasi, pemeriksaan pajak, dan berbagai pemeriksaan khusus untuk memenuhi permintaan pemangku kepentingan ( stakeholder ). Misalnya, pemeriksaan khusus atas pendapatan negara, pemeriksaan khusus atas subsidi, pemeriksaan khusus atas kewajaran tarif jalan tol atau tarif listrik, pemeriksaan khusus atas kewajaran atas pekerjaan tambah kurang dari kontraktor, pemeriksaan khusus atas kewajaran denda bunga, pemeriksaan khusus atas divestasi atau investasi pemerintah, pemeriksaan khusus untuk perhitungan kerugian negara dan berbagai jenis pemeriksaan khusus lainnya. Terkait dengan penugasan yang harus dilakukan BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara, dalam hal ini memeriksa pengelolaan keuangan negara dan pertanggungjawaban keuangan negara, sesuai dengan amanat UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 11 menyatakan, 64 _BPK dapat memberikan: _ a. pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau _badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya; _ b. pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan _oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau _ c. keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Selanjutnya, penjelasan Pasal 11 (a) UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK menyebutkan Pendapat yang diberikan BPK termasuk perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman, privatisasi, likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pasal 11 UU Nomor 15 Tahun 2006 ini cukup kuat untuk menjelaskan bahwa pemeriksa kemungkinan akan menghadapi berbagai penugasan yang pelaksanaannya tidak semata mata hanya menggunakan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan dan/atau pemeriksaan kinerja. Dengan kata lain, merujuk ke Pasal 11 UU Nomor 15 Tahun 20116, pemberian pendapat ke berbagai stakeholders BPK tidak dapat hanya dilaksanakan dengan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja, namun harus digunakan satu jenis pemeriksaan lagi yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Untuk itu, pengaturan adanya jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu seperti yang diamanatkan dalam Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2004 dan Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2006 adalah sudah tepat. Selanjutnya, sama seperti pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, maka pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen serta dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan, dalam hal ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Berdasarkan uraian di atas, pemeriksaan dengan tujuan tertentu menurut hemat saya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari tugas dan wewenang BPK guna memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila BPK dibatasi hanya melakukan dua jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, kuat dugaan saya sebagian hak konstitusional rakyat dalam rangka menjamin keuangan negara untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD NRI 1945 akan tercerabut. Hal ini disebabkan pemeriksaan keuangan dan 65 pemeriksaan kinerja masing-masing sudah mempunyai tujuan tersendiri, padahal masih banyak kebutuhan informasi yang benar, kredibel, dan objektif yang dibutuhkan oleh konstituen tapi tidak bisa terlayani oleh pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja. Sebaliknya, optimalisasi pemeriksaan melalui pemeriksaan dengan tujuan tertentu justru akan memberikan informasi yang andal dan teruji setelah dilakukan pemeriksaan tersebut. Sebagai suatu contoh, salah satu bentuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif guna memperkuat bukti pendukung guna memberikan keyakinan yang memadai adanya dugaan perbuatan tindak pidana korupsi dan/atau kelalaian. Bentuk lain dari PDTT misalnya adalah PDTT dalam rangka untuk menentukan berapa harga perolehan yang objektif atas satu aset negara yang akan di divestasi. Bentuk PDTT lain misalnya adalah penentuan tarif jalan tol, atau penentuan harga pokok bahan baku untuk memproduksi secara masal barang yang menjadi kebutuhan publik. Masih banyak lagi contoh PDTT lainnya yang tentunya publik atau konstituen akan kesulitan memperoleh manfaat dari informasi yang andal dan kredibel serta meyakinkan seandainya jenis pemeriksaan PDTT dihapus dari konstitusi. Berkaitan dengan kemungkinan akan adanya potensi abuse of power karena tidak ada kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan kepastian hukum pada pemeriksaan dengan tujuan tertentu, menurut pendapat saya adalah tidak tepat apabila telah dibaca keseluruhan norma UU Nomor 15 Tahun 2004 secara utuh, khususnya Pasal 5 UU Nomor 15 Tahun 2004 yang mengatur semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan, kode etik, dan sistem kendali mutu. Secara tujuan, pemeriksaan yang dilakukan BPK, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu mempunyai kejelasan tujuan, yaitu memberikan keyakinan yang memadai atas berbagai asersi yang diberikan oleh manajemen (dalam hal ini pemerintah) yang dilaksanakan secara independen, serta disampaikan kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara rumusan dan potensi penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ), pelaksanaan pemeriksaan dilakukan berdasarkan standar pemeriksaan. Hal demikian menunjukkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu bukanlah 66 pemeriksaan yang dilakukan tanpa rumusan jelas dan tanpa adanya alasan. Standar Pemeriksaan yang disusun BPK juga tidak dilakukan sendiri, tetapi juga berkonsultasi dengan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2004. Dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara , Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dapat bersifat: eksaminasi ( examination ), reviu ( review ), atau prosedur yang disepakati ( agreed-upon procedures ). Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi, antara lain, pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan, BPK harus memastikan melalui komunikasi tertulis yang memadai mengenai sifat pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan. Diaturnya Standar Pemeriksaan Keuangan Negara merupakan pedoman yang wajib dan harus diikuti dalam melakukan pemeriksaan, khususnya pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Artinya, standar tersebut merupakan rambu- rambu yang jelas dan tegas harus diikuti agar potensi abuse of power tersebut diminimalisasi sekecil mungkin. Rambu-rambu tersebut juga diikuti dengan kepatuhan terhadap kode etik pemeriksa sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018, dan kemudian juga hasil pemeriksaan BPK harus didasari sistem kendali mutu hasil pemeriksaan seperti diatur dalam Keputusan BPK No 15 Tahun 2015. Berbagai upaya harus dilakukan untuk memastikan semua pemeriksa melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan, kode etik, dan sistem kendali mutu. Hal ini untuk mencegah adanya abuse of power tadi. Hal ini mulai dari pembekalan kompetisi bagi para pemeriksa, reviu berjenjang, sampai kepada pemeriksaan intern yang dilakukan oleh Inspektorat Utama BPK. Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksa harus dilakukan oleh orang yang kompeten, independen, dan dilaksanakan secara cermat profesi ( due professional care ). Selain itu, dalam Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, ada keharusan untuk melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa atas simpulan dari pemeriksa atas hasil 67 pemeriksaan tersebut. Dalam PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan SPKN dinyatakan Pemeriksa harus memperoleh tanggapan tertulis atas hasil pemeriksaan dari pihak yang bertanggung jawab. Namun demikian, terkait dengan kerahasiaan informasi, dalam PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, Pemeriksa tidak meminta tanggapan. Menurut saya adanya kesempatan untuk memberikan dan melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa merupakan suatu ruang yang memberikan keseimbangan hak bagi pemeriksa dan entitas yang diperiksa, sehingga pemeriksa tidak dapat dengan semena-mena membuat suatu kesimpulan PDTT. Selain internal BPK, secara eksternal BPK sudah lazim ada check and balance , antara lain, pengawasan dari DPR atas kinerja BPK maupun juga masukan dari masyarakat atas hasil pemeriksaan BPK. Khusus masukan dari masyarakat, UU Nomor 15 Tahun 2016 mengamanatkan dibentuknya Majelis Kehormatan Kode Etik untuk memproses masukan dari masyarakat, di mana susunan Majelis Kehormatan Kode Etik ini terdiri dari unsur dari luar BPK dan unsur dari dalam BPK. Terakhir, untuk instrumen pencegahan abuse of power adalah keharusan laporan keuangan BPK diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang independen, dan bisnis proses BPK dilakukan peer review oleh sesama supreme audit dari negara lain. Berkaitan dengan dalil permohonan mengenai institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tetapi juga dilakukan PDTT. Terhadap hal tersebut perlu ditegaskan kembali tujuan pemeriksaan keuangan adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan pemerintah telah disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Dengan demikian, pemeriksaan keuangan tidak ditujukan untuk memberikan keyakinan atas dugaan tindak pidana atau kelalaian atau permintaan spesifik pemangku kepentingan untuk meminta BPK melakukan PDTT. Sedangkan PDTT bertujuan memberi informasi khusus berdasarkan kriteria dan biasanya dilakukan dengan langkah atau prosedur pemeriksaan yang detil dan spesifik atas informasi yang didalami, PDTT dapat dilakukan atas inisiatif BPK dan dapat juga atas permintaan dari eksternal BPK, Dengan demikian, dari segi tujuan dan prosedurnya sudah berbeda satu sama lainnya. 68 Satu hal lagi perbedaan antara kedua jenis pemeriksaan tersebut adalah bukti yang diperoleh dan dianalisis. Dalam pemeriksaan keuangan, bukti dilakukan secara uji petik ( sampling ) dan bukan dari keseluruhan total populasi. Dengan demikian, dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksa akan memastikan tidak ada deviasi yang signifikan atau material yang dapat memengaruhi pertimbangan pemeriksa dalam memberikan opini terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan. Sedangkan dalam PDTT, terutama dalam PDTT investigatif, pengumpulan bukti dilakukan secara mendalam dan intensif untuk memastikan terjadinya kerugian negara. Hal yang sama juga berlaku buat PDTT non investigatif dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat. Patut juga diingat dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksa harus mewaspadai apabila terjadi dugaan fraud , namun sekali lagi pemeriksaan tidak dirancang secara khusus untuk mengungkapkan terjadinya fraud . Oleh sebab itu, pemeriksaan yang khusus untuk menyimpulkan ada tidaknya fraud atau kelalaian dilakukan dengan pemeriksaan investigatif sebagai salah satu bentuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Terkait kemungkinan adanya dugaan kecurangan ditemui pemeriksa dalam keuangan maupun dalam pemeriksaan kinerja, tidak serta-merta pemeriksa akan melaksanakan pemeriksaan investigatif. Penanggungjawab tim pemeriksaan menurut praktik yang lazim akan memberi catatan agar dugaan terjadinya fraud ini didalami, dan penelitian awal dalam rangka pendalaman dilakukan oleh tim pemeriksa lain yang berbeda dengan tim yang sedang melaksanakan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja. Sedangkan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja tetap dilanjutkan sampai penugasan selesai. Temuan pemeriksaan yang mengandung indikasi awal kecurangan disajikan dalam LHP tanpa menjelaskan secara mendetail dugaan kecurangan tersebut. Namun Pemeriksa lebih menitikberatkan penjelasannya kepada dampak temuan tersebut terhadap hal pokok/informasi hal pokok sesuai tujuan pemeriksaan (PSP Nomor 300 par 14 Standar Pelaporan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara) Ditegaskan dalam PSP 100 par 24 Standar Umum dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara bahwa PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan selain PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Temuan atau 69 informasi tersebut harus diuji kelayakannya sebelum bisa diterima sebagai predikasi . Menurut praktik yang lazim, keputusan untuk melakukan pemeriksaan investigatif dilakukan setelah melalui proses yang cermat ( due process ). Tim yang yang ditunjuk akan melakukan penelitian awal tentang SIABIDIBA (5 W dan I H) dari kasus yang diteliti (baik yang berasal dari temuan awal pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja, maupun permintaan eksternal). Selanjutnya, setiap tahap harus dilalui berdasarkan pedoman pemeriksaan investigatif, termasuk expose internal dan eksternal (dengan aparat penegak hukum terkait), dan setiap tahapan harus dilandasi SPKN, kode etik, dan sistem kendali mutu. Dengan demikian, dapat digaris bawahi sekali lagi perbedaan antara pemeriksaan keuangan dan PDTT, yaitu pemeriksaan keuangan bertujuan memastikan laporan keuangan yang disajikan dapat dipercaya dan andal sesuai standar akuntansi pemerintah. Sedangkan PDTT investigatif adalah pemeriksaan yang mendalam dengan mengumpulkan seluruh bukti yang terkait untuk memberi keyakinan kuat terjadinya fraud dan sekaligus menyajikan dugaan besarnya kerugian negara. Hasil investigasi ini selanjutnya akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum. Sedangkan PDTT non investigatif seperti PDTT atas kelaikan suatu proyek, denda keterlambatan, penetapan dan penyaluran subsidi, bantuan sosial, divestasi atau investasi, dan lain-lain merupakan pemeriksaan yang mendalam baik atas inisiatif BPK namun lebih banyak atas permintaan dari stakeholders . Sehingga tidak heran apabila ada satu entitas yang sudah mendapat opini WTP dalam pemeriksaan keuangan namun dilakukan juga PDTT. Berdasarkan uraian di atas, izinkan saya memberikan empat simpulan dalam keterangan ahli ini, yaitu:
pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilakukan BPK merupakan bagian dari kewenangan konstitusional BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945 guna memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
frasa “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan yang mengandung kepastian hukum dengan diaturnya pelaksanaan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara yang disusun BPK dengan berkonsultasi dengan pemerintah, 70 sehingga BPK dan/atau pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus dan wajib menggunakan standar tersebut sebagai pedoman dan rambu dalam melaksanakan pemeriksaan, sehingga tujuan dan rumusan pemeriksaan yang dilaksanakan nyata dan pasti berdasarkan standar pemeriksaan tersebut;
agar pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat minimalisasi potensi abuse of power, wewenang pemeriksaan harus berpedoman pada standar pemeriksaan, pelaksanaannya pun terdapat sistem kendali mutu, dan juga adanya kode etik pemeriksa dalam hal kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dilakukan pemeriksa;
mengenai institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) namun tetap dilakukan PDTT, hal demikian disebabkan perbedaan atas tujuan, prosedur, dan substansi hasil pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan yang melahirkan opini antara lain WTP berbeda dalam tujuan, prosedur, dan substansinya dengan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Saksi: Sumiyati - Bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan juga Rancangan Undang-Undang BPK, yaitu adanya permintaan dari institusi di luar BPK seperti yang didiskusikan dan disepakati oleh pemerintah secara bersama-sama dengan DPR dan BPK RI; - Bahwa dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan negara, BPK RI tidak hanya melaksanakan pemeriksaan dan pemeriksaan kinerja. Namun sebagai lembaga pemeriksa keuangan tertinggi di Indonesia atau dikenal dengan nama Supreme Audit Institutions , BPK dapat melaksanakan pemeriksaan karena ditemukannya suatu permasalahan dalam pemeriksaan keuangan dan/atau pemeriksaan kinerja yang perlu didalami lebih lanjut, ataupun adanya permintaan dari eksternal di luar BPK. Adapun permasalahan yang perlu pemeriksaan lebih lanjut atau permintaan pemeriksaan dari institusi lain, dapat berupa indikasi adanya kerugian negara, kecurangan, atau fraud , dan juga hal- hal lain yang terkait dengan keuangan negara. Dengan memperhatikan berbagai jenis pemeriksaan yang terkait dengan keuangan negara, maka 71 disepakati bersama oleh DPR, Pemerintah, dan BPK RI, tidak digunakan suatu istilah atau jenis pemeriksaan tertentu, namun digunakan nama generik, yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dalam huruf kecil, agar BPK sebagai lembaga pemeriksa tertinggi dapat menjalankan mandat yang diterimanya. - Selain hal tersebut, dalam praktik pemeriksaan rumusan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dipilih mengingat dalam international best practice , jenis-jenis pemeriksaan selalu berkembang mengikuti dinamika organisasi atau lingkungan di mana lembaga pemeriksa itu berada. Oleh karena itu, dipilih suatu rumusan yang tidak kaku. Namun demikian, untuk menjaga tata kelola pemeriksaan dengan tujuan tertentu, tetap harus berpedoman pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK setelah dikonsultasikan kepada Pemerintah. - Untuk mencegah terjadinya abuse of power , Pemerintah dan DPR sepakat untuk menetapkan norma hukum yang mengatur bahwa pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan. Standar pemeriksaan yang sekarang diberi nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara atau disingkat SPKN, ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah. - Kemudian, di Undang-Undang BPK juga menetapkan bahwa BPK harus mempunyai majelis kehormatan kode etik. - Sehubungan dengan adanya intitusi pemerintah yang sudah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau WTP, namun tetap dilakukan PDTT, saksi dapat terangkan sebagai berikut. - Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan, bukan kebenaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan mendapatkan opini WTP jika pemeriksa yakin bahwa tidak terdapat hal yang material yang dapat memengaruhi kewajaran penyajian laporan keuangan. - Bahwa opini WTP ini sesuai dengan yang disepakati, dimasukkan di dalam undang-undang bahwa itu merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan, yang kriterianya dituangkan juga di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. Ini juga didiskusikan dan dihasilkan kriteria secara bersama-sama pada saat dilakukan pembahasan RUU tersebut. 72 - Bahwa saat itu didiskusikan dan dipertanyakan kenapa ada pemeriksaan kinerja? pemeriksaan kinerja dilakukan karena keuangan negara setiap tahunnya dituangkan dalam Undang-Undang APBN, maka pemeriksaan atas pelaksanaan APBN juga didasarkan pada kinerja. Oleh karena itu, dirumuskan pemeriksaan kinerja. - Bahwa kemudian masih ada hal-hal lain yang terkait dengan keuangan negara, namun bukan pemeriksaan keuangan dan bukan pemeriksaan kinerja. Akhirnya, dicarikan varian pemeriksaan yang bisa menampung kebutuhan pemeriksaan tersebut karena bisa muncul dari pemeriksaan BPK sendiri, dan bisa juga berasal dari permintaan apakah lembaga negara lainnya seperti pemerintah atau BPK, atau juga bisa berasal dari pemerintah daerah atau ada informasi yang masuk ke BPK. Mengingat bahwa pemeriksaan atau penugasan permintaan ini bisa berbagai macam, maka akhirnya disepakati bersama, dicarikan rumpunnya. Itulah yang dimasukkan di dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu. - Kemudian inilah kenapa akhirnya muncul bahwa untuk pemeriksaan tujuan tertentu di sini bisa untuk hal-hal yang terkait dengan keuangan. Di situ ada pemeriksaan investigasi atau ada penugasan yang lainnya. Hal tersebutlah yang disepakati. Namun, tetap di dalam menjalankan pemeriksaan mengacu pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK, namun tetap harus berkonsultasi dengan pemerintah pada saat perumusan standar pemeriksaan tersebut. - Bahwa pada saat itu juga didiskusikan dan dibahas mengenai apabila pada saat BPK menjalankan tugas sebagai pemeriksa keuangan negara ternyata menemukan hal-hal yang ternyata di situ bukan kasus di bidang keuangan negara, misalkan ada kasus pidana kemudian bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh BPK. Dari situ akhirnya disepakati bahwa dalam hal diketemukan adanya kasus di luar keuangan negara seperti pidana, maka BPK harus segera melaporkan kasus ini kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, DPR menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga telah menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis 73 tambahan beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Ketentuan UU BPK dan __ UU PPTKN yang Dimohonkan Pengujian Materil Terhadap UUD NRI Tahun 1945 Dalam permohonan a quo , para Pemohon __ mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN sepanjang frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU BPK “Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, __ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” __ Para Pemohon dalam petitumnya memohon agar Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN terhadap frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” diputus bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan alasan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan: Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pasal 23E ayat (1) “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” __ __ __ __ __ __ 74 II. Keterangan DPR RI A. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Para Pemohon Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Selain itu Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang juga dijadikan batu uji oleh Para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai tugas Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional karena para Pemohon tidak memberikan argumentasi dan tidak membuktikan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut sebagaimana yang dijamin dalam pasal-pasal a quo UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji dalam pengujian UU a quo .
Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Pasal-pasal a quo mengatur mengenai tugas BPK yang merupakan penjabaran dari ketentuan 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan mengenai tugas BPK. Dalam hal ini para Pemohon yang berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena tidak terdapat korelasi antara ketentuan pasal-pasal a quo dengan para Pemohon yang bukan Anggota BPK atau pihak yang terdampak dengan berlakunya pasal- pasal a quo. Oleh karena itu tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . 75 c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) merupakan salah satu penguatan terhadap BPK dalam upaya meningkatkan efektifitas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kerugian yang didalilkan para Pemohon terkait dengan anggapan bahwa pengaturan PDTT tidak sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh para Pemohon sesungguhnya bukanlah kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, melainkan asumsi para Pemohon tanpa ada dasar argumentasi yang jelas. Selain itu dalil yang disampaikan para Pemohon yang menyatakan pelaksanaan PDTT berpotensi disalahgunakan oleh oknum BPK ( vide perbaikan permohonan hal 24), adalah asumsi para Pemohon yang tidak ada pertautannya dengan profesi para Pemohon sebagai Dosen ataupun mahasiswa. Oleh karena itu tidak ada kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam poin a, b, c, tersebut di atas, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Seharusnya para Pemohon perlu untuk mempelajari dan memahami mengenai sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan di Indonesia untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai Dosen Hukum Tata Negara dan mahasiswa dengan baik, khususnya mengenai tugas BPK berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo . 76 e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon. Dengan demikian, PDTT yang mensyaratkan bahwa objek pemeriksaannya adalah lembaga negara bukan orang perorangan, tanpa menihilkan peran mahasiswa dan dosen atau PDTT yang mendasarkan pada objek yang berkaitan dengan keuangan atau objek atau pihak yang berkaitan dengan keuangan negara. Oleh karenanya tidak ada kerugian konstitusional karena para Pemohon tidak secara spesifik menguraikan kerugian konstitusionalnya maupun juga hubungan sebab-akibat antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon dengan ketentuan pasal- pasal a quo . Sebagai dosen, tugas dosen adalah mentransformasikan, membimbing, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Begitupun halnya dengan Pemohon sebagai mahasiswa yang berkewajiban menuntut ilmu, seharusnya tidak mengajukan permohonan ini ke Mahkamah Konstitusi, melainkan dilakukan kajian lebih lanjut sebagai objek riset, skripsi, tesis bahkan disertasi. DPR RI berpandangan seharusnya mekanisme pengujian materiil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diajukan oleh pihak yang benar-benar memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai pihak yang memiliki genuinitas. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi 77 Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU- V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pengujian Materiil Pasal-Pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN Terhadap UUD NRI Tahun 1945 Terhadap pengujian materiil yang diajukan oleh Para Pemohon, DPR RI memberikan keterangan terkait dengan frasa “..dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” atau PDTT dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN sebagai berikut:
Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Para pembentuk UUD NRI Tahun 1945 menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu lembaga pemeriksa keuangan negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Dengan adanya ketentuan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945, telah memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 23G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai BPK dalam suatu undang-undang, maka dibentuklah UU BPK.
Tugas BPK sebagaimana ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah dijabarkan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU BPK yang menyatakan “ BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha 78 Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara ”.
Bahwa pembentukan UU PPTKN dan UU BPK memiliki materi muatan yang saling terkait. RUU tentang PPTKN lahir karena memiliki materi muatan yang saling terkait dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK Lama) ( vide Risalah Rapat Kerja RUU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rapat ke-2, rapat kerja ke-1 dengan Menteri Keuangan pada hari Senin tanggal 9 Februari 2004 hal. 9).
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN, tugas BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara mencakup:
Pemeriksaan keuangan;
Pemeriksaan kinerja; dan
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Sesuai dengan risalah RUU tentang PPTKN, BPK bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara meliputi pemeriksaan atas laporan keuangan dan pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja meliputi aspek ekonomis, efisiensi, dan efektifitas, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang meliputi pemeriksaan di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ( vide Risalah Rapat Kerja RUU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rapat ke-5, rapat kerja ke-4 dengan Menteri Keuangan pada hari Selasa tanggal 17 Februari 2004, hal 24).
Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UU PPTKN menyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan kinerja. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian 79 intern pemerintah yang dalam pelaksanaannya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU BPK, dilakukan berdasarkan UU PPTKN.
Berdasarkan __ Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang tertuang dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemerikaan investigatif. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Terhadap dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa tugas PDTT tidak sesuai dengan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 karena secara gramatikal kewenangan BPK adalah pemeriksaan keuangan dan pemeriksaaan kinerja saja ( vide perbaikan permohonan hal 26), DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud dengan Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Adanya kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga atau pejabat negara adalah untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Dalam pelaksanaan tugas berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) UU BPK, BPK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 9 hingga Pasal 11 UU BPK. Bahwa berdasarkan Pasal 12 UU BPK, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang tersebut diatur dengan Peraturan BPK. Oleh karena itu, pemahaman para Pemohon yang menganggap ketentuan dalam 80 Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai “kewenangan” BPK adalah opini yang keliru karena PDTT adalah cakupan, ruang lingkup, dan menjadi bagian daripada tugas BPK.
Frasa tujuan tertentu bersifat teknis yang tidak dapat dijelaskan secara rinci, karena tujuan tertentu adalah tujuan-tujuan yang spesifik yang bersifat khusus dan bersifat mendasar. PDTT tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI Tahun 1946 karena semakin memperkuat peran tujuan audit dalam rangka mengamankan keuangan negara dengan melakukan pendalaman terhadap aspek tertentu di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.
Makna konstitusionalitas pada dasarnya tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah undang-undang dasar. Untuk menafsirkan, menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang- undang terdapat empat indikator penilai, yaitu:
Naskah undang-undang dasar yang resmi dan tertulis;
Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah undang-undang dasar, seperti risalah-risalah;
Nilai-nilai konstitusi yang dalam praktik ketatanegaraan telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; dan 4) Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, penafsiran merupakan proses di mana pengadilan mencari kepastian pengertian mengenai peraturan tertentu dari suatu undang-undang. Penafsiran merupakan upaya melalui pengadilan untuk mencari kepastian mengenai apa sesungguhnya yang menjadi kehendak pembentuk undang-undang ( vide Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang , dalam Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Pusat 81 Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tahun 2016, hal. 12). __ e. Bahwa tiga bentuk penafsiran konstitusi adalah penafsiran historis ( original intent ), penafsiran doktrinal (tekstual dan gramatikal), dan penafsiran responsif. Penafsiran yang seharusnya dihindari adalah cara pendekatan tekstual dari bunyi undang-undang yang secara kaku ( rigid ) tidak dapat mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. ( vide Robert C. Post dan Achmad Sodiki, dalam Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tahun 2016, halaman 10 dan 11).
Bahwa berdasarkan Risalah RUU PPTKN, salah satu contoh pemeriksaan jenis tertentu adalah dalam hal terjadi pencemaran lingkungan, pemeriksa keuangan harus mencari dan mengidentifikasi penyebab dan akibat yang ditimbulkan dari pencemaran serta biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara. Oleh karena itu, hanya terdapat 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yaitu finance audit , performance audit , dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Bahwa selain itu BPK juga dapat melakukan PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya (pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja) atau menindaklanjuti permintaan dari Aparat Penegak Hukum dalam rangka proses peradilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4), Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 13 UU PPTKN ( vide Rapat Kerja RUU PPTKN Rapat ke-5, Rapat Kerja ke-4 dengan Pemerintah, tanggal 17 Februari 2004).
Oleh karena itu dalil Para Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa tugas PDTT tidak sesuai dengan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 adalah opini yang tidak berdasar.
Tugas yang diberikan kepada BPK berdasarkan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam UU BPK yang merupakan amanat dari Pasal 23G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang 82 menyatakan bahwa “ Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang ”. Ketentuan tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka ( open legal policy ) kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan dalam UU BPK, termasuk mengenai cakupan tugas yang diberikan kepada BPK.
DPR RI memberikan keterangan bahwa MK tidak pernah membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “..Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo , Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang- undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.
Bahwa open legal policy pembentuk undang-undang yang memberikan tugas kepada BPK yang mencakup salah satunya adalah PDTT ke dalam UU a quo , terbukti telah memberikan manfaat bagi bangsa dan negara karena dapat mengidentifikasi dan mendeteksi kerugian keuangan negara yang terjadi. DPR RI menegaskan bahwa pelaksanaan PDTT tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena PDTT tidak diterapkan secara diskriminatif. Pelaksanaan PDTT dilakukan terhadap objek pemeriksaan yang telah diduga terjadi penyalahgunaan keuangan negara, atau ada, atau timbulnya data baru, sehingga dibutuhkan untuk segera diperiksa berdasarkan 83 kewenangan auditor atau terkait dengan permintaan resmi dari DPR RI. Berikut adalah beberapa contoh konkret PDTT yang telah dilakukan oleh BPK:
Berdasarkan Surat DPR RI Nomor KD 01/8104/DPR-RI/X/2010 tanggal 26 Oktober 2010 dan Surat DPR RI Nomor PW 01/4220/DPR-RI/V/2011 tanggal 25 Mei 2011, BPK telah melakukan PDTT atas sektor hulu listrik serta program percepatan pembangkit berbahan bakar batu bara pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PT. PLN). Dalam laporannya, BPK menemukan penyimpangan yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan negara yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Khusus di sektor energi primer, penyimpangan tersebut mengakibatkan PT. PLN mengalami kerugian Rp 17.900.681,34 juta (tujuh belas triliun sembilan ratus miliar enam ratus delapan puluh satu koma tiga puluh empat juta rupiah) pada tahun 2009, dan Rp 19.698.224,77 juta (sembilan belas triliun enam ratus sembilan puluh delapan miliar dua ratus dua puluh empat koma tujuh puluh tujuh juta rupiah) pada tahun 2010 ( vide Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Sektor Hulu Listrik pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero), Auditorat Keuangan Negara VII Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tanggal 16 September 2011);
Panitia Khusus (Pansus) DPR RI atas kasus PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) (PT. Pelindo II) meminta BPK untuk melakukan audit investigasi/PDTT terhadap sejumlah kejanggalan yang ditemukan oleh Pansus DPR RI. Nilai indikasi kerugian negara berasal dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima oleh PT. Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian PT. Jakarta International Container Terminal (JICT), antara PT. Pelindo II dan PT. Hutchinson Port Holding (HPH) berindikasi merugikan negara sebesar Rp 4,08 triliun (empat koma delapan triliun rupiah) ( vide Warta BPK Edisi 07-Vol. VII-Juli 2017, hal 6-15); 84 c. Berdasarkan permintaan DPR RI melalui Surat DPR Nomor PW/5487/DPRRI/IX/2009 tanggal 1 September 2009 perihal Audit Investigatif/Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Terhadap Bank Century, BPK melakukan audit investigatif/PDTT terhadap PT. Bank Century, Tbk. (Bank Century) ( vide BPK Serahkan Hasil Pemeriksaan Bank Century Ke DPR, 23 November 2009, http: //www.bpk.go.id/news/bpk-serahkan-hasil-pemeriksaan-bank- century-ke-dpr). Hasil pemeriksaan telah diserahkan kepada DPR RI pada tanggal 23 November 2009 yang mengungkap sembilan temuan yang dilakukan pendalaman melalui PDTT lanjutan, tetapi hingga saat ini perkara tersebut masih ditangani oleh KPK dan kami tidak mengetahui perkembangan selanjutnya.
Berdasarkan Surat Ketua DPR RI Nomor: PW.01/3177/DPR RI/IV/2011, tanggal 6 April 2011 yang meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dilakukan audit investigatif/PDTT terhadap kasus Bank Century. Hasil pemeriksaan menemukan bahwa terdapat penyaluran penyertaan modal sementara (PMS) kepada Bank Century oleh komite koordinasi (KK) yang kelembagaanya belum dibentuk berdasarkan undang-undang, sehingga penyaluran PMS tersebut tidak memiliki dasar hukum. Total PMS sejumlah Rp. 6.762,36 miliar (enam triliun tujuh ratus enam puluh dua koma tiga puluh enam miliar rupiah) ( vide BPK RI Menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi Lanjutan atas Kasus PT Bank Century, Tbk., Siaran Pers Badan Pemeriksa Keuangan ( online ), 23 Desember 2011, https: //www.bpk.go.id/assets/files/storage/2013/12/file_storage_138 6755982.pdf).
Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian, tetapi tetap dikenakan PDTT, DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut: 85 a. Pendapat para Pemohon tersebut menunjukkan kekurangpahaman atau ketidaktahuan para Pemohon terhadap pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Opini BPK merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang disesuaikan dengan standar akutansi pemerintahan (SAP), kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan dan efektifitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK, yakni:
opini wajar tanpa pengecualian ( unqualified opinion );
opini wajar dengan pengecualian ( qualified opinion );
opini tidak wajar ( adversed opinion ); dan pernyataan menolak memberikan opini ( disclaimer of opinion ). Makna opini WTP diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa laporan keuangan instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
WTP sebagai opini dari BPK bukanlah menjadi jaminan pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan Negara pada lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar selanjutnya dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut.
Sesuai amanat Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan 86 yang berbeda-beda. PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif yang memuat kesimpulan.
PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim di dunia internasional yang biasa dikenal dengan nama Compliance Audit dan Investigative Audit . Pemeriksaan Kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang mungkin tidak dapat diungkap saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemerik saan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berdampak pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Dengan adanya PDTT, BPK berhasil mengungkap banyak kasus penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas-dinas, maupun di lingkungan BUMN. Apabila menghilangkan kewenangan PDTT maka menjadi celah hukum untuk melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang oleh pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel. 87 13. DPR RI sebagai lembaga yang mewakili atau merepresentasikan rakyat Indonesia berkepentingan untuk meminta BPK melakukan PDTT berupa pemeriksaan investigatif untuk menyelamatkan keuangan negara sebagai akibat dari perilaku koruptif agar dapat dikembalikan ke kas negara. Hasil PDTT kemudian diproses lebih lanjut melalui upaya hukum untuk dilakukan pemulihan atau pengembalian kerugian negara kepada negara dan para pihak terkait untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepentingan DPR RI sebagai repesentasi kepentingan rakyat tersebut merupakan salah satu pelaksanaan dari fungsi pengawasan DPR RI sebagaimana dijamin dan sejalan dengan Konstitusi dalam rangka memastikan bahwa keuangan negara telah dikelola secara transparan, akuntabel, bertanggung jawab, dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia ( vide Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 21 ayat (3) UU PPTKN, Pasal 162 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 jo Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Tertib). Dengan demikian, DPR RI dapat mengetahui sejauh mana penyimpangan yang terjadi dan besar kerugian negara melalui PDTT yang berbentuk pemeriksaan investigatif. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU BPK dan UU PPTKN sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keterangan DPR RI ini. III. Petitum DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik 88 Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Keterangan Tambahan Dewan Perwakilan Rakyat I. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Terhadap kedudukan hukum Para Pemohon, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut: Terhadap para Pemohon yang berprofesi sebagai dosen dan mahasiswa di Fakultas Hukum dan aktivis organisasi Mahutama, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak menjelaskan pertautan antara profesi para Pemohon dengan frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT) dalam UU a quo yang merupakan cakupan tugas BPK. Dalam hal ini para Pemohon tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena tidak terdapat pertautan antara ketentuan pasal-pasal a quo dengan para Pemohon yang bukan Anggota BPK dan juga bukan sebagai pihak yang terdampak atas tugas PDTT yang dilakukan oleh BPK . Bahwa para Pemohon sebagai pendidik profesional dan ilmuwan memiliki tugas untuk mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran seharusnya menggali lebih jauh mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab 89 keuangan negara dengan lebih komprehensif dan tidak secara parsial. Sebagai sivitas akademika, jika para Pemohon kurang memahami mengenai pemeriksaan dan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara, dalam hal ini mengenai PDTT, maka seharusnya terlebih dahulu para Pemohon meminta keterangan dan berdiskusi dengan lembaga negara yang memiliki tugas untuk melaksanakan PDTT, yaitu BPK. Jika para Pemohon telah memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai pelaksanaan PDTT, maka justru dapat menunjang profesi para Pemohon sebagai sivitas akademika yang berilmu. Bahwa hak para Pemohon untuk memperoleh pendidikan dan mempunyai kebebasan berpikir, serta untuk menyatakan pikiran dan sikap, tidak terhambat dengan adanya tugas BPK untuk melakukan PDTT. Bahwa kalaupun para Pemohon mengalami kesulitan untuk memahami dasar konstitusionalitas tugas PDTT dimaksud, maka hal tersebut tidak memiliki hubungan sebab akibat antara keberlakuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pemeriksaan Keuangan Negara dengan kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 74/PUU-XVI/2018 yang menyatakan: “ … jika pun benar Para Pemohon memiliki hak konstitusional, quod non, kerugian dimaksud tidak memiliki hubungan sebab akibat secara potensial apalagi secara faktual dan aktual oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 karena selaku pengajar atau dosen, Pemohon III dan Pemohon IV tetap dapat mengajar di bidangnya masing-masing dan tetap dapat memberikan kontribusi dalam proses perubahan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi kerugian yang didalilkan oleh Pemohon III dan Pemohon IV tidak bersifat spesifik (khusus ). “ Bahwa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon juga tidak memiliki relevansi dengan ketentuan pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN apabila dihubungkan dengan profesi para Pemohon. Ketentuan pasal-pasal a quo merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga justru memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan mengenai tugas BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. 90 Bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka nyata-nyata terlihat bahwa para Pemohon tidak memilki kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi yang diakibatkan dari keberlakuan pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN. Selain itu ketentuan pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN juga tidak memiliki hubungan sebab akibat akibat ( causal verband ) dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. __ II. Pengujian Materiil UU BPK dan UU PPTKN Terhadap pengujian materiil UU BPK dan UU PPTKN, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut: A. Bahwa secara filosofis pembentukan mengenai UU BPK dan UU PPTKN diuraikan sebagai berikut:
Bahwa untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, maka diperlukan pengelolaan keuangan negara yang diselenggarakan secara profesional, independen, terbuka, dan bertanggung jawab. Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam Bab VIII dan Bab VIIIA UUD NRI Tahun 1945 telah diatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan Negara. Sebagai suatu konstitusi yang bersifat filosofis prinsip-prinsip dasar, UUD NRI Tahun 1945 hanya menetapkan secara eksplisit aturan-aturan pokok mengenai pengelolaan keuangan negara yang meliputi salah satunya pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara. Selanjutnya, UUD NRI Tahun 1945 mendelegasikan pengaturan penyelenggaraan aturan pokok tersebut ke dalam undang-undang. 91 2. Begitu pentingnya akuntabilitas dalam penyelengaraan pemerintahan, sehingga perlu membentuk undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan pokok keuangan negara, perbendaharaan negara, dan pelaksanaan pemeriksaan oleh unsur pengawasan eksternal instansi pemerintah agar jelas cakupan keuangan negara yang diawasi dan tanggung jawab masing-masing pengelola yang terlibat dalam pengelolaan keuangan negara. Bahwa dalam upaya untuk mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan ( sustainable ) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, diperlukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Dengan telah dibentuknya UU BPK dan UU PPTKN, maka BPK memiliki landasan operasional yang memadai dalam melaksanakan tugasnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan. B. Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah diperiksa oleh BPK dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi tetap berpotensi untuk dilakukan pemeriksaaan kembali oleh BPK dengan dilakukannya PDTT, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
Pendapat para Pemohon tersebut menunjukkan kekurangpahaman atau ketidaktahuan para Pemohon terhadap pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Opini BPK merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang disesuaikan dengan standar akutansi pemerintahan (SAP), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektifitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK terhadap instansi yang menjadi objek pemeriksaan, yakni:
opini wajar tanpa 92 pengecualian (unqualified opinion) ;
opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion) ;
opini tidak wajar (adversed opinion) ; dan pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) . Makna opini WTP yang diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa laporan keuangan instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
WTP sebagai opini dari BPK bukanlah jaminan pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada lembaga yang diperiksa, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar, selanjutnya oleh BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya pemeriksaan lanjutan terhadap instansi tersebut, jika ditemukan adanya indikasi-indikasi pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan kerugian negara dan/atau unsur pidana.
Sesuai amanat Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan PDTT yang memiliki tujuan dan hasil yang berbeda-beda. PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif yang memuat kesimpulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU PPTKN, hasil PDTT memuat kesimpulan bukan opini, temuan maupun rekomendasi. 93 5. PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim secara internasional yang dikenal dengan nama Compliance Audit (pemeriksaan kepatuhan) dan Investigative Audit (pemeriksaan investigatif). Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk memperoleh keyakinan yang memadai terhadap laporan keuangan yang bebas dari kesalahan penyajian. Sesuai dengan SPKN, BPK melakukan pengujian kepatuhan pemerintah pusat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatuhan yang berpengaruh langsung serta memeriksa kesesuaian material terhadap penyajian laporan keuangan. Namun pemeriksaan yang dilakukan BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tidak dirancang khusus untuk menyatakan pendapat atas kepatuhan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam atas kepatuhan manajemen dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang tidak dapat dicakup saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana, yang dilakukan atas inisiatif BPK berdasarkan hasil pemeriksaan sebelumnya atau atas permintaan dari instansi berwenang dan/atau lembaga perwakilan. Apabila dari hasil PDTT BPK menyimpulkan adanya unsur pidana, maka BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran 94 APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Bahwa meskipun BPK telah memberikan opini WTP, namun PDTT atas inisiatif BPK tetap dapat dilaksanakan. Hal tersebut dapat disimulasikan sebagai berikut: • Sebelum memberikan opini, BPK melakukan asersi untuk menguji pernyataan manajemen. Misalnya manajemen menyatakan memiliki piutang sebesar Rp 100 juta (seratus juta rupiah) kepada Pihak X, kemudian BPK melakukan pengujian kesesuaian dengan dokumen- dokumen dan ditemukan bahwa nilai piutang tersebut benar adanya sebesar Rp 100 juta. Oleh karena itu, BPK memberikan opini WTP karena penyajian laporan keuangan telah sesuai dengan bukti-bukti. • Namun mengenai kebijakan pemberian piutang tersebut kepada Pihak X apakah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, maka BPK dapat melakukan PDTT berupa pemeriksaan kepatuhan.
Dengan adanya PDTT, BPK berhasil mengungkap banyak kasus penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas-dinas, maupun di lingkungan BUMN. Apabila cakupan tugas PDTT yang dimiliki BPK tidak ada, maka menjadi celah hukum untuk melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang diamanatkan oleh pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel. Dengan demikian, terhadap para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah diperiksa oleh BPK dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi tetap berpotensi untuk dilakukan pemeriksaaan kembali oleh BPK dengan dilakukannya PDTT, berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan angka 8, hal tersebut dilakukan dalam rangka pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dapat dilakukan mengingat pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT memiliki ruang lingkup yang berbeda dan mekanisme yang tidak sama. 95 C. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power oleh BPK, DPR RI memberikan keterangan tambahan bahwa:
Sesuai dengan kewenangan BPK yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU BPK, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Kewenangan ini merupakan wujud independensi BPK sebagai lembaga eksternal audit pemerintah.
Bahwa seluruh pemeriksaan oleh BPK, termasuk PDTT, telah diatur secara ketat pelaksanaannya dengan standar pemeriksaan melalui SPKN yang mengacu pada The Generally Accepted Government Auditing Standards (GAGAS). SPKN yang berlaku pada saat ini ditetapkan oleh Ketua BPK melalui Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Selain itu terdapat Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu, kekhawatiran Para Pemohon mengenai adanya potensi abuse of power dalam pelaksanaan pemeriksaan adalah hal yang tidak berdasar.
Pemeriksaan oleh BPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan atas kinerja pemerintahan secara umum, yang dalam hal ini memang menjadi kewenangan DPR RI sebagai wujud keterwakilan politik rakyat dalam kekuasaan negara. Namun demikian, justru karena fungsi pengawasan oleh DPR RI bersifat politis, struktur dan pembagian kekuasaan dalam UUD NRI Tahun 1945 menempatkan BPK, sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara lebih teknis. Karena sifatnya yang teknis, semua jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik atas permintaan oleh DPR RI/DPRD atau atas inisiatif BPK sendiri, haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional sesuai 96 dengan keilmuan, standar, maupun peraturan-perundangan sebagai dasar hukumnya.
Bahwa permintaan dari DPR RI/DPRD adalah salah satu sumber informasi awal untuk melakukan PDTT, namun tidak menjadi satu- satunya sumber. Hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik (ramai di media massa), hasil pemeriksaan sebelumnya, renstra pemerintah, serta amanat undang-undang, juga menjadi pertimbangan BPK ketika memutuskan untuk memeriksa suatu objek. Semua sumber tersebut tentunya tidak serta-merta diputuskan untuk diperiksa tanpa terlebih dulu dilaksanakan suatu kajian awal, terutama apabila yang dimintakan adalah PDTT investigatif.
Kewenangan BPK melakukan PDTT sudah sejalan dengan praktik- praktik yang ada di BPK negara lain. Contoh BPK di negara-negara lain yang melakukan compliance audit (PDTT) sebagai jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja antara lain: SAI European Union , SAI Bulgary , SAI Croatia , SAI Cyprus , SAI Denmark , SAI Estonia , SAI Hungary , SAI Italy , SAI Spain , dan SAI Poland .
Bahwa standar pemeriksaan yang dijadikan rujukan BPK dalam PBPK 1/2017 telah mengadopsi International Standards on Auditing (ISA). Selain itu, BPK sebagai bagian dari organisasi badan pemeriksaan keuangan sedunia yang bernama International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), dalam melaksanakan pemeriksaan juga mengacu pada perkembangan standar pemeriksaan, termasuk International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) yang ditetapkan oleh INTOSAI. Dengan adanya acuan standar pemeriksaan yang sama oleh seluruh anggota INTOSAI, memungkinkan untuk dilakukan telaah atas sistem pengendalian mutu BPK oleh Supreme Audit Institution (SAI) negara lain yang menjadi anggota INTOSAI guna menjamin bahwa mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh BPK telah sesuai dengan standar. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU BPK. 97 7. Penyusunan standar pemeriksaan internasional saat ini berubah dari berbasis pengaturan __ detail ( rule based standards ) menjadi berbasis prinsip ( principle based standards) yang dimaksudkan salah satunya agar SPKN lebih fleksibel dalam mengakomodir perubahan- perubahan aturan maupun best practices profesi pemeriksa di dunia, sehingga SPKN yang diberlakukan akan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama __ dan tidak perlu terlalu sering berubah. Dengan demikian, terhadap para Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power oleh BPK, sebagaimana uraian angka 1 sampai dengan angka 7, maka hal tersebut akan sulit dilakukan oleh pemeriksa BPK dengan adanya peraturan-peraturan yang harus diikuti bagi BPK dalam melaksanakan pemeriksanaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sehingga dalil potensi adanya abuse of power tersebut tidaklah beralasan. D. Mengenai frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang didalilkan oleh Para Pemohon tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
Pembahasan mengenai perubahan BPK itu sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999, namun tidak selesai. Pembahasan rancangan materi perubahan kedua dimulai dalam rapat Badan Pekerja MPR-RI pada akhir tahun 1999, yang diteruskan pembahasannya dalam Panitia Ad Hoc (PAH) I BP-MPR. Banyak hal telah disepakati, namun sampai dengan hasil pembahasan dibawa ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, ternyata mengenai BPK ini belum dapat diputuskan. Pembahasan mengenai ketentuan BPK baru dapat diselesaikan dalam Sidang MPR RI Tahun 2001, yang menyepakati pengaturan tentang ketentuan BPK sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945, dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F dan Pasal 23G. Argumentasi para Pemohon mengenai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimuat dalam permohonannya, hanya mengacu pada 98 pembahasan Perubahan Pertama UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, tanpa memperhatikan pembahasan- pembahasan untuk Perubahan UUD NRI Tahun 1945 selanjutnya.
Pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD NRI Tahun 1945, yang sebagian dirujuk oleh Para Pemohon, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU- XVII/2019 yang menyatakan bahwa: “ Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi. ” 3. Berdasarkan Risalah Pembahasan Sidang-Sidang MPR diketahui bahwa penguatan dan pemberdayaan BPK sesuai tuntutan dan harapan masyarakat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:
penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri atau terlepas dari pengaruh lembaga tinggi negara lainnya dalam melakukan tugasnya;
penegasan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara (eksternal);
Perluasan ruang lingkup obyek yang diperiksa, yaitu tidak hanya meliputi keuangan negara yang dikelola Pemerintah dalam APBN, namun meliputi pula keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan dari APBN; dan
Perluasan tugas BPK, dalam konteks proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa, dari yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara ditambah menjadi ‘memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara’. Sehingga BPK tidak sekedar melakukan pemeriksaan atas penyajian laporan keuangan saja, akan tetapi memeriksa seluruh aspek dan proses pengelolaan keuangan negara, termasuk memeriksa keselarasan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan 99 yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Upaya penguatan dan pemberdayaaan BPK tersebut, menghasilkan rumusan perubahan ketentuan tentang BPK dalam UUD NRI Tahun 1945, termasuk yang termuat dalam Pasal 23E ayat (1) yang menentukan “ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri .” 4. Penegasan pelaksanaan pemeriksaan BPK secara bebas dan mandiri tersebut sejalan dengan Section 5 “ The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts ” yang berbunyi sebagai berikut: Section 5. Independence of Supreme Audit Institutions 1. Supreme Audit Institutions can accomplish their tasks objectively and effectively only if they are independent of the audited entity and are protected against outside influence. 2. Although state institutions cannot be absolutely independent because they are part of the state as a whole, Supreme Audit Institutions shall have the functional and organisational independence required to accomplish their tasks. 3. The establishment of Supreme Audit Institutions and the necessary degree of their independence shall be laid down in the Constitution; details may be set out in legislation. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam ketentuan a quo tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, merupakan pernyataan yang tidak beralasan dan telah mengabaikan semangat yang justru merupakan original intent dari Pasal 23E ayat UUD NRI Tahun 1945, yang menghendaki BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa seluruh sistem keuangan negara secara bebas dan mandiri, dengan tetap memperhatikan kaidah keilmuan di bidang pemeriksaan keuangan atau audit . E. Bahwa terhadap pertanyaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Suhartoyo yang pada intinya menanyakan kepada DPR RI dan BPK mengenai nomenklatur PDTT yang abstrak, tidak konkret, dan mengapa nomenklatur tersebut tidak diubah menjadi pemeriksaan 100 investigatif, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
PDTT meliputi pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksan invetigatif. Meskipun baik pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif menghasilkan kesimpulan, namun keduanya memiliki tujuan yang berbeda.
Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam PDTT dengan bentuk pemeriksaan kepatuhan, apabila pemeriksa mengidentifikasi adanya pertentangan antara beberapa sumber kriteria yang digunakan, pemeriksa harus menganalisis konsekuensi dari adanya pertentangan tersebut. Materialitas juga dipertimbangkan dalam penentuan topik dan kriteria pemeriksaan.
Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif ini hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang, atau akan terjadi (PBPK 1/2017 PSP 100 angka 5 huruf v). Sumber predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan kepatuhan, dan informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Dengan merujuk pada cakupan dalam PDTT tersebut, maka jelas bahwa PDTT tidak hanya berupa pemeriksaan investigatif namun juga terdapat pemeriksaan kepatuhan. Pemeriksaan kepatuhan tidak dapat disamaartikan dengan pemeriksaan investigatif karena memiliki tujuan, metode, dan ruang lingkup yang berbeda. Oleh karena itu, DPR RI memberikan keterangan bahwa nomenklatur PDTT dalam pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN tidak dapat diganti dengan nomenklatur pemeriksaan investigatif. 101 F. Bahwa Terhadap Permintaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih atas Risalah Pembahasan RUU BPK dan RUU PPTKN, DPR RI Memberikan Lampiran Risalah Pembahasan RUU BPK dan RUU PPTKN Secara Lengkap Sebagai Lampiran yang tidak Terpisahkan dari keterangan tambahan Ini. III. Petitum DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga telah menyerahkan 102 keterangan tertulis beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. Legal Standing Dalam permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional yang bersifat potensial pasti atas eksistensi frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan norma a quo dengan alasan antara lain sebagai berikut:
Pasca diundangkannya UU 15/2004, terdapat penambahan kewenangan BPK yakni kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (selanjutnya disebut PDTT) yang tidak termasuk dalam Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Kewenangan tersebut dimasukkan dalam UU 15/2006 sehingga inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Penambahan kewenangan PDTT menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon I dan Pemohon II dalam menjalankan tugasnya sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas, maksud, dan tujuan PDTT pada saat dilakukan PDTT terhadap suatu lembaga negara padahal lembaga negara itu sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan kerugian konstitusionalitas bagi Pemohon III selaku mahasiswa yang mendapatkan penjelasan terkait kedudukan PDTT.
Berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang balk dan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a dan huruf f serta Pasal 6 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disingkat UU 12/2011), frasa 'pemeriksaan dengan tujuan tertentu' tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan; Terhadap alasan-alasan permohonan di atas, BPK berpendapat, sebagai berikut:
Sebagai dosen dan mahasiswa, Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik kerugian konstitusional sebagai akibat berlakunya norma a quo, karena tidak ada penjelasan mengenai hubungan sebab akibat (causal verband) antara norma a quo dengan kerugian konstitusional Pemohon dalam memberikan penjelasan dan memahami PDTT. 103 Dalam hal, yaitu seorang pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sebagai sivitas akademika, pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai suatu permasalahan, dalam hal ini mengenai PDTT, seyogyanya dijadikan bahan untuk melakukan suatu penelitian. Untuk mendukung hal tersebut, BPK terbuka untuk memberikan penjelasan mengenai PDTT termasuk mengenai standar yang digunakan.
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan PDTT dalam UU 15/2006 tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum sesuai dengan teknik pembuatan peraturan perundang-undangan dalam UU 12/2011, bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma PDTT, namun merupakan hal yang terkait dengan teknik legal drafting sehingga bukan merupakan ranah Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya. Dengan demikian, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian atas Pasal-Pasal a quo. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima Permohonan a quo. Namun demikian, BPK tetap menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim untuk menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing). Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat untuk menerima Permohonan a quo, perkenankan BPK menyampaikan penjelasan atas materi perkara sebagaimana dalam bagian di bawah ini. B. Keterangan BPK atas Pokok Permohonan Pemohon Terhadap frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan a quo yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, BPK berpendapat bahwa ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK, dengan penjelasan yang akan disampaikan dalam 4 (empat) bagian pokok, yakni pertama penjelasan tentang PDTT dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, kedua penjelasan tentang pengaturan mengenai PDTT dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara 104 (SPKN), ketiga penjelasan tentang original intent perumusan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dan keempat __ penjelasan tentang Konstitusionalitas Norma PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006.
PDTT dalam Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Terkait dengan pelaksanaan PDTT, Pemohon mempermasalahkan hal-hal berikut:
Pemohon mempertanyakan dasar konstitusional kewenangan PDTT yang dimiliki BPK karena seringkali terhadap instansi Pemerintah yang sudah berkali-kali mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) masih juga dilakukan PDTT.
Pemohon menyatakan bahwa secara normatif BPK dapat melaksanakan PDTT apabila ada permintaan dari DPR/DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004 yang menyatakan, "DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan." c. Pemohon berpendapat bahwa permintaan DPR/DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan pilihan PDTT, sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan (abuse of power) karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 dibandingkan dengan jenis pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 15/2004. Selain itu, ketidakjelasan instrumen wewenang yang diberikan kepada BPK dalam melaksanakan PDTT akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh "oknum" BPK dalam melaksanakan tugasnya. Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Hubungan Opini atas Laporan Keuangan dengan PDTT 1) Sesuai ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, BPK diamanatkan untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara 105 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan yang berbeda- beda, yaitu: a) Pemeriksaan Keuangan, merupakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan (LK) yang dilakukan dalam rangka menilai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam LK Pemerintah. Laporan pemeriksaan ini memuat opini atas LK. b) Pemeriksaan Kinerja, ditujukan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. Laporan pemeriksaan ini memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. c) PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di Iuar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Laporan pemeriksaan ini memuat kesimpulan.
Opini dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LK Pemerintah merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan Pemeriksa, yakni:
opini wajar tanpa pengecualian _(unqualified opinion); _ (2) opini wajar dengan pengecualian _(qualified opinion); _ (3) opini tidak wajar _(adversed opinion); _ dan (4) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Makna opini WTP diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa LK instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim di dunia internasional yang biasa dikenal dengan nama Compliance Audit dan Investigative Audit. Pemeriksaan Kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya 106 dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang mungkin tidak dapat di- cover saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemeriksaan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan atau dari hasil Pemeriksaan Kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil Pemohon yang mempermasalahkan perolehan opini WTP oleh suatu instansi dengan dilaksanakannya PDTT atas instansi tersebut, adalah hal yang tidak relevan.
PDTT Berdasarkan Permintaan 1) Selain pelaksanaan PDTT yang diinisiasi oleh BPK, PDTT juga dapat dilakukan berdasarkan adanya permintaan dari lembaga perwakilan maupun aparat penegak hukum, serta amanat dari undang-undang. Sebagai contoh: a) PDTT atas Pengadaan Alat Kesehatan pada Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan Pada Pemerintah Provinsi Banten, dilakukan atas permintaan dari KPK; b) PDTT terkait pembangunan P3SON Hambalang, dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR; c) PDTTterkait PT Pelindo, dilakukan berdasarkan permintaan DPR; 107 d) PDTT terkait PT Bank Century, dilakukan berdasarkan permintaan DPR dan KPK; dan e) PDTT atas Laporan Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Partai Politik, dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Sesuai dengan kewenangan BPK yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU 15/2006, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Kewenangan ini merupakan wujud independensi BPK sebagai lembaga eksternal audit pemerintah. Permintaan dari DPR menjadi salah satu sumber informasi awal untuk melakukan PDTT, namun tidak menjadi satu-satunya sumber. Hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik (ramai di media massa), hasil pemeriksaan sebelumnya, renstra pemerintah, serta amanat undang-undang, juga menjadi pertimbangan BPK ketika memutuskan untuk memeriksa suatu objek. Semua sumber tersebut tentunya tidak serta merta diputuskan untuk diperiksa tanpa terlebih dulu dilaksanakan suatu kajian awal, terutama apabila yang dimintakan adalah PDTT investigatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa PDTT hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan lembaga perwakilan, tidak berdasar.
Potensi Abuse of Power dalam Pelaksanaan PDTT oleh BPK Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa PDTT sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan (abuse of power), dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pemeriksaan oleh BPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan atas kinerja pemerintahan secara umum, yang dalam hal ini memang menjadi domain DPR sebagai wujud keterwakilan politik rakyat dalam kekuasaan negara. Namun demikian, justru karena fungsi pengawasan oleh DPR bersifat politis, struktur dan pembagian kekuasaan dalam UUD 1945 menempatkan BPK, sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab 108 keuangan negara secara lebih teknis. Karena sifatnya yang teknis, semua jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik atas permintaan oleh DPR/DPRD atau atas inisiatif BPK sendiri, haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional sesuai dengan keilmuan, standar, maupun peraturan-perundangan sebagai batu ujinya.
Kewenangan BPK melakukan PDTT sudah sejalan dengan praktik-praktik yang ada di BPK negara lain. Contoh BPK di negara-negara lain yang melakukan compliance audit (PDTT) sebagai jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja antara lain: SAI European Union, SAI Bulgary, SAI Croatia, SAI Cyprus, SAI Denmark, SAI Estonia, SAI Hungary, SAI Italy, SAI Spain, dan SAI Poland. 3) Perihal kekhawatiran Pemohon mengenai adanya potensi abuse of power dalam pelaksanaan pemeriksaan, sebenarnya sudah cukup diantisipasi dengan adanya Peraturan BPK tentang SPKN, dan peraturan perundang- undangan lain yang mengatur konsekuensi atas penyalahgunaan kewenangan, antara lain Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. __ Dengan demikian, potensi abuse of power yang menjadi kekhawatiran Pemohon sebenarnya bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas, melainkan permasalahan yang dapat timbul dalam penerapan norma, sehingga tidak tepat apabila hal tersebut menjadi materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
PDTT dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Pemohon mendalilkan bahwa keberadaan kewenangan PDTT dalam ketentuan norma a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat PBPK 1/2007) yang secara rigid mengatur teknis pelaksanaan PDTT, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 (selanjutnya disingkat PBPK 1/2017) yang merupakan Peraturan pengganti dari PBPK 1/2007, dalam lampirannya tidak lagi memasukkan tentang standar PDTT. Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugas dan mewujudkan kemandiriannya, BPK 109 diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan merupakan patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. (vide Pasal 1 angka 13 UU 15/2006).
Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat SPKN) yang ditetapkan melalui PBPK 1/2017, yang merupakan penyempurnaan standar pemeriksaan sebelumnya, yaitu PBPK 1/2007. Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memperhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah.
Penyusunan PBPK 1/2007 dilakukan dengan menggunakan referensi utama The Generally Accepted Government Auditing Standards (GAGAS) Tahun 2003 yang telah direvisi sebanyak dua kali, terakhir pada tahun 2011. PBPK 1/2007 digunakan secara bersama-sama dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), khususnya mengenai Pernyataan Standar Audit (PSA) tentang audit keuangan dan perikatan atestasi, kecuali diatur lain dalam PBPK 1/2007.
Standar pemeriksaan yang dijadikan rujukan PBPK 1/2007 mengalami perubahan, dalam hal ini SPAP diubah dengan mengadopsi International Standards on Auditing (ISA). Selain itu, BPK sebagai bagian dari organisasi badan pemeriksaan keuangan sedunia yang bernama International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), dalam melaksanakan pemeriksaan juga harus mengacu pada perkembangan standar pemeriksaan, termasuk International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) yang ditetapkan INTOSAI. Dengan adanya acuan standar pemeriksaan yang sama oleh seluruh anggota INTOSAI, memungkinkan untuk dilakukan telaah atas sistem pengendalian mutu BPK oleh Supreme Audit Institution (SAI) negara lain yang menjadi anggota INTOSAI guna menjamin bahwa mutu pemeriksaan pengelolaan dan 110 tanggung jawab keuangan negara oleh BPK telah sesuai dengan standar. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU 15/2006.
Perkembangan standar pemeriksaan internasional saat ini berubah dari berbasis pengaturan detail (rule based standards) menjadi berbasis prinsip (principle based standards). Hal ini diadaptasi oleh BPK dalam pendekatan pengaturan pada PBPK 1/2017 sehingga berdampak pada sistematika pengaturannya. Penyusunan standar yang bersifat principle based salah satunya dimaksudkan agar SPKN lebih fleksibel dalam mengakomodir perubahan-perubahan aturan maupun best practices di dunia profesi pemeriksa, sehingga SPKN akan lebih bersifat long lasting dan tidak perlu terlalu sering berubah.
Perbedaan sistematika dan pendekatan pada PBPK 1/2017 bukan berarti menghilangkan PDTT dari jenis pemeriksaan BPK, namun hanya menyederhanakan penyajian lampiran. PBPK 1/2007 terdiri dari 8 (delapan) lampiran yang mencakup: (vide PBPK 1/2007) 1) Pendahuluan Standar Pemeriksaan;
PSP 01 Standar Umum;
PSP 02 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan;
PSP 03 Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan;
PSP 04 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja;
PSP 05 Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja;
PSP 06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu; dan
PSP 07 Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu. Sedangkan PBPK 1/2017 terdiri atas 4 (empat) lampiran, yaitu: (vide PBPK 1/2017) 1) Kerangka Konseptual Kerangka konseptual menjadi acuan bagi pengembangan standar itu sendiri. Dalam hal terdapat permasalahan yang belum diatur dalam standar pemeriksaan, maka pemeriksa mengacu pada kerangka konseptual.
PSP Nomor 100 tentang Standar Umum Standar umum merupakan dasar penerapan standar pelaksanaan dan standar pelaporan secara efektif. Standar umum berlaku untuk semua jenis pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, kinerja, maupun PDTT. 111 3) PSP Nomor 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Standar Pelaksanaan Pemeriksaan disusun untuk memberikan panduan bagi pemeriksa agar: (a) dapat merencanakan pemeriksaan yang berkualitas dan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; dan (b) merancang dan melaksanakan prosedur pemeriksaan untuk memperoleh bukti yang cukup dan tepat. PDTT diatur dalam PSP Nomor 200, sebagai contoh, dalam Paragraf 8 huruf e yang menyatakan bahwa tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa telah sesuai (patuh) dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan. Standar Pelaporan Pemeriksaan disusun untuk memberikan panduan bagi pemeriksa agar dapat: (a) merumuskan suatu kesimpulan hasil pemeriksaan berdasarkan evaluasi atas bukti pemeriksaan yang diperoleh; dan (b) mengomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pihak-pihak yang terkait. PSP 300 pada paragraf A13 menyatakan: pada PDTT kepatuhan, unsur temuan yang harus ada adalah kondisi, kriteria, dan akibat. Dari semua penjelasan PSP tersebut, jelas bahwa PDTT tetap diatur dalam SPKN sesuai porsinya, sehingga dapat disimpulkan bahwa PBPK 1/2017 tidak menghilangkan PDTT. SPKN yang diatur dalam PBPK 1/2017 menganut principle based standard sehingga struktur penyajiannya berdasarkan Iangkah- Iangkah pemeriksaan, bukan lagi berdasarkan jenis pemeriksaan. Walaupun PDTT tidak dapat terbaca secara Iangsung pada judul/subjudul/heading, secara substansi PDTT tetap ada dalam PBPK 1/2017 dan bahkan dipertegas mengenai bentuknya. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, pernyataan Pemohon bahwa keberadaan kewenangan PDTT dalam ketentuan norma a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena berubahnya Peraturan BPK tentang SPKN, yang menurut Pemohon tidak lagi memuat mengenai PDTT, tidak berdasar dan tidak dapat diterima. 112 3. Original Intent Perumusan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 Bahwa terhadap frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang didalilkan oleh Pemohon tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Penafsiran konstitusi melalui pendekatan original intent harus melihat tujuan para penyusun konstitusi itu sendiri dari berbagai sumber, termasuk pandangan framers of constitution (penyusun konstitusi). Gagasan untuk mengubah ketentuan tentang BPK melalui perubahan UUD 1945 didorong oleh kehendak untuk memperkuat dan memberdayakan Lembaga-lembaga Tinggi Negara, termasuk BPK.
Pembahasan mengenai perubahan BPK itu sendiri sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999, namun tidak selesai. Pembahasan rancangan materi perubahan kedua dimulai dalam rapat Badan Pekerja MPR- RI pada akhir tahun 1999, yang diteruskan pembahasannya dalam Panitia Ad Hoc (PAH) I BP-MPR. Banyak hal telah disepakati, namun sampai dengan hasil pembahasan dibawa ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, ternyata mengenai BPK ini belum dapat diputuskan. Pembahasan mengenai ketentuan BPK baru dapat diselesaikan dalam Sidang MPR RI Tahun 2001, yang menyepakati pengaturan tentang ketentuan BPK sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945, dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F dan Pasal 23G. Argumentasi Pemohon mengenai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 sebagaimana dimuat dalam permohonannya, hanya mengacu pada pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, tanpa memperhatikan pembahasan-pembahasan untuk Perubahan UUD 1945 selanjutnya.
Pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD 1945, yang sebagian dirujuk oleh Pemohon, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa: "Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik 113 maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi." d. Berdasarkan Risalah Pembahasan Sidang-Sidang MPR diketahui bahwa penguatan dan pemberdayaan BPK sesuai tuntutan dan harapan masyarakat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:
penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri atau terlepas dari pengaruh lembaga tinggi negara lainnya dalam melakukan tugasnya;
penegasan BPK sebagai satu- satunya lembaga pemeriksa keuangan negara (eksternal);
Perluasan ruang lingkup objek yang diperiksa, yaitu tidak hanya meliputi keuangan negara yang dikelola Pemerintah dalam APBN, namun meliputi pula keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan dari APBN; dan
Perluasan tugas BPK, dalam konteks proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa, dari yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara ditambah menjadi 'memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara'. Sehingga BPK tidak sekedar melakukan pemeriksaan atas penyajian laporan keuangan saja, akan tetapi memeriksa seluruh aspek dan proses pengelolaan keuangan negara, termasuk yang ditujukan untuk memeriksa kesepadanan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Upaya penguatan dan pemberdayaaan BPK tersebut, menghasikan rumusan perubahan ketentuan tentang BPK dalam UUD, termasuk yang termuat dalam Pasal 23E ayat (1) yang menentukan "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.". Penegasan pelaksanaan pemeriksaan BPK secara bebas dan mandiri tersebut sejalan dengan Section 5 "The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts" yang berbunyi sebagai berikut: Section 5. Independence of Supreme Audit Institutions 1. Supreme Audit Institutions can accomplish their tasks objectively and effectively only if they are independent of the audited entity and are 114 protected against outside influence. 2. Although state institutions cannot be absolutely independent because they are part of the state as a whole, Supreme Audit Institutions shall have the functional and organisational independence required to accomplish their tasks. 3. The establishment of Supreme Audit Institutions and the necessary _degree of their independence shall be laid down in the Constitution; _ details may be set out in legislation. e. Bahwa menurut Andi Matalatta dan Jakob Tobing, perumus perubahan UUD 1945, dalam diskusi terbatas dengan BPK pads tanggal 19 November 2019, penguatan dan pemberdayaan BPK dilakukan dalam kerangka checks and balances. Selanjutnya Andi Mattalatta menyatakan, check and balances tersebut antara lain terwujud dalam rumusan Pasal 23E ayat (3) UUD 1945 yang menentukan hasil pemeriksaan BPK ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Hal ini berarti bahwa stakeholder BPK bukan hanya lembaga perwakilan yang berdasarkan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 secara rutin menerima hasil pemeriksaan keuangan, namun juga badan/lembaga negara, yang berdasarkan undang-undang diamanatkan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, termasuk aparat penegak hukum, apabila hasil pemeriksaan BPK mengungkap adanya hal-hal yang perlu dilakukan proses penegakan hukum lebih lanjut. Hasil pemeriksaan BPK yang mengungkap hal tersebut disimpulkan melalui PDTT. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan a quo tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, merupakan pernyataan yang tidak beralasan dan telah mengabaikan semangat yang justru merupakan original intent dari Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yang menghendaki BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa seluruh sistem keuangan negara secara bebas dan mandiri, dengan tetap memperhatikan kaidah keilmuan di bidang auditing.
Konstitusionalitas Norma PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 Terhadap konstitusionalitas norma PDTT dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Penafsiran gramatikal yang disebut juga metode penafsiran objektif merupakan cara penafsiran untuk mengetahui makna ketentuan undang- 115 undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya. Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri". Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa basis kewenangan konstitusional BPK adalah pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara , yang apabila dimaknai secara tekstual gramatikal maka makna dari frasa "pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara", yang menjadi wewenang konstitusional BPK adalah kewenangan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, menurut kami tidak tepat, tidak memiliki landasan hukum yang jelas, dan merupakan persoalan penafsiran subjektif dari Pemohon, BUKAN persoalan konstitusionalitas ketentuan undang-undang. Jika Pemohon konsisten dengan penafsiran gramatikal, seharusnya frasa "... memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara ..." diartikan sebagai "memeriksa pengelolaan keuangan negara" dan "memeriksa tanggung jawab keuangan negara", BUKAN ditafsirkan sebagai pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Dengan demikian patut dipertanyakan metode penafsiran tekstual gramatikal yang dimaksud Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa "... dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" inkonstitusional karena telah memperluas kewenangan konstitusional yang telah diberikan secara eksplisit dan limitatif oleh UUD 1945, dengan merujuk pada rumusan mengenai wewenang Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) dalam UUD 1945, BPK berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak tepat dengan penjelasan sebagai berikut:
Pemaknaan Pemohon mengenai PDTT sebagai perluasan kewenangan konstitusional BPK dengan memperbandingkan antara rumusan ketentuan mengenai wewenang BPK dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dengan ketentuan mengenai wewenang MA, MK, dan KY dalam Pasal 24A, 24B, dan 24C UUD 1945 adalah tidak tepat. Wewenang suatu lembaga negara tidak seluruhnya harus diatur dalam konstitusi, namun dapat pula diamanatkan untuk diatur dalam undang- undang, sebagaimana pemikiran/pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie 116 mengenai fungsi lembaga/organ, yang menerangkan bahwa dalam UUD 1945 terdapat organ atau lembaga yang nama serta wewenangnya disebut secara eksplisit dan ada pula organ atau lembaga yang wewenangnya sama sekali tidak atau belum disebut secara implisit maupun eksplisit, namun akan diatur dengan peraturan yang Iebih rendah." 2) Pemaknaan Pemohon bahwa PDTT merupakan bentuk wewenang yang inkonstitusional karena tidak dinyatakan secara eksplisit juga merupakan sebuah kekeliruan karena PDTT, sebagaimana halnya pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang juga tidak disebut secara eksplisit dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, merupakan jenis pemeriksaan, yang pengaturannya memang sudah sepatutnya dilakukan dalam undang-undang dan bukan dalam Undang-Undang Dasar.
Terhadap dalil Pemohon yang mempertanyakan konstitusionalitas PDTT karena penjelasan tentang PDTT tidak diatur dalam UU 15/2006, yang merupakan UU Organik, namun diatur dalam Penjelasan UU 15/2004 (yang merupakan tindak lanjut dari UU 17/2003 dan UU 1/2004), BPK berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak berdasar dengan penjelasan sebagai berikut:
Undang-undang organik adalah undang-undang yang secara eksplisit diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar sebagaimana dikemukakan oleh Ahli sebagai berikut: a) Prof. Soehino (ahli hukum tata negara): "Undang-undang organik adalah undang-undang yang dibentuk untuk melaksanakan secara langsung perintah dari ketentuan undang- undang dasar. " b) Prof. Maria Farida Indrati Soeprapto: "Undang-undang organik adalah undang-undang yang substansinya merupakan penjabaran langsung dari delegasi pengaturan yang disebut secara eksplisit dalam UUD 1945." Sementara dalam Black's Law Dictionary disebutkan bahwa Organic Law adalah: "the fundamental law, or constitution, of a state or nation, written or unwritten; that law or system of laws or principles which defines and establishes the organization of its government." 117 Dengan demikian, undang-undang organik dapat diartikan sebagai Pertama, undang-undang yang dibentuk untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Dasar yang disebutkan secara tegas; Kedua, undang- undang yang mengatur segala ketentuan yang berhubungan dengan keorganisasian negara.
Pengaturan mengenai kelembagaan serta wewenang suatu lembaga dalam undang-undang yang berbeda, tidak melulu dalam undang-undang organik, merupakan hal yang lazim dalam pembentukan peraturan perundangundangan di Indonesia, sebagai contoh: a) Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, sementara mengenai kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. b) Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sementara pengaturan kewenangannya diatur antara lain dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. c) Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Pengaturan mengenai kewenangan DPR diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UU 15/2004 yang menentukan DPR dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan (vide Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004) dan DPR dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut pemeriksaan (vide Pasal 21 ayat (4) UU 15/2004).
Ketentuan mengenai kelembagaan BPK diatur dalam UU 15/2006, sedangkan mengenai pelaksanaan pemeriksaan BPK diatur dalam UU 15/2004. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 15/2006, yang menentukan bahwa pemeriksaan BPK, termasuk di dalamnya PDTT, 118 dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Ketentuan mengenai pemeriksaan BPK ditegaskan pula dalam undang- undang selain UU 15/2004 dan UU 15/2006, sebagai contoh: a) Pasal 34A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang menyatakan bahwa: "Partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir." b) Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menentukan: "Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan." c) Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menentukan: "Untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan Pencetakan, Pengeluaran, dan Pemusnahan Rupiah, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit secara periodik." Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, pernyataan Pemohon bahwa frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 inkonstitusional adalah pernyataan yang tidak memiliki dasar pembenar. C. Manfaat PDTT dan Implikasi Dihapuskannya Kewenangan BPK untuk Melakukan PDTT 1. Untuk negara demokrasi seperti Indonesia yang saat ini masih menghadapi perjuangan berat untuk memberantas korupsi, tidak dapat kita pungkiri bahwa PDTT menjadi alat yang sangat penting untuk turut membantu pemerintah dalam memerangi korupsi. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan menjadi syarat utama untuk dapat mencapai kinerja pemerintahan yang baik. 119 Segitiga maturitas organisasi yang disusun oleh Government Accountability Office (GAO) membagi peran SAI ke dalam tiga level yaitu: a) oversight, yang ditujukan untuk (1) mendorong upaya pemberantasan korupsi;
meningkatkan transparansi;
menjamin terlaksananya akuntabilitas; dan
meningkatkan ekonomi, efisiensi, etika, nilai keadilan, dan keefektifan; b) insight, yang ditujukan untuk mendalami kebijakan dan masalah publik; dan c) foresight, yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan pengambilan keputusan untuk memilih alternatif masa depan. 2. Fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada angka 38 (skala 0- 100, dengan 100 menunjukkan nilai terbaik), menempatkan Indonesia pada peringkat 4 di tingkat Asean (urutan 1-3 adalah Singapura (85), Brunei (63), Malaysia (47)) dan menempatkan Indonesia pada urutan 89 dari 180 negara di dunia, menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan PDTT. Fungsi oversight masih sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Namun demikian BPK jugs tetap menjalankan fungsi insight dan foresight-nya melalui pemeriksaan kinerja.
Manfaat lain dari pelaksanaan PDTT adalah terkait dengan subsidi pemerintah dan kepatuhan BUMN sebagai pengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Hasil pemeriksaan BPK atas penghitungan dan pembayaran subsidi pemerintah kepada BUMN selama tahun 2016 sampai dengan 2019 adalah sebesar Rp16,25 Triliun. Apabila BPK tidak melakukan pemeriksaan kepatuhan, maka besarnya subsidi yang dibayar selama 4 tahun terakhir akan melebihi dari jumlah tersebut. Selain itu, dari hasil PDTT kepatuhan yang dilakukan oleh BPK selama tahun 2016 sampai dengan Semester 12019, ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan kerugian negara, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp64,13 triliun. Terhadap sebagian dari temuan tersebut telah ada upaya pengembalian ke kas negara oleh pihak yang bertanggung jawab.
Dihapuskannya norma a quo akan berdampak pada implementasi ketentuan dalam undang-undang lain yang disusun oleh negara, untuk menjamin agar 120 tata kelola keuangan negara dapat dijalankan dengan balk oleh para penyelenggara negara. Beberapa ketentuan yang terpengaruh sebagai konsekuensi jika frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, antara lain: Penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004 "Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah." Pasal 13 UU 15/2004 "Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana." Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004 "DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan." Penjelasan: "Pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu." Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil pen yidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Penjelasan: Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 _"Portal Politik berkewajiban untuk: _ i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan; " 121 Berdasarkan seluruh uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PDTT diperlukan sebagai audit tools untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dihapuskannya norma a quo justru akan menimbulkan celah dalam mewujudkan pengelolaan tersebut, antara lain tidak adanya alat untuk mendeteksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian negara. D. Petitum Berdasarkan keterangan tersebut di atas, menurut BPK tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004, inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. BPK memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan BPK secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU 15/2006 dan UU 15/2004.
Menyatakan permohonan Pemohon seluruhnya ditolak atau setidak- tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tambahan Pihak Terkait: Dalam beberapa sidang pemeriksaan, Yang Mulia Majelis Hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan sebagai berikut: __ Pertama , pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Wahiduddin Adams: Dalam Keterangan BPK disampaikan bahwa PDTT diperlukan sebagai audit tools untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dihapuskannya norma a quo akan menimbulkan celah, antara lain, tidak adanya alat untuk mendeteksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan tindak pidana 122 korupsi dan pengembalian keuangan negara. Jika norma a quo dihilangkan, bagaimana implikasinya terhadap hasil audit laporan keuangan atau general audit sebagai bukti hukum? Untuk pertanyaan tersebut dapat kami jelaskan bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara harus diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan oleh BPK terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disingkat UU 17/2003). Dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat PBPK 1/2017) antara lain dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan negara meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Pemerintah wajib melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang- undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal inilah yang disebut sebagai tanggung jawab keuangan negara. Terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, yaitu Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Hal mendasar yang membedakan ketiga jenis pemeriksaan tersebut adalah tujuannya. Pemeriksaan Keuangan bertujuan memberikan pernyataan opini tentang kewajaran informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan (LK) Pemerintah. Pemeriksaan Kinerja bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. PDTT dilakukan dengan tujuan khusus, di luar kedua jenis pemeriksaan yang lain. Perbedaan tujuan antara Pemeriksaan Keuangan dan PDTT berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Salah satu contoh yang dapat menunjukkan perbedaan kedua jenis pemeriksaan tersebut adalah, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sementara PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LK Pemerintah memuat opini, yaitu pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. 123 Sedangkan Laporan Hasil PDTT memuat kesimpulan, yaitu simpulan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan (Pemeriksaan Kepatuhan) dan mengenai ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau adanya unsur pidana dalam pengelolaan keuangan negara (Pemeriksaan Investigatif). Mengacu pada SPKN, dalam Pemeriksaan Keuangan harus diidentifikasi risiko kecurangan dan dinilai risiko adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang disebabkan oleh kecurangan ( fraud ) dan/atau ketidakpatuhan ( abuse ). Meskipun demikian, selalu ada kemungkinan bahwa fraud dan abuse tidak terdeteksi dalam Pemeriksaan Keuangan akibat kompleksitas permasalahan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan PDTT untuk memastikan bahwa kecurangan dan ketidakpatuhan tersebut tidak luput dari pemeriksaan. Dalam praktiknya LHP BPK sering digunakan sebagai alat bukti hukum dalam penanganan perkara-perkara, baik pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Kewenangan untuk menentukan dapat tidaknya suatu LHP BPK digunakan sebagai alat bukti hukum sepenuhnya merupakan kewenangan dari penyidik dan majelis hakim. LHP atas LK Pemerintah dan Laporan Hasil PDTT bukan merupakan dua hal yang harus dipertentangkan. LHP atas LK Pemerintah merupakan produk dari Pemeriksaan yang tidak didesain untuk mendalami substansi tertentu, tetapi untuk menilai kewajaran penyajian LK. Sehingga dalam hal LHP atas LK akan dijadikan sebagai alat bukti hukum dalam suatu masalah/kasus tertentu, pada umumnya masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut untuk mengungkap fakta yang diperlukan dalam pembuktian hukum. Sementara itu LHP PDTT merupakan produk dari Pemeriksaan yang sudah didesain dari awal untuk mendalami masalah tertentu. Sehingga ketika dari PDTT ditemukan adanya kecurangan ( fraud ) atau ketidakpatuhan yang berimplikasi terhadap keuangan negara, LHP PDTT dapat langsung ditindaklanjuti dan dipergunakan sebagai alat bukti. Dengan demikian, jika norma a quo dihilangkan, maka apabila dari hasil Pemeriksaan atas LK ditemukan adanya hal-hal yang perlu pendalaman, maka BPK tidak memiliki audit tools untuk melakukan hal tersebut. Selanjutnya, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim I Dewa Gede Palguna. Pertanyaan pertama: WTP adalah opini setelah pemeriksaan keuangan. Pengertian “pemeriksaan” adalah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU 15/2004, yaitu proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai 124 pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Opini dikeluarkan sudah berdasarkan standar pemeriksaan. Kalau sudah begitu mengapa masih diperlukan PDTT? Apakah ada kekurangcermatan analisis saat menghasilkan WTP? Atas pertanyaan tersebut, dapat kami berikan penjelasan sebagai berikut: Sesuai dengan tujuannya, pemeriksaan keuangan dimaksudkan untuk memberikan opini atas kewajaran penyajian LK dengan menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi dalam LK. Dalam pemeriksaan atas laporan keuangan ini, BPK menguji apakah asersi atau pernyataan manajemen yang termuat dalam LK entitas telah sesuai dengan standar (SAP). Secara metodologi, asersi yang diuji meliputi beberapa hal:
Asersi tentang keberadaan atau keterjadian ( existence or occurance ), yang berhubungan dengan apakah aktiva atau uang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu.
Asersi tentang kelengkapan ( completeness ), yang berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam LK telah dicantumkan di dalamnya.
Asersi tentang hak dan kewajiban ( rights and obligations ), yang berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu.
Asersi tentang penilaian atau alokasi ( valuation and allocation ), yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan biaya sudah dicantumkan dalam LK pada jumlah yang semestinya.
Asersi tentang penyajian dan pengungkapan ( presentation and disclosure ), yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu LK diklasifikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan semestinya. Sebagai ilustrasi, untuk memastikan bahwa pengadaan aset oleh suatu entitas, berupa sebuah gedung telah dicatat secara wajar dalam LK, maka akan dilakukan pemeriksaan atas beberapa hal, yaitu:
apakah secara fisik gedung tersebut ada/nyata ( existance ), (2) apakah pengadaan didukung oleh dokumen yang sah seperti kontrak, kuitansi, berita acara fisik, sertipikat ( completeness, right and obligation ) dan dokumen yang terkait nilai perolehannya ( valuation ), serta (3) apakah pengadaan diungkap secara jelas dan memadai dalam LK, baik terkait lokasi, status, luas, jumlah lantai, dan peruntukan ( disclosure ). Jika hal-hal tersebut telah disajikan dalam LK oleh entitas sesuai dengan pedoman atau standar akuntansi keuangan yang berlaku serta tidak ada 125 kesalahan saji yang sifatnya material, maka atas LK tersebut BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Namun apakah entitas tersebut dapat dinyatakan telah patuh terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa? Apakah proses pengadaan gedung tersebut telah dilaksanakan secara fair dan tidak ada unsur persekongkolan? Atau apakah proses penganggaran gedung tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada? LK tidak memberikan informasi- informasi yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di sinilah diperlukan kehadiran PDTT, yaitu untuk mendalami persoalan substansi masalah yang terjadi beserta sebab dan akibat dengan analisis yang lebih dalam. Dari PDTT dihasilkan laporan yang memuat kesimpulan berupa penilaian mengenai kepatuhan pengadaan aset tersebut terhadap peraturan perundang-undangan, melalui PDTT dalam bentuk compliance audit , atau mengenai ada tidaknya indikasi kerugian negara dan atau penyimpangan yang berindikasi pidana, melalui pemeriksaan investigatif. Penjelasan dan ilustrasi mengenai Pemeriksaan Keuangan dan PDTT tersebut sekaligus dapat meluruskan adanya persepsi yang kurang tepat mengenai issue ketidakcermatan dalam melakukan pemeriksaan keuangan dengan dilakukannya PDTT, khususnya PDTT yang dilakukan berdasarkan rencana pemeriksaan BPK. Dalam hal ini, diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, karena tidak dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan standar pemeriksaan LK, dengan waktu yang telah dibatasi pelaksanaannya dengan UU 15/2004. Batas waktu pelaksanaan pemeriksaan keuangan diatur dalam Pasal 17 UU 15/2004, yaitu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya laporan keuangan unaudited dari Pemerintah. Dengan demikian, pendalaman atas substansi yang terjadi pada LK seharusnya tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan atas LK. Pemeriksaan LK pada saat ini menggunakan pendekatan Risk-Based Audit , yaitu Audit Berbasis Risiko dengan menggunakan sampling, yaitu pemeriksaan yang memberikan fokus perhatian pada area-area berisiko tinggi karena berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh pemeriksa. Penilaian risiko tersebut dilakukan pada tingkat entitas, siklus, kemudian diturunkan pada tingkat akun sehingga pemeriksaan dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien. Pertanyaan kedua: __ Independensi BPK sudah menjadi universal principal. Dalam Lima Declaration ditentukan “The establishment of supreme audit institution and necessary degree of their independence, shall be laid down in the constitution. Detail may 126 be set out in legislation.” Persoalan yang dipersoalkan oleh Pemohon sekarang, ‘whether the detail is against the constitutional or not?’ Dalam hal ini, untuk PDTT atas inisiatif BPK, apakah ada syarat subyektif dan syarat obyektif? Untuk pertanyaan tersebut, ijinkan kami memberikan penjelasan sebagai berikut: Pengaturan mengenai PDTT dalam UU 15/2004, UU 15/2006, dan yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PBPK 1/2017 merupakan penjabaran dari cita- cita diadakannya BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara. PDTT bukan merupakan satu jenis pemeriksaan yang hanya dikenal di Indonesia. Pengaturan mengenai PDTT dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip universal dan praktik internasional yang dipedomani oleh SAI negara lain. BPK mengadopsi standar di lingkungan profesi audit secara internasional yang dikeluarkan oleh INTOSAI yaitu ISSAI 12: The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions (SAIs) – making a difference to the lives of citizens , yang menetapkan 12 prinsip. Dalam prinsip 2 ISSAI 12 ditentukan bahwa SAI atau BPK: PRINCIPLE 2: Carrying out audits to ensure that government and public sector entities are held accountable for their stewardship over, and use of, public resources 1. SAIs should, in accordance with their mandates and applicable _professional standards, conduct any or all of the following: _ _a. Audits of financial and, where relevant, non-financial information; _ _b. Performance audits; _ c. Audits of compliance with the applicable authority. 2. SAIs may also, in accordance with their mandates, perform other types of work, for example judicial review or investigation into the use of public resources or matters where the public interest is at stake. 3. SAIs should respond appropriately, in accordance with their mandates, to the risks of financial impropriety, fraud and corruption. 4. SAIs should submit audit reports, in accordance with their mandates, to the legislature or any other responsible public body, as appropriate. Hal ini berarti fungsi BPK dalam praktiknya di dunia internasional luas dan tidak terbatas hanya pada pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja saja, tetapi termasuk juga pemeriksaan kepatuhan sebagaimana dimuat dalam Prinsip 2 butir 1 c. Selain itu, BPK pun bisa mendapatkan penugasan-penugasan lain seperti di Prinsip 2 butir 2 dan butir 3 dinyatakan bahwa BPK bisa melakukan judicial review (penetapan kerugian negara) or investigation , respond appropriately to the risk of financial impropriety (ketidakpatutan), fraud (kecurangan), and corruption (korupsi). International best practice tersebut terwujud dalam UU 15/2004, UU 15/2006, dan PBPK 1/2017 yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
Adopsi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan kepatuhan, dan pemeriksaan investigatif. 127 UU 15/2004: Pasal 4 ayat (1): Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pasal 13: Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Penjelasan Umum bagian B 3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, dalam Kerangka Konseptual Pemeriksaan, paragraf 18. 18. Jenis pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan PDTT. Tujuan suatu pemeriksaan menentukan jenis pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan. Tujuan pemeriksaan kinerja adalah memberikan kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas pengelolaan keuangan negara, serta memberikan rekomendasi untuk memperbaiki aspek tersebut. PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. 2. Adopsi penetapan jumlah kerugian negara UU 15/2006, Pasal 10 ayat (1): BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pelaksanaan semua pemeriksaan dan penugasan-penugasan di atas akan dilakukan oleh BPK sesuai dengan tujuannya, yaitu: 128 1. Guna memberikan opini atas LK Pemerintah Pusat/Daerah sesuai UU 17/2003, BPK melakukan pemeriksaan keuangan;
Apabila BPK melihat ada permasalahan ekonomis, efisiensi, dan efektivitas dalam penyelenggaraan negara, maka BPK akan melakukan pemeriksaan kinerja. Contohnya: BPK telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas efektivitas penanganan perkara pengujian undang-undang di MK dan Pemeriksaan Kinerja atas Pengelolaan Fungsi Penindakan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2009 s.d. 2011 di KPK.
Apabila BPK melihat ada permasalahan misalnya terkait pelaksanaan kontrak antara Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia, maka BPK melaksanakan pemeriksaan kepatuhan terhadap kontrak tersebut.
Apabila DPR melihat ada permasalahan seperti masalah di Bank Century, maka DPR meminta BPK melakukan pemeriksaan investigatif kasus Bank Century.
Apabila Aparat Penegak Hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan meminta BPK untuk melakukan investigatif dan perhitungan kerugian negara, maka BPK melaksanakan pemeriksaan investigatif dan perhitungan negara, misalnya untuk kasus Hambalang dan PT Asuransi Jiwasraya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam tataran UU maupun Peraturan BPK yang mengatur mengenai standar pemeriksaan, sangat jelas tidak ada persoalan ketidaksesuaian atau pertentangan antara norma PDTT yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan norma yang diatur dalam Konstitusi. Dalam konteks pelaksanaan PDTT yang dilakukan berdasarkan rencana pemeriksaan BPK sendiri, dapat kami sampaikan bahwa dilakukannya PDTT tidak dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan analisa yang memadai. Dalam tataran peraturan yang berlaku internal di lingkungan BPK, yaitu dalam panduan pemeriksaan telah diatur bahwa Program Pemeriksaan memuat antara lain alasan pemeriksaan sebagai dasar BPK untuk melakukan pemeriksaan (Paragraf 27 Bab II Perencanaan Pemeriksaan, Pedoman Manajemen Pemeriksaan (KBPK 5/2015)). Alasan pemeriksaan antara lain adalah hal-hal yang menjadi perhatian publik, prioritas utama Pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Selain itu, dalam Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan diatur bahwa sebelum melaksanakan PDTT, Pemeriksa harus menjunjung tinggi etika dan objektivitas. Pemeriksa harus berhati-hati untuk tetap bersikap objektif sehingga temuan dan kesimpulan tidak memihak, objektif dalam memilih tujuan pemeriksaan, mengidentifikasi kriteria, dan memastikan bahwa komunikasi dengan pemangku 129 kepentingan tidak mempengaruhi objektivitas BPK. Pemeriksa juga harus mempertimbangkan risiko adanya ketidakpatuhan material sebagai berikut:
kompleksitas ketentuan peraturan perundang-undangan;
kerawanan terjadinya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan;
jangka waktu entitas/hal pokok yang diperiksa telah menjadi subjek yang harus patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; Yang dimaksud dengan jangka waktu entitas yang diperiksa telah menjadi subjek yang harus patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan adalah berapa lama entitas sudah terikat dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya, ada peraturan baru tentang kewajiban mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sesuai amandemen UUD. Tapi, Pemerintah pada awalnya sempat hanya menganggarkan sebesar 6%, risiko ketidakpatuhan entitas menjadi tinggi untuk aturan-aturan yang baru ditetapkan. Yang dimaksud dengan hal pokok adalah hal yang diperiksa, misalnya: belanja pendidikan, belanja pegawai, infrastruktur, dan PNBP.
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pada tahun- tahun sebelumnya;
dampak potensial ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan bagi hal pokok yang diperiksa;
tingkat pertimbangan yang digunakan entitas dalam mematuhi peraturan; dan
hasil penilaian risiko pemeriksaan sebelumnya. Pertanyaan ketiga: __ Bagaimana mencegah penyalahgunaan PDTT oleh auditor? (Pencegahan yang sifatnya built-in dalam SOP/Standar Pemeriksaan) Terhadap pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: Dalam Standar Pemeriksaan BPK diatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan. Pengendalian mutu dilakukan dengan tujuan memastikan bahwa pemeriksaan telah dilakukan dengan mematuhi standar profesi, peraturan yang berlaku, dan LHP yang diterbitkan telah sesuai dengan kondisinya. Pengendalian mutu akan menjamin bahwa seluruh tahapan pemeriksaan dilaksanakan tepat waktu, komprehensif, terdokumentasi memadai, dilaksanakan, dan di -review oleh Pemeriksa yang kompeten secara berjenjang (BAB I Huruf H angka 27 Pedoman Manajemen Pemeriksaan Tahun 2015). Sistem Pengendalian Mutu (SPM) BPK mencakup supervisi, reviu berjenjang, monitoring, dan konsultasi selama proses pemeriksaan. Dengan demikian, pengendalian mutu pemeriksaan BPK telah terintegrasi dalam setiap tahap pemeriksaan melalui penerapan SPM. 130 Untuk menjamin mutu pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, sesuai Pasal 33 UU 15/2006, BPK ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia yang kompeten. Peer review terhadap BPK RI telah dilakukan beberapa kali, yaitu pada tahun 2004 oleh SAI New Zealand ( Office of the Auditor-General of New Zealand ), tahun 2009 oleh SAI Belanda ( Algemene Rekenkamer ), tahun 2014 oleh SAI Polandia ( Supreme Audit of Poland ), dan tahun 2019 oleh gabungan SAI yang terdiri dari SAI Polandia, SAI Norwegia ( Office of the Auditor General of Norway ), dan SAI Estonia ( The National Audit Office of Estonia ). Secara umum hal-hal yang diperiksa dalam peer review terhadap BPK RI meliputi aspek kelembagaan dan aspek pemeriksaan. PDTT secara khusus dibahas dalam peer review yang dilaksanakan pada tahun 2009, 2014, dan 2019. Dalam BPK Peer Review Report Tahun 2009 antara lain dinyatakan sebagai berikut: “We found that the Special Purpose Audit Manual complies with international standards and applicable laws and regulations...” “However, we found that the manual does not adequately clarify what type of audit should be used when. Owing to the amount of information the manual contains it is also difficult to obtain a clear understanding of the procedural differences between the three types of special purpose audit. We recommend that the manual be restructured to provide planning, fieldwork and reporting information by type of special purpose audit in separate chapters .” Kemudian dalam Peer Review Tahun 2014 rekomendasi terkait PDTT adalah: “Special purpose audits can be a convenient form to integrate various types of audits. It should not be reduced to compliance or fact sheets: systemic and performance conclusions and recommendations should be applied everywhere, where needed and useful.” Menindaklanjuti rekomendasi dari hasil kedua peer review tersebut, BPK melakukan penyempurnaan atas Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dengan menetapkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 yang dipergunakan pula sebagai standar PDTT. Selain itu, BPK juga menyusun pedoman internal bagi para Pemeriksa BPK dalam melakukan PDTT, yang terdiri atas:
Keputusan BPK Nomor 9/K/I-XIII.2/12/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif dan Penghitungan Kerugian Negara, tanggal 29 Desember 2015; serta b. Keputusan BPK Nomor 3/K/I-XIII.2/5/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kepatuhan, tanggal 11 Mei 2018. 131 Hasil peer review yang __ terakhir pada tahun 2019 memberikan review yang sangat baik kepada BPK, sebagai berikut: - “As for the BPK’s compliance audit, it can be generally assesses as of high quality”. (Peer Review Report, Executive Summary) - When analysing the sampled compliance audits, the Reviewer found that materiality was mostly assessed by using the value concept – by scoring different observations and, at the end, giving an average score. ( Peer Review Report, Domain B: Internal Governance and Ethics ) __ - On the basis of the sample of compliance audits analysed by the Reviewer it can be stated that the audit teams are composed of persons with different backgrounds, both in auditing and in specific areas, such as road construction and engineering. If audit teams lack certain expertise, experienced experts are hired.” ( Peer Review Report, Domain C: Audit Quality and Reporting ) __ Selain itu, untuk mengatur perilaku pemeriksa, BPK telah mempunyai Kode Etik yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Upaya lain untuk menghindari abuse of power adalah dengan menerapkan rotasi pemeriksa secara reguler yang mempertimbangkan kompetensi dan beban tugas yang diemban . Sebagai bentuk checks and balances , LHP PDTT disampaikan kepada Lembaga Perwakilan, pemerintah, dan/atau aparat penegak hukum. Hal ini menandakan bahwa PDTT yang dilakukan BPK akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan. __ Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Enny Nurbaningsih Pertanyaan pertama: _Dalam Penjelasan UU 15/2004: _ “Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.” Bagaimana penjelasan mengenai “tujuan tertentu” dan “tujuan khusus” dalam perdebatan penyusunan ketentuan tersebut? Dalam risalah pembahasan yang dibahas adalah pasal dalam batang tubuh dan penjelasan pasalnya, yaitu dalam Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004 yang menyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan, pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. 132 Kata “khusus” termuat dalam Penjelasan Umum UU 15/2004 yang tidak secara khusus dibahas dalam pembahasan RUU tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Dengan demikian, kata “khusus” dalam Penjelasan Umum UU 15/2004 harus dimaknai sesuai dengan Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004. Pertanyaan kedua: __ Apakah ketiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK satu sama lain berurutan/berkelindan? Untuk pertanyaan tersebut, dapat sampaikan bahwa: Tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak harus dilakukan secara berurutan. Pada saat yang bersamaan BPK dapat melakukan lebih dari satu jenis pemeriksaan, misalnya Pemeriksaan LK dan Pemeriksaan Kinerja atau Pemeriksaan Kinerja dan PDTT. Namun, bisa juga dilakukan sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, terutama untuk PDTT. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya dilakukan apabila terdapat permasalahan yang ditemukan dalam pemeriksaan sebelumnya (keuangan atau kinerja), namun tidak dapat diperdalam dengan mempergunakan metode pemeriksaan keuangan atau kinerja tersebut. Selain sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, PDTT juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR atau APH, serta berdasarkan rencana pemeriksaan BPK, contohnya PDTT atas entitas berbentuk BUMN yang menurut Undang-Undang, LK-nya diperiksa oleh Akuntan Publik. Penyusunan rencana pemeriksaan dilakukan oleh BPK dengan mempertimbangkan isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Pertanyaan ketiga: WTP bukan merupakan indikator penentu. Bagaimana dalam praktik suatu lembaga sudah mendapat opini WTP tapi masih dilakukan PDTT terhadap lembaga tersebut? Apakah PDTT bisa dilakukan tanpa Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja? 133 Sebagaimana penjelasan sebelumnya, WTP atau lebih jelasnya Wajar Tanpa Pengecualian, adalah salah satu jenis opini yang dapat diberikan oleh Pemeriksa atas suatu LK untuk menyatakan bahwa kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan tersebut telah sesuai dengan kriteria. Adapun kriteria yang dimaksud untuk pemberian opini ini sesuai penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU 15/2004 adalah: kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan ( adequate disclosures ), kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa baik WTP maupun ketiga jenis opini lain yang diberikan oleh Pemeriksa terhadap suatu LK merupakan indikator penentu atas kualitas suatu LK dalam hal kewajaran penyajian informasi keuangannya sesuai dengan standar. Mengulang penjelasan kami sebelumnya, berdasarkan UU 15/2004 dan UU 15/2006, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, yaitu Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan PDTT. Perbedaan mendasar dari ketiga jenis pemeriksaan tersebut adalah pada tujuannya. Tujuan Pemeriksaan Keuangan adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas, dengan cara menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi dalam LK. Pemeriksaan Kinerja adalah untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif, sedangkan PDTT dilakukan dengan tujuan khusus, di luar kedua jenis pemeriksaan yang lain. Perbedaan tujuan antara Pemeriksaan Keuangan dan PDTT berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Salah satu contohnya adalah pemeriksaan yang dilakukan atas suatu instansi. Untuk menilai kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN, dilakukan Pemeriksaan atas LK. Sementara untuk memeriksa secara lebih fokus pada suatu aspek tertentu dalam APBN, dilakukan PDTT. Yang dimaksud dengan aspek tertentu misalnya PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset. Merujuk pada penjelasan kami sebelumnya, diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut. Sebagai tambahan contoh, pada saat pemeriksaan LK ditemukan ada ketekoran kas. Atas hal tersebut bendahara telah membuat Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) yang dicatat sebagai piutang lain- lain dalam LK dan diungkapkan dalam catatan akuntansi. Secara kewajaran LK, hal ini tidak akan mempengaruhi opini, sehingga instansi tersebut dapat memperoleh opini WTP atas kewajaran penyajian LK-nya. Namun demikian, untuk mengetahui penyebab terjadinya ketekoran kas tersebut harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui PDTT. Harapannya, dengan metode, ruang 134 lingkup, dan fokus pemeriksaan yang berbeda, yaitu soal ketekoran kas, maka akan dapat diperoleh kesimpulan yang lebih jelas mengenai permasalahan tersebut. Contoh di atas memberikan gambaran PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan atas suatu LK karena adanya masalah ketekoran kas yang tidak dapat diperdalam dengan menggunakan metode pemeriksaan keuangan. Namun demikian, sesungguhnya tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak harus dilakukan secara berurutan. Selain melakukan PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan, BPK dapat melakukan lebih dari satu jenis pemeriksaan pada saat yang bersamaan. Contohnya, Pemeriksaan LK dan Pemeriksaan Kinerja atau Pemeriksaan Kinerja dan PDTT. Selain sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, PDTT juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR atau APH, serta berdasarkan rencana pemeriksaan BPK. Penyusunan rencana pemeriksaan dilakukan oleh BPK dengan mempertimbangkan isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Pertanyaan keempat: PDTT bisa dilakukan atas inisiatif BPK dan atas permintaan. Dalam praktik seberapa besar jumlah PDTT yang berdasarkan inisiatif BPK dan yang berdasarkan permintaan dari luar? Inisiatif BPK untuk melakukan PDTT dituangkan dalam Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP). PDTT yang dilakukan berdasarkan RKP BPK merupakan wujud kemandirian BPK sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 UU 15/2006. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 dan Penjelasan Umum UU 15/2004, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 6: “Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.” Penjelasan Umum Huruf C.: __ “BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.” 135 Berdasarkan data dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, rekapitulasi LHP PDTT BPK yang dilakukan berdasarkan RKP tahunan BPK adalah sebagai berikut: Tahun Jumlah LHP PDTT Total Nilai Penyetoran Selama Proses Pemeriksaan (Rp Juta) Permasalahan Nilai (Rp Juta) RKP 2017 237 3.562 31.704.063,34 80.924,90 2018 286 3.601 10.149.932,92 406.128,47 Semester I 2019 37 734 4.811.962,12 314.927,79 Total 560 7.897 46.665.958,38 801.981,16 Mengacu pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sejak tahun 2017 hingga semester I 2019 telah dilakukan 560 PDTT. Dalam pemeriksaan tersebut telah diungkap 7.897 permasalahan senilai total Rp46.665.958,38 juta. Permasalahan yang diungkap terdiri atas permasalahan SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, serta temuan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan. Selama proses pemeriksaan, telah dilakukan penyetoran senilai total Rp801.981,16 juta. Selain PDTT yang dilakukan berdasarkan RKP tersebut, BPK juga melakukan PDTT dalam bentuk Pemeriksaan Investigatif (PI) dan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) berdasarkan permintaan lembaga perwakilan dan aparat penegak hukum. Pelaksanaan PI dan PKN dalam periode tahun 2017-2019 adalah sebagai berikut: Pemeriksaan Investigatif Tahun 2017 s.d. 2019 Tahun Jumlah LHP Nilai Temuan - Nilai Indikasi Kerugian (Rp) Tindak Lanjut 2017 Perminta an DPR 1 4.081.122.000.000,00 Sudah dimanfaatkan dalam proses penyidikan Perminta an APH (Kepolisi an) 2 68.700.452.556,18 1 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp21.622.309.000) sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 1 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp47.078.143.556) dalam proses penyidikan Total 3 4.149.822.452.556,18 2018 Perminta an DPR 3 3.631.373.059.942,79 1 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp1.032.751.449.287) sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 2 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp2.598.621.610.655) dalam proses penyidikan Permintaan APH 549.543.386.637,88 3 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp50.400.643.908) 136 sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 6 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp499.142.742.729) dalam proses penyidikan - KPK 1 36.694.669.638,00 - Kepolisi an 7 447.184.716.999,88 - Kejaksa an 1 65.664.000.000,00 Total 12 4.180.916.446.580,67 2019 Rencana BPK 2 40.874.981.615,79 Telah dimanfaatkan di tahap penyelidikan Permintaan APH 332.348.240.712,52 Telah dimanfaatkan di tahap penyelidikan - KPK 1 27.385.018.874,00 - Kepolisi an 4 304.963.221.838,52 Total 7 373.223.222.328,10 TOTAL PI 22 8.703.962.121.464,95 Penghitungan Kerugian Negara Tahun 2017 s.d. 2019 Tahun Jumlah LHP Nilai Temuan – Nilai Kerugian (Rp) Tindak Lanjut 2017 - KPK 3 4.611.355.944.853,54 71 LHP (dengan nilai kerugian Rp6.556.425.377.602,65) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 10 LHP (dengan nilai kerugian Rp94.052.491.336,97) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepoli sian 48 1.314.535.900.601,39 - Kejaks aan 30 724.586.023.484,69 Total 81 6.650.477.868.939,62 2018 - KPK 2 56.913.570.320,38 61 LHP (dengan nilai kerugian Rp3.225.093.290.692,67) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 24 LHP (dengan nilai kerugian Rp307.608.435.651,55) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepolisi an 53 949.712.119.133,24 - Kejaksa an 30 2.526.076.036.890,60 Total 85 3.532.701.726.344,22 2019 - KPK 4 221.402.459.924,98 8 LHP (dengan nilai kerugian Rp780.752.165.635,12) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 57 LHP (dengan nilai kerugian Rp965.904.120.416,25) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepolisi an 41 612.078.830.056,73 - Kejaksa an 20 913.174.996.069,66 Total 65 1.746.656.286.051,37 TOTAL PKN 231 11.929.835.881.335,20 137 Dalam kurun tahun 2017-2019, nilai indikasi kerugian yang berhasil diungkap dalam Pemeriksaan Investigatif adalah sebesar Rp8.703.962.121.464,95. Sementara dari PKN, dapat diungkap nilai kerugian negara sebesar Rp11.929.835.881.335,20. Hasil dari PI dan PKN berupa LHP telah ditindaklanjuti dengan proses penegakan hukum oleh APH, baik berupa penyelidikan maupun penyidikan. Selain pengembalian kerugian negara, dari PDTT dapat dilakukan penghematan uang negara melalui mekanisme koreksi subsidi dan koreksi cost recovery dengan data dalam tabel berikut ini: Tahun Koreksi Subsidi Berdasarkan Tahun IHPS (Rp juta) Koreksi Cost Recovery (Rp juta) Total (Rp juta) 2017 2.083.448,63 13.408.146,93 15.491.595,56 2018 2.875.039,51 2.041.700,31 4.916.739,82 Semester I 2019 8.778.654,38 118.016,54 8.896.670,92 Total 13.737.142,52 15.567.863,78 29.305.006,30 Dari data tersebut diketahui bahwa dalam kurun waktu tahun 2017 sampai dengan Semester I 2019, jumlah uang negara yang telah dihemat melalui mekanisme koreksi subsidi adalah sebesar Rp13.737.142,52 juta. Sementara mekanisme koreksi cost recovery telah menghemat uang negara sebesar Rp15.567.863,78 juta. Dengan demikian, total uang negara yang telah dihemat adalah sebesar Rp29.305.006,30 juta. Pertanyaan kelima: Apakah yang dilakukan atas inisiatif BPK adalah untuk PDTT yang belum dilakukan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja? Karena apa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan bahwa sumber pelaksanaan PDTT dapat berasal dari adanya permintaan dari lembaga perwakilan atau APH dan dapat berasal dari rencana pemeriksaan BPK (inisiatif). Rencana pemeriksan tersebut merupakan bentuk kemandirian BPK dalam menentukan objek pemeriksaan. Penyusunan rencana pemeriksaan oleh BPK dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain informasi dari LHP sebelumnya (pemeriksaan lanjutan), isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. 138 Selanjutnya, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Suhartoyo Pertanyaan pertama: Ini persoalan nomenklatur. Sesungguhnya mengenai PDTT investigatif sudah clear. Hanya persoalannya, apakah tepat bila “rumah”-nya adalah PDTT? Terhadap pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan bahwa menurut pendapat kami, tidak ada persoalan nomenklatur dalam perkara uji materi ini. Sebagaimana praktik di dunia internasional yang telah kami sampaikan, selain Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja juga terdapat Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif. Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif inilah yang dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 disebut sebagai PDTT. Sehingga terminologi PDTT sudah sangat clear diatur dalam kedua UU tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, dalam SPKN juga disebutkan bahwa PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Tujuan pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok ( subject matter ) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (yang digunakan sebagai kriteria). Tujuan pemeriksaan investigatif adalah mengungkap ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana pada pengelolaan keuangan negara. Pertanyaan kedua: Selebihnya selain investigatif, apa yang menjadi substansi PDTT? Kalau tidak clear kenapa tidak diubah menjadi “pemeriksaan investigatif”? Kalau nomenklatur PDTT diubah menjadi jenis pemeriksaan investigatif, apakah kewenangan-kewenangan pemeriksaan yang lain selain investigatif ter-cover atau tidak? Hal ini penting supaya ketentuan tersebut dapat dirapikan MK tanpa mengurangi kewenangan, supaya tidak bias dan supaya tidak ada tarik-menarik antara WTP dan PDTT. Izinkan kami menyampaikan kembali mengenai substansi atau bentuk PDTT yang berupa pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Meskipun baik pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif menghasilkan kesimpulan, namun keduanya mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aspek pemeriksaan kepatuhan dapat berupa regularity (ketaatan pada kriteria formal, seperti peraturan perundangan dan perjanjian yang relevan) dan/atau propriety (ketaatan pada prinsip umum pelaksanaan tata kelola 139 keuangan yang baik dan perilaku pejabat publik). Lembaga sektor publik dituntut untuk transparan dan akuntabel serta melaksanakan tata kelola dengan baik dalam mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat. Masyarakat tidak dapat serta merta mempercayai mutlak pejabat sektor publik dalam memenuhi tanggung jawabnya. Di sinilah pemeriksaan kepatuhan memerankan pola dalam meyakini prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif ini hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang atau akan terjadi (PBPK 1/2017 PSP 100 angka 5 huruf v). Sumber predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan kepatuhan, dan informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Sehingga jika PDTT dirapikan hanya menjadi pemeriksaan investigatif, maka substansi PDTT kepatuhan untuk meyakini kesesuaian kegiatan manajemen terhadap peraturan perundang-undangan seperti pengadaan barang dan jasa, pemberian subsidi, dan manajemen aset tidak dapat dilakukan. Pertanyaan ketiga: __ Tadi dijelaskan bahwa ada perbedaan metode dan ruang lingkup. Ini maksudnya seperti apa? Dalam Pelaksanaan Tugasnya BPK dapat melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas LK yang bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran informasi yang disajikan dalam LK berdasarkan standar yang digunakan dalam penyusunan LK. Dalam pemeriksaan keuangan, objek pemeriksaan adalah LK. Kriteria yang digunakan sebagai dasar pemberian opini adalah standar yang digunakan dalam penyusunan LK. Contohnya untuk LK pemerintah pusat, standar yang digunakan adalah Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berbasis akrual sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sedangkan dalam pemeriksaan atas LK Bank Indonesia kriteria yang digunakan adalah standar akuntansi yang berlaku bagi Bank Indonesia yang disebut Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia. Hasil dari pemeriksaan LK adalah opini BPK atas kewajaran penyajian LK yang disusun oleh masing-masing entitas sesuai standar yang berlaku. 140 PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Laporan pemeriksaan ini memuat kesimpulan. PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, manajemen aset, atau kepastian terhadap kontrak/perjanjian. Diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan atau dari hasil Pemeriksaan Kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. _Kemudian, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Arief Hidayat, sebagai berikut: _ Dalam Permohonan dinyatakan bahwa terdapat ketidakpastian dan berpotensi disalahgunakan. Secara normatif sudah clear bahwa instrumen itu diperlukan. PDTT yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan atas permintaan bisa dimengerti. Tetapi yang atas inisiatif BPK bisa menjadi “pedang bermata dua”. Makna terdalam dari pertanyaan Pemohon itulah yang belum terjawab memang ada di tataran implementasi bisa disalahgunakan. Jadi secara potensial bisa disalahgunakan oleh BPK atau oknum BPK. Bagaimana kontrol terhadap penggunaan yang inisiatif? Mahkamah bisa merapikan tanpa merugikan hak konstitusional warga dan lembaga yang diperiksa. Misalnya saja harus diartikan bahwa yang dinamakan PDTT hanya atas permintaan undang-undang atau lembaga lain. Sehingga yang atas inisiatif BPK itu kita hapuskan. Jelaskan apakah selama ini sudah aman-aman saja atau masih mengandung potensi disalahgunakan? Majelis Hakim telah memiliki pemahaman yang sama mengenai “PDTT yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan PDTT atas permintaan lembaga perwakilan atau APH”. Izinkan kami selanjutnya menjelaskan PDTT yang dalam Keterangan BPK sebelumnya disebut dengan ‘inisiatif’. PDTT tersebut kami maksudkan untuk menjelaskan mengenai pelaksanaan PDTT yang bersumber dari Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP) BPK. RKP merupakan bentuk kemandirian BPK dalam menentukan objek pemeriksaan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Penyusunan rencana pemeriksaan oleh BPK dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain informasi dari LHP sebelumnya (pemeriksaan lanjutan), isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Hal ini sejalan dengan yang telah kami jelaskan 141 pada bagian sebelumnya dalam keterangan tambahan yang menyatakan perlunya Pemeriksa mempertimbangkan risiko adanya ketidakpatuhan. Terkait dengan adanya potensi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan PDTT, dalam Standar Pemeriksaan BPK diatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan. Sistem pengendalian mutu BPK mencakup supervisi, reviu berjenjang, monitoring, dan konsultasi selama proses pemeriksaan. Sistem pengendalian itu yang mengendalikan Tim Pemeriksa yang melaksanakan PDTT. Selain itu, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah secara internal oleh BPK dan secara berkala ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia ( International Organization of Supreme Audit Institutions /INTOSAI). Penelaahan dapat dilakukan oleh BPK negara lain sesuai ketentuan Pasal 33 UU 15/2006, tentunya karena pelaksanaan pemeriksaan sampai dengan laporan hasil PDTT juga telah mengacu pada standar dan best practices yang berlaku secara internasional dan mendapat predikat sangat baik (sebagaimana telah dijelaskan dalam jawaban atas pertanyaan Majelis Hakim sebelumnya). Selain itu, terkait dengan potensi penyalahgunaan wewenang, BPK telah menegakkan Kode Etik yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik BPK dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Upaya lain untuk menghindari abuse of power adalah dengan menerapkan rotasi Pemeriksa secara reguler yang mempertimbangkan kompetensi dan beban tugas yang diemban. Sehingga, secara keseluruhan berdasarkan uraian tersebut, pelaksanaan PDTT dapat berjalan dengan aman dan tidak menjadi “pedang bermata dua”, baik yang atas amanat undang-undang, permintaan lembaga perwakilan dan APH serta atas perencanaan pemeriksaan oleh BPK. Selama ini pelaksanaan PDTT sudah sesuai dengan prosedur/standar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berkontribusi positif dalam perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kami justru mengkhawatirkan apabila ada perubahan (dalam arti ‘dirapikan’) rumusan atau makna PDTT dalam norma a quo, maka akan dapat menjadikan pemeriksaan di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang berlaku secara universal. Selain itu pembatasan PDTT hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan lembaga perwakilan dan APH, maka BPK dapat dijadikan sebagai “alat” kepentingan pihak-pihak tertentu yang berpotensi menciderai mekanisme checks and balances serta menciderai independensi BPK. 142 Selain itu, Pihak Terkait menghadirkan satu orang ahli bernama Andi Mattalatta, SH., M.Hum. yang didengar keterangannya di depan persidangan pada tanggal 18 Februari 2020, serta menyerahkan keterangan tertulisnya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Ahli: Andi Mattalatta, SH., M.Hum. Pemohon dalam perkara ini mempersoalkan atau mempertanyakan konstitusionalitas kewenangan BPK melakukan PDTT sebagaimana dimaksud karena tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat 1 UUD 1945. Sesuai dengan posisi saya sebagai anggota Badan Pekerja MPR RI yang membahas perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, maka keterangan yang akan saya sampaikan di sidang yang mulia ini akan terbatas pada pemahaman saya yang bersumber pada perkembangan pemikiran dan suasana pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Dari perkembangan pemikiran dan suasana pembahasan itu mudah- mudahan kita dapat menarik kesimpulan atau pemahaman bahwa semangat perubahan Undang-Undang Dasar telah ditindaklanjuti secara tepat dalam menerbitkan ketentuan lanjutannya berupa ketentuan perundang-undangan yang dilakukan oleh pembuat undang undang. Pemahaman akan perkembangan pemikiran dan semangat perubahan Undang-Undang Dasar itu dengan sendirinya juga bisa berguna untuk dijadikan tolok ukur untuk menilai apakah ketentuan lanjutan yang ada dalam Undang-Undang sesuai dengan semangat Undang- Undang Dasar sehingga dianggap konstitusional atau tidak. Seperti diketahui bersama bahwa semangat utama perubahan Undang- Undang Dasar yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 dimaksudkan agar tercipta pengelolaan negara di semua aspek kehidupan yang menjamin arah terwujudnya cita cita nasional yang termuat dalam alenia 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksaakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Masing-masing aspek kehidupan itu dirumuskan prinsip prinsip pencapaiannya dalam pasal-pasal. Ada aspek kehidupan yang hanya 143 mencantumkan prinsip pencapaiannya tanpa menyebut secara eksplisit institusi penanggung jawabnya, karena penyelenggaraannya melibatkan berbagai institusi kenegaraan. Ada pula aspek kehidupan selain menyebut prinsip pengelolaannya juga menyebut institusi penanggung jawabnya karena dianggap strategis sehingga perlu kepastian konstitusionalnya. Aspek kehidupan yang hanya menyebut prinsip pengelolaannya misalnya aspek pengelolaan keuangan negara harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 ayat (1)). Aspek perekonomian, prinsipnya disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan (Pasal 33 ayat (1)) yang penyelenggaraannya berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat (4)). Aspek pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (2) dan (3)) dan beberapa contoh lainnya yang tidak kami sebutkan rinci di sini. Pada bagian lain ada pula aspek kehidupan yang selain disebut prinsip pengelolaannya juga disebut institusi penanggung jawabnya karena dianggap strategis dalam kehidupan berbangsa dan benegara sekaligus menegaskan tidak adanya institusi lain selain yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar. Rumusan seperti ini antara lain, untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan keuangan negara secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 23, maka diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1)). Aspek Peradilan dilaksanakan oleh pemangku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi dengan prinsip kerja yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24). Aspek pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik 144 Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung (Pasal 30 ayat (2)). Prinsip-prinsip pengelolaan berbagai aspek kehidupan yang diungkapkan di atas haruslah menjiwai rumusan norma-norma lanjutan dalam ketentuan perundang-undangan di bawah Undang Undang Dasar serta menjamin kemudahan perwujudannya dalam implementasi. Bukan justru sebaliknya mempersulit implementasinya. Setelah mengungkapkan beberapa prinsip muatan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar, kini perkenankan saya fokus pada materi perkara yang sedang dipermasalahkan dalam perkara ini yaitu apakah kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu memiliki pijakan konstitusi sehingga konstitusional atau tidak. Dalam Undang-Undang Dasar hasil perubahan, tidak ada lagi Lembaga Negara yang memegang dan melaksanakan kewenangannya tanpa pembatasan atau kontrol termasuk Lembaga Majelis Permusyawaratan yang sebelumnya memiliki kekuasaan tak terbatas sesuai penjelasan Undang-Undang Dasar sebelum perubahan. Sekarang Majelis Permusyawaratan Rakyat, kewenangannya hanya yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Pembatasan kewenangan dan prinsip pengawasan dalam bentuk checks and balances ini merupakan salah satu wujud semangat pengelolaan negara modern yang dianut oleh Undang- Undang Dasar kita. Lembaga Komisi Yudisial misalnya diciptakan untuk menjadi salah satu alat kontrol dunia peradilan dengan kewenangan mengusulkan hakim agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Lembaga Pemerintahan Daerah diperkuat untuk mencegah lahirnya sentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk. Lembaga Dewan Perwakilan Daerah dibentuk untuk menjadi mitra kerja Dewan Perwakilan Rakyat untuk fungsi legislasi dan pengawasan bidang-bidang pemerintahan tertentu. Demikian juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang tadinya penempatannya dalam Undang-Undang Dasar hanya merupakan salah satu ayat dari pasal keuangan sehingga menggambarkan bahwa fungsi pengawasan dan pemeriksaan dalam pengelolaan keuangan negara bukanlah hal yang penting. Searah dengan semangat pengelolaan keuangan negara yang pelaksanaanya harus terbuka dan bertanggungjawab yang diamanatkan oleh perubahan Undang- 145 Undang Dasar maka institusi pengawas dan pemeriksanyapun, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan, harus pula ditingkatkan posisi dan perannya. Peningkatan posisi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan itu oleh Undang- Undang Dasar dimaksudkan agar ada jaminan bahwa pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pembahasan perubahan Undang- Undang Dasar yang dimulai sejak tahun 1999 telah membahas seluruh materi, termasuk di dalamnya pembahasan tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Namun demikian, karena keterbatasan waktu yang dikaitkan dengan sekuen materi maka rumusan baru tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan yang berkaitan dengannya baru dapat disepakati pada tahun sidang 2001 setelah melalui pembahasan selama tiga tahun masa sidang. Lamanya pembahasan tentang Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan betapa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang membahas perubahan Undang-Undang Dasar memberi perhatian yang sangat serius tentang fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara agar betul-betul untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat. Semangat untuk meningkatkan fungsi dan peran pemeriksaan pengelolaan keuangan negara mungkin juga dipengaruhi oleh banyaknya kebocoran dan beratnya beban keuangan negara yang harus ditanggung akibat pengelolaan keuangan negara yang tidak prudent saat itu. Peningkatan posisi, fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam pengelolaan keuangan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 diwujudkan dalam:
Penempatannya dalam sebuah bab tersendiri. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar penempatan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan bagian dari hal keuangan negara dengan menempatkannya sebagai salah satu ayat dalam bab dan pasal tentang keuangan. Penempatan yang demikian ini seolah-olah urusan pemeriksaan keuangan negara bukan hal yang teramat penting. Berangkat dari pemikiran dan semangat keterbukaan pengelolaan keuangan negara dan semangat untuk melahirkan tata kelola pemerintahan yang bersih maka saat itu fungsi pemeriksaan dan pengawasan menjadi penting sehingga institusi yang bertanggungjawab di bidang ini harus juga ditingkatkan bobot kehadirannya. 146 Dengan pertimbangan itu maka Badan Pemeriksa Keuangan oleh Undang- Undang Dasar ditempatkan dalam bab tersendiri terpisah dari bab tentang Keuangan. Dengan Bab tersendiri itu maka kehadiran Badan Pemeriksa Keuangan dan fungsinya menyinari dan menyemangati seluruh aspek kehidupan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugasnya disadari akan banyak kepentingan yang mengitarinya, maka sejak awal perubahan Undang-Undang Dasar sudah membentenginya dengan kebebasan dari intervensi cabang kekuasaan lain. Bahkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar mengamanatkan dukungan sumber daya untuk BPK agar mandiri dalam rnelaksanakan tugasnya. Suatu norma yang tidak ada sebelum perubahan Undang-Undang Dasar.
Penegasan bahwa BPK merupakan satu-satunya lembaga negara pemeriksa keuangan negara. Hal ini mengandung makna bahwa lembaga tunggal di luar cabang kekuasaan eksekutif ini konsekwensinya juga memangku kewenangan tunggal dalam merumuskan sistem dan mekanisme pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam hal ini tentu termasuk pemeriksaan yang bersifat rutin dan umum terhadap laporan keuangan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya serta pemeriksaan yang bersifat khusus sesuai kaidah-kaidah pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.
Hasil pemeriksaan ditujukan tidak terbatas pada lembaga perwakilan. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar, hasil pemeriksaan BPK itu diberikan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya bergantung Dewan Perwakilan Rakyat apakah akan menjadikannya bahan pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan politik di DPR atau tidak. Tidak mengherankan bila saat itu ada yang menyandingkan posisi BPK sebagai alat bantu DPR dan posisi DPA sebagai alat bantu semata dari Presiden. Dengan semangat membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan negara maka perubahan Undang-Undang Dasar tidak hanya mengarahkan hasil pemeriksaan itu diberikan ke lembaga perwakilan 147 tetapi juga ke badan lain sesuai Undang-Undang disertai kewajiban untuk menindaklanjutinya (pasal 23E ayat (3)). Dari pesan Undang-Undang Dasar ini tersirat pengertian bahwa ada pemeriksaan rutin yang sifatnya mandatory yang disampaikan ke lembaga perwakilan dan ada juga pemeriksaan ad hoc yang sifatnya tidak mandatory . Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab presiden sebagai kepala pemerintahan dalam bentuk laporan keuangan dalam waktu tertentu untuk menilai apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi. Pada masa sekarang kita mengenal kesesuaian dengan kaidah akuntansi sebagai kewajaran laporan keuangan. Sedang pemeriksaan ad hoc atau tidak rutin merupakan pemeriksaan untuk menilai penggunaan dan atau pengelolaan keuangan negara apakah dilaksanakan secara efisien dan efektif, sesuai dengan aturan perundang-undangan, dan tidak ada penyimpangan. Pemeriksaan rutin sifatnya mandatory atau wajib sudah ditentukan oleh undang-undang, sedang pemeriksaan ad hoc atau tidak rutin merupakan pemeriksaan atas kegiatan atau program yang berasal dari insiatif Badan Pemeriksa Keuangan sesuai kewenangannya atau bisa merupakan permintaan lembaga perwakilan, penegak hukum, serta lembaga lain dan atau masukan masyarakat. Pada perkembangannya, pemeriksaan demikian dinyatakan oleh pembuat undang-undang sebagai pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dengan frasa "hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti" maka BPK diberi pula kewenangan untuk memantau tindak lanjut pemeriksaan itu yang dilakukan oleh lembaga perwakilan maupun badan lainnya.
Pengembangan tugas BPK menyangkut proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa. Semula sebelum perubahan Undang-Undang Dasar, cakupan pemeriksaan hanya menyangkut tanggung jawab keuangan negara, berkembang setelah perubahan Undang-Undang Dasar menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan yang dibuat pemerintah. Dengan demikian setelah perubahan Undang-Undang Dasar, Badan Pemeriksa Keuangan tidak sekedar memeriksa laporan keuangan yang 148 disajikan, tetapi juga memeriksa seluruh aspek pengelolaan keuangan negara, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporannya. Jika di masa lalu, pemeriksaan hanya bersifat post audit atau memeriksa laporan keuangan, maka pada waktu pembahasan perubahan Undang-undang Dasar, Badan Pekerja MPR menyepakati bahwa Badan Pemeriksa Keuangan juga memeriksa sejak proses anggaran dibuat atau dikenal dengan preaudit. Maksudnya agar Badan Pemeriksa Keuangan tidak hanya memeriksa setelah kerugian terjadi, namun bisa mencegah kerugian terjadi. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar, pemeriksaan BPK tidak hanya menilai kesesuaiannya dengan kaidah akuntansi, namun termasuk memeriksa kesepadanan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggungjawab.
Peningkatan kedudukan, fungsi, dan tugas BPK dalam kerangka menciptakan check and balances antar lembaga negara. Lembaga-lembaga sebagaimana ditetapkan dalam perubahan UUD 1945 diatur kewenangannya dalam rangka checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) sepanjang diperlukan. Oleh karena itu semua lembaga negara dimaksud memiliki kedudukan yang sejajar dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. BPK disebut sebagai pemegang kekuasaan auditif, merupakan lembaga negara yang bebas dan mandiri, serta memiliki fungsi yang telah diperluas pula. Fungsi BPK meliputi “memeriksa” pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dari semua lembaga yang menggunakan uang APBN maupun APBD, BUMN/BUMD, dan lain-lain badan, dalam pengertian keuangan negara. Kebebasan dan kemandirian BPK tidak lepas dari keterkaitannya dengan fungsi DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Demikian halnya dengan fungsi Presiden di bidang legislasi dan eksekutif. Misalnya dalam pembuatan UU Tentang BPK, UU Tentang Keuangan Negara, UU Tentang Perbendaharaan Negara, UU Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara termasuk penyusunan RUU-APBN oleh Presiden kemudian dibahas dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama menjadi UU. Di dalam UU APBN tersebut termasuk berapa anggaran belanja yang dibutuhkan BPK. Bagaimana penggunaan 149 anggaran BPK di tahun sebelumnya dan keperluan pembiayaan kegiatan BPK di tahun anggaran yang bersangkutan. Semua itu berpengaruh pula pada kelancaran kerja BPK dalam mengimplementasi ketentuan dalam UUD 1945. Dengan demikian tidak ada lembaga negara yang bebas sebebasnya atau mandiri tanpa keterkaitan dengan fungsi lembaga lainnya. Demikian halnya hubungan BPK dengan DPD. Walaupun DPD tidak sepenuhnya melaksanakan fungsi seperti halnya DPR, namun DPD juga ikut mengawasi BPK. Melalui mekanisme check and balances tersebut, pembahasan perubahan UUD 1945 sudah memperhitungkan pencegahan suatu lembaga negara melakukan abuse of power dengan memanfaatkan kewenangan yang diberikan. Jika ada abuse of power pasti ada lembaga negara yang lain yang akan mecegah atau mengoreksinya. Demikianlah, sebagai negara hukum yang demokratis, semua lembaga negara melaksanakan fungsi dan tugasnya atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan dimaksud harus mengatur terselenggaranya mekanisme checks and balances antarlembaga negara serta menjamin kemajuan hak asasi manusia dan peradilan yang bebas. Terkait kekuasaan auditif yang dilaksanakan oleh BPK, peraturan perundang- undangan kemudian mengatur ketentuan pemeriksaan harus dilaksanakan berdasar standar pemeriksaan dan pedoman pemeriksaan lainnya yang mengacu pada standar pemeriksaan yang berlaku umum, harus berdasarkan kode etik, ada pengawasan internal di BPK sendiri, pekerjaan BPK harus di- review oleh pihak lain yaitu BPK negara lain, dan ada pengawasan dari DPR dan DPD. Semua aturan ini untuk mencegah tindakan semena-mena atau terjadinya abuse of power oleh BPK dalam melaksanakan kewenangannya. Apalagi dalam situasi keterbukaan informasi publik sekarang ini sangat sulit bagi lembaga publik untuk lepas dari kontrol atau pemantauan masyarakat. Saya sebagai anggota Badan Pekerja yang turut membahas perubahan UUD 1945 menilai hal-hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan telah sejalan dengan maksud dan substansi yang diatur dalam perubahan UUD.
Undang-Undang Dasar sudah barang tentu hanya memuat kaidah-kaidah dasar tentang sesuatu hal. Tidaklah mungkin urusan-urusan tekhnis seperti jenis pemeriksaan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Selain karena sifatnya 150 teknis tentu juga Undang-Undang Dasar memberi ruang pengembangan sistem pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara itu sesuai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan praktik sehari-hari. Untuk mengakomodir itu dirumuskanlah norma yang memungkinkan pengembangan yang sesuai dengan arahan Undang-Undang Dasar. Rumusan itu dimuat dalam Pasal 23G ayat 2 yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang.” Sebagai akhir penjelasan ini saya ingin menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Sesuai dengan prinsip-prinsip perubahan Undang-Undang Dasar dan pintu pengembangan yang disiapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 23G ayat 2, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang di dalam kedua Undang-Undang itu mengatur tentang kewenangan BPK untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu.
Kehadiran kewenangan BPK untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu adalah konstitusional karena merupakan bagian dari semangat penguatan fungsi BPK yang diemban dalam perubahan Undang-Undang Dasar yang pengaturannya diperintahkan oleh pasal 23G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. PDTT bersama dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang diatur dalam kedua UU tersebut kesemuanya dalam rangka untuk melaksanakan tugas dan fungsi BPK guna memastikan pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikianlah keterangan dari seorang pelaku perubahan Undang-Undang Dasar yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sejak tahun 1999 sampai dengan tahun sidang 2002. [2.6] Menimbang bahwa Presiden dan Pihak Terkait BPK menyerahkan kesimpulan yang masing-masing diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Februari 2020 yang pada pokoknya Presiden dan Pihak Terkait BPK tetap pada pendiriannya; 151 [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654, selanjutnya disebut UU 15/2006) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400, selanjutnya disebut UU 15/2004) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang 152 terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 153 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut:
Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006: Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004: Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Bahwa para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia masing-masing menerangkan sebagai berikut:
Pemohon I, Ibnu Sina Chandranegara , adalah pembayar pajak yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yang mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (vide bukti P-4 sampai dengan Bukti P-6) yang juga aktif dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) yang menjabat sebagai Divisi Riset, Jurnal dan Publikasi Ilmiah (vide Bukti P-12).
Pemohon II, Auliya Khasanofa, adalah pembayar pajak yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang yang mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (vide bukti P-7 sampai dengan bukti P-9) yang juga aktif dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (vide bukti P-12).
Pemohon III, Kexia Goutama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (vide bukti P-10 sampai dengan bukti P-11).
Bahwa para Pemohon yang menganggap hak konstitusionalnya dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berpotensi dirugikan oleh berlakunya norma Undang-Undang yang 154 dimohonkan pengujian dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon I dan Pemohon II wewenang konstitusional Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 adalah untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal tersebut haruslah dimaknai secara terbatas hanya mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja sebagaimana kewenangan utama BPK yang diberikan oleh undang-undang. Artinya tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan di luar dari wewenang yang diberikan oleh UUD 1945. Namun dalam perjalanannya pasca diundangkannya UU 15/2004, terdapat penambahan kewenangan yang diberikan kepada BPK yakni kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (selanjutnya disebut PDTT) di mana kewenangan PDTT tersebut adalah kewenangan yang tidak termasuk dalam Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja (vide Pasal 4 ayat (4) dan Penjelasan Umum huruf B angka 3 UU 15/2004). Kemudian kewenangan tersebut dimasukan ke dalam UU 15/2006 yang secara konstitusional kewenangan tersebut inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
Bahwa frasa “tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum yang seharusnya dipenuhi suatu materi muatan peraturan perundang- undangan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya potensi abuse of power yang dapat disalahgunakan oleh institusi BPK dalam melaksanakan kewenangannya terhadap seluruh lembaga negara dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga potensi tersebut dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal tersebut terjadi, maka setiap tidak berjalannya fungsi pemerintahan maka yang paling dirugikan adalah warga negara. Inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon I dan Pemohon II karena mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya sebagai akademisi saat harus menjelaskan terkait konstitusionalitas PDTT serta maksud dan tujuan PDTT kepada publik maupun kepada Mahasiswa 155 di tempat mereka mengajar pada saat ada peristiwa PDTT kepada suatu instansi/lembaga padahal instansi/lembaga tersebut sudah mendapatkan Status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) saat sebelumnya dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja.
Bahwa menurut Pemohon I dan Pemohon II jika dalam penyelenggaraan negara terjadi penyimpangan pelaksanaan tugas dan kewenangan dari lembaga-lembaga negara, maka warga negara adalah pihak yang paling dirugikan. Karena ketidakberfungsian lembaga negara dengan baik menyebabkan sia-sianya amanat/penyerahan kedaulatan yang diberikan rakyat kepada organ-organ negara;
Bahwa menurut Pemohon III dengan adanya PDTT dalam sistem pemeriksaan yang berada di BPK sangat merugikan Pemohon III, karena Pemohon III mengalami kesulitan dalam memahami kedudukan PDTT akibat masuknya PDTT dalam ketentuan norma a quo namun setelah dipelajari lebih lanjut tidak ada penjelasan yang dapat memberikan pemahaman yang komprehensif berkenaan dengan PDTT. [3.6] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara cermat uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, khususnya berkenaan dengan kerugian hak konstitusional yang didalilkan, ternyata bahwa dalil kerugian hak konstitusional dimaksud berkait erat dengan pokok permohonan. Oleh karena itu perihal kedudukan hukum para Pemohon baru dapat diketahui apabila Mahkamah terlebih dahulu memeriksa pokok permohonan. Dengan demikian, Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon tersebut bersama-sama dengan pokok permohonan. [3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan kedudukan hukum para Pemohon akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pokok permohonan, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006, para Pemohon mengemukakan 156 argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon membuka argumentasi dalam dalil permohonannya dengan terlebih dahulu menguraikan secara ringkas mengenai kewenangan BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan Lembaga atau badan lainnya yang mengelola keuangan negara beserta dasar hukum kewenangannya;
Bahwa selanjutnya para Pemohon menguraikan mengenai kewenangan BPK dalam hal melakukan PDTT sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang menurut para Pemohon memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh “oknum” BPK dalam melaksanakan tugasnya.
Bahwa menurut para Pemohon kewenangan PDTT yang dimiliki oleh BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 merupakan kewenangan pemeriksaan di luar __ pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja __ sebagaimana dinyatakan dalam huruf B angka 3 pada bagian Penjelasan UU 15/2004 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 karena merupakan bentuk penambahan kewenangan yang telah diatur secara limitatif dalam ketentuan norma Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, ketentuan mengenai PDTT juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana menjadi prinsip utama dalam negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) karena tidak memiliki kejelasan makna PDTT maupun ketentuan yang menjadi batasan dapat dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Bahwa berdasarkan dalil para Pemohon tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar frasa “dan Pemeriksaan dengan tujuan tertentu” __ dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 157 [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-12 sebagaimana termuat lengkap pada bagian Duduk Perkara. [3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo DPR telah mengajukan keterangan DPR yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan beserta lampirannya yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal tanggal 27 Januari 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo Presiden telah mengajukan keterangan Presiden yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 11 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang masing-masing diterima di Kepaniteraan pada tanggal 15 November 2019 dan tanggal 23 Januari 2020, serta mengajukan dua orang ahli yang bernama Dr. W. Riawan Tjandra, SH., M.Hum., dan Dr. Binsar Hamonangan Simanjuntak, Ak., MBA., serta saksi yang bernama Sumiyati (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo Pihak Terkait Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengajukan keterangan yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan beserta lampirannya yang masing-masing diterima di Kepaniteraan pada tanggal 26 November 2019, tanggal 14 Februari 2020 dan tanggal 18 Februari 2020, serta mengajukan ahli yang bernama Andi Mattalatta, SH., M.Hum. (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama argumentasi yang dikemukakan dalam permohonan para Pemohon serta memeriksa bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah apakah benar PDTT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memberikan kepastian hukum yang adil, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, terutama apabila 158 dilekatkan dalam konteks memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. [3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh persoalan dimaksud, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa sebagai hukum dasar, UUD 1945 telah mengatur sedemikian rupa tujuan yang hendak dicapai dengan membentuk negara Indonesia. Dalam hal ini, Alinea IV Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Guna mencapai tujuan dimaksud, keuangan negara merupakan salah satu faktor penting yang diatur dalam UUD 1945. Berkenaan dengan hal itu, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Karena itu, salah satu perwujudan dari tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk pengelolaan keuangan negara, adalah pelaksanaan pembangunan yang tepat sasaran dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggung jawab guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diperlukan pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka dan bertanggung jawab agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Berangkat dari hal tersebut, kehadiran lembaga pemeriksa keuangan negara menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana halnya hukum dasar negara- negara yang menempatkan makna penting pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan akuntabel, UUD 1945 pun telah mengatur keberadaan badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, serta terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. 159 [3.14.2] Bahwa aturan pokok yang mengatur mengenai perlunya dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta untuk mewujudkan pengelolaan negara yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Ihwal pengelolaan dimaksud, diktum menimbang huruf a UU 15/2004 menyatakan bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara, keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Lebih lanjut, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud, perlu dilakukan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bebas dan mandiri. Tidak hanya dalam UU 15/2004, semangat yang sama dipertegas kembali dalam diktum menimbang huruf a dan huruf b UU 15/2006 yang menyatakan:
bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. [3.14.3] Bahwa dari aturan tersebut sudah jelas tujuan utama dari dibentuknya BPK adalah untuk meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka untuk mendorong pengelolaan keuangan negara guna mencapai tujuan negara dengan melakukan pemeriksaan yang berkualitas melalui proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional sesuai standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Artinya, BPK merupakan garda terdepan dalam mengawasi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dengan mengawal jalannya 160 keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide Pasal 6 UU 15/2006). [3.14.4] Bahwa sebagaimana diatur dalam UU 15/2004, luas lingkup pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, sedangkan pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektifitas. Adapun PDTT adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja (vide Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006); [3.14.5] Bahwa apabila diletakkan dalam konteks pemeriksaan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, PDTT berupa pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang belum diketahui dan tidak tercakup saat pemeriksaan keuangan. Adapun pemeriksaan investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara. Dengan demikian, kewenangan PDTT dimaksudkan memberi ruang kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan secara lebih menyeluruh dan mendalam terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, yang mungkin belum ditemukan adanya kesalahan dan penyimpangan keuangan negara melalui pemeriksaan keuangan, yang dikenal dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) maupun melalui Pemeriksaan Kinerja. Melalui PDTT, BPK antara lain dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara dan/atau bahkan unsur pidana. 161 [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, merujuk Penjelasan UU 15/2004, “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT), adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini dapat dilakukan untuk memperjelas pembuktian ada atau tidaknya penyalahgunaan keuangan negara atau tindak pidana korupsi guna menelisik kemungkinan adanya kerugian keuangan negara ( state loss ), maka dalam batas penalaran yang wajar, PDTT menjadi lebih fleksibel. Karena, tidak ada kriteria yang jelas dan transparan yang dapat diketahui oleh institusi/lembaga yang diperiksa, dibandingkan dengan “pemeriksaan keuangan” dan “pemeriksaan kinerja” . Oleh karenanya, menjadi dapat dipahami jika terdapat pandangan bahwa fleksibilitas tersebut membuka ruang kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power ) oleh BPK dalam melaksanakan tugasnya. Kemungkinan tersebut pun dikemukakan para Pemohon dalam permohonan a quo . Terlebih lagi, ditambahkan para Pemohon, terdapat fakta sejumlah instansi yang telah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) masih memungkinkan dilakukan PDTT. Kemungkinan tersebut dapat terjadi karena opini WTP dimaksud hanyalah mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan sesuai dengan pengungkapan yang diatur dalam SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal. Artinya, WTP bukanlah menjadi predikat pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada institusi/lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar. Oleh karena itu pemberian opini WTP atas laporan keuangan kepada suatu institusi/lembaga tidak menutup kemungkinan dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga tersebut apabila dari hasil pemeriksaan keuangan atau dari hasil pemeriksaan kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. 162 [3.16] Menimbang bahwa kemungkinan sebagaimana dikemukakan di atas pun telah disadari oleh pembentuk undang-undang, sehingga untuk melakukan PDTT, BPK diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan melalui Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (PBPK 1/2017). Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memerhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah. Namun demikian, karena PDTT merupakan pemeriksaan khusus yang diperlukan jika ditemukan adanya indikasi terjadinya kerugian negara dengan tujuan pemeriksaan untuk menemukan fakta dan bukti adanya indikasi terjadinya kerugian negara, maka standar pemeriksaan sebagaimana dikemukakan di atas dirasakan masih belum cukup. Dalam hal ini, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) atau kesalahan dalam menggunakan wewenang ( misuse of power ) dalam pengelolaan keuangan negara, Mahkamah perlu menekankan bahwa kemungkinan untuk bisa dilakukannya PDTT terhadap suatu institusi/lembaga harus didasarkan pada keputusan BPK sebagai suatu lembaga dan tidak diputuskan oleh orang per orang baik oleh auditor maupun oleh seorang anggota BPK tetapi melalui mekanisme yang harus diputuskan oleh BPK sebagai suatu lembaga yang bersifat kolektif kolegial. Terlebih lagi, putusan secara institusional tersebut harus diambil untuk PDTT bagi institusi/lembaga yang telah diberikan status opini WTP oleh BPK. Dengan keputusan demikian, pada satu sisi, BPK menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan status opini WTP dan, di sisi lain, status opini tertinggi tersebut tidak mudah tergerus oleh hasil pemeriksaan PDTT yang dilakukan sebagai kelanjutan dari pemeriksaan sebelumnya. Sehingga dengan demikian, sebagai salah satu bentuk pemeriksaan yang dimiliki BPK dapat dilaksanakan untuk memeriksa pengelolaan tanggung jawab tentang keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. 163 [3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan keberadaan PDTT sebagai salah satu bentuk pemeriksaan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara dan sebelum sampai pada kesimpulan, dikarenakan kerugian hak konstitusional para Pemohon belum ditentukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] dan Paragraf [3.7] di atas, maka berdasarkan pertimbangan Mahkamah terhadap substansi atau norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14] sampai dengan Paragraf [3.16] di atas, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen pada perguruan tinggi (Pemohon I dan Pemohon II) dan bergabung dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA), serta yang berstatus sebagai mahasiswa (Pemohon III) apakah menderita kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK. Terhadap kedudukan hukum para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.17.1] Bahwa sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, yang menjadi lingkup pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam rangka mengawal jalannya keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide UU 15/2004 dan UU 15/2006). Apabila dilihat dari ruang lingkup pemeriksaan BPK tersebut sudah jelas adalah institusi/lembaga yang mengelola keuangan negara yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Sedangkan, bila dilihat dari profesi/status para Pemohon yaitu dosen pada 164 perguruan tinggi dan mahasiswa yang tidak berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara yang merupakan ruang lingkup pemeriksaan BPK sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon yang berprofesi/berstatus sebagai dosen pada perguruan tinggi dan mahasiswa dengan berlakunya Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 yang dimohonkan pengujian. Sementara itu berkaitan dengan Pemohon I dan Pemohon II yang menerangkan dirinya sebagai pembayar pajak, menurut Mahkamah, hal tersebut justru PDTT memberikan perlindungan kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagai pembayar pajak dan hal ini semakin menguatkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon I dan Pemohon II dengan berlakunya norma a quo. [3.17.2] Bahwa dari uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, yang nyata- nyata maupun potensial dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah institusi/lembaga yang melaksanakan pengelolaan keuangan negara sebagai ruang lingkup pemeriksaan BPK. Dengan demikian, dalam kualifikasi para Pemohon sebagai dosen perguruan tinggi dan Mahasiswa, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional sehingga para Pemohon dalam kualifikasi ini, tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan a quo . [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , telah ternyata bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya masih diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagai upaya untuk menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar. Oleh karena itu permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 165 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Andai pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum quod non , permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin , tanggal dua belas , bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin , tanggal dua puluh enam , bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.21 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, 166 Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Saiful Anwar
Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Transfer Ke Daerah yang Penggunaannya Sudah Ditentukan.
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. [3.11] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P- 6, yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 25 Agustus 2014; [3.12] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil permohonannya Pemohon mengajukan seorang ahli, Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.SI., M.A., yang didengarkan keterangannya di persidangan Mahkamah pada tanggal 2 Oktober 2014; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden yang pada pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 memberikan kepastian hukum, karena dengan adanya penetapan tarif maksimum 2% dari NJOP PBB justru memberikan kejelasan terhadap seluruh rakyat Indonesia, sehingga memudahkan dalam penghitungan bagi masyarakat, dan memudahkan untuk menetapkan tarif dalam batasan maksimum bagi pemerintahan daerah. Selain itu Presiden juga mengajukan seorang ahli, Drs. Budi Sitepu, M.A., yang didengarkan keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 2 Oktober 2014; [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 November 2014, yang pada pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 124 dimaksudkan untuk memberikan kemudahan penghitungan dengan tidak mengabaikan ketentuan bahwa penghitungan retribusi terhadap pengendalian menara telekomunikasi harus dikaitkan dengan biaya pengawasan dan pengendalian; [3.15] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh Pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis Pemohon dan Presiden sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Pendapat Mahkamah [3.16] Menimbang bahwa Pasal 23A UUD 1945 menentukan bahwa, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang ”. Ketentuan a quo mensyaratkan pengaturan mengenai pengenaan pajak haruslah berbentuk Undang-Undang, yaitu jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden, sehingga negara dalam mengenakan pungutan kepada rakyatnya tidak dapat sewenang-wenang, namun harus melibatkan wakil rakyat. Dengan demikian, undang-undang perpajakan merupakan kesepakatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 antara negara dan rakyat terkait dengan pengenaan pajak. Selanjutnya Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 juga mengakui adanya hak milik pribadi yang tidak boleh diambil dengan cara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan adanya ketentuan Pasal 23A dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, pajak dan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban kenegaraan saja tetapi juga dipandang sebagai pengambilan sebagian harta milik rakyat oleh negara yang tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, pemungutan pajak harus berdasarkan prinsip pemungutan pajak ( fiscal justice ) yang meliputi kepastian hukum ( certainty ), keadilan ( equality ), kemudahan ( convenience ), dan efisien ( eficiency ); [3.17] Menimbang bahwa pajak dan pungutan lainnya adalah sumber penerimaan negara yang sangat besar yang digunakan untuk membiayai pembangunan, serta mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Untuk mencapai tujuan pajak yang lebih merata dan berkeadilan, maka semangat otonomi daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 telah melimpahkan kewenangan memungut pajak kepada daerah. Tujuannya agar masing-masing daerah dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya sesuai karakteristik di setiap daerah. Dalam hal-hal tertentu, pelaksanaan otonomi daerah telah mengubah sistem administrasi pemerintahan dan perpajakan yang semula bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Oleh karena itu, penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi perpajakan diharapkan akan dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah; Salah satu kewenangan yang telah dilimpahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi perpajakan di antaranya berkaitan dengan kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah merupakan langkah strategis dalam upaya memberikan kewenangan yang lebih luas dan bertanggung jawab kepada daerah di bidang perpajakan daerah ( local taxing empowerment ), tujuannya untuk mewujudkan kemandirian daerah di segala segi kehidupan; Salah satu sumber pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah adalah dari retribusi. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 badan (vide Pasal 1 angka 64 UU 28/2009). Dengan ditetapkannya UU 28/2009 terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah yang tujuannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus meningkatkan kemandirian daerah. Perluasan objek retribusi daerah dilakukan dengan menambah jenis retribusi baru bagi kabupaten/kota, salah satunya adalah retribusi pengendalian menara telekomunikasi; [3.18] Menimbang bahwa komunikasi adalah kebutuhan yang sangat penting bagi manusia sebagai bentuk interaksi terhadap sesama dalam menjalankan kehidupan. Terhadap kebutuhan komunikasi ini, Pasal 28F UUD 1945 telah menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta untuk mencari, memperoleh, memilliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada. Dengan demikian, menurut Mahkamah, hak untuk berkomunikasi adalah hak konstitusional yang dimiliki setiap orang. Teknologi komunikasi yang berkembang saat ini memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk saling terhubung satu sama lain, dan saling berkomunikasi meskipun dari jarak yang berjauhan. Telekomunikasi menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat, bahkan mempengaruhi segi kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan juga hukum; Menara telekomunikasi merupakan infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi, yang keberadaannya memerlukan ketersediaan lahan, bangunan, dan ruang udara. Menurut Mahkamah, keberadaan menara telekomunikasi di sisi lain juga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar menara telekomunikasi. Dampak negatif yang potensial terjadi akibat tidak terkendalinya pembangunan menara telekomunikasi adalah menara telekomunikasi secara signifikan dapat menimbulkan gangguan keamanaan lingkungan, mengancam kesehatan masyarakat akibat paparan radiasi gelombang, dan merusak estetika lingkungan di sekitar menara. Mahkamah berpendapat bahwa untuk meminimalisasi dampak negatif dari tidak terkendalinya pembangunan menara telekomunikasi, langkah pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi adalah tepat. Salah satu caranya adalah dengan memperluas objek retribusi daerah hingga mencakup pengawasan dan pengendaliannya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 Retribusi sebagaimana juga pajak dan pungutan lainnya dapat memiliki fungsi budgeter dan fungsi reguleren . Retribusi berfungsi budgeter akan memberikan pemasukan bagi kas daerah untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan daerah. Di sisi lain, retribusi berfungsi reguleren dapat menjadi alat pengatur masyarakat, salah satunya untuk meminimalisasi dampak negatif yang muncul, yang dalam skala lebih luas dapat menimbulkan eksternalitas negatif bagi sekitarnya, dalam hal ini retribusi sebagaimana pajak dan pungutan lainnya dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mengurangi dampak buruk dari rokok dengan meningkatkan cukai rokok, mengurangi tingkat polusi kendaraan dengan pajak kendaraan bermotor, melindungi petani dalam negeri dengan pajak impor atau bea masuk. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi memiliki fungsi reguleren untuk mengendalikan jumlah menara telekomunikasi yang semakin banyak, dan meminimalisasi dampak negatif baik bagi kesehatan masyarakat sekitar, keamanan lingkungan, dan tata ruang perkotaan; [3.19] Menimbang bahwa retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah karena adanya fasilitas atau pelayanan yang nyata diberikan oleh pemerintah daerah. Dalam hal retribusi pengendalian menara telekomunikasi, objek retribusinya adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum (vide Pasal 124 UU 28/2009), sehingga Wajib Retribusi yang membayar retribusi akan mendapatkan layanan atas pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi. Untuk itu, dilakukan pengendalian dan pengawasan agar tetap sesuai dengan tata ruang, tidak mengganggu keamanan lingkungan, dan tidak memberikan dampak buruk bagi kepentingan umum yang lebih luas. Dengan kalimat lain, ada layanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang dinikmati oleh Wajib Retribusi; Menurut Mahkamah, sebagaimana hakikat retribusi, maka retribusi haruslah dapat diperhitungkan, memiliki ukuran yang jelas atas tarif yang akan dikenakan. Jika perhitungan retribusi tidak jelas maka beban retribusi bisa jadi akan dialihkan kepada konsumen. Hal demikian menurut Mahkamah akan menimbulkan ketidakpastian hukum, apalagi jika dikaitkan dengan tujuan retribusi untuk mengendalikan pembangunan menara telekomunikasi. Dengan pengalihan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 beban retribusi maka pengenaan retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak akan membuat pembangunan menara telekomunikasi terkendali; Terhadap keberatan Pemohon atas penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP, Mahkamah memahami bahwa di satu sisi penetapan tarif maksimal bertujuan agar tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak berlebihan dan memberatkan penyedia menara dan penyelenggara telekomunikasi, namun di sisi lain, jika penerapannya di setiap daerah adalah sama, tanpa memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian, maka akan menimbulkan ketidakadilan. Ketentuan batas maksimal 2% dari NJOP yang menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2% dari NJOP tanpa perhitungan yang jelas merupakan ketentuan yang tidak memenuhi rasa keadilan. Karena akibat patokan harga maksimal yang menyebabkan hampir di setiap daerah menggunakan batas maksimal untuk memberlakukan pengenaan tarif yaitu 2% bagi setiap daerah dengan karakteristik yang sesungguhnya berbeda adalah hal yang tidak adil. Karena memperlakukan dengan sama terhadap hal yang berbeda adalah diskriminatif, sebagaimana juga memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama; Batas maksimal 2% bukan hanya ditujukan agar besaran retribusi tidak terlalu tinggi, namun memang diakui karena adanya kesulitan penghitungan. Dalam pengenaan pajak, hal yang tidak bisa dihitung, dan penerapannya akan sulit seharusnya tidak menjadi sebuah objek pungutan, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai konsekuensi dari kebijakan yang telah diambil, Pemerintah seharusnya dapat menemukan formula yang tepat untuk menetapkan tarif retribusi. Formula demikian dapat diatur dalam peraturan yang lebih teknis. Adanya kesulitan dalam menghitung besaran retribusi yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam penentuan tarif menjadikan penetapan tarif maksimal hanya bertujuan untuk mengambil jalan pintas, menurut Mahkamah adalah tindakan yang tidak adil; Meskipun menurut Mahkamah penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase ataupun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya ( open public policy ), namun kepastian hukum yang adil tetap harus diperhatikan. Karena pengenaan pungutan baik retribusi, pajak atau pungutan lainnya harus memperhatikan prinsip Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 pemungutan pajak ( fiscal justice ) yang meliputi kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi. Pengenaan tarif retribusi yang memberikan batas maksimal 2% dari NJOP tanpa disertai dengan sistem penghitungan yang jelas justru tidak memberikan kepastian hukum yang akan menyebabkan ketidakadilan dalam penerapannya. Kepastian hukum dalam mengenakan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif, dan waktu pembayarannya. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 menegaskan bahwa tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan penghitungannya, karena itulah ditentukan presentase 2% sebagai batas maksimal penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Menurut Mahkamah, penjelasan demikian menggambarkan tidak terpenuhinya prinsip pemungutan pajak baik prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi, padahal Pemerintah dalam memperluas objek baik pajak maupun retribusi seharusnya mempertimbangkan prinsip-prinsip pemungutan pajak, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ketidakjelasan dalam penghitungan dan kesulitan penentuan tarif. Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.20] Menimbang bahwa, dari sisi pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma, karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang- undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru mengatur norma yang menentukan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yaitu “paling tinggi 2% dari NJOP”. Selain itu, norma yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru membuat ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 124 UU 28/2009, sebagian besar pemerintah daerah justru mematok tarif 2% dari NJOP, tanpa menghitung dengan jelas berapa sesungguhnya tarif retribusi yang layak dikenakan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut [vide Pasal 152 UU 28/2009]. Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. [3.21] Menimbang bahwa oleh karena penetapan tarif maksimal retribusi pengendalian menara telekomunikasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka Pemerintah harus segera membuat formulasi/rumus penghitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan atas pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi, juga dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga tujuan pengendalian menara telekomunikasi untuk meminimalisasi eksternalitas negatif dapat tercapai. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4) UU 28/2009, apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, dan rumus dimaksud harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut; [3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh tujuh Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, Anwar Usman, Muhammad Alim, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tujuh belas, bulan November, tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh enam , bulan Mei, tahun dua ribu lima belas , Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 selesai diucapkan pukul 12.42 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, Patrialis Akbar, Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Presiden/yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat/yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Wahiduddin Adams ttd. Maria Farida Indrati ttd. Aswanto ttd. Patrialis Akbar ttd. Suhartoyo ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Yunita Rhamadani Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
(1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. (2) Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dari ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 dapat ditegaskan bahwa penetapan tarif retribusi jasa umum harus didasarkan pada biaya penyediaan jasa dalam hal biaya operasional, pemeliharaan, bunga dan biaya modal. Dan biaya tersebut hanya untuk menutupi sebagian biaya saja. Lebih jauh daripada itu, penetapan tarif juga harus didasarkan pada kemampuan masyarakat (jika tarif retribusi dikenakan kepada masyarakat), aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas layanan retribusi. Penerimaan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan retribusi. Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah sudah bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi seharusnya didasarkan pada biaya jasa pengawasan dalam rangka pengawasan dan pengendalian menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan.dan kepentingan umum (Pasal 124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 karena terbentur oleh penafsiran yang diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari niiai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." Di dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut secara terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga dengan alasan untuk memudahkan penghitungan dalam menetapkan tarif digunakanlah batasan paling tinggi 2% dari NJOP; oleh karena itu Penjelasan Pasal 124 tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161. Seharusnya besarnya retribusi pengendalian menara telekomunikasi tetap berdasarkan pada biaya atas jasa pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan seharusnya dapat dihitung berdasarkan pada rumus dan kriteria tertentu. (misalnya, menghitung besarnya retribusi pada IMB walaupun agak sulit tetapi dapat dilakukan, tetapi mengapa untuk retribusi Pengendalian menara tidak dilakukan). Disamping itu, Penjelasan Pasal 124 tersebut di atas bertentangan dengan syarat dan prisip retribusi yakni bersifat bukan pajak. Karena dengan menggunakan formula 2% dari NJOP tersebut menyebabkan retibusi Pengendalian menara bersifat seperti pajak, berapapun biaya pelayanan yang diberikan tetap harus membayar 2% dari NJOP (artinya besarnya retribusi tidak terkait dengan pelayanan yang diberikan). Oleh karena itu seharusnya ketentuan yang ada dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut menjelaskan tentang bagaimana pemerintah daerah melakukan pengawasan dan pengendalian atas menara telekomunikasi sehingga dapat di taksir besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi ( high-cost economy ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 15 September 2014 dan telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Oktober 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Pemohon adalah penyedia jasa di bidang telekomunikasi yang menganggap Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengandung ketidakjelasan norma dan justru mengaburkan bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang terkandung dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD.
Bahwa menurut Pemohon, dampak dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD membuat ketentuan penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam Pasal 151, 152, dan Pasal 161 UU PDRD, karena dalam praktiknya pemerintah daerah melalui peraturan daerah mengenai penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi langsung menetapkan tarif sebesar 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menara telekomunikasi.
Bahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan keberlakuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penyedia menara untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akibatnya retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu Pemohon harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasi dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 3. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Menurut Pemerintah, Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD adalah tidak berdasar sama sekali , karena pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review saat ini adalah merupakan keberatan Pemohon terhadap pengenaan tarif retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, sehingga hal ini bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma;
Bahwa terhadap keberatan Pemohon tersebut, UU PDRD memberikan kesempatan bagi Pemohon agar dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 UU PDRD;
Bahwa terhadap keberatan Pemohon atas penerapan tarif retribusi menara telekomunikasi yang menurut Pemohon secara serta merta ditetapkan oleh beberapa peraturan daerah sebesar 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan norma ini sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 F UUD 1945 yang digunakan sebagai batu uji constitutional review saat ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Selain itu, apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah, dalil-dalil kerugian yang disampaikan Pemohon lebih bersifat spekulatif, prematur, dan tidak relevan. Sementara Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa jika kerugian yang didalilkan bersifat potensial, maka kerugian tersebut harus dipastikan akan terjadi berdasarkan penalaran yang wajar. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing ) dan adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PEMOHON Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis mengenai materi pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU PDRD, sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para warganya sebagai sarana untuk ikut serta dalam pembiayaan penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. UUD 1945 telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kehidupan bernegara. Hal ini ditegaskan dengan diaturnya perpajakan dalam konstitusi, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 yaitu Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Dalam penyusunan undang-undang bidang perpajakan sebagaimana amanat Pasal 23A UUD 1945, pembuat Undang-Undang juga mempertimbangkan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memerlukan sumber dana yang cukup besar untuk menyelenggarakan pemerintahannya dan pelayanan kepada masyarakat. Sumber dana dimaksud memegang peranan penting guna mendukung kelangsungan pemerintahan dan masyarakat itu sendiri. Sumber dana tersebut dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama dalam berbagai bentuk diantaranya adalah pajak dan retribusi. Penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan dapat membantu Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mendukung pembiayaan berbagai urusan dan kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah, di antaranya berkaitan dengan kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagaimana diketahui bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah dalam mendorong peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan membangun hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang lebih ideal, kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penguatan local taxing power , peningkatan efektifitas pengawasan, dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagai salah satu bagian dari upaya perbaikan terus menerus, UU PDRD paling tidak memperbaiki 3 (tiga) hal pokok, yaitu penyempurnaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan ( local taxing empowerment ) dan retribusi daerah, serta peningkatan efektivitas pengawasan. Ketiga hal tersebut berjalan secara bersamaan, sehingga upaya peningkatan PAD dilakukan dengan konsisten terhadap prinsip-prinsip perpajakan dan retribusi yang baik dan tepat. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis pungutan yang dikenakan pemerintah daerah kepada masyarakat di samping pajak. Retribusi bersama- sama dengan pajak digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Retribusi daerah dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan retribusi yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Penggolongan retribusi tersebut dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam pelaksanaannya, sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah. Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Salah satu jenis Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengandung ketidakjelasan norma dan justru mengaburkan bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang terkandung dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD, Pemerintah berpendapat: Bahwa dalam hal penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang termasuk dalam kelompok retribusi jasa umum, penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi harus sejalan dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang diatur dalam Pasal 152 UU PDRD, yang didasarkan pada kebijakan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Untuk mencapai sasaran dimaksud, penerapan tarif retribusi jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 umum dimaksudkan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan. Tarif retribusi juga ditetapkan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah diberi diskresi penetapan tarif yang dituangkan dalam peraturan daerah mengenai pungutan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, namun harus tetap sesuai dengan tata cara penghitungan retribusi yang diatur dalam ketentuan Pasal 151 UU PDRD. Dengan demikian apabila Penjelasan Pasal 124 UU PDRD diubah sebagaimana petitum permohonan Pemohon, dikhawatirkan Pemerintah dianggap telah memberi ruang yang berlebih bagi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif retribusi, sehingga Pemerintah memandang perlu mengatur batas maksimum tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang ditetapkan pemerintah daerah dalam peraturan daerah.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon, yang menganggap dampak dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD membuat ketentuan penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD, karena dalam praktiknya pemerintah daerah melalui peraturan daerah mengenai penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi langsung menetapkan tarif sebesar 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menara telekomunikasi, Pemerintah berpendapat: Dalam rangka untuk melindungi masyarakat dari beban yang berlebihan perlu diatur batasan maksimum tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi. Apabila batasan maksimum 2% (dua persen) yang diatur dalam Penjelasan Pasal 124 UU PDRD dihapus sebagaimana permohonan Pemohon, maka tidak akan ada lagi batasan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif. Hal tersebut dapat berdampak munculnya kesewenang-wenangan pemerintah daerah dalam menentukan tarif yang justru dapat merugikan masyarakat. __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 Pada prinsipnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada Wajib Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian. Namun pada praktiknya, penghitungan biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pengawasan dan pengendalian dimaksud sulit ditentukan. Untuk itu, demi kepastian hukum dan guna mempermudah penghitungan, UU PDRD mengatur bahwa besaran tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah adalah paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa permasalahan penetapan tarif paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi bukan terletak pada Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, namun terkait dengan implementasi norma oleh pemerintah daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah masing-masing. Oleh karena itu, terhadap anggapan Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tersebut adalah tidak berdasar sama sekali , karena pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review saat ini adalah merupakan keberatan Pemohon terhadap pengenaan tarif retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, sehingga hal ini bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma. Bahwa terhadap keberatan Pemohon tersebut, UU PDRD memberikan kesempatan bagi Pemohon agar dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 UU PDRD.
Terhadap dalil Pemohon yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan keberlakuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penyedia menara untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akibatnya retribusi menara telekomunikasi secara tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, Pemerintah berpendapat: Bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji dalam permohonan a quo oleh Pemohon pada hakekatnya memberikan suatu hak konstitusional bagi setiap orang yang berupa hak pengakuan di hadapan hukum, hak jaminan di hadapan hukum, hak perlindungan hukum, hak kepastian hukum, serta hak perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemerintah berpendapat, bahwa dengan adanya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengenai Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi justru memberikan kejelasan tentang adanya kepastian hukum terhadap seluruh rakyat Indonesia, karena dengan penetapan tarif maksimum 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi mempermudah penghitungan bagi masyarakat dan memberikan batasan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan tarif dalam batas maksimum. Pemerintah juga berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945, karena Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa dengan penerapan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tersebut hak konstitusional Pemohon dan masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dirugikan. Justru dengan penerapan tarif maksimum 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi tersebut, hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak dirugikan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Sejalan dengan hal tersebut, maka petitum permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum, karena Penjelasan Pasal 124 UU PDRD justru memperjelas tentang adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, Pemerintah menyatakan tidak ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan; dan
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain itu, Presiden mengajukan seorang Ahli bernama Drs. Budi Sitepu M.A., yang didengarkan keterangannya di persidangan Mahkamah pada tanggal 2 Oktober 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. PRINSIP UMUM RETRIBUSI DAERAH 1. Pengertian Pengertian mengenai retribusi daerah diatur dalam Pasal 1 angka 64 UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut: “ Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa ataupemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. ” Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang harus dipahami dalam suatu retribusi daerah, yaitu:
Retribusi daerah dipungut berdasarkan Undang-Undang (sesuai Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 23A UUD 1945) yang pelaksanaannya di daerah diatur dengan peraturan daerah.
Pembayar retribusi daerah mendapat imbalan langsung berupa pelayanan yang menyebabkan fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh orang atau pribadi atau badan.
Penerimaan retribusi daerah digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
Prinsip dan Kriteria Retribusi Daerah a. Suatu retribusi daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum seperti keadilan ( equity ), kepastian ( certainty ), kemudahan ( convenience ), dan efisiensi ( efficiency ).
Penetapan suatu jenis retribusi daerah (yang masuk dalam kelompok retribusi jasa umum) perlu memperhatikan beberapa kriteria, antara lain: • bersifat bukan pajak. • jasa tersebut merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. • Jasa memberi manfaat khusus bagi pembayar retribusi daerah, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum. • jasa hanya diberikan kepada pembayar retribusi. • tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya. • dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu pendapatan daerah yang potensial. • pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Tarif Retribusi Daerah Retribusi daerah dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Prinsip dan sasaran penetapan tarif untuk masing-masing kelompok retribusi tersebut berbeda satu dengan lainnya, yaitu:
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Apabila suatu daerah memiliki kemampuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 fiskal yang memadai, penyediaan jasa untuk jenis Iayanan tertentu dapat tidak dikenakan retribusi.
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk meperoleh keuntungan yang Iayak. Dalam hal ini, jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah pada dasarnya dapat juga disediakan oleh pihak swasta, sehingga penetapan tarif jasa yang disediakan pemerintah daerah akan bersaing dengan harga jasa yang sama yang disediakan oleh pihak swasta.
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seiuruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Untuk jenis Iayanan ini, penetapan tarif ditujukan untuk menutup biaya-biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan jasa yang bersangkutan ( cost-recovery ) termasuk biaya pengawasannya. Penetapan besarnya tarif untuk masing-masing jenis retribusi daerah sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintahan daerah dengan mengacu pada prinsip dan sasaran penetapan tarif di atas dan diatur dalam peraturan daerah. Dalam hal ini, pemerintahan daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan tarif retribusi daerah sesuai kebijakan daerah, seperti untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dengan demikian, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi dapat berbeda menurut jenis pelayanan jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa. B. RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DAN PENETAPAN TARIFNYA 1. Pendahuluan Gagasan penetapan retribusi pengendalian menara telekomunikasi muncul ketika berbagai pihak menyampaikan pandangan dan usulannya kepada DPR terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 Dinamika yang berkembang saat pembahasan RUU tersebut di DPR adalah adanya keluhan dari industri telekomunikasi atas terjadinya berbagai pungutan di daerah terhadap keberadaan menara telekomunikasiyang dipandang tidak memiliki dasar hukum jelas. Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000, sejumlah Perda bermasalah masih ditemui di daerah karena prinsip yang dianut dalam Undang-Undang tersebut bersifat “ open-list ”, artinya daerah dapat menetapkan Perda tentang retribusi daerah tanpa menunggu persetujuan dari Pemerintah. Dalam rangka menertibkan berbagai pungutan daerah, Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengubah prinsip pemungutan retribusi daerah dari yang bersifat 'open-list' menjadi 'closed-list . Dengan prinsip 'closed-list' , daerah hanya boleh memungut retribusi daerah sesuai jenis retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang. Langkah ini dipandang dapat mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai pungutan daerah yang menjadi kewajibannya.
Kondisi yang dihadapi Seiring dengan pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia, pembangunan menara telekomunikasi oleh perusahaan berkembang pesat guna mendukung kelancaran komunikasi. Pendirian menara telekomunikasi tersebut tidak dapat dikendalikan oleh daerah karena kewenangan perijinan serta pemungutan pajak dan bukan pajak dilakukan oleh pusat. Dari segi estetika, tumbuhnya menara telekomunikasi yang tidak sesuai ketentuan tata ruang telah menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah mana menara tersebut didirikan. Berbagai pendapatan dan reaksi muncul atas kondisi tersebut, antara lain:
Sebagian masyarakat di daerah memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi hanya menimbulkan kerusakan lingkungan dan tidak memberikan manfaat, sehingga acapkali terjadi gangguan keamanan terhadap keberadaan menara.
Sebagian Pemerintah daerah juga memandang bahwa tumbuhnya industri telekomunikasi tidak memberikan kontribusi bagi pembangunan di daerah. Keberadaan menara justru dianggap merusak lingkungan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 sementara daerah tidak mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan telekomunikasi (yang acapkali dipublikasikan mendapatkan keuntungan cukup besar). Hampir semua pungutan yang terkait dengan operasi telekomunikasi dilakukan oleh pusat, baik dalam bentuk pajak penghasilan, pajak pertambahan niiai, maupun penerimaan negara bukan pajak. Pemerintah daerah menuntut agar sebagian dari pungutan tersebut diberikan kepada daerah, baik dalam bentuk bagi hasil ataupun dengan menambah jenis pungutan daerah yang baru.
Pelaku bisnis telekomunikasi memandang bahwa mereka telah memenuhi semua kewajiban finansial atas operasional telekomunikasi kepada pemerintah. Pelaku bisnis menuntut agar pemerintah turut serta dalam mengamankan aset-aset yang mereka gunakan di daerah dalam operasional telekomunikasi (seperti menara telekomunikasi) agar mereka tidak mengalami kerugian, yang pada akhimya akan mengurangi pembayaran pajak dan bukan pajak. Mereka juga memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi turut memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah karena komunikasi antar masyarakat di daerah dan antar daerah menjadi lebih lancar.
Para akademisi melihat bahwa pertumbuhan industri telekomunikasi memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan daerah. Namun, kepada daerah perlu dialokasikan sejumlah dana yang diperoleh dari industri telekomunikasi untuk digunakan membiayai pelayanan terhadap keberadaan menara telekomunikasi di daerah seperti: pengaturan ruang untuk pendirian menara telekomunikasi, pengendalian dan pengamanan menara telekomunikasi dari potensi gangguan kamtibmas, serta menata pembangunan menara telekomunikasi yang sesuai dengan kondisi daerah.
Para anggota DPR juga memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi perlu dikendalikan oleh pemerintah daerah agar keberadaannya tidak merusak lingkungan. Guna menjamin kelancaran komunikasi, keberadaan menara telekomunikasi perlu diatur dan diamankan dari gangguan kamtibmas. Berbagai opsi dapat dipertimbangkan untuk membantu daerah membiayai fungsi pelayanan tersebut seperti bagi hasil pungutan pusat, menambah jenis pajak daerah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 baru (pajak telepon), retribusi daerah baru, atau piggy-bank dari jenis pajak pusat.
Pemerintah pada dasarnya sependapat dan mendukung upaya pengamanan menara telekomunikasi dalam rangka meningkatkan kualitas komunikasi masyarakat, termasuk perlunya pengendalian pembangunan menara telekomunikasi untuk mencegah kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, berbagai opsi yang ada dikaji dengan melibatkan berbagai pihak, seperti akademisi (antara Iain yang tergabung dalam Tim Asistensi Menteri Keuangan bidang Desentralisasi Fiskal- TADF), Asosiasi Telekomunikasi Seiuruh Indonesia (ATSI), pemerintah daerah, dan instansi pusat terkait.
Solusi Yang Diambil Dari diskusi yang dilakukan atas kajian terhadap berbagai opsi yang ada, Panitia Kerja RUU PDRD menyepakati hal-hal sebagai berikut:
Kepada daerah perlu diberikan tambahan jenis pungutan daerah yang hasilnya digunakan untuk membiayai pelayanan pengendalian menara telekomunikasi. Tambahan jenis retribusi daerah yang baru merupakan pilihan yang lebih baik dibanding dengan timbulnya kerawanan terhadap keberadaan menara telekomunikasi atau timbulnya berbagai jenis pungutan daerah yang tidak didasarkan pada peraturan perundang- undangan.
Pemungutan retribusi daerah harus disertai pelayanan kepada pembayar retribusi daerah, antara lain dengan mengoptimalkan pengawasan dan pengendalian atas menara telekomunikasi yang ada di daerah.
Untuk kepastian hukum, Perda pungutan daerah harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang, baik menyangkut objek, subyek, maupun tarifnya. Hal ini diselaraskan dengan karakteristik UU PDRD yang sedang dirumuskan, yang bersifat closed-list .
Perumusan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Berdasarkan kesepakatan tersebut, dirumuskan suatu retribusi daerah tambahan dengan penjelasan sebagai berikut:
Jenis pungutan baru tersebut diberi nama "Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi" dan digolongkan kedalam kelompok "retribusi jasa umum" (Pasal 110 dan Pasal 124 UU 28/2009) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 b. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi daerah lainnya, penetapan tarif reribusi daerah diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan daerah yang diatur dalam Perda. Namun, untuk memberikan kepastian hukum serta untuk mencegah terjadinya pungutan retribusi yang berlebihan, maka dalam Undang-Undang ditetapkan secara spesifik tarif maksimum retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang dapat dipungut oleh daerah, yaitu 2% dari NJOP PBB-P2 menara telekomunikasi (Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009).
Penetapan tarif maksimum ditujukan untuk menghindarkan pengenaan retribusi daerah yang memberatkan masyarakat, mengingat cara penghitungan biaya penyediaan jasa, pengendalian, dan pengawasan yang menjadi dasar penetapan tariff retribusi sulit diketahui kewajarannya.
Batas maksimum tarif retribusi sebesar 2% dari NJOP didasarkan atas estimasi besaran pungutan yang selama ini dibayar oleh industri telekomunikasi kepada daerah (pungutan berdasarkan Perda atau Sumbangan Pihak Ketiga atau bentuk pungutan lainnya). Nilai ini dengan mudah dapat diketahuimelalui data pungutan PBB-P2 atas menara telekomunikasi yang dilakukan oleh daerah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi salah prinsip-prinsip retribusi daerah, berupa kepastian, kemudahan, dan efisiensi. Kesimpulan dan Pendapat: Berdasarkan prinsip-prinsip retribusi daerah, mekanisme perumusan jenis dan tarif retribusi, serta keselarasan dengan karakteristik Undang-Undang pajak daerah dan retribusi daerah, kami menyimpulkan bahwa pengaturan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasiyang ditetapkan dalam Penjelasan Pasal 124 UU Nomor 28 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan ketentuan umum di bidang retribusi daerah. Kami berpendapat bahwa rumusan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 124 UU tersebut sudah baik dan tidak perlu diubah. Adapun pertimbangan atas pendapat ini adalah:
Sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi daerah. Rumusan dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 memberikan kepastian, kemudahan, dan efisiensi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 a) Dengan adanya tarif maksimum, terdapat kepastian mengenai jumlah retribusi menara telekomunikasi yang harus dibayar oleh masyarakat. Pemerintahan daerah tidak dapat dengan sewenang-wenang menetapkan tarif retribusi dengan menggunakan formula yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Data mengenai NJOP mudah diperoleh, yakni menggunakan pembayaran PBB-P2 menara telekomunikasi sebagai referensi. b) Formula penghitungan tarif yang sederhana (2% dari NJOP) akan meningkatkan efisiensi pemungutan retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Dalam hal ini, daerah dapat secara langsung menerapkan tarif maksimum dengan mencantumkannya dalam Perda mengenai retribusi daerah.
Meningkatkan partisipasi masyarakat. Dengan referensi yang mudah diperoleh dan cara penghitungan yang sederhana maka masyarakat dapat menghitung sendiri tarif retribusi yang harus dibayar.
Memberikan hak masyarakat. Melalui kemudahan penghitungan, masyarakat memiliki peluang untuk mengajukan keberatan apabila retribusi yang dipungut melampaui tarif maksimum. Pasal 162 UU Nomor 28 Tahun 2009 memberikan kesempatan bagi wajib retribusi untuk mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwaiklan Rakyat menyampaikan keterangan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 November 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Pengujian Materiil Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 Penjelasan Pasal 124 secara keseluruhan berbunyi: “Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tariff retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengenda/ian menara telekomunikasi tersebut" Pemohon beranggapan ketentuan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa ketidakjelasan norma yang terkandung pada Penjelasan Pasal 124 telah mengakibatkan beban ekonomi tinggi sehingga pelaksanaan Pasal 124 menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan hak-hak atas komunikasi sebagai hak dasar sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD NRI 1945 dan bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur Pasal 28D UUD NRI 1945;
Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 memberikan kejelasan norma sehingga penetapan tarif retribusi pengendalian menara benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur pada Pasal 152 dan Pasal 161 (ketentuan pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka yang awalnya Penjelasan Pasal 124 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 berbunyi: “Mengingat tingkat pengunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi yang besamya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.” Harus diubah sebagai berikut: “ Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi ” 3. Bahwa dengan diubahnya Penjelasan Pasal 124 dengan perubahan sebagaimana yang Pemohon sampaikan semata-mata agar Pasal 124 memiliki tafsir resmi yang bersifat konstitusional, tidak lagi melanggar hak- hak dasar rakyat di bidang komunikasi sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD NRI 1945 dan juga tidak melanggar hak-hak Pemohon dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD NRI 1945; C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil Pemhon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa, “ Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara. ” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional". Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan :
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian UU a quo , maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pihak Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo , DPR berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- 111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
Pengujian atas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap permohonan pengujian Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa tujuan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 124 adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah sebagimana tergambar dalam konsiderans menimbang Undang-Undang a quo bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Tiap-tiap daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur dalam undang- undang;
Bahwa untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor- impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru.
Bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mendukung reformasi desentralisasi. Dengan ciri-ciri bahwa memberdayakan Pemerintah Daerah melalui penelitian otonomi daerah dengan akuntabilitas yang tinggi. Dalam UndangUndang ini, dianut openlis menjadi closelis. Artinya, selain diberikan diskresi, daerah juga dibatasi di dalam memungut daerah yang hanya boleh dipungut berdasarkan yang tercantum di undang-undang tersebut. Undang-Undang a quo memberikan ruang untuk menggali sumbersumber pendapatan daerah yang memenuhi kriteria-kriteria yang ditentukan.
Bahwa retribusi pengendalian menara telekomunikasi merupakan salah satu objek retribusi jasa umum. Berdasarkan Pasal 108 Undang-Undang a quo , objek retribusi jasa terbagi menjadi tiga bagian, yakni retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan perizinan tertentu. Selanjutnya menurut Pasal 109 Undang-Undang a quo , objek Retribusi Jasa Umum merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Sadan. Meskipun demikian, Undang Undang a quo membuka kemungkinan bahwa 14 (empat belas) jenis Retribusi Jasa Umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
Bahwa menurut Pasal 124 Undang-Undang a quo , objek retribusi pengendalian menara telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum.
Bahwa penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo yang selengkapnya berbunyi: “ Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut ”, dimaksudkan guna menjelaskan bahwa pada kenyataannya terdapat kesulitan untuk menentukan tingkat penggunaan jasa yang bersifat pengawasan dan pengendalian sehingga untuk melindungi subjek dan/atau wajib retribusi jasa umum dit tapkan angka maksimal dalam pengenaan tarif retribusi, agar pihak Pemerintah Daerah sebagai penyedia layanan tidak semena-mena menetapkan tarif retribusi jasa umum tersebut.
Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo , nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi pada dasarnya merupakan jalan keluar agar kesulitan sebagaimana dimaksud pada huruf f dapat diatasi. Penetapan angka maksimal 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi tetap harus dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut, sehingga Pemerintah Daerah seharusnya tetap memperhatikan penghitungan riil biaya frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi dan tidak langsung mengenakan tarif maksimal atau 2% (dua persen) tanpa dasar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 penghitungan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, DPR berpendapat bahwa penjelasan Pasal 124 dimaksUdkan guna memberikan kemudahan penghitungan dengan tidak mengabaikan ketentuan bahwa penghitungan retribusi terhadap pengendalian menara telekomunikasi harus dikaitkan dengan biaya pengawasan dan pengendalian, namun dalam penetapannya tidak boleh melebihi 2% dari nilai jual objek pajak agar melindungi para subjek dan/atau wajib retribusi dari pengenaan tarif yang semena-mena. Demikian keterangan DPR RI kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili Perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan yang disampaikan oleh Pemohon yang diterima Kepaniteraan tanggal 9 Oktober 2014 dan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Oktober 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049, selanjutnya disebut UU 28/2009) terhadap Pasal 28D dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo . Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon __ adalah untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah badan hukum privat berbentuk perseroan terbatas yang berdasarkan akta pendiriannya (vide bukti P-2) bergerak di bidang telekomunikasi dan informasi. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 potensial akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menghambat penyedia menara telekomunikasi untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi (Pasal 28F UUD 1945). Akibatnya, retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin Pasal 28F UUD 1945; [3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil Pemohon yang merasa dirugikan akibat ketidakpastian hukum dalam penentuan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang ditimbulkan oleh Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009, menurut Mahkamah, prima facie Pemohon mempunyai hak konstitusional karena dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga terdapat kemungkinan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon __ dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana dimaksud oleh Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 yang selengkapnya menyatakan, "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." yang menurut Pemohon penjelasan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan:
1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan _penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan; _ 2) Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dari ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 dapat ditegaskan bahwa penetapan tarif retribusi jasa umum harus didasarkan pada biaya penyediaan jasa dalam hal biaya operasional, pemeliharaan, bunga dan biaya modal, dan biaya tersebut hanya untuk menutupi sebagian biaya saja. Lebih jauh daripada itu, penetapan tarif juga harus didasarkan pada kemampuan masyarakat (jika tarif retribusi dikenakan kepada masyarakat), aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas Iayanan retribusi. Dus penerimaan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan retribusi.
Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah sudah bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi nantinya harus murni didasarkan pada biaya jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 8 pengawasan dalam rangka pengendalian menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum (Pasal 124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah 9. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 karena terbentur oleh penafsiran yang diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." Di dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut secara terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga dengan alasan untuk memudahkan penghitungan dalam menetapkan tarif digunakanlah batasan paling tinggi 2% dari NJOP;
Bahwa dalam penentuan jenis dan tarif retribusi daerah secara teoritis harus mempertimbangkan kriteria-kriteria retribusi daerah yang baik yang berlaku secara umum. Retribusi daerah yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Richard M. Bird (Richard M. Bird, " Subnational Revenues: Realities and Prospect ", Paper yang disampaikan pada _Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management: _ World Bank , 2000) memiliki kriteria, yaitu:
Mudah dikelola secara administrasi oleh pemerintah daerah ( easy to administer locally );
Dipungut utamanya dari penduduk lokal ( imposed mainly on local Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 9 resident );
Tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi ( high cost economics );
Tidak menimbulkan masalah harmonisasi atau kompetisi antar pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat 11. Bahwa dampak dari Penjelasan Pasal 124 tersebut akhimya membuat ketentuan penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian. Dalam praktiknya, pemerintah daerah langsung menetapkan tarif sebesar 2% dari NJOP. Hal ini tentu bertentangan dengan hakekat dari retribusi jasa umum itu sendiri. Akibatnya ketentuan penetapan tarif yang diatur di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 tidak digunakan, bahkan diabaikan oleh pemerintah daerah. Seharusnya, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Sampai saat ini, setidaknya sudah terdapat 158 (seratus limapuluh delapan) Pemerintah Kabupaten/Kota yang Perda tentang Penetapan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi-nya langsung mematok tarif 2 (dua) persen dari NJOP (vide bukti P-1);
Bahwa Penjelasan Pasal 124 pada dasarnya telah benar sepanjang frase kalimat " ...besarnya retribusi dikaitkan dengan jasa pengawasan dan pengendalian serta frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi... ". Namun pemerintah daerah tidak mengkaitkannya dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian, melainkan langsung mematok tarif 2% dari NJOP karena terdapat frase kalimat " Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan.. ". Dengan alasan sulit dan untuk memudahkan penghitungan itulah kemudian pemerintah daerah menafsirkannya seolah-olah memang tidak mungkin menggunakan pendekatan frekuensi pengawasan dan pengendalian, jadi langsung saja dipatok 2% dari NJOP.
Bahwa penetapan tarif menara telekomunikasi yang didasarkan pada 2% dari NJOP berakibat beban ekonomi tinggi ( high cost economics ) yang akan berdampak negatif bagi investasi daerah. Sebab dengan menggunakan ketentuan 2% dari NJOP biaya yang harus dikeluarkan untuk 1 (satu) menara telekomunikasi mencapai di atas angka Rp Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 10 10.000.000,-, (sepuluh juta rupiah) di antaranya Ciamis, Bangli, Dairi Surabaya, Bantul dan Karangasem (vide bukti P.2), bahkan terdapat beberapa daerah yang tarifnya di atas Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) diantaranya Demak, Makassar, DKI Jakarta dan Batam (vide bukti P.3); Padahal jika menggunakan ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 yang didasarkan pada biaya pengawasan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi untuk 1 (satu) menara tidak lebih dari + Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) saja. Perhitungan penetapan tarif dimaksud dapat Pemohon simulasikan sebagai ilustrasi sebagai berikut: Perhitungan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Berbasis Biaya Pengawasan yang dilakukan Pemerintah Daerah Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan /orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun Dari ilustrasi tersebut dapat diketahui bahwasanya biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi, item atau komponennya tetap dapat diperhitungkan, item tersebut yaitu biaya honorarium petugas pengawas (bisa didasarkan pada Upah Minimum Regional), transportasi dan uang makan (didasarkan pada angka kewajaran} serta alat tulis kantor (juga didasarkan pada kebutuhan yang wajar). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 11 14. Bahwa akibat timbulnya Penjelasan Pasal 124 UU Nomor 28 Tahun 2009, maka menimbulkan biaya ekonomi tinggi atas penjelasan tersebut, yang disimulasikan sebagai berikut: Jika diasumsikan bahwa NJOP Menara adalah Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), maka nilai Retribusi Pengendalian Menara yang harus dibayarkan adalah 2% x NJOP = Rp.20.000.000, /menara/tahun. Jika menggunakan perhitungan biaya Iayanan yang sebesar Rp.2.072.728.- (dua juta tujuh puluah dua ribu tujuh ratus dua puluh delapan rupiah)/ menara/tahun, maka potensi kerugian per menara adalah Rp. 17.927.272,- (tujuh belas juta sembilan ratus dua puluh tujuh dua ratus tujuh puluh dua rupiah)/menara/tahun.
Bahwa dengan adanya biaya ekonomi tinggi dalam retribusi pengendalian menara telekomunikasi faktanya telah mempersulit penyedia sarana prasarana telekomunikasi (penyedia menara dan operator seluler) termasuk Pemohon untuk mewujudkan biaya telekomunikasi yang murah dan terjangkau, padahal komunikasi merupakan salah satu hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Dan itulah kenapa retribusi pengendalian menara dimasukkan ke dalam kategori retribusi jasa umum (bukan jasa usaha) karena tujuan utamanya memang untuk pemenuhan kepentingan umum di bidang komunikasi. Bahwa bagaimanapun Pemohon merupakan badan hukum yang oleh negara diakui sebagai salah satu penyelenggara pemenuhan kepentingan umum (pemenuhan hak dasar rakyat di bidang komunikasi), dan apa yang dilakukan oleh Pemohon secara langsung ikut membantu kewajiban negara dalam pemenuhan hak dasar warga negara dimaksud. Oleh karena biaya ekonomi tinggi akibat penafsiran yang diberikan Penjelasan Pasal 124 telah berakibat Pasal 124 menjadi bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 16. Bahwa penerapan 2% (dua persen) dari NJOP dalam penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi juga tidak memberikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 perlindungan dan keadilan hukum bagi Pemohon karena seharusnya tetap didasarkan pada kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian, sehingga penafsiran yang diberikan Penjelasan Pasal 124 inkonsisten dengan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 UU Nomor 28 Tahun 2009 dan berakibat Pasal 124 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 17. Bahwa jika didasarkan pada ketentuan yang tertuang di dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada di batang tubuh;
Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
Tidak mengulangi uraian kata istilah frasa atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan atau 5) Tidak memuat rumusan pendelegasian.
Bahwa Penjelasan Pasal 124 justru membuat ketidakjelasan norma yang terkandung di Pasal 124, di satu sisi seolah-olah penetapan tarif retribusi tetap mengacu pada biaya pengawasan dan pengendalian, namun di sisi lain biaya pengawasan dan pengendalian dinyatakan sulit dilakukan sehingga digunakan batasan tarif tertinggi 2 (dua) persen dari NJOP. Padahal biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi terbukti tidaklah sulit karena Pemohon terbukti dapat mengurai dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 mensimulasikannya dalam rumusan yang jelas, tegas dan benar-benar mengacu kepada biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang telah Pemohon tuangkan pada poin 11. Oleh karena itu Penjelasan Pasal 124 pada dasarnya tidak dapat digunakan lagi sebagai tafsiran resmi norma yang terkandung di Pasal 124 karena bunyi dari penjelasan Pasal 124 justru mengaburkan dan membuat ketidakjelasan norma bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang diatur di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161;
Bahwa ketidakjelasan norma yang terkandung pada Penjelasan Pasal 124 telah mengakibatkan beban ekonomi tinggi sehingga pelaksanaan Pasal 124 menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagai hak dasar sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD 1945 dan bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD 1945;
Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 memberikan kejelasan norma sehingga penetapan tarif retribusi pengendalian menara benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur pada Pasal 152 dan Pasal 161 (ketentuan pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka yang awalnya Penjelasan Pasal 124 berbunyi: “ Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari niiai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut. ” Harus diubah sebagai berikut: " Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi ." Dan berdasarkan Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Penjelasan dapat disertai contoh, untuk memberikan kepastian hukum dalam penetapan tarif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 maka simulasi yang telah Pemohon contohkan dimohonkan kepada Mahkamah untuk dijadikan sebagai bagian dari Penjelasan Pasal 124, sehingga bunyi Penjelasan Pasal 124 berbunyi sebagai berikut: Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi. Kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian dapat dijabarkan dalam formula penghitungan sebagai berikut: Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan/ orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun 21. Bahwa dengan diubahnya Penjelasan Pasal 124 dengan perubahan sebagaimana yang Pemohon sampaikan pada poin 17 semata-mata agar Pasal 124 memiliki tafsir resmi yang bersifat konstitusional, tidak lagi melanggar hak-hak dasar rakyat di bidang komunikasi sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD 1945 dan juga melanggar hak-hak Pemohon dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD 1945; IV. PETITUM Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak berkekuatan hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah konstitusional diubah dengan frase kalimat: Penetapan tarif Retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi. Kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian dapat dijabarkan dalam contoh formula penghitungan sebagai berikut: Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan/ orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-6.8 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Salinan Akta Notaris Nomor 01, tanggal 29 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 Agustus 2013, Akta Perseroan terbatas PT. Kame Komunikasi Indonesia;
Bukti P-2 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-55326.AH.01.01.Tahun 2013, tanggal 31 Oktober 2013.
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
Bukti P-5.1 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.2 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.3 : Fotokopi Peraturan Walikota Samarinda Nomor 23 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.4 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.5 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.6 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Surabata tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.7 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendali Menara Telekomunikasi di Kabupaten Bangli; Bukti P-5.8 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendali Menara Telekomunikasi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 Bukti P-5.9 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 18 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.10 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.11 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.12 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.13 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.14 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Tmur Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penataan, Pembangunan, Pengoperasian, dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur; Bukti P-5.15 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Nomor ... Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum. Bukti P-5.16 : Fotokopi Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 02 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.17 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.18 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.19 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 14 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.20 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.21 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.22 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor 4 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.23 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.24 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah pada Bidang Perhubungan Komunikasi dan Informatika Bukti P-5.25 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 09 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.26 : Fotokopi Peraturan Daerah kota Batam Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.27 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.28 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.29 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian dan Pengawasan Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.30 : Fotokopi Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.31 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.32 : Fotokopi Peraturan Daerah Kapaten Karangasem Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.33 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.34 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Singkawang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Menara Bersama Telekomunikasi, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.35 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.36 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 07 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kabupaten Purbalingga; Bukti P-5.37 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.38 : Fotokopi Qanun Kabupaten Aceh Singkil Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengawasan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.39 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.40 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 11 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.41 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.42 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.43 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.44 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.45 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.46 : Fotokopi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.47 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Mukomuko Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi;
Bukti P-6.1 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Kabupaten Bantul Nomor 555/789 tanggal 6 November 2013, kepada provider telekomunikasi, perihal Keringanan RPM 2013; Bukti P-6.2 : Fotokopi Surat Ketetapan retribusi Daerah Pengendalian Menara Telekomunikasi Kota Batam; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 Bukti P-6.3 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Komunikasi Informatika Pemerintah Kabupaten Demak, Nomor 555/4553/2013 tanggal 12 September 2013, perihal Surat Pemberitahuan Keringanan Retribusi Daerah Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.4 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Ciamis Nomor 555/1010/Dishub.06, tanggal 10 Juli 2013 perihal Penetapan retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.5 : Fotokopi Surat Pengantar Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Karangasem Nomor 045.2/338/DKI, tanggal 28 Juni 2013; Bukti P-6.6 : Fotokopi Surat Ketetapan Retribusi Daerah Pengendalian Menara Telekomunikasi Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Surabaya, tanggal 30 Oktober 2013; Bukti P-6.7 : Fotokopi Surat Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Makassar Nomor 555/933/Diskom/ III/2013, tanggal 7 Maret 2013, perihal Tagihan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.8 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Dairi Nomor 1616/ BU/DPKD/2012, tanggal 18 September 2012, perihal Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Tahun 2012; Selain itu, Pemohon juga mengajukan seorang ahli bernama Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.SI., M.A., yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 2 Oktober 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: PENGANTAR Bahwa Pajak dan Retribusi Daerah merupakan kebijakan desentralisasi fiskal Pemerintah (Pusat) yang ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah ( Taxing power ) dan kapasitas fiskal daerah ( Fiscal Capacity ) untuk menjalankan setiap urusan yang dilimpahkan kepada daerah. Oleh karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 itu Pemerintah Daerah diberikan kewenangan memungut pajak dan pungutan memaksa lainnya (retribusi dan Iain-Iain PAD yang sah) sebagai bagian dari pendapatan asli daerah. Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-Undang, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-Undang yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Pada dasarnya UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan Undang-Undang ini, yaitu:
Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang ( Closed-List ).
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang- Undang.
Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. TINJAUAN TEORI DAN REGULASI Perbedaan Pajak dan Retribusi Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak merupakan pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai bentuk kontribusi warga terhadap negara, tentu memiliki sanksi tersendiri ketika seseorang tidak membayarkannya atau terlambat untuk membayarnya. Sementara itu, Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Jadi retribusi merupakan pungutan yang tidak wajib, tentu akan berbeda dengan pajak. Hal tersebut nampak pada tidak adanya sanksi atas tindakan tidak membayar retribusi, hanya saja bagi pihak yang tidak membayar tidak akan mendapatkan jasa sebagaimana yang membayarnya. Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Ciri-ciri retribusi daerah:
Retribusi dipungut oleh pemerintah daerah 2. Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis bagi yang menikmati pelayanan 3. Adanya kontraprestasi yang secara langsung dapat ditunjuk 4. Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang mengunakan/mengenyam jasa-jasa yang disiapkan negara. Kriteria Efektivitas Retribusi Daerah: Untuk menilai tingkat keefektivitasan dari pemungutan retribusi daerah ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi yaitu:
Kecukupan dan elastisitas, elastisitas retribusi harus responsif kepada pertumbuhan penduduk dan pendapatan, selain itu juga tergantung pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 ketersediaan modal untuk memenuhi pertumbuhan penduduk.
Keadilan, dalam pemungutan retribusi daerah harus berdasarkan asas keadilan, yaitu disesuaikan dengan kemampuan dan manfaat yang diterima.
Kemampuan administrasi, dalam hal ini retribusi mudah ditaksir dan dipungut. Mudah ditaksir karena pertanggungjawaban didasarkan atas tingkat konsumsi yang dapat diukur. Mudah dipungut sebab penduduk hanya mendapatkan apa yang mereka bayar, jika tidak dibayar maka pelayanan dihentikan. Jenis-jenis Retribusi Daerah Retribusi daerah menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah retribusi daerah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: A. Retribusi Jasa Umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, retribusi jasa umum ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini:
Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa usaha atau perizinan tertentu.
Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi.
Jasa tersebut memberikan manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.
Jasa tersebut iayak untuk dikenakan retribusi.
Retribusi tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya.
Retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif dan efisien serta merupakan satu sumber pendapatan daerah yang potensial.
Pemungutan retribusi memungkinkanpenyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan atau kualitas pelayanan yang lebih baik. Adapun jenis retribusi jasa umum adalah sebagai berikut [Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang 28 Tahun 2009]:
Retribusi pelayanan kesehatan 2. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan 3. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 sipil 4. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat 5. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum 6. Retribusi pelayanan pasar 7. Retribusi pengujian kendaraan bermotor 8. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran 9. Retribusi penggantian biaya cetak peta 10. Retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus 11. Retribusi pengolahan limbah cair 12. Retribusi pelayanan tera/tera uiang 13. Retribusi pelayanan pendidikan 14. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi Terkait dengan Retribusi pengendalian menara telekomunikasi, dimana Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum. B. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oieh sektor swasta. Kriteria retribusi jasa usaha adalah:
Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perizinan tertentu.
Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogianya disediakan oleh sektor swasta, tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/ dikuasai oleh pemerintah daerah. Jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah sebagai berikut (Pasal 127 Undang- Undang 28 Tahun 2009):
Retribusi pemakaian kekayaan daerah 2. Retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan 3. Retribusi tempat pelelangan 4. Retribusi terminal 5. Retribusi tempat khusus parkir 6. Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 7. Retribusi rumah potong hewan 8. Retribusi pelayanan kepelabuhanan 9. Retribusi tempat rekreasi dan oiahraga 10. Retribusi penyeberangan di air 11. Retribusi penjualan produksi usaha daerah C. Retribusi Perizinan Tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang. penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Kriteria retribusi perizinan tertentu antara lain:
Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi.
Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum.
Biaya yang menjadi beban pemerintah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga Iayak dibiayai dari perizinan tertentu. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu adalah sebagai berikut (Pasal 141 Undang-Undang 28 Tahun 2009):
Retribusi izin mendirikan bangunan 2. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol 3. Retribusi izin gangguan 4. Retribusi izin trayek 5. Retribusi izin usaha perikanan Tata Cara Perhitungan Retribusi Daerah Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa. Dengan demikian, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan tarif retribusi dan tingkat penggunaan jasa.
Tingkat Penggunaan Jasa, Tingkat Penggunaan Jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar alokasi beban biaya yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan, misalnya beberapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa jam parkir kendaraan, dan sebagainya. Akan tetapi, ada pula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus tertentu yang didasarkan atas luas tanah, luas lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.
Tarif Retribusi Daerah, Tarif Retribusi Daerah adalah niiai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang. Tarif dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan perbedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan sasaran dan tarif tertentu, misalnya perbedaan Retribusi Tempat Rekreasi antara anak dan dewasa. Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah berkaitan dengan objek retribusi yang bersangkutan.
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Daerah, Tarif retribusi daerah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang berbeda antar golongan retribusi daerah. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah ditentukan sebagai berikut:
Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan.
Tarif retribusi jasa usaha ditetapkan berdasarkan pada tujuan utama untuk memperoleh keuntungan yang Iayak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang bersangkutan diselenggarakan oleh swasta.
Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seiuruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan dilapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Prinsip dasar untuk mengenakan retribusi biasanya didasarkan pada total cost dari pelayanan pelayanan yang disediakan. Akan tetapi akibat adanya perbedaan-perbedaan tingkat pembiayaan mengakibatkan tarif retribusi tetap dibawah tingkat biaya ( full cost ) ada 4 alasan utama mengapa hal ini terjadi:
Apabila suatu pelayanan pada dasarnya merupakan suatu public good yang disediakan karena keuntungan kolektifnya, tetapi retribusi dikenakan untuk mendisiplinkan konsumsi. Misalnya retribusi air minum.
Apabila suatu pelayanan merupakan bagian dari swasta dan sebagian lagi merupakan good public . Misalnya tarif kereta api atau bis disubsidi guna mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum dibandingkan angkutan swasta, guna mengurangi kemacetan.
Pelayanan seluruhnya merupakan private good yang dapat disubsidi jika hal ini merupakan permintaan terbanyak dan penguasa enggan menghadapi masyarakat dengan full cost . Misalnya fasilitas rekreasidari koiam renang.
Private good yang dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan group- group berpenghasiian rendah. Misalnya perumahan untuk tunawisma. Prinsip Dasar dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Besarnya retribusi daerah yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari perkalian antara tarif dan tingkat penggunaan jasa dengan rumus sebagai berikut: RETRIBUSI TERUTANG= TINGKAT PENGGUNAAN JASA x TARIF RETRIBUSI Tarif Retribusi (TR) adalah niiai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang. Tarif Retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. Pasal 151 ayat (1) UU 28/2009 menyatakan "Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi". Cara mengukur tingkat penggunaan jasa Dalam implementasinya, mengukur tingkat penggunaan jasa ini banyak menimbulkan masalah, misalnya adanya perbedaan antara daerah satu dengan daerah lain tentang cara mengukur tingkat penggunaan jasa pada Perda tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 retribusi daerah, dimana jenis objek retribusi sama. Banyaknya perda tentang retribusi yang hasil dari pengukuran tingkat penggunaan jasa tidak dapat dikaitkan (tidak ada korelasi) dalam penghitungan besaran retribusi daerah yang terutang. Banyaknya perda tentang retribusi yang hasil dari pengukuran tingkat penggunaan jasa tidak dikuantitatifkan (ada nilai angkanya). Tingkat penggunaan jasa adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang ditanggung pemerintah daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah. Rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mencerminkan beban yang dipikul oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut (relevan). Sebelum mengukur TPJ, langkah pertama adalah menentukan dasar TPJ. Dalam menentukan dasar TPJ, kita cari dulu kaitan atau korelasi antara TPJ dengan objek retribusi. contoh "Retribusi Pertunjukan", hal-hal apa saja yang ada korelasi dengan Pertunjukan selain hari? Bisa jam, nama, umur, jenis kelamin dan sebagainya. Untuk memudahkan memahami bagaimana menentukan dasar TPJ selain hari (pada contoh Tiket), lihat ilustrasi di bawah ini: Hari Tarif Senin – Jumat Rp. 20.000,- Sabtu dan Minggu Rp. 30.000,- Dalam contoh tiket Pertunjukan di atas, Tingkat Penggunaan Jasa (TPJ) didasarkan pada hari yaitu hari Senin-Jumat dan Sabtu-Minggu. Tetapi dapat juga didasarkan pada umur yaitu anak dan dewasa. Dalam mengukur TPJ ada 2 metode, yaitu dalam bilangan/angka yang biasa disebut dengan indeks/koefisien dan prosentase. Untuk memudahkan dalam mengukur TPJ lihat ilustrasi di bawah ini dengan dasar TPJ hari, untuk mempersamakan persepsi kita pakai kata indeks atau persen dalam mengukur TPJ: Hari Indeks Persen Senin-Jumat 0.75 75% Sabtu dan Minggu 1 100% Tabel di atas merupakan contoh dalam mengukur TPJ, sedang niiai indeks dan prosentase hanyalah sebuah contoh tanpa didasari pendalaman lebih lanjut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 Paling tidak contoh diatas sudah dapat menggambarkan bagaimana cara mengukur TPJ, bahwa TPJ ada nilainya. PEMBAHASAN DAN ANALISIS TERKAIT RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI Permasalahan yang muncul dalam penjelasan Pasal 124 adalah sebagai berikut: Pada dasarnya hakekat retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Jadi retribusi merupakan pungutan yang dapat dipaksakan hanya kepada orang pribadi atau badan yang mendapatkan pelayanan saja. Sehingga jelas di sini harus ada hubungan timbal balik dan keterkaitan yang jelas antara besarnya pembayaran retribusi dengan pelayanan yang diberikan pemerintah. Misalnya, Retribusi sampah, maka pihak pembayar retribusi sampah akan mendapatkan pelayanan berupa pengambilan sampah. Tentunya besarnya tarif retribusi sampah akan terkait langsung dengan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah atas penyelenggaraan pelayanan pengambilan sampah. Bahwa Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28.Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara lengkap menyatakan, " Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum ." Oleh karena itu ketentuan Pasal 124 tersebut memiliki makna bahwa ditetapkannya menara telekomunikasi sebagai objek retribusi karena adanya pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum sehingga diperlukan pelayanan pemerintah yang bersifat pengawasan ( monitoring ), pengendalian dari pemerintah daerah agar sesuai dengan kepentingan umum. Dalam hal tata cara perhitungan dan penetapan tarif retribusi, UU Nomor 28 Tahun 2009 telah mengaturnya secara khusus di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Sebelas Maret pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. ...
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus ...