JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 633 hasil yang relevan dengan "pengawasan anggaran "
Dalam 0.014 detik
Thumbnail
BIDANG PERBENDAHARAAN | TENTARA NASIONAL INDONESIA
143/PMK.05/2018

Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia ...

  • Ditetapkan: 31 Okt 2018
  • Diundangkan: 02 Nov 2018

Relevan terhadap 1 lainnya

Pasal 87Tutup
(1)

Berdasarkan pemberitahuan pembukaan rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (4) , PPK menerbitkan SPP LS kepada penyedia barang/jasa Alutsista dan disampaikan kepada PPSPM dilengkapi dokumen pendukung berupa:

a.

perjanjian/kontrak pengadaan alutsista;

b.

keputusan KPA tentang penyelesaian sisa pekerjaan dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya; dan

c.

kartu pengawasan pembayaran kontrak dalam bentuk rupiah/valas.

(2)

PPSPM melakukan pengujian atas SPP LS beserta dokumen pendukung yang disampaikan oleh PPK.

(3)

Dalam hal hasil pengujian telah menunjukkan kesesuaian, PPSPM menerbitkan SPM LS dengan ketentuan:

a.

pada kolom pengeluaran untuk membayar pengadaan alutsista menggunakan akun belanja barang/ modal sebesar nilai sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya;

b.

pada kolom potongan untuk mengisi rekening dana cadangan alutsista menggunakan kode akun penerimaan non anggaran se besar nilai s1sa pekerjaan yang akan dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya; dan

c.

jumlah rupiah bersih atau jumlah seluruh pengeluaran dikurangi jumlah potongan adalah nol.

(4)

SPM LS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada KPPN paling lambat 2 (dua) hari kerj a setelah di terimanya pem beri tah uar: se bagaimana dimaksud pada ayat (1) .

(5)

Berdasarkan SPM LS sebagaimana dimaksud pada ayat (4), KPPN menerbitkan SP2D paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya SPM LS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan menyampaikan daftar SP2D dan kartu pengawasan kontrak kepada Direktorat Pengelolaan Kas Negara.

(6)

PPK dan PPSPM membuat kartu pengawasan atas sisa alokasi dana kontrak tahunan pengadaan barang Alutsista yang dipindahkan ke Rekening Dana Cadangan Alutsista yang paling sedikit memt: at:

a.

data supplier, b. nomor dan tanggal kontrak/ perjanjian pengs.daan barang/ jasa Alutsista; dan

c.

nilai sisa kontrak yang dipindahkan ke Rekening Dana Cadangan Alutsista.

(7)

Berdasarkan data SP2D LS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktorat Pengelolaan Kas Negs.ra melakukan pemindahbukuan dana dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Dana Cadangan Alutsista sebesar nilai sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan pada tahe.n anggaran berikutnya sebagaimanadimaksud pada ayat (3) huruf b.

(8)

Direktorat Pengelolaan Kas Negara membuat kartu pengawasan atas Rekening Dana Cadangan Alutsista paling sedikit memuat:

a.

data supplier, b. nomor dan tanggal kontrak/perjanjian pengadaan barang/jasa Alutsista; dan

c.

nilai sisa kontrak yang dipindahkan ke Rekening Dana Cadangan Alutsista.

(1)

Dalam hal barang/jasa

Pasal 84Tutup

pekerjaan Alutsista kontrak tahunan yang dilanju tkan pengadaan ke tahun anggaran berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1), dilakukan berdasarkan penelitiar: PPK bahwa penyedia barang/jasa akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan.

(2)

Berdasarkan penelitian PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPK meminta verifikasi kepada Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) atas sisa pekerjaan yang akan dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya.

(3)

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) , KPA dapat memutuskan untuk melanjutkan penyelesaian sisa pekerjaan ke tahun anggaran berikutnya.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA
128/KM.6/2022

Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara

  • Ditetapkan: 15 Agu 2022
Thumbnail
Tidak Berlaku
DANA ALOKASI UMUM | DANA ALOKASI KHUSUS
PMK 134 TAHUN 2023

Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusu ...

  • Ditetapkan: 07 Des 2023
  • Diundangkan: 11 Des 2023
Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERBENDAHARAAN
188/PMK.05/2021

Tata Cara Pembayaran atas Pengembalian Penerimaan Negara

  • Ditetapkan: 16 Des 2021
  • Diundangkan: 17 Des 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Penerimaan Negara adalah uang yang masuk ke kas negara.

2.

Kas Negara adalah tempat menyimpan uang negara yang ditentukan Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh Penerimaan Negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.

3.

Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang meliputi modul penganggaran, modul komitmen, modul pembayaran, modul penerimaan, modul kas, dan modul akuntansi dan pelaporan.

4.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.

5.

Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disebut SAL adalah akumulasi sisa lebih pembiayaan anggaran/sisa kurang pembiayaan anggaran tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.

6.

Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disebut RKUN adalah rekening tempat menyimpan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh Penerimaan Negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.

7.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah pejabat yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan fungsi BUN.

8.

Pejabat Kuasa Pengelola PNBP selanjutnya disingkat PKP PNBP adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pimpinan instansi pengelola PNBP dalam pengelolaan PNBP yang menjadi tanggung jawabnya dan tugas lain terkait PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

9.

Satuan Kerja adalah unit organisasi lini kementerian negara/lembaga atau unit organisasi pemerintah daerah yang melaksanakan kegiatan kementerian negara/lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

10.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran (PA) untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga.

11.

Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut KPA BUN adalah pejabat pada Satuan Kerja dari masing-masing pembantu pengguna anggaran BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau Satuan Kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran BUN.

12.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

13.

Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.

14.

Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran dan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

15.

Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disingkat DJP adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

16.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disingkat DJBC adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan dan optimalisasi Penerimaan Negara di bidang kepabeanan dan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

17.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disingkat DJPb adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perbendaharaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

18.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disingkat DJPPR adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan pembiayaan dan risiko keuangan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

19.

Direktorat Pengelolaan Kas Negara adalah unit eselon II pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengelolaan Kas Negara.

20.

Direktorat Sistem Perbendaharaan adalah unit eselon II pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengembangan sistem perbendaharaan.

21.

Direktorat Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen adalah unit eselon II pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko yang mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang evaluasi, akuntansi, dan setelmen.

22.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa BUN.

23.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Penerimaan yang selanjutnya disebut KPPN Khusus Penerimaan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang secara administratif berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan secara fungsional bertanggung jawab kepada Direktur Pengelolaan Kas Negara.

24.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Pinjaman dan Hibah yang selanjutnya disebut KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang secara administratif berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan secara fungsional bertanggung jawab kepada Direktur Pengelolaan Kas Negara.

25.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

26.

Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri atau luar negeri yang mempunyai kewajiban membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

27.

Wajib Setor adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban untuk menerima dan kemudian menyetorkan Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

28.

Investor Ritel adalah individu atau orang perseorangan pembeli Surat Utang Negara (SUN) ritel atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ritel.

29.

Surat Berharga Negara Ritel yang selanjutnya disebut SBN Ritel adalah Surat Berharga Negara yang dijual oleh Pemerintah kepada Investor Ritel di pasar perdana domestik.

30.

Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valuta asing, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya valuta asing yang ditunjuk oleh kuasa BUN pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara.

31.

Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi Penerimaan Negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/nomor transaksi pos/nomor transaksi lembaga persepsi lainnya sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.

32.

Surat Ketetapan Keterlanjuran Setoran Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat SKKSPN adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh KPA/KPA BUN, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, atau KPPN Khusus Penerimaan yang menetapkan adanya pengembalian atas Penerimaan Negara kepada yang berhak dan berfungsi sebagai dasar penerbitan surat permintaan pembayaran Penerimaan Negara.

33.

Surat Persetujuan Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran PNBP secara Langsung melalui Pemindahbukuan adalah surat persetujuan yang diterbitkan oleh PKP PNBP atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP yang diajukan oleh Wajib Bayar dan berfungsi sebagai dasar penerbitan surat permintaan pembayaran Penerimaan Negara.

34.

Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan bahwa pendapatan dan/atau Penerimaan Negara telah dibukukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

35.

Surat Permintaan Pembayaran Pengembalian Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat SPP-PP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran pengembalian Penerimaan Negara berdasarkan Surat Persetujuan Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran PNBP secara Langsung melalui Pemindahbukuan atau SKKSPN.

36.

Surat Perintah Membayar Pengembalian Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat SPM-PP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana pembayaran pengembalian Penerimaan Negara.

37.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan surat perintah membayar.

38.

Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah surat pernyataan yang antara lain berisi pernyataan bahwa segala akibat dari tindakan pejabat/seseorang yang dapat mengakibatkan kerugian negara menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pejabat/seseorang yang mengambil tindakan dimaksud.

39.

Kode Billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan oleh portal biller atas jenis pembayaran atau setoran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor.

40.

Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satuan Kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.

41.

Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu UP yang telah ditetapkan.

42.

Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satuan Kerja kementerian negara/lembaga.

Thumbnail
BMN BMN | MUATAN KAPAL TENGGELAM | BARANG MILIK NEGARA
PMK 169 TAHUN 2023

Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Benda Muatan Kapal Tenggelam

  • Ditetapkan: 29 Des 2023
  • Diundangkan: 29 Des 2023

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA YANG BERASAL DARI BENDA MUATAN KAPAL TENGGELAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

2.

Benda Muatan Kapal Tenggelam yang selanjutnya disingkat BMKT adalah benda muatan kapal tenggelam yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau ekonomi yang berada di dasar laut. 3. BMN yang Berasal Dari BMKT yang selanjutnya disebut BMN BMKT adalah semua BMKT yang merupakan bagian Pemerintah Pusat yang ditetapkan sebagai BMN berdasarkan ketentuan peraturan perundangan- undangan yang mengatur mengenai pengelolaan BMKT. 4. Objek yang Diduga Cagar Budaya yang selanjutnya disingkat ODCB adalah benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga memenuhi kriteria sebagai cagar budaya. 5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 7. Pengelola Barang BMN BMKT adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN BMKT. 8. Pengguna Barang BMN BMKT adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN BMKT. 9. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 10. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang selanjutnya disebut Kemendikbudristek adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 11. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang selanjutnya disebut Mendikbudristek adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 12. Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 13. Menteri Kelautan dan Perikanan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 14. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

15.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 16. Direktur adalah pejabat eselon II padEt kantor pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan BMN BMKT. 1 7. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal. 18. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN. 19. Hibah adalah pengalihan kepemilikan BMN dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah/Desa atau dari Pemerintah Pusat kepada Pihak Lain, tanpa memperoleh penggantian. 20. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada Pihak Lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 21. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ a tau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman Lelang. 22. Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang belum atau tidak digunakan secara optimal dengan tidak mengubah status kepemilikan. 23. Sewa adalah Pemanfaatan dalam jangka waktu tertentu dengan membayar imbalan dalam bentuk uang kepada negara. 24. Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan oleh Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa membayar imbalan. 25. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. 26. Penggunaan Sementara adalah Penggunaan oleh Kementerian/Lembaga selain Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kemendikbudristek yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. 27. Penetapan Status Penggunaan adalah keputusan pengelola barang atas BMN kepada Pengguna Barang untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga. 28. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengelola barang dan pengguna barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.

29.

Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pencatatan dan pelaporan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 30. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. 31. Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 32. Penilai Publik adalah Penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penilai publik. 33. Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian. 34. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. 35. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/ a tau kegiatan pada bidang tertentu. 36. Pihak Lain adalah pihak selain Pemerintah Pusat/Daerah/Desa, Pelaku Usaha, dan pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan pada bidang pengelolaan BMKT. Pasal 2 Peraturan Menteri ini mengatur pengelolaan BMN BMKT yang meliputi:

a.

BMN BMKT berupa ODCB; dan

b.

BMN BMKT berupa bukan ODCB, yang merupakan bagian Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai Pengelolaan BMKT. Pasal 3 (1) Kewenangan Mendikbudristek dan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan BMKT yang merupakan bagian pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMKT. (2) Berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.

Mendikbudristek menetapkan BMKT berupa ODCB yang merupakan bagian Pemerintah Pusat sebagai BMNBMKT. b. Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan BMKT berupa bukan ODCB yang merupakan bagian Pemerintah Pusat sebagai BMN BMKT. BAB II KEWENANGAN Pasal 4 Menteri selaku pengelola barang melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 5 (1) Mendikbudristek selaku Pengguna Barang BMN BMKT memiliki kewenangan dan tanggung jawab:

a.

melakukan Penatausahaan atas BMN BMKT berupa ODCB;

b.

melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum terhadap BMN BMKT berupa ODCB yang berada dalam penguasaannya;

c.

mengajukan permohonan persetujuan Hibah dan Penghapusan atas BMN BMKT berupa ODCB kepada Menteri;

d.

mengajukan usulan Pemanfaatan, Penggunaan Sementara, dan Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT berupa ODCB kepada Menteri; dan

e.

menandatangani perjanjian Sewa, perjanjian Pinjam Pakai, dan Penggunaan Sementara BMN BMKT berupa ODCB. (2) Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat struktural sesuai dengan mekanisme pendelegasian kewenangan di lingkungan Kemendikbudristek. Pasal 6 (1) Menteri Kelau tan dan Perikanan selaku Pengguna Barang BMN BMKT memiliki kewenangan dan tanggung jawab:

a.

melakukan Penatausahaan BMN BMKT berupa bukan ODCB;

b.

melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum terhadap BMN BMKT berupa bukan ODCB yang berada dalam penguasaannya;

c.

mengajukan permohonan persetujuan Pemindahtanganan dan Penghapusan atas BMN BMKT berupa bukan ODCB;

d.

mengajukan usulan Pemanfaatan, Penggunaan Sementara, dan Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT berupa bukan ODCB kepada Menteri; dan

e.

menandatangani perjanjian Sewa, perjanjian Pinjam Pakai, dan Penggunaan Sementara BMN BMKT. (2) Dalam hal BMN BMKT dilakukan penjualan melalui Lelang, Menteri Kelautan dan Perikanan selaku penjual Lelang:

a.

mengajukan permohonan Penilaian atas BMN BMKT berupa bukan ODCB;

b.

menetapkan Nilai Limit Penjualan secara Lelang atas BMN BMKT berupa bukan ODCB; dan

c.

mengajukan permohonan Penjualan secara lelang atas BMN BMKT berupa bukan ODCB. (3) Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat struktural sesuai dengan mekanisme pendelegasian kewenangan di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan. BAB III PEMINDAHTANGANAN,PEMANFAATAN,PENGGUNAAN,DAN PENATAUSAHAAN BARANG MILIK NEGARA YANG BERASAL DARI BENDA MUATAN KAPAL TENGGELAM Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Pengelolaan BMN BMKT meliputi:

a.

Pemindahtanganan;

b.

Pemanfaatan;

c.

Penggunaan Sementara;

d.

Penetapan Status Penggunaan;

e.

Penghapusan; dan

f.

Penatausahaan. (2) Pengelolaan BMN BMKT sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Menteri ini, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang BMN. Bagian Kedua Pemindahtanganan Pasal 8 (1) BMN BMKT dilakukan Pemindahtanganan melalui:

a.

Penjualan; atau

b.

Hibah. (2) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya meliputi BMN BMKT berupa bukan ODCB. (3) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. Paragraf 1 Penjualan Pasal 9 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan secara Lelang melalui Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada atas permohonan Menteri Kelautan dan Perikanan. (2) Terhadap BMN BMKT yang menjadi objek Penjualan harus dilakukan Penilaian. (3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pemerintah atau Penilai Publik untuk mendapatkan Nilai Wajar.

(4)

Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menetapkan Nilai Limit. (5) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah mempertimbangkan bea Lelang pembeli sebagai pengurang dari Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. Pasal 10 (1) Dalam hal Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pemerintah, Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan Penilaian kepada Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada. (2) Permohonan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan dokumen berupa daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penilaian. Pasal 11 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:

a.

Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan persetujuan Penjualan melalui Lelang kepada Menteri;

b.

permohonan persetujuan Penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf a, melampirkan dokumen berupa:

1.

daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penjualan; dan

2.

laporan Penilaian;

c.

Menteri melakukan penelitian administratif atas permohonan persetujuan Penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf b;

d.

berdasarkan penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada huruf c:

1.

dalam hal permohonan disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau

2.

dalam hal permohonan tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan; dan

e.

surat persetujuan atau penolakan Menteri diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan diterima secara lengkap. (2) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. (3) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 berlaku selama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal persetujuan diterbitkan. Pasal 12 (1) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d angka 1, Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan Penjualan melalui Lelang kepada Kantor Pelayanan dengan melampirkan dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (2) Hasil bersih Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Negara. (3) Hasil bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil Penjualan setelah dikurangi dengan bea lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. Pasal 13 (1) Dalam hal BMN BMKT laku terjual dalam Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan melaksanakan serah terima BMN BMKT kepada pembeli Lelang, yang dituangkan dalam suatu berita acara serah terima. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan melaporkan pelaksanaan Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dengan melampirkan Salinan Risalah Lelang, bukti setor ke Kas Negara, dan beri ta acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak .berita acara serah terima ditandatangani. Pasal 14 (1) Dalam hal BMN BMKT tidak laku terjual dalam Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelau tan dan Perikanan dapat mengajukan permohonan Lelang ulang kepada Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada. (2) Proses Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penjualan melalui Lelang ulang se bagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 2 Hibah Pasal 15 (1) Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat non komersial, dan/atau penyelenggaraan pemerintahan daerah/ desa. (2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Hibah atas BMN BMKT berupa ODCB diberikan kepada Pemerintah Daerah.

(4)

Hibah atas BMN BMKT berupa bukan ODCB diberikan kepada:

a.

lembaga sosial, lembaga budaya, lembaga keagamaan, lembaga kemanusiaan, atau lembaga pendidikan yang bersifat non komersial; atau

b.

Pemerintah Daerah/Desa. (5) Untuk dapat diberikan Hibah, Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus menyertakan bukti dokumen berupa akta pendirian, anggaran dasar/rumah tangga, atau pernyataan tertulis dari instansi teknis yang kompeten· bahwa lembaga yang bersangkutan merupakan lembaga termaksud dalam permohonan Hibah. (6) BMN BMKT yang telah dihibahkan digunakan sesuai peruntukan Hibah dan tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh dan/atau dipindahtangankan kepada Pihak Lain. Pasal 16 (1) Permohonan Hibah BMN BMKT diajukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek kepada Menteri. (2) Permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hibah BMN. (3) Permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan dokumen berupa:

a.

berita acara pemeriksaan administrasi dan/atau fisik; dan

b.

dokumen pembuktian suatu lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5). (4) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek mengusulkan Hibah dengan nilai yang didasarkan pada nilai perolehan BMN BMKT. (5) Menteri melakukan penelitian administratif atas permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5):

a.

permohonan Hibah disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau

b.

permohonan Hibah tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan. (7) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 17 (1) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hi bah BMN.

(3)

Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek melaksanakan Hibah paling lama 1 (satu) bulan sejak persetujuan diterbitkan. (4) Pelaksanaan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam naskah Hibah dan suatu berita acara serah terima. (5) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek menyampaikan laporan pelaksanaan Hibah kepada Menteri dengan melampirkan salinan naskah Hibah dan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak berita acara serah terima ditandatangani. Bagian Ketiga Pemanfaatan Pasal 18 (1) BMN BMKT dapat dilakukan Pemanfaatan. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah status objek Pemanfaatan sebagai BMN BMKT. (3) BMN BMKT yang menjadi objek Pemanfaatan dilarang untuk:

a.

dipindahtangankan; dan / a tau b. digadaikan atau dijadikan objekjaminan, oleh Pihak Lain yang melakukan Pemanfaatan. Pasal 19 (1) BMN BMKT dilakukan Pemanfaatan dalam bentuk:

a.

Sewa; atau

b.

Pin jam Pakai. (2) Pemanfaatan BMN BMKT dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Jangka waktu Pemanfaatan BMN BMKT paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Pihak Lain yang melakukan Pemanfaatan BMN BMKT wajib menyerahkan kembali BMN BMKT pada saat berakhirnya Pemanfaatan dalam kondisi baik. Paragraf 1 Sewa Pasal 20 (1) Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pihak Lain. (2) Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Sewa secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (3) Permohonan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN.

(4)

Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian administratif terhadap permohonan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (5) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal:

a.

Permohonan ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Sewa kepada Menteri; atau

b.

permohonan tidak ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek menolak permohonan Sewa. (6) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a minimal memuat:

a.

ringkasan permohonan yang memuat identitas pemohon Sewa, rincian objek Sewa, peruntukan Sewa, jangka waktu Sewa, dan usulan besaran Sewa; dan

b.

pertimbangan usulan persetujuan. (7) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Sewa dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek. (8) Berdasarkan penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal:

a.

Usulan ditindaklanjuti, Menteri menindaklanjuti dengan mengajukan permohonan Penilaian dalam rangka Sewa; atau

b.

usulan tidak ditindaklanjuti, Menteri menolak usulan Sewa. (9) Permohonan Penilaian dalam rangka Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, melampirkan dokumen berupa:

a.

daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penilaian; dan

b.

surat permohonan Sewa dari Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (10) Pelaksanaan Penilaian dalam rangka Sewa berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (11) Surat persetujuan atau penolakan Menteri diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelau tan dan Perikanan a tau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 21 (1) Sewa oleh Pihak Lain se bagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN, di tam bah dengan:

a.

keterangan mengenai cara pembayaran Sewa;

b.

kewajiban penyewa untuk membayar besaran uang Sewa dan melakukan pengamanan dan pemeliharaan objek Sewa; dan

c.

kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Sewa. (3) Besaran uang Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan hasil perkalian dari:

a.

tarif pokok Sewa; dan

b.

faktor penyesuai Sewa. (4) Penentuan tarif pokok Sewa dan faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan BMN. (5) Pembayaran uang Sewa dilakukan dengan penyetoran ke Kas Negara. (6) Pembayaran uang Sewa dibayarkan secara sekaligus sebelum penandatanganan perjanjian Sewa. (7) Dalam hal Pihak Lain tidak melakukan pembayaran sampai dengan batas waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku. (8) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan bukti setor ke Kas Negara untuk pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6):

a.

Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, atau b. Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Pihak Lain selaku penyewa menandatangani perjanjian Sewa. (9) Perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN. Pasal 22 Pihak Lain yang menyewa BMN BMKT wajib:

a.

membayar uang Sewa, yang ditetapkan oleh Menteri;

b.

melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Sewa; dan

c.

mengembalikan objek Sewa dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Sewa. Pasal 23 (1) Jangka waktu Sewa atas BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Sewa diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Sewa.

(3)

Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 2 Pinjam Pakai Pasal 24 (1) Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Pinjam Pakai secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (3) Permohonan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

identitas Pemerintah Daerah selaku pemohon;

b.

deskripsi BMN BMKT yang menjadi objek permohonan Pinjam Pakai;

c.

peruntukan Pinjam Pakai; dan

d.

jangka waktu Pinjam Pakai. (4) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Berdasarkan pada berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), dalam hal:

a.

permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Pinjam Pakai kepada Menteri; atau

b.

permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Pinjam Pakai kepada Pemerintah Daerah. (7) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a minimal memuat:

a.

ringkasan permohonan yang memuat identitas Pemerintah Daerah, rincian objek Pinjam Pakai, peruntukan Pinjam Pakai, dan jangka waktu Pinjam Pakai; dan

b.

pertimbangan usulan persetujuan. (8) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Pinjam Pakai dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek.

(9)

Berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam hal:

a.

permohonan Pinjam Pakai disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau

b.

permohonan Pinjam Pakai tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan Pemerintah Daerah selaku pemohon. (10) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 25 (1) Pinjam Pakai oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat:

a.

identitas BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai;

b.

identitas Pemerintah Daerah yang menjadi peminjam pakai;

c.

jangka waktu Pinjam Pakai;

d.

kewajiban pemmJam pakai untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai selama jangka waktu Pinjam Pakai;

e.

larangan kepada peminjam pakai untuk:

1.

mengalihkan Pinjam Pakai; dan

2.

menggunakan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai selain dari yang telah ditentukan dalam persetujuan Menteri;

f.

pernyataan bahwa Pinjam Pakai tidak mengubah status kepemilikan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai; dan

g.

kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Pinjam Pakai. (3) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.

Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan; atau

b.

Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Pemerintah Daerah selaku peminjam pakai membuat dan menandatangani Perjanjian Pinjam Pakai paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri diterbitkan. Pasal 26 Pemerintah Daerah selaku peminjam pakai:

a.

melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai; dan

b.

mengembalikan objek Pinjam Pakai dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Pinjam Pakai. Pasal 27 (1) Jangka waktu Pinjam Pakai atas BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Pinjam Pakai diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Pinjam Pakai. (3) Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Penggunaan Sementara Pasal 28 (1) BMN BMKT dapat dilakukan Penggunaan Sementara. (2) Penggunaan Sementara dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga selain Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kemendikbudristek setelah mendapat persetujuan Menteri. (3) Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah status objek Penggunaan Sementara sebagai BMN BMKT. (4) Pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara dibebankan pada anggaran pihak yang melakukan Penggunaan Sementara. (5) Penggunaan Sementara dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. (6) Pihak yang melakukan Penggunaan Sementara wajib menyerahkan kembali BMN BMKT pada saat berakhirnya Penggunaan Sementara dalam kondisi baik. Pasal 29 (1) Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) mengajukan permohonan Penggunaan Sementara secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (2) Permohonan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan sementara BMN.

(3)

Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Berdasarkan pada berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), dalam hal:

a.

permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Penggunaan Sementara kepada Menteri; atau

b.

permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Penggunaan Sementara kepada Kementerian/Lembaga selaku pemohon. (6) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a minimal memuat:

a.

ringkasan permohonan yang memuat identitas Kernen terian / Lembaga, rincian o bjek Penggunaan Sementara, peruntukan Penggunaan Sementara, dan jangka waktu Penggunaan Sementara; dan

b.

pertimbangan usulan persetujuan. (7) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Penggunaan Sementara dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek. (8) Berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal:

a.

permohonan Penggunaan Sementara disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau

b.

permohonan Penggunaan Sementara tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan Kementerian/ Lembaga selaku pemohon. (9) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 30 (1) Penggunaan Sementara oleh Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengguanaan sementara BMN, ditambah dengan:

a.

larangan kepada pengguna sementara untuk:

1.

mengalihkan Penggunaan Sementara; dan

2.

menggunakan BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara selain dari yang telah ditentukan dalam persetujuan Menteri;

b.

pernyataan bahwa Penggunaan Sementara tidak mengubah status kepemilikan BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara; dan

c.

kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Penggunaan Sementara. (3) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.

Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, atau b. Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Kementerian/Lembaga selaku pengguna sementara membuat dan menandatangani perjanjian Penggunaan Sementara paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri diterbitkan. Pasal 31 Kementerian/ Lembaga selaku pengguna sementara:

a.

melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKTyang menjadi objek Penggunaan Sementara; dan

b.

mengembalikan objek Penggunaan Sementara dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Penggunaan Sementara. Pasal 32 (1) Jangka waktu Penggunaan Sementara BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 2 (dua) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Penggunaan Sementara diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Penggunaan Sementara. (3) Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kelima Penetapan Status Penggunaan Pasal 33 (1) Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT dilakukan oleh Menteri. (2) BMN BMKT yang menjadi objek Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi BMKT berupa ODCB dan BMKT berupa bukan ODCB.

(3)

Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap BMN BMKT yang digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 34 (1) Permohonan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diajukan secara tertulis oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon kepada Menteri melalui Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, disertai dengan dasar pertimbangan dan rencana peruntukan. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), dalam hal:

a.

permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan Penetapan Status Penggunaan kepada Menteri; atau

b.

permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Penetapan Status Penggunaan dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon dengan tembusan Menteri. (5) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a. (6) Dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5):

a.

permohonan disetujui, Menteri menerbitkan surat keputusan Penetapan Status Penggunaan; atau

b.

permohonan ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon. (7) Surat keputusan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. (8) Surat keputusan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. Pasal 35 (1) Berdasarkan surat keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf a dilakukan serah terima BMN BMKT dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, kepada Menteri/Pimpinan Lembaga paling lama 1 (satu) bulan sejak surat keputusan Menteri ditetapkan, yang dituangkan dalam suatu berita acara serah terima. (2) Berdasarkan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Keenam Penghapusan Pasal 36 (1) Menteri Kelautan dan Perikanan dan Mendikbudristek dapat mengajukan permohonan Penghapusan BMN BMKT. (2) Tata cara Penghapusan BMN BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Ketujuh Penatausahaan Pasal 37 (1) Penatausahaan BMN BMKT meliputi pencatatan dan pelaporan. (2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

a.

manual; dan/atau

b.

elektronik melalui sistem aplikasi pendukung. Pasal 38 (1) Menteri Kelautan dan Perikanan serta Mendikbudristek melakukan pencatatan BMN BMKT dalam daftar BMN BMKT. (2) Pencatatan BMN BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara semesteran dan tahunan kepada Menteri. (3) Informasi perubahan daftar BMN BMKT, dicantumkan dalam laporan semesteran dan tahunan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan dalam pelaksanaan pengelolaan termasuk untuk pengawasan dan pengendalian BMN BMKT. BABV PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 39 (1) Direktur melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan atas BMN BMKT.

(2)

Direktur melaporkan hasil pengawasan dan pengendalian kepada Direktur J enderal. (3) Pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan atas BMN BMKT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 440), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 41 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Thumbnail
Tidak Berlaku
PERUBAHAN | BENDAHARA UMUM NEGARA
23/PMK.02/2021

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Um ...

  • Ditetapkan: 15 Mar 2021
  • Diundangkan: 15 Mar 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

2.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi Bendahara umum negara.

3.

Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga.

4.

Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat BA K/L adalah bagian anggaran yang menampung belanja pemerintah pusat yang pagu anggarannya dialokasikan pada kementerian negara/lembaga.

5.

Mitra Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut Mitra K/L adalah unit Eselon II di bawah Direktorat Jenderal Anggaran yaitu Direktorat Anggaran Bidang Perekonomian dan Kemaritiman/Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan/Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.

6.

Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) yang selanjutnya disebut BA 999.08 adalah subbagian anggaran BUN yang menampung belanja pemerintah pusat untuk keperluan belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja lain-lain, yang pagu anggarannya tidak dialokasikan dalam BA K/L.

7.

Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.

8.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.

9.

Surat Penetapan Pergeseran Anggaran Belanja Antarsubbagian Anggaran Dalam Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SPP BA BUN adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan dalam rangka pergeseran anggaran belanja antarsubbagian anggaran dalam BA BUN untuk suatu kegiatan.

10.

Surat Penetapan Satuan Anggaran Bagian Anggaran 999.08 yang selanjutnya disebut SP SABA 999.08 adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan untuk suatu kegiatan, yang dilakukan pergeseran anggaran belanjanya dari BA 999.08 ke BA K/L.

11.

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern dan bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.

12.

Penyesuaian Belanja Negara adalah melakukan pengutamaan penggunaan anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocusing ), realokasi anggaran, pemotongan anggaran belanja negara, dan/atau pergeseran anggaran antar-program dalam 1 (satu) bagian anggaran.

2.

Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG UMUM
PMK 135 TAHUN 2023

Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan ...

  • Ditetapkan: 07 Des 2023
  • Diundangkan: 11 Des 2023
Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PENGELOLAAN ASET
PMK 170 TAHUN 2023

Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi Oleh Menteri Keuangan

  • Ditetapkan: 29 Des 2023
  • Diundangkan: 29 Des 2023

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN ASET EKS BANK DALAM LIKUIDASI OLEH MENTERI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Bank Dalam Likuidasi yang selanjutnya disingkat BDL adalah bank yang telah menerima dana talangan, fasilitas pembiayaan dan/atau dana penjaminan dari pemerintah serta dicabut izin usahanya yang diikuti dengan likuidasi bank. 2. Tim Likuidasi adalah tim yang bertugas melakukan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya. 3. Neraca Akhir Likuidasi yang selanjutnya disingkat NAL adalah neraca yang disusun oleh Tim Likuidasi setelah pelaksanaan likuidasi selesai. 4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bi dang keuangan negara. 5. Aset eks BDL yang selanjutnya disebut dengan Aset adalah harta atau kekayaan eks BDL. 6. Kas adalah uang tunai dan/atau saldo simpanan di bank yang setiap saat dapat dicairkan. 7. Aset Kredit adalah hak pemerintah yang berasal dari tagihan BDL terhadap debiturnya. 8. Aset Inventaris adalah Aset yang berupa barang selain tanah dan/atau bangunan, termasuk kendaraan bermotor, yang merupakan aset milik eks BDL dan/ a tau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, yang merupakan aset milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 10. Aset Saham adalah Aset berupa bukti kepemilikan suatu Perseroan Terbatas yang merupakan milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 11. Aset Obligasi adalah Aset berupa surat utang jangka menengah dan jangka panjang yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pemegang obligasi yang merupakan milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 12. Aset Penempatan pada bank lain yang selanjutnya disebut Aset Penempatan adalah penanaman dana BDL pada bank atau lembaga keuangan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam bentuk pinjaman antarbank (interbank call money}, tabungan, deposito berjangka, dan bentuk lain. 13. Aset Properti adalah Aset berupa tanah dan/atau bangunan serta hak atas satuan rumah susun yang dokumen kepemilikannya dan/ a tau peralihannya berada dalam pengelolaan Menteri dan/atau tercatat dalam Daftar Nominatif dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 14. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 15. Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 16. Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 17. Direktur adalah pejabat eselon II pada kantor pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 18. Direktorat adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 19. Kantor Wilayah adalah kantor wilayah Direktorat Jenderal. 20. Kantor Pelayanan adalah unit vertikal pelayanan pada Kantor Wilayah. 21. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. 22. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. 23. Inventarisasi adalah kegiatan pendataan, pencatatan, dan pelaporan Aset. 24. Verifikasi adalah kegiatan pemeriksaan mengenai kebenaran hasil Inventarisasi. 25. Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 26. Penilai Publik adalah penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Penilai Publik. 27. Penilaian adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh penilai untuk memberikan suatu opini nilai yang didasarkan pada data/fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan metode/teknik tertentu atas objek tertentu pada saat tanggal Penilaian. 28. Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan Aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian. 29. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh penjual. 30. Sewa adalah pemanfaatan Aset Properti oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan uang tunai. 31. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk um um dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang. 32. Nasabah Penyimpan Dana adalah nasabah penyimpan dana eks BDL yang tercatat dalam pembukuan BDL dan tidak termasuk yang dijamin oleh pemerintah. 33. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kernen terian/ Lembaga. 34. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. 35. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran untuk pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana. 36. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat dengan PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 37. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa Bendahara Umum Negara. 38. Surat Ketetapan Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disingkat SKP adalah dokumen sebagai dasar pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana yang memuat rincian besaran hak Nasabah Penyimpan Dana yang akan disetorkan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam periode tertentu. 39. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 40. Surat Perintah Membayar Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disebut SPM Nasabah Penyimpan Dana adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. 41. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana. Pasal 2 (1) Menteri berwenang melakukan pengelolaan Aset. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melimpahkan kewenangannya kepada:

a.

Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau

b.

pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. (3) Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal. Pasal 3 Aset se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:

a.

Kas;

b.

Aset Kredit;

c.

Aset Inventaris;

d.

Surat Berharga berupa Saham dan Obligasi;

e.

Aset Penempatan; dan

f.

Aset Properti, yang telah diserahkan kepada pemerintah. BAB II PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Kas Pasal 4 (1) Direktorat melaksanakan pengelolaan Kas.

(2)

Pengelolaan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

a.

konfirmasi;

b.

pencatatan pada suatu sistem informasi pengelolaan aset; dan

c.

pelaporan atas penyetoran Aset berupa Kas ke kas negara. Bagian Kedua Aset Kredit Pasal 5 (1) Direktorat melakukan pengelolaan atas Aset Kredit. (2) Pengelolaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a.

penatausahaan;dan b. penyerahan pengurusan kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 6 (1) Penatausahaan Aset Kredit dilakukan dengan cara:

a.

Inventarisasi;

b.

Verifikasi; dan

c.

pelaporan pengelolaan Aset Kredit. (2) Penatausahaan Aset Kredit dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Aset Kredit dari jaminannya. (3) Hasil penatausahaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Pasal 7 Pelaporan pengelolaan Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, dilakukan rekonsiliasi minimal 1 ( satu) kali dalam 1 (satu) semester antara Direktorat dengan Panitia Urusan Piutang Negara/Kantor Pelayanan. Paragraf 2 Penyerahan Pengurusan Kepada Panitia Urusan Piutang Negara Pasal 8 (1) Penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie). (2) Dalam hal tidak terdapat Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada surat pengakuan utang dari debitur. (3) Dalam hal tidak terdapat surat pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (4) Dalam hal terdapat Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 9 (1) Nilai penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie). (2) Dalam hal terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, nilai penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Pasal 10 (1) Dalam hal penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada surat pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/ nilai utang yang tercantum dalam laporan keuangan tanggal pisah batas pembukuan (cut off date). (2) Dalam hal tidak terdapat laporan keuangan tanggal pisah batas pembukuan (cut off date), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/ nilai utang yang tercantum dalam NAL. (3) Dalam hal tidak terdapat NAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/nilai utang yang tercantum pada perjanjian kredit. Pasal 11 Direktur Jenderal menyerahkan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara. Pasal 12 (1) Direktur Jenderal selaku penyerah pengurusan Aset Kredit memiliki wewenang atas Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara untuk:

a.

memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara terhadap permohonan penebusan barang jaminan dengan nilai di bawah nilai pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;

b.

memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara terhadap permohonan penjualan tanpa melalui Lelang dengan nilai di bawah nilai pembebanan atau tidak ada pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;

c.

melakukan koreksi atas jumlah utang yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara dalam hal terdapat:

1.

kekeliruan dalam pencantuman nilai penyerahan; atau

2.

sebab lain yang dapat di pertanggungjawabkan secara hukum;

d.

mengajukan permohonan pencabutan pemblokiran, pengangkatan sita atas pemblokiran dan penyitaan yang sebelumnya dimohonkan oleh BDL atau Tim Likuidasi;

e.

mengajukan permohonan roya;

f.

mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan hak atas barangjaminan Aset Kredit yang akan/telah berakhir masa berlakunya; atau

g.

mengajukan permohonan penggantian dokumen barang jaminan Aset Kredit yang rusak. (2) Permintaan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a minimal dilengkapi dengan:

a.

resume berkas kasus piutang negara;

b.

laporan Penilaian yang masih berlaku;

c.

fotokopi dokumen kepemilikan dan/atau dokumen pengikatan; dan

d.

fotokopi surat permohonan dari pemilik atau ahli waris. (3) Permintaan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b minimal dilengkapi dengan:

a.

resume berkas kasus piutang negara;

b.

laporan Penilaian yang masih berlaku;

c.

fotokopi dokumen kepemilikan dan/ a tau dokumen pengikatan; dan

d.

fotokopi surat permohonan dari debitur atau ahli waris. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, diberikan dalam hal nilai permohonan minimal sebesar Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. Pasal 13 (1) Aset Kredit yang pengurusannya ditolak oleh panitia urusan piutang negara disebabkan belum terpenuhinya kelengkapan persyaratan penyerahan piutang negara ditindaklanjuti oleh Direktorat dengan melakukan upaya pemenuhan kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara. (2) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.

telah terpenuhi, Direktorat menyerahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara; a tau b. tidak terpenuhi, Direktorat melakukan upaya optimal berupa panggilan kepada debitur melalui media cetak atau website, dalam rangka penyelesaian kewajiban debitur. (3) Dalam hal debitur memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dan setelah dilakukan wawancara/penelitian terhadap debitur diperoleh dokumen/informasi yang dapat memenuhi persyaratan, Direktorat menyerahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. (4) Dalam hal Direktorat telah melakukan upaya optimal, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Aset Kredit eks BDL yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. (5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Aset Kredit dicatat dalam daftar Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Pasal 14 Terhadap Aset Kredit yang dikembalikan pengurusannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara, Direktorat melakukan:

a.

pencatatan secara terpisah dengan disertai keterangan alasan pengembalian oleh Panitia Urusan Piutang Negara; dan

b.

upaya lebih lanjut pengelolaan Aset Kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara. Bagian Ketiga Aset lnventaris Pasal 15 Pengelolaan atas Aset Inventaris meliputi:

a.

penatausahaan;

b.

pengamanan dan pemeliharaan;

c.

penjualan secara Lelang; dan

d.

penetapan menjadi BMN. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 16 Penatausahaan Aset Inventaris dilakukan oleh Direktorat dengan cara:

a.

lnventarisasi; dan

b.

pelaporan pengelolaan Aset Inventaris. Pasal 17 (1) Terhadap Aset Inventaris dilakukan Inventarisasi untuk mengetahui jumlah dan kondisi Aset. (2) Hasil Inventarisasi dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 18 (1) Pengamanan dan pemeliharaan fisik beserta dokumen Aset Inventaris dilakukan oleh Direktorat. (2) Pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada Kantor Wilayah. (3) Pengamanan fisik Aset Inventaris dilakukan dengan cara menyimpan Aset Inventaris di dalam Aset Properti atau di tempat lain yang ditentukan oleh Direktur. Paragraf 3 Penjualan Secara Lelang Pasal 19 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Inventaris. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan melalui Lelang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (3) Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Kantor Pelayanan. (4) Lelang Aset Inventaris dilakukan dalam kondisi sebagaimana adanya (as is). (5) Dalam hal kondisi Aset Inventaris rusak berat dan tidak dapat digunakan berdasarkan hasil penelitian fisik oleh Direktorat, Aset Inventaris dapat dilelang sebagai rongsokan (scrap). (6) Nilai Limit Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan penilaian. (7) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkan, kecuali terdapat perubahan kondisi yang signifikan atas Aset Inventaris. Pasal 20 Dalam hal pelaksanaan penjualan lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 tidak laku, Aset Inventaris dapat ditetapkan statusnya sebagai BMN. Paragraf 4 Penetapan Menjadi BMN Pasal 21 (1) Penetapan Aset Inventaris menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan berdasarkan permohonan dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Direktur J enderal. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat alasan yang mendasari permohonan dan dilengkapi dengan:

a.

data Aset Inventaris;

b.

surat pernyataan komitmen menggunakan Aset Inventaris untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi;

c.

surat pernyataan kesediaan menerima Aset Inventaris, dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya _(as is); _ dan d. surat pernyataan kesediaan dan tanggung jawab penuh untuk melunasi dan menyelesaikan segala biaya serta kewajiban yang melekat pada Aset Inventaris tersebut. Pasal 22 (1) Direktorat melakukan penelitian atas permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:

a.

permohonan disetujui, Aset Inventaris ditetapkan sebagai BMN dan ditetapkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga; atau

b.

permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, disertai dengan alasan. Pasal 23 (1) Penetapan Aset Inventaris menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada huruf a minimal memuat:

a.

pertimbangan penetapan status penggunaan;

b.

identitas Aset Inventaris yang ditetapkan statusnya menjadi BMN;

c.

pengguna barang;

d.

tindak lanjut penetapan status penggunaan; dan

e.

kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Inventaris yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (3) Dalam identitas Aset Inventaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, memuat pula nilai Aset Inventaris yang merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. (4) Penetapan status penggunaan Aset Inventaris ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Inventaris dari Direktorat kepada Kementerian/ Lembaga. Bagian Keempat Surat Berharga Pasal 24 Pengelolaan Surat Berharga meliputi:

a.

penatausahaan;

b.

permintaan konfirmasi kepemilikan;

c.

menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO);

d.

permintaan pembayaran atas dividen saham atau bunga obligasi;

e.

pencairan obligasi; dan

f.

penjualan Aset Saham. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 25 (1) Penatausahaan Surat Berharga dilakukan oleh Direktorat dengan cara:

a.

Inventarisasi;

b.

Verifikasi; dan

c.

pelaporan pengelolaan Surat Berharga. (2) Penatausahaan Surat Berharga dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Surat Berharga. (3) Hasil penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sis tern informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Permintaan Konfirmasi Kepemilikan Pasal 26 Direktur meminta konfirmasi kepemilikan Surat Berharga yang telah ditatausahakan kepada:

a.

Biro Administrasi Ef ek;

b.

PT Kustodian Sentral Efek Indonesia;

c.

Emiten; dan/atau

d.

penerbit obligasi. Paragraf 3 Menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Obligasi Pasal 27 (1) Direktur ber hak menghadiri dan mengam bil kepu tusan dalam RUPS sesuai dengan ketentuan pada anggaran dasar perseroan atau RUPO sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan. (2) Direktur dapat memberikan kuasa kepada pejabat atau pegawai dibawahnya dengan hak substitusi untuk menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS atau RUPO sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dimaksudkan untuk melakukan penambahan modal oleh Menteri. Paragraf 4 Permintaan Pembayaran Atas Dividen Saham atau Bunga Obligasi Pasal 28 (1) Direktur melakukan monitoring atas pembayaran dividen atau bunga obligasi. (2) Dalam pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur meminta pembayaran atas:

a.

dividen saham; dan/atau

b.

bunga obligasi setiap jatuh tempo. Paragraf 5 Pencairan Obligasi Pasal 29 Direktur melakukan pencairan Surat Berharga berupa obligasi. Paragraf 6 Penjualan Aset Saham Pasal 30 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Saham:

a.

melalui Lelang; atau

b.

tanpa melalui Lelang. (2) Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar perusahaan, perjanjian antar pemegang saham, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelaksanaan penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikuasakan kepada Direktur.

(1)

(2) (3) (4) (5) (6) Pasal 31 Penjualan Aset Saham melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a dilakukan melalui Kantor Pelayanan. Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

Aset Saham pada perusahaan tertutup yang pemegang saham dan/ a tau karyawan tidak menggunakan haknya untuk membeli; dan/atau

b.

saham pada perusahaan terbuka yang tidak tercatat di bursa efek. Nilai Limit penjualan melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan. Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

a.

Penilai Pemerintah; atau

b.

Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. Permohonan Penilaian Aset Saham kepada Pemerintah disampaikan oleh Direktur sesuai Penilai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (7) Ketentuan mengenai penjualan melalui Lelang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. Pasal 32 Dalam hal Aset Saham pada perusahaan tertutup yang anggaran dasar perusahaan mengatur mengenai adanya hak pemegang saham atau karyawan untuk membeli terlebih dahulu, penawaran penjualan Aset Saham dilakukan dengan menggunakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. Pasal 33 (1) Aset Saham yang dilakukan penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) huruf b merupakan Aset Saham pada perusahaan terbuka yang tercatat/ terdaftar di bursa efek. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik melalui bursa efek maupun di luar bursa efek dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. (3) Nilai Limit penjualan Aset Saham tanpa melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil analisis perhitungan rata-rata penutupan harian yang diperoleh dari harga penutupan selama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum proses penjualan Aset Saham. (4) Nilai limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan. (5) Harga penjualan minimal sama dengan Nilai Limit. Bagian Kelima Aset Penempatan Pasal 34 Pengelolaan Aset Penempatan meliputi:

a.

penatausahaan; dan

b.

pencairan dan/atau penagihan dana pada bank peny1mpan. Pasal 35 (1) Penatausahaan Aset Penempatan dilakukan oleh Direktorat dengan cara:

a.

Inventarisasi;

b.

Verifikasi; dan

c.

pelaporan pengelolaan Aset Penempatan. (2) Penatausahaan Aset Penempatan dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Aset Penempatan. (3) Hasil penatausahaan Aset Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Pasal 36 Direktur melakukan pencairan dan/atau penagihan Aset Penempatan dengan cara mengajukan permintaan pencairan dan/atau penagihan pada bank penyimpan. Bagian Keenam Aset Properti Pasal 37 Aset Properti terdiri atas:

a.

Aset tetap, yaitu Aset Properti yang berasal dari milik eks BDL;

b.

Barang Jaminan Diambil Alih, yaitu Aset Properti yang berasal dari barangjaminan kredit yang telah diambil alih dan/atau dikuasai oleh eks BDL;

c.

Aset yang diperoleh berdasarkan penetapan/ putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan

d.

Aset yang berasal dari penyerahan pemegang saham kepada BDL untuk menyelesaikan permasalahan permodalan dan likuiditas BDL. Pasal 38 Pengelolaan atas Aset Properti meliputi:

a.

penatausahaan;

b.

pengamanan dan pemeliharaan;

c.

penjualan;

d.

penetapan Aset Properti menjadi BMN; dan

e.

pemanfaatan dalam bentuk Sewa. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 39 (1) Direktorat melaksanakan penatausahaan Aset Properti melalui Inventarisasi dan Verifikasi dokumen. (2) Inventarisasi dan Verifikasi dokumen Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:

a.

dokumen yang dikuasai oleh Kementerian Keuangan; dan/atau

b.

dokumen lain yang terkait dengan status Aset Properti. (3) Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk:

a.

proses Verifikasi Aset Properti;

b.

peninjauan fisik atas Aset Properti;

c.

kodifikasi atas Aset Properti; dan

d.

pencatatan setiap perubahan jumlah Aset Properti, nilai Aset Properti, dan penerimaan hasil pengelolaan Aset Properti yang dikarenakan adanya penjualan, penetapan Aset Properti menjadi BMN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau perubahan lain yang sah. (4) Hasil Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicatat oleh Direktorat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 40 Pengamanan dan pemeliharaan Aset Properti dilakukan terhadap:

a.

fisik Aset Properti; dan

b.

dokumen Aset Properti. Pasal 41 (1) Pengamanan dan pemeliharaan fisik Aset Properti dilakukan oleh Kantor Wilayah. (2) Dalam hal Aset Properti tidak berada dalam penguasaan pihak lain yang tidak berhak, dapat dilakukan pembayaran atas biaya pemeliharaan. (3) Dalam pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kantor Wilayah menunjuk wakil kerja untuk melaksanakan pengamanan fisik Aset Properti. (4) Kantor Wilayah menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan Aset Properti kepada Direktorat. (5) Direktorat melakukan evaluasi atas laporan yang disampaikan oleh Kantor Wilayah yang hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal. (6) Direktorat/Kantor Wilayah dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi berwenang lainnya, guna pengamanan fisik Aset Properti. Pasal 42 (1) Pengamanan dan pemeliharaan atas dokumen Aset Properti dilaksanakan oleh Direktur. (2) Pengamanan dan pemeliharaan dokumen Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

Verifikasi masa berlaku hak atas Aset Properti;

b.

konfirmasi atas status hukum Aset Properti kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi terkait; dan

c.

penyimpanan dokumen Aset Properti secara tertib dan rapi di tempat yang aman. (3) Dalam pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan dokumen Aset Properti, Direktur dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi berwenang lainnya. Pasal 43 (1) Untuk pengamanan Aset Properti, Direktur dapat melakukan pemblokiran Aset Properti. (2) Dalam pelaksanaan pemblokiran Aset Properti, Direktur dapat meminta bantuan Kepala Kantor wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan setempat. Paragraf 3 Penjualan Pasal 44 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Properti. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

a.

melalui Lelang;

b.

tanpa melalui Lelang. Pasal 45 (1) Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui Kantor Pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. (2) Aset Properti yang dilakukan penjualan melalui lelang merupakan Aset Properti dalam kondisi fisik dan/ a tau dokumen apa adanya (as is}, termasuk biaya terutang (tunggakan biaya) yang melekat (3) Nilai Limit penjualan melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. (4) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

a.

Penilai Pemerintah; atau

b.

Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (5) Permohonan penilaian Aset Properti kepada Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (4) huruf a dilakukan oleh Direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (6) Nilai Limit yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal berlaku selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan Nilai Limit. (7) Dalam hal terdapat perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Properti, masa berlaku Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat kurang dari 1 (satu) tahun. (8) Perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:

a.

perubahan fisik yang antara lain disebabkan karena pelebaran jalan, bencana alam, dan abrasi; atau

b.

perubahan peruntukan. (9) Terhadap Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dilakukan Penilaian ulang untuk memperoleh Nilai Wajar terbaru atas Aset Properti. (10) Direktur Jenderal menetapkan Nilai Limit minimal sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan hasil Penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Pasal 46 (1) Dalam hal Aset Properti tidak laku terjual dalam dua kali Lelang:

a.

untuk Lelang selanjutnya dapat diberikan faktor penyesuai atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (10); atau

b.

Aset Properti dilakukan Penjualan Tanpa melalui Lelang. (2) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan berdasarkan pertimbangan dan kajian oleh Direktorat. (3) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan dengan prosentase pengurangan paling besar 30 % (tiga puluh persen) dari nilai wajar. (4) Dalam pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu. Pasal 47 (1) Penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) hurufb dapat dilaksanakan dalam hal:

a.

tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang- undangan di bidang Lelang untuk dapat dilakukan penjualan Aset Properti melalui Lelang; atau

b.

Aset Properti tidak terjual dalam dua kali penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b. (2) Ketentuan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berdasarkan hasil Verifikasi oleh Direktorat dan/atau rekomendasi komite penyelesaian Aset Properti yang dibentuk Direktur Jenderal. (3) Pihak yang dapat melakukan Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

pihak lain yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan atau orang lain yang dinyatakan sebagai pemilik berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau ahli warisnya, dan tidak termasuk _nominee; _ b. badan hukum yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan yang diwakili oleh pengurus yang masih aktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c.

eks debitur terkait yang sudah tidak mempunyai kewajiban kepada BDL c.q. Pemerintah Republik Indonesia;

d.

pihak lain yang telah menguasai Aset Properti secara fisik minimal 20 (dua puluh) tahun dan telah mendirikan bangunan permanen; atau

e.

pihak selain pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal. (4) Dalam pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu atas permohonan pembelian tanpa melalui Lelang. (5) Eks debitur terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat mengikuti penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti berupa:

a.

Barang Jaminan Diambil Alih; atau

b.

Barang Jaminan Diambil Alih yang dicatat sebagai Aset Tetap pada laporan keuangan BDL. Pasal 48 (1) Pihak yang terafiliasi dengan eks BDL tidak dapat mengikuti penjualan tanpa melalui Lelang. (2) Pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

komisaris/pengawas eks BDL;

b.

direksi/pengurus eks BDL; dan/atau

c.

pemegang saham eks BDL. (3) Pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk keluarga sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/ a tau ke samping satu derajat. Pasal 49 (1) Pihak yang dapat menjadi pembeli dalam penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 7 ayat (3) harus mengajukan surat permohonan kepada Direktur Jenderal, yang minimal memuat:

a.

uraian Aset Properti yang akan dimohonkan untuk dilaksanakan penjualan tanpa melalui Lelang;

b.

identitas pemohon; dan

c.

nilai penawaran. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan secara notariil dari pemohon yang menyatakan bukan se bagai pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 50 (1) Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti dapat disetujui apabila nilai penawaran minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. (2) Nilai penjualan tanpa melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. (3) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a.

Penilai Pemerintah; atau

b.

Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (4) Permohonan Penilaian Aset Properti kepada Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (5) Persetujuan penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti diberikan oleh Direktur Jenderal berdasarkan rekomendasi dari Direktur.

(6)

Permohonan penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat disetujui apabila nilai penawaran minimal sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan laporan Penilaian. (7) Dalam kondisi tertentu, atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diberikan faktor penyesuai. (8) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan dengan pertimbangan tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (9) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan prosentase pengurangan dari Nilai Wajar paling tinggi sebesar 30 % (tiga puluh persen). (10) Dalam pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu. Paragraf 4 Penetapan Aset Properti Menjadi BMN Pasal 51 (1) Menteri dapat menetapkan Aset Properti menjadi BMN. (2) Aset Properti yang dapat ditetapkan menjadi BMN meliputi:

a.

Aset Properti yang dilengkapi dengan:

1.

dokumen pengalihan hak dari Tim Likuidasi; atau

2.

dokumen pengalihan hak dari pemilik asal kepada BDL/Tim Likuidasi;

b.

Aset Properti yang tidak dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, namun tercatat pada NAL sebagai Aset Properti; dan

c.

Aset Properti yang tidak dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan tidak tercatat pada NAL. (3) Dokumen pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak terbatas pada akta kuasa untuk menjual, ppjb, ajb, Risalah Lelang, surat pernyataan dari pemilik/eks BDL/Tim Likuidasi, berita acara serah terima atau dokumen pengalihan hak lainnya. Pasal 52 (1) A set Properti se bagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b, dapat ditetapkan sebagai BMN dengan mekanisme:

a.

Verifikasi; dan

b.

diumumkan dalam media cetak sebanyak 2 (dua) kali dengan rentang waktu 30 (tiga puluh) hari. (2) Dalam proses penetapan sebagai BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat dapat meminta reviu aparat pengawasan internal pemerintah. Pasal 53 Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf c ditetapkan menjadi BMN setelah mendapatkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 54 Penetapan Aset Properti menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan:

a.

berdasarkan permohonan dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Direktur Jenderal; atau

b.

tanpa didahului permohonan dari Kementerian/Lembaga. Pasal 55 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a minimal memuat alasan yang mendasari permohonan dan dilampiri dengan:

a.

data Aset Properti;

b.

surat pernyataan komitmen menggunakan Aset Properti untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi;

c.

surat pernyataan kesediaan menerima Aset Properti, dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya _(as is); _ dan d. surat pernyataan kesediaan dan tanggung jawab penuh untuk melunasi dan menyelesaikan segala biaya serta kewajiban yang melekat pada Aset Properti tersebut. (2) Dalam hal Aset Properti berasal dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global lnternasional Tbk (Dalam Likuidasi) selain kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dilampiri pula dengan surat pernyataan bersedia menyelesaikan kewajiban pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana. Pasal 56 (1) Direktorat melakukan penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:

a.

permohonan disetujui, Aset Properti ditetapkan sebagai BMN dan ditetapkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga; atau

b.

permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, disertai dengan alasan. Pasal 57 (1) Penetapan Aset Properti menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya se bagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

pertimbangan penetapan status penggunaan;

b.

identitas Aset Properti yang ditetapkan statusnya menjadi BMN;

c.

nilai Aset Properti;

d.

pengguna barang;

e.

tindak lanjut penetapan status penggunaan; dan

f.

kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Properti yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (3) Nilai Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. (4) Penetapan Aset Properti menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Properti dari Direktorat kepada Kementerian/ Lembaga. Pasal 58 (1) Penetapan Aset Properti menjadi BMN tanpa didahului permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dilaksanakan dengan tahapan:

a.

Direktorat menyusun daftar Aset Properti yang direncanakan akan ditetapkan menjadi BMN; dan

b.

Direktorat melakukan kajian atas Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Penetapan Aset Properti menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur J enderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:

a.

pertimbangan penetapan Aset Properti menjadi BMN;

b.

identitas Aset Properti yang ditetapkan menjadi BMN;

c.

nilai Aset Properti; dan

d.

kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Properti yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (4) Nilai Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. (5) Aset Properti yang telah ditetapkan menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya berada pada Direktorat Jenderal. Paragraf 5 Pemanfaatan Dalam Bentuk Sewa Pasal 59 (1) Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri dapat melakukan pemanfaatan Aset Properti dengan cara Sewa. (2) Sewa Aset Properti dilakukan dengan tujuan:

a.

mencegah penggunaan Aset Properti oleh pihak lain secara tidak sah; atau

b.

mengoptimalkan Aset Properti yang:

1.

belum diajukan Lelang;

2.

belum dilakukan penjualan tanpa melalui Lelang; atau

3.

belum ditetapkan menjadi BMN. (3) Jangka waktu Sewa paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang dalam hal behim terdapat rencana pengelolaan lainnya atas Aset Properti. Pasal 60 (1) Calon penyewa Aset Properti mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah. (2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

uraian Aset Properti yang akan disewa;

b.

identitas calon penyewa;

c.

rencana peruntukan Sewa;

d.

usulan besaran Sewa; dan

e.

usulan jangka waktu Sewa. (3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan untuk tidak menyewakan kembali kepada pihak lain atau menyerahkan dalam bentuk dan cara apapun objek Sewa kepada pihak lain. (4) Kantor Wilayah melakukan penelitian atas permohonan Sewa atas Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk melakukan konfirmasi kepada Direktorat atas rencana pengelolaan Aset Properti yang dimohonkan Sewa. (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.

disetujui, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan persetujuan Sewa; atau

b.

tidak disetujui, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan surat penolakan kepada calon penyewa disertai dengan alasannya. Pasal 61 (1) Berdasarkan persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6) huruf a, Kepala Kantor Wilayah menindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjian Sewa dengan pihak penyewa. (2) Kepala Kantor Wilayah melaporkan pelaksanaan penandatangan perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur dengan melampirkan:

a.

Persetujuan Sewa;

b.

Bukti Setor; dan

c.

Perjanjian Sewa. Pasal 62 Pembayaran uang Sewa secara sekaligus paling lambat dibayarkan sebelum ditandatanganinya perjanjian Sewa dengan cara disetorkan ke kas negara dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. Pasal 63 Sewa berakhir dalam hal:

a.

berakhirnya jangka waktu Sewa sebagaimana tertuang dalam perjanjian Sewa;

b.

berlakunya syarat batal sesuai perjanjian; dan / a tau c. ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 64 Ketentuan pemanfaatan dalam bentuk Sewa atas Aset Properti sepanJang tidak diatur dalam Peraturan Menteri m1 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB III INVENTARISASI DAN PENILAIAN Pasal 65 (1) Aset Kredit, Aset Inventaris, Surat Berharga berupa saham dan obligasi, Aset Penempatan, dan Aset Properti yang telah diserahkan kepada Pemerin tah dilakukan Inventarisasi dan Penilaian. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:

a.

Penilai Pemerintah; atau

b.

Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (3) Dalam hal Penilaian dilakukan oleh Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, proses pengadaan jasa Penilai Publik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa oleh instansi pemerintah. (4) Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dibidang Inventarisasi dan Penilaian. (5) Hasil dari pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian ditindaklanjuti dengan:

a.

pencatatan pada suatu sistem informasi pengelolaan aset; dan

b.

penatausahaan. Pasal 66 Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. BAB IV HASIL PENGELOLAAN ASET Pasal 67 (1) Hasil pengelolaan Aset terdiri atas:

a.

hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai; dan

b.

hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai. (2) Hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai berasal dari:

a.

pembayaran/pelunasan Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara;

b.

Lelang Aset Inventaris;

c.

pembayaran atas dividen saham dan bunga obligasi;

d.

pencairan obligasi;

e.

penjualan atas Surat Berharga;

f.

pencairan dan/atau penagihan dana Aset Penempatan pada bank penyimpan;

g.

Lelang Aset Properti;

h.

penjualan tanpa melalui Lelang Aset Properti; dan

i.

Sewa Aset Properti. (3) Hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai berasal dari:

a.

penetapan Aset Inventaris menjadi BMN; dan

b.

penetapan Aset Properti menjadi BMN. Pasal 68 (1) Hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai yang berasal dari:

a.

Lelang Aset Inventaris;

b.

pembayaran atas dividen saham dan bunga obligasi;

c.

pencairan obligasi;

d.

penjualan atas Surat Berharga;

e.

pencairan dan/atau penagihan dana Aset Penempatan pada bank penyimpan;

f.

Lelang Aset Properti;

g.

penjualan tanpa melalui Lelang; dan

h.

Sewa Aset Properti, dikenakan biaya pengelolaan Aset. (2) Biaya pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (3) Pengenaan Biaya pengelolaan Aset dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 69 (1) Hasil pengelolaan A set se bagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang berasal dari:

a.

PT Bank Anrico (Dalam Likuidasi);

b.

PT Bank Guna Internasional (Dalam Likuidasi);

c.

PT Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi);

d.

PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (Dalam Likuidasi);

e.

PT Bank Kosagraha Semesta Sejahtera (Dalam Likuidasi);

f.

PT Bank Mataram Dhanarta (Dalam Likuidasi);

g.

PT Bank Pasific (Dalam Likuidasi);

h.

PT Sejahtera Bank Umum (Dalam Likuidasi);

1.

PT South East Asia Bank (Dalam Likuidasi);

j.

PT Bank Dwipa Semesta (Dalam Likuidasi);

k.

PT Astria Raya Bank (Dalam Likuidasi) ;

1.

PT Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi);

m.

PT Bank Industri (Dalam Likuidasi); dan

n.

PT Bank Prasidha Utama (Dalam Likuidasi), setelah dikurangi biaya pengelolaan Aset merupakan hak pemerintah. (2) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang berasal dari:

a.

PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi);

b.

PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi); dan

c.

PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi), setelah diperhitungkan dengan biaya pengelolaan Aset dan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana, merupakan hak pemerintah. Pasal 70 (1) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) yang berasal dari:

a.

PT Bank Anrico (Dalam Likuidasi);

b.

PT Bank Guna Internasional (Dalam Likuidasi);

c.

PT Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi);

d.

PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (Dalam Likuidasi);

e.

PT Bank Kosagraha Semesta Sejahtera (Dalam Likuidasi);

f.

PT Bank Mataram Dhanarta (Dalam Likuidasi);

g.

PT Bank Pasific (Dalam Likuidasi);

h.

PT Sejahtera Bank Umum (Dalam Likuidasi);

1.

PT South East Asia Bank (Dalam Likuidasi); J. PT Bank Dwipa Semesta (Dalam Likuidasi);

k.

PT Astria Raya Bank (Dalam Likuidasi);

1.

PT Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi);

m.

PT Bank Industri (Dalam Likuidasi); dan

n.

PT Bank Prasidha Utama (Dalam Likuidasi), merupakan hak pemerintah. (2) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) yang berasal dari:

a.

PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi);

b.

PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi); dan

c.

PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi), setelah diperhitungkan dengan pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana merupakan hak pemerintah. Pasal 71 Hak pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 diperhitungkan sebagai pengurang piutang pemerintah pada BDL yang tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Pasal 72 Biaya pengelolaan Aset, hak pemerintah, dan dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana dari hasil pengelolaan Aset yang berupa uang tunai disetor ke kas negara. Pasal 73 Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) merupakan Nasabah Penyimpan Dana yang masih memiliki hak atas hasil pengelolaan Aset yang besarannya ditetapkan oleh Tim Likuidasi dan disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 74 (1) Menteri selaku Bendahara Umum Negara adalah PA pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Menteri menunjuk Direktur Jenderal untuk melaksanakan fungsi PA atas pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (3) Menteri selaku PA menunjuk Direktur selaku KPA. (4) Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat ex-officio. Pasal 75 (1) KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Untuk melaksanakan tanggung jawab, KPA menetapkan:

a.

PPK; dan

b.

PPSPM. Pasal 76 (1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf a dilakukan untuk mengajukan permintaan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Penetapan PPK tidak terikat tahun anggaran. Pasal 77 (1) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b dilakukan untuk pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Penetapan PPSPM tidak terikat tahun anggaran. Pasal 78 (1) Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana dilakukan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan realisasi dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana pada kas negara pada tahun sebelumnya. Pasal 79 Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilaksanakan setiap tahun yang besaran nilai pembayarannya didasarkan pada Laporan Keuangan BUN audited tahun sebelumnya.

(1)

(2) Pasal 80 Direktur Jenderal menetapkan keputusan mengenai besaran pembayaran Nasabah Penyimpan Dana untuk masing-masing BDL berdasarkan data realisasi dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana pada kas negara tahun sebelumnya. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun.

(3)

Besaran nilai pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Laporan Keuangan BUN audited tahun sebelumnya. Pasal 81 Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) mengenai be saran pembayaran Nasabah Penyimpan Dana untuk masing-masing BDL, KPA menerbitkan SKP. Pasal 82 (1) Berdasarkan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, PPK menerbitkan SPP untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78. (2) PPK menyampaikan SPP kepada PPSPM dengan melampirkan SKP. (3) Berdasarkan SPP, PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP beserta lampirannya. (4) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPSPM menerbitkan SPM Nasabah Penyimpan Dana untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:

a.

lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk KPPN; dan

b.

lembar ke-3 untuk pertinggal. (5) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki dan dilengkapi. (6) PPSPM menyampaikan SPM Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPPN. Pasal 83 Berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan penerbitan SP2D. Pasal 84 (1) Dalam hal pada tahun berjalan terdapat selisih kelebihan/kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), dapat diperhitungkan dengan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana periode berikutnya. (2) Selisih kelebihan/kekurangan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada hasil rekonsiliasi antara Direktorat Jenderal dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang dituangkan dalam berita acara. Pasal 85 Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana atas hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai dibebankan pada bagian anggaran Kementerian/Lembaga penerima manfaat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BABV PENANGANANPERKARA Pasal 86 (1) Penanganan perkara di lembaga peradilan atas Aset dilakukan oleh Biro yang mempunyai tugas mengoordinasikan dan melaksanakan advokasi hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan dengan mengikutsertakan Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal. (2) Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal menyampaikan laporan perkembangan penanganan perkara tiap triwulan kepada Direktur Jenderal dengan ditembuskan kepada Direktur. (3) Untuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal berkoordinasi dengan Biro yang mempunyai tugas mengoordinasikan dan melaksanakan advokasi hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pasal 87 Pengelolaan Aset yang berperkara dilakukan oleh Direktorat dengan mempertimbangkan perkara hukum atas Aset. BAB VI PELAPORAN Pasal 88 (1) Direktur menyampaikan laporan pengelolaan Aset setiap tahun kepada Direktur Jenderal. (2) Laporan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perkembangan dan hasil pengelolaan Aset. Pasal 89 Direktur dengan sistem Untuk pertanggungjawaban pengelolaan Aset, Jenderal menyusun laporan keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VII MONITORING DAN EVALUASI Pasal 90 (1) Direktur Jenderal melakukan monitoring dan evaluasi atas pengelolaan Aset. (2) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyempurnakan dan mengoptimalkan pengelolaan Aset. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 91 (1) Seluruh proses pengelolaan Aset oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap sah. (2) Pengelolaan Aset yang telah mendapatkan persetujuan Menteri dinyatakan tetap berlaku dan proses selanjutnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada saat persetujuan Menteri diterbitkan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 92 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.06/2019 tentang Pengelolaan Aset Eks Bank dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1559), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;dan b. pengelolaan Aset yang belum mendapatkan persetujuan, selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri 1n1. Pasal 93 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Thumbnail
PENYELENGGARAAN | PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PP 12 TAHUN 2017

Pembinaan dan pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

  • Ditetapkan: 05 Apr 2017
  • Diundangkan: 07 Apr 2017

Relevan terhadap 1 lainnya

Pasal 14Tutup

Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "mengalokasikan anggaran Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah" adalah besaran anggaran pendapatan dan belanja daerah yang mencerminkan jumlah program dan kegiatan urusan Pemerintahan Daerah yang akan diawasi oleh APIP; jumlah Perangkat Daerah mencerminkan jumlah waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pengawasan; jumlah pengawas mencerminkan bcban kcrja yang akan dipikul oleh setiap pengawas dan kebutuhan sarana dan prasarana pengawasan; peningkatan kompetensi dan tambahan penghasilan APIP; dan luas wilayah mencerminkan cakupan area pengawasan, tingkat kesulitan geografis serta kemahalan. Ayat (3) Ayat (3) Cukup ^jclas. Pasal 1.5 Cukup ^jclas.

Pasal 14Tutup

Menteri dan menteri teknis/kepala lcmbaga pcmerintah nonkcmcnterian wajib mencantumkan program Pembinaan dan Pengawasan ^penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam dokumen percncanaan dan penganggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kcwcnangan masing- masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(1)

(21 (3) (1) (2) Pemerintah Daerah wajib mencantumkan program Pembinaan dan Pcngawasan Pcnyelenggaraan Pemcrintahan Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah serta mengalokasikan anggaran Pcmbinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam anggaran pendapatan dan belanja dacrah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan dan penganggaran Pembinaan dan Pcngawasan Penyclcnggaraan Pemerintahan Daerah yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja dacrah diatur dalam Pcraturan Menteri. Bagian Ketiga Pclaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Paragraf 1 Umum Pasal 15 (1) Pcmbinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan dengan kctcntuan:

a.

untuk pembinaan umum, Menteri mcnugaskan unit kerja di lingkungan Kementerian scsuai dcngan fungsi dan kewenangannya dan dilaksanakan secara cfisicn dan efektif serta koordinatif;

b.

untuk pengawasan umum, Menteri menugaskan APIP di lingkungan Kemcntcrian scsuai dengan fungsi dan kewenangannya dan dilaksanakan sccara cfisicn dan cfcktif serta koordinatif;

c.

untuk pembinaan teknis, menteri teknis/ kepala Iembaga pemerintah nonkementcrian menugaskan unit kcrja di lingkungan kementerian/lembaga pemerintah nonkcmenterian masing-masing sesuai dcngan fungsi dan kewenangannya dan dilaksanakan secara efisien dan efektif serta koordinatif; dan

d.

untuk d. untuk pengawasan teknis, menteri teknis menugaskan APIP di lingkungan kementerian teknis masing-masing sesuai dengan fungsi dan kewenangannya dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian menugaskan APIP di lingkungan unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian masing-masing sesuai dengan fungsi dan kewenangannya dan dilaksanakan secara elisien dan efektif serta koordinatif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan umum diatur dengan Peraturan Mentcri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan teknis diatur dengan peraturan mentcri teknis atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya setelah berkoordinasi dengan Kementerian dan kementerian/ lemb"ga pemerintah nonkementerian tcrkait. Paragral 2 Pengawasan oleh APIP

Pasal 49Tutup

Pcndanaan Pembinaan dan Pengawasan Penyclenggaraan Pcmerintahan Daerah yang menjadi kewenangan Pemcrintah Pusat bersumber dari anggaran dan pcndapatan belanja negara dan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah bersumber dari anggaran dan pendapatan belanja daerah sesuai dcngan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN

Thumbnail
BIDANG KEKAYAAN NEGARA | LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR
58/PMK.06/2020

Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia

  • Ditetapkan: 29 Mei 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.

2.

Rencana Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat RJP adalah rencana strategis yang mencakup rumusan mengenai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.

3.

Rencana Kerja Anggaran Tahunan yang selanjutnya disingkat RKAT adalah penjabaran tahunan dari RJP yang menggambarkan rencana kerja dan anggaran LPEI mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember, termasuk strategi untuk merealisasikan rencana tersebut.

4.

Pembinaan adalah kegiatan pengaturan, pemberian arahan, pemilihan pengurus, penetapan target, dan kegiatan lain yang diperlukan oleh Menteri kepada LPEI untuk kinerja yang lebih baik.

5.

Pengawasan adalah kegiatan pengukuran, penilaian, evaluasi, dan kegiatan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.

Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

7.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara.

8.

Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.

9.

Pembiayaan Ekspor Nasional yang selanjutnya disingkat PEN adalah fasilitas yang diberikan kepada badan usaha termasuk perorangan dalam rangka mendorong Ekspor nasional yang dapat berupa Pembiayaan, Penjaminan, Asuransi dan/atau kegiatan lain yang menunjang ekspor.

10.

Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.

11.

Penjaminan adalah penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.

12.

Asuransi adalah asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.

13.

Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.

14.

Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang ditunjuk oleh LPEI yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan serta memberikan nasihat kepada Direktur Eksekutif LPEI terhadap penyelenggaraan kegiatan LPEI agar sesuai dengan Prinsip Syariah.

15.

Tata Kelola adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh LPEI untuk pencapaian tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha dengan memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan usaha, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan praktik yang berlaku umum.

16.

Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha.

17.

Pernyataan Selera Risiko ( Risk Appetite Statement ) adalah pernyataan Dewan Direktur mengenai tingkat risiko yang dapat diterima LPEI dalam upaya mewujudkan tujuan dan sasaran yang dikehendaki.

18.

Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang ganti rugi atas kerugian atau fasilitas jaminan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa didukung reasuransi atau penjaminan ulang.

19.

Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan LPEI, yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan periodik, menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku serta memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

20.

Usaha Mikro Kecil Menengah Ekspor yang selanjutnya disingkat UMKM Ekspor adalah UMKM sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang UMKM dan koperasi yang menghasilkan produk untuk diekspor atau berkontribusi pada ekspor.

21.

Usaha Menengah Berorientasi Ekspor yang selanjutnya disingkat UMBE adalah usaha dengan kriteria pelaku usaha yang memiliki nilai penjualan tahunan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional.

  • 1
  • ...
  • 15
  • 16
  • 17
  • ...
  • 64