JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 718 hasil yang relevan dengan "kebijakan fiskal untuk ekonomi digital "
Dalam 0.035 detik
Thumbnail
CIPTA KERJA Cipta Kerja | HUKUM UMUM | BIDANG PAJAK
PERPU 2 TAHUN 2022

Cipta Kerja

  • Ditetapkan: 30 Des 2022
  • Diundangkan: 30 Des 2022

Relevan terhadap 6 lainnya

Pasal 20Tutup

Ayat(l) Huruf a Tujuan Penataan Ruang Wilayah nasional mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional merupakan landasan bagi pembangunan nasional yang memanfaatkan Ruang. Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional dirumuskan dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan data dan informasi, serta pembiayaan pembangunan. Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional, antara lain, dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global, serta mewujudkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Huruf b Sistem perkotaan nasional dibentuk dari Kawasan Perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat kegiatan skala Wilayah, dan pusat kegiatan skala lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan dilengkapi dengan jaringan prasarana Wilayah yang tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan. Sistem jaringan prasarana utama merupakan sistem primer yang dikembangkan untuk mengintegrasikan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selain untuk melayani kegiatan berskala nasional yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan ketenagalistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air. Yang termasuk dalam sistem jaringan primer yang direncanakan adalah jaringan transportasi untuk menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi lalu lintas damai sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Huruf c Pola Ruang Wilayah nasional merupakan gambaran Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Kawasan Lindung nasional, antara lain, Kawasan Lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu Wilayah provinsi, Kawasan Lindung yang memberikan pelindungan terhadap Kawasan bawahannya yang terletak di Wilayah provinsi lain, Kawasan Lindung yang dimaksudkan untuk melindungi warisan kebudayaan nasional, Kawasan hulu daerah aliran sungai suatu bendungan atau waduk, dan Kawasan Lindung lain yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Kawasan Lindung nasional adalah Kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi dampak dari bencana alam. Kawasan Budi Daya yang mempunyai nilai strategis nasional, antara lain Kawasan yang dikembangkan untuk mendukung fungsi pertahanan dan keamanan nasional, Kawasan industri strategis, Kawasan pertambapgan sumber daya alam strategis, Kawasan Perkotaan, Kawasan Metropolitan, dan Kawasan Budi Daya lain yang menurut peraturan perundang-undangan penzman dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Huruf d Yang termasuk Kawasan Strategis Nasional adalah Kawasan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai Kawasan khusus. Huruf e lndikasi program utama merupakan petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan Pemanfaatan Ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program Pemanfaatan Ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan Penataan Ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama 5 (lima) tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan Ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan Pemanfaatan Ruang. Ayat (3) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang. Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berakhir, dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang baru, hak yang telah dimiliki Orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tetap diakui. Ayat (4) Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan Pemanfaatan Ruang. Hasil pemnJauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:

a.

perlu dilakukan revisi karena ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang akibat perkembangan teknologi dan/atau keadaan yang bersifat mendasar; atau

b.

tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang bersifat mendasar. Ayat (5) Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun hanya apabila memenuhi syarat terjadinya perubahan lingkungan strategis. Peninjauan ke~bali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan Pemanfaatan Ruang. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ayat (6) Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan Wilayah, dan pengembangan ekonomi. Cukup jelas. Angka 12

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
94/PUU-XVIII/2020

Ketentuan Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), Pasal 56 ayat (2) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan Pasal 4 ...

    Relevan terhadap

    Halaman 10Tutup

    35/PUU-XI/2013 (P-9) di pendapat umum MK mengenai penyelenggaraan kekuasaan dalam penyusunan dan penetapan anggaran negara menurut konstitusi. 24. Bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan berdasar UUD sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan Pemerintahan termasuk kekuasaan atas keuangan negara (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, P-3) dan kebijakan, pembinaan dan managemen kepegawaian ASN [Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, P-7], serta Militer (Pasal 10 UUD 1945, P-1). Pemerintah dengan kekuasaan yang dimiliki adalah lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan rencana kerja Pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara. Presiden mengajukan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR untuk dibahas bersama. Berdasar hal tersebut dilanjutkan pembahasan kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan kementerian/lembaga negara menyususn usulan anggaran. Kebijakan umum dan prioritas anggaran adalah dinamis setiap tahun . Hal ini sesuai UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden menjalankan kekuasaan penggunaan anggaran, termasuk merencanakan program dan anggaran pemerintahan negara yang akan dilaksanakan setiap tahun. DPR menetapkan rincian belanja negara satuan gaji pokok dalam Undang-Undang a quo tahun 2005 adalah bentuk pembatasan kekuasaan Presiden dalam menjalankan amanat Pasal 4 dan Pasal 23 UUD 1945. 25. Bahwa Undang-Undang sebagai produk hukum DPR mencerminkan fungsi, kewenangan dan tugas DPR yang diberikan Konstitusi UUD 1945. Sesuai UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi anggaran DPR dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden sesuai pasal 23 ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Fungsi anggaran DPR juga telah dijelaskan dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013 dalam pendapat umum menyatakan kewenangan DPR membahas,

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
    PMK 33 TAHUN 2024

    Pengelolaan Transfer ke Daerah dalam rangka Otonomi Khusus

    • Ditetapkan: 21 Mei 2024
    • Diundangkan: 06 Jun 2024

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah otonom untuk dikelola oleh daerah otonom dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

    2.

    Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-daerah otonom.

    3.

    Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh pemerintah.

    4.

    Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah otonom penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah otonom, serta kepada daerah otonom lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.

    5.

    Tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Alam dalam rangka Otonomi Khusus yang selanjutnya disebut Tambahan DBH Migas Otsus adalah bagian DBH yang secara khusus ditujukan untuk Provinsi Papua dan Provinsi Aceh yang berasal dari penerimaan sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas alam.

    6.

    Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada daerah otonom tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai Otonomi Khusus.

    7.

    Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka otonomi khusus bagi provinsi-provinsi di wilayah Papua yang selanjutnya disebut DTI adalah dana tambahan dalam rangka otonomi khusus yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun anggaran yang ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur perhubungan, energi listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sanitasi lingkungan.

    8.

    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    9.

    Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

    10.

    Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    11.

    Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

    12.

    Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi, bupati bagi Daerah kabupaten, atau wali kota bagi Daerah kota.

    13.

    Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah bupati/wali kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.

    14.

    Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Aceh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    15.

    Provinsi Papua adalah provinsi-provinsi yang berada di wilayah Papua yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    16.

    Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang selanjutnya disingkat DPRP adalah lembaga perwakilan Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Provinsi Papua.

    17.

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) adalah unsur penyelenggaraan Pemerintahan Aceh yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

    18.

    Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat DPRK adalah lembaga perwakilan Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua.

    19.

    Pemerintah Daerah Provinsi Papua adalah gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Papua.

    20.

    Orang Asli Papua yang selanjutnya disingkat OAP adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua.

    21.

    Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disingkat MRP adalah representasi kultural OAP yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak OAP dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

    22.

    Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah, DPRP kabupaten/kota, dan Majelis Rakyat Papua dalam penyelenggaraan kebijakan Otonomi Khusus dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

    23.

    Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang selanjutnya disebut Badan Pengarah Papua adalah badan khusus yang melaksanakan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi percepatan pembangunan dan pelaksanaan Otonomi Khusus di wilayah Papua.

    24.

    Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan intern Pemerintah, inspektorat jenderal pada kementerian/lembaga, inspektorat Daerah provinsi dan inspektorat Daerah kabupaten/kota.

    25.

    Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.

    26.

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

    27.

    Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.

    28.

    Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian/lembaga.

    29.

    Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.

    30.

    Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.

    31.

    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.

    32.

    Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA-BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari PPA BUN, yang disusun menurut BA BUN.

    33.

    Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN.

    34.

    Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat DHP RKA-BUN adalah dokumen hasil penelaahan RKA- BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.

    35.

    Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

    36.

    Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan SPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

    37.

    Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

    38.

    Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

    39.

    Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disebut Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan Daerah.

    40.

    Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat RPJP adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun.

    41.

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, yang selanjutnya disingkat RPJMN adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun.

    42.

    Rencana Pembangunan Tahunan Nasional yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah adalah dokumen perencanaan nasional untuk periode 1 (satu) tahun.

    43.

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renstra K/L adalah dokumen perencanaan kementerian/lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.

    44.

    Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP nasional.

    45.

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah penjabaran dari visi, misi, dan program kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJMN, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program organisasi perangkat Daerah, lintas organisasi kerja perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif untuk periode 5 (lima) tahun.

    46.

    Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah penjabaran dari RPJMD dan mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk periode 1 (satu) tahun.

    47.

    Musyawarah Perencanaan Pembangunan Otonomi Khusus yang selanjutnya disebut Musrenbang Otsus adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan Daerah dalam rangka Otonomi Khusus yang dilaksanakan dalam 1 (satu) rangkaian dengan Musrenbang jangka menengah dan Musrenbang tahunan Daerah.

    48.

    Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua yang selanjutnya disingkat RIPPP adalah dokumen induk perencanaan pembangunan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua yang menjadi pedoman bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

    49.

    Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua yang disingkat RAPPP adalah dokumen penjabaran RIPPP yang memuat sinergi program/kegiatan, sumber pendanaan, dan sinergi antarpelaku pembangunan dengan kerangka waktu sesuai dengan periode RPJMN.

    50.

    Rencana Anggaran dan Program Penggunaan Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus yang selanjutnya disingkat RAP adalah dokumen perencanaan tahunan TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus yang berfungsi untuk memastikan penggunaan Dana Otonomi Khusus, DTI, dan/atau Tambahan DBH Migas Otsus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan mengenai otonomi khusus.

    51.

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.

    52.

    Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.

    53.

    Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.

    54.

    Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang berisi 1 (satu) atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat Daerah atau masyarakat yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan Daerah.

    55.

    Kegiatan adalah bagian dari Program yang dilaksanakan oleh 1 (satu) atau beberapa satuan kerja perangkat Daerah sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu Program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil atau sumber daya manusia, barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut, sebagai masukan untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk barang/jasa.

    56.

    Keluaran adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh Kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan Program dan kebijakan.

    57.

    Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya Keluaran dari Kegiatan dalam 1 (satu) Program.

    58.

    Sasaran adalah Hasil yang diharapkan dari suatu Program atau Keluaran yang diharapkan dari suatu Kegiatan.

    59.

    Kinerja adalah Keluaran/Hasil dari Program/Kegiatan yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.

    Pasal 24Tutup
    (1)

    Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga terkait melakukan penilaian atas RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6) huruf c dan RAP yang bersumber dari DTI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6) huruf d yang dialokasikan untuk provinsi.

    (2)

    Penilaian atas RAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara hasil penilaian dengan format yang tercantum dalam Lampiran huruf b yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    (3)

    Kementerian/lembaga terkait yang melakukan penilaian atas RAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal terdiri atas:

    a.

    Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi;

    b.

    Kementerian Kesehatan;

    c.

    Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;

    d.

    Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;

    e.

    Kementerian Perdagangan;

    f.

    Kementerian Perindustrian;

    g.

    Kementerian Ketenagakerjaan;

    h.

    Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif;

    i.

    Kementerian Pertanian;

    j.

    Kementerian Kelautan dan Perikanan;

    k.

    Kementerian Perhubungan;

    l.

    Kementerian Komunikasi dan Informatika;

    m.

    Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

    n.

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;

    o.

    Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

    p.

    Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; dan

    q.

    Badan Pangan Nasional, sesuai dengan kewenangannya.

    (4)

    Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan tugas masing-masing kementerian/lembaga sebagai berikut:

    a.

    Kementerian Keuangan melakukan penilaian atas:

    1.

    duplikasi RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan RAP yang bersumber dari DTI dengan RAP yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum;

    2.

    sinergi RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan RAP yang bersumber dari DTI dengan RAP yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum;

    3.

    penyusunan RAP yang telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan

    4.

    kesesuaian penggunaan TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dengan ketentuan dalam peraturan perundang- undangan.

    b.

    Kementerian Dalam Negeri melakukan penilaian atas:

    1.

    kesesuaian RAP dengan kewenangan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan

    2.

    penyusunan RAP yang telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.

    c.

    Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan penilaian atas:

    1.

    kesesuaian RAP dengan RAPPP, RPJMN, dan Rencana Kerja Pemerintah dengan memperhatikan hasil Musrenbang Otsus; dan

    2.

    penyusunan RAP yang telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus terkait RIPPP Provinsi Papua.

    d.

    kementerian/lembaga terkait melakukan penilaian atas:

    1.

    kewajaran harga satuan (unit cost) dan volume;

    2.

    duplikasi RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan RAP yang bersumber dari DTI dengan Program yang bersumber dari dana lainnya meliputi DAK fisik, DAK nonfisik, hibah ke Daerah, dan/atau belanja kementerian/lembaga;

    3.

    kesesuaian RAP dengan kewenangan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan

    4.

    penyusunan RAP yang telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.

    (5)

    Penilaian atas sinergi RAP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 dilaksanakan dengan memperhatikan:

    a.

    kesesuaian antara RAP yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    b.

    sinergi Program dan Kegiatan dalam kebijakan prioritas Program strategis bersama antara provinsi dan kabupaten/kota.

    (6)

    Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga terkait menyusun indikator dan kriteria penilaian sesuai tugas masing-masing kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    Thumbnail
    CIPTA KERJA Cipta Kerja | PERPAJAKAN | KEPABEANAN
    237/PMK.010/2020

    Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus

    • Ditetapkan: 30 Des 2020
    • Diundangkan: 30 Des 2020

    Relevan terhadap

    Pasal 9Tutup
    (1)

    Penentuan kesesuaian dalam pemenuhan kriteria untuk:

    a.

    Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan

    b.

    Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4), dilakukan secara daring melalui sistem OSS.

    (2)

    Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan pemberitahuan kepada Badan Usaha:

    a.

    bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, jika Badan Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); atau

    b.

    bahwa Penanaman Modal tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, jika Badan Usaha tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).

    (3)

    Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan pemberitahuan kepada Pelaku Usaha:

    a.

    bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, jika Pelaku Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4);

    b.

    bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, jika Pelaku Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) tetapi tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); atau

    c.

    bahwa Penanaman Modal tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, jika Pelaku Usaha tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4).

    (4)

    Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a, atau ayat (3) huruf b, dapat melanjutkan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan badan secara daring melalui sistem OSS.

    (5)

    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengunggah dokumen yang meliputi:

    a.

    salinan digital rincian aktiva tetap dalam rencana nilai Penanaman Modal;

    b.

    salinan digital atau dokumen elektronik surat keterangan fiskal para pemegang saham Badan Usaha atau Pelaku Usaha; dan

    c.

    salinan digital penetapan sebagai Badan Usaha untuk membangun dan/atau mengelola KEK dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, atau dari Administrator KEK berdasarkan pelimpahan kewenangan bagi Badan Usaha.

    (6)

    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah diterima secara lengkap, disampaikan oleh sistem OSS kepada Menteri sebagai usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan sistem OSS mengirimkan pemberitahuan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha bahwa permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sedang dalam proses.

    (7)

    Pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial.

    (8)

    Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan:

    a.

    bersamaan dengan pendaftaran untuk mendapatkan nomor induk berusaha bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha baru; atau

    b.

    paling lambat 1 (satu) tahun setelah Izin Usaha atau Perizinan Berusaha di KEK diterbitkan oleh Lembaga OSS.

    Pasal 8Tutup
    (1)

    Untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Badan Usaha harus memenuhi kriteria:

    a.

    merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha yang merupakan Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah);

    b.

    berstatus sebagai badan hukum Indonesia;

    c.

    memiliki Penanaman Modal yang belum pernah diterbitkan:

    1.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);

    2.

    keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;

    3.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus; atau

    4.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu; dan

    d.

    memiliki komitmen untuk merealisasikan penanaman modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial.

    (2)

    Untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

    a.

    merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha yang merupakan Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah);

    b.

    berstatus sebagai badan hukum Indonesia; dan

    c.

    memiliki Penanaman Modal yang belum pernah diterbitkan:

    1.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);

    2.

    keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;

    3.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;

    4.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;

    5.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan bagi perusahaan industri di kawasan industri dan perusahaan kawasan industri; dan

    6.

    pemberitahuan mengenai pemberian fasilitas perpajakan untuk penanaman modal yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan penghasilan netto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.

    (3)

    Dalam hal Pelaku Usaha melakukan Penanaman Modal pada KEK yang berlokasi di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha juga harus memenuhi komitmen untuk merealisasikan rencana Penanaman Modal dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.

    (4)

    Untuk dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

    a.

    merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha pada:

    1.

    Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) dan memilih untuk diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b;

    2.

    Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah); atau 3. Kegiatan Lainnya di KEK;

    b.

    berstatus sebagai badan hukum Indonesia; dan

    c.

    Penanaman Modal yang diajukan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan belum pernah diterbitkan:

    1.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);

    2.

    keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;

    3.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;

    4.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;

    5.

    keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan bagi perusahaan industri di kawasan industri dan perusahaan kawasan industri; dan

    6.

    pemberitahuan mengenai pemberian fasilitas perpajakan untuk penanaman modal yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan penghasilan netto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.

    (5)

    Dalam hal Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (4), Badan Usaha atau Pelaku Usaha harus melampirkan surat keterangan fiskal seluruh pemegang saham yang tercatat dalam akta pendirian atau akta perubahan terakhir.

    (6)

    Dalam hal terjadi perubahan pemegang saham, surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dimiliki oleh pemegang saham yang tercatat dalam akta perubahan terakhir.

    (7)

    Surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Paragraf 5 Prosedur Pengajuan Permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan

    Pasal 44Tutup
    (1)

    Pelaku Usaha Pusat Logistik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b merupakan Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan menimbun barang logistik asal luar Daerah Pabean dan/atau dari TLDDP dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali, dan dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana.

    (2)

    Kegiatan sederhana sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dapat berupa:

    a.

    pengemasan atau pengemasan kembali;

    b.

    penyortiran;

    c.

    standardisasi ( quality control );

    d.

    penggabungan ( kitting );

    e.

    pengepakan;

    f.

    penyetelan;

    g.

    konsolidasi barang tujuan ekspor;

    h.

    penyediaan barang tujuan ekspor;

    i.

    pemasangan kembali dan/atau perbaikan;

    j.

    maintenance pada industri yang bersifat strategis, termasuk pengecatan;

    k.

    pembauran ( blending );

    l.

    pemberian label berbahasa Indonesia;

    m.

    pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya atas Barang Kena Cukai;

    n.

    lelang barang modal;

    o.

    pameran barang;

    p.

    pemeriksaan dari lembaga atau instansi teknis terkait dalam rangka pemenuhan ketentuan pembatasan impor dan/atau ekspor;

    q.

    pemeriksaan untuk penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) oleh instansi teknis terkait dalam rangka impor dan/atau ekspor; dan/atau

    r.

    kegiatan sederhana lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

    (3)

    Pelaku Usaha Pusat Logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kegiatan penimbunan barang sesuai dengan jenis kegiatan usahanya.

    (4)

    Barang asal luar Daerah Pabean yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik ditujukan untuk:

    a.

    mendukung kegiatan industri di KEK, TPB, dan/atau Kawasan Bebas;

    b.

    mendukung kegiatan industri di TLDDP;

    c.

    diekspor;

    d.

    mendukung kegiatan industri yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, keringanan bea masuk, dan/atau pengembalian bea masuk berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan;

    e.

    mendukung kegiatan distribusi dan ketersediaan barang-barang di dalam negeri untuk program pemerintah; dan/atau

    f.

    mendukung kegiatan Industri Kecil Menengah (IKM) di KEK dan TLDDP.

    (5)

    Barang untuk mendukung kegiatan distribusi dan ketersediaan barang-barang tertentu di dalam negeri untuk program pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e, yaitu:

    a.

    barang keperluan industri yang tidak bisa diimpor langsung oleh perusahaan industri karena adanya ketentuan pembatasan impor, seperti bahan peledak untuk industri pertambangan;

    b.

    barang yang secara nyata mempengaruhi biaya produksi bagi industri di dalam negeri, meskipun peredaran barang tersebut tidak semata-mata untuk perusahaan industri, yaitu:

    1.

    bahan bakar minyak, listrik, atau gas;

    2.

    barang untuk keperluan proyek pembangunan infrastruktur; dan

    3.

    barang untuk keperluan industri pertambangan minyak dan gas;

    c.

    barang yang importasinya mempengaruhi kegiatan ekonomi digital; dan/atau

    d.

    barang yang importasinya dapat mempengaruhi kelangsungan industri dalam negeri, mempengaruhi hajat hidup orang banyak, berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, dan/atau mempengaruhi stabilitas ekonomi dan keamanan nasional.

    (6)

    Barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik diberikan waktu untuk ditimbun paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal pemasukan ke Pelaku Usaha Pusat Logistik.

    (7)

    Jangka waktu timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang dalam hal barang yang ditimbun di Pelaku Usaha Pusat Logistik merupakan barang untuk keperluan:

    a.

    operasional minyak dan/atau gas bumi;

    b.

    pertambangan;

    c.

    industri tertentu; atau

    d.

    industri Iainnya dengan izin Kepala Kantor Pabean.

    (8)

    Dalam hal barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik melewati jangka waktu timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), barang tersebut harus:

    a.

    diekspor kembali dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ekspor;

    b.

    dikeluarkan ke Pelaku Usaha Pengolahan di KEK, TPB, dan/atau Kawasan Bebas; atau

    c.

    dikeluarkan ke TLDDP dengan dilunasi bea masuk, cukai, dan/atau PDRI serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke TLDDP.

    (9)

    Dalam hal Pelaku Usaha Pusat Logistik tidak melakukan penyelesaian barang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak jangka waktu 3 (tiga) tahun dan/atau jangka waktu perpanjangan terlewati, izin Pelaku Usaha Pusat Logistik dibekukan sampai dengan dilakukan penyelesaian atas barang dimaksud.

    (10)

    Barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik, dapat dimiliki oleh:

    a.

    Badan Usaha KEK atau Pelaku Usaha di KEK;

    b.

    pemasok di luar Daerah Pabean; atau

    c.

    importir atau eksportir di dalam Daerah Pabean.

    (11)

    Pelaku Usaha Logistik wajib melakukan penyimpanan dan penatausahaan barang secara tertib, yang dapat diketahui jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan dan pengeluaran sediaan barang secara sistematis, serta posisisnya apabila dilakukan pencacahan ( stock opname ).

    (12)

    Dalam hal Pelaku Usaha Pusat Logistik menimbun barang yang dimiliki oleh pemasok di luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b, penentuan status Pelaku Usaha sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) mengikuti ketentuan sesuai dengan:

    a.

    persetujuan penghindaran pajak berganda, dalam hal negara/yurisdiksi pemasok ( supplier ) memiliki persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia; dan/atau

    b.

    ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, dalam hal negara/yurisdiksi pemasok tidak memilki persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia. __

    Thumbnail
    HUKUM UMUM
    PP 19 TAHUN 2022

    Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

    • Ditetapkan: 09 Mei 2022
    • Diundangkan: 09 Mei 2022

    Relevan terhadap

    Pasal 5Tutup

    Penyelenggaraan Dekonsentrasi Kepada GWPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi ketentuan: jdih.kemenkeu.go.id a. b.

    c.

    d.

    (1)

    (2) (1) (2) (3) lebih efektif dan efisien dilaksanakan oleh GWPP; daerah memiliki pelaksana yang lingkup tugas dan fungsinya sama dengan Urusan Pemerintahan yang didekonsen trasikan; daerah memiliki sarana dan prasarana serta personel untuk menyelenggarakan dekonsentrasi; dan tidak memerlukan biaya pendamping dari daerah. Pasal 6 Perencanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional dan sinkronisasi proses perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional. Penganggaran Dekonsentrasi Kepada GWPP dilaksanakan sesuai dengan:

    a.

    ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keuangan negara;

    b.

    sinergi kebijakan fiskal nasional; dan C. sinergi pendanaan pelaksanaan Urusan Pemerin tahan. Pasal 7 Penyelenggaraan Dekonsentrasi Kepada GWPP berupa pembinaan dan pengawasan umum dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Peraturan Menteri/Lembaga Pemerin tah non -Kernen terian. Penyelenggaraan Dekonsentrasi Kepada GWPP berupa pelaksanaan tugas dan wewenang GWPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. Peraturan Menteri/Lembaga Pemerintah non- Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negen.

    (4)

    (5) (6) (7) (1) (2) Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan. Peraturan Menteri/Lembaga Pemerintah non- Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lambat bulan November untuk penyelenggaraan Dekonsentrasi Kepada GWPP tahun anggaran berikutnya. Peraturan Menteri/Lembaga Pemerintah non- Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada GWPP sebagai dasar penetapan Keputusan Gubernur mengenai pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP. Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan paling lambat bulan Desember sebelum tahun pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP tahun anggaran berikutnya.

    Pasal 15Tutup

    Perencanaan Tugas Pembantuan Pusat dan Tugas Pembantuan Provinsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional. Penganggaran Tugas Pembantuan Pusat dilaksanakan sesuai dengan:

    a.

    ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keuangan negara;

    b.

    sinergi kebijakan fiskal nasional; dan C. sinergi pendanaan pelaksanaan Urusan Pemerintahan. Penganggaran Tugas Pembantuan Provinsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenru pengelolaan keuangan daerah. Pasal 16 Penyelenggaraan Tugas Pembantuan Pusat dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian kepada daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri/Lembaga Pemerintah non-Kementerian. Penyelenggaraan Tugas Pembantuan Provinsi kepada daerah kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Peraturan Menteri/Lembaga Pemerintah non- Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. Peraturan Menteri/Lembaga Pemerintah non- Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lambat bulan November untuk penyelenggaraan Tugas Pembantuan tahun anggaran berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id (5) (6) (7) (1) (2) Peraturan Menteri/Lembaga Pemerintah non- Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada gubernur dan/atau bupati/wali kata sebagai dasar penetapan Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Wali Kota mengenai tata cara penyelenggaraan Tugas Pembantuan Pusat dan Keputusan Gubernur dan/atau Keputusan Bupati/Wali Kata mengenai pelaksanaan Tugas Pembantuan Pusat. Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada bupati/wali kata sebagai dasar penetapan Peraturan Bupati/Wali Kata mengenai tata car a penyelenggaraan Tu gas Pembantuan Pravinsi dan Keputusan Bupati/Wali Kata mengenai pelaksanaan Tugas Pembantuan Provinsi. Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Wali Kata serta Keputusan Gubernur dan/atau Keputusan Bupati/Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan paling lambat bulan Desember sebelum tahun pelaksanaan Tugas Pembantuan tahun anggaran berikutnya.

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    COVID-19 Covid-19 | BIDANG BEA CUKAI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
    188/PMK.04/2020

    Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/ atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Pengadaan Vaksin dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ...

    • Ditetapkan: 26 Nov 2020
    • Diundangkan: 26 Nov 2020

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup
    a.

    bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID-19 ) merupakan ancaman yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang besar yang berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat;

    b.

    bahwa untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalam pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam penanggulangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu mengatur perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor vaksin, bahan baku vaksin dan peralatan yang diperlukan dalam produksi vaksin, serta peralatan untuk pelaksanaan vaksinasi guna penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);

    c.

    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID-19 ) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Pengadaan Vaksin dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    DANA DESA Dana Desa | HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
    222/PMK.07/2020

    Pengelolaan Dana Desa

    • Ditetapkan: 28 Des 2020
    • Diundangkan: 29 Des 2020

    Relevan terhadap

    Pasal 38Tutup
    (1)

    Dana Desa diprioritaskan penggunaannya untuk pemulihan ekonomi dan pengembangan sektor prioritas di Desa.

    (2)

    Pemulihan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa jaring pengaman sosial, Padat Karya Tunai, pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah, sektor usaha pertanian, dan pengembangan potensi Desa melalui Badan Usaha Milik Desa.

    (3)

    Pengembangan sektor prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengembangan Desa Digital, Desa Wisata, usaha budi daya pertanian, peternakan, perikanan, ketahanan pangan dan hewani, dan perbaikan fasilitas kesehatan.

    (4)

    Jaring pengaman sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa BLT Desa menjadi prioritas utama dalam penggunaan Dana Desa.

    (5)

    Prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kegiatan dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID- 19).

    (6)

    Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengenai prioritas penggunaan Dana Desa.

    Thumbnail
    DANA DESA Dana Desa | HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
    PMK 98 TAHUN 2023

    Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07 /2022 tentang Pengelolaan Dana Desa

    • Ditetapkan: 22 Sep 2023
    • Diundangkan: 25 Sep 2023

    Relevan terhadap

    Pasal 13Tutup
    (1)

    K riteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) huruf a, terdiri atas:

    a.

    Desa bebas dari korupsi pada semester I tahun anggaran 2023;

    b.

    Desa telah disalurkan Dana Desa nonBLT Desa tahap I tahun anggaran 2023; dan

    c.

    Desa menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2023.

    (2)

    Desa yang tidak memenuhi kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikutsertakan dalam penghitungan tambahan Dana Desa sebagai mana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7).

    (3)

    Dalam hal Desa tidak menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2023 sebagaimana d imaksud pada ayat (1) huruf c, Desa tetap memenuhi kriteria utama sepanjang kriteria pada ayat (1) huruf a dan huruf b terpenuhi serta tidak terdapat keluarga miskin pada desil 1 (satu) sesuai data angka kemiskinan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c.

    (4)

    Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) huruf b, terdiri atas kategori:

    a.

    kinerja Pemerintah Desa , yang terdiri atas:

    1.

    kinerja keuangan dan pembangunan Desa; dan 20 2 3 , No. 759 - 4 - 2. tata kelola keuangan dan akuntabilitas keuangan Desa; dan

    b.

    penghargaan Desa dari kementerian negara /lembaga.

    (5)

    Kategori kinerja keuangan dan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 terdiri atas dan memiliki bobot sebagai berikut:

    a.

    perubahan nilai indeks Desa membangun dari tahun 2022 ke t ahun 2023 dengan bobot 10% (sepuluh persen);

    b.

    k inerja penyaluran Dana Desa nonBLT Desa tahap I tahun anggaran 2023 dengan bobot 15% (lima belas persen);

    c.

    k inerja penyaluran BLT Desa bulan kesatu sampai dengan bulan ketiga tahun anggaran 2023 dengan bobot 10 % (sepuluh persen);

    d.

    k inerja penyampaian peraturan kepala Desa atau keputusan kepala Desa mengenai penetapan keluarga p enerima manfaat BLT Desa tahun anggaran 2023 dengan bobot 5% (lima persen) ; dan

    e.

    kinerja realisasi konsolidasi belanja APBDes semester ke du a terhadap anggaran tahun anggaran 2022 dengan bobot 10% (sepuluh persen) .

    (6)

    Kategori tata kelola keuangan dan akuntabilitas keuangan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 terdiri atas dan memiliki bobot sebagai berikut :

    a.

    ketersediaan lapo ra n konsolidasi realisasi APBDes semester kedua tahun anggaran 2022 dengan bobot 15% (lima belas persen);

    b.

    ketersediaan APBDes tahun anggaran 2023 dengan bobot 25% (dua puluh lima persen);

    c.

    kelengkapan penyampaian laporan realisasi APBDes tahun anggaran 2023 u ntuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei dengan bobot 5% (lima persen); dan

    d.

    kelengkapan penyampaian Laporan Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah (DTH) dan Rekapitulasi Transaksi Harian Belanja Daerah (RTH) tahun anggaran 2023 untuk bulan Januari samp ai dengan bulan Mei dengan bobot 5% (lima persen).

    (7)

    Kategori penghargaan Desa dari kementeria n negara /lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:

    a.

    Anugerah Desa Wisata Indonesia tahun 2022;

    b.

    Desa Digital tahun 2023;

    c.

    Desa One Village One P ro duct tahun 2023 ;

    d.

    Pemenang Kepala Desa Perempuan Inspiratif tahun 2022;

    e.

    Desa Percontohan An ti Korupsi tahun 2021 sampai dengan tahun 2023; dan 20 2 3 , No. 759 5 - f. Desa Devisa tahun 2022 dan tahun 2023 yang diresmikan sebelum tanggal 30 Juni 2023.

    (8)

    Data kriteria utama dan kri ter ia kinerja tahun berjalan yang digunakan untuk penghitungan tambahan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) bersumber dari kementerian negara /lembaga terkait dan/atau Pemerintah Daerah.

    (9)

    Sumber data dalam pengalokasian tambahan Dana Desa s eba gaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), sebagai berikut:

    a.

    data n ama dan kode Desa bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;

    b.

    surat permohonan penghentian penyaluran Dana Desa atas penetapan kepala Desa dan/atau perangkat Desa sebagai tersa ngk a penyalahgunaan Dana Desa kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pada semester pertama tahun anggaran 2023 dari bupati/wali kota;

    c.

    data Desa sudah salur Dana Desa nonBLT Desa tahap I tahun anggaran 2023 bersumber dari A pl ikasi OM - SPAN Kementerian Keuangan;

    d.

    data Desa menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2023 bersumber dari A plikasi OM SPAN Kementerian Keuangan;

    e.

    data nilai i ndeks Desa embangun tahun 2022 dan tahun 2023 bersumber dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Te rtinggal, dan Transmigrasi;

    f.

    data kinerja penyaluran Dana Desa nonBLT Desa tahun anggaran 2023 bersumber dari A plikasi OM - SPAN Kementerian Keuangan;

    g.

    data kinerja penyaluran BLT Desa bulan kesatu sampai dengan bulan ketiga tahun anggaran 2023 bersumber da ri A plikasi - SPAN Kementerian Keuangan;

    h.

    data kinerja penyampaian peraturan kepala Desa atau keputusan kepala Desa mengenai penetapan keluarga penerima manfaat BL T Desa tahun anggaran 2023 bersumber dari A plikasi OM - SPAN Kementerian Keuangan;

    i.

    data laporan ko nsolidasi realisasi APBDes semester kedua tahun anggaran 2022 bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;

    j.

    data APBDes tahun anggaran 2023 bersumber dari Kementeri an Keuangan;

    k.

    data kelengkapan penyampaian laporan realisasi APBDes t ahun anggaran 2023 untuk bu lan Januari sampai dengan bulan Mei bersumber dari Kementerian Keuangan;

    l.

    data kelengkapan penyampaian laporan Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah (DTH) dan R ekapitulasi Transaksi Harian Belanja Daerah (RTH) tahun anggaran 2023 untuk bulan 20 2 3 , No. 759 - 6 - Januari sam pai dengan bulan Mei bersumber dari Kementerian Keuangan;

    m.

    data kinerja realisasi belanja terhadap anggaran APBDes semester kedua tahun anggaran 2022 pada lapor an konsolidasi realisasi APBDes bersumber dari Kementerian Dalam Negeri ;

    n.

    data penerima Anugera h De sa Wisata Indonesia tahun 2022 bersumber dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif;

    o.

    data Desa Digital tahun 2023 bersumber dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

    p.

    data Desa One Village One Product tahun 2023 bersum ber dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

    q.

    data pemenang Kepala Desa Perempuan Inspiratif tahun 2022 bersumber dari Kemente rian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

    r.

    data Desa percontohan Anti Korupsi tahun 202 1 sampai dengan tahun 2023 bersumber dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; dan

    s.

    data Desa Devisa tahun 2022 dan tahun 2 023 sampai dengan tanggal 30 Juni 2023 bersumber dari Lembaga Pembiayaan Ek s por Indonesia.

    (10)

    Dalam ran gka penghitungan Dana Desa pada tahun anggaran berjalan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan permohonan data kriteria utama dan kriteria kinerja tahun berjalan kepada kementerian negara /lembaga dan/atau Pemerintah Daerah .

    (11)

    Data kriteria ut ama dan kriteria kinerja yang digunakan dalam penghitungan Dana Desa pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan dat a yang telah diterima oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat pada hari kerja terakhir bul an A gustus 2023, kecuali untuk data sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b, huruf j, huruf k, dan huruf l, paling lambat hari kerja terakhir b ulan Juni 2023 .

    3.

    antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal , yakni Pasal 13A sehingga berbunyi seba gai berikut:

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PAJAK
    UU 10 TAHUN 2020

    Bea Meterai

    • Ditetapkan: 26 Okt 2020
    • Diundangkan: 26 Okt 2020
    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
    PMK 34 TAHUN 2023

    Tata Cara Pemberian Penjaminan Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah

    • Ditetapkan: 24 Mar 2023
    • Diundangkan: 27 Mar 2023

    Relevan terhadap

    Pasal 7Tutup
    (1)

    Terhadap permohonan Penjaminan Pemerintah yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dilakukan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dengan berkoordinasi dengan unit terkait lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan.

    (2)

    Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan Badan Usaha Penjaminan.

    (3)

    Dalam melakukan evaluasi bersama dengan Badan Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta konfirmasi kapasitas penjaminan Badan Usaha Penjaminan.

    (4)

    Badan Usaha Penjaminan menyampaikan konfirmasi atas kapasitas penjaminan Badan Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan konfirmasi dari Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara.

    (5)

    Evaluasi dilakukan sejak permohonan Penjaminan Pemerintah dan seluruh lampiran yang menjadi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), telah diterima secara lengkap dan benar oleh Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara.

    (6)

    Evaluasi dilakukan dengan cara:

    a.

    memeriksa kelengkapan dokumen beserta seluruh lampirannya;

    b.

    memeriksa informasi terkait:

    1.

    peruntukan Pinjaman; dan

    2.

    kelayakan penugasan Penyelenggara CPP, c. melakukan verifikasi terhadap syarat dan ketentuan (terms and conditions ) di dalam rancangan perjanjian Pinjaman; dan

    d.

    dalam hal Pinjaman diperuntukkan bagi kegiatan investasi, pemeriksaan dilakukan terhadap studi kelayakan yang terdiri atas:

    1.

    aspek teknis sehubungan dengan dapat tidaknya kegiatan investasi dilaksanakan dari sisi teknis;

    2.

    manfaat ekonomi dari kegiatan investasi, yang dicerminkan dari manfaat langsung maupun tidak langsung kegiatan investasi terhadap masyarakat dan/atau terhadap fiskal (APBN);

    3.

    manfaat keuangan yang dicerminkan oleh penurunan biaya dan/atau peningkatan laba dari Pemohon Jaminan; dan

    4.

    dokumen mengenai analisis dampak lingkungan dan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (7)

    Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara mempertimbangkan Batas Maksimal Penjaminan.

    (8)

    Dalam rangka pelaksanaan evaluasi, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta keterangan atau penjelasan dari Pemohon Jaminan.

    (9)

    Dalam rangka pelaksanaan evaluasi, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menggunakan pinjaman Pemerintah dan/atau pinjaman BUMN yang mendapatkan Penjaminan Pemerintah sebagai pembanding untuk menilai kewajaran syarat dan ketentuan (terms and conditions ) Pinjaman yang dijamin.

    (10)

    Syarat dan ketentuan (terms and conditions ) yang diperbandingkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) meliputi:

    a.

    harga ( pricing ) Pinjaman;

    b.

    jangka waktu Pinjaman; dan

    c.

    syarat dan ketentuan (terms and conditions ) Pinjaman lainnya.

    (11)

    Hasil evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah dituangkan dalam berita acara evaluasi dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.

    (12)

    Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan rekomendasi kepada Menteri untuk dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas:

    a.

    syarat dan ketentuan (terms and conditions ) perjanjian Pinjaman; dan

    b.

    usulan pihak yang akan melakukan penjaminan.

    (13)

    Usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf b terdiri atas:

    a.

    Pemerintah;

    b.

    Pemerintah bersama dengan Badan Usaha Penjaminan; atau

    c.

    Badan Usaha Penjaminan.

    (14)

    Dalam hal Pinjaman yang diajukan oleh Penyelenggara CPP diberikan subsidi, tingkat suku bunga yang dikenakan oleh Pemberi Pinjaman sebelum diberikan subsidi merupakan tingkat suku bunga yang telah disetujui oleh Pemerintah berdasarkan persetujuan syarat dan ketentuan (terms and conditions ) Pinjaman.

    • 1
    • ...
    • 16
    • 17
    • 18
    • ...
    • 72