Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka Penggab ...
Relevan terhadap
Wajib Pajak menggunakan nilai pasar atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
Untuk kepentingan perpajakan, Wajib Pajak dapat menggunakan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha, setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Penggabungan usaha yang dapat menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
penggabungan dari 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada salah satu Wajib Pajak badan yang tidak men1punyai sisa kerugian fiskal atau mempunyai sisa kerugian fiskal yang lebih kecil dan membubarkan Wajib Pajak badan yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut; atau
penggabungan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mengalihkan seluruh harta dan kewajiban badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dan membubarkan badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang mengalihkan harta dan kewajiban terse but.
Peleburan usaha yang dapat menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
peleburan dari 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru di Indonesia dan mengalihkan selun1h harta dan kewajiban kepada Wajib Pajak badan baru serta membubarkan Wajib Pajak badan yang melebur tersebut; atau
peleburan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara n1endirikan badan usaha baru di Indonesia dan mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada badan usaha baru serta membubarkan badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dan Wajib Pajak badan dalam negeri yang melebur tersebut.
Pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu pemisahan satu Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham menjadi 2 (dua) Wajib Pajak badan dalam negeri atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi usaha yang lama.
Wajib Pajak yang dapat melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu:
Wajib Pajak yang belum Go Public yang bermaksud melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering);
Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang selun1h badan usaha basil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Ojf ering);
Wajib Pajak badan yang melakukan pe1nisahan unit usaha syariah dalam rangka menjalankan kewajiban pemisahan usaha berdasarkan ketentuan peraturan perundang ^- undangan;
Wajib Pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran mendapatkan tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); dan
Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia sepanjang pemekaran dilakukan terkait pembentukan perusahaan induk Badan Usaha Milik Negara (holding).
Pengambilalihan usaha yang dapat menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu penggabungan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang menjalankan kegiatan di bidang usaha bank dengan Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mengalihkan seluruh atau sebagian harta dan kewajiban Bentuk Usaha Tetap kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dan membubarkan Bentuk U saha Tetap terse but.
Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Penyelesaian Piutang lnstansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dengan Mekanisme ...
Relevan terhadap
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022, perlu diatur tata cara penyelesaian piutang instansi pemerintah yang diurus/dikelola oleh panitia urusan piutang negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara khususnya piutang terhadap usaha mikro, kecil, menengah, dan piutang berupa kredit pemilikan rumah sederhana/rumah sangat sederhana, serta piutang instansi pemerintah dengan jumlah sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa untuk mempercepat penyelesaian piutang negara pada instansi pemerintah dan untuk memberikan keringanan kepada penanggung utang di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dimuat dalam tata cara penyelesaian piutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur kembali penyelesaian piutang negara dengan mekanisme crash program tahun anggaran 2022;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dengan Mekanisme Crash Program Tahun Angaran 2022;
Peraturan Menteri ini mengatur Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) yang diselesaikan dengan mekanisme Crash Program meliputi Piutang Instansi Pemerintah Pusat dengan Penanggung Utang: a . perorangan atau badan hukum/badan usaha yang menjalankan Usaha Mikro, Kecil, atau Menengah (UMKM) dengan pagu kredit paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); b . perorangan yang menerima kredit pemilikan rumah sederhana/rumah sangat sederhana (KPR RS/RSS) dengan pagu kredit paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau c . perorangan atau badan hukum/badan usaha sampai dengan sisa kewajiban sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), yang pengurusannya telah diserahkan kepada PUPN dan telah diterbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) sampai dengan 31 Desember 2021.
Dalam hal kewajiban utang dalam bentuk mata uang asing, batasan sisa kewajiban utang sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dihitung berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal surat persetujuan keringanan utang.
Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1) huruf c, Crash Program berupa pemberian keringanan utang tidak dapat diberikan terhadap: a . Piutang Negara yang berasal dari aset kredit eks Bank Dalam Likuidasi (BDL); dan b . Piutang Negara yang terdapat jaminan penyelesaian utang berupa asuransi, surety bond , bank garansi dan/atau bentuk jaminan penyelesaian setara lainnya, kecuali jaminan tersebut sudah tidak efektif, kadaluwarsa atau kondisi lainnya sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai jaminan penyelesaian Piutang Negara.
Dalam hal terdapat jaminan penyelesaian utang berupa asuransi, surety bond , bank garansi dan/atau bentuk jaminan penyelesaian setara lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, KPKNL meminta konfirmasi kepada Penyerah Piutang untuk memastikan status/kondisi/masa berlaku jaminan penyelesaian utang tersebut.
Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dikirimkan:
ke alamat kantor KPKNL; atau
secara elektronik ke alamat surat elektronik ( e-mail ) KPKNL;
Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi berupa:
kartu identitas Penanggung Utang/Penjamin Utang/ahli waris; dan
dokumen pendukung.
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa:
surat keterangan dari pejabat yang berwenang pada kantor kelurahan/kantor kepala desa/kantor kecamatan/dinas pemerintah daerah atau instansi yang berwenang yang menerangkan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan seluruh utang tanpa pemberian keringanan; atau
surat keterangan dari pejabat yang berwenang pada kantor kelurahan/kantor kepala desa/kantor kecamatan/dinas pemerintah daerah atau instansi yang berwenang bahwa Penanggung Utang saat mengajukan permohonan Crash Program merupakan pelaku Usaha Mikro, Kecil, atau Menengah (UMKM) atau penerima kredit pemilikan rumah sederhana/rumah sangat sederhana (KPR RS/RSS).
Dalam hal permohonan tertulis diajukan oleh Penjamin Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa:
surat keterangan dari pejabat yang berwenang pada kantor kelurahan/kantor kepala desa/kantor kecamatan atau pejabat yang berwenang pada instansi yang berwenang, yang menerangkan Penanggung Utang tidak diketahui keberadaan/tempat tinggalnya; dan
surat pernyataan bermeterai cukup dari Penjamin Utang yang diketahui oleh pejabat yang berwenang pada kantor kelurahan/kantor kepala desa/kantor kecamatan tempat domisili Penjamin Utang, yang berisi:
kesanggupan untuk memenuhi seluruh ketentuan Crash Program keringanan utang;
bertanggung jawab secara penuh jika terjadi gugatan dari Penanggung Utang, ahli waris atau pihak ketiga lainnya baik secara pidana, perdata atau tata usaha negara, termasuk gugatan terhadap penyerahan asli dokumen kepemilikan barang jaminan; dan
membebaskan KPKNL dan Penyerah Piutang dari seluruh gugatan baik pidana, perdata atau tata usaha negara dari Penanggung Utang, ahli waris atau pihak ketiga lainnya, termasuk gugatan terhadap penyerahan asli dokumen kepemilikan barang jaminan.
Dalam hal surat keterangan dari pejabat yang berwenang pada kantor kelurahan/kantor kepala desa/kantor kecamatan/dinas pemerintah daerah atau instansi lainnya yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) huruf a tidak dapat diperoleh, maka dapat digantikan dengan surat pernyataan dari Penanggung Utang/Penjamin Utang/Ahli waris yang dikuatkan/diketahui/dibenarkan oleh pejabat yang berwenang pada kantor kelurahan/kantor kepala desa/kantor kecamatan/dinas pemerintah daerah atau instansi yang berwenang tersebut.
Dikecualikan dari ketentuan adanya dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) untuk Penanggung Utang yang sudah diurus oleh PUPN lebih dari 10 (sepuluh) tahun sejak diterbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N), dengan didukung surat pernyataan dari Penanggung Utang/Penjamin Utang/ahli waris disertai 2 (dua) orang saksi yang berisi ketidakmampuan Penanggung Utang untuk menyelesaikan seluruh utang tanpa pemberian keringanan.
Dalam hal diajukan oleh ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c, permohonan tertulis dilengkapi dengan surat keterangan waris, fatwa waris atau akta notaris.
Dalam hal permohonan tidak dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7) maka permohonan tidak dapat diproses lebih lanjut oleh KPKNL.
Penanggung Utang, Penjamin Utang, atau ahli waris yang mengajukan permohonan bertanggung jawab atas kebenaran formil maupun materiil dalam persyaratan administrasi, surat keterangan, surat pernyataan dan/atau bukti sebagai ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (7).
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Dit ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 86 halaman. Putusan Nomor 8 P/HUM/2021 3. Bahwa PPh final merupakan bentuk kekhususan yang mengutamakan penyederhanaan penghitungan pajak sehingga Wajib Pajak lebih mudah memenuhi kewajiban perpajakannya; 4. Bahwa salah satu ketentuan yang mengatur tentang pengenaan tarif final yang merupakan peraturan turunan dari Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, dan perseroan terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 Miliar dalam 1 (satu) Tahun pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pada dasarnya merupakan fasilitas untuk mempermudah Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya berupa kemudahan dalam menghitung dan membayar pajak; 5. Bahwa secara faktual, para pelaku UMKM di Indonesia banyak yang belum mampu melaksanakan pembukuan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sehingga hal tersebut berdampak pada kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan mereka, antara lain ketidakpatuhan dalam mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak setempat, ketidakmampuan dalam menghitung besarnya pajak terutang, ketidakpatuhan dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Hal ini mengakibatkan para pelaku UMKM menjadi kelompok Wajib Pajak yang rentan melakukan penghindaran pajak; 6. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka perlu memberikan stimulus kepada masyarakat khususnya pelaku UMKM untuk memiliki kepatuhan sukarela dengan adanya penentuan tarif rendah dan penyederhanaan administrasi perpajakan dengan tarif PPh final sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 8 dari 86 halaman. Putusan Nomor 8 P/HUM/2021 Pajak Penghasilan, dimana pada intinya wajib pajak membayar kewajibannya dibidang pajak berdasarkan dari pembukuan/ keuntungan yang diterima dan dilaporkan selambat-lambatnya pada akhir pembukuan pajak dengan melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, dalam Pelaksanaannya paling lambat pada tanggal 30 April tahun pajak berjalan; 29.Bahwa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 Pasal 4 pembayaran wajib pajak harus dilakukan setiap bulan berjalan, dan apabila wajib pajak tidak melakukan pembayaran setiap bulan maka akan dikenakan sanksi pajak; 30.Bahwa bagaimana mungkin suatu peraturan pemerintah membuat aturan sendiri yang malah bertentangan dengan Undang–Undang Pajak Penghasilan, bukankah suatu peraturan pemerintah merupakan aturan untuk melaksanakan suatu undang–undang; 31.Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 membuat norma tersendiri yang berbeda dengan Undang – Undang Pajak Penghasilan mengenai suatu badan usaha yang peredaran usahanya di bawah 4, 8 Milyar; 32.Bahwa oleh karena itu menurut Pemohon Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, malah mematikan usaha kecil karena pemberian pajak sangat besar untuk Tahun pajak 2015 kewajiban Pemohon 48.427.503/223.426.135 x 100 % = 21,674 persen; 33.Bahwa penerapan kewajiban pajak berbeda perlakuan dengan pasal 21. Pasal 25, dan Pasal 29 Undang-Undang Pajak Penghasilan dimana kewajiban pajak di hitung dari 12.5 % x penghasilan yang didapatkan; 34.Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 menjadi momok yang sangat menakutkan bagi dunia usaha kecil atau UMKM sebagai perbandingan Pemohon sudah melaporkan kewajiban Tahun 2016 dan 2017 ada perselisihan yang sangat signifikan apabila penerapan pajak berdasarkan Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29; 35.Bahwa untuk Tahun Pajak 2016 kewajiban Pemohon (Bukti P-14) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 86 halaman. Putusan Nomor 8 P/HUM/2021 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Hal tersebut sesuai prinsip perpajakan yang menganut asas netralitas dalam rangka menciptakan keadilan dalam berusaha ( level of playing field ) dan tidak diskriminatif sehingga keputusan bisnis tidak akan berubah akibat adanya pertimbangan aspek perpajakan; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 ini diharapkan menjadi fasilitas yang secara tepat menyasar Wajib Pajak yang termasuk pelaku UMKM. Penyesuaian tarif PPh final yang lebih rendah dari sebelumnya menjadi 0,5% menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap UMKM. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 ini juga diatur jangka waktu tertentu pemberlakuannya karena diharapkan para pelaku UMKM tersebut tidak selamanya dalam skala mikro dan kecil namun dapat terus meningkat skala usahanya; 10.Ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 menerapkan model presumptive regime dalam perpajakan yaitu metode pemajakan berbasis perkiraan. Presumptive regime merupakan suatu bentuk pendekatan pengenaan pajak yang diterapkan dalam ekonomi yang pelaku usahanya masih memiliki keterbatasan kemampuan baik administrasi maupun pembukuan. Penerapan skema presumptive pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 menggunakan omzet sebagai proxy penghasilan. Presumsi yang digunakan adalah pemerintah menganggap bahwa sektor ini secara rata-rata akan menghasilkan net profit margin dengan nilai tertentu sehingga tarif pajak yang digunakan apabila menyelaraskan dengan tarif pajak standar adalah 0,5% final; 11.Penerapan skema presumptive berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tersebut pada dasarnya telah memperhitungkan agar pajak yang dibayarkan oleh pelaku usaha berbanding lurus dengan omzet pada kegiatan usaha Wajib Pajak. Sehingga apabila Wajib Pajak mengalami kenaikan omzet, maka PPh yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak juga akan mengalami kenaikan, begitu juga sebaliknya. Skema presumptive yang dipakai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30
Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia. ...
Relevan terhadap
bahwa untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia dalam rangka pelaksanaan penjaminan kredit usaha rakyat bagi kelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor riil oleh usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, perlu melakukan penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia;
Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan ...
Relevan terhadap
Untuk tujuan perpajakan, Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c yang merupakan bagian dari stelsel pengakuan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf a, dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak tertentu.
Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
secara komersial berhak menyelenggarakan Pembukuan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi usaha mikro dan kecil; dan b. merupakan Wajib Pajak:
orang pribadi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf c, tetapi memilih atau diwajibkan menyelenggarakan Pembukuan; atau 2. badan yang memiliki peredaran bruto dari usaha tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 didasarkan pada jumlah keseluruhan peredaran bruto dari setiap jenis dan/atau tempat usaha pada Tahun Pajak sebelumnya.
Stelsel kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu metode penghitungan yang didasarkan pada transaksi secara tunai, dengan ketentuan:
penghasilan diakui apabila telah diterima secara tunai dalam suatu Tahun Pajak; dan
biaya diakui apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu Tahun Pajak.
Penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk tujuan perpajakan merupakan stelsel campuran dan harus tetap melaksanakan ketentuan sebagai berikut:
penghitungan jumlah penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas termasuk penjualan dalam suatu Tahun Pajak harus meliputi seluruh transaksi, baik tunai maupun bukan tunai;
penghitungan harga pokok penjualan harus memperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan, baik transaksi tunai maupun bukan tunai; dan
perolehan harta yang dapat disusutkan dan/atau hak-hak yang dapat diamortisasi karena mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, hanya dapat dikurangkan dari penghasilan melalui penyusutan dan/atau amortisasi.
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap
Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
PKB;
BBNKB; dan
Pajak MBLB. Pasal 82 Wajib Pajak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 menrpakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:
PKB;
BBNKB; dan
Pajak MBLB. Pasal 83 (1) Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
Opsen PKB sebesar 66Vo (enam puluh enam persen);
Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
Opsen Pajak MBLB sebesar 25o/o (dua puluh lima persen), dihitung dari besaran Pajak terutang. (2) Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda. Pasal 84 (1) Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 16 Bagi Hasil Pajak Provinsi Pasal 85 (1) Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 7070 (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota. (2) Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota.
Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). (4) Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota. (5) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat(21, dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut:
PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
PAP dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air; dan
Pajak Rokok dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Perda provinsi. Paragraf L7 Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya Pasal 86 (1) Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
PKB dan Opsen PKB;
PBJT atas Tenaga Listrik;
Pajak Rokok; dan
PAT, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2\ diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Retribusi Paragraf 1 Jenis dan Objek Retribusi Pasal 87 (1) Jenis Retribusi terdiri atas:
Retribusi Jasa Umum;
Retribusi Jasa Usaha; dan
Retribusi Pedzinan Tertentu. (2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah. (3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. (a) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/ dinikmati. Paragrel 2 Jenis Pelayanan Retribusi Pasal 88 (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a meliputi:
pelayanankesehatan;
pelayanan kebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan
pengendalian lalu lintas. (2) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. (3) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf b meliputi:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c meliputi:
persetujuan bangunan gedung;
penggunaan tenaga kerja asing; dan
pengelolaan pertambangan ralgrat.
Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaim4na dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Daerah. (6) Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. (7) Retribusi pengelolaan pertambangan ralgiat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan ralqrat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara. (8) Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (9) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) antara lain:
Objek Retribusi;
Subjek dan Wajib Retribusi;
Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi; dan
Tata cara penghitungan Retribusi. Pasal 89 Ketentuan lebih lanjut mengenai Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Tata Cara Penghitungan Retribusi Pasal 90 Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. FFTE S I DEN REPUELIK INDONESIA Pasal 91 Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Pasal 92 (1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. (21 Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. Pasal 93 (1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. (2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi. (3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan dengan Perkada. Bagian Ketiga Muatan Perda tentang Pajak dan Retribusi Pasal 94 Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar Disahkan di Ja}arta pada tanggal 5 Jan: uari 2022 ttd JOKO WTDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR l TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung ^jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. 2 Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2\ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 3 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. 4 Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
TKD TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. 5 Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiska1 sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber- sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Se1ain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. 6 Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.
Pengelolaan Belanja Daerah Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optima,l mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output danf alau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penJrusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang- Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja. 7 Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasdn. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan frskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defrsit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur. 8 Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan- pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan, contoh:
kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasa] 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Ayat (t) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Ma"ss Rapid. Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu alrtara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
Toko 2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup je1as. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggu.naannya. Hurufj Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud penggunaan Air pengambilan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. "pemanfaatan" adalah ^kegiatan di sumbernya tanpa dilakukan dengan Tanah Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup je1as. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 3O%o (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat 12) Cukup je1as. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 23 Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit. Ayat (9) Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup je1as. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu. 24 Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 111 Cukup je1as. Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan ^uprovinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasa1 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksterna-litas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup je1as. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan'kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 120 Bagian dari 9O%o (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;
kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;
kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan' kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas. Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geogralis dan perekonomian Daerah. Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK. Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot provinsil x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Provi = CF Provi ICF ^Prov dimana, CF Provinsil ICF ^Provinsi = Celah Fiskal untuk provinsil. = iumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi. Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota1 = Bobot kabupaten/kota1 x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. Ayat (2) CF Kab / Kotai Bobot Kab/Kota,= ^_Vp XatlXon dimana, CF kabupaten/kota.1 Celah Fiskal untuk kabupaten/kota1. jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. CF'kabupaten dan kota Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH. Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. 33 Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangu.nan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^ulokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah. Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 153 . Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Ayat (2) Cukup jelas. 40 Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (s) Cukup je1as. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cgclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
proyeksi penurunan pendapatan negara fDaerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan lagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan arggaran, dan pelaporan. Pasal L77 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian outputatas program-program prioritas nasional dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 180 Cukup ^jelas. Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas. 43 Pasal 186 Cukup ^je1as. Pasa1 187 Cukup ^jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal 190 Cukup ^jelas. Pasal 191 Cukup ^jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Taman Mini Indonesia Inda ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 132 halaman. Putusan Nomor 18 P/HUM/2022 2020, adalah "menyelenggarakan dukungan teknis dan administrasi serta analisis urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan untuk membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara." 5. Di samping itu, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 4 ayat (2) huruf c UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Kementerian Sekretariat Negara merupakan kementerian yang lebih ditujukan untuk penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Bunyi selengkapnya Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 2008 menegaskan: “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.” Adapun ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008 berbunyi: “(2) Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.” Sedangkan urusan BMN lebih merupakan wewenang dalam kaitannya dengan keuangan negara, yang berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 2008 tidak mempunyai fungsi pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah, karena fungsi itu hanya dapat dijalankan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 2 ayat (4), ayat (7) dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2021 ten ...
Relevan terhadap 9 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 13 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 Selanjutnya di dalam Pasal 20 dinyatakan “Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan terhadap penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak Pra Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, berlaku sampai tanggal 31 Desember 2022.” 2. Bahwa Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 85 Tahun 2021 sebagaimana dimaksud di atas menggantikan ketentuan peraturan sebelumnya, yaitu PP Nomor 75 Tahun 2015, terutama Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 berikut dengan Lampirannya, yang dapat dikutip sebagai berikut: Pasal 5 Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a berupa pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil perikanan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini dikenai kepada perusahaan perikanan di bidang penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dengan menggunakan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berukuran di atas 30 (tiga puluh) Gross Ton (GT) yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas. Pasal 6 (1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a berupa pungutan hasil perikanan atas izin penangkapan ikan untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut operasi penangkapan ikan baru atau perpanjangan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini dikelompokkan menjadi skala kecil, _skala menengah, dan skala besar; _ (2) Ketentuan mengenai kriteria dan pengelompokan skala kecil, skala menengah, dan skala besar sebagaimana dimaksud pada Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 Garam Kecil, termasuk keluarga Nelayan dan Pembudi Daya Ikan yang melakukan pengolahan dan pemasaran; dan b. membebaskan pungutan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman, baik berupa pajak maupun retribusi bagi Nelayan Kecil, Pembudi Daya Ikan Kecil atau Petambak Garam Kecil, termasuk keluarga Nelayan dan Pembudi Daya Ikan yang melakukan pengolahan dan pemasaran; 6. Bahwa ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 mengatur dan menjamin secara tegas bahwa nelayan kecil tidak dikenakan pungutan perikanan, akan tetapi ketentuan dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 justru memberikan pungutan kepada nelayan kecil karena mengatur pungutan terhadap kapal s.d. 60 GT dikenakan tarif sebesar 5 %; Bahwa di dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud Nelayan Kecil adalah: “Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi hidup sehari-hari”. Bahwa di dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud Nelayan Kecil adalah: “Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).” Bahwa di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, yang dimaksud Nelayan Kecil adalah sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 2,5 % untuk ukuran kapal 60 (enam puluh) GT ke atas. (Skala Besar) PP Nomor 75 Tahun 2015: 5 % untuk ukuran kapal 30 (tiga puluh) GT s.d. 60 (enam puluh) GT. (Skala Kecil) 10 % untuk ukuran kapal 60 (enam puluh) GT s.d. 200 (dua ratus) GT.(Skala Menengah) 25 % untuk ukuran kapal di atas 200 (dua ratus) GT. (Skala Besar) PP Nomor 85 Tahun 2021: 5 % untuk ukuran kapal sampai dengan 60 (enam puluh) GT 10 % untuk ukuran kapal di atas 60 (enam puluh) GT 5. Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4) huruf b dan Lampiran PP Nomor 85 Tahun 2021 yang mengatur Pungutan Penarikan Pasca Produksi bagi Kapal Penangkap Ikan yang berukuran s.d. 60 GT, mengakibatkan Kapal Nelayan Kecil yang menggunakan kapal dengan ukuran berapapun juga dikenakan Pungutan Hasil Perikanan Pasca Produksi sebesar 5 %, bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Pasal 36 ayat (1) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam: Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009: “Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.” Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016: (1) Penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi dilakukan dengan: a. membebaskan biaya penerbitan perizinan yang terkait dengan Penangkapan Ikan, Pembudidayaan Ikan, pengolahan dan pemasaran dan usaha pergaraman bagi Nelayan Kecil, Pembudi Daya Ikan Kecil, atau Petambak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini diundangkan. mulai berlaku pada tanegal Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. 34 orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam kmbaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2O22 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2022 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 217 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44TAHUN2022 TENTANG PENERAPAN TERHADAP PA.JAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUAI.,AN ATAS BARANG MEWAH I. UMUM Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pengaturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 l.entang Harmonisasi Peraturan Perpajakan meliputi pengaturan tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, program pengungkapan sukarela wajib pajak, pajak karbon, dan cukai. Dengan Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2O2l tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat pengaturan mengenai tarif, cara menghitung, penggunaan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai, serta penunjukan pihak lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak, yang perlu diatur lebih lanjut. Selain itu, pengaturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2O2l tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha sudah tidak sesuai dengan kebutuhan administrasi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta pengaturan dalam Undang-Undalg Nomor 7 Tahun 2021 terftang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, melakukan penyederhanaan administrasi, memberikan kemudahan dan keadilan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada wajib pajak, dan melakukan simplifrkasi regulasi, perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Talrun 2OL2 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2OO9 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2O2l tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha. il Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan, penegasan, dan penjelasan lebih lanjut atas pengaturan mengenai kerja sama operasi, tanggung ^jawab secara renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma, penyerahan yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang, penyerahan Barang Kena Pajak berupa agunan yang diambil alih oleh kreditur, penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah, ketentuan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, konversi kurs atas transaksi dengan mata uang selain Rupiah, pengkreditan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan penunjukan pihak lain untuk memungut, menyetor, dan/atau melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup ^jelas. Pasa] 2 Ayat ^(1) Cukup ^jelas, Ayat (2) Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualaa atas Barang Mewah terlaksana secara efektif, sudah sewajarnya apabila Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 3 Ayat (1) Bentuk pengaturan bersama merupakan pengaturan 2 (dua) pihak atau lebih yang memiliki pengendalian bersama yang terdiri atas kerja sama operasi (joint operation) dan ventura bersama. Ayat (2) Contoh bentuk kerja sama operasi ya.rg wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT ABC dan PI DEF membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO A-D dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan (pemilik proyek). Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak danlalau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama KSO A-D, Berdasarkan hal di atas:
KSO A-D wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
KSO A-D wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan; dan
apabila dalam rangka kerja sama operasi tersebut, PT ABC atau PT DEF melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan, maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada KSO A-D, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada KSO A-D dan KSO A-D membuat Faktur Pajak kepada pelanggan. Contoh bentuk kerja sama operasi yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT X dan PI Y membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO X-Y dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan. Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama PT X. Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan proyek ini, KSO X-Y tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat ^(1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Contoh pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak berupa pemberian barang untuk promosi oleh suatu perusahaan kepada relasi bisnis atau pihak lain. Sedangkan contoh pemberian cunra-cuma Jasa Kena Pajak berupa pemberian baatuan penggunaan alat berat oleh perusahaan jasa persewaan alat berat kepada masyarakat. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 7 Sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa penyerahan ^jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
^jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah ^jasa harus dikonsumsi atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak. Contoh 1: A Corp. yang berdomisili di Jepang lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas ^jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PI B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 8 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "aktivitas operasional" merupakan aktivitas penghasil utama pendapatan Pengusaha Qtincipal reuenue producing actiuitiesl dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan. Termasuk dalam kategori aktivitas operasional adalah transaksi dan peristiwa atau kejadian yang efeknya ikut dipertimbangkan dalam penentuan laba rugi operasional (operating incomel. Yang dimaksud dengan "aktivitas nonoperasional" merupakan aktivitas selain aktivitas operasional sebagaimana dimaksud di atas. Contoh: PT DEF merupakan perusahaan ^jasa konstruksi. Selain melakukan penyerahan jasa konstruksi, PT DEF ^juga menyewakan sebagian ruang kantornya untuk kafetaria kepada pihak lain. Atas penyerahan ^jasa konstruksi termasuk dalam pengertian aktivitas operasional, sedangkan penyerahan jasa persewa€rn ruangan untuk kafetaria termasuk dalam pengertian aktivitas nonoperasional. Pasal 9 Cukup ^jelas. Pasal 1O Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh l: Sehubungan dengan tidak dapat diselesaikannya kewajiban Tuan A sebagai debitur kepada Bank B sebagai kreditur, Bank B melakukan eksekusi agunan berupa kavling tanah milik Tuan A berdasarkan hak tanggungan atas tanah tersebut. Bank B melakukan penjualan kavling tanah tersebut kepada Tuan C sebagai Pembeli melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Penjualan kavling tanah oleh Bank B kepada T\ran C termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: PI D sebagai kreditur merupakan perusahaan pembiayaan yang melakukan eksekusi objek pembiayaan berupa sepeda motor dari Tuan E sebagai debitur berdasarkan ^jaminan Iidusia. PT D melakukan penjualan sepeda motor tersebut kepada Tuan F sebagai Pembeli melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan harga antara PT D dan T\ran E sebelum agunan dijual. Penjualan sepeda motor oleh PT D kepada Tuan F termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^je1as. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan ^opembebanan sejenis lainnya" merupakan pembebanan yang memiliki fungsi yang sama atau serupa dengan hak tanggungan, ^jaminan lidusia, hipotek, atau gadai. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup ^jelas. REPUE|JK IHDONESIA Pasal 12 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah" antara lain:
penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk, termasuk penyerahan Barang Kena Pajak ke dan dari perusahaan penerbit sukuk (special ptrpose entity; dan
penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah di bursa komoditi dengan mekanisme perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah, yang terjadi dalam rangka memenuhi prinsip syariah. Barang Kena Pajak yang diserahkan dalam rangka penerbitan sukuk merupakan aset sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal syariah. Contoh penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk: PT A sebagai emiten menerbitkan sukuk ijarah yang didasarkan pada objek ijarah berupa kendaraan sebagai underlging dan pada saat yang bersamaan investor menyerahkan sejumlah dana kepada PT A. Atas penerbitan sukuk tersebut, PT A mengalihkan kendaraan kepada investor dan investor menerima manfaat objek ijarah dari PT A. PT A melakukan pembayaral sewa berupa ctcilan fee ijarah secara periodik sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan beserta sisa pe ijarah pada saat jatuh tempo sukuk. Investor mengalihkan kendaraan kepada PT A pada saat jatuh tempo sukuk. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan kendaraan yang merupakan objek ijarah dalam rangka penerbitan sukuk oleh:
PT A kepada investor pada saat penerbitan sukuk; dan
investor kepada PT A pada saat ^jatuh tempo sukuk, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pqiak. Contoh perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah: T\ran A sebagai nasabah Bank Syariah B mengajukan permohonan pinjaman sebesar RpI0O.OOO.OOO,OO (seratus juta rupiah) kepada Bank Syariah B yang merupakan peserta komersial di pasar komoditi syariah. Atas permohonan tersebut, dalam rangka memenuhi prinsip syariah, Bank Syariah B membeli Crude Palm OiI (CPO) dari anggota kelompok pedagang C yang terdiri atas pedagang 1, pedagang 2, darr pedagang 3 yang merupakan peserta pedagang komoditi di pasar komoditi syariah. Salah satu anggota kelompok pedagang C menyerahkan CPO kepada Bank Syariah B dan Bank Syariah B melakukan pembayaran sebesar Rp1O0.O0O.0O0,O0 (seratus ^juta rupiah) kepada anggota kelompok pedagang C. Kemudian, Bank Syariah B menjual CPO tersebut senilai Rpl10.00O.0O0,O0 (seratus sepuluh ^juta rupiah) kepada T\ran A dan Tuan A membayar secara angsuran selama 1 (satu) tahun sesuai kesepakatan dalam akad murabahah. Selanjutnya, T\ran A menjual CPO tersebut kepada anggota kelompok pedagang C seharga Rp1O0.OOO.00O,00 (seratus juta rupiah) sehingga CPO yang menjadi objek perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah kembali kepada pihak yang sama yaitu anggota kelompok pedagang C. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan CPO oleh:
aflggota kelompok pedagang C kepada Bank Syariah B;
Bank Syariah B kepada T: an A; dan
Tuan A kepada anggota kelompok pedagang C, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Dalam Dalam hal pemilik asal CPO tidak mendapatkan kembali CPO dalam jumlah dan nilai yang sama maka transaksi tersebut termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 13 Cukup ^jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh: PT ABC merupakan produsen Barang Kena Pajak A yang tergolong mewah, Dalam menghasilkan Barang Kena Pajak A, PT ABC juga membeli Barang Kena Pajak B yang tergolong mewah yang akan dipasang pada Barang Kena Pajak A yang dihasilkannya. Atas perolehan Barang Kena Pajak B tersebut, PT ABC telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sehsar Rp4SO.OO0,OO (empat ratus lima puluh ribu rupiah). Apabila harga produksi Barang Kena Pajak A sebesar RpI6O.0O0.O00,O0 (seratus enam puluh juta rupiah) dan keuntungan yang diinginkan PT ABC sebesar Rp4O.000.O00,OO (empat puluh juta rupiah) maka Harga Jual Barang Kena Pajak A tersebut sebesar Rp200,450.000,00 (dua ratus juta empat ratus lima puluh ribu rupiah). Pada tanggal I September 2022, PT ABC melakukan penyerahan Barang Kena Pajak A. Dengan demikian, pajak yang terutang atas penyerahan tersebut: Pajak Pertambahan Nilai (tarif yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai) = llo/oX Rp2OO.45O.O0O,O0 = Rp 22.O49.5OO,OO Pajak Penjualan atas Barang Mewah $anf 2O%l = 2Oo/oX Rp20O.450.00O,00 = Rp40.O90.000,O0 Ayat (3) Contoh 1: PT X yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT A dengaa Harga Jual sebesar Rp1OA.0O0.O0O,OO (seratus ^juta rupiah) pada tanggal 1 September 2022. Atas penjualan tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 207o (dua puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp10O.0OO.000,00 (seratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PI A yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak (Harga Jual) = Rp100.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai = Rp 11.000.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 20.0O0.000.00 ^+ Jumlah yang dibayar oleh PI A = Rp131.000.00O,00 Contoh 2: PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan nilai impor sebesar Rp2O0.000.00O,00 (dua ratus ^juta rupiah) pada tanggal I September 2022. Atas impor tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 30% (tiga puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp2OO.O0O.0O0,O0 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PT C yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak (nilai impor) = Rp2OO.OOO.OOO,O0 Pajak Pert^ambahan Nilai = Rp 22.0OO.OO0,OO Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 6O.O0O.OOO.0O ^+ Jumlah yang dibayar oleh PT C = Rp282.OO0.OOO,0O REFUBLjK INDONESIA Ayat (4) Contoh 1 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT A menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PI B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas ^juta rupiah) pada tanggal 30 September 2O22. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PT B yaitu sebagai berikut: Harga beli PT A = Rp100,000.0O0,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Ro 15.000.000.00 ^+ Dasar pengenaan pajak = Rp135.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai 1l% x Rp135.000.000,00 Jumlah yang dibayar oleh PI B = Rp149.850.000,00 Contoh 2 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) pada tanggal 30 September 2O22. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT D yaitu sebagai berikut: Nilai impor PI C = Rp2O0.OOO.OOO,O0 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 60.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Rp 40.000.0O0.00 ^+ Dasar pengenaan pajak = Rp3O0.00O.OO0,O0 Pajak Pertambahan Nilai 11olo x Rp3OO.OO0.0OO,00 - Rp 33.0O0.000.00 ^+ Jumlah yang dibayar oleh PI D = Rp333.000.000,00 + REI'UEUK INDONESIA Pasal 15 Ayat (1) Dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, Menteri dapat menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor oleh:
Pengu.saha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu antara lain yang:
mengalami kesulitan dalam Pajak Masukan;
melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maupun pembayarannya; atau
memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dilakukan dengan mekanisme normal; dan/atau
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu. Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu" merupakan:
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam rangka perluasan basis pajak; dan
Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut pada prinsipnya telah diperhitungkan atau dianggap telah dikreditkan dalam penghitungan Pajak Keluaran dengan menggunakan besaran tertentu. Bagi ELIK INDONESIA Bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa yang seharusnya sudah membayar Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, dapat mengkreditkan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan. Ayat (a) Contoh l: Pf KLM merupakan Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu. Dalam hal F,f KLM melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu kepada Pengusaha yang berada di kawasan tertentu sehingga Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak dipungut maka:
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dihitung dengan menggunakan besaran tertentu;
Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dipungut; dan
Pajak Masukan yang diperoleh PT KLM atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Pajak Pertambahan Nilai terutangnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan. Contoh 2: Pt CDE merupakan Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam I (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu dan menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang. PT CDE melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Atas penyerahan tersebut:
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan menggunakan besaran tertentu; REPUBUK TNDONESIA atas penyerahan Barang Kena Pajak dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; dan Pajak Masukan yang diperoleh PT CDE atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan. Pasal 16 Untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan menghindari pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu, diperlukan pengaturan penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,O0 (nol rupiah). Pada prinsipnya, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak juga menganut prinsip penghindaran pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda. Oleh karena itu, penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,0O (nol rupiah) tersebut pada dasarnya ^juga diterapkan atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma- cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pqiak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu. Contoh: b c Yl KZL mempunyai 1 (satu) cabang yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh, tetapi tidak melakukan pemusatan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang. W Y\ZL melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas dan aksesoris kendaraan bermotor kepada cabangnya yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh. Harga pokok penjualan atau harga perolehan kendaraan bermotor bekas yang diserahkan sebesar Rp10O.0OO.O00,0O (seratus juta rupiah) dan harga pokok penjualan atau harga perolehan aksesori kendaraan bermotor yang diserahkan sebesar Rp1.5OO.O00,OO (satu juta lima ratus ribu rupiah). Oleh karena itu, atas penyerahan berupa:
kendaraan bermotor bekas, Pf KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai menggunakan besaran tertentu dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,00 (nol rupiah); dan
aksesori kendaraan bermotor, W KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai Iain sebesar harga pokok penjualan atau harga perolehan sebesar Rp1.50O.000,OO (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "'I- merupakan besamya tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau formula tertentu dikalikan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "t" merupakan besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah. REPTIELIK INDONESIA Ayat (3) Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui: Harga Jual = Rp10.0OO.OO0,OO Dasar pengenaan pajak dalam contoh ini adalah = Rp10.OOO.0O0,OO Ayat (a) Contoh sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3) maka Pajak Pertambahan Nilai yang tenrtang yaitu sebesar 117o x Rp1O.0O0.O00,00 = Rp1. 1O0.00O,0O. Atas penyerahan tersebut ^juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 2OYo (dua puluh persen) maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang yaitu sebesar 2O% x Rp10.000.000,00 = Rp2.000.000,00. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasa] 18 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal I September 2022, PT A membuat kontrak penyerahan Barang Kena Pajak. Apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis dinyatakan bahwa nilai kontrak sebesar Rp131.000.0O0,O0 (seratus tiga puluh satu ^juta rupiah) sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 11% (sebelas persen) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 2Oo/o (dua puluh persen), penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai = 110/o : - --+ x Rp131.000.000,00 = Rp11.000.000,00 llooo/o+ ^1 ^lYo|+2oo/o Pajak Penjualan atas Barang Mewah = 2Oo/o x Rp131.0OO.00O,00 = Rp20.000.0O0,00 ll00o/o+ ^l ^lYol+2oo/o REPUBIJK INDONESIA Ayat (3) Sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan P4lak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, besarnya dasar pengenaan pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp 131.000.OO0,0O (seratus tiga puluh satu ^juta rupiah) sehingga penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak = Rp131.0O0.O0O,00 Pajak Pertambahan Nilai (llo/o x Rp131.000.000,00) = Rp 14.410.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (2Oo/o x Rp131.000.000,00) = Rp 26.20O.000'0O Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "piutang" merupakan piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Contoh: Pada bulan September 2022, Yl A telah menjual Barang Kena Pajak dengan nilai Rp10O.000.O00,00 (seratus ^juta rupiah) kepada PT B dengan mekanisme penjualan kredit. Transaksi tersebut oleh PI A dicatat sebagai piutang sedangkan oleh PT B dicatat sebagai utang. Untuk kepentingan ^pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, PI A membuat Faktur Pajak dengan nilai Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp11.00O.00O,00 (sebelas ^juta rupiah) dan menyerahkan Faktur Pajak tersebut kepada PI B. Selanjutnya Faktur Pajak yang telah dibuat oleh PT A tersebut telah dilaporkan baik oleh PI A dan PT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022. Pada FRES: DEN REFUEUK INDONESIA Pada bulan Desember 2022, Yl A mengeluarkan kebijakan untuk menghapus semua piutang dari PT B. Penghapusan piutang tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan baik oleh PT A maupun FT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ^ukeadaan kahar" atau force majeure merupakan suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya yang meliputi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Keadaan kahar atau force majeure tersebut harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang. Pasal 20 Ayat {1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup ^jelas. Huruf b Contoh 1: PT A melakukan penyerahan barang yang tidak dikenai pajak kepada PT B dengan nilai sebesar Rp1.000.00O.000,00 (satu miliar rupiah). Atas transaksi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PI B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rp110.000.000,0O (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh PT B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Contoh 2: Contoh 2: PI A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.5OO.0OO,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan ha1 tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang telah di t dan disetor ke kas negara = Rp2.500.000,00 ak bahan Nilai yang dipungut dan disetor negara Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Huruf c Contoh 1: PT A melakukan penyerahan ^jasa yang tidak dikenai pajak kepada PI B dengan nilai sebesar Rp1.000.000.00O,00 (satu mitar rupiah). Atas transalsi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PT B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rpl10.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh Pt B sebagai pihakyang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Contoh2: ke kas Selisih = Rp2.200.000.00 - = Rp 3O0.O00,00 Contoh 2: PT A melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.5OO.000,00 (dua ^juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan hal tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor ke kas negara = Rp2.5O0.O0O,00 Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut dan disetor ke kas negara Selisih = Rp 300.00O,OO Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Pasal 21 Contoh 1: Atas transaksi tersebut PT A telah menerbitkan faktur penjualan (inuoicel namun belum membuat Faktur Pajak. Faktur Pajak baru dibuat oleh PI A pada tanggal 20 September 2022. Kurs yang digunalan oleh PT A atas Faktur Pajak yang diterbitkan pada tanggal 20 September 2022 harus menggunakan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp14.500,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,0O (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022. Contoh 2: PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT B dengan nilai sebesar US$10.000,00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 1 September 2O22 dengan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku saat itu sebesar Rp14.500.00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 20 September 2022 diketahui bahwa Faktur P4jak yang dibuat atas transaksi tersebut memuat kekeliruan dalam pencantuman jenis Barang Kena Pajak. Atas kesalahan tersebut, PT A melakukan pembetulan Faktur Pajak dengan cara membuat Faktur Pajak pengganti pada tanggal 2O September 2022 dengan tetap mencantumkan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak yang diganti seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp14.5OO,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022. Pasal 22 Ayat (l) Yang dimaksud dengan ^otempat pengkreditan Pajak Masukan' merupakan di tempat Pengusaha diadministrasikan oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak. Contoh: E: I-tlI,T{Il REI'UBUK INOONESIA Contoh: PT A yang berkedudukan di Kabupaten Gresik dan telah diadministrasikan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Gresik, melakukan impor Barang Kena Pajak melalui pelabuhan Tanjung Perak di Kota Surabaya. Atas impor Barang Kena Pajak tersebut, PT A mengkreditkan Pajak Masukan di Kabupaten Gresik dan tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kota Surabaya. Ayat (2) Contoh: Pengusaha Kena Pajak A yang kantor pusatnya di Kota Jakarta Pusat dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di Kota Surakarta dan terdaJtar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Pemberitahuan impor barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan nomor pokok wajib pajak kantor pusat di Kota Jakarta Pusat. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Kota Surakarta dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam pemberitahuan impor barang tersebut. Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pralrtik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum maka: a penyerahan barang bergerak dapat terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat hak penguasaan barang telah berpindah kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli; dan
perpindahan hak penguasaan atas barang dapat ^juga te{adi pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau Pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha ^jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahaa Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai darr Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat barang diserahkan kepada juru kirim, pengusaha ^jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan (inuoiel sebagai sumber dokumennya. Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan (inuoiel dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara Iisik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Falrtur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan {inuoiel ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Yang dimaksud dengan "faktur penjualan" antara lain dokumen lain yang berfungsi atau kedudukannya sama dengan faktur penjualan linuoiel, Huruf b Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat tenrtang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan 'persediaan" merupakan persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah ^jadi , danf atau persediaan barang ^jadi. Huruf e Yang dimaksud dengan "penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha" merupakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan sebagaimana diatur dalam undang- undang mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "pemekaran dan pemecahan usaha" merupakan pemisahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" merupakan berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak merupakan ^qmmanditaire uentwotschap kemudian berubah menjadi perseroan terbatas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Penyerahan Jasa Kena Pajak tefadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkal prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan (inuoiel dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualai (inuoice) dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (1o) Cukup ^jelas. Pasal 24 Ayat (1) Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, yaitu penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara:
consignor menitipkan Barang Kena Pajak kepada consignee; dan
consignee menyerahkan Barang Kena Pajak yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pembeli dimaksud. Berdasarkan ketentuan ini, penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh consignor tidak terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung untuk dititipkan kepada @ns@rae, tetapi terjadi pada saat con signor mengakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjuaTan linuoie) oleh Pengusaha Kena Pajak onsigrar, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Penentuan saat pembuatan Faktur Pajak dilakukan untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi ^yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten. Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak. Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:
Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak. Contoh l: PT Aman menyerahkan Barang Kena Pajak secara langsung kepada T.ran Igna pada tanggal 15 September 2022. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PI Aman membuat Faktur Pajak pada tanggal 15 September 2022, yaitu pada saat diserahkan secara langsung kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli. Contoh 2: PI Berkah yang berkedudukan di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Ceria di Surabaya dengan syarat pengiriman (term of deliueryl loco gudang penjual $ree on board shipping pointl. Barang Kena Pajak dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim ke gudang Pf Ceria pada tanggal 12 September 2022 dengan menggunakan perugahaan ekspedisi dengan tanggal deliuery order (DOl 12 September 2022. Barang diterima oleh PT Ceria pada tanggal 14 September 2022, Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Berkah membuat Faktur Pajak pada tanggal 12 September 2022, yaitu pada saat diserahkan kepada ^juru kirim atau pengusaha ^jasa angkutan. Tanggal tersebut merupakan saat pembuatan Faktur Pajak karena transaksi menggunakan syarat pengiriman (term of deliueryl looo gudang penjual (free on board shipping pointl. DaIam 2 Dalam hal pada contoh 1 dan contoh 2 di atas, faktur penjualan (inuoicel diterbitkan tidak pada tanggal penyerahan secara langsung atau pada saat diserahkan kepada ^juru kirim atau pengusaha ^jasa angkutan karena kondisi tertentu, maka Faktur Pajak wajib dibuat pada saat penerbitan faktur penjualan (inuoicel. Penerbitan faktur penjualan (inuoiel tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Contoh 3: PT Cantik di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of deliueryl franm gtdang Pembeli (free on board destinationl, Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 1.2 September 2022 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 September 2O22. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (inuoiel pada tanggal 16 September 2O22. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, FT Cantik wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 13 September 2022 yaitu pada saat diterima oleh Pembeli atau paling lambat tanggal 16 September 2O22 yaitu pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak. Contoh 1: Pedanjian ^jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 September 2022. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 Desember 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 Desember 2022. Jlka sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerima barang. Contoh2: 3 Contoh 2: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2022. Faktur Pajak hanrs dibuat pada tanggal 1 September 2022. Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau ^penerima barang. Contoh 3: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2O22. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 Oktober 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2O22. Penyerahan Jasa Kena Pajak. Contoh 1: PT Semangat menyewakan 1 (satu) unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun. Dalam kontrak, disepakati antara lain:
PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2022. b. Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rp12O.0O0.00O,00 (seratus dua puluh ^juta rupiah). c. Pembayaran sewa, yaitu tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29 September dengan pembayaran sebesar Rp 1 0. OOO.OO0,OO (sepuluh juta rupiah) per tahun. Pada tanggal 29 September 2022, PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk tahun pertama. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp1O.0O0.O00,00 (sepuluh juta rupiah). Contoh2: Contoh 2: PT Toryrng mengontrak Firma Cerah Konsultan untuk memberikan ^jasa konsultansi manajemen dan pelatihan kepada staf pemasaran PT Torytrng selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar Rp60.O0O.OO0,OO (enam puluh juta rupiah). Pembayaran jasa konsultansi al<an dilakukan setiap bulan. Firma Cerah Konsultan mulai memberikan ^jasa konsultansi pada tanggal 1 September 2022. Pada tanggal 10 Oktober 2022, Firma Cerah Konsultan menerbitkan faktur penjualan (inuoice) untuk menagih pembayaran ^jasa konsultansi bulan September 2022 sebesar Rp10.000.00O,00 (sepuluh ^juta rupiah). PT Toryrng melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Oktober 2022. Atas transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 1O Oktober 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp10.OOO.OOO,OO (sepuluh ^juta rupiah) (sesuai denga.n nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 2O Oktober 2022. Contoh 3: Matriks saat pembuatan Faktur Pajak untuk beberapa contoh penyerahan di bidang ^jasa telekomunikasi, yaitu sebagai berikut: No. Periode Pemakaian/ Penyerahan Jasa Kena Pajak Periode Pengakuan Penghasilan Saat Diakui Penghasilan Penerbitan Faktur Penjualan (Inuoicel Paling Lambat Faktur Pajak Dibuat 1a 1-30 September 2O22 I-30 September 2022 1-30 September 2022 1-30 September 2022 26 Agustus -25 September 2022 September 2022 September 2022 September 2022 30 September 2022 30 September 2022 1b 1-30 September 2022 5 Oktober 2022 5 Oktober 2022 1c 1-30 September 2022 31 Oktober 2022 31 Oktober 2022 2 26 Agustus - 25 September 2022 September 2022 5 Oktober 2022 5 Oktober 2022 3 16 Agustus - 15 September 2022 16 Agustus -15 September 2022 Agustus 2022 20 September 2022 20 September 2022 4 16 Agustus - 15 September 2022 16 Agustus -15 September 2022 September 2022 20 September 2022 20 September 2022 5 16 Agu.stus - 15 September 2022 16 -31 Agustus 2022 Agustus 2022 31 Agustus 2022 31 Agustus 2022 1- 15 September 2022 September 2022 15 September 2022 15 September 2022 4 Penyerahan sebagian tahap pekerjaaa (pembayaran termin). Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborongan bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat pembuatan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut: Umumnya, pekerjaan ^jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergera-k lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum ^jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (21 Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada Penerima Jasa. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan meskipun pembayaran lunas jasa pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh:
Tanggal 1 September 2022, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20olo (dua puluh persen). 2. Tanggal 3 Oktober 2022, pekerjaan selesai 2Oo/o (dua puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-1. 3. Tanggal 1 November 2022, pekerjaan selesai 5O7o (lima puluh persen), diterima pembayaran tahap ke- 2. tersebut belum diterima oleh iiTT{f.I{Il REPUBLIK TNDONESIA 4 5 Tanggal 21 November 2022, peke4aan selesai 80o/o (delapan puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-3. Tanggal 25 Januari 2023, pekeqaan selesai looo/o (seratus persen), bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan. 6. Tanggal 1 Februari 2023, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) dari harga borongan. 7. Tanggal 1 Agustus 2023, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan. Pada angka I sampai dengan angka 4, Pqjak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (uang muka dan pembayaran termin), sedangkan pada angka 5 sampai dengan angkaT, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Januari 2023 atay, saat ^jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan ang)<a 7 tidak perlu diperhatikan karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Cara penentuan saat pembuatan Faktur Pajak tersebut di atas juga berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang penerimaan pembayarannya terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak datlatau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut. Ayat (2) Pada dasarnya, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1a) dan ayat (2a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, apabila Pengusaha Kena Pajak terlambat membuat Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d ^juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tetapi tanpa ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Dengan demikian, untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan ^juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 1: PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada T\ran B yang Faktur Pajaknya seharusnya dibuat pada tanggal 1 September 2O22. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 1 Desember 2O22. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 30 November 2O22. Contoh2: EEtrFIEtrN [iTfiIFItIilIrIiENtrEIA Contoh 2: CV C yang merupakan Pengusaha Kena Pajak menerima pembayaran uang muka dari PT D pada tanggal 2O September 2O22 untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2022. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 2O Desember 2O22. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 19 Desember 2O22. Contoh 3: PT E yang menrpakan Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa kali penyerahan Barang Kena Pajak kepada CV F selama bulan September 2Q22. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT E memilih membuat Faktur Pajak gabungan sehingga Faktur Pajak gabungan dimaksud seharusnya dibuat paling lama pada tanggal 30 September 2O22. Namun, tanggal pembuatan Faltur Pajak yang tercantum dalam Faktur P4iak gabungan yaitu 3O Desember 2022, Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 29 Desember 2022. Ayat (3) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dianggap tidak dibuat. Na.mun, Faktur Pajak yang dianggap tidak dibuat tersebut tetap wajib dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak tersebut dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (4) Cukup ^jelas, Pasal 27 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat ^(2) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Faktur Pajak yang mencantumkan identitas Pembeli atau Penerima Jasa berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Faktur Pajak yang tidak mencantumkan nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak Pembeli atau Penerima Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal ^g ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak dimaksud merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak orang pribadi sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Contoh: PT X yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada T\ran V pada tanggal 31 Desember 2024. Faktur Pajak dibuat oleh PI X pada tanggal 3l Desember 2024. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai naik dari lLo/o (sebelas persen) menjadi l2o/o (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tetap menggunakan tarif 11% (sebelas persen) karena saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai dan Faktur Pajak dibuat sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Hurufb Contoh: Yl Z yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada T\ran Y pada tanggal 31 Desember 2024. Namun, Faktur Pajak dibuat oleh FT X pada tanggal I Januari 2025. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 taif Pajak Pertambahan Nilai naik dari I Lo/o (sebelas persen) menjadi l2o/o (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak menggunakan tarif l2o/o (dua belas persen) karena Faktur Pajak dibuat sejak tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, meskipun saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "konsumen akhir" menrpakan pembeli barang dan/atau penerima ^jasa yang mengonsumsi secara langsung barang dan/atau ^jasa yang dibeli atau diterima dan tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau ^jasa dimaksud untuk kegiatan usaha. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup ^jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas.
Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-1 ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang selanjutnya disingkat BNPB adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden yang dibentuk dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Kawasan yang Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor adalah perusahaan yang menerima fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Industri Kecil Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan __ perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Orang adalah orang perseorangan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan hukum, atau non badan hukum.
Kantor Bea dan Cukai adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.