Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa oleh Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandem ...
Relevan terhadap
Anggaran Belanja Subsidi BM DTP atas impor dan pengeluaran Barang dan Bahan untuk memproduksi barang dan/atau jasa Industri Sektor Tertentu bersumber dari:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan; dan/atau
perubahan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam hal berdasarkan sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kebutuhan untuk melakukan pergeseran anggaran untuk penyediaan alokasi anggaran, pergeseran anggaran dimaksud mengacu pada ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai:
tata cara penggunaan dan pergeseran anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pengelolaan belanja lainnya (BA 999.08); dan
pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Berdasarkan penetapan pergeseran alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPA menyampaikan usulan revisi anggaran dan/atau penerbitan DIPA BUN kepada Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN BA 999.07 dengan dilampiri dokumen pendukung antara lain sebagai berikut:
kerangka acuan kerja ( Term of Reference /TOR) untuk tiap pengeluaran ( output ) kegiatan;
rincian anggaran biaya;
hasil reviu aparat pengawas internal Pemerintah pada kementerian teknis; dan
data dukung lainnya yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Revisi anggaran dan/atau penerbitan DIPA BUN mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai:
tata cara revisi anggaran Tahun Anggaran 2020; dan/atau b. tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bagian anggaran bendahara umum negara serta pengesahan DIPA BUN.
Untuk memudahkan dalam perencanaan kegiatan, koordinasi pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi kinerja, termasuk pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar program dalam penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19), pengalokasian dana penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dilakukan berdasarkan klasifikasi akun khusus COVID-19.
Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran
Relevan terhadap
Pasal 80 (1) Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur aktif di bidang Telekomunikasi dan/atau Penyiaran dapat membuka akses pemanfaatan infrastruktur dimaksud kepada penyelenggara Penyiaran berdasarkan kesepakatan melalui kerja sama para pihak dengan mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Penyelenggara multipleksing dapat bekerja sama dengan penyelenggara multipleksing lainnya dan/atau penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dalam rangka penggunaan bersama infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 81 (1) LPP, LPS, dan/atau LPK menyediakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing. (2) Dalam hal LPP Televisi Republik Indonesia atau LPS jasa Penyiaran televisi menjadi penyelenggara multipleksing, penyediaan program siaran dari LPP Televisi Republik Indonesia atau LPS jasa Penyiaran televisi tersebut disalurkan melalui slot multipleksingnya sendiri. (3) Penyelenggara multipleksing wajib memenuhi permohonan penyewaan slot multipleksing dari LPP, LPS, dan latau LPK sepanjang slot multipleksing masih tersedia dan memenuhi syarat penyewaan slot multipleksing yang ditetapkan oleh penyelenggara multipleksing. (4) Penyelenggara multipleksing wajib menetapkan syarat penyewaan slot multipleksing yang memenuhi prinsip keterbukaan akses dan non-diskriminatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mekanisme penyewaan sisa slot multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dan ^ayat ^(3) dilaksanakan berdasarkan pengumuman Penyelenggaraan Multipleksing ^yang ditetapkan ^oleh Menteri. (6) Menteri dapat menetapkan pemanfaatan ^penggunaan multipleksing dan/atau slot multipleksing ^yang ^tidak dimanfaatkan oleh penyelenggara multipleksing. Pasal 82 (1) Penghitungan tarif sewa slot multipleksing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ^yang dilakukan oleh penyelenggara multipleksing ^wajib mengacu pada formula tarif serta ^memperoleh persetujuan Menteri untuk ditetapkan. (21 Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi. Pasal 83 (1) Penyelenggara multipleksing wajib mempublikasikan pembukaan peluang kerja sama dan informasi mengenai slot multipleksing ^yang dikelolanya untuk disewakan kepada LPP, LPS , danf atau ^LPK. (21 Informasi mengenai slot multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) wajib memuat ^paling ^sedikit:
^jenis layanan sewa slot multipleksing;
wilayah layanan siaran;
kapasitas slot multipleksing ^yang tersedia;
tarif sewa slot multipleksing ^yang ^dihitung berdasarkan tata cara perhitungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
kualitas layanan (qtalitg of seruice);
prosedur f. prosedur penyediaan layanan ^sewa ^slot multipleksing; dan
syarat penyewaan slot multipleksing. (3) Informasi mengenai slot multipleksing ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 wajib ^disampaikan ^secara terbuka paling sedikit melalui situs ^web ^resmi ^dari penyelen ggar a multiPleksin ^g. Pasal 84 Menteri menetapkan ^penomoran ^penyelenggaraan Penyiaran bagi lembaga Penyiaran ^setelah ^mendapatkan IPP.
(21 (3) (4) Pasal 85 Pemerintah membantu ^penyediaan alat ^bantu penerimaan siaran (set-top-box/ STB) kepada ^rumah tangga miskin agar dapat ^menerima ^siaran ^televisi secara digital melalui terestrial. Penyediaan alat bantu ^penerimaan ^siaran ^(set-top- box/ STB) kepada rumah tangga miskin ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari ^komitmen penyelenggara multipleksing. Dalam hal penyediaan alat bantu ^penerimaan ^siaran (set-top-box/ STB)sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(21 tidak mencukupi, dapat berasal ^dari:
Anggaran Pendapatan dan ^Belanja ^Negara ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan; dan/atau
sumber lainnya yang sah sesuai ^dengan ^ketentuan peraturan perundang-undangan. Kriteria penerima alat bantu ^penerimaan ^siaran ^(set- top-box/ STB) dan mekanisme ^pendistribusian ^alat bantu penerimaan siaran ^(set-top-box/ ^STB) ^kepada rumah tangga miskin sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pengawasan .
Pengawasan atas pelaksanaan pendistribusian alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/ STBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Menteri. PFTES lDEN REPUBLIK INDONESIA
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Perdagangan
Relevan terhadap
Cukup jelas. - 4 - TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6894 LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2023 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PERDAGANGAN JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PERDAGANGAN JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF (Rupiah) I. JASA PELATIHAN FUNGSIONAL KEMETROLOGIAN A. Model Pembelajaran Blended Leaming per orang 472.000,00 per hari B. Model Pembelajaran Fully Online per orang 101.000,00 Leaming per hari II. JASA PENDIDIKAN TINGGI A. Biaya Pendaftaran Calon Mahasiswa per orang 205.000,00 B. Biaya Penyelenggaraan Pendidikan per orang 5.100.000,00 per semester C. Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Pasca Semester Akhir 1. Program Diploma - III (Pasca per orang 250.000,00 Semester VI) per SKS 2. Program Diploma - IV (Pasca per orang 250.000,00 Semester VIII) per SKS JENIS PENERIMMN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN D. Biaya Penyelenggaraan Perkuliahan per orang Pasca Sidang Tugas Akhir E. Biaya Penyelenggaraan Semester per orang Pendek per SKS F. Biaya Cuti Akademik per orang per semester G. Biaya Wisuda per orang H. Biaya Uji Kompetensi per orang per skema III. JASA SERTIFIKASI A. Sertifikasi Produk I. Badan Usaha Dalam Negeri a) Pendaftaran per pengajuan b) Audit Kecukupan Dokumen per Sistem Mutu Perusahaan perusahaan c) Asesmen Sistem Manajemen per orang dan Proses Produksi per hari d) Asesmen Proses Produksi per orang per hari e) Pengambilan Contoh per orang per hari f) Kajian Sertifikasi Awal/ per Re-sertifikasi perusahaan g) Kajian Sertifikasi Survailen per perusahaan SK No 172188A TARIF (Rupiah) 150.000,00 240.000,00 150.000,00 800.000,00 150.000,00 500.000,00 1.000.000,00 1. 750.000,00 1.300.000,00 900.000,00 4.600.000,00 500.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN h) Kajian Sertifikasi Tipe I per perusahaan i) Penerbitan Sertifikat per sertifikat j) Pemantauan Mutu Produk per produk Pelanggan Sertifikasi k) Paket Penambahan Ruang per paket Lingkup ( 1 paket maksimum 3 merek) 2. Badan Usaha Asing di Luar Negeri a) Pendaftaran per pengajuan b) Audit Kecukupan Dokumen per Sistem Mutu Perusahaan perusahaan c) Asesmen Sistem Manajemen per orang dan Proses Produksi per hari d) Asesmen Proses Produksi per orang per hari e) Pengambilan Contoh per orang per hari f) Kajian Sertifikasi Awai/Re- per sertifikasi perusahaan g) Kajian Sertifikasi Survailen per perusahaan h) Kajian Sertifikasi Tipe I per perusahaan i) Penerbitan Sertifikat per sertifikat j) Pemantauan Mutu Produk per produk Pelanggan Sertifikasi SK No 172187 A TARIF (Rupiah) 500.000,00 100.000,00 3.200.000,00 500.000,00 1.000.000,00 2.000.000,00 3.500.000,00 3.000.000,00 2.500.000,00 18.000.000,00 1.650.000,00 1.500.000,00 200.000,00 12.000.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMMN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN k) Paket Penambahan Ruang per paket Lingkup ( 1 paket maksimum 3 merek) B. Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu 1. Badan Usaha Dalam Negeri a) Pendaftaran per pengaJuan b) Audit Kecukupan Dokumen per ruang Sistem Mutu Perusahaan lingkup c) Asesmen Sistem Mutu per orang Perusahaan dan Pelaporan per hari Hasil Asesmen d) Asesmen Sistem Mutu per orang Perusahaan per hari e) Evaluasi Komite Teknis per perusahaan f) Penerbitan Sertifikat per sertifikat 2. Badan Usaha Asing di Luar Negeri a) Pendaftaran per pengajuan b) Audit Kecukupan Dokumen per ruang Sistem Mutu Perusahaan lingkup c) Asesmen Sistem Mutu per orang Perusahaan dan Pela po ran per hari Hasil Asesmen d) Asesmen Sistem Mutu per orang Perusahaan per hari SK No 172186 A TARIF (Rupiah) 2.750.000,00 1.000.000,00 1.000.000,00 1.750.000,00 1.300.000,00 2.500.000,00 1.500.000,00 2.750.000,00 3.300.000,00 1. 750.000,00 1.300.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMMN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN e) Evaluasi Komite Teknis per perusahaan f) Penerbitan Sertifikat per sertifikat C. Sertifikasi Kuantitas Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) 1. Permohonan sertifikasi a) Asesmen per permohonan b) Asesmen Ulang per permohonan c) Survailen per permohonan d) Penambahan ruang lingkup per permohonan 2. Pelaksanaan Asesmen per orang per hari 3. Asesmen Penilaian per kegia tan Lembaga/ Instansi 4. Survailen Penilaian per kegiatan Lembaga/lnstansi D. Sertifikasi Personil 1. Pendaftaran per orang 2. Uji Kompetensi Petugas Pengambilan Contoh (PPC) a) Uji Kompetensi Tingkat I per komoditi per orang b) Uji Kompetensi Tingkat II per komoditi per orang SK No 172185 A TARIF (Rupiah) 6.600.000,00 1.650.000,00 5.000.000,00 5.000.000,00 5.000.000,00 5.000.000,00 3.500.000,00 20.000.000,00 5.000.000,00 250.000,00 700.000,00 950.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMMN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN c) Uji Kompetensi Tingkat III per komoditi per orang 3. Penambahan Ruang Lingkup per komoditi per orang 4. Uji Kompetensi Tenaga Penguji Laboratorium a) Uji Kompetensi Tingkat I per orang b) Uji Kompetensi Tingkat II per orang c) Uji Kompetensi Tingkat III per orang d) Uji Kompetensi Tingkat IV per orang 5. Uji Kompetensi Perantara Perdagangan Properti a) Uji Kompetensi Tingkat I per orang b) Uji Kompetensi Tingkat II per orang 6. Uji Kompetensi Tenaga Jasa Survey Komoditas Perdagangan a) Uji Kompetensi Tingkat I per orang b) Uji Kompetensi Tingkat II per orang c) Uji Kompetensi Tingkat III per orang 7. Kajian Sertifikasi Personil per orang 8. Penerbitan Sertifikat per sertifikat 9. Uji Kompetensi Sumber Daya Manusia Kemetrologian a) Juru Ukur, Takar, dan per orang Timbang SK No 172184 A TARIF (Rupiah) 1.200.000,00 150.000,00 700.000,00 950.000,00 1.200.000,00 1.500.000,00 700.000,00 950.000,00 700.000,00 950.000,00 1.200.000,00 200.000,00 150.000,00 1.200.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN b) Reparatir Alat Ukur, Alat per orang Takar, Alat Timbang dan Alat Perlengkapan c) Teknisi Metrologi Legal per orang 10. Paket Sertifikasi Personel per paket IV. JASA DI BIDANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI A. Pemberian Pelayanan Sertifikasi Pendaftaran bagi Pedagang Berjangka:
Perseorangan per permohonan 2. Perusahaan per permohonan B. Pemberian Persetujuan Kepada Bank per pemohon Penyimpan Margin, Dana Kompensasi dan Dana Jaminan C. Pemberian Pelayanan untuk per Persetujuan kepada Pialang Berjangka permohonan Dalam Negeri untuk Menyalurkan Amanat Nasabah Dalam Negeri ke Bursa Berjangka Luar Negeri D. Pelayanan Ujian dalam Rangka per Sertifikasi bagi Wakil Pialang permohonan Berjangka, Wakil Penasehat Berjangka dan Wakil Pengelola Sentra Dana Berjangka E. Izin Usaha di bidang Berjangka Komoditi 1. lzin U saha Bursa Berjangka per permohonan SK No 172183 A TARIF (Rupiah) 1.600.000,00 3.000.000,00 8.500.000,00 1.000.000,00 2.500.000,00 5.000.000,00 1.000.000,00 500.000,00 20.000.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN 2. Izin Usaha Lembaga Berjangka Kliring per 3. Izin Usaha Pialang Berjangka 4. Izin Usaha Penasihat Berjangka 5. Izin Usaha Pengelola Sentra Dana Berjangka F. Izin Wakil di Bidang Berjangka Komoditi G. H.
lzin Wakil Pialang Berjangka 2. Izin Wakil Penasihat Berjangka 3. Izin Wakil Pengelola Sentra Dana Berjangka Pembukaan Kantor Cabang Pialang Berjangka Persetujuan Bursa Berjangka dalam Rangka Perdagangan Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif Lainnya Berdasarkan Subyek Komoditi permohonan per permohonan per permohonan per permohonan per permohonan per permohonan per permohonan per permohonan per permohonan I. Persetujuan Bursa Berjangka dalam per Rangka Penyelenggaraan Pasar Fisik permohonan Komoditi Berdasarkan Subyek Komoditi J. Persetujuan Lembaga Kliring Berjangka dalam Rangka Penyelenggaraan Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Pasar Fisik di Bursa Berjangka Berdasarkan Subyek Komoditi SK No 172182 A per permohonan TARIF (Rupiah) 20.000.000,00 10.000.000,00 10.000.000,00 10.000.000,00 500.000,00 500.000,00 500.000,00 7.500.000,00 5.000.000,00 5.000.000,00 5.000.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN K. Persetujuan Peserta Sistem per Perdagangan Alternatif permohonan L. Persetujuan Penyelenggara Sistem per Perdagangan Alternatif permohonan M. Persetujuan Pedagang Fisik Komoditi di per Bursa Berjangka Berdasarkan Subyek permohonan Komoditi N. Persetujuan Pengelola Tempat per Penyimpanan Pasar Fisik di Bursa permohonan Berjangka Berdasarkan Subyek Komoditi 0. Persetujuan Perantara Perdagangan per Fisik di Bursa Berjangka Berdasarkan permohonan Subyek Komoditi P. Persetujuan kepada Bank Penitipan per Sentra Dana Berjangka permohonan JASA PENGGUNAAN SARANA DAN V. PRASARANA SESUAI DENGAN TUGAS DAN FUNGSI A. Fasilitas Ruangan 1. Ruang Kelas a) Ruang Kelas Kapasitas 20 per hari orang (8 jam per hari) b) Tambahan Biaya Ruang Kelas per jam Kapasitas 20 9rang c) Ruang Kelas Kapasitas 30 per hari orang (8 jam per hari) d) Tambahan Biaya Ruang Kelas per jam Kapasitas 30 orang SK No 172181 A TARIF (Rupiah) 10.000.000,00 15.000.000,00 15.000.000,00 10.000.000,00 10.000.000,00 5.000.000,00 600.000,00 100.000,00 900.000,00 150.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN 2. Ruang Serba Guna a) Ruang Serba Guna Kapasitas per hari 75 orang (6 jam per hari) b) Tambahan Biaya Ruang Serba per jam Guna Kapasitas 75 orang c) Ruang Serba Guna Kapasitas per hari 150 orang (6 jam per hari) d) Tambahan Biaya Ruang Serba per jam Guna Kapasitas 150 orang e) Ruang Serba Guna Kapasitas per hari 500 orang (6 jam per hari) f) Tambahan Biaya Ruang Serba per Jam Guna Kapasitas 500 orang B. Asrama 1. Kamar Asrama Kapasitas 2 orang per orang per hari 2. Kamar Asrama Kapasitas 3 orang per orang per hari 3. Kamar Asrama Kapasitas 4 orang per orang per hari C. Kendaraan 1. Bis kapasitas 20 - 25 orang per hari (Penggunaan Dalam Kota) 2. Bis kapasitas 20 - 25 orang per hari (Penggunaan Luar Kota) D. Tempat Uji Kompetensi Kemetrologian SK No 172180 A TARIF (Rupiah) 1.000.000,00 300.000,00 3.000.000,00 300.000,00 6.000.000,00 500.000,00 150.000,00 100.000,00 75.000,00 1.000.000,00 2.500.000,00 jdih.kemenkeu.go.id JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK 1. lnstalasf Pengujian 2. Alat Kemetrologian E. Fasilitas Sarana dan Prasarana Tera/Tera Ulang
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN TRANSAKSI KHUSUS. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 2. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SATK adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran serta aset dan kewajiban pemerintah yang terkait dengan fungsi khusus Menteri Keuangan selaku BUN, serta tidak tercakup dalam sub sistem akuntansi BUN lainnya. 3. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA I jdih.kemenkeu.go.id untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian/ lembaga yang bersangkutan. 4. Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan se baik-baiknya. 5. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup BUN. 6. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya. 7. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN TK dan/atau UAKKPA BUN TK. 8. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKP BUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan seluruh UAP BUNTK. 9. Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran. 10. Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disingkat DJPb adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara. 11. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang. 12. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang selanjutnya disingkat DJPK adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan. 13. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disingkat DJPPR adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas f jdih.kemenkeu.go.id merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengelolaan pembiayaan dan risiko. 14. Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan analisis di bidang kebijakan fiskal. 15. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal DJPb yang bertugas untuk melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan BUN, penyaluran pembiayaan atas beban anggaran, serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara. 16. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. 17. PNBP BUN Pengelolaan Kas Negara yang selanjutnya disingkat PNBP BUN PKN adalah PNBP yang berasal dari pelaksanaan kewenangan Menteri Keuangan selaku BUN yang dikelola oleh DJPb. 18. Fasilitas Penyiapan Proyek adalah fasilitas fiskal yang disediakan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Dukungan Kelayakan adalah dukungan pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial yang diberikan terhadap proyek kerja sama pemerintah dan badan usaha oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara. 20. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 21. BMN Idle adalah BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/ lembaga. 22. BMN Eks BMN Idle adalah BMN Idle yang telah diserahkan kepada Pengelola Barang berdasarkan berita acara serah terima. 23. Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa adalah aset yang dikuasai Negara berdasarkan:
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/PEPERPU/ 1958 tentang Larangan Adanya Organisasi yang Didirikan oleh dan/ a tau untuk Orang-Orang Warga Negara dari Negara Asing yang Tidak Mempunyai Hubungan Diplomatik dengan Negara Republik Indonesia jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439 / 1958 tentang Penempatan jdih.kemenkeu.go.id Semua Sekolah/Kursus yang Sebagian atau Seluruhnya Milik dan/atau Diusahakan oleh Organisasi yang Didirikan oleh dan/ a tau Orang- Orang Tionghoa Perantauan (Hoa Kiauw) yang Bukan Warga Negara dari Negara Asing, yang Telah Mempunyai Hubungan Diplomatik dengan Republik Indonesia dan/atau Telah Memperoleh Pengakuan dari Negara Republik Indonesia di Bawah Pengawasan Pemerintah Republik Indonesia jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Organisasi- organisasi dan Pengawasan Terhadap Perusahaan- Perusahaan Orang Asing Tertentu;
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi yang Tidak sesuai dengan Kepribadian Indonesia, Menghambat Penyelesaian Revolusi atau Bertentangan dengan Cita-Cita Sosialisme Indonesia;
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 tentang Keadaan Tertib Nasional jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/ 1964; dan
Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G- 5/5/66 tentang Pengawasan PEPELRADA terhadap Pengambilalihan Sekolah-Sekolah Tionghoa oleh Mahasiswa-Mahasiswa dan Pelajar- Pelajar Setempat. 24. Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk badan usaha tetap yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Pemerintah. 25. Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan batubara, baik untuk penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. 26. BMN Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut BMN Hulu Migas adalah semua barang yang berasal dari pelaksanaan kontrak kerja sama antara Kontraktor dengan pemerintah, termasuk yang berasal dari kontrak karya/ contract of work (CoW) dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. 27. BMN yang berasal dari Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disingkat BMN PKP2B adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh dan/atau dibeli Kontraktor untuk kegiatan usaha pertambangan batubara dan/atau barang dan peralatan yang tidak terjual, tidak dipindahkan atau tidak dialihkan oleh Kontraktor setelah pengakhiran perjanjian yang telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi milik pemerintah, termasuk barang kontraktor yang jdih.kemenkeu.go.id pada pengakhiran perjanjian akan dipergunakan untuk kepentingan umum. 28. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sistem perbankan, agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan likuiditas, antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank. 29. Aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang selanjutnya disebut Aset Eks BPPN adalah kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan yang berasal dari kekayaan eks BPPN. 30. Aset Eks Pertamina adalah aset-aset yang tidak turut dijadikan penyertaan modal negara dalam Neraca Pembukaan PT. Pertamina sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.06/2008 tentang Penetapan Neraca Pembukaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina Per 17 September 2003, serta telah ditetapkan sebagai BMN yang berasal dari Aset Eks Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 92/KK.06/2008 tentang Penetapan Status Aset Eks Pertamina Sebagai Barang Milik Negara. 31. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. 32. Perusahaan Umum Bulog yang selanjutnya disebut dengan Perum Bulog adalah badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2003. 33. Selisih Kurs adalah selisih yang dihasilkan dari pelaporan jumlah unit mata uang asing yang sama dalam mata uang pelaporan pada kurs yang berbeda. 34. Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi. 35. Buku Besar Kas adalah kumpulan akun-akun yang digunakan untuk meringkas transaksi yang telah dicatat dalam jurnal akuntansi berdasarkan basis kas. 36. Buku Besar Akrual adalah kumpulan akun-akun yang digunakan untuk meringkas transaksi yang telah dicatat dalam jurnal akuntansi berdasarkan basis akrual. 37. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas laporan keuangan. 38. Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, s1sa lebih/kurang pembiayaan jdih.kemenkeu.go.id anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam 1 (satu) periode. 39. Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas pada tanggal tertentu. 40. Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/ daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintah dalam 1 (satu) periode pelaporan. 41. Laporan Perubahan Ekuitas yang selanjutnya disingkat LPE adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 42. Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, laporan arus kas, LO, LPE, dan laporan perubahan saldo anggaran lebih untuk pengungkapan yang memadai. 43. Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam Laporan Keuangan, permintaan keterangan, dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi aparat pengawas intern pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas Laporan Keuangan tersebut sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. 44. Transaksi Dalam Konfirmasi Penerimaan yang selanjutnya disingkat TDK Penerimaan adalah transaksi penerimaan yang diterima kasnya di kas negara tetapi tidak teridentifikasi dan/atau tidak diakui oleh satuan kerja pada kementerian/lembaga dan bagian anggaran BUN. Pasal 2 Peraturan Menteri m1 mengatur mengenai SATK yang meliputi:
belanja/beban pengeluaran untuk keperluan hubungan internasional;
belanja/beban Fasilitas Penyiapan Proyek;
belanja/beban Dukungan Kelayakan;
PNBP yang dikelola oleh DJA;
transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam pengelolaan DJKN;
belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun;
pendapatan dan belanja/beban pengelolaan kas negara;
transaksi penggunaan PNBP BUN PKN;
utang perhitungan fihak ketiga pegawai; J. utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok;
pendapatan dan beban untuk pengelolaan penerimaan negara; jdih.kemenkeu.go.id 1. belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan; dan
pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah. Pasal 3 (1) Belanja/beban pengeluaran untuk keperluan hubungan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
pengeluaran kerja sama internasional yang mencakup pembayaran iuran keikutsertaan pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi internasional dan tidak menimbulkan hak suara di luar ketentuan Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1999 tentang Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Republik Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional, yang dibiayai dari bagian anggaran BUN seperti trust fund dan kontribusi;
pengeluaran perjanjian internasional yang mencakup transaksi yang timbul sebagai akibat dari perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak lain di dunia internasional dan dibiayai dari bagian anggaran BUN; dan
pendapatan dan belanja/beban selisih kurs dan biaya transfer atas pengeluaran untuk keperluan hubungan in ternasional. (2) Belanja/beban Fasilitas Penyiapan Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi:
fasilitas untuk penyiapan dan pelaksanaan transaksi kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur;
fasilitas untuk penyiapan proyek, pelaksanaan transaksi, proyek dan/atau pelaksanaan perjanjian untuk penyediaan infrastruktur ibu kota negara melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha dan/atau pembiayaan kreatif;
fasilitas untuk penyusunan dokumen penyiapan penyediaan infrastruktur pada kawasan di ibu kota nusantara;
fasilitas untuk penyiapan dan pelaksanaan transaksi pemanfaatan BMN dan/atau pemindahtanganan BMN untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara; dan
fasilitas terkait penyiapan proyek atau pengembangan skema pembiayaan lainnya yang mendapat penugasan dari pemerintah. (3) Belanja/beban Dukungan Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c merupakan kontribusi fiskal dalam bentuk finansial atas sebagian biaya pembangunan proyek yang dilaksanakan melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha untuk penyediaan layanan infrastruktur yang terjangkau bagi masyarakat. t jdih.kemenkeu.go.id (4) PNBP yang dikelola oleh DJA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi:
pendapatan minyak bumi dan gas bumi;
pendapatan panas bumi; dan
setoran lainnya, meliputi setoran sisa surplus dari basil kegiatan Bank Indonesia, surplus, dan/atau bagian dari surplus lembaga. (5) Transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam pengelolaan DJKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e meliputi:
Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa;
BMN yang berasal dari pertambangan meliputi:
BMN Hulu Migas; dan
BMN PKP2B;
Aset Eks Pertamina;
BMN Eks BMN _Idle; _ e. Aset yang timbul dari pemberian BLBI meliputi:
piutang pada bank dalam likuidasi; dan
Aset Eks BPPN;
Aset lainnya dalam pengelolaan DJKN meliputi:
barang gratifikasi;
BMN yang diperoleh dari pelaksanaan perjanjian kerja sama antara pemerintah Republik Indonesia dengan badan internasional dan/atau negara asing;
BMN yang diperoleh dari pembubaran badan yang dibentuk kementerian/lembaga, seperti unit pelaksana teknis yang dibentuk oleh kemen terian/ lembaga;
BMN yang diperoleh dari pembubaran badan- badan ad _hoc; _ atau 5. BMN yang diperoleh dari pembubaran yayasan sebagai tindak lanjut temuan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;
piutang untuk dana antisipasi penanggulangan lumpur Sidoarjo;
piutang kepada yayasan supersemar; dan
penggantian biaya dan margin yang wajar atas investasi pemerintah untuk program pemulihan ekonomi nasional. (6) Belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f meliputi:
belanja/beban pensiun;
belanja/beban jaminan layanan kesehatan;
belanja/beban jaminan kesehatan menteri dan pejabat tertentu;
belanja/beban jaminan kesehatan utama;
belanja/bebanjaminan kesehatan lainnya;
belanja/bebanjaminan kecelakaan kerja;
belanja/bebanjaminan kematian;
belanja/beban program tunjangan hari tua;
belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog; dan J. pelaporan akumulasi iuran pensiun. jdih.kemenkeu.go.id (7) Pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi:
pendapatan berupa selisih lebih dalam pengelolaan kele bihan / kekurangan kas;
pendapatan selisih kurs terealisasi dalam pengelolaan rekening milik BUN;
pendapatan lainnya dalam pengelolaan kas negara;
belanja/beban berupa selisih kurang dalam pengelolaan kelebihan/kekurangan kas;
belanja/beban selisih kurs terealisasi dalam pengelolaan rekening milik BUN; dan
belanja/beban transaksi pengelolaan kas negara. (8) Transaksi penggunaan PNBP BUN PKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h meliputi:
belanja/beban penggunaan PNBP BUN PKN;
perolehan BMN dari belanja/beban penggunaan PNBP BUN PKN; dan
penetapan status penggunaan BMN. (9) Utang perhitungan fihak ketiga pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i merupakan selisih le bih / kurang an tara penerimaan setoran / potongan perhitungan fihak ketiga pegawai dan pembayaran pengembalian penerimaan perhitungan fihak ketiga pegawru.
Utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf j merupakan selisih lebih/kurang antara penerimaan setoran perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok dan pembayaran pengembalian penerimaan perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok. (11) Pendapatan dan beban untuk pengelolaan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf k meliputi:
hasil koreksi atas terjadinya TDK Penerimaan; dan
pendapatan dan beban selisih kurs belum terealisasi atas pengelolaan rekening penerimaan negara dalam valuta asing pada KPPN yang menangani pengelolaan penerimaan negara. (12) Belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf 1 meliputi:
belanja/beban pajak pertambahan nilai real time gross settlement Bank Indonesia;
pembayaran bunga negatif;
pembayaran imbalan jasa pelayanan bank/ pos perseps1;
pembayaran pajak pertambahan nilai atas transaksi real time gross settlement bank operasional; dan
fee bank kustodian. (13) Pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf m merupakan pendapatan dan beban selisih kurs belum terealisasi dalam pengelolaan rekening valuta asing milik kuasa BUN daerah. jdih.kemenkeu.go.id BAB II UNIT AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN Bagian Kesatu Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus Pasal 4 (1) SATK merupakan subsistem dari sistem akuntansi BUN. (2) SATK menghasilkan Laporan Keuangan yang terdiri atas:
LRA;
LO; C. LPE;
Neraca; dan
CaLK. (3) Untuk pelaksanaan SATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk unit akuntansi yang terdiri atas:
UAKPA BUN TK;
UAKKPA BUN TK;
UAP BUN TK; dan
UAKP BUN TK. (4) SATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan bagian anggaran BUN Transaksi Khusus dengan menggunakan sistem aplikasi terin tegrasi. (5) Sistem aplikasi terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan sistem aplikasi yang mengintegrasikan seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara dimulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan pada BUN dan kementerian/lembaga. Bagian Kedua Tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 5 UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
UAKPA BUN TK pengelola pengeluaran keperluan kerja sama internasional dan perjanjian internasional dilaksanakan oleh pusat di BKF yang ditunjuk oleh Kepala BKF;
UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
dilaksanakan oleh direktorat di DJPPR yang menangani pengelolaan dukungan pemerintah dan pembiayaan infrastruktur dalam hal Fasilitas Penyiapan Proyek dilaksanakan melalui penugasan khusus kepada Badan Usaha Milik Negara; dan/atau t jdih.kemenkeu.go.id 2. dilaksanakan oleh unit kerja di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral yang ditunjuk sebagai KPA dalam hal Fasilitas Penyiapan Proyek dilaksanakan melalui kerja sama penyediaan infrastruktur dengan lembaga internasional dalam pembangunan dan/atau pengembangan kilang minyak di dalam negeri;
UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Dukungan Kelayakan dilaksanakan oleh unit kerja KPA BUN yang ditunjuk di kementerian/lembaga;
UAKPA BUN TK pengelola PNBP minyak bumi dan gas bumi dilaksanakan oleh direktorat di DJA yang menangani pengelolaan PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
UAKPA BUN TK pengelola PNBP panas bumi dilaksanakan oleh direktorat di DJA yang menangani pengelolaan PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
UAKPA BUN TK pengelola setoran lainnya dilaksanakan oleh direktorat di DJA yang menangani pengelolaan PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
UAKPA BUN TK pengelola Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola BMN Hulu Migas dilaksanakan oleh unit sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pedoman akuntansi dan pelaporan keuangan atas BMN Hulu Migas;
UAKPA BUN TK pengelola BMN PKP2B dilaksanakan oleh unit sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman akuntansi dan pelaporan aset berupa BMN PKP2B; J. UAKPA BUN TK pengelola Aset Eks Pertamina dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola BMN Eks BMN Idle dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani perumusan kebijakan kekayaan negara; I. UAKPA BUN TK pengelola aset yang timbul dari pemberian BLBI dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola aset lainnya dalam pengelolaan DJKN dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola piutang untuk dana antisipasi penanganan lumpur Sidoarjo dilaksanakan oleh unit kerja KPA BUN yang ditunjuk di kementerian/lembaga;
UAKPA BUN TK pengelola piutang kepada yayasan supersemar dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola penggantian biaya dan margin yang wajar atas investasi pemerintah untuk t jdih.kemenkeu.go.id program pemulihan ekonomi nasional dilaksanakan oleh direktorat di DJKN yang menangani kekayaan negara yang dipisahkan;
UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun dilaksanakan oleh direktorat di DJPb yang menangani pengelolaan belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi . . 1uran pens1un;
UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara dilaksanakan oleh direktorat di DJPb yang menangani pengelolaan kas negara;
UAKPA BUN TK transaksi penggunaan PNBP BUN PKN dilaksanakan oleh satuan kerja pengelolaan, pengembangan, dan pengawasan BUN;
UAKPA BUN TK pengelola utang perhitungan fihak ketiga pegawai dilaksanakan oleh direktorat di DJPb yang menangani pengelolaan perhitungan fihak ketiga pegawru;
UAKPA BUN TK pengelola utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok dilaksanakan oleh direktorat di DJPK yang menangani penyusunan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok;
UAKPA BUN TK pengelola penerimaan negara dilaksanakan oleh KPPN yang menangani pengelolaan penerimaan negara;
UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan dilaksanakan oleh direktorat di DJPb yang menangani pengelolaan pengeluaran keperluan layanan perbankan; dan
UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah dilaksanakan oleh KPPN yang memiliki rekening valuta asing. Bagian Ketiga Tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 6 (1) UAKKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b merupakan UAKKPA BUN TK Pengelola BMN Hulu Migas. (2) UAKKPA BUN TK Pengelola BMN Hulu Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menggabungkan Laporan Keuangan UAKPA BUN TK BMN Hulu Migas. (3) UAKKPA BUN TK Pengelola BMN Hulu Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pedoman akuntansi dan pelaporan keuangan atas BMN Hulu Migas. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Tingkat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 7 (1) UAP BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
UAP BUN TK atas pengelola pengeluaran keperluan hubungan internasional dilaksanakan oleh BKF;
UAP BUN TK atas:
pengelola pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek; dan
pengelola pembayaran Dukungan Kelayakan, dilaksanakan oleh DJPPR;
UAP BUN TK atas pengelola PNBP yang dikelola DJA dilaksanakan oleh DJA;
UAP BUN TK atas pengelola transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam pengelolaan DJKN dilaksanakan oleh DJKN;
UAP BUN TK atas:
pengelola belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun;
pengelola pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara;
transaksi penggunaan PNBP BUN PKN;
pengelola utang perhitungan fihak ketiga pegawai;
pengelola penerimaan negara;
pengelola belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan; dan
pengelola pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah, dilaksanakan oleh DJPb; dan
UAP BUN TK atas pengelola utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok dilaksanakan oleh DJPK. (2) UAP BUN TK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menggabungkan Laporan Keuangan seluruh UAKPA BUN TK dan UAKKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya. Bagian Kelima Tingkat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 8 (1) UAKP BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d dilaksanakan oleh DJPb. (2) UAKP BUN TK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menggabungkan Laporan Keuangan seluruh UAP BUN TK. jdih.kemenkeu.go.id BAB III AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN Bagian Kesatu Tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 9 (1) UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menyelenggarakan akuntansi yang meliputi proses pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan atas transaksi khusus. (2) Penyelenggaraan akuntansi untuk UAKPA BUN TK pengelola PNBP minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d, UAKPA BUN TK pengelola PNBP panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, UAKPA BUN TK pengelola BMN Hulu Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h, dan UAKPA BUN TK pengelola BMN PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. (3) Penyelenggaraan akuntansi selain UAKPA BUN TK pada ayat (2) berpedoman pada Modul SATK sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 10 (1) Untuk penyusunan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), UAKPA BUN TK memproses dokumen sumber transaksi keuangan atas penerimaan dan/atau pengeluaran transaksi khusus. (2) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setiap bulanan, semesteran, dan tahunan. (3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun setelah dilakukan verifikasi data sistem aplikasi terintegrasi dengan dokumen sumber milik UAKPA BUN TK. (4) Apabila terdapat perbedaan data atas hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), UAKPA BUN TK dapat melakukan konfirmasi kepada KPPN mitra kerja dan/ a tau dengan pihak terkait. Pasal 11 (1) UAKPA BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut:
UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf j, huruf k, huruf 1, huruf m, hurufn,hurufo,hurufp,hurufq,hurufr,hurufs, huruf t, huruf u, huruf v, huruf w, dan huruf x menyampaikan Laporan Keuangan kepada UAP BUNTK; dan jdih.kemenkeu.go.id b. UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h dan huruf i menyampaikan Laporan Keuangan kepada UAKKPA BUN TK. (2) Periode penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanak: an dengan ketentuan sebagai berikut:
LRA dan Neraca disampaikan setiap bulan; dan
LRA, LO, LPE, Neraca, dan CaLK disampaikan setiap semesteran dan tahunan. (3) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan jadwal penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Kedua Tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 12 (1) Berdasarkan Laporan Keuangan yang disampaikan oleh UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), UAKKPA BUN TK menyusun Laporan Keuangan bulanan, semesteran, dan tahunan. (2) Dalam hal UAKKPA BUN TK belum menggunakan sistem aplikasi terintegrasi, penyusunan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual. Pasal 13 (1) UAKKPA BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) kepada UAP BUN TK dengan ketentuan sebagai berikut:
LRA dan Neraca disampaikan setiap bulan; dan
LRA, LO, LPE, Neraca, dan CaLK disampaikan setiap semesteran dan tahunan. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan jadwal penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Ketiga Tingkat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 14 (1) Berdasarkan Laporan Keuangan yang disampaikan UAKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dan/atau UAKKPA BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, UAP BUN TK menyusun Laporan Keuangan semesteran dan tahunan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan verifikasi data sis tern aplikasi terintegrasi dengan dokumen sumber milik UAPBUNTK. (3) Apabila terdapat perbedaan data atas hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), UAP BUN TK dapat melakukan konfirmasi kepada KPPN mitra kerja dan/ a tau dengan pihak terkait. (4) Dalam hal Laporan Keuangan yang disampaikan oleh UAKKPA BUN TK masih disusun secara manual, UAP BUN TK pengelola transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam Pengelolaan DJKN menyusun Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Laporan Keuangan seluruh UAKPA BUN TK yang berada di bawahnya. Pasal 15 (1) UAP BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kepada UAKPBUNTK. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan jadwal penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Keempat Tingkat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 16 Berdasarkan Laporan Keuangan yang disampaikan oleh UAP BUN TK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), UAKP BUN TK menyusun Laporan Keuangan semesteran dan tahunan. Pasal 17 (1) UAKP BUN TK menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada UA BUN. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan jadwal penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. BAB IV PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB Bagian Kesatu Pernyataan Tanggung Jawab jdih.kemenkeu.go.id Pasal 18 (1) Setiap unit akuntansi pada SATK membuat pernyataan tanggung jawab atas Laporan Keuangan yang disusunnya dan dilampirkan pada Laporan Keuangan semesteran dan tahunan. (2) Pernyataan tanggung jawab yang dibuat oleh UAKPA BUN TK, UAKKPA BUN TK, dan UAP BUN TK memuat pernyataan bahwa penyusunan Laporan Keuangan merupakan tanggung jawabnya, telah disusun berdasarkan sistem pengendalian internal yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi secara layak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. (3) Pernyataan tanggung jawab yang dibuat oleh UAKP BUN TK memuat pernyataan bahwa penggabungan Laporan Keuangan merupakan tanggung jawabnya, sedangkan substansi Laporan Keuangan dari masing- masing unit di bawahnya merupakan tanggung jawab UAP BUN TK, telah disusun berdasarkan sistem pengendalian internal yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi secara layak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. (4) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diberikan paragraf penjelasan atas suatu kejadian yang belum termuat dalam Laporan Keuangan. Pasal 19 (1) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) untuk tingkat UAKPA BUN TK ditandatangani dengan ketentuan sebagai berikut:
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pengeluaran kerja sama internasional dan perjanjian internasional ditandatangani oleh kepala pusat di BKF yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek penugasan khusus kepada Badan Usaha Milik Negara ditandatangani oleh direktur di DJPPR yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek penyediaan infrastruktur dengan lembaga internasional dalam pembangunan dan/atau pengembangan kilang minyak di dalam negeri ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk sebagai KPA di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang energ1 dan sumber daya mineral;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pembayaran Dukungan Kelayakan ditandatangani oleh pejabat di kementerian/lembaga yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola PNBP minyak bumi dan gas bumi ditandatangani oleh direktur di DJA yang mengelola i jdih.kemenkeu.go.id PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola PNBP panas bumi ditandatangani oleh direktur di DJA yang mengelola PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola setoran lainnya ditandatangani oleh direktur di DJA yang mengelola PNBP sumber daya alam dan kekayaan negara dipisahkan;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola BMN Hulu Migas ditandatangani oleh kepala pusat atau deputi yang menangani pengelolaan BMN Hulu Migas; J. Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola BMN PKP2B ditandatangani oleh kepala pusat yang menangani pengelolaan BMN PKP2B pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola Aset Eks Pertamina ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara; I. Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola BMN Eks BMN Idle ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani perumusan kebijakan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola aset yang timbul dari pemberian BLBI ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola aset lainnya dalam pengelolaan DJKN ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola piutang untuk dana antisipasi penanggulangan lumpur Sidoarjo ditandatangani oleh pejabat di unit kerja pada kementerian/lembaga yang ditunjuk selaku KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola piutang kepada yayasan supersemar ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani pengelolaan kekayaan negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK penggantian biaya dan margin yang wajar atas investasi pemerintah untuk program pemulihan ekonomi nasional ditandatangani oleh direktur di DJKN yang menangani kekayaan negara yang dipisahkan; jdih.kemenkeu.go.id r. Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun ditandatangani oleh direktur di DJPb yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan belanja/beban untuk pengelolaan kas negara ditandatangani oleh direktur di DJPb yang menangani pengelolaan kas negara;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK transaksi penggunaan PNBP BUN PKN ditandatangani oleh KPA satuan kerja pengelolaan, pengembangan, dan pengawasan BUN;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola utang perhitungan fihak ketiga ditandatangani oleh direktur di DJPb yang ditunjuk sebagai KPA;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK Pengelola utang perhitungan fihak ketiga Pajak Rokok ditandatangani oleh direktur di DJPK yang menangani penyusunan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran pajak rokok;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan be ban untuk pengelolaan penerimaan negara ditandatangani oleh kepala KPPN yang menangani pengelolaan penerimaan negara selaku kuasa BUN daerah;
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan ditandatangani oleh direktur di DJPb yang ditunjuk sebagai KPA; dan
Pernyataan tanggung jawab UAKPA BUN TK pengelola pendapatan dan be ban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah ditandatangani oleh kepala KPPN selaku kuasa BUN daerah yang memiliki rekening valuta asing. (2) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk UAKKPA BUN TK pengelola BMN Hulu Migas ditandatangani oleh kepala biro yang menangani keuangan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. (3) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk tingkat UAP BUN TK ditandatangani dengan ketentuan sebagai berikut:
Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK pengelola pengeluaran keperluan hubungan internasional ditandatangani oleh kepala BKF;
Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK pengelola:
pembayaran Fasilitas Penyiapan Proyek; dan
pembayaran Dukungan Kelayakan, ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko; jdih.kemenkeu.go.id c. Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK pengelola PNBP yang dikelola oleh DJA ditandatangani oleh Direktur J enderal Anggaran;
Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK pengelola transaksi aset dan belanja/beban yang berada dalam pengelolaan DJKN ditandatangani oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara;
Pernyataan tanggung jawab UAP BUN TK Pengelola:
belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun;
pendapatan dan belanja/beban pengelolaan kas negara;
transaksi penggunaan PNBP BUN PKN;
utang perhitungan fihak ketiga pegawai;
pendapatan dan beban untuk pengelolaan penerimaan negara;
belanja/beban pengeluaran untuk keperluan layanan perbankan; dan
pendapatan dan beban untuk pengelolaan rekening valuta asing pada kuasa BUN daerah, ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan; dan
Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) untuk tingkat UAKP BUN TK ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. BABV MODUL SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN TRANSAKSI KHUSUS Pasal 20 Tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan pada SATK dilaksanakan dengan berpedoman pada Modul SATK sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri 1n1. BAB VI PERNYATAAN TELAH DIREVIU Pasal 21 (1) Untuk meyakinkan keandalan informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan, dilakukan Reviu atas Laporan Keuangan bagian anggaran BUN pengelolaan transaksi khusus. (2) Reviu atas Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai Reviu atas Laporan Keuangan BUN. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN jdih.kemenkeu.go.id Pasal 22 Dalam hal transaksi layanan perbankan belum memiliki daftar isian pelaksanaan anggaran tersendiri, akuntansi dan pelaporan keuangan atas transaksi tersebut dilaksanakan oleh UAKPA BUN TK pengelola belanja/beban jaminan sosial, belanja/beban selisih harga beras Perum Bulog, dan pelaporan akumulasi iuran pensiun. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2054) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127 /PMK.05/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1347), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 24 Peraturan Menteri 1n1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Tata Cara Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin di Lingkungan Kementerian Keuangan ...
Relevan terhadap
Koordinasi (1) Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa membuat Laporan Hasil Kegiatan berdasarkan:
bukti Pelanggaran Disiplin;
Berita Acara Ketidakhadiran, Berita Acara Penundaan, dan/atau Berita Acara Pemeriksaan;
informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); dan/atau
rekomendasi akhir Penjatuhan Hukuman Disiplin yang disampaikan oleh pimpinan Unit Organisasi Terperiksa dalam hal terdapat perbedaan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. (2) Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin;
tujuan dan ruang lingkup Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin;
hasil Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin;
hasil MPJHD;
faktor yang memberatkan dan/atau faktor yang meringankan; dan
kesimpulan yang mencantumkan:
Pelanggaran Disiplin yang dilakukan, ketentuan yang dilanggar, rekomendasi jenis Hukuman Disiplin yang dijatuhkan, dan PYBM, dalam hal Terperiksa terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin; atau
pernyataan tidak bersalah, dalam hal Terperiksa tidak terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin. (3) Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan paling lama:
5 (lima) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; atau
7 (tujuh) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, terhitung sejak tanggal Berita Acara Ketidakhadiran dan/atau Berita Acara Pemeriksaan. (4) Dalam hal terdapat perbedaan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Laporan Hasil Kegiatan diselesaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pimpinan Unit Organisasi Terperiksa menyampaikan rekomendasi akhir Penjatuhan Hukuman Disiplin. (5) Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 16 (1) Dalam hal Laporan Hasil Kegiatan menyatakan bahwa Terperiksa terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin dan kewenangan untuk menjatuhkan Hukuman Disipliri merupakan: jdih.kemenkeu.go.id a. kewenangan Atasan Langsung Terperiksa, maka berdasarkan Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Atasan Langsung menjatuhkan Hukuman Disiplin; atau
kewenangan Pejabat yang Lebih Tinggi, maka Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 disampaikan oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa kepada Pejabat yang Lebih Tinggi secara berjenjang paling lama:
3 (tiga) hari kerja untuk pelanggaran atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; atau
5 (lima) hari kerja untuk pelanggaran selain atas kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, terhitung sejak tanggal Laporan Hasil Kegiatan. (2) Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa menyampaikan Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melampirkan minimal:
Berita Acara Ketidakhadiran, Berita Acara Penundaan, dan/atau Berita Acara Pemeriksaan;
bukti Pelanggaran Disiplin;
kertas kerja MPJHD;
informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); dan
Laporan Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal Pejabat yang Lebih Tinggi:
merupakan PYBM sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka berdasarkan Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat yang Lebih Tinggi menjatuhkan Hukuman Disiplin; atau
bukan merupakan PYBM sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka Pejabat yang Lebih Tinggi menyampaikan Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada PYBM paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penyampaian Laporan Hasil Kegiatan dari atasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Pasal 17 (1) Dalam hal Laporan Hasil Kegiatan menyatakan bahwa Terperiksa tidak terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin dan dinyatakan tidak bersalah, Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa menyampaikan laporan kepada pimpinan Unit Organisasi Terperiksa dan unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing unit organisasi, dengan tembusan kepada Inspektur Jenderal, secara hierarki melalui Pejabat yang Lebih Tinggi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal Laporan Hasil Kegiatan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan minimal :
Berita Acara Pemeriksaan; jdih.kemenkeu.go.id b. bukti yang menjadi dasar bahwa Terperiksa tidak melakukan Pelanggaran Disiplin; dan
Laporan Hasil Kegiatan. Pasal 18 (1) Atasan langsung yang tidak melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Terperiksa, dan/atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan kepada PYBM sesuaijangka waktu yang ditentukan, dijatuhi Hukuman Disiplin yang lebih berat dari Terperiksa. (2) Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses pemeriksaan. Pasal 19 Terhadap Pegawai yang mendapatkan penugasan di luar Unit Organisasi asal Pegawai yang bersangkutan, ketentuan pemeriksaan dan rekomendasi tingkat dan jenis Hukuman Disiplin berlaku sebagai berikut:
bagi Pegawai yang ditugaskan pada unit organisasi non- Eselon di lingkungan Kementerian Keuangan, pemeriksaan dan rekomendasi tingkat dan jenis Hukuman Disiplin mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan, Peraturan Menteri ini, dan/atau ketentuan mengenai Disiplin PNS di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan mempertimbangkan kesesuaian bobot jabatan dalam rentang peringkat jabatan pada Jabatan Pimpinan Tinggi dan/atau Jabatan Administrasi; dan
bagi Pegawai yang ditugaskan pada instansi di luar Kementerian Keuangan, pemeriksaan dan rekomendasi tingkat dan jenis Hukuman Disiplin mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan, Peraturan Menteri ini, dan/atau ketentuan mengenai Hukuman Disiplin PNS di lingkungan Kementerian Keuangan. Pasal 20 (1) Terhadap calon PNS Kementerian Keuangan yang diduga melakukan Pelanggaran Disiplin; dilakukan pemeriksaan dan penjatuhan hukuman disiplin kepada yang bersangkutan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. (2) Terhadap calon PNS Kementerian Keuangan yang terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin tingkat sedang atau berat setelah dilakukan pemeriksaan, diberhentikan sebagai calon PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Manajemen PNS. Pasal 21 (1) Proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dihentikan dalam ha! Terperiksa:
meninggal dunia;
dalam proses pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan/atau rohani; atau
diberhentikan sementara karena menjadi tersangka dengan penahanan. (2) Proses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuktikan dengan hasil pemeriksaan tim jdih.kemenkeu.go.id penguji kesebatan sesuai clengan ketentuan peraturan perunclang-unclangan. (3) Dalam bal Terperiksa sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) buruf b clinyatakan cakap jasmani clan/atau robani berclasarkan basil pemeriksaan tim penguji kesebatan, proses pemeriksaan diusulkan kembali oleb Atasan Langsung. (4) Dalam bal Terperiksa sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) buruf c cliaktifkan kembali sebagai PNS, proses pemeriksaan cliusulkan kembali oleb Atasan Langsung. Pasal 22 (1) Dalam bal berclasarkan basil pemeriksaan terclapat inclikasi penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara, maka Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa wajib berkoorclinasi clengan Inspektorat Jencleral. (2) Dalam bal inclikasi sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) terbukti, maka Inspektorat Jencleral merekomenclasikan Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melaporkan kepacla aparat penegak bukum. BAB III TINDAKAN MANAJERIAL DALAM PROSES PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN Pasal 23 (1) Dalam bal terclapat inclikasi tinclak piclana pelanggaran peraturan perunclang-unclangan yang clilakukan oleb Terperiksa, inclikasi tinclak piclana climaksucl ticlak mengbalangi pelaksanaan pemanggilan, pemeriksaan clan penjatuban Hukuman Disiplin terbaclap Terperiksa. (2) Dalam bal terperiksa sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) clitetapkan sebagai tersangka namun ticlak clilakukan penahanan, penetapan tersangka climaksucl ticlak mengbalangi pemanggilan, pemeriksaan, clan penjatuban bukuman clisiplin terbaclap terperiksa. (3) Dalam bal Terperiksa sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) clitahan karena menjacli tersangka, maka:
kepacla yang bersangkutan clilakukan pemberbentian sementara sebagai PNS sesuai clengan ketentuan peraturan perunclang-unclangan mengenai Manajemen Pegawai Negeri Sipil; clan b. proses Pemeriksaan Hukuman Disiplin Pegawai yang bersangkutan clibentikan sesuai ketentuan sebagaimana climaksucl clalam Pasal 21 ayat (1). (4) Dalam hal Terperiksa cliaktifkan kembali sesuai clengan ketentuan peraturan perunclang-unclangan, Atasan Langsung mengusulkan kembali proses Pemeriksaan Hukuman Disiplin Pegawai yang bersangkutan sebagaimana climaksucl clalam Pasal 21 ayat (4). Pasal 24 (1) Dalam hal terhaclap pelanggaran clisiplin yang telah menclapat rekomenclasi bukuman clisiplin tingkat berat sebagaimana climaksucl clalam Pasal 3 ayat (3) memenuhi konclisi: jdih.kemenkeu.go.id a. menjadi pemberitaan di media massa nasional atau media elektronik; dan/atau
Terperiksa menjadi tersangka tindak pidana yang tidak dilakukan penahanan; dan/atau
berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, dan/atau penerimaan hadiah yang berhubungan dengan pekerjaan/jabatan, dan/atau menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain, pimpinan Unit Organisasi Terperiksa wajib memproses pembebasan sementara dari tugas jabatan kepada Terperiksa paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya Informasi Pelanggaran Disiplin dengan Rekomendasi Hukuman Disiplin tingkat berat. (2) Dalam hal Terperiksa atas Pelanggaran Disiplin dengan kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
Pejabat Pengawas, Pejabat Administrator, Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, dan Pejabat Fungsional, maka pimpinan Unit Organisasi Terperiksa memproses pemberhentian dari jabatan setelah diterbitkannya rekomendasi karena tidak memenuhi persyaratan untuk diangkat dalam jabatan berkenaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai Manajemen PNS; dan
pelaksana, maka pimpinan Unit Organisasi Terperiksa memproses pemindahan Pegawai yang bersangkutan ke dalam unit yang tidak memiliki keterkaitan dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan. (3) Terperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai jabatan Pelaksana Umum pada unit yang menangani sumber daya manusia tingkat unit organisasi dengan pembatasan akses terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi, kecuali tugas dan fungsi dibidang persuratan dan presensi sampai dengan ditetapkannya Hukuman Disiplin atau Laporan Hasil Kegiatan yang menyatakan tidak bersalah. (4) Tindakan terhadap Terperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh masing-masing Unit Organisasi Terperiksa sesuai dengan tugas dan fungsinya serta berkoordinasi dengan Sekretariat Jenderal c.q. Biro Sumber Daya Manusia dan lnspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi. BAB IV PELAKSANAAN PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN Bagian Kesatu Metode Penentuan Jenis Hukuman Disiplin Pasal 25 (1) Dalam pemberian rekomendasi, penentuan, dan/atau Penjatuhan Hukuman Disiplin di lingkungan Kementerian Keuangan, Inspektorat Bidang Investigasi, Unit Kepatuhan Internal, Atasan Langsung, dan/atau Tim Pemeriksa menggunakan MPJHD. (2) Tahapan penggunaan MPJHD, yaitu: jdih.kemenkeu.go.id a. menentukan ketentuan yang dilanggar oleh Terperiksa;
menentukan salah satu kategori kelompok pasal Pelanggaran Disiplin sebagai berikut:
kelompok I yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan secara pasti tingkat dan jenis Hukuman Disiplinnya yaitu pelanggaran atas kewajiban untuk masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;
kelompok II yaitu jenis pelanggaran yang harus mempertimbangkan Dampak Negatif dalam penentuan jenis Hukuman Disiplin, yang terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah; b) kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; c) kewajiban untuk melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang; d) kewajiban untuk menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; e) kewajiban untuk melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran kesadaran, dan tanggungjawab; f) kewajiban untuk menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; g) kewajiban untuk menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; h) kewajiban untuk bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; i) kewajiban untuk mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan; j) kewajiban untuk melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara; k) kewajiban untuk menggunakan dan memelihara barang milik negara dengan sebaik-baiknya;
kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan kompetensi; m) larangan memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau jdih.kemenkeu.go.id tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga rnilik negara secara tidak sah; n) larangan melakukan pungutan di luar ketentuan; o) larangan melakukan kegiatan yang merugikan negara; p) larangan bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan; dan/atau q) larangan menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
kelompok III yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan tingkat Hukuman Disiplinnya namun belum diatur penentuan jenisnya, yang terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji PNS; b) kewajiban untuk menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji jabatan; c) kewajiban untuk menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d) larangan menyalahgunakan wewenang; e) larangan menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan; f) larangan menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain; g) larangan bekerja pada lembaga atau organisasi internasional tanpa izin atau tanpa ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; h) larangan bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing kecuali ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; i) larangan menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan;dan/atau j) larangan meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan;
kelompok IV yaitu jenis pelanggaran atas larangan melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
kelompok V yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan tingkat Hukuman Disiplinnya berdasarkan ketaatan pelaporan harta kekayaan bagi pihak tertentu atau perbuatan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan politik, terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang jdih.kemenkeu.go.id sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;dan/atau b) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau
kelompok VI yaitu jenis pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS;
menentukan jenis Hukuman Disiplin dengan mempertimbangkan faktor yang memberatkan dan/atau faktor yang meringankan;
mengonversi faktor yang memberatkan dan/atau faktor yang meringankan menjadi nilai;
faktor yang memberatkan dan/atau meringankan harus didukung bukti;
menghitung nilai akhir dengan ketentuan:
dalam hal nilai akhir melewati rentang nilai bawah tingkat Hukuman Disiplin setelah mempertimbangkan faktor yang meringankan, maka Hukuman Disiplin yang diberikan merupakan jenis paling rendah pada tingkat tersebut; dan
dalam hal nilai akhir melewati rentang nilai atas tingkat Hukuman Disiplin setelah mempertimbangkan faktor yang meringankan, Hukuman Disiplin yang diberikan merupakan jenis paling tinggi pada tingkat tersebut. g. mengonversi nilai akhir dengan memperhatikan rentang nilai tempat nilai akhir tersebut berada;
menentukan 1 (satu) jenis Hukuman Disiplin yang terberat dalam hal Terperiksa melakukan beberapa pelanggaran setelah dilakukan perhitungan terhadap masing-masing pelanggaran; dan
menetapkan jenis Hukuman Disiplin. (3) Dalam hal terdapat ketentuan peraturan perundang- undangan yang telah secara spesifik mengatur tingkat Hukuman Disiplin atas suatu Pelanggaran Disiplin namun belum diatur jenis Hukuman Disiplin yang perlu dijatuhkan, maka MPJHD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya digunakan untuk menentukan jenis Hukuman Disiplin atas Pelanggaran Disiplin yang berkenaan. (4) MPJHD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 26 (1) Pelanggaran kewajiban untuk masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) hurufb angka 1, berupa: jdih.kemenkeu.go.id a. tidak masuk bekerja; atau
terlambat masuk bekerja, pulang sebelum waktunya, tidak mengganti keterlambatan, tidak mengisi daftar hadir berdasarkan bukti daftar hadir dan tanpa alasan yang sah, dan/atau tidak melaksanakan tugas berdasarkan pertimbangan Atasan Langsung karena tidak adanya bukti hasil kerja. (2) Pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung secara kumulatif dan dilakukan konversi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) (3) (4) Pasal 27 Penentuan jenis Hukuman Disiplin mempertimbangkan Dampak Negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 2, yaitu berupa turunnya harkat, martabat, citra, kepercayaan, nama baik dan/atau mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas pada:
unit kerja;
instansi; atau
pemerintah dan/atau negara. Pelanggaran Disiplin yang memiliki Dampak Negatif terhadap unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan pelanggaran yang memenuhi salah satu atau lebih unsur sebagai berikut:
menimbulkan budaya kerja yang negatif apabila dilakukan oleh perseorangan dan di lingkungan unit kerja yang bersangkutan;
pelayanan pada unit kerja terganggu, namun tidak berdampak terhadap keuangan negara;
tidak tercapainya kinerja/target unit kerja, apabila kinerja/target hanya terkait unit kerja;
menurunnya kepuasan pengguna layanan unit kerja; dan/atau
menimbulkan keluhan dari pengguna layanan unit kerja secara berulang. Pelanggaran Disiplin yang memiliki Dampak Negatif terhadap instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan pelanggaran yang memenuhi salah satu atau lebih unsur sebagai berikut:
pencemaran nama baik/ citra instansi yang terungkap melalui pengaduan selain saluran pengaduan yang dikelola Kementerian Keuangan;
menjadi perhatian minimal pimpinan Unit Organisasi Terperiksa;
membahayakan keamanan atau keselamatan Pegawai Kementerian Keuangan dan/atau pihak eksternal Kementerian Keuangan; dan/atau
tidak tercapainya kinerja/target target menyangkut instansi mempengaruhi pencapaian Kementerian Keuangan. instansi, apabila namun tidak kinerja/target Pelanggaran Disiplin yang memiliki Dampak Negatif terhadap pemerintah dan/atau negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan pelanggaran jdih.kemenkeu.go.id yang memenuhi salah satu atau lebih unsur sebagai berikut:
pencemaran nama baik/ citra Kementerian Keuangan yang terungkap melalui media massa nasional;
menjadi perhatian Menteri Keuangan, Menteri Koordinator, Wakil Presiden, dan/atau Presiden;
membahayakan keamanan negara;
tidak tercapainya kinerja/target Kementerian Keuangan atau mempengaruhi pencapaian target secara nasional;
menimbulkan potensi kerugian negara dan/atau potensi hilangnya pendapatan/penerimaan negara;
merusak lingkungan/ kesehatan/ keamanan masyarakat; dan/atau
memberikan keuntungan bagi pihak ketiga. Pasal 28 (1) Dalam hal Pelanggaran Disiplin yang dilakukan termasuk dalam kategori kelompok ketentuan Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 3 dan dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) Terperiksa secara bersama-sama, penentuan jenis Hukuman Disiplin mempertimbangkan peran dari masing-masing Terperiksa. (2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi sebagai:
inisiator, yaitu Terperiksa yang menganjurkan, merencanakan, dan/atau memberi instruksi Pelanggaran Disiplin;
pelaku aktif, yaitu Terperiksa yang melaksanakan dan/atau membantu Pelanggaran Disiplin; atau
pelaku pasif, yaitu Terperiksa yang hanya menerima manfaat dari Pelanggaran Disiplin atas sepengetahuan atau patut menduga penerimaan tersebut berkenaan dengan Pelanggaran Disiplin. (3) Terperiksa dengan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pada MPJHD direkomendasikan Hukuman Disiplin jenis paling berat pada tingkat Hukuman Disiplin yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai Disiplin PNS. (4) Terperiksa dengan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pada MPJHD direkomendasikan Hukuman Disiplin dengan jenis Hukuman Disiplin lebih rendah dari jenis Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Terperiksa dengan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pada MPJHD direkomendasikan Hukuman Disiplin dengan jenis Hukuman Disiplin lebih rendah dari jenis Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Bagian Kedua Tata Cara Penjatuhan Hukuman Disiplin Pasal 29 (1) Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diterbitkan PYBM paling lama 15 (lima jdih.kemenkeu.go.id belas) hari kerja sejak menerima Laporan Hasil Kegiatan dan/atau Laporan Hasil Pemeriksaan. (2) Ketentuanjangka waktu penerbitan keputusan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal Menteri selaku Pejabat Pembina Kepegawaian bertindak sebagai PYBM. (3) Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Dalam hal diperlukan, sebelum menerbitkan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PYBM dapat meminta penjelasan dari Atasan Langsung, Tim Pemeriksa, Inspektorat Jenderal, unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing Unit Organisasi Terperiksa, dan/atau keterangan dari pihak lain. (5) Dalam hal Menteri selaku Pejabat Pembina Kepegawaian bertindak sebagai PYBM, permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikoordinasikan oleh Sekretariat Jenderal c.q. Biro Sumber Daya Manusia. (6) Dalam hal terdapat bukti dan/atau informasi baru, baik yang berasal dari permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) maupun yang berasal dari sumber lainnya, maka PYBM dapat menetapkan Penjatuhan Hukuman Disiplin selain yang sudah direkomendasikan sepanjang bukti dan/atau informasi baru tersebut menurut PYBM secara material menyebabkan perubahan tingkat dan/ataujenis Hukuman Disiplin. (7) Penetapan Penjatuhan Hukuman Disiplin selain yang sudah direkomendasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
PYBM dapat menetapkan Penjatuhan Hukuman Disiplin yang berbeda dari rekomendasi sepanjang masih dalam kewenangannya; dan/atau
dalam hal Penetapan Penjatuhan Hukuman Disiplin menjadi berada di luar kewenangan pejabat yang bersangkutan, maka berkas pemeriksaan dilakukan penelitian lebih lanjut oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa. (8) Penyesuaian rekomendasi dan/atau pengembalian berkas pemeriksaan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus didokumentasikan dalam bentuk naskah dinas. Pasal 30 (1) Dalam hal PYBM tidak menjatuhkan Hukuman Disiplin kepada Pegawai yang melakukan Pelanggaran Disiplin, maka PYBM dijatuhi Hukuman Disiplin oleh atasannya. (2) Hukuman Disiplin yang dijatuhkan kepada PYBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jenis Hukuman Disiplin yang lebih berat dari yang seharusnya diberikan kepada Terperiksa. (3) Penjatuhan Hukuman Disiplin kepada PYBM yang tidak menjatuhkan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud jdih.kemenkeu.go.id pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang dan dilakukan setelah melalui proses pemeriksaan. (4) Selain menjatuhkan Hukuman Disiplin kepada PYBM, atasan dari PYBM juga menjatuhkan Hukuman Disiplin terhadap Pegawai yang melakukan Pelanggaran Disiplin. BABV TINGKAT DAN JENIS HUKUMAN DISIPLIN Pasal 31 (1) Tingkat Hukuman Disiplin terdiri atas:
Hukuman Disiplin ringan;
Hukuman Disiplin sedang; dan
Hukuman Disiplin berat. (2) Jenis Hukuman Disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
teguran lisan;
teguran tertulis; dan
pernyataan tidak puas secara tertulis. (3) Jenis Hukuman Disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enam) bulan;
pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 9 (sembilan) bulan; dan
pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 12 (dua belas) bulan. (4) Jenis Hukuman Disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan;
pembebasan dari jabatannya menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan; dan
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS. Pasal 32 (1) Penjatuhan Hukuman Disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) huruf a untuk Pejabat Pengawas, Pejabat Fungsional, dan Pelaksana memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau ketentuan di lingkungan Kementerian Keuangan mengenai Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Peringkat Jabatan Pelaksana. (2) Pejabat Pimpinan Tinggi, Pejabat Administrator, Pejabat Fungsional selain jenjang terendah pada kategorinya yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui penurunan jabatan setingkat lebih rendah dengan diberikan jabatan dan peringkat sesuaijabatan baru hasil penurunanjabatan. (3) Pejabat Pengawas yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui:
pemberhentian dari Jabatan Pengawas; dan jdih.kemenkeu.go.id b. penetapan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat paling tinggi berdasarkan pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir. (4) Pejabat Fungsionaljenjang terendah pada kategorinya yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui:
pemberhentian dari Jabatan Fungsional, dan b. penetapan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat paling tinggi berdasarkan pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir serta tidak lebih tinggi dari peringkat jabatan terakhir sebagai Pejabat Fungsional sebelumnya. (5) Pelaksana yang dijatuhi hukuman disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan penerapannya sebagai berikut:
untuk Pelaksana Umum diturunkan jabatan dan peringkat 1 (satu) tingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan;
untuk Pelaksana Tugas Belajar ditetapkan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dan diturunkan peringkat jabatannya 1 (satu) tingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan; dan
untuk Pelaksana Khusus dan Pelaksana Tertentu ditetapkan sebagai Pelaksana Umum serta ditetapkan jabatan dan peringkat sesuai pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir dan paling tinggi 1 (satu) tingkat lebih rendah dari peringkat jabatan terakhir sebagai Pelaksana Khusus/Pelaksana Tertentu. Pasal 33 (1) Penjatuhan Hukuman Disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) huruf b untuk Pejabat Pengawas, Pejabat Fungsional, dan Pelaksana memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau ketentuan di lingkungan Kementerian Keuangan mengenai Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Peringkat Jabatan Pelaksana. (2) Pejabat Pimpinan Tinggi, Pejabat Administrator, Pejabat Fungsional selain jenjang terendah pada kategori keahlian dan selain kategori keterampilan yang dijatuhi hukuman disiplin berat berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui penetapan sebagai Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat sesuai pangkat/ golongan dan pendidikan terakhir. (3) Pejabat Pengawas yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui:
pemberhentian dari Jabatan Pengawas; dan
penetapan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat 1 (satu) tingkat lebih rendah darijabatan dan peringkat paling jdih.kemenkeu.go.id tinggi berdasarkan pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir. (4) Pejabat Fungsional kategori keterampilan dan jenjang terendah pada kategori keahlian yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa pembebasan darijabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya dilakukan melalui:
pemberhentian dari Jabatan Fungsional;
penetapan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan diberikan jabatan dan peringkat 2 (dua) tingkat dibawah jabatan dan peringkat berdasarkan pangkat/ golongan ruang dan pendidikan terakhir. (5) Pelaksana yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, penerapannya sebagai berikut:
untuk Pelaksana Umum dilakukan melalui penurunan jabatan dan peringkat ke jabatan dan peringkat terendah bagi Jabatan Pelaksana Umum di lingkungan Kementerian Keuangan selama 12 (dua belas) bulan;
untuk Pelaksana Khusus, Pelaksana Tugas Belajar dan Pelaksana Tertentu ditetapkan ke dalam Jabatan Pelaksana Umum dengan jabatan dan peringkat terendah bagi Jabatan Pelaksana Umum di lingkungan Kementerian Keuangan selama 12 (dua belas) bulan; dan
Hukuman Disiplin bagi Jabatan Pelaksana Umum dengan peringkat jabatan terendah bagi Jabatan Pelaksana Umum di lingkungan Kementerian Keuangan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 34 (1) Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 berlaku sebagai berikut:
Penjatuhan Hukuman Disiplin mempertimbangkan formasi jabatan yang lowong pada unit asal atau unit lain yang mempunyai formasi jabatan sesuai dengan penetapan Penjatuhan Hukuman Disiplin; dan
Penjatuhan Hukuman Disiplin wajib ditindaklanjuti dengan menetapkan keputusan pengangkatan atau penetapan jabatan dan peringkat dalam jabatan yang baru. (2) Pegawai yang telah selesai menjalani Hukuman Disiplin berupa pembebasan dari jabatannya menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, yang kemudian diangkat dalam jabatan wajib dilantik dan diambil sumpah/janjinya. (3) Penetapan jabatan dan peringkat Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin serta penetapannya sebagai Pelaksana Umum dilakukan sesuai dengan:
penjelasan pedoman pelaksanaan penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Larnpiran III huruf A; dan jdih.kemenkeu.go.id b. contoh format keputusan penetapan jabatan dan peringkat Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf 0, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 35 Terhadap Pegawai yang telah selesai menjalani Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33, berlaku ketentuan sebagai berikut:
terhadap Pegawai yang bersangkutan tidak serta merta kembali kepadajabatan yang semula didudukinya;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan selain jabatan Pelaksana, dapat dilakukan pengangkatan dalam jabatan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Manajemen Karier dan/atau Manajemen Talenta;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan Pelaksana Umum atau Pelaksana Tugas Belajar, setelah menjalani Hukuman Disiplin berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, penetapan jabatan dan peringkat bagi Pegawai yang bersangkutan mengikuti ketentuan mengenai mekanisme penetapanjabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan Pelaksana Umum atau Pelaksana Tugas Belajar, setelah menjalani Hukuman Disiplin berupa Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b untuk kelompok II, kelompok III, kelompok V, dan kelompok VI selain pelanggaran terkait dengan izin/surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama, penetapan jabatan dan peringkat bagi Pegawai yang bersangkutan mengikuti ketentuan mengenai mekanisme penetapan jabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan Pelaksana Umum atau Pelaksana Tugas Belajar, setelah menjalani Hukuman Disiplin berupa Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b untuk kelompok I dan kelompok VI dalam bentuk pelanggaran terkait dengan izin/ surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama, Pegawai yang bersangkutan ditetapkan kembali dalam jabatan Pelaksana dengan jabatan 2 (dua) tingkat di bawah peringkat jabatan sebelum dijatuhi Hukuman Disiplin;
terhadap Pegawai yang sebelumnya menduduki Jabatan Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu, setelah menjalani Hukuman Disiplin berupa penurunan Jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan atau jdih.kemenkeu.go.id pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan, Pegawai yang bersangkutan dapat ditetapkan kembali dalam Jabatan:
Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu, dengan jabatan 1 (satu) tingkat lebih rendah berdasarkan peringkat jabatan Pelaksana Khusus/Pelaksana Tertentu sebelum dijatuhi Hukuman Disiplin;
untuk Jabatan Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu pada jenjang terendah, ditetapkan kembali dalam Jabatan Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu pada jabatan dan peringkat yang sama;
Pelaksana Umum, dengan penetapan jabatan dan peringkat mengikuti ketentuan mengenai mekanisme penetapan jabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan dalam hal Hukuman Disiplin berupa Pembebasan dari Jabatan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b untuk kelompok II, kelompok III, kelompok V dan kelompok VI selain pelanggaran terkait dengan izin/ surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama; atau
Pelaksana Umum, dengan penetapan jabatan dan peringkat 2 (dua) tingkat di bawah peringkat jabatan paling tinggi sesuai dengan pangkat, golongan ruang dan pendidikan terakhir dalam hal Hukuman Disiplin berupa Pembebasan dari Jabatan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b untuk kelompok I dan kelompok VI dalam bentuk pelanggaran terkait dengan izin/surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama;
Akumulasi masa kerja yang berlaku dalam penetapan jabatan dan peringkat bagijabatan Pelaksana Khusus atau Pelaksana Tertentu setelah yang bersangkutan selesai menjalani hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada huruf f mengacu pada masa kerja terendah dalam jabatan baru;
Ketentuan setelah menjalani hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada huruf f dan huruf g dilakukan sesuai dengan:
penjelasan pedoman pelaksanaan penerapan Penetapan Jabatan dan Peringkat Bagi Pelaksana Umum, Pelaksana Khusus, dan Pelaksana Tertentu yang selesai menjalankan Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf B; dan
contoh format keputusan penetapan jabatan dan peringkat Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf P, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id BAB VI PEMOTONGAN TUNJANGAN SEBAGAI DAMPAK HUKUMAN DISIPLIN Pasal 36 (1) Hukuman Disiplin bagi Pegawai berdampak pada pemotongan Tunjangan. (2) Pemotongan Tunjangan diberlakukan pada Pelanggaran Disiplin kategori kelompok II, kelompok III, kelompok IV, kelompok V, dan kelompok VI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2). (3) Pelanggaran Disiplin terhadap kelompok I tidak berdampak pada pemotongan Tunjangan kecuali dilakukan secara berulang dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak penjatuhan hukuman disiplin ditetapkan. (4) Pemotongan Tunjangan terhadap Pelanggaran Disiplin pada kelompok VI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk pelanggaran terkait dengan izin/ surat keterangan perceraian, laporan/pemberitahuan perceraian, dan laporan/pemberitahuan perkawinan pertama. Pasal 37 (1) Implementasi pemotongan Tunjangan terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin terdiri atas:
terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin ringan, dilakukan pemotongan Tunjangan dengan ketentuan sebagai berikut:
sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 2 (dua) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa teguran lisan;
sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 3 (tiga) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa teguran tertulis; dan
sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enam) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pernyataan tidak puas secara tertulis;
terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin sedang, dilakukan pemotongan Tunjangan dengan ketentuan sebagai berikut:
sebesar 50% (lima puluh persen) selama 6 (enam) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
sebesar 50% (lima puluh persen) selama 9 (sembilan) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan
sebesar 50% (lima puluh persen) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun; dan
terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin berat, dilakukan pemotongan Tunjangan dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id 1. sebesar 85% (delapan puluh lima persen) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan;
sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) selama 12 (dua belas) bulan, jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksanan selama 12 (dua belas) bulan; dan
sebesar 100% (seratus persen) jika Pegawai dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil. (2) Penerapan pemotongan Tunjangan terhadap Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah mengenai Gaji dan Tunjangan. (3) Implementasi pemotongan Tunjangan terhadap Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan untuk bulan berikutnya setelah keputusan Hukuman Disiplin berlaku. BAB VII PENYAMPAIAN KEPUTUSAN DAN BERLAKUNYA HUKUMAN DISIPLIN Pasal 38 (1) Penyampaian keputusan Hukuman Disiplin dilakukan oleh PYBM atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memanggil secara tertulis Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin untuk hadir menerima keputusan Hukuman Disiplin. (3) Surat panggilan tertulis untuk menerima keputusan Hukuman Disiplin disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Keputusan Hukuman Disiplin disampaikan secara tertutup oleh PYBM atau Pejabat Lain yang Ditunjuk kepada Pegawai yang bersangkutan dan tembusannya disampaikan kepada pejabat lain yang terkait. (5) Penyampaian secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penyampaian keputusan Hukuman Disiplin yang hanya diketahui oleh Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin dan pejabat yang menyampaikan, serta pejabat lain yang terkait. (6) Dalam hal keputusan Hukuman Disiplin ditandatangani secara elektronik, keputusan Hukuman Disiplin tetap disampaikan secara langsung dan didokumentasikan dalam bentuk Berita Acara Serah Terima disusun sesuai dengan format yang tercantum dalam Lampiran I huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id (7) Penyampaian keputusan Hukuman Disiplin dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak keputusan Hukuman Disiplin ditetapkan. (8) Dalam hal Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin tidak hadir pada saat penyampaian keputusan Hukuman Disiplin:
keputusan Hukuman Disiplin dikirim kepada yang bersangkutan sesuai dengan alamat domisili terakhir sesuai yang tercantum dalam data kepegawaian Kementerian Keuangan; dan
dalam hal keputusan hukuman disiplin ditanda-tangani secara elektronik, hasil cetak keputusan Hukuman Disiplin dikirim kepada yang bersangkutan sesuai dengan alamat domisili terakhir sesuai data kepegawaian Kementerian Keuangan, dengan informasi bahwa dokumen asli keputusan telah dikirim ke alamat surat elektronik yang tercantum dalam data kepegawaian Kementerian Keuangan. (9) Pengiriman keputusan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penyampaian keputusan Hukuman Disiplin dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (10) Hukuman Disiplin yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden disampaikan kepada Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin oleh pimpinan instansi atau Pejabat Lain yang Ditunjuk. Pasal 39 (1) Keputusan Hukuman Disiplin berlaku pada hari kerja ke- 15 (lima belas) sejak keputusan diterima Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin. (2) Dalam hal Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin tidak hadir pada saat penyampaian keputusan Hukuman Disiplin, keputusan Hukuman Disiplin berlaku pada hari kerja ke-15 (lima belas) terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan Hukuman Disiplin yang dikirim ke alamat terakhir atau alamat surat elektronik sesuai data kepegawaian Kementerian Keuangan atas Pegawai yang bersangkutan. (3) Keputusan Hukuman Disiplin yang diajukan upaya administratif baik yang berupa keberatan maupun banding administratif, berlaku sesuai dengan keputusan upaya administratifnya. (4) Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Upaya Administratif. Pasal 40 (1) Pegawai yang sedang mengajukan upaya administratif berupa banding administratif kepada Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara dapat mengajukan permohonan izin untuk masuk kerja dan menjalankan tugas kembali kepada Menteri Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Pemberian atau penolakan izin sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang menangani sumber daya manusia pada tingkat Unit Organisasi untuk dan atas nama Menteri Keuangan dengan penerapan sebagai berikut:
memberikan izin masuk bekerja dan melaksanakan tugas kepada Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS karena melakukan Pelanggaran Disiplin kelompok I dan kelompok VI; atau
menolak izin masuk bekerja dan melaksanakan tugas kepada Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil karena melakukan pelanggaran selain pelanggaran sebagairnana dimaksud pada huruf a. (3) Pemberian izin sebagairnana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan unit kerja masing-masing dan apabila mengganggu suasana kerja, permohonan izin masuk kerja dan menjalankan tugas bagi Pegawai dapat ditolak. (4) Pemberian izin sebagairnana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pejabat Pimpinan Tinggi Madya untuk dan atas nama Menteri Keuangan dalam hal:
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhalangan tetap dan/atau sementara; atau
Pegawai yang mengajukan permohonan izin merupakan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama. Pasal 41 Ketentuan mengenai tindakan manajerial dalam proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, pelaksanaan Penjatuhan Hukuman Disiplin, tingkat dan jenis Hukuman Disiplin, pemotongan tunjangan sebagai dampak Hukuman Disiplin, penyampaian keputusan penjatuhan Hukuman Disiplin, dan berlakunya Hukuman Disiplin bagi pejabat administrasi dan pejabat pimpinan tinggi di lingkungan Kementerian Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 40 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tindakan manajerial dalam proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, pelaksanaan Penjatuhan Hukuman Disiplin, tingkat dan jenis Hukuman Disiplin, pemotongan tunjangan sebagai dampak Hukuman Disiplin, penyampaian keputusan penjatuhan Hukuman Disiplin, dan berlakunya Hukuman Disiplin bagi pimpinan unit non-Eselon di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki bobot jabatan dalam rentang peringkat jabatan pada Jabatan Pimpinan Tinggi dan/atau Jabatan Administrasi. BAB VIII PENDOKUMENTASlAN KEPUTUSAN HUKUMAN DISIPLIN Pasal 42 (1) Unit yang menangani sumber daya manusia pada tingkat Unit Organisasi harus mendokumentasikan setiap keputusan Hukuman Disiplin Pegawai di lingkungannya. (2) Dokumen keputusan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai salah satu jdih.kemenkeu.go.id bahan penilaian dalam pengelolaan/manajemen sumber daya manusia terhadap Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin. (3) Pendokumentasian keputusan Hukuman Disiplin termasuk dokumen pemanggilan, dokumen pemeriksaan, dan dokumen lain yang terkait dengan Pelanggaran Disiplin, diunggah ke sistem informasi sumber daya manusia Kementerian Keuangan atau aplikasi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 (1) Dokumen surat panggilan, berita acara pemeriksaan, dan dokumen bahan lain yang berhubungan dengan Hukuman Disiplin bersifat rahasia. (2) Keputusan Hukuman Disiplin dapat diinformasikan oleh Sekretariat Jenderal c.q. Biro Sumber Daya Manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik. (3) Inspektorat Jenderal dan/atau Unit yang menangani sumber daya manusia di tingkat pusat dapat mempublikasikan informasi Hukuman Disiplin untuk tujuan penguatan integritas dan/atau upaya peningkatan disiplin di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik. BAB IX PEMANTAUAN DAN EVALUASI Bagian Kesatu Pemantauan dan Evaluasi Pasal 44 (1) Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi dan/atau unit yang menangani kepatuhan internal pada masing-masing Unit Organisasi tingkat pusat melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap:
tindak lanjut atas informasi Pelanggaran Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3);
pernyataan tidak bersalah pada kesimpulan dalam Laporan Hasil Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2); dan
tindak lanjut atas Laporan Hasil Kegiatan dan Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). (2) Hasil pemantauan dan evaluasi menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan sumber daya manusia, pencegahan Pelanggaran Disiplin, dan/atau usulan kegiatan penegakan Hukuman Disiplin di lingkungan Kementerian Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Komunikasi Hasil Pemantauan dan Evaluasi Pasal 45 (1) Inspektur Jenderal melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) kepada Menteri Keuangan paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. (2) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi dapat melakukan kegiatan pengawasan terhadap:
Atasan Langsung yang tidak melakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin yang dilakukan oleh bawahannya;
PYBM yang tidak menjatuhkan Hukuman Disiplin terhadap Pegawai yang terbukti melakukan Pelanggaran Disiplin;
Atasan Langsung, Tim Pemeriksa, dan/atau pejabat/pegawai lainnya dalam hal terdapat tindak lanjut atas Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) yang tidak sesuai dengan ketentuan;
PYBM, dan/atau pejabat/pegawai lainnya dalam hal terdapat tindak lanjut atas Laporan Hasil Kegiatan dan Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) yang tidak sesuai dengan ketentuan; dan/atau
unit lain yang tidak melaksanakan proses penanganan Pelanggaran Disiplin sesuai dengan ketentuan. (3) Dalam hal Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi menindaklanjuti informasi pelanggaran yang berhubungan dengan proses penanganan Pelanggaran Disiplin, dilakukan tanpa menunggu hasil pemantauan dan evaluasi. Pasal 46 Inspektorat Jenderal c.q. Inspektorat Bidang Investigasi dan unit yang menangani sumber daya manusia di tingkat pusat melakukan pembahasan atas hasil Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. BABX HAK KEPEGAWAIAN Pasal 47 (1) Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS:
diberikan hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberhentian dan pensiun PNS; dan
tidak diberikan kenaikan pangkat pengabdian. jdih.kemenkeu.go.id (2) Pegawai yang sedang menjalani Hukuman Disiplin tingkat sedang atau tingkat berat tidak dapat dipertimbangkan kenaikan gaji berkala dan kenaikan pangkat. (3) Penundaan kenaikan pangkat bagi Pegawai yang sedang menjalani Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir apabila:
telah selesai menjalani Hukuman Disiplin; atau
berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang dinyatakan upaya administratifnya diterima dan Hukuman Disiplinnya dibatalkan atau diubah menjadi Hukuman Disiplin tingkat ringan. BABXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 48 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
terhadap Pegawai yang sedang menjalani Hukuman Disiplin, Hukuman Disiplin yang telah dijatuhkan bagi Pegawai yang bersangkutan dinyatakan tetap berlaku;
terhadap Pegawai yang sedang menjalani Hukuman Disiplin dan diberikan pemotongan Tunjangan sebagai dampak dari penjatuhan Hukuman Disiplin, pemotongan Tunjangan berkenaan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan selesainya Hukuman Disiplin;
terhadap Pelanggaran Disiplin yang sedang dilakukan Proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan yang telah selesai dilakukan Proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin tetapi belum dilakukan penjatuhan Hukuman Disiplin, maka proses selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
terhadap Informasi Pelanggaran Disiplin yang telah diterima tetapi belum dilakukan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin, maka proses Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan proses selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 49 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.09/2011 tentang Penggunaan Metode Penentuan Jenis Hukuman Disiplin dalam Rangka Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 465); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 /PMK.09/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1122), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 50 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Membebaskan sementara dari tugas jabatan Saudara: Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja terhitung mulai tanggal .... ............ .... sampai ditetapkannya keputusan hukuman disiplin, karena yang bersangkutan diduga melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal ..... , ayat ..... , jdih.kemenkeu.go.id KEDUA KETIGA KEEMPAT huruf ..... , angka ..... , Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Selama menjalani pembebasan sementara dari tugas jabatannya sebagaimana tersebut dalam Diktum KESATU, kepada Sdr. . ..................................... , tersebut tetap diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Keputusan ini disampaikan kepada yang bersangkutan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di pada tanggal _ ...... , Atasan Langsung ................... *) NAMA NIP Diterima tanggal .......................... , NAMA NIP Tembusan Yth 1. ·································;
Pejabat lain yang dianggap perlu. *) Tulislah nama jabatan dari Atasan Langsung. **) Diisi sesuai kebutuhan. jdih.kemenkeu.go.id B. CONTOH FORMAT SURAT PERINTAH UNTUK MELAKUKAN PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN 1. RAHASJA SURAT PERINTAH UNTUK MELAKUKAN PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN NOMOR:
....................................... . Diperintahkan kepada: Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Ke1ja Untuk melakukan pemeriksaan terhadap: Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja pada Hari Tanggal Jam Tempat Karena .............. ) yang bersangkutan diduga melanggar 2. Demikian Surat Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya . disiplin ........ ...... .. , ............................... . Pejabat yang berwenang*) Tembusan: *) Tulislah peianggaran disiplin yang diduga dilakukan oleh Pegawai yang bersangkutan. **) Tuiislah namajabatan dari Pejabat yang Lebih Tinggi atau Pimpinan Unit Organisasi Terperiksa (dalam ha! Atasan Langsung terlibat Pelanggaran Disiplin yang dilakukan oleh Terperiksa) jdih.kemenkeu.go.id C. CONTOH FORMAT PEMBENTUKAN TIM PEMERIKSA RAHASIA PEMBENTUKAN TIM PEMERIKSA NOMOR:
....................................... .
Berdasarkan dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan Sdr .................................................... , NIP ......................................... , pangkat ............................ , Jabatan ........................................ , maka perlu dilakukan pemeriksaan.
Mengingat ancaman hukumannya berupa hukuman disiplin tingkat sedang atau berat, maka perlu membentuk Tim Pemeriksa yang terdiri dari:
Atasan langsung Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja b. Unsur pengawasan Nama ............................................................................................ . NIP ............................................................................................ . Pangkat Jabatan Unit Kerja c. Unsur kepegawaian Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja d. Unsur pejabat lain yang ditunjuk*) Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja 3. Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tembusan: Yth. 1 ...................................... . 2. ······································ *) Jika ada. • • • • • • • • • €€€€€€€, • • • • • •• • • • • •• • • • • • • • • • • •• • • • • •• • a.n.MENTERIKEUANGAN INSPEKTUR JENDERAL, jdih.kemenkeu.go.id D. CONTOH FORMAT BERITA ACARA KOORDINASI KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU BERITA ACARA KOORDINASI NOMOR ............ . Pada hari ini ............................. , tanggal ............ , bulan ................. , tahun ............ , kami masing-masing:
. .............................................. *) selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA. 2 ................................................ *) selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
dst. telah melaksanakan kegiatan pembahasan tindak lanjut pemeriksaan pelanggaran disiplin a.n. Sdr ....................................... **), dengan kesimpulan hasil pembahasan sebagai berikut ***): 1 ................................ . 2 ................................ .
dst. Mengetahui PIHAK PERTAMA NIP ................................. . *) Pejabat yang melakukan koordinasi **) Pejabat/Pegawai yang diperiksa (tanggal) (bulan) (tahun) PIHAK KEDUA dst. ***) Kesimpulan koordinasi yang meliputi fakta berdasarkan bukti, penentuan pasal pelanggaran disiplin, dan rekomendasi hukuman disiplin. jdih.kemenkeu.go.id E. CONTOH FORMAT NOTA DINAS PEMANGGILAN DALAM RANGKA PERMINTAAN KETERANGAN KEPADA PIHAK INTERNAL KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU Yth Dari Sifat Hal Tanggal NOTA DINAS NOMOR ................................. .
.....................................................
..................................................... ) Segera / Rahasia Pemanggilan dalam rangka permintaan keterangan (tanggal) (bulan) (tahun) Sehubungan dengan Keputusan Tim Pemeriksa/Surat Perintah untuk Melakukan Pemeriksaan*) Nomor:
.... tanggal ..... , bersama ini kami meminta bantuan Bapak/Ibu/Saudara****) agar menugaskan (nama) ........ ,(NIP) .......... *) untuk hadir memberikan keterangan terkait dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Sdr. ..... , pada: Hari Tanggal jam tempat/media Atas perhatian dan ke1ja sama Bapak/lbu/Saudara), kami ucapkan terimakasih. Tembusan:
. ........................ *******) Pejabat yang Berwenang/Ketua Tim Pemeriksa ******) *) Tulislah nama atasan langsung dari pegawai yang akan dimintai keterangan. **) Sesuaikan siapa yang bersurat. ***) Pilih salah satu ****)Sesuaikan dengan jabatan atasan langsung dari pegawai yang akan dimintai keterangan. *****) Tulislah nama dan NIP dari pegawai yang akan dimintai keterangan. ******) Sesuaikan siapa pihak yang bersurat ******lTembusan keoada oegawai vang akan dimintai keterangan jdih.kemenkeu.go.id F. CONTOH FORMAT SURAT UNDANGAN PEMANGGILAN DALAM RANGKA PERMINTAAN KETERANGAN KEPADA PIHAK EKSTERNAL KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU SR- ............ / ....... / ......... . (tanggal) (bulan) (tahun) Segera/ Rahasia Nomor Sifat Lampiran Hal Pemanggilan dalam rangka permintaan keterangan Yth. . ........................... ) (tempat kedudukan) Sehubungan dengan Keputusan Tim Pemeriksa/Surat Perintah Untuk Melakukan Pemeriksaan) Nomor:
.... tanggal ..... , bersama ini kami meminta bantuan Bapak/lbu/Saudara ) untuk hadir memberikan keterangan terkait dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Sdr. ..... , pada: hari tanggal jam tempat/media Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terimakasih. Pejabat yang berwenang/Ketua Tim Pemeriksa*) *) Tulislah nama pihak eksternal yang akan dimintai keterangan. **) Pilih salah satu. ***) Sesuaikan dengan pihak eksternal yang akan dimintai keterangan. ****) Sesuaikan siaoa oihak yang bersurat. jdih.kemenkeu.go.id G. CONTOH FORMAT BERITA ACARA PERMINTAAN KETERANGAN KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU RAHASIA BERITA ACARA PERMINTAAN KETERANGAN Pada hari ini ............................. , tanggal ............ , bulan ................. , tahun ............ , saya/Tim Pemeriksa masing-masing *):
Nama NIP 2.
Pangkat Jabatan Nama NIP Pangkat Jabatan Nama NIP Pangkat Jabatan 4. dst.
............................ ' ............................. ' ............................. ' ............................. ' . ............................ , ...................•.....•... , ............................. , ............................. , . ............................ ' ............................. , ............................. ............................. berdasarkan Nota Dinas/Surat nomor .................................... , telah melakukan permintaan keterangan kepada: Nama NIP/NIK Pangkat Jabatan Unit Kerja ............................. , ............................. ' ............................. ' ............................. ' ............................. ' 1. Apakah Saudara pada saat ini daiam keadaan sehat jasmani dan rohani? 1. (Jawaban) 2. Apakah Saudara mengetahui maksud permintaan keterangan pada hari ini? ------- 2. (Jawaban) 3. Apakah Saudara bersedia memberikan jawaban dengan jujur dan benar dalam permintaan keterangan ini? 3. (Jawaban) 4. dst. **) Demikian Berita Acara Permintaan Keterangan ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Yang dimintai keterangan Nama NIP Tanda Tangan ............................. '............................ . '............................ . ' . ............... , ................... ············· Pejabat Pemeriksa/Tim Pemeriksa:
Nama NIP Tanda Tangan 2. Nama NIP Tanda Tangan ............................. , ............................. , ............................. ' jdih.kemenkeu.go.id 3. Nama NIP Tanda Tangan •.•................•..••.•.•. ,............................ . ' *) Sesuaikan apakah permintaan keterangan oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa **) Tuliskan pertanyaan-pertanyaan terkait pelanggaran disiplin yang dilakukan. jdih.kemenkeu.go.id H. CONTOH FORMAT SURAT PANGGILAN KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU RAHASIA SURAT PANGGILAN 1/11 *) NOMOR:
....................................... .
Bersama ini diminta dengan hormat kehadiran Saudara: Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja Untuk menghadap kepada: Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja pada Hari ........................................................................................... . Tanggal ........................................................................................... . Jam ........................................................................................... . Tempat/Media ........................................................................................... . untuk diperiksa/dimintai keterangan*) sehubungan dengan dugaan pelanggaran disiplin ..................................................................................... **) 2. Demikian untuk dilaksanakan.
............... , ............................... . Atasan langsung/ Ketua Tim Pemeriksa ***} Tembusan: Yth. 1 ...................................... . 2. ······································ *) Caret yang tidak perlu. **) Tulislah pelanggaran disiplin yang diduga dilakukan oleh PNS yang bersangkutan. ***) Tulislah nama jabatan dari Atasan langsung/ Ketua Tim Pemeriksa jdih.kemenkeu.go.id I. CONTOH FORMAT BERITA ACARA KETIDAKHADIRAN KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU RAHASIA BERITA ACARA KETIDAKHADIRAN Pad a hari ini ............................. , tanggal ............ , bu Ian ................. , tah un ............ , saya/Tim Pemeriksa masing-masing *):
Nama NIP 2.
Pangkat Jabatan Nama NIP Pangkat Jabatan Nama NIP Pangkat Jabatan 4. dst.
............................ .......................•..... ............................. , .............................
............................ , ............................. ..................•......••.. ,............................ . ' . ....... ············· ........ ..•.......................... ............................. , ............................. berdasarkan wewenang yang ada pada saya/Surat Perintah*) .................................... , untuk melakukan pemeriksaan kepada: Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja ............................. ' ••••.••..................••.• ' ............................. ' ............................. ' ............................. ' karena yang bersangkutan diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal .... , ayat .... , huruf .... , angka .... *), Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Atas pemanggilan terse but, yang bersangkutan tidak hadir memenuhi panggilan dan tidak menyampaikan tanggapan kepada atasan Iangsung/Tim Pemeriksa. Demikian Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. . ............... , ............................... . Pejabat Pemeriksa/Tim Pemeriksa):
Nama............................ . NIP............................ . Tanda............................ . Tangan 2. Nama ............................. ' NIP ............................. ' Tanda ............................. , Tangan 3. Nama . ............................ , NIP ............................. , Tanda .••••.••.................•..• , Tangan *) Sesuaikan apakah pemeriksaan oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa **) Tuliskan aturan yang dilanggar jdih.kemenkeu.go.id J. CONTOH FORMAT BERITA ACARA PENUNDAAN PEMANGGILAN PEMERIKSAAN KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU RAHASIA BERITA ACARA PENUNDAAN PEMANGGILAN PEMERIKSAAN Pada hari ini ............................. , tanggal ............ , bulan ................. , tahun............ , saya/Tim Pemeriksa masing-masing *):
Nama NIP 2.
Pangkat Jabatan Nama NIP Pangkat Jabatan Nama NIP Pangkat Jabatan 4. dst.
•••...•..................... ' ............................. ' ............................. ' .............••..•••.•...•••• ' ......................•...••. , ............................. ' •.•.......................... '............................ . ' ............................. '............................ . ' ............................. ' •...•........................ ' berdasarkan wewenang yang ada pada saya/Surat Perintah*) .................................... , untuk melakukan pemeriksaan kepada: Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja ......................................................... . '............................ . '............................ . ............................. karena yang bersangkutan diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal .... , ayat .... , huruf .... , angka .... **), Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Atas pemanggilan tersebut, dilakukan penundaan pemanggilan pemeriksaan dikarenakan ...... Pemeriksaan akan dilaksanakan pada ..... Demikian Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
............... ' ............................... . Pejabat Pemeriksa/Tim Pemeriksa*):
Nama............................ . NIP............................ . Tanda............................ . Tangan 2. Nama . .............•.......•.••••• ' NIP •.•••••..•••................. ' Tanda ............................. Tangan 3. Nama . ..................•...•.•..• , NIP ............................. , Tanda ............................. , Tangan *) Sesuaikan apakah pemeriksaan oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa **) Tuliskan aturan yang dilanggar jdih.kemenkeu.go.id K. CONTOH FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU RAHASIA BERITA ACARA PEMERIKSAAN Pada hari ini ............................. , tanggal ............ , bulan ................. , tahun ............ , saya/Tim Pemeriksa masing-masing *):
Nama NIP 2.
Pangkat Jabatan Nama NIP Pangkat Jabatan Nama NIP Pangkat Jabatan 4. dst.
............................ ' ••.•••.•..•.................. '............................ . ' ............................. ' ............................. ' ............................. '............................ . ' ............................. ' . ............................
............................ ' ............................. , ............................. berdasarkan wewenang yang ada pada saya/Surat Perintah*) telah melakukan pemeriksaan terhadap:
................................... , Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja ............................. ' ............................. ' • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • 1........................................................ . . karena yang bersangkutan diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal .... , ayat .... , huruf .... , angka .... **), Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil 1. Apakah Saudara pada saat ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani? 1. (Jawaban) 2. Apakah Saudara mengetahui maksud pemeriksaan pada hari ini? -------- 2. (Jawaban) 3. Apakah Saudara bersedia memberikan jawaban dengan jujur dan benar dalam pemeriksaan ini? 3. (Jawaban) 4. dst. Demikian Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Yang diperiksa Nama............................ . ' NIP Tanda Tangan ............................. '............................ . ' 1.
...............'................................ Pejabat Pemeriksa/Tim Pemeriksa*): Nama ............................. , NIP ............................. , Tanda .............. ······· ........ , Tangan Nama . .............. ··············, NIP •••........... ···············, ) jdih.kemenkeu.go.id Tanda Tangan 3. Nama NIP Tanda Tangan ............................. ' ............................. , ............................. , ............................. , *) Sesuaikan apakah pemeriksaan oleh Atasan Langsung atau Tim Pemeriksa **) Tuliskan aturan yang dilanggar **) Tuliskan pertanyaan-pertanyaan terkait pelanggaran disiplin yang dilakukan. jdih.kemenkeu.go.id L. CONTOH FORMAT LAPORAN HASIL KEGIATAN LAPORAN HASIL KEGIATAN PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 94 TAHUN 2021 TERHADAP SOR. ..... / NIP ..... Nomor Laporan No. Surat ...... TanggaI : Perintah/SK Tim Pemeriksa) Tanggal : Periode Terjadinya : Tanggal : Kasus/Masalah Pelaksanaan Nama Pegawai : Sdr ...... Pangkat/ Gol . ..... NIP ...... Jabatan .. .... A. DASAR PEMERIKSAAN 1. ................................. ; *) 2 .................................. ; dst. 3. Pemeriksaan pelanggaran disiplin PNS dilaksanakan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Menteri Keuangan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
.... tanggal.. ........ 20 .. , dengan susunan tim sebagai berikut/dalam Surat Perintah Nomor:
....................................................................................... **): Atasan Langsung NIP.... . Ketua Unsur Pengawasan NIP.... . Anggota Unsur pejabat lain yang ditunjuk NIP . .... Anggota B. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP C. HASIL PEMERIKSAAN Berdasarkan hasil penelitian, analisis data/ dokumen, dan permintaan keterangan terhadap terperiksa, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
Penelitian Dokumen 2. Pemeriksaan 3. Analisis Berdasarkan ha! terse but diatas, Sdr ...... telah melakukan pelanggaran disiplin PNS sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 yaitu:
Kewajiban Pasal ..... angka ..... (uraian pasal] Sehubungan dengan dugaan pelanggaran ketentuan tersebut, dalam pemeriksaan diperoleh fakta bahwa ..... Atas fakta tersebut, Atasan Langsung/Tim Pemeriksa**) berpendapat bahwa perbuatan Sdr. ..... terse but telah melanggar Pasal ..... angka ..... PP Nomor 94 Tahun 2021. 2) Larangan Pasal ..... angka ..... (uraian pasal) Sehubungan dengan dugaan pelanggaran ketentuan tersebut, dalam pemeriksaan diperoieh fakta bahwa ..... Atas fakta tersebut, Atasan Langsung/Tim Pemeriksa**) berpendapat Sdr...... terbukti melanggar Pasal ..... angka ..... PP Nomor 94 Tahun 2021. 4. Pertimbangan Dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan serta ketentuan yang menjadi dasar pemeriksaan, Atasan Langsung/Tim Pemeriksa**) berpendapat bahwa Sdr. ..... terbukti melanggar disiplin PNS. Sebagai pertimbangan dalam penjatuhan hukuman disiplin PNS, Atasan Langsung/Tim Pemeriksa**) menyampaikan pertimbangan sebagai berikut: } jdih.kemenkeu.go.id Hal-ha! yang meringankan Sdr ...... : dst. 5. Penerapan Metode Penentuan Jenis Hukuman Disiplin (MPJHD) di Lingkungan Kementerian Keuangan Berdasarkan fakta-fakta dan ketentuan yang menjadi dasar pemeriksaan ini, Atasan Langsung/Tim Pemeriksa**) menggunakan ketentuan PMK Nomor ....... . tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin dan Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan. Dalam menentukan jenis-jenis hukuman, Atasan Langsung/Tim Pemeriksa**) berpendapat pengenaan hukuman terhadap Sdr ...... didasarkan pada ketentuan ..... sebagai pelanggaran utama dengan unsur tambahan sebagai berikut: - dst. Berdasarkan hasil penerapan MPJHD, diperoleh hasil nilai ......... yang berdasarkan PMK Nomor ........ masuk grade ...... dengan kategori hukuman disiplin ......... berupa .............. . D. KESIMPULAN Berdasarkan uraian terse but Sdr. .. ... / NIP ..... , ...... telah terbukti melakukan pelanggaran Disiplin Pegawai Negeri Sipil yaitu:
...... . 2. dst. Perbuatan Sdr. ..... /NIP ..... di atas bertentangan dengan Pasal ..... angka ..... , dst, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang meringankan sebagaimana tersebut di atas, Atasan Langsung/Tim Pemeriksa*) merekomendasikan agar kepada Sdr. ..... /NIP ..... :
dijatuhkan hukuman disiplin berupa ..... berdasarkan Pasal ..... angka ( ..... ) huruf ..... Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021;
dst.
.... , ..... / ..... /20 .. Atasan Langsung/Tim Pemeriksa***) Atasan Langsung, ***) Unsur Kepegawaian, ) Unsur Pengawasan,) Unsur pejabat lain yang ditunjuk, ***) *) Tulis peraturan perundangan dan ketentuan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan pemeriksaan. **) Caret yang tidak perlu ***) Dapat disesuaikan jika pemeriksaan dilakukan oleh Atasan Langsung jdih.kemenkeu.go.id M. CONTOH FORMAT LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU (tempat), (tanggal) (bulan) (tahun) Kepada Yth ............................ . di (tempat kedudukan) RAHASIA Dengan ini dilaporkan dengan hormat, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan pada hari .................. , tanggal ............... , bulan ................... , tahun .................... , saya/Tim Pemeriksa *) telah melakukan pemeriksaan terhadap: Nama NIP Pangkat Jabatan Unit Kerja Berdasarkan hasil pemeriksaan, dapat kami laporkan sebagai berikut: BENTUK WAKTU TEMPAT FAKTOR YANG PELANGGARAN MEMBERATKAN FAKTORYANG MER!NGANKAN DAMPAK PERBUATAN 1. Yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran disiplin ................................ , sehingga direkomendasikan untuk dijatuhi Hukuman Disiplin ................................................................................................. . 2. Kewenangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS tersebut diatas merupakan kewenangan .................................................................................. **). Sehubungan dengan ha! tersebut, disampaikan Berita Acara Pemeriksaan terhadap PNS yang bersangkutan untuk digunakan dalam penetapan keputusan penjatuhan Hukuman Disiplin. Demikian disampaikan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Yang melaporkan (Atasan langsung/Ketua Tim Pemeriksa *)), Tembusan Yth : 1 ................................................................... ; dan *) Caret yang tidak perlu. **) Isilah sesuai dengan oeiabat yang berwenang menghukum. jdih.kemenkeu.go.id N. CONTOH FORMAT KEPUTUSAN PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN 1. Format Keputusan Penjatuhan Hukuman Disiplin Teguran Lisan Menimbang Mengingat Menetapkan KESATU KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT ................................ *) RAHASIA KEPUTUSAN ............................................ **) NOMOR .............................. .
KEPUTUSAN 1 1 1 TENTANG PENETAPAN JABATAN DAN PERINGKAT BAGI PEJABAT PELAKSANA YANG SELESAI MENJALANI HUKUMAN DISIPLIN *) DI LINGKUNGAN (3) Menetapkan jabatan dan peringkat bagi pejabat pelaksana yang selesai menjalani hukuman disiplin berat di lingkungan (3) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan 111 ini. Keputusan llJ ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal (9) Salinan Keputusan1 ^1 1 ini disampaikan kepada:
Sekretariat Unit Eselon I;
Kepala Bagian Keuangan, Unit Eselon I;
Kepala Bagian Sumber Daya Manusia, Unit Eselon I. Petikan Keputusanl ^1 1 m1 disampaikan kepada yang bersangkutan untuk diketahui dan digunakan sebagaimana mestinya. •••••••••••••••••••••••• 1 NAMA NIP ••••••••••••••••••••• (13) •.•••••.•••••.•••• (14) jdih.kemenkeu.go.id KETERANGAN:
Pimpinan unit Eselon I yang bersangkutan (2) Nomor keputusan pimpinan unit Eselon I (3) Unit Eselon II yang bersangkutan (4) Nomor Keputusan Menteri Keuangan mengenai penjatuhan hukuman disiplin berat (5) Nomor Peraturan Menteri Keuangan tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan/Instansi Vertikal dan UPT (6) Nomor Peraturan Menteri Keuangan tentang Mekanisme Penetapan Jabatan dan Peringkat bagi Pelaksana di Lingkungan Kementerian Keuangan (7) Nomor Peraturan Menteri Keuangan mengenai Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementerian Keuangan (8) Nomor Keputusan Menteri Keuangan tentang Jabatan dan Peringkat bagi Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan (9) TMT Pelaksana Umum yang bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin berat (10) Tempat dan tanggal penetapan Keputusan Penetapan Jabatan dan Peringkat bagi Pelaksana Umum (11) Nama jabatan pimpinan unit Eselon I (12) Nama jabatan pimpinan unit Eselon II (13) Nama pimpinan unit Eselon II (14) NIP pimpinan unit Eselon II jdih.kemenkeu.go.id LAMPIRAN KEPUTUSAN 11 Nomor TENTANG PENETAPAN JABATAN DAN PERINGKAT BAGI PEJABAT PELAKSANA YANG SELESAI MENJALANI HUKUMAN DISIPLIN *) DI LINGKUNGAN 31 PENETAPAN JABATAN DAN PERINGKAT BAGI PEJABAT PELAKSANA YANG SELESAI MENJALANI HUKUMAN DISIPLIN *) DI LINGKUNGAN 31 NO. NAMA/ PANGKAT/GOL. PENDIDIKAN LAMA TMT BARU KETERANGAN ' NIP RUANG/ JABATAN PERINGKAT PERINGKAT JABATAN PERINGKAT TMT GOL TERAKHIR (41 (51 (61 (71 (81 (9) (10) (11) (12) (13) 1. Risa/ Penata Muda/ Diploma III Pengadministrasi 4 1 Maret Penata 8 • Ybs . selesai 1985 Illb Perkantoran Tk. V 2022 Keprotokolan Tk. menjalani 1 Oktober 2018 Penata V (Sekretaris hukuman disiplin Eselon II masa berupa kerja O tahun)) pembebasan jabatan selama 12 bulan (B2), • Sebelum hukuman disiplin menduduki jabatan Penata Keprotokolan Tk. IV (Sekretaris Eselon II masa kerja 3 tahun) • TMT I Maret 2023 2. Dani/ Penata Muda Tk. Diploma III Pengadministrasi 4 1 Maret Pengolah Data 8 • Ybs . selesai 1990 I /Illa Perkantoran Tk. V 2022 dan Informasi menjalani 1 April 2020 Tk.III hukuman disiplin berupa pembebasan dari jabatannya selama 12 bulan (B2) • Sebelum dijatuhi hukuman, Ybs. jdih.kemenkeu.go.id menduduki jabatan Pengolah Data dan Informasi Tk. I (10) • TMT 1 Maret 2023 3. Dewa/ Penata Muda Tk. Diploma III Pengolah Data 8 12 Juli Pawang Anjing 8 • Ybs. selesai 1985 I /Ille dan Informasi Tk. 2022 Tk. III akumulasi menjalani hukuman 1 April 2022 III masa kerja < 3 disiplin berupa tahun penurunan jabatan 1 (satu) tingkat le bih rendah (B 1) • Sebelum dijatuhi hukuman disiplin, Ybs. menduduki jabatan Pawang Anjing Tk. II, go! IIIb, pendidikan DIII (9) • TMT 12 Juli 2023 4. Sheila/ Penata Muda Tk. Diploma III Pengadministrasi 4 15 Juni Pawang Anjing 8 • Ybs. selesai 1991 I /Ilic Perkantoran Tk. V 2022 Tk. III akumulasi menjalani hukuman 1 April 2022 Penata masa kerja < 3 disiplin berupa tahun pembebasan jabatan (B2) • Sebelum dijatuhi hukuman disiplin, Ybs. menduduki jabatan Pawang Anjing Tk. II, go! IIIb, pendidikan DIII (9) • TMT 12 Juni 2023 KETERANGAN: ill Pimpinan unit Eselon I yang bersangkutan 12) Nomor keputusan pimpinan unit Eselon I 13) Unit Eselon II yang bersangkutan (4) Nomorurut (5) Nama dan NIP Pegawai jdih.kemenkeu.go.id 161 Pangkat golongan/ ruang Pegawai pada saat dilakukan penurunan/pembebasan jabatan yang dilengkapi dengan TMT SK pangkat golongan/ruang terakhir 171 Pendidikan terakhir Pegawai pada saat dilakukan penurunan/pembebasan jabatan sesuai data pada unit kepegawaian di Unit Kerja yang bersangkutan 181 Nomenklatur jabatan dan kedudukan pada SK terakhir yang diduduki Pegawai 191 Peringkat jabatan pada SK terakhir yang diduduki Pegawai 1101 TMT Peringkat Pelaksana terakhir ditetapkan naik/mengalami perubahan 1111 Jabatan dan kedudukan yang diberikan kepada pegawai pada saat dilakukan penurunan/pembebasanjabatan dan ditetapkan sebagai Pelaksana Umum 1121 Peringkat yang diberikan kepada Pegawai pada saat dilakukan penurunan/pembebasanjabatan dan ditetapkan sebagai Pelaksana Umum 1131 Keterangan mengenai: catatan: TMT yang bersangkutan dilakukan penurunan/pembebasanjabatan dan ditetapkan sebagai Pelaksana Umum Predikat Kinerja Pelaksana Umum yang belum digunakan sebagai bahan Sidang Penilaian atau Predikat Kinerja periode kedua yang bernilai Sangat Baik, Baik, Kurang atau Sangat Kurang sebagai akibat penetapan tetap yang belum digunakan sebagai bahan Sidang Penilaian dapat digabungkan dengan Predikat Kinerja Tahunan Pegawai pada 1 (satu) Periode Evaluasi tahun berikutnya sebagai dasar penilaian pada Sidang Penilaian. *) diisi menyesuaikan jenis hukuman penjatuhan disiplin jdih.kemenkeu.go.id Q. CONTOH FORMAT SURAT PANGGILAN UNTUK MENERIMA KEPUTUSAN HUKUMAN DISIPLIN KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU (tempat), (tanggal) (bulan) (tahun) Kepada Yth ............................ . di (tempat kedudukan) RAHASIA Dengan ini diminta kehadiran Saudara, untuk menghadap kepada: Nama NIP Pangkat Jabatan pada: hari tanggal jam tempat untuk menerima Keputusan ................... , Nomor .................. , tanggal .......... , tentang penjatuhan hukuman disiplin ............................................................. . Demikian disampaikan untuk dilaksanakan.
...................................................... *) Tembusan Yth : 1 ................................................................... ; dan
Pejabat lain yang dianggap perlu. *) Tulislah nama jabatan dari pejabat yang menandatangani surat panggilan. jdih.kemenkeu.go.id R. CONTOH FORMAT BERITA ACARA SERAH TERIMA 1. FORMAT BERITA ACARA SERAH TERIMA KEPUTUSAN PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN KOP SURAT RESMI SESUAI DENGAN TATA NASKAH DINAS YANG BERLAKU BERITA ACARA SERAH TERIMA NOMOR ..................................... Pada hari ini, ...... tanggal ..... bulan . ..... tahun .... bertempat di ...... , kami yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : ····························································································· NIP ............................................................................................. Pangkat ····························································································· Jabatan : ····························································································· Selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA (yang menyerahkan). 2. Nama :
............................................................................................ NIP : ····························································································· Pangkat ............................................................................................. Jabatan ............................................................................................. Selanjutnya disebut PIHAKKEDUA (yang menerima). PIHAK PERTAMA menyerahkan dokumen seperti dalam daftar di bawah ini kepada PIHAK KEDUA dalam rangka Penyampaian Keputusan Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagai berikut: No. Dokumen Jumlah Keterangan 1. ........... . .......... ...........
Dst. Dst. Dst. Demikian Berita Acara ini dibuat pada hari dan tanggal di atas untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA ) jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI LAMPIRAN II PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2023 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN DAN PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN METODE PENENTUAN JENIS HUKUMAN DISIPLIN 1. Umum Penentuan jenis Hukuman Disiplin terhadap Pegawai yang melakukan Pelanggaran Disiplin dilakukan dengan menggunakan Metode Penentuan Jenis Hukuman Disiplin (MPJHD). Dalam MPJHD, dihasilkan sebuah nilai (Nilai Akhir) yang dapat dikonversi menjadi peringkat (grade) jenis Hukuman Disiplin tertentu. Semakin besar Nilai Akhir yang menunjukkan semakin besar bobot pelanggaran yang dilakukan Pegawai, semakin tinggi peringkat (grade) jenis Hukuman Disiplinnya, yang berarti semakin berat jenis Hukuman Disiplin yang akan dijatuhkan kepada Pegawai. Penerapan MPJHD dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
b. menentukan pasal yang dilanggar oleh Terperiksa; menentukan salah satu kategori kelompok pasal Pelanggaran Disiplin sebagai berikut:
kelompok I yaitu jenis pelanggaran atas kewajiban untuk masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, yang hanya memiliki faktor pembobotan tetap yang telah ditentukan secara pasti tingkat dan jenis Hukuman Disiplin;
kelompok II yaitu jenis pelanggaran yang harus mempertimbangkan Dampak Negatif dalam penentuan jenis Hukuman Disiplin, yang terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan b) c) Pemerintah; kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; kewajiban untuk melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang; d) kewajiban untuk menaati ketentuan peraturan perundang- undangan; e) kewajiban untuk melaksanakan tugas kedinasan dengan f) penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; kewajiban untuk menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; g) kewajiban untuk menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; h) kewajiban untuk bersedia ditempatkan di seluruh wilayah i) Negara Kesatuan Republik Indonesia; kewajiban untuk mengutamakan daripada kepentingan pribadi, golongan; kepentingan negara seseorang, dan/atau jdih.kemenkeu.go.id 3) 4) 5) j) kewajiban untuk melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada ha! yang dapat membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara; k) kewajiban untuk menggunakan dan memelihara barang milik negara dengan sebaik-baiknya;
kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan kompetensi; m) larangan memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah; n) o) p) larangan melakukan pungutan di luar ketentuan; larangan melakukan kegiatan yang merugikan negara; larangan bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan; dan/atau q) larangan menghalangi berjalannya tugas kedinasan; kelompok III yaitujenis pelanggaran yang telah ditentukan tingkat Hukuman Disiplinnya namun belum diatur penentuan jenisnya, yang terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji PNS; b) kewajiban untuk menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji jabatan; c) kewajiban untuk menolak segala bentuk pemberian yang d) e) f) g) berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; larangan menyalahgunakan wewenang; larangan menjadi perantara untuk keuntungan pribadi dan/atau orang menggunakan kewenangan orang lain yang konflik kepentingan dengan jabatan; mendapatkan lain dengan diduga terjadi larangan menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain; larangan bekerja pada lembaga atau organisasi internasional tanpa izin atau tanpa ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; h) larangan bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, i) j) atau lembaga swadaya masyarakat asing kecuali ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; larangan menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan; dan/atau larangan meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan; kelompok IV yaitu jenis pelanggaran atas larangan melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; kelompok V yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan tingkat Hukuman Disiplinnya berdasarkan ketaatan pelaporan harta kekayaan bagi pihak tertentu atau perbuatan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan politik, terdiri atas pelanggaran: a) kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan \j jdih.kemenkeu.go.id Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan
kelompok VI yaitu jenis pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;
menentukan jenis Hukuman Disiplin dengan mempertimbangkan faktor yang memberatkan dan/atau faktor yang meringankan;
mengonversi faktor yang memberatkan dan/atau faktor yang meringankan menjadi nilai;
faktor yang memberatkan dan/atau meringankan harus didukung bukti;
menghitung Nilai Akhir dengan cara menambahkan Nilai Pokok dengan Nilai Tambahan;
mengonversi Nilai Akhir menjadi Grade, dengan memperhatikan Rentang Nilai tempat Nilai Akhir tersebut berada;
menentukan satu jenis Hukuman Disiplin yang terberat dalam hal Terperiksa melakukan beberapa pelanggaran setelah dilakukan perhitungan; dan
menetapkan jenis hukuman disiplin yang sesuai dengan Grade yang dihasilkan.
Hukuman Disiplin Hukuman Disiplin sebagaimana ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil memiliki 3 (tiga) tingkat yaitu Hukuman Disiplin ringan, sedang, dan berat. Dalam Peraturan Menteri ini, masing-masing jenis Hukuman Disiplin dapat dijabarkan b . b "k t se agru. en u: Tabel-1 Jenis Hukuman Disiplin No. Jenis Hukuman Disiplin (Hukdis) Kategori Hukdis 1. Te2Uran lisan Ringan-1 2. TeP-n ran tertulis Ringan-2 3. Pernyataan tidak puas secara tertulis Ringan-3 4. Pemotongan tunjangan kinerja sebesar Sedang-1 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enaml bulan 5. Pemotongan tunjangan kinerja sebesar Sedang-2 '25% (dua puluh lima persen) selama 9 (sembilanl bulan 6. Pemotongan tunjangan kinerja sebesar Sedang-3 25% (dua puluh lima persen) selama 12 (dua belas) bulan 7. Penurunan jabatan setingkat lebih rendah Berat-1 selama 12 (dua belas) bulan 8. Pembebasan dari jabatannya menjadi Berat-2 jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan 9. Pemberhentian dengan hormat tidak atas Berat-3 permintaan sendiri sebagai PNS Ketentuan tingkat dan jenis Hukuman Disiplin sedang berlaku setelah Peraturan Pemerintah mengenai Gaji dan Tunjangan berlaku. Sebelum berlakunya peraturan pemerintah mengenai Gaji dan Tunjangan, penjatuhan Hukuman Disiplin sedang berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. jdih.kemenkeu.go.id 3. Nilai Pokok Nilai Pokok merupakan nilai batas sebelum memasuki Rentang Nilai Tingkat Hukuman Disiplin tertentu sebagaimana tercantum dalam tabel se b . b "k agai en ut: Tabel-2 Nilai Pokok No. Tingkat Hukuman Disiolin Rentang Nilai Nilai Pokok 1. Ringan 0 < X < 30 0 2. Sedang 30 < X < 60 30 3. Berat 60 < X 60 Dengan dem1k1an, maka:
jenis pelanggaran dengan tingkat Hukuman Disiplin ringan memiliki Nilai Pokok 0;
jenis pelanggaran dengan tingkat Hukuman Disiplin sedang memiliki Nilai Pokok 30; dan
jenis pelanggaran dengan tingkat Hukuman Disiplin berat memiliki Nilai Pokok 60.
Nilai Tambahan Selain Nilai Pokok, setiap jenis pelanggaran memiliki Nilai Tambahan yang merupakan komponen perhitungan dalam penentuan jenis Hukuman Disiplin berdasarkan faktor yang memberatkan dan/atau yang meringankan. Nilai Tambahan ditentukan oleh faktor-faktor yang terdapat dalam jenis pelanggaran sesuai dengan karakteristiknya, yaitu:
pembobotan tetap, yaitu nilai yang diberikan berdasarkan rentang nilai pada setiap tingkat Hukuman Disiplin;
pembobotan utama, yaitu nilai yang diberikan berdasarkan unsur dominan dalam setiap pelanggaran. Khusus untuk pelanggaran tertentu yang dilakukan secara bersama-sama, pembobotan utama berdasarkan peran Terperiksa;
pembobotan tambahan, yaitu nilai yang diberikan berdasarkan banyaknya jenis pelanggaran, rekam jejak Hukuman Disiplin, faktor kesengajaan, dan hambatan dalam proses pemeriksaan sebagai faktor pemberat;
pembobotan yang meringankan, yaitu nilai yang diberikan berdasarkan peran serta Terperiksa dalam penanganan kasus yang bersangkutan dan/atau pengungkapan Pelanggaran Disiplin; dan
sebagai faktor yang meringankan. Faktor yang meringankan akan menjadi pengurang Nilai Akhir. Faktor pembobotan unsur yang meringankan sebagai unsur pengurang dalam Nilai Akhir, dengan kondisi:
berperilaku baik dan / a tau kooperatif selama proses pemeriksaan, antara lain: tidak berbelit-belit, tidak menyembunyikan/ mempersulit/menghalangi perolehan informasi/ keterangan/ bukti, tidak menghilangkan barang bukti, dan/atau merusak dokumen pemeriksaan; dan/atau
sebagai inisiator pengungkapan pelanggaran yang dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) Terperiksa secara bersama-sama serta berdampak signifikan pada penegakan integritas di Kementerian Keuangan yang disampaikan kepada UKI/Inspektorat Jenderal. jdih.kemenkeu.go.id 5. Nilai Akhir Formula Nilai Akhir: Nilai Akhir = Nilai Pokok + Nilai Tambahan *) *) Nilai Tambahan = Faktor Pembobot Utama + Faktor Pembobot Tambahan - Faktor Pembobotan yang Meringankan Atau Nilai Tambahan = Faktor Pembobot Peran + Faktor Pembobot Tambahan - Faktor Pembobotan yang Meringankan *) sesuai dengan masing-masing kategori. Dengan menggunakan Daftar Grade, ditentukan jenis Hukuman Disiplin yang sesuai dengan Nilai Akhir yang diperoleh, yaitu dengan melihat pada Rentang Nilai manakah Nilai Akhir tersebut berada. Grade jenis Hukuman Disiplin terdiri dari 9 (sembilan) grade sesuai dengan banyaknya jenis Hukuman Disiplin yang terdapat dalam PP 94 Tah 2021 ·t un , yai u: Tabel-3 Daftar Grade No. Jenis Hukdis Grade Rentang 1. Te<>nran lisan Grade0l 0<x<l0 2. Teguran tertulis Grade02 10<x<20 3. Pernvataan tidak puas secara tertulis Grade03 20<x530 4. pemotongan tunjangan kinerja sebesar Grade04 30<x540 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enaml bulan 5. pemotongan tunjangan kinerja sebesar Grade 05 40<x550 25% (dua puluh lima persen) selama 9 (sembilanl bulan 6. pemotongan tunjangan kinerja sebesar Grade 06 50<x560 25% (dua puluh lima persen) selama 12 (dua belasl bulan 7. Penurunan jabatan setingkat lebih Grade 07 60<x570 rendah selama 12 (dua belasl bulan 8. Pembebasan darijabatannya menjadi Grade 08 70<x580 jabatan pelaksana selama 12 (dua belasl bulan 9. Pemberhentian dengan hormat tidak Grade 09 80<x atas permintaan sendiri sebagai PNS Faktor pembobotan utama, faktor pembobotan peran, faktor pembobotan tambahan, dan/atau faktor pembobotan yang meringankan hanya berdampak pada penentuan jenis Hukuman Disiplin dalam tingkat yang sama, sehingga:
Nilai Akhir yang melewati rentang nilai bawah tingkat Hukuman Disiplin akibat faktor yang meringankan, Hukuman Disiplin yang diberikan merupakan jenis paling rendah pada tingkat terse but. b. Nilai Akhir yang melewati rentang nilai atas tingkat Hukuman Disiplin akibat faktor yang meringankan, Hukuman Disiplin yang diberikan merupakan jenis paling tinggi pada tingkat terse but. c. Dalam ha! Nilai Akhir lebih kecil dari Nilai Pokok, jenis Hukuman Disiplin ditentukan berdasarkan rentang (Nilai Pokok + 1).
Kelompok Pelanggaran Disiplin Berdasarkan faktor pembobotan tetap, faktor pembobotan utama, faktor pembobotan tambahan, dan faktor unsur yang meringankan tersebut, makajenis Pelanggaran Disiplin dikelompokkan menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu: } jdih.kemenkeu.go.id a. Kelompok I yaitujenis pelanggaran atas kewajiban untuk masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja. Kelompok I telah ditentukan secara r . k d . . H k D" . r pas 1 tmg at an 1e111s u uman !SIP lil. Tabel-4 Nilai Akhir Kelompok I No. Hari Tidak Masuk Keria Nilai Akhir 1. 3 10 2. 4-6 20 3. 7-10 30 4. 11-13 40 5. 14-16 50 6. 17-20 60 7. 21-24 70 8. 25-27 80 9. 28 90 10. 10 hari berturut-turut 90 b. Kelompok II yaitu jenis pelanggaran yang harus mempertimbangkan Dampa: k Negatif dalam penentuan jenis Hukuman Disiplin. N"l . P k k k 1 k II b . b "k t l aI 0 0 eompo se agar en u. Tabel-5 Nilai Pokok Kelompok II No. Pasal Pelanggaran Dampak Nilai pp 94/2021 Pokok 1. Pasal 3 huruf a Unit Keria, Instansi, Negara 60 2. Pasal 3 huruf b Unit Keria, Instansi 30 3. Pasal 3 huruf b Negara 60 4. ^- Pasal 3 huruf c, Unit Keria 0 huruf d, huruf e, Instansi 30 huruff, Negara 60 - Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf g dan hurufh - Pasal 5 huruf f, huruf g, huruf h, hurufi, hurufi. Nilai Tamba: han kelompok II ditentukan berdasarkan 4 (empat) faktor pembobotan tambahan dan 1 (satu) faktor pembobotan yang meringankan, yaitu:
Banyaknya jenis pelanggaran berdasarkan jumla: h pasal terkait kewajiban dan/atau larangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerinta: h mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil yang dilanggar, dengan pilihan kondisi: a) hanya satu pasal yang dilanggar (Nilai 0); b) terdapat dua pasal yang dilanggar (Nilai 3,75); atau c) lebih dari dua pasal yang dilanggar (Nilai 7,5). 2) Rekamjeja: k Hukuman Disiplin yang tela: h selesai dijalani dengan pilihan kondisi: a) belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 0); b) perna: h satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 3,75); atau c) lebih dari satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 7,5). 3) Faktor kesengajaan, dengan pilihan kondisi: a) terpaksa melakukan pelanggaran (Nilai 0); b) tida: k sengaja/lalai melakukan pelanggaran (Nilai 3,75); atau c) sengaja mela: kukan pelanggaran (Nilai 7,5). 4) Fa: ktor hambatan dalam proses pemeriksaan, dengan pilihan kondisi: a) tida: k ditemukan adanya hambatan dalam proses pemeriksaan (Nilai O); jdih.kemenkeu.go.id b) berperilaku tidak sopan, berbelit-belit, dan/atau tidak kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 3,75); dan/atau c) mempersulit/menghalangi perolehan informasi/ keterangan/bukti, menghilangkan barang bukti, dan/atau merusak dokumen pemeriksaan (Nilai 7,5). 5) Faktor pembobotan yang meringankan, dengan pilihan kondisi: a) berperilaku baik dan/atau kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 5); dan/atau b) sebagai inisiator pengungkapan pelanggaran yang berdampak signifikan pada penegakan integritas di Kementerian Keuangan (Nilai 10). sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 butir e.1) dan butir e.2). Dengan demikian, Nilai Tambahan kelompok II untuk tingkat Hukuman Disiplin ringan, sedang atau berat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (I(Faktor Pembobotan Tambahan)-Faktor Pembobotan yang Meringankanl c. Kelompok III yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan tingkat Hukuman Disiplinnya namun belum diatur penentuan jenisnya. Nilai Pokok kelomook III seba!lai berikut. Tabel-6 Nilai Pokok Kelomnok III No. Pasal Pelanaaaran PP 94/2021 Nilai Pokok 1. Pasal 4 huruf a dan huruf b 30 2. Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, 60 huruf e, huruf k, dan huruf 1 Kelompok III dibagi menjadi:
Kelompok III umum yang tidak terkait penerimaan uang dan/atau kerugian negara/pihak lain. Nilai Tambahan kelompok III umum ditentukan berdasarkan 4 (empat) faktor pembobotan tambahan dan 1 (satu) faktor pembobotan yang meringankan, yaitu: a) Banyaknya jenis pelanggaran berdasarkan jumlah pasal terkait kewajiban dan/atau larangan sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil yang dilanggar, dengan pilihan kondisi:
hanya satu pasal yang dilanggar (Nilai O);
terdapat dua pasal yang dilanggar (Nilai 2,5); atau
lebih dari dua pasal yang dilanggar (Nilai 5). b) Rekam jejak Hukuman Disiplin yang telah selesai dijalani dengan pilihan kondisi:
belum pernah dijatuhi Hukurnan Disiplin (Nilai O); atau
pernah satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 15). c) Faktor kesengajaan, dengan pilihan kondisi:
terpaksa melakukan pelanggaran (Nilai O);
tidak sengaja/lalai melakukan pelanggaran (Nilai 2,5); atau
sengaja melakukan pelanggaran (Nilai 5). d) Faktor hambatan dalam proses pemeriksaan, dengan pilihan kondisi:
tidak ditemukan adanya hambatan dalam proses pemeriksaan (Nilai O); jdih.kemenkeu.go.id (2) berperilaku tidak sopan, berbelit-belit, dan/atau tidak kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 2,5); dan/atau
mempersulit/menghalangi perolehan informasi/ keterangan/bukti, menghilangkan barang bukti, dan/atau merusak dokumen pemeriksaan (Nilai 5). e) Faktor pembobotan unsur yang meringankan, dengan pilihan kondisi:
berperilaku baik dan/atau kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai Pengurang 5); dan/atau
sebagai inisiator pengungkapan pelanggaran yang berdampak signifikan pada penegakan integritas di Kementerian Keuangan (Nilai Pengurang 10). Sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 butir e.1) dan butir e.2). Dengan demikian, Nilai Tambahan kelompok III umum untuk tingkat Hukuman Disiplin sedang atau berat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (I(Faktor Pembobotan Tambahan)-Faktor Pembobotan yang Meringankan) 2) Kelompok III khusus yang disertai dengan penerimaan uang dan/atau kerugian negara/pihak lain. Kerugian negara merupakan kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Kerugian pihak lain merupakan segala kerugian yang dapat dinilai dengan uang, dialami oleh pegawai lain, pihak yang dilayani, dan/atau pihak lainnya. Nilai Tambahan kelompok III khusus ditentukan berdasarkan: faktor pembobotan peran atau pembobotan utama; faktor pembobotan tambahan; dan faktor pembobotan yang meringankan. a) Pelanggaran Disiplin pada kelompok III khusus yang dilakukan bersama-sama memiliki faktor pembobotan sebagai berikut. (1) P b b t em o o an peran Tabel-7 Nilai Pembobotan Peran Kelompok III Khusus No. Peran Nilai Tambahan 1. Pelaku Pasif 10 2. Pelaku Aktif 20 3. Inisiator 30 (2) Pembobotan tambahan, berdasarkan jumlah uang yang diterima dan/atau kerugian yang ditimbulkan:
sampai dengan Rpl0 Juta (Nilai 2,5);
lebih dari Rpl0 Juta s.d. Rp50 Juta (nilai 5);
lebih dari Rp50 Juta s.d. Rpl00 Juta (Nilai 7,5); atau
iv. lebih dari Rpl00 Juta (Nilai 10). b) Pelanggaran Disiplin pada kelompok III khusus yang dilakukan secara individual memiliki faktor pembobotan sebagai berikut. (1) Pembobotan utama, berdasarkan jumlah uang yang diterima dan/atau kerugian yang ditimbulkan:
sampai dengan Rpl0 Juta (Nilai 7,5); \J jdih.kemenkeu.go.id ii. lebih dari Rpl0 Juta s.d. Rp50 Juta (nilai 15);
lebih dari Rp50 Juta s.d. Rpl00 Juta (Nilai 22,5); atau
1v. lebih dari Rpl00 Juta (Nilai 30).
Pembobotan tambahan, berdasarkan faktor-faktor:
Banyaknya jenis pelanggaran berdasarkan jumlah pasal terkait kewajiban dan/atau larangan sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil yang dilanggar, dengan pilihan kondisi: (a) hanya satu pasal yang dilanggar (Nilai 0); (b) terdapat dua pasal yang dilanggar (Nilai 1,25); atau (c) lebih dari dua pasal yang dilanggar (Nilai 2,5). ii. Rekam jejak Hukuman Disiplin yang telah selesai dijalani dengan pilihan kondisi: (a) belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 0); (b) pernah satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 1,25); atau (c) lebih dari satu kali dijatuhi hukuman disiplin (Nilai 2,5).
Faktor kesengajaan, dengan pilihan kondisi: (a) terpaksa melakukan pelanggaran (Nilai 0); (b) tidak sengaja/lalai melakukan pelanggaran (Nilai 1,25); a tau (c) sengaja melakukan pelanggaran (Nilai 2,5). iv. Faktor hambatan dalam proses pemeriksaan, dengan pilihan kondisi: (a) tidak ditemukan adanya hambatan dalam proses pemeriksaan (Nilai 0); (b) berperilaku tidak sopan, berbelit-belit, dan/ a tau tidak kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 1,25); dan/atau (c) mempersulit/menghalangi perolehan informasi/keterangan/bukti, menghilangkan barang bukti, dan/atau merusak dokumen pemeriksaan (Nilai 2,5). (3) Kelompok III khusus memiliki faktor pembobotan yang meringankan, dengan pilihan kondisi:
berperilaku baik dan / a tau kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 5); dan/atau
sebagai inisiator pengnngkapan pelanggaran yang berdampak signifikan pada penegakan integritas di Kementerian Keuangan (Nilai 10). Sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 butir e.1) dan butir e.2). Dengan demikian, Nilai Tambahan kelompok III khusus untuk tingkat Hukuman Disiplin berat dihitung dengan rumus seba ai berikut: (Faktor Pembobotan Utama atau Faktor Pembobotan Peran + Faktor Pembobotan Tambahan - Faktor jdih.kemenkeu.go.id d. Kelompok IV yaitu jenis pelanggaran atas larangan melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani. Nilai Pokok kelompok IV sebesar 30. Nilai Tambahan kelompok IV ditentukan berdasarkan faktor:
Pembobotan utama, berdasarkan nilai kerugian bagi pihak yang dilayani yaitu: a) terdapat kerugian bagi pihak yang dilayani namun tidak teridentifikasi nilainya (Nilai 7 ,5); b) terdapat kerugian bagi pihak yang dilayani sampai dengan Rp50 Juta. (Nilai 15); atau c) terdapat kerugian bagi pihak yang dilayani lebih dari Rp50 Juta. (Nilai 22,5). 2) Pembobotan tambahan, berdasarkan faktor-faktor: a) Banyaknya jenis pelanggaran berdasarkan jumlah pasal terkait kewajiban dan/atau larangan sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil yang dilanggar, dengan pilihan kondisi:
hanya satu pasal yang dilanggar (Nilai O);
terdapat dua pasal yang dilanggar (Nilai 1,25); atau
lebih dari dua pasal yang dilanggar (Nilai 2,5). b) Rekam jejak Hukuman Disiplin yang telah selesai dijalani dengan pilihan kondisi:
belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai O);
pernah satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 1,25); atau
lebih dari satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 2,5). c) Faktor kesengajaan, dengan pilihan kondisi:
terpaksa melakukan pelanggaran (Nilai 0);
tidak sengaja/lalai melakukan pelanggaran (Nilai 1,25); atau
sengaja melakukan pelanggaran (Nilai 2,5). d) Faktor hambatan dalam proses pemeriksaan, dengan pilihan kondisi:
tidak ditemukan adanya hambatan dalam proses pemeriksaan (Nilai 0);
berperilaku tidak sopan, berbelit-belit, dan/atau tidak kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 1,25); dan/atau
mempersulit/menghalangi perolehan informasi/ keterangan/bukti, Menghilangkan barang bukti, dan/atau merusak dokumen pemeriksaan (Nilai 2,5). 3) Kelompok IV memiliki faktor pembobotan yang meringankan, dengan pilihan kondisi:
berperilaku baik dan / a tau kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 5); dan/atau
sebagai inisiator pengungkapan pelanggaran yang berdampak signifikan pada penegakan integritas di Kementerian Keuangan (Nilai 10). Sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 butir e.1) dan butir e.2). Dengan demikian Nilai Tambahan kelompok IV untuk tingkat Hukuman Disiplin sedang dihitung dengan rumus sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id (Faktor Pembobotan Utama + Faktor Pembobotan Tambahan) - Faktor Pembobotan yang Meringankan) e. Kelompok V yaitu jenis pelanggaran yang telah ditentukan tingkat Hukuman Disiplinnya berdasarkan pihak atau perbuatan tertentu. N'l . P k k k I k V b 1 ar 0 0 e omoo se esar: Tabel-8 Nilai Pokok Kelompok V No. Pasal PP 94/2021 Nilai Pokok 1. Pasal 4 huruf e yang dilakukan oleh Pejabat 30 Administrator/Pejabat Fungsional 2. Pasal 4 huruf e yang dilakukan oleh Pejabat 60 Pimpinan Tin,,.,,.i/Peiabat Lainnva 3. Pasal 5 angka 2 30 4. Pasal 5 angka 3 60 5. Pasal 5 angka 4 60 6. Pasal 5 angka 5 60 7. Pasal 5 angka 6 60 8. Pasal 5 angka 7 60 Nilai Tambahan Kelompok V ditentukan berdasarkan 4 (empat) faktor pembobotan tarnbahan dan 1 (satu) faktor pembobotan yang meringankan, yaitu:
Banyaknya jenis pelanggaran berdasarkan jumlah pasal terkait kewajiban dan/atau larangan sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah mengenai Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang dilanggar, dengan pilihan kondisi: a) hanya satu pasal yang dilanggar (Nilai O); b) terdapat dua pasal yang dilanggar (Nilai 3,75); atau c) lebih dari dua pasal yang dilanggar (Nilai 7,5). 2) Rekarnjejak Hukuman Disiplin yang telah selesai dijalani dengan · pilihan kondisi: a) belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 0); b) pernah satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 3,75); atau c) lebih dari satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 7,5). 3) Faktor kesengajaan, dengan pilihan kondisi: a) terpaksa melakukan pelanggaran (Nilai 0); b) tidak sengaja/lalai melakukan pelanggaran (Nilai 3,75); atau c) sengaja melakukan pelanggaran (Nilai 7,5). 4) Faktor harnbatan dalam proses pemeriksaan, dengan pilihan kondisi: a) tidak ditemukan adanya hambatan dalam proses pemeriksaan (Nilai 0); b) berperilaku tidak sopan, berbelit-belit, dan/atau tidak kooperatif selarna proses pemeriksaan (Nilai 3,75); dan/atau c) mempersulit/menghalangi perolehan informasi/ keterangan/bukti, menghilangkan barang bukti, dan/atau merusak dokumen pemeriksaan (Nilai 7,5). 5) Faktor pembobotan yang meringankan, dengan pilihan kondisi: a) berperilaku baik dan/atau kooperatif selarna proses pemeriksaan (Nilai 5); dan/atau b) sebagai inisiator pengungkapan pelanggaran yang berdampak signifikan pada penegakan integritas di Kementerian Keuangan (Nilai 10). Sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 butir e.l) dan butir e.2). jdih.kemenkeu.go.id Dengan demikian Nilai Tambahan Kelompok V untuk tingkat Hukuman Disiplin sedang atau berat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (I(Faktor Pembobotan Tambahan)-Faktor Pembobotan yang Merine-ankan) f. Kelompok VI yaitu jenis pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Nilai Pokok Kelompok VI sebesar 60. Nilai Tambahan kelompok VI ditentukan berdasarkan faktor pembobotan utama, pembobotan tambahan, dan faktor pembobotan yang meringankan, yaitu:
Pembobotan utama, berdasarkan kondisi dan dampak yang ditimbulkan atas pelanggaran tersebut: a) pelanggaran tidak menimbulkan dampak pada reputasi dan/atau pelaksanaan tugas unit kerja/instansi/ organisasi (Nilai 0); b) berdampak pada reputasi dan/atau pelaksanaan tugas unit kerja (Nilai 15); atau c) berdampak pada reputasi dan/atau pelaksanaan tugas instansi dan/atau dijadikan tersangka atas pelanggaran tersebut (Nilai 30). 2) Pembobotan tambahan, berdasarkan faktor-faktor: a) Rekam jejak Hukuman Disiplin yang telah selesai dijalani dengan pilihan kondisi:
belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 0);
pernah satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 2,5); atau
lebih dari satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 5). b) Faktor hambatan dalam proses pemeriksaan, dengan pilihan kondisi:
tidak ditemukan perilaku terperiksa yang menghambat proses pemeriksaan (Nilai 0);
berperilaku tidak sopan, berbelit-belit, dan/atau tidak kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 2,5); dan/atau
mempersulit/menghalangi perolehan informasi/ keterangan/bukti, menghilangkan barang bukti, dan/atau merusak dokumen pemeriksaan (Nilai 5). 3) Kelompok VI memiliki faktor pembobotan yang meringankan, dengan pilihan kondisi: a) berperilaku baik dan/atau kooperatif selama proses pemeriksaan (Nilai 5); dan/atau b) sebagai inisiator pengungkapan pelanggaran yang berdampak signifikan pada penegakan integritas di Kementerian Keuangan (Nilai 10). Sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 butir e.1) dan butir e.2). Dengan demikian, Nilai Tambahan kelompok VI untuk tingkat Hukuman Disi lin sedan dihitun den an rumus sebao-ai berikut: (Faktor Pembobotan Utama + Faktor Pembobotan Tambahan - Faktor Pembobotan ano- Merin ankan F " jdih.kemenkeu.go.id 7. Contoh Penerapan MPJHD a. Kelompok I Pegawai A melakukan Pelanggaran Disiplin berupa tidak masuk kerja selama 7 hari kerja tanpa alasan yang sah. Setelah dilakukan pemeriksaan, Pegawai A terbukti tidak masuk kerja selama 7 hari kerja tanpa alasan yang sah dan melanggar Pasal 4 huruf f PP 94 Tahun 2021. Pelanggaran tersebut dikenakan Hukuman Disiplin yang telah ditentukan secara pasti tingkat dan jenis Hukuman Disiplinnya berdasarkan ketentuan PP 94 Tahun 2021. Penentuan jenis Hukuman Disiplin Pegawai A dengan menggunakan MPJHD sebagai berikut. 1) Nilai Akhir = 30 {Lihat Tabel-4 Nilai Akhir Kelompok I). 2) Berdasarkan perhitungan dimaksud, Nilai Akhir berada pada Rentang Nilai Jenis Hukuman Disiplin Ringan-3 (Lihat Tabel-3 Daftar Grade). Mengacu pada grade pelanggaran dalam Tabel-3 Daftar Grade, maka Pegawai A yang melakukan pelanggaran dikenakan Jenis Hukuman Disiplin Ringan-3 berupa Pernyataan Tidak Puas Secara Tertulis (Lihat Tabel-1 Jenis Hukuman Disiplin). b. Kelompok II Pegawai B, melakukan Pelanggaran Disiplin yaitu tidak mengutamakan kepentingan Pemerintah dan/atau Negara dari pada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan. Setelah dilakukan pemeriksaan, Pegawai B terbukti melanggar Pasal 4 huruf c PP 94 Tahun 2021. Pelanggaran Pegawai B tersebut berdampak negatif pada Pemerintah dan/atau Negara. Pegawai B hanya melanggar 1 pasal dan belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin sebelumnya. Pegawai B mengakui melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja dan kooperatif dalam pemeriksaan dengan memberikan bukti/keterangan yang mendukung fakta pelanggaran yang dilakukan. Penentuan jenis Hukuman Disiplin terhadap pelanggaran Pegawai B menggunakan MPJHD sebagai berikut:
Pelanggaran Disiplin Pegawai B berdampak negatif terhadap pemerintah/negara termasuk Pelanggaran Disiplin tingkat berat. 2) Nilai Pokok = 60 {Lihat Tabel-5 Nilai Pokok Kelompok II). 3) Faktor pembobotan tambahan: a) Banyak Jenis Pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai B yaitu 1 (satu) Pasal (Nilai 0); b) Pegawai B belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 0); c) Pegawai B mengakui pelanggaran tersebut dilakukan secara sengaja (Nilai 7,5); dan d) Tidak terdapat hambatan dalam proses pemeriksaan Pegawai B (Nilai 0). 4) Faktor pembobotan yang meringankan: Pegawai B kooperatif dalam pemeriksaan (Nilai 5) 5) Perhitungan: No Unsur Unsur Jumlah 1. Nilai Pokok 60 2. Nilai Tambahan 2,5 2.1. Faktor Pembobotan Tambahan Jumlah Pasal 0 Rekam ieiak 0 Faktor Kesengaiaan 7,5 Hambatan Pemeriksaan 0 jdih.kemenkeu.go.id Faktor Pembobotan yang 2.2. Merirn; ,: ankan (-5} 3. Nilai Akhir 62,5 6) Berdasarkan perhitungan dimaksud, Nilai Akhir sebesar 62,5 berada pada Rentang Nilai Jenis Hukuman Disiplin Berat-1 (Lihat Tabel-3 Daftar Grade). Mengacu pada grade pelanggaran dalam Tabel-3 Daftar Grade, Pegawai B dikenakan Jenis Hukuman Disiplin Berat-1 berupa Penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua betas) bulan. c. Kelompok III Kelompok III Umum Pegawai C, melakukan Pelanggaran Disiplin yaitu menyalahgunakan wewenang. Setelah dilakukan pemeriksaan, Pegawai C telah dibuktikan melanggar Pasal 5 huruf a PP 94 Tahun 2021. Selain melanggar Pasal 5 huruf a PP 94 Tahun 2021, Pegawai B terbukti tidak melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggungjawab sesuai dengan Pasal 3 huruf e PP 94 Tahun 2021. Pegawai C belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin sebelumnya. Dalam proses pengumpulan informasi untuk mendukung pemeriksaan pelanggaran, Pegawai C menghilangkan informasi/bukti berupa dokumen yang menjadi bukti pelanggaran dimaksud. Berdasarkan bukti dan petunjuk lain, Tim Pemeriksa melakukan pemeriksaan dan Pegawai C mengakui melakukan pelanggaran tersebut secara sengaja dan mengakui telah menghilangkan informasi/bukti berupa dokumen dengan tujuan untuk menutupi bukti pelanggaran yang bersangkutan. Tidak ditemukan adanya unsur penerimaan uang atas pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai C. Penentuan jenis Hukuman Disiplin Pegawai C dengan menggunakan MPJHD sebagai berikut:
Pelanggaran Pegawai C merupakan Pelanggaran Disiplin yang diancam dengan tingkat Hukuman Disiplin berat 2) Nilai Pokok = 60 (Lihat Tabel-5 Nilai Pokok Kelompok II). 3) Sehubungan dengan tidak ditemukannya unsur penerimaan uang, maka pelanggaran atas Pasal 5 huruf a PP 94 Tahun 2021 yang dilakukan oleh Pegawai C merupakan Kelompok III Umum. 4) Faktor pembobotan tambahan: a) Banyak Jenis Pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai C yaitu 2 (dua) Pasal (Nilai 2,5); b) Pegawai C belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 0); c) Pegawai C terbukti melakukan pelanggaran tersebut secara sengaja (Nilai 5); dan d) Pegawai C terbukti menghilangkan informasi/bukti sehingga menghambat proses pemeriksaan (Nilai 5). 5) Faktor pembobotan yang meringankan: Pegawai C tidak kooperatif dalam pemeriksaan (Nilai 0). 6) Perhitune: an: No Unsur Unsur Jumlah 1. Nilai Pokok 60 2. Nilai Tambahan 12,5 2.1. Faktor Pembobotan Tambahan Jumlah Pasal 2,5 Rekam ieiak 0 jdih.kemenkeu.go.id Faktor Kesengaiaan 5 Hambatan Pemeriksaan 5 Faktor Pembobotan yang 2.2. Merimmnkan (Ol 3. Nilai Akhir 72,5 7) Berdasarkan perhitungan dimaksud, Nilai Akhir sebesar 72,5 berada pada Rentang Nilai Jenis Hukuman Disiplin Berat-2 (Lihat Tabel-3 Daftar Grade). Mengacu pada grade pelanggaran dalam Tabel-3 Daftar Grade, Pegawai C dikenakan Jenis Hukuman Disiplin Berat-2 berupa Pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan. Kelompok III Khusus - Individual Pegawai D, melakukan pelanggaran yaitu menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan. Setelah dilakukan pemeriksaan terbukti melanggar Pasal 5 huruf k PP 94 Tahun 2021. Atas pelanggaran tersebut, Pegawai D terbukti menerima uang sebesar Rp 70 Juta. Pegawai D belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin sebelumnya. Dalam proses pengumpulan informasi untuk mendukung pemeriksaan pelanggaran, Pegawai D menghilangkan informasi/bukti dengan menghapus rekaman CCTV. Berdasarkan bukti dan petunjuk lain, Tim Pemeriksa melakukan pemeriksaan dan Pegawai D mengakui melakukan pelanggaran tersebut secara sendiri/individual dan sengaja, serta mengakui telah menghilangkan informasi/bukti dengan menghapus rekaman CCTV dengan tujuan untuk menutupi bukti pelanggaran yang bersangkutan. Penentuanjenis Hukuman Disiplin perhitungan menggunakan MPJHD sebagai berikut:
Perbuatan Pegawai D diancam dengan tingkat Hukuman Disiplin berat. 2) Nilai Pokok = 60 (Lihat Tabel-5 Nilai Pokok Kelompok II). 3) Sehubungan dengan terdapat unsur penerimaan uang sebesar Rp 70 Juta yang dilakukan secara sendiri/individual, maka pelanggaran atas . Pasal 5 huruf k PP 94 Tahun 2021 yang dilakukan oleh Pegawai D merupakan Kelompok III Khusus - Individual. 4) Faktor pembobotan utama: Penerimaan uang sebesar Rp 70 Juta (Nilai 22,5). 5) Faktor pembobotan tambahan: a) Banyak jenis pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai D yaitu 1 (satu) Pasal (Nilai 0); b) Pegawai D belum pemah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 0); c) Pegawai D terbukti melakukan pelanggaran tersebut secara sengaja (Nilai 2,5); dan d) Pegawai D terbukti menghilangkan informasi/bukti sehingga menghambat proses pemeriksaan (Nilai 2,5). 6) Faktor pembobotan yang meringankan: Pegawai D tidak kooperatif dalam pemeriksaan (Nilai 0). 7) Perhitun!lan: No Unsur Unsur Jumlah 1. Nilai Pokok 60 2. Nilai Tambahan 27,5 2.1. Faktor Pembobotan Utama 22,5 2.2. Faktor Pembobotan Tambahan jdih.kemenkeu.go.id Jumlah Pasal 0 Rekam ieiak 0 Faktor Kesernmiaan 2,5 Hambatan Pemeriksaan 2,5 Faktor Pembobotan yang 2.3. Meringankan (Ol 3. Nilai Akhir 87,5 8) Berdasarkan perhitungan dimaksud, Nilai Akhir sebesar 87,5 berada pada Rentang Nilai Jenis Hukuman Disiplin Berat-3 (Lihat Tabel-3 Daftar Grade). Mengacu pada grade pelanggaran dalam Tabel-3 Daftar Grade, Pegawai D dikenakan Jenis Hukuman Disiplin Berat-3 berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS. Kelompok III Khusus - Bersama-sama Pegawai E, melakukan pelanggaran yaitu menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan. Setelah dilakukan pemeriksaan Pegawai E terbukti melanggar Pasal 5 huruf k PP 94 Tahun 2021. Atas pelanggaran tersebut, Pegawai E terbukti menerima uang dari pihak pihak eksternal untuk kemudian dibagikan kepada pegawai lain serta berdasarkan perhitungan telah menerima uang sebesar Rp 70 Juta secara tidak sah. Pegawai E belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin sebelumnya, kooperatif dalam pemeriksaan, serta mengakui perbuatan yang telah dilakukan. Kepada Tim Pemeriksa, Pegawai E menyampaikan terdapat pelanggaran serupa yang dilakukan oleh kelompok Pegawai lain dengan pelanggaran penerimaan uang yang lebih besar dan bersedia untuk memberikan bukti yang mendukung pengungkapan pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok Pegawai lain dimaksud. Penentuan jenis Hukuman Disiplin pegawai E dengan menggunakan MPJHD sebagai berikut:
Perbuatan Pegawai E merupakan Pelanggaran Disiplin tingkat berat yang diancam dengan tingkat Hukuman Disiplin berat. Nilai Pokok = 60 (Lihat Tabel-5 Nilai Pokok Kelompok II). Sehubungan dengan terdapat unsur penerimaan uang sebesar Rp 70 Juta yang dilakukan secara bersama-sama, maka pelanggaran 2) 3) atas Pasal 5 huruf k PP 94 Tahun 2021 yang dilakukan oleh Pegawai D merupakan Kelompok III Khusus - Bersama-sama. 4) Faktor pembobotan peran: Pegawai E merupakan pihak yang menerima uang dari pihak eksternal untuk kemudian dibagikan kepada Pegawai lain sehingga termasuk dalam kategori Peran Pelaku Aktif (Nilai 20). 5) Faktor pembobotan tambahan: Pegawai E menerima uang sejumlah Rp 70 Juta (Nilai 7,5). Banyak Jenis Pelanggaran, rekam jejak hukuman disiplin, faktor kesengajaan, dan hambatan dalam pemeriksaan tidak mempengaruhi Faktor Pembobotan pada kategori Kelompok III Khusus- Bersama-sama. 6) Faktor pembobotan. yang meringankan: Pegawai E kooperatif dalam pemeriksaan (Nilai 5); dan Pegawai E berinisiatif dan mendukung pengungkapan pelanggaran (Nilai 10). 7) Perhitungan: I No I Unsur Unsur I Jumlah \J jdih.kemenkeu.go.id d.
Nilai Pokok 60 2. Nilai Tambahan 12,5 2.1. Faktor Pembobotan Peran 20 2.2. Faktor Pembobotan Tambahan Jumlah Uane: Diterima 7,5 Faktor Pembobotan yang 2.3. Meringankan (15) 3. Nilai Akhir 72,5 8) Berdasarkan perhitungan dimaksud, Nilai Akhir sebesar 72,5 berada pada Rentang Nilai Jenis Hukuman Disiplin Berat-2 (Lihat Tabel-3 Daftar Grade). Mengacu pada grade pelanggaran dalam Tabel-3 Daftar Grade, Pegawai E dikenakan Jenis Hukuman Disiplin Berat-2 berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan. Kelompok IV Pegawai F, melakukan pelanggaran yaitu tidak melakukan tindakan sehingga mengakibat kerugian bagi pihak yang dilayani. Setelah dilakukan pemeriksaan pegawai F, terbukti melanggar Pasal 5 huruf m PP 94 Tahun 2021. Pegawai F hanya melanggar 1 pasal dan belum pernah dijatuhi Hukuman Disiplin sebelumnya. Pegawai F mengakui lalai melaksanakan tugasnya sehingga merugikan pihak yang dilayani. Pihak yang dilayani mengalami kerugian namun tidak dapat diidentifikasi nilainya. Pegawai F kooperatif dalam pemeriksaan dengan memberikan bukti/keterangan yang mendukung fakta pelanggaran yang dilakukan. Penentuan jenis Hukuman Disiplin dengan menggunakan MPJHD sebagai berikut:
Perbuatan Pegawai F merupakan pelanggaran yang diancam dengan tingkat Hukuman Disiplin sedang. 2) 3) 4) 5) 6) Nilai Pokok ~ 30. Faktor pembobotan utama: Perbuatan Pegawai F mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani namun tidak dapat diidentifikasi nilai kerugiannya (Nilai 7,5). Faktor pembobotan tambahan: a) banyak Jenis Pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai F yaitu 1 (satu) Pasal (Nilai 0); b) c) Pegawai F belum pemah dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 0); Pegawai F lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani (Nilai 1,25); dan d) tidak terdapat hambatan dalam proses pemeriksaan Pegawai F (Nilai 0). Faktor pembobotan yang meringankan: Pegawai F kooperatif dalam pemeriksaan (Nilai 5). Perh1tungan: No Unsur Unsur Jumlah 1. Nilai Pokok 30 2. Nilai Tambahan 3,75 2.1. Faktor Pembobotan Utama 7,5 2.2. Faktor Pembobotan Tambahan Jumlah Pasal 0 Rekam ieiak 0 Faktor Kesengaiaan 1,25 jdih.kemenkeu.go.id Hambatan Pemeriksaan 0 Faktor Pembobotan yang 2.3. Meringankan (5) 3. Nilai Akhir 33,75 7) Berdasarkan perhitungan dimaksud, Nilai Akhir sebesar 33,75 berada pada Rentang Nilai Jenis Hukuman Disiplin Sedang-1 (Lihat Tabel-3 Daftar Grade). Mengacu pada grade pelanggaran dalam Tabel-3 Daftar Grade, Pegawai F dikenakan jenis Hukuman Disiplin Sedang-1 berupa pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enam) bulan. Sehubungan dengan peraturan pemerintah mengenai Gaji dan Tunjangan belum berlaku, penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat sedang berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sehingga, Pegawai F dikenakan Jenis Hukuman Disiplin Sedang-1 berdasarkan PP 53 Tahun 2010 berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun. e. Kelompok V Pegawai G merupakan seorang pejabat fungsional yang melakukan pelanggaran yaitu tidak melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setelah dilakukan pemeriksaan pegawai G terbukti melanggar Pasal 4 huruf e PP 94 Tahun 2021. Pegawai G hanya melanggar 1 pasal dan pernah dijatuhi Hukuman Disiplin sebelumnya sebanyak 1 kali. Pegawai G mengakui tidak sengaja/lalai melakukan pelanggaran dan kooperatif dalam pemeriksaan dengan memberikan bukti/keterangan yang mendukung fakta pelanggaran yang dilakukan. Penentuan jenis Hukuman Disiplin dengan menggunakan MPJHD sebagai berikut:
Perbuatan Pegawai G termasuk pelanggaran yang diancam dengan tingkat Hukuman Disiplin sedang. 2) Nilai Pokok = 30 (Lihat Tabel-8 Nilai Pokok Kelompok V). 3) Faktor pembobotan tambahan: a) banyak jenis pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai G yaitu 1 (satu) Pasal (Nilai 0); b) Pegawai G pernah satu kali dijatuhi Hukuman Disiplin (Nilai 3,75); c) Pegawai G mengakui tidak sengaja/lalai melakukan pelanggaran (Nilai 3,75); dan d) tidak terdapat hambatan dalam proses pemeriksaan Pegawai G (Nilai 0). 4) Faktor pembobotan yang meringankan: Pegawai G kooperatif dalam pemeriksaan (Nilai 5). 5) Perhitungan: No Unsur Unsur Jumlah 1. Nilai Pokok 30 2. Nilai Tambahan 2,5 2.1. Faktor Pembobotan Tambahan Jumlah Pasal 0 Rekam ieiak 3,75 Faktor Kesengaiaan 3,75 Hambatan Pemeriksaan 0 jdih.kemenkeu.go.id Faktor Pembobotan yang 2.2. Meringankan (5) 3. Nilai Akhir 32,5 6) Berdasarkan perhitungan dimaksud, Nilai Akhir sebesar 32,5 berada pada Rentang Nilai Jenis Hukuman Disiplin Sedang-1 {Lihat Tabel-3 Daftar Grade). Mengacu pada grade pelanggaran dalam Tabel-3 Daftar Grade, Pegawai tersebut dikenakan Jenis Hukuman Disiplin Sedang-1 berupa pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enam) bulan. Sehubungan dengan peraturan pemerintah mengenai Gaji dan Tunjangan belum berlaku, penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat sedang berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sehingga, Pegawai G dikenakan jenis Hukuman Disiplin Sedang-1 berdasarkan PP 53 Tahun 2010 berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun. f. Kelompok VI Pegawai H melakukan pelanggaran yaitu hidup bersama dengan orang lain sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah. Setelah dilakukan pemeriksaan, pegawai H terbukti melanggar Pasal 15 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai H ini diketahui oleh masyarakat sekitar sehingga menurunkan reputasi unit kerja. Pegawai H hanya melanggar 1 pasal dan pernah dijatuhi Hukuman Disiplin sebelumnya sebanyak 2 kali. Pegawai H kooperatif dalam pemeriksaan dengan memberikan bukti/keterangan yang mendukung fakta pelanggaran yang dilakukan. Penentuan jenis Hukuman Disiplin Pegawai H dengan menggunakan MPJHD sebagai berikut:
Perbuatan Pegawai H termasuk Pelanggaran Disiplin yang diancam dengan tingkat Hukuman Disiplin berat. 2) Nilai Pokok = 60. 3) Faktor pembobotan utama: Berdampak pada reputasi dan/atau pelaksanaan tugas unit kerja (Nilai 15). 4) Faktor pembobotan tambahan: a) Pegawai H lebih dari satu kali dijatuhi hukuman disiplin (Nilai 5); dan b) tidak terdapat hambatan dalam proses pemeriksaan Pegawai H (Nilai 0). 5) Faktor pembobotan yang meringankan: Pegawai H kooperatif dalam pemeriksaan (Nilai 5). 6) Perhituncran· '" No Unsur Unsur Jumlah 1. Nilai Pokok 60 2. Nilai Tambahan 15 2.1. Faktor Pembobotan Utama 15 2.2. Faktor Pembobotan Tambahan Rekam ieiak 5 Hambatan Pemeriksaan 0 Faktor Pembobotan yang 2.3. Meringankan 151 3. Nilai Akhir 75 jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI LAMPIRAN III PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2023 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN DAN PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN A. PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PENJATUHAN HUKUMAN DISPLIN No.
Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin bagi Pejabat Pengawas.
Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa penurunanjabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan dan pembebasan darijabatan selama 12 (dua belas) bulan bagi Pejabat Pengawas berlaku sebagaimana Peraturan Menteri ini.
Contoh penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa Penurunan Jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan dan Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan bagi Pejabat Pengawas sebagai berikut: Jabatan Pangkat/ Pendidikan Grading Hukdis Hukdis Gol Awal Berat Berat Berupa Berupa Penurunan · Pembebasan Jabatan Dari Setingkat Jabatan Lebih Rendah Kasubbag Penata/ S1 16 Penelaah Penelaah X Ille Teknis Teknis Kebijakan Kebijakan Tk. I Tk. II (12) (11) Kasubbag Penata S1 15 Penelaah Penelaah y Muda/ Teknis Teknis IIIb Kebijakan Kebijakan Tk. II Tk. III (11) (10) Kasubbag Penata/ DIII 14 Pengolah Pengolah z Ille Data dan Data dan Informasi Informasi Tk. I Tk. II (10) (9) 2. Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin bagi Pejabat Fungsional K atego ri Keterampilan dan/atau Jabatan Fungsional Jenjang Terendah pada Kategori Keahlian.
Penerap an Penj atuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa penurunanjabatan setingkat lebih rendah selama 12 (du a belas) bulan bagi Pej aba t Fungsional Jenjang Terendah pada Kategorinya berlaku sebagaimana Peraturan Menteri ini jdih.kemenkeu.go.id No.
Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa pembebasan dari jabatan selama 12 (dua belas) bulan bagi Pejabat Fungsional Jenjang Kategori Keterampilan dan Jabatan Fungsional Jenjang Terendah pada Kategori Keahlian berlaku sebagaimana Peraturan Menteri ini.
Contoh penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa Penurunan Jabatan Setingkat Lebih Rendah Selama 12 (dua belas) bulan dan Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan bagi Pejabat Fungsional Kategori Keterampilan dan Jabatan Fungsional Jenjang Terendah pada Kategori Keahlian dan/atau Jenjang Terendah pada Kategorinya sebagai berikut: Jabatan Pangkat/ Pendidikan Grading Hukdis Berat Hukdis Berat Go! Awal Berupa Berupa Penurunan Pembebasan Jabatan Dari Jabatan Setingkat Lebih Rendah JF Analis Penata S1 12 Penelaah Teknis Penelaah Teknis Anggaran Muda/ Kebijakan Tk. II Kebijakan Tk. IV Pertama IIIb (11) (9) JF Penata S1 11 Penata Layanan Penelaah Teknis Arsiparis Muda/ Operasional Tk. Kebijakan Tk. IV Pertama IIIb III (9) (11) JF Pengatur DI 7 Pengadministrasi Pengadministrasi Pranata Muda/ Perkantoran Tk. Perkantoran Tk. Komputer Ila III (6) V (4) Pelaksana Pemula JF Pengatur DI 5 Pengadministrasi Pengadministrasi Asisten Muda/ Perkantoran Tk. Perkantoran Tk. Apoteker Ila V (5) V (4) Pelaksana Pemula JF PBC Pengatur DI 6 Pengadministrasi Pengadministrasi Pelaksana Muda/ Perkantoran Tk. Perkantoran Tk. Pemula Ila IV (6) V (4) 3. Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin bagi Pelaksana Umum.
Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa penurunanjabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan dan pembebasan dari jabatan selama 12 (dua belas) bulan bagi Pelaksana Umum berlaku sebagaimana Peraturan Menteri ini.
Contoh penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa Penurunan Jabatan Setingkat Lebih Rendah Selama 12 (dua belas) bulan dan Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan bagi Pelaksana Umum sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id . No. Jabatan Jabatan dan Hukdis Berat Hukdis Berat Peringkat Berupa Berupa Awal Penurunan Pembebasan Jabatan Dari Jabatan Setingkat Lebih Rendah 1. Pelaksana a. Penelaah a. Penelaah Pengadministras Umum Teknis Teknis 1 Perkantoran Kebijakan Kebijakan Tk. Tk. V (4) Tk. II (11) III (10) b. Pengolah b. Pengolah Data Data dan dan Informasi Informasi Tk. II (9) Tk. I (10) c. Pengolah Data C. Pengolah dan Informasi Data dan Tk. V (6) Informasi Tk. IV (7) 4. Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin bagi Pelaksana Tugas Belajar.
Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa penurunanjabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan dan pembebasan dari jabatan selama 12 (dua belas) bulan bagi Pelaksana Khusus/Pelaksana Tugas Belajar/Pelaksana Tertentu berlaku sebagaimana Peraturan Menteri ini.
Contoh penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa Penurunan Jabatan Setingkat Lebih Rendah Selama 12 (dua belas) bulan dan Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan bagi Pelaksana Tugas Belajar sebagai berikut: No. Jabatan Jabatan dan Hukdis Berat Hukdis Berat Peringkat Berupa Berupa Awal Penurunan Pembebasan Dari Jabatan Jabatan Setingkat Lebih Rendah 1. Pelaksana Pelaksana PU sebagai Pengadministrasi Tugas Tugas Belajar Penelaah Perkantoran Tk. V Belajar Tk. I (12), go! Teknis (4) IIIc, Kebijakan Tk. II pendidikan (11) S1/D4 5. Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin bagi Pelaksana Khusus.
Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa penurunanjabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan dan pembebasan dari jabatan selama 12 (dua belas) bulan bagi Pelaksana Khusus berlaku sebagaimana Peraturan Menteri ini.
Contoh penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa Penurunan Jabatan Setingkat Lebih Rendah Selama 12 (dua belas) bulan dan Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) bulan bagi Pelaksana Khusus sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id No. Jabatan Jabatan dan Hukdis Berat Hukdis Berat Peringkat Berupa Berupa Awal Penurunan Pembebasan Jabatan Dari Jabatan Setingkat Lebih · Rendah 1. Pelaksana a. Penata a. PU sebagai Pengadminist Khusus Keprotokol Pengolah Data ras1 an Tk. IV dan Informasi Perkantoran (Sekretaris Tk. III (8) Tk. V (4) Eselon II), go! Ile, pendidikan DIII (9) b. Penata b. PU sebagai Keprotokol Pengadministr an Tk. II as1 (Pengemud Perkantoran i Eselon I), Tk. III (6) got Illa, pendidikan SMA (11) C. Penata C. PU sebagai Keprotokot Pengotah Data an Tk. II dan Informasi (Ajudan Tk. II (9) Eselon I)' go! !Id, pendidikan DIII (11) 6. Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiptin bagi Petaksana Tertentu.
Penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa penurunanjabatan setingkat lebih rendah setama 12 (dua betas) bulan dan pembebasan dari jabatan selama 12 (dua betas) butan bagi Pelaksana Tertentu bertaku sebagaimana Peraturan Menteri ini.
Contoh penerapan Penjatuhan Hukuman Disiplin tingkat berat berupa Penurunan Jabatan Setingkat Lebih Rendah Setama 12 (dua betas) bulan dan Pembebasan dari Jabatan menjadi Jabatan Pelaksana selama 12 (dua belas) butan bagi Pelaksana Tertentu sebagai berikut: No. Jabatan Jabatan dan Hukdis Berat Hukdis Berat Peringkat Berupa Berupa Awal Penurunan Pembebasan Dari Jabatan Jabatan Setingkat Lebih Rendah 1. Petaksana a. Pawang a. PU sebagai Pengadministrasi Tertentu Anjing Tk. Pengolah Data Perkantoran Tk. V Pawang II, got IIIb, dan Informasi (4) Tk. III (8) jdih.kemenkeu.go.id No. Jabatan Jabatan dan Hukdis Berat Hukdis Berat Peringkat Berupa Berupa Awal Penurunan Pembebasan Dari Jabatan Jabatan Setingkat Lebih Rendah Anjing pendidikan Pelacak DIII (9) b. PU sebagai Pengolah Data b. Instruktur dan Informasi Tk. III, gol Tk. I (10) Illa, pendidikan S1 (11) 2. Pelaksana a. Nakhoda, a. PU sebagai Pengadministrasi Tertentu kapal 30 Pengolah Data Perkantoran Tk. V Awak s.d. 50 dan lnformasi (4) Kapal meter, Tk. I (10) Patroli masa kerja 8 s.d. 12 tahun, gol IIIb pendidikan b. PU sebagai DIII (12) Pengolah Data dan Informasi b. Nakhoda, Tk. II (9) kapal 20 s.d. 30 meter, masa kerja 4 s.d. 8 C. PU sebagai tahun, gol Pengadminist IIIb rasi pendidikan Perkantoran DIII (10) Tk. I (8) C. Mualim, kapal 20 s.d. 30 meter, masa kerja 4 s.d. 8 tahun, gol Illa, pendidikan Dl (10) " jdih.kemenkeu.go.id B. PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PENETAPAN JABATAN DAN PERINGKAT BAGI PELAKSANA UMUM, PELAKSANA KHUSUS, DAN PELAKSANA TERTENTU YANG SELESAI MENJALANI HUKUMAN DISIPLIN 1. Pen era pan Penetapan Jab a tan dan Peringkat bagi Pelaksana Um um yang Selesai Menjalani Hukuman Disiplin.
Penetapan jabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana Umum yang selesai menjalani hukuman disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah mengikuti ketentuan mekanisme penetapan jabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan.
Penetapanjabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana Umum yang selesai menjalani hukuman disiplin berat berupa pembebasan dari jabatan mengikuti ketentuan Peraturan Menteri ini. Contoh penerapannya sebagai berikut. No. J abatan / Peringkat Pangka: t/ Jabatan dan Jabatan dan sebelum Hukdis Golongan Peringkat Ketika Peringkat Selesai Ruang dijatuhi Hukdis Menjalani Hukdis Pembebasan Jabatan Kelompok I dan VI 1. Penelaah Teknis IIIc/S1 Pengadiministrasi Penelaah Teknis Kebijakan Tk. I Perkantoran Tk. V Kebijakan Tk. III (12) (4) (10) 2. Pengolah Data dan IIIb/DIII Pengadiministrasi Pengolah Data Informasi Tk. I(l0) Perkantoran Tk. V dan Informasi Tk. (4) III (8) 3. Pengadimistrasi IIIa/Dl Pengadiministrasi Pengadministrasi Perkantoran Tk. I Perkantoran Tk. V Perkantoran Tk. (8) (4) III (6) 2. Penerapan Penetapan Jabatan dan Peringkat bagi Pelaksana Khusus yang Selesai Menjalani Hukuman Disiplin.
Penetapan jabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana Khusus yang selesai menjalani hukuman disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah atau pembebasanjabatan mengikuti ketentuan Peraturan Menteri ini.
Contoh penerapannya sebagai berikut. jdih.kemenkeu.go.id No. Jabatan/ Pangkat/ Jabatan Jabatan dan Jabatan dan Peringkat Golongan dan Peringkat Peringkat sebelum Ruang Peringkat Ketika dijatuhi Selesai · Ketika Hukdis (B2) Menjalani Hukdis dijatuhi Hukdis Hukdis (Bl) 1. Penata IIIb/DIII Pengolah Pengadiminist Penata Keprotokol Data dan ras1 Keprotokolan an Tk. IV Informasi Perkantoran Tk. V (Sekretaris Tk. III (8) Tk. V (4) (Sekretaris Eselon II Eselon II masa masa kerja kerja O tahun) 3 tahun)/(9) 2. Penata IIIa/DIII Pengolah Pengadiminist Penata Keprotokol Data dan rasi Keprotokolan an Tk. III Informasi Perkantoran Tk. III (Sekretaris Tk. II (9) Tk. V (4) (Sekretaris Eselon I Eselon I masa masa kerja kerja 0 1 tahun) / (10) tahun) / (10) 3. Penata IIIb/DIII Pengolah Pengadiminist Pengolah Data Keprotokol Data dan rasi dan Informasi an Tk. IV Informasi Perkantoran Tk. III (8) (Sekretaris Tk. III (8) Tk. V (4) (Pembebasan Eselon II Jabatan masa kerja Kelompok I 3 dan VI) tahun)/(9) 4. Penata IIIb/DIII Pengolah Pengadiminist Pengadiminist Keprotokol Data dan ras1 ras1 an Tk. IV Informasi Perkantoran Perkantoran (Sekretaris Tk. III (8) Tk. V (4) Tk. V (4) Eselon II (Pembebasan masa kerja Jabatan 3 Kelompok II, tahun)/(9) III, dan V) 3. Penerapan Penetapan Jabatan dan Peringkat bagi Pelaksana Tertentu yang Selesai Menjalani Hukuman Disiplin.
Penetapan jabatan dan peringkat bagi Jabatan Pelaksana Tertentu yang selesai menjalani hukuman disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah atau pembebasan jabatan mengikuU ketentuan Peraturan Menteri ini.
Contoh penerapannya sebagai berikut. jdih.kemenkeu.go.id No. Jabatan/ Pangkat Jabatan dan Jabatan dan Jabatan dan Peringkat I Peringkat Peringkat Peringkat sebelum Golonga · Ketika Ketika Selesai Hukdis n dijatuhi dijatuhi Menjalani ·Ruang Hukdis (Bl) Hukdis (B2) Hukdis 1. Pawang IIIb/DIII PU sebagai Pengadminist Pawang Anjing Tk. Pengolah Data rasi Anjing Tk. III II (9) dan Informasi Perkantoran akumulasi Tk. III (8) Tk. V (4) masa kerja < 3 tahun (8) 2. Instruktur IIIa/S1 PU sebagai Pawang Tk. III (11) Pengolah Data Pengadminist ^Anjing ^Tk. ^I dan Informasi rasi akumulasi Tk. I (10) Perkantoran lmasa kerja < Tk. V (4) 9 tahun (10) 3. Nakhoda, IIIb/DIII PU sebagai Pengadminist Nakhoda, kapal 30 Pengolah Data rasi Kapa! 30 s.d. s.d. 50 dan Informasi Perkantoran 50 meter, meter, Tk. I (10) Tk. V (4) masa kerja < masa 8 tahun (11) kerja 8 s.d. 12 tahun (12) 4. Nakhoda, IIIb/DIII PU sebagai Pengadminist Nakhoda, kapal 20 Pengolah Data ras1 kapal 20 s.d. s.d. 30 dan Informasi Perkantoran 30 meter, meter, Tk. II (9) Tk. V (4) lmasa kerja < masa 4 tahun (9) kerja 4 s.d. 8 tahun(l0) 5. Mualim, IIIa/Dl PU sebagai Pengadminist Mualim, kapal 20 Pengadminist rasi kapal 20 s.d. s.d. 30 ras1 Perkantoran 30 meter, meter, Perkantoran Tk. V (4) masa kerja < masa Tk. I (8) 4 tahun (8) kerja 4 s.d. 8 tahun (10) jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI
Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2018
Relevan terhadap
Revisi Anggaran meliputi:
Revisi Anggaran dalam hal Pagu Anggaran berubah;
Revisi Anggaran dalam hal Pagu Anggaran tetap; dan
revisi administrasi.
Revisi Anggaran dalam hal Pagu Anggaran berubah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa perubahan rincian anggaran yang disebabkan oleh penambahan atau pengurangan pagu belanja Kementerian/Lembaga, termasuk pergeseran rincian anggarannya, meliputi:
perubahan anggaran belanja yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak;
perubahan anggaran belanja yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri dan pinjaman/hibah dalam negeri, termasuk Pemberian Pinjaman/hibah;
perubahan anggaran belanja yang bersumber dari SBSN untuk pembiayaan Kegiatan/proyek Kementerian/Lembaga, termasuk penggunaan sisa dana penerbitan SBSN yang tidak terserap pada tahun 2017;
perubahan anggaran belanja pemerintah pusat berupa pagu untuk pengesahan belanja yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri, termasuk yang sudah _closing date; _ e. perubahan/tambahan kewajiban yang timbul dari penggunaan dana Saldo Anggaran Lebih, penarikan pinjaman tunai, dan/atau penerbitan Surat Berharga Negara sebagai akibat tambahan pembiayaan;
perubahan pembayaran Program pengelolaan subsidi berdasarkan perubahan parameter, realisasi perubahan harga minyak mentah Indonesia;
perubahan anggaran Kegiatan Kementerian/Lembaga yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri sebagai akibat dari penyesuaian kurs;
perubahan Program, Kegiatan, Proyek Prioritas Nasional, keluaran ( output ) Prioritas Nasional, dan lokasi;
perubahan Transfer ke Daerah dan Dana Desa; dan/atau j. pergeseran anggaran Bagian Anggaran 999.08 (BA BUN Pengelolaan Belanja Lainnya) ke bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
Revisi Anggaran dalam hal Pagu Anggaran tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa pergeseran rincian anggaran dalam hal Pagu Anggaran tetap, meliputi:
pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam Bagian Anggaran 999 (BA BUN);
pergeseran anggaran belanja yang dibiayai dari antarSatker dalam 1 (satu) Program yang sama;
pergeseran anggaran belanja untuk Satker Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum yang sumber dananya berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak;
pergeseran anggaran dalam 1 (satu) Program yang sama atau antarProgram dalam 1 (satu) bagian anggaran yang bersumber dari rupiah murni untuk memenuhi kebutuhan Belanja Operasional;
pergeseran anggaran untuk penyelesaian sisa kewajiban pembayaran Kegiatan/proyek yang dibiayai melalui SBSN yang melewati tahun anggaran sesuai dengan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
pergeseran anggaran belanja Kementerian/Lembaga dalam rangka memenuhi selisih kurs;
pergeseran anggaran Program/Kegiatan/Proyek Prioritas Nasional/keluaran ( output ) Prioritas Nasional;
pergeseran anggaran dalam 1 (satu) Program yang sama untuk penyelesaian tunggakan;
pergeseran anggaran untuk rekomposisi pendanaan antartahun terkait dengan Kegiatan kontrak tahun jamak;
pergeseran anggaran dalam 1 (satu) Program yang sama atau antarProgram dalam (satu) bagian anggaran untuk memenuhi kebutuhan Ineligible Expenditure atas Kegiatan yang dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri;
pergeseran anggaran antara Program lama dan Program baru dalam rangka penyelesaian administrasi DIPA sepanjang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat;
pergeseran anggaran dalam rangka penyediaan dana untuk penyelesaian restrukturisasi Kementerian /Lembaga;
pergeseran anggaran untuk penyelesaian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht );
pergeseran anggaran untuk pembayaran kewajiban jaminan yang telah jatuh tempo;
pergeseran anggaran pembayaran kewajiban utang sebagai dampak dari perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang;
pergeseran anggaran untuk penggunaan sisa anggaran kontraktual atau swakelola;
pergeseran anggaran belanja sebagai akibat perubahan prioritas penggunaan anggaran;
pergeseran anggaran dalam 1 (satu) atau antarprovinsi/kabupaten/kota dan/atau antarkewenangan untuk Kegiatan dalam rangka tugas pembantuan, urusan bersama, dan/atau dekonsentrasi;
pergeseran anggaran untuk pembukaan kantor baru atau alokasi untuk Satker baru;
pergeseran anggaran untuk penanggulangan bencana;
pergeseran anggaran untuk pemenuhan kewajiban negara sebagai akibat dari keikutsertaan sebagai anggota organisasi internasional;
penggunaan anggaran dalam BA BUN yang belum dialokasikan dalam DIPA BUN; dan/atau
penggunaan dana keluaran ( output ) cadangan.
Revisi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi revisi yang disebabkan oleh kesalahan administrasi, perubahan rumusan yang tidak terkait dengan anggaran, dan/atau revisi lainnya yang ditetapkan sebagai revisi administrasi.
Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator)
Relevan terhadap
PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Operator Ekonomi adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pergerakan barang secara internasional dalam fungsi rantai pasokan global. 2. Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operato'f1 yang selanjutnya disebut AEO adalah Operator Ekonomi yang telah mendapat pengakuan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu. 3. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 4. Importir adalah Orang yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. 5. Eksportir adalah Orang yang melakukan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. 6. Pengangkut adalah Orang, kuasanya, atau yang bertanggungjawab atas pengoperasian sarana pengangkut yang mengangkut barang dan/atau orang. 7. Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang selanjutnya disingkat PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas nama Importir atau Eksportir. 8. Manufaktur adalah Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk memproduksi barang. jdih.kemenkeu.go.id 9. Konsolidator adalah badan usaha yang melaksanakan pengumpulan (konsolidasi) barang ekspor sebelum dimasukkan ke kawasan pabean untuk dimuat ke sarana pengangkut. 10. Validasi adalah serangkaian kegiatan untuk memeriksa, menguji serta mengkonfirmasi berbagai macam data dan/ a tau informasi atas Operator Ekonomi yang dilakukan secara holistik atas risiko terkait dengan kepatuhan dan keamanan rantai pasok perdagangan internasional. 11. Validasi Dokumen adalah serangkaian kegiatan penilaian risiko terkait kondisi dan persyaratan AEO dengan melakukan pemeriksaan dan observasi data dan/atau informasi atas permohonan untuk memperoleh pengakuan sebagai AEO atau dalam rangka monitoring dan evaluasi. 12. Validasi Lapangan adalah serangkaian kegiatan penilaian risiko terkait kondisi dan persyaratan AEO dengan melakukan kunjungan ke lokasi (on-site visit) Operator Ekonomi dengan melakukan pemeriksaan dan o bservasi data dan/atau informasi atas permohonan untuk memperoleh pengakuan sebagai AEO atau dalam rangka monitoring dan evaluasi. 13. Sistem Pengendalian Internal yang selanjutnya disingkat SPI adalah sistem yang digunakan untuk mengkomunikasikan dan mengendalikan bagian-bagian yang terkait dengan kegiatan/ aktivitas bisnis Operator Ekonomi, pergerakan dokumen pemberitahuan, proses akuntansi, dan lain-lain yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan pen era pan peraturan kepabeanan dan/atau cukai. 14. Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sistem integrasi seluruh layanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada semua pengguna jasa yang bersifat publik dan berbasis web. 15. Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) adalah kesepakatan antara 2 (dua) atau lebih administrasi kepabeanan yang menjelaskan situasi kondisi dimana program-program AEO diakui dan diterima oleh pihak-pihak administrasi kepabeanan yang melakukan kesepakatan. 16. Audit Internal adalah audit yang dilakukan oleh pihak internal AEO secara mandiri (self audit), dalam rangka menjaga pemenuhan kondisi dan persyaratan yang ditentukan. 17. Forum Panel adalah kegiatan diskusi untuk menyepakati Operator Ekonomi menjadi AEO. 18. Validator adalah pejabat bea dan cukai yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan Validasi terhadap Operator Ekonomi. 19. Manajer Pelayanan Operator Ekonomi (Client Manager) yang selanjutnya disebut Client Manager adalah Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk khusus oleh Kepala Kantor Pabean untuk melakukan tugas memberikan pelayanan komunikasi, konsultasi, bimbingan, dan monitoring terhadap program AEO. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya Kewajiban Pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. 21. Direktur J enderal adalah Direktur J enderal Bea dan Cukai. 22. Direktur adalah direktur di lingkungan Direktorat J enderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi dan pelaksanaan di bidang program kepatuhan AEO, pengguna jasa kepabeanan prioritas, dan asistensi Operator Ekonomi. 23. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan terten tu un tuk melaksanakan tug as terten tu berdasarkan Undang-U ndang Kepabeanan. BAB II OPERATOR EKONOMI Pasal 2 Operator Ekonomi yang dapat diberikan pengakuan sebagai AEO terdiri atas:
Manufaktur;
Eksportir;
Importir;
PPJK;
Pengangkut; clan/ atau f. pihak lainnya yang terkait dengan fungsi rantai pasokan global, meliputi namun tidak terbatas pada Konsolidator, perusahaan yang melakukan kegiatan sebagai tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, dan perusahaan di kawasan bebas. BAB III KONDISI DAN PERSYARATAN SEBAGAI AEO Pasal 3 (1) Untuk memperoleh pengakuan sebagai AEO, Operator Ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan umum sebagai berikut:
tidak pernah melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan clan/ a tau cukai serta perpajakan; dan
memiliki laporan keuangan yang diaudit oleh kantor akuntan publik dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir. (2) Selain persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Operator Ekonomi harus memenuhi kondisi dan persyaratan sebagai berikut:
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
sistem pengelolaan data perdagangan; I jdih.kemenkeu.go.id c. kemampuan keuangan;
sistem konsultasi, kerjasama, dan komunikasi;
sistem pendidikan, pelatihan dan kepedulian;
sistem pengelolaan keamanan dan keselamatan; dan
sistem pengukuran, analisis dan peningkatan. (3) Rincian lebih lanjut mengenai pemenuhan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Pemenuhan kondisi dan persyaratan se bagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbeda untuk setiap jenis Operator Ekonomi tergantung pada peran dan tanggung jawab Operator Ekonomi dalam rantai pasok perdagangan internasional. BAB IV PENGAKUANSEBAGAIAEO Bagian Kesatu Pengajuan Permohonan Pengakuan Sebagai AEO Pasal 4 (1) Untuk dapat memperoleh pengakuan sebagai AEO, Operator Ekonomi mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal melalui Direktur. (2) Permohonan yang dilakukan oleh Operator Ekonomi dapat berupa:
permohonan baru; atau
permohonan perubahan. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dan ditandatangani oleh pimpinan Operator Ekonomi dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a disampaikan dengan dilampiri:
daftar pertanyaan mengenai informasi umum tentang Operator Ekonomi dan formulir isian penilaian mandiri kualitatif (self-assessment questionnaire) yang telah diisi lengkap;
surat pernyataan kesediaan untuk menjadi AEO yang telah ditandatangani oleh pimpinan Operator Ekonomi; dan
laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik periode 2 (dua) tahun terakhir. (2) Daftar pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi dokumen pendukung berupa:
struktur organisasi dari Operator Ekonomi;
standar prosedur operasional (standard operating procedure) tentang kegiatan Operator Ekonomi yang mencerminkan SPI atas kondisi dan persyaratan AEO; jdih.kemenkeu.go.id c. tata letak kantor/pabrik/gudang;
akta pendirian perusahaan dan/atau akta perubahan terakhir;
surat penunjukan manajer AEO yang telah ditandatangani oleh p1mpman Operator Ekonomi; dan
dokumen pendukung lainnya. (3) Untuk dapat memberikan gambaran positif perusahaan, permohonan yang disampaikan oleh Operator Ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampiri dengan dokumen lain yang terkait dengan manajemen kepatuhan dan/ a tau keamanan berupa:
keputusan mengenai penetapan fasilitas kepabeanan yang dimiliki;
sertifikat/pengakuan sebagai AEO dari negara lain;
surat keterangan fiskal yang memuat informasi yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak mengenai kepatuhan Wajib Pajak selama periode tertentu untuk memenuhi persyaratan memperoleh pelayanan atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu; dan/atau
dokumen lainnya, seperti profil Operator Ekonomi ( company profile), sertifikat dari orgamsas1 internasional untuk standardisasi, kode internasional keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan (International Ship and Port Facility Security Code), dan/atau Regulated Agent/Known Consignor . . (4) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan lampiran permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) sampai dengan ayat (3), disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat J enderal Bea dan Cukai. (5) Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan lampiran permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) disampaikan secara tertulis dan/atau melalui media elektronik. (6) Daftar pertanyaan dan formulir isian penilaian mandiri kualitatif (self-assessment questionnaire) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Surat pernyataan kesediaan untuk menjadi AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Penilaian dan Penelitian atas Permohonan Pengakuan Sebagai AEO Pasal 6 (1) Validator melakukan penilaian dan penelitian terhadap pemenuhan kondisi dan persyaratan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan cara:
penelitian administrasi;
Validasi Lapangan; dan
Forum Panel. (2) Penilaian terhadap pemenuhan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi Operator Ekonomi, termasuk industri kecil dan menengah. (3) Dalam proses penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Operator Ekonomi menyiapkan data dan informasi yang dibutuhkan oleh Validator. Pasal 7 Penelitian administrasi atas permohonan AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dilakukan dengan:
meneliti berkas permohonan dan kelengkapan dokumen; dan
Validasi Dokumen. Pasal 8 (1) Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 . . (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama:
2 (dua) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan diajukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4); atau
3 (tiga) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap, dalam hal permohonan diajukan secara tertulis dan/atau melalui media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5). (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan terdapat kekurangan dokumen yang dipersyaratkan, permohonan dikembalikan kepada Operator Ekonomi untuk dilengkapi. (4) Dalam hal penelitian berkas permohonan melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan AEO dinyatakan diterima. Pasal 9 (1) Berkas permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) atau ayat (4) yang telah dilakukan penelitian dan dinyatakan diterima, dilakukan Validasi Dokumen. I jdih.kemenkeu.go.id (2) Validasi Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan meneliti berkas permohonan dan informasi yang relevan serta menguji kesesuaian informasi, dengan potensi risiko atas pemenuhan kondisi dan persyaratan AEO. (3) Direktur meminta Operator Ekonomi untuk melakukan pemaparan terkait dengan pemenuhan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan diterima. (4) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara virtual dan/atau fisik. (5) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menghasilkan rekomendasi berupa:
Perbaikan atas potensi risiko terkait pemenuhan kondisi dan persyaratan AEO; dan/atau
Validasi Lapangan. (6) Dalam hal hasil pemaparan berupa rekomendasi perbaikan, Direktur menyampaikan kepada Operator Ekonomi untuk ditindaklanjuti. (7) Operator Ekonomi menyampaikan tindak lanjut rekomendasi berupa perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Direktur, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal rekomendasi perbaikan diterima. (8) Operator Ekonomi dapat meminta perpanjangan penyampaian tindak lanjut sebelum jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada Direktur untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan disertai alasan. (9) Direktur dapat meminta kepada Operator Ekonomi untuk memaparkan kembali tindak lanjut atas rekomendasi yang telah disampaikan. Pasal 10 (1) Operator Ekonomi yang telah dilakukan Validasi Dokumen ditindaklanjuti dengan Validasi Lapangan. (2) Validasi Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim Validasi berdasarkan surat tugas. (3) Validasi Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara fisik ( on-site) di lokasi Operator Ekonomi atau hybrid berdasarkan manajemen risiko. (4) Dalam pelaksanaan Validasi Lapangan, Direktur dapat melibatkan Kantor Pabean yang terkait dengan kegiatan operasional Operator Ekonomi. (5) Dalam pelaksanaan Validasi Lapangan, Validator dapat melibatkan unit terkait dan/atau kementerian/lembaga lain. Pasal 11 (1) Setelah melakukan Validasi Lapangan, tim Validasi membuat laporan untuk disampaikan kepada Direktur Jenderal melalui Direktur. jdih.kemenkeu.go.id (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi kesimpulan dan/ a tau rekomendasi perbaikan. (3) Dalam hal laporan berupa rekomendasi perbaikan, Direktur menyampaikan rekomendasi perbaikan kepada Operator Ekonomi dengan salinannya disampaikan kepada Kantor Pabean terkait. (4) Operator Ekonomi harus menyelesaikan seluruh rekomendasi perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal surat penyampaian rekomendasi. (5) Dalam hal Operator Ekonomi memiliki lebih dari 1 (satu) lokasi, jangka waktu penyelesaian seluruh rekomendasi perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dihitung sejak tanggal surat penyampaian rekomendasi Validasi Lapangan atas lokasi terakhir. (6) Dalam hal Operator Ekonomi tidak dapat menyelesaikan seluruh rekomendasi perbaikan sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), Operator Ekonomi dapat mengajukan permohonan perpanjangan penyelesaian rekomendasi perbaikan paling banyak 1 ( satu) kali, disertai dengan alasannya. (7) Direktur dapat memberikan persetujuan perpanjangan penyelesaian rekomendasi perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 12 (1) Operator Ekonomi harus memberitahukan hasil perbaikan sebagai tindak lanjut dari rekomendasi perbaikan kepada Direktur. (2) Direktur dapat meminta Operator Ekonomi untuk memberikan pemaparan atas hasil perbaikan sebagai tindak lanjut dari rekomendasi perbaikan. Pasal 13 .(1) Direktur Jenderal atau Direktur melakukan Forum Panel un tuk menetapkan Operator Ekonomi menj adi AEO. (2) Forum Panel dapat dihadiri oleh perwakilan unit di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, unit terkait, dan/atau kementerian/lembaga terkait. (3) Hasil pelaksanaan Forum Panel dapat berupa:
persetujuan pengakuan Operator Ekonomi menjadi AEO; atau
rekomendasi perbaikan. (4) Dalam hal hasil pelaksanaan Forum Panel berupa rekomendasi perbaikan, Direktur menyampaikan rekomendasi perbaikan kepada Operator Ekonomi untuk ditindaklanjuti. (5) Direktur dapat melakukan penilaian lanjutan berdasarkan manajemen risiko atas hasil tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4). / jdih.kemenkeu.go.id Pasal 14 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak ditindaklanjuti dengan Validasi Lapangan dalam hal:
Operator Ekonomi menyampaikan surat pembatalan permohonan pengakuan sebagai AEO; atau
tindak lanjut perbaikan atas hasil Validasi Dokumen yang dilakukan Operator Ekonomi telah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) a tau ayat (8). (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak ditindaklanjuti dengan proses sertifikasi dalam hal:
Operator Ekonomi menyampaikan surat pembatalan permohonan pengakuan sebagai AEO; atau
tindak lanjut perbaikan atas hasil Validasi Lapangan yang dilakukan Operator Ekonomi telah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) atau ayat (7). (3) Direktur Jenderal atau Direktur menyampaikan pemberitahuan permohonan yang tidak ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ayat (2) huruf b dengan menyebutkan alasan. Bagian Ketiga Permohonan Perubahan Pengakuan Sebagai AEO Pasal 15 Operator Ekonomi yang telah memperoleh pengakuan sebagai AEO dapat mengajukan permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dalam hal terdapat perubahan:
jenis Operator Ekonomi;
lokasi;
nama entitas; dan / a tau d. lainnya. Pasal 16 (1) Permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilampiri:
surat permohonan perubahan yang ditandatangani oleh pimpinan AEO; dan
dokumen pendukung lainnya. (2) Permohonan perubahan dan dokumen pendukung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat J enderal Bea dan Cukai. (3) Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belum dapat diterapkan atau mengalami gangguan operasional, permohonan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dan/ a tau melalui media elektronik. jdih.kemenkeu.go.id (4) Bentuk dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada contoh format dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 17 (1) Tim Validasi melakukan penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terhadap permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) berdasarkan manajemen risiko. (2) Jangka waktu pelaksanaan penelitian dan penilaian terhadap permohonan perubahan dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu penelitian dan penilaian terhadap permohonan pengakuan sebagai AEO. (3) Dalam hal hasil penelitian dan penilaian menunjukkan permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) memenuhi kondisi dan persyaratan, permohonan perubahan AEO dapat disetujui. Bagian Keempat Persetujuan Pengakuan dan Sertifikat Pengakuan AEO Pasal 18 (1) Direktur Jenderal memberikan persetujuan atas:
permohonan pengakuan sebagai AEO berdasarkan hasil Forum Panel se bagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf a; atau
permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). (2) Atas persetujuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai AEO dengan jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak pelaksanaan Forum Panel. (3) Atas penerbitan keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diterbitkan sertifikat pengakuan sebagai AEO. (4) Keputusan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Sertifikat pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) (3) Bagian Kelima Masa Berlaku Keputusan Dan Sertifikat AEO Pasal 19 Keputusan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) berlaku selama 5 (lima) tahun. Keputusan pengakuan dimaksud pada ayat (1) (lima) tahun berdasarkan oleh Direktur. se bagai AEO sebagaimana dapat diperpanjang setiap 5 hasil evaluasi yang dilakukan Dalam hal Operator Ekonomi telah diberikan pengakuan se bagai AEO dan dilakukan perubahan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, tanggal jatuh tempo masa berlaku atas perubahan mengikuti pengakuan awal. BABV PERLAKUAN TERTENTU TERHADAP AEO Pasal 20 (1) Operator Ekonomi yang telah memperoleh pengakuan sebagai AEO diberikan perlakuan kepabeanan tertentu. (2) Perlakuan kepabeanan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perlakuan kepabeanan bersifat umum dan/ a tau khusus. (3) Perlakuan kepabeanan bersifat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada semua jenis operator, yang meliputi namun tidak terbatas pada:
diakui sebagai partner Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
mendapat layanan khusus dalam bentuk layanan yang diberikan Client Manager, c. prioritas untuk diikutsertakan dalam program baru yang dirintis oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan/atau
mendapatkan layanan konsultasi dan/atau asistensi kepabeanan di luar jam kerja Kantor Pabean. (4) Perlakuan kepabeanan bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sesuai dengan jenis operator tertentu, yang meliputi namun tidak terbatas pada:
memperoleh predikat sebagai perusahaan berisiko rendah;
penelitian dokumen dan/atau pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sesuai ketentuan yang berlaku;
prioritas untuk mendapatkan penyederhanaan prosedur kepabeanan;
prioritas untuk mendapatkan layanan kepabeanan;
pelayanan khusus di bidang kepabeanan untuk kelancaran pengeluaran dan/atau pemasukan arus barang dari dan/atau ke Kawasan Pabean di pelabuhan bongkar dan/atau muat dengan mempertimbangkan manajemen risiko; dan / a tau I jdih.kemenkeu.go.id (5) f. kemudahan yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan ketentuan peraturan perundang- undangan. Selain perlakuan kepabeanan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4), AEO juga mendapat perlakuan berupa:
kemudahan yang disepakati bersama administrasi kepabeanan negara lain Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik Recognition _Arrangement); _ dan/ a tau dengan dalam (Mutual b. kemudahan yang diberikan instansi pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI TANGGUNG JAWAB AEO Pasal 21 (1) AEO bertanggungjawab untuk:
mempertahankan dan/ a tau meningkatkan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan
mengembangkan dan menjaga nilai-nilai etika dan/atau akuntabilitas dalam praktik perdagangan. (2) Untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, AEO harus:
menunjuk manajer yang menangani kegiatan AEO;
melakukan monitoring mandiri atas kondisi dan persyaratan AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
melakukan perbaikan dan menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan yang berdampak pada atau memengaruhi kondisi dan persyaratan AEO kepada Direktur dan Client Manager, d. melakukan Audit Internal secara periodik;
meningkatkan pemahaman terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
menyampaikan hasil Audit Internal kepada Direktur dan Client Manager, g. melakukan komunikasi secara intensif dengan Client Manager, dan h. memasang logo AEO di lokasi yang telah ditetapkan sebagai AEO. Pasal 22 (1) Audit Internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d dilakukan sekali dalam 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai AEO. (2) Audit Internal yang dilakukan untuk menguji pemenuhan kondisi dan persyaratan AEO. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 23 (1) AEO menunjuk tim untuk pelaksanaan Audit Internal. (2) Hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil Audit Internal. (3) Laporan hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi:
review atas hasil penilaian kondisi dan persyaratan AEO;
umpan balik dari pihak manajemen; dan
rekomendasi yang direncanakan untuk ditingkatkan ke depan. (4) Laporan hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Direktur dan Client Manager dengan menggunakan surat pengantar yang ditandatangani oleh pimpinan AEO. (5) Laporan hasil Audit Internal dapat disampaikan dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) atau salinan digital (softcopy). (6) Laporan hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB VII MANAJERAEO Pasal 24 (1) Manajer AEO ditunjuk oleh Operator Ekonomi yang sudah memperoleh pengakuan sebagai AEO dengan surat penunjukan dari pimpinan AEO. (2) Manajer AEO yang ditunjuk setidaknya memiliki pengetahuan yang cukup terkait ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai serta pemahaman yang baik terkait pemenuhan kondisi dan persyaratan AEO. (3) Manajer AEO yang ditunjuk dapat lebih dari 1 (satu) orang, menyesuaikan dengan kebutuhan AEO dengan mempertimbangkan jumlah lokasi AEO atau berdasarkan pertimbangan lain. (4) Dalam hal pegawai yang ditunjuk sebagai manajer AEO mengalami perubahan karena tidak lagi bekerja pada AEO atau hal lainnya, pimpinan AEO menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur dan Client Manager. (5) Manajer AEO mempunyai tugas, antara lain:
melakukan komunikasi dengan Client Manager dan Pejabat Bea dan Cukai yang menangani AEO; dan
memastikan tanggung jawab AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 terpenuhi. jdih.kemenkeu.go.id BAB VIII MONITORING DAN EVALUASI Pasal 25 (1) AEO dilakukan monitoring dan evaluasi. (2) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
untuk memastikan kondisi dan persyaratan serta pelaksanaan tanggung jawab sebagai AEO tetap terpenuhi;
sebagai dasar untuk menerbitkan permintaan tindak lanjut perbaikan, menerbitkan pembekuan sebagai AEO, dan/atau menerbitkan pencabutan pengakuan sebagai AEO;
sebagai dasar untuk rekomendasi perubahan atau perpanjangan pengakuan sebagai AEO; dan
sebagai dasar rekomendasi untuk dilakukan pengawasan di bidang kepabeanan dan/ a tau cukai. Pasal 26 (1) Direktur dan/atau Kepala Kantor Pabean melakukan monitoring terhadap AEO. (2) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
analisis data dan/ a tau informasi dari pihak internal dan eksternal secara manual dan/atau elektronik;
Validasi Dokumen atas laporan perubahan- perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c;
Validasi Dokumen atas laporan hasil Audit Internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
Validasi Lapangan; dan/atau
komunikasi dan koordinasi dengan manajer AEO pada Operator Ekonomi. (3) Kepala Kantor Pabean dapat menunjuk Client Manager untuk melakukan monitoring terhadap AEO. (4) Dalam hal monitoring dilakukan oleh Kantor Pabean, hasil monitoring disampaikan kepada Direktur dan/atau AEO. (5) Monitoring yang dilakukan oleh Kantor Pabean dapat dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang belum memiliki kualifikasi sebagai Validator. Pasal 27 (1) Direktur melakukan evaluasi terhadap AEO berdasarkan hasil monitoring. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
analisis mendalam; dan/atau
Validasi Lapangan. (3) Pengakuan sebagai AEO yang akan jatuh tempo dapat diperpanjang apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan kondisi dan persyaratan masih terpenuhi. jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyimpulkan bahwa terdapat fakta terjadinya hal yang memengaruhi SPI atas kondisi dan persyaratan AEO, Direktur menyampaikan surat kepada AEO untuk ditindaklanjuti. (5) Tindak lanjut perbaikan atas hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat Direktur. Pasal 28 (1) Dalam melakukan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 27 ayat (2) huruf b, Validasi Lapangan dapat dilakukan dengan:
virtual/ _remote; _ b. fisik _(on-site); _ atau c. kombinasi (hybrid). (2) AEO menyiapkan data maupun informasi yang dibutuhkan oleh Validator selama proses evaluasi. BAB IX PEMBEKUAN DAN PENCABUTAN PENGAKUAN AEO Pasal 29 (1) Pengakuan sebagai AEO dilakukan pembekuan dalam hal:
tidak memenuhi persyaratan umum sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b;
tidak memenuhi kondisi dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
tidak melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
tidak menyampaikan tanggapan atas permintaan tindak lanjut perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5);
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tidak melakukan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai untuk jenis AEO yang melakukan proses bisnis di bidang kepabeanan dan/ a tau cukai;
diduga melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan dengan bukti permulaan yang cukup berdasarkan rekomendasi penyidik; dan/atau
terdapat suatu kondisi tertentu dimana barang yang terkait rantai pasokan global dapat membahayakan keamanan, kesehatan masyarakat dan/atau lingkungan. (2) Pada masa pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), AEO tidak mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, kecuali konsultasi terkait pembekuan. (3) Pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e dilakukan paling lama 12 (dua belas) bulan. jdih.kemenkeu.go.id (4) Pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g dilakukan paling lama sampai dengan masa berlaku keputusan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berakhir. (5) Pembekuan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pembekuan pengakuan sebagai AEO dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Pencabutan pembekuan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dalam hal berdasarkan hasil evaluasi:
telah memenuhi kembali persyaratan umum sebagai AEO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b;
telah memenuhi kembali kondisi dan persyaratan sebagai AEO se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
telah melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
telah menyampaikan tanggapan atas permintaan tindak lanjut perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5);
telah kembali melakukan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai;
tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf f berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau penyidikan atas tindak pidana dihentikan; dan / a tau g. telah mengatasi atau menyelesaikan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf g. (2) Dalam hal AEO telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pencabutan pembekuan pengakuan sebagai AEO. (3) Keputusan Direktur Jenderal mengenai pencabutan pembekuan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 31 (1) Pengakuan sebagai AEO dicabut dalam hal:
mengajukan permohonan pencabutan pengakuan sebagai AEO;
tidak memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a; jdih.kemenkeu.go.id c. telah dilakukan 3 (tiga) kali pembekuan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir;
dalam jangka waktu pembekuan, AEO tidak melakukan tindak lanjut perbaikan atas hasil evaluasi;
dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan/atau
terdapat perubahan legalitas entitas AEO. ·(2) Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pencabutan pengakuan sebagai AEO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal pengakuan sebagai AEO telah dicabut, Operator Ekonomi dapat mengajukan permohonan pengakuan sebagai AEO kembali paling cepat 2 (dua) tahun setelah tanggal pencabutan, kecuali pencabutan pengakuan sebagai AEO dilakukan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (f). BABX KETENTUAN LAIN-LAIN Bagian Kesatu Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) Pasal 32 (1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) dengan administrasi kepabeanan negara lain dalam rangka pelaksanaan program AEO. (2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengamankan rantai pasok perdagangan global dan fasilitasi perdagangan. (3) Proses Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) dilakukan berdasarkan tahapan yang disepakati dengan administrasi kepabeanan negara lain. (4) Tahapan dalam Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat meliputi:
persiapan Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition _Arrangement); _ dan b. proses Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement). (5) Proses Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (Mutual Recognition Arrangement) dapat mencakup:
komparasi program;
site validation _observations; _ c. negosiasi teks; dan
implementasi. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Pendampingan ( Coaching Clinic) Pasal 33 (1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan pendampingan ( coaching clinic) kepada Operator Ekonomi yang berminat untuk menjadi AEO, sebelum memperoleh pengakuan sebagai AEO. (2) Pendampingan (coaching clinic) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penjelasan tentang gambaran menyeluruh terkait dengan AEO; dan / a tau b. bimbingan teknis terkait dengan permohonan AEO, termasuk pemeriksaan pendahuluan kelengkapan dokumen dalam proses pengajuan AEO. (3) Dalam hal memerlukan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Operator Ekonomi mengajukan permohonan pendampingan ( coaching clinic) kepada Direktur. (4) Pelaksanaan pendampingan (coaching clinic) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara fisik dan/atau virtual. Bagian Ketiga Lain-lain Pasal 34 Direktur Jenderal dapat menetapkan petunjuk teknis dalam memberikan pengakuan Operator Ekonomi sebagai AEO. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
permohonan pengakuan sebagai AEO yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum mendapat keputusan, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini; dan
Keputusan Direktur Jenderal mengenai pengakuan sebagai AEO yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 227 /PMK.04/2014 tentang Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator), dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku keputusan. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 227 /PMK.04/2014 tentang Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1922), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 37 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ...
Relevan terhadap
Cukup ^jelas. LAMPIRAN I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2OII TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. BAB II KA"IIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru dilakukan dengan menganalisis dampak dari suatu norma dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah untuk memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari penerapan suatu Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Kajian tersebut didukung dengan analisis yang metode tertentu, antara lain metode Regulatory Impact Analysis (RIA) dan metode Rule, Opportunitg, Capacitg, Communication, Interest, Procesg and ldeologg (ROCCIPD. JOKO WIDODO LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2OTL TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG. UNDANGAN TEKNIK PEI{YUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 2. Judul Peraturan Perundang-undangan di tingkat pusat memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan dengan mencantumkan frasa Republik Indonesia. Judul Peraturan Perundang-undangan di tingkat daerah memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan daerahnya. dengan mencantumkan nama Contoh 1: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA Contoh 2: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1I TAHUN 2O2O TENTANG CIPTA KERJA Contoh 3: PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI 3 2a. Penomoran Peraturan Perundang-undangan ditulis hanya menggunakan angka Arab tanpa penambahan huruf, angka Romawi, dan/atau tanda baca. Penomoran tidak mengikuti aturan penomoran tata naskah dinas. Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu) kata:
Paten b. Yayasan c Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggu.nakan frasa:
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum b. Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan c. Cipta Kerja 3a. Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus dapat menggunakan nama baru yang tidak sama dengan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah atau dicabut yang dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah dan 151 Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus. Contoh: Cipta Kerja Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2OI1 TENTANG KEIMIGRASIAN b. UNDANG.UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ll TAHUN 2O2O TENTANG CIPTA KERJA 4 c d. PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2OO7 TENTANG KETERTIBAN UMUM QANUN ^KABUPATEN ^ACEH JAYA NOMOR 2 TAHUN 2O1O TENTANG PET.IYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN e PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 5 TAHUN 2OIO TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA MAJELIS RAKYAT PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2OO8 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH Untuk ^judul Rancangan Peraturan Perundang-undangan, sebelum judul ditambahkan kata RANCANGAN yang ditulis dengan huruf kapital dan untuk nomor dan tahun hanya ditulis tanda baca ben-rpa 3 (tiga) titik (elipsis). Contoh: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG CIPTA KERJA f.
4a. 5 Nama Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengan singkatan atau akronim kecuali terdapat hal sebagai berikut:
belum diserap dalam bahasa Indonesia atau belum ada padanan kata dalam bahasa Indonesia;
merupakan istilah teknis yang baku;
^jika tidak disingkat dapat mengubah makna bahasa tersebut; dan/atau
sudah merupakan istilah yang baku dan digunakan secara internasional. Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) b, PERATURAN DAERAH KOTAPEKANBARU NOMOR 9 TAHUN 2OO5 TENTANG LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK) Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim: PERATURAN DAERAH KABUPATEN ... NOMOR... TAHUN... TENTANG PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA) Contoh yang diperbolehkan menggunakan akronim: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2l TAHUN 2O2O TENTANG PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM RANGKA PERCEPATAN PENANGANAN COROIVA IIIRUS DrSEASE2019 (COWD-19) 6. Pada 6. Pada nama Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah. Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2OO8 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG.UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2O2O TENTANG CIPTA KER.'A c. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 14 TAHUN 2OO9 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2OO7 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2OT9 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKIT,AN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH b 7 a.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1I TAHUN 2O2O TENTANG CIPTA KERJA C. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2l TAHUN 2OO7 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2OO4 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAI(YAT DAERAH d. PERATURANDAERAHKABUPATENMINAHASATENGGARA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 6 TAHUN 2OO7 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA 9. Pada nama Peraturan Perundanyundangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan ^judul Peraturan Perundang-undangan yang dicabut. Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 10. c PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2O1O TENTANG PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2OO3 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang-Undalg, ditambahkan kata penetapan di depan judul Perpu yang ditetapkan dan dialhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang. Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2OO3 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR l TAHUN 2OO2 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG_UNDANG a.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG... MENJADI UNDANG-UNDANG Pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Peraturan Perundang-undangan lainnya ^juga dapat memuat unsur lilosofis, sosiologis, dan/atau yuridis. a. Unsur Iilosofrs menggambarkan bahwa ^peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Unsur filosofis paling banyak terdiri dari 2 ^(dua) ^konsiderans, termasuk yang mengandung historis.
Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur sosiologis paling banyak terdiri dari 2 (dua) konsiderans. c. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Unsur yuridis paling banyak terdiri dari 2 (dua) konsiderans. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman
Relevan terhadap
Peremajaan sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 66 ayat (21 huruf c merupakan pembangunan kembali Lingkungan Hunian perkotaan yang dilakukan melalui penataan secara menyeluruh. Rencana peremqjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat(21 hurufc mencakup:
identilikasi lokasi dari Lingkungan Hunian perkotaan yang membutuhkan peremajaan;
identifikasi aspek-aspek dari Lingkungan Hunian perkotaan yang membutuhkan peremajaan; dan
indikasi program pelaksanaan peremajaan Lingkungan Hunian perkotaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang.
(2) (1) Pasal 7O Perencanaan Lingkungan Hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
perencanaan pengembangan Lingkungan Hunian perdesaan;
perencanaan pembangunan Lingkungan Hunian baru perdesaan; atau
perencanaan pembangunan kembali Lingkungan Hunian perdesaan. Penyusunan rencana Lingkungan Hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: (2t a. menentukan b. merumuskan arahan pengembangan satuan Permukiman dan perumahan perdesaan berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk dan karakteristik kegiatan Kawasan perdesaan. Pasal 71 (1) Perencanaan pengembangan Lingkungan Hunian perdesaan sebngaimana dimaksud dalam pasal 70 ayat (l) huruf a dimaksudkan mengembangkan dan meningkatkan kualitas dari Lingkungan Hunian perdesaan yang telah terbangun. (2) Perencanaan pengembangan Lingkungan Hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup penJrusunan rencana:
peningkatan efisiensi potensi Lingkungan Hunian perdesaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perdesaan;
peningkatan pelayanan Lingkungan Hunian perdesaan;
peningkatan keterpaduan prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Lingkungan Hunian perdesaan;
penetapan bagian Lingkungan Hunian perdesaan yang dibatasi dan yang didorong pengembingannya; dan
peningkatan kelestarian alam dan potensi sumber daya perdesaan. (3) Rencana peningkatan efisiensi potensi Lingkungan Hunian perdesaan dengan mempeihatikan fuilsi fan peranan perdesaan sebagaimana dimalsud pada ayat (2) huruf a mencakup:
identifikasi fungsi dan peranan perdesaan sesuai arahan rencana tata ruang Kawasan perdesaan;
identifikasi potensi Lingkungan Hunian perdesaan yang meliputi potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, potensi ekonomi, potensi sosial dan potensi budaya;
menentukan sebaran permukiman dan perumahan perdesaan berdasarkan rencana Peraturan Zonasi; dan tata ruang dan c. arahan (4) c. qah.an peningkatan elisiensi potensi Lingkungan Hunian perdesaan dalam mendukung fungsi dan peranan perdesaan, melalui efisiensi pemanfaatan sumber daya dan efisiensi kegiatan produktif; dan
indikasi program peningkatan efisiensi pemanfaatan sumber daya dan efisiensi kegiatan produktif. Rencana peningkatan pelayanan Lingkungan Hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mencakup:
identifikasi pelayanan Lingkungan Hunian perdesaan yang ada;
identifikasi kebutuhan pelayanan Lingkungan Hunian perdesaan sesuai perhitungan dan proyeksi populasi rencana tata ruang Kawasan perdesaan dan standar teknis;
arahan peningkatan pelayanan lingkungan perdesaan yang ada;
arahan penyediaan pelayanan lingkungan perdesaan . yang belum ada;
indikasi program peningkatan pelayaan lingkungan perdesaan yang ada sesuai arahan peningkatan keterpaduan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum; dan
indikasi program penyediaan pelayanan lingkungan perdesaan yang belum ada sesuai arahan peningkatan keterpaduan prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum. Rencana peningkatan keterpaduan prasarana, Sarana,. dan Utilitas Umum Lingkungan Hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c mencakup:
identilikasi Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Lingkungan Hunian perdesaan yang ada;
identifikasi keterpaduan prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Lingkungan Hunian perdesaan sesuai rencana tata ruang Kawasan perdesaan dan standar teknis;
arahan peningkatan keterpaduan prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Lingkungan Hunian perdesaan yang ada; dan
arahan penyediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Lingkungan Hunian perdesaan yang belum ada secara terpadu. (s) (6) Rencana {.w (6) Rencana penetapan bagian perdesaan yang dibatasi pengembangannya sebagaimana huruf d mencakup: Lingkungan Hunian dan yang didorong dimaksud pada ayat (2) a. identifikasi bagian lirr*Lrngan Hunian perdesaan yang dibatasi dan didorong pengembangannya sesuai arahan tata ruang Kawasan perdesaan;
arahan pembatasan pengembangan bagian Lingkungan Hunian perdesaan berupa pembatasan intensitas dan pembatasan kegiatan tertentu melalui pengenaan disinsentif dan pengenaan sanksi; dan
arahan pengembangan bagian Lingkungan Hunian perdesaan berupa peningkatan intensitas dan pengembangan kegiatan tertentu melalui pemberian insentif. (7) Rencana peningkatan kelestarian alam dan potensi sumber daya perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e mencakup:
identifikasi kondisi alam yang dimiliki;
identifikasi potensi sumber daya perdesaan yang dimiliki;
arahan peningkatan kelestarian alam dan sumber daya perdesaan melalui pengendalian dampak lingkungan; dan
indikasi program pengendalian dampak lingkungan. pasalZ2 Perencanaan pembangunan Lingkungan Hunian baru perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ZO ayat (1) huruf b dimaksudkan membangun Lingkungan Hunian baru perdesaan yang belum Grbangtrn paaa kawasan peruntukan Permukiman sesuai reniana tata ruang wilayah. Perencanaan pembangunan Lingkungan Hunian baru perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup penyusunan:
rencana penyediaan lokasi permukiman;
rencana penyediaan prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Permukiman; dan (l) (2) c. rencana c. rencana penyediaan lokasi pelayanan jasa Pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. (3) Rencana penyediaan lokasi permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup:
identifikasi lokasi ^permukiman baru perdesaan sesuai arahan rencana tata ruang Kawasan Perdesaan;
identifikasi penguasaan tanah pada lokasi Permukiman baru perdesaan;
arahan penyediaan tanah permukiman baru perdesaan oleh Pemerintah, pemerintah Daerah dan/atau setiap orang; dan
indikasi program penyediaan tanah untuk Permukiman baru sesuai rencana tata ruang. (4) Rencana penyediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mencakup:
identilikasi kondisi ^prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Permukiman di sekitar lokasi permukiman baru perdesaan;
identilikasi kebutuhan prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum ^permukiman pada lokasi Permukiman baru perdesaan sesuai arahan rencana tata ruang Kawasan ^perdesaan;
rencana integerasi ^prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Permukiman baru perdesaan dengan prasana, Sarana, dan Utilitas Umum yang telah ada; dan
indikasi program penyediaan prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum permukiman pada lokasi Permukiman baru perdesaan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang. (5) Re-ncana penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c mencakup:
identifikasi rencana lokasi jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi pada lokasi Permukiman baru perdesaan sesuai arahln rencana tata ruang Kawasan ^perdesaan; dan
indikasi #ip (1) t2l b. indikasi program penyediaan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi pada lokasi Permukiman baru perdesaan.
Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN ASET PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 2. Aset adalah seluruh barang milik negara yang dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 3. Aset Dalam Penguasaan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disingkat ADP adalah Aset yang meliputi tanah dalam bentuk Hak Pengelolaan. 4. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN. 5. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN. 6. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disebut Kawasan adalah wilayah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Be bas Ba tam.
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Be bas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan adalah lembaga/ instansi pemerintah pusat yang dibentuk oleh Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan. 8. Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tan pa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 9. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan keuangan BLU, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. 10. Perencanaan Kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berj alan se bagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. 11. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan Aset yang sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan. 12. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. 13. Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. 14. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Aset yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga dan/atau optimalisasi Aset dengan tidak mengubah status kepemilikan. 15. Sewa adalah Pemanfaatan Aset oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. 16. Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan Aset melalui penyerahan penggunaan BMN Badan Pengusahaan kepada pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada Badan Pengusahaan.
Kerja Sama Pemanfaatan yang selanjutnya disingkat KSP adalah Pemanfaatan Aset oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. 18. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat KSPI adalah Pemanfaatan Aset melalui kerja sama antara pemerintah dan badan usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur yang selanjutnya disebut Ketupi adalah Pemanfaatan BMN melalui optimalisasi BMN untuk meningkatkan fungsi operasional BMN guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya. 20. Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama yang selanjutnya disingkat PJPK adalah Kepala Badan Pengusahaan sebagai penanggungjawab proyek kerja sama pada Badan Pengusahaan dalam rangka pelaksanaan kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Badan U saha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, atau koperasi. 22. Badan Usaha Pelaksana Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha yang selanjutnya disebut Badan Usaha Pelaksana adalah Perseroan Terbatas yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang lelang atau ditunjuk langsung. 23. Perubahan Status Aset adalah perubahan status ADP menjadi BMN atau perubahan status BMN menjadi ADP. 24. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN. 25. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 26. Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN yang dilakukan antara Badan Pengusahaan dengan pemerintah daerah, badan usaha milik negara/ daerah a tau badan hukum lainnya yang dimiliki negara, dan swasta, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang, sekurang- kurangnya dengan nilai seimbang. 27. Hi bah adalah pengalihan kepemilikan BMN dari Badan Pengusahaan kepada pemerintah daerah atau kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian. 28. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN. 29. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari pembukuan/ daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Badan Pengusahaan dan/atau Pengelola Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas BMN.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 31. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan Aset. 32. Penggolongan adalah kegiatan untuk menetapkan Aset secara sistematik ke dalam golongan, bidang, kelompok, sub kelompok, dan sub-sub kelompok. 33. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN. 34. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN. 35. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah pada Direktorat Jenderal yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Badan Pengusahaan. 36. Kepala Kantor Pelayanan Keyayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kepala KPKNL adalah Kepala Kantor Pelayanan pada Direktorat Jenderal yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Badan Pengusahaan. 37. Pihak Lain adalah pihak-pihak selain kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah. Pasal 2 (1) Ruang lingkup Peraturan Menteri m1 mengatur pelaksanaan pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan, yang meliputi:
BMN; dan
ADP. (2) BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN; dan
barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah meliputi:
barang yang diperoleh dari hi bah/ sumbangan atau yang sejenis;
barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) BMN yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3 termasuk:
barang yang diperoleh dari pendapatan Badan Pengusahaan dan perolehan lainnya yang sah;
barang yang pendanaannya merupakan gabungan antara APBN dan pendapatan Badan Pengusahaan; dan
barang yang berasal dari pengalihan ADP yang tidak diperpanjang pengalokasiannya.
ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb meliputi Aset berupa tanah yang berada dalam Kawasan yang tidak ditetapkan sebagai BMN termasuk:
tanah yang belum mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan;
tanah yang sudah mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan; dan
tanah yang berasal dari BMN yang diubah statusnya menjadi ADP. Pasal 3 (1) Badan Pengusahaan mengelola Aset berupa:
BMN berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan/atau
selain tanah dan/atau bangunan; dan
ADP berupa tanah. (2) ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat:
dikerjasamakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini; atau
dilakukan pengalokasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. BAB II PEJABAT PENGELOLA ASET Pasal 4 (1) Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara merupakan Pengelola Barang yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan Aset. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melimpahkan kewenangannya kepada:
Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau
pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. (3) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. (4) Dalam hal pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terakomodir di dalam Keputusan Menteri Keuangan, maka dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilimpahkan kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. Pasal 5 (1) Kepala Badan Pengusahaan merupakan Pengguna Barang di lingkungan Badan Pengusahaan yang memiliki kewenangan pelaksanaan teknis dan perumusan kebijakan teknis pengelolaan Aset.
Dalam pelaksanaan teknis pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Pengusahaan dapat melimpahkan kewenangannya kepada pejabat di lingkungan Badan Pengusahaan yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Prinsip Umum Pasal 6 Pengelolaan Aset meliputi:
Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
pengadaan;
Penggunaan;
Perubahan Status Aset;
Pemanfaatan;
pengalokasian;
pengamanan dan pemeliharaan;
Penilaian;
Pemindahtanganan; J. Pemusnahan;
Penghapusan;
Penatausahaan; dan
pengawasan dan pengendalian. Pasal 7 (1) Aset pada Badan Pengusahaan dilarang untuk diserahkan kepada Pihak Lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada pemerintah pusat. (2) Aset pada Badan Pengusahaan tidak dapat dilakukan penyitaan. (3) BMN yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara tidak dapat dipindahtangankan. (4) BMN dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman. Bagian Kedua Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran Pasal 8 (1) Perencanaan Kebutuhan BMN disusun dalam rencana bisnis dan anggaran Badan Pengusahaan setelah memperhatikan ketersediaan BMN yang ada serta kemampuan dalam menghimpun pendapatan. (2) Perencanaan Kebutuhan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga/biaya.
Perencanaan Kebutuhan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 9 (1) Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi perumusan kebijakan kekayaan negara pada Direktorat J enderal berdasarkan usulan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Standar harga/biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang PPK-BLU. Bagian Ketiga Pengadaan Pasal 10 Pengadaan BMN dilaksanakan sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Penggunaan Paragraf 1 Umum Pasal 11 (1) Penggunaan Aset dilaksanakan dengan cara:
digunakan sendiri oleh Badan Pengusahaan;
digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya;
dioperasikan oleh Pihak Lain;
dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya; atau
digunakan bersama dengan kementerian/lembaga lain. (2) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Penggunaan untuk dioperasikan oleh Pihak Lain, Penggunaan sementara, pengalihan status Penggunaan, atau Penggunaan bersama, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. (3) Penetapan status BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan atas BMN berupa:
barang persediaan;
konstruksi dalam pengerjaan;
barang yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan;
barang yang berasal dari dana dekonsentrasi dan dana penunjang tugas pembantuan, yang direncanakan untuk diserahkan;
bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya; dan
aset tetap renovasi. (4) ADP tidak dapat diusulkan untuk dilakukan Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali telah dilakukan Perubahan Status Aset menjadi BMN. (5) ADP hanya dapat dilakukan pengalokasian atau Pemanfaatan, setelah memperoleh penetapan status ADP. (6) Kementerian/lembaga dapat melakukan pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan. Paragraf 2 Penetapan Status Pasal 12 (1) Penetapan status Penggunaan Aset berupa BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dilakukan oleh Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan status Penggunaan BMN dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan. (3) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pelaksanaan, prosedur, dan dokumen penetapan status Penggunaan BMN mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. (4) Penetapan status ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan. Paragraf 3 Penggunaan Sementara Pasal 13 (1) BMN yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN tersebut. (2) Penggunaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Penggunaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jangka waktu tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penggunaan sementara yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL.
Pada saat jangka waktu Penggunaan sementara telah berakhir, BMN yang digunakan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
digunakan sendiri oleh Badan Pengusahaan;
digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya; dan/atau
dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lain, berdasarkan usulan dari Kepala Badan Pengusahaan untuk mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (6) Pengguna sementara BMN yang menggunakan sementara BMN pada Badan Pengusahaan tidak dapat melakukan penetapan status Penggunaan, Penggunaan untuk dioperasikan Pihak Lain, pengalihan status Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan/atau Penghapusan BMN yang digunakan sementara. (7) Pengguna sementara BMN melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN yang digunakan sementara sesuai perjanjian. (8) Pengguna sementara BMN dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan sementara berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan terse but tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (9) Dalam hal pengguna sementara melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan sementara, pengguna sementara menyerahkan hasil perubahan atau pengembangan dimaksud kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Penggunaan untuk Dioperasikan oleh Pihak Lain Pasal 14 (1) BMN yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat dioperasikan oleh Pihak Lain tanpa mengubah status Penggunaan BMN tersebut, dengan ketentuan pengoperasian BMN dimaksudkan untuk menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi Badan Pengusahaan serta penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- undangan. (2) Jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang, untuk pengoperasian BMN oleh badan usaha milik negara, koperasi, atau badan hukum lainnya;
paling lama 15 (lima belas) tahun dan dapat diperpanjang, untuk pengoperasian BMN dalam rangka pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan di KPBPB, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun;
paling lama 99 (sembilan puluh sembilan) tahun, untuk pengoperasian BMN oleh pemerintah negara lain;
sesuai perjanjian, untuk pengoperasian BMN oleh organisasi internasional; atau
selama lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang melaksanakan tugas dan fungsinya untuk menjalankan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, untuk pengoperasian BMN oleh lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang, dengan ketentuan tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengoperasian oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengoperasian oleh Pihak Lain yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (5) Biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN selama jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain dibebankan kepada Pihak Lain yang mengoperasikan BMN. (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN dapat dibebankan secara keseluruhan atau sebagian kepada Badan Pengusahaan sepanjang pengoperasian dilaksanakan karena penugasan atau kebijakan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pihak Lain yang melakukan pengoperasian atas BMN dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang dioperasikan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan tersebut tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (8) Dalam hal BMN yang dioperasikan oleh Pihak Lain dilakukan perubahan atau pengembangan, hasil perubahan atau pengembangan dimaksud diserahkan kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 (1) Pihak Lain yang mengoperasikan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat melakukan pungutan kepada masyarakat setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Badan Pengusahaan dengan melampirkan perhitungan estimasi biaya operasional dan besaran pungutan.
Dalam hal pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi biaya operasional menghasilkan keuntungan bagi pihak lain yang mengoperasikan BMN, keuntungan tersebut disetor seluruhnya ke rekening Badan Pengusahaan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 16 (1) Pihak Lain yang mengoperasikan BMN menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan pengoperasian BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan selama jangka waktu pengoperasian. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan berikutnya setelah periode tahun anggaran berakhir. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian laporan dilakukan pada akhir jangka waktu pengoperasian BMN sepanjang jangka waktu pengoperasian kurang dari 1 (satu) tahun. (4) Laporan pelaksanaan pengoperasian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
kesesuaian Penggunaan BMN objek pengoperasian sebagaimana ditentukan dalam perjanjian;
pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan atas objek pengoperasian;
kondisi BMN objek pengoperasian; dan
perubahan dan pengembangan yang dilakukan terhadap BMN objek pengoperasian, jika ada. Paragraf 5 Alih Status Penggunaan Pasal 17 (1) BMN yang tidak digunakan lagi oleh Badan Pengusahaan dapat dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya. (2) Pengalihan status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengalihan status Penggunaan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL sepanjang BMN berupa aset tetap renovasi. Paragraf 6 Pembangunan oleh Kementerian/Lembaga di atas Aset Berupa Tanah pada Badan Pengusahaan Pasal 18 (1) Kementerian/lembaga dapat melakukan pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Kepala Badan Pengusahaan.
Pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian antara Badan Pengusahaan dan kementerian/lembaga yang melakukan pembangunan. (3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak;
jangka waktu pembangunan;
jenis, jumlah, dan luas objek yang dibangun;
tanggung jawab pembangunan; dan
hak dan kewajiban para pihak. (4) Barang yang diperoleh dari hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan dilakukan penetapan status Penggunaan BMN pada kementerian/lembaga yang melakukan pembangunan terse but. (5) BMN hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan Penatausahaan oleh kementerian/lembaga bersangkutan. (6) BMN hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan dengan persetujuan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaporkan kepada Kepala Badan Pengusahaan. (7) Hasil Pemanfaatan atas BMN hasil pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi penerimaan pada:
kementerian/lembaga selaku Pengguna Barang sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau
Badan Pengusahaan, sesuai perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (8) BMN hasil pembangunan di atas Aset Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan alih status Penggunaan berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL kepada:
Badan Pengusahaan; atau
kementerian/lembaga lain. (9) Dalam hal BMN hasil pembangunan dialihkan status penggunaannya kepada kementerian/ lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b, perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan penyesuaian terhadap para pihak. Paragraf 7 Penggunaan Bersama Pasal 19 (1) BMN berupa infrastruktur jalan yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat dilakukan Penggunaan bersama dengan kementerian/lembaga yang membidangi urusan jalan nasional dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN tersebut. (2) Penggunaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan permohonan Kepala Badan Pengusahaan. (4) Permohonan persetujuan Penggunaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Kepala Badan Pengusahaan yang minimal memuat:
data BMN yang akan digunakan bersama;
Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN;
jangka waktu Penggunaan bersama; dan
penjelasan serta pertimbangan Penggunaan bersama BMN. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:
fotokopi keputusan penetapan status Penggunaan BMN; dan
surat permintaan Penggunaan bersama BMN dari Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan. (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penggunaan bersama yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (7) Kepala KPKNL melakukan penelitian atas permohonan Penggunaan bersama BMN yang diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang dipersyaratkan. (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum mencukupi, Kepala KPKNL dapat:
meminta keterangan kepada Kepala Badan Pengusahaan;dan b. meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN. (9) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
data BMN yang akan digunakan bersama;
Pengguna Barang yang menggunakan bersama BMN;
kewajiban Pengguna Barang yang menggunakan bersama BMN untuk memelihara dan mengamankan BMN yang digunakan bersama;
jangka waktu Penggunaan bersama; dan
kewajiban Pengguna Barang untuk menindaklanjuti persetujuan dengan membuat perjanjian. (10) Dalam hal permohonan Penggunaan bersama tidak disetujui, Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. Pasal 20 (1) Penggunaan bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dituangkan dalam perjanjian antara Badan Pengusahaan selaku Pengguna Barang dan kementerian/ lembaga yang menggunakan bersama selaku pengguna bersama BMN. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak;
jangka waktu Penggunaan bersama;
jenis, jumlah dan luas objek yang digunakan bersama;
tanggung jawab Penggunaan bersama, termasuk tanggung jawab dalam melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN yang digunakan bersama; dan
hak dan kewajiban para pihak. Pasal 21 BMN yang sedang dilakukan Penggunaan bersama tidak dapat dilakukan Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan/ a tau Penghapusan BMN yang digunakan bersama, kecuali berdasarkan usulan dari Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 22 (1) Pengguna bersama BMN yang menggunakan bersama BMN pada Badan Pengusahaan melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN sesuai perjanjian. (2) Biaya pengamanan dan pemeliharaan terhadap BMN yang digunakan bersama hanya dapat dibebankan pada salah satu pihak untuk setiap kegiatan. (3) Pengguna bersama BMN yang menggunakan bersama BMN pada Badan Pengusahaan, dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan bersama berdasarkan:
perjanjian dengan Kepala Badan Pengusahaan; atau
persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (4) Perubahan atau pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (5) Hasil perubahan atau pengembangan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan oleh Pengguna bersama BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan. (6) Penyerahan hasil perubahan atau pengembangan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang akuntansi dan pengelolaan BMN. Bagian Kelima Perubahan Status Aset Paragraf 1 Perubahan Status Aset Berupa Aset Dalam Penguasaan Menjadi Barang Milik Negara Pasal 23 (1) ADP yang akan digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga, penyelenggaraan tugas pemerintahan negara, dan/atau pelayanan pada masyarakat dapat diubah statusnya menjadi BMN setelah mendapat persetujuan dari Kepala Badan Pengusahaan. (2) Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan status Penggunaan BMN. (3) ADP yang akan diubah statusnya menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
tidak sedang dilakukan pengalokasian;
tidak terdapat pembebanan hak tanggungan atau peletakan jaminan/agunan terhadap hak atas tanah atau alokasi tanah di atas ADP; dan
tidak sedang dalam sengketa, baik terhadap ADP maupun hak atas tanah atau alokasi tanah di atas ADP. Paragraf 2 Tata Cara Perubahan Status Aset Berupa Aset Dalam Penguasaan Menjadi Barang Milik Negara Pasal 24 (1) Kepala Badan Pengusahaan memberikan persetujuan atas ADP yang diusulkan untuk menjadi BMN dengan tembusan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh:
kementerian/lembaga; atau
unit di Badan Pengusahaan yang membutuhkan BMN. (3) Kepala Badan Pengusahaan mengajukan usulan penetapan status Penggunaan BMN pada Badan Pengusahaan atas ADP berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (4) Kementerian/lembaga mengajukan usulan penetapan status Penggunaan BMN atas ADP berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengusahaan. (5) Penetapan status Penggunaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penggunaan BMN. Paragraf 3 Perubahan Status Aset Berupa Barang Milik Negara Menjadi Aset Dalam Penguasaan Pasal 25 (1) BMN berupa tanah yang tidak digunakan lagi oleh Badan Pengusahaan dapat diubah statusnya menjadi ADP setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan Kepala Badan Pengusahaan. (3) Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pertimbangan:
sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
diperuntukkan bagi kepentingan umum;
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau ketentuan perundang-undangan, yangjika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis;
analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dari Kepala Badan Pengusahaan yang menyatakan bahwa tanah tersebut lebih optimal apabila dialihkan menjadi ADP; dan/atau
penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. (4) BMN berupa tanah yang dapat dilakukan Perubahan Status Aset menjadi ADP harus memenuhi kriteria:
sebelumnya berasal dari ADP;
telah ditetapkan status penggunaannya;
bukan merupakan BMN yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya; dan
BMN berupa tanah yang:
tidak sedang digunakan/tidak diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan/atau tidak sedang dilakukan pemanfaatan; dan
sudah terdapat rencana peruntukan dan/atau pengalokasiannya. (5) Dalam hal pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP mengakibatkan timbulnya kebutuhan atas BMN berupa tanah, pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dilakukan bersamaan dengan penyiapan tanah ADP yang akan dijadikan BMN. (6) ADP yang disiapkan untuk dijadikan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). Paragraf 4 Tata Cara Perubahan Status Aset Berupa Barang Milik Negara Menjadi Aset Dalam Penguasaan Pasal 26 Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
persiapan;
permohonan;
penelitian;
persetujuan;
penetapan; dan
pelaporan. Pasal 27 (1) Kepala Badan Pengusahaan melakukan persiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan tahapan sebagai berikut:
membentuk komite aset;
meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan reviu atas laporan dari komite aset; dan
menyiapkan dokumen permohonan. (2) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat ad hoc. (3) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah ganjil yang minimal beranggotakan perwakilan dari unsur:
unit yang menggunakan/menguasai BMN;
unit yang membidangi pengelolaan ADP;
pelaksana fungsional Pengguna Barang; dan
unit yang membidangi hukum pada Badan Pengusahaan. (4) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP meliputi:
melakukan penelitian data administratif, yaitu:
data tanah, sebagaimana tercantum dalam Kartu Identitas Barang (KIB) meliputi status dan bukti kepemilikan, lokasi, luas, nilai perolehan dan/atau nilai buku;
data penetapan status Penggunaan dan/atau Pemanfaatan;
data dan informasi mengenai perolehan BMN berupa tanah yang akan diubah statusnya menjadi ADP;
data dan informasi mengenai bangunan, sarana prasarana, dan/atau objek lainnya yang berada di atas tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1;
rencana peruntukan dan/atau pengalokasian BMN yang akan diubah statusnya menjadi ADP; dan
data ADP yang direncanakan akan dijadikan BMN dalam rangka pemenuhan kebutuhan BMN, jika ada.
melakukan penelitian fisik untuk memeriksa kesesuaian data administratif dengan fisik tanah:
BMN yang akan diusulkan untuk dilakukan Perubahan Status Aset dari BMN menjadi ADP;
ADP yang direncanakan akan dijadikan BMN dalam rangka pemenuhan BMN, jika ada. yang dituangkan dalam berita acara penelitian. c. menyusun kajian Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP meliputi:
Analisis aspek penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use);
Analisis manfaat dan dampak ekonomi dan sosial; dan
Analisis kebutuhan penyediaan berupa tanah sebagai dampak dari rencana Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. d. melakukan koordinasi dengan tim penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. e. menyiapkan dokumen yang melatarbelakangi usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, an tara lain:
dokumen rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
dokumen yang menyatakan/mendukung bahwa Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP diperlukan dalam rangka kepentingan umum;
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang mengakibatkan perlu dilakukannya Perubahan Status Aset berupa BMN;
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur status BMN tidak layak dipertahankan secara ekonomis; dan / a tau 5. dokumen hasil pelaksanaan tugas/laporan tim penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. f. menyampaikan laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala Badan Pengusahaan meliputi:
hasil penelitian data administrasi sebagaimana dimaksud pada huruf a;
kajian sebagaimana dimaksud pada huruf c;
dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf e; dan
rekomendasi terkait rencana Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. (5) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus mempertimbangkan:
statistik BMN berupa tanah yang ada;
jumlah BMN berupa tanah; dan
analisis kebutuhan BMN berupa tanah. (6) Dalam hal diperlukan, komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan instansi teknis atau unsur lain yang kompeten.
Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merekomendasikan untuk tidak dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, komite aset menyampaikan laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. (8) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merekomendasikan untuk dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, Kepala Badan Pengusahaan meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan reviu atas laporan dari komite aset dalam rangka penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. (9) Dalam hal diperlukan, pelaksanaan reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat melibatkan instansi teknis yang kompeten. (10) Kepala Badan Pengusahaan melakukan penelitian atas laporan penyiapan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dan hasil reviu aparat pengawasan intern pemerintah sebagai dasar pertimbangan dalam menyiapkan dokumen permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. Pasal 28 (1) Dalam hal usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP disertai dengan usulan Perubahan Status Aset berupa tanah ADP menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5), Kepala Badan Pengusahaan melakukan Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN. (2) Pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24. Pasal 29 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan surat permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penjelasan dan pertimbangan usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan disertai:
data administratif;
nilai perolehan dan/atau nilai buku BMN;
rencana peruntukan dan pengalokasiannya;
surat keputusan pembentukan komite aset;
laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dari komite aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf f;
hasil reviu aparat pengawasan intern pemerintah; dan
surat pernyataan:
kebenaran materiil objek yang diusulkan;
bahwa BMN yang akan diubah statusnya: a) sebelumnya berasal dari ADP; dan b) tidak sedang digunakan/tidak diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan/atau tidak sedang dilakukan Pemanfaatan. (3) Dalam hal permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersamaan dengan adanya penyediaan ADP untuk dijadikan BMN, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai juga dengan usulan:
penetapan status Penggunaan; dan
Penilaian; atas ADP yang direncanakan untuk dijadikan BMN. (4) Pengajuan penetapan status Penggunaan dan Penilaian atas ADP yang akan dijadikan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 30 (1) Kepala KPKNL melakukan penelitian atas permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, dengan tahapan:
melakukan penelitian terhadap pemenuhan dokumen persyaratan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP; dan
melakukan penelitian data administratif. (2) Dalam hal diperlukan, Kepala KPKNL dapat melakukan penelitian fisik BMN yang direncanakan dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan memeriksa data administratif yang ada. (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Kepala KPKNL dapat meminta data dan informasi tambahan kepada Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 31 (1) Persetujuan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP diberikan oleh Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL dalam bentuk surat persetujuan dengan mendasarkan pada hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. (2) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
data BMN yang akan diubah statusnya menjadi ADP; dan
tujuan peruntukan dan pengalokasian. (3) Dalam hal Kepala KPKNL tidak menyetujui permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, Kepala KPKNL memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. Pasal 32 (1) Kepala Badan Pengusahaan menerbitkan keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat persetujuan dari Kepala KPKNL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). (2) Kepala Badan Pengusahaan melakukan reklasifikasi BMN yang diubah statusnya menjadi ADP berdasarkan keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penatausahaan BMN dan akuntansi pemerintahan. Pasal 33 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala KPKNL dengan melampirkan:
surat keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP;
daftar transaksi reklasifikasi dari BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2); dan
daftar transaksi reklasifikasi dari ADP menjadi BMN, dalam hal Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP disertai dengan adanya ADP yang dijadikan BMN. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) bulan sejak keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. Bagian Keenam Pemanfaatan Paragraf 1 Umum Pasal 34 (1) Pemanfaatan Aset meliputi:
Sewa;
Pinjam Pakai; C. KSP;
Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur;
KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur;
KSPI; dan
Ketupi. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap:
Aset berupa tanah dan/atau bangunan;
Aset berupa sebagian tanah dan/atau bangunan; dan/atau
BMN selain tanah dan/atau bangunan. (3) Bandar udara, pelabuhan, sumber daya air dan limbah, termasuk Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Aset berupa ADP tidak dapat dilakukan Pemanfaatan dalam bentuk Pinjam Pakai dan Ketupi.
Aset yang menjadi objek Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang dijaminkan atau digadaikan. (6) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Pemanfaatan, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. Pasal 35 (1) Pemanfaatan Aset dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada:
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal dengan tembusan Kepala KPKNL untuk Pemanfaatan dalam bentuk KSPI dan Ketupi; dan
Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL untuk Pemanfaatan selain KSPI dan Ketupi. (2) Pemanfaatan tidak mengubah status kepemilikan Aset. (3) Pemanfaatan Aset dilakukan dengan jangka waktu tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemanfaatan Aset dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan umum. (5) Kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus merupakan kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan. (6) Biaya pemeliharaan dan pengamanan Aset yang berkaitan dengan Pemanfaatan Aset dibebankan pada mitra Pemanfaatan Aset. Pasal 36 (1) Pemerintah dapat memberikan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi dalam rangka Pemanfaatan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. (2) Pemberian fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh:
Kepala Badan Pengusahaan;
Menteri Keuangan; dan/atau
menteri/pimpinan lembaga lainnya. Pasal 37 (1) Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d sampai dengan huruf g, dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (2) Jangka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dilakukan dalam bentuk Sewa atau KSP dan perpanjangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan.
Jangka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dilakukan dalam bentuk KSPI dan Ketupi serta perpanjangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan, setelah memperoleh persetujuan dari:
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal untuk Pemanfaatan dengan nilai BMN yang dihitung secara proporsional dari nilai perolehan BMN di atas Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal untuk Pemanfaatan dengan nilai BMN yang dihitung secara proporsional dari nilai perolehan BMN sampai dengan Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (4) J angka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur dan perpanjangannya dituangkan dalam perjanjian. Pasal 38 Perpanjangan jangka waktu untuk Pemanfaatan berupa KSPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf f:
hanya dapat dilakukan apabila terjadi government force majeure, seperti dampak kebijakan pemerintah yang disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi, politik, sosial, dan keamanan; dan
permohonannya diajukan paling lama 6 (enam) bulan setelah government force majeure nyata terjadi.
(2) (3) (4) Pasal 39 Pendapatan yang diperoleh dari digunakan langsung oleh Badan dengan ketentuan peraturan mengenai PPK-BLU. Pemanfaatan dapat Pengusahaan sesuai perundang-undangan Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendapatan dari Pemanfaatan disetorkan ke BLU yang ditetapkan oleh Pengelola Barang sepanjang Pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk Ketupi. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada:
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal dengan tembusan Kepala KPKNL untuk pendapatan dari KSPI; dan
Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL untuk pendapatan dari Pemanfaatan BMN selain KSPI. Aset yang diperoleh dari hasil Pemanfaatan menjadi BMN pada Badan Pengusahaan. Paragraf 2 Sewa Pasal 40 (1) Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dilakukan untuk:
mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset;
memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka menunjang tugas dan fungsi Badan Pengusahaan;
mencegah Aset digunakan oleh pihak lain secara tidak sah; dan / a tau d. pemberian layanan Badan Pengusahaan. (2) Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan. Pasal 41 (1) Pihak yang dapat menyewa Aset meliputi:
pemerintah daerah;
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
swasta;
unit penunJang kegiatan penyelenggaraan pemerin tahan / negara;
lembaga independen yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan;dan/atau g. badan hukum lainnya. (2) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan dapat dilakukan Sewa kepada pihak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPK-BLU. (3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menjadi penyewa dalam hal pelaksanaan Sewa tidak diperuntukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerin tahan daerah. Pasal 42 Objek Sewa dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 43 (1) Sewa dilakukan dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Sewa dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sewa dapat dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun untuk:
kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu Sewa lebih dari 5 (lima) tahun; atau
ditentukan lain dalam Undang-Undang.
Jangka waktu Sewa untuk kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu Sewa lebih dari 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. (5) Perpanjangan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penyewa dapat melakukan penerusan Sewa kepada Pihak Lain dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal penyewa akan melakukan penerusan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penyewa dapat menawarkan Aset yang menjadi objek Sewa melalui media pemasaran. Pasal 44 (1) Besaran Sewa ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan, minimal:
analisis data pasar;
manfaat ekonomi;
manfaat sosial;
dampak ekonomi; dan
dampak sosial. (2) Besaran Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (3) Perhitungan tarif pokok Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dapat meminta bantuan Penilai. (4) Faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan:
jenis/bentuk kegiatan usaha;
periodesitas Sewa; dan/atau
pertimbangan lainnya dalam kondisi tertentu, meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam;
bencana sosial; a tau 5. kondisi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), penetapan tarif Sewa terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang PPK-BLU. (6) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c angka 2, angka 3, dan angka 4, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Pasal 45 (1) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) calon penyewa dalam Pemanfaatan BMN, Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pemilihan calon penyewa melalui lelang hak menikmati pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. (2) Besaran Sewa yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dapat digunakan sebagai nilai limit pada pelaksanaan lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemilihan penyewa. (3) Dalam hal penyewa yang terpilih sebagai pemenang dalam lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan melakukan penerusan Sewa, penyewa dapat menawarkan Aset yang menjadi objek Sewa melalui media pemasaran. Pasal 46 (1) Persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan persetujuan perpanjangannya dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Sewa yang minimal memuat:
informasi Aset yang menjadi objek Sewa; dan
data Sewa, minimal memuat data dan informasi mengenai:
besaran Sewa sesuai kondisi dengan kelompok jenis kegiatan usaha dan periodesitas Sewa; dan
jangka waktu, termasuk periode Sewa. (2) Surat persetujuan atau keputusan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 47 (1) Sewa dituangkan dalam perjanjian, yang minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah Aset;
besaran Sewa;
jangka waktu Sewa;
peruntukan Sewa;
larangan pendayagunaan Aset diluar peruntukan Sewa;
kewenangan untuk meneruskan Sewa, jika ada;
tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu Sewa; dan
hak dan kewajiban para pihak. (2) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan Sewa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal perjanjian Sewa belum ditandatangani sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan atau keputusan Sewa batal demi hukum.
Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu untuk penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir. (5) Perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 48 (1) Hasil Sewa merupakan pendapatan Badan Pengusahaan. (2) Hasil Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor seluruhnya sekaligus ke rekening Badan Pengusahaan. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyetoran uang Sewa dapat dilakukan secara bertahap dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan atas Sewa untuk Aset dengan karakteristik/ sifat khusus. Paragraf 3 Pinjam Pakai Pasal 49 (1) Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b dilaksanakan antara Badan Pengusahaan dan pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. (2) Jangka waktu Pinjam Pakai paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Peminjam pakai melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN yang menjadi objek Pinjam Pakai selamajangka waktu Pinjam Pakai. (4) Peminjam pakai dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang dipinjampakaikan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan terse but tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (5) Dalam hal BMN yang dipinjampakaikan dilakukan perubahan atau pengembangan, hasil perubahan atau pengembangan dimaksud diserahkan kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 (1) Persetujuan Pinjam Pakai dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Pinjam Pakai yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan minimal memuat:
identitas peminjam pakai;
data objek Pinjam Pakai;
jangka waktu Pinjam Pakai; dan
kewajiban peminjam pakai. (2) Surat persetujuan atau keputusan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 51 (1) Pelaksanaan Pinjam Pakai dituangkan dalam perjanjian antara Badan Pengusahaan dengan peminjam pakai berdasarkan surat persetujuan atau keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1). (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah BMN yang dipinj ampakaikan;
jangka waktu Pinjam Pakai;
peruntukan Pinjam Pakai;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan Pinjam Pakai;
tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu Pinjam Pakai; dan
hak dan kewajiban para pihak. Pasal 52 (1) Peminjam pakai menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan Pinjam Pakai kepada Kepala Badan Pengusahaan selamajangka waktu Pinjam Pakai. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan berikutnya setelah periode tahun anggaran berakhir. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian laporan dilakukan pada akhir jangka waktu Pinjam Pakai sepanjang:
jangka waktu Pinjam Pakai kurang dari 1 (satu) tahun; atau
pelaporan untuk tahun terakhir masa Pinjam Pakai. (4) Laporan pelaksanaan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
kesesuaian peruntukan BMN objek Pinjam Pakai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian Pinjam Pakai;
pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan atas objek Pinjam Pakai;
kondisi BMN objek Pinjam Pakai; dan
perubahan dan pengembangan yang dilakukan terhadap BMN objek Pinjam Pakai, jika ada. Pasal 53 (1) Pinjam Pakai berakhir dalam hal:
berakhirnya jangka waktu Pinjam Pakai sebagaimana tertuang dalam perjanjian dan tidak dilakukan perpanjangan;
pengakhiran perjanjian Pinjam Pakai secara sepihak oleh Badan Pengusahaan;
berakhirnya perjanjian Pinjam Pakai; atau
ketentuan lain sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Pengakhiran Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan dalam hal peminjam pakai tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian Pinjam Pakai.
Dalam hal di atas objek Pinjam Pakai terdapat bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya yang tidak sesuai perjanjian, peminjam pakai wajib membongkar dan/atau mengosongkan objek Pinjam Pakai sebelum diserahkan kepada Badan Pengusahaan. (4) Peminjam pakai mengembalikan BMN objek Pinjam Pakai kepada Badan Pengusahaan pada saat Pinjam Pakai berakhir sesuai perjanjian. (5) Dalam hal peminjam pakai tidak mengembalikan objek Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan Pengusahaan dapat melakukan penghentian, pengosongan, atau penarikan objek Pinjam Pakai tanpa melalui pengadilan dengan terle bih dahulu menyampaikan pemberitahuan/peringatan secara tertµ.lis. Paragraf 4 Kerja Sama Pemanfaatan Pasal 54 (1) KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam rangka:
mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset;
meningkatkan pendapatan Badan Pengusahaan; dan/atau
memenuhi biaya operasional, pemeliharaan dan/atau perbaikan yang diperlukan terhadap Aset. (2) KSP dapat dilakukan dengan:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan hukum lainnya; atau
Pihak Lain, kecuali perorangan. (3) KSP dilakukan dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 55 (1) KSP dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
mitra KSP harus membayar kontribusi tetap kepada Badan Pengusahaan setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil KSP;
dalam hal jangka waktu KSP kurang dari 1 (satu) tahun, mitra KSP membayar kontribusi tetap dan pembagian keuntungan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan;
besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil KSP ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan;dan d. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil KSP harus memperoleh penetapan dari Kepala Badan Pengusahaan.
Besaran pembagian keuntungan hasil KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dapat berbentuk pembagian atas:
keuntungan berupa:
keuntungan bersih;
keuntungan bruto; atau
keuntungan tertentu yang berupa EBIT atau EBITDA. b. pendapatan; atau
arus kas hasil KSP berupa arus kas bersih atau arus kas tambahan (incremental cashfiow). Pasal 56 (1) KSP dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Jangka waktu dan perpanjangan jangka waktu KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Seluruh biaya KSP yang terjadi setelah ditetapkannya mitra KSP menjadi beban mitra KSP. (4) Pemilihan mitra KSP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 57 (1) Mitra KSP ditetapkan melalui tender, kecuali untuk Aset yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung. (2) Penunjukan langsung mitra KSP atas Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah; atau
anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas, yang memiliki bidang clan/ atau wilayah kerja tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Aset yang mempunyai spesifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Aset yang memiliki tingkat kompleksitas khusus seperti bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, terminal angkutan umum, kilang, instalasi tenaga listrik, dan bendungan/waduk;
Aset yang dikerjasamakan dalam investasi yang berdasarkan perjanjian hubungan bilateral antar negara;
Aset yang bersifat rahasia dalam kerangka pertahanan negara;
Aset yang mempunyai konstruksi dan spesifikasi yang harus dengan perizinan khusus;
Aset yang dikerjasamakan dalam rangka menjalankan tugas negara; dan
Aset lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penunjukan langsung mitra KSP atas Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap badan usaha se bagaimana dimaksud pada ayat (2) atau badan usaha lainnya sepanjang:
Aset yang dikerjasamakan dalam rangka:
proyek kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur;
penyelenggaraan penyiapan kegiatan yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen internasional yang dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden;
Pemanfaatan yang hanya dapat disediakan oleh 1 (satu) pelaku usaha yang mampu; dan/atau
Pemanfaatan yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang tender untuk mendapatkan izin dari pemerintah;
Aset yang dikerjasamakan kepada badan usaha yang merupakan pemegang alokasi tanah atau mitra Pemanfaatan Aset yang lokasinya bersebelahan langsung dengan objek yang akan dikerjasamakan dalam rangka:
pengembangan bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/ diperhitungkan sebelumnya; dan/atau
penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pemegang alokasi/ mitra Pemanfaatan yang bersangkutan;
Aset yang bersifat rahasia untuk kepentingan negara meliputi intelijen, perlindungan saksi, pengamanan Presiden dan Wakil Presiden, mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden beserta keluarganya serta tamu negara setingkat kepala negara/kepala pemerintahan, atau Aset lain bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
Aset yang mempunyai nilai buku sebelum penyusutan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 merupakan penyediaan infrastruktur yang dilakukan melalui:
perjanjian kerja sama antara Kepala Badan Pengusahaan dan/atau menteri/pimpinan lembaga dengan Badan Usaha Pelaksana; atau
pemberian izin pengusahaan dari Kepala Badan Pengusahaan dan/atau menteri/ pimpinan lembaga kepada Badan U saha Pelaksana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penunjukan langsung mitra KSP terhadap Aset yang digunakan dalam rangka proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 dilakukan terhadap pihak yang dipilih sebagai mitra proyek kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pasal 58 (1) Pemilihan mitra KSP melalui tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) diumumkan di:
1 ( satu) media massa nasional, 1 ( satu) media massa lokal, dan/atau 1 (satu) media massa internasional; dan
situs web (website) Badan Pengusahaan. (2) Dalam hal pada pelaksanaan tender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon mitra KSP yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta, dilakukan pengumuman ulang di:
media massa nasional, media massa lokal, dan/atau media massa internasional; dan
situs web (website) Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal setelah pengumuman ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
terdapat minimal 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan tender; atau
calon mitra KSP kurang dari 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan:
seleksi langsung, untuk calon mitra KSP yang hanya 2 (dua) peserta; atau
penunjukan langsung, untuk calon mitra KSP yang hanya 1 ( satu) peserta. Pasal 59 (1) KSP dapat dilaksanakan melalui usulan pemrakarsa. (2) Calon mitra KSP dapat menyusun proposal/ studi kelayakan/ analisis kelayakan bisnis proyek KSP. (3) Calon mitra KSP yang berstatus pemrakarsa/pemohon KSP, dapat diberikan kompensasi:
tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dalam pemilihan mitra;
hak untuk melakukan penawaran terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses tender; atau
pembelian prakarsa KSP oleh pemenang tender, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya.
Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicantumkan dalam persetujuan Kepala Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3). Pasal 60 (1) KSP dapat dilakukan untuk mengoperasionalkan Aset Badan Pengusahaan. (2) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pendayagunaan atau optimalisasi Aset Badan Pengusahaan dalam rangka menghasilkan layanan. (3) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan Penggunaan Aset yang dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. (4) Bagian keuntungan yang menjadi bagian mitra KSP yang mengoperasionalkan Aset Badan Pengusahaan dapat ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari besaran keuntungan yang diperoleh dalam pelaksanaan KSP. Pasal 61 (1) Persetujuan KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dan persetujuan perpanjangannya dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan KSP yang minimal memuat:
informasi Aset yang dilakukan KSP; dan
data KSP, antara lain:
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan
jangka waktu, termasuk periode KSP. (2) Surat persetujuan atau keputusan KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 62 (1) Pelaksanaan KSP dituangkan dalam perjanjian berdasarkan surat persetujuan atau keputusan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah Aset;
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan;
jangka waktu KSP;
peruntukan KSP;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan KSP;
tanggung jawab mitra atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu KSP; dan
hak dan kewajiban para pihak. (3) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan KSP dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan.
Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan persetujuan atas permohonan perpanjanganjangka waktu penandatanganan perjanjian KSP. (5) Dalam hal perjanjian KSP tidak ditandatangani sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), surat persetujuan atau keputusan pelaksanaan KSP batal demi hukum, dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir. (6) Perjanjian KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 63 (1) Penerimaan negara yang wajib disetorkan mitra KSP selamajangka waktu pengoperasian KSP, terdiri atas:
kontribusi tetap; dan
pembagian keuntungan. (2) Besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Besaran kontribusi tetap mempertimbangkan:
nilai wajar / taksiran BMN yang menjadi o bjek KSP; dan
kelayakan bisnis atau kondisi keuangan mitra KSP. (4) Perhitungan besaran kontribusi tetap dapat pula mempertimbangkan manfaat dan dampak ekonomi dan/atau sosial. (5) Besaran kontribusi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah ditentukan, meningkat setiap tahun dihitung berdasarkan kontribusi tetap pertama dengan memperhatikan estimasi tingkat inflasi. (6) Perhitungan pembagian keuntungan dilakukan dengan mempertimbangkan:
nilai investasi pemerintah;
nilai investasi mitra KSP;
kelayakan bisnis mitra; dan
risiko yang ditanggung mitra KSP. (7) Perhitungan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (8) Dalam rangka perhitungan kontribusi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta bantuan Penilai. (9) Cicilan pokok dan biaya yang timbul atas pinjaman mitra KSP dibebankan pada mitra KSP dan tidak diperhitungkan dalam pembagian keuntungan. (10) Besaran nilai investasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a didasarkan pada nilai wajar Aset yang menjadi objek KSP. (11) Besaran nilai investasi mitra KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b didasarkan pada estimasi investasi dalam proposal KSP. Pasal 64 (1) Dalam hal terdapat perubahan investasi oleh pemerintah, besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditinjau kembali oleh Kepala Badan Pengusahaan. (2) Dalam hal terdapat perubahan realisasi investasi yang dikeluarkan oleh mitra KSP dari estimasi investasi sebagaimana tertuang dalam perjanjian, besaran pembagian keuntungan dapat ditinjau kembali oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Realisasi investasi mitra KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada hasil audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau auditor independen. Pasal 65 (1) Dalam kondisi tertentu, Kepala Badan Pengusahaan dapat menetapkan besaran faktor penyesuai untuk kontribusi tetap dengan persentase tertentu, berdasarkan permohonan mitra KSP. (2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam; atau
bencana sosial. (3) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan atas kewajiban pembayaran kontribusi tetap dan/ a tau pembagian keuntungan yang belum dibayarkan oleh mitra. (4) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Pasal 66 (1) Pembayaran kontribusi tetap pertama oleh mitra KSP dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah perjanjian KSP ditandatangani. (2) Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan waktu untuk pembayaran kontribusi tetap pertama dengan ketentuan tidak lebih dari 14 (empat belas) hari kerja dan usulan perpanjangan waktu tidak melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. (3) Pembayaran kontribusi tetap pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti setor dan disampaikan oleh mitra kepada Kepala Badan Pengusahaan. (4) Dalam hal pembayaran kontribusi tetap pertama tidak dilakukan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), perjanjian KSP dinyatakan batal.
Pembayaran kontribusi tetap berikutnya dilakukan setiap tahun paling lambat sesuai tanggal dan bulan yang dituangkan dalam perjanjian, yang dimulai pada tahun berikutnya sampai dengan berakhirnya perjanjian KSP. (6) Selain kontribusi tetap pertama, pembayaran kontribusi tetap yang dibayar tiap tahun dapat dilakukan secara bertahap dan harus lunas sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran kontribusi tetap berikutnya. (7) Kontribusi tetap selama jangka waktu KSP dapat dibayarkan sekaligus di muka, yang besarannya ditentukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan dan nilai waktu dari uang ( time value of money). (8) Pembagian keuntungan hasil pelaksanaan KSP paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya, dan dilakukan setiap tahun sampai dengan berakhirnya perjanjian KSP. (9) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) tidak dipenuhi oleh mitra, Badan Pengusahaan mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian dan/atau peraturan perundang-undangan. Pasal 67 (1) Mitra KSP dapat mengajukan permohonan keringanan besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan KSP kepada Kepala Badan Pengusahaan. (2) Permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat berupa:
pengembalian kontribusi tetap dan/atau pembagian keuntungan yang telah dibayarkan oleh mitra KSP; dan/atau
kompensasi pembayaran kontribusi tetap dan/atau pembagian keuntungan yang telah dibayarkan oleh mitra KSP terhadap kewajiban pembayaran berikutnya. (3) Dalam hal permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, dilakukan addendum perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 68 (1) Mitra KSP menyerahkan Aset hasil KSP kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian paling lambat pada saat perj anjian berakhir. (2) Dalam hal dilakukan perpanjangan KSP setelah jangka waktu berakhir, Aset hasil KSP menjadi objek KSP. Paragraf 5 Sewa Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur Pasal 69 (1) Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dilaksanakan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan.
Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (3) Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan untuk infrastruktur sosial, infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur lainnya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai:
pengelolaan BMN; dan
infrastruktur. (4) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. (5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Sewa yang minimal memuat:
informasi Aset yang menjadi objek Sewa; dan
data Sewa, antara lain:
besaran Sewa sesuai kondisi dengan kelompok jenis kegiatan usaha dan periodesitas Sewa; dan
jangka waktu, termasuk periode Sewa. (6) Pihak yang dapat menyewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa Badan Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan U saha. (7) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) calon penyewa dalam rangka penyediaan infrastruktur, Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pemilihan calon penyewa melalui lelang hak menikmati pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. (8) Objek Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Badan Pengusahaan. Pasal 70 (1) Hasil Sewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa:
uang Sewa; dan
infrastruktur beserta fasilitasnya dalam rangka penyediaan infrastruktur. (2) Selain hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengusahaan dapat menerima hasil Sewa dalam bentuk lainnya sesuai perjanjian. (3) Pembayaran hasil Sewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa uang Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pendapatan Badan Pengusahaan dan disetorkan:
secara sekaligus ke rekening Badan Pengusahaan; atau
secara bertahap sesuai perjanjian. (4) Hasil Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam perjanjian.
Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas a tau jumlah Aset;
besaran Sewa;
jangka waktu Sewa;
peruntukan Sewa;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur;
kewenangan untuk meneruskan Sewa, jika ada;
tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu Sewa; dan
hak dan kewajiban para pihak. (6) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan Sewa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal perjanjian Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur belum ditandatangani sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), persetujuan atau keputusan Sewa batal demi hukum. (8) Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu untuk penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir. (9) Perjanjian Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 71 (1) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (3) Tarif pokok Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan nilai taksiran yang wajar atas Sewa hasil perhitungan dari tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (4) Dalam rangka perhitungan tarif pokok sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta bantuan Penilai. (5) Besaran faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mengacu pada besaran yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN, dengan mempertimbangkan:
daya beli/kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat;
kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat; dan/atau
nilai keekonomian, atas masing-masing infrastruktur yang disediakan. (6) Selain pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Badan Pengusahaan dapat mempertimbangkan kondisi tertentu dalam menetapkan faktor penyesuai Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam;
bencana sosial; atau
kondisi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, huruf c, dan huruf d, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. (8) Dalam hal diperlukan Badan Pengusahaan dapat meminta pertimbangan kepada instansi teknis terkait dalam penentuan besaran faktor penyesuai. (9) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan dapat digunakan sebagai nilai limit pada pelaksanaan lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (7) dalam rangka pemilihan penyewa. Paragraf 6 Kerja Sama Pemanfaatan Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur Pasal 72 (1) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dilakukan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (3) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengena1 infrastruktur. (4) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan KSP yang minimal memuat:
informasi Aset yang dilakukan KSP; dan
data KSP, antara lain:
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan
jangka waktu, termasuk periode KSP. Pasal 73 (1) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilakukan dengan mitra meliputi:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan hukum lainnya; atau
Pihak Lain, kecuali perorangan. (2) Ketentuan mengenai pemilihan mitra KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 59, mutatis mutandis berlaku untuk pemilihan mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (3) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan melalui usulan pemrakarsa. (4) Calon mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat menyusun proposal/ studi kelayakan/ analisis kelayakan bisnis proyek KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (5) Calon mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur yang berstatus pemrakarsa/pemohon KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur, dapat diberikan kompensasi:
tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dalam pemilihan mitra;
hak untuk melakukan penawaran terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses tender; atau
pembelian prakarsa KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur oleh pemenang tender, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya. (6) Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dicantumkan dalam persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 74 (1) Hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur terdiri atas:
penerimaan negara yang harus disetorkan selama jangka waktu KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur; dan
infrastruktur beserta fasilitasnya hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (2) Penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
kontribusi tetap; dan
pembagian keuntungan.
Ketentuan mengenai kontribusi tetap dan pembagian keuntungan KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 67, mutatis mutandis berlaku untuk kontribusi tetap dan pembagian keuntungan KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (4) Dalam hal mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas, kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (5) Hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian (6) Ketentuan mengenai perjanjian KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 mutatis mutandis berlaku untuk perjanjian KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (7) Mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur menyerahkan Aset hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian paling lambat pada saat perjanjian berakhir. (8) Dalam hal dilakukan perpanjangan KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur setelah jangka waktu berakhir, Aset hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur menjadi objek KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. Paragraf 7 Kerj a Sama Penyediaan Infrastruktur Pasal 75 (1) Kepala Badan Pengusahaan bertindak se bagai penanggung jawab Pemanfaatan Aset sepanjang ditunjuk sebagai PJPK. (2) KSPI dilakukan antara Badan Pengusahaan dan Badan U saha Pelaksana. (3) KSPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (4) Dalam hal yang terpilih menjadi mitra KSPI merupakan badan hukum asing maka badan hukum asing tersebut harus merupakan perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia sebelum ditetapkan sebagai mitra KSPI. (5) Dalam hal badan hukum asing yang terpilih sebagai mitra KSPI tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
badan hukum asing tersebut tidak ditetapkan menjadi mitra KSPI; dan
Badan Pengusahaan melakukan pemilihan ulang mitra KSPI. Pasal 76 (1) KSPI dapat dilakukan terhadap BMN untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai infrastruktur. (2) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. Pasal 77 (1) Pemilihan mitra KSPI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan U saha dalam penyediaan infrastruktur. (2) Mitra KSPI ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Mitra KSPI yang telah ditetapkan, selama jangka waktu KSPI:
dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau memindahtangankan BMN yang menjadi objek KSPI dan barang hasil KSPI; dan
memelihara objek KSPI dan barang hasil KSPI. (4) Mitra KSPI menyerahkan objek KSPI dan barang hasil KSPI kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian. (5) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam suatu berita acara. (6) Barang hasil KSPI beserta fasilitasnya menjadi BMN pada Badan Pengusahaan sejak tanggal penyerahannya kepada Badan Pengusahaan sebagaimana tercantum dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 78 (1) Hasil dari KSPI terdiri atas:
barang hasil KSPI berupa infrastruktur beserta fasilitasnya yang dibangun oleh mitra KSPI; dan
pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) yang diperoleh dari yang ditentukan pada saat perjanjian dimulai, jika ada. (2) Pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pendapatan Badan Pengusahaan dan wajib disetorkan seluruhnya ke rekening Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan keuntungan pada masing-masing proyek. (3) Pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) dapat ditiadakan atas permohonan dari PJPK. (4) Peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan merupakan proyek yang tercantum dalam:
daftar rencana kerja sama pemerintah dan Badan Usaha;
Peraturan Presiden mengena1 percepatan proyek strategis nasional; dan/atau
dokumen Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). (5) PJPK bertanggungjawab penuh secara formil dan materiil terhadap permohonan peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dituangkan dalam surat pernyataan. (6) Peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap pelaksanaan KSPI yang berjangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 79 (1) Tahapan pelaksanaan KSPI meliputi:
perencanaan KSPI;
penyiapan KSPI; dan
transaksi KSPI. (2) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pasal 80 (1) KSPI dilakukan berdasarkan permohonan secara tertulis dari Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
data dan informasi mengenai:
latar belakang permohonan KSPI;
Aset yang diajukan untuk dilakukan KSPI, antara lain jenis, nilai, kuantitas dan lokasi Aset;
rencana peruntukan KSPI;
jangka waktu KSPI; dan
estimasi besaran pembagian atas kelebihan keuntungan ( _clawback); _ dan b. informasi mengenai PJPK, termasuk dasar penetapan/ penunjukannya. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
proposal/ pra studi kelayakan (prefeasibility study) proyek kerja sama;
surat rekomendasi kelayakan proyek kerja sama dari kementerian/ lembaga yang membidangi perencanaan pembangunan nasional;
asli surat pernyataan dari Kepala Badan Pengusahaan yang memuat tanggungjawab atas kebenaran rencana pelaksanaan KSPI; dan
asli surat pernyataan tanggung jawab dari Kepala Badan Pengusahaan atas kebenaran data permohonan Pemanfaatan Aset. Paragraf 8 Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur Pasal 81 (1) Ketupi dilakukan dengan tujuan:
optimalisasi BMN;
meningkatkan fungsi operasional BMN; dan
mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur. (2) Penerimaan negara atas Ketupi merupakan pendapatan BLU pada Pengelola Barang yang akan digunakan untuk meningkatkan fungsi operasional infrastruktur sejenis atau pembiayaan penyediaan infrastruktur jenis lainnya yang terdapat dalam daftar proyek infrastruktur prioritas dan/atau proyek strategis nasional. Pasal 82 (1) Pihak yang dapat melaksanakan Ketupi meliputi penanggung jawab Pemanfaatan BMN dan BLU pada Pengelola Barang. (2) Kepala Badan Pengusahaan selaku PJPK merupakan penanggung jawab Pemanfaatan BMN. (3) BLU pada Pengelola Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk atau ditetapkan oleh Pengelola Barang. Pasal 83 (1) Pihak yang dapat menjadi mitra Ketupi meliputi:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas;
badan hukum asing; atau
koperasi. (2) Pemilihan dan penetapan mitra Ketupi dilakukan oleh Badan Pengusahaan selaku penanggung jawab Pemanfaatan BMN dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. Pasal 84 (1) Objek Ketupi meliputi BMN berupa tanah dan/atau bangunan beserta fasilitasnya pada Badan Pengusahaan. (2) Ketupi dapat dilakukan terhadap BMN untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. (3) Kriteria dan persyaratan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. Pasal 85 Jangka waktu Ketupi paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. Pasal 86 (1) Hasil Ketupi berupa:
pembayaran dana di muka (upfront _payment); _ dan b. aset hasil kerja sama. (2) Hasil Ketupi berupa pembayaran dana di muka (upfront payment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak membatasi hak BLU pada Pengelola Barang untuk memperoleh pembagian kelebihan keuntungan (clawback). (3) Aset hasil Ketupi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi BMN pada Pengelola Barang sejak diserahterimakan oleh mitra Ketupi kepada BLU pada Pengelola Barang. (4) Pengelolaan dan penggunaan hasil Ketupi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 9 Pengelolaan Aset untuk Bandar Udara, Pelabuhan, Sumber Daya Air, dan Limbah Pasal 87 (1) Badan Pengusahaan menyelenggarakan kegiatan:
pengusahaan Bandar Udara Hang Nadim Batam;
pengusahaan pelabuhan laut di Kawasan; dan
pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun di Kawasan. (2) Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengusahaan membentuk:
badan usaha bandar udara, untuk pengusahaan Bandar Udara Hang Nadim Batam;
badan usaha pelabuhan, untuk pengusahaan pelabuhan laut di Kawasan; dan
badan usaha untuk pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun di Kawasan, jika diperlukan. (3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyelenggaraan kegiatan pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan tarif berupa:
tarif jasa kebandarudaraan yang ditetapkan oleh badan usaha bandar udara setelah dikonsultasikan dengan Kepala Badan Pengusahaan dengan berpedoman pada jenis, struktur, golongan, dan mekanisme penetapan tarif jasa kebandarudaraan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; dan
tarif jasa terkait kebandarudaraan yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan, dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing investasi. (5) Penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan tarif berupa:
tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Kepala Badan Pengusahaan dengan berpedoman pada jenis, struktur, golongan, dan mekanisme penetapan tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; dan
tarif jasa terkait kepelabuhanan yang ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing investasi. Pasal 88 (1) Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Badan Pengusahaan dapat melakukan kerja sama dengan:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas; dan
badan hukum asing. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
Pemanfaatan Aset, untuk pengusahaan bandar udara, pelabuhan laut, pengelolaan air limbah; dan
Pemanfaatan dan/atau Penggunaan Aset, untuk pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum. Paragraf 10 Audit Pemanfaatan Aset Pasal 89 (1) Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta auditor independen dan/atau aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit atas pelaksanaan Pemanfaatan. (2) Auditor independen dan/ a tau aparat pengawasan intern pemerintah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan/ audit kepada Kepala Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal berdasarkan laporan hasil pemeriksaan/ audit terdapat hal yang perlu diselesaikan oleh mitra Pemanfaatan, Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan hasil pemeriksaan/ audit terse but kepada mitra Pemanfaatan.
Mitra Pemanfaatan menindaklanjuti hasil pemeriksaan/ audit yang disampaikan oleh Kepala Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melaporkan tindak lanjut terse but kepada Kepala Badan Pengusahaan. (5) Pelaksanaan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menunda kewajiban mitra Pemanfaatan yang dimuat dalam perjanjian, termasuk pada kewajiban untuk mengembalikan Aset yang menjadi objek Pemanfaatan. Paragraf 11 Laporan atas Pelaksanaan Pemanfaatan Pasal 90 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan atas pelaksanaan Pemanfaatan Aset kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa laporan semesteran. Bagian Ketujuh Pengalokasian Pasal 91 (1) Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pengalokasian tanah ADP untukjangka waktu tertentu. (2) Pengalokasian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan perjanjian antara Kepala Badan Pengusahaan dan pihak penerima alokasi tanah. (3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
para pihak;
tanah yang dialokasikan;
hak dan kewajiban para pihak;
kewajiban untuk menyerahkan kembali tanah kepada Badan Pengusahaan pada saat masa pengalokasian tanah berakhir atau waktu lainnya yang diperjanjikan; dan
status kepemilikan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya yang berada di atas tanah pada saat masa pengalokasian berakhir. (4) Di atas tanah ADP yang telah berstatus Hak Pengelolaan dan sudah dialokasikan dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (5) Penerima alokasi tanah ADP harus mengembalikan alokasi tanah ADP kepada Badan Pengusahaan pada saat masa pengalokasian tanah berakhir atau sesuai perjanjian.
Masa pengalokasian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk:
masa perpanjangan pengalokasian tanah; dan/atau
masa perpanjangan atau pembaharuan pemberian hak atas tanah di atas ADP, berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pengembalian alokasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disertai dengan penyerahan bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya yang berada di atas tanah ADP kepada Badan Pengusahaan, kecuali diatur lain dalam perjanjian. (8) Dalam hal penerima alokasi tidak mengembalikan alokasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan/atau penyerahan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Badan Pengusahaan menyampaikan pemberitahuan kepada penerima alokasi untuk mengembalikan alokasi tanah dan menyerahkan bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas tanah ADP paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat diterima. (9) Dalam hal penerima alokasi tidak melakukan pengembalian alokasi tanah ADP dan/atau penyerahan bangunan/ infrastruktur dan / a tau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Badan Pengusahaan dapat:
mencabut alokasi tanah yang diberikan kepada penerima alokasi tanah;
melakukan pembongkaran atas bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan/atau
menetapkan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagai BMN. (10) Terhadap bongkaran dari hasil pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b dapat dilakukan Penggunaan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Kedelapan Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 92 (1) Badan Pengusahaan wajib melakukan pengamanan Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Pengamanan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. (3) Pengamanan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pengasuransian. (4) Pengasuransian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengasuransian BMN. Pasal 93 (1) Aset berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Badan Pengusahaan. (2) BMN berupa bangunan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Badan Pengusahaan. (3) Aset selain tanah dan/atau bangunan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Badan Pengusahaan. Pasal 94 Bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 disimpan secara tertib dan aman oleh Badan Pengusahaan. Pasal 95 (1) Badan Pengusahaan bertanggung jawab atas pemeliharaan Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Dalam hal:
BMN digunakan sementara oleh kementerian/lembaga, pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari kemen terian / lembaga pengguna sementara;
BMN yang digunakan sementara oleh kementerian/lembaga dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu Penggunaan sementara dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Pengusahaan dan kemen terian / lem baga bersangku tan;
BMN yang digunakan bersama oleh kemen terian / lembaga, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu Penggunaan bersama dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Pengusahaan dan kementerian/lembaga bersangkutan;
BMN dioperasikan oleh Pihak Lain, pemeliharaari menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Pihak Lain yang mengoperasionalkan;
BMN dioperasikan oleh Pihak Lain berdasarkan penugasan atau kebijakan pemerintah, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu operasional dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan dan/atau bersama Pihak Lain yang mengoperasikan BMN, sepanjang diatur dalam penugasan yang dituangkan dalam perjanjian dan/atau kebijakan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
Aset dilakukan Pemanfaatan, pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari mitra Pemanfaatan bersangkutan; dan
Aset yang dilakukan Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur, pemeliharaan dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan dan/atau mitra Pemanfaatan sepanjang Aset bersangkutan masih digunakan oleh Badan Pengusahaan untuk mendukung dan/atau menyelenggarakan tugas dan fungsi pemerintahan. Bagian Kesembilan Penilaian Pasal 96 (1) Penilaian BMN dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN dan Penilaian. (2) Penilaian ADP dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. Bagian Kesepuluh Pemindahtanganan Pasal 97 (1) BMN yang tidak lagi diperlukan bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dapat dilakukan Pemindahtanganan. (2) Pemindahtanganan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum. (3) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Pemindahtanganan, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. (4) Pemindahtanganan meliputi:
Penjualan;
Tukar Menukar;
Hibah; atau
penyertaan modal pemerintah pusat. Pasal 98 (1) Pemindahtanganan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (2) Pelaksanaan Pemindahtanganan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 ( satu) bulan setelah selesainya pelaksanaan Pemindahtanganan. Pasal 99 (1) Pemindahtanganan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan / a tau b. selain tanah dan/atau bangunan yang memiliki nilai lebih dari Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, apabila:
sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran berupa daftar isian pelaksanaan anggaran, kerangka acuan kerja, rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga, dan/atau petunjuk operasional kegiatan;
diperuntukkan bagi pegawai negeri;
diperuntukkan bagi kepentingan umum; atau
dikuasai negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. (3) Usul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 100 (1) Pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai le bih dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Presiden;
untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai sampai dengan Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (2) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 101 ((1) Pemindahtanganan BMN selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan dengan ketentuan:
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai lebih dari Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai lebih dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Presiden;
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai sampai dengan Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
U sul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 102 (1) Usul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), Pasal 100 ayat (2), dan Pasal 101 ayat (2) diajukan oleh Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. (2) Dalam proses memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat meminta penjelasan/klarifikasi/ data tambahan dalam hal diperlukan. Pasal 103 (1) Dikecualikan dari keten tuan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemindahtanganan dalam bentuk Penjualan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap:
BMN berupa selain tanah dan/atau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); atau
pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemindahtanganan dalam bentuk Hibah dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap:
BMN yang dari awal perolehan dimaksudkan untuk dihibahkan dalam rangka kegiatan pemerintahan;
BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); a tau 2. pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (3) Pelaksanaan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penjualan dan Hibah. Pasal 104 (1) Penjualan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf a dilakukan secara lelang, kecuali dalam hal tertentu. (2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rrieliputi:
BMN yang bersifat khusus, yaitu:
kendaraan perorangan dinas yang dijual kepada pejabat negara, mantan pejabat negara, pegawai aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, a tau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau perorangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penjualan BMN berupa kendaraan perorangan dinas; atau
BMN lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan Penjualan tanpa melalui lelang;
BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum;
BMN berupa tanah yang merupakan tanah kavling yang menurut perencanaan awal pengadaannya digunakan untuk pembangunan perumahan pegawai negeri sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggaran, antara lain Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL), kerangka acuan kerja, petunjuk operasional kegiatan, atau Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), yang diperuntukkan bagi pegawai negeri;
BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang jika dijual secara lelang dapat merusak tata niaga berdasarkan pertimbangan dari instansi yang berwenang;
BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah Pihak Lain atau pemerintah daerah/ desa yang dijual kepada Pihak Lain atau pemerintah daerah/ desa pemilik tanah tersebut; atau
BMN lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang. Pasal 105 (1) Pemilihan mitra Tukar Menukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf b dilakukan melalui tender. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilihan mitra dapat dilakukan melalui penunjukan langsung terhadap Tukar Menukar:
BMN berupa tanah, atau tanah dan bangunan:
yang dilakukan dengan pemerintah daerah/ desa, pemerintah negara lain, dan/atau Pihak Lain yang mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum;
untuk menyatukannya dalam 1 (satu) lokasi;
untuk menyesuaikan bentuk BMN berupa tanah agar penggunaannya lebih optimal;
untuk melaksanakan rencana strategis pemerintah; atau
guna mendapatkan/memberikan akses jalan;
BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah:
Pihak Lain;
BMN yang diajukan untuk diubah statusnya menjadi ADP; atau
BMN selain tanah dan/atau bangunan yang dilakukan dengan:
pemerintah daerah/ desa; atau
Pihak Lain yang mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum. (3) Penunjukan langsung mitra Tukar Menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 106 (1) Pendapatan yang diperoleh dari Pemindahtanganan merupakan pendapatan negara dan disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum negara. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendapatan dari Pemindahtanganan merupakan pendapatan Badan Pengusahaan yang disetorkan ke rekening Badan Pengusahaan dan dapat dikelola langsung oleh Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PKK-BLU sepanjang BMN diperoleh dari pendanaan yang bersumber dari pendapatan operasional Badan Pengusahaan. (3) Pendapatan dari Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. Bagian Kesebelas Pemusnahan Pasal 107 (1) Pemusnahan dilakukan apabila:
BMN tidak dapat digunakan, tidak dapat dilakukan Pemanfaatan, dan/atau tidak dapat dilakukan Pemindahtanganan; atau
terdapat alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (3) Pelaksanaan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan. (4) Pemusnahan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemusnahan disertai dengan fotokopi berita acara Pemusnahan. Pasal 108 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2), pemusnahan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap BMN berupa:
persediaan;
aset tetap lainnya berupa hewan, ikan dan tanaman;
selain tanah dan/atau bangunan, yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); a tau 2. pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (2) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemusnahan. Bagian Kedua Belas Penghapusan Pasal 109 (1) Penghapusan pada Badan Pengusahaan meliputi:
Penghapusan dari pembukuan Badan Pengusahaan; dan
Penghapusan dari daftar BMN. (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dalam suatu keputusan, setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (3) Pelaksanaan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan. (4) Penghapusan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penghapusan disertai dengan salinan keputusan Penghapusan dan dokumen terkait lainnya. Pasal 110 (1) Penghapusan dari pembukuan Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal BMN sudah tidak berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan, terjadi Pemusnahan, atau sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan. (2) Penghapusan dari daftar BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal BMN tersebut sudah dilakukan Pemindahtanganan, terjadi pemusnahan, atau karena sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan. Pasal 111 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2), Penghapusan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanJang dilakukan terhadap BMN berupa:
persediaan;
aset tetap lainnya berupa hewan, ikan dan tanaman;
selain tanah dan/atau bangunan, yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan. (2) Pelaksanaan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penghapusan. Bagian Ketiga Belas Penatausahaan Pasal 112 (1) Kepala Badan Pengusahaan melakukan Penatausahaan atas Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Penatausahaan meliputi:
pembukuan;
inventarisasi; dan
pelaporan. (3) Badan Pengusahaan melakukan Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menurut penggolongan dan kodefikasi BMN. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c termasuk pelaporan atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan. (5) Pelaporan atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan setiap bulan kepada Kepala KPKNL dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah dan direktur yang membidangi perumusan kebijakan kekayaan negara pada Direktorat Jenderal.
Badan Pengusahaan melakukan rekonsiliasi atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset Badan Pengusahaan dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang setiap triwulan. Pasal 113 (1) Badan Pengusahaan menyajikan Aset berupa BMN dalam laporan sebagai:
aset lancar berupa persediaan;
properti investasi;
aset tetap berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan/atau
selain tanah dan/atau bangunan;
aset lainnya berupa:
aset kemitraan;
Aset Tidak Berwujud (ATB); dan/atau
aset yang dihentikan penggunaannya. (2) Termasuk dalam aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk BMN yang memenuhi kriteria aset konsesi jasa. (3) Penyajian Aset berupa BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penatausahaan BMN dan akuntansi pemerintahan. Pasal 114 (1) Badan Pengusahaan menyajikan ADP dalam laporan sebagai aset lainnya, kecuali ditentukan lain oleh standar akuntansi pemerintahan. (2) ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan dalam laporan sebesar biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka perolehan dan pengembangan ADP. (3) Biaya perolehan dan pengembangan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk nilai BMN pada saat diubah statusnya menjadi ADP. (4) Penyajian ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang akuntansi pemerintahan. Bagian Keempat Belas Pengawasan dan Pengendalian Pasal 115 (1) Pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Aset dilakukan oleh:
Menteri Keuangan; dan/atau
Kepala Badan Pengusahaan. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan terhadap:
perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
pengadaan;
Penggunaan;
Perubahan Status Aset;
Pemanfaatan;
pengamanan dan pemeliharaan;
Penilaian;
Pemindahtanganan;
Pemusnahan; J. Penghapusan; dan
Penatausahaan. (3) Kepala Badan Pengusahaan melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan ADP. Pasal 116 Ketentuan mengenai Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran, Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, Penghapusan, Penatausahaan, dan pengawasan dan pengendalian yang belum diatur dalam Peraturan Menteri m1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 117 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
BMN berupa tanah yang telah diubah statusnya menjadi ADP sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, harus dimintakan reviu dari aparat pengawasan intern pemerintah untuk kemudian diterbitkan keputusan Perubahan Status Aset sebagai ADP oleh Kepala Badan Pengusahaan;
permohonan Pemanfaatan berupa KSPI yang telah diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan belum mendapat persetujuan Menteri Keuangan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
persetujuan Pemanfaatan yang telah diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku;
persetujuan Pemanfaatan yang telah diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan belum dilaksanakan, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Peraturan Men teri ini;
permohonan Pemanfaatan yang telah diajukan tetapi belum memperoleh persetujuan Kepala Badan Pengusahaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
persetujuan pengelolaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf e yang telah diterbitkan oleh Menteri Keuangan, dinyatakan tetap berlaku;
permohonan persetujuan pengelolaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf e yang telah diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan dan belum memperoleh persetujuan Menteri Keuangan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
kerja sama pengelolaan Aset yang sedang berlangsung berdasarkan persetujuan atau keputusan Kepala Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan tetap berlaku. BABV KETENTUAN PENUTUP Pasal 118 ADP yang belum ditetapkan statusnya oleh Kepala Badan Pengusahaan harus sudah ditetapkan statusnya paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini. Pasal 119 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 550), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 120 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.