JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 633 hasil yang relevan dengan "pengawasan anggaran "
Dalam 0.022 detik
Thumbnail
COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PENGELOLAAN PEMBIAYAAN RESIKO
71/PMK.08/2020

Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional ...

  • Ditetapkan: 23 Jun 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Penjaminan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Penjaminan Program PEN adalah penjaminan yang diberikan dalam rangka melaksanakan Peraturan Pemerintah ten tang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.

2.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

3.

Penjaminan Pemerintah adalah penJamman yang diberikan untuk dan atas nama Pemerintah oleh Menteri melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terj amin kepada penerima j aminan dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Program PEN.

4.

Pinjaman adalah setiap pembiayaan baik secara konvensional maupun syariah dari kreditur atau pemberi fasilitas pembiayaan syariah berupa sejumlah uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu yang menimbulkan kewajiban finansial berdasarkan perjanjian pinjaman atau perjanjian pembiayaan.

5.

Pelaku U saha adalah pelaku us aha di sektor riil dan sektor keuangan yang meliputi usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, usaha besar, dan koperasi yang kegiatan usahanya terdampak oleh pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

6.

Penjamin adalah Pemerintah dalam hal ini Menteri yang dilaksanakan melalui penugasan kepada badan usaha penjaminan.

7.

Penerima Jaminan adalah bank yang memberikan fasilitas Pinjaman.

8.

Terjamin adalah Pelaku Usaha penenma Penjaminan Pemerintah.

9.

Otoritas J asa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.

10.

Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

11.

PT Jaminan Kredit Indonesia yang selanjutnya disebut PT Jamkrindo adalah Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang penjaminan kredit.

12.

PT Asuransi Kredit Indonesia yang selanjutnya disebut PT Askrindo adalah Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang penjaminan kredit dan asuransi umum.

13.

Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin dari Terjamin dalam rangka kegiatan penjaminan.

14.

Imbal Jasa Penjaminan Loss Limit yang selanjutnya disingkat IJP Loss Limit adalah sejumlah uang yang diterima oleh Pemerintah dari badan usaha yang menerima dukungan loss limit dalam rangka kegiatan dukungan Penjaminan Pemerintah.

15.

PT Reasuransi Indonesia U tama (Persero) yang selanjutnya disebut PT Reasuransi Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang reasuransi.

16.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

17.

Regres adalah hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban Terjamin tersebut.

18.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangku tan.

Thumbnail
COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | HIMPUNAN PERATURAN | BIDANG PENGELOLAAN PEMBIAYAAN RESIKO
98/PMK.08/2020

Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan E ...

  • Ditetapkan: 28 Jul 2020
  • Diundangkan: 28 Jul 2020
  • Konsolidasi

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Penjaminan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Penjaminan Program PEN adalah penjaminan yang diberikan dalam rangka melaksanakan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.

2.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

3.

Penjaminan Pemerintah adalah penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama Pemerintah oleh Menteri melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Program PEN.

4.

Pinjaman adalah setiap pembiayaan baik secara konvensional maupun syariah dari kreditur atau pemberi fasilitas pembiayaan syariah berupa sejumlah uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu yang menimbulkan kewajiban finansial berdasarkan perjanjian pinjaman atau perjanjian pembiayaan.

5.

Pelaku Usaha Korporasi selanjutnya disebut Pelaku Usaha adalah pelaku usaha di sektor riil dan sektor keuangan yang kekayaan bersihnya di atas Rp10 miliar dan omzet tahunannya di atas Rp50 miliar yang kegiatan usahanya terdampak oleh pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

6.

Penjamin adalah Pemerintah dalam hal ini Menteri yang dilaksanakan melalui penugasan kepada badan usaha penjaminan.

7.

Penerima Jaminan adalah bank yang memberikan fasilitas Pinjaman.

8.

Terjamin adalah Pelaku Usaha penerima Penjaminan Pemerintah.

9.

Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.

10.

Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

11.

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang mengenai Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.

12.

PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) yang selanjutnya disingkat PT PII adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk pendirian perusahaan perseroan (persero) di bidang penjaminan infrastruktur.

13.

Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin dari Terjamin dalam rangka kegiatan penjaminan.

14.

Imbal Jasa Penjaminan Loss Limit yang selanjutnya disingkat IJP Loss Limit atau __ premi Loss Limit adalah sejumlah uang yang diterima badan usaha yang menjalankan penugasan dukungan loss limit dalam rangka kegiatan Penjaminan Pemerintah.

15.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

16.

Regres adalah hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban Terjamin tersebut.

17.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

Thumbnail
BIDANG PERBENDAHARAAN | JASA BANK PENATAUSAHA
164/PMK.05/2017

Tata Cara Pembayaran Jasa Bank Penatausaha Penerusan Pinjaman atas Beban Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. ...

  • Ditetapkan: 15 Nov 2017
  • Diundangkan: 15 Nov 2017

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Bank Penatausaha yang selanjutnya disebut BPU adalah bank yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas penatausahaan penerusan pinjaman.

2.

Jasa Bank Penatausaha yang selanjutnya disebut Jasa Bank adalah sejumlah imbalan yang diterima BPU atas jasanya dalam penatausahaan penerusan pinjaman.

3.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

4.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

5.

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

6.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

7.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

8.

Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.

9.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.

10.

Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

11.

Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

12.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disingkat BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

13.

Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERBENDAHARAAN
211/PMK.05/2021

Tata Cara Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Mil ...

  • Ditetapkan: 31 Des 2021
  • Diundangkan: 31 Des 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan/atau hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

2.

Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perjanjian PPLN adalah kesepakatan tertulis antara pemerintah dan penerima penerusan pinjaman luar negeri untuk penerusan pinjaman luar negeri.

3.

Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi yang selanjutnya disebut Perjanjian Pinjaman RDI adalah perjanjian pinjaman yang dananya bersumber dari rekening dana investasi kepada badan usaha milik negara/perseroan terbatas/badan hukum lainnya.

4.

Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

5.

Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya.

6.

Badan Hukum Lainnya yang selanjutnya disingkat BHL adalah badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan selain BUMN/Perseroan yang menerima pinjaman bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri dan/atau rekening dana investasi.

7.

Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

8.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.

9.

Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.

10.

Direktur adalah pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang sistem manajemen investasi termasuk pemberian pinjaman.

11.

Kualitas Piutang Negara adalah hampiran atas ketertagihan piutang yang diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh BUMN/ Perseroan/BHL.

12.

Penjadwalan Kembali adalah perubahan jangka waktu pinjaman yang mengakibatkan perubahan terhadap besarnya pembayaran atas utang pokok, bunga/biaya administrasi, biaya komitmen, denda, dan biaya lainnya yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

13.

Perubahan Persyaratan adalah perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pinjaman yang tertuang dalam Perjanjian PPLN atau Perjanjian Pinjaman RDI, namun tidak termasuk perubahan jangka waktu pinjaman.

14.

Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian.

15.

Debt to Asset Swap adalah pembayaran sebagian atau seluruh kewajiban BUMN/Perseroan/BHL melalui penyerahan aset dan dicatat sebagai pengurang utang.

16.

Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN/Perseroan, dan dikelola secara korporasi.

17.

Penghapusan adalah tindakan menghapus Piutang Negara dari daftar tagihan pemerintah dengan menerbitkan keputusan dari pejabat negara yang berwenang untuk membebaskan BUMN/Perseroan/BHL dari tanggung jawab administrasi dan pembayaran kembali kepada pemerintah.

18.

Cut-off Date yang selanjutnya disingkat CoD adalah tanggal acuan yang dijadikan sebagai dasar perhitungan pembebanan Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL.

19.

Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang selanjutnya disingkat RKAP adalah dokumen perencanaan strategis yang mencakup rumusan mengenai sasaran dan tujuan yang hendak dicapai perusahaan dalam jangka waktu satu tahun ke depan.

20.

Rencana Perbaikan dan Kinerja yang selanjutnya disingkat RPK adalah dokumen yang berisi rencana tindak perbaikan kinerja yang ditinjau dari berbagai aspek, yang akan dilakukan BUMN/Perseroan/BHL untuk meningkatkan pendapatan agar dapat memenuhi kewajiban pembayaran Piutang Negara.

21.

Uji Tuntas adalah proses penilaian, pemeriksaan, dan investigasi terhadap data dan fakta dari catatan perusahaan dalam rangka evaluasi kondisi pertumbuhan dan perkembangan BUMN/Perseroan/BHL.

22.

Panitia Urusan Piutang Negara yang selanjutnya disingkat PUPN adalah panitia yang bersifat interdepartemental dan bertugas mengurus Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.

23.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disingkat BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

24.

Jaminan adalah aset BUMN/Perseroan/BHL baik berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud sebagai agunan bagi pelunasan utang, yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada pemerintah terhadap kreditur lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

25.

Bunga/Biaya Administrasi yang selanjutnya disebut Bunga adalah beban yang timbul sebagai akibat atas penarikan pokok pinjaman sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pinjaman.

26.

Penghapusan Secara Bersyarat adalah penghapusan yang dilakukan dengan menghapuskan pembukuan tanpa menghapuskan hak tagih negara atas Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL.

27.

Penghapusan Secara Mutlak adalah penghapusan yang dilakukan setelah Penghapusan Secara Bersyarat dengan menghapuskan hak tagih negara atas Piutang Negara pada BUMN/Perseroan/BHL.

28.

Menteri Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut Menteri BUMN adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN.

29.

Kontrak Manajemen Tahunan Direksi yang selanjutnya disebut Kontrak Manajemen adalah kontrak yang berisikan target-target pencapaian indikator kinerja utama ( key performance indicator ) direksi untuk memenuhi segala target yang ditetapkan oleh rapat umum pemegang saham/Menteri BUMN dalam satu tahun.

Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG UMUM
118/PMK.01/2021

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan

  • Ditetapkan: 08 Sep 2021
  • Diundangkan: 09 Sep 2021

Relevan terhadap 37 lainnya

Pasal 1685Tutup

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1684, Inspektorat J enderal menyelenggarakan fungsi:

a.

penyusunan kebijakan teknis pengawasan intern atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan;

b.

pelaksanaan pengawasan intern atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya;

c.

pelaksanaan pengawasan dengan tujuan tertentu atas penugasan Menteri;

d.

koordinasi pengawasan atas pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pada Kernen terian / Lem baga;

e.

pengawasan atas pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara di lingkungan Kementerian Keuangan;

f.

pelaksanaan pembinaan dan asurans atas fungsi kepatuhan internal di lingkungan Kementerian Keuangan;

g.

penyusunan laporan hasil pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan;

h.

pelaksanaan administrasi Inspektorat J enderal; dan

1.

pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Pasal 1684Tutup

Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan intern atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta pelaksanaan koordinasi pengawasan atas pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pada Kementerian/Lembaga.

Pasal 1723Tutup

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1722, Inspektorat III menyelenggarakan fungsi:

a.

penyusunan rencana strategis, kebijakan, dan program kerja Inspektorat III;

b.

pelaksanaan dan pengendalian audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

c.

pelaksanaan dan pengendalian rev1u, pemantauan, dan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan fungsi yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

d.

pelaksanaan asurans atas Barang Milik Negara Kementerian Keuangan dan pengawasan dan pemberian rekomendasi atas pengenaan sanksi daftar hitam dalam pengadaan barang dan jasa yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

e.

pelaksanaan compliance office untuk tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

f.

pelaksanaan reviu atas Rencana Kerja dan Anggaran, Laporan Keuangan, dan Pengendalian Intern Pelaporan Keuangan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

g.

pelaksanaan koordinasi pengawasan atas pelaksanaan anggaran seluruh Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara;

h.

pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara dan tugas dan fungsi badan layanan umum yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

1.

pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan serta pelaksanaan evaluasi atas akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dan penilaian Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi/ Wilayah Birokrasi Bersih Melayani sesuai bidang tugas Inspektorat III; J. pembinaan dan asurans atas fungsi kepatuhan internal terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

k.

pendampingan dalam pemeriksaan dan pengawasan oleh auditor ekstern dan penyelesaian tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan dan pengawasan ekstern yang menjadi tanggung jawab Inspektorat Jenderal sesuai bidang tugas Inspektorat III;

1.

pelaksanaan kerja sama dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga dalam pengawasan pelaksanaan anggaran Umum Negara yang Inspektorat III Bagian Anggaran Bendahara terkait dengan bidang tugas m. pelaksanaan peran serta dan kerja sama dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas unsur Kementerian Keuangan yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

n.

pelaksanaan sosialisasi dan pendidikan mengenai pengawasan, konsultansi melalui asistensi, fasilitasi, dan pelatihan, dan pemaparan hasil pengawasan yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

o.

penanganan informasi media dan isu aktual yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

p.

pemberian keterangan ahli dalam persidangan di pengadilan dan pelaksanaan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

q.

pemantauan dan penilaian tindak lanjut hasil pengawasan intern dan ekstern yang terkait dengan bidang tugas Inspektorat III;

r.

penyusunan dan penyampaian laporan hasil pengawasan serta laporan akuntabilitas kinerja Inspektorat III; dan

s.

pelaksanaan administrasi Inspektorat III. dan pelayanan teknis

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA
PER-10/PB/2021

Uji Coba Restrukturisasi Pengelolaan Rekening Penerimaan pada Satuan Kerja Lingkup Kementerian Negara/Lembaga ...

  • Ditetapkan: 13 Okt 2021
  • Diundangkan: 13 Okt 2021

Relevan terhadap

Pasal 5Tutup
(1)

Kuasa BUN Pusat berwenang:

a.

Melakukan koordinasi pembukaan Rekening Induk dan Rekening Satker dengan Bank Umum;

b.

Melakukan penutupan Rekening Induk dan Rekening Satker;

c.

Melakukan monitoring Rekening Induk dan Rekening Satker.

(2)

Kuasa BUN di Daerah mitra Eselon I memiliki kewenangan:

a.

Menerbitkan persetujuan pembukaan Rekening Induk dan/atau Rekening Satker;

b.

Melakukan penutupan Rekening Satker;

c.

Melakukan monitoring Rekening Satker; Bank untuk Umum pihak memindahbukukan saldo dari rekening penerimaan yang d. Memerintahkan lama ke Rekening Satker berdasarkan surat permohonan Eselon I;

e.

Mendaftarkan Rekening Satker berdasarkan permohonan Kuasa Pengguna Anggaran pada aplikasi pengelolaan rekening milik Kementerian Negara/Lembaga yang dibangun Direktorat Jenderal oleh dan dikembangkan Perbendaharaan . / (3) Kuasa BUN di Daerah memiliki kewenangan:

a.

Melakukan monitoring Rekening Satker;

b.

Mendaftarkan Rekening Satker berdasarkan permohonan Kepala Satuan Kerja pada aplikasi pengelolaan rekening milik Kementerian Negara/Lembaga yang diban gun dan dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

(4)

Eselon I memiliki kewenangan:

a.

Mengajukan permohonan persetujuan pembukaan Rekening Induk kepada Kuasa BUN di Daerah mitra Eselon I;

b.

Mengajukan permohonan persetujuan penutupan Rekening Induk kepada Kuasa BUN Pusat;

c.

Mengajukan permohonan persetujuan pembukaan Rekening Satker milik satker Kementerian Negara/Lembaga kepada Kuasa BUN di Daerah mitra Eselon I;

d.

Melakukan koordinasi dengan satker dan Bank Umum untuk memastikan seluruh kelengkapan Rekening Satker sudah diterima oleh satker peserta uji coba;

e.

Mengajukan pemindahbukuan saldo Rekening Penerimaan ke Rekening Satker setelah kelengkapan Rekening Satker terpenuhi;

f.

Mengajukan penutupan Rekening Satker milik satker Kementerian Negara/Lembaga; Melakukan monitoring atas Rekening Induk dan Rekening Satker. g- Penerimaan bagi (5) Kewenangan pengelolaan Rekening Kementerian Negara/Lembaga yang memiliki instansi vertikal di daerah dan hanya memiliki 1 (satu) Eselon I pengelola DIPA Induk, dilaksanakan oleh unit/unsur yang memiliki fungsi pembinaan manajemen dan administrasi keuangan di lingkup Kementerian Negara/Lembaga berkenaan.

(6)

Kepala Satuan Kerja memiliki kewenangan:

a.

Mengajukan permohonan persetujuan pembukaan Rekening Satker melalui Eselon I kepada Kuasa BUN di Daerah Mitra Eselon I;

b.

Mengajukan permohonan penutupan Rekening Satker melalui Eselon I kepada Kuasa BUN di Daerah Mitra Eselon i; / c. Melakukan pengawasan dan monitoring atas penerimaan negara telah disetor ke Kas Negara;

d.

Melakukan monitoring dan pelaporan atas Rekening Satker;

e.

Mengajukan permohonan pendaftaran Rekening Satker pada aplikasi pengelolaan rekening milik Kementerian Negara/Lembaga yang dibangun dan dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, kepada Kuasa BUN di Daerah.

Thumbnail
COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | BIDANG PENGELOLAAN PEMBIAYAAN RESIKO | HUKUM KEUANGAN NEGARA
211/PMK.08/2020

Tata Cara Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Badan Usaha Milik Negara dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional ...

  • Ditetapkan: 22 Des 2020
  • Diundangkan: 23 Des 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Penjaminan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Penjaminan Program PEN adalah penjaminan yang diberikan dalam rangka melaksanakan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.

2.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

3.

Penjaminan Pemerintah adalah penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama Pemerintah oleh Menteri baik secara langsung atau melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Program PEN.

4.

Pinjaman adalah setiap pembiayaan baik secara konvensional maupun syariah dari kreditur atau pemberi fasilitas pembiayaan syariah berupa sejumlah uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu yang menimbulkan kewajiban finansial berdasarkan perjanjian pinjaman atau perjanjian pembiayaan.

5.

Obligasi adalah surat utang yang diterbitkan oleh Pemohon Jaminan selaku emiten dalam rangka pendanaan terkait program pemulihan ekonomi nasional melalui penawaran umum atau tanpa penawaran umum dan berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.

6.

Sukuk adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Pemohon Jaminan berdasarkan prinsip syariah terkait program pemulihan ekonomi nasional melalui penawaran umum atau tanpa penawaran umum dan berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.

7.

Badan Usaha Milik Negara selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

8.

Badan Usaha Penjaminan adalah PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) dan/atau Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

9.

Penjamin adalah Pemerintah dan/atau Badan Usaha Penjaminan.

10.

Pemohon Jaminan adalah BUMN yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan Penjaminan Pemerintah.

11.

Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan baik dalam maupun luar negeri yang memberikan fasilitas Pinjaman, atau wali amanat pemegang Obligasi/Sukuk.

12.

Terjamin adalah BUMN yang mendapat Penjaminan Pemerintah.

13.

Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.

14.

Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin dalam rangka kegiatan penjaminan.

15.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

16.

Regres adalah hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban Terjamin tersebut.

17.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

18.

Batas Maksimal Penjaminan adalah nilai maksimal yang diperkenankan untuk penerbitan penjaminan terhadap Pinjaman yang diusulkan memperoleh penjaminan pada tahun tertentu.

19.

First Loss adalah besaran porsi penjaminan dari Badan Usaha Penjaminan yang mendapat penugasan untuk melakukan Penjaminan Pemerintah.

20.

Lembaga Keuangan Internasional adalah lembaga keuangan multilateral dan lembaga keuangan negara yang memiliki hubungan diplomatik dalam rangka kerja sama bilateral yang menyediakan Pinjaman berdasarkan perjanjian Pinjaman dengan syarat dan ketentuan setara dengan pinjaman Pemerintah pusat.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG KEKAYAAN NEGARA
PMK 171 TAHUN 2023

Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ...

  • Ditetapkan: 29 Des 2023
  • Diundangkan: 29 Des 2023

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN ASET PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 2. Aset adalah seluruh barang milik negara yang dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 3. Aset Dalam Penguasaan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disingkat ADP adalah Aset yang meliputi tanah dalam bentuk Hak Pengelolaan. 4. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN. 5. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN. 6. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disebut Kawasan adalah wilayah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Be bas Ba tam.

7.

Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Be bas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan adalah lembaga/ instansi pemerintah pusat yang dibentuk oleh Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan. 8. Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tan pa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 9. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan keuangan BLU, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. 10. Perencanaan Kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berj alan se bagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. 11. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan Aset yang sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan. 12. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. 13. Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. 14. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Aset yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga dan/atau optimalisasi Aset dengan tidak mengubah status kepemilikan. 15. Sewa adalah Pemanfaatan Aset oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. 16. Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan Aset melalui penyerahan penggunaan BMN Badan Pengusahaan kepada pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada Badan Pengusahaan.

17.

Kerja Sama Pemanfaatan yang selanjutnya disingkat KSP adalah Pemanfaatan Aset oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. 18. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat KSPI adalah Pemanfaatan Aset melalui kerja sama antara pemerintah dan badan usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur yang selanjutnya disebut Ketupi adalah Pemanfaatan BMN melalui optimalisasi BMN untuk meningkatkan fungsi operasional BMN guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya. 20. Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama yang selanjutnya disingkat PJPK adalah Kepala Badan Pengusahaan sebagai penanggungjawab proyek kerja sama pada Badan Pengusahaan dalam rangka pelaksanaan kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Badan U saha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, atau koperasi. 22. Badan Usaha Pelaksana Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha yang selanjutnya disebut Badan Usaha Pelaksana adalah Perseroan Terbatas yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang lelang atau ditunjuk langsung. 23. Perubahan Status Aset adalah perubahan status ADP menjadi BMN atau perubahan status BMN menjadi ADP. 24. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN. 25. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 26. Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN yang dilakukan antara Badan Pengusahaan dengan pemerintah daerah, badan usaha milik negara/ daerah a tau badan hukum lainnya yang dimiliki negara, dan swasta, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang, sekurang- kurangnya dengan nilai seimbang. 27. Hi bah adalah pengalihan kepemilikan BMN dari Badan Pengusahaan kepada pemerintah daerah atau kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian. 28. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN. 29. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari pembukuan/ daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Badan Pengusahaan dan/atau Pengelola Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas BMN.

30.

Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 31. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan Aset. 32. Penggolongan adalah kegiatan untuk menetapkan Aset secara sistematik ke dalam golongan, bidang, kelompok, sub kelompok, dan sub-sub kelompok. 33. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN. 34. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN. 35. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah pada Direktorat Jenderal yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Badan Pengusahaan. 36. Kepala Kantor Pelayanan Keyayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kepala KPKNL adalah Kepala Kantor Pelayanan pada Direktorat Jenderal yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Badan Pengusahaan. 37. Pihak Lain adalah pihak-pihak selain kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah. Pasal 2 (1) Ruang lingkup Peraturan Menteri m1 mengatur pelaksanaan pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan, yang meliputi:

a.

BMN; dan

b.

ADP. (2) BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a.

barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN; dan

b.

barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah meliputi:

1.

barang yang diperoleh dari hi bah/ sumbangan atau yang sejenis;

2.

barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;

3.

barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

4.

barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) BMN yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3 termasuk:

a.

barang yang diperoleh dari pendapatan Badan Pengusahaan dan perolehan lainnya yang sah;

b.

barang yang pendanaannya merupakan gabungan antara APBN dan pendapatan Badan Pengusahaan; dan

c.

barang yang berasal dari pengalihan ADP yang tidak diperpanjang pengalokasiannya.

(4)

ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb meliputi Aset berupa tanah yang berada dalam Kawasan yang tidak ditetapkan sebagai BMN termasuk:

a.

tanah yang belum mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan;

b.

tanah yang sudah mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan; dan

c.

tanah yang berasal dari BMN yang diubah statusnya menjadi ADP. Pasal 3 (1) Badan Pengusahaan mengelola Aset berupa:

a.

BMN berupa:

1.

tanah dan/atau bangunan; dan/atau

2.

selain tanah dan/atau bangunan; dan

b.

ADP berupa tanah. (2) ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat:

a.

dikerjasamakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini; atau

b.

dilakukan pengalokasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. BAB II PEJABAT PENGELOLA ASET Pasal 4 (1) Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara merupakan Pengelola Barang yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan Aset. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melimpahkan kewenangannya kepada:

a.

Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau

b.

pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. (3) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. (4) Dalam hal pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terakomodir di dalam Keputusan Menteri Keuangan, maka dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilimpahkan kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. Pasal 5 (1) Kepala Badan Pengusahaan merupakan Pengguna Barang di lingkungan Badan Pengusahaan yang memiliki kewenangan pelaksanaan teknis dan perumusan kebijakan teknis pengelolaan Aset.

(2)

Dalam pelaksanaan teknis pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Pengusahaan dapat melimpahkan kewenangannya kepada pejabat di lingkungan Badan Pengusahaan yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Prinsip Umum Pasal 6 Pengelolaan Aset meliputi:

a.

Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;

b.

pengadaan;

c.

Penggunaan;

d.

Perubahan Status Aset;

e.

Pemanfaatan;

f.

pengalokasian;

g.

pengamanan dan pemeliharaan;

h.

Penilaian;

1.

Pemindahtanganan; J. Pemusnahan;

k.

Penghapusan;

1.

Penatausahaan; dan

m.

pengawasan dan pengendalian. Pasal 7 (1) Aset pada Badan Pengusahaan dilarang untuk diserahkan kepada Pihak Lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada pemerintah pusat. (2) Aset pada Badan Pengusahaan tidak dapat dilakukan penyitaan. (3) BMN yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara tidak dapat dipindahtangankan. (4) BMN dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman. Bagian Kedua Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran Pasal 8 (1) Perencanaan Kebutuhan BMN disusun dalam rencana bisnis dan anggaran Badan Pengusahaan setelah memperhatikan ketersediaan BMN yang ada serta kemampuan dalam menghimpun pendapatan. (2) Perencanaan Kebutuhan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga/biaya.

(3)

Perencanaan Kebutuhan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 9 (1) Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi perumusan kebijakan kekayaan negara pada Direktorat J enderal berdasarkan usulan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Standar harga/biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang PPK-BLU. Bagian Ketiga Pengadaan Pasal 10 Pengadaan BMN dilaksanakan sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Penggunaan Paragraf 1 Umum Pasal 11 (1) Penggunaan Aset dilaksanakan dengan cara:

a.

digunakan sendiri oleh Badan Pengusahaan;

b.

digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya;

c.

dioperasikan oleh Pihak Lain;

d.

dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya; atau

e.

digunakan bersama dengan kementerian/lembaga lain. (2) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Penggunaan untuk dioperasikan oleh Pihak Lain, Penggunaan sementara, pengalihan status Penggunaan, atau Penggunaan bersama, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. (3) Penetapan status BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan atas BMN berupa:

a.

barang persediaan;

b.

konstruksi dalam pengerjaan;

c.

barang yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan;

d.

barang yang berasal dari dana dekonsentrasi dan dana penunjang tugas pembantuan, yang direncanakan untuk diserahkan;

e.

bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya; dan

f.

aset tetap renovasi. (4) ADP tidak dapat diusulkan untuk dilakukan Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali telah dilakukan Perubahan Status Aset menjadi BMN. (5) ADP hanya dapat dilakukan pengalokasian atau Pemanfaatan, setelah memperoleh penetapan status ADP. (6) Kementerian/lembaga dapat melakukan pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan. Paragraf 2 Penetapan Status Pasal 12 (1) Penetapan status Penggunaan Aset berupa BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dilakukan oleh Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan status Penggunaan BMN dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan. (3) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pelaksanaan, prosedur, dan dokumen penetapan status Penggunaan BMN mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. (4) Penetapan status ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan. Paragraf 3 Penggunaan Sementara Pasal 13 (1) BMN yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN tersebut. (2) Penggunaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Penggunaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jangka waktu tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penggunaan sementara yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL.

(5)

Pada saat jangka waktu Penggunaan sementara telah berakhir, BMN yang digunakan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.

digunakan sendiri oleh Badan Pengusahaan;

b.

digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya; dan/atau

c.

dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lain, berdasarkan usulan dari Kepala Badan Pengusahaan untuk mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (6) Pengguna sementara BMN yang menggunakan sementara BMN pada Badan Pengusahaan tidak dapat melakukan penetapan status Penggunaan, Penggunaan untuk dioperasikan Pihak Lain, pengalihan status Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan/atau Penghapusan BMN yang digunakan sementara. (7) Pengguna sementara BMN melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN yang digunakan sementara sesuai perjanjian. (8) Pengguna sementara BMN dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan sementara berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan terse but tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (9) Dalam hal pengguna sementara melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan sementara, pengguna sementara menyerahkan hasil perubahan atau pengembangan dimaksud kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Penggunaan untuk Dioperasikan oleh Pihak Lain Pasal 14 (1) BMN yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat dioperasikan oleh Pihak Lain tanpa mengubah status Penggunaan BMN tersebut, dengan ketentuan pengoperasian BMN dimaksudkan untuk menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi Badan Pengusahaan serta penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- undangan. (2) Jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.

paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang, untuk pengoperasian BMN oleh badan usaha milik negara, koperasi, atau badan hukum lainnya;

b.

paling lama 15 (lima belas) tahun dan dapat diperpanjang, untuk pengoperasian BMN dalam rangka pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan di KPBPB, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun;

c.

paling lama 99 (sembilan puluh sembilan) tahun, untuk pengoperasian BMN oleh pemerintah negara lain;

d.

sesuai perjanjian, untuk pengoperasian BMN oleh organisasi internasional; atau

e.

selama lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang melaksanakan tugas dan fungsinya untuk menjalankan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, untuk pengoperasian BMN oleh lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang, dengan ketentuan tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengoperasian oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengoperasian oleh Pihak Lain yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (5) Biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN selama jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain dibebankan kepada Pihak Lain yang mengoperasikan BMN. (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN dapat dibebankan secara keseluruhan atau sebagian kepada Badan Pengusahaan sepanjang pengoperasian dilaksanakan karena penugasan atau kebijakan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pihak Lain yang melakukan pengoperasian atas BMN dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang dioperasikan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan tersebut tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (8) Dalam hal BMN yang dioperasikan oleh Pihak Lain dilakukan perubahan atau pengembangan, hasil perubahan atau pengembangan dimaksud diserahkan kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 (1) Pihak Lain yang mengoperasikan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat melakukan pungutan kepada masyarakat setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Badan Pengusahaan dengan melampirkan perhitungan estimasi biaya operasional dan besaran pungutan.

(3)

Dalam hal pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi biaya operasional menghasilkan keuntungan bagi pihak lain yang mengoperasikan BMN, keuntungan tersebut disetor seluruhnya ke rekening Badan Pengusahaan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 16 (1) Pihak Lain yang mengoperasikan BMN menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan pengoperasian BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan selama jangka waktu pengoperasian. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan berikutnya setelah periode tahun anggaran berakhir. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian laporan dilakukan pada akhir jangka waktu pengoperasian BMN sepanjang jangka waktu pengoperasian kurang dari 1 (satu) tahun. (4) Laporan pelaksanaan pengoperasian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

kesesuaian Penggunaan BMN objek pengoperasian sebagaimana ditentukan dalam perjanjian;

b.

pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan atas objek pengoperasian;

c.

kondisi BMN objek pengoperasian; dan

d.

perubahan dan pengembangan yang dilakukan terhadap BMN objek pengoperasian, jika ada. Paragraf 5 Alih Status Penggunaan Pasal 17 (1) BMN yang tidak digunakan lagi oleh Badan Pengusahaan dapat dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya. (2) Pengalihan status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengalihan status Penggunaan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL sepanjang BMN berupa aset tetap renovasi. Paragraf 6 Pembangunan oleh Kementerian/Lembaga di atas Aset Berupa Tanah pada Badan Pengusahaan Pasal 18 (1) Kementerian/lembaga dapat melakukan pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Kepala Badan Pengusahaan.

(2)

Pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian antara Badan Pengusahaan dan kementerian/lembaga yang melakukan pembangunan. (3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:

a.

dasar perjanjian;

b.

identitas para pihak;

c.

jangka waktu pembangunan;

d.

jenis, jumlah, dan luas objek yang dibangun;

e.

tanggung jawab pembangunan; dan

f.

hak dan kewajiban para pihak. (4) Barang yang diperoleh dari hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan dilakukan penetapan status Penggunaan BMN pada kementerian/lembaga yang melakukan pembangunan terse but. (5) BMN hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan Penatausahaan oleh kementerian/lembaga bersangkutan. (6) BMN hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan dengan persetujuan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaporkan kepada Kepala Badan Pengusahaan. (7) Hasil Pemanfaatan atas BMN hasil pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi penerimaan pada:

a.

kementerian/lembaga selaku Pengguna Barang sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau

b.

Badan Pengusahaan, sesuai perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (8) BMN hasil pembangunan di atas Aset Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan alih status Penggunaan berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL kepada:

a.

Badan Pengusahaan; atau

b.

kementerian/lembaga lain. (9) Dalam hal BMN hasil pembangunan dialihkan status penggunaannya kepada kementerian/ lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b, perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan penyesuaian terhadap para pihak. Paragraf 7 Penggunaan Bersama Pasal 19 (1) BMN berupa infrastruktur jalan yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat dilakukan Penggunaan bersama dengan kementerian/lembaga yang membidangi urusan jalan nasional dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN tersebut. (2) Penggunaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan permohonan Kepala Badan Pengusahaan. (4) Permohonan persetujuan Penggunaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Kepala Badan Pengusahaan yang minimal memuat:

a.

data BMN yang akan digunakan bersama;

b.

Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN;

c.

jangka waktu Penggunaan bersama; dan

d.

penjelasan serta pertimbangan Penggunaan bersama BMN. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:

a.

fotokopi keputusan penetapan status Penggunaan BMN; dan

b.

surat permintaan Penggunaan bersama BMN dari Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan. (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penggunaan bersama yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (7) Kepala KPKNL melakukan penelitian atas permohonan Penggunaan bersama BMN yang diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang dipersyaratkan. (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum mencukupi, Kepala KPKNL dapat:

a.

meminta keterangan kepada Kepala Badan Pengusahaan;dan b. meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN. (9) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:

a.

data BMN yang akan digunakan bersama;

b.

Pengguna Barang yang menggunakan bersama BMN;

c.

kewajiban Pengguna Barang yang menggunakan bersama BMN untuk memelihara dan mengamankan BMN yang digunakan bersama;

d.

jangka waktu Penggunaan bersama; dan

e.

kewajiban Pengguna Barang untuk menindaklanjuti persetujuan dengan membuat perjanjian. (10) Dalam hal permohonan Penggunaan bersama tidak disetujui, Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. Pasal 20 (1) Penggunaan bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dituangkan dalam perjanjian antara Badan Pengusahaan selaku Pengguna Barang dan kementerian/ lembaga yang menggunakan bersama selaku pengguna bersama BMN. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

dasar perjanjian;

b.

identitas para pihak;

c.

jangka waktu Penggunaan bersama;

d.

jenis, jumlah dan luas objek yang digunakan bersama;

e.

tanggung jawab Penggunaan bersama, termasuk tanggung jawab dalam melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN yang digunakan bersama; dan

f.

hak dan kewajiban para pihak. Pasal 21 BMN yang sedang dilakukan Penggunaan bersama tidak dapat dilakukan Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan/ a tau Penghapusan BMN yang digunakan bersama, kecuali berdasarkan usulan dari Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 22 (1) Pengguna bersama BMN yang menggunakan bersama BMN pada Badan Pengusahaan melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN sesuai perjanjian. (2) Biaya pengamanan dan pemeliharaan terhadap BMN yang digunakan bersama hanya dapat dibebankan pada salah satu pihak untuk setiap kegiatan. (3) Pengguna bersama BMN yang menggunakan bersama BMN pada Badan Pengusahaan, dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan bersama berdasarkan:

a.

perjanjian dengan Kepala Badan Pengusahaan; atau

b.

persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (4) Perubahan atau pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (5) Hasil perubahan atau pengembangan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan oleh Pengguna bersama BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan. (6) Penyerahan hasil perubahan atau pengembangan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang akuntansi dan pengelolaan BMN. Bagian Kelima Perubahan Status Aset Paragraf 1 Perubahan Status Aset Berupa Aset Dalam Penguasaan Menjadi Barang Milik Negara Pasal 23 (1) ADP yang akan digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga, penyelenggaraan tugas pemerintahan negara, dan/atau pelayanan pada masyarakat dapat diubah statusnya menjadi BMN setelah mendapat persetujuan dari Kepala Badan Pengusahaan. (2) Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan status Penggunaan BMN. (3) ADP yang akan diubah statusnya menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.

tidak sedang dilakukan pengalokasian;

b.

tidak terdapat pembebanan hak tanggungan atau peletakan jaminan/agunan terhadap hak atas tanah atau alokasi tanah di atas ADP; dan

c.

tidak sedang dalam sengketa, baik terhadap ADP maupun hak atas tanah atau alokasi tanah di atas ADP. Paragraf 2 Tata Cara Perubahan Status Aset Berupa Aset Dalam Penguasaan Menjadi Barang Milik Negara Pasal 24 (1) Kepala Badan Pengusahaan memberikan persetujuan atas ADP yang diusulkan untuk menjadi BMN dengan tembusan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh:

a.

kementerian/lembaga; atau

b.

unit di Badan Pengusahaan yang membutuhkan BMN. (3) Kepala Badan Pengusahaan mengajukan usulan penetapan status Penggunaan BMN pada Badan Pengusahaan atas ADP berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (4) Kementerian/lembaga mengajukan usulan penetapan status Penggunaan BMN atas ADP berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengusahaan. (5) Penetapan status Penggunaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penggunaan BMN. Paragraf 3 Perubahan Status Aset Berupa Barang Milik Negara Menjadi Aset Dalam Penguasaan Pasal 25 (1) BMN berupa tanah yang tidak digunakan lagi oleh Badan Pengusahaan dapat diubah statusnya menjadi ADP setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan Kepala Badan Pengusahaan. (3) Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pertimbangan:

a.

sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;

b.

diperuntukkan bagi kepentingan umum;

c.

adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau ketentuan perundang-undangan, yangjika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis;

d.

analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dari Kepala Badan Pengusahaan yang menyatakan bahwa tanah tersebut lebih optimal apabila dialihkan menjadi ADP; dan/atau

e.

penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. (4) BMN berupa tanah yang dapat dilakukan Perubahan Status Aset menjadi ADP harus memenuhi kriteria:

a.

sebelumnya berasal dari ADP;

b.

telah ditetapkan status penggunaannya;

c.

bukan merupakan BMN yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya; dan

d.

BMN berupa tanah yang:

1.

tidak sedang digunakan/tidak diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan/atau tidak sedang dilakukan pemanfaatan; dan

2.

sudah terdapat rencana peruntukan dan/atau pengalokasiannya. (5) Dalam hal pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP mengakibatkan timbulnya kebutuhan atas BMN berupa tanah, pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dilakukan bersamaan dengan penyiapan tanah ADP yang akan dijadikan BMN. (6) ADP yang disiapkan untuk dijadikan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). Paragraf 4 Tata Cara Perubahan Status Aset Berupa Barang Milik Negara Menjadi Aset Dalam Penguasaan Pasal 26 Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

a.

persiapan;

b.

permohonan;

c.

penelitian;

d.

persetujuan;

e.

penetapan; dan

f.

pelaporan. Pasal 27 (1) Kepala Badan Pengusahaan melakukan persiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan tahapan sebagai berikut:

a.

membentuk komite aset;

b.

meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan reviu atas laporan dari komite aset; dan

c.

menyiapkan dokumen permohonan. (2) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat ad hoc. (3) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah ganjil yang minimal beranggotakan perwakilan dari unsur:

a.

unit yang menggunakan/menguasai BMN;

b.

unit yang membidangi pengelolaan ADP;

c.

pelaksana fungsional Pengguna Barang; dan

d.

unit yang membidangi hukum pada Badan Pengusahaan. (4) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP meliputi:

a.

melakukan penelitian data administratif, yaitu:

1.

data tanah, sebagaimana tercantum dalam Kartu Identitas Barang (KIB) meliputi status dan bukti kepemilikan, lokasi, luas, nilai perolehan dan/atau nilai buku;

2.

data penetapan status Penggunaan dan/atau Pemanfaatan;

3.

data dan informasi mengenai perolehan BMN berupa tanah yang akan diubah statusnya menjadi ADP;

4.

data dan informasi mengenai bangunan, sarana prasarana, dan/atau objek lainnya yang berada di atas tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1;

5.

rencana peruntukan dan/atau pengalokasian BMN yang akan diubah statusnya menjadi ADP; dan

6.

data ADP yang direncanakan akan dijadikan BMN dalam rangka pemenuhan kebutuhan BMN, jika ada.

b.

melakukan penelitian fisik untuk memeriksa kesesuaian data administratif dengan fisik tanah:

1.

BMN yang akan diusulkan untuk dilakukan Perubahan Status Aset dari BMN menjadi ADP;

2.

ADP yang direncanakan akan dijadikan BMN dalam rangka pemenuhan BMN, jika ada. yang dituangkan dalam berita acara penelitian. c. menyusun kajian Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP meliputi:

1.

Analisis aspek penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use);

2.

Analisis manfaat dan dampak ekonomi dan sosial; dan

3.

Analisis kebutuhan penyediaan berupa tanah sebagai dampak dari rencana Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. d. melakukan koordinasi dengan tim penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. e. menyiapkan dokumen yang melatarbelakangi usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, an tara lain:

1.

dokumen rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;

2.

dokumen yang menyatakan/mendukung bahwa Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP diperlukan dalam rangka kepentingan umum;

3.

putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang mengakibatkan perlu dilakukannya Perubahan Status Aset berupa BMN;

4.

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur status BMN tidak layak dipertahankan secara ekonomis; dan / a tau 5. dokumen hasil pelaksanaan tugas/laporan tim penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. f. menyampaikan laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala Badan Pengusahaan meliputi:

1.

hasil penelitian data administrasi sebagaimana dimaksud pada huruf a;

2.

kajian sebagaimana dimaksud pada huruf c;

3.

dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf e; dan

4.

rekomendasi terkait rencana Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. (5) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus mempertimbangkan:

a.

statistik BMN berupa tanah yang ada;

b.

jumlah BMN berupa tanah; dan

c.

analisis kebutuhan BMN berupa tanah. (6) Dalam hal diperlukan, komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan instansi teknis atau unsur lain yang kompeten.

(7)

Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merekomendasikan untuk tidak dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, komite aset menyampaikan laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. (8) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merekomendasikan untuk dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, Kepala Badan Pengusahaan meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan reviu atas laporan dari komite aset dalam rangka penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. (9) Dalam hal diperlukan, pelaksanaan reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat melibatkan instansi teknis yang kompeten. (10) Kepala Badan Pengusahaan melakukan penelitian atas laporan penyiapan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dan hasil reviu aparat pengawasan intern pemerintah sebagai dasar pertimbangan dalam menyiapkan dokumen permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. Pasal 28 (1) Dalam hal usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP disertai dengan usulan Perubahan Status Aset berupa tanah ADP menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5), Kepala Badan Pengusahaan melakukan Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN. (2) Pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24. Pasal 29 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan surat permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penjelasan dan pertimbangan usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan disertai:

a.

data administratif;

b.

nilai perolehan dan/atau nilai buku BMN;

c.

rencana peruntukan dan pengalokasiannya;

d.

surat keputusan pembentukan komite aset;

e.

laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dari komite aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf f;

f.

hasil reviu aparat pengawasan intern pemerintah; dan

g.

surat pernyataan:

1.

kebenaran materiil objek yang diusulkan;

2.

bahwa BMN yang akan diubah statusnya: a) sebelumnya berasal dari ADP; dan b) tidak sedang digunakan/tidak diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan/atau tidak sedang dilakukan Pemanfaatan. (3) Dalam hal permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersamaan dengan adanya penyediaan ADP untuk dijadikan BMN, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai juga dengan usulan:

a.

penetapan status Penggunaan; dan

b.

Penilaian; atas ADP yang direncanakan untuk dijadikan BMN. (4) Pengajuan penetapan status Penggunaan dan Penilaian atas ADP yang akan dijadikan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 30 (1) Kepala KPKNL melakukan penelitian atas permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, dengan tahapan:

a.

melakukan penelitian terhadap pemenuhan dokumen persyaratan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP; dan

b.

melakukan penelitian data administratif. (2) Dalam hal diperlukan, Kepala KPKNL dapat melakukan penelitian fisik BMN yang direncanakan dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan memeriksa data administratif yang ada. (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Kepala KPKNL dapat meminta data dan informasi tambahan kepada Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 31 (1) Persetujuan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP diberikan oleh Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL dalam bentuk surat persetujuan dengan mendasarkan pada hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. (2) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

data BMN yang akan diubah statusnya menjadi ADP; dan

b.

tujuan peruntukan dan pengalokasian. (3) Dalam hal Kepala KPKNL tidak menyetujui permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, Kepala KPKNL memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. Pasal 32 (1) Kepala Badan Pengusahaan menerbitkan keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat persetujuan dari Kepala KPKNL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). (2) Kepala Badan Pengusahaan melakukan reklasifikasi BMN yang diubah statusnya menjadi ADP berdasarkan keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penatausahaan BMN dan akuntansi pemerintahan. Pasal 33 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala KPKNL dengan melampirkan:

a.

surat keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP;

b.

daftar transaksi reklasifikasi dari BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2); dan

c.

daftar transaksi reklasifikasi dari ADP menjadi BMN, dalam hal Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP disertai dengan adanya ADP yang dijadikan BMN. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) bulan sejak keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. Bagian Keenam Pemanfaatan Paragraf 1 Umum Pasal 34 (1) Pemanfaatan Aset meliputi:

a.

Sewa;

b.

Pinjam Pakai; C. KSP;

d.

Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur;

e.

KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur;

f.

KSPI; dan

g.

Ketupi. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap:

a.

Aset berupa tanah dan/atau bangunan;

b.

Aset berupa sebagian tanah dan/atau bangunan; dan/atau

c.

BMN selain tanah dan/atau bangunan. (3) Bandar udara, pelabuhan, sumber daya air dan limbah, termasuk Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Aset berupa ADP tidak dapat dilakukan Pemanfaatan dalam bentuk Pinjam Pakai dan Ketupi.

(5)

Aset yang menjadi objek Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang dijaminkan atau digadaikan. (6) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Pemanfaatan, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. Pasal 35 (1) Pemanfaatan Aset dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada:

a.

Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal dengan tembusan Kepala KPKNL untuk Pemanfaatan dalam bentuk KSPI dan Ketupi; dan

b.

Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL untuk Pemanfaatan selain KSPI dan Ketupi. (2) Pemanfaatan tidak mengubah status kepemilikan Aset. (3) Pemanfaatan Aset dilakukan dengan jangka waktu tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemanfaatan Aset dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan umum. (5) Kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus merupakan kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan. (6) Biaya pemeliharaan dan pengamanan Aset yang berkaitan dengan Pemanfaatan Aset dibebankan pada mitra Pemanfaatan Aset. Pasal 36 (1) Pemerintah dapat memberikan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi dalam rangka Pemanfaatan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. (2) Pemberian fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh:

a.

Kepala Badan Pengusahaan;

b.

Menteri Keuangan; dan/atau

c.

menteri/pimpinan lembaga lainnya. Pasal 37 (1) Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d sampai dengan huruf g, dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (2) Jangka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dilakukan dalam bentuk Sewa atau KSP dan perpanjangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan.

(3)

Jangka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dilakukan dalam bentuk KSPI dan Ketupi serta perpanjangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan, setelah memperoleh persetujuan dari:

a.

Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal untuk Pemanfaatan dengan nilai BMN yang dihitung secara proporsional dari nilai perolehan BMN di atas Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan

b.

Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal untuk Pemanfaatan dengan nilai BMN yang dihitung secara proporsional dari nilai perolehan BMN sampai dengan Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (4) J angka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur dan perpanjangannya dituangkan dalam perjanjian. Pasal 38 Perpanjangan jangka waktu untuk Pemanfaatan berupa KSPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf f:

a.

hanya dapat dilakukan apabila terjadi government force majeure, seperti dampak kebijakan pemerintah yang disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi, politik, sosial, dan keamanan; dan

b.

permohonannya diajukan paling lama 6 (enam) bulan setelah government force majeure nyata terjadi.

(1)

(2) (3) (4) Pasal 39 Pendapatan yang diperoleh dari digunakan langsung oleh Badan dengan ketentuan peraturan mengenai PPK-BLU. Pemanfaatan dapat Pengusahaan sesuai perundang-undangan Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendapatan dari Pemanfaatan disetorkan ke BLU yang ditetapkan oleh Pengelola Barang sepanjang Pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk Ketupi. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada:

a.

Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal dengan tembusan Kepala KPKNL untuk pendapatan dari KSPI; dan

b.

Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL untuk pendapatan dari Pemanfaatan BMN selain KSPI. Aset yang diperoleh dari hasil Pemanfaatan menjadi BMN pada Badan Pengusahaan. Paragraf 2 Sewa Pasal 40 (1) Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dilakukan untuk:

a.

mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset;

b.

memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka menunjang tugas dan fungsi Badan Pengusahaan;

c.

mencegah Aset digunakan oleh pihak lain secara tidak sah; dan / a tau d. pemberian layanan Badan Pengusahaan. (2) Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan. Pasal 41 (1) Pihak yang dapat menyewa Aset meliputi:

a.

pemerintah daerah;

b.

badan usaha milik negara;

c.

badan usaha milik daerah;

d.

swasta;

e.

unit penunJang kegiatan penyelenggaraan pemerin tahan / negara;

f.

lembaga independen yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan;dan/atau g. badan hukum lainnya. (2) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan dapat dilakukan Sewa kepada pihak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPK-BLU. (3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menjadi penyewa dalam hal pelaksanaan Sewa tidak diperuntukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerin tahan daerah. Pasal 42 Objek Sewa dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 43 (1) Sewa dilakukan dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Sewa dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sewa dapat dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun untuk:

a.

kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu Sewa lebih dari 5 (lima) tahun; atau

b.

ditentukan lain dalam Undang-Undang.

(4)

Jangka waktu Sewa untuk kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu Sewa lebih dari 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. (5) Perpanjangan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penyewa dapat melakukan penerusan Sewa kepada Pihak Lain dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal penyewa akan melakukan penerusan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penyewa dapat menawarkan Aset yang menjadi objek Sewa melalui media pemasaran. Pasal 44 (1) Besaran Sewa ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan, minimal:

a.

analisis data pasar;

b.

manfaat ekonomi;

c.

manfaat sosial;

d.

dampak ekonomi; dan

e.

dampak sosial. (2) Besaran Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian dari:

a.

tarif pokok Sewa; dan

b.

faktor penyesuai Sewa. (3) Perhitungan tarif pokok Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dapat meminta bantuan Penilai. (4) Faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan:

a.

jenis/bentuk kegiatan usaha;

b.

periodesitas Sewa; dan/atau

c.

pertimbangan lainnya dalam kondisi tertentu, meliputi:

1.

penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;

2.

bencana alam;

3.

bencana non alam;

4.

bencana sosial; a tau 5. kondisi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), penetapan tarif Sewa terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang PPK-BLU. (6) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c angka 2, angka 3, dan angka 4, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Pasal 45 (1) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) calon penyewa dalam Pemanfaatan BMN, Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pemilihan calon penyewa melalui lelang hak menikmati pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. (2) Besaran Sewa yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dapat digunakan sebagai nilai limit pada pelaksanaan lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemilihan penyewa. (3) Dalam hal penyewa yang terpilih sebagai pemenang dalam lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan melakukan penerusan Sewa, penyewa dapat menawarkan Aset yang menjadi objek Sewa melalui media pemasaran. Pasal 46 (1) Persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan persetujuan perpanjangannya dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Sewa yang minimal memuat:

a.

informasi Aset yang menjadi objek Sewa; dan

b.

data Sewa, minimal memuat data dan informasi mengenai:

1.

besaran Sewa sesuai kondisi dengan kelompok jenis kegiatan usaha dan periodesitas Sewa; dan

2.

jangka waktu, termasuk periode Sewa. (2) Surat persetujuan atau keputusan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 47 (1) Sewa dituangkan dalam perjanjian, yang minimal memuat:

a.

dasar perjanjian;

b.

identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;

c.

jenis dan luas atau jumlah Aset;

d.

besaran Sewa;

e.

jangka waktu Sewa;

f.

peruntukan Sewa;

g.

larangan pendayagunaan Aset diluar peruntukan Sewa;

h.

kewenangan untuk meneruskan Sewa, jika ada;

1.

tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu Sewa; dan

j.

hak dan kewajiban para pihak. (2) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan Sewa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal perjanjian Sewa belum ditandatangani sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan atau keputusan Sewa batal demi hukum.

(4)

Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu untuk penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir. (5) Perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 48 (1) Hasil Sewa merupakan pendapatan Badan Pengusahaan. (2) Hasil Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor seluruhnya sekaligus ke rekening Badan Pengusahaan. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyetoran uang Sewa dapat dilakukan secara bertahap dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan atas Sewa untuk Aset dengan karakteristik/ sifat khusus. Paragraf 3 Pinjam Pakai Pasal 49 (1) Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b dilaksanakan antara Badan Pengusahaan dan pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. (2) Jangka waktu Pinjam Pakai paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Peminjam pakai melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN yang menjadi objek Pinjam Pakai selamajangka waktu Pinjam Pakai. (4) Peminjam pakai dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang dipinjampakaikan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan terse but tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (5) Dalam hal BMN yang dipinjampakaikan dilakukan perubahan atau pengembangan, hasil perubahan atau pengembangan dimaksud diserahkan kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 (1) Persetujuan Pinjam Pakai dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Pinjam Pakai yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan minimal memuat:

a.

identitas peminjam pakai;

b.

data objek Pinjam Pakai;

c.

jangka waktu Pinjam Pakai; dan

d.

kewajiban peminjam pakai. (2) Surat persetujuan atau keputusan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 51 (1) Pelaksanaan Pinjam Pakai dituangkan dalam perjanjian antara Badan Pengusahaan dengan peminjam pakai berdasarkan surat persetujuan atau keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1). (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;

b.

jenis dan luas atau jumlah BMN yang dipinj ampakaikan;

c.

jangka waktu Pinjam Pakai;

d.

peruntukan Pinjam Pakai;

e.

larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan Pinjam Pakai;

f.

tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu Pinjam Pakai; dan

g.

hak dan kewajiban para pihak. Pasal 52 (1) Peminjam pakai menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan Pinjam Pakai kepada Kepala Badan Pengusahaan selamajangka waktu Pinjam Pakai. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan berikutnya setelah periode tahun anggaran berakhir. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian laporan dilakukan pada akhir jangka waktu Pinjam Pakai sepanjang:

a.

jangka waktu Pinjam Pakai kurang dari 1 (satu) tahun; atau

b.

pelaporan untuk tahun terakhir masa Pinjam Pakai. (4) Laporan pelaksanaan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

kesesuaian peruntukan BMN objek Pinjam Pakai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian Pinjam Pakai;

b.

pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan atas objek Pinjam Pakai;

c.

kondisi BMN objek Pinjam Pakai; dan

d.

perubahan dan pengembangan yang dilakukan terhadap BMN objek Pinjam Pakai, jika ada. Pasal 53 (1) Pinjam Pakai berakhir dalam hal:

a.

berakhirnya jangka waktu Pinjam Pakai sebagaimana tertuang dalam perjanjian dan tidak dilakukan perpanjangan;

b.

pengakhiran perjanjian Pinjam Pakai secara sepihak oleh Badan Pengusahaan;

c.

berakhirnya perjanjian Pinjam Pakai; atau

d.

ketentuan lain sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Pengakhiran Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan dalam hal peminjam pakai tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian Pinjam Pakai.

(3)

Dalam hal di atas objek Pinjam Pakai terdapat bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya yang tidak sesuai perjanjian, peminjam pakai wajib membongkar dan/atau mengosongkan objek Pinjam Pakai sebelum diserahkan kepada Badan Pengusahaan. (4) Peminjam pakai mengembalikan BMN objek Pinjam Pakai kepada Badan Pengusahaan pada saat Pinjam Pakai berakhir sesuai perjanjian. (5) Dalam hal peminjam pakai tidak mengembalikan objek Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan Pengusahaan dapat melakukan penghentian, pengosongan, atau penarikan objek Pinjam Pakai tanpa melalui pengadilan dengan terle bih dahulu menyampaikan pemberitahuan/peringatan secara tertµ.lis. Paragraf 4 Kerja Sama Pemanfaatan Pasal 54 (1) KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam rangka:

a.

mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset;

b.

meningkatkan pendapatan Badan Pengusahaan; dan/atau

c.

memenuhi biaya operasional, pemeliharaan dan/atau perbaikan yang diperlukan terhadap Aset. (2) KSP dapat dilakukan dengan:

a.

badan usaha milik negara;

b.

badan usaha milik daerah;

c.

badan hukum lainnya; atau

d.

Pihak Lain, kecuali perorangan. (3) KSP dilakukan dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 55 (1) KSP dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

mitra KSP harus membayar kontribusi tetap kepada Badan Pengusahaan setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil KSP;

b.

dalam hal jangka waktu KSP kurang dari 1 (satu) tahun, mitra KSP membayar kontribusi tetap dan pembagian keuntungan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan;

c.

besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil KSP ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan;dan d. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil KSP harus memperoleh penetapan dari Kepala Badan Pengusahaan.

(2)

Besaran pembagian keuntungan hasil KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dapat berbentuk pembagian atas:

a.

keuntungan berupa:

1.

keuntungan bersih;

2.

keuntungan bruto; atau

3.

keuntungan tertentu yang berupa EBIT atau EBITDA. b. pendapatan; atau

c.

arus kas hasil KSP berupa arus kas bersih atau arus kas tambahan (incremental cashfiow). Pasal 56 (1) KSP dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Jangka waktu dan perpanjangan jangka waktu KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Seluruh biaya KSP yang terjadi setelah ditetapkannya mitra KSP menjadi beban mitra KSP. (4) Pemilihan mitra KSP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 57 (1) Mitra KSP ditetapkan melalui tender, kecuali untuk Aset yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung. (2) Penunjukan langsung mitra KSP atas Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap:

a.

badan usaha milik negara;

b.

badan usaha milik daerah; atau

c.

anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas, yang memiliki bidang clan/ atau wilayah kerja tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

Aset yang mempunyai spesifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b.

Aset yang memiliki tingkat kompleksitas khusus seperti bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, terminal angkutan umum, kilang, instalasi tenaga listrik, dan bendungan/waduk;

c.

Aset yang dikerjasamakan dalam investasi yang berdasarkan perjanjian hubungan bilateral antar negara;

d.

Aset yang bersifat rahasia dalam kerangka pertahanan negara;

e.

Aset yang mempunyai konstruksi dan spesifikasi yang harus dengan perizinan khusus;

f.

Aset yang dikerjasamakan dalam rangka menjalankan tugas negara; dan

g.

Aset lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penunjukan langsung mitra KSP atas Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap badan usaha se bagaimana dimaksud pada ayat (2) atau badan usaha lainnya sepanjang:

a.

Aset yang dikerjasamakan dalam rangka:

1.

proyek kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur;

2.

penyelenggaraan penyiapan kegiatan yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen internasional yang dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden;

3.

Pemanfaatan yang hanya dapat disediakan oleh 1 (satu) pelaku usaha yang mampu; dan/atau

4.

Pemanfaatan yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang tender untuk mendapatkan izin dari pemerintah;

b.

Aset yang dikerjasamakan kepada badan usaha yang merupakan pemegang alokasi tanah atau mitra Pemanfaatan Aset yang lokasinya bersebelahan langsung dengan objek yang akan dikerjasamakan dalam rangka:

1.

pengembangan bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/ diperhitungkan sebelumnya; dan/atau

2.

penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pemegang alokasi/ mitra Pemanfaatan yang bersangkutan;

c.

Aset yang bersifat rahasia untuk kepentingan negara meliputi intelijen, perlindungan saksi, pengamanan Presiden dan Wakil Presiden, mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden beserta keluarganya serta tamu negara setingkat kepala negara/kepala pemerintahan, atau Aset lain bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

d.

Aset yang mempunyai nilai buku sebelum penyusutan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(5)

Proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 merupakan penyediaan infrastruktur yang dilakukan melalui:

a.

perjanjian kerja sama antara Kepala Badan Pengusahaan dan/atau menteri/pimpinan lembaga dengan Badan Usaha Pelaksana; atau

b.

pemberian izin pengusahaan dari Kepala Badan Pengusahaan dan/atau menteri/ pimpinan lembaga kepada Badan U saha Pelaksana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penunjukan langsung mitra KSP terhadap Aset yang digunakan dalam rangka proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 dilakukan terhadap pihak yang dipilih sebagai mitra proyek kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pasal 58 (1) Pemilihan mitra KSP melalui tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) diumumkan di:

a.

1 ( satu) media massa nasional, 1 ( satu) media massa lokal, dan/atau 1 (satu) media massa internasional; dan

b.

situs web (website) Badan Pengusahaan. (2) Dalam hal pada pelaksanaan tender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon mitra KSP yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta, dilakukan pengumuman ulang di:

a.

media massa nasional, media massa lokal, dan/atau media massa internasional; dan

b.

situs web (website) Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal setelah pengumuman ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2):

a.

terdapat minimal 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan tender; atau

b.

calon mitra KSP kurang dari 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan:

1.

seleksi langsung, untuk calon mitra KSP yang hanya 2 (dua) peserta; atau

2.

penunjukan langsung, untuk calon mitra KSP yang hanya 1 ( satu) peserta. Pasal 59 (1) KSP dapat dilaksanakan melalui usulan pemrakarsa. (2) Calon mitra KSP dapat menyusun proposal/ studi kelayakan/ analisis kelayakan bisnis proyek KSP. (3) Calon mitra KSP yang berstatus pemrakarsa/pemohon KSP, dapat diberikan kompensasi:

a.

tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dalam pemilihan mitra;

b.

hak untuk melakukan penawaran terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses tender; atau

c.

pembelian prakarsa KSP oleh pemenang tender, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya.

(4)

Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicantumkan dalam persetujuan Kepala Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3). Pasal 60 (1) KSP dapat dilakukan untuk mengoperasionalkan Aset Badan Pengusahaan. (2) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pendayagunaan atau optimalisasi Aset Badan Pengusahaan dalam rangka menghasilkan layanan. (3) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan Penggunaan Aset yang dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. (4) Bagian keuntungan yang menjadi bagian mitra KSP yang mengoperasionalkan Aset Badan Pengusahaan dapat ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari besaran keuntungan yang diperoleh dalam pelaksanaan KSP. Pasal 61 (1) Persetujuan KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dan persetujuan perpanjangannya dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan KSP yang minimal memuat:

a.

informasi Aset yang dilakukan KSP; dan

b.

data KSP, antara lain:

1.

besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan

2.

jangka waktu, termasuk periode KSP. (2) Surat persetujuan atau keputusan KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 62 (1) Pelaksanaan KSP dituangkan dalam perjanjian berdasarkan surat persetujuan atau keputusan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

dasar perjanjian;

b.

identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;

c.

jenis dan luas atau jumlah Aset;

d.

besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan;

e.

jangka waktu KSP;

f.

peruntukan KSP;

g.

larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan KSP;

h.

tanggung jawab mitra atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu KSP; dan

i.

hak dan kewajiban para pihak. (3) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan KSP dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan.

(4)

Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan persetujuan atas permohonan perpanjanganjangka waktu penandatanganan perjanjian KSP. (5) Dalam hal perjanjian KSP tidak ditandatangani sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), surat persetujuan atau keputusan pelaksanaan KSP batal demi hukum, dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir. (6) Perjanjian KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 63 (1) Penerimaan negara yang wajib disetorkan mitra KSP selamajangka waktu pengoperasian KSP, terdiri atas:

a.

kontribusi tetap; dan

b.

pembagian keuntungan. (2) Besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Besaran kontribusi tetap mempertimbangkan:

a.

nilai wajar / taksiran BMN yang menjadi o bjek KSP; dan

b.

kelayakan bisnis atau kondisi keuangan mitra KSP. (4) Perhitungan besaran kontribusi tetap dapat pula mempertimbangkan manfaat dan dampak ekonomi dan/atau sosial. (5) Besaran kontribusi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah ditentukan, meningkat setiap tahun dihitung berdasarkan kontribusi tetap pertama dengan memperhatikan estimasi tingkat inflasi. (6) Perhitungan pembagian keuntungan dilakukan dengan mempertimbangkan:

a.

nilai investasi pemerintah;

b.

nilai investasi mitra KSP;

c.

kelayakan bisnis mitra; dan

d.

risiko yang ditanggung mitra KSP. (7) Perhitungan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (8) Dalam rangka perhitungan kontribusi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta bantuan Penilai. (9) Cicilan pokok dan biaya yang timbul atas pinjaman mitra KSP dibebankan pada mitra KSP dan tidak diperhitungkan dalam pembagian keuntungan. (10) Besaran nilai investasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a didasarkan pada nilai wajar Aset yang menjadi objek KSP. (11) Besaran nilai investasi mitra KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b didasarkan pada estimasi investasi dalam proposal KSP. Pasal 64 (1) Dalam hal terdapat perubahan investasi oleh pemerintah, besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditinjau kembali oleh Kepala Badan Pengusahaan. (2) Dalam hal terdapat perubahan realisasi investasi yang dikeluarkan oleh mitra KSP dari estimasi investasi sebagaimana tertuang dalam perjanjian, besaran pembagian keuntungan dapat ditinjau kembali oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Realisasi investasi mitra KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada hasil audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau auditor independen. Pasal 65 (1) Dalam kondisi tertentu, Kepala Badan Pengusahaan dapat menetapkan besaran faktor penyesuai untuk kontribusi tetap dengan persentase tertentu, berdasarkan permohonan mitra KSP. (2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;

b.

bencana alam;

c.

bencana non alam; atau

d.

bencana sosial. (3) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan atas kewajiban pembayaran kontribusi tetap dan/ a tau pembagian keuntungan yang belum dibayarkan oleh mitra. (4) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Pasal 66 (1) Pembayaran kontribusi tetap pertama oleh mitra KSP dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah perjanjian KSP ditandatangani. (2) Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan waktu untuk pembayaran kontribusi tetap pertama dengan ketentuan tidak lebih dari 14 (empat belas) hari kerja dan usulan perpanjangan waktu tidak melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. (3) Pembayaran kontribusi tetap pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti setor dan disampaikan oleh mitra kepada Kepala Badan Pengusahaan. (4) Dalam hal pembayaran kontribusi tetap pertama tidak dilakukan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), perjanjian KSP dinyatakan batal.

(5)

Pembayaran kontribusi tetap berikutnya dilakukan setiap tahun paling lambat sesuai tanggal dan bulan yang dituangkan dalam perjanjian, yang dimulai pada tahun berikutnya sampai dengan berakhirnya perjanjian KSP. (6) Selain kontribusi tetap pertama, pembayaran kontribusi tetap yang dibayar tiap tahun dapat dilakukan secara bertahap dan harus lunas sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran kontribusi tetap berikutnya. (7) Kontribusi tetap selama jangka waktu KSP dapat dibayarkan sekaligus di muka, yang besarannya ditentukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan dan nilai waktu dari uang ( time value of money). (8) Pembagian keuntungan hasil pelaksanaan KSP paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya, dan dilakukan setiap tahun sampai dengan berakhirnya perjanjian KSP. (9) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) tidak dipenuhi oleh mitra, Badan Pengusahaan mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian dan/atau peraturan perundang-undangan. Pasal 67 (1) Mitra KSP dapat mengajukan permohonan keringanan besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan KSP kepada Kepala Badan Pengusahaan. (2) Permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat berupa:

a.

pengembalian kontribusi tetap dan/atau pembagian keuntungan yang telah dibayarkan oleh mitra KSP; dan/atau

b.

kompensasi pembayaran kontribusi tetap dan/atau pembagian keuntungan yang telah dibayarkan oleh mitra KSP terhadap kewajiban pembayaran berikutnya. (3) Dalam hal permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, dilakukan addendum perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 68 (1) Mitra KSP menyerahkan Aset hasil KSP kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian paling lambat pada saat perj anjian berakhir. (2) Dalam hal dilakukan perpanjangan KSP setelah jangka waktu berakhir, Aset hasil KSP menjadi objek KSP. Paragraf 5 Sewa Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur Pasal 69 (1) Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dilaksanakan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan.

(2)

Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (3) Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan untuk infrastruktur sosial, infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur lainnya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai:

a.

pengelolaan BMN; dan

b.

infrastruktur. (4) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

a.

pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;

b.

kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau

c.

pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. (5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Sewa yang minimal memuat:

a.

informasi Aset yang menjadi objek Sewa; dan

b.

data Sewa, antara lain:

1.

besaran Sewa sesuai kondisi dengan kelompok jenis kegiatan usaha dan periodesitas Sewa; dan

2.

jangka waktu, termasuk periode Sewa. (6) Pihak yang dapat menyewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa Badan Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan U saha. (7) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) calon penyewa dalam rangka penyediaan infrastruktur, Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pemilihan calon penyewa melalui lelang hak menikmati pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. (8) Objek Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Badan Pengusahaan. Pasal 70 (1) Hasil Sewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa:

a.

uang Sewa; dan

b.

infrastruktur beserta fasilitasnya dalam rangka penyediaan infrastruktur. (2) Selain hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengusahaan dapat menerima hasil Sewa dalam bentuk lainnya sesuai perjanjian. (3) Pembayaran hasil Sewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa uang Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pendapatan Badan Pengusahaan dan disetorkan:

a.

secara sekaligus ke rekening Badan Pengusahaan; atau

b.

secara bertahap sesuai perjanjian. (4) Hasil Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam perjanjian.

(5)

Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:

a.

dasar perjanjian;

b.

identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;

c.

jenis dan luas a tau jumlah Aset;

d.

besaran Sewa;

e.

jangka waktu Sewa;

f.

peruntukan Sewa;

g.

larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur;

h.

kewenangan untuk meneruskan Sewa, jika ada;

i.

tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu Sewa; dan

j.

hak dan kewajiban para pihak. (6) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan Sewa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal perjanjian Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur belum ditandatangani sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), persetujuan atau keputusan Sewa batal demi hukum. (8) Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu untuk penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir. (9) Perjanjian Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 71 (1) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur merupakan hasil perkalian dari:

a.

tarif pokok Sewa; dan

b.

faktor penyesuai Sewa. (3) Tarif pokok Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan nilai taksiran yang wajar atas Sewa hasil perhitungan dari tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (4) Dalam rangka perhitungan tarif pokok sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta bantuan Penilai. (5) Besaran faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mengacu pada besaran yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN, dengan mempertimbangkan:

a.

daya beli/kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat;

b.

kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat; dan/atau

c.

nilai keekonomian, atas masing-masing infrastruktur yang disediakan. (6) Selain pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Badan Pengusahaan dapat mempertimbangkan kondisi tertentu dalam menetapkan faktor penyesuai Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur meliputi:

a.

penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;

b.

bencana alam;

c.

bencana non alam;

d.

bencana sosial; atau

e.

kondisi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, huruf c, dan huruf d, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. (8) Dalam hal diperlukan Badan Pengusahaan dapat meminta pertimbangan kepada instansi teknis terkait dalam penentuan besaran faktor penyesuai. (9) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan dapat digunakan sebagai nilai limit pada pelaksanaan lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (7) dalam rangka pemilihan penyewa. Paragraf 6 Kerja Sama Pemanfaatan Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur Pasal 72 (1) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dilakukan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (3) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengena1 infrastruktur. (4) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

a.

pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;

b.

kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau

c.

pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur.

(5)

Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan KSP yang minimal memuat:

a.

informasi Aset yang dilakukan KSP; dan

b.

data KSP, antara lain:

1.

besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan

2.

jangka waktu, termasuk periode KSP. Pasal 73 (1) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilakukan dengan mitra meliputi:

a.

badan usaha milik negara;

b.

badan usaha milik daerah;

c.

badan hukum lainnya; atau

d.

Pihak Lain, kecuali perorangan. (2) Ketentuan mengenai pemilihan mitra KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 59, mutatis mutandis berlaku untuk pemilihan mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (3) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan melalui usulan pemrakarsa. (4) Calon mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat menyusun proposal/ studi kelayakan/ analisis kelayakan bisnis proyek KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (5) Calon mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur yang berstatus pemrakarsa/pemohon KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur, dapat diberikan kompensasi:

a.

tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dalam pemilihan mitra;

b.

hak untuk melakukan penawaran terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses tender; atau

c.

pembelian prakarsa KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur oleh pemenang tender, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya. (6) Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dicantumkan dalam persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 74 (1) Hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur terdiri atas:

a.

penerimaan negara yang harus disetorkan selama jangka waktu KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur; dan

b.

infrastruktur beserta fasilitasnya hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (2) Penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

a.

kontribusi tetap; dan

b.

pembagian keuntungan.

(3)

Ketentuan mengenai kontribusi tetap dan pembagian keuntungan KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 67, mutatis mutandis berlaku untuk kontribusi tetap dan pembagian keuntungan KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (4) Dalam hal mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas, kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (5) Hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian (6) Ketentuan mengenai perjanjian KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 mutatis mutandis berlaku untuk perjanjian KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (7) Mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur menyerahkan Aset hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian paling lambat pada saat perjanjian berakhir. (8) Dalam hal dilakukan perpanjangan KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur setelah jangka waktu berakhir, Aset hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur menjadi objek KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. Paragraf 7 Kerj a Sama Penyediaan Infrastruktur Pasal 75 (1) Kepala Badan Pengusahaan bertindak se bagai penanggung jawab Pemanfaatan Aset sepanjang ditunjuk sebagai PJPK. (2) KSPI dilakukan antara Badan Pengusahaan dan Badan U saha Pelaksana. (3) KSPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (4) Dalam hal yang terpilih menjadi mitra KSPI merupakan badan hukum asing maka badan hukum asing tersebut harus merupakan perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia sebelum ditetapkan sebagai mitra KSPI. (5) Dalam hal badan hukum asing yang terpilih sebagai mitra KSPI tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4):

a.

badan hukum asing tersebut tidak ditetapkan menjadi mitra KSPI; dan

b.

Badan Pengusahaan melakukan pemilihan ulang mitra KSPI. Pasal 76 (1) KSPI dapat dilakukan terhadap BMN untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai infrastruktur. (2) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;

b.

kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau

c.

pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. Pasal 77 (1) Pemilihan mitra KSPI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan U saha dalam penyediaan infrastruktur. (2) Mitra KSPI ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Mitra KSPI yang telah ditetapkan, selama jangka waktu KSPI:

a.

dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau memindahtangankan BMN yang menjadi objek KSPI dan barang hasil KSPI; dan

b.

memelihara objek KSPI dan barang hasil KSPI. (4) Mitra KSPI menyerahkan objek KSPI dan barang hasil KSPI kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian. (5) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam suatu berita acara. (6) Barang hasil KSPI beserta fasilitasnya menjadi BMN pada Badan Pengusahaan sejak tanggal penyerahannya kepada Badan Pengusahaan sebagaimana tercantum dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 78 (1) Hasil dari KSPI terdiri atas:

a.

barang hasil KSPI berupa infrastruktur beserta fasilitasnya yang dibangun oleh mitra KSPI; dan

b.

pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) yang diperoleh dari yang ditentukan pada saat perjanjian dimulai, jika ada. (2) Pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pendapatan Badan Pengusahaan dan wajib disetorkan seluruhnya ke rekening Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan keuntungan pada masing-masing proyek. (3) Pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) dapat ditiadakan atas permohonan dari PJPK. (4) Peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan merupakan proyek yang tercantum dalam:

a.

daftar rencana kerja sama pemerintah dan Badan Usaha;

b.

Peraturan Presiden mengena1 percepatan proyek strategis nasional; dan/atau

c.

dokumen Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). (5) PJPK bertanggungjawab penuh secara formil dan materiil terhadap permohonan peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dituangkan dalam surat pernyataan. (6) Peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap pelaksanaan KSPI yang berjangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 79 (1) Tahapan pelaksanaan KSPI meliputi:

a.

perencanaan KSPI;

b.

penyiapan KSPI; dan

c.

transaksi KSPI. (2) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pasal 80 (1) KSPI dilakukan berdasarkan permohonan secara tertulis dari Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

data dan informasi mengenai:

1.

latar belakang permohonan KSPI;

2.

Aset yang diajukan untuk dilakukan KSPI, antara lain jenis, nilai, kuantitas dan lokasi Aset;

3.

rencana peruntukan KSPI;

4.

jangka waktu KSPI; dan

5.

estimasi besaran pembagian atas kelebihan keuntungan ( _clawback); _ dan b. informasi mengenai PJPK, termasuk dasar penetapan/ penunjukannya. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:

a.

proposal/ pra studi kelayakan (prefeasibility study) proyek kerja sama;

b.

surat rekomendasi kelayakan proyek kerja sama dari kementerian/ lembaga yang membidangi perencanaan pembangunan nasional;

c.

asli surat pernyataan dari Kepala Badan Pengusahaan yang memuat tanggungjawab atas kebenaran rencana pelaksanaan KSPI; dan

d.

asli surat pernyataan tanggung jawab dari Kepala Badan Pengusahaan atas kebenaran data permohonan Pemanfaatan Aset. Paragraf 8 Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur Pasal 81 (1) Ketupi dilakukan dengan tujuan:

a.

optimalisasi BMN;

b.

meningkatkan fungsi operasional BMN; dan

c.

mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur. (2) Penerimaan negara atas Ketupi merupakan pendapatan BLU pada Pengelola Barang yang akan digunakan untuk meningkatkan fungsi operasional infrastruktur sejenis atau pembiayaan penyediaan infrastruktur jenis lainnya yang terdapat dalam daftar proyek infrastruktur prioritas dan/atau proyek strategis nasional. Pasal 82 (1) Pihak yang dapat melaksanakan Ketupi meliputi penanggung jawab Pemanfaatan BMN dan BLU pada Pengelola Barang. (2) Kepala Badan Pengusahaan selaku PJPK merupakan penanggung jawab Pemanfaatan BMN. (3) BLU pada Pengelola Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk atau ditetapkan oleh Pengelola Barang. Pasal 83 (1) Pihak yang dapat menjadi mitra Ketupi meliputi:

a.

badan usaha milik negara;

b.

badan usaha milik daerah;

c.

badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas;

d.

badan hukum asing; atau

e.

koperasi. (2) Pemilihan dan penetapan mitra Ketupi dilakukan oleh Badan Pengusahaan selaku penanggung jawab Pemanfaatan BMN dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. Pasal 84 (1) Objek Ketupi meliputi BMN berupa tanah dan/atau bangunan beserta fasilitasnya pada Badan Pengusahaan. (2) Ketupi dapat dilakukan terhadap BMN untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. (3) Kriteria dan persyaratan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. Pasal 85 Jangka waktu Ketupi paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. Pasal 86 (1) Hasil Ketupi berupa:

a.

pembayaran dana di muka (upfront _payment); _ dan b. aset hasil kerja sama. (2) Hasil Ketupi berupa pembayaran dana di muka (upfront payment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak membatasi hak BLU pada Pengelola Barang untuk memperoleh pembagian kelebihan keuntungan (clawback). (3) Aset hasil Ketupi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi BMN pada Pengelola Barang sejak diserahterimakan oleh mitra Ketupi kepada BLU pada Pengelola Barang. (4) Pengelolaan dan penggunaan hasil Ketupi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 9 Pengelolaan Aset untuk Bandar Udara, Pelabuhan, Sumber Daya Air, dan Limbah Pasal 87 (1) Badan Pengusahaan menyelenggarakan kegiatan:

a.

pengusahaan Bandar Udara Hang Nadim Batam;

b.

pengusahaan pelabuhan laut di Kawasan; dan

c.

pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun di Kawasan. (2) Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengusahaan membentuk:

a.

badan usaha bandar udara, untuk pengusahaan Bandar Udara Hang Nadim Batam;

b.

badan usaha pelabuhan, untuk pengusahaan pelabuhan laut di Kawasan; dan

c.

badan usaha untuk pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun di Kawasan, jika diperlukan. (3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyelenggaraan kegiatan pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan tarif berupa:

a.

tarif jasa kebandarudaraan yang ditetapkan oleh badan usaha bandar udara setelah dikonsultasikan dengan Kepala Badan Pengusahaan dengan berpedoman pada jenis, struktur, golongan, dan mekanisme penetapan tarif jasa kebandarudaraan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; dan

b.

tarif jasa terkait kebandarudaraan yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan, dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing investasi. (5) Penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan tarif berupa:

a.

tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Kepala Badan Pengusahaan dengan berpedoman pada jenis, struktur, golongan, dan mekanisme penetapan tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; dan

b.

tarif jasa terkait kepelabuhanan yang ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing investasi. Pasal 88 (1) Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Badan Pengusahaan dapat melakukan kerja sama dengan:

a.

badan usaha milik negara;

b.

badan usaha milik daerah;

c.

koperasi;

d.

badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas; dan

e.

badan hukum asing. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a.

Pemanfaatan Aset, untuk pengusahaan bandar udara, pelabuhan laut, pengelolaan air limbah; dan

b.

Pemanfaatan dan/atau Penggunaan Aset, untuk pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum. Paragraf 10 Audit Pemanfaatan Aset Pasal 89 (1) Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta auditor independen dan/atau aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit atas pelaksanaan Pemanfaatan. (2) Auditor independen dan/ a tau aparat pengawasan intern pemerintah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan/ audit kepada Kepala Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal berdasarkan laporan hasil pemeriksaan/ audit terdapat hal yang perlu diselesaikan oleh mitra Pemanfaatan, Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan hasil pemeriksaan/ audit terse but kepada mitra Pemanfaatan.

(4)

Mitra Pemanfaatan menindaklanjuti hasil pemeriksaan/ audit yang disampaikan oleh Kepala Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melaporkan tindak lanjut terse but kepada Kepala Badan Pengusahaan. (5) Pelaksanaan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menunda kewajiban mitra Pemanfaatan yang dimuat dalam perjanjian, termasuk pada kewajiban untuk mengembalikan Aset yang menjadi objek Pemanfaatan. Paragraf 11 Laporan atas Pelaksanaan Pemanfaatan Pasal 90 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan atas pelaksanaan Pemanfaatan Aset kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa laporan semesteran. Bagian Ketujuh Pengalokasian Pasal 91 (1) Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pengalokasian tanah ADP untukjangka waktu tertentu. (2) Pengalokasian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan perjanjian antara Kepala Badan Pengusahaan dan pihak penerima alokasi tanah. (3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:

a.

para pihak;

b.

tanah yang dialokasikan;

c.

hak dan kewajiban para pihak;

d.

kewajiban untuk menyerahkan kembali tanah kepada Badan Pengusahaan pada saat masa pengalokasian tanah berakhir atau waktu lainnya yang diperjanjikan; dan

e.

status kepemilikan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya yang berada di atas tanah pada saat masa pengalokasian berakhir. (4) Di atas tanah ADP yang telah berstatus Hak Pengelolaan dan sudah dialokasikan dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (5) Penerima alokasi tanah ADP harus mengembalikan alokasi tanah ADP kepada Badan Pengusahaan pada saat masa pengalokasian tanah berakhir atau sesuai perjanjian.

(6)

Masa pengalokasian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk:

a.

masa perpanjangan pengalokasian tanah; dan/atau

b.

masa perpanjangan atau pembaharuan pemberian hak atas tanah di atas ADP, berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pengembalian alokasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disertai dengan penyerahan bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya yang berada di atas tanah ADP kepada Badan Pengusahaan, kecuali diatur lain dalam perjanjian. (8) Dalam hal penerima alokasi tidak mengembalikan alokasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan/atau penyerahan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Badan Pengusahaan menyampaikan pemberitahuan kepada penerima alokasi untuk mengembalikan alokasi tanah dan menyerahkan bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas tanah ADP paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat diterima. (9) Dalam hal penerima alokasi tidak melakukan pengembalian alokasi tanah ADP dan/atau penyerahan bangunan/ infrastruktur dan / a tau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Badan Pengusahaan dapat:

a.

mencabut alokasi tanah yang diberikan kepada penerima alokasi tanah;

b.

melakukan pembongkaran atas bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan/atau

c.

menetapkan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagai BMN. (10) Terhadap bongkaran dari hasil pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b dapat dilakukan Penggunaan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Kedelapan Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 92 (1) Badan Pengusahaan wajib melakukan pengamanan Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Pengamanan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. (3) Pengamanan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pengasuransian. (4) Pengasuransian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengasuransian BMN. Pasal 93 (1) Aset berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Badan Pengusahaan. (2) BMN berupa bangunan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Badan Pengusahaan. (3) Aset selain tanah dan/atau bangunan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Badan Pengusahaan. Pasal 94 Bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 disimpan secara tertib dan aman oleh Badan Pengusahaan. Pasal 95 (1) Badan Pengusahaan bertanggung jawab atas pemeliharaan Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Dalam hal:

a.

BMN digunakan sementara oleh kementerian/lembaga, pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari kemen terian / lembaga pengguna sementara;

b.

BMN yang digunakan sementara oleh kementerian/lembaga dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu Penggunaan sementara dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Pengusahaan dan kemen terian / lem baga bersangku tan;

c.

BMN yang digunakan bersama oleh kemen terian / lembaga, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu Penggunaan bersama dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Pengusahaan dan kementerian/lembaga bersangkutan;

d.

BMN dioperasikan oleh Pihak Lain, pemeliharaari menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Pihak Lain yang mengoperasionalkan;

e.

BMN dioperasikan oleh Pihak Lain berdasarkan penugasan atau kebijakan pemerintah, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu operasional dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan dan/atau bersama Pihak Lain yang mengoperasikan BMN, sepanjang diatur dalam penugasan yang dituangkan dalam perjanjian dan/atau kebijakan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

f.

Aset dilakukan Pemanfaatan, pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari mitra Pemanfaatan bersangkutan; dan

g.

Aset yang dilakukan Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur, pemeliharaan dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan dan/atau mitra Pemanfaatan sepanjang Aset bersangkutan masih digunakan oleh Badan Pengusahaan untuk mendukung dan/atau menyelenggarakan tugas dan fungsi pemerintahan. Bagian Kesembilan Penilaian Pasal 96 (1) Penilaian BMN dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN dan Penilaian. (2) Penilaian ADP dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. Bagian Kesepuluh Pemindahtanganan Pasal 97 (1) BMN yang tidak lagi diperlukan bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dapat dilakukan Pemindahtanganan. (2) Pemindahtanganan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum. (3) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Pemindahtanganan, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. (4) Pemindahtanganan meliputi:

a.

Penjualan;

b.

Tukar Menukar;

c.

Hibah; atau

d.

penyertaan modal pemerintah pusat. Pasal 98 (1) Pemindahtanganan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (2) Pelaksanaan Pemindahtanganan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 ( satu) bulan setelah selesainya pelaksanaan Pemindahtanganan. Pasal 99 (1) Pemindahtanganan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) berupa:

a.

tanah dan/atau bangunan; dan / a tau b. selain tanah dan/atau bangunan yang memiliki nilai lebih dari Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, apabila:

a.

sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;

b.

harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran berupa daftar isian pelaksanaan anggaran, kerangka acuan kerja, rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga, dan/atau petunjuk operasional kegiatan;

c.

diperuntukkan bagi pegawai negeri;

d.

diperuntukkan bagi kepentingan umum; atau

e.

dikuasai negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. (3) Usul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 100 (1) Pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:

a.

untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai le bih dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Presiden;

b.

untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai sampai dengan Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (2) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 101 ((1) Pemindahtanganan BMN selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan dengan ketentuan:

a.

untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai lebih dari Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

b.

untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai lebih dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Presiden;

c.

untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai sampai dengan Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

(2)

U sul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 102 (1) Usul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), Pasal 100 ayat (2), dan Pasal 101 ayat (2) diajukan oleh Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. (2) Dalam proses memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat meminta penjelasan/klarifikasi/ data tambahan dalam hal diperlukan. Pasal 103 (1) Dikecualikan dari keten tuan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemindahtanganan dalam bentuk Penjualan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap:

a.

BMN berupa selain tanah dan/atau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau

b.

bongkaran karena:

1.

perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); atau

2.

pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemindahtanganan dalam bentuk Hibah dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap:

a.

BMN yang dari awal perolehan dimaksudkan untuk dihibahkan dalam rangka kegiatan pemerintahan;

b.

BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau

c.

bongkaran karena:

1.

perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); a tau 2. pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (3) Pelaksanaan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penjualan dan Hibah. Pasal 104 (1) Penjualan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf a dilakukan secara lelang, kecuali dalam hal tertentu. (2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rrieliputi:

a.

BMN yang bersifat khusus, yaitu:

1.

kendaraan perorangan dinas yang dijual kepada pejabat negara, mantan pejabat negara, pegawai aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, a tau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau perorangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penjualan BMN berupa kendaraan perorangan dinas; atau

2.

BMN lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan Penjualan tanpa melalui lelang;

b.

BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum;

c.

BMN berupa tanah yang merupakan tanah kavling yang menurut perencanaan awal pengadaannya digunakan untuk pembangunan perumahan pegawai negeri sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggaran, antara lain Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL), kerangka acuan kerja, petunjuk operasional kegiatan, atau Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), yang diperuntukkan bagi pegawai negeri;

d.

BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang jika dijual secara lelang dapat merusak tata niaga berdasarkan pertimbangan dari instansi yang berwenang;

e.

BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah Pihak Lain atau pemerintah daerah/ desa yang dijual kepada Pihak Lain atau pemerintah daerah/ desa pemilik tanah tersebut; atau

f.

BMN lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang. Pasal 105 (1) Pemilihan mitra Tukar Menukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf b dilakukan melalui tender. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilihan mitra dapat dilakukan melalui penunjukan langsung terhadap Tukar Menukar:

a.

BMN berupa tanah, atau tanah dan bangunan:

1.

yang dilakukan dengan pemerintah daerah/ desa, pemerintah negara lain, dan/atau Pihak Lain yang mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum;

2.

untuk menyatukannya dalam 1 (satu) lokasi;

3.

untuk menyesuaikan bentuk BMN berupa tanah agar penggunaannya lebih optimal;

4.

untuk melaksanakan rencana strategis pemerintah; atau

5.

guna mendapatkan/memberikan akses jalan;

b.

BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah:

1.

Pihak Lain;

2.

BMN yang diajukan untuk diubah statusnya menjadi ADP; atau

c.

BMN selain tanah dan/atau bangunan yang dilakukan dengan:

1.

pemerintah daerah/ desa; atau

2.

Pihak Lain yang mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum. (3) Penunjukan langsung mitra Tukar Menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 106 (1) Pendapatan yang diperoleh dari Pemindahtanganan merupakan pendapatan negara dan disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum negara. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendapatan dari Pemindahtanganan merupakan pendapatan Badan Pengusahaan yang disetorkan ke rekening Badan Pengusahaan dan dapat dikelola langsung oleh Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PKK-BLU sepanjang BMN diperoleh dari pendanaan yang bersumber dari pendapatan operasional Badan Pengusahaan. (3) Pendapatan dari Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. Bagian Kesebelas Pemusnahan Pasal 107 (1) Pemusnahan dilakukan apabila:

a.

BMN tidak dapat digunakan, tidak dapat dilakukan Pemanfaatan, dan/atau tidak dapat dilakukan Pemindahtanganan; atau

b.

terdapat alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (3) Pelaksanaan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan. (4) Pemusnahan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemusnahan disertai dengan fotokopi berita acara Pemusnahan. Pasal 108 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2), pemusnahan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap BMN berupa:

a.

persediaan;

b.

aset tetap lainnya berupa hewan, ikan dan tanaman;

c.

selain tanah dan/atau bangunan, yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau

d.

bongkaran karena:

1.

perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); a tau 2. pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (2) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemusnahan. Bagian Kedua Belas Penghapusan Pasal 109 (1) Penghapusan pada Badan Pengusahaan meliputi:

a.

Penghapusan dari pembukuan Badan Pengusahaan; dan

b.

Penghapusan dari daftar BMN. (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dalam suatu keputusan, setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (3) Pelaksanaan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan. (4) Penghapusan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penghapusan disertai dengan salinan keputusan Penghapusan dan dokumen terkait lainnya. Pasal 110 (1) Penghapusan dari pembukuan Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal BMN sudah tidak berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan, terjadi Pemusnahan, atau sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan. (2) Penghapusan dari daftar BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal BMN tersebut sudah dilakukan Pemindahtanganan, terjadi pemusnahan, atau karena sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan. Pasal 111 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2), Penghapusan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanJang dilakukan terhadap BMN berupa:

a.

persediaan;

b.

aset tetap lainnya berupa hewan, ikan dan tanaman;

c.

selain tanah dan/atau bangunan, yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan. (2) Pelaksanaan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penghapusan. Bagian Ketiga Belas Penatausahaan Pasal 112 (1) Kepala Badan Pengusahaan melakukan Penatausahaan atas Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Penatausahaan meliputi:

a.

pembukuan;

b.

inventarisasi; dan

c.

pelaporan. (3) Badan Pengusahaan melakukan Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menurut penggolongan dan kodefikasi BMN. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c termasuk pelaporan atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan. (5) Pelaporan atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan setiap bulan kepada Kepala KPKNL dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah dan direktur yang membidangi perumusan kebijakan kekayaan negara pada Direktorat Jenderal.

(6)

Badan Pengusahaan melakukan rekonsiliasi atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset Badan Pengusahaan dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang setiap triwulan. Pasal 113 (1) Badan Pengusahaan menyajikan Aset berupa BMN dalam laporan sebagai:

a.

aset lancar berupa persediaan;

b.

properti investasi;

c.

aset tetap berupa:

1.

tanah dan/atau bangunan; dan/atau

2.

selain tanah dan/atau bangunan;

d.

aset lainnya berupa:

1.

aset kemitraan;

2.

Aset Tidak Berwujud (ATB); dan/atau

3.

aset yang dihentikan penggunaannya. (2) Termasuk dalam aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk BMN yang memenuhi kriteria aset konsesi jasa. (3) Penyajian Aset berupa BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penatausahaan BMN dan akuntansi pemerintahan. Pasal 114 (1) Badan Pengusahaan menyajikan ADP dalam laporan sebagai aset lainnya, kecuali ditentukan lain oleh standar akuntansi pemerintahan. (2) ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan dalam laporan sebesar biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka perolehan dan pengembangan ADP. (3) Biaya perolehan dan pengembangan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk nilai BMN pada saat diubah statusnya menjadi ADP. (4) Penyajian ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang akuntansi pemerintahan. Bagian Keempat Belas Pengawasan dan Pengendalian Pasal 115 (1) Pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Aset dilakukan oleh:

a.

Menteri Keuangan; dan/atau

b.

Kepala Badan Pengusahaan. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan terhadap:

a.

perencanaan kebutuhan dan penganggaran;

b.

pengadaan;

c.

Penggunaan;

d.

Perubahan Status Aset;

e.

Pemanfaatan;

f.

pengamanan dan pemeliharaan;

g.

Penilaian;

h.

Pemindahtanganan;

1.

Pemusnahan; J. Penghapusan; dan

k.

Penatausahaan. (3) Kepala Badan Pengusahaan melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan ADP. Pasal 116 Ketentuan mengenai Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran, Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, Penghapusan, Penatausahaan, dan pengawasan dan pengendalian yang belum diatur dalam Peraturan Menteri m1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 117 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a.

BMN berupa tanah yang telah diubah statusnya menjadi ADP sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, harus dimintakan reviu dari aparat pengawasan intern pemerintah untuk kemudian diterbitkan keputusan Perubahan Status Aset sebagai ADP oleh Kepala Badan Pengusahaan;

b.

permohonan Pemanfaatan berupa KSPI yang telah diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan belum mendapat persetujuan Menteri Keuangan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini;

c.

persetujuan Pemanfaatan yang telah diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku;

d.

persetujuan Pemanfaatan yang telah diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan belum dilaksanakan, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Peraturan Men teri ini;

e.

permohonan Pemanfaatan yang telah diajukan tetapi belum memperoleh persetujuan Kepala Badan Pengusahaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini;

f.

persetujuan pengelolaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf e yang telah diterbitkan oleh Menteri Keuangan, dinyatakan tetap berlaku;

g.

permohonan persetujuan pengelolaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf e yang telah diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan dan belum memperoleh persetujuan Menteri Keuangan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan

h.

kerja sama pengelolaan Aset yang sedang berlangsung berdasarkan persetujuan atau keputusan Kepala Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan tetap berlaku. BABV KETENTUAN PENUTUP Pasal 118 ADP yang belum ditetapkan statusnya oleh Kepala Badan Pengusahaan harus sudah ditetapkan statusnya paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini. Pasal 119 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 550), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 120 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Thumbnail
Tidak Berlaku
BIDANG ANGGARAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
16/PMK.02/2021

Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Harga Jual E ...

  • Ditetapkan: 08 Feb 2021
  • Diundangkan: 09 Feb 2021

Relevan terhadap 2 lainnya

Pasal 11Tutup
(1)

Dalam rangka pengajuan usulan penggunaan anggaran Dana Kompensasi Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, KPA BUN Dana Kompensasi menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara dengan dilampiri dokumen pendukung sebagai berikut:

a.

kerangka acuan kerja;

b.

rincian anggaran belanja yang memuat jumlah Dana Kompensasi Listrik yang akan dibayarkan;

c.

surat pernyataan bahwa telah dilakukan penelitian kelengkapan dokumen pendukung;

d.

Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan/atau Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk periode semester pertama tahun anggaran berjalan;

e.

surat Menteri Keuangan mengenai kebijakan Dana Kompensasi; dan

f.

hasil reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Keuangan.

(2)

Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disusun dan ditandatangani oleh KPA BUN Dana Kompensasi.

Pasal 9Tutup
(1)

Dalam hal Pemerintah tidak melaksanakan kebijakan penyesuaian tarif tenaga listrik non subsidi berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai tarif tenaga listrik, Kementerian Keuangan dapat meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan melakukan perhitungan Dana Kompensasi Listrik.

(2)

Perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling cepat setelah semester pertama tahun anggaran berjalan.

(3)

Hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan.

(4)

Berdasarkan hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri Keuangan menetapkan kebijakan Dana Kompensasi Listrik setelah berkoordinasi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Badan Usaha Milik Negara.

(5)

Kebijakan Dana Kompensasi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam surat Menteri Keuangan.

(6)

Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar alokasi Dana Kompensasi dalam BA 999.08.

Pasal 10Tutup
(1)

Dalam rangka pengajuan usulan penggunaan anggaran Dana Kompensasi BBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, KPA BUN Dana Kompensasi menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara dengan dilampiri dokumen pendukung sebagai berikut:

a.

kerangka acuan kerja;

b.

rincian anggaran belanja yang memuat jumlah Dana Kompensasi BBM yang akan dibayarkan;

c.

surat pernyataan bahwa telah dilakukan penelitian kelengkapan dokumen pendukung;

d.

Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;

e.

surat Menteri Keuangan mengenai kebijakan Dana Kompensasi; dan

f.

hasil reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Keuangan.

(2)

Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disusun dan ditandatangani oleh KPA BUN Dana Kompensasi.

Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN
76/PMK.07/2022

Pengelolaan Penerimaan dalam Rangka Otonomi Khusus

  • Ditetapkan: 18 Apr 2022
  • Diundangkan: 18 Apr 2022

Relevan terhadap 1 lainnya

Pasal 47Tutup
(1)

Kementerian Keuangan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran bagian anggaran bendahara umum negara.

(2)

Kementerian Keuangan menyampaikan laporan hasil pengawasan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua kepada Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.

(3)

Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Pasal 57Tutup
(1)

Kementerian Keuangan melakukan pembinaan terhadap pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Aceh pada aspek penyelenggaraan bidang keuangan.

(2)

Aspek penyelenggaran bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, penganggaran, pengalokasian, pelaksanaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan evaluasi penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Aceh.

(3)

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:

a.

Kepala Daerah;

b.

perangkat Daerah pelaksana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Aceh; dan

c.

APIP Daerah provinsi/kabupaten/kota.

(4)

Bentuk pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam antara lain:

a.

internship dan secondment ;

b.

pendidikan, pelatihan, dan bimbingan teknis berbasis kurikulum;

c.

diskusi kelompok terpadu;

d.

asistensi dan konsultasi; dan/atau

e.

penelitian dan pengembangan.

(5)

Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, dan/atau kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah Provinsi Aceh selaku instansi vertikal.

(6)

Kementerian Keuangan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Aceh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran bagian anggaran bendahara umum negara.

Pasal 41Tutup
(1)

Pemerintah Daerah di Provinsi Papua wajib menyusun laporan tahunan atas pelaksanaan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus untuk disampaikan kepada Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua, DPRP/DPRK, MRP, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, dan Pemerintah Daerah provinsi.

(2)

Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat uraian:

a.

rencana anggaran dan Program;

b.

sumber daya manusia;

c.

realisasi anggaran dan capaian Keluaran;

d.

realisasi dan capaian Keluaran SiLPA yang berasal dari penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

e.

kendala pelaksanaan dan tindak lanjut penyelesaian;

f.

foto dan lokus Kegiatan fisik strategis dan prioritas; dan g. usulan perbaikan tata kelola.

(3)

Rincian uraian laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a.

uraian rencana anggaran dan Program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat:

1.

nominal rupiah serta Keluaran per satuan unit yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

2.

rincian per jenis belanja seperti belanja pegawai, belanja jasa, dan belanja modal yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan

3.

rincian per klasifikasi belanja seperti belanja pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, infrastruktur, operasional pemerintahan, bantuan sosial/keagamaan, bantuan untuk kelembagaan, dan bantuan untuk masyarakat adat yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

b.

uraian sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b untuk Provinsi Papua memuat informasi sumber daya manusia pengelola penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus paling sedikit mengenai sumber daya manusia berdasarkan OAP dan non-OAP, gender, asal perangkat Daerah, dan tingkat pendidikan;

c.

realisasi anggaran dan capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c memuat:

1.

nominal rupiah serta Keluaran per satuan unit yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

2.

rincian per jenis belanja seperti belanja pegawai, belanja jasa, dan belanja modal yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan

3.

rincian rencana anggaran dan Program per klasifikasi belanja seperti belanja pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, infrastruktur, operasional pemerintahan, bantuan sosial/keagamaan, bantuan untuk kelembagaan, dan bantuan untuk masyarakat adat yang bersumber dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

d.

realisasi anggaran dan capaian Keluaran SiLPA yang berasal dari penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan realisasi dan capaian keluaran SiLPA sampai dengan tahun anggaran sebelumnya;

e.

kendala pelaksanaan dan tindak lanjut penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e merupakan kendala dari masing-masing pelaksanaan jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dan tindak lanjut penyelesaian;

f.

foto pelaksanaan Kegiatan fisik maupun non fisik yang bersifat strategis dan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f merupakan foto pelaksanaan Kegiatan fisik maupun non fisik yang bersifat strategis dan prioritas dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua;

g.

lokus Kegiatan fisik strategis dan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f merupakan titik koordinat pelaksanaan kegiatan fisik dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan

h.

usulan perbaikan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g merupakan usulan perbaikan tata kelola dari masing-masing jenis dana penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.

(4)

Realisasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d merupakan nilai realisasi yang telah direviu oleh APIP Daerah atau lembaga Pemerintah yang berwenang melaksanakan pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)

Capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d merupakan nilai capaian Keluaran yang telah direviu oleh APIP Daerah atau lembaga Pemerintah yang berwenang melaksanakan pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dikonfirmasi oleh Kementerian Keuangan c.q. kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah Provinsi Papua selaku instansi vertikal.

(6)

Capaian Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan capaian Keluaran pelaksanaan Program dan Kegiatan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.

(7)

Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah/Sekretaris Daerah.

(8)

Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lama minggu kedua bulan Maret setelah tahun anggaran berakhir.

(9)

Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan melalui sistem informasi terintegrasi.

(10)

Dalam hal muatan uraian laporan tahunan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), laporan tahunan belum dapat memenuhi syarat salur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a.

(11)

Penyampaian laporan tahunan atas pelaksanaan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus kepada Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah Provinsi Papua selaku instansi vertikal.

  • 1
  • ...
  • 17
  • 18
  • 19
  • ...
  • 64