Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Angga ...
Relevan terhadap
Dalam rangka pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN, Pengguna Anggaran BUN menetapkan PPA BUN.
PPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko sebagai:
PPA BUN Pengelolaan Utang (Bagian Anggaran 999.01);
PPA BUN Pengelolaan Hibah (Bagian Anggaran 999.02); dan
PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99), antara lain untuk pengeluaran keperluan pembayaran kontribusi fiskal pemerintah dalam bentuk dukungan kelayakan, dan fasilitas penyiapan proyek ( _project development facility); _ b. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai:
PPA BUN Pengelolaan Hibah Daerah yang Bersumber dari Penerimaan Dalam Negeri (Bagian Anggaran 999.02); dan
PPA BUN Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Bagian Anggaran 999.05);
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sebagai:
PPA BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah (Bagian Anggaran 999.03); dan
PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99), antara lain untuk aset Pemerintah yang dikelola oleh pengelola barang, dan pembiayaan anggaran dana antisipasi untuk Lapindo Brantas Inc./ PT Minarak Lapindo Jaya;
Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai:
PPA BUN Pengelolaan Penerusan Pinjaman (Bagian Anggaran 999.04); dan
PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99), antara lain untuk pengelolaan pembayaran, belanja jaminan sosial, belanja selisih harga pembelian beras oleh Pemerintah kepada Bulog, perhitungan fihak ketiga, serta pendapatan dan belanja yang terkait dengan pengelolaan kas negara;
Direktorat Jenderal Anggaran sebagai:
PPA BUN Pengelolaan Belanja Subsidi (Bagian Anggaran 999.07);
PPA BUN Pengelolaan Belanja Lainnya (Bagian Anggaran 999.08); dan
PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99), antara lain untuk pengelolaan penerimaan negara bukan pajak terkait pendapatan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi; dan
Badan Kebijakan Fiskal sebagai PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99), antara lain untuk pengeluaran keperluan hubungan internasional.
Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Liquefied Petroleum Gas (Lpg) Tabung 3 Kilogram. ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Liquefied Petroleum Gas yang selanjutnya disingkat LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya.
LPG Tabung 3 Kilogram yang selanjutnya disebut LPG Tabung 3 Kg adalah LPG yang diisikan ke dalam tabung dengan berat isi 3 Kilogram.
Harga Patokan adalah harga yang didasarkan pada harga indeks pasar LPG yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah biaya distribusi termasuk handling dan margin usaha yang wajar.
Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mendapat penugasan dari Pemerintah untuk melaksanakan kegiatan penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Konsumen LPG Tabung 3 Kg adalah rumah tangga, usaha mikro, dan kapal perikanan bagi nelayan kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara baik di kantor pusat maupun daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA.
Tata Cara Penghapusan dan Pemindahtanganan Aset Tetap pada Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Perusahaan Perseroan (Persero) yang selanjutnya disebut Persero adalah Badan U saha Milik Negara yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengeJar keun tungan.
Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
Menteri adalah Menteri Keuangan selaku RUPS pada Persero dengan memperhatikan peraturan perundang undangan.
Direktur Jenderal adalah p1mpman unit organ1sas1 eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi tugas melaksanakan pengelolaan investasi pemerintah dan kekayaan Negara dipisahkan yang diberikan kuasa oleh Menteri selaku RUPS.
Dewan Ko mi saris adalah organ Persero yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasihat kepada Direksi.
Direksi adalah organ Persero yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan Persero, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Persero.
Aset Tetap adalah aset berwujud milik Persero yang digunakan dalam kegiatan operasi tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal Persero, dan memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Penghapusan adalah tindakan menghapus Aset Tetap dari pembukuan atau neraca Persero.
Pemindah tanganan adalah pengalihan kepemilikan Aset Tetap kepada pihak lain.
Penjualan adalah setiap tindakan Pemindahtanganan Aset Tetap dengan menerima penggantian dalam bentuk uang.
Tukar-menukar adalah setiap tindakan Pemindah tanganan A set Tetap dengan menenma penggantian utama/ pokok dalam bentuk barang yang bernilai seimbang. Ganti Rugi adalah setiap tindakan Pemindahtanganan Aset Tetap dengan menerima penggantian dalam bentuk uang dan/atau barang.
Penawaran Umum adalah Penjualan Aset Tetap yang ditawarkan secara terbuka kepada masyarakat dan/atau badan hukum sebagai calon pembeli.
Pemilihan Langsung adalah pemilihan mitra melalui pemilihan kepada beberapa pihak terbatas paling kurang 3 (tiga) calon mitra potensial.
Penunjukan Langsung adalah Penjualan Aset Tetap yang dilakukan secara langsung kepada 1 ( satu) calon pembeli.
Balai Lelang adalah badan hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang.
Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh Pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini atas suatu objek penilaian berupa Aset Tetap Persero pada saat tertentu.
Penilai Pemerin tah di Lingkungan Direktorat J enderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Penilai Direktorat Jenderal adalah Penilai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang diangkat oleh kuasa Menteri Keuangan yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen.
Penilai Publik adalah Penilai yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan Aset Tetap atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian.
Pengujian Formil dan Pengujian Materiil Lampiran UU 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Perpu 1/2020 Menjadi Undang-Undang [Ps 1, Ps 2 ayat (1) huruf ...
Relevan terhadap
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana” Bahkan, dalam konteks hukum pidana, sekalipun suatu perbuatan tidak memenuhi ketentuan yang menjadi dasar penghapus pidana dalam Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) tersebut diatas, masih terdapat doktrin mens rea untuk menilai apakah terdapat unsur kesalahan dalam diri seseorang sebagai dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Kemudian, dalam konteks tindak pidana korupsi, juga terdapat doktrin perbuatan melawan hukum materil negatif untuk menilai apakah suatu perbuatan bersifat melawan hukum atau tidak. Kedua doktrin tersebut berkaitan erat dengan unsur “itikad baik” dalam Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2020. Mengenai doktrin Mens Rea Unsur kesalahan merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Salah satu doktrin untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada diri seseorang adalah doktrin Mens Rea dalam. Doktrin ini berasal dari hukum pidana Inggris yang lengkapnya berbunyi “actus non facit reum, nisi mens sit rea” yang artinya adalah suatu perbuatan tidak dapat membuat orang menjadi bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat. Mengenai masalah niat jahat, meskipun sulit untuk diukur, akan tetapi unsur ini dapat dideteksi dari sikap batin atau disimpulkan dari perbuatan seseorang. Penerapan doktrin Mens Rea dalam menentukan kesalahan banyak diterapkan dalam perkara mengenai tindak pidana perbankan. Salah satu contoh penerapan doktrin mens rea dapat dilihat dalam Putusan Nomor 1651 K/Pid.Sus/2015. Dalam perkara terkait rahasia bank ini, terdakwa dibebaskan dari dakwaan melanggar ketentuan mengenai rahasia bank karena perbuatan terdakwa dilakukan dengan itikad baik dan justru bertujuan untuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap bank. Kaidah hukum yang sama juga terkandung dalam Putusan Nomor 3/Pid.Sus/2019/PN.Mrs. Dalam perkara 307 tersebut terdakwa dibebaskan karena Majelis Hakim berpandangan bahwa meskipun perbuatan terdakwa secara tekstual dapat dipandang sebagai pelanggaran atas ketentuan pidana mengenai rahasia bank, akan tetapi karena perbuatan tersebut dilakukan dengan itikad baik, maka unsur kesalahan atas perbuatan tersebut dianggap tidak terpenuhi. Penerapan doktrin Mens Rea diatas merupakan contoh bahwa unsur itikad baik memegang peranan penting dalam terpenuhinya suatu pertanggungjawaban pidana. Apabila suatu perbuatan dilakukan dengan itikad baik, maka tidak terdapat kesalahan dalam perbuatan tersebut. Apabila tidak ada unsur kesalahan, maka tidak ada pula pertanggungjawaban pidana. Mengenai perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi negatif Unsur melawan hukum merupakan unsur yang pasti terkandung dalam suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi. Pengertian dari unsur melawan hukum pada dasarnya adalah berupa tindakan yang bertentangan dengan hukum objektif, bertentangan dengan hak subyektif orang lain, tanpa hak dan bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku Dalam memahami unsur melawan hukum, perlu pula diperhatikan ajaran perbuatan melawan hukum formil dan materiil. Dalam ajaran melawan hukum formil, suatu perbuatan dianggap melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah melanggar ketentuan undang-undang atau hukum tertulis. Sebaliknya, dalam ajaran melawan hukum materiil, suatu perbuatan dapat bersifat melawan hukum karena bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Ajaran melawan hukum materiil juga memiliki fungsi negatif, dalam artian mengecualikan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dikategorikan perbuatan melawan hukum. Ajaran sifat melawan hukum materil, dalam fungsi negatif dapat ditemukan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 42/K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi, diikuti dengan putusan MA Nomor 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Nomor 81/K/Kr/1973, yang pada pokoknya menggariskan bahwa terdapat tiga sifat yang menghilangkan unsur melawan hukum atau sebagai alasan penghapus pidana yaitu apabila negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung. 308 Dalam kaitannya dengan perkara uji materi ini, dapat dilihat bahwa jangankan suatu perbuatan dilakukan dalam rangka menjalankan tugas dan dengan itikad baik, perbuatan yang jelas-jelas bertentangan dengan aturan yang berlaku saja masih dapat dihilangkan sifat melawan hukumnya sepanjang perbuatan tersebut mengandung tiga sifat berupa tidak dirugikannya negara, terlayaninya kepentingan umum, dan tidak adanya keuntungan yang diterima oleh si pelaku. Selain itu, ketentuan yang memuat perlindungan atas tuntutan perdata atau pidana terhadap pembuat kebijakan juga telah diatur di berbagai ketentuan perundang-undangan sebagai berikut: Undang-Undang Bunyi Pasal Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 45 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau Pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik. Pasal 10 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan. Pasal 22 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam 309 melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan b) Imunitas yang diberikan pada pembuat keputusan tidak serta merta melanggar prinsip equality before the law . para pemohon dalam permohonannya juga mendalilkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) bertentangan dengan prinsip kesetaraan dimuka hukum atau Equality Before the Law . Pandangan para pemohon ini juga merupakan alasan yang tidak tepat. Dalam ilmu hukum dan hak asasi manusia, prinsip Equality before the law, yang mengakui bahwa kesetaraan tidak berarti harus selalu ada perlakuan yang sama di setiap saat. Dalam Pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan komentar umum nomor 18 Kovenan Hak Sipil Politik terkait pengertian mengenai kesetaraan dan diskriminasi, dapat dipahami bahwa pengertian kesetaraan juga mencakup pemahaman bahwa tidak semua tindakan pembedaan antara orang ataupun sekelompok orang dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi sepanjang pembedaan tersebut didasarkan pada alasan yang rasional dan objektif serta tujuan yang dibenarkan. Bahwa yang dimaksud dengan alasan yang rasional adalah alasan yang pantas ( Proper ), biasa ( Usual ), dan adil ( Fair ), dengan tolak ukur didasarkan pada perlakuan terhadap orang lain dalam kondisi yang sama dan maksud dari alasan yang objektif yaitu berdasarkan kondisi aktual, tidak memihak (impartial), tidak subyektif (Non-Subyektif), tidak ada kepentingan (uninterested) dan tidak ada pengaruh ( uninfluenced ) serta sesuai dengan tujuan yang dibenarkan yaitu berupaya untuk mengusahakan adanya penikmatan hak asasi manusia yang sama bagi semua orang. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dalam menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan dimuka hukum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 standar yang perlu diperhatikan adalah apakah ketentuan yang dianggap membedakan perlakuan tersebut telah memenuhi standar rasional dan objektif. Dalam perkara ini, untuk mengukur apakah telah terpenuhi standar rasional dan objektif dapat dilihat 310 dari fakta-fakta yang melatarbelakangi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 2020. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 pada dasarnya diterbitkan sebagai respons untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam kondisi pandemi Covid-19. Kondisi pandemi yang melanda seluruh belahan dunia tersebut tentu juga memberi dampak ekonomi, termasuk kepada Indonesia, yang mengakibatkan timbulnya kebutuhan untuk melakukan serangkaian kebijakan yang diperlukan guna mencegah terjadinya dampak buruk pada sistem perekonomian. Kebijakan yang diperlukan tersebut bukan tidak mungkin dipandang sebagai tindakan yang tidak lazim dalam kondisi normal. Akan tetapi, berdasarkan pertimbangan tertentu dari si pembuat kebijakan, kebijakan yang mungkin dalam kondisi normal dianggap tidak lazim tersebut ternyata sangat dibutuhkan untuk mencegah dampak buruk pada perekonomian dalam situasi pandemi yang tidak menentu. Oleh karena itu, untuk menjaga independensi dan professionalisme pembuat kebijakan, mencegah keragu-raguan dan ketakutan yang berlebihan akan konsekuensi hukum yang mungkin timbul dikemudian hari apabila diambil suatu kebijakan yang mungkin saja tidak populer bagi sebagian kalangan, dan tentunya untuk melindungi kepentingan umum, maka diperlukan jaminan perlindungan bahwa kebijakan yang diambil tersebut tidak dapat dituntut baik secara perdata ataupun pidana. Kewenangan tanpa batas memang bukanlah solusi untuk mengatasi suatu permasalahan. Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) juga memuat pembatasan bahwa kebijakan yang diambil harus dalam rangka menjalankan tugas dan dilakukan dengan itikad baik. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa alasan- alasan yang mendasari ketentuan Pasal 27 ayat (2) telah memenuhi standar rasional dan objektif dan oleh karenanya ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip persamaan dimuka hukum. Dampak Positif Kebijakan Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2020 Dampak Positif kombinasi kebijakan yang dilakukan berbagai instansi yang tergabung dalam KSSK telah menunjukkan dampak positif sebagai berikut: 311 a. Pemulihan Kondisi Makroprudensial Sejalan dengan perbaikan pada perekonomian global, perekonomian domestik juga mulai membaik, Hal ini tercermin dari Lapangan Usaha Informasi dan Komunikasi, Kesehatan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kehutanan dan Perikanan yang mengalami pertumbuhan positif. Selain itu, stabilitas eksternal perekonomian Indonesia tetap terjaga. Nilai tukar rupiahpun menunjukkan perbaikan, karena peningkatan Transaksi Modal dan Finansial pada Neraca Pembayaran Indonesia pada triwulan ke 4 tahun 2020. Stabilitas Sistem Keuangan tetap terjaga di tengah perbaikan pertumbuhan ekonomi semester 2 Tahun 2020. Likuiditas Perbankan melimpah dan terus bertambah sepanjang tahun 2020. Selain itu, bank masih mengalami keuntungan walaupun menurun dan pembiayaan ekonomi tumbuh melambat pada semester2 tahun 2020.
Ketahanan Sistem Keuangan tetap terjaga Ketahanan yang membaik terlihat pada tekanan di Pasar Keuangan Domestik berlanjut turun, Kinerja dan ketahanan Rumah Tangga dan Korporasi membaik, Ketahanan Perbankan dan Institusi Keuangan NonBank (IKNB) masih kuat dan baik. Tidak ada bank dan IKNB yang gagal pada masa Pandemi Covid-19. Sistem Pembayaran baik tunai dan non tunai tetap berlangsung dengan cepat, aman dan efisien. Restrukturisasi kredit juga tetap berjalan dengan baik, likuiditas bank masih cukup baik dan suku bunga kredit cenderung turun dengan turunnya suku bunga penjaminan simpanan dan membaiknya penangnan Pandemi Covid-19 oleh Pemerintah. Sampai saat ini, tantangan yang masih ada dalam proses pemulihan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan adalah bagaimana memulihkan fungsi intermediasi perbankan dan bagaimana mengawal kualitas kredit yang baik dengan program restrukturiasi dan setelah program restrukturisasi. Penutup Sebagai penutup, kembali perlu ditekankan bahwa memang diperlukan upaya- upaya yang tidak biasa dalam menghadapi situasi yang tidak biasa, seperti Pandemi Covid-19. Kebijakan yang tertuang dalam POJK Nomor 18 Tahun 2020 tersebut adalah salah satu contoh dari upaya tidak biasa yang dilakukan untuk menghadapi situasi yang tidak biasa. 312 Tujuan dari kebijakan tersebut semata-mata adalah untuk menjaga sistem perekonomian, khususnya ketahanan Sistem Keuangan terutama Lembaga Jasa Keuangan Bank, yang sangat rentan mengalami permasalahan keuangan sebagai akibat dari situasi pandemik. Untuk itu, selain dari perlunya memberi payung hukum atas kebijakan-kebijakan yang tidak biasa tersebut, perlu adanya kepastian hukum dan juga diperlukan perlindungan hukum yang jelas atas keputusan yang diambil oleh pemangku kebijkan guna melindungi independensi dan profesionalitas si pembuat kebijakan dan membantu pembuat kebijakan membuat keputusan yang tepat. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Juni 2021, yang pada pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan dan risalah persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009). Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama 313 dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 314 b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 1 ayat (3) huruf b, Pasal 1 ayat (5), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 9, Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1, Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 3, Pasal 20 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1),ayat 315 (2) dan ayat (3), Pasal 23A, Pasal 23D, Pasal 23E ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang rumusannya masing-masing sebagai berikut: Pasal 1 ayat (3) huruf b Lampiran UU 2/2020 Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: (a).... (b) Menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 1 ayat (5) Lampiran UU 2/2020 Kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 2 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Bad an Layanan Umum; dan/atau
dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2OI9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan; 316 i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocusssing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Pasal 3 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocusing ), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d Lampiran UU 2/2020 Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi: (a) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap; (d) Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka:
Penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
Menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 Program sebagaimana dimaksud pada ayaty (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah- langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-10) dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5). 317 Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk: (a)..... (c) Membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Begara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU 2/2020 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c di pasar perdana yang diperuntukan sebagai sumber pendanaan bagi Pemerintah.
Sumber pendanaan bagi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberikan pinjaman dan penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan, serta pendanaan untuk restrukturisasi perbankan pada saat krisis. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1, huruf b angka 3 dan huruf c Lampiran UU 2/2020 Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penangan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Lembaha Penjamin Simpanan diberikan kewenangan untuk: (b) Melakukan tindakan:
Penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia 3. Pinjaman kepada pihak lain; (c) Melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagak dengan mempertimbangan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penangan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penangan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ); Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 Untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318 16 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan likuiditas yang membayakan perekonomian dan sistem keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) Pasal 26 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Ototitas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tajhim dan pidana denda paling sedikit Rp. 10.000.000.000.00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) Pasal 27 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang diwakili kedaulatannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan menyatakan dirinya tergabung dalam Aktifis Pro Demokrasi (ProDEM). Para Pemohon beranggapan dirugikan hak konstitusionalnya dalam hal mendapatkan pertanggungjawaban pemerintah terkait dengan penggunaan anggaran dalam penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana peraturan perundang-undangan menjadi terhalangi dengan berlakunya norma a quo . Menurut para Pemohon, norma a quo justru 319 berpotensi meniadakan tanggung jawab pemerintah apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaan anggaran penanganan pandemi Covid-19; Berdasarkan uraian perihal kedudukan hukum para Pemohon di atas dikaitkan dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK, serta Putusan Mahkamah sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut Mahkamah, Para Pemohon telah menguraikan secara jelas kedudukannya masing-masing dan juga menerangkan perihal hilangnya hak konstitusional Para Pemohon dalam hal mendapatkan pertanggung jawaban pemerintah terkait dengan penggunaan anggaran dalam penanganan pandemi Covid-19. Dengan demikian, telah jelas adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara anggapan Para Pemohon tentang kerugian hak konstitusionalnya dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, sehingga jika permohonan Para Pemohon dikabulkan, kerugian demikian tidak akan terjadi. Oleh karena itu terlepas dari dikabulkan atau tidaknya permohonan a quo , menurut Mahkamah, Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal- hal sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa permohonan para Pemohon a quo diajukan ke Mahkamah Konstitusi ketika penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization/WHO ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, semakin menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian materiil yang semakin besar yang berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat (vide konsideran “Menimbang” UU 2/2020). Berkenaan dengan pandemi Covid-19 ini pula Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional (Keppres 12/2020). Artinya, berdasarkan Keppres a quo Presiden menyatakan bencana non alam yang diakibatkan oleh Covid-19 sebagai bencana nasional. Oleh karena itu, dalam kondisi masyarakat yang tengah menghadapi ancaman Pandemi Covid-19 yang penyebarannya relatif cepat dengan 320 tingkat fatalitas yang tinggi maka tindakan pencegahan penyebaran penting untuk dilakukan oleh semua pihak. [3.6.2] Bahwa dalam upaya melakukan pencegahan penyebaran Covid-19 di atas dan sejalan dengan kepatuhan atas Protokol Kesehatan (Prokes) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana yang juga ditetapkan oleh WHO maka harus dihindari terjadinya kerumunan dengan cara salah satunya menjaga jarak atau melakukan pembatasan fisik ( physical distancing). Oleh karena itu, __ guna mencegah kerumunan dalam persidangan yang dapat berakibat pada penyebaran dan/atau penularan virus tersebut, maka sesuai dengan Prokes harus ada pembatasan kegiatan yang menyebabkan terjadinya kerumunan sehingga berakibat penyebaran virus Covid-19. Dalam kaitan ini, Mahkamah telah memutuskan mengenai penyelenggaraan seluruh persidangan di Mahkamah Konstitusi dilakukan secara online atau dalam jaringan (daring) pada Rapat Permusyawatan Hakim tanggal 10 September 2020. Perihal persidangan secara daring tersebut Mahkamah telah memberitahukan kepada semua pihak, termasuk para Pemohon melalui surat undangan untuk menghadiri persidangan secara daring. Bahkan, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) telah ditentukan tata cara persidangan secara online (daring ). [3.6.3] Bahwa para Pemohon melalui surat yang bertanggal 8 Oktober 2020 dan 21 Oktober 2020, yang pada pokoknya menyatakan keberatan untuk menghadiri persidangan perkara a quo secara daring. Terhadap surat keberatan para Pemohon tersebut, Mahkamah telah menjelaskan dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2020 perihal Mahkamah telah memutuskan seluruh persidangan dilakukan secara daring __ termasuk perkara a quo yang pemeriksaannya digabungkan dengan permohonan pengujian UU 2/2020 lainnya sejumlah 7 (tujuh) perkara. Dengan demikian, para Pemohon seharusnya menaati keputusan Mahkamah terkait pelaksanaan persidangan secara daring dimaksud sesuai dengan Protokol Kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah untuk mencegah tingkat penyebaran Covid-19. Sebab, pada dasarnya persidangan melalui daring tidak mengurangi hak-hak para Pemohon dalam membuktikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan konstitusionalnya. Terlebih lagi, Pemohon pada perkara lain, tidak keberatan dengan penyelenggaraan persidangan secara daring. Namun demikian, para 321 Pemohon tetap bersikeras untuk hadir secara offline atau luar jaringan (luring) pada setiap persidangan yang kehadirannya tersebut ditolak oleh Mahkamah sehingga para Pemohon dianggap tidak hadir. Hal ini didukung pula dengan ketidakhadiran para Pemohon pada setiap persidangan perkara a quo. [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan fakta dan hukum di atas , menurut Mahkamah, para Pemohon tidak pernah mengindahkan perintah Mahkamah untuk hadir secara sah dalam persidangan yang ditetapkan Mahkamah secara daring. Oleh karena itu, menurut Mahkamah para Pemohon tidak pernah menghadiri persidangan dan hal demikian merupakan bentuk ketidaktaatan terhadap perintah Mahkamah tentang tatacara penyelenggaran persidangan dalam masa pandemi Covid-19 secara daring; [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, oleh karena para Pemohon tidak taat terhadap penyelenggaraan persidangan secara daring, maka terhadap pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Para Pemohon tidak menaati tata cara penyelenggaran persidangan dalam masa pandemi Covid-19 secara daring; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik 322 Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua belas, bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh satu dan pada hari Rabu, tanggal tiga belas, bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh satu yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh delapan , bulan Oktober, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 11.21 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti, tanpa dihadiri oleh para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Wahiduddin Adams 323 ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Dian Chusnul Chatimah
UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan. kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara “Kerugian Negara/ Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Dari ketentuan-ketentuan dalam UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara tersebut, terkait “kerugian negara” selalu diikuti dengan frasa “secara melawan hukum atau sebagai akibat perbuatan melawan hukum”. Frasa tersebut mengandung pengertian bahwa “kerugian negara” dikategorikan sebagai melanggar UU Tipikor dan melanggar UU Perbendaharaan Negara hanya apabila ada unsur perbuatan/tindakan yang melawan hukum. Jadi unsur perbuatan/tindakan yang melawan hukum merupakan unsur yang harus ada apabila kerugian negara tersebut dikualifikasi sebagai Tipikor. Artinya, tidak semuanya “kerugian negara” dinyatakan sebagai Tipikor, bisa jadi hanya merupakan pelanggaran administratif yang seharusnya bisa ditempuhnya penyelesaian melalui jalur administrasi untuk pemulihan kerugian negara tersebut. Dari pasal-pasal tersebut, dipahami pula bahwa perbuatan “merugikan keuangan negara” haruslah merupakan implikasi dari perbuatan melawan hukum yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi serta penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Artinya, pasal ini tidak menutup kemungkinan adanya suatu tuntutan hukum jika perbuatan melawan hukum dapat dibuktikan. Terkait kerugian negara juga ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, “UU LPS merupakan undang-undang yang memerintahkan kepada LPS untuk menjual aset Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik sehingga apabila hal itu dilakukan meskipun dengan harga yang tidak optimal tidak dapat digolongkan 296 merugikan keuangan negara.” Lebih lanjut, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan menyatakan, “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tidak semua kerugian atau selisih kurang secara otomatis dikualifikasi sebagai kerugian negara sebagaimana kerugian negara yang dimaksud dalam UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara. Selama biaya-biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka biaya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara dan tidak dapat menjadi unsur tindak pidana korupsi. Namun sebaliknya, ketika biaya untuk melaksanakan berbagai kebijakan tersebut dilakukan secara melawan hukum, terdapat unsur objektif (actus reus) yaitu ada perbuatan yang secara nyata dan pasti jumlahnya telah menimbulkan kerugian negara, dan terdapat unsur subjektif yaitu adanya mens rea/niat jahat secara melawan hukum dari Pejabat terkait biaya-biaya yang dikeluarkan tersebut, maka yang demikian dikategorikan melanggar UU Tipikor maupun UU Perbendaharaan Negara. Sebagaimana konsep open legal policy yang telah dijabarkan sebelumnya, hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 telah lazim juga digunakan dalam berbagai undang-undang, diantaranya Pasal 50 KUHAP, Pasal 41 KUP, dan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak. Artinya, perlindungan hukum bagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya, dari segi legal drafting bukanlah merupakan substansi baru dalam perancangan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal yang dipermasalahkan adalah apakah ketentuan serupa dapat dimuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, maka perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan 297 Undang-Undang 15 Tahun 2019 disebutkan bahwa, “materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang- Undang.” Oleh karena itu, jika dalam berbagai undang-undang dibenarkan untuk mengatur pemberian imunitas kepada pelaksana undang-undang, maka demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Kemudian, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, apabila menguji konstitusionalitas materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, saat ini sudah tidak relevan lagi karena sudah ditetapkan menjadi UU 2/2020 oleh DPR. Jika diperhatikan, ketentuan Pasal 27 UU 2/2020 tersebut tidaklah mengatur imunitas yang bersifat absolut. Terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi yaitu iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kedua hal ini merupakan syarat yang dapat dipergunakan oleh penegak hukum untuk menilai apakah pengambilan kebijakan dan/atau pelaksanaannya dapat dituntut atau tidak. Menurut Arsul Sani, jika penegak hukum meyakini bahwa prinsip iktikad baik tidak terpenuhi dan juga ditemukan keadaan melanggar hukum, maka proses hukum tetap dijalankan meski ada pasal imunitas dalam undang-undang terkait. Oleh karena itu, imunitas hukum tidak serta merta menyebabkan imun terhadap tuntutan hukum. Begitu pula terkait dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 yang menyatakan bahwa UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan dan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, perlu dipahami bahwa lahirnya ketentuan ini merupakah respon terhadap krisis yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Hal ini juga telah ditekankan dalam Pasal 27 ayat (1) dimana biaya yang dikeluarkan bertujuan untuk menyelamatkan negara dari krisis. Oleh karena itu, memahami bunyi Pasal 27 ayat (3) semestinya tidak dilakukan secara parsial, namun harus komprehensif dan kontekstual. Bahwa pembatasan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara telah diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 51 tahun 2009, yang menyebutkan: “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 298 b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan tersebut, adalah berdasar jika kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh KSSK atau pejabat pemerintahan lainnya dalam melaksanakan amanat UU 2/2020 bukanlah merupakan objek sengketa tata usaha negara dengan tetap memperhatikan bahwa kebijakan atau keputusan yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. G. Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M Pandemi Covid 19 Melumpuhkan Ekonomi Dunia Pandemi Covid 19 telah menyebar ke 207 negara yang menimbulkan dampak kematian yang besar dan permasalahan perekonomian yang merata di seluruh dunia. Upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19 menyebabkan banyak negara membatasi mobilitas masyarakat, sehingga menimbulkan gangguan pada perekonomian. Hal ini mendorong terjadinya penurunan pendapatan, pelemahan daya beli dan pemutusan hubungan kerja. Untuk memitigasi dampak Covid-19 berbagai negara mengkombinasikan berbagai kebijakan baik kebijakan sosial, fiskal maupun moneter, dan lainnya. Stimulus ekonomi yang sangat besar digelontorkan berbagai negara untuk mencegah krisis Kesehatan menjadi krisis ekonomi dan keuangan. Stimulus fiskal dan moneter yang ekstensif telah dikeluarkan oleh sekitar 193 negara yang fokus pada peningkatan anggaran kesehatan, bantuan bagi rumah tangga, jaminan sosial, bantuan kepada sektor yang terdampak, baik berupa penundaan pajak atau penjaminan pinjaman. ^ Menurut Financial Stability Board respons kebijakan yang ditempuh berbagai otoritas baik di negara maju dan berkembang relatif sama. Hal yang membedakan lebih pada besaran dukungan dari Pemeritah, Di negara berkembang dukungan pemerintah sebesar 5,5 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan negara maju sebesar 20% dari PDB. Dampak Pandemi Covid-19 Bagi Perekonomian Domestik Untuk mencegah penyebaran Covid-19 banyak negara termasuk Indonesia melakukan pembatasan mobilitas masyarakat yang menimbulkan gangguan pada perekonomian. Hal ini mendorong terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan pendapatan, menurunnya daya beli dan banyaknya pemutusan hubungan kerja. Sejalan dengan itu, perekonomian Indonesia mengalami 299 penurunan pertumbuhan yang tajam dan banyak perusahaan yang gulung tikar. Dalam situasi seperti ini perkara Penundaan Kewajiban Membayar dan Kepailitan meningkat. Ini terlihat dari naiknya perkara PLPU dan Kepailitan di Pengadilan Niaga, Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Untuk itu diperlukan respons kebijakan yang komprehensif untuk memitigasi dampak Pandemi Covid-19 terhadap stabilitas ekonomi dan sistem keuangan. Risiko Yang dihadapi Bank dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya Pandemik Covid-19 memberikan tekanan pada sektor jasa keuangan, khususnya bank. Sebagai sumber utama penyedia dana untuk kegiatan ekonomi, terdapat kebutuhan untuk menjaga ketahanan bank dari risiko-risiko yang mungkin timbul di tengah situasi pandemik yang tidak menentu seperti saat ini. Setidaknya terdapat tiga jenis risiko yang dapat disebabkan oleh situasi pandemik Covid-19. Pertama, risiko kredit, yaitu berupa kesulitan debitur memenuhi kewajibannya kepada perbankan, khususnya dari sektor Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Kedua, risiko pasar, yaitu perubahan nilai dari aset lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelemahan yield instrumen keuangan dan pelemahan nilai tukar dan Ketiga, risiko likuiditas, yaitu tekanan terhadap likuiditas yang timbul akibat pelaksanaan restrukturisasi kredit/pembiayaan yang terdampak pandemik Covid-19. Untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut, maka diperlukan kebijakan yang bersifat antisipatif, yang bertujuan untuk menopang fundamental sektor riil/informal dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Disamping itu, diperlukan juga penguatan kewenangan lembaga-lembaga di sektor keuangan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi darurat akibat Pandemi Covid-19. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan Sistem Keuangan adalah sistem yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan dan infrastruktur keuangan, termasuk system pembayaran yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktifitas perekonomian nasional. Peranan sistem keuangan dalam perekonomian sangatlah penting. Setidaknya ada tiga peranan penting dari sistem keuangan. Pertama, peranan sebagai perantara keuangan ( financial intermediary ), Kedua sebagai pelaku utama dalam system pembayaran dan Ketiga, sebagai sarana untuk melaksanakan kebijakan moneter. 300 Pertama, peranan sebagai sebagai Perantara Keuangan, terutama yang dilakukan bank dapat diibaratkan dengan peran jantung dalam tubuh manusia. Kalau jantung mensuplai darah ke seluruh jaringan tubuh manusia, maka bank mensuplai likuiditas ke dalam seluruh kegiatan perekonomian. Dengan adanya dana yang disalurkan ke dalam seluruh kegiatan masyarakat, maka terjadilah kegiatan investasi dan produksi yang membuka lapangan kerja yang menghasilkan barang dan jasa. Inilah yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan terbukanya lapangan kerja, maka diharapkan akan mengurangi pengangguran dan mengurangi kriminalitas, sekaligus memberikan penghasilan kepada para pekerja yang pada gilirannya juga akan membayar pajak kepada negara atas penghasilan yang diterima. Begitu juga dengan perusahaan yang berproduksi menghasilkan barang dan jasa yang akan memperoleh keuntungan dan akan membayar pajak juga kepada negara. Dengan demikian, kegiatan bernegara juga dapat berjalan dengan adanya penerimaan negara dan kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa akan tersedia dengan baik. Kedua, peranan sebagai pelaku utama Sistem Pembayaran, baik yang bersifat tunai dan non tunai. Pembayaran non tunai baik yang menggunakan warkat, kartu, elektronik dan virtual, kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS). Sistem pembayaran yang dilakukan oleh sistem keuangan meliputi pembayaran di dalam dan luar negeri dan kegiatan lainnya baik di pasar barang dan jasa, pasar uang, pasar modal, pasar komoditi dan pasar tenaga kerja. Dengan adanya kegiatan pembayaran yang cepat, aman dan efisien, maka kegiatan perekonomian, kegiatan perdagangan dll juga akan berjalan lancar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Ketiga, peranan sebagai sarana dalam transmisi kebijakan moneter, terutama dalam rangka menjaga stabilitas nilai rupiah, baik yang berkaitan dengan harga ( price stability ) dan nilai tukar. Dengan adanya kestabilan nilai rupiah, maka tingkat inflasi rendah dan tidak merugikan masyarakat. Selain itu, kebijakan moneter juga dapat terlaksana melalui sistem keuangan apabila sistem keuangan itu sehat dan stabil, yang dapat bekerja dengan efisien dan efektif. Kestabilan Nilai Rupiah untuk mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional tersebutlah yang diamanatkan oleh UU Nomor 2 Tahun 2020. Kesemuanya itu menunjang Stabilitas Sistem Keuangan yang efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan luar negeri. 301 Dampak Instabilitas Sistem Keuangan Menurut Bank Indonesia, apabila Sistem Keuangan tidak stabil dan tidak berjalan secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sistem Keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk menyelamatkannya. Pelajaran berharga pernah dialami Indonesia ketika terjadi krisis keuangan pada tahun 1998, di mana waktu itu biaya krisis sangat signifikan. Pada waktu itu biaya yang dikeluarkan Pemerintah adalah sekitar Rp640 triliun (enam ratus empat puluh triliun rupiah) untuk melakukan rekapitalisasi perbankan dan memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang kesulitan likuiditas. Stabilitas Sistem Keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan. Selain itu, diperlukan waktu yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik kepada Sitem Keuangan. Krisis tahun 1998 membuktikan bahwa, secara umum, dampak instabilitas pada Sistem Keuangan adalah sebagai berikut; Pertama, transmisi kebijakan moneter tidak berjalan normal, sehingga, kebijakan moneter menjadi tidak efektif. Kedua, Fungsi, intermediasi industri jasa keuangan terutama perbankan tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena ada alokasi dana yang tidak tepat dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Ketiga, ketidakpercayaan sektor publik pada sistem keuangan mendorong investor/kreditur untuk menarik dana. Akibatnya, timbul masalah likuiditas. Keempat, sangat mahalnya biaya untuk menyelamatkan sistem keuangan jika terjadi krisis yang sistemik. Oleh karena itu, upaya untuk menghindari atau mengurangi risiko kemungkinan terjadinya ketidak stabilan sistem keuangan sangatlah diperlukan untuk menghindari kerugian yang begitu besar. Pentingnya pengaturan Stabilitas Sistem Keuangan dalam UU Nomor 2/2020 Setidaknya ada tiga manfaat dari diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 2020. Pertama, untuk memberikan dasar hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat dan aparatur negara. Khusus untuk aparatur negara, dasar hukum ini diperlukan untuk memperkuat kewenangannya dengan berbagai kewenangan yang luar biasa (extra ordinary) dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Kedua, untuk memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah pemerintah dalam penyelamatan kesehatan 302 masyarakat dan perekonomian negara. Ketiga untuk memberikan perlindungan hukum bagi aparatur negara dalam pelaksanaan tugasnya. Mengingat Pandemi Covid-19, selain merupakan ancaman bagi manusia, juga menyebabkan risiko ketidakstabilan dan ancaman terhadap perekonomian nasional dan sistem keuangan, sehingga perlu mitigasi bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan sebagai kordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). KSSK menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian (Vide: Pasal 4 UU UU PPSK). UU Nomor 2 Tahun 2020 antara lain dalam Pasal 14 sampai Pasal 26 mengatur langkah-langkah luar biasa (extra ordinary) dan penguatan Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan KSSK, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Untuk menjaga stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi darurat akibat Pandemi Covid-19, UU Nomor 2 Tahun 2002 memberikan legitimasi dan landasan hukum bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk mengambil Langkah-langkah yang cepat dan akuntabel. Peraturan perundang- undangan yang ada dirasa masih belum memadai untuk menjaga stabilitas Sistem Keuangan akibat Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pengaturan ini perlu sebagai dasar dari peraturan pelaksanaan atau kebijakan yang dilakukan oleh masing- masing instansi/lembaga. Dalam rangka melaksanakan UU Nomor 2 Tahun 2002 Kementerian Keuangan, BI, OJK, LPS dan dunia usaha bersinergi untuk mendorong kredit dan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas. Hal ini sejalan dengan Paket Kebijakan Terpadu KSSK untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi yang diputuskan pada 1 Februari 2021 yang mencakup:
Kebijakan insentif fiskal serta dukungan belanja pemerintah dan pembiayaan.
Stimulus moneter, kebijakan makro prudensial, akomodatif dan digitalisasi system pembayaran.
Kebijakan prudensial sektor keuangan. 303 4. Kebijakan penjaminan simpanan. (Siaran Pers Bersama Kementerian Keuangan, BI dan OJK, 1 April 2021, Website Bank Indonesia dan Kemenkeu diakses 3 April 2021). Sementara itu, Kementerian Keuangan telah melakukan kebijakan antara lain berupa peningkatan anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) sebanyak 22 persen menjadi Rp699,43 triliun rupiah, yang antara lain menyasar dukungan sosial sebesar Rp157,43 triliun, dukungan UMKM dan korporasi sebesar Rp184,83 triliun, insentif usaha sebesar Ro58,46 triliun dan Rp124,44 triliun unyuk dukungan program prioritas. Kemudian Kebijakan BI tetap diarahkan untuk:
Mendorong pemulihan ekonomi, termasuk pembiayaan kepada dunia usaha.
Menurunkan suku bunga kebijakan sebanyak enam kali sejak tahun 2020 sebesar 15- bps menjadi 3,5% bps.
Melakukan injeksi likuditas yang besar.
Mendorong transparansi suku bunga dasar kredit.
Memperkuat kebijakan Ratio Intermediasi Makroprudensial (RIM/RIMS) 6. Memberlakukan secara bertahap disinsentif berupa giro RIM/RIMS dengan mengurangi giro wajib minimum untuk mendorong pembiayaan kredit/pembiayaan kepada perbankan. OJK telah mengambil kebijakan antara lain:
Kebijakan stimulus yang bertujuan agar sektor jasa keuangan tetap kokoh dan sektor riil dapat bangkit kembali dengan berbagai kemudahan, antara lain akan bertambah restrukturisasi kredit dan pembiayaan.
Orkestrasi kebijakan OJK bersama Kementerian Keuangan dan BI telah membuat stabilitas Sistem Keuangan terutama perbankan terus terjaga.
Pada tahun 2021 (Januari-Maret), OJK telah mengeluarkan telah mengeluarkan 7 POJK dan 10 SEOJK kepada industri jasa keuangan dalam rangka memperkuat industri jasa keuangan dan mempercepat Pemilihan Ekonomi Nasional. Lembaga Penjamin Simpanan mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain:
Penurunan suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah dan valuta asing, 2. Kebijakan relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi, serta 3. Kebijakan relaksasi penyampaian laporan. 304 UU Nomor 2 Tahun 2020 melahirkan beberapa peraturan pelaksanaan, antara lain, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 19 Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Kewenangan LPS menurut UU Nomor 2 Tahun 2020 antara lain:
Penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia 2. Penerbitan Surat Hutang, 3. Pinjaman kepada pihak lain dan 4. Pinjaman kepada pemerintah dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas pada waktu menangani bank gagal. Hal ini juga diatur dalam UU LPS. Pinjaman ini merupakan opsi terakhir setelah diupayakan sumber lain terlebih dahulu. Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut diatas tercermin dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Bank. POJK ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilaliham, integrasi dan/atau konversi (P3IK). Hal ini sejalan dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dan Pasal 49 UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Perintah untuk melakukan atau menerima P3IK bertujuan untuk menjaga ketahanan Bank yang menghadapi permasalahan keuangan yang dapat mengganggu kelangsungan usaha dan tidak mampu menghadapi tekanan yang sedangkan terjadi dan tidak mampunyai Pemegang Saham Pengendali untuk melakukan upaya penguatan Bank. Kebijakan tersebut adalah contoh dari kebijakan yang bersifat antisipatif, yang bertujuan untuk menjaga ketahanan Bank sebagai sumber penyedia dana dan pelaku utama dalam sistem pembayaran, apabila Undang-undang Nomor 2 Tahun 305 2020 tidak memandatkan kebijakan tersebut, tentunya OJK akan kesulitan dalam melindungi ketahanan bank yang mengalami permasalahan karena tidak ada dasar hukum yang cukup kuat untuk mendasari kebijakan P3IK tersebut. Perlindungan Hukum bagi Pengambil Kebijakan Kemudian, perlu juga dipahami bahwa tidak mudah untuk mengambil kebijakan- kebijakan strategis, khususnya terkait penanganan permasalahan bank. Terlebih lagi, kebijakan tersebut diambil di masa pandemi, yang tentunya menempatkan si pembuat kebijakan dalam tekanan yang lebih besar dari situasi normal. Untuk itu, guna memastikan si pembuat kebijakan dapat membuat keputusan yang tepat dan independen, maka diperlukan jaminan perlindungan terhadap si pembuat kebijakan untuk terbebas dari tuntutan yang mungkin timbul dikemudian hari atas keputusan yang dibuatnya. Lebih lanjut terkait landasan hukum dari pandangan ini akan dijabarkan sebagai berikut: a) Imunitas yang Terkandung Dalam Rumusan Pasal 27 ayat (2) adalah Wajar dan Sesuai Dengan Teori-Teori dalam Hukum Pidana Apabila diperhatikan poin-poin permohonan yang diajukan oleh para pemohon, dapat dilihat bahwa terdapat suatu kekhawatiran bahwa ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) seolah menjadikan pihak-pihak yang disebut dalam Pasal tersebut menjadi kebal dari jerat hukum tindak pidana korupsi. Pandangan ini tidaklah tepat. Apabila diperhatikan dengan cermat rumusan ketentuan Pasal 27 ayat (2) tersebut, dapat dipahami bahwa hanya tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas yang didasarkan pada itikad baik lah yang dilindungi oleh Undang-Undang. Perlindungan atas perbuatan yang dilakukan dalam rangka menjalankan tugas dan dengan itikad baik merupakan hal yang lazim dalam konteks hukum pidana. Perlindungan yang diberikan kepada pihak yang menjalankan tugas atau melakukan suatu tindakan dengan itikad baik bukanlah hal yang baru dalam hukum Indonesia, khususnya hukum pidana. Terkait perlindungan kepada pihak yang melaksanakan tugas diatur dalam Pasal 50 dan 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana 306
Pengelolaan Penerimaan dalam Rangka Otonomi Khusus
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Provinsi Papua adalah provinsi-provinsi yang berada di wilayah Papua yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah yang ditetapkan dengan Undang- Undang.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disingkat TKDD adalah bagian dari belanja negara yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah dan desa dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan yang telah diserahkan kepada Daerah dan desa.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN.
Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.
Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan RDP BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
Surat Keputusan Penetapan Rincian Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat SKPRTD adalah surat keputusan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran yang memuat rincian jumlah transfer setiap Daerah menurut jenis transfer dalam periode tertentu.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/pejabat penandatangan surat perintah membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Lembar Konfirmasi Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat LKT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan TKD oleh Daerah.
Lembar Rekapitulasi Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat LRT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan TKD oleh Daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat PNBP SDA adalah bagian dari penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, minyak bumi, gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah.
Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu Daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus bagi provinsi-provinsi di wilayah Papua yang selanjutnya disebut DTI adalah dana tambahan dalam rangka Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun anggaran yang ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur perhubungan, energi listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sanitasi lingkungan.
Tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Alam dalam rangka Otonomi Khusus yang selanjutnya disebut Tambahan DBH Migas Otsus adalah bagian DBH yang secara khusus ditujukan untuk Provinsi Papua dan Provinsi Aceh yang berasal dari penerimaan sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas alam.
Orang Asli Papua yang selanjutnya disingkat OAP adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua.
Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua yang selanjutnya disingkat RIPPP adalah dokumen induk perencanaan pembangunan dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua yang menjadi pedoman bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat RPJP adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat RPJM adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.
Rencana Pembangunan Tahunan Nasional yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah adalah dokumen perencanaan nasional untuk periode 1 (satu) tahun.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renstra K/L adalah dokumen perencanaan kementerian/lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP nasional.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah penjabaran dari visi, misi, dan program kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat Daerah, lintas satuan kerja perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif untuk periode 5 (lima) tahun.
Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah penjabaran dari RPJMD dan mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk periode 1 (satu) tahun.
Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Renstra SKPD adalah dokumen perencanaan satuan kerja perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) adalah dokumen perencanaan satuan kerja perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disebut Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan Daerah.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Otonomi Khusus yang selanjutnya disebut Musrenbang Otsus adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan Daerah dalam rangka otonomi khusus yang dilaksanakan dalam satu rangkaian dengan Musrenbang jangka menengah dan Musrenbang tahunan Daerah.
Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang berisi 1 (satu) atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat Daerah atau masyarakat yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan Daerah.
Kegiatan adalah bagian dari Program yang dilaksanakan oleh 1 (satu) atau beberapa satuan kerja perangkat daerah sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu Program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil atau sumber daya manusia, barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut, sebagai masukan untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk barang/jasa.
Keluaran adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh Kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan Program dan kebijakan.
Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya Keluaran dari Kegiatan dalam 1 (satu) Program.
Sasaran adalah Hasil yang diharapkan dari suatu Program atau Keluaran yang diharapkan dari suatu Kegiatan.
Kinerja adalah Keluaran/Hasil dari Program/Kegiatan yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang selanjutnya disingkat DPRP adalah lembaga perwakilan Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Provinsi Papua.
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat DPRK adalah lembaga perwakilan Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua.
Pemerintah Daerah Provinsi Papua adalah gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Papua.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi, bupati bagi Daerah kabupaten, atau wali kota bagi Daerah kota.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah bupati/wali kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah, DPRP kabupaten/kota, dan Majelis Rakyat Papua dalam penyelenggaraan kebijakan otonomi khusus dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disingkat MRP adalah representasi kultural OAP yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak OAP dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua adalah badan khusus yang melaksanakan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi percepatan pembangunan dan pelaksanaan Otonomi Khusus di wilayah Papua.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan intern Pemerintah, inspektorat jenderal pada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat Daerah provinsi dan inspektorat Daerah kabupaten/kota.
Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Relevan terhadap
Program peningkatan kualitas bahan baku untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:
pelatihan peningkatan kualitas tembakau;
penanganan panen dan pasca panen; dan/atau
dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau.
Program pembinaan lingkungan sosial untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 2 meliputi kegiatan:
pemberian bantuan; dan
peningkatan keterampilan kerja.
Kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
bantuan langsung tunai kepada buruh tani tembakau dan/atau buruh pabrik rokok;
bantuan pembayaran iuran jaminan perlindungan produksi tembakau bagi petani tembakau; dan/atau c. subsidi harga tembakau.
Kegiatan peningkatan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
pelatihan keterampilan kerja kepada buruh tani dan/atau buruh pabrik rokok;
bantuan modal usaha kepada buruh tani dan/atau buruh pabrik rokok yang akan beralih untuk menjalankan usaha; dan/atau
bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana produksi kepada petani tembakau dalam rangka diversifikasi tanaman.
Penganggaran DBH CHT sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dengan ketentuan:
15% (lima belas persen) untuk kegiatan peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kegiatan peningkatan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan
35% (tiga puluh lima persen) untuk kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pelaksanaan kegiatan peningkatan kualitas tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
Pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah serta mempertimbangkan asas keadilan.
Pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan langsung tunai kepada buruh tani tembakau dan/atau buruh pabrik rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, paling kurang dengan mempertimbangkan kriteria penerima bantuan, besaran bantuan, dan jangka waktu pemberian bantuan.
Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan di bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) melebihi kebutuhan, kelebihan anggaran tersebut dialihkan dengan prioritas untuk kegiatan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 1.
Kegiatan di bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh seluruh Daerah penerima DBH CHT. Paragraf 2 Bidang Penegakan Hukum
Pengelolaan Aset Eks Bank dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Bank Dalam Likuidasi yang selanjutnya disingkat BDL adalah bank yang telah menerima dana talangan, fasilitas pembiayaan dan/atau dana penjaminan dari Pemerintah serta dicabut izin usahanya yang diikuti dengan likuidasi bank.
Tim Likuidasi adalah tim yang bertugas melakukan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya.
Aset adalah harta atau kekayaan eks BDL.
Kas adalah uang tunai dan/atau saldo simpanan di bank yang setiap saat dapat dicairkan.
Aset Kredit adalah hak Pemerintah yang berasal dari tagihan BDL terhadap debiturnya.
Aset Inventaris adalah Aset yang berupa barang selain tanah dan/atau bangunan, termasuk kendaraan bermotor, yang merupakan aset milik BDL.
Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, yang merupakan aset milik BDL.
Aset Penempatan pada Bank lain yang selanjutnya disebut Aset Penempatan adalah penanaman dana BDL pada bank atau lembaga keuangan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam bentuk pinjaman antarbank (interbank calI money), tabungan, deposito berjangka, dan bentuk lain.
Aset Properti adalah Aset berupa tanah dan/atau bangunan, dan/atau satuan rumah susun/apartemen berikut benda yang melekat dan merupakan satu kesatuan, yang merupakan aset milik BDL.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang kewenangan, tugas dan fungsinya meliputi pengelolaan Aset.
Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang kewenangan, tugas dan fungsinya meliputi pengelolaan Aset.
Direktur adalah direktur pada Direktorat Jenderal yang kewenangan, tugas dan fungsinya meliputi pengelolaan Aset.
Direktorat adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal yang kewenangan, tugas dan fungsinya meliputi pengelolaan Aset.
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal.
Kantor Pelayanan adalah unit vertikal pelayanan pada Kantor Wilayah.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan Aset.
Nilai Pasar yang dalam ilmu akuntansi disebut sebagai Nilai Wajar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal Penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak dalam waktu yang cukup, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak hati-hati, dan tanpa paksaan.
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang.
Penebusan adalah pembayaran yang dilakukan guna memperoleh kembali Aset Properti.
Nasabah Penyimpan Dana adalah nasabah penyimpan dana eks BDL yang tercatat dalam pembukuan BDL dan tidak termasuk yang dijamin oleh Pemerintah.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran untuk pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana.
Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat dengan PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.
Surat Ketetapan Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disingkat SKP adalah dokumen sebagai dasar pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana yang memuat rincian besaran hak Nasabah Penyimpan Dana yang akan disetorkan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam periode tertentu.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disebut SPM Nasabah Penyimpan Dana adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang PPh.
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor tanda bukti pembayaran atau penyetoran ke kas negara yang diterbitkan melalui modul penerimaan negara atau oleh sistem penerimaan negara yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Warga Negara Indonesia yang selanjutnya disingkat WNI adalah orang bangsa Indonesia asli atau orang bangsa lain yang telah disahkan sebagai warga negara Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
Warga Negara Asing yang selanjutnya disingkat WNA adalah setiap orang yang bukan WNI.
Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa WNI memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak luar negeri.
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disingkat P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. 17 . Pemberi Kerja adalah badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan WNA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dividen adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh pemegang saham.
Laba Setelah Pajak adalah laba setelah pajak komprehensif.
Laba Ditahan adalah akumulasi Laba Setelah Pajak yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk Dividen yang digunakan untuk membiayai berbagai kepentingan perusahaan. 21 . Badan Pengelola Keuangan Haji yang selanjutnya disingkat BPKH adalah lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan haji sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan haji.
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji.
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut BPIH Khusus adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji khusus .
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Barang Kena Pajak yang selanjutnya disingkat BKP adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Jasa Kena Pajak yang selanjutnya disingkat JKP adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, meng1mpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disingkat PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan Undang- Undang PPN. 30 . PKP Belum Melakukan Penyerahan adalah PKP belum melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP, dan/atau ekspor JKP.
Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah kantor pelayanan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, tempat PKP dikukuhkan, dan/atau tern pat objek pajak PBB diadministrasikan .
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau perolehan JKP dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP.
Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP.
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
lnformasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic maiij, telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. j 41. Surat Keputusan Pemberian lmbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SKPIB adalah surat keputusan yang menentukan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
Surat Keputusan Perhitungan Pemberian Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SKPPIB adalah surat keputusan yang digunakan sebagai dasar untuk memperhitungkan imbalan bunga dalam SKPIB dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang.
Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan untuk membayar imbalan bunga kepada Wajib Pajak.
Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang selanjutnya disingkat SKPKPP adalah surat keputusan yang digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPMIB.
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administrasi. 4 7. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
Pedoman Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran Negara pada Akhir Tahun Anggaran 2020