Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Rep ...
Relevan terhadap
sendiri pengajuan permohonan hampir dua kali lipat dari 2019 hingga 2020 dan terus meningkat. Dari Januari hingga Juli 2021, jumlah permohonannya mencapai 68% dari total pengajuan permohonan PKPU pada tahun 2020, sehingga dengan pertimbangan tersebut, prediksi permohonan PKPU tahun ini akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dalam mengkaji opsi kebijakan yang terbaik, Pemerintah mendengar berbagai pandangan dan aspirasi termasuk dari para pelaku usaha yang menyatakan sedang kewalahan dan membutuhkan solusi segera. Terlebih dengan adanya kasus-kasus perusahaan solven yang masuk dalam PKPU bahkan berujung pailit. Ini menunjukkan bahwa masih ada oknum yang memanfaatkan pandemi ini untuk kepentingan pribadi bahkan memperkaya diri sendiri secara tidak sah. Selain itu, dari perspektif kreditur, Pemerintah juga mendengar berbagai pandangan dan sepakat bahwa kebijakan yang akan diambil harus menjaga keseimbangan hak antara debitur dan kreditur. Opsi penundaan (moratorium) permohonan kepailitan dan PKPU dalam jangka waktu tertentu (misalnya 6 bulan) sebagai langkah kebijakan darurat ( temporary measures ) dipandang lebih efektif untuk menghentikan peningkatan jumlah kepailitan pada masa pandemi. Hal ini mempertimbangkan bahwa pandemi Covid-19 merupakan kondisi force majeure yang telah menimbulkan dampak terhadap perekonomian dalam hal ini terkait menurunnya kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada krediturnya, dimana dampak tersebut dialami dan dirasakan oleh hampir seluruh sektor meliputi usaha mikro, kecil, menengah, dan besar. Moratorium atau penundaan permohonan kepailitan dan PKPU dalam kurun waktu tertentu merupakan breathing space bagi dunia usaha untuk mengatur kembali posisinya, menyiapkan strategi dalam penyelesaian utang-utangnya, serta meningkatkan cash flow untuk memastikan usahanya tetap dapat berjalan dan mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Pelaksanaan kebijakan moratorium tersebut juga tidak menutup peluang tercapainya kesepakatan antara kreditur dan debitur mengenai penyelesaian utang. Kreditur memiliki forum untuk penyelesaian utang, antara lain melalui negosiasi bilateral di luar pengadilan ( out of court debt settlement ), melakukan eksekusi jaminan secara langsung, dan pilihan
Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pandangan Umum DPR 1. Bahwa salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang diatur dalam UU 37/2004 ( Faillissements-verordening Staatsblad 1905: 217 juncto Staatsblad 1906: 348 ). Atas dasar inilah maka UU 37/2004 dibentuk sebagai produk hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional. 2. Bahwa kepailitan sebagai bagian dalam hukum keperdataan dalam penyelesaian utang-piutang diharapkan dapat menjadi solusi bagi pelaku usaha baik badan hukum ataupun perorangan untuk keluar dari permasalahan kesulitan keuangan ( exit from financial distress ) baik dalam kegiatan usaha maupun keuangan orang perorangan pada umumnya. 3. Pengaturan norma dalam UU 37/2004 didasarkan pada beberapa asas, yaitu antara lain: a. Asas Keseimbangan UU 37/2004 mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik. b. Asas Kelangsungan Usaha Dalam UU 37/2004 terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
Penyelenggaraan Rumah Susun
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggaraan Rumah Susun adalah kegiatan perencanaan, pembangurlan, penguasaan dan pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan, pengendalian, kelembagaan, penclanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung ^jawab. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara Iungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satrtan yang masing- rnasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, temtama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, da 'tanah bersama. Rumah Susun U um adalah Rumah Susurn yalig diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rurnah Susun Khusus adalah Rurrlah Susun yang diselenggarakan untuk mernenuhi kebutuhan khusus. Rumah Susun Negara adalah Rumah Susun yang climiiiki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atarr hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri. Rumah Susrrn I(omersial adalah Rumah-Susun yang diselenggaral: a^r untuk mendapatkan keuntungan. Sl( No 0928 t4 A 7. Satuan 7. Satuan Rumah Susun ^yang selanjutnya ^disebut Sarusun adalah unit Rumah ^Susun yang ^tujuan utamanya digunakan secara terpisah ^dengan ^fungsi utama sebagai tempat hunian dan ^mempunyai sarana penghubung ke ^jalan umum. 8. Tanah Bersama adalah sebidang ^tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan ^yang digunakan ^atas ^dasar ^hak bersama secara tidak terpisah ^yang ^di ^atasnya ^berdiri Rumah Susun dan ditetapkan batasnya ^dalam persyaratan persetujuan bangunan ^gedung. 9. Bagian Bersama adalah ^bagian ^Rumah Susun ^yang dimiliki secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi ^dengan ^satuan- satuan Rumah Susun. 10. Benda Bersama adalah benda ^yang ^bukan ^merupakan bagian Rumah Susun melainkan ^bagian yang ^dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama. 11. Sertifikat Hak Milik Sarusun ^yang selanjutnya ^disebut SHM Sarusun adalah tanda ^bukti ^kepemilikan ^atas Sarusun di atas tanah hak milik, ^hak ^guna bangunan atau hak pakai di atas tanah ^negara, ^serta ^hak ^guna bangunan atau hak ^pakai di ^atas tanah ^hak pengelolaan. 12. Sertifikat Kepemilikan Bangunan ^Gedung ^Sarusun yang selanjutnya disebut SKBG Sarusun ^adalah tanda bukti kepemilikan atas Sarusun di ^atas barang ^milik negara/daerah berupa tanah atau ^tanah wakaf ^dengan cara sewa. 13. Nilai Perbandingan Proporsional ^yang ^selanjutnya disingkat NPP adalah angka ^yang ^menunjukkan perbandingan antara Sarusun terhadap ^hak ^atas Bagian Bersama, Benda Bersama, ^dan ^Tanah ^Bersama yang dihitung berdasarkan nilai Sarusun ^yang bersangkutan terhadap ^jumlah nilai ^Rumah ^Susun secara keseluruhan ^pada waktu ^pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga ^jualnya A. Dana . . ^.
Ditna Konversi adalah dana yang ber,rpa dana kelola atau dana hibah yang diperoleh dari pelakrr pembangunan sebagai alternatif kervajiban pembangunan rumah sederhana bersubsidi dalam pembanguo&r1 p€rumahan dengan hunian berimbang yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan konversi. 15. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya Cisingkat IVIBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli schingga p.'rlu mendapat dukungan pemerintah untuk mernperoleh Sarusun umum. 16. Pelaku Pembangunan Rumah Susun yang selanjutnya disebut Pelaku Pembangunan adalah setiap orang dan/atau pemerlntah yr.ng melakukan pembangLlnan bidang perumahan da,, ka'uvasan permukirnan. 17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atatr badan hukum. 18. Berdan Hrrkum adalah badan hukurn yang didirikan oteli ^tr',r.rga negara Indonesie ^.yang ,kegiatannya di bidang penyelenggaraan perurlahan dan kawasan permukiman. 19. Pemiiik adalah Setiap Orang yang memiliki Sarusun. 20. Penghuni aCalah orang yang menempati Sarusrrn, baik sebagai Pemilil< maLrprir, bukan Pemilik. 21. Pengelola adalah str adan Hukum yang bertugas untuk mengelola Rurqah Susun. 22. Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun yang selanjutnya'disingkat PPPSRS adalah Badan'Hukum yang beran3gotakan para Pemilik atau Penghuni. 2g. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankarr usaha dan/atau kegiatannva.
Percetujuarn 24. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah persetujuan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah luasan, fungsi dan klasifikasi bangunan gedung serta perubahan lainnya yang membutuhkan perencanaan teknis. 25. Pertelaan adalah pernyataan dalam bentuk gambar dan uraian yang dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan Rumah Susun yang disahkan oleh pemerintah daerah yang menunjukkan batas yang jelas dari setiap Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama beserta uraian NPP. 26. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 27. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 28. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang selanjutnya disingkat JKP adalah jaminan sosial yang diberikan kepada Pekerja/Buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja berupa manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan Pelatihan Kerja. 2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima Upah atau imbalan dalam bentuk lain. 3. Pengusaha adalah:
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan se bagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Upah adalah hak Pekerja/Buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pengusaha atau pemberi kerja kepada Pekerja/Buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perJanJ1an kerja, kesepakatan; atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ a tau jasa yang telah a tau akan dilakukan.
Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha.
Peserta JKP yang selanjutnya disebut Peserta adalah Pekerja/Buruh yang mempunya1 hubungan kerja dengan Pengusaha dan telah terdaftar serta membayar iuran.
Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut JKN adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran jaminan kesehatan atau iuran jaminan kesehatannya dibayar oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. 8. Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat Peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
Jaminan Hari Tua yang selanjutnya disingkat JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat Peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. 10. Jaminan Pensiun yang selanjutnya disingkat JP adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi Peserta dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah Peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. 11. Jaminan Kematian yang selanjutnya disebut JKM adalah manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika Peserta meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja. 12. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 13. Badan Penyelenggara J aminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. 14. Sistem lnformasi Ketenagakerjaan adalah suatu ekosistem digital yang menjadi platform bagi segala jenis layanan publik dan aktivitas bidang ketenagakerjaan baik di pusat maupun daerah. 15. Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 16. Lembaga Pelatihan Kerja adalah instansi pemerintah dan badan hukum yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan Pelatihan Kerja. REPUBUK INDONESIA 17. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 18. Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan pembinaan, pemeriksaan, pengujian, penyidikan, dan pengembangan, sistem pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Pasal 2 (1) Pengusaha wajib mengikutsertakan Pekerja/Buruh sebagai Peserta dalam program JKP. (2) Program JKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat Pekerja/Buruh kehilangan pekerjaan. Pasal 3 JKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan Pemerintah Pusat. BAB II KEPESERTAAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN Bagian Kesatu Kepesertaan Pasal 4 (1) Peserta terdiri atas: 2 dan a. Pekerja/Buruh yang telah diikutsertakan oleh Pengusaha dalam program jaminan sosial; dan
Pekerja/Buruh yang baru didaftarkan oleh Pengusaha dalam program jaminan sosial. (2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
warga negara Indonesia;
belum mencapai usia 54 (lima puluh empat) tahun pada saat mendaftar; dan
mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha.
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus memenuhi ketentuan:
(1) a. Pekerja/Buruh yang bekerja pada usaha besar dan usaha menengah, diikutsertakan pada program JKN, JKK, JHT, JP, dan JKM; dan
Pekerja/Buruh yang bekerja pada usaha mikro dan usaha kecil, diikutsertakan sekurang- kurangnya pada program JKN, JKK, JHT, dan JKM. Peserta program JKN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pekerja penerima Upah pada badan usaha. Bagian Kedua Tata Cara Pendaftaran
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ...
Relevan terhadap
U.ra".rg-U.ra"ng Nomor 11 Tahun 2O2O tentarrg Cipta Kerja (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan lrmbaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); Norma yang memberikan sanksi administratif, sanksi keperdataan, atau sanksi pidana harus ditempatkan setelah norma yang memuat kewajiban atau larangan. Untuk materi muatan yang tidak memiliki kesamaan materi namun tidak termasuk dalam Bab Ketentuan Lain-Lain mal<a ditempatkan di pasal terakhir sebelum bab, bagian, atau paragraf berikutnya. Pasa1 merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang- undangan yang memuat satu norma ^jika tanpa ayat dan memiliki keterkaitan dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, ^jelas, dan lugas. Pasal ^juga merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang dapat memuat sejumlah norma dalam beberapa ayat yang memiliki keterkaitan. Rumusan norma dalam ayat dirumuskan dalam satu kalimat satu ayat yang disusun secara singkat, ^jelas, dan lugas. Ketentuan umum berisi:
batasan pengertian atau definisi;
singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau I 2 1 2 66a.
69a.
l04.
hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tqiuan dapat dirumuskan dalam bab ketentuan umum atau bab tersendiri. Contoh batasan pengertian:
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika. Contoh definisi:
Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya. 2. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Contoh singkatan:
Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat SPIP adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lingkungan Pemerintah Kota Dumai. Contoh akronim:
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya. 2. Orang dengan HIV/AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala maupun yang sudah ada gejala. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang- undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundang- undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur. Contoh 1: Contoh 1:
Hari adalah hari kalender (rumusan ini terdapat dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja). Contoh 2:
Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2OO9 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). b. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor I Tahun 2O11 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman).
109a. Urutan penempatan nama jabatan atau nama instansi pemerintah dalam ketentuan umum mengikuti urutan sesuai hierarki atau tingkatan dari yang tertinggi ke yang terendah. Organisasi profesi, asosiasi, perkumpulan, dan lembaga lainnya yang dibentuk masyarakat harus ditempatkan pada urutan di bawah nama ^jabatan atau nama instansi pemerintah. 111. ^p6g1legian materi pokok ke dalam buku, bab, bagian, atau paragraf dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh:
pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
kejahatan terhadap keamanan negara;
kejahatan terhadap martabat Presiden;
kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; dan
kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya. b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. c. pembagian berdasarkan urutan ^jenjang ^jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda. 11 la.
111b. 11 lc.
11ld. Buku, bab, bagian, dan/atau paragraf dalam materi pokok Peraturan Perundang-undangan dibagi ke dalam pasal yang mengatur materi muatan pokok yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Buku, bab, bagi411, dan/atau paragraf dalam materi pokok Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus dibagi ke dalam pasal yang mengatur materi muatan pokok yang memiliki keterkaitan satu sama lain yang terdiri atas:
pasal yang memuat materi muatan baru;
pasal yang mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang ^jenis dan hierarkinya sama; dan/atau
pasal yang mencabut Peraturan Perundang-undangan yang ^jenis dan hierarkinya sama. Pasal yang menambah materi muatan baru dalam Peraturan Perundang-undangan yang metode omnibus dirumuskan dalam kalimat yang disusun secara singkat, ^jelas, dan lugas. Contoh: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 161 Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung ^jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal yang mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan dalam Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus dirumuskan dalam kalimat yang disusun secara singkat, ^jelas, dan lugas dengan memuat alasan perubahan dan perincian ^judul Peraturan Perundang-undangan yang materi muatannya akan diubah disertai dengan penyebutan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 16 Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan bdru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
11le.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2OO7 tefiang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); b, Undang-Undang Nomor 27 Tat: un 2OO7 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (kmbaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan l,embaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2Ol4 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2OO7 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2Ol4 tentang Kelautan (Iembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol4 Nomor 294, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56O3); dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214). Jika sudah dirinci judul Peraturan Perundang-undangan yang materi muatannya akan diubah dalam pasal sebelumnya, tiap-tiap pasal selanjutnya memuat materi muatan yang akan diubah dari tiap-tiap Peraturan Perundang-undangan tersebut. Jika materi muatan perubahan lebih dari satu, setiap materi muatan perubahan diperinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya). Contoh: Undang-Undang Nomor l1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Relevan terhadap 6 lainnya
-BO- Pasnl 90 (1) Perubahan Persetujuan Lrngkungan sebagairnana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dilakr.rkan inelalui:
perubarfiarr Persetujuan Lingkuitgan rlengan kewajiban rner'lruslin d<lkumen I-ingkllngan H.idup baru; atau
pcrubalran Persetujuan l,ingkungan tanpa drsertai. kewajiban menJrusun dokumen l,ingkungan Hidup llaru. (21 Penrbaha: r Persetujuan Lirrgkungan dengan kewajiban nlen)rusun doktrmeri Lingkuirgan Hidup baru sebagaimarra dimaksrrd pada- ayat (1) huruf a beriaku untuk perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf g. (3) Perubahan Persetujuan Lingkungan tanpa dise: rtai kewajiban menvusun dokumen Lingkungan }{idup baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b herlaku untuk perubahan Llsaha Can/atau Kegiatan sebagaimana dimakstrd dalam Pasal 89 ayaLt (2) huruf l-r sampai dengan hunrf m. Pasal 9 1 (1) Perubahan Persetujuan Lingkungan dengan kewaiiban men5rusun dokumen Lingkungan I{idup baru sebagaimerna dimaksud dalam Pasal 90 avat (1) huruf a dilakukan mela.lui:
perubahan srrrat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dengan kcwajiban melakukan perrlAlsuns.fl dan,.rji kelaya.kan Amdal baru;
peruF-,aharr persetujuan Pernyataan Kesanggnpan Pengclolaan l-ingkungarr }{idup dengan kewajihan rrielakrrkan l)en]rusrlnan clan perrreriksaan Formulir UKL.-IjPL standa-r spesifik atau Formulir UKL-UpL sta: rdar: atau c. perrrbahan surat Keprrtusan Keiayakan Lingkungan Hidup dengan kervajiban rnelakukan penlrllsunan darr peniiaian adriendttm Andal dan RKL-RPL.
Dalam hal perubahan lJsaha dan/atau Kegiatan yang dilakukan menyebabkan skala/besaran kumulatif Usaha Can/atau Kegiatan tersebut menjadi skala/besaran wajib rrremiliki Amdal, perubahan Persetujuan Lingkungan dilakukan melalui peny-rsunan dan uji kelayakan Amdal baru. (3) Dokumert addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c f-erdiri aras:
tipe A;
tipe B; dan
tipe C. Pasal 92 (1) Tata cara penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 39 berlaku secara mutatis mutandis untuk pen5rusunan Amdal baru sebagairaana dimaksud dalanr Pasai 91 ayat (1) huruf a. (2) Tata cara pen)rusunan Formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 berlaku secara mutatis mutandis untuk penyusunan Formulir UKL-UPL standar spesifik atau Formulir UKL-UPL standar sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf b. Pasal 93 (1) Perubahan Persetujuan Lingkungan tanpa clisertai kewajiban men5rusun dokr-rmen Lingkungan Hidup baru sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 90 ayat (i; nuruf b dilakukan melalui:
perubahan surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau perubahan persetujuan pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat (21 hurtrf h dan Lruruf i; atau
perubahan b. perubahan surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau perubahan persetujuan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disertai perubahan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana ciimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf j sampai dengan huruf m. (21 Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terkait dengan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup yang memerlukan Persetujuan Teknis, dilakukan berdasarkan Perubahan Persetujuan Teknis. Pasal 94 (1) Untuk menentukan perubahan Perset-trjuan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (l ), penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan melakukan proses penapisan secara mandiri. (21 Dalam hal penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan tidak dapat melakukan penapisan secara mandiri, penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan mengajukan penetapan penapisan kepada instansi Lingkungan Hidup pusat, organisasi perangkat daerah provinsi yang membidangi Lingkungan Hidup, atau organisasi perangkat daerah kabupaten/kota yang membidangi Lingkungan Hidup sesuai dengan kewenangannya disertai dengan penyajian informasi lingkungan. (3) Penyajian informasi lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Pasal 95 (1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan mengajukan permohonan perubahan Persetujuan Lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya melaiui sisterrr informasi dokumen Lingkungan Hidup.
Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya melakukan:
uji kelayakan Amdal baru;
pemeriksaan Formulir UKL-UPL standar spesifik atau Formulir UKL-UPL standar; atau
penilaian addendum Andal dan RKL-RPL. Pasal 96 (1) Tata cara uji kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sampai dengan pasal 49 berlaku secara mutatis mutandis untuk uji kelayakan Amdal baru sebagaimana dimaksud dalarn pasal 95 ayat (2) huruf a. (21 Tata cara pemeriksaan Formulir UKL-UPL standar spesifik atau Formulir UKL-UPL standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis untuk pemeriksaan Formulir UKL-UPL standar spesifik atau Formulir UKL- UPL standar sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat. (2) huruf b. Pasal 97 (1) Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup sesuai dengan kewenangannya melakukan penilaian addendurm Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud dalam 95 ayat (2) huruf c, dengan tahapan:
penerimaan permohonan penilaian addendulzr Andal dan RKL-RPL, dan perubahaan persetujuan Lingkungan;
pemeriksaan administrasi addendum Andal dan RKL-RPL;
penilaian substansi addendum Andal dan RKL-RpL; dan
penyampaian rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan Lingkungan Hidup.
Pemeriksaan (21 Pemeriksaan administrasi addendurm Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
kesesuaian perubahan rencana Usaha dan/atau Kegiatan dengan rencana tata ruang;
persetujuan awal Usaha dan/atau Kegiatan;
Persetujuan Teknis dalam hal terjadi perubahan Persetujuan Teknis;
keabsahan tanda bukti registrasi lembaga penyedia jasa pen5rusunan Amdal, apabila penyusunan Andal dan RKL-RPL dilakukan oleh lembaga penyedia jasa penJrusunan Amdal; dan/atau
keabsahan ta.nda bukti sertifikasi kompetensi pen5rusunan Amdal. (3) Dalam melakukan penilaian sr.rbstansi addenduim Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, untuk addendum Andal dan RKL-R.PL:
tipe A, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melibatkan pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
tipe B, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melibatkan:
instansi sektor yang menerbitkan Persetujuan Teknis; dan
instansi pusat, provinsi, atau kabupaten/kota yang terkait dengan rencana Usaha dan/atau Kegiatan, dan/atau dampak Usaha dan/atau Kegiatan; dan
tipe C, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melibatkan instansi teknis yang menerbitkan Persetujuan Teknis, dalarn hal terdapat perubahan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup serta terdapat perubahan Persetujuan'Teknis. (4) Berdasarkan hasil pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan penilaian substansi sebagaimana ciimaksud pada ayat (3), Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup menerbitkan rekomendasi hasil rrji kelayakan.
Jangka u,aktu penilaran a.ddenduim Arrdal dan RKL-RPL sarnpai dengan dlsampa.ikannya rekomendasi hasil uji kelayakan ciilakukan paling lama:
5Ct (lima pultrh) han kerja terhitung sejak ad.dendum Andal dan }{KL-RPL tipe A diterima dan dinyatakan lengkap secara adrninistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
3O (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak addendum Andal dan RKL,-RPL tipe B diterima dan dinyatakan iengkap secara administrasi sebagaimana dirnaksud pada ayat (2); dan
15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak aridendum. Andal dan RKL-RPL tipe C diterima dan dinyatakan lengkap secara administrasi sebagaimana dirnaksud pada ayat (2). Pasal 98 (t) Rekomendasi hasil uji kelayakan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 97 ayat (4) menjadi bahan pertimbangan Menteri, gubernur, atau bupati/u,ali kot-a sesuar dengan kewenangannya dalam menetapkan :
surat Keputusan Kelayakan Lingkrrngan Hidup terhadap perubahan rencana Usaha dani atau Kegiatan, jika perubahan rencana Usaha danlatau Kegiatan dinyatakan layak Lingkungan Hidup; a1-au b. keputusan ketidaklayakan Lingkungan Hidup terhadap penrbahan rencana Usaha dan/atau Kegiata.n, jika perubahan rencana Usaha dan/atau Kegiatan diriyatakan ticlak layak Lingkungan Flidup. {21 ^Jangi: a ^waktu ^penerbitan ^surat ^Keputusan Kclayakan Lingkungan Hirj,,rp atau surat keputusan ketidaklayakan Lingkungan Hidi,p .sehagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan paiing laina r0 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak rekomendasi ha: il uji keiayakan diterima. (3) Srrrat Kepuuusarr Kela,yakan Lingkungan Hidup sebagaimana- diritol<sr.r.: i pada ayat (21 menjadi prasyarat penerbrtan clan termuat dalam peru.bahan Perizina.rr Berusaha. atzru Persetujuan Pemerrntah Pasal 99 (1) Pemeriksaan perubahan Persetujuan Lingkungan tanpa disertai kewajiban menyusun dokumen Lingkungan Hidup baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^gO ayat (1) huruf b melalui pemeriksaan administrasi atas kelengkapan permohonan perubahan Persetujuan Lingkungan yang meliputi:
laporan perubahan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup ; dan I atau b. laporan perubahan Persetujuan Teknis dalam hal terjadi perubahan Persetujua.n Teknis. l2l ^Pemeriksaan ^administrasi ^atas ^kelengkapan permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. (3) Dalam hal hasil pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat Q) dinya.takan permohonan:
lengkap dan beirar, Menteri, gubernur, atau bupati/u,aii kota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan:
surat Kepr,rusan Kelayakan Lingkungan Hidup; atau
persetujuar: Penyataan Kesanggupan Pengelolaan I.ingkungan Hidup, terhadap perurbahan lencana Usaha dan/atau Kegiatan;
tidak lengkap dan/atau r"idak benar, Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan perrnohonan untuk diperba.iki. (4) Jangka waktu penerbitan peru.bahan Persetujuan Lingkungan, termasuk pengembalian permohonan untuk perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 1O (sepuluh) harr kerja terhitung sejak hasil pemeriksaan administrasi diterima. , (5) Perubahan Persetujuan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi prasyarat penerbitan dan termuat dalam Perizi: nan Berusaha atau Persetujuan Pemerincah. t Pasal 1O0 (1) Pengelola Kawasan yang telah rnemiliki Persetujuan Lingkungan, melakukan penggabungan Can penyesuaian Persetujuan Lingkungan dari penanggung jawah Usaha daniatau Kegiatan dalam kawasan pada Persetuiuan Lingkungan Kawasan. (21 Pengelola kawasan melakukan perubahan Persetujuan Lingkungan jika terdapat:
penambahan jenis Usaha dan/atau Kegiatan di luar Persetujuan Lingkungan kawasan;
periambahan RKL-RPL rinci dengan jenis Usakra dan/atau Kegiatan yang sesuai Persetujuan Lingkirngan kawasan;
perubahan kegiatan pada Usaha dan/atau Kegia-tan dalam kawasan yang telah beroperasi; dan/atau
perubahan pengelolaan dan pen: antauan Lingkungan Hidup. (3) Perubahan sebagairrrana dimaksud pada ayat (2J huruf a dilakukan rnelalui perubahan dokumen Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam 90 ayat (1) huruf a. (4) Perubahan sebagaimana dirnaksud pada ayat (21huruf b sanrpai dengan huruf d, dilakukan melalui perubahan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) hurufj. (5) Perubahan sebagaimana dimal: sud pada ayat (4) dilakukarr bersamaan dengan pelaporan Perizrnan Berusaha terkait Persetujuan Lingkungan secara berka.la setiap 6 (enam) brrlan. Pasal 1O1 Tata cara:
penyusunan adder"dum Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksucl dalam Pasal 91 ayat (3);
penilaian addendum Andal dan RKL-RPL sebaga-imana drmaksud dalam Pasal 97 dan Pasal 98; dan
perneriksaarl perubahan Persetujuan Lingkungan tanpa disertai kervajiban rnentrusun dokumen Lingkungan Hidup baru sebagaimana ciimaksud dalam Pasal 99, sebagaimana tercantum rialam Lampiran V ,vang rnerupakan bagian tidak terpisahkan dari Pera[uran Pemeriritah ini. Bagian Kesepuiuh Bantuan Pemerintah Terhadap Usaha Mikro dan Kecil Pa.sat 1Ct2 (1) Pemerintah Pusat rlan Pemerintah Daerah membantu penyusunan Amdal bagi usaha mikro dan kecil yang memiliki Dampak Penting terhadap Lingkungan Hidup l2j ^Bantuan ^penyusulran ^Amdal ^sebagainlana ^dirnaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi. bia),a, dan/atau pen)rusunan Amdal. (: l) Pen5n: surran Amdal bagi usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian aralr perangkat daerah yang membidangi Usaha danlatau Kegiatan. {4) ^Dalam hal usaha mikro dan kecil sebagaimana dirnaksud pada. ayat (1) berada di bawah pembinaan atau pengawasan lebih dari 1 (satu) kementerian/lembaga pemerintah nonkerrrenterian atau perangkat daerah, penyusunan Amdal bagi usaha mikro dan kecil yang direncanakan, dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian atau perangkat daerah yang membidangi usaha yang dominan. (5) Penentuan mengenai usaha rnikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksarrakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Pajak Penghasilan
Relevan terhadap
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 957/KMK.04/1983 tentang Penentuan Bidang-Bidang Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Tidak Termasuk Sebagai Obyek Pajak dari Pajak Penghasilan se bagaimana tel ah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1228/KMK.011/ 1984 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 957 /KMK.04 / 1983 tentang Penentuan Bidang-Bidang Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Tidak Termasuk Sebagai Obyek Pajak dari Pajak Penghasilan;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 965/KMK.04/ 1983 tentang Badan-Badan Tertentu yang Ditetapkan Sebagai Pemungut Pajak atas Penghasilan dari Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan U saha, Dasar Pemungutan, Tarif, serta Tata Cara Pelaksanaannya;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 456/KMK.012/1984 tentang Tata Cara Perhitungan dan Penyetoran Kewajiban Pertamina Kepada Pemerintah atas Hasil Operasi Pertamina Sendiri;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 458/KMK.012/ 1984 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan yang Terutang oleh Kontraktor yang Mengadakan Kontrak Production Sharing Dalam Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 815/KMK.012/ 1985 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 458/KMK.012/1984 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan yang Terutang oleh Kontraktor Yang Mengadakan Kontrak Production Sharing Dalam Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina);
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 714/KMK.04/ 1984 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak Badan yang Melakukan Kegiatan U saha di Bidang Penge boran Min yak dan Gas Bumi serta Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 715/KMK.04/ 1984 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pekerja Tenaga Asing yang Bekerja pada Wajib Pajak Badan Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di Indonesia;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.04/ 1986 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan yang Melakukan Kegiatan U saha di Bidang Penge boran Min yak dan Gas Bumi serta Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 356/KMK.04/ 1986 tentang Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Tenaga Ahli atau Persekutuan Tenaga Ahli Sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri Berupa Honorarium atau Pembayaran Lain Sebagai Imbalan atas Jasa Profesi yang Dilakukan di Indonesia;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 759 /KMK.04 / 1986 tentang Besarnya Peredaran Usaha atau Penerimaan Bruto Pekerjaan Bebas bagi Wajib Pajak yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan; J. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 828/KMK.04/1986 tentang Pelaksanaan Pemberian Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 830/KMK.04/ 1986 tentang Pembebasan dari Pemilikan Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri (SKFLN) bagi Warga Negara Indonesia yang Bertempat Tinggal Tetap di Luar Wilayah Republik Indonesia; I. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 914/KMK.04/ 1986 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1986 tentang Penyesuaian Harga atau Nilai Perolehan Harta Berkenaan dengan Perubahan Nilai Tukar Rupiah;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1442/KMK.04/ 1988 tentang Pengembalian Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito dan Tabungan;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 78/KMK.01/ 1990 tentang Faktor Penyesuaian Tahun 1989 untuk Penghitungan Pajak Penghasilan;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 747/KMK.04/1990 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Investasi di Wilayah Tertentu;
Keputusan Menteri Keuangan 770/KMK.04/ 1990 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Latihan Karyawan, Pemagangan dan Bea Siswa;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1075/KMK.04/ 1992 tentang Faktor Penghasilan dari Tahun 1992; Penyesuaian Penjualan untuk Penghitungan atau Pengalihan Harta r. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 632/KMK.04/ 1993 tentang Faktor Penyesuaian untuk Penghitungan Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta Tahun 1993;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 795/KMK.04/1993 tentang Besarnya Faktor Penyesuaian Peredaran Usaha atau Penerimaan Bruto Pekerjaan Bebas bagi Wajib Pajak yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 928/KMK.04/1993 tentang Faktor Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/ 1994 tentang Faktor Penyesuaian untuk Penghitungan Pajak Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta Tahun 1994;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 604/KMK.04/1994 ten tang Badan-Badan dan Pengusaha Kecil yang Menerima Harta Hibahan yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 649/KMK.04/1994 tentang Organisasi Internasional yang Tidak Berkewajiban Memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Ayat (1) Huruf d;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 505/KMK.04/ 1995 tentang Pegangan Penyusunan Norma Penghitungan Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.016/1996 tentang Bantuan Badan Usaha Milik Negara untuk Pembinaan Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sej ah tera I;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 597/KMK.04/1997 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Selisih Kurs Valuta Asing Dalam Tahun 1997;
aa. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 44/KMK.04/1998 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Usaha Industri Tertentu Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 358/KMK.04/ 1999 tentang Perubahan atas KMK 44/KMK.04/1998 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Usaha Industri Tertentu Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1996;
ab. Keputusan Menteri Keuangan 361/KMK.04/1998 tentang Faktor Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;
ac. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.04/ 1999 tentang Penyusutan atas Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan Kontraktor yang Melakukan Kontrak bagi Hasil di Bidang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerjasama Zona A Celah Timor;
ad. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 391/KMK.04/2000 tentang Pelabuhan atau Tempat Pemberangkatan ke Luar Negeri Dalam Daerah Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang Dikecualikan dari Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak ke Luar Negeri Dalam Kawasan Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 499/KMK.03/2003 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 391/KMK.04/2000 tentang Pelabuhan atau Tempat Pemberangkatan ke Luar Negeri Dalam Daerah Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang Dikecualikan dari Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak ke Luar Negeri Dalam Kawasan Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN;
ae. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- daerah Tertentu;
af. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan Kepada Wajib Pajak yang Melakukan Restrukturisasi /() Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus yang Dibentuk Pemerintah;
ag. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung oleh Pemerintah atas Penghasilan Pekerja dari Pekerjaan;
ah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 609/PMK . 03/2004 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara;
ai. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2005 tentang Persyaratan Sumbangan serta Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan oleh Penampung, Penyalur, dan/atau Pengelola Sumbangan Dalam Rangka Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara; aJ. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137 /PMK.03/2005 ten tang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;
ak. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2006 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam Gempa Bumi di Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta dan Sebagian Provinsi Jawa Tengah serta Gempa Bumi dan Tsunami di Pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa;
al. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.03/2006 tentang Persyaratan Sumbangan serta Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan oleh Penampung, Penyalur, dan/atau Pengelola Sumbangan Dalam Rangka Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sebagian Provinsi Jawa Tengah Serta Gempa Bumi dan Tsunami di Pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa;
am. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.03/2007 tentang Penyesuaian Besarnya Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Boleh Menghitung Penghasilan Neto dengan Menggunakan Penghitungan Penghasilan Neto; dan Norma I www.jdih.kemenkeu.go.id an. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak Industri Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1066), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan tetap. 3. Hutan Produksi adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan. 4. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata atr, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan 5. Hutan Konservasi adalah Kawasan Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 6. Rencana Tata Ruang adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. 7. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 8. Perizinan Berusaha adalah izin usaha yang diberikan kepada Setiap Orang sebagai legalitas untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. 9. Pejabat yang berwenang adalah Pemerintah, Gubernur, atau Bupati/Walikota yang menerbitkan IzinLokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. 10. lzin Lokasi adalah tzin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. 11. Izin Usaha Perkebunan adalah izin usaha yang menghasilkan barang danf ataujasa perkebunan.
Penzinan 12. Perizinan di bidang kehutanan adaiah izin usaha di bidang kehutanan yang diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, yang meliputi rzin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, rzin usaha pemanfaatan hasil hutan ka)ru danf atau bukan ka5ru, izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan ka5ru, izin pinjam pakai Kawasan Hutan, izin perhutanan sosial, atau pelepasan Kawasan Hutan. 13. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan adalah persetujuan tentang perubahan peruntukan kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan/atau Hutan Produksi Tetap menjadi bukan Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri. 14. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan adalah persetujuan penggunaan atas sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di iuar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan Kawasan Hutan. 15. Sanksi Administratif adalah perangkat sarana hukum administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali Keputusan Tata Usaha Negara yang dikenai kepada Setiap Orang atas dasar ketidaktaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. 16. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Fusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
Provisi 17. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan danf atau hasil usaha yang dipungut dari hutan negara. 18. Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari hutan negara. 19. Surat Pemberitahuan adalah pemberitahuan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri atau pejabat yang berwenang terhadap kegiatan usaha yang telah terbangun di Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. 20. Denda Administratif adalah Sanksi Administratif berupa pembebanan kewajiban bagi Setiap Orang untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu akibat pelanggaran penggunaan Kawasan Hutan secara tidak sah. 21. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha adalah tindakan yang dilakukan oleh Menteri untuk menghentikan kegiatan pelanggaran pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan. 22. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha adalah persetujuan yang diberikan oleh Menteri untuk menjalankan kegiatan usaha yang telah terbangun dan/atau beroperasi di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi. 23. Surat Peringatan adalah pemberitahuan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri terhadap tindakan pelanggaran oleh Setiap Orang karena tidak melaksanakan Sanksi Administratif.
Pernerintah PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 24. Pemerintah Pusat yang ^selanjutnya ^disebut Pemerintah adalah Presiden Republik ^Indonesia ^yang memegang kekuasaan ^pemerintahan ^negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil ^Presiden ^dan menteri sebagaimana dimaksud dalam ^Undang- Undang Dasar Negara Republik ^Indonesia ^Tahun 1945. 25. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah ^sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah ^yang memimpin pelaksanaan urusan ^pemerintahan ^yang menjadi kewenangan daerah otonom. 26. Menteri adalah menteri yang ^menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ^lingkungan hidup ^dan kehutanan. Pasal 2 (1) Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan ^wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang ^kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan. (21 Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan ^Hutan ^yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan. Pasal 3 (1) Setiap Orang yang melakukan kegiatan ^usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun ^di dalam Kawasan Hutan dan memiliki lzin ^Lokasi dan/atau izin usaha di bidang ^perkebunan ^sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor ^11 ^Tahun ^2O2O tentang Cipta Kerja ^yang tidak memiliki ^Perizinan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan ^persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta ^Kerja berlaku.
Jika . (21 Jika penyelesaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati ^jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku, Setiap Orang dikenai Sanksi Administratif. (3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, ^yang tidak memiliki Perrzinan di bidang kehutanan, dikenai Sanksi Administratif. (4) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud ^pada ayat (2) dan ayat (3) berupa:
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
Denda Administratif;
pencabutan Perizinan Berusaha; dan f atau d. paksaan pemerintah. Pasal 4 (1) Kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memrhki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang ^perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat ^(1) harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang pada saat usaha ^pertama kali dibangun dan/atau dioperasikan. (2) Kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat ^(3) meliputi bidang:
pertambangan yang:
melakukan kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan;
rnengangkut PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA 2. mengangkut dan/atau menerima titipan krasil t.ambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan; dan/atau
membeli, memasarkan, dan latau mengolah hasil tambang dari kegiatarr penambangan di dalam Kawasan Hutan. perkebunan yang:
melakukan kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan;
mcngangkut dan/atau menerima titipan hasil kebun yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan; dan/atau
membeli, memasarkan, dan latau mengolah hasil kebun dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan. kegiatan lain yang meliputi:
minyak dan gas bumi;
panas bumi;
tambak;
pertanian;
permukiman;
wisata alam;
industri; dan/atau
sarana dan prasarana. Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun rli clalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan; b C b. tata
PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 28 (1) Persetujuan Melanjutkan Kegiatan ^Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf ^b, dilaksanakan dengan mekanisme kerja sama ^atau kemitraan dengan Menteri. (21 Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf ^b, berlaku 1 (satu) daur selama 15 ^(lima belas) ^tahun sejak masa tanam. (3) Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ^huruf ^b memuat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
melakukan kegiatan ^jangka benah ^dengan tanaman pokok kehutanan sesuai silvikultur ^di sela-sela tanaman sawit;
tidak melakukan penanaman sawit ^baru (replanting); dan
setelah habis 1 (satu) daur selama 15 ^(lima belas) tahun sejak masa tanam sebagaimana dimaksud pada ayat (21, wajib mengembalikan areal usaha di dalam Kawasan Hutan kepada negara, Bagian Kedelapan Pengenaan Sanksi Administratif Paragraf 1 Umum Pasal 29 (1) Sanksi Administratif dikenakan kepada Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam ^jangka waktu 3 ^(tiga) ^tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor ^11 ^Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.
Sanksi Paragraf 2 Pengenaan Denda Administratif Bagi Setiap Orang yang Tidak Menyelesaikan Pe: 'syaratan Perizinan di Bidang Kehutanan (21 Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pembayaran Denda Administratif; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Besaran Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dihitung sebesar 10 (sepuluh) kali besaran PSDH dan DR. Pasal 30 (1) Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam ^jangka waktu 3 (tiga) tahuri sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku, dikenai Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif. (21 Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. (3) Pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat(21, wajib disetorkan ke kas negara dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya pengenaan Sanksi Administratif. (4) Setiap Orang melaporkan bukti pelunasan Denda Administratif kepaCa Menteri. (5) Berdasarkan bukti pelunasan Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri menerbitkan:
Persetujuan Pelepasan Kawasan ' Hutan di kawasan Hutan Produksi; atau
Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi. BAB IV TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP KEGIATAN USAHA DI DALAM KAU/ASAN HUTAN YANG TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BiDANG KEI{UTANAN Bagian Kesatu Umum Pasal 31 (1) Setiap Orang yang tidak melakukan pelunasan Denda Administratif dikenai Sanksi Administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha. (2) Pencabutan Perizinair Berusaha dilakukan cleh penerbit izin berdasarkan rekomendasi dari Menteri. (3) Dalam jangka u,aktu 30 (tiga puluh) hari sejak rekomendasi dari Menteri diterima, penerbit izin wajib mencabut Perizinan Berusaha. (4) Dalam hal penerbit izin tidak mencabut Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perizinan Berusaha dinyatakan ticlak berlaku demi hukum. (5) Pernyataan tidak berlakunya Perrzinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh Menteri. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha, kemitraan, dan kerja sama dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Pasal 33 (1) Terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dikenai Sanksi Administratif berupa:
Penghentian Seinentara Kegiatan Usaha;
Denda Administratif; dan/atau
paksaan pemerintah.
Selain Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang wajib menyelesaikan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (3) Pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui tahapan:
verifikasi dan validasi data dan informasi; dan
penetapan pengenaan Sanksi Administratif. Bagian Kedua Verifikasi dan Validasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha di dalam ^Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Pasal 34 (1) Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a, dilakukan terhadap data dan informasi yang tertuang dalam penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. (2) Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (3) Dalam melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat ^(2) , Menteri membentuk tim yang terdiri atas:
Polisi Kehutanan;
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup;
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan/atau
Pejabat lain yang ditunjuk. Pasal 35 (1) Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri menerbitkan Sanksi Administratif kepada Setiap Orang ^yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan.
Dalam (21 Dalam hal 1 (satu) lokasi Karvasan Hutan terdapat lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, Menteri menerbitkan Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang lebih dahulu beroperasi dan selanjutnya dapat diproses Persetujuan Penggunaan Ka'uvasan Hutan. (3) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21paling sedikit memuat:
identitas Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
jenis pelanggaran;
jenis Sanksi Administratif:
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha dan pembayaran Denda Administratif; dan
paksaan pemerintah, apabila tidak melakukan pelunasan pembayaran Denda Administratif;
jangka waktu pelunasan Denda Administratif; dan
perintah pengurllsan Pcrsetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk pelanggaran di kawasan Hutan Produksi. (4) Pelunasan Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disetorkan ke kas negara. (5) Pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, dapat diangsur dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam tahun anggaran berjalan terhitung sejak surat persetujuan pengangsuran Citet-apkan. Si( No 0891 15 A (6) Apabila (6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melewati tahun anggaran, surat persetujuan keringanan berupa pengangsuran harus terlebih dahulu mendapat pertimbangan menteri ^yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (7) Menteri melakukan pengawasan ketaatan pemenuhan Sanksi Administratif. Bagian Ketiga Tata Cara Penyelesaian Paragraf 1 Umum Pasal 36 (1) Terhadap Setiap Orang yang telah melakukan pelunasan pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat ^(4l,, Menteri:
menerbitkan Persetujuan Penggunaan ^Kawasan Hutan di kawasan Hutan Produksi;
memfasilitasi kerja sama dalam hal kegiatan usaha terdapat tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan di kawasan Hutan Produksi; atau
memerintahkan pengembalian areal kegiatan usaha kepada Negara ^jika kegiatan usaha berada di kawasan Hutan Lindung danlalau kawasan Hutan Konservasi. (21 Dalam hal pengembalian areal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf c ^tidak dilaksanakan oleh Setiap Orang, dikenai sanksi ^sesuai dengan ketentuan peraturan perLlndang-undangan ^di bidang kehutanan.
Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce)
Relevan terhadap
bahwa dengan meningkatnya transaksi perdagangan melalui sistem elektronik ( e-commerce ), perlu menjaga perlakuan yang setara antara perdagangan melalui sistem elektronik ( e-commerce ) dan perdagangan konvensional;
bahwa dengan adanya model transaksi perdagangan melalui sistem elektronik ( e-commerce ), perlu lebih memudahkan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik ( e- commerce ) sehingga para pelaku usaha dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan mudah sesuai model transaksi yang digunakan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pasal 10B ayat (5), Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (3) Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik ( E-Commerce );
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Di ...
Relevan terhadap 5 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 43 halaman. Putusan Nomor 4 P/HUM/2021 pelaku UMKM yang belum siap melaksanakan pembukuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 3. Hilangnya Kesempatan Wajib Pajak UMKM untuk Mempersiapkan Dirinya Memasuki Sektor Ekonomi Formal; Perlu dipahami bahwa kebijakan ini berlaku sementara dan merupakan kebijakan yang memberi keistimewaan ( affirmative action ) pada UMKM agar memperoleh peluang yang setara dengan kelompok usaha lain. Adapun jangka waktu pemberlakuan PP Nomor 23/2018, yaitu: ï‚· 7 tahun bagi WP Orang Pribadi; ï‚· 4 tahun bagi WP Badan berbentuk Koperasi, CV, atau Firma; ï‚· 3 tahun bagi WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT); Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap UMKM mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan dirinya memasuki sektor ekonomi formal dan berkontribusi terhadap penerimaan negara. Oleh karena itu, penghapusannya justru akan menghambat pelaku UMKM dalam mengembangkan usahanya; 4. Adanya Kekosongan Hukum; Pencabutan PP Nomor 23/2018 juga akan berakibat pada kekosongan hukum karena tidak adanya aturan pelaksana bagi ketentuan Pasal 4 ayat (2) khususnya untuk penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu. Kekosongan pengaturan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku UMKM; 5. Hilangnya Kesempatan Wajib Pajak untuk Mendapatkan Insentif Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (PMK 86/2020); Bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan pemberian insentif pajak untuk mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019. Adapun Wajib Pajak yang berhak mendapatkan insentif tersebut termasuk di dalamnya bagi pelaku usaha yang tunduk kepada PP Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 43 halaman. Putusan Nomor 4 P/HUM/2021 3. mendorong Wajib Pajak untuk mempelajari pembukuan; dan 4. memberikan keadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah mampu melakukan pembukuan; B. Implikasi Pencabutan PP Nomor 23/2018; Berdasarkan pada tujuan tersebut, jika PP Nomor 23/2018 dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat maka akan menimbulkan implikasi sebagai berikut: 1. Tidak terlaksananya kewajiban perpajakan pelaku UMKM secara patuh; Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pengaturan PP Nomor 23/2018 dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi seluruh Wajib Pajak dalam hal ini pelaku UMKM yang memiliki keterbatasan dalam melakukan pembukuan keuangannya. Pemberian kemudahan dan kepercayaan dalam penghitungan omzet, yang berdampak pada besaran pajak yang disetorkan serta pengenaan tarif yang sangat kecil (0,5%) dibandingkan tarif pajak umum yang bersifat progresif dari paling sedikit 5% sampai dengan paling banyak 30% merupakan bentuk upaya pemerintah agar Wajib Pajak pelaku UMKM dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya secara patuh. Apabila dibatalkan, terdapat ketidakadilan karena pelaku UMKM dengan peredaran bruto 4,8 Milyar menjadi berpeluang tidak menjalankan kewajibannya dengan patuh karena kesulitan dalam memenuhi kewajiban pembukuan. Dari sisi tarif pajak, juga akan dikenakan tarif progresif yang mengakibatkan pembayaran pajak menjadi lebih besar sehingga berpotensi melakukan penghindaran pajak; 2. Timbulnya ketidakadilan bagi pelaku UMKM yang belum siap menyelenggarakan pembukuan; Apabila PP Nomor 23/2018 dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat maka seluruh pelaku usaha termasuk UMKM yang berbentuk badan maupun orang pribadi diwajibkan untuk membuat pembukuan. Sementara, karakteristik UMKM di Indonesia belum mempunyai kemampuan membuat pembukuan yang memadai sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 28 Undang-Undang KUP; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 43 halaman. Putusan Nomor 4 P/HUM/2021 Berdasarkan Pasal 1 angka 29 Undang-Undang KUP, pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tertentu; Bagi pelaku UMKM, kompleksitas pembukuan sebagaimana terdeskripsi di atas, dianggap sebagai momok dalam penghitungan penghasilan kena pajak karena harus sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK); Apabila didasarkan pada teori pemajakan sebagaimana diungkapkan oleh Fritz Neumark yaitu ease of administration and compliance , seyogianya suatu sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam administrasinya dan mudah pula untuk mematuhinya. Sebab, kesederhanaan administrasi perpajakan akan berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan; Di Indonesia, terdapat sekitar 60 juta pelaku UMKM. Sektor ini memiliki potensi besar dalam menunjang penerimaan negara. Namun, pada kenyataannya hanya 2,3 juta yang terdaftar sebagai Wajib Pajak. Oleh karena itu, dengan penghapusan PP Nomor 23/2018 justru akan menurunkan tingkat kepatuhan serta dapat menimbulkan resistensi Wajib Pajak UMKM untuk berkontribusi bagi penerimaan negara; Besarnya jumlah UMKM di Indonesia, memakan porsi sekitar 98.8% dari jumlah seluruh unit usaha dan telah berhasil memberi sumbangsih besar pada Penerimaan Domestik Bruto (PDB). Peran strategis yang dimiliki oleh UMKM didukung oleh pemerintah dengan memberi perhatian khusus yang salah satunya melalui PP Nomor 23/2018. Ketentuan dalam PP Nomor 23/2018 pada dasarnya telah memberikan kemudahan bagi para pelaku UMKM yang belum bisa melakukan pembukuan. Sementara itu, dengan penghapusan PP ini maka sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang KUP, pelaku usaha wajib menyelenggarakan pembukuan. Dengan demikian, penghapusan ini justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PETUNJUK TEKNIS JABATAN FUNGSIONAL DI BIDANG KEUANGAN NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. 2. Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil clan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan. 3. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. jdih.kemenkeu.go.id 4. Jabatan Fungsional yang selanjutnya disingkat JF adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi clan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian clan keterampilan tertentu. 5. Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF di Bidang Keuangan Negara adalah sekelompok Jabatan Fungsional yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan pengelolaan keuangan negara. 6. Jabatan Fungsional Analis Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF AKN adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan analisis keuangan negara yang meliputi fiskal clan sektor keuangan, perencanaan clan penganggaran, pajak, kepabeanan clan cukai, penerimaan negara bukan pajak, perbendaharaan, kekayaan negara, penilaian, lelang, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan clan risiko keuangan, pembinaan profesi keuangan, atau investasi pemerintah clan pengelolaan dana. 7. Jabatan Fungsional Pengawas Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF PKN adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan pelayanan, pengawasan, clan/ a tau pemeriksaan di bidang pajak, kepabeanan clan cukai, perbendaharaan, kekayaan negara, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan, pengawasan pengelolaan bagian anggaran bendahara umum negara serta badan usaha milik negara clan lembaga nonbadan usaha milik negara, atau advokasi clan penyuluhan di bidang keuangan negara. 8. Jabatan Fungsional Penilai yang selanjutnya disingkat JF Penilai adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan penilaian clan/ atau pemetaan kekayaan negara clan pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan. 9. Jabatan Fungsional Pelelang yang selanjutnya disingkat JF Pelelang adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan lelang clan penggalian potensi lelang. 10. Pejabat Fungsional Analis Keuangan Negara yang selanjutnya disebut AKN adalah PNS yang diberikan tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan analisis keuangan negara yang meliputi fiskal clan sektor keuangan, perencanaan clan penganggaran, pajak, kepabeanan clan cukai, penerimaan negara bukan pajak, perbendaharaan, kekayaan negara, penilaian, lelang, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan clan risiko keuangan, pembinaan profesi keuangan, atau investasi pemerintah clan pengelolaan dana. 11. Pejabat Fungsional Pengawas Keuangan Negara yang selanjutnya disebut PKN adalah PNS yang diberikan tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan pelayanan, pengawasan, clan/ atau pemeriksaan di bidang pajak, kepabeanan clan cukai, perbendaharaan, kekayaan jdih.kemenkeu.go.id negara, hubungan keuangan pusat dan daerah, pembiayaan, pengawasan pengelolaan bagian anggaran bendahara umum negara serta badan usaha milik negara dan lembaga nonbadan usaha milik negara, atau advokasi dan penyuluhan di bidang keuangan negara. 12. Pejabat Fungsional Penilai yang selanjutnya disebut Penilai adalah PNS yang diberikan tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan penilaian dan/ a tau pemetaan kekayaan negara, dan pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan. 13. Pejabat Fungsional Pelelang yang selanjutnya disebut Pelelang adalah PNS yang diberikan tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan lelang dan penggalian potensi lelang. 14. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 15. Pejabat yang Berwenang yang selanjutnya disingkat PyB adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 16. Pejabat Pembina Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 1 7. Instansi Pemerintah adalah instansi pusat dan instansi daerah. 18. Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural. 19. Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. 20. Unit Organisasi adalah bagian dari struktur organisasi yang dapat dipimpin oleh pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator, pejabat pengawas, atau pejabat fungsional yang diangkat untuk memimpin suatu unit kerja mandiri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Sasaran Kinerja Pegawai yang selanjutnya disingkat SKP adalah adalah ekspektasi kinerja yang akan dicapai oleh Pegawai setiap tahun. 22. Ekspektasi Kinerja yang selanjutnya disebut Ekspektasi adalah harapan atas hasil kerja dan perilaku kerja Pegawai ASN. 23. Angka Kredit adalah nilai kuantitatif dari hasil kerja AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang. jdih.kemenkeu.go.id 24. Angka Kredit Kumulatif adalah akumulasi nilai Angka Kredit yang harus dicapai oleh AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat dan jabatan. 25. Tim Penilai Kinerja PNS adalah tim yang dibentuk oleh PyB untuk memberikan pertimbangan kepada PPK atas usulan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam jabatan, pengembangan kompetensi, serta pemberian penghargaan bagi PNS. 26. Kebutuhan JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang selanjutnya disebut KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang adalah jumlah dan susunan JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang diperlukan oleh Instansi Pusat dan Instansi Daerah untuk dapat melaksanakan tugas pokok di bidang pengelolaan Keuangan Negara dengan baik, efektif, dan efisien dalam jangka waktu lima tahun. 27. Kompetensi adalah karakteristik dan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan sesuai tugas dan/ a tau fungsi jabatan. 28. Kompetensi Teknis adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan yang spesifik berkaitan dengan bidang teknis jabatan. 29. Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan untuk memimpin dan/atau mengelola unit organisasi. 30. Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip, yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi, dan jabatan. 31. Standar Kompetensi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang selanjutnya disebut SKJ AKN, SKJ PKN, SKJ Penilai, dan SKJ Pelelang adalah deskripsi Kompetensi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang yang meliputi Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial, dan Kompetensi Sosial Kultural. 32. Uji Kompetensi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang yang selanjutnya disebut Uji Kompetensi adalah proses pengujian dan penilaian terhadap Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial, dan Kompetensi Sosial Kultural dari seorang ASN untuk pemenuhan Standar Kompetensi pada setiap jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang. 33. Analisis Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Analisis Jabatan Fungsional adalah proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan dan penyusunan data JF di Bidang Keuangan Negara. jdih.kemenkeu.go.id 34. Uraian Jabatan adalah uraian terperinci dan lengkap terkait jabatan. 35. Instansi Pembina JF di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Instansi Pembina adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan Negara. 36. Instansi Pengguna JF di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Instansi Pengguna adalah Instansi Pusat dan Instansi Daerah yang menggunakan JF AKN, JF PKN, dan JF Penilai. BAB II JENIS, KATEGORI, JENJANG, KARAKTERISTIK, KEDUDUKAN, DAN TANGGUNG JAWAB Bagian Kesatu Jenis Pasal 2 JF di Bidang Keuangan Negara terdiri atas:
JF AKN;
JF PKN;
JF Penilai; dan
JF Pelelang. Bagian Kedua Kategori Pasal 3 JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang merupakan JF kategori keahlian dan keterampilan. Bagian Ketiga Jenjang Pasal 4 (1) Jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang kategori keahlian dan keterampilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
kategori keterampilan:
Jenjang Terampil;
Jenjang Mahir; dan
Jenjang Penyelia; dan
kategori keahlian:
Jenjang Ahli Pertama;
Jenjang Ahli Muda;
Jenjang Ahli Madya; dan
Jenjang Ahli Utama. (2) Jenjang pada JF AKN, JF PKN, JF Penilai dan JF Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan bidang tugas dalam Lampiran huruf A, hurufB, dan huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Karakteristik Pasal 5 (1) Karakteristik JF di Bidang Keuangan Negara terdiri atas:
terbuka, untuk bidang tugas tertentu dapat berkedudukan pada Instansi Pembina clan/ atau Instansi Pengguna; clan b. tertutup, hanya berkedudukan pada lingkup Instansi Pembina. (2) JF di Bidang Keuangan Negara dengan karakteristik terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
JF AKN;
JF PKN; clan c. JF Penilai. (3) JF di Bidang Keuangan Negara dengan karakteristik tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu JF Pelelang. Bagian Kelima Kedudukan clan Tanggung Jawab Pasal 6 (1) Kedudukan AKN, PKN, clan Penilai sebagai pelaksana teknis di Bidang Keuangan Negara pada Instansi Pembina clan/ atau Instansi Pengguna. (2) Kedudukan Pelelang sebagai pelaksana teknis di Bidang Keuangan Negara pada Instansi Pembina. (3) AKN, PKN, clan Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) clan Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkedudukan di bawah clan bertanggung jawab secara langsung kepada pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator, atau pejabat pengawas yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara. (4) Dalam hal Unit Organisasi dipimpin oleh pejabat fungsional maka AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang dapat berkedudukan di bawah clan bertanggung jawab secara langsung kepada pejabat fungsional yang memimpin Unit Organisasi. (5) Pemetaan kedudukan pejabat fungsional mempertimbangkan kesesuaian tugas clan fungsi serta kesetaraan kelas jabatan antara atasan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang dengan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang berkedudukan. (6) Kedudukan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam peta jabatan berdasarkan analisis jabatan clan analisis beban kerja yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) JF AKN, JF PKN, JF Penilai, clan JF Pelelang merupakan jabatan karier PNS. jdih.kemenkeu.go.id BAB III BIDANG TUGAS, RUANG LINGKUP KEGIATAN, DAN CAKUPAN KEGIATAN Pasal 7 (1) Bidang tugas merupakan tugas yang dapat dilaksanakan oleh pejabat fungsional di Bidang Keuangan Negara berdasarkan fungsi dan peran pengelolaan Keuangan Negara. (2) Ruang lingkup kegiatan merupakan penjelasan rinci dari bidang tugas JF di Bidang Keuangan Negara. (3) Ruang lingkup merupakan penjelasan kompleksitas ruang lingkup kegiatan dari masing-masing jenjang jabatan. (4) Cakupan kegiatan merupakan penjelasan lebih lanjut dari ruang lingkup JF di Bidang Keuangan Negara. (5) Rincian bidang tugas, ruang lingkup kegiatan, ruang lingkup, dan cakupan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) yaitu:
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pembina yang menjalankan fungsi bendahara umum negara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A;
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pengguna pada Instansi Pusat sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B; dan
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pengguna pada Instansi Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6) Perluasan cakupan kegiatan yang akan dijadikan rujukan dalam penyusunan SKP untuk mencapai tujuan organisasi, dapat dilakukan oleh pimpinan unit kerja JF di Bidang Keuangan Negara berkedudukan dengan memperhatikan kesesuaian bidang tugas dan kompetensi JF. (7) Perluasan cakupan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan paling rendah oleh pejabat pimpinan tinggi pratama. (8) Penggunaan bidang tugas JF pada Instansi Pengguna selain yang tercantum dalam Lampiran hurufB dan huruf C dapat dilakukan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pengguna dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina. (9) Instansi Pembina dapat melakukan perluasan/penyesuaian ruang lingkup kegiatan dan ruang lingkup setiap jenjang jabatan dengan mempertimbangkan dinamika pengelolaan Keuangan Negara. (10) Dalam hal terdapat tugas fungsi baru di bidang pengelolaan Keuangan Negara yang tidak tercakup dalam salah satu bidang tugas pada JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jdih.kemenkeu.go.id Instansi Pembina dapat melakukan penyesuaian tanpa membentuk JF baru. (11) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan izin kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. BAB IV PENGELOLAAN KINERJA PEJABAT FUNGSIONAL Pasal 8 (1) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional terdiri atas:
perencanaan kinerja yang meliputi penetapan dan klarifikasi Ekspektasi;
pelaksanaan, pemantauan, dan pembinaan kinerja yang meliputi pendokumentasian kinerja, pemberian umpan balik berkelanjutan, dan pengembangan kinerja pejabat fungsional;
penilaian kinerja pejabat fungsional yang meliputi evaluasi kinerja pejabat fungsional; dan
tindak lanjut hasil evaluasi kinerja pejabat fungsional yang meliputi pemberian penghargaan dan sanksi. (2) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berorientasi pada:
pengembangan kinerja pejabat fungsional;
pemenuhan Ekspektasi pimpinan;
dialog kinerja yang intens antara p1mp1nan dan pejabat fungsional;
pencapaian kinerja organisasi; dan
hasil kerja dan perilaku kerja pejabat fungsional. (3) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan kinerja Pegawai ASN. Pasal 9 (1) Evaluasi kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dilaksanakan secara periodik maupun tahunan. (2) Evaluasi kinerja periodik pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan ditetapkan dalam predikat kinerja periodik pejabat fungsional. (3) Evaluasi kinerja tahunan pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam predikat kinerja tahunan pejabat fungsional. (4) Predikat kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas:
sangat baik;
baik;
cukup/butuh perbaikan;
kurang; atau
sangat kurang. (5) Penetapan predikat kinerja dilakukan oleh pejabat penilai kinerja. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 10 (1) Predikat kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikonversikan ke dalam perolehan Angka Kredit tahunan dengan ketentuan sebagai berikut:
sangat baik, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
baik, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 100% (seratus persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
cukup/butuh perbaikan, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
kurang, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 50% (lima puluh persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF; dan
sangat kurang, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF. (2) Dalam hal pejabat fungsional memperoleh ijazah pendidikan formal yang lebih tinggi dan telah diakui secara kedinasan, diberikan tambahan Angka Kredit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Angka Kredit Kumulatif kenaikan pangkat sesuai jenjangnya untuk 1 (satu) kali penilaian. (3) Selama pejabat fungsional melaksanakan tugas di daerah terpencil, berbahaya, rawan, dan/ a tau konflik, dapat diberikan tambahan Angka Kredit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Angka Kredit Kumulatif kenaikan pangkat sesuai jenjangnya untuk setiap kenaikan pangkat. (4) Penetapan daerah terpencil, berbahaya, rawan, dan/atau konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Tambahan Angka Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya diberikan bagi pejabat fungsional dengan predikat kinerja paling rendah baik. (6) Dalam hal predikat kinerja diperoleh melalui evaluasi kinerja yang dilaksanakan secara periodik maupun tahunan, konversi predikat kinerja ke dalam Angka Kredit dapat dihitung secara proporsional berdasarkan periode penilaian yang berjalan sepanjang terpenuhi Ekspektasi. (7) Konversi predikat kinerja ke dalam Angka Kredit dan penetapan Angka Kredit dilakukan oleh pejabat penilai kinerja dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1) Penetapan Angka Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) bagi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan berdasarkan konversi predikat kinerja yang diperoleh secara kumulatif pada satu periode kenaikan pangkat dan/atau jenjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam hal terdapat kebutuhan tertentu, penetapan Angka Kredit bagi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dapat dilakukan di luar periode kenaikan pangkat dan/atau jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 (1) Angka Kredit hasil konversi predikat kinerja ditetapkan oleh atasan langsung atau pejabat lain yang diberikan pendelegasian kewenangan. (2) Dalam ha! atasan langsung selaku pejabat penilai kinerja berhalangan tetap, maka penetapan Angka Kredit hasil konversi predikat kinerja dilakukan oleh atasan dari pejabat penilai kinerja secara berjenjang. (3) Atasan dari pejabat penilai kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mendelegasikan kewenangan evaluasi kinerja pegawai kepada pelaksana tugas atau pelaksana harian. BABV SERTIFIKASI, KEBUTUHAN JABATAN FUNGSIONAL, PENGANGKATAN, KENAIKAN PANGKAT, KENAIKAN JENJANG, PEMBERHENTIAN DAN PENGANGKATAN KEMBALI, TIM PENILAI KINERJA PNS SERTA PELANTIKAN DAN PENGAMBILAN SUMPAH/JANJI Bagian Kesatu Sertifikasi Pasal 13 Dalam hal pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara mensyaratkan adanya sertifikat dan/ a tau surat keputusan dari PyB, sertifikasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Kebutuhan Jabatan Fungsional Pasal 14 (1) KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang ditetapkan berdasarkan jenis JF pada Unit Organisasi Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna. (2) Perhitungan, pengusulan, dan penetapan KJF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Pengangkatan Pasal 15 (1) Pengangkatan PNS dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan melalui:
pengangkatan pertama;
perpindahan dari jabatan lain;
penyesuaian; dan
promos1. jdih.kemenkeu.go.id (2) Pengangkatan PNS ke dalam JF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta mempertimbangkan kebutuhan organisasi dan ketersediaan anggaran. (3) Perpindahan dari kategori keterampilan ke kategori keahlian dalam JF yang sama, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Perpindahan antar kelompok JF dari JF di luar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang ke dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina untuk dan atas nama Menteri Keuangan. Pasal 16 (1) Perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara, terdiri atas:
perpindahan antar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dalam bidang tugas yang sama;
perpindahan antar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dalam bidang tugas yang berbeda; dan
perpindahan antar bidang tugas dalam satu JF yang sama. (2) Perpindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam keputusan PyB. (3) Perpindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan memperhatikan ketentuan terkait pola karir dan mutasi yang berlaku pada masing- masing Instansi Pembina dan/ a tau Instansi Pengguna. Bagian Keempat Kenaikan Pangkat Pasal 17 (1) Kenaikan pangkat bagi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang dapat dipertimbangkan apabila capaian Angka Kredit telah memenuhi Angka Kredit Kumulatif yang dipersyaratkan. (2) Dalam ha! AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang telah memenuhi Angka Kredit Kumulatif untuk kenaikan pangkat bersamaan dengan kenaikan jenjang, namun belum tersedia lowongan KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang pada jenjang jabatan yang akan diduduki, AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang dapat diberikan kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi setelah mengikuti dan lulus Uji Kompetensi. (3) Ketersediaan lowongan KJF sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang pada 1 (satu) Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kelima Kenaikan Jenjang Pasal 18 (1) Kenaikan jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kenaikanjenjang JF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari promosi jabatan. Bagian Keenam Pemberhentian dan Pengangkatan Kembali Pasal 19 Pemberhentian dan pengangkatan kembali dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketujuh Tim Penilai Kinerja Pegawai Negeri Sipil Pasal 20 (1) Untuk membantu pelaksanaan tugas PyB, dibentuk Tim Penilai Kinerja PNS. (2) Tim Penilai Kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk forum koordinasi/pembahasan rencana jabatan target. (3) Ketentuan terkait Tim Penilai Kinerja PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedelapan Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji Pasal 21 (1) Setiap PNS yang diangkat menjadi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang wajib dilantik dan diambil sumpah/janji menurut agama atau kepercayaannya kepada Tuhan Yang MahaEsa. (2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI ANALISIS JABATAN FUNGSIONAL Pasal 22 (1) Untuk keperluan Analisis Jabatan Fungsional, Instansi Pengguna dapat menyusun uraian jabatan dengan merujuk kepada ruang lingkup kegiatan maupun cakupan kegiatan JF berkenaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B dan huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Analisis Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id BAB VII UJI KOMPETENSI Pasal 23 (1) Uji Kompetensi terdiri atas:
Manajerial;
Sosial kultural; dan
Teknis. (2) Uji Kompetensi bertujuan untuk menilai kesesuaian kompetensi yang dimiliki pegawai dengan kompetensi jabatan yang dipersyaratkan. (3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pengangkatan JF melalui perpindahan dari jabatan lain dan promosi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Uji Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk pengangkatan JF melalui perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan paling sedikit melalui penilaian portofolio oleh Instansi Pengguna, dengan mempertimbangkan kebutuhan organisasi. (5) Pengangkatan JF melalui perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dilakukan tanpa Uji Kompetensi. Pasal 24 (1) Penyelenggaraan Uji Kompetensi Teknis pengangkatan JF melalui:
promos1; untuk b. perpindahan antar kelompok JF dari JF di luar JF di Bidang Keuangan Negara ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara; dan
perpindahan dari jabatan pimpinan tinggi dan/atau jabatan administrasi ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara, dikoordinasikan oleh unit organisasi pada Instansi Pembina yang ditunjuk menjalankan fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola penyelenggaraan Uji Kompetensi Teknis JF di Bidang Keuangan Negara ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara untuk dan atas nama Menteri Keuangan. BAB VIII PENGELOLAAN DAN PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL Pasal 25 Fungsi pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara minimal terdiri atas:
perencanaan JF;
pembinaan JF; dan
pemantauan dan evaluasi JF. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 26 (1) Perencanaan JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a merupakan kegiatan analisis kebutuhan penggunaan JF di Bidang Keuangan Negara dalam suatu Unit Organisasi dengan mempertimbangkan arah pengembangan organisasi dan kesesuaian ruang lingkup tugas JF di Bidang Keuangan Negara dengan tugas dan fungsi Unit Organisasi. (2) Pembinaan JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b merupakan kegiatan untuk menjamin terwujudnya standar kualitas dan profesionalitas JF di Bidang Keuangan Negara, serta mengoptimalkan kualitas pengelolaan JF di Bidang Keuangan Negara, yang dilaksanakan oleh:
unit yang melaksanakan fungsi koordinasi pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara;
unit yang melaksanakan fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara;
unit yang melaksanakan fungsi pembinaan kepegawaian JF; dan
unit yang melaksanakan fungsi konsultansi teknis berdasarkan kepakaran (subject matter expert) dalam pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara, di lingkungan Kementerian Keuangan. (3) Pemantauan dan evaluasi JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c merupakan kegiatan terpadu yang dilakukan secara berkala dalam rangka memastikan bahwa implementasi JF di Bidang Keuangan Negara dan pelaksanaan tugas pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Dalam melaksanakan pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara di lingkungan Instansi Pengguna, Instansi Pengguna dapat berkoordinasi dengan unit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2). Pasal 28 Ketentuan mengenai pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara di lingkungan Instansi Pembina ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan untuk dan atas nama Menteri Keuangan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
PPK melakukan penyesuaian nomenklatur JF dengan ketentuan sebagai berikut:
JF AKN Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Pertama; b) Pemeriksa Pajak Ahli Pertama; c) Penilai Pajak Ahli Pertama; jdih.kemenkeu.go.id d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Pertama; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Pertama; f) Penilai Pemerintah Ahli Pertama; g) Pelelang Ahli Pertama; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Pertama; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Pertama; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Pertama;
JF AKN Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Muda; b) Pemeriksa Pajak Ahli Muda; c) Penilai Pajak Ahli Muda; d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Muda; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Muda; f) Penilai Pemerintah Ahli Muda; g) Pelelang Ahli Muda; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Muda; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Muda; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Muda;
JF AKN Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Madya; b) Pemeriksa Pajak Ahli Madya; c) Penilai Pajak Ahli Madya; d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Madya; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Madya; f) Penilai Pemerintah Ahli Madya; g) Pelelang Ahli Madya; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Madya; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Madya; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Madya;
JF AKN Ahli Utama untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Utama; b) Pemeriksa Pajak Ahli Utama; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Utama; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Utama; e) Penilai Pemerintah Ahli Utama; f) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Utama; g) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Utama; dan h) Pembina Profesi Keuangan Ahli Utama;
JF PKN Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Pertama; b) Penyuluh Pajak Ahli Pertama; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Pertama; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Pertama; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Pertama;
JF PKN Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Muda; b) Penyuluh Pajak Ahli Muda; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Muda; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Muda; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Muda; jdih.kemenkeu.go.id 7. JF PKN Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Madya; b) Penyuluh Pajak Ahli Madya; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Madya; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Madya; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Madya;
JF Penilai Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Pertama; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Pertama;
JF Penilai Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Muda; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Muda;
JF Penilai Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Madya; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Madya;
JF Penilai Ahli Utama untuk PNS yang menduduki JF Penilai Pemerintah Ahli Utama;
JF AKN Terampil untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Terampil/Pemeriksa Pajak Terampil; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Terampil;
JF AKN Mahir untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Mahir/Pemeriksa Pajak Mahir; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Mahir;
JF AKN Penyelia untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Penyelia/Pemeriksa Pajak Penyelia; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Penyelia;
JF PKN Terampil untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Terampil/Pemeriksa Pajak Terampil; b) Asisten Penyuluh Pajak Terampil; c) Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai Terampil/Pemeriksa Bea dan Cukai Terampil; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Terampil; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Terampil; dan f) Penata Laksana Barang Terampil;
JF PKN Mahir untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Mahir/Pemeriksa Pajak Mahir; b) Asisten Penyuluh Pajak Mahir; c) Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai Mahir / Pemeriksa Bea dan Cukai Mahir; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Mahir; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Mahir; dan f) Penata Laksana Barang Mahir;
JF PKN Penyelia untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Penyelia/Pemeriksa Pajak Penyelia; b) Asisten Penyuluh Pajak Penyelia; jdih.kemenkeu.go.id c) Asisten Pemeriksa Bea clan Cukai Penyelia/ Pemeriksa Bea clan Cukai Penyelia; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Penyelia; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara Penyelia; clan f) Penata Laksana Barang Penyelia;
JF Penilai Terampil untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Terampil;
JF Penilai Mahir untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Mahir; clan 20. JF Penilai Penyelia untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Penyelia, paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
dalam hal terdapat kebutuhan Instansi Pengguna untuk melakukan perubahan nomenklatur selain sebagaimana ditentukan pada huruf a, pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pengguna mengajukan pengusulan perubahan nomenklatur dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
pengusulan sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina;
pelaksanaan penyesuaian nomenklatur baru JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan dengan keputusan pengangkatan dengan mencantumkan Angka Kredit yang telah diperoleh dari JF sebelumnya;
Instansi Pengguna yang telah melaksanakan penyesuaian nomenklatur sebagaimana dimaksud pada huruf d harus menyampaikan laporan hasil penyesuaian nomenklatur dengan melampirkan surat keputusan pengangkatan ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara kepada Instansi Pembina paling lambat 1 (satu) bulan sejak dilakukan penyesuaian nomenklatur;
dalam ha! Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna telah memiliki persetujuan kebutuhan dengan nomenklatur JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat clan Daerah, JF Analis Pembiayaan clan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea clan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea clan Cukai/ Pemeriksa Bea clan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, clan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan, maka Instansi Pembina clan/ a tau Instansi Pengguna tetap dapat melaksanakan pengangkatan dalam JF sesuai dengan nomenklatur berdasarkan persetujuan yang telah jdih.kemenkeu.go.id diberikan, dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
kebutuhan JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah, JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF sisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, Jabatan Fungsional Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/ Pemeriksa Bea dan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, dan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan yang telah mendapatkan persetujuan dari menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, dinyatakan tetap berlaku paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
kebutuhan JF sebagaimana dimaksud pada huruf g ditetapkan sebagai KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang oleh menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan rekomendasi kepada Instansi Pembina;
Uji Kompetensi dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada standar kompetensi JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah, JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/ Pemeriksa Bea dan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, dan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan yang telah ditetapkan sebelumnya, paling lambat tanggal 7 Agustus 2025; J- dalam hal terdapat PNS yang telah melaksanakan Uji Kompetensi dan/ a tau telah mendapatkan rekomendasi hasil Uji Kompetensi dengan nomenklatur JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, jdih.kemenkeu.go.id JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/Pemeriksa Bea clan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, clan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan, tetap dapat dilakukan pengangkatan berdasarkan nomenklatur JF sesua1 rekomendasi basil Uji Kompetensi;
PNS yang menduduki JF sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan pendidikan di bawah kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan tetap dapat melaksanakan tugas JF yang diduduki sesuai jenjang jabatannya; I. PNS sebagaimana dimaksud dalam huruf k harus memiliki kualifikasi pendidikan sesuai dengan syarat jabatan paling lama tanggal 7 Agustus 2027; clan m. dalam ha! PNS sebagaimana dimaksud dalam huruf k tidak memenuhi kualifikasi pendidikan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam huruf I, PNS terse but diberhentikan dari JF. BABX KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27 /PMK.01/2014 tentang Pedoman Pembentukan clan Penggunaan Jabatan Fungsional Tertentu di Lingkungan Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 172);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.06/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pelelang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 375) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.06/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.06/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pelelang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Anggaran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 688);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.07/2019 Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Keuangan Pusat clan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 369);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.06/2019 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penata Laksana Barang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 498);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 /PMK.03/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penilai Pajak jdih.kemenkeu.go.id dan Asisten Penilai Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1250);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pembina Teknis Perbendaharaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1225);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Perbendaharaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1226);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Pengelolaan Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1227) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Pengelolaan Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1142); J. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1228) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1140);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 639);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Asisten Penyuluh Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 640);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.06/2021 ten tang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1394);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.03/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 898); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.03/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Asisten Pemeriksa Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 899), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 31 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id