Uji Formil dan Uji Materi Pasal 2 dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengenai Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penan ...
Relevan terhadap
ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia 151 Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Lampiran 1. Daftar Hadir Rapat Paripurna (Selasa, 12 Mei 2020) 2. Risalah Rapat Paripurna (Selasa, 12 Mei 2020) 3. Risalah Rapat Paripurna (Selasa, 14 Juli 2020) 4. Risalah Rapat Paripurna (Jumat, 14 Agustus 2020) 5. Risalah Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Hukum dan HAM dan Gubernur Bank Indonesia Dalam Pembahasan RUU APBN TA 2021 (Jumat, 11 September 2020) 6. Risalah Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Hukum dan HAM dan Gubernur Bank Indonesia Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 (Jumat, 25 September 2020) 7. Risalah Rapat Paripurna (29 September 2020) [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2020 dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis, yang pada pokoknya sebagai berikut: Keterangan Pendahuluan ( Opening Statement ) Presiden Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi 152 untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya 153 kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Latar Belakang Penerbitan Perpu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, 154 diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh dibawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang diatas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. 155 Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan Para Pemohon yaitu:
perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;
ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;
kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;
kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;
perlindungan hukum;
harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Persetujuan DPR Sebagai Fungsi Budgeting Dan Controlling Telah Terpenuhi Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui 156 pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perppu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang- undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. 157 Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang- undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid- 19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. 158 Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid-19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata- mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan 159 keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit 160 tersebut telah mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid- 19 (pembelian alat kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program diantaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada 161 BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya-upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp 851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan Para Pemohon. Hal 162 ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam 163 putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh Para Pemohon. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI Mekanisme market (lelang, Green Shoe - UMKM 123,46T 164 - Korporasi 53,57T Option, Private Placement ) 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. 165 Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang- undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: 166 “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision, dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing ); 167 3. Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. KETERANGAN TERTULIS I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1 : Matriks Pengujian UU 2/2020 Adapun batu uji yang digunakan oleh Para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: 168 Gambar 2 : Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan Para Pemohon II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. 169 Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa Para Pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak-pihak yang sama dengan Perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan- alasan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, hal ini diakui oleh Para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, Para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LATAR BELAKANG PENERBITAN UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. 170 Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal 171 (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari- Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. 172 Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa 173 pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi 174 Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. B. BANTAHAN DALIL-DALIL PARA PEMOHON 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, Para Pemohon dalam perkara Nomor 37 dan 45/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil Para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa: 175 a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. ” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “ Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa 176 persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perpu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perpu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber- sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perpu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. 177 Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR 178 dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.
Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang- undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI. 179 2. Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan Para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil- dalil Para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020.
Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan 180 peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh 181 Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. 182 Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata- mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti:
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ 183 b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;
Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial- ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden sebagai Kepala 184 Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama , kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR 185 telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian 186 Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. 187 Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).
Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. 188 Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp 695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional 189 Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). 190 Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid-19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan 191 investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas 192 dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU- XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang-bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid-19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas 193 perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, 194 sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai konsekuensi pergeseran 195 transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk 196 usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business-to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business-to- Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam 197 definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 : Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineering ,design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment/ imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment/ import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T Pay TV/ Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. 198 Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang-undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil Para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi 199 norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, Para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; 200 b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan 201 yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang-Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang- undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE 202 dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “ Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” 203 b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “ Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, Para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena Para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh 204 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang-barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil 205 kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid-19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena-mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. 206 McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter-fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006-2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: "Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. 207 Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah- langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “ Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique __ pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries __ telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, 208 diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) 209 UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk 210 membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk 211 pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5 : Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. 212 Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat”. Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu: 213 1) Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur 214 dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana 215 telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh Para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana 216 desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. 217 5) Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan. Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber-sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid- 19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana 218 abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian 219 dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban 220 dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid- 19.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara 221 Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU- XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 222 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid- 19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak 223 memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau 224 rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. c) Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil Para Pemohon perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama 225 oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas ( vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK); 226 2) melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan solvabilitas ( vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal ( vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk 227 menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber- sumber dana yang relatif cepat dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS 228 secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan: 229 1) tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu: 1) Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “ Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 “Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding, dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated 230 loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.
Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk 231 penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent . Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan Pasal 85 UU LPS. 232 Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal, sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam 233 Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar 234 penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) juncto Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK 235 diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau tindakan pengawasan OJK ( vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat 236 dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut 237 lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan 238 masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang. d) Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan frasa “ bukan merupakan kerugian negara ” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang- undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku. 239 d. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh:
Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari- harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar 240 dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik 241 mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun 242 dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK);
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah 243 mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa diantara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal 244 perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “ kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud. ” Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi ketentuan Pasal 22 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: 245 “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan- putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila Para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. 246 Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” . Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 247 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 248 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” . Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. 249 Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: 250 “Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith.” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near- crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat 251 menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan ( vide pasal 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang -undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri 252 Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi 253 agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang-wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil Para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. Pernyataan Para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship 254 sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). 255 Bahwa selain memberikan keterangan, Presiden juga mengajukan ahli sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., dan Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., yang telah didengar keterangannya pada persidangan 29 April 2021, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Pendahuluan Kondisi negara –seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang– tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hukum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan-hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan 256 bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid-19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang-wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 257 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemic tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropah, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemic. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional 258 sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropah dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000,- (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggeris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain- lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat 259 dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan social, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industry perhotelan,industry pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan 260 mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan : “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konstitusi –sebagaimana disebut diatas– sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan– kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam 261 Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 Nomor 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer. Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang-undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. 262 Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang- undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relative stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan– meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang-undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, outputnya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat. Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 263 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media social. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid 19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan covid-19 sebagaimana telah disebut diatas,sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya, karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hukum yang innovative untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hukum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. 264 Models of Accomodation Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hukum yang normal. Menurut model- model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hukum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat dipuji sebagai yang paling 265 berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
sifatnya yang sementara _(temporary character); _ 2. pengakuan akan sifat khusus (exceptional) dari keadaan darurat _; _ 3. pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus, yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropah, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. 266 Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropah dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut. __ B. State of Siege Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrument mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. 267 Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “ dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:
Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang-undang kepada eksekutif ; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan. 268 C. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law, yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang- undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 Ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “ memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi 269 kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi : “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi untuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hukum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai 270 kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argumen kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review . Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai akibatnya Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Mongomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. 271 Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of exigencies ( keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah- langkah yang tidak terhambat oleh prosedur-prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “ Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 272 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang”. Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “ kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah 273 yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “ untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi-Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaccine tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar !945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang 274 sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat, maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman dibawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang- Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa “ pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang- undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ? Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari 275 Perpu Nomor 1 tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal ? __ Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional dictatorship, memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point, Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun `1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu nomor 23 tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sispil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang”. Dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dan harus memuat pengawasan dari Lembaga judicial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan : “bila negara dalam emergency law, maka perlu diupayakan agar _tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan :
Providing for_ legislative and judicial oversight for the executive, 2. Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powers endures only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam 276 Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight. Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa : anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta…”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa deficit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. HukumTata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga berubah emergency law ( staatsnoodrecht ) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights) sampai Pasal 360 (provision as financial emergency) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress. Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 Juncto Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam Judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo . Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi undang- 277 undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklasifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak; 278 2) Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan 5) Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemic Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum defisit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR; 279 3) Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN; 280 2) Penetapan batasan defisit anggaran yang awalnya ada maksimum defisit menjadi tidak ada maksimum defisit. Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp.405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah defisit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestik bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perpu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic Covid-19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemik Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam 281 APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covid-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid-19. j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahan ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan
Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ); 282 2) Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perpu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); 283 f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium __ atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal 284 itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat 2 adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Machfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “juristerij”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 memberikan kekebalan hukum tidak tepat,karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang- undangan. Machfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana 285 diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”,yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hukum formil maupun hukum materiil. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak. Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena 286 melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang-undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hukum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang-undang, terutama karena kewenangan legislative merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk 287 dibahas bersama, outputnya adalah Undang-Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu, yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hukum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan), maka Perpu jenis kewenangan darurat (emergency power ) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hukum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir. Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules . Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas 288 yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan social ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis disegala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan 289 Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah. LAMPIRAN RUANG LINGKUP IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi undang-undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009, (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009; 290 (6) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Perubahan tersebut diklasifikasi dalam kelompok dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;
Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan 5) Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah 291 jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemic Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum deficit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 292 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum defisit menjadi tidak ada maksimum defisit. Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp. 405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perpu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan 293 lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic Covid-19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemic Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid-19. j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perpu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. 294 k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahan ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan
Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana- dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan 295 6) Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perpu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2).
Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec. ▪ Ahli menyampaikan paparan mengenai peran APBN dalam pemulihan ekonomi. Isu yang dibahas ada tiga hal. Yang pertama adalah bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Kemudian yang kedua adalah bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Dan yang ketiga, mengapa fiskal stimulus atau pelebaran defisit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini. ▪ Bahwa bagaimana penyebaran Covid-19 terus mengalami eskalasi kenaikan masih tinggi secara global dan juga terjadi di Indonesia. Jika ahli menggunakan angka maka setiap hari berubah, per 14 Februari, 109.400.000 orang yang terkena dampak dari Covid-19 di 218 negara. Dengan tingkat kematian 2.300.00 orang. 296 ▪ Bahwa dari sini saja kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di dalam pandemi ini adalah sesuatu yang luar biasa, tingkat kematian yang luar biasa, jumlah infected cases atau mereka yang tertular yang jumlahnya luar biasa dan kasus ini terus meningkat. ▪ Bahwa jika mengikuti berita pada beberapa waktu terakhir ini kita mulai melihat bahwa gelombang ketiga terjadi di India. Dimana kasus dari infected cases meningkat begitu tajam. Hal yang sama terjadi juga di beberapa negara Eropa dan bahkan di dalam beberapa hari terakhir kita mulai melihat di beberapa negara tetangga kita seperti Filipina, Malaysia, Thailand bahwa peningkatan kasus terjadi. Kita berharap bahwa mudah-mudahan gelombang ketiga tidak terjadi di Indonesia, tetapi kita harus tetap waspada. ▪ Bahwa akibat dari Pandemi Covid-19 ini, maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau di luar kebiasaan. Mengapa itu harus dilakukan? Karena cara untuk mengatasi pandemi adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktifitas, atau menjaga jarak. Yang kita kenal di sini dengan nama pada waktu bulan Maret tahun lalu adalah PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar). Di berbagai negara lain ini dijalankan dalam bentuk yang disebut sebagai lockdown . ▪ Bahwa Implikasi dari lockdown adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktifitas ekonomi adalah aktifitas pasar dan pasar per definisi adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi di dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia. Kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. Itu sebabnya, pada pagi hari ini pun kita melakukan sidang secara virtual. ▪ Bahwa yang menarik untuk diamati adalah dengan dampak yang sebegitu besar ternyata Indonesia relatif mampu, saya mengatakan relatif karena kontraksi ekonomi tetap terjadi, relatif mampu menghadapi situasi pandemi ini di dalam konteks ekonomi dengan lumayan. Karena apa? Karena kinerja kita tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di 297 tahun 2020, atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3%, atau Korea Selatan yang -,1%. ▪ Bahwa pertumbuhan kita tahun lalu negatif 2,1%. Kita mengalami kontraksi 2,1%. Tetapi kalau kita melihat bahwa 2,1% ini relatif lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia, Singapura, dan sebagainya. Bahwa yang dilakukan di sini, yang pertama adalah karena Indonesia tidak melakukan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan di beberapa negara. Kecuali di dalam kasus Tiongkok dan Vietnam, mereka melakukan lockdown secara ketat dan mampu mengatasi pandemi dalam waktu singkat. Di dalam kasus kita, kita melakukan PSBB, tidak seketat di negara lain, tetapi pandeminya agak berlangsung lama. Nah, sekarang kita bisa melihat bahwa misalnya Singapura dengan pengetatan yang dilakukan, recovery ekonominya mungkin relatif lebih cepat. Tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa tahun 2020, kinerja kita sebetulnya relatif lumayan. ▪ Pertanyaannya adalah apa yang menjelaskan ini, ya, selain tadi faktor mengenai penerapan PSBB? Penjelasannya adalah kebijakan atau respons dari pemerintah, salah satunya melalui fiskal stimulus. ▪ Bahwa pertanyaan paling penting adalah bagaimana dampak Covid ini terhadap Indonesia? Ahli mencoba menggunakan data untuk membandingkan kondisi pra-Covid dengan kondisi Covid. Jadi, sebagai batas Januari 2020 sebelum Covid terjadi, Ahli anggap sebagai kondisi pra- Covid, dimana basisnya Ahli nyatakan sebagai 100. Jika angkanya di bawah 100, berarti kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pra- Covid. Tetapi bila angkanya di atas 100, maka kondisi Covidnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. ▪ Siapa yang paling terpukul akibat dari pandemi Covid? mereka adalah sektor informal. Pendapatan mereka turun 30%. Bagaimana dengan wirausaha? Pendapatannya turun 15%. Sedangkan pekerja tetap dengan gaji atau pekerja dengan gaji tetap, hampir tidak terdampak, kecuali kalau mereka kehilangan pekerjaan. 298 ▪ Bahwa yang terpukul paling berat adalah mereka yang berada di sektor informal. Siapa itu yang berada di sektor informal? Kelompok yang rentan, pendapatan menengah bawah, perempuan, dan anak-anak. Itulah sebabnya di berbagai media pada waktu pendemi mulai terjadi, Ahli mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan bantuan langsung tunai atau cash transfer. Karena di dalam kondisi ini, kita tidak mungkin memberikan pekerjaan karena PSBB ( lockdown ). Yang bisa dilakukan adalah mengompensasi ketika orang tinggal di rumah (people are paid to stay at home). Apa akibatnya? Tingkat pengangguran terbuka, naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%. Ahli ingin menyatakan satu hal di sini, Pengangguran di Indonesia, itu adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur. Kalau orang itu miskin, maka dia harus bekerja, bekerja apa saja. Bila tidak, dia tidak bisa makan. Maka Ahli bisa mengatakan, walaupun pengangguran terbukanya naik hanya dari 5,28% kepada 7,07%, tetapi sebetulnya dampak riilnya mungkin jauh lebih besar. Karena orang yang miskin kalau dia tidak ada pendapatan, dia akan meninggal. Maka, yang dia lakukan adalah pekerjaan apa saja, asal bisa hidup. Akibatnya, datanya tidak ada di sini. ▪ Bahwa sektor informal itu meningkat karena orang itu bekerja apa saja, istilahnya poor to be unemployed . Jadi, angka kita 7,07% itu masih dalam relatif sebetulnya angka yang sangat konservatif karena definisi yang kita punya. Angka kemiskinan yang 10,19% sedikit-banyak, hal tersebut terbantu karena program dari BLT atau cash transfer dan perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah. ▪ Bahwa rasio dari tabungan terhadap pendapatan untuk kelompok yang pengeluaraannya di bawah Rp.4.000.000,00 mengalami penurunan. Ini memperkuat argumen Ahli bahwa yang terukur dengan pandemi adalah kelompok menengah bawah. ▪ Bahwa yang menarik adalah melihat kelompok pendapatan di atas Rp.5.000.000,00, rasio dari tabungan terhadap total pendapatannya meningkat. Kelompok menengah atas atau kelompok atas justru 299 tabungannya meningkat. Mengapa ini terjadi? Karena di dalam porsi konsumsi, orang ketika pendapatannya rendah, dia akan fokus membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok (essential goods), sedangkan meraka yang relatif kaya, porsi dari makanan itu relatif rendah. Karena orang kalau dia makan tiga kali sehari, bukan berarti kalau kemudian dia menjadi kaya, dia makan 12 kali sehari. ▪ Bahwa di dalam pandemi menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya karena dia tidak membutuhkan jas, dia tidak membutuhkan pakaian kantor karena dia bekerja di rumah, dia tidak membutuhkan tas kantor, akibatnya tabungannya meningkat. Jadi, kita bisa melihat, bahwa dampak dari pandemi ini adalah akan munculnya ketimpangan pendapatan. ▪ Bahwa dari segi pertumbuhan PDB, sebetulnya Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II tahun 2020 ketika pertumbuhan kita minus 5,3%. Setelah itu, masih mengalami kontraksi, tetapi kontraksinya lebih kecil, minus 3,49%, minus 2,19%. Perkiraan Ahli adalah di dalam triwulan I 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5% dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. ▪ Bahwa pertanyaannya adalah mengapa Indonesia mampu melalukan pembalikan atau turneral pada triwulan III. Jadi, triwulan II terburuk, kemudian triwulan III meningkat? Bahwa seluruh komponen di dalam produk domestik bruto mengalami pertumbuhan negatif, konsumsi rumah tangga, investasi ekspor-impor, kecuali konsumsi pemerintah pada triwulan III. Kita bisa melihat di sini bahwa konsumsi pemerintah mengalami peningkatan. Inilah yang menjelaskan mengapa ekonomi kita bisa mengalami turneral. Jadi, dari grafik ini Ahli mengatakan bahwa fiskal stimulus yang dilakukan pemerintah telah memberikan dampak sedikitnya memitigasi dampak dari pandemi ini. Inilah alasan mengapa fiskal stimulus perlu dilakukan. ▪ Bahwa baik kelompok pendapatan atas, menengah, maupun bawah, di dalam frekuensi belanja sudah kembali di atas normal dan ini kondisinya membaik setelah triwulan III tahun 2020. Jadi, kembali lagi efek dari 300 bantuan sosial dari fiskal stimulus itu memberikan dampak Frekuensi belanja sudah kembali normal. ▪ Bahwa Ahli bicara frekuensi. Artinya, orang sering belanja, tetapi yang dibelanjakan nilainya sedikit. Bahwa yang nilai belanjanya sudah di atas normal, 100 adalah kondisi pra-Covid, di atas kondisi normal, itu adalah kelompok menengah bawah. Kenapa? Karena mereka harus mengonsumsi essential goods, makanan, aktivitas sehari-hari. Tetapi belanja dari kelompok menengah atas atau kelompok atas itu masih di bawah kondisi prapandemi. Mengapa itu terjadi? Di dalam kelompok menengah bawah, mereka mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Ini yang mendorong pendapatannya mengalami peningkatan, spending-nya mengalami peningkatan. ▪ Bagaimana dengan kelompok menengah atas? Mereka tidak dapat bantuan sosial, tetapi mereka punya tabungan. Tapi mengapa konsumsinya hal tersebut tidak kembali kepada kondisi prapandemi? Penjelasannya sederhana, porsi terbesar dari kelompok atas, adalah traveling, hal tersebut adalah entertainment, lecteur, kita bisa mengecek di sosial media, di Intagram, di Facebook, di mana-mana bahwa ciri dari identitas dari kelas menengah atas adalah perjalanannya, entah ke luar negeri atau makan di restoran, aktivitas itu tidak bisa dilakukan sekarang. Itu yang menjelaskan bahwa belanja dari kelas menengah atas masih di bawah normal. ▪ Bahwa yang terjadi program dari stimulus fiskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah, tetapi tidak menengah atas. Dan masuk akal karena belanja atau konsumsi menengah atas akan tergantung dari kemamupuan pemerintah mengatasi pandemi karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling, entertainment, lecteur yang aktivitasnya terganggu, misalnya seperti bioskop, café, dan segala macam akibat pandemi. ▪ Apa yang akan terjadi jika kemudian aktivitas ekonomi mengalami penurunan dengan kontraksi yang terjadi? Logikanya sederhana, jika aktivitas ekonomi menurun, maka return, atau imbal, atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif. Perusahaan 301 mengalami kerugian. Kalau perusahaan mengalami kerugian, maka dia berisiko tidak bisa membayar kreditnya kepada perbankan. Maka meningkatlah yang disebut sebagai non-performing loan. Di dalam konteks ini, OJK melakukan kebijakan dengan merelaksasi dimana kalau kolektibilitasnya satu dan dua tidak dianggap sebagai NPL. Tapi kebijakan ini suatu hari akan berakhir. Ketika tahun 2020 akan berakhir, kita akan melihat mengenai risiko dari kredit macet yang riil pada tahun depan. Karena direksasinya berakhir, pada saat itu kalau sektor perbankan, tidak mendapatkan support, maka ada risiko stabilitas sektor keuangan dan ciri dari sektor keuangan adalah dia bergerak berbadasarkan yang disebut sebagai animal spirit. Jika orang khawatir bahwa satu bank mengalami persoalan, maka kemudian ada risiko kekhawatiran bahwa terjadi rush dan segala macam tergantung dari interconnected -nya. Ahli tidak akan bicara terlalu jauh, tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa risiko di sektor keuangan itu ada, di dalam respons kebijakan apa yang dilakukan? Pemerintah dengan dengan dikeluarkan perppu tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 memfokuskan kepada tiga hal. Yang pertama adalah alokasi belanja untuk kesehatan. Yang kedua adalah alokasi belanja untuk bantuan sosial. Yang ketiga adalah dukungan untuk UMKM karena seperti yang Ahli katakan tadi sektor informal UMKM terpukul. Ini yang kemudian dimunculkan di dalam program yang disebut sebagai program N. Ini adalah bagian dari fiskal stimulus, akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sektor kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM. ▪ Bahwa ahli belum bicara mengenai tahun 2021 dimana bantuannya diperluas kepada korporasi dan segala macam, maka defisitnya itu harus yang bisa, mau tidak mau akan terjadi melampaui batas defisit 3% yang dinyatakan di dalam undang-undang. Oleh sebab itu, jika pemerintah tetap menetapkan defisitnya hanya 3% pada tahun 2020, maka tidak ada ruang bagi pemerintah untuk melakukan fiskal stimulus. 302 ▪ Bahwa kita bisa membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada fiskal stimulus, maka pembalikan ekonomi atau economic turneral tidak akan terjadi pada triwulan ketiga. Mungkin pada saat ini, kita akan berada dalam situasi yang lebih parah. Karena itu, Ahli mengatakan bahwa di dalam situasi yang genting seperti itu, maka batas defisit 3% harus diperlebar. Ahli ingin menunjukkan bahwa hal ini perlu dilakukan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan juga UMKM. ▪ Bahwa pemulihan ekonomi di sini totalnya Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu praperja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarpras kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. ▪ Bahwa Indonesia adalah negara bukan produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah yang menengah atas. Menengah atas tidak mau belanja selama pandeminya masih ada. Mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah satu, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Kedua, vaksin. ▪ Bahwa jika kita memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di Indonesia protokol kesehatan enforcement-nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, 303 Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. ▪ Bahwa ada persoalan sekarang karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari fiskal stimulus menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men-secure bahwa vaksinnya ada. ▪ Bahwa Ahli menunjukkan kalau berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, buat Indonesia hal tersebut relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, China apalagi bila dibandingkan dengan Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. ▪ Bahwa ahli sebagai ekonom, seringkali mengadakan semacam webinar dengan investor. Pertanyaan mereka yang selalu muncul adalah apakah Anda yakin cukup 6,1%? Karena yang dibutuhkan adalah stimulus di dalam skala yang masif. Lima dari fiscal policy . Di seluruh dunia pada tahun 2020 adalah whatever it takes , lakukan apapun yang harus dilakukan agar penyelamatan nyawa dan penyelamatan ekonomi bisa terjadi. ▪ Bahwa Joe Biden dengan programnya mengeluarkan US$1,9 triliun, Singapura dengan program fiskal stimulusnya, Indonesia 6,1% relatif kecil. ▪ Bahwa pertanyaannya adalah mengapa kita perlu ekspansi fiskal? Ini adalah sesuatu yang dilakukan secara teknis, sebuah simulasi di dalam modeling. ▪ Bahwa ada dua pilihan di sini, apakah pemerintah pertama kali harus mendorong produksi investasi? Karena logikanya kalau produksi berjalan, investasi naik, kemudian perusahaan akan hire tenaga kerja, orang dapat income , kemudian bisa belanja. Atau yang harus diberikan pertama adalah mendorong konsumsi. Dikasih uang orang belanja, kemudian ada belanja, ada permintaan, maka ketika ada permintaan, perusahaan merespons. ▪ Bahwa dari simulasi yang Ahli lakukan, jika investasi dinaikkan, maka konsumsi rumah tangga itu akan naik. Tetapi bila orang diberikan uang 304 dalam bentuk cash transfer, maka diapun melakukan belanja, maka investasi akan merespons. ▪ Bahwa tingkat bunga dari Bank Indonesia sudah diturunkan, mungkin terendah di dalam sejarah kita, tetapi investasi tidak naik. Mengapa investasi tidak naik? Jadi sudah dapat kredit, tetapi tidak diambil. Mengapa ini dilakukan oleh perusahaan? Mereka mengatakan, “Untuk apa saya ambil uangnya kalau yang beli barang saya enggak ada.” Saya produksi barang dan berakhir sebagai stok. Stok itu adalah cost . Saya butuh gudang, saya butuh apa-apa, yang beli enggak ada. Akibatnya yang menjelaskan kenapa pertumbuhan kredit mengalami penurunan karena permintaannya tidak ada. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan di dalam pemulihan ekonomi itu adalah fiskal stimulus sebagai pengungkit. Caranya dengan memperluas BLT kelas menengah bawah. Bahkan Ahli mengatakan bahwa perluasannya harus lebih besar lagi sebetulnya. Kita enggak tidak bicara mengenai 600.000 tetapi mungkin kita harus bicara dengan angka yang relatif sedikit lebih tinggi walaupun harus selalu berada di bawah upah minimum. Karena kalau BLT-nya sebesar upah minimum, maka orang tidak kerja, dia hanya akan tinggal di rumah menjadi pemalas. Tetapi mungkin bisa diperluas. ▪ Bahwa yang kedua adalah program kesehatan. Kita hanya bisa mengatasi pandemi kalau vaksin gratis. Mungkin kita harus bicara mengenai PCR yang mungkin masih relatif mahal, ini yang harus kita pikirkan. Kalau permintaan sudah ada, baru kita bicara mengenai penjaminan kredit, program yang dilakukan oleh pemerintah sekarang, subsidi bunga, dan sebagainya.
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. Sehubungan dengan permohonan Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Ata Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 305 1945, perkenankan Ahli mengemukakan hal-hal berikut sesuai dengan latar belakang keilmuan yang Ahli miliki. Semoga keterangan yang Ahli sampaikan bisa menjadi sumbangan pemikiran yang kiranya ---jika diperlukan--- bisa menjadi masukan dalam persidangan ini. Keterangan Ahli yang penulis sampaikan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian sesuai dengan permintaan Keterangan Ahli yang disampaikan kepada Ahli melalui Surat Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI Nomor S-212/SJ.4/2020 tertanggal 03 Desember 2020 perihal Permohonan Sebagai Ahli Pemerintah Dalam Rangka Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:
. Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu;
. Wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19; dan
. Penjelasan perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra-ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). 306 Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perpu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter obyektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “ martial law” atau “ emergency legislation ”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan 307 tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan objektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “ martial law ”, “ emergency law ”, atau “ emergency legislation ”. Perppu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355). Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM 308 Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perppu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana 309 terlihat dari pertimbangan hukum dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana 310 diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan ( cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 311 Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU No. 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang (bevoegdheiden) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn 312 danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Hal ini 313 disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur) ;
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat 314 Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid-19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan 315 Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid- 19 diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah-langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat-obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan 316 darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama, menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat, dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor-aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) 317 sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid-19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp 765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp 34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, 318 khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perpu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perpu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter objektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden; 319 (3). Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Bahwa selain mengajukan ahli yang didengarkan dalam persidangan, Presiden juga mengajukan 3 (tiga) orang ahli yaitu yaitu Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M. , dan Chandra M. Hamzah, S.H. yang menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 3 Juni 2021 tanpa didengarkan dalam persidangan, yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Norma yang Diuji Konstitusionalitasnya Sebelum masuk kepada pokok pembahasan, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa terkait dengan norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “ UU 2/2020 ”) sampai saat ini masih menjadi isu di masyarakat. 320 Meskipun demikian, pada dasarnya seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 tentu dibuat dengan berbagai pertimbangan dan assessment sebagai bentuk upaya penyelamatan masyarakat dalam situasi Pandemi Covid-19, khususnya di bidang keuangan negara agar dapat diimplementasikan dengan baik. Adapun yang menjadi objek pengujian, norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam UU 2/2020 dapat dikatakan hampir sebagian besar dari pasal-pasal UU 2/2020. Apabila dikelompokkan berdasarkan topik, maka secara umum norma UU 2/2020 yang diuji konstitusionalitasnya meliputi perlindungan hukum dan kepastian hukum terkait:
Ruang lingkup pengaturan;
Keuangan Daerah;
Perpajakan dan Kepabeanan;
Perubahan Postur Anggaran; dan
Kebijakan keuangan lainnya yang merupakan materi muatan UU 2/2020. Alasan Permohonan Judicial Review yang diajukan terhadap UU 2/2020 ini pada dasarnya lebih kepada judicial review terhadap konstitusionalitas materi muatan UU 2/2020 yang dianggap tidak mencerminkan kondisi Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19 sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “ UUD 1945 ”) dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Terkait dengan materi keterangan yang akan disampaikan Ahli, pada dasarnya merupakan materi yang seyogianya telah dikuasai oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kemudian, sebelum masuk kepada pokok- pokok keterangan yang akan disampaikan dalam kapasitas ahli di bidang hukum tata negara, perlu dikemukakan bahwa Covid-19 yang dinyatakan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, tentu merupakan kondisi yang tidak mudah bagi semua pihak, tidak hanya bagi Indonesia, namun juga bagi negara-negara di belahan dunia lainnya. Sebagai penyelenggara negara yang diberikan amanat oleh konstitusi untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam menghadapi masa Pandemi Covid-19, negara wajib mempertimbangkan 321 langkah-langkah yang akan diambil tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak- hak konstitusional warga negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, terkait langkah-langkah yang diambil oleh negara sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 akan mencerminkan tanggung jawab negara dalam menanggulangi Pandemi Covid- 19 di Indonesia. Tentu tindakan pemerintah tersebut harus ditelaah dari beberapa aspek: A. Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa ( extraordinary ). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: " Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. ” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang. ” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960. Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang- undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah 322 diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang- undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid-19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. B. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU- VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Tentu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui 323 putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “ _Keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
_ _ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
kebutuhan yang_ _mengharuskan (reasonable necessity); dan
keterbatasan waktu (limited_ time) yang tersedia. ” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “ hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak-tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu. ” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang-undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan-kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; 324 b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi. Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan. Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas. Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid- 19 tentu juga tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi. Kebijakan Keuangan Negara dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni:
Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di 325 bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “ PSME ” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? 1. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:
penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. 326 (4) Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali:
Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand ? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan 327 insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces.
Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid- 19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu-rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “ UU Ketenagakerjaan ”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur; 328 b. mengurangi shift ;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak.
Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf 329 a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. ” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak 330 dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang- wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang- undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang-undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang-undang dengan rumusan “… diatur dalam undang-undang…” dan “… diatur dengan undang-undang. ” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012- 016-019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “ diatur dalam undang-undang ( geregeld in de wet ), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang ( geregeld bij de wet ).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “ Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi-fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang (in de wet), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. ” Sementara itu, frasa “ dengan undang-undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri.” Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy , perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan- pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: 331 Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/ Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.” “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum ( legal policy) pembentuk undang-undang.” 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan ( legal policy ) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang- wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang ( detournement de pouvoir ).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan ( legal policy ) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang- undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir ( fallacy ) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang “Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ), yang sewaktu-waktu dapat diubah 332 Perselisihan Hubungan Industrial oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.” 6 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang- undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan ( legal policy ) pembuat undang-undang yang menentukannya.” Pengujian Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang- Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang- undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo .” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya ( open public policy ). Mahkamah Konstitusi memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran.” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan. 333 3. Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/ kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan . Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “ Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan 334 pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang.
Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang (transfer of power). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan (the power of rule making atau law making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi (delegation of the rule- making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan 335 peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations) , maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co-Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid-19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. 336 Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang-undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan- peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang MENOLAK permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan 337 Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo . Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang . Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 5. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang- undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, 338 Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan .” dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik” . Artinya, secara a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. ” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan.
Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan 339 merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor , maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 340 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara . Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 [Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28] ...
Relevan terhadap
_Pada saat peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini mulai berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21, Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2oo9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik 15 Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 49991); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang nomor 6 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 23 tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor _7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621; _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oo4 nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 7 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang- undang Nomor 3 tahun 2008 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 tahun 2oo4 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 _Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631; _ 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4438; _ 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara _Republik Indonesia Nomor 5679; _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan 16 Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), Dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini. 19. Bahwa berdasarkan pasal-pasal dalam Perppu a quo dan dihubungkan dengan hak konstitusional para Pemohon perseorangan adalah WNI pembayar pajak ( tax payer ) jelas terdapat hubungan sebab akibat terkait dengan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang salah satu sumbernya adalah pajak, sehingga ketika akan diubah seharusnya melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, serta memperhatikan hak-hak perseorangan WNI para Pembayar pajak khususnya dalam hal ini para Pemohon. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dengan kerugian Konstitusional untuk mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf 'a' angka 1, angka 2, dan angka 3, dan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terhadap __ Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 23A, Pasal 23E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 2 7 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. __ Alasan Permohonan Pengujian A. Pendahuluan Memasuki 3 bulan penanganan Covid-19 di Indonesia, beragam respon lintas kalangan telah memberikan pengaruh penting dalam tindakan hukum pemerintah. Disaat yang bersamaan, beragam instrumen hukum telah 17 digunakan dalam merespon keadaan bahaya darurat kesehatan ini. Dalam bidang Hukum Tata Negara, tidak hanya dipahami bahwa konstitusi hanya akan mengatur berjalannya negara dalam keadaan normal, namun juga akan mengatur bagaimana negara dalam keadaan darurat. Hal yang menarik adalah instrumen hukum dalam keadaan darurat tidak hanya hukum darurat itu sendiri (baca: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) melainkan juga berbagai macam Undang-Undang lain yang dimaksudkan untuk merespon keadaan darurat. Khusus keadaan darurat kesehatan. Instrumen hukum yang tersedia jelas adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kekarantinaan Kesehatan sendiri adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Karantina Kesehatan sendiri dimaksudkan untuk merespon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kedaruratan Kesehatan masyarakat sendiri adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden telah menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat melalui Kepres Nomor 11 Tahun 2020. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu Pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Para Pemohon setidak-tidaknya mempersoalkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terhadap tiga hal, yaitu pertama , Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu No 1 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Pasal-Pasal tersebut secara umum menurut para pemohon menegasikan makna kedaulatan rakyat dalam hakikat public revenue 18 and expenditure APBN. Kedua, Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menurut para Pemohon telah menciptakan kekuasaan yang melampaui batas dengan cara menjaminkan imunitas bagi para pejabat keuangan dan ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan hak konstitusional pemohon atas kepastian hukum yang adil. Ketiga , Pasal 28 Perppu No 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa pada Pasal 28 Perppu No 1 Tahun 2020, terdapat 12 undang-undang yang beberapa ketentuan yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam Perpu Nomor. 1 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, tetapi sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. Artinya, dengan Perpu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang- undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 yang telah menentukan syarat objektif untuk melahirkan perppu. Guna memperluas khazanah, maka diuraikan komparasi kebijakan hukum dalam penanggulangan Covid-19 di berbagai negara yang menurut berapa media internasional dianggap berhasil dan tanggap dalam menanggulangi Covid-19. Dalam konteks ini perbandingan yang dimaksud adalah apakah negara tersebut menggunakan (menerapkan) keadaan dan/atau hukum darurat atau justru mengoptimalisasikan instrumen hukum yang telah ada. Taiwan Sejak tanggal 31 Desember 2019, Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan (CDC) telah melaporkan Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) di bawah 19 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejak saat itu, Taiwan sudah memprakarsai langkah-langkah pencegahan epidemi COVID-19. Hingga tanggal 19 April 2020, banyak mendorong penggunaan hukum darurat, semacam perppu di Indonesia, sesuai dengan Pasal 2 (3) dari Artikel Tambahan dari Konstitusi Republik Tiongkok Taiwan yang berbunyi: " The president may, by resolution of the Executive Yuan Council, issue emergency decrees and take all necessary measures to avert imminent danger affecting the security of the State or of the people or to cope with any serious financial or economic crisis, the restrictions in Article 43 of the Constitution notwithstanding. However, such decrees shall, within ten days of issuance, be presented to the Legislative Yuan for ratification. Shoulsd the Legislative Yuan withhold ratification, the said emergency decrees shall forthwith cease to be valid.” Namun, hingga saat ini Taiwan masih belum memberlakukan dan menerbitkan keadaan dan hukum darurat. Hal ini ditenggarai oleh tiga alasan, Pertama, Taiwan telah belajar dari pengalaman buruk penanganan SARS tahun 2002, pada masa itu Taiwan menerbitkan UU Darurat Sars yang diberlakukan dari tanggal 15 Maret 2003 hingga 31 Desember 2004. Sejak saat itu kemudian Taiwan memiliki undang-undang pengendalian penyakit menular ( Communicable Disease Control Act ). Undang-Undang ini telah beberapa kali diamandemen dan terakhir tahun 2019, segala macam tindakan kedaruratan kesehatan serta prosedurnya diatur lengkap. Kedua , di tepatnya 13: 56 pada 25 Februari 2020, Parlemen Taiwan telah mengeluarkan Undang-Undang untuk Tindakan Pencegahan, Pertolongan dan Revitalisasi untuk Corona Virus Dieses -19 (selanjutnya disebut UU-Covid 19). Interval antara berlakunya dan diundangkan hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Undang-undang ini berlaku mulai 15 Januari 2020 hingga 30 Juni 2021. Setelah tanggal kedaluwarsanya, jangka waktu Undang-Undang ini dapat diperpanjang dengan persetujuan Parlemen. Meskipun tidak ada batasan waktu untuk perpanjangan, UU tersebut tidak mungkin diperpanjang dari pengalaman dalam mengimplementasikan UU SARS. Dalam hal prosedur legislatif dan efektivitas peraturan, Undang-Undang Khusus COVID-19 memiliki efek yang setara dengan penerbitan keputusan darurat. Ketiga, terdapat penafsiran Mahkamah Konstitusi Taiwan dalam Putusan No JY 2002 No. 543, yang menyatakan: “penerapan hukum darurat harus bersifat sontak segera dan detil sehingga tanpa butuh dukungan peraturan tambahan yang bersifat petunjuk teknis.” Selain itu, Mahkamah Konstitusi 20 Taiwan menegaskan bahwa diperlukan adanya ratifikasi parlemen sebelum hukum darurat tersebut dinyatakan berlaku. Jerman Hingga medio April 2020, 120,000 kasus Covid-19 melanda Jerman. Sedari awal Pandemi Covid-19 menerpa perdebatan muncul tentang apakah keadaan darurat dapat diumumkan untuk digunakan. Sesungguhnya Konstitusi federal Jerman ( Grundgesetz ) telah mengatur dan menyediakan pengaturan mengenai kekuasaan dalam keadaan darurat di beberapa pasal seperti Pasal 12a III-VI, 53a, 57a, 87a, 91, dan Pasal 115a. Meskipun tersedia instrumen tersebut, namun sejarah kelam penggunaan kekuasaan darurat menurut konstitusi di Jerman tidak dapat dihindari. Khususnya apa yang pernah terjadi merujuk kepada insiden penggunaan kekuasaan darurat menurut Pasal 48 Konstitusi Weimar pada kasus Kebakaran Reichstag (gedung parlemen) pada tahun 1933. Pada masa itu, Hitler meyakinkan Presiden Von Hindenburg untuk menggunakan Pasal 48 Konstitusi Weimar, yang memberikan kekuasaan diktator presiden kepada Hitler membuat undang-undang untuk semua negara teritorial Jerman. Hitler dan kabinet dengan cepat membuat Keputusan yang lebih permanen dan luas untuk Perlindungan Rakyat dan Negara (dikenal sebagai Keputusan Kebakaran Reichstag ), yang menangguhkan hak untuk berkumpul, kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan perlindungan konstitusional lainnya. Apabila merujuk kepada kekuasaan darurat di Jerman menurut Pasal 91 Konstitusi Jerman, maka hanya keadaan darurat internal hanya dapat dideklarasikan apabila “order to avert an imminent danger to the existence or free democratic basic order of the Federation or of a Land”. Kondisi Covid-19 jelas tidak termasuk keadaan mengancam demokrasi, sehingga hingga saat ini tidak ada hukum darurat semacam perppu di Indonesia yang diterbitkan. Namun, meskipun persyaratan untuk deklarasi keadaan darurat internal tidak terpenuhi sebagaimana Pasal 91 Konstitusi Federal Jerman, saat ini Bundeswehr (militer Federal) dikerahkan di 14 dari 16 Länder . Sebagai bagian dari misi sipil, Bundeswehr membantu para dokter, staf perawat, dan peralatan medis yang dibutuhkan. Misi ini didasarkan pada Pasal 35 ayat 1 Konstitusi Federal Jerman yang mengatur tata administrasi dan segala bantuannya dalam keadaaan bencana yang mewajibkan semua federal dan otoritas pertahanan 21 untuk memberikan bantuan administrasi, hukum dan pertanahan. Oleh karena itu, semua otoritas Federasi serta Länder dapat meminta Bundeswehr untuk dukungan teknis-logistik, yang Länder dibutuhkan. Menurut beberapa ahli, saat ini Bundeswehr sedang menjalankan misi terbesarnya sejak didirikan pada tahun 1955. Namun, Artikel 35 ayat (1) Konstitusi Jerman tidak mencakup misi bersenjata, sehingga, bahkan pada masa Covid-19, kompetensi Bundeswehr terbatas. Jerman tidak melahirkan hukum darurat, namun parlemen tetap bekerja seperti biasa dan melahirkan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk melindungi dampak ekonomi Covid-19 seperti penambahkan Pasal 240 dalam Pembukaan KUHPER ( Einführungsgesetz zum Bürgerlichen Gesetzbuche ) Jerman. Pasal ini memuat ketentuan untuk melindungi penyewa yang tidak bisa lagi membayar sewa karena krisis. Secara bersamaan, Bundestag (Parlemen Federal) mengadopsi paket bantuan terbesar dalam sejarah Jerman. Selain itu untuk membangun perlindungan bagi karyawan, wiraswasta dan bisnis dengan menerbitkan bantuan pinjaman baru dengan total sekitar 156 miliar Euro . Korea Selatan Korea Selatan dihitung sebagai salah satu negara yang "sangat terpukul" oleh penyebaran Covid-19 yang muncul dari Wuhan, Cina. Menurut data terbaru Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC), medio akhir Maret 2020, Korea Selatan telah melaporkan lebih dari 8.900 kasus dan 111 kematian. Namun sejak tanggal 3 Maret 2020, Presiden Korea merasa tidak perlu menetapkan keadaan darurat atau kekuasaan darurat. Tindakan yang justru diambil adalah menunjuk Tim Penanggulangan Bencana dan Keselamatan ( Central Disaster and Safety Countermeasure Headquarters ), dan dukungan dari fasilitas militer cukup untuk mengamankan tempat tidur untuk pasien yang dikonfirmasi Covid-19. Apabila merujuk kepada Konstitusi Korea Selatan, maka dapat dipahami bahwa ada dua jenis keadaan darurat menurut Pasal 76 Konstitusi Korea Selatan dan produk hukumnya yaitu "perintah keuangan darurat" (Pasal 76 (1) Konstitusi Korea Selatan) dan "perintah darurat" (Pasal 76 (2) Korea Selatan) selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Art. 76 (1) Konstitusi Korea Selatan: “In time of internal turmoil, external menace, natural calamity or a grave financial or economic crisis […] the President may take in respect to them the minimum necessary financial and economic actions or issue orders having the effect of 22 Act, […] only when […] there is no time to await the convocation of the National Assembly.” : Art. 76 (2) hanya akan diadopsi dalam situasi berikut: “In case of major hostilities affecting national security […] the President may issue orders […] only when […] it is impossible to convene the National Assembly.” Saat ini beberapa regulasi yang berlaku di Korea terkait penangan Covid- 19 antara lain:
UU Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular, 2. UU Pengelolaan Bencana dan Keselamatan, 3. UU Kekarantinaan, 4. UU Kesehatan Masyarakat Daerah, dan 5. UU Pencegahan Acquired Immunodeficiency Syndrome (UU AIDS) UU Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular ( Infectious Disease Control and Prevention Act (IDCPA), No. 14286, diubah pada 2 Desember 2016 dalam bahasa Inggris, dan versi terbaru di Korea, yang telah diamandemen pada 4 Maret 2020) adalah undang-undang paling relevan yang berlaku mengenai wabah COVID-19 yang meledak di Korea Selatan. IDCPA memberikan pemerintah sarana yang sangat spesifik untuk mendistribusikan sumber daya dan memobilisasi dan merangsang berbagai pelaku di seluruh masyarakat dalam upaya untuk memerangi penyebaran penyakit menular. UU lahir dari keterpukulan Korea Selatan akibat mewabahnya penyakit Middle East Respiratory Syndrome (MERS) Tahun 2015 lalu. Pada pokoknya UU ini bahkan mengatur konsekuesni ekonomi yang timbul akibat mewabahnya suatu penyakit. Kanada Hingga saat ini, kanada belum menyatakan keadaan darurat federal dalam hal merujuk kepada UU Darurat Tahun 1985. Setidaknya ada 4 alasan: Pertama, kesehatan adalah yurisdiksi provinsi dalam sistem federal Kanada, dan provinsi telah menggunakan wewenang hukum mereka untuk memaksakan keadaan darurat tingkat provinsi yang hanya bervariasi dalam detail kecil. Kedua, UU federal mengenai Karantina Kesehatan tahun 2005 sudah memberikan kekuasaan darurat yang luas kepada pemerintah. Pada tanggal 25 Maret 2020 Menteri Kesehatan Kanada mengumumkan Perintah Darurat di 23 bawah UU yang mengharuskan setiap orang yang memasuki Kanada melalui udara, laut atau darat diwajibkan mengisolasi diri selama 14 hari untuk memastikan apakah mereka memiliki gejala Covid-19. Hukuman pelanggaran ketentuan tersebut adalah denda hingga $ 750.000 dan/atau penjara hingga enam bulan. Hukuman meningkat bagi siapa saja yang dengan sengaja atau sembrono menyebabkan risiko kematian yang akan segera terjadi atau cedera tubuh yang serius terhadap orang lain yang bertentangan dengan Undang- undang atau peraturan yang dibuat di bawahnya. Ketiga, ada faktor budaya yang berperan. Kanada memiliki sistem kesehatan masyarakat yang berfungsi dengan baik. Tingkat kepercayaan pada para ahli kesehatan masyarakat, sehingga bahkan para perdana menteri provinsi yang telah menggoda dalam beberapa tahun terakhir dengan politik populis gaya Trump namun kehendak tersebut akhirnya diurungkan, Kanada banyak belajar dari pengalaman mereka dalam menghadapi SARS di tahun 2002. Keempat, struktur yuridis __ UU Darurat, dipahami dalam konteks politik dan hukumnya, yang harus membuat pemerintah federal ragu untuk menerapkannya. Pembukaan Undang-Undang ini mencerminkan fakta bahwa undang-undang itu diberlakukan tiga tahun setelah Charter of Rights and Freedoms menjadi bagian dari tatanan konstitusional Kanada: AND WHEREAS the Governor in Council, in taking such special temporary measures, would be subject to the Canadian Charter of Rights and Freedoms … and must have regard to the International Covenant on Civil and Political Rights , particularly with respect to those fundamental rights that are not to be limited or abridged even in a national emergency Undang-Undang ini tidak hanya tunduk pada komitmen penghormatan terhadap hak domestik dan internasional Kanada, tetapi Bagian 3 menetapkan bahwa 'darurat nasional' dapat dinyatakan hanya jika ada 'situasi darurat dan kritis yang bersifat sementara yang: (a) sangat membahayakan kehidupan, kesehatan atau keselamatan warga Kanada dan memiliki proporsi atau sifat seperti melebihi kapasitas atau wewenang provinsi untuk menghadapinya, atau 24 (b) secara serius mengancam kemampuan Pemerintah federal kanada untuk menjaga kedaulatan, keamanan dan integritas wilayah dan itu tidak dapat secara efektif ditangani berdasarkan hukum Kanada lainnya. Jika keadaan darurat diumumkan, maka menjadi 'Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat' yang berakhir pada akhir sembilan puluh hari kecuali jika diteruskan sesuai dengan Undang-Undang. Bagian 8 (3) (a) menyatakan bahwa wewenang berdasarkan Undang-Undang ini akan dilaksanakan atau dilakukan:
dengan cara yang tidak mengganggu kemampuan provinsi mana pun untuk mengambil tindakan, berdasarkan Undang-undang parlemen di Provinsi, dan b. dengan pandangan untuk mencapai tindakan secara bersama-sama dengan masing-masing provinsi. Bagian 10 mengatur bahwa Parlemen dapat mencabut deklarasi darurat kesejahteraan publik. Bagian 58 mensyaratkan bahwa penjelasan tentang alasan deklarasi, termasuk konsultasi dengan provinsi (diamanatkan oleh Bagian 14), harus diletakkan di depan kedua Gedung Parlemen dalam waktu tujuh hari duduk dari deklarasi, sementara Bagian 59 mengizinkan sejumlah kecil anggota dari salah satu DPR mengajukan mosi agar deklarasi dicabut. Bagian 62 mensyaratkan bahwa komite bersama dibentuk untuk meninjau 'kinerja tugas dan fungsi sesuai dengan deklarasi darurat'. Singkatnya, UU Keadaan Darurat di Kanada tidak dipilih sebagai instrumen hukum dikarenakan prinsipnya tidak memberikan “kekebalan hukum” dan secara politis dikarenakan pengaturannya yang sangat ketat, lalu keharusan tidak melanggar piagam hak asasi manusia. Selain itu, bagaimana bagi pemerintah Kanada bagaimana konstruksi hukum darurat ketika Parlemen dan pengadilan tidak mampu beroperasi sebagaimana mestinya Bahkan upaya pemerintah federal untuk mengusulkan adanya undang-undang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk membelanjakan, meminjam, dan pajak tanpa persetujuan Parlemen sampai Desember 2021, urung dilakukan dikarenakan resistensi parlemen yang tinggi di Kanada. Selandia Baru Lain halnya dengan yang terjadi di Selandia Baru, dalam menanggulangi Covid 19. Keadaan darurat nasional telah dinyatakan pada jam 12: 21 PM pada 25 tanggal 25 Maret 2020. Sebelum berbicara mengenai hukum darurat di Selandia baru, maka penting untuk diketahui bahwa di Selandia Baru memiliki panduan (non regulasi) mengenai sistem deteksi darurat Covid-19 berjenjang. Sistem ini memiliki 4 Jenjang (level) yaitu jenjang persiapan (level 1), jenjang meminimalisir (level 2), jenjang pelarangan (level 3) dan jenjang penguncian (level 4). Setiap jenjang ini memiliki dampak dan jangkauan peran pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Sejak Jam 11: 59 PM, 27 April 2020, Pemerintah Selandia Baru telah menetapkan jenjang pelarangan (level 3). Kembali kepada keadaan darurat sebagaimana diuraikan diatas, Ketentuan Keadaan darurat nasional diatur dalam UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat tahun 2002 ( Civil Defence Emergency Management Act 2002). Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat mengatur bahwa Perdana Menteri menunjuk Direktur Pertahanan Sipil Darurat yang bertugas untuk mengoordinasikan respons nasional, serta memungkinkannya untuk mengerahkan berbagai arahan darurat dan kekuatan permintaan (yang belum digunakan). Menurut UU Manajemen Pertahan Sipil Darurat Tahun 2002, Keadaan darurat ini perlu diperbarui setiap 7 hari tetapi telah diperbarui sekali dan diharapkan akan berulang kali untuk periode yang signifikan. Sejauh ini keadaan darurat telah terus diperpanjang selama pertama pada 9: 27am tanggal 31 Maret 2020, kedua kalinya pada 9: 25am tanggal 2 April 2020, ketiga kalinya pada 12: 21pm tanggal 8 April 2020, keempat kalinya pada 12: 21pm tanggal 15 April 2020, kelima kalinya, pada 12: 21pm tanggal 22 April 2020, keenam kalinya pada 12: 21pm tanggal 29 April 2020 hingga akan diperpanjang untuk ketujuh kalinya pada 12: 21 pm pada hari Rabu 6 Mei 2020 kecuali dinyatakan sebaliknya. Di saat penerapan UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat tahun 2002, penanggulangan Covid-19 juga dilakukan penerapan UU Kesiapan Penanggulangan Epidemi Tahun 2006 ( Epidemic Preparedness Act 2006). Penggunaan instrumen hukum ini memiliki sejumlah konsekuensi: (a) petugas medis kesehatan diberdayakan untuk menggunakan berbagai kekuasaan darurat khusus; (b) menteri dapat mengaktifkan (dan telah mengaktifkan) sejumlah ketentuan darurat spesifik yang tersebar di seluruh undang-undang jaminan sosial, imigrasi, hukuman dan pembebasan bersyarat; dan (c) menteri dapat mengeluarkan pemberitahuan untuk 'memodifikasi' persyaratan atau 26 pembatasan kekuasaan yang telah diatur dalam undang-undang. Kekuasaan ini merupakan Konvensi kekuasaan Henry VIII, namun sejauh ini hanya diminta sekali. Hal ini disebabkan tradisi waspada terhadap penggunaannya. Berdasarkan Pasal 70 huruf m UU Kesehatan Tahun 1956 sesungguhnya telah mengatur mengenai kewenangan Menteri Kesehatan untuk langsung me- “ lockdown ”. Kewenangan ini termasuk didalamnya mengkarantina tempat- tempat strategis dan vital seperti pertokoan, tempat ibadah, sekolah, namun dikecualikan pengadilan. Bahkan terkait dengan Pasal 70 UU Kesehatan, Polisi diberikan kewenangan khusus berdasarkan Pasal 71A UU Kesehatan dan Pasal 91 UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat untuk membantu, meminta dan mengarahkan dalam penanggulangan darurat kesehatan. Dalam merespon persoalan, ekonomi, Selandia Baru mengeluarkan beberapa kebijakan seperti pertama, stimulus dunia usaha dan kesejahteraan masyarakat senilai $12 Milyar; kedua, Rancangan UU APBN-P yang membolehkan penambahan anggaran penganan Covid-19 senilai $52 Milyar; dan (c) amandemen beberapa perundang-undangan dibidang kesejahteraan seperti sewa-menyewa, keuangan pusat dan daerah, pendidikan and Informasi Publik, untuk mengatasi beberapa masalah mendesak yang disebabkan oleh gangguan Covid-19. Berdasarkan uraian diatas, maka disimpulkan bahwa pada umumnya tidak terdapat negara yang dinyatakan berhasil menggunakan instrumen hukum daruratnya. WHO melalui artikel resminya yang berjudul “ How to budget for COVID-19 response? a rapid scan of budgetary mechanisms in highly affected countries ” penulis, Hélène Barroy, Ding Wang, Claudia Pescetto, and Joseph Kutzin. Mengemukakan bahwa every country must develop specific processes for allocating budget funds to the response . Selanjutnya rekomendasi yang diusulkan antara lain adalah: 1. Using existing budgetary flexibility and exceptional spending procedures to fund first measures 2. Accelerating revision of finance laws to secure a budget for the response through expenditure earmarkin 3. Releasing public funds to frontline service providers timely and facilitating expenditure tracking 27 Berdasarkan rekomendasi yang diusulkan tersebut, diakhir kesimpulannya artikel tersebut menyebutkan Ensuring an appropriate balance between flexibility and accountability is relevant now more than ever under these exceptional circumstances. Governments and legislature need to ensure sufficient budgetary funds, by reprogramming existing spending and earmarking additional funds. Apabila merujuk kepada instrumen hukum yang ada, maka semuanya telah memadai. Apabila menghendaki fleksibilitas untuk merespon dampak Covid-19, maka Pasal 27 ayat (3), dan ayat (4) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; Opsi yang diambil melalui Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan hak konstitusional para pemohon melalui DPR untuk membahas setiap rupiah dalam APBN sebagai representasi kedaulatan rakyat. apalagi kemudian, instrumen hukum yang ada saat ini yaitu adalah UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana masih berlaku dan dapat dioptimalkan. Disaat yang bersamaan kehadiran Pasal 27 dan 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah menunjukan bahwa adanya hak imunitas dan pengenyampingan hukum yang berlaku, ini berdampak kepada dilanggarnya hak konstitusionalitas para Pemohon khususnya Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, selanjutnya dijelaskan secara detil alasan-alasan hukum sebagaimana diurai diatas sebagai berikut: 28 B. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 1. Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pendemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, dimaksudkan untuk menanggulangi dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menurut pandangan Pemerintah telah menciptakan keadaan ‘kegentingan yang memaksa’ terhadap 2 (dua) segi kehidupan sekaligus, yakni dalam hal keselamatan Jiwa Warga Negara dan Perekonomian Nasional. Akan tetapi secara materi muatan, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara spesifik hanya memuat tentang berbagai kebijakan dalam rangka penyelamatan perekonomian Negara, yang secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni Kebijakan Keuangan Negara disatu sisi dan Stabilitas Sistem Keuangan disisi yang lain;
Bahwa salah satu Kebijakan Keuangan Negara yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020, adalah memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% (tiga persen) Produk Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3: (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang: _ a. Menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. Melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama samapai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. Sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan , 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 29 3. Bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 di atas, adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menentukan: Pasal 23 (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk _sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ (2) Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan _Perwakilan Daerah; _ (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. 4. Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah Kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authorize public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;
Bahwa sejak Negara Indonesia didirikan oleh para Pendiri Bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘Kedaulatan berada di 30 tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’ . Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ , maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’ ;
Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan Undang- Undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Brotu (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Brotu (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;
Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );
Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan 31 prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;
Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;
Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T-account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan 32 kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:
Pendapatan;
Belanja;
Keseimbangan Primer;
Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;
Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;
Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri; __ 33 14. Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alasan: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;
Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945;
Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;
Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi 34 berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedapan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;
Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;
Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaualatn rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’; 35 22. Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:
Pasal 2 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’; 36 c. Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Aanggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu No. 1 Tahun 2020.
Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;
Bahwa di samping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan Undang-Undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran Negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik , yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’ . Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodic merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;
Bahwa unsur Periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan Undang-Undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut- turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka 37 pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodik’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) Tahun Anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena 3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis Peraturan Perundang- Undangn yang bernama Undang-Undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang- Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;
Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka (1), angka (2), dan angka (3) Perppu No. 1 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan Perppu yang memang sama sekali tidak dikenal 38 dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran;
Bahwa berdasarkan ketentuan diatas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan Undang-Undang APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebih dahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai 39 esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) Undang-Undang APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam Undang-Undang APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam Keselamatan Jiwa atau Keutuhan Negara, seperti Darurat Kesehatan akibat virus Covid- 19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam Undang-Undang APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah Virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh Undang-Undang Keuangan Negara;
Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyususn Anggaran Negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi 40 pelaksanaan Perpu untuk kebal dari segala perbuatan melanggar hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara perdata, pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu: Pertama , Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; Ketiga , Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Perpu Nomor 1 tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. hadirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah Covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perppu ini. Sebab DPR masih bersidang, belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan Ibukota Negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-Undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945, juga tidak memiliki urgensi kegentingan yang memaksa sebagai 41 prasyarat penerbitkan sebuah Perppu sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. C. Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut: Pasal 27 (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang- undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu aspek makna negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang- wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang- cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan 42 ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era Common Law yaitu raja tidak dapat salah ( King can do no wrong ). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 ayat 1 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda 43 paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat-pejabat tertentu.
Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat Maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang menyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga-rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ” Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” ; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “ hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan 44 Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Perpu Nomor 4 Tahun 2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perpu Nomor 4 Tahun 2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya Dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi undang- undang. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan 45 Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F- Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi undang-undang. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.
Bahwa sebagaimana terurai diatas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. D. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemerintah, dalam hal ini Presiden memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 untuk menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa; 46 2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU- VII/2009, dalam pertimbangan Mahkamah pada halaman 19, telah memberikan kriteria diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Mahkamah telah berpendapat tiga syarat diperlukan adanya suatu Perpu adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, apabila:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Bahwa Pembentukan Perpu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dibolehkan ketika negara sedang menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa. Namun demikian, hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak memiliki arah yang jelas, yaitu apakah hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut terkait dengan ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut adalah penanganan pandemi Covid-19; Muatan materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 terdiri dari 6 bab, tetapi tidak ada satu bab pun terkait dengan penanganan Pandemi Covid-19: Bab I. Ruang Lingkup Bab II. Kebijakan Keuangan Negara yang terdiri dari (1) Penganggaran dan Pembiayaan (2) Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah (3) Kebijakan di bidang Perpajakan (4) Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (5) Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara (6) Pelaporan _Bab III. Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan, terdiri dari: _ (1) Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan 47 (2) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Bank Indonesia (3) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (4) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (5) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Pemerintah Bab IV. Ketentuan Sanksi Bab V. Ketentuan Penutup. 4. Bahwa Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 justru memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 Undang-Undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut. Ke- 12 Undang-Undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. Artinya, dengan Perpu ini, ketentuan pasal- pasal yang tersebut dalam ke-12 Undang-Undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir.
Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:
ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;
Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oo4 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;
Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438; 49 g. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;
Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan
Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja 50 Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410).
Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk Undang-Undang APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 Undang-Undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 Undang-Undang, yaitu Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, juga tidak memiliki urgensi kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat penerbitkan sebuah Perppu sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Bahwa Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “ Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; Undang-Undang yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) Undang-Undang tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009. 51 8. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Namun, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini ditetapkan hanya dengan mengingat ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 berada dalam rezim hukum dalam keadaan biasa, bukan rezim hukum keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Bahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga sama sekali tidak dikaitkan dengan atau dalam rangka pelaksanaan Pasal 12 UUD 1945 itu. Artinya, meskipun materi yang diaturkan berkenaan dengan pengggulangan bencana dan mengenai keadaan darurat kesehatan, tetapi tetap saja keduanya ditetapkan tidak dalam konteks kondisi negara dalam keadaan darurat bahaya sebagaimana sudah ditentukan dalam Pasal 12 UUD 1945. Oleh karena itu lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) Undang-Undang tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.
Apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam Mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya di antaranya sebagai berikut:
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang di haramkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu 52 sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang beresiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al- Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya . Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar- benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekadar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya diatasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang 53 diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.
Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 34) Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 54 Bahwa apabila merujuk lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 Undang-Undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat dikarenakan Pasal 28 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020.
Bahwa berdasarkan uraian diatas jelas telah Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah membuat Presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Bahwa berdasarkan uraian diatas, Para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Petitum Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk Seluruhnya; 55 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-26 sebagai berikut:
Bukti P-1 : KTP M. Sirajuddin Syamsuddin;
Bukti P-2 : KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;
Bukti P-3 : KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;
Bukti P-4 : KTP dan NPWP Marwan Batubara;
Bukti P-5 : KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;
Bukti P-6 : KTP dan NPWP Taufan Maulamin;
Bukti P-7 : KTP dan NPWP Dr. Syamsulbalda, SE., MM., MBA;
Bukti P-8 : KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;
Bukti P-9 : KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;
Bukti P-10 : KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, S.E., M.Si.;
Bukti P-11 : KTP Darmayanto;
Bukti P-12 : KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji, M.Sc.;
Bukti P-13 : KTP Indra Wardhana;
Bukti P-14 : KTP dan NPWP Abdullah Hehamahua; 56 15. Bukti P-15 : KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;
Bukti P-16 : KTP Agus Muhammad Mahsum;
Bukti P-17 : KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H.;
Bukti P-18 : KTP Bambang Soetedjo;
Bukti P-19 : KTP Dr. Ma’mun Murod;
Bukti P-20 : KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;
Bukti P-21 : KTP dan NPWP Masri Sitanggang, Dr., Ir., MP.;
Bukti P-22 : KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;
Bukti P-23 : KTP dan NPWP Muslim Arbi;
Bukti P-24 : KTP dan NPWP Roosalina Berlian;
Bukti P-25 : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8) 26. Bukti P-26 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Presiden diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan 20 Mei 2020 yang pada pokoknya mengemukakan bahwa:
Dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Sidang III Tahun Sidang 2019-2020, pada Selasa, 12 Mei 2020, DPR memberikan persetujuan terhadap RUU tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang;
Presiden, pada 16 Mei 2020, menetapkan (menandatangani) RUU tersebut dan selanjutnya diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 18 Mei 2020 sebagai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam 57 Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516). Untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020 perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. [2.4] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 58 Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disebut Perpu 1/2020) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah perlu mengutip kembali Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, sebagaimana telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014. Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang dalam pertimbangannya, antara lain, pada paragraf [3.13] menyatakan, “...Perpu _melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: _ (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang- Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang- Undang”. [3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan dalam permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 yang pada saat pengajuan permohonan dan pada sidang pertama Mahkamah dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Perpu 1/2020 belum disetujui atau tidak disetujui oleh DPR maka Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu 1/2020. Kedudukan Hukum para Pemohon [3.4] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), oleh karena Mahkamah telah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang menguji konstitusionalitas Perpu maka ketentuan tentang kedudukan hukum para Pemohon dalam pengujian 59 konstitusionalitas undang-undang juga berlaku dalam pengujian konstitusionalitas Perpu; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang, in casu Perpu, terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 60 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 27; dan Pasal 28 yang menyatakan: Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan Dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia Nat ...
Pengujian Formil dan Materiil (Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan ...
Relevan terhadap
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authotixe public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue 29 and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;
Bahwa sejak negara Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’. Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘ dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’, maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’;
Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan undang-undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;
Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak 30 mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );
Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;
Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat 31 diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;
Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T- account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:
Pendapatan;
Belanja;
Keseimbangan Primer;
Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;
Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;
Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang- 32 Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” __ Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri;
Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alas an: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;
Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; 33 16. Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;
Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedepan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;
Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU yang kemudian disahkan menjadi Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;
Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujuan Ranncangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, 34 maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’;
Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:
Pasal 2 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 35 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Anggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020.
Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;
Bahwa disamping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau 36 ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan undang-undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik, yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’. Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodik merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;
Bahwa unsur periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan undang-undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut-turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodi’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) tahun anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis peraturan perundang-undangn yang bernama undang-undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan 37 persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;
Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan PERPPU yang memang sama sekali tidak dikenal dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik yang kemudian dikebut untuk disetujui menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; 38 31. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan UU APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebidahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa atau keutuhan negara, seperti darurat kesehatan akibat virus Covid-19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam UU Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo 39 anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh UU Keuangan Negara;
Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyusun anggaran negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi pelaksanaan Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk kebal dari segala perbuatan melanggara hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara Perdata, Pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;
Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan apalagi kemudian disahkan menjadi UU melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam Perppu ini, sebab DPR masih bersidang dan belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan ibukota negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya; 40 35. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. B.4. Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Bahwa Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”. Ketentuan dalam Pasal 23A UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan secara tegas bahwa pengaturan tentang pajak dan pungutan-pungutan lain yang sifatnya memaksa dan digunakan untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian maka produk hokum yang digunakan untuk mengatur pajak dan pungutan-pungutan lain harus menggunakan undang-undang, dan tidak dalam bentuk lainnya.
Bahwa pajak yang sifatnya memaksa tidak bisa diatur dan ditentukan oleh satu lembaga negara saja, melainkan perlu melibatkan lembaga lainnya dalam hal ini adalah DPR dan DPD sebagai representasi dari rakyat. Bila pengaturan pajak yang sifatnya memaksa dan tidak melibatkan lembaga yang merepresentasikan rakyat, maka dapat dipastikan pungutan pajak tersebut bukan atas kehendak rakyat, melainkan lebih pada penggunaan kesewenangan pemerintah.
Bahwa setiap penetapan kebijakan pajak dan pungutan lainnya harus melibatkan DPR dan Pemerintah, serta DPD dalam pembahasannya, sedangkan dalam penetapan keputusan atas kebijakan tersebut, merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah, dalam hal ini Presiden. Dengan demikian, kebijakan penetapan pajak dan pungutan lain tidak dibenarkan dalam bentuk selain undang-undang;
Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan “Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan a quo mengatur mengenai pajak yaitu pajak penghasilan dalam hal besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitunganya yang diatur dengan atau berdasarkan 41 Peraturan Pemerintah. Produk hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tentu menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, karena pengaturan mengenai pajak dan pungutan-pungutan lainnya dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23A UUD 1945 harus menggunakan undang-undang yang disetujui oleh DPR, sedangkan di dalam pengaturan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dinyatakan pengaturan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah. B.5.Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Bahwa ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 menentukan “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.” Dalam ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 tersebut diantaranya mengandung makna bahwa DPD diberikan hak dan/atau kewenangan memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak. __ 2. Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan a quo yang merumuskan kebijaan perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah secara tersirat telah menghilangkan hak dan/atau kewenangan DPD dalam memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan pajak.
Bahwa oleh karena DPD sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai pengakomodir aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah, maka dalam hal membahas suatu rancangan undang-undang dapat membawa aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah untuk dijadikan sebagai masukan dalam menyusun suatu rancangan undang-undang dengan cara mengikuti pembahasan suatu rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, 42 dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon LVII merupakan masyarakat yang juga berkepentingan untuk memajukan daerah mengharapkan agar setiap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah, termasuk perihal pajak, pendidikan dan agama, __ DPD dapat menyuarakannya. Namun demikian ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 telah menutup DPD sebagai representasi dari kepentingan daerah untuk turutserta membahasnya, padahal secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, DPD hal-hal yang diantaranya berkaitan dengan pajak. Dengan demikian, maka ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak selaras dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. __ B.6. Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang-undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. salah satu aspek makna negara hukum 43 adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era common law yaitu raja tidak dapat salah (King can do no wrong). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu 44 disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat- pejabat tertentu.
Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang nenyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga- rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak 45 adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ”Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Kekuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri 46 Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi UU. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F-Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi UU. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.
Bahwa sebagaimana terurai di atas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU 47 Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. B.7. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 undang-undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini. Artinya, dengan Perppu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang-undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-9 dinyatakan sudah berakhir.
Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:
ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;
Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang- Undang Nomor 17 Thun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;
Pasal 27 ayat (1) beserta Penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438;
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 49 h. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;
Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan
Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6410).
Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk UU APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan 50 anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 undang-undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 undang-undang, yaitu undang-undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; UU yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) UU tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.
Bahwa apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya diantaranya sebagai berikut:
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan di bunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul 51 Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang berisiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya. Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang dihutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekedar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya di atasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak 52 ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.
Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal.
Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 53 Bahwa apabila merujuk lahirnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 undang-undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat karena diterbitkan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebelum kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Terlepas dari telah berubahnya Perpu tersebut menjadi UU akan tetapi proses pembentukannya bukan UU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juncto Pasal 20 UUD 1945. Oleh sebab itu, adanya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.
Bahwa berdasarkan uraian di atas jelas telah Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi melahirkan kekuasaan presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) __ dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. PETITUM Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang 54 memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, huruf a angka 2, dan huruf a angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-70 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi KTP M. Sirajuddin Syamsuddin; 55 2. Bukti P-2 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;
Bukti P-3 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;
Bukti P-4 : Fotokopi KTP dan NPWP Marwan Batubara;
Bukti P-5 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;
Bukti P-6 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Daniel M. Rosyid;
Bukti P-7 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Syamsul Balda, SE., MM., MBA;
Bukti P-8 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Abdullah Hehamahua;
Bukti P-9 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, SE., MSI;
Bukti P-10 : Fotokopi KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;
Bukti P-11 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, SH., MH;
Bukti P-12 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Masri Sitanggang, IR., MP;
Bukti P-13 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;
Bukti P-14 : Fotokopi KTP dan NPWP Roosalina Berlian;
Bukti P-15 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji MSC;
Bukti P-16 : Fotokopi KTP dan NPWP Djoko Edhi Soetjipto;
Bukti P-17 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. H. Ansufri Id Sambo;
Bukti P-18 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Bambang Tri Puspito;
Bukti P-19 : Fotokopi KTP dan NPWP Slamet Ma’arif;
Bukti P-20 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Imam Addaruqurni MA;
Bukti P-21 : Fotokopi KTP dan NPWP Agus Solachul Aam;
Bukti P-22 : Fotokopi KTP dan NPWP Auliya Khasanofa;
Bukti P-23 : Fotokopi KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;
Bukti P-24 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;
Bukti P-25 : Fotokopi KTP Darmayanto;
Bukti P-26 : Fotokopi KTP Indra Wardhana;
Bukti P-27 : Fotokopi KTP Agus Muhammad Mahsum;
Bukti P-28 : Fotokopi KTP Dr. Ma’mun Murod;
Bukti P-29 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;
Bukti P-30 : Fotokopi KTP dan NPWP Muslim Arbi;
Bukti P-31 : Fotokopi KTP dan NPWP Taufan Maulamin;
Bukti P-32 : Fotokopi KTP Bambang Sutedjo;
Bukti P-33 : Fotokopi KTP dan NPWP Agung Mozin;
Bukti P-34 : Fotokopi KTP dan NPWP Nur Aini;
Bukti P-35 : Fotokopi KTP dan NPWP Edy Mulyadi;
Bukti P-36 : Fotokopi KTP Abdurrahman Tardjo SH; 56 37. Bukti P-37 : Fotokopi KTP dan NPWP Anhar Nasution SE;
Bukti P-38 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Abdullah Sodik;
Bukti P-39 : Fotokopi KTP H. Moh Ismail;
Bukti P-40 : Fotokopi KTP dan NPWP Hersubeno Arief;
Bukti P-41 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Irwansyah;
Bukti P-42 : Fotokopi KTP Furqan Jurdi;
Bukti P-43 : Fotokopi KTP dan NPWP Ibnu Tadji H. Nurwendo;
Bukti P-44 : Fotokopi KTP dan NPWP Kisman Latumakulita;
Bukti P-45 : Fotokopi KTP Djudju Purwantoro;
Bukti P-46 : Fotokopi KTP dan NPWP Burhanuddin;
Bukti P-47 : Fotokopi KTP dan NPWP Rina Triningsih;
Bukti P-48 : Fotokopi KTP Yogi Yogaswara;
Bukti P-49 : Fotokopi KTP Atum SH;
Bukti P-50 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Mossadeq Nahri;
Bukti P-51 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Asri Anas;
Bukti P-52 : Fotokopi KTP dan NPWP Rukminiwati;
Bukti P-53 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Muh. Mu’inudinillah;
Bukti P-54 : Fotokopi KTP dan NPWP Ratna Ningsih Fatimah;
Bukti P-55 : Fotokopi KTP dan NPWP Mustaris SH;
Bukti P-56 : Fotokopi KTP dan NPWP Narliswandi;
Bukti P-57 : Fotokopi KTP Arief Agus Djunarjanto;
Bukti P-58 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-000252.AH.01.08.TAHUN 2015 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Persatuan Islam; Fotokopi SK Pimpinan Pusat Persatuan Islam Nomor 0001/B.1-C.1/PP/2015 perihal Tasykil Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP. PERSIS) Masa Jihad 2015-2020;
Bukti P-59 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0009540.AH.01.07.TAHUN 2017 tentang Pengesahan Badan Hukum dan Pengurus Wanita Al- Irsyad; Fotokopi SK Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Nomor 025-SK-PBW-1440 tentang Pengesahan dan Pengangkatan Susunan Personalia Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Masa Bakti 1439-1444H/2017-2022M;
Bukti P-60 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-234.AH.01.08.Tahun 2013 tentang Persetujuan Perubahan Anngaran Dasar; 57 Fotokopi SK Pengurus Besar Pemuda Al- Irsyad Nomor 025/SK/PB/2020 tentang Perubahan Susunan Dan Personalia Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad Masa Bakti 1439-1444 H/ 2017-2022 M;
Bukti P-61 : Fotokopi Surat Keterangan Nomor 01-00-00/089/ D.IV.1/IX/2016 Terdaftar Dewan Pimpinan Nasional Amanat Kejujuran Untuk Rakyat (AKURAT INDONESIA);
Bukti P-62 : Fotokopi AD/ART Yayasan LBH Catur Bhakti;
Bukti P-63 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000372.AH.01.08.TAHUN 2020 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia; Fotokopi SK Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Nmor 01/SK/KU.i/KAMMI/II2020 tentang Struktur Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) Periode 2019-2021;
Bukti P-64 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0013162.AH.01.07.TAHUN 2018 tentang Pengesahan Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Wanita Islam; Fotokopi SK Pengurus Pusat Wanita Islam Nomor 015/PP/SKEP/SEK/IV/2018 tentang Penyempurnaan Pengurus Pusat Wanita Islam Periode 2016-2021;
Bukti P-65 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485);
Bukti P-66 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-67 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU- XVIII/2020;
Bukti P-68 : Fotokopi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib;
Bukti P-69 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- VII/2009;
Bukti P-70 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003. 58 Selain itu, para Pemohon juga mengajukan 2 (dua) orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan secara daring tanggal 7 Desember 2020 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut.
Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu, M.Si, IPU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Perppu Nomor 2/2020 telah ditandatangani dengan segera oleh Presiden Jokowi menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020. Menurut pemerintah UU Nomor 2/2020 atau UU Korona bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan yang berlaku saat ini guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU korona menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah–langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020). Kami menganggap pandemi Covid-19 memang masalah serius menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia yang dihadapi bukan saja oleh Indonesia tetapi seluruh negara di dunia. Namun, terlepas dari serius dan mendesaknya mangatasi berbagai permasalahan, kami menilai penanganannya harus tetap dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku. Untuk itu, penyelenggara negara, terutama pihak eksekutif yang berada dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus tetap tunduk kepada konstitusi dan undang-undang berlaku saat ini. Faktanya, berbagai kalangan telah menanggapi dan menganggap bahwa sejumlah ketentuan dan UU Korona melanggar konstitusi dan bertentangan dengan beberapa undang-undang yang berlaku saat ini. Bahkan Pasal 27 UU No.2/2020 memberi hak impunitas kepada eksekutif dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan terkait Covid-19. Oleh sebab itu, tak heran jika sejumlah kalangan pun 59 telah mengajukan judicial review terhadap UU Korona ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK). Sejalan dengan hal di atas, kami pun telah diminta oleh KMPK untuk menjadi Saksi Ahli atas gugatan judicial review tersebut. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa dalam UU Korona terdapat berbagai hal yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi, sehingga UU tersebut seharusnya dibatalkan oleh MK. Terlepas dari banyaknya hal -hal lain yang kami anggap bermasalah dan inskonstitusional dalam UU Nomor 2/2020, sebagian dari permasalahan tersebut kami diuraikan berikut ini.
Pembentukan Perppu tidak memenuhi kaidah kegentingan memaksa Pembentukan Perppu/UU Nomor 2/2020 boleh dilakukan saat negara menghadapi kegentingan memaksa. Namun kegentingan memaksa dimaksud, harus memenuhi kaidah dan asas yang diatur dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Selain itu Perppu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, TAP MPR, dan UU lain yang berlaku. Faktanya dasar kegentingan memaksa Perppu Nomor 1/2020 tidak jelas dan tidak memenuhi kaidah UU P3, sehingga seharusnya secara formil UU Korona batal demi hukum.
Tidak terdapat uraian jelas bagaimana pendemi Covid-19 diatasi Dalam butir menimbang UU Korona dinyatakan pandemi korona merupakan penyebab ancaman bahaya perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Namun dalam isi Perppu berupa kebijakan dan aturan, tidak ditemukan ketentuan jelas bagaimana pandemi diatasi. Perppu/UU Korona justru sangat dominan membahas ketentuan terkait perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dinilai sarat kepentingan oligarki yang berada di belakang pemerintah.
Perppu Nomor 1/2020 melanggar batas defisit dan membuat utang naik tak terkendali. Pasal 23 UUD 1945 tentang hak budget DPR berbunyi: 1) APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab _untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ 2) Rancangan UU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR _dengan memperhatikan pertimbangan DPD; _ 3) Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. 60 Ternyata, Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 memberi kewenangan bagi pemerintah menentukan batas defisit anggaran di atas 3% untuk UU APBN sampai 2022. Kewenangan ini jelas bertentangan dengan sifat dan pola ‘priodik’ UU APBN sesuai Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, karena: • Pertama, Pasal 2 Perppu tidak menentukan batas maksimal persentase defisit , sehingga membuka peluang Pemerintah menentukan presentase defisit tanpa batas. Hal ini dapat berimplikasi pada membengkaknya Pos Pembiayaan APBN, termasuk meningkatkan jumlah utang negara yang akan menjadi beban rakyat yang sudah sangat tinggi; • Kedua, persentase PDB tanpa batas berlaku sampai 2022. Artinya ketentuan ini beraku dan mengikat 3 (tiga) UU APBN sekaligus, yakni UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, dan UU APBN TA 2022. Hal ini secara nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun. Bahkan UU APBN 2021 dan 2022 belum ada produk hukumnya, sehingga penetapan APBN setiap tahun sesuai konstitusi menjadi tidak bermakna.
Perppu Nomor 1/2020 mengeliminasi Hak DPR menetapkan APBN dan Defisit APBN Pasal 2 Perppu di atas juga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena membuka peluang defisit anggaran diatas 3% tanpa batas maksimal dan mengikat. Hal ini secara langsung membatasi kewenangan DPR memberikan persetujuan APBN, khususnya berkenaan dengan defisit anggaran harusnya maksimum 3% PDB. DPR tidak leluasa menggunakan hak, tetapi dipatok dengan batas minimal 3% PBD, tanpa ada batas maksimal. Kewenangan konstitusional DPR dalam menetapkan budget sangat besar dan menentukan seperti tercermin dalam ayat (3) Pasal 23 UUD 1945. Bahkan jika DPR tidak menyetujui suatu RUU APBN, maka Pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Bagaimana bisa pemerintah melalui Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 melawan konstitusi dan seenaknya menihilkan hak DPR dalam penetapan APBN? Implementasi UU Nomor 2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres Nomor 54/2020 dan Perpres Nomor 72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu 2 bulan dan telah ditetapkan 61 secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN. Persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak budget dalam konstitusi sangat vital, karena merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budget DPR dieliminasi Perppu Nomor 1/2020, berarti hak dan kedaulatan rakyat pun ikut dihilangkan. Perppu/UU Nomor 2/2020 memang bernuansa oligarkis karena sejak semula direkayasa dan diusulkan pemerintah yang pro oligarki. Artinya pemerintah memilih melindungi oligarki dibanding membela dan melindungi rakyat (lihat Lampiran 1: Melawan Pelumpuhan Hak Budget DPR).
Membuka peluang terjadinya moral hazard dan ketidakadilan sesame anak bangsa. Pasal 11 UU Korona tidak mengatur program pemulihan ekonomi melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan penjaminan secara rinci , sehingga membuka peluang terjadinya moral hazard. Dalam hal ini antara lain diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak bagian dari oligarki. Peluang moral hazard juga terbuka karena UU Nomor 2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) di mana guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria tak jelas, yang akan dibantu LPS secara full garanteee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas bukan karena pandemi korona. Hal ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak akan menjadi beban keuangan negara. Moral hazard pun potensial terjadi karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam “ 12 UU yang berlaku saat ini”, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 UU Korona. Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan 62 moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power . Mengingat peran DPR dihilangkan dan pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha dan pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 28 UU Nomor 2/2020 yang inkonstitusional, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard, UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard! Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada, dan bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan. Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU Nomor 2/2020, fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU, dan krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha dalam oligarki kekuasaan dihilangkan.
Kerugian negara ratusan triliun Rp menangani krisis keuangan 1997-1998 akan terulang. 63 Belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU Nomor 23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU Nomor 24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU Nomor 21/2011. Dibentuk pula UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain, sehingga pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard. UU PPKSK Nomor 9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi. Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU Nomor 2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha. Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha yang menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU Nomor 2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani 64 kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak, sedang ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan dalam hal keselamatan dan jaring pengaman sosial. Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard telah mewaranai dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Megaskandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033, itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan meskipun telah ditangani oleh 4 periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard (lihat Lampiran 2: UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI). Lampiran 1 Melawan Pelumpuhan DPR Dalam UU Korona Nomor 2/2020! UU Nomor 2/2020 adalah tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. UU Nomor 2/2020 diyakini melanggar konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pelanggaran terfatal, dilumpuhkannya hak budget DPR dalam Pasal 23 UUD 1945:
APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
RUU APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu. Tulisan ini membahas ketentuan UU Nomor 2/2020 yang melanggar konstitusi. Dibahas juga motif yang diyakini ada di balik pelanggaran, terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (2). Pertama , pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 2/2020 disebutkan pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit:
melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai 2022;
sejak 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB; dan, 3) penyesuaian besaran defisit dilakukan bertahap. 65 Pasal 2 UU Nomor 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena meskipun defisit APBN perlu dinaikkan melebihi 3% dari PDB, DPR sama sekali tidak dilibatkan menentukan batas defisit tersebut. Padahal, persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak konstitusional budgeting merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budegt dieliminasi, maka kedaulatan rakyat menentukan APBN pun hilang! Dengan hilangnya hak DPR menentukan defisit, maka nilai maksimum defisit menjadi terbuka tanpa batas. Nilai belanja APBN yang hanya terpusat di tangan pemerintah pun akan ditetapkan nyaris tanpa kontrol. Sehingga, APBN dapat dialokasikan pada program-program pro pengusaha, pro oligarki, tidak prioritas, dan berpotensi moral hazard. Atas nama korona, stabilitas ekonomi dan keuangan, APBN yang sebagian besar ditutup dengan menambah beban utang rakyat, berpotensi diselewengkan dan dikorupsi! Kedua, pada Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 2/2020 dinyatakan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Ini mempertegas niat buruk pemerintah menetapkan APBN secara tunggal, sekaligus menjadi alat menyingkirkan DPR ikut membahas APBN. Pemerintah telah bertindak inskonstitusional dan menghalalkan segala cara. Padahal pada Pasal 23 UUD 1945 disebutkan kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. RAPBN harus diajukan Presiden untuk dibahas dan disetujui DPR. Dengan pembahasan, terjadi proses check and balances dan APBN dapat pula dialokasikan sesuai prioritas. Ironis, DPR malah menyambut baik UU Korona yang telah melucuti haknya. Terlepas partisipasi DPR dan DPD dalam menetapkan budget mungkin dapat mengurangi kecepatan mengambil keputusan, konstitusi telah menjamin bahwa kedua lembaga memiliki hak ikut membahas dan menetapkan APBN dan APBN-P setiap tahun. Kondisi memaksa yang dipakai melegalkan eliminasi hak DPR seperti diatur Pasal 2 dan Pasal 12 UU Nomor 2/2020 merupakan perbuatan illegal sarat moral hazad. Menurut logika, tidak mungkin konstitusi dibuat sedemikian rupa sehingga ketentuan di dalamnya conflicting satu sama lain, atau bisa saling meniadakan hanya karena adanya satu sebab, seperti kegentingan memaksa Pasal 22 UUD 66 1945. Karena itu banyak kalangan telah menggugat UU Nomor 2/2020 ke Mahkamah Konstitusi, termasuk KMPK. Faktanya, dengan telah ditetapkannya Perppu Nomor 2020 menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020, pemerintah telah menerbitkan Perpres tentang Perubahan UU APBN 2020, yang selama ini dikenal sebagai UU APBN-P sebanyak dua kali, yaitu Perpres Nomor 54/2020 pada 3 April 2020 dan Perpres Nomor 72/2020 pada 24 Juni 2020. Kedua Perpres diterbitkan sewenang-wenang oleh pemerintah dalam kurun waktu tidak sampai 3 bulan, tanpa keterlibatan DPR. Dari kedua Perpres diperoleh biaya penanganan pendemi korona naik dari Rp 405 triliun menjadi Rp 695 triliun. Dana dukuangan bidang usaha (Rp 430T) lebih besar dibanding kesehatan dan jaring pengaman sosial (Rp 291T). Sedangkan defisit APBN naik dari Rp 852 triliun (3,07%) jadi Rp 1039 triliun (6,34%). Karena pandemi, penerimaan negara turun cukup besar dan belanja naik signifikan, sehingga defisit ditutup dengan utang, Rp 1220 triliun. Dalam kondisi keuangan negara yang demikian memprihatinkan, dan mestinya dibahas seluruh lembaga terkait, keputusan justru diambil oleh hanya segelintir pejabat pemerintah. Patut diduga sejumlah lembaga non pemerintah, pengusaha dan konglomerat ikut terlibat mempengaruhi Perpres guna mengamankan kepentingan. DPR sengaja dilumpuhkan agar agenda oligarki yang diduga sarat moral hazard berlangsung mulus. Jika dicermati lebih lanjut, beberapa skandal yang muncul belakangan ini dapat mengkonfirmasi kuatnya peran oligarki dan nuansa moral hazard dalam penyusunan Perpres Nomor 54/2020 atau Nomor 72/2020. Salah satu contoh adalah tentang Program Kartu Prakerja, yang semula mendapat alokasi anggaran berdasar Perpres Nomor 36/2020. Karena banyak protes publik dan temuan penyelewengan KPK, landasan hukum berubah jadi Perpres Nomor 76/2020. Padahal, menjadikan Perpres sebagai landasan legal tanpa adanya rujukan UU merupakan pelanggaran hukum serius. Terjadi rekayasa busuk: uang yang seharusnya diberikan secara utuh kepada rakyat, sebagian malah diberikan tanpa lelang pada 8 provider mitra penyedia pelatihan dengan anggaran Rp1 juta per orang, untuk 5,6 juta orang. Empat di antara provider adalah PMA. Melalui Perpres Nomor 76/2020, pemerintah memaksakan agar sebagian anggaran program dapat dinikmati mitra pelatihan yang sebagian berlatar belakang oligarki! 67 Artinya, program yang berkedok merakyat sebetulnya ditunggangi kepentingan oligarki berburu rente. Padahal modul pelatihan dapat diakses cuma- cuma di internet atau lembaga milik pemerintah. Jika ada empati terhadap penderitaan rakyat terdampak pandemi dan temuan KPK diperhatikan, maka tanpa dituntut program wajar berhenti. Namun karena matinya empati, niat korupsi dan status kebal hukum UU Nomor 2/2020, maka program tetap dilanjutkan. Kasus lain adalah tentang perubahan peran LPS yang wewenangnya ditingkatkan sepihak sesuai PP Nomor 33/2020 melebihi ketentuan dalam UU Nomor 4/2004 tentang LPS. Dengan itu, LPS dapat dimanfaatkan membail-out bank-bank atau perusahaan bermasalah. Pemanfaatan ini akan berjalan lancar karena minimnya prosedur/syarat rujukan dan transparansi. Cara ini mirip megaskandal BLBI, negara menolong bank dan bisnis para pengusaha bermasalah melalui proses yang sarat moral hazard, sehingga mewariskan beban utang besar pada rakyat. Berikutnya adalah pemanfaatan APBN untuk membantu pengusaha melalui dana yang dialokasikan sebagai bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun sesuai PP No.23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana telah diserahkan secara simbolis Rp 1 triliun oleh Presiden Jokowi pada 23 Juli 2020 di Istana Negara. Hal yang dikhawatirkan adalah siapa dan bagaimana cara, syarat serta prosedur bantuan dijalankan, yang minim pengawasan. Konsultasi dan pengawasan oleh DPR tidak optimal, sedangkan dasar kebijakan, peraturan operasional dan syarat pelaksanaan belum tersedia komprehensif dan berpotensi moral hazard. Sehingga, sebagian dana bantuan UMKM dapat berfungsi menjadi dana talangan bagi bank atau kredit macet, termasuk sektor propeti dan kredit lainnya. Padahal kredit macet timbul bukan karena pandemi, tetapi akibat pelanggaran aturan, ignorance, penyimpangan, kegiatan spekulatif, dll. Besarnya dana talangan dapat membesar karena motif untuk luar UMKM. Dalam PP Nomor 23/2020 disebutkan bank peserta meenyediakan dana penyangga liquiditas bagi bank pelaksana yakni bank umum konvensional dan bank syariah. Selain itu bank peserta dapat bertindak sebagai bank pelaksana berfungsi merestrukturisasi kredit dan pembiayaan. Mekanisme seperti ini dapat dianggap sebagai pola talangan atau bailout bank atas nama bantuan UMKM. Bantuan ini 68 tidak mengacu persyaratan kondisi darurat tetapi pada kondisi normal, sehingga bank lebih leluasa mengeruk dana UMKM. Akhirnya, dana bantuan UMKM dapat lebih banyak dinikmati pengusaha besar oligarkis dibanding UMKM. Uraian di atas telah memperlihatkan bagaimana UU Nomor 2/2020 disusun untuk membuka jalan bagi penggunaan APBN pro oligarki yang bernuansa moral hazard. Praktek seperti ini sudah biasa dilakukan para pengusaha berpengalaman dalam berbagai kasus, terutama megaskandal BLBI. Para veteran perampok BLBI ini sangat berpengaruh dan berhasil mengintervensi penguasa untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002, tentang release and discharge. Dalam buku Skandal BLBI (2008) mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menceritakan pengalaman betapa kuatnya pengaruh para konglomerat bersama menteri pro-oligarki membahas penyelesaian kasus BLBI pada November- Desember 2002: Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main dengan para pengusaha pengutang BLBI itu, karena mereka para konglomerat yang sudah bermain di Hongkong dan Singapura dengan jaringannya yang luas. Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional. Akhirnya para konglomerat perampok BLBI memang mendapat status bebas pidana korupsi dari pemerintah yang pro pengusaha melalui Inpres Nomor 8/2002. Mereka ini sekarang tetap berkibar sebagai bagian dari oligarki kekuasaan dan bahkan tumbuh lebih besar. Saat ini, ikatan oligarki penguasa-pengusaha jauh lebih erat dan menentukan dibanding Era Megawati. Buktinya, karpet merah kebijakan dan peraturan bahkan sudah dipersiapkan sejak awal untuk memuluskan agenda para konglomerat, sebelum adanya program! Pada Era Jokowi yang mengusung UU Nomor 2/2020, segalanya mudah bagi oligarki, termasuk melumpuhkan DPR. Bahkan yang dilumpuhkan pun malah senang. Rakyat tak perlu buang waktu untuk heran. Mari bangkit untuk melawan. Lampiran 2 UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI Salah satu ketentuan yang berpotensi merugikan rakyat dalam UU Korona No.2/2020 adalah tentang perubahan kewenangan Bank Indonesia (BI). Pasal 16 69 (1) UU Korona antara lain memberi BI kewenangan untuk: (a) memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik; (b) memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK; dan (d) membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Ketentuan Pasal 16 (1) UU Korona membuka peluang terjadinya penyelamatan sektor keuangan melalui skema pemberian dana talangan atau bail- out oleh negara. Kebijakan seperti ini tentu tidak adil bagi seluruh rakyat. Segelintir orang atau pemilik bank memperoleh bantuan khusus negara atas nama penyelamatan sektor keuangan dalam kondisi mayoritas rakyat sedang menderita, yang justru jauh lebih layak memperoleh bantuan. Apalagi jika bank-bank tersebut bermasalah akibat berbagai pelanggaran aturan dan prilaku moral hazard para pemilik. Di sisi lain, guna menyelamatkan sektor keuangan yang diakui dapat berdampak sistemik, tersedia mekanisme lebih adil, yaitu melalui skema bail-in. Dalam skema bail-in, pemegang saham atau group bisnis dalam suatu konglomerasi dapat saling bantu menyelamatkan sektor bisnis yang bermasalah. Ketentuan tentang mekanisme bail-in ini pun telah diatur dalam UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Para pemilik pemilik bank umumnya konglomerat yang berbisnis dibanyak sektor, sehingga akan mampu dan berkeadilan menerapkan skema bail-in . Namun langkah ini diabaikan. Skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang menimbulkan biaya sangat besar bagi negara. Megaskandal BLBI akibat krisis ekonomi 1997-1998 telah membuat negara menanggung beban Rp640.9 triliun, terdiri dari BLBI Rp144,5 triliun, program penjaminan Rp53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun dan obligasi rekap perbankan Rp422,6 triliun. Beban negara ini harus ditanggung rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan hingga sekarang. 70 Ternyata sebagian besar pengusaha dan konglomerat penikmat kebijakan zolim fasilitas BLBI (termasuk obligasi rekap) saat ini bukan saja survive tetapi bahkan tumbuh jauh lebih besar. Posisi mereka sebagai bagian dari oligarki kekuasaan tetap memperoleh berbabagi fasilitas dan hak istimewa dari pemerintah seperti terjadi sebelumnya, sehingga mereka dapat menguasai dan mencengkeram berbagai sektor ekonomi dan keuangan nasional. Bahkan sebagian konglomerat telah merambah sektor sosial dan politik, sehingga dapat mempengaruhi pembuatan aneka kebijakan, undang-undang dan peraturan pro oligarki, seperti UU No. 2/2020. Kombinasi sejumlah ketentuan dalam UU Korona No. 2/2020, yakni Pasal 16 terkait bail-out, Pasal 20 tentang peran LPS, Pasal 22 tentang penjaminan dan Pasal 28 terkait eliminasi ketentuan dalam 12 UU berlaku, akan berpotensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya ( blanket guarantee ). Di samping tidak adil, berbagai ketentuan tersebut berpotensi memunculkan moral hazard , termasuk oleh pejabat negara, sehingga dapat menimbulkan terulangnya megaskandal BLBI. Pada Pasal 20 UU No. 2/2020 LPS diberikan kewenangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada pasal 22 disebutkan guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan yang diatur dalam UU tentang LPS. Dengan skema penjaminan penuh ( full guarantee ) maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin pemerintah yang berpotensi moral hazard . Menurut BPK tindakan moral hazard penguasa, pengusaha dan konglomerat yang mengkorupsi uang negara pada megaskandal BLBI dilakukan dalam berbagai modus. Laporan BPK No. 06/VII/2000 menyimpulkan terjadi berbagai tindak pidana, sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum sebagai berikut: • Penggunaan BLBI di luar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana 71 pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai R84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesar Rp144,5 triliun); • Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usaha sendiri. Pelanggaran BMPK sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) jo Pasal 50 juncto Pasal 50 A UU Nomor 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana yang harus diproses hukum; • Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif; • Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasi dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group , misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkan pada 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence lebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp12 triliun-Rp20 triliun. Temuan BPK di atas menunjukkan tindakan moral hazard dalam megaskandal BLBI, di samping oleh para konglomerat, juga dilakukan pejabat negara baik di BI maupun lembaga terkait lain. BPK juga menemukan berbagai pelanggaran oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai berikut: • Mengonversi BLBI bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS); • Mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS), dengan menandatangani APU; • Memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik bantuan likuiditas yang telah diberikan; • Aset yang dibayarkan berdasar pengakuan penerima BLBI jauh di atas nilai berlaku. Salah satu contoh, aset tambak udang Dipasena, Lampung milik 72 Sjamsul Nursalim diserahkan kepada BPPN dengan nilai Rp20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar tambak Dipasena hanya Rp 2 triliun • Dalam menjual aset yang dibayarkan penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas kerap jauh di bawah nilai pasar. Kasus BLBI merupakan megaskandal karena menyangkut jumlah dana sangat besar, Rp 640 triliun. Para konglomerat penerima BLBI masa orde baru menguasai perekonomian nasional dari hulu sampai hilir. Ternyata saat ini, dominasi mereka bukan hanya pada sektor ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambah hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau dulu mereka berhasil mempengaruhi pemerintahan Megawati menerbitkan Inpres No. 8/2002 agar bebas pidana, maka pada pemerintahan Jokowi, cengekraman mereka semakin kuat, sehingga mampu berperan dalam pembentukan UU No. 2/2020 yang berpotensi lebih menyengsarakan rakyat. Akibat megaskandal BLBI yang membuat besarnya beban utang negara, maka guna membayar bunga utang, setiap tahun pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran untuk sektor-sektor mendasar kehidupan rakyat, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Akibatnya program pos pelayanan terpadu menghilang, biaya berobat naik, atau biaya pendidikan naik dan harga-harga barang/jasa pun naik. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban hidup menjadikan puluhan juta rakyat tetap hidup susah dan miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah menegakkan hukum dan keadilan terhadap para koruptor BLBI. Minimal sebagian aset mereka harus disita untuk didistribusikan kepada rakyat melalui mekanisme APBN. Namun, dengan ditetapkannya UU Korona No. 2/2020, kebijakan dan aturan tersebut bukan saja mengulang kesalahan dan kejahatan sarat moral hazard masa lalu yang semakin memihak konglomerat, tetapi malah akan menambah kesengsaraan rakyat dan jumlah orang miskin itu sendiri. Menurut CORE, pada kuartal-2 2020, akibat pendemi korona penduduk miskin Indonesia akan bertambah sesuai skenario moderat 5,1 juta hingga sangat berat 12,2 juta jiwa. Artinya, akhir 2020 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi 37,9 juta jiwa (14,35%). Situasi akan semakin parah jika anggaran 73 perlindungan sosial lebih rendah dibanding anggaran pemulihan ekonomi yang ditengarai pro pengusaha, seperti pada megaskandal BLBI. Rakyat pun harus bangkit menolak UU Korona pro oligarki tersebut.
Prof. Anthony Budiawan, M.Sc., CMA. PENDAHULUAN Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun, baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi bisa sangat serius. Pertumbuhan ekonomi bahkan bisa terkontraksi, artinya pertumbuhan negatif atau minus. Dalam krisis pandemi Covid-19, ada dua peristiwa yang terjadi di mana peristiwa satu menyebabkan peristiwa lainnya. Artinya, dalam hal ini, ada hubungan sebab dan akibat yang sangat jelas. Pandemi Covid-19 adalah penyebab, dan penurunan pertumbuhan ekonomi adalah akibat. Bukan sebaliknya. Artinya, peristiwa pandemi Covid-19 menyebabkan peristiwa pertumbuhan ekonomi turun. Oleh karena itu, berapa besar penurunan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari berapa parah dan berapa lama penyebaran pandemi Covid-19 berlangsung. Semakin lama peristiwa pandemi Covid-19 berlangsung maka semakin dalam penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sebaliknya, apabila penyebaran pandemi Covid-19 dapat segera teratasi, maka penurunan pertumbuhan ekonomi akan lebih ringan. Artinya, penurunan pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara gradual seiring berlangsungnya waktu penyebaran dan penanganan pandemi Covid-19. Hubungan sebab-akibat ini juga dinyatakan secara tegas dalam pertimbangan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem, selanjutnya disebut Perppu No 1/2020, yang ditetapkan pada 31 Maret 2020. Butir Menimbang pada Perppu No 1/2020 menyatakan:
bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; 74 b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak; Butir Menimbang ini menegaskan bahwa penyebaran Covid-19 merupakan sebab dari perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan salah satu maksud dan tujuan Perppu Nomor 1/2020 yang tersurat dari judulnya adalah untuk penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Apa yang dimaksud dengan “untuk penanganan pandemi Covid-19” tidak jelas dan tidak diatur sama sekali di dalam Perppu Nomor 1/2020. Tidak ada satu Bab dan Pasal di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur bagaimana menangani Covid-19 yang menjadi sumber permasalahan. Perppu Nomor 1/2020 hanya mengatur tentang penanganan dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Bahwa telah terjadi pandemi Covid-19 yang menimbulkan korban jiwa serta berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Tetapi, apakah ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga Presiden harus menetapkan Perppu Nomor 1/2020 perlu disikapi dan diuji secara lebih hati-hati. Pertama kali diketahui ada pasien terinfeksi Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sedangkan pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020 pada 31 Maret 2020. Dalam waktu satu bulan, pemerintah menetapkan ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehubungan dengan Covid-19 yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan dan/atau membahayakan perekonomian nasional. Mengingat dampak krisis ekonomi terhadap penurunan ekonomi berlangsung secara gradual, pemerintah seharusnya mempunyai cukup waktu untuk membahas perubahan undang-undang yang perlu diubah bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), misalnya terkait perubahan postur pada anggaran pendapat dan belanja negara, melalui proses normal, melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU). Perlu digaris bawahi, DPR pada tanggal 30 Maret 2020 sudah mulai masuk masa sidang. Menurut pengalaman sebelumnya, pembahasan APBN-P untuk tahun 75 anggaran 2017 hanya memerlukan 24 hari kalender sejak Rancangan APBN-P diterima DPR sampai disetujui, dari 3 Juli 2020 sampai 27 Juli 2007. PANDANGAN UMUM Identifikasi Permasalahan Presiden dapat menetapkan Perppu apabila merasa ada hal ihwal kegentingan yang memaksa atas hal tertentu yang belum ada undang-undangnya, atau ada undang- undangnya tetapi tidak cukup. Dalam hal ini, hal tertentu tersebut adalah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan nasional. Kemudian, Perppu yang ditetapkan harus disahkan DPR pada masa persidangan berikutnya. Artinya, penetapan Perppu hanya bersifat sementara waktu, yaitu dari tanggal penetapan Perppu sampai tanggal sidang DPR berikutnya. Dalam hal ini, sejak 31 Maret 2020 hingga 12 Mei 2020. Pemerintah khawatir, dalam periode tersebut terjadi permasalahan ekonomi yang tidak bisa ditangani oleh UU yang berlaku, sehingga terdorong menetapkan Perppu. Hal ihwal kegentingan yang memaksa di sini melibatkan dua unsur. Pertama, unsur subjektif Presiden dalam menilai bahwa saat ini tidak ada undang-undang, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, tentang kebijakan keuangaan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap perlambatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kedua, unsur waktu dan Jumlah di mana dampak pandemi Covid-19 terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan terjadi dalam waktu cepat, sehingga Presiden tidak bisa menunggu mengubah undang-undang yang dirasa tidak memadai melalui prosedur normal dengan cara mengusulkan Rancangan Undang-Undang kepada DPR untuk dibahas bersama. Krisis Ekonomi Berlangsung Bertahap Perjalanan krisis ekonomi di dunia menunjukkan bahwa krisis ekonomi tidak terjadi secara mendadak bagaikan bencana alam yang bisa mengakibatkan kerusakan seketika. Krisis ekonomi umumnya berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Berikut ini diberikan contoh beberapa kasus krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Krisis Moneter Asia 1997/1998 krisis moneter Asia berawal dari Thailand pada awal Juli 1997 melalui serangan spekulatif terhadap mata uang baht Thailand, yang kemudian menyebar 76 ke Indonesia, Korea Selatan, Malaysia dan Philipina. Kurs rupiah yang ketika itu menggunakan sistem kurs tetap mendapat serangan spekulatif yang membuat kurs rupiah terdepresiasi tajam. Kurs rupiah terhadap dolar AS pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan triwulan I-1998 masing-masing turun 34,5 persen, 69,7 persen dan 56,8 persen: dari Rp 2.431,5 per dolar AS pada 30 Juni 1997 turun menjadi Rp 3.270 per dolar AS pada 30 September 1997, Rp5.550 per dolar AS pada 31 Desember 1997, dan Rp8.000 per dolar AS pada 31 Maret 1998. Krisis sektor finansial berdampak pada perekonomian nasional. Kurs rupiah yang turun tajam membuat banyak perusahaan yang mempunyai utang dalam dolar mengalami gagal bayar dan bangkrut, dan akhirnya menyeret sektor perbankan. Krisis valuta akhirnya menjadi krisis sektor finansial dan krisis ekonomi secara gradual. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan Triwulan I-1998 masing-masing 5,2 persen, 1,4 persen dan minus 4,9 persen. Indonesia tidak bisa keluar dari krisis valuta ketika itu karena fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah. Neraca transaksi berjalan mengalami defisit sangat besar bertahun-tahun lamanya. Dalam kondisi seperti ini, kurs rupiah akan tertekan dan terdepresiasi. Kurs rupiah hanya bisa menguat kalau ada aliran dana (modal atau investasi) asing masuk ke Indonesia untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan tersebut. Aliran dana (modal atau investasi) asing bisa dalam bentuk utang kepada asing (utang luar negeri), penanaman modal asing, atau investasi asing di pasar modal (pasar saham dan pasar surat berharga). Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama sehingga uang asing di Indonesia ketika itu terakumulasi sangat besar. Akibatnya, ketika investor dan kreditor asing menarik uangnya kembali secara tiba-tiba maka kurs rupiah terdepresiasi tajam. Dan ini berlanjut terus sampai kondisi cadangan devisa terkuras. Indonesia akhirnya harus mengajukan pinjaman kepada IMF (International Monetary Fund) dan negara asing (bilateral) untuk menutupi keperluan devisa yang ditarik keluar negeri. 77 Krisis Finansial Global 2007/2008 Awal krisis finansial global mulai berkembang sejak April 2007 di sektor kredit perumahan di Amerika Serikat, yang kemudian berkembang menjadi krisis finansial global, meluas ke Eropa dan belahan dunia lainnya pada tahun berikutnya. Pertumbuhan ekonomi dunia mengalami koreksi tajam dari 4,32 persen pada 2007 menjadi 1,85 persen pada 2008 dan minus 1,68 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat turun tajam dari positif 1,88 persen pada 2007 menjadi minus 0,14 persen pada 2008 dan minus 2,54 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Inggris juga turun dari 2,43 persen pada 2007 menjadi minus 0,28 persen pada 2008 dan minus 4,25 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melemah dari 6,35 persen pada 2007 menjadi 6,01 persen pada 2008, dan kemudian menjadi 4,63 persen pada 2009. Tidak terlalu buruk. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia menetapkan tiga Perppu hampir bersamaan waktunya untuk mengantisipasi ancaman stabilitas sektor keuangan. Antara lain menetapkan Perppu No 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) pada 15 Oktober 2008, sebagai payung hukum untuk menyelamatkan sektor keuangan dari ancaman krisis keuangan. Penetapan Perppu No 4/2008 sulit dimengerti mengingat waktu penetapan dan sidang DPR berikutnya sangat berdekatan, hanya selisih 2 bulan. Tidak lama setelah penetapan Perppu, Bank Indonesia memberi pinjaman likuiditas kepada Bank Century yang mempunyai masalah likuiditas, dan dianggap sebagai Bank Sistemik. Artinya, permasalahan Bank Century dapat merembet ke bank lainnya yang bisa mengancam stabilitas sistem keuangan, sehingga harus diselamatkan. Tetapi, ternyata penyelamatan Bank Century merugikan keuangan negara, dan pihak yang bersalah dihukum. Perppu Nomor 4/2008 tidak disetujui oleh DPR dalam pembahasan di sidang Paripurna pada 18 Desember 2008. Sepanjang tahun 2009, sektor keuangan Indonesia baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi 2009 juga cukup tinggi, sebesar 4,63 persen. Keputusan DPR tidak mengesahkan Perppu Nomor 4/2008 menjadi UU ternyata tepat. Dua unsur Kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi. Ancaman krisis finansial global secara substansi tidak terbukti membuat sektor keuangan Indonesia 78 runtuh dalam waktu singkat. Dalam hal ini dari sejak tanggal penetapan Perppu Nomor 4/2008 pada 15 Oktober 2008 hingga sidang DPR berikutnya pada 18 Desember 2008. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengajukan Rancangan Undang-Undang untuk mengisi kekosongan undang-undang atau memperbaiki undang-undang yang ada yang dirasakan kurang memadai. Singkatnya, hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak terbukti pada krisis finansial global 2007/2008, dan pendapat subyektif Presiden harus disikapi secara hati-hati. Apalagi di dalam Perppu Nomor 4/2008 dimuat pasal-pasal yang mengatur imunitas atau kekebalan hukum para pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Pasal imunitas ini seharusnya menjadi bukti ada iktikad tidak baik dalam melaksanakan Perppu tersebut. Hal ini diperkuat dalam kasus penyelamatan Bank Century ternyata terbukti merugikan keuangan negara. PERMASALAHAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Kronologis kasus dan penetapan status Covid-19 di Indonesia. Pada 2 Maret 2020 pemerintah mengumumkan ada dua pasien terinfeksi Covid-19. Pada 17 Maret 2020 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan Covid-19 sebagai keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona dengan durasi sampai 29 Mei 2020. Nampaknya ada perbedaan penetapan status antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan pemerintah Indonesia. WHO pada 13 Maret 2020 menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Sedangkan pemerintah Indonesia belum menetapkan status darurat nasional, sebagai tindak lanjut status pandemi global. Pada 31 Maret 2020 pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 hanya dalam waktu satu bulan setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan cukup mengejutkan banyak pihak. Karena sebelumnya pemerintah selalu mengatakan kondisi Indonesia baik-baik saja, dan Indonesia siap menghadapi Covid-19. Mengejutkan karena DPR juga sudah masuk masa persidangan pada 30 Maret 2020 sehingga proses perubahan undang-undang melalui prosedur normal dapat dilakukan. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 dirasakan tidak tepat dengan alasan-alasan berikut ini. 79 Covid-19 sebagai Bukan Darurat Nasional Pemerintah tidak pernah menyatakan bahwa Covid-19 merupakan darurat nasional. Oleh karena itu, Covid-19 bukan merupakan bagian dari kegentingan yang memaksa yang menjadi alasan penetapan Perppu Nomor 1/2020. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur penanganan Covid-19. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 menjadi tidak tepat karena tanpa ada upaya penanganan Covid-19 secara benar dan secepat-cepatnya sehingga dampak Covid-19 terhadap ekonomi berpotensi semakin memburuk. Akibatnya, biaya untuk menyelamatkan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional menjadi tidak menentu. Semakin lama penanganan Covid-19 berlangsung, semakin tinggi biaya krisis ekonomi yang harus ditanggung. Oleh karena itu, pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan penanganan Covid- 19 dengan kebijakan ekonomi dengan tujuan memotong mata rantai penyebaran secepat-cepatnya. Ancaman Stabilitas Sistem Keuangan dan Perekonomian Nasional Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Pertama, dalam keadaan mendesak yang mengancam stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah sudah mempunyai perangkat hukum untuk mengatasi itu, sehingga tidak tepat hal ini dijadikan hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Untuk mengatasi ancaman stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah mempunyai undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU Nomor 9/2016) yang diundangkan pada 15 April 2016. UU Nomor 9/2016 relatif masih baru untuk dapat menjawab tantangan sistem keuangan terkini. UU Nomor 9/2016 khusus dibuat untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang mencakup bidang fiskal, moneter, makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan, dan resolusi bank [Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 9/2016]. Sesuai Penjelasan atas UU Nomor 9/2016, UU ini dibuat untuk memperbaiki dan membangun sistem keuangan yang tangguh dan siap menghadapi krisis sistem 80 keuangan, berdasarkan pengalaman krisis keuangan 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008. Selanjutnya, seperti dikutip dari Penjelasan: “Titik berat Undang-Undang ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan. Meskipun demikian, pemantauan, pemeliharaan, dan penanganan permasalahan sistem keuangan dilakukan juga terhadap bidang fiskal, moneter, lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung pada jalannya roda perekonomian. Kedua, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola oleh sektor perbankan, khususnya bank sistemik, dan perlu dijaga keamanannya dari kemungkinan kegagalan bank. Pencegahan dan penanganan permasalahan pasar keuangan dan lembaga jasa keuangan lain dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang mengenai perbankan, perasuransian, pasar modal, surat utang negara, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.” Oleh karena itu, pemerintah lebih tepat menggunakan UU Nomor 9/2016 untuk mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, sehingga Perppu Nomor 1/2020 tidak tepat untuk menangani ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Pasal 6 huruf c UU Nomor 9/2016 menjelaskan bahwa KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) berwenang menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan. Artinya, pemerintah senantiasa memantau kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sehingga dapat mendeteksi kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sejak awal dan menyiapkan solusi penanganan yang tepat. Dengan demikian, tidak ada unsur keterdesakan yang dapat dikategorikan kegentingan yang memaksa yang membuat pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Hingga Perppu Nomor 1/2020 ditetapkan pada 31 Maret 2020, masyarakat tidak mendengar stabilitas sistem keuangan dalam kondisi krisis. Sehingga seharusnya Perppu Nomor 1/2020 tidak memenuhi persyaratan kegentingan yang memaksa. 81 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kepala Eksekutif LPS, salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret di media dengan judul Ada Corona, LPS Pastikan Likuiditas Sektor Keuangan RI Aman . ( https: //www.cnbcindonesia.com/market/ ri-aman ). Kemudian, Bank Indonesia, juga sebagai salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret 2020 menyatakan Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun fungsi intermediasi perbankan terus menjadi perhatian . Oleh karena itu, penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan pernyataan dua anggota KSSK bahwa stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia masih terjaga dan aman. Dengan kata lain, tidak ada kegentingan memaksa. Penyesuaian Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Kedua, Covid-19 membuat asumsi dasar dan postur APBN 2020 melenceng. Realisasi APBN 2020 diperkirakan akan menyimpang dari target. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu melakukan perubahan APBN untuk tahun anggaran (TA) 2020. Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah memilih melakukan perubahan postur APBN (APBN-P) tahun anggaran 2020 melalui penetapan Perppu No 1/2020. Sebenarnya sudah ada mekanisme UU yang mengatur perubahan APBN. Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17/2003) membolehkan pemerintah melakukan penyesuaian APBN dengan kondisi perekonomian terkini. Pasal 27 ayat (4) mengatur kondisi darurat: dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020 (UU Nomor 20/2019) juga memuat mekanisme penyesuaian APBN TA 2020 secara lebih detil, yang harus disampaikan dalam Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas UU APBN Tahun Anggaran 2020. Pasal 41 UU Nomor 20/2019 mengatur mekanisme perubahan anggaran dalam keadaan darurat, di mana, dalam hal ini, DPR harus memberikan persetujuan dalam waktu 1 kali 24 jam setelah disampaikan pemerintah. 82 Oleh karena itu, dari unsur waktu, tidak ada alasan yang memadai untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Perppu ditetapkan ketika ada kondisi kegentingan yang memaksa, atau darurat. Sedangkan kondisi darurat ini sudah diatur dalam undang-undang tentang Keuangan Negara, khususnya UU Nomor 20/2019, termasuk persetujuan dari DPR yang harus diberikan dalam waktu 1 kali 24 jam. Selanjutnya, pembahasan perubahan APBN juga dapat dilakukan cukup cepat sehingga tidak diperlukan Perppu untuk melakukan perubahan APBN. Hal ini terbukti pada pembahasan Perubahan APBN Tahun Anggaran 2017 yang hanya memerlukan waktu 24 hari kalender. RUU Perubahan APBN diajukan presiden pada 3 Juli 2017 dan disahkan DPR pada 27 Juli 2017. http: //www.anggaran. kemenkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1291 Untuk dimensi jumlah, alasan kegentingan yang memaksa juga tidak terpenuhi. Target defisit anggaran pada APBN 2020 ditetapkan Rp 307 triliun, atau setara 1,8 persen dari PDB. Menurut UU Keuangan Negara, defisit anggaran boleh mencapai 3 persen dari PDB. Artinya, defisit anggaran pada APBN 2020 bisa ditingkatkan menjadi Rp513 triliun. Jumlah ini seharusnya cukup untuk membiayai APBN hingga RUU Perubahan APBN disahkan melalui prosedur normal. Hal ini juga terbukti, defisit anggaran sampai akhir Juni 2020 hanya Rp257,8 triliun. Jauh lebih rendah dari target defisit anggaran APBN 2020 (Rp307 triliun) maupun target defisit anggaran yang dibolehkan oleh UU (Rp513 triliun). Adapun defisit anggaran sampai Juli dan Agustus 2020 masing-masing Rp330,2 triliun dan Rp500,5 triliun. Masih dalam jangkauan batasan defisit yang dibolehkan menurut UU Keuangan Negara. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi prasyarat penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Sebagai konsekuensi, Perppu bisa cacat hukum karena melanggar prasyarat Pasal 22 ayat (1) UUD NRI: Tidak ada kebutuhan mendesak; Tidak ada kekosongan hukum (kecuali batas defisit anggaran 3 persen dari PDB); Kekosongan hukum batas defisit anggaran ini dapat diatasi dengan membuat UU melalui prosedur normal. Bahaya Penetapan Perppu Nomor 1/2020 Terhadap Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan Perubahan APBN 2020 dilakukan melalui penetapan Perppu Nomor 1/2020 untuk tujuan tertentu. Pertama untuk menaikkan batas defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB seperti diatur di dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara 83 menjadi defisit anggaran tidak terbatas selama 3 tahun masing-masing untuk anggaran 2020, 2021 dan 2022. Kedua, Perppu Nomor 1/2020 menghapus beberapa pasal dari UU lain seperti tercantum pada pasal 28 butir 1 hingga butir 12. Sedangkan Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen setelah disahkan menjadi UU nomor 2 Tahun 2020. Sebagai contoh, • Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dihapus. • APBN tidak perlu lagi terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja karena Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17/2003 yang mengharuskan rincian APBN dihapus. • Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing tanpa mendapat persetujuan DPR, karena pasal yang mengatur persetujuan sudah dihapus. • Dan masih banyak lainnya. Begitu juga dengan Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen. Mengakibatkan para pejabat KSSK dan pengguna anggaran APBN tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana serta tidak bisa digugat di peradilan tata usaha negara, dan semua biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Implikasi Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020 Perppu Nomor 1/2020 menghapus banyak pasal-pasal dari berbagai undang- undang lainnya seperti tercantum pada Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut mempunyai implikasi bahwa Perppu Nomor 1/2020 berpotensi melanggar undang-undang yang mempunyai hierarki lebih tinggi dari Perppu secara umum, yaitu Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), karena pasal-pasal yang dihapus tersebut sebenarnya penjabaran atau pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar atau TAP MPR. 84 Penghapusan pasal-pasal tersebut juga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Karena Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan mengisi kekosongan hukum. Melainkan menghapus peraturan (pasal) terkait ekonomi dan keuangan yang awalnya harmonis menjadi disharmonis. Karena penghapusan peraturan (pasal) tersebut bersifat permanen. PEMBAHASAN PASAL-PASAL PADA PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan, yang tertuang dalam Perppu Nomor 1/2020. Di bawah ini membahas pasal-pasal sehubungan dengan kedua kebijakan tersebut dan potensi bertentangan dengan UUD, TAP MPR atau dengan UU lainnya.
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 Perppu Nomor 1/2020 Pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)...… paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Pendapat Defist anggaran melampaui 3% dari PDB berarti boleh melampaui tanpa batas. Defisit anggaran tanpa batas bisa membahayakan perekonomian nasional dan keuangan negara. Defisit anggaran berarti pemerintah harus menarik utang baru. Utang pemerintah saat ini sudah sangat besar. Pembayaran bunga pinjaman sangat membebani belanja negara, sehingga rakyat dirugikan karena anggaran belanja untuk kepentingan rakyat jauh berkurang. Hal ini bisa bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI agar pemerintah mengelola keuangan negara untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat . Rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak tahun 2019 mencapai 17,9 persen. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio menurut prinsip kehati-hatian berdasarkan patokan IMF ( International Monetary Fund ) sebesar 10 persen. Kalau penambahan utang pemerintah melonjak tinggi akibat batas defisit dibuat tanpa batas, rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak akan naik pesat, sehingga dapat membahayakan ketersediaan anggaran belanja negara untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, defisit anggaran boleh melampaui 3 persen dari PDB tidak bisa diterima karena tanpa ada batasan yang jelas yang dapat membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional. 85 Terkait unsur waktu, batasan defisit anggaran dalam persentase tertentu seharusnya hanya terbatas untuk tahun 2020 saja, mengingat kegentingan yang memaksa yang menjadi dasar penetapan Perppu Nomor 1/2020, yaitu Pasal 22 ayat (1) UUD NRI, harus diatasi secepatnya sesuai persyaratan penetapan Perppu. Artinya, Covid-19 seharusnya sudah dapat diatasi dalam tahun ini, sehingga kondisi kegentingan yang memaksa menjadi tidak relevan lagi pada tahun depan, dan oleh karena itu kondisi fiskal APBN bisa menjadi normal kembali. Sementara itu, untuk tahun-tahun berikutnya, pemerintah bisa menempuh cara wajar dalam pembentukan undang-undang sesuai yang diatur Pasal 20 UUD NRI dengan mengajukan rancangan undang-undang apabila merasa perlu mengubah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini karena masih banyak waktu untuk membuat perubahan undang-undang yang dapat digunakan mulai tahun 2021. Kesimpulan:
Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI di mana unsur kegentingan yang memaksa, khususnya dimensi waktu, tidak terpenuhi.
Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun tanpa perlu mendapat persetujan DPR bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI di mana APBN harus ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Penetapan APBN tanpa persetujuan DPR termasuk praktek pengelolaan keuangan negara yang dapat membahayakan perekonomian nasional sehingga unsur untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak terpenuhi seperti dimaksud Pasal 23 ayat (1).
Penetapan defisit anggaran tanpa persetujuan DPR melanggar Pasal 20A UUD NRI karena memangkas wewenang DPR yang diberikan UUD: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 2. Pasal 2 ayat (1) huruf c Perppu Nomor 1/2020 Pengelolaan anggaran dan keuangan negara sepatutnya harus terinci sampai unit organisasi, fungsi, dan program seperti berulang kali ditegaskan dalam undang- undang lainnya, seperti Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 86 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut di atas yang mewajibkan anggaran disusun sampai unit organisasi, fungsi, dan program pada hakekatnya menghalangi peran dan fungsi BPK sebagai pemeriksa keuangan negara yang ditugaskan oleh UUD NRI. Pasal 9 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; Dengan tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program, maka BPK tidak bisa memeriksa setiap pihak yang mengelola keuangan negara, sehingga BPK tidak bisa menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai perintah UU BPK dan UUD NRI. __ Di lain pihak, Pasal 11 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mewajibkan belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 juga mewajibkan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dikelompokkan menurut fungsi, organisasi, dan program. Kedua pasal ini masih berlaku karena tidak dihapus di dalam Perppu Nomor 1/2020. Sebagai tindak lanjut Perppu Nomor 1/2020, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Perpres Nomor 54/2020) beserta Lampirannya. Di dalam Postur Perubahan APBN 2020 tersebut, tidak ada rincian anggaran sampai organisasi, fungsi, dan program. Dalam hal ini, pemerintah melalui menteri keuangan mendapat wewenang yang sangat besar sekali, bahkan dapat dikatakan wewenang absolut, dalam menggunakan anggaran. • Hal ini tersurat di dalam Perpres Nomor 54/2020 di mana Menteri Keuangan dapat menetapkan perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 (Pasal 3 ayat (2)) secara sepihak, tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 tidak sampai unit 87 organisasi, fungsi, dan program mengakibatkan BPK tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana perintah UUD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam kondisi apapun, pemerintah tidak bisa menghilangkan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan DPR serta tidak bisa menghilangkan fungsi dan tugas BPK, seperti yang diamanatkan UUD NRI. Kesimpulan:
Penghapusan rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi, dan program bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI karena membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya sesuai Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 15/2006 tentang BPK.
Pasal 2 ayat (1) huruf d melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Penentuan proses dan metode pengadaan barang dan jasa harus sesuai, dan tidak boleh bertentangan, dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait hal ini, kasus Kartu Prakerja sudah menuai kontroversi dan keresahan di masyarakat. Kartu Prakerja adalah bantuan nontunai dari pemerintah kepada para pihak yang tidak bekerja, atau kepada pihak yang tertarik, untuk digunakan mengikuti pelatihan dengan tujuan meningkatkan kompetensi. Untuk melaksanakan tugas ini, pemerintah bekerja sama dengan rekanan atau mitra untuk pelatihan online (Platform Digital). Kontroversi dan keresahan disebabkan pertama, dari mana sumber anggaran untuk membiayai Kartu Prakerja tersebut. Karena tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program akibat dihapus di Perppu Nomor 1/2020, maka BPK akan kesulitan melaksanakan pemeriksaan sampai ke pengelola anggaran sesuai standar pemeriksaan keuangan negara. Kedua, proses pemilihan rekanan atau mitra kerjasama pemerintah dengan 8 platform digital mengandung kontroversi dan tercium aroma KKN yang dilarang di dalam TAP MPR. Kalau pemberian bantuan nontunai adalah hak penerima sesuai kriteria yang ditetapkan, maka pemerintah tidak ada hak lagi untuk mengatur bagaimana penerima atau pemilik nontunai membelanjakan bantuan nontunai 88 tersebut. Terlebih, pemerintah tidak bisa menjalin kerjasama dengan mitra 8 platform dengan mengatasnamakan pihak penerima bantuan nontunai. Perjanjian seperti ini tidak ada dasar hukumnya dan menjadi tidak sah. Kecuali pemerintah mengatakan bantuan nontunai adalah dalam bentuk barang/jasa. Dalam hal ini, pemerintah bisa mengadakan perjanjian kerjasama dengan mitra pemilik 8 platform digital. Sebagai konsekuensi, biaya Kartu Prakerja dan pemilihan mitra dapat diperiksa oleh BPK dan dapat dinilai apakah ada kerugian negara dalam pelaksanaan kerjasama tersebut. Dalam hal ini, mitra juga bisa diperiksa apakah terjadi mark-up yang merugikan keuangan negara. Implikasi Pasal 2 ayat (1) huruf d adalah pemberian wewenang yang sangat besar kepada pemerintah karena dapat melakukan pengeluaran meskipun anggarannya belum cukup tersedia atau tidak tersedia, bahkan dapat menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Wewenang yang tidak terkontrol ini bertentangan dengan fungsi DPR seperti tercantum di Pasal 20A ayat (1) UUD NRI dan BPK seperti tercantum di Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI.
Pasal 2 ayat (1) huruf f Pemerintah berwenang menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/atau investor ritel; Di dalam PERPPU 1/2020 harus dijelaskan tujuan tertentu yang di maksud dalam “penerbitan surat utang negara/surat berharga syariah negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19”, sehingga tujuan tertentu tersebut tidak berkembang menjadi banyak tujuan tertentu. Pertama, menurut Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 23/1999), yang dihapus bersamaan dengan terbitnya PERPPU 1/2020, Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang negara untuk diri sendiri di pasar primer, kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan oleh Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter. Pelarangan pembelian surat- surat utang negara oleh BI di pasar primer sangat penting untuk menjaga independensi BI sesuai perintah Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 (TAP MPR XVI/MPR/1998) dan Pasal 23D UUD NRI. 89 Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 berbunyi: Dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pasal 23D UUD NRI berbunyi: Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Pelaksanaan kedua pasal di atas menghasilkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah, dan independen. Nilai-nilai tersebut dicapai melalui Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 tersebut. Yaitu, Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat- surat utang negara kecuali di pasar sekunder. Independensi Bank Indonesia dicapai antara lain melalui pemisahan kebijakan moneter dari kebijakan fiskal yang menjadi tujuan utama Pasal 55 ayat (4) UU 23/1999. Penghapusan Pasal 55 ayat (4) di dalam Perppu Nomor 1/2020 membuat BI boleh membeli surat-surat utang negara secara langsung untuk diri sendiri di pasar primer membuat BI menjadi tidak independen lagi. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dalam menjalankan kebijakan moneter. Kalau BI boleh, dan dipaksa, membeli surat utang negara di pasar primer maka BI kehilangan independensi yang dapat membahayakan kebijakan moneter nasional. Pada hakekatnya, penerbitan surat utang negara oleh pemerintah adalah domein kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat-surat utang negara oleh BI merupakan domein kebijakan moneter. Pembelian surat utang negara oleh BI secara langsung dari pemerintah di pasar primer berarti BI tidak independen lagi dalam menjalankan kebijakan moneternya. Terlebih lagi bahwa batasan defisit anggaran dalam Perppu Nomor 1/2020 dibuat tanpa batas ( melampaui 3% artinya bisa sebesar-besarnya) sehingga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kebijakan moneter yang tidak independen berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. 90 Alasan BI hanya boleh beli surat berharga negara di pasar sekunder agar BI dapat membeli surat berharga negara tersebut sesuai kebutuhan dalam melaksanakan kebijakan moneter yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain, sesuai mandat TAP MPR XVI/MPR/1998 dan UUD NRI. Sebagai konsekuensi, Pasal 2 ayat (1) butir f Perppu Nomor 1/2020 merupakan kemunduran luar biasa pada sektor keuangan pasca krisis 1998, dan mengantar kembali ke sistem moneter era Orde Baru yang turut menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 dan timbulnya kasus bermasalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Peru digaris bawahi, Perppu Nomor 1/2020 memberi dampak BI boleh membeli surat utang negara di pasar primer untuk jangka waktu tidak terbatas, sehingga kebijakan dan peraturan undang-undang ini menjadi permanen. Mengingat Perppu Nomor 1/2020 diterbitkan karena ada kegentingan yang memaksa, maka implikasi kebijakan menjadi permanen bertentangan dengan alasan diterbitkannya Perppu Nomor 1/2020 yang bersifat sementara. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) huruf f Perppu No 1/2020 bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 dan Pasal 23D UUD NRI.
Pasal 2 ayat (1) huruf g Pemerintah berwenang menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Sumber pembiayaan terkait penanganan Covid-19 harusnya diperoleh dari dalam negeri, mengingat utang luar negeri pemerintah khususnya, dan utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan, sudah dalam tingkat mengkhawatirkan, dan memberi kontribusi besar terhadap instabilitas sistem keuangan dan moneter dewasa ini. Menurut pedoman IMF, batas utang luar negeri yang aman tidak melebihi 30 persen dari PDB. Rasio utang luar negeri Indonesia meningkat terus, mencapai 36,13 persen dari PDB pada akhir 2019. Rasio utang luar negeri terhadap ekspor juga dalam kondisi mengkhawatirkan, mencapai sekitar 242 persen pada akhir 2019. Yang lebih mengkhawatirkan, rasio ini meningkat tajam dalam satu tahun terakhir, dari 210 persen pada 2018 menjadi 242 persen pada 2019. Peningkatan rasio ini menunjukkan kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan mata uang asing untuk membayar utang luar negeri semakin lemah, dan dapat memicu krisis valuta dan mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam, seperti yang terjadi pada 91 awal April 2020 yang lalu di mana kurs rupiah sempat tembus Rp17.000 per dolar AS, yang merupakan kurs terendah sepanjang masa. Anjloknya kurs rupiah membuat harga impor untuk bahan baku, bahan setengah jadi dan barang modal naik. Oleh karena itu, pembatasan utang luar negeri menjadi sangat penting untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas moneter di waktu yang akan datang, sesuai BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 dan Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998. BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 Membentuk sistem pengawasan dan pemantauan utang luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dunia usaha. Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998 Seluruh pinjaman luar negeri Pemerintah harus memperkuat perekonomian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan dimasukan kedalam rencana anggaran tahunan. Oleh karena itu, pembiayaan anggaran seharusnya dari dalam negeri. Sumber pembiayaan dari luar negeri harus sepertujuan DPR sesuai TAP MPR tersebut di atas. Artinya, Pasal 2 ayat (1) huruf g bertentangan dengan TAP MPR di atas. Belum lama berselang, pemerintah sudah menerbitkan surat utang senilai 4,3 miliar dolar AS pada 7 April 2020. Selain itu, Bank Indonesia sudah mengikat perjanjian fasilitas repo (repurchase agreement Line) dengan lembaga asing the Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, senilai 60 miliar dolar AS. Fasilitas repo adalah semacam fasilitas kredit beragunan jangka pendek. Kedua peristiwa tersebut sudah melanggar kedua TAP MPR di atas serta Pasal 11 ayat (2) UUD NRI, karena harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.
Pasal 11 Inti Pasal 11 Perpu Nomor 1/2020 adalah pemerintah menjalankan program pemulihan ekonomi nasional, dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. PMN dilakukan melalui BUMN yang ditunjuk. Penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah dapat dilakukan langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui lembaga keuangan, manajer investasi, dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. 92 Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17/2003 sudah mengatur, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah (Pusat) dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR . Oleh karena itu, penyertaan modal atau pinjaman kepada perusahaan swasta tanpa mendapat persetujuan DPR seperti di maksud Pasal 11 Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 20A ayat (21) UUD NRI mengenai fungsi pengawasan DPR.
Pasal 12 ayat (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. “Memperhatikan tata kelola yang baik” tidak berarti dapat menghilangkan tugas pengawasan dan pemeriksaan dari badan yang berwenang sesuai UUD NRI, yaitu DPR RI dan BPK RI. Sebaliknya, Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 yang memberi kekebalan (imunitas) hukum kepada semua pihak yang disebut dalam pasal tersebut jelas menunjukkan intensi tata kelola keuangan yang tidak baik , dan bertentangan dengan muatan materi pasal 12 ayat (1).
Pasal 13 Penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12 dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Berdasarkan UUD NRI, BPK wajib memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, serta menyatakan apakah ada kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. 93 Pasal ini merupakan penjabaran dari Pasal 23E UUD NRI mengenai fungsi dan wewenang BPK sehingga pelanggaran atas Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK juga akan melanggar Pasal 23E UUD NRI.
Pasal 16 ayat (1) huruf a Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik. Penyelamatan bank yang mempunyai masalah likuiditas maupun solvabilitas seharusnya menggunakan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, Bank Indonesia kemudian memainkan peran lebih aktif terkait pencegahan dan Penanganan krisis sistem keuangan menimbulkan banyak tanda tanya. Tetapi, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 ini bertentangan dengan status independensi Bank Indonesia sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI (dan TAP MPR XVI/MPR/1998). Selain itu, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 juga merupakan langkah mundur dalam pengelolaan sektor moneter dan keuangan Indonesia, dan membawa kembali ke dalam praktek Orde Baru di mana Bank Indonesia bisa langsung memberi pinjaman atau pembiayaan likuiditas kepada bank (sistemik atau selain sistemik), yang kemudian berakhir dengan penyalahgunaan BLBI tahun 1998 sebesar Rp138 triliun dari total pinjaman BLBI Rp144,5 triliun. Untuk menjaga agar peristiwa ini tidak terulang, maka dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga independen untuk menilai dan memutuskan mekanisme pemberian pinjaman kepada bank sistemik maupun tidak sistemik (dan membebankan kepada APBN). Praktek Bank Indonesia kembali ke Orde Baru dapat membahayakan sistem moneter dan keuangan Indonesia sehingga melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD NRI.
Pasal 16 ayat (1) huruf b Bank Indonesia diberikan kewenangan memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan 94 likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK. Pasal ini mengatur BI dapat memberi pinjaman kepada bank yang pada prinsipnya mempunyai masalah solvabilitas, yaitu keadaan (mendekati) bangkrut . Wewenang ini sangat rawan disalahgunakan seperti peristiwa BLBI 1998 dan Bank Century 2008. Bank Century ketika itu menghadapi masalah solvabilitas tetapi akhirnya dipaksakan untuk diselamatkan dengan mengubah berbagai peraturan. Seperti diketahui bersama, pinjaman likuiditas ini ternyata disalahgunakan dan merugikan keuangan negara. Atas pembelajaran kasus Bank Century 2008 dan kasus BLBI 1998, maka dibuat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, UU yang masih relatif baru tersebut tidak digunakan dalam menghadapi ancaman stabilitas sistem keuangan. Hal ini mengundang tanda tanya, dan seharusnya pemerintah konsistem menerapkan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Penyelamatan bank adalah domein kebijakan fiskal, sehingga BI seharusnya tidak ikut campur untuk mempertahankan independensinya. Bank Indonesia hanya dapat memberi pinjaman likuiditas kepada Bank bermasalah dengan membeli surat berharga bank bersangkutan. Pemerintah dapat memberi pinjaman kepada Bank bermasalah melalui penerbitan surat berharga setelah mendapat persetujuan DPR. Bank bermasalah dapat menjual surat berharga negara tersebut kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b bertentangan dengan UU yang mewajibkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI. Untuk menghadapi kondisi krisis perbankan, hal tersebut diatur Pasal 33 UU BI dan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Pasal 16 ayat (1) huruf c Bank Indonesia diberikan kewenangan membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, 95 termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Lihat penjelasan butir 4 di atas untuk Pasal 2 ayat (1) huruf f. Sebenarnya, Pasal 16 ayat (1) huruf c ini juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjelaskan bahwa Bank Indonesia harus bebas independen dan bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999 Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini. Berdasarkan uraian diatas, pasal 16 ayat (1) huruf c bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999, bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 serta bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI, untuk membangun Bank Indonesia yang independen dan bebas campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain.
Pasal 19 ayat (1) Lihat penjelasan pada butir 9 (Pasal 16 ayat (1) huruf a), butir 10 [Pasal 16 ayat (1) huruf b, butir 11 (Pasal 16 ayat (1) huruf c)] di atas.
Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 yang memberi wewenang LPS untuk menerbitkan surat utang dan meminjam kepada pihak lain bertentangan dengan Pasal 85 UU Nomor 24/2004 tentang LPS yang mengatur: • Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah. • Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 berpotensi menghilangkan wewenang DPR sehingga bertentangan dengan Pasal 20A UUD NRI. 96 Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 85 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah.
Pasal 27 ayat (1) Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020 menyatakan bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI, BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. Oleh karena itu, pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23E dan Pasal 20A UUD NRI. Pasal ini juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya Pasal 3 ayat (3) bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi, dan Pasal 4 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan 97 korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Pasal 27 ayat (1) bertentangan dengan UU No 31/1999, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR 1998, dan Pasal 23E UUD NRI. Pasal 7A UUD NRI secara tegas menyatakan bahkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila, antara lain, terlibat korupsi. Artinya pengelolaan keuangan negara harus bersih dan bebas korupsi, sehingga semua biaya harus dapat dipertanggung jawabkan, dan diperiksa oleh BPK.
Pasal 27 ayat (2) KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kasus BLBI 1998 dan Bank Century 2008 dapat menjadi pelajaran bahwa di dalam krisis justru pengawasan pengelolaan keuangan negara harus diperketat karena kondisi krisis dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Pasal 27 ayat (2) terkait erat dengan pasal 27 ayat (1). Kalau Pasal 27 ayat (1) gugur dan BPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak pengelola anggaran negara, dan BPK dapat menilai atau menetapkan kerugian negara apabila ada, maka Pasal 27 ayat (2) secara otomatis akan gugur juga. Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 di atas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 98 Pasal ini juga bertentangan dengan UU 31/1999 yang memuat materi bahwa setiap orang , termasuk pegawai negeri dan korporasi, yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Selanjutnya, moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat, itikad ataupun sifat- sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Iktikad baik tidak bisa membuat seseorang mendapat keistimewaan hukum dan kebal hukum baik secara perdata maupun pidana. Iktikad baik hanya bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan tingkat hukuman.
Pasal 27 ayat (3) ….
Pasal 28 Pasal 28 angka 1 sampai dengan 12 memuat daftar pasal-pasal yang dihapus di 12 undang-undang lainnya. Penghapusan pasal-pasal di 12 undang-undang tersebut membuat Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UUD NRI. Karena undang- undang tersebut merupakan penjabaran atau pelaksanaan dari UUD NRI, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan materi muatan pada pasal- pasal yang dihapus merupakan inti dari penjabaran dan pelaksanaan UUD dimaksud. Misalnya, undang-undang tentang Bank Indonesia merupakan pelaksanaan perintah secara langsung dari Pasal 23D UUD NRI. Undang-Undang tentang Bank Sentral yang kemudian dinamakan Bank Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pasl 23D UUD NRI tersebut. Artinya, Bank Indonesia harus independen, yang independensinya diatur di dalam undang-undang tentang Bank Indonesia (bank sentral) tersebut. 99 Pasal 28 angka 2: Dampak Penghapusan Pasal pada UU Lainnya Penghapuasan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 Pasal yang mengatur independensi Bank Indonesia terletak di Pasal 55 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia. Yaitu:
Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali di pasar sekunder.
Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal demi hukum. Independensi Bank Indonesia dicapai melalui pemisahan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Penerbitan surat utang negara (di pasar primer) oleh pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari kebijakan moneter Bank Indonesia. Surat utang negara yang beredar di pasar sekunder sudah tidak terkait lagi dengan kebijakan fiskal, tetapi bisa berpengaruh terhadap tingkat suku bunga. Oleh karena itu Bank Indonesia berwenang melakukan pembelian surat utang negara di pasar sekunder untuk memberi pengaruh antara lain terhadap tingkat suku bunga. Penghapusan pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 ini membuat Bank Indonesia tidak independen lagi, karena fungsi moneter Bank Indonesia menjadi bagian dari instrumen kebijakan fiskal pemerintah karena BI dalam kondisi tertentu “dipaksa” membeli surat utang negara di pasar primer (perdana). Oleh karena itu, penghapusan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI. Dampak Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 28 butir 3: Penghapusan Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 100 Pasal 15 ayat (5) dihapus: APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Penghapusan pasal ini mengakibatkan APBN tidak perlu terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Sedangkan pengelola anggaran ada di satuan detil sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Prosedur pengelolaan anggaran negara juga ada di stauan detil tersebut. Penghapusan pasal ini membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya secara bebas dan mandiri sesuai perintah Pasal 23E ayat (1) UUD NRI. Akibatnya, BPK tidak bisa menyerahkan hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara kepada DPR, DPD atau DPRD, sesuai Pasal 23E ayat (2) UUD NRI. Akibatnya, DPR tidak bisa melakukan fungsi pengawasan yang menjadi tugasnya sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan secara daring tanggal 15 Oktober 2020 dan menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Desember 2020 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU- VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum. 101 2) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum 3) Para Pemohon Perorangan Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan 1) Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multitafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional para Pemohon dan warga negara pada umumnya. 102 2) Meskipun demikian, para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau 103 kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh para Pemohon perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , para Pemohon perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan para Pemohon perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal 104 verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, para Pemohon perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkrit (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri para Pemohon perkara 42 dan justru para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, para Pemohon perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah para Pemohon perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43. Bahwa para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 105 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon perkara 45.
Perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya 106 substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi para Pemohon perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional 107 berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga negara. Selain itu, Pemohon perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi- asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas para Pemohon perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 Undang- 108 Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tersebut oleh para Pemohon perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas para Pemohon perkara 75. Walaupun para Pemohon perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU __ a quo tidak menghalangi para Pemohon perkara 75 untuk mendapatkan hak konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa para Pemohon perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: 109 …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 110 B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Penyebaran Covid-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran Covid-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi Covid-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana Covid-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran Covid-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah 111 tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi Covid-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ 112 - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang _yang saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar program.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu 113 memberikan persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang- undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “persetujuan bersama” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “persetujuan bersama”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “persetujuan bersama” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of 114 democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the 115 guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 poin [3.34] yang menyatakan, “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa para Pemohon perkara 37 dan perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945]. b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 117 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan 118 perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19. Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang- undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. 119 Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang-undang 120 dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang- undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang 121 berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu 122 Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN MATERIIL UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid-19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan 123 kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa para Pemohon perkara 37 dan Pemohon perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam 124 jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. ( Lampiran II ). Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran 125 akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak 126 disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh para Pemohon perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya 127 LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan [vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ].
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada. 128 4. Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan:
Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.
Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
.... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan 129 sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan 130 adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl . Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. 131 i. Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances 132 serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini (vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam 133 penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide __ ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. 134 6. Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/ bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai 135 dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan 136 Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. 137 terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang- barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh para Pemohon perkara 37. 138 d. Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan para Pemohon perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan 139 hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang-undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi 140 kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian, pengaturan objek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektivitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi. 141 4) Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang- Undang melalui UU 2/2020, maka dalil para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara 142 mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam Penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni "Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/ pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan 143 Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang 144 berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi. Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan. 145 b. Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Kekhawatiran para Pemohon perkara 37 dan para Pemohon perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem 146 perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah [vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020]. Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan 147 Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. 148 Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp4 triliun.
Resiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman 149 kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain 150 telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan : Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga , biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam 151 hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo. Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; 152 b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang 153 mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum (bestuurzorg). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika 154 pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 __ Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia ” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang- cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip-prinsip umum ataupun asas-asas umum yang 155 dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “ tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat (Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perppu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perppu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok , dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti itikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan 156 penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal . Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program-program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata .” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan 157 dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang- Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. 158 ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu, pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan 159 Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang- undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat Covid-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa 160 Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Perundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh para Pemohon perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian 161 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/ Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa . Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran para Pemohon perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara .
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa Pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, 162 Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “ Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan . d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih 163 efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program-program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. KETERANGAN TAMBAHAN Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan Perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan Perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur:
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. __ 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi [vide Pasal 65 ayat (1) UU 164 12/2011] yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67-Pasal 70 UU 12/2011.
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. 165 Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa 166 Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. RISALAH PEMBAHASAN UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. I. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 167 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Uji Materi Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka 3 dan 10 Lampiran UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ...
Relevan terhadap
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. 2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut , baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.” e. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." f. Pasal 6 Lampiran Undang-undang Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;
Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. 285 2) Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. Terhadap norma yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang- undangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian dalam beberapa putusannya, antara lain sebagai berikut:
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, sebagai berikut: “… bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan; ” b. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 , sebagai berikut: “Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan kenyataan bahwa norma tersebut kerap digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kemudian juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara politik hukum norma tersebut dapat diterima untuk dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya norma tersebut pun, pihak-pihak terkait memang seharusnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu keberadaan norma tersebut tidak menghilangkan prinsip equality before the law. 286 5) Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Norma yang Diuji Konstitusionalitasnya Sebelum masuk kepada pokok pembahasan, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa terkait dengan norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “ UU 2/2020 ”) sampai saat ini masih menjadi isu di masyarakat. Meskipun demikian, pada dasarnya seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 tentu dibuat dengan berbagai pertimbangan dan assessment sebagai bentuk upaya penyelamatan masyarakat dalam situasi Pandemi Covid-19, khususnya di bidang keuangan negara agar dapat diimplementasikan dengan baik. Adapun yang menjadi objek pengujian, norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam UU 2/2020 dapat dikatakan hampir sebagian besar dari pasal-pasal UU 2/2020. Apabila dikelompokkan berdasarkan topik, maka secara umum norma UU 2/2020 yang diuji konstitusionalitasnya meliputi perlindungan hukum dan kepastian hukum terkait:
Ruang lingkup pengaturan;
Keuangan Daerah;
Perpajakan dan Kepabeanan;
Perubahan Postur Anggaran; dan
Kebijakan keuangan lainnya yang merupakan materi muatan UU 2/2020. Alasan Permohonan Judicial Review __ yang diajukan terhadap UU 2/2020 ini pada dasarnya lebih kepada judicial review terhadap konstitusionalitas materi muatan UU 2/2020 yang dianggap tidak mencerminkan kondisi Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19 sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “ UUD 1945 ”) dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Terkait dengan materi keterangan yang akan disampaikan Ahli, pada dasarnya merupakan materi yang seyogianya telah dikuasai oleh Majelis Hakim 287 Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kemudian, sebelum masuk kepada pokok- pokok keterangan yang akan disampaikan dalam kapasitas ahli di bidang hukum tata negara, perlu dikemukakan bahwa Covid-19 yang dinyatakan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, tentu merupakan kondisi yang tidak mudah bagi semua pihak, tidak hanya bagi Indonesia, namun juga bagi negara-negara di belahan dunia lainnya. Sebagai penyelenggara negara yang diberikan amanat oleh konstitusi untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam menghadapi masa Pandemi Covid-19, negara wajib mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambil tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, terkait langkah-langkah yang diambil oleh negara sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 akan mencerminkan tanggung jawab negara dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Tentu tindakan pemerintah tersebut harus ditelaah dari beberapa aspek: A. Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa ( extraordinary ). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: " Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. ” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 52 Tahun 1960. 288 Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid-19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. B. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU- VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 289 Tentu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “ Keadaan bahaya yang menimbulkan _kegentingan yang memaksa, yaitu:
ancaman yang membahayakan_ _(dangerous threat);
kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); _ dan (3) keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia. ” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “ hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak-tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu. ” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang- undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan- kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; 290 d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi . Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan . Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas . Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi . Kebijakan Keuangan Negara dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni:
Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “ PSME ” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 291 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? 1. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:
penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak 292 lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali:
Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand ? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces.
Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu- rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011. 293 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “ UU Ketenagakerjaan ”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;
mengurangi shift ;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak.
Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 294 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar 295 mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. ” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- undang dengan rumusan “… diatur dalam undang-undang…” dan “… diatur dengan undang-undang. ” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang (geregeld bij de wet).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang ( in de wet ), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.” Sementara itu, frasa “dengan undang- 296 undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri. ” Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy , perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/ Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.” 2 37-39/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang.” 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden 297 sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang-undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir ( fallacy ) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang- undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan ( legal policy ) pembuat undang-undang yang menentukannya.” Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang- Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang- undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo .” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya ( open public policy ). Mahkamah Konstitusi memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran.” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open 298 legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan.
Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/ kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan . Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “ Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai 299 pengganti undang-undang”, hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang.
Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang (transfer of power). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan (the power of rule making atau law making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi (delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations) , maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut 300 merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid- 19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang- Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ e. penghasilan 301 tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang MENOLAK permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas 302 merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo. Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang . Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 5. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan .” 303 dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik” . Artinya, secara a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. ” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan.
Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa 304 akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor , maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara . Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” Pasal 3 UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan. kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara “ Kerugian Negara / Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Dari ketentuan-ketentuan dalam UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara tersebut, terkait “kerugian negara” selalu diikuti dengan frasa “secara melawan hukum atau sebagai akibat perbuatan melawan hukum”. Frasa tersebut mengandung pengertian bahwa “kerugian negara” dikategorikan sebagai melanggar UU Tipikor dan melanggar UU Perbendaharaan Negara hanya apabila ada unsur perbuatan/tindakan yang melawan hukum. Jadi unsur perbuatan/tindakan yang melawan hukum merupakan unsur yang harus ada apabila kerugian negara tersebut dikualifikasi sebagai Tipikor. Artinya, tidak 305 semuanya “kerugian negara” dinyatakan sebagai Tipikor, bisa jadi hanya merupakan pelanggaran administratif yang seharusnya bisa ditempuhnya penyelesaian melalui jalur administrasi untuk pemulihan kerugian negara tersebut. Dari pasal-pasal tersebut, dipahami pula bahwa perbuatan “merugikan keuangan negara” haruslah merupakan implikasi dari perbuatan melawan hukum yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi serta penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Artinya, pasal ini tidak menutup kemungkinan adanya suatu tuntutan hukum jika perbuatan melawan hukum dapat dibuktikan. Terkait kerugian negara juga ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, “ UU LPS merupakan undang-undang yang memerintahkan kepada LPS untuk menjual aset Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik sehingga apabila hal itu dilakukan meskipun dengan harga yang tidak optimal tidak dapat digolongkan merugikan keuangan negara. ” Lebih lanjut, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan menyatakan, “ Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara . ” Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tidak semua kerugian atau selisih kurang secara otomatis dikualifikasi sebagai kerugian negara sebagaimana kerugian negara yang dimaksud dalam UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara. Selama biaya-biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka biaya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara dan tidak dapat menjadi unsur tindak pidana korupsi. Namun sebaliknya, ketika biaya untuk melaksanakan berbagai kebijakan tersebut dilakukan secara melawan hukum , terdapat unsur objektif (actus reus) yaitu ada perbuatan yang secara nyata dan 306 pasti jumlahnya telah menimbulkan kerugian negara, dan terdapat unsur subjektif yaitu adanya mens rea/ niat jahat secara melawan hukum dari Pejabat terkait biaya- biaya yang dikeluarkan tersebut, maka yang demikian dikategorikan melanggar UU Tipikor maupun UU Perbendaharaan Negara. Sebagaimana konsep open legal policy yang telah dijabarkan sebelumnya, hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 telah lazim juga digunakan dalam berbagai undang-undang, diantaranya Pasal 50 KUHAP, Pasal 41 KUP, dan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak. Artinya, perlindungan hukum bagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya, dari segi legal drafting bukanlah merupakan substansi baru dalam perancangan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal yang dipermasalahkan adalah apakah ketentuan serupa dapat dimuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, maka perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019 disebutkan bahwa, “ materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang- Undang .” Oleh karena itu, jika dalam berbagai undang-undang dibenarkan untuk mengatur pemberian imunitas kepada pelaksana undang-undang, maka demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Kemudian, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, apabila menguji konstitusionalitas materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, saat ini sudah tidak relevan lagi karena sudah ditetapkan menjadi UU 2/2020 oleh DPR. Jika diperhatikan, ketentuan Pasal 27 UU 2/2020 tersebut tidaklah mengatur imunitas yang bersifat absolut . Terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi yaitu iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kedua hal ini merupakan syarat yang dapat dipergunakan oleh penegak hukum untuk menilai apakah pengambilan kebijakan dan/atau pelaksanaannya dapat dituntut atau tidak. Menurut Arsul Sani, jika penegak hukum meyakini bahwa prinsip iktikad baik tidak terpenuhi dan juga ditemukan keadaan melanggar hukum , maka proses hukum tetap dijalankan meski ada pasal imunitas dalam undang-undang terkait. Oleh karena itu, imunitas hukum tidak serta merta menyebabkan imun terhadap tuntutan hukum. 307 Begitu pula terkait dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 yang menyatakan bahwa UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan dan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, perlu dipahami bahwa lahirnya ketentuan ini merupakah respon terhadap krisis yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Hal ini juga telah ditekankan dalam Pasal 27 ayat (1) dimana biaya yang dikeluarkan bertujuan untuk menyelamatkan negara dari krisis. Oleh karena itu, memahami bunyi Pasal 27 ayat (3) semestinya tidak dilakukan secara parsial, namun harus komprehensif dan kontekstual. Bahwa pembatasan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara telah diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 51 tahun 2009, yang menyebutkan: “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan , berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan tersebut, adalah berdasar jika kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh KSSK atau pejabat pemerintahan lainnya dalam melaksanakan amanat UU 2/2020 bukanlah merupakan objek sengketa tata usaha negara dengan tetap memperhatikan bahwa kebijakan atau keputusan yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M. Pandemi Covid 19 Melumpuhkan Ekonomi Dunia Pandemi Covid 19 telah menyebar ke 207 negara yang menimbulkan dampak kematian yang besar dan permasalahan perekonomian yang merata di seluruh dunia. Upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19 menyebabkan banyak negara membatasi mobilitas masyarakat, sehingga menimbulkan gangguan pada perekonomian. Hal ini mendorong terjadinya penurunan pendapatan, pelemahan daya beli dan pemutusan hubungan kerja. Untuk memitigasi dampak Covid-19 berbagai negara mengkombinasikan berbagai kebijakan baik kebijakan sosial, fiskal maupun moneter, dan lainnya. Stimulus ekonomi yang sangat besar digelontorkan berbagai negara untuk mencegah krisis Kesehatan menjadi krisis ekonomi dan keuangan. Stimulus fiskal dan moneter yang ekstensif telah dikeluarkan oleh sekitar 308 193 negara yang fokus pada peningkatan anggaran kesehatan, bantuan bagi rumah tangga, jaminan sosial , bantuan kepada sektor yang terdampak, baik berupa penundaan pajak atau penjaminan pinjaman. Menurut Financial Stability Board respons kebijakan yang ditempuh berbagai otoritas baik di negara maju dan berkembang relatif sama. Hal yang membedakan lebih pada besaran dukungan dari Pemeritah, Di negara berkembang dukungan pemerintah sebesar 5,5 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan negara maju sebesar 20% dari PDB. Dampak Pandemi Covid-19 Bagi Perekonomian Domestik Untuk mencegah penyebaran Covid-19 banyak negara termasuk Indonesia melakukan pembatasan mobilitas masyarakat yang menimbulkan gangguan pada perekonomian. Hal ini mendorong terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan pendapatan, menurunnya daya beli dan banyaknya pemutusan hubungan kerja. Sejalan dengan itu, perekonomian Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan yang tajam dan banyak perusahaan yang gulung tikar. Dalam situasi seperti ini perkara Penundaan Kewajiban Membayar dan Kepailitan meningkat. Ini terlihat dari naiknya perkara PLPU dan Kepailitan di Pengadilan Niaga, Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Untuk itu diperlukan respons kebijakan yang komprehensif untuk memitigasi dampak Pandemi Covid-19 terhadap stabilitas ekonomi dan sistem keuangan. Risiko Yang dihadapi Bank dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya Pandemik Covid-19 memberikan tekanan pada sektor jasa keuangan, khususnya bank. Sebagai sumber utama penyedia dana untuk kegiatan ekonomi, terdapat kebutuhan untuk menjaga ketahanan bank dari risiko-risiko yang mungkin timbul di tengah situasi pandemik yang tidak menentu seperti saat ini. Setidaknya terdapat tiga jenis risiko yang dapat disebabkan oleh situasi pandemik Covid-19. Pertama , risiko kredit, yaitu berupa kesulitan debitur memenuhi kewajibannya kepada perbankan, khususnya dari sektor Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Kedua , risiko pasar, yaitu perubahan nilai dari aset lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelemahan yield instrumen keuangan dan pelemahan nilai tukar dan Ketiga , risiko likuiditas, yaitu tekanan terhadap likuiditas yang timbul akibat pelaksanaan restrukturisasi kredit/pembiayaan yang terdampak pandemik Covid-19. Untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut, maka diperlukan kebijakan 309 yang bersifat antisipatif, yang bertujuan untuk menopang fundamental sektor riil/informal dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Disamping itu, diperlukan juga penguatan kewenangan lembaga-lembaga di sektor keuangan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi darurat akibat Pandemi Covid-19. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan Sistem Keuangan adalah sistem yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan dan infrastruktur keuangan, termasuk system pembayaran yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktifitas perekonomian nasional. Peranan sistem keuangan dalam perekonomian sangatlah penting. Setidaknya ada tiga peranan penting dari sistem keuangan. Pertama, peranan sebagai perantara keuangan ( financial intermediary ), Kedua sebagai pelaku utama dalam system pembayaran dan Ketiga, sebagai sarana untuk melaksanakan kebijakan moneter. Pertama, peranan sebagai sebagai Perantara Keuangan , terutama yang dilakukan bank dapat diibaratkan dengan peran jantung dalam tubuh manusia. Kalau jantung mensuplai darah ke seluruh jaringan tubuh manusia, maka bank mensuplai likuiditas ke dalam seluruh kegiatan perekonomian. Dengan adanya dana yang disalurkan ke dalam seluruh kegiatan masyarakat, maka terjadilah kegiatan investasi dan produksi yang membuka lapangan kerja yang menghasilkan barang dan jasa. Inilah yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan terbukanya lapangan kerja, maka diharapkan akan mengurangi pengangguran dan mengurangi kriminalitas, sekaligus memberikan penghasilan kepada para pekerja yang pada gilirannya juga akan membayar pajak kepada negara atas penghasilan yang diterima. Begitu juga dengan perusahaan yang berproduksi menghasilkan barang dan jasa yang akan memperoleh keuntungan dan akan membayar pajak juga kepada negara. Dengan demikian, kegiatan bernegara juga dapat berjalan dengan adanya penerimaan negara dan kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa akan tersedia dengan baik. Kedua, peranan sebagai pelaku utama Sistem Pembayaran, baik yang bersifat tunai dan non tunai. Pembayaran non tunai baik yang menggunakan warkat, kartu, elektronik dan virtual, kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS). Sistem pembayaran yang dilakukan oleh sistem keuangan meliputi pembayaran di dalam dan luar negeri dan kegiatan lainnya baik di pasar barang dan jasa, pasar uang, 310 pasar modal, pasar komoditi dan pasar tenaga kerja. Dengan adanya kegiatan pembayaran yang cepat, aman dan efisien, maka kegiatan perekonomian, kegiatan perdagangan dll juga akan berjalan lancar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Ketiga, peranan sebagai sarana dalam transmisi kebijakan moneter , terutama dalam rangka menjaga stabilitas nilai rupiah, baik yang berkaitan dengan harga ( price stability ) dan nilai tukar. Dengan adanya kestabilan nilai rupiah, maka tingkat inflasi rendah dan tidak merugikan masyarakat. Selain itu, kebijakan moneter juga dapat terlaksana melalui sistem keuangan apabila sistem keuangan itu sehat dan stabil, yang dapat bekerja dengan efisien dan efektif. Kestabilan Nilai Rupiah untuk mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional tersebutlah yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2020. Kesemuanya itu menunjang Stabilitas Sistem Keuangan yang efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan luar negeri. Dampak Instabilitas Sistem Keuangan Menurut Bank Indonesia, apabila Sistem Keuangan tidak stabil dan tidak berjalan secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sistem Keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk menyelamatkannya. Pelajaran berharga pernah dialami Indonesia ketika terjadi krisis keuangan pada tahun 1998, di mana waktu itu biaya krisis sangat signifikan. Pada waktu itu biaya yang dikeluarkan Pemerintah adalah sekitar Rp640 triliun (enam ratus empat puluh triliun rupiah) untuk melakukan rekapitalisasi perbankan dan memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang kesulitan likuiditas. Stabilitas Sistem Keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan. Selain itu, diperlukan waktu yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik kepada Sitem Keuangan. Krisis tahun 1998 membuktikan bahwa, secara umum, dampak instabilitas pada Sistem Keuangan adalah sebagai berikut; Pertama, transmisi kebijakan moneter tidak berjalan normal, sehingga, kebijakan moneter menjadi tidak efektif. Kedua , Fungsi, intermediasi industri jasa keuangan terutama perbankan tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena ada alokasi dana yang tidak tepat dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Ketiga , ketidakpercayaan 311 sektor publik pada sistem keuangan mendorong investor/kreditur untuk menarik dana. Akibatnya, timbul masalah likuiditas. Keempat, sangat mahalnya biaya untuk menyelamatkan sistem keuangan jika terjadi krisis yang sistemik. Oleh karena itu, upaya untuk menghindari atau mengurangi risiko kemungkinan terjadinya ketidak stabilan sistem keuangan sangatlah diperlukan untuk menghindari kerugian yang begitu besar. Pentingnya pengaturan Stabilitas Sistem Keuangan dalam UU Nomor 2/2020 Setidaknya ada tiga manfaat dari diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 2020. Pertama , untuk memberikan dasar hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat dan aparatur negara. Khusus untuk aparatur negara, dasar hukum ini diperlukan untuk memperkuat kewenangannya dengan berbagai kewenangan yang luar biasa ( extra ordinary ) dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Kedua , untuk memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah pemerintah dalam penyelamatan kesehatan masyarakat dan perekonomian negara. Ketiga untuk memberikan perlindungan hukum bagi aparatur negara dalam pelaksanaan tugasnya. Mengingat Pandemi Covid-19, selain merupakan ancaman bagi manusia, juga menyebabkan risiko ketidakstabilan dan ancaman terhadap perekonomian nasional dan sistem keuangan, sehingga perlu mitigasi bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan sebagai kordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). KSSK menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian (Vide: Pasal 4 UU UU PPSK). UU No. 2 Tahun 2020 antara lain dalam Pasal 14 sampai Pasal 26 mengatur langkah-langkah luar biasa ( extra ordinary ) dan penguatan Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan KSSK, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Untuk menjaga stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi darurat akibat Pandemi Covid-19, UU Nomor 2 Tahun 2002 memberikan legitimasi dan landasan hukum bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk mengambil Langkah-langkah yang cepat dan akuntabel. Peraturan perundang- 312 undangan yang ada dirasa masih belum memadai untuk menjaga stabilitas Sistem Keuangan akibat Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pengaturan ini perlu sebagai dasar dari peraturan pelaksanaan atau kebijakan yang dilakukan oleh masing- masing instansi/lembaga. Dalam rangka melaksanakan UU Nomor 2 Tahun 2002 Kementerian Keuangan, BI, OJK, LPS dan dunia usaha bersinergi untuk mendorong kredit dan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas. Hal ini sejalan dengan Paket Kebijakan Terpadu KSSK untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi yang diputuskan pada 1 Februari 2021 yang mencakup:
Kebijakan insentif fiskal serta dukungan belanja pemerintah dan pembiayaan.
Stimulus moneter, kebijakan makro prudensial, akomodatif dan digitalisasi system pembayaran.
Kebijakan prudensial sektor keuangan.
Kebijakan penjaminan simpanan. (Siaran Pers Bersama Kementerian Keuangan, BI dan OJK, 1 April 2021, Website Bank Indonesia dan Kemenkeu diakses 3 April 2021). Sementara itu, Kementerian Keuangan telah melakukan kebijakan antara lain berupa peningkatan anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) sebanyak 22 persen menjadi Rp699,43 triliun rupiah, yang antara lain menyasar dukungan sosial sebesar Rp157,43 triliun, dukungan UMKM dan korporasi sebesar Rp184,83 triliun, insentif usaha sebesar Rp58,46 triliun dan Rp124,44 triliun unyuk dukungan program prioritas. Kemudian Kebijakan BI tetap diarahkan untuk:
Mendorong pemulihan ekonomi, termasuk pembiayaan kepada dunia usaha.
Menurunkan suku bunga kebijakan sebanyak enam kali sejak tahun 2020 sebesar 15- bps menjadi 3,5% bps.
Melakukan injeksi likuditas yang besar.
Mendorong transparansi suku bunga dasar kredit.
Memperkuat kebijakan Ratio Intermediasi Makroprudensial (RIM/RIMS) 6. Memberlakukan secara bertahap disinsentif berupa giro RIM/RIMS dengan mengurangi giro wajib minimum untuk mendorong pembiayaan kredit/pembiayaan kepada perbankan. 313 OJK telah mengambil kebijakan antara lain:
Kebijakan stimulus yang bertujuan agar sektor jasa keuangan tetap kokoh dan sektor riil dapat bangkit kembali dengan berbagai kemudahan, antara lain akan bertambah restrukturisasi kredit dan pembiayaan.
Orkestrasi kebijakan OJK bersama Kementerian Keuangan dan BI telah membuat stabilitas Sistem Keuangan terutama perbankan terus terjaga.
Pada tahun 2021 (Januari-Maret), OJK telah mengeluarkan telah mengeluarkan 7 POJK dan 10 SEOJK kepada industri jasa keuangan dalam rangka memperkuat industri jasa keuangan dan mempercepat Pemilihan Ekonomi Nasional. Lembaga Penjamin Simpanan mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain:
Penurunan suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah dan valuta asing, 2. Kebijakan relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi, serta 3. Kebijakan relaksasi penyampaian laporan. UU Nomor 2 Tahun 2020 melahirkan beberapa peraturan pelaksanaan, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 19 Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Kewenangan LPS menurut UU Nomor 2 Tahun 2020 antara lain:
Penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia 2. Penerbitan Surat Hutang, 3. Pinjaman kepada pihak lain dan 4. Pinjaman kepada pemerintah dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas pada waktu menangani bank gagal. Hal ini juga diatur dalam UU LPS. Pinjaman ini merupakan opsi terakhir setelah diupayakan sumber lain terlebih dahulu. Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut diatas tercermin dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 314 2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Bank. POJK ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilaliham, integrasi dan/atau konversi (P3IK). Hal ini sejalan dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dan Pasal 49 UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Perintah untuk melakukan atau menerima P3IK bertujuan untuk menjaga ketahanan Bank yang menghadapi permasalahan keuangan yang dapat mengganggu kelangsungan usaha dan tidak mampu menghadapi tekanan yang sedangkan terjadi dan tidak mampunyai Pemegang Saham Pengendali untuk melakukan upaya penguatan Bank. Kebijakan tersebut adalah contoh dari kebijakan yang bersifat antisipatif, yang bertujuan untuk menjaga ketahanan Bank sebagai sumber penyedia dana dan pelaku utama dalam sistem pembayaran. Apabila Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tidak memandatkan kebijakan tersebut, tentunya OJK akan kesulitan dalam melindungi ketahanan bank yang mengalami permasalahan karena tidak ada dasar hukum yang cukup kuat untuk mendasari kebijakan P3IK tersebut. Perlindungan Hukum bagi Pengambil Kebijakan Kemudian, perlu juga dipahami bahwa tidak mudah untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis, khususnya terkait penanganan permasalahan bank. Terlebih lagi, kebijakan tersebut diambil di masa pandemi, yang tentunya menempatkan si pembuat kebijakan dalam tekanan yang lebih besar dari situasi normal. Untuk itu, guna memastikan si pembuat kebijakan dapat membuat keputusan yang tepat dan independen, maka diperlukan jaminan perlindungan terhadap si pembuat kebijakan untuk terbebas dari tuntutan yang mungkin timbul dikemudian hari atas keputusan yang dibuatnya. Lebih lanjut terkait landasan hukum dari pandangan ini akan dijabarkan sebagai berikut: a) Imunitas yang Terkandung Dalam Rumusan Pasal 27 ayat (2) adalah Wajar dan Sesuai Dengan Teori-Teori dalam Hukum Pidana Apabila diperhatikan poin-poin permohonan yang diajukan oleh para pemohon, dapat dilihat bahwa terdapat suatu kekhawatiran bahwa ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) seolah menjadikan pihak-pihak yang disebut dalam 315 Pasal tersebut menjadi kebal dari jerat hukum tindak pidana korupsi. Pandangan ini tidaklah tepat. Apabila diperhatikan dengan cermat rumusan ketentuan Pasal 27 ayat (2) tersebut, dapat dipahami bahwa hanya tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas yang didasarkan pada itikad baik lah yang dilindungi oleh Undang-Undang. Perlindungan atas perbuatan yang dilakukan dalam rangka menjalankan tugas dan dengan itikad baik merupakan hal yang lazim dalam konteks hukum pidana. Perlindungan yang diberikan kepada pihak yang menjalankan tugas atau melakukan suatu tindakan dengan itikad baik bukanlah hal yang baru dalam hukum Indonesia, khususnya hukum pidana. Terkait perlindungan kepada pihak yang melaksanakan tugas diatur dalam Pasal 50 dan 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Uji Materi Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Relevan terhadap
(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. (3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. Pasal 3 __ (1) Perusahaan asuransi syariah hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi berdasarkan Prinsip Syriah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi syariah. 3.9 Bahwa tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship . 18 3.10 Bahwa muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 menyatakan: (Bukti P–3) “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.11 Bahwa adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU No.2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) yang menyatakan: (Bukti P–4) “ Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” 3.12 Bahwa penegasan yang sama tentang pengakuan perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan asuransi sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (“Perpres No. 16/2018”) , pada Pasal 30 menyatakan: (Bukti P–5) “ Jaminan dari Bank Umum, Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Asuransi, lembaga keuangan khusus yang menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan dan asuransi untuk mendorong Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dapat digunakan untuk semua jenis jaminan”. Norma Pasal 5 ayat (1) UU a quo __ Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang Kepastian Hukum Yang Adil __ 3.13 Bahwa salah satu pilar penting dari terbentuknya negara Indonesia selain bersandar pada prinsip kedaulatan rakyat, juga penegasan pada prinsip negara hukum, hal ini sebagaimana termaktub di dalam ketentuan Pasal 1 19 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” 3.14 Bahwa salah satu unsur dari negara hukum adalah adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum yang adil, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum ( Idee des Rechts ), yang kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness— kemanfaatan ( zweckmassigkeit ), __ justice— keadilan ( gerechtigkeit ), dan legal certainty— kepastian hukum ( rechtssicherheit ).
15 Bahwa prinsip ‘kepastian hukum yang adil’ yang dalam tradisi klasik the rule of law disebut sebagai prinsip kepastian hukum (legal certainty) , menurut pendapat dari Friedrich von Hayek dalam Bukunya The Constitution of Liberty, Chapter 14 “The Safeguards of Individual Liberty”, adalah salah satu atribut utama dari the rule of law , selain dua atribut lainnya, yakni atribut berlaku umum ( generality ), dan atribut kesetaraan ( equality ).
16 Bahwa menurut pendapat Hayek kepastian hukum berarti hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang.
17 Bahwa sejalan dengan teori mengenai cita hukum tersebut, UUD 1945 juga telah menegaskan adanya jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara dalam ruang negara hukum Indonesia, sebagaimana dituliskan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”.
18 Bahwa merujuk pada pendapat Prof. Dr. Nurhasan Ismail, sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 pada Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (halaman 74), dikatakan bahwa kepastian hukum didefinisikan adanya kejelasan norma yang menjadi acuan berperilaku 20 bagi setiap orang. Kejelasan norma tentu harus ada indikator dan ukurannya. Tiga indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu memberikan kepastian hukum meliput:
Norma mengandung konsistensi, baik secara internal di dalam undang- undang maupun konsistensi horizontal dengan undang-undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah dengan UUD 1945;
Konsep penormaannya atau rumusan normanya tidak mengandung multi makna, tidak mengandung multitafsir;
Ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan perilaku yang sudah diatur di dalam undang-undang atau di dalam peratura perundang-undangan.
19 Bahwa selain dalam putusan Mahkamah Konstitusi di atas, salah satu asas dalam membentuk peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan , yang melalui penjelasan Pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan ini diartikan sebagai:
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai _tujuan yang jelas yang hendak dicapai; _ 2) setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah , serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya . 3.20 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 menyebutkan: “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3.21 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo. 21 3.22 Bahwa persoalan mulai menyeruak ketika UU No. 1/2016 disahkan, khususnya dengan adanya pada Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.23 Bahwa munculnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 ini telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 a quo tentang perluasan lini usaha asuransi __ menjadi tidak jelas. Dalam pengertian, kepastian usaha suretyship yang dilakukan perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
24 Bahwa dengan kata lain, lahirnya Pasal 61 ayat (1) ayat (2) UU No. 1/2016 menyebabkan perusahaan asuransi yang sebelumnya dapat menyelenggarakan suretyship atas dasar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) __ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 harus menyesuaikan dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan, yaitu pada tanggal 19 Januari 2019, padahal hal itu tidak mungkin dilakukan.
25 Bahwa dalam hal ini, perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin atau perusahaan penjaminan terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship . Sebab, hanya perusahaan yang berizin saja yang akan diakui keabsahannya secara hukum untuk dapat memasarkan lini usaha tersebut. Namun hal itu tidak dapat terjadi, karena perusahaan asuransi nyatanya tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga atau perusahaan penjaminan.
26 Bahwa izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha tersebut __ sebagaimana Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 yang menyatakan: 22 “ Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” 3.27 Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014 a quo Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Peraturan OJK 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (“POJK No.69/2016”) .
28 Bahwa akan tetapi Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang mewajibkan semua kegiatan penjaminan untuk tunduk pada UU No. 1/2016, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, maka dengan demikian POJK yang kedudukannya berada dibawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU a quo .
29 Bahwa situasi tersebut diatas menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon karena membuat OJK sendiri tidak pasti apakah akan mengeluarkan dan/atau memperpanjang izin lini usaha suretyship kepada perusahaan asuransi setelah penyesuaian tiga tahun berakhir pada tanggal 19 Januari 2019.
30 Bahwa inilah persoalan yang merisaukan sebagian besar perusahaan asuransi yang diwakili Pemohon. Situasi ini tentu sangat merugikan perusahaan-perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship, karena kegiatan usaha di bidang ini menjadi tidak jelas, terhambat, dengan waktu yang tidak bisa diprediksikan kapan persoalan izin tersebut akan diterbitkan oleh OJK.
31 Bahwa kegiatan usaha suretyship semakin tidak memiliki kepastian hukum yang adil, karena perusahaan asuransi terancam pidana dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 100 Milyar sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 57 UU No. 1/2016, jika tetap melaksanakan lini usaha suretyship tersebut. 23 Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No. 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU No. 2/2017 dan Perpres No. 16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi. PASAL 5 AYAT (1) UU 40/2014 INKONSTITUSIONAL SEPANJANG TIDAK DIMAKNAI MENCANTUMKAN SURETYSHIP SEBAGAI PERLUASAN __ JENIS USAHA ASURANSI SESUAI DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT 3.32 Bahwa perusahaan asuransi yang menyelenggarakan suretyship yang memperoleh izin POJK jumlahnya dua kali dua kali lipat lebih banyak dari jumlah perusahaan penjamin baik sebagaimana terlampir dalam data Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: (Bukti P–8) DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI PER 14 AGUSTUS 2018 No. Nama Perusahaan No. Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 26 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 2 PT Asuransi Adira Dinamika 27 PT Asuransi Ramayana, Tbk 3 PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 28 PT Asuransi Sinar 4 PT Asuransi Asoka Mas 29 PT Asuransi Tri Pakarta 5 PT Asuransi Astra Buana 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 6 PT Asuransi Bangun Askrida 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 7 PT Asuransi Bhakti 32 PT Asuransi Umum Mega 24 Bayangkara 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 33 PT Asuransi Umum Videi 9 PT Asuransi Bina Dana Artha, Tbk 34 PT Asuransi Wahana Tata 10 PT Bosowa Asuransi 35 PT Malacca Trust Wuwungan 11 PT Asuransi Bintang, Tbk 36 PT Asuransi Staco Mandiri 12 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 37 PT Tugu Pratama Indonesia 13 PT Asuransi Buana Independent 38 PT Victoria Insurance 14 PT Asuransi Central Asia 39 PT Pan Pacific Insurance 15 PT Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk 40 PT Chubb General Insurance Indonesia 16 PT Asuransi Himalaya Pelindung 41 PT Berdikari Insurance 17 PT Asuransi Intra Asia 42 PT Lippo General Insurance, Tbk 18 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 43 PT Asuransi Kresna Mitra 19 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 44 PT Mitra Pelindung Mustika 20 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 45 PT Asuransi Asei Indonesia 21 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 46 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 22 PT Asuransi Mega Pratama 47 PT Mandiri AXA General Insurance 23 PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk 24 PT Asuransi Parolamas 25 25 PT Asuransi Purna Artanugraha Sumber: Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan Nomor: S-595/NB.2/2018, tanggal 4 Oktober 2018. DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 23 PT Asuransi Purna Artanugraha 2 PT Asuransi Adira Dinamika 24 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 3 PT Asuransi Artarindo 25 PT Asuransi Ramayana, Tbk 4 PT Asuransi Asoka Mas 26 PT Asuransi Asei Indonesia 5 PT Asuransi Astra Buana 27 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 6 PT Asuransi Bangun Askrida 28 PT Asuransi Sinar Mas 7 PT Asuransi Bhakti Bayangkara 29 PT Asuransi Tri Pakarta 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 9 PT Bosowa Asuransi 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 10 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 32 PT Asuransi Umum Videi 11 PT Asuransi Burma Independent 33 PT Asuransi Wahana Tata 12 PT Asuransi Central Asia 34 PT Asuransi Staco Mandiri 13 PT Harta Aman Pratama, Tbk 35 PT Tugu Pratama Indonesia 26 14 PT Asuransi Himalaya Pelindung 36 PT Victoria Insurance 15 PT Asuransi Intra Asia 37 PT Pan Pacific Insurance 16 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 38 PT Mandiri AXA General Insurance 17 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 39 PT Chubb General Insurance Indonesia 18 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 40 PT Berdikari Insurance 19 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 41 PT Asuransi Kresna Mitra 20 PT Asuransi Mega Pratama 42 PT Mitra Pelindung Mustika 21 PT Asuransi Multi Attila Guna, Tbk 22 PT Asuransi Parolamas DAFTAR PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 27 D A F T A P PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 28 3.33 Bahwa selain perusahaan asuransi, terdapat konsorsium perusahaan asuransi untuk menfasilitasi nilai proyek yang besar yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu atau dua perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship yang terdiri dari 3 (tiga) konsorsium penjaminan, yang seluruh anggotanya adalah perusahaan-perusahaan asuransi seperti yang ada pada tabel berikut: DAFTAR PERUSAHAAN KONSORSIUM PENJAMINAN YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Konsorsium Penjaminan Proyek 1 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Sinar Mas (Ketua); • PT Asuransi Purna Arthanugrahra (Anggota); • PT Asuransi Central Asia (Anggota); • PT Asuransi Asei Indonesia (Anggota), • PT Asuransi Cakrawala Proteksi (Anggota); • PT Asuransi Binagriya Upakara (Anggota); • PT Asuransi Bangun Askrida (Anggota); • PT Panin Insurance (Anggota); dan 2 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Jasaraharja Putera (Ketua); • PT Asuransi Kredit Indonesia – Persero (Anggota); • PT Asuransi Wahana Tata (Anggota); • PT Asuransi Astra Buana (Anggota); • PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur (Anggota); • PT Asuransi Bintang, Tbk (Anggota); dan • PT Asuransi Umum Videi (Anggota) 3 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Jasa Tania (Ketua); 29 • PT Tugu Pratama Indonesia (Anggota); • PT Bosowa Asuransi (Anggota); • PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (Anggota); • PT Asuransi Kresna Mitra, Tbk. (Anggota); • PT Asuransi Bakti Bhayangkara (Anggota); • PT Asuransi Asoka Mas (Anggota); • PT Asuransi Mega Pratama (Anggota); dan • PT Asuransi Tugu Kresna Pratama (Anggota).
34 Bahwa dari data tersebut tampak bahwa sebagian besar pelaku lini usaha suretyship adalah perusahaan-perusahaan asuransi termasuk dengan dibentuknya konsorsium penjaminan yang anggota-anggotanya juga terdiri dari sejumlah perusahaan asuransi, yang tujuan pembentukannya untuk menjamin proyek-proyek bernilai besar, antara lain proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ini berarti, keberadaan perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship merupakan pilihan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas dan kebutuhan proyek pemerintah.
35 Bahwa perusahaan asuransi selaku pelaku usaha memiliki peran yang penting dalam mendukung proses pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan UU No. 40/2014 yang menyatakan: “…peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha” “...peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan”. 3.36 Bahwa produk usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan asuransi sangat vital bagi pembangunan nasional, karena banyak dimanfaatkan untuk menjamin pembangunan infrastruktur di berbagai sektor mulai dari transportasi, sumber daya air, perumahan dan pemukiman, energi hingga informasi dan teknologi. 30 3.37 Bahwa seperti halnya 13 (tiga belas) paket konstruksi yang dicanangkan pemerintah di tahun 2020, salah satu contohnya adalah paket konstruksi pembangunan Bendungan Jragung Jawa Tengah, dengan nilai proyek mencapai Rp 2.72 Triliun. Pembangunan proyek demikian tentu membutuhkan aspek kepastian dan jaminan pelaksanaan yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi melalui suretyship karena sulit dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan dengan kapasitasnya yang ada dan sulit pula dilakukan melalui bank garansi karena adanya kesulitan bagi pelaksana proyek untuk menyediakan uang tunai pada bank yang mengeluarkan bank garansi.
38 Bahwa adanya Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 potensial pasti membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah.
39 Bahwa untuk mengisi “Kekosongan Hukum” akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011, yang menguji Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
perintah kepada pembuat Undang-Undang; dan
rumusan norma sebagai pengganti norma dari Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 31 Dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas norma Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Adanya Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut berakibat terhalangnya Mahkamah untuk (i) menguji konstitusionalitas norma; (ii) mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, proses pembentukan Undang-Undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut; (iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
40 Bahwa Mahkamah Konstitusi juga pernah mengeluarkan putusan yang mengubah norma hukum atau membuat norma hukum baru, antara lain sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu 32 pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
41 Bahwa berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu tersebut, maka ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 adalah inkonstitusional, sepanjang tidak disebutkan secara jelas perluasan usaha yang menjadi ruang lingkup usaha asuransi adalah termasuk suretyship ;
42 Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan dipatuhi oleh pembentuk Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 yang menyatakan: “Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: akibat putusan Mahkamah Konstitusi”. Berdasarkan uraian tersebut beralasan menurut hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat memaknai Pasal 5 ayat (1) UU a quo untuk menyatakan “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 33 IV. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus uji materil sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 yang telah disahkan dalam persidangan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 34 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 2 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Dasar, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 3 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Rumah Tangga, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor S- 595/NB.2/2018 tertanggal 4 Oktober 2018 perihal Daftar Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Penjaminan dan Konsorsium Yang Dapat Memasarkan Produk Suretyship per 14 Agustus 2018;
Bukti P-9 : Fotokopi Sertifikat Keanggotaan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/General Insurance Association of Indonesia;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Izin Penerbitan Surety Bond Kepada Perusahaan Asuransi;
Bukti P-11 : Fotokopi Akta Nomor 58 tentang Anggaran Dasar Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (“AAUI”) yang dibuat dihadapan Notaris Haji Rizul Sudarmadi, S.H. tanggal 18 April 2002;
Bukti P-12 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C-39.HT.01.03.TH.2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Pengesahan Akta Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia disingkat AAUI dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia;
Bukti P-13 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08.Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia; 35 Selain itu, Pemohon dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020, dan pada persidangan tanggal 10 September 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 September 2020, serta pada persidangan tanggal 25 Agustus 2020 mengajukan dua orang saksi yakni Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan , yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Pemohon 1. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. Dalam perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat lima permasalahan hukum yang disampaikan oleh Pemohon dan akan ahli coba jawab secara akademik, sebagai berikut:
Apakah undang-undang diperkenankan untuk mendelegasikan kewenangan mengatur kepada institusi pemerintah non-kementerian? Dalam hal ini, Ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan ahli menyampaikan dengan lengkap bunyi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai berikut:
Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .
Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa 36 Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana .
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menentukan bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diatur di dalam Peraturan OJK. Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua hal yang menjadi catatan ahli. Pertama , secara teori, ketentuan pendelegasian di dalam undang- undang ditujukan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan teknis yang dibutuhkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang hadir karena perintah undang-undang untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis, ditujukan untuk mewujudkan apa yang menjadi politik hukum peraturan induknya. Artinya, peraturan pelaksana tidak dapat memuat atau mengandung politik hukum baru. Perwujudan teori ini tercermin di dalam Lampiran II, angka 211 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan sebagai berikut: “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif .” Berkaitan dengan hal ini, jika dilihat kembali ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Perasuransian, pendelegasian kepada peraturan OJK tidak ditujukan untuk mengatur hal yang bersifat teknis, melainkan untuk menetapkan bidang-bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian , sepanjang “sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Artinya, OJK memiliki kewenangan 37 untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menentukan jenis layanan asuransi baru untuk merespon kebutuhan tersebut. Hal ini juga berarti, peraturan OJK tentang perluasan bidang usaha asuransi dapat saja memuat politik hukum baru atas dasar kebutuhan masyarakat. Dengan konstruksi hukum demikian, maka potensi adanya perbedaan politik hukum antara undang-undang perasuransian dengan peraturan OJK sangat dimungkinkan terjadi. Sebenarnya, upaya untuk menjaga politik hukum undang-undang agar tidak bergeser atau berubah akibat kehadiran peraturan pelaksana telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 10 ayat (1) huruf e telah secara tegas ( expresis verbis ) menyatakan bahwa merespon kebutuhan hukum masyarakat merupakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang memang hanya ditujukan untuk mewujudkan politik hukum yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Selain itu, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memperluas ruang lingkup usaha perasuransian jika terdapat kebutuhan dari masyarakat, menurut ahli merupakan konstruksi hukum yang hadir akibat ketidakcermatan pembentuk undang-undang dalam memahami fungsi-fungsi kelembagaan negara. Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan bahwa fungsi OJK adalah “menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Tidak ditemukan satupun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut bahwa OJK memiliki fungsi untuk mengagregasi ataupun menyalurkan aspirasi kepentingan masyarakat. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sudah umum dipahami bahwa fungsi agregasi kepentingan dan fungsi penyaluran aspirasi masyarakat merupakan fungsi yang melekat pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, maka respon terhadap kebutuhan hukum masyarakat harus dilakukan oleh DPR dengan membentuk undang- undang. 38 Kedua , pada dasarnya peraturan OJK yang mengatur perluasan bidang usaha asuransi, merupakan ketentuan “ pengecualian ” dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian yang telah mengatur ruang lingkup usaha asuransi secara limitatif dengan konstruksi norma yang bersifat tertutup. Konstruksi “pengecualian” terlihat dengan adanya pra-syarat berupa “kebutuhan masyarakat” yang harus terpenuhi sebelum OJK dapat menambahkan atau memperluas ruang lingkup usaha asuransi. Dalam praktik, delegasi semacam ini semakin sering terjadi. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi makin seringnya terjadi pendelegasian, yaitu:
DPR mempunyai keterbatasan waktu untuk membahas serta merumuskan secara rinci hal-hal yang perlu diatur dengan undang- undang.
Faktor penguasaan teknis materi yang dibahas. DPR tidak selalu memiliki anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat melakukan analisis secara mendalam setiap aspek yang akan diatur dalam suatu undang-undang.
Faktor kecepatan atau urgensi. Rangkaian pembahasan dalam pembentukan undang-undang dapat menghambat pada saat ada kebutuhan mendesak untuk membuat undang-undang bidang tertentu.
Faktor fleksibilitas. Mengubah udang-undang tidak semudah mengubah peraturan yang lebih rendah. Menghadapi perubahan yang serba cepat dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mudah diubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Meski delegasi diperbolehkan, namun tidak berarti setiap hal dapat didelegasikan atau delegasi dilakukan tanpa batas-batas tertentu. Terdapat beberapa pembatasan dalam mendelegasikan pengaturan, antara lain, tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum. Konstruksi pendelegasian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) menimbulkan problematika mendasar dari sisi ilmu perundang-undangan, yakni berkaitan dengan asas kepastian hukum. Jika kembali merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian, tidak ditemukan kriteria mengenai apa yang dimaksud dengan “kebutuhan masyarakat”. Artinya, 39 penilaian terhadap pemenuhan prasyarat yang ditentukan oleh undang- undang berupa “kebutuhan masyarakat”, semata-mata ditentukan oleh penilaian subjektif OJK. Jika ditafsirkan secara a contrario , maka OJK berwenang pula menilai bahwa suatu layanan perasuransian selain yang telah ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, bukan lagi merupakan layanan yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya dapat dihapus atau dihentikan. Pada tafsir yang demikian, maka keberadaan atau keberlangsungan sebuah layanan perasuransian selain yang ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sangat bergantung pada kewenangan diskresif tunggal dari OJK. Bahkan, Undang-Undang juga tidak memberikan kejelasan mengenai sejauh apa perluasan ruang lingkup usaha asuransi dapat dilakukan. Ketentuan pendelegasian semacam ini dapat dikategorikan sebagai pendelegasian yang bersifat open ended atau bentuk delegasi blangko yang secara normatif dilarang untuk dilakukan berdasarkan Lampiran II angka 210, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karakter delegasi blangko semacam ini tentu tidak memenuhi asas keketatan ( lex stricta ) yang menjadi salah satu elemen dari asas kepastian hukum.
Bagaimana UUD 1945 mengatur tata cara melaksanakan atau menjalankan undang-undang? Untuk menjawab hal ini, maka perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya ”. Pada ketentuan tersebut terdapat frasa “…menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”, yang berarti bahwa Peraturan Pemerintah berfungsi untuk mengatur lebih lanjut (rincian) dari ketentuan yang telah terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain, setiap ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah harus berkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan di dalam sebuah undang-undang. Salah satu cara melihat keterkaitan tersebut adalah dengan melihat apakah terdapat perintah yang tercantum secara tegas ( expresis verbis ) di dalam sebuah undang-undang bahwa suatau ketentuan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 40 Meskipun demikian, bukan berarti ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut, menjadikan Presiden tidak berwenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah. Sepanjang terdapat kebutuhan untuk mengatur hal- hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang, Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah atau menggunakan instrumen hukum lainnya yang berasal dari fungsi pengaturan Presiden sebagai kepala pemerintahan, yakni instrumen Peraturan Presiden. Peraturan Presiden pada dasarnya berasal dari kewenangan yang melekat pada Presiden karena jabatannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan di dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) dinyatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Ketentuan dan penjelasan tersebut menunjukan bahwa Presiden adalah penanggungjawab dan pimpinan penyelenggara pemerintahan sehari-hari atau pemimpin administrasi ( bestuur ), dan salah satu fungsi administrasi negara adalah membuat keputusan (baik yang bersifat penetapan ( beschikking ) maupun yang bersifat mengatur ( regeling ). Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang). Akibatnya, meskipun Peraturan Presiden secara hierarkhis merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Peraturan Pemerintah, namun, bukan berarti bahwa Peraturan Presiden hanya dapat diterbitkan untuk menjalankan Peraturan Pemerintah saja. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.” Dengan demikian, ruang lingkup materi muatan yang dapat diatur oleh Peraturan Presiden lebih luas dari ruang lingkup pengaturan yang dapat diatur oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan, Peraturan Presiden dapat pula diterbitkan untuk melaksanakan atau menjalankan UUD 1945 maupun Tap MPR. 41 Sebagaimana yang telah ahli sampaikan sebelumnya, bahwa meskipun ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut di dalam undang- undang mengakibatkan Presiden dapat memilih menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden untuk menjalankan undang-undang, namun terdapat kondisi dimana Presiden sebaiknya menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kondisi dimaksud yakni jika materi muatan yang hendak diatur merupakan materi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban rakyat banyak (misalnya pada perkara a quo dalam bentuk memperluas ruang lingkup usaha asuransi), atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan hak asasi atau salah satu hak yang dijamin di dalam UUD 1945. Mengutip pendapat Prof. Bagir Manan, praktik di Negeri Belanda, keputusan-keputusan Mahkota ( koninkelijke besluit ) yang mengikat secara umum selalu diatur melalui AMvB ( Algemene Maatsregel van Bestuur/ semacam Peraturan Pemerintah dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia). Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa pendelegasian sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian sedapat mungkin dihindari, terutama jika materi yang hendak didelegasikan merupakan materi yang berkaitan dengan hak-hak warga negara, termasuk dalam hal ini boleh atau tidaknya badan usaha penyelenggara jasa asuransi melakukan atau tidak melakukan kegiatan bisnis tertentu. Demi menjaga keteraturan dan ketertiban hukum, pengaturan materi muatan semacam itu seharusnya diletakkan pada bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk memberikan pokok-pokok pengaturan yang penting terlebih dahulu seperti kejelasan makna “kebutuhan masyarakat”, tata cara mengidentifikasinya, kriteria perluasan yang diperkenankan untuk dilakukan, hingga metode evaluasinya. Materi muatan tersebut penting untuk dikemas dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebelum didelegasikan kepada pengaturan teknisnya dalam peraturan OJK. Berbeda dengan peraturan OJK yang dalam pembentukannya tidak melibatkan institusi lain secara formal sehingga dapat dikategorikan sebagai diskresi tunggal, pembentukan Peraturan Pemerintah melibatkan institusi pemerintah lintas sektor dalam 42 bentuk Panitia Antar Kementerian dalam mekanisme pembentukannya secara formal. Selain itu, ahli berpendapat sudah saatnya Mahkamah memberikan pendapat yang tegas berkenaan dengan pendelegasian dari undang- undang kepada peraturan menteri atau peraturan lembaga/badan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, materi peraturan delegasi acapkali mengatur hal-hal yang berdampak pada masyarakat luas, termasuk dunia usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Bila hal semacam ini dibiarkan, dikhawatirkan terjadi ketidakpastian yang akan menimbulkan kerugian di masa-masa mendatang. Dengan demikian, Mahkamah menjadi lembaga yang sangat fundamental menegakkan UU No. 12 Tahun 2011 karena dalam pandangan ahli, UU No. 12 Tahun 2011 merupakan undang- undang organik yang pembentukannya diperintahkan secara langsung oleh UUD 1945.
Apakah Relasi Antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, merupakan relasi yang menghadirkan kepastian hukum? Untuk menjawab hal tersebut, izinkan ahli menyampaikan beberapa ketentuan yang dapat mengidentifikasi hubungan diantara kedua undang- undang tersebut sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi sebagai berikut: “ Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak , yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti;
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” 43 Berdasarkan kedua ketentuan yang mendefinisikan asuransi dan penjaminan tersebut, ahli berpendapat bahwa pada dasarnya kedua undang-undang mengatur hal yang serupa, yakni pada pokoknya memberikan layanan perlindungan kepada klien atas potensi kerugian akibat ketidakpastian di masa depan. Jikapun terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut bersifat sumir dan gradual. Misalnya, pada definisi asuransi, dinyatakan secara eksplisit bahwa asuransi adalah “perjanjian antara dua pihak”, yakni perusahaan asuransi dan pemegang polis. Frasa ini memperlihatkan karakter hubungan dyadic di dalam hubungan perasuransian. Namun, ditemukan pula frasa “tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”, yang memperlihatkan pula relasi triadic . Sementara undang-undang penjaminan tidak menyatakan secara tegas karakter keterikatan para pihak di dalam hubungan penjaminan. Namun di dalam ketentuan mengenai definisi penjaminan, terlihat bentuk relasi triadic pula antara penjamin, terjamin, dan penerima jaminan. Di dalam ilmu perundang-undangan, dipahami bahwasanya untuk objek yang sama, tidak dibenarkan diatur dengan peraturan yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi politik hukum di kedua undang-undang ini, agar dapat melihat apakah terdapat perbedaan tujuan hukum dari dibentuknya dua undang-undang yang mengatur objek yang serupa tersebut. Untuk dapat mengidentifikasi politik hukum, salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan original intent pembentuk undang- undang. Salah satu caranya dengan melihat pada Bagian Konsideran. Pada Bagian Konsideran huruf b Undang-Undang Perasuransian, dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah: “dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global…”. Di sisi lain, Konsideran huruf b Undang-Undang Penjaminan menyatakan bahwa tujuan pembentukannya adalah: “untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan”. 44 Dari kedua Konsideran tersebut, terlihat bahwa politik hukum Undang-Undang Penjaminan ditujukan untuk memudahkan akses permodalan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, yang secara faktual sering kali kesulitan mendapatkan kredit atau pembiayaan akibat terbatasnya aset yang dapat dijaminkan. Di sisi lain, Undang-Undang Perasuransian ditujukan untuk meningkatkan daya saing perasuransian nasional sehingga dapat bertahan pada persaingan global. Berdasarkan kedua politik hukum tersebut, maka norma-norma yang dibangung di dalam undang-undang, harus ditujukan untuk memastikan politik hukumnya tercapai dengan baik. Sayangnya, jika diperhatikan pada norma-norma yang mengatur mengenai ruang lingkup usaha pada masing- masing undang-undang, dijumpai konstruksi pengaturan yang berbeda. Perbedaan ini pada sisi Undang-Undang Perasuransian berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum. Misalnya, di dalam Pasal 2 dan Pasal, 3 Undang-Undang Perasuransian, ruang lingkup usaha diatur dengan norma tertutup yang sangat limitatif dengan menggunakan frasa “hanya dapat” . Limitasi ini tentu berpotensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri asuransi untuk dapat beradaptasi dan merespon dinamika persaingan global. Dengan demikian, frasa “hanya dapat” merupakan ketentuan yang bersifat rigid/kaku yang tidak sejalan dengan politik hukum undang-undang yang dinyatakan pada bagian konsideran, yakni untuk merespon dinamika persaingan global yang membutuhkan keluwesan. Namun, berbeda dengan Undang-Undang Perasuransian yang dirancang dengan konstruksi pasal tertutup, Pasal 4 Undang-Undang Penjaminan mengatur ruang lingkup usaha penjaminan dengan konstruksi pasal terbuka . Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf k yang menyatakan bahwa perusahaan penjaminan dapat melakukan “kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan”. Dengan konstruksi pasal demikian, maka secara normatif dapat ditafsirkan bahwa perkembangan indsutri penjaminan diserahkan pada pelakunya, sementara OJK ditempatkan sebagai lembaga pengawas yang memberikan persetujuan sebagai manifestasi dari fungsi kontrol pemerintah. 45 Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Undang-undang Perasuransian juga sebenarnya membuka peluang adanya perluasan ruang lingkup usaha perasuransian sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014. Namun, ketentuan Pasal 5 tersebut secara normatif memperlihatkan bahwa inisiasi perluasan ruang lingkup usaha diserahkan pada “ judgment” tunggal OJK untuk menilai kebutuhan masyarakat, dan bukan berasal dari inisiasi dari pelaku usaha. Dengan demikian, secara normatif, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian memiliki potensi menghadirkan ketidakpastian jika dihubungkan dengan politik hukum pembentukan Undang-Undang dimaksud. Selain itu, berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond yang menjadi pokok permohonan perkara a quo , ahli melihat bahwa undang-undang memang menghendaki jenis usaha ini dapat dilakukan oleh berbagai entitas bisnis. Sebagaimana yang Pemohon uraikan di dalam permohonannya, lini usaha suretyship merupakan hasil perluasan ruang lingkup usaha asuransi yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016. Pengaturan mengenai objek yang sama juga ditemukan di dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Penjaminan dengan terminologi “surety bond ”. Dalam Permohonan dinyatakan bahwa Pasal 57 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga mengatur objek yang sama dengan terminologi yang lebih umum yakni “jaminan” yang dapat dilakukan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan. Dari seluruh ketentuan tersebut, hanya pada rezim Undang-Undang Perasuransian yang memberikan pengaturan “ suretyship/surety bond ” dengan bentuk hukum yang bersifat diskresional, yakni menggunakan Peraturan OJK dengan syarat adanya kebutuhan masyarakat. Sementara pada rezim yang lain, pengaturan mengenai “ suretyship/surety bond ” diatur di dalam bentuk hukum yang lebih ajeg, yakni norma undang-undang dan tanpa ada prasyarat apapun. Dengan demikian, secara hukum layak untuk dipertanyakan, mengapa objek yang sama, diatur dengan bentuk peraturan yang berbeda? 46 4. Apakah Kehadiran Pasal 61 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang mengatur mengenai kewajiban penyesuaian dan ketentuan pidana bagi penyelenggara penjaminan tanpa izin, merupakan ketentuan yang menghadirkan kepastian hukum bagi penyelenggara perasuransian? Pada masyarakat awam, kehadiran hukum tertulis selalu dianggap sebagai bentuk hadirnya kepastian hukum. Padahal, di dalam ilmu perundang-undangan, tetap terdapat prasyarat yang harus terpenuhi agar hukum tertulis dapat menghadirkan kepastian hukum sebagai berikut:
terdapat kejelasan norma/rumusan norma; 2 . norma harus harmonis dan sinkron dengan norma yang lain, baik yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan maupun undang- undang yang lain yang mengatur materi sejenis; dan
tersedianya infrastruktur penegakan hukum. Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Dari aspek kejelasan rumusan, ketentuan tersebut menurut ahli tidak bersifat multi interpretatif. Karenanya, asas kejelasan rumusan telah terpenuhi. Kehadiran ketentuan ini mencerminkan bahwa undang-undang memang mengakui bahwa kegiatan penjaminan dapat saja dilakukan berdasarkan undang-undang yang lain, dan dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda-beda. Namun, pada sisi harmonisasi, ketentuan Pasal 61 ini berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum dalam hal penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi. Hal ini dikarenakan adanya pengecualian kewajiban untuk menyesuaikan dengan undang- undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (2), melalui frasa hanya diberikan kepada kegiatan-kegiatan “yang dijalankan 47 berdasarkan undang-undang”. Di sisi lain, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi merupakan kegiatan yang tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan pada Peraturan OJK. Dengan demikian, kegiatan suretyship oleh perusahaan asuransi tidak lagi dapat dilakukan kecuali pada sektor jasa konstruksi karena kegiatan tersebut diatur di dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dengan kata lain, konstruksi Pasal 61 secara tidak langsung mempersempit ruang lingkup layanan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi. Akibatnya, ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 57 Undang- Undang Penjaminan, berpotensi dikenakan kepada perusahaan asuransi yang menyelenggarakan kegiatan suretyship di luar sektor jasa konstruksi. Ketidakpastian ini terjadi karena, di satu pihak, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi didasarkan oleh Peraturan OJK yang secara hukum adalah peraturan yang valid sebagai wujud kewenangan atribusi yang dimiliki OJK berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, di lain pihak, perusahaan asuransi yang melaksanakan lini usaha suretyship berdasarkan peraturan yang valid, berpotensi terkena ketentuan pidana karena dasar hukum kegiatannya tidak didasarkan pada undang-undang. Ketidakpastian hukum ini menurut ahli bukanlah akibat dari kesalahan perumusan Pasal 61 Undang-Undang Penjaminan. Penggunaan frasa “… yang dijalankan berdasarkan undang-undang” pada Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Penjaminan sebagai pengecualian atas kewajiban penyesuaian terhadap undang-undang penjaminan, disusun dengan asumsi atau penalaran yang wajar bahwa hal-hal yang bersifat pokok dan penting akan diatur secara ajeg di dalam norma undang-undang dan tidak didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang lain. Menurut ahli, pendelegasian ketentuan yang bersifat pokok dan penting kepada peraturan yang secara hukum hanya dapat mengatur teknis administratif merupakan sebuah anomali. Dengan demikian, masalah utama ketidakpastian hukum ini menurut ahli terletak pada ketidaktaatan asas pada saat pembentukan Undang-Undang Perasuransian, khususnya pada saat merumuskan Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur ruang lingkup usaha 48 dengan norma tertutup, dan Pasal 5 yang memberikan pengecualian untuk memperluasnya melalui Peraturan OJK dalam bentuk pemberian delegasi blangko.
Agar tercipta kepastian hukum yang adil bagi usaha penerbitan suretyship yang telah berjalan sejak 1978, apakah terdapat cukup alasan konstitusional untuk secara eksplisit mencantum frasa “termasuk lini usaha suretyship ” dari makna “dapat diperluas” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 2014? Kehadiran Mahkamah Konstitusi seringkali dimaknai sebagai “ the negative legislature ”, yakni institusi yang menjadi penyeimbang dari kekuasaan politik untuk membatalkan produk hukum yang dibentuknya. Namun, seringkali “ the negative legislature ” dimaknai secara sempit bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat membentuk norma hukum baru, melainkan hanya membatalkan norma hukum dan mengembalikan pembentukannya pada cabang kekuasaan politik. Pandangan ini menurut ahli tidak sepenuhnya tepat, apalagi dengan kompleksitas permasalahan ketatanegaraan yang semakin rumit yang sering kali dihadapi Mahkamah Konstitusi. Aharon Barak di dalam bukunya “Judge in Democracy ” mencoba memberikan jawaban mengenai bagaimana pengadilan seharusnya memposisikan dirinya dalam menghadapi perkara-perkara yang kompleks tersebut. Menurutnya, pengadilan secara inheren dibekali kewenangan untuk melakukan “ judicial discretion ”. “Diskresi” dalam pendapat Aharon Barak tersebut dapat dilakukan dalam bentuk menghadirkan perluasan makna dari norma hukum, perubahan makna dari norma konstitusi, penambahan norma baru, hingga putusan yang bersifat “ ultra vires ”. Mengutip pendapat Chief Justice Lord Hewart: “ It is fundamental importance that justice should not only be done, but should manifestly and undoubtedly be seen to be done ”. Artinya, pengadilan harus memastikan keadilan benar-benar dapat dinikmati setiap warga negara dan tidak semata-mata hanya berbunyi di atas kertas. Pandangan ini sejatinya merupakan pandangan yang menolak gagasan tradisional tentang fungsi kekuasaan kehakiman yang sebatas hanya diposisikan sebagai institusi 49 yang menafsirkan hukum dan seringkali dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah. Pandangan mengenai judicial discretion ini memang seringkali dikritik dengan alasan dapat mengakibatkan pengadilan berubah menjadi institusi yang “hiperaktif” dan eksesif, serta mencederai prinsip dasar bernegara, yakni demokrasi dan prinsip pemisahan kekuasaan. Namun, Ran Hirschl, seorang pakar political science dalam sebuah artikel yang berjudul: “Constitutional Courts vs Religious Fundamentalism: Three Middle Eastern Tales ”, mengatakan bahwa kritik-kritik terhadap judicial discretion dan dampak buruknya, umumnya didasarkan pada pemahaman yang keliru. Dalam bantahannya, Hirschl mengatakan bahwa pembentukan pengadilan (terutama pengadilan konstitusional) tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kenyataan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terbentuk dari tatanan sistem politik tertentu. Akibatnya, pengadilan tidak mungkin beroperasi pada dimensi yang vakum akan politik dan ideologi. Bagi Hirschl, pengadilan harus menjadi bagian integral untuk dapat memanifestasikan gagasan dan value politik serta ideologi yang melatar belakangi pembentukannya. Berdasarkan pendapat Ran Hirschl tersebut, ahli berpendapat bahwa jika Mahkamah Konstitusi pada awalnya memang dibentuk sebagai “ the guardian of the constitution, and the protector of human rights ”, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban pula untuk memastikan bahwa fungsi-fungsinya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk menghadirkan remedy bagi mereka yang hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, memberikan tafsir konstitusional bersyarat sebagaimana permohonan pemohon, menurut ahli dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang pengadilan memutus berdasarkan hukum. Makna memutus berdasarkan hukum diartikan oleh Mark Elliot sebagai sebuah putusan yang dihasilkan dengan cara-cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip umum, baik hukum maupun politik, yang mendasari terbentuknya konstitusi. Mengutip pendapat Sir Edward Coke beberapa abad yang lalu: “ Reason is the life of the law ”, artinya legitimasi putusan pengadilan hanya dapat dilihat atau dinilai melalui alasan atau 50 pertimbangan-pertimbangan yang mendasari mengapa sebuah putusan dijatuhkan. Sejarah dunia telah mencatat berbagai putusan yang bersifat membentuk norma baru, ataupun mengubah makna konstitusi selalu mendapatkan penerimaan dengan baik dari masyarakat, sepanjang memiliki legal reasoning yang memadai, sebagaimana terjadi pada putusan landmark Supreme Court Amerika Serikat di perkara Brown v Board of Education tahun 1954 maupun Roe v Wade tahun 1973. Dalam perkara Brown v Board of Education , diskresi pengadilan mengambil bentuk berupa pembatalan precedent atau putusan sebelumnya yang menjadi dasar segregasi rasial di Amerika melalui doktrin separate but equal yang diputuskan dalam perkara Plessy v Ferguson . Fakta sejarah kemudian menunjukan bahwa putusan ini telah memicu perubahan paradigmatik pada dimensi kebijakan publik Amerika terkait hak-hak masyarakat kulit hitam. Pasca putusan ini, kebijakan publik Amerika cenderung mengarah pada desegregasi dan pemberian kebijakan affirmative action bagi masyarakat kulit hitam. Putusan pengadilan dalam perkara Brown v Board of Education dapat dibaca sebagai sebuah upaya melindungi kebebasan dan persamaan bagi masyarakat kulit hitam yang sejatinya telah dijamin di dalam konstitusi. Begitu pula yang terjadi pada perkara Roe v Wade Tahun 1973. Pengadilan membentuk norma baru yang menjamin kebebasan bagi wanita atas fungsi reproduksinya. Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa praktik aborsi dapat dibenarkan pada trimester pertama masa kehamilan dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk pemenuhan jaminan atas hak diri pribadi ( privacy rights ) sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi. Di Indonesia, praktik serupa beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan demi menegakan keadilan substantif. Misalnya, dalam perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden, yang menetapkan bahwa masyarakat yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetap dapat memilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan menunjukan KTP, KK, ataupun Paspor. 51 Dalam perkara lainnya, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tetap dapat memiliki hubungan hukum dengan ayahnya sepanjang dapat dibuktikan secara hukum. Berdasarkan presedent pada perkara terdahulu, dan berdasarkan fungsi-fungsi Mahkamah Konstitusi yang telah diuraikan sebelumnya, ahli berpendapat bahwa pemberian tafsir konstitusional bersyarat dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang ditujukan untuk memastikan terciptanya remedy bagi pihak-pihak yang hak konstitusionalnya terlanggar.
Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. Permasalahan: Apakah Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak cukup kuat dan oleh karenaya mengandung permasalahan hukum, ketidakpastian hukum, dan potensi kerugian dan dapat merambat ke ancaman pidana bagi para Pemohon (yaitu perusahaan-perusahaan asuransi umum) dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha surety bond dan suretyship , sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian perlu diadakan perubahan. Pertama : Sejarah Singkat Suretyship di Indonesia; Kedua : Definisi Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum; Ketiga : Keunggulan Perusahaan Asuransi dalam memikul risiko dalam produk suretyship ; Keempat : Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan Kelima : Potensi Masalah hukum yang dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship . Pertama: Sejarah Singkat Surety Bond atau Suretyship . Sejak dari awal Tahun 1978 Surety Bond atau Suretyship diadakan di Indonesia, yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan dan menerbitkan Surety Bond atau Suretyship adalah Perusahaan Asuransi Umum (dahulu disebut Asuransi Kerugian). 52 Lini usaha atau Produk Surety Bond atau Suretyship sejak diperbolehkan oleh Pemerintah untuk dijalankan di Indonesia pada tahun 1978, yang diberikan hak dan kewenagan untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha Surety Bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian yaitu PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kemabali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan Surety Bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Kemudian pada tahun 1992 perusahaan-perusaan asuransi kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan (sekarang namanya Kementerian Keuangan), supaya pelaksanaan lini usaha Surety Bond tidak dimonopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Maka pada tahun 1992 dengan diundangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha Surety Bond, sementara PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya untuk melaksanakan Asuransi Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Asuransi Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964. Artinya selama 42 tahun sejak diperkenalkan dan diperbolehkan Surety Bond di Indonesia, lini usaha atau produk Surety Bond adalah lini usaha atau produk asuransi kerugian atau sekarang juga disebut asuransi umum, dengan izin ekslusif pada awalnya kepada asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero, dan kemudian sejak tahun 1992 lini usaha Surety Bond diberikan kepada perusahaan-perusahaan asuransi kerugian (dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memakai istilah asuransi umum). Dengan demikian sejak diperkenalkan dan diperbolehkan lini usaha Surety Bond di Indonesia pada tahun 1978, lini 53 usaha Surety Bond tersebut adalah sebagai lini usaha asuransi umum, dan hingga saat ini sudah 42 tahun lini usaha Surety Bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi kerugian atau asuransi umum. Kedua: Ruang Lingkup Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum Bersifat Terbuka Ruang lingkup usaha asuransi sesungguhnya secara universal sifatnya terbuka untuk semua jenis produk atau lini usaha yang tergolong dan masuk sebagai jenis asuransi umum, karena itu sesungguhnya tidak perlu ada penyebutan nama-nama setiap produk atau lini usaha asuransi umum, karena macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi umum sangat banyak dan selalu berkembang atau bertambah sesuai perkembangan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang juga menimbulkan berbagai ragam jenis dan macan risiko. Pengaturan demikian adalah bersifat universal, dan hal itu sesungguhnya juga sudah diadopsi dan dengan perumusan yang baik dalam Pasal 3 huruf a.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 3 huruf a.1 “a.1 Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti”. Jadi tidak perlu disebutkan satu demi satu jenis produk atau lini usaha seperti asuransi kebakaran rumah, asuransi kendaraan bermotor, asuransi mobil, asuransi pengangkutan, asuransi pencurian, asuransi pesawat terbang, asuransi pengangkutan udara, asuransi penumpang pesawat udara, asuransi kapal laut, asuransi pengangkutan cargo, asuransi pengangkutan penumpang kapal laut, asuransi pengangkutan barang melalui darat dan danau, asuransi pengangkutan barang melalui kereta api, asuransi penumpang kereta api, asuransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, asuransi siber (cyber insurance) , asuransi tanggung jawab hukum siber, dan lain-lain. 54 Tetapi jika ada benturan atau potensi benturan antara dua perusahaan asuransi dengan izin usaha yang berbeda, misalnya antara perusahaan asuransi umum dengan perusahaan asuransi jiwa yang juga dapat secara sah menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha yang sama, maka hal itu adalah perlu diatur dalam undang-undang. Pengaturan demikian terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sebagai berikut: Pasal 2 ayat 1 _(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan: _ a. Usaha asuransi umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri _; dan _ b. Usaha reasuransi......... (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas , lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. __ Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) dan (2) mengatur hal yang sama untuk asuransi umum syariah dan asuransi jiwa syariah. Pada awalnya lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri adalah produk atau lini usaha dari perusahaan asuransi umum, kemudian dalam perkembangannya perusahaan asuransi jiwa juga melakukan dan menjual lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri, karena objek asuransinya adalah manusia dan sesuai perkembangan lini-lini usaha asuransi secara universal, maka pemerintah Indonesia juga mengadopsi hal yang sama. Oleh karena itu, adalah penting dan perlu diatur secara tegas dalam undang-undang perasuransian bahwa jika ada dua jenis usaha dari perusahaan asuransi yang sama-sama diberikan hak untuk menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri, dengan demikian tidak akan ada muncul permasalahan di lapangan mengenai apakah perusahaan asuransi jiwa dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. Pengaturan demikian menciptakan kepastian hukum, ketertipan dan rasa aman bagi pelaku usaha dalam menjalankan usaha nya masing-masing. 55 Selanjutnya ahli ingin memberikan pendapat dan analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuansian yang memuat ketentuan tentang ruang lingkup usaha asuransi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian berbunyi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _; _ (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana _; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (1) tersebut memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha asuransi umum, asuransi jiwa, baik yang konvensional maupun syariah dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat. Pasal 5 ayat (3) memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini, maka perkembangan produk dan lini usaha asuransi umum yang dapat dilakukan perusahaan asuransi menjadi dibatasi karena hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi untuk asuransi umum, asuransi jiwa baik yang konvensional maupun yang syariah yang merupakan bagian dari lingkup usaha menjadi tertutup dan kaku, tidak dapat lagi mengikuti perkembangan kemajuan produk atau lini usaha di industri jasa asuransi yang sangat dinamis dan cepat, karena untuk menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan akan memakan waktu yang tidak sedikit, dan tidaklah semudah menerbitkan izin usaha produk atau lini usaha. 56 Selama ini setiap kali perusahaan asuransi hendak dan mau melakukan atau memasarkan suatu macan atau jenis produk atau lini usaha, maka perusahaan asuansi wajib dan cukup mengajukan pengajuan dan permohonan izin produk atau lini usaha terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan izin produk atau lini usaha dan mendaftarkan produk atau lini usaha tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Setelah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan barulah perusahaan asuransi dapat secara sah melakukan dan memasarkan atau menjual produk atau lini usaha tersebut, ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Bunyi selengkapnya dari Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tersebut adalah sebagai berikut: “Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau unit syariah pada perusahaan asuransi yang akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib terlebih dahulu mendapakan persetujuan dari OJK”. Maka jika memperhatikan dengan cermat bunyi ketentuan Pasal 5 khususnya ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Pasal Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, maka pengaturan ketentuan yang ideal dan baik adalah yang diatur dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, yang mana untuk melakukan dan memasarkan suatu produk atau lini usaha cukup dengan mengajukan permohonan izin produk kepada OJK dan tidak perlu OJK menerbitkan suatu Peraturan OJK yang khusus untuk setiap produk atau lini usaha. Tetapi jika dianalisis dari hirarkhi peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka perluasan lingkup usaha dan lini 57 usaha asuransi untuk produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship seharusnya diatur dalam Undang-Undang Perasuransian supaya tidak menimbulkan ketidak pastian hukum, karena pemberian lingkup usaha untuk menerbitkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship kepada perusahaan penjaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Oleh karena itu ahli perpendapat bawa permohonan uji materi yang diajukan oleh Para Pemohon sangatlah mempunyai dasar dan alasan yang kuat, karena dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, menjadi ada dua jenis perusahaan dengan izin usaha yang berbeda dapat melakukan dan menerbitkan lini usaha penjaminan atau Surety Bond yang merupakan bagaian dari Suretyship. Sehingga persaingan yang tidak sehat di lapangan dan potensi permasalahan dapat dihindari, karena ada kepastian hukum, ketertiban, dan rasa aman bagi pelaku usaha yaitu perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan yang sama-sama diberikan kewenangan, hak, untuk dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond yang merupakan bagian dari Suretyship. Ketiga: Keunggulan Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari Produk atau Lini Usaha Surety Bond/Suretyship Ada paling tidak 4 (empat) keunggulan dari Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship dibandingkan dengan Perusahaan Penjaminan dan lini usaha bank garansi untuk bank, yaitu:
Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang;
Sistem Pool Asuransi;
Pangalaman Yang Telah Teruji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari projek Yang Besar, dan;
Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga; 58 1. Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang Reasuransi atau pertanggungan ulang sudah ratusan tahun dikenal dan diterapkan dalam perasuransian secara universal yang dimulai di Negara Inggris sebagai pusat bisnis asuransi dan reasuransi dunia. Melalui mekanisme reasuransi yang menjadi sistem penyebaran risiko secara nasional, regional dan global, sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat secara sah dan mampu memberikan jaminan asuransi dan penjaminan surety bond/suretyship dengan baik meskipun nilai asset atau nilai jaminan surety bond/suretyship sangat jauh melebihi nilai asset atau modal setor perusahaan asuransi umum yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perusahaan asuransi umum oleh peraturan perundangan diwajibkan memiliki program dan sistem sistem reasuransi atau pertanggungan ulang otomatis sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 yang mengatur sebagai berikut: “Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi atau perjanjian syariah otomatis”. Dengan adanya program reasuransi dari perusahaan asuransi umum, maka sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat memikul dan memberikan jaminan asuransi atas berbagai risiko dengan nilai yang diasuransikan jauh melebihi permodalan atau asset dari suatu perusahaan asuransi, karena sesuai ketentuan permodalan perusahaan asuransi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah mengatur: “Perusahaan Asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000.- (seratus lima puluh miliar rupiah)”. 59 Meskipun modal setor atau nilai asset dari sebuah perusahaan asuransi umum hanya mislanya Rp150.000.000.000.- (seratus limapuluh miliar rupiah, tetapi perusahaan asuransi tersebut akan dapat memberikan jaminan pertanggungan atau penjaminan dengan nilai Rp500.000.000.000.- (lima ratus miliar rupiah) atau bahkan Rp1.000.000.000.000.- (satu triliun rupiah) untuk satu objek risiko. Karena sebagian besar nilai resiko polis asuransi atau Surety Bond/Suretyship akan direasuransikan ke perusahaan reasuransi dalam negeri, regional, dan jika perlu ke perusahaan reasuransi di pasar reasuransi global seperti ke pasar reasuransi London, Swiss, German, dan lain-lain. Sementara di perusahaan penjaminan secara global dan internasional tidak dikenal sistem reasuransi.
Sistem Pool Asuransi Di perusahaan asuransi umum juga terdapat sistem pool asuransi dimana sejumlah perusahaan asuransi bekerja sama untuk memikul dan menjamin suatu risiko dengan nilai yang besar atau karena risiko tersebut mempunyai karakteristik yang mengakibatkan risikonya sangat tinggi. Sistem pool asuransi juga diterapkan untuk lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk menjamin proyek-proyek dengan nilai yang besar sekali. Di Indonesia beberapa perusahaan asuransi umum telah membentuk suatu sistem pool asuransi untuk menjamin lini usaha custom bond yang merupakan turunan dari Suretyship. 3. Pengalaman Yang Telah Diuji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari Projek Yang Besar Perusahaan-perusahaan asuransi umum telah mempunyai pengalaman selama 42 tahun dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perusahaan asuransi umum adalah yang menjadi pioneer dan pertama melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perjalanan dan pengalaman mereka selama 42 tahun telah membuktikan bahwa perusahaan asuransi umum dapat dan mampu dengan baik melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli adalah layak dan pantas jika perusahaan 60 asuransi umum tetap diberikan hak dan kewenangan dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 untuk menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Dari data yang ahli dapatkan dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), selama 6 tahun terakhir dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2019, perusahaan asuransi umum telah memberikan jaminan lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk berbagai projek dengan nilai total jaminan Rp 2.688 triliun dari total nilai projek Rp 38.400 triliun dengan demikian rata-rata nilai jaminan setiap tahun adalah sebesar Rp 448 triliun dari total nilai projek sebesar Rp6.400 triliun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini: Data Lini Usaha Surety Bond/Suretyship dari Tahun 2014 s.d. 2019 Sumber: Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) 4. Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis Yang Lebih Sederhana dan Tidak Memerlukan Collateral atau Jaminan Berupa Sejumlah Uang atau Asset atau sebuah benda berharga Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga, sebagaimana diterapkan oleh perbankan. Dengan sistem seperti itu, maka pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempunyai keterbatasan dalam permodalan usaha, mereka juga terbantu dalam menjalankan usahanya dengan adanya lini usaha surety Bond/Suretyship dari perusahaan asuransi umum. 61 Keempat: Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Selama 38 tahun sejak tahun 1978 hingga tahun 2016 sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, tidak ada permasalahan hukum yang timbul bagi perusahaan asuransi umum dalam menjalankan lini usaha Surety Bond/ Suretyship . Permasalahan timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian tidak secara tegas mengatur dalam Pasal 2 ayat (1) a. dan Pasal 3 ayat (1) a. untuk asuransi umum syariah bahwa lini usaha Surety Bond/Suretyship adalah lini usaha yang dapat dijalankan oleh perusahaan asuransi umum. Oleh karena itu ahli berpendapat adalah perlu ditegaskan dalam Pasal- pasal tersebut di atas bahwa perusahaan asuransi umum dapat menjalankan lini usaha Surety Bond/Suretyship sebagaimana diajukan pemohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat ini. Hal ini perlu ditegaskan dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa usaha assuransi umum dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan, lini usaha asuransi kecelakaan diri, dan lini usaha Surety Bond/Suretyship, dengan demikian akan tercipta kepastian hukum bagi perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Karena Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan dalam Pasal 4 ayat (2) memuat ketentuan bahwa perusahaan penjaminan juga dapat melakukan lini usaha Surety Bond, custom bonds yang merupakan bagian dari Suretyship. Kelima: Potensi Masalah hukum dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan memuat ketentuan sebagai berikut: 62 c. Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Ketentuan Pasal 61 tersebut di atas menurut ahli telah menciptakan ketidakpastian hukum untuk perusahaan asuransi umum dalam melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship, karena ada kewajiban untuk perusahaan asuransi umum yang sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan untuk menyesuaikan dengan undang-undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (1). Dan penyesuaian tersebut haruslah dilakukan melalui undang-undang, tentu bagi perusahaan asuransi adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Sementara saat ini, perusahaan asuransi umum melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship tidak didasarkan pada undang-undang, akan tetapi didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.5/2016 yang diatur dalam Pasal 4. Dan jika ditinjau dari hirarki peraturan perundangan sebagaimana telah dijelaskan ahli sebelumnya, posisi dan kedudukan hukum dari perusahaan asuransi umum tentu termasuk direksi dan pejabatnya adalah lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan penjaminan. Akibatnya, Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang memuat ketentuan ancaman hukuman pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000.- (seratur miliar rupiah), berpotensi dan dapat dikenakan kepada direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melaksanakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli perlu diadakan perubahan sebagai penegasan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, khususnya dalam pasal 2 ayat (1) untuk menegaskan bahawa perusahaan asuraqnsi umum dapat melakukan/menyelenggarakan lini usaha Surety Bond/Suretyship, sebagaimana dimohon oleh Pemohon dalam pengajuan 63 mereka kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, supaya ada kepastian hukum, rasa kenyamanan, ketertiban, dan keadilan bagi perusahaan asuransi umum yang telah selama 42 tahun melakukan/menyelenggarakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat dan Mulia ini, dibentuk sebagai pengawal konstitusi dan untuk melindungi hak asasi manusia dari warganegara Republik Indonesia, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tugas dan kewajibannya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat pelaku usaha asuransi umum dalam bentuk menghadirkan kepastian hukum dan ketenteraman bagi pelaku usaha asuransi umum dalam melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship, yang hak konstitusionalnya mereka rasakan telah terlanggar dan menimbulkan ketidak pastian serta berpotensi menimbulkan ancaman pidana akibat berlakunya sebuah undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan. Saksi Pemohon 1. Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H. - Terdapat tujuh permasalahan hukum yang akan Saksi sampaikan, pertama, persoalan yang berkaitan dengan suretyship atau surety bond yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pada 1837 di Amerika sudah lahir surety bond ini dan kemudian di Belanda didirikan sebuah perusahaan yang bernama NV Nationale Borg Maskapai pada tahun 1893. Demikian juga, secara mendunia pada tahun 1928 di Swiss didirikan yang namanya International Credit Insurance and Surety Association; __ - Untuk di Indonesia, suretyship atau surety bond ini mulai dikenal pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk mengeluarkan produk yang berupa surety bond yang waktu itu namanya adalah surety atau bonding. Dalam perkembangannya, menteri keuangan mengubah istilah surety bond ini menjadi suretyship pada tahun 2008 dan menetapkan 20 perusahaan asuransi yang boleh mengeluarkan produk suretyship ini; __ 64 - Kemudian di dunia perasuransian lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan menyusul Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan). Dengan keluarnya kedua undang-undang ini, mulai timbul permasalahan di dalam penerbitan surety bond dan suretyship karena Undang-Undang Perasuransian tidak hanya mendelegasikan pengaturan suretyship ini kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), sedangkan UU Penjaminan menyebut secara rinci apa yang disebut dengan surety bond itu; __ - Bahwa sampai hari ini produk suretyship yang ijin usahanya dikeluarkan oleh OJK masih tetap berlaku, namun kekhawatiran Saksi adalah apabila pihak obligee atau pihak pemberi pekerjaan, pihak pemerintah menanyakan legalitas dari suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship dalam dokumen lelangnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005, maka apa yang diharapkan oleh dunia kontraktor menjadi hilang karena suretyship hanya diatur dalam POJK; __ - Saksi mohon agar bisa ketentuan suretyship ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah terjadi pada saat ini, maka perlu ada penguatan dari produk hukum dari yang hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan menjadi bagian atau isi daripada Undang-Undang Perasuransian dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi; __ - Perusahaan-perusahaan kontraktor atau prinsipal selalu menggunakan suretyship karena tidak membutuhkan adanya agunan, tidak membutuhkan collateral, dan cukup membayar premi serta sifatnya tetap unconditional. Untuk itu sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk tiga konsorsium dari perusahaan asuransi ini, yaitu konsorsium penjaminan proyek, konsorsium jasa surety bond , dan konsorsium penjaminan Indonesia; __ - Di dalam ketiga konsorsium ini bernaung perusahaan-perusahaan asuransi yang bisa memberikan di satu pihak jaminan yang bersifat unconditional, namun di lain pihak perusahaan-perusahaan kontraktor ini tidak 65 memerlukan collateral, tidak memerlukan agunan untuk terbitnya jaminan- jaminan ini. Hal ini yang perlu dikuatkan demi kelangsungan perusahaan asuransi atau juga konsorsium asuransi untuk tetap bisa menerbitkan surety bond agar tidak tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Penjaminan karena sangat berbeda produk antara penjaminan di satu pihak dengan asuransi di lain pihak; __ - Bahwa untuk pembangunan-pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang, suretyship yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi dan juga konsorsium asuransi sangat memberikan kemudahan kepada perusahaan kontraktor dan juga jaminan kepada pemerintah, karena suretyship yang dikeluarkan oleh konsorsium asuransi itu bersifat unconditional , tanpa syarat. Apabila ada klaim 14 hari langsung uang cair, dan itulah syarat dalam penggunaan uang pemerintah supaya tidak ada uang yang harus dikejar-kejarlah. Jadi, uangnya tetap hadir dan dapat dipakai untuk kegiatan lain apabila ada permasalahan di dalam perjanjian induk __ 2. Ir. Manahara R. Siahaan - Saksi adalah Ketua Umum Gapeknas sejak tahun 2000 sampa saat ini; - Bahwa pada tahun 1998 lahirlah undang-undang yang menyatakan tidak ada monopoli lagi, saksi adalah salah seorang yang menangkap peluang ini dan mendklarasikan Asosiasi Gapeknas, sehingga di Indonesia tidak lagi ada monopoli asosiasi dan saat ini asosiasi sudah banyak; - Bahwa saksi sebagai kontraktor tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi, yang di dalam praktiknya kontraktor membutuhkan empat jenis jaminan; - Bahwa dari pengalaman saksi sebagai Ketua Gapeknas, penggunaan produk suretyship lebih memudahkan para kontraktor dibandingkan dengan bank garansi; __ - Bahwa perusahaan di Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih 130.000, terdiri dari 90% adalah perusahaan kecil, menengah, dan sisanya 10% adalah perusahaan besar; __ - Bahwa saksi membutuhkan bank garansi dalam pelaksanaan tender, mulai dari tender sampai dengan penyerahan; __ 66 - Bahwa jika menggunakan fasilitas bank harus diawali dengan kerja sama dengan bank terlebih dahulu, terdapat perjanjian kredit yang harus dibuat dan biasanya biayanya cukup besar; __ - Bahwa bagi perusahaan kecil, ketika bank garansi melakukan perjanjian maka harus memberikan jaminan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh perusahaan kecil, karena umumnya perusahaan kecil tidak memiliki aset untuk diserahkan pada bank; __ - Saksi telah lama mengenal produk asuransi untuk kebutuhan jaminan proyek yaitu melalui surety bond, jadi ketika ada pengajuan penawaran biasanya saksi meminta dari perusahaan asuransi dan bukan dari bank; __ - Saksi butuh kehadiran asuransi sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi khususnya Pasal 57; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 Agustus 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU PERASURANSIAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” 67 Bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara pasti lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24 angka 3.8) dan adanya persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan) yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10). Bahwa Pemohon memohon dalam petitumnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) II. KETERANGAN DPR RI A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 sebagai berikut: 68 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon adalah badan hukum perkumpulan yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum organisasi ( organizational legal standing ) sebagai Pemohon pengujian undang-undang, karena para anggotanya adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian. Pemohon mendalilkan keberlakuan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil Pemohon mengenai organizational legal standing tersebut, DPR RI berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik, melainkan hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi. Bahwa Pemohon merupakan perkumpulan asosiasi yang beranggotakan perusahan asuransi umum di Indonesia, sehingga Pemohon hanya mewakili kepentingan anggotanya saja dan bukan kepentingan umum atau kepentingan publik. Doktrin organizational legal standing telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH). Bahwa ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa: “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 92 UU PPLH menyebutkan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan tidak ada 69 satupun ketentuan dalam UU Perasuransian yang memberikan hak kepada perkumpulan wadah perusahaan asuransi untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan publik dalam perasuransian. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo mengatur mengenai ruang lingkup usaha asuransi yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi ( vide Pasal 2 UU a quo ), sehingga addressat dari Pasal a quo adalah perusahaan asuransi. Sedangkan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonannya adalah badan hukum privat yang didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota Pemohon dalam rangka memajukan industri umum dana reasuransi di Indonesia, sehingga telah jelas bahwa Pemohon tidak menyelenggarakan usaha perasuransian dan bukan merupakan addressat dari ketentuan Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon sebagai perkumpulan tidak memiliki hak konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki keterkaitan dengan ketentuan Pasal a quo . Hal tersebut selaras dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “ Bahwa subjek hukum yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU 40/2007 adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, tidak menunjuk pada wadah atau himpunan dari perseroan ..... Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dirugikan secara langsung oleh berlakunya Pasal a quo. ” 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship secara potensial tidak dapat dilakukan, padahal produk tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan memajukan industri asuransi umum dan reasuransi. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menegaskan bahwa sedari awal UU Perasuransian tidak memberikan pengaturan maupun 70 kewenangan apapun kepada asosiasi untuk melaksanakan ketentuan UU a quo , sehingga jika terjadi kerugian yang diakibatkan dari keberlakuan Pasal a quo , maka kerugian tersebut hanya akan berdampak kepada perusahaan asuransi, dan tidak berdampak apa pun kepada perkumpulan asosiasi perusahan asuransi. Bahwa sebagai sebuah perkumpulan, Pemohon tidak dapat mengeluarkan produk- produk suretyship yang didalilkan terancam oleh keberlakuan Pasal a quo . Dalam perbaikan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa “ Asosiasi mewakili anggota dalam berbagai forum baik lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya ”. Dari pernyataan tersebut, tidak jelas apakah Pemohon sebagai asosiasi dapat mewakili anggotanya di pengadilan ( in casu Mahkamah Konstitusi). Oleh karenanya Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon sebagai asosiasi memang diberikan wewenang secara jelas oleh para anggotanya untuk mengajukan Permohonan a quo . Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU Perasuransian menyatakan bahwa “ Asosiasi Usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK ”, sedangkan Pemohon dalam Perbaikan Permohonannya tidak menguraikan mengenai adanya persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu asosiasi usaha perasuransian. Oleh karena itu Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon telah mendapat persetujuan tertulis dari OJK tersebut. Oleh karena ketentuan Pasal a quo tidak berdampak apapun terhadap Pemohon sebagai asosiasi, Pemohon tidak menunjukkan adanya kewenangan untuk mewakili anggota di persidangan, dan Pemohon juga tidak menunjukkan adanya persetujuan tertulis dari OJK sebagai asosiasi usaha perasuransian dalam uraian Perbaikan Permohonan a quo , maka tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan ketentuan Pasal a quo . 71 3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi DPR RI menerangkan bahwa Pemohon sebagai sebuah asosiasi tidak dapat melaksanakan lini usaha suretyship karena yang dapat melaksanakan adalah perusahaan asuransi dan bukan asosiasi, oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon adalah kerugian yang disampaikan tanpa ada dasar yang jelas karena perusahaan asuransi tetap dapat menjalankan usaha dan mendapat kepastian hukum serta diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Oleh karenanya, hak dan/atau kewenangan konstitusional perusahaan asuransi tidak terganggu dengan keberlakuan Pasal a quo . Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak terdapat kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, kerugian yang dimaksud tidak bersifat spesifik, aktual, maupun potensial terhadap Pemohon. Bahwa tidak ada pertautan antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon sebagai asosiasi dengan ketentuan Pasal a quo yang mengatur dan berlaku terhadap perusahaan perasuransian. Begitupun halnya dengan adanya UU Penjaminan tidak berpengaruh apapun terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ Oleh karena itu, jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan Pasal a quo . __ 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa ada/tidaknya Permohonan a quo ataupun jika Permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, hak dan/atau kewenangan 72 konstitusional Pemohon tidak akan terganggu karena tidak adanya kerugian konstitusional. Oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional dengan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian tidak relevan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum “(no action without legal connection). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Keterangan DPR RI terhadap Pokok Permohonan 1. Bahwa layanan jasa perasuransian semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam 73 kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan juga mengakibatkan semakin menipisnya batasan dan perbedaan jenis layanan yang diberikan oleh industri jasa keuangan. Oleh karena itu UU a quo dibuat untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional.
Bahwa definisi usaha perasuransian berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
Bahwa definisi usaha asuransi umum berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Perasuransian adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
Bahwa perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya;
relevan dengan bisnis utama; dan
perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016), perusahaan asuransi umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada: 74 a. kegiatan usaha Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI);
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa ( fee-based );
kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship ; dan/atau
kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah.
Bahwa salah satu ruang lingkup usaha yang diperluas oleh POJK 69/2016 adalah asuransi kredit dan suretyship . Bahwa definisi-definisi yang terkait sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dapat disampaikan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 POJK 69/2016 bahwa Asuransi Kredit adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit;
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 23 POJK 69/2016 definisi suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee ;
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan, kegiatan penjaminan didefinisikan sebagai kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. Dengan merujuk pada definisi-definisi tersebut, maka kegiatan asuransi kredit dan suretyship memenuhi unsur-unsur dari kegiatan penjaminan , yaitu terdapat tiga pihak dan ada perjanjian pokok antara terjamin/ principal dan penerima jaminan/ obligee . Oleh sebab itu lini usaha asuransi kredit dan suretyship lebih mencerminkan usaha penjaminan dibandingkan dengan usaha perasuransian.
Bahwa selama ini dalam praktik terdapat beberapa bentuk suretyship , di antaranya yaitu jaminan penawaran ( bid/tender bond ), jaminan uang muka ( advance payment bond ), jaminan pemeliharaan ( maintenance bond ), jaminan pelaksanaan ( performance bond ), jaminan pembayaran ( payment bond ), dan penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Sedangkan jika melihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d 75 UU Penjaminan, salah satu ruang lingkup usaha penjaminan adalah penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Dengan demikian pada dasarnya menurut UU Penjaminan, lini usaha suretyship termasuk dalam ruang lingkup usaha penjaminan. Oleh karena itu sudah sepatutnya pelaksanaan suretyship harus tunduk kepada UU Penjaminan.
Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian membatasi lini usaha asuransi dengan adanya frasa “hanya dapat”, sementara status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dengan peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon tidak cermat dalam memahami ketentuan pasal- pasal UU a quo karena ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian telah mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan usaha perasuransian. Sedangkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian pada intinya mengatur tentang ruang lingkup usaha perasuransian.
Jika Pemohon menganggap suretyship bisa saja masuk ke dalam makna definisi Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), maka seharusnya Pemohon tidak perlu mengajukan penambahan frasa termasuk lini usaha suretyship dalam Pasal 5 ayat (1) UU a quo . Hal tersebut dikarenakan baik Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 UU a quo , keseluruhannya mengatur mengenai usaha perasuransian, maka secara legal drafting mengacu kepada definisi Usaha Perasuransian yang diatur di dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo yang dianggap Pemohon juga termasuk makna suretyship .
Bahwa frasa “hanya dapat” dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU a quo dirumuskan oleh pembentuk undang-undang disebabkan karena UU a quo menganut asas spesialisasi usaha, 76 sehingga tiap perusahaan asuransi hanya fokus menjalankan usaha perasuransian sesuai dengan jenis perusahaannya, apakah itu perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, ataupun perusahaan pialang asuransi. Namun perusahaan asuransi dapat mengembangkan lini usaha selain yang disebutkan dalam UU a quo selama masih termasuk dalam jenis usaha yang sama dan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hal ini disampaikan beberapa kali oleh Pemerintah sebagai pengusul RUU Perasuransian dalam rapat-rapat pembahasan berikut ini:
Rapat Panja Senin 10 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 60 pdf, hal. 23 file rapat) “... sebetulnya saat ini perusahaan asuransi jiwa maupun perusahaan asuransi umum keduanya boleh menjalankan usaha bisnis asuransi kecelakaan ini maupun asuransi kesehatan. Padahal disisi yang lain, kami ingin mengusulkan azas spesialisasi usaha .” 2) Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 129 pdf, hal. 30 file rapat) “Esensi dari komentar atau pun masukan-masukan dari fraksi-fraksi disini adalah penghilangan kata hanya Pak. Nah, ini sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa kalau kita mendefinisikan satu kegiatan usaha tentunya harus spesifik, harus limitatif jangan kemudian kita buka menjadi satu usaha yang bisa dikembangkan secara bebas kemana saja. Karena itu penggunaan kata “hanya” itu adalah untuk tujuan tersebut supaya jelas usahanya itu apa limitatif betul, fokusnya itu dimana . Karena itu penggunaan kata “hanya” ini kami pandang tetap diperlukan.” 3) Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 198 pdf, hal. 3 file rapat) “Namun demikian terhadap pendapat dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar untuk menghilangkan kata ‘hanya’ ini Pemerintah berpandangan untuk tetap mempertahankan tambahannya itu mengingat di dalam Undang-undang ini kita memang menganut azas spesialisasi usaha . Jadi kalau perusahaan asuransi 77 umum ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi umum. Kemudian perusahaan asuransi jiwa ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi jiwa. d. Selain itu ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (1) huruf a UU a quo menggunakan kata “termasuk”, artinya ketentuan a quo tidak membatasi lini usaha yang hanya ditentukan dalam Pasal a quo , melainkan mungkin saja terdapat lini usaha asuransi yang lain selama termasuk dalam definisi Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Umum Syariah. Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo yang memungkinkan perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perusahaan asuransi umum tidak memerlukan adanya suatu rumusan norma baru dalam UU a quo untuk menjalankan kegiatan suretyship sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya ( vide Perbaikan Permohonan hal. 31). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah diperjelas dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo , yaitu perluasan lingkup usaha dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana dan ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian diatur dalam peraturan OJK;
Bahwa kebutuhan masyarakat akan terus berkembang dan hukum akan selalu mengikuti perkembangan tersebut. Undang-undang tidak mungkin selalu dapat mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan, sehingga perlu pengaturan yang lebih detail dan teknis. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendelegasian 78 pengaturan lebih lanjut ke peraturan di bawahnya yang mengatur hal yang lebih teknis. Inilah yang disebut dengan konsep delegated legislation. c. Maria Farida Indrati S. berpandangan bahwa delegasi adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak (Maria Farida Indrati, S, “Hal-hal Khusus Dalam Perundang- undangan”).
Bahwa suatu undang-undang perlu didelegasikan karena tidak hanya memerlukan pengaturan yang lebih detail, tetapi juga memerlukan pemahaman yang mendalam agar sesuai dengan karakter dari bidang yang akan diatur. Oleh karena itu, pendelegasian wewenang dalam UU a quo yang mengatur mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian agar diatur lebih lanjut dalam peraturan OJK ( vide Pasal 5 ayat (3) UU a quo ) telah tepat karena OJK merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi usaha jasa keuangan yang salah satunya adalah usaha perasuransian.
Oleh karena itu, perumusan frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah tepat __ untuk mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat dan memajukan usaha perasuransian di Indonesia.
Pemohon mendalilkan bahwa peraturan OJK yang kedudukannya berada di bawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon ( vide Perbaikan Permohonan hal. 34). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Bahwa antara UU Perasuransian dengan UU Penjaminan, meskipun memiliki materi muatan yang bersinggungan namun sesungguhnya saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama lain. Akan tetapi justru keharmonisasian pengaturan antara undang-undang tersebut 79 akan menjadi lebih teratur dengan adanya pengaturan yang ada di dalam POJK 69/2016.
DPR RI berpandangan bahwa kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut hukum karena perusahaan asuransi termasuk juga lini usaha sebagaimana dimaksud Pemohon sudah diatur secara tersendiri dalam UU Perasuransian. Dengan demikian ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tidak mengikat pada Pemohon sekalipun Pemohon mempunyai lini usaha suretyship .
Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10), DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa tidak ada ketentuan yang melarang perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship . Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan yang mengatur bahwa: “Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini.” maka perusahaan asuransi yang telah menjalankan lini usaha suretyship sebelum tahun 2016 (dalam hal ini anggota Pemohon yang telah menjalankannya selama puluhan tahun) tetap dapat melakukan kegiatan penjaminan, namun wajib melakukan penyesuaian dengan UU Penjaminan. Selain itu, pembentuk undang- undang juga telah memberikan jangka waktu penyesuaian tersebut paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU Penjaminan, yaitu tanggal 19 Januari 2019. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tersebut merupakan landasan bagi perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha suretyship agar mengikuti ketentuan yang ada dalam UU Penjaminan, meskipun usaha suretyship didefinisikan sebagai lini usaha asuransi umum oleh POJK 69/2016. Oleh karena itu kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut 80 hukum karena perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan kegiatan suretyship .
Pemohon tidak perlu khawatir terkait dengan perizinan perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship akan tetap berlaku seperti perusahaan asuransi biasa, yang wajib menyesuaikan hanya praktik kegiatan penjaminan.
Bahwa pada saat pembahasan RUU Penjaminan, pembentuk undang-undang telah membicarakan praktik usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum, berdasarkan Laporan Singkat Rapat Panja RUU Penjaminan pada hari Senin tanggal 7 Desember 2015. Dalam rapat tersebut Pemerintah mengusulkan agar terdapat pengaturan peralihan terkait dengan adanya usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum dan asuransi syariah tetap dapat berjalan tanpa ada izin usaha penjaminan. Namun terhadap usulan tersebut, Anggota Panja memberikan tanggapan bahwa perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha penjaminan harus memiliki izin usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam RUU tentang Penjaminan, untuk penyesuaiannya akan diberikan tenggang waktu selama 3 (tiga) tahun sejak RUU tentang Penjaminan disahkan. Kemudian kesimpulan rapat pada akhirnya menetapkan bahwa terkait dengan praktik perusahaan asuransi yang masih melakukan usaha penjaminan, diberikan tenggat waktu selama 3 (tiga) tahun untuk melakukan penyesuaian berdasarkan RUU tentang Penjaminan dan diatur dalam aturan peralihan. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa Pembentuk UU Penjaminan tidak melarang perusahaan asuransi umum untuk menjalankan usaha penjaminan namun tetap harus melakukan penyesuaian dengan ketentuan UU Penjaminan.
Terhadap petitum Pemohon yang menginginkan penambahan frasa “...termasuk lini usaha suretyship...” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa jika petitum Pemohon tersebut dikabulkan, maka akan dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum yang baru karena di dalam UU a quo belum terdapat definisi suretyship maupun ketentuan yang 81 mendeskripsikan mengenai bidang usaha apa saja yang masuk ke dalam kategori suretyship . Jika pengaturan mengenai suretyship secara tiba-tiba diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo tanpa diatur definisinya terlebih dahulu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa petitum Pemohon bukan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator , DPR RI mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator . Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang- undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” ( Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com). Dengan demikian pada dasarnya MK tidak dapat mengabulkan petitum konstitusional bersyarat yang diajukan oleh Pemohon.
Bahwa jika Permohonan a quo mengenai lini usaha suretyship sebagai pengembangan lini usaha asuransi yang diatur dalam UU a quo ini dikabulkan, hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan buruk di masyarakat dimana jika merasa ada kebutuhan akan pengaturan lini usaha yang baru, maka masyarakat akan kembali mengajukan permohonan pengujian UU a quo ke Mahkamah Konstitusi, namun tidak memberikan masukan legislative review kepada pembentuk undang-undang. Oleh karenanya jika Pemohon ingin adanya ketentuan yang mengatur mengenai lini usaha suretyship dalam UU Perasuransian, maka Pemohon dapat mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR RI, sebagai masukan atau partisipasi dari masyarakat dalam pembentukan undang- undang. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU Perasuransian Bahwa selain pandangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal dalam UU a quo sebagai berikut: 82 1. Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 15.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 83 pdf, hal. 11 file rapat) “Begini Pak, mengenai asuransi kerugian ini tidak diatur detail dalam undang-undang. Kita hanya mengatur tentang sifat umumnya saja dan mengenai pengembangan pengerjaannya itu nanti akan kita diskresi kan ke OJK kan begitu ya Pak ya nanti kalau kita melihat dalam pasal. Coba diingatkan saja nanti pihak Pemerintah supaya begitu kita masuk kedalam pasal yang memberi ruang diskresi itu kita bisa pastikan bahwa kalau ada pengembangan baru itu bisa dilakukan tetap dengan menjaga konsistensi kita terhadap visi undang-undang itu Pak ya.” 2. Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 200 pdf, hal. 5 file rapat) “Sebetulnya sih di dalam peraturan-peraturan Pemerintah Pak ya tingkat PP maupun di PMK itu ada banyak materi yang sudah lazim dilakukan dan diatur oleh Pemerintah tetapi perlu untuk kita angkat sedikit ke atas ke perundang-undangan.” ... “ini kan sayang Pak kalau kita tidak, toh di dalam undang-undang ini tidak harus detail tapi saya kira dikasih ruang lah kepada asuransi ini untuk masuk saja ke dalam sektor ini . Bisa saja begitu Pak tentu dengan memberikan kewenangan pengaturan teknisnya itu kepada OJK .” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 206 pdf, hal. 11 file rapat) “Pak, memang kalau usaha asuransinya, lini usahanya terutama itu berkembang Pak , lini usahanya Pak jadi lini usaha itu contohnya adalah marine insurance, cargo insurance, fire insurance itu berkembang dan dikemudian hari bisa macam-macam. Tetapi pengelompokan mereka menurut karakter usaha rasanya kita sudah cukup definitif gitu Pak ya dipraktek selama ini, asuransi jiwa, asuransi umum, re asuransi. Jadi kalau kita berbicara mengenai perusahaannya Pak ini maka kita sudah cukup limitatif tidak akan ada ide untuk berkembang lagi karena setiap varian dari itu bisa masukan ke salah satu itu Pak.” 3. Rapat Panja Jumat 3 Juni 2014 Pukul 14.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 323 pdf, hal. 60 file rapat) “... ada diskusi tambahan, misalnya di Pasal 2 ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK karena perkembangan waktu itu untuk melakukan adjustment terhadap produk-produk itu...” • F-PG (Dr. H. Harry Azhar Azis, MA) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “... pertanyaannya seberapa besar dibolehkan produk asuransi bertransformasi menjadi bagian dari produk non asuransi.” 83 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “Sebetulnya ada rumahnya ini kalau kita mau diskusi di Pasal 2 pak, padahal di Pasal 2 itu ada ketentuan ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK untuk melakukan penyesuaian terhadap industri , jadi saya kira nanti kita diskusikan di sini tetapi kalau materi ini bisa disepakati oleh teman-teman , kalau yang ini kan tidak ada masalah kan ya, yang kita mau batasi ini adalah materi tentang seberapa besar mereka ini bisa berkembang lebih daripada industri aslinya itu kan begitu, nah itu ada rumahnya di Pasal 2 ayat (5) .” (RAPAT SETUJU) 4. Rapat Panja Sabtu 30 Agustus 2014 Pukul 10.05 • F-PDIP (I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M.) (hal. 562 pdf, hal. 9 file rapat) “Ini sehubungan dengan adanya perkembangan yang kita lihat di lapangan semakin kedepan kita melihat pertimbangan jauh kedepan. Ini bagaimana kita memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi umum, tidak terbatas dalam rangka menanggung resiko ...” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kami mengusulkan kita buka pintu diskresi kepada OJK untuk meng-access apakah masyarakat memang membutuhkan hal tersebut, apakah perusahaan asuransinya sudah mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut . Kalau ini disepakati kita mungkin bisa masukkan didalam rancangan undang-undang kami ada di Pasal 5 Pak bahwa ruang lingkup usaha perasuransian dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kita tidak tutup pintu dalam undang-undang ini, silakan. Tapi mengenai timing waktunya persyaratannya itu, itu akan diatur oleh sesuai dengan pengamatan OJK .” (RAPAT: SETUJU) 84 III. PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bon o). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 3 Maret 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 3 Maret 2020 dan 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada pokoknya Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan- ketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, yang berbunyi: “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 85 Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa alasan timbulnya kerugian konstitusional dimaksud adalah:
Pemohon menyatakan yang menjadi permasalahan dalam permohonan a quo adalah mengenai ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam UU Perasuransian yang tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship . Menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Frasa “ dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara tegas tentang suretyship sehingga bersifat multitafsir dan dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa kemunculan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan) telah menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sehingga kepastian usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah menyebabkan perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship , yang mana menurut Pemohon bahwa perusahaan asuransi tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga penjaminan.
Izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Bahwa adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah mewajibkan kegiatan penjaminan untuk mematuhi UU Penjaminan, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, sedangkan kedudukan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 86 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK Nomor 69/POJK.05/2016) yang merupakan tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU Persuransian menurut Pemohon adalah di bawah undang-undang sehingga dianggap kedudukannya tidak sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan.
Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta penegasan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma hukum baru dengan memberikan tafsiran Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yaitu menegaskan perluasan lini usaha asuransi berdasarkan kebutuhan masyarakat adalah termasuk suretyship .
Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta agar Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. II. TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. 87 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji.
Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: • Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; • Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; • Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; • Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; • Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai tentang kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU Perasuransian a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. 88 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LANDASAN FILOSOFIS 1. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis penyusunan Undang-Undang Perasuransian;
Sesuai amanat founding father yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan bernegara ini diwujudkan dalam landasan idiil sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pencapaian tujuan negara tersebut dilakukan dengan pembangunan berkelanjutan yang melibatkan seluruh masyarakat. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan diperlukan kondisi yang mendukung aktivitas produktif masyarakat yang salah satunya diwujudkan dengan adanya pihak yang berperan dalam menanggulangi risiko keuangan yang dihadapi masyarakat. Risiko keuangan tersebut timbul dalam berbagai aspek kehidupan dan membutuhkan pihak yang dapat menanggulanginya. Asuransi merupakan pihak pengambil alih risiko yang mempu memberikan perlindungan kepada masyarakat atas kemungkinan kerugian yang terjadi pada harta benda atau kepentingan finansial yang dimilikinya.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, UU Perasuransian mengatur bahwa objek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia dan penutupan objek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan 89 upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri.
Dengan adanya perlindungan asuransi diharapkan akan tercipta ketenangan bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan mendorong inovasi usaha yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama. Perusahaan Perasuransian sebagai suatu institusi keuangan yang melakukan pengumpulan dana masyarakat juga memungkinkan adanya akumulasi dana yang dapat digunakan dalam rangka pembiayaan kegiatan pembangunan nasional. B. SEJARAH DAN KEDUDUKAN PERUSAHAAN ASURANSI DALAM MENJALANKAN LINI USAHA SURETYSHIP 1. Pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi telah dilaksanakan sejak tahun 1978 melalui PT Jasa Raharja (Persero). Saat itu, PT Jasa Raharja (Persero) merupakan satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang dapat menerbitkan surety bond melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”.
Pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang menegaskan LKNB yang dapat menerbitkan jaminan surety bond adalah PT Jasa Raharja (Persero). Tujuannya adalah tidak terlepas dari peran Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha ekonomi lemah dengan memberikan kemudahan pengurusan penjaminan melalui produk surety bond sebagai alternatif dari Bank Garansi.
Pada tahun 1992, seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, peran PT Jasa Raharja (Persero) dikembalikan sebagai fungsi dan tugas pokoknya sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan tidak dapat melaksanakan perluasan usaha seperti Surety Bond . 90 4. Di dalam perkembangannya, kedudukan dan ruang lingkup perusahaan asuransi di dalam menjalankan kegiatan lini usaha asuransi kemudian dipertegas dalam UU Perasuransian.
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Selanjutnya, kewenangan perusahaan asuransi di dalam menjalankan lini usaha penjaminan suretyship diberikan peluang dalam Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU Perasuransian.
Bahkan dalam melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, pada Pasal 1 angka 23 POJK Nomor 69/POJK.05/2016 secara tegas diatus bahwa “ Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan _obligee”; _ 8. Praktik pemberian Suretyship pada umumnya merupakan bentuk penjaminan untuk mendukung pelaksanaan proyek pengadaan barang/jasa seperti misalnya pada proyek infrastruktur atau jasa konstruksi untuk pembuatan jalan raya, jalan tol, rumah sakit, dan lain- lain. Dalam pelaksanaan proyek jasa konstruksi dengan jaminan suretyship ini melibatkan pihak-pihak yaitu pemilik proyek/tender (obligee), pelaksana proyek/tender (principal) dan perusahaan asuransi sebagai penjamin. Peranan perusahaan asuransi dalam suretyship ini terhadap pemilik proyek adalah akan membayar sebesar maksimum nilai jaminan jika pelaksana proyek terbukti wanprestasi. Sedangkan 91 hubungannya dengan pemilik proyek, perusahaan asuransi merupakan pihak yang memberikan jaminan dengan menerbitkan surety bond. 9. Suretyship merupakan produk penjaminan atas proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan pendanaan yang cukup besar sehingga selama ini terhadap proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan dana yang besar telah banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi guna memastikan terlaksananya proyek pengadaan barang/jasa dimaksud.
Oleh karena itu, dibutuhkan peranan suatu perusahaan dengan kondisi keuangan yang memiliki pendanaan yang cukup besar seperti lembaga asuransi yang mempunyai kemampuan untuk memberikan penjaminan atas proses pengerjaan proyek barang dan jasa yang membutuhkan dana besar.
Beberapa bentuk surety bond yaitu Jaminan Penawaran ( Bid/Tender Bond ), Jaminan Uang Muka ( Advance Payment Bond ), Jaminan Pemeliharaan ( Maintenance Bond ), Jaminan Pelaksanaan ( Performance Bond ), Jaminan Pembayaran ( Payment Bond ), yang berfungsi sebagai jaminan bagi kegiatan suatu proyek sehingga proyek tetap berlangsung sesuai perjanjian yang disepakati.
Pengaturan suretyship di dalam UU Perasuransian dan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 menunjukkan bahwa OJK sebagai Lembaga Pengawas atau regulator dapat memberikan peluang untuk dilakukannya perluasan ruang lingkup usaha bagi usaha Asuransi Umum sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian perlu menjadi catatan bahwa perluasan ruang lingkup tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: a) memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya; b) relevan dengan bisnis utama, dan; c) perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa selanjutnya perluasan ruang lingkup tersebut diterapkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dengan tegas mengatur bahwa “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha 92 Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 15. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dapat membatasi hak para perusahaan asuransi untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, menunjukkan ketidakpahaman Pemohon dalam memaknai ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 16. Bahwa pengaturan tentang perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum justru telah diatur lebih lanjut pada Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam _Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”; _ 17. Bahwa selanjutnya lebih tegas lagi disebutkan dalam Pasal 4 huruf a POJK Nomor 69/POJK.05/2016 disebutkan: “Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. Kegiatan usaha PAYDI; _ _2. Kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ _3. Kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship; dan/atau _ 4. Kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah”. 18. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditegaskan dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tidak membatasi bahkan justru memberikan perluasan penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi umum sebagaimana telah dilakukan oleh perusahaan asuransi umum sebelum berlakunya UU Perasuransian yaitu sejak tahun 1978.
Dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan perluasan usaha perusahaan asuransi umum sebagai salah satu penyelenggara penjaminan pengadaan barang dan jasa baik oleh swasta maupun pemerintah melalui suretyship dikarenakan masih dibutuhkannya kapasitas perusahaan asuransi umum untuk menyelenggarakan 93 penjaminan pengadaan barang dan jasa bersama dengan lembaga penjamin lainnya, sehingga dapat dipastikan penyelenggaraan pengadaaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional dapat berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. C. PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP OLEH PERUSAHAAN ASURANSI UMUM 1. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa perkembangan kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship oleh perusahaan asuransi umum cukup signifikan. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia, dan usaha suretyship sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja (Persero).
Per 30 November 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship telah dilakukan oleh 40 perusahaan asuransi umum. Dari sisi pendapatan premi yang diterima sebesar Rp13,88 triliun atau 20,66% dari total pendapatan premi dalam skala nasional. Hal ini menunjukkan porsi Suretyship dalam skala nasional tidak terlalu besar.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi umum yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tentang perluasan lini usaha asuransi menjadi tidak jelas.
Dalam Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan diatur bahwa pihak di luar Lembaga penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan agar menyesuaikan dengan Undang-Undang Penjaminan. Namun demkian, di dalam Pasal 61 ayat (2) telah jelas disebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri .
Ketentuan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan tersebut dari sudut pandang Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru merupakan landasan hukum berlakunya penyelenggaraan usaha suretyship, yang merupakan penyelenggaraan penjaminan oleh lembaga asuransi umum. Mandat undang-undang perasuransian untuk mengatur perluasan usaha asuransi umum antara lain melalui Suretyship telah secara tegas diatur 94 dalam peraturan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 sehingga telah sejalan dengan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan data yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan Pemerintah cukup tinggi. Pada tahun 2018, total nilai penjaminan atas produk suretyship oleh perusahaan asuransi umum adalah sebesar Rp 142,9 triliun dan nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan hingga bulan Januari tahun 2020 adalah sebesar Rp 35,6 triliun, sehingga total keduanya adalah sebesar Rp 178,61 triliun atau kurang lebih sekitar 43,48% dari total belanja infrastruktur pada tahun 2018 yang sebesar Rp 410,7 triliun.
Kontribusi perusahaan asuransi khususnya terhadap produk suretyship yang sebesar Rp.142,9 triliun pada tahun 2018 menunjukkan fakta yang tidak dapat diabaikan bahwa adanya kebutuhan masyarakat dalam hal ini khususnya pelaku ekonomi atas pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi. Dalam proyek Pemerintah, berdasarkan Keputusan Menteri PUPR juga diambil kebijakan untuk memberikan Suretyship bagi perusahaan asuransi. Hal ini antara lain dilandasi pada pertimbangan perlunya kapasitas dana yang cukup besar oleh perusahaan yang menjalankan _suretyship; _ 8. Dalam memperhatikan kebutuhan penjaminan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan proyek pembangunan nasional, maka OJK sebagai Lembaga pengawas dan regulator telah memebrikan izin kepada 3 (tiga) konsorsium penjamian yang beranggotakan 24 (dua puluh empat) perusahaan asuransi dan 1 (satu) perusahaan penjaminan yaitu Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum tersebut, pemberian Suretyship oleh perusahaan asuransi umum masih diperlukan untuk menjamin proyek pembangunan nasional bersama dengan perusahaan penjaminan. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional 95 review ) Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tertulis Tambahan bertanggal 13 Juli 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. Pertanyaan dari Yang Mulia Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. A. Apa yang terjadi pada saat pembahasan RUU Perasuransian sehingga pada Pasal 5 ayat (1) terdapat frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat frasa yang membatasi yaitu “hanya dapat”? B. Pada Keterangan Presiden disebutkan bahwa Pasal 61 UU Penjaminan justru memperkuat perusahaan asuransi dalam melaksanakan suretyship dikarenakan perusahaan asuransi memiliki undang-undang tersendiri dan telah dipertegas dengan adanya POJK. Jelaskan maksud dari dari Pasal 61 UU Lembaga Penjaminan kaitannya memberikan penguatan terhadap keberadaan suretyship dalam UU Perasuransian? Jawaban A. Frasa makna “hanya dapat” dari perspektif dengan dapat diperluas 1. Penggunaan frasa “ hanya dapat ” ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian. Frasa tersebut dimaksudkan untuk memberikan limitasi bahwa ruang lingkup usaha perasuransian terbagi dalam usaha asuransi 96 umum, asuransi jiwa dan reasuransi (sebagaimana diatur dalam Pasal 2) serta usaha asuransi umum syariah, asuransi jiwa syariah dan reasuransi syariah (sebagaimana diatur dalam Pasal 3). Frasa “hanya dapat” pada Pasal 2 dan 3 UU Perasuransian berisi norma agar usaha asuransi umum tidak melakukan usaha asuransi jiwa ataupun reasuransi, kecuali yang secara tegas dinyatakan yaitu untuk asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri serta reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. Pencantuman tersebut karena lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri merupakan irisan lini usaha asuransi umum dan asuransi jiwa, sehingga diperlukan anak kalimat tambahan untuk mempertegas bahwa lini usaha asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dapat dilakukan baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perasuransian menjelaskan bahwa “Berdasarkan mekanisme pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri lebih tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun, mengingat Objek Asuransi yang dipertangungkan dalam kedua lini usaha asuransi kecelakaan diri juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa” .
Adapun perumusan Frasa “ dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, dimaksudkan menjadi norma yang mengakui bahwa peluang lini usaha asuransi umum akan berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga UU Asuransi perlu memberikan mandat perluasan lini usaha tersebut dengan batasan sesuai kebutuhan masyarakat dan adanya penambahan manfaatnya bagi masyarakat serta tidak mengganggu core bussiness nya perusahaan asuransi. Pelaksanaan perluasan ini diberikan kewenangan kepada OJK untuk mengatur lebih lanjut. Pengaturan demikian sejalan dengan drafting perumusan UU 97 yang bersifat norma-norma umum tidak mengatur hal-hal teknis yang dapat diuji secara teoritis maupun best practices. 4. Pengaturan norma tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa selain core business perusahaan asuransi, juga ternyata terdapat peluang lain bagi perusahaan asuransi yang bukan merupakan core langsung asuransi sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga, perluasan ruang lingkup usaha asuransi lain sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan open legal policy Pemerintah yang didasarkan pada fakta, pertimbangan sosial dan ekonomis serta best practices di beberapa negara lain . B. Kehadiran UU Penjaminan terhadap Pelaksanaan Suretyship oleh Asuransi Umum Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan), terbitnya UU Penjaminan dilatarbelakangi keinginan Pemerintah untuk meningkatkan UMKM terhadap akses pembiayaan/kredit. Mengacu Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, Usaha Penjaminan meliputi:
penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan, b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Adapun penjaminan berupa suretyship diatur dalam Pasal 4 ayat (2) sebagai salah satu bentuk dari usaha lain yang dapat dilakukan perusahaan penjaminan di samping lingkup usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Sejalan dengan prinsip lingkup penjaminan dalam Pasal 4 tersebut, menjadi jelas pilihan open legal policy Pemerintah bersama DPR selaku pembentuk UU menetapkan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan yang mengecualikan kewajiban yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan bagi orang atau lembaga yang menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan untuk dapat melakukan penyesuaian. Dalam Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan diberikan peluang bagi lembaga yang telah menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan tidak wajib tunduk 98 pada Pasal 61 UU Penjaminan sepanjang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri. Dapat Pemerintah sampaikan norma Pasal 61 ayat (2) berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri”. Dari sisi legal drafting frasa “dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri” memiliki makna yang berbeda dengan frasa “ dinyatakan dengan undang-undang tersendiri ”. Makna kata “dijalankan” pada frasa tersebut mengandung arti bahwa kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan amanat dari suatu undang-undang. Dalam hal ini, pelaksanaan suretyship sebagai kegiatan penjaminan oleh perusahaan asuransi umum, merupakan pelaksanaan mandat Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian kepada OJK untuk mengatur perluasan usaha Perusahaan Asuransi Umum dan telah dijalankan dengan terbitnya POJK Nomor 69/POJK.05/2016. Oleh karena itu, Pemerintah memandang berlakunya UU Penjaminan tidak mengakibatkan ketidakpastian atas berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dilaksanakan secara tegas dalam POJK sebagai landasan untuk pelaksanaan suretyship oleh Perusahaan Asuransi. Bahkan dengan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan secara tegas diberikan pengecualian pelaksanaan suretyship oleh lembaga bukan penjaminan yang telah melaksanakan penjaminan sebelum berlakunya UU Penjaminan. II. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Mengapa pengaturan mengenai suretyship tidak dipertegas dalam UU Perasuransian? Apa yang menjadi pertimbangan pembuat UU tidak menegaskan hal tersebut dalam bentuk norma? B. Pada tahun 1971 telah ada praktik suretyship di PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan asuransi milik Pemerintah. • Apa yang menjadi dasar Pemerintah dalam memberikan kewenangan kepada PT Jasa Raharja untuk melaksanakan Suretyship? • Apa saja persoalan yang muncul tahun 2014 sehingga pada akhirnya PT Jasa Raharja tidak lagi dapat melaksanakan Suretyship? 99 C. Apakah ada database perusahaan-perusahaan asuransi yang merupakan non-asosiasi (Pemohon)? Jawaban A. Sebagaimana telah dijelaskan, Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian dimaksudkan untuk mampu mengikuti perkembangan industri perasuransian sehingga tidak melimitasi bentuk-bentuk usaha yang dapat dilakukan perusahaan asuransi umum. Hal ini tentu akan sangat mendorong perkembangan industri sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Pembentuk UU menyadari bahwa OJK selaku regulator akan mampu untuk membuat pengaturan yang lebih teknis untuk memastikan bahwa prinsip umum dalam UU Asuransi dan tambahan manfaat yang tercipta bagi masyakarat maupun pemerintah selaku penerima manfaat usaha perasuransian akan tetap menjadi pedoman dalam pengaturan perluasan lini usaha asuransi umum. Saat ini OJK juga telah mengatur bahwa terdapat 14 lini usaha yang dapat diselenggarakan oleh perusahaan asuransi umum yaitu: No. Lini Usaha 2018 Q3. 2019 Premi (Juta IDR) % Premi (Juta IDR) % 1 Harta Benda (Property) 18,873,914 27% 15,082,200 26% 2 Kendaraan Bermotor 18,488,468 26% 13,917,660 24% 3 Pengangkutan (Marine Cargo) 3,472,992 5% 2,636,740 5% 4 Rangka Kapal (Marine Hull) 1,572,860 2% 1,275,380 2% 5 Rangka Pesawat (Aviation Hull) 1,338,139 2% 1,110,900 2% 6 Satelit 16,138 0% 19,460 0% 7 Energi Onshore (Oil and Gas) 140,319 0% 110,440 0% 8 Energi Offshore (Oil and Gas) 1,370,170 2% 1,050,620 2% 9 Rekayasa (Engineering) 2,533,719 4% 1,852,960 3% 10 Tanggung Gugat (Liability) 1,868,051 3% 1,767,120 3% 11 Kecelakaan Diri & Kesehatan 5,627,705 8% 4,987,560 9% 12 Kredit (Credit) 7,796,238 11% 9,448,130 16% 13 Suretyship 1,454,839 2% 1,127,180 2% 14 Aneka 5,347,438 8% 3,518,460 6% 100 Bahwa terhadap 14 lini usaha tersebut juga tidak diatur dengan tegas di dalam UU Perasuransian. Selain itu, UU Perasuransian juga tidak menyebutkan lini usaha lain yang juga dilakukan oleh perusahaan asuransi umum yaitu lini usaha asuransi aneka, satelit dan kredit. UU Perasuransian hanya menyebutkan lini usaha kecelakaan diri dan kesehatan karena lini usaha itu merupakan irisan antara asuransi umum dan asuransi jiwa sehingga untuk memberi kepastian hukum bahwa lini usaha tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi umum maupum asuransi jiwa, perlu ditegaskan dalam UU Asuransi. Adanya perkembangan jumlah lini usaha tersebut menunjukkan bahwa perluasan lini usaha ataupun penggabungan atau pengelompokkan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan OJK yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian untuk mengatur perluasan dimaksud adalah agar kiranya perubahan lini usaha tersebut dapat dilakukan secara fleksibel oleh OJK tanpa harus melalui mekanisme perubahan UU Perasuransian. B. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia. Sedangkan, usaha suretyship telah dilaksanakan oleh perusahaan asuransi sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja Persero dengan berdasarkan pada PP No.34 tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja” (PP 34/1978). Berdasarkan PP 34/1978 tersebut, PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan umum asuransi kerugian diberikan mandat tambahan/tugas baru oleh Pemerintah untuk menerbitkan surat jaminan dalam bentuk Surety Bond . Penunjukan tersebut juga telah menjadikan PT Jasa Raharja sebagai pionir penyelenggara surety bond di Indonesia, di saat perusahaan asuransi lain pada umumnya masih bersifat fronting office dari perusahaan surety di luar negeri sehingga menyebabkan terjadi aliran devisa ke luar negeri untuk kepentingan tersebut. Bahwa mengingat PT Jasa Raharja merupakan perusahaan asuransi kerugian sehingga tugas pokoknya adalah melaksanakan amanat dari UU 101 yaitu memberikan perlindungan terkait dana pertanggungjawaban wajib kecelakaan penumpang dan lalu lintas sebagaimana diatur pada UU Nomor 33 dan UU Nomor 34 Tahun 1964. Selanjutnya, sebagai upaya pengemban rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat khususnya bagi masyarakat yang belum memperoleh perlindungan dalam lingkup UU No.33 dan UU No.34 tahun 1964. Pada tahun 1994, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagai penjabaran UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur antara lain ketentuan yang melarang Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial untuk menjalankan asuransi lain selain program asuransi sosial. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 1994 hingga saat ini maka PT Jasa Raharja melepaskan usaha asuransi non wajib dan surety bond untuk lebih fokus dalam menjalankan program asuransi sosial yaitu menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam UU. No.33 tahun 1964 dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana diatur dalam UU. No.34 tahun 1964. C. Berdasarkan data OJK tahun 2019, terdapat 74 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan usaha asuransi umum. Berdasarkan Pasal 68 ayat (1) UU Perasuransian, setiap perusahaan asuransi tersebut (74 perusahaan) wajib menjadi angota asosiasi usaha perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya (AAUI). Namun demikian AAUI juga merupakan asosiasi bagi perusahaan reasuransi, yang berdasarkan data OJK tahun 2019 terdapat 6 perusahaan reasuransi. Dari 74 perusahaan asuransi umum tersebut, berdasarkan laporan statistik OJK tahun 2018 terdapat 47 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin usaha untuk menyelenggarakan suretyship, namun demikian 1 perusahaan asuransi umum yaitu PT Asuransi Himalaya Pelindung telah dicabut izin usaha melalui Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Nomor 41/KDK.05/2019 tanggal 30 April 2019 sehingga tersisa 46 perusahaan. 102 Berikut data perusahaan asuransi yang menyelenggarakan Suretyship dan yang tidak menyelenggarakan Suretyship. Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan suretyship (46) 1. PT Asuransi ASEI Indonesia 25. PT CHUBB General Insurance Indonesia 2. PT Asuransi Artarindo 26. PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 3. PT Arthagraha General Insurance 27. PT Asuransi Jasa Raharja Putera 4. PT Asuransi Astra Buana 28. PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 5. PT Asuransi Axa Indonesia 29. PT Asuransi Kresna Mitra Tbk.
PT Asuransi Bangun Askrida 30. PT Asuransi Sinar Mas 7. PT Berdikari Insurance 31. PT Tugu Pratama Indonesia 8. PT Asuransi Bhakti Bhayangkara 32. PT Asuransi Videi 9. PT Asuransi Binagriya Upakara 33. PT Pan Pacific Insurance 10. PT Asuransi Bintang Tbk. 34. PT Asuransi Parolamas 11. PT Bosowa Asuransi 35. PT Asuransi Purna Artanugraha 12. PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur 36. PT Asuransi Rama Satria Wibawa 13. PT Asuransi Buana Independent 37. PT Asuransi Ramayana Tbk.
PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 38. PT Asuransi Staco Mandiri 15. PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 39. PT Asuransi Tri Pakarta 16. PT Asuransi Central Asia 40. PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 17. PT Asuransi Intra Asia 41. PT Victoria Insurance Tbk.
PT Asuransi Jasa Tania Tbk. 42. PT Asuransi Wahana Tata 19. PT Asuransi Mega Pratama 43. PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 20. PT Asuransi Umum Mega 44. PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk.
PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika 45. PT Lippo General Insurance Tbk.
PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk.
PT Asuransi Etiqa Internasional Indonesia (dulunya PT Asuransi Asoka Mas) 23. PT Malacca Trust Wuwungan Insurance 24. PT Asuransi Adira Dinamika Perusahaan Asuransi Umum yang tidak menyelenggarakan suretyship (28) 47. PT AIG Insurance Indonesia 61. PT Meritz Korindo Insurance 48. PT Avrist General Insurance 62. PT Great Eastern General Insurance Indonesia 103 49. PT Asuransi Umum BCA 63. PT Kookmin Best Insurance Indonesia 50. PT Bess Central Insurance 64. PT. Asuransi Total Bersama 51. PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk. 65. PT Asuransi Raksa Pratikara 52. PT China Taiping Insurance Indonesia 66. PT Asuransi Recapital 53. PT Citra International Underwriters 67. PT Asuransi Reliance Indonesia 54. PT Asuransi Dayin Mitra Tbk. 68. PT Asuransi Samsung Tugu 55. PT Asuransi Eka Lloyd Jaya 69. PT Sarana Lindung Upaya 56. PT Asuransi FPG Indonesia 70. PT Asuransi Simas Net 57. PT KSK Insurance Indonesia 71. PT Sompo Insurance Indonesia 58. PT MNC Asuransi Indonesia 72. PT Asuransi Sumit Oto 59. PT Asuransi MSIG Indonesia 73. PT Asuransi Tokio Marine Indonesia 60. PT Mandiri AXA General Insurance 74. PT Zurich Insurance Indonesia Adapun terhadap perusahaan Asuransi yang menjadi anggota Asosiasi Asuransi Umum namun tidak menjadi pemohon uji materi kiranya dapat disampaikan oleh Pemohon. Dapat Pemerintah sampaikan pula beberapa contoh pelaksanaan Suretyship di negara-negara lain ( Benchmarking ) yaitu:
Canada: suretyship diselenggarakan oleh surety companies dan perusahaan asuransi;
USA: suretyship juga diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Japan: sebagian besar kontrak suretyship diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Malaysia: biasanya suretyship diselenggarakan oleh perusahan asuransi;
Korea Selatan: perusahaan asuransi umum dapat menyelenggarakan suretyship. Demikian Keterangan Tambahan yang dapat disampaikan oleh Pemerintah terkait dengan Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai 104 berikut sebagaimana yang telah dimintakan dalam Keterangan Presiden yang telah disampaikan sebelumnya. [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 22 Juni 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 Juni 2020, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Sejarah Pengaturan Kegiatan Usaha Suretyship di Indonesia 1. Bahwa Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak dan memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hak untuk melakukan kegiatan perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan serta konsepsi negara kesejahteraan (welfare states) sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . __ 2. Secara historis Indonesia telah mengenal dan mengatur lini usaha suretyship sebagai salah satu produk inovasi perusahaan asuransi guna menjawab tantangan pengambilalihan potensi risiko kerugian yang dapat dialami oleh salah satu pihak dalam perjanjian antara principal dan obligee . Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, Pemerintah semakin menyadari arti penting keberadaan suatu Lembaga Non Perbankan yang dapat menjadi lembaga alternatif untuk memberi jaminan dalam mendukung proyek-proyek pembangunan yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengingat penjaminan yang menggunakan bank garansi memiliki persyaratan cukup berat bagi para penyedia barang dan/atau jasa berupa aset jaminan (full collateral) 100% dari nilai jaminan. __ 105 3. Khusus penerbitan suretyship oleh perusahaan asuransi, sudah dilakukan sejak tahun 1978 yang diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan sebagai berikut: __ a. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”;
Keppres Nomor 14A tahun 1980 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
KMK Nomor 271/KMK.011/1980 tentang Penunjukan Bank dan Lembaga Keuangan yang dapat Menerbitkan Jaminan. dalam ketentuan tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk menerbitkan suretyship .
Setelah tahun 1978, dimana sebelumnya penerbitan suretyship hanya bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi Jasa Raharja, dalam rangka memperluas usaha penerbitan suretyship Pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 761/KMK.013/1992 Tahun 1992 tentang Penunjukan Bank-Bank Dan Perusahan-Perusahaan Asuransi Yang Dapat Menerbitkan Jaminan; dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 951/KMK.01/1993 Tentang Penggunaan Surety Bond/Customs Bond Sebagai Jaminan Pembayaran Pungutan Negara Atas Impor Barang Yang Mendapat Fasilitas Impor; yang pada pokoknya telah memberikan kesempatan kepada beberapa perusahaan asuransi swasta untuk dapat menerbitkan suretyship .
Selanjutnya, Pemerintah melalui beberapa peraturan perundang-undangan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2017, yaitu:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tanggal 3 September 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship ; 106 c. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi; dan
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah; telah pula mengatur mengenai penerbitan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi.
Berkaitan dengan lini usaha suretyship yang diterbitkan oleh perusahaan penjaminan, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU Penjaminan), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.020/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011, PT Jamkrindo (Persero) dapat melakukan kegiatan usaha lain yaitu antara lain surety bond . B. Pengertian Suretyship dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Sebagaimana dipahami bersama, secara umum pengertian suretyship adalah suatu bentuk penjaminan dimana surety company (perusahaan asuransi/perusahaan penjaminan) menjamin principal (kontraktor/ supplier ) akan melaksanakan kewajiban atau suatu prestasi kepada obligee (penerima manfaat/ beneficiary ) sesuai kontrak atau perjanjian antara principa l dan obligee .
Pengertian suretyship juga dapat ditemukan pada ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya: __ a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship (selanjutnya disebut PMK Suretyship ) yang mengatur: __ Pasal 1 angka 3: __ “Suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee.” b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi 107 Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016) yang mengatur: Pasal 1 angka 23: “Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee.” c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU Jasa Konstruksi) yang mengatur: __ Pasal 57 ayat (4): “Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Penjelasan Pasal 57 ayat (4): __ “Yang dimaksud dengan "perjanjian terikat" (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan. Penjamin akan menjamin pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan. Asuransi penjaminan ini biasanya dikeluarkan oleh perusahaan asuransi kerugian.” 3. Lini usaha suretyship yang dipraktikan di beberapa negara seperti Tiongkok, Singapura, Inggris, dan Filipina, tidak merupakan monopoli dari salah satu bidang usaha tertentu saja seperti asuransi atau penjaminan. Di Negara tersebut, suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian suretyship maupun pengaturannya baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain, pada prinsipnya produk suretyship tidaklah dapat digolongkan atau dibatasi kepada konsep-konsep kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh bidang- bidang usaha tertentu saja seperti perusahaan asuransi atau perusahaan penjaminan, sehingga suretyship dapat dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan maupun asuransi. __ C. Lini Usaha Suretyship oleh Perusahaan Asuransi berdasarkan Pasal 5 UU Perasuransian 1. Setelah membaca pokok permohonan pengujian a quo , dalam halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, Pemohon 108 pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship .
Pemahaman terhadap Pasal 61 UU Penjaminan haruslah tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11 s.d. angka 13, dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas penuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” Pasal 1 angka 11 __ “Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan.” Pasal 1 angka 12 “Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin.” Pasal 1 angka 13 “Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.” Pasal 4 ayat (1) _Usaha Penjaminan meliputi: _ a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan _Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan; _ b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada _anggotanya; dan _ c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Pasal 4 ayat (2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) _Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: _ _a. penjaminan atas surat utang; _ _b. penjaminan pembelian barang secara angsuran; _ _c. penjaminan transaksi dagang; _ d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); __ _e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); _ _f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; _ _g. penjaminan letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan (customs bond); __ _i. penjaminan cukai; _ j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan _usaha Penjaminan; dan _ 109 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. 3. Apabila melihat definisi Penjaminan, Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Penjaminan serta ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, pada dasarnya UU Penjaminan telah mengatur secara khusus ruang lingkup dari kegiatan usaha Lembaga Penjamin yaitu yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial sehubungan dengan perjanjian kredit Terjamin kepada Penerima Jaminan.
Oleh karena itu, ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, keseluruhannya hanya melingkupi adanya kegiatan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial dari adanya kredit, pembiayaan oleh lembaga keuangan maupun koperasi, serta program kredit kemitraan dan bina lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara.
Namun demikian, dalam UU Penjaminan, Pemerintah dan DPR telah menyepakati adanya lini usaha lain yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan yang tidak diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan (bersifat accesoir ). Kegiatan usaha lain yang bersifat accesoir tersebut adalah kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan yang mencakup kegiatan:
penjaminan atas surat utang;
penjaminan pembelian barang secara angsuran;
penjaminan transaksi dagang;
penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa _(surety bond); _ e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
penjaminan _letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan _(customs bond); _ i. penjaminan cukai;
pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan 110 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Penambahan lini kegiatan usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut di atas, dapat dipahami karena jenis-jenis lini usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut adalah jenis usaha penjaminan yang bukan merupakan pemenuhan kewajiban finansial dari adanya perjanjian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan. __ 7. Selanjutnya, Pasal 61 UU Penjaminan telah mengatur: Pasal 61 (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Penjelasan Pasal 61 (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. (2) Cukup jelas. 8. Sementara itu, Pasal 1 angka 6 UU Penjaminan telah mengatur: “Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan.” 9. Berkaitan dengan Pasal 61 UU Penjaminan sebagaimana dalam kutipan di atas, menurut pendapat kami perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar Lembaga Penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, hal ini mengingat lini usaha 111 suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan jika perusahaan asuransi hendak melakukan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, menurut pendapat kami kekhawatiran Pemohon dalam pengujian UU a quo yang menganggap kegiatan lini usaha suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi menjadi tidak tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan penjaminan yang merupakan usaha penjaminan selain yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Selain itu, pengaturan mengenai suretyship dalam UU Penjaminan menjadi sejalan dengan pengaturan mengenai surety bond yang diatur dalam pengertian mengenai dalam UU Jasa Konstruksi yang pada pokoknya menyatakan bahwa jaminan dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk antara lain perjanjian terikat [ vide Pasal 57 ayat (4)]. Adapun yang dimaksud dengan “perjanjian terikat” (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan [ vide Penjelasan Pasal 57 ayat (4)].
Berdaarkan semua uraian di atas, maka semakin jelas kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana dimaksud dalam UU Penjaminan dapat dilakukan oleh baik perusahaan penjaminan, perusahaan perasuransian maupun lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. __ 15. Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah 112 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 16. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship. 17. Namun demikian, lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam POJK 69/2016 hanya diberikan kepada perusahaan asuransi umum dan tidak diberikan kepada perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan _masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. kegiatan usaha PAYDI; _ _2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 4. _kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah; _ ” 18. Dengan demikian, lini usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dan diatur lebih lanjut dalam POJK 69/2016 telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 61 UU Penjaminan, sehingga perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian mengenai frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian yang terus berkembang di masyarakat. Dalam Penjelasan Umum UU Perasuransian telah menyebutkan bahwa pengaturan mengenai asuransi dilatarbelakangi oleh perkembangan yang pesat dalam industri 113 perasuransian yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat.
Dengan diaturnya perluasan lini usaha perusahaan asuransi sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru untuk mempermudah pengaturan mengenai penambahan lini usaha asuransi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap asuransi. Hal ini akan memudahkan OJK selaku otoritas yang diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut lini- lini usaha tambahan yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagaimana didelegasikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Berkaitan dengan petitum Pemohon dalam permohonan a quo , menurut hemat kami, penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, justru tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha. Penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” menjadi seolah membatasi kemungkinan adanya perluasan ruang lingkup kegiatan perusahaan asuransi selain lini usaha suretyship . Karena maksud dari Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah perluasan ruang lingkup usaha asuransi haruslah didasarkan pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang tidak hanya berkaitan dengan lini usaha suretyship .
Selain hal tersebut di atas, apabila permohonan Pemohon untuk menyisipkan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dikabulkan, maka hal tersebut justru menjadi tidak sejalan dengan pengaturan dalam POJK 69/2016 yang hanya memberikan kesempatan bagi asuransi umum untuk melakukan lini usaha suretyship yang tidak diberikan kepada asuransi jiwa, asuransi umum syariah, dan asuransi jiwa syariah. D. Data Perkembangan Produk Suretyship oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Penjaminan 1. Berdasarkan data yang dimiliki oleh OJK, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan pemerintah cukup tinggi. Berdasarkan data APBN 2020, alokasi anggaran untuk belanja pemerintah pusat pada sektor infrastruktur tahun 2020 mencapai Rp423,3 triliun. Apabila diasumsikan bahwa besarnya nilai premi 114 (biaya jasa/ service charge ) adalah 1% maka nilai jaminan yang dapat ditanggung ( coverage ) oleh perusahaan asuransi umum pada tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp158,75 triliun. Nilai jaminan tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang diperkirakan sebesar Rp144,44 triliun. Sementara itu, nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan per Desember 2019 sebesar Rp71,71 triliun dengan nilai proyek sebesar Rp1.387,43 triliun. __ 2. Dapat kami informasikan, sampai dengan Desember 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship . __ 3. Pada perusahaan penjaminan, potensi kapasitas penjaminan dapat dilihat dari ekuitas Perusahaan per Desember 2019 sebesar Rp13,65 triliun, sehingga kemampuan penjaminan maksimum perusahaan penjaminan adalah sebesar Rp273 triliun. Perusahaan penjaminan baru dapat melayani penjaminan kredit produktif dan suretyship sebesar Rp133,98 triliun dengan gearing ratio 9,74 kali. Dengan demikian, berdasarkan gearing ratio per Desember 2019 kapasitas penjaminan oleh perusahaan penjaminan tersedia sebesar Rp140,13 triliun. Adapun imbal jasa penjaminan yang didapatkan dari suretyship per Desember 2019 sebesar Rp511,51 miliar. __ 4. Dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 - 2024 memuat program prioritas nasional yang salah satunya yaitu Memperkuat Infrastruktur Untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Dan Pelayanan Dasar dengan perkiraan alokasi sebesar Rp2.176,89 triliun. Dengan alokasi dana yang besar perlu kiranya dukungan penjaminan/ suretyship untuk memastikan proyek pembangunan infrastruktur terlaksana dengan baik. __ PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN __ Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, kami mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap Pasal 115 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima keterangan OJK sebagai Pihak Terkait secara keseluruhan.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Keterangan Tertulis Tambahan Berkaitan dengan beberapa pertanyaan dari Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada persidangan tanggal 22 Juni 2020, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Landasan yang Menjadi Acuan Otoritas Jasa Keuanga dalam Memberikan Izin bagi Perusahaan Perasuransian dalam Melakukan Lini Usaha Suretyship Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, untuk selanjutnya disebut UU Perasuransian, atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, untuk selanjutnya disebut UU Penjaminan, sebagai landasan yang menjadi acuan Perusahaan Perasuransian dalam melakukan lini usaha Suretyship , dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Secara umum, dalam menjalankan kegiatan usahanya, suatu Perusahaan Perasuransian mengacu pada ketentuan yang berlaku yaitu UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha 116 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah, untuk selanjutnya disebut POJK No. 69/2016. __ 2. Dalam UU Perasuransian, perluasan ruang lingkup usaha perasuransian telah diatur secara jelas dalam Pasal 5 yang berbunyi: __ 1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. __ Penjelasan: Cukup Jelas 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tersebut, dalam frasa ” dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” pada dasarnya mengandung makna dibuka kesempatan bagi Perusahaan Perasuransian untuk melakukan perluasan usaha selain menyelenggarakan kegiatan usaha yang ditentukan secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. __ 4. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Perasuransian terdapat pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat, diatur lebih lanjut dalam POJK No. 69/2016. __ 5. Dapat kami sampaikan, pada bagian ”Mengingat” POJK No. 69/2016 telah disebutkan secara jelas dasar hukum pembentukan POJK No. 69/2016 yaitu: __ 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 117 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia _Nomor 5253); _ 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); _ 6. Penegasan bahwa POJK No. 69/2016 diterbitkan berdasarkan UU Perasuransian juga terlihat di bagian Penjelasan Umum POJK No. 69/2016 dimana beberapa kali disebutkan bahwa UU Perasuransian sebagai dasar hukum diterbitkannya POJK No. 69/2016. ”Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengamanatkan penyempurnaan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan industri asuransi yang telah berkembang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha, bertambahnya pemanfaatan jasa perasuransian oleh masyarakat, serta layanan jasa perasuransian yang semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.” ”Pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah adalah salah satu pengaturan yang merupakan penuangan dari amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.” 7. Selanjutnya, terkait dengan lini usaha Suretyship yang merupakan ruang lingkup usaha yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016. __ 8. Oleh sebab itu, yang menjadi landasan utama suatu Perusahaan Perasuransian menjalankan lini usaha Suretyship yaitu Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, sedangkan Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam UU Perasuransian. Pengaturan lebih lanjut tersebut sesuai dengan pendelegasian kewenangan oleh UU Perasuransian yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenali perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah diatur dalam POJK (vide Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian). __ 9. Perlu kami sampaikan juga, pendelegasian kewenangan pengaturan lebih lanjut dalam POJK sebagaimana dimaksud pada angka 8 sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (vide 118 Bab II Huruf A angka 198). Dengan kata lain, pengaturan Suretyship dalam POJK dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai cakupan dan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 10. Dapat kami sampaikan pula bahwa mengenai pengaturan Pasal 4 UU Penjaminan pada dasarnya menguatkan pengaturan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 11. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha utama yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan, sedangkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha tambahan yang dapat dilakukan Perusahaan Penjaminan. __ 12. Adapun pengaturan mengenai kegiatan usaha tambahan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, telah sejalan dengan pengaturan mengenai perluasan kegiatan usaha sesuai kebutuhan masyarakat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 13. Sedangkan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, mengingat lini usaha Suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Dengan demikian landasan hukum mengenai pengaturan lini usaha Suretyship yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian pada dasarnya mengacu pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan POJK No 69/2016 dan sejalan dengan pengaturan pada Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ __ 119 B. Lini Usaha Suretyship Telah Diakomodir dalam Ketentuan UU Penjaminan dan UU Perasuransian Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai alasan OJK menggunakan UU Penjaminan sebagai referensi dalam memberikan keterangan sebagai pihak terkait, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Sebagaimana telah OJK sampaikan dalam keterangan sebelumnya, Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha Suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak Pemohon __ sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945. __ 2. Pemohon selaku badan hukum yang mewakili anggotanya berupa perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian khususnya yang telah menjalankan bidang usaha Suretyship, yang mana praktik Suretyship tersebut telah berlangsung lama selama puluhan tahun dan telah dirasakan manfaatnya bagi pembangunan nasional. __ 3. Di Indonesia, dasar hukum Perusahaan Perasuransian melaksanakan lini usaha Suretyship telah diakomodir sejak tahun 1978 oleh beberapa peraturan terkait, yang kemudian saat ini diakomodir dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. Namun, menurut Pemohon secara faktual pengaturan mengenai lini usaha Suretyship ini belum diatur secara tegas dalam UU Perasuransian tersebut sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang dilindungi dan dijamin UUD 1945. __ 4. Namun, terkait lini usaha Suretyship , dalam permohonannya juga disebutkan bahwa Perusahaan Penjaminan dapat menjalankan Surety Bond sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ Dengan lahirnya UU Penjaminan tersebut dipandang menimbulkan persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma, khususnya dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan akan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha Suretyship oleh 120 Perusahaan Perasuransian, sebagaimana dinyatakan Pemohon pada halaman 10 angka 3.10 Surat Permohonan. __ 5. Dapat kami sampaikan, bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan beserta Penjelasannya menyatakan: __ (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang- Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. _Penjelasan: _ Ayat (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) __ Cukup Jelas 6. Dengan adanya pengaturan tersebut maka timbul kekhawatiran bahwa dengan munculnya Pasal 61 UU Penjaminan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha Suretyship yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang mengatur mengenai perluasan lini usaha asuransi. Hal ini dipertegas oleh Pemohon dalam permohonan pengujian a quo , halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, yang pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship .
Selain itu, keberadaan Pasal 61 UU Penjaminan tersebut terkesan menyebabkan Perusahaan Perasuransian yang mendasarkan kegiatan lini usaha pada POJK No. 69/2016, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Perasuransian, harus tunduk pada peraturan UU Penjaminan tersebut.
Oleh karena itu dalam permohonannya, Pemohon bependapat dalam halaman 35 angka 3.31 secara tegas menyatakan adanya pengaturan dalam UU Penjaminan yang melarang pelaksanaan kegiatan lini usaha 121 Suretyship dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, sebagaimana diuraikan oleh Pemohon sebagai berikut: “ Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahan asuransi, namun terbitlah UU No. 2/2017 dan Perpres No.16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi.” 9. Dengan demikian, sudah sepatutnya OJK dalam memberikan Keterangan sebagai Pihak Terkait juga untuk memperhatikan keberadaan hukum UU Penjaminan yang beririsan dengan UU Perasuransian, khususnya pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan usaha perasuransian yang mencakup lini usaha Suretyship . C. Pembatasan Perusahaan Perasuransian yang Melakukan Lini Usaha Suretyship Berdasarkan POJK 69/2016 1. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 122 3. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK No. 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship. 4. Namun demikian, lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam POJK No. 69/2016 hanya diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum dan tidak diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Asuransi Jiwa, maupun Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK No. 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan _perluasan ruang lingkup usaha pada: _ _5. kegiatan usaha PAYDI; _ _6. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 7. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 8. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari _pemerintah; _ ” 5. Yang menjadi dasar pertimbangan OJK dalam memberikan pengaturan hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi Perusahaan Asuransi Umum di bawah payung hukum UU Perasuransian dalam menyelenggarakan kegiatan Suretyship , yang telah dilaksanakan selama ini dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship (PMK 124/2008).
Dalam PMK 124/2008 tersebut, telah diatur mengenai persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk asuransi pada lini usaha asuransi kredit atau Suretyship yaitu paling sedikit sebesar Rp 250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh miliar rupiah) ( vide Pasal 3 PMK 124/2008).
Selain itu, berdasarkan Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah dan Pasal 34 Peraturan 123 Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi telah mengatur mengenai Ekuitas minimum yang diwajibkan bagi Perusahaan Perasuransian yaitu:
Bagi Perusahaan Asuransi Syariah sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
Bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
Bagi Perusahaan Asuransi yang memiliki unit Syariah sebesar Rp100.000.000.000,00 (serratus miliar rupiah) ditambah dengan kewajiban ekuitas minimum bagi unit Syariah sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sehingga menjadi Rp125.000.000.000,00 (seratus dua puluh lima miliar rupiah).
Oleh sebab itu, mengingat persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah lebih kecil dari persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang akan menjalankan kegiatan usaha Suretyship dalam PMK 124/2008 serta nilai penjaminan dalam bisnis Suretyship yang umumnya cukup besar, maka kegiatan usaha Suretyship tidak dibuka untuk Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan lain dalam mengatur hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah karena kegiatan usaha Suretyship berpotensi menggerus kemampuan finansial Perusahaan Asuransi Syariah maupun Unit Syariah yang saat ini masih dalam tahap pengembangan ( infant industry) .
Dengan demikian, oleh karena Perusahaan Asuransi Syariah masih dalam tahap pengembangan dengan kemampuan permodalan dipandang masih belum dapat memenuhi ketentuan dalam PMK 124/2008 yang secara khusus mengatur mengenai Suretyship , maka OJK selaku regulator tidak membuka lini usaha Suretyship untuk dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Syariah, dan hanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum. 124 D. Data Perbandingan atau Komparasi Model Pengaturan Negara Lain dengan Indonesia Sebagaimana Telah Dijelaskan Dalam Keterangan sebagai Pihak Terkait Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai data perbandingan __ atau komparasi model pengaturan negara lain, dapat kami sajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel Praktik Suretyship di Beberapa Negara Lain No. Negara Pengaturan Keterangan 1. Tiongkok Article 6: “Suretyship as used in this Law means an agreement pursuant __ to which a surety and a creditor __ agree that the surety shall perform the obligation or bear the liability according to the agreement, when the debtor fails to perform his obligation.” Article 7: A legal person, other organization or a citizen capable of assuming debts may act as a surety . Article 8: “No State organ may act as a surety, except in the case of securing loans, for onlending, from a foreign government or an international economic organization as is approved by the State Council.” _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30, promulgated by Order No. 50 of the President of the People’s Republic of China on June 30, 1995, and effective as of October 1, 1995, “Guaranty Law”) Article 95: • Pengaturan mengenai Suretyship di Tiongkok berdasarkan Guarantee Law of the People’s Republic of China (1995) tercantum dalam Article 6 Chapter II (Suretyship) yang menyatakan bahwa Suretyship merupakan suatu perjanjian antara penjamin dengan kreditor, dimana penjamin sepakat untuk menanggung atau melakukan kewajiban berdasarkan perjanjian, jika debitur gagal melakukan kewajibannya. • Guarantee Law pada prinsipnya tidak membatasi pihak yang dapat menjadi penjamin kecuali oleh Guarantee Law ditentukan lain/terdapat pengecualian. • Pengaturan Suretyship dalam regulasi di Tiongkok lebih bersifat umum. Lini usaha Suretyship di Tiongkok pada dasarnya meliputi beberapa area seperti banking dan juga asuransi, dengan catatan bahwa sepanjang pihak (person), organisasi lainnya dan warga negara yang secara legal dan mampu menanggung hutang, dapat bertindak sebagai Penjamin (Surety). • Selain itu, dalam Insurance Law of the People’s Republic 125 The scope of business of an insurance company shall be as follows :
Personal insurance, including life insurance, health insurance, accidential injury insurance, etc.;
Property insurance, including property loss or damage insurance, liability insurance, credit insurance and surety bonds, etc.; and (3) Other insurance-related businesses approved by the insurance regulatory body under the State Council. _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30 1995, amended three times on 28 October 2002, on 28 February 2009 and on 24 April 2015, Insurance Law) of China (2015) Article 95 diatur bahwa surety bond merupakan jenis usaha yang dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam jenis usaha asuransi properti. Bahkan Insurance Law (2015 ) juga memberikan keleluasaan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menerbitkan produk usaha lainnya selain Surety Bond , dalam hal ini merupakan bentuk Suretyship lainnya). • Terdapat putusan Supreme Court di Tiongkok terhadap suatu kasus terkait accessory principle apply to surety bonds , bahwasanya Suretyship itu sendiri secara nature merupakan bagian dari perasuransian. Sehingga jika dikaitkan lebih lanjut dengan UU Perasuransian dan UU Penjaminan di Indonesia, walaupun dalam UU Perasuransian tidak disebutkan secara clear pengaturan terkait Suretyship, namun secara praktik, sejarah dan by nature (sebagaimana penjelasan di atas) Suretyship di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian.
Filipina Title 4 SURETYSHIP Sec. 175. A contract of suretyship is an agreement whereby a party called the surety guarantees the performance by another party called the principal or obligor of an obligation or undertaking in favor of a third party called the obligee. It includes official recognizances, stipulations, bonds or undertakings issued by any company by virtue of and under the • Filipina sebagai negara yang menganut sistem Common Law, mengatur mengenai Suretyship baik dalam Insurance Act/Undang-Undang Asuransi (Republic Act No.2427 of 1914), General Banking Act/Undang-Undang Bank Umum (Republic Act No.8791 of 2000), serta Surety Act/Undang-Undang Surety (Republic Act No.2203 of 1913). • Insurance Act No. 2427/1914 126 provisions of Act No. 536, as amended by Act No. 2206. Sec. 176. The liability of the surety or sureties shall be joint and several with the obligor and shall be limited to the amount of the bond. It is determined strictly by the terms of the contract of suretyship in relation to the principal contract between the obligor and the obligee. (As amended by Presidential Decree No. 1455). Ref: Republic Act No. 2427 An Act Revising The Insurance Laws And Regulating Insurance Business In The Philippine Islands, “Insurance Act 1912”) Sect. 29. Powers of a Commercial Bank. — A commercial bank shall have, in addition to the general powers incident to corporations, all such powers as may be necessary to carry on the business of commercial banking, such as accepting drafts and issuing letters of credit ; discounting and negotiating promissory notes, drafts, bills of exchange, and other evidences of debt; accepting or creating demand deposits; receiving other types of deposits and deposit substitutes; buying and selling foreign exchange and gold or silver bullion; acquiring marketable bonds and other debt securities ; and extending credit, subject to such rules as the Monetary Board may promulgate. These rules may include the determination of bonds and other debt securities eligible for investment, the maturities and aggregate amount of such investment. membagi bisnis asuransi di Filipina dalam empat jenis usaha, yaitu: asuransi umum (Chapter 1), asuransi kelautan (Chapter 2), asuransi kebakaran (Chapter 3), serta asuransi jiwa dan kesehatan (Chapter 4). Dalam Insurance Act 1914 tersebut juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Suretyship adalah perjanjan dimana penjamin (Surety) menjamin kinerja oleh pihak Prinsipal (obligor) dari kewajiban kepada Obligee. • Penerbitan Suretyship juga dapat dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam The General Banking Act of 2000 , yang bertujuan untuk menanggung kewajiban kontrak nasabah kepada bank. • Sementara, secara spesifik Filipina juga mengatur mengenai kegiatan Surety , yaitu dalam Undang-Undang No. 2203/1913 yang merupakan amandemen atas Undang-Undang No.536. Undang-undang ini mengatur Surety namun sebatas pada empat jenis jaminan, yaitu suatu Pengakuan (recognizance), Ketentuan (stipulation), Surat Utang (bond), dan Pelaksanaan Pekerjaan yang Ditentukan (undertaking specified), Undang-Undang tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjamin kinerja suatu kondisi saat dieksekusi, atau dijamin semata-mata oleh perusahaan yang didirikan dengan berdasarkan hukum AS atau negara bagiannya, atau perusahaan apapun yang tunduk pada peraturan perundang-undangan Kepulauan Filipina, kecuali 127 Ref: Republic Act No. 8791 An Act Providing For The Regulation Of The Organization And Operations Of Banks, Quasi-Banks, Trust Entities And For Other Purposes “The General Banking Act of 2000”) perusahaan tersebut diizinkan Pemerintah Kepulauan Filipina untuk menjadi penjamin atas keempat hal tersebut. Pada prinsipnya, suatu penjaminan tidak harus dilaksanakan tersendiri oleh suatu Perusahaan Penjaminan maupun Perusahaan Penjaminan khusus.
Singapura Classification of insurance business and construction of references to matters connected with insurance 2.-(1) For the purposes of this Act, insurance business shall be divided into 2 classes — (a) life business, which means all insurance business concerned with life policies, long-term accident and health policies, or both; and [23/2003 wef 01/01/2004] (b) general business, that is to say, all insurance business which is not life business, and shall include the effecting and carrying out by any person, not being a person licensed, approved, designated or otherwise regulated under the Monetary Authority of Singapore Act (Cap. 186), Banking Act (Cap. 19), Finance Companies Act (Cap. 108) or Securities and Futures Act (Cap. 289); of contracts for fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee, being contracts effected by way of business (and not merely incidental to some other business carried on by the person effecting them) in return for the • Suretyship dalam pengaturan hukum di Singapura diatur dalam Ch. 23 The Law of Guarantees . Seperti halnya Tiongkok dan Inggris, Singapura juga tidak membatasi bidang usaha Suretyship , dengan kata lain banking dan asuransi masuk dalam area praktik surertyship tersebut. • Hanya saja dalam pengaturan tersebut Singapura lebih mengedepankan prinsip utama dalam Suretyship law , yaitu perjanjian penjaminan yang dibuat diantara penjamin (Surety) dan debitor utama harus berdasarkan kesepakatan dan persetujuan dari pihak Surety, sehingga apabila perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari pihak Surety, maka dapat dipastikan pihak Surety harus dibebaskan dari kewajibannya kecuali dalam kontrak penjaminan menyatakan sebaliknya. • Lebih lanjut berdasarkan pengaturan hukum Singapura dalam Insurance Act, Suretyship merupakan lini usaha yang bisa dijalankan oleh Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam ruang lingkup usaha asuransi umum. Sama halnya dengan Inggris, pengaturan 128 payment of one or more premiums. Ref: Insurance Act (Chapter 142) (Original Enactment: Act 46 of 1966) Revised Edition 2002 (31st December 2002)) 27.-(1) Every bank in Singapore shall prepare a statement in respect of each quarter of a year, in such form as may be specified by the Authority, showing as at the end of that quarter all the credit facilities from, all the exposures of the bank to, and all the transactions of the bank with — (a) any person in a director group of the bank; (b)...etc. “credit facilities” means — (a) the granting by a bank of advances, loans and other facilities whereby a customer of the bank has access to funds or financial guarantees ; or (b) the incurring by a bank of other liabilities on behalf of a customer; Ref: Banking Act (Chapter 19) (Original Enactment: Act 41 of 1970), Revised Edition 2008 (31st March 2008) mengenai bentuk Suretyship juga diatur antara lain berupa fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds, atau __ customs bonds. • Singapura juga tidak membatasi penerbitan Suretyship hanya kepada bidang usaha tertentu. Banking Act memperbolehkan Bank untuk memberikan penjaminan. Dalam proyek pembangunan infrastruktur misalnya, Bank di Singapura juga dapat menerbitkan Suretyship. John Phillips, Michelle Chen, “The Law of Guarantees: Balancing the Interests of the Parties, s. (2014). 2013 Jones Day Professorship of Commercial Law Lecture. https: //ink.library.smu.edu.sg/jday _lect/2 4. Inggris Suretyship 15 -(1) Contracts of insurance against the risks of loss to the persons insured arising from their having to perform contracts of guarantee entered into by them.
Fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee , where these are— • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000, Suretyship diartikan sebagai salah satu bentuk kontrak asuransi terhadap risiko kerugian bagi orang yang diasuransikan yang timbul dari kewajian dalam kontrak jaminan antara Obligee dengan Principal. __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 disebutkan apa saja yang __ termasuk dalam Suretyship antara lain __ fidelity bonds, 129 (a) effected or carried out by a person not carrying on a banking business; (b) not effected merely incidentally to some other business carried on by the person effecting them; and (c) effected in return for the payment of one or more premiums. Instruments creating or acknowledging indebtedness 77.-(1) Subject to paragraph (2), such of the following as do not fall within article 78— (a) debentures; (b) debenture stock; (c) loan stock; (d) Bonds; (e) certificates of deposit; (f) any other instrument creating or acknowledging indebtedness.
If and to the extent that they would otherwise fall within paragraph (1), there are excluded from that paragraph— (a) an instrument acknowledging or creating indebtedness for, or for money borrowed to defray, the consideration payable under a contract for the supply of goods or services; (b) a cheque or other bill of exchange, a banker’s draft or a letter of credit (but not a bill of exchange accepted by a banker); (c) a banknote, a statement showing a balance on a current, performance bonds, bail bonds or customs bonds. Sehingga pengaturan terkait Suretyship tidak hanya berlaku untuk bidang usaha asuransi saja melainkan juga banking area. __ • Central Unit on Procurement (CPU), HM Treasury, pada tahun 1994, juga pernah menerbitkan pedoman No. 48 tentang Bonds and Guarantees , yang di dalamnya memuat mengenai pelaksanaan Suretyship oleh bank atau Surety Company lainnya. Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara- perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun bank. __ • Selain itu pengaturan suretyship di Inggris merupakan bagian dari asuransi umum, sebagaimana tercantum dalam Regulated Activities Order terkait kontrak asuransi umum (khususnya terkait risiko kerugian). __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 juga diatur mengenai ruang lingkup usaha Bank yang antara lain adalah membuat kontrak asuransi yang dapat merujuk pada Suretyship sebagaimana usaha perasuransian dan termasuk juga menerbitkan letter of credit. • Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara-perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun Bank. __ James Devenney, Lorna Fox & Mel Kenny, “Standing surety in England and Wales: the sphinx 130 deposit or savings account, a lease or other disposition of property, or a heritable security; and (d) a contract of insurance. Ref: the Financial Services and Markets Act 2000 (Regulated Activities) Order 2001 (SI 2001/544). of procedural protection”, Lloyds Maritime and Commercial Law Quarterly. http: //hdl.handle.net/10036/3451 Bahwa dengan demikian, berdasarkan data perbandingan dan model komparasi pengaturan mengenai lini usaha Suretyship yang dipraktikkan di beberapa negara seperti Tiongkok, Filipina, Singapura, dan Inggris, dapat dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 10 September 2020 telah menghadirkan satu orang ahli yaitu Irvan Rahardjo, S.E., M.M., yang telah menyampaikan keterangan pada persidangan tanggal 10 September 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima pada tanggal 10 September 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Sejarah lahirnya asuransi dan sejarah asuransi di Indonesia pada umumnya Sejarah asuransi merupakan sejarah panjang ikhtiar umat manusia untuk mengurangi resiko yang lahir dari ketidakpastian dengan membagi atau mengalihkan resiko yang mengancam, pada satu pihak ke pihak lain. Disisi lain, asuransi juga sejarah ikhtiar manusia dalam mengambil keuntungan melalui pengumpulan dana dari masyarakat dengan memberikan janji untuk memberikan manfaat kepada pihak yang hendak menghindarkan diri dari ancaman risiko yang timbul dari ketidakpastian. Dari berbagai sumber diketahui bahwa sejarah awal asuransi sebelum memasuki abad pertengahan dapat dibagi dalam beberapa periode, yaitu masa Babylonia, Yunani dan Romawi. Sejarah asuransi yang tertua dapat ditelusuri sampai sekitar 4000 tahun silam dalam bentuk upaya para pemilik kapal atau para pedagang bangsa Babylonia yang hidup dintara sungai Euphrat dan Tigris - yang sekarang termasuk dalam wilayah Irak-untuk melindungi usaha mereka terhadap ketidakpastian. Pada masa itu mereka dapat meminjam uang dari 131 pedagang lain yang bertindak sebagai kreditor dengan menggunakan kapalnya atau barang dagangan sebagai jaminan. Pemilik kapal atau pedagang akan melunasi hutangnya setelah kapal selamat sampai di tujuan beserta sejumlah biaya tambahan kepada kreditor yang bertindak sebagai penanggung risiko. Peminjam dibebaskan dari hutang apabila kapal atau barang dagangan tidak selamat sampai tujuan. Tambahan biaya tersebut dapat dianggap sebagai premi. Sumber lain menyebutkan bahwa perjanjian dilakukan atas risiko perdagangan dengan angkutan darat ( caravan). Perjanjian yang menggunakan kapal sebagai jaminan pinjaman dan kreditor kehilangan uangnya bila kapal hilang dalam pelayaran tersebut dinamakan bottomry. Bentuk perjanjian tersebut memperoleh kekuatan hukum dibawah Kode Hammurabi (sekitar 2100 sebelum Masehi). Bangsa Phoenicia dan Yunani memberlakukan sistem yang sama bagi perdagangan laut mereka. Berdasarkan sejarah yang lain diketahui pula bahwa untuk mengurangi risiko kehilangan barang selama dalam pelayaran di sungai Hoang Ho di Cina, pada sekian abad sebelum Masehi, para pedagang yang melayari sungai tersebut membagi muatan barang dagangan mereka masing masing kedalam beberapa jung. Apabila dalam setiap pelayaran terdapat jung yang memuat barang mereka mengalami musibah, tingkat kerugian setiap pedagang hanya akan sebatas jumlah barang dagangan yang terdapat didalam jung yang mengalami musibah saja. Pada masa pemerintahan Alexander The Great di Yunani sebagai upaya untuk mengumpulkan dana, pemerintah memberikan jaminan untuk menangkap setiap budak yang melarikan diri atau memberikan penggantian atas harga beli budak yang hilang dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Perjanjian pemberian manfaat tersebut pada dasarnya sama dengan perjanjian asuransi umum dan imbalan uang yang dibayar oleh peserta dapat disebut sebagai premi asuransi. Pada masa tersebut terdapat pula suatu bentuk penjaminan oleh pemerintah yang meminjam uang kepada umum dengan imbalan pemberian bunga setiap bulan sampai pemilik uang wafat dan menyediakan biaya pemakaman bagi pemilik uang. Bentuk penjaminan ini merupakan bentuk asuransi jiwa yang pertama walaupun sebagaimana halnya dengan penjaminan terhadap 132 kehilangan budak, perjanjian ini timbul dari inisiatif pemerintah untuk mengumpulkan dana. Sebagaimana halnya hukum perbankan, hukum asuransi modern berasal dari praktik pedagang pedagang di Genoa, Italia pada awal abad keempat belas yang mengasuransikan kapal kapal dan muatan mereka terhadap risiko perjalanan laut. Perjanjian asuransi atas kapal Santa Clara pada tahun 1347 di Genoa merupakan perjanjian asuransi autentik yang tertua dalam pengertian adanya pengalihan risiko kerugian yang mungkin timbul karena peristiwa yang tidak pasti dengan imbalan sejumlah premi. Pada masa tersebut, lahirlah pribadi pribadi yang bertindak sebagai pihak yang bersedia menanggung sebagian risiko yang dihadapi oleh sesama pedagang dengan imbalan sejumlah bayaran. Praktik ini kemudian diadopsi sebagai dasar model asuransi yang berlaku sampai sekarang di Lloyd’s of London. Selama berabad abad Lloyd’s of London sepenuhnya terdiri dari berbagai sindikat ( syndicate ) yang merupakan pribadi pribadi yang bertindak sebagai underwriter yang melakukan transaksi asuransi, dimulai dari warung kopi Edward Lloyds di masa lalu sampai ke bangunan Lloyds of London saat ini. Pemilik masing masing sindikat memberikan jaminan hak milik pribadi dalam setiap penutupan asuransi. Praktik tersebut akhir akhir ini telah mengalami pergeseran dengan semakin banyaknya sindikat pada Lloyd’s of London yang berbentuk badan hukum dengan tanggung jawab sebatas modal usaha mereka. Penutupan asuransi atau reasuransi oleh Lloyd’s of London hanya dilakukan melalui pialang asuransi yang terdaftar di Lloyd’s of London. Dari perkembangan diatas, nampak bahwa bermula dari perjanjian yang timbul dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, landasan hukum perjanjian berkembang menjadi perjanjian yang dikembangkan sesama pedagang atas jaminan yang diberikan untuk kepentingan komersial. Kegiatan yang semula dilakukan sebagai pekerjaan sambilan akhirnya menjadi perjanjian yang dikeluarkan pribadi pribadi dan perusahaan perusahaan yang sepenuhnya bertindak sebagai penanggung. Kegiatan asuransi di bumi Nusantara dikenal pertama kali mengikuti kegiatan bangsa Belanda dalam usaha perkebunan dan perdagangan di negeri 133 jajahannya. Pada awalnya kegiatan asuransi terbatas untuk melindungi kepentingan Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya yang melakukan perdagangan dan usaha perkebunan di Indonesia, terutama untuk asuransi pengangkutan dan kebakaran. Asuransi jiwa nasional pertama adalah Bumiputera 1912 yang didirikan pada tahun 1912 di Magelang atas prakarsa seorang guru yang bernama M.Ng Dwidjosewoyo sebagai perusahaan asuransi yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ) pendirian Bumiputera 1912 didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap nasib para guru kaoem boemipoetra . Pencapaian penting lainnya dalam tonggak sejarah asuransi Indonesia sejak kemerdekaan antara lain adalah terlaksananya Kongres Asuransi Nasional Seluruh Indonesia (KANSI) pertama pada 25 – 30 November 1956 di Bogor. Tujuan dari kongres tersebut antara lain untuk menyatukan pendapat dan bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi. Kongres tersebut antara lain melahirkan kesepakatan pendirian Dewan Asuransi Indonesia (DAI) pada 1 Februari 1957.
Pengaturan Asuransi Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa sesuatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa yang seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Unsur yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian, kata “orang” dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, tidak semata mata diartikan “orang per orang” sebagaimana dalam pasal 1792 KUH Perdata tetapi juga “pihak” yakni orang dengan orang, badan dengan orang dan badan dengan badan. Perjanjian asuransi disebutkan sebagai sebuah perjanjian dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak menyanggupi untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang lain atas subyek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu. 134 3. Sahnya Perjanjian Asuransi Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkannya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan dengan elemen elemen perjanjian asuransi pada umumnya yaitu: offer and acceptance, consideration, legal object, competent parties dan legal form. 4. Pengalihan Resiko Dasar hukum perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata menggolongkan perjanjian asuransi kedalam perjanjian untung untungan semata atau bertujuan spekulatif. Sedangkan perjanjian asuransi mempunyai tujuan yang lebih pasti yaitu pengalihan risiko. Namun dengan dimasukkannya asuransi kedalam KUH Dagang menjadikan asuransi sebagai perbuatan ekonomi yang sah oleh hukum dan pengakuan sah tersebut telah diatur dalam berbagai undang undang diluar KUH Dagang antara lain Undang Undang Nomor 2 Tahun 1912 tentang Usaha Perasuransian yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Lahirnya Perjanjian Asuransi Menurut pasal 1233 KUH Perdata, suatu perikatan dapat dilahirkan karena persetujuan maupun karena undang undang. Asuransi komersial adalah suatu perjanjian yang lahir karena persetujuan dan dapat lahir karena undang undang. Sedangkan asuransi sosial dan jaminan sosial lahir karena undang undang.
Pengertian Asuransi menurut KUH Dagang Robert Bradgate mengatakan dalam konteks industri asuransi di Inggris dan berbagai peraturan yang berlaku disana dan preseden yang ada, karena begitu luasnya risiko yang dapat ditanggung oleh asuransi, penggunaan definisi “asuransi” dapat dipertanyakan walaupun untuk tujuan tujuan tertentu sebuah definisi mungkin bermanfaat. Pertama , mereka yang menjalankan usaha perasuransian harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan tertentu. Kedua, beberapa ketentuan hukum tertentu tidak berlaku terhadap perjanjian asuransi. Ketiga, meskipun perjanjian 135 asuransi adalah sebuah perjanjian yang akan tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang umum atas suatu perjanjian, sejumlah ketentuan khusus berlaku atas perjanjian asuransi (dalam sistem common law ) 7. Pasal 247 & 268 KUH Dagang Meskipun pasal 247 KUH Dagang membatasi asuransi hanya merupakan asuransi terhadap bahaya kebakaran, asuransi pertanian, asuransi jiwa, asuransi pengangkutan laut, darat dan sungai namun pasal 268 KUH Dagang menyebutkan suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yng dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang undang. 8. Perkembangan Suretyship dan Surety Bond di Indonesia Bidang usaha yang memberikan jaminan dalam bentuk surety bond bukan merupakan bidang usaha yang baru. Luther E. Mackall dalam bukunya “Security Underwriting Manual” menyebutkan bahwa sudah sejak berabad- abad yang lalu ketika mulainya zaman peradaban, seseorang menyediakan diri bagi kawan kawannya sebagai penjamin kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan kewajibannya dengan atau tanpa suatu imbalan (Sianipar, 2000). Setelah zaman berganti maka timbulah badan-badan hukum yang didirikan untuk menampung resiko tersebut. Tercatat Amerika Serikat pada tahun 1837, William L. Watkins mengeluarkan pamflet yang mengusulkan pembentukan The New York Guarantee Company. Di Negeri Belanda tepatnya di Amsterdam berdiri N.V. Nationale Borg Maatsccappij pada tahun 1893. Kemudian Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1894 secara resmi mengakui pemberian jaminan oleh perusahaanperusahaan Surety Bonds Corporation yang sudah berdiri di Amerika Serikat (Sianipar, 2000). Seperti diketahui khususnya dalam asuransi kerugian terdapat jenis-jenis asuransi, seperti asuransi kebakaran, asuransi kendaraan, asuransi pengangkutan, asuransi kecelakaan, asuransi rekayasa, asuransi properti, asuransi tanggung jawab hukum serta asuransi jaminan (surety) Bila dikaitkan dengan surety bond maka pengertian surety bond erat terkait dengan asuransi tanggung jawab hukum dan asuransi jaminan. 136 Di Indonesia sebelum tahun 1978 lembaga jaminan yang mirip surety bond selama ini adalah bank garansi. Barulah pada tanggal 6 Desember 1978 pemerintah memberi peluang melalui Peraturan pemerintah RI, No.34 tahun 1978 untuk Asuransi Kerugian Jasa Raharja melakukan perluasan usahanya dari asuransi wajib di bidang pertanggungan wajib kecelakaan penumpang umum dan kecelakaan lalulintas jalan. Adapun perluasan usaha yang dimaksud adalah pemberian jaminan dalam bentuk surety bond. Ketentuan diatas kini tidak berlaku setelah dikeluarkannya Kepres No. 18 tahun 2000 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. Kepres ini kemudian dilengkapi dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Bappenas No. S-42/A/2000 dan No. S-2262/D.2/05/2000 tertanggal 3 Mei 2000, Isi Keputusan Bersama Menteri tersebut menegaskan bahwa perusahaan asuransi harus dari perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bonds) dan harus direasuransikan kepada perusahaan asuransi/reasuransi yang bonafid (Sianipar, 2000). Walaupun langkah untuk memperkenalkan dan mendukung penggunaan produk Surety Bond tersebut telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Keppres No. 18 Tahun 2000, tentu saja kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau penanggungan tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak asuransi itu sendiri sebagai penjamin atau yang lebih dikenal dengan Surety. Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah yang penawaran pengerjaannya kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender berdasarkan Keppres No.18 tahun 2000 yang pada umumnya selalu mensyaratkan adanya jaminan (tender bond) dari kontraktor yang memenangkan tender tersebut terhadap kepastian kemampuan dan kualitas dari pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Begitu pula bila pihak pemberi kerja disepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang muka kepada kontraktor untuk memulai pekerjaannya, umumnya pemberi kerja akan memproteksi dirinya dengan meminta jaminan (advance bond) terhadap resiko kerugian bila kontraktor yang telah menerima uang muka tersebut ternyata tidak melaksanakan pengerjaan proyek tersebut seperti yang disepakati. 137 Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi secara ketat dan pada awalnya Kepres No. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT. Persero Asuransi Jasa Raharja, yang dalam perkembangannya kemudian ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI (KMK RI) No. 761/KMK.013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi, yang kemudian berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. S 2272/DK/ 2001 tanggal 16 Mei 2001 yang ditujukan ke Pertamina menyatakan adanya 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety bond. Surety Bond merupakan suatu produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan potensi resiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak, umumnya pemilik proyek ( bouheer) atas kepercayaan yang diberikan kepada pihak lain ( kontraktor) dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan ( obligee/Kreditur) sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin ( principal/ debitu r) tersebut. Perbedaan Suretyship dan Asuransi No. Surety Bond Asuransi 1. Perjanjian Tanggung Renteng/Suretyship (Pasal 1313 KUH Perdata) dan Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 dst KUH Dagang) Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 KUH Dagang dst) 2. Para pihak terdiri dari Principal, Obligee dan Surety company Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 3. Menjamin resiko baik yang berasal dari luar dan dari dalam principal (itikad/moral buruk) Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 4. Premi dianggap sebagai biaya pelayanan (provisi/ service charge ) Premi dihimpun dari para tertanggung untuk membayar ganti rugi yang mungkin terjadi 5. Perjanjian suretyship bersifat unconditional, artinya Surety wajib membayar claim sebesar yang diperjanjikan. Misalkan Perjanjian Asuransi bersifat Conditional, artinya Asuransi hanya membayar claim yang 138 diperjanjikan bila principal gagal melaksanakan kontrak konstruksi maka claim surety harus dibayar Rp1 miliar. Ternyata Obligee gagal padahal dia sudah mengerjakan dengan biaya Rp500 juta. Maka pencairan kepada obligee tetap Rp1 miliar. benar-benar diderita Tertanggung, misalnya pertanggungan kebakaran Rp1 Miliar tapi terjadi kebakaran sebagian, maka asuransi hanya membayar claim Rp500 juta 6. Claim dibayar setelah principal dinyatakan gagal. Claim dibayar setelah diketahui penyebab yang dijamin dalam polis 9. Norma-norma UU 1/2016 tentang Penjaminan, UU 21/2011 tentang OJK dan UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian Beberapa norma hukum yang berlaku pada ketiga undang undang dimana eko sistem lini usaha suretyship berada dapat dikemukakan sebagai berikut: Aspek Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Asas Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas kepentingan nasional; kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; profesionalisme; efisiensi berkeadilan; edukasi dan perlindungan konsumen (Pasal 2) Lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali secara tegas diatur dalam UU ini (Pasal 2 ayat (1)) Tata kelola usaha yang baik (Pasal 11 ayat (1)) perusahaan perasuransian wajib menerapkan standard perilaku usaha (Pasal 26) Tujuan Bertujuan menunjang kebijakan Agar seluruh kegiatan sektor jasa keuangan Untuk menciptakan industri perasuransian yang 139 pemerintah, mendorong kemandirian usaha; meningkatkan akses bagi dunia usaha; mendorong pertumbuhan pembiayaan; meningkatkan kemampuan produksi nasional; mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional (Pasal 3) terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat (Pasal 4) lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional (Penjelasan) Pengawasan Lembaga penjaminan wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik; wajib menjaga kondisi kesehatan keuangan (Pasal 26) Berwenang menetapkan kebijakan operasional, melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan memberikan perintah tertulis; menetapkan penggunaan pengelola statuter; menetapkan sanksi administratif; memberikan dan mencabut izin usaha/ izin orang Wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Pasal 11 ayat (1)); anggota direksi, dewan komisaris atau yang setara wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 11) 140 perorangan/ efektifnya pernyataan pendaftaran (Pasal 9) Reasuransi Lembaga penjaminan wajib melakukan mitigasi risiko dan mereasuransikan (Pasal 42 ayat (1)) n.a Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional (Pasal 57 ayat (2)) Klaim Lembaga penjaminan wajib memiliki cadangan klaim dan cadangan umum (Pasal 44) n.a Perusahaan asuransi wajib menjadi peserta program penjaminan polis (Pasal 53 ayat (1)) Retensi Sendiri Lembaga penjaminan wajib memiliki retensi sendiri (Pasal 49) n.a Wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi dalam negeri (Pasal 36) Penyelesaian Sengketa Dilakukan secara musyawarah mufakat; melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 54 ayat (1) dan (2)); kesepakatan Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen mediasi (Pasal 29c) 141 bersifat final dan mengikat Ketentuan Penutup Semua ketentuan mengenai penjaminan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 63) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian; UU No. 7/1992 tentang Perbankan; UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun; UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal; UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia; UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah dan peraturan UU lain di sektor keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangdan belum diganti berdasarkan UU ini (Pasal 70) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 90a); semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 2/1992 dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 90c) 10. Kesimpulan Keteterangan Ahli Berdasarkan uraian tersebut diatas Ahli berkesimpulan sebagai berikut:
Asuransi lahir dan tumbuh sebagai hasil dari perikatan antara kedua pihak atau lebih subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum dan sebagai hasil dari undang undang yang mengatur berbagai kehidupan ekonomi masyarakat.
Bahwa sejarah asuransi di dunia maupun di dalam negeri bertujuan untuk membagi dan mengalihkan risiko demi menjaga stabilitas keuangan anggota masyarakat pada khususnya dan kesejahteraan bangsa dan negara pada umumnya. 142 c. Bahwa sejak berdirinya industri asuransi nasional bertekad untuk bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi d. Bahwa lini usaha suretyship telah menjadi praktik bisnis perasuransian yang ditekuni sejumlah pelaku jasa keuangan asuransi dibawah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan pengawasan secara terintegrasi seluruh sektor jasa keuangan termasuk penjaminan. [2.7] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 dan 18 September 2020 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945. 143 [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: 144 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang rumusannya adalah, (1) Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
...
Bahwa Pemohon adalah Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yaitu badan hukum perkumpulan yang para anggotanya adalah perusahaan- perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian (Badan Hukum Privat) yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat AAUI, Wakil Ketua, Bendahara Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan berdasarkan Akta Nomor 02 Pernyataan Keputusan Kongres Asosiasi Asuransi Umum Indonesia tentang Perubahan Anggaran Dasar, tanggal 4 Desember 2018 [vide bukti P-6] yang selanjutnya menyatakan bahwa pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama AAUI berdasarkan Pasal 14 dan berwenang menghadap ke pengadilan atas nama Organisasi AAUI berdasarkan Pasal 18 angka 2 adalah Dewan Pengurus Pusat yang 145 sekurang-kurangnya terdiri dari satu orang Ketua, satu orang Wakil Ketua, satu orang Bendahara, dan satu orang Direktur Eksekutif, dan Akta tersebut selanjutnya disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08 Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dalam Bahasa Inggris Disebut General Insurance Association of Indonesia, tertanggal 18 Desember 2018, yang pada pokoknya menyebutkan nama-nama susunan pengurus dan pengawas AAUI [vide bukti P-13];
Bahwa Pemohon sebagai badan hukum privat perkumpulan yang berazaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Negara Republik Indonesia serta sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Anggaran Dasar, didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota AAUI sebagai asosiasi nirlaba yang dibentuk dalam rangka memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global [vide bukti P-6];
Bahwa berdasarkan sertifikat keanggotaan [vide Bukti P-9], saat ini terdapat 45 perusahaan asuransi yang menjadi anggota Pemohon yang telah menjalankan bidang usaha suretyship berdasarkan izin dari pihak OJK [vide Bukti P-10];
Bahwa Pemohon menjelaskan suretyship yang __ telah dijalankan sebagai terobosan produk asuransi, dan prakteknya telah berlangsung lama tidak secara tegas dinormakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan menimbulkan kerugian atau potensial menimbulkan kerugian tidak hanya kepada para anggota dari Pemohon namun juga perusahaan asuransi lainnya yang menjalankan lini usaha suretyship, bahkan telah mengancam lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun, yang manfaatnya dirasakan bagi pembangunan nasional;
Bahwa Pemohon juga menerangkan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 juga telah menyebabkan kerugian bagi anggota Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship seperti jaminan penawaran (bid bond) , jaminan pelaksanaan (performance bond) , jaminan uang muka (advance payment bond) , jaminan pemeliharaan (maintenance bond) , jaminan pembayaran serta jaminan kepabeanan (custom bond), __ secara potensial tidak lagi dapat dilakukan, padahal produk tersebut 146 sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan proyek pembangunan dengan skala yang besar baik di bidang konstruksi maupun non konstruksi;
Bahwa oleh karenanya menurut Pemohon, kehadiran Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan cara langsung maupun tidak langsung potensial pasti merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus- menerus oleh Pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya untuk memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global. Oleh karenanya, norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang diajukan dalam Permohonan ini secara faktual atau setidak- tidaknya potensial telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi UUD 1945; Berdasarkan penjelasan Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya berkenaan dengan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon menyatakan diri sebagai asosiasi yang berbentuk badan hukum yang potensial dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang a quo, dan Pemohon telah pula menjelaskan kedudukannya di dalam asosiasi tersebut dengan melampirkan ketentuan yang menyatakan pihak yang dapat mewakili asosiasi tersebut untuk bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu menurut Mahkamah berkaitan dengan kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo Pemohon telah dapat membuktikan bahwa Pemohon adalah subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan a quo dan Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial yang dialami dengan berlakunya norma dari pasal yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon perihal pertentangan norma UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. 147 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, menurut Pemohon, pemberian penjaminan di Indonesia saat ini dilayani oleh industri yang berbeda-beda, antara lain, industri perbankan terdapat bank umum yang dapat menerbitkan produk bank garansi. Selain itu, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia atau Exim Bank yang juga menerbitkan bank garansi. Berikutnya, perusahaan penjaminan yang menerbitkan surety bond dan industri perasuransian dengan perusahaan asuransi umum yang menerbitkan produk _suretyship; _ 2. Bahwa, menurut Pemohon, dalam konteks peraturan perundang-undangan Indonesia, eksistensi lembaga perbankan dalam menjalankan usaha bank garansi diakomodir secara tegas melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 10/1992). Demikian pula dengan perusahaan penjaminan dalam menjalankan lini usaha surety bond telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU 1/2016);
Bahwa, menurut Pemohon, konsep suretyship merupakan salah satu bentuk konsep pertanggungan yang diatur dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kegiatan pertanggungan itu sendiri diantaranya meliputi pertanggungan biasa, bank garansi, serta suretyship . Pada dasarnya, jika dibandingkan antara suretyship dengan bank garansi, misalnya, maka keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pertanggungan pelaksanaan proyek, meski masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, secara historis sebenarnya perusahaan-perusahaan asuransi telah menjalankan lini usaha suretyship sejak tahun 1978 bahkan pengaturannya telah dituangkan dalam berbagai macam bentuk perundang-undangan;
Bahwa, menurut Pemohon, dalam perkembangannya, ketika ketentuan yang mengatur asuransi secara khusus (lex specialis) diterbitkan melalui Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992) 148 hingga UU 40/2014, suretyship masih juga belum diatur secara eksplisit dalam UU a quo , walaupun dalam Pasal 1 angka 4 UU 40/2014 memang disebutkan jasa pertanggungan atau pengelolaan resiko yang bisa saja termasuk makna suretyship, namun tetap saja ruang lingkup lini usaha yang diakui sebagai lini usaha perusahaan asuransi adalah seperti yang ditegaskan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014;
Bahwa, menurut Pemohon, tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha _suretyship; _ 6. Bahwa, menurut Pemohon, muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Selain itu adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU 2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) UU 2/2017;
Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo, padahal sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU 2/2017 dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi _; _ 149 8. Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 berpotensi membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah;
Bahwa, menurut Pemohon, untuk mengisi kekosongan hukum akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon selanjutnya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 dan dua orang ahli bernama Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing- masing telah didengar keterangannya dalam persidangan dan telah dibaca keterangan tertulisnya, serta dua orang saksi bernama Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan yang masing-masing telah didengar keterangannya dalam persidangan. Di samping itu Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). 150 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Agustus 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.10] Menimbang bahwa Presiden pada tanggal 3 Maret 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 Juni 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Pihak Terkait juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa untuk kepentingan Mahkamah, dalam persidangan tanggal 10 September 2020, Mahkamah telah menghadirkan satu orang ahli bernama Irvan Rahardjo, S.E., M.M. yang keterangan tertulisnya telah diterima Mahkamah pada tanggal 10 September 2020 dan keterangannya telah didengar dalam persidangan sebagaimana tersebut di atas (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, baik bukti tertulis dan keterangan para ahli serta saksi yang diajukan Pemohon, serta kesimpulan Pemohon, keterangan DPR, keterangan dan kesimpulan Presiden, keterangan dan kesimpulan Pihak Terkait, dan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut: 151 [3.13.1] Bahwa persoalan utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang mengatur ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dengan tidak mencantumkan secara tegas kegiatan suretyship, padahal lini usaha suretyship sejak awal telah diterbitkan oleh perusahaan asuransi, namun saat ini tidak diakomodir di dalam UU 40/2014, selain itu, menurut Pemohon Pasal 61 UU 1/2016 telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha _suretyship; _ [3.13.2] Bahwa berkaitan dengan dalil pokok permohonan Pemohon tersebut di atas, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini. Bahwa perkembangan asuransi di Indonesia menunjukkan angka kemajuan yang cukup baik selama beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang tumbuh, di mana semakin hari semakin banyak nasabah yang menggunakan jasa layanan asuransi dengan berbagai varian di dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang ada hingga Desember 2019 , usaha asuransi dengan lini usaha kredit dan suretyship saja __ yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima pendapatan premi sebesar Rp1,59 triliun atau 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship (vide kesimpulan OJK dalam perkara a quo pada hlm. 28). Bahwa berdasarkan contoh data tersebut tentu saja hal ini menunjukkan variabel yang dapat menjadi ukuran besarnya peluang adanya sebuah keuntungan tersendiri bagi perusahaan yang menyediakan layanan asuransi. Peluang yang dimiliki oleh perusahaan asuransi akan semakin luas, baik pasar yang bisa diolah dan dijadikan sebagai sasaran penjualan produk yang mereka miliki maupun jenis produk asuransi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan kata lain, kebutuhan akan jenis asuransi akan selalu beriringan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamikanya cukup cepat, terutama di dalam mengantisipasi hal- hal yang berkenaan dengan kualitas hidup masyarakat. Bahwa oleh karena itu selain tuntutan untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada para nasabahnya, perusahaan asuransi juga harus melakukan inovasi di 152 dalam mengembangkan varian lini usaha dengan berbagai jenis usaha untuk bisa memperluas dan memajukan bisnis yang mereka jalankan dalam industri perasuransian. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan berbagai produk baru dan lebih inovatif bagi nasabahnya. Bahkan saat ini, produk asuransi tidak hanya terbatas pada jenis asuransi jiwa dan asuransi kesehatan saja, karena pada dasarnya kedua produk inilah yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan asuransi juga mengeluarkan berbagai macam produk yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan nasabah dan ada banyak jenis produk asuransi yang bisa dipilih oleh nasabah pengguna asuransi, antara lain: asuransi kesehatan, asuransi dana pendidikan, asuransi dana pensiun, asuransi kendaraan bermotor, asuransi properti, hingga asuransi dengan lini usaha surety bond serta beragam jenis asuransi lainnya. Dengan banyaknya produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, maka akan banyak pilihan dan juga pertimbangan yang bisa diambil oleh nasabah yang akan menggunakan asuransi tersebut. Hal ini juga menciptakan perusahaan dengan kualitas persaingan yang baik di antara perusahaan penyedia layanan asuransi, sehingga industri asuransi akan memberikan layanan terbaik di dalam menawarkan produknya. Lebih lanjut berkaitan dengan asuransi suretyship atau surety bond secara universal dapat dijelaskan produk suretyship atau surety bond sejak diakui keberadaannya di Indonesia yaitu pada tahun 1978, kewenangan/hak untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha surety bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian pada awalnya diberikan kepada PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada Tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kembali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan surety bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Namun dalam perkembangannya, persisnya pada tahun 1992 perusahaan-perusahaan asuransi yang membidangi kegiatan usaha menjamin kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah, in casu Kementerian Keuangan, agar pelaksanaan asuransi yang 153 mempunyai lini usaha surety bond tidak dilakukan monopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Bahwa selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992), kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha asuransi di bidang surety bond . Konsekuensinya PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan asuransi khusus yang menangani dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan juga asuransi dana kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964. Bahwa berdasarkan perjalanan historis sebagaimana diuraikan di atas, terhadap asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah berjalan di Indonesia hingga saat ini sudah kurang lebih 42 tahun sejak diperkenalkan meskipun secara faktual terhadap asuransi kerugian atau umum baru diberikan izin oleh Kementerian Keuangan untuk menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond setelah berlakunya UU 2/1992. Dengan demikian asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah mendapat pengakuan dan juga kesempatan untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi kerugian (umum) hingga saat ini. [3.13.3] Bahwa berkaitan dengan asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond, menurut Mahkamah penting juga untuk menyamakan persepsi antara pengertian suretyship atau surety bond di mana berdasarkan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, bahwa suretyship adalah istilah yang digunakan untuk salah satu jenis lini usaha yang bersifat generik, sedangkan surety bond adalah jenis produknya. Sementara itu pengertian suretyship adalah “lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee ” __ [vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Pasal 1 angka 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK 69/POJK.05/2016)]; Selanjutnya berkenaan dengan ruang lingkup penjaminan adalah jenis bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin 154 atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 1 UU 1/2016). Dengan demikian di dalam Lembaga Penjamin terdapat tiga pihak, yaitu Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 11, angka 12, dan angka 13 UU 1/2016). Oleh karena itu di dalam lembaga penjamin yang dalam hal ini juga termasuk asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond terdapat hubungan hukum antara tiga pihak, yaitu penjamin (surety), penerima jaminan ( obligee /kreditur) dan pihak yang dijamin ( principal /debitur). Oleh karenanya secara sederhana dapat diilustrasikan, bahwa apabila dalam sebuah perjanjian antara penerima jaminan (kreditur) dengan pihak yang dijamin (debitur) terjadi wanprestasi maka penjamin ( surety ) akan mendudukkan diri bersama-sama dengan pihak yang dijamin (debitur) untuk kemudian memenuhi prestasi yang diperjanjikan (vide Pasal 1316 KUH Perdata). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dengan telah diperolehnya ciri-ciri dari ruang lingkup lembaga penjamin tersebut, maka dapat diketahui perbedaan yang esensial antara pengertian penjaminan dengan asuransi. Sebab, asuransi pada hakikatnya hanya terdiri dari dua pihak, yaitu Tertanggung dan Perusahaan Asuransi. Namun demikian bukan berarti perusahaan asuransi tidak dapat menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond, karena secara empirik di Indonesia sebenarnya perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha __ suretyship atau surety bond telah banyak dan hal tersebut sesungguhnya perusahaan asuransi menjalankan fungsi lini usaha yang sedikit berbeda dengan core business yang dimilikinya, meskipun pada dasarnya suretyship atau surety bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi umum . [3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Bahwa terhadap permasalahan pokok yang dimohonkan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sesungguhnya praktik suretyship atau surety bond yang menjadi bagian dari lini usaha perusahaan asuransi di Indonesia telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Tahun 1978 meskipun pada waktu itu masih menjadi monopoli PT Jasa Raharja Persero dan baru secara resmi menjadi lini usaha perusahaan asuransi umum sejak Tahun 1992. Oleh karena itu bagi perusahaan 155 asuransi umum persoalan lini usaha suretyship atau surety bond tersebut pada hakikatnya tidak pernah ada hambatan di dalam menjalankan praktiknya. Sementara itu berkenaan dengan undang-undang yang mengatur lini usaha suretyship atau surety bond sebagaimana __ diatur dalam UU 1/2016 bukan dalam UU 40/2014. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengertian dan ruang lingkup lini usaha suretyship atau surety bond yang meskipun merupakan jenis dari produk perusahaan asuransi, namun unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah penjaminan. Oleh karena itu permasalahan penempatan pengaturan demikian sebenarnya tidak serta-merta menjadikan adanya persoalan konstitusionalitas norma dari pasal yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond. Sebab, apabila diatur dalam UU 40/2014 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah bukan berkenaan dengan jenis dari asuransi akan tetapi berkaitan dengan penjaminan, sedangkan apabila diatur dalam UU 1/2016 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah merupakan bagian dari produk asuransi. Terlebih bagi perusahaan asuransi yang akan menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond tidak mendapatkan hambatan dengan adanya pengaturan tersebut, meskipun dalam permohonannya Pemohon beralasan hal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Namun demikian sulit bagi Mahkamah untuk berkesimpulan bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 5 UU 40/2014. Dengan kata lain, apabila dilihat dari pihak yang melakukan lini usaha suretyship atau surety bond yaitu perusahaan asuransi maka tidaklah salah apabila ketentuan mengenai suretyship atau surety bond dimasukkan ke dalam UU 1/2016, karena konsep suretyship atau surety bond sendiri secara umum sama dengan konsep penjaminan, karenanya tidaklah mungkin pengaturannya dimasukkan ke dalam UU 40/2014. Bahwa lebih lanjut dijelaskan, ketentuan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 mengenai frasa “ sesuai kebutuhan masyarakat ” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat, yang apabila dimaknai “termasuk lini usaha suretyship ” sebagaimana yang Pemohon mohonkan di dalam petitum permohonan, justru akan memberikan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship. Terlebih __ tanpa adanya perluasan makna terhadap frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” __ 156 sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, sesungguhnya yang diinginkan Pemohon telah terakomodir di dalam UU 1/2016. Oleh karena pengaturan suretyship sudah diatur dalam UU 1/2016 maka sesungguhnya tidak perlu lagi diatur dalam UU 40/2014, sehingga dengan demikian sebenarnya tidak ada persoalan mengenai pengaturan suretyship. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terhadap norma Pasal 61 UU 1/2016, meskipun tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, namun oleh karena didalilkan dalam posita permohonannya dan secara substansi adalah hal yang mendasar yaitu Pemohon menganggap norma pasal a quo telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship. Oleh karena itu Mahkamah perlu untuk menanggapi dalil Pemohon tersebut. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati sebenarnya __ hanyalah merupakan kekhawatiran Pemohon karena perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU 1/2016. Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship (in casu surety bond) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 dapat dilakukan perusahaan asuransi yang bersinergi dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang telah mengatur perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Hal demikian mengingat lini usaha suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 tidaklah memerlukan persyaratan sebagai lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU 1/2016. Sementara itu Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 adalah ketentuan yang mengatur perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha penjaminan agar menyesuaikan dengan UU 1/2016 berkenaan dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (1) UU 1/2016. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon tidaklah tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan yang mempunyai core business penjaminan yang merupakan lini usaha yang dapat juga dijalankan oleh perusahaan asuransi. 157 Kemudian sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship, sehingga telah sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 61 UU 1/2016. Dengan demikian perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana kekhawatiran Pemohon; __ [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 158 Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.51 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh 159 ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Standar Reviu atas Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara.
Pengujian materil Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang RI No. 15 Tah ...
Relevan terhadap
ayat (2). 52 Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, standar pemeriksaan merupakan patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Standar pemeriksaan terdiri dari standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan pemeriksaan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK telah menyusun standar pemeriksaan pertama kali pada tahun 1995 yang disebut Standar Audit Pemerintahan (SAP). Seiring dengan perubahan UUD Negara RI 1945 dan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan, pada Tahun 2007 BPK menyusun standar pemeriksaan dengan nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Setelah hampir 10 (sepuluh tahun) digunakan sebagai standar pemeriksaan, SPKN 2007 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan standar audit internasional, nasional, maupun tuntutan kebutuhan yang berkembang. Oleh karena itu, SPKN 2007 telah dilakukan penyempurnaan. Perkembangan standar pemeriksaan internasional kini mengarah kepada perubahan dari berbasis pengaturan detail ( rule-based standards ) ke pengaturan berbasis prinsip (principle-based standards ). Perkembangan pada tingkat organisasi badan pemeriksa sedunia, INTOSAI telah menerbitkan International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) untuk menjadi referensi pengembangan standar bagi anggota INTOSAI. Khusus untuk pemeriksaan keuangan, INTOSAI mengadopsi keseluruhan International Standards on Auditing (ISA) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants (IFAC). Seiring dengan perkembangan standar internasional tersebut, Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang diberlakukan dalam SPKN 2007, juga mengalami perubahan dengan mengadopsi ISA. Pada awal 2017, saat BPK genap berusia 70 tahun, BPK berhasil menyelesaikan penyempurnaan SPKN 2007 yang selanjutnya ditetapkan menjadi Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sejak diundangkannya Peraturan BPK ini, SPKN mengikat BPK maupun pihak lain yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan SPKN ini, diharapkan hasil pemeriksaan keuangan negara dapat lebih berkualitas. Jika dibandingkan, SPKN 2007 memiliki delapan lampiran, sedangkan hanya terdapat empat lampiran yang tercantum di dalam SPKN 2017. Rincian detail lampiran SPKN 2007 terdiri dari: 53 1) Lampiran I : Pendahuluan Standar Pemeriksaan 2) Lampiran II : Pernyataan Standar Pemeriksaan 01 (Standar Umum) 3) Lampiran III : Pernyataan Standar Pemeriksaan 02 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan) 4) Lampiran IV : Pernyataan Standar Pemeriksaan 03 (Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan) 5) Lampiran V : Pernyataan Standar Pemeriksaan 04 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja) 6) Lampiran VI : Pernyataan Standar Pemeriksaan 05 (Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja) 7) Lampiran VII : Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) 8) Lampiran VIII : Pernyataan Standar Pemeriksaan 07 (Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) Sedangkan lampiran SPKN 2017 mencakup:
Lampiran I : Kerangka Konseptual Pemeriksaan 2) Lampiran II : PSP 100 – Standar Umum 3) Lampiran III : PSP 200 – Standar Pelaksanaan Pemeriksaan 4) Lampiran IV : PSP 300 - Standar Pelaporan Pemeriksaan. SPKN 2017 tidak melakukan pemisahan antara standar pelaksanaan dan standar pelaporan untuk pemeriksaan keuangan, kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Hal ini karena sesungguhnya ketiga varian pemeriksaan tersebut saling terkait satu dengan yang lain dan tak dapat dipisahkan sebagai suatu sistem pemeriksaan keuangan negara. SPKN berisi persyaratan pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan, dan persyaratan laporan pemeriksaan. Keberadaan isi SPKN tersebut menjadi ukuran mutu pemeriksaan keuangan negara. SPKN dilaksanakan dengan sebuah mekanisme kerja yang terdiri dari pengumpulan bukti, data, pengujian bukti secara objektif. Hal ini dilakukan guna mewujudkan prinsip akuntabilitas publik dalam rangka mendapatkan sebuah hasil yakni meningkatkan kredibilitas dan validitas informasi yang dilaporkan. Hasil ini akan membawa manfaat berupa:
peningkatan mutu pengelolaan;
pemenuhan tanggung jawab keuangan negara; dan 54 3. pengambilan keputusan, yakni dalam melakukan audit laporan keuangan, auditor harus tunduk pada standar pemeriksaan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, dapat digarisbawahi bahwa guna melakukan audit atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, standar yang telah ditentukan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang ditetapkan dengan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Guna melakukan pemeriksaan atas penggunaan keuangan negara, SPKN 2017 memberlakukan tiga standar, yaitu standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan. Dalam salah satu dalilnya, para Pemohon juga mempertanyakan K/L yang telah memperoleh status WTP namun tetap dikenakan PDTT (contoh: KPK). Para Pemohon mendalilkan hal ini menyebabkan PDTT potensial dijadikan alat abuse of power oleh BPK, yang dapat menghambat proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sehingga merugikan warganegara. Apakah hal ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang spesifik? Menurut pendapat ahli hal itu lebih merupakan asumsi, bukan fakta dan tidak ditemukan dalam tujuan maupun celah dalam desain pengaturan norma hukum mengenai penggunaan kewenangan PDTT. Sebaliknya, selama ini PDTT justru dinilai banyak membantu penegak hukum untuk membuktikan terjadi/tidak-nya tindak pidana korupsi (Pengalaman penulis sebagai ahli di berbagai penanganan kasus korupsi oleh para penegak hukum sebagaimana juga terlampir dalam biodata ahli juga menunjukkan hal tersebut). Terkait dengan status WTP yang masih dimungkinkan dilakukannya PDTT, hal itu harus dikaitkan dengan karakteristik dari pemeriksaan keuangan negara, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Predikat WTP yang diberikan BPK atas laporan keuangan suatu institusi hanya sebagai tanda, bahwa proses yang disusunnya telah sesuai standar akuntansi yang berlaku. Maka, predikat WTP memang tidak digunakan sebagai jaminan bahwa sebuah lembaga pemerintah bersih dari korupsi atau terjadi pemborosan dalam menyusun anggaran. Predikat yang diberikan BPK memang tak bisa menjadi ukuran suatu lembaga bebas korupsi. Tetapi, predikat itu hanya mencerminkan 4 (empat) hal, yakni pertama , laporan keuangan lembaga yang diperiksa telah sesuai standar akuntansi; kedua , sudah terdapat cukup bukti dalam laporan keuangan; ketiga , telah terdapat sistem pengendalian internal, dan keempat , pengelolaan keuangan negara telah sesuai dengan undang-undang. 55 Selain itu, dalam beberapa kasus tidak semua kasus korupsi akan berpengaruh terhadap laporan keuangan. Misalnya, dalam kasus suap (gratifikasi). Dana suap seringkali berasal dari “kantong/rekening pribadi” pihak penyuap, sehingga bisa jadi tidak/belum terdeteksi oleh BPK. Hal ini juga tidak selalu berpengaruh terhadap laporan keuangan yang disajikan dan diperiksa oleh BPK. Lain halnya, jika dana yang dipergunakan untuk menyuap bersumber dari kas negara/daerah, karena akan berpengaruh terhadap hasil laporan keuangan yang dibuat, sehingga akan membuat BPK lebih mudah dalam mendeteksinya melalui PDTT. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil laporan audit BPK yang menyatakan opini WTP dapat menggambarkan bahwa tidak adanya tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya tepat, karena WTP didapatkan dari hasil pemeriksaan keuangan yang tujuannya adalah untuk mengetahui dan menguji kewajaran suatu laporan keuangan yang dibatasi oleh materi yang diperiksa, standar yang digunakan dan waktu pemeriksaan. Hal itu bukan dimaksudkan untuk menguji apakah ada/tidaknya tindak pidana korupsi. Guna mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana korupsi memerlukan jenis pemeriksaan yang berbeda selain pemeriksaan laporan keuangan, yaitu pemeriksaan investigasi atau pemeriksaan forensik yang termasuk dalam kategori Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagian kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal- hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan 56 keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah dan organisasi profesi di bidang pemeriksaan. Standar Pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 13 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Upaya untuk mencegah terjadinya abuse of power adalah adanya standar operasional prosedur yang dalam Hukum Administrasi Negara termasuk dalam kategori Hukum Acara Non Sengketa (niet contentieus processrecht ) yang diatur dalam bentuk Standar pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 hal itu dikategorikan sebagai Standar Operasional Prosedur ( vide Pasal 49). Hal itu menyebabkan tidak memadainya dasar untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang spesifik, jika asumsi yang digunakan bahwa PDTT potensial digunakan sebagai alat untuk melakukan abuse of power tanpa adanya dukungan data dan riset yang secara representatif mampu menunjukkan bahwa PDTT memang secara faktual cenderung digunakan sebagai alat untuk melakukan abuse of power oleh auditor BPK. Justru sebaliknya, PDTT merupakan instrumen yang efektif untuk membantu penegak hukum dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi yang menimbulkan merugikan keuangan negara yang kini menjadi persyaratan mutlak untuk melakukan penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 Dalam melaksanakan PDTT, sebelum mengambil simpulan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, pemeriksa harus mendasarkan pada bukti-bukti yang cukup, kompeten dan relevan. Hal ini dimaksudkan agar pemeriksa tidak mengambil simpulan secara sewenang-wenang. Kriteria bukti pemeriksaan dalam PDTT tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Cukup Bukti, yaitu harus cukup untuk mendukung simpulan pemeriksaan. Dalam menentukan kecukupan suatu bukti, Pemeriksa harus yakin bahwa bukti yang cukup tersebut dapat memberikan 57 keyakinan seseorang bahwa simpulan telah valid. Apabila dimungkinkan, metode statistik bisa digunakan untuk menentukan kecukupan bukti pemeriksaan;
Kompeten Bukti dianggap kompeten apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan konsisten dengan fakta. Dalam menilai kompetensi suatu bukti, Pemeriksa harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti keakuratan, keyakinan, ketepatan waktu, dan keaslian bukti tersebut; dan
Relevan. Bukti dikatakan relevan apabila bukti tersebut memiliki hubungan yang logis dan memiliki arti penting bagi simpulan pemeriksaan yang bersangkutan (Lampiran Keputusan BPK- RI Nomor: 2/K/I-XIII.2/I/2009 Tanggal : 27 Februari 2009); Sebagai komparasi, praktik PDTT juga dilaksanakan di beberapa negara lain melalui kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga audit di beberapa negara. Misalnya, kewenangan dari Government Accountability Office (GAO) di AS yang juga diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan investigatif sebagai lembaga pemerintah cabang legislatif yang menyediakan jasa audit, evaluasi dan investigasi untuk Kongres Amerika Serikat. GAO diberikan kewenangan untuk melaksanakan audit atas permintaan congressional committees , subcommittees, atau anggota Congress . Salah satu tugas GAO adalah melakukan investigasi atas tuduhan illegal and improper activities , sama dengan kewenangan BPK untuk melakukan audit investigatif. PDTT juga ditemukan di Singapura, yaitu Special Audits , yang dilakukan oleh Auditor General’s Office (AGO). AGO melaksanakan pemeriksaan terhadap laporan keuangan pemerintah, yang dilaksanakan setiap tahun ( annually ). Selain pemeriksaan terhadap laporan keuangan, AGO juga diberikan kewenangan untuk melakukan audit khusus ( selective audits ) untuk memeriksa kepatuhan public agencies terhadap peraturan perundangundangan dan special audits atas permintaan dari Parlemen. Perlu dijelaskan sekilas proses pemeriksaan yang secara normatif dilaksanakan oleh BPK baik berupa pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. PDTT dapat bersifat pemeriksaan ( examination ), reviu ( review ), dan prosedur yang disepakati ( agreed-upon procedures ) untuk menerbitkan komunikasi tertulis yang menyatakan suatu simpulan tentang keandalan asersi 58 yang menjadi tanggung jawab pihak lain. Sasaran pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dapat mencakup antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan. Selanjutnya, guna membahas permintaan, saran, dan pendapat tersebut, BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi. Masih dalam kaitannya dengan perencanaan tugas pemeriksaan tersebut, BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Guna keperluan tersebut, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK. Sehubungan dengan pelaksanaan tugas pemeriksaannya, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Kewenangan BPK dalam melaksanakan tugas pemeriksaan tersebut meliputi:
meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara;
meminta keterangan kepada seseorang;
memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. Pemeriksa yang bertugas atas nama BPK harus menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Jika diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Laporan hasil 59 pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat- lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/ gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan tersebut diatur bersama oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum. Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Jawaban atau penjelasan tersebut disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima. BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut. Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban itu dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepegawaian. BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut tersebut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya. DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan. DPR/DPRD dapat 60 meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut. PDTT sesungguhnya didasarkan atas filosofi dalam pengelolaan keuangan negara. Landasan filosofi dari PDTT adalah untuk mewujudkan kepastian hukum dan kepatuhan dalam penggunaan keuangan negara agar dapat mencegah maupun memulihkan terjadinya kerugian negara. PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan pemeriksaan yang ditetapkan (Lampiran 1 Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 Kerangka Konseptual angka 18). PDTT diperlukan BPK untuk memastikan terwujudnya tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 23E ayat (1) UUD Negara RI 1945 yang wujud pemeriksaannya bisa berupa pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif (Lampiran 1 Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 Kerangka Konseptual butir 18). Hal yang lebih penting lagi, eksistensi PDTT tersebut sangat urgen untuk mematuhi dan mengefektifkan implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang pada intinya dalam salah satu butir pertimbangannya menyatakan bahwa konsep kerugian negara harus diletakkan dalam konstruksi kerugian yang bersifat aktual (actual loss) bukan lagi kerugian potensial (potential loss ) yang didasarkan atas hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk (vide Bab Pertimbangan Hukum butir 3.10.6). Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kewenangan PDTT BPK harus diletakkan dalam desain yang sinergis-komprehensif terhadap urgensi untuk mewujudkan akurasi, validitas, dan kredibilitas pemeriksaan keuangan negara sebagai konsekuensi dari pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23E UUD Negara RI 1945 dalam memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi warga negara di Indonesia sebagai negara hukum. Dalam hukum terdapat adagium , in eo, quod plus sit, semper inest et minus (di dalam apa yang “lebih” selalu terkandung apa yang “kurang”). PDTT sebagai suatu varian pemeriksaan yang lebih mendalam selalu diperlukan, jika apa yang dilakukan melalui pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ternyata dinilai masih kurang untuk mencapai tujuan pemeriksaan. Peraturan perundang-undangan ( wet/regeling ) maupun peraturan kebijakan ( beleidsregel ) yang berkaitan dengan PDTT, sesungguhnya telah memberikan konsiderasi dan eksplanasi yang memadai mengenai legitimasi, urgensi, dan signifikansi PDTT 61 sebagai salah satu varian dari rangkaian pemeriksaan keuangan dan kinerja yang tak terpisahkan serta saling melengkapi. Odia restringi et favores convenit ampliari (patutlah mempersempit semua yang merugikan dan memperluas semua yang menguntungkan). Tak ada alasan untuk mempersempit ruang lingkup pemeriksaan keuangan negara dengan menghilangkan PDTT, jika PDTT ternyata lebih besar keuntungannya bagi pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara di negara kita.
Dr. Binsar Hamonangan Simanjuntak Ak, MBA. Pemohon dalam permohonan pengujian ini pada pokoknya menyatakan alasan kerugian konstitusional pemeriksaan dengan tujuan tertentu disebabkan:
kewenangan BPK melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional dalam UUD NRI 1945;
frasa “tujuan tertentu” tidak memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum, sehingga mengakibatkan potensi abuse of power oleh BPK;
sering kali institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) namun tetap dilakukan PDTT. Menjawab argumen permohonan tersebut, izinkan saya mengawalinya dengan menjelaskan adanya teori keagenan ( agency theory ) dalam ilmu manajemen. Teori ini menjelaskan adanya kesenjangan ekspektasi ( expectation gap ) antara manajemen dan pemilik. Untuk mengurangi kesenjangan ekspektasi ini, kedua belah pihak sepakat untuk mempergunakan jasa pemeriksa untuk memberikan nilai tambah atas kredibilitas laporan manajemen dengan diaudit oleh suatu pemeriksa independen. Teori tersebut apabila dikaitkan dengan sistem dalam tata negara Republik Indonesia, khususnya dalam pemeriksaan keuangan negara, Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur:
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 62 Pasal 23E UUD NRI 1945 ditindaklanjuti dengan UU Nomor 15 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan lingkup pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Untuk melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara, Pasal 4 UU Nomor 15 tahun 2004 menyatakan tiga jenis pemeriksaan keuangan negara yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Diatur pula pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas; dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU ini menyebutkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Selanjutnya UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2006 menyebut hal yang sama terkait jenis pemeriksaan BPK yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Perlu dijelaskan pada dasarnya pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen dan dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi, dalam hal ini jika menyangkut keuangan negara, standar akuntansi yang digunakan adalah Standar Akuntansi Pemerintah. Hasil yang diberikan pemeriksaan keuangan adalah Opini atau pendapat Pemeriksa, dari Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian, Tidak Wajar, dan Tidak Memberikan Pendapat. Untuk memberikan opini ini, Pemeriksa memastikan terpenuhinya empat kriteria dalam pemberian opini pada pemeriksaan keuangan, yaitu:
kesesuaian terhadap Standar Akuntansi Pemerintah, 2. pengungkapan yang cukup, 3. kepatuhan terhadap peraturan, dan;
keandalan Sistem Pengendalian Intern. 63 Dalam melaksanakan tugas wewenangnya tersebut, pemeriksa harus memastikan penugasan sudah didasarkan pada standar pemeriksaan, yang dalam kaitan dengan keuangan Negara, standar pemeriksaan yang digunakan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara seperti diamanatkan dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sementara itu, pemeriksaan kinerja merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk memberikan keyakinan tujuan telah dicapai secara efektif, efisien, dan ekonomis (3E). Ada beberapa nama atau istilah lain dari Pemeriksaan Kinerja, misalnya Pemeriksaan Operasional, Pemeriksaan Manajemen ( management audit ), atau pemeriksaan/audit value for money . Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan kesimpulan yang berupa temuan perbandingan antara kondisi atau fakta dibandingkan dengan kriteria, dan rekomendasi untuk memperbaiki temuan tersebut. Dengan demikian, bila rekomendasi ini dipenuhi, tujuan/program/kegiatan pemerintah akan tercapai secara efektif, efisien, dan ekonomis. Pemeriksaan kinerja juga harus dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen dan pemeriksaan harus didasarkan pada standar, yaitu Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Selain kedua jenis pemeriksaan tersebut, dalam sektor publik atau pemerintahan terdapat beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka untuk memberikan keyakinan atas asersi atau pernyataan/representasi dari pihak manajemen. Jenis pemeriksaan yang lain tersebut adalah pemeriksaan investigatif, pemeriksaan ketaatan ( compliance ), pemeriksaan teknologi informasi, pemeriksaan pajak, dan berbagai pemeriksaan khusus untuk memenuhi permintaan pemangku kepentingan ( stakeholder ). Misalnya, pemeriksaan khusus atas pendapatan negara, pemeriksaan khusus atas subsidi, pemeriksaan khusus atas kewajaran tarif jalan tol atau tarif listrik, pemeriksaan khusus atas kewajaran atas pekerjaan tambah kurang dari kontraktor, pemeriksaan khusus atas kewajaran denda bunga, pemeriksaan khusus atas divestasi atau investasi pemerintah, pemeriksaan khusus untuk perhitungan kerugian negara dan berbagai jenis pemeriksaan khusus lainnya. Terkait dengan penugasan yang harus dilakukan BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara, dalam hal ini memeriksa pengelolaan keuangan negara dan pertanggungjawaban keuangan negara, sesuai dengan amanat UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 11 menyatakan, 64 _BPK dapat memberikan: _ a. pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau _badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya; _ b. pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan _oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau _ c. keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Selanjutnya, penjelasan Pasal 11 (a) UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK menyebutkan Pendapat yang diberikan BPK termasuk perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman, privatisasi, likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pasal 11 UU Nomor 15 Tahun 2006 ini cukup kuat untuk menjelaskan bahwa pemeriksa kemungkinan akan menghadapi berbagai penugasan yang pelaksanaannya tidak semata mata hanya menggunakan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan dan/atau pemeriksaan kinerja. Dengan kata lain, merujuk ke Pasal 11 UU Nomor 15 Tahun 20116, pemberian pendapat ke berbagai stakeholders BPK tidak dapat hanya dilaksanakan dengan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja, namun harus digunakan satu jenis pemeriksaan lagi yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Untuk itu, pengaturan adanya jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu seperti yang diamanatkan dalam Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2004 dan Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2006 adalah sudah tepat. Selanjutnya, sama seperti pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, maka pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen serta dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan, dalam hal ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Berdasarkan uraian di atas, pemeriksaan dengan tujuan tertentu menurut hemat saya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari tugas dan wewenang BPK guna memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila BPK dibatasi hanya melakukan dua jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, kuat dugaan saya sebagian hak konstitusional rakyat dalam rangka menjamin keuangan negara untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD NRI 1945 akan tercerabut. Hal ini disebabkan pemeriksaan keuangan dan 65 pemeriksaan kinerja masing-masing sudah mempunyai tujuan tersendiri, padahal masih banyak kebutuhan informasi yang benar, kredibel, dan objektif yang dibutuhkan oleh konstituen tapi tidak bisa terlayani oleh pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja. Sebaliknya, optimalisasi pemeriksaan melalui pemeriksaan dengan tujuan tertentu justru akan memberikan informasi yang andal dan teruji setelah dilakukan pemeriksaan tersebut. Sebagai suatu contoh, salah satu bentuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif guna memperkuat bukti pendukung guna memberikan keyakinan yang memadai adanya dugaan perbuatan tindak pidana korupsi dan/atau kelalaian. Bentuk lain dari PDTT misalnya adalah PDTT dalam rangka untuk menentukan berapa harga perolehan yang objektif atas satu aset negara yang akan di divestasi. Bentuk PDTT lain misalnya adalah penentuan tarif jalan tol, atau penentuan harga pokok bahan baku untuk memproduksi secara masal barang yang menjadi kebutuhan publik. Masih banyak lagi contoh PDTT lainnya yang tentunya publik atau konstituen akan kesulitan memperoleh manfaat dari informasi yang andal dan kredibel serta meyakinkan seandainya jenis pemeriksaan PDTT dihapus dari konstitusi. Berkaitan dengan kemungkinan akan adanya potensi abuse of power karena tidak ada kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan kepastian hukum pada pemeriksaan dengan tujuan tertentu, menurut pendapat saya adalah tidak tepat apabila telah dibaca keseluruhan norma UU Nomor 15 Tahun 2004 secara utuh, khususnya Pasal 5 UU Nomor 15 Tahun 2004 yang mengatur semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan, kode etik, dan sistem kendali mutu. Secara tujuan, pemeriksaan yang dilakukan BPK, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu mempunyai kejelasan tujuan, yaitu memberikan keyakinan yang memadai atas berbagai asersi yang diberikan oleh manajemen (dalam hal ini pemerintah) yang dilaksanakan secara independen, serta disampaikan kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara rumusan dan potensi penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ), pelaksanaan pemeriksaan dilakukan berdasarkan standar pemeriksaan. Hal demikian menunjukkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu bukanlah 66 pemeriksaan yang dilakukan tanpa rumusan jelas dan tanpa adanya alasan. Standar Pemeriksaan yang disusun BPK juga tidak dilakukan sendiri, tetapi juga berkonsultasi dengan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2004. Dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara , Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dapat bersifat: eksaminasi ( examination ), reviu ( review ), atau prosedur yang disepakati ( agreed-upon procedures ). Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi, antara lain, pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan, BPK harus memastikan melalui komunikasi tertulis yang memadai mengenai sifat pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan. Diaturnya Standar Pemeriksaan Keuangan Negara merupakan pedoman yang wajib dan harus diikuti dalam melakukan pemeriksaan, khususnya pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Artinya, standar tersebut merupakan rambu- rambu yang jelas dan tegas harus diikuti agar potensi abuse of power tersebut diminimalisasi sekecil mungkin. Rambu-rambu tersebut juga diikuti dengan kepatuhan terhadap kode etik pemeriksa sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018, dan kemudian juga hasil pemeriksaan BPK harus didasari sistem kendali mutu hasil pemeriksaan seperti diatur dalam Keputusan BPK No 15 Tahun 2015. Berbagai upaya harus dilakukan untuk memastikan semua pemeriksa melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan, kode etik, dan sistem kendali mutu. Hal ini untuk mencegah adanya abuse of power tadi. Hal ini mulai dari pembekalan kompetisi bagi para pemeriksa, reviu berjenjang, sampai kepada pemeriksaan intern yang dilakukan oleh Inspektorat Utama BPK. Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksa harus dilakukan oleh orang yang kompeten, independen, dan dilaksanakan secara cermat profesi ( due professional care ). Selain itu, dalam Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, ada keharusan untuk melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa atas simpulan dari pemeriksa atas hasil 67 pemeriksaan tersebut. Dalam PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan SPKN dinyatakan Pemeriksa harus memperoleh tanggapan tertulis atas hasil pemeriksaan dari pihak yang bertanggung jawab. Namun demikian, terkait dengan kerahasiaan informasi, dalam PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, Pemeriksa tidak meminta tanggapan. Menurut saya adanya kesempatan untuk memberikan dan melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa merupakan suatu ruang yang memberikan keseimbangan hak bagi pemeriksa dan entitas yang diperiksa, sehingga pemeriksa tidak dapat dengan semena-mena membuat suatu kesimpulan PDTT. Selain internal BPK, secara eksternal BPK sudah lazim ada check and balance , antara lain, pengawasan dari DPR atas kinerja BPK maupun juga masukan dari masyarakat atas hasil pemeriksaan BPK. Khusus masukan dari masyarakat, UU Nomor 15 Tahun 2016 mengamanatkan dibentuknya Majelis Kehormatan Kode Etik untuk memproses masukan dari masyarakat, di mana susunan Majelis Kehormatan Kode Etik ini terdiri dari unsur dari luar BPK dan unsur dari dalam BPK. Terakhir, untuk instrumen pencegahan abuse of power adalah keharusan laporan keuangan BPK diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang independen, dan bisnis proses BPK dilakukan peer review oleh sesama supreme audit dari negara lain. Berkaitan dengan dalil permohonan mengenai institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tetapi juga dilakukan PDTT. Terhadap hal tersebut perlu ditegaskan kembali tujuan pemeriksaan keuangan adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan pemerintah telah disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Dengan demikian, pemeriksaan keuangan tidak ditujukan untuk memberikan keyakinan atas dugaan tindak pidana atau kelalaian atau permintaan spesifik pemangku kepentingan untuk meminta BPK melakukan PDTT. Sedangkan PDTT bertujuan memberi informasi khusus berdasarkan kriteria dan biasanya dilakukan dengan langkah atau prosedur pemeriksaan yang detil dan spesifik atas informasi yang didalami, PDTT dapat dilakukan atas inisiatif BPK dan dapat juga atas permintaan dari eksternal BPK, Dengan demikian, dari segi tujuan dan prosedurnya sudah berbeda satu sama lainnya. 68 Satu hal lagi perbedaan antara kedua jenis pemeriksaan tersebut adalah bukti yang diperoleh dan dianalisis. Dalam pemeriksaan keuangan, bukti dilakukan secara uji petik ( sampling ) dan bukan dari keseluruhan total populasi. Dengan demikian, dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksa akan memastikan tidak ada deviasi yang signifikan atau material yang dapat memengaruhi pertimbangan pemeriksa dalam memberikan opini terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan. Sedangkan dalam PDTT, terutama dalam PDTT investigatif, pengumpulan bukti dilakukan secara mendalam dan intensif untuk memastikan terjadinya kerugian negara. Hal yang sama juga berlaku buat PDTT non investigatif dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat. Patut juga diingat dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksa harus mewaspadai apabila terjadi dugaan fraud , namun sekali lagi pemeriksaan tidak dirancang secara khusus untuk mengungkapkan terjadinya fraud . Oleh sebab itu, pemeriksaan yang khusus untuk menyimpulkan ada tidaknya fraud atau kelalaian dilakukan dengan pemeriksaan investigatif sebagai salah satu bentuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Terkait kemungkinan adanya dugaan kecurangan ditemui pemeriksa dalam keuangan maupun dalam pemeriksaan kinerja, tidak serta-merta pemeriksa akan melaksanakan pemeriksaan investigatif. Penanggungjawab tim pemeriksaan menurut praktik yang lazim akan memberi catatan agar dugaan terjadinya fraud ini didalami, dan penelitian awal dalam rangka pendalaman dilakukan oleh tim pemeriksa lain yang berbeda dengan tim yang sedang melaksanakan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja. Sedangkan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja tetap dilanjutkan sampai penugasan selesai. Temuan pemeriksaan yang mengandung indikasi awal kecurangan disajikan dalam LHP tanpa menjelaskan secara mendetail dugaan kecurangan tersebut. Namun Pemeriksa lebih menitikberatkan penjelasannya kepada dampak temuan tersebut terhadap hal pokok/informasi hal pokok sesuai tujuan pemeriksaan (PSP Nomor 300 par 14 Standar Pelaporan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara) Ditegaskan dalam PSP 100 par 24 Standar Umum dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara bahwa PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan selain PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Temuan atau 69 informasi tersebut harus diuji kelayakannya sebelum bisa diterima sebagai predikasi . Menurut praktik yang lazim, keputusan untuk melakukan pemeriksaan investigatif dilakukan setelah melalui proses yang cermat ( due process ). Tim yang yang ditunjuk akan melakukan penelitian awal tentang SIABIDIBA (5 W dan I H) dari kasus yang diteliti (baik yang berasal dari temuan awal pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja, maupun permintaan eksternal). Selanjutnya, setiap tahap harus dilalui berdasarkan pedoman pemeriksaan investigatif, termasuk expose internal dan eksternal (dengan aparat penegak hukum terkait), dan setiap tahapan harus dilandasi SPKN, kode etik, dan sistem kendali mutu. Dengan demikian, dapat digaris bawahi sekali lagi perbedaan antara pemeriksaan keuangan dan PDTT, yaitu pemeriksaan keuangan bertujuan memastikan laporan keuangan yang disajikan dapat dipercaya dan andal sesuai standar akuntansi pemerintah. Sedangkan PDTT investigatif adalah pemeriksaan yang mendalam dengan mengumpulkan seluruh bukti yang terkait untuk memberi keyakinan kuat terjadinya fraud dan sekaligus menyajikan dugaan besarnya kerugian negara. Hasil investigasi ini selanjutnya akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum. Sedangkan PDTT non investigatif seperti PDTT atas kelaikan suatu proyek, denda keterlambatan, penetapan dan penyaluran subsidi, bantuan sosial, divestasi atau investasi, dan lain-lain merupakan pemeriksaan yang mendalam baik atas inisiatif BPK namun lebih banyak atas permintaan dari stakeholders . Sehingga tidak heran apabila ada satu entitas yang sudah mendapat opini WTP dalam pemeriksaan keuangan namun dilakukan juga PDTT. Berdasarkan uraian di atas, izinkan saya memberikan empat simpulan dalam keterangan ahli ini, yaitu:
pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilakukan BPK merupakan bagian dari kewenangan konstitusional BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945 guna memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
frasa “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan yang mengandung kepastian hukum dengan diaturnya pelaksanaan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara yang disusun BPK dengan berkonsultasi dengan pemerintah, 70 sehingga BPK dan/atau pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus dan wajib menggunakan standar tersebut sebagai pedoman dan rambu dalam melaksanakan pemeriksaan, sehingga tujuan dan rumusan pemeriksaan yang dilaksanakan nyata dan pasti berdasarkan standar pemeriksaan tersebut;
agar pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat minimalisasi potensi abuse of power, wewenang pemeriksaan harus berpedoman pada standar pemeriksaan, pelaksanaannya pun terdapat sistem kendali mutu, dan juga adanya kode etik pemeriksa dalam hal kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dilakukan pemeriksa;
mengenai institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) namun tetap dilakukan PDTT, hal demikian disebabkan perbedaan atas tujuan, prosedur, dan substansi hasil pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan yang melahirkan opini antara lain WTP berbeda dalam tujuan, prosedur, dan substansinya dengan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Saksi: Sumiyati - Bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan juga Rancangan Undang-Undang BPK, yaitu adanya permintaan dari institusi di luar BPK seperti yang didiskusikan dan disepakati oleh pemerintah secara bersama-sama dengan DPR dan BPK RI; - Bahwa dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan negara, BPK RI tidak hanya melaksanakan pemeriksaan dan pemeriksaan kinerja. Namun sebagai lembaga pemeriksa keuangan tertinggi di Indonesia atau dikenal dengan nama Supreme Audit Institutions , BPK dapat melaksanakan pemeriksaan karena ditemukannya suatu permasalahan dalam pemeriksaan keuangan dan/atau pemeriksaan kinerja yang perlu didalami lebih lanjut, ataupun adanya permintaan dari eksternal di luar BPK. Adapun permasalahan yang perlu pemeriksaan lebih lanjut atau permintaan pemeriksaan dari institusi lain, dapat berupa indikasi adanya kerugian negara, kecurangan, atau fraud , dan juga hal- hal lain yang terkait dengan keuangan negara. Dengan memperhatikan berbagai jenis pemeriksaan yang terkait dengan keuangan negara, maka 71 disepakati bersama oleh DPR, Pemerintah, dan BPK RI, tidak digunakan suatu istilah atau jenis pemeriksaan tertentu, namun digunakan nama generik, yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dalam huruf kecil, agar BPK sebagai lembaga pemeriksa tertinggi dapat menjalankan mandat yang diterimanya. - Selain hal tersebut, dalam praktik pemeriksaan rumusan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dipilih mengingat dalam international best practice , jenis-jenis pemeriksaan selalu berkembang mengikuti dinamika organisasi atau lingkungan di mana lembaga pemeriksa itu berada. Oleh karena itu, dipilih suatu rumusan yang tidak kaku. Namun demikian, untuk menjaga tata kelola pemeriksaan dengan tujuan tertentu, tetap harus berpedoman pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK setelah dikonsultasikan kepada Pemerintah. - Untuk mencegah terjadinya abuse of power , Pemerintah dan DPR sepakat untuk menetapkan norma hukum yang mengatur bahwa pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan. Standar pemeriksaan yang sekarang diberi nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara atau disingkat SPKN, ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah. - Kemudian, di Undang-Undang BPK juga menetapkan bahwa BPK harus mempunyai majelis kehormatan kode etik. - Sehubungan dengan adanya intitusi pemerintah yang sudah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau WTP, namun tetap dilakukan PDTT, saksi dapat terangkan sebagai berikut. - Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan, bukan kebenaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan mendapatkan opini WTP jika pemeriksa yakin bahwa tidak terdapat hal yang material yang dapat memengaruhi kewajaran penyajian laporan keuangan. - Bahwa opini WTP ini sesuai dengan yang disepakati, dimasukkan di dalam undang-undang bahwa itu merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan, yang kriterianya dituangkan juga di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. Ini juga didiskusikan dan dihasilkan kriteria secara bersama-sama pada saat dilakukan pembahasan RUU tersebut. 72 - Bahwa saat itu didiskusikan dan dipertanyakan kenapa ada pemeriksaan kinerja? pemeriksaan kinerja dilakukan karena keuangan negara setiap tahunnya dituangkan dalam Undang-Undang APBN, maka pemeriksaan atas pelaksanaan APBN juga didasarkan pada kinerja. Oleh karena itu, dirumuskan pemeriksaan kinerja. - Bahwa kemudian masih ada hal-hal lain yang terkait dengan keuangan negara, namun bukan pemeriksaan keuangan dan bukan pemeriksaan kinerja. Akhirnya, dicarikan varian pemeriksaan yang bisa menampung kebutuhan pemeriksaan tersebut karena bisa muncul dari pemeriksaan BPK sendiri, dan bisa juga berasal dari permintaan apakah lembaga negara lainnya seperti pemerintah atau BPK, atau juga bisa berasal dari pemerintah daerah atau ada informasi yang masuk ke BPK. Mengingat bahwa pemeriksaan atau penugasan permintaan ini bisa berbagai macam, maka akhirnya disepakati bersama, dicarikan rumpunnya. Itulah yang dimasukkan di dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu. - Kemudian inilah kenapa akhirnya muncul bahwa untuk pemeriksaan tujuan tertentu di sini bisa untuk hal-hal yang terkait dengan keuangan. Di situ ada pemeriksaan investigasi atau ada penugasan yang lainnya. Hal tersebutlah yang disepakati. Namun, tetap di dalam menjalankan pemeriksaan mengacu pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK, namun tetap harus berkonsultasi dengan pemerintah pada saat perumusan standar pemeriksaan tersebut. - Bahwa pada saat itu juga didiskusikan dan dibahas mengenai apabila pada saat BPK menjalankan tugas sebagai pemeriksa keuangan negara ternyata menemukan hal-hal yang ternyata di situ bukan kasus di bidang keuangan negara, misalkan ada kasus pidana kemudian bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh BPK. Dari situ akhirnya disepakati bahwa dalam hal diketemukan adanya kasus di luar keuangan negara seperti pidana, maka BPK harus segera melaporkan kasus ini kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, DPR menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga telah menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis 73 tambahan beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Ketentuan UU BPK dan __ UU PPTKN yang Dimohonkan Pengujian Materil Terhadap UUD NRI Tahun 1945 Dalam permohonan a quo , para Pemohon __ mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN sepanjang frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU BPK “Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, __ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” __ Para Pemohon dalam petitumnya memohon agar Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN terhadap frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” diputus bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan alasan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan: Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pasal 23E ayat (1) “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” __ __ __ __ __ __ 74 II. Keterangan DPR RI A. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Para Pemohon Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Selain itu Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang juga dijadikan batu uji oleh Para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai tugas Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional karena para Pemohon tidak memberikan argumentasi dan tidak membuktikan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut sebagaimana yang dijamin dalam pasal-pasal a quo UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji dalam pengujian UU a quo .
Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Pasal-pasal a quo mengatur mengenai tugas BPK yang merupakan penjabaran dari ketentuan 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan mengenai tugas BPK. Dalam hal ini para Pemohon yang berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena tidak terdapat korelasi antara ketentuan pasal-pasal a quo dengan para Pemohon yang bukan Anggota BPK atau pihak yang terdampak dengan berlakunya pasal- pasal a quo. Oleh karena itu tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . 75 c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) merupakan salah satu penguatan terhadap BPK dalam upaya meningkatkan efektifitas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kerugian yang didalilkan para Pemohon terkait dengan anggapan bahwa pengaturan PDTT tidak sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh para Pemohon sesungguhnya bukanlah kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, melainkan asumsi para Pemohon tanpa ada dasar argumentasi yang jelas. Selain itu dalil yang disampaikan para Pemohon yang menyatakan pelaksanaan PDTT berpotensi disalahgunakan oleh oknum BPK ( vide perbaikan permohonan hal 24), adalah asumsi para Pemohon yang tidak ada pertautannya dengan profesi para Pemohon sebagai Dosen ataupun mahasiswa. Oleh karena itu tidak ada kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam poin a, b, c, tersebut di atas, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Seharusnya para Pemohon perlu untuk mempelajari dan memahami mengenai sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan di Indonesia untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai Dosen Hukum Tata Negara dan mahasiswa dengan baik, khususnya mengenai tugas BPK berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo . 76 e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon. Dengan demikian, PDTT yang mensyaratkan bahwa objek pemeriksaannya adalah lembaga negara bukan orang perorangan, tanpa menihilkan peran mahasiswa dan dosen atau PDTT yang mendasarkan pada objek yang berkaitan dengan keuangan atau objek atau pihak yang berkaitan dengan keuangan negara. Oleh karenanya tidak ada kerugian konstitusional karena para Pemohon tidak secara spesifik menguraikan kerugian konstitusionalnya maupun juga hubungan sebab-akibat antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon dengan ketentuan pasal- pasal a quo . Sebagai dosen, tugas dosen adalah mentransformasikan, membimbing, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Begitupun halnya dengan Pemohon sebagai mahasiswa yang berkewajiban menuntut ilmu, seharusnya tidak mengajukan permohonan ini ke Mahkamah Konstitusi, melainkan dilakukan kajian lebih lanjut sebagai objek riset, skripsi, tesis bahkan disertasi. DPR RI berpandangan seharusnya mekanisme pengujian materiil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diajukan oleh pihak yang benar-benar memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai pihak yang memiliki genuinitas. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi 77 Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU- V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pengujian Materiil Pasal-Pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN Terhadap UUD NRI Tahun 1945 Terhadap pengujian materiil yang diajukan oleh Para Pemohon, DPR RI memberikan keterangan terkait dengan frasa “..dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” atau PDTT dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN sebagai berikut:
Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Para pembentuk UUD NRI Tahun 1945 menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu lembaga pemeriksa keuangan negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Dengan adanya ketentuan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945, telah memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 23G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai BPK dalam suatu undang-undang, maka dibentuklah UU BPK.
Tugas BPK sebagaimana ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah dijabarkan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU BPK yang menyatakan “ BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha 78 Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara ”.
Bahwa pembentukan UU PPTKN dan UU BPK memiliki materi muatan yang saling terkait. RUU tentang PPTKN lahir karena memiliki materi muatan yang saling terkait dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK Lama) ( vide Risalah Rapat Kerja RUU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rapat ke-2, rapat kerja ke-1 dengan Menteri Keuangan pada hari Senin tanggal 9 Februari 2004 hal. 9).
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN, tugas BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara mencakup:
Pemeriksaan keuangan;
Pemeriksaan kinerja; dan
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Sesuai dengan risalah RUU tentang PPTKN, BPK bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara meliputi pemeriksaan atas laporan keuangan dan pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja meliputi aspek ekonomis, efisiensi, dan efektifitas, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang meliputi pemeriksaan di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ( vide Risalah Rapat Kerja RUU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rapat ke-5, rapat kerja ke-4 dengan Menteri Keuangan pada hari Selasa tanggal 17 Februari 2004, hal 24).
Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UU PPTKN menyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan kinerja. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian 79 intern pemerintah yang dalam pelaksanaannya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU BPK, dilakukan berdasarkan UU PPTKN.
Berdasarkan __ Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang tertuang dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemerikaan investigatif. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Terhadap dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa tugas PDTT tidak sesuai dengan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 karena secara gramatikal kewenangan BPK adalah pemeriksaan keuangan dan pemeriksaaan kinerja saja ( vide perbaikan permohonan hal 26), DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud dengan Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Adanya kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga atau pejabat negara adalah untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Dalam pelaksanaan tugas berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) UU BPK, BPK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 9 hingga Pasal 11 UU BPK. Bahwa berdasarkan Pasal 12 UU BPK, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang tersebut diatur dengan Peraturan BPK. Oleh karena itu, pemahaman para Pemohon yang menganggap ketentuan dalam 80 Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai “kewenangan” BPK adalah opini yang keliru karena PDTT adalah cakupan, ruang lingkup, dan menjadi bagian daripada tugas BPK.
Frasa tujuan tertentu bersifat teknis yang tidak dapat dijelaskan secara rinci, karena tujuan tertentu adalah tujuan-tujuan yang spesifik yang bersifat khusus dan bersifat mendasar. PDTT tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI Tahun 1946 karena semakin memperkuat peran tujuan audit dalam rangka mengamankan keuangan negara dengan melakukan pendalaman terhadap aspek tertentu di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.
Makna konstitusionalitas pada dasarnya tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah undang-undang dasar. Untuk menafsirkan, menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang- undang terdapat empat indikator penilai, yaitu:
Naskah undang-undang dasar yang resmi dan tertulis;
Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah undang-undang dasar, seperti risalah-risalah;
Nilai-nilai konstitusi yang dalam praktik ketatanegaraan telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; dan 4) Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, penafsiran merupakan proses di mana pengadilan mencari kepastian pengertian mengenai peraturan tertentu dari suatu undang-undang. Penafsiran merupakan upaya melalui pengadilan untuk mencari kepastian mengenai apa sesungguhnya yang menjadi kehendak pembentuk undang-undang ( vide Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang , dalam Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Pusat 81 Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tahun 2016, hal. 12). __ e. Bahwa tiga bentuk penafsiran konstitusi adalah penafsiran historis ( original intent ), penafsiran doktrinal (tekstual dan gramatikal), dan penafsiran responsif. Penafsiran yang seharusnya dihindari adalah cara pendekatan tekstual dari bunyi undang-undang yang secara kaku ( rigid ) tidak dapat mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. ( vide Robert C. Post dan Achmad Sodiki, dalam Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tahun 2016, halaman 10 dan 11).
Bahwa berdasarkan Risalah RUU PPTKN, salah satu contoh pemeriksaan jenis tertentu adalah dalam hal terjadi pencemaran lingkungan, pemeriksa keuangan harus mencari dan mengidentifikasi penyebab dan akibat yang ditimbulkan dari pencemaran serta biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara. Oleh karena itu, hanya terdapat 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yaitu finance audit , performance audit , dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Bahwa selain itu BPK juga dapat melakukan PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya (pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja) atau menindaklanjuti permintaan dari Aparat Penegak Hukum dalam rangka proses peradilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4), Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 13 UU PPTKN ( vide Rapat Kerja RUU PPTKN Rapat ke-5, Rapat Kerja ke-4 dengan Pemerintah, tanggal 17 Februari 2004).
Oleh karena itu dalil Para Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa tugas PDTT tidak sesuai dengan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 adalah opini yang tidak berdasar.
Tugas yang diberikan kepada BPK berdasarkan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam UU BPK yang merupakan amanat dari Pasal 23G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang 82 menyatakan bahwa “ Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang ”. Ketentuan tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka ( open legal policy ) kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan dalam UU BPK, termasuk mengenai cakupan tugas yang diberikan kepada BPK.
DPR RI memberikan keterangan bahwa MK tidak pernah membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “..Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo , Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang- undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.
Bahwa open legal policy pembentuk undang-undang yang memberikan tugas kepada BPK yang mencakup salah satunya adalah PDTT ke dalam UU a quo , terbukti telah memberikan manfaat bagi bangsa dan negara karena dapat mengidentifikasi dan mendeteksi kerugian keuangan negara yang terjadi. DPR RI menegaskan bahwa pelaksanaan PDTT tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena PDTT tidak diterapkan secara diskriminatif. Pelaksanaan PDTT dilakukan terhadap objek pemeriksaan yang telah diduga terjadi penyalahgunaan keuangan negara, atau ada, atau timbulnya data baru, sehingga dibutuhkan untuk segera diperiksa berdasarkan 83 kewenangan auditor atau terkait dengan permintaan resmi dari DPR RI. Berikut adalah beberapa contoh konkret PDTT yang telah dilakukan oleh BPK:
Berdasarkan Surat DPR RI Nomor KD 01/8104/DPR-RI/X/2010 tanggal 26 Oktober 2010 dan Surat DPR RI Nomor PW 01/4220/DPR-RI/V/2011 tanggal 25 Mei 2011, BPK telah melakukan PDTT atas sektor hulu listrik serta program percepatan pembangkit berbahan bakar batu bara pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PT. PLN). Dalam laporannya, BPK menemukan penyimpangan yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan negara yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Khusus di sektor energi primer, penyimpangan tersebut mengakibatkan PT. PLN mengalami kerugian Rp 17.900.681,34 juta (tujuh belas triliun sembilan ratus miliar enam ratus delapan puluh satu koma tiga puluh empat juta rupiah) pada tahun 2009, dan Rp 19.698.224,77 juta (sembilan belas triliun enam ratus sembilan puluh delapan miliar dua ratus dua puluh empat koma tujuh puluh tujuh juta rupiah) pada tahun 2010 ( vide Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Sektor Hulu Listrik pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero), Auditorat Keuangan Negara VII Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tanggal 16 September 2011);
Panitia Khusus (Pansus) DPR RI atas kasus PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) (PT. Pelindo II) meminta BPK untuk melakukan audit investigasi/PDTT terhadap sejumlah kejanggalan yang ditemukan oleh Pansus DPR RI. Nilai indikasi kerugian negara berasal dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima oleh PT. Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian PT. Jakarta International Container Terminal (JICT), antara PT. Pelindo II dan PT. Hutchinson Port Holding (HPH) berindikasi merugikan negara sebesar Rp 4,08 triliun (empat koma delapan triliun rupiah) ( vide Warta BPK Edisi 07-Vol. VII-Juli 2017, hal 6-15); 84 c. Berdasarkan permintaan DPR RI melalui Surat DPR Nomor PW/5487/DPRRI/IX/2009 tanggal 1 September 2009 perihal Audit Investigatif/Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Terhadap Bank Century, BPK melakukan audit investigatif/PDTT terhadap PT. Bank Century, Tbk. (Bank Century) ( vide BPK Serahkan Hasil Pemeriksaan Bank Century Ke DPR, 23 November 2009, http: //www.bpk.go.id/news/bpk-serahkan-hasil-pemeriksaan-bank- century-ke-dpr). Hasil pemeriksaan telah diserahkan kepada DPR RI pada tanggal 23 November 2009 yang mengungkap sembilan temuan yang dilakukan pendalaman melalui PDTT lanjutan, tetapi hingga saat ini perkara tersebut masih ditangani oleh KPK dan kami tidak mengetahui perkembangan selanjutnya.
Berdasarkan Surat Ketua DPR RI Nomor: PW.01/3177/DPR RI/IV/2011, tanggal 6 April 2011 yang meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dilakukan audit investigatif/PDTT terhadap kasus Bank Century. Hasil pemeriksaan menemukan bahwa terdapat penyaluran penyertaan modal sementara (PMS) kepada Bank Century oleh komite koordinasi (KK) yang kelembagaanya belum dibentuk berdasarkan undang-undang, sehingga penyaluran PMS tersebut tidak memiliki dasar hukum. Total PMS sejumlah Rp. 6.762,36 miliar (enam triliun tujuh ratus enam puluh dua koma tiga puluh enam miliar rupiah) ( vide BPK RI Menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi Lanjutan atas Kasus PT Bank Century, Tbk., Siaran Pers Badan Pemeriksa Keuangan ( online ), 23 Desember 2011, https: //www.bpk.go.id/assets/files/storage/2013/12/file_storage_138 6755982.pdf).
Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian, tetapi tetap dikenakan PDTT, DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut: 85 a. Pendapat para Pemohon tersebut menunjukkan kekurangpahaman atau ketidaktahuan para Pemohon terhadap pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Opini BPK merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang disesuaikan dengan standar akutansi pemerintahan (SAP), kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan dan efektifitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK, yakni:
opini wajar tanpa pengecualian ( unqualified opinion );
opini wajar dengan pengecualian ( qualified opinion );
opini tidak wajar ( adversed opinion ); dan pernyataan menolak memberikan opini ( disclaimer of opinion ). Makna opini WTP diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa laporan keuangan instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
WTP sebagai opini dari BPK bukanlah menjadi jaminan pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan Negara pada lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar selanjutnya dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut.
Sesuai amanat Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan 86 yang berbeda-beda. PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif yang memuat kesimpulan.
PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim di dunia internasional yang biasa dikenal dengan nama Compliance Audit dan Investigative Audit . Pemeriksaan Kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang mungkin tidak dapat diungkap saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemerik saan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berdampak pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Dengan adanya PDTT, BPK berhasil mengungkap banyak kasus penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas-dinas, maupun di lingkungan BUMN. Apabila menghilangkan kewenangan PDTT maka menjadi celah hukum untuk melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang oleh pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel. 87 13. DPR RI sebagai lembaga yang mewakili atau merepresentasikan rakyat Indonesia berkepentingan untuk meminta BPK melakukan PDTT berupa pemeriksaan investigatif untuk menyelamatkan keuangan negara sebagai akibat dari perilaku koruptif agar dapat dikembalikan ke kas negara. Hasil PDTT kemudian diproses lebih lanjut melalui upaya hukum untuk dilakukan pemulihan atau pengembalian kerugian negara kepada negara dan para pihak terkait untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepentingan DPR RI sebagai repesentasi kepentingan rakyat tersebut merupakan salah satu pelaksanaan dari fungsi pengawasan DPR RI sebagaimana dijamin dan sejalan dengan Konstitusi dalam rangka memastikan bahwa keuangan negara telah dikelola secara transparan, akuntabel, bertanggung jawab, dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia ( vide Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 21 ayat (3) UU PPTKN, Pasal 162 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 jo Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Tertib). Dengan demikian, DPR RI dapat mengetahui sejauh mana penyimpangan yang terjadi dan besar kerugian negara melalui PDTT yang berbentuk pemeriksaan investigatif. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU BPK dan UU PPTKN sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keterangan DPR RI ini. III. Petitum DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik 88 Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Keterangan Tambahan Dewan Perwakilan Rakyat I. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Terhadap kedudukan hukum Para Pemohon, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut: Terhadap para Pemohon yang berprofesi sebagai dosen dan mahasiswa di Fakultas Hukum dan aktivis organisasi Mahutama, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak menjelaskan pertautan antara profesi para Pemohon dengan frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT) dalam UU a quo yang merupakan cakupan tugas BPK. Dalam hal ini para Pemohon tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena tidak terdapat pertautan antara ketentuan pasal-pasal a quo dengan para Pemohon yang bukan Anggota BPK dan juga bukan sebagai pihak yang terdampak atas tugas PDTT yang dilakukan oleh BPK . Bahwa para Pemohon sebagai pendidik profesional dan ilmuwan memiliki tugas untuk mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran seharusnya menggali lebih jauh mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab 89 keuangan negara dengan lebih komprehensif dan tidak secara parsial. Sebagai sivitas akademika, jika para Pemohon kurang memahami mengenai pemeriksaan dan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara, dalam hal ini mengenai PDTT, maka seharusnya terlebih dahulu para Pemohon meminta keterangan dan berdiskusi dengan lembaga negara yang memiliki tugas untuk melaksanakan PDTT, yaitu BPK. Jika para Pemohon telah memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai pelaksanaan PDTT, maka justru dapat menunjang profesi para Pemohon sebagai sivitas akademika yang berilmu. Bahwa hak para Pemohon untuk memperoleh pendidikan dan mempunyai kebebasan berpikir, serta untuk menyatakan pikiran dan sikap, tidak terhambat dengan adanya tugas BPK untuk melakukan PDTT. Bahwa kalaupun para Pemohon mengalami kesulitan untuk memahami dasar konstitusionalitas tugas PDTT dimaksud, maka hal tersebut tidak memiliki hubungan sebab akibat antara keberlakuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pemeriksaan Keuangan Negara dengan kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 74/PUU-XVI/2018 yang menyatakan: “ … jika pun benar Para Pemohon memiliki hak konstitusional, quod non, kerugian dimaksud tidak memiliki hubungan sebab akibat secara potensial apalagi secara faktual dan aktual oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 karena selaku pengajar atau dosen, Pemohon III dan Pemohon IV tetap dapat mengajar di bidangnya masing-masing dan tetap dapat memberikan kontribusi dalam proses perubahan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi kerugian yang didalilkan oleh Pemohon III dan Pemohon IV tidak bersifat spesifik (khusus ). “ Bahwa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon juga tidak memiliki relevansi dengan ketentuan pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN apabila dihubungkan dengan profesi para Pemohon. Ketentuan pasal-pasal a quo merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga justru memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan mengenai tugas BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. 90 Bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka nyata-nyata terlihat bahwa para Pemohon tidak memilki kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi yang diakibatkan dari keberlakuan pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN. Selain itu ketentuan pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN juga tidak memiliki hubungan sebab akibat akibat ( causal verband ) dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. __ II. Pengujian Materiil UU BPK dan UU PPTKN Terhadap pengujian materiil UU BPK dan UU PPTKN, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut: A. Bahwa secara filosofis pembentukan mengenai UU BPK dan UU PPTKN diuraikan sebagai berikut:
Bahwa untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, maka diperlukan pengelolaan keuangan negara yang diselenggarakan secara profesional, independen, terbuka, dan bertanggung jawab. Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam Bab VIII dan Bab VIIIA UUD NRI Tahun 1945 telah diatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan Negara. Sebagai suatu konstitusi yang bersifat filosofis prinsip-prinsip dasar, UUD NRI Tahun 1945 hanya menetapkan secara eksplisit aturan-aturan pokok mengenai pengelolaan keuangan negara yang meliputi salah satunya pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara. Selanjutnya, UUD NRI Tahun 1945 mendelegasikan pengaturan penyelenggaraan aturan pokok tersebut ke dalam undang-undang. 91 2. Begitu pentingnya akuntabilitas dalam penyelengaraan pemerintahan, sehingga perlu membentuk undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan pokok keuangan negara, perbendaharaan negara, dan pelaksanaan pemeriksaan oleh unsur pengawasan eksternal instansi pemerintah agar jelas cakupan keuangan negara yang diawasi dan tanggung jawab masing-masing pengelola yang terlibat dalam pengelolaan keuangan negara. Bahwa dalam upaya untuk mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan ( sustainable ) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, diperlukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Dengan telah dibentuknya UU BPK dan UU PPTKN, maka BPK memiliki landasan operasional yang memadai dalam melaksanakan tugasnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan. B. Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah diperiksa oleh BPK dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi tetap berpotensi untuk dilakukan pemeriksaaan kembali oleh BPK dengan dilakukannya PDTT, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
Pendapat para Pemohon tersebut menunjukkan kekurangpahaman atau ketidaktahuan para Pemohon terhadap pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Opini BPK merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang disesuaikan dengan standar akutansi pemerintahan (SAP), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektifitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK terhadap instansi yang menjadi objek pemeriksaan, yakni:
opini wajar tanpa 92 pengecualian (unqualified opinion) ;
opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion) ;
opini tidak wajar (adversed opinion) ; dan pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) . Makna opini WTP yang diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa laporan keuangan instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
WTP sebagai opini dari BPK bukanlah jaminan pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada lembaga yang diperiksa, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar, selanjutnya oleh BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya pemeriksaan lanjutan terhadap instansi tersebut, jika ditemukan adanya indikasi-indikasi pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan kerugian negara dan/atau unsur pidana.
Sesuai amanat Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan PDTT yang memiliki tujuan dan hasil yang berbeda-beda. PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif yang memuat kesimpulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU PPTKN, hasil PDTT memuat kesimpulan bukan opini, temuan maupun rekomendasi. 93 5. PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim secara internasional yang dikenal dengan nama Compliance Audit (pemeriksaan kepatuhan) dan Investigative Audit (pemeriksaan investigatif). Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk memperoleh keyakinan yang memadai terhadap laporan keuangan yang bebas dari kesalahan penyajian. Sesuai dengan SPKN, BPK melakukan pengujian kepatuhan pemerintah pusat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatuhan yang berpengaruh langsung serta memeriksa kesesuaian material terhadap penyajian laporan keuangan. Namun pemeriksaan yang dilakukan BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tidak dirancang khusus untuk menyatakan pendapat atas kepatuhan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam atas kepatuhan manajemen dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang tidak dapat dicakup saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana, yang dilakukan atas inisiatif BPK berdasarkan hasil pemeriksaan sebelumnya atau atas permintaan dari instansi berwenang dan/atau lembaga perwakilan. Apabila dari hasil PDTT BPK menyimpulkan adanya unsur pidana, maka BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran 94 APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Bahwa meskipun BPK telah memberikan opini WTP, namun PDTT atas inisiatif BPK tetap dapat dilaksanakan. Hal tersebut dapat disimulasikan sebagai berikut: • Sebelum memberikan opini, BPK melakukan asersi untuk menguji pernyataan manajemen. Misalnya manajemen menyatakan memiliki piutang sebesar Rp 100 juta (seratus juta rupiah) kepada Pihak X, kemudian BPK melakukan pengujian kesesuaian dengan dokumen- dokumen dan ditemukan bahwa nilai piutang tersebut benar adanya sebesar Rp 100 juta. Oleh karena itu, BPK memberikan opini WTP karena penyajian laporan keuangan telah sesuai dengan bukti-bukti. • Namun mengenai kebijakan pemberian piutang tersebut kepada Pihak X apakah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, maka BPK dapat melakukan PDTT berupa pemeriksaan kepatuhan.
Dengan adanya PDTT, BPK berhasil mengungkap banyak kasus penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas-dinas, maupun di lingkungan BUMN. Apabila cakupan tugas PDTT yang dimiliki BPK tidak ada, maka menjadi celah hukum untuk melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang diamanatkan oleh pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel. Dengan demikian, terhadap para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah diperiksa oleh BPK dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi tetap berpotensi untuk dilakukan pemeriksaaan kembali oleh BPK dengan dilakukannya PDTT, berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan angka 8, hal tersebut dilakukan dalam rangka pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dapat dilakukan mengingat pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT memiliki ruang lingkup yang berbeda dan mekanisme yang tidak sama. 95 C. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power oleh BPK, DPR RI memberikan keterangan tambahan bahwa:
Sesuai dengan kewenangan BPK yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU BPK, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Kewenangan ini merupakan wujud independensi BPK sebagai lembaga eksternal audit pemerintah.
Bahwa seluruh pemeriksaan oleh BPK, termasuk PDTT, telah diatur secara ketat pelaksanaannya dengan standar pemeriksaan melalui SPKN yang mengacu pada The Generally Accepted Government Auditing Standards (GAGAS). SPKN yang berlaku pada saat ini ditetapkan oleh Ketua BPK melalui Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Selain itu terdapat Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu, kekhawatiran Para Pemohon mengenai adanya potensi abuse of power dalam pelaksanaan pemeriksaan adalah hal yang tidak berdasar.
Pemeriksaan oleh BPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan atas kinerja pemerintahan secara umum, yang dalam hal ini memang menjadi kewenangan DPR RI sebagai wujud keterwakilan politik rakyat dalam kekuasaan negara. Namun demikian, justru karena fungsi pengawasan oleh DPR RI bersifat politis, struktur dan pembagian kekuasaan dalam UUD NRI Tahun 1945 menempatkan BPK, sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara lebih teknis. Karena sifatnya yang teknis, semua jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik atas permintaan oleh DPR RI/DPRD atau atas inisiatif BPK sendiri, haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional sesuai 96 dengan keilmuan, standar, maupun peraturan-perundangan sebagai dasar hukumnya.
Bahwa permintaan dari DPR RI/DPRD adalah salah satu sumber informasi awal untuk melakukan PDTT, namun tidak menjadi satu- satunya sumber. Hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik (ramai di media massa), hasil pemeriksaan sebelumnya, renstra pemerintah, serta amanat undang-undang, juga menjadi pertimbangan BPK ketika memutuskan untuk memeriksa suatu objek. Semua sumber tersebut tentunya tidak serta-merta diputuskan untuk diperiksa tanpa terlebih dulu dilaksanakan suatu kajian awal, terutama apabila yang dimintakan adalah PDTT investigatif.
Kewenangan BPK melakukan PDTT sudah sejalan dengan praktik- praktik yang ada di BPK negara lain. Contoh BPK di negara-negara lain yang melakukan compliance audit (PDTT) sebagai jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja antara lain: SAI European Union , SAI Bulgary , SAI Croatia , SAI Cyprus , SAI Denmark , SAI Estonia , SAI Hungary , SAI Italy , SAI Spain , dan SAI Poland .
Bahwa standar pemeriksaan yang dijadikan rujukan BPK dalam PBPK 1/2017 telah mengadopsi International Standards on Auditing (ISA). Selain itu, BPK sebagai bagian dari organisasi badan pemeriksaan keuangan sedunia yang bernama International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), dalam melaksanakan pemeriksaan juga mengacu pada perkembangan standar pemeriksaan, termasuk International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) yang ditetapkan oleh INTOSAI. Dengan adanya acuan standar pemeriksaan yang sama oleh seluruh anggota INTOSAI, memungkinkan untuk dilakukan telaah atas sistem pengendalian mutu BPK oleh Supreme Audit Institution (SAI) negara lain yang menjadi anggota INTOSAI guna menjamin bahwa mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh BPK telah sesuai dengan standar. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU BPK. 97 7. Penyusunan standar pemeriksaan internasional saat ini berubah dari berbasis pengaturan __ detail ( rule based standards ) menjadi berbasis prinsip ( principle based standards) yang dimaksudkan salah satunya agar SPKN lebih fleksibel dalam mengakomodir perubahan- perubahan aturan maupun best practices profesi pemeriksa di dunia, sehingga SPKN yang diberlakukan akan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama __ dan tidak perlu terlalu sering berubah. Dengan demikian, terhadap para Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power oleh BPK, sebagaimana uraian angka 1 sampai dengan angka 7, maka hal tersebut akan sulit dilakukan oleh pemeriksa BPK dengan adanya peraturan-peraturan yang harus diikuti bagi BPK dalam melaksanakan pemeriksanaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sehingga dalil potensi adanya abuse of power tersebut tidaklah beralasan. D. Mengenai frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang didalilkan oleh Para Pemohon tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
Pembahasan mengenai perubahan BPK itu sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999, namun tidak selesai. Pembahasan rancangan materi perubahan kedua dimulai dalam rapat Badan Pekerja MPR-RI pada akhir tahun 1999, yang diteruskan pembahasannya dalam Panitia Ad Hoc (PAH) I BP-MPR. Banyak hal telah disepakati, namun sampai dengan hasil pembahasan dibawa ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, ternyata mengenai BPK ini belum dapat diputuskan. Pembahasan mengenai ketentuan BPK baru dapat diselesaikan dalam Sidang MPR RI Tahun 2001, yang menyepakati pengaturan tentang ketentuan BPK sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945, dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F dan Pasal 23G. Argumentasi para Pemohon mengenai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimuat dalam permohonannya, hanya mengacu pada 98 pembahasan Perubahan Pertama UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, tanpa memperhatikan pembahasan- pembahasan untuk Perubahan UUD NRI Tahun 1945 selanjutnya.
Pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD NRI Tahun 1945, yang sebagian dirujuk oleh Para Pemohon, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU- XVII/2019 yang menyatakan bahwa: “ Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi. ” 3. Berdasarkan Risalah Pembahasan Sidang-Sidang MPR diketahui bahwa penguatan dan pemberdayaan BPK sesuai tuntutan dan harapan masyarakat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:
penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri atau terlepas dari pengaruh lembaga tinggi negara lainnya dalam melakukan tugasnya;
penegasan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara (eksternal);
Perluasan ruang lingkup obyek yang diperiksa, yaitu tidak hanya meliputi keuangan negara yang dikelola Pemerintah dalam APBN, namun meliputi pula keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan dari APBN; dan
Perluasan tugas BPK, dalam konteks proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa, dari yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara ditambah menjadi ‘memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara’. Sehingga BPK tidak sekedar melakukan pemeriksaan atas penyajian laporan keuangan saja, akan tetapi memeriksa seluruh aspek dan proses pengelolaan keuangan negara, termasuk memeriksa keselarasan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan 99 yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Upaya penguatan dan pemberdayaaan BPK tersebut, menghasilkan rumusan perubahan ketentuan tentang BPK dalam UUD NRI Tahun 1945, termasuk yang termuat dalam Pasal 23E ayat (1) yang menentukan “ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri .” 4. Penegasan pelaksanaan pemeriksaan BPK secara bebas dan mandiri tersebut sejalan dengan Section 5 “ The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts ” yang berbunyi sebagai berikut: Section 5. Independence of Supreme Audit Institutions 1. Supreme Audit Institutions can accomplish their tasks objectively and effectively only if they are independent of the audited entity and are protected against outside influence. 2. Although state institutions cannot be absolutely independent because they are part of the state as a whole, Supreme Audit Institutions shall have the functional and organisational independence required to accomplish their tasks. 3. The establishment of Supreme Audit Institutions and the necessary degree of their independence shall be laid down in the Constitution; details may be set out in legislation. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam ketentuan a quo tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, merupakan pernyataan yang tidak beralasan dan telah mengabaikan semangat yang justru merupakan original intent dari Pasal 23E ayat UUD NRI Tahun 1945, yang menghendaki BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa seluruh sistem keuangan negara secara bebas dan mandiri, dengan tetap memperhatikan kaidah keilmuan di bidang pemeriksaan keuangan atau audit . E. Bahwa terhadap pertanyaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Suhartoyo yang pada intinya menanyakan kepada DPR RI dan BPK mengenai nomenklatur PDTT yang abstrak, tidak konkret, dan mengapa nomenklatur tersebut tidak diubah menjadi pemeriksaan 100 investigatif, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
PDTT meliputi pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksan invetigatif. Meskipun baik pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif menghasilkan kesimpulan, namun keduanya memiliki tujuan yang berbeda.
Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam PDTT dengan bentuk pemeriksaan kepatuhan, apabila pemeriksa mengidentifikasi adanya pertentangan antara beberapa sumber kriteria yang digunakan, pemeriksa harus menganalisis konsekuensi dari adanya pertentangan tersebut. Materialitas juga dipertimbangkan dalam penentuan topik dan kriteria pemeriksaan.
Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif ini hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang, atau akan terjadi (PBPK 1/2017 PSP 100 angka 5 huruf v). Sumber predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan kepatuhan, dan informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Dengan merujuk pada cakupan dalam PDTT tersebut, maka jelas bahwa PDTT tidak hanya berupa pemeriksaan investigatif namun juga terdapat pemeriksaan kepatuhan. Pemeriksaan kepatuhan tidak dapat disamaartikan dengan pemeriksaan investigatif karena memiliki tujuan, metode, dan ruang lingkup yang berbeda. Oleh karena itu, DPR RI memberikan keterangan bahwa nomenklatur PDTT dalam pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN tidak dapat diganti dengan nomenklatur pemeriksaan investigatif. 101 F. Bahwa Terhadap Permintaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih atas Risalah Pembahasan RUU BPK dan RUU PPTKN, DPR RI Memberikan Lampiran Risalah Pembahasan RUU BPK dan RUU PPTKN Secara Lengkap Sebagai Lampiran yang tidak Terpisahkan dari keterangan tambahan Ini. III. Petitum DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga telah menyerahkan 102 keterangan tertulis beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. Legal Standing Dalam permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional yang bersifat potensial pasti atas eksistensi frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan norma a quo dengan alasan antara lain sebagai berikut:
Pasca diundangkannya UU 15/2004, terdapat penambahan kewenangan BPK yakni kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (selanjutnya disebut PDTT) yang tidak termasuk dalam Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Kewenangan tersebut dimasukkan dalam UU 15/2006 sehingga inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Penambahan kewenangan PDTT menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon I dan Pemohon II dalam menjalankan tugasnya sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas, maksud, dan tujuan PDTT pada saat dilakukan PDTT terhadap suatu lembaga negara padahal lembaga negara itu sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan kerugian konstitusionalitas bagi Pemohon III selaku mahasiswa yang mendapatkan penjelasan terkait kedudukan PDTT.
Berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang balk dan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a dan huruf f serta Pasal 6 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disingkat UU 12/2011), frasa 'pemeriksaan dengan tujuan tertentu' tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan; Terhadap alasan-alasan permohonan di atas, BPK berpendapat, sebagai berikut:
Sebagai dosen dan mahasiswa, Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik kerugian konstitusional sebagai akibat berlakunya norma a quo, karena tidak ada penjelasan mengenai hubungan sebab akibat (causal verband) antara norma a quo dengan kerugian konstitusional Pemohon dalam memberikan penjelasan dan memahami PDTT. 103 Dalam hal, yaitu seorang pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sebagai sivitas akademika, pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai suatu permasalahan, dalam hal ini mengenai PDTT, seyogyanya dijadikan bahan untuk melakukan suatu penelitian. Untuk mendukung hal tersebut, BPK terbuka untuk memberikan penjelasan mengenai PDTT termasuk mengenai standar yang digunakan.
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan PDTT dalam UU 15/2006 tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum sesuai dengan teknik pembuatan peraturan perundang-undangan dalam UU 12/2011, bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma PDTT, namun merupakan hal yang terkait dengan teknik legal drafting sehingga bukan merupakan ranah Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya. Dengan demikian, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian atas Pasal-Pasal a quo. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima Permohonan a quo. Namun demikian, BPK tetap menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim untuk menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing). Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat untuk menerima Permohonan a quo, perkenankan BPK menyampaikan penjelasan atas materi perkara sebagaimana dalam bagian di bawah ini. B. Keterangan BPK atas Pokok Permohonan Pemohon Terhadap frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan a quo yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, BPK berpendapat bahwa ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK, dengan penjelasan yang akan disampaikan dalam 4 (empat) bagian pokok, yakni pertama penjelasan tentang PDTT dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, kedua penjelasan tentang pengaturan mengenai PDTT dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara 104 (SPKN), ketiga penjelasan tentang original intent perumusan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dan keempat __ penjelasan tentang Konstitusionalitas Norma PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006.
PDTT dalam Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Terkait dengan pelaksanaan PDTT, Pemohon mempermasalahkan hal-hal berikut:
Pemohon mempertanyakan dasar konstitusional kewenangan PDTT yang dimiliki BPK karena seringkali terhadap instansi Pemerintah yang sudah berkali-kali mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) masih juga dilakukan PDTT.
Pemohon menyatakan bahwa secara normatif BPK dapat melaksanakan PDTT apabila ada permintaan dari DPR/DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004 yang menyatakan, "DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan." c. Pemohon berpendapat bahwa permintaan DPR/DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan pilihan PDTT, sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan (abuse of power) karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 dibandingkan dengan jenis pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 15/2004. Selain itu, ketidakjelasan instrumen wewenang yang diberikan kepada BPK dalam melaksanakan PDTT akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh "oknum" BPK dalam melaksanakan tugasnya. Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Hubungan Opini atas Laporan Keuangan dengan PDTT 1) Sesuai ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, BPK diamanatkan untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara 105 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan yang berbeda- beda, yaitu: a) Pemeriksaan Keuangan, merupakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan (LK) yang dilakukan dalam rangka menilai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam LK Pemerintah. Laporan pemeriksaan ini memuat opini atas LK. b) Pemeriksaan Kinerja, ditujukan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. Laporan pemeriksaan ini memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. c) PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di Iuar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Laporan pemeriksaan ini memuat kesimpulan.
Opini dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LK Pemerintah merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan Pemeriksa, yakni:
opini wajar tanpa pengecualian _(unqualified opinion); _ (2) opini wajar dengan pengecualian _(qualified opinion); _ (3) opini tidak wajar _(adversed opinion); _ dan (4) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Makna opini WTP diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa LK instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim di dunia internasional yang biasa dikenal dengan nama Compliance Audit dan Investigative Audit. Pemeriksaan Kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya 106 dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang mungkin tidak dapat di- cover saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemeriksaan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan atau dari hasil Pemeriksaan Kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil Pemohon yang mempermasalahkan perolehan opini WTP oleh suatu instansi dengan dilaksanakannya PDTT atas instansi tersebut, adalah hal yang tidak relevan.
PDTT Berdasarkan Permintaan 1) Selain pelaksanaan PDTT yang diinisiasi oleh BPK, PDTT juga dapat dilakukan berdasarkan adanya permintaan dari lembaga perwakilan maupun aparat penegak hukum, serta amanat dari undang-undang. Sebagai contoh: a) PDTT atas Pengadaan Alat Kesehatan pada Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan Pada Pemerintah Provinsi Banten, dilakukan atas permintaan dari KPK; b) PDTT terkait pembangunan P3SON Hambalang, dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR; c) PDTTterkait PT Pelindo, dilakukan berdasarkan permintaan DPR; 107 d) PDTT terkait PT Bank Century, dilakukan berdasarkan permintaan DPR dan KPK; dan e) PDTT atas Laporan Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Partai Politik, dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Sesuai dengan kewenangan BPK yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU 15/2006, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Kewenangan ini merupakan wujud independensi BPK sebagai lembaga eksternal audit pemerintah. Permintaan dari DPR menjadi salah satu sumber informasi awal untuk melakukan PDTT, namun tidak menjadi satu-satunya sumber. Hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik (ramai di media massa), hasil pemeriksaan sebelumnya, renstra pemerintah, serta amanat undang-undang, juga menjadi pertimbangan BPK ketika memutuskan untuk memeriksa suatu objek. Semua sumber tersebut tentunya tidak serta merta diputuskan untuk diperiksa tanpa terlebih dulu dilaksanakan suatu kajian awal, terutama apabila yang dimintakan adalah PDTT investigatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa PDTT hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan lembaga perwakilan, tidak berdasar.
Potensi Abuse of Power dalam Pelaksanaan PDTT oleh BPK Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa PDTT sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan (abuse of power), dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pemeriksaan oleh BPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan atas kinerja pemerintahan secara umum, yang dalam hal ini memang menjadi domain DPR sebagai wujud keterwakilan politik rakyat dalam kekuasaan negara. Namun demikian, justru karena fungsi pengawasan oleh DPR bersifat politis, struktur dan pembagian kekuasaan dalam UUD 1945 menempatkan BPK, sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab 108 keuangan negara secara lebih teknis. Karena sifatnya yang teknis, semua jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik atas permintaan oleh DPR/DPRD atau atas inisiatif BPK sendiri, haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional sesuai dengan keilmuan, standar, maupun peraturan-perundangan sebagai batu ujinya.
Kewenangan BPK melakukan PDTT sudah sejalan dengan praktik-praktik yang ada di BPK negara lain. Contoh BPK di negara-negara lain yang melakukan compliance audit (PDTT) sebagai jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja antara lain: SAI European Union, SAI Bulgary, SAI Croatia, SAI Cyprus, SAI Denmark, SAI Estonia, SAI Hungary, SAI Italy, SAI Spain, dan SAI Poland. 3) Perihal kekhawatiran Pemohon mengenai adanya potensi abuse of power dalam pelaksanaan pemeriksaan, sebenarnya sudah cukup diantisipasi dengan adanya Peraturan BPK tentang SPKN, dan peraturan perundang- undangan lain yang mengatur konsekuensi atas penyalahgunaan kewenangan, antara lain Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. __ Dengan demikian, potensi abuse of power yang menjadi kekhawatiran Pemohon sebenarnya bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas, melainkan permasalahan yang dapat timbul dalam penerapan norma, sehingga tidak tepat apabila hal tersebut menjadi materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
PDTT dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Pemohon mendalilkan bahwa keberadaan kewenangan PDTT dalam ketentuan norma a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat PBPK 1/2007) yang secara rigid mengatur teknis pelaksanaan PDTT, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 (selanjutnya disingkat PBPK 1/2017) yang merupakan Peraturan pengganti dari PBPK 1/2007, dalam lampirannya tidak lagi memasukkan tentang standar PDTT. Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugas dan mewujudkan kemandiriannya, BPK 109 diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan merupakan patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. (vide Pasal 1 angka 13 UU 15/2006).
Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat SPKN) yang ditetapkan melalui PBPK 1/2017, yang merupakan penyempurnaan standar pemeriksaan sebelumnya, yaitu PBPK 1/2007. Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memperhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah.
Penyusunan PBPK 1/2007 dilakukan dengan menggunakan referensi utama The Generally Accepted Government Auditing Standards (GAGAS) Tahun 2003 yang telah direvisi sebanyak dua kali, terakhir pada tahun 2011. PBPK 1/2007 digunakan secara bersama-sama dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), khususnya mengenai Pernyataan Standar Audit (PSA) tentang audit keuangan dan perikatan atestasi, kecuali diatur lain dalam PBPK 1/2007.
Standar pemeriksaan yang dijadikan rujukan PBPK 1/2007 mengalami perubahan, dalam hal ini SPAP diubah dengan mengadopsi International Standards on Auditing (ISA). Selain itu, BPK sebagai bagian dari organisasi badan pemeriksaan keuangan sedunia yang bernama International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), dalam melaksanakan pemeriksaan juga harus mengacu pada perkembangan standar pemeriksaan, termasuk International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) yang ditetapkan INTOSAI. Dengan adanya acuan standar pemeriksaan yang sama oleh seluruh anggota INTOSAI, memungkinkan untuk dilakukan telaah atas sistem pengendalian mutu BPK oleh Supreme Audit Institution (SAI) negara lain yang menjadi anggota INTOSAI guna menjamin bahwa mutu pemeriksaan pengelolaan dan 110 tanggung jawab keuangan negara oleh BPK telah sesuai dengan standar. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU 15/2006.
Perkembangan standar pemeriksaan internasional saat ini berubah dari berbasis pengaturan detail (rule based standards) menjadi berbasis prinsip (principle based standards). Hal ini diadaptasi oleh BPK dalam pendekatan pengaturan pada PBPK 1/2017 sehingga berdampak pada sistematika pengaturannya. Penyusunan standar yang bersifat principle based salah satunya dimaksudkan agar SPKN lebih fleksibel dalam mengakomodir perubahan-perubahan aturan maupun best practices di dunia profesi pemeriksa, sehingga SPKN akan lebih bersifat long lasting dan tidak perlu terlalu sering berubah.
Perbedaan sistematika dan pendekatan pada PBPK 1/2017 bukan berarti menghilangkan PDTT dari jenis pemeriksaan BPK, namun hanya menyederhanakan penyajian lampiran. PBPK 1/2007 terdiri dari 8 (delapan) lampiran yang mencakup: (vide PBPK 1/2007) 1) Pendahuluan Standar Pemeriksaan;
PSP 01 Standar Umum;
PSP 02 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan;
PSP 03 Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan;
PSP 04 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja;
PSP 05 Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja;
PSP 06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu; dan
PSP 07 Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu. Sedangkan PBPK 1/2017 terdiri atas 4 (empat) lampiran, yaitu: (vide PBPK 1/2017) 1) Kerangka Konseptual Kerangka konseptual menjadi acuan bagi pengembangan standar itu sendiri. Dalam hal terdapat permasalahan yang belum diatur dalam standar pemeriksaan, maka pemeriksa mengacu pada kerangka konseptual.
PSP Nomor 100 tentang Standar Umum Standar umum merupakan dasar penerapan standar pelaksanaan dan standar pelaporan secara efektif. Standar umum berlaku untuk semua jenis pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, kinerja, maupun PDTT. 111 3) PSP Nomor 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Standar Pelaksanaan Pemeriksaan disusun untuk memberikan panduan bagi pemeriksa agar: (a) dapat merencanakan pemeriksaan yang berkualitas dan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; dan (b) merancang dan melaksanakan prosedur pemeriksaan untuk memperoleh bukti yang cukup dan tepat. PDTT diatur dalam PSP Nomor 200, sebagai contoh, dalam Paragraf 8 huruf e yang menyatakan bahwa tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa telah sesuai (patuh) dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan. Standar Pelaporan Pemeriksaan disusun untuk memberikan panduan bagi pemeriksa agar dapat: (a) merumuskan suatu kesimpulan hasil pemeriksaan berdasarkan evaluasi atas bukti pemeriksaan yang diperoleh; dan (b) mengomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pihak-pihak yang terkait. PSP 300 pada paragraf A13 menyatakan: pada PDTT kepatuhan, unsur temuan yang harus ada adalah kondisi, kriteria, dan akibat. Dari semua penjelasan PSP tersebut, jelas bahwa PDTT tetap diatur dalam SPKN sesuai porsinya, sehingga dapat disimpulkan bahwa PBPK 1/2017 tidak menghilangkan PDTT. SPKN yang diatur dalam PBPK 1/2017 menganut principle based standard sehingga struktur penyajiannya berdasarkan Iangkah- Iangkah pemeriksaan, bukan lagi berdasarkan jenis pemeriksaan. Walaupun PDTT tidak dapat terbaca secara Iangsung pada judul/subjudul/heading, secara substansi PDTT tetap ada dalam PBPK 1/2017 dan bahkan dipertegas mengenai bentuknya. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, pernyataan Pemohon bahwa keberadaan kewenangan PDTT dalam ketentuan norma a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena berubahnya Peraturan BPK tentang SPKN, yang menurut Pemohon tidak lagi memuat mengenai PDTT, tidak berdasar dan tidak dapat diterima. 112 3. Original Intent Perumusan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 Bahwa terhadap frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang didalilkan oleh Pemohon tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Penafsiran konstitusi melalui pendekatan original intent harus melihat tujuan para penyusun konstitusi itu sendiri dari berbagai sumber, termasuk pandangan framers of constitution (penyusun konstitusi). Gagasan untuk mengubah ketentuan tentang BPK melalui perubahan UUD 1945 didorong oleh kehendak untuk memperkuat dan memberdayakan Lembaga-lembaga Tinggi Negara, termasuk BPK.
Pembahasan mengenai perubahan BPK itu sendiri sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999, namun tidak selesai. Pembahasan rancangan materi perubahan kedua dimulai dalam rapat Badan Pekerja MPR- RI pada akhir tahun 1999, yang diteruskan pembahasannya dalam Panitia Ad Hoc (PAH) I BP-MPR. Banyak hal telah disepakati, namun sampai dengan hasil pembahasan dibawa ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, ternyata mengenai BPK ini belum dapat diputuskan. Pembahasan mengenai ketentuan BPK baru dapat diselesaikan dalam Sidang MPR RI Tahun 2001, yang menyepakati pengaturan tentang ketentuan BPK sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945, dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F dan Pasal 23G. Argumentasi Pemohon mengenai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 sebagaimana dimuat dalam permohonannya, hanya mengacu pada pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, tanpa memperhatikan pembahasan-pembahasan untuk Perubahan UUD 1945 selanjutnya.
Pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD 1945, yang sebagian dirujuk oleh Pemohon, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa: "Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik 113 maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi." d. Berdasarkan Risalah Pembahasan Sidang-Sidang MPR diketahui bahwa penguatan dan pemberdayaan BPK sesuai tuntutan dan harapan masyarakat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:
penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri atau terlepas dari pengaruh lembaga tinggi negara lainnya dalam melakukan tugasnya;
penegasan BPK sebagai satu- satunya lembaga pemeriksa keuangan negara (eksternal);
Perluasan ruang lingkup objek yang diperiksa, yaitu tidak hanya meliputi keuangan negara yang dikelola Pemerintah dalam APBN, namun meliputi pula keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan dari APBN; dan
Perluasan tugas BPK, dalam konteks proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa, dari yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara ditambah menjadi 'memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara'. Sehingga BPK tidak sekedar melakukan pemeriksaan atas penyajian laporan keuangan saja, akan tetapi memeriksa seluruh aspek dan proses pengelolaan keuangan negara, termasuk yang ditujukan untuk memeriksa kesepadanan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Upaya penguatan dan pemberdayaaan BPK tersebut, menghasikan rumusan perubahan ketentuan tentang BPK dalam UUD, termasuk yang termuat dalam Pasal 23E ayat (1) yang menentukan "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.". Penegasan pelaksanaan pemeriksaan BPK secara bebas dan mandiri tersebut sejalan dengan Section 5 "The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts" yang berbunyi sebagai berikut: Section 5. Independence of Supreme Audit Institutions 1. Supreme Audit Institutions can accomplish their tasks objectively and effectively only if they are independent of the audited entity and are 114 protected against outside influence. 2. Although state institutions cannot be absolutely independent because they are part of the state as a whole, Supreme Audit Institutions shall have the functional and organisational independence required to accomplish their tasks. 3. The establishment of Supreme Audit Institutions and the necessary _degree of their independence shall be laid down in the Constitution; _ details may be set out in legislation. e. Bahwa menurut Andi Matalatta dan Jakob Tobing, perumus perubahan UUD 1945, dalam diskusi terbatas dengan BPK pads tanggal 19 November 2019, penguatan dan pemberdayaan BPK dilakukan dalam kerangka checks and balances. Selanjutnya Andi Mattalatta menyatakan, check and balances tersebut antara lain terwujud dalam rumusan Pasal 23E ayat (3) UUD 1945 yang menentukan hasil pemeriksaan BPK ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Hal ini berarti bahwa stakeholder BPK bukan hanya lembaga perwakilan yang berdasarkan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 secara rutin menerima hasil pemeriksaan keuangan, namun juga badan/lembaga negara, yang berdasarkan undang-undang diamanatkan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, termasuk aparat penegak hukum, apabila hasil pemeriksaan BPK mengungkap adanya hal-hal yang perlu dilakukan proses penegakan hukum lebih lanjut. Hasil pemeriksaan BPK yang mengungkap hal tersebut disimpulkan melalui PDTT. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan a quo tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, merupakan pernyataan yang tidak beralasan dan telah mengabaikan semangat yang justru merupakan original intent dari Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yang menghendaki BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa seluruh sistem keuangan negara secara bebas dan mandiri, dengan tetap memperhatikan kaidah keilmuan di bidang auditing.
Konstitusionalitas Norma PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 Terhadap konstitusionalitas norma PDTT dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Penafsiran gramatikal yang disebut juga metode penafsiran objektif merupakan cara penafsiran untuk mengetahui makna ketentuan undang- 115 undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya. Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri". Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa basis kewenangan konstitusional BPK adalah pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara , yang apabila dimaknai secara tekstual gramatikal maka makna dari frasa "pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara", yang menjadi wewenang konstitusional BPK adalah kewenangan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, menurut kami tidak tepat, tidak memiliki landasan hukum yang jelas, dan merupakan persoalan penafsiran subjektif dari Pemohon, BUKAN persoalan konstitusionalitas ketentuan undang-undang. Jika Pemohon konsisten dengan penafsiran gramatikal, seharusnya frasa "... memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara ..." diartikan sebagai "memeriksa pengelolaan keuangan negara" dan "memeriksa tanggung jawab keuangan negara", BUKAN ditafsirkan sebagai pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Dengan demikian patut dipertanyakan metode penafsiran tekstual gramatikal yang dimaksud Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa "... dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" inkonstitusional karena telah memperluas kewenangan konstitusional yang telah diberikan secara eksplisit dan limitatif oleh UUD 1945, dengan merujuk pada rumusan mengenai wewenang Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) dalam UUD 1945, BPK berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak tepat dengan penjelasan sebagai berikut:
Pemaknaan Pemohon mengenai PDTT sebagai perluasan kewenangan konstitusional BPK dengan memperbandingkan antara rumusan ketentuan mengenai wewenang BPK dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dengan ketentuan mengenai wewenang MA, MK, dan KY dalam Pasal 24A, 24B, dan 24C UUD 1945 adalah tidak tepat. Wewenang suatu lembaga negara tidak seluruhnya harus diatur dalam konstitusi, namun dapat pula diamanatkan untuk diatur dalam undang- undang, sebagaimana pemikiran/pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie 116 mengenai fungsi lembaga/organ, yang menerangkan bahwa dalam UUD 1945 terdapat organ atau lembaga yang nama serta wewenangnya disebut secara eksplisit dan ada pula organ atau lembaga yang wewenangnya sama sekali tidak atau belum disebut secara implisit maupun eksplisit, namun akan diatur dengan peraturan yang Iebih rendah." 2) Pemaknaan Pemohon bahwa PDTT merupakan bentuk wewenang yang inkonstitusional karena tidak dinyatakan secara eksplisit juga merupakan sebuah kekeliruan karena PDTT, sebagaimana halnya pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang juga tidak disebut secara eksplisit dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, merupakan jenis pemeriksaan, yang pengaturannya memang sudah sepatutnya dilakukan dalam undang-undang dan bukan dalam Undang-Undang Dasar.
Terhadap dalil Pemohon yang mempertanyakan konstitusionalitas PDTT karena penjelasan tentang PDTT tidak diatur dalam UU 15/2006, yang merupakan UU Organik, namun diatur dalam Penjelasan UU 15/2004 (yang merupakan tindak lanjut dari UU 17/2003 dan UU 1/2004), BPK berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak berdasar dengan penjelasan sebagai berikut:
Undang-undang organik adalah undang-undang yang secara eksplisit diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar sebagaimana dikemukakan oleh Ahli sebagai berikut: a) Prof. Soehino (ahli hukum tata negara): "Undang-undang organik adalah undang-undang yang dibentuk untuk melaksanakan secara langsung perintah dari ketentuan undang- undang dasar. " b) Prof. Maria Farida Indrati Soeprapto: "Undang-undang organik adalah undang-undang yang substansinya merupakan penjabaran langsung dari delegasi pengaturan yang disebut secara eksplisit dalam UUD 1945." Sementara dalam Black's Law Dictionary disebutkan bahwa Organic Law adalah: "the fundamental law, or constitution, of a state or nation, written or unwritten; that law or system of laws or principles which defines and establishes the organization of its government." 117 Dengan demikian, undang-undang organik dapat diartikan sebagai Pertama, undang-undang yang dibentuk untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Dasar yang disebutkan secara tegas; Kedua, undang- undang yang mengatur segala ketentuan yang berhubungan dengan keorganisasian negara.
Pengaturan mengenai kelembagaan serta wewenang suatu lembaga dalam undang-undang yang berbeda, tidak melulu dalam undang-undang organik, merupakan hal yang lazim dalam pembentukan peraturan perundangundangan di Indonesia, sebagai contoh: a) Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, sementara mengenai kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. b) Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sementara pengaturan kewenangannya diatur antara lain dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. c) Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Pengaturan mengenai kewenangan DPR diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UU 15/2004 yang menentukan DPR dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan (vide Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004) dan DPR dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut pemeriksaan (vide Pasal 21 ayat (4) UU 15/2004).
Ketentuan mengenai kelembagaan BPK diatur dalam UU 15/2006, sedangkan mengenai pelaksanaan pemeriksaan BPK diatur dalam UU 15/2004. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 15/2006, yang menentukan bahwa pemeriksaan BPK, termasuk di dalamnya PDTT, 118 dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Ketentuan mengenai pemeriksaan BPK ditegaskan pula dalam undang- undang selain UU 15/2004 dan UU 15/2006, sebagai contoh: a) Pasal 34A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang menyatakan bahwa: "Partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir." b) Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menentukan: "Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan." c) Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menentukan: "Untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan Pencetakan, Pengeluaran, dan Pemusnahan Rupiah, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit secara periodik." Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, pernyataan Pemohon bahwa frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 inkonstitusional adalah pernyataan yang tidak memiliki dasar pembenar. C. Manfaat PDTT dan Implikasi Dihapuskannya Kewenangan BPK untuk Melakukan PDTT 1. Untuk negara demokrasi seperti Indonesia yang saat ini masih menghadapi perjuangan berat untuk memberantas korupsi, tidak dapat kita pungkiri bahwa PDTT menjadi alat yang sangat penting untuk turut membantu pemerintah dalam memerangi korupsi. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan menjadi syarat utama untuk dapat mencapai kinerja pemerintahan yang baik. 119 Segitiga maturitas organisasi yang disusun oleh Government Accountability Office (GAO) membagi peran SAI ke dalam tiga level yaitu: a) oversight, yang ditujukan untuk (1) mendorong upaya pemberantasan korupsi;
meningkatkan transparansi;
menjamin terlaksananya akuntabilitas; dan
meningkatkan ekonomi, efisiensi, etika, nilai keadilan, dan keefektifan; b) insight, yang ditujukan untuk mendalami kebijakan dan masalah publik; dan c) foresight, yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan pengambilan keputusan untuk memilih alternatif masa depan. 2. Fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada angka 38 (skala 0- 100, dengan 100 menunjukkan nilai terbaik), menempatkan Indonesia pada peringkat 4 di tingkat Asean (urutan 1-3 adalah Singapura (85), Brunei (63), Malaysia (47)) dan menempatkan Indonesia pada urutan 89 dari 180 negara di dunia, menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan PDTT. Fungsi oversight masih sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Namun demikian BPK jugs tetap menjalankan fungsi insight dan foresight-nya melalui pemeriksaan kinerja.
Manfaat lain dari pelaksanaan PDTT adalah terkait dengan subsidi pemerintah dan kepatuhan BUMN sebagai pengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Hasil pemeriksaan BPK atas penghitungan dan pembayaran subsidi pemerintah kepada BUMN selama tahun 2016 sampai dengan 2019 adalah sebesar Rp16,25 Triliun. Apabila BPK tidak melakukan pemeriksaan kepatuhan, maka besarnya subsidi yang dibayar selama 4 tahun terakhir akan melebihi dari jumlah tersebut. Selain itu, dari hasil PDTT kepatuhan yang dilakukan oleh BPK selama tahun 2016 sampai dengan Semester 12019, ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan kerugian negara, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp64,13 triliun. Terhadap sebagian dari temuan tersebut telah ada upaya pengembalian ke kas negara oleh pihak yang bertanggung jawab.
Dihapuskannya norma a quo akan berdampak pada implementasi ketentuan dalam undang-undang lain yang disusun oleh negara, untuk menjamin agar 120 tata kelola keuangan negara dapat dijalankan dengan balk oleh para penyelenggara negara. Beberapa ketentuan yang terpengaruh sebagai konsekuensi jika frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, antara lain: Penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004 "Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah." Pasal 13 UU 15/2004 "Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana." Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004 "DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan." Penjelasan: "Pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu." Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil pen yidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Penjelasan: Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 _"Portal Politik berkewajiban untuk: _ i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan; " 121 Berdasarkan seluruh uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PDTT diperlukan sebagai audit tools untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dihapuskannya norma a quo justru akan menimbulkan celah dalam mewujudkan pengelolaan tersebut, antara lain tidak adanya alat untuk mendeteksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian negara. D. Petitum Berdasarkan keterangan tersebut di atas, menurut BPK tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004, inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. BPK memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan BPK secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU 15/2006 dan UU 15/2004.
Menyatakan permohonan Pemohon seluruhnya ditolak atau setidak- tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tambahan Pihak Terkait: Dalam beberapa sidang pemeriksaan, Yang Mulia Majelis Hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan sebagai berikut: __ Pertama , pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Wahiduddin Adams: Dalam Keterangan BPK disampaikan bahwa PDTT diperlukan sebagai audit tools untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dihapuskannya norma a quo akan menimbulkan celah, antara lain, tidak adanya alat untuk mendeteksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan tindak pidana 122 korupsi dan pengembalian keuangan negara. Jika norma a quo dihilangkan, bagaimana implikasinya terhadap hasil audit laporan keuangan atau general audit sebagai bukti hukum? Untuk pertanyaan tersebut dapat kami jelaskan bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara harus diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan oleh BPK terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disingkat UU 17/2003). Dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat PBPK 1/2017) antara lain dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan negara meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Pemerintah wajib melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang- undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal inilah yang disebut sebagai tanggung jawab keuangan negara. Terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, yaitu Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Hal mendasar yang membedakan ketiga jenis pemeriksaan tersebut adalah tujuannya. Pemeriksaan Keuangan bertujuan memberikan pernyataan opini tentang kewajaran informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan (LK) Pemerintah. Pemeriksaan Kinerja bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. PDTT dilakukan dengan tujuan khusus, di luar kedua jenis pemeriksaan yang lain. Perbedaan tujuan antara Pemeriksaan Keuangan dan PDTT berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Salah satu contoh yang dapat menunjukkan perbedaan kedua jenis pemeriksaan tersebut adalah, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sementara PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LK Pemerintah memuat opini, yaitu pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. 123 Sedangkan Laporan Hasil PDTT memuat kesimpulan, yaitu simpulan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan (Pemeriksaan Kepatuhan) dan mengenai ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau adanya unsur pidana dalam pengelolaan keuangan negara (Pemeriksaan Investigatif). Mengacu pada SPKN, dalam Pemeriksaan Keuangan harus diidentifikasi risiko kecurangan dan dinilai risiko adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang disebabkan oleh kecurangan ( fraud ) dan/atau ketidakpatuhan ( abuse ). Meskipun demikian, selalu ada kemungkinan bahwa fraud dan abuse tidak terdeteksi dalam Pemeriksaan Keuangan akibat kompleksitas permasalahan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan PDTT untuk memastikan bahwa kecurangan dan ketidakpatuhan tersebut tidak luput dari pemeriksaan. Dalam praktiknya LHP BPK sering digunakan sebagai alat bukti hukum dalam penanganan perkara-perkara, baik pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Kewenangan untuk menentukan dapat tidaknya suatu LHP BPK digunakan sebagai alat bukti hukum sepenuhnya merupakan kewenangan dari penyidik dan majelis hakim. LHP atas LK Pemerintah dan Laporan Hasil PDTT bukan merupakan dua hal yang harus dipertentangkan. LHP atas LK Pemerintah merupakan produk dari Pemeriksaan yang tidak didesain untuk mendalami substansi tertentu, tetapi untuk menilai kewajaran penyajian LK. Sehingga dalam hal LHP atas LK akan dijadikan sebagai alat bukti hukum dalam suatu masalah/kasus tertentu, pada umumnya masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut untuk mengungkap fakta yang diperlukan dalam pembuktian hukum. Sementara itu LHP PDTT merupakan produk dari Pemeriksaan yang sudah didesain dari awal untuk mendalami masalah tertentu. Sehingga ketika dari PDTT ditemukan adanya kecurangan ( fraud ) atau ketidakpatuhan yang berimplikasi terhadap keuangan negara, LHP PDTT dapat langsung ditindaklanjuti dan dipergunakan sebagai alat bukti. Dengan demikian, jika norma a quo dihilangkan, maka apabila dari hasil Pemeriksaan atas LK ditemukan adanya hal-hal yang perlu pendalaman, maka BPK tidak memiliki audit tools untuk melakukan hal tersebut. Selanjutnya, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim I Dewa Gede Palguna. Pertanyaan pertama: WTP adalah opini setelah pemeriksaan keuangan. Pengertian “pemeriksaan” adalah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU 15/2004, yaitu proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai 124 pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Opini dikeluarkan sudah berdasarkan standar pemeriksaan. Kalau sudah begitu mengapa masih diperlukan PDTT? Apakah ada kekurangcermatan analisis saat menghasilkan WTP? Atas pertanyaan tersebut, dapat kami berikan penjelasan sebagai berikut: Sesuai dengan tujuannya, pemeriksaan keuangan dimaksudkan untuk memberikan opini atas kewajaran penyajian LK dengan menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi dalam LK. Dalam pemeriksaan atas laporan keuangan ini, BPK menguji apakah asersi atau pernyataan manajemen yang termuat dalam LK entitas telah sesuai dengan standar (SAP). Secara metodologi, asersi yang diuji meliputi beberapa hal:
Asersi tentang keberadaan atau keterjadian ( existence or occurance ), yang berhubungan dengan apakah aktiva atau uang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu.
Asersi tentang kelengkapan ( completeness ), yang berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam LK telah dicantumkan di dalamnya.
Asersi tentang hak dan kewajiban ( rights and obligations ), yang berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu.
Asersi tentang penilaian atau alokasi ( valuation and allocation ), yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan biaya sudah dicantumkan dalam LK pada jumlah yang semestinya.
Asersi tentang penyajian dan pengungkapan ( presentation and disclosure ), yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu LK diklasifikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan semestinya. Sebagai ilustrasi, untuk memastikan bahwa pengadaan aset oleh suatu entitas, berupa sebuah gedung telah dicatat secara wajar dalam LK, maka akan dilakukan pemeriksaan atas beberapa hal, yaitu:
apakah secara fisik gedung tersebut ada/nyata ( existance ), (2) apakah pengadaan didukung oleh dokumen yang sah seperti kontrak, kuitansi, berita acara fisik, sertipikat ( completeness, right and obligation ) dan dokumen yang terkait nilai perolehannya ( valuation ), serta (3) apakah pengadaan diungkap secara jelas dan memadai dalam LK, baik terkait lokasi, status, luas, jumlah lantai, dan peruntukan ( disclosure ). Jika hal-hal tersebut telah disajikan dalam LK oleh entitas sesuai dengan pedoman atau standar akuntansi keuangan yang berlaku serta tidak ada 125 kesalahan saji yang sifatnya material, maka atas LK tersebut BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Namun apakah entitas tersebut dapat dinyatakan telah patuh terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa? Apakah proses pengadaan gedung tersebut telah dilaksanakan secara fair dan tidak ada unsur persekongkolan? Atau apakah proses penganggaran gedung tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada? LK tidak memberikan informasi- informasi yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di sinilah diperlukan kehadiran PDTT, yaitu untuk mendalami persoalan substansi masalah yang terjadi beserta sebab dan akibat dengan analisis yang lebih dalam. Dari PDTT dihasilkan laporan yang memuat kesimpulan berupa penilaian mengenai kepatuhan pengadaan aset tersebut terhadap peraturan perundang-undangan, melalui PDTT dalam bentuk compliance audit , atau mengenai ada tidaknya indikasi kerugian negara dan atau penyimpangan yang berindikasi pidana, melalui pemeriksaan investigatif. Penjelasan dan ilustrasi mengenai Pemeriksaan Keuangan dan PDTT tersebut sekaligus dapat meluruskan adanya persepsi yang kurang tepat mengenai issue ketidakcermatan dalam melakukan pemeriksaan keuangan dengan dilakukannya PDTT, khususnya PDTT yang dilakukan berdasarkan rencana pemeriksaan BPK. Dalam hal ini, diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, karena tidak dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan standar pemeriksaan LK, dengan waktu yang telah dibatasi pelaksanaannya dengan UU 15/2004. Batas waktu pelaksanaan pemeriksaan keuangan diatur dalam Pasal 17 UU 15/2004, yaitu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya laporan keuangan unaudited dari Pemerintah. Dengan demikian, pendalaman atas substansi yang terjadi pada LK seharusnya tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan atas LK. Pemeriksaan LK pada saat ini menggunakan pendekatan Risk-Based Audit , yaitu Audit Berbasis Risiko dengan menggunakan sampling, yaitu pemeriksaan yang memberikan fokus perhatian pada area-area berisiko tinggi karena berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh pemeriksa. Penilaian risiko tersebut dilakukan pada tingkat entitas, siklus, kemudian diturunkan pada tingkat akun sehingga pemeriksaan dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien. Pertanyaan kedua: __ Independensi BPK sudah menjadi universal principal. Dalam Lima Declaration ditentukan “The establishment of supreme audit institution and necessary degree of their independence, shall be laid down in the constitution. Detail may 126 be set out in legislation.” Persoalan yang dipersoalkan oleh Pemohon sekarang, ‘whether the detail is against the constitutional or not?’ Dalam hal ini, untuk PDTT atas inisiatif BPK, apakah ada syarat subyektif dan syarat obyektif? Untuk pertanyaan tersebut, ijinkan kami memberikan penjelasan sebagai berikut: Pengaturan mengenai PDTT dalam UU 15/2004, UU 15/2006, dan yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PBPK 1/2017 merupakan penjabaran dari cita- cita diadakannya BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara. PDTT bukan merupakan satu jenis pemeriksaan yang hanya dikenal di Indonesia. Pengaturan mengenai PDTT dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip universal dan praktik internasional yang dipedomani oleh SAI negara lain. BPK mengadopsi standar di lingkungan profesi audit secara internasional yang dikeluarkan oleh INTOSAI yaitu ISSAI 12: The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions (SAIs) – making a difference to the lives of citizens , yang menetapkan 12 prinsip. Dalam prinsip 2 ISSAI 12 ditentukan bahwa SAI atau BPK: PRINCIPLE 2: Carrying out audits to ensure that government and public sector entities are held accountable for their stewardship over, and use of, public resources 1. SAIs should, in accordance with their mandates and applicable _professional standards, conduct any or all of the following: _ _a. Audits of financial and, where relevant, non-financial information; _ _b. Performance audits; _ c. Audits of compliance with the applicable authority. 2. SAIs may also, in accordance with their mandates, perform other types of work, for example judicial review or investigation into the use of public resources or matters where the public interest is at stake. 3. SAIs should respond appropriately, in accordance with their mandates, to the risks of financial impropriety, fraud and corruption. 4. SAIs should submit audit reports, in accordance with their mandates, to the legislature or any other responsible public body, as appropriate. Hal ini berarti fungsi BPK dalam praktiknya di dunia internasional luas dan tidak terbatas hanya pada pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja saja, tetapi termasuk juga pemeriksaan kepatuhan sebagaimana dimuat dalam Prinsip 2 butir 1 c. Selain itu, BPK pun bisa mendapatkan penugasan-penugasan lain seperti di Prinsip 2 butir 2 dan butir 3 dinyatakan bahwa BPK bisa melakukan judicial review (penetapan kerugian negara) or investigation , respond appropriately to the risk of financial impropriety (ketidakpatutan), fraud (kecurangan), and corruption (korupsi). International best practice tersebut terwujud dalam UU 15/2004, UU 15/2006, dan PBPK 1/2017 yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
Adopsi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan kepatuhan, dan pemeriksaan investigatif. 127 UU 15/2004: Pasal 4 ayat (1): Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pasal 13: Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Penjelasan Umum bagian B 3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, dalam Kerangka Konseptual Pemeriksaan, paragraf 18. 18. Jenis pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan PDTT. Tujuan suatu pemeriksaan menentukan jenis pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan. Tujuan pemeriksaan kinerja adalah memberikan kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas pengelolaan keuangan negara, serta memberikan rekomendasi untuk memperbaiki aspek tersebut. PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. 2. Adopsi penetapan jumlah kerugian negara UU 15/2006, Pasal 10 ayat (1): BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pelaksanaan semua pemeriksaan dan penugasan-penugasan di atas akan dilakukan oleh BPK sesuai dengan tujuannya, yaitu: 128 1. Guna memberikan opini atas LK Pemerintah Pusat/Daerah sesuai UU 17/2003, BPK melakukan pemeriksaan keuangan;
Apabila BPK melihat ada permasalahan ekonomis, efisiensi, dan efektivitas dalam penyelenggaraan negara, maka BPK akan melakukan pemeriksaan kinerja. Contohnya: BPK telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas efektivitas penanganan perkara pengujian undang-undang di MK dan Pemeriksaan Kinerja atas Pengelolaan Fungsi Penindakan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2009 s.d. 2011 di KPK.
Apabila BPK melihat ada permasalahan misalnya terkait pelaksanaan kontrak antara Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia, maka BPK melaksanakan pemeriksaan kepatuhan terhadap kontrak tersebut.
Apabila DPR melihat ada permasalahan seperti masalah di Bank Century, maka DPR meminta BPK melakukan pemeriksaan investigatif kasus Bank Century.
Apabila Aparat Penegak Hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan meminta BPK untuk melakukan investigatif dan perhitungan kerugian negara, maka BPK melaksanakan pemeriksaan investigatif dan perhitungan negara, misalnya untuk kasus Hambalang dan PT Asuransi Jiwasraya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam tataran UU maupun Peraturan BPK yang mengatur mengenai standar pemeriksaan, sangat jelas tidak ada persoalan ketidaksesuaian atau pertentangan antara norma PDTT yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan norma yang diatur dalam Konstitusi. Dalam konteks pelaksanaan PDTT yang dilakukan berdasarkan rencana pemeriksaan BPK sendiri, dapat kami sampaikan bahwa dilakukannya PDTT tidak dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan analisa yang memadai. Dalam tataran peraturan yang berlaku internal di lingkungan BPK, yaitu dalam panduan pemeriksaan telah diatur bahwa Program Pemeriksaan memuat antara lain alasan pemeriksaan sebagai dasar BPK untuk melakukan pemeriksaan (Paragraf 27 Bab II Perencanaan Pemeriksaan, Pedoman Manajemen Pemeriksaan (KBPK 5/2015)). Alasan pemeriksaan antara lain adalah hal-hal yang menjadi perhatian publik, prioritas utama Pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Selain itu, dalam Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan diatur bahwa sebelum melaksanakan PDTT, Pemeriksa harus menjunjung tinggi etika dan objektivitas. Pemeriksa harus berhati-hati untuk tetap bersikap objektif sehingga temuan dan kesimpulan tidak memihak, objektif dalam memilih tujuan pemeriksaan, mengidentifikasi kriteria, dan memastikan bahwa komunikasi dengan pemangku 129 kepentingan tidak mempengaruhi objektivitas BPK. Pemeriksa juga harus mempertimbangkan risiko adanya ketidakpatuhan material sebagai berikut:
kompleksitas ketentuan peraturan perundang-undangan;
kerawanan terjadinya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan;
jangka waktu entitas/hal pokok yang diperiksa telah menjadi subjek yang harus patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; Yang dimaksud dengan jangka waktu entitas yang diperiksa telah menjadi subjek yang harus patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan adalah berapa lama entitas sudah terikat dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya, ada peraturan baru tentang kewajiban mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sesuai amandemen UUD. Tapi, Pemerintah pada awalnya sempat hanya menganggarkan sebesar 6%, risiko ketidakpatuhan entitas menjadi tinggi untuk aturan-aturan yang baru ditetapkan. Yang dimaksud dengan hal pokok adalah hal yang diperiksa, misalnya: belanja pendidikan, belanja pegawai, infrastruktur, dan PNBP.
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pada tahun- tahun sebelumnya;
dampak potensial ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan bagi hal pokok yang diperiksa;
tingkat pertimbangan yang digunakan entitas dalam mematuhi peraturan; dan
hasil penilaian risiko pemeriksaan sebelumnya. Pertanyaan ketiga: __ Bagaimana mencegah penyalahgunaan PDTT oleh auditor? (Pencegahan yang sifatnya built-in dalam SOP/Standar Pemeriksaan) Terhadap pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: Dalam Standar Pemeriksaan BPK diatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan. Pengendalian mutu dilakukan dengan tujuan memastikan bahwa pemeriksaan telah dilakukan dengan mematuhi standar profesi, peraturan yang berlaku, dan LHP yang diterbitkan telah sesuai dengan kondisinya. Pengendalian mutu akan menjamin bahwa seluruh tahapan pemeriksaan dilaksanakan tepat waktu, komprehensif, terdokumentasi memadai, dilaksanakan, dan di -review oleh Pemeriksa yang kompeten secara berjenjang (BAB I Huruf H angka 27 Pedoman Manajemen Pemeriksaan Tahun 2015). Sistem Pengendalian Mutu (SPM) BPK mencakup supervisi, reviu berjenjang, monitoring, dan konsultasi selama proses pemeriksaan. Dengan demikian, pengendalian mutu pemeriksaan BPK telah terintegrasi dalam setiap tahap pemeriksaan melalui penerapan SPM. 130 Untuk menjamin mutu pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, sesuai Pasal 33 UU 15/2006, BPK ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia yang kompeten. Peer review terhadap BPK RI telah dilakukan beberapa kali, yaitu pada tahun 2004 oleh SAI New Zealand ( Office of the Auditor-General of New Zealand ), tahun 2009 oleh SAI Belanda ( Algemene Rekenkamer ), tahun 2014 oleh SAI Polandia ( Supreme Audit of Poland ), dan tahun 2019 oleh gabungan SAI yang terdiri dari SAI Polandia, SAI Norwegia ( Office of the Auditor General of Norway ), dan SAI Estonia ( The National Audit Office of Estonia ). Secara umum hal-hal yang diperiksa dalam peer review terhadap BPK RI meliputi aspek kelembagaan dan aspek pemeriksaan. PDTT secara khusus dibahas dalam peer review yang dilaksanakan pada tahun 2009, 2014, dan 2019. Dalam BPK Peer Review Report Tahun 2009 antara lain dinyatakan sebagai berikut: “We found that the Special Purpose Audit Manual complies with international standards and applicable laws and regulations...” “However, we found that the manual does not adequately clarify what type of audit should be used when. Owing to the amount of information the manual contains it is also difficult to obtain a clear understanding of the procedural differences between the three types of special purpose audit. We recommend that the manual be restructured to provide planning, fieldwork and reporting information by type of special purpose audit in separate chapters .” Kemudian dalam Peer Review Tahun 2014 rekomendasi terkait PDTT adalah: “Special purpose audits can be a convenient form to integrate various types of audits. It should not be reduced to compliance or fact sheets: systemic and performance conclusions and recommendations should be applied everywhere, where needed and useful.” Menindaklanjuti rekomendasi dari hasil kedua peer review tersebut, BPK melakukan penyempurnaan atas Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dengan menetapkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 yang dipergunakan pula sebagai standar PDTT. Selain itu, BPK juga menyusun pedoman internal bagi para Pemeriksa BPK dalam melakukan PDTT, yang terdiri atas:
Keputusan BPK Nomor 9/K/I-XIII.2/12/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif dan Penghitungan Kerugian Negara, tanggal 29 Desember 2015; serta b. Keputusan BPK Nomor 3/K/I-XIII.2/5/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kepatuhan, tanggal 11 Mei 2018. 131 Hasil peer review yang __ terakhir pada tahun 2019 memberikan review yang sangat baik kepada BPK, sebagai berikut: - “As for the BPK’s compliance audit, it can be generally assesses as of high quality”. (Peer Review Report, Executive Summary) - When analysing the sampled compliance audits, the Reviewer found that materiality was mostly assessed by using the value concept – by scoring different observations and, at the end, giving an average score. ( Peer Review Report, Domain B: Internal Governance and Ethics ) __ - On the basis of the sample of compliance audits analysed by the Reviewer it can be stated that the audit teams are composed of persons with different backgrounds, both in auditing and in specific areas, such as road construction and engineering. If audit teams lack certain expertise, experienced experts are hired.” ( Peer Review Report, Domain C: Audit Quality and Reporting ) __ Selain itu, untuk mengatur perilaku pemeriksa, BPK telah mempunyai Kode Etik yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Upaya lain untuk menghindari abuse of power adalah dengan menerapkan rotasi pemeriksa secara reguler yang mempertimbangkan kompetensi dan beban tugas yang diemban . Sebagai bentuk checks and balances , LHP PDTT disampaikan kepada Lembaga Perwakilan, pemerintah, dan/atau aparat penegak hukum. Hal ini menandakan bahwa PDTT yang dilakukan BPK akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan. __ Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Enny Nurbaningsih Pertanyaan pertama: _Dalam Penjelasan UU 15/2004: _ “Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.” Bagaimana penjelasan mengenai “tujuan tertentu” dan “tujuan khusus” dalam perdebatan penyusunan ketentuan tersebut? Dalam risalah pembahasan yang dibahas adalah pasal dalam batang tubuh dan penjelasan pasalnya, yaitu dalam Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004 yang menyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan, pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. 132 Kata “khusus” termuat dalam Penjelasan Umum UU 15/2004 yang tidak secara khusus dibahas dalam pembahasan RUU tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Dengan demikian, kata “khusus” dalam Penjelasan Umum UU 15/2004 harus dimaknai sesuai dengan Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004. Pertanyaan kedua: __ Apakah ketiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK satu sama lain berurutan/berkelindan? Untuk pertanyaan tersebut, dapat sampaikan bahwa: Tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak harus dilakukan secara berurutan. Pada saat yang bersamaan BPK dapat melakukan lebih dari satu jenis pemeriksaan, misalnya Pemeriksaan LK dan Pemeriksaan Kinerja atau Pemeriksaan Kinerja dan PDTT. Namun, bisa juga dilakukan sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, terutama untuk PDTT. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya dilakukan apabila terdapat permasalahan yang ditemukan dalam pemeriksaan sebelumnya (keuangan atau kinerja), namun tidak dapat diperdalam dengan mempergunakan metode pemeriksaan keuangan atau kinerja tersebut. Selain sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, PDTT juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR atau APH, serta berdasarkan rencana pemeriksaan BPK, contohnya PDTT atas entitas berbentuk BUMN yang menurut Undang-Undang, LK-nya diperiksa oleh Akuntan Publik. Penyusunan rencana pemeriksaan dilakukan oleh BPK dengan mempertimbangkan isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Pertanyaan ketiga: WTP bukan merupakan indikator penentu. Bagaimana dalam praktik suatu lembaga sudah mendapat opini WTP tapi masih dilakukan PDTT terhadap lembaga tersebut? Apakah PDTT bisa dilakukan tanpa Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja? 133 Sebagaimana penjelasan sebelumnya, WTP atau lebih jelasnya Wajar Tanpa Pengecualian, adalah salah satu jenis opini yang dapat diberikan oleh Pemeriksa atas suatu LK untuk menyatakan bahwa kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan tersebut telah sesuai dengan kriteria. Adapun kriteria yang dimaksud untuk pemberian opini ini sesuai penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU 15/2004 adalah: kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan ( adequate disclosures ), kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa baik WTP maupun ketiga jenis opini lain yang diberikan oleh Pemeriksa terhadap suatu LK merupakan indikator penentu atas kualitas suatu LK dalam hal kewajaran penyajian informasi keuangannya sesuai dengan standar. Mengulang penjelasan kami sebelumnya, berdasarkan UU 15/2004 dan UU 15/2006, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, yaitu Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan PDTT. Perbedaan mendasar dari ketiga jenis pemeriksaan tersebut adalah pada tujuannya. Tujuan Pemeriksaan Keuangan adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas, dengan cara menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi dalam LK. Pemeriksaan Kinerja adalah untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif, sedangkan PDTT dilakukan dengan tujuan khusus, di luar kedua jenis pemeriksaan yang lain. Perbedaan tujuan antara Pemeriksaan Keuangan dan PDTT berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Salah satu contohnya adalah pemeriksaan yang dilakukan atas suatu instansi. Untuk menilai kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN, dilakukan Pemeriksaan atas LK. Sementara untuk memeriksa secara lebih fokus pada suatu aspek tertentu dalam APBN, dilakukan PDTT. Yang dimaksud dengan aspek tertentu misalnya PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset. Merujuk pada penjelasan kami sebelumnya, diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut. Sebagai tambahan contoh, pada saat pemeriksaan LK ditemukan ada ketekoran kas. Atas hal tersebut bendahara telah membuat Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) yang dicatat sebagai piutang lain- lain dalam LK dan diungkapkan dalam catatan akuntansi. Secara kewajaran LK, hal ini tidak akan mempengaruhi opini, sehingga instansi tersebut dapat memperoleh opini WTP atas kewajaran penyajian LK-nya. Namun demikian, untuk mengetahui penyebab terjadinya ketekoran kas tersebut harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui PDTT. Harapannya, dengan metode, ruang 134 lingkup, dan fokus pemeriksaan yang berbeda, yaitu soal ketekoran kas, maka akan dapat diperoleh kesimpulan yang lebih jelas mengenai permasalahan tersebut. Contoh di atas memberikan gambaran PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan atas suatu LK karena adanya masalah ketekoran kas yang tidak dapat diperdalam dengan menggunakan metode pemeriksaan keuangan. Namun demikian, sesungguhnya tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak harus dilakukan secara berurutan. Selain melakukan PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan, BPK dapat melakukan lebih dari satu jenis pemeriksaan pada saat yang bersamaan. Contohnya, Pemeriksaan LK dan Pemeriksaan Kinerja atau Pemeriksaan Kinerja dan PDTT. Selain sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, PDTT juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR atau APH, serta berdasarkan rencana pemeriksaan BPK. Penyusunan rencana pemeriksaan dilakukan oleh BPK dengan mempertimbangkan isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Pertanyaan keempat: PDTT bisa dilakukan atas inisiatif BPK dan atas permintaan. Dalam praktik seberapa besar jumlah PDTT yang berdasarkan inisiatif BPK dan yang berdasarkan permintaan dari luar? Inisiatif BPK untuk melakukan PDTT dituangkan dalam Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP). PDTT yang dilakukan berdasarkan RKP BPK merupakan wujud kemandirian BPK sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 UU 15/2006. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 dan Penjelasan Umum UU 15/2004, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 6: “Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.” Penjelasan Umum Huruf C.: __ “BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.” 135 Berdasarkan data dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, rekapitulasi LHP PDTT BPK yang dilakukan berdasarkan RKP tahunan BPK adalah sebagai berikut: Tahun Jumlah LHP PDTT Total Nilai Penyetoran Selama Proses Pemeriksaan (Rp Juta) Permasalahan Nilai (Rp Juta) RKP 2017 237 3.562 31.704.063,34 80.924,90 2018 286 3.601 10.149.932,92 406.128,47 Semester I 2019 37 734 4.811.962,12 314.927,79 Total 560 7.897 46.665.958,38 801.981,16 Mengacu pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sejak tahun 2017 hingga semester I 2019 telah dilakukan 560 PDTT. Dalam pemeriksaan tersebut telah diungkap 7.897 permasalahan senilai total Rp46.665.958,38 juta. Permasalahan yang diungkap terdiri atas permasalahan SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, serta temuan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan. Selama proses pemeriksaan, telah dilakukan penyetoran senilai total Rp801.981,16 juta. Selain PDTT yang dilakukan berdasarkan RKP tersebut, BPK juga melakukan PDTT dalam bentuk Pemeriksaan Investigatif (PI) dan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) berdasarkan permintaan lembaga perwakilan dan aparat penegak hukum. Pelaksanaan PI dan PKN dalam periode tahun 2017-2019 adalah sebagai berikut: Pemeriksaan Investigatif Tahun 2017 s.d. 2019 Tahun Jumlah LHP Nilai Temuan - Nilai Indikasi Kerugian (Rp) Tindak Lanjut 2017 Perminta an DPR 1 4.081.122.000.000,00 Sudah dimanfaatkan dalam proses penyidikan Perminta an APH (Kepolisi an) 2 68.700.452.556,18 1 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp21.622.309.000) sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 1 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp47.078.143.556) dalam proses penyidikan Total 3 4.149.822.452.556,18 2018 Perminta an DPR 3 3.631.373.059.942,79 1 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp1.032.751.449.287) sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 2 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp2.598.621.610.655) dalam proses penyidikan Permintaan APH 549.543.386.637,88 3 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp50.400.643.908) 136 sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 6 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp499.142.742.729) dalam proses penyidikan - KPK 1 36.694.669.638,00 - Kepolisi an 7 447.184.716.999,88 - Kejaksa an 1 65.664.000.000,00 Total 12 4.180.916.446.580,67 2019 Rencana BPK 2 40.874.981.615,79 Telah dimanfaatkan di tahap penyelidikan Permintaan APH 332.348.240.712,52 Telah dimanfaatkan di tahap penyelidikan - KPK 1 27.385.018.874,00 - Kepolisi an 4 304.963.221.838,52 Total 7 373.223.222.328,10 TOTAL PI 22 8.703.962.121.464,95 Penghitungan Kerugian Negara Tahun 2017 s.d. 2019 Tahun Jumlah LHP Nilai Temuan – Nilai Kerugian (Rp) Tindak Lanjut 2017 - KPK 3 4.611.355.944.853,54 71 LHP (dengan nilai kerugian Rp6.556.425.377.602,65) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 10 LHP (dengan nilai kerugian Rp94.052.491.336,97) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepoli sian 48 1.314.535.900.601,39 - Kejaks aan 30 724.586.023.484,69 Total 81 6.650.477.868.939,62 2018 - KPK 2 56.913.570.320,38 61 LHP (dengan nilai kerugian Rp3.225.093.290.692,67) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 24 LHP (dengan nilai kerugian Rp307.608.435.651,55) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepolisi an 53 949.712.119.133,24 - Kejaksa an 30 2.526.076.036.890,60 Total 85 3.532.701.726.344,22 2019 - KPK 4 221.402.459.924,98 8 LHP (dengan nilai kerugian Rp780.752.165.635,12) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 57 LHP (dengan nilai kerugian Rp965.904.120.416,25) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepolisi an 41 612.078.830.056,73 - Kejaksa an 20 913.174.996.069,66 Total 65 1.746.656.286.051,37 TOTAL PKN 231 11.929.835.881.335,20 137 Dalam kurun tahun 2017-2019, nilai indikasi kerugian yang berhasil diungkap dalam Pemeriksaan Investigatif adalah sebesar Rp8.703.962.121.464,95. Sementara dari PKN, dapat diungkap nilai kerugian negara sebesar Rp11.929.835.881.335,20. Hasil dari PI dan PKN berupa LHP telah ditindaklanjuti dengan proses penegakan hukum oleh APH, baik berupa penyelidikan maupun penyidikan. Selain pengembalian kerugian negara, dari PDTT dapat dilakukan penghematan uang negara melalui mekanisme koreksi subsidi dan koreksi cost recovery dengan data dalam tabel berikut ini: Tahun Koreksi Subsidi Berdasarkan Tahun IHPS (Rp juta) Koreksi Cost Recovery (Rp juta) Total (Rp juta) 2017 2.083.448,63 13.408.146,93 15.491.595,56 2018 2.875.039,51 2.041.700,31 4.916.739,82 Semester I 2019 8.778.654,38 118.016,54 8.896.670,92 Total 13.737.142,52 15.567.863,78 29.305.006,30 Dari data tersebut diketahui bahwa dalam kurun waktu tahun 2017 sampai dengan Semester I 2019, jumlah uang negara yang telah dihemat melalui mekanisme koreksi subsidi adalah sebesar Rp13.737.142,52 juta. Sementara mekanisme koreksi cost recovery telah menghemat uang negara sebesar Rp15.567.863,78 juta. Dengan demikian, total uang negara yang telah dihemat adalah sebesar Rp29.305.006,30 juta. Pertanyaan kelima: Apakah yang dilakukan atas inisiatif BPK adalah untuk PDTT yang belum dilakukan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja? Karena apa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan bahwa sumber pelaksanaan PDTT dapat berasal dari adanya permintaan dari lembaga perwakilan atau APH dan dapat berasal dari rencana pemeriksaan BPK (inisiatif). Rencana pemeriksan tersebut merupakan bentuk kemandirian BPK dalam menentukan objek pemeriksaan. Penyusunan rencana pemeriksaan oleh BPK dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain informasi dari LHP sebelumnya (pemeriksaan lanjutan), isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. 138 Selanjutnya, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Suhartoyo Pertanyaan pertama: Ini persoalan nomenklatur. Sesungguhnya mengenai PDTT investigatif sudah clear. Hanya persoalannya, apakah tepat bila “rumah”-nya adalah PDTT? Terhadap pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan bahwa menurut pendapat kami, tidak ada persoalan nomenklatur dalam perkara uji materi ini. Sebagaimana praktik di dunia internasional yang telah kami sampaikan, selain Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja juga terdapat Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif. Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif inilah yang dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 disebut sebagai PDTT. Sehingga terminologi PDTT sudah sangat clear diatur dalam kedua UU tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, dalam SPKN juga disebutkan bahwa PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Tujuan pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok ( subject matter ) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (yang digunakan sebagai kriteria). Tujuan pemeriksaan investigatif adalah mengungkap ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana pada pengelolaan keuangan negara. Pertanyaan kedua: Selebihnya selain investigatif, apa yang menjadi substansi PDTT? Kalau tidak clear kenapa tidak diubah menjadi “pemeriksaan investigatif”? Kalau nomenklatur PDTT diubah menjadi jenis pemeriksaan investigatif, apakah kewenangan-kewenangan pemeriksaan yang lain selain investigatif ter-cover atau tidak? Hal ini penting supaya ketentuan tersebut dapat dirapikan MK tanpa mengurangi kewenangan, supaya tidak bias dan supaya tidak ada tarik-menarik antara WTP dan PDTT. Izinkan kami menyampaikan kembali mengenai substansi atau bentuk PDTT yang berupa pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Meskipun baik pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif menghasilkan kesimpulan, namun keduanya mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aspek pemeriksaan kepatuhan dapat berupa regularity (ketaatan pada kriteria formal, seperti peraturan perundangan dan perjanjian yang relevan) dan/atau propriety (ketaatan pada prinsip umum pelaksanaan tata kelola 139 keuangan yang baik dan perilaku pejabat publik). Lembaga sektor publik dituntut untuk transparan dan akuntabel serta melaksanakan tata kelola dengan baik dalam mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat. Masyarakat tidak dapat serta merta mempercayai mutlak pejabat sektor publik dalam memenuhi tanggung jawabnya. Di sinilah pemeriksaan kepatuhan memerankan pola dalam meyakini prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif ini hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang atau akan terjadi (PBPK 1/2017 PSP 100 angka 5 huruf v). Sumber predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan kepatuhan, dan informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Sehingga jika PDTT dirapikan hanya menjadi pemeriksaan investigatif, maka substansi PDTT kepatuhan untuk meyakini kesesuaian kegiatan manajemen terhadap peraturan perundang-undangan seperti pengadaan barang dan jasa, pemberian subsidi, dan manajemen aset tidak dapat dilakukan. Pertanyaan ketiga: __ Tadi dijelaskan bahwa ada perbedaan metode dan ruang lingkup. Ini maksudnya seperti apa? Dalam Pelaksanaan Tugasnya BPK dapat melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas LK yang bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran informasi yang disajikan dalam LK berdasarkan standar yang digunakan dalam penyusunan LK. Dalam pemeriksaan keuangan, objek pemeriksaan adalah LK. Kriteria yang digunakan sebagai dasar pemberian opini adalah standar yang digunakan dalam penyusunan LK. Contohnya untuk LK pemerintah pusat, standar yang digunakan adalah Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berbasis akrual sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sedangkan dalam pemeriksaan atas LK Bank Indonesia kriteria yang digunakan adalah standar akuntansi yang berlaku bagi Bank Indonesia yang disebut Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia. Hasil dari pemeriksaan LK adalah opini BPK atas kewajaran penyajian LK yang disusun oleh masing-masing entitas sesuai standar yang berlaku. 140 PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Laporan pemeriksaan ini memuat kesimpulan. PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, manajemen aset, atau kepastian terhadap kontrak/perjanjian. Diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan atau dari hasil Pemeriksaan Kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. _Kemudian, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Arief Hidayat, sebagai berikut: _ Dalam Permohonan dinyatakan bahwa terdapat ketidakpastian dan berpotensi disalahgunakan. Secara normatif sudah clear bahwa instrumen itu diperlukan. PDTT yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan atas permintaan bisa dimengerti. Tetapi yang atas inisiatif BPK bisa menjadi “pedang bermata dua”. Makna terdalam dari pertanyaan Pemohon itulah yang belum terjawab memang ada di tataran implementasi bisa disalahgunakan. Jadi secara potensial bisa disalahgunakan oleh BPK atau oknum BPK. Bagaimana kontrol terhadap penggunaan yang inisiatif? Mahkamah bisa merapikan tanpa merugikan hak konstitusional warga dan lembaga yang diperiksa. Misalnya saja harus diartikan bahwa yang dinamakan PDTT hanya atas permintaan undang-undang atau lembaga lain. Sehingga yang atas inisiatif BPK itu kita hapuskan. Jelaskan apakah selama ini sudah aman-aman saja atau masih mengandung potensi disalahgunakan? Majelis Hakim telah memiliki pemahaman yang sama mengenai “PDTT yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan PDTT atas permintaan lembaga perwakilan atau APH”. Izinkan kami selanjutnya menjelaskan PDTT yang dalam Keterangan BPK sebelumnya disebut dengan ‘inisiatif’. PDTT tersebut kami maksudkan untuk menjelaskan mengenai pelaksanaan PDTT yang bersumber dari Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP) BPK. RKP merupakan bentuk kemandirian BPK dalam menentukan objek pemeriksaan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Penyusunan rencana pemeriksaan oleh BPK dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain informasi dari LHP sebelumnya (pemeriksaan lanjutan), isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Hal ini sejalan dengan yang telah kami jelaskan 141 pada bagian sebelumnya dalam keterangan tambahan yang menyatakan perlunya Pemeriksa mempertimbangkan risiko adanya ketidakpatuhan. Terkait dengan adanya potensi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan PDTT, dalam Standar Pemeriksaan BPK diatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan. Sistem pengendalian mutu BPK mencakup supervisi, reviu berjenjang, monitoring, dan konsultasi selama proses pemeriksaan. Sistem pengendalian itu yang mengendalikan Tim Pemeriksa yang melaksanakan PDTT. Selain itu, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah secara internal oleh BPK dan secara berkala ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia ( International Organization of Supreme Audit Institutions /INTOSAI). Penelaahan dapat dilakukan oleh BPK negara lain sesuai ketentuan Pasal 33 UU 15/2006, tentunya karena pelaksanaan pemeriksaan sampai dengan laporan hasil PDTT juga telah mengacu pada standar dan best practices yang berlaku secara internasional dan mendapat predikat sangat baik (sebagaimana telah dijelaskan dalam jawaban atas pertanyaan Majelis Hakim sebelumnya). Selain itu, terkait dengan potensi penyalahgunaan wewenang, BPK telah menegakkan Kode Etik yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik BPK dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Upaya lain untuk menghindari abuse of power adalah dengan menerapkan rotasi Pemeriksa secara reguler yang mempertimbangkan kompetensi dan beban tugas yang diemban. Sehingga, secara keseluruhan berdasarkan uraian tersebut, pelaksanaan PDTT dapat berjalan dengan aman dan tidak menjadi “pedang bermata dua”, baik yang atas amanat undang-undang, permintaan lembaga perwakilan dan APH serta atas perencanaan pemeriksaan oleh BPK. Selama ini pelaksanaan PDTT sudah sesuai dengan prosedur/standar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berkontribusi positif dalam perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kami justru mengkhawatirkan apabila ada perubahan (dalam arti ‘dirapikan’) rumusan atau makna PDTT dalam norma a quo, maka akan dapat menjadikan pemeriksaan di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang berlaku secara universal. Selain itu pembatasan PDTT hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan lembaga perwakilan dan APH, maka BPK dapat dijadikan sebagai “alat” kepentingan pihak-pihak tertentu yang berpotensi menciderai mekanisme checks and balances serta menciderai independensi BPK. 142 Selain itu, Pihak Terkait menghadirkan satu orang ahli bernama Andi Mattalatta, SH., M.Hum. yang didengar keterangannya di depan persidangan pada tanggal 18 Februari 2020, serta menyerahkan keterangan tertulisnya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Ahli: Andi Mattalatta, SH., M.Hum. Pemohon dalam perkara ini mempersoalkan atau mempertanyakan konstitusionalitas kewenangan BPK melakukan PDTT sebagaimana dimaksud karena tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat 1 UUD 1945. Sesuai dengan posisi saya sebagai anggota Badan Pekerja MPR RI yang membahas perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, maka keterangan yang akan saya sampaikan di sidang yang mulia ini akan terbatas pada pemahaman saya yang bersumber pada perkembangan pemikiran dan suasana pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Dari perkembangan pemikiran dan suasana pembahasan itu mudah- mudahan kita dapat menarik kesimpulan atau pemahaman bahwa semangat perubahan Undang-Undang Dasar telah ditindaklanjuti secara tepat dalam menerbitkan ketentuan lanjutannya berupa ketentuan perundang-undangan yang dilakukan oleh pembuat undang undang. Pemahaman akan perkembangan pemikiran dan semangat perubahan Undang-Undang Dasar itu dengan sendirinya juga bisa berguna untuk dijadikan tolok ukur untuk menilai apakah ketentuan lanjutan yang ada dalam Undang-Undang sesuai dengan semangat Undang- Undang Dasar sehingga dianggap konstitusional atau tidak. Seperti diketahui bersama bahwa semangat utama perubahan Undang- Undang Dasar yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 dimaksudkan agar tercipta pengelolaan negara di semua aspek kehidupan yang menjamin arah terwujudnya cita cita nasional yang termuat dalam alenia 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksaakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Masing-masing aspek kehidupan itu dirumuskan prinsip prinsip pencapaiannya dalam pasal-pasal. Ada aspek kehidupan yang hanya 143 mencantumkan prinsip pencapaiannya tanpa menyebut secara eksplisit institusi penanggung jawabnya, karena penyelenggaraannya melibatkan berbagai institusi kenegaraan. Ada pula aspek kehidupan selain menyebut prinsip pengelolaannya juga menyebut institusi penanggung jawabnya karena dianggap strategis sehingga perlu kepastian konstitusionalnya. Aspek kehidupan yang hanya menyebut prinsip pengelolaannya misalnya aspek pengelolaan keuangan negara harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 ayat (1)). Aspek perekonomian, prinsipnya disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan (Pasal 33 ayat (1)) yang penyelenggaraannya berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat (4)). Aspek pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (2) dan (3)) dan beberapa contoh lainnya yang tidak kami sebutkan rinci di sini. Pada bagian lain ada pula aspek kehidupan yang selain disebut prinsip pengelolaannya juga disebut institusi penanggung jawabnya karena dianggap strategis dalam kehidupan berbangsa dan benegara sekaligus menegaskan tidak adanya institusi lain selain yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar. Rumusan seperti ini antara lain, untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan keuangan negara secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 23, maka diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1)). Aspek Peradilan dilaksanakan oleh pemangku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi dengan prinsip kerja yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24). Aspek pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik 144 Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung (Pasal 30 ayat (2)). Prinsip-prinsip pengelolaan berbagai aspek kehidupan yang diungkapkan di atas haruslah menjiwai rumusan norma-norma lanjutan dalam ketentuan perundang-undangan di bawah Undang Undang Dasar serta menjamin kemudahan perwujudannya dalam implementasi. Bukan justru sebaliknya mempersulit implementasinya. Setelah mengungkapkan beberapa prinsip muatan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar, kini perkenankan saya fokus pada materi perkara yang sedang dipermasalahkan dalam perkara ini yaitu apakah kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu memiliki pijakan konstitusi sehingga konstitusional atau tidak. Dalam Undang-Undang Dasar hasil perubahan, tidak ada lagi Lembaga Negara yang memegang dan melaksanakan kewenangannya tanpa pembatasan atau kontrol termasuk Lembaga Majelis Permusyawaratan yang sebelumnya memiliki kekuasaan tak terbatas sesuai penjelasan Undang-Undang Dasar sebelum perubahan. Sekarang Majelis Permusyawaratan Rakyat, kewenangannya hanya yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Pembatasan kewenangan dan prinsip pengawasan dalam bentuk checks and balances ini merupakan salah satu wujud semangat pengelolaan negara modern yang dianut oleh Undang- Undang Dasar kita. Lembaga Komisi Yudisial misalnya diciptakan untuk menjadi salah satu alat kontrol dunia peradilan dengan kewenangan mengusulkan hakim agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Lembaga Pemerintahan Daerah diperkuat untuk mencegah lahirnya sentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk. Lembaga Dewan Perwakilan Daerah dibentuk untuk menjadi mitra kerja Dewan Perwakilan Rakyat untuk fungsi legislasi dan pengawasan bidang-bidang pemerintahan tertentu. Demikian juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang tadinya penempatannya dalam Undang-Undang Dasar hanya merupakan salah satu ayat dari pasal keuangan sehingga menggambarkan bahwa fungsi pengawasan dan pemeriksaan dalam pengelolaan keuangan negara bukanlah hal yang penting. Searah dengan semangat pengelolaan keuangan negara yang pelaksanaanya harus terbuka dan bertanggungjawab yang diamanatkan oleh perubahan Undang- 145 Undang Dasar maka institusi pengawas dan pemeriksanyapun, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan, harus pula ditingkatkan posisi dan perannya. Peningkatan posisi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan itu oleh Undang- Undang Dasar dimaksudkan agar ada jaminan bahwa pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pembahasan perubahan Undang- Undang Dasar yang dimulai sejak tahun 1999 telah membahas seluruh materi, termasuk di dalamnya pembahasan tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Namun demikian, karena keterbatasan waktu yang dikaitkan dengan sekuen materi maka rumusan baru tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan yang berkaitan dengannya baru dapat disepakati pada tahun sidang 2001 setelah melalui pembahasan selama tiga tahun masa sidang. Lamanya pembahasan tentang Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan betapa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang membahas perubahan Undang-Undang Dasar memberi perhatian yang sangat serius tentang fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara agar betul-betul untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat. Semangat untuk meningkatkan fungsi dan peran pemeriksaan pengelolaan keuangan negara mungkin juga dipengaruhi oleh banyaknya kebocoran dan beratnya beban keuangan negara yang harus ditanggung akibat pengelolaan keuangan negara yang tidak prudent saat itu. Peningkatan posisi, fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam pengelolaan keuangan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 diwujudkan dalam:
Penempatannya dalam sebuah bab tersendiri. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar penempatan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan bagian dari hal keuangan negara dengan menempatkannya sebagai salah satu ayat dalam bab dan pasal tentang keuangan. Penempatan yang demikian ini seolah-olah urusan pemeriksaan keuangan negara bukan hal yang teramat penting. Berangkat dari pemikiran dan semangat keterbukaan pengelolaan keuangan negara dan semangat untuk melahirkan tata kelola pemerintahan yang bersih maka saat itu fungsi pemeriksaan dan pengawasan menjadi penting sehingga institusi yang bertanggungjawab di bidang ini harus juga ditingkatkan bobot kehadirannya. 146 Dengan pertimbangan itu maka Badan Pemeriksa Keuangan oleh Undang- Undang Dasar ditempatkan dalam bab tersendiri terpisah dari bab tentang Keuangan. Dengan Bab tersendiri itu maka kehadiran Badan Pemeriksa Keuangan dan fungsinya menyinari dan menyemangati seluruh aspek kehidupan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugasnya disadari akan banyak kepentingan yang mengitarinya, maka sejak awal perubahan Undang-Undang Dasar sudah membentenginya dengan kebebasan dari intervensi cabang kekuasaan lain. Bahkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar mengamanatkan dukungan sumber daya untuk BPK agar mandiri dalam rnelaksanakan tugasnya. Suatu norma yang tidak ada sebelum perubahan Undang-Undang Dasar.
Penegasan bahwa BPK merupakan satu-satunya lembaga negara pemeriksa keuangan negara. Hal ini mengandung makna bahwa lembaga tunggal di luar cabang kekuasaan eksekutif ini konsekwensinya juga memangku kewenangan tunggal dalam merumuskan sistem dan mekanisme pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam hal ini tentu termasuk pemeriksaan yang bersifat rutin dan umum terhadap laporan keuangan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya serta pemeriksaan yang bersifat khusus sesuai kaidah-kaidah pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.
Hasil pemeriksaan ditujukan tidak terbatas pada lembaga perwakilan. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar, hasil pemeriksaan BPK itu diberikan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya bergantung Dewan Perwakilan Rakyat apakah akan menjadikannya bahan pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan politik di DPR atau tidak. Tidak mengherankan bila saat itu ada yang menyandingkan posisi BPK sebagai alat bantu DPR dan posisi DPA sebagai alat bantu semata dari Presiden. Dengan semangat membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan negara maka perubahan Undang-Undang Dasar tidak hanya mengarahkan hasil pemeriksaan itu diberikan ke lembaga perwakilan 147 tetapi juga ke badan lain sesuai Undang-Undang disertai kewajiban untuk menindaklanjutinya (pasal 23E ayat (3)). Dari pesan Undang-Undang Dasar ini tersirat pengertian bahwa ada pemeriksaan rutin yang sifatnya mandatory yang disampaikan ke lembaga perwakilan dan ada juga pemeriksaan ad hoc yang sifatnya tidak mandatory . Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab presiden sebagai kepala pemerintahan dalam bentuk laporan keuangan dalam waktu tertentu untuk menilai apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi. Pada masa sekarang kita mengenal kesesuaian dengan kaidah akuntansi sebagai kewajaran laporan keuangan. Sedang pemeriksaan ad hoc atau tidak rutin merupakan pemeriksaan untuk menilai penggunaan dan atau pengelolaan keuangan negara apakah dilaksanakan secara efisien dan efektif, sesuai dengan aturan perundang-undangan, dan tidak ada penyimpangan. Pemeriksaan rutin sifatnya mandatory atau wajib sudah ditentukan oleh undang-undang, sedang pemeriksaan ad hoc atau tidak rutin merupakan pemeriksaan atas kegiatan atau program yang berasal dari insiatif Badan Pemeriksa Keuangan sesuai kewenangannya atau bisa merupakan permintaan lembaga perwakilan, penegak hukum, serta lembaga lain dan atau masukan masyarakat. Pada perkembangannya, pemeriksaan demikian dinyatakan oleh pembuat undang-undang sebagai pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dengan frasa "hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti" maka BPK diberi pula kewenangan untuk memantau tindak lanjut pemeriksaan itu yang dilakukan oleh lembaga perwakilan maupun badan lainnya.
Pengembangan tugas BPK menyangkut proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa. Semula sebelum perubahan Undang-Undang Dasar, cakupan pemeriksaan hanya menyangkut tanggung jawab keuangan negara, berkembang setelah perubahan Undang-Undang Dasar menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan yang dibuat pemerintah. Dengan demikian setelah perubahan Undang-Undang Dasar, Badan Pemeriksa Keuangan tidak sekedar memeriksa laporan keuangan yang 148 disajikan, tetapi juga memeriksa seluruh aspek pengelolaan keuangan negara, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporannya. Jika di masa lalu, pemeriksaan hanya bersifat post audit atau memeriksa laporan keuangan, maka pada waktu pembahasan perubahan Undang-undang Dasar, Badan Pekerja MPR menyepakati bahwa Badan Pemeriksa Keuangan juga memeriksa sejak proses anggaran dibuat atau dikenal dengan preaudit. Maksudnya agar Badan Pemeriksa Keuangan tidak hanya memeriksa setelah kerugian terjadi, namun bisa mencegah kerugian terjadi. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar, pemeriksaan BPK tidak hanya menilai kesesuaiannya dengan kaidah akuntansi, namun termasuk memeriksa kesepadanan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggungjawab.
Peningkatan kedudukan, fungsi, dan tugas BPK dalam kerangka menciptakan check and balances antar lembaga negara. Lembaga-lembaga sebagaimana ditetapkan dalam perubahan UUD 1945 diatur kewenangannya dalam rangka checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) sepanjang diperlukan. Oleh karena itu semua lembaga negara dimaksud memiliki kedudukan yang sejajar dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. BPK disebut sebagai pemegang kekuasaan auditif, merupakan lembaga negara yang bebas dan mandiri, serta memiliki fungsi yang telah diperluas pula. Fungsi BPK meliputi “memeriksa” pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dari semua lembaga yang menggunakan uang APBN maupun APBD, BUMN/BUMD, dan lain-lain badan, dalam pengertian keuangan negara. Kebebasan dan kemandirian BPK tidak lepas dari keterkaitannya dengan fungsi DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Demikian halnya dengan fungsi Presiden di bidang legislasi dan eksekutif. Misalnya dalam pembuatan UU Tentang BPK, UU Tentang Keuangan Negara, UU Tentang Perbendaharaan Negara, UU Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara termasuk penyusunan RUU-APBN oleh Presiden kemudian dibahas dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama menjadi UU. Di dalam UU APBN tersebut termasuk berapa anggaran belanja yang dibutuhkan BPK. Bagaimana penggunaan 149 anggaran BPK di tahun sebelumnya dan keperluan pembiayaan kegiatan BPK di tahun anggaran yang bersangkutan. Semua itu berpengaruh pula pada kelancaran kerja BPK dalam mengimplementasi ketentuan dalam UUD 1945. Dengan demikian tidak ada lembaga negara yang bebas sebebasnya atau mandiri tanpa keterkaitan dengan fungsi lembaga lainnya. Demikian halnya hubungan BPK dengan DPD. Walaupun DPD tidak sepenuhnya melaksanakan fungsi seperti halnya DPR, namun DPD juga ikut mengawasi BPK. Melalui mekanisme check and balances tersebut, pembahasan perubahan UUD 1945 sudah memperhitungkan pencegahan suatu lembaga negara melakukan abuse of power dengan memanfaatkan kewenangan yang diberikan. Jika ada abuse of power pasti ada lembaga negara yang lain yang akan mecegah atau mengoreksinya. Demikianlah, sebagai negara hukum yang demokratis, semua lembaga negara melaksanakan fungsi dan tugasnya atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan dimaksud harus mengatur terselenggaranya mekanisme checks and balances antarlembaga negara serta menjamin kemajuan hak asasi manusia dan peradilan yang bebas. Terkait kekuasaan auditif yang dilaksanakan oleh BPK, peraturan perundang- undangan kemudian mengatur ketentuan pemeriksaan harus dilaksanakan berdasar standar pemeriksaan dan pedoman pemeriksaan lainnya yang mengacu pada standar pemeriksaan yang berlaku umum, harus berdasarkan kode etik, ada pengawasan internal di BPK sendiri, pekerjaan BPK harus di- review oleh pihak lain yaitu BPK negara lain, dan ada pengawasan dari DPR dan DPD. Semua aturan ini untuk mencegah tindakan semena-mena atau terjadinya abuse of power oleh BPK dalam melaksanakan kewenangannya. Apalagi dalam situasi keterbukaan informasi publik sekarang ini sangat sulit bagi lembaga publik untuk lepas dari kontrol atau pemantauan masyarakat. Saya sebagai anggota Badan Pekerja yang turut membahas perubahan UUD 1945 menilai hal-hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan telah sejalan dengan maksud dan substansi yang diatur dalam perubahan UUD.
Undang-Undang Dasar sudah barang tentu hanya memuat kaidah-kaidah dasar tentang sesuatu hal. Tidaklah mungkin urusan-urusan tekhnis seperti jenis pemeriksaan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Selain karena sifatnya 150 teknis tentu juga Undang-Undang Dasar memberi ruang pengembangan sistem pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara itu sesuai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan praktik sehari-hari. Untuk mengakomodir itu dirumuskanlah norma yang memungkinkan pengembangan yang sesuai dengan arahan Undang-Undang Dasar. Rumusan itu dimuat dalam Pasal 23G ayat 2 yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang.” Sebagai akhir penjelasan ini saya ingin menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Sesuai dengan prinsip-prinsip perubahan Undang-Undang Dasar dan pintu pengembangan yang disiapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 23G ayat 2, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang di dalam kedua Undang-Undang itu mengatur tentang kewenangan BPK untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu.
Kehadiran kewenangan BPK untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu adalah konstitusional karena merupakan bagian dari semangat penguatan fungsi BPK yang diemban dalam perubahan Undang-Undang Dasar yang pengaturannya diperintahkan oleh pasal 23G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. PDTT bersama dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang diatur dalam kedua UU tersebut kesemuanya dalam rangka untuk melaksanakan tugas dan fungsi BPK guna memastikan pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikianlah keterangan dari seorang pelaku perubahan Undang-Undang Dasar yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sejak tahun 1999 sampai dengan tahun sidang 2002. [2.6] Menimbang bahwa Presiden dan Pihak Terkait BPK menyerahkan kesimpulan yang masing-masing diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Februari 2020 yang pada pokoknya Presiden dan Pihak Terkait BPK tetap pada pendiriannya; 151 [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654, selanjutnya disebut UU 15/2006) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400, selanjutnya disebut UU 15/2004) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang 152 terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 153 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut:
Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006: Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004: Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Bahwa para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia masing-masing menerangkan sebagai berikut:
Pemohon I, Ibnu Sina Chandranegara , adalah pembayar pajak yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yang mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (vide bukti P-4 sampai dengan Bukti P-6) yang juga aktif dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) yang menjabat sebagai Divisi Riset, Jurnal dan Publikasi Ilmiah (vide Bukti P-12).
Pemohon II, Auliya Khasanofa, adalah pembayar pajak yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang yang mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (vide bukti P-7 sampai dengan bukti P-9) yang juga aktif dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (vide bukti P-12).
Pemohon III, Kexia Goutama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (vide bukti P-10 sampai dengan bukti P-11).
Bahwa para Pemohon yang menganggap hak konstitusionalnya dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berpotensi dirugikan oleh berlakunya norma Undang-Undang yang 154 dimohonkan pengujian dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon I dan Pemohon II wewenang konstitusional Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 adalah untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal tersebut haruslah dimaknai secara terbatas hanya mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja sebagaimana kewenangan utama BPK yang diberikan oleh undang-undang. Artinya tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan di luar dari wewenang yang diberikan oleh UUD 1945. Namun dalam perjalanannya pasca diundangkannya UU 15/2004, terdapat penambahan kewenangan yang diberikan kepada BPK yakni kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (selanjutnya disebut PDTT) di mana kewenangan PDTT tersebut adalah kewenangan yang tidak termasuk dalam Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja (vide Pasal 4 ayat (4) dan Penjelasan Umum huruf B angka 3 UU 15/2004). Kemudian kewenangan tersebut dimasukan ke dalam UU 15/2006 yang secara konstitusional kewenangan tersebut inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
Bahwa frasa “tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum yang seharusnya dipenuhi suatu materi muatan peraturan perundang- undangan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya potensi abuse of power yang dapat disalahgunakan oleh institusi BPK dalam melaksanakan kewenangannya terhadap seluruh lembaga negara dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga potensi tersebut dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal tersebut terjadi, maka setiap tidak berjalannya fungsi pemerintahan maka yang paling dirugikan adalah warga negara. Inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon I dan Pemohon II karena mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya sebagai akademisi saat harus menjelaskan terkait konstitusionalitas PDTT serta maksud dan tujuan PDTT kepada publik maupun kepada Mahasiswa 155 di tempat mereka mengajar pada saat ada peristiwa PDTT kepada suatu instansi/lembaga padahal instansi/lembaga tersebut sudah mendapatkan Status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) saat sebelumnya dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja.
Bahwa menurut Pemohon I dan Pemohon II jika dalam penyelenggaraan negara terjadi penyimpangan pelaksanaan tugas dan kewenangan dari lembaga-lembaga negara, maka warga negara adalah pihak yang paling dirugikan. Karena ketidakberfungsian lembaga negara dengan baik menyebabkan sia-sianya amanat/penyerahan kedaulatan yang diberikan rakyat kepada organ-organ negara;
Bahwa menurut Pemohon III dengan adanya PDTT dalam sistem pemeriksaan yang berada di BPK sangat merugikan Pemohon III, karena Pemohon III mengalami kesulitan dalam memahami kedudukan PDTT akibat masuknya PDTT dalam ketentuan norma a quo namun setelah dipelajari lebih lanjut tidak ada penjelasan yang dapat memberikan pemahaman yang komprehensif berkenaan dengan PDTT. [3.6] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara cermat uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, khususnya berkenaan dengan kerugian hak konstitusional yang didalilkan, ternyata bahwa dalil kerugian hak konstitusional dimaksud berkait erat dengan pokok permohonan. Oleh karena itu perihal kedudukan hukum para Pemohon baru dapat diketahui apabila Mahkamah terlebih dahulu memeriksa pokok permohonan. Dengan demikian, Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon tersebut bersama-sama dengan pokok permohonan. [3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan kedudukan hukum para Pemohon akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pokok permohonan, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006, para Pemohon mengemukakan 156 argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon membuka argumentasi dalam dalil permohonannya dengan terlebih dahulu menguraikan secara ringkas mengenai kewenangan BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan Lembaga atau badan lainnya yang mengelola keuangan negara beserta dasar hukum kewenangannya;
Bahwa selanjutnya para Pemohon menguraikan mengenai kewenangan BPK dalam hal melakukan PDTT sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang menurut para Pemohon memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh “oknum” BPK dalam melaksanakan tugasnya.
Bahwa menurut para Pemohon kewenangan PDTT yang dimiliki oleh BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 merupakan kewenangan pemeriksaan di luar __ pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja __ sebagaimana dinyatakan dalam huruf B angka 3 pada bagian Penjelasan UU 15/2004 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 karena merupakan bentuk penambahan kewenangan yang telah diatur secara limitatif dalam ketentuan norma Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, ketentuan mengenai PDTT juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana menjadi prinsip utama dalam negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) karena tidak memiliki kejelasan makna PDTT maupun ketentuan yang menjadi batasan dapat dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Bahwa berdasarkan dalil para Pemohon tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar frasa “dan Pemeriksaan dengan tujuan tertentu” __ dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 157 [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-12 sebagaimana termuat lengkap pada bagian Duduk Perkara. [3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo DPR telah mengajukan keterangan DPR yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan beserta lampirannya yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal tanggal 27 Januari 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo Presiden telah mengajukan keterangan Presiden yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 11 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang masing-masing diterima di Kepaniteraan pada tanggal 15 November 2019 dan tanggal 23 Januari 2020, serta mengajukan dua orang ahli yang bernama Dr. W. Riawan Tjandra, SH., M.Hum., dan Dr. Binsar Hamonangan Simanjuntak, Ak., MBA., serta saksi yang bernama Sumiyati (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo Pihak Terkait Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengajukan keterangan yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan beserta lampirannya yang masing-masing diterima di Kepaniteraan pada tanggal 26 November 2019, tanggal 14 Februari 2020 dan tanggal 18 Februari 2020, serta mengajukan ahli yang bernama Andi Mattalatta, SH., M.Hum. (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama argumentasi yang dikemukakan dalam permohonan para Pemohon serta memeriksa bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah apakah benar PDTT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memberikan kepastian hukum yang adil, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, terutama apabila 158 dilekatkan dalam konteks memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. [3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh persoalan dimaksud, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa sebagai hukum dasar, UUD 1945 telah mengatur sedemikian rupa tujuan yang hendak dicapai dengan membentuk negara Indonesia. Dalam hal ini, Alinea IV Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Guna mencapai tujuan dimaksud, keuangan negara merupakan salah satu faktor penting yang diatur dalam UUD 1945. Berkenaan dengan hal itu, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Karena itu, salah satu perwujudan dari tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk pengelolaan keuangan negara, adalah pelaksanaan pembangunan yang tepat sasaran dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggung jawab guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diperlukan pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka dan bertanggung jawab agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Berangkat dari hal tersebut, kehadiran lembaga pemeriksa keuangan negara menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana halnya hukum dasar negara- negara yang menempatkan makna penting pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan akuntabel, UUD 1945 pun telah mengatur keberadaan badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, serta terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. 159 [3.14.2] Bahwa aturan pokok yang mengatur mengenai perlunya dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta untuk mewujudkan pengelolaan negara yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Ihwal pengelolaan dimaksud, diktum menimbang huruf a UU 15/2004 menyatakan bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara, keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Lebih lanjut, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud, perlu dilakukan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bebas dan mandiri. Tidak hanya dalam UU 15/2004, semangat yang sama dipertegas kembali dalam diktum menimbang huruf a dan huruf b UU 15/2006 yang menyatakan:
bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. [3.14.3] Bahwa dari aturan tersebut sudah jelas tujuan utama dari dibentuknya BPK adalah untuk meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka untuk mendorong pengelolaan keuangan negara guna mencapai tujuan negara dengan melakukan pemeriksaan yang berkualitas melalui proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional sesuai standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Artinya, BPK merupakan garda terdepan dalam mengawasi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dengan mengawal jalannya 160 keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide Pasal 6 UU 15/2006). [3.14.4] Bahwa sebagaimana diatur dalam UU 15/2004, luas lingkup pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, sedangkan pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektifitas. Adapun PDTT adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja (vide Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006); [3.14.5] Bahwa apabila diletakkan dalam konteks pemeriksaan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, PDTT berupa pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang belum diketahui dan tidak tercakup saat pemeriksaan keuangan. Adapun pemeriksaan investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara. Dengan demikian, kewenangan PDTT dimaksudkan memberi ruang kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan secara lebih menyeluruh dan mendalam terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, yang mungkin belum ditemukan adanya kesalahan dan penyimpangan keuangan negara melalui pemeriksaan keuangan, yang dikenal dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) maupun melalui Pemeriksaan Kinerja. Melalui PDTT, BPK antara lain dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara dan/atau bahkan unsur pidana. 161 [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, merujuk Penjelasan UU 15/2004, “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT), adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini dapat dilakukan untuk memperjelas pembuktian ada atau tidaknya penyalahgunaan keuangan negara atau tindak pidana korupsi guna menelisik kemungkinan adanya kerugian keuangan negara ( state loss ), maka dalam batas penalaran yang wajar, PDTT menjadi lebih fleksibel. Karena, tidak ada kriteria yang jelas dan transparan yang dapat diketahui oleh institusi/lembaga yang diperiksa, dibandingkan dengan “pemeriksaan keuangan” dan “pemeriksaan kinerja” . Oleh karenanya, menjadi dapat dipahami jika terdapat pandangan bahwa fleksibilitas tersebut membuka ruang kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power ) oleh BPK dalam melaksanakan tugasnya. Kemungkinan tersebut pun dikemukakan para Pemohon dalam permohonan a quo . Terlebih lagi, ditambahkan para Pemohon, terdapat fakta sejumlah instansi yang telah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) masih memungkinkan dilakukan PDTT. Kemungkinan tersebut dapat terjadi karena opini WTP dimaksud hanyalah mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan sesuai dengan pengungkapan yang diatur dalam SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal. Artinya, WTP bukanlah menjadi predikat pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada institusi/lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar. Oleh karena itu pemberian opini WTP atas laporan keuangan kepada suatu institusi/lembaga tidak menutup kemungkinan dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga tersebut apabila dari hasil pemeriksaan keuangan atau dari hasil pemeriksaan kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. 162 [3.16] Menimbang bahwa kemungkinan sebagaimana dikemukakan di atas pun telah disadari oleh pembentuk undang-undang, sehingga untuk melakukan PDTT, BPK diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan melalui Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (PBPK 1/2017). Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memerhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah. Namun demikian, karena PDTT merupakan pemeriksaan khusus yang diperlukan jika ditemukan adanya indikasi terjadinya kerugian negara dengan tujuan pemeriksaan untuk menemukan fakta dan bukti adanya indikasi terjadinya kerugian negara, maka standar pemeriksaan sebagaimana dikemukakan di atas dirasakan masih belum cukup. Dalam hal ini, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) atau kesalahan dalam menggunakan wewenang ( misuse of power ) dalam pengelolaan keuangan negara, Mahkamah perlu menekankan bahwa kemungkinan untuk bisa dilakukannya PDTT terhadap suatu institusi/lembaga harus didasarkan pada keputusan BPK sebagai suatu lembaga dan tidak diputuskan oleh orang per orang baik oleh auditor maupun oleh seorang anggota BPK tetapi melalui mekanisme yang harus diputuskan oleh BPK sebagai suatu lembaga yang bersifat kolektif kolegial. Terlebih lagi, putusan secara institusional tersebut harus diambil untuk PDTT bagi institusi/lembaga yang telah diberikan status opini WTP oleh BPK. Dengan keputusan demikian, pada satu sisi, BPK menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan status opini WTP dan, di sisi lain, status opini tertinggi tersebut tidak mudah tergerus oleh hasil pemeriksaan PDTT yang dilakukan sebagai kelanjutan dari pemeriksaan sebelumnya. Sehingga dengan demikian, sebagai salah satu bentuk pemeriksaan yang dimiliki BPK dapat dilaksanakan untuk memeriksa pengelolaan tanggung jawab tentang keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. 163 [3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan keberadaan PDTT sebagai salah satu bentuk pemeriksaan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara dan sebelum sampai pada kesimpulan, dikarenakan kerugian hak konstitusional para Pemohon belum ditentukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] dan Paragraf [3.7] di atas, maka berdasarkan pertimbangan Mahkamah terhadap substansi atau norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14] sampai dengan Paragraf [3.16] di atas, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen pada perguruan tinggi (Pemohon I dan Pemohon II) dan bergabung dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA), serta yang berstatus sebagai mahasiswa (Pemohon III) apakah menderita kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK. Terhadap kedudukan hukum para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.17.1] Bahwa sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, yang menjadi lingkup pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam rangka mengawal jalannya keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide UU 15/2004 dan UU 15/2006). Apabila dilihat dari ruang lingkup pemeriksaan BPK tersebut sudah jelas adalah institusi/lembaga yang mengelola keuangan negara yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Sedangkan, bila dilihat dari profesi/status para Pemohon yaitu dosen pada 164 perguruan tinggi dan mahasiswa yang tidak berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara yang merupakan ruang lingkup pemeriksaan BPK sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon yang berprofesi/berstatus sebagai dosen pada perguruan tinggi dan mahasiswa dengan berlakunya Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 yang dimohonkan pengujian. Sementara itu berkaitan dengan Pemohon I dan Pemohon II yang menerangkan dirinya sebagai pembayar pajak, menurut Mahkamah, hal tersebut justru PDTT memberikan perlindungan kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagai pembayar pajak dan hal ini semakin menguatkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon I dan Pemohon II dengan berlakunya norma a quo. [3.17.2] Bahwa dari uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, yang nyata- nyata maupun potensial dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah institusi/lembaga yang melaksanakan pengelolaan keuangan negara sebagai ruang lingkup pemeriksaan BPK. Dengan demikian, dalam kualifikasi para Pemohon sebagai dosen perguruan tinggi dan Mahasiswa, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional sehingga para Pemohon dalam kualifikasi ini, tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan a quo . [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , telah ternyata bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya masih diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagai upaya untuk menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar. Oleh karena itu permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 165 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Andai pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum quod non , permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin , tanggal dua belas , bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin , tanggal dua puluh enam , bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.21 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, 166 Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Saiful Anwar
Kebijakan Pengawasan Intern Kementerian Keuangan Tahun 2010.