Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
e. Pendapat Dr. Chazali H. Situmorang, M.Sc disampaikan pada 11 Desember 2021 yang mengemukakan “Pemerintah dan DPR, harus berhitung betul, pelaksanaan IKN baru pada semester I tahun 2024, apakah situasi Politik dan social ekonomi memungkinkan, karena masa transisi pemerintah dan suasana Pemilu. Isu Kalimantan sebagai paru dunia, apakah tidak menyakitkan Indonesia dalam dunia Global terkait isu Iklim Global. Agar dihindari kesan, proses pembahasan RUU IKN ini terburu-buru, sehingga adanya banyak kelemahan dalam norma-normanya, dan akhirnya menjadi sasaran Judicial Review ke MK oleh kelompk masyarakat.” f. Pendapat Prof. Dr. Satya Arinanto, SH yang disampaikan pada 11 Desember 2021 yang mengemukakan “Terkesan adanya semacam “disparitas” antara substansi NA dan RUU. Misalnya dalam NA ada peninjauan historis sehingga bisa didapatkan potret permasalahan- permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta yang selama ini menjalankan fungsi ganda, yaitu sebagai daerah otonom provinsi dan sebagai Ibu Kota Negara dimana hal ini antara lain bersumber pada kebiasaan dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Namun dalam naskah RUU belum ditemukan suatu penegasan bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut. Dalam NA dikemukakan bahwa salah satu permasalahan yang mengakibatkan Jakarta sudah tidak lagi dapat mengemban peran yang optimal untuk menjadi kota yang menjamin warganya senantiasa aman, terhindar dari bencana alam, atau untuk mendapatkan kondisi hidup layak dan berkelanjutan adalah semakin pesatnya pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun, dan ketidakmerataan persebaran pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta dan Pulau Jawa dengan wilayah. Namun dalam naskah RUU belum ditemukan suatu upaya untuk memberikan solusi terhadap permasalahan ini. Sesuai dengan peribahasa “ada gula ada semut”, apakah bisa ada jaminan bahwa di Ibu Kota Negara yang baru nanti tidak akan ada kemungkinan terjadinya kepadatan penduduk yang tidak terkendali? Jika hal ini sampai terjadi lagi apakah tidak ada kemungkinan terjadi penurunan kondisi dan fungsi lingkungan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun dan ketidakmerataan persebaran pertumbuhan ekonomi di luar Ibu Kota Negara dengan wilayah lain?” g. Pendapat Prof. Dr. Ananda B. Kusuma yang disampaikan pada tanggal 12 Desember 2021 mengemukakan
Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk Penghargaan Kinerja Tahun Berjalan
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 2 ayat (4), ayat (7) dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2021 ten ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 Negara Bukan Pajak dimaksud, telah dilakukan kajian secara mendalam dengan metode observasi, wawancara berbasis kuisioner, wawancara mendalam serta studi pustaka oleh Tim Peneliti Departemen Perikanan Tangkap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro ( vide Bukti P-9); 2. Bahwa berdasarkan kajian yang dilakukan Tim Peneliti dari Universitas Diponegoro mengenai Kajian Persepsi Nelayan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 menyatakan Kesimpulan dan Rekomendasi sebagai berikut: Kesimpulan: 1) Telah terjadi penolakan oleh nelayan secara signifikan (98% responden) atas PP Nomor 85 Tahun 2021 dan Kepmen Nomor 86 Tahun 2021 mengenai PNBP Perikanan karena dinilai memberatkan; 2) Usaha perikanan tangkap di Indonesia merupakan sektor yang perlu didukung oleh pemerintah dengan fakta bahwa usaha perikanan tangkap di Indonesia didominasi oleh usaha perikanan artisanal yang dapat dikategorikan sebagai usaha mikro dan kecil. Kelompok lapangan pekerjaan perikanan juga tergolong penyumbang tingkat kemiskinan utama di Indonesia. Profesi nelayan merupakan pilihan yang bersifat “terpaksa” dan jumlah nelayan juga mengalami pertumbuhan negatif; 3) Kontribusi perikanan dalam pembangunan diantaranya berupa sumber pertumbuhan ekonomi, penguatan ketahanan pangan, penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan, walaupun kontribusi dari aspek PNBP dinilai masih rendah karena karakteristik industri perikanan yang memang kalah kompetitif dibanding jenis industri lainnya; 4) Nelayan sudah memiliki beban berbagai pungutan, baik pungutan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pungutan lokal sehingga peningkatan tarif PNBP perikanan dapat meningkatkan beban nelayan, menurunkan tingkat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45
Pengujian Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
ditentukan, lalu kemudian kasta selanjutnya adalah bank khusus seperti bank pertanian dan sebagainya, selanjutnya adalah kasta paling bawah yaitu bank perkreditan rakyat dan sejenisnya, menurut Pemohon tidaklah tepat karena menimbulkan perlakuan berbeda. Keberadaan bank umum secara statistik memperlihatkan bahwa kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi hanya 37% (tiga puluh persen) terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia. Dilain pihak usaha untuk mengkonsolidasikan perbankan selalu gagal sehingga praktis tidak terjadi karena kebijakan pemerintah sendiri yang tidak mendukung usaha konsolidasi perbankan nasional. Jika pemerintah sendiri tidak memiliki keinginan untuk menggabungkan atau mengkosolidasikan asset miliknya dalam hal ini adalah bank nasional maka sudah tentu pihak swasta tidak akan terdorong melakukan hal yang serupa. Konsolidasi bank nasional merupakan langkah penting agar dapat memperkuat perbankan nasional itu sendiri. Usaha konsolidasi bank nasional ini sudah dilakukan oleh banyak negara antara lain Singapura, Korea dan Malaysia. Singapura yang sebelumnya memiliki 13 bank nasional, kini hanya memiliki 3 bank nasional dan merupakan bank terbesar di ASEAN ( Association of Southeast Asian Nations ) yaitu OCBC, UOB dan DBS, selain itu Malaysia yang sebelumnya memiliki 38 bank nasional kini menjadi 13 bank nasional saja. Bahwa dengan banyaknya bank nasional yang merupakan pemain dominan dalam perbankan nasional diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja, seperti mengakuisisi bank lain, investasi di luar negeri, memberikan kredit di luar negeri dan hal-hal lainnya. Namun bank-bank nasional ini hanya melakukan pembelian obligasi pemerintah yang jumlahnya cukup besar yaitu 35 % (tiga puluh lima persen) dari total kepemilikan obligasi pemerintah dan pemegang terbesar adalah bank-bank umum milik pemerintah yang besar. Sementara itu, bagi BPR atau BPR Syariah, menurut Ahli ada ketidakadilan, seperti pembatasan seperti misalkan tidak boleh memberikan kredit ke provinsi lain, tidak boleh memperluas usaha dengan mengakuisisi BPR atau BPRS lain, tidak boleh mendapatkan dana dari pasar modal. Terkait dengan kepemilikan modal oleh asing dalam BPR atau BPRS, menurut Ahli hal tersebut dapat dikontrol atau diproteksi oleh Bursa Efek Indonesia sehingga pemodal asing tidak dapat membeli efek dari BPR atau BPRS. Sehingga, dengan demikian kekhawatiran terkait dengan kepemilikan asing dalam BPR atau BPRS tidak akan menjadi persoalan. Namun
yang perlu ditekankan menurut Ahli, seharusnya jika bank umum boleh melepas efeknya di pasar modal untuk mendapatkan modal tambahan, seharusnya hal tersebut pun dapat dilakukan oleh BPR atau BPRS sehingga memiliki peran yang sama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Jadi, menurut Ahli, tidak adil jika membandingkan kontribusi bank umum dengan BPR atau BPRS terhadap pertumbuhan ekonomi nasional karena variabel untuk menilainya berbeda. Keberadaan BPR atau BPRS yang semakin hari semakin sedikit dari segi jumlah dan hal itu seolah-olah disambut baik oleh Pemerintah toh dana masyarakat yang tersimpan di BPR atau BPRS tersebut tetap dapat dijamin oleh LPS. BPR atau BPRS yang ditutup atau terancam untuk ditutup, menurut Ahli tidak memerlukan dana dari LPS jika saja diberikan keleluasaan dapat diambil alih oleh BPR atau BPRS lain yang memiliki modal cukup baik. Jika ada kekhawatiran dengan pengambil alihan oleh sesama BPR atau BPRS dikarenakan akan mengalami kekuarangan modal, mengapa hal yang sama tidak dikhawatirkan terhadap bank umum yang melakukan akuisisi bank umum lain yang kekurangan modal ? Pola pikir yang berbeda tersebut menempatkan BPR atau BPRS dalam kondisi yang sulit berkembang. Di beberapa daerah terdapat BPR yang memiliki modal serta asset cukup banyak namun karena dibatasi oleh peraturan perundang-undangan maka BPR-BPR yang kuat tersebut tidak dapat melakukan ekspansi atau bahkan “menolong” BPR-BPR yang sedang “sakit”. Potensi BPR atau BPRS jika dihimpun seluruhnya maka bisa berperan jauh lebih signifikan namun tentunya tanpa dibatasi sebagaimana saat ini sehingga tentu dapat menguasai pasar sebagaimana bank milik pemerintah saat ini. Terkait dengan keberadaan bank umum yang sudah menyentuh hingga kepelosok pedesaan, sesungguhnya masih ada 30% (tiga puluh persen) masyarakat yang tidak tersentuh bank umum milik pemerintah misalkan saja BRI (Bank Rakyat Indonesia). Hal tersebut dikarenakan, menurut Ahli, secara sederhana sistem operasional bank umum adalah memenuhi target atau tidak dan memberikan profit atau tidak, jika tidak memenuhi target maka unit tersebut ditutup. Sehingga dapat dikatakan bank umum tidak memberikan pinjaman kepada productive poor sebagaimana BPR atau BPRS yang mau memberikan pinjaman bahkan walaupun hanya sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah), contohnya adalah LKMA di Sumatera Barat. Jadi, tidak benar pernyataan bahwa saat ini bank umum sudah menyentuh masyarakat di pelosok desa.
bentuk simpanan dan menyediakan pembiayaan bagi nasabah [vide Pasal 19 dan Pasal 21 UU 21/2008]; 15. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9 dan Pasal 25 huruf b UU 21/2008 menyatakan BPR Syariah tidak dapat menjalankan jasa lalu lintas pembayaran atau dengan kata lain dilarang ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, yang dapat memberikan jasa lalu lintas pembayaran adalah Bank Umum Syariah [vide Pasal 1 angka 8 UU 21/2008]; 16. Bahwa implikasi dari pembatasan atau larangan terhadap BPR Syariah untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran di antaranya adalah untuk memindahkan dana nasabah saja, harus melalui rekening BPR Syariah yang Bank Umum Syariah atau Bank Umum Konvensional atau Unit Usaha Syariah (UUS) [Pasal 21 huruf d UU 21/2008]); 17. Bahwa pembatasan atau larangan terhadap BPR Syariah untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak dapat optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat, terutama usaha mikro dan kecil dalam rangka untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan; 18. Bahwa lebih lanjut, Bank Indonesia menetapakan Kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional ( National Payment Gateway ) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi; 19. Bahwa dalam kebijakan itu, BPR Syariah tidak masuk sebagai pihak yang dapat terhubung langsung dengan Gerbang Pembayaran Nasional, jika ingin terhubung harus melalui Bank Umum (Konvensional) atau Bank Umum Syariah [vide Pasal 5 ayat 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional]. Padahal lembaga selain bank (misalnya perusahaan financial technology ) dapat menjadi pihak yang terhubung dengan sistem kebijakan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional ( National
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus
Aktuaris
Relevan terhadap
bahwa aktuaris dibutuhkan dalam pengembangan bidang ekonomi khususnya industri perasuransian dan dana pensiun dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif;
bahwa hasil pekerjaan yang dilakukan oleh aktuaris yang independen dan profesional berperan penting dalam proses pengambilan keputusan ekonomi dan bisnis;
bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk melakukan pemberian izin usaha, pembinaan, dan pengawasan perusahaan konsultan aktuaria;
bahwa sampai saat ini belum terdapat pengaturan yang khusus terhadap aktuaris dan dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengguna jasa dan profesi aktuaris, perlu dilakukan pengaturan terhadap aktuaris;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Aktuaris;
Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
berpotensi akan munculnya masalah-masalah baru sebagai ekses pembangunan Ibu Kota Negara baru seperti macetnya pembangunan karena keterbatasan pembiayaan, timbulnya kasus-kasus baru yang identik dengan 12 (dua belas) fakta empiris seperti dijelaskan pada uraian angka 21 di atas karena akar permasalahannya belum tertangani. b. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Terdapat 8 asas dijelaskan pada halaman 29 sampai dengan 31, yaitu: 1) Asas Kesetaran (Peluang ekonomi untuk semua). Strategi ekonomi yang berorientasi pada masa depan dan akses yang adil ke pendidikan, layanan kesehatan, serta peluang kerja. 2) Asas Keseimbangan Ekologis (Mendesain sesuai Kondisi Alam). Menghormati dan merangkul alam melalui integrasi dan pelestarian bentang alam yang ada. 3) Asas Ketahanan (Sirkular dan Tangguh). Sistem kota (air, energi, sampah) yang sirkular dan terintegrasi, dengan fleksibilitas untuk mengatasi kemungkinan volatilitas global dan pertumbuhan kota yang terencana. 4) Asas Berkelanjutan (IKN yang Rendah Emisi Karbon). Aspirasi kondisi masa depan yang mencerminkan peralihan menuju 100% energi bersih dan mendorong kegiatan rendah karbon. 5) Asas Kelayakan Hidup/ Liveability (Aman dan Terjangkau). Desain kota yang berfokus pada masyarakat dengan perumahan dan pembangunan berkonsep mixed-use ( mixed-use development ) guna memastikan lingkungan yang aman, sehat, dan adil bagi penduduk saat ini dan yang akan datang. 6) Asas Konektivitas (Terhubung, Aktif, dan Mudah Diakses). Strategi mobilitas terintegrasi yang menempatkan warga di garis depan dengan menekankan kemudahan berjalan kaki ( walkability ) dan transportasi umum. 7) Asas Kota Cerdas (Kenyamanan dan Efisiensi melalui Teknologi). Infrastruktur SMART yang meningkatkan efisiensi dan memungkinkan pencapaian aspirasiaspirasi kota. 8) Asas Kebhinnekaan (Bhinneka Tunggal Ika dan keindahan khas Indonesia) Kota yang merepresentasikan Indonesia, memelihara
Mekanisme Pengelolaan Hibah Millennium Challenge Corporation
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Millennium Challenge Corporation Amerika Serikat yang selanjutnya disingkat MCC adalah sebuah lembaga yang dibentuk Pemerintah Amerika Serikat untuk menyalurkan hibah dengan misi mengurangi kemiskinan global melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Millennium Challenge Account Indonesia II yang selanjutnya disebut MCA Indonesia II adalah lembaga yang mengelola dana hibah MCC.
Majelis Wali Amanat Millennium Challenge Account Indonesia II yang selanjutnya disingkat MWA MCA II adalah organ tertinggi dari MCA Indonesia II yang mewakili Pemerintah Indonesia dalam mengelola hibah MCC.
Hibah dari Pemerintah Amerika Serikat melalui Millennium Challenge Corporation yang selanjutnya disebut Hibah MCC adalah hibah yang diberikan kepada Pemerintah Indonesia berdasarkan Grant Agreement Millennium Challenge Compact between The United States of America and The Republic of Indonesia dan Grant Agreement between the Millennium Challenge Corporation and Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency on behalf of The Government of The Republic of Indonesia .
Hibah Compact adalah hibah dalam bentuk uang yang menjadi bagian dari Hibah MCC dan dilaksanakan berdasarkan Grant Agreement Millennium Challenge Compact between The United States of America and The Republic of Indonesia dengan nomor register 24VRWDUA . 6. Hibah Compact Development Funding yang selanjutnya disebut Hibah CDF adalah hibah dalam bentuk jasa yang menjadi bagian dari Hibah MCC dan dilaksanakan berdasarkan Grant Agreement between the Millennium Challenge Corporation and Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency on behalf of The Government of The Republic of Indonesia dengan nomor register 2F5C52EA.
Pengelola Hibah MCC adalah satuan kerja di lingkungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengelola dana Hibah MCC.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari masing-masing kementerian negara/lembaga, yang disusun menurut bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara/ daerah.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik negara/daerah.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja yang selanjutnya disingkat SPTB adalah pernyataan tanggung jawab belanja yang dibuat oleh PA/KPA atas transaksi belanja sampai dengan jumlah tertentu.
Surat Ketetapan Penggantian di Bidang Pajak dan/atau Kepabeanan yang selanjutnya disingkat SKP2K adalah surat yang ditetapkan oleh KPA sebagai dasar pembayaran penggantian di bidang pajak dan/atau kepabeanan.
Kontraktor Utama adalah kontraktor, konsultan, dan pemasok ( supplier ) yang berdasarkan kontrak melaksanakan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, termasuk tenaga ahli dan tenaga pelatih yang dibiayai dengan hibah luar negeri.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Organisasi Nonpemerintah adalah lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakan kegiatan yang bersifat nirlaba dan berkedudukan di Indonesia.
Kontribusi Pemerintah adalah kontribusi yang disediakan oleh penerima hibah atas nama pemerintah dalam bentuk barang dan/atau jasa, atau uang untuk pelaksanaan Hibah MCC yang ketentuannya mengikuti perjanjian __ Hibah MCC.
Unit Pelaksana Program yang selanjutnya disingkat UPP adalah organ pelaksana MCA Indonesia II yang dibentuk oleh MWA MCA II yang bertugas membantu MWA MCA II dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari.
Direktur Eksekutif UPP adalah seseorang pemimpin UPP yang dipilih oleh MWA MCA II melalui proses tender yang kompetitif dan terbuka berdasarkan persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh MWA MCA II.
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN.
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Pajak Penghasilan.
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 1 ...
Relevan terhadap
P 2016 dinaikkan lagi sebesar 4.7% dari target APBN-P 2015 menjadi Rp1.355 triliun. Sayangnya, pada tahun 2016 ini kinerja penerimaan pajak tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Hingga bulan September 2016, realisasi penerimaan pajak masih berkutat di angka Rp 792,4triliun, atau sedikit lebih tinggi dari realisasi tahun 2015 sebesar Rp 686,2 triliun. Dengan melihat fakta tersebut, target pajak tahun 2016 pun sulit tercapai tanpa perbaikan fundamental yang berkelanjutan. Target dan realisasi penerimaan pajak, 2006-2015 Sumber: NK APBN-P, siaran pers Menkeu, diolah Rendahnya kinerja pemungutan pajak juga ditunjukkan dengan kemampuan memungut potensi yang ada ( tax coverage ratio ) yang masih berada pada angka 59%.4 Bahkan jika diukur dengan tax buoyancy ratio (perbandingan antara pertumbuhan penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi), kemampuan memungut potensi pajak lebih rendah atau setidaknya mengalami stagnasi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menciptakan potensi pajak baru pada praktiknya belum dapat dipungut secara optimal. Tax Buoyancy Ratio Indonesia Tahun 2006 – 2015 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id