JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 633 hasil yang relevan dengan "pengawasan anggaran "
Dalam 0.015 detik
Thumbnail
PENERUSAN PINJAMAN | PINJAMAN LUAR NEGERI
64/PMK.05/2018

Tata Cara Penarikan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Kepada Badan Usaha Milik Negara dan Pemerintah Daerah ...

  • Ditetapkan: 28 Jun 2018
  • Diundangkan: 29 Jun 2018

Relevan terhadap

Pasal 5Tutup

Dalam melaksanakan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran PPLN, PPK-PPP memiliki tugas dan wewenang:

a.

menyusun rencana pencairan dana;

b.

melakukan proses bisnis melalui aplikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan sistem perbendaharaan dan anggaran negara, paling sediki t:

1.

menambah atau mengubah data supplier dan data kontrak;

2.

pemeliharaan data supplier dan data kontrak; dan

3.

pengawasan pagu DIPA-PPP.

c.

melakukan verifikasi dokumen tagihan beserta lampiran yang dipersyaratkan;

d.

membuat dan menandatangani SPP atau dokumen yang dipersamakan;

e.

melaporkan pelaksanaan penyaluran dana PPLN kepada KPA-PPP; dan

f.

melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran dana PPLN sebagai tindak lanjut atas Perjanjian PPLN yang dilakukan oleh Pemerintah dan penerima PPLN. - 12 -

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari pemberi PLN yang diikat oleh. suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

2.

Penerusan Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PPLN adalah PLN yang diteruspinjamkan kepada penerima PPLN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.

3.

Perjanjian Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perjanjian PLN adalah kesepakatan tertulis mengenai pinjaman antara Pemerintah dan pemberi PLN.

4.

Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perjanjian PPLN adalah kesepakatan tertulis mengenai penerusan pinjaman antara Pemerintah dan penerima PPLN.

5.

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran PPLN.

6.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

7.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Pengelolaan Pemberian Pinjaman yang selanjutnya disingkat DIPA-PPP adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Kuasa Pengguna Anggaran Pengelolaan Pemberian Pinjaman.

8.

Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

9.

Pembantu Pengguna Anggaran Pengelolaan Pemberian Pinjaman yang selanjutnya disingkat PPA-PPP adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri clan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran PPLN.

10.

Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Pengelolaan Pemberian Pinjaman yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA-PPP adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas penyaluran dana PPLN clan bertindak untuk menandatangani DIPA-PPP.

11.

Kuasa Pengguna Anggaran Pengelolaan Pemberian Pinjaman yang selanjutnya disingkat KPA-PPP adalah pejabat yang memperoleh penugasan dari Menteri selaku PA untuk melaksanakan kewenangan clan tanggung jawab penyaluran dana PPLN.

12.

Pejabat Pembuat Komitmen Pengelolaan Pemberian Pinjaman yang selanjutnya disingkat PPK-PPP adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA-PPP untuk melaksanakan tugas yang berkaitan dengan penyaluran dana PPLN.

13.

Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar Pengelolaan Pemberian Pinjaman yang selanjutnya disingkat PPSPM-PPP ad al ah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA-PPP untuk mengUJl permintaan pembayaran PPLN clan menerbitkan perintah pembayaran PPLN.

14.

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah inspektorat jenderal/ inspektorat utama/ inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.

15.

Rencana Kerja dan Anggaran Pengelolaan Pemberian Pinjaman yang selanjutnya disingkat RKA-PPP adalah dokumen perencanaan anggaran yang memuat nncian kebutuhan dana berupa pembiayaan penerusan pinjaman tahunan yang disusun oleh KPA-PPP.

16.

Rencana Dana Pengeluaran yang selanjutnya disingkat RDP adalah dokumen perencanaan anggaran bagian anggaran yang merupakan himpunan RKA-PPP.

17.

Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK-PPP, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

18.

Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM-PPP untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA-PPP atau dokumen lain yang dipersamakan.

19.

Pembayaran Langsung (direct payment) yang selanjutnya disingkat PL adalah penarikan dana yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Pinjaman dan Hibah atas permintaan KPA-PPP dengan cara mengajukan surat penarikan dana (withdrawal application) kepada pemberi PLN untuk membayar langsung kepada rekanan/pihak yang dituju.

20.

Pembiayaan Pendahuluan (pre-financing) yang selanjutnya disingkat PP adalah penarikan dana yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Pinjaman dan Hibah atas permintaan KPA-PPP dengan cara mengajukan surat penarikan dana (withdrawal application) kepada pemberi PLN untuk membayar kepada pengguna dana sebagai penggantian dana yang pembiayaan kegiatannya dilakukan terlebih dahulu oleh pengguna dana.

21.

Letter of Credit yang selanjutnya disingkat L/C adalah janji tertulis dari bank penerbit (issuing bank) L/C yang bertindak atas permintaan pemohon (applicant) a tau atas namanya sendiri untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga atau eksportir atau kuasa eksportir (pihak yang ditunjuk oleh supplier/ beneficiary) sepanJang memenuhi persyaratan L/C.

22.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

23.

Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Pemda adalah gubernur, bupati atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemda.

24.

Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

25.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Pinjaman dan Hibah yang selanjutnya disingkat KPPN KPH adalah instansi vertikal Direktorat J enderal Perbendaharaan yang secara administratif berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat J enderal Perbendaharaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan secara fungsional bertanggung jawab kepada Direktur Pengelolaan Kas Negara.

26.

No Objection Letter atau dokumen yang dipersamakan yang selanjutnya disingkat NOL adalah surat persetujuan dari pemberi PLN atas suatu kontrak pengadaan barang dan jasa dengan atau tanpa batasan nilai tertentu berdasarkan jenis pekerjaan yang ditetapkan.

27.

Surat Penarikan Dana (withdrawal application) Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPD-PL adalah surat permintaan pencairan pinJaman kepada pemberi PLN yang dibayarkan secara langsung kepada rekanan/pihak yang dituju.

28.

Surat Penarikan Dana (withdrawal application) Pembiayaan Pendahuluan yang selanjutnya disingkat SPD-PP adalah surat permintaan pencairan pinJaman kepada pemberi PLN yang dibayarkan kepada pengguna dana sebagai penggantian dana yang pembiayaan kegiatannya dilakukan terlebih dahulu oleh pengguna dana.

29.

Surat Kuasa Pembebanan L/C yang selanjutnya disingkat SKP L/C adalah surat kuasa yang diterbitkan oleh KPPN KPH kepada Bank Indonesia atau bank yang ditunjuk untuk melaksanakan penarikan PLN melalui L/C.

30.

Notice of Disbursement atau dokumen yang dipersamakan yang selanjutnya disingkat NoD adalah dokumen yang diterbitkan oleh pemberi PLN yang menunjukkan bahwa pemberi PLN telah melakukan pencairan PLN yang antara lain memuat informasi PLN, nama proyek, jumžah uang yang telah ditarik (disbursed), cara penarikan, dan tanggal transaksi penarikan, yang digunakan se bagai dokumen sumber pencatatan penerimaan pembiayaan dan/atau pendapatan hibah atau dokumen/ pemberitahuan/konfirmasi yang disampaikan oleh pemberi PLN terkait refund yang dilakukan oleh Pemerintah yang digunakan sebagai koreksi atas penerimaan pembiayaan dan/atau pendapatan hi bah.

31.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN KPH selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

32.

Surat Perintah Pembukuan/Pengesahan yang selanjutnya disebut SP3 adalah surat perintah yang diterbitkan KPPN KPH, yang fungsinya dipersamakan sebagaimana SP2D, kepada KPA-PPP untuk dibukukan/ disahkan sebagai penenmaan dan pengeluaran dalam APBN atas realisasi penarikan PLN.

33.

Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang­ Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Peruba: ian atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

34.

Closing Date adalah batas akhir waktu untuk pencairan dan/atau penarikan dana PLN melalui penerbitan SP2D dan/atau surat pengantar - surat penarikan dana (covering letter of withdrawal application) oleh KPPN KPH.

35.

Nota Disposisi yang selanjutnya disebut Nodis adalah surat yang diterbitkan oleh Bank Indonesia atau Bank yang ditunjuk yang antara lain memuat informasi realisasi L/C dan berfungsi sebagai pengantar dokumen kepada importir.

Thumbnail
BMN BMN | HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG KEKAYAAN NEGARA
225/PMK.06/2021

Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ...

  • Ditetapkan: 31 Des 2021
  • Diundangkan: 31 Des 2021

Relevan terhadap

Pasal 5Tutup
(1)

Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara merupakan Pengelola Barang atas BMN PKP2B.

(2)

Pengelola Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas meliputi:

a.

melakukan Penatausahaan;

b.

melakukan Inventarisasi;

c.

melakukan pengamanan; dan

d.

melakukan pemeliharaan, atas BMN PKP2B yang berada pada Pengelola Barang.

(3)

Selain memiliki tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengelola Barang memiliki tugas:

a.

menghimpun laporan BMN PKP2B yang disampaikan oleh Pengguna Barang; dan

b.

menyusun laporan BMN PKP2B.

(4)

Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pengelola Barang berwenang dan bertanggung jawab:

a.

merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan BMN PKP2B;

b.

memberikan persetujuan/penolakan terhadap usulan Pemanfaatan, Pemindahan Status Penggunaan, atau Penghapusan atas BMN PKP2B yang berada pada Pengguna Barang dan/atau Kontraktor;

c.

memberikan persetujuan/penolakan terhadap usulan Pemusnahan atas BMN PKP2B yang berada pada Pengguna Barang;

d.

memberikan persetujuan/penolakan terhadap usulan Pemindahtanganan atas BMN PKP2B yang berada pada Pengguna Barang dan/atau Kontraktor, sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini;

e.

memberikan pertimbangan, menyampaikan penolakan, dan mengajukan usulan Pemindahtanganan BMN PKP2B yang memerlukan persetujuan Presiden atau Dewan Perwakilan Rakyat, serta memberikan persetujuan sebagai tindak lanjut dari persetujuan Presiden atau Dewan Perwakilan Rakyat;

f.

menerima penyerahan BMN PKP2B dari Pengguna Barang;

g.

menetapkan Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan atas BMN PKP2B yang berada pada Pengelola Barang;

h.

mengajukan usulan pengalokasian anggaran pengelolaan BMN PKP2B;

i.

mengelola anggaran pengelolaan BMN PKP2B;

j.

melakukan koordinasi dalam pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian;

k.

melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan BMN PKP2B;

l.

melaksanakan tindak lanjut terhadap persetujuan Pemanfaatan, Pemindahan Status Penggunaan, Penghapusan dan Pemindahtanganan atas BMN PKP2B, termasuk namun tidak terbatas pada penandatanganan dokumen yang terkait dengan tindak lanjut persetujuan tersebut; dan

m.

melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)

Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) serta wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang melimpahkan tugas dan wewenangnya kepada:

a.

Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau

b.

pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat.

(6)

Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1.

Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Perjanjian adalah perjanjian kerjasama/karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kontraktor untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batubara.

2.

Kontraktor Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pertambangan batubara, baik dalam rangka penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.

3.

Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disingkat IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

4.

IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian adalah izin usaha yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya pelaksanaan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

5.

Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

6.

BMN yang berasal dari Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut BMN PKP2B adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh dan/atau dibeli Kontraktor dalam rangka kegiatan usaha pertambangan batubara dan/atau barang dan peralatan yang tidak terjual, tidak dipindahkan atau tidak dialihkan oleh Kontraktor setelah pengakhiran perjanjian yang telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi milik Pemerintah, termasuk barang Kontraktor yang pada pengakhiran perjanjian akan dipergunakan untuk kepentingan umum.

7.

Kementerian Keuangan adalah kementerian yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

8.

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Menteri Keuangan adalah Pengelola Barang atas BMN PKP2B.

9.

Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.

10.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.

11.

Direktur adalah Pejabat Eselon II pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan BMN PKP2B.

12.

Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.

13.

Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.

14.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Kementerian Teknis adalah kementerian yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi kegiatan usaha mineral dan batubara.

15.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Menteri Teknis adalah menteri yang kewenangan, tugas, dan fungsinya meliputi kegiatan usaha mineral dan batubara.

16.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara yang selanjutnya disebut Dirjen Minerba adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mempunyai kewenangan, tugas dan fungsi menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan usaha mineral dan batubara.

17.

Pengelola Barang atas BMN PKP2B yang selanjutnya disebut Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN PKP2B.

18.

Pengguna Barang atas BMN PKP2B yang selanjutnya disebut Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN PKP2B.

19.

Kuasa Pengguna Barang atas BMN PKP2B yang selanjutnya disebut Kuasa Pengguna Barang adalah Kepala Satuan Kerja atau pejabat yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pengelolaan BMN PKP2B sesuai dengan kewenangannya.

20.

Unit Akuntansi Pengelola Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPLB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN PKP2B pada tingkat Pengelola Barang.

21.

Unit Akuntansi Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN PKP2B pada tingkat Pengguna Barang.

22.

Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPB BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN PKP2B pada tingkat Kuasa Pengguna Barang.

23.

Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus pada Pengelola Barang yang selanjutnya disingkat UAKPB PL BUN TK adalah unit yang melakukan Penatausahaan BMN PKP2B yang berada pada Pengelola Barang.

24.

Pihak Lain adalah pihak selain Pengelola Barang, Pengguna Barang, Kuasa Pengguna Barang, Kontraktor dan pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dalam pelaksanaan kegiatan usaha Mineral dan Batubara.

25.

Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN PKP2B yang belum atau tidak digunakan secara optimal dengan tidak mengubah status kepemilikan.

26.

Sewa adalah Pemanfaatan BMN PKP2B oleh Pihak Lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.

27.

Sewa Operasi adalah kegiatan dimanfaatkannya BMN PKP2B oleh pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan membayar tarif tertentu dalam bentuk uang kepada negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.

28.

Pinjam Pakai adalah penyerahan penggunaan BMN PKP2B antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau antar Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah dalam jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada Pengelola Barang.

29.

Pemindahan Status Penggunaan adalah pengalihan status BMN PKP2B menjadi BMN.

30.

Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B.

31.

Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B kepada Pihak Lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang.

32.

Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B yang dilakukan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, atau antara Pemerintah Pusat dengan Pihak Lain, dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang, paling sedikit dengan nilai seimbang.

33.

Hibah adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau dari Pemerintah Pusat kepada Pihak Lain, tanpa memperoleh penggantian.

34.

Penyertaan Modal Pemerintah Pusat adalah pengalihan kepemilikan BMN PKP2B yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara pada Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan usaha lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan saham negara.

35.

Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN PKP2B.

36.

Penghapusan adalah tindakan menghapus catatan BMN PKP2B dari daftar BMN PKP2B/daftar rincian aset Kontraktor PKP2B dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang, Pengguna Barang, Kuasa Pengguna Barang, dan/atau Kontraktor dari tanggung jawab administratif dan fisik atas BMN PKP2B yang berada pada penguasaannya.

37.

Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, Inventarisasi, dan pelaporan BMN PKP2B sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

38.

Inventarisasi adalah kegiatan untuk pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan BMN PKP2B.

39.

Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian berupa BMN PKP2B pada saat tertentu.

40.

Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

41.

Penilai Publik adalah Penilai selain Penilai Pemerintah yang mempunyai izin praktik Penilaian dan menjadi anggota asosiasi Penilai yang diakui oleh Pemerintah.

42.

Limbah Sisa Operasi adalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan usaha pertambangan batubara.

43.

Sertipikasi adalah proses yang dilakukan pejabat yang berwenang di bidang pertanahan untuk menerbitkan surat tanda bukti hak atas tanah guna memberikan kepastian hukum dalam rangka menjaga dan mengamankan BMN PKP2B.

44.

Kepentingan Umum adalah kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan, termasuk diantaranya kegiatan Pemerintah Pusat/Daerah/Desa dalam lingkup hubungan persahabatan antara negara/daerah/desa dengan negara lain atau masyarakat/lembaga internasional.

45.

Proyek Strategis Nasional adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Badan Usaha yang memiliki sifat strategis untuk pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka upaya penciptaan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Thumbnail
PENETAPAN PENGHASILAN | BIDANG KEKAYAAN NEGARA
200/PMK.06/2018

Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan ...

  • Ditetapkan: 31 Des 2018
  • Diundangkan: 31 Des 2018

Relevan terhadap

Pasal 11Tutup
(1)

Persero dapat memberikan Tantiem/Insentif Kinerja kepada anggota Direksi berdasarkan penetapan RUPS dalam pengesahan laporan tahunan.

(2)

Pemberian Tantiem/Insentif Kinerja kepada anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam hal realisasi IKU direksi mencapai paling rendah 80% (delapan puluh persen) dari target IKU.

(3)

Pengukuran capaian IKU dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai Pengelolaan Kinerja Direksi dan Dewan Komisaris pada Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan.

(4)

Tantiem/Insentif Kinerja merupakan biaya tahun buku Perseroan dan harus dianggarkan secara spesifik dalam RKAP tahun yang bersangkutan.

(5)

Anggaran Tantiem/Insentif Kinerja harus dikaitkan dengan target-target IKU sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan tahun yang bersangkutan, berdasarkan prinsip semakin agresif target semakin tinggi anggaran Tantiem/Insentif Kinerja.

(6)

Pemberian Tantiem/Insentif Kinerja tidak boleh melebihi Anggaran Tantiem/Insentif Kinerja yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan.

(7)

Dalam hal masa jabatan anggota Direksi tidak sampai 12 (dua belas) bulan dalam tahun buku yang bersangkutan, besaran Tantiem/Insentif Kinerja disesuaikan dengan masa jabatan yang bersangkutan dalam tahun buku dimaksud.

(8)

Tantiem/Insentif Kinerja bagi anggota Direksi Persero ditetapkan dengan komposisi faktor jabatan sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Tantiem/Insentif Direktur Utama.

(9)

Pajak Penghasilan atas Tantiem/Insentif Kinerja ditanggung dan menjadi beban masing-masing anggota Direksi Persero yang bersangkutan.

(10)

Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Tantiem/Insentif Kinerja Direksi ditetapkan dengan Keputusan Menteri, dengan mempertimbangkan:

a.

Tantiem/Insentif Kinerja tahun sebelumnya;

b.

capaian IKU;

c.

kenaikan laba bersih setelah pajak; dan/atau

d.

faktor-faktor lain yang relevan.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia.

2.

Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

3.

Direksi adalah organ Persero yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan Persero, sesuai dengan maksud dan tujuan Persero serta mewakili Persero, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Persero.

4.

Dewan Komisaris adalah organ Persero yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

5.

Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

6.

Penghasilan adalah imbalan/balas jasa yang diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris karena kedudukan dan peran yang diberikan kepada Persero sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan.

7.

Gaji adalah Penghasilan tetap berupa uang yang diterima setiap bulan oleh seseorang karena kedudukannya sebagai anggota Direksi Persero.

8.

Honorarium adalah Penghasilan tetap berupa uang yang diterima setiap bulan oleh seseorang karena kedudukannya sebagai anggota Dewan Komisaris Persero.

9.

Tunjangan adalah penghasilan berupa uang atau yang dapat dinilai dengan uang yang diterima pada waktu tertentu oleh anggota Direksi dan Dewan Komisaris selain Gaji/Honorarium.

10.

Fasilitas adalah Penghasilan berupa sarana dan/atau kemanfaatan dan/atau penjaminan yang digunakan/dimanfaatkan oleh anggota Direksi dan Dewan Komisaris dalam rangka pelaksanaan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan.

11.

Tantiem adalah Penghasilan yang merupakan penghargaan yang diberikan kepada anggota Direksi dan Dewan Komisaris apabila Persero memperoleh laba dan tidak mengalami akumulasi kerugian.

12.

Insentif Kinerja adalah Penghasilan yang merupakan penghargaan yang diberikan kepada anggota Direksi dan Dewan Komisaris Persero apabila terjadi peningkatan kinerja walaupun masih mengalami kerugian atau akumulasi kerugian.

13.

Indikator Kinerja Utama ( Key Performance Indicator ) yang selanjutnya disingkat IKU adalah ukuran-ukuran tertentu yang merupakan target-target yang terukur dan harus dicapai oleh Direksi dan Dewan Komisaris dalam melakukan pengurusan dan pengawasan Persero.

Thumbnail
BIDANG KEKAYAAN NEGARA | PENGELOLAAN KINERJA
106/PMK.06/2017

Pengelolaan Kinerja Direksi dan Dewan Komisaris pada Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan. ...

  • Ditetapkan: 26 Jul 2017
  • Diundangkan: 26 Jul 2017

Relevan terhadap

Pasal 21Tutup

Hasil pencapaian kontrak kinerja Dewan Komisaris dapat digunakan sebagai:

a.

dasar penilaian keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi selama satu tahun anggaran;

b.

dasar bagi RUPS untuk memberikan keputusan terkait pemberian reward atau penghargaan dan penjatuhan sanksi kepada Dewan Komisaris.

MengingatTutup
1.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

2.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);

3.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4556);

5.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.06/2013 tentang Penyusunan, Penyampaian dan Pengubahan Rencana Jangka Panjang dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan;

6.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik Pada Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan;

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Perusahaan Perseroan (Persero) di bawah pembinaan dan pengawasan Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Persero adalah Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang pembinaan dan pengawasannya berada di bawah Menteri Keuangan.

2.

Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

3.

Direksi adalah organ Persero yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan Persero, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Persero.

4.

Dewan Komisaris adalah organ Persero yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

5.

Rencana Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat RJP adalah rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan Persero yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.

6.

Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang selanjutnya disingkat RKAP adalah penjabaran tahunan dari RJP Persero.

7.

Visi adalah cita-cita Persero yang akan dicapai di masa depan.

8.

Misi adalah tujuan jangka panjang Persero yang menjadi landasan didirikannya Persero yang mencakup produksi dan/atau jasa yang diusahakan, sasaran pasar yang dituju, dan upaya untuk meningkatkan kemanfaatan kepada semua pihak terkait.

9.

Kinerja adalah suatu hasil pada sebuah fungsi pekerjaan atau aktivitas selama periode tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

10.

Kontrak Kinerja adalah suatu dokumen kesepakatan Kinerja antara Direksi atau Dewan Komisaris secara kolegial dengan RUPS untuk mewujudkan target Kinerja tertentu yang akan dicapai dalam satu tahun anggaran.

11.

Penilaian Kinerja adalah suatu sistem formal yang secara berkala digunakan untuk mengevaluasi kinerja Direksi dan Dewan Komisaris dalam menjalankan tugas-tugasnya.

12.

Peta Strategi adalah suatu dashboard yang memetakan Sasaran Strategis Perseroan dalam suatu kerangka hubungan sebab akibat yang menggambarkan keseluruhan perjalanan strategi Perseroan.

13.

Sasaran Strategis yang selanjutnya disingkat SS adalah sasaran kerja Perseroan yang disusun sejalan dengan RKAP dan akan dicapai dalam satu tahun anggaran.

14.

Indikator Kinerja Utama yang selanjutnya disingkat IKU adalah tolok ukur keberhasilan pencapaian SS dan/atau tugas dan fungsinya.

15.

Inisiatif Strategis yang selanjutnya disingkat IS adalah satu atau beberapa langkah kegiatan yang digunakan sebagai cara untuk mencapai target IKU sehingga berimplikasi pada pencapaian Sasaran Strategis.

16.

Target IKU adalah suatu ukuran kuantitatif IKU yang ingin dicapai dalam suatu periode tertentu.

17.

Realisasi IKU adalah capaian IKU yang diperoleh dalam periode tertentu.

18.

Capaian Kinerja adalah nilai capaian IKU pada Kontrak Kinerja.

19.

Nilai Kinerja adalah nilai keseluruhan capaian IKU dengan memperhitungkan bobot IKU dan bobot perspektif.

20.

Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas pelaksanaan Kontrak Kinerja yang selanjutnya disebut Evaluasi Kinerja adalah proses untuk menghasilkan informasi capaian kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen Kontrak Kinerja.

Thumbnail
IMPOR BARANG | ILMU PENGETAHUAN
200/PMK.04/2019

Pembebasan Bea Masuk dan Cukai atas Impor Barang untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan ...

  • Ditetapkan: 27 Des 2019
  • Diundangkan: 27 Des 2019

Relevan terhadap

Pasal 4Tutup
(1)

Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Perguruan Tinggi, Kementerian/Lembaga, atau Badan Usaha, mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai tempat pemasukan barang.

(2)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh:

a.

pejabat paling rendah setingkat Dekan, dalam hal permohonan diajukan oleh Perguruan Tinggi;

b.

pejabat paling rendah setingkat eselon II atau pimpinan tinggi pratama, dalam hal permohonan diajukan oleh Kementerian/Lembaga; atau

c.

pimpinan Badan Usaha, dalam hal permohonan diajukan oleh Badan Usaha.

(3)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilampiri dengan:

a.

rekomendasi untuk dapat diberikan pembebasan bea masuk dan cukai dari:

1.

pimpinan Perguruan Tinggi atau pejabat paling rendah setingkat eselon II yang ditunjuk oleh pimpinan Perguruan Tinggi, dalam hal permohonan diajukan oleh Perguruan Tinggi negeri;

2.

Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, dalam hal permohonan diajukan oleh Perguruan Tinggi swasta;

3.

pejabat paling rendah setingkat eselon II atau pimpinan tinggi pratama dari kementerian/ lembaga yang membina Perguruan Tinggi kedinasan, dalam hal permohonan diajukan oleh Perguruan Tinggi kedinasan; atau

4.

pejabat paling rendah setingkat eselon II atau pimpinan tinggi pratama dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian atau kementerian/ lembaga yang membina Badan Usaha terkait, dalam hal permohonan diajukan oleh Badan Usaha;

b.

dokumen perolehan Barang untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan berupa:

1.

fotokopi surat keterangan dari pemberi hibah/ bantuan (gift certificate) atau surat perjanjian kerjasama, dalam hal Barang untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan berasal dari hibah/bantuan atau kerjasama; atau

2.

fotokopi dokumen pembelian, dalam hal Barang untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan berasal dari pembelian.

(4)

Dokumen pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 2 yang diajukan oleh Perguruan Tinggi negeri atau Kementerian/Lembaga harus dilengkapi dengan:

a.

fotokopi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau dokumen yang dipersamakan dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, dalam hal pembelian menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan

b.

fotokopi surat perjanjian atau kontrak pengadaan barang yang menyebutkan bahwa harga dalam perjanjian atau kontrak pengadaan barang tidak meliputi pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal pembelian dan/atau importasi Barang untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dilaksanakan oleh pihak ketiga.

(5)

Contoh format permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Thumbnail
BMN BMN | IBU KOTA NEGARA | BARANG MILIK NEGARA
139/PMK.08/2022

Fasilitas untuk Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi Pemanfaatan Barang Milik Negara dan/atau Pemindahtanganan Barang Milik Negara dalam Rangka Persiap ...

  • Ditetapkan: 13 Sep 2022
  • Diundangkan: 16 Sep 2022

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Fasilitas adalah fasilitas fiskal yang disediakan oleh Menteri kepada PJPBMN yang dibiayai dari sumber- sumber sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

2.

Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

3.

Pemanfaatan Barang Milik Negara yang selanjutnya disebut Pemanfaatan BMN adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan.

4.

Pemindahtanganan Barang Milik Negara yang selanjutnya disebut Pemindahtanganan BMN adalah pengalihan kepemilikan BMN.

5.

Dana Fasilitas adalah dana yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan Fasilitas.

6.

Penanggung Jawab Pengelolaan Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat PJPBMN adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.

7.

Permohonan Fasilitas adalah surat atau nota dinas yang berisi permohonan mengenai penyediaan Fasilitas yang diajukan oleh PJPBMN kepada Menteri.

8.

Data Aset BMN adalah data yang memuat antara lain informasi dan penggunaan aset BMN berupa tanah dan bangunan berikut BMN berupa selain tanah dan/atau bangunan yang melekat di atas/pada tanah dan/atau bangunan yang akan dikelola atau telah dikelola oleh PJPBMN untuk disampaikan dalam rangka penyampaian permohonan Fasilitas kepada Menteri.

9.

Surat Persetujuan Fasilitas adalah surat yang ditandatangani oleh Menteri yang berisi persetujuan atas pemberian Fasilitas penyiapan dan pelaksanaan untuk Pemanfaatan BMN dan/atau Pemindahtanganan BMN dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara.

10.

Keputusan Penugasan adalah Keputusan Menteri yang berisi mengenai penugasan khusus kepada badan usaha milik negara tertentu untuk melaksanakan Fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.

11.

Perjanjian untuk Penugasan Khusus yang selanjutnya disebut Perjanjian Penugasan adalah perjanjian antara Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan direktur utama dari badan usaha milik negara yang ditugaskan untuk melaksanakan Fasilitas, yang mengatur secara rinci mengenai antara lain ruang lingkup Fasilitas, hak dan kewajiban, jangka waktu, dan biaya dari badan usaha milik negara tersebut sehubungan dengan pelaksanaan penugasan.

12.

Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas adalah perjanjian antara Direktur Jenderal Kekayaan Negara dengan direktur utama dari badan usaha milik negara yang ditugaskan untuk melaksanakan Fasilitas.

13.

Tahap Penyiapan adalah tahap kegiatan yang memuat antara lain penyusunan dokumen Kajian Awal Data Aset BMN, Kajian Penataan Ulang Penggunaan BMN, Kajian Potensi Aset, Kajian Peningkatan Nilai Aset dan Skema Kerja Sama, Kajian Rekomendasi Transaksi, daftar BMN untuk digunakan sebagai dukungan pemerintah untuk pelaksanaan proyek KPBU IKN dalam hal diminta oleh PJPBMN, dan/atau dokumen pendukung lainnya untuk pelaksanaan transaksi, pelaksanaan Penjajakan Minat Pasar, bahan masukan terhadap perubahan rencana tata ruang wilayah dan/atau dokumen perencanaan lainnya mengenai Daerah Khusus Ibukota Jakarta sehingga dapat selaras dengan rencana Pemanfaatan BMN dan/atau Pemindahtanganan BMN dan/atau segala kajian dokumen pendukung lainnya.

14.

Tahap Pelaksanaan Transaksi adalah tahap setelah diselesaikannya Tahap Penyiapan untuk pelaksanaan tender Pemanfaatan BMN dan/atau Pemindahtanganan BMN.

15.

Penasihat Transaksi adalah pihak yang terdiri atas penasihat/konsultan di bidang teknis, penasihat/konsultan di bidang keuangan, penasihat/konsultan hukum dan/atau regulasi, penasihat/konsultan di bidang lingkungan, penasihat/konsutan di bidang properti dan/atau penasihat/konsultan lainnya, baik berupa perorangan atau badan usaha atau lembaga nasional atau internasional yang bertugas untuk membantu pelaksanaan Fasilitas.

16.

Hasil Keluaran adalah segala kajian dan/atau dokumen dan/atau bentuk lainnya yang disiapkan dan dipergunakan untuk mendukung proses penyiapan dan pelaksanaan transaksi Pemanfaatan BMN dan/atau Pemindahtanganan BMN.

17.

Kajian Awal Data Aset BMN adalah kajian terhadap Data Aset BMN dalam rangka mengidentifikasi kelengkapan dokumen dan konsolidasi Data Aset BMN.

18.

Kajian Penataan Ulang Penggunaan BMN adalah kajian yang memuat rencana Pemanfaatan BMN dan/atau Pemindahtanganan BMN sesuai dengan dokumen antara lain Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara.

19.

Kajian Potensi Aset adalah kajian atas pemetaan dan penilaian aset BMN yang dikelola.

20.

Kajian Peningkatan Nilai Aset dan Skema Kerja Sama adalah kajian atas upaya peningkatan nilai aset BMN dan pilihan skema pengelolaan BMN yang akan digunakan, strategi komunikasi yang tepat, kerangka waktu kerja, rencana keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder engagement) termasuk dukungan dari pemerintah daerah untuk setiap skema pengelolaan BMN.

21.

Kajian Rekomendasi Transaksi adalah kajian yang mencakup rekomendasi transaksi untuk setiap aset BMN, mekanisme pengumpulan dana atas hasil pengelolaan BMN, serta pengawasan dan evaluasi.

22.

Penjajakan Minat Pasar atau Market Sounding yang selanjutnya disebut Penjajakan Minat Pasar adalah proses interaksi untuk mengetahui masukan maupun minat badan usaha atas BMN yang akan dimanfaatkan dan/atau dipindahtangankan.

23.

Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu dalam melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.

24.

Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu yang merupakan uraian lebih lanjut dari Rencana Induk Ibu Kota Nusantara.

25.

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam rangka pendanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut KPBU IKN adalah kerja sama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dalam rangka pendanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus dengan mengacu pada spesifikasi layanan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Kepala Otorita, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.

26.

Menteri adalah Menteri Keuangan.

Thumbnail
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
19/PUU-XX/2022

Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...

    Relevan terhadap

    Halaman 87Tutup

    [3.12.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, secara konstitusional DPD hanya diberi hak untuk memberikan pertimbangan dalam membahas rancangan UU APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Sementara itu, keterlibatan DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang berkenaan dengan pajak telah dibatasi secara eksplisit hanya sebatas konsultasi [vide Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 3 angka 3 dan Pasal 13 ayat (10) UU 7/2021]. Hal utama yang harus juga ditegaskan oleh Mahkamah terkait dalil Pemohon a quo adalah bahwa DPD tetap dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang terkait dengan pajak yang hasil pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Hal tersebut telah sejalan dengan Pasal 22D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, dalil Pemohon tentang UU 7/2021 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak melibatkan atau mengikutsertakan DPD dalam berbagai proses pembentukan peraturan perundangan di bawah undang-undang yang terkait dengan pajak serta mengesampingkan fungsi, tugas, dan peranan DPD dalam hal memberikan pertimbangan dan pengawasan di bidang perpajakan adalah tidak bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya. 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ;

    Halaman 31Tutup

    pengawasan di bidang antara lain pajak, baik dalam proses pembentukan undang-undang maupun implementasinya, yang dapat dikutip sebagai berikut: “Pasal 22D (1).... (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan , dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan , dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Meskipun bentuk peraturan perundang-undangan yang diamanatkan untuk dibentuk adalah Peraturan Menteri Keuangan, tetapi objek yang akan disesuaikan dalam Peraturan Menteri Keuangan dimaksud adalah materi muatan yang telah ditentukan dalam UU PPh atau UU HPP sehingga pada hakikatnya materi yang akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan itu merupakan materi dalam undang-undang, di mana seharusnya penyesuaian – yang pada dasarnya merupakan suatu perubahan – dilakukan melalui undang-undang pula, sebab perubahan atas materi undang-undang hanya dapat dilakukan melalui bentuk undang-undang pula. Oleh karena itu, dalam pembentukan Peraturan Menteri Keuangan tersebut sudah sepatutnya peran serta atau keikutsertaan DPDRI menjadi syarat mutlak yang tidak dapat diabaikan, sebab materi yang diperintahkan untuk disesuaikan/diubah itu akan berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat luas, di mana secara lembaga DPDRI menjadi lembaga tinggi negara yang kredibel untuk memberikan masukan atau pertimbangan. Besaran PPh yang akan disesuaikan oleh Menteri Keuangan melalui Peraturannya tidaklah dapat mengesampingkan pertimbangan atau masukan dari DPDRI mengingat di dalam penentuan besaran PPh akan sangat mempengaruhi kualitas

    Halaman 33Tutup

    b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang mulai berlaku pada tahun pajak 2022. (2) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Ayat (2) Pasal 17 UU PPh tersebut memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengubah tarif sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) setelah disampaikan kepada DPRRI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN. Perubahan itu dituangkan dalam PP dengan syarat telah dibahas dan disepakati dalam RAPB dengan DPRRI. Materi muatan ini tentunya tidak menghiraukan keberadaan dan eksistensi DPDRI karena tidak mensyaratkan keikutsertaan atau keterlibatan DPDRI dalam pembahasan dan penyusunan RAPBN sebagai prasyarat untuk melakukan perubahan tarif PPh. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, DPD RI memiliki fungsi, tugas dan kewenangan untuk memberikan pertimbangan terkait dengan rancangan undang-undang tentang RAPBN dan/atau pajak dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBN serta undang-undang di bidang perpajakan [vide Pasal 22D ayat (2) dan (3) UUD 1945). Sekalipun secara eksplisit pertimbangan diberikan kepada DPRRI, namun tentunya dapat dipahami bahwa kewenangan DPDRI itu merupakan kewenangan konstitusional yang diamanatkan dalam UUD 1945 sehingga keterlibatan DPDRI dalam setiap perubahan materi undang- undang di bidang pajak, dalam hal ini UU PPh atau UU HPP, meskipun bentuk perubahannya dituangkan dalam PP, adalah suatu keniscayaan. Bilamana materi muatan Pasal 17 ayat (2) UU PPh tersebut tidak mencantumkan peranan DPDRI, maka akan dapat ditafsirkan bahwa ketentuan pasal tersebut tidak mewajibkan DPRRI untuk meminta pertimbangan DPDRI, dan oleh karenanya hal itu akan sangat potensial mendistorsi fungsi, kewenangan dan peranan konstitusional DPDRI. Dengan demikian, materi muatan Pasal 17 ayat (2) UU PPh sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 3 UU HPP dimaksud haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak melibatkan peranan DPDRI.

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA
    127/KM.6/2022

    Indikator Kinerja Pengelolaan Barang Milik Negara Tahun 2022

    • Ditetapkan: 12 Agu 2022
    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    PILOTING SISTEM | BIDANG PERBENDAHARAAN
    159/PMK.05/2018

    Pelaksanaan Piloting Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi

    • Ditetapkan: 14 Des 2018
    • Diundangkan: 21 Des 2018

    Relevan terhadap

    Pasal 41Tutup

    Dalam hal pelaksanaan monitoring realisasi anggaran, PPK melakukan pengawasan dan pengendalian atas:

    a.

    nilai realisasi kontrak melalui Kartu Pengawasan Kontrak; dan

    b.

    ketersediaan pagu anggaran melalui Laporan Ketersediaan Dana.

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
    199/PMK.02/2021

    Tata Cara Revisi Anggaran

    • Ditetapkan: 24 Des 2021
    • Diundangkan: 27 Des 2021

    Relevan terhadap

    Pasal 22Tutup
    (1)

    Revisi Anggaran yang bersumber dari SBSN dapat berupa:

    a.

    Perubahan anggaran yang bersifat menambah Pagu Anggaran SBSN; atau

    b.

    Pergeseran anggaran dalam 1 (satu) unit eselon I yang tidak bersifat menambah Pagu Anggaran SBSN.

    (2)

    Perubahan anggaran yang bersifat menambah Pagu Anggaran SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam rangka:

    a.

    lanjutan pelaksanaan kegiatan/proyek SBSN Tahun Anggaran sebelumnya; dan/atau

    b.

    penggunaan sisa dana penerbitan SBSN yang tidak terserap pada Tahun Anggaran sebelumnya.

    (3)

    Pergeseran anggaran dalam 1 (satu) unit eselon I yang tidak bersifat menambah Pagu Anggaran SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dalam rangka:

    a.

    pembayaran tunggakan kegiatan/proyek SBSN sesuai hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang bersumber dari Sisa Anggaran Kontraktual;

    b.

    rekomposisi pendanaan antar-Tahun Anggaran untuk percepatan kegiatan/proyek SBSN; dan/atau

    c.

    pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual untuk kegiatan/proyek SBSN yang sama dan/atau antar- kegiatan/proyek SBSN.

    Pasal 31Tutup
    (1)

    Tunggakan merupakan tagihan atas pekerjaan/penugasan yang telah diselesaikan tetapi belum dibayarkan sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran berkenaan, kecuali untuk tagihan bulan Desember Tahun Anggaran berkenaan yang akan dibayarkan pada bulan Januari pada Tahun Anggaran berikutnya untuk jenis kegiatan tertentu yang dalam perjanjian diatur bahwa pembayaran tagihan dilakukan pada bulan berikutnya.

    (2)

    Pergeseran anggaran dalam rangka memenuhi tunggakan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    a.

    Pembayaran tunggakan dapat diproses dengan:

    1.

    pembebanan pada DIPA Tahun Anggaran berkenaan tanpa melalui mekanisme revisi anggaran sepanjang alokasi anggaran untuk peruntukan yang sama sudah tersedia; atau

    2.

    pembebanan pada DIPA Tahun Anggaran berkenaan melalui mekanisme Revisi Anggaran.

    b.

    Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis tunggakan yang dapat dibayarkan tanpa melalui mekanisme Revisi Anggaran sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a angka 1, diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.

    c.

    Dalam hal tunggakan diproses melalui mekanisme Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2, Revisi Anggaran dilakukan dengan ketentuan:

    1.

    setiap tunggakan harus dicantumkan dalam catatan-catatan terpisah per akun dalam halaman IV.B DIPA pada setiap alokasi yang ditetapkan untuk mendanai suatu kegiatan per DIPA per Satker.

    2.

    Dalam hal kolom yang terdapat dalam Sistem Aplikasi untuk mencantumkan catatan untuk semua tunggakan tidak mencukupi, rincian detail tagihan per akun dapat disampaikan dalam lembaran terpisah, yang ditetapkan oleh KPA.

    3.

    Dalam hal jumlah tunggakan per tagihan, nilainya: a) sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), harus dilampiri surat pernyataan dari KPA; b) di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), harus dilampiri hasil verifikasi/reviu dari APIP K/L; dan/atau c) di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), harus dilampiri hasil verifikasi/audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

    4.

    Dalam hal tunggakan sudah dilakukan audit oleh pihak pemeriksa yang berwenang, usulan Revisi Anggaran dapat menggunakan hasil audit dari pihak pemeriksa yang berwenang tersebut sebagai dokumen pendukung pengganti surat pernyataan dari KPA atau pengganti hasil verifikasi/reviu dari APIP K/L atau verifikasi/audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

    5.

    Dalam hal terdapat perbedaan angka antara tunggakan yang tercantum dalam halaman IV.B DIPA dengan hasil verifikasi/audit, maka angka yang digunakan adalah angka hasil verifikasi/audit.

    (3)

    Tata cara penyelesaian revisi terkait dengan tunggakan juga berlaku untuk penyelesaian revisi terkait dengan kurang bayar/kurang salur subsidi atau belanja anggaran BUN.

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

    2.

    Revisi Anggaran adalah perubahan rincian anggaran yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang mengenai APBN dan disahkan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran Tahun Anggaran berkenaan.

    3.

    Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

    4.

    Lembaga adalah organisasi non-Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.

    5.

    Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian/Lembaga.

    6.

    Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.

    7.

    Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.

    8.

    Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

    9.

    Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di Kementerian/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.

    10.

    Kuasa Bendahara Umum Negara, yang selanjutya disebut Kuasa BUN, adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang ditetapkan.

    11.

    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan PA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN 12. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.

    13.

    DIPA Petikan adalah DIPA per satuan kerja yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan satuan kerja.

    14.

    Pagu Anggaran adalah alokasi anggaran yang ditetapkan dalam DIPA untuk mendanai belanja Pemerintah Pusat dan/atau pembiayaan anggaran dalam APBN Tahun Anggaran berkenaan.

    15.

    Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut bagian anggaran Kementerian/Lembaga.

    16.

    Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh KPA BUN.

    17.

    Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian/ Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa program/kegiatan dan membebani dana APBN.

    18.

    Penelaahan Revisi Anggaran yang selanjutnya disebut Penelaahan adalah forum yang diselenggarakan dalam rangka untuk menilai usulan Revisi Anggaran yang disampaikan oleh Kementerian/Lembaga atau PPA BUN.

    19.

    Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.

    20.

    Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA- K/L per unit eselon I dan program dalam suatu Kementerian/Lembaga yang ditetapkan berdasarkan hasil penelaahan.

    21.

    Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan RDP BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.

    22.

    Rumusan Informasi Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan termasuk sasaran kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan program, hasil ( outcome ), kegiatan, keluaran ( output ), indikator kinerja utama, dan indikator kinerja kegiatan.

    23.

    Program adalah penjabaran dari kebijakan sesuai dengan visi dan misi Kementerian/Lembaga yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi eselon I atau unit Kementerian/Lembaga yang berisi kegiatan untuk mencapai hasil ( outcome ) dengan indikator kinerja yang terukur.

    24.

    Kegiatan adalah penjabaran dari Program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit Eselon II/Satker atau penugasan tertentu Kementerian/Lembaga yang berisi komponen Kegiatan untuk mencapai keluaran ( output ) dengan indikator kinerja yang terukur.

    25.

    Prioritas Nasional adalah program/kegiatan/proyek untuk pencapaian Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan kebijakan Presiden lainnya.

    26.

    Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berupa belanja pegawai operasional dan belanja barang operasional.

    27.

    Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.

    28.

    Penerusan Hibah adalah hibah yang diterima oleh Pemerintah yang diterushibahkan atau diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah atau dipinjamkan kepada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penerimaan hibah sepanjang diatur dalam perjanjian hibah.

    29.

    Rupiah Murni Pendamping adalah dana rupiah murni yang harus disediakan Pemerintah untuk mendampingi pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

    30.

    Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah penggunaan kembali sisa Pagu Anggaran satu Tahun Anggaran sebelumnya yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan/atau pinjaman dalam negeri sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen pinjaman luar negeri dan/atau pinjaman dalam negeri serta masih dalam masa penarikan.

    31.

    Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah penggunaan kembali sisa Pagu Anggaran satu Tahun Anggaran sebelumnya yang bersumber dari hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri serta masih dalam masa penarikan.

    32.

    Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah tambahan Pagu Anggaran yang berasal dari sisa komitmen pinjaman luar negeri dan/atau pinjaman dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada Tahun Anggaran berkenaan.

    33.

    Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah tambahan Pagu Anggaran yang berasal dari sisa komitmen pinjaman luar negeri dan/atau pinjaman dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada Tahun Anggaran berkenaan.

    34.

    Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID- 19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.

    35.

    Pengeluaran yang tidak diperkenankan ( Ineligible Expenditure ) adalah pengeluaran-pengeluaran yang tidak diperkenankan dibiayai dari dana pinjaman/hibah luar negeri karena tidak sesuai dengan naskah perjanjian pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

    36.

    Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/ Pejabat Eselon I Kementerian/Lembaga adalah pejabat eselon I selaku penanggung jawab Program yang memiliki alokasi anggaran (portofolio) pada bagian anggaran Kementerian/Lembaga.

    37.

    Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.

    38.

    Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.

    39.

    Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

    40.

    Surat Penetapan Pergeseran anggaran belanja antar- subbagian dalam BA BUN, yang selanjutnya disingkat SPP BA BUN adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan dalam rangka pergeseran anggaran belanja antar-subbagian anggaran dalam BA BUN untuk suatu kegiatan.

    41.

    Surat Penetapan Satuan Anggaran Bagian Anggaran 999.08 yang selanjutnya disingkat SP SABA 999.08 adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan untuk suatu Kegiatan, yang dilakukan pergeseran anggaran belanjanya dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) ke bagian anggaran Kementerian/Lembaga.

    42.

    Sistem Aplikasi adalah sistem informasi atau aplikasi yang dibangun oleh Kementerian Keuangan untuk mendukung proses penyusunan dan penelaahan anggaran, pengesahan DIPA, dan perubahan DIPA.

    43.

    Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran rincian keluaran ( output ) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak pengadaan barang/jasa untuk menghasilkan rincian keluaran ( output ) sesuai dengan volume rincian keluaran ( output ) yang ditetapkan dalam DIPA.

    44.

    Sisa Anggaran Swakelola adalah selisih lebih antara alokasi anggaran rincian keluaran ( output ) yang tercantum dalam DIPA dengan realisasi anggaran untuk mencapai volume rincian keluaran ( output ) yang sudah selesai dilaksanakan.

    45.

    Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.

    46.

    Target PNBP adalah perkiraan PNBP yang akan diterima dalam satu Tahun Anggaran.

    47.

    Pagu Penggunaan Dana PNBP adalah batas tertinggi anggaran yang bersumber dari PNBP yang akan dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga untuk tahun yang direncanakan.

    48.

    Rincian Output yang selanjutnya disingkat RO adalah keluaran ( output ) Kegiatan riil yang sangat spesifik yang dihasilkan oleh unit kerja Kementerian/Lembaga yang berfokus pada isu dan/atau lokasi tertentu.

    49.

    Klasifikasi Rincian Output yang selanjutnya disingkat KRO adalah kumpulan RO yang disusun dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan muatan RO yang sejenis/serumpun berdasarkan sektor/bidang/jenis tertentu secara sistematis.

    50.

    Penyesuaian Belanja Negara adalah melakukan pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis ( automatic adjustment ), realokasi anggaran, pemotongan anggaran belanja negara, dan/atau pergeseran anggaran antar-Program.

    • 1
    • ...
    • 19
    • 20
    • 21
    • ...
    • 64