Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
Relevan terhadap
Wajib Pajak yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus:
menyelenggarakan pembukuan secara terpisah atas penghasilan yang mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan badan dan penghasilan lainnya yang tidak mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal terdapat biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanan biaya bersama dialokasikan secara proporsional.
Penghasilan yang diterima dan diperoleh Wajib Pajak dari Kegiatan Usaha Utama memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan selama periode pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan tanpa penerbitan surat keterangan bebas pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar Kegiatan Usaha Utama yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan wajib menyampaikan laporan setiap 1 (satu) tahun kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
laporan realisasi penanaman modal sejak diterima Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sampai dengan Saat Mulai Berproduksi Komersial atau sampai dengan saat seluruh rencana penanaman modalnya telah direalisasikan bagi Wajib Pajak yang mendapat penugasan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan
laporan realisasi produksi sejak tahun pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan jangka waktu pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan berakhir atau sejak tahun pajak penetapan pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan sampai dengan jangka waktu pemanfaatan pengurangan Pajak Penghasilan badan berakhir bagi Wajib Pajak yang mendapat penugasan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak:
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf C; atau
tidak memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat teguran kepada Wajib Pajak.
Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, kuasa dari Wajib Pajak, Wajib Pajak:
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau b. tidak memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, Wajib Pajak dapat diusulkan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Untuk dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Wajib Pajak badan harus memenuhi kriteria:
merupakan Industri Pionir;
berstatus sebagai badan hukum Indonesia;
melakukan penanaman modal baru yang belum pernah diterbitkan:
keputusan mengenai pemberian atau pemberitahuan mengenai penolakan pengurangan Pajak Penghasilan badan;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
pemberitahuan mengenai pemberian pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya berdasarkan Pasal 29A Peraturan Pemerintah mengenai penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan; dan
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan pada Kawasan Ekonomi Khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus;
mempunyai nilai rencana penanaman modal baru paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan; dan
berkomitmen untuk mulai merealisasikan rencana penanaman modal paling lambat 1 (satu) tahun setelah diterbitkannya keputusan pengurangan Pajak Penghasilan badan.
Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
industri logam dasar hulu:
besi baja; atau
bukan besi baja, tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri pemurnian atau pengilangan minyak dan gas bumi tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi, gas alam, dan/atau batubara tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan, atau kehutanan tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri kimia dasar anorganik tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri bahan baku utama farmasi tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi;
industri pembuatan peralatan iradiasi, elektromedikal, atau elektroterapi;
industri pembuatan komponen utama peralatan elektronika atau telematika;
industri pembuatan mesin dan komponen utama mesin;
industri pembuatan komponen robotik yang mendukung industri pembuatan mesin-mesin manufaktur;
industri pembuatan komponen utama mesin pembangkit tenaga listrik;
industri pembuatan kendaraan bermotor dan komponen utama kendaraan bermotor;
industri pembuatan komponen utama kapal;
industri pembuatan komponen utama kereta api;
industri pembuatan komponen utama pesawat terbang dan aktivitas penunjang industri dirgantara;
industri pengolahan berbasis hasil pertanian, perkebunan, atau kehutanan yang menghasilkan bubur kertas ( pulp ) tanpa atau beserta turunannya;
infrastruktur ekonomi; atau
ekonomi digital yang mencakup aktivitas pengolahan data, hosting , dan kegiatan yang berhubungan dengan itu.
Rincian bidang usaha dan jenis produksi dari masing- masing cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus melampirkan surat keterangan fiskal seluruh pemegang saham yang tercatat dalam akta pendirian atau akta perubahan terakhir.
Dalam hal terjadi perubahan pemegang saham, surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dimiliki oleh pemegang saham yang tercatat dalam akta perubahan terakhir.
Surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-1 ...
Relevan terhadap
Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa:
pembebasan bea masuk dan/atau cukai;
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan
dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
Jenis barang impor yang diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Impor barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diberikan terhadap pengeluaran barang asal impor dan/atau tempat lain dalam daerah pabean dari:
kawasan berikat atau gudang berikat;
Kawasan Bebas atau kawasan ekonomi khusus; dan/atau c. Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.
Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengusaha kawasan berikat, pengusaha gudang berikat, pengusaha di Kawasan Bebas, pelaku usaha di kawasan ekonomi khusus, atau Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor:
dibebaskan dari kewajiban untuk melunasi bea masuk dan/atau cukai serta dikecualikan dari kewajiban melunasi pajak dalam rangka impor; dan/atau b. dikecualikan dari kewajiban untuk melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang pada saat pemasukannya belum dilunasi.
Pengeluaran barang yang dikecualikan dari kewajiban untuk melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, merupakan penyerahan barang kena pajak ke tempat lain dalam daerah pabean yang ditanggung pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan.
Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) huruf a, termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.
Tata laksana impor atau pengeluaran barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor barang untuk dipakai, impor barang melalui pusat logistik berikat, kawasan berikat, gudang berikat, Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, barang kiriman, dan barang bawaan penumpang.
Tata Cara Penyusunan Usulan, Evaluasi Usulan, dan Penetapan Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ...
Relevan terhadap
Direktur Jenderal Anggaran melaksanakan evaluasi atas usulan jenis dan tarif atas jenis PNBP setelah penyampaian usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diterima.
Evaluasi atas usulan jenis dan tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
evaluasi penerapan dasar pertimbangan usulan tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4); dan
evaluasi atas ketentuan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Dalam melakukan evaluasi atas usulan jenis dan tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Anggaran dapat berkoordinasi dengan:
unit eselon I lain di lingkungan Kementerian Keuangan; dan/atau
Kementerian/Lembaga lain yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Instansi Pengelola PNBP.
Dalam hal usulan jenis dan tarif atas jenis PNBP berasal dari objek PNBP Pemanfaatan Sumber Daya Alam, koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a termasuk melibatkan Badan Kebijakan Fiskal untuk melakukan evaluasi dampak pengenaan jenis dan tarif atas jenis PNBP tersebut terhadap perpajakan, PNBP, dana bagi hasil, dan pendapatan asli daerah.
Evaluasi dampak pengenaan jenis dan tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk mempertimbangkan pajak daerah dan retribusi daerah yang dikenakan atas objek PNBP Pemanfaatan Sumber Daya Alam.
Dalam hal usulan jenis dan tarif atas jenis PNBP berdampak langsung kepada harga jual produk/jasa yang secara dominan menjadi komponen penghitung inflasi, koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a termasuk melibatkan Badan Kebijakan Fiskal untuk melakukan evaluasi dampak pengenaan jenis dan tarif atas jenis PNBP tersebut terhadap inflasi.
Dalam hal usulan jenis dan tarif atas jenis PNBP berasal dari objek PNBP Pengelolaan Barang Milik Negara berupa penggunaan Barang Milik Negara, koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a termasuk melibatkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Petunjuk teknis mengenai evaluasi atas usulan jenis dan tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Bab IV huruf A dan B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus
Relevan terhadap 1 lainnya
PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 79 (1) Penanaman Modal yang dilakukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 tidak dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78. (21 Penanaman Modal yang dilakukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tidak dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75. Pasal 80 Badan Usaha dalam transaksi:
pengadaan tanah untuk KEK;
penjualan tanah dan/atau bangunan dan/atau c. sewa tanah dan/atau bangunan di KEK, tidak dipungut Pajak Penghasilan. di KEK; Pasal 81 (1) Warga negara asing yang bekerja di KEK dan telah menjadi subjek pajak dalam negeri serta memiliki keahlian tertentu dapat diberikan fasilitas dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia selama 4 (empat) tahun. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau melalui Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 82 . Bagian Ketiga Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pasal 82 Fasilitas Pajak Penghasilan selain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tetap dapat diberikan kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 83 (1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas:
penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud tertentu dari TLDDP, kawasan bebas, dan tempat penimbunan berikat kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
impor Barang Kena Pajak Berwujud tertentu ke KEK oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
impor Barang Konsumsi ke KEK pariwisata oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud tertentu antar Badan Usaha, antar Pelaku Usaha, atau antar Badan Usaha dengan Pelaku Usaha;
penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud termasuk jasa persewaan tanah dan/atau bangunan di KEK oleh Pelaku Usaha dan/atau Badan Usaha kepada Pelaku Usaha lainnya dan/atau Badan Usaha di KEK yang sama atau KEK lainnya;
penyerahan f. penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha dari TLDDP atau selain TLDDP kepada Badan Usaha/Pelaku Usaha; dan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam KEK oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha. (2) Barang Kena Pajak Berwujud tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d berupa:
barang modal termasuk tanah dan/atau bangunan, peralatan/mesin dan suku cadang yang diperlukan untuk proses produksi pengolahan, barang modal termasuk tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk pembangunan dan/atau pengembangan KEK sesuai dengan bidang usahanya;
bahan baku, bahan pembantu, dan barang lain yang ^,diolah, dirakit dan/atau dipasang pada barang lain untuk kegiatan manufaktur, logistik, dan/atau penelitian dan pengembangan;
bahan baku, bahan pembantu, peralatan dan barang lain yang diperlukan bagi kegiatan yang menghasilkan jasa kena pajak dan/atau kegiatan pengembangan teknologi ; dan I atau d. barang yang diperuntukan bagi kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan, dan perekondisian permesinan yang digunakan bidang usaha industri manufaktur dan logistik, serta maintenance, repair and ouerhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang. (3) Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diberikan sesuai bidang usahanya berupa:
^jasa maklon;
^jasa PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA b. jasa perbaikan dan perawatan termasuk maintenance, repair and ouerhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang;
jasa pengurusan transportasi terkait barang untuk tujuan ekspor;
jasa konstruksi yang meliputi perencanaan, perancangan, pelaksanaan pembangunan, dan pengawasan pembangunan di KEK, termasuk konsultansi konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, dan perancangan konstruksi;
^jasa teknologi dan informasi;
jasa penelitian dan pengembangan;
jasa persewaan alat angkut berupa persewaan pesawat udara dan/atau kapal laut untuk kegiatan penerbangan atau pelayaran internasional;
jasa konsultansi bisnis dan manajemen, jasa konsultansi hukum, jasa konsultansi desain arsitektur dan interior, jasa konsultansi sumber daya manusia, jasa konsultansi keinsin5ruran, jasa konsultansi pemasaran, jasa akuntansi atau pembukuan, jasa audit laporan keuangan, dan jasa perpajakan;
jasa perdagangan berupa jasa mencarikan penjual barang di dalam Daerah Pabean untuk tujuan ekspor;
jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit, danl atau komunikasi/konektivitas data; dan
jasa lainnya yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (4) Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a barang a. Barang Konsumsi yang diperlukan oleh Pelaku Usaha di KEK pariwisata sebagai bahan baku usaha untuk menghasilkan jasa;
waktu penggunaannya relatif singkat serta akan hilang keberadaan danf atau fungsinya bila sudah dipergunakart, yang digunakan dalam proses produksi yang menghasilkan jasa; dan
tidak ditujukan untuk penggunaan di luar KEK. (5) Jenis Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dapat diberikan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor, dicantumkan dalam daftar barang yang diusulkan oleh Administrator KEK dan ditetapkan oleh Dewan Nasional. (6) Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diimpor, jumlahnya ditetapkan oleh Administrator KEK dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Dewan Nasional. (71 Dalam hal KEK berasal dari sebagian atau seluruh wilayah kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, penyerahan Jasa Kena Pajak dari dan ke kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 84 (1) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pelaku Usaha ke TLDDP, dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pelaku (2) Pelaku Usaha di KEK yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pelaku Usaha ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang pada saat impor barang atau penyerahan barang tidak dipungut pajaknya. (3) Dapat dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari Pelaku Usaha maintenancq repair and ouerhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perulndang-undangan. (4) Dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak yang mendapat fasilitas dan kemudahan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pasal 85 Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK wajib membuat faktur pajak pada saat penyerahan Barang dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 86 Atas impor dan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu, Jasa Kena Pajak Tertentu, dan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis diberikan fasilitas dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 87 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian fasilitas dan kemudahan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Bagian Keempat Bea Masuk, Pajak Dalam Rangka Impor, dan Cukai Paragraf 1 Umum (1) Untuk seluruh Pabean. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan KEK sebagai Kawasan Pabean diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 89 (1) Fasilitas dan kemudahan kepabeanan yang diberikan bagi Badan Usaha di KEK meliputi pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor atas impor barang modal dalam rangka pembangunan atau pengembangan KEK. (2) Fasilitas dan kemudahan kepabeanan yang diberikan bagi Pelaku Usaha di KEK yang bergerak di bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang masih dalam tahap pembangunan atau pengembangan meliputi pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor atas impor barang modal.
Pengelolaan KEK dilakukan oleh Badan Usaha pengelola, Administrator KEK, Dewan Kawasan, dan Dewan Nasional. Bagian Kedua Badan Usaha Pengelola Pasal 64 (1) Badan Usaha pengelola bertugas menyelenggarakan kegiatan usaha KEK. (21 Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas;
badan PFIES IDEN REPUBLIK INDONESIA badan usaha patungan; atau badan layanan umum. (3) Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lambat sebelum KEK beroperasi. Pasal 65 (1) Untuk KEK yang diusulkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, penetapan Badan Usaha pengelola dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai:
pengelolaan barang milik negaraf daerah; atau
kerja sama pemerintah dan badan usaha. (2) Dalam hal aset prasarana dan sarana KEK merupakan barang milik negaraf daerah, Pemerintah Daerah kabupatenfkota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Dewan Nasional dapat menugaskan badan usaha milik negaralbadan usaha milik daerah sebagai Badan Usaha pengelola. (3) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penyertaan modal daerah f negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 66 (1) Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 melaksanakan pengelolaan KEK berdasarkan perjanjian pengelolaan KEK antara Badan Usaha dengan Pemerintah Daerah kabupatenf kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Dewan Nasional/kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: e f.
lingkup a. lingkup pekerjaan;
jangka waktu;
standar kinerja pelayanan;
sanksi;
pelaksanaan pelayanan KEK dalam hal terjadi sengketa;
pemutusan perjanjian oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Dewan Nasional/kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dalam hal tertentu;
manajemen operasional KEK;
pengakhiran perjanjian;
pertanggungjawaban terhadap barang milik negaraldaerah; dan
serah terima aset atau infrastruktur oleh Badan Usaha pengelola kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupatenlkota setelah kerja sama pengelolaan berakhir. (3) Dalam hal pengelolaan KEK dilakukan oleh badan usaha milik negaralbadan usaha milik daerah berdasarkan mekanisme penyertaan modal negara/daerah kepada badan usaha milik negaraf badan usaha milik daerah yang bersangkutan, tidak memerlukan perjanjian pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Evaluasi Pengelolaan KEK Pasal 67 (1) Administrator KEK melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Nasional dengan tembusan kepada Dewan Kawasan. (2) Dewan Nasional melakukan evaluasi pengelolaan KEK berdasarkan laporan Administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 disampaikan kepada:
Administrator KEK; dan
Dewan Kawasan. Pasal 68 Hasil evaluasi Dewan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) ditindaklanjuti oleh Dewan Kawasan dan Administrator KEK untuk pengendalian operasional KEK. Pasal 69 (1) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), Dewan Nasional dapat meminta masukan dari Dewan Kawasan dan Administrator KEK terkait upaya perbaikan operasionalisasi KEK. (2) Berdasarkan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Nasional dapat:
memberikan arahan kepada Dewan Kawasan dan Administrator KEK untuk peningkatan kinerja operasionalisasi KEK;
melakukan b. melakukan pemantauan terhadap operasionalisasi KEK; dan/atau
memberikan rekomendasi mengenai langkah tindak lanjut operasionalisasi KEK. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c, dapat berupa:
pemutusan perjanjian pengelolaan KEK dalam hal Badan Usaha pengelola ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1);
perbaikan manajemen operasional KEK dalam hal Badan Usaha pengelola merupakan Badan Usaha pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), atau Badan Usaha yang melakukan kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (21, Pasal 35 ayat (2), Pasal 36 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (5); atau
pengusulan pencabutan penetapan KEK. (41 Rekomendasi pemutusan perjanjian pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Dewan Kawasan, apabila Badan Usaha pengelola:
tidak memenuhi standar kinerja pelayanan;
dinyatakan pailit;
melakukan kegiatan yang menyimpang dari Perizinan Berusaha dan izin lain yang diberikan; dan/atau
mengajukan permohonan berhenti sebagai Badan Usaha pengelola. (5) Rekomendasi perbaikan manajemen operasional KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Dewan Kawasan, apabila Badan Usaha pengelola:
tidak memenuhi standar kinerja pelayanan; dan/atau
melakukan b. melakukan kegiatan yang menyimpang dari Perrzinan Berusaha danizin lain yang diberikan. (6) Rekomendasi pencabutan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Presiden apabila dalam pengoperasian KEK:
tidak dilakukan perbaikan kinerja setelah dilakukan langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (41atau ayat (5);
terjadi dampak negatif skala luas terhadap lingkungan di sekitarnya;
menimbulkan gejolak sosial ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya; dan/atau
terjadi pelanggaran hukum di KEK. Pasal 70 (1) Dalam hal status Badan Usaha pengelola dicabut, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten f kota, atau Dewan Nasional/kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian melakukan proses penetapan Badan Usaha pengelola yang baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah pencabutan Badan Usaha pengelola. (2) Selama belum ditetapkannya Badan Usaha pengelola yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelolaan KEK dilakukan oleh Administrator KEK. BAB VIII FASILITAS DAN KEMUDAHAN DI KEK Pasal 71 (1) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan pada kegiatan usaha di KEK, diberikan fasilitas dan kemudahan berupa:
perpajakan PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA a. perpajakan, kepabeanan, dan cukai;
lalu lintas barang;
ketenagakerjaan;
keimigrasian;
pertanahan dan tata ruang;
Perizinan Berusaha; dan/atau
fasilitas dan kemudahan lainnya. (2) Fasilitas dan kemudahan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 (1) Dewan Nasional menetapkan 1 (satu) atau lebih kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sebagai Kegiatan Utama di KEK. (2) Kegiatan usaha yang tidak ditetapkan sebagai Kegiatan Utama di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Kegiatan Lainnya. BAB IX FASILITAS DAN KEMUDAHAN PERPAJAKAN, KEPABEANAN, DAN CUKAI Bagian Kesatu Jenis Fasilitas dan Kemudahan, dan Syarat Umum Penerima Fasilitas dan Kemudahan Pasal 73 (1) Fasilitas dan kemudahan perpajakan, kepabeanan, dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l ayat (1) huruf a berupa:
Pajak Penghasilan;
Pajak b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor; dan/atau
Cukai. (2) Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c termasuk Bea Masuk anti dumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, dan Bea Masuk pembalasan. (3) Untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha harus memenuhi syarat:
merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, baik pusat maupun cabang, yang melakukan kegiatan usaha di KEK;
memiliki penetapan sebagai Badan Usaha untuk membangun danf atau mengelola KEK dari Dewan Nasional, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupatenf kota, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya;
mempunyai batas lahan yang jelas sesuai tahapannya; dan
memiliki Perizinan Berusaha. (4) Untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha harus memenuhi syarat sebagai berikut:
merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, baik pusat maupun cabang; dan
memiliki Perizinan Berusaha. (5) Administrator KEK dapat menerbitkan tanda pengenal khusus bagi Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK.
Ketentuan .
Ketentuan mengenai fasilitas dan kemudahan perpajakan, kepabeanan, dan cukai diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 74 Untuk dapat memperoleh fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf c berupa penangguhan Bea Masuk, Badan Usaha, dan Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di KEK harus memiliki sistem informasi (IT inuentory) yang tersambung dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Bagian Kedua Fasilitas dan Kemudahan Pajak Penghasilan Pasal 75 (1) Badan Usaha danf atau Pelaku Usaha yang melakukan Penanaman Modal pada kegiatan utama dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Kegiatan Utama yang dilakukan. (21 Ketentuan mengenai besaran, jangka waktu, pengajuan, keputusan, pemanfaatan, larangan dan sanksi, dan kewajiban Wajib Pajak terkait pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 76 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di luar kegiatan usaha yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 77 (1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di luar penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari kegiatan usaha yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (2) Badan Usaha dan Pelaku Usaha yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, tetap melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 78 (1) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan Penanaman Modal pada Kegiatan Utama yang tidak memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 atau melakukan Penanaman Modal pada Kegiatan Lainnya dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan yang meliputi:
pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal yang dilakukan;
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebesar loyo (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah; dan
kompensasi kerugian selama 10 (sepuluh) tahun. (2) Ketentuan mengenai pengajuan, keputusan, pemanfaatan, larangan dan sanksi, dan kewajiban Wajib Pajak terkait fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Toko yang berada pada KEK Pariwisata dapat berpartisipasi dalam skema pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 99 Pembelian rumah tinggal atau hunian yang menjadi Kegiatan Utama pada KEK Pariwisata, diberikan:
pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan
pembebasan Pajak Penghasilan atas Penjualan atas barang yang tergolong sangat mewah. Bagian Keenam Pajak Daerah Pasal 100 (1) Pemerintah Daerah wajib menetapkan pengurangan, keringanan, dan pembebasan atas pajak daerah dan/atau retribusi daerah kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. (2) Pengurangan, keringanan, dan pembebasan atas pajak daerah dan/atau retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa pengurangan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan pengurangan pajak bumi dan bangunan. (3) Pengurangan pajak daerah dan/atau retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling rendah 5oo/o (lima puluh persen) dan paling tinggi looo/o (seratus persen). (41 Ketentuan mengenai bentuk, besaran, dan tata cara pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. BAB X FASILITAS DAN KEMUDAHAN LALU LINTAS BARANG Pasal 101 (1) Ketentuan larangan impor dan ekspor di KEK berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang larangan dan pembatasan impor dan ekspor. (2) Terhadap impor barang ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan dan tata niaga di bidang impor.
Pengeluaran barang impor untuk dipakai dari KEK ke TLDDP berlaku ketentuan pembatasan di bidang impor. (4) Bagi barang yang membahayakan Kesehatan, Keselamatan, Keamanan dan Lingkungan (K3L) dapat dikenai pembatasan apabila barang dimaksud bukan merupakan bahan baku bagi kegiatan usaha dan institusi teknis terkait secara khusus memberlakukan ketentuan pembatasan di KEK. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai belum diberlakukannya ketentuan pembatasan dan tata niaga di bidang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. (6) Pelaksanaan ketentuan mengenai impor dan ekspor dilakukan melalui sistem elektronik yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat dan terintegrasi secara nasional. Pasal 102 (1) Barang asal impor untuk dipakai di KEK belum diberlakukan kewajiban standar nasional Indonesia. (2) Barang yang dikeluarkan dari KEK ke TLDDP untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 103 (1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan menunjuk Administrator KEK sebagai instansi penerbit surat keterangan asal. (21 Pengeluaran barang untuk ekspor dapat dilengkapi dengan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh instansi penerbit surat keterangan asal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 104 (1) Penggunaan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh negara asal dari luar negeri dapat diberlakukan untuk pengeluaran barang dari KEK ke TLDDP. (2) Surat keterangan asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk pengeluaran barang secara parsial dari KEK ke TLDDP dengan menggunakan pemotongan kuota. BAB XI FASILITAS DAN KEMUDAHAN KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 105 (1) Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK selaku pemberi kerja yang akan mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. (2) Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu:
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang; dan
untuk tenaga kerja asing yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau komisaris, diberikan sekali dan berlaku selama tenaga kerja asing yang bersangkutan menjadi direksi atau komisaris.
Pengesahan (3) Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal; dan
tenaga kerja asing yang dibutuhkan pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start upl berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. Pasal 106 Pemberi kerja tenaga kerja asing dapat mempekerjakan tenaga kerja asing yang sedang dipekerjakan oleh pemberi kerja lain sebagai direksi, komisaris, atau tenaga kerja asing pada sektor tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pasal 107 Tata cara permohonan dan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Bagian Kedua Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus Pasal 1O8 (1) Gubernur dapat membentuk lembaga kerja sama tripartit khusus di KEK. (2) Lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
melakukan a. melakukan komunikasi dan konsultasi mengenai berbagai permasalahan ketenagakerjaan;
melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan timbulnya permasalahan ketenagakerjaan; dan
memberikan saran dan pertimbangan mengenai langkah penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan. Pasal 109 (1) Keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus terdiri atas unsur:
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah;
serikat pekerja/serikat buruh; dan
asosiasi pengusaha. (2) Unsur Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikutsertakan Administrator KEK. Pasal 1 10 Gubernur mengangkat dan memberhentikan keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus. Pasal 1 1 1 Keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya selama 3 (tiga) tahun. Pasal 1 12 (1) Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus, calon anggota harus memenuhi persyaratan:
warga negara Indonesia; 70 sehat ^jasmani dan rohani;
berpendidikan paling rendah sekolah menengah tingkat atas atau sederajat;
aparatur sipil negara di lingkungan organisasi Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah atau instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di KEK dan/atau instansi terkait lainnya, bagi calon anggota yang berasal dari unsur Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah;
anggota atau pengururs serikat pekerja/serikat buruh yang mempunyai domisili di KEK, bagi calon anggota yang berasal dari unsur serikat pekerja/ serikat buruh; dan
anggota atau pengurlls asosiasi pengusaha, bagi calon anggota yang berasal dari unsur asosiasi pengusaha. (21 Ketua lembaga kerja sama tripartit khusus dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. Pasal 1 13 Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1), calon anggota yang berasal dari unsur serikat pekerja/serikat buruh atau unsur asosiasi pengusaha harus diusulkan oleh pimpinan serikat pekerja/serikat buruh atau pimpinan asosiasi pengusaha yang bersangkutan. Pasal 1 14 (1) Selain karena berakhirnya masa jabatan, keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus dapat berakhir apabila anggota yang bersangkutan:
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1);
mengundurkan diri; b c meninggal c. meninggal dunia;
selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan tugasnya; atau
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian keanggotaan lembaga kerja sama tripartit khusus sebelum berakhirnya masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Ketua lembaga kerja sama tripartit khusus. Pasal 1 15 Penggantian anggota lembaga kerja sarna tripartit khusus yang diberhentikan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal lL4 ayat (1) diusulkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi kepada gubernur setelah menerima usulan dari organisasi atau instansi yang bersangkutan. Pasal 1 16 (1) Dalam hal anggota lembaga kerja sama tripartit khusus mengundurkan diri atas permintaan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal ll4 ayat (1) huruf b, permintaan disampaikan oleh anggota yang bersangkutan kepada gubernur dengan tembusan kepada organisasi atau instansi yang mengusulkan. (2) Organisasi atau instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengusulkan penggantian anggota kepada gubernur. Pasal 1 17 Susunan keanggotaan lembaga kerja sarna tripartit khusus terdiri atas:
ketua merangkap anggota yang dijabat oleh gubernur;
3 (tiga) wakil ketua merangkap anggota masing-masing dijabat oleh anggota yang mewakili unsur Pemerintah Daerah, unsur asosiasi pengusaha dan unsur serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang berada di KEK;
sekretaris merangkap anggota dijabat oleh Administrator KEK;
anggota unsur Pemerintah Pusat sekurang-kurangnya terdiri dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan;
anggota unsur Pemerintah Daerah paling kurang terdiri dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerj aan kabupate n I kota;
anggota unsur serikat pekerja/serikat buruh terdiri dari serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang berada di KEK; dan
anggota unsur asosiasi pengusaha terdiri dari asosiasi pengusaha yang ditunjuk dan disepakati dari dan oleh asosiasi pengusaha yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perLrndang-undangan. Pasal 1 18 (1) Anggota lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berjumlah 9 (sembilan) orang. (21 Dalam menetapkan Anggota lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh dan unsur asosiasi pengusaha.
Komposisi keterwakilan unsur Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh dan unsur asosiasi pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah masing-masing 3 (tiga) orang. Pasal 1 19 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2), lembaga kerja sama tripartit khusus dibantu oleh sekretariat. (21 Sekretariat lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh sekretaris lembaga kerja sama tripartit khusus. (3) Sekretariat lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara fungsional oleh sekretariat Dewan Kawasan. Pasal 12O (1) Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, lembaga kerja sama tripartit khusus dapat membentuk Badan Pekerja. (2) Keanggotaan Badan Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari anggota lembaga kerja sama tripartit khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja Badan Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 diatur dengan Peraturan Ketua lembaga kerja sama tripartit khusus. Pasal 121 (1) Lembaga kerja sarna tripartit khusus mengadakan sidang secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. PRES !DEN REPUBLIK INDONESIA (2) Dalam hal diperlukan, lembaga keda sama tripartit khusus dapat melakukan kerja sama dan/atau mengikutsertakan pihak lain dalam sidang lembaga kerja sama tripartit khusus. (3) Pelaksanaan sidang lembaga kerja sama tripartit khusus dilakukan dengan mengutamakan musyawarah mufakat. (4) Tata kerja lembaga kerja sama tripartit khusus ditetapkan oleh Ketua lembaga kerja sama tripartit khusus. Pasal 122 (1) Lembaga kerja sama tripartit khusus berkoordinasi dengan lembaga kerja sama tripartit nasional untuk melakukan sinkronisasi terhadap agenda program yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas lembaga kerja sama tripartit khusus yang bersifat arahan dan konsultatif. (2) Lembaga kerja sama tripartit khusus dapat melakukan koordinasi dengan lembaga lainnya untuk menciptakan iklim ketenagakerjaan yang harmonis dan kondusif. (3) Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas lembaga kerja sarna tripartit khusus dibebankan kepada anggaran pendapatan belanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah. Bagian Ketiga Serikat Pekerja/ Serikat Buruh Pasal 123 (1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh. (21 Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh paling kurang 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh. Pasal 124 . Pasal 124 (1) Untuk perusahaan yang mempunyai lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, dapat dibentuk 1 (satu) forum serikat pekerja/serikat buruh pada setiap perusahaan. (2) Ketentuan mengenai pembentukan forum serikat pekerja/serikat buruh diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. BAB XII FASILITAS DAN KEMUDAHAN KEIMIGRASIAN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023
Relevan terhadap
Penerimaan Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a direncanakan sebesar Rp2.021.223.677.000.000,00 (dua kuadriliun dua puluh satu triliun dua ratus dua puluh tiga miliar enam ratus tujuh puluh tujuh juta rupiah), terdiri atas:
Pendapatan Pajak Dalam Negeri; dan
Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional.
Pendapatan Pajak Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rpl.963.482.528.000.000,00 (satu kuadriliun sembilan ratus enam puluh tiga triliun empat ratus delapan puluh dua miliar lima ratus dua puluh delapan juta rupiah), terdiri atas:
pendapatan pajak penghasilan;
pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah;
pendapatan pajak bumi dan bangunan;
pendapatan cukai; dan
pendapatan pajak lainnya.
Pendapatan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a direncanakan sebesar Rp935.068.625.696.000,00 (sembilan ratus tiga puluh lima triliun enam puluh delapan miliar enam ratus dua puluh lima juta enam ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) yang di dalamnya termasuk pajak penghasilan ditanggung Pemerintah atas:
komoditas ... SK No 156401 A jdih.kemenkeu.go.id (4) (5) (6) a. kornoditas panas burni sebesar Rp2.810.100.000.000,00 (dua triliun delapan ratus sepuluh rniliar seratus juta rupiah) yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;
bunga, irnbal basil, dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah atau pihak lain yang mendapat penugasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dalarn rangka penerbitan dan/atau pernbelian kembali SBN di pasar internasional, tetapi tidak terrnasuk jasa konsultan hukurn lokal, sebesar RpS.076.940.000.000,00 (lima triliun tujuh puluh enam miliar sembilan ratus empat puluh juta rupiah) yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; dan
penghasilan dari penghapusan secara mutlak piutang negara nonpokok yang bersurnber dari Pernberian Pinjarnan, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah yang diterima oleh Perusahaan Daerah Air Minurn sebesar Rp129.621.000,00 (seratus dua puluh sernbilan juta enam ratus dua puluh satu ribu rupiah) yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b direncanakan sebesar Rp742.953.614.644.000,00 (tujuh ratus empat puluh dua triliun sembilan ratus lima puluh tiga miliar enam ratus ernpat belas juta enam ratus empat puluh em pat ribu rupiah). Pendapatan pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c direncanakan sebesar Rp31.311.018.008.000,00 (tiga puluh satu triliun tiga ratus sebelas miliar delapan belas juta delapan ribu rupiah). Pendapatan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d direncanakan sebesar Rp245.449.751.000.000,00 (dua ratus empat puluh lima triliun empat ratus empat puluh sembilan miliar tujuh ratus lima puluh satu juta rupiah).
(8) (9) (10) (11) (1) Pendapatan pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e direncanakan sebesar Rp8.699.518.652.000,00 (delapan triliun enam ratus sembilan puluh sembilan miliar lima ratus delapan belas juta enam ratus lima puluh dua ribu rupiah). Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp57.741.149.000.000,00 (lima puluh tujuh triliun tujuh ratus empat puluh satu miliar seratus empat puluh sembilan juta rupiah), terdiri a tas:
pendapatan bea masuk; dan
pendapatan bea keluar. Pendapatan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a direncanakan sebesar Rp47.528.459.000.000,00 (empat puluh tujuh triliun lima ratus dua puluh delapan miliar empat ratus lima puluh sembilan juta rupiah). Pendapatan bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b direncanakan sebesar Rpl0.212.690.000.000,00 (sepuluh triliun dua ratus dua belas miliar enam ratus sembilan puluh juta rupiah). Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian Penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Presiden.
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah.
Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pendapatan pajak dalam negen dan pendapatan pajak perdagangan in ternasional.
Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.
Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Penerimaan Hi bah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga dan Bendahara Umum Negara. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai basil (outcome) tertentu pada Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
1 7. Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak, dan/atau disalurkan langsung kepada penerima manfaat, sesuai kemampuan keuangan negara. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan daerah, serta kepada daerah lain non penghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antardaerah. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus.
Dana Tambahan Infrastruktur Dalam Rangka Otonomi Khusus bagi provinsi-provinsi di wilayah Papua yang selanjutnya disingkat DTI adalah dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran yang ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur perhubungan, energi listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sanitasi lingkungan. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang- Undang mengenai keistimewaan Yogyakarta. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. In sen tif Fiskal adalah dana yang bersum ber dari APBN yang diberikan kepada daerah berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja di bidang dapat berupa tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran pembiayaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan pembiayaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun- tahun anggaran berikutnya.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBN selama satu periode pelaporan. Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya yang selanjutnya disingkat BPYBDS adalah bantuan Pemerintah berupa BMN yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga atau pada Badan Usaha Milik Negara.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APSN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta Lembaga/Sadan Lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi. Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, dan/atau sosial, dan/atau manfaat lainnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dana Sergulir adalah dana yang dikelola oleh Sadan Layanan Umum tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya. Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, Sadan Usaha Milik Negara, Sadan Usaha Milik Daerah, dan pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dalam hal kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, Sadan Usaha Milik Negara, Sadan Usaha Milik Daerah, dan pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan/atau badan usaha sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian kerja sama. Pinjaman Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.
Pinjaman Tunai adalah pmJaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang.
Pinjaman Kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga, pmJaman yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara, dan pinjaman yang diterushibahkan kepada pemerintah daerah.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pendidikan melalui kementerian negara/lembaga dan nonkementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan.
Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara pada saat Undang- Undang mengenai APBN ditetapkan.
Tahun Anggaran 2023 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari 2023 sampa1 dengan tanggal 31 Desember 2023.
Ayat (1) Pemberian hibah kepada pemerintah asing/lembaga asmg dilakukan dalam bentuk uang tunai dan/atau uang untuk membiayai kegiatan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemerintah dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah antara lain dalam rangka penanggulangan bencana. Anggaran pemberian hibah dapat bersumber dari realokasi anggaran kegiatan kementerian negara/lembaga yang sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pos pembiayaan untuk dana abadi di bidang pendidikan antara lain untuk:
dana abadi pendidikan yang di dalamnya termasuk dana abadi pesantren;
dana abadi penelitian;
dana abadi kebudayaan; dan
dana abadi perguruan tinggi. Dana abadi pendidikan, dana abadi penelitian, dan dana abadi perguruan tinggi dikelola oleh Lem baga Pengelola Dana Pendidikan sebagai endowment fund. Dana abadi pendidikan yang di dalamnya termasuk dana abadi pesantren merupakan dana yang diakumulasikan dalam bentuk dana abadi yang berasal dari alokasi anggaran pendidikan tahun- tahun sebelumnya sebagai dana abadi pendidikan. Hasil pengelolaan dana abadi pendidikan dimaksud digunakan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya termasuk pendidikan pesantren dan pendidikan keagamaan sebagai bentuk pertanggungjawaban an targenerasi. Bentuk, skema, dan cakupan bidang pendidikan yang di dalamnya termasuk dana abadi pesantren dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dana abadi penelitian merupakan dana yang diakumulasikan dalam bentuk dana abadi yang hasil kelolaannya digunakan dalam rangka penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi. Bentuk, skema, dan cakupan bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi dilaksanakan sesua1 dengan keten tuan peraturan perundang- undangan. Dana abadi kebudayaan merupakan dana yang diakumulasikan dalam bentuk dana abadi yang hasil kelolaannya digunakan untuk mendukung kegiatan terkait pemajuan kebudayaan. Bentuk, skema, dan cakupan bidang kebudayaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dana abadi perguruan tinggi merupakan dana yang diakumulasikan dalam bentuk dana abadi yang hasil kelolaannya digunakan untuk mendukung pengembangan perguruan tinggi kelas d unia di perguruan tinggi terpilih. Bentuk, skema, dan cakupan bidang pengembangan perguruan tinggi dilaksanakan sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalarn pelaksanaan PMN, Kornisi yang rnernbidangi urusan keuangan negara pada Dewan Perwakilan Rakyat rnelakukan pendalarnan dalarn waktu paling lama 60 (enarn puluh) hari kerja sejak Undang-Undang ini ditetapkan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dirnaksud dengan "peraturan perundang-undangan rnengenai penanganan panderni Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)" adalah Undang-Undang Nornor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pernerintah Pengganti Undang- Undang Nornor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistern Keuangan untuk Penanganan Panderni Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalarn Rangka Menghadapi Ancarnan yang Mernbahayakan Perekonornian Nasional dan/atau Stabilitas Sistern Keuangan Menjadi Undang-Undang beserta peraturan lainnya yang terkait. Ancarnan yang rnernbahayakan perekonornian nasional dan/atau stabilitas sistern keuangan terrnasuk kondisi geopolitik yang berdarnpak terhadap perekonornian global dan dornestik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kegiatan prioritas" antara lain untuk pembangunan lbu Kota Nusantara/ sentra pertumbuhan ekonomi baru dan/atau tahapan pelaksanaan pemilihan umum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "defisit" adalah defisit sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Pelaksanaan lanjutan kegiatan/proyek tersebut pada Tahun Anggaran 2023 termasuk dalam rangka penyelesaian kegiatan/proyek yang diberikan penambahan waktu sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 31 Ayat(l) Yang dimaksud dengan "krisis pasar SBN domestik" adalah kondisi krisis pasar SBN berdasarkan indikator Protokol Manajemen Krisis ( Crisis Management Protocol-CMP) pasar Surat Berharga Negara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penggunaan dana SAL untuk melakukan stabilisasi pasar SBN dapat dilakukan apabila kondisi pasar SBN telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada level krisis. Krisis di pasar SBN tersebut dapat memicu krisis di pasar keuangan secara keseluruhan, mengingat sebagian besar lembaga keuangan memiliki SBN. Situasi terse but juga dapat memicu krisis fiskal, apabila Pemerintah harus melakukan upaya penyelamatan lembaga keuangan nasional. Stabilisasi pasar SBN domestik dilakukan melalui pembelian SBN di pasar sekunder oleh Menteri Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Penggunaan tambahan dana SAL termasuk untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan/atau prioritas yang timbul pada tahun anggaran berjalan antara lain untuk menurunkan pembiayaan utang, cadangan belanja Ibu Kata Nusantara/ sentra pertumbuhan ekonomi baru, cadangan belanja pemilihan umum, cadangan kompensasi, cadangan kurang bayar DBH, dan/atau cadangan kurang bayar subsidi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Huruf d Khusus untuk pemanfaatan saldo kas Badan Layanan Umum dilakukan dengan mempertimbangkan operasional dan manajemen kas Badan Layanan Umum. Huruf e Yang dimaksud dengan "penyesuaian Belanja Negara" termasuk melakukan pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis ( automatic adjustment), realokasi anggaran, pemotongan anggaran Belanja Negara, penyesuaian pagu, dan/atau pergeseran anggaran antarprogram. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang meliputi perubahan SBN neto, penarikan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penarikan Pinjaman Luar Negeri. Penarikan Pinjaman Luar Negeri meliputi penarikan Pinjaman Tunai dan Pinjaman Kegiatan. Dalam hal Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri tidak tersedia dapat digantikan dengan penerbitan SBN atau sebaliknya dalam rangka menjaga ketahanan ekonomi dan fiskal. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat(l) Ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan termasuk dampak dari pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau kondisi geopolitik yang berdampak terhadap perekonomian global dan domestik. Termasuk langkah kebijakan yang dapat ditempuh untuk menghadapi ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan tersebut antara lain melakukan penyesuaian besaran Pendapatan Negara, Belanja Negara dan/atau Pembiayaan Anggaran. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Pemenuhan pembiayaan APBN Tahun Anggaran 2023 dapat juga berasal dari hasil penerbitan SBN dalam triwulan IV Tahun 2022, dalam hal perkiraan realisasi penerimaan negara dan/atau perkiraan realisasi pengeluaran negara tidak sesuai dengan target Tahun 2022. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Saldo kas pada Badan Layanan Umum dialokasikan sebagai penerimaan pembiayaan lainnya untuk dapat menjadi anggaran dan/atau tambahan anggaran pengeluaran pembiayaan investasi pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Investasi Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. jdih.kemenkeu.go.id Ayat (2) Mekanisme pengesahan belanja modal merupakan pertanggungjawaban penggunaan dana cadangan/ dana jangka panJang pada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara. Ayat (3) Mekanisme pengesahan belanja merupakan pertanggungjawaban penggunaan dana cadangan/ dana jangka panjang pada Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "BMN" berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan. Penetapan BPYBDS sebagai PMN pada Badan Usaha Milik Negara antara lain BPYBDS sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan PT Pertamina (Persero) yang telah diserah terimakan oleh Kementerian Perhubungan untuk menjadi tambahan PMN bagi PT Pertamina (Persero). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. ; I ' ill ------=- Ayat (7) Terhadap penambahan PMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (5), serta pemberian PMN sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Komisi yang membidangi urusan keuangan negara pada Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pendalaman dalam waktu paling lama 60 ( enam puluh) hari kerja sejak diajukan permohonan penjadwalan rapat kerja pendalaman oleh Pemerintah. Dalam hal pendalaman sebagaimana dimaksud di atas, karena satu dan lain hal belum dapat dilakukan, Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah PMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta melaporkan langkah- langkah tersebut dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2023. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Ketentuan mengenai penjaminan Pemerintah untuk masing- masmg program diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan penjaminan infrastruktur dalam proyek kerja sama Pemerintah dengan badan usaha yang dibatasi pada proyek kerja sama Pemerintah dengan badan usaha dengan penanggung jawab proyek kerja sama adalah pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. jdih.kemenkeu.go.id Huruf f Cukup jelas. Huruf g Pemberian jaminan Pemerintah Pusat untuk percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional dibatasi hanya pada proyek strategis nasional yang telah memperoleh surat jaminan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pemberian jaminan Pemerintah Pusat untuk percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Huruf h Pemberian jaminan Pemerintah untuk percepatan pem bangunan infrastruktur ketenagalistrikan di batasi hanya pada proyek yang telah memperoleh jaminan pinjaman oleh Pemerintah kepada kreditur sehubungan dengan pembayaran kembali pinjaman PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) selaku pelaksana penugasan pembangunan infrastruktur kelistrikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pembentukan rekening dana cadangan penJamman Pemerintah ditujukan terutama untuk menghindari pengalokasian anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah dalam jumlah besar dalam satu tahun anggaran di masa yang akan datang, menjamin ketersediaan dana yang jumlahnya sesuai kebutuhan, menjamin pembayaran klaim secara tepat waktu dan memberikan kepastian kepada pemangku kepentingan (termasuk kreditur /investor). Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Mekanisme pembayaran pengeluaran belanja transaksi khusus atas klaim kewajiban dan/atau penggantian biaya yang timbul dari pelaksanaan kewajiban penjaminan untuk program penjaminan Pemulihan Ekonomi Nasional dilaksanakan melalui pemindahbukuan dana cadangan penjaminan ke rekening kas umum negara dan diperlakukan sebagai penerimaan pembiayaan. Bukti pemindahbukuan dana cadangan penjaminan dijadikan sebagai dasar pagu belanja transaksi khusus dalam penyusunan daftar isian pelaksanaan anggaran. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Penempatan dana cadangan ke dalam instrumen investasi Pemerintah dimaksudkan dalam rangka optimalisasi dana cadangan. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Penyesuaian pembayaran bunga utang dan pengeluaran cicilan pokok utang dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan, antara lain dapat disebabkan oleh:
Kondisi ekonomi makro yang tidak sesuai dengan kondisi yang diperkirakan pada saat penyusunan APBN Perubahan dan/atau laporan realisasi pelaksanaan APBN Semester Pertama Tahun Anggaran 2023;
Dampak dari restrukturisasi utang dalam rangka pengelolaan portofolio utang;
Dampak dari percepatan penarikan pinjaman;
Dampak dari transaksi Lindung Nilai atas pembayaran bunga utang dan pengeluaran cicilan pokok utang; dan/atau
Dampak dari perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang. Ayat (2) Pelaksanaan transaksi Lindung Nilai dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2023. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kewajiban yang timbul dari transaksi Lindung Nilai bukan merupakan kerugian keuangan negara karena ditujukan untuk melindungi pembayaran bunga utang dan pengeluaran cicilan pokok utang dari risiko fluktuasi mata uang dan tingkat bunga. Selain itu, transaksi Lindung Nilai tidak ditujukan untuk spekulasi mendapatkan keuntungan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengaturan mengenai penyelesaian piutang instansi Pemerintah termasuk mengenai tata cara dan kriteria penyelesaian piutang eks-Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat(l) Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, an tar a lain:
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
proyeksi penurunan pendapatan negara dan/atau meningkatnya belanja negara secara signifikan;
kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara signifikan; dan / a tau d. belum berakhirnya pandemi Corona Virus Disease 201 9 (COVID-19) yang berdampak pada menurunnya kesehatan masyarakat dan mengancam perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karena suatu dan lain hal belum dapat ditetapkan" adalah apabila Badan Anggaran belum dapat melakukan rapat kerja dan/atau mengambil kesimpulan di dalam rapat kerja, dalam waktu 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan Pemerintah kepada Dewan Yang dimaksud dengan "langkah-langkah antisipasi" adalah langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah dalam rangka penanganan kondisi darurat termasuk namun tidak terbatas pada langkah-langkah penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan dampaknya terhadap perekonomian dan/atau sektor keuangan dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, yang berlaku secara mutatis mutandis untuk menjaga kesinambungan kebijakan Pemerintah yang sudah ditempuh sebelumnya, termasuk namun tidak terbatas pada pelebaran defisit yang melampaui dari besaran defisit yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan likuiditas" adalah dalam hal perkiraan kas yang dapat diperoleh dari sumber daya keuangan Lembaga Penjamin Simpanan tidak mencukupi pada saat kebutuhan dana harus dipenuhi oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan juga dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang. Ayat (2) Penambahan utang antara lain bersumber dari penerbitan SBN. Ayat (3) Cukup jelas.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.04/2021 tentang Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai dengan Pelayanan Segera (Rush Handling) ...
Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan ...
Relevan terhadap
bahwa perlu adanya pemberian kepastian hukum bagi wajib pajak orang pribadi, termasuk yang memenuhi kriteria tertentu, yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan;
bahwa bagi wajib pajak tertentu perlu diberikan kemudahan dalam menyelenggarakan pembukuan untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya;
bahwa pengaturan mengenai bentuk dan tata cara pencatatan bagi wajib pajak orang pribadi telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Tata Cara Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (12) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan ketentuan Pasal 10A ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan;
Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang harus dilakukan oleh:
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a meliputi:
peredaran bruto yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai PPh yang tidak bersifat final;
penghasilan bruto yang berasal dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai PPh yang tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto yang bukan objek pajak dan/atau dikenai PPh yang bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas;
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b meliputi:
penghasilan bruto yang dikenai PPh yang tidak bersifat final serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
penghasilan bruto yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai PPh yang bersifat final;
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c meliputi:
penghasilan bruto yang berasal dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai PPh yang tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto yang bukan objek pajak dan/atau dikenai PPh yang bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c yang mempunyai lebih dari 1 (satu) jenis usaha dan/atau pekerjaan bebas, tempat usaha dan/atau pekerjaan bebas, pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat menggambarkan secara jelas untuk setiap jenis dan/atau tempat usaha dan/atau pekerjaan bebas yang bersangkutan.
Selain harus melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus melakukan pencatatan atas harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Lembaga Pengelola Investasi
Relevan terhadap
Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kegiatan pengelolaan aset" antara lain kegiatan akuisisi, pengelolaan, restrukturisasi perusahaan (saham) maupun aset tetap, divestasi, yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung baik dilakukan sendiri atau melalui kerja sama dengan pihak ketiga atau melalui pembentukan entitas khusus baik berbentuk badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. Huruf c Dalam melakukan kerja sama dengan entitas dana perwalian (tntst fundl, penyedia dana (settlot) harus memberikan kuasa kepada entitas dana perwalian (trust fund) dalam rangka melakukan pengelolaan investasi dengan LPI. Huruf d Penentuan calon mitra investasi dilakukan dengan penunjukan mitra investasi secara langsung dengan mempertimbangkan antara lain praktik bisnis yang berlaku secara internasional, dengan tetap menjaga tata kelola yang baik. Kriteria bagi calon mitra investasi yang dapat ditunjuk langsung antara lain memiliki reputasi baik, memiliki kemampuan keuangan untuk dapat menunjang komitmen investasinya, dan latau memiliki keahlian di bidang investasi yang akan dikerjasamakan. Huruf e . Huruf e LPI dapat menerima pinjaman antara lain dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 44 (1) Dalam hal pengelolaan Dana Kelolaan Investasi (Fund) berbentuk perseroan terbatas, perusahaan patungan, atau sejenisnya, LPI dapat menempatkan atau menunjuk perwakilan LPI sebagai pengurus. (21 Penempatan atau penunjukan perwakilan LPI sebagai pengurus dalam Dana Kelolaan Investasi (Fund) sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilakukan oleh Dewan Direktur sesuai dengan kebijakan investasi LPI dan merujuk kepada dokumen pendirian atau anggaran dasar Dana Kelolaan Investasi (Fundl. (3) Anggaran dasar Dana Kelolaan Investasi (Fund) berbentuk perseroan terbatas, perusahaan patungan, atau sejenisnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat pengaturan mengenai:
syarat kepesertaan dan pembubaran;
pengangkatan pengurus; dan
fungsi dan kewenangan pengurus dan pembagiannya. (4) LPI secara langsung atau melalui pengurLls Dana Kelolaan Investasi (Fund) dapat menunjuk Manajer . Investasi untuk mengelola investasinya sesuai dengan kebijakan investasi Dana Kelolaan Investasi {Fund). Pasal 45 (1) Dokumen pendirian Dana Kelolaan Investasi (Fund) memuat namun tidak terbatas pada:
wewenang bagi Dana Kelolaan Investasi (Fund) untuk menjalankan aktivitas operasionalnya dengan tetap mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan;
jangka waktu pendirian;
bentuk dan tujuan pendirian;
kebijakan investasi dan tata cara pengembalian hasil investasi;
ketentuan f. pengaturan, prosedur pembubaran, dan likuidasi. (21 Dalam hal investasi Dana Kelolaan Investasi (Fund) dilakukan bersama dengan pihak ketiga, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen pendirian juga memuat ketentuan mengenai komposisi keterwakilan masing-masing pihak dalam kepengurusan Dana Kelolaan Investasi (Fund). Pasal 46 (1) Aset yang dimiliki oleh Dana Kelolaan Investasi (Fund) dievaluasi secara berkala dengan mempertimbangkan aktivitas pengelolaan aset. (2) Hasil evaluasi aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan dalam laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi internasional. Pasal 47 (1) Dewan Direktur melakukan pengelolaan risiko dan pengawasan kinerja investasi Dana Kelolaan Investasi (Fund). (21 Ketentuan mengenai pengelolaan risiko dan pengawasan kinerja investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Direktur. Pasal 48 (1) LPI menerima laporan tahunan dari Dana Kelolaan Investasi (Fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (41dan Pasal 44 ayat (l). (2) Laporan tahunan Dana Kelolaan Investasi (Fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat laporan keuangan yang diaudit oleh kantor akuntan publik.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan Kualitas Piutang dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pa ...
Relevan terhadap
Piutang diklasifikasikan menjadi:
Piutang Perpajakan yang dikelola oleh Kementerian Keuangan, meliputi:
Piutang Pajak PPh Migas;
Piutang Pajak PPh Non Migas;
Piutang Pajak PPN;
Piutang Pajak PPnBM;
Piutang Pajak PBB;
Piutang Pajak Cukai dan Bea Meterai;
Piutang Pajak Perdagangan Internasional; dan
Piutang Pajak Lainnya. Piutang yang dikelola oleh KementerianjLembaga, meliputi:
Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam Non Migas;
Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya:
Piutang Tagihan Penjualan Angsuran;
Piutang Tagihan Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi;
Piutang dari kegiatan Operasional Badan Layanan Umum;
Belanja Dibayar di MukajUang Muka Belanja;
Piutang Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap;
Piutang Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan; dan
Piutang Lainnya yang Dikelola oleh Kementerian/ Lembaga.
Piutang yang dikelola oleh BUN, meliputi:
Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak, meliputi: a) Sumber Daya Alam Migas; dan b) Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara;
Piutang PT Perusahaan Pengelola Aset;
Piutang transfer ke Daerah;
Piutang Kredit Investasi Pemerintah;
Piutang Penerusan Pinjaman;
Piutang dari Kas Umum Negara;
Piutang Kelebihan Pembayaran Subsidi;
Piutang Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap;
Piutang Berdasarkan Peraturan Perundang- undangan;
Piutang eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
Piutang eks Bank Dalam Likuidasi; dan
Piutang lainnya yang Dikelola oleh BUN.
Pengelolaan piutang oleh BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh PPA BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Ketentuan ayat (4) Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: