Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau ...
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Relevan terhadap
Pada dasarnya semua pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), namun untuk keadilan diberikan pengecualian dari pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan. huruf a Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dari pengalihan kepada pihak lain atau kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus, sepanjang jumlah pembayaran brutonya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang di dipecah-pecah. Lokasi… Lokasi pembangunan sarana kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus dapat dibangun dibanyak tempat, misalnya untuk pembangunan sekolah, rumah sakit atau kantor pemerintah; huruf b Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah dengan pembayaran ganti rugi yang akan digunakan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, yaitu jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara dan fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, serta fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Lokasi pembangunan sarana kepentingan umum tersebut memerlukan persyaratan khusus misalnya untuk pelabuhan laut diperlukan tanah tertentu untuk memenuhi persyaratan sebagai pelabuhan seperti kedalaman laut, arus laut, pendangkalan dan lain sebagainya; huruf c Apabila orang pribadi atau badan melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau organisasi sejenis lainnya, atau pengusaha kecil termasuk koperasi, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, maka keuntungan karena pengalihan tersebut bukan merupakan Objek Pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan. Termasuk dalam pengertian hibah adalah wakaf; huruf d Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, bukan merupakan Objek Pajak; Pasal 6…
Pajak Penghasilan
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 50 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UMUM 1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat(2) sistem dan peraturan perundang- undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan undang-undang.
Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan Bangsa mampu membiayai pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunan antara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila.
Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarip Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami, serta mematuhinya.
Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu :
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.
Ordonansi...
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam Ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.
Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen Royalti 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, dan royalti, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen, dan royalti yang bersangkutan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun(MPS- Akhir).
Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur:
semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam undang-undang ini b. ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarif pajak. Tarif... Tarif untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarif untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarif lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut:
sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.
keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35%(tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak. PASAL DEMI PASAL
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Relevan terhadap
Ayat (1) Dapat saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak, karena ketidaktelitian petugas pajak dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal(memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Ayat (2) Cukup jelas.
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN UMUM 1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya ditanah air kita. Oleh karenanya pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutannya dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat secara patuh. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda adalah antara lain: Aturan Bea Materai Tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944. Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan sisa-sisa kolonial tersebut telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, namun karena berbeda falsafah yang melatarbelakanginya, serta sistem yang melekat kepada undang-undang tersebut, maka sepanjang perpajakan dilandasi ketentuan-ketentuan perundang-undangan tersebut, belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita Bangsa dan Pembangunan Nasional yang sedang dilaksanakan sekarang ini.
Memasuki alam kemerdekaan, sejak proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah memperoleh kemerdekaannya.Namun perubahan-perubahan tersebut dimasa lalu lebih bersifat parsial, sedangkan perubahan yang agak mendasar baru dilakukan melalui Undang- undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan, yang kemudian pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 yang selanjutnya terkenal dengan "sistem MPS dan MPO". Sistem tersebut merupakan penyempurnaan sistem pajak sesuai dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi Indonesia. Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan untuk mengubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut, belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara mendasar. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan. Petunjuk akan perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai amanat rakyat, seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang antara lain berbunyi : "Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih".
Oleh karena itu undang-undang ini sebagai suatu undang-undang dibidang perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus berbeda dengan undang- undang perpajakan yang dibuat dizaman kolonial. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak, yang tidak dianggap sebagai "obyek", tetapi merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya "aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih", dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang ini. Perbedaan falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar pembentukan undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak: Sistem dan mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia, karena kedudukan undang-undang ini yang akan menjadi "ketentuan umum" bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain.Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :
bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama- sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban dibidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan-peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri.Selain daripada itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit- belit dan birokratis akan dihilangkan.Ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem lama warisan zaman kolonial yang antara lain :
tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan;
pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal mana mengakibatkan anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. Jelaslah bahwa sistem pemungutan pajak yang ditentukan menurut Undang-undang ini, memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggungjawab perpajakan di masyarakat. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau, dimana administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas merampungkan/menetapkan semua Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan, berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.
Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan dimuka, sebagai suatu uraian yang utuh dan menyeluruh, serta sesuai dengan amanat yang tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, maka diadakan pembaharuan sistem dan hukum perpajakan di Indonesia, yang dituangkan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena pajak dan peningkatan penerimaan negara sejalan dengan perkembangan Pembangunan Nasional sehingga mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. PASAL DEMI PASAL
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
29 MEDIAKEUANGAN 28 VOL. XV / NO. 154 / JULI 2020 Sidang Sonder Perjumpaan Teks A. Wirananda SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK MEDIAKEUANGAN 28 S ejak reformasi 1998, Indonesia terus berbenah di banyak sektor. Pengelolaan keuangan negara, sebagai perkara yang fundamental, tentu jadi bagian yang tak luput dari perubahan. Usai meramu ulang format dan periode pelaporan kekayaan rakyat, giliran institusi pengelola kekayaan ini yang mengalami penyesuaian. Berbagai perubahan itu pada akhirnya berdampak pula pada prosedur penerimaan negara, belanja negara, serta berbagai risiko yang melekat padanya. Pada 2000, tata cara perpajakan mengalami perubahan untuk pertama kali sejak kelahirannya pada 1983. Perubahan ini jelas berdampak pula pada risiko dalam pelaksanaannya. Layaknya hal-hal lain yang berkaitan dengan finansial, iuran wajib ini tentu membuka ruang terjadinya sengketa. “Karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak,” demikian bunyi konsiderans Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Lantas berdasarkan peraturan itu, berdirilah Pengadilan Pajak. Setahun usai terbentuknya Pengadilan Pajak, melalui Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2003, Sekretariat Pengadilan Pajak (Set PP) dibentuk. Set PP bertugas memberikan pelayanan kesekretariatan dan administrasi bagi Pengadilan Pajak. Dalam melaksanakan tugas, unit ini dipimpin oleh Sekretaris dan dibantu Wakil Sekretaris. Keduanya merangkap jabatan masing-masing sebagai Panitera dan Wakil Panitera Pengadilan Pajak. S idang di Tengah Pagebluk Pada 11 Maret 2020, World Health Organisation (WHO) menetapkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai pandemi global. Berbagai protokol disiapkan demi mencegah penyebaran virus ini, salah satunya adalah dengan pembatasan sosial. Sebagai pihak yang sehari-hari mempersiapkan tetek bengek gelaran sidang dan berinteraksi dengan banyak orang, pagebluk ini tentu terasa signifikan bagi performa Set PP. Sejak pertengahan Maret sampai awal Juni, layanan dihentikan sementara. “Penghentian sementara layanan ini tetap menjaga hak-hak para pihak tetap terpenuhi,” kata Dendi A. Wibowo, Sekretaris Pengadilan Pajak, secara tertulis. Selama kurun waktu tersebut, para pegawai diminta menuntaskan tugas-tugas yang dapat diselesaikan dari rumah. Pada pekan kedua Juni, layanan Foto Dok. Set. PP Gedung Kantor Sekretariat Pengadilan Pajak
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Kolom Ekonom Ilustrasi Dimach Putra I ndonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang perekonomiannya masih bisa tumbuh relatif tinggi di tahun 2019. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada kuartal ketiga 2019, tatkala negara-negara lain di dunia mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok yang pada tahun lalu masih tumbuh 6,6 persen, pada 2019 ini mengalami penurunan. Pada kuartal ketiga 2019, Tiongkok hanya tumbuh 6,0 persen. Pelambatan juga terjadi di India, salah satu negara sumber pertumbuhan baru. Tahun lalu, India mampu tumbuh 6,8 persen. Tahun ini terus melorot bahkan di kuartal ketiga 2019 hanya mampu tumbuh 4,5 persen. Beberapa negara di dunia bahkan telah mengalami resesi atau tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut. Tahun 2019 memang bukan tahun yang mudah bagi perekonomian dunia. Hidayat Amir Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Tumbuh dalam Tekanan Berbagai tekanan dan gejolak yang terjadi membuat ekonomi dunia mengalami perlambatan yang cukup dalam, bahkan menjadi yang terburuk sejak krisis keuangan global pada 2009. Menurut proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,6 persen di 2018 menjadi 3,0 persen untuk tahun ini. Pertumbuhan volume perdagangan bahkan diperkirakan hanya tumbuh 1,1 persen di 2019, atau turun signifikan jika dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 3,6 persen. nyata apa yang sesungguhnya hanyalah metode. Refleksi Husserl itu dapat dijadikan ilham untuk melihat rasio pajak lebih dalam. Di balik rasio pajak, terdapat berbagai soal yang tak serta-merta kelihatan dalam angka. Itulah mengapa rasio pajak bukanlah satu-satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, meski secara indikatif berguna untuk mengenali gejala inefektivitas pemungutan pajak sejak dini. Ada empat faktor yang dapat menjelaskan sebab PDB Indonesia tidak berkorelasi positif dengan kinerja perpajakan, khususnya rasio pajak. Pertama, tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Program amnesti pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan nampaknya baru membantu menambah basis pajak baru dan belum meningkatkan rasio pajak. Meski tingkat kepatuhan pajak terus meningkat dari tahun 2015 sebesar 60 persen menjadi 71,1 persen di tahun 2018, namun angka tersebut masih tergolong rendah. Selain itu, tingkat kepatuhan tersebut pun masih terbatas pada kepatuhan yang sifatnya formal yakni menyampaikan SPT dan belum mempertimbangkan kepatuhan material yang melibatkan kebenaran isi SPT. Kedua, tingginya hard-to-tax sector , khususnya usaha rintisan atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor pertanian/perkebunan/perikanan yang berkontribusi cukup besar terhadap PDB. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, komposisi UMKM mencapai 59,2 juta unit dari total 60,01 juta unit usaha di Indonesia. Di satu sisi, UMKM menjadi penyumbang PDB terbesar namun di sisi lain kepatuhan dan literasi yang masih sangat rendah menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memungut pajak. Dalam konteks itu, kebijakan penurunan tarif pajak UMKM sudah tepat dan layak diapresiasi, demi memperluas basis pajak dari sektor ini. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang mewajibkan para pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha, harus dapat dimanfaatkan untuk mulai membangun basis data yang akurat dari sektor ini. Ketiga, pesatnya perkembangan ekonomi digital tidak diiringi dengan modernisasi perangkat teknologi informasi perpajakan, SDM yang mumpuni, serta regulasi. Akibatnya, potensi pajak sektor ini menjadi sulit ditangkap. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia. Pada 2016, tercatat nilai transaksi dari sektor ekonomi digital sebesar USD5,6 miliar. Dalam konteks ini, kebijakan pajak e-commerce sudah tepat demi menjamin keadilan dalam pengenaan pajak. Namun demikian, disharmoni antar-regulasi seperti penurunan tarif pajak UMKM di satu pihak dan kewajiban pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha di lain pihak selalu perlu diantisipasi. Keempat, maraknya praktik penghindaran pajak. Data-data dari tax amnesty, Swiss Leaks, Panama Papers, Paradise Papers , dan sebagainya mencerminkan banyaknya warga negara Indonesia yang berupaya menghindari pajak. Program tax amnesty pun menjadi solusi tepat di tengah kondisi tersebut. Tidak hanya meningkatkan kepatuhan, program ini juga menjadi momentum yang baik untuk mulai membangun tax culture yang sehat. Selanjutnya tax amnesty harus diikuti dengan langkah penegakan hukum yang tegas. Kendati rasio pajak bukan satu- satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, mendongkrak rasio pajak tetaplah salah satu tugas penting negara. Tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan merata hanya dapat dicapai dengan level penerimaan pajak yang optimal yang dapat mengakselerasi pembangunan. Searah dengan itu, upaya-upaya pemerintah dari sisi regulasi untuk mendongkrak rasio pajak perlu terus didukung: reinventing policy , kenaikan PTKP, tax amnesty , konfirmasi status WP, UU AEOI, Pembaruan Sistem Informasi, pemeriksaan pajak, percepatan restitusi, penurunan tarif WP UMKM, dan CRS AEOI. Semua itu tak lain adalah upaya meningkatkan rasio pajak dan basis pajak, juga secara serentak mendorong kepatuhan. Ibarat cermin, rasio pajak dapat dijadikan salah satu sarana untuk berkaca, tanpa kita harus menganggap bayangan cermin itu sebagai kenyataan sesungguhnya. Perbaikan selayaknya diarahkan pada kenyataan, bukan bayangannya. Kita sudah berada di jalur yang tepat, jangan sampai kereta perubahan ini berjalan terlampau lambat!
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Teks Muhammad Sutartib, Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Perlukah Pungutan atas Karbon? SETELAH RATIFIKASI PARIS AGREEMENT, Ilustrasi Dimach Putra P emanasan global menimbulkan dampak berbahaya bagi kehidupan seperti terjadinya kabut asap, naiknya permukaan air laut, krisis air bersih, hingga munculnya wabah penyakit. Perubahan iklim berupa pemanasan global ini biasanya dikaitkan dengan emisi gas karbondioksida (CO2) atau dikenal dengan sebutan emisi karbon tanpa diimbangi konversi atau penyerapan kembali gas karbondioksida untuk diubah menjadi gas oksigen misalnya melalui proses fotosintesis dengan bantuan pohon atau tanaman berdaun hijau. Para ahli sepakat bahwa kontribusi utama dari emisi karbon utamanya disebabkan konsumsi sumber energi yang berbahan dasar fosil seperti gas alam, minyak bumi serta batu bara. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention on Climate Change yang di dalamnya memuat kewajiban pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca untuk membatasi kenaikan suhu rata- rata global di bawah 2 ^o C hingga 1.5 ^o C dari tingkat suhu pra industrialisasi maka perlu strategi khusus untuk mengelola energi yang pemakaiannya mengeluarkan emisi karbon, terutama energi yang memakai bahan bakar fosil. Salah satu implementasi dari Paris Agreement yang dilaksanakan oleh berbagai negara karena dianggap paling powerful untuk memenuhi ketentuan konvensi tersebut adalah melalui pengenaan pungutan atas emisi karbondioksida atau pajak karbon ( carbon tax ) untuk setiap kegiatan yang meninggalkan jejak karbon ( carbon finger print ). Cara memungut pajak karbon ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya, pabrik yang kegiatannya meninggalkan jejak karbon diwajibkan membuat laporan jumlah emisi karbon secara berkala dan dengan dasar inilah maka besarnya pajak karbon dapat dibayarkan. Ada jenis pajak karbon yang lebih mudah cara memungutnya karena barangnya kasat mata dan mudah mengelolanya seperti mengenakan pajak karbon pada bahan bakar fosil atau batu bara dengan memakai skema proxy karena pada prinsipnya kita bisa menghitung berapa gram karbondioksida yang terbuang ke udara apabila kita membakar sejumlah bahan bakar minyak per liter atau batu bara per kilogram. Besarnya tarif pajak karbon untuk minyak bumi bisa dikenakan untuk setiap liternya, sedangkan untuk batu bara setiap kilogramnya. Pungutan karbon atas benda berwujud dan kasat mata Apabila kita akan menerapkan pungutan atas karbon dalam bentuk pajak, saat ini belum diadopsi dengan Undang- Undang Perpajakan, tetapi apabila menggunakan mekanisme cukai secara filosofi lebih tepat sebab pungutan atas karbon ini pada dasarnya merupakan pigouvian tax atau corrective tax yang secara tersirat tercakup dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, namun pada saat ini Undang-Undang Cukai hanya menyangkut barang yang kasat mata. Dengan demikian, untuk barang-barang yang wujudnya jelas, pungutan karbon dapat dilakukan melalui cukai tanpa perlu membuat undang-undang baru, melainkan dengan peraturan pemerintah setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan rakyat. Apa itu cukai? Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini, yang meliputi barang-barang yang: (a) konsumsinya perlu dikendalikan; (b) peredarannya perlu diawasi; (c) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau (d) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Pada prinsipnya semua barang yang memiliki sifat dan karakteristik di atas, baik hanya memenuhi salah satu sifat dan karakteristik atau memenuhi keempat sifat dan karakteristik tersebut secara akumulatif dapat dikenakan cukai. Dengan demikian emisi karbon pun dapat dikenakan cukai karena memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pungutan karbon atas benda berwujud ini bisa juga diterapkan melalui mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), namun kelemahan dari mekanisme ini biasanya terletak pada penegakan hukumnya apabila terjadi pelanggaran. Pungutan karbon atas kegiatan yang meninggalkan jejak karbon Pungutan karbon atas kegiatan yang menimbulkan emisi karbon, misalnya kegiatan di pabrik semen, pabrik keramik, industri pertambangan, dll. belum bisa diterapkan dengan mekanisme pajak atau cukai karena belum diakomodasi oleh undang- undang. Sementara, penghitungan emisi karbon dalam kegiatan-kegiatan industri dapat dilakukan dengan mengandalkan penghitungan mass and energy balance secara berkala untuk penentuan basis pemungutannya. Yang perlu didiskusikan selanjutnya adalah instansi mana yang mengampu tugas tersebut sekaligus bertanggung jawab terhadap pemungutan maupun auditnya. Sementara itu, nilai pungutan yang diperoleh atas karbon dapat dimasukkan ke dalam PNBP. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pungutan atas emisi gas karbondioksida merupakan salah satu solusi yang powerful untuk memenuhi ketentuan Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim. Pungutan karbon atas barang yang konsumsinya akan menimbulkan emisi karbon dan wujud barangnya kasat mata bisa memakai mekanisme cukai. Sedangkan, pungutan karbon atas industri atau kegiatan yang menimbulkan jejak karbon bisa menggunakan mekanisme PNBP, tetapi harus ada kejelasan institusi mana yang akan bertanggung jawab dalam mengaudit emisi karbon tersebut.