JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 718 hasil yang relevan dengan "kebijakan fiskal untuk ekonomi digital "
Dalam 0.026 detik
Thumbnail
Tidak Berlaku
ORGANISASI | KEMENTERIAN KEUANGAN
217/PMK.01/2018

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan

  • Ditetapkan: 31 Des 2018
  • Diundangkan: 31 Des 2018

Relevan terhadap 13 lainnya

Pasal 1712Tutup

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pas al 1 711, Badan Ke bij akan Fiskal menyelenggarakan fungsi:

a.

penyusunan kebijakan teknis, rencana program analisis, dan rekomendasi kebijakan dalam bidang fiskal, sektor keuangan, serta kerja sama ekonomi dan keuangan in ternasional;

b.

pelaksanaan analisis dan perumusan rekomendasi ke bi j akan dalam bi dang fiskal dan sektor keuangan;

c.

pelaksanaan kerja sama ekonomi dan keuangan in ternasional:

d.

pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kebijakan dalam bidang fiskal, sektor keuangan serta kerja sama ekonomi dan keuangan internasional;

e.

pelaksanaan administrasi Badan Kebijakan Fiskal; dan

f.

pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Pasal 249Tutup

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248, Subdirektorat Analisis Ekonomi Makro dan Pendapatan Negara menyelenggarakan fungsi:

a.

peny1apan bahan penyusunan outline konsep Nata Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, laporan semester I pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Prognosis Semester II Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta Nata Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan di bidang kerangka ekonomi makro, kebijakan fiskal, pendapatan negara dan kerangka penganggaran jangka menengah;

b.

penyiapan bahan penyusunan konsep Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara- Perubahan di bidang ekonomi makro serta pendapatan negara dan hibah;

c.

penyiapan bahan pengelolaan data dan pengembangan model fiskal serta kerangka ekonomi makro;

d.

penyiapan bahan penyusunan analisis perkembangan dan prospek perekonomian dalam negen dan internasional, asumsi dasar dan kerangka ekonomi makro, pendapatan negara, serta pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan;

e.

penyiapan bahan penyusunan analisis sensitivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara akibat perubahan indikator ekonomi makro dan langkah- langkah kebijakan fiskal;

f.

penyiapan bahan penyusunan analisis langkah kebijakan dan langkah administratif pendapatan negara dan hibah, serta analisis perkembangan realisasi dan sasaran pendapatan negara dan hibah;

g.

penyiapan bahan pengelolaan makro dan Pendapatan penyusunan analisis dan Belanja ekonomi makro; data ekonomi dampak Anggaran Negara terhadap h. penyiapan bahan konsolidasi dan penggabungan proyeksi perkembangan kondisi fiskal dan kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam bentuk resource 1. envelope dan Pagu Indikatif, Pagu Sementara, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Laporan Semester I dan Prognosis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Semester II, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan, Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan, serta pemantauan realisasi \ dan perkiraan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahunan; dan penyiapan bah an pemantauan dan evaluasi perkembangan ekonomi makro dan realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 1713Tutup

Badan Kebijakan Fiskal terdiri atas:

a.

Sekretariat Badan;

b.

Pusat Kebijakan Pendapatan Negara;

c.

Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

d.

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro;

e.

Pusat Kebijakan Sektor Keuangan;

f.

Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral; dan

g.

Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral.

Thumbnail
TARIF BEA MASUK | BIDANG FISKAL
17/PMK.010/2018

Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas B ...

  • Ditetapkan: 15 Feb 2018
  • Diundangkan: 15 Feb 2018
Thumbnail
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI | ASET KRIPTO
68/PMK.03/2022

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto

  • Ditetapkan: 30 Mar 2022
  • Diundangkan: 30 Mar 2022

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1.

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan perubahannya.

2.

Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya.

3.

Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

4.

Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

5.

Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

6.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

7.

Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

8.

Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

9.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

10.

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

11.

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.

12.

Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

13.

Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu.

14.

Aset Kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk aset digital, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer , dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.

15.

Penjual Aset Kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan dan/atau pertukaran Aset Kripto.

16.

Pembeli Aset Kripto adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Aset Kripto dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Aset Kripto tersebut.

17.

Pedagang Fisik Aset Kripto adalah pihak yang telah memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi, untuk melakukan transaksi Aset Kripto baik atas nama diri sendiri dan/atau memfasilitasi transaksi Penjual Aset Kripto atau Pembeli Aset Kripto.

18.

Penambang Aset Kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan verifikasi transaksi Aset Kripto untuk mendapatkan imbalan berupa aset kripto, baik sendiri-sendiri maupun dalam kelompok penambang aset kripto ( mining pool ).

19.

Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan Aset Kripto, termasuk Pedagang Fisik Aset Kripto.

20.

Sarana Elektronik adalah sarana komunikasi melalui sistem elektronik yang digunakan dalam perdagangan Aset Kripto, diantaranya mencakup pernyataan, deklarasi, permintaan, pemberitahuan atau permohonan, konfirmasi, penawaran atau penerimaan terhadap penawaran, yang memuat kesepakatan para pihak untuk pembentukan atau pelaksanaan perjanjian.

21.

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, objek Pajak Pertambahan Nilai dan/atau bukan objek Pajak Pertambahan Nilai, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk suatu Masa Pajak.

22.

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

23.

Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen dalam format standar atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh pemotong/pemungut Pajak Penghasilan sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut.

24.

Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen berupa formulir kertas atau dokumen elektronik yang memuat data atau informasi pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan tertentu dan kedudukannya dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi berformat standar.

25.

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

26.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.

27.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

Thumbnail
COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | TATA CARA | INVESTASI PEMERINTAH
53/PMK.05/2020

Tata Cara Investasi Pemerintah

  • Ditetapkan: 19 Mei 2020

Relevan terhadap

MenimbangTutup
a.

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16, Pasal 21, Pasal 27, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 52, dan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah, perlu mengatur mengenai operasionalisasi investasi pemerintah;

b.

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf c dan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional, untuk melaksanakan Program Pemulihan Ekonomi Nasional, Pemerintah dapat melakukan investasi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c.

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, badan layanan umum dapat melakukan investasi jangka panjang setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan;

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;

MengingatTutup
1.

Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

3.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5340);

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6385);

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nastonal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6514);

6.

Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);

7.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

2.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.

3.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan.

4.

Kuasa BUN Pusat adalah Direktur Jenderal.

5.

Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.

6.

Komite Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat KIP adalah lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi supervisi dalam pengelolaan Investasi Pemerintah.

7.

Operator Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat OIP adalah pelaksana fungsi operasional yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Menteri.

8.

Pinjaman adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

9.

Divestasi adalah penjualan surat berharga dan/atau pelepasan hak kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain.

10.

Pernyataan Kebijakan Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat PKIP adalah dokumen yang disusun oleh KIP yang berisi pedoman umum antara lain mengenai pengelolaan investasi yang mencakup perencanaan, pemilihan, dan alokasi, atas sumber daya dan risiko.

11.

Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/Lembaga negara.

12.

Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

13.

Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

14.

Badan Hukum Lainnya yang selanjutnya disingkat BHL adalah badan hukum yang diatur tersendiri dengan undang-undang.

15.

Badan Usaha adalah BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, atau koperasi.

16.

Perjanjian Investasi adalah kesepakatan tertulis untuk melakukan Investasi Pemerintah antara Menteri selaku BUN atau pejabat yang ditunjuk dengan pimpinan BUMN dan/atau BHL selaku OIP.

17.

Rekening Investasi BUN yang selanjutnya disingkat RIBUN adalah rekening tempat penampungan dana dan/atau imbal hasil Investasi Pemerintah.

18.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang memperoleh kewenangan sebagai Kuasa BUN.

19.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari pengguna anggaran untuk menggunakan anggaran Investasi Pemerintah.

20.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh pengguna anggaran/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara.

21.

Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh pengguna anggaran/KPA untuk melakukan pengujian atas surat permintaan pembayaran dan menerbitkan surat perintah membayar.

22.

Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan/ digunakan oleh pengguna anggaran/KPA/PPK sebagai dasar penerbitan surat perintah membayar.

23.

Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh pengguna anggaran/KPA/PPSPM untuk mencairkan alokasi dana Investasi Pemerintah.

24.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat dengan SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara berdasarkan SPM.

25.

Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengeluaran Pembiayaan Investasi Pemerintah yang selanjutnya disebut SPTPP-IP adalah pernyataan tanggung jawab penyaluran dana yang diterbitkan/dibuat oleh KPA/PPK atas transaksi pengeluaran Investasi Pemerintah.

26.

Nilai Wajar Efek adalah nilai pasar efek yang diperoleh dari transaksi efek yang dilakukan oleh para pelaku pasar efek bukan karena paksaan atau likuidasi.

27.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

28.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

29.

Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

30.

Bank Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.

Thumbnail
APLIKASI KEUANGAN TINGKAT INSTANSI | BIDANG PERBENDAHARAAN
171/PMK.05/2021

Pelaksanaan Sistem Sakti

  • Ditetapkan: 25 Nov 2021
  • Diundangkan: 29 Nov 2021
  • Konsolidasi

Relevan terhadap

Pasal 22Tutup
(1)

Unit eselon I Kementerian Negara/Lembaga menyusun KPJM yang terdiri atas:

a.

RKA-K/L tahun rencana; dan

b.

perhitungan prakiraan maju tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga.

(2)

Penyusunan KPJM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:

a.

berdasarkan RKA-K/L hasil penelaahan DJA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e, operator unit eselon I menyusun perhitungan prakiraan maju tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga dan mengirimkan kepada Pengguna tingkat DJA; dan

b.

Pengguna tingkat DJA melakukan penelaahan atas prakiraan maju tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga yang disusun oleh operator unit eselon I.

(3)

KPJM yang telah disusun oleh unit eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh unit eselon I sebagai dasar untuk menyusun angka dasar tahun yang direncanakan pada awal tahun berikutnya.

(4)

Penyusunan angka dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:

a.

operator unit eselon I menggulirkan prakiraan maju tahun pertama menjadi angka dasar tahun yang direncanakan;

b.

operator unit eselon I memutakhirkan angka dasar tahun rencana sebagaimana dimaksud pada huruf a berdasarkan realisasi, parameter ekonomi dan non ekonomi, serta kebijakan baru;

c.

operator unit eselon I menyampaikan angka dasar hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada DJA untuk dilakukan tinjau ulang dan kesesuaian dengan ketersediaan anggaran; dan

d.

operator unit eselon I melakukan penyesuaian kembali angka dasar berdasarkan hasil tinjau ulang dan ketersediaan anggaran dari DJA.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Sistem SAKTI yang selanjutnya disebut SAKTI adalah sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara pada instansi pemerintah, yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.

2.

Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran yang meliputi penyusunan anggaran, manajemen dokumen anggaran, manajemen supplier , manajemen komitmen pengadaan barang dan jasa, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan negara, manajemen kas, akuntansi, dan pelaporan.

3.

Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.

4.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

5.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.

6.

Pembantu Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran (BA) BUN.

7.

Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.

8.

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.

9.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi BUN.

10.

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut BA Kementerian Negara/Lembaga.

11.

Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.

12.

Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.

13.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

14.

Modul Administrasi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk mengelola data referensi dan data user SAKTI.

15.

Modul Penganggaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sampai dengan penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran termasuk didalamnya proses perencanaan penyerapan anggaran dan penerimaan/pendapatan dalam periode satu tahun anggaran.

16.

Modul Komitmen adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan aktivitas terkait pencatatan data supplier , kontrak, dan Berita Acara Serah Terima (BAST) dalam rangka pelaksanaan APBN untuk mendukung pengelolaan data pagu, perencanaan kas dan referensi dalam pelaksanaan pembayaran.

17.

Modul Bendahara adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui bendahara.

18.

Modul Pembayaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengajuan pembayaran atas beban APBN, pengesahan pendapatan dan belanja, dan pencatatan surat perintah pencairan dana.

19.

Modul Persediaan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian, dan pelaporan barang persediaan.

20.

Modul Aset Tetap adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian dan pelaporan barang milik negara berupa aset tetap dan aset tak berwujud.

21.

Modul Piutang adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk melakukan penatausahaan dan pengakuntansian piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

22.

Modul Akuntansi dan Pelaporan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengintegrasian data jurnal dari semua modul SAKTI dalam rangka penyusunan laporan keuangan.

23.

Sistem Mitra adalah sistem yang dimiliki oleh Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya dengan lingkup penggunaan sistem secara nasional yang akan diinterkoneksikan dengan SAKTI.

24.

Pihak Mitra adalah Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya sebagai pemilik Sistem Mitra.

25.

Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.

26.

Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.

27.

Instansi adalah sebutan kolektif bagi entitas yang meliputi satuan kerja, kantor wilayah atau yang setingkat, unit eselon I dan Kementerian Negara/Lembaga.

28.

Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

29.

Chief of Information Officer yang selanjutnya disingkat CIO adalah suatu jabatan strategis yang memadukan sistem informasi dan teknologi informasi dengan aspek manajemen agar memberikan dukungan maksimal terhadap pencapaian tujuan.

30.

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.

31.

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

32.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

33.

Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala Satker atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

34.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

35.

Pejabat Penandatangan SPM yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian surat permintaan pembayaran yang diterima dari PPK sebagai dasar untuk menerbitkan/menandatangani SPM.

36.

Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

37.

Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

38.

Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk sebagai pembantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.

39.

Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.

40.

Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

41.

Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

42.

Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PPSPM untuk dan atas nama KPA kepada Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Badan Layanan Umum (BLU) yang sumber dananya berasal dari PNBP yang digunakan langsung.

43.

Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pendapatan hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN dan/atau belanja yang bersumber dari hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN.

44.

Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo pendapatan hibah langsung kepada pemberi hibah.

45.

Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada KPPN untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi utang pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak.

46.

Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga yang selanjutnya disingkat SPM P-BMDAB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga sebagai dasar penerbitan surat perintah pencairan dana.

47.

Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk dan/atau Cukai yang selanjutnya disingkat SPM P-BMC adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai.

48.

Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk membayar imbalan bunga kepada wajib pajak.

49.

Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung/Pembiayaan Pendahuluan selanjutnya disingkat SPP APD-PL/PP adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN dalam mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PHLN.

50.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

51.

Dana Titipan adalah dana yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran selain Uang Persediaan (UP) dalam rangka pelaksanaan APBN.

52.

Dana Pihak Ketiga adalah dana yang masuk ke pengelolaan rekening yang dikelola oleh bendahara yang belum dapat ditentukan menjadi milik negara atau tidak.

53.

Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh bendahara pada penyetor.

54.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari pajak.

55.

Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

56.

Rencana Penarikan Dana yang selanjutnya disingkat RPD adalah rencana penarikan kebutuhan dana yang ditetapkan oleh KPA untuk pelaksanaan kegiatan Satker dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.

57.

Rencana Penarikan Dana Harian yang selanjutnya disebut RPD Harian adalah rencana penarikan kebutuhan dana harian yang memuat tanggal penarikan dana, jenis belanja, dan jumlah nominal penarikan.

58.

Rencana Penerimaan Dana adalah rencana penyetoran penerimaan dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.

59.

Pengguna ( User ) SAKTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah para pihak pada instansi yang berdasarkan kewenangannya diberikan hak untuk mengoperasikan SAKTI dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

60.

Administrator adalah pegawai yang diberi kewenangan oleh PA/KPA/Pejabat yang ditetapkan untuk melaksanakan fungsi teknis administrasi SAKTI.

61.

Hak Akses adalah hak yang diberikan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik.

62.

Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi diantaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya.

63.

Nomor Register Supplier yang selanjutnya disingkat NRS adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh SPAN dalam rangka pendaftaran data supplier yang diajukan oleh Satker yang akan dijadikan sebagai identitas bagi supplier SPAN.

64.

Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas Laporan Keuangan.

65.

Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.

66.

E-Rekon dan LK adalah sistem berbasis web yang digunakan dalam pelaksanaan Rekonsiliasi, penyusunan Laporan Keuangan, serta penyatuan data Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.

67.

Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

68.

Unit Akuntansi KPB yang selanjutnya disingkat UAKPB adalah unit akuntansi BMN pada tingkat Satker/KPB yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.

69.

Unit Akuntansi Pembantu Kuasa Pengguna Barang, yang selanjutnya disingkat UAPKPB, adalah unit yang dapat dibentuk oleh UAKPB untuk membantu UAKPB melakukan penatausahaan BMN.

70.

Keadaan Kahar ( Force Majeure ) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem SAKTI seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru- hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem SAKTI tidak berfungsi.

71.

Business Continuity Plan yang selanjutnya disingkat BCP adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.

72.

Help, Answer, Improve DJPb yang selanjutnya disebut HAI-DJPb adalah layanan resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam melayani penerimaan dan penyampaian informasi serta permasalahan terkait tugas pokok dan fungsi DJPb.

73.

Dokumen Pendukung adalah semua dokumen yang secara peraturan perundang-undangan menjadi pendukung dan wajib ada sebagai bagian pengajuan sebuah surat, dokumen, formulir, dan segala dokumen resmi lainnya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.

74.

Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disebut dengan TIK adalah segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan pemindahan informasi antar media.

Thumbnail
Tidak Berlaku
PENANAMAN MODAL | FASILITAS PAJAK PENGHASILAN
96/PMK.010/2020

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak P ...

  • Ditetapkan: 24 Jul 2020
  • Diundangkan: 27 Jul 2020

Relevan terhadap

Pasal 6Tutup
(1)

Penentuan kesesuaian pemenuhan:

a.

Bidang-bidang Usaha Tertentu sesuai dengan Lampiran I atau Bidang-bidang Usaha Tertentu dan di Daerah-daerah Tertentu sesuai dengan Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; dan

b.

kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, dilakukan melalui sistem OSS.

(2)

Dalam hal Penanaman Modal Wajib Pajak:

a.

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sistem OSS menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Penanaman Modal memenuhi ketentuan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan; atau

b.

tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penanaman Modal Wajib Pajak tidak memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan.

(3)

Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap telah mengajukan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan apabila telah menyampaikan persyaratan kelengkapan berupa:

a.

salinan digital __ surat keterangan fiskal para pemegang saham; dan

b.

salinan digital rincian aktiva tetap dalam rencana nilai Penanaman Modal, secara daring melalui sistem OSS.

(4)

Pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial.

(5)

Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan:

a.

bersamaan dengan pendaftaran untuk mendapatkan nomor induk berusaha bagi Wajib Pajak baru; atau

b.

paling lambat 1 (satu) tahun setelah penerbitan izin usaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk Penanaman Modal dan/atau perluasan.

(6)

Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah diterima secara lengkap, disampaikan oleh sistem OSS kepada Menteri Keuangan sebagai usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan sistem OSS mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sedang dalam proses.

3.

Ketentuan ayat (2) Pasal 7 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Thumbnail
PELAPORAN KEUANGAN | PERENCANAAN
PMK 62 TAHUN 2023

Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan

  • Ditetapkan: 20 Jun 2023
  • Diundangkan: 23 Jun 2023
Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
25/PUU-XX/2022

Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...

    Relevan terhadap 5 lainnya

    Halaman 194Tutup

    20 Bahan Paparan Pakar atas nama Fadhil Hasan Masukan pakar atas RUU IKN dari perspektif Ilmu Ekonomi, Investasi, BMN, Pengalihan Aset, dan Pendanaan Berkeianjutan 9 Desember 2021 21 Bahan Paparan Pakar atas nama Erasmus Cahyadi Terre Masukan pakar atas RUU IKN dari perspektif Masyarakat Adat dan Humaniora 9 Desember 2021 22 Bahan Paparan Pakar atas nama Avianto Amari Masukan pakar alas RUU IKN dari perspektif Ibu Kota Negara dan Kebencanaan 9 Desember 2021 23 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN dengan Agenda Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pakar dan Aliansi Masyarakat daIam rangka mendapatkan masukan RUU IKN (Terbuka) Rapat dengar pendapat umum Pansus RUU tentang IKN dengan 3 prang pakar dan 2 aliansi masyarkat yang memberikan perspektif perencanaan wilayah dan GIS, perspektif ekonomi, perihal tugas dan fungsi badan otorita IKN, desentralisasi fiskal serta pengalihan asset 10 Desember 2021 24 Bahan Paparan Pakar atas nama Mukti Ali Masukan pakar atas RUU IKN dari perspektif Perencanaan WiIayah dan GIS 10 Desember 2021 25 Bahan Paparan Pakar atas nama Master P. Tumanggor Masukan pakar atas RUU IKN dari perspektif Ekonomi 10 Desember 2021 26 Bahan Paparan atas nama Robert Endi Jaweng Masukan Pakar atas RUU IKN dari perspektif Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal serta Pengalihan Aset 10 Desember 2021 27 Bahan Paparan atas nama Suharyono S. Hadiningrat Masukan pakar atas RUU lKN dari perspektif Inspirasi Merah Putih Indonesia. 10 Desember 2021 28 Bahan Paparan Pakar atas nama Mohammad Djailani Ketua Umum Aliansi Pimpinan Ormas Daerah AORDA Kalimantan Timur. 10 Desember 2021 29 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN dengan Agenda Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pakar dalam rangka mendapatkan masukan RUU IKN (Terbuka) Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus RUU tentang lKN dengan 4 orang pakar yang memberikan perspektif hukum Tata Negara, kebijakan publik, kelembagaan negara, dan teknologi informasi. 11 Desember 2021 30 Bahan Paparan Pakar atas nama Satya Arinanto Masukan pakar atas RUU IKN dari perspektif Hukum Tata Negara. 11 Desember 2021 31 Bahan Paparan Pakar alas nama Chazali H. Situmorang Masukan pakar atas RUU lKN dari perspektif Kebijakan Publik 11 Desember 2021

    Halaman 236Tutup

    perencanaan pembentukan undang-undang dengan konsep perencanaan pembangunan IKN dengan mendasarkan pada ketersediaan anggaran. i. Penyediaan anggaran untuk masing-masing Kementerian Lembaga melaksanakan proses perpindahan IKN dapat dilakukan setelah mendapatkan payung hukum ditetapkannya UU IKN. j. Pemenuhan kebutuhan anggaran IKN khususnya untuk pembangunan, dilakukan sejalan dengan konsolidasi fiskal pascapandemi Covid-19 dan disesuaikan dengan kondisi terkini serta memperhatikan kapasitas APBN dalam rangka kesinambungan fiskal. Pemerintah tetap berkomitmen agar rencana penanganan Covid-19 dan pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional tetap berjalan dengan baik selaras dengan pembangunan IKN. Dengan demikian, sesuai dengan UU IKN, pendanaan pembangunan UU IKN telah didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang sah dan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesinambungan fiskal serta kebutuhan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. 7. Tanggapan mengenai dalil Lampiran II UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN tidak pernah ada atau dibahas pada saat pembahasan __ Lampiran II mengenai Rencana Induk IKN merupakan amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU yang menyatakan bahwa: “ Rencana Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) _paling sedikit memuat pokok-pokok: _ _a. pendahuluan; _ _b. visi, tujuan, prinsip dasar, dan indikator kinerja utama; _ _c. prinsip dasar pembangunan; dan _ d. penahapan pembangunan dan skema pendanaan, yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini .” Sehingga, dengan telah dicantumkannya Lampiran II dalam batang tubuh UU IKN maka Lampiran II merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang.

    Halaman 345Tutup

    a. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Dr. Wicipto Setiadi (Perspektif Hukum Tata Negara); Dr. Hendricus Andy Simarmata (perspektif hukum lingkungan); Wicaksono Sarosa (perspektif hukum lingkungan); Dr. Asep Sofyan (perspektif lingkungan); dan Dr. Nurkholis (perspektif ilmu ekonomi) yang diselenggarakan tanggal 8 Desember 2021 (vide __ Lampiran 11). b. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Prof Paulus (Perspektif Sosial Kemasyarakatan); Anggito Abimanyu (Perspektif Ekonomi dan Pendanaan Berkelanjutan); Erasmus Cahyadi Terre (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara); Dr. Fadhil Hasan (Perspektif Ekonomi dan Governance); dan Avianto Amri (Masyarakat Peduli Bencana Indonesia) yang diselenggarakan tanggal 9 Desember 2021 (vide Lampiran 17). c. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Robert Endi Jaweng (ex KPPOD) dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal serta Kelembagaan Daerah Virtual; Dr. Master P. Tumangor dalam Perspektif Ekonomi, Investasi Pendanaan dan Pengalihan Aset Pansus B; Dr. Mukti Ali, Dosen FT Univ Hasanuddin dalam Perspektif Perencanaan Wilayah dan GIS Virtual; M. Djailani, AORDA Kalteng (Audiensi) Pansus B; dan Suharyono, IMPI (Audiensi) Virtual yang diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 2021 (vide __ Lampiran 23). d. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (4 orang Pakar), yakni Prof. Satya Arinanto, SH.MH Pakar Hukum HTN FHUI IKN dalam Perspektif Hukum Tata Negara Hadir/Virtual; Dr. Chazali H. Situmorang Pakar Kebijakan Publik Unas IKN dalam Perspektif Kebijakan Publik; Dr. Aminuddin Kasim, SH.MH Pakar HTN Universitas Tadulako Sulteng IKN dalam Perspektif Kelembagaan Negara Virtual; dan Dr. Pratama Dahlian Persadha Chairman Lembaga Riset Keamanan Si dan Komunikasi CISSReC ( Communication and Information System Security Research Center Virtual ), yang diselenggarakan tanggal 11 Desember 2021 (vide __ Lampiran 29). Soemardjono, S.H., MCL, MPA selaku Pakar Hukum Pertanahan UGM; Ananda B. Kusuma selaku Pakar Sejarah Ketatanegaraan IKN; Dr. Yayat Supriatna selaku Pakar Tata Ruang Univ. Trisakti; Dr. Arief Anshory Yusuf selaku Pakar Ekonomi; Prof. Haryo Winarso selaku Pakar Planologi ITB; Siti

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    TAHUN ANGGARAN 2023 | APARATUR SIPIL NEGARA
    PP 15 TAHUN 2023

    Pemberian Tunjangan Hari Raya dan Gaji Ketiga Belas kepada Aparatur Negara, Pensiunan, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan Tahun 2023 ...

    • Ditetapkan: 29 Mar 2023
    • Diundangkan: 29 Mar 2023
    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
    100/PUU-XX/2022

    Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Berharga Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu ...

      Relevan terhadap 1 lainnya

      Halaman 39Tutup

      (Bukti P-22 dan Bukti P-17) seharusnya makna Pasal 25 UU SBSN beserta penjelasannya adalah bukan memberikan kewenangan kepada Pemerintah (negara) untuk menunjuk lembaga fatwa mana yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Justru penetapan prinsip syariah terkait dengan ekonomi syariah merupakan bentuk tanggung jawab dari negara itu sendiri. Namun, mengingat saat ini banyak UU yang menyatakan kedudukan MUI, serta belum adanya lembaga negara yang tersedia untuk melaksanakan kewenangan penetapan prinsip syariah dalam konteks ekonomi syariah, maka agar tidak terjadi kekacauan (kekosongan hukum) makna kewenangan MUI tersebut masih dapat dilaksanakan dengan arti bersifat sementara dengan tidak mengurangi kewajiban negara untuk membentuk lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk itu. Kebijakan hukum ini adalah suatu kebijakan yang bersifat terbatas karena hanya bersifat transisional. Negara beralih dari yang sebelumnya hanya sebatas engaged menjadi proactive dalam mengembangkan ekonomi syariah bukanlah sesuatu yang inkonstitusional, melainkan sesuatu yang seharusnya dapat dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya pemaknaan Pasal 25 UU SBSN beserta penjelasannya menjadi: Sebelum Putusan Pasal 25 UU SBSN Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Penjelasan Pasal 25 UU SBSN Yang dimaksud dengan "lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah" adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah. Hak Konstitusional Pemohon Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 hak untuk mendapatkan kepastian hukum atas pelaksanaan prinsip syariah sesuai dengan agama, kepercayaan, keyakinan, dan hati nurani Pemohon oleh lembaga yang terlegitimasi oleh hukum. Sesudah Putusan Pasal 25 UU SBSN

      Halaman 48Tutup

      membutuhkan legitimasi prinsip syariah dari otoritas agama, tetapi justru penentuan apakah otoritas agama tersebut memiliki legitimasi menetapkan fatwa prinsip syariah ditentukan oleh penunjukan Pemerintah itu sendiri. Dengan demikian, justru sebenarnya Pemerintah yang memiliki legitimasi untuk menentukan prinsip syariah yang diakui yang tidak lain justru kewenangan untuk menetapkan prinsip syariah itu sendiri; 3. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 25 UU 19/2008 mewajibkan menteri untuk meminta fatwa sebelum menerbitkan Sukuk Negara, maka berimplikasi pada fatwa tersebut merupakan penentu sah atau tidak sahnya Sukuk Negara yang diterbitkan. Dalam hal ini dapat dilihat politik hukum UU 19/2008 dengan UU 21/2008 berbeda, dimana dalam UU 21/2008 telah ditentukan lembaga yang berwenang menerbitkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sementara dalam UU 19/2008 tidak menentukan demikian; 4. Bahwa menurut Pemohon, berdasarkan amanat konstitusi serta didukung dengan hasil kajian akademis seharusnya makna Pasal 25 UU 19/2008 beserta penjelasannya adalah bukan memberikan kewenangan kepada Pemerintah (negara) untuk menunjuk lembaga fatwa mana yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Justru penetapan prinsip syariah terkait dengan ekonomi syariah merupakan bentuk tanggung jawab dari negara itu sendiri. Namun, mengingat saat ini banyak undang-undang yang menyatakan kedudukan MUI, serta belum adanya lembaga negara yang tersedia untuk melaksanakan kewenangan penetapan prinsip syariah dalam konteks ekonomi syariah, maka agar tidak terjadi kekacauan (kekosongan hukum) makna kewenangan MUI tersebut masih dapat dilaksanakan dengan arti bersifat sementara dengan tidak mengurangi kewajiban negara untuk membentuk lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk itu. Kebijakan hukum ini adalah suatu kebijakan yang bersifat terbatas karena hanya bersifat transisional. Negara beralih dari yang sebelumnya hanya sebatas engaged menjadi proactive dalam mengembangkan ekonomi syariah bukanlah sesuatu yang inkonstitusional, melainkan sesuatu yang seharusnya dapat dilakukan.; 5. Bahwa atas uraian di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah, sebagai berikut:

      Halaman 35Tutup

      Mahkamah Konstitusi untuk memberikan pertimbangan __ kepada pembentuk UU untuk segera melakukan kajian secara mendalam dan menetapkan UU yang mengatur lembaga negara yang berwenang terkait dengan penetapan prinsip syariah dalam konteks ekonomi syariah; 3.68. Bahwa peran dan tanggung jawab negara dalam penetapan prinsip syariah dapat berpegang kepada prinsip “ entity should not be multiplied beyond necessities”. Secara konseptual dalam suatu negara berdaulat tidak ada dua kedaulatan dalam satu kedaulatan, maka pada prinsipnya negara-lah yang berdaulat untuk menentukan hukum yang berlaku. Ketika negara menyerahkan kedaulatannya ke dalam bentuk kedaulatan baru, meskipun terbatas hanya untuk penetapan prinsip syariah, pada akhirnya akan tercipta entity baru yang justru berpotensi terjadi multiplikasi; 3.69. Bahwa ekonomi syariah adalah manifestasi forum eksternum __ dari agama sehingga akan beririsan dengan kebijakan publik, sehingga objek pengaturan ekonomi syariah sesungguhnya adalah objek yang merupakan tanggung jawab negara. Berdasarkan hal tersebut, negara mengambil peran untuk mengatur hal tersebut secara langsung adalah suatu yang wajar. Selain itu, pihak yang dapat menggunakan ekonomi syariah tidak dibatasi berdasarkan dengan latar belakang agamanya, semua pihak boleh menggunakannya, berbeda dengan ritual ibadat yang spesifik hanya untuk agama tertentu saja. Dalam hal ini negara mengatur sebatas apa yang memang menurut sifatnya adalah publik, negara tidak menentukan ritual ibadat warga negaranya. Tidak perlu ada kekhawatiran dan tidak ada relevansinya dengan “negara Islam” atau konsep apapun yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Dengan demikian, dalam konteks ekonomi syariah, negara adalah ceteris paribus dengan agama; 3.70. Bahwa fakta empirik yang terjadi sebelum UU Perbankan Syariah diundangkan pada tahun 2008 kegiatan operasional perbankan syariah telah berjalan. Bahkan BI sebagai regulator telah mengeluarkan regulasi terkait dengan produk perbankan syariah. Tidak dapat dipungkiri MUI mempunyai peran dalam merumuskan fatwa yang kemudian diserap ke dalam regulasi BI meskipun tidak ada UU yang menyatakan hal tersebut. Fakta lainnya adalah justru ternyata negara mampu untuk menetapkan prinsip syariah secara langsung seperti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi

      • 1
      • ...
      • 20
      • 21
      • 22
      • ...
      • 72