JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 534 hasil yang relevan dengan "evaluasi dampak program bantuan pemerintah "
Dalam 0.064 detik
Thumbnail
Tidak Berlaku
BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN | DANA BAGI HASIL
7/PMK.07/2020

Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

  • Ditetapkan: 23 Jan 2020
  • Diundangkan: 23 Jan 2020

Relevan terhadap

Pasal 14Tutup
(1)

Gubernur melakukan evaluasi penggunaan DBH CHT berdasarkan laporan realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2).

(2)

Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kesehatan melakukan evaluasi penggunaan DBH CHT berdasarkan laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).

(3)

Evaluasi penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk memastikan:

a.

kesesuaian penggunaan DBH CHT dengan program/kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9;

b.

terpenuhinya persentase penggunaan DBH CHT pada program pembinaan lingkungan sosial di bidang kesehatan untuk mendukung Program Jaminan Kesehatan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);

c.

teralokasikan seluruh Sisa DBH CHT setiap Daerah; dan d. Pencapaian kinerja penerimaan cukai, pencapaian kinerja produksi tembakau kering, pencapaian kinerja atas prioritas penggunaan DBH CHT, dan ketepatan waktu penyampaian laporan.

(4)

Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk menghitung alokasi kinerja DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4).

(5)

Dalam hal sebagian atau seluruh ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi:

a.

gubernur dapat meminta penjelasan kepada bupati/wali kota; dan

b.

Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat meminta penjelasan kepada Kepala Daerah.

(6)

Untuk memastikan keakuratan besaran Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c:

a.

gubernur melakukan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH CHT dengan bupati/wali kota dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi; dan/atau

b.

Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung Sisa DBH CHT berdasarkan hasil evaluasi atas laporan realisasi penggunaan dan/atau berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada huruf a .

(7)

Dalam hal Kepala Daerah belum menyetujui besaran Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, Kepala Daerah dapat mengajukan penyesuaian dengan menunjukkan bukti-bukti realisasi penggunaan DBH CHT tahun anggaran berkenaan.

(8)

Berdasarkan hasil perhitungan Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, Pemerintah Daerah menganggarkan kembali Sisa DBH CHT dalam APBD Perubahan tahun anggaran berjalan dan/atau APBD tahun anggaran berikutnya untuk mendanai program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9.

(9)

Bupati/walikota menyampaikan surat pernyataan penganggaran kembali besaran Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c kepada gubernur.

(10)

Gubernur menyampaikan surat pernyataan penganggaran kembali besaran Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan surat pernyataan penganggaran kembali besaran Sisa DBH CHT yang disusun oleh gubernur kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

Pasal 7Tutup
(1)

Program pembinaan lingkungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c meliputi kegiatan di bidang:

a.

kesehatan;

b.

ketenagakerjaan;

c.

infrastruktur;

d.

pemberdayaan ekonomi masyarakat; dan/atau

e.

lingkungan hidup.

(2)

Kegiatan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk mendukung program Jaminan Kesehatan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang meliputi:

a.

kegiatan pelayanan kesehatan baik kegiatan promotif/preventif maupun kuratif/rehabilitatif;

b.

penyediaan/peningkatan/pemeliharaan sarana/ prasarana fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan;

c.

pelatihan tenaga kesehatan dan/atau tenaga administratif pada fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan;

d.

pembayaran iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah dan/atau pembayaran iuran Jaminan Kesehatan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja; dan

e.

pembayaran tindakan pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan/atau orang tidak mampu.

(3)

Kegiatan pelayanan kesehatan baik kegiatan promotif/preventif maupun kuratif/rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diutamakan untuk menurunkan angka prevalensi stunting, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan mengenai upaya penurunan angka prevalensi stunting.

(4)

Penyediaan/peningkatan/pemeliharaan sarana/ prasarana fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:

a.

pengadaan;

b.

pembangunan baru;

c.

penambahan ruangan;

d.

rehabilitasi bangunan;

e.

pemeliharaan bangunan/peralatan;

f.

kalibrasi/sertifikasi/akreditasi; dan/atau

g.

pembelian suku cadang.

(5)

Sarana/prasarana fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa alat dan/atau tempat yang digunakan untuk mendukung upaya pelayanan kesehatan, meliputi:

a.

bangunan/gedung/ruang;

b.

alat kesehatan;

c.

obat-obatan, bahan habis pakai, bahan kimia atau reagen;

d.

sarana transportasi rujukan; dan/atau

e.

peralatan operasional yang dapat dipindahkan untuk pelayanan kesehatan baik yang promotif, preventif, maupun kuratif/rehabilitatif.

(6)

Pelatihan tenaga kesehatan dan/atau tenaga administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa keikutsertaan tenaga kesehatan dan/atau tenaga administratif dalam pelatihan teknis yang diselenggarakan oleh instansi/lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah.

(7)

Pembayaran tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dialokasikan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dari alokasi bidang kesehatan untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(8)

Kegiatan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a.

pembinaan dan pelatihan keterampilan kerja bagi tenaga kerja dan masyarakat;

b.

penyediaan/peningkatan/pemeliharaan sarana/ prasarana kelembagaan pelatihan;

c.

pelatihan dan/atau fasilitasi sertifikasi bagi tenaga instruktur pada lembaga pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi/lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah; dan/atau

d.

pelayanan penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja bagi pencari kerja.

(9)

Sarana/prasarana kelembagaan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b berupa alat dan/atau tempat yang digunakan untuk mendukung upaya pelatihan keterampilan meliputi:

a.

bangunan/gedung/ruang;

b.

peralatan/mesin untuk pelatihan keterampilan; dan/atau c. bahan habis pakai.

(10)

Kegiatan di bidang infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a.

pembangunan/rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan/atau jembatan, pasar, dan sarana/prasarana pendukung pariwisata;

b.

penyediaan/pemeliharaan saluran air limbah, sanitasi, dan air bersih;

c.

penyediaan/pemeliharaan saluran irigasi; dan/atau

d.

pembangunan embung dan sarana sumberdaya air.

(11)

Kegiatan di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:

a.

penguatan ekonomi masyarakat melalui kegiatan padat karya yang dapat mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi Daerah;

b.

bantuan sarana produksi dan ternak bagi masyarakat/kelompok masyarakat;

c.

bantuan pengembangan tanaman komoditas perkebunan seperti kopi dan kakao, serta benih tanaman perkebunan lain bagi pekebun tembakau;

d.

fasilitasi promosi bagi usaha mandiri masyarakat; dan/atau e. bantuan modal usaha bagi usaha mikro, kecil, dan menengah.

(12)

Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c mengacu pada rincian kegiatan yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian setelah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.

(13)

Kegiatan di bidang lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a.

penyediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri bagi usaha mikro kecil menengah;

b.

penerapan sistem manajemen lingkungan bagi masyarakat di lingkungan industri;

c.

pelatihan dan/atau sertifikasi bagi tenaga teknis di bidang lingkungan yang diselenggarakan oleh instansi/lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah; dan/atau

d.

bantuan peralatan pengolahan limbah kepada masyarakat.

(14)

Penyediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf a berupa alat dan/atau tempat yang digunakan untuk mengolah limbah industri, meliputi:

a.

bangunan/gedung/ruang;

b.

peralatan/mesin; dan/atau

c.

bahan habis pakai.

(15)

Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh seluruh karakteristik Daerah penerima DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Paragraf 4 Sosialisasi Ketentuan di Bidang Cukai

Pasal 8Tutup
(1)

Program sosialisasi ketentuan di bidang cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d meliputi kegiatan:

a.

penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai kepada masyarakat dan/atau pemangku kepentingan; dan

b.

pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

(2)

Penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan dengan menggunakan forum tatap muka dan/atau reklame/iklan pada media komunikasi sebagai berikut:

a.

media cetak seperti koran, majalah, brosur, poster, stiker, baliho, dan spanduk;

b.

media elektronik seperti radio, televisi, dan videotron; dan/atau

c.

media dalam jaringan.

(3)

Penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus jelas, mudah dibaca, dan dominan.

(4)

Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh seluruh karakteristik Daerah penerima DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).

(5)

Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat atau Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. Pargaraf 5 Pemberantasan Barang Kena Cukai Ilegal

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERBENDAHARAAN
PMK 4 TAHUN 2024

Tata Cara Perencanaan, Pengalokasian, Pencairan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Anggaran yang Bersumber dari Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Mi ...

  • Ditetapkan: 12 Jan 2024
  • Diundangkan: 16 Jan 2024

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERENCANAAN, PENGALOKASIAN, PENCAIRAN, PERTANGGUNGJAWABAN,DANPENGAWASANANGGARAN YANG BERSUMBER DARI DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan se bagai acuan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. 3. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN. 4. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. 5. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 6. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kemen terian negara/ lembaga yang bersangkutan. 7. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. 8. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 9. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menenma, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan kemen terian APBN pada kantor / satuan kerja negara/lembaga pemerintah nonkementerian. 10. Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat BPP adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu. 11. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 12. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini kementerian negara/lembaga pemerintah nonkementerian atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan kementerian negara/lembaga pemerintah nonkementerian dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran. 13. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN, untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. 14. Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Dana MPP adalah dana yang diterima dari Perserikatan Bangsa Bangsa, organisasi internasional dan/ a tau organisasi regional atas pelaksanaan misi pemeliharaan perdamaian. 15. Penerimaan Negara Bukan Pajak Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat PNBP MPP adalah PNBP dengan jenis hak negara lainnya yang berasal dari penyetoran Dana MPP ke Kas Negara. 16. Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Anggaran MPP adalah anggaran belanja dalam DIPA dengan sumber dana PNBP yang berasal dari penyetoran pendapatan dari Dana MPP yang dilakukan melalui mekanisme APBN. 1 7. Rekening Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat RDMP adalah rekening lainnya kementerian negara/lembaga/ satuan kerja dalam rangka penampungan sementara atas penerimaan dari Perserikatan Bangsa Bangsa, organisasi internasional, dan/ a tau organisasi regional atas pengerahan pasukan pada misi pemeliharaan perdamaian. 18. Satuan Kerja Pengelola Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Satker Pengelola Dana adalah Satker yang mengelola RDMP untuk menampung dan menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara. 19. Satuan Kerja Pengguna Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Satker Pengguna Anggaran adalah Satker yang menganggarkan dan menggunakan Anggaran MPP.

20.

Pejabat Pengelola Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Pejabat Pengelola Dana adalah Pejabat yang ditunjuk menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk mengelola dan menyetorkan Dana MPP. 21. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor bukti transaksi penenmaan yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara. 22. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN. 23. Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/ penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah membayar langsung. 24. Tambahan Uang Persediaan untuk keperluan misi pemeliharaan perdamaian yang selanjutnya disebut TUP MPP adalah tambahan uang persediaan yang diajukan oleh Satker Pengguna Anggaran untuk membukukan Pendapatan PNBP yang berasal dari Dana MPP dan mencatat uang muka kepada Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran untuk kebutuhan belanja misi pemeliharaan perdamaian. 25. Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju. 26. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 27. Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran. 28. Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPP TUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP MPP. 29. Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPP PTUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP MPP. 30. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

31.

Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran. 32. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPM TUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP MPP. 33. Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPM PTUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP MPP yang membebani DIPA. 34. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 35. Sistem Informasi adalah sistem yang dibangun, dikelola, dan/atau dikembangkan oleh Kementerian Keuangan guna memfasilitasi proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan/atau monitoring dan evaluasi anggaran yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara. 36. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI adalah komponen utama yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan negara. 37. Menteri Pertahanan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. 38. Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 39. Panglima TNI yang selanjutnya disebut Panglima adalah perwira tinggi militer yang memimpin TNI. 40. Kepala Polri yang selanjutnya disebut Kapolri adalah pimpinan Polri dan penanggung jawab penyelenggara fungsi kepolisian. 41. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 2 Pengelolaan Dana MPP dilaksanakan untuk menampung pendanaan misi pemeliharaan perdamaian yang dibebankan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional, dan/ a tau organisasi regional pada lingkup TNI dan Polri. Pasal 3 Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:

a.

pendanaan atas misi pemeliharaan perdamaian yang dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan; dan

b.

pendanaan atas misi pemeliharaan perdamaian yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Pasal 4 (1) Dalam rangka Pengelolaan Dana MPP dan Penggunaan Anggaran MPP, Menteri Pertahanan dan Kapolri menetapkan:

a.

Satker Pengelola Dana; dan

b.

Satker Pengguna Anggaran. (2) Kepala Satker Pengelola Dana bertindak secara ex- officio sebagai Pejabat Pengelola Dana. (3) Dalam hal Satker Pengelola Dana merupakan Satker Pengguna Anggaran, Menteri Pertahanan dan Kapolri menetapkan Pejabat Pengelola Dana dari Satker lain. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

penetapan pada lingkup TNI dilakukan oleh Menteri Pertahanan berdasarkan usulan Panglima; dan

b.

penetapan pada lingkup Polri dilakukan oleh Kapolri. Pasal 5 (1) Untuk pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Satker Pengelola Dana membuka RDMP. (2) Dalam hal telah terdapat rekening penampungan sementara yang telah didaftarkan sebagai rekening pemerintah untuk menampung Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, rekening dimaksud diakui dan digunakan sebagai RDMP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (3) RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Satker Pengelola Dana. (4) Satker Pengelola Dana melaksanakan Pengelolaan RDMP yang terdiri atas:

a.

pembukaan rekening;

b.

pengoperasian rekening;

c.

pelaporan rekening; dan/atau

d.

penutupan rekening. (5) Tata cara pembukaan, pengoperasian, pelaporan, dan penutupan RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pengelolaan rekening milik Satuan Kerja lingkup kementerian negara/lembaga. BAB II PERENCANAAN KEBUTUHAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN SERTA PENYETORAN DAN IZIN PENGGUNAAN DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Pasal 6 (1) KPA pada Satker Pengguna Anggaran menyusun rencana kebutuhan Anggaran MPP atau penambahan kebutuhan Anggaran MPP pada tahun anggaran berjalan. (2) Rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan:

a.

kebutuhan dan kemampuan penyerapan anggaran untuk keperluan pelaksanaan Anggaran MPP pada tahun anggaran berjalan; dan

b.

kecukupan Dana MPP yang akan dilakukan penyetoran ke Kas Negara sebesar realisasi Anggaran MPP. (3) Dalam hal rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam valuta asing, disertai dengan nilai ekuivalen rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral. (4) KPA pada Satker Pengguna Anggaran menyampaikan rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Pertahanan dan Kapolri sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Pasal 7 (1) Berdasarkan rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), Menteri Pertahanan dan Kapolri sesuai dengan lingkup tugas masing-masing atau pejabat yang menerima pelimpahan wewenang menerbitkan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP. (2) Surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:

a.

dasar hukum;

b.

besaran tertinggi Dana MPP yang dibutuhkan dalam masing-masing valuta dengan ekuivalen rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral pada tanggal pembuatan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP;

c.

rincian keperluan misi pemeliharaan perdamaian;

d.

penunjukan Satker Pengguna Anggaran dan Satker Pengelola Dana; dan

e.

saldo Dana MPP. (3) Surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran. (4) Berdasarkan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Anggaran melakukan penelitian terhadap surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(5)

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri menerbitkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP. (6) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) minimal memuat:

a.

unit pengguna PNBP MPP;

b.

be saran persetujuan penggunaan dana PNBP MPP;

c.

rincian keperluan misi pemeliharaan perdamaian; dan

d.

masa berlaku persetujuan penggunaan dana PNBP MPP. (7) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP MPP ditolak, Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan beserta alasannya. Pasal 8 (1) Dana MPP yang ada dalam RDMP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disetorkan ke Kas Negara sebagai PNBP MPP. (2) Penyetoran ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit sebesar Anggaran MPP yang terealisasi pada tahun anggaran berkenaan. (3) Penyetoran ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pengelola Dana pada Satker Pengelola Dana. (4) Satker Pengelola Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertindak sebagai Satker penghasil PNBP MPP. (5) PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membiayai keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian pada Satker Pengguna Anggaran yang terdiri atas:

a.

pengiriman personel dan peralatan;

b.

operasional;

c.

perawatan personel;

d.

pemeliharaan peralatan;

e.

pemulangan personel dan peralatan;

f.

penambahan atau penguatan personel dan peralatan pada m1s1 yang sedang berjalan; dan/atau

g.

kegiatan lainnya yang terkait langsung dengan pelaksanaan MPP. (6) Kegiatan lainnya yang terkait langsung dengan pelaksanaan MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf g ditetapkan oleh Panglima pada lingkup TNI dan Kapolri pada lingkup Polri. Pasal 9 (1) Penggunaan dana PNBP MPP dilaksanakan berdasarkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri. (2) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk tahun anggaran berkenaan.

(3)

Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali pada tahun anggaran berkenaan dengan mempertimbangkan perubahan keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian. (4) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pengalokasian Anggaran MPP dalam DIPA. BAB III PENGALOKASIAN DAN PENCAIRAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Bagian Kesatu Pengalokasian Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 10 (1) Anggaran MPP dialokasikan dalam DIPA Satker Pengguna Anggaran. (2) Anggaran MPP yang dialokasikan dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak dapat dilampaui. (3) Alokasi Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan batas tertinggi pencairan anggaran belanja negara yang sumber dananya berasal dari PNBP MPP. Pasal 11 (1) Pengalokasian Anggaran MPP dan target PNBP MPP dalam DIPA dilakukan melalui mekanisme revisi anggaran dan dapat dilakukan secara bertahap sesuai proyeksi kebutuhan dan kemampuan penyerapan Anggaran MPP tahun anggaran berkenaan. (2) Pengalokasian Anggaran MPP dan target PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimum sebesar surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5). (3) Revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satker Pengguna Anggaran dan Satker Pengelola Dana secara bersama-sama dengan ketentuan:

a.

Satker Pengelola Dana melakukan pencantuman/penambahan target PNBP MPP; dan

b.

Satker Pengguna Anggaran melakukan pencantuman/penambahan pagu belanja atas Anggaran MPP. (4) Pagu Anggaran MPP dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam klasifikasi rincian output yang terpisah dengan anggaran selain yang dibiayai dengan PNBP MPP. (5) Kodefikasi segmen akun untuk klasifikasi belanja dalam Anggaran MPP berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai bagan akun standar.

(6)

Anggaran MPP tidak dapat direvisi/ dilakukan pergeseran anggaran dari dan/ a tau ke selain Anggaran MPP. (7) Revisi pergeseran antar-Anggaran MPP yang tidak menyebabkan perubahan pagu Anggaran MPP secara keseluruhan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 12 (1) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/ pejabat eselon I pada lingkup unit organisasi pada kementerian yang membidangi urusan pertahanan atau Polri mengajukan usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran melalui Si stem Informasi dengan melampirkan:

a.

surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5); dan

b.

surat pernyataan kesanggupan dari Pejabat Pengelola Dana untuk menyetor Dana MPP ke Kas Negara sebesar Anggaran MPP yang terealisasi pada tahun anggaran berkenaan. (2) Direktorat Pelaksanaan Anggaran melakukan pengujian usulan rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem Informasi. (3) Berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pelaksanaan Anggaran mengesahkan Revisi Anggaran MPP melalui Sistem Informasi. (4) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Direktorat Pelaksanaan Anggaran menerbitkan penolakan Revisi Anggaran MPP kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/ pejabat eselon I pada lingkup unit organisasi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau Polri beserta alasannya melalui Sistem Informasi. (5) Batas akhir penyampaian usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran yakni tanggal 15 Desember tahun anggaran berkenaan. Pasal 13 Berdasarkan pengesahan Revisi Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Direktorat Pelaksanaan Anggaran menetapkan Maksimum Pencairan PNBP Satker Pengguna Anggaran sebesar Anggaran MPP pada Sistem Informasi. Bagian Kedua Pencairan Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 14 (1) Pencairan Anggaran MPP dilakukan berdasarkan komitmen dan pengajuan tagihan kepada negara. (2) Pembuatan komitmen dan pengajuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

untuk komitmen dalam bentuk rupiah berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan; dan

b.

untuk komitmen dalam bentuk valuta asing berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pembayaran perjanjian dalam valuta asing yang dananya bersumber dari rupiah murni. Pasal 15 Pembayaran atas tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui mekanisme:

a.

Pembayaran LS; atau

b.

TUP MPP. Bagian Ketiga Mekanisme Pembayaran Langsung Pasal 16 Mekanisme Pembayaran LS yang dibebankan dari Anggaran MPP dilaksanakan untuk pembayaran tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kepada penyedia barang/ jasa di dalam negeri dengan mata uang rupiah. Pasal 17 (1) Berdasarkan pengaJuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), PPK pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Terhadap pengujian atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPP-LS dan menyampaikan kepada PPSPM. (3) Dalam hal pengujian atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum sesuai, PPK menolak tagihan. (4) Penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah Dana MPP disetorkan ke Kas Negara minimal sebesar nilai bruto SPP-LS yang dibuktikan dengan BPN. (5) Berdasarkan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian SPP-LS yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan.

(6)

Berdasarkan pengujian atas SPP-LS dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah sesuai, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPM-LS dan menyampaikan kepada KPPN. (7) Penyampaian SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilampiri BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (8) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum sesuai, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menolak tagihan. (9) Penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 18 (1) KPPN melakukan pengujian SPM-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Pengujian SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai pengujian BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4). (3) Pengujian BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengujian atas nominal dalam BPN yang minimal sebesar nilai bruto pada SPM-LS. (4) Dalam hal pengujian SPM-LS dan lampirannya beserta BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan SP2D LS atas beban Anggaran MPP. (5) Dalam hal pengujian SPM-LS beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan penolakan SPM-LS beserta alasannya. Bagian Keempat Mekanisme Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Paragraf 1 Penerbitan Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 19 (1) Mekanisme penerbitan TUP MPP dilakukan berdasarkan surat permohonan persetujuan TUP MPP dari KPA pada Satker Pengguna Anggaran dengan memperhatikan pagu Anggaran MPP selain yang akan dibayarkan melalui mekanisme Pembayaran LS. (2) KPA Satker Pengguna Anggaran mengajukan surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPPN dilampiri dengan:

a.

rincian rencana penggunaan TUP MPP; dan

b.

surat pernyataan kesanggupan dari Pejabat Pengelola Dana untuk menyetor Dana MPP ke Kas Negara, melalui Sistem Informasi. (3) Surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat dalam valuta asing dengan ketentuan:

a.

Satker Pengguna Anggaran memperhatikan ketersediaan rekening Bendahara Pengeluaran untuk menerima TUP MPP dalam valuta asing; dan

b.

dalam hal belum terdapat rekening Bendahara Pengeluaran untuk menerima TUP MPP dalam valuta asing, Satker Pengguna Anggaran membuka rekening dalam valuta asing sesuai dengan bank operasional valuta asing yang telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pasal 20 (1) Berdasarkan surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), KPPN melakukan pengujian terhadap:

a.

nominal pengajuan permintaan TUP MPP agar tidak melebihi pagu Anggaran MPP yang tersedia;

b.

tidak terdapat kekurangan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara atas realisasi Anggaran MPP tahun anggaran sebelumnya atau tahun anggaran berjalan;

c.

dalam hal terdapat TUP MPP yang telah diterbitkan sebelumnya, sisa TUP MPP dimaksud telah dipertanggungjawabkan paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima persen); dan

d.

tidak terdapat lebih dari 1 (satu) TUP MPP yang belum selesai dipertanggungjawabkan seluruhnya sebelum penerbitan TUP MPP yang baru. (2) Terhadap surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan persetujuan TUP MPP melalui Sistem Informasi. (3) Dalam hal surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan penolakan TUP MPP beserta alasannya. (4) Persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diterbitkan tanpa didahului penerbitan uang persediaan. (5) Persetujuan TUP MPP yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam kartu pengawasan yang terpisah dalam Sistem Informasi. Pasal 21 (1) Berdasarkan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPP TUP MPP. (2) SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibuat dalam valuta as1ng menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (3) Penerbitan SPP TUP MPP atas persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dalam mata uang rupiah, dilakukan setelah Dana MPP disetorkan ke Kas Negara paling sedikit sebesar nominal persetujuan TUP MPP yang dibuktikan dengan BPN. (4) SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran melalui Sistem Informasi. Pasal 22 (1) PPS PM pada Satker Pengguna Anggaran melakukan penelitian dan pengujian terhadap SPP TUP MPP yang disampaikan oleh PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan BPN se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dalam Sistem Informasi. (2) Proses penelitian dan pengujian SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menguji kesesuaian nominal antara SPP TUP MPP dengan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). (3) Proses penelitian dan pengujian SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan secara elektronik berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (4) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai, PPSPM menerbitkan SPM TUP MPP kepada KPPN dengan dilampiri BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). (5) Dalam hal hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, PPS PM menolak SPP TUP MPP. (6) SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dibuat dalam valuta asing menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. Pasal 23 (1) KPPN melakukan penelitian dan pengujian SPM TUP MPP yang disampaikan oleh PPSPM dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) melalui Sistem Informasi. (2) Proses penelitian dan pengujian SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menguji kesesuaian nominal antara SPM TUP MPP dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dengan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).

(3)

Proses penelitian dan pengujian SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan secara elektronik berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (4) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai, KPPN menerbitkan SP2D TUP MPP. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, KPPN menolak SPM TUP MPP disertai dengan alasan penolakan. (6) SP2D TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dibuat dalam valuta asing, menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (7) Penerbitan SP2D TUP MPP dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional dan norma waktu SP2D TUP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Paragraf 2 Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 24 (1) Berdasarkan pengajuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), PPK pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Berdasarkan hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPBy yang disampaikan kepada Bendahara Pengeluaran/BPP. (3) Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menolak tagihan disertai alasan penolakan. (4) Dalam hal TUP MPP digunakan untuk uang muka, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPBy disertai dengan:

a.

rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran; dan

b.

rincian kebutuhan dana. (5) Berdasarkan SPBy yang disampaikan PPK, Bendahara Pengeluaran/BPP Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang meliputi:

a.

penelitian kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;

b.

pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:

1.

pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;

2.

nilai tagihan yang harus dibayar; dan

3.

jadwal waktu pembayaran;

c.

pengujian ketersediaan dana TUP MPP yang bersangkutan;

d.

pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam penerimaan barang/ jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/ kontrak; dan

e.

pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan klasifikasi anggaran. (6) Terhadap SPBy yang telah memenuhi persyaratan, Bendahara Pengeluaran/BPP pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pembayaran dengan dana TUP MPP. (7) Dalam hal SPBy tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan, Bendahara Pengeluaran/BPP pada Satker Pengguna Anggaran mengembalikan tagihan/SPBy. Pasal 25 (1) Setiap BPP mengajukan pertanggungjawaban TUP MPP melalui Bendahara Pengeluaran pada Satker Pengguna Anggaran. (2) Pengajuan pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan SPBy dan kelengkapan berupa bukti pengeluaran yang sah. (3) Berdasarkan bukti pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK menerbitkan SPP PTUP MPP untuk pengesahan/ pertanggungjawaban TUP MPP dan disampaikan kepada PPSPM paling lama 5 (lima) hari kerja setelah bukti dukung diterima secara lengkap dan benar. (4) SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan secara bertahap. (5) Berdasarkan SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah memenuhi ketentuan pengujian formal, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPM PTUP MPP kepada KPPN secara elektronik menggunakan Sistem Informasi. (6) Dalam hal SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memenuhi ketentuan pengujian formal, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menolak dan mengembalikan SPP PTUP MPP kepada PPK pada Satker Pengguna Anggaran secara elektronik melalui Sistem Informasi disertai alasan penolakan. Pasal 26 (1) KPPN melakukan penelitian dan pengujian SPM PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5) yang dilakukan secara elektronik mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik se bagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi ketentuan, KPPN menerbitkan SP2D PTUP MPP.

(3)

SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dibuat dalam valuta asing, menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (4) Berdasarkan SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Satker Pengguna Anggaran:

a.

melakukan pencatatan SP2D pada Sistem Informasi; dan

b.

mengajukan permintaan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara kepada Pejabat Pengelola Dana sebesar nominal SP2D pada Sistem Informasi sebagaimana huruf a. (5) Dalam hal pencatatan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tidak dapat dilakukan atau menyebabkan kekurangan pagu akibat adanya selisih kurs, Satker Pengguna Anggaran melakukan revisi anggaran sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (6) Dalam hal berdasarkan penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi ketentuan, KPPN menolak SPM PTUP MPP disertai dengan alasan penolakan. (7) Penerbitan SP2D PTUP MPP dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional dan norma waktu SP2D PTUP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Pasal 27 (1) Satker Pengguna Anggaran mempertanggungjawabkan TUP MPP paling lama 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP. (2) Dalam hal batas waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/ a tau belum disetorkan sisanya ke Kas Negara, KPA pada Satker Pengguna Anggaran dapat mengajukan surat permohonan perpanjangan waktu pertanggungjawaban TUP MPP kepada Kepala KPPN. (3) Sisa TUP MPP yang tidak habis digunakan dalam 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetor ke Kas Negara dalam bentuk mata uang yang sama dengan pada saat pencairan SP2D TUP MPP. (4) Dalam hal 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada tahun anggaran berikutnya, penyetoran sisa TUP dilakukan sebelum tahun anggaran berakhir dengan memperhatikan norma waktu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (5) Dalam hal 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa dana TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/atau belum disetorkan ke Kas Negara dan belum diajukan surat permohonan perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengguna Anggaran. (6) Terhadap surat permohonan perpanjangan waktu pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPPN dapat memperpanjang batas waktu PTUP MPP paling lama 1 ( satu) bulan setelah batas waktu PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Dalam hal setelah 2 (dua) hari kerja setelah berakhirnya batas perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) masih terdapat sisa dana TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/atau belum disetorkan ke Kas Negara, Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengguna Anggaran. (8) Dalam hal batas waktu 2 (dua) hari kerja setelah disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dilakukan pertanggungjawaban dan/atau penyetoran sisa TUP MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN memo tong be saran uang persediaan tunai rupiah murni Satker Pengguna Anggaran sebesar 25% (dua puluh lima persen) untuk periode paling singkat 1 (satu) tahun anggaran. (9) Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Penguna Anggaran untuk memperhitungkan potongan uang persediaan dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara. (10) TUP MPP dianggap telah selesai dipertanggungjawabkan seluruhnya dalam hal total nominal pengeluaran dalam SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) ditambah setoran sisa TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan nominal SP2D TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4). Paragraf 3 Penyelesaian Selisih Kurs Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 28 (1) Dalam hal terdapat selisih kurs pada ekuivalensi mata uang rupiah atas setoran sisa TUP MPP dalam valuta asing antara Satker dengan pembukuan KPPN, selisih kurs dicatat dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

dalam hal nilai mata uang rupiah atas setoran TUP MPP pada Satker nilainya kurang dari sisa TUP MPP dalam mata uang Rupiah sebagaimana tercantum dalam pembukuan KPPN, selisih kurang dalam rupiah tersebut dicatat dengan akun belanja karena rugi selisih kurs uang persediaan Satker; atau

b.

dalam hal nilai mata uang rupiah atas setoran TUP MPP pada Satker nilainya lebih besar dari sisa TUP MPP dalam mata uang rupiah sebagaimana tercantum dalam pembukuan KPPN, selisih lebih dalam rupiah tersebut dicatat sebagai PNBP dengan akun pendapatan dari untung selisih kurs uang persediaan Satker. (2) Pengalokasian akun belanja karena rugi selisih kurs uang persediaan Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Bagian Kelima Mekanisme Penyetoran Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 29 (1) Pejabat Pengelola Dana menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara sebagai PNBP MPP paling lambat:

a.

sebelum penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2);

b.

sebelum penerbitan SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 untuk TUP MPP yang dimintakan dalam mata uang rupiah; dan / a tau c. 1 (satu) hari kerja setelah penerbitan SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk TUP MPP yang dimintakan dalam valuta asmg. (2) Direktur Jenderal Perbendaharaan berwenang memerintahkan Pejabat Pengelola Dana menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara di luar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam rupiah atau valuta asing. (4) Dalam hal penyetoran ke Kas Negara dilakukan dalam valuta asing, jumlah yang disetorkan sebesar ekuivalen rupiah pada realisasi belanja atas SP2D. (5) Penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhitungkan selisih kurs yang diakibatkan atas setoran sisa TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). (6) Kodefikasi segmen akun pendapatan pada penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagai PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kode Satker Pengelola Dana dengan kode akun yang berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai bagan akun standar. (7) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan melalui BPN yang telah mendapatkan NTPN. (8) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara berdasarkan SP2D PTUP MPP pada akhir tahun anggaran dilakukan sebelum tahun anggaran berakhir dengan berpedoman pada norma waktu penyetoran penerimaan negara pada akhir tahun anggaran yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (9) Terhadap TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan hingga 31 Desember tahun anggaran berkenaan, penyetoran Dana MPP ke Kas Negara dilakukan mendahului SP2D PTUP MPP sesuai norma waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebesar nilai TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan. (10) Dalam hal nilai SP2D PTUP MPP lebih besar daripada penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (9), kekurangan penyetoran disetorkan ke Kas Negara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah SP2D PTUP MPP diterbitkan. (11) Dalam hal 2 (dua) hari kerja setelah tanggal SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c atau ayat (10) belum dilakukan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pejabat Pengelola Dana. (12) Dalam hal 1 (satu) hari kerja setelah disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) belum dilakukan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan tunai rupiah murni Satker Pengelola Dana sebesar 25% (dua puluh lima persen) sampai dengan kekurangan Dana MPP disetorkan ke Kas Negara. (13) Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengelola Dana untuk memperhitungkan potongan uang persediaan dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara. BAB IV PEMBAYARAN TAGIHAN ATAS MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DALAM KONDISI MENDESAK Pasal 30 (1) Satker Pengguna Anggaran dapat melakukan pembayaran tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak untuk keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian mendahului:

a.

surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4); dan/atau

b.

pengesahan rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3). (2) Pembayaran tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:

a.

saldo Dana MPP masih tersedia minimal se besar tagihan yang harus dibayarkan; dan

b.

alokasi Anggaran MPP belum tersedia atau tidak mencukupi untuk membayar kebutuhan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Dana MPP yang telah digunakan untuk membayar tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperhitungkan dalam:

a.

rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);

b.

usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

c.

usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); dan

d.

surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). (4) Pengajuan usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilampiri surat pernyataan Panglima pada lingkup TNI atau Kapolri pada lingkup Polri atau pejabat yang menerima pelimpahan wewenang. (5) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:

a.

pernyataan bahwa terdapat tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak yang harus segera dibayarkan mendahului penerbitan persetujuan penggunaan dana PNBP MPP dan/atau pengesahan revisi Anggaran MPP; dan

b.

nominal Dana MPP yang digunakan. (6) Dalam hal TUP MPP telah dicairkan ke Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran, nominal Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan penggantian sesuai dengan nominal dana yang telah digunakan. (7) Usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pembayaran terhadap kondisi mendesak yang mendahului surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (8) Usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diajukan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah:

a.

surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP atas usulan persetujuan penggunaan dana PNBP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan; atau

b.

pembayaran terhadap kondisi mendesak yang mendahului rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (9) Pengajuan usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memperhatikan batas waktu penyampaian usulan revisi anggaran se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5).

(10)

Terhadap dana TUP MPP yang telah dicairkan ke Rekening Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran memindahbukukan dana TUP MPP ke RDMP. (11) Pemindahbukuan dana TUP MPP ke RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan sebesar Dana MPP yang telah dibayarkan untuk pembayaran tagihan dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (12) Bukti pengeluaran atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipertanggungjawabkan melalui mekanisme PTUP MPP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (13) Terhadap PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (12), berlaku ketentuan penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. BABV AKUNTANSI DAN PELAPORAN Pasal 31 (1) Saldo Dana MPP dicatat oleh Satker Pengelola Dana sebagai dana yang dibatasi penggunaannya. (2) Dana MPP yang disetorkan ke Kas Negara dicatat oleh Satker Pengelola Dana sebagai pendapatan PNBP. (3) Realisasi Anggaran MPP dicatat oleh Satker Pengguna Anggaran. (4) Dalam hal Penggunaan Anggaran MPP menghasilkan persediaan/aset tetap/aset lainnya, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan Polri:

a.

menatausahakan persediaan/aset tetap/aset lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penatausahaan BMN; dan

b.

menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan atas persediaan / a set tetap / aset lainnya. (5) Penatausahaan dan penyelenggaraan akuntansi dan pelaporan atas persediaan / aset tetap / aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Satker Pengguna Anggaran. (6) Perolehan persediaan/aset tetap/aset lainnya yang dibayarkan menggunakan valuta asing dengan TUP MPP dinilai dengan ekuivalen rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (7) Transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan atas saldo Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satker Pengelola Dana mengungkapkan secara memadai dalam catatan atas laporan keuangan. (8) Pencatatan dan pelaporan keuangan pada Satker Pengelola Dana dan Satker Pengguna Anggaran berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VI PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN Pasal 32 (1) Pengendalian dan pemantauan dilakukan terhadap:

a.

pengelolaan Dana MPP; dan

b.

penggunaan Anggaran MPP. (2) Pengendalian dan pemantauan terhadap pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap:

a.

pemenuhan komitmen pembayaran dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional, dan/atau organisasi regional sesuai dengan perjanjian dengan Pemerintah Republik Indonesia;

b.

mitigasi penggunaan Dana MPP yang tidak dilaksanakan sesuai mekanisme APBN;

c.

mitigasi penggunaan dana MPP untuk membiayai kegiatan selain kegiatan misi pemeliharaan perdamaian; dan

d.

kesesuaian rencana kegiatan dan pengalokasian Anggaran MPP pada DIPA. (3) Tata cara pengendalian dan pemantauan terhadap Pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Pertahanan atau Kapolri. (4) Pengendalian dan pemantauan terhadap penggunaan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (5) Hasil pengendalian dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk:

a.

memastikan pelaksanaan program dan kegiatan sesuai dengan yang direncanakan dan mencapai output yang ditetapkan;

b.

memberikan bahan pertimbangan penyesuaian kebijakan misi pemeliharaan perdamaian tahun anggaran berjalan;

c.

mengendalikan belanja negara; dan/atau

d.

meningkatkan efisiensi dan efektivitas Anggaran MPP untuk keberlanjutan misi pemeliharaan perdamaian di masa yang akan datang. BAB VII PENGAWASAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Pasal 33 (1) Pengawasan Anggaran MPP dan Dana PNBP MPP dilakukan oleh:

a.

aparat pengawasan intern pemerintah; dan/atau

b.

Menteri;

(2)

Tata cara pelaksanaan pengawasan Anggaran MPP dan Dana PNBP MPP sebagaimana dimakasud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 (1) U sulan rev1s1 Anggaran MPP Tahun Anggaran 2024 untuk pertama kali diajukan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Peraturan Menteri ini diundangkan. (2) Dalam hal terdapat tagihan atas komitmen untuk keperluan misi pemeliharaan perdamaian untuk Tahun Anggaran 2024 sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku dan sebelum usulan revisi Anggaran MPP Tahun Anggaran 2024 untuk pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan, Satker Pengguna Anggaran dapat membayar tagihan dimaksud menggunakan Dana MPP. (3) Tata cara pembayaran tagihan atas misi pemeliharaan perdamaian dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembayaran tagihan atas komitmen untuk keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (7) dan ayat (8) dikecualikan terhadap pembayaran tagihan atas komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Peraturan Menteri 1n1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Thumbnail
BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
PMK 146 TAHUN 2023

Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa, Penyaluran, dan Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2024

  • Ditetapkan: 27 Des 2023
  • Diundangkan: 28 Des 2023

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGALOKASIAN DANA DESA SETIAP DESA, PENYALURAN, DAN PENGGUNAAN DANA DESA TAHUN ANGGARAN 2024. jdih.kemenkeu.go.id BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pemerin tah Daerah adalah kepala daerah se bagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 3. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. 5. Dana Desa adalah bagian dari transfer ke daerah yang diperuntukkan bagi Desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. 6. Alokasi Dasar adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada setiap Desa. 7. Alokasi Afirmasi adalah adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal dan dapat mempertimbangkan jumlah penduduk miskin tinggi di Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal. 8. Alokasi Kinerja adalah alokasi yang dibagi kepada Desa dengan kinerja terbaik. 9. Alokasi Formula adalah alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. 10. Indeks Kesulitan Geografis Desa yang selanjutnya disebut IKG Desa adalah angka yang mencerminkan tingkat kesulitan geografis suatu Desa berdasarkan variabel ketersediaan pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, transportasi, dan komunikasi. 11. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disebut APBDes adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Desa. 12. Bantuan Langsung Tunai Desa yang selanjutnya disebut BLT Desa adalah pemberian uang tunai kepada jdih.kemenkeu.go.id keluarga penerima manfaat di Desa yang bersumber dari Dana Desa. 13. Aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut Aplikasi OM-SPAN adalah aplikasi yang digunakan dalam rangka memonitoring transaksi dalam sistem perbendaharaan dan anggaran negara dan menyajikan informasi sesuai dengan kebutuhan yang diakses melaluijaringan berbasis web. Pasal 2 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:

a.

pengalokasian Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2024;

b.

penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2024; dan

c.

penggunaan Dana Desa tahun anggaran 2024. BAB II PENGALOKASIAN DANA DESA SETIAP DESA Pasal 3 (1) Dana Desa tahun anggaran 2024 ditetapkan sebesar Rp71.000.000.000.000,00 (tujuh puluh satu triliun rupiah), yang terdiri atas:

a.

sebesar Rp69.000.000.000.000,00 (enam puluh sembilan triliun rupiah) pengalokasiannya dihitung pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan berdasarkan formula; dan

b.

sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) sebagai tambahan Dana Desa yang dialokasikan pada tahun anggaran berjalan dan/atau melaksanakan kebijakan Pemerintah. (2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dialokasikan kepada setiap Desa yang terdiri atas:

a.

Alokasi Dasar sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp44.849.894.546.000,00 (empat puluh empat triliun delapan ratus empat puluh sembilan miliar delapan ratus sembilan puluh em pat juta lima ratus empat puluh enam ribu rupiah);

b.

Alokasi Afirmasi sebesar 1 % (satu persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp689.992.320.000,00 (enam ratus delapan puluh sembilan miliar sembilan ratus sembilan puluh dua juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah);

c.

Alokasi Kinerja sebesar 4% (empat persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp2.759.951.700.000,00 (dua triliun tujuh ratus lima puluh sembilan miliar sembilan ratus lima puluh satu juta tujuh ratus ribu rupiah); dan

d.

Alokasi Formula sebesar 30% (tiga puluh persen) dari anggaran Dana Desa atau sebesar Rp20.700.161.434.000,00 (dua puluh triliun tujuh jdih.kemenkeu.go.id ratus miliar seratus enam puluh satu juta empat ratus tiga puluh empat ribu rupiah). (3) Alokasi Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditambahkan dengan selisih lebih hasil penghitungan Alokasi Dasar, Alokasi Afirmasi, dan Alokasi Kinerja yang tidak terbagi habis untuk setiap Desa. (4) Tambahan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb dialokasikan sebagai insentifDesayang dihitung berdasarkan kriteria tertentu. Pasal 4 (1) Alokasi Dasar se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dibagikan kepada setiap Desa berdasarkan klaster Desa. (2) Klaster Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi menjadi 7 (tujuh) klaster berdasarkan jumlah penduduk. (3) Alokasi Dasar setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut: Klaster Jumlah Besaran Alokasi Dasar Desa Penduduk 1 1 - 100 Rp418.958.000,00 (empat ratus delapan belas ribu sembilan ratus lima puluh delapan ribu rupiah) 2 101 - 500 Rp48 l .802.000,00 (empat ratus delapan puluh satu ribu delapan ratus dua ribu rupiah) 3 501- Rp544.646.000,00 1.500 (lima ratus empat puluh empat ribu enam ratus empat puluh enam ribu rupiah) 4 1.501 - Rp607.490.000,00 3.000 (enam ratus tujuh ribu empat ratus sembilan puluh ribu rupiah) 5 3.001 - Rp670.334.000,00 5.000 (enam ratus tujuh puluh ribu tiga ratus tiga puluh empat ribu rupiah) 6 5.001 - Rp733.178.000,00 10.000 (tujuh ratus tiga puluh tiga ribu seratus tujuh puluh delapan ribu rupiah) 7 Lebih dari Rp796.022.000,00 10.000 (tujuh ratus sembilan puluh enam ribu dua puluh dua ribu rupiah) Pasal 5 (1) Alokasi Afirmasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dibagikan kepada Desa tertinggal dan jdih.kemenkeu.go.id Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak. (2) Alokasi Afirmasi untuk setiap Desa dihitung dengan menggunakan rumus: AA Desa = (0,01 x DD) / {(1,1 x DST)+ (1 x DT)} Keterangan: AA Desa = Alokasi Afirmasi setiap Desa DD = pagu Dana Desa nasional DST = jumlah Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak DT = jumlah Desa tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak (3) Besaran Alokasi Afirmasi untuk Desa tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak dihitung sebesar 1 (satu) kali Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Besaran Alokasi Afirmasi untuk Desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak dihitung sebesar 1, 1 (satu koma satu) kali Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Alokasi Afirmasi setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut: Status Desa Desa Tertinggal Desa Sangat Tertinggal Besaran Alokasi Afirmasi Rp94.800.000,00 (sembilan puluh em pat juta dela an ratus ribu ru iah Rp104.280.000,00 (seratus em pat juta dua ratus dela an uluh ribu ru iah (6) Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan Desa yang berada pada kelompok Desa di desil 3 (tiga) sampai dengan desil 10 (sepuluh) berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Pasal 6 (1) Alokasi Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dibagikan kepada Desa dengan kinerja terbaik. (2) Penetapan jumlah Desa penerima Alokasi Kinerja pada setiap kabupaten/kota ditetapkan secara proporsional, berdasarkan ketentuan seba ai berikut: Jumlah Desa Persentase Jumlah Desa Penerima Alokasi Kiner· a 1 - 51 1 7% tu juh belas 52 - 100 101 - 400 401 - 500 14% Lebih dari 500 jdih.kemenkeu.go.id (3) Penetapan sebagaimana berdasarkan: Desa dengan kinerja Desa dimaksud pada ayat (2), a. kriteria utama; dan

b.

kriteria kinerja. terbaik dinilai (4) Kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri atas:

a.

Desa yang melaksanakan BLT Desa pada tahun anggaran 2023;

b.

rasio sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran 2022 terhadap pagu Dana Desa tahun anggaran 2022 tidak melebihi 30% (tiga puluh persen); dan

c.

tidak terdapat penyalahgunaan keuangan Desa tahun anggaran 2023 sampai dengan batas waktu penghitungan rincian Dana Desa. (5) Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas:

a.

indikator wajib; dan/atau

b.

indikator tambahan. (6) Indikator wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori dengan bobot, yaitu:

a.

pengelolaan keuangan Desa tahun anggaran 2023 dengan bobot 20% (dua puluh persen), terdiri atas:

1.

perubahan rasio pendapatan asli Desa terhadap total pendapatan APBDes dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan

2.

status operasional badan usaha milik Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen);

b.

pengelolaan Dana Desa tahun anggaran 2023 dengan bobot 20% (dua puluh persen), terdiri atas:

1.

persentase anggaran BLT Desa terhadap total Dana Desa dengan bobot 45% (empat puluh lima persen); dan

2.

persentase pelaksanaan kegiatan Dana Desa secara swakelola dengan bo bot 35% (tiga puluh lima persen); dan

3.

pemenuhan persentase anggaran ketahanan pangan terhadap total Dana Desa paling sedikit sebesar 20% (dua puluh persen) dengan bobot 20% (dua puluh persen);

c.

capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran 2022 dengan bobot 25% (dua puluh lima persen), terdiri atas:

1.

persentase realisasi penyerapan Dana Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan

2.

persentase capaian keluaran Dana Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen);

d.

capaian hasil pembangunan Desa tahun anggaran 2023 dengan bobot 35% (tiga puluh lima persen), terdiri atas: jdih.kemenkeu.go.id 1. status Desa indeks Desa membangun terakhir dengan bobot 50% (lima puluh persen); dan

2.

perbaikan jumlah penduduk miskin Desa dengan bobot 50% (lima puluh persen). (7) Indikator tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dikelompokkan menjadi:

a.

indikator tambahan minimal; dan

b.

indikator tambahan opsional.

(8)

Indikator tambahan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf (a) terdiri atas:

a.

pengiriman data APB Des tahun anggaran 2021;

b.

pengiriman data APBDes tahun anggaran 2022;

c.

pengiriman data APBDes tahun anggaran 2023;

d.

keberadaan Peraturan Desa mengenai rencana pembangunan jangka menengah Desa terakhir; dan

e.

keberadaan Peraturan Desa mengenai rencana kerja Pemerintah Desa dan perubahannya tahun anggaran 2023. (9) Indikator tambahan opsional sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, terdiri atas:

a.

pengiriman data laporan realisasi APBDes bulan Desember tahun anggaran 2021;

b.

pengiriman data laporan realisasi APBDes bulan Desember tahun anggaran 2022;

c.

pengiriman Laporan Daftar Transaksi Harian (DTH) Belanja Desa dan Rekapitulasi Transaksi Harian (RTH) Belanja Desa bulan Desember tahun anggaran 2021;

d.

pengiriman Laporan Daftar Transaksi Harian (DTH) Belanja Desa dan Rekapitulasi Transaksi Harian (RTH) Belanja Desa bulan Desember tahun anggaran 2022;

e.

keberadaan dokumen rencana anggaran kas Desa pada tahun anggaran 2023;

f.

ketersediaan infografis atau media informasi lainnya mengenai APBDes tahun anggaran 2023;

g.

ketersediaan data dan/atau dokumen barang milik Desa;

h.

implementasi cash management system pada sistem pengelolaan keuangan Desa;

1.

implementasi sistem keuangan Desa secara online pada pengelolaan keuangan Desa;

j.

tingkat prevalensi stunting tahun anggaran 2022;

k.

jumlah anak tidak sekolah untuk tingkat dasar dan menengah tahun anggaran 2022; dan/atau

1.

jumlah kematian bayi dan ibu melahirkan tahun anggaran 2022. (10) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penilaian kinerja Desa berdasarkan kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan kriteria kinerja berupa indikator wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (11) Kabupaten/kota dapat melakukan penilaian kinerja Desa berdasarkan kriteria utama sebagaimana jdih.kemenkeu.go.id dimaksud pada ayat (4) huruf c dan kriteria kinerja berupa indikator tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) pada aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (12) Kabupaten/kota wajib melakukan penilaian indikator tambahan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam hal kabupaten/kota melakukan penilaian kinerja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (11). (13) Bobot hasil penilaian kinerja Desa oleh kabupaten/kota dalam penilaian indikator tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari total penilaian kinerja Desa, dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

kabupaten/kota yang tidak memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 5 (lima) indikator, tidak diberikan bobot penilaian;

b.

kabupaten/kota yang hanya memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 5 (lima) indikator, diberikan bobot penilaian sebesar 20% (dua puluh persen); dan

c.

kabupaten/kota yang memenuhi indikator tambahan minimal sebanyak 5 (lima) indikator dan indikator tambahan opsional sebanyak 1 (satu) sampai dengan 12 (dua belas) indikator, diberikan bobot penilaian sebesar 20% (dua puluh persen) ditambah 10% (sepuluh persen) yang dibagi secara proporsional menyesuaikan dengan jumlah indikator tambahan opsional yang memenuhi. (14) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penggabungan atas hasil penilaian kinerja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dan ayat (11). (15) Dalam hal sampai dengan tanggal 7 September 2023 kabupaten/kota tidak melakukan penilaian kinerja Desa atau tidak menyampaikan hasil penilaian kinerja Desa pada aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, penilaian kinerja Desa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (10). (16) Besaran Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa ditetapkan sebesar 1,25 (satu koma dua puluh lima) kali dari besaran Alokasi Kinerja setiap Desa untuk kabupaten/kota yang tidak melakukan penilaian indikator tambahan kinerja Desa. (17) Alokasi Kinerja setiap Desa sebagaimana dimaksud ada a at 16, terdiri dari: Status Pemerintah Daerah melakukan penilaian Indikator Tambahan Kinerja Desa tidak melakukan penilaian Indikator Tambahan Kiner·a Desa Besaran Alokasi Kinerja Rp255. 750.000,00 (dua ratus lima puluh lima juta tujuh ratus lima uluh ribu ru iah Rp204.600.000,00 (dua ratus em pat juta enam ratus ribu ru iah jdih.kemenkeu.go.id Pasal 7 (1) Alokasi Formula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dibagikan kepada setiap Desa berdasarkan indikator sebagai berikut:

a.

jumlah penduduk dengan bobot 10% (sepuluh persen);

b.

angka kemiskinan Desa dengan bobot 40% (empat puluh persen);

c.

luas wilayah Desa dengan bobot 10% (sepuluh persen); dan

d.

tingkat kesulitan geografis dengan bobot 40% (empat puluh persen). (2) Besaran Alokasi Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan rumus: AFDesa = {(0,l0xZl) + (0,40xZ2) + (0,10xZ3) + (0,40 x Z4)} xAF Keterangan: AF Desa = Alokasi Formula setiap Desa Z 1 = rasio jumlah penduduk setiap Desa terhadap total penduduk Desa Z2 = rasio angka kemiskinan setiap Desa terhadap total penduduk miskin Desa Z3 = rasio luas wilayah setiap Desa terhadap total luas wilayah Desa Z4 = rasio 1KG setiap Desa terhadap total 1KG Desa AF = Alokasi Formula nasional (3) Dalam hal hasil penghitungan Alokasi Formula setiap Desa tidak terbagi habis, sisa penghitungan Alokasi Formula diberikan kepada Desa yang mendapat Dana Desa terkecil. Pasal 8 Berdasarkan hasil penghitungan alokasi Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, Pemerintah menetapkan rincian Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2024. Pasal 9 Sumber data dalam pengalokasian Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, sebagai berikut:

a.

data jumlah Desa, data nama dan kode Desa, dan data jumlah penduduk bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;

b.

data status Desa menggunakan data indeks Desa membangun bersumber dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

c.

data angka kemiskinan Desa menggunakan data jumlah penduduk miskin Desa berdasarkan data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem yang ditetapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang jdih.kemenkeu.go.id bersumber dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;

d.

data tingkat kesulitan geografis Desa menggunakan data IKG Desa dan data luas wilayah Desa bersumber dari Badan Pusat Statistik;

e.

data APBDes bersumber dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dan aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan; dan

f.

data kinerja penyerapan dan capaian output Dana Desa bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan. Pasal 10 (1) Data jumlah Desa dan data nama dan kode Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a adalah sebanyak 75.265 (tujuh puluh lima ribu dua ratus enam puluh lima) Desa di 434 (empat ratus tiga puluh empat) kabupaten/kota. (2) Dana Desa dialokasikan kepada 75.259 (tujuh puluh lima ribu dua ratus lima puluh sembilan) Desa di 434 (empat ratus tiga puluh empat) kabupaten/kota. (3) Berdasarkanjumlah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdapat selisih sebanyak 6 (enam) Desa. (4) Selisih jumlah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Desa yang:

a.

terindikasi tidak memenuhi kriteria Desa berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan; atau

b.

tidak bersedia menerima Dana Desa. (5) Kriteria Desa berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi:

a.

eksistensi wilayah Desa sudah tidak ada;

b.

Desa tidak berpenghuni;

c.

tidak terdapat kegiatan pemerintahan Desa; dan/atau

d.

tidak terdapat penyaluran Dana Desa paling sedikit 3 (tiga) tahun berturut-turut. Pasal 11 (1) Kriteria tertentu untuk tambahan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) berupa:

a.

kriteria utama; dan

b.

kriteria kinerja. (2) Kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

a.

Desa bebas dari korupsi pada semester I tahun anggaran 2024;

b.

Desa telah disalurkan Dana Desa tahap I tahun anggaran 2024; dan

c.

Desa menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2024. jdih.kemenkeu.go.id (3) Anggaran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2024 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:

a.

pemenuhan anggaran ketahanan pangan dan hewani dari Dana Desa bagi Desa di kabupaten/kota yang berada pada kategori rentan berdasarkan peta ketahanan dan kerentanan pangan;

b.

pemenuhan anggaran BLT Desa dari Dana Desa bagi Desa yang memiliki keluarga miskin pada desil 1 (satu) sesuai data angka kemiskinan Desa; dan/atau

c.

pemenuhan anggaran pencegahan dan penurunan stunting dari Dana Desa bagi Desa lokasi fokus intervensi penurunan stunting. (4) Dalam hal Desa tidak menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2024 sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Desa tetap memenuhi kriteria utama sepanjang Desa:

a.

tidak berada di kabupaten/kota yang masuk kategori rentan berdasarkan peta ketahanan dan kerentanan pangan;

b.

tidak memiliki keluarga miskin pada desil 1 (satu) sesuai data angka kemiskinan Desa; dan/atau

c.

bukan lokasi fokus intervensi penurunan _stunting; _ dan kriteria pada ayat (2) huruf a dan huruf b terpenuhi. (5) Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:

a.

kinerja Pemerintah Desa, meliputi:

1.

kinerja keuangan dan pembangunan Desa; dan

2.

tata kelola keuangan dan akuntabilitas keuangan Desa; dan/atau

b.

penghargaan Desa dari kementerian negara/ lembaga. (6) Kriteria kinerja keuangan dan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 1 terdiri atas dan memiliki bobot sebagai berikut:

a.

perubahan nilai indeks Desa membangun dari tahun 2023 ke tahun 2024 dengan bobot 15% (lima belas persen);

b.

kinerja penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran 2024 dengan bobot 20% (dua puluh persen); dan

c.

kinerja realisasi konsolidasi belanja APBDes semester kedua terhadap anggaran tahun anggaran 2023 dengan bobot 15% (lima belas persen). (7) Kriteria tata kelola keuangan dan akuntabilitas keuangan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 2 terdiri atas dan memiliki bobot sebagai berikut:

a.

ketersediaan laporan konsolidasi realisasi APBDes semester kedua tahun anggaran 2023 dengan bobot 15% (lima belas persen);

b.

ketersediaan APBDes tahun anggaran 2024 dengan bobot 25% (dua puluh lima persen); jdih.kemenkeu.go.id c. kelengkapan penyampaian Laporan Daftar Transaksi Harian (DTH) Belanja Desa dan Rekapitulasi Transaksi Harian (RTH) Belanja Desa tahun anggaran 2023 untuk bulan Juni sampai dengan bulan Desember dengan bobot 5% (lima persen); dan

d.

kelengkapan penyampaian Laporan Daftar Transaksi Harian (DTH) Belanja Desa dan Rekapitulasi Transaksi Harian (RTH) Belanja Desa tahun anggaran 2024 untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei dengan bobot 5% (lima persen). (8) Sumber data dalam pengalokasian tambahan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (6), dan ayat (7), sebagai berikut:

a.

data nama dan kode Desa bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;

b.

surat permohonan penghentian penyaluran Dana Desa atas penetapan kepala Desa dan/atau Bendahara Desa sebagai tersangka penyalahgunaan Keuangan Desa kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pada semester pertama tahun anggaran 2024 dari bupati/wali kota;

c.

data Desa sudah salur Dana Desa tahap I tahun anggaran 2024 bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan;

d.

data Desa menganggarkan Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2024 bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan;

e.

data kabupaten/kota yang berada pada kategori rentan berdasarkan peta ketahanan dan kerentanan pangan tahun 2022 bersumber dari Badan Pangan Nasional;

f.

data keluarga miskin pada desil 1 (satu) sesuai data angka kemiskinan Desa berdasarkan data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem tahun 2023 yang ditetapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang bersumber dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;

g.

data Desa lokasi fokus intervensi penurunan stunting tahun 2023 bersumber dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional;

h.

data nilai indeks Desa membangun tahun 2023 dan tahun 2024 bersumber dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

1.

data kinerja penyaluran Dana Desa tahun anggaran 2024 bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan; jdih.kemenkeu.go.id J. data laporan konsolidasi realisasi APB Des semester kedua tahun anggaran 2023 bersumber dari Kementerian Dalam Negeri;

k.

data perubahan APBDes tahun anggaran 2023 dan APBDes tahun anggaran 2024 bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan;

1.

data kelengkapan penyampaian laporan Daftar Transaksi Harian (DTH) Belanja Desa dan Rekapitulasi Transaksi Harian (RTH) Belanja Desa untuk bulan Juni sampai dengan bulan Desember tahun anggaran 2023 bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan;

m.

data kelengkapan penyampaian laporan Daftar Transaksi Harian (DTH) Belanja Desa dan Rekapitulasi Transaksi Harian (RTH) Belanja Desa untuk bulan Januari sampai dengan bulan Mei tahun anggaran 2024 bersumber dari aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan;

n.

data kinerja realisasi belanja terhadap anggaran APBDes semester kedua tahun anggaran 2023 pada laporan konsolidasi realisasi APBDes bersumber dari Kementerian Dalam Negeri; dan

o.

data penghargaan dari kementerian negara/lembaga bersumber dari kementerian negara/lembaga terkait. (9) Dalam hal periode tahun data sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak tersedia, digunakan data periode tahun sebelumnya. Pasal 12 (1) Direktorat J enderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan tambahan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) berdasarkan kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan kriteria kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5). (2) Tambahan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada Desa yang memiliki kinerja terbaik. (3) Penetapan jumlah Desa per kabupaten/kota penerima tambahan Dana Desa ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah Desa per kabupaten/kota. (4) Peringkat Desa per kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah hasil perkalian antara nilai indikator dengan bobot masing-masing indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) dan ayat (7). (5) Desa penerima tambahan Dana Desa untuk kategori kinerja Pemerintah Desa merupakan Desa yang mendapatkan peringkat tertinggi sesuai dengan jumlah penerima alokasi untuk setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3). jdih.kemenkeu.go.id (6) Tambahan Dana Desa untuk kategori kinerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibagikan kepada setiap Desa berdasarkan kelengkapan data APBDes tahun anggaran 2024 yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau laporan konsolidasi realisasi APBDes semester kedua tahun anggaran 2023 yang disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri. (7) Besaran alokasi tambahan Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditentukan berdasarkan kelengkapan data APBDes dan/atau laporan konsolidasi realisasi APBDes dengan h't b b t b . b 'kut oer 1 ungan 0 0 se agai en Tidak mengirimkan APBDes dan Laporan 1,00 Konsolidasi Hanya mengirimkan Laporan Konsolidasi 1,10 Hanya mengirimkan data APBDes 1,15 Mengirimkan data APBDes dan Laporan 1,20 Konsolidasi (8) Besaran alokasi tambahan Dana Desa setiap Desa untuk kategori penghargaan kementerian negara/lembaga ditetapkan dengan besaran alokasi tertentu. (9) Dalam hal penghitungan tambahan Dana Desa berdasarkan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) terdapat sisa hasil penghitungan, sisa hasil penghitungan tersebut dibagikan kepada seluruh Desa penerima tambahan Dana Desa pada kabupaten/kota yang mendapatkan alokasi tambahan Dana Desa terkecil. BAB III PENYALURAN Pasal 13 (1) Besaran pagu Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri atas:

a.

Pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya; dan

b.

Pagu Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya. (2) Pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan anggaran Dana Desa yang diperuntukan untuk:

a.

program pemulihan ekonomi, berupa perlindungan sosial dan penanganan kemiskinan ekstrem dalam bentuk BLT Desa;

b.

program ketahanan pangan dan hewani; dan/atau

c.

program pencegahan dan penurunan stunting. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 14 (1) Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a dilakukan dalam 2 (dua) tahap, dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

tahap I, sebesar 60% (enam puluh persen) dari pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling lambat bulan Juni;

b.

tahap II, sebesar 40% (empat puluh persen) dari pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya setiap Desa, dilakukan paling cepat bulan April. (2) Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menerima dokumen persyaratan penyaluran dari bupati/wali kota secara lengkap dan benar. (3) Dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

tahap I berupa:

1.

peraturan Desa mengenai APBDes;

2.

surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa; dan

3.

peraturan kepala Desa atau keputusan kepala Desa mengenai penetapan keluarga penerima manfaat BLT Desa dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa; dan

b.

tahap II berupa:

1.

laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya; dan

2.

laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran Dana Desa tahap I menunjukkan rata- rata realisasi penyerapan paling rendah sebesar 60% (enam puluh persen) dan rata-rata capaian keluaran menunjukkan paling rendah sebesar 40% (empat puluh persen). (4) Persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diolah dan dihasilkan melalui Aplikasi OM-SPAN. (5) Selain persyaratan penyaluran tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, bupati/wali kota melakukan:

a.

perekaman pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) termasuk perekaman jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa;

b.

perekaman anggaran dan realisasi Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahun anggaran 2023; dan

c.

penandaan pengajuan penyaluran atas Desa layak salur yang disertai dengan daftar rincian Desa, melalui Aplikasi OM-SPAN. jdih.kemenkeu.go.id (6) Perekaman anggaran dan realisasi Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b meliputi:

a.

perekaman pagu anggaran dan realisasi anggaran Dana Desa untuk stunting tahun anggaran 2023 dalam hal Desa menganggarkan program pencegahan dan penurunan stunting tahun anggaran 2023; dan

b.

perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat bulan kesatu sampai dengan bulan kedua belas dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2023. (7) Dalam hal Desa tidak menerima penyaluran Dana Desa untuk BLT Desa tahun anggaran sebelumnya selama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, Desa melakukan perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat bulan kesatu sampai dengan bulan yang telah disalurkan. (8) Selain persyaratan penyaluran tahap II sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, bupati/wali kota melakukan:

a.

perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa tahun anggaran 2024 sebanyak bulan atau triwulan yang telah dibayarkan kepada keluarga penerima manfaat dalam hal Desa menganggarkan BLT Desa tahun anggaran 2024; dan

b.

penandaan pengajuan penyaluran atas Desa layak salur yang disertai dengan daftar rincian Desa, melalui Aplikasi OM-SPAN. (9) Penerimaan dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan perekaman dan penandaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (8) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

tahap I paling lambat tanggal 15 Juni 2024;

b.

batas waktu untuk tahap II mengikuti ketentuan mengenai langkah-langkah akhir tahun. (10) Bupati/wali kota bertanggungjawab untuk menerbitkan surat kuasa pemindahbukuan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 2 untuk seluruh Desa, dan wajib menyampaikan surat kuasa dimaksud pada saat penyampaian dokumen persyaratan penyaluran tahap I pertama kali disertai dengan daftar RKD. (11) Penyampaian dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dengan surat pengantar yang ditandatangani paling rendah oleh pimpinan organisasi perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pengelolaan keuangan Daerah atau pimpinan organisasi perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan masyarakat Desa. jdih.kemenkeu.go.id (12) Kewenangan penandatanganan surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (11) ditetapkan oleh bupati/wali kota. (13) Dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan dalam bentuk dokumen digital (softcopy). (14) Penyaluran Dana Desa yang ditentukan penggunaannya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat disalurkan bersamaan dengan penyaluran Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya tahap I sepanjang telah memenuhi dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan perekaman dan penandaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 15 (1) Dalam rangka penyampaian dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), bupati/kota menerima dokumen persyaratan penyaluran dari kepala Desa secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a angka 1 dan angka 3, dan huruf b. (2) Selain penyampaian dokumen persyaratan penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala Desa menyampaikan kartu skor Desa konvergensi layanan stunting tahun anggaran 2023 yang dapat dihasilkan melalui aplikasi yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi kepada bupati/wali kota. (3) Kepala Desa bertanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). BAB IV PENGGUNAAN Pasal 16 (1) Pemerintah Desa menganggarkan dan melaksanakan kegiatan prioritas yang bersumber dari Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a yang terdiri atas:

a.

Dana Desa yang ditentukan penggunaannya; dan/atau

b.

Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya. (2) Dana Desa yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk:

a.

program pemulihan ekonomi, berupa perlindungan sosial dan penanganan kemiskinan ekstrem dalam bentuk BLT Desa paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari anggaran Dana Desa; jdih.kemenkeu.go.id b. program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari anggaran Dana Desa; dan/atau

c.

program pencegahan dan penurunan stunting skala Desa. (3) Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk mendanai program sektor prioritas di Desa sesuai potensi dan karakteristik Desa dan/atau penyertaan modal pada badan usaha milik Desa. (4) Dana Desa dapat digunakan untuk dana operasional Pemerintah Desa paling banyak 3% (tiga persen) dari pagu Dana Desa setiap Desa. (5) Dalam hal Pemerintah Desa menerima tambahan Dana Desa yang dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Pemerintah Desa menganggarkan dan melaksanakan program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3). Pasal 17 (1) Calon keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a diprioritaskan untuk keluarga miskin yang berdomisili di Desa bersangkutan berdasarkan data yang ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Data yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan keluarga desil 1 (satu) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (3) Dalam hal Desa tidak terdapat data keluarga miskin yang terdaftar dalam keluarga desil 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Desa dapat menetapkan calon keluarga penerima manfaat BLT Desa dari keluarga yang terdaftar dalam keluarga desil 2 (dua) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (4) Dalam hal Desa tidak terdapat data keluarga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Desa dapat menetapkan calon keluarga penerima manfaat BLT Desa berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a.

kehilangan mata pencaharian;

b.

mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis dan/atau difabel;

c.

tidak menerima bantuan sosial program keluarga harapan;

d.

rumah tangga dengan anggota rumah tangga tunggal lanjut usia; dan/atau

e.

perempuan kepala keluarga dari keluarga miskin. (5) Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah dapat menyampaikan surat permintaan data tersebut kepada Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial, cq jdih.kemenkeu.go.id Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (6) Bupati/wali kota menyampaikan data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem setiap Desa dan data kemiskinan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada kepala Desa di wilayahnya. (7) Dalam hal terdapat keluarga miskin yang tidak terdaftar dalam desil 1 (satu) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem, Desa dapat menetapkan tambahan keluarga penerima manfaat BLT Desa di luar desil 1 (satu) sampai dengan desil 4 (empat) data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. (8) Dalam hal data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak tersedia, Desa dapat menggunakan data kemiskinan ekstrem lainnya yang bersumber dari kementerian negara/lembaga/Pemerintah Daerah. (9) Dalam hal data keluarga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dianggap sudah mampu, Desa dapat mengeluarkan keluarga miskin tersebut dari calon keluarga penenma manfaat BLT Desa. (10) Daftar keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) ditetapkan dengan peraturan kepala Desa atau keputusan kepala Desa berdasarkan hasil musyawarah Desa. (11) Peraturan kepala Desa atau keputusan kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (10) minimal memuat:

a.

nama dan alamat keluarga penerima manfaat;

b.

rincian keluarga penerima manfaat berdasarkan jenis kelompok pekerjaan; dan

c.

jumlah keluarga penerima manfaat. (12) Besaran BLT Desa ditetapkan sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per bulan untuk bulan pertama sampai dengan bulan kedua belas per keluarga penerima manfaat. (13) Pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat dilaksanakan setiap bulan mulai bulan Januari atau dapat dibayarkan paling banyak untuk 3 (tiga) bulan secara sekaligus. (14) Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat yang telah menerima pembayaran BLT Desa untuk setiap bulan kepada bupati/wali kota. (15) Bupati/wali kota melakukan perekaman realisasi pembayaran BLT Desa kepada keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (14) pada Aplikasi OM-SPAN. 9 jdih.kemenkeu.go.id (16) Dalam hal kebutuhan pembayaran BLT Desa lebih besar dari kebutuhan BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a, pembayaran atas selisih kekurangan BLT Desa menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya. (17) Pembayaran atas selisih kekurangan BLT Desa menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (16) tidak melebihi batas maksimal 25% (dua puluh lima persen) dari anggaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a. (18) Dalam hal terdapat penurunan dan/atau penambahan jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa dengan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penurunan dan/atau penambahan tersebut ditetapkan dalam peraturan kepala Desa atau keputusan kepala Desa berdasarkan hasil musyawarah Desa. (19) Kepala Desa melakukan pembayaran BLT Desa sesuai dengan perubahan daftar jumlah keluarga penerima manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (18). (20) Dana Desa yang ditentukan penggunaannya untuk BLT Desa yang tidak dibayarkan kepada keluarga penerima manfaat akibat perubahan daftar jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (18), dapat digunakan untuk mendanai kegiatan prioritas Desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b dan huruf c serta Pasal 16 ayat (3). (21) Kepala Desa menyampaikan laporan penggunaan atas pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (20) kepada bupati/wali kota. (22) Dalam hal perekaman realisasi jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (15) berbeda dengan perekaman awal jumlah keluarga penerima manfaat BLT Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf a, bupati/wali kota memberikan penjelasan perbedaan dimaksud pada Aplikasi OM-SPAN. (23) Bupati/wali kota mengunggah dokumen perubahan peraturan kepala Desa atau keputusan kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (18) pada Aplikasi OM-SPAN. Pasal 18 (1) Dalam hal kabupaten/kota merupakan daerah yang berada pada kategori rentan berdasarkan peta ketahanan dan kerentanan pangan, Desa diarahkan untuk menganggarkan program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b. (2) Peta ketahanan dan kerentanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan hasil jdih.kemenkeu.go.id penilaian yang ditetapkan oleh kementerian negara/lembaga yang berwenang. (3) Program pencegahan dan penurunan stunting skala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c diprioritaskan kepada Desa lokasi fokus intervensi penurunan stunting. (4) Desa lokasi fokus intervensi penurunan stunting sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan data yang ditetapkan oleh kementerian negara/lembaga yang berwenang. (5) Dalam hal terjadi penurunan pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBDes untuk program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), selisih lebih Dana Desa tersebut dapat digunakan untuk mendanai kegiatan prioritas Desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3). (6) Dalam hal terjadi kenaikan pagu Dana Desa yang ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBDes untuk program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), selisih kekurangan tersebut dapat menggunakan Dana Desa yang tidak ditentukan penggunaannya. (7) Kepala Desa menyampaikan perubahan APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) kepada bupati/wali kota. (8) Bupati/wali kota mengunggah perubahan APBDes sebagaimana dimaksud pada ayat (7) pada Aplikasi OM- SPAN. BABV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 19 (1) Ketentuan mengenai:

a.

rincian Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang merupakan hasil penghitungan Dana Desa setiap Desa tahun anggaran 2024;

b.

format laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b;

c.

format daftar RKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10);

d.

format surat pengantar penyampaian dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (11); dan

e.

format kartu skor Desa konvergensi layanan stunting tahun anggaran 2023 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Rincian Dana besa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menjadi dasar bagi pemerintah Desa menganggarkan Dana Desa dalam APBDes tahun anggaran 2024. jdih.kemenkeu.go.id BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Pasal 21 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024. jdih.kemenkeu.go.id

Thumbnail
Tidak Berlaku
PETUNJUK TEKNIS | JABATAN FUNGSIONAL
149/PMK.05/2019

Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Perbendaharaan Negara

    Relevan terhadap

    Pasal 42Tutup
    (1)

    Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Analis Perbendaharaan Negara dilakukan terhadap tugas Jabatan Fungsional Analis Perbendaharaan Negara yang terdiri atas 2 (dua) unsur, yaitu:

    a.

    unsur utama; dan

    b.

    unsur penunjang.

    (2)

    Unsur utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

    a.

    pendidikan;

    b.

    pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, sistem manajemen investasi, pembinaan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum, laporan keuangan Bendahara Umum Negara, dan pembinaan pengelola perbendaharaan; dan

    c.

    pengembangan profesi.

    (3)

    Sub unsur dari unsur utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri atas:

    a.

    Pendidikan, meliputi:

    1.

    pendidikan formal dan memperoleh ijazah/gelar;

    2.

    pendidikan dan pelatihan fungsional/teknis di bidang analisis perbendaharaan negara; dan

    3.

    pendidikan dan pelatihan dasar/prajabatan.

    b.

    Pelaksanaan anggaran, meliputi:

    1.

    analisis standardisasi/ pengembangan evaluasi/ proyeksi penyerapan/ sistem informasi pelaksanaan anggaran;

    2.

    analisis kajian fiskal;

    3.

    analisis kinerja belanja;

    4.

    evaluasi atas teknis pelaksanaan anggaran;

    5.

    evaluasi atas reviu pelaksanaan anggaran;

    6.

    mitigasi risiko pelaksanaan anggaran; dan

    7.

    analisis penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa;

    c.

    Pengelolaan kas negara, meliputi;

    1.

    penempatan uang/valuta asing melalui Treasury Dealing Room (TDR);

    2.

    pembelian/penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder;

    3.

    analisis transaksi reverse repo/repo;

    4.

    analisis perencanaan kas satuan kerja;

    5.

    analisis efektifitas pembinaan/bimbingan teknis pengelolaan kas;

    6.

    analisis fundamental makroekonomi/ pasar keuangan/ moneter terutama pada negara/kawasan utama;

    7.

    analisis teknikal terkait pergerakan nilai tukar/surat berharga negara/instrumen pasar keuangan lainnya;

    8.

    analisis pengembangan strategi transaksi; dan

    9.

    analisis manajemen risiko dan portofolio serta dukungan Asset-Liability Committee (ALCO);

    d.

    Sistem Manajemen Investasi, meliputi;

    1.

    analisis rencana strategis/kajian awal kelayakan/ kajian evaluasi kelayakan/ penganggaran/kebutuhan dana atas investasi pemerintah/penerusan pinjaman/ kredit program/investasi lainnya;

    2.

    analisis peraturan/rekomendasi atas analisis peraturan/analisis rumusan dan perubahan naskah perjanjian/perubahan naskah perjanjian/analisis penanganan masalah hukum/analisis penyusunan/ penyiapan rumusan/pengkajian ulang rancangan peraturan perundang-undangan terkait operator di bidang investasi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pemerintah Daerah (Pemda), Badan Usaha Milik Negara (BUMD), kredit program, dan/atau investasi lainnya;

    3.

    analisis kajian strategi/model/asumsi atas kelayakan/konsep feasibility study /penelitian dan pengembangan/data keuangan/data non keuangan/efektifitas pelaksanaan penyediaan dan penyaluran/efektifitas monitoring dan evaluasi/besaran tingkat bunga/konsep kerjasama pengembangan skema pendanaan investasi lainnya;

    4.

    analisis kajian efektifitas penyelesaian piutang negara pada BUMN/BUMD/Pemda;

    5.

    analisis kajian penyusunan grand design kredit program sebagai penyempurnaan atas pola/skema pendanaan kredit program/investasi lainnya;

    6.

    analisis kajian atas pengembangan/ penyempurnaan dukungan teknologi informasi dalam pelaksanaan kredit program/investasi lainnya dalam rangka pengembangan Sistem Informasi Kredit Program Ultra Mikro (SIKP UMi);

    7.

    analisis data realisasi dan statistik investasi lainnya; dan

    8.

    analisis penilaian kinerja/pelaksanaan divestasi/likuidasi/pengembangan sistem kelembagaan operator investasi lainnya;

    e.

    Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, meliputi;

    1.

    analisis usulan tarif layanan Badan Layanan Umum bidang Pendidikan/Kesehatan/Lainnya; dan 2. analisis usulan remunerasi Badan Layanan Umum bidang Pendidikan/Kesehatan/Lainnya;

    f.

    Analisis laporan keuangan Bendahara Umum Negara, meliputi;

    1.

    analisis laporan keuangan Bendahara Umum Negara;

    2.

    analisis laporan konsolidasi;

    3.

    analisis rekonsiliasi;

    4.

    analisis perincian data dari aplikasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN);

    5.

    analisis data transaksi Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara;

    6.

    analisis evaluasi tugas akuntansi dan pelaporan; dan

    7.

    analisis konsep tindak lanjut;

    g.

    Pembinaan Pengelola Perbendaharaan, meliputi:

    1.

    analisis materi/uji kompetensi pembinaan/bimbingan teknis di bidang perbendaharaan negara;

    2.

    data permasalahan pembinaan, supervisi, asistensi, bimbingan teknis, dukungan teknis, monitoring dan evaluasi di bidang perbendaharaan;

    3.

    pelaksanaan pembinaan, supervisi, asistensi, bimbingan teknis, dukungan teknis, monitoring dan evaluasi di bidang perbendaharaan; dan

    4.

    penilaian kinerja pelaksanaan anggaran; dan

    h.

    Pengembangan profesi, meliputi:

    1.

    pembuatan karya tulis/karya ilmiah di bidang analisis perbendaharaan negara;

    2.

    penerjemahan/penyaduran buku dan bahan lainnya di bidang analisis perbendaharaan negara; dan

    3.

    pembuatan buku pedoman/ketentuan pelaksanaan/ketentuan teknis di bidang analisis perbendaharaan negara.

    (4)

    Unsur Penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:

    a.

    menjadi pengajar/pelatih pada pendidikan dan pelatihan fungsional/teknis di bidang perbendaharaan negara;

    b.

    berperan serta dalam seminar/lokakarya/konferensi di bidang perbendaharaan negara;

    c.

    keanggotaan dalam organisasi profesi;

    d.

    keanggotaan dalam Tim Penilai;

    e.

    perolehan Penghargaan/Tanda Jasa; dan

    f.

    perolehan ijazah/gelar kesarjanaan lainnya.

    (5)

    Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Analis Perbendaharaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dilakukan berdasarkan rincian tugas Jabatan Fungsional Analis Perbendaharaan Negara tercantum dalam Lampiran III huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    Thumbnail
    UNDANG-UNDANG | DESA
    PP 43 TAHUN 2014

    Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

    • Ditetapkan: 30 Mei 2014
    • Diundangkan: 30 Mei 2014

    Relevan terhadap

    Pasal 118Tutup
    (1)

    RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

    (2)

    RKP Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rencana penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

    (3)

    RKP Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi uraian:

    a.

    evaluasi pelaksanaan RKP Desa tahun sebelumnya;

    b.

    prioritas program, kegiatan, dan anggaran Desa yang dikelola oleh Desa;

    c.

    prioritas program, kegiatan, dan anggaran Desa yang dikelola melalui kerja sama antar-Desa dan pihak ketiga;

    d.

    rencana program, kegiatan, dan anggaran Desa yang dikelola oleh Desa sebagai kewenangan penugasan dari Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; dan

    e.

    pelaksana kegiatan Desa yang terdiri atas unsur perangkat Desa dan/atau unsur masyarakat Desa.

    (4)

    RKP Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Pemerintah Desa sesuai dengan informasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pagu indikatif Desa dan rencana kegiatan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

    (5)

    RKP Desa mulai disusun oleh Pemerintah Desa pada bulan Juli tahun berjalan.

    (6)

    RKP Desa ditetapkan dengan peraturan Desa paling lambat akhir bulan September tahun berjalan.

    (7)

    RKP Desa menjadi dasar penetapan APB Desa.

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA
    288/KM.6/2023

    Indikator Kinerja Pengelolaan Barang Milik Negara Tahun 2023

      Thumbnail
      HUKUM UMUM
      283/KMK.011/2021

      Implementasi Organisasi Pembelajar (Learning Organization) di Lingkungan Kementerian Keuangan

        Relevan terhadap

        MemutuskanTutup

        KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG IMPLEMENTASI ORGANISASI PEMBELAJAR (LEARNING ORGANIZATION) DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN. Menetapkan implementasi organisasi pembelajar (learning organization) di lingkungan Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut Leaming Organization yang merupakan upaya mewujudkan Kementerian Keuangan sebagai organisasi yang secara sistematis memfasilitasi pemelajar agar mampu berkembang dan bertransformasi secara berkesinambungan guna mendukung pencapaian kinerja Kementerian Keuangan. Setiap unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit organisasi non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan harus mengimplementasikan Leaming Organization dalam rangka memfasilitasi pemelajar sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA. Implementasi Leaming Organization sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA dilaksanakan dengan menerapkan komponen Leaming Organization yang terdiri a tas:

        a.

        _Strategic Fit and Management Commitment; _ b. _Leaming Function Organization; _ c. _Learners; _ d. _Knowledge Management Implementation; _ e. _Leaming Value Chain; _ f. _Leaming Solutions; _ g. _Leaming Spaces; _ h. Learners' _Performance; _ 1. Leaders' Participation in Leaming Process; dan J. Feedback. Strategic Fit and Management Commitment sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA huruf a merupakan:

        a.

        kesesuaian antara tujuan organisasi dengan sumber daya yang dimiliki;

        b.

        kemampuan untuk mengoptimalkan peran sumber daya dalam mencapai kinerja yang ditargetkan; dan

        c.

        komitmen manajemen dalam mengembangkan, mengevaluasi, dan meningkatkan peran serta setiap elemen organisasi, KELIMA KEENAM KETUJUH KEDELAPAN MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dalam pencapaian tujuan organisasi, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Leaming Function Organization sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA hurufb merupakan kemampuan organisasi dalam menerapkan visi, budaya, strategi, dan struktur yang berorientasi pada pembelajaran, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Learners sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA huruf c merupakan pemelajar yang terdiri atas:

        a.

        individu, yaitu setiap pejabat dan pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan;

        b.

        tim, yaitu setiap kelompok pejabat dan/atau pegawai dengan tugas tertentu di lingkungan Kementerian Keuangan; dan/atau

        c.

        organisasi, yaitu setiap unit organisasi Eselon maupun non Eselon di lingkungan Kementerian Keuangan, yang secara berkesinambungan menerapkan budaya belajar serta meningkatkan pengetahuan kolektif guna meningkatkan kinerja organisasi, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Knowledge Management Implementation sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA huruf d merupakan penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai manajemen pengetahuan (knowledge management) di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Leaming Value Chain sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA huruf e merupakan serangkaian proses analisis, desain, implementasi, dan evaluasi untuk melaksanakan pembelajaran yang aplikatif, relevan, mudah diakses, dan berdampak tinggi sesuai kebutuhan organisasi, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang KESEMBILAN KESEPULUH KESEBELAS KEDUABELAS MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 5 - merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Leaming Solutions sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA huruffmerupakan implementasi model pembelajaran yang terdiri atas:

        a.

        belajar sendiri _(self-learning); _ b. pembelajaran terstruktur _(structured learning); _ c. belajar di lingkungan sosial/belajar dari orang lain _(social leaming/leamingfrom others); _ clan d. belajar dari pengalaman/belajar sambil bekerja (learning from experience/learning while working}, untuk mendukung tujuan organisasi, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Leaming Spaces sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA huruf g merupakan ketersediaan kesempatan, infrastruktur, clan sumber daya manusia yang mendukung kegiatan belajar, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Learners' Performance sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA hurufh merupakan basil pembelajaran pemelajar dalam meningkatkan kinerja individu, tim, clan organisasi untuk mewujudkan tujuan organisasi, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Leaders' Participation in Leaming Process sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA huruf i merupakan peran penting pimpinan yang selanjutnya disebut Leaders, dalam:

        a.

        mengomunikasikan clan mendorong individu mewujudkan visi bersama _(shared vision); _ b. memahami kebutuhan pembelajaran organisasi;

        c.

        membangun iklim yang mendukung proses pembelajaran; clan d. membimbing clan mendorong bawahan clan semua elemen organisasi untuk selalu belajar baik dari setiap aktivitas formal maupun informal, KETIGABELAS KEEMPATBELAS KELIMABELAS KEENAMBELAS KETUJUHBELAS MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Feedback sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA huruf j merupakan penyampaian masukan dan/atau rekomendasi terhadap pelaksanaan seluruh komponen Leaming Organization untuk perbaikan yang berkelanjutan, dengan rincian komponen sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Untuk mendukung implementasi Leaming Organization sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA, unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan _berkoordinasi dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Operasionalisasi implementasi Leaming Organization sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

        a.

        dilakukan sesuai dengan pedoman teknis implementasi _Leaming Organization; _ dan b. terhadap implementasi Leaming Organization dilakukan penilaian tingkat implementasi Leaming Organization oleh Komite Leaming Organization. Ketentuan lebih lanjut mengenai:

        a.

        pedoman teknis implementasi _Leaming Organization; _ b. penilaian tingkat implementasi Leaming _Organization; _ dan c. Komite Leaming Organization, sebagaimana dimaksud dalam Diktum KELIMABELAS ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan untuk dan atas nama Menteri Keuangan. Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Salinan Keputusan Menteri ini disampaikan kepada:

        1.

        Wakil Menteri Keuangan;

        2.

        Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, para Direktur Jenderal, dan para Kepala Badan di lingkungan Kementerian Keuangan;

        3.

        Kepala Lembaga _National Single Window; _ Flt. l d •' ' /   '" \ . ,./,; "" ^l ·i.'I,, T ''·. ·  ,,' f: i' t ,1 1  1 t \ _: ; i> ' lZWNll" MENlf: l(I 1··EUA1,1 ^1 3A.N REPUr: iUK 11-,JUOf\lESI/.\ - 7 - 4. Kepala Biro Umum, para Sekretaris Direktorat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Badan di lingkungan Kementerian Keuangan, dan Sekretaris Lembaga _National Single Window; _ 5. Kepala Biro Sumber Daya Manusia, Sekretariat Jenderal;

        6.

        Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan, Sekretariat Jenderal;

        7.

        Para Kepala Pusat di lingkungan Ba.clan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan;

        8.

        Direktur Politeknik Keuangan Negara STAN; dan

        9.

        Para Kepala Balai di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 283 /KMK.011/2021 TENTANG IMPLEMENT AS! LEARNING ORGANIZATION Di LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN A. Rincian Komponen Strategic Fit and Management Commitment 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan memiliki komitmen untuk mendukung pengembangan sumber d ay a manusia yang sejalan dengan pencapaian tujuan organisasi. 2. Komitmen dan dukungan dalam pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Visi Organisasi Organisasi memiliki visi yang mencakup rencana pengembangan sumber daya manusia secara menyeluruh yang sejalan dengan target kinerja organisasi. b. Budaya Organisasi Organisasi memiliki budaya yang diwujudkan dalam kebijakan dan tercermin dalam aktivitas harian guna memberikan kesempatan bagi seluruh pegawai untuk senantiasa mengembangkan diri dengan belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar yang dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja.

        c.

        Strategi Organisasi Organisasi memiliki strategi yang mencakup rencana kebutuhan pengembangan, pola karier, standar kompetensi, dan learning journey bagi seluruh pegawai yang sejalan dengan target kinerja organisasi. d. Struktur Organisasi Organisasi memiliki pimpinan yang mempunyai kewenangan dalam menentukan arah dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia yang sejalan dengan target kinerja organisasi. B. Rincian Komponen Leaming Function Organization 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan mewujudkan organisasinya untuk dapat secara akomodatif mendukung pembelajaran sehingga perwujudan Leaming Organization dapat terlaksana secara lebih terarah, sistematis dan berkelanjutan. 2. Dukungan terhadap pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Penerapan Visi Organisasi Organisasi mengelola agar visi yang telah ditetapkan dapat dicapai melalui adanya proses pembelajaran (baik pembelajaran individu, pembelajaran tim, maupun pembelajaran organisasi) yang berkelanjutan. b. Penerapan Budaya Organisasi Organisasi menerapkan program budaya yang mencakup kebiasaan, nilai-nilai, maupun praktik dalam organisasi, khususnya terkait dengan pembelajaran. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 2 - c. Penerapan Strategi Organisasi Organisasi menerapkan strategi yang mencakup rencana aksi, metode, maupun langkah-langkah terkait pembelajaran dalam organisasi untuk mencapai visi dan target kinerjanya.

        d.

        Penerapan Struktur Organisasi Organisasi melakukan penataan kelembagaan dengan menghilangkan sekat komunikasi antar struktur sehingga mempermudah arus komunikasi serta meningkatkan hubungan dan kolaborasi kerja di dalam organisasi, termasuk komunikasi mengenai pertukaran kebijaksanaan (wisdom), pengetahuan (knowledge), informasi (infonnation), dan data (data). C. Rincian Komponen Learners 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan memelihara dan meningkatkan komitmen belajar pemelajar (termasuk di dalamnya aspek fisik, motivasi, pemikiran, nilai, sikap dan mental, maupun inisiatif dalam upaya pengembangan diri, tim dan organisasi secara menyeluruh dan berkesinambungan) untuk mendukung kinerja organisasi.

        2.

        Pemeliharaan dan peningkatan komitmen belajar sebagaimana dimaksud dalam pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Individu sebagai Learners Organisasi mendorong individu sebagai Learners untuk:

        1)

        mengidentifikasi, menyusun dan mengimplementasikan rencana pengembangan individu yang merefleksikan pemahaman utuh atas kebutuhan pengembangan kompetensinya dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan pengembangan kompetensi tersebut, terutama atas inisiatif pribadi, dalam rangka budaya belajar berkelanjutan (continuous learning). 2) secara rutin mengalokasikan waktu untuk belajar dari berbagai sumber, baik pembelajaran terstruktur maupun tidak terstruktur untuk mendukung kinerja individu, tim, dan organisasi.

        3)

        memiliki perspektif dan sikap mental yang positif terhadap tantangan, perubahan dan inovasi serta memiliki motivasi dan inisiatif untuk turut menciptakan sesuatu bagi organisasi secara menyeluruh.

        4)

        secara aktif mempelajari dan mengimplementasikan hasil belajar, di antaranya yaitu cara-cara baru dalam bekerja yang lebih baik. 5) meningkatkan kinerja tim dan organisasi melalui eskalasi dari implementasi hasil belajarnya. 6) mendokumentasikan implementasi hasil belajar (baik success maupun failure) untuk menjadi lesson learned yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan berbagi pengetahuan dan/atau penyebarluasan lesson learned tersebut ke rekan kerja, tim, maupun organisasi secara menyeluruh, MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7) dapat menjadi inspirasi, mendorong dan mendukung orang lain untuk berkembang dan mempelajari hal-hal yang baru.

        b.

        Tim sebagai Learners Organisasi mendukung tim sebagai Learners untuk:

        1)

        mendorong organisasi mencapai tujuan strategisnya melalui pembentukan kelompok belajar. 2) secara terus-menerus menggerakkan aktivitas belajar di dalam tim dengan metode belajar, seperti: briefing, mentoring, meeting, job rotation, kerja sama tim, inquiry, konsultasi, reading assignment, monitoring, studi banding, belajar dari organisasi lain, belajar dari mitra, dan belajar dari pengalaman.

        c.

        Organisasi sebagai Learners Organisasi mendorong terwujudnya budaya belajar di tingkat organisasi dengan:

        1)

        mendorong terjadinya pertukaran, diseminasi, dan pengaplikasian pengetahuan secara kolektif di tingkat organisasi.

        2)

        memfasilitasi implementasi budaya belajar, melalui: a) dukungan terhadap inovasi guna membangun keyakinan yang mendorong munculnya gagasan-gagasan baru; b) pemberian keamanan secara psikologis guna membangun keyakinan untuk bebas melakukan diskusi-diskusi dengan memperhatikan kode etik yang berlaku; c) penanaman mindset yang mendorong pengembangan budaya belajar organisasi; dan d) pembangunan rasa percaya (trust) bahwa Leaders mendukung adanya ide-ide baru.

        3)

        membangun komitmen belajar di tingkat organisasi dengan memberikan jaminan keamanan secara psikologis berupa pemberian keyakinan untuk memiliki keberanian dalam mengutarakan pendapat.

        4)

        organisasi melalui peran para pemimpinnya: a) memfasilitasi dan mendorong pembelajaran di level organisasi melalui dukungan terhadap pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 1), angka 2) dan angka 3). b) mengalokasikan sumber daya, menetapkan organisasi, memberikan penghargaan, dan anggotanya dalam aktivitas pembelajaran; dan agenda -agenda mendisiplinkan c) menunjukkan toleransi terhadap kesalahan, sabar dan memiliki kemauan menjadi coach, memberikan contoh, menjadi role model, serta mengembangkan gagasan-gagasan untuk melakukan persuasi para anggota organisasi.

        5)

        agile terhadap perubahan dan memanfaatkan momentum tersebut untuk pembelajaran. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA D. Rincian Komponen Knowledge Management Implementation 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan menerapkan proses manajemen pengetahuan yang meliputi identifikasi, dokumentasi, pengorgan1sas1an, penyebarluasan, penerapan, dan pemantauan. 2. Penerapan proses manajemen pengetahuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Identifikasi 1) Organisasi menentukan pengetahuan yang akan didokumentasikan sebagai aset intelektual. 2) Penentuan pengetahuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) memenuhi kriteria: a) merupakan pengetahuan di bidang keuangan negara; dan/atau b) terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan.

        3)

        Organisasi mendukung penyusun aset intelektual untuk melakukan identifikasi aset intelektual, seperti memberikan penugasan dan mendorong inisiatif.

        b.

        Dokumentasi 1) Organisasi melakukan kegiatan pendokumentasian (knowledge capture) untuk menghasikan aset intelektual melalui metode di antaranya: a) wawancara; b) pengamatan; c) diskusi kelompok terarah; dan/atau d) komunitas belajar ( community of practices). 2) Organisasi menghasilkan aset intelektual yang dituangkan dalam bentuk audio, visual, dan audiovisual. 3) Organisasi mendukung penyusun aset intelektual untuk melakukan dokumentasi aset intelektual, seperti memberikan penugasan atau mendorong inisiatif.

        c.

        Pengorganisasian 1) Organisasi melakukan kegiatan penataan aset intelektual melalui: a) katalogisasi dan klasifikasi yang didasarkan pada:

        (1)

        bidang keilmuan terkait keuangan negara;

        (2)

        fungsi unit jabatan pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Keuangan; dan/atau

        (3)

        standar kompetensi jabatan, b) abstraksi, dengan menyusun deskripsi sederhana atas aset intelektual; dan c) pemberian indeks, dengan melakukan mekanisme pengolahan aset intelektual yang dilakukan secara automasi. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2) Organisasi melakukan proses penjaminan mutu secara terstruktur dengan penunjukan panitia penjamin mutu.

        d.

        Penyebarluasan Organisasi menyediakan aset intelektual pada laman antar muka perangkat lunak sistem manajemen pengetahuan (software knowledge management system). e. Penerapan Organisasi memberikan kesempatan untuk melakukan pengaplikasian atau pemanfaatan aset intelektual oleh pengguna perangkat lunak sistem manajemen pengetahuan (software knowledge management system) untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi yang bersangkutan. f. Pemantauan Organisasi memastikan kesesuaian antara aset intelektual yang terdapat dalam perangkat lunak sistem manajemen pengetahuan (software knowledge management system) dengan kebutuhan pengguna perangkat lunak sistem manajemen pengetahuan (software knowledge management system). E. Rincian Komponen Leaming Value Chain 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan berpartisipasi secara aktif dalam proses Leaming Value Chain yang meliputi analisis kebutuhan pembelajaran, desain pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Partisipasi aktif dalam proses Leaming Value Chain sebagaimana dimaksud pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Analisis Kebutuhan Pembelajaran 1) Organisasi selaku unit pengguna berpartisipasi secara aktif dalam analisis kebutuhan pembelajaran yang terdiri atas penyiapan landasan analisis kebutuhan pembelajaran, pertemuan learning council, pengumpulan data analisis kebutuhan pembelajaran, verifikasi Laporan Hasil Pengumpulan Data Analisis Kebutuhan Pembelajaran, dan harmonisasi hasil analisis kebutuhan pembelajaran sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman analisis kebutuhan pembelajaran di lingkungan Kementerian Keuangan.

        2)

        Organisasi selaku unit pengguna menunjuk pemilik rumpun keahlian (skill group owne71 untuk membantu pelaksanaan analisis kebutuhan pembelajaran termasuk terlibat dalam implementasi hasil analisis kebutuhan pembelajaran.

        b.

        Desain Pembelajaran 1) Organisasi berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan dan/atau pengembangan desain pembelajaran, seperti memberi masukan dan mereviu atas konsep desain pembelajaran. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2) Organisasi menugasi skill group owner untuk memberi masukan kesesuaian antara desain pembelajaran dengan: a) kebutuhan strategis _(learning outcome); _ b) kebutuhan kinerja _(learning output); _ dan c) kebutuhan kompetensi (learning goals). c. Penyelenggaraan Pembelajaran 1) Organisasi berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan pembelajaran pada tahap persiapan dan kegiatan pembelajaran. 2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada angka 1) di antaranya dilakukan dengan pengiriman peserta, penugasan sumber daya manusianya sebagai tenaga pengajar, dan pemberian masukan perbaikan penyelenggaraan.

        3)

        Organisasi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang dapat dilaksanakan secara mandiri (pembelajaran selain pelatihan, kursus, penataran, e-leaming, dan pelatihan jarak jauh) berkoordinasi dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.

        d.

        Evaluasi Pembelajaran 1) Organisasi berpartisipasi secara aktif dalam proses evaluasi pembelajaran yang meliputi evaluasi penyelenggaraan, evaluasi pengajar, evaluasi hasil pembelajaran peserta, dan evaluasi pascapembelajaran (evaluasi implementasi hasil pembelajaran dan evaluasi dampak pembelajaran).

        2)

        Partisipasi sebagaimana dimaksud pada angka 1) di antaranya dilakukan dengan memberikan masukan dalam perumusan instrumen evaluasi pascapembelajaran, menindaklanjuti rekomendasi evaluasi, dan menugasi alumni melakukan knowledge sharing. F. Rincian Komponen Leaming Solutions 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan mewujudkan organisasinya untuk memfasilitasi implementasi berbagai model pembelajaran demi mencapai tujuan organisasi yang direncanakan. 2. Fasilitasi implementasi model pembelajaran sebagaimana dimaksud pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Belajar sendiri (self-learning) Organisasi memfasilitasi dan memberi kesempatan setiap pegawai untuk berinisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, memformulasi tujuan belajar, mengidentifikasi sumber pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi hasil belajar, sesuai kebutuhannya secara individu.

        b.

        Pembelajaran terstruktur (structured learning) Organisasi merencanakan, memfasilitasi, dan memberi kesempatan kepada setiap pegawai baik secara individu maupun berkelompok melakukan pembelajaran yang terstruktur baik di dalam kelas (klasikal) MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA maupun di luar kelas yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan.

        c.

        Belajar di lingkungan sosial/belajar dari orang lain (social learning/ learning from others) Organisasi merencanakan, memfasilitasi, dan memberi kesempatan kepada setiap pegawai baik secara individu maupun berkelompok melakukan pembelajaran kolaboratif dalam sebuah komunitas maupun melalui bimbingan di luar kelas, melalui interaksi atau dengan mengobservasi pihak/ orang lain, seperti coaching & mentoring (di luar Dialog Kinerja Individu), knowledge sharing, patok banding (benchmarking), dan keikutsertaan dalam komunitas belajar (community of practices). d. Belajar dari pengalaman/belajar sambil bekerja (learning from experiences/learning while working) Organisasi merencanakan, memfasilitasi, dan memberi kesempatan kepada setiap pegawai baik secara individu maupun berkelompok melakukan pembelajaran terintegrasi di tempat kerja melalui praktek langsung seperti magang/ praktek kerj a, detasering (secondment), action learning, gugus tugas, tugas tambahan, pertukaran antara pegawai negeri sipil dengan pegawai swasta/badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah. G. Rincian Komponen Leaming Spaces 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan menyediakan learning spaces yang berupa ruangan, peralatan, jaringan internet dan intranet, akses sumber belajar, kesempatan belajar, dan dukungan teknis.

        2.

        Penyediaan learning spaces sebagaimana dimaksud pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Ruangan Organisasi memastikan ketersediaan ruangan yang memadai untuk mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan di lingkungan kantor pada unit kerja, seperti ruang belajar, ruang diskusi, open space, perpustakaan, dan yang sejenis.

        b.

        Peralatan Organisasi memastikan ketersediaan:

        1)

        peralatan berupa komputer atau laptop yang mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai;

        2)

        perangkat lunak untuk mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai, seperti operating system, Microsoft Office, browser, Zoom Meeting, dan yang sejenis; dan

        3)

        peralatan untuk mendukung pelaksanaan dokumentasi pengetahuan, seperti kamera, microphone, aplikasi penunJang multimedia, dan yang sejenis. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA c. Jaringan Internet dan Intranet Organisasi memastikan ketersediaan jaringan internet, intranet dan jaringan komunikasi lain yang memadai untuk mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai.

        d.

        Akses Sumber Belajar Organisasi memastikan ketersediaan akses terhadap sumber belajar untuk mendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai, seperti akun Kemenkeu Leaming Center (KLC), akses jurnal EBSCO, kartu keanggotaan perpustakaan, dan yang sejenis.

        e.

        Kesempatan Belajar Organisasi memberikan kesempatan bagi seluruh pegawai untuk melakukan kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan secara daring (online) dan luring (offline) pada jam kerja. Contoh daring meliputi mengikuti e-leaming/Pelatihan Jarak Jauh (PJJ)/webinar, mengakses KLC / jurnal nasional/ jurnal internasional/ perpustakaan online, dan kegiatan lainnya yang sejenis. Contoh luring meliputi mengikuti pelatihan/seminar/FGD/magang/diskusi kelompok dan kegiatan lainnya yang sejenis. f. Dukungan Teknis Organisasi menyediakan sumber daya manusia yang dapat memberikan dukungan teknis untuk memastikan:

        1)

        kelancaran jaringan internet dan intranet sebagai pendukung kegiatan belajar serta berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai;

        2)

        ketersediaan akses terhadap sumber belajar sebagai pendukung kegiatan belajar dan berbagi pengetahuan bagi seluruh pegawai; dan

        3)

        kelancaran pelaksanaan dokumentasi pengetahuan. H. Rincian Komponen Learners' Performance 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan memastikan hasil pembelajaran Learners dimanfaatkan secara optimal. 2. Pemastian pemanfaatan hasil pembelajaran Learners sebagaimana dimaksud pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Individual Performance 1) Organisasi memastikan hasil pembelajaran diimplementasikan oleh individu dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. 2) Organisasi memastikan individu memanfaatkan hasil pembelajaran untuk: a) melakukan perbaikan berkelanjutan dan/atau peningkatan kinerja; dan b) menciptakan inovasi.

        b.

        Team Performance 1) Organisasi memastikan hasil pembelajaran diimplementasikan oleh tim dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2) Organisasi memastikan tim memanfaatkan hasil pembelajaran untuk: a) melakukan perbaikan berkelanjutan dan/atau peningkatan kinerja; dan b) menciptakan inovasi.

        c.

        Organizational Performance 1) Organisasi memastikan hasil pembelajaran berkontribusi pada peningkatan kinerja organisasi.

        2)

        Organisasi memastikan terciptanya inovasi dari hasil pembelajaran. 3) Organisasi memanfaatkan inovasi dari hasil pembelajaran pegawai sebagai individu dan tim untuk meningkatkan kinerja organisasi.

        4)

        Organisasi menggunakan hasil pembelajaran pegawai sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan karier pegawai. I. Rincian Komponen Leaders' Participation in Leaming Process 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan mendorong Leaders agar mampu menjadi teladan dalam pembelajaran, menyelaraskan visi bersama (shared vision), membimbing dan mendorong seluruh elemen organisasi untuk senantiasa terus-menerus belajar dalam rangka mencapai tujuan organisasi. 2. Dorongan Leaders sebagaimana dimaksud pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Leaders as Role Models Organisasi mendorong Leaders untuk menjadi teladan dan menginspirasi bawahan untuk terus menerus belajar dengan:

        1)

        ikut serta dalam pembelajaran sebagai _Learners; _ 2) berbagi pengetahuan _(knowledge sharing); _ dan 3) menerapkan hasil pembelajaran dalam pekerjaan sehari-hari dalam rangka peningkatan kinerja (transfer of training). b. Leaders as Teachers Organisasi mendorong Leaders untuk berperan sebagai pihak yang mengajarkan pihak lain baik internal maupun eksternal unit kerjanya dalam rangka improvement pelaksanaan pekerjaan dan pencapaian tujuan organisasi.

        c.

        Leaders as Coaches, Mentors, Counsellors Organisasi mendorong Leaders untuk berperan sebagai coaches, mentors, dan/atau councellors bagi pegawai dengan:

        1)

        membantu pegawai terkait pekerjaan;

        2)

        membimbing pegawai dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi melalui self-learning, structured learning, social learning/learning from others, dan learning from experience/learning _while working; _ 3) melakukan supervisi pekerjaan; MEN rrn1 KEUANGAN REPU8LIK IHDONESIA 4) memberikan kesempatan untuk mencoba keahlian baru;

        5)

        memberikan instruksi yang jelas;

        6)

        memberikan _feedback; _ dan 7) memberikan reward and recognition. d. Forward-thinking Leadership Organisasi mendorong Leaders untuk menjaga konsistensi keterkaitan kegiatan belajar dengan tujuan strategis organisasi melalui:

        1)

        memahami kebutuhan pembelajaran dan menyelaraskannya dengan tujuan organisasi;

        2)

        melibatkan pegawai dalam membangun visi bersama pembelajaran; dan 3) memberikan akses dan kesempatan belajar kepada pegawai baik secara mandiri maupun melalui pembelajaran terintegrasi sesuai dengan kebutuhan kompetensi. J. Rincian Komponen Feedback 1. Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dan unit non Eselon yang bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Keuangan membudayakan organisasinya untuk memberikan feedback sesuai dengan pengalaman, persepsi dan kondisi nyata saat pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi Leaming Organization. 2. Budaya pemberian feedback sebagaimana dimaksud pada angka 1 tercermin dalam subkomponen:

        a.

        Feedback internal 1) Organisasi mendorong pejabat dan/atau pegawainya untuk memberikan feedback atas pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi Leaming Organization. 2) Organisasi menindaklanjuti feedback internal atas pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi Leaming Organization. b. Feedback eksternal 1) Organisasi menelaah feedback eksternal atas pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi Leaming Organization. 2) Organisasi menindaklanjuti feedback eksternal atas pelaksanaan seluruh komponen dalam implementasi Leaming Organization. MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

        Thumbnail
        CIPTA KERJA Cipta Kerja | CIPTA KERJA | PENYELENGGARAAN
        PP 23 TAHUN 2021

        Penyelenggaraan Kehutanan

        • Ditetapkan: 02 Feb 2021
        • Diundangkan: 02 Feb 2021

        Relevan terhadap

        Pasal 57Tutup

        Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. Pasal 58 (1) Pelepasan Kawasan Hutan dilakukan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi. (2) Pelepasan Kawasan Hutan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi yang tidak produktif. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan pada provinsi yang tidak tersedia lagi Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi yang tidak produktif. (41 Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 untuk kegiatan:

        a.

        proyek strategis nasional;

        b.

        pemulihan ekonomi nasional;

        c.

        pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food estate) dan energi;

        d.

        pengadaan tanah untuk bencana alam;

        e.

        pengadaan tanah obyek reforma agraria; dan

        f.

        kegiatan f. kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki izin di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, dapat dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi ^yang dapat Dikonversi danlatau Kawasan Hutan Produksi Tetap. (5) Pelepasan Kawasan Hutan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan Kawasan Hutan Produksi Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat ^(4) dilakukan setelah Penelitian Terpadu. Pasal 59 (1) Penelitian Terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (5) dilakukan oleh tim terpadu yang dibentuk Menteri. (21 Berdasarkan pertimbangan hasil Penelitian Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim terpadu dapat merekomendasikan untuk:

        a.

        melakukan Pelepasan Kawasan Hutan sebagian atau seluruhnya;

        b.

        menolak permohonan Pelepasan Kawasan Hutan; dan/atau

        c.

        melakukan perubahan fungsi menjadi Kawasan Hutan Tetap. (3) Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (4) memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan dilengkapi kajian lingkungan hidup strategis ^yang disusun oleh pemrakarsa kegiatan, kecuali untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat ^(4) huruf d, huruf e, dan huruf f. Pasal 60 (1) Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, diterbitkan pada Kawasan Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan.

        (2)

        Pengelolaan lahan hasil Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada asas konservasi tanah dan air serta memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pasal 61 Permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diajukan kepada Menteri. Pasal 62 (1) Setelah menerima permohonan Pelepasan Kawasan Hutan, Menteri meneliti pemenuhan persyaratan administrasi dan teknis dan pemenuhan komitmen. (21 Terhadap permohonan Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim terpadu menyampaikan rekomendasi kepada Menteri sebagai bahan pertimbangan. (3) Berdasarkan penelitan persyaratan dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ayat (21, Menteri menerbitkan:

        a.

        keputusan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk sebagian atau seluruh Kawasan Hutan yang dimohon; atau

        b.

        surat penolakan Pelepasan Kawasan Hutan.

        (1)

        (2t Pasal 63 Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dikenakan PNBP Pelepasan Kawasan Hutan. Terhadap kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (a) huruf a sampai dengan huruf e dan kegiatan non komersial tidak dikenakan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Tata cara pengenaan dan tarif PNBP Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

        (3)

        Pasal 64 (1) Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) huruf a wajib:

        a.

        menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan; dan

        b.

        mengamankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan. (2) Hasil penyelesaian tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dituangkan dalam berita acara dan peta hasil tata batas yang ditandatangani oleh panitia tata batas Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. (3) Tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diselesaikan dalam ^jangka waktu paling lama ^1 (satu) tahun sejak diterbitkannya Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dan tidak dapat diperpanjang. (4) Dalam hal pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan merupakan instansi pemerintah, ^jangka waktu penyelesaian tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun. (5) Dalam hal pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan tidak dapat menyelesaikan tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 65 Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan yang belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a dilarang memindahtangankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain. Pasal 66 Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dilarang:

        a.

        memindahtangankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain; atau

        b.

        melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan permohonan. Pasal 67 (1) Sebelum menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a, pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dilarang melakukan kegiatan di Kawasan Hutan, kecuali kegiatan persiapan berupa pembangunan direksi kit, pengukuran sarana prasarana, dan pembibitan. (21 Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapat dispensasi dari Menteri. (3) Dalam hal kegiatan di Kawasan Hutan merupakan program strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, ketahanan pangan lfood estatel dan energi, dan tanah objek reforma agraria, pelaksanaan kegiatannya dapat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tata batas Kawasan Hutan. Pasal 68 Berdasarkan bukti pembayaran PNBP Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan berita acara tata batas dan peta hasil tata batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2)', Menteri menerbitkan keputusan tentang penetapan batas areal Pelepasan Kawasan Hutan yang dimohon. Pasal 69 (1) Penetapan batas areal Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 selanjutnya diintegrasikan dalam tata ruang. (21 Kegiatan di areal Pelepasan Kawasan Hutan dapat dilaksanakan sebelum dan latau dalam proses integrasi tata ruang. (3) Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian melakukan evaluasi dalam ^jangka waktu 3 (tiga) tahun terhadap Kawasan Hutan yang telah dilepaskan.

        (4)

        Dalam (41 Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhadap Kawasan Hutan yang telah dilepaskan:

        a.

        belum diterbitkan hak atas tanah;

        b.

        tidak terdapat kegiatan usaha dan arealnya masih mempunyai tutupan Hutan; dan

        c.

        Perizinan Berusaha di bidang perkebunan telah dicabut oleh pejabat yang berwenang, ditetapkan kembali oleh Menteri menjadi Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 70 Berdasarkan keputusan Menteri tentang penetapan batas areal Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, status lahan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Paragraf 3 Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Untuk Wilayah Provinsi Pasal 71 Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dapat dilakukan pada:

        a.

        Hutan Konservasi;

        b.

        Hutan Lindung; atau

        c.

        Hutan Produksi. Pasal 72 (1) Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan provinsi dilakukan berdasarkan usulan kepada Menteri. untuk wilayah dari gubernur (2) Gubernur dalam mengajukan usulan ^Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan wajib melakukan ^konsultasi teknis dengan Menteri. Pasal 73 (1) Menteri setelah menerima usulan Perubahan ^Peruntukan Kawasan Hutan untuk wilayah ^provinsi dari ^gubernur, melakukan telaahan teknis. (21 Berdasarkan hasil telaahan teknis sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1), Menteri membentuk tim terpadu. (3) Keanggotaan dan tugas tim terpadu ^sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan ^oleh Menteri ^setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. (41 Tim terpadu sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(21 menyampaikan hasil penelitian dan ^rekomendasi ^terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ^kepada Menteri' (s) Menteri setelah mempertimbangkan ^hasil ^penelitian ^dan rekomendasi tim terpadu sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (4) menerbitkan keputusan ^persetujuan ^Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk ^sebagian ^atau ^seluruh Kawasan Hutan yang diusulkan. Kajian lingkungan hidup strategis dalam ^rangka Perubahan Fungsi Kawasan Hutan ^dan ^Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ^pada skala provinsi ^yang merupakan bagian dari ^proses ^reviu ^rencana ^tata ^ruang wilayah provinsi, menggunakan kajian ^lingkungan hidup strategis rencana tata ruang wilayah ^provinsi ^yang disusun oleh pemrakarsa kegiatan.

        (6)
        Thumbnail
        Tidak Berlaku
        COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | DANA ALOKASI KHUSUS | DANA CADANGAN
        76/PMK.07/2020

        Pengelolaan Cadangan Dana Alokasi Khusus Fisik Tahun Anggaran 2020

        • Ditetapkan: 29 Jun 2020
        • Diundangkan: 30 Jun 2020

        Relevan terhadap

        Pasal 1Tutup

        Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

        1.

        Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan asp1ras1 masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

        2.

        Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali kota, dan perangkat daerah se bagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

        3.

        Cadangan Dana Alokasi Khusus Fisik Tahun Anggaran 2020 yang selanjutnya disebut Cadangan DAK Fisik adalah Dana Alokasi Khusus Fisik yang dialokasikan sebagai bagian dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional akibat dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVJD-19).

        4.

        Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut Kepala KPPN adalah pimpinan instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagai Kuasa Pengguna Anggaran Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa.

        5.

        Aplikasi Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran yang selanjutnya disebut Aplikasi KRISNA adalah aplikasi yang digunakan dalam rangka perencanaan dan penganggaran DAK Fisik mulai dari pengusulan, penilaian, sinkornisasi dan harmonisasi dan penyusunan dokumen rencana kegiatan yang diakses melalui jaringan berbasis web.

        6.

        Aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut Aplikasi OMSPAN adalah aplikasi yang digunakan dalam rangka memonitoring transaksi dalam Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara dan menyajikan informasi sesuai dengan kebutuhan yang diakses melalui jaringan berbasis web.

        Thumbnail
        PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
        36/PUU-XVIII/2020

        Pengujian ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pengujian ketentuan Pasal 6 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentan ...

          Relevan terhadap

          Halaman 119Tutup

          aturan pelaksana sesuai dengan karakteristik atau dampak dari wabah yang tengah dihadapi. Fleksibilitas tersebut kemudian tampak ketika negara harus berhadapan dengan pandemi COVID-19 yang dampaknya sangat besar, terutama terhadap keselamatan petugas yang bertugas dalam upaya penanggulangan wabah. Dengan menggunakan UU 4/1984 sebagai landasan hukum, pemerintah mengeluarkan berbagai aturan pelaksana yang spesifik dibentuk untuk menghadapi dampak pandemi COVID-19 yang merupakan ketentuan sub-delegasi dari UU 4/1984 a quo . Di antara aturan-aturan tersebut yakni Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/menkes/329/2020 tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019/Covid-19, bertanggal 30 Juni 2020 (Kepmenkes 01.07/menkes/329/ 2020). Selanjutnya, dalam waktu yang sangat singkat, Kepmenkes 01.07/menkes/ 329/2020 mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan kondisi yang berkembang sehingga dikeluarkan Kepmenkes Nomor 01.07/menkes/447/2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/menkes/ 329/2020 tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019/Covid-19, bertanggal 23 Juli 2020 (Kepmenkes 01.07/menkes/447/2020). Lebih lanjut, dalam rangka memberikan kejelasan pengelolaan alokasi insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani pandemi COVID-19 telah diterbitkan pula Keputusan Menteri Keuangan Nomor 15/KM.7/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Rincian Alokasi Dana Cadangan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Tambahan Gelombang III Tahun Anggaran 2020. Alokasi dana yang dimaksud oleh ketentuan tersebut, salah satunya diperuntukan bagi insentif tenaga kesehatan daerah yang dialokasikan untuk bulan Maret sampai dengan Mei 2020. Insentif ini diberikan sebagai bentuk penghargaan negara atas risiko yang harus ditanggung oleh tenaga kesehatan yang terlibat dalam upaya penanggulangan pandemi COVID-19, di mana COVID-19 merupakan bagian dari wabah penyakit menular. Sementara itu, risiko yang harus ditanggung petugas dalam upaya penanggulangan wabah ini sangat tinggi karena tingginya tingkat berjangkitnya penyakit sehingga penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan wilayah tertentu serta menimbulkan malapetaka, misalnya kematian dalam jumlah yang besar.

          Halaman 74Tutup

          sesuai dengan besaran tiap jenis tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 di rumah sakit. 18. Besaran santunan kematian sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) diberikan kepada tenaga kesehatan yang meninggal karena terpapar COVID-19 yang memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan, termasuk dokter yang mengikuti penugasan khusus residen, dokter yang mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia, dokter yang mengikuti Pendayagunaan Dokter Spesialis, dan tenaga kesehatan yang mengikuti Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat, dan relawan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. 19. Bahwa Insentif dan santunan kematian bagi tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 diberikan terhitung mulai bulan Maret 2020 sampai dengan bulan Desember 2020 dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . 20. Bahwa sumber pendanaan insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Sedangkan sumber pendanaan santunan kematian bersumber dari APBN. 21. Bahwa melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020, Pemerintah melakukan penyederhanaan alur pembayaran insentif, yang mana sebelumnya verifikasi dilakukan secara berjenjang mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan milik daerah ke dinas kesehatan kabupaten/kota, kemudian ke dinas kesehatan provinsi, lalu ke Kemenkes dan oleh Kemenkes diajukan kepada Kemenkeu. Sekarang, proses verifikasi dan pembayaran diajukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan milik daerah kepada Dinas Kesehatan daerah provinsi/kabupaten/kota masing-masing untuk diajukan kepada BPKAD/DPKAD Provinsi atau BPKAD/DPKAD Kabupaten/Kota untuk selanjutnya dilakukan pembayaran insentif. 22. Sedangkan insentif bagi fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan yang menggunakan dana APBN sesuai dengan Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020 mengajukan usulan insentif kepada

          Halaman 122Tutup

          doktriner penggunaan kata “dapat” dalam penormaan undang-undang merupakan hal yang lazim dilakukan karena operator norma tidak selalu dirumuskan dengan kata wajib, di mana norma wajib berkaitan dengan kewajiban yang telah ditetapkan dan apabila tidak dipenuhi kewajiban tersebut dikenakan sanksi. Sementara itu, norma “dapat” mengandung sifat diskresioner (vide angka 267 dan angka 268 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Karena sifat diskresioner tersebut maka norma “dapat” dalam pelaksanaannya dapat menjadi wajib untuk direalisasikan karena ada faktor-faktor yang mengharuskannya, in casu, risiko yang harus ditanggung petugas kesehatan tertentu dalam upaya menanggulangi wabah penyakit menular. Dengan mencermati begitu luasnya cakupan dari UU 4/1984, yaitu berkenaan dengan jenis wabah yang dihadapi, dampak dari wabah, jenis kegiatan yang dapat termasuk di dalam upaya penanggulangan wabah, siapa saja yang termasuk petugas yang melakukan upaya penanggulangan wabah, serta bentuk penghargaan yang dapat diberikan, maka sudah tepat jika diksi yang digunakan dalam norma a quo menggunakan kata “dapat”. Bertransformasinya makna “dapat” menjadi “wajib” dalam implementasinya ditentukan oleh banyak faktor, dan untuk undang-undang yang cakupannya begitu luas, seperti halnya UU 4/1984, peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah yang spesifik mengatur kondisi tertentu sudah cukup untuk menjadi dasar kapan dan di mana kata “dapat” tersebut dapat diimplementasikan menjadi “wajib”. Bagaimanapun juga selama peraturan ini mengikat pemerintah serta aparat di dalamnya untuk melaksanakannya maka sesungguhnya dengan sendirinya penghargaan kepada petugas yang terdampak pandemi COVID-19 telah menjadi prioritas dengan didasarkan pada aturan pelaksana yang dimandatkan oleh UU a quo . Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh para Pemohon di mana tidak adanya kepastian terhadap ada atau tidaknya penghargaan yang berhak didapatkan oleh para Pemohon selaku petugas kesehatan yang mengalami risiko dalam upaya penanggulangan wabah pandemi COVID-19 sesungguhnya merupakan persoalan implementasi norma. Terlepas dari persoalan tersebut, pembentuk undang-undang telah memasukkan revisi UU 4/1984 dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024, oleh karenanya perlu diprioritaskan revisi tersebut sehingga dapat terbentuk undang-undang penanggulangan wabah penyakit menular yang jangkauan pengaturannya lebih komprehensif.

          • 1
          • ...
          • 21
          • 22
          • 23
          • ...
          • 54