Mekanisme Pelaksanaan Anggaran atas Pekerjaan yang Belum Diselesaikan pada Akhir Tahun Anggaran
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga atau unit organisasi pemerintah daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran (PA) untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah Pejabat yang diangkat oleh Bendahara Umum Negara (BUN) untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Kuasa BUN Pusat adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan yang mendelegasikan kewenangannya kepada Direktur Pengelolaan Kas Negara.
Kuasa BUN Daerah adalah Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan PA/KPA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada bendahara pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas, atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah membayar langsung.
Penyedia Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Penyedia adalah pelaku usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak.
Berita Acara Serah Terima yang selanjutnya disingkat BAST adalah dokumen legalitas penyerahan hasil pekerjaan dari Penyedia kepada pemberi kerja.
Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan yang selanjutnya disingkat BAPP adalah dokumen legalitas untuk dijadikan sebagai bahan bukti pekerjaan telah selesai dikerjakan sampai dengan termin tertentu sesuai dengan kontrak.
Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.
Bank Operasional adalah Bank Umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan selaku BUN atau pejabat yang diberi kuasa untuk menjadi mitra Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau KPPN.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang dibuka oleh BUN/Kuasa BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada Bank Indonesia.
Rekening Pengeluaran Kuasa BUN Pusat yang selanjutnya disingkat RPKBUNP adalah rekening yang dibuka oleh Kuasa BUN Pusat pada Bank Operasional untuk menampung dana yang akan digunakan untuk menyalurkan dana surat perintah pencairan dana ke rekening penerima.
Rekening Penampungan Akhir Tahun Anggaran yang selanjutnya disingkat RPATA adalah rekening lain-lain milik BUN untuk menampung dana atas penyelesaian pekerjaan yang direncanakan untuk diserahterimakan di antara batas akhir pengajuan tagihan kepada negara sampai dengan tanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan dan pekerjaan yang tidak terselesaikan sampai dengan akhir tahun anggaran yang penyelesaiannya diberikan kesempatan untuk dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Retur SP2D adalah penolakan/pengembalian atas pemindahbukuan dan/atau transfer pencairan APBN dari bank penerima kepada bank pengirim.
Surat Persetujuan Pembayaran Tagihan yang selanjutnya disingkat SPPT adalah dokumen yang diterbitkan sebagai bukti bahwa SPM yang diajukan oleh Satker telah memenuhi persyaratan pembayaran dan telah disetujui untuk dilakukan proses penerbitan SP2D.
Payment Process Reques t yang selanjutnya disingkat PPR adalah suatu kegiatan pada aplikasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) yang berfungsi menjalankan proses penerbitan kumpulan SP2D untuk setiap kelompok rekening pembayar.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Ditjen Perbendaharaan adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perbendaharaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Direktorat Pengelolaan Kas Negara yang selanjutnya disebut Direktorat PKN adalah unit eselon II pada Ditjen Perbendaharaan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang Pengelolaan Kas Negara (PKN).
Penjualan dan Pembelian Kembali Surat Berharga Syariah Negara dalam Valuta Asing di Pasar Internasional ...
Relevan terhadap
Untuk dapat ditetapkan sebagai Panel dan Konsultan Hukum SBSN Valas, Lembaga Jasa Keuangan dan konsultan hukum harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh panitia pengadaan; dan
lulus seleksi oleh panitia pengadaan.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi:
untuk Lembaga Jasa Keuangan:
memiliki pengalaman sebagai agen dalam melakukan penjualan dan/atau pembelian kembali surat berharga syariah (sukuk) dalam valuta asing di pasar internasional yang dilakukan oleh suatu negara atau korporasi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, terhitung pada saat penyampaian permohonan sebagai anggota Panel;
memiliki izin operasional untuk melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi;
memiliki anggota tim yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman melakukan penjualan dan/atau pembelian kembali surat berharga dalam valuta asing di pasar internasional yang dilakukan oleh suatu negara atau korporasi khususnya surat berharga syariah (sukuk);
memiliki rencana kerja termasuk target waktu pelaksanaan pekerjaan, strategi, jaringan distribusi, dan metodologi penjualan dan/atau pembelian kembali surat berharga syariah (sukuk) dalam valuta asing yang akan diterbitkan oleh Pemerintah; dan
memberikan kontribusi yang baik dalam pengembangan pasar SBSN domestik, khususnya dalam transaksi SBSN di pasar domestik baik pasar perdana maupun pasar sekunder; dan
untuk konsultan hukum:
memiliki pengalaman sebagai konsultan hukum di bidang pasar modal, khususnya dalam kegiatan penjualan dan/atau pembelian kembali surat berharga syariah (sukuk) di pasar dalam negeri dan/atau di pasar internasional yang dilakukan oleh negara atau korporasi;
memiliki anggota tim yang mempunyai keahlian hukum dan pengalaman di bidang pasar modal, khususnya dalam kegiatan penjualan dan/atau pembelian kembali surat berharga syariah (sukuk) di pasar dalam negeri dan/atau di pasar internasional yang dilakukan oleh negara atau korporasi; dan
memiliki rencana kerja termasuk target waktu pelaksanaan pekerjaan dan strategi penyusunan dokumen hukum dalam rangka penjualan dan/atau pembelian kembali SBSN Valas.
Panitia pengadaan dapat meminta persyaratan lain di luar persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau menggunakan data/informasi lainnya yang relevan dalam rangka seleksi Panel dan Konsultan Hukum SBSN Valas.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal adalah pimpinan unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disingkat DJPPR adalah unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Direktorat Pembiayaan Syariah adalah unit Eselon II di DJPPR yang mempunyai tugas melaksanakan dan menyelenggarakan fungsi dalam pengelolaan SBSN.
Pihak adalah orang perseorangan warga negara Indonesia maupun warga negara asing dimanapun mereka bertempat tinggal, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi, baik Indonesia ataupun asing dimanapun mereka berkedudukan.
SBSN Dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBSN Valas adalah SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di Pasar Internasional.
Pasar Internasional adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBSN Valas di luar wilayah hukum Indonesia.
Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang mengenai Surat Berharga Syariah Negara untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
Penjualan SBSN Valas adalah kegiatan penawaran dan/atau penjualan SBSN Valas di Pasar Internasional oleh Pemerintah kepada Pihak berdasarkan ketentuan pasar keuangan internasional.
Memorandum Informasi (Offering Memorandum) adalah informasi tertulis mengenai Penawaran Penjualan SBSN Valas kepada calon investor.
Penawaran Pembelian SBSN Valas adalah pengajuan penawaran dan/atau pemesanan untuk membeli SBSN Valas oleh Pihak dalam rangka Penjualan SBSN Valas.
Pengumpulan Pemesanan (Bookbuilding) yang selanjutnya disebut Bookbuilding adalah kegiatan Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas dengan cara mengumpulkan penawaran Pembelian SBSN Valas dan/atau penawaran Penjualan SBSN Valas dari Pihak dalam periode penawaran yang telah ditentukan.
Penempatan Langsung (Private Placement) yang selanjutnya disebut Private Placement adalah kegiatan Penjualan SBSN Valas kepada Pihak dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) sesuai dengan kesepakatan.
Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan dan/atau pasar modal, yang memperoleh izin dari otoritas di tempat lembaga keuangan dimaksud melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi.
Panel Calon Agen Penjual dan Agen Pembeli/Penukar yang selanjutnya disebut Panel adalah kumpulan Lembaga Jasa Keuangan yang ditetapkan sebagai panel dalam rangka Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas.
Pembelian Kembali SBSN Valas adalah kegiatan pembelian kembali SBSN Valas di pasar sekunder dari Pihak yang memiliki SBSN Valas yang dilakukan oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo berdasarkan ketentuan pasar keuangan internasional.
Penawaran Penjualan SBSN Valas adalah pengajuan penawaran dan/atau pemesanan untuk menjual SBSN Valas kepada Pemerintah dalam rangka Pembelian Kembali SBSN Valas.
Pembelian Kembali Bilateral (Bilateral Buyback) yang selanjutnya disebut Bilateral Buyback adalah kegiatan Pembelian Kembali SBSN Valas dari Pihak yang memiliki SBSN Valas yang dilakukan oleh Pemerintah dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) sesuai dengan kesepakatan.
Pembelian Kembali SBSN Valas dengan cara Tunai adalah cara Pembelian Kembali SBSN Valas dari Pihak yang memiliki SBSN Valas yang penyelesaian transaksinya dilakukan dengan pembayaran secara tunai oleh Pemerintah.
Pembelian Kembali SBSN Valas dengan cara Penukaran adalah cara Pembelian Kembali SBSN Valas dari investor SBSN Valas yang penyelesaian transaksinya dilakukan dengan penyerahan SBSN Valas seri lain oleh Pemerintah dan apabila terdapat selisih nilai penyelesaian transaksinya, dapat dibayar tunai.
Agen Penjual adalah Lembaga Jasa Keuangan yang ditunjuk dari Panel untuk melaksanakan Penjualan SBSN Valas.
Agen Pembeli/Penukar adalah Lembaga Jasa Keuangan yang ditunjuk dari Panel untuk melaksanakan Pembelian Kembali SBSN Valas.
Konsultan Hukum SBSN Valas adalah konsultan hukum yang ditunjuk untuk memberikan pendapat hukum dan membantu penyusunan dokumen hukum maupun dokumen transaksi lainnya dalam rangka Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Bagian Anggaran Pengelolaan Utang (BA 999.01) yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat pada DJPPR yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran utang yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Utang.
Pejabat Pembuat Komitmen Bagian Anggaran Pengelolaan Utang (BA 999.01) dalam rangka Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara pengelolaan utang atas pelaksanaan Penjualan SBSN Valas dan/atau Pembelian Kembali SBSN Valas.
Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.
Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang SBSN sesuai dengan yang diperjanjikan.
Setelmen adalah penyelesaian transaksi SBSN Valas yang terdiri dari setelmen dana dan setelmen kepemilikan SBSN Valas.
Hari Kerja adalah hari kliring pada lembaga kliring yang ditunjuk.
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh ............... (2) nomor .. .. .. .. .. .. .. . (3) tanggal ............ .. (4) yang diterima ........... (5) tanggal ............... (6) berdasarkan bukti penerimaan surat nomor ............. (7) tanggal .............. (8) tentang ............ . (9) atas .............. {10) nomor .............. {11) tanggal ............. (12) tahun/masa pajak ............ (13);
bahwa berdasarkan laporan penelaahan Prosedur Persetujuan Bersama nomor LAP-................. {14) tanggal ............. (15);
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama; Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan {Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Republik Indonesia dan ................. (16) untuk ..................... (17);
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834); Menetapkan PERTAMA 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor............................ . . ten tang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun ..... Nomor ..... ); MEMUTUSKAN SURAT KEPUTUSAN PERSETUJUAN BERSAMA.
Melaksanakan Persetujuan Bersama antara Direktur Jenderal Pajak dan ............ (18) nomor .............. (19) tanggal .............. (20). 2. Menghitung kembali jumlah pajak yang masih harus/(lebih) dibayar dalam.............. (21) nomor ..................... (22) tanggal ........ (23) tahun/masa pajak. ............. (24); atas: Wajib Pajak NPWP Alamat .......................................... (25) Dengan perincian sebagai berikut:
Semula Ditambah/ Menjadi Uraian (Dikurangi) (Rp/US$) (Rp/US$) (Rp/US$) Penghasilan Neto Kompensasi Kerugian Penghasilan Kena Pajak PPh Terutang Kredit Pajak PPh Kurang/ (Lebih) Bayar Sanksi Administrasi Jumlah PPh yang masih harus/(lebih) dibayar Jumlah PPh yang telah dikembalikan Jumlah PPh yang telah dibayar Jumlah PPh yang masih harus dilunasi/ ( dikembalikan) KEDUA Surat Keputusan Persetujuan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Salinan Surat Keputusan Persetujuan Bersama ini disampaikan kepada:
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• 3 ........................................... dst. (27) Ditetapkan di .................... (28) pada tanggal ..................... (29) DIREKTUR PERPAJAKAN INTERNASIONAL, .......................................... (30) PETUNJUK PENGISIAN CONTOH FORMAT SURAT KEPUTUSAN PERSETUJUAN BERSAMA TERKAIT PENGENAAN PAJAK BERGANDA Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) Nomor (12) Nomor (13) Diisi dengan nomor surat keputusan. Diisi dengan pihak yang mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yaitu:
Wajib Pajak dalam negeri;
Direktur Jenderal Pajak; atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan nomor surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanggal surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan:
nama Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama; atau
Direktorat Perpajakan Internasional, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Diisi dengan tanggal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak atau oleh Direktorat Perpajakan Internasional. Bagian ini tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Diisi dengan nomor bukti penerimaan surat di Kantor Pelayanan Pajak. Bagian ini tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan tanggal bukti penerimaan surat di Kantor Pelayanan Pajak. Bagian ini tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan perihal surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Bagian ini tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Diisi dengan jenis ketetapan pajak yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nomor ketetapan pajak yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanggal ketetapan pajak yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tahun pajak atau masa pajak ketetapan Nomor (14) Nomor (15) Nomor (16) Nomor (17) Nomor (18) Nomor (19) Nomor (20) Nomor (21) Nomor (22) Nomor (23) Nomor (24) Nomor (25) Nomor (26) Nomor (27) Nomor (28) Nomor (29) Nomor (30) - 122 - pajak yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nomor laporan penelaahan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanggal laporan penelaahan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia. Diisi dengan judul Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan nomor Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanggal Persetujuan Bersama. Diisi dengan jenis produk administrasi terakhir (surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, surat pelaksanaan putusan banding, surat pelaksanaan putusan peninjauan kembali, atau Surat Keputusan Persetujuan Bersama) terkait dengan materi yang diajukan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nomor jenis produk administrasi terakhir (surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, surat pelaksanaan putusan banding, surat pelaksanaan putusan peninjauan kembali, atau Surat Keputusan Persetujuan Bersama) terkait dengan materi yang diajukan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanggal jenis produk administrasi terakhir (surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, surat pelaksanaan putusan banding, surat pelaksanaan putusan peninjauan kembali, atau Surat Keputusan Persetujuan Bersama) terkait dengan materi yang diajukan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tahun pajak atau masa pajak yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama, nomor pokok wajib pajak, dan alamat dari Wajib Pajak dalam negeri yang mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan rincian jumlah perhitungan kembali jumlah pajak yang masih harus/(lebih) dibayar. Diisi dengan pihak-pihak yang diberikan salinan surat keputusan. Diisi dengan nama kota surat keputusan diterbitkan. Diisi dengan tanggal surat keputusan diterbitkan. Diisi dengan tanda tangan dan nama pejabat yang menandatangani surat. J.4. CONTOH FORMAT SURAT KEPUTUSAN PERSETUJUAN BERSAMA SELAIN TERKAIT PENGENAAN PAJAK BERGANDA Menimbang Mengingat KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PERPAJAKAN INTERNASIONAL SURAT KEPUTUSAN PERSETUJUAN BERSAMA NOMOR KEP- .......... (1) DIREKTUR PERPAJAKAN INTERNASIONAL, a. bahwa berdasarkan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh ............... (2) nomor...............(3) tanggal ............. . (4) yang diterima ........... (5) tanggal ............... (6) berdasarkan bukti penerimaan surat nomor ............. (7) tanggal .............. (8) tentang ............. . (9) tahun/masa pajak ............... (10);
bahwa berdasarkan laporan penelaahan Prosedur Persetujuan Bersama nomor LAP- ................. (11) tanggal ............. (12);
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Republik Indonesia dan ................ (13) untuk ................... (14);
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Menetapkan PERTAMA KEDUA Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor ............................ tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun .... Nomor .... ); MEMUTUSKAN SURAT KEPUTUSAN PERSETUJUAN BERSAMA.
Melaksanakan Persetujuan Bersama antara Direktur Jenderal Pajak dan .............. (15) nomor .............. (16) tanggal .............. (17). 2. Pemerintah Republik Indonesia dan .............. (18) telah menyepakati hal-hal sebagaiberikut:
Pemerintah Republik Indonesia:
................................................ (19) b. .. ............................. (20):
................................................ (21) Surat Keputusan Persetujuan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Salinan Surat Keputusan Persetujuan Bersama ini disampaikan kepada:
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• 3 ........................................... dst. (22) Ditetapkan di .................... (23) pada tanggal ..................... (24) DIREKTUR PERPAJAKAN INTERNASIONAL, .......................................... (25) 1 www.jdih.kemenkeu.go.id PETUNJUK PENGISIAN CONTOH FORMAT SURAT KEPUTUSAN PERSETUJUAN BERSAMA SELAIN TERKAIT PENGENAAN PAJAK BERGANDA Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) Nomor (12) Diisi dengan nomor surat keputusan. Diisi dengan pihak yang mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yaitu:
Pemohon;
Direktur Jenderal Pajak; atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan nomor surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanggal surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan:
nama Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama; atau
Direktorat Perpajakan Internasional, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur JenderalPajak. Diisi dengan tanggal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak atau oleh Direktorat Perpajakan Internasional. Bagian ini tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur J enderal Pajak. Diisi dengan nomor bukti penerimaan surat di Kantor Pelayanan Pajak. Bagian ini tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan tanggal bukti penerimaan surat di Kantor Pelayanan Pajak. Bagian ini tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan perihal surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Bagian ini tidak perlu diisi dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Diisi dengan tahun pajak atau masa pajak ketetapan pajak yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nomor laporan penelaahan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanggal laporan penelaahan Prosedur Persetujuan Bersama. Nomor (13) Nomor (14) Nomor (15) Nomor (16) Nomor (17) Nomor (18) Nomor (19) Nomor (20) Nomor (21) Nomor (22) Nomor (23) Nomor (24) Nomor (25) Diisi dengan nama Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia. Diisi dengan judul Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan nomor Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanggal Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia. Diisi dengan posisi Indonesia terkait hal-hal yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia. Diisi dengan posisi Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda terkait hal-hal yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan pihak-pihak yang diberikan salinan Surat Keputusan. Diisi dengan nama kota surat keputu~an diterbitkan. Diisi dengan tanggal surat keputusan diterbitkan. Diisi dengan tanda tangan dan nama pejabat yang menandatangani surat. ct www.jdih.kemenkeu.go.id K. l. CONTOH FORMAT SURAT PENCABUTAN PERMINTAAN PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI Nomor Lampiran Hal ............................... (1) ............................... (3) .......... , ................... (2) Pencabutan Permintaan Persetujuan Bersama Yth. Direktur Jenderal Pajak u. p. Direktur Perpajakan Internasional Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 40-42, Jakarta Yang bertanda tangan di bawah ini: Pelaksanaan Nama ................................................. (4) NPWP ................................................. (5) Jabatan ................................................. (6) Alamat ................................................. (7) Prosedur Bertindak selaku Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak*) Nama ................................................. (8) NPWP ................................................. (9) Alamat................................................ . (10) dengan ini mengajukan pencabutan atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama nomor ................ (11) tanggal ................... (12) dengan alasan sebagai berikut:
. .......................................................................................................... . 2 ............................................................................................................ . 3. . ..................................................................................................... (13) Demikian surat permohonan ini kami sampaikan untuk dapat dipertimbangkan. Keterangan: ) Coret yang tidak perlu. Pemohon/wakil/kuasa dari Wajib Pajak) .............................. (14) PETUNJUK PENGISIAN CONTOH FORMAT SURAT PENCABUTAN PERMINTAAN PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) Nomor (12) Nomor (13) Nomor (14) OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI Diisi dengan nomor surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sesuai dengan administrasi Wajib Pajak. Diisi dengan nama kota dan tanggal surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dibuat. Diisi dengan jumlah lampiran yang disertakan dalam surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama Wajib Pajak/wakil/kuasa yang menandatangani surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Diisi dengan nomor pokok wajib pajak dari Wajib Pajak/wakil/kuasa yang menandatangani surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan jabatan wakil atau kuasa yang menandatangani surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Dalam hal pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Warga Negara Indonesia, bagian ini tidak perlu diisi. Diisi dengan alamat Wajib Pajak/wakil/kuasa yang menandatangani surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama Wajib Pajak apabila yang menandatangani surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama adalah wakil atau kuasa dari Wajib Pajak. Diisi dengan nomor pokok wajib pajak apabila yang menandatangani surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama adalah wakil dari Wajib Pajak. Diisi dengan alamat Wajib Pajak apabila yang menandatangani surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama adalah wakil atau kuasa dari Wajib Pajak. Diisi dengan nomor surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang akan dicabut oleh Wajib Pajak. Diisi dengan tanggal surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang akan dicabut oleh W ajib Pajak. Diisi dengan alasan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanda tangan dan nama Wajib Pajak/wakil/ kuasa dari Wajib Pajak. K.2. CONTOH FORMAT SURAT PENCABUTAN PERMINTMN PELAKSANMN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA OLEH WARGA NEGARA INDONESIA Nomor Lampiran Hal ............................. . . (1) .......... ,...................(2) ............................... (3) Pencabutan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Yth. Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur Perpajakan Internasional Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 40-42, Jakarta Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama ................................................. (4) Nomor Identitas Pajak ................................................. (5) NIK ................................................. (6) Alamat dan narahubung (7) dengan ini mengajukan pencabutan atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama nomor................ (8) tanggal ................... (9) dengan alasan sebagai berikut: 1 •• •••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• 2 .......................................................................................................... . 3. ····································································································(10) Demikian surat permohonan ini kami sampaikan untuk dapat dipertimbangkan. Keterangan: ) Coret yang tidak perlu. Pemohon/wakil/kuasa dari Wajib Pajak) ................................. . . (11) PETUNJUK PENGISIAN CONTOH FORMAT SURAT PENCABUTAN PERMINTAAN PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) OLEH WARGA NEGARA INDONESIA Diisi dengan nomor surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sesuai dengan administrasi Warga Negara Indonesia yang menjadi Wajib Pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan nama kota dan tanggal surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dibuat. Diisi dengan jumlah lampiran yang disertakan dalam surat pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama Warga Negara Indonesia. Diisi dengan nomor identitas pajak Warga Negara Indonesia di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan nomor induk kependudukan. Diisi dengan alamat dan kontak (nomor telepon atau alamat surat elektronik) Warga Negara Indonesia di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan nomor surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang akan dicabut oleh Warga Negara Indonesia. Diisi dengan tanggal surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang akan dicabut oleh Warga Negara Indonesia. Diisi dengan alasan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanda tangan dan nama Warga Negara Indonesia. K.3. CONTOH FORMAT SURAT PENCABUTAN USULAN PERMINTAAN PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI Nomor Lampiran Hal ............................. . . (1) ......... ,.................... (2) ••••••••••••••••••••••••• •••••• (3) Pencabutan Usulan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Yth. Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur Perpajakan Internasional Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 40-42, Jakarta Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama ................................................. (4) NPWP ................................................. (5) Jabatan ................................................. (6) Alamat ................................................. (7) Bertindak selaku Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak*) Nama ................................................. (8) NPWP ................................................. (9) Alamat................................................ . (10) dengan ini mengajukan pencabutan atas usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama nomor ................ (11) tanggal ................... (12) dengan alasan sebagai berikut:
. .......................................................................................................... . 2 ............................................................................................................ . 3. . ..................................................................................................... (13) Demikian surat permohonan ini kami sampaikan untuk dapat dipertimbangkan. Keterangan: ) Caret yang tidak perlu. Wakil/kuasa dari Wajib Pajak) .............................. (14) PETUNJUK PENGISIAN CONTOH FORMAT SURAT PENCABUTAN USULAN PERMINTAAN PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) Nomor (12) Nomor (13) Nomor (14) Diisi dengan nomor surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sesuai dengan administrasi Wajib Pajak. Diisi dengan nama kota dan tanggal surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dibuat. Diisi dengan jumlah lampiran yang disertakan dalam surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama Wajib Pajak/wakil/kuasa yang menandatangani surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Diisi dengan nomor pokok wajib pajak dari Wajib Pajak/wakil/kuasa yang menandatangani surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan jabatan wakil atau kuasa yang menandatangani surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Dalam hal pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diajukan oleh Warga Negara Indonesia, bagian ini tidak perlu diisi. Diisi dengan alamat Wajib Pajak/wakil/kuasa yang menandatangani surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan nama Wajib Pajak apabila yang menandatangani surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama adalah wakil atau kuasa dari Wajib Pajak. Diisi dengan nomor pokok wajib pajak apabila yang menandatangani surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama adalah wakil dari Wajib Pajak. Diisi dengan alamat Wajib Pajak apabila yang menandatangani surat pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama adalah wakil atau kuasa dari Wajib Pajak. Diisi dengan nomor surat usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang akan dicabut oleh Wajib Pajak. Diisi dengan tanggal surat usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang akan dicabut oleh Wajib Pajak. Diisi dengan alasan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Diisi dengan tanda tangan dan nama Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak. L. CONTOH FORMULIR PERMOHONAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ............................... (1) FORMULIR PERMOHONAN KESEPAKATAN HARGATRANSFER A. IDENTITAS WAJIB PAJAK Nama Wajib Pajak:
NPWP: [I] I I I l I I I I □ I I I I I I I ^I (3) Alamat Wajib Pajak:
B. USULAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER Periode I I I I I sampai dengan I I I I I (5) Kesepakatan Harga Transfer: Pemberlakuan □ Ya, tahun pajak I (6) Mundur: □ Tidak (7) Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup: No. Keterangan Transaksi 1 Transaksi 2 Transaksi 3 dst.
J enis transaksi (8) 2. Jenis (9) Kesepakatan Harga Transfer 3. Pihak Afiliasi (10) 4. Mitra Persetujuan (11) Penghindaran Pajak Berganda 5. Metode Penentuan Harga (12) Transfer 6. Pihak yang diuji (13) 7. Karakterisasi usaha Wajib (14) Pajak 8. Karakterisasi usaha pihak yang (15) diuji 9. Indikator tingkat (16) laba 10. Titik atau rentang (17) kewajaran Keterangan tambahan terkait dengan usulan Kesepakatan Harga Transfer:
C. RIWAYAT TRANSAKSI AFILIASI YANG DICAKUP DALAM KESEPAKATAN HARGA TRANSFER DALAM 3 (TIGA) TAHUN PAJAK TERAKHIR Metode Kebijakan Tahun Nilai Transaksi Penentuan Hargayang Pajak Transaksi Harga Transfer Diterapkan X-1 (19) Transaksi 1 X-2 (20) X-3 (21) X-1 (22) Transaksi 2 X-2 (23) t X-3 (24) X-1 (25) Transaksi 3 X-2 ,. (26) X-3 (27) X-1 (28) Dst. X-2 (29) X-3 (30) D. PENJELASAN SINGKAT TERKAIT USULAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER 1) La tar belakang dan alasan pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer:
Penjelasan singkat terkait dengan strategi bisnis Wajib Pajak dan rencana pengembangan bisnis yang akan dilakukan oleh Wajib Pajak selama Periode Kesepakatan Harga Transfer:
Pernyataan status pelaporan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir: tahun pajak I I I I I (33), disampaikan tanggal ................... (34) tahun pajak l I I I I (35), disampaikan tanggal ................... (36) tahun pajak I I I I I (37), disampaikan tanggal ................... (38) 4) Pernyataan mengenai kewajiban untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer:
(32) Tahun Master File Local File CbCR Pajak Telah Telah Telah Telah Telah Telah Diwajib Tersedia Diwajib Tersedia Diwajib Tersedia kan kan kan X-1 Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ (39) Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) X-2 Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) (40) X-3 Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ Ya/ Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) Tidak*) (41) 5) Pernyataan status pemeriksaan terkait transfer pricing dalam 3 (tiga) tahun pajak terakhir: Nilai Nominal Tahun Pajak J enis Transaksi Nilai Koreksi Koreksi yang yang Transfer Pricing Afiliasi yang Disetujui Wajib Diperiksa Dikoreksi Pajak X-1 (42) X-2 (43) X-3 (44) 6) Pernyataan status keberatan atas koreksi transfer pricing dalam 5 (lima) tahun pajak terakhir: Jenis Nilai Nominal Keputusan Keberatan Transaksi Koreksi Tahun Afiliasi Transfer Pricing Pajak yang yang Diajukan Nomor SK Tanggal SK Diajukan Keberatan Keberatan X-1 (45) X-2 (46) X-3 (47) X-4 (48) X-5 (49) 7) Pernyataan status banding atas koreksi transfer pricing 5 (lima) tahun terakhir: Jenis Putusan Banding N ilai Nominal Transaksi Koreksi Tahun Afiliasi Pajak Transfer Pricing Nomor Tanggal yang yang Diajukan Diajukan Putusan Putusan Banding Banding X-1 (50) X-2 (51) X-3 (52) X-4 (53) X-5 (54) 8) Status penyidikan tindak pidana atau menjalani pidana di bidang perpajakan:
Wajib Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, dan persidangan tindak pidana di bidang perpajakan: □ Ya □ ^Tidak (55) b. Wajib Pajak tidak sedang menjalani pidana di bidang perpajakan: □ Ya □ ^Tidak (56) E. KUTIPAN ELEMEN LAPORAN KEUANGAN 5 (LIMA) TAHUN TERAKHIR Tahun Pajak No. Uraian 20 ... 20 ... 20 ... 20 ... 20 ... (57) 1. Peredaran U saha (58) 2. Harga Pokok (59) Penjualan (HPP) 3. Laba Kotor (60) 4. Biaya Operasi (61) 5. Laba Operasi (62) 6. Penghasilan (63) lain-lain 7. I Laba Bersih (64) Rasio Keuangan (%) Laba Ko tor/ Peredaran (65) Usaha (3:
Laba Kotor/HPP (3:
(66) Laba Operasi/ Peredaran (67) Usaha (5:
Laba Operasi/ (HPP+ Biaya (68) Operasi) (5: (4+2)) F. PROYEKSI ELEMEN LAPORAN KEUANGAN SELAMA PERIODE KESEPAKATAN HARGATRANSFER Tahun Pajak No. Uraian 20 ... 20 ... 20 ... 20 ... 20 ... (69) 1. Peredaran Usaha (70) 2. Harga Pokok (71) Penjualan (HPP) 3. Laba Kotor (72) 4. Biaya Operasi (73) 5. Laba Operasi (74) 6. Penghasilan (75) lain-lain 7. Laba Bersih (76) Rasio Keuangan (%) Laba Ko tor/ Peredaran (77) Usaha (3:
Laba Kotor /HPP (3:
(78) Laba Operasi/ Peredaran (79) Usaha (5:
Laba Operasi/ (HPP+ Bia ya Operasi) (5: (4+2)) G. LAMPIRAN Surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melengkapi (80) D seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses Kesepakatan (81) Harga Transfer. D Surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia melaksanakan (82) Kesepakatan Harga Transfer. D Dokumen lainnya (sebutkan):
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• 4 .................................................................................... dst. (84) H. PERNYATAAN Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi- sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, saya menyatakan bahwa apa yang telah saya sampaikan di atas beserta lampiran- lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas. Tanda Tangan dan Cap Perusahaan: Nama Lengkap: NPWP:
(87) (88) PETUNJUK PENGISIAN CONTOH FORMULIR PERMOHONAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) Nomor (12) Nomor (13) Nomor (14) Diisi dengan kepala surat. Diisi dengan nama lengkap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nomor pokok wajib pajak yang mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan alamat lengkap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan tahun pajak yang diusulkan untuk dicakup dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan tanda centang/ contreng M pada kotak dalam hal terdapat Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer dan cantumkan tahun pajak yang diusulkan untuk diberlakukan Pemberlakuan Mundur (dapat diisi lebih dari satu tahun pajak). Contoh: 2022, 2021, 2020. Diisi dengan tanda centang/ contreng M pada kotak dalam hal tidak terdapat Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan jenis Transaksi Afiliasi. Contoh jenis transaksi sebagai berikut:
pembelian barang berwujud (bahan baku, barang jadi, dan barang dagangan);
penjualan barang berwujud (bahan baku, barangjadi, dan barang dagangan);
pembelian barang modal, termasuk aktiva tetap;
penjualan barang modal, termasuk aktiva tetap;
penyerahan barang tidak berwujud;
pemanfaatan barang tidak berwujud;
peminjaman uang;
penyerahan jasa;
pemanfaatan jasa;
penyerahan instrumen keuangan seperti saham dan obligasi;
perolehan instrumen keuangan seperti saham dan obligasi; dan
lain-lain. Diisi dengan jenis Kesepakatan Harga Transfer berupa Kesepakatan Harga Transfer Unilateral atau Bilateral atau Multilateral. Diisi dengan nama Pihak Afiliasi yang menjadi lawan transaksi. Diisi dengan negara Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tempat di mana Pihak Afiliasi berdomisili. Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, satu permohonan hanya dapat mencakup satu negara Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Diisi dengan metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan. Diisi dengan nama pihak dalam Transaksi Afiliasi yang ditetapkan sebagai pihak yang diuji indikator Harga Transfernya. Diisi dengan karakterisasi usaha Wajib Pajak. t www.jdih.kemenkeu.go.id Nomor (15) Nomor (16) Nomor (17) Nomor (18) Nomor (19) Nomor (20) Nomor (21) Nomor (22) Nomor (23) Nomor (24) Nomor (25) Nomor (26) - 141 - Diisi dengan karakterisasi usaha pihak dalam Transaksi Afiliasi yang ditetapkan sebagai pihak yang diuji indikator Harga Transfernya. Diisi dengan indikator tingkat laba atau profit level indicator (PLI). Kolom ini dapat dikosongkan dalam hal metode yang diusulkan tidak memerlukan PLI. Diisi dengan rentang kewajaran sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha atas Transaksi Afiliasi yang dicakup. Diisi dengan keterangan lain yang terkait usulan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai nominal dari setiap Transaksi Afiliasi (nilai transaksi), metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan untuk menentukan Harga Transfer dari setiap Transaksi Afiliasi (Metode Penentuan Harga Transfer), nominal harga barang yang ditransaksikan atau nilai tingkat laba yang digunakan untuk menentukan Harga Transfer dari setiap Transaksi Afiliasi (Kebijakan Harga yang Ditetapkan) sesuai dengan isian Transaksi 1 pada isian huruf B (U sulan Kesepakatan Harga Transfer) pada satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi 1 pada isian huruf B (Usulan Kesepakatan Harga Transfer) pada dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi 1 pada isian huruf B (Usulan Kesepakatan Harga Transfer) pada tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi 2 pada isian huruf B (Usulan Kesepakatan Harga Transfer) pada satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan ke bijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi 2 pada isian huruf B (U sulan Kesepakatan Harga Transfer) pada dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi 2 pada isian huruf B (U sulan Kesepakatan Harga Transfer) pada tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi 3 pada isian huruf B (U sulan Kesepakatan Harga Transfer) pada satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi 3 pada isian huruf B (U sulan Kesepakatan Harga Transfer) pada dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. 1 Nomor (27) Nomor (28) Nomor (29) Nomor (30) Nomor (31) Nomor (32) Nomor (33) Nomor (34) Nomor (35) Nomor (36) Nomor (37) Nomor (38) Nomor (39) - 142 - Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi 3 pada isian huruf B (U sulan Kesepakatan Harga Transfer) pada tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi seterusnya pada isian huruf B (Usulan Kesepakatan Harga Transfer) pada satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi seterusnya pada isian huruf B (Usulan Kesepakatan Harga Transfer) pada dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nilai transaksi, metode Penentuan Harga Transfer, dan kebijakan harga yang ditetapkan sesuai dengan isian Transaksi seterusnya pada isian huruf B (U sulan Kesepakatan Harga Transfer) pada tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan uraian latar belakang atau alasan pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan penjelasan singkat terkait dengan strategi bisnis Wajib Pajak dan rencana pengembangan bisnis yang akan dilakukan oleh Wajib Pajak selama Periode Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan tahun pajak surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang telah dilaporkan (satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer). Diisi dengan tanggal pelaporan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang telah dilaporkan (satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer). Diisi dengan tahun pajak surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang telah dilaporkan (dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer). Diisi dengan tanggal pelaporan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang telah dilaporkan (dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer). Diisi dengan tahun pajak surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang telah dilaporkan (tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer). Diisi dengan tanggal pelaporan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang telah dilaporkan (tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer). Diisi dengan mencoret hal yang tidak tepat mengenai kewajiban Wajib Pajak menyelenggarakan dan menyediakan Dokumen Penentuan Harga Transfer baik berupa dokumen induk, dokumen lokal, dan laporan per negara untuk satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Nomor (40) Nomor (41) Nomor (42) Nomor (43) Nomor (44) Nomor (45) Nomor (46) Nomor (47) Nomor (48) Nomor (49) Diisi dengan mencoret hal yang tidak tepat mengenai kewajiban Wajib Pajak menyelenggarakan dan menyediakan Dokumen Penentuan Harga Transfer baik berupa dokumen induk, dokumen lokal, dan laporan per negara untuk dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan mencoret hal yang tidak tepat mengenai kewajiban Wajib Pajak menyelenggarakan dan menyediakan Dokumen Penentuan Harga Transfer baik berupa dokumen induk, dokumen lokal, dan laporan per negara untuk tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status pemeriksaan terkait Penentuan Harga Transfer yang meliputi nilai koreksi Penentuan Harga Transfer, jenis Transaksi Afiliasi yang dikoreksi, dan nilai nominal koreksi yang disetujui Wajib Pajak satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status pemeriksaan terkait Penentuan Harga Transfer yang meliputi nilai koreksi Penentuan Harga Transfer, jenis Transaksi Afiliasi yang dikoreksi, dan nilai nominal koreksi yang disetujui Wajib Pajak dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status pemeriksaan terkait Penentuan Harga Transfer yang meliputi nilai koreksi Penentuan Harga Transfer, jenis Transaksi Afiliasi yang dikoreksi, dan nilai nominal koreksi yang disetujui Wajib Pajak tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status keberatan atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan keberatan, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan keberatan, dan nomor dan tanggal surat keputusan keberatan satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status keberatan atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan keberatan, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan keberatan, dan nomor dan tanggal surat keputusan keberatan dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status keberatan atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi l\filiasi yang diajukan keberatan, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan keberatan, dan nomor dan tanggal surat keputusan keberatan tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status keberatan atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan keberatan, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan keberatan, dan nomor dan tanggal surat keputusan keberatan empat tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status keberatan atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan keberatan, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan keberatan, dan nomor dan tanggal surat Nomor (50) Nomor (51) Nomor (52) Nomor (53) Nomor (54) Nomor (55) Nomor (56) Nomor (57) Nomor (58) Nomor (59) Nomor (60) Nomor (61) Nomor (62) Nomor (63) Nomor (64) Nomor (65) Nomor (66) Nomor (67) keputusan keberatan lima tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status banding atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan banding, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan banding, dan nomor dan tanggal • putusan banding satu tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status banding atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan banding, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan banding, dan nomor dan tanggal putusan banding dua tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status banding atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan banding, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan banding, dan nomor dan tanggal putusan banding tiga tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status banding atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan banding, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan banding, dan nomor dan tanggal putusan banding empat tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan status banding atas koreksi Penentuan Harga Transfer yang meliputi jenis Transaksi Afiliasi yang diajukan banding, nilai nominal koreksi Penentuan Harga Transfer yang diajukan banding, dan nomor dan tanggal putusan banding lima tahun pajak sebelum tahun pengajuan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan tanda centang/ contreng (V) pada kotak "Ya"/ "Tidak" sesuai pernyataan yang tepat apakah Wajib Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, dan persidangan tindak pidana di bidang perpajakan. Diisi dengan tanda centang/ contreng (V) pada kotak "Ya"/ "Tidak" sesuai pernyataan yang tepat apakah Wajib Pajak tidak sedang menjalani pidana di bidang perpajakan. Diisi dengan 5 (lima) tahun pajak terakhir. Diisi dengan nilai nominal dari peredaran usaha/ omzet. Diisi dengan nilai nominal dari harga pokok penjualan (HPP). Diisi dengan nilai nominal dari laba kotor. Diisi dengan nilai nominal dari biaya operasi. Diisi dengan nilai nominal dari laba operasi. Diisi dengan nilai nominal dari penghasilan lain-lain. Diisi dengan nilai nominal dari laba bersih. Diisi dengan persentase dari laba kotor dibandingkan dengan peredaran usaha/ omzet. Diisi dengan persentase dari laba kotor dibandingkan dengan harga pokok penjualan (HPP). Diisi dengan persentase dari laba operasi dibandingkan dengan peredaran usaha/ omzet. Nomor (68) Nomor (69) Nomor (70) Nomor (71) Nomor (72) Nomor (73) Nomor (74) Nomor (75) Nomor (76) Nomor (77) Nomor (78) Nomor (79) Nomor (80) Nomor (81) Nomor (82) Nomor (83) Nomor (84) Nomor (85) Nomor (86) Nomor (87) Nomor (88) - 145 - Diisi dengan persentase dari laba operasi dibandingkan dengan jumlah harga pokok penjualan (HPP) dan biaya operasi. Diisi dengan 5 (lima) tahun pajak Periode Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan proyeksi nilai nominal dari peredaran usaha/ omzet. Diisi dengan proyeksi nilai nominal dari harga pokok penjualan (HPP). Diisi dengan proyeksi nilai nominal dari laba kotor. Diisi dengan proyeksi nilai nominal dari biaya operasi. Diisi dengan proyeksi nilai nominal dari laba operasi. Diisi dengan proyeksi nilai nominal dari penghasilan lain-lain. Diisi dengan proyeksi nilai nominal dari laba bersih. Diisi dengan proyeksi persen tase dari laba kotor dibandingkan dengan peredaran usaha/ omzet. Diisi dengan proyeksi persen tase dari lab a kotor dibandingkan dengan harga pokok penjualan (HPP). Diisi dengan proyeksi persentase dari laba operasi dibandingkan dengan peredaran usaha/ omzet. Diisi dengan proyeksi persentase dari laba operasi dibandingkan dengan jumlah harga pokok penjualan (HPP) dan biaya operasi. Diisi dengan tanda centang/ contreng (V) pada kotak "Surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses Kesepakatan Harga Transfer". Diisi dengan tanda centang/ contreng (V) pada kotak "Surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer". Diisi dengan tanda centang/ contreng (V) "Dokumen lainnya (sebutkan)" dalam hal melampirkan dokumen lainnya sebagai Kesepakatan Harga Transfer. pada kotak Wajib Pajak kelengkapan Diisi dengan menyebutkan dokumen lain yang dilampirkan sebagai kelengkapan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun permohonan Kesepakatan Harga Transfer disampaikan. Diisi dengan tanda tangan pengurus dan cap Wajib Pajak. Diisi dengan nama lengkap pengurus Wajib Pajak penandatangan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nomor pokok wajib pajak pengurus Wajib Pajak penandatangan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. t www.jdih.kemenkeu.go.id M. CONTOH FORMULIR PROYEKSI ELEMEN LAPORAN KEUANGAN SELAMA PERIODE KESEPAKATAN HARGA TRANSFER YANG MENUNJUKKAN BAHWA USULAN PENENTUAN HARGA TRANSFER TERDAMPAK BENCANA NASIONAL KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK FORMULIR PROYEKSI ELEMEN LAPORAN KEUANGAN SELAMA PERIODE KESEPAKATAN HARGA TRANSFER YANG MENUNJUKKAN BAHWA USULAN PENENTUAN HARGA TRANSFER TERDAMPAK BENCANA NASIONAL Tahun Pajak 20 ... 20 ... 20 ... 20 ... 20 ... No. Uraian Terdampak Penyesuaian Terdampak Penyesuaian Terdampak Penyesuaian Terdampak Penyesuaian Terdampak Penyesuaian Bencana pada Kondisi Bencana pada Kondisi Bencana pada Kondisi Bencana pada Kondisi Bencana pada Kondisi Nasional Normal Nasional Normal Nasional Normal Nasional Normal Nasional Normal (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1. Peredaran U saha 2. Harga Pokok Penjualan (HPP) 3. Laba Kotor 4. Biaya Operasi ' 5. Laba Operasi 6. Penghasilan/ Behan Lain-lain 7. Laba Bersih Rasio Keuangan (%) Laba Kotor /Peredaran Usaha (3:
Laba Kotor/HPP (3:
Laba Operasi/Peredaran Usaha (5:
Laba Operasi/ (HPP+ Biaya Operasi) (5: (4+2)) 1. Penjelasan Penyesuaian pada Kondisi Normal Terkait Peredaran Usaha 2. Penjelasan Penyesuaian pada Kondisi Normal Terkait Harga Pokok Penjualan (HPP) 3. Penjelasan Penyesuaian pada Kondisi Normal Terkait Biaya Operasi 4. Penjelasan Penyesuaian pada Kondisi Normal Terkait Penghasilan/Beban Lain-lain 1 PETUNJUK PENGISIAN CONTOH FORMULIR PROYEKSI ELEMEN LAPORAN KEUANGAN SELAMA PERIODE KESEPAKATAN HARGA TRANSFER YANG MENUNJUKKAN BAHWA USULAN PENENTUAN HARGA TRANSFER TERDAMPAK BENCANA NASIONAL Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-1 Periode Kesepakatan Harga Transfer yang menunjukkan bahwa usulan Penentuan Harga Transfer terdampak bencana nasional (diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-1 Periode Kesepakatan Harga Transfer dengan penyesuaian pada kondisi normal (diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-2 Periode Kesepakatan Harga Transfer yang menunjukkan bahwa usulan Penentuan Harga Transfer terdampak bencana nasional ( diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-2 Periode Kesepakatan Harga Transfer dengan penyesuaian pada kondisi normal (diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-3 Periode Kesepakatan Harga Transfer yang menunjukkan bahwa usulan Penentuan Harga Transfer terdampak bencana nasional (diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-3 Periode Kesepakatan Harga Transfer dengan penyesuaian pada kondisi normal (diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-4 Periode Kesepakatan Harga Transfer yang menunjukkan bahwa usulan Penentuan Harga Transfer terdampak bencana nasional (diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-4 Periode Kesepakatan Harga Transfer dengan penyesuaian pad a kondisi normal ( diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-5 Periode Kesepakatan Harga Transfer yang menunjukkan bahwa usulan Penentuan Harga Transfer terdampak bencana nasional (diisi per kolom). Diisi dengan proyeksi elemen laporan keuangan pada tahun ke-5 Periode Kesepakatan Harga Transfer dengan penyesuaian pada kondisi normal (diisi per kolom). N. INFORMASI DALAM PENJELASAN RINCI TERKAIT DENGAN PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA UNTUK TRANSAKSI AFILIASI YANG DIUSULKAN OLEH WAJIB PAJAK 1. GAMBARAN UMUM WAJIB PAJAK a. Struktur dan bagan kepemilikan Grup Usaha serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota Grup Usaha. b. Daftar pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak dan j enis hubungan istimewa yang dimiliki. c. Uraian mengenai kegiatan usaha, proses bisnis, rantai usaha, pangsa pasar dan kompetitor utama dari Grup Usaha secara umum. d. Uraian mengenai kegiatan usaha, proses bisnis, rantai usaha, pangsa pasar dan kompetitor utama dari Wajib Pajak yang mengajukan Kesepakatan Harga Transfer. e. Struktur organisasi Wajib Pajak yang mengajukan Kesepakatan Harga Transfer yang mencantumkan informasi, berupa nama, jabatan, latar belakang Pendidikan, dan/atau uraian deskripsi pekerjaan sampai denganjenjang setara dengan manajer. f. Struktur organisasi dari Pihak Afiliasi yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak yang mencantumkan informasi, berupa nama, jabatan, latar belakang Pendidikan, dan/atau uraian deskripsi pekerjaan sampai denganjenjang setara dengan manajer. g. Uraian mengenai sistem akuntansi, proses produksi, dan proses pembuatan keputusan Wajib Pajak. h. Penjelasan mengenai proyeksi bisnis dan industri Wajib Pajak untuk tahun pajak yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer. i. Penjelasan mengenai strategi bisnis, rencana bisnis dan proyeksi kinerja keuangan Wajib Pajak untuk tahun p,ajak yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer.
ANALISIS ATAS TRANSAKSI AFILIASI a. Uraian tentang Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer. b. Uraian tentang analisis fungsi, aset dan risiko Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi untuk setiap transaksi yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer. c. Penjelasan terkait dengan Transaksi Afiliasi lain yang dilakukan oleh Wajib Pajak akan tetapi tidak diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer, serta alasan kenapa transaksi tersebut tidak diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer.
PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA UNTUK TRANSAKSI YANG DIUSULKAN UNTUK DICAKUP DALAM KESEPAKATAN HARGA TRANSFER a. Uraian tentang metode Penentuan Harga Transfer yang dipilih serta penjelasannya. b. Uraian tentang pihak yang diuji indikator Harga Transfernya (tested party) dan indikator tingkat laba (profit level indicator) yang dipilih serta penjelasannya. c. Uraian tentang langkah-langkah pemilihan pembanding yang dilakukan, termasuk sumber data, kriteria pencarian dan penyesuaian yang dilakukan untuk mendapatkan pembanding yang diusulkan untuk digunakan dalam Kesepakatan Harga Transfer. d. Uraian tentang asumsi kritis yang diusulkan oleh Wajib Pajak untukdisepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer. e. Uraian tentang mekanisme penyesuaian berupa compensating adjustment yang diusulkan dalam hal harga/laba yang diterima/diperoleh Wajib Pajak tidak sesuai dengan Kesepakatan Harga Transfer.
CONTOH FORMAT NASKAH KESEPAKATAN HARGA TRANSFER KESEPAKATAN HARGA TRANSFER UNILATERAL antara DIREKTUR PERPAJAKAN INTERNASIONAL dan ............................... (1) NOMOR:
.............................. (2) Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor............................ ten tang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, DIREKTUR PERPAJAKAN INTERNASIONAL dan: Nama Wajib Pajak :
.............................. (3) yang selanjutnya disebut WAJIB PAJAK Nomor Pokok Wajib Pajak :
.............................. (4) Alamat :
.............................. (5) telah mencapai kesepakatan untuk membentuk Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dengan ketentuan sebagai berikut:
Tahun Pajak yang Dicakup Kesepakatan Harga Transfer ini berlaku selama Periode Kesepakatan Harga Transfer mulai dari ............................... (6) sampai dengan ............................... (7). Selain periode tersebut di atas, Kesepakatan Harga Transfer ini juga disepakati untuk dapat diberlakukan untuk tahun pajak ••••••••••••••••••••••••••••••• (8).
Transaksi yang Dicakup W AJIB PAJAK adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha ............................... (9). Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer untuk kepentingan penerapan metode Penentuan Harga Transfer (yang diuraikan dalam butir 3) adalah sebagai berikut:
transaksi............................................ . . (10) kepada/dari*) ............................... (11) di ............................... (12);
dst.
Metode Penentuan Harga Transfer yang Disepakati Harga atau laba yang diterima/ diperoleh dari Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam butir 2 harus sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang- Undan tentan Pa·ak Pen hasilan. Dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle), telah disepakati metode Penentuan Harga Transfer sebagai berikut:
untuk transaksi ................................... (13) metode Penentuan Harga Transfer adalah .............................. (14), indikator tingkat laba (profit level indicator/PL!) ............................... (15) dan pihak yang diuji indikator Harga Transfernya ( tested party) W AJIB PAJAK/ ............................... (16)*). Nilai indikator Harga Transfer yang harus dicapai dalam penerapan metode Penentuan Harga Transfer tersebut adalah sebesar...............................(17) untuk tahun pajak ............................... (18);
dst.
Prosedur Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer Dengan memperhatikan asumsi kritis yang disebutkan dalam butir 5/6*), WAJIB PAJAK akan melakukan penyesuaian berupa compensating adjustment pada akhir tahun pajak dalam hal diperlukan untuk menyesuaikan penghasilan kena pajak yang dilaporkan agar sesuai dengan Kesepakatan Harga Transfer dengan ketentuan sebagai berikut:
penyesuaian positif: dalam hal nilai indikator Harga Transfer yang nyata-nyata diterima atau diperoleh WAJIB PAJAK lebih kecil daripada nilai indikator Harga Transfer yang seharusnya diterima atau diperoleh WAJIB PAJAK berdasarkan Kesepakatan Harga Transfer, WAJIB PAJAK wajib melakukan penyesuaian positif untuk mencapai nilai indikator Harga Transfer pada titik kewajaran/titik dalam rentang kewajaran pada kuartil 1/median/kuartil 3*) sesuai yang disepakati dalam butir 3 Kesepakatan Harga Transfer. b. penyesuaian negatif: dalam hal nilai indikator Harga Transfer yang nyata-nyata diterima atau diperoleh WAJIB PAJAK lebih besar daripada nilai indikator Harga Transfer yang seharusnya diterima atau diperoleh WAJIB PAJAK berdasarkan Kesepakatan Harga Transfer, WAJIB PAJAK berhak melakukan penyesuaian negatif untuk mencapai nilai indikator Harga Transfer pada titik kewajaran/titik dalam rentang kewajaran pada kuartil 1 / median/kuartil 3*) sesuai yang disepakati dalam butir 3 Kesepakatan Harga Transfer. c. penyesuaian yang dilakukan harus dicantumkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang dilaporkan selama Periode Kesepakatan Harga Transfer.
Prosedur Pelaksanaan Pemberlakuan Mundur **) WAJIB PAJAK akan melakukan penyesuaian berupa compensating adjustment pada tahun pajak yang dicakup dalam Pemberlakuan Mundur dalam hal diperlukan untuk menyesuaikan penghasilan kena pajak yang telah dilaporkan agar sesuai dengan Kesepakatan Harga Transfer dengan ketentuan sebagai berikut:
' penyesuaian positif: dalam hal nilai indikator Harga Transfer yang nyata-nyata diterima atau diperoleh WAJIB PAJAK lebih kecil daripada nilai indikator Harga Transfer yang seharusnya diterima atau diperoleh WAJIB PAJAK berdasarkan Kesepakatan Harga Transfer, WAJIB PAJAK wajib melakukan penyesuaian positif untuk mencapai nilai indikator Harga Transfer pada titik kewajaran/titik dalam rentang kewajaran pada kuartil 1 / median/kuartil 3*) sesuai yang disepakati dalam butir 3 Kesepakatan Harga Transfer. b. penyesuaian negatif: dalam hal nilai indikator Harga Transfer yang nyata-nyata diterima atau diperoleh WAJIB PAJAK lebih besar daripada nilai indikator Harga Transfer yang seharusnya diterima atau diperoleh WAJIB PAJAK berdasarkan Kesepakatan Harga Transfer, WAJIB PAJAK berhak melakukan penyesuaian negatif untuk mencapai nilai indikator Harga Transfer pada titik kewajaran/titik dalam rentang kewajaran pada kuartil 1/median/kuartil 3*) sesuai yang disepakati dalam butir 3 Kesepakatan Harga Transfer. c. penyesuaian yang dilakukan harus dicantumkan dalam pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang dilaporkan untuk tahun pajak yang dicakup dalam Pemberlakuan Mundur.
Asumsi Kritis Asumsi kritis yang harus terpenuhi dalam pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer ini adalah sebagai berikut:
tidak terdapat perubahan material yang terjadi atas ketentuan kontraktual terkait Transaksi Afiliasi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer;
tidak terdapat perubahan material yang terjadi atas aktivitas bisnis dan fungsi yang dilakukan oleh WAJIB PAJAK dan/atau Pihak Afiliasi yang menjadi lawan transaksi, dengan memperhatikan aktiva yang digunakan dan risiko yang diasumsikan terjadi dan ditanggung oleh para pihak tersebut selama Periode Kesepakatan Harga Transfer;
tidak terdapat perubahan material yang terjadi atas karakteristik transaksi serta karakteristik dari W AJIB PAJAK dan/atau Pihak Afiliasi yang menjadi lawan transaksi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer;
' tidak terdapat perubahan material yang terjadi atas kondisi ekonomi atau peraturan pemerintah yang dapat memengaruhi aktivitas usaha dan Penentuan Harga Transfer dari WAJIB PAJAK dan/atau Pihak Afiliasi yang menjadi lawan transaksi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer;
dst.
Dokumen Penentuan Harga Transfer a. WAJIB PAJAK wajib melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer tersebut dalam menentukan penghasilan kena pajak. b. WAJIB PAJAK wajib mendokumentasikan pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer di dalam Dokumen Penentuan Harga Transfer sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpaiakan yang berlaku. t 8. Peninjauan Kembali/Pembatalan Kesepakatan Harga Transfer Kewenangan untuk meninjau kembali atau membatalkan Kesepakatan Harga Transfer sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor ............................ tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
Kerahasiaan Seluruh informasi dan/atau bukti atau keterangan yang disampaikan oleh WAJIB PAJAK terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer dilindungi kerahasiaannya berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kewajiban Penyimpanan Buku, Catatan, dan Dokumen WAJIB PAJAK harus menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang digunakan sebagai dasar dalam pembentukan Kesepakatan Harga Transfer sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam hal diminta dalam pelaksanaan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer, buku, catatan, dan dokumen tersebut harus diserahkan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal surat permintaan. Kesepakatan Harga Transfer m1 ditandatangani dalam rangkap 2 (dua) dengan menggunakan bahasa Indonesia, dan mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. Ditandatangani di Jakarta pada ............................... (19) DIREKTUR PERPAJAKAN INTERNASIONAL, WAJIB PAJAK, ············ ................... (20) ............................... (21) Keterangan: *) cantumkan hanya keterangan yang sesuai. **) butir dan paragraf yang terkait dengan Pemberlakuan Mundur hanya dicantumkan apabila dalam Kesepakatan Harga Transfer disepakati Pemberlakuan Mundur. PETUNJUK PENGISIAN CONTOH FORMAT NASKAH KESEPAKATAN HARGA TRANSFER Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) Nomor (12) Nomor (13) Nomor (14) Nomor (15) Nomor (16) Nomor (17) Nomor (18) Nomor (19) Nomor (20) Nomor (21) Diisi dengan nama W ajib Pajak dalam negeri yang mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nomor Kesepakatan Harga Transfer Unilateral. Diisi dengan nama Wajib Pajak dalam negeri yang mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan nomor pokok wajib pajak yang mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan alamat domisili Wajib Pajak dalam negeri yang mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan awal Periode Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan akhir Periode Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan tahun-tahun pajak sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer dalam hal disepakati adanya Pemberlakuan Mundur. Diisi dengan uraian umum secara singkat, padat, dan jelas mengenai kegiatan usaha Wajib Pajak. , Diisi dengan jenis Transaksi Afiliasi. Diisi dengan nama Pihak Afiliasi yang menjadi lawan transaksi. Diisi dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tempat Pihak Afiliasi berdomisili. Diisi dengan jenis Transaksi Afiliasi. Diisi dengan metode Penentuan Harga Transfer. Diisi dengan indikator tingkat laba atau profit level indicator (PLI). Bagian ini dapat dikosongkan dalam hal metode yang diusulkan tidak memerlukan PLI. Diisi dengan nama Pihak Afiliasi yang menjadi lawan transaksi. Diisi dengan rentang kewajaran. Diisi dengan Periode Kesepakatan Harga Transfer. Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun ditandatanganinya Kesepakatan Harga Transfer Unilateral. Diisi dengan tanda tangan dan nama pejabat yang menandatangani surat. Diisi dengan tanda tangan dan nama Wajib Pajak/wakil dari Wajib Pajak. P. CONTOH FORMAT SURAT KEPUTUSAN PEMBERLAKUAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER UNILATERAL KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORATJENDERALPAJAK DIREKTORAT PERPAJAKAN INTERNASIONAL SURAT KEPUTUSAN PEMBERLAKUAN KESEPAKATAN HARGATRANSFER NOMOR KEP- ....................... (1) ATAS ....................... (2) NPWP ....................... (3) TAHUN PAJAK ....................... (4) SAMPAI DENGAN ....................... (5) DIREKTUR PERPAJAKAN INTERNASIONAL,
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI YANG DIPENGARUHI HUBUNGAN ISTIMEWA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 2. Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 • tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 3. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 4. Harga Transfer adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Pihak Afiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan istimewa satu sama lain. 6. Transaksi Afiliasi adalah transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan Pihak Afiliasi. 7. Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa adalah transaksi yang meliputi Transaksi Afiliasi dan/atau transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi. 8. Transaksi Independen adalah transaksi yang dilakukan antarpihakyang tidak memiliki hubungan istimewa dan tidak dipengaruhi hubungan istimewa. 9. Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) yang selanjutnya disebut Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. 10. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang Tidak Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa (Ann's Length Principle/ ALP) yang selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan se bagaimana Transaksi Independen. 11. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ a tau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. 12. Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh wajib pajak yang memuat data dan/ a tau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. 13. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 14. Grup Usaha adalah sekumpulan subjek pajak yang menjalankan kegiatan usaha yang terdiri dari pihak- pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 15. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. 16. Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 1 7. Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah otoritas perpajakan pada Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 18. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/ MAP) yang selanjutnya disebut Prosedur Persetujuan Bersama adalah prosedur administratif yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 19. Pejabat Berwenang terkait pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Pejabat Berwenang adalah pejabat di Indonesia atau pejabat di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berwenang untuk melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 20. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh Pejabat Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan Pejabat Berwenang dari pemerintah Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama yang telah dilaksanakan. 21. Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama. 22. Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan yang menjadi wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 23. Pemohon adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Warga Negara Indonesia. 24. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/ APA) yang selanjutnya disebut Kesepakatan Harga Transfer adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak atau Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. 25. Naskah Kesepakatan Harga Transfer adalah dokumen yang berisi kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri mengenai kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer di muka sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha selama periode kesepakatan harga transfer serta pemberlakuan mundur.
Kesepakatan Harga Transfer Unilateral adalah Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri. 27. Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral adalah Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan 1 (satu) atau lebih Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang dilaksanakan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam negeri. 28. Periode Kesepakatan Harga Transfer adalah tahun pajak yang dicakup di dalam Kesepakatan Harga Transfer sesuai permohonan Wajib Pajak dalam negeri atau sesuai Persetujuan Bersama paling lama 5 (lima) tahun pajak setelah tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer. 29. Pemberlakuan Mundur (Roll-back) yang selanjutnya disebut Pemberlakuan Mundur adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer untuk tahun pajak sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer. 30. Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak. BAB II HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 2 (1) Hubungan istimewa merupakan hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam:
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan; dan
Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (2) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu • pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
kepemilikan atau penyertaan modal;
penguasaan; atau
hubungan keluarga sedarah atau semenda. (3) Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dan pihak lainnya se bagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan keadaan satu atau lebih pihak:
mengendalikan pihak yang lain; atau
tidak berdiri bebas, dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. (4) Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap ada dalam hal:
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; atau
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih atau hubungan di antara 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir. (5) Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dianggap ada dalam hal:
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak a tau le bih;
para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu Grup U saha yang sama; atau
satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain. (6) Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. BAB III PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Bagian Kesatu Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Pasal 3 (1) Wajib Pajak wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa. (2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan untuk menentukan Harga Transfer yang wajar. (3) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan dengan membandingkan kondisi dan indikator harga Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dengan kondisi dan indikator harga Transaksi Independen yang sama atau sebanding. (4) Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal nilai indikator Harga Transfer sama dengan nilai indikator harga Transaksi Independen yang sebanding. (5) Indikator harga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa harga transaksi, laba kotor, atau laba operasi bersih berdasarkan nilai absolut atau nilai rasio tertentu. Bagian Kedua Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa Paragraf 1 Pedoman Umum Pasal 4 (1) Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) wajib dilakukan:
berdasarkan keadaan yang se benarnya;
pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau saat terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa; dan
sesuai dengan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. (2) Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (3) Dalam hal terdapat dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain dalam Penentuan Harga Transfer sehingga penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha secara terpisah se bagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan secara andal dan akurat, penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dapat dilakukan dengan menggabungkan dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut. (4) Tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
mengidentifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi;
melakukan analisis industri yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut;
mengidentifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi dengan melakukan analisis atas kondisi transaksi;
melakukan analisis kesebandingan;
menentukan metode Penentuan Harga Transfer; dan
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dan menentukan Harga Transfer yang wajar.
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu harus dilakukan dengan tahapan pendahuluan dan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:
transaksi jasa;
transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
transaksi keuangan terkait pinjaman;
transaksi keuangan lainnya;
transaksi pengalihan harta;
restrukturisasi usaha; dan
kesepakatan kontribusi biaya. Paragraf 2 Identifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi Pasal 5 Identifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
pihak-pihak yang terlibat dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
bentuk hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Paragraf 3 Analisis Industri Pasal 6 (1) Analisis industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b merupakan analisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor berupa:
jenis produk berupa barang atau jasa;
karakteristik industri dan pasar, seperti pertumbuhan pasar, segmentasi pasar, siklus pasar, teknologi, ukuran pasar, prospek pasar, rantai pasokan, dan rantai nilai;
pesaing dan tingkat persaingan usaha;
tingkat efisiensi dan keunggulan lokasi Wajib Pajak;
keadaan ekonomi yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut, seperti tingkat infl.asi, pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan nilai tukar / kurs;
regulasi yang memengaruhi dan/atau menentukan keberhasilan dalam industri; dan
faktor-faktor selain faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri terse but.
Hasil analisis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam mengidentifikasi perbedaan antara kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang diuji dan kondisi transaksi calon pembanding saat melakukan analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d. Paragraf 4 Analisis atas Kondisi Transaksi Pasal 7 (1) Kondisi transaksi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c merupakan karakteristik ekonomi yang relevan, berupa:
keten tuan kon traktual;
fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang di tanggung;
karakteristik produk yang ditransaksikan;
keadaan ekonomi; dan
strategi bisnis yang dijalankan para pihak yang bertransaksi. (2) Ketentuan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan ketentuan yang dilaksanakan dan/atau berlaku bagi para pihak yang bertransaksi sesuai keadaan yang se benarnya, baik secara tertulis atau tidak tertulis. (3) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aktivitas dan/ a tau tanggung jawab pihak- pihak yang bertransaksi dalam menjalankan kegiatan usaha. (4) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aset berwujud, aset tidak berwujud, aset keuangan, dan/atau aset non-keuangan yang berpengaruh dalam pembentukan nilai (value creation), termasuk akses dan tingkat penguasaan pasar di Indonesia. (5) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dampak dari kondisi ketidakpastian dalam mencapai tujuan usaha yang ditanggung pihak-pihak yang bertransaksi. (6) Karakteristik produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan karakteristik spesifik dari barang atau jasa yang ditransaksikan dan secara signifikan memengaruhi penetapan harga dalam pasar terbuka. (7) Keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan kondisi ekonomi dari:
para pihak yang bertransaksi; dan
pasar tempat para pihak bertransaksi. (8) Strategi bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan strategi yang dijalankan perusahaan dalam menjalankan usaha di pasar terbuka. Paragraf 5 Analisis Kesebandingan Pasal 8 (1) Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d dilakukan untuk menentukan kesebandingan antara Transaksi Independen dan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa atas kondisi transaksi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (2) Transaksi Independen sama atau sebanding dengan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sepanJang:
kondisi Transaksi Independen sama atau serupa dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji;
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji, tetapi perbedaan kondisi tersebut tidak memengaruhi penentuan harga; atau
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan perbedaan kondisi tersebut memengaruhi penentuan harga, tetapi penyesuaian yang akurat dapat dilakukan secara memadai terhadap Transaksi lndependen untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi tersebut terhadap penentuan harga. (3) Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
memahami karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sedang diuji berdasarkan hasil identifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c dan menentukan karakteristik usaha masing-masing pihak yang bertransaksi;
mengidentifikasi keberadaan Transaksi Independen yang menjadi calon pembanding yang andal;
menentukan pihak yang diuji indikator harganya dalam hal metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan merupakan metode yang berbasis laba;
mengidentifikasi perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang diuji dan calon pembanding;
melakukan penyesuaian yang akurat secara layak atas calon pembanding untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d terhadap indikator harga transaksi; dan
menentukan Transaksi Independen yang menjadi pembanding terpilih. (4) Pihak yang diuji indikator harganya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pihak dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang memiliki fungsi, aset, dan risiko yang lebih sederhana dengan mempertimbangkan:
penerapan metode Penentuan Harga Transfer; dan
ketersediaan data, yang paling andal dan dapat digunakan. (5) Pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dapat berupa pembanding internal atau pembanding eksternal. (6) Pembanding internal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antara pihak yang independen dan:
Wajib Pajak; atau
Pihak Afiliasi yang merupakan lawan transaksi. (7) Pembanding eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antarpihak yang independen selain pembanding internal. (8) Dalam hal tersedia pembanding internal dan pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding internal yang dipilih dan digunakan sebagai pembanding. (9) Dalam hal tersedia lebih dari satu pembanding eksternal dengan tingkat kese bandingan dan keandalan yang sama, pembanding eksternal yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak yang diuji, dipilih dan digunakan sebagai pembanding. Paragraf 6 Metode Penentuan Harga Transfer Pasal 9 (1) Metode Penentuan Harga Transfer dalam tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf e dapat berupa:
metode perbandingan harga antarpihak yang independen ( _comparable uncontrolled price method); _ b. metode harga penjualan kembali (resale price _method); _ c. metode biaya-plus (cost plus _method); _ atau d. metode lainnya, seperti:
metode pembagian laba _(profit split method); _ 2. metode laba bersih transaksional ( transactional net _margin method); _ 3. metode perbandingan transaksi independen ( _comparable uncontrolled transaction method); _ 4. metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset _valuation); _ a tau 5. metode dalam penilaian bisnis ( business valuation). (2) Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih berdasarkan ketepatan dan keandalan metode, yang dinilai dari:
kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi;
kelebihan dan kekurangan setiap metode yang dapat diterapkan;
ketersediaan Transaksi Independen yang menjadi pembanding yang andal;
tingkat kesebandingan antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding; dan
keakuratan penyesuaian yang dibuat dalam hal terdapat perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding. (3) Metode perbandingan harga antarpihak yang independen ( comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai un tuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagai berikut:
transaksi produk komoditas; dan
transaksi barang atau jasa dengan karakteristik barang atau jasa yang sama atau serupa dengan karakteristik barang atau jasa pada Transaksi Independen dalam kondisi yang sebanding. (4) Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan distributor atau reseller yang melakukan penjualan kembali barang atau jasa kepada pihak yang independen atau kepada Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;dan b. distributor atau reseller sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan, tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, atau tidak memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap barang atau jasa yang ditransaksikan. (5) Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan pabrikan atau penyedia jasa yang membeli bahan baku dan/atau faktor produksi lainnya dari pihak yang independen atau dari Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;dan b. pabrikan atau penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan dan tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (6) Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan oleh para pihak yang memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang sangat terintegrasi (highly integrated) sehingga kontribusi masing- masing pihak yang bertransaksi tidak dapat dilakukan analisis secara terpisah; dan
para pihak yang bertransaksi saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi (share the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately assume closely related risks). (7) Metode laba bersih transaksional ( transactional net margin method) se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 2 dapat dipilih sepanjang pembanding yang andal dan sebanding di tingkat harga dan laba kotor tidak tersedia dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan oleh salah satu pihak atau para pihak yang tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang tidak terintegrasi _(non-highly integrated); _ dan c. para pihak yang bertransaksi tidak saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi ( not sharing of the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah tidak menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately not assuming closely related risks). (8) Metode perbandingan Transaksi Independen ( comparable uncontrolled transaction method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 3 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang secara komersial dinilai berdasarkan basis tertentu, berupa tingkat suku bunga, diskonto, provisi, komisi, dan persentase royalti terhadap penjualan atau laba operasi. (9) Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 4 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa berupa:
transaksi pengalihan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud;
transaksi penyewaan harta berwujud;
transaksi sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
transaksi pengalihan aset keuangan;
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan wilayah pertambangan dan/atau hak sejenis lainnya; dan
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan perkebunan, kehutanan, dan/atau hak sej enis lainnya. (10) Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa berupa:
transaksi sehubungan dengan restrukturisasi usaha, termasuk pengalihan fungsi, aset, dan/atau risiko antar-Pihak Afiliasi;
transaksi pengalihan harta selain kas kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal _(inbreng); _ dan c. transaksi pengalihan harta selain kas kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dari perseroan, persekutuan, atau badan lainnya. (11) Kontribusi yang unik dan bernilai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a merupakan kontribusi yang:
lebih signifikan dari kontribusi yang diberikan oleh pihak yang independen dalam kondisi yang sebanding; dan
menjadi sumber utama manfaat ekonomi aktual atau potensial dalam kegiatan usaha. (12) Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau ayat (1) huruf d angka 3 dan metode yang lain dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau ayat (1) huruf d angka 3 lebih diutamakan daripada metode yang lain. (13) Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (1) huruf c, ayat (1) huruf d angka 1, dan ayat (1) huruf d angka 2 dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ayat (1) huruf c lebih diutamakan daripada metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 dan ayat (1) huruf d angka 2. Paragraf 7 Penerapan Metode Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer yang Wajar Pasal 10 (1) Metode perbandingan harga antarpihak yang independen (comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dilakukan dengan membandingkan harga antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan Transaksi Independen. (2) Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengurangkan laba kotor yang wajar untuk distributor atau reseller terhadap harga jual kembali. (3) Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar pabrikan atau penyedia jasa terhadap harga pokok penjualan barang atau jasa. (4) Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 1 dilakukan dengan membagi laba gabungan transaksi yang relevan berdasarkan fungsi, aset, risiko, dan/atau kontribusi para pihak di dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (5) Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) se bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 2 dilakukan dengan membandingkan tingkat laba operasi bersih pihak yang diuji dengan tingkat laba operasi bersih pembanding. (6) Metode perbandingan Transaksi lndependen (comparable uncontrolled transaction) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 3 dilakukan dengan membandingkan harga atau laba transaksi terhadap basis tertentu antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen. (7) Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 4 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian untuk tujuan perpajakan. (8) Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 5 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian untuk tujuan perpajakan. Pasal 11 (1) Pembagian laba gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dapat dilakukan di tingkat laba kotor atau laba operasi bersih. (2) Tingkat laba gabungan yang dibagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh tingkat integrasi fungsi, penggunaan aset, dan/atau pembagian risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi dari para pihak yang bertransaksi dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (3) Laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibagi dengan menggunakan:
pendekatan berbasis kontribusi (contribution _analysis); _ atau b. pendekatan berbasis laba residu (residual analysis). (4) Pendekatan berbasis kontribusi (contribution analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan membagi laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan faktor pembagi. (5) Pendekatan berbasis laba residu (residual analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan memisahkan laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi:
laba yang berasal dari kontribusi masing-masing pihak yang bertransaksi yang dapat diperoleh secara andal pembandingnya dalam Transaksi Independen; dan
sisa laba gabungan setelah dikurangi laba sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yang dapat bernilai positif ataupun negatif. (6) Sisa laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dibagi berdasarkan faktor pembagi. (7) Faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dapat berupa:
persentase pembagian laba oleh pihak-pihak dalam Transaksi Independen yang se banding; a tau b. nilai relatif atau persentase kontribusi para pihak yang bertransaksi dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, dalam hal data sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak tersedia. (8) Faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
terbebas dari Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
dapat diverifikasi; dan
didukung oleh data pembanding atau data internal pihak-pihak yang bertransaksi dan/atau data lainnya yang relevan. Pasal 12 (1) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dapat berupa:
titik kewajaran (ann's length _point); _ atau b. titik di dalam rentang kewajaran (ann's length range). (2) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk berdasarkan data pembanding tahun tunggal (single year). (3) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk berdasarkan data pembanding tahun jamak (multiple year) sepanjang dapat meningkatkan kesebandingan. (4) Data pembanding tahun tunggal (single year) atau tahun jamak (multiple year) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan data yang tersedia dan paling mendekati pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (5) Titik kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan titik indikator harga yang terbentuk dari satu atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang sama. (6) Rentang kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan rentang indikator harga yang terbentuk dari dua atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang berbeda, berupa:
nilai minimum sampai dengan nilai maksimum (full range), dalam hal terbentuk dari dua pembanding; atau
nilai kuartil satu sampai dengan nilai kuartil tiga (interquartile range), dalam hal terbentuk dari tiga atau lebih pembanding. (7) Dalam hal Harga Transfer tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Penentuan Harga Transfer dilakukan sebagaimana penentuan harga dalam Transaksi Independen dengan menggunakan:
titik kewajaran;
titik yang paling tepat di dalam rentang kewajaran sesuai kesebandingannya; atau
titik tengah (median) di dalam rentang kewajaran, dalam hal tidak dapat ditentukan titik paling tepat sebagaimana dimaksud dalam huruf b. Paragraf 8 Tahapan Pendahuluan Pasal 13 (1) Tahapan pendahuluan untuk transaksi jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf a meliputi pembuktian bahwa jasa terse but:
secara nyata telah diberikan oleh pemberi jasa dan diperoleh penerima jasa;
dibutuhkan oleh penerima jasa;
memberikan manfaat ekonomis kepada penenma jasa;
bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham atau jenis kepemilikan lainnya yang modalnya tidak terbagi atas saham (shareholder _activity); _ e. bukan merupakan aktivitas yang memberikan manfaat kepada suatu pihak semata-mata karena pihak tersebut menjadi bagian dari Grup Usaha (passive _association); _ f. bukan merupakan duplikasi atas kegiatan yang telah dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;
bukan merupakan jasa yang memberi manfaat insidental; dan
dalam hal j asa siaga ( on-call services), bukan merupakan jasa yang dapat diperoleh segera dari pihak yang independen tanpa adanya perjanjian siaga (on-call contract) terlebih dahulu.
Biaya sehubungan dengan transaksi jasa yang tidak memenuhi pembuktian bahwa jasa tersebut bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham atau jenis kepemilikan lainnya yang modalnya tidak terbagi atas saham (shareholder activity) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa:
biayajasa terkait administrasi entitas induk, seperti biaya sehubungan rapat pemegang saham entitas induk, biaya jasa sehubungan penerbitan saham entitas induk, biaya jasa sehubungan pencatatan saham entitas induk di bursa efek, dan biaya jasa sehubungan dengan terkait pengurus entitas induk;
biaya jasa terkait kewajiban pelaporan entitas induk, termasuk biaya jasa penyusunan laporan keuangan, biaya jasa penyusunan laporan audit, dan biaya jasa penyusunan laporan keuangan konsolidasi entitas induk;
biaya jasa terkait perolehan dana atau modal yang digunakan untuk pengambilalihan kepemilikan oleh entitas induk;
biayajasa terkait kepatuhan entitas induk terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;
biaya jasa terkait perlindungan kepemilikan modal entitas induk pada perusahaan anak; dan
biaya jasa terkait tata kelola Grup Usaha secara keseluruhan. (3) Tahapan pendahuluan untuk transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf b meliputi pembuktian atas:
keberadaan (eksistensi) harta tidak berwujud;
jenis harta tidak berwujud;
nilai harta tidak berwujud;
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara legal;
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara ekonomis;
penggunaan atau hak untuk menggunakan harta tidak berwujud;
pihak-pihak yang berkontribusi dan melakukan aktivitas pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, proteksi, dan eksploitasi ( development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation) atas harta tidak berwujud; dan
manfaat ekonomis yang diperoleh pihak yang menggunakan harta tidak berwujud. (4) Tahapan pendahuluan untuk transaksi keuangan terkait pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf c meliputi pembuktian bahwa pinjaman terse but:
sesuai dengan substansi dan keadaan sebenarnya;
dibutuhkan oleh peminjam;
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesua1 ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan;
memenuhi karakteristik pinjaman, minimal berupa:
kreditur mengakui pinjaman secara ekonomis dan secara legal;
adanya tanggal jatuh tempo pinjaman;
adanya kewajiban untuk membayar kembali pokok pinjaman;
adanya pembayaran sesuai jadwal pembayaran yang telah ditetapkan baik untuk pokok pinjaman dan imbal hasilnya;
pada saat pmJaman diperoleh, pemmJam memiliki kemampuan untuk: a) mendapatkan pmJaman dari kreditur independen; dan b) membayar kembali pokok pinjaman dan imbal hasil pinjaman sebagaimana debitur independen;
didasarkan pada perjanjian pinjaman yang dibuat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
adanya konsekuensi hukum apabila peminjam gagal dalam mengembalikan pokok pmJaman dan/atau imbal hasilnya; dan
adanya hak tagih bagi pemberi pinjaman sebagaimana kreditur independen; dan
memberikan manfaat ekonomis kepada penerima pmJaman. (5) Tahapan pendahuluan untuk transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf d meliputi pembuktian atas:
kesesuaian transaksi keuangan lainnya dengan substansi dan keadaan yang sebenarnya;
jenis transaksi keuangan lainnya;
pengakuan secara ekonomis dan secara legal oleh para pihak yang melakukan transaksi keuangan lainnya;
motif, tujuan, dan alasan ekonomis (economic rationale) transaksi keuangan lainnya; dan
manfaat yang diharapkan (expected benefit) dari transaksi keuangan lainnya. (6) Tahapan pendahuluan untuk transaksi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf e meliputi pembuktian atas:
motif, tujuan, dan alasan ekonomis ( economic rationale) transaksi pengalihan harta;
pengalihan harta sesuai dengan substansi dan keadaan yang se benarnya;
manfaat yang diharapkan ( expected benefit) dari pengalihan harta; dan
pengalihan harta tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia. (7) Tahapan pendahuluan untuk restrukturisasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf f meliputi pembuktian atas:
motif, tujuan, dan alasan ekonomis ( economic rationale) dari restrukturisasi usaha;
restrukturisasi usaha sesuai dengan substansi dan keadaan yang se benarnya;
manfaat yang diharapkan ( expected benefit) dari restrukturisasi usaha; dan
restrukturisasi usaha tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia. (8) Tahapan pendahuluan untuk kesepakatan kontribusi biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf g meliputi pembuktian bahwa kesepakatan kontribusi biaya tersebut:
dibuat sebagaimana kesepakatan antarpihak yang in depend en;
dibutuhkan oleh pihak yang melakukan kesepakatan; dan
memberikan manfaat ekonomis kepada pihak yang melakukan kesepakatan. (9) Tahapan pendahuluan meliputi pembuktian atas manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ayat (3) huruf h, ayat (4) huruf e, ayat (5) huruf e, ayat (6) huruf c, ayat (7) huruf c, ayat (8) huruf c berupa peningkatan penjualan, penurunan biaya, perlindungan atas posisi komersial, atau pemenuhan kebutuhan kegiatan komersial lainnya termasuk untuk kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Pasal 14 Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). Bagian Ketiga Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa atas Wajib Pajak Dalam Negeri yang Memenuhi Ketentuan Sebagai Bentuk Usaha Tetap Pasal 15 (1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan bentuk usaha tetap, Wajib Pajak dalam negeri tersebut juga ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap. (2) Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri yang terkait dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap.
Penyampaian seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan dalam menentukan nilai transaksi bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal bentuk usaha tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai transaksi ditentukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. (6) Pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang sebelumnya telah dilaksanakan Wajib Pajak dalam negeri diperhitungkan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. BAB IV DOKUMENTASI PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Pasal 16 (1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyelenggarakan dan menyimpan dokumen yang memuat data dan/ a tau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (2) Dokumen yang memuat data dan/atau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Dokumen Penentuan Harga Transfer yang terdiri atas:
dokumen induk;
dokumen lokal; dan
laporan per negara. (3) Wajib Pajak yang melakukan Transaksi Afiliasi dengan:
nilai peredaran bruto tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak lebih dari RpS0.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
nilai Transaksi Afiliasi tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak:
lebih dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang berwujud; atau
lebih dari RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau
Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif pajak penghasilan lebih rendah daripada tarif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pajak penghasilan, wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (4) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk dari suatu Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto konsolidasi paling sedikit Rpl l.000.000.000.000,00 (sebelas triliun rupiah) pada tahun pajak sebelum tahun pajak yang dilaporkan wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (5) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai entitas konstituen dan entitas induk dari Grup Usaha merupakan subjek pajak luar negeri, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sepanjang negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili:
tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara;
tidak memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan; atau
memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak dapat diperoleh Pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut. (6) Batasan nilai peredaran bruto dan nilai Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan cara disetahunkan dalam hal tahun pajak diperolehnya peredaran bruto dan/atau dilakukannya Transaksi Afiliasi meliputijangka waktu kurang dari 12 (dua belas) bulan. (7) Dalam hal Wajib Pajak memiliki Transaksi Afiliasi namun tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau ayat (5), Wajib Pajak tetap diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (8) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah, batasan nilai uang dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) setara dengan nilai mata uang selain rupiah berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk penghitungan pajak pada akhir tahun pajak. (9) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) merupakan penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. (10) Contoh penentuan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 17 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b, wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan Transaksi Afiliasi. (2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak. Pasal 18 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. (2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus tersedia paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak. (3) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan surat pernyataan mengenai saat tersedianya Dokumen Penentuan Harga Transfer terse but yang ditandatangani oleh pihak yang menyediakan Dokumen Penentuan Harga Transfer. Pasal 19 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dibuat ikhtisar. (2) Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan sebagai lampiran surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan tahun pajak yang bersangku tan. (3) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c wajib disampaikan sebagai lampiran surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan tahun pajak berikutnya. (4) Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 20 (1) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) merupakan entitas yang:
memiliki secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha;
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dan/atau berdasarkan ketentuan yang mengikat emiten bursa efek di Indonesia; dan
tidak dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain dalam Grup Usaha atau dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain, tetapi entitas konstituen lain tersebut tidak diwajibkan mengonsolidasi laporan keuangan entitas induk dimaksud. (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan menunjuk entitas konstituen lainnya untuk menggantikannya dalam memenuhi kewajiban penyampaian laporan per negara, baik di Indonesia maupun di negara atau yurisdiksi lainnya. Pasal 21 (1) Entitas konstituen sebagaimana dimaksud dalam 16 ayat (5) merupakan:
setiap entitas usaha terpisah yang ·merupakan anggota Grup U saha multinasional dan dimasukkan dalam laporan keuangan konsolidasi entitas induk untuk keperluan pelaporan keuangan;
setiap entitas usaha yang merupakan anggota Grup U saha multinasional yang tidak dimasukkan dalam laporan keuangan konsolidasi semata-mata karena pertimbangan ukuran usaha atau materialitas; dan/atau
setiap bentuk usaha tetap dari entitas usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b sepanjang bentuk usaha tetap tersebut memiliki laporan keuangan yang terpisah untuk keperluan pelaporan keuangan, pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, pelaporan pajak, atau untuk tujuan pengendalian manajemen perusahaan. (2) Dalam hal entitas induk dari Grup Usaha yang merupakan subjek pajak luar negeri telah menunjuk entitas konstituen lainnya di luar negeri sebagai pengganti entitas induk, Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) tidak diwajibkan menyampaikan laporan per negara sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak dalam negeri menyampaikan pemberitahuan mengenai entitas konstituen lainnya yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
negara atau yurisdiksi tempat entitas konstituen lainnya yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk tersebut berdomisili:
mewajibkan penyampaian laporan per negara; dan
memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement) serta laporan per negara dapat diperoleh Pemerintah Indonesia dari negara mitra atau yurisdiksi mitra dimaksud. (3) Entitas konstituen yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu-satunya entitas konstituen yang ditunjuk untuk menggantikan entitas induk tersebut dalam menyampaikan laporan per negara kepada otoritas pajak di negara atau yurisdiksi tempat anggota Grup Usaha yang ditunjuk dimaksud berdomisili. (4) Dalam hal terdapat lebih dari satu Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas konstituen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri dapat menunjuk salah satu entitas konstituen yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri untuk menyampaikan laporan per negara ke Direktorat Jenderal Pajak. Pasal 22 (1) Entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) merupakan entitas yang:
memiliki secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha multinasional;
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan atau ketentuan yang berlaku di negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili;
tidak dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain dalam Grup Usaha multinasional atau dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain, tetapi entitas konstituen lain tersebut tidak diwajibkan mengonsolidasi laporan keuangan entitas induk dimaksud; dan
memiliki peredaran bruto konsolidasi pada tahun pajak sebelum tahun pajak yang dilaporkan paling sedikit:
setara dengan €750,000,000.00 (tujuh ratus lima puluh juta euro) berdasarkan nilai tukar mata uang fungsional entitas induk dimaksud dalam hal negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara; atau
sebesar batasan peredaran bruto konsolidasi yang menjadi dasar penentuan kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana diatur di negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili. (2) Negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili yang tidak memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) huruf b merupakan negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili yang memiliki perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan dengan Pemerintah Indonesia tetapi tidak memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement). (3) Kondisi laporan per negara tidak dapat diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) huruf c disebabkan oleh tidak dapat diperolehnya laporan per negara melalui pertukaran informasi secara otomatis karena:
adanya penundaan pertukaran laporan per negara secara otomatis karena hal-hal selain yang diatur dalam persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent _authority agreement); _ atau b. terj a din ya kegagalan secara berulang un tuk mempertukarkan laporan per negara secara otomatis dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. (4) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) harus menyampaikan laporan per negara dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diumumkannya daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra yang laporan per negaranya tidak dapat diperoleh. (5) Dalam hal laporan per negara tidak disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak melalui pejabat berwenang yang membidangi pertukaran informasi berwenang meminta Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) untuk menyampaikan laporan per negara. Pasal 23 (1) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan anggota Grup Usaha atau yang memiliki Transaksi Afiliasi yang tercakup dalam laporan per negara wajib menyampaikan notifikasi ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak. (2) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewajiban penyampaian laporan per negara se bagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan ayat (5), Wajib Pajak dimaksud wajib menyampaikan laporan per negara bersamaan dengan penyampaian notifikasi ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak. (3) Laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dilampiri kertas kerja laporan per negara. (4) N otifikasi se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan per negara se bagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam batas waktu paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak. (5) Terhadap penyampaian notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan tanda terima. (6) Tanda terima penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan sebagai pengganti laporan per negara, yang harus dilampirkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3). (7) Dalam hal terdapat kesalahan dalam penyampaian laporan per negara, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak mengenai kesalahan dalam penyampaian laporan per negara. (8) Atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau atas kemauan sendiri, Wajib Pajak dapat menyampaikan pembetulan laporan per negara dengan menyampaikan kembali laporan per negara yang telah dibetulkan. Pasal 24 (1) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) berisi pernyataan mengenai:
identifikasi Wajib Pajak dalam negen yang merupakan entitas induk;
identifikasi Wajib Pajak dalam negeri yang bukan merupakan entitas induk; dan
pernyataan kewajiban penyampaian laporan per negara. (2) Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 25 (1) Laporan per negara yang disampaikan oleh:
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak Wajib Pajak dimaksud; atau
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri. (2) Laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diselenggarakan melalui pembentukan kertas kerja laporan per negara dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan ekstensi extensible markup language (xml). Pasal 26 (1) Direktur Jenderal Pajak melakukan pertukaran laporan per negara secara otomatis dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement). (2) Pelaksanaan pertukaran laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat berwenang yang membidangi pertukaran informasi. Pasal 27 Dalam rangka pelaksanaan kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Direktur Jenderal Pajak mengumumkan daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memiliki:
perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan;
persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi _(qualifying competent authority agreement); _ dan c. persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement) tetapi laporan per negara tidak dapat diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak pada setiap akhir tahun atau setiap terjadi perubahan daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c. Pasal 28 Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 23 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 29 (1) Dokumen induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a harus memuat informasi mengenai Grup Usaha paling sedikit sebagai berikut:
struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota;
kegiatan usaha yang dilakukan;
harta tidak berwujud yang dimiliki;
aktivitas keuangan dan pembiayaan; dan
laporan keuangan konsolidasi entitas induk dan informasi perpajakan terkait Transaksi Afiliasi.
Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b harus memuat informasi mengenai Wajib Pajak paling sedikit sebagai berikut:
identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan;
informasi Transaksi Afiliasi dan Transaksi Independen yang dilakukan;
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
informasi keuangan; dan
peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian/fakta-fakta non-keuangan yang memengaruhi pem bentukan harga atau tingkat laba. (2) Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu kegiatan usaha dengan karakterisasi usaha yang berbeda, dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disajikan secara tersegmentasi sesua1 dengan karakterisasi usaha yang dimiliki. Pasal 31 (1) Laporan per negara se bagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus memuat informasi sebagai berikut:
alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi, penghasilan bruto, laba (rugi) sebelum pajak, pajak penghasilan yang telah dipotong, dipungut, atau dibayar sendiri, pajak penghasilan terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas; dan
daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi. (2) Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan hanya dalam rangka penilaian risiko penghindaran pajak. (5) Sebelum menyusun laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyusun kertas kerja laporan per negara. (6) Kertas kerja laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 32 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dibuat oleh Wajib Pajak dalam bahasa Indonesia. (2) Wajib Pajak dapat membuat Dokumen Penentuan Harga Transfer dalam bahasa asing setelah mendapat 1zm Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah. (3) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dokumen Penentuan Harga Transfer dibuat sesuai dengan bahasa asing yang tercan tum dalam izin penyelenggaraan pembukuan dimaksud dan disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pasal 33 Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c diterima dan dikelola secara khusus oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 34 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan permintaan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b. (2) Wajib Pajak wajib menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer paling lama 1 (satu) bulan sejak disampaikan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengawasan kepatuhan dan Pemeriksaan. (3) Wajib Pajak menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer sehubungan dengan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan selain dalam rangka pengawasan kepatuhan dan Pemeriksaan. Pasal 35 Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. BABV PENGUJIAN KEPATUHAN PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Pasal 36 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/ a tau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak melalui pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (2) Pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengujian atas:
pemenuhan ketentuan penyelenggaraan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3); dan
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Terhadap Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan menelusuri kebenaran Dokumen Penentuan Harga Transfer dibandingkan dengan keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak. (4) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan menelusuri keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak. (5) Dalam hal berdasarkan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa:
Wajib Pajak tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3);
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang dilakukan Wajib Pajak tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
Harga Transfer yang ditentukan Wajib Pajak tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/ a tau pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan:
menentukan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak; dan
mempertimbangkan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Wajib Pajak yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pas al 3. Pasal 37 (1) Dalam hal pada saat:
Direktur Jenderal Pajak menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5); atau
Wajib Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditemukan selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, selisih tersebut merupakan pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen. (2) Pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (3) Pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pajak penghasilan pada saat:
dibayarkannya penghasilan tersebut;
disediakan untuk dibayarkannya penghasilan tersebut; atau
jatuh temponya pembayaran penghasilan tersebut, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dalam hal:
terjadi penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
Wajib Pajak menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6). (5) Penambahan dan/ a tau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana ayat (4) huruf a dilakukan sebelum terbitnya surat ketetapan pajak. Pasal 38 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) berlaku untuk:
transaksi dalam bentuk transaksi lintas batas negara maupun transaksi dalam negeri; dan
seluruh bentuk hubungan istimewa. (2) Terhadap pengenaan pajak penghasilan atas pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dapat memperoleh manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Pasal 39 (1) Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagai dasar untuk menghitung pajak pertambahan nilai yang terutang. (2) Penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam hal hargajual atau penggantian tersebut lebih rendah dari harga pasar wajar. (3) Penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dalam hal terdapat Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) yang dapat dialokasikan pada setiap transaksi penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. (4) Penyesuaian terhadap harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada pengusaha kena pajak penjual atau penyedia jasa tidak mengakibatkan penyesuaian pajak masukan bagi pengusaha kena pajak pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak. (5) Pengusaha kena pajak pembeli barang kena pajak atau penerimajasa kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dapat mengkreditkan pajak pertambahan nilai yang tercantum dalam faktur pajak yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/ a tau penyerahan jasa kena pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan pajak masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak pertambahan nilai. BAB VI PENYESUAIAN KETERKAITAN Pasal 40 (1) Dalam hal terdapat:
Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Pemeriksaan; atau
koreksi Penentuan Harga Transfer oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atas subjek pajak luar negeri, yang menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi dapat melakukan penyesuaian keterkaitan. (2) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyesuaian materi Penentuan Harga Transfer dalam penghitungan penghasilan kena pajak Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi:
Wajib Pajak dalam negeri yang dilakukan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
subjek pajak luar negeri yang dilakukan koreksi Penentuan Harga Transfer oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang dilakukan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6):
menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
tidak mengajukan upaya hukum terkait surat ketetapan pajak, atas materi Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak terkait Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. (4) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan:
pembetulan surat pemberitahuan tahunan dengan memperhitungkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak dalam negeri se bagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dilakukan Pemeriksaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi;
penerbitan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan Pemeriksaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi; atau
pembetulan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah diterbitkan surat ketetapan pajak dan tidak mengajukan upaya hukum atas materi penyesuaian keterkaitan serta ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi. (5) Pembetulan surat pemberitahuan tahunan, penerbitan surat ketetapan pajak, dan pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. (6) Pembetulan surat pemberitahuan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan disertai pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai informasi Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (7) Penyesuaian keterkaitan melalui penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6); atau
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan sesuai informasi Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak. (8) Penyesuaian keterkaitan melalui pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak. (9) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c didahului dengan pemberitahuan secara tertulis Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai informasi Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (10) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (9) serta pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
secara elektronik. (11) Penyampaian pemberitahuan secara tertulis dan pengungkapan ketidakbenaran peng1s1an surat pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
Tata cara penyampaian pemberitahuan secara tertulis dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (13) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui Prosedur Persetujuan Bersama. BAB VII PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA Bagian Kesatu Pengajuan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 41 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. (3) Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan permin taan:
Wajib Pajak dalam negeri;
Warga Negara Indonesia;
Direktur Jenderal Pajak; atau
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda melalui Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Pejabat Berwenang Indonesia dalam rangka penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (13). (5) Selain penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf ajuga dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal terjadi perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas:
pengenaan pajak oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mengakibatkan terjadinya pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh:
koreksi Penentuan Harga Transfer;
koreksi terkait keberadaan dan/atau laba bentuk usaha tetap; dan/atau
koreksi objek pajak penghasilan lainnya;
pengenaan pajak termasuk pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
penentuan status sebagai subjek pajak dalam negeri oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
diskriminasi perfakuan perpajakan di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan/atau
penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (7) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan atas segala bentuk perlakuan diskriminatif di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengena1 nondiskriminasi se bagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (8) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat diajukan dalam rangka:
menindaklanjuti usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri; dan/atau
menindaklanjuti permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer. (9) U sulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a dapat diajukan dalam hal menurut Wajib Pajak dalam negeri terjadi perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (10) Perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdiri atas:
pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6); dan/atau
perbedaan penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (11) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negen untuk mengajukan:
permohonan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan banding sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
permohonan penmJauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak. (12) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menunda:
kewajiban membayar pajak yang terutang;
pelaksanaan penagihan pajak; dan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. Pasal 42 (1) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
mengemukakan ketidaksesuaian penerapan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Pemohon;
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau paling lambat 3 (tiga) tahun dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, terhitung sejak:
tanggal surat ketetapan pajak;
tanggal bukti pembayaran, pemotongan, atau pemungutan pajak penghasilan; atau
saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
ditandatangani oleh Pemohon atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
dilampiri dengan:
surat keterangan domisili atau dokumen lain yang berisi identitas wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (6) huruf a dan huruf b;
daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon yang menunjukkan bahwa perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau perlakuan diskriminatif di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (6) dan Pasal 41 ayat (7); dan/atau
surat pernyataan yang menyatakan kesediaan Pemohon untuk menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 2 secara lengkap dan tepat waktu. (2) Usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
mengemukakan perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Wajib Pajak dalam negeri;
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau paling lambat 3 (tiga) tahun dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, terhitung sejak saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam negeri atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
dilampiri dengan bukti yang menunjukkan terjadinya perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d, dan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui:
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak dalam negeri terdaftar, dalam hal Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri; atau
Direktorat Perpajakan lnternasional, dalam hal:
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Warga Negara Indonesia;
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; atau
usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a oleh Wajib Pajak dalam negeri. (5) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d, serta usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a dapat diajukan:
secara langsung; atau
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat. (6) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf b dan huruf d, serta usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a juga dapat diajukan melalui pos elektronik. (7) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a juga dapat diajukan secara elektronik. (8) Pengajuan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (9) Tata cara pengajuan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
Surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf I. 1., untuk Pemohon Wajib Pajak dalam negeri; atau
Lampiran huruf I.2., untuk Pemohon Warga Negara Indonesia, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (11) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 3 dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf 1.3. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) (3) Bagian Kedua Penanganan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 43 Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d; dan
usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a. Penelitian terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan atas:
kelengkapan pemenuhan persyaratan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) atau ayat (3); dan
kesesuaian materi yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dengan perlakuan perpajakan yang dapat 'diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d, ayat (6), atau ayat (7), untuk menentukan dapat atau tidaknya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama ditindaklanjuti. Penelitian terhadap usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan atas:
kelengkapan pemenuhan persyaratan usulan permintaan pelaksanaan Persetujuan Bersama sebagaimana dalam Pasal 42 ayat (2); dan pengajuan Prosedur dimaksud b. kesesuaian materi yang diajukan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dengan perlakuan perpajakan yang dapat diajukan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (9), untuk menentukan dapat atau tidaknya usulan ditindaklanjuti men jadi permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Pemohon bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pemohon yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau tidak memenuhi kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (5) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak dalam negeri bahwa usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak dalam negeri yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/ a tau tidak memenuhi kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (7) Dalam hal batas waktu se bagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pem beritahuan tertulis, permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dianggap dapat ditindaklanjuti dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) terlampaui. (8) Dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (6) huruf a tidak mendapatkan jawaban tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dalam batas waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak disampaikan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak dapat ditindaklanjuti; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dicabut. (9) Atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, Pemohon dapat mengajukan kembali permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan kembali usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sepanjang batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c atau Pasal 42 ayat (2) huruf c belum terlampaui. Pasal 44 (1) Dalam hal permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a, Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang tercan tum dalam daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e angka 2 kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktorat Perpajakan Internasional. (2) Penyampaian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy). (3) Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) bulan setelah:
tanggal diterbitkannya pemberitahuan tertulis bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a; atau
terlampauinya batas waktu 1 (satu) bulan sehingga permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (7). (4) Informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
melalui pos elektronik. Pasal 45 (1) Dalam rangka pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak melakukan perundingan dengan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan korespondensi, pengujian material, dan pertemuan Pejabat Berwenang dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak:
diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d; atau
diajukannya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda se bagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a dan Pasal 43 ayat (6) huruf a. (4) Jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 24 (dua puluh empat) bulan untuk setiap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (5) Perpanjangan jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sebelum j angka waktu perundingan berakhir dalam hal telah dihasilkan kesepakatan awal yang termuat dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lainnya mengenai:
keberadaan transaksi, pemilihan pendekatan analisis transaksi, pemilihan pihak yang diuji, pemilihan metode Penentuan Harga Transfer, dan pemilihan indikator harga atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama terkait koreksi Penentuan Harga Transfer atau terkait Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral; atau
penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (6) Perpanjangan jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lain dalam periode 6 ( enam) bulan se belum berakhirnya jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 46 (1) Dalam rangka pengujian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e angka 2 atau Pasal 42 ayat (2) huruf e kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan / a tau 3. pihak terkait lainnya;
melakukan pembahasan dengan Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d, dan/atau pihak terkait lainnya;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Pemohon dan/atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d;
melakukan pertukaran informasi perpajakan dalam rangka Prosedur Persetujuan Bersama kepada Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan / a tau e. melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dan/atau penilaian dalam rangka Prosedur Persetujuan Bersama untuk mendapatkan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Pemohon dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d wajib:
memberikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat meminta informasi dan/ a tau bukti atau keterangan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (4) Permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diajukan melalui:
prosedur pertukaran informasi berdasarkan permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan; dan / a tau b. permintaan secara langsung selama proses pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2). Pasal 47 (1) Pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan melalui:
pertemuan langsung;
sambungan telepon;
konferensi video; dan/atau
saluran lain yang disepakati oleh Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lain yang dipersamakan. Pasal 48 (1) Dalam rangka perundingan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyusun posisi dalam perundingan. (2) Posisi dalam perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi penjelasan tertulis mengenai pendapat Pejabat Berwenang Indonesia terkait hal yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) belum menghasilkan Persetujuan Bersama sampai dengan putusan banding atau putusan peninjauan kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:
melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketayang diputus dalam putusan banding atau putusan peninjauan kembali bukan merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;
menggunakan putusan banding sebagai posisi dalam perundingan a tau menghentikan perundingan dalam hal:
putusan banding tidak diajukan permohonan peninjauan kembali; dan
materi sengketa dalam putusan banding merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama; atau
menggunakan putusan peninjauan kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa dalam putusan peninjauan kembali merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Pasal 49 (1) Hasil perundingan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dituangkan dalam Persetujuan Bersama yang dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan yang telah disepakati atas materi yang diajukan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis mengenai hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimak.sud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal Persetujuan Bersama. (3) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai:
permintaan untuk menyampaikan surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama; atau
permintaan untuk menyampaikan surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian yang dilampiri dengan persetujuan tertulis dari Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengenai pencabutan atau penyesuaian sengketa dalam hal materi sengketa yang diajukan Prosedur Persetujuan Bersama juga diajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam· Pasal 41 ayat (11). (4) Surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus disampaikan oleh Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian yang dilampiri dengan persetujuan tertulis dari Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengenai pencabutan atau penyesuaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus disampaikan oleh Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 8 (delapan) bulan setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat atau tidak dapat dilaksanakan setelah penerbitan pemberitahuan tertulis mengenai hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (7) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak melakukan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan setelah Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5). (8) Dalam hal Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Bergarida bahwa Persetujuan Bersama tidak dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (9) Dalam hal hasil perundingan berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
pemberitahuan tertulis hasil perundingan yang berisi ketidaksepakatan kepada Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan
pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal Persetujuan Bersama. (10) Surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama dan surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf J .1., untuk surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama; atau
Lampiran huruf J.2., untuk surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 50 (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan; dan
tanggal disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan.
Dalam hal hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terkait dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Persetujuan Bersama dengan menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf J.3., untuk Persetujuan Bersama terkait pengenaan pajak berganda; atau
Lampiran huruf J.4., untuk Persetujuan Bersama selain terkait pengenaan pajak berganda, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti. Pasal 51 (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dalam hal:
Pemohon tidak menyampaikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3);
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan tidak sesuai dengan ketentuan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4);
perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) atau ayat (4);
telah terlampauinya daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dan perundingan belum menghasilkan kesepakatan;
Wajib Pajak dalam negeri mengikuti program pengampunan pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;
telah terbit putusan banding atau peninjauan kembali, dalam hal materi yang diputus merupakan materi yang Prosedur Persetujuan Bersama; putusan sengketa diajukan g. Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak menyepakati posisi dalam perundingan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf b atau huruf c; atau
telah terbit putusan gugatan dengan amar membatalkan surat ketetapan pajak yang terkait dengan Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai penghen tian perundingan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Bagian Ketiga Pencabutan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 52 (1) Atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat diajukan permohonan pencabutan oleh:
Wajib Pajak dalam negeri;
Warga Negara Indonesia;
Direktur Jenderal Pajak; atau
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda melalui Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat mencabut permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam rangka:
menindaklanjuti permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri; dan/atau
menindaklanjuti pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d serta permohonan pen ca bu tan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan lnternasional. (4) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
diajukan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak dimulainya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
mencantumkan alasan pencabutan; dan
ditandatangani oleh Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri, atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (5) Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Berdasarkan penelitian atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pemohon bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dicabut, dalam hal permohonan pencabutan disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan, paling lama 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permohonan pencabutan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. (7) Berdasarkan penelitian atas permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Wajib Pajak dalam negeri bahwa permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama disetujui atau tidak disetujui; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak dicabut, dalam hal permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan, paling lama 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. (8) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) terlampaui. (9) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat diajukan:
secara langsung;
melalui pos atau jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman tercatat; atau
melalui pos elektronik. (10) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a juga dapat diajukan secara elektronik. (11) Pengajuan permohonan pencabutan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (12) Tata cara pengajuan permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (13) Surat permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.1. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (14) Surat permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.2. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (15) Surat permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.3., yang meru pakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (16) Pengajuan permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dilaksanakan sepanjang permohonan diajukan sebelum diperoleh Persetujuan Bersama. (17) Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak meneliti pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (16) dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan dihentikan, dalam hal permohonan pencabutan disetujui. Bagian Keempat Tindak Lanjut Persetujuan Bersama Pasal 53 (1) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) merupakan dasar pengembalian pajak atau dasar penagihan pajak sesuai dengan Pasal 27C ayat (6) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (2) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan sebelum surat ketetapan pajak terbit, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama harus menghitung kembali besarnya pajak terutang berdasarkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan atau pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (3) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak melakukan:
pembetulan surat pemberitahuan; atau
pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan, dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Bersama atau dengan memperhatikan daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhitungkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. (4) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat ketetapan pajak terbit dan atas surat ketetapan pajak tersebut:
tidak diajukan ke beratan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11) hurufb;
tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11) huruf d;
diajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tetapi tidak dipertimbangkan;
diajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar namun dicabut; atau
diajukan keberatan namun telah disesuaikan dari materi yang disepakati dalam Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak. (5) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat keputusan pengurangan ketetapan pajak atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak terbit, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan pengurangan ketetapan pajak atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak. (6) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah putusan gugatan dengan amar membatalkan terbit terhadap:
surat keputusan pengurangan ketetapan pajak;
surat keputusan pembatalan ketetapan pajak; atau
surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpaj akan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak. (7) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat keputusan keberatan terbit dan atas surat keputusan keberatan tersebut:
tidak diajukan banding;
diajukan banding tetapi dicabut dan Pengadilan Pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas pencabutan tersebut;
diajukan banding namun telah disesuaikan dari materi yang disepakati dalam Persetujuan Bersama dan Pengadilan Pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas penyesuaian tersebut; atau
diajukan banding tetapi terbit putusan Pengadilan Pajak dengan amar putusan tidak dapat diterima, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan keberatan. (8) Dalam hal terdapat materi sengketa lain yang tidak dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, namun memiliki keterkaitan dengan materi sengketa yang dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan keberatan a tau surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dengan mempertimbangkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. (9) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan pada saat Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas materi sengketa yang tidak dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan keberatan. (10) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah putusan banding atau peninjauan kembali yang mencakup materi sengketa selain yang tercakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama terbit, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat pelaksanaan putusan banding atau surat pelaksanaan putusan peninjauan kembali. (11) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama:
terbit sebelum surat ketetapan pajak; dan
menyebabkan kelebihan atas pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan yang terutang, wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat menyampaikan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpaj akan. Pasal 54 Dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) setelah penerbitan keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali, dasar pengenaan sanksi administratif dalam surat tagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak juga memperhitungkan jumlah pajak dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama. BAB VIII KESEPAKATAN HARGA TRANSFER Bagian Kesatu Tata Cara Penyampaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 55 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat Kesepakatan Harga Transfer dengan Wajib Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menentukan Harga Transfer yang wajar sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yang berlaku selama suatu periode tertentu berdasarkan permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam negeri. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. (3) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:
inisiatif Wajib Pajak, berupa permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral atau Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang diajukan subjek pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer dan Pemberlakuan Mundur dalam hal Wajib Pajak meminta Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa Transaksi Afiliasi antara Wajib Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri lainnya dan/atau subjek pajak luar negeri. (6) Pemberlakuan Mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:
fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang telah disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer;
belum daluwarsa penetapan;
belum diterbitkan surat ketetapan pajak penghasilan badan; dan
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak. pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan. (7) Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kesepakatan:
kriteria dalam Penentuan Harga Transfer; dan
Penentuan Harga Transfer di muka, untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer dan Pemberlakuan Mundur dalam hal Wajib Pajak meminta Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (8) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a paling sedikit memuat:
identitas Pihak Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan;
cara penerapan metode Penentuan Harga Transfer yang disepakati; dan
asumsi kritis yang memengaruhi Penentuan Harga Transfer. (9) Asumsi kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf e paling sedikit memuat:
ketentuan kontraktual tertulis dan tidak tertulis terkait Transaksi Afiliasi;
fungsi yang dilakukan masing-masing pihak yang bertransaksi, aktiva yang digunakan, dan risiko yang diasumsikan terjadi dan ditanggung oleh para pihak tersebut;
karakteristik transaksi dan karakteristik para pihak yang melakukan Transaksi Afiliasi; dan
kondisi ekonomi yang memengaruhi Penentuan Harga Tran sf er. (10) Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai kondisi yang telah terjadi dan yang diperkirakan akan terjadi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer. Pasal 56 (1) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang:
telah memenuhi kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan selama 3 (tiga) tahun pajak berturut-turut sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
telah diwajibkan dan telah memenuhi kewajiban untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa dokumen induk dan dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b selama 3 (tiga) tahun pajak berturut-turut sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan;
Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) merupakan Transaksi Afiliasi yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer dibuat berdasarkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil daripada laba operasi yang telah dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Wajib Pajak dalam negeri yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. (3) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengisi formulir permohonan Kesepakatan Harga Transfer menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam:
akta pendirian; atau
akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus;
disampaikan:
dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 ( enam) bulan se belum dimulainya Peri ode Kesepakatan Harga Tran sf er, dalam hal permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf a; atau
sebelum dimulainya Periode Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf b; dan
dilampiri dengan:
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses Kesepakatan Harga Transfer; dan
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melaksanakan kesepakatan yang tercantum dalam Kesepakatan Harga Transfer. (4) Ketentuan mengenai usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terpenuhi sepanjang tingkat laba yang paling rendah dalam proyeksi la po ran keuangan selama Periode Kesepakatan Harga Transfer lebih besar atau sama dengan tingkat laba yang paling rendah dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Tingkat laba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan rasio antara laba sebelum pajak atau penghasilan neto komersial dan peredaran usaha atau rasio antara laba sebelum pajak atau penghasilan neto komersial dengan total biaya. (6) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer diajukan oleh Wajib Pajak yang usahanya terdampak negatif bencana nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, tingkat laba dalam proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tingkat laba hasil penyesuaian pada kondisi normal. (7) Proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (8) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan:
secaralangsung; atau
secara elektronik. (9) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (10) Tata cara penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er secara elektronik se bagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (11) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (12) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) merupakan tanggal penerimaan permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
(2) (3) (4) Pasal 57 Atas permohonan Kesepakatan Harga se bagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Direktur Jenderal Pajak melakukan terhadap: Transfer ayat (2), penelitian a. kelengkapan pemenuhan persyaratan pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3); dan
pemenuhan ketentuan Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1). Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis dapat atau tidak dapat ditindaklanjutinya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er kepada:
Wajib Pajak; dan/atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (12). Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak dianggap dapat ditindaklanjuti dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui. Dalam hal pemberitahuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak mendapatkan jawaban tertulis dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan sejak tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (5) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3). Pasal 58 (1) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy). (2) Kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 2 (dua) bulan setelah tanggal pemberitahuan bahwa permohonan Kesepakatan Harga Transfer dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau ayat (3). (3) Kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er;
Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er; dan
dokumen yang berisi penjelasan rinci atas penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk setiap Transaksi Afiliasi yang diusulkan un tuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dalam bahasa Indonesia. (4) Penjelasan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tanggal penerimaan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er.
Dalam hal kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (8) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3). Bagian Kedua Tata Cara Penyelesaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Paragraf 1 Pengujian Material Penyelesaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 59 (1) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3), Direktur J enderal Pajak melaksanakan pengujian material. (2) Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Wajib Pajak;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi;
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak;
meminta tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Wajib Pajak;
meminta data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait;
meminta pertukaran informasi perpajakan ( exchange of _infonnation); _ g. meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau entitas lain; dan/atau
meminta dilakukannya kegiatan penilaian. (3) Dalam hal diperlukan untuk pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan Pemeriksaan untuk tujuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (4) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
belum pernah dilakukan Pemeriksaan terkait Penentuan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) sampai dengan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan/atau
mengajukan permintaan Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (6) Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) wajib:
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
memberikan kesempatan Direktur Jenderal Pajak untuk mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufc;dan d. memberikan tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d. (7) Dokumen Wajib Pajak yang digunakan selama proses pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Paragraf 2 Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 60 (1) Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er dengan:
Wajib Pajak, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Unilateral; atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (2) Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
dimulai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Wajib Pajak menyampaikan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2); dan
diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak dimulainya perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb diselesaikan dalamjangka waktu sesuai dengan ketentuan mengenai Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4). (4) Dalam hal pada saat perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses Kesepakatan Harga Transfer dan menerbi tkan pemberitahuan tertulis penghen tian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. Pasal 61 (1) Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan atas kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (7). (2) Dalam perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat tidak menyepakati Kesepakatan Harga Transfer dalam hal:
Transaksi Afiliasi tidak didasari oleh motif ekonomi;
substansi ekonomi Transaksi Afiliasi berbeda dengan bentuk formalnya;
Transaksi Afiliasi dilakukan dengan salah satu tujuan untuk meminimalkan beban pajak;
informasi dan/atau bukti atau keterangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang se benarnya;
informasi dan/ a tau bukti atau keterangan terkait dengan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d tidak dapat diperoleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permintaan tertulis; dan/atau
tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer atau Pemberlakuan Mundur telah diterbitkan surat ketetapan pajak penghasilan badan.
Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer dianggap berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) a tau ayat (3); a tau b. Direktur Jenderal Pajak menerima pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat dilakukan. (4) Dalam hal perundingan Kesepakatan Harga Transfer menghasilkan ketidaksepakatan se bagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses Kesepakatan Harga Transfer dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak. (5) Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam:
Naskah Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Unilateral; atau
Persetujuan Bersama sesuai dengan Prosedur Persetujuan Bersama, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (6) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Berdasarkan Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Naskah Kesepakatan Harga Transfer ditandatangani. (8) Berdasarkan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer dalamjangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan;dan b. tanggal disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan. (9) Surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P dan Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) disampaikan kepada:
Wajib Pajak yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti. Pasal 62 (1) Dalam hal:
perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral menghasilkan ketidaksepakatan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1); atau
proses Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dihentikan karena Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak menyampaikan jawaban tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3) huruf a dan huruf b, kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) atau Pasal 57 ayat (4). (2) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama:
6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena proses Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (3) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). Bagian Ketiga Tata Cara Pencabutan Permohonan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 63 (1) Permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dapat diajukan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak. (2) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan alasan pencabutan;
diajukan sebelum diperoleh kesepakatan; dan
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam akta pendirian atau akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus. (3) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional. (4) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Permohonan pencabutan yang diajukan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
secara langsung; atau
secara elektronik. (6) Penyampaian permohonan pencabutan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (7) Tata cara penyampaian permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hurufb dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (8) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas pengajuan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 64 (1) Atas pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2). (2) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis disetujui atau tidak disetujuinya pen ca bu tan permohonan Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal penerimaan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (8). (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui. (4) Dalam hal berdasarkan penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak memenuhi persyaratan, pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak disetujui dan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tetap dilanjutkan. (5) Dalam hal pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) diajukan setelah perundingan Kesepakatan Harga Transfer dimulai, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer untuk tahun pajak yang dicakup dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dicabut. Pasal 65 (1) Dalam hal:
pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (5) dilakukan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; dan
pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Unilateral dengan memperhatikan ketentuan se bagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3) huruf a dan huruf b kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) atau ayat (3). (2) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu:
6 (enam) bulan, dalam hal telah dilakukan perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
12 (dua belas) bulan, dalam hal belum dilakukan perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral, sejak tanggal diterimanya permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3). (4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). (5) Pemberitahuan tertulis yang disampaikan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda mengenai pencabutan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dianggap sebagai pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) huruf b. Bagian Keempat Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 66 (1) Wajib Pajak wajib melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) atau ayat (8) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (2) Kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diimplementasikan dalam kebijakan Penentuan Harga Transfer Wajib Pajak dan pelaksanaannya harus dituangkan dalam Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer. (3) Dalam hal atas Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur:
telah disampaikan surat pemberitahuan tahunan paj ak penghasilan badan;
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan Pemeriksaan; dan
terdapat kekurangan pembayaran pajak penghasilan yang terutang dihitung berdasarkan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sesuai dengan Kesepakatan Harga Tran sf er yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterbitkannya keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (4) Dalam hal atas Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur, surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sedang dilakukan tindakan Pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhitungkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Tran sf er. (5) Dalam hal atas tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer telah diterbitkan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan memperhitungkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (6) Dalam hal terdapat sanksi administratif yang timbul sebagai akibat:
pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan se bagaimana dimaksud pada ayat (3);
penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4); atau
pembetulan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menghapuskan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 67 (1) Kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (2) Dalam hal Wajib Pajak melaksanakan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer dan sedang dilakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas Penentuan Harga Transfer transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak:
menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang Penentuan Harga Transfernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer;
tidak menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3);
menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang Penentuan Harga Tran sf ernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer; atau
tidak menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan untuk tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer. Bagian Kelima Tata Cara Evaluasi Kesepakatan Harga Transfer Paragraf 1 Kewenangan Direktur Jenderal Pajak Melakukan Evaluasi Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 68 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak. (2) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui evaluasi atas:
kepatuhan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer; dan
kesesuaian kriteria dalam Penentuan Harga Transfer pada kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Dalam rangka evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
meminta Wajib Pajak untuk memberikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang diperlukan;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi Wajib Pajak;
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak; dan/atau
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait. (4) Dalam evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak wajib:
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a;
memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b;
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha se bagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c; dan/atau
memberikan kesempatan Direktur Jenderal Pajak untuk mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. (5) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi atas kepatuhan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diketahui bahwa Wajib Pajak tidak melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. (6) Tindak lanjut Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (7) Berdasarkan hasil evaluasi se bagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan:
peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer, sepanjang terdapat perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dengan asumsi kritis yang disepakati dalam Kesepakatan Harga Tran sf er; atau
pembatalan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Tran sf er, sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer berakhir. Paragraf 2 Peninjauan Kembali Kesepakatan Harga Transfer Pasal 69 (1) Peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer dilakukan berdasarkan:
hasil evaluasi atas kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7); a tau b. permohonan pen1nJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak. (2) Berdasarkan hasil evaluasi atas kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak. (3) Pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dengan asumsi kri tis yang disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer; dan
pelaksanaan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dalam rangka peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer. (4) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan sebelum tahun pajak yang akan dilakukan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer berakhir. t (5) Permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dengan mengisi formulir permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Tran sf er. (6) Formulir permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan:
secara langsung; atau
secara elektronik. (8) Penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) hurufb dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (9) Tata cara penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (10) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (7). (11) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) merupakan tanggal penerimaan permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer. (12) Ketentuan mengenai penelitian, penyampaian kelengkapan permohonan, pengujian material, dan perundingan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 60 berlaku secara mutatis mutandis atas permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (13) Hasil perundingan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer dituangkan dalam perubahan Naskah Kesepakatan Harga Transfer atau Persetujuan Bersama. (14) Atas perubahan Naskah Kesepakatan Harga Transfer atau perubahan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (13), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer dengan mencantumkan tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer yang ditinjau kembali.
Keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf T dan U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Paragraf 3 Pembatalan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 70 (1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7) terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak:
menyampaikan informasi dan/atau bukti a tau keterangan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya; dan/atau
tidak menyampaikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang:
diketahui atau patut diketahui oleh Wajib Pajak; dan
dapat memengaruhi hasil kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak untuk melakukan klarifikasi atas ketidaksesuaian informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang disampaikan selama proses Kesepakatan Harga Transfer. (2) Wajib Pajak harus menyampaikan tanggapan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional atas pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis. (3) Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian atas tanggapan tertulis Wajib Pajak yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Direktur Jenderal Pajak membatalkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) atau ayat (8) dalam hal Wajib Pajak:
terbukti memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
tidak menyampaikan tanggapan tertulis atau menyampaikan tanggapan tertulis tetapi melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Dalam rangka pembatalan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
surat keputusan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer kepada Wajib Pajak yang dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
pemberitahuan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral. (6) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah:
diterimanya tanggapan tertulis Wajib Pajak, dalam hal pembatalan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
terlampauinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak membatalkan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/ a tau Pemberlakuan Mundur yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer yang dibatalkan; dan
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/ a tau penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Bagian Keenam Tata Cara Pembaruan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 71 (1) Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. (2) Permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer yang diajukan pembaruan dimulai. (3) Formulir permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Tran sf er se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
secara langsung; atau
secara elektronik.
(6) (7) (8) (9) (10) (11) Penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. Tata cara penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1). Tanggal yang tercantum dalam bukti se bagaimana dimaksud pada ayat (7) tanggal penerimaan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. penenmaan merupakan pembaruan Atas permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2). Ketentuan mengenai penyampaian kelengkapan permohonan, pengujian material, dan perundingan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 berlaku secara mutatis mutandis atas permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali untuk 1 (satu) Periode Kesepakatan Harga Transfer. BAB IX PENYAMPAIAN DOKUMEN DAN SURAT KEPUTUSAN Pasal 72 (1) Penyampaian dokumen dan surat keputusan dalam rangka penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer dapat dilakukan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
secara elektronik. (2) Penyampaian dokumen dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (3) Tata cara penyampaian dokumen dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan peng1nman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. BABX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 73 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 468) dan belum diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini;
terhadap permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 262) dan belum diterbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer, surat keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer, atau surat keputusan pembatalan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
terhadap kewajiban menyelenggarakan, menyimpan, dan menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk tahun pajak 2024 dan seterusnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 74 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan lstimewa dan Tata Cara Pengelolaannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2120);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 468); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 262), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 75 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap 2 lainnya
release/2019/11- siaran-pers-dialog- nasional- pemindahan-ibu- kota-negara- menteri-bambang- paparkan-investasi- dan-strategi- pembiayaan.pdf DIALOG NASIONAL III “Konsep Master Plan dan Urban Design” tanggal 1 Agustus 2019 9 PK 9-a Undangan Kementerian PPN/Kepala Bappenas RI Nomor 9193/SES/07/2019 tanggal 29 Juli 2019 hal Undangan Dialog Nasional ke-3 Pemindahan Ibu Kota Negara Dialog Nasional ke III dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2019 di Kementerian PPN/Bappenas. Dialog dilaksanakan untuk mendapatkan masukan terhadap pemindahan IKN terkait aspek: a. Visi IKN dalam Konsep Masterplan b. Visi IKN dalam Strategi Perancangan Kota, Tata Bangunan dan Lingkungan Peserta: - berbagai K/L terkait - Pemerintah Daerah - Perguruan Tinggi (UI, Univ Pertahanan, ITB, Unpad, PK 9-b Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Nasional III PK 9-c Risalah Dialog Nasional Pemindahan Ibukota Negara III tanggal 1 Agustus 2019
cepat tanpa memperhatikan apakah perpindahan Ibu Kota Negara yang memiliki persoalan secara multidimensi dapat dilakukan dengan mendasarkan pada dasar hukum UU 3/2022 yang masih banyak kekosongan hukum terhadap pengaturan terhadap hal-hal yang bersifat strategis. Proses Pembentukan UU 3/2022 yang mengenyampingkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 12/2011 mengakibatkan PEMOHON I mengalami kebingungan untuk menjelaskan secara akademis tehradap pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswanya yang terkait dengan penerapan manajemen strategi dalam UU 3/2022. Apabila dilihat secara manajemen strategi anggaran pembangunan IKN tidak jelas akan menggunakan anggaran yang dialokasikan dari mana. Bahkan dalam beberapa kesempatan Menteri Keuangan mengatakan bahwa Anggaran Pembangunan IKN bisa mengambil dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) (Sumber: https: //nasional.kontan.co.id/news/sri-mulyani-menyebut-anggaran- pembangunan-ikn-bisa-mengambil-dana-program-pen). Dimana Kemenkeu berencana menggelontorkan dana sebesar Rp. 187,3 Triliun yang berasal dari Program PEN 2022 untuk membangun Ibu Kota Negara. (Sumber: https: //www.idxchannel.com/economics/sri-mulyani- bakal-pakai-dana-pen-rp1873-triliun-untuk-bangun-ikn). Padahal sebagaimana kita ketahui dana PEN diperuntukan untuk memulihkan Ekonomi Nasional dimasa Pandemi Covid 19. Untungnya mendapatkan penolakan dari sejumlah anggota DPR RI. Bahkan kemudian semakin terlihat Pendanaan Pembangunan IKN Nusantara disandarkan pada bantuan dana dari Investor. Dimana pada tahun 2020 menurut Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi mengungkapkan Softbank Group Corp akan berinvestasi sebesar US$ 100 miliar atau setara Rp. 1.400 triliun untuk pemindahan IKN Nusantara. Perusahaan asal jepang ini merupakan salah satu calon investor yang pertama kali mengajukan diri untuk menjadi investor. Namun belum saja berjalan, ternyata softbank memutuskan
Tata Cara Penyediaan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Bantuan Pembayaran Tagihan Listrik Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negar ...
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional, untuk melaksanakan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Pemerintah diberikan kewenangan melakukan kebijakan melalui belanja negara berupa jaring pengaman sosial ( social safety net ) termasuk bantuan sosial dan bantuan Pemerintah;
bahwa untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan ekonomi pelaku usaha dan kelompok masyarakat dalam menjalankan usaha dan aktivitasnya sebagai bagian dari upaya mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional, Pemerintah sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu memberikan bantuan pembayaran tagihan listrik Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara bagi pelanggan golongan industri, bisnis, dan sosial, yang dananya dialokasikan pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08);
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 110 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang mengatur pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08);
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penyediaan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Bantuan Pembayaran Tagihan Listrik Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara bagi Pelanggan Golongan Industri, Bisnis, dan Sosial dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 2 ayat (4), ayat (7) dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2021 ten ...
Relevan terhadap 15 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 63 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 5) Menunjang kebijakan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil- hasilnya, serta investasi di seluruh wilayah Indonesia; 6) Menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran negara, serta peningkatan pengawasan; d. Selanjutnya perlu kami sampaikan beberapa hal yang melatarbelakangi ditetapkannya PP Nomor 85 Tahun 2021, yaitu: 1) Memberikan kepastian dan keadilan bagi pelaku usaha dan negara atas pembagian manfaat yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan sehingga manfaat dari penangkapan ikan dihitung berdasarkan jenis, jumlah, dan mutu ikan hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan pangkalan (pasca produksi); 2) Memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pelaku usaha serta mendorong kepastian berusaha pelaku usaha sektor perikanan melalui penerapan sistem kontrak; 3) Mendorong keadilan bagi pelaku usaha pengangkutan ikan untuk membayarkan kewajiban kepada negara sesuai area operasionalnya; 4) Mengakomodasi pengaturan alat penangkapan ikan yang baru dan diperbolehkan beroperasi di WPPNRI sesuai dengan kebutuhan masyarakat; 5) Untuk meningkatkan pelayanan, memberikan fasilitas yang lebih baik, serta memberikan stimulus dan kemudahan bagi kapal perikanan yang sedang tidak beroperasi misalnya karena cuaca buruk, kapal rusak, dan lain-lain; 6) Penyesuaian dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 dan peraturan pelaksanaannya untuk mengakomodasi kapal berukuran di Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 Berusaha Berbasis Risiko, selanjutnya disebut PP Nomor 5 Tahun 2021 (Bukti T-6), dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, selanjutnya disebut PP Nomor 27 Tahun 2021 (Bukti T-12); Pasal 1 angka 22 UU Nomor 11 Tahun 2020 menyatakan bahwa Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2020, menerangkan adanya poin-poin perubahan materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, selanjutnya disebut UU Perikanan, dimana salah satunya terkait dengan adanya kewajiban untuk memenuhi persyaratan perizinan berusaha untuk usaha perikanan baik untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, dan pemasaran ikan (poin ke-5 Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2020 terkait perubahan Pasal 26 UU Perikanan) dengan pengecualian ketentuan untuk nelayan kecil (poin ke-6 Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2020 terkait perubahan Pasal 27 ayat (5) UU Perikanan); Pelaksanaan pemungutan PNBP pascaproduksi merupakan bagian dari implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020, dimana iklim investasi semakin menarik karena PNBP tidak dibayarkan sebelum melaut, sehingga pelaku usaha tidak terbebani. Di samping itu, PNBP pascaproduksi menjadi lebih adil bagi pelaku usaha karena nilai yang dibayarkan sesuai dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Dengan mekanisme ini pula kualitas data produksi perikanan tangkap menjadi semakin akurat dan terpercaya. Selanjutnya PNBP yang diperoleh nantinya dikembalikan kepada nelayan untuk program- program pemberdayaan; Definisi nelayan kecil disesuaikan dengan materi muatan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020, Nelayan Kecil adalah orang yang mata Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 110 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 berusaha sektor perikanan pada saat ini, terlebih dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan; - Bahwa, UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah pelaksananya, menentukan beberapa ketentuan baru di sektor perikanan, sehingga harus diatur objek PNBP sesuai ketentuan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya pada objek permohonan HUM; - Bahwa, Pasal 1 angka 22 UU Nomor 11 Tahun 2020 menyatakan: Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya; Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2020, menerangkan adanya poin-poin perubahan materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dimana salah satunya terkait dengan adanya kewajiban untuk memenuhi persyaratan perizinan berusaha untuk usaha perikanan baik untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, dan pemasaran ikan (poin ke-5 Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2020 terkait perubahan Pasal 26 UU Perikanan) dengan pengecualian ketentuan untuk nelayan kecil (Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2020 terkait perubahan Pasal 27 ayat (5) UU Perikanan); - Bahwa, pelaksanaan pemungutan PNBP pasca produksi merupakan bagian dari implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020, dimana iklim investasi semakin menarik karena PNBP tidak dibayarkan sebelum melaut, sehingga pelaku usaha tidak terbebani. Di samping itu, PNBP pasca produksi menjadi lebih adil bagi pelaku usaha karena nilai yang dibayarkan sesuai dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Dengan mekanisme ini pula kualitas data produksi perikanan tangkap menjadi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 110
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN PUSAT. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas menjalankan fungsi Bendahara Umum Negara. 2. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat yang selanjutnya disingkat SiAP adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan, dan operasi keuangan pada Kementerian Keuangan selaku Kuasa BUN. 3. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SABUN adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan pos1s1 keuangan, dan operasi keuangan yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku BUN dan pengguna anggaran bagian anggaran BUN. 4. Kuasa BUN adalah pejabat yang memperoleh kewenangan untuk dan atas nama BUN melaksanakan fungsi pengelolaan uang negara. 5. Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut DJPb adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan ke bij akan dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara.
Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan yang selanjutnya disebut Dit. APK adalah unit eselon II pada kantor pusat DJPb yang bertugas untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. 7. Direktorat Pengelolaan Kas Negara yang selanjutnya disebut Dit. PKN adalah unit eselon II pada kantor pusat DJPb yang bertugas untuk merumuskan serta melaksanakan ke bij akan dan standardisasi teknis di bidang pengelolaan kas negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. 8. Kantor Wilayah DJPb yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb adalah instansi vertikal DJPb yang bertugas untuk melaksanakan koordinasi, pembinaan, supervisi, asistensi, bimbingan teknis, dukungan teknis, monitoring, evaluasi, analisis, kajian, penyusunan laporan, dan pertanggungjawaban di bidang perbendaharaan dan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. 9. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal DJPb yang bertugas untuk melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan BUN, penyaluran pembiayaan atas beban anggaran, serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara. 10. Rekening Kuasa BUN Daerah adalah rekening milik BUN pada bank/ pos mitra KPPN selaku Kuasa BUN di daerah. 11. Rekening Kuasa BUN Pusat adalah rekening milik BUN pada bank mitra Dit. PKN selaku Kuasa BUN Pusat. 12. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang disusun oleh pemerintah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan. 13. Laporan Arus Kas yang selanjutnya disebut LAK adalah laporan yang menyajikan informasi arus masuk dan keluar kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris. 14. Laporan Perubahan Ekuitas yang selanjutnya disebut LPE adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 15. Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas pada tanggal tertentu. 16. Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, dan laporan perubahan saldo anggaran lebih untuk pengungkapan yang memadai. 1 7. Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/ defisit dan pembiayaan, dan sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode. 18. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BUN yang selanjutnya disingkat UABUN adalah unit akuntansi pada Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat unit akuntansi dan pelaporan keuangan pembantu BUN dan sekaligus melakukan penggabungan Laporan Keuangan seluruh unit akuntansi dan pelaporan keuangan pembantu BUN. 19. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa BUN Tingkat KPPN yang selanjutnya disebut UAKBUN- Daerah adalah unit akuntansi Kuasa BUN yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat KPPN. 20. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa BUN Tingkat Kantor Wilayah yang selanjutnya disebut UAKKBUN-Kanwil adalah unit akuntansi yang mengoordinasikan dan membina akuntansi dan pelaporan keuangan Kuasa BUN Daerah/KPPN dan menggabungkan laporan keuangan seluruh Kuasa BUN Daerah/KPPN. 21. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa BUN Tingkat Pusat yang selanjutnya disingkat UAKBUN- Pusat adalah unit akuntansi Kuasa BUN yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat Kuasa BUN Pusat. 22. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu BUN yang selanjutnya disingkat UAP BUN adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas akuntansi dan pelaporan keuangan sekaligus melakukan penggabungan laporan keuangan tingkat unit akuntansi dan pelaporan keuangan di bawahnya. 23. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu BUN Akuntansi Pusat yang selanjutnya disebut UAP BUN AP adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang menggabungkan Laporan Keuangan Kuasa BUN Pusat, koordinator Kuasa BUN kantor wilayah, dan Kuasa BUN Daerah (KPPN khusus penerimaan dan KPPN khusus pinjaman dan hi bah). 24. Rekonsiliasi adalah proses pencocokkan data transaksi keuangan yang di proses dengan beberapa sistem/ subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama. 25. Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah Inspektorat Jenderal/ Inspektorat Umum/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga. 26. Sistem Aplikasi Terintegrasi adalah sistem aplikasi yang mengintegrasikan seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan dan pelaksanaan pendapatan dan belanja negara dimulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan pada BUN dan kementerian/lembaga. 27. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penanda tangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran. 28. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara berdasarkan SPM. 29. Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan yang selanjutnya disingkat PIPK adalah pengendalian yang secara spesifik dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa Laporan Keuangan yang dihasilkan merupakan laporan yang andal dan disusun sesua1 dengan standar akuntansi pemerintahan. BAB II UNIT AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN Pasal 2 (1) SiAP merupakan subsistem dari SABUN. (2) Untuk pelaksanaan SiAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk unit akuntansi dan pelaporan keuangan yang terdiri atas:
KPPN selaku UAKBUN-Daerah;
Kanwil DJPb selaku UAKKBUN-Kanwil;
Dit. PKN selaku UAKBUN-Pusat; dan
DJPb selaku UAP BUN AP. (3) KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak termasuk KPPN Khusus Investasi. (4) UAP BUN AP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilaksanakan oleh Dit. APK. (5) Penanggung jawab unit akuntansi dan pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
Kepala KPPN, untuk UAKBUN-Daerah;
Kepala Kanwil DJPb, untuk UAKKBUN-Kanwil;
Direktur Pengelolaan Kas Negara, untuk UAKBUN- Pusat; dan
Direktur Jenderal Perbendaharaan, untuk UAP BUN AP. (6) SiAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan Kuasa BUN dengan menggunakan Sistem Aplikasi Terintegrasi. (7) Laporan Keuangan Kuasa BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (8) Selain Laporan Keuangan Kuasa BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (6), unit akuntansi dan pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menghasilkan LRA sebagai laporan manajerial. (9) LRA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan LRA satuan kerja mitra kerja masing-masing unit akuntansi dan pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB III AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN Bagian Kesatu Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Bendahara Umum Negara Tingkat Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Pasal 3 (1) UAKBUN-Daerah memproses data transaksi:
penerimaan dan pengeluaran kas yang melalui Rekening Kuasa BUN Daerah;
penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak melalui Rekening Kuasa BUN Daerah namun menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku harus mendapatkan penihilan/ pengesahan dari KPPN; dan/atau
penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak melalui rekening Kuasa BUN Daerah namun mempengaruhi Neraca UAKBUN-Daerah. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
penerimaan kas yang melalui rekening Kuasa BUN Daerah yang dapat berupa pendapatan negara, pengembalian belanja, dan penenmaan pembiayaan;
pengeluaran kas penyaluran dana SP2D untuk belanja, pengeluaran pembiayaan, dan pengeluaran non anggaran melalui Rekening Kuasa BUN Daerah; dan/atau
penerimaan non anggaran dan pengeluaran non anggaran yang dapat berupa penerimaan kiriman uang atau pengeluaran kiriman uang atau pengeluaran kiriman uang untuk pemindahbukuan dana antar rekening kas negara dan penerimaan retur. (3) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb terdiri atas:
penerimaan dan potongan pada SPM dengan jumlah yang sama sehingga jumlah pembayarannya nihil;
pendapatan dan belanja pada satuan kerja badan layanan umum;
pendapatan dan belanja yang bersumber dari hibah langsung dalam bentuk uang pada kemen terian / lembaga;
pendapatan/ penerimaan pembiayaan dan belanja yang bersumber dari hibah atau pinjaman dalam/ luar negeri yang oleh pihak pemberi pinjaman dan hibah dalam/luar negeri tidak disalurkan melalui rekening milik BUN namun langsung digunakan untuk mendanai pengeluaran satuan kerja; dan/atau
penerimaan dan pengeluaran lainnya yang menurut ketentuan perundang-undangan harus mendapat pengesahan dari KPPN. (4) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
transaksi pengeluaran transitoris atas SP2D uang persediaan/ tambahan uang persediaan yang mempengaruhi Kas di Bendahara Pengeluaran UAKBUN-Daerah;
transaksi penerimaan pengembalian dana uang persediaan /tambahan uang persediaan yang disetor melalui modul penerimaan negara yang mempengaruhi kas di bendahara pengeluaran UAKBUN-Daerah; dan/atau
transaksi penerimaan transitoris/pengeluaran transitoris atas SP2D retur yang mempengaruhi utang pihak ketiga pada UAKBUN-Daerah. (5) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan transaksi yang terjadi pada UAKBUN Daerah yang tidak mengelola rekening retur. (6) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disajikan sebagai utang pihak ketiga UAKBUN-Daerah. (7) J enis transaksi penerimaan dan pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pendapatan;
belanja;
transfer ke daerah;
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan;
penerimaan transitoris dan pengeluaran transitoris;
pengembalian; dan/atau
selisih kurs. Pasal 4 (1) Transaksi penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dicatat secara bruto sebesar nilai yang tercantum dalam dokumen sumber pada saat:
kas diterima di Rekening Kuasa BUN Daerah;
kas keluar dari Rekening Kuasa BUN Daerah;
terbit dokumen pengesahan transaksi penerimaan dan pengeluaran oleh KPPN;
terbit SP2D untuk SPM dengan potongan yang jumlah pembayarannya nihil;
kas keluar dari rekening Kuasa BUN Pusat, untuk pengeluaran yang melalui Rekening Kuasa BUN Pusat namun mempengaruhi Neraca UAKBUN- Daerah; atau
kas masuk ke Rekening Kuasa BUN Pusat atau Kuasa BUN Daerah lainnya, untuk penerimaan yang tidak melalui rekening Kuasa BUN Daerah bersangkutan namun mempengaruhi Neraca UAKBUN-Daerah. (2) Pengaruh terhadap aset, kewajiban, dan ekuitas yang timbul akibat transaksi penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan di dalam Neraca UAKBUN-Daerah. (3) Penyajian dalam Neraca UAKBUN-Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk pengaruh transaksi penerimaan dan pengeluaran yang melalui rekening Kuasa BUN Daerah terhadap Neraca UAKBUN-Pusat atau UAKBUN-Daerah lainnya. Pasal 5 (1) UAKBUN-Daerah menyusun Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Daerah berdasarkan pemrosesan data transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1). (2) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan Rekonsiliasi dan analisis atau telaah Laporan Keuangan. (3) Dalam hal UAKBUN-Daerah belum dapat melakukan rekonsiliasi eksternal dengan UAKPA pada periode berjalan, UAKBUN-Daerah tetap dapat menyusun Laporan Keuangan. (4) Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (5) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. (6) Analisis atau telaah Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai analisis atau telaah Laporan Keuangan di lingkup sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. Pasal 6 (1) UAKBUN-Daerah menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) kepada UAKKBUN-Kanwil setiap bulan, semesteran, dan tahunan. (2) UAKBUN-Daerah KPPN khusus penerimaan dan UAKBUN-Daerah KPPN khusus pinjaman dan hibah menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) kepada UAP BUN AP setiap bulan, semesteran, dan tahunan. t www.jdih.kemenkeu.go.id (3) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Kedua Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Bendahara Umum Negara Tingkat Kantor Wilayah Pasal 7 (1) UAKKBUN-Kanwil menyusun Laporan Keuangan tingkat UAKKBUN-Kanwil berdasarkan hasil pemrosesan data gabungan dan Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Daerah di wilayah kerjanya. (2) Laporan Keuangan tingkat UAKKBUN-Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan Rekonsiliasi dan analisis atau telaah LaporanKeuangan. (3) Dalam hal UAKBUN-Daerah belum dapat melakukan Rekonsiliasi eksternal dengan U AKPA pada periode berjalan, UAKKBUN-Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dapat menyusun Laporan Keuangan. • (4) Laporan Keuangan tingkat UAKKBUN-Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (5) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. (6) Analisis atau telaah Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai analisis atau telaah Laporan Keuangan di lingkup sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. Pasal 8 (1) Untuk penyusunan Laporan Keuangan konsolidasian tingkat UAP BUN AP, UAKKBUN-Kanwil menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) kepada UAP BUN AP setiap triwulan, semesteran, dan tahunan. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Ketiga Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Bendahara Umum Negara Tingkat Pusat \ Pasal 9 (1) Untuk penyusunan Laporan Keuangan, UAKBUN-Pusat memproses data transaksi:
penerimaan dan pengeluaran kas yang melalui rekening Kuasa BUN Pusat; dan
penerimaan dan pengeluaran pada SPM atau dokumen yang dipersamakan, dengan potongan, yang pembayarannya melalui rekening Kuasa BUN Pusat. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
penerimaan kas melalui Rekening Kuasa BUN Pusat;
pengeluaran kas penyaluran dana SP2D untuk belanja, transfer, pengeluaran pembiayaan, pengeluaran non anggaran melalui rekening Kuasa BUN Pusat; dan/atau
penerimaan non anggaran atau pengeluaran non anggaran. (3) Transaksi penerimaan non anggaran atau pengeluaran non anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
transaksi untuk _dropping; _ b. transaksi untuk penihilan;
transaksi untuk optimalisasi kas;
transaksi untuk pemenuhan dana SAL;
transaksi reimbursement (penggantian) atas pengeluaran kas di rekening kas umum negara; dan/atau
transaksi replenishment atas pengisian kas di rekening kas umum negara. (4) Transaksi penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pendapatan;
belanja;
transfer ke daerah;
penerimaan dan pengeluaran pembiayaan;
penerimaan dan pengeluaran transitoris;
pengembalian; dan/atau
selisih kurs. Pasal 10 (1) Transaksi penerimaan dan pengeluaran kas pada UAKBUN-Pusat dicatat secara bruto sebesar nilai yang tercantum dalam dokumen sumber pada saat:
kas diterima di rekening Kuasa BUN Pusat; atau
kas keluar dari rekening Kuasa BUN Pusat. (2) Transaksi penerimaan pada UAKBUN-Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dicatat sebesar bruto dalam hal proses untuk menghasilkan pendapatan belum selesai, yang dapat berupa transaksi setoran pendapatan atas penerimaan negara bukan pajak minyak dan gas bumi. (3) Pengecualian atas transaksi penerimaan negara bukan pajak minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk teknis akuntansi penerimaan bukan pajak dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. (4) Pengaruh terhadap aset, kewajiban, dan ekuitas yang timbul akibat transaksi penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan di dalam Neraca UAKBUN-Pusat. (5) Penyajian dalam Neraca UAKBUN-Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk pengaruh transaksi penerimaan dan pengeluaran yang melalui rekening Kuasa BUN Pusat terhadap Neraca UAKBUN- Daerah. Pasal 11 (1) UAKBUN-Pusat menyusun Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Pusat berdasarkan pemrosesan data transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10. (2) Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Pusat se bagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan Rekonsiliasi dan analisis atau telaah Laporan Keuangan. (3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (4) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi. dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. (5) Analisis atau telaah Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai analisis atau telaah Laporan Keuangan di lingkup sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. Pasal 12 (1) UAKBUN-Pusat menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) kepada UAP BUN AP setiap semesteran dan tahunan. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Keempat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Akuntansi Pusat Pasal 13 (1) UAP BUN AP menyusun Laporan Keuangan tingkat UAP BUN AP berdasarkan data gabungan dan informasi Laporan Keuangan dari UAKBUN-Daerah KPPN Khusus Penerimaan, UAKBUN-Daerah Khusus Pinjaman dan Hibah, UAKKBUN-Kanwil, dan UAKBUN-Pusat. (2) Laporan Keuangan tingkat UAP BUN AP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan Rekonsiliasi dan analisis atau telaah Laporan Keuangan. (3) Laporan Keuangan tingkat UAP BUN AP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (4) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. (5) Analisis atau telaah Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai analisis atau telaah Laporan Keuangan di lingkup sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. (6) Dalam hal :
UAKBUN-Daerah belum dapat menyusun LPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf c;
UAKKBUN-Kanwil belum dapat menyusun LPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf c; dan/atau
UAKBUN-Pusat belum dapat menyusun LPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf c; LPE disusun oleh UAP BUN AP. Pasal 14 (1) Untuk penyusunan Laporan Keuangan konsolidasian tingkat UABUN, UAP BUN AP menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) kepada UABUN setiap semesteran dan tahunan. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. BAB IV TRANSAKSI DALAM MATA UANG ASING Pasal 15 (1) Kuasa BUN menyajikan transaksi dalam mata uang asing pada Laporan Keuangan dengan menggunakan mata uang rupiah. (2) Aset dan kewajiban moneter dalam mata uang asing disajikan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pelaporan. (3) Kuasa BUN menyajikan dan mengungkapkan pengaruh selisih kurs di dalam Laporan Keuangan.
Pengaruh selisih kurs sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas selisih kurs pada rekening milik BUN. BABV PENGENDALIAN INTERN ATAS PELAPORAN KEUANGAN Pasal 16 (1) Untuk memberikan keyakinan memadai bahwa pelaporan keuangan dilaksanakan dengan pengendalian intern yang memadai, setiap unit akuntansi dan pelaporan keuangan menerapkan PIPK. (2) Penerapan PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada lingkup Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat. (3) Untuk menjaga efektivitas penerapan PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penilaian PIPK yang dilaksanakan oleh tim penilai pada setiap unit akuntansi dan pelaporan keuangan. (4) Hasil penilaian PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam laporan hasil penilaian PIPK. (5) Untuk memberikan keyakinan terbatas kepada pimpinan mengenai efektivitas penerapan PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), APIP melakukan reviu penerapan PIPK berdasarkan laporan hasil penilaian PIPK. (6) Penerapan, penilaian, dan reviu PIPK dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman penerapan, penilaian, dan reviu pengendalian intern atas pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VI PERNYATMN TANGGUNG JAWAB Pasal 17 (1) Setiap unit akuntansi dan pelaporan keuangan pada SiAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) membuat pernyataan tanggung jawab atas Laporan Keuangan yang disusunnya dan dilampirkan pada saat penyampaian Laporan Keuangan. (2) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh penanggungjawab unit akuntansi dan pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4). (3) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pernyataan bahwa pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian internal yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. (4) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paragraf penjelasan atas suatu kejadian yang belum termuat dalam Laporan Keuangan. BAB VII MODUL SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN PUSAT Pasal 18 SiAP dilaksanakan sesuai dengan Modul Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB VIII PERNYATAAN TELAH DIREVIU Pasal 19 (1) Untuk meyakinkan keandalan informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan, dilakukan reviu atas Laporan Keuangan bagian anggaran BUN pengelolaan uang negara pada SiAP. (2) Reviu atas Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai reviu atas Laporan Keuangan BUN. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.05/2014 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat (Berita Negara Repulik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2046) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.05/2014 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat (Berita Negara Repulik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2140), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 21 Peraturan Menteri 1n1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perda ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PPMSE adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
Pengusaha Penyelenggara Jasa Telekomunikasi adalah Pengusaha yang melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
Pulsa Prabayar yang selanjutnya disebut Pulsa adalah hak penggunaan produk telekomunikasi dalam satuan perhitungan biaya telepon dan/atau biaya data dengan sistem pembayaran di awal periode pemakaian.
Kartu Perdana adalah kartu yang digunakan oleh pelanggan jasa telekomunikasi untuk dapat menggunakan jasa telekomunikasi pascabayar atau prabayar.
Token Listrik Prabayar yang selanjutnya disebut Token adalah hak penggunaan tenaga listrik berupa digit angka yang dimasukkan ke dalam meteran dengan sistem pembayaran di awal periode pemakaian.
Voucer adalah media pembayaran atas pembelian barang dan jasa oleh pembeli atau penerima jasa untuk ditukarkan dengan barang dan jasa yang berbentuk fisik atau elektronik, untuk penggunaan diskon atau belanja.
Pengusaha Penyelenggara Saluran Distribusi yang selanjutnya disebut Penyelenggara Distribusi adalah Pengusaha yang melakukan kegiatan distribusi Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan/atau Voucer.
Penyelenggara Distribusi Tingkat Pertama adalah Penyelenggara Distribusi yang memperoleh Pulsa dan/atau Kartu Perdana dari Pengusaha Penyelenggara Jasa Telekomunikasi.
Penyelenggara Distribusi Tingkat Kedua adalah Penyelenggara Distribusi yang memperoleh Pulsa dan Kartu Perdana, dari Penyelenggara Distribusi Tingkat Pertama.
Penyelenggara Distribusi Tingkat Selanjutnya adalah Penyelenggara Distribusi pada tingkat selanjutnya setelah Penyelenggara Distribusi Tingkat Kedua.
Penyedia Tenaga Listrik adalah pengusaha yang melakukan kegiatan penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
Penyelenggara Voucer adalah Pengusaha yang melakukan kegiatan pelayanan berupa penerbitan, pengelolaan, dan distribusi Voucer.
Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
Pemungut PPh adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
Pemotong PPh adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
Pajak Penghasilan Pasal 22 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 22 adalah bentuk pemungutan pajak yang dilakukan Pemungut PPh terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama ...
Relevan terhadap
SKA Form E sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat disampaikan secara elektronik oleh Instansi Penerbit SKA kepada Kantor Pabean sesuai dengan:
mekanisme e-Form D, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN; atau
hasil kesepakatan Negara Anggota.
Dalam hal SKA Form E disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemenuhan kewajiban penyerahan lembar asli SKA Form E sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikecualikan untuk Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK.
Tata cara importasi dan penelitian atas penggunaan SKA Form E yang disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan:
tata cara importasi dan penelitian atas penggunaan e-Form D, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN; atau
tata cara importasi dan penelitian yang diatur berdasarkan hasil kesepakatan Negara Anggota.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Importir wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form E;
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan tertentu antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form E pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara benar.
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk dalam kategori jalur kuning atau jalur merah, penyerahan lembar asli SKA Form E ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form E wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada pukul 12.00 pada hari berikutnya; atau
untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form E wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada pukul 12.00 pada hari kerja berikutnya, terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Pemberitahuan Jalur Kuning (SPJK) atau Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM).
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk dalam kategori jalur hijau, penyerahan lembar asli SKA Form E ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan sebagai kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form E wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 3 (tiga) hari; atau
untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form E wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) __ mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO), lembar asli SKA Form E wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/Pengusaha TPB wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form E kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi TPB, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung __ sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form E kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi TPB, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Penyelenggara/Pengusaha TPB telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO);
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan tertentu antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form E pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/Pengusaha PLB wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form E kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi PLB, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form E kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi PLB, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Penyelenggara/Pengusaha PLB telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO); __ c. mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan tertentu antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form E pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pengusaha di __ Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form E dan hasil cetak dokumen PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian dokumen, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan tertentu antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok pada PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form E pada PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Dalam hal telah ditetapkan dokumen pemberitahuan pabean khusus untuk KEK, untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form E kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form E kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO);
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan tertentu antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok pada pemberitahuan pabean pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form E pada pemberitahuan pabean pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK secara benar.
Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/ Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, menyerahkan Dokumen Pelengkap Pabean dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan.
Dalam hal penyerahan dokumen secara elektronik telah tersedia dalam SKP, Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat diserahkan secara elektronik.
Lembar asli SKA Form E sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat __ (9) meliputi:
lembar asli dari SKA Form E atas barang yang diimpor;
lembar asli Movement Certificate ;
lembar asli SKA Form E Issued Retroactively , dalam hal SKA Form E diterbitkan lebih dari 3 (tiga) hari sejak Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi;
lembar asli SKA Form E pengganti ( Certified True Copy ), dalam hal SKA Form E asli rusak atau hilang; atau e. lembar asli SKA Form E sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, yang telah dikoreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4).
SKA Form E sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (9) harus masih berlaku pada saat:
Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
pemberitahuan pabean impor __ untuk ditimbun di TPB;
pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB;
PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean; atau
pemberitahuan pabean pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean, mendapat nomor pendaftaran dari Kantor Pabean.
Negara Anggota pengekspor kedua dapat menerbitkan Movement Certificate berdasarkan SKA Form E yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.
Movement Certificate sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
memenuhi ketentuan mengenai penerbitan SKA Form E sebagaimana diatur dalam Pasal 7;
berisi informasi yang sama dengan SKA Form E yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama, kecuali jumlah barang;
total jumlah barang yang tercantum pada Movement Certificate tidak boleh melebihi jumlah barang yang tercantum pada SKA Form E yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama;
mencantumkan nilai invoice barang di Negara Anggota pengekspor kedua pada kolom 9 Movement Certificate ;
masa berlaku Movement Certificate tidak boleh melebihi masa berlaku SKA Form E yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama;
nama eksportir yang tercantum dalam Movement Certificate harus sama dengan nama Importir yang tercantum dalam SKA Form E yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama;
mencantumkan nama Instansi Penerbit SKA di Negara Anggota pengekspor pertama, tanggal penerbitan dan nomor referensi SKA Form E yang diterbitkan Negara Anggota pengekspor pertama pada kolom 7 Movement Certificate ;
khusus untuk Republik Rakyat Tiongkok, Movement Certificate harus diterbitkan oleh otoritas pabean, sedangkan untuk Negara Anggota ASEAN diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA; dan
pemberian tanda ( √ ) atau ( X ) pada kolom 13 Movement Certificate kotak “ Movement Certificate” .
Dalam hal informasi pada Movement Certificate diragukan atau tidak lengkap, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, untuk menyerahkan copy atau pindaian SKA Form E dari Negara Anggota pengekspor pertama.