Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fokus memberikan peluang yang besar untuk menggerakkan ekonomi nasional. Namun, peluang ini belum digali secara optimal, sehingga penyelenggaraan ibadah haji belum memberikan dampak positif yang signifikan bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Setiap tahun, jumlah umat Islam Indonesia yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji terus mengalami peningkatan, sementara kuota haji yang tersedia sangat terbatas. Akibatnya, terjadi peningkatan jumlah jemaah haji tunggu dalam jumlah besar. Peningkatan jumlah jamaah haji tunggu itu menimbulkan terjadinya penumpukan dana jamaah haji dalam jumlah besar. Akumulasi jumlah dana jamaah haji yang terus bertambah tersebut memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai manfaatnya dalam rangka mendukung peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Peningkatan nilai manfaat dana jamaah haji itu hanya bisa dicapai melalui pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Pengelolaan keuangan haji dilakukan dalam bentuk investasi yang nilai manfaatnya digunakan untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, efisiensi BPIH, serta untuk kemaslahatan umat Islam. Terbitnya Undang Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji menjadi terobosan dalam pengelolaan dana haji di Indonesia. Undang-undang ini mewajibkan pembentukan BPKH sebagai badan hukum publik yang independen untuk mengelola dana haji dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Menteri Agama. Meski UU No. 34/2014 sudah dikeluarkan sejak 2014, anggota BPKH baru dilantik pada 2017 oleh Presiden RI dan resmi beroperasi pada 2018. Dengan dibentuknya BPKH, dana haji dapat dikelola menjadi lebih produktif sehingga dapat memberikan manfaat lebih bagi para penabung sebagai penerima manfaat utama dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam. Dalam pengelolaan dana haji ini, BPKH perlu mempertimbangkan faktor- faktor seperti pemilihan instrumen berisiko rendah, penciptaan nilai tambah bagi penabung haji, dan penyelenggaraannya harus sesuai dengan prinsip syariah. Saat ini, terdapat tantangan sendiri atas optimalisasi pemanfaatan dana haji oleh BPKH ini. Hal ini terlihat dari adanya pembatasan proporsi penempatan dan investasi dana haji (sesuai dengan PP 5/2018). Dari nilai total penempatan dan/atau investasi, penempatan dana haji pada produk perbankan hanya boleh sebesar maksimal 30%, investasi dalam bentuk emas maksimal 5%, investasi langsung maksimal 20%, investasi lainnya maksimal 10%, dan sisanya harus ditempatkan dalam bentuk surat berharga. Aturan pembatasan ini menjadi kendala bagi BPKH dalam bergerak untuk berinvestasi pada sektor-sektor yang produktif demi pemberdayaan ekonomi umat. Pengalaman dari Malaysia Dana haji di Malaysia dikelola oleh Tabung Haji Malaysia (TH Malaysia). TH Malaysia merupakan lembaga atau entitas yang berhubungan dengan Kerajaan Malaysia dibawah naungan Menteri Agama Islam Malaysia. TH Malaysia adalah sebuah model manajemen haji yang terintegrasi. Meskipun berada di bawah Kementerian Agama dan dikelola oleh Pemerintah Malaysia, pola kerja TH Malaysia ini menyerupai tata kelola korporasi dengan organisasi manajemen perusahaan sendiri, dan berorientasi pada pendekatan bisnis di dalam pengembangannya. Dalam mengelola dana haji, TH Malaysia selalu berpegang pada prinsip-prinsip syariah dengan tetap mempertimbangkan keuntungan yang kompetitif untuk keperluan jamaah. Dana diinvestasikan di perusahaan atau di tempat-tempat yang tidak ada unsur maksiat sedikitpun. Semua dana dijalankan dengan sangat hati-hati dengan melihat sektor usaha yang Islami. Setiap tahunnya Tabung Haji sudah membayarkan zakat nasabah kepada Pusat Zakat pemerintah sebesar 2,5 persen. Jadi nasabah haji tidak perlu bingung menghitung berapa zakatnya pada tahun tersebut karena masalah tersebut sudah diurus oleh Tabung Haji. Semua fasilitas dan manfaat dirasakan langsung oleh nasabah secara terus- menerus, karena selain mereka mendapatkan uang dari hasil keuntungan, zakatnya pun sudah dibayarkan, dan bila mau berangkat haji semuanya diurus penuh oleh Tabung Haji Malaysia. Selain itu nasabah
Fokus listrik ke seluruh pelosok tanah air, dan (iii) peningkatan literasi keuangan. Subsidi ponsel untuk kelompok unbanked population bisa dilakukan dengan membagi beban antara pemerintah (APBN) dan dana CSR BUMN. Basis dari kiat ini adalah theories of financial inclusion funding . Beberapa studi mengatakan kepemilikan ponsel berkorelasi positif dengan peningkatan inklusi keuangan dan kinerja ekonomi. Kepemilikan ponsel memungkinkan lembaga jasa keuangan dapat melakukan ekspansi pelayanan menggunakan uang seluler ( m‐money ) atau perbankan seluler ( m‐banking ) dan asuransi seluler. Sedangkan perluasan jaringan internet dan jaringan listrik tentu membutuhkan investasi pemerintah di bidang infrastruktur. Praktik seperti ini dilakukan oleh beberapa negara di Afrika seperti Peru dan Ghana (Aker dan Mbiti, 2010). Apabila kiat tersebut dinilai mahal, maka pemerintah bisa menggunakan pendekatan yang selektif __ __ __ __ Public Good Theory of Financial Inclusion Theories of financial inclusion funding Vurnerable Group Theory of Financial Inclusion Dissatisfaction Theory of Financial Inclusion Penyampaian layanan keuangan formal ditujukan kepada seluruh penduduk ( to all ), tidak terkecuali. Inklusi keuangan harus didanai bersama oleh sektor publik dan swasta (Dashi et al, 2013; Cobb et al, 2016). Ada yang berpendapat bahwa uang publik (dari pembayar pajak) harus digunakan untuk mendanai program dan kegiatan inklusi keuangan (Marshall, 2004). Vurnerable members of society , seperti masyarakat miskin ( poor population ), penduduk usia muda ( young people ), perempuan atau ibu rumah tangga ( women ) dan orang tua ( elderly ). Mendahulukan individu yang sebelumnya tergabung dalam sektor keuangan formal, tetapi meninggalkan sektor keuangan formal karena mereka tidak puas dengan peran keterlibatan dalam sektor keuangan formal Grafik 5: Teori Cara Mencapai Inklusi Keuangan ( Dissatisfaction Theory of Financial Inclusion ), yaitu mendahulukan kelompok masyarakat yang sudah inklusif tetapi keluar dari sistem keuangan atau kembali menjadi exclusion people . Caranya pemerintah atau OJK bisa mendorong perbankan untuk memberikan insentif kepada para mantan nasabah sesuai tingkat kepusasan atau ekspektasi mereka. Pemerintah dan OJK juga bisa mendorong lembaga jasa keuangan untuk memperbaiki efisiensi operasionalnya, sehingga cost of fund bisa ditekan dan lending rate bisa lebih rendah sesuai kebutuhan. Begitu juga deposan skala mikro yang sudah menarik semua simpanannya sehingga dana simpanan nyaris nihil. Kiat lainnya, pemerintah bisa menggunakan konsep naik kelas. Ini bisa menggunakan jalur bantuan sosial yang selama ini dilakukan pemerintah setiap tahun ( Vurnerable Group Theory of
Fiskal Internasional peralatan dan pasokan medis dengan mendorong fasilitas perdagangan. Pilar kedua berfokus pada menyediakan bantuan bagi kelompok rentan dan menjaga kondisi ekonomi agar mampu pulih dengan kuat setelah pandemi teratasi. Anggota G20 telah mengambil langkah drastis dengan memberikan bantuan bagi dunia bisnis, rumah tangga dan bantuan atas pendapatan bagi individu serta perusahaan. IMF mencatat bantuan fiskal yang telah dipersiapkan anggota G20 mencapai 11 triliun dolar AS dengan fokus untuk melindungi nyawa dan meredam dampak ekonomi akibat kebijakan untuk meredam penyebaran virus COVID-19. Penyediaan bantuan bagi kelompok rentan dan pemulihan ekonomi ini memiliki tantangan utama dari sisi pendanaan. Ruang fiskal negara yang berbeda-beda besarnya menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan negara dalam menyediakan bantuan tersebut. Hal ini lebih menantang khususnya bagi negara berkembang dan berpendapatan rendah yang memiliki kapasitas meminjam lebih rendah dibanding negara maju. Pemberian bantuan yang tepat menjadi kunci untuk bisa mencapai hasil yang efektif sesuai tujuan. Berbagai bentuk bantuan seperti rekapitalisasi dan penjaminan kredit, pemotongan pajak bagi bisnis, bantuan tunai kepada perusahaan agar dapat mempertahankan pegawainya, memberikan cuti sakit yang lebih panjang adalah bantuan yang disediakan untuk sektor bisnis, terkhususnya UMKM. Bagi individu, pemerintah memberikan bantuan agar memiliki kapasitas finansial untuk bertahan hidup dengan memberikan unemployment benefit , akses terhadap bahan makanan bagi kelompok miskin dan bantuan langsung tunai. Pemerintah dibantu bank sentral dalam pemberian bantuan bagi perekonomian. Bank sentral siap melakukan semua yang diperlukan selama masih dalam mandatnya demi menyediakan bantuan juga. Kebijakan yang telah diambil oleh bank sentral sejauh ini mampu meminimalisir risiko ketidakstabilan sektor keuangan dan penyediaan likuiditas yang cukup untuk perekonomian dapat bertahan menghadapi krisis. Terkait program pemulihan ekonomi, pemimpin G20 juga menghimpun dan mengkoordinasikan aksi kebijakan di bidang perdagangan internasional yang terganggu. Arah kebijakan perdagangan G20 berbalik dari yang semula banyak menghambat perdagangan ^2 , menjadi memfasilitasi perdagangan ^3 . Pilar ketiga adalah komitmen untuk memiliki pemulihan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif. Anggota G20 berada pada tahap yang berbeda-beda dalam krisis ini dan ada yang sudah mulai memikirkan exit strategies . Hal ini membuat komitmen untuk memenuhi pilar ketiga berfokus pada: (i) pertukaran informasi yang mencakup kebijakan pengendalian penyebaran COVID-19 yang diambil, tingkat persebaran COVID-19, dan upaya pembukaan kembali ekonomi; (ii) kesepakatan untuk memperkuat ketahanan pada global supply chain dan investasi internasional serta dukungan pada sistem perdagangan multilateral; (iii) memberikan bantuan bagi pekerja melalui pelatihan, reskilling dan kebijakan pasar tenaga kerja yang aktif; (iv) melakukan reformasi struktural dengan tujuan untuk peningkatan produktivitas pada jangka menengah; (v) memastikan tercapainya pembiayaan publik yang berkelanjutan dan memperbaiki balance sheets pemerintah demi mengantisipasi tantangan di masa mendatang; (vi) mendorong investasi infrastruktur yang berkualitas dan meningkatkan mobilisasi pendanaan swasta; serta (vii) mendukung kebijakan pertumbuhan yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan inklusif. 2 Menurut UNCTAD dan WTO pada periode sebelum pandemi 3 Sebesar 70% dari kebijakan perdagangan yang terkait dengan COVID-19 kini merupakan kebijakan yang justru memfasilitasi perdagangan.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Pajak Internasional Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks M. Rifqy Nurfauzan Abdillah dan Pungki Yunita Chandrasari, pegawai pada Badan Kebijakan Fiskal MEDIAKEUANGAN 40 FENOMENA RACE TO THE BOTTOM DALAM P ada abad ke-21, negara- negara berlomba-lomba untuk menurunkan tarif pajak dan menawarkan insentif pajak dalam rangka menarik arus investasi global. Globalisasi dan perdagangan bebas menuntut adanya pergerakan bebas ( free movement ) faktor-faktor produksi, salah satunya adalah modal. Untuk mendapatkan modal, negara menawarkan insentif dalam bentuk pemotongan tarif PPh Badan, insentif pajak, atau deregulasi perpajakan. Hal ini mengakibatkan persaingan pajak antarnegara terjadi. Tingginya angka pengganda dari shock yang ditimbulkan dari investasi menyebabkan persaingan perebutan investasi asing atau foreign direct investment (FDI) menjadi sengit. Sebagai konsekuensi dari kompetisi, fenomena “ race to the bottom ” dalam hal penurunan tarif dan obral insentif pajak seringkali tidak dapat dihindari dan mengganggu sistem pajak negara- negara di dunia. Di sisi lain, Indonesia baru-baru ini bergabung dengan tren yang ada untuk menyesuaikan tarif PPh yang berlaku yaitu sebesar 22 persen untuk tahun 2020 dan 2021 serta akan turun menjadi 20 persen mulai tahun 2022. Selain itu, ada tambahan pengurangan 3 persen lebih rendah dari tarif yang disebutkan di atas, terutama untuk perusahaan publik dengan 40 persen total sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu. Terkait insentif pajak, Indonesia baru saja merilis fasilitas pajak baru dalam bentuk tax allowance sebagai pelengkap kebijakan tax holiday yang masih berlaku. Filipina sebagai negara yang mengenakan tarif PPh Badan tertinggi di ASEAN juga mencoba menawarkan skema insentif pajak baru bersama dengan pengurangan tarif PPh badan dalam rancangan undang-undang baru mereka. Dari tren ini, kita memiliki dua pertanyaan yang perlu dijawab. Pertama, apakah tidak masalah bagi Indonesia untuk mengikuti race ini dan yang kedua apakah Indonesia memiliki semua kualitas pajak yang diperlukan untuk menarik investasi. IMF sendiri sudah memberitahukan bahwa persaingan pajak di antara negara-negara ASEAN dapat merusak penerimaan negara. Persaingan pajak akan menguntungkan investor sementara kebutuhan untuk mendanai belanja publik semakin besar. Jadi, apakah keputusan Indonesia untuk menurunkan tarif dalam rangka meningkatkan investasi salah? Jawaban sederhananya tidak, karena itulah yang diperlukan untuk menggaet FDI. Secara global, FDI telah secara signifikan terbukti meningkatkan kontribusi PDB dari 8 persen di tahun 1990 menjadi 31 persen di tahun 2009. Dalam hal persaingan pajak, inisiatif pajak global diperlukan untuk memastikan adanya sebuah level playing field . OECD telah menetapkan standar internasional tentang transparansi pajak yang mengarah pada penerapan informasi pertukaran untuk tujuan pajak guna memerangi penggelapan pajak. Sementara masalah celah diselesaikan, hal tersebut tidak menghentikan negara-negara untuk memberikan insentif dan mengurangi tarif pajak mereka. Forum on Harmful Tax Practice OECD telah menilai rezim pajak preferensial dari negara-negara yang menyediakan banyak fasilitas pajak. Hal ini mengarah ke adanya basis pajak yang rendah, yang cenderung ke persaingan tidak sehat. Harmonisasi kebijakan perpajakan diperlukan untuk mencegah adanya rezim tersebut meskipun pada dasarnya suatu negara tidak bisa melarang kebijakan perpajakan negara lain karena itu merupakan suatu kedaulatan. Sejatinya persaingan pajak tidak hanya diidentifikasi dari tarif pajak, tetapi juga perlu melihat sistem perpajakan dan administrasi pajak suatu negara. Sebagian besar negara di ASEAN mengadopsi worldwide income , kecuali Malaysia dan Singapura yang menggunakan sistem territorial income . Didukung dengan tarif PPh badan yang rendah, pernyataan OECD menegaskan bahwa penggunaan sistem pajak teritorial merupakan salah satu indikasi kebijakan pajak yang hamful bagi rezim pajak preferensial. Di sisi lain, paying taxes di Singapura menduduki peringkat terbaik di kawasan ASEAN. Singapura jauh lebih unggul dalam administrasi urusan perpajakan dengan hanya membutuhkan 82 jam setahun sedangkan di Indonesia membutuhkan 259 jam setahun untuk memenuhi kewajiban pajak berdasarkan laporan yang dirilis oleh PwC dalam Paying Taxes 2014. Terlepas dari faktor non-pajak, faktor pajak memang memainkan peranan penting sebagai salah satu faktor investasi. MENA-OECD mendefinisikan faktor-faktor pajak yang mempengaruhi FDI sebagai tarif pajak, insentif pajak dan administrasi pajak. Salah satu kriteria administrasi pajak yang ideal adalah kepastian. Setiap investor menginginkan tingkat kepastian tertentu untuk pengembalian investasi mereka. Oleh karena itu, ketidakstabilan dan ketidakpastian dalam penerapan undang-undang perpajakan dan administrasi perpajakan dapat menghambat tujuan tersebut. Otoritas pajak dapat meningkatkan kepastian dengan memperbaiki hal-hal tertentu, seperti memastikan pemahaman yang sama antara wajib pajak dan pemeriksa tentang penerapan suatu peraturan dan meningkatkan kualitas mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif. Langkah Indonesia dalam hal tarif dan insentif pajak sudah cukup memadai. Pada tahun 2022, tarif PPh Badan Indonesia akan bisa bersaing dengan Singapura. Indonesia juga sepenuhnya mematuhi standar internasional, dengan rezim yang lebih fair dan sehat tidak seperti Singapura. Race to the bottom adalah fenomena yang tidak terelakkan di dunia perpajakan saat ini, termasuk bagi Indonesia. Apabila ditambah dengan upaya untuk meningkatkan standar administrasi pajak yang ada saat ini, Indonesia bisa berpotensi menempati posisi teratas sebagai negara tujuan investasi. Ilustrasi Dimach Putra
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @achintyameswari: Nomor 3, karena dengan terbatasnya ruang gerak kita beberapa bulan terakhir, pandemi menunjukkan bahwa shifting ke teknologi digital makin tak terelakkan jika tak ingin makin tertinggal. Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Presiden Joko Widodo dalam pidato penyampaian Nota Keuangan beberapa waktu yang lalu menyebutkan kebijakan APBN 2021 diarahkan untuk: 1. percepatan pemulihan ekonomi nasional 2. reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas, inovasi, daya saing 3. percepatan transformasi ekonomi menuju era digital 4. pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi Jika menjadi Menteri Keuangan, program mana yang akan Anda beri alokasi anggaran terbanyak dan mengapa? @mike_adty: 1. Percepatan PEN karena belum ada kepastian kapan pandemi berakhir. Perlu percepatan dan berlangsungnya kesinambungan program ini untuk mengurangi dampak ekonomi dan imbasnya bagi masyarakat. 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 156 / SEPTEMBER 2020 Rahayu Puspasari Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu Pilih Mitra Distribusi Anda! Informasi lebih lanjut: www.kemenkeu.go.id/sukukritel djpprkemenkeu @DJPPRKemenkeu DJPPRKemenkeu DJPPRKemenkeu Imbal hasil (fixed rate) 6,05% p.a. Masa Penawaran 28 Agt - 23 Sep 2020 Dapat diperdagangkan Rp Minimum Pemesanan Rp1 juta #InvestasiRakyatPenuhManfaat SR013 SUKUK RITEL SERI Cintai Negeri dengan Investasi Menggandeng Optimisme dan Realitas B agaimana hawa pagi di sekitarmu? Beberapa waktu terakhir, udara dingin sering menusuk badan ketika dini hari menjelang. Puncak musim kemarau nampaknya sudah ada di depan mata. BMKG menuturkan hawa dingin yang terasa saat tengah malam dan bahkan terasa lebih dingin lagi menjelang pagi adalah fenomena penanda puncak musim kemarau tiba. Namun BMKG juga memprediksi puncak kemarau baru akan terjadi di awal September dan udara dingin akan kembali terasa. Itu adalah sebuah prediksi. Dari perkara prediksi cuaca, kita beralih ke prediksi ekonomi di tahun depan. Meski pandemi masih belum berhenti, pemerintah tetap fokus mempersiapkan diri menghadapi tahun 2021 yang sudah di depan mata. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo melalui pidatonya telah menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 pada sidang tahunan MPR/DPR. Nota Keuangan dan RAPBN 2021 berisi prediksi atau asumsi dan target pemerintah yang akan menjadi acuan pelaksanaan berbagai program pemerintah dan pengelolaan keuangan negara di tahun depan. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menegaskan beberapa program yang menjadi fokus pemerintah untuk tahun 2021 mendatang. Program- program tersebut antara lain percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19; reformasi struktural; percepatan transformasi ekonomi menuju era digital; serta pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi. Sama halnya dengan ketidakpastian perubahan suhu cuaca antara siang dan malam yang akhir-akhir ini bisa sangat drastis terjadi, RAPBN 2021 ini juga disusun dengan mengantisipasi ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia di tahun depan. Meski di tengah situasi yang serba tidak pasti, penyusunan RAPBN 2021 mengusung semangat optimisme namun tetap realistis. Optimisme dan realitas sama-sama diusung dan dituangkan dalam RAPBN 2021. Optimisme tersebut salah satunya terlihat dari asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipatok tumbuh mencapai 4,5 persen - 5,5 persen di tahun depan. Namun demikian, program percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19 tetap terus dilakukan. Nota Keuangan dan RAPBN 2021 adalah dokumen milik bersama, tidak hanya milik Kementerian Keuangan maupun pemerintah saja. Publik atau masyarakat juga diharapkan dapat turut memberikan masukan sekaligus pengawasan dalam pelaksaannya nanti. Di edisi ini, pembaca dapat memperoleh info lebih detil mengenai isi dari RAPBN 2021. Semoga pengalaman pandemi COVID-19 di tahun ini justru menjadi momentum untuk melakukan perbaikan dan reformasi di berbagai bidang sehingga cita-cita bangsa yaitu mewujudkan Indonesia Maju dapat segera tercapai. Selamat membaca!
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” tutur Masyita Crystallin, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi. Masyita menambahkan latar belakang dikeluarkannya Perppu Nomor 1/2020 adalah untuk memperkuat APBN. “Krisis saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang pernah dialami di tahun 1930, 1997 atau 2008. Di tahun- tahun tersebut, krisis dimulai dari sektor keuangan tetapi krisis sekarang langsung menyentuh sektor riil akibat keterbatasan interaksi. Untuk itu, kita berusaha membuat APBN menjadi shock absorber ,” terang Masyita. Abra Talattov, Ekonom INDEF juga berpendapat bahwa dari sisi stimulus fiskal kebijakan pemerintah saat ini sudah sejalan dengan upaya yang dilakukan negara lain. Menurutnya, penerbitan Perppu Nomor 1/2020 adalah langkah yang baik tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Jika saya lihat di dalam Perppu itu sudah lengkap instrumennya. Dari sisi anggaran itu variasinya cukup lengkap dan semua elemen masyarakat sudah tersasar mulai dari rumah tangga, industri, UMKM bahkan usaha kecil mikro. Namun, sisi efektivitas dan kecepatan ini perlu diperhatikan. Anggaran ada tetapi faktor kecepatan penyalurannya juga akan berpengaruh untuk daya beli masyarakat. Selain itu, Perpu ini memiliki risiko sebab defisit fiskal boleh lebih dari 3 persen. Perlu dijaga agar tetap dalam batas yang aman sesuai kondisi kesehatan APBN,” ujar Abra. Tangani asapnya, padamkan apinya Terkait insentif perpajakan dan bea masuk, ahli kesehatan masyarakat, Prof. Hasbullah Thabrany berpendapat bahwa kebijakan tersebut baik tetapi belum menangani akar permasalahan. “Ibarat kebakaran, ada asap dan api. Apinya itu COVID-19, panasnya adalah pelayanan kesehatan dan efek sosial ekonominya itu asap. Kebijakan insentif pajak dan bea masuk impor itu logis dan bagus tetapi baru menangani asapnya. Pembelian ventilator dan pembukaan rumah sakit itu baru menangani panasnya. Lalu apa kebijakan pemadaman apinya? Ya, PSBB”, ujar guru besar FKM UI ini. Ia menambahkan bahwa kebijakan yang diambil dari alokasi Rp405 triliun itu sifatnya lebih ke balancing . “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” jelasnya. Hal senada juga diungkap Abra. Menurutnya stimulus seperti pembebasan impor alat kesehatan baik pajak maupun bea masuk membantu tetapi dalam jangka pendek dan perlu diperhatikan target lamanya kebijakan tersebut. “Dalam satu bulan stimulus yang diberikan lumayan besar sekitar Rp170 miliar. Dikhawatirkan jika terus berlanjut maka akan menjadi disinsentif bagi industri alat kesehatan dan farmasi di dalam negeri,” tambahnya. Bukan sekedar nominal tetapi efektivitas alokasi Berbicara mengenai besaran anggaran belanja kesehatan, Masyita menuturkan bahwa saat ini kesehatan menjadi prioritas pemerintah. Namun demikian, ini bukan semata soal alokasi anggaran tetapi juga soal peningkatan kualitas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan itu sendiri. “Jadi di Kemenkeu itu evidence based policy. Kita memiliki data pengeluaran K/L harian lalu data tersebut dianalisa. Kita memperhatikan kemampuan disbursement dari K/L. Saat ini, anggaran kesehatan penanganan COVID-19 sebesar 75 triliun. Jika dilihat datanya, hingga Maret belum terlihat lonjakan pengeluaran yang signifikan. Jadi, kita menunggu data April-Mei untuk melihat apakah perlu anggaran tambahan,” jelasnya. Abra juga menjelaskan “Jika dilihat, porsi belanja kesehatan APBN 2020 sebesar 5,2 persen sudah memenuhi mandat UU Kesehatan. Namun, perlu dievaluasi efektivitasnya terutama dalam mendorong kualitas pelayanan kesehatan. Saat ini, tentu ada lonjakan kebutuhan mendadak untuk penanganan COVID-19. Ke depannya, bisa dimandatorikan sebesar 1-1,5 persen terhadap belanja sebagai biaya tak terduga untuk mitigasi risiko bencana alam dan non alam,” ungkapnya. Harapan kebijakan di masa depan Pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran dalam pengambilan kebijakan khususnya untuk sektor kesehatan di masa depan. Momentum ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi. “Saya pikir kedepannya stimulus diarahkan untuk mendorong riset dan pengembangan serta investasi sektor farmasi. Pemerintah perlu mengarahkan dana riset di lintas K/L ini agar sinergis sehingga dapat menciptakan produk alkes dan farmasi buatan Indonesia. Ini juga jadi momentum bagi BUMN di sektor farmasi untuk menggenjot daya saing. Harapannya BUMN farmasi ini bisa mulai bersaing di pasar domestik dan jangka panjang punya potensi melakukan ekspor,” harap Abra. Hal senada juga diungkap Prof. Hasbullah, ia mengakui bahwa investasi sebuah negara di bidang kesehatan berhubungan dengan keberhasilan menangani COVID-19. Ia juga menambahkan bahwa edukasi publik yang sistematis terkait kesehatan adalah kebijakan yang belum muncul namun sangat dibutuhkan. “Kalau saya lihat kebijakan yang belum muncul dan yang secara sistematik efektif adalah mass education dalam kasus ini. Saat ini yang terjadi mass education nya pada media tetapi tidak praktikal dari pemerintah ke masyrakat. Perlu komunikasi melalui kelompok-kelompok tertentu dengan tetap menjaga jarak dengan tujuan mendorong terjadinya perubahan perilaku,” ucapnya. Sementara itu, Masyita berharap pandemi ini dapat dilalui dengan baik dan masyarakat yang terdampak bisa mendapat bantuan yang dibutuhkan. Ia juga berharap setelah pandemi berakhir perekonomian akan lebih baik. “Memang tidak mudah menghadapi ini baik buat Indonesia maupun semua negara di dunia. Bahkan negara maju pun mengalami kesulitan. Sektor ekonomi berusaha kita selamatkan sebab kita tidak mau masyarakat kehilangan pekerjaan akibat sektor industri terlanjur mati. Namun, terkadang media selalu membenturkan kalau menjaga ekonomi itu tidak menjaga manusianya. Padahal jika sektor riil itu jatuh yang rugi masyarakat juga,” pungkasnya. “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” Pandemi COVID-19 ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi Foto Resha Aditya Prof. Hasbullah Thabrany ahli kesehatan masyarakat “...dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah jelas terlihat bahwa yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” Masyita Crystallin Staf Khusus Menteri Keuangan 11 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020