Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.05/2015 tentang Pedoman Penyusunan dan Penyampaian Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga ...
Surat Berharga Syariah Negara
Pengujian UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap
Ayat (1) : Untuk memperoleh penetapan sebagai Kawasan Pabean, Pengelola Pelabuhan Laut, Bandar Udara atau Tempat Lain mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 G. Surat Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai (KWBC) Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Penindakan dan Penyidikan, Direktur Perencanaan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai (PPKC), dan Kepala Pusat Kepatuhan Internal (PUSKI) Nomor S-70/BC/2014 tanggal 30 Januari 2014 hal Keberadaan Kawasan Pabean Terkait Pemenuhan Kewajiban Pabean menyatakan:
“Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa: pemenuhan kewajiban pabean dianggap sah apabila:
dilakukan di kantor pabean;
ii. kantor pabean tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan iii. penerimaan atas pungutan negara disetorkan ke kas negara b. keberadaan Kawasan Pabean dimaksudkan untuk memudahkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam melakukan pelayanan dan pengawasan kepabeanan, sehingga sahnya pemenuhan kewajiban pabean tidak tergantung adanya kawasan pabean”. H. Angka 2, angka 5, dan angka 6 Surat Plh. Direktur PPKC kepada Kakanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor S-441/BC.8/2015 tanggal 21 Mei 2015 hal Penegasan Kewajiban Pabean di Perbatasan Darat Kalimantan Bagian Barat menyatakan: Angka 2 : Kawasan perbatasan darat antar negara yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi merupakan simpul utama transportasi/perdagangan wilayah (domestik) dan internasional, termasuk kegiatan perdagangan impor dan ekspor yang di dalamnya terdapat kewajiban pabean Angka 5 : Kewajiban pabean sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam UU Kepabeanan, termasuk di antaranya pengajuan pemberitahuan pabean, pemeriksaan dokumen, pemeriksaan fisik barang, pembongkaran, penimbunan, dan pemungutan fiskal Angka 6 : Sesuai dengan Pasal 5 UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Kantor Pabean merupakan tempat pemenuhan kewajiban pabean atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean baik melalui pelabuhan laut, Bandar udara termasuk pos lintas batas Negara;
Bahwa pada sekira bulan Agustus 2014 Pemohon dikejutkan dengan dikenakannya Perkara Tindak Pidana Korupsi terhadap dirinya, yang selanjutnya diketahui bahwa dasar persangkaan Tindak Pidana Korupsi a quo adalah adanya kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong dengan menggunakan dokumen PIB, yang menurut penafsiran aparat Penegak Hukum (POLRI dhi. Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Kejaksaan dhi. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat) bahwa Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang berada dibawah Wilayah Pengawasan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong tidak berhak melakukan kegiatan ekspor-impor, dikarenakan para aparat penegak hukum memahami Penjelasan Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan hanya sebatas pada “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai”, dengan mengesampingkan frasa “ dan menetapkan kantor pabean” .
Bahwa Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan Barat adalah Kantor yang berada dibawah Direktorat Jenderal dan Bea Cukai yang bertugas untuk terpenuhinya dan/atau dilaksanakannya semua kegiatan dibidang kepabeanan dan dikenal dengan sebutan “Kantor Pabean” sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa wilayah kerja “Kantor Pabean” Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan Barat meliputi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong yang sejak tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 1995 sudah melakukan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB.
Bahwa ketika para aparat Penegak Hukum tidak hati-hati dalam melakukan penafsiran atas penjelasan dalam pasal suatu Undang-undang, dikarenakan Penjelasan pasal suatu Undang-Undang memang tidak begitu detil, yang berakibat terampasnya kemerdekaan seseorang, maka hal demikian ini merugikan hak konstitusional Pemohon serta mengakibatkan terlanggarnya Asas Kepastian Hukum.
Bahwa berdasar pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Asas-asas umum penyelenggaraan Negara meliputi: (vide bukti tambahan P-21) 1. Asas Kepastian Hukum;
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
Asas Kepentingan Umum;
Asas Keterbukaan;
Asas Proporsionalitas;
Asas Profesionalitas; dan
Asas Akuntabilitas Bahwa berdasar Penjelasan Pasal 3 Angka 1 tentang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yang dimaksud dengan "Asas Kepastian Hukum" adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Bahwa dengan ini Pemohon merasa dirugikan ketika dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak mengatur secara tegas terkait kawasan pabean dan kantor pabean sehingga menimbulkan pemaknaan dan atau penafsiran, khususnya oleh para aparat penegak hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang dialami oleh Pemohon.
Bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/ 2015/Pn.Ptk para aparat penegak hukum mengadili Pemohon telah melakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 perbuatan tindak pidana korupsi berdasar pada Penafsiran Subjektif atas suatu penjelasan pasal dalam undang-undang, tanpa mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yang ada maka Asas Kepastian Hukum pun seakan telah MATI.
Bahwa aparat penegak hukum seakan-akan mengabaikan fakta bahwa PPLB Entikong adalah masuk dalam wilayah kerja KPPBC Entikong, dimana KPPBC Entikong adalah Kantor Pabean yang sejak lahirnya Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan telah melakukan kegiatan Importasi dengan menggunakan dokumen PIB.
Bahwa sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, “ Untuk Pelaksanaan dan Pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, Kantor Pabean, dan pos pengawas pabean ”. Penjelasan: Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. 22. Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terkait Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean, tidak secara tegas menjelaskan tugas dan fungsi kantor pabean, sehingga mengakibatkan akan banyaknya pemaknaan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 atau penafsiran terkait kawasan pabean atau kantor pabean yang berhak untuk kemudian melakukan kegiatan ekspor impor. __ 23. Bahwa ketika tidak ada batasan dan atau pengertian yang tegas kawasan pabean atau kantor pabean yang berhak melakukan kegiatan ekspor impor sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, hal ini kemudian sangat merugikan hak konstitusional Pemohon yang bertugas selaku Kepala Sie kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong yang meliputi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong.
Bahwa pada faktanya KKPBC Entikong (kantor pabean) meliputi PPLB entikong sudah sejak tahun 1995 sejak Undang-Undang Nomor 10 tentang Kepabeanan lahir sudah melaksanakan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB, dalam artian sebenarnya Kantor Pabean juga sah untuk melakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB.
Bahwa kemudian pada faktanya juga aparat penegak hukum berpendapat yang berhak melakukan kegiatan ekspor impor hanyalah kawasan pabean dengan dasar pengertian “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai” 26. Bahwa kerugian Konsitusional pemohon jelas muncul ketika dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ” Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean”, tidak dimaknai sebagai satu kesatuan klausa, dimana yang berhak melakukan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang serta pengamanan keuangan Negara hanyalah kawasan pabean, dimana ada frasa kantor pabean dalam kalimat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 terakhir yang seharusnya dimaknai juga Kantor Pabean juga mempunyai tugas dan fungsi untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara.
Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini dirasakan kurang detil dan menimbulkan multitafsir sehingga kemudian menjadikannya bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari Pengelolaan Keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”, karena sangat merugikan Pemohon, dimana Pemohon sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya selaku Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong periode September 2008 sampai Maret 2011 memiliki kewajiban melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong untuk dapat dilakukannya pemungutan Bea Masuk (BM), PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor) dari kegiatan ekspor-impor yang terjadi di PPLB Entikong guna memenuhi APBN untuk membiayai belanja pegawai dan belanja pembangunan di seluruh Indonesia, namun dikarenakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara detil menegaskan terkait dimanakah sah nya untuk melakukan kegiatan ekpor impor tersebut, sehingga tugas dan fungsi Pemohon di kantor pabean dalam melakukan kegiatan ekpor impor juga dianggap tidak sah dan atau melanggar hukum.
Bahwa selanjutnya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini kemudian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” , hal ini dapat dilihat ketika Bahwa Pemohon selaku Kepala Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong periode September 2008 sampai Maret 2011 yang telah bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong guna dilakukannya pemungutan BM, PNBP, dan PDRI untuk memenuhi APBN, seyogianya mendapatkan perlakuan yang adil dan layak, namun hal ini kemudian menjadi bertolak belakang dimana yang didapat pemohon adalah penghukuman terhadap dirinya, dikarenakan tugas dan fungsi yang telah dilakukan Pemohon sebagai kepala sie kepabeanan dan cukai di KPPC Entikong meliputi PPLB Entikong dianggap melanggar hukum, dikarenakan tidak ada penegasan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa ketika Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak dimaknai dengan sempurna, maka mengakibatkan ketika menerapkan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan “ Penetapan kawasan pabean, Kantor Pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri” juga menjadi tidak lengkap.
Bahwa hal perkara tindak pidana korupsi yang dikenakan pada Pemohon berdasar pada Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan, dimana aparat penegak hukum mendasarkan bahwa PPLB entikong di bawah KPPBC Entikong adalah kawasa pabean, namun dikarenakan belum ada penetapan dari menteri keuangan, maka segala kegiatan ekpor impor yang dilakukan oleh PPLB Entikong dibawah KPPBC Entikong menjadi tidak sah.
Bahwa ketika kembali lagi mengkaji Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ketika memang tiak dimaknai secara mendalam yang akan muncul adalah hanya kawasan pabean yang berhak Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 padahal dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tersebut juga terdapat frasa “dan menetapkan kantor pabean”, dengan demikian sebenarnya kantor pabean juga bertugas untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara. Namun dikarenakan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tersebut tidak secara tegas menjelaskan dimanakah kegiatan ekspor impor dapat dilakukan, dikawasan pabean atau di kantor pabean, maka hal ini yang kemudian menjadikan munculnya berbagai pemaknaan dan/atau penafsiran (multitafsir) atas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa dalam pemeriksaan dipersidangan Perkara Tindak Perkara Korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/2015/Pn.Ptk pun telah dihadirkan ahli terkait legalitas PPLB Entikong dibawah KPPBC Entikong bisa melakukan kegiatan ekspor - impor, adapun keterangan ahli adalah sebagai berikut: - Dwiyono Widodo (Kasi Impor DJBC), menerangkan bahwa bisa dilakukan impor di PPLB Entikong, dasarnya Pasal 1 Permendag Nomor 36 tahun 1995, yaitu (perdagangan lintas batas tradisional dan luar negeri), penetapan Menkeu untuk Kantor KPPBC Entikong, penugasan Pegawai Skep Menkeu untuk Kepala Kantor dan Skep Dirjen Bea dan Cukai untuk Pejabat yang lain, job description /tupoksi pegawai sesuai PMK Nomor 87 Tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja Kemenkeu, dan ada penerimaan negara yang masuk ke Kas Negara, impor barang di Entikong ada 3, yaitu barang penumpang, lintas batas dan cargo umum, syarat- syarat sebagai importir SIUP, TDP, NPWP dan NIK, kriteria importasi dinyatakan sah, yaitu diajukan ke kantor Bea dan Cukai dasar pasal 5 ayat 1 UU Kepabeanan, tidak ada Tempat Penimbunan Sementara (TPS) bisa dilakukan importasi, alasannya TPS untuk menimbun, kalau di Entikong tidak ada penimbunan untuk apa ada TPS, ada dokumen (PIB, CD, dan KILB) dan dibayar BM, penetapan BM dasarnya adalah Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), penerimaan negara BM, PPN, dan PPh, di KPPBC Entikong ada PIB dengan jalur hijau (contoh impor listrik oleh PT. PLN), selain KPPBC Entikong ada kantor lain yang bisa dilakukan impor Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 meskipun belum ada penetapan kawasan pabean, pabean Entikong berarti kawasan pabean Entikong, surat tugas dari Direktur Teknis Kepabeanan, JPU Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UUK “untuk ... kawasan pabean dan pos pengawasan pabean (tanpa kantor pabean)”, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUK di KPPBC Entikong sudah sesuai karena barang sudah diajukan PIB, ditunjukkan contoh PIB (importir, pembayaran SSPCP ke loket, petugas siapa aja, SSPCP tanggal sama dengan PIB tanggal 24 Nop 2010 diterima Kasi Perbendaharaan Bonny Yulianto, penyetoran tidak ada masalah, yang penting pembayaran), di UU Kepabeanan tidak dikenal broker atau ekspedisi - Chatibul Umam (Kasi TPS DJBC), menerangkan bahwa bisa dilakukan impor di PPLB Entikong, bisa dilakukan proses importasi tanpa TPS karena TPS diperlukan apabila barang tidak langsung dikeluarkan, kalau langsung keluar berarti tidak diperlukan TPS, perbedaan Entikong dengan tempat lain (kalau pelabuhan besar perlu proses lebih lanjut), selain KPPBC Entikong ada 10 lebih Kantor BC yang bisa dilakukan impor meskipun belum ada penetapan kawasan pabean Atapupu, Jambi, Cilacap, dan Purwokerto, PMK dan Perdirjen tentang Penetapan Kawasan Pabean oleh Kakanwil berdasarkan permohonan Pengelola PPLB lebih dahulu, BC tidak bisa menetapkan kawasan pabean tanpa ada permohonan, persyaratan surat ijin usaha, bukti penguasaan lahan, NPWP, penunujukan sebagai lalu lintas barang dan denah lokasi - Prof. Zudan Arif Fakhrulloh (Staf Ahli Mendagri dan Ahli Hukum Administrasi), menerangkan bahwa diatur di Permendagri Nomor 18/2007 yaitu tradisional/PLB di bawah Bupati untuk Pas dan internasional/PPLB di bawah Gubernur untuk Pas/Paspor dan Ekspor-Impor, sampai saat ini tidak ada larangan dari Gubernur dimana UU Nomor 10/1995 ada BC yang menerima pemberitahuan pabean dan pungutan BM, tetapi yang mempunyai kewenangan satuan adalah instansinya, peran serta BNPP memfasilitasi CIQS: pembangunan besar-besaran sehingga lalu lintas ekspor-impor tidak terganggu karena diyakini ekspor-impor sudah berjalan, permohonan Pengelola PPLB/Gubernur belum ada sampai sekarang (sebagai Kantor sudah diberi kewenangan atributif sudah bisa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 melaksanakan kewenangannya), pejabat yang bertindak dengan ada skep, tupoksi, prosedur impor dijalankan, out put BM/PDRI ada dan sudah dilakukan pemeriksaan instansi vertikal dengan hasil tidak ada penyimpangan berarti tindakannya dilindungi oleh UU. Semua kantor BC diberikan target (pengakuan institusi untuk mendapat pungutan), negara menggarong berarti mengembalikan pembayarannya dan dokumennya dianggap batal, hasil inspektorat dilihat sebagai referensi, Pasal 15-21 UU Nomor 30/2014 kewenangan/prosedur/substansi benar dilindungi hukum (aparat yang jujur), Kantor Pabean unsur sentral di lintas batas sesuai konvensi internasional dan PPLB memberi manfaat dan dampak ekonomi buat masyarakat sekitar;
Bahwa dalam pemeriksaan di persidangan perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/2015/Pn.Ptk juga menghadirkan saksi fakta yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
M. Tomi (Kasi Penindakan dan Penyidikan KPPBC Entikong periode September 2008 s.d. Juli 2009), menerangkan bahwa kegiatan ekspor- impor bisa lewat PPLB Entikong, dasarnya pasal 2 dan 5 UU Kepabeanan, tupoksi berdasarkan permenkeu, ada kegiatan penyidikan pelanggaran kepabeanan dan cukai dengan hasil P-21, dibenarkan melakukan penyidikan dan tidak ada larangan, semua importir sudah mempunyai ijin, yaitu SRP dari Bea dan Cukai, API dari Perdagangan, NPWP dari Pajak, tidak mengenal broker, mengetahui bukti PIB Nomor 50 tgl 8 Apr 2009, Abang Mulyadi pengawas pemeriksa, sudah ditandatangani dan stempel importir, PIB Nomor 52 tgl 13 Apr 2009, Dikki pengawas pemeriksa, pengajuan PIB sudah ditandatangani importir, mengetahui sosialisasi Permendag Nomor 56 tahun 2008 dengan hasil pembatasan barang impor tertentu dan untuk KILB tidak berlaku, tidak ada pemberitahuan dari importir kalau perusahaan dipinjam, ada laporan penegahan berupa 15 harian ke kanwil dan kantor pusat.
Wahid Ali Graha (Kasi Penindakan dan Penyidikan KPPBC Entikong periode Agustus 2009 s.d. Oktober 2010), menerangkan bahwa kegiatan ekspor-impor bisa melewati PPLB Entikong, dasarnya Pasal 2 dan Pasal 5 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 10 Tahun 1995 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 tentang Kepabeanan, tupoksi berdasarkan permenkeu, ada kegiatan penyidikan pelanggaran kepabeanan dan cukai dengan hasil P-21, dibenarkan melakukan penyidikan dan tidak ada larangan, semua importir sudah mempunyai ijin, yaitu SRP dari Bea dan Cukai, API dari Perdagangan, NPWP dari Pajak, tidak mengenal broker, mengetahui bukti PIB tanggal 8 Sep 2009 PT. SGB, tanggal PIB dan tanggal tanda tangan importir sama, ditandatangani dan stempel importir, bukan lartas, tidak ada laporan petugas di lapangan kalau ada barang lartas, pengajuan PIB sudah ditandatangani importir, tidak ada pemberitahuan dari importir kalau perusahaan dipinjam, ada penegahan sabu-sabu Mei 2010 dengan info untuk atensi WNI wanita dengan paspor dari luar Kalbar, ada laporan penegahan berupa 15 harian ke kanwil dan kantor pusat.
Kliping berita media massa tentang PPLB Entikong sebagai transaksi ekspor - impor:
Kalbarsatu.com tanggal 6 Desember 2014 dengan judul “PLB Entikong bisa transaksi Ekspor - Impor” intinya Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemendag RI, Partogi Pangaribuan mengatakan berdasarkan SK Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995, perdagangan lintas batas di PLB Entikong dan Badau bisa melakukan transaksi ekspor-impor.
Bahwa Kapolda Kalimantan Barat menyatakan di surat kabar Pontianak Post tanggal 8 Mei 2015 pada artikel dengan judul "Lindungi Masyarakat dari Barang Selundupan" bahwa “Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong sejatinya bukan sebagai jalur lalu lintas barang ekspor-impor. Jika selama ini masyarakat menganggap Permendag Nomor 36/KP/III/95 tentang Perdagangan Lintas Batas Melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Propinsi Kalimantan Barat sebagai peraturan yang mengatur perdagangan ekspor-impor, maka anggapan tersebut dinilai salah”;
Bahwa dari uraian-uraian tersebut di atas, jelaslah kalau terdapat perbedaan penafsiran yang sangat tajam terhadap Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dikarenakan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara tegas menjelaskan fungsi pokok kantor pabean secara rinci dan ketiadaan Penjelasan pada Pasal 5 ayat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 (4) tentang penetapan kawasan pabean, kantor pabean dan pos pengawasan pabean.
Bahwa dikarenakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak secara jelas menegaskan terkait batasan fungsi dan tugas kantor pabean, maka hak ini juga berdampak penafsiran yang beragam atas Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa potensi Kerugian Konstitusional yang lebih besar lagi akan dialami oleh Direktorat Jenderal Bea - Cukai dan Kementerian Keuangan pada khususnya serta Negara Republik Indonesia pada umumnya apabila ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ditafsirkan menjadi Kawasan Pabean mutlak untuk lalu lintas ekspor-impor, sehingga karena sampai saat ini PPLB Entikong belum ada penetapan sebagai Kawasan Pabean oleh Menteri Keuangan maka di PPLB Entikong tidak boleh ada kegiatan impor dengan menggunakan PIB sama sekali, yaitu :
ada lebih dari 10 (sepuluh) KPPBC di seluruh Indonesia, antara lain KPPBC Atapupu, Jambi, Cilacap, dan Purwokerto dengan situasi dan kondisi yang sama persis seperti KPPBC Entikong (belum ada penetapan sebagai Kawasan Pabean dari Menteri Keuangan tetapi sudah dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan dokumen PIB) yang berakibat kegiatan impor dengan PIB yang selama ini sudah berjalan dengan baik disana, menjadi tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Dokumen-dokumen PIB yang telah didaftarkan di KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011 tembusan ke Kanwil DJBC Kalbagbar dan Kantor Pusat DJBC, kemudian lembar ke-2 PIB tersebut dikirim ke Biro Pusat Statistik (BPS) untuk data statistik impor dan lembar ke-3 PIB tersebut dikirim ke Bank Indonesia (BI) untuk data devisa impor ke Indonesia menjadi tidak sah;
Pejabat-pejabat KPPBC Entikong lainnya periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, yang telah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 melakukan pelayanan, pengawasan dan pemungutan BM/PDRI/PNBP terhadap importasi dengan menggunakan PIB di PPLB Entikong (karena keputusan Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai diambil secara prosedural bersama-sama dengan pejabat KPPBC Entikong yang lain berdasarkan arahan Kepala KPPBC Entikong sesuai proses pelayanan/pengawasan barang impor), menjadi bersalah juga;
Pihak-pihak Importir periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011 yang telah melakukan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB melalui PPLB Entikong menjadi bersalah juga;
Hasil pungutan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB yang telah didaftarkan ke KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, S.H, MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, berupa BM dan PNBP yang menjadi penerimaan DJBC dan PDRI berupa PPN Impor dan PPh Impor yang menjadi penerimaan DJP, harus dikembalikan oleh Negara kepada importir-importir yang telah membayarnya;
Pejabat Inspektorat II, Inspektorat Jenderal Kemenkeu yang pada tanggal 8 s.d. 22 Desember 2010 telah melakukan audit compliance terhadap KPPBC Entikong termasuk dokumen importasi dengan menggunakan dokumen PIB, dengan hasil tidak ada penyimpangan di KPPBC Entikong, menjadi bersalah juga;
Pejabat-pejabat DJBC dan Kemenkeu yang tidak pernah melarang dan malahan yang ada mengharuskan untuk dilakukannya kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB di PPLB Entikong oleh KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, menjadi bersalah juga; Bahwa dasar permohonan Pemohon untuk mengajukan uji Undang-Undang untuk Menegaskan Penafsiran atas penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang telah Pemohon uraikan tersebut di atas adalah berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 IV. Petitum Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berkenan untuk memeriksa Permohonan Pemohon dan memutuskan sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan Pengujian Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan mengandung multitafsir dan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan tafsir konstitusional terhadap Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dengan menyatakan: Konstitusional Bersyarat ( conditionally constitutional ) pada masing-masing penjelasan ayatnya: Penjelasan Pasal 5 ayat (3) menjadi berbunyi: Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat-tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean. Penunjukkan pos pengawasan pabean diperlukan untuk membantu pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan pabean. __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Penjelasan Pasal 5 ayat (4) menjadi berbunyi: Penetapan kawasan pabean dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan pabean sambil menunggu penyelesaian pabeannya. Prosedur penyelesaian kewajiban pabean dapat dilakukan ditempat-tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean atau ditempat lain asalkan ditempat tersebut dapat dilakukan pengawasan pabean. Penetapan kantor pabean bertujuan untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean. Penetapan pos pengawasan pabean diperlukan sebagai tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan dan pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean. 4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-15, dan Bukti P-18 sampai Bukti P-21 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan;
Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 36/KP/III/95 tanggal 13 Maret 1995 tentang Perdagangan Lintas Batas Melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Provinsi Kalimantan Barat;
Bukti P-4 : Fotokopi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2007 tentang Standarisasi Sarana, Prasarana dan Pelayanan Lintas Batas Antar Negara;
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan tembusan Presiden Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 dan Wakil Presiden Nomor 135.4/2141/SJ tanggal 28 April 2015 hal Penyelesaian Masalah PPLB Entikong;
Bukti P-6.1 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.04/2007 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara;
Bukti P-6.2 : Fotokopi Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor P- 20/BC/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara;
Bukti P-7 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Kepala Kanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Penindakan dan Penyidikan, Direktur PPKC, dan Kepala PUSKI Nomor S- 70/BC/2014 tanggal 30 Januari 2014 hal Keberadaan Kawasan Pabean Terkait Pemenuhan Kewajiban Pabean;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Plh. Direktur PPKC kepada Kakanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor S-441/BC.8/2015 tanggal 21 Mei 2015 hal Penegasan Kewajiban Pabean di Perbatasan Darat Kalimantan Bagian Barat;
Bukti P-9.1 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2008 tanggal 11 Juni 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai KPPBC Tipe A4 Entikong;
Bukti P-9.2 : Fotokopi Peraturan Menterti Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai KPPBC Tipe A3 Entikong;
Bukti P-9.3 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2011 tanggal 18 Agustus 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Keputusan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 Dirjen BC Nomor Kep-106/BC/2011 tanggal 15 September 2011 sebagai KPPBC TMP C Entikong;
Bukti P-10 : Fotokopi Importir-importir yang telah dilakukan pelayanan dan pengawasan oleh KPPBC Entikong serta sudah mempunyai persyaratan dari berbagai instansi terkait untuk bisa melaksanakan impor dengan menggunakan PIB di PPLB Entikong (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Nomor 166-171 CV. Rigo Mandiri, CV. Raga Jaya, dan PT. SGB);
Bukti P-11 : Fotokopi Modul Penerimaan Online dari Direktorat PPKC, DJBC ada target penerimaan Bea Masuk KPPBC Entikong setiap tahun untuk memenuhi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH V-2 s.d. V-5);
Bukti P-12 : Fotokopi Laporan Akuntabiltas Kinerja Instansi Pemerintah TA 2009 KPPBC Tipe A3 Entikong yang ditandatangani pada tanggal 1 Februari 2010 oleh H. Langen Projo selaku oleh Kepala Kantor (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH V- 1);
Bukti P-13 : Fotokopi Laporan Hasil Audit Compliance oleh Inspektorat II, Inspektorat Jenderal, Kemenkeu pada KPPBC Tipe A3 Entikong (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH VI-2);
Bukti P-14 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk a/n. Iwan Jaya (Pemohon Prinsipal) (Nomor KTP. 3175062907750018 18) Bukti P-15 : Fotokopi Kartu Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan a/n. Iwan Jaya (NIP.
.
Bukti P-18 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.01/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai.
Bukti P-19.1 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor KEP-126/BC/UP.2/1997 tanggal 24 Maret 1997 dan menjabat sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong;
Bukti P-19.2 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor 91/BC/UP.9/2008 tanggal 26 Agustus 2008 tentang Mutasi Para Pejabat Eselon IV di Lingkungan DJBC sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Tipe Madya Entikong;
Bukti P-19.3 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor 48/BC/UP.9/2009 tanggal 16 Juli 2009 tentang Mutasi Para Pejabat Eselon IV di Lingkungan DJBC sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Tipe Madya Entikong;
Bukti P-20 : Fotokopi Surat Penyelesaian PIB (Pemberitahuan Impor Barang) PT. PLN Persero;
Bukti P-21 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selain itu, Pemohon mengajukan dua orang ahli yang menyampaikan keterangan secara lisan dan tertulis pada sidang tanggal 9 November 2015, yang pada pokoknya sebagai berikut.
Dr. Ridwan, S.H., M.Hum. Ahli adalah pengajar pada Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Tindakan menetapkan ( beschikken ) terhadap kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dituangkan dalam bentuk keputusan tata usaha negara ( beschikking ) yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang Yang Dibawa Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman, yang dimaksud Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) adalah tempat yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 ditunjuk pada perbatasan wilayah negara untuk memberitahukan dan menyelesaikan kewajiban pabean terhadap barang yang dibawa oleh pelintas batas. Keberadaan PPLB ditetapkan berdasarkan kesepakatan RI dengan negara tetangga. PPLB paling sedikit terdapat unsur bea dan cukai, imigrasi, karantina, dan keamanan, yang menyelenggarakan pelayanan di bidang keimigrasian, kepabeanan, karantina, keamanan, dan administrasi pengelolaan, dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Salah satu PPLB adalah PPLB Entikong yang secara struktural atau kelembagaan merupakan unit pelaksana atau bagian dari Kantor Pabean Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. PPLB Entikong adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kantor Pabean Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang- Undang kepada organ pemerintahan. Dalam atribusi penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan itu sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya ada pelimpahan wewenang. Tanggaung jawab yuridis dalam hal ini berada pada penerima delegasi ( delegataris ) dan bukan pada pemberi delegasi ( delegans ). Mandat terjadi ketiga organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Dalam hal ini tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat ( mandans ) dan bukan pada penerima mandat ( mandataris ). PPLB adalah mandataris yang bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat ( mandans ), sehingga tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 Secara kelembagaan PPLB memiliki kedudukan sebagai unit kerja dari kantor pabean, maka keberadaannya tidak memerlukan penetapan Menteri Keuangan. Penetapan demikian diperlukan oleh kantor pabean. Anggapan bahwa PPLB memerlukan penetapan menteri keuangan adalah anggapan uang menyalahi kaidah dalam UU dan menyalahi norma hukum administrasi, karena UU jelas mengatur bahwa yang membutuhkan penetapan ( beschikken ) dari menteri yang dituangkan dalam bentuk keputusan TUN yakni kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. Masalah muncul ketika Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan memiliki penjelasan. Menurut UU 12/2011 penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi, sehingga penjelasan hanya memuat uraian mengenai frasa, kata, kalimat, atau padanan kata atau istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Kalimat “dan menetapkan adanya kantor pabean” dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) merupakan norma yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perbuatan hukum ( rechtshandeling ) dalam bentuk keputusan ( beschikken ) yaitu keputusan tentang penetapan kawasan pabean atau kantor pabean. Hal demikian secara keilmuan salah karena fungsi penjelasan bukan menetapkan norma. Rumusan Pasal 5 ayat (3) telah jelas dan tegas serta tidak mengandung norma samar (vague norm ), sehingga tidak memerlukan adanya penjelasan. Penjelasan itu tidak boleh menyimpangi ketentuan dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan Pasal 5 ayat (3) akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena masyarakat tidak bisa membedakan mana yang bisa dijadikan dasar hukum, apakah batang tubuh atau keseluruhan bunyi peraturan tersebut. Hal demikian bertentangan dengan asas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 kepastian hukum ( rechtszakerheid beginsel ) yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) sudah jelas, hal yang menjadi masalah adalah penjelasannya. Penjelasan Pasal 5 ayat (3) sesungguhnya tidak diperlukan karena mengandung masalah-masalah hukum. Jika penjelasan suatu UU nyata-nyata mengandung masalah, maka sudah dengan sendirinya penjelasan tersebut tidak berlaku. Kekeliruan penegak hukum bukan pada pemahaman apakah PPLB Entikong membutuhkan penetapan menteri, melainkan karena tidak memahami mekanisme pelimpahan wewenang atau pelaksanaan tugas di dalam lingkup pemerintahan, yaitu tentang atribusi, delegasi, dan mandat. Jika penegak hukum menafsirkan bahwa PPLB harus mendapatkan pengesahan Menteri Keuangan, maka konsekuensi hukumnya adalah semua kegiatan yang telah dan sedang berlangsung di setiap PPLB harus dianggap tidak memiliki keabsahan ( onrechtmatig ) dan perolehan negara dari sektor ini (pungutan bea masuk, PNPB, PDRI, dsb) harus pula dianggap illegal ( onwetmatig ). Untuk memahami delegasi atau mandat harus terlebih dahulu memahami struktur organisasi pemerintahan. Kekeliruan dalam memahami struktur organisasi akan menyebabkan kekeliruan dalam menerapkan apakah suatu tindakan merupakan delegasi atau mandat. Perlu ada ketentuan bahwa kawasan pabean lebih merujuk pada sifat fisik, sementara kantor adalah untuk administrasi.
Drs. Ahmad Dimyati, M.M. Ahli adalah PNS Widyaiswara pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan. Fungsi kawasan pabean dan kantor pabean telah dijelaskan dalam Pasal 1 butir 3 dan butir 4 UU 17/2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan satu kesatuan dengan pasal-pasal lain. Kawasan pabean ditetapkan untuk keperluan pelayanan, kelancaran lalu lintas barang, dan pengawasan. Kawasan pabean merupakan sarana untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 memudahkan penyelesaian kewajiban pabean, barang dibongkar di kawasan pabean sambil menunggu penyelesaian impornya. Hal ini dapat memudahkan penyelesaian kewajiban pabean. Namun demikian keberadaan kawasan pabean tidak mutlak. Pembongkaran dan penimbunan barang dapat juga dilakukan di tempat lain dengan izin pabean. Pasal 10A ayat (1) mengatur bahwa barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara tegas menjelaskan dimana pemenuhan kewajiban pabean dapat dilakukan, apakah di kawasan pabean atau di kantor pabean. Hal demikian memunculkan berbagai pemaknaan (multitafsir) atas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU 17/2006. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) dijelaskan tujuan penetapan kawasan pabean, yaitu “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean ”. Namun penetapan kantor pabean tidak dijelaskan tujuannya, sehingga dapat ditafsirkan tujuan penetapan kawasan pabean sama dengan tujuan penetapan kantor pabean. Pasal 5 ayat (4) UU 17/2006 mengatur bahwa penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh menteri. Penjelasan Pasal 5 ayat (4) hanya menyatakan cukup jelas. Tidak adanya penjelasan dapat menimbulkan penafsiran bahwa jika kawasan pabean belum ditetapkan oleh menteri, maka kegiatan impor atau ekspor adalah tidak sah. Penjelasan Pasal 5 ayat (4) diperlukan untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda yang dapat merugikan aparat pabean dalam menjalankan tugasnya. Penetapan kawasan pabean bertujuan untuk memudahkan pengawasan pabean sambil menunggu penyelesaian kewajiban pabeannya. Prosedur penyelesaian kewajiban pabean dapat dilakukan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 tempat-tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean atau di tempat lain asalkan di tempat tersebut dapat dilakukan pengawasan pabean. Ahli menyimpulkan bahwa:
Pemenuhan kewajiban pabean dianggap sah apabila dilakukan di kantor pabean, yang mana kantor pabean tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keberadaan kawasan pabean dimaksudkan untuk memudahkan Dirjen Bea dan Cukai dalam melakukan pelayanan dan pengawasan kepabeanan, sehingga sahnya pemenuhan kewajiban pabean tidak tergantung adanya kawasan pabean.
Kurang jelasnya penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan tidak adanya penjelasan Pasal 5 ayat (4) dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda, sehingga pelaksanaan tugas-tugas yang dilakukan aparat pabean berdasarkan Undang-Undang menjadi ilegal dan pungutan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang yang dilakukan di tempat- tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean menjadi tidak sah. Dalam kasus kawasan lintas batas Entikong, semua barang dari luar negeri, dalam hal ini dari Malaysia, masuknya lewat KLB Entikong agar tidak lewat sembarang tempat. Menurut Undang-Undang walaupun belum ditetapkan, namun tetap sah pengajuan PIB dan pembayaran biaya masuknya untuk kepentingan negara. Perlu menetapkan apa fungsi kantor pabean agar tidak terjadi salah pengertian dengan fungsi dari kawasan pabean. Kantor pabean adalah tempat menyelesaikan kewajiban pabean, sedangkan kawasan pabean adalah sarana saja, yaitu tempat lalu lintas keluar masuk barang impor dan ekspor. Menurut UU Kepabeanan semua barang yang masuk kawasan pabean dianggap sebagai barang impor yang harus disertai dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) dan terutang biaya masuk. Kawasan pabean gunanya adalah untuk lalu lintas barang. Karena barang dari luar daerah pabean masuk ke dalam daerah pabean, maka tidak boleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 di sembarang tempat untuk melakukan pembongkaran. Jika dilakukan pembongkaran di sembarang tempat akan dikenai pasal pidana penyelundupan. PPLB Entikong belum ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai kawasan pabean, namun hal demikian tidak menjadikan tidak sah pungutan biaya masuk penyelesaian kewajiban pabean. Di luar Jawa banyak PPLB terutama di muara-muara sungai. Di tempat dimaksud tidak ada kegiatan ekspor-impor namun dalam rangka pengawasan, Bea dan Cukai mendirikan pos di sana. Semua kantor pabean maupun pos pengawasan pabean sudah ditetapkan oleh Menteri. Kawasan pabean belum semua ditetapkan oleh Menteri karena persyaratan untuk menetapkan kawasan pabean tersebut harus ada usulan dari pengelola tempat tersebut, dalam hal ini misalnya pos lalu lintas di lintas batas Entikong. Bongkar muat barang harus dilakukan di kawasan pabean. Penetapan kawasan pabean ini dilakukan oleh menteri. Barang tidak boleh dikeluarkan dari kawasan pabean sebelum ada ijin dari pihak Bea dan Cukai. Bisa saja ada kawasan yang belum ditetapkan oleh Menkeu sebagai kawasan pabean, namun tetap boleh dilakukan kegiatan pabean, misalnya tempat khusus untuk bongkar muat impor sapi karena hal demikian tidak dapat dilakukan di pelabuhan pada umumnya. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan __ secara __ lisan dalam persidangan tanggal 28 Oktober 2015, serta menyampaikan keterangan tertulis masing-masing tanpa tanggal, bulan Oktober 2015 yang diterima ddalam Persidangan Mahkamah tanggal 28 Oktober 2015, yang pada pokoknya sebagai berikut. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Pemerintah berpendapat: Bahwa Pemerintah perlu menyampaikan keterkaitan kepentingan Pemohon dengan keberlakuan norma dari ketentuan a quo , karena menurut Pemerintah atas permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 konstitusionalitas norma hukum atau constitutional review melainkan masalah penerapan norma hukum yang sesungguhnya apa yang tejadi dalam perkara yang dihadapi oleh Pemohon adalah murni dari kewenangan Penegak Hukum yang mendasari dakwaannya bukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang a quo namun didasarkan dari pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan atas keberlakuan Penjelasan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo . Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat, Pemohon dalam permohonan inf tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Keterangan Pemerintah Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan Untuk Diuji Sebelum Pemerintah memberikan keterangannya atas materi pokok permohonan Pemohon yang diuji, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Bahwa dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan. Perkembangan yang cepat dalam dunia perdagangan terutama dalam bidang perdagangan interasional menuntut suatu negara untuk membuat suatu peraturan yang mengatur mengenai perdagangan internasional khususnya dalam bidang Kepabeanan. Seperti halnya pengaturan mengenai bea masuk anti dumping, pengendalian impor atau ekspor barang yang sangat dibutuhkan agar kegiatan lalu lintas barang dalam suatu negara dapat berjalan dengan balk sehingga tidak akan mengganggu perekonomian negara tersebut. Atas dasar hal tersebut maka peraturan mengenai bidang Kepabeanan sangat diperlukan oleh suatu Negara dalam menjaga sistem perekonomian nasional dan kegiatan perdagangan intemasionalnya. Selain hal-hal tersebut di atas, peraturan mengenai kepabeanan juga sangat diperlukan untuk mengamankan pendapatan keuangan negara, mengingat pendapatan negara yang berasal dari. bidang kepabeanan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penerimaan negara. Bahwa untuk mencapai dari tujuan berbangsa dan bemegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan alinea IV UUD 1945 Negara telah membentuk Pemerintahan yang mempunyai kekuasaan dalam pengelolaan keuangan Negara. Pemerintah dalam menjalankan salah satu kekuasaannya tersebut telah menunjuk Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Pengelolaan keuangan Negara yang dibentuk secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai amanat dari Pasal 23C UUD 1945 mengatur mengenai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan Negara yang diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Kementerian Keuangan selaku kuasa Bendahara Umum Negara melakukan pengelolaan keuangan Negara di bidang lalu lintas barang masuk dan keluar wilayah Republik Indonesia dengan menunjuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai unsur pelaksana tugas pokok Kementerian Keuangan dalam bidang Kepabeanan dan Cukai. Selanjutnya dalam menjalankan tugasnya terhadap pengamanan hak negara berwenang mengambil tindakan yang diperlukan terhadap barang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 74 UU Kepabeanan. Adapun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai fungsi dan misi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Kepabeanan yaitu sebagai:
Trade Facilitator atau pemberian fasilitas perdagangan dimana tujuan yang diharapkan agar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu menjamin kelancaran arus barang, menekan biaya tinggi berkaitan dengan proses penyelesaian barang ekspor dan impor, dan sekaligus mampu menciptakan iklim perdagangan intemasional yang kondusif guna mendukung perekonomian nasional;
Industrial Assistance atau dukungan terhadap industri dalam negeri, dimana tujuan yang ingin dicapai agar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu mendukung industri dalam negeri melalui pemberian berbagai fasilitas dan kemudahan kepabeanan, memberikan perlindungan dan membantu peningkatan daya saing industri melalui pencegahan masuknya barang-barang illega/trade, serta membantu peningkatan daya saing produksi dalam negeri.
Revenue Collector atau pemungutan penerimaan Negara, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus mampu mengoptimalkan segala upaya untuk memberikan kontribusi penerimaan Negara dan melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kebocoran penerimaan negara, terutama yang berkaitan dengan penerimaan dari pajak lalu lintas barang;
Community Protector atau perlindungan masyarakat, pelaksanaan fungsi ini bertujuan supaya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu mencegah dan mengawasi masuknya barang-barang yang dapat merusak mental, moral dan kesehatan masyarakat. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Bahwa UU Kepabeanan mengatur mengenai pemenuhan kewajiban pabean termasuk di dalamnya kewajiban atas pajak lalu lintas barang masuk dan keluar sesuai dengan amanat dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, oleh karenanya dibentuklah Undang-Undang Kepabeanan sebagai salah satu bagian dari sistem pengelolaan keuangan Negara di Indonesia. Bahwa seiring dengan perkembangan peraturan di bidang kepabeanan dan untuk mengantisipasi adanya pelanggaran dalam bidang kepabeanan, peraturan kepabeanan yang telah ada semenjak diberlakukannya Indische Tarief Wet (Undang-Undang Tarif Indonesia) Staatsblad 1873 Nomor 35, diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dengan adanya Undang-Undang Kepabeanan yang baru diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berfungsi sebagai fasilitator perdagangan harus dapat membuat suatu aturan hukum yang mampu mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat guna memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih balk dan lebih cepat. Untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh Undang- Undang tersebut di atas, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki instansi vertikal yang salah satunya adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong yang merupakan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe Madya Pabean C di bawah Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Barat yang terletak di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Bagian Barat. Kantor Entikong tersebut telah melakukan pelayanan Kepabeanan kepada pengguna jasa berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. Hal ini diperkuat dengan adanya Border Trade Agreement (BTA) tahun 1970 tentang perjanjian perdagangan lintas batas antara Indonesia-Malaysia yang menyatakan rnasyarakat sekitar Lintas Batas bisa berbelanja ke Malaysia maksimal 600 ringgit per orang/per bulan dengan menggunakan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB). Pelaksanaan pelayanan Kepabeanan juga didukung dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995 yang menyatakan pada intinya di Entikong terdapat dua jalur perdagangan, yaitu jalur perdagangan tradisional menggunakan Kartu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 Identitas Lintas Batas (KILB) dan jalur perdagangan modern menggunakan tata niaga impor dan ekspor yang berlaku. Pemerintah perlu menyampaikan keterkaitan kepentingan Pemohon dengan keberlakuan norma dari ketentuan a quo , karena menurut Pemerintah atas permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan konstitusionalitas norma hukum atau constitusional review melainkan masalah penerapan norma hukum yang sesungguhnya apa yang tejadi dalam perkara yang dihadapi oleh Pemohon adalah murni dari kewenangan Penegak Hukum yang mendasari dakwaannya bukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang a quo namun didasarkan dari pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Berdasarkah uraian di atas, Pemerinlah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan atas keberlakuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo . Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh Karena itu, Pemerintah berpendapat, Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelljk verklaard ). Namun demikian Pemerihtah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Sehubungan dengan materi permohonan yang diajukan untuk diuji, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangannya sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Bahwa pengertian dari kawasan pabean berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sedangkan pengertian Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajibah pabean. Selanjutnya pengertian Pos Pengawasan Pabean sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 adalah tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor. Bahwa terkait dengan pengertian “pemenuhan kewajiban pabean” berdasarkan PasaI 1 angka 6 didefinisikan sebagai semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam undang- undang kepabeanan. Kewajiban pabean tersebut dibagi dalam dua besaran yaitu kewajiban bersifat administratif dan kewajiban bersifat fisik. Dasar pemenuhan kewajiban bersifat administrasi adalah sebagai berikut:
pemberitahuan pabean adalah kewajiban dalam bentuk administrasi, sebagaimana Pasal 1 angka 7 UU Kepabeanan “ Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang dlbuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam undang- undang ini (Kepabeanan) ”;
Pelayanan atas kewajiban bersifat administrasi berupa penyampaian pemberitahuan pabean, dilakukan di kantor pabean, sesuai Pasal 5A ayat (2) UU Kepabeanan yang menyatakan bahwa “ Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean ”. Dasar pemenuhan kewajiban bersifat fisik adalah sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 10A ayat (1) UU Kepabeanan, “ barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. ” Bahwa keberadaan kawasan pabean dalam pemenuhan kewajiban pabean tidak mutlak ada sebagaimana disebutkan pada Pasal 10A ayat (1) tersebut yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 memuat frasa “tempat lain”, yang mengandung arti terdapat tempat lain untuk dilakukan pemenuhan kewajiban pabean. Undang-Undang Kepabeanan juga mengatur tentang jenis pemeriksaan pabean yang meliputi pemeriksaan dokumen (administrasi) dan pemeriksaan fisik sebagaimana Pasal 3 ayat (2) UU Kepabeanan “ Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. ” Dengan demikian berdasarkan sifaf pemenuhan kewajiban pabean, fungsi kantor pabean adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban bersifat administratif, sedangkan fungsi kawasan pabean atau tempat lain adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban bersifat fisik. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Kepabeanan yang menyatakan, “ Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di Kantor Pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. ” Adapun berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan menyatakan: “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu-lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang- undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bead an cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. ” Berdasarkan ketentuan di atas pemenuhan kewajiban pabean ada di kantor pabean. Oleh karena itu dalam rangka pemenuhan kewajiban pabean tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan adanya Kantor Pabean (dhi. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai). Sedangkan keberadaan Kawasan Pabean atau tempat lain, dan Pos Pengawasan Pabean merupakan pendukung dalam proses pemenuhan kewajiban pabean. Dengan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan a quo jelas tidak multitafsir karena baik dari substansi maupun penjelasannya sudah menunjukkan secara tegas bahwa pemenuhan kewajiban pabean di Kantor Pabean. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas disimpulkan bahwa dalam proses impor dan ekspor, syarat utama dalam pemenuhan kewajiban kepabeanan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 adalah Kantor Pabean. Sedangkan Kawasan Pabean merapakan kelengkapan dalam memudahkan pelayanan dan pengawasan yang tidak mutlak ada dalam pemenuhan kewajiban pabean. Sehubungan dengan petitum Pemohon yang menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan tafsir konstitusional terhadap Penjelasan Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo dengan menyatakan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) pada masing-masing penjelasan ayatnya, Pemerintah berpendapat bahwa:
Berdasarkan teknik penyusunan dalam Lampiran II butir 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. OIeh Karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud, selanjutnya dalam Lampiran II butir 177 Undang-Undang Namor 12 Tahun 2011 yang menyatakan penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014 yang berpendapat sebagai berikut: “ dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma, karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi Pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. ” Dengan demikian berdasarkan ketentuan di atas, terhadap petitum pemohon menurut Pemerintah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengubah penjelasan dalam Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo sesuai yang permintaan Pemohon. Hal ini didasarkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 kepada persyaratan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemohon wajib _menguraikan dengan jelas bahwa: _ b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau baglan undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” 3. Ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan justru sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, oleh karena itu Pemerintah tidak sependapat dengan Pemohon untuk merubah atau menambahkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan, karena penjelasan pasal tersebut sudah jelas. Sedangkan masalah yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan konstitusional norma hukum, melainkan masalah implementasi norma hukum (permasalahan hukum pidana) yang dialami Pemohon. Tanggapan/Jawaban Pemerintah Terhadap Keterangan Ahli Pemohon Dan Hakim Mahkamah Konstitusi Dengan memperhatikan secara cermat keterangan para ahli pemohon dan pertanyaan Mahkamah Konstitusi dalam persidangan, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut: A. Bahwa terhadap keterangan ahli pemohon yang menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) bertentangan dengan ketentuan Pasal-Pasal yang ada dalam UUD 1945, Pemerintah berpendapat:
Berdasarkan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penjelasan hanya berfungsi sebagai tafsir resmi pembentukan Peraturan perundang- undangan atas norma tertentu sehingga penjelasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Selanjutnya penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat sebuah norma baru.
Bahwa penjelasan ketentuan a quo sudah sejalan dengan norma batang tubuh yang mengatur pemenuhan kewajiban pabean yang terdapat dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean ditetapkan oleh Menteri. B. Bahwa terhadap pertanyaan Hakim Patrialis Akbar, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Mengenai Pos Pengawasan, memang ada perbedaan terminologi antara Pos Pengawasan dengan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang ada di Entikong ini, bahwa pengertian Pos Pengawasan Pabean sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 Undang-Undang a quo . Biasanya Pos Pengawasan ada di muara-muara yang kecil-kecil, sehingga fungsinya hanya untuk mengawasi berbeda dengan terminologi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang terminologinya dibuat oleh Pemerintah Pusat berdasarkan hasil perjanjian Border Trade Agreement (BTA) tahun 1970 antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia didukung dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995. Oleh karena itu, berdasarkan Permen tersebut Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong merupakan bagian dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Entikong. Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai struktur organisasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Surat keputusannya akan menetapkan struktur organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang terdiri dari Kantor Pusat Bea dan Cukai, Kantor Wilayah Bea dan Cukai, Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, serta Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai diikuti dengan kedudukan, tugas, dan fungsi dari masing-masing kantor tersebut. Dalam penetapan kantor- kantor pabean tersebut Kementerian Keuangan selalu melakukan koordinasi dan persetujuan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Selanjutnya, dalam penempatan pegawai bea dan cukai selalu merujuk pada kantor bea dan cukai tujuan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang penugasan pegawai yang antara lain mencantumkan identitas pegawai, jabatan, kantor tempat bertugas. Penetapan dalam rangka penugasan pegawai dalam jabatan tersebut dengan mempertimbangkan pemenuhan kualifikasi teknis dan administrasi pegawai yang bersangkutan. Sehingga tidak mungkin ada pegawai bea dan cukai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 ditempatkan yang tidak ada kantornya seperti yang tertuang dalam surat keputusan mutasi bagi setiap pegawai Bea Cukai selalu diberikan keterangan tempat dan jabatannya di dalam Surat Keputusan tersebut. Sehingga dengan penunjukan pegawai di tempat tersebut sudah sesuai dengan kewenangan Undang-Undang Kepabeanan. Kesimpulan Terhadap Materi/Muatan Permohonan Pemohon Yang Diuji Berdasarkan keterangan dan argumen di atas, pemerintah berkesimpulan bahwa sesungguhnya pendapat para ahli pemohon lebih mencerminkan adanya usu|an untuk mengubah penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo sesuai dengan yang diinginkan oleh Pemohon, sehingga usulan untuk mengubah penjelasan tersebut bukanlah sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Jikapun penjelasan pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, ketentuan a quo tidak mengubah makna atau menghilangkan sama sekali substansi dari ketentuan norma batang tubuhnya. Petitum Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal _standing); _ 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvantkelijk verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak bertentangan dengan Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. [2.4] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 November 2015, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661), sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.3] dan [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, periode September 2008 sampai dengan Maret 2011. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan karena adanya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006. Adanya Penjelasan ketentuan a quo mengakibatkan Pemohon disangka/didakwa/dituntut/diputus oleh aparat penegak hukum telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. [3.7] Menimbang bahwa kedudukan Pemohon dalam kapasitasnya sebagai perseorangan warga negara, pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong, telah dibuktikan dengan identitas diri berupa fotokopi kartu tanda penduduk (KTP), fotokopi Kartu Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai, serta fotokopi Surat Keputusan Dirjen Bea dan Cukai (vide bukti P-14, bukti P-15, bukti P-19.1, bukti P-19.2, dan bukti P-19.3). Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon, menurut Mahkamah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) berupa timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon, yaitu Pemohon dikenai sangkaan/dakwaan/tuntutan melawan hukum karena tindakannya melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean dan/atau kantor pabean oleh Menteri Keuangan. Kerugian konstitusional demikian memiliki kemungkinan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon (vide petitum pada permohonan). Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo . [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional yang ditimbulkan oleh penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (4) UU 17/2006. Pemohon dikenai sangkaan/dakwaan/tuntutan melawan hukum karena tindakannya melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong, yang mana PPLB Entikong bukan merupakan kawasan pabean dan/atau kantor pabean, serta belum ditetapkan oleh Menteri. Menurut Pemohon, PPLB Entikong sejak tahun 1995 hingga saat Pemohon bertugas di sana, telah dipergunakan untuk melakukan pemenuhan kewajiban pabean. Tindakan Kepolisian dan Kejaksaan yang menafsirkan bahwa di PPLB Entikong tidak dapat dilakukan pemenuhan kewajiban pabean telah mengakibatkan kerugian bagi Pemohon. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.10] Menimbang bahwa meskipun yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon hanya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006, namun menurut Mahkamah penjelasan kedua ayat tersebut terkait dengan keseluruhan konstruksi/rumusan ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan sebagai berikut: “ (1) Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. (2) Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. (3) Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. (4) Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri. ” Adapun Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 mengatur bahwa: “ Ayat (1) Dilihat dari keadaan geografis Negara Republik Indonesia yang demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban pabean hanya dapat dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini. Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi kewajiban pabean seperti penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah dibatasi dengan penunjukan kantor pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan. Pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan perekonomian, atau apabila dengan cara tersebut kewajiban pabean dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah. Pemberian kemudahan berupa pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean tersebut bersifat sementara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, Undang-Undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. Ayat (4) Cukup Jelas. ” Bahwa setelah mencermati Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 dimaksud, dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa inti permasalahan yang dialami Pemohon adalah adanya penjelasan yang menyatakan bahwa di pos pengawasan pabean tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean [vide Penjelasan ayat (3)]. Pokok permasalahan demikian menurut Pemohon telah merugikan hak konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. [3.11] Menimbang bahwa teknik penyusunan Penjelasan Undang-Undang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya pada Lampiran II angka 176, 177, dan 178. Ketentuan tersebut mengatur sebagai berikut: “ 176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. 178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang- undangan. ” Dari ketentuan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa bagian penjelasan suatu Undang-Undang muncul dalam konteks bahwa ketentuan dalam batang tubuh Undang-Undang dimaksud tidak cukup mudah dipahami, bahkan memiliki kemungkinan menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan yang dikehendaki oleh batang tubuh Undang-Undang. Penjelasan suatu Undang- Undang harus dibaca setelah membaca batang tubuh Undang-Undang dimaksud. Artinya setelah batang tubuh suatu Undang-Undang dibaca namun tidak ditemukan kejelasan makna atau arti, maka pembacaan dapat diteruskan pada bagian penjelasan Undang-Undang. Dengan demikian, seandainya suatu norma dalam batang tubuh Undang-Undang telah memiliki kejelasan makna/arti maka bagian penjelasan Undang-Undang tidak lagi cukup signifikan untuk dibaca. [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon terutama mengenai penafsiran atas istilah “pos pengawasan pabean”, dalam kaitannya dengan pemenuhan kewajiban pabean, Mahkamah menilai ketentuan atau pengaturan pos pengawasan pabean pada Pasal 5 telah cukup jelas, terutama mengenai kewenangan pelayanan pabean. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo telah jelas menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. Rumusan Pasal 5 ayat (1) demikian telah jelas menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pabean hanya dapat dilakukan di dua jenis tempat, yaitu a) kantor pabean; dan b) tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. Dari ketentuan demikian dapat dikatakan bahwa di tempat-tempat selain kantor pabean tidak dapat dilakukan pemenuhan kewajiban pabean sepanjang tempat lain tersebut tidak secara hukum dinyatakan disamakan dengan kantor pabean. Pos pengawasan pabean menurut Pasal 5 ayat (3) tidak sama dengan kantor pabean. Jika pos pengawasan pabean oleh pembentuk Undang-Undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 disamakan dengan kantor pabean, maka rumusan Pasal 5 ayat (3) tentu tidak akan memerinci atau membedakan adanya tiga entitas berupa kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. Pasal 5 ayat (3) menegaskan keberadaan pos pengawasan pabean dengan menyatakan bahwa “ Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean ”. Ayat (3) tersebut mengatur mengenai dan/atau membedakan antara organ yang melakukan “pelaksanaan” dan organ yang melakukan “pengawasan” pemenuhan kewajiban pabean. Jika Pasal 5 ayat (3) dihubungkan dengan ayat (1) Mahkamah menemukan dua kelompok organ, yaitu a) organ pelaksana pemenuhan kewajiban pabean, yang terdiri dari “kantor pabean” dan “tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean”; kemudian b) organ yang melakukan “pengawasan” yaitu “pos pengawasan pabean”. Dari ketentuan tersebut telah jelas bagi Mahkamah bahwa pos pengawasan pabean adalah tempat untuk mengawasi pemenuhan kewajiban pabean, dan bukan merupakan tempat untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban pabean, kecuali jika pos pengawasan pabean tersebut secara hukum telah disamakan dengan kantor pabean. [3.13] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (3), Mahkamah justru menemukan bahwa penjelasan dimaksud semakin menguatkan maksud norma Pasal 5 ayat (3) juncto ayat (1), yaitu pada pos pengawasan pabean tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. Mahkamah tidak menemukan adanya ketidakjelasan makna pada bagian penjelasan jika bagian penjelasan dimaksud dibaca setelah membaca Pasal 5 secara keseluruhan. [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan telah mengalami perlakuan berbeda, yaitu dianggap melakukan tindakan/perbuatan pidana karena telah melaksanakan pelayanan pemenuhan kewajiban pabean di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, sementara menurut Pemohon praktik yang sama telah dilakukan sejak lama oleh para pejabat pendahulu, dengan landasan berbagai peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang, namun tidak pernah dipermasalahkan oleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 penegak hukum. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma Undang-Undang, melainkan merupakan permasalahan implementasi atau penerapan norma suatu Undang-Undang, dan karenanya Mahkamah tidak berwenang untuk mengadilinya. [3.15] Menimbang bahwa pengujian konstitusionalitas membutuhkan adanya dasar pengujian untuk menilai norma suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dasar pengujian tersebut berupa norma hukum yang terkandung di dalam UUD 1945. Dasar pengujian yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara ini adalah Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan untuk mendalilkan hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh ketentuan yang dimohonkan pengujian. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23A UUD 1945 pada pokoknya mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta mengatur mengenai hak negara untuk memungut pajak atau pungutan lainnya. Adapun Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 melindungi hak konstitusional warga negara untuk bekerja, mendapat imbalan, serta memperoleh perlakuan adil dan layak, dalam hubungan kerja. Ketentuan-ketentuan UUD 1945 yang diajukan oleh Pemohon sebagai dasar pengujian tersebut, menurut Mahkamah tidak tepat dipergunakan untuk menilai konstitusionalitas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah terbatas/spesifik mengenai keberadaan pos pengawasan pabean atau tempat lain yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kewajiban pabean. Hal demikian menurut Mahkamah jelas tidak memiliki korelasi dengan hak konstitusional Pemohon untuk bekerja, karena kedudukan Pemohon sebagai PNS di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah membuktikan bahwa Pemohon tidak terhambat untuk memiliki pekerjaan. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon mengenai pertentangan antara Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR P U T U S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh tiga, bulan Mei tahun dua ribu enam belas , dan hari Senin, tanggal dua puluh enam, bulan September, tahun dua ribu enam belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh sembilan, bulan September, tahun dua ribu enam belas , selesai diucapkan pada pukul 10.37 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 selaku Ketua merangkap Anggota, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Presiden atau yang mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, tanpa dihadiri Pemohon/Kuasanya. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Aswanto ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Patrialis Akbar ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4700 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Pengantar...……………………………………………………………... 1 1.2 Pengertian...……………………………………………………………... 3 1.3 Maksud dan Tujuan...……………………………………………...... 3 1.4 Landasan...……………………………………………………………... 3 1.5 Tata Urut...……………………………………………………………... 4 BAB II KONDISI UMUM 5 II.1 Kondisi Pada Saat Ini...……………………………………………...... 5 II.2 Tantangan...………………………………………………..................... 21 II.3 Modal Dasar...……………………………………………….................. 34 BAB III VISI DAN MISI PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2005–2025 36 BAB IV ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 41 IV.1 Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025 .……….. 45 IV.1.1 Mewujudkan Masyarakat yang Berakhlak Mulia, Bermoral, Beretika, Berbudaya, dan Beradab...………………………………… 45 IV.1.2 Mewujudkan Bangsa yang Berdaya-saing....…………………….... 46 IV.1.3 Mewujudkan Indonesia yang Demokratis Berlandaskan Hukum 57 IV.1.4 Mewujudkan Indonesia yang Aman, Damai dan Bersatu...…….. 62 IV.1.5 Mewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berkeadilan...……………………………………………………………… 65 IV.1.6 Mewujudkan Indonesia yang Asri dan Lestari...……………… 70 IV.1.7 Mewujudkan Indonesia menjadi Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasiskan Kepentingan Nasional.... 74 IV.1.8 Mewujudkan Indonesia yang Berperan Aktif dalam Pergaulan Internasional...…………………………………………………………….. 75 IV.2 Tahapan dan Skala Prioritas...………………………………………… 76 IV.2.1 RPJM ke-1 (2005–2009) .………………………………………………… 77 IV.2.2 RPJM ke-2 (2010–2014)...………………………………………………. 79 IV.2.3 RPJM ke-3 (2015–2019)...………………………………………………. 80 IV.2.4 RPJM ke-4 (2020–2024)...………………………………………………. 82 BAB V PENUTUP 84 LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005–2025 BAB I PENDAHULUAN I.1 PENGANTAR 1. Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia telah mengisi kemerdekaan selama 60 tahun sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam era dua puluh tahun pertama setelah kemerdekaan (1945–1965), bangsa Indonesia mengalami berbagai ujian yang sangat berat. Indonesia telah berhasil mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan negara. Persatuan dan kesatuan bangsa berhasil pula dipertahankan dengan meredam berbagai benih pertikaian, baik pertikaian bersenjata maupun pertikaian politik diantara sesama komponen bangsa. Pada masa itu para pemimpin bangsa berhasil menyusun rencana pembangunan nasional. Namun, suasana yang penuh ketegangan dan pertikaian telah menyebabkan rencana-rencana tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik.
Selanjutnya pada kurun waktu 1969–1997 bangsa Indonesia berhasil menyusun rencana pembangunan nasional secara sistematis melalui tahapan lima tahunan. Pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan negara untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tahapan pembangunan yang disusun dalam masa itu telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan sosial. Proses pembangunan pada kurun waktu tersebut sangat berorientasi pada output dan hasil akhir. Sementara itu, proses dan terutama kualitas institusi yang mendukung dan melaksanakan tidak dikembangkan dan bahkan ditekan secara politis sehingga menjadi rentan terhadap penyalahgunaan dan tidak mampu menjalankan fungsinya secara profesional. Ketertinggalan pembangunan dalam sistem dan kelembagaan politik, hukum, dan sosial menyebabkan hasil pembangunan menjadi timpang dari sisi keadilan dan dengan sendirinya mengancam keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri.
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multidimensi, yang selanjutnya berdampak pada perubahan (reformasi) di seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi tersebut memberikan semangat politik dan cara pandang baru sebagaimana tercermin pada perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan substansial dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terkait dengan perencanaan pembangunan adalah a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak diamanatkan lagi untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN); b) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; dan c) desentralisasi dan penguatan otonomi daerah.
Tidak adanya GBHN akan mengakibatkan tidak adanya lagi rencana pembangunan jangka panjang pada masa yang akan datang. Pemilihan secara langsung memberikan keleluasaan bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye. Keleluasaan tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan pembangunan dari satu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berikutnya. Desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya serta antara pembangunan daerah dan pembangunan secara nasional.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa sepakat menetapkan sistem perencanaan pembangunan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) yang di dalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan.
Belajar dari pengalaman masa lalu dengan mempertimbangkan perubahan- perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan perencanaan pembangunan jangka panjang untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan dalam rangka mencapai tujuan dan cita- cita bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
memajukan kesejahteraan umum;
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut perlu ditetapkan visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang Indonesia.
Berbagai pengalaman yang didapatkan selama 60 tahun mengisi kemerdekaan merupakan modal yang berharga dalam melangkah ke depan untuk menyelenggarakan pembangunan nasional secara menyeluruh, bertahap, dan berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. I.2 PENGERTIAN Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu mulai dari tahun 2005 hingga tahun 2025. I.3 MAKSUD DAN TUJUAN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, selanjutnya disebut RPJP Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan pola tindak. I.4 LANDASAN Landasan idiil RPJP Nasional adalah Pancasila dan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan landasan operasionalnya meliputi seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan langsung dengan pembangunan nasional, yaitu:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. I.5 TATA URUT Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 disusun dalam tata urut sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Bab II Kondisi Umum. Bab III Visi dan Misi Pembangunan Nasional Tahun 2005–2025. Bab IV Arah, Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025. Bab V Penutup. BAB II KONDISI UMUM II.1 KONDISI PADA SAAT INI Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Di samping banyak kemajuan yang telah dicapai, masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan. Untuk itu, masih diperlukan upaya mengatasinya dalam pembangunan nasional 20 tahun ke depan. A. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 1. Pembangunan bidang sosial budaya dan keagamaan terkait erat dengan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Kondisi kehidupan masyarakat dapat tercermin pada aspek kuantitas dan struktur umur penduduk serta kualitas penduduk, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Di bidang kependudukan, upaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk harus terus menerus dilakukan sehingga dari waktu ke waktu laju pertumbuhan penduduk telah dapat diturunkan.
Upaya untuk membangun kualitas manusia tetap menjadi perhatian penting. Sumber daya manusia (SDM) merupakan subjek dan sekaligus objek pembangunan, mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak di dalam kandungan hinggá akhir hayat. Kualitas SDM menjadi makin baik yang, antara lain, ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia menjadi 0,697 pada tahun 2003 ( Human Development Report , 2005). Secara rinci nilai tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir (66,8 tahun), angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas (87,9 persen), angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (66 persen), dan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli ( purchasing power parity ) sebesar US $3.361. Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia menempati urutan ke-110 dari 177 negara.
Status kesehatan masyarakat Indonesia secara umum masih rendah dan jauh tertinggal dibandingkan dengan kesehatan masyarakat negara-negara ASEAN lainnya, yang ditandai, antara lain, dengan masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, yaitu 307 per 100 ribu kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI, 2002–2003), tingginya angka kematian bayi dan balita. Selain itu, gizi kurang terutama pada balita masih menjadi masalah besar dalam upaya membentuk generasi yang mandiri dan berkualitas.
Taraf pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang, antara lain, diukur dengan meningkatnya angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, meningkatnya jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan jenjang SMP/MTs ke atas; meningkatnya rata-rata lama sekolah; dan meningkatnya angka partisipasi sekolah untuk semua kelompok usia. Walaupun demikian, kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global yang makin ketat pada masa depan. Hal tersebut diperburuk oleh tingginya disparitas taraf pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan miskin, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, antardaerah, dan disparitas gender.
Pemberdayaan perempuan dan anak, telah menunjukkan peningkatan yang tercermin dari peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak, tetapi belum di semua bidang pembangunan. Di samping itu, partisipasi pemuda dalam pembangunan juga makin membaik seiring dengan budaya olahraga yang meluas di kalangan masyarakat. Taraf kesejahteraan sosial masyarakat cukup memadai sejalan dengan berbagai upaya pemberdayaan, pelayanan, rehabilitasi, dan perlindungan sosial bagi masyarakat rentan termasuk bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dan pecandu narkotik dan obat-obat terlarang.
Pembangunan di bidang budaya sudah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman budaya, pentingnya toleransi, dan pentingnya sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai berkembangnya interaksi antarbudaya. Namun, di sisi lain upaya pembangunan jatidiri bangsa Indonesia, seperti penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air dirasakan makin memudar. Hal tersebut, disebabkan antara lain, karena belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, dan kurang mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Dalam bidang agama, kesadaran melaksanakan ajaran agama dalam masyarakat tampak beragam. Pada sebagian masyarakat, kehidupan beragama belum menggambarkan penghayatan dan penerapan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan beragama pada masyarakat itu masih pada tataran simbol-simbol keagamaan dan belum pada substansi nilai-nilai ajaran agama. Akan tetapi, ada pula sebagian masyarakat yang kehidupannya sudah mendekati, bahkan sesuai dengan ajaran agama. Dengan demikian, telah tumbuh kesadaran yang kuat di kalangan pemuka agama untuk membangun harmoni sosial dan hubungan internal dan antarumat beragama yang aman, damai, dan saling menghargai. Namun, upaya membangun kerukunan intern dan antarumat beragama belum juga berhasil dengan baik, terutama di tingkat masyarakat. Ajaran agama mengenai etos kerja, penghargaan pada prestasi, dan dorongan mencapai kemajuan belum bisa diwujudkan sebagai inspirasi yang mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun. Selain itu, pesan-pesan moral agama belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. B. Ekonomi 1. Menjelang timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1997, pembangunan ekonomi sesungguhnya sedang dalam optimisme yang tinggi sehubungan dengan keberhasilan pencapaian pembangunan jangka panjang pertama. Namun, berbagai upaya perwujudan sasaran pembangunan praktis terhenti akibat krisis yang melumpuhkan perekonomian nasional. Rapuhnya perekonomian di negara-negara kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa pondasi ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia belum kuat menahan gejolak eksternal. Pertumbuhan cukup tinggi yang berhasil dipertahankan cukup lama lebih banyak didorong oleh peningkatan akumulasi modal, tenaga kerja dan pengurasan sumber daya alam daripada peningkatan dalam produktivitas perekonomian secara berkelanjutan. Dari krisis tersebut terangkat kelemahan mendasar bahwa kemajuan selama ini belum diikuti oleh peningkatan efisiensi dan perbaikan tata kelola kelembagaan ekonomi yang akhirnya meruntuhkan kepercayaan para pelaku, baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, di samping rentan terhadap gangguan eksternal, struktur perekonomian seperti itu akan sulit berkembang jika dihadapkan pada kondisi persaingan yang lebih ketat, baik pada pemasaran hasil produksi maupun pada peningkatan investasi, dalam era perekonomian dunia yang makin terbuka.
Krisis tahun 1997 telah meruntuhkan pondasi perekonomian nasional. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun nilai tukar merosot drastis mencapai sekitar Rp15.000,00 per US $ 1. Implikasinya, utang pemerintah dan swasta membengkak dan mengakibatkan permintaan agregat domestik terus menurun sampai dengan pertengahan 1998. Akibatnya, PDB mengalami kontraksi sekitar 13 persen pada tahun tersebut. Banyaknya perusahaan yang bangkrut mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat tajam hampir tiga kali lipat, yaitu sekitar 14,1 juta orang; jumlah masyarakat miskin meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar 28 juta orang pada tahun 1996 menjadi sekitar 53 juta orang pada tahun 1998. Hingga tahun 2004, angka kemiskinan masih tinggi (sekitar 30 juta jiwa) dan jumlah pengangguran masih sekitar 10 juta jiwa.
Dengan berbagai program penanganan krisis yang diselenggarakan selama periode transisi politik, kondisi mulai membaik sejak tahun 2000. Perbaikan kondisi tersebut ditunjukkan dengan beberapa indikator sebagai berikut. Defisit anggaran negara turun dari 3,9 persen PDB pada tahun 1999/2000 menjadi 1,1 persen PDB pada tahun 2004, stok utang Pemerintah/PDB dapat ditekan di bawah 60 persen, dan cadangan devisa terus meningkat dalam empat tahun terakhir menjadi USD 35,4 miliar pada tahun 2004. Nilai tukar dapat distabilkan pada tingkat sekitar Rp9.000,00 per US $ 1 dan inflasi ditekan di angka sekitar 6,0 persen pada tahun 2004. Terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi tersebut memberikan ruang gerak bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap menurunkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penurunan suku bunga SBI tersebut diikuti penurunan suku bunga simpanan perbankan secara signifikan, tetapi belum sepenuhnya diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Meskipun belum optimal, penurunan suku bunga itu telah dimanfaatkan oleh perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit, memperkuat struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit, terutama yang berjangka waktu relatif pendek. Di sektor riil, kondisi yang stabil tersebut memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal.
Berbagai kinerja di atas telah berhasil memperbaiki stabilitas ekonomi makro. Walaupun demikian, kinerja tersebut belum mampu memulihkan pertumbuhan ekonomi ke tingkat seperti sebelum krisis. Hal tersebut karena motor pertumbuhan masih mengandalkan konsumsi. Sektor produksi belum berkembang karena sejumlah permasalahan berkenaan dengan tidak kondusifnya lingkungan usaha, yang menyurutkan gairah investasi, di antaranya praktik ekonomi biaya tinggi, termasuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta berbagai aturan yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu, sulitnya pemulihan sektor investasi dan ekspor juga disebabkan oleh lemahnya daya saing nasional, terutama dengan makin ketatnya persaingan ekonomi antarnegara. Lemahnya daya saing tersebut, juga diakibatkan oleh rendahnya produktivitas SDM serta rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi di dalam proses produksi. Permasalahan lain yang juga punya pengaruh kuat ialah terbatasnya kapasitas infrastruktur di dalam mendukung peningkatan efisiensi distribusi. Penyelesaian yang berkepanjangan dari semua permasalahan sektor riil di atas akan mengganggu kinerja kemajuan dan ketahanan perekonomian nasional, yang pada gilirannya dapat mengurangi kemandirian bangsa.
Walaupun secara bertahap berkurang, jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi, baik di kawasan perdesaan maupun di perkotaan, terutama pada sektor pertanian dan kelautan. Oleh karena itu, kemiskinan masih menjadi perhatian penting dalam pembangunan 20 tahun yang akan datang. Luasnya wilayah dan beragamnya kondisi sosial budaya masyarakat menyebabkan masalah kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda. Masalah kemiskinan bersifat multidimensi, karena bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, melainkan karena juga kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin. Selain itu, kemiskinan juga menyangkut kegagalan dalam pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. C. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 1. Kemampuan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek mengalami peningkatan. Berbagai hasil penelitian, pengembangan, dan rekayasa teknologi telah dimanfaatkan oleh pihak industri dan masyarakat. Jumlah publikasi ilmiah terus meningkat meskipun tergolong masih sangat rendah di tingkat internasional. Hal itu mengindikasikan peningkatan kegiatan penelitian, transparansi ilmiah, dan aktivitas diseminasi hasil penelitian dan pengembangan.
Walaupun demikian, kemampuan nasional dalam penguasaan dan pemanfaatan iptek dinilai masih belum memadai untuk meningkatkan daya saing. Hal itu ditunjukan, antara lain, oleh masih rendahnya sumbangan iptek di sektor produksi, belum efektifnya mekanisme intermediasi, lemahnya sinergi kebijakan, belum berkembangnya budaya iptek di masyarakat, dan terbatasnya sumber daya iptek. D. Sarana dan Prasarana Kondisi sarana dan prasarana di Indonesia saat ini masih ditandai oleh rendahnya aksesibilitas, kualitas, ataupun cakupan pelayanan. Akibatnya, sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya dapat menjadi tulang punggung bagi pembangunan sektor riil termasuk dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan pangan di daerah, mendorong sektor produksi, serta mendukung pengembangan wilayah.
Pengembangan prasarana penampung air, seperti waduk, embung, danau, dan situ, masih belum memadai sehingga belum dapat memenuhi penyediaan air untuk berbagai kebutuhan, baik pertanian, rumah tangga, perkotaan, maupun industri terutama pada musim kering yang cenderung makin panjang di beberapa wilayah sehingga mengalami krisis air. Dukungan prasarana irigasi yang mengalami degradasi masih belum dapat diandalkan karena hanya mengandalkan sekitar 10 persen jaringan irigasi yang pasokan airnya relatif terkendali karena berasal dari bangunan- bangunan penampung air, dan sisanya hanya mengandalkan ketersediaan air di sungai. Selain itu, laju pengembangan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air juga masih belum mampu mengimbangi laju degradasi lingkungan penyebab banjir sehingga bencana banjir masih menjadi ancaman bagi banyak wilayah. Sejalan dengan perkembangan ekonomi wilayah, banyak daerah telah mengalami defisit air permukaan, sedangkan di sisi lain konversi lahan pertanian telah mendorong perubahan fungsi prasarana irigasi sehingga perlu dilakukan penyesuaian dan pengendalian. Pada sisi pengembangan institusi pengelolaan sumber daya air, lemahnya koordinasi antarinstansi dan antardaerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan yang dimiliki.
Krisis ekonomi berdampak pada menurunnya kualitas sarana dan prasarana, terutama jalan dan perkeretaapian yang kondisinya sangat memprihatinkan. Pada tahun 2004 sekitar 46,3 persen total panjang jalan mengalami kerusakan ringan dan berat serta terdapat 32,8 persen panjang jalan kereta api yang ada sudah tidak dioperasikan lagi. Selain itu, jaringan transportasi darat dan jaringan transportasi antarpulau belum terpadu. Sebagai negara kepulauan atau maritim, masih banyak kebutuhan transportasi antarpulau yang belum terpenuhi, baik dengan pelayanan angkutan laut maupun penyeberangan. Peran armada nasional menurun, baik untuk angkutan domestik maupun internasional sehingga pada tahun 2004 masing-masing hanya mampu memenuhi 54 persen dan 3,5 persen. Padahal sesuai dengan konvensi internasional yang berlaku, armada nasional berhak atas 40 persen pangsa pasar untuk muatan ekspor-impor dan 100 persen untuk angkutan domestik. Untuk angkutan udara, dengan penerapan kebijakan multi-operator angkutan udara perusahaan penerbangan relatif mampu menyediakan pelayanan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Di samping masalah yang disebabkan oleh krisis ekonomi, pembangunan prasarana transportasi mengalami kendala terutama yang terkait dengan keterbatasan pembiayaan pembangunan, operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi, serta rendahnya aksesibilitas pembangunan sarana dan prasarana transportasi di beberapa wilayah terpencil belum terpadunya pembangunan transportasi dan pembangunan daerah bagi kelompok masyarakat umum, sehingga penyediaan transportasi terbatas pelayanannya. Demikian pula kualitas pelayanan angkutan umum yang makin menurun, terjadi tingkat kemacetan dan polusi di beberapa kota besar yang makin parah, serta tingkat kecelakaan yang makin tinggi. Di sisi lain, peran serta swasta belum berkembang terkait dengan kelembagaan dan peraturan perundang- undangan yang belum kondusif.
Dalam era globalisasi, informasi mempunyai nilai ekonomi untuk mendorong pertumbuhan serta peningkatan daya saing bangsa. Masalah utama dalam pembangunan pos dan telematika adalah terbatasnya kapasitas, jangkauan, serta kualitas sarana dan prasarana pos dan telematika yang mengakibatkan rendahnya kemampuan masyarakat mengakses informasi. Kondisi itu menyebabkan semakin lebarnya kesenjangan digital, baik antardaerah di Indonesia maupun antara Indonesia dan negara lain. Dari sisi penyelenggara pelayanan sarana dan prasarana pos dan telematika (sisi supply ), kesenjangan digital itu disebabkan oleh (a) terbatasnya kemampuan pembiayaan operator sehingga kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana yang ada dan pembangunan baru terbatas; (b) belum terjadinya kompetisi yang setara dan masih tingginya hambatan masuk ( barrier to entry ) sehingga peran dan mobilisasi dana swasta belum optimal; (c) belum berkembangnya sumber dan mekanisme pembiayaan lain untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana pos dan telematika, seperti kerja sama pemerintah-swasta, pemerintah-masyarakat, serta swasta-masyarakat; (d) masih rendahnya optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana yang ada sehingga terdapat aset nasional yang tidak digunakan ( idle ); (e) terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi; (f) terbatasnya pemanfaatan industri dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap komponen industri luar negeri masih tinggi; dan (g) masih terbatasnya industri aplikasi dan materi ( content ) yang dikembangkan oleh penyelenggara pelayanan sarana dan prasarana. Terkait dengan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan sarana dan prasarana dari sisi permintaan, kesenjangan digital disebabkan oleh (a) terbatasnya daya beli ( ability to pay ) masyarakat terhadap sarana dan prasarana pos dan telematika; (b) masih rendahnya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan dan mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi; dan (c) terbatasnya kemampuan masyarakat untuk mengolah informasi menjadi peluang ekonomi, yaitu menjadikan sesuatu mempunyai nilai tambah ekonomi.
Di bidang sarana dan prasarana energi termasuk kelistrikan, permasalahan pokok yang dihadapi, antara lain masih besarnya kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan energi termasuk tenaga listrik yang kondisinya makin kritis di berbagai daerah karena masih rendahnya kemampuan investasi dan pengelolaan penyediaan sarana dan prasarana energi; masih rendahnya efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sarana dan prasarana yang sudah terpasang dalam satu dasawarsa terakhir; masih tingginya ketergantungan konsumen terhadap bahan bakar minyak; masih dominannya peralatan dan material penunjang yang harus diimpor; serta adanya regulasi-regulasi yang tidak konsisten. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak merata serta dihadapkan pada luasnya wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan densitas penduduk yang bervariasi cukup menyulitkan pengembangan berbagai jenis sarana dan prasarana energi yang optimal. Hal itu juga dipengaruhi oleh lokasi potensi cadangan energi primer yang tersebar dan sebagian besar jauh dari pusat beban; keterbatasan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi; tingginya pertumbuhan permintaan berbagai jenis energi setiap tahun; serta kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan perumahan hingga tahun 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit sehingga kebutuhan rumah per tahun diperkirakan mencapai 1,2 juta unit. Data tahun 2004 mencatat bahwa sebanyak 4,3 juta jumlah rumah tangga belum memiliki rumah. Penyediaan air minum juga tidak mengalami kemajuan yang berarti. Berdasarkan Data Statistik Perumahan dan Permukiman Tahun 2004, jumlah penduduk (perkotaan dan pedesaan) yang mendapatkan akses pelayanan air minum perpipaan baru mencapai 18,3 persen, hanya sedikit meningkat dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya (14,7 persen). Demikian juga halnya dengan penanganan persampahan di kawasan perkotaan dan perdesaan baru mencapai 18,41 persen atau mencapai 40 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase baru melayani 124 juta jiwa. E. Politik 1. Perkembangan proses demokratisasi sejak tahun 1998 sampai dengan proses penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 telah memberikan peluang untuk mengakhiri masa transisi demokrasi menuju arah proses konsolidasi demokrasi. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilaksanakan sebanyak empat kali telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tataran kelembagaan negara maupun tataran masyarakat sipil . Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian memberikan ruang diterbitkannya berbagai peraturan dan perundang-undangan di bidang politik sebagai penjabarannya telah menjadi bagian penting dalam upaya merumuskan format politik baru bagi konsolidasi demokrasi. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah secara tegas menata kembali struktur dan kewenangan lembaga-lembaga negara termasuk beberapa penyelenggaraan negara tambahan, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, serta beberapa Komisi lainnya. Adanya penataan tersebut telah memberikan peluang ke arah terwujudnya pengawasan dan penyeimbangan ( checks and balances ) kekuasaan politik. Perubahan format politik tersebut terumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai negara yang baru beberapa tahun memasuki proses demokratisasi, proses penataan kelembagaan tidak jarang menimbulkan konflik-konflik kepentingan.
Berkenaan dengan Pemilu, keberhasilan penting yang telah diraih adalah telah dilaksanakannya pemilu langsung anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, aman, dan demokratis pada tahun 2004. Selain itu, pemilihan kepala daerah secara langsung pun sudah mampu dilaksanakan secara baik di seluruh Indonesia sejak tahun 2005. Hal itu merupakan modal awal yang penting bagi lebih berkembangnya demokrasi pada masa selanjutnya.
Perkembangan demokrasi selama ini ditandai pula dengan terumuskannya format hubungan pusat-daerah yang baru. Akan tetapi, hal itu terlihat masih berjalan pada konteks yang prosedural dan sifatnya masih belum substansial. Format yang sudah dibangun didasarkan pada Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang pada intinya lebih mendorong kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan mengatur mengenai hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, serta hubungan antarpemerintah daerah. Dewasa ini, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah masih mengalami berbagai permasalahan, antara lain disebabkan kurangnya koordinasi pusat-daerah dan masih belum konsistennya sejumlah peraturan perundangan, baik antardaerah maupun antara pusat dan daerah.
Perkembangan demokrasi ditandai pula dengan adanya konsensus mengenai format baru hubungan sipil-militer yang menjunjung tinggi supremasi sipil dan hubungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait dengan kewenangan dalam melaksanakan sistem pertahanan dan keamanan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Meskipun demikian, format baru yang dihasilkan itu masih menghadapi persoalan mengenai pelaksanaannya yang sekadar bersifat prosedural dan harus diperjuangkan lebih lanjut agar dapat terwujud secara lebih substantif. Selanjutnya, perkembangan demokrasi yang lain adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah terwujud pula suatu kesepakatan nasional baru mengenai netralitas pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan Polri terhadap politik.
Kemajuan demokrasi terlihat pula dengan telah berkembangnya kesadaran- kesadaran terhadap hak-hak masyarakat dalam kehidupan politik, yang dalam jangka panjang diharapkan mampu menstimulasi masyarakat lebih jauh untuk makin aktif berpartisipasi dalam mengambil inisiatif bagi pengelolaan urusan-urusan publik. Kemajuan itu tidak terlepas dari berkembangnya peran partai politik, organisasi non-pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Walaupun demikian, perkembangan visi dan misi partai politik ternyata belum sepenuhnya sejalan dengan perkembangan kesadaran dan dinamika kehidupan sosial politik masyarakat dan tuntutan demokratisasi. Di samping itu, kebebasan pers dan media telah jauh berkembang yang antara lain ditandai dengan adanya peran aktif pers dan media dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Walaupun demikian, kalangan pers belum dapat mengatasi dampak dari kebebasan tersebut antara lain masih berpihak pada kepentingan industri daripada kepentingan publik yang lebih luas.
Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan perjalanan politik luar negeri, Indonesia telah melakukan banyak hal dan mencapainya dengan baik. Walaupun demikian masih banyak hal yang belum diupayakan secara optimal berdasarkan potensi dan sumber daya yang ada. Apabila tidak dikelola secara memadai, kedudukan geopolitik yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam (SDA), populasi, dan proses demokrasi yang semakin baik sebagai keunggulan komparatif untuk membangun kepemimpinan Indonesia di tataran global justru dapat menjadi sumber kerawanan bagi kepentingan Republik Indonesia. Menumbuhkan penguatan citra Indonesia sebagai negara yang mampu memadukan aspirasi umat Islam dengan upaya konsolidasi demokrasi; memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional; meningkatkan penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diskriminatif; dan mendorong pemulihan ekonomi yang lebih menjanjikan serta perlindungan hak-hak dasar warga negara secara lebih konsisten merupakan dasar-dasar kebijakan yang terus dikembangkan. Seluruh pencapaian itu menjadi aset penting bagi pelaksanaan politik luar negeri dan penyelenggaraan hubungan luar negeri Indonesia. Di samping itu, kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai posisi geopolitik yang strategis dengan kekayaan SDA, populasi, dan proses demokratisasi yang semakin baik merupakan kekuatan dan keunggulan komparatif sebagai potensi untuk membangun kepemimpinan Indonesia pada tataran global melalui inisiatif dan kontribusi pemikiran komitmen Indonesia pada terbentuknya tatanan hubungan internasional yang lebih adil, damai dan berimbang, serta menolak unilateralisme.
Bagi Indonesia, sebagai negara yang baru membangun demokrasi, pilihan kebijakan luar negeri tidak lagi semata-mata menyangkut perspektif luar negeri yang berdiri sendiri. Pertautan dinamika internasional dan domestik cenderung makin mewarnai proses penentuan kebijakan luar negeri. Walaupun demikian, satu hal prinsip yang tetap tidak boleh diabaikan, yakni seluruh proses perumusan kebijakan luar negeri ditujukan bagi pemenuhan kepentingan nasional Indonesia dalam berbagai bidang. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan luar negeri yang berorientasi kepada kepentingan nasional, Indonesia berupaya untuk memperkuat kelembagaan regional di tengah kecenderungan menguatnya unilateralisme.
Dengan pesatnya perkembangan globalisasi, maka dalam mengembangkan kehidupan politik demokratis yang berlandaskan hukum, faktor perkembangan pasar dunia mendapatkan perhatian yang lebih khusus karena akan sangat memengaruhi hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat. Dengan demikian, selain faktor negara dan masyarakat, faktor pasar makin tidak mungkin untuk diabaikan begitu saja. F. Pertahanan Keamanan 1. Upaya pertahanan dan keamanan negara telah memberikan kontribusi bagi pembentukan NKRI dan penyelenggaraan pembangunan dalam upaya pencapaian cita-cita negara, seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perjalanan sejarah bangsa dan dalam setiap dinamika arah dan kebijakan politik negara, sistem pertahanan rakyat semesta terbukti telah menjadi sistem yang mampu menegakkan kedaulatan NKRI serta menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.
Pada masa masyarakat dan bangsa Indonesia mengisi kemerdekaan dengan penyelenggaraan pembangunan, sistem politik telah menjadikan dwifungsi ABRI sebagai bagian dari sistem pertahanan rakyat semesta. Pada awalnya dwifungsi ABRI ini mampu menciptakan stabilitas nasional yang merupakan prasyarat pembangunan. Walaupun demikian, dalam perkembangannya pelaksanaan dwifungsi tersebut berdampak tidak menguntungkan bagi profesionalisme TNI dan Polri serta bersifat kontraproduktif bagi dinamika masyarakat keseluruhan. Pelaksanaan fungsi sosial dan politik tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan strategi, teknologi, dan pembiayaan pertahanan-keamanan tidak terarah pada pembentukan kekuatan pertahanan minimal untuk menegakkan kedaulatan NKRI serta menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Kemampuan TNI dalam melaksanakan fungsinya di bidang pertahanan negara sampai saat ini masih memperihatinkan. Hal itu ditandai tidak saja menyangkut kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tidak mencukupi atau mayoritas peralatan yang usang secara umur dan teknologi, tetapi juga menyangkut sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraannya. Di samping itu, sebagian proses pengadaan, pemeliharaan, pengoperasian, dan pemenuhan suku cadang alutsista TNI masih memiliki ketergantungan pada negara-negara lain.
Gerakan reformasi pada tahun 90-an menghendaki perubahan secara total di segala bidang penyelenggaraan negara termasuk tuntutan terhadap reposisi TNI dan Polri. Penyempurnaan terhadap reposisi dan peran TNI dan Polri dikukuhkan melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, ketetapan MPR tersebut diperkuat lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Walaupun demikian, reposisi tersebut berdampak pada adanya ketidakterkaitan penanganan masalah pertahanan dan masalah keamanan dalam negeri yang seharusnya bersama-sama dengan keamanan sosial merupakan satu kesatuan dalam keamanan nasional. Dengan demikian, reformasi di bidang pertahanan dan keamanan tidak hanya menyangkut pemisahan antara TNI dan Polri, tetapi juga mengenai penataan lebih lanjut hubungan antara keduanya secara kelembagaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya masing- masing. G. Hukum dan Aparatur 1. Dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan. Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan. Dengan dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi keanggotaannya cukup representatif, pengawasan dan kontrol terhadap kemandirian lembaga peradilan dan pembentukan sistem hukum nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.
Hingga saat ini, pelaksanaan program pembangunan aparatur negara masih menghadapi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Permasalahan tersebut, antara lain masih terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN dan belum terwujudnya harapan masyarakat atas pelayanan yang cepat, murah, manusiawi, dan berkualitas. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas KKN dan meningkatkan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah banyak dilakukan. Walaupun demikian, hasil yang dicapai belum cukup menggembirakan. Kelembagaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, masih belum terlihat efektif dalam membantu pelaksanaan tugas dan sistem manajemen pemerintahan juga belum efisien dalam menghasilkan dan menggunakan sumber-sumber daya. Upaya- upaya untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi masih belum sepenuhnya dapat teratasi mengingat keterbatasan dana pemerintah. H. Wilayah dan Tata Ruang 1. Tata ruang Indonesia saat ini dalam kondisi krisis. Krisis tata ruang terjadi karena pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah masih sering dilakukan tanpa mengikuti rencana tata ruang, tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta tidak memerhatikan kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana alam. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta memperbesar risiko timbulnya korban akibat bencana alam. Selain itu, sering terjadi konflik pemanfaatan ruang antarsektor, contohnya konflik antara kehutanan dan pertambangan. Beberapa penyebab utama terjadinya permasalahan tersebut adalah (a) belum tepatnya kompetensi sumber daya manusia dalam bidang pengelolaan penataan ruang, (b) rendahnya kualitas dari rencana tata ruang, (c) belum diacunya perundangan penataan ruang sebagai payung kebijakan pemanfaatan ruang bagi semua sektor; dan (d) lemahnya penerapan hukum berkenaan dengan pemanfaatan ruang dan penegakan hukum terhadap pelanggaran berkenaan dengan pemanfaatan ruang.
Pada umumnya masyarakat yang berada di wilayah-wilayah tertinggal masih mempunyai keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil, antara lain, (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju;
kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar;
kebanyakan wilayah-wilayah tersebut miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia;
belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; dan
belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah tersebut.
Banyak wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis di luar Pulau Jawa belum dikembangkan secara optimal. Hal itu disebabkan, antara lain (1) adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan;
belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah;
belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku usaha swasta;
belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah;
masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerja sama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan;
masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran, dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi;
keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (8) belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antarwilayah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi SDA yang cukup besar serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Walaupun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi · inward looking · sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sementara itu, pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolasi dan sulit dijangkau, diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya serta belum banyak tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah.
Pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan saat ini masih sangat terpusat di pulau Jawa-Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Jawa, berjalan lambat dan tertinggal. Pertumbuhan perkotaan yang tidak seimbang ini ditambah dengan adanya kesenjangan pembangunan antarwilayah menimbulkan urbanisasi yang tidak terkendali. Secara fisik, hal itu ditunjukkan oleh (1) meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya kawasan pinggiran ( fringe-area ) terutama di kota-kota besar dan metropolitan;
meluasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan ‘sub-urban’ yang telah ‘mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota inti dan membentuk konurbasi yang tak terkendali;
meningkatnya jumlah desa- kota; dan
terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama di Jawa). Kecenderungan perkembangan semacam itu berdampak negatif terhadap perkembangan kota-kota besar dan metropolitan itu sendiri maupun kota-kota menengah dan kecil di wilayah lain.
Dampak negatif yang ditimbulkan di kota-kota besar dan metropolitan, antara lain, adalah (1) terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam di sekitar kota-kota besar dan metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
terjadinya secara terus menerus konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman, perdagangan, dan industri;
menurunnya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan dan timbulnya polusi;
menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena permasalahan sosial-ekonomi, serta penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan; serta (5) tidak mandiri dan terarahnya pembangunan kota-kota baru sehingga justru menjadi tambahan beban bagi kota inti. Dampak negatif lain yang ditimbulkan terhadap kota-kota di wilayah lain, yaitu (1) tidak meratanya penyebaran penduduk perkotaan dan terjadinya ‘konsentrasi’ penduduk kota di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), (20 persen dari total jumlah penduduk perkotaan Indonesia tinggal di sana);
tidak optimalnya fungsi ekonomi perkotaan, terutama di kota-kota menengah dan kecil, dalam menarik investasi dan tempat penciptaan lapangan pekerjaan; dan
tidak optimalnya peranan kota dalam memfasilitasi pengembangan wilayah.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di perdesaan umumnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan. Hal itu merupakan konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, baik investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah, sehingga infrastruktur dan kelembagaan cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah perdesaan. Akibatnya, peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perdesaan justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan perdesaan. I. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 1. Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan, sekaligus, sebagai penopang sistem kehidupan. Adapun jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia. Hasil pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup telah mampu menyumbang 24,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan 48 persen terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun, pengelolaan sumber daya alam tersebut masih belum berkelanjutan dan masih mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumber daya alam menipis. Menurunnya daya dukung dan ketersediaan sumber daya alam juga terjadi karena kemampuan iptek yang rendah sehingga tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.
Kondisi sumber daya hutan saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar ( illegal logging ) dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan atas lahan dan sumber daya hutan yang tidak pada tempatnya, meluasnya perambahan dan konversi hutan alam, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Tahun 2004, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 59,2 juta hektar dengan laju deforestasi setiap tahun mencapai 1,6-2 juta hektar.
Sumber daya kelautan belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini karena beberapa hal, antara lain, (1) belum adanya penataan batas maritim;
adanya konflik dalam pemanfaatan ruang di laut;
belum adanya jaminan keamanan dan keselamatan di laut;
adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumber daya kelautan;
adanya keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya kelautan; dan
belum adanya dukungan riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan.
Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam juga belum diakui. Kearifan lokal sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah juga telah mengakibatkan meningkatnya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, baik antarwilayah, antara pusat dan daerah, serta antarpenggunaan. Untuk itu, kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 20 tahun mendatang agar Indonesia tidak mengalami krisis sumber daya alam, khususnya krisis air, krisis pangan, dan krisis energi. II.2 TANTANGAN A. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 1. Dalam 20 tahun mendatang, Indonesia menghadapi tekanan jumlah penduduk yang makin besar. Jumlah penduduk yang pada tahun 2005 sebesar 219,9 juta orang diperkirakan meningkat mencapai sekitar 274 juta orang pada tahun 2025. Sejalan dengan itu berbagai parameter kependudukan diperkirakan akan mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan menurunnya angka kelahiran, meningkatnya usia harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi. Meskipun demikian, pengendalian kuantitas dan laju pertumbuhan penduduk penting diperhatikan untuk menciptakan penduduk tumbuh seimbang dalam rangka mendukung terjadinya bonus demografi yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia non-produktif. Kondisi tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kualitas SDM, daya saing, dan kesejahteraan rakyat. Di samping itu, persebaran dan mobilitas penduduk perlu pula mendapatkan perhatian sehingga ketimpangan persebaran dan kepadatan penduduk antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa serta antara wilayah perkotaan dan perdesaan dapat dikurangi.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing perekonomian nasional. Pembangunan kesehatan dan pendidikan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Di bidang kesehatan tantangan pembangunan yang dihadapi, antara lain, adalah mengurangi kesenjangan status kesehatan masyarakat dan akses terhadap pelayanan kesehatan antarwilayah, tingkat sosial ekonomi, dan gender; meningkatkan jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan yang kurang memadai; meningkatkan akses terhadap fasilitas kesehatan; dan mengurangi beban ganda penyakit yaitu pola penyakit yang diderita oleh sebagian besar masyarakat adalah penyakit infeksi menular, namun pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular serta meningkatnya penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. Sementara itu, tantangan yang dihadapi pembangunan pendidikan adalah menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan jumlah proporsi penduduk yang menyelesaikan pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, menurunkan jumlah penduduk yang buta aksara, serta menurunkan kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup tinggi antarkelompok masyarakat, termasuk antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk perkotaan dan perdesaan, antara penduduk di wilayah maju dan tertinggal, dan antarjenis kelamin. Tantangan dalam pembangunan pendidikan lainnya adalah meningkatkan kualitas dan relevansi termasuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah, antarjenis kelamin, dan antara penduduk kaya dan miskin sehingga pembangunan pendidikan dapat berperan dalam mendorong pembangunan nasional secara menyeluruh termasuk dalam mengembangkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, kemampuan untuk hidup dalam masyarakat yang multikultur, serta meningkatkan daya saing. Pembangunan pendidikan ditantang untuk menyediakan pelayanan pendidikan sepanjang hayat untuk memanfaatkan bonus demografi.
Kualitas hidup dan peran perempuan dan anak di berbagai bidang pembangunan masih rendah. Hal itu, antara lain, ditandai oleh rendahnya angka indeks pembangunan gender (IPG) dan tingginya tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta kurang memadainya kesejahteraan, partisipasi dan perlindungan anak. Dengan demikian, tantangan di bidang pembangunan perempuan dan anak adalah meningkatkan kualitas dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; menurunkan tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Sementara itu, tantangan di bidang pemuda dan olahraga adalah mengoptimalkan partisipasi pemuda dalam pembangunan serta meningkatkan budaya dan prestasi olahraga. Tantangan lainnya adalah menurunkan beban permasalahan kesejahteraan sosial yang semakin beragam dan meningkat akibat terjadinya berbagai krisis sosial, seperti menipisnya nilai budaya dan agama; menurunkan ekses dan gejala sosial dampak dari disparitas kondisi sosial ekonomi masyarakat dan terjadinya bencana sosial dan bencana alam; dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat.
Derasnya arus globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menjadi tantangan bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan jati diri bangsa sekaligus memanfaatkannya untuk pengembangan toleransi terhadap keragaman budaya dan peningkatan daya saing melalui penerapan nilai-nilai Pancasila dan penyerapan nilai- nilai universal.
Pembangunan manusia pada intinya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan agama adalah mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, mewujudkan kerukunan intern dan antarumat beragama, serta memberikan rasa aman dan perlindungan dari tindak kekerasan. B. Ekonomi 1. Pembangunan ekonomi sampai saat ini, meskipun telah menghasilkan berbagai kemajuan, masih jauh dari cita-citanya untuk mewujudkan perekonomian yang tangguh dan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, tantangan besar kemajuan perekonomian 20 tahun mendatang adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas secara berkelanjutan untuk mewujudkan secara nyata peningkatan kesejahteraan sekaligus mengurangi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang lebih maju.
Secara eksternal, tantangan tersebut dihadapkan pada situasi persaingan ekonomi antarnegara yang makin runcing akibat makin pesat dan meluasnya proses globalisasi. Basis kekuatan ekonomi yang masih banyak mengandalkan upah tenaga kerja yang murah dan ekspor bahan mentah dari eksploitasi sumber-sumber daya alam tak terbarukan, untuk masa depan perlu diubah menjadi perekonomian yang produk-produknya mengandalkan keterampilan SDM serta mengandalkan produk-produk yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global sehingga ekspor bahan mentah dapat dikurangi kemudian digantikan dengan ekspor produk yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global. Perkembangan ekonomi regional di kawasan Asia Timur dan Asia Selatan yang pesat dengan tumbuhnya raksasa ekonomi global di masa depan, seperti Cina dan India, merupakan salah satu fokus utama yang perlu dipertimbangkan secara cermat di dalam menyusun pengembangan struktur dan daya saing perekonomian nasional. Dengan demikian, integrasi perekonomian nasional ke dalam proses globalisasi dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dan sekaligus dapat meminimalkan dampak negatif yang muncul.
Secara internal, tantangan tersebut dihadapkan pada situasi pertambahan penduduk nasional yang masih relatif tinggi dan rasio penduduk usia produktif yang diperkirakan mencapai tingkat maksimal (sekitar 50 persen dari total penduduk) pada periode tahun 2020–2030. Dalam periode tersebut, angkatan kerja diperkirakan meningkat hampir dua kali lipat jumlahnya dari kondisi saat ini. Dengan komposisi pendidikan angkatan kerja yang pada tahun 2004 sekitar 50 persen berpendidikan setingkat SD, dalam 20 tahun ke depan komposisi pendidikan angkatan kerja diperkirakan akan didominasi oleh angkatan kerja yang berpendidikan setingkat SMP sampai dengan SMU. Dengan demikian, kapasitas perekonomian pada masa depan dituntut untuk mampu tumbuh dan berkembang agar mampu menyediakan tambahan lapangan kerja yang layak.
Tantangan internal yang penting lainnya adalah terlalu teraglomerasinya aktivitas perekonomian di pulau Jawa yang melebihi daya dukung optimal lingkungan hidupnya. Pada masa yang akan datang, perekonomian juga dituntut untuk mampu berkembang secara lebih proporsional di seluruh wilayah tanah air dengan mendorong perkembangan ekonomi di luar pulau Jawa, dalam rangka pemerataan pembangunan untuk mengurangi kesenjangan regional. Selain akan bermanfaat untuk menjaga keseimbangan lingkungan, terutama di pulau Jawa, hal tersebut juga akan berguna untuk memperkuat perekonomian domestik yang ditunjukkan oleh diversifikasi perekonomian sekaligus perbaikan di dalam kesempatan kerja dan berusaha sehingga pada gilirannya akan meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat secara nasional.
Kemajuan ekonomi perlu didukung oleh kemampuan suatu bangsa di dalam mengembangkan potensi dirinya untuk mewujudkan kemandirian. Kepentingan utama dalam pembangunan tersebut adalah mempertahankan kedaulatan perekonomian serta mengurangi ketergantungan ekonomi dari pengaruh luar, tetapi tetap berdaya saing. Dengan pemahaman itu, tantangan utama kemajuan ekonomi adalah mengembangkan aktivitas perekonomian yang didukung oleh penguasaan dan penerapan teknologi serta peningkatan produktivitas SDM, mengembangkan kelembagaan ekonomi yang efisien yang menerapkan praktik-praktik terbaik dan prinsip- prinsip pemerintahan yang baik, serta menjamin ketersediaan kebutuhan dasar dalam negeri.
Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin dan adanya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara bertahap, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Tantangan yang dihadapi, antara lain, yaitu kurangnya pemahaman terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin, kurangnya keberpihakan dalam perencanaan dan penganggaran, lemahnya sinergi dan koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, rendahnya partisipasi dan terbatasnya akses masyarakat miskin terutama perempuan dalam pengambilan keputusan baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta keterbatasan pemahaman dalam mengembangkan potensi daerah berpenduduk miskin padahal investasi daerah miskin di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan dalam bukti empiris dapat menghasilkan atau mengembangkan potensi bagi sentra kegiatan ekonomi. C. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Persaingan yang makin tinggi pada masa yang akan datang menuntut peningkatan kemampuan dalam penguasaan dan penerapan iptek dalam rangka menghadapi perkembangan global menuju ekonomi berbasis pengetahuan. Dalam rangka meningkatkan kemampuan iptek nasional, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan kontribusi iptek untuk meningkatkan kemampuan dalam memenuhi hajat hidup bangsa; menciptakan rasa aman; memenuhi kebutuhan kesehatan dasar, energi, dan pangan; memperkuat sinergi kebijakan iptek dengan kebijakan sektor lain; mengembangkan budaya iptek di kalangan masyarakat; meningkatkan komitmen bangsa terhadap pengembangan iptek; mengatasi degradasi fungsi lingkungan; mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam; serta meningkatkan ketersediaan dan kualitas sumber daya iptek, baik SDM, sarana dan prasarana, maupun pembiayaan iptek. D. Sarana dan Prasarana 1. Pemenuhan kebutuhan penyediaan air baku di berbagai sektor kehidupan menghadapi tantangan utama, yaitu meningkatkan pasokan air baku yang ditempuh melalui pengembangan prasarana penampung air yang dapat dikelola bersama oleh masyarakat. Selain itu, pengembangan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air harus mampu mengantisipasi perkembangan daerah-daerah permukiman dan industri baru. Intervensi sarana dan prasarana juga perlu dilakukan untuk mengurangi laju sedimentasi sejalan dengan upaya-upaya konservasi dan reboisasi terutama dengan mengembangkan bangunan-bangunan pengendali sedimen yang dapat dikelola oleh masyarakat. Pengelolaan jaringan irigasi belum diselenggarakan dengan pengutamaan peran masyarakat petani dengan dukungan penuh dari pemerintah dan pihak pengguna air irigasi. Peningkatan kemampuan kelembagaan pengelola sarana dan prasarana sumber daya air harus terus dikembangkan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air terpadu ( integrated water resources management ). Upaya mempertahankan kondisi kualitas air yang ada serta pemulihan terhadap kualitas air yang telah tercemar diwujudkan melalui pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dan penerapan teknologi.
Tantangan yang dihadapi oleh sektor transportasi pada masa yang akan datang adalah mengembangkan sistem transportasi nasional yang efisien dan efektif, terjangkau, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan peningkatan transportasi yang terpadu antarmoda dan intramoda serta selaras dengan pengembangan wilayah, mewujudkan pelayanan transportasi yang mendukung pembangunan ekonomi sosial dan budaya, serta mendukung kesatuan dan persatuan NKRI dan perwujudan negara kepulauan. Tantangan utama dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya agar dapat melaksanakan pembangunan transportasi nasional adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan dan peraturan yang kondusif, meningkatkan iklim kompetisi yang sehat, meningkatkan peran serta negara, swasta, dan masyarakat dalam pelayanan tranportasi publik, mengembangkan alternatif pembiayaan dan investasi, dan mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi transportasi yang tepat guna, hemat energi, dan ramah lingkungan.
Globalisasi, kemajuan teknologi, dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat untuk mendapatkan akses informasi menuntut adanya penyempurnaan dalam hal penyelenggaraan pembangunan pos dan telematika. Oleh karena itu, perlu adanya integrasi antara pendidikan dengan teknologi informasi serta sektor-sektor strategis lainnya. Walaupun pembangunan pos dan telematika saat ini telah mengalami berbagai kemajuan, informasi masih merupakan barang yang dianggap mewah dan hanya dapat diakses dan dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat. Oleh sebab itu, tantangan utama yang dihadapi dalam sektor itu adalah meningkatkan penyebaran dan pemanfaatan arus informasi dan teledensitas pelayanan pos dan telematika masyarakat pengguna jasa. Tantangan lainnya adalah konvergensi teknologi informasi dan komunikasi yang menghilangkan sekat antara telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran, pendidikan dan etika moral.
Tantangan utama yang dihadapi dalam sektor energi adalah meningkatkan keandalan pasokan energi, sarana dan prasarana, serta proses dan penyalurannya untuk keperluan domestik karena belum ada kebijakan tarif lokal untuk memenuhi kebutuhan berbagai jenis energi serta sarana dan prasarananya. Di samping itu, lokasi sumber daya energi yang potensial yang sebagian besar berada di luar pulau Jawa, selama ini pengembangannya terbatas hanya untuk menyalurkan energi konvensional dari lokasi sumber daya ke pusat permintaan energi, sedangkan sarana dan prasarana energi lainnya terutama energi terbarukan masih sangat tertinggal.
Tantangan yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat dan mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh, adalah (a) melakukan reformasi secara serentak, khususnya yang berkaitan dengan perpajakan, retribusi/biaya perizinan daerah, pertanahan dan tata ruang, sebagai upaya untuk menekan dan mengurangi harga rumah sehingga dapat meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat; (b) menyempurnakan pola subsidi sektor perumahan yang tepat sasaran, transparan, akuntabel, dan pasti, khususnya subsidi bagi masyarakat berpendapatan rendah; (c) mendorong adanya insentif perpajakan kepada dunia usaha agar berpartisipasi secara langsung dalam penyediaan perumahan; dan (d) melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro perumahan, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat yang berswadaya dalam pembangunan rumah. Dengan demikian, penyediaan perumahan dapat diselenggarakan dengan tidak hanya mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, melainkan juga melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan makin terbatasnya sumber dana yang dapat dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana, anggaran pemerintah akan lebih difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana yang secara ekonomi dan sosial bermanfaat, tetapi secara finansial kurang layak. Untuk proyek sarana dan prasarana yang layak secara finansial akan dibangun dengan memanfaatkan dana-dana masyarakat dan membuka peluang kerja sama dengan badan usaha, terutama swasta dalam rangka penyelenggaraan pembangunan sarana dan prasarana. Hal itu, merupakan tantangan yang menuntut dilakukannya berbagai penyempurnaan aturan main, terutama yang berkaitan dengan struktur industri penyediaan sarana dan prasarana serta pentingnya reformasi di sektor keuangan guna memfasilitasi kebutuhan akan dana- dana jangka panjang masyarakat yang tersimpan di berbagai lembaga keuangan. E. Politik 1. Tantangan terberat dalam kurun waktu 20 tahun mendatang dalam pembangunan politik adalah menjaga proses konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan. Dalam menjaga momentum demokrasi tersebut, tantangan yang akan dihadapi adalah melaksanakan reformasi struktur politik, menyempurnakan proses politik, dan mengembangkan budaya politik yang lebih demokratis agar demokrasi berjalan bersamaan dan berkelanjutan sehingga sasaran tercapainya demokrasi yang bersifat prosedural dan substansial dapat tercapai. Tantangan lain yang dihadapi untuk menjaga konsolidasi demokrasi adalah perlunya menyepakati pentingnya konstitusi yang lebih demokratis. Proses perubahan yang sudah berlangsung 4 (empat) kali masih menyisakan berbagai persoalan ketidaksempurnaan dalam hal filosofi maupun substansi konstitusional, terutama dalam kaitannya dengan pelembagaan dan penerapan nilai-nilai demokrasi secara luas.
Konsolidasi demokrasi memerlukan dukungan seluruh masyarakat Indonesia yang bersatu padu dalam wadah NKRI. Tantangan utamanya adalah meneguhkan kembali makna penting persatuan nasional dengan memerhatikan berbagai keanekaragaman latar belakang dan kondisi. Hal itu meliputi aspek desentralisasi, keadilan sosial, serta sensitif politik yang belum tuntas penyelesaiannya, seperti masalah federalisme, masalah pemberlakuan syariat Islam, dan masalah hubungan negara dan agama. Tantangan lain dalam melaksanakan konsolidasi demokrasi adalah melaksanakan rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan dan menuntaskan persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik yang dilakukan atas nama negara. Terkait dengan telah dirumuskannya format hubungan pusat dan daerah yang baru, tantangan ke depan adalah menciptakan hubungan pusat dengan daerah yang benar-benar mampu memadukan kepentingan dalam upaya memperkuat ikatan NKRI dan tetap menjaga berkembangnya iklim demokrasi hingga ke tingkat lokal atau dinamika di berbagai daerah 3. Tantangan lain untuk menjaga konsolidasi demokrasi adalah perlunya mereformasi birokrasi sipil dan TNI-Polri. Konsolidasi demokrasi memerlukan pelaksana kebijakan yang reformis di dalam pemerintahan dan memerlukan dukungan birokrasi yang memenuhi syarat profesionalisme, kredibilitas dan kapasitas, serta efisiensi dan efektivitas. Di samping itu, salah satu tantangan demokrasi terbesar adalah masih belum kuatnya masyarakat sipil, baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Oleh karena itu, dalam kurun waktu dua puluh tahun ke depan, pendidikan politik akan merupakan alat transformasi sosial menuju demokrasi. Masyarakat sipil yang kuat sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat dalam merespon dan memahami dinamika pasar global dan pasar dalam negeri serta saling berinteraksi antara negara, masyarakat sipil, dan pasar dalam mewujudkan negara yang demokratis. Tantangan lain untuk menjaga proses konsolidasi demokrasi adalah mendorong terbangunnya partai politik yang mandiri dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan pendidikan politik rakyat, mengagregasi dan menyalurkan aspirasi politik rakyat, serta menyeleksi pimpinan politik yang akan mengelola penyelenggaraan negara secara profesional.
Konsolidasi demokrasi akan dihadapkan pula pada tantangan bagaimana melembagakan kebebasan pers/media massa. Akses masyarakat terhadap informasi yang bebas dan terbuka, dalam banyak hal, akan lebih memudahkan kontrol atas pemenuhan kepentingan publik. Peran media massa yang bebas sangat menentukan dalam proses menemukan, mencegah, mempublikasikan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan dan korupsi. Tantangan lain adalah mengatasi berbagai dampak negatif perkembangan industri pers yang cenderung berpihak pada kepentingan kapitalis dan bukan mengedepankan kepentingan masyarakat luas. Keseluruhan upaya tersebut berada dalam konteks menempatkan peranan pers sebagai salah satu pilar dari perkembangan demokrasi suatu negara.
Berkenaan dengan hubungan luar negeri, tantangan dalam dua puluh tahun mendatang adalah menempatkan posisi Indonesia secara tepat atas isi-isu global dengan memanfaatkan posisi strategis Indonesia secara maksimal bagi kepentingan nasional dan merevitalisasi konsep identitas nasional dalam politik luar negeri. Selain itu, bersama negara-negara berkembang lainnya, diplomasi Indonesia juga perlu terus mendorong ke arah terciptanya tatanan ekonomi dunia yang lebih adil, meningkatnya dukungan dan peran berbagai pelaku dalam menyelenggarakan hubungan luar negeri, dan terlaksananya hubungan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Sikap Pelaksanaan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif ditujukan pula untuk mendukung upaya memperkuat peranan kelembagaan regional, terutama untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang pada tingkat regional. Tantangan lain yang dihadapi adalah melaksanakan strategi yang tepat dalam menghadapi potensi konflik teritorial dengan negara-negara tetangga melalui upaya untuk menindaklanjuti United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang merupakan salah satu langkah strategis, baik dalam konteks penguatan perlindungan terhadap kedaulatan wilayah dari segi hukum internasional maupun pemanfaatan nilai-nilai ekonomi karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Di samping itu, kecenderungan-kecenderungan unilateralisme ke depan akan dapat menyebabkan lumpuhnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai institusi utama dalam diplomasi multilateral untuk menegakkan perdamaian dan keamanan internasional. Untuk menghindari hal tersebut, Indonesia perlu ikut menyuarakan dan memperjuangkan makna penting multilateralisme secara global dengan mengedepankan perlunya reformasi dan demokratisasi PBB menjadi tantangan yang harus diwujudkan secara konsisten dan berkelanjutan. F. Pertahanan Keamanan 1. Perubahan geopolitik internasional yang ditandai dengan memudarnya prinsip multilateralisme dan menguatnya pendekatan unilateralisme yang berdampak pada berkembangnya doktrin pertahanan pre-emptive strike akan mengubah sama sekali tataran politik internasional dan dapat menembus batas-batas yurisdiksi sebuah negara di luar kewajaran hukum internasional yang berlaku saat ini. Selain itu, menguatnya kemampuan militer negara tetangga yang secara signifikan melebihi kemampuan pertahanan Republik Indonesia telah melemahkan posisi tawar dalam ajang diplomasi internasional. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama pembangunan kemampuan pertahanan dan keamanan yang harus diatasi pada masa mendatang adalah membangun kekuatan pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal, sehingga disegani di kawasan regional dan internasional.
Potensi dan ancaman konflik berintensitas rendah yang didukung dengan perkembangan metode dan alat teknologi tinggi diperkirakan akan makin meningkat pada masa mendatang. Potensi dan ancaman tersebut adalah terorisme, konflik komunal, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara terutama di wilayah yurisdiksi laut Indonesia dan wilayah perbatasan, serta berkembangnya variasi tindak kriminal konvensional. Tantangan lain dalam pembangunan pertahanan dan keamanan adalah meningkatkan profesionalisme Polri seiring dengan peningkatan kesejahteraan anggotanya agar mampu melindungi dan mengayomi masyarakat, mencegah tindak kejahatan, menuntaskan tindak kriminalitas, serta meningkatkan profesionalisme TNI seiring dengan peningkatan kesejahteraan prajurit serta penguatan kapasitas lembaga intelijen dan kontra intelijen dalam rangka menciptakan keamanan nasional.
Ancaman dan gangguan bagi kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah sangat terkait dengan bentang dan posisi geografis yang sangat strategis, kekayaan alam yang melimpah, serta belum tuntasnya pembangunan karakter dan kebangsaan, terutama pemahaman mengenai masalah multikulturalisme yang dapat berdampak pada munculnya gerakan separatisme dan konflik horizontal. Sementara itu, kemampuan pertahanan dan keamanan saat ini dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista dan alat utama lainnya yang jika tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan penegakkan kedaulatan negara, penyelamatan bangsa, dan penjagaan keutuhan wilayah di masa mendatang. Keadaan tersebut diperburuk oleh terjadinya kelemahan sistemik komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang merupakan prasyarat berfungsinya sistem pertahanan semesta. Oleh karena itu, tantangan yang juga harus diatasi untuk membangun kemampuan pertahanan dan keamanan adalah meningkatkan jumlah dan kondisi alutsista TNI untuk mencapai kekuatan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal; mengembangkan alat utama Polri, lembaga intelijen, dan kontra intelijen sesuai dengan kemajuan teknologi; dan meningkatkan kesiapan komponen cadangan dan pendukung pertahanan termasuk membangun kemampuan industri pertahanan nasional. Upaya lebih lanjut dalam pengembangan industri pertahanan nasional memerlukan dukungan berbagai kalangan agar dapat menciptakan kemandirian alutsista TNI dan alat utama (alut) Polri yang dibarengi dengan penataan lebih lanjut pola interaksi antara TNI dan Polri terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya masing-masing.
Upaya memodernkan alutsista TNI secara bertahap terhambat oleh embargo yang dilakukan oleh beberapa negara. Kondisi itu diperparah dengan relatif rendahnya upaya pemanfaatan industri nasional dalam memenuhi kebutuhan peralatan pertahanan dan keamanan. Ketidaksesuaian di antara kebutuhan peralatan di satu sisi serta kemampuan teknis dan finansial industri nasional di sisi lain juga merupakan salah satu penyebab ketertinggalan dan ketergantungan peralatan pertahanan dan keamanan terhadap negara lain. Dengan demikian, untuk mewujudkan kemandirian dalam pembangunan pertahanan dan keamanan diperlukan industri pertahanan dan keamanan nasional yang tangguh. G. Hukum dan Aparatur 1. Tantangan ke depan di dalam mewujudkan sistem hukum nasional yang mantap adalah mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Saat ini birokrasi belum mengalami perubahan mendasar. Banyak permasalahan belum terselesaikan. Permasalahan itu makin meningkat kompleksitasnya dengan desentralisasi, demokratisasi, globalisasi, dan revolusi teknologi informasi. Proses demokratisasi yang dijalankan telah membuat rakyat makin sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara termasuk dalam pengawasan terhadap birokrasi perlu terus dibangun dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Tingkat partisipasi masyarakat yang rendah akan membuat aparatur negara tidak dapat menghasilkan kebijakan pembangunan yang tepat. Kesiapan aparatur negara dalam mengantisipasi proses demokratisasi perlu dicermati agar mampu memberikan pelayanan yang dapat memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas, dan kualitas yang prima dari kinerja organisasi publik. Globalisasi juga membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pemerintahan. Revolusi teknologi dan informasi (TI) akan mempengaruhi terjadinya perubahan manajemen penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Pemanfaatan TI dalam bentuk e-government, e-procurement, e-business dan cyber law selain akan menghasilkan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah, juga akan meningkatkan diterapkannya prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik. H. Wilayah dan Tata Ruang 1. Pengaturan tata ruang sesuai peruntukan merupakan tantangan pada masa yang akan datang yang harus dihadapi untuk mengatasi krisis tata ruang yang telah terjadi. Untuk itu diperlukan penataan ruang yang baik dan berada dalam satu sistem yang menjamin konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Penataan ruang yang baik diperlukan bagi (a) arahan lokasi kegiatan, (b) batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam, (c) efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan. Penataan ruang yang baik juga harus didukung dengan regulasi tata ruang yang searah, dalam arti tidak saling bertabrakan antarsektor, dengan tetap memerhatikan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana.
Pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah perlu dilakukan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, tetapi juga untuk menjaga stabilitas dan kesatuan nasional. Tujuan penting dan mendasar yang akan dicapai untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah bukan untuk memeratakan pembangunan fisik di setiap daerah, terutama untuk mengurangi kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik di masing- masing daerah maupun antardaerah. Dalam kaitan itu, perlu diperhatikan pemanfaatan potensi dan peluang dari keunggulan sumber daya alam kelautan yang selama ini belum optimal sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam di dalam setiap wilayah.
Sementara itu, dari sisi eksternal secara pasti persaingan global akan semakin kuat berpengaruh pada pembangunan nasional pada masa yang akan datang. Perekonomian nasional akan menjadi lebih terbuka sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan daerah-daerah di Indonesia. Sejak tahun 2003, AFTA telah diberlakukan secara bertahap di lingkup negara-negara ASEAN, dan perdagangan bebas akan berlangsung sepenuhnya mulai tahun 2008. Selanjutnya, mulai tahun 2010 perdagangan bebas di seluruh wilayah Asia Pasifik akan dilaksanakan. Dalam kaitan itu, tantangan bagi daerah-daerah ialah menyiapkan diri menghadapi pasar global untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal sekaligus mengurangi kerugian dari persaingan global melalui pengelolaan sumber daya yang efisien dan efektif. Oleh karena itu, tantangannya ialah memanfaatkan potensi dan peluang keunggulan di masing-masing daerah dalam rangka mendukung daya saing nasional sekaligus meminimalkan dampak negatif globalisasi. I. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 1. Dengan menelaah kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup saat ini, apabila tidak diantisipasi dengan kebijakan dan tindakan yang tepat akan dihadapkan pada tiga ancaman, yaitu krisis pangan, krisis air, dan krisis energi. Ketiga krisis itu menjadi tantangan nasional jangka panjang yang perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, yaitu terancamnya persatuan bangsa, meningkatnya semangat separatisme, dan menurunnya kesehatan masyarakat. Meningkatnya jumlah penduduk yang pesat menyebabkan kemampuan penyediaan pangan semakin terbatas. Hal itu disebabkan oleh meningkatnya konversi lahan sawah dan lahan pertanian produktif lainnya, rendahnya peningkatan produktivitas hasil pertanian, dan menurunnya kondisi jaringan irigasi dan prasarana irigasi. Selain itu, praktik pertanian konvensional mengancam kelestarian sumber daya alam dan keberlanjutan sistem produksi pertanian. Di lain pihak, bertambahnya kebutuhan lahan pertanian dan penggunaan lainnya akan mengancam keberadaan hutan dan terganggunya keseimbangan tata air. Memburuknya kondisi hutan akibat deforestasi yang meningkat pesat dan memburuknya penutupan lahan di wilayah hulu daerah aliran sungai menyebabkan menurunnya ketersediaan air yang mengancam turunnya debit air waduk dan sungai pada musim kemarau serta berkurangnya pasokan air untuk pertanian dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Sementara itu, kelangkaan ketersediaan energi tak terbarukan juga terus terjadi karena pola konsumsi energi masih menunjukkan ketergantungan pada sumber energi tak terbarukan. Tantangan utama dalam penyediaan energi adalah meningkatkan kemampuan produksi minyak dan gas bumi yang sekaligus memperbesar penerimaan devisa, memperbanyak infrastruktur energi untuk memudahkan layanan kepada masyarakat, serta mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan meningkatkan kontribusi gas, batubara, serta energi terbarukan seperti biogas, biomassa, panas bumi ( geothermal ), energi matahari, arus laut, dan tenaga angin. Selain itu, terdapat kemungkinan pengembangan energi tenaga nuklir yang memerlukan penelitian mendalam tentang keamanan teknologi yang digunakan, lokasi geografis, dan risiko yang mungkin akan dihadapi.
Kemajuan dapat diperoleh dengan memanfaatkan (a) sumber daya alam daratan (seperti hutan, tambang, dan lahan untuk budidaya yang cakupannya dibatasi oleh wilayah kedaulatan negara) dan (b) sumber daya kelautan, yang tersebar di wilayah laut teritorial, zona ekonomi ekslusif sampai dengan 200 mil laut dan hak pengelolaan di wilayah laut lepas yang jaraknya dapat lebih dari 200 mil laut. Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya kelautan untuk perhubungan laut, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri maritim, bangunan laut, dan jasa kelautan menjadi tantangan yang perlu dipersiapkan agar dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Sumbangan sumber daya kelautan terhadap perekonomian nasional yang cukup besar merupakan urutan kedua setelah jasa-jasa. Bahkan, terdapat kecenderungan daya saing industri pada saat ini telah bergeser ke arah industri berbasis kelautan. Pembangunan kelautan pada masa mendatang memerlukan dukungan politik dan pemihakan yang nyata dari seluruh pemangku kepentingan, yang tentunya menjadi tantangan seluruh komponen bangsa.
Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan, perubahan gaya hidup yang konsumtif, serta rendahnya kesadaran masyarakat perlu ditangani secara berkelanjutan. Kemajuan transportasi dan industrialisasi, pencemaran sungai dan tanah oleh industri, pertanian, dan rumah tangga memberi dampak negatif yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan sistem lingkungan secara keseluruhan dalam menyangga kehidupan manusia. Keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang juga menghadapi tantangan akan adanya perubahan iklim dan pemanasan global yang berdampak pada aktivitas dan kehidupan manusia. Sementara itu, pemanfaatan keanekaragaman hayati belum berkembang sebagaimana mestinya. Pengembangan nilai tambah kekayaan keanekaragaman hayati dapat menjadi alternatif sumber daya pembangunan yang dapat dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun mendatang, sehingga memerlukan berbagai penelitian, perlindungan, dan pemanfaatan secara lestari selain upaya ke arah pematenan (hak atas kekayaan intelektual/HAKI). Oleh karena itu, penyelamatan ekosistem beserta flora-fauna di dalamnya menjadi bagian integral dalam membangun daya saing Indonesia. II.3 MODAL DASAR Modal dasar pembangunan nasional adalah seluruh sumber kekuatan nasional, baik yang efektif maupun potensial, yang dimiliki dan didayagunakan bangsa Indonesia dalam pembangunan nasional.
Wilayah Indonesia, yang dideklarasikan pada tanggal 13 Desember 1957 dan diterima menjadi bagian dari hukum laut internasional (UNCLOS, 1982), menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan pantai terpanjang kedua di dunia. Letak geografis Indonesia yang berada di khatulistiwa serta di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis bagi hubungan antarbangsa di dunia. Wilayah Indonesia yang seperti itu sangat penting disadari karena merupakan kekuatan sekaligus kelemahan dan memberikan peluang serta ancaman yang menjadi basis bagi kebijakan pembangunan di berbagai bidang, baik di bidang sosial dan budaya, ekonomi industri, wilayah, lingkungan hidup, pertahanan keamanan, maupun hukum dan aparatur negara.
Kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat di darat, laut, udara dan dirgantara terbatas jumlahnya sehingga pendayagunaannya harus dilakukan secara bertanggungjawab untuk kemakmuran rakyat.
Penduduk dalam jumlah besar dengan budaya sangat beragam merupakan sumber daya potensial dan produktif bagi pembangunan nasional.
Perkembangan politik yang telah melalui tahap awal reformasi telah memberikan perubahan yang mendasar bagi demokratisasi di bidang politik dan ekonomi serta desentralisasi di bidang pemerintahan dan pengelolaan pembangunan. BAB III VISI DAN MISI PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2005–2025 Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahunan mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 adalah: Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 itu mengarah pada pencapaian tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Visi pembangunan nasional tersebut harus dapat diukur untuk dapat mengetahui tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai. Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya. Oleh karena itu, pembangunan, sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan, haruslah pula merupakan upaya membangun kemandirian. Kemandirian bukanlah kemandirian dalam keterisolasian. Kemandirian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam suatu negara maupun bangsa. Terlebih lagi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas ketergantungan antarbangsa semakin kuat. Kemandirian yang demikian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau defensif. Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai-nilai yang mendasari dan mempengaruhinya. Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian, mutlak harus dibangun kemajuan ekonomi. Kemampuan untuk berdaya saing menjadi kunci untuk mencapai kemajuan sekaligus kemandirian. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain, pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunannya; kemandirian aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya; ketergantungan pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang makin kokoh sehingga ketergantungan kepada sumber dari luar negeri menjadi kecil; dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Apabila karena sumber daya alam tidak lagi memungkinkan, kelemahan itu diimbangi dengan keunggulan lain sehingga tidak membuat ketergantungan dan kerawanan serta mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia. Secara lebih mendasar lagi, kemandirian sesungguhnya mencerminkan sikap seseorang atau sebuah bangsa mengenai dirinya, masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan. Karena menyangkut sikap, kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya dalam arti seluas- luasnya. Sikap kemandirian harus dicerminkan dalam setiap aspek kehidupan, baik hukum, ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Tingkat kemajuan suatu bangsa dinilai berdasarkan berbagai ukuran. Ditinjau dari indikator sosial, tingkat kemajuan suatu negara diukur dari kualitas sumber daya manusianya. Suatu bangsa dikatakan makin maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan berkualitas pendidikan yang tinggi. Tingginya kualitas pendidikan penduduknya ditandai oleh makin menurunnya tingkat pendidikan terendah serta meningkatnya partisipasi pendidikan dan jumlah tenaga ahli serta profesional yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Kemajuan suatu bangsa juga diukur berdasarkan indikator kependudukan, ada kaitan yang erat antara kemajuan suatu bangsa dengan laju pertumbuhan penduduk, termasuk derajat kesehatan . Bangsa yang sudah maju ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk yang lebih kecil; angka harapan hidup yang lebih tinggi; dan kualitas pelayanan sosial yang lebih baik. Secara keseluruhan kualitas sumber daya manusia yang makin baik akan tercermin dalam produktivitas yang makin tinggi. Ditinjau dari tingkat perkembangan ekonomi, kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat kemakmurannya yang tercermin pada tingkat pendapatan dan pembagiannya. Tingginya pendapatan rata-rata dan ratanya pembagian ekonomi suatu bangsa menjadikan bangsa tersebut lebih makmur dan lebih maju. Negara yang maju pada umumnya adalah negara yang sektor industri dan sektor jasanya telah berkembang. Peran sektor industri manufaktur sebagai penggerak utama laju pertumbuhan makin meningkat, baik dalam segi penghasilan, sumbangan dalam penciptaan pendapatan nasional maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Selain itu, dalam proses produksi berkembang keterpaduan antarsektor, terutama sektor industri, sektor pertanian, dan sektor-sektor jasa; serta pemanfaatan sumber alam yang bukan hanya ada pada pemanfaatan ruang daratan, tetapi juga ditransformasikan kepada pemanfaatan ruang kelautan secara rasional, efisien, dan berwawasan lingkungan, mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara. Lembaga dan pranata ekonomi telah tersusun, tertata, dan berfungsi dengan baik, sehingga mendukung perekonomian yang efisien dengan produktivitas yang tinggi. Negara yang maju umumnya adalah negara yang perekonomiannya stabil. Gejolak yang berasal dari dalam maupun luar negeri dapat diredam oleh ketahanan ekonominya. Selain memiliki berbagai indikator sosial ekonomi yang lebih baik, bangsa yang maju juga telah memiliki sistem dan kelembagaan politik, termasuk hukum yang mantap. Lembaga politik dan kemasyarakatan telah berfungsi berdasarkan aturan dasar, yaitu konstitusi yang ditetapkan oleh rakyatnya. Bangsa yang maju juga ditandai oleh adanya peran serta rakyat secara nyata dan efektif dalam segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, maupun pertahanan dan keamanan. Dalam aspek politik, sejarah menunjukkan adanya keterkaitan erat antara kemajuan suatu bangsa dan sistem politik yang dianutnya. Bangsa yang maju pada umumnya menganut sistem demokrasi, yang sesuai dengan budaya dan latar belakang sejarahnya. Bangsa yang maju adalah bangsa yang hak-hak warganya, keamanannya, dan ketenteramannya terjamin dalam kehidupannya. Selain unsur-unsur tersebut, bangsa yang maju juga harus didukung dengan infrastruktur yang maju. Kemandirian dan kemajuan suatu bangsa tidak hanya dicerminkan oleh perkembangan ekonomi semata, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Kemandirian dan kemajuan juga tercermin dalam keseluruhan aspek kehidupan, dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan politik dan sosial. Pembangunan bangsa Indonesia bukan hanya sebagai bangsa yang mandiri dan maju, melainkan juga bangsa yang adil dan makmur. Sebagai pelaksana dan penggerak pembangunan sekaligus objek pembangunan, rakyat mempunyai hak, baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun menikmati hasil pembangunan. Pembangunan haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, masalah keadilan merupakan ciri yang menonjol pula dalam pembangunan nasional. Keadilan dan kemakmuran harus tercermin pada semua aspek kehidupan. Semua rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan; memperoleh lapangan pekerjaan; mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan; mengemukakan pendapat; melaksanakan hak politik; mengamankan dan mempertahankan negara; serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum. Dengan demikian, bangsa adil berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antarindividu, gender, maupun wilayah. Bangsa yang makmur adalah bangsa yang sudah terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi pembangunan nasional sebagai berikut:
Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia , bermoral , beretika , berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila adalah memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antarumat beragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa.
Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing adalah mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek melalui penelitian, pengembangan, dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan; membangun infrastruktur yang maju serta reformasi di bidang hukum dan aparatur negara; dan memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan termasuk pelayanan jasa dalam negeri.
Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum adalah memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; dan melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil.
Mewujudkan Indonesia aman , damai , dan bersatu adalah membangun kekuatan TNI hingga melampui kekuatan esensial minimum serta disegani di kawasan regional dan internasional; memantapkan kemampuan dan meningkatkan profesionalisme Polri agar mampu melindungi dan mengayomi masyarakat; mencegah tindak kejahatan, dan menuntaskan tindak kriminalitas; membangun kapabilitas lembaga intelijen dan kontra- intelijen negara dalam penciptaan keamanan nasional; serta meningkatkan kesiapan komponen cadangan, komponen pendukung pertahanan dan kontribusi industri pertahanan nasional dalam sistem pertahanan semesta.
Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan adalah meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari adalah memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.
Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional adalah memantapkan diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional; melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi internasional dan regional; dan mendorong kerja sama internasional, regional dan bilateral antarmasyarakat, antarkelompok, serta antarlembaga di berbagai bidang. BAB IV ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025 adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok sebagai berikut. A. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab ditandai oleh hal-hal berikut:
Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.
Makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat, dan martabat manusia Indonesia, dan menguatnya jati diri dan kepribadian bangsa. B. Terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan sehingga pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai tingkat kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan menengah, dengan tingkat pengangguran terbuka yang tidak lebih dari 5 persen dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen.
Meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Secara umum peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG), serta tercapainya penduduk tumbuh seimbang.
Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah Indonesia. Sektor pertanian, dalam arti luas, dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang dikelola secara efisien sehingga menghasilkan komoditi berkualitas, industri manufaktur yang berdaya saing global, motor penggerak perekonomian, serta jasa yang perannya meningkat dengan kualitas pelayanan lebih bermutu dan berdaya saing.
Tersusunnya jaringan infrastruktur perhubungan yang andal dan terintegrasi satu sama lain. Terpenuhinya pasokan tenaga listrik yang andal dan efisien sesuai kebutuhan, termasuk hampir sepenuhnya elektrifikasi rumah tangga dan elektrifikasi perdesaan dapat terpenuhi. Terselenggaranya pelayanan pos dan telematika yang efisien dan modern guna terciptanya masyarakat informasi Indonesia. Terwujudnya konservasi sumber daya air yang mampu menjaga keberlanjutan fungsi sumber daya air.
Meningkatnya profesionalisme aparatur negara pusat dan daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab, serta profesional yang mampu mendukung pembangunan nasional. C. Terwujudnya Indonesia yang demokratis , berlandaskan hukum dan berkeadilan ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
Terciptanya supremasi hukum dan penegakkan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif. Terciptanya penegakan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada hak-hak asasi manusia.
Menciptakan landasan konstitusional untuk memperkuat kelembagaan demokrasi.
Memperkuat peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan politik.
Memantapkan pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip toleransi, non-diskriminasi, dan kemitraan.
Terwujudnya konsolidasi demokrasi pada berbagai aspek kehidupan politik yang dapat diukur dengan adanya pemerintah yang berdasarkan hukum, birokrasi yang professional dan netral, masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi yang mandiri, serta adanya kemandirian nasional. D. Terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat serta terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan negara dari ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri ditandai oleh hal-hal berikut:
Terwujudnya keamanan nasional yang menjamin martabat kemanusiaan, keselamatan warga negara, dan keutuhan wilayah dari ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
TNI yang profesional, komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang kuat terutama bela negara masyarakat dengan dukungan industri pertahanan yang andal.
Polri yang profesional, partisipasi kuat masyarakat dalam bidang keamanan, intelijen, dan kontra intelijen yang efektif, serta mantapnya koordinasi antara institusi pertahanan dan keamanan. E. Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan ditandai oleh hal-hal berikut:
Tingkat pembangunan yang makin merata ke seluruh wilayah diwujudkan dengan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, termasuk berkurangnya kesenjangan antarwilayah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan dalam kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.
Terpenuhi kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan akuntabel untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Terwujudnya lingkungan perkotaan dan perdesaan yang sesuai dengan kehidupan yang baik, berkelanjutan, serta mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat. F. Terwujudnya Indonesia yang asri dan lestari ditandai oleh hal-hal berikut:
Membaiknya pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup yang dicerminkan oleh tetap terjaganya fungsi, daya dukung, dan kemampuan pemulihannya dalam mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari.
Terpeliharanya kekayaan keragaman jenis dan kekhasan sumber daya alam untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan nasional.
Meningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup untuk menjaga kenyamanan dan kualitas kehidupan. G. Terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional ditandai oleh hal-hal berikut:
Terbangunnya jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia.
Meningkat dan menguatnya sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara.
Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut. H. Terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional ditandai oleh hal-hal berikut:
Memperkuat dan mempromosikan identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat internasional.
Memulihkan posisi penting Indonesia sebagai negara demokratis besar yang ditandai oleh keberhasilan diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional.
Meningkatnya kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai.
Terwujudnya kemandirian nasional dalam konstelasi global.
Meningkatnya investasi perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri. Untuk mencapai tingkat kemajuan, kemandirian, serta keadilan yang diinginkan, arah pembangunan jangka panjang selama kurun waktu 20 tahun mendatang adalah sebagai berikut. IV.1 ARAH PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 IV.1.1 MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG BERAKHLAK MULIA, BERMORAL, BERETIKA, BERBUDAYA, DAN BERADAB Terciptanya kondisi masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, dan beretika sangat penting bagi terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Di samping itu, kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan menciptakan iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Di samping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
Pembangunan dan pemantapan jati diri bangsa ditujukan untuk mewujudkan karakter bangsa dan sistem sosial yang berakar, unik, modern, dan unggul. Jati diri tersebut merupakan kombinasi antara nilai luhur bangsa, seperti religius, kebersamaan dan persatuan, serta nilai modern yang universal yang mencakup etos kerja dan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Pembangunan jati diri bangsa tersebut dilakukan melalui transformasi, revitalisasi, dan reaktualisasi tata nilai budaya bangsa yang mempunyai potensi unggul dan menerapkan nilai modern yang membangun. Untuk memperkuat jati diri dan kebanggaan bangsa, pembangunan olah raga diarahkan pada peningkatan budaya dan prestasi olah raga.
Budaya inovatif yang berorientasi iptek terus dikembangkan agar bangsa Indonesia menguasai iptek serta mampu berjaya pada era persaingan global. Pengembangan budaya iptek tersebut dilakukan dengan meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap iptek melalui pengembangan budaya membaca dan menulis, masyarakat pembelajar, masyarakat yang cerdas, kritis, dan kreatif dalam rangka pengembangan tradisi iptek dengan mengarahkan masyarakat dari budaya konsumtif menuju budaya produktif. Bentuk-bentuk pengungkapan kreativitas, antara lain melalui kesenian, tetap didorong untuk mewujudkan keseimbangan aspek material, spiritual, dan emosional. Pengembangan iptek serta kesenian diletakkan dalam kerangka peningkatan harkat, martabat, dan peradaban manusia. IV.1.2 MEWUJUDKAN BANGSA YANG BERDAYA-SAING Kemampuan bangsa untuk berdaya saing tinggi adalah kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa. Daya saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan-tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Untuk memperkuat daya saing bangsa, pembangunan nasional dalam jangka panjang diarahkan untuk (a) mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; (b) memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan di setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan di dalam negeri; (c) meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan pengetahuan; dan (d) membangun infrastruktur yang maju; serta (e) melakukan reformasi di bidang hukum dan aparatur negara. A. Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas 1. Pembangunan sumber daya manusia memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang maju dan mandiri sehingga mampu berdaya saing dalam era globalisasi. Dalam kaitan itu, pembangunan sumber daya manusia diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang antara lain ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG), serta tercapainya penduduk tumbuh seimbang yang ditandai dengan angka reproduksi neto (NRR) sama dengan 1, atau angka kelahiran total (TFR) sama dengan 2,1.
Pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk diarahkan pada peningkatan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang terjangkau, bermutu dan efektif menuju terbentuknya keluarga kecil yang berkualitas. Di samping itu, penataan persebaran dan mobilitas penduduk diarahkan menuju persebaran penduduk yang lebih seimbang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan melalui pemerataan pembangunan ekonomi dan wilayah dengan memerhatikan keragaman etnis dan budaya serta pembangunan berkelanjutan. Sistem administrasi kependudukan penting pula dilakukan untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah serta mendorong terakomodasinya hak penduduk dan perlindungan sosial.
Pembangunan pendidikan dan kesehatan merupakan investasi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga penting perannya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Pembangunan pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang berharkat, bermartabat, berakhlak mulia, dan menghargai keberagaman sehingga mampu bersaing dalam era global dengan tetap berlandaskan pada norma kehidupan masyarakat Indonesia dan tanpa diskriminasi. Komitmen pemerintah terhadap pendidikan harus tercermin pada kualitas sumber daya manusia, peningkatan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta politik anggaran dan terintegrasinya seluruh pendidikan kedinasan ke dalam perguruan tinggi. Pelayanan pendidikan yang mencakup semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Oleh karena itu, perlu disediakan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau disertai dengan pembebasan biaya pendidikan. Penyediaan pelayanan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan sosial ekonomi Indonesia pada masa depan termasuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui pendalaman penguasaan teknologi. Pembangunan pendidikan diarahkan pula untuk menumbuhkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, serta kemampuan peserta didik untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam yang dilandasi oleh penghormatan pada hak-hak asasi manusia (HAM). Penyediaan pelayanan pendidikan sepanjang hayat sesuai perkembangan iptek perlu terus didorong untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas penduduk Indonesia termasuk untuk memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan bagi penduduk usia produktif yang jumlahnya semakin besar.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut (manula), dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang disertai oleh peningkatan pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan. Upaya tersebut dilakukan dengan memerhatikan dinamika kependudukan, epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan iptek, serta globalisasi dan demokratisasi dengan semangat kemitraan dan kerja sama lintas sektor. Penekanan diberikan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif. Pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu setiap kebijakan publik selalu memerhatikan dampaknya terhadap kesehatan. Pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor yang meliputi produksi pangan, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan tingkat rumah tangga dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya dalam rangka mencapai status gizi yang baik.
Pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan, kesejahteraan, dan perlindungan anak di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.
Pembangunan pemuda diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan karakter kebangsaan ( nation building ) dan partisipasi pemuda di berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang ekonomi, sosial budaya, iptek dan politik, serta memiliki wawasan kebangsaan dan beretika bangsa Indonesia. Di samping itu, pembangunan olahraga diarahkan pada peningkatan budaya olahraga dan prestasi olahraga di kalangan masyarakat. B. Memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi dan Berdaya Saing Global 7. Perekonomian dikembangkan dengan memperkuat perekonomian domestik serta berorientasi dan berdaya saing global. Untuk itu dilakukan transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam menjadi perekonomian yang berkeunggulan kompetitif. Interaksi antardaerah didorong dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan antardaerah yang kokoh. Upaya tersebut dilakukan dengan prinsip-prinsip dasar: mengelola peningkatan produktivitas nasional melalui inovasi, penguasaan, penelitian, pengembangan dan penerapan iptek menuju ekonomi berbasis pengetahuan serta kemandirian dan ketahanan bangsa secara berkelanjutan; mengelola kelembagaan ekonomi yang melaksanakan praktik terbaik dan kepemerintahan yang baik secara berkelanjutan, dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Perekonomian dikembangkan berlandaskan prinsip demokrasi ekonomi yang memerhatikan kepentingan nasional sehingga terjamin kesempatan berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapainya penanggulangan kemiskinan. Pengelolaan kebijakan perekonomian perlu memerhatikan secara cermat dinamika globalisasi, komitmen nasional di berbagai fora perjanjian ekonomi internasional, dan kepentingan nasional dengan mengutamakan kelompok masyarakat yang masih lemah, serta menjaga kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa.
Kelembagaan ekonomi dikembangkan sesuai dinamika kemajuan ekonomi dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintah yang baik di dalam menyusun kerangka regulasi dan perizinan yang efisien, efektif, dan non-diskriminatif; menjaga, mengembangkan, dan melaksanakan iklim persaingan usaha secara sehat serta melindungi konsumen; mendorong pengembangan standardisasi produk dan jasa untuk meningkatkan daya saing; merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan teknologi sesuai dengan pengembangan ekonomi nasional; dan meningkatkan daya saing usaha kecil dan menengah (UKM) di berbagai wilayah Indonesia sehingga menjadi bagian integral dari keseluruhan kegiatan ekonomi dan memperkuat basis ekonomi dalam negeri.
Peranan pemerintah yang efektif dan optimal diwujudkan sebagai fasilitator, regulator, sekaligus sebagai katalisator pembangunan di berbagai tingkat guna efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, terciptanya lingkungan usaha yang kondusif dan berdaya saing, dan terjaganya keberlangsungan mekanisme pasar.
Struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif, yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh.
Pengembangan iptek untuk ekonomi diarahkan pada peningkatan kualitas dan kemanfaatan iptek nasional dalam rangka mendukung daya saing secara global. Hal itu dilakukan melalui peningkatan, penguasaan, dan penerapan iptek secara luas dalam sistem produksi barang/jasa, pembangunan pusat-pusat keunggulan iptek, pengembangan lembaga penelitian yang handal, perwujudan sistem pengakuan terhadap hasil pertemuan dan hak atas kekayaan intelektual, pengembangan dan penerapan standar mutu, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM iptek, peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana iptek. Berbagai langkah tersebut dilakukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan, serta pengembangan kelembagaan sebagai keterkaitan dan fungsional sistem inovasi dalam mendorong pengembangan kegiatan usaha.
Kebijakan pasar kerja diarahkan untuk mendorong terciptanya sebanyak- banyaknya lapangan kerja formal serta meningkatkan kesejahteraan pekerja informal. Pasar kerja yang fleksibel, hubungan industrial yang harmonis dengan perlindungan yang layak, keselamatan kerja yang memadai, serta terwujudnya proses penyelesaian industrial yang memuaskan semua pihak merupakan ciri-ciri pasar kerja yang diinginkan. Selain itu, pekerja diharapkan mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat bersaing serta menghasilkan nilai tambah yang tinggi dengan pengelolaan pelatihan dan pemberian dukungan bagi program- program pelatihan yang strategis untuk efektivitas dan efisiensi peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai bagian integral dari investasi sumber daya manusia. Sebagian besar pekerja, termasuk tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, akan dibekali dengan pengakuan kompetensi sesuai dinamika kebutuhan industri dan dinamika persaingan global.
Investasi diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara berkelanjutan dan berkualitas dengan mewujudkan iklim investasi yang menarik; mendorong penanaman modal asing bagi peningkatan daya saing perekonomian nasional; serta meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik dan pendukung yang memadai. Investasi yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi akan dipergunakan sebesar-besarnya untuk pencapaian kemakmuran bagi rakyat.
Efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah sektor primer terutama sektor pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan ditingkatkan agar mampu bersaing di pasar lokal dan internasional serta untuk memperkuat basis produksi secara nasional. Hal itu merupakan faktor strategis karena berkenaan dengan pembangunan perdesaan, pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, dan penguatan ketahanan pangan. Semua itu harus dilaksanakan secara terencana dan cermat untuk menjamin terwujudnya transformasi seluruh elemen perekonomian nasional ke arah lebih maju dan lebih kokoh pada era globalisasi.
Peningkatan efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah pertanian dalam arti luas dan kelautan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan dengan mengembangkan agribisnis yang dinamis dan efisien, yang melibatkan partisipasi aktif petani dan nelayan. Peningkatan itu diselenggarakan melalui revitalisasi kelembagaan pada tingkat operasional, optimalisasi sumber daya, dan pengembangan sumber daya manusia pelaku usaha agar mampu meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas serta merespon permintaan pasar dan memanfaatkan peluang usaha. Selain bermanfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan pada umumnya, upaya tersebut dapat menciptakan diversifikasi perekonomian perdesaan yang pada gilirannya meningkatkan sumbangan di dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Perhatian perlu diberikan pada upaya-upaya pengembangan kemampuan masyarakat, pengentasan kemiskinan secara terarah, serta perlindungan terhadap sistem perdagangan dan persaingan yang tidak adil.
Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing, baik di pasar lokal maupun internasional, dan terkait dengan pengembangan industri kecil dan menengah, dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan serta mendorong perkembangan ekonomi di luar Pulau Jawa. Struktur industri dalam hal penguasaan usaha akan disehatkan dengan meniadakan praktik-praktik monopoli dan berbagai distorsi pasar melalui penegakan persaingan usaha yang sehat dan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik dan benar. Struktur industri dalam hal skala usaha akan diperkuat dengan menjadikan industri kecil dan menengah sebagai basis industri nasional yang sehat, sehingga mampu tumbuh dan terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri hilir dan industri berskala besar.
Dalam rangka memperkuat daya saing perekonomian secara global, sektor industri perlu dibangun guna menciptakan lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun industri yang sehat dan kuat melalui (1) pengembangan rantai pertambahan nilai melalui diversifikasi produk (pengembangan ke hilir), pendalaman struktur ke hulunya, atau pengembangan secara menyeluruh (hulu-hilir);
penguatan hubungan antarindustri yang terkait secara horizontal termasuk industri pendukung dan industri komplemen, termasuk dengan jaringan perusahaan multinasional terkait, serta penguatan hubungan dengan kegiatan sektor primer dan jasa yang mendukungnya; dan
penyediaan berbagai infrastruktur bagi peningkatan kapasitas kolektif yang, antara lain, meliputi sarana dan prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi, serta sarana dan prasarana teknologi; prasarana pengukuran, standardisasi, pengujian, dan pengendalian kualitas; serta sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri).
Jasa infrastruktur dan keuangan dikembangkan sesuai dengan kebijakan pengembangan ekonomi nasional agar mampu mendukung secara efektif peningkatan produksi dan daya saing global dengan menerapkan sistem dan standar mengelolanya sesuai dengan praktik terbaik ( the best practice ) internasional, yang mampu mendorong peningkatan ketahanan serta nilai tambah perekonomian nasional dan yang mampu mendukung kepentingan strategis di dalam pengembangan sumber daya manusia di dalam negeri yang meliputi pengembangan keprofesian, penguasaan dan pemanfaatan teknologi nasional, dan peningkatan kepentingan nasional dalam pengentasan kemiskinan dan pengembangan kegiatan perekonomian perdesaan.
Perdagangan luar negeri yang lebih menguntungkan dan mendukung perekonomian nasional agar mampu memaksimalkan manfaat sekaligus meminimalkan efek negatif dari proses integrasi dengan dinamika globalisasi. Upaya tersebut diselenggarakan melalui (a) perkuatan posisi nasional di dalam berbagai fora kerja sama perdagangan internasional (skala global, regional, bilateral, dan multilateral) untuk meningkatkan daya saing dan akses pasar ekspor nasional sekaligus mengamankan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengentaskan kemiskinan, menurunkan tingkat pengangguran, mengembangkan perdesaan, dan melindungi aktivitas perekonomian nasional dari persaingan dan praktik perdagangan internasional yang tidak sehat, dan (b) pengembangan citra, standar produk barang dan jasa nasional yang berkualitas internasional, serta fasilitasi perdagangan internasional yang berdaya saing.
Perdagangan dalam negeri diarahkan untuk memperkokoh sistem distribusi nasional yang efisien dan efektif yang menjamin kepastian berusaha untuk mewujudkan (a) berkembangnya lembaga perdagangan yang efektif dalam perlindungan konsumen dan persaingan usaha secara sehat, (b) terintegrasinya aktivitas perekonomian nasional dan terbangunnya kesadaran penggunaan produksi dalam negeri, (c) meningkatnya perdagangan antar wilayah/daerah, dan (d) terjaminnya ketersediaan bahan pokok dan barang strategis lainnya dengan harga yang terjangkau.
Kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta memberikan perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa.
Pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) diarahkan agar menjadi pelaku ekonomi yang makin berbasis iptek dan berdaya saing dengan produk impor, khususnya dalam menyediakan barang dan jasa kebutuhan masyarakat sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam perubahan struktural dan memperkuat perekonomian domestik. Untuk itu, pengembangan UKM dilakukan melalui peningkatan kompetensi perkuatan kewirausahaan dan peningkatan produktivitas yang didukung dengan upaya peningkatan adaptasi terhadap kebutuhan pasar, pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi dalam iklim usaha yang sehat. Pengembangan UKM secara nyata akan berlangsung terintegrasi dalam modernisasi agribisnis dan agroindustri, termasuk yang mendukung ketahanan pangan, serta perkuatan basis produksi dan daya saing industri melalui pengembangan rumpun industri, percepatan alih teknologi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sektor keuangan dikembangkan agar senantiasa memiliki kemampuan di dalam menjaga stabilitas ekonomi dan membiayai tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas serta mampu memiliki daya tahan terhadap kemungkinan gejolak krisis melalui implementasi sistem jaring pengaman sektor keuangan Indonesia, peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan, serta peningkatan kualitas pertumbuhan perbankan nasional. Dengan demikian, setiap jenis investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang, akan memeroleh sumber pendanaan yang sesuai dengan karakteristik jasa keuangan. Selain itu, semakin beragamnya lembaga keuangan akan memberikan alternatif pendanaan lebih banyak bagi seluruh lapisan masyarakat.
Perbaikan pengelolaan keuangan negara bertumpu pada sistem anggaran yang transparan, bertanggung jawab, dan dapat menjamin efektivitas pemanfaatan. Dalam rangka meningkatkan kemandirian, peran pinjaman luar negeri dijaga pada tingkat yang aman. Sementara itu, sumber utama dalam negeri yang berasal dari pajak terus ditingkatkan efektivitasnya. Kepentingan utama pembiayaan pemerintah adalah penciptaan pembiayaan pembangunan yang dapat menjamin kemampuan peningkatan pelayanan publik, baik di dalam penyediaan pelayanan dasar, prasarana dan sarana fisik serta ekonomi, maupun mendukung peningkatan daya saing ekonomi. C. Penguasaan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 26. Pembangunan iptek diarahkan untuk menciptakan dan menguasai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan dasar maupun terapan, serta mengembangkan ilmu sosial dan humaniora untuk menghasilkan teknologi dan memanfaatkan teknologi hasil penelitian, pengembangan, dan perekayasaan bagi kesejahteraan masyarakat, kemandirian, dan daya saing bangsa melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas iptek yang senantiasa berpedoman pada nilai agama, nilai budaya, nilai etika, kearifan lokal, serta memerhatikan sumber daya dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pembangunan iptek diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi; penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi; penyediaan teknologi transportasi, kebutuhan teknologi pertahanan, dan teknologi kesehatan; pengembangan teknologi material maju; serta peningkatan jumlah penemuan dan pemanfaatannya dalam sektor produksi. Dukungan tersebut dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia iptek, peningkatan anggaran riset, pengembangan sinergi kebijakan iptek lintas sektor, perumusan agenda riset yang selaras dengan kebutuhan pasar, peningkatan sarana dan prasarana iptek, dan pengembangan mekanisme intermediasi iptek. Dukungan tersebut dimaksudkan untuk penguatan sistem inovasi dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan. Di samping itu, diupayakan peningkatan kerja sama penelitian domestik dan internasional antarlembaga penelitian dan pengembangan (litbang), perguruan tinggi dan dunia usaha serta penumbuhan industri baru berbasis produk litbang dengan dukungan modal ventura. D. Sarana dan Prasarana yang Memadai dan Maju 28. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial. Kerja sama dengan swasta dalam pembangunan sarana dan prasarana diarahkan untuk (a) menyediakan sarana dan prasarana transportasi untuk pelayanan distribusi komoditi perdagangan dan industri serta pergerakan penumpang dan barang, baik dalam lingkup nasional maupun internasional; (b) menghilangkan kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan serta efektivitas dan efisiensi tenaga listrik; (c) meningkatkan teledensitas pelayanan telematika masyarakat pengguna jasa; dan (d) memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat dan mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Pembangunan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan fungsi air sebagai sumber daya sosial ( social goods ) dan sumber daya ekonomi ( economic goods ) yang seimbang melalui pengelolaan yang terpadu, efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan sehingga dapat menjamin kebutuhan pokok hidup dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan diwujudkan melalui pendekatan pengelolaan kebutuhan ( demand management ) yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan, pengonsumsian air, dan pendekatan pengelolaan pasokan ( supply management ) yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan keandalan pasokan air. Pengelolaan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan peningkatan keandalan layanan melalui kemitraan dengan dunia usaha tanpa membebani masyarakat, penguatan kelembagaan masyarakat, dan memerhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain itu, pola hubungan hulu-hilir akan terus dikembangkan agar pola pengelolaan yang lebih berkeadilan dapat tercapai. Pengembangan dan penerapan sistem pemanfaatan terpadu ( conjunctive use ) antara air permukaan dan air tanah akan digalakkan terutama untuk menciptakan sinergi dan menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah. Pengendalian daya rusak air mengutamakan pendekatan nonkonstruksi melalui konservasi sumber daya air dan keterpaduan pengelolaan daerah aliran sungai. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat bencana, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan pascabencana.
Pembangunan transportasi diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah; membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional; serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Untuk itu, pembangunan transportasi dilaksanakan dengan mengembangkan jaringan pelayanan secara antarmoda dan intramoda; menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan transportasi yang memberikan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif; mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam penyediaan pelayanan; meningkatkan iklim kompetisi secara sehat agar dapat meningkatkan efisiensi dan memberikan alternatif bagi pengguna jasa dengan tetap mempertahankan keberpihakan pemerintah sebagai regulator terhadap pelayanan umum yang terjangkau kepada masyarakat; menyediakan pelayanan angkutan umum masal di daerah perkotaan yang didukung pelayanan pengumpan, yang aman, nyaman, tertib, terjangkau dan ramah lingkungan serta bersinergi dengan kebijakan tata guna lahan; serta meningkatkan budaya berlalu lintas yang tertib dan disiplin. Untuk pelayanan transportasi di daerah perbatasan, terpencil, dan perdesaan dikembangkan sistem transportasi perintis yang berbasis masyarakat ( community based ) dan wilayah. Untuk mendukung daya saing dan efisiensi angkutan penumpang dan barang diarahkan pada perwujudan kebijakan yang menyatukan persepsi dan langkah para pelaku penyedia jasa transportasi dalam konteks pelayanan global; mempercepat dan memperlancar pergerakan penumpang dan barang melalui perbaikan manajemen transportasi antarmoda; meningkatkan pembangunan jalan bebas hambatan pada koridor-koridor strategis; meningkatkan pangsa angkutan barang melalui kereta api, angkutan barang antarpulau, baik melalui sistem Ro-Ro maupun angkutan laut konvensional yang didukung oleh peningkatan peran armada nasional serta angkutan komoditi khusus dengan moda transportasi udara ( fresh good and high value ); mengembangkan sistem transportasi nasional yang andal dan berkemampuan tinggi yang bertumpu pada aspek keselamatan, dan keterpaduan antarmoda, antarsektor, antarwilayah, aspek sosial budaya, dan profesionalitas sumber daya manusia transportasi serta menerapkan dan mengembangkan teknologi transportasi yang tepat guna, hemat energi, dan ramah lingkungan.
Pembangunan pos dan telematika diarahkan untuk mendorong terciptanya masyarakat berbasis informasi ( knowledge-based society ) melalui penciptaan landasan kompetisi jangka panjang penyelenggaraan pos dan telematika dalam lingkungan multioperator; pengantisipasian implikasi dari konvergensi telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran, baik mengenai kelembagaan maupun peraturan termasuk yang terkait dengan isu keamanan, kerahasiaan, privasi, dan integritas informasi; penerapan hak kekayaan intelektual; peningkatan legalitas yang nantinya dapat mengakibatkan konvergensi pasar dan industri; pengoptimalan pembangunan dan pemanfaatan prasarana pos dan telematika dan prasarana nontelekomunikasi dalam penyelenggaraan telematika; penerapan konsep teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri dengan tetap menjaga keutuhan sistem yang telah ada; peningkatan sinergi dan integrasi prasarana jaringan menuju next generation network ; peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap potensi pemanfaatan telematika serta pemanfaatan dan pengembangan aplikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi; pengembangan industri dalam negeri; dan industri konten sebagai upaya penciptaan nilai tambah dari informasi.
Pembangunan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan diarahkan pada pengembangan sarana dan prasarana energi untuk meningkatkan akses dan pelayanan konsumen terhadap energi melalui (1) pengembangan kemampuan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional secara memadai dan dapat memiliki kehandalan yang tinggi melalui rehabilitasi dan repowering pembangkit yang ada serta pembangkit baru;
pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang memiliki sistem tata kelembagaan yang terstruktur dengan mengoptimalkan dalam sistem dan proses pengelolaan ketenagalistrikan yang berfungsi secara efisien, produktif, dan profesional, sehingga dapat memberikan peluang yang lebih luas dan kondusif bagi investasi swasta yang terpisah dari misi sosial, serta mampu melibatkan secara luas peran pemerintah daerah, khususnya untuk wilayah nonkomersial;
pengembangan diversifikasi energi untuk pembangkit listrik yang baru terutama pada pembangkit listrik yang berbasis batubara dan gas secara terbatas dan bersifat jangka menengah agar dapat menggantikan penggunaan bahan bakar minyak dan dalam jangka panjang akan mengedepankan energi terbarukan, khususnya bioenergi, geothermal, tenaga air, tenaga angin, tenaga surya, bahkan tenaga nuklir dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat;
pengembangan industri penunjang ketenagalistrikan nasional yang mengedepankan peningkatan kandungan lokal, pengembangan daya guna iptek yang melibatkan dunia usaha, pendidikan, pemerintah, dan masyarakat secara terintegrasi dan bersifat strategis berbasis transfer pengetahuan ( knowledge transfer ) termasuk pengembangan standarisasi produk dan sertifikasi kelistrikan nasional;
pengembangan sistem ketenagalistrikan yang berwawasan lingkungan (6) pembangunan jaringan pipanisasi BBM, kilang, depot, dan terminal transit;
pembangunan jaringan pipanisasi gas yang terintegrasi;
pembangunan sarana dan prasarana transportasi batubara dari lokasi pertambangan ke pelabuhan serta sarana dan prasarana distribusinya; serta (9) pengembangan sarana dan prasarana pembangkit panas bumi dan energi alternatif terbarukan, terutama mikrohidro dan energi surya.
Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan ( demand responsive approach ) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan. E. Reformasi Hukum dan Birokrasi 34. Pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi serta mampu menangani dan menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang terkait kolusi, korupsi, nepotisme (KKN). Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.
Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. IV.1.3 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG DEMOKRATIS BERLANDASKAN HUKUM Demokratis yang berlandaskan hukum merupakan landasan penting untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang maju, mandiri dan adil. Demokrasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan, dan memaksimalkan potensi masyarakat, serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan negara. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk memastikan munculnya aspek-aspek positif dan menghambat aspek negatif kemanusiaan serta memastikan terlaksananya keadilan untuk semua warga negara tanpa memandang dan membedakan kelas sosial, ras, etnis, agama, maupun gender. Hukum yang ditaati dan diikuti akan menciptakan ketertiban dan keterjaminan hak-hak dasar masyarakat secara maksimal. Untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis dan adil dilakukan dengan memantapkan pelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil sehingga proses pembangunan partisipatoris yang bersifat bottom up bisa berjalan; menumbuhkan masyarakat tanggap ( responsive community) yang akan mendorong semangat sukarela ( spirit of voluntarism ) yang sejalan dengan makna gotong royong; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin perkembangan dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil.
Penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses pelembagaan demokrasi dilakukan dengan (a) mempromosikan dan menyosialisasikan pentingnya keberadaan sebuah konstitusi yang kuat dan memiliki kredibilitas tinggi sebagai pedoman dasar bagi sebuah proses demokratisasi berkelanjutan; (b) menata hubungan antara kelembagaan politik, kelembagaan pertahanan keamanan dalam kehidupan bernegara; (c) meningkatkan kinerja lembaga-lembaga penyelenggara negara dalam menjalankan kewenangan dan fungsi-fungsi yang diberikan oleh konstitusi dan peraturan perundangan; (d) memantapkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta mencegah disintegrasi wilayah dan perpecahan bangsa; (e) melaksanakan rekonsiliasi nasional secara tuntas; dan (f) menciptakan pelembagaan demokrasi lebih lanjut untuk mendukung berlangsungnya konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan.
Penataan peran negara dan masyarakat dititikberatkan pada pembentukan kemandirian dan kedewasaan masyarakat serta pembentukan masyarakat madani yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Di samping itu, penataan peran negara dan masyarakat diarahkan pada penataan fungsi- fungsi yang positif dari pranata-pranata kemasyarakatan, lembaga adat, dan partai politik untuk membangun kemandirian masyarakat dalam mengelola berbagai potensi konflik sosial yang dapat merusak serta memberdayakan berbagai potensi positif masyarakat bagi pembangunan. Upaya untuk mendorong perwujudan masyarakat sipil yang kuat perlu juga memerhatikan pengaruh pasar dalam kehidupan sosial politik nasional agar tidak terjadi ekses-ekses negatif dan kesenjangan sosial yang merugikan kehidupan masyarakat.
Penataan proses politik yang dititikberatkan pada pengalokasian/ representasi kekuasaan diwujudkan dengan (a) meningkatkan secara terus menerus kualitas proses dan mekanisme seleksi publik yang lebih terbuka bagi para pejabat politik dan publik serta (b) mewujudkan komitmen politik yang tegas terhadap pentingnya kebebasan media massa serta keleluasaan berserikat, berkumpul, dan berpendapat setiap warganegara berdasarkan aspirasi politiknya masing-masing.
Pengembangan budaya politik yang dititikberatkan pada penanaman nilai- nilai demokratis diupayakan melalui (a) penciptaan kesadaran budaya dan penanaman nilai-nilai politik demokratis, terutama penghormatan nilai- nilai HAM, nilai-nilai persamaan, anti kekerasan, serta nilai-nilai toleransi, melalui berbagai wacana dan media serta (b) upaya mewujudkan berbagai wacana dialog bagi peningkatan kesadaran mengenai pentingnya memelihara persatuan bangsa.
Peningkatan peranan komunikasi dan informasi yang ditekankan pada pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dilakukan dengan (a) mewujudkan kebebasan pers yang lebih mapan, terlembaga serta menjamin hak masyarakat luas untuk berpendapat dan mengontrol jalannya penyelenggaraan negara secara cerdas dan demokratis; (b) mewujudkan pemerataan informasi yang lebih besar dengan mendorong munculnya media-media massa daerah yang independen; (c) mewujudkan deregulasi yang lebih besar dalam bidang penyiaran sehingga dapat lebih menjamin pemerataan informasi secara nasional dan mencegah monopoli informasi; (d) menciptakan jaringan informasi yang bersifat interaktif antara masyarakat dan kalangan pengambil keputusan politik untuk menciptakan kebijakan yang lebih mudah dipahami masyarakat luas; (e) menciptakan jaringan teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menghubungkan seluruh link informasi yang ada di pelosok nusantara sebagai suatu kesatuan yang mampu mengikat dan memperluas integritas bangsa; (f) memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi secara efektif agar mampu memberikan informasi yang lebih komprehensif kepada masyarakat internasional supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat meletakkan Indonesia pada posisi politik yang menyulitkan: serta (g) meningkatkan peran lembaga independen di bidang komunikasi dan informasi untuk lebih mendukung proses pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dan perwujudan kebebasan pers yang lebih mapan.
Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar.
Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia serta mampu mendorong tumbuhnya kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mencakup perencanaan hukum, pembentukan hukum, penelitian dan pengembangan hukum. Di sisi lain, perundang-undangan yang baru juga harus mampu mengisi kekurangan/kekosongan hukum sebagai pengarah dinamika lingkungan strategis yang sangat cepat berubah. Perencanaan hukum sebagai bagian dari pembangunan materi hukum harus diselenggarakan dengan memerhatikan berbagai aspek yang memengaruhi, baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam pergaulan masyarakat internasional yang dilakukan secara terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta dapat mengantisipasi perkembangan zaman. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sehingga menghasilkan produk hukum beserta peraturan pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara efektif dengan didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Penelitian dan pengembangan hukum diarahkan pada semua aspek kehidupan sehingga hukum nasional selalu dapat mengikuti perkembangan dan dinamika pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun masa depan. Untuk meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan hukum diperlukan kerja sama dengan berbagai komponen lembaga terkait, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pembangunan struktur hukum diarahkan untuk memantapkan dan mengefektifkan berbagai organisasi dan lembaga hukum, profesi hukum, dan badan peradilan sehingga aparatur hukum mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional. Kualitas dan kemampuan aparatur hukum dikembangkan melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme melalui sistem pendidikan dan pelatihan dengan kurikulum yang akomodatif terhadap setiap perkembangan pembangunan serta pengembangan sikap aparatur hukum yang menunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keterbukaan dan keadilan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta bertanggung jawab dalam bentuk perilaku yang teladan. Aparatur hukum dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional perlu didukung oleh sarana dan prasarana hukum yang memadai serta diperbaiki kesejahteraannya agar di dalam melaksanakan tugas dan kewajiban aparatur hukum dapat berjalan dengan baik dan terhindar dari pengaruh dan intervensi pihak-pihak dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penerapan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dilaksanakan secara tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan tetap berdasarkan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), keadilan, dan kebenaran, terutama dalam penyelidikan, penyidikan, dan persidangan yang transparan dan terbuka dalam rangka mewujudkan tertib sosial dan disiplin sosial sehingga dapat mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM) dilakukan terhadap berbagai tindak pidana, terutama yang akibatnya dirasakan langsung oleh masyarakat luas, antara lain tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan narkotik. Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penegakan hukum di laut secara terus-menerus harus ditingkatkan sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan nasional dan hukum internasional. Pemantapan lembaga peradilan sebagai implikasi satu atap dengan lembaga Mahkamah Agung secara terus-menerus melakukan pengembangan lembaga peradilan; peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim pada semua lingkungan peradilan; dukungan serta perbaikan sarana dan prasarana pada semua lingkungan peradilan sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap citra lembaga peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan.
Peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi terus ditingkatkan dengan lebih memberikan akses terhadap segala informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan akses kepada masyarakat terhadap pelibatan dalam berbagai proses pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan nasional sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Akibatnya, akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang mempunyai rasa memiliki dan taat hukum. Peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi harus didukung oleh pelayanan dan bantuan hukum dengan biaya yang terjangkau, proses yang tidak berbelit, dan penetapan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
Penuntasan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan aparatur negara dicapai dengan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik pada semua tingkat, lini pemerintahan, dan semua kegiatan; pemberian sanksi yang seberat-beratnya kepada pelaku penyalahguna kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; peningkatan intensitas dan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui pengawasan internal, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat; serta peningkatan etika birokrasi dan budaya kerja serta pengetahuan dan pemahaman para penyelenggara negara terhadap prinsip-prinsip ketatapemerintahan yang baik. IV.1.4 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG AMAN, DAMAI DAN BERSATU Dengan potensi ancaman yang tidak ringan serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang beragam, bangsa dan negara Indonesia memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat untuk menjamin tetap tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya gangguan keamanan dalam berbagai bentuk kejahatan dan potensi konflik horisontal akan meresahkan dan berakibat pada pudarnya rasa aman masyarakat. Terjaminnya keamanan dan adanya rasa aman bagi masyarakat merupakan syarat penting bagi terlaksananya pembangunan di berbagai bidang.
Keamanan nasional diwujudkan melalui keterpaduan pembangunan pertahanan, pembangunan keamanan dalam negeri, dan pembangunan keamanan sosial yang diselenggarakan berdasarkan kondisi geografi, demografi, sosial, dan budaya serta berwawasan nusantara.
Pembangunan pertahanan yang mencakup sistem dan strategi pertahanan, postur dan struktur pertahanan, profesionalisme TNI, pengembangan teknologi pertahanan dalam mendukung ketersediaan alutsista, komponen cadangan, dan pendukung pertahanan diarahkan pada upaya terus- menerus untuk mewujudkan kemampuan pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal agar mampu menegakkan kedaulatan negara dan menjaga keselamatan bangsa serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat yang tersebar dan beragam termasuk pulau-pulau terluar, wilayah yurisdiksi laut hingga meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan landasan kontinen, serta ruang udara nasional. Selanjutnya, kemampuan pertahanan tersebut terus ditingkatkan agar memiliki efek penggentar yang disegani untuk mendukung posisi tawar dalam ajang diplomasi.
Sistem dan strategi pertahanan nasional secara terus menerus disempurnakan untuk mewujudkan sistem pertahanan semesta berdasarkan kapabilitas pertahanan agar secara simultan mampu mengatasi ancaman dan memiliki efek penggentar. Dalam sistem pertahanan semesta tersebut, pertahanan nasional akan didesain agar mempunyai kemampuan menangkal ancaman di wilayah terluar Indonesia dan kemampuan untuk mempertahankan wilayah daratan serta mengawasi dan melindungi wilayah yurisdiksi laut Indonesia dan ruang udara nasional.
Postur dan struktur pertahanan diarahkan untuk dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, permasalahan aktual, dan pembangunan kapabilitas jangka panjang yang sesuai dengan kondisi geografis dan dinamika masyarakat. Postur dan struktur pertahanan matra darat diarahkan untuk mampu mengatasi kondisi medan dan topografis yang beragam, melakukan pergerakan cepat antarwilayah dan antarpulau dan mengatasi ancaman dengan efisien. Postur dan struktur matra laut diarahkan untuk membangun kemampuan untuk mengatasi luasnya wilayah laut nusantara di permukaan dan kedalaman dan memberikan dukungan dan kompatibilitas terhadap pergerakan matra darat dan udara. Postur dan struktur matra udara diarahkan untuk dapat mengawasi terutama ruang udara nasional dan sebagian ruang udara regional, mampu melampui kebutuhan minimal penjagaan ruang udara nasional, memulai pemanfaatan ruang angkasa, dan memberikan dukungan operasi bersama antarmatra.
Peningkatan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia dilaksanakan dengan tetap menjaga netralitas politik dan memusatkan diri pada tugas- tugas pertahanan dalam bentuk operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang melalui fokus pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan alutsista. Sebagai komponen utama pertahanan, sumber daya manusia TNI disiapkan dengan memenuhi kecukupan jumlah personil setiap matra yang diwujudkan dalam kondisi selalu terlatih; memiliki penguasaan lapangan yang tinggi; memiliki penguasaan operasional dan perawatan peralatan perang modern; memiliki doktrin dan organisasi militer yang solid; memiliki manajemen pribadi yang baik; mampu mengemban pelaksanaan tugas kemanusiaan, tanggap terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan sosial masyarakat; serta memiliki kompetensi dalam masa purna tugas. Peningkatan profesionalisme dari sumber daya manusia TNI tersebut dimbangi dengan meningkatkan kesejahteraan melalui kecukupan gaji, penyediaan dan fasilitasi rumah tinggal, jaminan kesehatan, peningkatan pendidikan, dan penyiapan skema asuransi masa tugas.
Peningkatan kondisi dan jumlah alutsista setiap matra dilaksanakan menurut validasi postur dan struktur pertahanan untuk dapat melampaui kebutuhan kekuatan pertahanan minimal. Pemenuhan kebutuhan alutsista dipenuhi secara bertahap sejalan dengan kemampuan keuangan negara atas dasar perkembangan teknologi, prinsip kemandirian, kemudahan interoperabilitas dan perawatan, serta aliansi strategis. Pengembangan alutsista diarahkan dengan strategi akuisisi alat teknologi tinggi dengan efek deterrence dan pemenuhan kebutuhan dasar operasional secara efektif dan efisien dengan mendayagunakan dan mengembangkan potensi dalam negeri, termasuk industri pertahanan nasional dalam prinsip keberlanjutan.
Pemantapan komponen cadangan dan pendukung pertahanan negara dalam kerangka basis strategi teknologi, dan pembiayaan terus ditingkatkan dalam proses yang bersifat kontinyu maupun terobosan. Peningkatan kemampuan komponen dukungan pertahanan tersebut meliputi penguasaan kemampuan pemanfaatan kondisi sumber daya alam dan buatan, sinkronisasi pembangunan sarana dan prasarana nasional terhadap kepentingan pertahanan, partisipasi masyarakat madani dalam penyusunan kebijakan pertahanan, komponen bela negara masyarakat, dukungan mutualisme industri pertahanan nasional secara langsung maupun kemampuan konversi industri, serta keberlanjutan pembiayaan melalui rekayasa keuangan.
Perlindungan wilayah yurisdiksi laut Indonesia ditingkatkan dalam upaya melindungi sumber daya laut bagi kemakmuran sebesar-besarnya rakyat. Perlindungan terhadap wilayah yurisdiksi laut Indonesia dilakukan dengan meningkatkan kekuatan dan kemampuan pertahanan untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum internasional serta meningkatkan kemampuan deteksi dan penangkalan di laut. Perlindungan wilayah yurisdiksi udara Indonesia ditingkatkan sebagai upaya untuk menjaga kedaulatan nasional secara menyeluruh dengan membangun sistem pemantauan dan deteksi nasional di wilayah udara serta meningkatkan kemampuan menangkal penerbangan illegal.
Pembangunan keamanan diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme Polri beserta institusi terkait dengan masalah keamanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka mewujudkan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Peningkatan profesionalisme Polri dicapai melalui pembangunan kompetensi pelayanan inti, perbaikan rasio polisi terhadap penduduk, pembinaan sumber daya manusia, pemenuhan kebutuhan alat utama, serta peningkatan pengawasan dan mekanisme kontrol lembaga kepolisian. Arah pengembangan organisasi dan fungsi kepolisian disesuaikan dengan perubahan kondisi lingkungan strategis faktor pengendali utamanya adalah antisipasi perkembangan karakter kewilayahan dan faktor-faktor demografis. Profesionalisme sumber daya manusia kepolisian ditingkatkan melalui penyempurnaan seleksi, perbaikan pendidikan dan pelatihan, dan pembangunan spirit of the corps . Peningkatan profesionalisme tersebut diikuti oleh peningkatan bertahap kesejahteraan aparat kepolisian melalui kenaikan penghasilan, penyediaan dan fasilitasi rumah tinggal, jaminan kesehatan, dan tunjangan purna tugas. Peran serta masyarakat dalam penciptaan keamanan masyarakat akan dibangun melalui mekanisme pemolisian masyarakat. Pemolisian masyarakat berarti masyarakat turut bertanggung jawab dan berperan aktif dalam penciptaan keamanan dan ketertiban dalam bentuk kerja sama dan kemitraan dengan polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Peningkatan profesionalisme lembaga intelijen dan kontra intelijen dalam mendeteksi, melindungi, dan melakukan tindakan pencegahan berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang berpengaruh terhadap kepentingan keamanan nasional. IV.1.5 MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN YANG LEBIH MERATA DAN BERKEADILAN Pembangunan yang merata dan dapat dinikmati oleh seluruh komponen bangsa di berbagai wilayah Indonesia akan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan, mengurangi gangguan keamanan, serta menghapuskan potensi konflik sosial untuk tercapainya Indonesia yang maju, mandiri dan adil.
Pengembangan wilayah diselenggarakan dengan memerhatikan potensi dan peluang keunggulan sumberdaya darat dan/atau laut di setiap wilayah, serta memerhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan. Tujuan utama pengembangan wilayah adalah peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat serta pemerataannya. Pelaksanaan pengembangan wilayah tersebut dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan semua rencana pembangunan sektor dan bidang. Rencana pembangunan dijabarkan dan disinkronisasikan ke dalam rencana tata ruang yang konsisten, baik materi maupun jangka waktunya.
Percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh didorong sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata- rantai proses industri dan distribusi. Upaya itu dapat dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerja sama antarsektor, antarpemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah.
Keberpihakan pemerintah ditingkatkan untuk mengembangkan wilayah- wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengurangi ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, selain dengan pemberdayaan masyarakat secara langsung melalui skema pemberian dana alokasi khusus, termasuk jaminan pelayanan publik dan keperintisan, perlu pula dilakukan penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi dengan wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis dalam satu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’.
Wilayah-wilayah perbatasan dikembangkan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward lookin g sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan, selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan, juga diperlukan pendekatan kesejahteraan. Perhatian khusus diarahkan bagi pengembangan pulau- pulau kecil di perbatasan yang selama ini luput dari perhatian.
Pembangunan kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil diseimbangkan pertumbuhannya dengan mengacu pada sistem pembangunan perkotaan nasional. Upaya itu diperlukan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan fisik kota yang tidak terkendali ( urban sprawl & conurbation ), seperti yang terjadi di wilayah pantura Pulau Jawa, serta untuk mengendalikan arus migrasi masuk langsung dari desa ke kota-kota besar dan metropolitan, dengan cara menciptakan kesempatan kerja, termasuk peluang usaha, di kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi sejak tahap awal.
Pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dikendalikan dalam suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang kompak, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan melalui (1) penerapan manajemen perkotaan yang meliputi optimasi dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pengamanan zona penyangga di sekitar kota inti dengan penegakan hukum yang tegas dan adil, serta peningkatan peran dan fungsi kota-kota menengah dan kecil di sekitar kota inti agar kota-kota tersebut tidak hanya berfungsi sebagai kota tempat tinggal ( dormitory town ) saja, tetapi juga menjadi kota mandiri;
pengembangan kegiatan ekonomi kota yang ramah lingkungan seperti industri jasa keuangan, perbankan, asuransi, dan industri telematika serta peningkatan kemampuan keuangan daerah perkotaan; dan
perevitalan kawasan kota yang meliputi pengembalian fungsi kawasan melalui pembangunan kembali kawasan; peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya; serta penataan kembali pelayanan fasilitas publik, terutama pengembangan sistem transportasi masal yang terintegrasi antarmoda.
Percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah ditingkatkan, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai ‘motor penggerak’ pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya maupun dalam melayani kebutuhan warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan sesuai dengan tipologi kota masing-masing.
Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan didorong secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan backward linkages dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’. Peningkatan keterkaitan tersebut memerlukan adanya perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi dan perdagangan (nonpertanian) di pedesaan yang terkait dengan pasar di perkotaan.
Pembangunan perdesaan didorong melalui pengembangan agroindustri padat pekerja, terutama bagi kawasan yang berbasiskan pertanian dan kelautan; peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya; pengembangan jaringan infrastruktur penunjang kegiatan produksi di kawasan perdesaan dan kota-kota kecil terdekat dalam upaya menciptakan keterkaitan fisik, sosial dan ekonomi yang saling komplementer dan saling menguntungkan; peningkatan akses informasi dan pemasaran, lembaga keuangan, kesempatan kerja, dan teknologi; pengembangan social capital dan human capital yang belum tergali potensinya sehingga kawasan perdesaan tidak semata-mata mengandalkan sumber daya alam saja; intervensi harga dan kebijakan perdagangan yang berpihak ke produk pertanian, terutama terhadap harga dan upah.
Rencana tata ruang digunakan sebagai acuan kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor, lintas sektor, maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah disusun secara hierarki. Dalam rangka mengoptimalkan penataan ruang perlu ditingkatkan (a) kompetensi sumber daya manusia dan kelembagaan di bidang penataan ruang, (b) kualitas rencana tata ruang, dan (c) efektivitas penerapan dan penegakan hukum dalam perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
Menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Selain itu, perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform serta penciptaan insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat, serta peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution . Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah.
Kapasitas pemerintah daerah terus dikembangkan melalui peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, kapasitas keuangan pemerintah daerah, serta kapasitas lembaga legislatif daerah. Selain itu, pemberdayaan masyarakat akan terus dikembangkan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan; peningkatan akses pada modal usaha dan sumber daya alam; pemberian kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi terhadap kebijakan dan peraturan yang menyangkut kehidupan mereka; serta peningkatan kesempatan dan kemampuan untuk mengelola usaha ekonomi produktif yang mendatangkan kemakmuran dan mengatasi kemiskinan.
Peningkatan kerja sama antardaerah akan terus ditingkatkan dalam rangka memanfaatkan keunggulan komparatif maupun kompetitif setiap daerah; menghilangkan ego pemerintah daerah yang berlebihan; serta menghindari timbulnya inefisiensi dalam pelayanan publik. Pembangunan kerja sama antardaerah melalui sistem jejaring antardaerah akan sangat bermanfaat sebagai sarana berbagi pengalaman, berbagi keuntungan dari kerja sama, maupun berbagi tanggung jawab pembiayaan secara proporsional, baik dalam pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana maupun dalam pembangunan lainnya.
Sistem ketahanan pangan diarahkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian pangan nasional dengan mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
Koperasi yang didorong berkembang luas sesuai kebutuhan menjadi wahana yang efektif untuk meningkatkan posisi tawar dan efisiensi kolektif para anggotanya, baik produsen maupun konsumen di berbagai sektor kegiatan ekonomi sehingga menjadi gerakan ekonomi yang berperan nyata dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Sementara itu, pemberdayaan usaha mikro menjadi pilihan strategis untuk meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah dalam rangka mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan melalui peningkatan kapasitas usaha dan ketrampilan pengelolaan usaha serta sekaligus mendorong adanya kepastian, perlindungan, dan pembinaan usaha.
Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan kesejahteraan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.
Pembangunan kesejahteraan sosial dalam rangka memberikan perlindungan pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung disempurnakan melalui penguatan lembaga jaminan sosial yang didukung oleh peraturan-peraturan perundangan, pendanaan, serta sistem nomor induk kependudukan (NIK). Pemberian jaminan sosial dilaksanakan dengan mempertimbangkan budaya dan kelembagaan yang sudah berakar di masyarakat.
Sistem perlindungan dan jaminan sosial disusun, ditata, dan dikembangkan untuk memastikan dan memantapkan pemenuhan hak-hak rakyat akan pelayanan sosial dasar. Sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang sudah disempurnakan bersama sistem perlindungan sosial nasional (SPSN) yang didukung oleh peraturan perundang–undangan dan pendanaan serta sistem Nomor Induk Kependudukan (NIK) dapat memberikan perlindungan penuh kepada masyarakat luas. secara bertahap sehingga Pengembangan SPSN dan SJSN dilaksanakan dengan memperhatikan budaya dan sistem yang sudah berakar di kalangan masyarakat luas.
Pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada (1) penyelenggaraan pembangunan perumahan yang berkelanjutan, memadai, layak, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta didukung oleh prasarana dan sarana permukiman yang mencukupi dan berkualitas yang dikelola secara profesional, kredibel, mandiri, dan efisien;
penyelenggaraan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang mandiri mampu membangkitkan potensi pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan pasar modal, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan pemerataan dan penyebaran pembangunan; dan
pembangunan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset ( asset management ) dalam penyediaan air minum dan sanitasi;
pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat;
penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional; dan
penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
Penanggulangan kemiskinan diarahkan pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara bertahap dengan mengutamakan prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi. Sejalan dengan proses demokratisasi, pemenuhan hak dasar rakyat diarahkan pada peningkatan pemahaman tentang pentingnya mewujudkan hak-hak dasar rakyat. Kebijakan penanggulangan kemiskinan juga diarahkan pada peningkatan mutu penyelenggaraan otonomi daerah sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin. IV.1.6 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ASRI DAN LESTARI Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan modal pembangunan nasional dan, sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Sumber daya alam yang lestari akan menjamin tersedianya sumber daya yang berkelanjutan bagi pembangunan. Lingkungan hidup yang asri akan meningkatkan kualitas hidup manusia . Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, sumber daya alam dan lingkungan hidup harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat utama dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan.
Mendayagunakan Sumber Daya Alam yang Terbarukan. Sumber daya alam terbarukan, baik di darat dan di laut, harus dikelola dan dimanfaatkan secara rasional, optimal, efisien, dan bertanggung jawab dengan mendayagunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang. Pengelolaan sumber daya alam terbarukan yang sudah berada dalam kondisi kritis diarahkan pada upaya untuk merehabilitasi dan memulihkan daya dukungnya yang selanjutnya diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan sehingga tidak semakin merusak dan menghilangkan kemampuannya sebagai modal bagi pembangunan yang berkelanjutan. Hasil atau pendapatan yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam terbarukan diinvestasikan kembali guna menumbuhkembangkan upaya pemulihan, rehabilitasi, dan pencadangan untuk kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Di samping itu, pemanfaatan sumber daya alam yang terbarukan akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya berbasis kelautan dan hasil-hasil pertanian sebagai energi alternatif.
Mengelola Sumber Daya Alam yang Tidak Terbarukan. Pengelolaan sumber daya alam tak terbarukan, seperti bahan tambang, mineral, dan sumber daya energi diarahkan untuk tidak dikonsumsi secara langsung, melainkan diperlakukan sebagai masukan, baik bahan baku maupun bahan bakar, untuk proses produksi yang dapat menghasilkan nilai tambah yang optimal di dalam negeri. Selain itu, sumber daya alam tak terbarukan pemanfaatannya harus seefisien mungkin dan menerapkan strategi memperbesar cadangan dan diarahkan untuk mendukung proses produksi di dalam negeri. Pemanfaatan sumber daya energi yang tidak terbarukan, seperti minyak dan gas bumi, terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terjangkau masyarakat di dalam negeri dan untuk mendukung industri berbasis hidrokarbon, seperti industri petrokimia, industri pupuk dalam mendukung sektor pertanian di dalam negeri. Keluarannya ( output ) diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai modal kumulatif. Hasil atau pendapatan yang diperoleh dari kelompok sumber daya alam tersebut diarahkan untuk percepatan pertumbuhan ekonomi dengan diinvestasikan pada sektor-sektor lain yang produktif, juga untuk upaya reklamasi, konservasi, dan memperkuat pendanaan dalam pencarian sumber-sumber energi alternatif yang menjadi jembatan dari energi fosil ke energi yang terbarukan, seperti energi yang memanfaatkan nuklir dan panas bumi dan atau bahan substitusi yang terbarukan dan atau bahan substitusi yang terbarukan seperti biomassa, biogas, mikrohidro, energi matahari, arus laut, panas bumi ( geothermal ) dan tenaga angin yang ramah lingkungan. Pengembangan sumber-sumber energi alternatif itu disesuaikan dengan kondisi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Di samping itu, pengembangan energi juga mempertimbangkan harga energi yang memperhitungkan biaya produksi, menginternalisasikan biaya lingkungan, serta mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, pembangunan energi terus diarahkan kepada keragaman energi dan konservasi energi dengan memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengembangan energi juga dilaksanakan dengan memerhatikan komposisi penggunaan energi (diversifikasi) yang optimal bagi setiap jenis energi.
Menjaga Keamanan Ketersediaan Energi. Menjaga keamanan ketersediaan energi diarahkan untuk menyediakan energi dalam waktu yang terukur antara tingkat ketersediaan sumber- sumber energi dan tingkat kebutuhan masyarakat.
Menjaga dan Melestarikan Sumber Daya Air. Pengelolaan sumber daya air diarahkan untuk menjamin keberlanjutan daya dukungnya dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan air tanah; mewujudkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan melalui pendekatan demand management yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan dan konsumsi air dan pendekatan supply management yang ditujukan untuk meningkatan kapasitas dan keandalan pasokan air; serta memperkokoh kelembagaan sumber daya air untuk meningkatkan keterpaduan dan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
Mengembangkan Potensi Sumber Daya Kelautan. Arah pembangunan ke depan perlu memerhatikan pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Dengan cakupan dan prospek sumber daya kelautan yang sangat luas, arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya. Di samping itu, mengingat kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu, kebijakan dan pengelolaan pembangunan kelautan harus merupakan keterpaduan antara sektor lautan dan daratan serta menyatu dalam strategi pembangunan nasional sehingga kekuatan darat dan laut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bangsa.
Meningkatkan Nilai Tambah atas Pemanfaatan Sumber Daya Alam Tropis yang Unik dan Khas. Diversifikasi produk dan inovasi pengolahan hasil sumber daya alam terus dikembangkan agar mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai tambah yang tinggi, termasuk untuk pengembangan mutu dan harga yang bersaing dalam merebut persaingan global. Arah ini harus menjadi acuan bagi pengembangan industri yang berbasis sumber daya alam selain tetap menekankan pada pemeliharaan sumber daya alam yang ada dan sekaligus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Perhatian khusus diberikan kepada masyarakat lokal agar dapat memeroleh akses yang memadai dan menikmati hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Dengan demikian, pembangunan pada masa yang akan datang tidak hanya berlandaskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga keberpihakan kepada aspek sosial dan lingkungan.
Memerhatikan dan Mengelola Keragaman Jenis Sumber Daya Alam yang Ada di Setiap Wilayah. Kebijakan pengembangan sumber daya alam yang khas pada setiap wilayah dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, mengembangkan wilayah strategis dan cepat tumbuh, serta memperkuat kapasitas dan komitmen daerah untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Peningkatan partisipasi masyarakat akan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah antara lain melalui pemberdayaan terhadap berbagai institusi sosial dan ekonomi di tingkat lokal, serta pengakuan terhadap hak-hak adat dan ulayat atas sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam di luar pulau Jawa, terutama di kawasan tertinggal diberikan perhatian khusus agar dapat dikembangkan potensinya untuk percepatan pembangunan wilayah, tetapi tetap mengedepankan aspek keberlanjutan bagi generasi mendatang. Untuk itu, diperlukan tata ruang wilayah yang mantap disertai penegakan agar menjadi pedoman pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan lestari.
Mitigasi Bencana Alam Sesuai dengan Kondisi Geologi Indonesia. Secara geografis Indonesia berada di wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik. Kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan memberikan ruang untuk mengembangkan kemampuan dan penerapan sistem deteksi dini serta sosialisasi dan diseminasi informasi secara dini terhadap ancaman kerawanan bencana alam kepada masyarakat. Untuk itu, perlu ditingkatkan identifikasi dan pemetaan daerah-daerah rawan bencana agar dapat diantisipasi secara dini. Hal itu dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan memberikan perlindungan terhadap manusia dan harta benda karena adanya perencanaan wilayah yang peduli/peka terhadap bencana alam.
Mengendalikan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang baik perlu penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan secara konsisten di segala bidang. Pembangunan ekonomi diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan yang ramah lingkungan sehingga tidak mempercepat terjadinya degradasi dan pencemaran lingkungan. Pemulihan dan rehabilitasi kondisi lingkungan hidup diprioritaskan pada upaya peningkatan daya dukung lingkungan dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam perlu didukung oleh peningkatan kelembagaan pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup; penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas serta sistem politik yang kredibel dalam mengendalikan konflik; peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas; perluasan penerapan etika lingkungan; serta perkembangan asimilasi sosial budaya yang makin mantap sehinggga lingkungan dapat memberikan kenyamanan dan keindahan dalam kehidupan. Selanjutnya, cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan perlu didorong melalui internalisasi ke dalam kegiatan produksi dan konsumsi, dengan cara menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial, serta pendidikan formal pada semua tingkatan.
Meningkatkan Kesadaran Masyarakat untuk Mencintai Lingkungan Hidup. Kebijakan itu diarahkan terutama bagi generasi muda sehingga tercipta sumber daya manusia yang berkualitas dan peduli terhadap isu sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dengan demikian, pada masa yang akan datang mereka mampu berperan sebagai penggerak bagi penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. IV.1.7 MEWUJUDKAN INDONESIA MENJADI NEGARA KEPULAUAN YANG MANDIRI, MAJU, KUAT DAN BERBASISKAN KEPENTINGAN NASIONAL Pembangunan kelautan pada masa yang akan datang diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi.
Membangkitkan wawasan dan budaya bahari, antara lain, melalui (a) pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang kelautan yang dapat diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) melestarikan nilai-nilai budaya serta wawasan bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang kelautan; dan (c) melindungi dan menyosialisasikan peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi.
Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan yang diwujudkan, antara lain, dengan (a) mendorong jasa pendidikan dan pelatihan yang berkualitas di bidang kelautan untuk bidang-bidang keunggulan yang diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja dan (b) mengembangkan standar kompetensi sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan dan penguatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan sistem informasi kelautan.
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal terkait di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1986 sehingga mempunyai kewajiban, antara lain, (a) menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumber daya kelautan berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982; (b) menyelesaikan penataan batas maritim (perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen); (c) menyelesaikan batas landas kontinen di luar 200 mil laut; (d) menyampaikan laporan data nama geografis sumber daya kelautan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di sisi lain, Indonesia juga perlu pengembangan dan penerapan tata kelola dan kelembagaan nasional di bidang kelautan, yang meliputi (a) pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan yang mendukung ke arah terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kepulauan serta (b) pengembangan sistem koordinasi, perencanaan, monitoring, dan evaluasi.
Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi (a) peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan; (b) pengembangan sistem monitoring, control, and survaillance (MCS) sebagai instrumen pengamanan sumber daya, lingkungan, dan wilayah kelautan; (c) pengoptimalan pelaksanaan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau- pulau kecil terdepan; dan (d) peningkatan koordinasi keamanan dan penanganan pelanggaran di laut.
Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan yang meliputi (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e) energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan.
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut dilakukan melalui (a) pengembangan sistem mitigasi bencana; (b) pengembangan early warning system ; (c) pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di laut; (d) pengembangan sistem pengendalian hama laut, introduksi spesies asing, dan organisme laut yang menempel pada dinding kapal; serta (e) pengendalian dampak sisa-sisa bangunan dan aktivitas di laut.
Meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir dilakukan dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala kecil yang mampu memberikan lapangan kerja lebih luas kepada keluarga miskin. IV.1.8 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG BERPERAN AKTIF DALAM PERGAULAN INTERNASIONAL Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial merupakan amanat konstitusi yang harus diperjuangkan secara konsisten. Sebagai negara yang besar secara geografis dan jumlah penduduk, Indonesia sesungguhnya memiliki peluang dan potensi untuk mempengaruhi dan membentuk opini internasional dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam rangka mewujudkan Indonesia maju, mandiri, adil dan makmur, Indonesia sangat penting untuk berperan aktif dalam politik luar negeri dan kerja sama lainnya baik di tingkat regional maupun internasional, mengingat konstelasi politik dan hubungan internasional lainnya yang terus mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat.
Peranan hubungan luar negeri terus ditingkatkan dengan penekanankan pada proses pemberdayaan posisi Indonesia sebagai negara, termasuk peningkatan kapasitas dan integritas nasional melalui keterlibatan di organisasi-organisasi internasional, yang dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan diplomasi dan hubungan luar negeri dengan memaknai secara positif berbagai peluang yang menguntungkan bagi kepentingan nasional yang muncul dari perspektif baru dalam hubungan internasional yang dinamis.
Penguatan kapasitas dan kredibilitas politik luar negeri dalam rangka ikut serta menciptakan perdamaian dunia, keadilan dalam tata hubungan internasional, dan ikut berupaya mencegah timbulnya pertentangan yang terlalu tajam di antara negara-negara yang berbeda ideologi, dan sistem politik maupun kepentingan agar tidak mengancam keamanan internasional sekaligus mencegah munculnya kekuatan yang terlalu bersifat hegemonik-unilateralistik di dunia.
Peningkatan kualitas diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam, baik daratan maupun lautan, serta antisipasi terhadap berbagai isu baru dalam hubungan internasional yang akan ditangani dengan parameter utamanya adalah pencapaian secara optimal kepentingan nasional.
Peningkatan efektivitas dan perluasan fungsi jaringan kerjasama yang ada demi membangun kembali solidaritas Association of South East Asian Nation (ASEAN) di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan keamanan menuju terbentuknya komunitas ASEAN yang lebih solid.
Pemeliharaan perdamaian dunia melalui upaya peningkatan saling pengertian politik dan budaya, baik antarnegara maupun antarmasyarakat dunia serta peningkatan kerja sama internasional dalam membangun tatanan hubungan dan kerja sama ekonomi internasional yang lebih seimbang.
Penguatan jaringan hubungan dan kerja sama yang produktif antar aktor- aktor negara dan aktor-aktor nonnegara yang menyelenggarakan hubungan luar negeri. IV. 2 TAHAPAN DAN SKALA PRIORITAS Untuk mencapai sasaran pokok sebagaimana dimaksud di atas, pembangunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan urgensi permasalahan yang hendak diselesaikan, tanpa mengabaikan permasalahan lainnya. Oleh karena itu, tekanan skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda-beda, tetapi semua itu harus berkesinambungan dari periode ke periode berikutnya dalam rangka mewujudkan sasaran pokok pembangunan jangka panjang. Setiap sasaran pokok dalam delapan misi pembangunan jangka panjang dapat ditetapkan prioritasnya dalam masing-masing tahapan. Prioritas masing-masing misi dapat diperas kembali menjadi prioritas utama. Prioritas utama menggambarkan makna strategis dan urgensi permasalahan. Atas dasar tersebut, tahapan dan skala prioritas utama dapat disusun sebagai berikut. IV.2.1 RPJM ke-1 (2005 – 2009) Berlandaskan pelaksanaan dan pencapaian pembangunan tahap sebelumnya, RPJM I diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat. Indonesia yang aman dan damai ditandai dengan meningkatnya rasa aman dan damai serta terjaganya NKRI berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika melalui tertanganinya berbagai kerawanan dan tercapainya landasan pembangunan kemampuan pertahanan nasional, serta meningkatnya keamanan dalam negeri termasuk keamanan sosial sehingga peranan Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia semakin meningkat. Kondisi itu didukung oleh berkembangnya nilai baru yang positif dan produktif pada setiap aspek kehidupan dalam rangka memantapkan budaya nasional, termasuk wawasan dan budaya bahari; menguat dan meluasnya pemahaman tentang identitas nasional sebagai negara demokrasi dalam tatanan masyarakat internasional; dan meningkatnya pelestarian serta pengembangan kekayaan budaya untuk memperkokoh kedaulatan NKRI berlandaskan falsafah Pancasila. Indonesia yang adil dan demokratis ditandai dengan meningkatnya keadilan dan penegakan hukum; terciptanya landasan hukum untuk memperkuat kelembagaan demokrasi; meningkatnya kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan; terciptanya landasan bagi upaya penegakan supremasi hukum dan penegakan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan tertatanya sistem hukum nasional. Bersamaan dengan itu, pelayanan kepada masyarakat makin membaik dengan meningkatnya penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang tercermin dengan terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi; serta tertatanya kelembagaan birokrasi dalam mendukung percepatan terwujudnya tata kepemerintahan yang baik. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia ditandai dengan menurunnya angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; berkurangnya kesenjangan antarwilayah, termasuk meningkatnya pengelolaan pulau-pulau kecil terdepan; meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan membaiknya pengelolaan sumber daya alam dan mutu lingkungan hidup. Kondisi itu dicapai dengan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan iklim yg lebih kondusif, termasuk membaiknya infrastruktur. Percepatan pembangunan infrastruktur lebih didorong melalui peningkatan peran swasta dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan dan regulasi serta reformasi dan restrukturisasi kelembagaan, terutama untuk sektor transportasi, energi dan kelistrikan, serta pos dan telematika. Bersamaan dengan itu dilaksanakan revitalisasi kelembagaan pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki lokasi strategis, antara lain kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan andalan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, antara lain, ditandai oleh meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG) yang diarahkan untuk membangun bangsa yang berkarakter cerdas, adil dan beradab, berkepribadian nasional, tangguh, kompetitif, bermoral, dan berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, toleran terhadap keberagaman, bergotong-royong, patriotik, dinamis, dan berorientasi iptek; meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan; meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan perempuan dan anak; dan mengendalikan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk. Bersamaan dengan hal tersebut ditingkatkan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup dan menyadari keadaan wilayah yang rawan bencana sehingga makin peduli dan antisipatif. Hal itu didukung oleh pengembangan kelembagaan dan peningkatan kapasitas di setiap tingkatan pemerintahan dalam rangka penanggulangan bencana serta diacunya rencana tata ruang secara hierarki dari tingkatan nasional, pulau, provinsi, hingga kabupaten/kota sebagai payung kebijakan spasial semua sektor dalam rangka mencegah dampak kerusakan lingkungan hidup dan meminimalkan dampak bencana. IV.2.2 RPJM ke-2 (2010 – 2014) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-1, RPJM ke-2 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Kondisi aman dan damai di berbagai daerah Indonesia terus membaik dengan meningkatnya kemampuan dasar pertahanan dan keamanan negara yang ditandai dengan peningkatan kemampuan postur dan struktur pertahanan negara serta peningkatan kemampuan lembaga keamanan negara. Kondisi itu sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum, tercapainya konsolidasi penegakan supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia, serta kelanjutan penataan sistem hukum nasional. Sejalan dengan itu, kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Posisi penting Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar makin meningkat dengan keberhasilan diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah. Kesejahteraan rakyat terus meningkat ditunjukkan oleh membaiknya berbagai indikator pembangunan sumber daya manusia, antara lain meningkatnya pendapatan per kapita; menurunnya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas disertai dengan berkembangnya lembaga jaminan sosial; meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat yang didukung dengan pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang mantap; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya kesetaraan gender; meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak; terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk; menurunnya kesenjangan kesejahteraan antarindividu, antarkelompok masyarakat, dan antardaerah; dipercepatnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan potensial di luar Jawa; serta makin mantapnya nilai-nilai baru yang positif dan produktif dalam rangka memantapkan budaya dan karakter bangsa. Daya saing perekonomian meningkat melalui penguatan industri manufaktur sejalan dengan penguatan pembangunan pertanian dan peningkatan pembangunan kelautan dan sumber daya alam lainnya sesuai potensi daerah secara terpadu serta meningkatnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; teknologi; percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan dunia usaha; peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan; serta penataan kelembagaan ekonomi yang mendorong prakarsa masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Kondisi itu didukung oleh pengembangan jaringan infrastruktur transportasi, serta pos dan telematika; peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya bioenergi, panas bumi, tenaga air, tenaga angin, dan tenaga surya untuk kelistrikan; serta pengembangan sumber daya air dan pengembangan perumahan dan permukiman. Bersamaan dengan itu, industri kelautan yang meliputi perhubungan laut, industri maritim, perikanan, wisata bahari, energi dan sumber daya mineral dikembangkan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan. Dalam kerangka pencapaian pembangunan yang berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup makin berkembang melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang ditandai dengan berkembangnya proses rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang disertai dengan menguatnya partisipasi aktif masyarakat; terpeliharanya keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam tropis lainnya yang dimanfaatkan untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan nasional pada masa yang akan datang; mantapnya kelembagaan dan kapasitas antisipatif serta penanggulangan bencana di setiap tingkatan pemerintahan; serta terlaksananya pembangunan kelautan sebagai gerakan yang didukung oleh semua sektor. Kondisi itu didukung dengan meningkatnya kualitas perencanaan tata ruang serta konsistensi pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan terkait dan penegakan peraturan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang. IV.2.3 RPJM ke-3 (2015 – 2019) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-2, RPJM ke-3 ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Sejalan dengan kondisi aman dan damai yang makin mantap di seluruh wilayah Indonesia, kemampuan pertahanan nasional dan keamanan dalam negeri makin menguat yang ditandai dengan terbangunnya profesionalisme institusi pertahanan dan keamanan negara serta meningkatnya kecukupan kesejahteraan prajurit serta ketersediaan alat utama sistem persenjataan TNI dan alat utama Polri melalui pemberdayaan industri pertahanan nasional. Kehidupan demokrasi bangsa makin mengakar dalam kehidupan bangsa sejalan dengan makin mantapnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi dengan menitikberatkan pada prinsip toleransi, nondiskriminasi dan kemitraan dan semakin mantapnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi itu mendorong tercapainya penguatan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai dalam berbagai aspek kehidupan. Bersamaan dengan itu kesadaran dan penegakan hukum dalam berbagai aspek kehidupan berkembang makin mantap serta profesionalisme aparatur negara di pusat dan daerah makin mampu mendukung pembangunan nasional. Kesejahteraan rakyat terus membaik, meningkat sebanding dengan tingkat kesejahteraan negara-negara berpenghasilan menengah, dan merata yang didorong oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang disertai terwujudnya lembaga jaminan sosial. Kualitas sumber daya manusia terus membaik ditandai oleh meningkatnya kualitas dan relevansi pendidikan, termasuk yang berbasis keunggulan lokal dan didukung oleh manajemen pelayananan pendidikan yang efisien dan efektif; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya kesetaraan gender; meningkatnya tumbuh kembang optimal, serta kesejahteraan dan perlindungan anak; tercapainya kondisi penduduk tumbuh seimbang; dan mantapnya budaya dan karakter bangsa. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang semakin mantap dicerminkan oleh terjaganya daya dukung lingkungan dan kemampuan pemulihan untuk mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari; terus membaiknya pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam yang diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup dan didukung oleh meningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat; serta semakin mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang di seluruh wilayah Indonesia. Daya saing perekonomian Indonesia semakin kuat dan kompetitif dengan semakin terpadunya industri manufaktur dengan pertanian, kelautan dan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan; terpenuhinya ketersediaan infrastruktur yang didukung oleh mantapnya kerja sama pemerintah dan dunia usaha, makin selarasnya pembangunan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan industri serta terlaksananya penataan kelembagaan ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, penguasaan dan penerapan teknologi oleh masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Ketersediaan infrastruktur yang sesuai dengan rencana tata ruang ditandai oleh berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi; terpenuhinya pasokan tenaga listrik yang handal dan efisien sesuai kebutuhan sehingga elektrifikasi rumah tangga dan elektrifikasi perdesaan dapat tercapai, serta mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat; terselenggaranya pelayanan pos dan telematika yang efisien dan modern guna terciptanya masyarakat informasi Indonesia; terwujudnya konservasi sumber daya air yang mampu menjaga keberlanjutan fungsi sumber daya air dan pengembangan sumber daya air serta terpenuhinya penyediaan air minum untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Selain itu, pengembangan infrastruktur perdesaan akan terus dikembangkan, terutama untuk mendukung pembangunan pertanian. Sejalan dengan itu, pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh. IV.2.4 RPJM ke-4 (2020 – 2024) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-3, RPJM ke-4 ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing. Kelembagaan politik dan hukum telah tercipta ditandai dengan terwujudnya konsolidasi demokrasi yang kokoh dalam berbagai aspek kehidupan politik serta supremasi hukum dan penegakan hak-hak asasi manusia ; terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat ; serta terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan negara dari ancaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kondisi itu didukung oleh mantapnya kemampuan pertahanan dan keamanan negara yang ditandai oleh terwujudnya TNI yang profesional dengan komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang kuat; terwujudnya sinergi kinerja antara POLRI dan partisipasi masyarakat dalam bidang keamanan, intelijen, dan kontra intelijen yang efektif yang disertai kemampuan industri pertahanan yang handal; terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam mendorong supremasi hukum; terwujudnya tata kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa yang berdasarkan hukum, serta birokrasi yang profesional dan netral; terwujudnya masyarakat sipil, masyarakat politik, dan masyarakat ekonomi yang mandiri, serta terwujudnya kemandirian nasional dalam konstelasi gobal. Kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat ditunjukkan oleh makin tinggi dan meratanya tingkat pendapatan masyarakat dengan jangkauan lembaga jaminan sosial yang lebih menyeluruh; mantapnya sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, antara lain ditandai oleh meningkat dan meratanya akses, tingkat kualitas, dan relevansi pendidikan seiring dengan makin efisien dan efektifnya manajemen pelayanan pendidikan; meningkatnya kemampuan Iptek; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak; dan terwujudnya kesetaraan gender; bertahannya kondisi dan penduduk tumbuh seimbang. Sejalan dengan tingkat kemajuan bangsa, sumber daya manusia Indonesia diharapkan berkarakter cerdas, tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, toleran terhadap keberagaman, bergotong royong, patriotik, dinamis dan berorientasi Iptek. Kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat makin mantap dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup untuk menjaga kenyamanan dan kualitas kehidupan sehingga masyarakat mampu berperan sebagai penggerak bagi konsep pembangunan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Struktur perekonomian makin maju dan kokoh ditandai dengan daya saing perekonomian yang kompetitif dan berkembangnya keterpaduan antara industri, pertanian, kelautan dan sumber daya alam, dan sektor jasa. Lembaga dan pranata ekonomi telah tersusun, tertata, serta berfungsi dengan baik. Kondisi itu didukung oleh keterkaitan antara pelayanan pendidikan, dan kemampuan Iptek yang makin maju sehingga mendorong perekonomian yang efisien dan produktivitas yang tinggi; serta berkembangnya usaha dan investasi dari perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri termasuk di zona ekonomi eksklusif dan lautan bebas dalam rangka peningkatan perekonomian nasional. Sejalan dengan itu, pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas dan berkesinambungan dapat dicapai sehingga pendapatan per kapita pada tahun 2025 mencapai kesejahteraan setara dengan negara-negara berpendapatan menengah dengan tingkat pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin yang makin rendah. Kondisi maju dan sejahtera makin terwujud dengan terselenggaranya jaringan transportasi pos dan telematika yang andal bagi seluruh masyarakat yang menjangkau seluruh wilayah NKRI; tercapainya elektrifikasi perdesaan dan elektrifikasi rumah tangga; serta terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh. Dalam rangka memantapkan pembangunan yang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam terus dipelihara dan dimanfaatkan untuk terus mempertahankan nilai tambah dan daya saing bangsa serta meningkatkan modal pembangunan nasional pada masa yang akan datang. BAB V PENUTUP Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 yang berisi visi, misi, dan arah pembangunan nasional merupakan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pembangunan nasional 20 tahun ke depan. RPJPN ini juga menjadi acuan di dalam penyusunan RPJP Daerah dan menjadi pedoman bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam menyusun visi, misi, dan program prioritas yang akan menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) lima tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Keberhasilan pembangunan nasional dalam mewujudkan visi Indonesia yang mandiri , maju , adil , dan makmur perlu didukung oleh (1) komitmen dari kepemimpinan nasional yang kuat dan demokratis;
konsistensi kebijakan pemerintah;
keberpihakan kepada rakyat; dan
peran serta masyarakat dan dunia usaha secara aktif. ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Pengujian UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pajak Penghasilan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tah ...
Relevan terhadap
(1) Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang, diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang. (2) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) langsung bertugas membahas rancangan undang-undang. • Berdasarkan Pasal 130 dan Pasal 131 Tata Tertib DPR di atas maka alat kelengkapan DPR bertugas membahas Rancangan Undang-Undang setelah ada penugasan terlebih dulu dari Badan Musyawarah (BAMUS). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tenggang waktu satu bulan pembahasan RUU APBN-P setelah diajukan oleh Pemerintah adalah setelah alat kelengkapan DPR ditugaskan terlebih dulu oleh BAMUS. Dalam perkara a quo dimulainya pembahasan RUU APBN-P 2012 di DPR adalah pada tanggal 6 Maret 2012 (vide keterangan tertulis DPR) sehingga masa berakhirnya satu bulan adalah 4 April 2012. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa UU 4/2012 melewati waktu satu bulan adalah tidak beralasan menurut hukum; 138 • Mengenai dalil para Pemohon bahwa persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 31 Maret 2012 yang merupakan hari libur dan bukan hari kerja, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 219 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan “ penyimpangan dari waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan ” juncto Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan, “ Ketua rapat menunda penyelesaian acara rapat untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya atau meneruskan penyelesaian acara rapat atas persetujuan rapat apabila acara yang ditetapkan untuk suatu rapat belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 telah berakhir”. Dengan mendasarkan pada Pasal 219 ayat (2) dan Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR-RI, menurut Mahkamah, dalil Pemohon bahwa Undang-Undang APBN Perubahan ditetapkan pada hari libur dan bukan hari kerja adalah tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut sejalan dengan keterangan tertulis DPR, bertanggal Juni 2012, halaman 15 sampai dengan halaman 17; • Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil UU 4/2012 tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum; Pengujian Materiil [3.16] Menimbang bahwa dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Namun, pembentukan Undang- Undang APBN berbeda dengan pembuatan Undang-Undang pada umumnya, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan Undang-Undang pada umumnya pengajuan RUU merupakan kewenangan DPR dan juga dapat diajukan oleh Presiden. Undang-Undang APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan Undang-Undang pada umumnya yang tidak membatasi jangka berlakunya. UU APBN diperlukan adanya setiap tahun, dan apabila Undang-Undang APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. 139 Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum, mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan. Dari segi substansi, Undang-Undang APBN adalah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran. Pilihan kebijakan tersebut menyangkut perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan. Sebagai Undang-Undang yang mempunyai kekuatan mengikat, Undang-Undang APBN mengikat Pemerintah dalam menghimpun pendapatan baik dari aspek jumlah maupun sumber pendapatan tersebut dan demikian juga halnya dalam pembelanjaannya. Sebagai rencana maka Undang-Undang APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut: [3.17.1] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya; • Bahwa Pemerintah tidak pernah mempublikasikan secara terbuka kepada masyarakat Indonesia mengenai alasan, dasar, dan mekanisme penghitungan perubahan subsidi pada Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang pada faktanya nominal yang dialokasikan bertambah dalam jumlah yang besar. Masyarakat Indonesia hanya mengetahui proses Sidang Paripurna yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2012 yang hanya membahas mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012, sedangkan perubahan pasal lain dalam UU 4/2012 dibahas oleh Badan Anggaran DPR RI dengan mekanisme Sidang Tertutup untuk umum. Hal ini jelas tidak ada mekanisme keterbukaan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; __ • Bahwa terhadap jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan, seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana tersebut pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara 140 Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; • Dengan Pemerintah menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka secara jelas Pemerintah telah salah dalam menentukan kebijakan ( beleid ) dan telah salah urus, karena seharusnya Pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menyandarkan jumlah subsidi dengan mekanisme pasar sehingga frasa “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ” tidak akan pernah terwujud. Hal demikian mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena BBM beserta subsidinya tidak akan pernah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Dari ketentuan tersebut maka proses pembahasan dan penetapan UU 4/2012 menurut Mahkamah telah selaras dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; __ • Dilihat dari segi substansi UU APBN yang merupakan rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran, dan UU APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran. Oleh karena itu perubahan jumlah Anggaran tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair [ liquefied petroleum gas (LPG)] tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 yang direncanakan sebanyak Rp. 123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh 141 puluh empat juta rupiah) bertambah menjadi sebanyak Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 (empat puluh juta) kilo liter dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah dikarenakan asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian. Adapun perubahan APBN dalam UU 4/2012 memiliki dasar pertimbangan sebagai berikut: __ i. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, telah terjadi perubahan dan perkembangan pada faktor internal dan eksternal, sehingga asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN 2012 sudah tidak relevan dan perlu disesuaikan;
ii. Tingkat inflasi dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 6,8% (enam koma delapan persen), lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2012. Peningkatan laju inflasi ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya harga beberapa komoditas internasional, juga dipengaruhi oleh rencana kebijakan administered price di bidang energi dan pangan; iii. Nilai tukar rupiah dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per satu dolar Amerika Serikat, melemah dari asumsinya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Pelemahan ini didorong antara lain oleh ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi berlanjut pada tahun 2012;
iv. Harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia terkait ketegangan geopolitik di negara-negara teluk yang mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia;
Kenaikan tersebut juga terjadi pada ICP, yang cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan harga rata-ratanya selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun 2012 sehingga asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun 142 2012 diperkirakan mencapai US$105,0 (seratus lima koma nol dolar Amerika Serikat) per barel;
vi. Lifting minyak dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai 930 (sembilan ratus tiga puluh) ribu barel per hari, di bawah target dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Hal ini antara lain terkait dengan menurunnya kapasitas produksi dari sumur-sumur tua, dan dampak diberlakukannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, penurunan tersebut juga dipengaruhi faktor unplanned shut down dan hambatan non-teknis seperti permasalahan di daerah dan lain-lain; vii. Perubahan pada besaran asumsi dasar ekonomi makro, pada gilirannya berpengaruh pula pada besaran APBN, dan akan diikuti dengan perubahan kebijakan fiskal dalam upaya untuk menyehatkan APBN melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang aman. (vide keterangan tertulis DPR); • Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 menyatakan, “ Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2012 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun _Anggaran 2012, apabila terjadi: _ i. perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi _yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2012; _ _ii. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ iii. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran _antarunit organisasi, antarprogram, dan/atau antarjenis belanja; dan/atau _ iv. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan” . • Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan hukum; 143 • Keinginan para Pemohon mengenai pengalihan subsidi pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya sebagaimana didalilkan, menurut Mahkamah adalah keinginan yang wajar, namun tidak berarti bahwa subsidi yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 menjadi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena hak yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah untuk memenuhinya tetapi juga kewajiban para Pemohon sendiri untuk mengusahakannya. Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah salah satu cara Pemerintah sebagai representasi negara memenuhi Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan hukum; • Bahwa selanjutnya mengenai dalil para Pemohon bahwa dengan menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, sebagaimana diketahui oleh khalayak ramai ( notoire feiten ), hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan untuk memberi kewenangan kepada Pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun 2012. Menurut Mahkamah, justru dengan adanya pembahasan antara Pemerintah dengan DPR tersebut berarti harga BBM bersubsidi tidak diserahkan pada mekanisme pasar atau persaingan usaha, melainkan ditentukan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan yang terjadi karena APBN berkaitan dengan banyak aspek. Dengan adanya pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah berarti penentuan harga BBM bersubsidi tersebut tidak dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar atau persaingan usaha karena penentuan harga BBM bersubsidi telah dimusyawarahkan oleh pembentuk Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Terlebih lagi faktanya, yang dikhawatirkan bahwa harga BBM akan mengalami kenaikan juga tidak terjadi. Dengan demikian, alasan pengujian para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang telah menyerahkan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar merupakan dalil yang tidak beralasan hukum; [3.17.2] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 mengizinkan Pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP ( Indonesia Crude Price ) naik rata-rata 15% (lima belas persen) dalam enam bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat; • Selama Pemerintah menyandarkan penghitungan ICP pada mekanisme pasar maka penggunaan BBM untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak akan pernah terwujud. Pemerintah hanya akan mengutamakan aspek ekonomi, yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. Hal demikian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan ketidakpastian hukum di masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM dan ketidakjelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM dalam jangka waktu enam bulan. Ketidakpastian hukum itu sendiri telah mengakibatkan ketidakadilan karena rakyat menjadi korban akibat ketidakpastian harga BBM namun harga-harga non BBM sudah terlanjur banyak yang naik, sedangkan pasar justru menikmati ketidakpastian ini dengan menaikkan harga-harga kebutuhan masyarakat sehingga tetap mendapatkan laba tertinggi dan tetap dapat melakukan akumulasi modal; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar yang menyebabkan Pemerintah mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi daripada kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, harus ada kedaulatan negara dalam menentukan harga 145 tanpa bersandar pada mekanisme pasar demi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian keberlakuan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 berpotensi menyebabkan kerugian bagi para Pemohon (buruh) dan masyarakat karena tidak dapat membeli harga BBM dengan harga ekonomis dan mendapatkan fungsi dari BBM yang sejatinya diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 menyatakan, “ Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya ”. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) dinyatakan bahwa “ Yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir ”. Dari Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berarti Pemerintah menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena pemberian wewenang kepada Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam pasal a quo adalah berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Waktu enam bulan justru memberikan kepastian hukum, karena Pemerintah harus memperhatikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu enam bulan sejak UU 4/2012 tersebut diundangkan (31 Maret 2012) baru dapat menyesuaikan harga BBM. Jika dalam kurun waktu enam bulan tersebut harga rata-rata minyak mentah Indonesia __ tidak mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 maka harga jual eceran BBM bersubsidi tidak disesuaikan. Terlebih lagi faktanya harga eceran BBM bersubsidi juga tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adanya pertentangan antara Pasal 7 ayat (6a) dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan hukum; 146 • Mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 yang oleh para Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena menyandarkan pada mekanisme pasar, menurut Mahkamah dalil tersebut telah dipertimbangkan Mahkamah dalam pertimbangan mengenai Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 dalam paragraf [3.17.1] , sehingga mutatis mutandis juga berlaku untuk dalil permohonan a quo . Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17.3] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 15A UU 4/2012 tidak dibahas dalam Sidang Paripurna tanggal 30 Maret 2012 dan telah ditentukan terlebih dahulu dalam rapat Badan Anggaran DPR RI yang tertutup untuk umum. Hal demikian mengakibatkan tidak adanya keterbukaan dalam proses penyusunan Pasal 15A UU 4/2012; • Pasal 15A UU 4/2012 tentang besaran alokasi dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar karena telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ditentukan masuk atau tidaknya Pasal 7 ayat (6a) dalam UU 4/2012 yang menjadi syarat dari Pasal 15A UU 4/2012. Oleh karena itu, menurut para Pemohon Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; • Dengan adanya Pasal 15A UU 4/2012 dimana Pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang tidak jelas dasar dan tujuan kegunaannya daripada menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak dapat merasakan manfaat secara langsung dari APBN 2012. Hal demikian jelas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 147 • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”, menurut Mahkamah frasa “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah terhadap pelaksanaan dari APBN yang setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang, sedangkan yang didalilkan oleh para Pemohon “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah berkaitan dengan proses penetapan APBN. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tafsiran terbuka yang termuat dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 seperti yang didalilkan para Pemohon adalah kurang tepat. Dengan demikian, menurut Mahkamah, keterbukaan yang dimaksudkan oleh para Pemohon tidak ada kaitannya dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan hukum; • Mengenai keterbukaan dalam proses pembahasan dan penetapan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana yang diterangkan oleh DPR dalam keterangan tertulisnya bertanggal Juni 2012, bahwa proses pembahasan dilakukan dalam suatu Rapat Kerja yang bersifat terbuka, sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Tata tertib DPR Nomor 01/DPR RI/I/2009-2010 dan berdasarkan risalah-risalah Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan dalam pembahasan RUU APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 bahwa rapat bersifat terbuka dimana masyarakat dapat mengikuti proses rapat dan substansi yang dibahas (vide keterangan tertulis DPR halaman 21). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan hukum; • Pasal 15A UU 4/2012 menyatakan, “Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp. 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun 148 delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding)” . Ketentuan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 karena bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp.
088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) diberikan sebagai akibat gejolak harga ketika Pemerintah menaikkan harga eceran BBM bersubsidi. Hal tersebut sesuai dengan keterangan tertulis Pemerintah tanggal 1 Agustus 2012, halaman 17 yang menerangkan bahwa “ penyesuaian harga BBM bersubsidi tersebut berpotensi menaikkan harga pangan dan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Penyesuaian harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan naiknya inflasi menjadi di atas 7 persen, yang berpotensi menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran, serta dapat mengganggu keberlanjutan program pendidikan terutama bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 15A UU APBN- P 2012, pembuat undang-undang menetapkan program kompensasi atas penyesuaian harga BBM bersubsidi sebagai langkah antisipasi. Program kompensasi tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin dari kemungkinan kenaikan harga, terutama dari jasa transportasi, serta mengurangi beban biaya hidup rumah tangga dan memberikan kompensasi biaya hidup _yang meningkat”; _ Bahwa Pasal 15A UU 4/2012 adalah pasal tambahan yang sebelumnya tidak terdapat dalam UU 22/2011. Hal demikian dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran”. Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa “ Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan .” Oleh karena itu, pengalokasian anggaran untuk bantuan langsung 149 sementara masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A UU 4/2012 merupakan bentuk pengeluaran yang dapat timbul akibat adanya kebijakan kenaikan dan/atau penurunan subsidi harga eceran BBM; Menimbang bahwa selain pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantif tersebut, dalam praktik dan faktanya tidak terjadi kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam waktu enam bulan terakhir sejak UU 4/2012 diundangkan sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012. Pemberian wewenang kepada Presiden untuk mengubah harga BBM bersubsidi sesuai dengan Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, sudah terlampaui baik dihitung sejak Januari tahun 2012 maupun dihitung sejak diundangkannya UU 4/2012, tanggal 31 Maret 2012, sehingga pasal tersebut tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon tentang pengujian formil Undang-Undang masih dalam tenggang waktu yang ditentukan; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 150 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi para Pemohon; Dalam Pokok Permohonan: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan, bulan November, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu dua belas , selesai diucapkan pukul 15.32 WIB oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai 151 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Achmad Sodiki ttd. Harjono ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva ttd. M. Akil Mochtar ttd. Anwar Usman PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir