Kesejahteraan Sosial.
Relevan terhadap
Tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:
merumuskan kebijakan dan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
melaksanakan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya;
meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang kesejahteraan sosial;
Ditjen Peraturan Perundang-undangan g. menetapkan standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial;
melaksanakan analisis dan audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktivitas pembangunan;
menyelenggarakan pendidikan dan penelitian kesejahteraan sosial;
melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
mengembangkan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial tingkat nasional dan internasional dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
memelihara taman makam pahlawan dan makam pahlawan nasional;
melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial; dan
mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.02/2016 tentang Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Kegiatan Us ...
Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara di Lingkungan Kementerian Keuangan. ...
Relevan terhadap
Menetap kan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBEBANAN PENGGANTIAN KERUGIAN PERTA MA : Membebankan penggantian kerugian kepada Saudara ...................... pegawai/mantan pegawai*) pada ...................... sebesar Rp......................,- (....sebutkan dalam huruf....). KEDUA : Memerintahkan kepada Saudara...................... pegawai/mantan pegawai*) pada ...................... mengganti Kerugian Negara sebesar Rp......................,- (....sebutkan dalam huruf....) dibayarkan secara tunai dengan menyetorkannya ke Rekening Kas Negara melalui Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) dengan kode Satuan Kerja ………..….(Satuan Kerja* * ) dan kode akun sesuai Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-658/PB/2017 Tentang Perubahan Atas Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-617/PB/2017 Tentang Pemutakhiran Kodefikasi Segmen Akun Pada Bagan Akun Standar, yaitu 425791 Pendapatan Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara Atau Pejabat Lain paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak Keputusan Menteri ini ditetapkan. KETIGA : Daftar harta kekayaan dari Saudara...................... pegawai/mantan pegawai*) pada ................ adalah……………… KEEMP AT : Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima Surat Keputusan Menteri ini, Saudara...................... pegawai/mantan pegawai*) pada ...................... diberikan kesempatan untuk menerima atau mengajukan keberatan yang disampaikan secara tertulis dengan disertai bukti yang cukup kepada Pejabat Penyelesaian Kerugian Negara. KELIMA : Pengajuan keberatan dimaksud dalam Diktum KEEMPAT tidak menunda kewajiban Saudara...................... pegawai/mantan pegawai*) pada ......................untuk mengganti Kerugian Negara dimaksud dalam Diktum PERTAMA. KEENA M : Keputusan Menteri ini mempunyai kekuatan hukum untuk pelaksanaan sita jaminan. Pelaksanaan sita jaminan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang berwenang melaksanakan pengurusan piutang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. KETUJU H : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Salinan Keputusan Menteri ini disampaikan kepada:
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
Menteri Keuangan;
Pimpinan eselon I Kementerian Keuangan dari satuan kerja bersangkutan;
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, Sekretariat Jenderal;
............................................;
dan seterusnya.....................; dan
Saudara................... pegawai pada ..............................., untuk dilaksanakan dan diindahkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ......................
n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, KEPALA SATUAN KERJA/ ATASAN KEPALA SATUAN KERJA *) , ..................................................
NIP………………………………. *) Pilih salah satu . **) Diisi nama organisasi unit Eselon I dari Satuan Kerja tempat terjadinya Kerugian Negara . 5. Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja menyampaikan SKP2KS kepada Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris dengan surat tanda terima. Format 27 Tanda Terima Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Sementara (SKP2KS) __ NAMA UNIT ORGANISASI/ SATUAN KERJA *) TANDA - TERIMA Pada hari ini......... . . tanggal...........tahun.... .
yang bertanda tangan di bawah ini: Nama/NIP :
........... . . /NIP........ ...... Pangkat/Gol. :
........... . /Gol.......... . ..... Jabatan :
............................... Unit : Alamat Rumah : telah menerima Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Mengetahui Yang menerima Kepala Satuan Kerja/ Atasan Kepala Satuan Kerja**) ..................................... . NIP................ NIP................ *) Diisi nama organisasi/satuan kerja tempat terjadinya terjadinya Kerugian Negara . **) Pilih salah satu . 6. Dalam hal Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris tidak diketahui keberadaannya dan surat tanda terima sebagaimana dimaksud pada butir 5 tidak dapat diperoleh, maka Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja dapat menginformasikan penyampaian SKP2KS pada papan pengumuman Kantor Kelurahan domisili terakhir Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris diketahui disertai dengan surat tanda terima dari Kelurahan setempat.
Penggantian Kerugian Negara berdasarkan penerbitan SKP2KS dibayarkan secara tunai paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak diterbitkannya SKP2KS.
SKP2KS mempunyai kekuatan hukum untuk pelaksanaan sita jaminan.
Pelaksanaan sita jaminan sebagaimana dimaksud pada butir 8 dilaksanakan apabila Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam SKP2K tidak dapat mengganti Kerugian Negara dan piutang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan sita jaminan sebagaimana dimaksud pada butir 7 dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/ Ahli Waris dapat menerima atau mengajukan keberatan atas SKP2KS paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya SKP2KS yang dibuktikan dengan tanda terima surat.
Dalam hal Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris tidak mengajukan keberatan setelah 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya SKP2KS, Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris dianggap telah menerima atas SKP2KS.
Keberatan sebagaimana dimaksud pada butir 10 disampaikan secara tertulis kepada Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja dengan disertai bukti. Format 28 Format Surat Keberatan Atas Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Sementara (SKP2KS) Nomor : …..…..….........…….. Lampiran : Satu berkas Hal : Keberatan Atas Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Sementara (SKP2KS) Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia u.p. Kepala Satuan Kerja/ Atasan Kepala Satuan Kerja*) di .................. Sehubungan dengan Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Sementara (SKP2KS) Nomor...…………………. tanggal…………… perihal tersebut di atas, dengan ini saya: Nama / NIP : Pangkat/Golongan :
....................... ..................... / Gol Jabatan :
...............................................................
... Unit :
............................................................................ yang dinyatakan bertanggung jawab atas terjadinya kekurangan.................... (uang/surat berharga/barang milik negara atau uang/barang bukan milik negara**) berupa……………. (sebutkan jenis dan jumlah uang, surat berharga, dan/atau barang dimaksud) dengan jumlah Kerugian Negara sebesar Rp.…………….,- ( …..sebutkan dalam huruf….. ) yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum atau lalai**) . Berkenaan dengan hal tersebut di atas, saya mengajukan keberatan atas surat keputusan dimaksud dengan alasan………………………………... (terlampir bukti pendukung keberatan). Demikian disampaikan pemohonan saya, atas perhatian Saudara diucapkan terima kasih. Pemohon, ………………………… NIP…………………….. *) Diisi nama organisasi/satuan kerja tempat terjadinya terjadinya Kerugian Negara . *) Pilih salah satu . 13. Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja menyampaikan penerimaan atau keberatan Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris atas SKP2KS sebagaimana dimaksud pada butir 10 kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk diteruskan kepada Majelis. Format 29 Format Surat Laporan Penerimaan/Keberatan Atas SKP2KS NAMA UNIT ORGANISASI/SATUAN KERJA) Nomor : Lap- ………...….........….. Sifat : Rahasia Lampiran : Satu berkas Hal : Laporan Penerimaan/Keberatan **) Atas SKP2KS Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia u.p. Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Jalan Dr. Wahidin Nomor 1 Jakarta Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan hormat kami laporkan hal sebagai berikut:
Berkenaan dengan dengan telah ditetapkannya Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Sementara (SKP2KS) Nomor ……………………. tanggal…………… perihal…………… (terlampir) yang menyatakan bahwa Saudara...…………………… (Pihak Yang Merugikan ) bertanggung jawab atas terjadinya kekurangan.................... (uang/surat berharga/barang milik negara atau uang/barang bukan milik negara**) berupa……………. (sebutkan jenis dan jumlah uang, surat berharga, dan/atau barang dimaksud) dengan jumlah Kerugian Negara sebesar Rp.…………….,- ( …..sebutkan dalam huruf….. ) yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum atau lalai**) .
Sehubungan dengan ditetapkannya SKP2KS dimaksud di atas, Saudara……… (Pihak Yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris) mengajukan/tidak mengajukan keberatan **) atas SKP2KS dimaksud . (dalam hal mengajukan keberatan atas SKP2KS sebutkan nomor, tanggal dan perihal surat keberatan serta alasan mengajukan keberatan) 3. Menindaklanjuti hal tersebut di atas, penyelesaian Kerugian Negara yang telah diterbitkan SKP2KS dimaksud dan Pihak Yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris **) Saudara……………………… mengajukan/tidak mengajukan keberatan **) atas SKP2KS dimaksud, maka untuk selanjutnya penyelesaian Kerugian Negara dimaksud diteruskan ke Majelis Penyelesaian Kerugian Negara untuk mendapatkan pertimbangan penyelesaian Kerugian Negara dimaksud dan terlampir kami sampaikan dokumen pendukung penyelesaian keru0gian negara sebagai bahan pertimbangan Majelis. __ Demikian kami laporkan, atas perhatian Bapak/Ibu diucapkan terima kasih. Kepala Satuan Kerja/ Atasan Kepala Satuan Kerja*) …………………………. NIP…………………….. Tembusan:
Ketua Majelis Penyelesaian Kerugian Negara; dan
Pimpinan Unit Eselon I bersangkutan. *) Diisi nama organisasi/satuan kerja tempat terjadinya Kerugian Negara. __ **) Pilih salah satu.
Pengajuan keberatan atas SKP2KS sebagaimana dimaksud pada butir 10 tidak menunda kewajiban Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris untuk mengganti Kerugian Negara. E. Penyelesaian Kerugian Negara melalui Majelis Pertimbangan Penyelesaian Kerugian Negara Majelis Pertimbangan Penyelesaian Kerugian Negara yang selanjutnya disebut Majelis adalah para pejabat/pegawai yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk menyampaikan pertimbangan dan pendapat penyelesaian Kerugian Negara di lingkungan Kementerian Keuangan.
Pembentukan Majelis a. Majelis di bentuk dalam rangka penyelesaian Kerugian Negara mengenai:
kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang bukan disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara sebagaimana dimaksud dalam BAB III B butir 5 huruf h angka 2;
Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris dinyatakan wanprestasi atas penyelesaian Kerugian Negara secara damai sebagaimana dimaksud dalam BAB III C butir 2 huruf o; atau
penerimaan atau keberatan Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris atas penerbitan SKP2KS sebagaimana dimaksud dalam BAB III D butir 10.
Majelis bersifat sementara (ad-hoc) dan beranggotakan 5 (lima) orang, yang, terdiri dari:
Sekretaris Jenderal/pejabat eselon II di lingkungan Sekretariat Jenderal selaku Ketua;
Inspektur Jenderal/pejabat eselon II di lingkungan Inspektorat Jenderal selaku Wakil Ketua;
Sekretaris Direktorat Jenderal /Badan di lingkungan Kementerian Keuangan selaku Anggota; dan
2 (dua) pejabat eselon I/II yang diperlukan sesuai dengan keahliannya selaku Anggota.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan mempercepat penyelesaian tugas Majelis sebagaimana dimaksud pada huruf b dibentuk Tim Administrasi Penyelesaian Kerugian Negara.
Kewenangan untuk membentuk Majelis dan Tim Administrasi Penyelesaian Kerugian Negara dilimpahkan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan.
Pembentukan Majelis sebagaimana dimaksud pada huruf b dan Tim Administrasi Penyelesaian Kerugian Negara sebagaimana dimaksud dalam huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Keuangan.
Tugas Majelis a. Majelis mempunyai tugas memeriksa dan memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN atas:
penyelesaian atas kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang bukan disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara sebagaimana dimaksud dalam BAB III B butir 5 huruf h angka 2;
penggantian Kerugian Negara setelah Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris dinyatakan wanprestasi sebagaimana dimaksud dalam BAB III C butir 2 huruf o; dan
penyelesaian Kerugian Negara yang telah diterbitkan SKP2KS sebagaimana dimaksud dalam BAB III D butir 3.
Majelis dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada huruf a melakukan sidang.
Sidang Majelis a. Sidang untuk penyelesaian atas kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang bukan disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara sebagaimana dimaksud pada butir 2 huruf a angka 1.
Majelis dalam sidang sebagaimana dimaksud pada butir 1 huruf a angka 1, Majelis melakukan hal sebagai berikut: a) memeriksa dan mewawancarai Pihak yang Merugikan/ Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris dan/atau pihak yang mengetahui terjadinya Kerugian Negara; b) meminta keterangan/pendapat dari narasumber yang memiliki keahlian tertentu; c) memeriksa bukti yang disampaikan; dan/atau d) hal lain yang diperlukan untuk penyelesaian Kerugian Negara.
Hasil dari sidang Majelis dimaksud pada angka 1, berupa: a) Dalam hal hasil sidang Majelis terbukti bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang bukan disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai, Pegawai Negeri Bukan Bendahara, Majelis menetapkan putusan hasil sidang Majelis berupa pertimbangan penghapusan:
uang, surat berharga, dan/atau barang milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara; dan/atau
uang dan/atau barang bukan milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Pertimbangan penghapusan dimaksud disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN. Atas dasar pertimbangan penghapusan dimaksud, Menteri Keuangan selaku PPKN mengusulkan penghapusan: __ (1) uang, surat berharga, dan/atau barang milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara; dan/atau __ (2) uang dan/atau barang bukan milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. __ Pelaksanaan penghapusan dimaksud dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. b) Dalam hal hasil sidang terbukti bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara, maka:
Majelis dapat memerintahkan TPKN melalui Menteri Keuangan selaku PPKN untuk melakukan pemeriksaan kembali.
Berdasarkan perintah untuk melakukan pemeriksaan kembali sebagaimana dimaksud pada angka 1, Menteri Keuangan selaku PPKN menyampaikan perintah dimaksud kepada Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja untuk kemudian disampaikan kepada TPKN.
Dalam perintah untuk melakukan pemeriksaan kembali sebagaimana dimaksud pada angka 1, Majelis menyampaikan hal yang perlu mendapat perhatian dalam pemeriksaan kembali.
Setelah melakukan pemeriksaan kembali sebagaimana dimaksud pada angka 1, TPKN melalui Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kembali kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk disampaikan kepada Majelis.
Laporan hasil pemeriksaan kembali sebagaimana dimaksud pada angka 4 menyatakan bahwa: (a) kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara; atau (b) kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang bukan disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara; disertai dengan dokumen pendukung.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan kembali sebagaimana dimaksud pada angka 4, Majelis menetapkan putusan berupa pernyataan Kerugian Negara dalam hal: (a) menyetujui laporan hasil pemeriksaan kembali TPKN yang menyatakan bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara; atau (b) tidak menyetujui laporan hasil pemeriksaan kembali TPKN yang menyatakan bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang bukan disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara.
Putusan Majelis sebagaimana dimaksud pada angka 6, putusan Majelis dimaksud disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk kemudian diteruskan kepada Kepala Satuan Kerja/Atasan Kepala Satuan Kerja.
Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja menindaklanjuti putusan Majelis sebagaimana dimaksud pada angka 6 huruf a dengan memproses penyelesaian Kerugian Negara melalui penerbitan SKTJM dan SKP2KS sebagaimana diatur dalam Bab III C dan Bab III D.
Dalam hal Majelis menyetujui laporan hasil pemeriksaan kembali TPKN sebagaimana dimaksud pada angka 5 huruf (b), Majelis menetapkan putusan berupa pertimbangan penghapusan: (a) uang, surat berharga, dan/atau barang milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara; dan/atau (b) uang dan/atau barang bukan milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Putusan Majelis sebagaimana dimaksud pada angka (9) disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN. Atas dasar putusan Majelis dimaksud, Menteri Keuangan selaku PPKN mengusulkan penghapusan uang, surat berharga, dan/atau barang milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara . (11) Pelaksanaan pengusulan penghapusan sebagaimana dimaksud pada angka 10 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sidang untuk penyelesaian penggantian Kerugian Negara terhadap Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris dinyatakan wanprestasi.
Dalam sidang sebagaimana dimaksud pada butir 2 huruf a angka 2, Majelis melakukan hal sebagai berikut: a) memeriksa kelengkapan pernyataan penyerahan barang jaminan sebagaimana dimaksud dalam Bab III C butir 1 huruf c angka 4; b) memutuskan penyerahan upaya penagihan Kerugian Negara kepada Panitia Urusan Piutang Negara; dan/atau c) hal lain yang diperlukan untuk penyelesaian Kerugian Negara.
Setelah melaksanakan sidang sebagaimana dimaksud pada angka 1, Majelis menetapkan putusan berupa pertimbangan penerbitan SKP2K.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk menerbitkan SKP2K.
Sidang untuk penyelesaian Kerugian Negara yang telah diterbitkan SKP2KS, yang tidak ada pengajuan keberatan dari Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris 1) Dalam sidang sebagaimana dimaksud pada butir 2 huruf a angka 3, Majelis melakukan hal sebagai berikut: a) memeriksa laporan hasil pemeriksaan TPKN menyatakan bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara sebagaimana dimaksud dalam BAB III B butir 5 huruf h angka 1; b) memeriksa laporan mengenai alasan tidak dapat diperolehnya SKTJM sebagaimana dimaksud dalam BAB III D butir 2; dan/atau c) hal lain yang diperlukan untuk penyelesaian Kerugian Negara.
Berdasarkan sidang sebagaimana dimaksud pada angka 1, Majelis menetapkan putusan pertimbangan penerbitan SKP2K.
Putusan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk menerbitkan SKP2K.
Hasil sidang untuk penyelesaian Kerugian Negara yang telah diterbitkan SKP2KS, yang diajukan keberatan dari Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris.
Dalam sidang sebagaimana dimaksud pada butir 2 huruf a angka 3, Majelis melakukan hal sebagai berikut: a) memeriksa laporan hasil pemeriksaan TPKN menyatakan bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan/atau barang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau lalai Pegawai Negeri Bukan Bendahara sebagaimana dimaksud dalam BAB III B butir 5 huruf h angka 1; b) memeriksa laporan mengenai alasan tidak dapat diperolehnya SKTJM sebagaimana dimaksud dalam BAB III D butir 2 _; _ c) memeriksa bukti sebagaimana dimaksud dalam BAB III D butir 12; d) memeriksa dan meminta keterangan Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris dan/atau pihak yang mengetahui terjadinya Kerugian Negara; e) meminta keterangan/pendapat dari narasumber yang memiliki keahlian tertentu; dan/atau f) hal lain yang diperlukan untuk penyelesaian Kerugian Negara.
Dalam hal Majelis memperoleh cukup bukti, Majelis memutuskan: a) menolak seluruhnya; b) menerima seluruhnya; atau c) menerima atau menolak sebagian.
Dalam hal Majelis dalam sidang sebagaimana dimaksud pada angka 1 belum memperoleh cukup bukti, Majelis dapat menugaskan TPKN melalui Menteri Keuangan selaku PPKN untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap materi yang terkait dengan Kerugian Negara yang terjadi.
Berdasarkan penugasan untuk melakukan pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada angka 3, Menteri Keuangan selaku PPKN menyampaikan penugasan melakukan pemeriksaan ulang dimaksud kepada Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja untuk kemudian disampaikan kepada TPKN.
Setelah melakukan pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada angka 3, TPKN melalui Kepala Satuan Kerja/atasan Kepala Satuan Kerja menyampaikan laporan hasil pemeriksaan ulang kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk disampaikan kepada Majelis.
Berdasarkan putusan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a dan huruf c, Majelis menyampaikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk menerbitkan SKP2K.
Berdasarkan putusan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b, Majelis memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk melakukan: a) pembebasan penggantian Kerugian Negara; b) penghapusan:
uang, surat berharga, dan/atau barang milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara; dan/atau
uang dan/atau barang bukan milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. __ Berdasarkan pertimbangan Majelis di atas, Menteri Keuangan selaku PPKN: a) menerbitkan Surat Keputusan Pembebasan Penggantian Kerugian Negara; dan b) mengusulkan penghapusan:
uang, surat berharga, dan/atau barang milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara; dan/atau
uang dan/atau barang bukan milik negara yang berada dalam penguasaan Pegawai Negeri Bukan Bendahara yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. __ sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan __ F. Penyelesaian Kerugian Negara melalui Penerbitan Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian 1. Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian yang selanjutnya disebut SKP2K adalah surat keputusan yang ditetapkan oleh Menteri yang mempunyai kekuatan hukum tetap tentang pembebanan penggantian Kerugian Negara terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara.
SKP2K sebagaimana dimaksud pada butir 1, diterbitkan oleh Menteri Keuangan selaku PPKN berdasarkan penetapan putusan Majelis yang menyampaikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan selaku PPKN untuk menerbitkan SKP2K dalam:
Sidang untuk Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris dinyatakan wanprestasi sebagaimana dimaksud dalam BAB III E butir 3 huruf b butir 2.
Sidang untuk penyelesaian Kerugian Negara yang telah diterbitkan SKP2KS, yang tidak ada pengajuan keberatan dari Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris sebagaimana dimaksud dalam BAB III E butir 3 huruf c angka 2.
Sidang untuk penyelesaian Kerugian Negara yang telah diterbitkan SKP2KS, yang diajukan keberatan dari Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris BAB III E butir 3 huruf d angka 6.
SKP2K yang diterbitkan berdasarkan penetapan putusan Majelis dalam sidang Majelis sebagaimana dimaksud pada butir 2 huruf a, paling sedikit memuat materi:
pertimbangan Majelis;
identitas Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris;
jumlah Kerugian Negara yang harus dipulihkan;
penyerahan upaya penagihan Kerugian Negara kepada instansi yang menangani pengurusan piutang negara; dan
daftar barang jaminan Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris yang diserahkan kepada instansi yang menangani pengurusan piutang negara, dalam hal Majelis berpendapat bahwa barang jaminan sebagaimana dimaksud dalam BAB III C butir 1 huruf b angka 4 dapat dijual atau dicairkan. Format 30 Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian (SKP2K) bagi Pihak yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris Dinyatakan Wanprestasi KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KMK.01/ TENTANG PEMBEBANAN PENGGANTIAN KERUGIAN KEPADA SAUDARA ............... PEGAWAI/MANTAN PEGAWAI *) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Pengujian materiil atas ketentuan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012
Relevan terhadap
Royal Dutch Shell meluaskan operasinya ke seluruh wilayah nusantara; 6. Bahwa pada tahun 1918, Pemerintah Kolonial Belanda merevisi lndische Mijnwet untuk memberi peluang kepada pihak asing, bukan Belanda, untuk memperoleh hak konsesi di Indonesia dengan batasan waktu hanya 40 tahun. Pemegang hak konsesi ini dikenakan kewajiban membayar pungutan tetap ( royalty ) sebesar 4% dari hasil produksi minyak, ditambah dengan pajak pendapatan perusahaan sebesar 20%, dan pajak atas keuntungan yang dibagi sebesar 20%. Ketentuan peraturan fiskal ( fiscal regime ) ini, tidak berbeda dengan yang berlaku di Timur Tengah; 7. Bahwa sampai tahun 1924, Pemerintah Kolonial Belanda sudah memberikan sebanyak 120 daerah konsesi. Pada tahun 1928, Pemerintah Kolonial Belanda mengamandemen lndische Mijnwet untuk meningkatkan pendapatan Pemerintah Kolonial, antara lain: jangka waktu konsesi diperpendek dari 75 tahun menjadi 40 tahun; pemegang konsesi diwajibkan melakukan pemboran sumur; melepaskan ( relinquishment ) sebagian wilayah konsesinya; membayar royalty , dan meningkatkan pembagian Pemerintah Kolonial secara progresif sampai mencapai 20 % laba bersih perusahaan; 8. Bahwa pada saat Perang Dunia II, Hindia Belanda (Indonesia dalam status jajahan Belanda) merupakan produsen minyak terbesar di kawasan Asia, dan menjadi daya tarik internasional. Jepang menetapkan prioritas sasaran menginvasi Asia Tenggara untuk tujuan menguasai kebutuhan sumber bahan bakar, guna memperluas jangkauan invasi ke negara-negara berikutnya. Perang berkecamuk di Pasifik, Jepang menyerang Pangkalan Utama Armada Angkatan Laut AS; di Pearl Harbour; 9. Bahwa akibat perang, krisis ekonomi semakin parah melanda Asia Pasifik. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak akan sanggup melawan bala tentara Jepang, jika menyerang daerah hindia Belanda. Oleh karenanya, Belanda merencanakan akan membakar atau membumihanguskan seluruh ladang minyak dan fasilitasnya agar tidak dikuasai oleh Jepang. Namun, usahanya sia-sia karena tentara Jepang menyerbu dengan cepat. Sebagian besar ladang minyak dan fasilitasnya jatuh ke tangan Jepang. Dengan melibatkan para personil Indonesia yang berpengalaman dalam industri migas, dalam waktu yang relative singkat jepang berhasil merehabilitasi sebagian ladang minyak dan fasilitas yang dibakar. Daerah bekas konsesi ini menjadi modal
per hari. Selain itu, untuk menampung seluruh perubahan dalam pendapatan negara dan hibah, belanja negara, serta defisit dan pembiayaan anggaran, maka perubahan terhadap APBN 2012 tersebut dilakukan secara menyeluruh, sehingga selain menampung perubahan indikator ekonomi makro tahun 2012, perubahan APBN 2012 juga dimaksudkan untuk mengakomodir perubahan-perubahan kebijakan dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN 2012. Adapun perubahan kebijakan fiskal dan langkah-langkah antisipatif yang ditetapkan dalam perubahan APBN 2012 adalah penambahan dana infrastruktur dan kebutuhan mendesak yang dibiayai dari pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL), kebijakan pengendalian subsidi BBM yang disertai dengan program kompensasi, pemotongan belanja kementerian negara/lembaga nonmodal, serta perluasan defisit anggaran dengan tambahan yang di antaranya dibiayai dari penerbitan surat berharga negara dan penambahan pemanfaatan SAL. Selain itu, langkah-langkah kebijakan tersebut juga disertai dengan optimalisasi pendapatan negara, terutama melalui peningkatan penerimaan negara bukan pajak. Sebagai akibat dari perkembangan berbagai asumsi dasar ekonomi makro yang berubah dari perkiraan semula, serta dengan adanya perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang dampaknya cukup signifikan terhadap APBN 2012, maka perubahan APBN 2012 dilakukan secara menyeluruh guna menampung seluruh perubahan dalam pendapatan, belanja, serta defisit dan pembiayaan anggaran, sehingga telah terjadi pula perubahan postur APBN 2012 yang meliputi pendapatan dan hibah, belanja, defisit anggaran, dan pembiayaan. Oleh karena itu, APBN-P 2012 merupakan paket kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi yang bertujuan untuk menjaga sustainabilitas fiskal ( fiscal sustainability ), memperbaiki efisiensi ekonomi, meningkatkan investasi untuk menstimulasi ekonomi, menjaga daya beli masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Relevan terhadap
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 22; serta Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Norma dalam UU 11/2016 yang dimohonkan pengujian tersebut masing-masing selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 angka 1: Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana _diatur dalam Undang-Undang ini”; _ Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5): (1) Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. (2) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib _Pajak yang sedang: _ a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap _oleh Kejaksaaan; _ _b. dalam proses peradilan; atau _ c. menjalani hukum pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. (4) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak. (5) Kewajiban Perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas _kewajiban: _ _a. Pajak Penghasilan; dan _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 331 b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan atas Barang Mewah. Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3): (1) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) _tahun terhitung sejak diahlihkan, adalah sebesar: _ a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan _Republik Indonesia adalah sebesar: _ a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2017. (3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada _Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 332 a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam _Surat Pernyataan; atau _ b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan. Untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3): (1)..... (2) Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain. (3) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri. Pasal 22: Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2): (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Adapun alasan yang dikemukakan para Pemohon dalam mendalilkan pertentangan norma UU 11/2016 dengan UUD 1945 pada pokoknya adalah sebagai berikut (alasan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara): Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 333 1. Bahwa Pasal 1 angka 1; Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 22; dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2016 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam hukum perpajakan di Indonesia;
Bahwa dengan UU 11/2016, tindakan dan kesalahan wajib pajak bukannya diberi hukuman yang setimpal tetapi justru diberi kemudahan dengan tidak dikenai sanksi administratif dan sanksi pidana, bahkan utang pajaknya dapat ditebus dengan nilai yang jauh di bawah nilai yang seharusnya dibayar menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 28/2007);
Bahwa Pasal 1 angka 1 UU 11/2016 adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 23A UUD 1945;
Bahwa Pasal 3 ayat (3) huruf a UU 11/2016 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
Bahwa Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 11/2016 telah merugikan hak konstitusional para Pemohon yang tertib membayar pajak sehingga dengan demikian ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
Bahwa Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2016 bertentangan dengan hak konstitusional para Pemohon atas keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945.
Bahwa selain alasan-alasan di atas, para Pemohon juga mengemukakan uraian, yang oleh para Pemohon disebut “Fakta Peristiwa Hukum”, yang intinya bahwa “Fakta Peristiwa Hukum” tersebut jika dihubungkan dengan berlakunya UU 11/2016 menjadikan para Pemohon yang selama ini taat membayar pajak merasa diperlakukan tidak sama di hadapan hukum, pemberlakuan Undang-Undang a quo bertentangan dengan gagasan negara hukum dan bertentangan dengan alinea keempat UUD 1945. [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-2, (selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara), dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 334 lampiran berupa Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi para Pemohon; [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan DPR, Keterangan Presiden, ahli yang diajukan oleh Presiden, yaitu Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Ph.D., Yustinus Prastowo, S.E, M.Hum, M.A., Prof. Dr. Gunadi, Darussalam, S.E., Ak., M.Si., LL.M., Int. Tax.,Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. Refli Harun, S.H., M.H., LL.M., Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., serta empat keterangan tertulis ahli yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 November 2016, yaitu keterangan tertulis Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., Prof. Wihana Kirana Jaya, Ph.D., Dr. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., dan Dr. Maruarar Siahaan, S.H.dan ahli yang diajukan oleh para Pemohon yaitu Salamuddin Daeng, S.E.,, H. Makmur Amir, S.H., M.H., dan Akhmad Akbar Susamto, S.E., M. Phil., Ph.D. (yang keterangan selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dengan saksama permohonan para Pemohon, Keterangan Presiden, Keterangan DPR, keterangan ahli para pihak, memeriksa bukti-bukti para Pemohon, dan kesimpulan para pihak, maka terhadap dalil-dalil para Pemohon Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: A. Pertama , sepanjang berkenaan dengan dasar pemikiran dan latar belakang serta tujuan diambilnya kebijakan pengampunan pajak melalui pengundangan UU 11/2016, yang sekaligus menjawab pertanyaan apakah secara doktriner kebijakan pengampunan pajak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah telah mempertimbangkannya secara komprehensif dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, yang pada akhirnya Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah, antara lain, menyatakan: [3.14] __ Menimbang, berdasarkan seluruh penjelasan dan keterangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.13] di atas serta dengan _mempertimbangkan: _ (i) bahwa dampak krisis ekonomi global tahun 2008 yang berimbas pada perlemahan ekonomi negara-negara di dunia serta menurunnya harga komoditas dan perlemahan perdagangan internasional masih dirasakan hingga saat ini dan berdampak besar terhadap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 335 perekonomian nasional Indonesia yang mengalami perlambatan di mana meskipun masih terdapat pertumbuhan namun _kecenderungannya terus menurun dari tahun ke tahun; _ (ii) bahwa keadaan sebagaimana diuraikan pada angka (i) di atas telah menyebabkan menurun drastisnya sumber pendapatan negara, khususnya dari sektor pajak, padahal pajak masih merupakan sektor penyumbang terbesar pendapatan negara guna membiayai program- program pembangunan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Keadaan demikian menjadikan negara, khususnya Pemerintah, dihadapkan pada situasi dilematis: tetap berpegang teguh hanya pada penegakan hukum di bidang perpajakan yang ada dengan risiko tidak tercapainya target pendapatan negara (khususnya dari sektor pajak yang disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap harta atau kekayaan wajib pajak, baik karena hal itu tidak dilaporkan oleh wajib pajak maupun karena harta atau kekayaan wajib pajak itu berada di luar wilayah yurisdiksi Indonesia), di mana keadaan demikian lebih jauh akan berdampak pada mandegnya atau bahkan berhentinya program-program pembangunan, khususnya untuk mengentaskan kemiskinan dan menurunkan pengangguran; atau mengambil langkah khusus sebagai terobosan yang merupakan second best effort di luar penegakan hukum yang “normal” sehingga memungkinkan negara, in casu pemerintah, menjalankan dan melanjutkan program-program pembangunannya dalam mewujudkan tujuan negara yang dimanatkan _oleh Konstitusi; _ (iii) bahwa dengan memperhatikan keadaan sebagaimana disebutkan pada angka (i) dan (ii) di atas, pembentuk Undang-Undang memilih untuk menempuh langkah khusus atau terobosan dalam bentuk kebijakan pengampunan pajak yang hanya diberlakukan satu kali dalam satu periode (one shot opportunity) dan setelah periode itu berakhir akan diberlakukan pengenaan tarif normal yang disertai _dengan langkah-langkah penegakan hukum; _ (iv) bahwa tujuan diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak, sebagaimana diatur dalam UU 11/2016, adalah pertama, merepatriasi dana yang ditempatkan warga negara Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi; kedua, untuk meningkatkan basis perpajakan nasional di mana aset atau harta yang diungkapkan dalam permohonan pengampunan pajak dapat dimanfaatkan untuk pengenaan pajak di masa yang akan datang (disertai dengan perbaikan administrasi perpajakan); dan ketiga, untuk meningkatkan penerimaan pajak pada tahun diberlakukannya pengampuan pajak _tersebut yang diperoleh dari penerimaan uang tebusan; _ (v) bahwa dengan pemberlakuan kebijakan pengampunan pajak melalui UU 11/2016, dilihat dari perspektif filosofi keadilan substantif, di masa depan akan tercipta struktur perpajakan yang lebih adil, sebab dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 336 terbukanya data mengenai harta atau kekayaan para wajib pajak melalui pelaporan oleh wajib pajak sendiri, sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-Undang a quo untuk mendapatkan pengampuan, maka kontribusi dari PPh orang pribadi akan menjadi penyumbang terbesar pendapatan dari sektor pajak, bukan lagi dari PPN dan PPh badan sebagaimana keadaan yang berlangsung selama ini. Hal ini sejalan dengan prinsip ability to pay dalam filosofi keadilan perpajakan di mana mereka yang lebih kaya membayar pajak lebih besar, sehingga dengan demikian pajak akan benar-benar berperan sebagai instrumen redistribusi pendapatan yang selanjutnya _akan memperkecil ketimpangan; _ (vi) bahwa diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak bukanlah berarti negara melindungi kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam bidang perpajakan melainkan hal itu semata-semata sebagai insentif yang hanya berlaku selama berlangsungnya periode pengampunan pajak tersebut dan untuk selanjutnya akan _diberlakukan penegakan hukum; _ (vii) bahwa kebijakan pengampunan pajak tetap penting dan urgen untuk diambil meskipun di masa yang akan datang akan diberlakukan perjanjian Automatic Exchange of Information dengan alasan di samping bahwa perjanjian itu baru akan berlaku pada tahun 2018 juga untuk mengantisipasi bahwa tidak semua negara menjadi pihak atau peserta dalam perjanjian dimaksud, maka Mahkamah berpendapat bahwa terdapat alasan urgen dan mendasar bagi pembentuk Undang-Undang untuk mengambil kebijakan pengampunan pajak melalui pemberlakuan UU 11/2016 a quo sehingga, secara prinsip, pengampunan pajak yang esensinya adalah berupa pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang atau mengenakan pajak dalam suatu periode tertentu, dihubungkan dengan tujuan diambilnya kebijakan itu, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. [vide lebih jauh pertimbangan hukum paragraf [3.11] sampai dengan paragraf [3.14] dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016]. Dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 tersebut maka Mahkamah dengan sendirinya telah mempertimbangkan keterangan ahli yang diajukan oleh para dan Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D, yang pada prinsipnya menyoroti dasar pemikiran atau latar belakang dan tujuan diberlakukannya UU 11/2016. Ahli Salamuddin Daeng pada pokoknya menerangkan bahwa alasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 337 diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak melalui UU 11/2016 tidak terlepas dari perencanaan pengeluaran anggaran yang sangat ambisius guna membiayai proyek-proyek infrastruktur yang memerlukan biaya sangat besar yang sulit dicapai dalam situasi ekonomi global dan nasional yang sedang lesu, sementara penerimaan dari sektor pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak tidak mencapai target yang diharapkan. Ahli juga menilai bahwa pemberlakuan UU 11/2016 merupakan legalisasi kejahatan karena uang yang diperoleh dari pengampunan pajak tersebut bukan semata-mata dari pengemplang pajak tetapi boleh jadi juga berasal dari hasil bisnis illegal. Selain itu, menurut ahli, tax amnesty di berbagai negara adalah ditujukan dalam rangka menggerakkan perekonomian, membangkitkan semangat dunia usaha dan meningkatkan daya beli masyarakat, sedangkan melalui UU 11/2016 Pemerintah justru menjadikan tax amnesty untuk mengumpulkan uang untuk mengatasi defisit besar dalam APBN yang seharusnya merupakan dampak jangka panjang stimulus fiskal dan tax amnesty . Sementara itu, ahli Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D, pada pokoknya menilai UU 11/2016 merupakan produk dari kekeliruan berpikir. Pertama , menjadikan kurangnya kesadaran dan kepatuhan membayar pajak sebagai alasan membentuk UU 11/2016 adalah keliru sebab, meskipun kesadaran dan kepatuhan tersebut diperlukan, hal itu bukanlah yang utama karena pemungutan pajak bukan didasarkan pada kesukarelaan. Kedua , mengingat sifat memaksa dari pajak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23A UUD 1945 maka tatkala pemerintah mengakui bahwa terdapat harta yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan, adalah kewajiban pemerintah untuk mengejar tunggakan pajak dari harta tersebut. Ketiga , ada hal yang tidak dapat disebutkan secara eksplisit oleh pembentuk Undang-Undang sebagai dasar pemikiran lahirnya UU 11/2016, yaitu pemerintah tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menegakkan perundang-undangan yang menyangkut pemungutan pajak dan ada kepentingan besar yang berhasil “mengambil kesempatan dalam kesempitan”. Hal ini dikaitkan dengan akan berlakunya kesepakatan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information (AEoL) pada Tahun 2018 di mana ketika kesepakatan ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 338 mulai berlaku semua rekening wajib pajak akan langsung terlacak oleh otoritas pajak negara asal. Melalui pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, khususnya pada paragraf [3.11] sampai dengan paragraf [3.14] , kedua pendapat ahli dari para Pemohon tersebut secara tidak langsung telah dipertimbangkan. Dengan demikian, sepanjang berkenaan dengan dasar pemikiran atau latar belakang dan tujuan diberlakukannya UU 11/2016, pertimbangan dalam putusan sebagaimana disebutkan di atas, juga berlaku sebagai tanggapan dan pertimbangan Mahkamah terhadap keterangan kedua ahli para Pemohon a quo sebagaimana diuraikan di atas. Adapun keterangan ahli lainnya yang juga diajukan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu H. Makmur Amir, S.H., M.H., karena khusus menerangkan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, dengan sendirinya telah terjawab dengan diterimanya oleh Mahkamah kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon. B. Kedua , sepanjang berkenaan dengan dalil-dalil para Pemohon yang secara spesifik mempersoalkan konstitusionalitas sejumlah norma UU 11/2016 sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa oleh karena seluruh norma tersebut juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 [vide lebih jauh pertimbangan hukum paragraf [3.16] angka 1 sampai dengan angka 6 dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016], maka seluruh pertimbangan Mahkamah dalam putusan dimaksud juga berlaku terhadap permohonan a quo . [3.12] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 339 [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dapat diterima. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh tiga, bulan November, tahun dua ribu enam belas, dan pada hari Selasa, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , selesai diucapkan pukul 15.52 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 340 Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Aswanto ttd. Manahan M.P Sitompul ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. Suhartoyo ttd. Patrialis Akbar PANITERA PENGGANTI, ttd. Saiful Anwar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu. ...
Relevan terhadap
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4400);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5233);
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5254);
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4436);
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010;
Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006;
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009;
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 153/KMK.012/1982 tentang Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika yang Berlaku Bagi Perusahaan- Perusahaan Minyak dan Gas Bumi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain pada Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/ 2009 tentang Penetapan Rekening Kas Umum Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atas Beban Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Penyimpanan dan Pencairan Dana Cadangan;
Pengujian UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
www.mahkamahkonstitusi.go.id sebagaimana dikutip dalam buku Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara, karya Soetrisno, sebagai berikut: - Asas ekonomi: penentuan objek pajak harus tepat, agar pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi dan perekonomian rakyat. Misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah. - Asas keadilan: yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula. 43. Sebagaimana Pemohon uraikan di atas terhadap objek pajak yang sama yaitu imbalan dari usaha jasa pelayaran yang diterima oleh Pemohon (dari perusahaan pertambangan) dan oleh BUT yang jasanya digunakan oleh Pemohon, dikenakan ketentuan pajak penghasilan yang berbeda, yaitu ketentuan PPh Pasal 15 final sebesar 2,64% terhadap penghasilan Pemohon dan ketentuan PPh Pasal 23 terhadap penghasilan BUT yang beban pajaknya ditanggung oleh Pemohon. 44. Padahal jelas perlindungan terhadap hak-hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dilindungi oleh konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang mengatur hal sebagai berikut "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." 45. Selain menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, Konstitusi Republik Indonesia juga mengatur bahwasanya setiap orang berhak atas kebebasan dari setiap bentuk perlakuan diskriminatif atas dasar apapun, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, yaitu: "Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif." C. Sepanjang Frasa 'Jenis Jasa Lain' Dalam Pasal 23 ayat (2) UU Pajak Penghasilan Diterapkan Tanpa Memperhatikan Undang-Undang Yang Mengatur Lapangan/Bidang Usaha Tertentu, Maka Hal Itu (I) Melanggar Asas-Asas Pembentukan Perundang-Undangan Dan (II) Melanggar Cita Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 23 ayat (2) tersebut dengan menyatakan bahwa jenis jasa lain yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan harus memperhatikan undang-undang lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/ bidang usaha tertentu; 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau, Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon untuk putusan seadil-adilnya ( ex aquo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang telah diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-23c sebagai berikut: 1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Bukti P-2a : Fotokopi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak; 3. Bukti P-2b : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; 4. Bukti P-2c : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011; 5. Bukti P-2d : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; 6. Bukti P-3 : Fotokopi P-3 Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT Cotrans Asia Nomor 9 Tanggal 18 Juni 2004; 7. Bukti P-4 : Fotokopi Akta Pernyataan Kepurusan Rapat Umum Pemegang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah ...
Relevan terhadap
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa. 26. Bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tanggal 14 Desember 2014 telah menimbulkan Kerugian konstitusional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 Pemohon yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945;
Bahwa rangkaian pelanggaran hak-hak konstitusional Pemohon yaitu menolak Pemohon untuk mendampingi, mewakili, memberikan bantuan hukum dan pembelaan kepada klien Pemohon dalam pemeriksaan di Kantor Pelayanan Pajak Bantul, mencerminkan bahwa Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul, tidak profesional, berlaku diskriminatif, arogan, angkuh, bertindak berlebihan, tidak taat dan paham hak-hak konstitusional dan hak- hak hukum khususnya profesi Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum dan penolakan Pemohon untuk mendampingi klien Pemohon bukan dalam rangka penegakan hukum tetapi demi kepentingan pribadi, mencari keuntungan atau tambahan rejeki bahkan lebih terkesan memeras Wajib Pajak, menawarkan penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Wajib Pajak yang tidak paham hukum; Penolakan Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukan Konsultan Pajak dilakukan secara diskriminatif karena di lain kesempatan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul dapat menerima pihak lain yang bukan Konsultan Pajak untuk mengurus msalah-masalah pajak; Penolakan oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan, tidak dalam rangka menjalankan tugas profesinya tetapi semat-mata demi kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul harus bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan yang arogan, angkuh, tidak profesional, dan diskriminatif terhadap Pemohon, apalagi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gagal memahami peraturan Perundang-Undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum; Dengan demikian, berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, Pemohon memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan permohonan uji materil ini ke Mahkamah Konstitusi karena telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara. III. DALIL-DALIL PERMOHONAN 1. Bahwa negara hukum merupakan negara dimana penguasa atau pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraannya terikat atau dibatasi pada peraturan/hukum yang berlaku. Pembatasan pelaksanaan kekuasaan ini merupakan perinsip utama dalam negara hukum. Adapun tujuannya yaitu untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari penguasa/pemerintahan. Ciri-ciri Negara hukum yaitu: adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, dan adanya peradilan administrasi. Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi (P-1): “ Negara Indonesia adalah negara hukum.” Negara Indonesia sebagai wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum mengakui, menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Salah satu bentuk pengakuan, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia yaitu menjamin persamaan atau sederajat bagi setiap orang di hadapan hukum ( Equality Before The Law ) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” , Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (P-1) yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “ Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” ; Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan _kerja”; _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 2. Bahwa dalam rangka usaha mewujudkan perinsip-perinsip Negara Hukum dan kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan Perpajakan, konstitusi mengamanatkan dalam Pasal 23A UUD 1945 (P-1) yang berbunyi, “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa berdasarkan ketentuan ini, Perpajakan sebagai sumber pendapatan negara yang vital diatur oleh Undang-Undang. Hal ini bertujuan untuk menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban baik Pemerintah maupun Wajib Pajak dalam melaksanakan Perpajakan. Karena sifat pungutan pajak yang memaksa tersebut, dapat menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah dalam pelaksanaan pemungutan pajak, sehingga harus diatur dalam ketentuan atau Undang- Undang khusus Perpajakan, tanpa menghilangkan unsur kedaulatan rakyat atau hak-hak konstitusional warga negara;
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak yang bersifat memaksa, tidak dapat dipungkiri atau dihindari akan timbul permasalahan atau sengketa di bidang Perpajakan. Adanya kekuasaan dan kepentingan bagi instansi yang mengeluarkan keputusan di bidang Perpajakan tersebut rawan atau berpotensi terjadi konflik kepentingan ( konflik interest ), rawan atau berpotensi timbulnya penyalahgunaan kewenangan, atau berpotensi menghilangkan unsure kedaulatan rakyat. Sementara di sisi lain Wajib Pajak kurang memiliki pengetahuan tentang hukum Perpajakan. Sehingga potensi terjadinya rasa ketidakadilan bagi Wajib Pajak akibat tindakan pemerintah di dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan harus diselesaikan melalui suatu Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak manapun yang khusus menangani perkara/sengketa pajak. Bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan: “ Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.” adalah bersifat diskriminatif, tidak memberikan jaminan, pengakuan, perlindungan yang layak bagi kemanusiaan, tidak memberi jaminan untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang kesemuanya tersebut melanggar Konstitusi khsususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 4. Bahwa dalam kenyataan sehari-hari Permohonan Wajib Pajak dan petugas pelaksana dari pemerintah tidak sepenuhnya mengetahui seluruh peraturan Perpajakan yang mengatur hak dan kewajibannya Wajib Pajak sehingga berpotensi menimbulkan kerugian di pihak Wajib Pajak. Untuk mewujudkan perlindungan kedaulatan rakyat, negara perlu melindungi dan menjamin, agar pelaksanaan hak dan kewajiban Pemohon/Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik yaitu dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk Kuasa, didampingi atau diwakili kuasa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang Perpajakan. Hak menunjuk Kuasa bagi Wajib Pajak dapat dilihat pada Pasal 32 ayat (3) UU KUP yang menyebutkan, “ Orang Pribadi atau Badan dapat menunjuk Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan”. Dan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan, “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan surat Kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.” Hal ini merupakan wujud pelaksanaan prinsip-prinsip Negara hukum dan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak;
Bahwa peran dan fungsi kuasa dalam mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Perpajakan memiliki peran penting untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak sesuai peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Kuasa juga memberikan jasa konsultasi Perpajakan (Konsultan Pajak), sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan masyarakat Wajib Pajak dalam memahami dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, peranan dan fungsi Kuasa tersebut juga membantu pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan pajak. Di sisi lain, bahwa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 Kuasa juga diharapkan untuk mencari dan menegakkan hak-hak Wajib Pajak, karena Kuasa yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Perpajakan diharapkan dapat mewakili dan melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa untuk mencari dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Sehingga Kuasa juga memiliki peran dan fungsi untuk mendampingi atau memberikan nasihat kepada Wajib Pajak atas hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga hak-hak Wajib Pajak tidak dikurangi atau ditiadakan oleh pemerintah atau pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang Perpajakan dan pelaksanaan kewajiban Perpajakan yang sesuai dengan ketentuan peraturan Perpajakan. Dengan adanya peranan penting dari Kuasa hukum tersebut, menurut Pemohon jelaslah bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah mandiri, bebas atau independen dalam melaksanakan Kuasa demi melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa, terhadap pihak manapun termasuk pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana tugas penerima atau pemungutan pajak;
Bahwa di balik adanya kepastian hukum atas penyelesaian sengketa pajak dan hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk Kuasa, didampingi, atau diwakili Kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Perpajakannya atau kedaulatannya, timbul permasalahan bagi Pemohon yaitu adanya kewenangan Menteri Keuangan dalam menentukan Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa. Menurut Pemohon, ketentuan yang diuji material Pemohon yaitu Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon atau Wajib Pajak sesuai dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip Negara hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia; Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Perpajakan berbunyi: “Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan”, Kuasa yang dimaksud yaitu Pasal 32 ayat (3) UU KUP (P-2) berbunyi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan Surat Kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan” 7. Bahwa menurut penafsiran Pemohon, ketentuan yang diuji Pemohon tersebut memberikan kewenangan mutlak/absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak. Pemberian kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon berarti Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Menteri Keuangan telah diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk membatasi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada Kuasa dengan cara Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk membuat dan menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa dalam menerima dan menjalankan kedaulatan Pemohon. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut, telah mengakibatkan tidak terlaksananya kedulatan Pemohon/Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban Pemohon melalui Kuasa;
Bahwa mencermati Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut membuktikan betapa absolutnya kewenangan Menteri Keuangan. Jika ditelaah lagi pasal per pasal, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengatur segala ketentuan yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa, baik dari segi syarat-syarat, ujian dan sertifikasi, menegur, membekukan ijin, mencabut izin Kuasa/ Konsultan Pajak, izin beracara di pengadilan (menolak, menerima dan mencabut Izin). Hal ini memperlihatkan kekuasaan dan kewenangan absolut yang jelas-jelas mengakibatkan Kuasa tidak memiliki kebebasan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya untuk kepentingan hak-hak Pemohon/Wajib Pajak. Karena kedudukan Menteri Keuangan memilki kekuasaan/kewenangan yang superior dibanding dengan Kuasa Hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Perpajakan termasuk peradilan pajak. Sebagai contoh bukti bentuk kewenangan absolut Menteri Keuangan cq Direktorat Jenderal Pajak yaitu tentang Pencabutan izin Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Praktek sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 111/PMK. 03/2014, Pasal 26 tentang Teguran, Pembekuan, dan Pencabutan Izin Praktik yang berbunyi: Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang memberikan teguran tertulis, menetapkan pembekuan Izin Praktik, dan menetapkan pencabutan Izin Praktik" Pasa1 29 ayat (1) huruf j: "pencabutan Izin Praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ditetapkan dalam hal j. Konsultan Pajak memberikan Jasa Konsultasi di bidang Perpajakan tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, Pasal 23 huruf a: "Konsultan Pajak:
memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban Perpajakan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan". Melihat pengaturan ketentuan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk mencabut Izin Konsultan Pajak, dalam hal Konsultan Pajak, tidak memberikan jasa konsultasi yang tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Pengaturan ini bersifat multitafsir dan cakupannya luas, dan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak yang menentukan sesuai atau tidaknya jasa konsultasi pajak yang diberikan. Bahwa yang bewenang menentukan sesuai atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan yang melanggar peraturan Perundang-Undang adalah lembaga peradilan karena perbuatan yang dianggap tidak sesuai tersebut haruslah dibuktikan terlebih dahulu. Hukum pembuktian hanya dapat dilaksanakan dalam suatu mekanisme atau sistem peradilan. Sementara dalam hal ini, Menteri Keuangan c.q . Direktorat Jenderal Pajak dapat dengan leluasa menyatakan suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan Perundang-Undangan Perpajakan tanpa didasari suatu pembuktian. Sehingga menurut Pemohon hal ini berpotensi disalahgunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengintervensi Kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya dan yang paling dirugikan adalah Pemohon/Wajib Pajak yang menunjuk dan mempercayakan kepada Kuasa dalam melaksanakan hak dan Kewajiban Perpajakannya;
Bahwa dalam sistem peradilan Indonesia, diakui keberadaan Kuasa Hukum yang memiliki profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran dalam pelaksanaan peradilan yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 Undangan. Pemohon dalam perkara a quo membandingkan Kuasa Hukum Wajib Pajak dengan Profesi Kuasa Hukum yang diakui dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu Advokat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
Bahwa fungsi dan peran Profesi Advokat dengan Kuasa Wajib Pajak/Konsultan Pajak dalam pelaksanaan peradilan adalah sama yaitu bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dan memberikan nasehat hukum tentang perkara yang dihadapi. Bahwa profesi Konsultan Pajak hanya khusus untuk beracara di Pengadilan Pajak, sementara Advokat dapat melaksanakan Kuasanya untuk setiap lembaga peradilan apapun termasuk setiap sengketa atau permasalahan hukum yang belum dibawa ke badan-badan peradilan. Posisi atau kedudukan, peran, dan fungsi Kuasa Wajib Pajak dan Advokat di hadapan persidangan pengadilan adalah sama yaitu memberikan pendampingan, bantuan hukum atau nasehat hukum mewakili Pemberi Kuasa atas perkara yang dihadapi Wajib Pajak, serta menjalankan Kuasa yang diberikan oleh Pemberi Kuasa;
Bahwa atas kesamaan fungsi dan peran profesi Advokat dengan Konsultan Pajak selaku Kuasa Hukum dalam pelaksanaan profesinya baik di dalam maupun di luar peradilan, maka kedudukan Kuasa atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan Advokat dalam Sistem hukum Indonesia. Dengan memperhatikan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Advokat dalam peradilan, berbeda dengan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3 dan, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (P-28). Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, tidak terdapat suatu unsur atau norma yang memberikan kewenangan kepada pihak manapun atau instansi pemerintahan seperti Menteri Hukum dan HAM, instansi penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian untuk menentukan persyaratan menjadi Kuasa Hukum/Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi Konsultan Pajak/Kuasa Hukum Wajib Pajak, karena Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji materiil ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai Kuasa Hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 atau, Konsultan Pajak. Padahal Kuasa Hukum/Konsultan Pajak dan Menteri Keuangan adalah para pihak yang berperkara/bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Pengadilan Pajak;
Bahwa Advokat sebagaimana disebutkan dalam Konsideran Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan: " Menimban g : b) memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia "; dan c) bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum”. Profesi Advokat ditempatkan sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan Pemohon tersebut Pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mengenai kewenangan Menteri Keuangan berdasarkan pasal-pasal yang diajukan uji materiil oleh Pemohon, yaitu kewenangan Menteri Keuangan untuk mengatur dan menentukan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa, Pemohon merasa hak Pemohon sebagai Kuasa atau Advokat untuk menjalankan profesi sebagai Kuasa Hukum yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam mewakili kepentingan Pemohon telah terciderai, karena kewenangan Menteri Keuangan tersebut adalah intervensi dan menempatkan kedudukan Menteri Keuangan yang lebih tinggi atau superior dibandingkan dengan Wajib Pajak/Kuasa. Sehingga menurut penalaran yang wajar dan masuk akal pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak dapat atau berpotensi menjadi tidak netral. Oleh karena itu, Ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang diuji materiil oleh Pemohon mengenai kewenangan Menteri Keuangan untuk menentukan Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa, dalam rangka mewakili kepentingan Pemohon telah bertentangan dengan konstitusi yaitu norma Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan ini, potensi kerugian Pemohon tidak akan terjadi dan semua orang yang menyandang profesi Advokat tidak dilanggar hak-hak konstitusionalnya;
Konklusi:
Pemohon memiliki Legal Standing selaku warga negara dan Wajib Pajak untuk mengajukan Uji Materi terhadap Pasal 32 ayat (3a) UU KUP khusus yang berbunyi, “Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”, padahal sebelumnya dalam Pasal 3, disebutkan bahwa: Orang atau Badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan;
Telah terbukti adanya kerugian konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam:
Bahwa ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP jelas telah merugikan Pemohon; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 IV. Petitum Berdasarkan alasan-alasan hukum yang konstitusionalitas yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Pemohon memohon agar Maielis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan seluruh Permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh Pemohon;
Menyatakan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mengikat;
Memerintahkan Amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 32 ayat (3a) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) untuk dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya – ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-16b, tanpa bukti P-9 yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 2 Oktober 2017, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2);
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 32 ayat (3a), yang berbunyi: “ Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan, “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh _sebuah Mahmakah Konstitusi; _ 4. Bukti P-4 : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP atas nama Pemohon dengan Nomor 07.283.5382-017.000;
Bukti P-5 : Fotokopi Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor PTJ.PANKUM 143.671-1990;
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Kehakiman Nomor D- 29.KP.04.13-Tahun 1993 tanggal 11 Agustus 1993 tentang Pengangkatan sebagai Penasihat Hukum; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 7. Bukti P-7 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU.AH.04.03-85 sebagai Kurator dan Pengurus;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Keputusan Nomor KEP-302/PP/IKH/2009 tanggal 30 Juni 2009 sebagai Kuasa Hukum Pengadilan Pajak;
Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Certified Legal Auditor tanggal 2 Juli 2014 sebagai Legal Auditor ;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Kuasa yang diberikan oleh Klien Pemohon, Ny. Dra. Hj. Delia Murwihartini kepada Pemohon untuk mewakili/ mendampingi Klien tersebut sehubungan dengan proses hukum yang dihadapi oleh Klien Pemohon;
Bukti P-12 : Fotokopi Surat yang diajukan oleh Pemohon selaku Kuasa Hukum kepada Pejabat-pejabat/Petugas Pajak pada 28 Februari 2015 yang pada pokoknya menyampaikan keberatan dengan cara kerja KPP Bantul, dalam hal ini Pejabat- pejabat/Petugas Pajak yang memperlakukan Klien Pemohon dengan tidak adil;
Bukti P-13 : Fotokopi Tanggapan ke Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak tanggal 8 April 2015 dengan Nomor 008/THS/PBP/IV/2015 yang menanggapi Surat Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul;
Bukti P-14 : Fotokopi Sertifikat Perpajakan Setara Brevet A-B yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 10 Januari 2009-25 April 2009 dengan Nomor Sertifikat 032/LPLIH Perpajakan/IV/2009;
Bukti P-15 : Fotokopi Surat Perjanjian Penggunaan Jasa Hukum untuk mendampingi dan mengurus permasalahan Klien Pemohon dengan nilai kontrak sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
Bukti P-16 :
Fotokopi Akta Permohonan Banding Nomor 28/Pdt.G/2015/ PN.Btl tanggal 8 Desember 2015;
Fotokopi Akta Pencabutan Permohonan Banding Nomor 28/Pdt.G/2015/PN.Btl tanggal 17 Mei 2016; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 Selain itu, untuk menguatkan dalilnya, Pemohon dalam persidangan tanggal 14 November 2017, mengajukan satu orang ahli yakni DR.(Yuris), DR.(Mp), H. Teguh Samudera, S.H., M.H. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 10 November 2017, pada pokoknya sebagai berikut:
PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa “ negara Indonesia adalah negara hukum ” [vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 -perubahan ketiga- disahkan MPR 10-11- 2001]. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum ( equality before the law ). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; Guna memahami secara substansial terhadap pembahasan fungsi dan peran Advokat, maka ahli memandang perlu mengemukakan pengertian dari tiap-tiap kata pada bahasan ini sebagaimana dalam KBBI: 1997 yaitu: yang dimaksud dengan Fungsi : kegunaan suatu hal; berfungsi: berguna dalam menjalankan tugasnya; berfungsi sosial: berguna bagi kehidupan masyarakat; Peran : tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan/ berprofesi dalam masyarakat; Profesi : organisasi yang anggota-anggotanya adalah orang-orang yang mempunyai profesi sama; Advokat : orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, pengacara, penasehat hukum, pengacara praktik ataupun sebagai konsultan hukum;
PERAN DAN FUNGSI ADVOKAT Ahli berpendapat, bahwa dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggungjawab adalah merupakan hal yang sangat penting , di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Advokat, melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar peradilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada masa saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kahidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa di seluruh dunia. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian di luar pengadilan. Sebagai landasan kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat itu dibentuklah Undang-undang Advokat sebagaimana diamanatkan pula dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, mengatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat [ fungsinya ]: seperti dalam (1) pengangkatan, (2) pengawasan, dan (3) penindakan serta ketentuan bagi (4) pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu juga diatur berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam (1) menegakkan keadilan serta (2) terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. Menurut pendapat ahli, tidak dapat kita pungkiri, bahwa saat ini profesi Advokat yang bebas dan mandiri serta bertanggung jawab itu sangat diperlukan untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang bebas dari:
segala campur tangan dan (2) pengaruh dari luar. Karena kekuasaan kehakiman yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 independen itu semata-mata demi terselengaranya peradilan yang jujur, adil dan bersih demi kepastian hukum bagai semua pihak agar:
keadilan, (2) kebenaran dan (3) hak asasi manusia itu terwujud dengan kokoh dan tegak sebagaimana yang semestinya bagi kehidupan manusia; Advokat selain berperan:
memberi jasa hukum (baik di dalam maupun di luar pengadilan), juga wajib (2) memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu. Dengan demikian menurut ahli, Advokat itu:
tidak boleh melakukan diskriminasi, (2) tidak boleh mata duitan, (3) tidak boleh memegang jabatan lain yang bertentangan dengan tugas dan martabat profesinya maupun jabatan yang meminta pengabdian yang merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Sehingga Advokat yang menjadi pejabat negara, dilarang melaksanakan tugas profesinya alias cuti dengan menanggalkan segala atribut profesi keAdvokatannya; Tujuan utama UU Advokat adalah: perlindungan terhadap profesi Advokat, agar (1) bebas dan (2) mandiri serta (3) bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, sesuai dengan:
kode etik maupun (2) peraturan perundang-undangan. Menurut Ahli, materi muatan pokok yang terpenting dalam Undang-undang Advokat adalah: tentang pengakuan bahwa Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri dan dijamin oleh hukum dan perUndang- undangan [vide Pasal 5 ayat (1)]. Untuk menjaga kemandiriaannya, maka Advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi Advokat ( self governing body ), tanpa campur tangan atau kontrol dari kekuasaan pemerintah. Hal itu tercermin dari ketentuan bahwa organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dengan maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi Advokat [Pasal 28 ayat (1)]; Mengenai organisasi Advokat itu pun ditetapkan oleh para Advokat sendiri dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga [Pasal 28 ayat (2)]; Kemandirian tersebut dapat dilihat pada:
proses pendidikan khusus profesi;
ujian calon Advokat, (3) magang;
pengangkatan Advokat, (5) pengawasan, (6) penindakan sampai pemberhentian Advokat, semuanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 diatur dan diurus sendiri oleh organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 9 ayat (1)]; Proses rekruitmen itu sendiri yang diberi kewajiban menerima calon–calon Advokat yang akan melakukan magang [Pasal 29 ayat (5)], dengan kewajiban memberikan bimbingan, pelatihan dan kesempatan praktek terhadap para calon Advokat [Pasal 29 ayat (6)] adalah para Advokat yang menjadi anggota organisasi profesinya; Dengan demikian menurut ahli, ada 2 (dua) prinsip (1) kebebasan dan kemandirian profesi Advokat dan (2) organisasi Advokat yang mengurus dirinya sendiri ( self governing body ) yang menjadi roh (jiwa) ataupun semangat (spirit) dari Undang-undang Advokat; yang notabene dua prinsip tersebut telah 39 tahun diperjuangkan tetapi tidak pernah dapat diterima oleh pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru; Undang-undang Advokat itu merupakan hasil era reformasi di bidang hukum, berkat dukungan dari pembentuk Undang-undang dan pemerintah, termasuk para Advokat serta organisasi profesi Advokat. Dalam rangka perlindungan terhadap profesi Advokat yang bebas dalam menjalankan tugas profesi yang menjadi tanggung jawabnya (Pasal 15) dan khusus di muka pengadilan , Advokat bebas mengeluarkan pendapat dan pernyataan dengan tetap berpegang pada kode etik dan peraturan perUndang- undangan (Pasal 14), maka Advokat pun tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya, asalkan dengan itikad baik untuk kepentingan klien dalam persidangan (Pasal 16). Advokat juga mempunyai hak untuk memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan klien sesuai dengan peraturan perUndang-undangan (Pasal 17); Advokat juga berhak, bahwa dirinya wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang– undang. Dalam hubungan ini Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas dokumen terhadap penyitaan atau pemeriksaan. Begitu pula perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat (Pasal 19). Undang–undang menjamin pula, bahwa Advokat dalam menjalankan profesinya tidak dapat diidentikkan (baca: disamakan) dengan klienya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang maupun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 masyarakat [Pasal 19 ayat (2)]. Karenanya menurut ahli, hal ini teramat penting dijaga, karena masih adanya kecenderungan disebagian penguasa maupun sebagian masyarakat yang menyamakakan Advokat atau sipembela sama dengan pihak yang dibelanya, baik klien perorangan, golongan ataupun pemerintah; Jikalau kecenderungan tersebut terjadi, akan sangat merugikan kebebasan profesi, karena Advokat akan ragu-ragu, bahkan takut membela kliennya dengan alasan khawatir akan diintimidasi, diteror dan lain-lainnya dari pihak yang merasa dirugikan atau pun pihak yang tidak senang; Padahal sebenarnya, hak membela diri adalah merupakan hak asasi dari seseorang dan juga merupakan hak hukumnya yang wajib dilindungi demi tegaknya proses peradilan yang objektif, jujur, dan adil ( fair trial ); Menurut Ahli, Advokat dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya adalah merupakan sikap dan panggilan dalam profesi yang diyakini sebagai tugas yang mulia, luhur dan manusiawi ( officium nobiele ) yang telah melekat dan mendarah daging pada jiwanya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan demi nama baiknya; Di dalam Undang- Undang Advokat juga telah menentukan bahwa dalam menjalankan tugas profesinya, Advokat dilarang membedakan perlakuan terhadap kliennya berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, ataupun latar belakang sosial dan budaya [Pasal 19 ayat (1)]; Adanya aturan yang bersifat larangan memegang jabatan yang bertentangan dengan kepentingan, tugas dan martabat profesinya [Pasal 20 ayat (1)] ataupun memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa hingga merugikan profesi Advokat atau merugikan kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan profesinya [Pasal 20 ayat (2)] adalah untuk menjaga kemurnian profesi Advokat [yang bebas dan mandiri serta bertanggung jawab] dari pengaruh kekuasaan ataupun pekerjaan lain yang bertentangan dengan kebebasan profesi ataupun yang merendahkan martabat profesi Advokat, yang nanti pada akhirnya dapat terjadi keadaan yang merugikan kepentingan klien maupun dirinya dalam menjalankan tugas profesinya sebagai Advokat; Jadi, sekalipun Advokat kemudian menjadi pejabat Negara, tetap saja Advokat tersebut tidak boleh melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan dimaksud [Pasal 20 ayat (3)]. Adanya larangan dalam hal ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 adalah semata menjaga agar dapat menghindari penyalahgunaan jabatan negara bagi pribadi si Advokat atau bagi kepentingan kliennya; Sesuai dengan asas hukum, asas keseimbangan, maka menurut ahli, hak-hak yang diberikan kepada profesi Advokat diimbangi pula dengan diberikan kewajiban hukum yaitu kewajiban untuk tunduk dan taat pada etika profesi maupun terhadap peraturan perundang-undangan demi melindungi masyarakat khususnya para pencari keadilan atau pengguna jasa Advokat;
PRINSIP-PRINSIP DASAR TENTANG PERAN ADVOKAT Sepengetahuan Ahli telah ada prinsip-prinsip dasar tentang perana advokat yang telah “disahkan” oleh KONGRES PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA, Kedelapan tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba, 27 Agustus - 7 September 1990; Prinsip- prinsip tersebut telah diakui secara universal dan menjadi pedoman atau landasan berpikir dalam pembentukan hukum dan perilaku pemerintah dalam menjalankan wewenangnya yang menurut Ahli dipandang relevan dikutip dan dikemukakan disini yakni sebagai berikut: Akses kepada Advokat dan pelayanan hukum:
Semua orang berhak untuk minta bantuan seorang Advokat mengenai pilihan mereka untuk melindungi dan menetapkan hak-hak mereka dan untuk melindungi mereka pada semua dalam proses pengadilan pidana;
Pemerintah-pemerintah harus memastikan bahwa prosedur yang efisien mekanisme yang responsif untuk akses yang efektif dan setara kepada Advokat disediakan kepada semua orang di wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya, tanpa pembedaan dalam hal apapun, seperti misalnya diskriminasi yang berdasarkan pada ras, warna kulit, asal-usul etnis, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lain-lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, status ekonomi atau lainnya;
Pemerintah-pemerintah harus memastikan bersedianya dana dan sumber daya lainnya yang cukup untuk pelayanan hukum bagi orang-orang miskin dan, kalau perlu, kepada orang-orang lain yang kurang beruntung. Perhimpunan Advokat profesional harus bekerjasama dalam organisasi dan penyediaan pelayanan, fasilitas dan sumber daya lainnya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 4. Pemerintah dan perhimpunan Advokat profesional akan memajukan program untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka berdasarkan hukum dan peranan penting Advokat dalam melindungi kebebasan-kebebasan fundamental mereka. Perhatian khusus harus ditujukan kepada bantuan kepada orang-orang miskin dan orang- orang yang kurang mampu sehingga memungkinkan mereka untuk menyatakan hak-hak mereka dan untuk minta bantuan Advokat;
Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa aparat yang berwenang akan memberitahukan hak Terdakwa untuk didampingi Advokat pada saat ditangkap atau ditahan atau apabila dituduh dengan pelanggaran pidana;
Orang yang tidak mempunyai Advokat, dalam hal bagaimanapun juga di mana kepentingan keadilan membutuhkan, berhak untuk mempunyai seorang Advokat yang mempunyai pengalaman dan kompetensi yang sesuai dengan sifat pelanggaran yang ditugaskan kepada mereka untuk memberikan bantuan hukum secara efektif, tanpa bayaran oleh mereka kalau kekurangan sarana yang cukup untuk membayar pelayanan tersebut;
Pemerintah-pemerintah selanjutnya harus memastikan bahwa semua orang yang ditangkap atau ditahan, dengan atau tanpa tujuan pidana, harus mempunyai akses dengan segera kepada seorang Advokat, dan dalam keadaan apapun tidak lebih lambat dari empatpuluh delapan jam dari waktu penangkapan atau penahanan;
Semua orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjarakan harus diberi kesempatan, waktu dan fasilitas yang cukup untuk dikunjungi oleh Advokatnya untuk berkomunikasi dan berkonsultasi, tanpa penyadapan atau penyensoran dan dalam kerahasiaan sepenuhnya. Konsultasi tersebut dapat diawasi, tetapi tidak boleh didengar oleh para pejabat penegak hukum; Kualifikasi dan Latihan:
Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus memastikan bahwa para Advokat mendapat pendidikan dan latihan yang layak dan memperoleh kesadaran mengenai cita-cita dan kewajiban etis Advokat dan hak asasi manusia serta kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 10. Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus menjamin bahwa tidak ada diskriminasi terhadap seseorang berkenaan dengan pemasukan atau kelanjutan praktek dalam rangka profesi hukum atas dasar ras, warna kulit, jenis atau sosial, kekayaan, kelahiran, status ekonomi atau lainnya, kecuali adanya suatu persyaratan, bahwa seorang Advokat haruslah warga negara dari negara yang bersangkutan, harus tidak dianggap diskriminatif;
Di negara-negara di mana ada kelompok, masyarakat atau daerah yang kebutuhannya akan pelayanan hukum tidak terpenuhi, terutama di mana kelompok-kelompok tersebut mempunyai kebudayaan, tradisi atau bahasa yang berbeda atau telah menjadi korban diskriminasi masa lalu. Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus mengambil tindakan khusus untuk memberi kesempatan kepada para calon dari kelompok-kelompok ini untuk memasuki profesi hukum dan harus memastikan bahwa mereka menerima latihan yang memadai bagi kebutuhan kelompok mereka; Kewajiban dan tanggung jawab:
Para Advokat setiap saat harus mempertahankan kehormatan dan martabat profesi mereka sebagai bagian yang amat penting dari pelaksanaan keadilan;
Kewajiban para Advokat terhadap klien-klien mereka harus mencakup: (a) Memberi nasehat kepada para klien mengenai hak dan kewajiban hukum mereka dan mengenai fungsi dari sistem hukum sejauh bahwa hal itu relevan dengan berfungsinya sistem hukum dan sejauh bahwa hal itu berkaitan dengan hak dan kewajiban hukum para klien; (b) Membantu para klien dengan setiap cara yang tepat, dan mengambil tindakan hukum untuk melindungi kepentingannya; (c) Membantu para klien di depan pengadilan, majelis atau pejabat pemerintahan, di mana sesuai.
Para Advokat dalam melindungi hak klien-klien mereka dan dalam memajukan kepentingan keadilan, akan berusaha untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional dan setiap akan bertindak bebas dan tekun sesuai dengan hukum dan standar serta etika profesi hukum yang diakui; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 15. Para Advokat harus selalu menghormati dengan loyal kepentingan para klien. Jaminan-jaminan untuk berfungsinya para Advokat:
Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa para Advokat: (a) Dapat melaksanakan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi hambatan, gangguan atau campur tangan yang tidak selayaknya; (b) Dapat bepergian dan berkonsultasi dengan klien mereka secara bebas di negara mereka sendiri dan di luar negeri; (c) Tidak akan mengalami, atau diancam dengan penuntutan atau sanksi administratif, ekonomi atau lainnya untuk setiap tindakan yang diambil sesuai dengan kewajiban, standar dan etika profesional.
Apabila keselamatan para Advokat terancam sebagai akibat dari pelaksanaan fungsinya, mereka harus mendapat penjagaan secukupnya oleh para penguasa;
Para Advokat harus tidak diidentifikasi dengan klien atau perkara klien mereka sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi mereka;
Tidak ada pengadilan atau pejabat pemerintah di mana hak untuk memberi nasehat hukum di mana hak untuk memberi nasehat itu diakui di hadapannya yang akan menolak untuk mengakui hak seorang Advokat untuk hadir di hadapannya untuk kliennya kecuali kalau Advokat itu telah didiskualifikasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan sesuai dengan prinsip-prinsip ini;
Para Advokat harus menikmati kekebalan perdata dan pidana untuk pernyataan-pernyataan terkait yang dikemukakan dengan niat baik dalam pembelaan secara tertulis atau lisan atau dalam penampilan profesionalnya di depan pengadilan, majelis atau pejabat hukum atau pemerintahan lainnya;
Merupakan tugas dari para pejabat yang berwenang untuk memastikan akses para Advokat kepada informasi, arsip dan dokumen yang layak yang dimiliki atau dikuasai dalam waktu yang cukup untuk memungkinkan para Advokat, memberikan bantuan hukum yang efektif kepada kliennya. Akses tersebut harus diberikan sedini mungkin; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 22. Pemerintah-pemerintah harus mengakui dan menghormati bahwa semua komunikasi dan konsultasi antara para Advokat dan klien mereka dalam rangka hubungan profesi mereka bersifat rahasia; Kebebasan berekspresi dan berserikat:
Para Advokat seperti warga negara lainnya berhak atas kebebasan berekspresi, mempunyai kepercayaan, berserikat dan berkumpul. Secara khusus, mereka harus mempunyai hak untuk ikut serta dalam diskusi umum mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan hukum, pemerintahan dan keadilan dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan memasuki atau membentuk organisasi lokal, nasional atau internasional dan menghadiri rapat-rapatnya, tanpa mengalami pembatasan profesional dengan dalih tindakan mereka yang sah atau keanggotaan mereka dalam suatu organisasi yang sah. Dalam melaksanakan hak-hak ini, para Advokat akan selalu mengendalikan dirinya sesuai dengan hukum dan standar serta etika yang diakui mengenai profesi hukum; Perhimpunan profesional Advokat:
Para Advokat berhak untuk membentuk dan bergabung dengan himpunan profesional yang berdiri sendiri untuk mewakili kepentingan-kepentingannya, memajukan kelanjutan pendidikan dan latihan mereka dan melindungi integritas profesional mereka. Badan eksekutif dari perhimpunan profesi itu dipilih oleh para anggota;
Perhimpunan profesional Advokat akan bekerja sama dengan Pemerintah untuk memastikan bahwa setiap orang mempunyai akses yang efektif dan setara kepada pelayanan hukum dan bahwa para Advokat dapat, tanpa campur tangan yang tak semestinya, untuk memberi nasehat dan membantu klien mereka sesuai dengan hukum dan standar dan etika profesional yang diakui; Proses persidangan disiplin:
Kode prilaku profesional bagi para Advokat akan ditetapkan oleh profesi hukum melalui badan yang layak, atau dengan perundangan, sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan standar dan norma internasional yang diakui; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 27. Tuduhan atau keluhan yang diajukan terhadap para Advokat dalam kapasitas profesionalnya akan diproses dengan segera dan adil berdasarkan prosedur yang benar. Para Advokat mempunyai hak atas pemeriksaan yang adil, termasuk hak untuk dibantu oleh seorang Advokat yang dipilihnya;
Proses persidangan disiplin terhadap Advokat akan dibawa ke depan komite disiplin tidak memihak yang dibentuk oleh profesi hukum, di depan suatu kewenangan yang mandiri berdasarkan undang-undang, atau di depan suatu pengadilan, dan tunduk pada suatu tinjauan yudisial mandiri;
Semua proses persidangan disipliner akan ditentukan sesuai dengan kode prilaku profesional dan standar serta etika yang diakui lainnya dari profesi hukum dan dengan mengingat prinsip-prinsip ini; Ditilik dari keberadaan Advokat dimasa romawi kuno yang berfungsi sosial karena kepedulian para bangsawan terhadap nasib kaum papa, maka sifat berbudi luhur yang harus diteladani hingga kini, adalah sebagaimana dimanifestasikan dari pergerakan pemberi bantuan hukum kepada rakyat miskin yang kemudian dilegalisasikan ke dalam Undang-Undang dengan “mewajibkan Advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu” [Pasal 22 ayat (1)]. Dalam konteks ini relevan dikemukakan, bahwa para adavokat juga wajib : tunduk serta mematuhi kode etik Advokat yang sama yang dibuat oleh organisasi Advokat itu sendiri [vide Pasal 26 ayat (2)]; Kode etik Advokat adalah merupakan standar tingkah laku profesi yang menjadi parameter untuk mengukur dan menilai Advokat dalam perannya: menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya [Pasal 26 ayat (1)] hal ini juga berlaku bagi Advokat asing yang bekerja di indonesia (Pasal 24); Jika ada Advokat melangar kode etik, misalnya menelantarkan klien, berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya, ataupun bersikap, bertingkah laku, bertutur kata ataupun mengeluarkan peryataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum ataupun peraturan perUndang-undangan atau pengadilan, bahkan lebih luas lagi berbagi hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan atau harkat dan martabat profesinya dapat dikenai tindakan (Pasal 6 huruf a sampai dengan huruf d) selain itu Advokat juga tetap dapat sangsi hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perUndang-undangan atau perbuatan tercela (Pasal 6 huruf c); Ada 2 (dua) lembaga yang dapat dijadikan sarana untuk melindungi kehormatan profesi Advokat dan kepentingan masyarakat, khususnya para pencari keadilan atau pengguna jasa Advokat, yaitu:
wewenang untuk mengawasi dan (2) mengambil tindakan terhadap Advokat yang melanggar kode etik profesi, yakni:
komisi pengawas dan (2) dewan kehormatan; Komisi pengawas dibentuk dengan tujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundangan [Pasal 12 ayat (2)]; komisi pengawas menjalankan tugas pengawasan sehari- hari kepada para Advokat, susunan anggota komisi terdiri dari unsur:
Advokat senor, (2) para ahli atau akademisi dan (3) tokoh masyarakat; Dewan Kehormatan , sebagai lembaga independen dalam struktur organisasi Advokat, memiliki tugas dan wewenang:
menerima pengaduan;
memeriksa dan (3) mengadili para Advokat yang diadukan telah melanggar kode etik Advokat [Pasal 26 ayat (5)]; Susunan Dewan Kehormatan terdiri dari unsur Advokat sendiri [Pasal 27 ayat (3)], karena Advokat sendirilah yang dianggap paling memahami dunia profesi Advokat, hal itu sesuai pula dengan jiwa atau semangat kebebasan profesi, hanya saja untuk keperluan memeriksa dan mengadili Advokat, secara khusus dewan kehormatan akan membentuk Majelis Kehormatan , yang susunan anggotanya terdiri dari:
pakar di bidang hukum dan (2) tokoh masyarakat [Pasal 27 ayat (4)] agar dapat dijaga nilai-nilai objektivitas, kejujuran dan keadilan (fairness) serta transparansi maupun akuntabel; Dalam proses menggunakan wewenangnya tersebut, dewan kehormatan harus memperhatikan adanya ketentuan yang menunjukkan penghormatan bagi profesi Advokat yaitu adanya kesempatan bagi Advokat yang diadili oleh Dewan Kehormatan untuk membela diri, sebelum akhirnya Dewan Kehormatan akan menjatuhkan sanksi [Pasal 7 ayat (3)]; Sanksi yang dimiliki dan dapat dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan adalah hukuman yang dapat berupa:
teguran lisan, (2) teguran tertulis, (3) pemberhentian sementara 3 sampai 12 bulan, dan (4) pemberhentian tetap [Pasal 7 ayat (1)]; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Jadi hanya dewan kehormatan yang dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap, salinan putusan hukuman pemberhentian sementara tersebut disampaikan pula kepada Mahkamah Agung, akan tetapi apabila sangsinya berupa pemberhentian tetap, salinan putusannya selain disampaikan kepada Mahkamah Agung, juga disampaikan ke Pengadilan Tinggi dan lembaga penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan Pengadilan); [Sebagai catatan untuk melawan lupa, perlu diingat dan menjadi catatan sejarah perjuangan Advokat Indonesia dimasa mendatang, bahwa kini tidak ada lagi jaminan hukum bagi profesi Advokat, karena walaupun semula Undang-undang memberikan perlindungan berupa sanksi kepada setiap orang yang dengan sengaja menjalankan profesi Advokat dan bertindak seolah–olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang– undang ini , dipidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah (Pasal 31), akan tetapi kemudian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004 tgl 13-12-2004 , ketentuan dimaksud dinyatakan tidak berkekuatan hukum karena dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28F; Padahal sebenarnya dalam proses persidangannya, penulis sebagai salah satu wakil dari organisasi profesi telah menjelaskan dengan gamblang tentang maksud dan makna ketentuan tersebut diatur (lihat pertimbangan hukum putusan a quo )];
TIDAK SEPATUTNYA ADA TINDAKAN PEJABAT PEMERINTAH MAUPUN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENOLAK PERAN ADVOKAT DALAM MENJALANKAN PROFESINYA Menurut Ahli, sekalipun pada mulanya profesi Advokat dimarjinalkan oleh penguasa atau pemerintah waktu itu, sehingga para Advokat perlu berjuang sampai setidaknya 39 tahun baru mendapatkan pengakuan dari Negara dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, namun secara jujur, adil dan harus diterima pada kenyataannya, bahwa keberadaan dan peran profesi Advokat sangat diperlukan oleh semua kalangan baik warga Negara Indonesia, bahkan Negara atau pemerintah termasuk pejabatnya, dari Presiden, Menteri, Jenderal, Hakim, Jaksa, Polisi, pengusaha konglomerat sampai rakyat jelata, bahkan politikus maupun lembaga-lembaga negara ataupun lembaga swasta nasional maupun internasional, serta orang asing/WNA maupun perusahaan asing, saat ini banyak yang memerlukan jasa Advokat, terlepas dengan honorarium ataupun prodeo. Semua itu karena kebutuhan hidup dan tingkat kesadaran hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 mereka yang tinggi serta pemahaman tentang hak-haknya yang dilindungi oleh hukum karena pergaulan hidup dalam Negara hukum; Oleh karena itu Ahli berpendapat, dengan mengkaji permohonan Pemohon yang nyata dalam realitanya mengalami sendiri adanya sikap tindak atau tindakan pejabat pemerintah menolak kehadiran Advokat yang mendampingi kliennya dengan dasar adanya surat kuasa [kuasa lisan pun sebenarnya sah dan dibenarkan di mata hukum], adalah suatu hal yang sangat menyakitkan dan mencederai demokrasi dan melanggar hak asasi manusia serta merobek asas persamaan didepan hukum. Ketidakpahaman pejabat yang hanya mampu berpegang pada aturan yang tidak adil dan bahkan diskriminatif tersebut adalah sangat tidak mencerminkan bahwa pejabat pemerintah adalah abdi Negara yang bertugas melayani kepada masyarakat warga negara, dan atas pelayanannya pun mendapat gaji dari uang negara yang didapat dari rakyat yang antara lain adalah Advokat dan kliennya yang menghadap dan ditolak oleh pejabat pemerintah dimaksud; Pejabat maupun aturan yang melarang atau berakibat meniadakan peran profesi Advokat adalah sangat kejam dan tidak manusiawi yang cenderung arogan dan piawai menunjukan otoritas kekuasaanya semata, hal tersebut patut dipahami sebagai adanya rasa takut akan diketahui perbuatan yang tidak baik pada dirinya atau setidaknya terbayang rasa takut yang amat dalam yang ada pada diri pejabat pemerintah, karena tidak bisa berbuat lain selain harus mengikuti dan taat pada aturan hukum yang tentu dikuasai dan dipahami oleh Advokat yang menghadap didepannya. Pejabat yang menolak tersebut patut diduga takut diketahui adanya kecenderungan kebiasaan berbuat tidak baik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, dan lupa bahwa dirinya jika terkena atau mendapat atau terlibat masalah hukum pun akan minta atau setidaknya memerlukan bantuan atau peran Advokat untuk mendampingi atau mewakilinya; Sebagaimana telah dikemukakan ahli di atas, baik berdasarkan Undang- undang maupun prinsip-prinsip peran Advokat yang diakui secara universal, peran Advokat hanyalah memberi advise sesuai dengan hukum, tidak dapat menentukan kebijaksanaan, yang secara umum dapat dikatakan hanya bisa memohon atau mengajukan keberatan atau protes, itupun atas dasar apabila ada hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan hukum. Hal itu semua, semata Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 adalah supaya segala sesuatunya yang dihadapi adalah benar, sah serta sesuai dan secara atau menurut hukum, bukan menurut maunya sang pejabat/penguasa. Jadi singkatnya, peran Advokat adalah hanya sebagai penjaga hukum, penjaga konstitusi dan penjaga agar keadilan dapat tegak sekalipun langit akan runtuh; Karenanya tidak berlebihan apabila Ahli berpendapat, tidaklah berdasar pada rasa kemanusiaan yang beradab, transparansi, akuntabel dan asas kesetaraan maupun asas kesamaan di depan hukum, apabila seseorang yang mengalami masalah hukum pajak, dipanggil/diundang petugas/pejabat pajak, kemudian saat memenuhi panggilan/undangan didampingi dan/atau diwakili oleh Advokat, pejabat/petugas pajak menolak dan tidak mau menerima serta mengesampingkan peran dan fungsi profesi Advokat, baik dengan alasan formil karena adanya peraturan maupun Undang-undang atau Peraturan Menteri yang ditafsirkan menyimpang dari Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, perlunya Wajib Pajak memberikan Kuasa kepada seorang Kuasa untuk mewakili atau mendampingi dalam menghadapi atau menyelesaikan kasusnya; Maka menurut pendapat ahli, alasan adanya peraturan maupun Undang- undang yang melarang peran Advokat mendampingi dan/atau mewakili kliennya di depan pejabat/petugas dan/atau Kantor Pelayanan Pajak, selain melanggar Undang-Undang Advokat, adalah juga melanggar prinsip-prinsip peran Advokat yang telah disahkan PBB dan berlaku universal, serta melanggar hak asasi manusia [hak asasi diri Advokat maupun kliennya], karena terbukti sah bahwa Undang-undang yang dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yakni Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 ayat (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”, dan Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah dan dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 16 Oktober 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP) yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak menurut Pemohon berpotensi merugikan hak konstitusi Pemohon karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu hak atas pekerjaan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari Wajib Pajak;
Bahwa dalam kedudukannya sebagai Advokat, Pemohon merasa tidak dapat menjalankan pekerjaan, telah kehilangan hak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai penerima kuasa, karena adanya kewenangan mutlak dari Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan sebagai penerima kuasa;
Bahwa Pemohon menganggap berlakunya ketentuan a quo juga melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) dimana dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini (UU Advokat). Persyaratan sebagai Advokat telah dipenuhi oleh Pemohon; II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) dari Pemohon, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, Pemohon bertindak dalam kedudukannya sebagai seorang Advokat dan Pembayar Pajak yang menganggap berlakunya ketentuan a quo menimbulkan kerugian bagi Pemohon karena tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagai Kuasa Wajib Pajak dimana hal tersebut disebabkan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang mendelegasikan ketentuan mengenai persyaratan menjadi Kuasa Wajib Pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa menurut Pemerintah, tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara keberlakuan ketentuan a quo dengan kerugian yang didalilkan dialami oleh Pemohon, karena:
Bahwa dalam memahami ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dimana dalam Penjelasannya menyatakan bahwa: “Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak ….” Sehingga secara keseluruhan dapat diartikan bahwa UU KUP telah menetapkan bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah memahami masalah perpajakan;
Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon merupakan norma tambahan pasca perubahan UU KUP yang memuat pendelegasian pengaturan lebih lanjut secara teknis mengenai persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak yang sekaligus juga menegaskan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP masih memerlukan pengaturan lebih lanjut secara teknis; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 c. Bahwa berdasarkan pendelegasian tersebut, Menteri Keuangan kemudian menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/ 2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut PMK 229/2014).
Bahwa keberatan Pemohon atas berlakunya ketentuan a quo karena dalam praktek yang dialaminya, Pemohon ditolak menjadi Kuasa Wajib Pajak karena bukan Konsultan Pajak berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PMK 229/2014 dimana hal tersebut tidaklah secara langsung disebabkan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang hanya memuat norma pendelegasian saja.
Bahwa ketentuan-ketentuan dalam PMK 229/2014 semata-mata melaksanakan amanat Pasal 32 ayat (3) UU KUP yang menghendaki bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah mampu membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, sehingga tidak justru merugikan si Wajib Pajak itu sendiri. Oleh karena itu, muncullah open legal policy Pemerintah untuk mengatur bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah memahami masalah perpajakan dan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Bahwa permasalahan yang dikemukakan oleh Pemohon bukanlah isu konstitusionalitas melainkan isu penerapan norma dimana Pemohon sebagai seorang Advokat tidak dapat mewakili Wajib Pajak karena belum memenuhi persyaratan selaku Konsultan Pajak yang diatur lebih lanjut secara teknis dalam PMK 229/2014.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, berlakunya ketentuan a quo sama sekali tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi siapapun termasuk Pemohon, karena Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak memuat persyaratan yang membatasi seseorang untuk mendapat pekerjaan, melainkan hanya memuat norma pendelegasian saja. Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard/N.O. ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. LANDASAN FILOSOFIS PENGATURAN BAGI PENERIMA KUASA 1. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUD 1945, ditegaskan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang;
Bahwa sifat memaksa dari pelaksanaan pungutan pajak tersebut, dituangkan dalam undang-undang di bidang perpajakan, antara lain adanya kewajiban dari Wajib Pajak untuk:
Mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya [vide Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU KUP];
Menghitung dan membayar pajak terhutang [vide Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 10 UU KUP];
Melaporkan pembayaran pajak [vide Pasal 3 ayat (1) UU KUP];
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya juga akan dikenakan sanksi mulai dari sanksi adminitrasi [vide Pasal 13 ayat (2)] (3) dan (7) UU KUP] sampai dengan sanksi pidana [vide Pasal 38-41c UU KUP].
Bahwa selain bersifat memaksa, pelaksanaan pemungutan pajak juga bersifat mengedepankan prinsip keseimbangan, yakni pembayar pajak mendapat perlindungan hak-haknya melalui undang-undang juga; __ 4. Oleh karena itu di dalam undang-undang di bidang perpajakan, selain dibebani kewajiban, Wajib Pajak juga diberikan hak antara lain:
Menerima pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak (vide Pasal 11 UU KUP);
Menerima imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak [vide Pasal 11 ayat (3) UU KUP];
Mengajukan gugatan (vide Pasal 23 UU KUP);
Mengajukan keberatan dan banding atas surat ketetapan pajak (vide Pasal 25 UU KUP);
Mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan (vide Pasal 27 UU KUP).
Bahwa hukum pajak juga bersifat imperatif , yakni pelaksanaanya tidak dapat ditunda, misalnya pelaksanaan penagihan pajak tidak tertunda Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 meskipun ada gugatan, atau adanya pembatasan waktu dalam hal pengajuan keberatan atas surat ketetapan pajak [vide Pasal 25 ayat (3) UU KUP];
Bahwa dari beberapa karakteristik atas pelaksanaan pemungutan pajak tersebut di atas, dapat disimpulkan dalam pemenuhan kewajiban dan pelaksanaan hak dibidang perpajakan, Warga Negara dalam hal ini Wajib Pajak perlu diberikan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang hukum pajak, karena apabila tidak, akan dapat berakibat hukum sebagaimana telah disebutkan di atas;
Bahwa dalam rangka memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan, maka pembuat UU dalam hal ini UU KUP memandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai persyaratan/kriteria serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa yang akan mewakili Wajib Pajak, agar tidak merugikan Wajib Pajak;
Secara filosofis, pengaturan mengenai persyaratan/kriteria serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa yang akan mewakili seseorang di bidang tertentu hakekatnya agar penerima jasa dapat terlindungi hak-haknya. Hal ini juga tercermin dari berbagai ikatan profesi yang juga mewajibkan anggotanya untuk memiliki keahlian khusus;
Dengan demikian tidak berlebihan apabila terdapat pengaturan yang mewajibkan bagi Kuasa Wajib Pajak untuk memenuhi syarat tertentu; B. LANDASAN SOSIOLOGIS PENGATURAN BAGI PENERIMA KUASA __ 1. Bahwa berdasarkan pendapat Victor Thuronyi selaku Senior Councel Taxation IMF dan Frans Vanistendael selaku Head of European Tax Collage (Tax Law Design and Drafting,1996: Regulation of Tax Professionals), menyatakan bahwa sangat sulit untuk melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasihat perpajakan. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit untuk memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan tersebut. Dalam konteks ini diperlukan seorang penasihat perpajakan ( tax advisor) untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 menjadi Kuasa Wajib Pajak agar Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannnya dengan baik dan benar;
Dengan memberikan layanan konsultasi kepada Wajib Pajak agar pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan maka keberadaan tax advisor menjadi bagian penting dari kepentingan publik. Oleh karena itu Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael (1996) menyatakan negara memiliki kepentingan untuk memberikan perlindungan dan pengaturan atas keberadaan dan kegiatan tax advisor . Negara memiliki kewajiban untuk melindungi Wajib Pajak dari tax advisor yang tidak kompeten atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal ini, kepentingan negara untuk melindungi Wajib Pajak sama dengan perlindungan atas kepentingan publik lainnya, seperti contohnya perlindungan atas konsumen;
Dengan mempertimbangkan kepentingan negara dan publik sebagaimana dimaksud pada angka 2, Pemerintah dan DPR melalui Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi Kuasa Wajib Pajak dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaturan lebih lanjut dimaksud tentunya masih dalam koridor kepentingan negara untuk melindungi kepentingan Wajib Pajak, diantaranya untuk menentukan kualifikasi atau persyaratan yang diperlukan untuk menjadi kuasa sehingga setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak serta pengaturan lebih lanjut dalam rangka profesionalisme dan akuntabilitas Kuasa Wajib Pajak; C. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN UJI MATERIIL KETENTUAN PASAL 32 AYAT (3a) UU KUP TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 __ Sehubungan dengan dalil dan anggapan Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 1. Bahwa pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon selengkapnya menyatakan: Pasal 32 ayat (3a) UU KUP: “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau _berdasarkan peraturan Menteri Keuangan”; _ 2. Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon __ memberikan pendelegasian dalam Peraturan Menteri Keuangan __ untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak. Oleh karena itu Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (vide Pasal 2 ayat (1) PMK 229/2014);
Bahwa hierarki dan pendelegasian peraturan perundang-undangan diperlukan karena ketentuan yang lebih tinggi hanya mengatur ketentuan yang bersifat umum, sedangkan ketentuan yang bersifat teknis didelegasikan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian tersebut diatur dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang menyatakan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri , pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif;
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya, antara lain Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, tanggal 11 Maret 2010 dan Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, tanggal 19 Maret 2015, pernah memutus konstitusionalitas mengenai pendelegasian wewenang undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam beberapa putusannya tersebut Mahkamah Konstitusi, antara lain, mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk undang-undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, disamping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi __ (vide __ paragraf __ 3.15.1 Putusan Nomor 128/PUU- VII/2009, tanggal 11 Maret 2010 pada halaman 160);
Bahwa pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang dapat dibenarkan (konstitusional) apabila memenuhi syarat, yaitu delegasi kewenangan tersebut berasal dari undang-undang dan pengaturan dengan peraturan di bawah undang-undang tidak bersifat mutlak, melainkan hanya terbatas merinci dari hal-hal yang telah diatur oleh undang-undang __ (vide __ paragraf __ 3.14.2 __ Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, tanggal 19 Maret 2015 pada halaman 137);
Bahwa berdasarkan kewenangan tersebut, Menteri Keuangan menetapkan PMK 229/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa yang mengatur mengenai Wajib Pajak yang dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mana kuasa dimaksud meliputi Konsultan Pajak dan Karyawan Wajib Pajak [vide Pasal 2 ayat (4) PMK 229/2014];
Bahwa seorang kuasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
Memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (vide Pasal 4 PMK 229/2014).
Bahwa untuk menjadi kuasa dari Wajib Pajak, sangat wajar apabila dipersyaratkan Kuasa Wajib Pajak menguasai ketentuan antara lain peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang ditunjukkan dengan memiliki izin praktik konsultan pajak. Mengenai kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagai pejabat yang memberi izin praktek, hal itu logis dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan conflict of interest yang dikait-kaitkan dengan aspek pemeriksaan pajak (vide Pasal 5 ayat (1) PMK 229/2014);
Bahwa ketentuan a quo tidak hanya berlaku bagi Pemohon, namun berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, yakni seluruh Wajib Pajak yang menunjuk kuasa haruslah seorang yang memahami masalah perpajakan dan menguasai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan atau disebut dengan Konsultan Pajak;
Penguasaan atas hukum dan teknis perpajakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 PMK 229/2014 juga harus dipenuhi bukan hanya oleh Konsultan Pajak yang menjadi Kuasa Wajib Pajak namun juga bagi karyawan yang menjadi Kuasa Wajib Pajak. Bahwa Karyawan Wajib Pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, apabila memiliki:
sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevet pajak;
ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang- kurangnya tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau
sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak. [vide Pasal 5 ayat (2) PMK 229/2014] Dengan demikian, sangat jelas bahwa pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak untuk memiliki kredibilitas keilmuan perpajakan berlaku bagi siapa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 saja yang ingin menjadi Kuasa Wajib Pajak baik Konsultan maupun karyawan, yang dimaksudkan justru untuk menjaga kepentingan Wajib Pajak dengan benar;
Bahwa dengan menjalankan kewenangan tersebut, berarti Kementerian Keuangan telah melaksanakan asas umum pemerintahan yang baik yakni memberi kepastian hukum kepada Wajib Pajak;
Bahwa pengaturan persyaratan dalam ketentuan tersebut sama sekali tidak melanggar hak konstitusi Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat. Pengaturan persyaratan bagi Kuasa Wajib Pajak dalam ketentuan a quo hanyalah persyaratan teknis yang dimaksudkan agar apabila Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban dan melaksanakan haknya di bidang perpajakan diwakili oleh pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan , sehingga Wajib Pajak tidak dirugikan, mengingat segala tindakan penerima kuasa akibat hukumnya menjadi tanggung jawab Wajib Pajak yang bersangkutan;
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan, maksud dan tujuan pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut salah satu persyaratan untuk menjadai Kuasa Wajib Pajak yang telah dimuat secara umum dalam penjelasan Pasal 31 UU KUP. Dengan demikian sangat jelas bahwa pengaturan yang ditetapkan dalm PMK 229/2014 telah sejalan dengan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dan dimaksudkan sebagai salah satu wujud perlindungan kepada Wajib Pajak. Apabila tidak dipersyaratkan yang demikian, maka dikhawatirkan penerima kuasa sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang perpajakan, sehingga pada akhirnya yang dirugikan adalah Wajib Pajak;
Bahwa dapat Pemerintah sampaikan, ketentuan dalam PMK 229/2014 sebagai penjabaran dari Pasal 32 ayat (3) UU KUP memberi kesempatan yang sama kepada siapapun untuk dapat menjadi Konsultan Pajak asalkan telah memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan. Tidak ada pembatasan bagi siapapun untuk berprofesi sebagai Konsultan Pajak, tidak terkecuali pula Pemohon;
Bahwa apabila ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dinyatakan tidak berlaku sebagian atau seluruhnya, maka tujuan menambahkan ayat 3 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 (a) dalam Pasal 32 menjadi tidak tercapai, sehingga pelaksanaan kesempatan Wajib Pajak menunjuk Kuasa tidak mempunyai aturan teknis yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak; IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) ketentuan a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden melengkapi keterangan tertulisnya dengan keterangan tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2017 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. POKOK-POKOK KETERANGAN TAMBAHAN PRESIDEN A. Bahwa pada persidangan hari Senin tanggal 16 Oktober 2017, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah agar memberikan tambahan keterangan yang isinya menjelaskan Memorie van Toelichting (MvT) terkait dengan:
Pemberian kuasa yang merupakan hak individu baik bagi Pemberi maupun Penerima Kuasa, dalam perubahan UU KUP a quo pengaturannya didelegasikan kepada Menteri Keuangan.
Mengapa Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam ilmu perpajakan, hanya karena ia bukan karyawan Wajib Pajak atau bukan Konsultan Pajak, tidak dapat menjadi kuasa Wajib Pajak? Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 3. Mengapa seorang advokat yang memiliki sertifikat brevet a dan brevet b perpajakan tidak dapat serta merta menjadi Kuasa Wajib Pajak? 4. Perbandingan pengaturan terkait atribusi kewenangan pengaturan Kuasa Wajib Pajak dan syarat-syarat menjadi Kuasa Wajib Pajak antara di Indonesia dengan beberapa negara lain. B. Guna memenuhi hal sebagaimana tersebut di atas, pada bagian II Tambahan Keterangan Pemerintah ini akan menjelaskan pokok-pokok permasalahan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. II. TAMBAHAN KETERANGAN PEMERINTAH A. LANDASAN TEORITIS PENGATURAN PEMBERIAN KUASA 1. Bahwa Menurut M. Solly Lubis, yang dimaksud dengan peraturan negara ( staatsregelings ) adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam pengertian lembaga maupun dalam pengertian pejabat tertentu. Peraturan yang dimaksud meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Instruksi, Surat Edaran, Pengumuman, Surat Keputusan, dan lain-lain;
Bahwa sejalan dengan ajaran Rousseau, apabila dilihat dari kewenangan asalnya, pada hakikatnya pembentukan peraturan negara, yang mengikat warga negara dan penduduk secara umum, berasal dari fungsi legislatif;
Bahwa dalam perkembangan selanjutnya, ketika badan legislatif sering terlambat mengikuti perkembangan masyarakat, badan legislatif melimpahkan sebagian dari kewenangan legislatifnya kepada badan eksekutif, sehingga badan eksekutif ikut pula membentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan perkembangan revolusioner dari teori Trias Politica Montesquieu yang menempatkan pemerintah hanya sebagai pelaksana (perintah) undang-undang; B. PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DARI SISI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Bahwa pemberian kuasa dapat dilihat dari adanya pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dapat dilihat bahwa jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif juga diakui keberadaannya;
Bahwa pendelegasian kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dari lembaga legislatif (dalam hal ini DPR) kepada lembaga eksekutif (dalam hal ini Menteri), dimungkinkan dalam hal pendelegasian tersebut diperintahkan oleh undang-undang atau dibentuk berdasarkan kewenangan;
Bahwa UU No. 12 Tahun 2011 membatasi wilayah pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada Menteri dan/atau Kepala Lembaga yaitu hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif;
Bahwa ruang lingkup pengaturan yang dapat dilakukan oleh Menteri dan/atau Kepala Lembaga yang sifatnya teknis adminsitratif terdiri dari: ketentuan terkait pemenuhan syarat dan kriteria tertentu; pedoman pengelolaan; tata cara pelaksanaan suatu tindakan; standardisasi pelaksanaan suatu kegiatan, prosedur penyelenggaraan dan hal-hal lainnya yang bersifat teknis administratif;
Bahwa contoh pengaturan yang dilakukan oleh Menteri dan/atau Kepala lembaga sebagaimana berlaku di Indonesia di antaranya:
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.Hh.01.Ah.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata. Bahwa kemerdekaan berserikat merupakan hak asasi yang dijamin melalui Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan terkait hal tersebut melalui Pasal 28 UUD 1945 memerintahkan pengaturannya ke dalam bentuk undang-undang. Atas dasar hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2017, namun pengaturan khusus terkait persyaratan teknis adminsitratif yang harus dipenuhi seorang notaris untuk menjadi teman serikat dalam perserikatan dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 b. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Bahwa kebebasan hidup/kemerdekaan seseorang merupakan hak asasi yang dijamin berdasarkan Pasal 28, Pasal 28A, dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, namun pengaturan khusus terkait persyaratan teknis atas pelaksanaan asimilasi dan pembebasan bersyarat seorang narapidana yang sangat erat kaitannya dengan pemberian kembali hak asasi manusia berupa kebebasan atas pengekangan sementara waktu, dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri;
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum; Bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang dijamin berdasarkan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan terkait hal tersebut melalui Pasal 28 UUD 1945 memerintahkan pengaturannya ke dalam bentuk undang-undang. Atas dasar hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, namun pelaksanaan teknis penyelenggaraannya termasuk pengaturan hak, kewajiban, dan larangan warga negara dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian pendapat tersebut diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian;
Bahwa begitu juga dengan pengaturan terkait persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi kuasa Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Peratuan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa (selanjutnya disebut PMK 229/2014) masih termasuk ke dalam wilayah pengaturan administratif yang dapat dilakukan oleh Menteri; C. SUBSTANSI YANG DIATUR TERKAIT DENGAN PEMBERIAN KUASA KEPADA WAJIB PAJAK Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1. Bahwa aturan umum terkait pemberian kuasa perpajakan masih mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), misalnya:
ketentuan Pasal 1797 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apapun yang melampaui kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak;
ketentuan Pasal 1800 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak;
ketentuan Pasal 1801 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak; dan
ketentuan umum lainnya terkait kuasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Bahwa dalam pelaksanaan pemberian kuasa perpajakan walaupun secara umum mengacu pada ketentuan KUHPerdata, namun tentunya perlu diatur ketentuan khusus terkait persyaratan yang bersifat administratif yang harus dipenuhi oleh penerima kuasa, seperti sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK 229/2014 yakni:
menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhirnya belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 3. Bahwa pengaturan yang bersifat administratif tersebut merupakan kewenangan pengaturan yang dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan;
Bahwa pembuat Undang-undang menyadari bahwa memberikan kuasa merupakan hak privat yang dilindungi oleh konstitusi. Namun Negara oleh konstitusi juga diberi kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Wajib Pajak merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang juga memerlukan perlindungan dari Negara. Oleh karena itu tanpa bermaksud untuk membatasi profesi tertentu untuk mendapatkan hak-haknya secara ekonomis, pendelegasian kepada Menteri Keuangan dalam ketentuan a quo merupakan salah satu perwujudan dari kewajiban negara untuk melindungi bangsanya;
Bahwa perlindungan yang diberikan oleh Negara tersebut diimplementasikan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk pemberian persyaratan-persyaratan yang secara nalar objektif dapat dipenuhi oleh seluruh warga negara Indonesia;
Bahwa pembuat undang-undang juga menyadari dalam suatu perikatan dalam hal ini perjanjian pemberian kuasa juga terdapat perselisihan yang kadangkala penyelesaiannya/pelanggarannya diluar ranah hukum tetapi lebih kepada pelanggaran etika. Oleh karena itu, salah satu syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan agar dapat menjadi Kuasa Wajib Pajak harus tergabung dalam suatu asosiasi dengan tujuan agar mereka memiliki etika profesi;
Bahwa etika profesi merupakan bagian terpenting bagi suatu profesi tertentu karena didalamnya akan mengatur etika ketika yang bersangkutan menjalankan pekerjaannya, yang apabila etika tersebut dilanggar maka akan diberikan sanksi;
Bahwa etika profesi hanya ditemukan apabila suatu profesi tertentu menggabungkan diri dan membentuk suatu ikatan. Oleh karena itu, bagi yang bukan Karyawan Wajib Pajak dan bukan Konsultan Pajak dimana keduanya tidak memiliki induk organisasi maka tidak juga terikat dengan etika profesi. Apabila tidak diatur sedemikian rupa (oleh Menteri Keuangan), maka seandainya terdapat penyimpangan yang di luar ranah hukum oleh penerima kuasa, tidak ada sanksi yang dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 diberikan kepada penerima kuasa sehingga yang dirugikan adalah Wajib Pajak itu sendiri. Pelanggaran atas kode etik tersebut akan memberikan efek jera bagi pelanggarnya;
Bahwa dengan demikian, mengingat pentingnya pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak, maka Pemerintah berpendapat kecakapan/ kompetensi belum cukup tetapi juga harus ditambah dengan adanya etika profesi; D. TERKAIT DENGAN PENGATURAN BAGI KONSULTAN PAJAK DAN KARYAWAN WAJIB PAJAK SEBAGAI KUASA WAJIB PAJAK 1. Bahwa Konsultan Pajak merupakan orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang konsultan pajak terikat pada kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 23 PMK Nomor 111/2014 yakni:
memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;
mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;
menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan
memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama, alamat rumah dan kantor dengan melampirkan bukti perubahan dimaksud. Persyaratan-persyaratan tersebut gunanya adalah untuk menjamin kualitas, memberikan parameter standar praktek konsultan pajak yang baik dan benar, yang pada akhirnya akan memberikan perlindungan hukum bagi pengguna jasa konsultan tersebut yaitu Wajib Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 3. Bahwa seorang Konsultan Pajak juga harus menjadi anggota pada satu Asosiasi Konsultan Pajak. Asosiasi Konsultan Pajak ini menjalani fungsi kontrol/pengawasan atas pemenuhan kode etik dan standar profesi konsultan pajak. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik dan standar profesi konsultan pajak, maka Asosiasi Konsultan Pajak melakukan pemeriksaan dan penyelesaian atas dugaan pelanggaran tersebut;
Bahwa dalam hal penerima kuasa adalah karyawan Wajib Pajak, maka yang menjalankan fungsi kontrol terhadap karyawan Wajib Pajak yang menerima kuasa tersebut terletak pada Wajib Pajak itu sendiri. Wajib Pajak dalam kedudukannya sebagai pemberi kuasa tetap dapat mengendalikan karyawannya dalam kedudukan sebagai penerima kuasa. Karyawan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang kuasa tetap memiliki batasan-batasan kode etik dan aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan tersebut. Dalam hal karyawan penerima kuasa tersebut melakukan tindakan di luar batas kewenangan atau melakukan tindakan lainnya yang merugikan Wajib Pajak, maka Wajib Pajak itu sendiri secara langsung dapat mengontrol dan menindak tegas karyawan tersebut, misalnya dengan memberikan sanksi sesuai dengan norma yang berlaku pada perusahaan tersebut;
Bahwa pengaturan terkait pemberian kuasa perpajakan dapat diserahkan kepada karyawan Wajib Pajak, tanpa mengharusnya menjadi seorang konsultan pajak, adalah dengan pertimbangan bahwa karyawan Wajib Pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Wajib Pajak selaku Pemberi Kerja, yang paling mengetahui seluruh kondisi dan proses bisnis Wajib Pajak termasuk keadaan terkait pembukuan dan masalah perpajakan yang terdapat di perusahaan tersebut sehingga karyawan Wajib Pajak dimaksud merupakan pihak yang memiliki kualifikasi untuk mewakili Wajib Pajak;
Bahwa pembatasan terhadap pemberian kuasa yang hanya dapat diberikan kepada Konsultan Pajak dan karyawan Wajib Pajak semata- mata bertujuan untuk melindungi kepentingan Wajib Pajak. Apabila kuasa untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat diberikan kepada orang lain (bukan karyawan Wajib Pajak) dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 juga bukan Konsultan Wajib Pajak, maka pelaksanaan hal tersebut sangat rentan menimbulkan akibat-akibat yang merugikan Wajib Pajak, karena tidak adanya fungsi kontrol atau pihak/lembaga yang dapat mengendalikan dan mengawasi orang-orang tersebut;
Bahwa apabila orang lain (bukan karyawan Wajib Pajak) dan juga bukan Konsultan Wajib Pajak, diperbolehkan menjadi kuasa perpajakan hanya karena memiliki sertifikat brevet di bidang perpajakan yang dapat diperoleh dengan mudah pada lembaga pendidikan kursus brevet, maka di kemudian hari sangat rentan timbul hal-hal yang dapat merugikan Wajib Pajak, apalagi dengan tidak adanya fungsi kontrol untuk memberikan sanksi berupa teguran atau mencabut ijin praktik atas kejadian tersebut, sehingga untuk selanjutnya sangat rentan terulang kembali kejadian yang sama untuk Wajib Pajak yang berbeda; E. TERKAIT DENGAN PENGATURAN BAGI ADVOKAT SEBAGAI KUASA WAJIB PAJAK 1. Bahwa terkait dengan advokat sebagai kuasa wajib pajak, secara umum dapat disampaikan bahwa pengaturan terhadap profesi advokat dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Undang-Undang Advokat);
Bahwa advokat merupakan orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan ketentuan dalam undang-undang advokat (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Advokat);
Bahwa ruang lingkup atau cakupan atas jasa hukum yang dapat diberikan oleh seorang Advokat adalah berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (vide Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Advokat);
Bahwa terdapat perbedaan latar belakang keilmuan yang harus dipenuhi antara Konsultan Pajak dengan Advokat. Untuk dapat diangkat sebagai Advokat harus berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum (vide Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Advokat); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 5. Bahwa perbedaan latar belakang keilmuan tersebut juga mengakibatkan adanya perbedaan objek pemberian jasa yang dilakukan antara profesi Advokat dengan profesi Konsultan Pajak. Advokat dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan jasa hukum, sedangkan Konsultan Pajak dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan berupa konsultasi perpajakan dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya yang aspeknya bukan hanya peraturan atau hukum terkait pajak, namun juga ada aspek keilmuan lain seperti misalnya akuntansi;
Bahwa perbedaan objek pemberian jasa dengan latar belakang keilmuan yang berbeda antara Konsultan Pajak dengan Advokat, menjadikan peranan kedua profesi tersebut tidak dapat saling menggantikan. Profesi Konsultan Pajak tidak dapat menggantikan peranan Advokat sebagai kuasa kliennya dalam beracara di Pengadilan, begitu juga dengan profesi Konsultan Pajak yang tidak dapat digantikan oleh Advokat dalam memberikan bantuan konsultasi dan sebagai penerima kuasa untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Hal ini tentunya berbeda, tetapi dimungkinkan serta lazim ditemui, bagi mereka yang dapat memenuhi persyaratan di kedua profesi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menjalankan praktek sebagai advokat maupun sebagai konsultan pajak;
Bahwa peran adanya organisasi yang menjaga kualitas sebuah profesi adalah sesuatu hal yang sangat penting. Kualitas disini bukan hanya dari aspek keilmuan, namun juga dari aspek etika. Nama baik profesi adalah nilai jual dari sebuah profesi. Dapat dibayangkan bilamana sebuah profesi, baik advokat, konsultan pajak dan atau profesi lainnya misalnya dokter, tidak memiliki organisasi profesi yang dapat menegakkan nilai etika kepada anggotanya dalam berpraktek dengan cara memberikan resiko dalam bentuk hukuman berupa pencabutan izin misalnya. Maka sangat dimungkinkan akan muncul oknum-oknum pencari keuntungan yang rela melakukan apa saja, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, demi keuntungan pribadi. Hal tersebut dapat memupuskan kepercayaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 masyarakat bukan hanya kepada oknumnya, namun juga kepada keseluruhan orang yang berprofesi tersebut;
Bahwa pembatasan, berupa kualifikasi keilmuan dan juga keharusan menjadi anggota pada suatu organisasi profesi, juga terjadi pada profesi advokat, dimana hanya orang yang merupakan Sarjana Hukum, telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian profesi advokat serta menjadi anggota organisasi advokatlah yang dapat berprofesi sebagai Advokat, sehingga bisa menjadi kuasa hukum dalam beracara di dalam maupun di luar pengadilan, sementara orang yang misalnya hanya menguasai ilmu hukum, namun tidak mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, tidak lulus ujian profesi advokat dan/atau tidak menjadi anggota organisasi advokat tentunya tidak diizinkan untuk mewakili seseorang di hadapan persidangan. Namun mengapa adanya ketentuan tersebut tidak menjadi terjadinya pelanggaran atas hak konstitusional warga negara? Seharusnya logika yang sama pun bisa diterapkan pada profesi konsultan pajak yang menjadi Kuasa Wajib Pajak;
Bahwa berlandaskan pemikiran yang sama, sesungguhnya adanya pembatasan dalam memasuki sebuah profesi, tidak menyebabkan pelanggaran hak konstitusional warga negara, karena pada hakikatnya setiap warga negara diberi kesempatan yang sama untuk berprofesi tertentu selama warga negara tersebut mau dan mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan;
Bahwa dengan demikian, perlu juga kita sadari bersama bahwa sebenarnya tidak ada pembatasan kepada seorang advokat untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, yang diperlukan oleh seorang advokat untuk juga bisa menjadi Kuasa Wajib Pajak adalah memenuhi segala persyaratan menjadi konsultan pajak sebagaimana dijelaskan di atas. Secara a contrario , sebenarnya tidak ada pembatasan bagi konsultan pajak untuk dapat menjadi advokat selama konsultan pajak yang bersangkutan telah memenuhi semua syarat-syarat untuk menjadi advokat sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang itu; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 F. TUJUAN PENDELEGASIAN PENGATURAN PEMBERIAN KUASA KEPADA MENTERI KEUANGAN 1. Bahwa sejak reformasi perpajakan tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia didasarkan atas sistem self assessment , dimana sistem tersebut memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan;
Keberhasilan sistem self assessment sangat bergantung pada kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan pengawasan yang optimal dari aparat pajak. Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri, dan pajak yang dibayarkan tersebut dianggap benar sampai pemerintah dapat membuktikan sebaliknya;
Melalui sistem self assessment, Wajib Pajak ditempatkan sebagai pihak yang secara aktif melakukan berbagai kewajiban perpajakannya sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan, dengan menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memberikan pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang- undangan perpajakan;
Sistem self assessment dimaksud, selanjutnya dirumuskan dalam beberapa ketentuan perpajakan antara lain dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU KUP:
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi (Revisi 2016). ...
Relevan terhadap
Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap o rang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indo nesia. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2016 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2016 MENTERI KEUANGAN REPUB LIK INDONESIA, ttd. SRI MU LYANI INDRAWATI DIREKTUR JENDERA L PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KE MENTERIAN HUKU M DAN HAK ASASI MANUSIA REPUB LIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUB LIK INDONESIA TAHUN 2016 NO MOR 2143 LA MPI RAN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUB LIK INDONESIA NO MOR 223/PMK.05/2016 TENT ANG PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI PE MERINTAHAN BERBASIS AKRUA L NO MOR 06 TENTANG AKUNTANSI INVESTASI (REVIS! 2016) PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL NOMOR 06 TENTANG AKUNTANSI INVESTASI (REVIS! 2016) STANDAR.AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL PERNYATAAN NO 06 AKUNTANSI INVESTASI (REVISI 2016) DAFTAR ISI Paragraf PENDAHU LUAN 1-5 TU JUAN 1 RUANG LINGKUP DEFINISI 6 BENTUK INVESTASI 7-8 K LASIFIKASI INVESTASI 9-18 PENGAKUAN INVESTASI 19- 21 PENGUKURAN INVESTASI 2 2-38 METODE AKUNTANSI INVESTASI 39-41 PENGAKUAN HASI L INVESTASI 4 2-51 PE LEPASAN INVESTASI 5 2-53 PENGUNGKAPAN 54 TANGGA L EFEKTIF 55 1 PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN 2 BERBASIS AKRUAL 3 NOMOR 06 4 AKUNTANSI INVESTASI 5 (REVIS! 2016) 6 Paragraf-paragraf yang ditulis dengan huruf tebal dan miring 7 adalah paragraf standar, yang harus dibaca dalam konteks 8 paragraf-paragraf penjelasan yang ditulis dengan huruf biasa dan 9 Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan. 10 PENDAHULUAN 11 TUJUAN 12 1. Tujuan Pernyataan Standar ini adalah mengatur perlakuan 13 akuntansi untuk investasi dan pengungkapan informasi penting lainnya 14 yang harus disajikan dalam lapo ran keuangan. 15 RUANG LINGKUP 16 2. Pernyataan Standar ini mengatur pengakuan, pengukuran, 17 penyajian dan pengungkapan investasi pemerintah dalam laporan 18 keuangan untuk tujuan umum. 19 3. Pernyataan Standar ini berlaku untuk entitas pelapo ran dalam 20 menyusun lapo ran keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan 21 lapo ran keuangan ko nso lidasian. Pernyataan Standar ini tidak berlaku 22 untuk perusahaan negara/ daerah. 23 4. Pernyataan Standar ini mengatur perlakuan akuntansi 24 investasi jangka pendek maupun investasi jangka panjang yang 25 meliputi pengakuan, klasifikasi, pengukuran dan metode 26 akuntansi investasi, serta penyajian dan pengungkapannya pada 27 laporan keuangan. 28 5. Pernyataan Standar ini tidak mengatur: 29 a: Penempatan uang yang termasuk dalam lingkup setara kas; 3Q b. Pengaturan bersama Uoint arrangements) yang mencakup o peras1 31 bersama Uoint operation) atau ventura bersama Uoint venture); 32 c. Aset tetap yang dikerjasamakan; dan · 33 d. Pro perti investasi. - 9 - 1 Akuntansi untuk pengaturan bersama Uoint arrangements) dan aset tetap 2 yang dikerjasamakan serta pro perti investasi diatur dalam pernyataan 3 standar akuntansi pemerintahan tersendiri. 4 DEFINISI 5 6. Berikut ini adalah pengertian istilah-istilah yang 6 digunakan dalam Pernyataan Standar ini: 7 Biaya perolehan investasi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan 8 investor (dhi. Pemerintah) berupa kas atau setara kas yang 9 dibayarkan atau nilai wajar suatu aset yang diserahkan 10 berdasarkan pertimbangan tertentu dalam perolehan suatu aset 11 . investasi pada saat perolehannya. 12 Investasi adalah aset yang dimaksudkan untuk memperoleh 13 manf aat ekonomi seperti bunga, dividen dan royalti, dan/atau 14 manf aat sosial, sehingga dapat meningkatkan kemampuan 15 pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. 16 Investasi jangka pendek adalah investasi yang dapat segera 17 dicairkan dan dimaksudkan untuk dimiliki selama 12 (dua belas) 18 bulan atau kurang. 19 Investasi jangka panjang adalah investasi yang dimaksudkan 20 untuk dimiliki lebih dari 12 (dua belas) bulan. 21 Investasi nonpermanen adalah investasi jangka panjang yang tidak 22 termasuk dalam investasi permanen, dimaksudkan untuk dimiliki 23 secara tidak berkelanjutan. 24 Investasi permanen adalah investasi jangka panjang yang 25 dimaksudkan untuk dimiliki secara berkelanjutan. 26 Manfaat sosial adalah manf aat yang tidak dapat diukur langsung 27 dengan satuan uang, dapat berupa barang, jasa dan manf aat lain, 28 yang berpengaruh pada peningkatan pelayanan pemerintah 29 misalnya dalam bidang kesehatan, pendidikan, perumahan dan 30 transportasi, pada masyarakat luas maupun golongan masyµrakat 31 tertentu dalam rangka pencapaian tujuan kebijakan sosial 32 pemerintah. 33 Metode biaya adalah suatu metode akuntansi yang mencatat nilai 34 investasi berdasarkan biaya perolehan. -10 - 1 Metode ekuitas adalah suatu metode akuntansi yang mencatat nilai 2 investasi awal berdasarkan biaya perolehan. Nilai investasi 3 tersebut kemudian disesuaikan dengan perubahan bagian 4 kepemilikan investor atas kekayaan bersih/ekuitas dari badan 5 usaha penerima investasi (investee) yang terjadi setelah perolehan 6 awal investasi. 7 Nilai nominal adalah nilai yang tertera dalam surat br; ; w harga 8 seperti nilai yang tertera dalam lembar saham dan obligasi. 9 Nilai pasar adalah jumlah yang dapat diperoleh dari penjualan 10 suatu investasi dalam pasar yang aktif antara pihak-pihak yang 11 independen. 12 Nilai wajar adalah nilai di mana suatu aset dapat dipertukarkan 13 atau suatu kewajiban diselesaikan antara pihak yang memahami 14 dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arm's length 15 transaction) 16 Perusahaan negara/daerah adalah badan usaha yang seluruh atau 17 sebagian modalnya dimiliki oleh pemerintah pusat/daerah. 18 BENTUK INVESTASI · 19 7. Pemerintah melakukan investasi dimaksudkan antma lain 20 untuk mempero leh pengendalian atas suatu badan usaha dalam rangka 21 melaksanakan kebijakan fiskal/publik, untuk mempero leh manfaat 22 eko no mi seperti bunga, dividen dan ro yal ti, dan/atau manfaat so sial 23 dalam jangka panjang atau memanfaatkan dana untuk investasi jangka 24 pendek dalam rangka manajemen kas. 25 8 . Terdapat beberapa jenis investasi yang dapat dibuktikan dengan 26 sertifikat atau do kumen lain yang dipersamakan. Hakikat suatu investasi 27 dapat berupa pembelian surat utang baik jangka pendek maupun jangka 28 panjang, instrumen ekuitas dan penyertaan saham/ kepemilikan. 29 KLASIFIKASI INVESTASI 30 9. Investasi pemerintah diklasif ikasi menjadi dua yaitu 31 investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang. Investasi 32 jangka pendek merupakan kelompok aset lancar sedangkan 33 investasi jangka panjang merupakan kelompok aset nonlancar. 34 10. Investasi jangka pendek harus memenuhi karakteristik se bagai 35 berikut: 1 a. Dapat segera diperjualbelikan secara be bas/ dicairkan; 2 b. Ditujukan dalam rangka manajemen kas, artinya pemerintah dapat 3 menjual investasi tersebut apabila timbul kebutuhan kas dan membeli 4 investasi tersebut apabila berlebih kas, untuk meningkatkan 5 produktivitas aset; dan 6 c. Berisiko ren dah. 7 11. Jenis investasi yang ti dak termasuk dalam kelo mpo k investasi 8 jangka pendek antara lain adalah: 9 a. Investasi yang dibeli pemerintah dalam rangka mengendalikan suatu 10 ba dan usaha, misalnya pembelian surat berharga saham untuk 11 menambah kepemilikan modal saham pa da suatu ba dan usaha; 12 b. Investasi yang dibeli pemerintah untuk tujuan menjaga hubungan 13 kelembagaan yang baik dengan pihak lain, misalnya pembelian surat 14 berharga yang dikeluarkan o leh suatu lembaga baik dalam negeri 15 maupun luar negeri untuk menunjukkan partisipasi pemerintah; atau 16 c. Investasi yang ti dak dimaksu dkan untuk dicairkan dalam memenuhi 17 kebutuhan kas jangka pen dek. 18 12. Investasi yang dapat digo lo ngkan sebagai investasi jangka 19 pen dek, antara lain: 20 a. Depo sito berjangka waktu lebih dari tiga sampai dengan dua belas 21 bulan dan/atau dapat diperpanjang secara o to matis (revolving 22 deposits); 23 b. Surat Utang Negara (SUN) jangka· pendek dan Sertifikat Bank 24 In do nesia (SBI). 25 c. Saham dipero leh dengan tujuan dijual kembali dalam tempo 12 bulan 26 atau kurang setelah tanggal neraca; 27 d. Reksa dana; 28 13. lnvestasi jangka panjang dibagi menurut maksud 29 berinvestasi, yaitu permanen dan nonpermanen. lnvestasi Permanen 30 adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki 31 secara berkelanjutan, sedangkan lnvestasi Nonpermanen adalah 32 investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara 33 tidak berkelanjutan. 34 14. Pengertian istilah berkelanjutan a dalah investasi yang 35 dimaksu dkan untuk dimiliki terus menerus tanpa a da niat untuk 36 memperjualbelikan atau melepas investasi. Se dangkan pengertian istilah 37 ti dak berkelanjutan a dalah kepemilikan investasi yang berjangka waktu 1 lebih dari 1 2 (dua belas) bulan, dimaksudkan untuk tidak dimiliki terus 2 menerus atau ada niat untuk mem perjualbelikan atau menarik kembali. 3 15. Investasi permanen yang dilakukan o leh pemerintah adalah 4 investasi yang tidak dimaksudkan untuk di perjualbelikan, teta pi untuk 5 mendapatkan dividen dan/atau pengaruh yang signifikan dalam jangka 6 panjang dan/atau menjaga hubungan kelembagaan. Investasi permanen 7 dapat beru pa: 8 a. Penyertaan Mo dal Pemerintah pada perusahaan negara/ daerah, badan 9 internasio nal dan badan usaha lain yang bukan milik negara; 10 b. Investasi permanen lainnya yang dimiliki o leh pemerintah untuk 11 menghasilkan penda patan atau meningkatkan pelayanan ke pada 12 masyarakat. 13 16. Investasi no npermanen yang dilakukan o leh pemerintah, antara 14 lain beru pa: 15 a. Obligasi atau surat utang jangka pailJang yang dimaksudkan untuk 16 pimiliki sampai dengan tanggal jatuh tempo nya o leh pemerintah; 17 b. Penanaman mo dal dalam pro yek pembangunan yang dapat dialihkan 18 ke pada pihak ketiga; 19 c. Dana yang disisihkan pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat 20 se perti bantuan mo dal kerja secara bergulir kepada kelo m po k 21 masyarakat; 22 d. Investasi no n permanen lainnya. 23 1 7. Penyertaan mo dal pemerintah dapat berupa surat berharga 24 (saham) pada suatu persero an terbatas atau no n surat berharga. 25 Penyertaan mo dal pemerintah berupa no n surat berharga yaitu 26 kepemilikan mo dal pada perusahaan bukan persero an terbatas atau 27 lembaga/ o rganisasi tertentu. 28 18 . Investasi permanen lainnya meru pakan bentuk investasi 29 permanen yang tidak da pat diklasifikasikan dalam penyertaan mo dal 30 pemerintah pada perusahaan negara/ daerah, badan internasio nal dan 31 badan usaha lainnya yang bukan milik negara misalnya properti investasi 32 yang tidak tercakup dalam pernyataan standar akuntansi pemerintahan 33 lnl. 34 PENGAKUAN INVESTASI 35 19. Pengeluaran kas untuk memperoleh investasi dan/atau 36 konversi aset untuk memperoleh investasi, dan penerimaan hibah 1 dalam bentuk investasi dapat diakui sebagai investasi · apabila 2 memenuhi kriteria sebagai berikut: 3 a. Kemungkinan manfaat ekonomi dan manfaat sosial atau jasa 4 potensial di masa yang akan datang atas suatu investasi tersebut 5 dapat diperoleh pemerintah; 6 b. Nilai perolehan atau nilai wajar investasi dapat diukur secara andal 7 (reliable). 8 20. Dalam menentukan apakah suatu pengeluaran kas untuk 9 mempero leh investasi dan/atau ko nversi aset untuk mempero leh 10 investasi, dan penerimaan hi bah dalam bentuk investasi memenuhi 11 kriteria pengakuan investasi, entitas perlu mengkaji tingkat kepastian 12 mengalirnya manfaat eko no mi dan manfaat so sial atau jasa po tensial di 13 masa yang akan datang berdasarkan bukti - bukti yang tersedia pada saat 14 . pengakuan awal. Kepastian bahwa manfaat eko no mi yang akan datang 15 atau jasa po tensial yang akan dipero leh, memerlukan suatu keyakinan 16 (assurance) bahwa suatu entitas akan mempero leh manfaat dari aset 17 tersebut dan akan menanggung risiko yang mungkin timbul. 18 21. Kriteria pengakuan investasi sebagaimana dinyatakan pada 19 paragraf 19 butir b, biasanya dapat dipenuhi karena adanya transaksi 20 pertukaran atau pembelian yang didukung dengan bukti yang 21 menyatakan/ mengidentifikasikan biaya pero lehannya. Dalam hal 22 tertentu, suatu investasi mungkin dipero leh bukan berdasarkan biaya 23 pero lehannya, atau berdasarkan nilai wajar pada tanggal per.olehan. 24 Dalam kasus yang demikian, penggunaan nilai estimasi yang layak dapat 25 digunakan. 26 PENGUKURAN INVESTASI 27 22. Untuk beberapa jenis investasi, terdapat pasar aktif yang 28 dapat membentuk nilai pasar, dalam hal investasi yang demikian, 29 nilai pasar dipergunakan sebagai dasar penerapan nilai wajar. 30 Untuk investasi yang tidak memiliki pasar aktif dapat 31 dipergunakan nilai nominal, nilai tercatat atau nilai wajar 32 lainnya. 33 23. Investasi jangka pendek dalam bentuk surat berharga, 34 misalnya saham dan obligasi jangka pendek (ef ek), dicatat sebesar 35 biaya perolehan. Biaya perolehan investasi meliputi harga 36 transaksi i ^n vestasi itu sendiri ditambah komisi perantara jual beli, 1 jasa bank, dan biaya lainnya yang timbul dalam rangka perolehan 2 tersebut. 3 24. Apabila investasi dalam bentuk surat berharga diperoleh 4 tanpa biaya perolehan, maka investasi dinilai berdasarkan nilai 5 wajar investasi pada tanggal perolehannya yaitu sebesar harga 6 pasar. Apabila tidak ada nilai wajar, maka investasi dinilai 7 berdasarkan nilai wajar aset lain yang diserahkan untuk 8 memperoleh investasi tersebut. 9 25. Investasi jangka pendek dalam bentuk non saham, 1 O misalnya dalam bentuk deposito jangka pendek dicatat sebesar 11 nilai nominal deposito tersebut. 12 26. Investasi jangka panjang yang bersif at permanen misalnya 13 penyertaan modal pemerintah, dicatat sebesar biaya perolehannya 14 meliputi harga transaksi investasi itu sendiri ditambah biaya lain 15 yang timbul dalam rangka perolehan investasi tersebut. 16 2 7. Investasi nonpermanen dalam bentuk pembelian obligasi 17 jangka panjang dan investasi yang dimaksudkan tidak untuk 18 dimiliki berkelanjutan, dinilai sebesar nilai perolehannya. 19 28 . Investasi nonpermanen yang dimaksudkan untuk 20 penyehatan/penyelamatan perekonomian, dinilai sebesar nilai 21 bersih yang dapat direalisasikan. 22 29. Investasi nonpermanen untuk penyehatan/ penyelamatan 23 perekonomian misalnya dana talangan dalam rangka penyehatan 24 perbankan. 25 30. Investasi nonpermanen dalam bentuk penanaman modal di 26 proyek-proyek pembangunan pemerintah dinilai sebesar biaya 27 pembangunan termasuk biaya yang dikeluarkan untuk 28 perencanaan dan biaya lain yang dikeluarkan dalam rangka 29 pen ye lesaian proyek sampai proyek tersebut diserahkan ke pihak 30 ketiga. 31 31. Investasi nonpermanen dicatat sebesar nilai bersih yang 32 dapat direalisasikan, jika dan hanya jika investasi tersebut dalam 33 rangka kebijakan nasional yang akan dilepas/dijual atau berupa 34 investasi dalam bentuk tagihan. 35 3 2. Dalam hal investasi dalam rangka kebijakan nasional yang akan 36 dilepas/ dijual, nilai investasi dicatat sebesar nilai pelepasan/ penjualan 37 dikurangi dengan biaya pelepasan. Dalam hal investasi berupa tagihan, 1 nilai investasi dicatat sebesar nilai investasi dikurangi penyisihan tak 2 tertagih. 3 33. Apabila investasi jangka panjang diperoleh dari 4 pertukaran aset pemerintah, maka nilai investasi diakui sebesar 5 nilai wajar aset yang diperoleh. Jika nilai wajar aset yang 6 diperoleh tidak tersedia, nilai investasi diakui sebesar nilai wajar 7 aset yang diserahkan atau nilai buku aset yang diserahkan apabila 8 tidak diketahui nilai wajarnya. 9 34. Investasi dapat dipero leh melalui pertukaran dengan aset 10 no nmo neter atau ko mbinasi aset mo neter dan aset no nmo neter. 11 35. Nilai perolehan investasi dalam valuta asing yang dibayar 12 dengan mata uang asing yang sama harus dinyatakan dalam 13 rupiah dengan menggunakan nilai tukar (kurs tengah bank ¡entral) 14 yang berlaku pada tanggal transaksi. 15 36. Diskonto atau premium pada pembelian investasi 16 diamortisasi selama periode dari pembelian sampai saat jatuh 17 tempo sehingga hasil yang konstan diperoleh dari investasi 18 tersebut. 19 3 7. Disko nto atau premium merupakan penambahan atau 20 pengurangan dari nilai tercatat (carrying value) investasi tersebut. 21 Amo rtisasi disko nto atau premium akan mengurangi disko nto atau 22 premium. Amo rtisasi disko nto atau premium akan diakui sebagai 23 pengurang atau penambah pendapatan bunga dalam lapo ran o perasio nal. 24 Pen dapatan bunga L RA ti dak dipengaruhi o leh amo rtisasi disko nto atau 25 premium. 26 38 . Jika investasi pemerintah yang dicatat dengan nilai no minal 27 atau biaya pero lehan mengalami penurunan nilai, maka penurunannya 28 harus diungkapkan dalam lapo ran keuangan. Penurunan nilai terjadi jika 29 nilai tercatat investasi lebih besar dibandingkan dengan nilai wajar 30 investasi tersebut. 31 METODE AKUNTANSI INVESTASI 32 39. Akuntansi investasi permanen pemerintah dilakukan 33 dengan dua metode yaitu: 34 a. Metode biaya 35 Investasi dicatat sebesar biaya perolehan. Penghasilan atas 36 · investasi tersebut diakui sebesar bagian hasil yang diterima 1 dan tidak mempengaruhi besarnya investasi pada badan 2 usahajbadan hukum yang terkait. 3 b. Metode ekuitas 4 Pengakuan awal aset investasi dicatat sebesar biaya perolehan 5 dan ditambah bagian laba atau dikurangi bagian rugi 6 pemerintah setelah tanggal perolehan. Bagian laba pemerintah 7 dicatat sebagai pendapatan hasil investasi pada laporan 8 operasional dan menambah nilai investasi pemerintah. 9 Dividen tunai pada saat diumumkan dalam RUPS diakui 1 O sebagai piutang dividen dan pengurang investasi pemerintah. 11 Dividen tunai yang telah diterima oleh pemerintah akan 12 mengurangi piutang dividen. Penerimaan dividen tunai tersebut 13 akan dicatat sebagai pendapatan hasil investasi dalam laporan 14 realisasi anggaran. 15 Penyesuaian terhadap nilai investasi juga diperlukan akibat 16 perubahan ekuitas badan usaha penerima investasi (investee), 17 misalnya adanya perubahan yang timbul akibat pengaruh 18 valuta asing serta revaluasi aset tetap. Dampak penyesuaian 19 tersebut akan diakui sebagai penambah atau pengurang ekuitas 20 pemerintah. 21 40. Penggunaan metode pada paragraf 39 didasarkan pada 22 kriteria berikut: 23 a. Kepemilikan kurang dari 20% menggunakan metode biaya; 24 b. Kepemilikan 20% sampai dengan 50%, atau kepemilikan kurang 25 dari 20% tetapi memiliki pengaruh yang signif ikan 26 menggunakan metode ekuitas; 27 c. Kepemilikan lebih dari 50% menggunakan metode ekuitas; 28 41. Dalam ko ndisi tertentu, kriteria besarnya persentase 29 kepemilikan saham bukan merupakan fakto r yang menentukan dalam 30 pemilihan meto de akuntansi investasi, tetapi yang lebih menentukan 31 adalah tingkat pengaruh (the degree of influence) atau pengendalian 32 terhadap badan usaha penerima investasi (investee). Ciri - ciri adanya 33 pengaruh signifikan atau pengendalian pada badan usaha penerima 34 investasi (investee), antara lain: 35 a. Kemampuan mempengaruhi ko mpo sisi dewan ko misaris; 36 b. Kemampuan untuk menunjuk atau mengganti direksi; 1 c. Kemampuan untuk mengendalikan mayo ritas suara dalam rapat 2 umum pemegang saham (RUPS). 3 PENGAKUAN HASIL INVESTASI 4 4 2. Hasil investasi yang diperoleh dari investasi jangka 5 pendek, antara lain berupa bunga deposito dan bunga obligasi, 6 yang telah menjadi hak pemerintah diakui sebagai piutang hasil 7 investasi pada neraca dan pendapatan hasil investasi pada laporan 8 operasional. Penerimaan hasil investasi akan diakui sebagai 9 pengurang piutang hasil investasi pada saat kas diterima. Hasil 1 O investasi yang diterima tunai akan diakui sebagai pendapatan 11 hasil investasi pada laporan realisasi anggaran. 12 43. Hasil investasi yang diperoleh dari investasi jangka 13 pendek atau investasi jangka panjang nonpermanen berupa 14 pendapatan dividen tunai (cash dividend) diakui sebagai piutang 15 dividen pada neraca dan pendapatan hasil investasi pada laporan 16 operasional pada saat dividen diumumkan dalam RUPS. · 17 Pendapatan dividen tunai (cash dividend) tersebut diakui sebagai 18 pengurang piutang dividen pada neraca pada saat kas diterima. 19 Penerimaan dividen tunai (cash dividend) tersebut akan diakui 20 sebagai pendapatan hasil investasi pada laporan realisasi 21 anggaran. 22 44. Hasil investasi berupa dividen tunai yang diperoleh dari 23 penyertaan modal pemerintah yang pencatatannya menggunakan 24 metode biaya pada saat diumumkan dalam RUPS dicatat sebagai 25 piutang dividen pada neraca dan pendapatan hasil investasi pada 26 laporan operasional. Hasil investasi berupa dividen tunai akan 27 diakui sebagai pengurang piutang dividen pada saat kas dU; 'erima. 28 Penerimaan hasil investasi berupa dividen tunai tersebut akan 29 diakui sebagai pendapatan hasil investasi pada laporan realisasi 30 anggaran. 31 45. Hasil investasi berupa bagian laba yang diperoleh dari 32 penyertaan modal pemerintah yang pencatatannya menggunakan 33 metode ekuitas, dicatat sebagai pendapatan hasil investasi pada 34 laporan operasional dan penambah nilai investasi pemerintah pada 35 neraca. Dividen tunai diakui sebagai piutang dividen dan 36 pengurang investasi pemerintah pada saat diumumkan dalain 1 RUPS. Dividen tunai yang telah diterima pemerintah akan ! mengurangi piutang dividen. Penerimaan dividen tunai tersebut 3 akan dicatat sebagai pendapatan hasil investasi dalam laporan 4 realisasi anggaran. Dividen dalam bentuk saham yang diterima 5 tidak menambah nilai investasi pemerintah, sehingga tidak diakui 6 sebagai pendapatan. Dividen dalam bentuk saham yang diterima 7 akan diungkap dalam catatan atas laporan keuangan. 8 46. Dalam metode ekuitas, pengakuan bagian rugi dalam nilai 9 investasi pemerintah yang disajikan pada neraca dilakukan 10 sampai nilai investasi menjadi nihil. Selisih bagian rugi yang belum 11 diakui dalam investasi pemerintah akan diungkap dalam catatan 12 atas laporan keuangan. 13 4 7. Pada meto de ekuitas, nilai investasi dapat berkurang sehingga 14 menjadi nihil atau negatif karena kerugian yang dipero leh. Jika aki bat 15 kerugian yang dialami, nilai investasi menjadi negatif, maka investasi 16 terse but akan disajikan di neraca se besar nihil, namun nilai negatif 17 terse but akan diungkapkan dalam catatan atas lapo ran keuangan. 18 48 . Pengakuan bagian laba dapat kembali dilakukan ketika 19 bagian laba telah menutup akumulasi rugi yang tidak diakui pada 20 saat nilai investasi negatif disajikan nihil. 21 49. Dalam ko ndisi nilai investasi negatif disajikan nihil, bagian la ba 22 terle bih dahulu digunakan untuk menutup akumulasi rugi. Penam bahan 23 investasi dari pengakuan bagian la ba akan dilakukan setelah akumulasi 24 rugi tertutupi. Hal ini diungkapkan dalam catatan atas lapo ran keuangan. 25 50. Jika akibat kerugian yang dialami, nilai investasi menjadi 26 negatif dan pemerintah memiliki tanggung jawab hukum untuk 27 menanggung kerugian atas badan usaha penerima investasi 28 (investee) tersebut, maka bagian akumulasi rugi diakui sebagai 29 kewajiban. 30 51. Pengakuan bagian la ba pada saat bagian akumulasi rugi diakui 31 se bagai kewaji ban akan mengurangi nilai kewaji ban terse but. Hal ini 32 diungkapkan dalam catatan atas lapo ran keuangan. 33 PELEPASAN INVESTASI 34 5 2. Pelepasan aset investasi pemerintah dapat berbentuk 35 penjualan aset investasi, pertukaran dengan aset lain, kompensasi 1 utang pemerintah, hibah dan donasi, pembebasan utang bagi 2 penerbit efek obligasi, dan lain sebagainya. 3 53. Perbedaan antara hasil pelepasan investasi dengan nilai 4 tercatatnya diakui sebagai surplus/def isit pelepasan investasi. 5 Surplus/defisit pelepasan investasi disajikan dalam taporan 6 operasional. 7 PENGUNGKAPAN 8 54. Hal-hal lain yang harus diungkapkan dalam laporan 9 keuangan pemerintah berkaitan dengan investasi pemerintah, 1 O antara lain: 11 a. Kebijakan akuntansi untuk penentuan nilai investasi; 12 b. Jenis-jenis investasi, investasi permanen dan nonpermanen; 13 c. Perubahan harga pasar baik investasi jangka pendek maupun 14 investasi jangka panjang yang memiliki harga pasar; 15 d. Penurunan nilai investasi yang signif ikan dan penyebab 16 penurunan tersebut; 17 e. Investasi yang dinilai dengan nilai wajar dan alasan 18 penerapannya; 19 f. Rekonsiliasi nilai investasi awal dan akhir atas investasi dengan 20 metode ekuitas; 21 g. Investasi yang disajikan dengan nilai nihil dan bagian 22 akumulasi rugi yang melebihi nilai investasi; 23 h. Kewajiban yang timbul dari bagian akumulasi rugi yang melebihi 24 nilai investasi dalam hal pemerintah memiliki tanggung jawab 25 hukum; 26 i. Perubahan klasifikasi pos investasi; 27 j. Perubahan porsi kepemilikan atau pengaruh signifikan yang 28 mengakibatkan perubahan metode akuntansi. 1 TANGGAL EFEKTIF 2 55. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) ini 3 berlaku ef ektif untuk laporan keuangan atas pertanggungjawaban 4 pelaksanaan anggaran mulai Tahun Anggaran 2017.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.02/2016 tentang Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Kegiatan Usaha Hu ...