JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 659 hasil yang relevan dengan "insentif pajak untuk pemulihan ekonomi "
Dalam 0.018 detik
Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERBENDAHARAAN
213/PMK.05/2022

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 225/PMK.05/2020 tentang Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik ...

  • Ditetapkan: 28 Des 2022
  • Diundangkan: 29 Des 2022

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah Menteri Keuangan.

2.

Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pada wilayah kerja yang telah ditetapkan.

3.

Kuasa BUN Pusat adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan.

4.

Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar pengeluaran negara.

5.

Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disebut Rekening KUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar pengeluaran negara pada Bank Sentral.

6.

Sub Rekening Kas Umum Negara Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Penerimaan yang selanjutnya disebut Sub RKUN adalah rekening tempat menampung pelimpahan penerimaan negara dari collecting agent yang dibuka oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Penerimaan pada Bank Sentral.

7.

Rekening Penerimaan Negara Terpusat adalah rekening BUN yang dibuka oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Penerimaan pada bank persepsi dan bank persepsi Valuta Asing (Valas) untuk menampung penerimaan negara.

8.

Rekening Yang Dipersamakan Dengan Rekening Penerimaan Negara Terpusat adalah rekening yang dibuka oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Penerimaan pada pos persepsi, lembaga persepsi lainnya, dan lembaga persepsi lainnya Valas untuk mencatat penerimaan negara melalui pos persepsi, lembaga persepsi lainnya, dan lembaga persepsi lainnya Valas.

9.

Penerimaan Negara adalah uang yang masuk ke Kas Negara.

10.

Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.

11.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, diluar penerimaan perpajakan dan hibah yang dikelola dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

12.

Penerimaan Hibah adalah setiap Penerimaan Negara dalam bentuk uang tunai yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri.

13.

Penerimaan Pembiayaan adalah semua Penerimaan Negara untuk pemenuhan pembiayaan APBN yang berasal dari penerbitan surat berharga negara, penerimaan pinjaman tunai, dan hasil divestasi.

14.

Penerimaan Pengembalian Belanja adalah semua Penerimaan Negara dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang berasal dari pengembalian belanja tahun anggaran berjalan.

15.

Dana Perhitungan Fihak Ketiga yang selanjutnya disebut Dana PFK adalah sejumlah dana yang diperoleh pemerintah pusat dari pungutan dan/atau hasil pemotongan gaji/upah/penghasilan tetap bulanan pejabat negara, pegawai negeri sipil pusat, pegawai negeri sipil daerah, prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau pegawai pemerintah non pegawai negeri dan sejumlah dana yang disetorkan oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan pungutan atau potongan lainnya untuk dibayarkan kepada pihak ketiga atau pemerintah daerah.

16.

Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan Penerimaan Negara dan merupakan sistem yang terintegrasi dengan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.

17.

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Bank Indonesia.

18.

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan.

19.

Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

20.

Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi Valas, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya Valas yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara.

21.

Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara.

22.

PT Pos Indonesia (Persero) selanjutnya disebut Kantor Pos adalah Badan Usaha Milik Negara yang mempunyai unit pelaksana teknis di daerah yaitu sentral giro/sentral giro gabungan/sentral giro gabungan khusus serta Kantor Pos dan giro.

23.

Pos Persepsi adalah Kantor Pos yang ditunjuk Kuasa BUN untuk menerima setoran Penerimaan Negara.

24.

Lembaga adalah badan hukum selain Bank Umum dan PT Pos Indonesia (Persero) yang memiliki kompetensi dan reputasi yang layak untuk melaksanakan fungsi penerimaan.

25.

Lembaga Persepsi Lainnya adalah Lembaga yang ditunjuk Kuasa BUN untuk menerima setoran Penerimaan Negara.

26.

Bank Devisa adalah Bank Umum yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melaksanakan kegiatan usaha perbankan dalam mata uang asing.

27.

Bank Persepsi Valas adalah Bank Devisa yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara dalam mata uang asing dari dalam negeri dan/atau luar negeri.

28.

Lembaga Devisa adalah lembaga yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan atau lembaga berwenang lainnya untuk melaksanakan kegiatan usaha keuangan dalam mata uang asing.

29.

Lembaga Persepsi Lainnya Valas adalah Lembaga Devisa yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara dalam mata uang asing dari dalam negeri dan/atau luar negeri.

30.

Direktorat Pengelolaan Kas Negara yang selanjutnya disebut Direktorat PKN adalah unit eselon II pada kantor pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.

31.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Penerimaan yang selanjutnya disebut KPPN Khusus Penerimaan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang secara administratif berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan secara fungsional bertanggung jawab kepada Direktur Pengelolaan Kas Negara.

32.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Mitra Kerja Instansi Pengelola Penerimaan Negara yang selanjutnya disebut KPPN Mitra Kerja adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang bertanggung jawab kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang melayani wilayah tertentu dimana Instansi Pengelola Penerimaan Negara berada.

33.

Keadaan Kahar ( Force Majeure ) adalah suatu kejadian diluar kemampuan dan kendali manusia, tidak dapat dihindarkan, dan tidak terbatas pada bencana alam, kebakaran, banjir, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, terorisme, wabah (baik wilayah, epidemik maupun endemik) dan diketahui secara luas sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

34.

Business Continuity Plan selanjutnya disingkat BCP adalah kumpulan prosedur dan informasi yang dikembangkan, dibangun, dan dijaga agar siap digunakan dalam keadaan kahar.

35.

Disaster Recovery Plan selanjutnya disingkat DRP adalah dokumen yang berisikan rencana tindak lanjut untuk pemulihan layanan sistem Penerimaan Negara secara elektronik setelah keadaan kahar.

36.

System Integration Testing yang selanjutnya disingkat SIT adalah pengujian yang dilaksanakan oleh Kuasa BUN Pusat atas sistem Penerimaan Negara pada:

a.

Bank Umum, Kantor Pos, atau Lembaga yang mengajukan permohonan menjadi Bank Persepsi, Pos Persepsi, atau Lembaga Persepsi Lainnya;

b.

Bank Devisa atau Lembaga Devisa yang mengajukan permohonan menjadi Bank Persepsi Valas atau Lembaga Persepsi Lainnya Valas; dan/atau

c.

Collecting Agent , dengan persyaratan dan spesifikasi yang ditetapkan oleh Kuasa BUN Pusat sebelum dilaksanakan UAT.

37.

User Acceptance Test yang selanjutnya disingkat UAT adalah pengujian yang dilaksanakan oleh Kuasa BUN Pusat atas proses bisnis, sistem, dan pelaporan penatausahaan Penerimaan Negara pada:

a.

Bank Umum, Kantor Pos, atau Lembaga yang mengajukan permohonan menjadi Bank Persepsi, Pos Persepsi, atau Lembaga Persepsi Lainnya;

b.

Bank Devisa atau Lembaga Devisa yang mengajukan permohonan menjadi Bank Persepsi Valas atau Lembaga Persepsi Lainnya Valas; dan/atau

c.

Collecting Agent , dengan persyaratan dan spesifikasi yang ditetapkan oleh Kuasa BUN Pusat.

38.

Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor unik tanda bukti pembayaran/penyetoran ke Kas Negara yang diterbitkan sistem settlement terdiri dari kombinasi huruf dan angka.

39.

Sistem Settlement adalah sistem Penerimaan Negara yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memfasilitasi penyelesaian proses pembayaran dan pemberian NTPN.

40.

Tanggal Bayar adalah tanggal transaksi pembayaran Penerimaan Negara pada sistem Collecting Agent sebagai pengakuan pelunasan kewajiban wajib pajak/wajib bayar/wajib setor dan sebagai dasar pengakuan Penerimaan Negara oleh Kuasa BUN.

41.

Tanggal Buku adalah tanggal pencatatan pada sistem settlement atas transaksi Penerimaan Negara sebagai dasar Collecting Agent dalam menyusun laporan dan melakukan pelimpahan.

42.

Nomor Transaksi Bank yang selanjutnya disingkat NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran Penerimaan Negara yang diterbitkan Bank Persepsi atau Bank Persepsi Valas.

43.

Nomor Transaksi Pos yang selanjutnya disingkat NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran Penerimaan Negara yang diterbitkan Pos Persepsi.

44.

Nomor Transaksi Lembaga Persepsi Lainnya yang selanjutnya disingkat NTL adalah nomor bukti transaksi penyetoran Penerimaan Negara yang diterbitkan Lembaga Persepsi Lainnya atau Lembaga Persepsi Lainnya Valas.

45.

Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi Penerimaan Negara yang mencantumkan NTPN dan NTB/NTP/NTL sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.

46.

Laporan Harian Penerimaan Elektronik yang selanjutnya disingkat LHP Elektronik adalah laporan harian Penerimaan Negara yang disiapkan oleh Collecting Agent dalam bentuk arsip data komputer.

47.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, pemungut pajak yang memiliki hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

48.

Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri dan/atau luar negeri yang memiliki kewajiban membayar PNBP/Penerimaan Negara selain Perpajakan atau yang melakukan pemesanan pembelian surat berharga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

49.

Wajib Setor adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan melakukan kewajiban menerima kemudian menyetorkan Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

50.

Collecting Agent Only selanjutnya disebut CA Only adalah Penerimaan Negara yang catatan transaksi dan uangnya berada di Collecting Agent, namun tidak tercatat di dalam Sistem Settlement.

51.

Settlement Only adalah transaksi Penerimaan Negara yang tercatat pada Sistem Settlement yang dibuktikan dengan NTPN, namun tidak terdapat pada data Penerimaan Negara dari sistem Collecting Agent.

52.

Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi menyiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.

53.

Biller adalah unit eselon I Kementerian Keuangan yang diberi tugas dan kewenangan untuk menerbitkan dan mengelola kode billing.

54.

Portal Biller adalah portal yang dikelola oleh Biller yang memfasilitasi penerbitan kode billing yang merupakan subsistem dari sistem Penerimaan Negara secara elektronik.

55.

Kode Billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan oleh Biller atas jenis pembayaran atau setoran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor.

56.

Instansi Pengelola Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat dengan IPPN adalah instansi, satuan kerja kementerian negara/lembaga atau satuan kerja pemerintah daerah yang menyelenggarakan pengelolaan Penerimaan Negara.

57.

Portal Penerimaan Negara adalah portal yang mengintegrasikan sarana layanan pembuatan Kode Billing berbagai jenis Penerimaan Negara meliputi penerimaan Pajak, Bea dan Cukai, PNBP, Penerimaan Pembiayaan, Penerimaan Hibah, dan Penerimaan Negara lainnya sekaligus layanan pembayaran Penerimaan Negara yang menjadi bagian dari sistem Penerimaan Negara secara elektronik.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA
PP 14 TAHUN 2024

Pemberian Tunjangan Hari Raya dan Gaji Ketiga Belas kepada Aparatur Negara, Pensiunan, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan Tahun 2024 ...

  • Ditetapkan: 13 Mar 2024
  • Diundangkan: 13 Mar 2024
Thumbnail
PENGHAPUSAN | PIUTANG NEGARA
PMK 147 TAHUN 2023

Penghapusan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai

  • Ditetapkan: 27 Des 2023
  • Diundangkan: 29 Des 2023
Thumbnail
Tidak Berlaku
BIDANG FISKAL | HUKUM KEUANGAN NEGARA
103/PMK.010/2021

Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021 ...

  • Ditetapkan: 30 Jul 2021
  • Diundangkan: 31 Jul 2021

Relevan terhadap

Pasal 8Tutup
(1)

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib membuat:

a.

Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

b.

laporan realisasi PPN ditanggung Pemerintah.

(2)

Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diisi secara lengkap dan benar, termasuk identitas pembeli berupa:

a.

nama pembeli; dan

b.

nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan.

(3)

Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi informasi berupa kode identitas rumah pada pengisian kolom nama barang.

(4)

Faktur Pajak atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang mendapatkan insentif PPN ditanggung Pemerintah sebesar 50% (lima puluh persen) dari PPN yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, dibuat dengan menerbitkan 2 (dua) buah Faktur Pajak, terdiri atas:

a.

Faktur Pajak dengan kode transaksi “01” untuk bagian 50% (lima puluh persen) Harga Jual yang tidak mendapatkan insentif PPN ditanggung Pemerintah; dan

b.

Faktur Pajak dengan kode transaksi “07” untuk bagian 50% (lima puluh persen) Harga Jual yang mendapatkan insentif PPN ditanggung Pemerintah.

(5)

Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diberikan keterangan “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKSEKUSI PMK NOMOR …/PMK.010/2021”.

(6)

Dalam hal keterangan "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKSEKUSI PMK NOMOR.../PMK.010/2021" belum tersedia dalam aplikasi pembuatan Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan pembaharuan atas keterangan yang dapat dicantumkan di Faktur Pajak melalui aplikasi dimaksud.

(7)

Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun, merupakan laporan realisasi PPN ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

(8)

Pelaporan dan pembetulan surat pemberitahuan Masa PPN Maret 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021 dapat diperlakukan sebagai laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang disampaikan paling lambat 31 Januari 2022.

(9)

PPN terutang atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak ditanggung Pemerintah dalam hal atas penyerahannya:

a.

dilakukan sebelum atau setelah periode pemberian insentif PPN ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);

b.

dipindahtangankan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak penyerahan;

c.

tidak menggunakan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5);

d.

tidak melaporkan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau

e.

tidak mendaftarkan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(10)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf e berlaku untuk penyerahan rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun yang dilakukan terhitung sejak bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2021.

(11)

Atas penyerahan rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dikenai PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9Tutup

Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menagih PPN yang terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, jika diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan:

a.

objek yang diserahkan bukan merupakan rumah tapak atau unit hunian rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4;

b.

perolehan lebih dari satu unit yang mendapatkan insentif PPN ditanggung Pemerintah yang dilakukan oleh satu orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;

c.

perolehan tidak dilakukan oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;

d.

Masa Pajak tidak sesuai dengan periode Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);

e.

penyerahan yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (5), dan/atau ayat (7);

f.

dilakukan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (9) huruf b; dan/atau

g.

berita acara serah terima untuk penyerahan rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun yang dilakukan terhitung sejak bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2021 tidak didaftarkan dalam sistem aplikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).

MenimbangTutup
a.

bahwa untuk tetap mempertahankan daya beli masyarakat di sektor industri perumahan guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, perlu melakukan penyesuaian kembali kebijakan mengenai Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun yang ditanggung Pemerintah tahun anggaran 2021;

b.

bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.010/2021 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021 belum dapat menampung perkembangan kebutuhan pengaturan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun yang ditanggung Pemerintah tahun anggaran 2021 sehingga perlu diganti;

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021;

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA
UU 2 TAHUN 2022

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

  • Ditetapkan: 12 Jan 2022
  • Diundangkan: 12 Jan 2022

Relevan terhadap

Pasal 50Tutup
(1)

Pengusahaan Jalan Tol dilaksanakan dengan maksud untuk mempercepat perwujudan jaringan Jalan Bebas Hambatan sebagai bagian jaringan J alan nasional.

(2)

Pengusahaan Jalan Toi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau preservasi.

(3)

Pengaturan pengusahaan Jalan Toi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

(4)

Pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau Badan Usaha milik swasta.

(5)

Pengusahaan Jalan Toi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui perjanjian pengusahaan Jalan Tol dengan Pemerintah Pusat.

(6)

Pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diaudit oleh lembaga yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

(7)

Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengembangan jaringan Jalan Toi tidak dapat diwujudkan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Pusat dapat mengambil kebijakan sesuai dengan kewenangannya.

(8)

Konsesi pengusahaan Jalan Toi diberikan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian yang ditetapkan antara Pemerintah Pusat dan Badan Usaha melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel.

(9)

Dalam hal konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berakhir, Pengusahaan Jalan Toi dikembalikan kepada Pemerintah Pusat. jdih.kemenkeu.go.id (10) Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (9) sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pengusahaan Jalan Tol sebagai berikut:

a.

mengalihkan status Jalan Tol menjadi Jalan bebas hambatan non-Tol; atau

b.

menugaskan pengusahaan baru kepada badan usaha milik negara untuk pengoperasian dan preservasi Jalan Tol.

(11)

Tarif Tol awal dari pengusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b ditetapkan lebih rendah daripada tarif Tol yang berlaku pada akhir masa konsesi.

(12)

Dalam hal terdapat kebutuhan peningkatan kapasitas Jalan Tol selain pengoperasian dan preservasi Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b dapat dilakukan perubahan perjanjian pengusahaan Jalan Tol.

(13)

Dalam hal terdapat selisih lebih antara tarif Tol yang dtetapkan Pemerintah Pusat dan tarif Tol penugasan kepada badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b, selisih tersebut merupakan penerimaan negara bukan pajak yang dipergunakan untuk pengembangan jaringan Jalan Tol.

(14)

Penetapan pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (10) didasarkan pada kemampuan keuangan negara serta kelayakan ekonomi dan finansial untuk pengoperasian dan preservasi J alan Tol.

(15)

Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengusahaan J alan Tol tidak dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Pusat dapat melakukan langkah penyelesaian untuk keberlangsungan pengusahaan Jalan Tol sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. jdih.kemenkeu.go.id (16) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (15) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Thumbnail
CIPTA KERJA Cipta Kerja | CIPTA KERJA | PENYELENGGARAAN
PP 23 TAHUN 2021

Penyelenggaraan Kehutanan

  • Ditetapkan: 02 Feb 2021
  • Diundangkan: 02 Feb 2021

Relevan terhadap 8 lainnya

Pasal 79Tutup

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan lindung menjadi Kawasan Hutan Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dilakukan dengan ketentuan:

a.

tidak memenuhi kriteria sebagai Kawasan Hutan Lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, dalam hal untuk diubah menjadi Kawasan Hutan Produksi; dan

b.

memenuhi kriteria Kawasan Hutan Konservasi atau Kawasan Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 80 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan produksi menjadi Kawasan Hutan Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 h: uruf c wajib memenuhi kriteria sebagai Kawasan Hutan Konservasi atau Kawasan Hutan Lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 81 Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf b dilakukan dalam:

a.

Kawasan Hutan Konservasi; atau

b.

Kawasan Hutan Produksi. Pasal 82 (1) Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a meliputi perubahan dari:

a.

kawasan cagar alam menjadi kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman Hutan raya, taman wisata alam, atau Taman Buru;

b.

kawasan suaka margasatwa menjadi kawasan cagar alam, taman nasional, taman Hutan raya, taman wisata alam, atau Taman Buru;

c.

kawasan taman nasional menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa, taman Hutan raya, taman wisata alam, atau Taman Buru;

d.

kawasan taman Hutan raya menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, atau Taman Buru;

e.

kawasan taman wisata alam menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman Hutan taya, atau Taman Buru; atau

f.

kawasan Taman Buru menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman Hutan raya, atau taman wisata alam.

(2)

Perubahan (2) Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam hal:

a.

sudah terjadi perubahan kondisi biofisik Kawasan Hutan akibat fenomena alam, lingkungan, atau manusia;

b.

diperlukan ^jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat Kawasan Hutan; atau

c.

cakupan luasnya sangat kecil dan dikelilingi oleh lingkungan sosial dan ekonomi akibat pembangunan di luar kegiatan Kehutanan yang tidak mendukung kelangsungan proses ekologi secara alami. Pasal 83 Perubahan fungsi dalam fungsi pokok kawasan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf b meliputi perubahan dari:

a.

Kawasan Hutan Produksi Tetap menjadi Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi; dan

b.

Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap. Pasal 84 (1) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan usulan yang diajukan oleh:

a.

gubernur, untuk Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi; atau

b.

pengelola Kawasan Hutan Konservasi. (3) Dalam hal usulan perubahan fungsi dalam rangka kegiatan proyek strategis nasional, program pemulihan ekonomi nasional, pengadaan tanah untuk bencana alam, dan tanah obyek reforma agraria yang ditetapkan Pemerintah Pusat, dapat diusulkan oleh menteri/pimpinan lembaga yang ditetapkan sebagai pelaksana.

Pasal 140Tutup

PemegangPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung, dilarang:

a.

menebang pohon pada areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;

b.

melakukan pemanenan atau pemungutan hasil Hutan melebihi daya dukung Hutan;

c.

memindahtangankan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha;

d.

membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam;

e.

menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau

f.

meninggalkan areal kerja. Paragraf 3 Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi Pasal 141 (1) Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi dilaksanakan berdasarkan prinsip untuk mengelola Hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya. (21 Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui kegiatan:

a.

usaha Pemanfaatan Kawasan;

b.

usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

c.

usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kryr;

d.

usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan K.yr;

e.

Pemungutan Hasil Hutan K"y,.r; dan/atau

f.

Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Pasal 142 (1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal l4l ayat (2) huruf a, dilakukan paling sedikit meliputi kegiatan:

a.

budidaya tanaman obat;

b.

budidaya tanaman hias;

c.

budidaya ^jamur;

d.

budidaya lebah;

e.

penangkaran satwa liar;

f.

budidaya sarang burung walet;

g.

rehabilitasi satwa;

h.

budidaya hijauan makanan ternak;

i.

budidaya i. budidaya buah-buahan dan biji-bijian;

j.

budidaya tanaman atsiri;

k.

budidaya tanaman nira;

1.

budidaya serat;

o.

wana mina (siluofisheryl;

p.

wana ternak (siluopasfiral;

m.

tanam wana tani (agroforestryl;

n.

wana tani ternak (agrosiluopasfitra);

o.

budidaya tanaman penghasil biomassa atau bioenergg; dan/atau

p.

budidaya tanaman pangan dalam rangka ketahanan pangan. (21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan kegiatan pemanfaatan lainnya, dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi. Pasal 143 (1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf b dilakukan paling sedikit meliputi:

a.

pemanfaatan ^jasa aliran air;

b.

pemanfaatan air;

c.

wisata alam;

d.

perlindungan keanekaragaman hayati;

e.

pemulihan lingkungan; dan latau f. penyerapan danf atau penyimpanan karbon. (21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan kegiatan pemanfaatan lainnya, dengan tidak merusak keseimbangan unsur lingkungan.

Thumbnail
BIDANG ANGGARAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
PP 17 TAHUN 2022

Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusan ...

  • Ditetapkan: 18 Apr 2022
  • Diundangkan: 18 Apr 2022

Relevan terhadap

Pasal 85Tutup

Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 9O Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (1) Pemenuhan kriteria dalam hal pemenuhan persyaratan pengangkatan Bendahara Pengeluaran ditetapkan oleh Bendahara Umum Negara selaku ^pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara. Ayat (21 Cukup ^jelas. Hurufd Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pendapatan Ibu Kota Nusantara lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" termasuk penerimaan negara bukan pajak. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 91 Sistem penerimaan negara diberlakukan oleh Menteri untuk menatausahakan seluruh transalsi penerimaan negara. Pasal 92 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "hibah yang direncanakan, adalah hibah yang dilalsanakan melalui mekanisme perencanaan. Huruf b Yang dimaksud dengan "hibah langsung" adalah hibah yang dilaksanakan tidak melalui mekanisme perencanaan, Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 93 Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat (1) Cukup ^jelas. (21 Cukup ^jelas.

(3)

Cukup jelas.

(4)

Cukup jelas. (s) Dalam pelaksanaan pencairan dana penerimaan negara bukan pajak yang telah dihitung melalui Formula Maksimum Pencairan (MP) dimungkinkan terjadi sisa/sa1do dana penerimaan negara bukan pajak yang belum sempat dicairkan karena tahun anggaran bersangkutan telah berakhir dan sudah memasuki tahun anggaran berikutnya. Sisa/ saldo tersebut tetap dapat dicairkan namun menunggu daJtar isian pelaksanaEm anggaran tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 94 Cukup ^jelas. Pasal 95 Cukup ^jelas. Pasal 96 Pengendalian internal atas pelaksanaan dan pertanggunglawaban anggaran dilakukan oleh organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. Pasal Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 10O Cukup ^jelas. Pasal 1O1 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. 97 Termasuk dalam pelaksanaan anggaran adalah pelaksanaan anggaran belanja yang antara lain meliputi:

1.

Pelaksanaan Komitmen;

2.

Penyelesaian Tagihan kepada Negara;

3.

Penatausahaan Komitmen;

4.

Penyelesaian atas Keterlanjuran Pembayaran; dan

5.

Pembayaran Pengembalian Penerimaan. Yang dimaksud dengan ^uperaturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan dan pertanggungiawaban APBN" termasuk ^peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan yang antara lain mengatur mengenai tuntutan ganti kerugian negara dalam hal terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian kewajiban baik secara langsung maupun tidak langsung yang menimbulkan kerugian ^terhadap keuangan negara. Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata ^cara tuntutan ganti kerugian negara terhadap ^pegawai ^negeri ^bukan bendahara atau pejabat lain, diberlakukan secara mutatis ^mutandis terhadap subjek bukan ^pegawai negeri bukan bendahara ^atau pejabat lain yang melakukan pelanggaran hukum atau kelalaian ^kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ^ini. Pasal 1O3 Cukup ^jelas. Pasal lO4 Ayat (l) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Penetapan Menteri/ Pimpinan Lembaga yang dapat menjadi Pengguna Barang untuk BMN yang berada pada Ibu Kota Nusantara dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dilakukan secara selektif. Termasuk Lembaga dalam ketentuan ini adalah lembaga tinggi negara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 1O6 Cukup ^jelas. Pasal 1O7 Cukup ^jelas. Pasal lO8 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup ^jelas. 29 Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 I Cukup jelas. Pasal 112 Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup ^jelas. Pasal 114 Cukup ^jelas. Pasal 115 Cukup ^jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup ^jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 12O Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk "BMN yang bersifat khusus" adalah barang-barang yang diatur secara khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup ^jelas. Pasal 121 Ayat (i) Cukup jelas. Ayat (21 Huruf a Yang dimalsud dengan ^onilai limit" adalah harga minimal barang yang akan dilelang. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal L22 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup ^jelas. Pasal 124 Cukup ^jelas. Pasal 125 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "rumah negara" adalah BMN yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau hunian dan saiana pembinaan serta menunjang pelalsanaan tugas pejabat negara dan/atau aparatur sipil negara. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Hurufa Dalam hal Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan masih membutuhkan rumah negara, BMN berupa rumah negara tidak dialihkan status penggunaa.nnya kepada Kementerian/ Lembaga lain. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal 126 Cukup ^jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup ^jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Ayat (1) Pengalihan BMD kepada ^pemerintah pusat dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada Otorita lbu Kota Nusantara dan/atau Kementerian/lembaga selaku pengguna Anggaran / ^pengguna Barang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 131 Cukup ^jelas. Pasal 132 Cukup ^jelas. Pasal 133 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Tunjangan atau kompensasi merupakan tunjangan atau kompensasi yang terkait dengan penggantian pemberian fasilitas rumah negara. Nomenklatur pejabat negara/pegawai negeri sipil/prajurit TNl/Anggota Polri mengikuti nomenklatur sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Induk dan ^perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Pemindahan pejabat negara/pegawai negeri sipil/prajurit TNl/Anggota Polri dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Induk dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. 33 Pasal 134 Cukup ^jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Cukup ^jelas. Pasal 137 Cukup ^jelas. Pasal 138 Cukup ^jelas. Pasal 139 Bentuk Pemanfaatan BMN yang mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN berupa Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur, atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan di bidang pengelolaan BMN. Pasal l4O Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Cukup ^jelas. Pasal 146 Cukup ^jelas. Pasal 147 Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hurufa Yang dimaksud dengan "peruntukan tertentu" adalah peruntukan untuk mendukung kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15O Cukup ^jelas. 35 Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Cukup ^jelas. Pasal 153 Cukup ^jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup ^jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup ^jelas. Pasal 159 Cukup ^jelas. Pasal 160 Cukup ^jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Cukup ^jelas. Pasal 163 Cukup ^jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Cukup ^jelas. Pasal 166 Cukup ^jelas. Pasal 167 Ayat ^(1) Cukup ^jelas. Ayat ^(2) Hurufa CukuP ^jelas. Huruf b CukuP ^jelas. Huruf c Pasal 168 Cukup ^jelas. Pasal 169 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pihak mana pun dilarang untuk ^melakukan pemblokiran dan/atau plnyitaan ^terhadap ^ADP ^dan/atau ^hak pengelolaan tanah atas ADP, baik ^secara ^parsial ^maupun keseluruhan. itEl rIIf: IIII STDEN INDONES Pasal 171 Cukup ^jelas. Pasal 172 Cukup ^jelas. Pasal 173 Cukup ^jelas. Pasal 174 Cukup ^jelas. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Cukup ^jelas. Pasal 177 Cukup ^jelas. Pasal 178 Cukup ^jelas. Pasal 179 Cukup ^jelas. Pasal 180 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat Ayat Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup ^jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Ayat (1) Cukup ^jelas. 38 (3) Yang dimaksud dengan ^okegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga" adalah kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelum tahun 2023 telah dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga dengan bekerja sama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian tahun ^jamak. Kegiatan tersebut dapat tetap dilanjutkan oleh Kementerian/ kmbaga yang bersangkutan setelah tahun 2023 dengan pertimbangan antara lain agar terjadi kesinambungan pelaksanaan kegiatan dimaksud untuk mendukung pencapaian target yang ditetapkan.

(4)

Huruf a Ketentuan yang diatur antara lain mengenai pencatatan komitmen/perjanjian/kontrak, penyelesaian tagihan, revisi anggaran, pengalihan aset (BMN/konstruksi yang timbul dari pe{anjian) dan kewajibannya, serta pelaporan keuangan. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat Ayat (21 Cukup ^jelas.

(3)

Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 185 Cukup ^jelas. Pasal 186 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengelolaan anggaran" adalah perencanaan, pelaksanaan, penghapusan, dan pertanggungjawaban sesuai kebijakan akuntansi, pengadaan barang dan ^jasa, dan/atau pengelolaan aset terkait. Yang termasuk lembaga/badan antara lain Bank Indonesia. Ayat 12) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 187 Yang dimaksud dengan "badan usaha" antara lain Badan Usaha Milik Negara. Yang dimaksud dengan "badan layanan'antara lain Badan Layanan Umum- Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, perbendaharaan, dan/atau badan usaha milik negara. 40 Pasal 188 Yang dimaksud dengan "fasilitas/ insentif fiskal" termasuk:

a.

fasilitas perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra antara lain:

l.

pemberian fasilitas/insentif liskal tersebut yang dapat berupa pengurangan pajak penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau

2.

pembebasan bea masuk dan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap impor barang tertentu untuk kepentingan umum oleh pemerintah;

b.

insentif atau fasilitas Pajak Khusus IKN yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kJrususnya dalam rangka Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal l9O Cukup ^jelas.

Pasal 56Tutup

Pajak Sarang Burung Walet sebageimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf m mengacu pada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a.

Objek, yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet;

b.

Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau sarang burung walet;

c.

Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet; dan

d.

Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 107o (sepuluh persen). Pasal 57 (l) Dalam rangka pengena.an Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 56, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyampaikan Rancangan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk dilakukan reviu. (2) Rancangan Peraturan Otorita lbu Kota Nusantara yang telah direviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, disampaikan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. (3) Setelah mendapatkan persetqjuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Otorita lbu Kota Nusantara menetapkan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pengenaan Pajak Khusus IKN. (41 Jenis Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 56 dapat tidak dipungut, dalam hal:

a.

potensinya kurang memadai; dan/atau

b.

Otorita Ibu Kota Nusantara menetapkan kebijakan untuk tidak memungut. Paragraf 2 Pungutan Khusus IKN Pasal 58 (1) Jenis Pungutan Khusus IKN yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai retribusi daerah. (21 Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan berdasarkan pelayanan yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara, yang terdiri atas:

a.

pelayanan umum;

b.

penyediaan / pelayanan barang dan/atau jasa; dan/atau

c.

pemberian perizinan tertentu. (3) Objek Pungutan Khusus IKN adalah penyediaan dan/atau pelayanan barang dan/atau jasa serta pemberian perizinan tertentu yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Wajib ^pungutan Khusus IKN. Pasal 59 (1) Bentuk pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a berupa:

a.

pelayanankesehatan;

b.

pelayanankebersihan;

c.

pelayanan parkir di tepi jalan umum;

d.

pelayanan pasar; dan/atau

e.

pengendalian lalu lintas. l2l ^Bentuk ^pelayanan ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dikenakan ^pungutan Khusus IKN dalam hal:

a.

potensi penerimaannya kecil; dan/atau

b.

dalam rangka pelaksanaan kebliakan nasional atau kebljakan Otorita Ibu Kota Nusantara untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma- cuma. (3) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf b berupa:

a.

penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;

b.

penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;

c.

penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;

d.

penyediaan tempat penginapan/ pesanggrahanl uilla;

e.

pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;

f.

pelayanan jasa kepelabuhanan;

g.

pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;

h.

pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;

i.

penjualan hasil produksi usaha Otorita Ibu Kota Nusantara; dan/atau

j.

pemanfaatan aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Otorita Ibu Kota Nusantara dan/atau optimalisasi aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. l4l ^Bentuk ^pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf c berupa:

(5)

Pungutan Khusus IKN atas persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetqjuan bangunan gedung oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (6) Pungutan Khusus IKN atas penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana pengguneran tenaga ke{a asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. (71 Pungutan Khusus IKN atas pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan ralryat yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (8) Penambahan bentuk layanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

a.

persetqjuan bangunan gedung;

b.

penggun€ran tenaga kerja asing; dan/atau

c.

pengelolaanpertambanganrakyat. Paragraf 3 Tarif Pungutan Khusus IKN Pasal 60 (1) Tarif Pungutan Khusus IKN merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Pungutan Khusus IKN yang terutang. {21 ^Tarif ^Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut bentuk layanan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif ^pungutan Khusus IKN. Paragraf 4 Tata Cara Pemungutan Pajak Khusus IKN dan pungutan Khusus IKN Pasal 61 (1) Ketentuan lain yang terkait dengan pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, pengaturannya mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. (21 Termasuk ketentuan terkait pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.

dasar pengenaan pajak;

b.

pengecualian objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;

c.

saat terutangnya pajak;

d.

tempat terutangnya pajak;

e.

tahun pajak dan masa pajak;

f.

prinsip dan sasaran penetapan tarif pungutan khusus; dan C. ^tata ^cara ^penghitungan tarif pungutan khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tat: - cara p€mungutan Pajak Khusus IKN dan/atau pungutan Khusus IKN diatur dengan peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, Paragraf 5 Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan Pasal 62 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (21 Keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak Khusus IKN, Wajib Pungutan Khusus IKN, dan/atau Objek Pajak Khusus IKN serta bentuk pelayanan Pungutan Khusus IKN. Bagran Kedelapan Skema Pendanaan l,ainnya Pasal 63 Partisipasi badan usaha milik negara dalam mendanai persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara tidak terbatas pada investasi yang dalam swasta. dilakukan termasuk tetapi badan usaha milik negara dapat bekerja sama dengan Pasal 64 Skema swasta murni merupakan investasi murni dari swasta yang dapat diberikan insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 (1) Skema pendanaan dalam bentuk belanja dan/atau pembiayaan sebagaimana dimalsud dalam pasal 4 dapat berupa:

a.

penerimaan hibah; dan/atau

b.

pengadaan pinjaman. l2l ^Skema ^pendanaan ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (l) termasuk dukungan pendanaan/pembiayaan internasional yang merupakan skema untuk mewadahi pemberian dana antara lain dari bilateral/lembaga multilateral yang hendak berpartisipasi dalam pengembangan Ibu Kota Nusantara yang hijau dan cerdas yang dapat melalui hibah dan/atau pemberian dana talangan. (3) Tata cara penerimaan hibah dan pengadaan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III RENCANA KERJA DAN ANGGARAN OTORITA IBU KOTA NUSANTARA Bagian Kesatu Perencanaan dan Penganggaran Rencana Kerja dan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara Pasal 66 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/Pengguna Barang men5rusun rencana kerja dan a.nggaran Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 67 (1) Dalam rangka pen3rusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan pemerintah mengenai pen5rusunan rencana ke{a dan anggarErn Kementerian/Lembaga sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Pemerintah ini. (21 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun rencana kerja dan anggaran yang terdiri atas rencana pendapatan dan belanja. (3) Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara meliputi penerimaan negara bukan pajak d an/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (41 Rencana pendapatan dalam rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara merupakan perkiraan pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara yang disusun secara realistis dan optimal. (5) Rencana pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayal l2l merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditelaah oleh Menteri. Pasal 68 Otorita Ibu Kota Nusantara pengelolaan rencana belanja berdasarkan:

a.

indikator kinerja utama;

b.

fluktuasi pendapatan; dan

c.

penerapan prinsip belanja berkualitas. Pasal 69 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/ Pengguna Barang menJrusun rencana kerja dan anggar€rn Ibu Kota Nusantara dengan memperhatikan paling sedikit:

a.

Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara;

b.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional;

c.

rencana kerja pemerintah;

d.

pagu anggaran; dan

e.

standar biaya. l2l ^Penyusunan ^rencana ^kerja dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara harus menggunakan pendekatan:

a.

kerangka pengeluaran jangka menengah;

b.

penganggaran terpadu; dan

c.

penganggaran berbasis kinerja. (3) Penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:

a.

indikator kinerja;

b.

standar biaya; dan

c.

evaluasi kinerja. Pasal 70 (1) Struktur rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara memuat:

a.

rincian anggaran; dan

b.

informasi kinerja. (21 Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit disusun menurut:

a.

program;

b.

kegiatan;

c.

keluaran; dan

d.

sumber pendanaan. (3) Informasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat paling sedikit:

a.

hasil;

b.

keluaran; dan

c.

indikator kinerja. Pasal 71 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Menteri untuk dilakukan penelaahan. l2l ^Penelaahan ^rencana ^kerja ^dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilalsanakan oleh:

a.

menteri yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional untuk menelaah kesesuaian pencapaian sasaran rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dengan rencana kerja Kementerian/Lembaga dan Rencana Kerja Pemerintah; dan

b.

Menteri untuk menelaah kesesuaian rencana kerja dan anggaran Kementerian/lembaga dengan kualitas belanja Kementerian/Lembaga. (3) Rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun bersama dengan rencana kerja dan anggaran Kementerian/t embaga untuk digunakan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dan dokumen pendukungnya. (4) Berdasarkan hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan alokasi anggaran hasil kesepakatan kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya.

(5)

Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan penyesuaian rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggar.Ln hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia. (6) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaErn pembangunan nasional melakukan penelaahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggaran dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. (71 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku pengguna Anggaran wajib menyusun dan bertanggung jawab terhadap rencana kerja dan anggaran atas bagian Ernggaran yang dikuasainya. (8) Dalam rangka penJrusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menugaskan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. PasaT 72 Dalam rangka melaksanakan sinkronisasi penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara:

a.

berkoordinasi dengan Kementerian/kmbaga dan daerah mitra Ibu Kota Nusantara; dan

b.

dapat melibatkan perwakilan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Pasal 73 (l) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana ke{a dan anggararn Otorita Ibu Kota Nusantara tahun sebelumnya dan tahun anggaran berjalan. (21 Hasil evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disampaikan kepada Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Bagian Kedua Dokumen Pelalsanaan Anggaran Pasal 74 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun dokumen pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l ayat (6) dan peraturan presiden mengenai rincian APBN. (21 Dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara 5slagaimana dimaksud pada ayat (l) diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggara.n yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana serta pendapatan yang diperkirakan. (3) Menteri mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara paling lambat tanggal 31 Desember meqielang awal tahun anggaran. Bagian Ketiga Mekanisme Perubahan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara l4l ^Dokumen ^pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 75 (1) Dalam hal diperlukan perubahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, perubahan diajukan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan. (2) Perubahan rencana kerja dan anggara.n sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

a.

sebagai akibat dari:

1.

perubahan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara yang memerlukan penyesuaian kebutuhan pelaksanaan;

2.

penggunaan selisih lebih penerimaan negara bukan pajak pada Otorita Ibu Kota Nusantara;

3.

fluktuasi pendapatan; dan/atau

4.

hasil pengendalian dan pemantauan. b. sebagai akibat selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Pengajuan perubahan anggaran rencana ke{a dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perubahan renca.na kerja dan €rnggaran. BAB tV PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN Bagian Kesatu Umum

Pasal 3Tutup

Pendanaan untuk persiapan, Ibu Kota Negara, Daerah Khusus pembangunan, dan serta Ibu Kota Nusantara Pemerintahan bersumber dari:

a.

APBN; dan/atau

b.

sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Skema Pendanaan Pasal 4 (1) Skema pendanaan yang bersumber dari APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dapat berbentuk:

a.

belanja; dan/atau

b.

pembiayaan. (21 Skema pendanaan dalam bentuk belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak. (3) Skema pendanaan dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk pendanaan yang bersumber dari surat berharga negara. (41 Surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

a.

SBSN; dan

b.

suN. (5) Skema pendanaan yang bersumber dari ApBN dan sumber lain yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:

a.

skema pendanaern yang berasal dari:

1.

pemanfaatan BMN dan/atau pemanfaatan ADP;

2.

penggunaan skema Kerja Sama ^pemerintah dan Badan Usaha atau KpBU IKN; dan

3.

keikutsertaan pihak lain termasuk: a) penugasan badan usaha yang sebagran atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara; b) penguatan peran badan hukum milik negara; dan c) pembiayaan kreatif lcreatiue financingl. b. skema pendanaan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (6) Skema pendanaan yang berasal dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri atas:

a.

skema pendanaan yang berasal dari:

1.

kontribusi swasta;

2.

pembiayaan k:

.

eanf lcreatiue financingl selatn sebagaimana dimalsud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf c); dan

3.

Pajak Khusus IKN dan/atau ^pungutan Khusus IKN yang ditetapkan dengan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan Dewan Perwalilan Rakyat Republik Indonesia. b. skema pendanaan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. l7l ^Pelaksanaan ^skema pendanaan Ibu Kota Nusantara yang bersumber dari APBN dalam bentuk surat berharga negara melalui SUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8)

Dalam rangka mendukung pembiayaan kreatif (creatiue financirql sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf c) dan ayat (6) huruf a angka 2, Menteri dapat memberikan Dukungan Pemerintah berupa fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi. (9) Dalam hal Ibu Kota Nusantara dilakukan melalui penugasan badan usaha yang seba gian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf a), Pemerintah dapat memberikan:

a.

dukungan dalam bentuk:

l.

penyertaan modal negara; 2, investasiPemerintah;

3.

^jaminan Pemerintah; dan/atau

4.

insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b.

dukungan dalam bentuk selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (10) Sumber pembiayaan kreatif (creatiue financingl sebagaimana dimalsud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf c) dan ayat (6) huruf a angka 2 ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, Kementerian/Lembaga, dan/atau Otorita Ibu Kota Nusantara. (11) Pemberian jaminan Pemerintah sebagaimana dimalsud pada ayat (9) huruf a angka S dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a.

pemberian jaminan dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan kesinambungan fiskal dan pengelolaan risiko fiskal ApBN;

b.

Menteri dapat memberikan penugasan khusus kepada badan usaha penjaminan infrastruktur untuk memberikan jaminan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

c.

pihak terjamin yaitu badan usaha milik negara dan pihak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan APBN, serta Otorita Ibu Kota Nusantara termasuk badan usaha pelaksana Otorita Ibu Kota Nusantara; dan

d.

dalam hal pihak terjamin merupakan Otorita Ibu Kota Nusantara, dipersamakan dengan Kementerian/Lembaga dan dikecualikan dalam pengenaan regres oleh Pemerintah. (12) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (11) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 5 (1) Untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Negara yang dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, Otorita Ibu Kota Nusantara dapat menerbitkan obligasi dan/atau sukuk Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. (21 Penerbitan obligasi dan/atau sukuk pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetqjuan Menteri dan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Thumbnail
BIDANG ANGGARAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
136/PMK.02/2021

Pedoman Pemberian Imbalan yang Berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Hak Cipta kepada Pencipta, Royalti Paten kepada Inventor, dan/ atau ...

  • Ditetapkan: 04 Okt 2021
  • Diundangkan: 05 Okt 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.

2.

Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

3.

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.

Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.

5.

Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

6.

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

7.

Pemulia Tanaman yang selanjutnya disebut pemulia adalah orang yang melaksanakan pemuliaan tanaman.

8.

Pemuliaan Tanaman adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.

9.

Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.

10.

Hak PVT adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak PVT untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.

11.

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Kekayaan Intelektual kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Hak Kekayaan Intelektual yang diberikan perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

12.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Royalti Hak Cipta, Paten, dan/atau Hak PVT yang selanjutnya disebut PNBP Royalti Hak Cipta, Paten, dan/atau Hak PVT adalah penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penerimaan royalti atas lisensi Hak Cipta, Paten, dan/atau Hak PVT.

13.

Imbalan atas PNBP yang berasal dari Royalti Hak Cipta, Paten, dan/atau Hak PVT yang selanjutnya disebut sebagai Imbalan adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk uang yang diberikan kepada Pencipta, Inventor, dan/atau Pemulia yang menghasilkan PNBP Royalti Hak Cipta, Paten, dan/atau Hak PVT.

Thumbnail
HIMPUNAN PERATURAN | BIDANG BEA CUKAI
PER-02/BC/2020

Petunjuk Pelaksanaan Impor Barang Kiriman

  • Ditetapkan: 29 Jan 2020
  • Diundangkan: 29 Jan 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Direktur J enderal ini yang dirnaksud dengan:

1.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang rneliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya> serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

2.

Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang djtetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasa n D ir ektorat Jenderal Bea dan Cuka.i.

3.

Kewajiban Pabean adalah semua kcgiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan .

4.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cuka i tempal dipenuhinya Kewajiban Pabean.

5.

Orang adalah orang perseorangan, lembaga , atau badan.

6.

Tempat Penimbunan Semen tara yang selanjutnya di singkat TPS adalah bangunan dan/atau lapangan a tau tempat l ain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang, scmen ta ra me nunggu pemuatan atau pengeluarannya.

7.

Penyelenggara Pos adalah badan usaha yang menyelenggarakan pos.

8.

Penyelenggara Pos Yang Ditunjuk adalah Pe nyelenggara Pos yang ditugaskan oleh pe merintah untuk memberikan layanan internasional sebagaimana diatur dalam Perhimpunan Pos Dunia (Universal Postal Union).

9.

Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah Penyelenggara Pos yang memperoleh ijin usaha dari instansi terkait untuk melaksanakan lay a na n surat, dokumen , dan paket sesuai peraturan perundang- undangan di bidang pos. 10 . Barang Kiriman adalah barang yang dikirim melalui Penyelenggara Pos sesuai d engan peratura n perundang- undangan di bidang pos .

11.

Wadah Elektronik yang selanjutnya di sebut Platform adalah wadah ber upa aplikasi, situs web, dan/ata u layanan konten lainnya berbasis internet yang digunakan untuk transaksi dan/atau fasilitasi perdagangan melalui sis tern elekt: ronik (e-commerce). 12. Pasar Elektronik yang selanjutnya disebut Marketplace adalah sarana komunikasi elektronik yan g digunakan untuk transaksi yang ditujukan untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan secara eleklronik.

13.

Penyedia Wadah Pasar Elektronik yang selanjutnya disebut Penyedia Platfonn Marketplace adalah pihak baik orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha Tetap yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan atau memiliki kegiatan usaha di dalam Daerah P abean yang menyediakan Platform berupa Marlcetplace. 14. Barang Kiriman E- commerce adalah Barang Kiriman yang transaksi perdagangannya dilakukan me lalui penyedia Platform Marketplace yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

15.

Akses Kepabeanan adalah akses yang diberikan kepada Pengguna Jasa untuk berhubungan dengan sistem pelayanan kepabeanan baik yang menggunakan teknologi informasi maupun manual.

16.

Pemberitahuan Impor Barang yang selanjutnya disingkat PIB adalah pemberitahuan pabean untuk pengeluaran barang impor yang diimpor untuk dipakai.

17.

Pemberitahuan Impor Barang Khusus yang selanjutnya disingkat PIBK adalah pemberitahuan pabean untuk pengeluaran barang impor tertentu yang dikirim melalui Penyelenggara Pos.

18.

Dokumen Pengiriman Barang yang selanjutnya disebut Consignment Note adalah dokumen d eng an kode CN-22/CN-23 atau dokumen sejenis yang merupakan dokumen perjanjian pengiriman barang antara pengirim barang dengan Penyelenggara Pos untuk mengirimkan Barang Kiriman kepada Penerima Barang . 19 . Kartu Pos adalah Barang Kiriman yang be rbentuk komunikasi tertulis di atas kartu bergambar dan/atau tidak bergambar.

20.

Surat adalah Barang Kiriman yang menjad i bag i an dari komunikasi tertulis dengan atau tanpa sampul yang ditujukan kepada individu atau badi.: 1n dengan alamat te r tentu, yang dalam proses penyampaiannya di l akukan seluruhnya secara fisik. 2 1. Dokumen adalah Barang Kiriman yang berbentuk data, catatan, dan/atau keterangan tertulis di atas ker t as yang dapat dilihat dan dibaca .

22.

Barang Kiriman Tertentu adalah Barang Kiriman se l ain Kar tu Pos, Surat, dan Dokumen, yang pengirimannya dilakukan melalui Penyelenggara Pos Yang Ditunjuk yang tidak disertai dengan Consignment Note. 23. Pertukaran Data Elektronik yang selanjutnya disingkat PDE ad alah alur informasi bisnis antar aplikasi dan organisasi secara elektronik, yang terintegrasi dengan menggunakan standar yang disepakati bersama, termasuk komunikasi atau penyampaian informasi melalui media berbqsis lam an internet (web-based). 24. Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan se b agai pelengkap pembe r itahuan pabean.

25.

Pengangkut adalah Orang, kuasanya, atau yang ber t anggung jawab atas pengoperasian saran.a pe n gangkut yang mengangkut barang dan/atau orang .

26.

Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang selan j utnya . disingkat PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan Kewajiban Pa b ean untuk dan at as kuasa importir.

27.

Penerima Barang adalah Orang yang melakukan kegiatan memasukkan Barang Kiriman ke dalam Daerah Pabean. 28 . Tarif adalah klasifika si barang dan pembebanan bea masuk.

29.

Nilai Tu kar adalah harga mata uang rupiah t erhadap mata uang asing.

30.

Delivery Duty Paid yang selanjutnya disingkat DDP adalah penyertaan bea masuk dan/atau pajak dalam ra ngka impor dalam harga barang yang tercantum pada Platform. 31. E-Invoice adalah invoice dalam bentuk da ta elektro nik yang dikeluarkan oleh Penyedia Platfonn Marketplace. 32. E-Catalog adalah daftar dalam bentuk da ta ele ktronik yang berisi barang yang diperdagangkan ol eh Penye dia Platform Marketplace. 33. Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya dising kat dengan SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

34.

Direktur J e nde ral adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

35.

Pejabat Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Pejabat adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan U ndang -U ndang Kepabeanan.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
PMK 19 TAHUN 2024

Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersifat Volatil dan Kebutuhan Mendesak pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Ra ...

  • Ditetapkan: 28 Mar 2024
  • Diundangkan: 26 Apr 2024
  • 1
  • ...
  • 23
  • 24
  • 25
  • ...
  • 66