JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 655 hasil yang relevan dengan "peraturan pajak bagi pelaku usaha mikro "
Dalam 0.016 detik
Thumbnail
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
10/PUU-XVIII/2020

Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...

    Relevan terhadap

    Halaman 43Tutup

    membatasi Hakim Pengadilan Pajak dalam memeriksa perkara karena tidak diperkenankan memeriksa materi penghitungan pajak. b. Tidak adanya persyaratan dan mekanisme pengusulan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak berpotensi menimbulkan terjadinya nepotisme dan “ like and dislike ” dalam proses pengusulannya yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi Para Pemohon. c. Tidak adanya periodisasi jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil dan layak dalam hubungan kerja karena tersendatnya regenerasi kepemimpinan organisasi. 3. Berdasarkan hal-hal tersebut, Para Pemohon pada pokoknya memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan: a. Pasal 5 ayat (2) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai pembinaan yang dilakukan Menteri Keuangan tidak termasuk mengusulkan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. b. Frasa “dari para hakim” dan frasa “diusulkan Menteri” dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Hakim dan diusulkan oleh Pengadilan Pajak untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU MK, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk: _a. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; _ b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang _kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; _ _c. Memutus pembubaran partai politik, dan ; _ d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG FISKAL
    20/PMK.010/2021

    Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu Yang Ditanggung Pemerintah ...

    • Ditetapkan: 25 Feb 2021
    • Diundangkan: 26 Feb 2021

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup
    a.

    bahwa untuk meningkatkan daya beli masyarakat di sektor industri kendaraan bermotor guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, perlu diberikan dukungan Pemerintah terhadap sektor industri kendaraan bermotor tersebut;

    b.

    bahwa untuk mewujudkan dukungan Pemerintah bagi sektor industri kendaraan bermotor dan keberlangsungan dunia usaha sektor industri kendaraan bermotor sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu diberikan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu yang ditanggung Pemerintah;

    c.

    bahwa belum terdapat pengaturan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Ditanggung Pemerintah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu sehingga perlu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan;

    d.

    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021;

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG FISKAL
    21/PMK.010/2021

    Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021 ...

    • Ditetapkan: 01 Mar 2021
    • Diundangkan: 01 Mar 2021

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup
    a.

    bahwa untuk meningkatkan daya beli masyarakat di sektor industri perumahan guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, perlu diberikan dukungan Pemerintah terhadap sektor industri perumahan tersebut;

    b.

    bahwa untuk mewujudkan dukungan Pemerintah bagi sektor industri perumahan dan keberlangsungan dunia usaha sektor industri perumahan yang terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu diberikan insentif berupa Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun yang ditanggung Pemerintah;

    c.

    bahwa belum terdapat pengaturan Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung Pemerintah atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun sehingga perlu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan;

    d.

    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021;

    Thumbnail
    PENGADILAN PAJAK | PEMBERIAN TUNJANGAN
    194/PMK.01/2015

    Pemberian Tunjangan dan Ketentuan Lain Bagi Hakim pada Pengadilan Pajak.

    • Ditetapkan: 26 Okt 2015
    • Diundangkan: 26 Okt 2015

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup
    a.

    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 9a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta Penjelasannya, Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;

    b.

    bahwa dalam rangka memberikan perlakuan yang sama antara Hakim pada Pengadilan Pajak dengan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, perlu diupayakan penyesuaian tunjangan dan ketentuan lain bagi Hakim pada Pengadilan Pajak dengan memperhatikan Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di bawah Mahkamah Agung;

    c.

    bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan;

    d.

    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Tunjangan dan Ketentuan Lain Bagi Hakim pada Pengadilan Pajak;

    Thumbnail
    ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA | APBN
    UU 6 TAHUN 2021

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022

    • Ditetapkan: 27 Okt 2021
    • Diundangkan: 27 Okt 2021

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah. Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas Pendapatan Pajak Dalam Negeri dan Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional. Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan ^jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar. 1 2 3 4 5 6. Penerimaan 6. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. 7. Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, ^jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 8. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. 9. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial. 10. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negaraflembaga dan Bendahara Umum Negara. 11. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil (outcomel tertentu pada Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.

    12.

    Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak, atau disalurkan langsung kepada penerima manfaat, sesuai kemampuan keuangan negara. 13. Transfer ke Daerah adalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yograkarta. 14. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas dana transfer umum dan dana transfer khusus. 15. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 16. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 17. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. 18. Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria tertentu dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas perbaikan dan/atau pencapaian kinerja tertentu di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.

    19.

    Dana 19. Dana Otonomi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2OOl tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2O2l tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2l Tahun 2OOl tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 20. Dana Tambahan Infrastruktur Dalam Rangka Otopomi Khusus bagi provinsi-provinsi di wilayah Papua yang selanjutnya disingkat DTI adalah dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Ralryat dilakukan berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran yang ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur perhubungan, energi listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sanitasi lingkungan. 2I. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta adalah dana yang bersumber dari APBN untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2Ol2 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yograkarta. 22. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa atau sebutan lain yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. 23. Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

    24.

    Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan. 25. Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan. 26. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 27. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. 28. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 29. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 30. Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya yang selanjutnya disingkat BPYBDS adalah bantuan Pemerintah berupa BMN yang berasal dari ApBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga atau pada Badan Usaha Milik Negara. 31. Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat pMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta Lembaga/Badan Lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.

    32.

    Investasi 32. Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, dan/atau sosial, dan/atau manfaat lainnya bagi sebesar- besarnya kemakmuran ralgrat. 33. Dana Bergulir adalah dana yang diketola oreh Badan Layanan Umum tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. 34. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oreh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya. 35. Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dan bank sistemik penerima pinjaman likuiditas khusus dalam hal kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dan bank sistemik penerima pinjaman likuiditas khusus dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan/atau badan usaha sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian kerja sama. 36. Pinjaman Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri. 37 - Pinjaman Tunai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan uptuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. 38. Pinjaman Kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga, pinjaman yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara, dan pinjaman yang diterushibahkan kepada pemerintah daerah.

    39.

    Pemberian 39. Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, danf atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. 40. Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pendidikan melalui kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah. 4L. Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara. 42. Tahun Anggaran 2022 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2022.

    Pasal 14Tutup

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) . Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Data yang digunakan bersumber dari instansi pusat yang berwenang mengeluarkan data atau bersumber dari pemerintah daerah. Yang dimaksud dengan indikator lain adalah variabel relevan, yang digunakan Pemerintah Provinsi dalam membagi Dana Otonomi Khusus antarkabupaten/kota dalam rangka pemerataan dan perimbangan lebih baik antara lain: Indeks Desa Membangun, Indeks Kapasitas Fiskal Daerah, dan jumlah penduduk miskin. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "data belanja urusan" adalah data Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2OI9 yang sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan. Yang dimaksud dengan "kewenangan tertentu" adalah kewenangan fungsi pendidikan, fungsi kesehatan, dan fungsi ekonomi untuk pembagian Dana Otonomi Khusus 1,25o/o (satu koma dua lima persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan/atau kewenangan diluar fungsi pendidikan, kesehatan dan ekonomi untuk pembagian dana Otonomi Khusus l%o (satu persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Ayat (8) Yang dimaksud dengan pembangunan infrastruktur meliputi infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, air bersih, energi listrik, dan sanitasi lingkungan. Yang dimaksud dengan prioritas dan kebutuhan adalah program/kegiatan yang diusulkan oleh Provinsi/Kabupaten/Kota melalui provinsi dan direviu oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu dan mempertimbangkan pemerataan pembangunan infrastruktur di kabupaten/ kota. Yang . Yang dimaksud dengan pembagian DTI berdasarkan usulan provinsi adalah pembagian yang didasarkan kepada usulan provinsi atas program/kegiatan yang dibutuhkan. Dalam hal pembagian DTI usulan provinsi masih berada dibawah pembagian DTI antarprovinsi yang dilakukan oleh pemerintah, maka selisihnya dapat menggunakan stok program usulan kegiatan DAK Fisik. Ayat (9) Huruf a Penggunaan bersifat umum termasuk namun tidak terbatas untuk:

    a.

    pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur nonbirokrasi yang meliputi pendidikan, keseh&tan, ,s1i1 bersih, air layak minum, perumahan, penerangan, telekomunikasi, jaringan internet, serta jalan dan jembatan provinsi dan lintas kabupaten/kota;

    b.

    penguatan lembaga keagamaan dan adat;

    c.

    penguatan perdamaian di wilayah papua;

    d.

    belanja operasional pelaksanaan tugas dan fungsi Majelis Ralryat Papua/ Majelis Ralryat papua Barat;

    e.

    penyelesaian permasalahan Tanah Adat (Ulayat);

    f.

    peningkatan kapasitas aparatur (SDM) pemerintah Daerah;

    g.

    koordinasi, perencanaan, penataan regulasi, monitoring, evaluasi, pelaporan dan penerimaan dalam rangka otonomi khusus Provinsi papua;

    h.

    pengelolaan data dan penataan sistem informasi terkait tata kelola otonomi khusus;

    i.

    komunikasi, informasi, dan edukasi pendanaan dalam rangka otonomi khusus kepada masyarakat;

    j.

    pembiayaan untuk peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua;

    k.

    bantuan sosial bagi Orang Asli papua yang memenuhi kriteria;

    l.

    program 1. program strategis dan unggulan provinsi; dan/atau

    m.

    penguatan lembaga-lembaga lain yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2OOl tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2O2I tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2OOl tentang Otonomi Khusus Bagi provinsi Papua, tidak termasuk badan yang dibentuk pusat dalam rangka otonomi khusus. Huruf b Penggunaan sudah ditentukan meliputi:

    a.

    Program Peningkatan Kualitas Pendidikan (paling sedikit 3Oo/o (tiga puluh persen) dari alokasi Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya) termasuk namun tidak terbatas untuk:

    1.

    layanan pendidikan jenjang sekolah sampai dengan pendidikan tinggi kepada masyarakat terutama Orang Asli Papua;

    2.

    pemberian beasiswa jenjang sekolah sampai dengan pendidikan tinggl kepada masyarakat Orang Asli Papua;

    3.

    penyediaan satuan pendidikan;

    4.

    penyediaan sarana dan prasarana pendidikan;

    5.

    pengembangan kurikulum berbasis karakteristik daerah dan budaya; t 6. pembiayaan perguruan tinggi;

    7.

    bantuan/hibah perguruan tinggi;

    8.

    percepatan penyediaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan;

    9.

    kegiatan satuan pendidikan, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan;

    10.

    kegiatan 10. kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi pendidik dan tenaga kependidikan; 1 1. kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan talenta, kompetisi, dan lomba;

    12.

    fasilitasi dan operasional pendidikan sistem asrama sekolah; t 13. penyediaan dan distribusi pemerataan pendidik dan tenaga kependidikan terutama di daerah terdepan, tertinggal dan terluar;

    14.

    pendidikan tambahan bagi lulusan sekolah menengah atas atau yang setara untuk memasuki pergurLlan tinggi dan pendidikan kedinasan;

    15.

    pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus;

    16.

    layanan pendidikan nonformal dan luar biasa;

    17.

    peningkatan kualitas pembelajaran vokasi;

    18.

    program strategis dan unggulan bidang pendidikan lintas kabupaten I kota;

    19.

    beasiswa untuk peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan; dan/atau

    20.

    pembinaan, kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan untuk pendidik dan tenaga kependidikan khususnya yang bertugas di daerah terdepan, tertinggal dan terluar. b. Program Pembiayaan Kesehatan (paling sedikit 2ooh (dua puluh persen) dari alokasi Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya) termasuk namun tidak terbatas untuk:

    1.

    program strategis dan unggulan bidang kesehatan lintas kabupaten/kota;

    2.

    memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk termasuk peningkatan gizi masyarakat, kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, kesehatan lanjut usia, kesehatan jiwa, dan pelayanan kesehatan lainnya yang mendukung keberlangsungan hidup masyarakat papua;

    3.

    melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup Penduduk;

    4.

    melakukan percepatan penurunan stunting;

    5.

    melakukan edukasi dan promosi kesehatan;

    6.

    melakukan pelayanan rehabilitasi ketergantungan alkohol dan NAPZA;

    7.

    melakukan penanggulangan kejadian luar biasa;

    8.

    menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan standar;

    9.

    meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan;

    10.

    menyediakan dan memeratakan tenaga kesehatan termasuk pembinaan serta jaminan kesejahteraan dan keamanan tenaga kesehatan dengan memprioritaskan pemenuhan tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di daerah terdepan, tertinggal dan terluar; , 1 1. memberikan insentif bagi tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terdepan, tertinggal dan terluar sesuai dengan biaya kemahalan dalam bentuk materiil dan/atau nonmateriil;

    12.

    program strategis dan unggulan bidang kesehatan lintas kabupaten/kota; dan

    13.

    kewajiban lain yang menjadi kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat termasuk namun tidak terbatas untuk:

    1.

    pembangunan loka latihan kerja;

    2.

    pengembangan wirausaha muda produktif;

    3.

    penyediaan rumah produksi bersama dengan tata kelola koperasi;

    4.

    pengembangan sektor unggulan, kawasan perkotaan dan strategis;

    5.

    hilirisasi komoditas unggulan lokal daerah;

    6.

    pemberdayaan masyarakat kampung dengan mengutamakan Orang Asli Papua; 7 . pembangunan/revitalisasi pasar tradisional;

    8.

    penyediaan modal usaha dalam bentuk dana bergulir atau kredit usaha;

    9.

    bantuan kepada pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi;

    10.

    pengembangan usaha dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, industri rumah tangga, perdagangan, kerajinan, ekonomi kreatif dan pariwisata, dan jasa; 1 1. fasilitasi usaha rintisan secara terpadu dari hulu ke hilir;

    12.

    program strategis dan unggulan bidang ekonomi lintas kabupaten I kota;

    13.

    pelatihan kerja, keterampilan kerja dan manajemen bisnis;

    14.

    pengolahan, penggudangan dan pengepakan; dan/atau

    15.

    distribusi komoditas strategis dari sentra produksi menuju pasar. Ayat (10) Cukup jelas Ayat (11) Ayat (12) Yang dimaksud dengan "disetujui oleh Dewan perwakilan Ralqrat', adalah persetujuan yang diberikan Dewan perwakilan Ralryat dalam Rapat Kerja Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan Rancangan Undang- Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022 beserta Nota Keuangannya. Cukup jelas. Ayat (13) Cukup jelas.

    Pasal 9Tutup

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . Ayat (3) Dana Desa dialokasikan kepada 74.960 (tujuh puluh empat ribu sembilan ratus enam puluh) desa di 434 (empat ratus tiga puluh empat) kabupaten/kota berdasarkan data ^jumlah desa dari Kementerian Dalam Negeri. Ayat (a) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "desa tertinggal dan desa sangat tertinggal" adalah status desa yang ditetapkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Yang dimaksud dengan "desa tertinggal dan desa sangat tertinggal dengan jumlah penduduk miskin tinggi" adalah desa tertinggal dan desa sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin atau persentase penduduk miskin terbanyak yang berada pada kelompok desa desil ke 7 (tujuh), 8 (delapan), 9 (sembilan), dan 10 (sepuluh) berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan "desa dengan kinerja terbaik" adalah desa yang memiliki hasil penilaian kinerja terbaik di masing- masing kabupaten/kota. Penilaian kinerja berdasarkan kriteria utama dan kriteria kinerja antara lain:

    1.

    pengelolaan keuangan desa;

    2.

    pengelolaan Dana Desa;

    3.

    capaian keluaran {outputl Dana Desa; dan

    4.

    capaian hasil (outcomel pembangunan desa. Huruf d , Data ^jumlah desa, ^jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis desa bersumber dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik. Dalam hal data tidak tersedia, terdapat anomali data, atau data tidak memadai, penghitungan Dana Desa dilakukan berdasarkan:

    a.

    data yang digunakan dalam penghitungan Dana Desa tahun sebelumnya;

    b.

    menggunakan rata-rata data desa dalam satu kecamatan dimana desa tersebut berada;

    c.

    menggunakan data hasil pembahasan dengan kementerian negara/lembaga penyedia data, dan/atau d. melakukan penyesuaian data dengan menggunakan data yang digunakan pada penghitungan Dana Desa tahun sebelumnya dan/atau data yang dirilis pada laman kementerian negara/lembaga penyedia data terkait. Cukup ^jelas. Ayat (5) Ayat (6) Ayat (7) Yang dimaksud dengan "penyaluran dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Desa melalui Rekening Kas Umum Daerah" adalah penyaluran Dana Desa dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah dan dari Rekening Kas Umum Daerah ke Rekening Kas Desa yang dilakukan pada tanggal yang sama. Dalam hal terdapat permasalahan desa yang mendapat Dana Desa atau kepala desa menyalahgunakan Dana Desa, Menteri Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran Dana Desa. Yang dimaksud dengan "sektor prioritas di desa" antara lain mendukung program ketahanan pangan dan hewani serta penanganan peningkatan kesehatan masyarakat termasuk penurunan stunting dan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di desa, program pembangunan infrastruktur desa dengan mengutamakan penggunaan tenaga kerja dan bahan baku lokal, program Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk peningkatan kualitas pelayanan desa, dan program pengembangan desa sesuai dengan potensi dan karakteristik desa. Ayat (8) Ayat (8) Pasal 10 Huruf a Huruf b Materi muatan Peraturan Menteri Keuangan antara lain penganggaran, pengalokasian, penyaluran, penggunaan, penatausahaan, pertanggungjawaban dan pelaporan, pemantauan dan evaluasi, dan sanksi administrasi, serta penetapan rincian Dana Desa setiap desa. Yang dimaksud dengan "dana transfer umum" adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah untuk digunakan sesuai dengan kewenangan daerah guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Yang dimaksud dengan "dana transfer khusus" adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus, baik fisik maupun nonfisik yang merupakan urusan daerah. Pasal 1 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagian Pusat sebesar 10% (sepuluh persen) dibagi secara merata kepada seluruh kabupaten/kota. Bagian daerah yang berasal dari biaya pemungutan, digunakan untuk mendanai kegiatan sesuai kebutuhan dan prioritas daerah, tidak termasuk untuk pembayaran insentif pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak Bumi dan Bangunan mencakup sektor pertambangan, perkebunan, perhutanan, dan sektor lainnya yang meliputi Pajak Bumi dan Bangunan perikanan dan Pajak Bumi dan Bangunan atas kabel bawah laut. Huruf b Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) DBH ini termasuk DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang pemungutannya bersifat linal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu dan tidak termasuk Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah. Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan berupa pengalihan kewenangan di bidang kehutanan dari kabupaten/kota menjadi kewenangan provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah. Pengalokasian DBH Kehutanan Dana Reboisasi kepada provinsi penghasil dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat mempertimbangkan kinerja atas pengelolaan hutan. Ayat (9) Ayat (9) Huruf a Cukup ^jelas Huruf b Huruf c Ayat (10) Cukup ^jelas. Ayat (1 1) Cukup ^jelas. Ayat (12) Cukup ^jelas. Dengan ketentuan ini daerah tidak lagi diwajibkan untuk mengalokasikan DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi sebesar O,5o/o (nol koma lima persen) untuk tambahan anggaran pendidikan dasar. Kebijakan penggunaan DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2OOl tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2O2l tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan berupa pengalihan kewenangan di bidang kehutanan dari kabupaten/kota menjadi kewenangan provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah. Ayat (13) _ 15_ Ayat (13) Cukup jelas. Ayat (la) Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat Gaji pegawai Aparatur Sipil Negara pada instansi Daerah meliputi gaji pokok dan tunjangan melekat sedangkan gaji untuk formasi Aparatur Sipil Negara pada instansi Daerah metiputi gaji pokok sebagaimana diatur dalam peraturan kepegawaian, tidak termasuk didalamnya tunjangan perbaikan penghasilan atau yang disebut dengan nama lainnya.

    (1s) Pendapatan Dalam Negeri Neto yang digunakan sebagai dasar perhitungan pagu DAU Nasional dihitung berdasarkan pendapatan dalam negeri tahun berjalan/berkenaan.

    (16)

    Cukup jelas. (t7l Penyesuaian dilakukan dalam rangka perbaikan kemampuan fiskal antardaerah. Ayat (18) Penggunaan dana transfer umum paling sedikit 2so/o (dua puluh lima persen) yang terkait dengan program pemulihan ekonomi daerah termasuk program perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat, sedangkan yang terkait dengan pembangunan sumber daya manusia bidang pendidikan termasuk untuk pembayaran gaji guru Pegawai Pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK).

    (1e) Cukup jelas.

    (20)

    Cukup jelas. (2r) Cukup jelas.

    (22)

    Cukup jelas. pemerataan

    Thumbnail
    NILAI JUAL OBJEK PAJAK | KLASIFIKASI
    186/PMK.03/2019

    Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan

    • Ditetapkan: 10 Des 2019
    • Diundangkan: 11 Des 2019

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup
    a.

    bahwa untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, simplifikasi regulasi, dan meningkatkan pelayanan bagi Wajib Pajak, perlu mengganti ketentuan mengenai klasifikasi dan penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;

    b.

    bahwa dengan beralihnya kewenangan pemungutan dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ke Pemerintah Daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kewenangan Direktorat Jenderal Pajak terkait Pajak Bumi dan Bangunan adalah mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan sektor lainnya;

    c.

    bahwa untuk memberikan kepastian hukum terkait pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur secara khusus dalam Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi, perlu menyelaraskan kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur secara khusus tersebut dengan mekanisme penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan;

    d.

    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB, adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

    2.

    Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB Perdesaan dan Perkotaan.

    3.

    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.

    4.

    Subjek Pajak PBB yang selanjutnya disebut Subjek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.

    5.

    Wajib Pajak PBB yang selanjutnya disebut Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenai kewajiban membayar PBB.

    6.

    Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.

    7.

    Nilai Perolehan Baru adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek pajak tersebut.

    8.

    Nilai Jual Objek Pajak Pengganti yang selanjutnya disebut Nilai Jual Pengganti adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

    9.

    Biaya Investasi Tanaman adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

    10.

    Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

    11.

    Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.

    12.

    Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur intensif.

    13.

    Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan Hutan Produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.

    14.

    Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.

    15.

    Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.

    16.

    Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.

    17.

    Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.

    18.

    Biaya Produksi Perhutanan adalah seluruh biaya langsung yang terkait dengan kegiatan produksi hasil hutan, sampai di log ponds atau log yards untuk hasil hutan kayu dan/atau sampai tempat pengumpulan hasil panen untuk hasil hutan bukan kayu pada Hutan Alam.

    19.

    Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang digunakan untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan/atau gas bumi.

    20.

    Wilayah Kerja Panas Bumi adalah wilayah dengan batas- batas koordinat tertentu yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik.

    21.

    Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan/atau gas bumi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    22.

    Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak bumi dan/atau gas bumi, panas bumi, mineral, atau batubara, termasuk kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan, dalam Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah Kerja Panas Bumi, wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

    23.

    Eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan/atau gas bumi, atau panas bumi, dari Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi.

    24.

    Permukaan Bumi Pertambangan Onshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Onshore adalah areal berupa tanah dan/atau perairan darat di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara.

    25.

    Permukaan Bumi Pertambangan Offshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Offshore adalah areal berupa perairan yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan perairan di dalam Batas Landas Kontinen.

    26.

    Tubuh Bumi Eksplorasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Eksplorasi.

    27.

    Tubuh Bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, atau pengusahaan panas bumi, pada kegiatan Eksploitasi.

    28.

    Operasi Produksi adalah kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan dalam wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, dan wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

    29.

    Tubuh Bumi Operasi Produksi adalah tubuh bumi yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Operasi Produksi.

    30.

    Harga Patokan Mineral Logam, yang selanjutnya disebut HPM Logam, adalah harga mineral logam yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan ( at sale point ) secara Free on Board untuk masing-masing komoditas tambang mineral logam.

    31.

    Harga Patokan Mineral Bukan Logam, yang selanjutnya disebut HPM Bukan Logam, adalah harga patokan mineral bukan logam yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.

    32.

    Harga Patokan Batuan adalah harga patokan batuan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing- masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.

    33.

    Harga Patokan Batubara, yang selanjutnya disingkat HPB, adalah harga batubara yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan ( at sale point ) secara Free on Board .

    34.

    Angka Kapitalisasi adalah angka pengali tertentu yang digunakan untuk mengonversi pendapatan atau hasil produksi satu tahun menjadi NJOP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

    35.

    Rasio Biaya Produksi adalah persentase tertentu yang diperoleh dari rata-rata biaya produksi satu tahun dibandingkan dengan rata-rata pendapatan kotor satu tahun, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

    36.

    Penilai Pajak adalah Pejabat Fungsional Penilai Pajak, Pejabat Fungsional Asisten Penilai Pajak, Petugas Penilai Pajak, Pejabat Fungsional Penilai PBB, dan Petugas Penilai PBB.

    37.

    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan Undang-Undang PBB.

    38.

    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada Wajib Pajak.

    39.

    Surat Ketetapan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB terutang.

    40.

    Surat Tagihan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat STP PBB adalah surat untuk melakukan tagihan PBB terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.

    41.

    Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

    42.

    Iuran Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Ipeda adalah pungutan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

    Thumbnail
    AKUNTAN BEREGISTER | BIDANG UMUM
    216/PMK.01/2017

    Akuntan Beregister.

    • Ditetapkan: 29 Des 2017
    • Diundangkan: 30 Des 2017

    Relevan terhadap

    Pasal 16Tutup
    (1)

    Akuntan Berpraktik dapat membuka KJA di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan terlebih dahulu memperoleh izin usaha KJA dari Menteri.

    (2)

    Syarat untuk mendapatkan izin usaha KJA sebagai berikut:

    a.

    pemimpin KJA merupakan Akuntan Berpraktik berkewarganegaraan Indonesia;

    b.

    mempunyai tempat untuk menjalankan usaha yang:

    1.

    berada di wilayah negara Republik Indonesia;

    2.

    berdomisili di 1 (satu) daerah provinsi yang sama dengan domisili pemimpin KJA atau di daerah kota/kabupaten yang berbatasan langsung dengan domisili pemimpin KJA; dan

    3.

    terpisah dari kegiatan lainnya;

    c.

    memiliki paling sedikit 1 (satu) orang pegawai tetap paling rendah lulusan sekolah menengah atas atau sederajat;

    d.

    memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Akuntan Berpraktik untuk KJA yang berbentuk perseorangan atau atas nama KJA untuk KJA yang berbentuk selain perseorangan;

    e.

    memiliki rancangan sistem pengendalian mutu;

    f.

    membuat surat pernyataan bermeterai cukup mengenai pendirian KJA bagi bentuk usaha perseorangan, dengan mencantumkan paling sedikit:

    1.

    nama dan alamat Akuntan Berpraktik;

    2.

    nama dan domisili KJA; dan

    3.

    maksud dan tujuan pendirian KJA; dan

    g.

    memiliki akta pendirian yang dibuat oleh notaris bagi KJA berbentuk selain perseorangan, dengan mencantumkan paling sedikit:

    1.

    nama dan alamat Rekan, direksi dan komisaris;

    2.

    bentuk badan usaha KJA;

    3.

    nama dan domisili KJA;

    4.

    maksud dan tujuan pendirian kantor, yaitu memberikan jasa di bidang akuntansi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    5.

    hak dan kewajiban Rekan, direksi, dan komisaris; dan

    6.

    penyelesaian sengketa dalam hal terjadi perselisihan.

    (3)

    Permohonan izin usaha KJA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala PPPK dengan melampirkan:

    a.

    fotokopi izin Akuntan Berpraktik seluruh Rekan, direksi, dan komisaris;

    b.

    fotokopi bukti keanggotaan Asosiasi Profesi Akuntan yang masih berlaku;

    c.

    fotokopi tanda bukti kepemilikan atau sewa kantor;

    d.

    foto tampak depan dan ruangan kantor;

    e.

    fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;

    f.

    rancangan sistem pengendalian mutu;

    g.

    daftar Akuntan Berpraktik bagi KJA yang berbentuk usaha selain perseorangan;

    h.

    daftar pegawai KJA;

    i.

    surat pernyataan pendirian KJA bagi bentuk usaha perseorangan;

    j.

    fotokopi akta pendirian bagi KJA yang berbentuk selain perseorangan; dan

    k.

    surat persetujuan dari seluruh Rekan atau direksi KJA mengenai penunjukan Akuntan Berpraktik sebagai pemimpin KJA untuk KJA berbentuk selain perseorangan.

    (4)

    Izin usaha KJA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Kepala PPPK atas nama Menteri.

    (5)

    Izin usaha KJA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima dan dinyatakan lengkap.

    (6)

    Dalam hal data dan informasi yang disampaikan dalam surat permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbukti tidak benar, KJA yang telah diterbitkan izinnya dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin.

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    DANA ALOKASI UMUM | DANA ALOKASI KHUSUS
    PMK 134 TAHUN 2023

    Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusu ...

    • Ditetapkan: 07 Des 2023
    • Diundangkan: 11 Des 2023

    Relevan terhadap

    MemutuskanTutup

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 139/PMK.07 /2019 TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA OTONOMI KHUSUS. Pasall Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07 /2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1148) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan 211/PMK.07 /2022 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07 /2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, jdih.kemenkeu.go.id Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1334), diubah sebagai berikut:

    1.

    Ketentuan angka 11, angka 13, dan angka 22 Pasal 1 diubah dan setelah angka 42 ditambahkan 2 (dua) angka, yakni angka 43 dan angka 44, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 3. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 4.

    5.
    6.
    7.
    8.

    Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan rencana dana pengeluaran yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. jdih.kemenkeu.go.id 9. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/ a tau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 10. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik an tar-Daerah. 11. Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disebut DBH Pajak adalah DBH yang dihitung berdasarkan pendapatan pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan cukai hasil tembakau. 12. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah bagian dari TKD yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau. 13. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah DBH yang dihitung berdasarkan penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batu bara, minyak bumi clan gas bumi, panas bumi, dan perikanan. 14. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD. 15. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan se bagian fungsi kuasa BUN. 16. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota. 17. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing pembantu pengguna anggaran BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. jdih.kemenkeu.go.id 18. Kurang Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH adalah selisih kurang antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 19. Lem bar Konfirmasi Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut LKT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan TKD oleh Daerah. 20. Lembar Rekapitulasi Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut LRT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan TKD oleh Daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran. 21. Lebih Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH adalah selisih lebih antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 22. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB perdesaan dan perkotaan. 23. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan ataujabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai pajak penghasilan. 24. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang selanjutnya dise but PPh WPOPDN adalah pajak penghasilan terutang oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai pajak penghasilan yang berlaku kecuali pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai pajak penghasilan. 25. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 26. Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat PNBP SDA adalah bagian dari penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari sumber daya alam kehutanan, mineral dan jdih.kemenkeu.go.id batubara, perikanan, minyak bumi, gas bumi, dan pengusahaan panas bumi. 27. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 28. Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 29. Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama. 30. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 31. Rencana Dana Pengeluaran Bendahara U mum Negara yang selanjutnya disingkat RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN. 32. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. 33. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau walikota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. 34. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 35. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/pejabat penandatangan SPM atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana jdih.kemenkeu.go.id yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. 36. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 37. Ruang Fiskal Daerah adalah besarnya pendapatan Daerah yang masih bebas digunakan untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhan Daerah yang dihitung dengan mengurangkan seluruh pendapatan Daerah dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya ( eannarked) dan belanja wajib antara lain belanja pegawai dan belanja wajib lainnya. 38. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 39. Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan Keuangan Daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. 40. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untukjangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas jabatan pemerintahan. 41. Provinsi Papua adalah provinsi-provinsi yang berada di wilayah Papua yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 42. Treasury Deposit Facility yang selanjutnya disingkat TDF adalah fasilitas yang disediakan oleh BUN bagi Pemerintah Daerah untuk menyimpan uang di BUN sebagai bentuk penyaluran TKD nontunai berupa penyimpanan di Bank Indonesia. 43. Kelurahan adalah bagian wilayah dari kecamatan sebagai perangkat kecamatan. 44. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kemen terian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. jdih.kemenkeu.go.id

    Thumbnail
    COVID-19 Covid-19 | COVID-19 | BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH
    68/PMK.010/2021

    Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa oleh Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandem ...

    • Ditetapkan: 21 Jun 2021
    • Diundangkan: 22 Jun 2021

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Bea Masuk Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut BM DTP adalah fasilitas bea masuk terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan alokasi dana yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan.

    2.

    Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang selanjutnya disebut Industri Sektor Tertentu adalah industri yang terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) yang layak untuk diberikan BM DTP sesuai dengan kebijakan Pembina Sektor Industri.

    3.

    Pembina Sektor Industri adalah menteri/pimpinan lembaga yang membina Industri Sektor Tertentu.

    4.

    Barang dan Bahan adalah barang jadi, barang setengah jadi, dan/atau bahan baku, termasuk suku cadang dan/atau komponen, yang diolah, dirakit, atau dipasang untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.

    5.

    Belanja Subsidi BM DTP adalah alokasi anggaran belanja subsidi BM DTP dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk memberikan dukungan kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kemampuan negara.

    6.

    Bagian Anggaran Pengelolaan Belanja Subsidi (BA.

    999.
    1. yang selanjutnya disebut BA 999.07 adalah subbagian anggaran Bendahara Umum Negara yang diberikan kepada perusahaan/lembaga untuk memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan/atau jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat.
    7.

    Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Bagian Anggaran 999.07 yang selanjutnya disingkat PPA BUN BA 999.07 adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara 999.07.

    8.

    Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat Eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran Bendahara Umum Negara.

    9.

    Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari pengguna anggaran untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.

    10.

    Kuasa Pengguna Anggaran Belanja Subsidi Bea Masuk Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut KPA BM DTP adalah pejabat pada kementerian negara/ lembaga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pengelolaan anggaran belanja subsidi bea masuk ditanggung pemerintah.

    11.

    Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan Pengguna Anggaran/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    12.

    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA Bendahara Umum Negara.

    13.

    Gudang Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan ( kitting ), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang- barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

    14.

    Penyelenggara Gudang Berikat sekaligus Pengusaha Gudang Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Gudang Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan dan pengusahaan Gudang Berikat.

    15.

    Pengusaha di Gudang Berikat merangkap Penyelenggara di Gudang Berikat yang selanjutnya disebut PDGB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Gudang Berikat yang berada di dalam Gudang Berikat milik Penyelenggara Gudang Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.

    16.

    Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

    17.

    Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.

    18.

    Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.

    19.

    Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

    20.

    Penyelenggara PLB sekaligus Pengusaha PLB yang selanjutnya disebut Pengusaha PLB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB.

    21.

    Pengusaha di PLB merangkap Penyelenggara di PLB yang selanjutnya disebut PDPLB adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB yang berada di dalam PLB milik Penyelenggara PLB yang statusnya sebagai badan usaha yang berbeda.

    22.

    Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan/atau cukai.

    23.

    Pengusaha Kawasan Bebas adalah pengusaha yang berkedudukan dan/atau mempunyai tempat kegiatan usaha di Kawasan Bebas dan telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.

    24.

    Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

    25.

    Pelaku Usaha KEK adalah pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di KEK.

    26.

    Pemberitahuan Pabean Impor adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean impor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.

    27.

    Sistem Aplikasi KEK adalah sistem elektronik yang terdiri dari Sistem Indonesia National Single Window , Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai, dan aplikasi lain yang mengotomasikan proses bisnis kegiatan pemasukan, perpindahan, dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.

    28.

    Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.

    29.

    Kantor Bea dan Cukai adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.

    30.

    Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

    31.

    Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

    32.

    Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

    33.

    Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh Kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.

    34.

    Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah pernyataan yang diterbitkan/dibuat oleh KPA Bendahara Umum Negara yang memuat jaminan atau pernyataan bahwa seluruh pengeluaran telah dihitung dengan benar.

    35.

    Pemindahtanganan adalah pemindahan hak, alih aset, perubahan penggunaan Barang dan Bahan untuk kegiatan lain di luar kegiatan usaha, diekspor, atau penghapusan dari aset perusahaan.

    36.

    Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

    37.

    Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

    38.

    Direktur adalah direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mempunyai tugas dan fungsi merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi di bidang fasilitas kepabeanan.

    39.

    Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    DANA BAGI HASIL | SUMBER DAYA ALAM KEHUTANAN
    216/PMK.07/2021

    Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi

    • Ditetapkan: 31 Des 2021
    • Diundangkan: 31 Des 2021

    Relevan terhadap

    Pasal 4Tutup
    (1)

    Kegiatan strategis lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf j dan Pasal 3 ayat (1) huruf i meliputi:

    a.

    pemberian bantuan langsung tunai dalam rangka perlindungan sosial untuk masyarakat, meliputi:

    1.

    masyarakat di sekitar hutan; dan/atau

    2.

    masyarakat lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

    b.

    penguatan perekonomian Daerah, meliputi:

    1.

    pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah yang terkait produk dari perhutanan sosial;

    2.

    dukungan standardisasi, sertifikasi, dan pemasaran produk usaha mikro, kecil dan menengah yang terkait produk dari perhutanan sosial;

    3.

    pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar hutan;

    4.

    pelatihan keterampilan kerja bagi masyarakat di sekitar hutan;

    5.

    pemberian bantuan modal usaha bagi masyarakat di sekitar hutan dalam rangka mendorong upaya pelestarian hutan; dan/atau

    6.

    pengembangan destinasi pariwisata kehutanan; dan c. pemberian insentif atas kinerja pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan dari provinsi meliputi:

    1.

    kinerja pengelolaan sampah;

    2.

    kinerja pengelolaan air limbah;

    3.

    kinerja sanitasi lingkungan; dan/atau

    4.

    kinerja rehabilitasi hutan dan lahan, kepada kabupaten/kota dan dari kabupaten/kota kepada desa.

    (2)

    Pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan langsung tunai dalam rangka perlindungan sosial untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling kurang dengan mempertimbangkan kriteria;

    a.

    penerima bantuan;

    b.

    besaran bantuan;

    c.

    jangka waktu pemberian bantuan; dan

    d.

    kondisi pemberian bantuan, dengan memperhatikan dampak pemberian bantuan terhadap peningkatan pengelolaan hutan.

    (3)

    Pelaksanaan kegiatan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, paling kurang dengan mempertimbangkan:

    a.

    indikator kinerja pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan;

    b.

    kriteria kabupaten/kota atau desa penerima insentif;

    c.

    mekanisme penilaian kinerja; dan

    d.

    besaran insentif.

    (4)

    Kegiatan strategis lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kewenangan provinsi/kabupaten/kota.

    (5)

    Pelaksanaan kegiatan strategis lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari alokasi:

    a.

    DBH DR dan Sisa DBH DR Provinsi; atau

    b.

    Sisa DBH DR Kabupaten/Kota.

    (6)

    Pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan langsung tunai dalam rangka perlindungan sosial untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling tinggi 15% (lima belas persen) dari alokasi:

    a.

    DBH DR dan Sisa DBH DR Provinsi; atau

    b.

    Sisa DBH DR Kabupaten/Kota.

    (7)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan Daerah dan ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian negara/lembaga terkait.

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    2.

    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    3.

    Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

    4.

    Kepala Daerah adalah gubernur bagi provinsi atau bupati bagi kabupaten atau wali kota bagi kota.

    5.

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

    6.

    Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

    7.

    Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi yang selanjutnya disebut DBH DR adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan dana reboisasi.

    8.

    Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan yang selanjutnya disingkat IIUPH adalah pungutan yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan.

    9.

    Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari hutan negara.

    10.

    Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

    11.

    Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.

    12.

    Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.

    13.

    Kesatuan Pengelola Hutan yang selanjutnya disebut KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.

    14.

    Hasil Hutan Kayu adalah benda-benda hayati yang berupa hasil hutan kayu yang dipungut dari hutan alam.

    15.

    Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati selain kayu baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya yang berasal dari hutan negara.

    16.

    Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat RKP DBH DR adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH DR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diselaraskan dengan program kerja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berjalan.

    17.

    Sisa DBH DR Provinsi adalah selisih lebih antara DBH DR yang telah disalurkan oleh Pemerintah kepada pemerintah provinsi dengan realisasi penggunaan DBH DR yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan selama satu periode tahun anggaran dan/atau beberapa tahun anggaran.

    18.

    Sisa DBH DR Kabupaten/Kota adalah DBH DR yang merupakan bagian kabupaten/kota sampai dengan tahun anggaran 2016, yang masih terdapat di rekening kas umum daerah.

    • 1
    • ...
    • 23
    • 24
    • 25
    • ...
    • 66