JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan
Ditemukan 281 hasil yang relevan dengan "dukungan kementerian keuangan untuk pelaku usaha mikro "
Dalam 0.033 detik
Thumbnail
PUTUSAN PENGADILAN | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
63/PUU-XV/2017

Pengujian UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah ...

    Relevan terhadap

    Pasal 8Tutup

    Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa. 26. Bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tanggal 14 Desember 2014 telah menimbulkan Kerugian konstitusional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 Pemohon yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945;

    27.

    Bahwa rangkaian pelanggaran hak-hak konstitusional Pemohon yaitu menolak Pemohon untuk mendampingi, mewakili, memberikan bantuan hukum dan pembelaan kepada klien Pemohon dalam pemeriksaan di Kantor Pelayanan Pajak Bantul, mencerminkan bahwa Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul, tidak profesional, berlaku diskriminatif, arogan, angkuh, bertindak berlebihan, tidak taat dan paham hak-hak konstitusional dan hak- hak hukum khususnya profesi Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum dan penolakan Pemohon untuk mendampingi klien Pemohon bukan dalam rangka penegakan hukum tetapi demi kepentingan pribadi, mencari keuntungan atau tambahan rejeki bahkan lebih terkesan memeras Wajib Pajak, menawarkan penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Wajib Pajak yang tidak paham hukum; Penolakan Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukan Konsultan Pajak dilakukan secara diskriminatif karena di lain kesempatan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul dapat menerima pihak lain yang bukan Konsultan Pajak untuk mengurus msalah-masalah pajak; Penolakan oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan, tidak dalam rangka menjalankan tugas profesinya tetapi semat-mata demi kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul harus bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan yang arogan, angkuh, tidak profesional, dan diskriminatif terhadap Pemohon, apalagi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gagal memahami peraturan Perundang-Undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum; Dengan demikian, berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, Pemohon memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan permohonan uji materil ini ke Mahkamah Konstitusi karena telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara. III. DALIL-DALIL PERMOHONAN 1. Bahwa negara hukum merupakan negara dimana penguasa atau pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraannya terikat atau dibatasi pada peraturan/hukum yang berlaku. Pembatasan pelaksanaan kekuasaan ini merupakan perinsip utama dalam negara hukum. Adapun tujuannya yaitu untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari penguasa/pemerintahan. Ciri-ciri Negara hukum yaitu: adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, dan adanya peradilan administrasi. Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi (P-1): “ Negara Indonesia adalah negara hukum.” Negara Indonesia sebagai wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum mengakui, menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Salah satu bentuk pengakuan, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia yaitu menjamin persamaan atau sederajat bagi setiap orang di hadapan hukum ( Equality Before The Law ) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” , Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (P-1) yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “ Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” ; Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan _kerja”; _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 2. Bahwa dalam rangka usaha mewujudkan perinsip-perinsip Negara Hukum dan kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan Perpajakan, konstitusi mengamanatkan dalam Pasal 23A UUD 1945 (P-1) yang berbunyi, “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa berdasarkan ketentuan ini, Perpajakan sebagai sumber pendapatan negara yang vital diatur oleh Undang-Undang. Hal ini bertujuan untuk menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban baik Pemerintah maupun Wajib Pajak dalam melaksanakan Perpajakan. Karena sifat pungutan pajak yang memaksa tersebut, dapat menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah dalam pelaksanaan pemungutan pajak, sehingga harus diatur dalam ketentuan atau Undang- Undang khusus Perpajakan, tanpa menghilangkan unsur kedaulatan rakyat atau hak-hak konstitusional warga negara;

    3.

    Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak yang bersifat memaksa, tidak dapat dipungkiri atau dihindari akan timbul permasalahan atau sengketa di bidang Perpajakan. Adanya kekuasaan dan kepentingan bagi instansi yang mengeluarkan keputusan di bidang Perpajakan tersebut rawan atau berpotensi terjadi konflik kepentingan ( konflik interest ), rawan atau berpotensi timbulnya penyalahgunaan kewenangan, atau berpotensi menghilangkan unsure kedaulatan rakyat. Sementara di sisi lain Wajib Pajak kurang memiliki pengetahuan tentang hukum Perpajakan. Sehingga potensi terjadinya rasa ketidakadilan bagi Wajib Pajak akibat tindakan pemerintah di dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan harus diselesaikan melalui suatu Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak manapun yang khusus menangani perkara/sengketa pajak. Bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan: “ Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.” adalah bersifat diskriminatif, tidak memberikan jaminan, pengakuan, perlindungan yang layak bagi kemanusiaan, tidak memberi jaminan untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang kesemuanya tersebut melanggar Konstitusi khsususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 4. Bahwa dalam kenyataan sehari-hari Permohonan Wajib Pajak dan petugas pelaksana dari pemerintah tidak sepenuhnya mengetahui seluruh peraturan Perpajakan yang mengatur hak dan kewajibannya Wajib Pajak sehingga berpotensi menimbulkan kerugian di pihak Wajib Pajak. Untuk mewujudkan perlindungan kedaulatan rakyat, negara perlu melindungi dan menjamin, agar pelaksanaan hak dan kewajiban Pemohon/Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik yaitu dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk Kuasa, didampingi atau diwakili kuasa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang Perpajakan. Hak menunjuk Kuasa bagi Wajib Pajak dapat dilihat pada Pasal 32 ayat (3) UU KUP yang menyebutkan, “ Orang Pribadi atau Badan dapat menunjuk Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan”. Dan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan, “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan surat Kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.” Hal ini merupakan wujud pelaksanaan prinsip-prinsip Negara hukum dan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak;

    5.

    Bahwa peran dan fungsi kuasa dalam mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Perpajakan memiliki peran penting untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak sesuai peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Kuasa juga memberikan jasa konsultasi Perpajakan (Konsultan Pajak), sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan masyarakat Wajib Pajak dalam memahami dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, peranan dan fungsi Kuasa tersebut juga membantu pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan pajak. Di sisi lain, bahwa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 Kuasa juga diharapkan untuk mencari dan menegakkan hak-hak Wajib Pajak, karena Kuasa yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Perpajakan diharapkan dapat mewakili dan melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa untuk mencari dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Sehingga Kuasa juga memiliki peran dan fungsi untuk mendampingi atau memberikan nasihat kepada Wajib Pajak atas hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga hak-hak Wajib Pajak tidak dikurangi atau ditiadakan oleh pemerintah atau pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang Perpajakan dan pelaksanaan kewajiban Perpajakan yang sesuai dengan ketentuan peraturan Perpajakan. Dengan adanya peranan penting dari Kuasa hukum tersebut, menurut Pemohon jelaslah bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah mandiri, bebas atau independen dalam melaksanakan Kuasa demi melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa, terhadap pihak manapun termasuk pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana tugas penerima atau pemungutan pajak;

    6.

    Bahwa di balik adanya kepastian hukum atas penyelesaian sengketa pajak dan hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk Kuasa, didampingi, atau diwakili Kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Perpajakannya atau kedaulatannya, timbul permasalahan bagi Pemohon yaitu adanya kewenangan Menteri Keuangan dalam menentukan Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa. Menurut Pemohon, ketentuan yang diuji material Pemohon yaitu Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon atau Wajib Pajak sesuai dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip Negara hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia; Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Perpajakan berbunyi: “Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan”, Kuasa yang dimaksud yaitu Pasal 32 ayat (3) UU KUP (P-2) berbunyi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan Surat Kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan” 7. Bahwa menurut penafsiran Pemohon, ketentuan yang diuji Pemohon tersebut memberikan kewenangan mutlak/absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak. Pemberian kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon berarti Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Menteri Keuangan telah diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk membatasi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada Kuasa dengan cara Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk membuat dan menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa dalam menerima dan menjalankan kedaulatan Pemohon. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut, telah mengakibatkan tidak terlaksananya kedulatan Pemohon/Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban Pemohon melalui Kuasa;

    8.

    Bahwa mencermati Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut membuktikan betapa absolutnya kewenangan Menteri Keuangan. Jika ditelaah lagi pasal per pasal, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengatur segala ketentuan yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa, baik dari segi syarat-syarat, ujian dan sertifikasi, menegur, membekukan ijin, mencabut izin Kuasa/ Konsultan Pajak, izin beracara di pengadilan (menolak, menerima dan mencabut Izin). Hal ini memperlihatkan kekuasaan dan kewenangan absolut yang jelas-jelas mengakibatkan Kuasa tidak memiliki kebebasan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya untuk kepentingan hak-hak Pemohon/Wajib Pajak. Karena kedudukan Menteri Keuangan memilki kekuasaan/kewenangan yang superior dibanding dengan Kuasa Hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Perpajakan termasuk peradilan pajak. Sebagai contoh bukti bentuk kewenangan absolut Menteri Keuangan cq Direktorat Jenderal Pajak yaitu tentang Pencabutan izin Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Praktek sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 111/PMK. 03/2014, Pasal 26 tentang Teguran, Pembekuan, dan Pencabutan Izin Praktik yang berbunyi: Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang memberikan teguran tertulis, menetapkan pembekuan Izin Praktik, dan menetapkan pencabutan Izin Praktik" Pasa1 29 ayat (1) huruf j: "pencabutan Izin Praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ditetapkan dalam hal j. Konsultan Pajak memberikan Jasa Konsultasi di bidang Perpajakan tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, Pasal 23 huruf a: "Konsultan Pajak:

    a.

    memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban Perpajakan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan". Melihat pengaturan ketentuan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk mencabut Izin Konsultan Pajak, dalam hal Konsultan Pajak, tidak memberikan jasa konsultasi yang tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Pengaturan ini bersifat multitafsir dan cakupannya luas, dan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak yang menentukan sesuai atau tidaknya jasa konsultasi pajak yang diberikan. Bahwa yang bewenang menentukan sesuai atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan yang melanggar peraturan Perundang-Undang adalah lembaga peradilan karena perbuatan yang dianggap tidak sesuai tersebut haruslah dibuktikan terlebih dahulu. Hukum pembuktian hanya dapat dilaksanakan dalam suatu mekanisme atau sistem peradilan. Sementara dalam hal ini, Menteri Keuangan c.q . Direktorat Jenderal Pajak dapat dengan leluasa menyatakan suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan Perundang-Undangan Perpajakan tanpa didasari suatu pembuktian. Sehingga menurut Pemohon hal ini berpotensi disalahgunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengintervensi Kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya dan yang paling dirugikan adalah Pemohon/Wajib Pajak yang menunjuk dan mempercayakan kepada Kuasa dalam melaksanakan hak dan Kewajiban Perpajakannya;

    9.

    Bahwa dalam sistem peradilan Indonesia, diakui keberadaan Kuasa Hukum yang memiliki profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran dalam pelaksanaan peradilan yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 Undangan. Pemohon dalam perkara a quo membandingkan Kuasa Hukum Wajib Pajak dengan Profesi Kuasa Hukum yang diakui dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu Advokat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

    10.

    Bahwa fungsi dan peran Profesi Advokat dengan Kuasa Wajib Pajak/Konsultan Pajak dalam pelaksanaan peradilan adalah sama yaitu bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dan memberikan nasehat hukum tentang perkara yang dihadapi. Bahwa profesi Konsultan Pajak hanya khusus untuk beracara di Pengadilan Pajak, sementara Advokat dapat melaksanakan Kuasanya untuk setiap lembaga peradilan apapun termasuk setiap sengketa atau permasalahan hukum yang belum dibawa ke badan-badan peradilan. Posisi atau kedudukan, peran, dan fungsi Kuasa Wajib Pajak dan Advokat di hadapan persidangan pengadilan adalah sama yaitu memberikan pendampingan, bantuan hukum atau nasehat hukum mewakili Pemberi Kuasa atas perkara yang dihadapi Wajib Pajak, serta menjalankan Kuasa yang diberikan oleh Pemberi Kuasa;

    11.

    Bahwa atas kesamaan fungsi dan peran profesi Advokat dengan Konsultan Pajak selaku Kuasa Hukum dalam pelaksanaan profesinya baik di dalam maupun di luar peradilan, maka kedudukan Kuasa atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan Advokat dalam Sistem hukum Indonesia. Dengan memperhatikan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Advokat dalam peradilan, berbeda dengan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3 dan, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (P-28). Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, tidak terdapat suatu unsur atau norma yang memberikan kewenangan kepada pihak manapun atau instansi pemerintahan seperti Menteri Hukum dan HAM, instansi penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian untuk menentukan persyaratan menjadi Kuasa Hukum/Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi Konsultan Pajak/Kuasa Hukum Wajib Pajak, karena Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji materiil ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai Kuasa Hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 atau, Konsultan Pajak. Padahal Kuasa Hukum/Konsultan Pajak dan Menteri Keuangan adalah para pihak yang berperkara/bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Pengadilan Pajak;

    12.

    Bahwa Advokat sebagaimana disebutkan dalam Konsideran Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan: " Menimban g : b) memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia "; dan c) bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum”. Profesi Advokat ditempatkan sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang;

    13.

    Bahwa berdasarkan alasan-alasan Pemohon tersebut Pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mengenai kewenangan Menteri Keuangan berdasarkan pasal-pasal yang diajukan uji materiil oleh Pemohon, yaitu kewenangan Menteri Keuangan untuk mengatur dan menentukan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa, Pemohon merasa hak Pemohon sebagai Kuasa atau Advokat untuk menjalankan profesi sebagai Kuasa Hukum yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam mewakili kepentingan Pemohon telah terciderai, karena kewenangan Menteri Keuangan tersebut adalah intervensi dan menempatkan kedudukan Menteri Keuangan yang lebih tinggi atau superior dibandingkan dengan Wajib Pajak/Kuasa. Sehingga menurut penalaran yang wajar dan masuk akal pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak dapat atau berpotensi menjadi tidak netral. Oleh karena itu, Ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang diuji materiil oleh Pemohon mengenai kewenangan Menteri Keuangan untuk menentukan Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa, dalam rangka mewakili kepentingan Pemohon telah bertentangan dengan konstitusi yaitu norma Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan ini, potensi kerugian Pemohon tidak akan terjadi dan semua orang yang menyandang profesi Advokat tidak dilanggar hak-hak konstitusionalnya;

    14.

    Konklusi:

    1.

    Pemohon memiliki Legal Standing selaku warga negara dan Wajib Pajak untuk mengajukan Uji Materi terhadap Pasal 32 ayat (3a) UU KUP khusus yang berbunyi, “Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”, padahal sebelumnya dalam Pasal 3, disebutkan bahwa: Orang atau Badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan;

    2.

    Telah terbukti adanya kerugian konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam:

    2.
    1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, 2.2. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, 2.3. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yaitu, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”, dan 2.4. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pemohon telah ditolak mendampingi Klien di Kantor Pelayanan Pajak, sehingga Pemohon telah mengajukan 3 (tiga) Gugatan di Pengadilan Negeri Bantul yaitu Gugatan Nomor 28/Pdt.G/2015/PN.Btl, Gugatan Nomor 28/Pdt.G/2016/PN.Btl, Gugatan Nomor 39/Pdt.G/2016/PN.Btl.
    3.

    Bahwa ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP jelas telah merugikan Pemohon; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 IV. Petitum Berdasarkan alasan-alasan hukum yang konstitusionalitas yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Pemohon memohon agar Maielis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut:

    1.

    Mengabulkan seluruh Permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh Pemohon;

    2.

    Menyatakan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mengikat;

    3.

    Memerintahkan Amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 32 ayat (3a) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) untuk dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya – ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-16b, tanpa bukti P-9 yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 2 Oktober 2017, sebagai berikut:

    1.

    Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2);

    2.

    Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 32 ayat (3a), yang berbunyi: “ Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ;

    3.

    Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan, “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh _sebuah Mahmakah Konstitusi; _ 4. Bukti P-4 : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP atas nama Pemohon dengan Nomor 07.283.5382-017.000;

    5.

    Bukti P-5 : Fotokopi Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor PTJ.PANKUM 143.671-1990;

    6.

    Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Kehakiman Nomor D- 29.KP.04.13-Tahun 1993 tanggal 11 Agustus 1993 tentang Pengangkatan sebagai Penasihat Hukum; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 7. Bukti P-7 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU.AH.04.03-85 sebagai Kurator dan Pengurus;

    8.

    Bukti P-8 : Fotokopi Surat Keputusan Nomor KEP-302/PP/IKH/2009 tanggal 30 Juni 2009 sebagai Kuasa Hukum Pengadilan Pajak;

    9.

    Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Certified Legal Auditor tanggal 2 Juli 2014 sebagai Legal Auditor ;

    10.

    Bukti P-11 : Fotokopi Surat Kuasa yang diberikan oleh Klien Pemohon, Ny. Dra. Hj. Delia Murwihartini kepada Pemohon untuk mewakili/ mendampingi Klien tersebut sehubungan dengan proses hukum yang dihadapi oleh Klien Pemohon;

    11.

    Bukti P-12 : Fotokopi Surat yang diajukan oleh Pemohon selaku Kuasa Hukum kepada Pejabat-pejabat/Petugas Pajak pada 28 Februari 2015 yang pada pokoknya menyampaikan keberatan dengan cara kerja KPP Bantul, dalam hal ini Pejabat- pejabat/Petugas Pajak yang memperlakukan Klien Pemohon dengan tidak adil;

    12.

    Bukti P-13 : Fotokopi Tanggapan ke Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak tanggal 8 April 2015 dengan Nomor 008/THS/PBP/IV/2015 yang menanggapi Surat Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul;

    13.

    Bukti P-14 : Fotokopi Sertifikat Perpajakan Setara Brevet A-B yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 10 Januari 2009-25 April 2009 dengan Nomor Sertifikat 032/LPLIH Perpajakan/IV/2009;

    14.

    Bukti P-15 : Fotokopi Surat Perjanjian Penggunaan Jasa Hukum untuk mendampingi dan mengurus permasalahan Klien Pemohon dengan nilai kontrak sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);

    15.

    Bukti P-16 :

    a.

    Fotokopi Akta Permohonan Banding Nomor 28/Pdt.G/2015/ PN.Btl tanggal 8 Desember 2015;

    b.

    Fotokopi Akta Pencabutan Permohonan Banding Nomor 28/Pdt.G/2015/PN.Btl tanggal 17 Mei 2016; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 Selain itu, untuk menguatkan dalilnya, Pemohon dalam persidangan tanggal 14 November 2017, mengajukan satu orang ahli yakni DR.(Yuris), DR.(Mp), H. Teguh Samudera, S.H., M.H. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 10 November 2017, pada pokoknya sebagai berikut:

    1.

    PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa “ negara Indonesia adalah negara hukum ” [vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 -perubahan ketiga- disahkan MPR 10-11- 2001]. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum ( equality before the law ). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; Guna memahami secara substansial terhadap pembahasan fungsi dan peran Advokat, maka ahli memandang perlu mengemukakan pengertian dari tiap-tiap kata pada bahasan ini sebagaimana dalam KBBI: 1997 yaitu: yang dimaksud dengan Fungsi : kegunaan suatu hal; berfungsi: berguna dalam menjalankan tugasnya; berfungsi sosial: berguna bagi kehidupan masyarakat; Peran : tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan/ berprofesi dalam masyarakat; Profesi : organisasi yang anggota-anggotanya adalah orang-orang yang mempunyai profesi sama; Advokat : orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, pengacara, penasehat hukum, pengacara praktik ataupun sebagai konsultan hukum;

    2.

    PERAN DAN FUNGSI ADVOKAT Ahli berpendapat, bahwa dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggungjawab adalah merupakan hal yang sangat penting , di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Advokat, melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar peradilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada masa saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kahidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa di seluruh dunia. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian di luar pengadilan. Sebagai landasan kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat itu dibentuklah Undang-undang Advokat sebagaimana diamanatkan pula dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, mengatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat [ fungsinya ]: seperti dalam (1) pengangkatan, (2) pengawasan, dan (3) penindakan serta ketentuan bagi (4) pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu juga diatur berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam (1) menegakkan keadilan serta (2) terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. Menurut pendapat ahli, tidak dapat kita pungkiri, bahwa saat ini profesi Advokat yang bebas dan mandiri serta bertanggung jawab itu sangat diperlukan untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang bebas dari:

    (1)

    segala campur tangan dan (2) pengaruh dari luar. Karena kekuasaan kehakiman yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 independen itu semata-mata demi terselengaranya peradilan yang jujur, adil dan bersih demi kepastian hukum bagai semua pihak agar:

    (1)

    keadilan, (2) kebenaran dan (3) hak asasi manusia itu terwujud dengan kokoh dan tegak sebagaimana yang semestinya bagi kehidupan manusia; Advokat selain berperan:

    (1)

    memberi jasa hukum (baik di dalam maupun di luar pengadilan), juga wajib (2) memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu. Dengan demikian menurut ahli, Advokat itu:

    (1)

    tidak boleh melakukan diskriminasi, (2) tidak boleh mata duitan, (3) tidak boleh memegang jabatan lain yang bertentangan dengan tugas dan martabat profesinya maupun jabatan yang meminta pengabdian yang merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Sehingga Advokat yang menjadi pejabat negara, dilarang melaksanakan tugas profesinya alias cuti dengan menanggalkan segala atribut profesi keAdvokatannya; Tujuan utama UU Advokat adalah: perlindungan terhadap profesi Advokat, agar (1) bebas dan (2) mandiri serta (3) bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, sesuai dengan:

    (1)

    kode etik maupun (2) peraturan perundang-undangan. Menurut Ahli, materi muatan pokok yang terpenting dalam Undang-undang Advokat adalah: tentang pengakuan bahwa Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri dan dijamin oleh hukum dan perUndang- undangan [vide Pasal 5 ayat (1)]. Untuk menjaga kemandiriaannya, maka Advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi Advokat ( self governing body ), tanpa campur tangan atau kontrol dari kekuasaan pemerintah. Hal itu tercermin dari ketentuan bahwa organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dengan maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi Advokat [Pasal 28 ayat (1)]; Mengenai organisasi Advokat itu pun ditetapkan oleh para Advokat sendiri dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga [Pasal 28 ayat (2)]; Kemandirian tersebut dapat dilihat pada:

    (1)

    proses pendidikan khusus profesi;

    (2)

    ujian calon Advokat, (3) magang;

    (4)

    pengangkatan Advokat, (5) pengawasan, (6) penindakan sampai pemberhentian Advokat, semuanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 diatur dan diurus sendiri oleh organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 9 ayat (1)]; Proses rekruitmen itu sendiri yang diberi kewajiban menerima calon–calon Advokat yang akan melakukan magang [Pasal 29 ayat (5)], dengan kewajiban memberikan bimbingan, pelatihan dan kesempatan praktek terhadap para calon Advokat [Pasal 29 ayat (6)] adalah para Advokat yang menjadi anggota organisasi profesinya; Dengan demikian menurut ahli, ada 2 (dua) prinsip (1) kebebasan dan kemandirian profesi Advokat dan (2) organisasi Advokat yang mengurus dirinya sendiri ( self governing body ) yang menjadi roh (jiwa) ataupun semangat (spirit) dari Undang-undang Advokat; yang notabene dua prinsip tersebut telah 39 tahun diperjuangkan tetapi tidak pernah dapat diterima oleh pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru; Undang-undang Advokat itu merupakan hasil era reformasi di bidang hukum, berkat dukungan dari pembentuk Undang-undang dan pemerintah, termasuk para Advokat serta organisasi profesi Advokat. Dalam rangka perlindungan terhadap profesi Advokat yang bebas dalam menjalankan tugas profesi yang menjadi tanggung jawabnya (Pasal 15) dan khusus di muka pengadilan , Advokat bebas mengeluarkan pendapat dan pernyataan dengan tetap berpegang pada kode etik dan peraturan perUndang- undangan (Pasal 14), maka Advokat pun tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya, asalkan dengan itikad baik untuk kepentingan klien dalam persidangan (Pasal 16). Advokat juga mempunyai hak untuk memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan klien sesuai dengan peraturan perUndang-undangan (Pasal 17); Advokat juga berhak, bahwa dirinya wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang– undang. Dalam hubungan ini Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas dokumen terhadap penyitaan atau pemeriksaan. Begitu pula perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat (Pasal 19). Undang–undang menjamin pula, bahwa Advokat dalam menjalankan profesinya tidak dapat diidentikkan (baca: disamakan) dengan klienya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang maupun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 masyarakat [Pasal 19 ayat (2)]. Karenanya menurut ahli, hal ini teramat penting dijaga, karena masih adanya kecenderungan disebagian penguasa maupun sebagian masyarakat yang menyamakakan Advokat atau sipembela sama dengan pihak yang dibelanya, baik klien perorangan, golongan ataupun pemerintah; Jikalau kecenderungan tersebut terjadi, akan sangat merugikan kebebasan profesi, karena Advokat akan ragu-ragu, bahkan takut membela kliennya dengan alasan khawatir akan diintimidasi, diteror dan lain-lainnya dari pihak yang merasa dirugikan atau pun pihak yang tidak senang; Padahal sebenarnya, hak membela diri adalah merupakan hak asasi dari seseorang dan juga merupakan hak hukumnya yang wajib dilindungi demi tegaknya proses peradilan yang objektif, jujur, dan adil ( fair trial ); Menurut Ahli, Advokat dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya adalah merupakan sikap dan panggilan dalam profesi yang diyakini sebagai tugas yang mulia, luhur dan manusiawi ( officium nobiele ) yang telah melekat dan mendarah daging pada jiwanya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan demi nama baiknya; Di dalam Undang- Undang Advokat juga telah menentukan bahwa dalam menjalankan tugas profesinya, Advokat dilarang membedakan perlakuan terhadap kliennya berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, ataupun latar belakang sosial dan budaya [Pasal 19 ayat (1)]; Adanya aturan yang bersifat larangan memegang jabatan yang bertentangan dengan kepentingan, tugas dan martabat profesinya [Pasal 20 ayat (1)] ataupun memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa hingga merugikan profesi Advokat atau merugikan kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan profesinya [Pasal 20 ayat (2)] adalah untuk menjaga kemurnian profesi Advokat [yang bebas dan mandiri serta bertanggung jawab] dari pengaruh kekuasaan ataupun pekerjaan lain yang bertentangan dengan kebebasan profesi ataupun yang merendahkan martabat profesi Advokat, yang nanti pada akhirnya dapat terjadi keadaan yang merugikan kepentingan klien maupun dirinya dalam menjalankan tugas profesinya sebagai Advokat; Jadi, sekalipun Advokat kemudian menjadi pejabat Negara, tetap saja Advokat tersebut tidak boleh melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan dimaksud [Pasal 20 ayat (3)]. Adanya larangan dalam hal ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 adalah semata menjaga agar dapat menghindari penyalahgunaan jabatan negara bagi pribadi si Advokat atau bagi kepentingan kliennya; Sesuai dengan asas hukum, asas keseimbangan, maka menurut ahli, hak-hak yang diberikan kepada profesi Advokat diimbangi pula dengan diberikan kewajiban hukum yaitu kewajiban untuk tunduk dan taat pada etika profesi maupun terhadap peraturan perundang-undangan demi melindungi masyarakat khususnya para pencari keadilan atau pengguna jasa Advokat;

    3.

    PRINSIP-PRINSIP DASAR TENTANG PERAN ADVOKAT Sepengetahuan Ahli telah ada prinsip-prinsip dasar tentang perana advokat yang telah “disahkan” oleh KONGRES PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA, Kedelapan tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba, 27 Agustus - 7 September 1990; Prinsip- prinsip tersebut telah diakui secara universal dan menjadi pedoman atau landasan berpikir dalam pembentukan hukum dan perilaku pemerintah dalam menjalankan wewenangnya yang menurut Ahli dipandang relevan dikutip dan dikemukakan disini yakni sebagai berikut: Akses kepada Advokat dan pelayanan hukum:

    1.

    Semua orang berhak untuk minta bantuan seorang Advokat mengenai pilihan mereka untuk melindungi dan menetapkan hak-hak mereka dan untuk melindungi mereka pada semua dalam proses pengadilan pidana;

    2.

    Pemerintah-pemerintah harus memastikan bahwa prosedur yang efisien mekanisme yang responsif untuk akses yang efektif dan setara kepada Advokat disediakan kepada semua orang di wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya, tanpa pembedaan dalam hal apapun, seperti misalnya diskriminasi yang berdasarkan pada ras, warna kulit, asal-usul etnis, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lain-lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, status ekonomi atau lainnya;

    3.

    Pemerintah-pemerintah harus memastikan bersedianya dana dan sumber daya lainnya yang cukup untuk pelayanan hukum bagi orang-orang miskin dan, kalau perlu, kepada orang-orang lain yang kurang beruntung. Perhimpunan Advokat profesional harus bekerjasama dalam organisasi dan penyediaan pelayanan, fasilitas dan sumber daya lainnya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 4. Pemerintah dan perhimpunan Advokat profesional akan memajukan program untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka berdasarkan hukum dan peranan penting Advokat dalam melindungi kebebasan-kebebasan fundamental mereka. Perhatian khusus harus ditujukan kepada bantuan kepada orang-orang miskin dan orang- orang yang kurang mampu sehingga memungkinkan mereka untuk menyatakan hak-hak mereka dan untuk minta bantuan Advokat;

    5.

    Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa aparat yang berwenang akan memberitahukan hak Terdakwa untuk didampingi Advokat pada saat ditangkap atau ditahan atau apabila dituduh dengan pelanggaran pidana;

    6.

    Orang yang tidak mempunyai Advokat, dalam hal bagaimanapun juga di mana kepentingan keadilan membutuhkan, berhak untuk mempunyai seorang Advokat yang mempunyai pengalaman dan kompetensi yang sesuai dengan sifat pelanggaran yang ditugaskan kepada mereka untuk memberikan bantuan hukum secara efektif, tanpa bayaran oleh mereka kalau kekurangan sarana yang cukup untuk membayar pelayanan tersebut;

    7.

    Pemerintah-pemerintah selanjutnya harus memastikan bahwa semua orang yang ditangkap atau ditahan, dengan atau tanpa tujuan pidana, harus mempunyai akses dengan segera kepada seorang Advokat, dan dalam keadaan apapun tidak lebih lambat dari empatpuluh delapan jam dari waktu penangkapan atau penahanan;

    8.

    Semua orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjarakan harus diberi kesempatan, waktu dan fasilitas yang cukup untuk dikunjungi oleh Advokatnya untuk berkomunikasi dan berkonsultasi, tanpa penyadapan atau penyensoran dan dalam kerahasiaan sepenuhnya. Konsultasi tersebut dapat diawasi, tetapi tidak boleh didengar oleh para pejabat penegak hukum; Kualifikasi dan Latihan:

    9.

    Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus memastikan bahwa para Advokat mendapat pendidikan dan latihan yang layak dan memperoleh kesadaran mengenai cita-cita dan kewajiban etis Advokat dan hak asasi manusia serta kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 10. Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus menjamin bahwa tidak ada diskriminasi terhadap seseorang berkenaan dengan pemasukan atau kelanjutan praktek dalam rangka profesi hukum atas dasar ras, warna kulit, jenis atau sosial, kekayaan, kelahiran, status ekonomi atau lainnya, kecuali adanya suatu persyaratan, bahwa seorang Advokat haruslah warga negara dari negara yang bersangkutan, harus tidak dianggap diskriminatif;

    11.

    Di negara-negara di mana ada kelompok, masyarakat atau daerah yang kebutuhannya akan pelayanan hukum tidak terpenuhi, terutama di mana kelompok-kelompok tersebut mempunyai kebudayaan, tradisi atau bahasa yang berbeda atau telah menjadi korban diskriminasi masa lalu. Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus mengambil tindakan khusus untuk memberi kesempatan kepada para calon dari kelompok-kelompok ini untuk memasuki profesi hukum dan harus memastikan bahwa mereka menerima latihan yang memadai bagi kebutuhan kelompok mereka; Kewajiban dan tanggung jawab:

    12.

    Para Advokat setiap saat harus mempertahankan kehormatan dan martabat profesi mereka sebagai bagian yang amat penting dari pelaksanaan keadilan;

    13.

    Kewajiban para Advokat terhadap klien-klien mereka harus mencakup: (a) Memberi nasehat kepada para klien mengenai hak dan kewajiban hukum mereka dan mengenai fungsi dari sistem hukum sejauh bahwa hal itu relevan dengan berfungsinya sistem hukum dan sejauh bahwa hal itu berkaitan dengan hak dan kewajiban hukum para klien; (b) Membantu para klien dengan setiap cara yang tepat, dan mengambil tindakan hukum untuk melindungi kepentingannya; (c) Membantu para klien di depan pengadilan, majelis atau pejabat pemerintahan, di mana sesuai.

    14.

    Para Advokat dalam melindungi hak klien-klien mereka dan dalam memajukan kepentingan keadilan, akan berusaha untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional dan setiap akan bertindak bebas dan tekun sesuai dengan hukum dan standar serta etika profesi hukum yang diakui; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 15. Para Advokat harus selalu menghormati dengan loyal kepentingan para klien. Jaminan-jaminan untuk berfungsinya para Advokat:

    16.

    Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa para Advokat: (a) Dapat melaksanakan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi hambatan, gangguan atau campur tangan yang tidak selayaknya; (b) Dapat bepergian dan berkonsultasi dengan klien mereka secara bebas di negara mereka sendiri dan di luar negeri; (c) Tidak akan mengalami, atau diancam dengan penuntutan atau sanksi administratif, ekonomi atau lainnya untuk setiap tindakan yang diambil sesuai dengan kewajiban, standar dan etika profesional.

    17.

    Apabila keselamatan para Advokat terancam sebagai akibat dari pelaksanaan fungsinya, mereka harus mendapat penjagaan secukupnya oleh para penguasa;

    18.

    Para Advokat harus tidak diidentifikasi dengan klien atau perkara klien mereka sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi mereka;

    19.

    Tidak ada pengadilan atau pejabat pemerintah di mana hak untuk memberi nasehat hukum di mana hak untuk memberi nasehat itu diakui di hadapannya yang akan menolak untuk mengakui hak seorang Advokat untuk hadir di hadapannya untuk kliennya kecuali kalau Advokat itu telah didiskualifikasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan sesuai dengan prinsip-prinsip ini;

    20.

    Para Advokat harus menikmati kekebalan perdata dan pidana untuk pernyataan-pernyataan terkait yang dikemukakan dengan niat baik dalam pembelaan secara tertulis atau lisan atau dalam penampilan profesionalnya di depan pengadilan, majelis atau pejabat hukum atau pemerintahan lainnya;

    21.

    Merupakan tugas dari para pejabat yang berwenang untuk memastikan akses para Advokat kepada informasi, arsip dan dokumen yang layak yang dimiliki atau dikuasai dalam waktu yang cukup untuk memungkinkan para Advokat, memberikan bantuan hukum yang efektif kepada kliennya. Akses tersebut harus diberikan sedini mungkin; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 22. Pemerintah-pemerintah harus mengakui dan menghormati bahwa semua komunikasi dan konsultasi antara para Advokat dan klien mereka dalam rangka hubungan profesi mereka bersifat rahasia; Kebebasan berekspresi dan berserikat:

    23.

    Para Advokat seperti warga negara lainnya berhak atas kebebasan berekspresi, mempunyai kepercayaan, berserikat dan berkumpul. Secara khusus, mereka harus mempunyai hak untuk ikut serta dalam diskusi umum mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan hukum, pemerintahan dan keadilan dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan memasuki atau membentuk organisasi lokal, nasional atau internasional dan menghadiri rapat-rapatnya, tanpa mengalami pembatasan profesional dengan dalih tindakan mereka yang sah atau keanggotaan mereka dalam suatu organisasi yang sah. Dalam melaksanakan hak-hak ini, para Advokat akan selalu mengendalikan dirinya sesuai dengan hukum dan standar serta etika yang diakui mengenai profesi hukum; Perhimpunan profesional Advokat:

    24.

    Para Advokat berhak untuk membentuk dan bergabung dengan himpunan profesional yang berdiri sendiri untuk mewakili kepentingan-kepentingannya, memajukan kelanjutan pendidikan dan latihan mereka dan melindungi integritas profesional mereka. Badan eksekutif dari perhimpunan profesi itu dipilih oleh para anggota;

    25.

    Perhimpunan profesional Advokat akan bekerja sama dengan Pemerintah untuk memastikan bahwa setiap orang mempunyai akses yang efektif dan setara kepada pelayanan hukum dan bahwa para Advokat dapat, tanpa campur tangan yang tak semestinya, untuk memberi nasehat dan membantu klien mereka sesuai dengan hukum dan standar dan etika profesional yang diakui; Proses persidangan disiplin:

    26.

    Kode prilaku profesional bagi para Advokat akan ditetapkan oleh profesi hukum melalui badan yang layak, atau dengan perundangan, sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan standar dan norma internasional yang diakui; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 27. Tuduhan atau keluhan yang diajukan terhadap para Advokat dalam kapasitas profesionalnya akan diproses dengan segera dan adil berdasarkan prosedur yang benar. Para Advokat mempunyai hak atas pemeriksaan yang adil, termasuk hak untuk dibantu oleh seorang Advokat yang dipilihnya;

    28.

    Proses persidangan disiplin terhadap Advokat akan dibawa ke depan komite disiplin tidak memihak yang dibentuk oleh profesi hukum, di depan suatu kewenangan yang mandiri berdasarkan undang-undang, atau di depan suatu pengadilan, dan tunduk pada suatu tinjauan yudisial mandiri;

    29.

    Semua proses persidangan disipliner akan ditentukan sesuai dengan kode prilaku profesional dan standar serta etika yang diakui lainnya dari profesi hukum dan dengan mengingat prinsip-prinsip ini; Ditilik dari keberadaan Advokat dimasa romawi kuno yang berfungsi sosial karena kepedulian para bangsawan terhadap nasib kaum papa, maka sifat berbudi luhur yang harus diteladani hingga kini, adalah sebagaimana dimanifestasikan dari pergerakan pemberi bantuan hukum kepada rakyat miskin yang kemudian dilegalisasikan ke dalam Undang-Undang dengan “mewajibkan Advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu” [Pasal 22 ayat (1)]. Dalam konteks ini relevan dikemukakan, bahwa para adavokat juga wajib : tunduk serta mematuhi kode etik Advokat yang sama yang dibuat oleh organisasi Advokat itu sendiri [vide Pasal 26 ayat (2)]; Kode etik Advokat adalah merupakan standar tingkah laku profesi yang menjadi parameter untuk mengukur dan menilai Advokat dalam perannya: menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya [Pasal 26 ayat (1)] hal ini juga berlaku bagi Advokat asing yang bekerja di indonesia (Pasal 24); Jika ada Advokat melangar kode etik, misalnya menelantarkan klien, berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya, ataupun bersikap, bertingkah laku, bertutur kata ataupun mengeluarkan peryataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum ataupun peraturan perUndang-undangan atau pengadilan, bahkan lebih luas lagi berbagi hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan atau harkat dan martabat profesinya dapat dikenai tindakan (Pasal 6 huruf a sampai dengan huruf d) selain itu Advokat juga tetap dapat sangsi hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perUndang-undangan atau perbuatan tercela (Pasal 6 huruf c); Ada 2 (dua) lembaga yang dapat dijadikan sarana untuk melindungi kehormatan profesi Advokat dan kepentingan masyarakat, khususnya para pencari keadilan atau pengguna jasa Advokat, yaitu:

    (1)

    wewenang untuk mengawasi dan (2) mengambil tindakan terhadap Advokat yang melanggar kode etik profesi, yakni:

    (1)

    komisi pengawas dan (2) dewan kehormatan; Komisi pengawas dibentuk dengan tujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundangan [Pasal 12 ayat (2)]; komisi pengawas menjalankan tugas pengawasan sehari- hari kepada para Advokat, susunan anggota komisi terdiri dari unsur:

    (1)

    Advokat senor, (2) para ahli atau akademisi dan (3) tokoh masyarakat; Dewan Kehormatan , sebagai lembaga independen dalam struktur organisasi Advokat, memiliki tugas dan wewenang:

    (1)

    menerima pengaduan;

    (2)

    memeriksa dan (3) mengadili para Advokat yang diadukan telah melanggar kode etik Advokat [Pasal 26 ayat (5)]; Susunan Dewan Kehormatan terdiri dari unsur Advokat sendiri [Pasal 27 ayat (3)], karena Advokat sendirilah yang dianggap paling memahami dunia profesi Advokat, hal itu sesuai pula dengan jiwa atau semangat kebebasan profesi, hanya saja untuk keperluan memeriksa dan mengadili Advokat, secara khusus dewan kehormatan akan membentuk Majelis Kehormatan , yang susunan anggotanya terdiri dari:

    (1)

    pakar di bidang hukum dan (2) tokoh masyarakat [Pasal 27 ayat (4)] agar dapat dijaga nilai-nilai objektivitas, kejujuran dan keadilan (fairness) serta transparansi maupun akuntabel; Dalam proses menggunakan wewenangnya tersebut, dewan kehormatan harus memperhatikan adanya ketentuan yang menunjukkan penghormatan bagi profesi Advokat yaitu adanya kesempatan bagi Advokat yang diadili oleh Dewan Kehormatan untuk membela diri, sebelum akhirnya Dewan Kehormatan akan menjatuhkan sanksi [Pasal 7 ayat (3)]; Sanksi yang dimiliki dan dapat dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan adalah hukuman yang dapat berupa:

    (1)

    teguran lisan, (2) teguran tertulis, (3) pemberhentian sementara 3 sampai 12 bulan, dan (4) pemberhentian tetap [Pasal 7 ayat (1)]; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Jadi hanya dewan kehormatan yang dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap, salinan putusan hukuman pemberhentian sementara tersebut disampaikan pula kepada Mahkamah Agung, akan tetapi apabila sangsinya berupa pemberhentian tetap, salinan putusannya selain disampaikan kepada Mahkamah Agung, juga disampaikan ke Pengadilan Tinggi dan lembaga penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan Pengadilan); [Sebagai catatan untuk melawan lupa, perlu diingat dan menjadi catatan sejarah perjuangan Advokat Indonesia dimasa mendatang, bahwa kini tidak ada lagi jaminan hukum bagi profesi Advokat, karena walaupun semula Undang-undang memberikan perlindungan berupa sanksi kepada setiap orang yang dengan sengaja menjalankan profesi Advokat dan bertindak seolah–olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang– undang ini , dipidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah (Pasal 31), akan tetapi kemudian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004 tgl 13-12-2004 , ketentuan dimaksud dinyatakan tidak berkekuatan hukum karena dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28F; Padahal sebenarnya dalam proses persidangannya, penulis sebagai salah satu wakil dari organisasi profesi telah menjelaskan dengan gamblang tentang maksud dan makna ketentuan tersebut diatur (lihat pertimbangan hukum putusan a quo )];

    4.

    TIDAK SEPATUTNYA ADA TINDAKAN PEJABAT PEMERINTAH MAUPUN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENOLAK PERAN ADVOKAT DALAM MENJALANKAN PROFESINYA Menurut Ahli, sekalipun pada mulanya profesi Advokat dimarjinalkan oleh penguasa atau pemerintah waktu itu, sehingga para Advokat perlu berjuang sampai setidaknya 39 tahun baru mendapatkan pengakuan dari Negara dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, namun secara jujur, adil dan harus diterima pada kenyataannya, bahwa keberadaan dan peran profesi Advokat sangat diperlukan oleh semua kalangan baik warga Negara Indonesia, bahkan Negara atau pemerintah termasuk pejabatnya, dari Presiden, Menteri, Jenderal, Hakim, Jaksa, Polisi, pengusaha konglomerat sampai rakyat jelata, bahkan politikus maupun lembaga-lembaga negara ataupun lembaga swasta nasional maupun internasional, serta orang asing/WNA maupun perusahaan asing, saat ini banyak yang memerlukan jasa Advokat, terlepas dengan honorarium ataupun prodeo. Semua itu karena kebutuhan hidup dan tingkat kesadaran hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 mereka yang tinggi serta pemahaman tentang hak-haknya yang dilindungi oleh hukum karena pergaulan hidup dalam Negara hukum; Oleh karena itu Ahli berpendapat, dengan mengkaji permohonan Pemohon yang nyata dalam realitanya mengalami sendiri adanya sikap tindak atau tindakan pejabat pemerintah menolak kehadiran Advokat yang mendampingi kliennya dengan dasar adanya surat kuasa [kuasa lisan pun sebenarnya sah dan dibenarkan di mata hukum], adalah suatu hal yang sangat menyakitkan dan mencederai demokrasi dan melanggar hak asasi manusia serta merobek asas persamaan didepan hukum. Ketidakpahaman pejabat yang hanya mampu berpegang pada aturan yang tidak adil dan bahkan diskriminatif tersebut adalah sangat tidak mencerminkan bahwa pejabat pemerintah adalah abdi Negara yang bertugas melayani kepada masyarakat warga negara, dan atas pelayanannya pun mendapat gaji dari uang negara yang didapat dari rakyat yang antara lain adalah Advokat dan kliennya yang menghadap dan ditolak oleh pejabat pemerintah dimaksud; Pejabat maupun aturan yang melarang atau berakibat meniadakan peran profesi Advokat adalah sangat kejam dan tidak manusiawi yang cenderung arogan dan piawai menunjukan otoritas kekuasaanya semata, hal tersebut patut dipahami sebagai adanya rasa takut akan diketahui perbuatan yang tidak baik pada dirinya atau setidaknya terbayang rasa takut yang amat dalam yang ada pada diri pejabat pemerintah, karena tidak bisa berbuat lain selain harus mengikuti dan taat pada aturan hukum yang tentu dikuasai dan dipahami oleh Advokat yang menghadap didepannya. Pejabat yang menolak tersebut patut diduga takut diketahui adanya kecenderungan kebiasaan berbuat tidak baik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, dan lupa bahwa dirinya jika terkena atau mendapat atau terlibat masalah hukum pun akan minta atau setidaknya memerlukan bantuan atau peran Advokat untuk mendampingi atau mewakilinya; Sebagaimana telah dikemukakan ahli di atas, baik berdasarkan Undang- undang maupun prinsip-prinsip peran Advokat yang diakui secara universal, peran Advokat hanyalah memberi advise sesuai dengan hukum, tidak dapat menentukan kebijaksanaan, yang secara umum dapat dikatakan hanya bisa memohon atau mengajukan keberatan atau protes, itupun atas dasar apabila ada hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan hukum. Hal itu semua, semata Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 adalah supaya segala sesuatunya yang dihadapi adalah benar, sah serta sesuai dan secara atau menurut hukum, bukan menurut maunya sang pejabat/penguasa. Jadi singkatnya, peran Advokat adalah hanya sebagai penjaga hukum, penjaga konstitusi dan penjaga agar keadilan dapat tegak sekalipun langit akan runtuh; Karenanya tidak berlebihan apabila Ahli berpendapat, tidaklah berdasar pada rasa kemanusiaan yang beradab, transparansi, akuntabel dan asas kesetaraan maupun asas kesamaan di depan hukum, apabila seseorang yang mengalami masalah hukum pajak, dipanggil/diundang petugas/pejabat pajak, kemudian saat memenuhi panggilan/undangan didampingi dan/atau diwakili oleh Advokat, pejabat/petugas pajak menolak dan tidak mau menerima serta mengesampingkan peran dan fungsi profesi Advokat, baik dengan alasan formil karena adanya peraturan maupun Undang-undang atau Peraturan Menteri yang ditafsirkan menyimpang dari Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, perlunya Wajib Pajak memberikan Kuasa kepada seorang Kuasa untuk mewakili atau mendampingi dalam menghadapi atau menyelesaikan kasusnya; Maka menurut pendapat ahli, alasan adanya peraturan maupun Undang- undang yang melarang peran Advokat mendampingi dan/atau mewakili kliennya di depan pejabat/petugas dan/atau Kantor Pelayanan Pajak, selain melanggar Undang-Undang Advokat, adalah juga melanggar prinsip-prinsip peran Advokat yang telah disahkan PBB dan berlaku universal, serta melanggar hak asasi manusia [hak asasi diri Advokat maupun kliennya], karena terbukti sah bahwa Undang-undang yang dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yakni Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 ayat (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”, dan Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah dan dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 16 Oktober 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP) yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak menurut Pemohon berpotensi merugikan hak konstitusi Pemohon karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu hak atas pekerjaan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari Wajib Pajak;

    2.

    Bahwa dalam kedudukannya sebagai Advokat, Pemohon merasa tidak dapat menjalankan pekerjaan, telah kehilangan hak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai penerima kuasa, karena adanya kewenangan mutlak dari Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan sebagai penerima kuasa;

    3.

    Bahwa Pemohon menganggap berlakunya ketentuan a quo juga melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) dimana dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini (UU Advokat). Persyaratan sebagai Advokat telah dipenuhi oleh Pemohon; II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) dari Pemohon, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut:

    1.

    Bahwa dalam permohonannya, Pemohon bertindak dalam kedudukannya sebagai seorang Advokat dan Pembayar Pajak yang menganggap berlakunya ketentuan a quo menimbulkan kerugian bagi Pemohon karena tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagai Kuasa Wajib Pajak dimana hal tersebut disebabkan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang mendelegasikan ketentuan mengenai persyaratan menjadi Kuasa Wajib Pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan;

    2.

    Bahwa menurut Pemerintah, tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara keberlakuan ketentuan a quo dengan kerugian yang didalilkan dialami oleh Pemohon, karena:

    a.

    Bahwa dalam memahami ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dimana dalam Penjelasannya menyatakan bahwa: “Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak ….” Sehingga secara keseluruhan dapat diartikan bahwa UU KUP telah menetapkan bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah memahami masalah perpajakan;

    b.

    Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon merupakan norma tambahan pasca perubahan UU KUP yang memuat pendelegasian pengaturan lebih lanjut secara teknis mengenai persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak yang sekaligus juga menegaskan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP masih memerlukan pengaturan lebih lanjut secara teknis; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 c. Bahwa berdasarkan pendelegasian tersebut, Menteri Keuangan kemudian menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/ 2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut PMK 229/2014).

    d.

    Bahwa keberatan Pemohon atas berlakunya ketentuan a quo karena dalam praktek yang dialaminya, Pemohon ditolak menjadi Kuasa Wajib Pajak karena bukan Konsultan Pajak berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PMK 229/2014 dimana hal tersebut tidaklah secara langsung disebabkan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang hanya memuat norma pendelegasian saja.

    e.

    Bahwa ketentuan-ketentuan dalam PMK 229/2014 semata-mata melaksanakan amanat Pasal 32 ayat (3) UU KUP yang menghendaki bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah mampu membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, sehingga tidak justru merugikan si Wajib Pajak itu sendiri. Oleh karena itu, muncullah open legal policy Pemerintah untuk mengatur bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah memahami masalah perpajakan dan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

    f.

    Bahwa permasalahan yang dikemukakan oleh Pemohon bukanlah isu konstitusionalitas melainkan isu penerapan norma dimana Pemohon sebagai seorang Advokat tidak dapat mewakili Wajib Pajak karena belum memenuhi persyaratan selaku Konsultan Pajak yang diatur lebih lanjut secara teknis dalam PMK 229/2014.

    3.

    Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, berlakunya ketentuan a quo sama sekali tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi siapapun termasuk Pemohon, karena Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak memuat persyaratan yang membatasi seseorang untuk mendapat pekerjaan, melainkan hanya memuat norma pendelegasian saja. Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard/N.O. ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. LANDASAN FILOSOFIS PENGATURAN BAGI PENERIMA KUASA 1. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUD 1945, ditegaskan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang;

    2.

    Bahwa sifat memaksa dari pelaksanaan pungutan pajak tersebut, dituangkan dalam undang-undang di bidang perpajakan, antara lain adanya kewajiban dari Wajib Pajak untuk:

    a.

    Mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya [vide Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU KUP];

    b.

    Menghitung dan membayar pajak terhutang [vide Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 10 UU KUP];

    c.

    Melaporkan pembayaran pajak [vide Pasal 3 ayat (1) UU KUP];

    d.

    Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya juga akan dikenakan sanksi mulai dari sanksi adminitrasi [vide Pasal 13 ayat (2)] (3) dan (7) UU KUP] sampai dengan sanksi pidana [vide Pasal 38-41c UU KUP].

    3.

    Bahwa selain bersifat memaksa, pelaksanaan pemungutan pajak juga bersifat mengedepankan prinsip keseimbangan, yakni pembayar pajak mendapat perlindungan hak-haknya melalui undang-undang juga; __ 4. Oleh karena itu di dalam undang-undang di bidang perpajakan, selain dibebani kewajiban, Wajib Pajak juga diberikan hak antara lain:

    a.

    Menerima pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak (vide Pasal 11 UU KUP);

    b.

    Menerima imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak [vide Pasal 11 ayat (3) UU KUP];

    c.

    Mengajukan gugatan (vide Pasal 23 UU KUP);

    d.

    Mengajukan keberatan dan banding atas surat ketetapan pajak (vide Pasal 25 UU KUP);

    e.

    Mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan (vide Pasal 27 UU KUP).

    5.

    Bahwa hukum pajak juga bersifat imperatif , yakni pelaksanaanya tidak dapat ditunda, misalnya pelaksanaan penagihan pajak tidak tertunda Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 meskipun ada gugatan, atau adanya pembatasan waktu dalam hal pengajuan keberatan atas surat ketetapan pajak [vide Pasal 25 ayat (3) UU KUP];

    6.

    Bahwa dari beberapa karakteristik atas pelaksanaan pemungutan pajak tersebut di atas, dapat disimpulkan dalam pemenuhan kewajiban dan pelaksanaan hak dibidang perpajakan, Warga Negara dalam hal ini Wajib Pajak perlu diberikan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang hukum pajak, karena apabila tidak, akan dapat berakibat hukum sebagaimana telah disebutkan di atas;

    7.

    Bahwa dalam rangka memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan, maka pembuat UU dalam hal ini UU KUP memandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai persyaratan/kriteria serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa yang akan mewakili Wajib Pajak, agar tidak merugikan Wajib Pajak;

    8.

    Secara filosofis, pengaturan mengenai persyaratan/kriteria serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa yang akan mewakili seseorang di bidang tertentu hakekatnya agar penerima jasa dapat terlindungi hak-haknya. Hal ini juga tercermin dari berbagai ikatan profesi yang juga mewajibkan anggotanya untuk memiliki keahlian khusus;

    9.

    Dengan demikian tidak berlebihan apabila terdapat pengaturan yang mewajibkan bagi Kuasa Wajib Pajak untuk memenuhi syarat tertentu; B. LANDASAN SOSIOLOGIS PENGATURAN BAGI PENERIMA KUASA __ 1. Bahwa berdasarkan pendapat Victor Thuronyi selaku Senior Councel Taxation IMF dan Frans Vanistendael selaku Head of European Tax Collage (Tax Law Design and Drafting,1996: Regulation of Tax Professionals), menyatakan bahwa sangat sulit untuk melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasihat perpajakan. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit untuk memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan tersebut. Dalam konteks ini diperlukan seorang penasihat perpajakan ( tax advisor) untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 menjadi Kuasa Wajib Pajak agar Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannnya dengan baik dan benar;

    2.

    Dengan memberikan layanan konsultasi kepada Wajib Pajak agar pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan maka keberadaan tax advisor menjadi bagian penting dari kepentingan publik. Oleh karena itu Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael (1996) menyatakan negara memiliki kepentingan untuk memberikan perlindungan dan pengaturan atas keberadaan dan kegiatan tax advisor . Negara memiliki kewajiban untuk melindungi Wajib Pajak dari tax advisor yang tidak kompeten atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal ini, kepentingan negara untuk melindungi Wajib Pajak sama dengan perlindungan atas kepentingan publik lainnya, seperti contohnya perlindungan atas konsumen;

    3.

    Dengan mempertimbangkan kepentingan negara dan publik sebagaimana dimaksud pada angka 2, Pemerintah dan DPR melalui Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi Kuasa Wajib Pajak dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaturan lebih lanjut dimaksud tentunya masih dalam koridor kepentingan negara untuk melindungi kepentingan Wajib Pajak, diantaranya untuk menentukan kualifikasi atau persyaratan yang diperlukan untuk menjadi kuasa sehingga setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak serta pengaturan lebih lanjut dalam rangka profesionalisme dan akuntabilitas Kuasa Wajib Pajak; C. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN UJI MATERIIL KETENTUAN PASAL 32 AYAT (3a) UU KUP TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 __ Sehubungan dengan dalil dan anggapan Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 1. Bahwa pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon selengkapnya menyatakan: Pasal 32 ayat (3a) UU KUP: “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau _berdasarkan peraturan Menteri Keuangan”; _ 2. Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon __ memberikan pendelegasian dalam Peraturan Menteri Keuangan __ untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak. Oleh karena itu Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (vide Pasal 2 ayat (1) PMK 229/2014);

    3.

    Bahwa hierarki dan pendelegasian peraturan perundang-undangan diperlukan karena ketentuan yang lebih tinggi hanya mengatur ketentuan yang bersifat umum, sedangkan ketentuan yang bersifat teknis didelegasikan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian tersebut diatur dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang menyatakan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri , pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif;

    4.

    Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya, antara lain Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, tanggal 11 Maret 2010 dan Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, tanggal 19 Maret 2015, pernah memutus konstitusionalitas mengenai pendelegasian wewenang undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam beberapa putusannya tersebut Mahkamah Konstitusi, antara lain, mempertimbangkan sebagai berikut:

    a.

    Bahwa pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk undang-undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, disamping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi __ (vide __ paragraf __  3.15.1  Putusan Nomor 128/PUU- VII/2009, tanggal 11 Maret 2010 pada halaman 160);

    b.

    Bahwa pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang dapat dibenarkan (konstitusional) apabila memenuhi syarat, yaitu delegasi kewenangan tersebut berasal dari undang-undang dan pengaturan dengan peraturan di bawah undang-undang tidak bersifat mutlak, melainkan hanya terbatas merinci dari hal-hal yang telah diatur oleh undang-undang __ (vide __ paragraf __  3.14.2  __ Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, tanggal 19 Maret 2015 pada halaman 137);

    5.

    Bahwa berdasarkan kewenangan tersebut, Menteri Keuangan menetapkan PMK 229/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa yang mengatur mengenai Wajib Pajak yang dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mana kuasa dimaksud meliputi Konsultan Pajak dan Karyawan Wajib Pajak [vide Pasal 2 ayat (4) PMK 229/2014];

    6.

    Bahwa seorang kuasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    a.

    Menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

    b.

    Memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;

    c.

    Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

    d.

    Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (vide Pasal 4 PMK 229/2014).

    7.

    Bahwa untuk menjadi kuasa dari Wajib Pajak, sangat wajar apabila dipersyaratkan Kuasa Wajib Pajak menguasai ketentuan antara lain peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang ditunjukkan dengan memiliki izin praktik konsultan pajak. Mengenai kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagai pejabat yang memberi izin praktek, hal itu logis dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan conflict of interest yang dikait-kaitkan dengan aspek pemeriksaan pajak (vide Pasal 5 ayat (1) PMK 229/2014);

    8.

    Bahwa ketentuan a quo tidak hanya berlaku bagi Pemohon, namun berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, yakni seluruh Wajib Pajak yang menunjuk kuasa haruslah seorang yang memahami masalah perpajakan dan menguasai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan atau disebut dengan Konsultan Pajak;

    9.

    Penguasaan atas hukum dan teknis perpajakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 PMK 229/2014 juga harus dipenuhi bukan hanya oleh Konsultan Pajak yang menjadi Kuasa Wajib Pajak namun juga bagi karyawan yang menjadi Kuasa Wajib Pajak. Bahwa Karyawan Wajib Pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, apabila memiliki:

    a.

    sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevet pajak;

    b.

    ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang- kurangnya tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau

    c.

    sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak. [vide Pasal 5 ayat (2) PMK 229/2014] Dengan demikian, sangat jelas bahwa pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak untuk memiliki kredibilitas keilmuan perpajakan berlaku bagi siapa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 saja yang ingin menjadi Kuasa Wajib Pajak baik Konsultan maupun karyawan, yang dimaksudkan justru untuk menjaga kepentingan Wajib Pajak dengan benar;

    10.

    Bahwa dengan menjalankan kewenangan tersebut, berarti Kementerian Keuangan telah melaksanakan asas umum pemerintahan yang baik yakni memberi kepastian hukum kepada Wajib Pajak;

    11.

    Bahwa pengaturan persyaratan dalam ketentuan tersebut sama sekali tidak melanggar hak konstitusi Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat. Pengaturan persyaratan bagi Kuasa Wajib Pajak dalam ketentuan a quo hanyalah persyaratan teknis yang dimaksudkan agar apabila Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban dan melaksanakan haknya di bidang perpajakan diwakili oleh pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan , sehingga Wajib Pajak tidak dirugikan, mengingat segala tindakan penerima kuasa akibat hukumnya menjadi tanggung jawab Wajib Pajak yang bersangkutan;

    12.

    Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan, maksud dan tujuan pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut salah satu persyaratan untuk menjadai Kuasa Wajib Pajak yang telah dimuat secara umum dalam penjelasan Pasal 31 UU KUP. Dengan demikian sangat jelas bahwa pengaturan yang ditetapkan dalm PMK 229/2014 telah sejalan dengan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dan dimaksudkan sebagai salah satu wujud perlindungan kepada Wajib Pajak. Apabila tidak dipersyaratkan yang demikian, maka dikhawatirkan penerima kuasa sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang perpajakan, sehingga pada akhirnya yang dirugikan adalah Wajib Pajak;

    13.

    Bahwa dapat Pemerintah sampaikan, ketentuan dalam PMK 229/2014 sebagai penjabaran dari Pasal 32 ayat (3) UU KUP memberi kesempatan yang sama kepada siapapun untuk dapat menjadi Konsultan Pajak asalkan telah memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan. Tidak ada pembatasan bagi siapapun untuk berprofesi sebagai Konsultan Pajak, tidak terkecuali pula Pemohon;

    14.

    Bahwa apabila ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dinyatakan tidak berlaku sebagian atau seluruhnya, maka tujuan menambahkan ayat 3 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 (a) dalam Pasal 32 menjadi tidak tercapai, sehingga pelaksanaan kesempatan Wajib Pajak menunjuk Kuasa tidak mempunyai aturan teknis yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak; IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) ketentuan a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

    1.

    Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );

    2.

    Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );

    3.

    Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;

    4.

    Menyatakan ketentuan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden melengkapi keterangan tertulisnya dengan keterangan tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2017 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. POKOK-POKOK KETERANGAN TAMBAHAN PRESIDEN A. Bahwa pada persidangan hari Senin tanggal 16 Oktober 2017, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah agar memberikan tambahan keterangan yang isinya menjelaskan Memorie van Toelichting (MvT) terkait dengan:

    1.

    Pemberian kuasa yang merupakan hak individu baik bagi Pemberi maupun Penerima Kuasa, dalam perubahan UU KUP a quo pengaturannya didelegasikan kepada Menteri Keuangan.

    2.

    Mengapa Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam ilmu perpajakan, hanya karena ia bukan karyawan Wajib Pajak atau bukan Konsultan Pajak, tidak dapat menjadi kuasa Wajib Pajak? Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 3. Mengapa seorang advokat yang memiliki sertifikat brevet a dan brevet b perpajakan tidak dapat serta merta menjadi Kuasa Wajib Pajak? 4. Perbandingan pengaturan terkait atribusi kewenangan pengaturan Kuasa Wajib Pajak dan syarat-syarat menjadi Kuasa Wajib Pajak antara di Indonesia dengan beberapa negara lain. B. Guna memenuhi hal sebagaimana tersebut di atas, pada bagian II Tambahan Keterangan Pemerintah ini akan menjelaskan pokok-pokok permasalahan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. II. TAMBAHAN KETERANGAN PEMERINTAH A. LANDASAN TEORITIS PENGATURAN PEMBERIAN KUASA 1. Bahwa Menurut M. Solly Lubis, yang dimaksud dengan peraturan negara ( staatsregelings ) adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam pengertian lembaga maupun dalam pengertian pejabat tertentu. Peraturan yang dimaksud meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Instruksi, Surat Edaran, Pengumuman, Surat Keputusan, dan lain-lain;

    2.

    Bahwa sejalan dengan ajaran Rousseau, apabila dilihat dari kewenangan asalnya, pada hakikatnya pembentukan peraturan negara, yang mengikat warga negara dan penduduk secara umum, berasal dari fungsi legislatif;

    3.

    Bahwa dalam perkembangan selanjutnya, ketika badan legislatif sering terlambat mengikuti perkembangan masyarakat, badan legislatif melimpahkan sebagian dari kewenangan legislatifnya kepada badan eksekutif, sehingga badan eksekutif ikut pula membentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan perkembangan revolusioner dari teori Trias Politica Montesquieu yang menempatkan pemerintah hanya sebagai pelaksana (perintah) undang-undang; B. PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DARI SISI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Bahwa pemberian kuasa dapat dilihat dari adanya pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dapat dilihat bahwa jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif juga diakui keberadaannya;

    2.

    Bahwa pendelegasian kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dari lembaga legislatif (dalam hal ini DPR) kepada lembaga eksekutif (dalam hal ini Menteri), dimungkinkan dalam hal pendelegasian tersebut diperintahkan oleh undang-undang atau dibentuk berdasarkan kewenangan;

    3.

    Bahwa UU No. 12 Tahun 2011 membatasi wilayah pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada Menteri dan/atau Kepala Lembaga yaitu hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif;

    4.

    Bahwa ruang lingkup pengaturan yang dapat dilakukan oleh Menteri dan/atau Kepala Lembaga yang sifatnya teknis adminsitratif terdiri dari: ketentuan terkait pemenuhan syarat dan kriteria tertentu; pedoman pengelolaan; tata cara pelaksanaan suatu tindakan; standardisasi pelaksanaan suatu kegiatan, prosedur penyelenggaraan dan hal-hal lainnya yang bersifat teknis administratif;

    5.

    Bahwa contoh pengaturan yang dilakukan oleh Menteri dan/atau Kepala lembaga sebagaimana berlaku di Indonesia di antaranya:

    a.

    Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.Hh.01.Ah.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata. Bahwa kemerdekaan berserikat merupakan hak asasi yang dijamin melalui Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan terkait hal tersebut melalui Pasal 28 UUD 1945 memerintahkan pengaturannya ke dalam bentuk undang-undang. Atas dasar hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2017, namun pengaturan khusus terkait persyaratan teknis adminsitratif yang harus dipenuhi seorang notaris untuk menjadi teman serikat dalam perserikatan dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 b. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Bahwa kebebasan hidup/kemerdekaan seseorang merupakan hak asasi yang dijamin berdasarkan Pasal 28, Pasal 28A, dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, namun pengaturan khusus terkait persyaratan teknis atas pelaksanaan asimilasi dan pembebasan bersyarat seorang narapidana yang sangat erat kaitannya dengan pemberian kembali hak asasi manusia berupa kebebasan atas pengekangan sementara waktu, dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri;

    c.

    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum; Bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang dijamin berdasarkan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan terkait hal tersebut melalui Pasal 28 UUD 1945 memerintahkan pengaturannya ke dalam bentuk undang-undang. Atas dasar hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, namun pelaksanaan teknis penyelenggaraannya termasuk pengaturan hak, kewajiban, dan larangan warga negara dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian pendapat tersebut diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian;

    6.

    Bahwa begitu juga dengan pengaturan terkait persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi kuasa Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Peratuan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa (selanjutnya disebut PMK 229/2014) masih termasuk ke dalam wilayah pengaturan administratif yang dapat dilakukan oleh Menteri; C. SUBSTANSI YANG DIATUR TERKAIT DENGAN PEMBERIAN KUASA KEPADA WAJIB PAJAK Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1. Bahwa aturan umum terkait pemberian kuasa perpajakan masih mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), misalnya:

    a.

    ketentuan Pasal 1797 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apapun yang melampaui kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak;

    b.

    ketentuan Pasal 1800 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak;

    c.

    ketentuan Pasal 1801 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak; dan

    d.

    ketentuan umum lainnya terkait kuasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.

    2.

    Bahwa dalam pelaksanaan pemberian kuasa perpajakan walaupun secara umum mengacu pada ketentuan KUHPerdata, namun tentunya perlu diatur ketentuan khusus terkait persyaratan yang bersifat administratif yang harus dipenuhi oleh penerima kuasa, seperti sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK 229/2014 yakni:

    a.

    menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

    b.

    memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;

    c.

    memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

    d.

    telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhirnya belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 3. Bahwa pengaturan yang bersifat administratif tersebut merupakan kewenangan pengaturan yang dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan;

    4.

    Bahwa pembuat Undang-undang menyadari bahwa memberikan kuasa merupakan hak privat yang dilindungi oleh konstitusi. Namun Negara oleh konstitusi juga diberi kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Wajib Pajak merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang juga memerlukan perlindungan dari Negara. Oleh karena itu tanpa bermaksud untuk membatasi profesi tertentu untuk mendapatkan hak-haknya secara ekonomis, pendelegasian kepada Menteri Keuangan dalam ketentuan a quo merupakan salah satu perwujudan dari kewajiban negara untuk melindungi bangsanya;

    5.

    Bahwa perlindungan yang diberikan oleh Negara tersebut diimplementasikan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk pemberian persyaratan-persyaratan yang secara nalar objektif dapat dipenuhi oleh seluruh warga negara Indonesia;

    6.

    Bahwa pembuat undang-undang juga menyadari dalam suatu perikatan dalam hal ini perjanjian pemberian kuasa juga terdapat perselisihan yang kadangkala penyelesaiannya/pelanggarannya diluar ranah hukum tetapi lebih kepada pelanggaran etika. Oleh karena itu, salah satu syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan agar dapat menjadi Kuasa Wajib Pajak harus tergabung dalam suatu asosiasi dengan tujuan agar mereka memiliki etika profesi;

    7.

    Bahwa etika profesi merupakan bagian terpenting bagi suatu profesi tertentu karena didalamnya akan mengatur etika ketika yang bersangkutan menjalankan pekerjaannya, yang apabila etika tersebut dilanggar maka akan diberikan sanksi;

    8.

    Bahwa etika profesi hanya ditemukan apabila suatu profesi tertentu menggabungkan diri dan membentuk suatu ikatan. Oleh karena itu, bagi yang bukan Karyawan Wajib Pajak dan bukan Konsultan Pajak dimana keduanya tidak memiliki induk organisasi maka tidak juga terikat dengan etika profesi. Apabila tidak diatur sedemikian rupa (oleh Menteri Keuangan), maka seandainya terdapat penyimpangan yang di luar ranah hukum oleh penerima kuasa, tidak ada sanksi yang dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 diberikan kepada penerima kuasa sehingga yang dirugikan adalah Wajib Pajak itu sendiri. Pelanggaran atas kode etik tersebut akan memberikan efek jera bagi pelanggarnya;

    9.

    Bahwa dengan demikian, mengingat pentingnya pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak, maka Pemerintah berpendapat kecakapan/ kompetensi belum cukup tetapi juga harus ditambah dengan adanya etika profesi; D. TERKAIT DENGAN PENGATURAN BAGI KONSULTAN PAJAK DAN KARYAWAN WAJIB PAJAK SEBAGAI KUASA WAJIB PAJAK 1. Bahwa Konsultan Pajak merupakan orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;

    2.

    Bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang konsultan pajak terikat pada kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 23 PMK Nomor 111/2014 yakni:

    a.

    memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;

    b.

    mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;

    c.

    mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;

    d.

    menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan

    e.

    memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama, alamat rumah dan kantor dengan melampirkan bukti perubahan dimaksud. Persyaratan-persyaratan tersebut gunanya adalah untuk menjamin kualitas, memberikan parameter standar praktek konsultan pajak yang baik dan benar, yang pada akhirnya akan memberikan perlindungan hukum bagi pengguna jasa konsultan tersebut yaitu Wajib Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 3. Bahwa seorang Konsultan Pajak juga harus menjadi anggota pada satu Asosiasi Konsultan Pajak. Asosiasi Konsultan Pajak ini menjalani fungsi kontrol/pengawasan atas pemenuhan kode etik dan standar profesi konsultan pajak. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik dan standar profesi konsultan pajak, maka Asosiasi Konsultan Pajak melakukan pemeriksaan dan penyelesaian atas dugaan pelanggaran tersebut;

    4.

    Bahwa dalam hal penerima kuasa adalah karyawan Wajib Pajak, maka yang menjalankan fungsi kontrol terhadap karyawan Wajib Pajak yang menerima kuasa tersebut terletak pada Wajib Pajak itu sendiri. Wajib Pajak dalam kedudukannya sebagai pemberi kuasa tetap dapat mengendalikan karyawannya dalam kedudukan sebagai penerima kuasa. Karyawan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang kuasa tetap memiliki batasan-batasan kode etik dan aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan tersebut. Dalam hal karyawan penerima kuasa tersebut melakukan tindakan di luar batas kewenangan atau melakukan tindakan lainnya yang merugikan Wajib Pajak, maka Wajib Pajak itu sendiri secara langsung dapat mengontrol dan menindak tegas karyawan tersebut, misalnya dengan memberikan sanksi sesuai dengan norma yang berlaku pada perusahaan tersebut;

    5.

    Bahwa pengaturan terkait pemberian kuasa perpajakan dapat diserahkan kepada karyawan Wajib Pajak, tanpa mengharusnya menjadi seorang konsultan pajak, adalah dengan pertimbangan bahwa karyawan Wajib Pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Wajib Pajak selaku Pemberi Kerja, yang paling mengetahui seluruh kondisi dan proses bisnis Wajib Pajak termasuk keadaan terkait pembukuan dan masalah perpajakan yang terdapat di perusahaan tersebut sehingga karyawan Wajib Pajak dimaksud merupakan pihak yang memiliki kualifikasi untuk mewakili Wajib Pajak;

    6.

    Bahwa pembatasan terhadap pemberian kuasa yang hanya dapat diberikan kepada Konsultan Pajak dan karyawan Wajib Pajak semata- mata bertujuan untuk melindungi kepentingan Wajib Pajak. Apabila kuasa untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat diberikan kepada orang lain (bukan karyawan Wajib Pajak) dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 juga bukan Konsultan Wajib Pajak, maka pelaksanaan hal tersebut sangat rentan menimbulkan akibat-akibat yang merugikan Wajib Pajak, karena tidak adanya fungsi kontrol atau pihak/lembaga yang dapat mengendalikan dan mengawasi orang-orang tersebut;

    7.

    Bahwa apabila orang lain (bukan karyawan Wajib Pajak) dan juga bukan Konsultan Wajib Pajak, diperbolehkan menjadi kuasa perpajakan hanya karena memiliki sertifikat brevet di bidang perpajakan yang dapat diperoleh dengan mudah pada lembaga pendidikan kursus brevet, maka di kemudian hari sangat rentan timbul hal-hal yang dapat merugikan Wajib Pajak, apalagi dengan tidak adanya fungsi kontrol untuk memberikan sanksi berupa teguran atau mencabut ijin praktik atas kejadian tersebut, sehingga untuk selanjutnya sangat rentan terulang kembali kejadian yang sama untuk Wajib Pajak yang berbeda; E. TERKAIT DENGAN PENGATURAN BAGI ADVOKAT SEBAGAI KUASA WAJIB PAJAK 1. Bahwa terkait dengan advokat sebagai kuasa wajib pajak, secara umum dapat disampaikan bahwa pengaturan terhadap profesi advokat dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Undang-Undang Advokat);

    2.

    Bahwa advokat merupakan orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan ketentuan dalam undang-undang advokat (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Advokat);

    3.

    Bahwa ruang lingkup atau cakupan atas jasa hukum yang dapat diberikan oleh seorang Advokat adalah berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (vide Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Advokat);

    4.

    Bahwa terdapat perbedaan latar belakang keilmuan yang harus dipenuhi antara Konsultan Pajak dengan Advokat. Untuk dapat diangkat sebagai Advokat harus berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum (vide Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Advokat); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 5. Bahwa perbedaan latar belakang keilmuan tersebut juga mengakibatkan adanya perbedaan objek pemberian jasa yang dilakukan antara profesi Advokat dengan profesi Konsultan Pajak. Advokat dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan jasa hukum, sedangkan Konsultan Pajak dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan berupa konsultasi perpajakan dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya yang aspeknya bukan hanya peraturan atau hukum terkait pajak, namun juga ada aspek keilmuan lain seperti misalnya akuntansi;

    6.

    Bahwa perbedaan objek pemberian jasa dengan latar belakang keilmuan yang berbeda antara Konsultan Pajak dengan Advokat, menjadikan peranan kedua profesi tersebut tidak dapat saling menggantikan. Profesi Konsultan Pajak tidak dapat menggantikan peranan Advokat sebagai kuasa kliennya dalam beracara di Pengadilan, begitu juga dengan profesi Konsultan Pajak yang tidak dapat digantikan oleh Advokat dalam memberikan bantuan konsultasi dan sebagai penerima kuasa untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Hal ini tentunya berbeda, tetapi dimungkinkan serta lazim ditemui, bagi mereka yang dapat memenuhi persyaratan di kedua profesi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menjalankan praktek sebagai advokat maupun sebagai konsultan pajak;

    7.

    Bahwa peran adanya organisasi yang menjaga kualitas sebuah profesi adalah sesuatu hal yang sangat penting. Kualitas disini bukan hanya dari aspek keilmuan, namun juga dari aspek etika. Nama baik profesi adalah nilai jual dari sebuah profesi. Dapat dibayangkan bilamana sebuah profesi, baik advokat, konsultan pajak dan atau profesi lainnya misalnya dokter, tidak memiliki organisasi profesi yang dapat menegakkan nilai etika kepada anggotanya dalam berpraktek dengan cara memberikan resiko dalam bentuk hukuman berupa pencabutan izin misalnya. Maka sangat dimungkinkan akan muncul oknum-oknum pencari keuntungan yang rela melakukan apa saja, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, demi keuntungan pribadi. Hal tersebut dapat memupuskan kepercayaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 masyarakat bukan hanya kepada oknumnya, namun juga kepada keseluruhan orang yang berprofesi tersebut;

    8.

    Bahwa pembatasan, berupa kualifikasi keilmuan dan juga keharusan menjadi anggota pada suatu organisasi profesi, juga terjadi pada profesi advokat, dimana hanya orang yang merupakan Sarjana Hukum, telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian profesi advokat serta menjadi anggota organisasi advokatlah yang dapat berprofesi sebagai Advokat, sehingga bisa menjadi kuasa hukum dalam beracara di dalam maupun di luar pengadilan, sementara orang yang misalnya hanya menguasai ilmu hukum, namun tidak mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, tidak lulus ujian profesi advokat dan/atau tidak menjadi anggota organisasi advokat tentunya tidak diizinkan untuk mewakili seseorang di hadapan persidangan. Namun mengapa adanya ketentuan tersebut tidak menjadi terjadinya pelanggaran atas hak konstitusional warga negara? Seharusnya logika yang sama pun bisa diterapkan pada profesi konsultan pajak yang menjadi Kuasa Wajib Pajak;

    9.

    Bahwa berlandaskan pemikiran yang sama, sesungguhnya adanya pembatasan dalam memasuki sebuah profesi, tidak menyebabkan pelanggaran hak konstitusional warga negara, karena pada hakikatnya setiap warga negara diberi kesempatan yang sama untuk berprofesi tertentu selama warga negara tersebut mau dan mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan;

    10.

    Bahwa dengan demikian, perlu juga kita sadari bersama bahwa sebenarnya tidak ada pembatasan kepada seorang advokat untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, yang diperlukan oleh seorang advokat untuk juga bisa menjadi Kuasa Wajib Pajak adalah memenuhi segala persyaratan menjadi konsultan pajak sebagaimana dijelaskan di atas. Secara a contrario , sebenarnya tidak ada pembatasan bagi konsultan pajak untuk dapat menjadi advokat selama konsultan pajak yang bersangkutan telah memenuhi semua syarat-syarat untuk menjadi advokat sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang itu; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 F. TUJUAN PENDELEGASIAN PENGATURAN PEMBERIAN KUASA KEPADA MENTERI KEUANGAN 1. Bahwa sejak reformasi perpajakan tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia didasarkan atas sistem self assessment , dimana sistem tersebut memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan;

    2.

    Keberhasilan sistem self assessment sangat bergantung pada kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan pengawasan yang optimal dari aparat pajak. Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri, dan pajak yang dibayarkan tersebut dianggap benar sampai pemerintah dapat membuktikan sebaliknya;

    3.

    Melalui sistem self assessment, Wajib Pajak ditempatkan sebagai pihak yang secara aktif melakukan berbagai kewajiban perpajakannya sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan, dengan menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memberikan pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang- undangan perpajakan;

    4.

    Sistem self assessment dimaksud, selanjutnya dirumuskan dalam beberapa ketentuan perpajakan antara lain dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU KUP:

    Pasal 19Tutup
    (1)

    Untuk menjadi Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Asosiasi Konsultan Pajak harus memenuhi persyaratan dan menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak . (2) Persyaratan untuk menjadi Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

    a.

    berbentuk badan hukum sesuai dengan peraturan perundang- undangan;

    b.

    memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ;

    c.

    mempunyai susunan pengurus yang telah disahkan oleh rapat anggota;

    d.

    memiliki program pengembangan profesional berkelanjutan ;

    e.

    memiliki kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak;

    f.

    memiliki Dewan Kehormatan yang berfungsi untuk mengawasi, memeriksa dan menyelesaikan dugaan pelanggaran kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak oleh anggota asosiasi. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dan harus dilampiri dengan:

    a.

    akta notaris yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

    b.

    anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

    c.

    susunan pengurus pusat dan cabang yang telah disahkan oleh rapat anggota;

    d.

    daftar anggota dan fotokopi Kartu Izin Praktik anggota yang masih berlaku;

    e.

    program pengembangan profesional berkelanjutan; dan

    f.

    kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak.

    (4)

    Atas permohonan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar. (5) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar dalam hal Asosiasi Konsultan Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Pasal 20 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 (1) Asosiasi Konsultan Pajak yang telah mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) berwenang:

    a.

    menyelenggarakan kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan dan menerbitkan daftar realisasi kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan bagi anggotanya;

    b.

    membentuk dewan kehormatan yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap Konsultan Pajak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik Konsultan Pajak dan/atau standar profesi Konsultan Pajak;

    c.

    menyampaikan usulan pengenaan sanksi dalam hal Konsultan Pajak yang diperiksa dinyatakan bersalah melanggar kode etik Konsultan Pajak dan/atau standar profesi Konsultan Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak; dan

    d.

    menerbitkan surat keputusan mengenai keanggotaan Asosiasi Konsultan Pajak dan kartu tanda anggota Asosiasi Konsultan Pajak.

    (2)

    Asosiasi Konsultan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat laporan keuangan setiap tahun .

    (3)

    Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya. Pasal 21 (1) Asosiasi Konsultan Pajak yang akan diberikan wewenang untuk menunjuk anggotanya untuk menjadi anggota komite pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d serta untuk mengusulkan struktur organisasi dan anggota komite pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), diusulkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Menteri Keuangan.

    (2)

    Dalam rangka pengusulan Asosiasi Konsultan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan tata kelola organisasi yang baik dan jumlah keanggotaan dari Asosiasi Konsultan Pajak.

    (3)

    Atas usulan Direktur Jenderal Pajak, Menteri Keuangan menetapkan 1 (satu) Asosiasi Konsultan Pajak yang diberikan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    (4)

    Tata kelola organisasi yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, Asosiasi Konsultan Pajak adalah:

    1.

    Sebagai wadah Konsultan Pajak yang telah mendapatkan izin praktek sesuai dengan ketentuan;

    2.

    Berbadan hukum yang resmi dengan AD dan ART;

    3.

    Memiliki Kode Etik dan Standar Profesi;

    4.

    Bertanggungjawab atas pengawasan pelaksanaan tugas dengan penerapan Kode etik dan Standar Profesi Konsultan Pajak, dan pengusulan sanksi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 pelanggaran kepada Direktorat Jenderal Pajak (bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Pajak);

    5.

    Mengadministrasikan keanggotaan para anggota asosiasi;

    6.

    Menerbitkan Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik. Keberadaan asosiasi/organisasi Konsultan Pajak pada prinsipnya adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan Negara antara lain:

    a.

    Masyarakat dapat memperoleh informasi tentang konsultan pajak yang berkualitas memenuhi standar sesuai dengan keperluan masyarakat;

    b.

    Negara akan memperoleh calon konsultan pajak yang memenuhi kriteria kemampuan perpajakan tertentu karena ada kewajiban asosiasi untuk menyelenggarakan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak;

    c.

    Negara dan Masyarakat dapat memanfaatkan Konsultan Pajak yang bertanggung jawab dan tertib melaksanakan hak dan kewajibannya;

    d.

    Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang profesional dan mempunyai tingkat kompetensi yang selalu mengikuti perkembangan masalah perpajakan;

    e.

    Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang bertanggung jawab atas tugasnya, merahasiakan data/informasi yang harus dirahasiakan;

    f.

    Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang dalam pelaksanaan tugasnya bebas dari konflik kepentingan;

    g.

    Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang berperilaku sopan, santun, objektif, jujur dan dapat dipercaya; dan

    h.

    Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang bekerja tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Dengan demikian, keberadaan Asosiasi Konsultan Pajak adalah agar di masyarakat tersedia Konsultan Pajak yang memenuhi standar yang diperlukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah; IV. KONSULTAN PAJAK DALAM PRAKTEK Untuk menyediakan “pihak” yang dapat membantu Wajib Pajak dan bermanfaat bagi Negara, maka dalam prakteknya dapat dicerminkan dalam:

    1.

    Ruang Lingkup Pekerjaan Konsultan Pajak;

    2.

    Hak dan Kewajiban Seorang Konsultan Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 3. Tanggung Jawab Hukum seorang Konsultan Pajak;

    4.

    Syarat menjadi Konsultan Pajak. Berdasarkan definisi “Konsultan Pajak” yang berbunyi: “Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”, ruang lingkup pekerjaan Konsultan Pajak meliputi pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:

    a.

    Pendaftaran Wajib Pajak;

    b.

    bimbingan dan/atau pengisian SPT;

    c.

    pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam pemeriksaan pajak;

    d.

    pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam proses keberatan;

    e.

    pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam proses Banding; dan

    f.

    pemanfaatan hak dan pelaksanaan kewajiban perpajakan lainnya, seperti permohonan fasilitas perpajakan, permohonan Surat Keterangan Bebas, Permohonan Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dan lain sebagainya; Sedangkan Hak dan Kewajiban seorang Konsultan Pajak antara lain:

    1.

    Konsultan Pajak berhak untuk memberikan jasa konsultasi di bidang perpajakan sesuai dengan batasan tingkat keahliannya.

    2.

    Konsultan Pajak wajib memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    3.

    Konsultan Pajak wajib mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;

    4.

    Konsultan Pajak wajib mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;

    5.

    Konsultan Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan

    6.

    Konsultan Pajak wajib memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama dan alamat rumah dan kantor. Tanggung Jawab Hukum seorang Konsultan Pajak dipisahkan menjadi 2 (dua), yakni sebagai Konsultan Pajak dan sebagai Kuasa Wajib Pajak. Sebagai Konsultan Pajak, wajib bertanggung jawab: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 a. memenuhi ketentuan syarat formal untuk menjadi Konsultan Pajak;

    b.

    mematuhi kewajiban administratif sebagai Konsultan Pajak, seperti menyampaikan SPT tepat waktu, menyampaikan Laporan Tahunan, memperpanjang ijin praktek Konsultan Pajak dan lain sebagainya.

    c.

    mematuhi ketentuan yang diatur oleh Asosiasi.

    d.

    menguasai ketentuan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan tingkatan sertifikatnya; dan

    e.

    Mematuhi segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai “Kuasa” Wajib Pajak:

    1.

    Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;

    2.

    Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain;

    3.

    Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa hanya mempunyai hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus;

    4.

    Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya:

    a.

    melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

    b.

    menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan; atau

    c.

    dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya. V. KESIMPULAN 1. Pasal 32 ayat (3) UU KUP adalah pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    2.

    Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    3.

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 adalah merupakan pelaksanaan amanat Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 4. Norma sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) adalah merupakan pelaksanaan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya dalam Undang–Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

    5.

    Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 adalah merupakan ketentuan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena diperintah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni UU KUP;

    6.

    Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pada saat ini pihak yang dapat menjadi “kuasa” Wajib Pajak hanya meliputi:

    a.

    Konsultan Pajak, dan b. Karyawan Wajib Pajak, yang memenuhi kriteria tertentu.

    3.

    Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak. Yurisdiksi pemajakan Indonesia tersurat dalam Pasal 23A UUD 1945 dan atas kuasa Pasal tersebut dibentuklah UU Perpajakan. Secara teoretis, sepanjang terdapat tax connecting factor antara subjek dan/atau objek pajak sebagaimana diatur dengan UU, kewenangan negara memajaki subjek dan objek di wilayahnya tidak terbatas, kecuali konstitusi atau hukum internasional menentukan lain (Knechtle, 1979; De Leon, 1993; dan Rohatgi, 2005). Paska booming minyak pada dekade 1980an, Indonesia mengalihkan sumber penerimaan negara dari migas yang tidak elastis dan prospektif, ke pajak yang lebih elastis, dinamis dan fleksibel terhadap kondisi ekonomi. Mengantisipasi kesulitan administrasi mengelola dan mengawasi jutaan subjek dan objek pajak seiring dengan kemajuan ekonomi negara, agar administrasi pajak lebih efektif dan efisien, pada 1984 Indonesia mengganti sistem pajak konvensional official assessment berdasar compulsory compliance ( government centered activities ) menjadi sistem pajak modern self assessment berdasar voluntary compliance ( taxpayer centered activities ). Untuk mengatasi ketidak cukupan jumlah pegawai pada saat itu, maka administrasi perpajakan harus bertransformasi dari manual konvesional menjadi computerized IT based tax administration online basis dengan daring sistem; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 Barry Larking (2005) menyebut self assessment sebagai sistem pajak yang mewajibkan WP menghitung sendiri utang pajak berdasar UU dan melaporkan dasar pengenaan pajak, melampirkan hitungan pajak terutang dan melunasinya. Secara teori sistem assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem pemungutan pajak modern paling efektif dan efisien, karena kebanyakan kegiatan pemajakan menjadi inisiasi WP. Mereka disebut patuh pajak jika melapor objek dan menghitung pajak terutang dengan benar, lengkap dan melunasi pajak tepat waktu (Alink & Kommer). Kepatuhan WP termasuk: (i) mendaftarkan diri guna peroleh NPWP/PKP, (ii) menyampaikan SPT yang diisi dengan benar dan lengkap, dan (iii) melunasi pajak tepat waktu. Fiscal Blueprints Komisi Eropa 2007 (Alink&Kommer) menyebut voluntary compliance sebagai bagian dari strategi model kepatuhan WP, dan unsur efisiensi administrasi pajak. Plumley AH (Alink & Kommer) menyebut beberapa manfaat voluntary compliance, seperti: (a) pajak dibayar tepat waktu; (b) penerimaan dari enforcement dibayar segera; (c) penerimaan terlindungi dan lebih bayar dikembalikan lewat proses efisien; dan (d) pembayaran sesuai kewajiban sebenarnya. Sistem self assessment meminta WP menghitung sendiri pajak terutang berdasar UU, membayar dan melaporkannya. Jika menemukan bukti utang pajak tidk benar dalam SPT, DJP dapat me re-assessment, dengan asumsi bawah kebanyakan WP berniat baik memenuhi kewajiban. Jika tidak terdapat bukti ketidak benaran SPT dan sampai waktu tertentu tidak ada penerbitan ketetapan pajak maka utang pajak yang dilaporkan dalam SPT dianggap benar dan demi hukum telah final. Prinsip fairness - public trust in tax administration (Thuronyi, 1996) menuntut agar proses __ re-assessment transparan sehingga temuan dalam pemeriksaan dikomunikasikan pada WP. Sementara itu, agar sistem self assessment efektif, DJP harus: (i) membuat WP memahami aturan dan mampu menghitung pajak dengan benar, sadar dan insyaf, berkemauan dan jujur serta transparan melaksanakan kewajiban, (ii) membuat sistem dan suasana WP mudah, murah mematuhi ketentuan, namun tidak ada pilihan lain kecuali patuh, (iii) mengawasi dan meningkatkan kepatuhan dengan basis IT, seperti otomasi administrasi pajak dan e-data matching dengan data pihak ketiga, (iv) memelihara dan menegakkan kesadaran, dan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan, (v) mengelola data Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 base secara valid, komprehensif dan terintegratif serta mampu mengakses data pihak ketiga secara meluas guna deteksi dini ketidakpatuhan; Secara administratif, sistem self assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem perpajakan modern, paling efektif dan efisien karena mempercayakan hampir semua inisiasi kegiatan pemajakan pada WP. Rochmat Soemitro (1998), Rizal Palil (2010) dan Benno Torgler (2005, dari Alink & Kommer) menyebut beberapa asumsi dasar self assessment bagi WP: (i) berpengetahuan pajak, (ii) sadar pajak, (iii) beriktikad baik dan jujur, (iv) berhasrat bayar pajak, (v) berdisiplin pajak, (vi) moral atau etika pajak, dan (vii) berkemauan membayar pajak. Inisiasi awal kegiatan perpajakan seperti perolehan NPWP dan penghitungan dan pembayaran pajak sepenuhnya berasal dari WP dengan asumsi: (i) WP pelaku transaksi dan penerima objek pajak dan basis pemajakan lainnya, (ii) menguasai data, informasi dan keterangan lengkap objek pajak, (iii) mengerti, memahami dan mampu melaksanakan ketentuan pajak, (iv) mampu menghitung pajak dengan benar dan lengkap, (v) menyadari pentingnya membayar pajak, dan (vi) dengan jujur bersedia memenuhi kewajiban pajak. Karena begitu sentralnya inisiatif WP itu, rasanya tidak mudah walaupun UU Pajak telah mewajibkan pembukuan pada WP Badan dan pengusaha orang pribadi tertentu, dan menyediakan norma penghitungan penghasilan neto bagi WP lainnya agar mereka dapat memenuhi kewajiban self assessment, tanpa hadirnya profesional pajak sebagai penunjang berfungsi efektif dan efisiennya sistem perpajakan (Thuronyi & Fanistanendael, 1996). Profesional merujuk pada seseorang yang mempunyai profesi tertentu (Fidel, 2014, Konsultan Pajak). Profesi merupakan pekerjaan profesional berlandaskan ilmu pengetahuan berdasar proses belajar mengajar, pelatihan dan penguasaan pengetahuan khusus serta pengalaman. Suatu profesi biasanya mempunyai asosiasi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi bidang profesi tersebut. Misalnya, Konsultan, Lawyer, Dokter, Akuntan, Notaris, dan Pengacara; The Encylopedia of Americana menyebut profesi sebagai suatu jabatan ( occupation ) atau pekerjaan ( vocation ) yang benar-benar dipersiapkan sungguh- sungguh melalui pendidikan spesialisasi intelektual. Beberapa ciri prinsip profesi (Fidel, 2014) termasuk: (i) suatu bidang terpelajar dari ilmu pengetahuan yang meliputi perangkat sikap yang diterapkan ketika memberikan jasa layanan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 berbayar, (ii) standar keberhasilan yang diukur dengan pelaksanaan layanan masyarakat berdasar kecakapan teknis tinggi yang didukung oleh pendidikan formal khusus, dan (iii) landasan kerja ideal, dan pengawasan pekerjaan praktisi melalui lembaga asosiasi dan kode etik. Dalam jasa penunjang sistem perpajakan, terdapat konsultan pajak. Konsultan pajak merupakan sebutan profesi bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan konsultan pajak sebagaimana diatur dalam PMK misalnya 111/PMK.03/2014. Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU KUP menyebut konsultan pajak sebagai setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jasa perpajakan yang diberikan Konsultan Pajak, menurut Fidel (2014) berupa konsultasi perpajakan, pengurusan, perwakilan, pendampingan, membela dalam penyidikan dan pengadilan pajak, jasa hukum perpajakan dan jasa perbantuan lainnya dalam ruang lingkup perpajakan; Sistem self assessment berdasar voluntary compliance , kurang berfungsi efektif efisien tanpa partisipasi aktif profesional pajak. Karena dalam dunia bisnis yang kompetitif saat ini, kebanyakan pengusaha dan investor tidak punya cukup waktu berurusan dengan perpajakan, sedangkan para karyawan kebanyakan kurang familiar dengan bahasa ketentuan perpajakan yang dinamis rentan perubahan, konsultan pajak amat diperlukan untuk menambah pengetahuan, meningkatkan kesadaran dan kejujuran, hasrat dan kemauan membayar pajak, sehingga WP mampu melaksanakan kewajiban pepajakan yang kompleks tepat waktu. Dengan memberi konsultasi, konsultan pajak telah menyelesaikan kepentingan publik yang strategis untuk kepentingan pemerintah dan publik. Karena itu, pemerintah harus melindungi dan menumbuh suburkan peranan konsultan sebagai mitra kerja kantor pajak. Dalam rangka menumbuh kembangkan profesi jasa penunjang sistem perpajakan ini, Pasal 9 PMK 111/PMK.03/2014 membuka 3 jalur sertifikasi konsultan pajak, yaitu: (i) jalur pendidikan melalui program Strata 1 Prodi Perpajakan dan dan program D-IV Perpajakan, (ii) jalur USKP, dan (iii) jalur penyetaraan sertifikasi pensiunan. Dengan demikian, siapa saja yang berminat menjadi profesioal pemberi jasa penunjang sistem perpajakan berkesempatan meraihnya. Karena mendapat imbalan dari WP, maka berbeda dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 petugas pajak yang hanya loyal kepada negara, profesional penyedia jasa penunjang sistem pajak lebih membela kepentingan WP agar hanya membayar pajak sejumlah semestinya. Karena itu, fungsi utama regulasi jasa penunjang sistem perpajakan termasuk menyeimbangkan loyalitas profesional penyedia jasa pada sistem pajak yang adil dan membela kepentingan WP. Regulasi juga harus melindungi kepentingan konsumen jasa perpajakan dari profesional yang tidak kompeten dan beritikad kurang baik. Selain itu, regulasi juga harus tidak cenderung melindungi kepentingan ekonomis profesional secara tidak proporsional atau sebaliknya justru mempersulit dan menghambat berfungsi efektif dan efisiennya profesi tersebut; Sistem self assessment berdasar voluntary compliance mempercayakan inisiatif kegiatan perpajakan bermula dari WP dan sampai sekarang merupakan hal yang tidak mudah bagi WP negara berkembang. Sistem ini mulai berlaku tahun 1984 mengganti sistem official assessment berdasar compulsary compliance dengan inisiatif kegiatan pemajakan berawal dari kantor pajak. Begitu penting peran praktisya pihak yang memahami masalah perpajakan membantu WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya sehingga sistem pajak berjalan baik dan berfungsi efektif dan efisien. Karena tidak mudah memahami bahasa UU Pajak terutama menyangkut transaksi global, maka sejak UU 6/1983 pembuat UU memberikan kelonggaran dan kesempatan kepada WP guna minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Kelonggaran tersebut tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP, yang menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penjelasan Pasal 32 ayat (3) menyebut bahwa kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus WP untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan WP. Bantuan yang dapat diminta pada kuasa yang memahami masalah perpajakan tersebut meliputi pelaksanan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak WP yang ditentukan dalam peraturan perpajakan; Secara umum, terdapat 3 pendekatan pengaturan profesional pajak (Victor Thuronyi, 1996): (i) full regulation (seperti Austria, China, Jerman, dan Jepang). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 Pemberlakuan monopoli praktik jasa pajak (sama sperti lawyer memonopoli jasa hukum) atau dibagi dengan lawyer dan akuntan, (ii) partial regulation (seperti Amerika dan Australia) tidak memberikan monopoli pelaku jasa perpajakan, tetapi membatasinya dengan sistem listing dan anggota perkumpulan profesi dengan kerangka pengaturan maju, dan (iii) no regulation (kebanyakan negara) tanpa pengaturan khusus memberikan kesempatan pemberi jasa perpajakan yang tidak bebas dengan profesi yang diatur seperti lawyer dan akuntan. Dari tiga pendekatan pengaturan inipun, detilnya berbeda antar negara. Model regulasi penuh (Jerman), UU Konsultan Pajak secara komprehensif mengatur pemberian jasa perpajakan. Pasal 2 menyatakan bahwa jasa perpajakan secara komersial hanya boleh dilakukan mereka yang dibolehkan UU, yaitu mereka yang kompeten melakukannya seperti Konsultan Pajak terdaftar, lawyer, akuntan dan pihak lain dalam keadaan amat terbatas dapat memberikan jasa perpajakan. Model regulasi parsial (Amerika). Ada pengaturan pemberian jasa perpajakan, namun tidak komprehensif, bahkan orang tanpa diklat profesi boleh beri jasa perpajakan seperti menyusun SPT, asal tidak terkait hukum. Setiap pemberi jasa pengisi SPT harus mengungkap identitasnya dan menandatangani serta menanggung sanksi salah ngisi. Layanan jasa berurusan ke kantor pajak terbatas oleh pengacara, kantor akuntan publik, atau konsultan pajak terdaftar. Urusan ke pengadilan pajak dapat diwakili pengacara atau profesi lain yang terdaftar di pengadilan. Australia hanya mengijinkan lawyer dan konsultan pajak untuk menyiapkan SPT berimbalan. Jika akuntan ingin memberi jasa penyiapan SPT harus menjadi konsultan pajak. Model tanpa regulasi , di berbagai negara, seperti Belgia, Italia, Portugal dan Inggris, pemberian jasa konsultasi pajak dan pengisian SPT tidak dibatasi hanya boleh dilakukan profesi tertentu. Wakil ke kantor pajak juga tidak dibatasi pada suatu profesi karena tidak ada persyaratan formal dan prosedural seperti di pengadilan; Tidak seperti negara penganut regulasi penuh atau parsial profesi penunjang sistem perpajakan, UU KUP mengikuti jalannya sendiri. Yaitu regulasi minimalis hanya menyebut bahwa WP dapat (berhak) menunjuk seorang kuasa tanpa pengaturan lebih lanjut. Dalam pengaturan lebih lanjut, Penjelasan menyebut batasan seperti kuasa itu adalah pihak yang memahami masalah perpajakan. Sementara itu, pengertian kuasa sebagai orang yang menerima kuasa khusus Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 dari WP untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari WP sesuai dengan ketentuan perpajakan baru muncul dalam Penjelasan UU 28/2007. Karena pihak yang memahami masalah perpajakan sebagai profesi penunjang sistem perpajakan hanya berfungsi membantu WP melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya, dalam Pasal 32 tidak disebut konsekwensi hukum dari pemanfaatan kuasa itu. Thuronyi dan Fanistendael (1996) lebih lanjut menyatakan bahwa negara berkembang penganut regulasi minimalis profesi penunjang sistem pajak, umumnya berada pada kondisi: (i) profesi penunjang perpajakan, seperti konsultan pajak jumlahnya masih sedikit, (ii) perpajakan belum menjadi program studi di berbagai fakultas di perguruan tinggi, seperti hukum, ekonomi bisnis, administrasi, dan fakultas lainnya, (iii) fakta pendidikan profesi dan vokasi perpajakan belum meluas, dan (iv) belum majunya administrasi perpajakan, seperti daring sistem, langkanya konsultan pajak, penerapan pembatasan administrasi WP melalui PTKP dan omset minimum PKP menjadikan belum waktunya mengatur profesi penunjang sistem perpajakan secara detil dalam UU yang kurang fleksibel. Akibatnya, negara penganut regulasi minimal, seperti China, Polandia, Slovakia, dan Indonesia memilih pengaturan persyaratan, dan tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban kuasa WP dalam aturan lebih rendah dari UU yang akan ditentukan berdasar perkembangan situasi dan kondisi perpajakan ; Berdasar pertimbangan tersebut maka dimunculkan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) dalam UU 28/2007. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan PMK. Sesuai dengan teori minimal regulasi tersebut, maka pengaturan dalam UU KUP cukup disebut bahwa WP berhak menunjuk kuasa, yaitu pihak lain yang menguasai masalah perpajakan. Selanjutnya regulasi rincinya akan diatur dalam peraturan di bawah UU (PMK) sesuai perkembangan situasi dan kondisi sistem perpajakan dan perkembangan profesi penunjang sistem perpajakan. Adapun berbagai jenis profesi yang dapat memberikan jasa profesional perpajakan di beberapa negara (Thuronyi dan Fanistendael, 1996) nampak sbb: No Negara Jenis profesional – kuasa WP Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 1 Australia Akuntan, Lawyer, Agen Pajak 2 Belgia Akuntan, Lawyer, Notaris, Agen Pajak 3 Canada Akuntan, Lawyer 4 Perancis Akuntan, Tax Lawyer, Notaris 5 Jerman Konsultan Pajak, Lawyer, Akuntan, Auditor 6 Nederland Akuntan, Tax Lawyer, Lawyer, Notaris, Auditor 7 Italia Tax advisor/Konsultan pajak, Lawyer, Notaris 8 Spanyol Akuntan, Lawyer, Sarjana Bisnis 9 Inggris Akuntan, Konsultan Pajak, Praktisi Pajak, Lawyer 10 Amerika Serikat Akuntan, Lawyer, Agen, Pengacara, dan lainnya 11 Jepang Akuntan Pajak 12 Indonesia Konsultan Pajak, sebelum 1984 ada Kantor Administrasi Pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mendelegasikan ketentuan tentang persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa diatur dengan atau berdasar Peraturan Menteri Keuangan, karena hal itu tidak diatur dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Pemohon menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan ayat (1), yaitu hak persamaan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, karena sebagai profesional advokat Pemohon tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari WP. Sebetulnya ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya memuat norma pendelegasian pengaturan lebih lanjut secara teknis mengenai persyaratan seorang penerima kuasa khusus serta pelaksanaan hak dan kewajibanWP oleh kuasa khusus dimaksud. Karena dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP pendelegasian tersebut belum diatur maka dimunculkan Pasal 32 ayat (3a) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 yang mengatur pendelegasian dimaksud. Sesuai dengan kondisi sistem perpajakan, sistem pendidikan perpajakan, dan kondisi Konsultan Pajak yang dihadapi saat ini, dari beberapa alternatif regulasi profesi jasa penunjang perpajkan ( full regulated , partial regulated , no regulation , dan minimal regulation ), UU KUP memilih yang terakhir sehingga dilakukan pendelegasian regulasi kepada Menteri Keuangan agar lebih fleksibel sesuai situasi dan kondisi; Pemahaman ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP harus dihubungkan dengan batang tubuh dan Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Sementara batang tubuh Pasal 32 ayat (3) menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, Penjelasan antara lain menyebut bahwa kuasa adalah pihak yang memahami masalah perpajakan sehingga , untuk dan atas namanya, dapat membantu pelaksanaan hak dan kewajiban formal dan material WP . Jika kuasa sebagai pihak yang memahami masalah perpajakan yang mampu membantu WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat disamakan dengan profesional penunjang berfungsinya sistem perpajkan berdasar self assessment yang efektif dan efisien maka rambu-rambu dari pengaturan regulasinya adalah seperti yang dibahas di muka. Yaitu, antara lain regulasi jasa penunjang sistem perpajakan harus harus melindungi kepentingan konsumen jasa perpajakan dari profesional yang tidak kompeten dan beritikad kurang baik . Selain itu, regulasi juga harus tidak cenderung melindungi kepentingan ekonomis profesional secara tidak proporsional atau sebaliknya justru mempersulit dan menghambat berfungsi efektif dan efisiennya profesi tersebut; Karena Pasal 32 ayat (3a) UU KUP berisi norma pendelegasian pengaturan lebih lanjut pendekatan regulasi minimalis profesional pemberi jasa penunjang sistem perpajakan itu sudah sesuai dengan kelaziman praktik ketentuan perpajakan di beberapa negara dengan paham sejenis, keberadaan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP merupakan pendelegasian pengaturan yang adanya merupakan keharusan. Karena itu, tidak dapat secara otomatis dianggap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (2) dan ayat (1) UUD 1945; Sebagai profesi, adalah merupakan kelaziman yang berterima umum, bahwa untuk dianggap kompeten memberikan jasa profesional di bidang perpajakan siapa saja yang berminat untuk menempuh proses sertifikasi Brevet Perpajakan, misalnya melalui jalur USKP sehingga setelah lulus yang bersangkutan dianggap kompeten untuk memberikan jasa perpajakan dan setelah mendapat ijin dapat dengan resmi dan syah menjadi kuasa Wajib Pajak. [2.4] Menimbang bahwa Pemohon dan Presiden menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada tanggal 21 November 2017 dan 22 November 2017 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.

    3.

    PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999), selanjutnya disebut UU KUP, terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:

    a.

    perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

    b.

    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

    c.

    badan hukum publik atau privat;

    d.

    lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

    b.

    ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

    a.

    adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

    b.

    hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

    c.

    kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

    d.

    adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

    e.

    adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut:

    1.

    Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, yang rumusannya masing-masing berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 (3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan _Menteri Keuangan; _ (4)... 2. Bahwa Pemohon, Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H., C.L.A, adalah perseorangan warga negara Indonesia dan pembayar pajak (vide bukti P-4) yang berprofesi sebagai advokat, pengacara, kurator, legal auditor , dan mediator;

    3.

    Pemohon sebagai advokat dan pengacara juga memiliki sertifikasi tambahan seperti kurator, legal auditor , dan surat izin menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak (vide bukti P-8) serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal pajak berdasarkan bukti sertifikat brevet A-B (vide bukti P-14);

    4.

    Bahwa Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP telah merugikan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakibatkan adanya kewenangan mutlak Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa;

    5.

    Bahwa Pemohon ditunjuk oleh Klien Pemohon untuk mendampingi, memberi nasihat, dan/atau mewakili Wajib Pajak, dan tetap terikat pada kewenangan Menteri Keuangan. Hal ini mengakibatkan Pemohon sebagai Kuasa Hukum tidak dapat menjalankan pekerjaan dan telah kehilangan hak untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban kuasa, karena adanya kewenangan Menteri Keuangan;

    6.

    Bahwa kewenangan Menteri Keuangan tersebut telah diterapkan dalam praktik bantuan hukum kepada Wajib Pajak dan Pemohon telah diijinkan untuk memberikan bantuan hukum di pengadilan pajak (vide bukti P-8), namun telah ditolak oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul Yogyakarta untuk mendampingi Klien dengan alasan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014, tanggal 18 Desember 2014 (selanjutnya disebut PMK 229/2014). Peraturan Menteri Keuangan ini terbit dengan merujuk pada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP;

    7.

    Bahwa Pasal 2 PMK 229/2014 menyatakan: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 (1) Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

    (2)

    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak orang pribadi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;

    (3)

    Dalam hal pelaksanaan kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan melalui sistem administrasi yang terintegrasi dalam sistem di Direktorat Jenderal Pajak atau tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dianggap telah melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan sendiri;

    (4)

    Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a.

    konsultan pajak; dan

    b.

    karyawan Wajib Pajak.

    8.

    Bahwa penolakan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul terhadap Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukan seorang konsultan pajak menandakan petugas kantor Pelayanan Pajak Bantul tidak memahami hak-hak konstitusional Pemohon dan profesi Pemohon sebagai advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Penolakan tersebut didasarkan PMK 229/2014, namun dalam prakteknya banyak orang yang bukan konsultan pajak juga mengurus masalah pajak di KPP Bantul, bahkan Petugas KPP Bantul selalu menawarkan penyelesaian damai ke pihak-pihak yang mengurus pajak dengan mengiming- imingi agar jumlah pajak yang disetor ke Kas Negara dapat dikurangi agar selisih pembayaran diberikan kepada Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul;

    9.

    Bahwa penolakan Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukanlah konsultan pajak dilakukan secara diskriminatif karena di lain kesempatan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul dapat menerima pihak lain yang bukan konsultan pajak untuk mengurus masalah-masalah pajak. Penolakan tersebut tidak dalam rangka menjalankan tugas profesinya tetapi semata-mata demi kepentingan dan keuntungan pribadi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 Berdasarkan uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana diuraikan di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya perihal inkonstitusionalitas Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, Pemohon secara aktual telah ditolak oleh Petugas KPP Bantul ketika sedang menjalankan profesinya sebagai Kuasa seseorang dalam perkara perpajakan, di mana penolakan tersebut secara aktual pula didasari oleh keberlakuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP. Dengan demikian anggapan Pemohon perihal kerugian hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah benar di mana secara kausalitas hal itu terjadi karena keberadaan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP sehingga apabila permohonan a quo dikabulkan maka kerugian tersebut tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa apabila diringkas, uraian dalil Pemohon perihal inkonstitusionalnya Pasal 32 ayat (3a) UU KUP pada pokoknya adalah sebagai berikut:

    1.

    Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak yang bersifat memaksa, tidak dapat dipungkiri atau dihindari akan timbul permasalahan atau sengketa di bidang perpajakan. Adanya kekuasaan dan kepentingan bagi instansi yang mengeluarkan keputusan di bidang perpajakan tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, atau berpotensi menghilangkan unsur kedaulatan rakyat, sementara di sisi lain, Wajib Pajak tidak memiliki pengetahuan tentang hukum perpajakan. Sehingga potensi terjadinya rasa ketidakadilan bagi Wajib Pajak akibat tindakan pemerintah di dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan harus diselesaikan melalui suatu lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak manapun yang khusus menangani sengketa/perkara pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 2. Bahwa dalam kenyataan sehari-hari permohonan Wajib Pajak dan petugas pelaksana dari pemerintah tidak sepenuhnya mengetahui seluruh peraturan perpajakan yang mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian di pihak Wajib Pajak. Untuk mewujudkan perlindungan kedaulatan rakyat, negara perlu melindungi dan menjamin agar pelaksanaan hak dan kewajiban Pemohon/Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik yaitu dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk kuasa, didampingi atau diwakili Kuasa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Hak untuk menunjuk Kuasa bagi Wajib Pajak dapat dilihat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang merupakan wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum dan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak;

    3.

    Bahwa peran dan fungsi Kuasa dalam mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan memiliki peran penting untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Kuasa juga memberikan jasa konsultasi perpajakan (konsultan pajak), sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan masyarakat Wajib Pajak dalam memahami dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, peranan dan fungsi Kuasa tersebut juga membantu Pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan pajak;

    4.

    Bahwa Kuasa juga diharapkan untuk mencari dan menegakkan hak-hak Wajib Pajak, karena Kuasa yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang perpajakan diharapkan dapat mewakili dan melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa untuk mencari dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga kuasa juga memiliki peran dan fungsi untuk mendampingi atau memberikan nasihat kepada Wajib Pajak atas hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga hak Wajib Pajak tidak dikurangi atau ditiadakan oleh Pemerintah atau Pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang perpajakan dan pelaksanaan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 5. Bahwa dengan adanya peranan penting dari kuasa hukum tersebut, menurut Pemohon jelaslah bahwa kuasa pajak haruslah mandiri, bebas atau independen dalam melaksanakan kuasa demi melindungi hak dan kepentingan pemberi kuasa, terhadap pihak manapun termasuk pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana tugas penerima atau pemungutan pajak;

    6.

    Bahwa ketentuan yang diuji Pemohon tersebut memberikan kewenangan mutlak/absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak;

    7.

    Pemberian kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon berarti, Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Menteri Keuangan telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk membatasi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada Kuasa dengan cara memberi Menteri Keuangan kewenangan untuk membuat dan menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa dalam menerima dan menjalankan kedaulatan Pemohon. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut, telah mengakibatkan tidak terlaksananya kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban Pemohon melalui Kuasa;

    8.

    Bahwa dalam sistem peradilan Indonesia, diakui keberadaan kuasa hukum yang memiliki profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran dalam pelaksanaan peradilan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. Pemohon dalam perkara a quo membandingkan kuasa hukum Wajib Pajak dengan profesi kuasa hukum yang diakui dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu advokat yang diatur dalam UU Advokat;

    9.

    Bahwa fungsi dan peran profesi advokat dengan kuasa Wajib Pajak/ Konsultan pajak dalam pelaksanaan peradilan adalah sama yaitu bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dan memberikan nasihat hukum tentang perkara yang dihadapi. Konsultan Pajak hanya khusus untuk beracara di Pengadilan Pajak, sementara Advokat dapat melaksanakan kuasanya untuk setiap lembaga peradilan apapun termasuk sengketa atau permasalahan hukum yang belum dibawa ke badan-badan peradilan. Posisi atau kedudukan, peran, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 dan fungsi Kuasa Wajib Pajak dan Advokat di hadapan persidangan pengadilan adalah sama yaitu memberikan pendampingan, bantuan hukum atau nasehat hukum mewakili Pemberi Kuasa atas perkara yang dihadapi Wajib Pajak, serta menjalankan kuasa yang diberikan oleh Pemberi Kuasa;

    10.

    Bahwa atas kesamaan fungsi dan peran profesi Advokat dengan Konsultan Pajak selaku Kuasa Hukum dalam pelaksanaan profesinya baik di dalam maupun di luar peradilan, maka kedudukan Kuasa atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan Advokat dalam sistem hukum Indonesia. Dengan memperhatikan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Advokat dalam peradilan, berbeda dengan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Advokat, sehingga tidak terdapat suatu unsur atau norma yang memberikan kewenangan kepada pihak manapun atau instansi pemerintahan seperti Menteri Hukum dan HAM, instansi penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian untuk menentukan persyaratan menjadi Kuasa Hukum/Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi Konsultan Pajak/Kuasa Hukum Wajib Pajak, karena undang-undang yang dimohonkan untuk diuji materiil ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Padahal Kuasa Hukum/Konsultan Pajak dan Menteri Keuangan adalah para pihak yang berperkara atau bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Pengadilan Pajak. [3.8] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-16b tanpa P-9, serta 1 (satu) orang ahli yang telah didengar keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 November 2017. [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 Kepaniteraan pada tanggal 16 Oktober 2017, serta 3 (tiga) orang ahli yang telah didengar keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 November 2017. [3.10] Menimbang bahwa setelah membaca dengan cermat permohonan Pemohon dan keterangan Pemohon dalam persidangan, serta memeriksa bukti- bukti yang diajukan, terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak secara spesifik memberikan argumentasi tentang pertentangan norma yang termuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan secara panjang lebar mengenai hak Wajib Pajak untuk menunjuk kuasa serta kaitannya dengan profesi Pemohon sebagai advokat yang oleh UU Advokat diberi kewenangan untuk memberi bantuan hukum, termasuk menjadi kuasa dalam sengketa perpajakan. Pemohon hanya secara sumir mendalilkan bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dengan PMK 229/2014 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak memberikan argumentasi yang secara spesifik berkenaan dengan dalil ini (Perbaikan permohonan hal. 12). Dengan memperhatikan secara saksama uraian Pemohon tampak jelas bahwa yang menjadi pokok keberatan Pemohon sesungguhnya adalah keberadaan dan keberlakuan PMK 229/2014 yang merupakan delegasi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang telah menyebabkan Pemohon ditolak menjadi kuasa wajib pajak oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul padahal Pemohon telah memiliki sertifikat Brevet A-B. Atas dasar itu, Pemohon kemudian tiba pada penalaran bahwa Menteri Keuangan memiliki kewenangan absolut sehingga seolah-olah berada di atas kedaulatan rakyat. Lagi pula, Pemohon sendiri menyatakan dalam permohonannya bahwa ada pihak lain yang bukan konsultan pajak namun dapat mengurus masalah-masalah pajak (vide perbaikan permohonan Halaman 21), sehingga memberi kesan bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon adalah persoalan penerapan undang-undang. [3.10.2] Bahwa, namun demikian, jika dibaca rasionalitas dan konteks keseluruhan dalil Pemohon, Mahkamah memahami bahwa substansi yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sesungguhnya dipersoalkan oleh Pemohon adalah masalah pendelegasian kewenangan oleh undang-undang, in casu Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Peraturan Menteri, sehingga persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah pendelegasian kewenangan demikian bertentangan dengan UUD 1945, khususnya sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011). Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:

    1.

    Bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, diperlukan pemerintahan yang berdaulat dan memiliki kewenangan secara hukum. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan adalah diturunkan dari kewenangan tersebut. Sumber kewenangan dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar;

    2.

    Bahwa, sebagaimana disinggung pada angka 1 di atas, salah satu sumber kewenangan adalah diperoleh dari pendelegasian kewenangan perundang- undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), yaitu pendelegasian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian demikian dibutuhkan karena walaupun dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diharapkan dapat dirumuskan ketentuan-ketentuan yang dapat langsung menyelesaikan permasalahan, namun demikian acapkali diperlukan adanya pelimpahan (pendelegasian) peraturan perundang-undangan. Hal itu disebabkan peraturan yang lebih tinggi biasanya hanya mengatur ketentuan yang sangat umum (garis besar) sehingga pengaturan yang lebih konkret didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah secara berjenjang sesuai hierarkinya. Pendelegasian suatu peraturan perundang-undangan pada dasarnya dilakukan secara berjenjang sesuai dengan hierarki yang berlaku, misalnya dari Undang-Undang ke Peraturan Pemerintah atau dari Peraturan Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 ke Peraturan Presiden. Pendelegasian Undang-Undang ke Peraturan Menteri seharusnya tidak terjadi dalam sistem pemerintahan Presidensial oleh karena pendelegasian tersebut meloncati dua peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang secara konstitusional seharusnya didelegasikan ke Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya” . Namun, masalah pendelegasian tersebut diatur secara agak berbeda dalam UU 12/2011 yang berlaku saat ini, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011. Pedoman angka 211 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan, “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari undang- undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. Dengan demikian, terlepas dari persoalan apakah secara doktriner dalam sistem pemerintahan Presidensial dapat dibenarkan adanya pendelegasian kewenangan mengatur langsung dari Undang-Undang kepada Peraturan Menteri, menurut hukum positif yang berlaku pada saat ini ( in casu UU 12/2011) pendelegasian kewenangan demikian dimungkinkan sepanjang hal itu berkenaan dengan pengaturan yang bersifat teknis-administratif. Dengan kata lain, secara a contrario , pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang langsung kepada Peraturan Menteri tidak dibenarkan jika materi muatannya berkenaan dengan hal-hal yang menurut hierarki peraturan perundang-undangan bukan merupakan materi muatan Peraturan Menteri;

    3.

    Bahwa substansi yang diatur dalam UU 12/2011 terkait dengan pendelegasian kewenangan merupakan bagian dari sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang harus selalu menjadi acuan. Kepatuhan terhadap sistem peraturan perundang-undang dimaksud merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa setiap norma yang dibentuk memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara yang dikenai aturan dimaksud. Dalam konteks ini, untuk menilai keabsahan pendelegasian wewenang dari undang-undang kepada peraturan perundang-undangan lainnya, maka sistem pendelegasian kewenangan yang terdapat dalam UU 12/2011 tidak dapat dikesampingkan, dalam arti tidak dipertimbangkan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 sepanjang norma yang relevan yang termuat di dalamnya tidak dimohonkan pengujian;

    4.

    Bahwa pada saat yang sama, pembatasan delegasi kewenangan dari undang- undang kepada menteri juga berhubungan dengan materi muatan undang- undang ditentukan secara eksplisit dalam UU 12/2011. Dalam kaitan ini, terhadap hal-hal yang terkait dengan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 yang merupakan pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara harus diatur dalam undang-undang. Karena itu, hanya hal-hal yang bersifat teknis- administratif dari pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan, pencabutan, atau perluasan hak itu saja yang dapat didelegasikan pengaturannya kepada menteri atau pejabat setingkat menteri. Dalam arti demikian, hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam undang-undang tidak dapat didelegasikan melalui sebuah Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana atau peraturan teknis.

    5.

    Bahwa dalam kaitannya dengan delegasi kewenangan dari UU KUP kepada menteri dalam permohonan a quo , keberadaan norma tersebut berhubungan dengan sejarah dan semangat perumusan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 6/1983). Melalui ketentuan tersebut, pembentuk undang-undang sesungguhnya membuka ruang bagi setiap orang atau badan hukum Wajib Pajak untuk dikuasakan oleh seorang kuasa dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Pada saat pertama kali dirumuskan dan dimuat dalam UU 6/1983, dalam Pasal 32 ayat (3) dinyatakan bahwa Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penjelasan ketentuan tersebut diterangkan bahwa norma dimaksud adalah untuk memberikan kelonggaran dari kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Sesuai dengan ketentuan itu, hadirnya seorang kuasa dalam rangka membantu wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban diperkenankan. Pada saat yang sama, Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang a quo secara implisit juga mengakui hak seseorang untuk menunjuk seorang kuasa guna membantunya menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Hanya saja, orang yang bertindak sebagai kuasa tersebut disyaratkan haruslah orang yang memahami masalah perpajakan. Pada saat UU 6/1983 diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 9/1994), norma Pasal 32 ayat (3) UU 9/1994 juga ikut diubah, namun substansi yang dimuat di dalamnya tetap sama dengan substansi yang terdapat dalam UU 6/1983, di mana hak dan kesempatan Wajib Pajak untuk didampingi kuasanya tetap diakui. Penambahan ayat dalam Pasal 32 terjadi saat berlakunya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyisipkan satu ayat diantara ayat (3) dan ayat (4), yakni ayat (3a) yang menyatakan, “ Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan ”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3a) hanya menyatakan cukup jelas. Rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan.

    6.

    Bahwa ketika UU 6/1983 diubah untuk ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan. Norma tersebut berbunyi, “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan ”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP diterangkan kembali mengenai bentuk bantuan yang dapat diberikan dan siapa yang dimaksud dengan kuasa. Di mana, orang yang dapat menjadi kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan adalah setiap orang yang memahami masalah perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 Undang-Undang a quo hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak, yaitu orang yang memahami masalah perpajakan. Dalam hal ini, Undang-Undang tidak mengatur lebih jauh kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa. Undang-undang juga tidak mengatur apa standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak. Undang-undang juga tidak mengatur bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa. Lebih jauh, Undang-undang juga tidak mengatur status kuasa Wajib Pajak sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pengaturan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa tersebut, dalam UU KUP diadopsi satu norma baru berupa delegasi pengaturan terkait persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa kepada Peraturan Menteri. Hal itu dimuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan rumusan berbunyi, “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” yang menjadi objek permohonan dalam perkara a quo . Masalahnya, apakah pendelegasian tersebut telah memenuhi syarat bentuk hukum dan substansi kewenangan yang didelegasikan dapat dikatakan bersesuaian dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada maksud dengan kata “ persyaratan ” dan frasa “ pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa ”.

    7.

    Bahwa dalam keterangannya, pemerintah mengemukakan, salah satu alasan sosiologis pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak adalah karena faktor sulitnya melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasehat atau konsultan perpajakan. Hal itu terjadi karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan. Atas dasar itu, diperlukan seorang penasehat perpajakan/orang yang memahami masalah perpajakan menjadi Kuasa Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, keberadaan konsultan pajak sebagai kuasa menjadi penting bagi kepentingan publik pembayar pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 Lebih jauh, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menjelaskan pengaturan mengenai persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan ketentuan bersifat teknis sehingga didelegasikan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan. Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan: apakah dapat diterima bahwa persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan hal yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya dapat didelegasikan kepada sebuah peraturan pelaksana, in casu Peraturan Menteri.

    8.

    Bahwa dari keterangan Pemerintah dan DPR dimaksud dapat dipahami pada satu sisi pengakuan terhadap hak Wajib Pajak untuk didampingi oleh seorang kuasa merupakan perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak ( tax payer ), sedangkan di sisi lain, persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa diposisikan sebagai hal yang bersifat teknis administratif. Apabila ditelaah lebih jauh, sesungguhnya telah terdapat contradictio in terminis dari penjelasan tersebut, terutama dengan memosisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai sesuatu yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Dalam hal ini, apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak, semestinya materi pengaturannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada Menteri. Sebab, Menteri merupakan pihak yang melaksanakan Undang- Undang Perpajakan yang dalam praktik sangat mungkin “berhadapan” dengan Wajib Pajak dan/atau Kuasa Wajib Pajak. Bagaimana mungkin kepentingan hukum Wajib Pajak akan dapat terlindungi bilamana Kuasa Wajib Pajak diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak secara bebas dan mandiri.

    9.

    Bahwa selanjutnya, dibentuknya UU KUP memang merupakan perintah UUD 1945, di mana dalam Pasal 23A UUD 1945 dinyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dalam konteks itu, UU KUP mengatur hal-hal yang bersifat memaksa bagi warga negara yang memenuhi syarat, dalam hal ini pajak. Pajak merupakan kewajiban yang mesti dibayarkan oleh warga negara, di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 mana apabila tidak dipenuhi, maka sanksi hukum dapat dikenakan kepada yang bersangkutan. Sekalipun pajak merupakan sesuatu yang bersifat memaksa, di mana negara melalui Kementerian Keuangan dapat memaksa agar warga negara yang memenuhi kewajibannya, namun sifat memaksa pajak tidak serta-merta menghilangkan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum, kejelasan proses pemungutan pajak, dan hak untuk dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami perpajakan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Hak untuk didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan merupakan salah satu sarana bagi Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhindar dari potensi penyalahgunaan wewenang. Hak tersebut akan betul-betul dapat dilindungi apabila orang atau pihak yang menjadi kuasa untuk mewakili atau mendampingi Wajib Pajak adalah orang yang bebas dan mandiri dalam menjalankan profesinya sebagai Kuasa Wajib Pajak, bukan orang yang berada di bawah tekanan atau dalam posisi tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kuasa.

    10.

    Bahwa oleh karena kewajiban membayar pajak tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk dapat dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan, maka pengaturan mengenai Kuasa Wajib Pajak haruslah dapat menjamin bahwa yang bertindak sebagai kuasa adalah orang yang memahami perpajakan dan dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak. Demi untuk menjamin agar hak dan kewajiban Wajib Pajak terlaksana secara baik dan dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasa yang menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak, maka hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak tidak dapat diposisikan hanya sekedar hal yang bersifat teknis administratif. Persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Terlaksana atau tidaknya hak dan kewajiban sesuai aturan serta adanya kepastian hukum yang adil bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya akan sangat bergantung pada bagaimana pengaturan terkait dengan hak Wajib Pajak untuk dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasanya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 Oleh karena itu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat teknis administratif, melainkan lebih bersifat substantif karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sehingga seharusnya materi tersebut diatur dalam undang- undang. Dalam hal ini, Undang-Undang harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai Kuasa Wajib Pajak, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, undang-undang juga harus mengatur dan menjamin bahwa Kuasa Wajib Pajak harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara bebas dan mandiri. Pengaturan tersebut akan menjadi instrumen hukum untuk melindungi dan menjamin bahwa hak dan kewajiban Wajib Pajak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhindar dari kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dan ketidakpastian hukum. [3.11] Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang bertumpu pada UU 12/2011, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.10] di atas, adalah dikarenakan undang-undang itulah yang memuat pengaturan lebih lanjut tentang pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan dan tidak menjadi objek permohonan a quo . Sehingga, sesuai dengan prinsip presumption of constitutionality yang berlaku dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang dan prinsip bahwa hakim atau pengadilan adalah zittende magistratur, maka UU 12/2011 khususnya Lampiran II Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 harus dianggap konstitusional sampai terbukti bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan atas dasar adanya permohonan untuk itu. Prinsip zittende magistratur menghalangi Mahkamah untuk secara aktif menguji konstitusionalitas suatu undang-undang jika undang-undang yang bersangkutan tidak dimohonkan pengujian. Namun demikian, prinsip zittende magistratur tidak menghalangi Mahkamah untuk mengesampingkan keberlakuan suatu Undang-Undang apabila ternyata norma undang-undang yang bersangkutan telah ternyata menghalangi kewenangan Mahkamah dalam menjalankan fungsi constitutional review- nya. Pengesampingan demikian dibenarkan berdasarkan doktrin hukum tata negara dan tidak bertentangan dengan ajaran pemisahan kekuasaan, sebab Mahkamah tidak menguji konstitusionalitas norma undang- undang yang tidak dimohonkan pengujiannya, melainkan Mahkamah hanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 memutuskan untuk tidak menerapkannya. Artinya, norma Undang-Undang tersebut, baik teks maupun isi atau materi muatannya, tetap ada dan berlaku selama belum ada permohonan yang menguji konstitusionalitasnya dan belum ada Putusan Mahkamah berkenaan dengan hal itu. Hal ini pernah dipraktikkan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004. [3.12] Menimbang bahwa kendatipun Pemohon tidak memohonkan pengujian UU 12/2011 (terutama dalam hal ini Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011) dan kendatipun titik berat Permohonan Pemohon adalah terletak pada substansi pendelegasian dari undang-undang kepada Peraturan Menteri, in casu PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa, sesuai dengan sistem Pemerintahan Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah secara doktriner tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan tingkatan atau hierarkinya. Dengan demikian, dalam konteks Permohonan a quo , sesuai dengan pertimbangan pada sub-paragraf [3.10.2] di atas, tanpa perlu mengesampingkan keberlakuan Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011 dan tanpa harus menilai kasus konkret yang dialami Pemohon khususnya berkenaan dengan pemberlakuan PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa memang terdapat kebutuhan untuk mengatur lebih tegas pendelegasian wewenang teknis-administratif “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Menteri Keuangan. Sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis-administratif maka, di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak wajib pajak dalam memberi kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak- haknya sebagai wajib pajak dan menurut undang-undang absah untuk menerima kuasa demikian serta, di lain pihak, tidak menghambat atau mengurangi kewenangan negara untuk memungut pajak yang diturunkan dari UUD 1945. Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih ( over capacity of Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 power ) kepada Menteri Keuangan melainkan hanya untuk mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan undang-undang. Oleh karena itu, ada atau tidak ada kasus konkret sebagaimana dialami Pemohon, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas materi muatan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, yaitu sepanjang frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis- administratif, yaitu sepanjang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban.

    4.

    KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

    5.

    AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.

    2.

    Menyatakan frasa “ pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa ” dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara.

    3.

    Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

    4.

    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua belas, bulan April, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh enam, bulan April, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 tahun dua ribu delapan belas , selesai diucapkan pukul 15.21 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Arief Hidayat ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id

    Thumbnail
    BIDANG ANGGARAN | TAHUN ANGGARAN 2017
    33/PMK.02/2016

    Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2017

    • Ditetapkan: 02 Mar 2016
    • Diundangkan: 02 Mar 2016
    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    DIPA | PETUNJUK PENYUSUNAN DAN PENELAAHAN
    143/PMK.02/2015

    Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...

    • Ditetapkan: 24 Jul 2015
    • Diundangkan: 24 Jul 2015
    Thumbnail
    PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | PUTUSAN PENGADILAN
    29/PUU-XVI/2018

    Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945

      Relevan terhadap

      Pasal 122Tutup

      (1) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator. (2) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi berlaku pula bagi likuidator. 56 Ketentuan ini ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Conflict of Interest Direksi terjadi dalam hal diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU PT yang menyatakan: _Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: _ 1) terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota _Direksi yang bersangkutan; atau _ 2) anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. c. Bahwa dalam UU PT juga sudah diatur tentang dilarangnya Direksi mewakili perseroan dalam hal terjadi benturan kepentingan. Suatu Perseroan Terbatas yang melakukan pembubaran perseroan tidak selalu melibatkan asset yang dapat dibagi, bahkan dari likuidasi dan pembubaran yang didaftarkan dalam 3 tahun terakhir adalah likuidasi yang tidak melibatkan keuangan yang signifikan sehingga apabila likuidasi hanya dapat dilakukan oleh likuidator dapat terjadi hal sama dengan kurator, sehingga dapat terjadi dalam likuidasi perusahaan dalam hal kepailitan oleh debitur yang tidak punya asses tidak diminati likuidator sehingga menyebabkan menjadi terkatung katung. Sebagaimana yang diatur dalam KUHD yang melakukan likuidasi adalah pengurus, namun baru pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 di atur tentang likuidator, dan rezim likuidasi terbagi dalam 2 jalur yaitu likuidasi sukarela dan paksa melalui kepailitan. Dalam hal likuidasi sukarela sepenuhnya berdasar KUH Perdata berdasarkan kesepakatan para pihak terkait dengan bagaimana prosesnya dan siapa yang akan melakukan pemberesan perseroan tersebut.

      d.

      Berdasarkan Pasal 142 UU PT sebatas pelaksana tugas likuidator dalam tugas pelaksanaan likuidasi perseroan terrsebut. Padahal likuidasi sangat penting untuk menentukan status hukum suatu perseroan sehingga tidak mempersulit prosesnya. Kekawatiran pemohon apabila terjadi conflik of interest karena adanya RUPS dan organ RUPS masih mempunyai kekuasaan untuk mengangkat kembali menegur pemberesan yang dilakukan direksi. 57 5. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) UU PT bertentangan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak beralasan hukum. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

      1.

      Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tersebut tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );

      2.

      Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

      3.

      Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( Legal Standing );

      4.

      Menyatakan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945. Namun apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aquo et bono) . Atas perkenan dan perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, diucapkan terima kasih. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 10 Oktober 2018 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang disampaikan di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 17 Oktober 2018, yang pada pokoknya sebagai berikut: 58 A. KETENTUAN UU PT YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945 Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya __ mengajukan pengujian atas Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur: Pasal 142 ayat (2) huruf a _Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): _ (a) Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator Pasal 142 ayat (3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU PT Para Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT telah menghilangkan atau mengganggu hak dasar Para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan jaminan perlindungan hukum selaku warga negara Indonesia, sebab kedua pasal a quo tidak memberikan definisi bahkan persyaratan kepada seseorang yang dapat menjadi likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 7 angka 2). Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT, terdapat kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Dengan demikian, maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 14 angka 14). Para Pemohon dalam permohonannya __ mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang dinilai merugikan profesi likuidator akibat ketiadaan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi profesi likuidator ( Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 8). Secara garis besar, Para Pemohon mengharapkan bahwa pasal-pasal a quo di dalam UU PT yang dinilai merugikan hak konstitusional dari para Pemohon yang berprofesi sebagai likuidator dan 59 mengganggu peningkatan pembangunan perekonomian nasional untuk diuji konstitusionalitasnya. Bahwa pasal-pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berketentuan sebagai berikut:

      1.

      Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:

      1.

      Menerima dan mengabulkan seluruh Permohonan para Pemohon;

      2.

      Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 106, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ( conditional unconstitutional ) “likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen”;

      3.

      Menyatakan Pasal 142 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut: 60 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa: Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga Negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara . Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

      a.

      Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

      b.

      Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide __ Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 __ dan __ Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: 61 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

      b.

      bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

      c.

      kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

      d.

      adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

      e.

      adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan para Pemohon a quo , DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Merujuk kepada lima syarat terkait kerugian konstitusional dari para Pemohon, DPR-RI memberikan pandangan sebagai berikut: a) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 Bahwa para Pemohon beranggapan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya dan hak atas 62 pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, tidak mengatur secara khusus kedudukan, hak dan wewenang likuidator dan kurator. Bahwa mencermati ketentuan pasal a quo UU PT yang mengatur mekanisme pembubaran perseroan, sesungguhnya tidak terdapat pertautan dengan hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa perlu dipahami oleh Para Pemohon, profesi likuidator dan kurator adalah dua profesi yang berbeda dan masing-masing memiliki kekhususan dan kewenangan tersendiri yang diatur dengan undang-undang UU PT dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan dalam undang-undang yang berdeba antara likuidator dan kurator tersebut, tentu memiliki peran, kedudukan, fungsi dan wewenang yang berbeda yang tidak dapat disamakan dengan mengajukan pengujian ketentuan a quo UU PT. Oleh karena ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, sama sekali tidak tepat jika dikaitkan dengan hak konstitusional yang dianggap para Pemohon dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. b) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang- undang yang diuji Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagaimana dalil para Pemohon dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut, sama sekali tidak tepat jika dihubungkan dengan ketemtuan a quo UU PT. Oleh karena tidak adapertautan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan ketentuan a quo UU PT tentu Para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional oleh berlakunya ketentuan a quo UU PT. 63 Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon III adalah selaku pengurus Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) dan Pemohon IV sampai dengan Pemohon VII adalah selaku likuidator/anggota PPLI. Dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa dengan demikian peran likuidator yang diatur dalam ketentuan a quo UU tersebut, tidak mengurangi dan tidak menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon sebagai likuidator sebagaimana didalilkan Para Pemohon. c) Terkait dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mendalilkan bahwa Para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan yang mengatur mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Ketentuan yang berbeda tersebut, Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT tidak memiliki kesetaraan terlebih terhadap kualifikasi profesi sehingga tidak tercermin adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum. Bahwa dalil para Pemohon tersebut bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, karena dalil yang dikemukakan para Pemohon adalah bersifat asumsi yang beranggapan adanya perbedaan pengaturan antara likuidator yang diatur dalam UU PT dan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian para Pemohon a quo tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan 64 aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi sebagaimana didalilkan para Pemohon. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa kerugian para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mengemukakan bahwa para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Bahwa dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut sama sekali tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causa verband ) dengan ketentuan a quo UU PT. Karena para Pemohon tidak mengalami kerugian yang bersifat konstitusional dengan berlakunya ketentuan a quo UU PT. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa seandainya petitum yang diajukan oleh para Pemohon untuk menambahkan kalimat “ yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen ” setelah kata “ likuidator ” di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT dikabulkan oleh MK, tidak dengan serta merta menghilangkan kerugian konstitusional yang dianggap telah dialami oleh para Pemohon karena jika para Pemohon menganggap bahwa ketentuan pasal a quo belum cukup mengatur mengenai profesi likuidator, tidak berarti pasal a quo tersebut inkonstitusional. 65 Bahwa dengan demikian Putusan Mahkamah Kontitusi terhadap pengujian UU a quo tidak berpengaruh apapun terhadap para Pemohon. Bahwa selain itu terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa mereka memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian UU PT atas dasar sebagai bagian dari warga negara pembayar pajak dengan landasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-I/2003 merupakan suatu kesalahan. Hal ini mengingat pertimbangan yang diungkapkan oleh Majelis Hakim MK yang termuat di dalam Putusan tersebut yang menyatakan: “Menimbang bahwa para Pemohon a quo adalah warga masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal dimaksud sesuai dengan adagium no taxation without participation dan sebaliknya no participation without tax, sehingga hak dan kepentingan mereka terpaut pula dengan pinjaman (loan) yang dibuat negara cq. pemerintah dengan pihak lain yang akan membebani warga negara sebagai pembayar pajak. Upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak. Dalam kaitan dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon a quo yang menganggap hak konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya Pasal 20 UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, dapat dibenarkan sehingga Pemohon a quo memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk berperkara di hadapan Mahkamah. (vide Putusan MK No. 003/PUU-I/2003 hlm. 49 – 50)” Bahwa berdasarkan kutipan dari Putusan MK Nomor 003/PUU-I/2003 tersebut maka dapat dipahami bahwa alasan mengapa warganegara pembayar pajak ( tax payers ) mempunyai kedudukan hukum untuk memohon pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara adalah dikarenakan adanya hak dan kepentingan mereka yang terkait langsung dengan pinjaman yang dibuat oleh negara. Mengingat upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak, yang tentunya bersumber dari warganegara pembayar pajak. 66 Bahwa dengan demikian salah apabila Para Pemohon berpandangan bahwa mereka mempunyai kedudukan hukum semata-mata atas dasar sebagai warganegara pembayar pajak saja. Oleh karenanya dengan dikabulkannya permohonan ini atau tidak maka tidak akan ada dampak apa pun bagi ara Pemohon. Bahwa pandangan DPR-RI berpandangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa di dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest , point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang . Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection )”. Bahwa terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkret mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian- uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan 67 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.

      2.

      Pengujian Materiil Atas UU PT Terhadap UUD NRI Tahun 1945 a. Pandangan Umum 1) Bahwa menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum ( legal certainty ) merupakan salah satu dari tiga pilar fundamental di dalam hukum, selain keadilan dan kebermanfaatan, oleh karenanya keberadaan UU PT ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan investasi di bidang ekonomi dalam wadah Perseroan Terbatas di Indonesia.

      2)

      Bahwa Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pembangunan perkonomian nasional perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang menggantikan peraturan perundang- undangan yang berasal dari zaman kolonial. Namun, dalam perkembangannya ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

      3)

      Bahwa dalam Undang-Undang ini telah diatur berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, 68 perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Untuk lebih memperjelas hakikat Perseroan, di dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

      4)

      Bahwa Undang-Undang ini memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris, mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan. Selain itu Undang-Undang ini mempertegas ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum Perseroan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek Perseroan, maka Undang-Undang ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo mengemukakan: “Bahwa norma a quo tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator.” (vide perbaikan permohonan hlm 12 angka 9) Bahwa dalil Pemohon tersebut bersifat asumtif, tidak memperjelas sacara konkrit mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagai likuidator. Bahwa asumsi para Pemohon yang beranggapan ketiadaan pengaturan mengenai profesi likuidator di dalam UU PT menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan. Oleh karena para Pemohon tidak membuktikan secara konkrit mengenai kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya UU PT, 69 tetapi para Pemohon membandingkan pengaturan likuidator dalam UU PT dengan pengaturan kurator dalam UU KPKPU. Bahwa justru ketentuan a quo UU PT memberikan kepastian hukum kepada peran likuidator dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur UU PT. Bahwa merujuk pada pendapat Gustav Radbruch dalam Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law mengenai kepastian hukum, dikatakan bahwa: “Any statute is always better than no statute at all, since it at least creates legal certainty.” Setiap Undang-Undang selalu lebih baik daripada tidak ada undang- undang sama sekali, karena setidaknya menciptakan kepastian hukum. Merujuk pendapat dari Gustav Radbruch tersebut, bahwa kepastian hukum lahir dari norma yang sudah menjadi hukum positif, yaitu UU PT. Bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur peran likuidator justru memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum dalam melakukan likuidasi dalam hal terjadi pembubaran perseroan.

      2)

      Bahwa ketiadaan pengaturan mengenai likuidator di dalam UU PT tidak serta merta berarti ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Perkara PUU Nomor 88/PUU-XV/2017 yang di dalamnya menyatakan: “Perihal belum adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang (rechtsvacuum) tentang santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini. Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan menyalahkan 70 undang-undang a quo.” ( vide Putusan MK No. 88/PUU-XV/2017: hlm.

      77)
      1. Bahwa para Pemohon mengemukakan dalam perbaikan permohonan a quo : “...Undang-Undang a quo membuat perbedaan hak antara likuidator dengan kurator. Hal ini adalah tidak wajar dan sama sekali tidak layak dan melanggar asas keadilan sosial. Karena di dalam Pasal a quo tidak memberikan pengakuan atau kejelasan profesi likuidator yang sesungguhnya memiliki kualitas, peran, dan tanggung jawab yang sama dengan kurator. Dengan demikian rumusan dari Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT sama sekali tidak mengandung nilai keadilan sosial di dalamnya.” (vide perbaikan permohonan hlm. 12 angka 8) Bahwa terhadap anggapan dari para Pemohon tersebut, DPR-RI berpendapat bahwa para Pemohon telah keliru menyamakan dua profesi yang berbeda antara likuidator dengan kurator. Bahwa para Pemohon di dalam perbaikan permohonannya membandingkan pengaturan likuidator dan kurator (vide perbaikan permohonan hlm. 15 – 18) sebagai berikut: No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator 1. Pengertian/ definisi profesi Tidak diatur Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini. (vide Pasal 1 angka 5 UU PKPU) 2. Beban kerja Likuidator memiliki tugas- tugas sebagai berikut:
      a.

      Memberitahukan pembubaran Perseroan tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan Kurator memiliki tugas sebagai berikut:

      a.

      Melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit (vide Pasal 69 UU K-PKPU) b. Kurator harus menyampaikan laporan kepada 71 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator dalam likuidasi; [vide Pasal 147 ayat (1) UU PT] b. Melakukan pemberesan harta Perseroan; [vide Pasal 149 ayat (1) UU PT] c. Atas perintah Pengadilan Negeri, likuidator melakukan penarikan sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham apabila ada kreditor yang belum mengajukan tagihannya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pembubaran Perseroan diumumkan; (vide: Pasal 150 ayat (2) UU PT) d. Membuat laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan [vide Pasal 152 ayat (1) UU PT] e. Memberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya; [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT]; dan

      f.

      Mengumumkan hasil Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya tiap 3 (tiga) bulan. (vide Pasal 74 UU K-PKPU) c. Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit, dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan (vide Pasal 98 UU K- PKPU) d. Kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua Kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). [vide Pasal 114 UU K-PKPU] e. Kurator wajib: • Mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang 72 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT] telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor pailit; atau • Berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima [vide Pasal 116 ayat (1) UU K-PKPU] f. Kurator melakukan penjualan harta pailit (vide Pasal 185 UU K-PKPU) g. Kurator melakukan daftar pembagian hasil penjualan harta pailit (vide Pasal 189 UU K-PKPU) 3. Kualifikasi Profesi Tidak diatur Seseorang yang dapat diangkat menjadi likuidator harus memenuhi kualifikasi sebgaai berikut:

      a.

      Orang-perseorangan yang berdomisili di Indonesia b. Memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit;

      c.

      Dan terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang- undangan [vide Pasal 70 ayat (2) UU K- PKPU] 4. Organisasi Profesi Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia a. Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia 73 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator (PPLI) (AKPI) b. Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) c. Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (KHKI) Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan kejelasan profesi likuidator yang sesungguhnya memiliki kualitas, peran, dan tanggungjawab yang sama dengan kurator adalah anggapan yang keliru karena profesi likuidator yang diatur dalam UU PT memiliki kedudukan, peran dan tanggung jawab yang berbeda dengan profesi kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian tidak tepat dan tidak berdasar apabila Para Pemohon hendak menyamakan peran dan tanggung jawab antara kedudukan likuidator yang jelas berbeda dengan kurator yang diatur dalam UU yang berbeda. Merujuk pendapat Prof. Soediman Kartohadiprodjo yang menyatakan bahwa, “ Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan ( ungenrechtigkeit ) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU- X/2012: hlm. 84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Soediman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: “Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan 74 atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan.” (vide Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) 4) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (3) UU PT berpotensi menimbulkan konflik bagi para pihak yang berkepentingan ( conflict of interest ) dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa terhadap pernyataan para Pemohon tersebut, DPR-RI berpandangan bahwa dalam hal adanya potensi konflik bagi para pihak yang berkepentingan sudah diatur dalam UU PT, terutama bagi kreditor. Bahwa ketentuan yang mengatur penyelesaian adanya potensi konflik tersebut diatur dalam Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) UU PT, yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) (3) Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) (1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. (2) Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1). Bahwa berdasarkan pandangan tersebut diatas, ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur pembubaran, 75 likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan adalah ketentuan yang memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum dan kesamaan kedudukan setiap orang di dalam hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karenanya, ketentuan pasal a quo UU PT tidak bertentangan dengan UUD 1945. __ Bahwa berdasarkan dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:

      1.

      Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );

      2.

      Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;

      3.

      Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;

      4.

      Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

      5.

      Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca kesimpulan yang disampaikan oleh para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Oktober 2018, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. 76 3. PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756, selanjutnya disebut UU 40/2007) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili Permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:

      a.

      perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 77 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

      c.

      badan hukum publik atau privat; atau

      d.

      lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:

      a.

      kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

      b.

      ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

      a.

      adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

      b.

      hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

      c.

      kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

      d.

      adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

      e.

      adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 78 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

      1.

      Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007: Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat _(1): _ _a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan _ Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007: “ Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator , Direksi bertindak selaku likuidator.” 2. Bahwa para Pemohon dalam Permohonan a quo masing-masing adalah:

      a.

      M. Achsin (Pemohon I);

      b.

      Indra Nur Cahya (Pemohon II);

      c.

      Eddy Hary Susanto (Pemohon III);

      d.

      Anton Silalahi (Pemohon IV);

      e.

      Manonga Simbolon (Pemohon V);

      f.

      Toni Hendarto (Pemohon VI);

      g.

      Handoko Tomo (Pemohon VII).

      3.

      Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum, Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menjelaskan dirinya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia yang taat membayar pajak dan berprofesi sebagai likuidator yang tergabung dalam Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI). Para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia (WNI) dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut: 79 a. Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adalah WNI yang berprofesi sebagai likuidator telah mengikuti kegiatan untuk membentuk likuidator yang profesional. Menurut Pemohon I sampai dengan VII, serangkaian wewenang yang diberikan oleh UU 40/2007 terhadap likuidator dalam melaksanakan tindakan likuidasi perseroan tidak dapat dilaksanakan secara profesional apabila tidak dibekali dengan dasar kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Oleh karena itu Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menganggap bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengakomodir kriteria seseorang yang layak menjadi likuidator;

      b.

      Bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata “likuidator“. Hal tersebut berakibat kurangnya atau hilangnya perlindungan hukum Pemohon I sampai dengan Pemohon VII ketika sedang menjalankan tugas sebagai likuidator, sehingga dalam melaksanakan profesinya, likuidator tidak memiliki jaminan kepastian hukum yang adil;

      c.

      Menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dalam menerangkan kedudukan hukumnya, bangsa dan negara juga mengalami kerugian yang nyata karena Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengandung kepastian hukum terhadap kata “likuidator”, sehingga akan mengganggu pencapaian tujuan dari dibentuknya UU 40/2007 tersebut, yaitu untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional. Selain itu menurut para Pemohon, pelaksanaan likuidasi yang tidak dilakukan oleh likuidator yang profesional dan memiliki kualifikasi tertentu dapat berakibat tidak tercapainya peningkatan pembangunan perekonomian nasional yang diharapkan, bahkan mengalami penurunan. Berdasarkan uraian argumentasi Pemohon I sampai dengan Pemohon VII pada huruf a sampai dengan huruf c di atas di dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, Mahkamah setelah mencermati dengan seksama, yaitu anggapan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adanya pertentangan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 dengan UUD 1945 khususnya jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama, menurut Mahkamah Pemohon I sampai dengan Pemohon VII telah dengan jelas menguraikan 80 secara spesifik hak konstitusionalnya yang merasa telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007. Anggapan kerugian konstitusionalitas yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dimaksud tampak adanya hubungan kausalnya dengan norma Undang- Undang yang dimohonkan pengujian ( in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) UU 40/2007) dan sebagai akibatnya telah jelas adanya konsekuensi logis, bahwa apabila Permohonan a quo dikabulkan maka kerugian hak konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu terlepas beralasan atau tidaknya secara hukum permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo ; [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon), maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok Permohonan para Pemohon. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas norma dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan mengemukakan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut (argumentasi selengkapnya dari para Pemohon termuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):

      a.

      Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi para Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator. Ketentuan Pasal a quo membuat profesi likuidator diperlakukan sebagai “anak tiri” dalam melakukan likuidasi perseroan. Pemikiran tersebut lahir karena para Pemohon melihat bahwa pasal a quo tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum 81 (undang-undang). Padahal sesungguhnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, namun pasal a quo justru menafikan pesan dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

      b.

      Bahwa masih menurut para Pemohon, persamaan kedudukan antarwarga negara tidak bisa dibatasi oleh adanya batas kesukuan, agama, dan ras, termasuk keprofesian. Oleh karenanya, setiap ketentuan perundang-undangan harus mengakomodir makna yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, agar ketentuannya memiliki makna adanya persamaan di hadapan hukum antar sesama warga negara. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan mengenai kedudukan likuidator setara dengan kurator dapat dilihat dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang menyatakan bahwa “Dalam hal _terjadi pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

      a.

      wajib_ diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator” . Frasa dalam pasal a quo menunjukkan adanya kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari pilihan kata yang digunakan, yaitu kata “atau”. Penggunaan kata “atau” menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada perbedaan kedudukan yang signifikan antara likuidator dengan kurator. Dengan demikian maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator;

      c.

      Bahwa selain terkait dengan eksistensi profesi likuidator, para Pemohon menegaskan bahwa direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan. Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya direksi dipersiapkan untuk mengurus dan menjalankan produktivitas perseroan. Hal tersebut bermakna ketika perseroan mengalami kerugian yang mengakibatkan perseroan harus dibubarkan dan tidak terlepas dari peranan direksi yang tidak mampu mengelola perseroan dengan baik. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, direksi tidak sepantasnya bertindak sebagai likuidator ketika terjadi pembubaran perseroan; 82 d. Bahwa dalam hal direksi menjalankan fungsi likuidasi, menurut para Pemohon, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Segala harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip- prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat menciderai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon, rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator . Sehingga, menurut para Pemohon Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

      e.

      Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang kata “likuidator”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditional unconstitutional)[sic!] “ likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen. Dan juga menyatakan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan UUD 1945 (unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil Permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan P-18 serta tiga orang ahli, yaitu M. Hadi Shubhan, Efridani Lubis, dan Muchamad Ali Safa’at, serta tiga orang saksi, yaitu Heri Subagyo, Azet Hutabarat, dan Nasrullah Nawawi, yang keterangan selengkapnya sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini; [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 8 Mei 2018 (keterangan selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 10 Oktober 2018 (keterangan 83 selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah setelah membaca dengan seksama permohonan para Pemohon, alat-alat bukti yang diajukan serta keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan para Pemohon; [3.12] Menimbang bahwa untuk memudahkan di dalam menjawab isu pokok permohonan yang dipersoalkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mengindentifikasi isu krusial yang dipersoalkan para Pemohon. Setelah membaca dengan saksama dalil pokok permohonan para Pemohon, terdapat 2 (dua) isu mendasar berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, yaitu: Pertama , apakah dengan tidak adanya definisi dan persyaratan sebagai likuidator dalam UU 40/2007 menyebabkan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 menjadi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Kedua , apakah kedudukan direksi sebagai likuidator dalam proses pembubaran perseroan dalam hal RUPS tidak menunjuk likuidator berpotensi menimbulkan benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap kedua isu konstitusional tersebut Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa sebelum menjawab isu pokok yang pertama, yaitu berkenaan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a, penting bagi Mahkamah menguraikan tentang esensi pentingnya dibentuk UU 40/2007. Meskipun secara lebih luas dikaitkan dengan semangat dalam rangka pembangunan perekonomian nasional yang harus diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan 84 dan kesatuan ekonomi nasional. Namun pada dasarnya perekonomian nasional tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks peningkatan pembangunan perekonomian nasional tersebutlah esensi pentingnya ada dukungan suatu ketentuan yang mengatur tentang dunia usaha yang merupakan salah satu pilar untuk melakukan peningkatan dimaksud, yang antara lain ketentuan mengenai bentuk usaha perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur secara tegas dan rigit serta selalu memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal demikian tidak terlepas dari semangat agar dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek perseroan, termasuk permasalahan pembubaran perseroan maka UU 40/2007 diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha. Bahwa pada sisi yang berbeda perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank atau penanaman modal, yang semua itu dapat menimbulkan permasalahan hukum khususnya dalam hal penyelesaian utang-piutang dalam masyarakat, termasuk utang perseroan, maka permasalahan utang-piutang yang dimiliki oleh perseroan apabila tidak dapat diselesaikan dengan memenuhi prinsip kepastian hukum dan keadilan, sehingga hal tersebut dapat berakibat perseroan menjadi tumbuh dalam dunia yang tidak sehat dan dengan mudah banyak perseroan collapse atau pailit. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perseroan, termasuk salah satu di dalamnya proses penyelesaian utang yang diakibatkan bubarnya sebuah perseroan, dibutuhkan instrumen hukum yang berkepastian dan berkeadilan, yang juga di dalamnya mengatur persoalan integritas dan profesionalitas pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian atau pemberesan perseroan pada saat ada pembubaran (likuidasi) perseroan; 85 [3.12.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang berpendapat seorang likuidator harus warga negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah berpendapat sesungguhnya Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang dipermasalahkan para Pemohon mengatur mengenai “pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator”. Apabila dicermati dengan seksama semangat dan pesan dari norma pasal a quo adalah sederhana dan dapat ditangkap dengan mudah, yaitu bahwa apabila sebuah perseroan terjadi pembubaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007, maka harus diikuti proses likuidasi dan sebagai subjek hukum yang melaksanakan proses likuidasi tersebut adalah likuidator atau kurator. Selanjutnya terhadap norma pasal a quo apabila mengikuti argumentasi para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia dan mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan serta independen, maka Mahkamah dapat menangkap kehendak para Pemohon adalah syarat-syarat tersebut dikhususkan untuk likuidator selain yang dilaksanakan oleh kurator. Hal demikian mengingat kurator pada saat menjalankan fungsinya sebagai likuidator telah melekat syarat-syarat tersebut pada seorang kurator ketika yang bersangkutan diangkat dan menjalankan tugas sebagai kurator. Hal ini dipertegas oleh ketentuan bahwa tugas seorang kurator adakalanya melekat juga sebagai likuidator, yang secara tegas kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang. Bahwa pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab adalah bagaimana dengan syarat-syarat tersebut yang harus dimiliki seorang likuidator yang bukan dilaksanakan oleh seorang kurator. Terhadap hal ini, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil para Pemohon a quo , menurut Mahkamah oleh karena salah satu syarat likuidator yang dimohonkan para Pemohon harus warga negara Indonesia berkaitan erat dengan dalil permohonan para Pemohon ihwal inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, maka syarat likuidator harus warga negara Indonesia akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum Mahkamah pada saat mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berkaitan dengan isu pokok yang kedua yaitu berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut, yang berkenaan permohonan para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dijalankan oleh direksi adalah inkonstitusional. Dengan kata lain, direksi tidak boleh menjalankan fungsi likuidator karena menurut 86 para Pemohon dapat berakibat adanya __ benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator. Oleh karena itu berkenaan dengan syarat lainnya yang dihendaki para Pemohon, yaitu likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut; [3.12.3] Bahwa sebelum Mahkamah sampai pada kesimpulan dalam mempertimbangkan dalil para Pemohon berkaitan dengan syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, penting rasanya bagi Mahkamah untuk menelisik tentang esensi dari pada batas-batas tugas dan wewenang seorang likuidator yang melaksanakan penyelesaian likuidasi sebuah perseroan. Ada perbedaan yang signifikan antara tugas dan wewenang bagi likuidator di dalam menyelesaikan proses likuidasi terhadap perseroan yang dinyatakan bubar karena keputusan RUPS, karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga, maka dalam hal yang demikian subyek hukum yang berwenang melaksakan proses likuidasi adalah likuidator yang diangkat RUPS. Sementara itu, terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta pailit perseroan dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi, ataupun untuk pembubaran perseroan karena penetapan pengadilan yang diminta oleh para pihak yang berkepentingan, maka hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator yang diangkat oleh pengadilan dan kemudian beralih mengambil tugas dan wewenang sebagai likuidator, termasuk likuidator yang ditunjuk sebagai akibat adanya penetapan tersebut; Bahwa dengan merujuk pada adanya perbedaan perlakuan terhadap pembubaran perseroan dalam menyelesaikan proses likuidasi tersebut di atas, maka sesungguhnya ada tugas dan fungsi likuidator yang dapat dilihat pada sisi tahapannya dan pada sisi substansi yang harus diselesaikan. Pada sisi tahapannya, tugas likuidator pada hakikatnya adalah proses penyelesaian likuidasi yang dilakukan oleh likuidator setelah perseroan dinyatakan dalam likuidasi (pembubaran), oleh karena itu tampak bahwa seseorang sebagai subyek hukum yang ditunjuk dan diangkat menjadi penyelengara likuidasi adalah likuidator yang 87 menjalankan tugas dan fungsinya sejak perseroan dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi. Selanjutnya dari sisi substansi, yang menjadi tugas dan wewenang likuidator yang harus diselesaikan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 149 ayat (1) UU 40/2007, yaitu pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan; pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi; pembayaran kepada para kreditor; pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. Bahwa mencermati tugas dan wewenang likuidator sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya hakikat tugas dan wewenang likuidator adalah menjalankan fungsi dan wewenang yang merupakan bagian tugas lanjutan yang menggantikan tugas dan wewenang organ perseroan khususnya tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal) yang oleh karena perintah undang-undang terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi penyelesaian atau pemberesannya harus diambil alih oleh likuidator. Esensi sesungguhnya yang terjadi adalah segala urusan yang berkaitan dengan perseroan dilaksanakan oleh likuidator yang harus bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian segala hal yang berkaitan dengan likuidasi, bahkan likuidator dapat dituntut untuk menanggung segala resiko yang timbul atas kelalaiannya yang dapat berakibat ruginya perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada), baik tanggung jawab secara pribadi (personal liability) maupun tanggung jawab secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ), maka terhadap likuidator dapat dilakukan tuntutan atas kelalaiannya tersebut oleh pihak perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada). Terlebih dalam menjalankan tugasnya, likuidator senantiasa diawasi oleh dewan komisaris dan dewan komisaris dapat memberhentikan untuk sementara likuidator yang dianggap lalai dan selanjutnya dapat diberhentikan secara tetap apabila menurut keputusan RUPS pemberhentian sementara likuidator tersebut beralasan; Bahwa dari uraian penjelasan Mahkamah tersebut di atas, maka sebenarnya telah tampak apabila likuidator di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk melakukan pemberesan terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam likuidasi, tidaklah melaksanakan tugas yang secara substansial menjadi 88 beban mutlak likuidator, akan tetapi pada dasarnya mengambil alih tugas dan wewenang organ perseroan yaitu direksi (dalam keadaan perseroan normal), sehingga tugas dan wewenang likuidator tersebut pada dasarnya adalah melaksanakan pemberesan segala hal yang berkaitan dengan likuidasi dan hal tersebut semata-mata adalah untuk kepentingan perseroan, baik yang menjadi hak dan tanggung jawab perseroan yang dalam keadaan likuidasi tersebut. Oleh sebab itulah, di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seorang likuidator senantiasa di bawah pengawasan dewan komisaris sesuai dengan anggaran dasar. Bahkan, dewan komisaris dapat memberikan nasihat serta memberhentikan untuk sementara waktu apabila likuidator dipandang lalai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 142 ayat (6) UU 40/2007 beserta Penjelasannya]. Dengan demikian, fakta ini telah dengan sendirinya menjawab tidak relevannya dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan secara bersyarat terhadap Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, yaitu untuk likuidator agar diberlakukan syarat-syarat harus mempunyai sertifikat kemampuan melikuidasi perseroan dan independen. Terlebih lagi bagi likuidator yang ditunjuk pengadilan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya melakukan pemberesan terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta perseroan yang dinyatakan pailit barada dalam keadaan insolvensi, terhadap hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator. Fakta yang terakhir ini makin menegaskan bahwa pemberlakuan syarat-syarat bagi likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi dan independen sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut semakin tidak relevan; Bahwa di samping pertimbangan hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan likuidator agar diharuskan mempunyai sertifikat melikuidasi perseroan dan independen adalah tidak sejalan dengan semangat bahwa penyelesaian likuidasi terhadap perseroan yang dalam keadaan bubar, haruslah memberi kebebasan kepada RUPS sebagai organ tertinggi dalam perseroan untuk menggunakan hak pilihnya di dalam menentukan likuidator berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu terutama kemampuan masing-masing perseroan. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan hal-hal yang berkenaan dengan pilihan apakah perseroan akan 89 memilih likuidator yang akan ditunjuk, tentu sudah dengan pertimbangan- pertimbangannya. Karena pada dasarnya tugas wewenang seorang likuidator secara substansial adalah melanjutkan tugas dan wewenang direksi, walaupun tugas dan wewenang tersebut bukan dalam hal melakukan perbuatan hukum baru atas nama perseroan. Sehingga dengan demikian sesungguhnya hakikat yang harus dimiliki oleh seorang likuidator adalah kompetensi dan integritas yang hal tersebut tidak boleh berakibat membatasi siapapun untuk bisa menjadi likuidator tanpa harus ada syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon. Terlebih lagi seorang likuidator dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sudah ada pedoman yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya regulasi yang mengatur hal-hal pokok dan mendasar serta batasan-batasan yang harus dilaksanakan oleh seorang likuidator hingga hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perseroan yang dalam proses likuidasi; Bahwa selanjutnya Mahkamah perlu mempertimbangkan argumentasi para Pemohon yang menyatakan perihal adanya perbedaan perlakuan likuidator dengan kurator dan bahkan para Pemohon berpendapat likuidator diperlakukan sebagai anak tiri dan oleh karenanya memohon agar diperlakukan sama. Terhadap hal ini Mahkamah perlu menegaskan bahwa tugas dan kewenangan kurator dengan likuidator sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan berbeda sekalipun dalam hal-hal tertentu ada kalanya keduanya melakukan pekerjaan yang sama yaitu dalam rangka penyelesaian terhadap perseroan yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga yang hingga sampai pada pembubaran perseroan, yaitu dalam hal seorang kurator yang ditunjuk pengadilan untuk pemberesan harta pailit perseroan kemudian berada dalam keadaan insolvensi, maka kurator bertindak sebagai likuidator. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/2004) menyatakan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-undang. Sedangkan likuidator adalah orang yang ditunjuk atau diangkat menjadi penyelenggara likuidasi, baik diangkat oleh RUPS atau pengadilan sepanjang berkaitan dengan 90 perseroan yang awalnya dinyatakan pailit atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan; Selanjutnya terlepas dari adanya perbedaan dan persamaan dalam hal-hal tertentu sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, secara substansi terdapat perbedaan yang mendasar antara tugas dan wewenang kurator dengan likuidator. Kurator adalah subjek hukum yang melaksanakan tugas dan wewenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit perseroan yang kepadanya diberi kewenangan penuh untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan harta pailit perseroan hingga kemudian terhadapnya dapat ditunjuk menjadi likuidator apabila harta pailit dalam keadaan insolvensi dan perseroan harus dibubarkan. Oleh karena itu sejatinya likuidator yang diangkat oleh pengadilan hanya menjalankan tugas dan wewenang setelah kurator menjalankan tugas dan wewenang mengurus dan membereskan harta pailit perseroan dan dalam keadaan insolvensi, baru kemudian kurator dapat melanjutkan tugas dan wewenangnya, namun fungsinya berubah sebagai likuidator. Sementara itu, untuk likuidator yang diangkat oleh RUPS, sesungguhnya menjalankan tugas dan wewenangnya membereskan harta perseroan sejak diangkat oleh RUPS dan dalam melaksanakan tugasnya dapat setiap saat diawasi dan diberi nasihat oleh dewan komisaris serta ruang lingkup tugas dan wewenangnya pada dasarnya adalah sama dengan tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal); Bahwa dari uraian tersebut di atas, tampak jelas perbedaan esensial antara tugas dan wewenang kurator dan likuidator. Inilah alasan sebenarnya syarat-syarat untuk menjadi kurator diatur secara ketat dibandingkan syarat-syarat untuk menjadi likuidator. Dengan kata lain, subyek hukum yang dapat menjadi kurator adalah orang yang benar-benar telah memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan, khususnya Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus, sedangkan untuk likuidator dapat dilaksanakan oleh siapapun yang ditunjuk oleh RUPS atau likuidator khusus yang ditunjuk pengadilan karena berkaitan dengan kepailitan atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan . Namun demikian 91 penting bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa siapapun yang akan menjadi likuidator tetap harus membekali diri dengan kompetensi dan integritas; Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen tidaklah beralasan menurut hukum; [3.12.4] Bahwa terkait dalil para Pemohon selebihnya yang menyatakan dalam hal direksi menjalankan fungsinya sebagai likuidator, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Menurut para Pemohon, alasan di antaranya adalah harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat mencederai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator; Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.12.3] bahwa tugas dan wewenang likuidator sebenarnya mengambil alih tugas dan tanggung jawab direksi (dalam keadaan perseroan normal), karena sesungguhnya yang lebih tahu segala hal berkaitan dengan perseroan adalah direksi. Namun, oleh karena undang-undang menentukan terhadap pembubaran perseroan harus diikuti likuidasi yang dilakukan oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS, maka dengan demikian semangat penyelesaian atau pemberesan terhadap perseroan yang dalam keadaan likuidasi sesungguhnya lebih tepat dilaksanakan oleh direksi. Hal ini sejalan dengan pilihan subjek hukum oleh RUPS yang dapat melaksanakan likuidasi adalah direksi apabila RUPS tidak menunjuk likuidator [vide Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007]. Sehingga pilihan RUPS untuk mengangkat atau tidak mengangkat likuidator yang berasal dari direksi merupakan bentuk pilihan dengan alasan efektivitas dan sekaligus bisa juga karena pertimbangan efisiensi mengingat perseroan yang dalam keadaan likuidasi kerapkali kondisi keuangannya sudah tidak sehat atau pilihan RUPS mengangkat likuidator yang 92 bukan direksi adalah karena pertimbangan pembubaran perseroan disebabkan salah satunya adalah adanya salah urus oleh direksi ( mismanagement) ; Bahwa dengan uraian fakta tersebut menurut Mahkamah lebih lanjut, argumentasi para Pemohon yang berpendapat likuidator yang dilaksanakan oleh direksi tidak independen dan adanya benturan kepentingan ( conflict of interest ) __ adalah argumentasi yang mengandung kekhawatiran yang berlebihan dan tidak berdasar, mengingat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik likuidator yang dilakukan oleh direksi maupun oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS selalu diawasi dan dapat diberi nasihat oleh dewan komisaris serta dapat sewaktu-waktu diberhentikan sementara apabila diduga telah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bahkan diberhentikan secara tetap apabila alasan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris diterima dalam RUPS. Terlebih lagi selain adanya pengawasan dan adanya sanksi-sanksi pemberhentian baik sementara maupun tetap tersebut juga adanya sanksi lainnya atas kelalaian yang dilakukan likuidator baik yang berasal dari direksi maupun likuidator yang diangkat oleh RUPS yang menimbulkan kerugian baik perseroan maupun pihak lain, termasuk para kreditur (apabila ada) yang diakibatkan oleh kelalaian likuidator tersebut tetap saja dapat dituntut, baik secara pribadi (personal liability) maupun secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ) apabila likuidator tersebut lebih dari seorang yang merugikan perseroan, pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada); Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dilaksanakan oleh direksi adalah tidak independen dan berakibat adanya benturan kepentingan (confict of interest), apalagi dikatakan tidak dapat mencerminkan prinsip-prinsip keadilan karena lebih mengedepankan kepentingan perseroan. Dengan uraian pertimbangan hukum a quo maka dalil para Pemohon tersebut harus dikesampingkan. Sementara itu oleh karena Mahkamah berpendapat direksi adalah subjek hukum yang dapat menjadi likuidator sepanjang undang-undang atau peraturan lainnya tidak melarang jabatan direksi dijabat oleh warga negara yang bukan warga negara Indonesia, maka sebagai konsekuensi yuridisnya tidak ada larangan direksi yang bukan warga negara Indonesia sepanjang yang bersangkutan menjabat sebagai direksi sebuah perseroan di 93 Indonesia, maka yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dan wewenang sebagai likuidator. Dengan demikian uraian pertimbangan hukum Mahkamah ini sekaligus menjawab dalil para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007; Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan likuidator harus warga negara Indonesia dan direksi tidak dapat bertindak sebagai likuidator, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

      4.

      KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 94 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Desember, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Februari, tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 14.01 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Suhartoyo 95 ttd. Saldi Isra ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih PANITERA PENGGANTI, ttd. Achmad Edi Subiyanto

      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      STANDAR | PENILAI PEMERINTAH
      211/PMK.06/2018

      Standar, Uji, dan Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah

      • Ditetapkan: 31 Des 2018
      • Diundangkan: 31 Des 2018
      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS | BIDANG BEA CUKAI
      120/PMK.04/2017

      Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Di ...

      • Ditetapkan: 31 Agu 2017
      • Diundangkan: 31 Agu 2017
      Thumbnail
      PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | PUTUSAN PENGADILAN
      25/PUU-XII/2014

      Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945

        Relevan terhadap

        Pasal 9Tutup

        (Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;

        3.

        Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

        a.

        Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:

        (1)

        “ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:

        a.

        Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.

        b.

        Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.

        c.

        Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .

        d.

        Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.

        e.

        Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

        a.

        kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;

        b.

        hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;

        c.

        kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

        a.

        adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;

        b.

        hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

        c.

        bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

        d.

        adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

        e.

        adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:

        1.

        Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.

        2.

        Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.

        3.

        Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

        1.

        Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );

        2.

        Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;

        3.

        Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );

        4.

        Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;

        5.

        Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

        1.

        Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:

        (1)

        kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;

        2.

        Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:

        104)

        meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;

        2.

        Provision of various_ _collectieve goods and service;

        3.

        The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;

        5.

        Protection of natural resources;

        6.

        Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;

        7.

        _ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

        a.

        terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

        b.

        mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

        c.

        mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:

        (1)

        . untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;

        (2)

        . berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:

        (1)

        Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:

        1.

        izin usaha;

        2.

        izin orang perseorangan;

        3.

        efektifnya pernyataan pendaftaran;

        4.

        surat tanda terdaftar;

        5.

        persetujuan melakukan kegiatan usaha;

        6.

        pengesahan;

        7.

        persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

        8.

        penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

        a.

        kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

        b.

        kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

        c.

        kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

        a.

        terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

        b.

        mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

        c.

        mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:

        (1)

        keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;

        (2)

        pencegahan risiko sistemik;

        (3)

        keadilan dan efisiensi pasar;

        (4)

        perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

        a.

        terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

        b.

        mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

        c.

        mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:

        10)

        , bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

        a.

        terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

        b.

        mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

        c.

        mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:

        1)

        OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;

        (2)

        Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

        (3)

        Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;

        (4)

        OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;

        (5)

        Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;

        (1)

        OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;

        (2)

        OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;

        (3)

        Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;

        (4)

        Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;

        (5)

        OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;

        (6)

        Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:

        1.

        Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:

        (1)

        Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.

        (2)

        Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

        3.

        Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:

        1.

        Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;

        2.

        Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;

        3.

        Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

        4.

        Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:

        a.

        Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;

        b.

        Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;

        c.

        Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.

        2.

        Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;

        2.

        Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;

        3.

        UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;

        4.

        Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

        1.

        Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):

        1.

        Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;

        2.

        Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;

        3.

        Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).

        2.

        Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;

        3.

        Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;

        4.

        Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;

        5.

        Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 1945. Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.

        6.

        Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.

        7.

        Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.

        8.

        Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.

        9.

        Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.

        10.

        Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.

        11.

        Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.

        12.

        Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.

        13.

        Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;

        2.

        Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;

        3.

        Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";

        4.

        Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;

        5.

        Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].

        6.

        Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);

        7.

        Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;

        8.

        Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.

        9.

        Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;

        10.

        Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;

        11.

        Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;

        12.

        Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";

        13.

        Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;

        14.

        Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;

        15.

        Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;

        16.

        Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;

        (2)

        Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;

        17.

        Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;

        18.

        Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);

        19.

        Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);

        20.

        Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);

        21.

        Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);

        22.

        Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);

        24.

        Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;

        25.

        Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:

        i.

        koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;

        ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );

        iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;

        v.

        struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );

        vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;

        9.

        Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:

        1.

        Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;

        2.

        Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;

        3.

        Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;

        2)

        security supervisory board ;

        3)

        insurance supervisory board ; dan

        4)

        nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.

        1.

        Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;

        2.

        Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;

        3.

        Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;

        4.

        Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;

        10.

        Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:

        1.

        Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;

        2.

        Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;

        3.

        Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);

        4.

        Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.

        Thumbnail
        PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | PUTUSAN PENGADILAN
        18/PUU-XV/2017

        Pengujian UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara terhadap UUD Negara RI 1945

          Thumbnail
          PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | PUTUSAN PENGADILAN
          88/PUU-XV/2017

          Pengujian UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...

            Relevan terhadap

            Pasal 6Tutup

            “Setiap jenis kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan biaya penggantian pembuatan kartu dana/sertifikat sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah).” __ 9. Bahwa, besaran santunan kecelakaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 adalah;

            (1)

            Korban Kecelakaan alat Angkutan lalu lintas jalan atau ahli warisnya berhak atas Santunan.

            (2)

            Besar Santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di tentukan se bagai berikut:

            a.

            Ahli waris dari Korban yang meninggal dunia berhak atas Santunan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh ju ta rupiah).

            b.

            Korban yang mengalami cacat tetap berhak atas Santunan yang besarnya dihitung berdasarkan angka persentase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Namar 18 Tahun 1965 dari besar Santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada huruf a.

            c.

            Korban yang memerlukan perawatan dan pengabatan berhak atas Santunan berupa:

            1.

            penggantian biaya perawatan dan pengabatan dokter paling banyak Rp20. 000.000,00 (dua puluh juta rupiah);

            2.

            biaya ambulans atau kendaraan yang membawa Korban ke fasilitas kesehatan paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan/atau 3. biaya pertalangan pertama pada Kecelakaan paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

            10.

            Bahwa, PEMOHON sangat dirugikan dengan berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 kecelakaan. Pihak Jasa Raharja memahami makna Penjelasan Pasal a quo yang dijamin mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah kecelakaan akibat adanya tabrakan kendaraan bermotor lebih dari satu kendaraan sebagaimana ditegaskan dalam kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Bahwa, kecelakaan satu kendaraan atau biasa disebut dengan kecelakaan tunggal tidak termasuk yang dijamin oleh UU a quo .

            11.

            Bahwa, pemahaman Jasa Raharja tentang frasa a quo dipertegas dengan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang ketentuan-ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-lintas Jalan yang menyatakan; Setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu-lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu-lintas jalan tersebut sebagai demikian, diberi hak atas suatu pembayaran dari Dana Kecelakaan Lalu-lintas Jalan, kecuali dalam hal-hal yang tercantum dalam Pasal 13. juga dipertegas dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang menyatakan; Korban adalah setiap orang yang berada di luar alat Angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan Kecelakaan, yang menjadi korban akibat Kecelakaan dari penggunaan alat Angkutan lalu lintas jalan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang KetentuanKetentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.

            12.

            Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang ketentuan- ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang menjadikan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sebagai rujukan tentu tidak dapat dibenarkan, hal ini tidak sesuai dengan mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam lampiran angka 177 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 menyatakan; Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.

            13.

            Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 juncto PP Nomor 18 Tahun 1965 juncto Permenkeu Nomor 16 Tahun 2017 semuanya menjelaskan jika yang dimaksud korban kecelakaan yang berhak mendapat santunan asuransi Jasa Raharja adalah mereka yang beradia di luar alat angkutan lalu lintas jalan.

            14.

            Bahwa, pemahaman makna kecelakaan yang dijamin oleh Jasa Raharja adalah kecelakaan di luar luar angkutan tidak hanya dialamai oleh suami PEMOHON (Jasa Raharja cabang Surabaya) tapi juga Jasa Raharja di kota-kota lain sebagaima berita-berita internet di bawah ini.

            15.

            Jasa Raharja Sukamara RICKY S. GINTING yang menyatakan jika kecelakaan tunggal tidak mendapatkan santunan Jasa Raharja (Borneonews 17 April 2017), juga HASJUDIN kepala cabang Jasa Raharja Kalimantan Barat (equator.co.id 30 Desember 2016), Kepala PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Sulawesi Tengah, Suratno menegaskan khusus korban kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tunggal sesuai dengan UU Nomor 33/34 Tahun 1964 tidak berhak mendapatkan santunan. Kepala PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Sulawesi Tengah, Suratno menegaskan khusus korban kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tunggal sesuai dengan UU Nomor 33/34 Tahun 1964 tidak berhak mendapatkan santunan. (antarasulteng.com 14 Mei 2016). Hal ini juga dikatakan oleh kepala kantor Jasa Raharja tingkat I wilayah Wangon DEN RAMADHAN F. yang mengatakan jika kecelakaan tungal tidak mendapatkan santunan dari Jasa Raharja (Cilacapmedia.com 10 November 2015), Dari empat ruang lingkup jaminan asuransi Jasa Raharja, kecelakaan tunggal tidak berhak mengklaim. Itu disampaikan Kepala Cabang Jasa Raharja Lampung TRIYUGARA (saibumi.com 17 Pebruari 2015), sementara itu pihak kepolisian pemahamannya juga sama, hal ini dikatakan oleh AKBP Adewira Negara Siregar menuturkan, kelalain pengendara dapat melanggar Pasal 106 ayat (1) juncto 283 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mengenai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 santunan Jasa Raharja dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Jasa Raharja dan PP Nomor 17 Tahun 1965, bahwa kecelakaan tunggal tidak terjamin dalam santunan Jasa Raharja. Tetapi penyidik memberikan penjelasan apabila tidak terjamin Jasa Raharja maka Dwi dapat menggunakan BPJS Kesehatan sebagai gantinya (apakabar.co.id 8 Agustus 2017).

            16.

            Bahwa, setelah membaca berita-berita di atas dari berbagai sumber media yang ada, bisa jadi setelah berlakukanya UU a quo sudah ratusan bahkan mungkin ribuan korban kecelakaan tunggal dari Sabang sampai Merauke tidak mendapatkan santuan asuransi Jasa Raharja.

            17.

            Bahwa, norma Penjelasan Pasal 4 UU Nomor 34 Tahun 1964 khususnya kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang- Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan menjadikan makna sempit yang diartikan oleh pihak Jasa Raharja, bahwa kecelakaan yang dijamin mendapat santunanan kecelakaan adalah kecelakaan yang melibatkan 2 kendaraan, bukan satu kendaraan. Sebab jika kecelakaan satu kendaraan korbannya ada di dalam alat angkutan itu sendiri bukan di luar alat angkutan.

            18.

            Bahwa, seharusnya kecelakaan apapun korbannya dijamin oleh asuransi Jasa Raharja, sebab Jasa Raharja adalah asuransi bersifat sosial. Artinya asuransi yang tidak mengejar keuntungan semata, Jasa Raharja harusnya menjadi pelindung bagi masyarakat yang menjadi korban kecelakaan baik yang menabrak, ditabrak, maupun kecelakaan tunggal.

            19.

            Bahwa, argumentasi yang mengatakan jika kecelakaan tunggal tidak mendapatkan santunan asuransi JASA RAHARJA sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa luar UU Nomor 34 Tahun 1964 adalah tidak berdasar. Pertanyaannya jika memang suami PEMOHON tidak mendapatkan santunan asuransi, buat apa suami PEMOHON membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan setiap tahunnya saat mebayar pajak STNK sepeda motor Mio J tahun 2012 dengan nomor polisi L 6202 QJ. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 20. Bahwa, makna dari SWDKLLJ, meskipun namanya sumbangan, tapi ingat sumbangan ini bersifat wajib, seperti layaknya suami PEMOHON membayar pajak STNK. Digunakan atau tidak kendaraan suami PEMOHON, tetap setiap tahunnya suami PEMOHON harus membayar pajak STNK. Begitupun dengan SWDKLLJ, setiap tahunnya PENGGUGAT wajib membayar SWDKLLJ meskipun suami PEMOHON tidak mengalami kecelakaan. Tapi anehnya ketika suami PEMOHON kecelakaan justru asuransi Jasa Raharja tidak mau memberikan santunan yang menjadi hak suami PEMOHON dengan alasan kecelakaan tunggal tidak mendapat santunan.

            21.

            Bahwa, argumentasi kecelakaan tunggal tidak mendapat santunan patut dipertanyakan. Yang namanya kecelakaan adalah sebuah kejadian yang tidak disengaja oleh pengendara baik pengendara motor maupun mobil, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.” 22. Bahwa, makna di dalam Pasal 1 angka 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 sudah sangat jelas, kecelakaan adalah persitiwa di jalan dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain. Maknanya adalah bahwa kecelakaan tunggal juga dimaknai sebuah kecelakaan. Karena kecelakaan tunggal juga dimaknai sebuah kecelakaan, korbannya harus mendapatkan santunan. Dan menjadi sebuah keanehan jika Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tidak memberikan santunan kepada korban kecelakaan tunggal.

            23.

            Bahwa kalimat yang dijamin asuransinya mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan bertentangan hak konstitusional suami PEMOHON sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa, suami PEMOHON sebagai warga negara yang membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (sepeda motor), setiap tahunnya dibayar oleh suami PEMOHON. Seharusnya dijamin dan mendapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 perlindungan asuransi saat terjadi kecelakaan. Apakah kecelakaan a quo tunggal maupun tabrakan lebih dari satu kendaraan.

            24.

            Bahwa, makna jaminan perlindungan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah sebuah jaminan yang melekat warga negara oleh negara terhadap mereka yang mengendarai atau menumpang sebuah kendaraan bermotor, kereta api, kapal laut maupun pesawat terbang.

            25.

            Bahwa, setiap warga negara mempunyai hak konstitusional yang dijamin oleh UUD. Karena suami PEMOHON adalah pemilik kendaraan bermotor dan membayar SWDKLLJ setiap tahunnya, maka tidak boleh ada frasa UU yang menghalangi atau merugikan hak suami PEMOHON untuk mendapat perlindungan asuransi Jasa Raharja milik dari pemerintah.

            26.

            Bahwa, dengan berlakunya kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan dari penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 hak konstitusional suami PEMOHON menjadi hilang. Bukankah ini merugikan hak suami PEMOHON dengan berlakunya ketentuan a quo karena hak asuransinya tidak dijamin.

            27.

            Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tidak singkron dengan kalimat Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1963 dimana dalam Pasal 4 tidak ada frasa luar. Justru kalimat di dalam Pasal 4 ayat (1) maknanya jelas dan mudah dipahami “(1) Setiap orang yang menjadi korban mati atau cacad tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan tersebut dalam pasal 1, dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya sebesar jumlah yang ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 28. Bahwa, makna Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sangat mudah dipahami, siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas baik mati maupun cacat tetap dijamin mendapatkan satunan asuransi Jasa Raharja. Tidak ada kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan, yang akhirnya menyebabkan pemaknaan berbeda, seakan-akan kecelakaan yang ada didalam alat angkutan tidak dijamin asuransinya oleh Jasa Raharja.

            29.

            Bahwa, dalam lampiran angka 1 angka 176 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakaan: Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, kalimat, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.

            30.

            Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 jelas membuat norma baru, bahkan bisa disebut sebagai norma terselubung yang maknanya sudah berbeda dengan Pasal 4 ayat (1). Sebab di dalam Pasal 4 ayat (1) memberikan pengertian siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas akan mendapatkan santunan kecelakaan. Sementara di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menjadi dipersempit yang mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas mereka yang berada di luar alat angkutan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan mekanisme teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud di dalam lampiran angka 178 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan: Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan.

            31.

            Bahwa Pemohon menganggap mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dengan berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Bahwa, suami Pemohon setiap tahunnya membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) tetapi saat mengalami kecelakaan tunggal diperlakukan tidak sama oleh UU a quo . Padahal ketentuan pembayaran SWDKLLJ tidak membeda-bedakan bentuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 kecelakaan yang mendapat santunan. Artinya semua kecelakaan akan mendapatkan santunan, tapi oleh Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 hak Pemohon dihalangi. Hal ini tentu ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

            32.

            Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 138) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dinyatakan inkonstitusional. PETITUM Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, PEMOHON memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:

            1.

            Mengabulkan permohonan PEMOHON seluruhnya.

            2.

            Menyatakan: Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 138) bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Oleh karena itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

            3.

            Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya ( ex aequo et bono ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18 sebagai berikut:

            1.

            Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

            2.

            Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;

            3.

            Bukti P-3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;

            4.

            Bukti P-4 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuagan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan;

            5.

            Bukti P-5 : Fotokopi KTP atas nama Rokhim, kelahiran Bangkalan 24 November 1968 NIK 3578052411680004 beralamat di Kedondong Pasar Kecil 1/79 Surabaya;

            6.

            Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Keluarga Nomor 3578050201081022 yang dikeluarkan dinas kependudukan dan catatan sipil kota Surabaya KK dari Rokhim dan Maria Theresia Asteriasanti;

            7.

            Bukti P-7 : Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor 236/08/XI/92 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kamal Bangkalan Madura.

            8.

            Bukti P-8 : Fotokopi Keterangan Ahli Waris yang dikeluarkan oleh Jasa Raharja tertanggal 31 Juli 2017.

            9.

            Bukti P-9 : Fotokopi Laporan Polisi 15.19/758/VII/2017/LL. Yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resort kota besar Surabaya tertanggal 24 Juli 2017.

            10.

            Bukti P-10 : Fotokopi Surat Keterangan Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Nomor SKET/758.a/VII/2017 yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya tertanggal 31 Juli 2017.

            11.

            Bukti P-11 : Printout dari situs antarasulteng.com tertanggal 14 Mei Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 2017;

            12.

            Bukti P-12 : Printout dari situs borneonews.com tertanggal 12 Oktober 2017; __ 13. Bukti P-13 : Printout dari situs serambimaluku.com; __ 14. Bukti P-14 : Fotokopi Surat Keterangan Pemeriksaan Kematian tertanggal 24 Juli 2017 dari rumah sakit Bhayangkara Polda Jatim;

            15.

            Bukti P-15 : Printout Berita Online dari Website cilacapmedia.com dengan judul “Korban Kecelakaan Tunggal tak dapat Santunan” tertanggal 10 November 2015;

            16.

            Bukti P-16 : Printout Berita Online dari Website equator.co.id dengan judul “Kecelakaan Tunggal tidak Dapat Santunan” tertanggal 30 Desember 2016; __ 17. Bukti P-17 : Printout Berita Online dari Website saibumi.com dengan judul “Kecelakaan Tunggal tidak Berhak Klaim Asuransi Jasa Raharja”, tertanggal 17 Februari 2015; __ 18. Bukti P-18 : Printout Berita Online dari Website apakabar.co.id dengan judul “Laka Tunggal Tak Bisa Dapat Santunan Jasa Raharja”, tertanggal 8 Agustus 2017; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 5 Desember 2017 dan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan pada tanggal 18 Desember 2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia, istri dari almarhum Rokhim seorang penyiar radio yang meninggal karena kecelakaan tunggal saat mengendarai sepeda motor di Jalan A. Yani Surabaya. Setelah jenazah dimakamkan, dengan membawa dokumen surat kecelakaan dari kepolisian dan rumah sakit Pemohon mendatangi kantor Jasa Raharja cabang Surabaya untuk mengajukan klaim santunan asuransi atas meninggalnya suami Pemohon. Tetapi oleh Jasa Raharja dijawab tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 ada klaim asuransi untuk kecelakaan tunggal, karena selama ini tidak diberikan santunan terhadap kecelakaan tunggal disebabkan aturan Undang-Undangnya memang seperti itu, yaitu didasarkan pada ketentuan a quo .

            2.

            Bahwa setiap pemilik kendaraan bermotor wajib membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang disingkat SWDKLLJ. Bahwa pembayaran SWDKLLJ dibayar oleh suami Pemohon pada saat perpanjangan STNK adalah Rp. 35.000,- 3. Bahwa Pemohon merasa dirugikan dengan kalimat a quo dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, menurut Jasa Raharja makna Penjelasan pasal a quo yang dijamin mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah kecelakaan akibat adanya tabrakan kendaraan bermotor lebih dari satu kendaraan. Pemahaman ini dipertegas lagi dengan Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksana Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, dan juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 Pasal 1 angka 6. Yang kesemuanya menjelaskan jika yang dimaksud korban kecelakaan yang berhak mendapatkan santunan asuransi Jasa Raharja adalah mereka yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan .

            4.

            Bahwa penjelasan pasal a quo, khususnya kalimat a quo menjadikan makna yang sempit yang diartikan Jasa Raharja. Menurut Pemohon seharusnya kecelakaan apapun korbannya dijamin oleh Asuransi Jasa Raharja. Bahwa makna SWDKLLJ meskipun sumbangan tapi sumbangan ini bersifat wajib seperti layaknya yang dibayarkan suami Pemohon membayar pajak STNK yaitu dibayar setiap tahunnya.

            5.

            Bahwa kalimat a quo Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah membuat norma baru bahkan norma terselubung yang maknanya sudah berbeda dengan Pasal 4 ayat (1) sebab siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas akan mendapatkan santunan kecelakaan.

            6.

            Sehingga kalimat a quo Penjelasan Pasal 4 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

            a.

            perorangan warga negara Indonesia;

            b.

            kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

            c.

            badan hukum publik atau privat; atau

            d.

            lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

            a.

            Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

            b.

            Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;

            c.

            Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:

            a.

            adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

            c.

            bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

            d.

            adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

            e.

            adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:

            1.

            Bahwa Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 adalah tidak berdasar, karena menurut Pemerintah, pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review ini adalah merupakan keberatan Pemohon karena tidak mendapatkan santunan kecelakaan dari Jasa Raharja atas meninggalnya suami Pemohon, Pemerintah berpendapat permasalahan Pemohon tersebut lebih merupakan constitutional complaint daripada constitutional review dan bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma.

            2.

            Sehingga tidak ada hubungan sebab akibat/kausalitas ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji karena ketentuan UU yang diuji oleh Pemohon memang tidak untuk mengatur mengenai kecelakaan tunggal. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ). Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 yang menyatakan: “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan undang-undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Nomor 33 Tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam undang-undang tersebut.” sepanjang kalimat “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang- undang ini ialah mereka yang berada di jalan luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” tersebut oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

            a.

            Bahwa dalam rangka sebagai langkah menuju suatu sistem jaminan sosial ( sosial security ) diadakanlah dana kecelakaan lalu lintas jalan berdasarkan UU 34/1964. Kemudian dalam pengelolaan dana kecelakaan lalu lintas jalan tersebut dilakukan oleh PT. Jasa Raharja (Persero). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 b. Bahwa PT Jasa Raharja (Persero) memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat melalui 2 (dua) program asuransi sosial, yaitu Asuransi Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Umum yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang serta Asuransi Tanggung Jawab Menurut Hukum Terhadap Pihak Ketiga, yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Sehubungan dengan dalil Pemohon dalam permohonannya yang mendalilkan bahwa Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena Pemohon tidak mendapatkan asuransi kecelakaaan atas meninggalnya suami Pemohon dari Jasa Raharja karena alasan didasarkan pada ketentuan a quo, sehingga menurut Pemohon ketentuan a quo telah mempersempit makna dan juga memberikan norma baru serta diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:

            1.

            Bahwa Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang yang menjadi korban mati atau cacad tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan tersebut dalam Pasal 1, dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya sebesar jumlah yang ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan ini mengatur bahwa dana/jaminan kecelakaan yang diberikan kepada korban/ahli waris baik mati ataupun cacat adalah terhadap korban yang kecelakaannya disebabkan oleh angkutan lalu lintas jalan. Sehingga berdasarkan ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa kecelakaan yang dimaksud dalam UU 34/1964 ini adalah kecelakaan yang disebabkan alat angkutan lalu lintas jalan dan bukan terhadap kecelakaan tunggal . __ 2. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 adalah untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa yang mendapatkan dana kecelakaan lalu lintas jalan dalam UU 34/1964 adalah mereka/korban yang berada di luar alat angkut lalu lintas jalan yang menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 kecelakaan, namun terhadap korban yang telah mendapatkan jaminan berdasarkan UU 33/1964, maka dana hanya diberikan sekali. Penjelasan ini juga dimaksudkan adalah penegasan agar tidak terjadi double pemberian jaminan kecelakaan yang dijamin UU 34/1964 dengan jaminan kecelakaan berdasarkan UU 33/1964.

            3.

            Bahwa latar belakang dibentuknya peraturan UU 34/1964 adalah guna melindungi pihak ketiga akibat pengemudi kendaraan bermotor yang menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga tersebut. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum angka 1 UU 34/1964 yang menyatakan: “ setara dengan teknik modern, dalam penghidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkatkan disebabkan kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya..... Kita lebih melihat kepada rakyat banyak yang mungkin menjadi korban risiko-risiko teknik modern, dari pada kepada para pemilik/pengusaha alat-alat modern, yang bersangkutan. Dan jika jaminan itu dirasakan oleh rakyat, maka akan timbullah pula kegairahan social kontrol”. 4. Bahwa Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 memiliki pengertian bahwa dana yang diberikan adalah terhadap kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan, atau dengan kata lain alat angkutan lalu lintas jalan sebagai faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.

            5.

            Bahwa suatu norma yang telah ditetapkan terkadang diperlukan penjelasan lebih lanjut agar pembentuk undang-undang dapat menyampaikan apa yang dimaksud dari norma tersebut sebagai keterangan resmi dari norma yang ditetapkan tersebut. Sebagaimana yang ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur bahwa Penjelasan adalah tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.( vide angka 176 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011). Dengan demikian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 masih sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

            6.

            Bahwa sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 34/1964 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana kecelakaan Lalu-Lintas Jalan (selanjutnya disebut PP 18/1965), dimana dalam Pasal 10 PP 18/1965 mengatur mengenai pemberian hak atas suatu pembayaran dari kecelakaan lalu lintas jalan adalah bagi setiap orang yang berada di luar alat angkut lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut.

            7.

            Adapun pembayaran dana jaminan yang dimaksudkan berupa pembayaran ganti kerugian pertangungan dalam hal-hal sebagai berikut:

            a.

            dalam hal korban meninggal dunia karena akibat langsung dari kecelakaan dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan.

            b.

            dalam hal korban mendapat cacad tetap karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan. Yang diartikan dengan cacad tetap adalah bila sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat dipergunakan sama sekali dan tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-lamanya.

            c.

            dalam hal ada biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang diperlukan untuk korban karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu yang dikeluarkan dari hari pertama setelah terjadinya kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari.

            d.

            biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter, meliputi semua biaya- biaya: pertolongan pertama pada kecelakaan, honorarium dokter, alat-alat pembalut dan obat atas resep dokter perawatan dalam rumah sakit, photo Rontgen, pembedahan dan lain-lain yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 diperlukan menurut pendapat dokter untuk penyembuhan korban, kecuali jumlah pembayaran untuk membeli anggota-anggota badan buatan, seperti kaki/tangan buatan, gigi/mata palsu, dan lain-lain sebagainya.

            e.

            dalam hal korban mati tidak mempunyai ahli-waris, kepada yang menyelenggarakan penguburannya diberikan penggantian biaya- biaya penguburan.

            8.

            Bahwa berdasarkan Pasal 13 PP 18/1965 hak atas pembayaran Dana dan Pertangungan, dinyatakan tidak ada serta tidak dijamin dalam hal-hal sebagai berikut:

            a.

            jika korban/ahli-warisnya telah mendapat jaminan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang;

            b.

            bunuh diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada pihak korban atau ahli-warisnya;

            c.

            kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang:

            1)

            dalam keadaan mabok atau tak sadar;

            2)

            melakukan perbuatan kejahatan;

            3)

            ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena korban mempunyai cacad badan atau keadaan badaniah/rokhaniah luar biasa lain;

            d.

            kecelakaan yang terjadi tidak langsung disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor atau kereta api yang bersangkutan dalam fungsinya sebagai alat angkutan lalu lintas jalan, yaitu misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:

            1)

            alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan sedang dipergunakan untuk turut serta dalam sesuatu perlombaan kecakapan atau kecepatan;

            2)

            kecelakaan terjadi pada waktu di dekat alat angkutan lalulintas jalan yang bersangkutan ternyata ada akibat-akibat gempa bumi atau letusan gunung berapi, angin puyuh atau sesuatu gejala geologi atau meteorologi lain;

            3)

            kecelakaan, akibat dari sebab yang langsung atau tidak langsung mempunyai hubungan dengan perang, bencana perang atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 sesuatu keadaan perang lainnya, penyerbuan musuh - sekalipun Indonesia tidak termasuk dalam negara-negara yang turut berperang - pendudukan, perang saudara, pemberontakan, huru- hara, pemogokan dan penolakan kaum buruh (uitsluiting van werklieden) , perbuatan sabot, perbuatan terror, kerusuhan atau kekacauan yang bersifat politik atau bersifat lain;

            4)

            kecelakaan, akibat dari senjata-senjata perang;

            5)

            kecelakaan, akibat dari sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan sesuatu perintah, tindakan atau peraturan dari pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau asing yang diambil berhubung dengan sesuatu keadaan tersebut di atas; kecelakaan akibat dari melalaikan sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan tersebut;

            6)

            kecelakaan yang diakibatkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan yang dipakai, atau di-konfiskasi, atau direkwisisi, atau disita untuk tujuan-tujuan tindakan Angkatan Bersenjata seperti tersebut di atas;

            7)

            kecelakaan yang terjadi sebagai akibat reaksi inti atom.

            9.

            Bahwa berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa pembentuk undang- undang telah menetapkan bahwa kecelakaan tunggal tidak termasuk dalam resiko kecelakaan sebagaimana ditanggung oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Bahwa hal tersebut didasarkan pada pertimbangan logis bahwa kecelakaan tunggal pada prinsipnya kecelakaan yang tidak dipengaruhi oleh faktor ekternal, namun lebih dikarenakan karena faktor internal korban kecelakaan itu sendiri, antara lain yaitu: mengantuk, mabuk, kelalaian pengendara kendaraan dan lain sebagainya. 10. Bahwa ketentuan a quo tidak diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) karena UU a quo memang tidak diperuntukan untuk mengatur kecelakaan tunggal . Hal ini merupakan kebijakan dari pembentuk UU ( open legal policy ) dan merupakan suatu syarat dan kondisi yang dilindungi dalam suatu asuransi bahwa ada keadaan yang ditanggung dan keadaan apa yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 tidak ditanggung.

            11.

            Bahwa pada dasarnya ketentuan a quo memberikan perlindungan bagi masyarakat luas dan diharapkan dapat memberikan kesadaran (awareness) bagi pengendara kendaraan bermotor lebih tinggi terhadap faktor-faktor internal yang sebenarnya dapat diantisipasi dan dapat dihindari oleh pengendara pada kecelakaan tunggal tersebut.

            12.

            Bahwa sebagaimana diketahui bahwa negara juga telah menjamin perlindungan bagi warga negaranya berkaitan dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana di atur dalam peraturan perundang-undangan diluar UU 34/1964, antara lain sebagaimana diatur dalam UU 33/1965 yang memberikan dana pertangungan wajib kecelakaan penumpang.

            13.

            Bahwa pada dasarnya negara telah memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap kecelakaan lalu lintas jalan. Jaminan dan perlindungan tersebut diwujudkan dengan penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (untuk selanjutnya disebut sebagai UU 22/2009). Dalam Pasal 24 (1) UU 22/2009 terhadap kecelakaan yang diakibatnya oleh faktor eksternal di luar pengendara, yaitu kondisi jalan, maka Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Lebih lanjut dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengakibatkan luka berat, pelaku dalam hal ini Penyelenggara Jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah), dan dalam mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah), sebagaimana ketentuan Pasal 273 UU 22/2009.

            14.

            Bahwa selain ketentuan yang diatur dalam UU 22/2009, jaminan dan perlindungan terhadap kecelakaan tunggal (dalam hal ini sebagaimana yang dialami oleh suami Pemohon), telah diatur pula dalam Undang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan sosial Nasional, sebagai berikut: Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004: “(1) Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia . (2) Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan ”. Adapun yang dimaksud dengan Kecelakaan Kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yaitu: “Kecelakaan kerja adalah kecelakaaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.” Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah Pemohon telah keliru dalam mengajukan uji materi ketentuan dalam penjelasan ini karena UU a quo adalah untuk mengatur jaminan kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan dan bukan terhadap kecelakaan tunggal sehingga ketentuan a quo tidak diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian ( constitusional review ) ketentuan a quo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

            1)

            Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 2) Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );

            3)

            Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan;

            4)

            Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, tidak bertentangan dengan terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Jawaban Pemerintah Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Menindaklanjuti persidangan di Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) sepanjang kalimat “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang- undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” pada tanggal 5 Desember 2017, berikut Pemerintah sampaikan jawaban secara tertulis atas pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: Bahwa sebelum Pemerintah menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan Majelis Hakim pada sidang pembacaan Keterangan Presiden tanggal 5 Desember 2017, perkenankanlah Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan filosofi dan latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) sebagai berikut:

            1.

            Bahwa adanya keinginan untuk memiliki perangkat hukum nasional yang dapat memberikan jaminan sosial (social security) bagi rakyat Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1964 dengan diundangkan UU Nomor 33/1964 tentang Dana Kecelakaan Penumpang dan UU Nomor 34/1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.

            2.

            Sebagai langkah awal menuju kesatuan sistem jaminan sosial ( social security ) tersebut, Pemerintah mewajibkan asuransi kepada pengusaha atau pemilik kendaraan yang dapat membahayakan pihak lain, guna kemanfaatan para korban. Adapun jenis-jenis asuransi transportasi, sebagaimana tertuang dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 riwayat pembentukan Undang-Undang Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 antara lain:

            a.

            asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi para pengusaha/pemilik kendaraan bermotor (UU No. 34/1964);

            b.

            asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kapal, kendaraan bermotor umum (UU No. 33/1964). Bahwa dalam konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum dari kedua Undang-undang tersebut menegaskan bahwa kedua dana pertangungan wajib tersebut merupakan langkah awal menuju terbentuknya suatu sistem jaminan sosial yang menyeluruh bagi rakyat Indonesia.

            3.

            Berdasarkan Penjelasan Umum UU 34/1964 dijelaskan bahwa sejalan dengan kemajuan teknik modern dimana semakin banyak alat angkutan lalu lintas jalan, maka dalam kehidupan bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan oleh kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya. Kemudian setiap warga negara haruslah mendapat perlindungan oleh Negara terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko kecelakaan tersebut. Bahwa karena akibat mengadakan jaminan sosial tersebut ditanggung oleh Pemerintah, maka perlu dilakukan suatu usaha secara gotong royong. Manifestasi kegotong-royongan ini dilakukan melalui suatu pembentukan iuran wajib, dalam UU a quo yaitu Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), sehingga pembentukan Dana ini melalui usaha kegotong- royongan merupakan langkah pertama menuju sistem jaminan sosial.

            4.

            Bahwa Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU 34/1964 sebagai sistem jaminan nasional merupakan suatu upaya rintisan Pemerintah dalam memberikan perlidungan kepada masyarakat luas yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan di luar kesalahannya akibat penggunaan kendaraan bermotor, dimana Dana dikumpulkan dari Sumbangan Wajib dari para Pemilik atau Pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan.

            5.

            Bahwa sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Keuangan) pada tanggal 21 November 1964 mengenai pembentukan UU Nomor 34 Tahun 1964 menjelaskan bahwa: “ RUU Wajib Asuransi yang diajukan oleh Pemerintah itu memuat dua materi, _yaitu: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 1. Asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi pengusaha atau pemilik kendaraan bermotor. 2. Asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kendaraan bermotor umum ”. Dasar dari RUU itu ialah pemikiran untuk memberikan asuransi atau social security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum, kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum. Maksudnya adalah supaya pemakai atau pengguna-pengguna di jalan umum dijamin kebutuhan- kebutuhannya, bila terjadi sesuatu kecelakaan yang diakibatkan karena meningkatnya teknik modern yang dipergunakan oleh negara yaitu adanya kendaraan-kendaraan bermotor, sehingga apabila ada seseorang yang menjadi korban kecelakaan, tidak ditinggalkan begitu saja. Seperti yang kita ketahui bersama, justru rakyat yang tidak mampu lah yang sering menjadi korban kecelakaan-kecelakaan lalu lintas jalan. Untuk itu, maka RUU ini diberikan suatu jaminan asuransi bukan hanya korban-korban dari kecelakaan itu akan mendapat perhatian dari Pemerintah, tetapi atas biaya dari pada pemilik kendaraan tersebut. Dengan demikian akan timbul sosial kontrol bagi pengemudi mobil yang sering membahayakan lalu lintas jalan umum dan akan menimbulkan tanggung jawab kepada pemilik kendaraan tersebut.

            6.

            Bahwa berdasarkan data statistik dari Direktorat Lalu Lintas dari Departemen Angkatan Kepolisian pada waktu itu menunjukkan bahwa dalam tahun 1955 sampai dengan 1963 di Indonesia telah terjadi 136.490 kecelakaan lalu lintas, yang memakan korban 13.135 orang mati, 87. 675 orang menderita luka-luka dan ratusan juta rupiah kerugian materiil serta kecelakaan lainnya seperti kecelakaan kapal api Trowek (1961 dan 1963), membuat pemerintah menganggap perlu untuk membentuk dana-dana yang akan menampung akibat keuangan disebabkan kecelakaan dijalan.

            7.

            Bahwa Dana Pertangungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU 34/1964 merupakan pengejawantahan dari tanggung jawab negara berdasarkan UUD 1945 khususnya Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, Pasal 28H ayat (3), Pasal 33 dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa filosofi pembentukan UU 34/1964 adalah sebagai berikut:

            a.

            memberikan perlindungan dasar kepada pihak ketiga, bukan kepada pemilik kendaraan.

            b.

            memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya pemilik kendaraan agar lebih berhati-hati dalam berkendara (mitigasi moral hazard ). Setelah Pemerintah menguraikan latar belakang terbentuknya UU Nomor 34/1964, kini saatnya Pemerintah memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan Majelis Hakim sebagai berikut: I. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Ada sesuatu yang tidak berkorelasi antara ketika seseorang membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), namun dirinya sendiri tidak terlindungi ketika terjadi kecelakaan itu. Kenapa pihak yang justru membayar SWDKLLJ tidak terlindungi, melainkan hanya pihak eksternal saja yang diberi perlindungan? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:

            1.

            Bahwa UU 34/1964 merupakan langkah pertama menuju suatu sistem jaminan sosial (social security) yang memberikan jaminan perlindungan kepada korban kecelakaan lalu lintas jalan. Kelahiran UU ini didasarkan pada tingginya jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi dalam tahun 1955 s.d 1963. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum UU Nomor 34 Tahun 1964 bahwa jumlah korban kecelakaan lalu lintas jalan dalam periode tersebut sebanyak 13.135 orang meninggal dunia, 87.675 orang menderita luka-luka dan ratusan juta rupiah kerugian materil.

            2.

            Bahwa UU 34/1964 pada hakekatnya memberikan jaminan perlindungan kepada pihak ketiga dengan dasar sebagai berikut :

            3.

            Bahwa filososi pembentukan UU 34/1964 sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Keuangan) tanggal 21 November 1964 mengenai pembentukan UU 34/1964 menjelaskan bahwa: “ RUU Wajib Asuransi yang diajukan oleh Pemerintah itu memuat dua _materi, yaitu antara lain: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 (a) Asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi pengusaha/pemilik kendaraan bermotor. (b) Asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kendaraan bermotor umum ”.

            4.

            Bahwa dasar dari pembentukan RUU tersebut adalah adanya pemikiran untuk memberikan asuransi atau social security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum, kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum. Maksudnya adalah supaya pemakai atau pengguna-pengguna di jalan umum dijamin kebutuhan-kebutuhannya, apabila terjadi sesuatu kecelakaan yang diakibatkan karena meningkatnya teknik modern yang dipergunakan oleh negara yaitu adanya kendaraan - kendaraan bermotor. Sehingga apabila ada seseorang yang menjadi korban kecelakaan, tidak ditinggalkan begitu saja, karena seperti diketahui bersama bahwa rakyat yang tidak mampulah yang sering menjadi korban kecelakaan-kecelakaan jalan. Berdasarkan hal tersebut, maka RUU ini memberikan suatu jaminan asuransi, bukan hanya korban-korban dari kecelakaan itu akan mendapat perhatian dari Pemerintah, tetapi atas biaya dari pada pemilik kendaraan tersebut. Dengan demikian akan timbul sosial kontrol bagi pengemudi mobil yang sering membahayakan lalu lintas jalan umum dan akan menimbulkan tanggung jawab kepada pemilik kendaraan itu.

            5.

            Berdasarkan uraian tersebut di atas, sehingga filosofi pembentukan UU 34/1964 adalah sebagai berikut:

            a.

            memberikan perlindungan dasar kepada pihak ketiga, bukan kepada pemilik kendaraan;

            b.

            memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya pemilik kendaraan agar lebih berhati-hati dalam berkendara (mitigasi moral hazard ).

            6.

            Bahwa selain hal tersebut di atas pembentukan RUU tersebut merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut: Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan- perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Menurut Munir Fuady , dalam bukunya “ Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer ” menjelaskan bahwa “ Perbuatan Melawan hukum adalah suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu kecelakaan ”. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro memberikan pandangan mengenai defenisi perbuatan melawan hukum yang telah mendapat kekuatan hukum yang tetap dalam Putusan MA Nomor .222 K/Sip/1958 tertanggal 21 November 1958 yaitu, “ Bagi orang Indonesia asli tetap berlaku hukum adat yang juga mengenal hak hukum, seperti tertulis pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu secara bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah wajib memberi ganti rugi” . Berdasarkan defenisi perbuatan melawan hukum di atas, dapat disimpulkan Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai berikut:

            a.

            Adanya suatu perbuatan;

            b.

            Perbuatan tersebut melawan hukum;

            c.

            Adanya kesalahan dari pihak pelaku;

            d.

            Adanya kerugian bagi korban; dan

            e.

            Adanya hubungan kausal antara perbuatan-perbuatan dengan kerugian.

            7.

            Sehingga apabila dikaitkan dengan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, UU 34/1964 telah mengakomodir prinsip perlindungan yaitu memberikan ganti kerugian kepada pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dimana kerugian tersebut disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengendara kendaraan bermotor. Oleh karena adanya perbuatan pengendara kendaraan bermotor yang termasuk unsur-unsur perbuatan melawan hukum, maka pengendara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 kendaraan tersebut diwajibkan memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini pemerintah memberikan perlindungan berupa Dana Santunan kepada pihak ketiga yang dirugikan tersebut yang berasal dari dana-dana yang dikumpulkan dari pemilik atau pengusaha kendaraan bermotor tersebut.

            8.

            Bahwa lebihlanjut dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 dijelaskan bahwa: “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada dijalan diluar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan Undang-Undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Nomor 33 Tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut ”. 9. Sejalan dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 34 Tahun 1964 melalui Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 1965, berbunyi sebagai berikut: “ Setiap orang yang berada diluar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut sebagai demikian diberi hak atas suatu pembayaraan dari Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, kecuali hal-hal yang tercantum dalam Pasal 13 .” 10. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah telah memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban diluar kendaraan yang menjadi penyebab timbulnya kecelakaan. Dengan demikian, setiap orang yang menjadi korban kecelakaan tersebut merupakan pihak ketiga yang mendapat jaminan sesuai UU Nomor 34 Tahun 1964. Berdasarkan penafsiran secara “ argumentum a contrario” , bagi mereka yang berada di dalam kendaraan yang menjadi penyebab timbulnya kecelakaan tidak mendapat jaminan.

            11.

            Berkaitan dengan konsep dasar sumbangan Wajib dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 dapat dijelaskan bahwa Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 Lalu Lintas Jalan atau disingkat dengan “SWDKLLJ” menurut Pasal 1 huruf d UU 34 Tahun 1964, merupakan “ sumbangan tahunan yang wajib dibayar menurut/berdasarkan Undang-Undang ini dan/atau peraturan-peraturan pelaksanaannya ”. Sumbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berasal dari kata menyumbang, yaitu “memberikan sesuatu kepada orang yang sedang ........ dan sebagainya sebagai sokongan”, Turut membantu (menyokong) dengan tenaga, pikiran, dan sebagainya”. Merujuk pada pengertian dalam KBBI tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Sumbangan adalah suatu bentuk pemberian baik itu berupa uang, tenaga, pikiran dan sebagainya yang ditujukan kepada pihak lain .

            12.

            Sejalan dengan makna sumbangan tersebut di atas, SWDKLLJ yang dihimpun atau dikumpulkan dari pemilik atau pengusaha kendaraan bermotor dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability (TPL) atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Kompartimen Keuangan) tanggal 10 Desember 1964 mengenai pembentukan UU nomor 34 Tahun 1964 menjelaskan bahwa:

            a.

            Anggota Wasis berpendapat sebagai berikut: “RUU yang diajukan dengan nama Asuransi Wajib ini apakah nanti namanya akan diganti dengan Sumbangan Wajib ataukah Pungutan. Soal itu tidak principal, tetapi yang principal ialah apakah tujuan yang dihendaki Pemerintah itu bias tercapai dengan adanya dana-dana tadi ”.

            b.

            Anggota Munir Abisudjak berpendapat sebagai berikut: “ Sesungguhnya pemerintah menginginkan sumbangan daripada kecelakaan-kecelakaan yang terjadi. Tetapi karena untuk memberikan Social Security Pemerintah tidak mempunyai persediaan uang, maka diminta sumbangan secara gotong royong ”. Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sumbangan wajib yang ditetapkan Pemerintah melaui UU 34/1964 merupakan suatu instrumen untuk memberikan social security kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 masyarakat, dimana setiap korban kecelakaan lalu lintas jalan yang mengalami kerugian akan mendapat perlindungan dari Pemerintah melalui dana berupa sumbangan-sumbangan yang dikumpulkan secara gotong royong.

            13.

            Bahwa berdasarkan best practice third party liability (TPL) dibeberapa negara dapat dijelaskan sebagai berikut: Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas (SWDKLLJ) merupakan asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga. Dalam ilmu asuransi, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga (TJH Pihak III) adalah pertanggungan yang diberikan kepada orang yang berada diluar objek pertanggungan dalam hubungan hukum antara penanggung dan tertanggung. Sejarah asuransi kendaraan bermotor dimulai dari hadirnya kendaraan bermotor di London, Inggris. Perkembangan kendaraan bermotor yang makin massive berdampak pada meningkatnya angka kecelakaan yang melibatkan pengguna kendaraan bermotor dengan anggota masyarakat yang menjadi korban dan kerap tidak mendapatkan santunan dari pemilik kendaraan bermotor. Untuk memberikan rasa aman dan keadilan kepada masyarakat, dibentuklah Road Traffic Act pada tahun 1930, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1974. Konsep asuransi wajib kendaraan bermotor dan perlindungan asuransi terhadap pihak ketiga diadopsi oleh negara-negara lainnya di dunia termasuk Amerika, tentunya dengan keberagaman masing-masing, baik dari aspek hukum maupun sosial. Bahwa dengan meningkatnya kesadaran berasuransi, masyarakat menyadari besarnya risiko yang dihadapi para pemilik dan pengendara kendaraan, sehingga setiap pemilik kendaraan bermotor wajib menutup pertanggungan kendaraan bermotornya.

            14.

            Berdasarkan uraian di atas, Asuransi Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga tersebut adalah konsep asuransi yang berlaku secara universal di dunia dan menjadi bagian dari compulsory motor insurance di berbagai negara sebagai contoh: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 a. Civil law countries (Vietnam) Tujuan dan Filosofi dari penerapan Asuransi Wajib pada Kendaraan Bermotor (compulsory motor vehicle insurance) di Vietnam memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu untuk memberikan bantuan kemanusiaan (humanitarian assistance). Sama halnya dengan asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga pada UU 34/1964, Vietnam memberlakukan konsep third party liability secara mandatory dalam asuransi wajib dengan perluasan berupa property damage (secara terbatas). Jenis cidera atau kerugian yang dijamin yaitu :

            1)

            kematian ( death ) 2) cidera badan ( bodily injuries ); dan

            3)

            kerusakan atau kerugian properti secara terbatas ( property damage ). Terlepas dari tujuannya untuk memberikan bantuan kemanusiaan ( humanitarian assistance ) kepada korban kecelakaan di wilayah Vietnam, dalam penerapannya ada beberapa peristiwa yang dikecualikan sehingga tidak diberikan perlindungan, hal ini sebagai bentuk pembelajaran sosial kepada masyarakat untuk lebih mengutamakan keselamatan dalam berkendara, berikut peristiwa yang dikecualikan, yaitu:

            1)

            kerusakan dan kerugian yang disengaja yang disebabkan oleh pemilik, pengemudi atau pihak yang dirugikan;

            2)

            pengemudi sengaja melepaskan diri dari pemenuhan tanggung jawab perdata pemilik kendaraan bermotor dan/atau pengemudi yang menyebabkan kecelakaan tersebut;

            3)

            pengemudi tidak memiliki SIM yang berlaku atau SIM tidak sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dibutuhkan, jika terbukti maka selain tidak diberikan pertanggungan akan turut dilakukan pencabutan izin mengemudi, baik untuk sementara atau selamanya.

            4)

            kasus perang, terorisme, gempa bumi. Kerusakan pada properti khusus yang terdiri dari emas, perak, batu mulia, uang, kertas berharga seperti uang, barang antik, lukisan berharga dan langka, mayat manusia dan jenazah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 b. Common Law Countries (Malaysia dan Singapore) Sama halnya dengan negara-negara lainnya, Asuransi Wajib pada Kendaraan Bermotor juga berlaku di Malaysia, seperti negara commonwealth lainnya, penerapannya bersifat free choice atau ada beberapa perusahaan asuransi umum yang saling berkompetisi untuk mengelola dan menjalankan produk asuransi wajib tersebut, dengan kata lain tidak ada penunjukkan secara khusus kepada instansi tertentu layaknya PT. Jasa Raharja (Persero) di Indonesia. Oleh karena besifat free choice atau kompetitif, maka nilai besaran premi dan manfaat yang diperoleh tergantung kesepakatan antara penanggung dan tertanggung. Skema Asuransi Wajib mencakup proteksi third party liability dan public passenger liability Insurance yang diatur dalam Road Transport Act 1987, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan yang jumlahnya terus meningkat tiap tahunnya. Seluruh kendaraan pribadi maupun komersial yang digunakan untuk berkendara di jalan raya harus memiliki sekurang- kurangnya polis asuransi compulsory third party liability motor insurance yang dibayarkan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan. Kewajiban pembayaran premi atau mengasuransikan kendaraan bermotor dibebankan kepada Pemilik kendaraan bermotor sebagai proteksi seandainya terjadi kecelakaan yang menyebabkan kematian atau cidera terhadap pihak ketiga. Sebagai negara commonwealth , Compulsory Motor Vehilce Insurance di Singapore juga berlaku secara free choice dan open market , sehingga pelaku usaha bebas menentukan premi dan besaran manfaat yang diperoleh tertanggung. Proteksi yang bersifat mandatory adalah third party liability dengan manffat berupa:

            1)

            Kematian ( death ); dan

            2)

            Cidera badan ( bodily injuries ), yang dapat diperluas covernya. Untuk pengajuan klaim dapat melalui perusahaan asuransi atau melalui Special Risk Pool (SRP), sebuah pool yang khusus untuk penyelesaian klaim ( claim settlement ) asuransi wajib. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suatu negara yang menganut sistem hukum baik Civil Law maupun Common Law dalam hal social control terhadap warga negaranya juga diwajibkan untuk turut serta memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pihak ketiga yang bukan merupakan penyebab, yaitu berupa asuransi wajib dengan konsep third party liability . Dengan kata lain, proteksi third party liability pada UU 34/1964 telah sejalan dengan best practice dan kaedah umum yang berlaku di dunia perasuransian. Konsep ini juga berlaku di Indonesia, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 huruf a UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bahwa asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga merupakan salah satu dasar bagi penerimaan premi pada perusahaan asuransi. Asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga merupakan konsep asuransi mengalihkan risiko yang timbul karena adanya kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sehubungan dengan aktivitas personal tertanggung. SWDKLLJ dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability . Pemikiran awal dari pembentukan perlindungan dasar yang diatur dalam UU 34/1964 dan peraturan pelaksanaannya sebagaimana tertuang dalam Memory van Toelechting (MvT) dan naskah akademik perumusan UU 34/1964 adalah untuk kepentingan umum dan setaraf dengan kemajuan teknik modern, dalam kehidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan kecelakaan-kecelakaan diluar kesalahannya. Pada dasarnya, setiap warga negara harus mendapat perlindungan terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko demikian. Oleh karena itu, segala akibat untuk memberikan jaminan sosial diberikan oleh pemerintah dan dilakukan secara gotong royong, dimana dana-dana yang dikumpulkan dari masyarakat akan diberikan dan disalurkan kembali kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 masyarakat dalam bentuk dana santunan bagi mereka yang mengalami risiko kecelakaan. Keadaan ekonomi dan keuangan yang menjadi pemicu adanya sistem jaminan sosial, dimana sistem jaminan sosial dilakukan secara gotong royong. Manifestasi dari gotong royong ini diimplementasikan dengan adanya dana-dana yang dikumpulkan dari masyarakat dimana pada prinsipnya dana-dana yang dikumpulkan tersebut dikenakan kepada masyarakat/pengusaha yang mempunyai kendaraan bermotor atau golongan yang mampu. Apabila terjadi risiko kecelakaan, dana yang diperoleh dari masyakarat yang mempunyai kendaraan bermotor tersebut akan digunakan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengalami kecelakaan dalam bentuk dana santunan. Prinsip gotong royong sebagaimana dimaksud dalam penjelasan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kirang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat, peserta yang berisiko rendah membantu peserta yang berisiko tinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan soasial bagi seluruh masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pemerintah dalam memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat telah mencerminkan suatu jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. B. Apakah SWDKLLJ ini termasuk asuransi atau bukan, jika masuk ke dalam asurasi membayar premi mengapa ketika dia sendiri mengalami kecelakaan justru tidak tercover meskipun itu tunggal? 1. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa SWDKLLJ merupakan dana yang dibayarkan Wajib Pajak yang memiliki fungsi sebagai dana untuk Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ini yang diwajibkan oleh undang-undang bukan berdasarkan perjanjian sehingga hak dan kewajiban masing-masing pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 Dalam hal ini kewajiban pembayaran SWDKLLJ merupakan asuransi tanggung gugat pihak ketiga dimana Jasa Raharja hanya membayarkan santunan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan kepada setiap pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan diluar kendaraan penyebab terjadinya kecelakaan tersebut.

            2.

            Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, SWDKLLJ yang dihimpun atau dikumpulkan dari masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor dan kemudian dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability (TPL) atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Jika dikaji dalam prinsip asuransi, SWDKLLJ pada prinsipnya merupakan pembayaran premi dalam bentuk sumbangan wajib sebagai bentuk pengalihan risiko dari Pemilik kendaraan kepada Pemerintah sebagai penanggung dalam hal ini adalah PT. Jasa Raharja (Persero). SWDKLLJ memilki pengertian yang berbeda jika dibandingkan dengan premi yang dikutip pada asuransi umum, hal ini didasarkan pada :

            a.

            SWDKLLJ merupakan jenis asuransi wajib dan hanya diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara sesuai ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Sifat yang paling menonjol dari asuransi wajib adalah kepesertaannya yang bersifat wajib bagi mereka yang memenuhi syarat sebagai peserta berdasarkan peraturan perundang-undangan.

            b.

            Sebagaimana dalam UU 34/1964, pembayaran SWDKLLJ bersifat wajib dan dikenakan sanksi bagi mereka yang tidak/telat membayarnya. SWDKLLJ ini menimbulkan hak atas manfaat jika risiko-risiko yang ditanggung terjadi. Sifat ini menjadikan asuransi wajib sebagai program publik yaitu program yang memberikan hak dan kewajiban secara pasti berdasarkan undang-undang.

            c.

            Dana yang dibayarkan Pemilik Kendaraan yang memiliki fungsi sebagai dana untuk Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ini yang wajibkan oleh undang-undang bukan berdasarkan perjanjian (asuransi konvensional), sehingga hak dan kewajiban masing-masing Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam hal ini kewajiban pembayaran SWDKLLJ merupakan asuransi tanggung gugat pihak ketiga dimana Jasa Raharja hanya membayarkan santunan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan kepada setiap pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan di luar kendaraan penyebab terjadinya kecelakaan tersebut.

            3.

            Berdasarkan uraian tersebut di atas, SWDKLLJ merupakan premi yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui UU.34/1964 dan berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Adapun manfaat berupa dana santunan yang merupakan wujud dari sumbangan wajib diberikan kepada pihak ketiga yang berada diluar kendaraan bermotor penyebab timbulnya kecelakaan. Pertanggungan yang diberikan kepada pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas didasarkan atas premi dalam bentuk sumbangan wajib yang dikumpulkan dari masyarakat pengguna kendaraan bermotor berdasarkan asas gotong royong. II. Pertanyaan Yang Mulia Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA A. Dalam Keterangan Presiden ada argumen dasar yang digunakan oleh Pemerintah bahwa Undang-undang a quo memberikan perlindungan kepada masyarakat luas, namun mengapa perlindungan tersebut tidak diberikan kepada korban yang mengalami kecelakaan tunggal? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:

            1.

            Sumbangan yang dibayar oleh Pemilik kendaraan bermotor merupakan kewajiban yang diatur oleh UU 34/1964 untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat luas sebagai pihak ketiga yang menjadi korban akibat penggunaan kendaraan bermotor.

            2.

            Manfaat yang diperoleh Pemilik Kendaraan bermotor dengan membayar sumbangan wajib, maka Pemilik Kendaraan bermotor akan terlindungi dari tuntutan sebagian tanggung jawabnya dari Pihak Ketiga sebagai korban.

            3.

            Dalam hal Pemilik kendaraan mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor lain maka Pemilik kendaraan bermotor akan berada pada posisi pihak ketiga dan berhak mendapatkan santunan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 Dengan demikian perlindungan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor UU 34/1964 adalah perlindungan bagi anggota masyarakat lain yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan yang bukan karena kesalahannya menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Adapun yang dijamin oleh Pemerintah hanyalah terbatas pada kerugian-kerugian yang bersifat badaniah atau bodily injured baik menyangkut luka-luka/perawatan, cacat tetap, meninggal dunia maupun penggatian biaya penguburan. Dengan kata lain UU 34/1964 disebut sebagai Third Party Liability Insurance atau Asuransi Tanggung Gugat terhadap Pihak Ketiga. B. Pemerintah menjelaskan sebenarnya ada jaminan bagi korban kecelakaan tunggal manakala kecelakaan terjadi dalam hubungan kerja berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004, bagaimana jika kecelakaan tidak terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas atau bekerja? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:

            1.

            Bahwa UU 34/1964 berbeda dengan UU 40/2004, dimana UU Nomor 34 Tahun 1964 memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengatur mengenai 5 (lima) program jaminan sosial: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKm), jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.

            2.

            Dalam hal seorang pekerja mengalami kecelakaan tunggal dan tidak terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas atau bekerja, dalam SJSN, pekerja tersebut mendapatkan perlindungan melalui program Jaminan Kesehatan dan/atau Jaminan Kematian (selama pekerja tersebut merupakan peserta program Jaminan Kesehatan dan/atau Jaminan Kematian).

            3.

            Untuk kasus ini karena yang bersangkutan statusnya sebagai pekerja maka yang bersangkutan berhak mendapatkan manfaat dari program jaminan kecelakaan kerja atau jaminan kematian sesuai dengan ketentuan yang berlaku. C. Apakah ada data berapa banyak jumlah kecelakaan tunggal yang terjadi selama ini? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Berikut disampaikan bahwa data kecelakaan tunggal dalam rentang waktu 2015 sampai dengan bulan November 2017 di Indonesia sebagai berikut: Tahun Korban Kecelakaan Korban Kecelakaan Tunggal Persentase 2015 144.186 9.777 6,7% 2016 161.183 12.333 7,6% 2017 143.065 12.208 8,5% III. Pertanyaan Yang Mulia Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Bahwa mengenai Alat Lalu Lintas Angkutan Jalan dalam Pasal 4 UU a quo merujuk kepada Pasal 1 UU a quo . Pasal 1 UU a quo menyatakan ’’alat angkutan lalu lintas jalan yalah kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api ”. Saat ini sudah ada UU Lalu Lintas Jalan yang baru, apakah “Alat angkut lalu lintas jalan” dalam UU 34/1964 juga bisa merujuk pada UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang baru ini? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:

            1.

            Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf c, UU 34/1964 menyatakan bahwa alat angkutan lalu lintas jalan adalah kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api. Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sebagai berikut:

            a.

            Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

            b.

            Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

            c.

            Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya;

            d.

            UU Nomor 7 Tahun 1951 tentang Perubahan dan Tambahan Undang- Undang Lalu Lintas Jalan (wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 86) ;

            e.

            Staatsblad 1933 No. 86. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 f. Staatsblad 1940 No.72 2. Dikarenakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mencabut undang-undang Lalu Lintas terdahulu, maka definisi alat angkutan lalu lintas jalan sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api dinyatakan tidak berlaku. Definisi yang dikenal dalam UU 22/2009 adalah definisi Kendaraan bermotor sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 8 yang mendefinisikan kendaraan bermotor adalah Setiap kendaraan yang digerakan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel. Selain itu, Presiden menghadirkan dua orang ahli yang didengar keterangannya di depan persidangan Mahkamah pada tanggal 8 Januari 2018 yang juga menyampaikan keterangan tertulisnya, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

            1.

            Prof. Hikmahanto Juwana, S.H. LL.M, Ph.D Maksud dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan atau populer disebut sebagai politik hukum dapat dilihat dari konsiderans menimbang, penjelasan umum, naskah akademik dan memorie van toelichting . Dalam konteks Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) yang tersedia adalah konsiderans menimbang, penjelasan umum dan dokumen dengan judul Riwayat Pembentukan Undang-Undang Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 sebagai dokumen memorie van toelichting (selanjutnya disingkat “Riwayat Pembentukan UU”). Berdasarkan tiga hal tersebut, dapat diketahui tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (UU 33/1964) dan UU 34/1964 adalah dalam rangka keberpihakan negara terhadap korban kecelakaan. Dalam UU 33/1964 yang dimaksud korban kecelakaan adalah penumpang dari kendaraan bermotor umum.Sementara yang dimaksud korban kecelakaan dalam UU 34/1964 adalah publik bukan penumpang . Di dalam konsiderans Menimbang dari UU 34/1964 huruf (a) disebutkan bahwa, “berhubung dengan perkembangan masyarakat dewasa ini, sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 langkah pertama menuju ke suatu jaminan sosial ( social security ) sebagaima ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960, beserta lampiran-lampirannya, dianggap perlu untuk mengadakan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 1 disebutkan bahwa, “Setara dengan kemajuan teknik modern, dalam penghidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya .” Kata-kata “kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya” jelas merujuk pada siapapun masyarakat yang sedang berada di jalan raya yang tidak mempunyai kendali terhadap alat angkutan.Sama sekali bukan pada pemilik atau pengusaha dari alat angkutan. Lebih lanjut diungkapkan pada kalimat berikut bahwa “Pada dasarnya,setiap warga negara harus mendapat perlindungan terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko demikian.” Mengapa demikian? Ini mendapat penjelasan lebih lanjut dengan dikatakan, “Ini merupakan suatu pemikiran sosial.Oleh karena keadaan ekonomi dan keuangan dewasa ini belum mengizinkan, bahwa segala akibat mengadakan jaminan sosial tersebut ditampung oleh Pemerintah, maka perlu usaha ini dilakukan secara gotong-royong.” Lalu bagaimana wujud dari kegotong-royongan ini? Ini dibahas dalam penjelasan berikut yang mengatakan, “Manifestasi dari kegotong-royongan ini adalah dengan pembentukan dana-dana yang cara pemupukannya dilakukan dengan mengadakan iuran-iuran wajib, di sana akan dianut principe bahwa yang dikenakan iuran wajib tersebut adalah hanya golongan atau mereka yang berada atau mampu saja, sedang hasil pemupukannya akan dilimpahkan juga kepada perlindungan jaminan rakyat banyak, yaitu para korban kecelakaan lalu lintas jalan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan kereta api. Oleh karena itu jaminan sosial rakyatnya yang dalam pada itu menjalani pokok tujuan.” Jadi disini berbeda dengan prinsip asuransi dimana Tertanggung harus membayar premi kepada Penanggung.Dalam Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan jelas korban kecelakaan lalu lintas jalan tidak membayar apapun premi.Pihak yang membayar hanyalah golongan atau mereka yang berada atau mampu saja. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Lebih lanjut dijelaskan “Kita lebih melihat kepada rakyat banyak yang mungkin menjadi korban risiko-risiko teknik modern, dari pada kepada para pemilik/pengusaha alat-alat modern, yang bersangkutan .Dan jika jaminan itu dirasakan oleh rakyat, maka akan timbullah pula kegairahan social kontrol.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 2 disebutkan bahwa, “Sebagai langkah pertama menuju ke suatu sistim jaminan sosial ( social security ) yang mengandung perlindungan yang dimaksud dapatlah diadakan iuran-iuran wajib bagi para pemilik/pengusaha kendaraan bermotor dengan menganut principe tersebut di dalam ad 1 di atas.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 3 disebutkan bahwa, “Pembentukan dana-dana tersebut akan dipakai guna perlindungan publik bukan penumpang terhadap kecelakaan yang terjadi dengan alat-alat angkutan termaksud di atas. Bagi penumpang, perlindungan demikian ditampung oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964.” Bila mempelajari secara cermat Riwayat Pembentukan UU maka awal dari pembentukan UU 33/1964 dan UU 34/1964 diawali dari inisiatif pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Asuransi Wajib Kendaraan Bermotor dan Kecelakaan Penumpang. Dalam perdebatannya di DPR-GR, pemerintah menyamapaikan bahwa, “dasar dari pada RUU itu ialah pemikiran untuk memberikan Social Security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum oleh kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum.” Oleh karena hal tersebut istilah judul dari RUU ini dianggap tidak tepat bila yang hendak dilindungi adalah rakyat kebanyakan yang menjadi penumpang dari alat angkutan dan publik yang bukan penumpang.Ini disampaikan oleh anggota Dewan bernama A. Baraba. Baraba menyampaikan, “setelah mendengar jawaban Pemerintah menyimpulkan bahwa rupanya penggunaan kata “asuransi” untuk rancangan undang-undang ini tidak begitu tepat. Karena maksud sesungguhnya rancangan undang-undang ini yang akan menolong korban-korban kecelakaan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 Dari situ kemudian Dewan meminta agar pemerintah meninjau ulang judul dari RUU tersebut mengingat ini tidak terkait dengan usaha asuransi. Pada akhirnya pemerintah mengusulkan dua RUU sebagai pengganti dari RUU Asuransi Wajib Tanggung Jawab Kendaraan Bermotor dan Kecelakaan Penumpang yaitu RUU tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan RUU tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Pihak ketiga korban kecelakaan saat mereka di jalan-jalan umum perlu dilindungi karena mereka bisa menjadi korban tanpa keinginan mereka.Mereka tidak boleh ditelantarkan.Kebanyakan dari mereka yang berada di jalan tidak mempunyai asuransi jiwa atau kesehatan.Padahal mereka mungkin menjadi tulang punggung keluarga.Oleh karenanya Negara harus hadir bagi mereka yang menjadi korban, saat mereka menjadi korban yang mengakibatkan hilangnya nyawa maupun cidera. Kewajiban negara ini sejak tahun 1964 hingga sekarang masih belum di mungkinkan untuk diemban oleh negara.Untuk menutupi kelemahan ini maka Negara mewajibkan pemilik atau pengusaha kendaraan dikenakan iuran. Disinilah letak gotong royong yang dimaksud dalam UU 34/1964. Dana yang berasal dari iuran tersebut kemudian dikelola layaknya yang dikenal dalam mekanisme asuransi sehingga dana semakin berkembang. Bila terjadi risiko kecelakaan terhadap pihak ketiga yang bukan penumpang maka dana tersebut dapat segera dicairkan. Dalam konteks seperti ini tidak ada diskriminasi yang dilakukan oleh Negara terhadap korban kecelakaan jika yang dimaksud dengan korban kecelakaan adalah penumpang dari alat angkutan atau publik yang bukan penumpang. Justru Negara membuat kebijakan yang afirmatif terhadap korban kecelakaan yang merupakan publik bukan penumpang . Negara tidak membeda- bedakan latar belakang dari publik bukan penumpang yang menjadi korban, apakah dari golongan kaya atau miskin, apakah memiliki asuransi atas jiwanya ataupun tidak. Tidak heran bila Dana yang dikelola disebut sebagai asuransi sosial. Asuransi sosial tentu tidak sama dengan asuransi wajib. Asuransi sosial lebih menekankan pada aspek gotong royong. Mereka yang tidak membayar premi tetap mendapat perlindungan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 Sementara asuransi wajib masuk dalam asuransi komersial.Perlu dipahami dalam asuransi komersial pihak yang memiliki risiko (Tertanggung) berkeinginan untuk mengalihkan risiko tersebut ke perusahaan asuransi (Penanggung). Sebagai kompensasi perusahaan asuransiakan mendapatkan uang premi. Besarnya premi akan bergantung pada berbagai faktor. Bila premi tidak dibayar maka tidak ada perlindungan terhadap risiko.Ini jelas tidak dianut dalam Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana dimaksud dalam UU 34/1964. Untuk dipahami asuransi komersial tertentu menjadi wajib ketika Negara mewajibkan pihak yang memiliki risiko untuk menutup asuransi.Semisal saat mobil berada di jalan di sejumlah negara maka mobil tersebut harus ada asuransinya.Bila tidak maka mobil tersebut dilarang untuk berada di jalan.Di Indonesia untuk mobil yang berada di jalan hingga saat ini tidak diwajibkan oleh Negara untuk memiliki asuransi.Sehingga tidak ada asuransi wajib bagi kendaraan di jalan. Mengingat secara jelas bahwa yang hendak ditanggung dari Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan adalah korban yang merupakan publik yang bukan penumpang maka kata “diluar” sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 wajib ada dan tidak mungkin dibatalkan/dihapuskan. Bila kata “diluar” dibatalkan/dihapuskan maka ruh dalam UU 34/1964 sebagaimana yang termaktub dalam konsiderans menimbang, Penjelasan Umum dan memorie van toelichting akan tidak sesuai. Terlebih lagi Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 jelas menyebut, “Setiap orang yang menjadi korban... akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan ,...” Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Alat angkutan lalu lintas jalan” ialah “kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam pasal 1 Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya dan Kereta Api.” 2. Dr. H. Firdaus Djaelani, MA.  UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu lintas jalan, pada dasarnya merupakan UU yang mewajibkan setiap pemilik/ pengusaha kendaraan bermotor di Indonesia untuk memiliki asuransi tanggung jawab hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga. Hal ini tercermin dari riwayat pembentukan UU Nomor 34 Tahun 1964 ketika diajukan oleh Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 dan dibahas secara intensif oleh DPR Gotong Royong pada bulan Desember 1964.  Ketika masih dalam bentuk RUU, nama RUU tersebut adalah RUU mengenai Asuransi Wajib Kendaraan Bermotor untuk Tanggung Jawab Menurut Hukum Terhadap Pihak Ketiga. Di pasar asuransi kendaraan bermotor, asuransi TJH ini biasa juga disebut asuransi tanggung gugat. Kenapa demikian, karena korban kecelakaan lalu lintas dapat saja menuntut/ menggugat secara perdata atas kerugian yang dialaminya kepada pihak yang menyebabkan kecelakan. Dalam Pasal 1365 KUH Perdata diatur bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.  Dalam perjalanan pembahasannya dan ketika diundangkan menjadi UU Nomor 34 Tahun 1964 pada tanggal 31 Desember 1964, nama RUU tersebut berubah menjadi UU tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Namun demikian secara substansi antara RUU dan UU tidak berubah yakni mewajibkan setiap pengusaha atau pemilik kendaraan bermotor di Indonesia untuk memiliki asuransi tanggung jawab hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga. Mekanisme yang digunakan yakni mewajibkan setiap pemilik/ pengusaha kendaraan bermotor setiap tahunnya membayar sejumlah uang tertentu (SWDKLLJ), kemudian Dana yang terhimpun dari sumbangan wajib tersebut dikelola dan dipergunakan untuk membayar korban kecelakaan lalu lintas jalan.  Pihak Ketiga yang dimaksud adalah pihak diluar Pihak Pertama (Penanggung atau Perusahaan Asuransi) dan Pihak Kedua (Tertanggung). Dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 berikut peraturan pelaksanaannya, yang dimaksud pihak pertama tentunya perusahaan/badan usaha milik negara yang menghimpun dan mengelola dana yang berasal dari sumbangan wajib yang dipungut dari pemilik/pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan (dalam hal ini PT Persero Asuransi Kerugian Jasa Raharja), sedangkan pihak kedua adalah pemiliki/ pengusaha kendaraan bermotor di Indonesia. Lantas siapa pihak ketiga, pihak ketiga adalah mereka yang menjadi korban Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 kecelakaan lalu lintas yang berada diluar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan.  Korban sebagaimana didifinisikan dalam PMK Nomor 16 Tahun 2017 adalah setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan. Dengan demikian maka mereka yang memperoleh kecelakaan tapi bukan sebagai korban tidak berhak memperoleh santunan dari Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan. Seperti misalnya pengemudi dan penumpang kendaraan yang menyebabkan kecelakaan dan kecelakaan tunggal, meskipun dalam pelaksanaannya Direksi pengelola dana dapat saja memberi sejumlah dana empati ( ex gratia ) yang jumlahnya tidak sebesar santunan korban.  Konsep Asuransi TJH kepada pihak ketiga sebagaimana dianut dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 adalah konsep asuransi yang berlaku secara universal di belahan dunia lainnya dalam bentuk asuransi wajib kendaraan bermotor dengan variasi yang bermacam macam. Ada negara yang mewajibkan asuransi TJH kepada pihak ketiga bukan hanya untuk kecelakaan diri saja tapi juga terhadap kerusakan kendaraan dan property lainnya. Dinegara negara Asean konsepnya mirip dengan UU 34/1964 yakni hanya TJH kecelakaan diri, namun Malaysia dgn santunan unlimited biaya rumah sakitnya. Di negara negara bagian Australia santunan juga diberikan kepada pengemudi kendaraan bukan korban tapi dengan jumlah yang terbatas. Di negara negara maju lainnya seperti Amerika dan Eropah umumnya asuransi TJH mengcover kecelakaan diri dan kerusakaan kendaraan/ properti korban.  Pengemudi atau penumpang bukan angkutan umum dapat melindungi dirinya atau keluarganya dari kerugian keuangan akibat kecelakaan bukan korban atau kecelakaan tunggal, dengan membeli asuransi komersial seperti asuransi jiwa, asuransi kecelakaan diri, asuransi kendaraan bermotor semua risiko ( all risk ).  Kesimpulan kami bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, adalah UU yang memang dibuat untuk mewajibkan setiap pemilik kendaraan/pengusaha kendaraan bermotor di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Indonesia utk memiliki asuransi tanggung hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas, dengan membayar sumbangan wajib setiap tahunnya. Mereka yang mengalami kecelakaan bukan korban dan kecelakaan tunggal tidak berhak memperoleh santunan dari dana kecelakaan lalu lintas jalan. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait yaitu PT Jasa Raharja menyampaikan keterangan tertulis bertanggal 15 Januari 2018, yang juga disampaikan secara lisan dalam sidang hari Senin, 15 Januari 2018, pada pokoknya sebagai berikut: I. UMUM A. Dasar Penugasan Jasa Raharja 1. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Penunjukan Perusahaan Negara Asuransi Kerugian Jasa Raharja, PT Jasa Raharja (Persero) yang selanjutnya disebut “Jasa Raharja” ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program perlindungan dasar kepada masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan beserta Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.

            2.

            Bahwa penunjukan pengelolaan kedua undang-undang tersebut ditegaskan lagi melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK.011/1981 tanggal 2 Juni 1981 tentang Penunjukan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja Untuk Menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 1964 dan UU Nomor 34 Tahun 1964 beserta peraturan pelaksanaannya.

            3.

            Bahwa ketentuan mengenai besaran santunan dan besaran Iuran wajib dan Sumbangan wajib diatur pertama kali dalam Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan Nomor B.A.P.N 1-3-39 tanggal 26 April 1965 tentang Hal-Hal Mengenai Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 Penumpang dan Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan Nomor B.A.P.N 1-3-40 tanggal 26 April 1965 tentang Hal-Hal Mengenai Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.010/2017 tentang Besar santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/ Danau, Feri/Penyebrangan, Laut dan Udara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. B. Penghimpunan dan Pengelolaan Dana UU Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 1. Dana yang dikelola Jasa Raharja dihimpun dari:

            a.

            Iuran Wajib Iuran Wajib merupakan iuran yang wajib dibayarkan oleh setiap penumpang alat angkutan umum baik di darat, laut maupun udara kepada Jasa Raharja yang merupakan bagian dari komponen ongkos angkut dan dibayarkan melalui pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan. Khusus penumpang kereta api untuk jarak kurang dari 50 km dan penumpang angkutan dalam kota dibebaskan dari pembayaran Iuran Wajib namun tetap berhak mendapatkan santunan yang sama jika mengalami kecelakaan.

            b.

            Sumbangan Wajib Sumbangan Wajib merupakan sumbangan yang wajib dibayarkan oleh pemilik atau pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan setiap tahunnya kepada Jasa Raharja melalui mekanisme Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) yang merupakan serangkaian kegiatan dengan Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor, pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor. Khusus pengusaha/pemilik sepeda motor dengan 50cc atau kurang, kendaraan ambulance, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan jenazah dan kereta api dibebaskan dari pembayaran Sumbangan Wajib namun setiap korban yang ditimbulkannya tetap berhak mendapatkan santunan yang sama. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 2. Pengelolaan Dana a. Iuran Wajib dan Sumbangan Wajib yang telah dihimpun oleh Jasa Raharja menjadi dana pertanggungan yang dikelola secara prudent dan digunakan untuk pembayaran ganti kerugian pertangggungan wajib kecelakaan penumpang dan kecelakaan lalu lintas jalan.

            b.

            Dengan pengelolaan yang prudent tersebut, Jasa Raharja dapat memperoleh Laba dan sebagian dari Laba tersebut disetorkan kepada Negara dalam bentuk Deviden ke dalam APBN yang selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pembangunan nasional.

            c.

            Sebagian laba yang diperoleh Jasa Raharja juga dialokasikan untuk membiayai kegiatan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. C. Prosedur Pelayanan Santunan 1. Korban yang berhak mendapatkan santunan adalah:

            a.

            Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 1964 Setiap penumpang alat angkutan penumpang umum baik di darat, laut maupun udara yang mengalami kecelakaan saat naik hingga tiba di tempat tujuan dengan menggunakan alat angkutan yang bersangkutan.

            b.

            Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 1964 Setiap korban yang berada diluar alat angkutan lalu lintas jalan yang menjadi penyebab kecelakaan.

            2.

            Mekanisme Pembayaran Santunan a. Bukti dasar pengajuan santunan adalah laporan polisi atau laporan dari instansi berwenang lainnya tentang kecelakaan yang telah terjadi.

            b.

            Korban kecelakaan yang termasuk dalam ruang lingkup jaminan UU Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 tersebut dapat mengajukan santunan ke Jasa Raharja paling lambat 6 (enam) bulan setelah terjadinya kecelakaan.

            c.

            Jangka waktu pertanggungan terhadap korban kecelakaan adalah 365 hari sejak terjadinya kecelakaan.

            d.

            Dalam hal korban mengalami luka-luka dan terjamin sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Jasa Raharja menerbitkan Surat Jaminan kepada pihak rumah sakit yang merawat korban termasuk biaya P3K dan ambulan.

            e.

            Bagi korban yang mengalami cacat tetap diberikan santunan berdasarkan surat keterangan dokter tentang jenis cacat tetap yang diderita korban. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 f. Khusus korban yang meninggal dunia, santunan dibayarkan kepada ahli waris yang sah.

            g.

            Sedangkan bagi korban yang tidak memiliki ahli waris, maka kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan diberikan penggantian biaya penguburan.

            3.

            Besaran Santunan Besaran nilai santunan berdasarkan kedua Peraturan Menteri Keuangan tersebut di atas adalah sebagai berikut:

            a.

            Santunan Meninggal Dunia sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

            b.

            Santunan Cacat Tetap sesuai dengan persentase cacat tetap yang dialami korban maksimum Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

            c.

            Penggantian Biaya Perawatan dan Pengobatan Untuk korban kecelakaan di darat dan di laut diberikan maksimum Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan maksimum Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk korban kecelakaan di udara.

            d.

            Penggantian Biaya Penguburan Dalam hal korban yang tidak memiliki ahli waris, maka kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan korban diberikan penggantian biaya penguburan sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).

            e.

            Manfaat Tambahan Manfaat Tambahan yang diberikan kepada korban kecelakaan adalah sebagai berikut:

            1)

            Biaya ambulans dan kendaraan yang membawa penumpang ke fasilitas kesehatan maksimum Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah); dan/atau

            2)

            Biaya Pertolongan pertama pada kecelakaan maksimum Rp.

            1.

            000.000,- (satu juta rupiah). Dasar pemikiran manfaat tambahan tersebut adalah dengan mempertimbangkan fakta dari hasil penelitian bahwa lebih dari 50% kematian akibat kecelakaan terjadi pada menit-menit pertama korban berada di TKP dan lebih dari 20% kematian terjadi saat perjalanan korban ke Rumah Sakit atau pada hari terjadinya kecelakaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 D. Peningkatan Pelayanan dan Inovasi Sebagai BUMN yang berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik, Jasa Raharja senantiasa melakukan inovasi dan sinergi dengan mitra kerja terkait antara lain:

            1.

            Mengembangkan komitmen pelayanan dengan akronim PRIME yaitu Proaktif, Ramah, Ikhlas, Mudah dan Empati. Tujuannya adalah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat khususnya korban kecelakaan.

            2.

            Bekerjasama secara online dengan pihak Kepolisian untuk memperoleh Laporan Polisi yang berbasis program IRSMS ( Integrated Road Safety Management System ) yang terintegrasi dengan sistem Jasa Raharja sehingga setiap data kecelakaan yang teregister di kepolisian dengan mudah diakses untuk segera ditindaklanjuti dengan pelayanan.

            3.

            Bekerjasama dengan 1.068 rumah sakit di seluruh Indonesia untuk memudahkan pembayaran santunan kepada pihak rumah sakit melalui mekanisme overbooking sehingga pihak korban tidak perlu mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai pengobatannya.

            4.

            Bekerjasama secara online dengan Ditjen Pendudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri untuk mengetahui data maupun identitas korban kecelakaan termasuk ahli waris korban.

            5.

            Bekerjasama dengan pihak perbankan untuk pembukaan dan pembayaran santunan dengan mekanisme Cash Management System (CMS).

            6.

            Menyediakan aplikasi santunan online yang dapat diakses oleh masyarakat dengan menggunakan gadget .

            7.

            Untuk meningkatkan kompetensi pegawai khususnya di bidang pelayanan, setiap pegawai Jasa Raharja yang bertugas di bidang pelayanan harus memiliki Sertifikasi Pelayanan yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Pelayanan (LSP) Jasa Raharja. Lembaga Sertifikasi ini merupakan satu- satunya lembaga yang dibentuk dan dimiliki oleh perusahaan asuransi yang ada di Indonesia dengan mengembangkan skema pelayanan. Inovasi dan komitmen tersebut, berdampak pada capaian kinerja unggul dalam penyelesaian santunan korban meninggal dunia yang ditargetkan selama 6 hari sejak kejadian kecelakaan, dapat direalisasikan rata-rata selama 1 hari 21 jam pada tahun 2017. Sedangkan penyelesaian pengajuan santunan sejak berkas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 lengkap yang ditargetkan selama 1 jam 30 menit, dapat direalisasikan rata-rata 32 menit pada tahun 2017. E. Layanan Daerah Pelosok dan di Lintas Batas 1. Pelayanan yang diberikan Jasa Raharja terbentang dari Sabang sampai ke Merauke hingga menjangkau daerah-daerah pelosok dengan standar pelayanan yang sama.

            2.

            Jasa Raharja memastikan pelayanan santunan dilakukan sampai ke daerah lintas batas negara seperti di daerah perbatasan Kalimantan Barat (Entikong, Aruk, Nanga Badau) dan Perbatasan NTT (Motain Belu, Motamasin Malaka, Wini, Oepoli) serta di daerah perbatasan Papua (Skouw dan Waris). F. Kepatuhan 1. Penerapan Good Corporate Governance (GCG) a. Pelayanan yang diberikan Jasa Raharja kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan senantiasa berpedoman kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) sebagaimana telah digariskan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara.

            b.

            Konsistensi penerapan GCG dibuktikan dengan skor yang mencapai 95,28. Skor yang terbilang tinggi di diantara BUMN-BUMN lain.

            2.

            Pengawasan a. Kegiatan operasional Jasa Raharja baik sistem maupun prosedur pada awalnya diawasi oleh Departemen Keuangan dalam hal ini Bapepam-LK yang kemudian dilanjutkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

            b.

            Jasa Raharja secara periodik diaudit oleh Satuan Pengawasan Intern dan oleh lembaga eksternal seperti Kantor Akuntan Publik (KAP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). G. Kegiatan Peningkatan Keselamatan Berlalu Lintas Untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas dan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, Jasa Raharja turut berpatisipasi antara lain:

            1.

            Mudik Gratis bersama BUMN setiap tahunnya.

            2.

            Program Safety Riding dan Jasa Raharja Goes To Campus bekerjasama dengan mitra terkait. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 3. Memberikan bantuan sarana dan prasarana untuk pendukung operasional di jalan raya berupa Traffic Cone , Barikade, Rambu-Rambu Lalu Lintas dan sarana lainnya.

            4.

            Pendidikan dan pelatihan bagi pengemudi angkutan umum yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya.

            5.

            Sosialisasi kepada masyarakat umum melalui media cetak, elektronik, media sosial dan interaksi langsung dengan masyarakat. Serta upaya-upaya lainnya dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan wujud partisipasi Jasa Raharja dalam upaya keselamatan berlalu lintas. II. KETERANGAN ATAS PASAL YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Berdasarkan uraian di atas dan keterangan Pemerintah serta keterangan ahli yang telah disampaikan dalam persidangan sebelumnya, izinkanlah kami menyampaikan penjelasan sebagai berikut:

            1.

            Kami sependapat dengan keterangan Pemerintah dan Keterangan Ahli bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tetap relevan dalam memberikan jaminan dan dibutuhkan oleh masyarakat yang mengalami kecelakaan lalu lintas jalan yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor dan tetap sejalan dengan UUD 1945.

            2.

            Kasus Kecelakaan yang terjadi di Jawa Timur Terkait dengan kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Jawa Timur, perkenankan kami atas nama Jasa Raharja menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya almarhum Rokhim (suami dari Ibu Maria Theresia Asterianti), semoga almarhum dimuliakan disisi Allah SWT. Amin. Adapun kronologis kasus kecelakaan yang dialami almarhum dan dijadikan dasar oleh pemohon untuk mengajukan permohonan uji materi penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 terhadap UUD 1945 dapat kami jelaskan sebagai berikut :

            a.

            Kecelakaan yang menimpa korban a.n. Rokhim terjadi pada tanggal 24 Juli 2017 di Jl. A. Yani Surabaya merupakan kecelakaan tunggal.

            b.

            Jasa Raharja Perwakilan Surabaya telah melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang berlaku yaitu melakukan Penolakan terhadap pengajuan santunan kecelakaan tunggal tersebut kepada ahli waris korban. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 c. Penolakan yang dilakukan oleh Jasa Raharja sebelumnya telah didahului dengan penjelasan bahwa kasus kecelakaan tersebut diluar jaminan UU Nomor 34 Tahun 1964. Ahli waris menyatakan bisa menerima dan memahami hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam surat permohonan yang bersangkutan yang ditujukan kepada Jasa Raharja Cabang Jawa Timur. Permohonan tersebut dikabulkan dan dibayarkan santunan secara ex-gratia pada tanggal 25 September 2017.

            d.

            Ex-Gratia menurut Black Law Dictionary berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris disebut “ by favor ” atau “bantuan”. Ex gratia payment adalah “ A payment not legally required ” especially an insurance payment not required to be made under an insurance policy ” (Pembayaran yang tidak diwajibkan secara hukum khususnya dalam pembayaran ganti rugi yang tidak harus dilakukan berdasarkan perjanjian pertanggungan). Dengan dasar pemahaman tersebut, pembayaran secara ex-gratia merupakan bantuan yang diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus pertanggungan. III. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan argumentasi yang telah kami sampaikan di atas, kami memberikan kesimpulan sebagai berikut:

            1.

            Jasa Raharja selaku yang diberi amanah oleh pemerintah untuk melayani masyarakat korban kecelakaan lalu lintas dan korban kecelakaan angkutan umum telah bekerja sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

            2.

            Kami sependapat dengan keterangan pemerintah dan keterangan ahli pada persidangan sebelumnya bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tetap relevan dengan keadaan saat ini dan UU a quo memang diperuntukkan untuk memberikan jaminan kepada Pihak ketiga atau korban yang berada di luar alat angkutan lalu lintas jalan yang menyebabkan kecelakaan dan bukan untuk korban kecelakaan tunggal.

            3.

            Penyelesaian kasus kecelakaan tunggal yang diajukan oleh Sdri. Maria Theresia sebagaimana yang telah diuraikan tersebut di atas telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.

            3.

            PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2721, selanjutnya disebut UU34/1964) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:

            a.

            perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

            b.

            kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

            c.

            badan hukum publik atau privat; atau

            d.

            lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

            a.

            kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

            b.

            ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a. [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

            a.

            adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan olehUUD 1945;

            b.

            hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggapdirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

            d.

            adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

            e.

            adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon sesuai dengan uraian Pemohon dalam permohonanannya beserta bukti-bukti yang relevan; [3.6] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK): 3578055309700002, sebagaimana terdapat dalam Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon. Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian konstitusional dengan adanya ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, dengan alasan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa Pemohon merupakan istri dari Rokhim, warga negara Indonesia dengan NIK 3578052411680004. Suami Pemohon tersebut mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 2017 saat mengendarai sepeda motor. Bahwa kemudian Pemohon mengajukan klaim santunan asuransi atas meninggalnya suami Pemohon tersebut kepada PT. Jasa Raharja, namun demikian klaim tersebut tidak dipenuhi oleh PT. Jasa Raharja dengan alasan selama ini PT. Jasa Raharja tidak memberikan santunan terhadap korban kecelakaan tunggal. PT. Jasa raharja menyatakan bahwa dasar hukum terhadap hal tersebut diatur dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menyatakan: “ (1) Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 berdasarkan Undang-Undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang No. 33 tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut. ” [3.6.2] Bahwa berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sepanjang kalimat “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”. sangat merugikan hak konstitusional Pemohon, sebab dengan berlakunya ketentuan a quo , hak Pemohon mendapatkan santunan kecelakaan akan terhalangi. [3.6.3] Bahwa, Pasal 4 UU 34/1964 menyatakan, “dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya.” Bahwa, karena suami korban yang mengalami kecelakaan meninggal dunia maka otomatis santunan diberikan kepada Pemohon sebagai ahli waris dari suami. Sehingga Pemohon mempunyai legal standing di dalam pengajuan Permohonan a quo . [3.7] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian permohonan dan dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan berkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, menurut Mahkamah Pemohon telah membuktikan sebagai warga negara Indonesia yang merupakan ahli waris dari seorang warga negara yang telah meninggal dunia dikarenakan mengalami kecelakaan lalu lintas, dan bahwa Pemohon telah mengajukan klaim asuransi kepada PT. Jasa Raharja yang kemudian tidak dapat dipenuhi. Bahwa norma Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menjadi objek pengujian a quo dijadikan dasar bagi PT. Jasa Raharja untuk menolak klaim asuransi yang diajukan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terlepas dari konstitusionalitas norma a quo yang harus dibuktikan terlebih dahulu pada pokok perkara, terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian atau potensi kerugian yang dialami Pemohon dengan norma yang diajukan untuk diuji dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) selaku Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo ; [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo , maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; POKOK PERMOHONAN [3.9] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, yang menyatakan: “ (1) Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan Undang-undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang No. 33 tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut. ” sepanjang frasa, “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan ” Menurut Pemohon, norma a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut.

            (1)

            Frasa dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 tersebut telah dimaknai secara sempit di mana kecelakaan yang dijamin mendapat santunan kecelakaan hanya yang melibatkan dua kendaraan, bukan satu kendaraan atau kecelakaan tunggal. Sebab, kecelakaan satu kendaraan korbannya ada di dalam alat angkutan itu sendiri, bukan di luar alat angkutan. Sementara, korban kecelakaan tunggal meski tetap membayar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), dalam hal ini suami Pemohon sebagai korban kecelakaan tunggal membayar SWDKLLJ setiap tahunnya, tetapi dinyatakan tidak berhak menerima dana santunan kecelakaan lalu lintas oleh PT. Jasa Raharja.

            (2)

            Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah membuat norma baru, bahkan menjadi norma terselubung. Sebab, Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang a quo mengatur bahwa siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas baik mati maupun cacat tetap dijamin mendapatkan santunan asuransi Jasa Raharja. Sementara dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menjadi dipersempit bahwa yang mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah mereka yang berada di luar alat angkutan. Dengan demikian, menurut Pemohon, penjelasan norma pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

            (3)

            Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 juga telah menyebabkan Pemohon mendapatkan perlakuan diskriminatif. Sebab, seorang warga negara pembayar SWDKLLJ yang merupakan sumbangan yang tidak dibedakan/dikecualikan untuk kecelakaan tunggal, seharusnya diperlakukan sama dengan semua warga negara yang mengalami kecelakaan lalu lintas tidak tunggal. Dengan demikian, didalilkan Pemohon norma a quo bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. [3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama permohonan Pemohon, bukti-bukti Pemohon, keterangan Presiden, keterangan ahli Presiden, serta keterangan Pihak Terkait PT. Jasa Raharja Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut. [3.11] Menimbang bahwa masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yaitu sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” . Penjelasan dimaksud dianggap telah menyebabkan terjadinya ketidak-pastian hukum terhadap Pemohon untuk mendapatkan dana santunan kecelakaan tunggal suaminya. Pada saat yang sama, menurut Pemohon, keberadaan frasa di dalam penjelasan itu pun telah menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap warga negara. Dengan alasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 itu, Pemohon menilai bahwa hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 terlanggar dan/atau potensial terlanggar. Karena itu, untuk mengakhiri atau menghindari kerugian konstitusional atau potensi kerugian yang dialaminya, Pemohon meminta agar frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. [3.12] Menimbang bahwa sehubungan dengan permohonan a quo , terdapat dua persoalan konstitusional yang harus dijawab lebih jauh, yaitu:

            1.

            Apakah penjelasan norma di dalam pasal a quo sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum, terutama karena Pemohon selalu membayar SWDKLLJ dan karena terjadinya penyempitan norma Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 2. Apakah penjelasan norma di dalam pasal a quo sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” telah menyebabkan terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap warga negara yang mengalami kecelakaan lalu lintas, sehingga melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945? Terhadap masalah konstitusional penjelasan norma pasal a quo sebagaimana termanifestasi dalam kedua pertanyaan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa mengenai kepastian hukum penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, persoalan hukum yang dikemukakan Pemohon sesungguhnya bukan hanya sekadar apakah norma tersebut mencakup korban kecelakaan tunggal atau tidak, melainkan berhubungan dengan paradigma pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu lintas jalan. Paradigma sistem jaminan sosial terkait pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu lintas jalan yang didesain dalam UU 34/1964 adalah perlindungan publik Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 bukan penumpang terhadap kecelakaan yang terjadi dengan alat-alat angkutan dimaksud. Dalam sistem tersebut para pemilik/pengusaha kendaraan bermotor dibebani kewajiban berupa iuran wajib yang ditujukan untuk melindungi rakyat banyak yang menjadi korban kecelakaan lalu-lintas jalan yang disebabkan oleh kendaraaan bermotor atau kereta api. Dalam pengertian demikian, dana pertanggungan diberikan sebagai akibat kecelakaan yang terjadi karena faktor eksternal. [3.12.2] Bahwa paradigma tersebut dapat dipahami berdasar penjelasan umum UU 34/1964, di mana di dalamnya diterangkan bahwa subjek yang menjadi perhatian ketika Undang-Undang a quo dibentuk adalah rakyat banyak yang menjadi korban risiko-risiko teknik modern dibanding para pemilik atau pengusaha alat-alat modern yang bersangkutan. Lebih jauh, apabila dilacak Memory van Toelichting (MvT) Undang-Undang a quo, perlindungan dasar yang diatur di dalamnya adalah dimaksud untuk kepentingan umum dan setaraf dengan kemajuan teknik modern. Di mana, dalam kehidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang semakin meningkat disebabkan kecelakaan di luar kesalahannya (faktor eksternal). Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa tujuan diatur dan dipungutnya dana kecelakaan lalu-lintas adalah untuk melindungi korban kecelakaan yang bukan penumpang atau mereka yang berada di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan itu. Paradigma yang demikian diatur secara konsisten dalam Undang-Undang a quo , khususnya dalam hal kewajiban pembayaran iuran atau sumbangan kecelakaan lalu-lintas (SWDKLLJ) yang difungsikan sebagai dana untuk asuransi sosial kecelakaan lalu lintas jalan. Dalam hal ini, SWDKLLJ merupakan pembayaran premi berupa sumbangan wajib sebagai bentuk pengalihan resiko dari pemilik kendaraan kepada Pemerintah yang dalam hal ini penanggung jawabnya adalah PT. Jasa Raharja. Dalam hal ini, SWDKLLJ dimaksud memiliki pengertian berbeda jikalau dibandingkan dengan premi yang dikutip pada asuransi umum karena itu dana tersebut disebut sebagai iuran wajib dan bukan disebut sebagai asuransi. Oleh karena berbeda, maka iuran wajib berupa SWDKLLJ tidak dapat disamakan dengan premi dalam konteks asuransi umum di mana setiap orang yang membayar premi berhak atas klaim asurasi yang diperjanjikan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 [3.12.3] Bahwa konsistensi paradigma UU 34/1964 juga diturunkan lebih jauh terhadap pengaturan yang terkait dengan pihak yang berhak menerima pembayaran ganti rugi. Pihak yang berhak menerima atau korban adalah setiap orang yang menjadi korban mati atau cacat permanen akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan [Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964]. Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo ditegaskan bahwa setiap orang tersebut adalah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Dengan kata lain, Undang-Undang a quo memang didesain untuk memberikan santunan kepada mereka yang menjadi korban kecelakaan yang bukan penumpang, maupun pengendara kendaraan atau alat angkutan. [3.12.4] Bahwa yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 terkait dengan pihak yang berhak menerima pembayaran dana dan pertanggungan merupakan turunan dari paradigma pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu- lintas jalan yang dibangun dalam UU 34/1964. Dengan demikian, tidak terdapat penyempitan makna dari apa yang dikehendaki oleh norma yang termaktub di dalam batang tubuh Undang-Undang dimaksud, dalam hal ini pengaturan dalam Pasal 4 UU 34/1964. Dikarenakan maksud tersebut, pembatasan yang terkait subjek penerima pembayaran dana dan pertanggungan sebagaimana termaktub di dalam penjelasan norma tersebut telah sesuai dan sebangun dengan semangat pembentuk atau paradigma jaminan sosial kecelakaan lalu-lintas dalam Undang- Undang a quo . Lebih jauh, paradigma dimaksud linear dengan dikecualikannya kecelakaan tunggal dari jenis kecelakaan yang tidak dijamin oleh UU 34/1964. Kecelakaan tunggal diposisikan sebagai kecelakaan yang tidak dipengaruhi faktor eksternal. Selain itu, kecelakaan tunggal disebabkan karena faktor internal korban kecelakaan itu sendiri, seperti mengantuk, mabuk, dan kelalaian saat mengendara kendaraaan. Apabila kecelakaan tunggal dimasukkan dalam pertanggungan kecelakaan sebagaimana diatur dalam UU 34/1964, justru hal tersebut akan menyebabkan paradigma jaminan sosial dalam Undang-Undang a quo bergeser ke sesuatu yang tidak dikehendaki saat pembentukannya. Jaminan sosial tidak lagi dimaksud bagi korban kecelakaan yang berada di luar alat angkutan, melainkan bagi setiap korban kecelakaan. Padahal, Undang-Undang a quo tidak dimaksud untuk itu. Lagi pula, sebagaimana disitir sebelumnya konsep pertanggungan dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 UU 34/1964 berbeda dengan konsep asuransi kecelakaan pada umumnya. Selain itu, dengan membayar iuran wajib SWDKLLJ, Pemohon mendalilkan bahwa suaminya berhak untuk memperoleh pembayaran dana kecelakaan. Hanya saja, karena tidak dibayarkan oleh Jasa Raharja, maka hal demikian menurut Pemohon telah menyebabkan hak Pemohon untuk memperoleh kepastian hukum telah dilanggar. Menurut Mahkamah, sebagaimana telah dijelaskan di atas, paradigma jaminan sosial yang diatur dalam UU 34/1964 sejak awal memang hanya dimaksudkan dan dibatasi untuk kecelakaan terhadap mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan dan tidak tercakup kecelakaan tunggal. Oleh karena pembatasan yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 linear dengan semangat yang terkandung dalam Undang-Undang a quo , maka tidak terdapat ketidakpastian hukum terkait keberadaan Penjelasan norma Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan keberlakuannya telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.13] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon ihwal penjelasan Pasal 4 ayat (1) telah mempersempit maksud Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 dimaksud, padahal dengan merujuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bagian penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang a quo hanya menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan frasa “setiap orang” dan menjelaskan frasa “disebabkan oleh alat angkutan” dalam Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, bukan menambah norma baru. Sebab memang seperti itulah maksud dibuatnya Undang-Undang a quo . Dalam hal ini, frasa “setiap orang” dimaksudkan sebagai bukan tiap-tiap orang, melainkan hanya mereka yang berada di jalan. Frasa “oleh alat angkutan” dijelaskan dengan frasa “di luar alat angkutan”, yang berarti sebagai faktor eksternal yang menyebabkan seseorang mati atau cacat tetap. Artinya hanya orang yang mengalami kecelakaan di jalan yang disebabkan oleh alat angkutan sebagai faktor eksternal saja yang diatur Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 sebagai subjek yang akan menerima dana kerugian akibat kecelakaan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sama sekali tidak mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) melainkan hanya memperjelas atau membuat terang saja, yang justru menjamin bahwa Undang-Undang a quo sejalan dengan maksud pembentukannya. [3.13.2] Bahwa kesan penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) sebagaimana didalilkan Pemohon timbul jika tidak memperhatikan hubungan sistematis semua norma Undang-Undang a quo , mulai dari konsideran, batang tubuh dan penjelasannya. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) hanya sekadar memperjelas maksud yang dikehendaki Pasal 4 ayat (1), sehingga ia tidak dapat dianggap atau dinilai telah membuat peraturan lebih lanjut atau mencantumkan rumusan yang berisi norma baru. Demikian pula apabila dihubungkan dengan paradigma jaminan sosial dalam UU 34/1964, dalil bahwa penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo telah mempersempit maksud norma Pasal 4 ayat (1) juga tidak beralasan. Sebab, penjelasan Pasal 4 ayat (1) justru bertujuan untuk mempertegas konsistensi Pasal 4 ayat (1) dengan filosofi atau paradigma dan tujuan dibentuknya UU 34/1964. Dengan penjelasan itu, makin terang bahwa pertanggungan yang diatur dalam UU 34/1964 adalah untuk orang yang menjadi korban kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan dan orang itu berada di luar alat angkutan dimaksud. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menganggap bahwa Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 bersifat diskriminatif dengan alasan bahwa pembayaran SWDKLLJ tidak membeda-bedakan bentuk kecelakaan untuk mendapat santunan, sementara menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 korban kecelakaan tunggal tidak mendapatkan pertanggungan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa sebelum lebih jauh memberikan pendapat terkait dalil a quo , perlu dipertegas, dalam sejumlah putusan terdahulu Mahkamah telah memberikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 pembatasan terhadap apa yang dimaksud dengan diskriminasi. Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007, bertanggal 11 Desember 2007, yang menyatakan bahwa diskriminasi sebagai sesuatu yang dilarang dalam rangka perlindungan hak asasi manusia adalah “ setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya ”. [vide Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Article 2 Paragraph (1) International Covenant on Civil and Political Rights]. Berdasarkan pengaturan tersebut, diskriminasi adalah berbeda dan harus dibedakan dengan tindakan atau kebijakan pembatasan hak asasi manusia yang diatur dengan undang-undang di mana pembatasan hak asasi dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang diatur dengan undang-undang dapat dibenarkan sepanjang untuk maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. [3.14.2] Bahwa dalil Pemohon, yaituihwal siapa subjek yang dapat menerima dana pertanggungan dari sistem pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu-lintas jalan dalam Undang-Undang a quo telah menyebabkan terjadinya diskriminasi, menurut Mahkamah tidaklah tepat. Sebab, pertama , sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasannya, UU 34/1964 memang membatasi hak sejumlah orang untuk dapat menjadi subjek penerima pembayaran dana pertanggunggan kecelakaan. Di mana, hanya orang atau mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan saja yang berhak mendapatkan jaminan. Hanya saja, pembatasan dimaksud sama sekali bukan pembatasan untuk tujuan memberikan perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pembatasan hanya dilakukan atas dasar jenis korban kecelakaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Pembatasan yang demikian sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif. Lebih-lebih, kebijakan atau aturan tersebut berlaku secara umum bagi semua warga negara yang mengalami kecelakaan lalu-lintas. Kedua, bahwa sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana disinggung sebelumnya, pembatasan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan dengan undang-undang sepanjang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. Dalam hubungannya dengan pokok permohonan a quo , paradigma pembentukan UU 34/1964 adalah berangkat dari paradigma perlindungan bagi masyarakat lain yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas, di mana kecelakaan terjadi bukan karena kesalahannya, tidak bertentangan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan juga ketertiban umum. Masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas memang selayaknya mendapatkan jaminan dari negara dan dibayarkan dari iuran wajib yang dibebankan kepada setiap pemilik atau pengusaha angkutan umum. Oleh karena itu, penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sama sekali tidak dapat dinilai telah mengandung diskriminasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. [3.14.3] Bahwa lebih jauh, sehubungan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, di mana suami Pemohon yang mengalami kecelakaan tunggal akibat mengantuk sehingga motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan sehingga jatuh dan berujung dengan meninggal dunia, termasuk jenis kecelakaan tunggal yang memang tidak dapat ditanggung sesuai dengan UU 34/1964. Meski demikian, sebagaimana diterangkan Pihak Terkait, kepada keluarga yang bersangkutan telah diberikan santunan secara ex-gratia sebagai kebijakan perusahaan sesuai dengan Keputusan Direksi Nomor KEP/205.2/2013, tanggal 31 Oktober 2013. Secara sepintas, kebijakan tersebut terkesan telah bertentangan dengan pembatasan subjek yang berhak menerima jaminan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, namun kebijakan tersebut masih dalam kerangka perlindungan terhadap masyarakat dalam kecelakaan lalu-lintas. Lebih jauh, sepanjang santunan secara ex-gratia tidak diposisikan dan tidak dimaksudkan sebagai bagian dari jaminan kecelakaan sesuai Undang-Undang a quo , maka diskresi itu sama sekali tidak keluar dari apa yang diatur Undang-Undang dimaksud. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 [3.14.4] Bahwa, sebaliknya, pemberian santunan secara ex-gratia justru semakin mempertegas bahwa regulasi terkait jaminan sosial kecelakaan yang diatur dalam UU 34/1964 sama sekali tidak mengandung diskriminasi. Santunan ex-gratia merupakan wujud kepedulian negara terhadap korban kecelakaan tunggal yang memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya korban merupakan kepala keluarga. Dalam hal ini, negara tidak serta-merta diam saja dalam kasus kecelakaan tunggal, melainkan telah mengambil bagian melalui jalur yang bukan merupakan bagian dari jaminan sosial yang diatur UU 34/1964. Perihal belum adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang ( rechtsvacuum ) tentang santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini. Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan “menyalahkan” undang-undang a quo. [3.14.5] Bahwa terkait asuransi yang dapat diterima suami Pemohon sebagai korban kecelakaan tunggal, sebagaimana diterangkan Pemerintah, hal itu dapat ia peroleh dari asuransi kecelakaan kerja sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam konteks ini, kesempatan pemohon untuk memperoleh asuransi terkait kecelakaan yang dialami sama sekali tidak tertutup, melainkan terdapat sarana lain yang lebih sesuai. Sehubungan dengan itu, dalil Pemohon berkenaan dengan keberadaan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” tidak beralasan menurut hukum. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukumuntuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

            5.

            AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Saldi Isra, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Maret, tahun dua ribu delapan belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh enam, bulan April, tahun dua ribu delapan belas, selesai diucapkan pukul 15.50 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ery Satria Pamungkas sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Saldi Isra ttd. Arief Hidayat ttd. Wahiduddin Adams ttd. Suhartoyo ttd. Manahan MP Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Ery Satria Pamungkas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id

            Thumbnail
            DANA ALOKASI KHUSUS | TAHUN ANGGARAN 2012
            209/PMK.07/2011

            Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2012.

            • Ditetapkan: 12 Des 2011
            • Diundangkan: 12 Des 2011

            Relevan terhadap

            Pasal 5Tutup
            (1)

            DAK Bidang Pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun untuk memastikan semua anak Indonesia dapat mengikuti pendidikan dasar yang bermutu, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar melalui penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik dan lengkap untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), serta secara bertahap memenuhi Standar Nasional Pendidikan.

            a.

            Untuk SD/SD Luar Biasa dengan lingkup kegiatan:

            1.

            Penuntasan rehabilitasi ruang kelas rusak sedang dan berat;

            2.

            Pembangunan ruang kelas baru;

            3.

            Pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan

            4.

            Pengadaan sarana untuk peningkatan mutu pendidikan b. Untuk SMP/SMP Luar Biasa dengan lingkup kegiatan:

            1.

            Penuntasan rehabilitasi ruang kelas rusak sedang dan berat;

            2.

            Pembangunan ruang kelas baru untuk memenuhi kesenjangan antara jumlah rombongan belajar dengan jumlah ruang kelas yang ada dan memenuhi target angka partisipasi kasar di tahun 2015;

            3.

            Pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya; dan

            4.

            Pembangunan ruang belajar lainnya termasuk penyediaan alat pendidikan untuk laboratorium IPA, komputer, bahasa, dan ruang keterampilan/serbaguna.

            (2)

            DAK Bidang Kesehatan dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak, serta dukungan program jaminan persalinan dan jaminan kesehatan di Puskesmas dan kelas III Rumah Sakit (RS) melalui peningkatan sarana dan prasarana di Puskesmas dan jaringannya, Poskesdes dan RS provinsi, dan kabupaten/kota. Selain itu DAK Bidang Kesehatan dialokasikan juga untuk penyediaan obat dan sarana pendukung pengelolaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman, bermutu dan bermanfaat, terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan.

            (3)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Kesehatan Pelayanan Dasar, Pelayanan Rujukan, dan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan sebagai berikut:

            a.

            Kesehatan Pelayanan Dasar ditujukan untuk pemenuhan sarana, prasarana, dan peralatan bagi puskesmas dan jaringannya, yang terdiri atas kegiatan:

            1.

            peningkatan puskesmas mampu menjalankan persalinan normal;

            2.

            peningkatan puskesmas menjadi puskesmas perawatan/ puskesmas mampu Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasar, termasuk rumah dinas tenaga kesehatan (nakes) terutama di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan;

            3.

            pembangunan puskesmas baru termasuk rumah dinas nakes; dan 4. pembangunan Poskesdes.

            b.

            Kegiatan Bidang Kesehatan Pelayanan Rujukan terdiri atas kegiatan sebagai berikut:

            1.

            pemenuhan fasilitas tempat tidur kelas III RS;

            2.

            pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif RS;

            3.

            pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan Instalasi Gawat Darurat RS; dan

            4.

            pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan untuk pelayanan darah.

            c.

            Kesehatan Farmasi terdiri atas kegiatan:

            1.

            pengadaan obat dan perbekalan kesehatan;

            2.

            pembangunan baru/rehabilitasi dan penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi kabupaten dan kota; dan

            3.

            pembangunan baru instalasi farmasi gugus pulau/satelit dan sarana pendukungnya.

            (4)

            DAK Bidang Infrastruktur Jalan dialokasikan untuk membiayai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang menjadi kewenangan daerah namun merupakan program prioritas nasional yang terintegrasi di bidang jalan.

            (5)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas kegiatan pemeliharaan berkala jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota, peningkatan kapasitas jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota, serta pembangunan jalan dan jembatan provinsi, kabupaten/kota.

            (6)

            DAK Bidang Infrastruktur Irigasi dialokasikan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas tingkat layanan irigasi pada daerah irigasi yang menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sehingga dapat sejalan dan mendukung upaya Pemerintah dalam rangka pemenuhan target “Surplus Beras Minimal 10 Juta Ton dalam jangka waktu 5-10 tahun”.

            (7)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi pada daerah irigasi yang rusak agar kualitas layanan irigasi dapat segera kembali seperti sedia kala dan peningkatan jaringan irigasi sebagai perwujudan kontribusi daerah terhadap pemenuhan target nasional tersebut.

            (8)

            DAK Bidang Infrastruktur Air Minum dialokasikan untuk mendukung peningkatan cakupan pelayanan air minum untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan air minum.

            (9)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Air Minum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdiri atas kegiatan peningkatan sambungan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan, pemasangan master meter untuk masyarakat miskin perkotaan, serta peningkatan pelayanan air minum di lokasi rawan air dan/atau terpencil.

            (10)

            DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi dialokasikan untuk meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan sanitasi (air limbah, persampahan, dan drainase) untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan sanitasi.

            (11)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) terdiri atas:

            a.

            pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal;

            b.

            pengembangan fasilitas pengurangan sampah dengan pola 3R ( reduce, reuse , dan recycle ); dan

            c.

            pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri yang berwawasan lingkungan, ecodrainage , drainase skala kawasan.

            (12)

            DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah dialokasikan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran dan daerah yang terkena dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009 dan daerah lainnya yang prasarana pemerintahannya belum layak dan memadai. Prioritas diberikan kepada daerah pemekaran tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, dan daerah non pemekaran tertentu.

            (13)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) terdiri atas kegiatan pembangunan kantor Bupati, Walikota, Sekretariat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Sekretariat DPRD, Dinas, Badan dan Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya.

            (14)

            DAK Bidang Kelautan dan Perikanan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, mutu, pemasaran, pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, penyuluhan, statistik kelautan dan perikanan serta penyediaan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan terutama pada daerah yang memiliki potensi dan sudah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan perikanan (Minapolitan).

            (15)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) terdiri atas:

            a.

            pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap termasuk didalamnya pengadaan kapal untuk provinsi;

            b.

            pengembangan sarana dan prasarana perikanan budidaya;

            c.

            pengembangan sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;

            d.

            pengembangan sarana dan prasarana pemberdayaan ekonomi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil;

            e.

            pengembangan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan;

            f.

            pengembangan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan

            g.

            pengembangan sarana statistik kelautan dan perikanan.

            (16)

            DAK Bidang Pertanian dialokasikan untuk mendukung pengamanan dan peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional.

            (17)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (16) terdiri atas:

            a.

            perluasan areal pertanian;

            b.

            penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan air;

            c.

            penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan lahan;

            d.

            penyediaan lumbung pangan masyarakat atau gudang pangan pemerintah;

            e.

            pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan Pertanian di Kecamatan;

            f.

            penyediaan prasarana dan sarana Balai Perbenihan/Perbibitan Kabupaten untuk Tanaman Pangan/Hortikultura/ Perkebunan/ Peternakan;

            g.

            pembangunan/rehabilitasi Pusat/Pos/Klinik Pelayanan Kesehatan Hewan dan Inseminasi Buatan; dan

            h.

            penanganan pasca panen.

            (18)

            DAK Bidang Lingkungan Hidup dialokasikan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di daerah, dengan meningkatkan peran dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota terutama untuk meningkatkan kualitas air, udara dan tanah di wilayahnya melalui pengadaan sarana dan prasarana fisik penunjang.

            (19)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (18) terdiri atas:

            a.

            pemantauan kualitas air yang dilakukan melalui kegiatan pembangunan gedung laboratorium, penyediaan sarana dan prasarana pemantauan kualitas air, pembangunan laboratorium bergerak, dan kendaraan operasional;

            b.

            pengendalian pencemaran melalui kegiatan penerapan teknologi sederhana untuk pengurangan limbah, Taman Kehati, Instalasi Pengolahan Air Limbah medik dan Usaha Kecil dan Menengah, dan pengadaan kendaraan pengangkut sampah;

            c.

            pengendalian polusi udara melalui kegiatan pengadaan alat pemantau kualitas udara; dan

            d.

            perlindungan sumber daya air melalui kegiatan penanaman di luar kawasan hutan, dan pengadaan papan informasi.

            (20)

            DAK Bidang KB dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KB melalui peningkatan:

            a.

            daya jangkau dan kualitas penyuluhan, penggerakan, dan pembinaan program KB tenaga lini lapangan;

            b.

            sarana dan prasarana fisik pelayanan KB;

            c.

            sarana fisik pelayanan komunikasi, informasi, dan edukasi program KB;

            d.

            sarana fisik pembinaan tumbuh kembang anak; dan

            e.

            sarana pengolahan data dan informasi.

            (21)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang KB sebagaimana dimaksud pada ayat (20) terdiri atas:

            a.

            penyediaan sarana mobilitas (motor) dan sarana pengelolaan data berbasis teknologi informasi ( personal computer ) bagi Penyuluh KB (PKB)/Petugas Lapangan KB (PLKB)/Petugas Penyuluh Lapangan KB (PPLKB);

            b.

            pemenuhan sarana pelayanan KB di Klinik KB statis (Implant Kit, IUD Kit) dan sarana Pelayanan KB Keliling (MUYAN) dan pembangunan Gudang Alat/Obat Kontrasepsi; dan

            c.

            penyediaan sarana dan prasarana penerangan KB keliling (MUPEN), pengadaan Public Adress dan KIE.

            (22)

            DAK Bidang Kehutanan dialokasikan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai, dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung sumber daya hutan, tanah, dan air.

            (23)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (22) terdiri atas:

            a.

            rehabilitasi hutan produksi, hutan lindung, lahan kritis, Taman Hutan Raya (Tahura) dan Hutan Kota;

            b.

            sarana dan prasarana pengamanan hutan;

            c.

            sarana dan prasarana Tahura;

            d.

            sarana dan prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan; dan

            e.

            sarana dan prasarana penyuluhan (24) DAK Bidang Sarana Perdagangan dialokasikan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana perdagangan untuk mendukung pasokan dan ketersediaan barang (terutama bahan pokok), serta pelaksanaan tertib ukur sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mendukung upaya perlindungan konsumen, terutama di daerah-daerah pedesaan, tertinggal, terpencil, perbatasan, dan daerah pemekaran, serta daerah yang minim sarana perdagangannya.

            (25)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (24) terdiri atas:

            a.

            pendanaan kegiatan pembangunan dan pengembangan pasar tradisional;

            b.

            peningkatan sarana metrologi legal; dan

            c.

            pembangunan gudang, fasilitas dan peralatan penunjangnya dalam kerangka Sistem Resi Gudang.

            (26)

            DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal dialokasikan untuk melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian daerah dan kualitas sumber daya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar, sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju.

            (27)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (26) terdiri atas:

            a.

            penyediaan moda transportasi darat/perairan untuk meningkatkan mobilitas barang dan penumpang antar wilayah perdesaan dengan pusat pertumbuhan;

            b.

            pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan;

            c.

            penyediaan/pembangunan pembangkit energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energi mikrohidro dan pikohidro;

            d.

            pembangunan/rehabilitasi embung irigasi untuk menunjang sektor pertanian; dan

            e.

            pembangunan/rehabilitasi jembatan antardesa.

            (28)

            DAK Bidang Listrik Perdesaan dialokasikan untuk mendanai kegiatan fisik bidang energi baru terbarukan yang meliputi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) baru, rehabilitasi PLTMH yang rusak, perluasan/peningkatan pelayanan tenaga listrik dari PLTMH, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat (komunal), serta Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid .

            (29)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Listrik Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (28) terdiri atas kegiatan pembangunan pembangkit listrik dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan.

            (30)

            DAK Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman dialokasikan untuk meningkatkan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka menstimulan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kabupaten/kota.

            (31)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (30) terdiri atas kegiatan membantu daerah dalam mendanai kebutuhan fisik infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka mencapai SPM meliputi:

            a.

            penyediaan sarana dan prasarana air minum;

            b.

            parana septik tank komunal;

            c.

            tempat pengolahan sampah terpadu ;

            d.

            jaringan distribusi listrik; dan

            e.

            penerangan jalan umum (32) DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di kabupaten/kota guna menurunkan tingkat kecelakaan pada lalu lintas angkutan jalan dalam rangka melaksanakan rencana aksi “ road map to zero accident ”.

            (33)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Keselamatan Transportasi Darat sebagaimana dimaksud pada ayat (32) terdiri atas kegiatan pengadaan dan pemasangan fasilitas dan peralatan keselamatan jalan melalui pemasangan rambu jalan, marka jalan, pagar pengaman jalan, alat pengatur isyarat lalu lintas, paku jalan, dan delienator .

            (34)

            DAK Bidang Transportasi Perdesaan dialokasikan untuk:

            a.

            Meningkatkan ketersediaan dan kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan transportasi, serta mengembangkan keperintisan transportasi darat, sungai, danau, perairan dan laut di daerah perdesaan;

            b.

            pengembangan sarana dan prasarana transportasi perdesaan yang diprioritaskan untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan di kawasan strategis cepat tumbuh (sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata); dan

            c.

            mendukung keberlanjutan atas pemanfaatan angkutan perdesaan.

            (35)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Transportasi Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (34) terdiri atas:

            a.

            jalan poros desa melalui pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan antar desa yang menghubungkan sentra produksi dengan sentra pemasaran di kawasan strategis cepat tumbuh; dan

            b.

            penyediaan angkutan perdesaan melalui pengadaan sarana transportasi angkutan penumpang dan barang yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.

            (36)

            DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan dialokasikan untuk mendukung kebijakan pembangunan kawasan perbatasan, yaitu mengatasi keterisolasian wilayah yang dapat menghambat upaya pengamanan batas wilayah, pelayanan sosial dasar, serta pengembangan kegiatan ekonomi lokal secara berkelanjutan di kecamatan-kecamatan perbatasan.

            (37)

            Lingkup kegiatan DAK Bidang Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (36) terdiri atas:

            a.

            Pembangunan jalan/peningkatan kondisi permukaan jalan non- status yang menghubungkan kecamatan perbatasan prioritas dengan pusat kegiatan di sekitarnya, yang disinergikan dengan pelaksanaan kegiatan DAK jalan, Dana Dekonsentrasi/ TugasPembantuan Kementerian Pekerjaan Umum, serta APBD;

            b.

            Pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan, yang disinergikan dengan pelaksanaan kegiatan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Perhubungan, Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan APBD; dan

            c.

            penyediaan moda transportasi perairan/kepulauan untuk meningkatkan arus orang, barang dan jasa, yang disinergikan dengan pelaksanakan kegiatan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Kementerian Perhubungan dan APBD.

            • 1
            • ...
            • 24
            • 25
            • 26
            • ...
            • 29
            FAQ
            Prasyarat
            Hubungi Kami
            Kemenkeu Logo

            Hak Cipta Kementerian Keuangan.

            • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
            • Email:jdih@kemenkeu.go.id
            • Situs JDIH Build No. 12763
            JDIH Kemenkeu
            • Profil
            • Struktur Organisasi
            • Berita JDIH
            • Statistik
            • Situs Lama
            Tautan JDIH
            • JDIH Nasional
            • Sekretariat Negara
            • Sekretariat Kabinet
            • Kemenko Perekonomian
            • Anggota Lainnya
            Temukan Kami