JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 655 hasil yang relevan dengan "peraturan pajak bagi pelaku usaha mikro "
Dalam 0.022 detik
Thumbnail
BARANG IMPOR | KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS
168/PMK.04/2020

Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN- Australia-Selandia Baru ...

  • Ditetapkan: 27 Okt 2020
  • Diundangkan: 27 Okt 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

2.

Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

3.

Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

4.

Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

5.

Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

6.

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.

7.

Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

8.

Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:

a.

penyelenggara kawasan berikat;

b.

penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;

c.

pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;

d.

penyelenggara gudang berikat;

e.

penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau

f.

pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.

9.

Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:

a.

penyelenggara PLB;

b.

penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau

c.

pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.

10.

Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:

a.

Badan Usaha KEK;

b.

Pelaku Usaha di KEK; atau

c.

Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.

11.

Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN – Australia – Selandia Baru yang besaran tarifnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka ASEAN– Australia–New Zealand Free Trade Area .

12.

PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.

13.

Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).

14.

Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.

15.

Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

16.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.

17.

Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

18.

Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN – Australia – Selandia Baru __ untuk menentukan negara asal barang.

19.

Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN – Australia – Selandia Baru.

20.

Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN – Australia – Selandia Baru . 21. Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN – Australia – Selandia Baru.

22.

Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN – Australia – Selandia Baru . 23. Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan-aturan yang merinci mengenai:

a.

barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota ( wholly obtained atau produced );

b.

proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating, dan Bahan Non-Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);

c.

barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan regional sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;

d.

barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau

e.

kombinasi dari setiap kriteria tersebut.

24.

Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form AANZ atas barang yang akan diekspor.

25.

Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Persetujuan Pembentukan Kawasan Bebas Perdagangan Bebas ASEAN – Australia – Selandia Baru yang selanjutnya disebut SKA Form AANZ adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.

26.

Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form AANZ yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form AANZ dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form AANZ.

27.

Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice , packing list , bill of lading/ airway bill , manifest , dan dokumen lain yang dipersyaratkan.

28.

Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e - Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e -ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline , dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.

29.

Invoice dari Pihak Ketiga yang selanjutnya disebut Third- Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (baik Negara Anggota atau selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form AANZ.

30.

Surat Keterangan Asal Back-to-Back yang selanjutnya disebut sebagai SKA Back-to-Back adalah SKA Form AANZ yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA Form AANZ yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.

31.

Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.

32.

Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form AANZ.

33.

Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form AANZ untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form AANZ.

34.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

35.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.

Thumbnail
BIDANG BEA CUKAI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
169/PMK.04/2020

Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama E ...

  • Ditetapkan: 27 Okt 2020
  • Diundangkan: 27 Okt 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

2.

Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

3.

Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

4.

Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

5.

Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

6.

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB. f3 t 7. Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

8.

Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:

a.

penyelenggara kawasan berikat;

b.

penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat; C. pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;

d.

penyelenggara gudang berikat;

e.

penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau

f.

pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.

9.

Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah a. penyelenggara PLB;

b.

penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau

c.

pengusaha di PLB merangkap penyelenggara di PLB.

10.

Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:

a.

Badan Usaha KEK;

b.

Pelaku Usaha di KEK; atau

c.

Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.

11.

Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia· Tenggara dan Republik Korea yang besaran tarifnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area. 12. PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ-01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.

13.

Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).

14.

Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.

15.

Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

16.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. 1 7. Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

18.

Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea untuk menentukan negara asal barang.

19.

Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea.

20.

Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea.

21.

Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea.

22.

Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea 23. Aturan Khusus Produk (Product Specific Rules) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan-aturan yang merinci mengenai:

a.

barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota (wholly obtained atau _produced); _ b. proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating) dan Bahan Non-Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);

c.

barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan regional sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;

d.

barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau

e.

kombinasi dari setiap kriteria tersebut.

24.

Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form AK atas barang yang akan diekspor.

25.

Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin) Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea yang selanjutnya disebut SKA Form AK adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan dig11nakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.

26.

Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form AK yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form AK dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form AK.

27.

Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/ airway bill, manifest, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.

28.

Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e-ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.

29.

Invoice dari Negara Ketiga yang selanjutnya disebut Third Country Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (Negara Anggota a tau selain Negara Anggota) a tau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form AK.

30.

Surat Keterangan Asal Back-to-Back yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA Form AK yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA Form AK yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.

31.

Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.

32.

Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan i!3-formasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form AK.

33.

Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form AK untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form AK.

34.

Direktur J enderal adalah Direktur J enderal Bea dan Cukai.

35.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.

Thumbnail
TARIF BEA MASUK | KERJASAMA EKONOMI
170/PMK.04/2020

Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan mengenai Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Ke ...

  • Ditetapkan: 27 Okt 2020
  • Diundangkan: 27 Okt 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

2.

Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

3.

Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

4.

Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

5.

Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

6.

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.

7.

Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

8.

Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:

a.

penyelenggara kawasan berikat;

b.

penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;

c.

pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;

d.

penyelenggara gudang berikat;

e.

penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau

f.

pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.

9.

Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:

a.

penyelenggara PLB;

b.

penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau

c.

pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.

10.

Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:

a.

Badan Usaha KEK;

b.

Pelaku Usaha di KEK; atau

c.

Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.

11.

Tarif Pref erensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan mengenai Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik India yang besaran tarifnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-India Free Trade Area. 12. PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ-01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.

13.

Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).

14.

Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.

15.

Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

16.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.

17.

Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

18.

Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan mengenai Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengena1 Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik India untuk menentukan negara asal barang.

19.

Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan mengenai Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik India.

20.

Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan mengenai Perdagangan Barang dalam Persetujuan 21. Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik India. Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan mengenai Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik India.

22.

Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan mengenai Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik India.

23.

Aturan Khusus Produk (Product Specific Rules) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan-aturan yang...mennc1 mengenai:

a.

barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota (wholly obtained atau _produced); _ b. proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating, dan Bahan Non-Originating terse but harus mengalami peru bahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);

c.

barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan regional sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;

d.

barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional terten tu; a tau e. kombinasi dari setiap kriteria tersebut.

24.

Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form AI atas barang yang akan diekspor.

25.

Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin) Persetujuan mengenai Kerangka Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik India yang selanjutnya disebut SKA Form AI adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.

26.

Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form AI yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form AI dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form AI.

27.

Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/ airway bill, manifest, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.

28.

Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e-ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.

29.

Invoice dari Negara Ketiga yang selanjutnya disebut Third Country Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (baik Negara Anggota atau selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form AI.

30.

Surat Keterangan Asal Back-to-Back yang selanjutnya disebut sebagai SKA Back-to-Back adalah SKA Form AI yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA Form AI yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.

31.

Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.

32.

Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form AI.

33.

Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form AI untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form AI.

34.

Direktur J enderal adalah Direktur J enderal Bea dan Cukai.

35.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG BEA CUKAI
171/PMK.04/2020

Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama ...

  • Ditetapkan: 27 Okt 2020
  • Diundangkan: 27 Okt 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

2.

Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

3.

Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

4.

Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

5.

Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

6.

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.

7.

Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

8.

Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:

a.

penyelenggara kawasan berikat;

b.

penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;

c.

pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;

d.

penyelenggara gudang berikat;

e.

penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau

f.

pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.

9.

Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:

a.

penyelenggara PLB;

b.

penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau

c.

pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.

10.

Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:

a.

Badan Usaha KEK;

b.

Pelaku Usaha di KEK; atau

c.

Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.

11.

Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama Ekonomi Dan Persetujuan Tertentu antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka ASEAN–China Free Trade Area. 12. PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.

13.

Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).

14.

Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.

15.

Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

16.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.

17.

Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

18.

Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan tertentu antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok __ untuk menentukan negara asal barang . 19. Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan Tertentu antara Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok . 20. Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan Tertentu antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok . 21. Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan Tertentu antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok . 22. Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan Tertentu antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok . 23. Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan-aturan yang merinci mengenai:

a.

barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Negara Anggota ( wholly obtained atau produced );

b.

proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating, dan Bahan Non-Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);

c.

barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan regional sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;

d.

barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau

e.

kombinasi dari setiap kriteria tersebut.

24.

Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form E atas barang yang akan diekspor.

25.

Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerja Sama Ekonomi dan Persetujuan tertentu antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok yang selanjutnya disebut SKA Form E adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.

26.

Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form E yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form E dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA __ Form E.

27.

Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading / airway bill, manifest, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.

28.

Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e -ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.

29.

Invoice dari Pihak Ketiga __ yang selanjutnya disebut Third Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (baik Negara Anggota atau selain Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form E.

30.

Movement Certificate adalah SKA Form E yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA Form E yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.

31.

Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.

32.

Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan __ Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form E.

33.

Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form E untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan __ Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form E.

34.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

35.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.

Thumbnail
PEDOMAN PELAKSANAAN | KONTRAK BAGI HASIL
34/PMK.03/2018

Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Bersama atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Berbentuk Kontrak Bagi Hasil dengan Pengembalian Biaya Operasi di Bidang U ...

  • Ditetapkan: 29 Mar 2018
  • Diundangkan: 04 Apr 2018

Relevan terhadap

MenimbangTutup
a.

bahwa kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan suatu Kontrak Kerja Sama yang bersifat mengikat antara Pemerintah dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama;

b.

bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan atas Kontrak Kerja Sama berbentuk Kontrak Bagi Hasil dengan pengembalian biaya operasi di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, pemeriksaan dimaksud dilakukan secara bersama antara Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;

c.

bahwa berdasarkan Pasal 30 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang dapat dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017, pelaksanaan pemeriksaan atas Kontrak Kerja Sama di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi untuk perhitungan pajak dan menetapkan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi dan eksploitasi diatur dalam pedoman pelaksanaan pemeriksaan bersama;

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Bersama atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Berbentuk Kontrak Bagi Hasil dengan Pengembalian Biaya Operasi di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

2.

Minyak dan Gas Bumi, dan Kontrak Kerja Sama adalah Minyak dan Gas Bumi, dan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

3.

Kontraktor, Operator, Kontrak Bagi Hasil, dan Lifting adalah Kontraktor, Operator, Kontrak Bagi Hasil, dan Lifting sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah.

4.

Bagi Hasil adalah penerimaan negara bukan pajak untuk Kontrak Kerja Sama di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi.

5.

Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut PPh Migas adalah Pajak Penghasilan yang merupakan bagian penerimaan negara untuk Kontrak Kerja Sama kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi.

6.

Surat Pemberitahuan Tahunan yang selanjutnya disingkat SPT adalah SPT sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.

7.

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SPT Tahunan PPh Migas adalah Surat Pemberitahuan Tahunan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama.

8.

Financial Quarterly Report yang selanjutnya disingkat FQR adalah laporan anggaran dan realisasi Lifting , biaya operasi dan Bagi Hasil serta kewajiban perpajakan yang wajib disampaikan oleh operator kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi secara kuartalan untuk setiap wilayah kerja.

9.

Final FQR Quarter IV adalah FQR kuartal IV yang diakui dan digunakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi untuk penyelesaian perhitungan Bagi Hasil serta kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan Kontrak Kerja Sama.

10.

Satuan Tugas Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Satgas Pemeriksaan Bersama adalah satuan tugas yang menjalankan fungsi pelaksanaan pemeriksaan atas Kontrak Kerja Sama dengan pengembalian biaya operasi di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi yang berasal dari instansi Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

11.

Pemeriksaan Bersama adalah serangkaian kegiatan mencari, menghimpun, dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan Satgas Pemeriksaan Bersama secara objektif dan profesional terhadap Kontraktor yang bertindak sebagai Operator atas pelaksanaan Kontrak Kerja Sama berbentuk Kontrak Bagi Hasil dengan pengembalian biaya operasi di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Bagi Hasil dan PPh Migas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

12.

Pemeriksaan Bersama Tahun Berjalan adalah Pemeriksaan Bersama yang dilakukan untuk penerbitan Final FQR Quarter IV atau FQR __ tahun buku terakhir dalam hal terjadi pengakhiran Kontrak Kerja Sama.

13.

Pemeriksaan Bersama Setelah Tahun Berjalan adalah Pemeriksaan Bersama yang dilakukan atas suatu tahun buku atau beberapa tahun buku yang telah diterbitkan Final FQR Quarter IV atau FQR __ tahun buku terakhir dalam hal terjadi pengakhiran Kontrak Kerja Sama.

14.

Pemeriksa adalah pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak, pegawai negeri sipil di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan/atau pekerja di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan Bersama.

15.

Surat Tugas Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Surat Tugas adalah surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan Bersama untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Bagi Hasil dan PPh Migas.

16.

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan untuk periode tahun tersebut.

17.

Data yang dikelola secara elektronik yang selanjutnya disebut Data Elektronik adalah data yang bentuknya elektronik, yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan disimpan dalam disket, compact disk , tape backup , hard disk , atau media penyimpanan elektronik lainnya.

18.

Kertas Kerja Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disingkat KKPB adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa mengenai prosedur Pemeriksaan Bersama yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bersama.

19.

Notisi Temuan Hasil Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Notisi adalah surat yang berisi tentang temuan Pemeriksaan Bersama yang dapat meliputi pos yang menjadi temuan, nilai temuan, kriteria Pemeriksaan Bersama, serta perhitungan sementara Bagi Hasil dan PPh Migas terutang.

20.

Pembahasan Hasil Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Pembahasan adalah pembahasan antara Kontraktor dan Pemeriksa atas Notisi yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi temuan yang mempengaruhi perhitungan Bagi Hasil dan PPh Migas terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui oleh Kontraktor.

21.

Laporan Hasil Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disingkat LHPB adalah laporan secara ringkas dan jelas yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan Bersama yang disusun oleh Pemeriksa.

22.

Temuan Pemeriksaan yang Masih Perlu Pembahasan Lebih Lanjut yang selanjutnya disebut Pending Items adalah temuan Pemeriksaan Bersama yang tidak disetujui Kontraktor dalam Pembahasan sehingga belum dapat ditentukan status tindak lanjutnya.

23.

Pemutakhiran Tindak Lanjut Temuan Pemeriksaan Bersama yang selanjutnya disebut Pemutakhiran Temuan adalah proses pembahasan untuk menindaklanjuti Pending Items antara Satgas Pemeriksaan Bersama dengan Kontraktor yang dilakukan setelah LHPB diterbitkan.

24.

Pimpinan Kontraktor adalah pegawai yang diangkat atau ditunjuk untuk menjalankan kegiatan usaha untuk pelaksanaan Kontrak Kerja Sama dan secara nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut.

25.

Kuasa Kontraktor adalah orang yang menerima kuasa berdasarkan surat kuasa dari Pimpinan Kontraktor untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban untuk Pemeriksaan Bersama.

Thumbnail
Tidak Berlaku
UNDANG-UNDANG | USAHA KECIL DAN MENENGAH
PP 17 TAHUN 2013

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

  • Ditetapkan: 01 Mar 2013
  • Diundangkan: 01 Mar 2013

Relevan terhadap

Pasal 55Tutup
(1)

Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 mempunyai tugas:

a.

menyiapkan, menyusun, menetapkan dan/atau melaksanakan kebijakan umum secara nasional tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan;

b.

memaduserasikan perencanaan nasional, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program pembangunan daerah dan pembangunan sektoral;

c.

merumuskan kebijakan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemberdayaan di tingkat nasional dan di daerah;

d.

menyusun pedoman penyelenggaraan pemberdayaan di daerah dengan memaduserasikan perencanaan pemberdayaan di tingkat nasional dengan di tingkat daerah;

e.

mengoordinasikan dan memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain dengan Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

f.

mengoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;

g.

melakukan pemantauan pelaksanaan program:

1)

pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan teknologi;

2)

pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;

3)

pengembangan Kemitraan usaha . h. melakukan evaluasi pelaksanaan program _: _ 1) pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan Pemerintah, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan teknologi;

2)

pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;

3)

pengembangan Kemitraan usaha . (2) Menteri Teknis/Kepala Lembaga Nonkementerian mempunyai tugas:

a.

menyusun kebijakan teknis pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, berpedoman pada kebijakan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;

b.

melaksanakan program pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan berpedoman pada kebijakan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan kebijakan sektoral; dan

c.

menginformasikan hasil pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah kepada Menteri.

(3)

Gubernur dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah mempunyai tugas:

a.

menyusun, menyiapkan, menetapkan dan/atau melaksanakan kebijakan umum di daerah provinsi tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan;

b.

memaduserasikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah provinsi;

c.

menyelesaikan masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemberdayaan di daerah provinsi;

d.

memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di daerah provinsi dengan Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

e.

menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan pada daerah provinsi;

f.

mengkoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah provinsi;

g.

melakukan pemantauan pelaksanaan program:

1)

pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan pemerintah provinsi, Dunia Usaha dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan teknologi;

2)

pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;

3)

pengembangan Kemitraan usaha.

h.

melakukan evaluasi pelaksanaan program:

1)

pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan pemerintah provinsi, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan teknologi;

2)

pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.

3)

pengembangan Kemitraan usaha.

i.

menginformasikan dan menyampaikan hasil pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah kepada Menteri.

(4)

Bupati/Walikota dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah mempunyai tugas meliputi:

a.

menyusun, menyiapkan, menetapkan dan/atau melaksanakan kebijakan umum di daerah tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan;

b.

memaduserasikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah kabupaten/kota;

c.

merumuskan kebijakan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemberdayaan di daerah kabupaten/kota;

d.

memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan di daerah kabupaten/kota dengan Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

e.

menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan pada daerah kabupaten/kota;

f.

mengkoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah kabupaten/kota;

g.

melakukan pemantauan pelaksanaan program:

1)

pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota, Dunia Usaha dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan teknologi;

2)

pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;

3)

pengembangan Kemitraan usaha.

h.

melakukan evaluasi pelaksanaan program:

1)

pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota, Dunia Usaha dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan teknologi;

2)

pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;

3)

pengembangan Kemitraan usaha.

i.

menginformasikan dan menyampaikan secara berkala hasil pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah kepada Menteri dan gubernur.

Pasal 6Tutup
(1)

Pemerintah dan Pemerintah Daerah memprioritaskan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah melalui:

a.

pemberian kesempatan untuk ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

b.

pencadangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah melalui pembatasan bagi Usaha Besar;

c.

kemudahan perizinan;

d.

penyediaan Pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

e.

fasilitasi teknologi dan informasi.

(2)

Pemberian kesempatan untuk ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Pencadangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi bidang dan sektor usaha:

a.

yang hanya boleh diusahakan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil;

b.

yang dapat dilakukan oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar melalui pola Kemitraan dengan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;

c.

yang dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang bersifat inovatif, kreatif, dan/atau secara khusus diprioritaskan sebagai program Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan

d.

yang dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang berada pada daerah perbatasan, bencana alam, pasca kerusuhan, dan daerah tertinggal.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencadangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

1.

Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

2.

Izin Usaha adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai bukti legalitas yang menyatakan sah bahwa Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah telah memenuhi persyaratan dan diperbolehkan untuk menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu.

3.

Jangka Waktu adalah kondisi tingkatan lamanya pengembangan usaha yang diberikan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.

4.

Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan Usaha Besar.

5.

Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi, agar Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.

6.

Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia.

7.

Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.

8.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disingkat KPPU adalah komisi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

9.

Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

10.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

12.

Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian adalah menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang secara teknis bertanggung jawab dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya.

13.

Pejabat adalah pejabat yang berwenang untuk memberikan Izin Usaha sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

14.

Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Thumbnail
TARIF BEA MASUK | KEMITRAAN EKONOMI
209/PMK.04/2022

Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional ...

  • Ditetapkan: 27 Des 2022
  • Diundangkan: 28 Des 2022

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

2.

Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

3.

Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

4.

Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

5.

Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

6.

Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.

7.

Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

8.

Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:

a.

penyelenggara kawasan berikat;

b.

penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;

c.

pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;

d.

penyelenggara gudang berikat;

e.

penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau

f.

pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.

9.

Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:

a.

penyelenggara PLB;

b.

penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau

c.

pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.

10.

Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:

a.

Badan Usaha KEK; atau

b.

Pelaku Usaha di KEK.

11.

Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional).

12.

Tariff Differentials adalah Tarif Preferensi yang besarannya berbeda untuk 1 (satu) atau lebih pihak atas suatu barang originating yang sama.

13.

PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.

14.

Pemberitahuan Pabean Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat PPKEK adalah pemberitahuan pabean untuk kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.

15.

Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).

16.

Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait yang dilakukan di Kantor Pusat, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama oleh pejabat bea dan cukai.

17.

Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan cukai, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan.

18.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Kepabeanan.

19.

Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

20.

Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional untuk menentukan negara asal barang.

21.

Pihak adalah negara atau wilayah pabean terpisah yang telah menandatangani dan memberlakukan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.

22.

Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.

23.

Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.

24.

Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari non-Pihak atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.

25.

Aturan Khusus Produk ( Product-Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan mengenai:

a.

barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di 1 (satu) Pihak ( wholly obtained atau produced );

b.

barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating , __ dan Bahan Non-Originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);

c.

barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan regional sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase; atau

d.

barang yang merupakan hasil dari suatu reaksi kimia tertentu;

26.

Nilai Tambah Domestik ( Domestic Value Addition ) yang selanjutnya disebut DV20 adalah nilai tambah domestik yang dikontribusikan oleh 1 (satu) Pihak dengan nilai persentase mencapai minimal 20% (dua puluh persen) dari nilai Free-on-Board (FOB) suatu Barang Originating .

27.

Bukti Asal Barang ( Proof of Origin ) yang selanjutnya disebut Bukti Asal Barang adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh instansi penerbit surat keterangan asal dan/atau dibuat oleh eksportir bersertifikat yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.

28.

Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional yang selanjutnya disebut SKA Form RCEP adalah Bukti Asal Barang yang diterbitkan oleh instansi penerbit surat keterangan asal yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.

29.

Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form RCEP yang berisi petunjuk pengisian SKA Form RCEP.

30.

Deklarasi Asal Barang ( Declaration of Origin ) yang selanjutnya disingkat DAB adalah Bukti Asal Barang yang berisi pernyataan asal barang dan dibuat oleh eksportir bersertifikat yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.

31.

Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Pihak pengekspor dan diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form RCEP atas barang yang akan diekspor.

32.

Otoritas yang Berwenang adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Pihak pengekspor yang diberikan kewenangan untuk melakukan sertifikasi terhadap eksportir bersertifikat.

33.

Eksportir Bersertifikat ( Approved Exporter ) yang selanjutnya disebut Eksportir Bersertifikat adalah eksportir yang telah disertifikasi oleh Otoritas yang Berwenang dan berhak untuk membuat ^ DAB.

34.

Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/airway bill, manifest, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.

35.

Surat Keterangan Asal Elektronik Form RCEP yang selanjutnya disebut e-Form RCEP adalah SKA Form RCEP yang disusun berdasarkan panduan dan spesifikasi yang disepakati oleh para Pihak terkait dan dikirim secara elektronik.

36.

Third-Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di pihak ketiga (Pihak atau non-Pihak) atau yang berlokasi di Pihak yang sama dengan Pihak tempat diterbitkannya Bukti Asal Barang.

37.

Surat Keterangan Asal Back-to-Back yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA Form RCEP yang diterbitkan oleh Pihak pengekspor kedua berdasarkan SKA Form RCEP yang diterbitkan atau DAB yang dibuat oleh Pihak pengekspor pertama.

38.

Deklarasi Asal Barang Back-to-Back yang selanjutnya disebut DAB Back-to-Back adalah DAB yang dibuat oleh Pihak pengekspor kedua berdasarkan SKA Form RCEP yang diterbitkan atau DAB yang dibuat oleh Pihak pengekspor pertama.

39.

RCEP Country of Origin adalah Pihak yang memenuhi syarat sebagai negara asal Barang Originating dalam pengenaan Tarif Preferensi.

40.

Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.

41.

Permintaan Verifikasi adalah permintaan secara tertulis yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA, Otoritas yang Berwenang, Eksportir Bersertifikat, dan/atau eksportir/produsen untuk mendapatkan informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, keabsahan Bukti Asal Barang, dan/atau pemenuhan ketentuan lain sebagaimana diatur dalam Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.

42.

Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Pihak penerbit dan/atau pembuat Bukti Asal Barang untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, keabsahan Bukti Asal Barang, dan/atau pemenuhan ketentuan lain sebagaimana diatur dalam Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.

43.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

44.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

45.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.

Thumbnail
Tidak Berlaku
EODB EODB | ELEKTRONIK | EODB
PP 24 TAHUN 2018

Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

  • Ditetapkan: 21 Jun 2018
  • Diundangkan: 21 Jun 2018

Relevan terhadap 2 lainnya

Pasal 35Tutup

Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^32 ayat (2) huruf c tidak dipersyaratkan untuk ^penerbitan Izin Usaha dalam ha.l:

a.

lokasi usaha dan/atau kegiatan berada ^dalam kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, ^atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; atau

b.

usaha dan/atau kegiatan merupakan usaha mikro dan kecil, usaha dan/atau kegiatan ^yang tidak ^wajib memiliki Amdal, atau usaha dan/atau kegiatan ^yang tidak wajib memiliki UKL-UPL. Pelaku Usaha yang lokasi usaha dan/atau kegiatan berada dalam kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf a menyusun RKL-RPL rinci berdasarkan RKL-RPL kawasan.

(1)

(2\ (3) RKL-RPL.

(3)

{4) (s) RKL-RPL rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (21 disetujui oleh pengelola kawasan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan atas RKL-RPL rinci diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Usaha dan/atau kegiatan yang merupakan usaha mikro dan kecil dan usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 23Tutup

Pasal 23 Dalam hal pelaku usaha yang mendaftar belum memiliki NPWP, OSS yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak memproses pemberian NPWP. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b API terdiri atas angka pengenal importir umum (API-U) dan angka pengenal importir produsen (API-P). API-U diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan pendaftaran di bidang usaha perdagangan dan dipergunakan oleh Pelaku Usaha untuk meiakukan kegiatan impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. API-P diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan pendaftaran di bidang usaha selain perdagangan dan dipergunakan oleh Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal Pelaku Usaha melakukan usaha lebih dari 1 (satu) bidang usaha dan salah satunya bidang usaha perdagangan maka Pelaku Usaha diberikan pilihan menentukan ^jenis API. Huruf c Hak akses kepabeanan diberikan kepada Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai pengusaha barang kena cukai dan/atau menggunakan fasilitas kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Cukup ^jelas. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Cukup ^jelas. Pasal 30 . Pasal 30 Cukup ^jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "prasarana' adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu usaha dan/atau kegiatan. Contoh: gedung, pabrik, unit pengolahan limbah dan lahan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ^umenguasai" termasuk sewa, ^pinjam meminjam, atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan 'kawasan ekonomi khusus" adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Yang dimaksud dengan "kawasan industri' adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Yang dimaksud dengan "kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas" adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai. Dalam Dalam rangka penerbitan Izin Lokasi di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, Badan pengusahaan Kawaian Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menyusun zonasi wilayah untuk usaha dan/atau kegiatan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "proyek strategis nasional" adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Daftar proyek strategis nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^je1as. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 34 Cukup ^jelas. Pasal 35 Cukup ^jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas.

Pasal 76Tutup

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2OO2 tentang Bangunan Gedung yang mengatur mengenai IMB dan sertifikat laik fungsi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini. Bagian Kelima .

(1)

42 Bagran Kelima Pembayaran Biaya Perizinan Berusaha Pasal TT Segala biaya Perizinan Berusaha yang merupakan:

a.

penerimaan negara bukan pajak;

b.

bea masuk dan/atau bea keluar;

c.

cukai; dan/atau

d.

pajak daerah atau retribusi daerah, wajib dibayar oleh Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan oleh Pelaku Usaha sebagai bagian dari pemenuhan Komitmen. Peiaku Usaha yang telah meiakukan pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengunggah bukti pembayaran ke dalam sistem OSS. Pelaksanaan pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi melalui sistem OSS. Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional yang telah diberikan dinyatakan batal. Bagian Keenam Fasilitasi Perizinan Berusaha

Thumbnail
Tidak Berlaku
PENANAMAN MODAL | BIDANG USAHA TERTENTU
16/PMK.010/2020

Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Pad ...

  • Ditetapkan: 09 Mar 2020
  • Diundangkan: 09 Mar 2020

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

2.

Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.

3.

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.

4.

Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi dari Kegiatan Usaha Utama dijual atau diserahkan, atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.

5.

Kegiatan Usaha Utama adalah bidang usaha dan jenis produksi pada saat pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak sebagaimana tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota atau izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS yang diperoleh Wajib Pajak.

Pasal 4Tutup
(1)

Penentuan kesesuaian pemenuhan:

a.

bidang usaha sesuai dengan Lampiran A Peraturan Menteri ini; dan

b.

persyaratan rencana mempekerjakan tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c, dilakukan secara daring melalui sistem OSS.

(2)

Dalam hal Penanaman Modal Wajib Pajak:

a.

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sistem OSS menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Penanaman Modal memenuhi ketentuan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan; atau

b.

tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sistem OSS menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Penanaman Modal tidak memenuhi ketentuan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan.

(3)

Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap telah mengajukan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan apabila telah menyampaikan persyaratan kelengkapan berupa:

a.

salinan digital rincian aktiva tetap dalam rencana nilai Penanaman Modal; dan

b.

salinan digital __ surat keterangan fiskal para pemegang saham, secara daring melalui sistem OSS.

(4)

Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diajukan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial.

(5)

Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan:

a.

bersamaan dengan pendaftaran untuk mendapatkan nomor induk berusaha bagi Wajib Pajak baru; atau

b.

paling lambat 1 (satu) tahun setelah penerbitan izin usaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk Penanaman Modal.

(6)

Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah diterima secara lengkap, disampaikan oleh sistem OSS kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagai usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan sistem OSS mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa permohonan fasilitas Pajak Penghasilan diteruskan kepada Menteri Keuangan.

(7)

Dalam hal sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, penentuan kesesuaian pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara luring.

(8)

Pengajuan permohonan secara luring sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5).

(9)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kesesuaian pemenuhan dan pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan secara luring sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Thumbnail
PENYERTAAN MODAL NEGARA | JAMINAN KREDIT INDONESIA
PP 81 TAHUN 2013

Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia. ...

  • Ditetapkan: 10 Des 2013
  • Diundangkan: 10 Des 2013

Relevan terhadap

MenimbangTutup
a.

bahwa untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia dalam rangka pelaksanaan penjaminan kredit usaha rakyat bagi kelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor riil oleh usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, perlu melakukan penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013;

b.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia;

  • 1
  • ...
  • 24
  • 25
  • 26
  • ...
  • 66