JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 659 hasil yang relevan dengan "insentif pajak untuk pemulihan ekonomi "
Dalam 0.02 detik
Thumbnail
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
19/PUU-XX/2022

Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...

    Relevan terhadap 10 lainnya

    Halaman 49Tutup

    diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud”, di mana harta bersih merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam UU Pengampunan Pajak dan harta itu merupakan “harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015”. Terhadap harta bersih itu dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final yang besarannya jauh di bawah tarif PPh normal. Harta bersih yang dapat menjadi obyek dari Program Pengungkapan Sukarela Waji Pajak tersebut sejatinya telah diberikan kesempatan pengampunannya pada tahun 2016 dengan diberlakukannya UU Pengampunan Pajak. Namun, anehnya melalui Bab V UU HPP ini Wajib Pajak yang masih memiliki harta yang belum dilaporkan atau diberi ampunan pada Program Pengampunan Pajak tahun 2016 diberikan kesempatan lagi untuk mengikuti Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dalam Bab V UU HPP ini. Pemberlakuan Bab V ini jelas-jelas telah menciderai dan mendistorsi arti atau makna ketaatan dan kepatuhan Wajib Pajak terhadap aturan perpajakan, sebab pengampunan tambahan yang dilakukan itu jelas- jelas melegitimasi atau menjustifikasi pelanggaran atau upaya-upaya tidak baik untuk menghindari aturan perpajakan. Wajib Pajak yang taat dan beritikad baik untuk melaporkan secara jujur hartanya justru tidak diberi insentif, tetapi Wajib Pajak yang tidak jujur justru diberikan privilege atau kemudahan atau insentif dengan diterapkannya tarif final yang lebih kecil. Dengan demikian, materi muatan dalam Bab V ini melanggar hak asasi yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yaitu hak atas kepastian hukum yang adil dan berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun. Dengan memberikan kesempatan untuk kedua kalinya bagi Wajib Pajak yang tidak taat pajak tetapi memiliki harta yang cukup besar guna mengikuti pengampunan pajak berdasarkan Bab V UU HPP, maka materi Bab V UU HPP secara substantif tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan tidak mencerminkan perlakuan yang bebas dari sifat diskriminatif. Orang yang kaya tetapi menyembunyikan hartanya dari kewajiban pajak justru diberi kelonggaran sampai dua kali untuk “membersihkan” hartanya dengan program pengampunan pajak. Materi muatan yang demikian itu jelas sangat diskriminatif. Oleh karena itu, materi muatan dalam Bab V UU HPP haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

    Halaman 60Tutup

    dinamika globalisasi yang sangat dinamis serta mengatasi praktik aggressiue tax planning yang ada. Oleh karena itu, sejalan dengan reformasi perpajakan secara berkesinambungan khususnya pada aspek regulasi dan proses bisnis, diperlukan penyesuaian pengaturan kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis, sehingga perlu membentuk Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penyesuaian pengaturan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera ; mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak”. Penerimaan pajak dipandang oleh Pemerintah (dalam hal ini Negara) belum dapat dilakukan secara maksimal dan oleh karenanya perlu untuk dilakukan perubahan antara lain melalui regulasi yang memungkinkan obyek pajak yang sebelumnya dikecualikan dari pengenaan pajak untuk dihapuskan sehingga menjadi obyek yang dapat dikenai pajak, antara lain dengan mengubah obyek PPN dalam UU PPN. Selain itu, juga dilakukan lagi progam pengampunan pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Namun demikian, yang terjadi justru sebaliknya karena upaya meningkatkan penerimaan pajak itu ternyata malah melanggar hak-hak asasi masyarakat yang dijamin dalam UUD 1945. IV. PETITUM Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, adalah sah dan berdasarkan hukum, apabila Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan materi muatan Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 3 angka 3 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6736) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: _Penyesuaian besarnya: _ _a. Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan _ b. batasan peredaran bruto tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

    Halaman 59Tutup

    jelas justru membuktikan bahwa materi muatan dalam UU HPP tidak berlandaskan pada (i) “asas keadilan” yang mengharuskan “pengaturan perpajakan menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat”, (ii) “asas kemanfaatan” yang menentukan bahwa “pengaturan perpajakan bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum”, dan (iv) "asas kepentingan nasional" yang mempersyaratkan “pelaksanaan perpajakan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya” (vide Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf a, e dan f UU HPP). 26. Di samping itu, menilik bunyi Bagian “Menimbang” huruf b dan c dari UU HPP, maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan UU HPP dimaksudkan antara lain “untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian” dengan cara melakukan “strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak”, yang antara lain dilakukan melalui “penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak” sehingga diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang antara lain PPh, PPN dan Cukai, di mana maksud itu kemudian dipertegas kembali dalam Penjelasan bagian I. UMUM yang menyatakan sebagai berikut: “ I. UMUM Untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan guna mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan berbagai upaya dari Pemerintah untuk mengambil berbagai langkah kebijakan fiskal yang konsolidatif. Kebijakan fiskal yang konsolidatif tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan langkah strategis yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak ( tax ratio ) yang antara lain melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak , reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pada tataran global, negara-negara di dunia juga menerapkan berbagai kebijakan perpajakan yang diharapkan mampu untuk meningkatkan penerimaan dengan memperluas basis pajak dan melakukan penyesuaian tarif pajak. Dalam rangka peningkatan rasio pajak (tax ratio) , Pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui reformasi perpajakan yang berfokus pada organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi berbasis data, proses bisnis, dan regulasi perpajakan . Hal ini dilaksanakan di antaranya dengan peningkatan fungsi pelayanan, implementasi program Pengampunan Pajak, pelaksanaan skema Automatic Exchange of Financial Account Information , penguatan' efektifitas fungsi ekstensifikasi, dan penegakan hukum. Namun, hal tersebut belum cukup untuk mengimbangi perubahan pola bisnis dan

    Thumbnail
    BIDANG BEA CUKAI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
    82/PMK.04/2020

    Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia ...

    • Ditetapkan: 03 Jul 2020
    • Diundangkan: 03 Jul 2020

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

    2.

    Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

    3.

    Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

    4.

    Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

    5.

    Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

    6.

    Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

    7.

    Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.

    8.

    Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

    9.

    Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:

    a.

    penyelenggara kawasan berikat;

    b.

    penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;

    c.

    pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;

    d.

    penyelenggara gudang berikat;

    e.

    penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau

    f.

    pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat. r 10. Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:

    a.

    penyelenggara PLB;

    b.

    penyelenggara PLB sekaligus pengusaha di PLB; atau

    c.

    pengusaha di PLB merangkap penyelenggara di PLB.

    11.

    Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:

    a.

    Badan U saha KEK;

    b.

    Pelaku Usaha di KEK; atau

    c.

    Badan Usaha KEK sekaligus Pelaku Usaha di KEK.

    12.

    Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat INSW adalah integrasi sistem secara nasional yang memungkinkan dilakukannya penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron, dan penyampaian keputusan secara tunggal untuk pemberian 1zm kepabeanan dan pengeluaran barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    13.

    Sistem INSW adalah Sistem Elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan, kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.

    14.

    Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia.

    15.

    Skema Tariff Rate Quota yang selanjutnya disebut Skema TRQ adalah skema pengenaan tarif bea masuk berdasarkan jumlah kuota terhadap produk-produk tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengena1 penetapan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia.

    16.

    Kuota Tahunan Skema TRQ adalah jumlah kuota total yang ditetapkan terhadap produk-produk tertentu per tahun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia. 1 7. Sertifikat TRQ adalah sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga penerbit di Australia yang berisi kuota untuk produk-produk tertentu per pengiriman dan dikirimkan secara elektronik melalui Sistem INSW yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi In- Quota dalam Skema TRQ.

    18.

    Tarif Preferensi In-Quota adalah tarif bea masuk dalam Skema TRQ yang ditetapkan atas barang impor yang jumlahnya tidak melebihi jumlah yang tercantum dalam Sertifikat TRQ dan Kuota Tahunan Skema TRQ.

    19.

    Tarif Preferensi Out-Quota adalah tarif bea masuk dalam Skema TRQ yang ditetapkan atas barang impor yang tidak menggunakan Sertifikat TRQ atau jumlahnya melebihi jumlah yang tercantum dalam Sertifikat TRQ dan/atau Kuota Tahunan Skema TRQ.

    20.

    PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ- 01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.

    21.

    Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO). i www.jdih.kemenkeu.go.id 22. Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.

    23.

    Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

    24.

    Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

    25.

    Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia.

    26.

    Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia.

    27.

    Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia.

    28.

    Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia.

    29.

    Bahan Non-Originating adalah bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia.

    30.

    Barang Non-Originating adalah barang yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia.

    31.

    Aturan Khusus Produk (Product Specific Rules) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan-aturan yang merinci mengenai:

    a.

    proses produksi suatu barang yang menggunakan Bahan Non-Originating, dan Bahan Non-originating tersebut telah mengalami perubahan klasifikasi;

    b.

    barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan bilateral sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;

    c.

    mengalami suatu proses operasional tertentu; atau

    d.

    kombinasi dari setiap kriteria tersebut.

    32.

    Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia yang selanjutnya disebut SKA Form IA-CEPA adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA di Negara Anggota pengekspor yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi, Tarif Preferensi In-Quota, dan/atau Tarif Preferensi Out-Quota. 33. Instruction Document adalah dokumen yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form IA-CEPA.

    34.

    Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form IA-CEPA atas barang yang akan diekspor.

    35.

    Deklarasi Asal Barang (Declaration of Origin) Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia yang selanjutnya disebut DAB IA-CEPA adalah pernyataan yang dibuat oleh Eksportir Terigistrasi yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi, Tarif Preferensi In-Quota, dan/atau Tarif Preferensi Out-Quota. 36. Eksportir Teregistrasi (Registered Exporte1) yang selanjutnya disebut Eksportir Teregistrasi adalah eksportir yang terdaftar dan berstatus aktif di Negara Anggota pengekspor dan berhak untuk menerbitkan DAB IA-CEPA.

    37.

    Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/ airway bill, manifest, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.

    38.

    Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesua1 dengan e-ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota.

    39.

    Invoice dari Pihak Ketiga yang selanjutnya disebut Third Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain di negara selain Negara Anggota atau perusahaan lain di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form IA-CEPA atau DAB IA- CEPA.

    40.

    Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal Bill of Lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal Airway Bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.

    41.

    Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai kepada Instansi Penerbit SKA atau Eksportir Teregistrasi untuk mendapatkan informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form IA-CEPA atau DAB IA-CEPA.

    42.

    Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai di negara penerbit SKA Fonn IA- CEPA atau DAB IA-CEPA untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Fonn IA-CEPA atau DAB IA- CEPA.

    43.

    Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesua1 dengan Undang-Undang Kepabeanan.

    44.

    Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

    45.

    Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawa1 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
    PP 6 TAHUN 2023

    Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran

    • Ditetapkan: 16 Feb 2023
    • Diundangkan: 16 Feb 2023
    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    COVID-19 Covid-19 | COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | COVID-19 | PROGRAM PEN
    34/PMK.04/2020

    Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-1 ...

    • Ditetapkan: 16 Apr 2020
    • Diundangkan: 16 Apr 2020

    Relevan terhadap

    Pasal 2Tutup
    (1)

    Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa:

    a.

    pembebasan bea masuk dan/atau cukai;

    b.

    tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan

    c.

    dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.

    (2)

    Jenis barang impor yang diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    (3)

    Impor barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.

    (4)

    Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diberikan terhadap pengeluaran barang asal impor dan/atau tempat lain dalam daerah pabean dari:

    a.

    kawasan berikat atau gudang berikat;

    b.

    Kawasan Bebas atau kawasan ekonomi khusus; dan/atau c. Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.

    (5)

    Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengusaha kawasan berikat, pengusaha gudang berikat, pengusaha di Kawasan Bebas, pelaku usaha di kawasan ekonomi khusus, atau Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor:

    a.

    dibebaskan dari kewajiban untuk melunasi bea masuk dan/atau cukai serta dikecualikan dari kewajiban melunasi pajak dalam rangka impor; dan/atau b. dikecualikan dari kewajiban untuk melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang pada saat pemasukannya belum dilunasi.

    (6)

    Pengeluaran barang yang dikecualikan dari kewajiban untuk melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, merupakan penyerahan barang kena pajak ke tempat lain dalam daerah pabean yang ditanggung pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan.

    (7)

    Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) huruf a, termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.

    (8)

    Tata laksana impor atau pengeluaran barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor barang untuk dipakai, impor barang melalui pusat logistik berikat, kawasan berikat, gudang berikat, Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, barang kiriman, dan barang bawaan penumpang.

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    COVID-19 Covid-19 | BIDANG BEA CUKAI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
    188/PMK.04/2020

    Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/ atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Pengadaan Vaksin dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 ...

    • Ditetapkan: 26 Nov 2020
    • Diundangkan: 26 Nov 2020

    Relevan terhadap

    Pasal 2Tutup
    (1)

    Atas impor Vaksin untuk penanggulangan pandemi Corona Virus Disease 2019 ( COVID-19 ) diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa:

    a.

    pembebasan bea masuk dan/atau cukai;

    b.

    tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan

    c.

    dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 impor.

    (2)

    Impor Vaksin yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.

    (3)

    Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan juga diberikan terhadap pengeluaran Vaksin asal impor dan/atau tempat lain dalam daerah pabean dari:

    a.

    kawasan berikat atau gudang berikat;

    b.

    Kawasan Bebas atau kawasan ekonomi khusus; dan/atau c. Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.

    (4)

    Atas pengeluaran Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha kawasan berikat, pengusaha gudang berikat, pengusaha di Kawasan Bebas, pelaku usaha di kawasan ekonomi khusus, atau Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor:

    a.

    dibebaskan dari kewajiban untuk melunasi bea masuk dan/atau cukai serta dikecualikan dari kewajiban melunasi pajak dalam rangka impor; dan/atau b. dikecualikan dari kewajiban untuk melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang pada saat pemasukannya belum dilunasi.

    (5)

    Pengeluaran barang yang dikecualikan dari kewajiban untuk melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, merupakan penyerahan barang kena pajak ke tempat lain dalam daerah pabean yang ditanggung pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan.

    (6)

    Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf a, termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.

    (7)

    Tata laksana impor atau pengeluaran Vaksin yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengeluaran barang impor untuk dipakai, impor barang melalui pusat logistik berikat, kawasan berikat, gudang berikat, Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus, dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.

    (8)

    Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan diberikan atas impor Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), atau pengeluaran Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang dilakukan oleh:

    a.

    Pemerintah Pusat;

    b.

    Pemerintah Daerah; dan/atau

    c.

    badan hukum atau badan non badan hukum yang mendapatkan penugasan atau penunjukan dari Kementerian Kesehatan;

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
    8 P/HUM/2021

    Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Dit ...

      Relevan terhadap 3 lainnya

      Halaman 76Tutup

      ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 76 dari 86 halaman. Putusan Nomor 8 P/HUM/2021 dengan kelompok usaha lain. Adapun jangka waktu pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 , yaitu:  7 Tahun bagi WP Orang Pribadi  4 Tahun bagi WP Badan berbentuk Koperasi, CV, atau Firma  3 Tahun bagi WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap UMKM mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan dirinya memasuki sektor ekonomi formal dan berkontribusi terhadap penerimaan negara. Oleh karena itu, penghapusannya justru akan menghambat pelaku UMKM dalam mengembangkan usahanya; 3. Adanya Kekosongan Hukum Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 juga akan berakibat pada kekosongan hukum karena tidak adanya aturan pelaksana bagi ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang PPh khususnya untuk penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu. Kekosongan pengaturan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku UMKM; 4. Hilangnya Kesempatan Wajib Pajak untuk Mendapatkan Insentif Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (PMK 86/2020), yang jangka waktunya diperpanjang dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 (PMK 9/2021) Bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan pemberian insentif pajak untuk mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019. Adapun Wajib Pajak yang berhak mendapatkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 76

      Halaman 77Tutup

      ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 77 dari 86 halaman. Putusan Nomor 8 P/HUM/2021 insentif tersebut termasuk didalamnya bagi pelaku usaha yang tunduk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 5 ayat (3) dan (4) PMK Nomor 9 Tahun 2021, maka PPh Final bagi Wajib Pajak yang menggunakan mekanisme Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 akan ditanggung pemerintah dan tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. Oleh karena itu, dengan dihapusnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 akan berakibat pada hilangnya kesempatan Wajib Pajak UMKM khususnya yang terdampak pandemi untuk memanfaatkan insentif pajak dari pemerintah; V. KESIMPULAN Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil Termohon sebagaimana telah dijelaskan di atas, Termohon menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa Pajak Penghasilan merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara yang telah menerima dan memperoleh penghasilan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; 2. Bahwa ketentuan yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon sejatinya merupakan pilihan/merupakan fasilitas perpajakan yang bersifat opsional atau tidak wajib. Hal ini terbukti dari ketentuan pada Pasal 3 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang memberikan pilihan bagi Wajib Pajak untuk tetap dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif pada Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dengan demikian, apabila Pemohon merasa bahwa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tidak menguntungkan baginya, Pemohon dapat memilih untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan menggunakan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang PPh; 3. Bahwa pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final merupakan stimulus bagi wajib pajak UMKM guna memberikan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 77

      Halaman 35Tutup

      ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 86 halaman. Putusan Nomor 8 P/HUM/2021 1) perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; 2) kesederhanaan dalam pemungutan pajak; 3) berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak; 4) pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan 5) memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah; b. Penjelasan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang PPh menyatakan bahwa ketentuan tersebut memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang PPh, sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak; 8. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014 terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil karena pengenaan pungutan baik retribusi, pajak atau pungutan lainnya harus memperhatikan prinsip pemungutan fiskal ( fiscal justice ) yang meliputi kepastian hukum, keadilan, kemudahan dan efisiensi; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35

      Thumbnail
      BERIKAT | KAWASAN BERIKAT
      131/PMK.04/2018

      Kawasan Berikat

      • Ditetapkan: 21 Sep 2018
      • Diundangkan: 26 Sep 2018

      Relevan terhadap

      Pasal 20Tutup
      (1)

      Barang yang dimasukkan dari h:

      .

      ar daerah pa bean ke Kawasan Berikat:

      a.

      diberikan penangguhan Bea Masuk;

      b.

      diberikan pembebasan Cukai; dan/atau

      c.

      tidak dipungut PDRI.

      (2)

      Barang yang berasal dari luar daerah pabean yang dimasukkan dari Tempat Penimbunan Berikat, Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus, atau kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah ke Kawasan Berikat:

      a.

      diberikan penangguhan Bea Masuk;

      b.

      diberikan pembebasan Cukai;

      c.

      tidak dipungut PDRI; dan/atau

      d.

      tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.

      (3)

      Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi:

      a.

      barang yang dipergunakan sebagai Bahan Baku, Bahan Penolong, pengemas dan alat bantu pengemas, barang contoh, Barang Modal, bahan bakar, peralatan perkantoran, dan/atau untuk keperluan penelitian dan pengembangan perusahaan pada Kawasan Berikat;

      b.

      barang jadi maupun setengah jadi untuk digabungkan dengan Hasil P: : oduksi;

      c.

      barang yang dimasukkan kembali dari kegiatan pengeluaran sementara;

      d.

      Hasil Produksi yang dimasukkan kembali; dan/atau e. Hasil Produksi Kawasan Berikat lain.

      (4)

      Dalam hal pemasukan barang ke Kawasan Berikat bukan merupakan penyerahan barang kena pajak, atas pemasukan tersebut tidak terutang PPN atau PPN dan PPnBM.

      (5)

      Barang sebagaimana dimaksud p: : tda ayat (3) :

      a.

      bukan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat; dan

      b.

      berkaitan dengan kegiatan produksi. Pasal 2 1 (1) Barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean yang dimasukkan ke Kawasan Berikat dari:

      a.

      tempat lain dalam daerah pabean;

      b.

      Tempat Penimbunan Berikat lainnya;

      c.

      Kawasan Bebas;

      d.

      kawasan ekonomi khusus; clan/ atau e. kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah, diberikan pembebasan Cukai dan/atau tidak dipungut PPN atau PPN clan PPnBM.

      (2)

      Dalam hal pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

      a.

      berasal dari bukan pengusaha kena pajak; dan/atau b. bukan termasuk penyerahan barang kena pajak, terhadap barang dimaksud tidak dikenai PPN atau PPN clan PPnBM, serta tidak diterbitkan faktur pajak.

      (3)

      Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

      a.

      barang yang dipergunakan sebagai Bahan Baku, Bahan Penolong, pengemas clan alat bantu pengemas, barang contoh, Barang Modal, bahan bakar, peralatan perkantoran, clan/ atau untuk keperluan penelitian clan pengembangan perusahaan pada Kawasan Berikat;

      b.

      barang jadi maupun setengah jadi untuk digabungkan dengan Hasil Produksi;

      c.

      barang yang dimasukkan kembali dari kegiatan pengeluaran sementara;

      d.

      Hasil Produksi yang dimasukkan kembali; dan/atau e. Hasil Produksi Kawasan Berikat lain.

      (4)

      Barang se bagaimana dimaksud pada ayat (1) : a . bukan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat; clan b. berkaitan dengan kegiatan produksi.

      (5)

      Terhadap pemasukan barang ke Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , pengusaha kena pajak yang menyerahkan barang kena pajak:

      a.

      wajib membuat faktur pajak dan harus dibuktikan dengan doku: nen pemberitahuan pa bean;

      b.

      tidak dapat menggunakan faktur pajak gabungan; clan c. meny1mpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang terkait dengan pemasukan barang ke Kawasan Berikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bicang perpajakan.

      (6)

      Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a harus diberikan keterangan "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT".

      Thumbnail
      HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
      143/PMK.02/2021

      Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang Berla ...

      • Ditetapkan: 22 Okt 2021
      • Diundangkan: 25 Okt 2021

      Relevan terhadap

      Pasal 1Tutup
      1.

      Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.

      2.

      Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil perencanaan tata ruang.

      3.

      Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.

      4.

      Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan RTR.

      5.

      Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat KKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan RDTR.

      6.

      Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat PKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan RTR selain RDTR.

      7.

      Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat RKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian rencana kegiatan pemanfaatan ruang yang didasarkan pada kebijakan nasional yang bersifat strategis dan belum diatur dalam RTR dengan mempertimbangkan asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang.

      8.

      Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.

      9.

      Kegiatan Berusaha adalah kegiatan pemanfaatan ruang yang memerlukan Perizinan Berusaha.

      10.

      Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional adalah kegiatan pemanfaatan ruang yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah, serta mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan negara yang ditetapkan sebagai kebijakan Pemerintah Pusat melalui peraturan perundang- undangan.

      11.

      Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

      12.

      Indeks Jenis Usaha adalah nilai pengali tarif PNBP yang dibedakan berdasarkan jenis usaha permohonan KKPR untuk mengakomodir variasi intensitas pemanfaatan ruang berdasarkan jenis usaha.

      13.

      Indeks Daerah adalah nilai pengali tarif PNBP yang dibedakan berdasarkan lokasi objek permohonan KKPR untuk mengakomodir variasi intensitas pemanfaatan ruang serta dampak yang akan ditimbulkan di skala kabupaten/kota.

      14.

      Luas Lahan adalah luasan lahan permohonan KKPR dalam satuan Hektar.

      15.

      Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

      Thumbnail
      CIPTA KERJA Cipta Kerja | PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK | DENDA ADMINISTRASI
      PP 24 TAHUN 2021

      Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan ...

      • Ditetapkan: 02 Feb 2021
      • Diundangkan: 02 Feb 2021
      Thumbnail
      APLIKASI KEUANGAN TINGKAT INSTANSI | BIDANG PERBENDAHARAAN
      171/PMK.05/2021

      Pelaksanaan Sistem Sakti

      • Ditetapkan: 25 Nov 2021
      • Diundangkan: 29 Nov 2021
      • Konsolidasi

      Relevan terhadap

      Pasal 1Tutup

      Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

      1.

      Sistem SAKTI yang selanjutnya disebut SAKTI adalah sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara pada instansi pemerintah, yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.

      2.

      Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran yang meliputi penyusunan anggaran, manajemen dokumen anggaran, manajemen supplier , manajemen komitmen pengadaan barang dan jasa, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan negara, manajemen kas, akuntansi, dan pelaporan.

      3.

      Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.

      4.

      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

      5.

      Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.

      6.

      Pembantu Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran (BA) BUN.

      7.

      Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.

      8.

      Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.

      9.

      Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi BUN.

      10.

      Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut BA Kementerian Negara/Lembaga.

      11.

      Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.

      12.

      Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.

      13.

      Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

      14.

      Modul Administrasi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk mengelola data referensi dan data user SAKTI.

      15.

      Modul Penganggaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sampai dengan penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran termasuk didalamnya proses perencanaan penyerapan anggaran dan penerimaan/pendapatan dalam periode satu tahun anggaran.

      16.

      Modul Komitmen adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan aktivitas terkait pencatatan data supplier , kontrak, dan Berita Acara Serah Terima (BAST) dalam rangka pelaksanaan APBN untuk mendukung pengelolaan data pagu, perencanaan kas dan referensi dalam pelaksanaan pembayaran.

      17.

      Modul Bendahara adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui bendahara.

      18.

      Modul Pembayaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengajuan pembayaran atas beban APBN, pengesahan pendapatan dan belanja, dan pencatatan surat perintah pencairan dana.

      19.

      Modul Persediaan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian, dan pelaporan barang persediaan.

      20.

      Modul Aset Tetap adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian dan pelaporan barang milik negara berupa aset tetap dan aset tak berwujud.

      21.

      Modul Piutang adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk melakukan penatausahaan dan pengakuntansian piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

      22.

      Modul Akuntansi dan Pelaporan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengintegrasian data jurnal dari semua modul SAKTI dalam rangka penyusunan laporan keuangan.

      23.

      Sistem Mitra adalah sistem yang dimiliki oleh Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya dengan lingkup penggunaan sistem secara nasional yang akan diinterkoneksikan dengan SAKTI.

      24.

      Pihak Mitra adalah Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya sebagai pemilik Sistem Mitra.

      25.

      Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.

      26.

      Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.

      27.

      Instansi adalah sebutan kolektif bagi entitas yang meliputi satuan kerja, kantor wilayah atau yang setingkat, unit eselon I dan Kementerian Negara/Lembaga.

      28.

      Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

      29.

      Chief of Information Officer yang selanjutnya disingkat CIO adalah suatu jabatan strategis yang memadukan sistem informasi dan teknologi informasi dengan aspek manajemen agar memberikan dukungan maksimal terhadap pencapaian tujuan.

      30.

      Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.

      31.

      Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

      32.

      Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

      33.

      Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala Satker atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

      34.

      Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

      35.

      Pejabat Penandatangan SPM yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian surat permintaan pembayaran yang diterima dari PPK sebagai dasar untuk menerbitkan/menandatangani SPM.

      36.

      Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

      37.

      Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

      38.

      Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk sebagai pembantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.

      39.

      Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.

      40.

      Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

      41.

      Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

      42.

      Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PPSPM untuk dan atas nama KPA kepada Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Badan Layanan Umum (BLU) yang sumber dananya berasal dari PNBP yang digunakan langsung.

      43.

      Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pendapatan hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN dan/atau belanja yang bersumber dari hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN.

      44.

      Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo pendapatan hibah langsung kepada pemberi hibah.

      45.

      Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada KPPN untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi utang pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak.

      46.

      Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga yang selanjutnya disingkat SPM P-BMDAB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga sebagai dasar penerbitan surat perintah pencairan dana.

      47.

      Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk dan/atau Cukai yang selanjutnya disingkat SPM P-BMC adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai.

      48.

      Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk membayar imbalan bunga kepada wajib pajak.

      49.

      Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung/Pembiayaan Pendahuluan selanjutnya disingkat SPP APD-PL/PP adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN dalam mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PHLN.

      50.

      Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

      51.

      Dana Titipan adalah dana yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran selain Uang Persediaan (UP) dalam rangka pelaksanaan APBN.

      52.

      Dana Pihak Ketiga adalah dana yang masuk ke pengelolaan rekening yang dikelola oleh bendahara yang belum dapat ditentukan menjadi milik negara atau tidak.

      53.

      Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh bendahara pada penyetor.

      54.

      Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari pajak.

      55.

      Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

      56.

      Rencana Penarikan Dana yang selanjutnya disingkat RPD adalah rencana penarikan kebutuhan dana yang ditetapkan oleh KPA untuk pelaksanaan kegiatan Satker dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.

      57.

      Rencana Penarikan Dana Harian yang selanjutnya disebut RPD Harian adalah rencana penarikan kebutuhan dana harian yang memuat tanggal penarikan dana, jenis belanja, dan jumlah nominal penarikan.

      58.

      Rencana Penerimaan Dana adalah rencana penyetoran penerimaan dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.

      59.

      Pengguna ( User ) SAKTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah para pihak pada instansi yang berdasarkan kewenangannya diberikan hak untuk mengoperasikan SAKTI dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

      60.

      Administrator adalah pegawai yang diberi kewenangan oleh PA/KPA/Pejabat yang ditetapkan untuk melaksanakan fungsi teknis administrasi SAKTI.

      61.

      Hak Akses adalah hak yang diberikan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik.

      62.

      Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi diantaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya.

      63.

      Nomor Register Supplier yang selanjutnya disingkat NRS adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh SPAN dalam rangka pendaftaran data supplier yang diajukan oleh Satker yang akan dijadikan sebagai identitas bagi supplier SPAN.

      64.

      Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas Laporan Keuangan.

      65.

      Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.

      66.

      E-Rekon dan LK adalah sistem berbasis web yang digunakan dalam pelaksanaan Rekonsiliasi, penyusunan Laporan Keuangan, serta penyatuan data Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.

      67.

      Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

      68.

      Unit Akuntansi KPB yang selanjutnya disingkat UAKPB adalah unit akuntansi BMN pada tingkat Satker/KPB yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.

      69.

      Unit Akuntansi Pembantu Kuasa Pengguna Barang, yang selanjutnya disingkat UAPKPB, adalah unit yang dapat dibentuk oleh UAKPB untuk membantu UAKPB melakukan penatausahaan BMN.

      70.

      Keadaan Kahar ( Force Majeure ) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem SAKTI seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru- hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem SAKTI tidak berfungsi.

      71.

      Business Continuity Plan yang selanjutnya disingkat BCP adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.

      72.

      Help, Answer, Improve DJPb yang selanjutnya disebut HAI-DJPb adalah layanan resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam melayani penerimaan dan penyampaian informasi serta permasalahan terkait tugas pokok dan fungsi DJPb.

      73.

      Dokumen Pendukung adalah semua dokumen yang secara peraturan perundang-undangan menjadi pendukung dan wajib ada sebagai bagian pengajuan sebuah surat, dokumen, formulir, dan segala dokumen resmi lainnya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.

      74.

      Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disebut dengan TIK adalah segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan pemindahan informasi antar media.

      • 1
      • ...
      • 26
      • 27
      • 28
      • ...
      • 66