JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 655 hasil yang relevan dengan "peraturan pajak bagi pelaku usaha mikro "
Dalam 0.019 detik
Thumbnail
Tidak Berlaku
COVID-19 Covid-19 | COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | PROGRAM PEN | COVID-19
110/PMK.03/2020

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 ...

  • Ditetapkan: 14 Agu 2020
  • Diundangkan: 14 Agu 2020

Relevan terhadap

Pasal 10Tutup
(1)

Wajib Pajak yang:

a.

memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

b.

telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau

c.

telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB; diberikan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50% (lima puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

(2)

Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf a adalah sebagaimana Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum pada:

a.

SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 yang telah dilaporkan Wajib Pajak; atau

b.

data yang terdapat dalam administrasi perpajakan ( masterfile ) Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah tahun 2018.

(3)

Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)

Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak:

a.

Masa Pajak Juli 2020 bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau

b.

Masa Pajak pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan, sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.

(5)

Contoh penghitungan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

5.

Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

MenimbangTutup
a.

bahwa untuk penanganan dampak pandemik Corona Virus Disease 2019, perlu dilakukan perluasan sektor yang akan diberikan insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan kemudahan pemanfaatan insentif yang lebih luas;

b.

bahwa untuk meningkatkan produksi dan/atau peredaran usaha bagi Wajib Pajak, perlu mengatur kembali ketentuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak sektor tertentu yang terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 dan pengenaan PPh final ditanggung Pemerintah untuk jasa konstruksi tertentu;

c.

bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 masih belum menampung kebutuhan insentif perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Menteri Keuangan dimaksud;

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019;

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1.

Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

2.

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3.

Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.

4.

Pemberi Kerja adalah orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan, atau unit, termasuk Instansi Pemerintah, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran lain dengan nama atau dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh Pegawai.

5.

Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja.

6.

Kemudahan Impor Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut KITE adalah Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

7.

Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan fasilitas KITE sesuai perundang-undangan di bidang kepabeanan.

8.

Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

9.

Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.

10.

Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.

11.

Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.

12.

Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

13.

Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak.

14.

Wajib Pajak Berstatus Pusat adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir 000.

15.

Wajib Pajak Berstatus Cabang adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir selain 000.

16.

Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.

17.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

18.

Surat Pemberitahuan Tahunan yang selanjutnya disebut SPT Tahunan adalah surat pemberitahuan yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

19.

Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.

20.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

21.

Pemotong atau Pemungut Pajak adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.

22.

Surat Keterangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

23.

Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasiyang selanjutnya disebut P3-TGAI adalah program perbaikan, rehabilitasi, atau peningkatan jaringan irigasi dengan berbasis peran serta masyarakat petani yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air, Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air, atau Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air.

24.

Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut P3A adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan/petak tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga lokal pengelola irigasi.

25.

Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut GP3A adalah kelembagaan sejumlah P3A yang bersepakat bekerja sama memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi.

26.

Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut IP3A adalah kelembagaan sejumlah GP3A yang bersepakat bekerja sama untuk memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau satu daerah irigasi.

27.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah Pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam rangka pelaksanaan P3-TGAI di Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.

28.

Wajib Pajak Penerima P3-TGAI adalah P3A, GP3A, dan/atau IP3A yang melaksanakan P3-TGAI sebagaimana telah ditetapkan oleh PPK dan disahkan oleh Kepala Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai atau Balai Wilayah Sungai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

29.

Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.

30.

Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang- Undang PPN.

31.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

2.

Di antara BAB III dan BAB IV disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IIIA, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Thumbnail
Tidak Berlaku
TATA CARA | USAHA MIKRO
65/PMK.05/2020

Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/ Subsidi Margin untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program P ...

    Relevan terhadap

    Pasal 8Tutup
    (1)

    Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi kriteria:

    a.

    memiliki Baki Debet Kredit/Pembiayaan sampai dengan 29 Februari 2020;

    b.

    tidak termasuk dalam Daftar Hitam Nasional;

    c.

    memiliki kategori performing loan lancar (kolektibilitas 1 atau 2) dihitung per 29 Februari 2020; dan

    d.

    memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau mendaftar untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

    (2)

    Dalam hal Debitur memiliki plafon Kredit/Pembiayaan kumulatif di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) harus memperoleh restrukturisasi dari Penyalur Kredit/Pembiayaan.

    (3)

    Debitur yang memiliki plafon Kredit/Pembiayaan kumulatif melebihi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak dapat memperoleh Subsidi Bunga/Subsidi Margin.

    (4)

    Dalam hal Debitur merupakan Debitur Koperasi, selain kriteria sebagaimana pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Debitur harus memenuhi kriteria yang diatur oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

    (5)

    Untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berlaku ketentuan sebagai berikut:

    a.

    bagi Debitur dengan plafon Kredit/Pembiayaan sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dilakukan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak; dan

    b.

    bagi Debitur dengan plafon Kredit/Pembiayaan di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (6)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

    Thumbnail
    PERPAJAKAN | GROSS SPLIT
    PP 53 TAHUN 2017

    Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split ...

    • Ditetapkan: 28 Nov 2017
    • Diundangkan: 28 Des 2017

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31D Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang¬Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split ;

    Pasal 7Tutup
    (1)

    Biaya operasi yang dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak harus memenuhi persyaratan:

    a.

    dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan Operasi Perminyakan di Wilayah Kerja Kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;

    b.

    menggunakan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan apabila tidak dipengaruhi hubungan istimewa, dalam hal terdapat hubungan istimewa menggunakan jumlah yang seharusnya dikeluarkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan;

    c.

    Operasi Perminyakan yang dilaksanakan sesuai dengan kaidah praktik bisnis dan keteknikan yang baik; dan

    d.

    kegiatan Operasi Perminyakan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana kerja yang telah mendapatkan persetujuan Kepala SKK Migas.

    (2)

    Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi syarat:

    a.

    untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan untuk Operasi Perminyakan yang menjadi milik negara;

    b.

    untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari luar negeri hanya untuk kegiatan yang:

    1.

    tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;

    2.

    tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan

    3.

    tidak rutin.

    c.

    untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawan/pekerja dalam bentuk natura/kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan;

    d.

    untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

    e.

    untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan pada masa Eksplorasi dan Eksploitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan;

    f.

    untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat:

    1.

    digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;

    2.

    Kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan

    3.

    besarannya tidak melampaui batasan pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat yang ditetapkan oleh Menteri.

    g.

    untuk pengeluaran remunerasi tenaga kerja asing pada Kontraktor Kontrak Bagi Hasil, besaran remunerasi tidak melampaui batasan yang ditetapkan oleh Menteri.

    Thumbnail
    CIPTA KERJA Cipta Kerja | CIPTA KERJA | KEPENTINGAN UMUM
    PP 19 TAHUN 2021

    Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

    • Ditetapkan: 02 Feb 2021
    • Diundangkan: 02 Feb 2021

    Relevan terhadap

    Pasal 81Tutup

    Dalam hal bentuk Ganti Kerugian berupa tanah pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b atau permukiman kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf c, musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l juga menetapkan rencana lokasi tanah pengganti atau permukiman kembali. Pasal 82 (1) Ganti Kerugian dalam bentuk kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf d diberikan oleh badan usaha milik negara yang berbentuk perusahaan terbuka atau Badan Usaha yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenfkota, badan hukum milik negarafbadan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah Pusat dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk Kepentingan Umum.

    (2)

    Kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara Pihak yang Berhak dengan badan usaha milik negara atau Badan Usaha yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenfkota, badan hukum milik negaralbadan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah Pusat dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk Kepentingan Umum. (3) Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pelepasan Hak oleh Pihak yang Berhak. (4) Pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 83 (1) Pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak dapat berupa gabungan 2 (dua) atau lebih bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d. (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 82 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pelaksanaan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 84 (1) Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah/badan usaha milik negaraf badan usaha milik daerah/badan usaha milik desa tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali: PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA a. Objek Pengadaan Tanah yang dipergunakan sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintahan;

    b.

    Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh badan usaha milik negarafbadan usaha milik daerah/badan usaha milik desa;

    c.

    Objek Pengadaan Tanah kas desa; dan/atau

    d.

    Objek Pengadaan Tanah dalam Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum yang dilaksanakan oleh Badan Usaha. (2) Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai Bank Tanah diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (l). (41 Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (l). (5) Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68. (6) Nilai Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah berupa harta benda wakaf ditentukan sama dengan nilai hasil penilaian Penilai atas harta benda wakaf yang diganti. Pasal 85 (1) Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 82 dibuat dalam berita acara pemberian Ganti Kerugian. PRES lDEN REPUtiLTK INDONES]A (21 Berita acara pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri:

    a.

    daftar Pihak yang Berhak penerima Ganti Kerugian;

    b.

    daftar bentuk dan besarnya Ganti Kerugian yang telah diberikan;

    c.

    daftar dan bukti pembayaranf kwitansi; dan

    d.

    berita acara Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah. Paragraf 7 Pemberian Ganti Kerugian Dalam Keadaan Khusus Pasal 86 (1) Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang Memerlukan Tanah melalui pelaksana Pengadaan Tanah. (2) Pengalihan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak ditetapkannya lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sampai ditetapkannya nilai Ganti Kerugian. oleh Penilai. (3) Dalam hal Pihak yang Berhak membutuhkan Ganti Kerugian dalam keadaan khusus, pelaksana Pengadaan Tanah memprioritaskan pemberian Ganti Kerugian. Pasal 87 (1) Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3), diberikan paling banyak 25o/o (dua puluh lima persen) dari perkiraan Ganti Kerugian yang didasarkan atas nilai jual objek pajak tahun berjalan, Zona Nilai Tanah atau perkiraan nilai Ganti Kerugian dari Penilai.

    (2)

    Pemberian sisa Ganti Kerugian terhadap Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan setelah ditetapkannya hasil penilaian dari Penilai atau nilai yang sudah ditetapkan oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (3) Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah dilakukan bersamaan dengan diberikannya pemberian sisa Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (21. Pasal 88 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Ganti Kerugian dalam keadaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan Pasal 87 diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf 8 Penitipan Ganti Kerugian Pasal 89 (1) Instansi yang Memerlukan Tanah mengajukan permohonan penitipan Ganti Kerugian kepada ketua Pengadilan Negeri pada wilayah lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum. (2) Penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Pengadilan Negeri pada wilayah lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum setelah dilakukan penetapan persetujuan penitipan oleh Pengadilan Negeri. (3) Permohonan penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:

    a.

    Pihak yang Berhak menolak bentuk danf atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah dan tidak mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri;

    b.

    Pihak yang Berhak menolak besarnya Ganti Kerugian berdasarkan putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap;

    c.

    Pihak yang Berhak tidak diketahui dan/atau Pihak yang Berhak tidak diketahui keberadaannya;

    d.

    Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:

    1.

    sedang menjadi objek perkara di pengadilan;

    2.

    masih dipersengketakan kepemilikannya;

    3.

    diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau

    4.

    menjadi jaminan di bank. (4) Ganti Kerugian yang dititipkan di Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (21 berupa uang dalam mata uang Rupiah. (5) Pelaksanaan penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam berita acara penitipan Ganti Kerugian. (6) Pengadilan Negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) Hari wajib menerima penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 90 Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dan tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf a, Ganti Kerugian dapat diambil oleh Pihak yang Berhak dengan surat pengantar dari ketua pelaksana Pengadaan Tanah. Pasal 9 1 Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf b, Ganti Kerugian dapat diambil oleh Pihak yang Berhak dengan surat pengantar dari ketua pelaksana Pengadaan Tanah. Pasal 92 (1) Dalam hal Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c) pelaksana Pengadaan Tanah menyampaikan pemberitahuan mengenai ketidakberadaaan Pihak yang Berhak secara tertulis kepada camat dan lurah/kepala desa atau nama lainnya. (21 Dalam hal Pihak yang Berhak telah diketahui keberadaannya, Pihak yang Berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri tempat penitipan Ganti Kerugian dengan surat pengantar dari ketua pelaksana Pengadaan Tanah. Pasal 93 Dalam hal Objek Pengadaan Tanah sedang menjadi objek perkara di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf d angka 1, Ganti Kerugian diambil oleh Pihak yang Berhak setelah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau putusan perdamaian (dading). Pasal 94 Dalam hal Objek Pengadaan Tanah masih dipersengketakan kepemilikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf d angka 2, pengambilan Ganti Kerugian dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau berita acara perdamaian (dading). Pasal 95 Dalam hal Objek Pengadaan Tanah diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf d angka 3, Ganti Kerugian diambil oleh Pihak yang Berhak setelah adanya pengangkatan sita.

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    BIDANG PERBENDAHARAAN | SUBSIDI
    146/PMK.05/2015

    Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga untuk Kredit Usaha Rakyat.

    • Ditetapkan: 30 Jul 2015
    • Diundangkan: 30 Jul 2015

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Kredit U saha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah kredit pembiayaan modal kerja dan/atau investasi yang dananya bersumber dari Bank Pelaksana kepada debitur yang diberikan fasilitas subsidi bunga oleh Pemerintah yang terdiri dari kredit mikro, ritel, dan tenaga kerja Indonesia.

    2.

    Bank Pelaksana adalah Bank Umum yang melaksanakan Program KUR yang ditetapkan/ ditunjuk oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah se bagai penyalur KUR.

    3.

    Subsidi Bunga KUR yang selanjutnya disebut dengan Subsidi Bunga adalah subsidi berupa bagian bunga yang menjadi beban pemerintah sebesar selisih antara tingkat bunga yang. diterima oleh Bank Pelaksana dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada peserta KUR.

    4.

    Perjanjian Kerjasama Pembiayaan KUR adalah perjanjian antara Kuasa Pengguna Anggaran atas ilama Menteri Keuangan mewakili pemerintah dengan Bank Pelaksana.

    5.

    Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut dengan Komite Kebijakan adalah komite yang dibentuk oleh Presiden melalui Keputusan Presiden yang bertugas memberikan arahan kebijakan program KUR. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 6. Rencana Tahunan Pembiayaan KUR yang selanjutnya disingkat RTP-KUR adalah rencana pembiayaan KUR yang dibuat oleh Bank Pelaksana untuk periode 1 (satu) Tahun Anggaran.

    7.

    Pengguna Anggaran adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/ Lembaga yang bersangkutan.

    8.

    Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari Pengguna Anggaran untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.

    9.

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

    10.

    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

    11.

    Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disingkat BPKP adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

    12.

    Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

    Thumbnail
    USAHA MIKRO/KECIL
    UU 20 TAHUN 2008

    Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

    • Ditetapkan: 04 Jul 2008
    • Diundangkan: 04 Jul 2008

    Relevan terhadap 1 lainnya

    Pasal 10Tutup

    Aspek informasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c ditujukan untuk:

    a.

    membentuk dan mempermudah pemanfaatan bank data dan jaringan informasi bisnis;

    b.

    mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan

    c.

    memberikan jaminan transparansi dan akses yang sama bagi semua pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atas segala informasi usaha.

    Pasal 8Tutup

    Aspek pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a ditujukan untuk:

    a.

    memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;

    b.

    memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya sehingga dapat diakses oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

    c.

    memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

    d.

    membantu para pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah.

    Pasal 21Tutup
    (1)

    Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

    (2)

    Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.

    (3)

    Usaha Besar nasional dan asing dapat menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.

    (4)

    Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.

    (5)

    Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana , dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

    Thumbnail
    PENYERTAAN MODAL NEGARA | PENAMBAHAN
    PP 108 TAHUN 2012

    Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia. ...

    • Ditetapkan: 24 Des 2012
    • Diundangkan: 24 Des 2012

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup
    a.

    bahwa untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia dalam rangka pelaksanaan penjaminan kredit usaha rakyat bagi kelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor riil oleh usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, perlu melakukan penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012;

    b.

    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia;

    Thumbnail
    PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | PUTUSAN PENGADILAN
    63/PUU-XIII/2015

    Pengujian UU no 27 tahun 2014 tentang APBN 2015 terhadap UUD Negara RI Tahun 1945

      Relevan terhadap

      Halaman 9Tutup

      Pemohon sama sekali tidak diperhitungkan sebagai data dan kewajiban yang harus diperlakukan sama dan bahkan sampai pada level data para Pemohon terrekam di BPLS pun tidak. Oleh karena itu, jika selama ini dikampanyekan di media massa kalau nilai kewajiban PT Lapindo Brantas Inc/PT. Minarak Lapindo Jaya yang belum diselesaikan kepada para korban Lumpur Sidoarjo sebesar lebih kurang Rp 781.700.000.000,00, maka pemberitaan atas nilai tersebut adalah tidak benar, karena secara riil nilai keseluruhan untuk pembayaran dan pelunasan tanah dan bangunan bagi korban di dalam PAT baik korban dari unsur rumah tangga dan korban dari unsur pelaku usaha adalah sebesar Rp 4.577.751.624.620,00 serta baru diselesaikan sebesar Rp. 3.043.404.322.109 + Rp 35.797.608.624,00 = Rp 3.079.201.930.733,00. Dengan demikian sisa kewajiban yang seharusnya diselesaikan berdasarkan hitungan yang riil adalah sebesar Rp 4.577.751.624.620,00 - Rp 3.079.201.930.733,00 = Rp 1.498.549.693.887,00. Bahwa nilai total kewajiban PT Lapindo Brantas Inc/PT. Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 4.577.751.624.620,00 dihitung dengan mengacu pada patokan nilai harga yang sudah ditetapkan oleh Perpres a quo yaitu nilai harga untuk tanah sebesar Rp 1.000.000,00 dan Rp 1.500.000.00 untuk bangunan. Bahwa faktanya nilai yang seharusnya dibayarkan terbukti di lapangan terjadi perbedaan yaitu nilai sebesar Rp 1.000.000,00 untuk tanah dan nilai sebesar Rp 1.500.000,00 untuk bangunan hanya diperuntukkan sebagai ganti rugi bagi korban dari unsur rumah tangga saja, sedangkan bagi para Pemohon yang dikategorikan sebagai korban dari unsur pelaku usaha oleh PT Lapindo Brantas Inc/PT. Minarak Lapindo Jaya hanya diberikan pembayaran dan pelunasan tanah dan bangunan yang secara sepihak oleh PT Lapindo Brantas Inc/PT. Minarak Lapindo Jaya dikategorikan sebagai model pembayaran dan pelunasan yang mendasarkan prinsip B To B (Bussines To Bussines), yang mana dalam konsep B to B ini nilai pemberian ganti rugi tanah dan bangunan milik pelaku usaha bervariasi __ antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lainnya serta tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. (vide bukti P-7). Dengan demikian terdapat perbedaan nilai harga antara korban dari unsur rumah tangga dengan korban dari unsur pelaku usaha; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id

      Thumbnail
      PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH | PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
      137/PMK.010/2018

      Perubahan Keenam atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ...

        Relevan terhadap

        Pasal 2Tutup
        (1)

        Atas impor Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk tetap dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai . dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

        (2)

        Menyimpang dart ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas impor sebagian Barang Kena Pajak yang dibebaskan dart pungutan Bea Masuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

        (3)

        Barang Kena Pajak yang dibebaskan dart pungutan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:

        a.

        barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

        b.

        barang untuk keperluan badan intemasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia;

        c.

        barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau barang untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;

        d.

        barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum, serta barang untuk konservasi alam;

        e.

        barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

        f.

        barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;

        g.

        peti atau kemasan lain yar: g berisi jenazah atau abu jenazah;

        h.

        barang pindahan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, mahasiswa yang belajar di luar negeri, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian  epublik Indonesia yang bertugas di luar negeri paling sedil<.it 1 (satu) tahun, sepanjang barang tersebut tidak untuk diperdagangkan dan mendapat rekomendasi dari Perwakilan Republik Indonesia setempat;

        i.

        barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;

        j.

        barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;

        k.

        perlengkapan militer termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara;

        1.

        barang impor sementara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara;

        m.

        barang yang dipergunakan untuk:

        1.

        kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi hulu minyak dan gas bt: mi; atau 1 www.jdih.kemenkeu.go.id 2. kegiatan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, dan pemanfaatan;

        n.

        dihapus;

        o.

        barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat diekspor :

        p.

        barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian, kemudian diimpor kembali;

        q.

        obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;

        r.

        bahan terapi manusia, pengelompokan darah dan bahan penjenisan jaringan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;

        s.

        barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang mendapat fasilitas impor untuk tujuan ekspor; dan

        t.

        barang dan bahan atau mesin yang diimpor oleh industri kecil dan menengah atau konsorsium untuk industri kecil dan menengah dengan menggunakan fasilitas impor untuk tujuan ekspor.

        (3a) Fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat diberikan terhadap Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf o, sepanjang pada saat ekspor Barang Kena Pajak dimaksud dinyatakan akan diimpor kembali.

        (4)

        Fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat diberikan terhadap Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf m, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

        a.

        barang tersebut belum dapat diproduksi dalam negeri;

        b.

        barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau

        c.

        barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.

        (5)

        Untuk memperoleh fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur J enderal Bea dan Cukai bersamaan dengan permohonan untuk memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk, dengan dilampiri Rencana Impor Barang (RIB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur J enderal Minyak dan Gas Bumi atau Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang tata caranya mengikuti ketentuan perundang-undangan Pabean.

        Thumbnail
        Tidak Berlaku
        COVID-19 Covid-19 | COVID 19 DAN PEN Covid 19 dan PEN | COVID-19 | PROGRAM PEN
        86/PMK.03/2020

        Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019

        • Ditetapkan: 16 Jul 2020
        • Diundangkan: 16 Jul 2020

        Relevan terhadap 2 lainnya

        Pasal 13Tutup
        (1)

        PKPdapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang- Undang PPN.

        (2)

        PKP yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

        a.

        memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

        b.

        telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE, atau c. telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;

        .

        (3) PKP harus memilih pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk memperoleh pengembalian pendahuluan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

        (4)

        Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PKP harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

        (5)

        Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum pada:

        a.

        SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 atau pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, yang telah dilaporkan Wajib Pajak; atau

        b.

        data yang terdapat dalam administrasi perpajakan ( masterfile ) Wajib Pajak pusat bagi Wajib Pajak belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2018.

        (6)

        Ketentuan mengenai Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Wajib Pajak Berstatus Pusat maupun Wajib Pajak Berstatus Cabang.

        (7)

        PKP yang telah mendapatkan fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus melampirkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan.

        (8)

        PKP yang telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus melampirkan Keputusan Menteri mengenai izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan.

        (9)

        Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberikan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Surat Pemberitahuan Masa PPN termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2021.

        (10)

        Termasuk yang diperhitungkan dalam pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yaitu kompensasi kelebihan pajak dari Masa Pajak sebelumnya yang diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (9).

        (11)

        Pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), tetap diberikan kepada PKP meskipun kelebihan pajak disebabkan adanya kompensasi Masa Pajak sebelumnya.

        (12)

        PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengembalian pendahuluan berdasarkan kriteria tertentu.

        (13)

        Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (12) meliputi:

        a.

        PKP dimaksud tidak perlu menyampaikan permohonan penetapan sebagai PKP berisiko rendah;

        b.

        Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan penetapan secara jabatan sebagai PKP berisiko rendah; dan

        c.

        PKP memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, fasilitas KITE atau izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB yang diberikan kepada PKP masih berlaku pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan lebih bayar restitusi.

        (14)

        Petunjuk bagi PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf Q merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

        (15)

        Tata cara atas pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu, dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

        Pasal 10Tutup
        (1)

        Wajib Pajak yang:

        a.

        memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

        b.

        telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau

        c.

        telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB; diberikan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

        (2)

        Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagaimana Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum pada:

        a.

        SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 yang telah dilaporkan Wajib Pajak; atau

        b.

        data yang terdapat dalam administrasi perpajakan ( masterfile ) Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah tahun 2018.

        (3)

        Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

        (4)

        Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.

        (5)

        Contoh penghitungan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

        MenimbangTutup
        a.

        bahwa untuk melakukan penanganan dampak pandemic Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) saat ini, perlu dilakukan perluasan sektor yang akan diberikan insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan kemudahan pemanfaatan insentif yang lebih luas;

        b.

        bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan pemberian insentif untuk mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID 19);

        c.

        bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) dinilai sudah tidak tepat, sehingga perlu dicabut, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; d. __ bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19); __

        • 1
        • ...
        • 27
        • 28
        • 29
        • ...
        • 66